Baru
Baru
Baru
Ach. Raziqin
Universitas Ibrahimy
Abstract
Indonesia is a country based on pancasila and the Constitution
of the Republic of Indonesia in 1945, then all aspects of life,
civic, State, and national Government should be included based
on the law. With regard to the process of the formation of laws,
both prior to and post the amademen Constitution, and after the
establishment of Act No. 10 of 2004, senyatanya is still faced
with various problematic, both substantially juridical, technical
authors, as well as the implementation and enforcement of the
law. The publication of law No. 10 of 2004 which was approved
in a plenary meeting of the DPR on 24 May 2004 and was
replaced by law number 12 of the year 2011 on the
establishment of regulations, then the mechanism of the
formation of laws and regulations have been terintegritas in one
act. Planning laws- laws at least contains five things: 1. the
planning and goals of the Foundation, 2. Application priority
legal matter will be planned,
3. Determination of the mechanisms of the planning process,
4. A means of planning, and 5. supporting, such as research,
extension, dekumentasi, and so on. Legislation is a decision of a
State agency or agencies of Government that was formed on the
basis of attribution and delegation. In another formulation can
also be interpreted, that laws are regulations written legislation
formed by State agencies or officials who authorized and
binding in General. In the study of the science of law there are
three factors that become a parameter of legislation so as to
apply properly, i.e.
have basic juridical, sociological, enforceability and philosophical.
Through this mechanism the formation and enactment of laws
and regulations in Indonesia parsed systematically.
Keywords: Law, Constitution, the DPR, sociological,
philosophical and
Abstrak
Indonesia adalah negara yang berlandaskan pada pancasila dan
undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945,
maka segala aspek kehidupan, kemasyarakatan, kebangsaan,
dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan
atas hukum. Berkaitan dengan proses pembentukan undang-
undang, baik sebelum dan pasca amademen UUD 1945, maupun
setelah ditetapkannya undang-undang nomor 10 tahun 2004,
senyatanya masih dihadapkan pada pelbagai problematik, baik
secara substansial, teknis yuridis penyusunannya, maupun
pelaksanaan dan penegakan hukumnya. Terbitnya undang-
undang nomor 10 tahun 2004 yang disetujui dalam rapat
paripurna DPR tanggal 24 Mei 2004 dan kemudian digantikan
oleh undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan, maka mekanisme pembentukan
peraturan perundang-undangan telah terintegritas dalam satu
undang-undang. Perencanaan peraturan perundang-undang
sekurang-kurangnya memuat lima hal : 1. Landasan dan
tujuan perencanaan, 2. Penerapan prioritas materi hukum
yang akan direncanakan, 3. Penetapan mekanisme proses
perencanaan,
4. Sarana perencanaan, dan 5.Kegiatan penunjang, seperti
penelitian, penyuluhan, dekumentasi, dan sebagainya. Peraturan
perundang-undangan adalah suatu keputusan dari suatu lembaga
negara atau lembaga pemerintah yang dibentuk berdasarkan
atribusi dan delegasi. Dalam rumusan lain dapat juga
diartikan, bahwa peraturan perundang-undang adalah
peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Dalam
kajian ilmu hukum ada tiga faktor yang menjadi parameter
sebuah peraturan perundang- undangan sehingga dapat berlaku
dengan baik, yakni mempunyai dasar keberlakuan yuridis,
sosiologis, dan filosofis. Melalui tulisan ini mekanisme
pembentukan dan pemberlakuan peraturan perundang-undangan
di Indonesia diurai secara sistematis.
Kata kunci : Hukum, UUD 1945, DPR, sosiologis, dan filosofis
Pendahuluan
Perubahan pertama undang-undang dasar 1945 telah
mengubah kekuasaan membentuk undang-undang dari presiden,
beralih menjadi wewenang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Penataan pelaksanaan fungsi legislasi Dewan Perwakilan
Rakyat akan memiliki pengaruh terhadap kualitas pembentukan
undang- undang di Indonesia. Langkah-langkah kearah
pembentukan undang-undang yang lebih berkualitas, sebagai
bagian dari ikhtiar untuk mendukung reformasi hukum, telah
diimplementasikan melalui program legislasi nasional
(prolegnas). Upaya perbaikan tersebut menyangkut proses
pembentukannya (formal), maupun subtansi yang diatur
(materiil). Langkah ini diharapkan dapat memberikan jaminan,
bahwa undang-undang yang dibentuk mampu menampung
pelbagai kebutuhan dan perubahan yang cepat, dalam
pelaksanaan pembangunan.
