Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Status Dan Determinan Pendapatan Petani Agroforestri

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 19

Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 36 No. 1, Mei 2018:71-89 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/jae.v36n1.2018.

71-89 71

STATUS DAN DETERMINAN PENDAPATAN PETANI AGROFORESTRI


DI LINGKUNGAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI

The State and Determinants of Agroforestry Farmers’ Income in the


Surrounding Areas of the Gunung Ciremai National Park
Suyadi1*, Sumardjo2, Zaim Uchrowi2, Prabowo Tjitropranoto2, Dewa Ketut Sadra Swastika3
1Balai Pendidikan dan Pelatihan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar
Jln. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5, Makassar 90241, Sulawesi Selatan, Indonesia
2Departemen Sains KPM, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Gedung FEMA Wing 1 Lantai 5, Dramaga, Bogor 16680, Jawa Barat, Indonesia
3Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Jln. Tentara Pelajar No. 3B, Bogor 16111, Jawa Barat, Indonesia
* Korespondensi penulis. E-mail: suyadi.wsd@gmail.com

Diterima: 12 Maret 2018 Direvisi: 2 April 2018 Disetujui terbit: 7 Agustus 2018

ABSTRACT

Rural communities in Gunung Ciremai National Park (GCNP) are generally low income farmers. Farms that
have long been adopted agroforestry farming systems through inter generation legacy. The existing agroforestry
technology applied by the farmers remains the simple traditional technology, so that the crops yields and income
are low. Understanding the determinants of farmers’ income is useful in formulating the appropriate policy for
increasing farmers’ income. This study was aimed to analyze the level and determinants of the agroforestry farmers
income in GCNP. This research was conducted in Kuningan and Majalengka Regency, West Java Province, in
July to October 2017. The data was collected by interviewing 310 agroforestry farmers which were selected using
the cluster random sampling technique with clusters consisted of the locations of farmer groups from agroforestry
in the GCNP buffer zone. The data was analized using descriptive statistics and regression inferential statistics.
The results show that the income of agroforestry farmers was low because of low agroforestry farmers’ capacity,
weak extension support and weak leadership role of informal leaders. Supports of the forestry extension service
and informal leaders' leadership roles are needed for enhancing the agroforestry farmers’ capacity in increasing
their income.
Keywords: agroforestry, farmers, income, national park

ABSTRAK

Masyarakat perdesaan di lingkungan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) umumnya adalah petani kurang
sejahtera yang telah lama menekuni agroforestri turun-temurun. Penerapan teknologi pada sistem usaha tani
agroforestri masih sederhana sehingga produktivitas tanaman masih rendah yang berdampak pada rendahnya
pendapatan. Berbagai faktor dapat memengaruhi tingkat pendapatan petani agroforestri, sehingga perlu diungkap
faktor-faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan pendapatan petani. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis besaran dan determinan pendapatan petani agroforestri di lingkungan TNGC. Penelitian ini dilakukan
di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat pada bulan Juli sampai Oktober 2017. Data diperoleh
dari 310 orang petani yang dipilih berdasarkan cluster random sampling dengan klaster lokasi kelompok tani
agroforestri di desa penyangga kawasan TNGC. Data dianalisis menggunakan metode statistik deskriptif dan
statistik inferensial regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan petani agroforestri di lingkungan
TNGC rendah karena rendahnya kapasitas petani agroforestri, lemahnya dukungan penyuluhan kehutanan, dan
lemahnya peran kepemimpinan tokoh informal. Dukungan penyuluhan kehutanan dan peran kepemimpinan tokoh
informal perlu ditingkatkan agar petani agroforestri memiliki kapasitas yang memadai dalam meningkatkan
pendapatan mereka.
Kata kunci: agroforestri, pendapatan, petani, taman nasional

PENDAHULUAN agroforestri telah lama ditekuni bahkan sudah


turun-temurun. Namun, kondisi mereka kurang
berdaya dan tergolong belum sejahtera karena
Masyarakat perdesaan yang tinggal di penghasilan mereka umumnya rendah. Hal ini
lingkungan TNGC sebagian besar sebagai petani dikuatkan oleh data BPS (2017) yang menunjuk-
dengan usaha tani agroforestri. Usaha tani kan sebanyak 17,28 juta jiwa atau 62,25% dari
72 Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 36 No. 1, Mei 2018:71-89

27,76 juta penduduk miskin tinggal dan hidup di hanya bergantung pada lahan milik pribadi
perdesaan di dalam dan sekitar kawasan hutan. dengan luas yang kurang memadai.
Desa-desa yang berbatasan dengan kawasan
Secara umum, hutan sangat penting bagi
hutan pada umumnya merupakan kantung-
kehidupan manusia, baik untuk kehidupan
kantung kemiskinan. Kondisi ini antara lain
generasi sekarang maupun generasi mendatang
disebabkan karena masyarakat belum cukup
(Hidayat 2015). Kelestarian sumber daya hutan
mendapat akses ke sumber daya hutan untuk
adalah tanggung jawab bersama, termasuk
menopang kesejahteraannya. Dukungan sumber
daya hutan kurang dimanfaatkan untuk masyarakat petani di sekitar hutan. Untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat di mendorong tumbuhnya rasa tanggung jawab
lingkungan hutan, termasuk lingkungan TNGC. terhadap kelestarian sumber daya hutan dan
Hal ini selaras dengan hasil penelitian Puspitojati motivasi petani dalam berusaha tani diperlukan
et al. (2012) dan Langat et al. (2016) yang penggerak atau seseorang yang mampu
menjelaskan bahwa masyarakat perdesaan memengaruhi. Salah satu penggerak bagi petani
sangat bergantung pada sumber daya hutan. di sekitar hutan tersebut adalah tokoh informal.
Mereka tinggal dekat hutan, memungut hasil Tokoh informal mempunyai pengaruh sebagai
hutan untuk dikonsumsi sendiri, atau bekerja di seorang pemimpin. Keterlibatan tokoh informal
dalam kawasan hutan. Dalam kaitan ini, menjadi sangat penting dalam meningkatkan
pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kemandirian masyarakat sekitar hutan dan
kehutanan merupakan jawaban kunci untuk secara spesifik adalah petani sekitar hutan dalam
mengoptimalkan akses pengelolaan sumber berusaha tani agroforestri. Hal ini selaras dengan
daya hutan demi peningkatan kesejahteraan Mutmainah dan Sumardjo (2014) yang menya-
masyarakat. Handoko (2014) menjelaskan takan bahwa peran pemimpin kelompok meliputi
bahwa pembangunan hutan yang berkelanjutan kemampuan pemimpin dalam memberikan
di Indonesia masih dihadapkan pada masalah- arahan dan tuntunan bagi anggota kelompoknya,
masalah berupa ketidakpastiaan pengelolaan, mampu memfasilitasi agar tercapai tujuan,
rendahnya kapasitas pengelolaan, dan rendah- mampu mendinamiskan para anggota untuk aktif,
nya penegakan hukum. dan mampu dalam menampung aspirasi anggota
kelompoknya. Kemandirian petani dalam ber-
Menurut sejarahnya, kawasan TNGC seluas usaha tani agroforestri dapat meningkatkan
kurang lebih 15.500 hektare telah beberapa kali kesejahteraan petani dan keluarganya. Terwujud-
mengalami perubahan status kawasan berda- nya kesejahteraan petani dan keluarganya
sarkan fungsinya. Pada zaman kolonial Belanda tersebut, tentunya akan berdampak pula pada
sampai dengan tahun 1978, kawasan TNGC kelestarian sumber daya hutan karena terbebas
merupakan kawasan hutan tutupan atau hutan dari ancaman kerusakan. Hal tersebut meru-
lindung, kemudian berubah menjadi hutan pakan salah satu bentuk peran dari tokoh
produksi pada tahun 1978–2003. Kawasan informal dalam mendukung suksesnya pem-
TNGC kembali menjadi hutan lindung pada tahun bangunan sektor kehutanan.
2003–2004, dan sejak 2004 ditetapkan oleh
Menteri Kehutanan menjadi TNGC (hutan Tokoh informal merupakan sosok atau figur
konservasi). Perubahan status kawasan tersebut individu dalam masyarakat yang karena
tentunya sangat berdampak pada masyarakat di kelebihan yang dimiliki baik ilmu pengetahuan,
lingkungan Gunung Ciremai baik secara ekologi, kekayaan, keturunan, atau kedudukannya di
ekonomi, maupun sosial. Pada kawasan hutan tengah-tengah masyarakat, diakui dan diterima
fungsi produksi, masyarakat petani mendapatkan oleh warga masyarakat sebagai tokoh yang
akses langsung untuk terlibat dalam pengelolaan dihormati dan dipatuhi. Tokoh informal tersebut
lahan kawasan dengan sistem tumpang sari. Hal menjadi mempunyai pengaruh yang kuat
ini tentunya secara ekonomi sangat menguntung- terhadap masyarakat. Petani agroforestri yang
kan petani, namun secara ekologi telah tinggal di lingkungan taman nasional pada
menyebabkan kerusakan vegetasi hutan alam umumnya masih patuh kepada pemimpin
dan berkurangnya peran pengaturan tata air. mereka, patuh terhadap orang-orang yang
Selama kurun waktu kurang lebih 25 tahun ditokohkan baik secara formal maupun informal.
masyarakat di lingkungan hutan Gunung Ciremai Hal ini dapat dilihat dari sikap hormat yang tinggi
lebih merasakan manfaat ekonomi secara nyata. terhadap tokoh-tokoh dalam berbagai aspek
Berbeda halnya dengan pasca ditetapkannya kegiatan. Apa yang diperintahkan, disarankan,
menjadi kawasan taman nasional. Masyarakat atau diharapkan oleh tokoh-tokoh mereka,
tidak boleh lagi melakukan pengelolaan hutan umumnya dipatuhi dan dilaksanakan. Pada
pola tumpang sari sehingga mereka kehilangan kondisi masyarakat seperti ini, tokoh informal
hak pengolahan lahan hutan. Untuk dapat mempunyai peranan penting dalam proses
menopang kebutuhan hidup keluarga, petani pembangunan sumber daya manusia kehutanan
STATUS DAN DETERMINAN PENDAPATAN PETANI AGROFORESTRI DI LINGKUNGAN TAMAN NASIONAL 73
GUNUNG CIREMAI Suyadi, Sumardjo, Zaim Uchrowi, Prabowo Tjitropranoto, Dewa Ketut Sadra Swastika