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden sebagai lembaga
yang diberi kewenangan utama dalam pembentukan undang-
undang, serta Dewan Perwakilan Daerah untuk materi undang-
undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah, masih
harus berhadapan dengan beberapa permasalahan. Dalam
analisis Thohari terungkap bahwa :
“... untuk menentukan optimalisasi pelaksanaan fungsi
pembentukan undang-undang, disadari sepenuhnya bahwa
kondisi internal masing-masing kelembagaan khususnya DPR
sangat signifikan mempengaruhi proses pembentukannya,
disamping faktor ekstenalnya. Faktor internal DPR antara lain
dipengaruhi oleh : Pertama konstelasi politik dari kekuatan
politik yang ada di DPR; Kedua, mekanisme pembahasan yang
ada di DPR yang tidak sepenuhnya melibatkan masyarakat
dalam pembahasan suatu Rancangan Undang-Undang (RUU),
karena adanya tingkatan (pentahapan) pembicaraan (Tingakat I
dan Tingkat II) sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib
DPR ; Ketiga, kondisi sumber daya yang dimiliki oleh DPR, baik
faktor pendukung sumber daya manusia, maupun keterbatasan
waktu; keempat, pelaksanaan fungsi-fungsi lain yang juga menjadi
kewenangan DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 A UUD
1945 hasil perubahan kedua yaitu Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
Pergesaran kekuasaan pembentukan undang-undang yang
saat ini berada di DPR, juga telah banyak menuai kritik dalam
implementasinya. Kondisi demikian dilatarbelakangi oleh
terdapatnya kecenderungan, bahwa dalam proses pembentukan
suatu undang-undang menampung kepentingan publik tidak
mendapatkan tempat sebagaimana layaknya. Kondisi demikian
telah menempatkan DPR sebagai lembaga yang super body.1
Hierarki norma hukum sangat berpengaruh pada
kehidupan hukum suatu negara, bagi negara yang menyatakan
dirinya sebagai negara hukum. Susunan norma hukum dari
negara manapun juga termasuk Indonesia selalu berlapis-lapis
atau berjenjang. Sejak Indonesia merdeka dan ditetapkannya
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi, maka sekaligus
terbentuk pula sistem norma hukum negara Indonesia.
Mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan telah
terintegrasi dalam satu undang-undang yaitu undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004 Jo Undang-undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia.
Pembahasan
Undang-undang tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan didasarkan pada pemikiran bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala
aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan,
dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas
hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum
nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan
semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain
dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan
yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang berdasarkan pancasila dan undang-undang
dasar negara republik Indonesia tahun 1945.2
1
Kompas, 11 juli 2003. Serta lihat juga A. Ahsin Thohari, dari “Dari
Rubber Stamp ‘ke’superbody’.”Opini Kompas, 25 Juli 2003.
2
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia
Selama ini terdapat berabagai macam ketentuan yang
berakiatan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan
termasuk teknik penyusunan peraturan perundang-undangan,
diatur secara tumpang tindih baik peraturan yang berasal dari
masa kolonial maupun yang dibuat setelah indonesia merdeka,
yaitu :
1. Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie,
yang disingkat AB (Stb. 1874 : 23) yang mengatur
ketentuan-ketentuan umum peraturan perundang-
undang. Sepanjang mengenai Pembentukan peraturan
perundang-undangan, ketentuan AB tersebut tidak
lagi berlaku secara utuh karena telah dalam peraturan
perundang-undangan nasional.
2. Undang-undang nomor 1 Tahun 1950 Tentang peraturan
tentang jenis dan bentuk peraturan yang
dikeluarntang jenis dan bentuk peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Undang-undang
dari negara bagian republik indonesia yogyakarta.
3. Undang-undangnomor2tahun1950Tentangmenetapkan
undang-undang darurat tentang penerbitan lembaran
negara republik indonesia serikat dan berita negara
republik indonesia serikat dan tentang mengeluarkan,
mengumumkan, dan mulai berlakunya undang-undang
federal dan peraturan pemerintah sebagai undang-
undang federal.