yang mandiri. Tokoh informal mampu berperan kuantitatif dengan tujuan untuk menganalisis (1)
dalam memfasilitasi antara keinginan masyarakat pendapatan petani agroforestri di lingkungan
setempat dengan pihak pemerintah atau swasta. TNGC dan (2) faktor-faktor yang memengaruhi
Tokoh informal dituntut mampu menjadi pendapatan petani agroforestri di lingkungan
pendorong bagi masyarakatnya dalam mengelola TNGC. Penelitian ini diharapkan dapat
hutan agar tidak merusak dan mendorong bermanfaat bagi lembaga yang membidangi
pemerintah agar memperhatikan kemauan dan penyuluhan kehutanan, yaitu memberi masukan-
kepentingan rakyat. Tokoh informal juga mampu masukan untuk bahan pertimbangan dalam
berperan menjadi juru bicara atau wakil penyelenggaraan penyuluhan kehutanan yang
masyarakat dalam menyampaikan keinginan melibatkan peran tokoh informal, khususnya
kepada pemerintah, demikian juga sebaliknya. dalam upaya peningkatan kapasitas petani
Hal ini selaras dengan penelitian Suprayitno et al. agroforestri yang selanjutnya berdampak pada
(2011) yang menemukan bahwa tokoh ma- peningkatan pendapatan.
syarakat sekitar hutan kemiri memainkan
peranan cukup penting dalam memotivasi
masyarakat atau petani sekitar hutan untuk METODE PENELITIAN
melestarikan hutan.
Petani agroforestri perlu juga memiliki ka- Kerangka Pemikiran
pasitas yang memadai. Kapasitas tersebut
meliputi kompetensi agribisnis (budi daya, Petani agroforestri saat ini dalam kondisi
pengolahan hasil, pemasaran) dan kemandirian kurang berdaya, kapasitas rendah, dan tergolong
petani. Jika petani memiliki kemampuan dalam miskin. Menghadapi kondisi seperti ini, perlu
hal agribisnis dan juga mandiri, maka dicari solusinya agar bisa berubah. Perubahan
pengelolaan usaha taninya akan lebih baik dan yang diharapkan adalah petani agroforestri lebih
hasilnya juga meningkat. Berkaitan dengan berdaya, memiliki kapasitas yang tinggi, lebih
kemandirian petani, Sumardjo (1999) menjelas- mandiri dan sejahtera. Perubahan kondisi petani
kan bahwa individu yang mandiri sejati adalah tersebut dapat dilakukan melalui peningkatan
maju (modern) dalam perilaku (kognitif, afektif, kapasitas diri petani. Kapasitas tersebut meliputi
dan psikomotorik), efisien, dan berdaya saing kompetensi dan kemandirian petani. Kompetensi
tinggi (competitiveness) sehingga mampu petani dalam kaitannya dengan usaha agro-
berpikir atau bertindak (mengambil keputusan) forestri antara lain meliputi kompetensi teknik
secara cepat dan tepat, serta mampu bermitra budi daya, pengolahan hasil, dan pemasaran.
dan membangun jejaring yang saling menguat- Kemandirian petani dalam kaitannya dengan
kan dan menguntungkan. usaha agroforestri meliputi aspek daya saring,
daya saing, dan daya sanding. Hal ini merujuk
Sampai saat ini berbagai penelitian tentang pada konsep kemandirian yang dikemukakan
faktor-faktor yang memengaruhi tingkat pen- oleh Sumardjo (1999), Sumardjo et al. (2014),
dapatan petani agroforestri telah dilakukan. Salah dan Sumardjo (2016), bahwa kemandirian petani
satu di antaranya adalah penelitian Diniyati et al. dapat dilihat dari tiga indikator yaitu daya saring,
(2013) yang mengungkapkan bahwa usaha hutan daya saing, dan daya sanding. Daya saring yaitu
rakyat pola agroforestri didukung oleh kondisi petani percaya diri dan mampu mengambil
topografi wilayah dan ketersediaan lahan yang keputusan atau mengambil tindakan yang dinilai
lebih luas dibandingkan untuk usaha lainnya. paling menguntungkan. Daya saing yaitu petani
Demikian juga Kusumedi dan Jariyah (2010) mempunyai kemampuan untuk bisa lebih unggul
melaporkan bahwa agroforestri merupakan dari pihak lain, dan daya sanding adalah petani
pilihan tepat dalam pemanfaatan lahan milik mampu bekerja sama dalam kedudukan yang
masyarakat/petani karena mampu memberikan setara sehingga terjadi saling ketergantungan
pendapatan dalam jangka pendek untuk biaya yang saling menguntungkan.
hidup harian dan pendapatan jangka panjang Langkah yang dipandang sangat relevan dan
sebagai tabungan. Hasil penelitian lainnya oleh
efektif sebagai upaya peningkatan kapasitas diri
Ruhimat (2015a) yang menyatakan bahwa
petani agroforestri adalah melalui peningkatan
faktor-faktor kunci yang harus diperhatikan dalam
partisipasi. Tingkat partisipasi petani agroforestri
keberlanjutan usaha tani agroforestri terdiri dari
dapat dilihat pada kegiatan agroforestri, baik
faktor peranan penyuluh, ketersediaan paket
yang berhubungan dengan aspek ekonomi
teknologi agroforestri, peranan pemerintah, dan
maupun sosial. Upaya percepatan peningkatan
eksistensi kelompok tani.
partisipasi petani agroforestri memerlukan faktor
Berbeda dengan penelitian-penelitian ter- penggerak yang mampu memotivasi petani.
dahulu, penelitian ini menggunakan metode Salah satu faktor penggerak yang dinilai sangat
74 Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 36 No. 1, Mei 2018:71-89

penting perannya adalah tokoh informal. melalui bantuan dana, pelatihan, pembangunan
Pengaruh kuat yang dimiliki oleh tokoh informal sarana, prasarana baik fisik maupun sosial, dan
terbentuk secara alami karena kelebihan- pengembangan kelembagaan daerah; (c) per-
kelebihan yang dimiliki oleh seorang tokoh dan lindungan pada petani yang lemah; dan (d)
secara langsung diakui dan diterima dengan menciptakan kemitraan yang saling menguntung-
kesadaran sendiri oleh anggota masyarakat. kan. Model kerangka pemikiran dari penelitian ini
Derajat pengaruh seorang tokoh informal dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.
tersebut merupakan cerminan dari kepemimpin-
Secara operasional penelitian tentang faktor-
an tokoh informal yang terdiri dari tiga peran, yaitu
faktor yang memengaruhi pendapatan petani
interpersonal, informasional, dan pengambilan
agroforestri di lingkungan TNGC meliputi variabel
keputusan. Ketiga peran ini sesuai dengan yang
bebas (X) dan variabel tidak bebas (Y).
diungkapkan oleh Mintzberg (1973), bahwa peran
Berdasarkan kerangka pemikiran pada Gambar
kepemimpinan dikelompokkan dalam tiga
1, hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini
kelompok yaitu peran interpersonal, peran
yaitu pendapatan petani agroforestri di ling-
informasional, dan peran pengambilan keputus-
kungan TNGC (Y) dipengaruhi oleh faktor
an. Teori pemberdayaan dalam penelitian ini
mengacu pada Sumodiningrat (1999) yang karakteristik individu petani (X1), dukungan
menjelaskan bahwa proses menuju keberdayaan penyuluhan kehutanan (X2), kondisi lingkungan
petani dilihat dari beberapa sudut pandang, di (X3), kepemimpinan tokoh informal (X4), tingkat
antaranya (a) menciptakan suasana yang partisipasi petani dalam Kelompok Tani Hutan
memungkinkan petani berkembang; (b) pe- (KTH) Agroforestri (X5), dan kapasitas petani (X6).
ningkatan kemampuan petani dalam membangun

Karakteristik individu petani


(X1):
X1.1- Umur
X1.2- Tingkat pendidikan
formal
X1.3- Tingkat penguasaan
lahan
X1.4- Pengalaman dalam
usaha agroforestri
X1.5- Tingkat kosmopolitan Kepemimpinan tokoh
petani informal (X4):
X4.1- Peran
interpersonal
X4.2- Peran
Dukungan penyuluhan informasional
kehutanan (X2): X4.3- Peran
X2.1- Kegiatan penyuluhan pengambilan
kehutanan keputusan Kapasitas petani
X2.2- Kompetensi penyuluh (X6):
kehutanan X6.1- Kompetensi
X2.3- Ketepatan metode agribisnis petani
penyuluhan X6.2- Kemandirian
kehutanan petani
X2.4- Kesesuaian materi
Tingkat partisipasi petani
penyuluhan
dalam Kelompok Tani
kehutanan
Hutan (KTH) Agroforestri
X2.5- Intensitas penyuluhan
(X5) :
kehutanan
X5.1- Partisipasi
ekonomi dalam
KTH Agroforestri
X5.2- Partisipasi sosial Pendapatan petani (Y):
Y.1- Hasil usaha
dalam KTH
Kondisi lingkungan (X3) agroforestri
Agroforestri
X3.1- Aksesibilitas ekonomi Y.2- Hasil usaha
X3.2- Kondisi ekologis lainnya di luar
X3.3- Peran kelompok tani usaha agroforestri
hutan

Gambar 1. Kerangka pemikiran operasional tentang faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan petani
agroforestri di lingkungan TNGC
STATUS DAN DETERMINAN PENDAPATAN PETANI AGROFORESTRI DI LINGKUNGAN TAMAN NASIONAL 75
GUNUNG CIREMAI Suyadi, Sumardjo, Zaim Uchrowi, Prabowo Tjitropranoto, Dewa Ketut Sadra Swastika

Pengumpulan Data instansi Balai TNGC, Balai Pengelolaan Hutan


Wilayah V Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat,
Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif
dan Badan Pusat Statistik. Jenis data sekunder
dan kualitatif dengan menggunakan rancangan
yang dikumpulkan terdiri dari luas kawasan
survei. Data yang dikumpulkan dalam penelitian
TNGC, desa penyangga kawasan TNGC,
ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
penyuluh kehutanan, jumlah penduduk, dan
Penelitian dilakukan sejak bulan Juli sampai
pemberdayaan masyarakat.
Oktober 2017. Lokasi penelitian di Kabupaten
Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat
dipilih atas pertimbangan keberadaannya di Analisis Data
lingkungan TNGC.
Pengolahan dan analisis data dilakukan
Unit analisis dalam penelitian ini adalah petani menggunakan statistik deskriptif dan statistik
agroforestri. Populasi merupakan anggota KTH inferensial (analisis regresi). Statistik deskriptif
Agroforestri yang tinggal di desa-desa pe- digunakan dalam rangka memberikan gambaran
nyangga kawasan TNGC dengan jumlah 1.043 mengenai sebaran responden pada setiap
orang. Teknik sampling yang digunakan ialah peubah, dengan memakai tabel distribusi
cluster random sampling, yaitu berdasarkan desa frekuensi. Selanjutnya, digunakan statistik
lokasi KTH Agroforestri. Jumlah responden inferensial, yaitu menggunakan regresi, untuk
penelitian ini sebanyak 310 orang responden, melakukan estimasi atau pendugaan terhadap
terdiri dari 191 orang responden di Kabupaten populasi (generalisasi) dalam rangka melihat
Kuningan dan 119 orang responden di sejauh mana variabel bebas memengaruhi
Kabupaten Majalengka. variabel terikat.
Data primer diperoleh melalui wawancara Secara matematis, model pendugaan faktor-
langsung dengan responden berdasarkan faktor yang memengaruhi pendapatan dapat
variabel-variabel yang diteliti, yakni variabel dirumuskan sebagai berikut:
bebas (karakteristik individu petani, dukungan
penyuluhan kehutanan, dan dukungan ling- ∏ = ɤ + ß1X1 + ß2X2 + ß3X3 + ......... ßnXn
kungan, kepemimpinan tokoh informal, tingkat di mana:
partisipasi petani dalam KTH Agroforestri,
kapasitas petani), dan variabel tidak bebas ∏ = pendapatan petani
(pendapatan petani). Data komponen penda- ɤ = konstanta
patan usaha tani yang dikumpulkan antara lain ß1 ..... ßn = parameter estimasi
volume penggunaan input produksi (bahan dan X1 ..... Xn = variabel bebas
tenaga kerja), volume produksi dari komoditas Adapun masing-masing variabel bebas dalam
yang diusahakan, harga satuan masing-masing penelitian ini adalah
input dan masing-masing produk komoditas yang
diusahakan. Selain itu, juga dikumpulkan pen- X1 = karakteristik individu petani (umur, tingkat
dapatan dari kegiatan off-farm dan kegiatan non- pendidikan formal, tingkat penguasaan
farm. lahan, pengalaman dalam usaha tani
agroforestri, tingkat kosmopolitan petani)
Teknik pengumpulan data primer yang
dilakukan adalah dengan membuat kuesioner X2 = dukungan penyuluhan kehutanan (kegiatan
(daftar pertanyaan), melakukan pengamatan penyuluhan kehutanan, kompetensi
(observasi) langsung di lapangan dan wawancara penyuluh kehutanan, ketepatan metode
mendalam baik dengan petani ataupun dengan penyuluhan kehutanan, kesesuaian materi
informan lainnya. Untuk data kualitatif, skala data penyuluhan kehutanan, dan intensitas
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu skala penyuluhan kehutanan)
ordinal 4 (selalu), 3 (sering), 2 (kadang), 1 (tidak X3 = kondisi lingkungan (aksesibilitas ekonomi,
pernah). Data yang diperoleh diolah dan analisis kondisi ekologis, dan peran KTH)
secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis secara X4 = kepemimpinan tokoh informal (peran
kuantitatif dicirikan dengan pengujian hipotesis. interpersonal, peran informasional, dan
Untuk memberikan penjelasan atau makna dari peran pengambilan keputusan)
hasil pengujian hipotesis tersebut, diberikan X5 = tingkat partisipasi petani dalam KTH
penjelasan secara kualitatif berdasarkan data Agroforestri (partisipasi ekonomi dalam KTH
yang diperoleh di lapangan dan teori-teori serta Agroforestri, dan partisipasi sosial dalam
hasil penelitian-penelitian lain yang mendukung. KTH Agroforestri)
Data sekunder diperoleh dari literatur-literatur X6 = kapasitas petani (kompetensi agribisnis
pustaka dari berbagai sumber yang berhubungan petani, dan kemandirian petani)
dengan tujuan penelitian, di antaranya dari
76 Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 36 No. 1, Mei 2018:71-89

HASIL DAN PEMBAHASAN forestri di lingkungan TNGC tergolong dalam


umur produktif, berpendidikan rendah, memiliki
lahan sempit, pengalaman usaha tani rendah,
Deskripsi Peubah Penelitian Karakteristik
dan tingkat kosmopolitan juga rendah.
Individu Petani Agroforestri
Kemampuan bekerja dalam mengelola lahan
Karakteristik individu petani agroforestri di
dengan sistem agroforestri dipengaruhi oleh
lingkungan Taman Nasional dalam penelitian ini
umur. Pengelolaan lahan dengan sistem
diindikasikan dengan umur, pendidikan formal,
agroforestri membutuhkan umur dalam taraf
penguasaan lahan, pengalaman usaha tani, dan
produktif karena beban pekerjaan masih bersifat
tingkat kosmopolitan (Tabel 1). Petani agro-
intensif. Secara fisik usaha agroforestri

Tabel 1. Deskripsi peubah penelitian berdasarkan rataan di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, 2017

Peubah penelitian Rataan*


Kuningan Majalengka Gabungan
Karakteristik individu petani:
Umur (tahun) 49,0 51,0 50,0
Pendidikan formal (tahun) 8,0 7,0 8,0
Penguasaan lahan (ha) 0,5 0,4 0,5
Pengalaman usaha tani agroforestri (tahun) 20,0 23,0 21,0
Tingkat kosmopolitan petani (skor) 38,6 37,0 38,6
Dukungan penyuluhan kehutanan:
Kegiatan penyuluhan kehutanan (skor) 37,6 40,9 36,8
Kompetensi penyuluh kehutanan (skor) 45,1 45,9 44,8
Ketepatan metode penyuluhan kehutanan (skor) 34,0 34,9 34,3
Kesesuaian materi penyuluhan kehutanan (skor) 49,2 56,4 53,9
Intensitas penyuluhan kehutanan (skor) 32,5 24,4 29,4
Dukungan lingkungan:
Aksesibilitas ekonomi (skor) 33,3 40,3 32,1
Kondisi ekologis (skor) 73,8 69,8 72,2
Peran KTH (skor) 40,8 41,4 41,1
Kepemimpinan tokoh informal:
Peran interpersonal (skor) 48,1 37,8 47,2
Peran informasional (skor) 49,6 37,9 45,1
Peran pengambilan keputusan (skor) 47,7 47,2 43,7
Tingkat partisipasi petani dalam KTH Agroforestri:
Partisipasi ekonomi (skor) 26,4 24,3 24,3
Partisipasi sosial (skor) 55,4 46,2 53,8
Kapasitas petani:
Kompetensi agribisnis (skor) 50,8 55,7 49,7
Kemandirian (skor) 47,3 59,5 47,7
Pendapatan petani:
Hasil usaha agroforestri (skor) 37,4 40,9 37,0
Hasil usaha di luar usaha agroforestri (skor) 30,2 39,3 38,5
* Keterangan:
Umur: 18–35 tahun (dewasa awal), 36–50 tahun (dewasa pertengahan), >50 tahun (dewasa akhir)
Pendidikan formal: ≤6 tahun (SD), 7–9 tahun (SMP), 10–12 tahun (SMA), >12 tahun (Sarjana)
Penguasaan lahan: ≤0,5 ha (sangat sempit), 0,6–1 ha (sempit), 1–5 ha (luas), >5 ha (sangat luas)
Pengalaman usaha tani agroforestri: 1–15 tahun (sangat rendah), 16–30 tahun (rendah), 31–45 tahun (tinggi), >45 tahun
(sangat tinggi)
Selang skor: kategori 0–25 (sangat rendah), 26–50 (rendah), 51–75 (tinggi), 76–100 (sangat tinggi)
Sumber: Data primer (2017), diolah
STATUS DAN DETERMINAN PENDAPATAN PETANI AGROFORESTRI DI LINGKUNGAN TAMAN NASIONAL 77
GUNUNG CIREMAI Suyadi, Sumardjo, Zaim Uchrowi, Prabowo Tjitropranoto, Dewa Ketut Sadra Swastika

memerlukan petani yang masih dalam umur lebih memilih menanam berbagai jenis tanaman
produktif, yaitu berkisar antara 18–50 tahun (tumpang sari) agar dapat memenuhi kebutuhan
(Hudiyani 2013; Premono dan Lestari 2013; subsistennya dan sekaligus mempunyai
Suherdi et al. 2014). Lebih lanjut Suherdi et al. tabungan. Luas lahan garapan petani dapat
(2014) menegaskan bahwa pada usia produktif berasal dari lahan milik sendiri, sewa, atau
petani memiliki fisik yang kuat, pengetahuan dan menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi
kemampuan yang memadai, dan intensitas hasil. Ketiga sistem kepemilikan lahan ini akan
hubungan sosial yang baik, sehingga mampu memiliki pengaruh terhadap pengelolaannya,
melakukan usaha tani dengan baik. Hasil khususnya lahan yang digunakan untuk
penelitian menunjukkan umur produktif petani mengusahakan tanaman tahunan atau tanaman
agroforestri di lingkungan TNGC Kabupaten jangka panjang. Selaras dengan penguasaan
Kuningan dan Majalengka dalam kategori lahan, Salampessy et al. (2012) dan Hudiyani
dewasa awal dan pertengahan, yaitu kisaran 18– (2013) menjelaskan bahwa luas lahan yang
50 tahun (55,16%). Sebanyak 44,84% responden dikuasai petani untuk usaha mempunyai
cenderung ke arah tidak produktif karena sudah hubungan yang nyata terhadap partisipasi petani.
tua atau tergolong dewasa akhir, yaitu berumur
Pengalaman usaha tani agroforestri bagi petani
lebih dari 50 tahun.
agroforestri di lingkungan TNGC Kabupaten
Pendidikan formal petani agroforestri di Kuningan dan Majalengka tergolong rendah
lingkungan TNGC Kabupaten Kuningan dan (82,58%). Petani agroforestri tersebut pada
Majalengka didominasi oleh pendidikan SD dan umumnya penduduk asli di desanya sehingga
SMP (78,71%). Hal ini akan berdampak pada berusaha tani sudah dilakukan secara turun
upaya peningkatan kapasitas petani. Kondisi ini temurun. Pengalaman dalam usaha tani agro-
selaras dengan Kusumedi dan Jariyah (2010), forestri ini dapat menunjang proses peningkatan
Premono dan Lestari (2013), dan Suherdi et al. kapasitas petani. Menurut Padmowiharjo (1994),
(2014) yang menyatakan bahwa petani hutan pengalaman seseorang merupakan suatu
pada umumnya mempunyai tingkat pendidikan pengetahuan yang dialami orang tersebut dalam
SD dan SMP yang pekerjaan pokoknya adalah kurun waktu yang tidak ditentukan. Pengaturan
sebagai petani. Hal ini juga sejalan dengan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang sebagai
Winata dan Yuliana (2012) yang menyatakan hasil belajar selama hidupnya dapat digambarkan
bahwa dalam berusaha tani, petani hutan tidak dalam otak manusia. Seseorang akan berusaha
berbekal pendidikan formal, tetapi mereka hanya menghubungkan hal yang dipelajari dengan
berbekal pengalaman bertani yang sudah pengalaman yang dimiliki dalam proses belajar.
ditekuni sejak usia muda. Akan tetapi, tingkat Pengalaman yang menyenangkan dan memuas-
pendidikan formal yang rendah tidak meng- kan akan berdampak pada hal positif bagi perilaku
halangi petani hutan untuk menimba ilmu guna yang sama dan akan diterapkan pada situasi
kemajuan mereka terutama dalam menggarap berikutnya.
lahan pertanian. Tingkat pendidikan yang rendah
Tingkat kosmopolitan petani agroforestri di
berdampak pada tingkat pengetahuan petani
lingkungan TNGC Kabupaten Kuningan dan
hutan. Tingkat pengetahuan masyarakat petani
Majalengka tergolong rendah (74,19%). Kondisi
berhubungan dengan perannya dalam suatu
ini menunjukan bahwa petani agroforestri di
program kegiatan.
lingkungan TNGC kurang terbuka dengan
Semua lahan petani yang digunakan untuk informasi dari luar. Mereka memandang bahwa
usaha tani agroforestri di lingkungan TNGC informasi dari luar tidak dapat meningkatkan
Kabupaten Kuningan dan Majalengka dalam kapasitas mereka. Suprayitno et al. (2011) dalam
kategori sempit dan sangat sempit. Luas lahan penelitiannya menjelaskan bahwa tingkat kos-
petani untuk usaha agroforestri berkisar antara mopolitan petani yang direfleksikan oleh
0,01–2,00 hektare. Luas lahan akan sangat aksesibilitas petani terhadap informasi penge-
menentukan jumlah volume pohon yang akan lolaan hutan kemiri merupakan faktor yang
dihasilkan dalam usaha agroforestri. Agroforestri berpengaruh terhadap tingkat kemampuan petani
adalah sistem usaha yang memaksimalkan sekitar hutan dalam pengelolaan hutan kemiri.
pemanfaatan lahan. Oleh karena itu, bagi petani Semakin luas akses petani terhadap berbagai
agroforestri penguasaan lahan yang meliputi luas informasi pengelolaan hutan kemiri, maka akan
dan kepemilikan menjadi hal yang sangat semakin meningkat kemampuannya dalam
penting. Luas lahan yang dimiliki oleh petani akan mengelola hutan kemiri. Petani yang memiliki
memengaruhi pemilihan jenis tanaman yang akses luas terhadap berbagai sumber informasi
akan ditanam. Semakin luas lahan yang dimiliki akan memiliki informasi yang lebih banyak
petani, maka tanaman yang dipilih cenderung dengan implikasi pengetahuan dan wawasan
monokultur, sedangkan petani yang lahan sempit mereka lebih luas, sikap mereka akan lebih baik,
78 Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 36 No. 1, Mei 2018:71-89