4. Selain undang-undang tersebut terdapat, terdapat
pula ketentuan:
a. Peraturan pemerintah nomor 1 tahun 1945 Tentang
pengumuman dan mulai berlakunya undang-
undang dan peraturan pemerintah
b. Keputusan presiden republik indonesia nomor
234 tahun 1960 Tentang pengembalian seksi
pengundangan lembaran negara, dari departemen
kehakiman ke sekretariat negara
c. Instruksi presiden republik indonesia nomor 15
tahun 1970 Tentang tata cara mempersiapkan
rancangan undang-undang dan rancangan
peraturan pemerintah republik indonesia.
d. Keputusan presiden republik indonesia nomor
188 tahun 1998 tentang tata cara mempersiapkan
rancangan undang-undang
e. Keputusan presiden republik indonesia nomor 44
tahun 1999 tentang teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan dan bentuk rancangan
undang-undang, rancangan peraturan peraturan
pemerintah, dan rancangan keputusan presiden.
5. Di lingkungan dewan perwakilan rakyat dan dewan
perwakilan rakyat daerah, berlaku peraturan tata
tertib yang mengatur antara lain mengenai tata cara
pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan
peraturan daerah serta pengajuan dan pembahasan
rancangan undang-undang dan peraturan daerah
usul inisiatif dewan perwakilan rakyat atau dewan
perwakilan rakyat daerah.
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis
yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
dan mengikat secara umum.
“pasal 1 angka 2 undang-undang nomor 10 tahun 2004
Tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam pandangan Jimly asshidiqie, pengertian peraturan
perundang-undangan adalah :
“...keseluruhan susunan hierarkis peraturan perundang-
undangan yang berbentu undang-undang ke bawah, yaitu
semua produk hukum yang melibatkan peran lembaga perwakilan
rakyat bersama-sama dengan pemerintah ataupun yang
melibatkan peran pemerintah karena kedudukan politiknya
dalam melaksanakan produk legislatif yang ditetapkan oleh
lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah
menurut tingkatnya masing- masing”3
Menurut bagir manan, agar pembentukan undang-
undang menghasilakan suatu undang-undang yang tangguh
dan berkualitas, dapat digunakan tiga landasan dalam
menyusun undang-undang, yaitu : pertama, landasan yuridis
(juridische
3 Jimly asshidiqie, pengantar ilmu hukum tata negara, jilid II, Sekertariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta 2006.
gelding); kedua, landasan sosiologis (sociologische gelding); dan
ketiga, landasan filosofis.4
Pentingnya ketiga unsur landasan pembentukan undang-
undang tersebut, agar undang-undang yang dibentuk, memiliki
kaidah yang secara hukum (legal validity), danmampu berlaku
efektif karena dapat atau akan diterima masyarakat secara
wajar, serta berlaku untuk waktu yang panjang.5 Menurut Jimly
Asshiddiqie, berkaitan dengan landasan pembentukan undang-
undang, landasan pembentukan undang-undang haruslah
tergambar dalam “konsiderans” suatu undang-undang. Dalam
konsiderans suatu undang-undang haruslah memuat norma
hukum yang baik, yang menjadi landasan keberlakuan bagi
undang-undang tersebut, yaitu terdiri dari : Pertama, landasan
filosofis. Undang- undang selalu mengandung norma-norma
hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu masyarakat ke
arah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat bernegara
hendak diarahkan. Kedua, landasan sosiologis. Bahwa setiap
norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah
mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan
norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum
masyarakat. Ketiga, landasan politis. Bahwa dalam konsiderans
harus pula tergambar adanya sistem rujukan konstitusional
menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam
UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik
hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang
bersangkutan. Keempat, landasan yuridis. Dalam perumusan
setiap undang-undang, landasan yuridis ini haruslah
ditempatkan pada bagian konsiderans “Mengingat”. Kelima,
landasan administratif. Dasar ini bersifat “fakultatif” (sesuai
kebutuhan), dalam pengertian tidak semua undang-undang
mencantumkan landasan ini. Dalam teknis pembentukan undang-
undang, biasanya landasan dimasukkan dalam konsiderans
“memerhatikan. “Landasan ini berisi pencatuman rujukan
dalam hal adanya perintah untuk mengatur secara
administratif”.6
4
Bagir manan, dasar-dasar konstitusional peraturan perundang-
undangan nasional, fakultas hukum universitas andalas, padang, 1994
5
Ibid
6
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm 170-174 dan hlm 240.