dan keterampilan mereka akan bertambah baik. Secara umum materi penyuluhan kehutanan
Demikian juga dengan Herman et al. (2008) yang disampaikan kepada petani agroforestri di
dalam penelitiannya menjelaskan bahwa tingkat lingkungan TNGC sudah cukup sesuai dengan
kosmopolitan berpengaruh nyata terhadap kebutuhan petani yaitu tergolong tinggi (52,6%).
kapasitas petani sayuran baik di Kabupaten Namun demikian, materi kurang bisa diterima
Pasuruan maupun di Kabupaten Malang. Hal ini dengan baik karena metode yang digunakan
bermakna bahwa peningkatan kekosmopolitan kurang tepat.
petani dapat berdampak pula pada peningkatan
Intensitas penyuluhan kehutanan yang
kapasitas petani.
dilakukan oleh penyuluh kehutanan tergolong
rendah dan sangat rendah (85,5%). Intensitas
Dukungan Penyuluhan Kehutanan terhadap rendah sama artinya dengan penyuluhan
Pendapatan Petani Agroforestri kehutanan jarang dilakukan. Hal ini dibuktikan
dengan kegiatan pertemuan kelompok tani hutan,
Penyuluhan kehutanan di lingkungan Taman
keterlibatan petani pada kegiatan penyuluhan di
Nasional diindikasikan dengan kegiatan pe-
luar desanya, dan kehadiran penyuluh kehutanan
nyuluhan kehutanan, kompetensi penyuluh
di lokasi usaha/kebun petani.
kehutanan, metode penyuluhan kehutanan,
materi penyuluhan kehutanan, dan intensitas Lembaga pengelola kawasan TNGC dalam
penyuluhan kehutanan. Manfaat kegiatan hal ini Balai TNGC dan Pemerintah Kabupaten
penyuluhan kehutanan bagi petani agroforestri setempat mempunyai peran penting dalam
tergolong rendah dan sangat rendah (73,9%). penyelenggaraan kegiatan penyuluhan kehutan-
Kegiatan penyuluhan kehutanan yang diseleng- an. Dari hasil wawancara mendalam diperoleh
garakan oleh pemerintah pada umumnya masih penjelasan bahwa intensitas penyuluhan
bersifat keproyekan dan sekedar mengejar target kehutanan ini rendah karena belum terjalin
program pemerintah. Kegiatan penyuluhan koordinasi dan kerja sama yang optimal antara
kehutanan yang diselenggarakan belum sesuai lembaga Balai TNGC dengan lembaga
dengan kebutuhan petani dalam pengembangan penyuluhan pemerintah daerah setempat.
usaha tani agroforestri. Pada prinsipnya kegiatan Penyuluh kehutanan pada pemerintah daerah
tersebut diterima dan direspons dengan baik oleh setempat memandang bahwa penyelenggaraan
petani agroforestri di lingkungan Taman Nasional penyuluhan kehutanan di wilayah desa
di wilayah Kabupaten Kuningan dan Majalengka, penyangga kawasan Taman Nasional menjadi
namun petani agroforestri belum dapat mera- tanggung jawab lembaga pengelola Kawasan
sakan manfaat dari kegiatan penyuluhan yang Taman Nasional. Padahal, jumlah tenaga
pernah diikuti yaitu pertemuan kelompok tani penyuluh kehutanan pada Balai Taman Nasional
hutan, pelatihan keterampilan, menonton film relatif sangat sedikit yaitu hanya terdapat tiga
penyuluhan, atau studi banding. Kegiatan- orang penyuluh PNS untuk wilayah kerja
kegiatan tersebut cenderung jarang dilakukan. Kabupaten Kuningan, Majalengka, dan Cirebon.
Kompetensi penyuluh kehutanan dalam Van den Ban dan Hawkins (1999) menjelas-
menjalankan tugas dan fungsi penyuluhan di kan bahwa penyuluhan merupakan keterlibatan
lingkungan Taman Nasional tergolong rendah seseorang untuk melakukan komunikasi
dan sangat rendah (58,4%). Kompetensi informasi secara sadar dengan tujuan membantu
penyuluh kehutanan ini dibuktikan dengan ke- sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa
mampuan penyuluh kehutanan dalam menggali membuat keputusan yang benar. Penyuluhan
informasi atau permasalahan yang dihadapi dalam arti umum adalah ilmu sosial yang
petani. Kompetensi tersebut juga dibuktikan mempelajari sistem dan proses perubahan yang
melalui kemampuannya dalam memberikan lebih baik sesuai dengan yang diharapkan.
pengetahuan dan keterampilan sesuai kebutuhan Penyuluhan dapat diartikan sebagai suatu sistem
petani, kemampuan memecahkan masalah pendidikan yang bersifat nonformal di luar sistem
petani, dan memberikan informasi yang ber- sekolah yang biasa (Setiana 2012). Menurut
manfaat bagi petani. Sumardjo (1999), filosofi dan prinsip-prinsip
penyuluhan dalam arti yang sebenarnya adalah
Ketepatan metode penyuluhan kehutanan
partisipatif, dialogis, konvergen, dan demokratis,
yang digunakan oleh penyuluh kehutanan
sehingga memberdayakan dan bukannya praktik-
tergolong rendah dan sangat rendah (76,1%).
praktik penyuluhan yang bersifat top down, linier,
Ketepatan metode penyuluhan kehutanan yang dan bertentangan dengan filosofi pembangunan
digunakan tersebut diukur dari aktivitas penyuluh
manusia. Penyuluhan harus mampu menumbuh-
kehutanan dengan ceramah, diskusi/tanya jawab,
kan cita-cita yang melandasi untuk selalu berfikir
kunjungan lapangan/studi banding, sekolah
kreatif dan dinamis, mengacu kepada kenyataan
lapang, pemberian buku atau majalah.
STATUS DAN DETERMINAN PENDAPATAN PETANI AGROFORESTRI DI LINGKUNGAN TAMAN NASIONAL 79
GUNUNG CIREMAI Suyadi, Sumardjo, Zaim Uchrowi, Prabowo Tjitropranoto, Dewa Ketut Sadra Swastika

yang ditemukan di lapangan atau harus selalu penjualan hasil panen dan kontribusi agroforestri
disesuaikan dengan keadaan di lapangan. terhadap pendapatan total petani. Keberlanjutan
untuk dimensi ekonomi berada pada status
Kegiatan penyuluhan adalah kegiatan
kurang berkelanjutan. Faktor pengungkit pada
mendidik (Asngari 2001), maka penyuluh harus
dimensi ekonomi yang memengaruhi tingkat
mampu berperan sebagai pendidik untuk meng-
keberlanjutan terdiri dari kontribusi agroforestri
ubah perilaku masyarakat sasaran. Terdapat tiga
terhadap pendapatan total petani dan sistem
peran utama penyuluh dalam pengelolaan usaha
penjualan hasil panen. Kepastian pasar untuk
tani, yaitu pendidik/edukator, fasilitator, dan
penjualan produk hasil usaha agroforestri
mediator. Peran penyuluh sebagai pendidik dititik-
menjadi penting bagi petani dalam rangka
beratkan kepada peran penyuluh dalam me-
kelangsungan usaha agroforestri. Hal ini selaras
ningkatkan kapasitas petani dalam pengelolaan
dengan Suherdi et al. (2014) yang menjelaskan
usaha tani, baik kapasitas manajerial, sosial
bahwa kemudahan pemasaran memiliki
maupun teknis melalui proses pembelajaran.
hubungan positif sangat nyata dengan motivasi
Penyuluh sebagai fasilitator berperan untuk men-
usaha hutan rakyat.
dorong dan membantu petani dalam pengambilan
keputusan usaha tani yang efektif dan efisien. Kepastian pasar merupakan aspek berikutnya
Peran penyuluh sebagai mediator di-maksudkan yang memengaruhi tingkat motivasi petani sekitar
sebagai aktivitas penyuluh untuk menjembatani hutan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
para pihak dalam pengelolaan usaha tani dengan hutan kemiri. Tujuan akhir dari suatu usaha tani
cara memberi saran, pertimbangan, dan adalah, selain untuk pemenuhan kebutuhan
pemahaman terhadap permasalahan yang rumah tangga, hasilnya dapat dijual atau mem-
dihadapi (Suprayitno et al. 2012). berikan keuntungan finansial. Pemasaran buah
kemiri oleh petani sekitar hutan kemiri Kabupaten
Maros, pada umumnya, tidak menemui banyak
Dukungan Lingkungan terhadap Pendapatan
hambatan karena telah ada pihak yang siap
Petani Agroforestri
menampung atau membeli produksi kapan saja
Dukungan lingkungan dalam penelitian ini petani menjualnya. Hal ini memberikan jaminan
diindikasikan dengan aksesibilitas ekonomi, atas keberlangsungan finansial rumah tangga
kondisi ekologis, dan peran KTH. Aksesibilitas petani (Suprayitno et al. 2011).
ekonomi dan peran KTH bagi petani agroforestri
Kondisi ekologis pada lahan usaha tani
di lingkungan Taman Nasional tergolong rendah,
agroforestri di lingkungan TNGC tergolong baik
sedangkan kondisi ekologisnya tergolong tinggi.
(80%). Topografi lahan di lingkungan TNGC pada
Aksesibilitas ekonomi di lingkungan Taman umumnya berbukit, tetapi akses jalan relatif
Nasional Kabupaten Kuningan dan Majalengka bagus sehingga mudah dijangkau dengan alat
dalam kategori rendah dan sangat rendah transportasi sampai dengan kendaraan roda
(85,16%). Kondisi ini membuktikan bahwa petani empat. Kondisi ini mempermudah petani untuk
agroforestri dalam mengembangkan usahanya melakukan aktivitas usaha taninya, misalnya
masih tergantung pada kekuatan modal pribadi pengangkutan bibit, pupuk, dan hasil taninya.
atau keluarga. Mereka masih belum bergantung Agroforestri merupakan salah satu bentuk
pada dukungan modal dari lembaga keuangan pemanfaatan lahan yang mengombinasikan
pemerintah, swasta, dan atau koperasi. Hasil dari tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian
wawancara mendalam, ditegaskan bahwa dan atau ternak pada lahan yang sama dengan
mereka tidak tertarik dengan lembaga keuangan tujuan untuk mengoptimalkan fungsi ekonomi,
(bank) yang menawarkan pinjaman modal usaha ekologi, dan sosial. Lahan petani sangat
tani. Ketidaktertarikan tersebut karena faktor didukung oleh akses wilayah. Tingkat kesulitan
bunga bank. Usaha tani agroforestri mereka jangkauan wilayah usaha dapat memengaruhi
ibaratkan seperti mengadu nasib atau judi. Jika motivasi petani dalam usaha agroforestri
nasib baik akan dapat untung besar dan jika nasib termasuk dalam pemilihan komoditas usahanya.
tidak baik akan menderita kerugian. Hal ini Kondisi topografi wilayah usaha agroforestri juga
disebabkan oleh faktor harga produk yang tidak sangat menentukan dalam pemilihan komoditas
jelas. usaha. Selain itu, akses wilayah usaha
Ruhimat (2015a) menjelaskan bahwa terdapat agroforestri terhadap pasar juga menjadi
tujuh atribut pada dimensi ekonomi yang pertimbangan petani. Akses terhadap pasar
berpotensi memengaruhi tingkat keberlanjutan dapat memengaruhi kepastian harga dan hal ini
usaha tani agroforestri yaitu tingkat efektivitas tentunya akan berdampak pula pada tingkat
ekonomi, kestabilan harga jual hasil panen, keberlanjutan usaha agroforestri. Demikian
sumber modal usaha tani, tempat penjualan hasil, halnya dengan tingkat kesuburan tanah juga
diversifikasi sumber pendapatan, sistem akan menentukan pola usaha tani.
80 Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 36 No. 1, Mei 2018:71-89

KTH agroforestri dalam menjalankan hubungan baik dengan penyuluh atau pihak lain
perannya masih kurang optimal, yaitu 65,48% demi kepentingan masyarakat khususnya petani
dalam kategori rendah dan sangat rendah. agroforestri.
Tujuan utama petani berkelompok dalam
Peran informasional kepemimpinan informal
pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri
tergolong rendah dan sangat rendah (68,4%).
adalah untuk mencapai tujuan bersama-sama.
Peran informasional ini dibuktikan dengan
Tujuan kelompok tersebut harus sejalan dengan
kemampuan tokoh informal dalam mencari
tujuan anggota kelompok, dengan demikian
informasi sesuai kebutuhan petani. Tokoh
kelompok akan dinamis dan saling menjaga.
informal juga menjadi sumber informal bagi
Selain itu, manfaat berkelompok adalah mem-
petani, tempat bertanya dan berdiskusi serta
bantu dalam memudahkan transfer pengalaman
sebagai juru bicara dalam berbagai persoalan
dan informasi. Oleh karena itu, dengan ber-
petani. Dibuktikan juga melalui kemampuannya
kelompok akan terjadi proses pembelajaran
dalam memberikan pengetahuan dan keterampil-
antarsesama anggota kelompok. Ruhimat
an sesuai kebutuhan petani, kemampuan
(2015b) menjelaskan bahwa optimalisasi ter-
memecahkan masalah petani, dan memberikan
hadap eksistensi kelompok tani dapat dilakukan
informasi yang bermanfaat bagi petani.
dengan mengoptimalkan peran kelompok tani
dalam usaha tani agroforestri. Peran pengambilan keputusan kepemim-
pinan informal tergolong rendah dan sangat
Terdapat tiga peran utama kelompok tani
rendah (63,2%). Peran pengambilan keputusan
dalam proses usaha tani agroforestri, yaitu
tersebut diukur dari aktivitas usaha yang ditekuni
kelompok tani sebagai kelas belajar-mengajar,
oleh tokoh informal, kemampuan mengatasi
unit produksi usaha tani, dan wahana kerja sama.
perselisihan warga petani dan pemecahan
Sebagai kelas belajar-mengajar, kelompok tani
persoalan yang dihadapi petani, kemampuan
menjadi wadah belajar-mengajar bagi anggota
dalam mencari fasilitas modal usaha, aktivitas
untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan,
dalam pengembangan usaha tani, dan
dan sikap serta mengembangkan kemandirian
kemampuan bernegosiasi dengan pihak lain demi
anggota dalam usaha tani. Sebagai unit produksi,
kepentingan petani. Tokoh informal berperan
kelompok tani merupakan satu kesatuan usaha
dalam memfasilitasi antara keinginan masyarakat
tani dalam mencapai skala ekonomis yang lebih
setempat dengan pihak pemerintah atau swasta.
menguntungkan, baik dilihat dari segi kuantitas,
Tokoh informal menjadi pendorong bagi
kualitas, maupun kontinuitas. Sebagai wahana
masyarakatnya dalam mengelola hutan agar
kerja sama, kelompok tani merupakan tempat
tidak merusak dan mendorong pemerintah agar
memperkuat hubungan di antara anggota ke-
memperhatikan kemauan dan kepentingan
lompok dan hubungan dengan para pihak di luar
petani. Tokoh informal juga berperan menjadi juru
kelompok sehingga anggota kelompok mampu
bicara atau wakil masyarakat dalam menyam-
menghadapi segala ancaman, tantangan,
paikan keinginan kepada pemerintah, demikian
hambatan, dan gangguan dalam berusaha tani.
juga sebaliknya. Hal ini selaras dengan
Lebih lanjut, Ruhimat (2015a) menegaskan
Suprayitno et al. (2011) yang menyatakan bahwa
bahwa eksistensi kelompok tani adalah merupa-
tokoh masyarakat sekitar hutan kemiri dapat
kan salah satu faktor kunci penentu keber-
memainkan peranan penting dalam memotivasi
lanjutan usaha agroforestri. Faktor eksistensi
masyarakat atau petani sekitar hutan untuk
kelompok tani tersebut harus dikelola dan
melestarikan hutan.
diakomodasi dalam pengembangan kebijakan
usaha tani agroforestri berkelanjutan. Suhendi (2013) menjelaskan bahwa seorang
yang ditokohkan biasanya memiliki sifat
keteladanan. Artinya, dapat dijadikan contoh dan
Peran Kepemimpinan Tokoh Informal dalam
diteladani sifat-sifat baiknya. Oleh karena itu,
Peningkatan Pendapatan Petani Agroforestri
dalam ajaran kepemimpinan yang disampaikan
Kepemimpinan tokoh informal diindikasikan oleh Ki Hajar Dewantara, seorang pemimpin yang
dengan peran interpersonal, peran informasional, baik harus memiliki tiga sifat utama, yaitu ing
dan peran pengambilan keputusan. Peran ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa,
interpersonal kepemimpinan informal relatif dan tut wuri handayani. Hal yang demikian
rendah dan sangat rendah (56,1%). Rendahnya tentunya harus dimiliki pula pada mereka yang
peran interpersonal kepemimpinan informal di ditokohkan oleh masyarakat. Banyak alasan
lingkungan Taman Nasional diukur melalui mengapa seseorang dianggap sebagai tokoh
kehadiran tokoh pada acara masyarakat, dapat dalam masyarakat, di antaranya adalah karena
jadi panutan, dan sifat mengayomi. Selain itu, pendidikan, pekerjaan, kekayaan, keahlian,
juga diukur dengan kemampuan membagi tugas, keturunan, dan lain-lain. Namun, berbagai faktor
memimpin dan menggerakkan masyarakat, yang menjadi latar belakang seseorang menjadi
STATUS DAN DETERMINAN PENDAPATAN PETANI AGROFORESTRI DI LINGKUNGAN TAMAN NASIONAL 81
GUNUNG CIREMAI Suyadi, Sumardjo, Zaim Uchrowi, Prabowo Tjitropranoto, Dewa Ketut Sadra Swastika

tokoh tidak akan baik kalau dalam dirinya tidak penerus informasi dari luar kelompok
memiliki jiwa kepemimpinan. Oleh karena itu, masyarakat; (b) sebagai penafsir informasi dari
kemampuan memengaruhi orang lain merupakan luar atas dasar pendapat dan pengalamannya
perpaduan yang baik jika digabungkan dengan sendiri; (c) sebagai pemberi contoh untuk ditiru
faktor-faktor ketokohan, yaitu pendidikan, pe- bagi masyarakat sekitarnya; (d) sebagai
kerjaan, kekayaan, keahlian, atau keturunan. pengukuh atau penolak suatu perubahan dari luar
Semakin banyak seseorang memiliki atribut atau pelegitimasi suatu perubahan; dan (e) ber-
tersebut ditambah jiwa kepemimpinan dan pengaruh dalam mengubah norma kelompok
keteladanan, maka orang tersebut akan semakin masyarakat.
ditokohkan.
Sebaran petani agroforestri menurut peran
Tokoh informal di tengah-tengah komunitas kepemimpinan informal memperkuat pendapat
masyarakat desa yang paternalistik, mempunyai Liow et al. (2015), yaitu pemimpin tidak resmi
potensi besar untuk dapat memainkan peran atau informal leader selalu saja dapat ditemui
kepemimpinannya. Hal ini mengingat bahwa pada setiap komunitas. Meskipun tidak memiliki
konsep dasar dari kepemimpinan adalah SK Pengangkatan sebagaimana lazimnya
kemampuan memengaruhi orang lain untuk pemimpin formal pada lembaga swasta maupun
menjadi pengikutnya. Seperti yang dikemukakan pemerintah, namun kepemimpinan informal
oleh Soekanto (2013), kepemimpinan diartikan leader sangat efektif dalam menjalankan
sebagai kemampuan dari seseorang (yaitu kepemimpinannya, yaitu kemampuannya untuk
pemimpin atau leader) untuk memengaruhi orang memengaruhi (influence) orang lain untuk
lain (yaitu orang yang dipimpin atau pengikut- bertindak atau melakukan sesuatu sesuai dengan
pengikutnya), sehingga orang lain tersebut keinginan si pemimpin itu sendiri. Kuatnya
bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pengaruh yang dimiliki pemimpin informal
pemimpin tersebut. Melalui kepemimpinan tokoh berkaitan dengan proses kemunculannya yang
informal, potensi kemudahan untuk melakukan didasarkan atas kemauan dari anggota kelompok
perubahan perilaku masyarakat sekitar hutan ke atau orang-orang yang dipimpinnya karena
arah yang lebih baik adalah lebih besar. memiliki kelebihan kelebihan tertentu dan ber-
orientasi pada kepentingan anggota kelompok.
Kepemimpinan merupakan interaksi antara
Dengan demikian, maka wajar apabila loyalitas
pemimpin dan pengikut yang saling
anggota kelompok tidak diragukan lagi. Hal itu
memengaruhi dalam rangka mencapai suatu
juga selaras dengan yang dinyatakan oleh
tujuan organisasi (Raharjo dan Nafisah 2006;
Mutmainah dan Sumardjo (2014) bahwa
Brahmasari dan Suprayetno 2008; Cameron
pemimpin kelompok memiliki peranan yang
2011; Avolio et al. 2014). Kepemimpinan
sangat penting dalam mengelola kelompok
merupakan suatu proses hubungan meme-
taninya. Peran pemimpin kelompok meliputi
ngaruhi atau mengarahkan (dari pemimpin) dan
kemampuan pemimpin dalam memberikan
hubungan kepatuhan-ketaatan (partisipasi) para
arahan dan tuntunan bagi anggota kelompoknya,
pengikut/bawahan secara sadar karena dipe-
mampu memfasilitasi agar tercapai tujuan,
ngaruhi oleh kewibawaan pemimpin dalam
mampu mendinamiskan para anggota untuk aktif,
bekerja sama melalui cara pemberian visi,
dan mampu dalam menampung aspirasi anggota
semangat, antusiasme, kasih, kepercayaan,
kelompoknya.
kegiatan, nafsu, obsesi, konsistensi, penggunaan
simbol, perhatian mencapai sebuah visi atau
serangkaian tujuan yang direncanakan untuk Partisipasi Petani dalam KTH Agroforestri
mencapai tujuan organisasi (Meitha dan Sasmito
Tingkat partisipasi petani dalam KTH
2016). Sudaryono (2014) menjelaskan bahwa
faktor-faktor dalam kepemimpinan adalah agroforestri di lingkungan TNGC diindikasikan
pemimpin, pengikut, situasi, dan komunikasi. dengan partisipasi ekonomi dan partisipasi sosial.
Mintzberg (1973), Sillong et al. (2008), dan Tingkat partisipasi ekonomi petani dalam KTH
Sudaryono (2014) mengelompokkan sepuluh agroforestri relatif masih lemah yaitu 88,06%
peran pemimpin ke dalam tiga kategori, yaitu dalam kategori rendah dan sangat rendah.
peran interpersonal, peran informasional, dan Sedangkan tingkat partisipasi sosial petani dalam
peran pengambilan keputusan. KTH agroforestri relatif baik, yaitu 54,19% dalam
kategori tinggi dan sangat tinggi. Tingkat
Van den Ban dan Hawkins (1999) me- partisipasi ekonomi petani dalam KTH
ngemukakan bahwa tokoh masyarakat mem- agroforestri diukur melalui pemilihan tanaman
punyai pengaruh yang besar terhadap cara sesuai kesepakatan KTH, penggunaan modal
berpikir dan bertani masyarakat setempat. yang diperoleh melalui KTH, dan jumlah kerja
Pengaruh yang besar seorang tokoh masyarakat sama yang telah dijalin oleh petani. Sementara
dalam masyarakatnya antara lain (a) sebagai itu, tingkat partisipasi sosial petani dalam KTH
82 Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 36 No. 1, Mei 2018:71-89

agroforestri diukur dengan keaktifan petani dalam intensif ini merangsang petani untuk memperoleh
kegiatan gotong royong, pengajian, hajatan, informasi dan memahami teknologi lebih men-
pertemuan KTH, atau membantu tetangga yang dalam, sehingga tidak hanya dapat memanfaat-
terkena musibah. kan tetapi juga mengembangkan teknologi untuk
pengembangan usaha pertaniannya.
Partisipasi petani dalam KTH agroforestri
adalah keterlibatan individu petani secara aktif Hasil ini juga sejalan dengan Rayuddin et al.
dalam situasi kegiatan KTH agroforestri yang (2010) yang menjelaskan bahwa partisipasi
mendorong mereka untuk berkontribusi dalam petani dalam pembangunan perdesaan diukur
upaya mencapai tujuan yang dikehendaki. melalui pendekatan model partisipasi penuh,
Keterlibatan di sini dapat dilandasi karena hanya partisipasi sedang, dan partisipasi kurang. Lebih
bersifat ikut-ikutan, sesuai dengan kebutuhan, lanjut dijelaskan bahwa tingkat partisipasi petani
atau dapat juga karena orientasi masa depan. Hal akan muncul dan dapat terwujud secara nyata
ini sejalan dengan Suprayitno et al. (2011), apabila didukung adanya kesempatan, kemauan,
Salampessy et al. (2012), dan Ruhimat (2013) dan kemampuan untuk berperan dan terlibat
yang menjelaskan bahwa partisipasi petani secara sadar. Demikian halnya dengan
merupakan sebuah bentuk keterlibatan aktif Suprayitno et al. (2011) yang menyebutkan
petani dalam suatu kegiatan usaha atau program bahwa peningkatan partisipasi petani dapat
tertentu. Inisiatif kegiatan atau program dapat dilakukan dengan cara meningkatkan motivasi
berasal dari luar masyarakat atau muncul dari (motivasi untuk meningkatkan pendapatan,
dalam masyarakat petani itu sendiri. Tingkat mendapatkan pengakuan, dan melestarikan
partisipasi petani agroforestri tersebut dapat hutan) dan kemampuan petani (kemampuan
dilihat dari aspek teknis, manajerial, dan sosial. teknis, manajerial, dan sosial).
Partisipasi teknis meliputi petani terlibat aktif
dalam hal berbudi daya pada usaha agroforestri
Kapasitas Petani Agroforestri dalam
yang mengusahakan tanaman kehutanan dan
Peningkatan Pendapatan Petani Agroforestri
tanaman pangan, peternakan, atau perikanan.
Partisipasi manajerial yaitu merencanakan Kapasitas petani agroforestri diindikasikan
kegiatan usaha tani agroforestri, aspek mela- dengan kompetensi agribisnis dan kemandirian
kukan kegiatan usaha tani agroforestri, aspek petani. Kompetensi agribisnis dan kemandirian
menikmati dan/atau memanfaatkan hasil petani agroforestri di lingkungan TNGC
kegiatan usaha tani agroforestri, dan aspek Kabupaten Kuningan dan Majalengka tergolong
mengawasi kegiatan usaha tani agroforestri. Di rendah (53,9%). Kompetensi agribisnis diukur
sisi lain, partisipasi sosial menyangkut sejauh melalui kemampuan petani dalam menerapkan
mana petani terlibat aktif dalam usaha teknik usaha agroforestri, kemampuan dalam
agroforestri yang dilandasi oleh tujuan menjaga melakukan pengolahan hasil usaha agroforestri,
kerusakan tanah dari bahaya longsor atau dan kemampuan menjual hasil usaha agroforestri
kekeringan air. dengan harga yang lebih tinggi dan berke-
Tjitropranoto (2005) menjelaskan bahwa lanjutan. Kemandirian petani agroforestri diukur
peningkatan partisipasi petani ke arah partisipasi dari tingkat daya saring, daya saing, dan daya
interaktif dalam penyediaan teknologi dapat sanding petani. Daya saring petani yaitu
dilakukan dengan mengangkat petani menjadi kemampuan mengambil keputusan yang cepat
kooperator dari suatu uji adaptasi, pelaksana dan tepat dalam usaha agroforestri. Daya saing
gelar teknologi, dan sebagainya. Hal ini dapat petani yaitu kemampuan mengemas usaha
menjadi lebih unggul dibandingkan usaha orang
meningkatkan kapasitas diri petani. Selanjutnya,
lain yang sejenis (usaha agroforestri lebih unggul
partisipasi petani masih dapat ditingkatkan lagi
dengan memberi kepercayaan sebagai pelak- dengan usaha orang lain). Daya sanding petani
sana gelar teknologi atau plot demonstrasi, yaitu kemampuan bekerja sama dan bermitra
pelaksana uji adaptasi dengan bimbingan intensif dengan pihak lain yang saling menguntungkan
dari peneliti, karena petani yang bersangkutan (Sumardjo 1999; Sumardjo et al. 2014; Sumardjo
sudah tidak diragukan lagi kermampuannya. 2016).
Partisipasi petani masih dapat ditingkatkan lagi Kapasitas petani adalah daya-daya atau
sehingga mencapai tingkat partisipasi interaktif kemampuan yang dimiliki pada pribadi petani
dan pengembangan diri, ialah dengan memberi- untuk dapat melakukan kegiatan pertanian,
kan kesempatan kepada petani sebagai menetapkan tujuan usaha tani secara tepat dan
kooperator pada kegiatan penelitian dan atau mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan
pengkajian. Keadaan ini memberi kesempatan cara yang tepat pula, mempunyai kesanggupan
untuk berinteraksi secara maksimal antara petani menjawab tantangan, serta memenuhi syarat
dengan tenaga peneliti/ penyuluh. Interaksi sebagai petani unggul (Herman et al. 2008;
STATUS DAN DETERMINAN PENDAPATAN PETANI AGROFORESTRI DI LINGKUNGAN TAMAN NASIONAL 83
GUNUNG CIREMAI Suyadi, Sumardjo, Zaim Uchrowi, Prabowo Tjitropranoto, Dewa Ketut Sadra Swastika