Mekanisme Pembentukan Undang-undang
Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
yang disetujui dalam rapat paripurna DPR tanggal 24 Mei 2004 dan
kemudian digantikan oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjtnya
di sebut UU P3) maka mekanisme pembentukan peraturan
perundang-undangan telah terintegritas dalam satu undang-
undang. Dalam Pasal 1 angka 1 UU P3 disebutkan bahwa proses
atau mekanisme pembentukan undang-undang terbagi dalam
beberapa tahapan, yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan, atau penetapan, dan pengundangan.
1. Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
7
Pasal 1 angka 1 Perpres No. 61 tahun 2005 tentang tata cara penyusunan
dan pengelolaan program legislasi nasional
8
ibid, Pasal 8
9
Imam Anshori Saleh, 2009. Membenahi hukum dari proklamasi ke
reformasi : urgensi Prolegnas dalam pembangunan hukum nasional, Jakarta:
konstitusi press, hlm 87.
umum perencanaan peraturan perundang-undangan sekurang-
kurangnya memuat lima hal :
a. Landasan dan tujuan perencanaan;
b. Penerapan prioritas materi hukum yang akan
direncanakan;
c. Penetapan mekanisme proses perencanaan;
d. Saran perencanaan; dan
e. Kegiatan penunjang, seperti penelitian, penyuluhan,
dokumentasi, dan sebagainya.
Materi penyusunan Prolegnas pada dasarnya juga
didasarkan pada undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka panjang nasional (RPJPN). RPJPN
dapat menjadi panduan untuk menentukan arah pembangunan
selama jangka waktu yang panjang, yaitu selama 20 Tahun.10
Dalam RPJPN Tahun 2005-2025 masing-masing kondisi
umum dan tantangan yang dihadapi, diformulasikan dalam
tujuan untuk mewujudkan kondisi terbaik yang ingin dicapai.
Tujuan tersebut memuat beberapa sasaran pokok dalam 20
tahun mendatang, yaitu berjumlah 8 item :
a. Berkaitan dengan terwujudnya masyarakat yang
berakhlak mulia, bermoral,beretika dan berbudaya, dan
beradab;
b. Bangsa yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat
yang lebih makmur dan sejahtera;
c. Masyarakat yang demokratis berlandaskan hukum dan
berkeadilan;
d. Terwujudnya rasa aman dan damai bagi seluruh
rakayat serta terjaganya keutuhan wilayah NKRI dan
kedaulatan Negara dari ancaman baik dari dalam negeri
maupun luar negeri;
e. Terwujudnya pembangunan yang lebih merata dan
berkeadilan;
f. Terwujudnya Indonesia yang asri dan lestari;
10
Indonesia dianggap kehilangan arah dalam menjalankan berbagai
program pembangunan setelah model GBHN tidak lagi dikenal sebagaimana
dipraktekkan sebelumnya, sehingga RPJPN dan program kerja presiden
terpilih dapat dikatakan sebagai “GBHN baru”.
g. Terwujudnya Indonesia sebagai Negara kepulauan
yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan
nasional;
h. Terwujudnya peranan Indonesia yang meningkat dalam
pergaulan internasional.
Program pembangunan hukum perlu menjadi prioritas
utama karena perubahan UUD 1945 memiliki implikasi yang
luas dan mendasar dalam sistem ketatanegaraan kita yang
perlu diikuti dengan perubahan-perubahan di bidang hukum.
disamping itu, arus globalisasi yang berjalan pesat yang ditunjang
oleh perkembangan teknologi informasi telah mengubah
pola hubungan antara Negara dan warga Negara dengan
pemerintahnya. Perubahan tersebut menuntut pula adanya
penataan sistem hukum dan kerangka hukum yang melandasinya.
Dalam kerangka itulah maka Prolegnas diperlukan untuk menata
sistem hukum nasional secara menyeluruh dan terpadu yang
senantiasa berlandaskan konstitusi. Prolegnas dan Prolegda
menjadi penyaring isi (penuangan) Pancasila dan UUD 1945 di
dalam UU dan Perda dengan dua fungsi, yaitu : Pertama,
sebagai potret rencana isi hukum untuk mencapai tujuan
Negara sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan sistem hukum
nasional selama lima tahun. Kedua, sebagai mekanisme dan
prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan agar apa
yang telah ditetapkan sebagai rencana dapat dilaksanakan
dengan prosedur dan mekanisme yang benar.11
Dengan demikian, Prolegnas adalah potret atau substansi
politik hukum nasional untuk mencapai tujuan Negara dalam
kurun waktu tertentu, baik dalam membuat hukum baru maupun
mengganti hukum yang lama. Namun harus diingat pula bahwa
Prolegnas bukan hanya berisi rencana hukum yang akan dibuat
atau dig anti, melainkan sekaligus juga merupkan pedoman
atau mekanisme pembuatan undang-undang yang mengikat.
Artinya prosedur dan mekanisme pembuatan hukum haruslah
melalui Prolegnas. Namun demikian Prolegnas bukanlah
“harga mati”,
11
M. Mahfud MD, 2009. Konstitusi dan hukum dalam kontroversi isu,
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hlm 298.
dalam arti pada keadaan-keadaan tertentu, maksudnya keadaan
tertentu tersebut adalah
1. Jika Presiden menerbitkan Perpu;
2. Pengujian UU oleh MK;
3. Adanya perjanjian internasional antara Indonesia dengan
Negara lain yang harus diratifikasi dengan UU. 12
Rancangan undang-undang tertentu dapat disisipkan
dalam Prolegnas yang sudah ada berdasarkan kesepakatan DPR
dan Presiden. Ketiadaan arah adalah suatu hal yang niscaya kalau
kita merujuk pada proses penyusunan Prolegnas. Prolegnas hanya
sekumpulan daftar undang-undang yang dikontribusikan oleh
beberapa pihak diantaranya DPR, departemen teknis dan
kelompok- kelompok masyarakat. Betul bahwa pemerintah dan
DPR dalam menyusun Prolegnas menyusun visi, misi, arah
kebijakan dan skala prioritas.13 Akan tetapi dalam
operasionalisasinya, setiap tahun pemerintah dan DPR
menetapkan 50-60 RUU sebagai prioritas, suatu hal yang sangat
mustahil dicapai dan terbukti tidak pernah tercapai sejak tahun
2001.
Kalau diteliti, banyaknya jumlah RUUyang menjadi
prioritas DPR dan pemerintah berkolerasi dengan sistem
penganggaran. Pada tiap tahunnya terlihat bahwa setiap
departemen seolah- olah mendapatkan jatah untuk penyusunan
RUU, walaupun RUU tersebut belum tentu menjadi kebutuhan
mendesak saat itu. Terkait dengan persoalan ini Tim Pusat Studi
Hukum Dan Kebijakan (PSHK) menyatakan : “….sebenarnya
Prolegnas tidak tepat menjadi instrument perencanaan yang
mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki pemerintah dan
DPR. Justru dengan sistem Prolegnas sekarang, sumber daya
dan sumber dana tidak menjadi pertimbangan sama sekali,
bahkan terjadi pemborosan anggaran yang luar biasa, karena
RUU yang tidak selesai atau belum dibahas tetap mendapatkan
jatah untuk dianggarkan lagi pada tahun berikutnya.”14
Selanjtnya ada tiga lembaga yang memiliki
12
Mahfud MD, 2007. Perdebatan HTN pasca Amandemen Konstitusi,
Jakarta; LP3ES, hlm. 59-61.
13
Prolegnas 2005-2009
14
Aria Suyudi dkk, 2008, study tata kelola proses legislasi, Jakarta : PSHK
dan USAID-Democratic Reform Support Program, hlm 167; lihat juga Sebastian
otoritas untuk melakukan perencanaan sekaligus mengusulkan
rancangan undang-undang, yakni Presiden, DPR, dan DPD.
2. Dasar keberlakuan pembentukan peraturan perundang-
undang.
Peraturan perundang-undangan tertulis menempati posisi
yang penting dalam kancah hukum modern saat ini. Sebagai
salah satu sumber hukum peraturan perundang-undangan tidak
selalu menjunjung tinggi keadilan, demokrasi dan kepentingan
masyarakat luas, karena hukum bukanlah subsistem yang
otonom dan netral tetapi selalu dipengaruhi banyak factor dan
kepentingan.
Roscoe Pound menyarankan agar dilakukan studi
sosiologis pada saat mempersiapkan pembuatan undang-undang.