Anantanyu 2011). Setiap individu (orang) secara dan kemandirian petani merupakan satu
alamiah selalu memiliki kapasitas yang melekat kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sumardjo
pada dirinya. Kemampuan petani untuk me- (1999) menegaskan, bahwa individu yang
menuhi kebutuhan sesuai dengan potensi yang mandiri sejati adalah maju (modern) dalam
dimiliki merupakan suatu kapasitas petani yang perilaku (kognitif, afektif, dan psikomotorik),
tidak boleh diabaikan apabila ingin keberhasilan efisien, dan berdaya saing tinggi sehingga
usaha pertanian dapat berkelanjutan (Herman et mampu berpikir atau bertindak (mengambil
al. 2008). keputusan) secara cepat dan tepat, serta mampu
bermitra dan membangun jejaring yang saling
Tjitropranoto (2005) menjelaskan bahwa
menguatkan dan menguntungkan.
pemahaman terhadap karakteristik individu dan
kapasitas diri petani akan menentukan tingkat
potensi atau kesiapan petani dalam menerima Pendapatan Petani Agroforestri di
teknologi yang dikenalkan kepadanya, Sebalik- Lingkungan TNGC
nya, dengan mengetahui potensi dan tingkat
kesiapan petani dalam menerima teknologi Pendapatan petani agroforestri di lingkungan
pertanian, maka teknologi pertanian yang akan TNGC tergolong rendah. Pendapatan tersebut
dikenalkan akan dapat disesuaikan dengan dari hasil usaha agroforestri dan hasil usaha di
potensi dan kesiapan diri petani tersebut. Dengan luar usaha agroforestri. Pendapatan petani dilihat
pendekatan ini, maka petani tidak hanya akan dari hasil usaha tani agroforestri, kemampuan
menerapkan teknologi baru secara berkelanjutan, petani mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari,
tetapi juga akan selalu mengembangkan usaha dan kemampuan petani menabung. Hal ini
pertaniannya dengan menerapkan teknologi sejalan dengan Diniyati et al. (2013) yang
baru. Hal ini menunjukkan pula bahwa teknologi menjelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan
pertanian yang diperkenalkan kepada petani hidup petani dan keluarganya, pada umumnya
mereka tidak hanya mengandalkan pada salah
harus disesuaikan dengan kapasitas diri dan
kapasitas sumber daya dan sarana yang satu jenis usaha atau pekerjaan saja, melainkan
dimilikinya. Penyesuaian dengan kapasitas juga mengerjakan usaha-usaha atau pekerjaan
petani, baik kapasitas diri maupun kapasitas lain. Jika salah satu jenis usaha tersebut ada
sumber daya dan sarana, akan menjamin yang memberikan hasil yang lebih banyak dan
keberlanjutan adopsi teknologi tersebut, bahkan bersifat kontinyu, maka usaha tersebut akan
akan dikembangkan sendiri oleh petani yang dipertahankan sebagai usaha utama dan
bersangkutan. merupakan sumber pendapatan utama. Usaha
utama ini akan terus dipertahankan dan bahkan
Herman et al. (2008) lebih lanjut menjelaskan dikembangkan menjadi lebih besar.
bahwa kapasitas merupakan aspek-aspek yang
terinternalisasi dalam diri petani yang ditunjukkan Sekitar 78,39% petani agroforestri di
oleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk lingkungan TNGC berpenghasilan rendah. Hal ini
menjalankan kegiatan usaha tani. Dalam berarti bahwa usaha agroforestri yang dilakukan
kegiatan usaha tani agar petani dapat berhasil oleh petani di lingkungan TNGC kurang mampu
dalam melakukan usaha tani diperlukan memberikan hasil memadai. Pendapatan yang
kapasitas petani yang tinggi agar mampu dalam diperoleh kurang mampu untuk mencukupi
mengidentifikasi potensi dan memanfaatkan kebutuhan keluarga sehari-hari. Kondisi ini juga
peluang yang dimiliki agar usaha tani yang tidak memungkinkan petani menabung untuk
dilakukan sesuai dengan tujuan usaha tani yang kebutuhan lainnya yang tidak terduga atau
kebutuhan yang telah direncanakan. Pendapatan
telah ditetapkan dan mencapainya tujuan
petani dari kebun hutan (agroforestri) sebagian
tersebut secara tepat.
besar merupakan hasil penjualan dari tanaman
Mengacu pada Sumodiningrat (1999), proses keras (kayu) jenis albasia, tisuk, gmelina, suren,
menuju keberdayaan petani dilihat dari beberapa aprika, jati, atau mahoni. Petani tidak melalukan
sudut pandang di antaranya (a) menciptakan penebangan secara serentak, melainkan
iklim atau suasana yang memungkinkan petani bertahap. Rata-rata petani baru menebang pohon
berkembang; (b) meningkatkan kemampuan setelah umur lima tahun. Hal ini dilakukan karena
petani dalam membangun melalui bantuan dana, tanaman keras (kayu) lebih berfungsi sebagai
pelatihan, pembangunan sarana, prasarana baik pelindung lahan dari bahaya longsor dan
fisik maupun sosial, dan pengembangan ke- pengatur tata air. Selain tanaman kayu, petani
lembagaan daerah; (c) perlindungan dengan juga memperoleh hasil penjualan tanaman
keberpihakan pada petani yang lemah; dan (d) semusim. Umumnya petani menanam bawang
menciptakan kemitraan yang saling mengun- daun, kol, wortel, cabai, terong, tomat, ubi jalar,
tungkan. Keberdayaan petani adalah modal atau kapulaga. Penghasilan rata-rata petani dari
dasar terwujudnya kemandirian. Keberdayaan hasil usaha tani agroforestri yang meliputi hasil
84 Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 36 No. 1, Mei 2018:71-89

dari komoditas kehutanan (kayu-kayuan) dan pada hamparan lahan yang sama di kebun, tetapi
komoditas pertanian (tanaman semusim) tidak mereka membuat kandang ternak di belakang
lebih dari Rp725.000 per bulan. rumah masing-masing. Hal ini dengan
pertimbangan keamanan dan mudah memberi
Usaha tani agroforestri dengan kepemilikan
makan. Ternak domba, sapi atau ayam perlu
lahan yang sempit (rata-rata 0,5 ha/petani),
perawatan yang intensif, terutama dalam hal
kurang mampu memberikan jaminan pemenuhan
pakan. Jika petani membuat kandang di kebun
kebutuhan petani dan keluarganya. Usaha tani
yang jauh dengan rumah tempat tinggal, maka
agroforestri di lingkungan TNGC pada umumnya
petani akan kesulitan dalam penjagaan siang
merupakan warisan dalam keluarga yang sudah
malam dan memberi pakan atau minum. Petani
turun temurun dikelola. Hal ini sejalan dengan
merasa lebih praktis jika kandang ternaknya ada
Sumarlan et al. (2012) yang menyatakan bahwa
di belakang rumah mereka.
keberlanjutan dalam penerapan sistem
agroforestri di Pegunungan Kendeng dapat Sekitar 75,81% petani berpenghasilan rendah
berjalan dengan cukup baik atau lestari. Karena dari usaha di luar agroforestri. Meskipun petani
kegiatan tersebut pada dasarnya telah dilakukan mempunyai dua sumber penghasilan, namun
oleh petani secara turun temurun dengan nama ternyata kedua sumber penghasilan tersebut
“tumpang sari”. Selain itu, kegiatan tersebut (usaha tani agroforestri dan usaha di luar
memiliki dampak pada ekonomi, sosial, dan agroforestri) belum mampu untuk mencukupi
lingkungan yang dapat dirasakan secara kebutuhan petani dan keluarganya.
langsung oleh petani di Pegunungan Kendeng
Usaha lain yang dikerjakan oleh petani untuk
dan juga masyarakat yang dilalui oleh DAS Juana
mendapatkan penghasilan tambahan yaitu
dan hilir. Kadir dan Hayati (2011) mengungkap-
sebagai buruh tani, buruh bangunan, dagang,
kan bahwa pengaturan jenis dan jumlah tanaman
ternak kambing, atau ternak sapi dan ojek. Petani
sela yang diusahakan oleh masyarakat di bawah
harus bisa membagi waktu sehingga usaha tani
tegakan dapat meningkatkan pendapatan
agroforestrinya juga tidak terbengkalai. Peng-
masyarakat sekitar. Saat penelitian ini dilakukan,
hasilan rata-rata petani dari buruh, dagang, atau
peningkatan pendapatan dari pengusahaan
ternak dan ojek tersebut tidak lebih dari
tanaman sela di TNGC belum mampu mencukupi
Rp750.000 per bulan karena buruh tani bersifat
kebutuhan sehari-hari keluarga petani,
musiman. Demikian juga dengan buruh ba-
Penghasilan ini dapat lebih ditingkatkan lagi ngunan. Namun demikian, penghasilan tersebut
jika tanaman pokok (tanaman kehutanan) dapat berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan
dimanfaatkan oleh masyarakat dengan me- hidup keluarga petani.
ngembangkan tanaman multi-purpose tree
Kondisi ini selaras dengan yang diungkapkan
species (MPTS) atau dikenal dengan istilah
oleh Adalina et al. (2015) bahwa masyarakat
pohon serbaguna, misalnya tanaman petai dan
yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar
tanaman buah-buahan lainnya. Hal ini sesuai
Taman Nasional Gunung Halimun Salak
dengan yang diungkapkan oleh Diniyati et al.
(TNGHS) secara sosial relatif homogen, tingkat
(2013) bahwa seluruh jenis tanaman penyusun
pendidikan formal rendah, dan rata-rata tingkat
hutan rakyat pola agroforestri akan memberikan
pendapatan sebesar Rp1.155.000/bulan dan di
kontribusi pendapatan petani. Satu jenis tanaman
bawah upah minimum regional (UMR) Provinsi
dikatakan telah berkontribusi terhadap pen-
Jawa Barat maupun Provinsi Banten. Hal ini
dapatan apabila hasil tanaman tersebut telah
dapat menggambarkan bahwa petani agro-
dapat dikomersialkan (dijual). Agroforestri
forestri di lingkungan TNGC masih tergolong
merupakan pilihan tepat dalam pemanfaatan
belum sejahtera karena berpenghasilan rendah.
lahan milik masyarakat/petani karena mampu
memberikan pendapatan dalam jangka pendek
untuk biaya hidup harian yang diperoleh dari hasil Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap
tanaman semusim dan pendapatan jangka Pendapatan Petani Agroforestri di
panjang sebagai tabungan dari hasil komoditas Lingkungan TNGC
kehutanan (Kusumedi dan Jariyah 2010;
Premono dan Lestari 2013). Tingkat pendapatan petani agroforestri di
lingkungan TNGC secara nyata dipengaruhi oleh
Sistem agroforestri yang diterapkan oleh faktor karakteristik individu petani, faktor
petani di lingkungan TNGC adalah sistem dukungan penyuluhan kehutanan, faktor
agrisilvopastur. Pada sistem ini, penggunaan dukungan lingkungan dan kapasitas petani
lahan secara sadar dan dengan pertimbangan agroforestri. Aspek pada faktor karakteristik
masak untuk memproduksi sekaligus hasil-hasil individu petani yang paling dominan berpengaruh
pertanian dan kehutanan. Walaupun ada juga nyata adalah aspek penguasaan lahan. Dari
petani memelihara ternak, namun tidak dilakukan kelima aspek pada faktor dukungan penyuluhan
STATUS DAN DETERMINAN PENDAPATAN PETANI AGROFORESTRI DI LINGKUNGAN TAMAN NASIONAL 85
GUNUNG CIREMAI Suyadi, Sumardjo, Zaim Uchrowi, Prabowo Tjitropranoto, Dewa Ketut Sadra Swastika

kehutanan yang paling kuat berpengaruh nyata Y = 23,928 + 0,001X1.3 + 0,350X2.2 + (-0,412X2.5)
terhadap tingkat pendapatan petani agroforestri + 0,210X3.3 + 0,263Y3 ; R2 = 0,318.
di lingkungan Taman Nasional adalah aspek
kompetensi penyuluh kehutanan dan intensitas Nilai koefisien regresi faktor-faktor yang
penyuluhan kehutanan. Demikian pula pada berpengaruh terhadap tingkat pendapatan petani
faktor dukungan lingkungan, aspek yang paling agroforestri di lingkungan TNGC 2017 secara
kuat berpengaruh adalah aspek peran KTH, rinci tersaji pada Tabel 2.
sedangkan faktor kapasitas petani agroforestri
diindikasikan dengan kompetensi agribisnis dan Tabel 2 menunjukkan bahwa besarnya
kemandirian petani. kontribusi pengaruh nyata faktor karakteristik
indidvidu petani (penguasaan lahan), faktor
Untuk kasus petani agroforestri di lingkungan dukungan penyuluhan kehutanan (kompetensi
TNGC, ternyata kepemimpinan informal dan penyuluh kehutanan dan intensitas penyuluhan
partisipasi petani dalam KTH tidak berpengaruh kehutanan), faktor dukungan lingkungan (peran
nyata terhadap pendapatan petani. Hal ini ber- KTH), dan faktor kapasitas petani (kompetensi
makna bahwa peningkatan peran kepemimpinan agribisnis dan kemandirian petani) secara
tokoh informal baik secara interpersonal, bersamaan sebesar 31,8%. Sisanya sebesar
informasional, maupun pengambilan keputusan 68,2% dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
secara langsung tidak dapat meningkatkan Faktor penguasaan lahan, kompetensi penyuluh
pendapatan petani di lokasi penelitian. Demikian kehutanan, peran KTH, dan kapasitas petani
pula dengan partisipasi petani, semakin tinggi berpengaruh positif nyata terhadap tingkat
tingkat partisipasi petani tidak dapat secara pendapatan petani agroforestri di lingkungan
langsung meningkatkan pendapatan petani Taman Nasional. Hal ini berarti bahwa semakin
luas lahan yang diusahakan, semakin tinggi
agroforestri di lingkungan Taman Nasional.
kompetensi penyuluh kehutanan, semakin baik
Persamaan regresi faktor-faktor yang ber-
peran KTH dan semakin tinggi kapasitas petani
pengaruh terhadap tingkat pendapatan petani
ternyata mampu meningkatkan pendapatan
agroforestri yaitu: petani agroforestri di lingkungan taman nasional.

Tabel 2. Nilai koefisien regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pendapatan petani agroforestri di
lingkungan TNGC, 2017

Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat Koefisien regresi Signifikansi


pendapatan petani agroforestri
Konstanta 23,928 0,120
Umur -0,061 0,775
Pendidikan formal -1,079 0,102
Penguasaan lahan 0,001 0,000**
Pengalaman usaha tani agroforestri -0,231 0,217
Tingkat kosmopolitan petani 0,048 0,727
Kegiatan penyuluhan kehutanan -0,151 0,268
Kompetensi penyuluh kehutanan 0,350 0,015*
Metode penyuluhan kehutanan 0,112 0,530
Materi penyuluhan kehutanan -0,185 0,110
Intensitas penyuluhan kehutanan -0,412 0,005**
Aksesibiltas ekonomi 0,195 0,072
Kondisi ekologis 0,200 0,062
Peran KTH 0,210 0,040*
Kepemimpinan tokoh informal 0,082 0,052
Partisipasi petani dalam KTH Agroforestri 0,015 0,823
Kapasitas petani agroforestri 0,263 0,002**
Nilai R: 0,563
Nilai R2: 0,318
Keterangan: *Nyata pada taraf α = 0,05; ** Nyata pada taraf α = 0,01
Sumber: Data primer (2017), diolah
86 Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 36 No. 1, Mei 2018:71-89

Faktor intensitas penyuluhan kehutanan yang paling kuat berpengaruh terhadap tingkat
berpengaruh negatif nyata terhadap tingkat pendapatan petani agroforestri di lingkungan
pendapatan petani agroforestri di lingkungan TNGC. Nyatanya kedua aspek tersebut tergolong
taman nasional. Hal ini berarti bahwa penyuluhan rendah sehingga tingkat pendapatan petani
kehutanan yang diikuti oleh petani agroforestri agroforestri di lingkungan Taman Nasional juga
perlu mempertimbangkan waktu kerja petani. rendah (Tabel 1). Penyuluh kehutanan yang
Penyuluhan kehutanan dengan pelatihan memiliki kompetensi yang mumpuni, dapat
keterampilan atau studi banding di luar daerah menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan
dalam waktu yang relatif lama berdampak pada baik. Mereka lebih percaya diri, kreatif, dan
berkurangnya jam kerja petani di kebun hutan. mempunyai komitmen tinggi untuk menolong
Tanaman kurang terurus dengan baik atau perlu petani agar lebih sejahtera. Penyuluh kehutanan
biaya tambahan untuk memberi upah tenaga yang berkomitmen tinggi, lebih aktif dan sering
kerja pengganti. Adanya biaya tambahan ini yang melakukan penyuluhan. Jika kondisi seperti ini
memengaruhi berkurangnya pendapatan petani. terbangun, maka petani akan lebih banyak
menerima manfaat dari hasil penyuluhan ke-
Pertemuan dalam kegiatan penyuluhan tidak
hutanan. Manfaat tersebut bisa berupa teknologi,
membahas sistem agribisnis secara utuh mulai
modal usaha, atau peralatan yang secara
dari budi daya sampai dengan pemasaran hasil.
langsung diterapkan oleh petani dalam
Khususnya terkait dengan pemasaran hasil
pengembangan usaha taninya, sehingga
pertanian, dalam pertemuan penyuluhan belum
pendapatan akan meningkat.
mampu menjawab persoalan petani. Penyuluhan
juga masih fokus pada usaha tani agroforestri, Peran KTH di lingkungan Taman Nasional
namun kurang berhasil dalam mengembangkan tergolong rendah (Tabel 1). Padahal, peran KTH
alternatif usaha lain bagi petani di lingkungan merupakan aspek pada faktor dukungan
TNGC ketika mereka kehilangan akses terhadap lingkungan yang cukup kuat berpengaruh nyata
penggunaan lahan hutan pasca ditetapkannya terhadap tingkat pendapatan petani agroforestri
menjadi kawasan konservasi (taman nasional). di lingkungan Taman Nasional. KTH agroforestri
Hal ini menguatkan bahwa perlunya penyuluhan yang ada kurang mampu memfasilitasi anggota
yang membahas tentang alternatif nafkah atau dalam mencukupi kebutuhan usaha tani
pendapatan bagi petani di lingkungan TNGC. agroforestri, baik dalam hal modal, pupuk, bibit,
Oleh karenanya, perlu kreativitas penyuluh atau jaminan pemasaran hasil usaha tani. Petani
kehutanan untuk mengembangkan alternatif masih banyak yang berjuang sendiri-sendiri
sumber penghasilan selain agroforestri setelah tanpa melalui wadah KTH dalam hal pe-
hak atas pengolahan lahan hutan hilang. ngembangan usaha tani agroforestri. Lemahnya
Turunnya pendapatan ini karena lemahnya akses peran KTH ini menyebabkan rendahnya tingkat
terhadap lahan kawasan TNGC. pendapatan petani agroforestri di lingkungan
Taman Nasional.
Lahan yang diusahakan oleh petani agro-
forestri di lingkungan TNGC tergolong sangat Faktor kapasitas petani juga merupakan salah
sempit, yaitu rata rata hanya 0,5 ha (Tabel 1), satu faktor yang berpengaruh sangat nyata
padahal luas lahan sangat menentukan tingkat terhadap tingkat pendapatan petani agroforestri
pendapatan petani. Sempitnya lahan yang di lingkungan Taman Nasional. Nyatanya,
dikelola untuk usaha tani agroforestri berdampak kapasitas petani agroforestri di lingkungan
pada rendahnya tingkat pendapatan petani Taman Nasional tergolong rendah (Tabel 1)
agroforestri di lingkungan TNGC. Nyatanya sehingga tingkat pendapatan petani juga rendah.
tingkat pendapatan petani Agroforestri di ling- Petani dengan kapasitas yang tinggi, yaitu petani
kungan TNGC juga rendah (Tabel 1). Dengan yang mempunyai kemampuan dalam berbudi
rata rata luas lahan yang hanya 0,5 ha, petani daya (agribisnis) dan memiliki kemandirian dalam
hanya bisa menanam tanaman kayu-kayuan berusaha tani agroforestri, akan mampu
pada sekeliling kebun sehingga sangat sedikit menerapkan teknologi yang tepat dalam
jumlah tanamnya dan hanya beberapa pohon berusaha tani, memenuhi kebutuhan modal, dan
yang ditanam di bagian tengah. Tanaman kayu- menjalin mitra pasar sehingga hal ini secara
kayuan yang ditanam rapat dapat mengganggu langsung mampu meningkatkan pendapatan
pertumbuhan tanaman semusim yang menjadi mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat Herman
harapan petani untuk bisa panen jangka waktu et al. (2008) dan Anantanyu (2011) yang
pendek. Tanaman kayu-kayuan tersebut lebih menjelaskan bahwa kapasitas petani adalah
bersifat sebagai tanaman pelindung. daya-daya atau kemampuan yang dimiliki pada
pribadi petani untuk dapat melakukan kegiatan
Kompetensi penyuluh kehutanan dan inten-
pertanian, menetapkan tujuan usaha tani secara
sitas penyuluhan kehutanan merupakan aspek
tepat dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan
pada faktor dukungan penyuluhan kehutanan
STATUS DAN DETERMINAN PENDAPATAN PETANI AGROFORESTRI DI LINGKUNGAN TAMAN NASIONAL 87
GUNUNG CIREMAI Suyadi, Sumardjo, Zaim Uchrowi, Prabowo Tjitropranoto, Dewa Ketut Sadra Swastika

dengan cara yang tepat pula, mempunyai usaha lainnya kurang memadai sehingga kurang
kesanggupan menjawab tantangan, serta meme- mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup
nuhi syarat sebagai petani unggul. Setiap individu sehari-hari petani beserta keluarganya.
(orang) secara alamiah selalu memiliki kapasitas Penghasilan rata-rata petani dari hasil usaha tani
yang melekat pada dirinya. Kemampuan petani agroforestri tidak lebih dari Rp725.000 per bulan.
untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan Penghasilan rata-rata petani dari buruh, dagang,
potensi yang dimiliki merupakan suatu kapasitas atau ternak dan ojek tidak lebih dari Rp750.000
petani yang tidak boleh diabaikan apabila ingin per bulan.
mendapatkan keberhasilan usaha pertanian yang
Rendahnya tingkat pendapatan petani
berkelanjutan (Herman et al. 2008).
agroforestri di lingkungan TNGC dipengaruhi oleh
Penelitian ini selaras dengan Diniyati et al. faktor sempitnya lahan yang dikelola petani untuk
(2013) yang menjelaskan bahwa untuk me- usaha tani agroforestri. Faktor berikutnya adalah
menuhi kebutuhan hidup petani dan keluarganya, rendahnya kompetensi penyuluh kehutanan,
pada umumnya mereka tidak hanya meng- lemahnya intensitas penyuluhan kehutanan,
andalkan pada salah satu jenis usaha atau lemahnya peran KTH, dan rendahnya kapasitas
pekerjaan saja, melainkan juga mengerjakan petani agroforestri di lingkungan TNGC.
usaha-usaha atau pekerjaan lain. Jika salah satu
jenis usaha tersebut ada yang memberikan hasil
yang lebih banyak dan bersifat kontinyu, maka Saran
usaha tersebut akan dipertahankan sebagai Kapasitas petani agroforestri perlu
usaha utama dan merupakan sumber pen- ditingkatkan melalui pelatihan keterampilan
dapatan utama. Usaha utama ini akan terus tentang budi daya, pengolahan hasil, dan
dipertahankan dan bahkan dikembangkan pemasaran. Kapasitas tokoh informal perlu
menjadi lebih besar. Lebih lanjut dijelaskan oleh ditingkatkan melalui pelatihan keterampilan dan
Diniyati et al. (2013) bahwa seluruh jenis karakter, studi banding, sekolah lapang, atau
tanaman penyusun hutan rakyat pola agroforestri workshop, mengingat bahwa tokoh informal
akan memberikan kontribusi pendapatan petani. berpotensi menjadi penyuluh kehutanan swadaya
Satu jenis tanaman dikatakan telah berkontribusi masyarakat sehingga mereka lebih mampu
terhadap pendapatan apabila tanaman tersebut
menjadi teladan, informatif, dan memiliki jiwa
hasilnya telah dapat dikomersialkan (dijual). Hal
wirausaha. Tokoh informal agar dilibatkan pada
itu juga sejalan juga dengan hasil penelitian Kadir
penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dalam
dan Hayati (2011) yang menunjukkan bahwa
rangka peningkatan kapasitas petani. Perlu
pengaturan jenis dan jumlah tanaman sela yang
ditingkatkan dukungan penyuluhan kehutanan
diusahakan oleh masyarakat di bawah tegakan
terutama pada dimensi kompetensi penyuluh dan
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat
intensitas penyuluhan mengingat kedua dimensi
sekitar. Penghasilan ini dapat lebih ditingkatkan
lagi jika tanaman pokok (tanaman kehutanan) ini sangat menentukan pendapatan petani. Perlu
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan juga dilakukan pembinaan KTH agar lebih
mengembangkan tanaman MPTS atau dikenal mampu berperan dalam upaya peningkatan
dengan istilah pohon serba guna, misalnya pendapatan petani.
tanaman petai dan tanaman buah-buahan
lainnya. Agroforestri merupakan pilihan tepat
dalam pemanfaatan lahan milik masyarakat/ UCAPAN TERIMAKASIH
petani karena mampu memberikan pendapatan
dalam jangka pendek untuk biaya hidup harian Penulis mengucapkan terima kasih kepada
yang diperoleh dari hasil komoditas pertanian dan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber
pendapatan jangka panjang sebagai tabungan Daya Manusia Kementerian Lingkungan Hidup
dari hasil komoditas kehutanan (Kusumedi dan dan Kehutanan, Kepala Balai Pendidikan dan
Jariyah 2010; Premono dan Lestari 2013). Pelatihan Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Makassar, Kepala Balai TNGC, dan Kepala Balai
Pengelolaan Hutan Wilayah V Provinsi Jawa
KESIMPULAN DAN SARAN Barat. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
proses penelitian ini, khususnya kepada para
Kesimpulan anggota kelompok tani hutan agroforestri di desa-
Tingkat pendapatan petani agroforestri di desa penyangga kawasan TNGC Kabupaten
lingkungan TNGC masih rendah. Penghasilan Kuningan dan Majalengka yang telah terlibat
petani dari hasil usaha tani agroforestri dan dari dalam penelitian ini.
88 Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 36 No. 1, Mei 2018:71-89

DAFTAR PUSTAKA Langat DK, Maranga EK, Aboud AA, Cheboiwo JK.
2016. Role of forest resources to local livelihoods:
the case of east mau forest ecosystem, Kenya. Int
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017. Statistik Indonesia J For Res. 1-10. http://dx.doi.org/10.1155/2016/
2017. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. 4537354
Adalina Y, Nurrochman DR, Darusman D, Sundawati Liow MR, Laloma A, Pesoth W. 2015. Peranan
L. 2015. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di Pemimpin Informal dalam Meningkatkan Partisipasi
sekitar taman nasional Gunung Halimun Salak. J Masyarakat dalam Pembangunan di Desa Malola.
Penelit Hutan Konserv Alam. 12(2):105-118. JAP. 3(31):1-9.
Anantanyu S. 2011. Kelembagaan petani: peran dan Meitha A, Sasmito C. 2016. Pengaruh kepemimpinan,
strategi pengembangan kapasitasnya. SEPA. kedisiplinan dan komunikasi terhadap pelayanan
7(2):102-109. publik di puskesmas Kabupaten Sambas. J Ilm Sos
Asngari PS. 2001. Peranan agen pembaruan/ Ilm Pol. 5(3):109-114.
penyuluh dalam usaha memberdayakan Mintzberg H. 1973. The nature of managerial work.
(empowerment) sumberdaya manusia pengelola New York (US): Harper and Row.
agribisnis. Orasi ilmiah guru besar tetap ilmu sosial
ekonomi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mutmainah R, Sumardjo. 2014. Peran kepemimpinan
kelompok tani dan efektivitas pemberdayaan
Avolio BJ, Sosik JJ, Kahai SS, Baker B. 2014. E- petani. J Sosiol Ped. 2(3):182-99.
leadership: re-examining transformations in
leadership source and transmission. Leadersh Q. Padmowiharjo S. 1994. Psikologi belajar mengajar.
25(1):105-131. https://doi.org/10.1016/j.leaqua. Jakarta (ID): Universitas Terbuka.
2013.11.003 Premono BT, Lestari S. 2013. Analisis finansial
Brahmasari IA, Suprayetno A. 2008. Pengaruh agroforestri kayu bawang (Dysoxilum mollissium
motivasi kerja, kepemimpinan dan budaya Blume) dan kebutuhan lahan minimum di Provinsi
organisasi terhadap kepuasan kerja karyawan Bengkulu. J Penelit Sos Ekon Kehut. 10(4):211-
serta dampaknya pada kinerja perusahaan (Studi 223.
kasus pada PT. Pei Hai International Wiratama Puspitojati T, Darusman D, Tarumingkeng RC,
Indonesia). J Manaj Kewirausahaan. 10(2):124- Purnama B. (2012). Pemangku kepentingan yang
135. perlu diberdayakan dalam pengelolaan hutan
Cameron K. 2011. Responsible leadership as virtuous produksi: studi kasus di kesatuan pemangkuan
leadership. J Bus Eth. 98(Supplement 1):25-35. hutan Bogor. J Anal Kebijak Kehut. 9(3):190-204.
Diniyati D, Achmad B, Santoso BH. 2013. Analisis Raharjo ST, Nafisah D. 2006. Analisis pengaruh gaya
finansial agroforestri sengon di Kabupaten Ciamis kepemimpinan terhadap kepuasan kerja, komitmen
(Studi kasus di Desa Ciomas Kecamatan Panjalu). organisasi dan kinerja karyawan (Studi empiris
J Penelit Agrofor. 1(1):13-30. pada Departemen Agama Kabupaten Kendal dan
Departemen Agama Kota Semarang). J Studi
Handoko C. 2014. Some problems in maintaining Manaj Org. 3(2):69-81.
sustainability of Indonesia’s forests: descriptive
study. Indones J For Res. 1(1):33-46. Rayuddin, Zau T, Ramli. (2010). Partisipasi petani
dalam pembangunan pedesaan di Kabupaten
Herman, Sumardjo, Asngari PS, Tjitropranoto P, Konawe. J Penyul. 6(1):84-94.
Susanto D. 2008. Kapasitas petani dalam
mewujudkan keberhasilan usaha pertanian: Kasus Ruhimat IS. 2013. Model peningkatan partisipasi
petani sayuran di Kabupaten Pasuruan dan masyarakat dalam implementasi kebijakan
Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur. J Penyul. kesatuan pengelolaan hutan: studi kasus di KPH
4(1):11-20. model Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. J
Anal Kebijak Kehut. 10(3):255-267.
Hidayat H. 2015. Pengelolaan hutan lestari partisipasi,
kolaborasi, dan konflik. Ed ke-1. Jakarta (ID): Ruhimat IS. 2015a. Status keberlanjutan usahatani
Yayasan Pustaka Obor Indonesia. agroforestry pada lahan masyarakat: studi kasus di
Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis, Propinsi
Hudiyani I. 2013. Partisipasi petani dalam pengelolaan Jawa Barat. J Penelit Sos Ekon Kehut. 12(2):99-
hutan rakyat di Desa Benteng Kabupaten Bogor 110.
Provinsi Jawa Barat. J Penyul. 9(2):132-145.
Ruhimat IS. 2015b. Model peningkatan kapasitas
Kadir WA, Hayati N. 2011. Upaya peningkatan petani dalam pengelolaan hutan rakyat: studi di
pendapatan masyarakat melalui agroforestri pada Desa Ranggang, Kalimantan Selatan. J Penelit
kawasan hutan dengan tujuan khusus borisallo. J Kehut Wallacea. 4(1):11–21.
Penel Sos Ekon Kehut. 8(3):231-249.
Salampessy ML, Bramasto N, Purnomo H. 2012.
Kusumedi P, Jariyah NA. 2010. Analisis finansial Hubungan karakteristik responden dengan
pengelolaan agroforestri dengan pola sengon partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan
kapulaga di Desa Tirip, Kecamatan Wadaslintang, hutan lindung Gunung Nona di Kota Ambon
Kabupaten Wonosobo. J Penelit Sos Ekon Kehut. Propinsi Maluku. J Penelit Sos Ekon Kehut.
7(2):93-100.
STATUS DAN DETERMINAN PENDAPATAN PETANI AGROFORESTRI DI LINGKUNGAN TAMAN NASIONAL 89
GUNUNG CIREMAI Suyadi, Sumardjo, Zaim Uchrowi, Prabowo Tjitropranoto, Dewa Ketut Sadra Swastika

9(3):149-159. Sumardjo, Firmansyah A, Dharmawan L, Wulandari


YP. 2014. Implementasi CSR melalui program
Setiana L. 2012. Teknik penyuluhan dan pengembangan masyarakat : inovasi
pemberdayaan masyarakat. Bogor (ID): Ghalia pemberdayaan masyarakat PT. Pertamina EP.
Indonesia. Asset 3 Subang Field. Bogor (ID): CARE IPB.
Sillong AD, Mohamad DM, Hassan Z, Ariff I. 2008. Sumarlan, Sumardjo, Tjitropranoto P, Gani DS. 2012.
Changing roles and competencies of effective Peningkatan kinerja petani sekitar hutan dalam
public sector leadership. J Pengur Awam. 1:27-46. penerapan sistem agroforestri di Pegunungan
Soekanto S. 2013. Sosiologi suatu pengantar. Jakarta Kendeng Pati. J Agro Ekon. 30(1):25-39.
(ID): Rajawali Pers. Sumodiningrat G. 1999. Pemberdayaan masyarakat
Sudaryono. 2014. Leaderships teori dan praktek dan JPS. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
kepemimpinan. Jakarta (ID): Lentera Ilmu Suprayitno AR, Gani DS, Sugihen BG. 2011. Model
Cendekia. peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam
Suhendi A. 2013. Peranan tokoh masyarakat lokal pengelolaan hutan kemiri rakyat. J Penelit Sos
dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Ekon Kehut. 8(3):176-195.
Informasi. 18(2):105-116. Suprayitno AR, Gani DS, Sugihen BG. 2012. Motivasi
Suherdi, Amanah S, Muljono P. 2014. Motivasi petani dan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan
dalam pengelolaan usaha hutan rakyat Desa kemiri di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi
Cingambul, Kecamatan Cingambul, Majalengka. J Selatan. J Penyul. 9(2):182-196.
Penyul. 10(1):85-93. Tjitropranoto P. 2005. Pemahaman diri,
Sumardjo. 1999. Transformasi model penyuluhan potensi/kesiapan diri, dan pengenalan inovasi. J
pertanian menuju pengembangan kemandirian Penyul. 1(1): 62-67.
petani: kasus di Propinsi Jawa Barat [Disertasi]. Van den Ban AW, Hawkins HS. (1999). Penyuluhan
[Bogor (ID)]: Institut Pertanian Bogor. pertanian. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Sumardjo. 2016. Sistem diseminasi inovasi pertanian Winata, Yuliana. 2012. Tingkat partisipasi petani hutan
untuk meningkatkan keberdayaan petani sayuran dalam program pengelolaan hutan bersama
dalam proses pengambilan keputusan. Penelitian
masyarakat (PHBM) Perhutani. Mimbar. 28(1):65-
Unggulan IPB dalam Pengarasutamaan Pertanian 76.
Indonesia 2016. Bogor (ID): LPPM.

You might also like