Saran Pound diajukan ketika pembentukan peraturan yang terlalu
menekankan pada metode perbandingan yang dianggap sudah
cukup ilmiah. Pound mengatakan :
“…but is not enough to compare the law themselves. It is more
important to study their social operation and effect which the they
produce, if any, then put in action…” 15. Ahli yang lain, D’Anjaou
menjelaskan adanya kaitan erat antara pembuatan undang-
undang dan habitat sosialnya. Orang tidak membuat undang-
undang dengan cara duduk dalam suatu ruangan dan
kemudian memikirkan undang-undang apa yang akan dibuat.
Menurut D’Anjaou, ini merupakan proses yang panjang yang
dimulai jauh dari dalam realitas kehidupan masyarakat. Terjadi
suatu Long March sejak dari kebutuhan dan keinginan
perorangan, kemudia menjadi keinginan golongan, selanjutnya
ditangkap oleh kekuatan- kekuatan politik, diteruskan oleh
problem yang harus ditangani oleh pemerintah dan baru pada
akhirnya harus masuk menjadi agenda pembuatan peraturan16.
Dalam kajian ilmu hukum paling tidak ada 3(tiga) factor
yang menjadi parameter sebuah peraturan perundang-
undangan
17
keberlakuan yuridis sebuah kaidah hukum tidak dapat dilepaskan dari
teori hukum murni (Reine Rechtlehre) yang dikemukan oleh Hans Kelsen.
Lebih lanjut perhatikan J.J.H. Bruggink, 1996. Refleksi Tentang Hukum, Bandung;
Citra Aditya Bakti, hlm 150-152.
18
Bagir Manan, 2000. “Peran Hakim Dalam Dekolonisasi Hukum”
dalam I.S. Susanto dan Bernard L. Tanya (Ed), Wajah Hukum Di era Reformasi
(Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. DR. Satjipto Rahardjo, SH),
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000 hlm. 263-264.
Dalam kaitan dengan dasar berlaku secara
yuridis dari peraturan perundang-undangan maka
Soejono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka
mengemukakan beberapa pendapat :
a) Hans Kelsen berpendapat bahwa setiap kaidah
hukum harus berdasarkan kaidah yang lebih
tinggi tingkatannya.
b) W. Zevenbergen menyatakan bahwa setiap
kaidah hukuk harus memenuhi syarat-syarat
pembentukannya.
c) Logemann, kaidah hukum mengikat kalau
menunjukkan hubungan keharusan (hubungan
memaksa) antara satu kondisi dengan akibatnya.19
b. Keberlakuan Empiris
Dasar berlaku secara empiris/sosiologis maksudnya adalah
jika para warga masyarakat mematuhi hukum dimana hukum itu
diberlakukan. Keberlakuan empiris dapat dilihat melalui sarana
penelitian empiris tentang perilaku warga masyarakat. Jika dari
penelitian tersebut tampak bahwa masyarakat berperilaku dengan
mengacu kepada keseluruhan kaidah hukum, maka terdapat
keberlakuan empiris kaidah hukum. dengan demikian norma
hukum mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.20
Dengan dasar sosiologis peraturan perundang-undangan
yang dibuat dan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan
spontan. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka mencatat
dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu
kaidah hukum, yaitu :
a. Teori kekuasaan, secara sosiologis kaidah hukum
berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima
atau tidak oleh masyarakat.
b. Teori pengakuan, kaidah hukum berlaku berdasarkan
penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu
berlaku.21
19
Soejono Soekanto dan Purnadi P., perihal kaidah hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung 1993, hlm. 88-89.
20
Bruggink, Op. Cit, hlm, 149-150
21
Soerjono Soekanto dan Purnadi P, Perihal…..Op. Cit hlm 91-92.
Friedman menyebutkan terdapat tiga faktor yang dominan
mempengaruhi proses penegakan hukum, yakni : Pertama,
faktor substansi hukum, substansi disini dimaksudkan adalah
aturan, norma, pola perilaku nyata manusia yang berada dalam
sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh
orang yang berada dalam sistem hukum itu, mencakup
keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka
susun. Substansi juga mencakup Living Law (hukum yang
hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-
undang. Kedua, faktor struktural dalam hal ini adalah bagian yang
tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan
batasan terhadap keseluruhan. Ketiga, faktor cultural dalam hal
ini sikap manusia dan sistem hukum kepercayaan, nilai pemikiran
serta harapannya. Dengan kata lain, kultur hukum adalah
suasana pikiran sosial yang menentukan bagaimana hukum
digunakan, dihindari atau disalahgunakan.22
Secara singkat cara lain untuk menggambarkan ketiga
unsur tersebut yaitu :1. Struktur diibaratkan sebagai mesin, 2.
Substansi adalah apa yang dikerjakan dan apa yang dihasilakan
oleh mesin itu, 3. Kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja
yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan mesin
itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.
c. Keberlakuan Filosofis
Setiap masyarakat selalu mempunyai “Rechtsidee” yakni
apa yang masyarakat harapan dari hukum, hukum diharapkan
untuk menjamin adanya keadilan, kemanfaatan dan ketertiban
maupun kesejahteraan. Hukum juga harus mencerminkan sistem
nilaiyang baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun
sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat.23
Pancasila di era reformasi banyak mendapat kecaman
dan hujatan dari berbagai kalangan, karena pancasila selama
berkuasanya di rezim Orde Baru telah dijadikan sebagai
instrument legitimasi bagi kepentingan kekuasaan.
Interprestasi terhadap
22
lawrance M. Friedman, 1975 The legal System : Social Science Perspective,
New York: Russel Sage Foundation.
23
bagir manan, dasar-dasar….Op.cit hlm 17
pancasila yang dilakukan oleh kalangan “luar” kekuasaan
orde baru dianggap sebagai interprestasi yang keliru dan harus
ditolak. Dibalik hujatan dan kecaman terhadap pancasila, dari sisi
nilai pancasila tetaplah seperangkat nilai luhur yang harus terus
dipertahankan, karena pancasila merupakan titik pertemuan
dari berbagai perbedaan-perbedaan yang ada di negeri ini.
Hukum tidak mungkin dapat dipisahkan dengan politik,
terutama pada masyarakat yang sedang membangun dimana
pembangunan merupakan keputusan politik, sedangkan
pembangunan jelas-jelas membutuhkan legalitas dari sektor
hukum.24 Dalam kaitan kondisi politik dan hukum sangat menarik
untuk dikemukan pendapat Philippe Nonet dan Philip Selznick
yang mengetengahkan suatu teori mengenai tiga keadaan dasar
hukum dalam masyarakat, yaitu :
1. Hukum Represif, yaitu hukum yang merupakan alat
kekuasaan represif;
2. Hukum otonom, yaitu hukum sebagai pranata
yang mampu menjinakkan represi dan melindungi
integritasnya sendiri.
3. Hukum responsive, yaitu hukum yang merupakan
sarana respon atas kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi
masyarakat.25
Simpulan
Proses pembentukan undang-undang di era reformasi
melibatkan pemerintah, DPR, dan masyarakat merupakan suatu
bentuk ideal dalam proses pembentukan undang-undang yang
partisipatif untuk melahirkan undang-undang yang responsif.
Semua kekuatan politik secara riil termasuk masyarakat
terdapat di dalamnya. Akan tetapi, karena belum ditopang oleh
perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur
partisipasi masyarakat secara memadai, maka bentuk ideal
tersebut belum dapat menghasilkan produk Undang-undang
yang sepenuhnya
24
Achamad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu kajian Sosiologis dan
Filosofis), PT Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm 99.
25
Philippe Nonet dan Philip Selznick, law and Society in Transition :
Toword responsive law, Harper dan Raw Publisher, New York, 1978, hlm 29-
52.
responsif bagi keinginan masyarakat luas. Undang-undang
merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. karenanya,
proses pembentukan undang-undang akan sangat dipengaruhi
oleh sistem hukum yang dianut oleh negara tempat undang-
undang itu dibentuk. Sehingga untuk mengkaji pembentukan
undang- undang secara komprehensif, harus dimulai dengan
mengkaji sistem hukum itu sendiri. Program pembangunan
hukum perlu menjadi prioritas utama karena perubahan UUD
1945 memiliki implikasi yang luas dan mendasar dalam sistem
ketatanegaraan yang perlu diikuti dengan perubahan-perubahan
di bidang hukum. disamping itu, arus globalisasi yang berjalan
pesat yang ditunjang oleh perkembangan teknologi informasi
telah mengubah pola hubungan antara negara dan warga negara
dengan pemerintahnya. Perubahan tersebut menuntut adanya
penataan sistem hukum dan kerangka hukum yang
melandasinya. Dalam kerangka itulah maka Prolegnas diperlukan
untuk menata sistem hukum nasional secara menyeluruh dan
terpadu berlandaskan konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA