Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Puisi Karya Khalil Gibran

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 68

KARYA-KARYA KHALIL GIBRAN (1833-1931)

ANAK

Dan seorang perempuan yang menggendong bayi dalam dakapan dadanya


berkata, Bicaralah pada kami perihal Anak.

Dan dia berkata:


Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka dilahirkan melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan fikiranmu


Kerana mereka memiliki fikiran mereka sendiri
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh mereka, tapi bukan jiwa mereka
Kerana jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau
kunjungi meskipun dalam mimpi
Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan cuba menjadikan mereka
sepertimu
Kerana hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu

Engkau adalah busur-busur tempat anakmu menjadi anak-anak panah yang


hidup diluncurkan
Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia merenggangkanmu
dengan kekuatannya, sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan
cepat dan jauh.
Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan
Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga
mencintai busur teguh yang telah meluncurkannya dengan sepenuh kekuatan.

(Dari 'Cinta, Keindahan, Kesunyian')

Kahlil Gibran
PENYAIR

Dia adalah rantai penghubung


Antara dunia ini dan dunia akan datang
Kolam air manis buat jiwa-jiwa yang kehausan,
Dia adalah sebatang pohon tertanam
Di lembah sungai keindahan
Memikul bebuah ranum
Bagi hati lapar yang mencari.

Dia adalah seekor burung 'nightingale'


Menyejukkan jiwa yang dalam kedukaan
Menaikkan semangat dengan alunan melodi indahnya

Dia adalah sepotong awan putih di langit cerah


Naik dan mengembang memenuhi angkasa.
Kemudian mencurahkan kurnianya di atas padang kehidupan. Membuka kelopak
mereka bagi menerima cahaya.

Dia adalah malaikat diutus Yang Maha Kuasa mengajarkan Kalam Ilahi.
Seberkas cahaya gemilang tak kunjung padam.
Tak terliput gelap malam
Tak tergoyah oleh angin kencang
Ishtar, dewi cinta, meminyakinya dengan kasih sayang
Dan, nyanyian Apollo menjadi cahayanya.

Dia adalah manusia yang selalu bersendirian,


hidup serba sederhana dan berhati suci
Dia duduk di pangkuan alam mencari inspirasi ilham
Dan berjaga di keheningan malam,
Menantikan turunnya ruh

Dia adalah si tukang jahit yang menjahit benih hatinya di ladang kasih sayang
dan kemanusiaan menyuburkannya

Inilah penyair yang dipinggirkan oleh manusia


pada zamannya,
Dan hanya dikenali sesudah jasad ditinggalkan
Dunia pun mengucapkan selamat tinggal dan kembali ia pada Ilahi
Inilah penyair yang tak meminta apa-apa
dari manusia kecuali seulas senyuman
Inilah penyair yang penuh semangat dan memenuhi
cakerawala dengan kata-kata indah
Namun manusia tetap menafikan kewujudan keindahannya

Sampai bila manusia terus terlena?


Sampai bila manusia menyanjung penguasa yang
meraih kehebatan dgn mengambil kesempatan??
Sampai bila manusia mengabaikan mereka yang boleh memperlihatkan
keindahan pada jiwa-jiwa mereka
Simbol cinta dan kedamaian?

Sampai bila manusia hanya akan menyanjung jasa org yang sudah tiada?
dan melupakan si hidup yg dikelilingi penderitaan
yang menghambakan hidup mereka seperti lilin menyala
bagi menunjukkan jalan yang benar bagi orang yang lupa

Dan oh para penyair,


Kalian adalah kehidupan dalam kehidupan ini:
Telah engkau tundukkan abad demi abad termasuk tirainya.

Penyair..
Suatu hari kau akan merajai hati-hati manusia
Dan, kerana itu kerajaanmu adalah abadi.

Penyair..periksalah mahkota berdurimu..kau akan menemui kelembutan di


sebalik jambangan bunga-bunga Laurel...

(Dari 'Dam'ah Wa Ibtisamah' -Setitis Air Mata Seulas Senyuman)

Kahlil Gibran
MIMPI

Kala malam datang dan rasa kantuk membentangkan selimutnya di wajah bumi,
aku bangun dan berjalan ke laut, "Laut tidak pernah tidur, dan dalam
keterjagaannya itu laut menjadi penghibur bagi jiwa yang terjaga.",

Ketika aku sampai di pantai, kabus dari gunung menjuntaikan kakinya seperti
selembar jilbab yang menghiasi wajah seorang gadis. Aku melihat ombak yang
berdeburan. Aku mendengar puji-pujiannya kepada Tuhan dan bermeditasi di
atas kekuatan abadi yang tersembunyi di dalam ombak-ombak itu - kekuatan
yang lari bersama angin, mendaki gunung, tersenyum lewat bibir sang mawar
dan menyanyi dengan desiran air yang mengalir di parit-parit.

Lalu aku melihat tiga Putera Kegelapan duduk di atas sebongkah batu. Aku
menghampirinya seolah-olah ada kekuatan yang menarikku tanpa aku dapat
melawannya.

Aku berhenti beberapa langkah dari Putera Kegelapan itu seakan-akan ada
tenaga magis yang menahanku. Saat itu, salah satunya berdiri dan dengan
suara yang seolah berasal dari dalam laut ia berkata:
"Hidup tanpa cinta ibarat pohon yang tidak berbunga dan berbuah. Dan cinta
tanpa keindahan seperti bunga tanpa aroma semerbak dan seperti buah tanpa
biji. Hidup, cinta dan keindahan adalah tiga dalam satu, yang tidak dapat
dipisahkan ataupun diubah."

Putera kedua berkata dengan suara bergema seperti air terjun,"Hidup tanpa
berjuang seperti empat musim yang kehilangan musim bunganya. Dan
perjuangan tanpa hak seperti padang pasir yang tandus. Hidup, perjuangan
dan hak adalah tiga dalam satu yang tidak dapat dipisahkan ataupun diubah."

Kemudian Putera ketiga membuka mulutnya seperti dentuman halilintar :

"Hidup tanpa kebebasan seperti tubuh tanpa jiwa, dan kebebasan tanpa akal
seperti roh yang kebingungan. Hidup, kebebasan dan akal adalah tiga dalam
satu, abadi dan tidak pernah sirna."
Selanjutnya ketiga-tiganya berdiri dan berkata dengan suara yang
menggerunkan sekali:
'Itulah anak-anak cinta,
Buah dari perjuangan,
Akibat dari kebebasan,
Tiga manifestasi Tuhan,
Dan Tuhan adalah ungkapan
dari alam yang bijaksana.'

Saat itu diam melangut, hanya gemersik sayap-sayap yang tak nampak dan
getaran tubuh-tubuh halus yang terus-menerus.

Aku menutup mata dan mendengar gema yang baru saja berlalu. Ketika aku
membuka mataku, aku tidak lagi melihat Putera-Putera Kegelapan itu, hanya
laut yang dipeluk halimunan. Aku duduk, tidak memandang apa-apa pun kecuali
asap dupa yang menggulung ke syurga.

Khalil Gibran

KEHIDUPAN

Engkau dibisiki bahawa hidup adalah kegelapan


Dan dengan penuh ketakutan
Engkau sebarkan apa yang telah dituturkan padamu
penuh kebimbangan

Kuwartakan padamu bahawa hidup adalah kegelapan


jika tidak diselimuti oleh kehendak
Dan segala kehendak akan buta bila tidak diselimuti pengetahuan
Dan segala macam pengetahuan akan kosong
bila tidak diiringi kerja
Dan segala kerja hanyalah kehampaan
kecuali disertai cinta

Maka bila engkau bekerja dengan cinta


Engkau sesungguhnya tengah menambatkan dirimu
Dengan wujudnya kamu, wujud manusia lain
Dan wujud Tuhan.

Khalil Gibran
KASIH SAYANG DAN PERSAMAAN

Sahabatku yang papa, jika engkau mengetahui, bahawa Kemiskinan yang


membuatmu sengsara itu mampu menjelaskan pengetahuan tentang Keadilan
dan pengertian tentang Kehidupan, maka engkau pasti berpuas hati dengan
nasibmu.

Kusebut pengetahuan tentang Keadilan : Kerana orang kaya terlalu sibuk


mengumpul harta utk mencari pengetahuan. Dan kusebut pengertian tentang
Kehidupan : Kerana orang yang kuat terlalu berhasrat mengejar kekuatan dan
keagungan bagi menempuh jalan kebenaran.

Bergembiralah, sahabatku yang papa, kerana engkau merupakan penyambung


lidah Keadilan dan Kitab tentang Kehidupan. Tenanglah, kerana engkau
merupakan sumber kebajikan bagi mereka yang memerintah terhadapmu, dan
tiang kejujuran bagi mereka yang membimbingmu.

Jika engkau menyedari, sahabatku yang papa, bahawa malang yang menimpamu
dalam hidup merupakan kekuatan yang menerangi hatimu, dan membangkitkan
jiwamu dari ceruk ejekan ke singgahsana kehormatan, maka engkau akan
merasa berpuas hati kerana pengalamanmu, dan engkau akan memandangnya
sebagai pembimbing, serta membuatmu bijaksana.

Kehidupan ialah suatu rantai yang tersusun oleh banyak mata rantai yang
berlainan. Duka merupakan salah satu mata rantai emas antara penyerahan
terhadap masa kini dan harapan masa depan. Antara tidur dan jaga, di luar
fajar merekah.

Sahabatku yang papa, Kemiskinan menyalakan api


keagungan jiwa, sedangkan kemewahan memperlihatkan keburukannya. Duka
melembutkan perasaan, dan Suka mengubati hati yang luka. Bila Duka dan
kemelaratan dihilangkan, jiwa manusia akan menjadi batu tulis yang kosong,
hanya memperlihatkan kemewahan dan kerakusan.

Ingatlah, bahawa keimanan itu adalah peribadi sejati Manusia. Tidak dapat
ditukar dengan emas; tidak dapat dikumpul seperti harta kekayaan. Mereka
yang mewah sering meminggirkan keimananan, dan mendakap erat emasnya.
Orang muda sekarang jangan sampai meninggalkan Keimananmu, dan hanya
mengejar kepuasan diri dan kesenangan semata. Orang-orang papa yang
kusayangi, saat bersama isteri dan anak sekembalinya dari ladang merupakan
waktu yang paling mesra bagi keluarga, sebagai lambang kebahagiaan bagi
takdir angkatan yang akan datang. Tapi hidup orang yang senang bermewah-
mewahan dan mengumpul emas, pada hakikatnya seperti hidup cacing di dalam
kuburan. Itu menandakan ketakutan.

Air mata yang kutangiskan, wahai sahabatku yang papa, lebih murni daripada
tawa ria orang yang ingin melupakannya, dan lebih manis daripada ejekan
seorang pencemuh. Air mata ini membersihkan hati dan kuman benci, dan
mengajar manusia ikut merasakan pedihnya hati yang patah.

Benih yang kautaburkan bagi si kaya, dan akan kau tuai nanti, akan kembali
pada sumbernya, sesuai dengan Hukum Alam. Dan dukacita yang kausandang,
akan dikembalikan menjadi sukacita oleh kehendak Syurga. Dan angkatan
mendatang akan mempelajari Dukacita dan Kemelaratan sebagai pelajaran
tentang Kasih Sayang dan Persamaan.

(Dari 'Suara Sang Guru')

Khalil Gibran

PERSAHABATAN

Dan seorang remaja berkata, Bicaralah pada kami tentang Persahabatan.

Dan dia menjawab:


Sahabat adalah keperluan jiwa, yang mesti dipenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau tuai dengan penuh
rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu.
Kerana kau menghampirinya saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa mahu
kedamaian.

Bila dia berbicara, mengungkapkan fikirannya, kau tiada takut membisikkan


kata "Tidak" di kalbumu sendiri, pun tiada kau menyembunyikan kata "Ya".
Dan bilamana dia diam,hatimu berhenti dari mendengar hatinya; kerana tanpa
ungkapan kata, dalam persahabatan, segala fikiran, hasrat, dan keinginan
dilahirkan bersama dan dikongsi, dengan kegembiraan tiada terkirakan.
Di kala berpisah dengan sahabat, tiadalah kau berdukacita;
Kerana yang paling kau kasihi dalam dirinya, mungkin kau nampak lebih jelas
dalam ketiadaannya, bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki, nampak lebih
agung daripada tanah ngarai dataran.

Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya roh
kejiwaan.
Kerana cinta yang mencari sesuatu di luar jangkauan misterinya, bukanlah
cinta , tetapi sebuah jala yang ditebarkan: hanya menangkap yang tiada
diharapkan.

Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu.


Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenali pula musim
pasangmu.
Gerangan apa sahabat itu jika kau sentiasa mencarinya, untuk sekadar
bersama dalam membunuh waktu?
Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu!
Kerana dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu.
Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria dan
berkongsi kegembiraan..
Kerana dalam titisan kecil embun pagi, hati manusia menemui fajar dan
ghairah segar kehidupan.

Khalil Gibran

DUA KEINGINAN

Di keheningan malam, Sang Maut turun atas hadrat Tuhan menuju ke bumi. Ia
terbang melayang-layang di atas sebuah kota dan mengamati seluruh penghuni
dengan tatapan matanya. Ia menyaksikan jiwa-jiwa yang melayang-layang
dengan sayap-sayap mereka, dan orang-orang yang terlena di dalam kekuasaan
Sang Lelap.

Ketika rembulan tersungkur di kaki langit, dan kota itu berubah warna
menjadi hitam kepekatan, Sang Maut berjalan dengan langkah tenang di
celah-celah kediaman - berhati-hati tidak menyentuh apa-apa pun - sehingga
tiba di sebuah istana. Ia masuk melalui pagar besi berpaku tanpa sebarang
halangan dan berdiri di sisi sebuah ranjang , dan tika ia menyentuh dahi si
lena, lelaki itu membuka kelopak matanya dan memandang dengan penuh
ketakutan.

Melihat bayangan Sang Maut di hadapannya, dia menjerit dengan suara


ketakutan bercampur aduk kemarahan, "Pergilah kau dariku, mimpi yang
mengerikan! Pergilah engkau makhluk jahat! Siapakah engkau ini? Dan
bagaimana mungkin kau memasuki istana ini? Apa yang kau inginkan?
Tinggalkan rumah ini dengan segera! Ingatlah, akulah tuan rumah ini. Nyahlah
kau, kalau tidak, kupanggil para hamba suruhanku dan para pengawalku untuk
mencincangmu menjadi kepingan!"

Kemudian Maut berkata dengan suara lembut, tapi sangat menakutkan,


"Akulah kematian, berdiri dan tunduklah padaku."

Dan si lelaki itu menjawab, "Apa yang kau inginkan dariku sekarang, dan
benda apa yang kau cari? Kenapa kau datang ketika urusanku belum selesai?
Apa yang kau inginkan dari orang kaya berkuasa seperti aku? Pergilah sana,
carilah orang-orang yang lemah, dan ambillah dia! Aku ngeri melihat taring-
taringmu yang berdarah dan wajahmu yang bengis, dan mataku sakit menatap
sayap-sayapmu yang menjijikkan dan tubuhmu yang meloyakan."

Namun selepas tersedar, dia menambah dengan ketakutan, "Tidak, tidak,


Maut yang pengampun, jangan pedulikan apa yang telah kukatakan, kerana
rasa takut membuat diriku mengucapkan kata-kata yang sesungguhnya
terlarang. Maka ambillah longgokan emasku semahumu atau nyawa salah
seorang dari hamba-hambaku, dan tinggalkanlah diriku... Aku masih
mempunyai urusan kehidupan yang belum selesai dan berhutang emas dengan
orang. Di atas laut aku memiliki kapal yang belum kembali ke pelabuhan,
permintaanku..jangan ambil nyawaku... Ambillah olehmu barang yang kau
inginkan dan tinggalkanlah daku. Aku punya perempuan simpanan yang
luarbiasa cantiknya untuk kau pilih, Kematian. Dengarlah lagi : Aku punya
seorang putera tunggal yang kusayangi, dialah sumber kegembiraan hidupku.
Kutawarkan dia juga sebagai galang ganti, tapi nyawaku jangan kau cabut dan
tinggalkan diriku sendirian."
Sang Maut itu mengeruh,"Engkau tidak kaya tapi orang miskin yang tak sedar
diri." Kemudian Maut mengambil tangan orang hina itu, mencabut nyawanya,
dan memberikannya kepada para malaikat di langit untuk menghukumnya.

Dan Maut berjalan perlahan di antara setinggan orang-orang miskin hingga ia


mencapai rumah paling daif yang ia temukan. Ia masuk dan mendekati ranjang
di mana tidur seorang pemuda dengan kelelapan yang damai. Maut menyentuh
matanya, anak muda itu pun terjaga. Dan ketika melihat Sang Maut berdiri di
sampingnya, ia berkata dengan suara penuh cinta dan harapan, "Aku di sini,
wahai Sang Maut yang cantik. Sambutlah rohku, kerana kaulah harapan
impianku. Peluklah diriku, kekasih jiwaku, kerana kau sangat penyayang dan
tak kan meninggalkan diriku di sini. Kaulah utusan Ilahi, kaulah tangan kanan
kebenaran. Bawalah daku pada Ilahi. Jangan tinggalkan daku di sini."

"Aku telah memanggil dan merayumu berulang kali, namun kau tak jua datang.
Tapi kini kau telah mendengar suaraku, kerana itu jangan kecewakan cintaku
dengan menjauhi diri. Peluklah rohku, Sang Maut yang dikasihi."

Kemudian Sang Maut meletakkan jari-jari lembutnya ke atas bibir yang


bergetar itu, mencabut nyawanya, dan menaruh roh itu di bawah perlindungan
sayap-sayapnya.

Ketika ia naik kembali ke langit, Maut menoleh ke belakang -- ke dunia - dan


dalam bisikan amaran ia berkata, "Hanya mereka di dunia yang mencari
Keabadianlah yang sampai ke Keabadian itu."

(Dari 'Dam'ah Wa Ibtisamah' -Setitis Air Mata Seulas Senyuman)

Kahlil Gibran

ALAM & MANUSIA

Aku mendengar anak sungai merintih bagai seorang janda yang menangis
meratapi kematian anaknya dan aku kemudian bertanya, "Mengapa engkau
menangis, sungaiku yang jernih?' Dan sungai itu menjawab, 'Sebab aku
dipaksa mengalir ke kota tempat Manusia merendahkan dan mensia-siakan
diriku dan menjadikanku minuman-minuman keras dan mereka
memperalatkanku bagai pembersih sampah, meracuni kemurnianku dan
mengubah sifat-sifatku yang baik menjadi sifat-sifat buruk."

Dan aku mendengar burung-burung menangis, dan aku bertanya, "Mengapa


engkau menangis, burung-burungku yang cantik?"

Dan salah satu dari burung itu terbang mendekatiku, dan hinggap di hujung
sebuah cabang pohon dan berkata, "Anak-anak Adam akan segera datang di
ladang ini dengan membawa senjata-senjata pembunuh dan menyerang kami
seolah-olah kami adalah musuhnya. Kami sekarang terpisah di antara satu
sama yang lain, sebab kami tidak tahu siapa di antara kami yang bisa selamat
dari kejahatan Manusia. Ajal memburu kami ke mana pun kami pergi."

Kini, matahari terbit dari balik puncak pergunungan, dan menyinari puncak-
puncak pepohonan dengan rona mahkota. Kupandangi keindahan ini dan aku
bertanya kepada diriku sendiri, 'Mengapa Manusia mesti menghancurkan
segala karya yang telah diciptakan oleh alam?'

Khalil Gibran

CINTA (I)

Lalu berkatalah Almitra, Bicaralah pada kami perihal Cinta.

Dan dia mengangkatkan kepalanya dan memandang ke arah kumpulan manusia


itu, dan keheningan menguasai mereka. Dan dengan suara lantang dia berkata:

Pabila cinta memberi isyarat kepadamu, ikutilah dia,


Walau jalannya sukar dan curam.
Dan pabila sayapnya memelukmu menyerahlah kepadanya.
Walau pedang tersembunyi di antara hujung-hujung sayapnya bisa melukaimu.
Dan kalau dia berbicara padamu percayalah padanya.
Walau suaranya bisa menggetar mimpi-mimpimu bagai angin utara
membinasakan taman.
Kerana sebagaimana cinta memahkotai engkau, demikian pula dia akan
menghukummu.
Sebagaimana dia ada untuk menyuburkanmu, demikian pula dia ada untuk
mencantasmu.

Sebagaimana dia mendaki ke puncakmu dan membelai mesra ranting-ranting


lembutmu yang bergetar dalam cahaya matahari.
Demikian pula dia akan menghunjam ke akarmu dan menggegarkannya di dalam
pautanmu pada bumi.
Laksana selonggok jagung dia menghimpun engkau pada dirinya.

Dia menghempuk engkau hingga kau telanjang


Dia mengasing-asingkan kau demi membebaskan engkau dari kulitmu.
Dia menggosok-gosok engkau sampai putih bersih.
Dia meramas engkau hingga kau menjadi lembut;
Dan kemudian dia mengangkat engkau ke api sucinya sehingga engkau bisa
menjadi hidangan suci untuk pesta kudus Tuhan.

Semua ini akan ditunaikan padamu oleh Sang Cinta, supaya bisa kau fahami
rahsia hatimu, dan di dalam pemahaman dia menjadi sekeping hati Kehidupan.

Namun pabila dalam ketakutanmu kau hanya akan mencari kedamaian dan
kenikmatan cinta.

Maka lebih baiklah bagimu untuk menutupi tubuhmu dan melangkah keluar
dari lantai-penebah cinta.

Memasuki dunia tanpa musim tempat kau dapat tertawa, tapi tak seluruh
gelak tawamu, dan menangis, tapi tak sehabis semua airmatamu.

Cinta tak memberikan apa-apa kecuali dirinya sendiri dan tiada mengambil
apa-apa pun kecuali dari dirinya sendiri.
Cinta tiada memiliki, pun tiada ingin dimiliki;
Kerana cinta telah cukup bagi cinta.

Pabila kau mencintai kau takkan berkata, "Tuhan ada di dalam hatiku," tapi
sebaliknya, "Aku berada di dalam hati Tuhan."

Dan jangan mengira kaudapat mengarahkan jalannya Cinta, sebab cinta, pabila
dia menilaimu memang pantas, mengarahkan jalanmu.
Cinta tak menginginkan yang lain kecuali memenuhi dirinya. Namun pabila kau
mencintai dan memerlukan keghairahan, biarlah ini menjadi keghairahanmu:

Luluhkan dirimu dan mengalirlah bagaikan anak sungai, yang menyanyikan


alunannnya bagai sang malam.

Kenalilah penderitaan dari kelembutan yang begitu jauh.


Rasa dilukai akibat pemahamanmu sendiri tentang cinta;
Dan menitiskan darah dengan ikhlas dan gembira.
Terjaga di kala fajar dengan hati berawangan dan mensyukuri hari baru
penuh cahaya kasih;

Istirah di kala siang dan merenungkan kegembiraan cinta yang meluap-luap;

Kembali ke rumah di kala senja dengan rasa syukur;

Dan kemudian tidur bersama doa bagi kekasih di dalam hatimu dan sekuntum
nyanyian puji-pujian pada bibirmu.

(Dari 'Sang Nabi')

Khalil Gibran

CINTA (II)

Mereka berkata tentang serigala dan tikus


Minum di sungai yang sama
Di mana singa melepas dahaga

Mereka berkata tentang helang dan hering


Menjunam paruhnya ke dalam bangkai yg sama
Dan berdamai - di antara satu sama lain,
Dalam kehadiran bangkai - bangkai mati itu

Oh Cinta, yang tangan lembutnya


mengekang keinginanku
Meluapkan rasa lapar dan dahaga
akan maruah dan kebanggaan,
Jangan biarkan nafsu kuat terus menggangguku
Memakan roti dan meminum anggur
Menggoda diriku yang lemah ini
Biarkan rasa lapar menggigitku,
Biarkan rasa haus membakarku,
Biarkan aku mati dan binasa,
Sebelum kuangkat tanganku
Untuk cangkir yang tidak kau isi,
Dan mangkuk yang tidak kau berkati

(Dari 'The Forerunner))

Kahlil Gibran

CINTA (III)

Kelmarin aku berdiri berdekatan pintu gerbang sebuah rumah ibadat dan
bertanya kepada manusia yang lalu-lalang di situ tentang misteri dan kesucian
cinta.
Seorang lelaki setengah baya menghampiri, tubuhnya rapuh wajahnya gelap.
Sambil mengeluh dia berkata, "Cinta telah membuat suatu kekuatan menjadi
lemah, aku mewarisinya dari Manusia Pertama."

Seorang pemuda dengan tubuh kuat dan besar menghampiri. Dengan suara
bagai menyanyi dia berkata, "Cinta adalah sebuah ketetapan hati yang
ditumbuhkan dariku, yang rnenghubungkan masa sekarang dengan generasi
masa lalu dan generasi yang akan datang.'

Seorang wanita dengan wajah melankolis menghampiri dan sambil mendesah,


dia berkata, 'Cinta adalah racun pembunuh, ular hitam berbisa yang
menderita di neraka, terbang melayang dan berputar-putar menembusi langit
sampai ia jatuh tertutup embun, ia hanya akan diminum oleh roh-roh yang
haus. Kemudian mereka akan mabuk untuk beberapa saat, diam selama satu
tahun dan mati untuk selamanya.'
Seorang gadis dengan pipi kemerahan menghampiri dan dengan tersenyum dia
berkata, "Cinta itu laksana air pancuran yang digunakan roh pengantin sebagai
siraman ke dalam roh orang-orang yg kuat, membuat mereka bangkit dalam
doa di antara bintang-bintang di malam hari dan senandung pujian di depan
matahari di siang hari.'

Setelah itu seorang lelaki menghampiri. Bajunya hitam, janggutnya panjang


dengan dahi berkerut, dia berkata, "Cinta adalah ketidakpedulian yang buta.
la bermula dari hujung masa muda dan berakhir pada pangkal masa muda.'

Seorang lelaki tampan dengan wajah bersinar dan dengan bahagia berkata,
'Cinta adalah pengetahuan syurgawi yang menyalakan mata kita. Ia
menunjukkan segala sesuatu kepada kita seperti para dewa melihatnya.'

Seorang bermata buta menghampiri, sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya


ke tanah dan dia kemudian berkata sambil menangis, 'Cinta adalah kabus
tebal yang menyelubungi gambaran sesuatu darinya atau yang membuatnya
hanya melihat hantu dari nafsunya yang berkelana di antara batu karang, tuli
terhadap suara-suara dari tangisnya sendiri yang bergema di lembah-
lembah.'

Seorang pemuda, dengan membawa sebuah gitar menghampiri dan menyanyi,


'Cinta adalah cahaya ghaib yang bersinar dari kedalaman kehidupan yang peka
dan mencerahkan segala yang ada di sekitarnya. Engkau bisa melihat dunia
bagai sebuah perarakan yang berjalan melewati padang rumput hijau.
Kehidupan adalah bagai sebuah mimpi indah yang diangkat dari kesedaran dan
kesedaran.'

Seorang lelaki dengan badan bongkok dan kakinya bengkok bagai potongan-
potongan kain menghampiri. Dengan suara bergetar, dia berkata, "Cinta
adalah istirahat panjang bagi raga di dalam kesunyian makam, kedamaian bagi
jiwa dalam kedalaman keabadian.’

Seorang anak kecil berumur lima tahun menghampiri dan sambil tertawa dia
berkata, "Cinta adalah ayahku, cinta adalah ibuku. Hanya ayah dan ibuku yang
mengerti tentang cinta."

Waktu terus berjalan. Manusia terus-menerus melewati rumah ibadat.


Masing-masing mempunyai pandangannya tersendiri tentang cinta. Semua
menyatakan harapan-harapannya dan mengungkapkan misteri-misteri
kehidupannya.

Khalil Gibran

IBU

Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir - bibir manusia.
Dan "Ibuku" merupakan sebutan terindah.
Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari
kedalaman jiwa.

Ibu adalah segalanya. Ibu adalah penegas kita dilaka lara, impian kta dalam
rengsa, rujukan kita di kala nista.
Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. Siapa pun
yang kehilangan ibinya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa
merestui dan memberkatinya.

Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu. Matahari sebagai ibu bumi
yang menyusuinya melalui panasnya.
Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi sampai malam merebahkannya
dalam lentera ombak, syahdu tembang beburungan dan sesungaian.

Bumi adalah ibu pepohonan dan bebungaan. Bumi menumbuhkan, menjaga dan
membesarkannya. Pepohonan
dan bebungaan adalah ibu yang tulus memelihara bebuahan dan bebijian.

Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.


Penuh cinta dan kedamaian.

Khalil Gibran
RAHSIA JODOH

Berpasangan engkau telah diciptakan


Dan selamanya engkau akan berpasangan
Bergandingan tanganlah dikau
Hingga sayap-sayap panjang nan lebar lebur dalam nyala
Dalam ikatan agung menyatu kalian

Saling menataplah dalam keharmonian


Dan bukanlah hanya saling menatap ke depan
Tapi bagaimana melangkah ke tujuan semula

Berpasangan engkau dalam mengurai kebersamaan


Kerana tidak ada yang benar-benar mampu hidup bersendirian
Bahkan keindahan syurga tak mampu menghapus kesepian Adam

Berpasangan engkau dalam menghimpun rahmat Tuhan Ya, bahkan bersama


pula dalam menikmatinya
Kerana alam dan kurniaan Tuhan
Terlampau luas untuk dinikmati sendirian

Bersamalah engkau dalam setiap keadaan


Kerana kebahagiaan tersedia, bagi mereka yang menangis
Bagi mereka yang disakiti hatinya, bagi mereka yang mencari,
bagi mereka yang mencuba
Dan bagi mereka yang mampu memahami erti hidup bersama
Kerana mereka itulah yang menghargai pentingnya
orang-orang yang pernah hadir dalam kehidupan mereka

Bersamalah dikau sampai sayap-sayap sang maut meliputimu


Ya, bahkan bersama pula kalian dalam musim sunyi
Namun biarkan ada ruang antara kebersamaan itu
Tempat angin syurga menari-nari diantara bahtera sakinahmu

Berkasih-kasihlah, namun jangan membelenggu cinta


Biarkan cinta mengalir dalam setiap titisan darah
Bagai mata air kehidupan
Yang gemerciknya senantiasa menghidupi pantai kedua jiwa
Saling isilah minumanmu tapi jangan minum dari satu piala
Saling kongsilah rotimu tapi jangan makan dari pinggan yang sama..

Menyanyilah dan menarilah bersama dalam suka dan duka


Hanya biarkan masing-masing menghayati waktu sendirinya
Kerana dawai-dawai biola, masing-masing punya kehidupan sendiri
Walau lagu yang sama sedang menggetarkannya
Sebab itulah simfoni kehidupan

Berikan hatimu namun jangan saling menguasainya

Jika tidak, kalian hanya mencintai pantulan diri sendiri


Yang kalian temukan dalam dia
Dan lagi, hanya tangan kehidupan yang akan mampu merangkulnya

Tegaklah berjajar namun jangan terlampau dekat


Bukankah tiang-tiang candi tidak dibina terlalu rapat?
Dan pohon jati serta pohon cemara
Tidak tumbuh dalam bayangan masing-masing?

Khalil Gibran

PERJAMUAN JIWA

BANGUNLAH, Cintaku. Bangun! Kerana jiwaku mengalu-alumu dari dasar laut,


dan menawarkan padamu sayap-sayap di atas gelombang yang mengamuk
Bangunlah, kerana sunyi telah menghentikan derap kaki kuda dan langkah para
pejalan kaki.

Rasa kantuk telah memeluk roh setiap laki-laki, sementara aku terbangun
sendiri, rasa rindu membukakan kertas surat tidurku.
Cinta membawaku dekat denganmu, namun kebimbangan melemparkan diriku
menjauh darimu.

Aku telah membuang bukuku, kerana keluhku mengunci kata-kata dan desah
nafasku meninggalkan tempat tidurku, Cintaku, kerana takut pada hantu lupa
yang berada di balik selimut.
Aku telah membuang bukuku, kerana keluhku mengunci kata-kata dan desah
nafasku meninggalkan halaman buku yang kosong di depan mataku!
Bangun, bangunlah, Cintaku dan dengar diriku!
Aku mendengarkanmu, Cintaku! Aku mendengar panggilanmu dari lautan lepas
dan merasakan lembutnya sentuhan sayapmu. Aku telah jauh dari ranjangku,
beranjak ke tanah lapang, hingga embun membasahi kaki dan bajuku. Di sinilah
aku berdiri, dibawah bunga-bunga pohon badam, memenuhi panggilan jiwamu.

Bicaralah padaku, Cintaku, dan biarkan nafasmu menghirup angin gunung yang
datang padaku dari lembah-lembah Lebanon. Bicaralah. Tak ada yang akan
mendengar selain diriku. Malam telah melarutkan semua manusia ditempat
tidurnya.
Syurga telah menyulam cahaya rembulan dan menghamparkannya ke seluruh
daratan Lebanon, Cintaku.
Syurga telah meriasnya dengan bayangan malam, jubah tebal membentang
dihembus asap dari cerobong kain, dihembus nafas kemari, dan mengelarnya
di telapak kota, Cintaku.

Para penduduk telah pulas menganyam mimpi di ubun-ubunnya di tengah


pohon-pohon kenari. Jiwa mereka mempercepatkan langkah mengejar negeri
mimpi, Cintaku.
Lelaki-lelaki longlai menggendong emas, dan tebing curam yang akan dilalui
melemaskan lutut mereka. Mata mereka mengantuk kerana dililit kesulitan
dan ketakutan. Mereka melemparkan tubuh ke tempat tidur sebagai tempat
berlindung dari hantu-hantu yang menakutkan dan mengerikan, Cintaku.
Hantu-hantu dari masa lalu berkeliaran di lembah-lembah. Jiwa para raja
melintasi bukit-bukit. Fikiranku yang berhias kenangan menyingkap kekuatan
bangsa Chaldea, kemegahan Arab.

Di lorong-lorong gelap, jiwa-jiwa pencuri yang tegap berjalan, muncung-


muncung nafsu ular berbisa muncul dari celah-celah benteng, dan rasa sakit
berdengung kematian, muntah-muntah sepanjang jalan. Kenangan menyingkap
tabir kelupaan dari mataku dan nampaklah Sodom yang menjijikkan, serta
dosa-dosa Gomorah.

Ranting-ranting berayun-ayun, Cintaku, dan desirnya bertemu dengan alunan


anak sungai di lembah. Syair-syair Sulaiman, nada kecapi Daud dan lagu Ishak
Al-Mausaili terngiang-ngiang di telinga kami.
Jiwa anak-anak yang lapar di penginapan menggelupur, ibunya mengeluh di
atas kamar kesedihan, dan kekecewaan telah jatuh dari langit. Mimpi-mimpi
kebimbangan melanda hati yang lemah. Aku mendengar rintihan pahitnya.
Semerbak bunga melambai seiring nafas pohon-pohon cedar. Terbawa angin
sepoi-sepoi menuju perbukitan, harum itu mengisi jiwa dengan kasih sayang
dan meniupkan kerinduan untuk terbang.

Tetapi racun dari rawa-rawa jug berkelana mengepul bersama penyakit.


Seperti panah rahsia yang tajam, racun itu telah menembusi perasaan dan
meracuni udara.

Tanpa kusedari matahari telah mengilaukan cahaya pagi, Cintaku, dan jari-jari
timur yang lentik menimang mata-mata orang yang terlelap. Cahaya itu
memaksa mereka untuk membuka daun jendela dan menyelak hati dan
kemenangan. Desa-desa, yang sedang tertidur dalam damai dan tenang di
pundak-pundak lembah, bangun, loceng-loceng berdenting memenuhi angkasa
sebagai panggilan untuk mula berdoa. Dan dari gua-gua, gema-gema juga
berdengung, seolah-olah seluruh alam sedang berdoa bersama-sama dengan
khusyuknya. Anak-anak sapi telah keluar dari kandangnya, biri-biri dan
kambing meninggalkan bangsalnya untuk menuai rumput yang berembun dan
berkilatan cahaya. Penggembalanya mengikuti dari belakang sambil
mengamatinya di balik lelalang. Di belakangnya lagi gadis-gadis bernyanyi
seperti burung menyambut pagi.

Kini tangan siang hari yang perkasa terbaring di atas kota. Tirai telah diselak
dari jendela dan pintu pun terbuka. Mata yang penat dan wajah lesu para
penjahit telah siap di tempat kerjanya. Mereka merasakan kematian telah
melanggar batas kehidupan mereka, dan riak muka yang layu mempamerkan
ketakutan dan kekecewaan. Di jalanan padat dengan jiwa-jiwa yang tamak dan
tergesa-gesa, dan di mana-mana terdengar desingan besi, pusingan roda dan
siulan angin. Kota telah menjadi arena pertempuran di mana yang kuat
menindas yang lemah dan si kaya mengeksploitasi dan menguasai si miskin.

Betapa indah hidup ini, Cintaku, seperti hati penyair yang penuh dengan
cahaya dan kelembutan hati.
Dan betapa kerasnya hidup ini, Cintaku, seperti dada penjahat, yang
berdebar-debar kerana selalu merasa bimbang dan takut.

Khalil Gibran
BANGSA KASIHAN

Kasihan bangsa yang memakai pakaian yang tidak ditenunnya,


memakan roti dari gandum yang tidak dituainya
dan meminum anggur yang tidak diperasnya

Kasihan bangsa yang menjadikan orang bodoh menjadi pahlawan,


dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah.

Kasihan bangsa yang meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya ketika tidur,


sementara menyerah padanya ketika bangun.

Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat suara


kecuali jika sedang berjalan di atas kuburan,
tidak sesumbar kecuali di runtuhan,
dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya
sudah berada di antara pedang dan landasan.

Kasihan bangsa yang negarawannya serigala,


falsafahnya karung nasi,
dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru.

Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya


dengan trompet kehormatan namun melepasnya dengan cacian,
hanya untuk menyambut penguasa baru lain dengan trompet lagi.

Kasihan bangsa yang orang sucinya dungu


menghitung tahun-tahun berlalu
dan orang kuatnya masih dalam gendongan.

Kasihan bangsa yang berpecah-belah,


dan masing-masing mengangap dirinya sebagai satu bangsa.

Khalil Gibran
WAKTU

Dan seorang pakar astronomi berkata, "Guru, bagaimanakah perihal Waktu?"

Dan dia menjawab:


Kau ingin mengukur waktu yang tanpa ukuran dan tak terukur.
Engkau akan menyesuaikan tingkah lakumu dan bahkan mengarahkan
perjalanan jiwamu menurut jam dan musim.
Suatu ketika kau ingin membuat anak sungai, di mana atas tebingnya kau akan
duduk dan menyaksikan alirannya.

Namun keabadian di dalam dirimu adalah kesedaran akan kehidupan nan abadi,
Dan mengetahui bahawa semalam hanyalah kenangan utk hari ini dan esok
adalah harapan dan impian utk hari ini.
Dan yang menyanyi dan merenung dari dalam jiwa, sentiasa menghuni ruang
semesta yang menaburkan bintang di angkasa.
Siapa di antara kalian yang tidak merasa bahawa daya mencintainya tiada
batasnya?
Dan siapa pula yang tidak merasa bahawa cinta sejati, walau tiada batas,
terkandung di dalam inti dirinya, dan tiada bergerak dari fikiran cinta ke
fikiran cinta, pun bukan dari tindakan cinta ke tindakan cinta yang lain?
Dan bukanlah sang waktu sebagaimana cinta, tiada terbahagi dan tiada kenal
ruang?
Tapi jika di dalam fikiranmu baru mengukur waktu ke dalam musim, biarkanlah
tiap musim merangkumi semua musim yang lain,
Dan biarkanlah hari ini memeluk masa silam dengan kenangan dan masa depan
dengan kerinduan.

Khalil Gibran

FIKIRAN DAN SAMADI

Hidup menjemput dan melantunkan kita dari satu tempat ke tempat yang lain;
Nasib memindahkan kita dari satu tahap ke tahap yang lain. Dan kita yang
diburu oleh keduanya, hanya mendengar suara yang mengerikan, dan hanya
melihat susuk yang menghalangi dan merintangi jalan kita.

Keindahan menghadirkan dirinya dengan duduk di atas singgahsana keagungan;


tapi kami mendekatinya atas dorongan Nafsu ; merenggut mahkota
kesuciannya, dan mengotori busananya dengan tindak laku durhaka.

Cinta lalu di depan kita, berjubahkan kelembutan ; tapi kita lari ketakutan,
atau bersembunyi dalam kegelapan, atau ada pula yang malahan mengikutinya,
untuk berbuat kejahatan atas namanya.

Meskipun orang yang paling bijaksana terbongkok kerana memikul beban


Cinta, tapi sebenarnya beban itu seiringan bayu pawana Lebanon yang
berpuput riang.

Kebebasan mengundang kita pada mejanya agar kita menikmati makanan lazat
dan anggurnya ; tapi bila kita telah duduk menghadapinya, kita pun makan
dengan lahap dan rakus.

Tangan Alam menyambut hangat kedatangan kita, dan menawarkan pula agar
kita menikmati keindahannya ; tapi kita takut akan keheningannya, lalu
bergegas lari ke kota yang ramai, berhimpit-himpitan seperti kawanan
kambing yang lari ketakutan dari serigala garang.

Kebenaran memanggil-manggil kita di antara tawa anak-anak atau ciuman


kekasih, tapi kita menutup pintu keramahan baginya, dan menghadapinya
bagaikan musuh.

Hati manusia menyeru pertolongan ; jiwa manusia memohon pembebasan ; tapi


kita tidak mendengar teriak mereka, kerana kita tidak membuka telinga dan
berniat memahaminya. Namun orang yang mendengar dan memahaminya kita
sebut gila lalu kita tinggalkan.

Malampun berlalu, hidup kita lelah dan kurang waspada, sedang hari pun
memberi salam dan merangkul kita. Tapi di siang dan malam hari, kita sentiasa
ketakutan.

Kita amat terikat pada bumi, sedangkan gerbang Tuhan terbuka lebar. Kita
memijak-mijak roti Kehidupan, sedangkan kelaparan memamah hati kita.
Sungguh betapa budiman Sang Hidup terhadap Manusia, namun betapa jauh
Manusia meninggalkan Sang Hidup.

Khalil Gibran
HIDUP

Kehidupan merupakan sebuah pulau di lautan kesepian, dan bagi pulau itu
bukti karang yang timbul merupakan harapan, pohon merupakan impian, bunga
merupakan keheningan perasaan, dan sungai merupakan damba kehausan.
Hidupmu, wahai saudara-saudaraku, laksana pulau yang terpisah dari pulau
dan daerah lain. Entah berapa banyak kapal yang bertolak dari pantaimu
menuju wilayah lain, entah berapa banyak armada yang berlabuh di pesisirmu,
namun engkau tetap pulau yang sunyi, menderita kerana pedihnya sepi dan
dambaan terhadap kebahagiaan. Engkau tak dikenal oleh sesama insan, lagi
pula terpencil dari keakraban dan perhatian.

Saudaraku, kulihat engkau duduk di atas bukit emas serta menikmati


kekayaanmu -bangga akan hartamu, dan yakin bahawa setiap genggam emas
yang kau kumpulkan merupakan mata rantai yang menghubungkan hasrat dan
fikiran orang lain dengan dirimu.
Di mata hatiku engkau kelihatan bagaikan panglima besar yang memimpin bala
tentara, hendak menggempur benteng musuh. Tapi setelah kuamati lagi, yang
nampak hanya hati hampa belaka, yang tertempel di balik longgok emasmu,
bagaikan seekor burung kehausan dalam sangkar emas dengan wadah air yang
kosong.
Kulihat engkau, saudaraku, duduk di atas singgahsana agung; di sekelilingmu
berdiri rakyatmu yang memuji-muji keagunganmu, menyanyikan lagu
penghormatan bagi karyamu yang mengagumkan, memuji kebijaksanaanmu,
memandangmu seakan-akan nabi yang mulia, bahkan jiwa mereka melambung
kesukaan sampai ke langit-langit angkasa.
Dan ketika engkau memandang kelilingmu, terlukislah pada wajahmu
kebahagiaan, kekuasaan, dan kejayaan, seakan-akan engkau adalah nyawa bagi
raga mereka.
Tapi bila kupandang lagi, kelihatan engkau seorang diri dalam kesepian,
berdiri di samping singgahsanamu, menadahkan tangan ke segala arah,
seakan-akan memohon belas kasihan dan pertolongan dari roh-roh yang tak
nampak -mengemis perlindungan, kerana tersisih dari persahabatan dan
kehangatan persaudaraan.
Kulihat dirimu, saudaraku, yang sedang mabuk asmara pada wanita jelita,
menyerahkan hatimu pada paras kecantikannya. Ketika kulihat ia
memandangmu dengan kelembutan dan kasih keibuan, aku berkata dalam hati,
"Terpujilah Cinta yang mampu mengisi kesepian pria ini dan mengakrabkan
hatinya dengan hati manusia lain."
Namun, bilamana kuamati lagi, di sebalik hatimu yang bersalut cinta terdapat
hati lain yang kesunyian, meratap hendak menyatakan cintanya pada wanita;
dan di sebalik jiwamu yang sarat cinta, terdapat jiwa lain yang hampa,
bagaikan awan yang mengembara, menjadi titik-titik air mata kekasihmu...

Hidupmu, wahai saudaraku, merupakan tempat tinggal sunyi yang terpisah


dari wilayah penempatan orang lain, bagaikan ruang tengah rumah yang
tertutup dari pandangan mata tetangga. Seandainya rumahmu tersalut oleh
kegelapan, sinar lampu tetanggamu tak dapat masuk meneranginya. Jika
kosong dari persediaan kemarau, isi gudang tetanggamu tak dapat mengisinya.
Jika rumahmu berdiri di atas gurun, engkau tak dapat memindahkannya ke
halaman orang lain, yang telah diolah dan ditanami oleh tangan orang lain. Jika
rumahmu berdiri di atas puncak gunung, engkau tak dapat memindahkannya
atas lembah, kerana lerengnya tak dapat ditempuh oleh kaki manusia.
Kehidupanmu, saudaraku, dibaluti oleh kesunyian, dan jika bukan kerana
kesepian dan kesunyian itu, engkau bukanlah engkau, dan aku bukanlah aku.
Jika bukan kerana kesepian dan kesunyian itu, aku akan percaya kiranya aku
memandang wajahmu, itulah wajahku sendiri yang sedang memandang cermin.

(Dari 'Suara Sang Guru')

Khalil Gibran

NYANYIAN SUKMA

Di dasar relung jiwaku


Bergema nyanyian tanpa kata; sebuah lagu
yang bernafas di dalam benih hatiku,
Yang tiada dicairkan oleh tinta di atas lembar kulit ; ia meneguk rasa kasihku
dalam jubah yg nipis kainnya, dan mengalirkan sayang,
Namun bukan menyentuh bibirku.

Betapa dapat aku mendesahkannya?


Aku bimbang dia mungkin berbaur dengan kerajaan fana
Kepada siapa aku akan menyanyikannya?

Dia tersimpan dalam relung sukmaku


Kerna aku risau, dia akan terhempas
Di telinga pendengaran yang keras.
Pabila kutatap penglihatan batinku
Nampak di dalamnya bayangan dari bayangannya,
Dan pabila kusentuh hujung jemariku
Terasa getaran kehadirannya.

Perilaku tanganku saksi bisu kehadirannya,


Bagai danau tenang yang memantulkan cahaya
bintang-bintang bergemerlapan.
Air mataku menandai sendu
Bagai titik-titik embun syahdu
Yang membongkarkan rahsia mawar layu.

Lagu itu digubah oleh renungan,


Dan dikumandangkan oleh kesunyian,
Dan disingkiri oleh kebisingan,
Dan dilipat oleh kebenaran,
Dan diulang-ulang oleh mimpi dan bayangan,
Dan difahami oleh cinta,
Dan disembunyikan oleh kesedaran siang
Dan dinyanyikan oleh sukma malam.

Lagu itu lagu kasih-sayang,


Gerangan 'Cain' atau 'Esau' manakah
Yang mampu membawakannya berkumandang?

Nyanyian itu lebih semerbak wangi daripada melati:


Suara manakah yang dapat menangkapnya?
Kidung itu tersembunyi bagai rahsia perawan suci,
Getar nada mana yang mampu menggoyahnya?

Siapa berani menyatukan debur ombak samudra


dengan kicau bening burung malam?
Siapa yang berani membandingkan deru alam,
Dengan desah bayi yang nyenyak di buaian?

Siapa berani memecah sunyi


Dan lantang menuturkan bisikan sanubari
Yang hanya terungkap oleh hati?
Insan mana yang berani
melagukan kidung suci Tuhan?

(Dari 'Dam'ah Wa Ibtisamah' -Setitis Air Mata Seulas Senyuman)

Khalil Gibran

NYANYIAN HUJAN

Aku ini percikan benang-benang perak yang dihamburkan dari syurga oleh
dewa-dewa.
Alam raya kemudian meraupku, bagi menyirami ladang dan lembahnya.

Aku ini taburan mutiara, yang dipetik dari mahkota Raja Ishtar, oleh puteri
Fajar,
untuk menghiasi taman-taman mayapada.

Pabila kuurai air mata, bukit-bukit tertawa;


Pabila aku meniup rendah, bunga-bunga gembira,
Dan bila aku menunduk, segalanya cerah-ceria.

Ladang dan awan mega berkasih-mesra,


Di antara mereka aku pembawa amanat setia,
Yang satu kulepas dari dahaga,
Yang lain kuubati dari luka.

Suara guruh mengkhabarkan kedatanganku


Pelangi di langit menghantar pemergianku,
Bagai kehidupan duniawi, diriku,
Dimulakan pada kaki kekuatan alam,
Dan diakhiri di bawah sayap kematian.

Aku muncul dari dalam jantung samudera,


Melayang tinggi bersama pawana,
Pabila kulihat ladang memerlukanku,
Aku turun, kubelai mesra bunga-bunga dan pepohonan
Dalam berjuta cara.
Jemariku lembut bermain pada jendela-jendela kaca
Dan berita yang kubawa membawa bahagia,
Semua orang dapat mendengarnya, namun hanya yang peka,
Dapat memahami maknanya.

Panas udara melahirkan aku,


Namun sebagai balasannya aku membunuhnya,
Laksana wanita yang mengungguli jejaka,
Dengan kekuatan yang dihisap daripadanya.

Diriku helaan nafas samudera


Gelak tertawa padang ladang,
Dan cucuran air mata dari syurga.

Maka, disertai cinta kasih -


dihela dari kedalaman laut kasih-sayang;
tertawa ria dari rona padang jiwa,
air mata dari kenangan syurga abadi.

(Dari 'Dam'ah Wa Ibtisamah' -Setitis Air Mata Seulas Senyuman)

Khalil Gibran

MASA MUDA DAN KEINDAHAN

Keindahan menjadi milik usia muda, tapi keremajaan yang untuknya dunia ini
diciptakan tidak lebih dari sekadar mimpi yang manisnya diperhamba oleh
kebutaan yang menghilangkan kesedaran.
Akankah hari itu datang, ketika orang-orang bijak menyatukan kemanisan
masa muda dan kenikmatan pengetahuan?
Sebab masing-masing hanyalah kosong bila hanya sendirian.
Akankah hari itu datang ketika alam menjadi guru yang mengajar manusia,
dan kemanusiaan menjadi buku bacaan
sedangkan kehidupan adalah sekolah sehari-hari?
Hasrat masa muda akan kesenangan-kenikmatan tidak terlalu menuntut
tanggung jawab -hanya akan terpenuhi bila fajar telah menyelak kegelapan
hari.

Banyak lelaki yang tenggelam dalam keasyikan hari-hari masa muda yang mati
dan beku;
banyak perempuan yang menyesali dan mengutuk tahun-tahun tak berguna
mereka seperti raungan singa betina yang kehilangan anak;
dan banyak para pemuda dan pemudi yang menggunakan hati mereka sekadar
sebagai alat penggali kenangan pahit masa depan,
melukai diri melalui kebodohan dengan anak panah yang tajam dan beracun
kerana kehilangan kebahagiaan.

Usia tua adalah permukaan kulit bumi;


ia harus, melalui cahaya dan kebenaran,
memberikan kehangatan bagi benih-benih masa muda yang
ada dibawahnya, melindungi dan memenuhi keperluan mereka
hingga Nisan datang dan menyempurnakan kehidupan masa muda yang sedang
tumbuh dengan kebangkitan baru

Kita berjalan terlalu lambat ke arah kebangkitan spiritual,


dan perjalanan itu seluas angkasa tanpa batas,
sebagai pemahaman keindahan kewujudan melalui
rasa kasih dan cinta kepada keindahan tersebut

Khalil Gibran

SURAT DARI KEKASIH

Untukmu yang selalu Kucintai,


Saat kau bangun di pagi hari, Aku memandangmu dan
berharap engkau akan berbicara kepadaKu., bercerita,
meminta pendapatKu, mengucapkan sesuatu untukKu
walaupun hanya sepatah kata.

Atau berterima kasih kepadaKu atas sesuatu hal yang


indah yang terjadi dalam hidupmu pada tadi malam, kemarin, atau waktu yang
lalu....
Tetapi Aku melihat engkau begitu sibuk mempersiapkan diri untuk pergi
bekerja...
Tak sedikitpun kau menyedari Aku di dekat mu.
Aku kembali menanti saat engkau sedang bersiap,
Aku tahu akan ada sedikit waktu bagimu untuk berhenti dan menyapaKu,
tetapi engkau terlalu sibuk...

Di satu tempat, engkau duduk tanpa melakukan apapun.


Kemudian Aku melihat engkau menggerakkan kakimu.
Aku berfikir engkau akan datang kepadaKu, tetapi engkau
berlari ke telefon dan menelefon seorang teman untuk sekadar berbual-bual.

Aku melihatmu ketika engkau pergi bekerja dan Aku


menanti dengan sabar sepanjang hari. Namun dengan
semua kegiatanmu Aku berfikir engkau terlalu sibuk
untuk mengucapkan sesuatu kepadaKu.

Sebelum makan siang Aku melihatmu memandang ke


sekeliling, mungkin engkau merasa malu untuk berbicara
kepadaKu, itulah sebabnya mengapa engkau tidak
sedikitpun menyapaKu.

Engkau memandang tiga atau empat meja sekitarmu dan


melihat beberapa temanmu berbicara dan menyebut namaKu
dengan lembut sebelum menjamah makanan yang kuberikan,
tetapi engkau tidak melakukannya.....

Ya, tidak mengapa, masih ada waktu yang tersisa dan


Aku masih berharap engkau akan datang kepadaKu,
meskipun saat engkau pulang ke rumah kelihatannya
seakan-akan banyak hal yang harus kau kerjakan.

Setelah tugasmu selesai, engkau menghidupkan TV, Aku


tidak tahu apakah kau suka menonton TV atau tidak,
hanya engkau selalu ke sana dan menghabiskan banyak
waktu setiap hari di depannya, tanpa memikirkan apapun
dan hanya menikmati siaran yang ditampilkan, hingga waktu-
waktu untukKu dilupakan.

Kembali Aku menanti dengan sabar saat engkau menikmati


makananmu tetapi kembali engkau lupa menyebut namaKu
dan berterima kasih atas makanan yang telah Kuberikan.

Saat tidur Kufikir kau merasa terlalu lelah.


Setelah mengucapkan selamat malam kepada keluargamu,
kau melompat ke tempat tidurmu dan tertidur tanpa
sepatahpun namaKu kau sebut. Tidak mengapa kerana mungkin
engkau masih belum menyedari bahawa Aku selalu hadir untukmu.

Aku telah bersabar lebih lama dari yang kau sedari.


Aku bahkan ingin mengajarkan bagaimana bersabar terhadap orang lain. Aku
sangat menyayangimu, setiap hari Aku menantikan sepatah kata darimu,
ungkapan isi hatimu, namun tak kunjung tiba.

Baiklah..... engkau bangun kembali dan kembali Aku


menanti dengan penuh kasih bahawa hari ini kau akan
memberiKu sedikit waktu untuk menyapaKu...

Tapi yang Kutunggu ... ah tak juga kau menyapaKu.


Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, Isya dan Subuh lagi
kau masih tidak mempedulikan Aku.

Tak ada sepatah kata, tak ada seucap doa, tak ada
pula harapan dan keinginan untuk sujud kepadaKU....

Apakah salahKu padamu ...? Rezeki yang Kulimpahkan,


kesihatan yang Kuberikan, Harta yang Kurelakan, makanan
yang Kuhidangkan , Keselamatan yang Kukurniakan,
kebahagiaan yang Kuanugerahkan, apakah hal itu tidak
membuatmu ingat kepadaKu ???

Percayalah, Aku selalu mengasihimu, dan Aku tetap


berharap suatu saat engkau akan menyapaKu, memohon
perlindunganKu, bersujud menghadapKu ... Kembali kepadaKu.

Yang selalu bersamamu setiap saat,


Tuhanmu....

Khalil Gibran
KEHIDUPAN SEBUAH CINTA

MUSIM BUNGA

Marilah, sayang, mari berjalan menjelajahi perbukitan,


Salju telah cair dan Kehidupan telah terjaga dari lenanya
dan kini mengembara menyusuri pegunungan dan lembah-lembah,
Mari kita ikut jejak-jejak Musim Bunga, yang melangkaui
Ladang-ladang jauh, dan mendaki puncak-puncak perbukitan
'Tuk menadah ilham dari aras ketinggian,
Di atas hamparan ngarai nan sejuk kehijauan.

Fajar Musim Bunga telah mengeluarkan pakaiannya


dari lipatan simpanan, dan menyangkutnya
pada pohon pic dan sitrus , dan mereka kelihatan bagai pengantin dalam
upacara tradisi Malam Kedre..

Sulur-sulur daun anggur saling berpelukan bagai kekasih


Air kali pun lincah berlompatan menari ria,
Di sela-sela batuan, menyanyikan lagu riang.

Dan bunga-bunga bermekaran dari jantung alam,


Laksana buih-buih bersemburan, dari kalbu lautan

Kemarilah, sayang: mari meneguk sisa air mata


musim dingin, dari gelas kelopak bunga lili,
Dan menenangkan jiwa, dengan gerimis nada-nada
Curahan simfoni burung-burung yang berkicauan
dan berkelana riang dalam bayu mengasyikkan

Mari duduk di batu besar itu, tempat bunga violet


berteduh dalam persembunyian, dan meniru
Kemanisan mereka dalam pertukaran kasih rindu.

MUSIM PANAS

Mari pergi ke ladang, kekasihku, kerana


Musim menuai telah tiba, dan cahaya suria
Telah memanggang gandum kuning-kekuningan.
Mari kita mengerjakan hasil bumi, sebagaimana semangat kegembiraan
menyuburkan butir gandum
Dari benih cinta-kasih, yang tertanam dalam sanubari.
Mari mengisi guni kita dengan limpahan hasil bumi
bagai kehidupan mengisi penuh rongga hati,
Dengan harta kekayaan tak terperi,
Mari, jadikan bunga-bunga alas tilam kita
Dan langit biru selimut kita
Sandarkan kepala di bantal harum jerami,
Mari kita berehat setelah bekerja sepanjang hari,
Sambil mendengar bisik gemercik air sungai yang menyanyi.

MUSIM GUGUR
kita pergi memetik anggur di perkebunan
Dan memerah sari buah segar
Dan menyimpannya di jambangan tua
Sebagaimana jiwa menyimpan ilmu pengetahuan
Abad-abad lalu, dalam gedung keabadian.

Dan sekarang mari pulang, kerna sang bayu telah


Menerbangkan daun-daun kuning dan mengisar bunga-bunga layu
Yang membisikkan dendang kematian pada Musim Gugur
Mari pulang, kekasihku abadi, kerana burung-burung
Telah terbang bagi perjalanan migrasi menuju kehangatan
Meninggalkan padang yang dingin dan kesepian.
Bunga mirtel dan melati pun telah lama
Mengeringkan air matanya.

Mari kembali, sebab anak sungai yang sayu


Telah kehabisan lagu, dan sumber air yang lincah
Telah membisu, enggan mengucapkan kata perpisahan.
Sedang bukit-bukit tua telah mulai melipat
pakaiannya yang berwarna-warni.

Mari, kekasihku; Alam telah letih,


Ia bersemangat melambaikan selamat tinggal
Dengan dendangan sayup dan ketenangan.
MUSIM DINGIN

Dekatlah ke mari,oh teman sepanjang hidupku,


Dekatlah padaku, dan jangan biarkan sentuhan Musim Dingin,
Mencelah di antara kita. Duduklah disampingku di depan tungku,
Sebab nyalaan api adalah satu-satunya nyawa musim ini.

Bicaralah padaku tentang kekayaan hatimu,


Yang jauh lebih besar daripada unsur Alam yang menggelodak
Di luar pintu.
Palanglah pintu dan patri engselnya,
Sebab wajah angkasa menekan semangatku
Dan pemandangan ladang-ladang salju
Menimbulkan tangis dalam jiwaku.

Tuangkan minyak ke dalam lampu, jangan biarkan ia pudar,


Letakkan dekat wajahmu, supaya aku boleh membaca dalam tangis
Apa yang telah ditulis pada wajahmu
Tentang kehidupan kau bersamaku..

Berilah aku anggur Musim Gugur, dan mari minum bersama


Sambil mendendangkan lagu kenangan pada ghairah Musim Bunga
Dan layanan hangat Musim Panas, serta anugerah
tuaian dari Musim Gugur.

Dekatlah padaku, oh kekasih jiwaku; api mendingin dalam tungku,


Menyelinap padam nyalanya satu-satu, dari timbunan abu
Dakaplah aku, sebab aku ngeri akan kesepian.
Lampu meredup, dan anggur minuman membuat mata sayu mengatup.
Mari kita saling berpandangan, sebelum mata tertutup.

Cari aku dengan rabaan, temui daku dalam pelukan


Lalu biarkan kabus malam merangkul jiwa kita menjadi satu
Kucuplah aku, kekasihku, kerana Musim Dingin,
Telah merenggut segala, kecuali bibir yang berkata:
Engkau dalam dakapan, oh Kekasihku Abadi,
Betapa dalam dan kuat samudera lena,
Dan betapa cepatnya subuh...
(Dari 'Dam'ah Wa Ibtisamah' -Setitis Air Mata Seulas Senyuman)

Khalil Gibran

SEMALAM

Semalam aku sendirian di dunia ini, kekasih;


dan kesendirianku... sebengis kematian...
Semalam diriku adalah sepatah kata yang tak bersuara...,
Di dalam fikiran malam.
Hari ini... aku menjelma menjadi sebuah nyanyian menyenangkan di atas lidah
hari.
Dan, ia berlangsung dalam seminit dari sang waktu yang melahirkan sekilas
pandang, sepatah kata, sebuah desakan dan... sekucup ciuman

Khalil Gibran

ANTARA PAGI DAN MALAM HARI

TENANGLAH hatiku, kerana langit tak pun mendengari


Tenanglah, kerana bumi dibebani dengan ratapan kesedihan.
Dia takkan melahirkan melodi dan nyanyianmu.
Tenanglah, kerana roh-roh malam tak menghiraukan bisikan rahsiamu, dan
bayang-bayang tak berhenti dihadapan mimpi-mimpi.
Tenanglah, hatiku. Tenanglah hingga fajar tiba, kerana dia yang menanti pagi
dengan sabar akan menyambut pagi dengan kekuatan. Dia yang mencintai
cahaya, dicintai cahaya.
Tenanglah hatiku, dan dengarkan ucapanku.

DALAM mimpi aku melihat seekor murai menyanyi saat dia terbang di atas
kawah gunung berapi yang meletus.
Kulihat sekuntum bunga Lili menyembulkan kelopaknya di balik salju.
Kulihat seorang bidadari telanjang menari-menari di antara batu-batu kubur.
Kulihat seorang anak tertawa sambil bermain dengan tengkorak-tengkorak.
Kulihat semua makhluk ini dalam sebuah mimpi. Ketika aku terjaga dan
memandang sekelilingku, kulihat gunung berapi memuntahkan nyala api, tapi
tak kudengar murai bernyanyi, juga tak kulihat dia terbang.
Kulihat langit menaburkan salju di atas padang dan lembah, dilapisi warna
putih mayat dari bunga lili yang membeku.
Kulihat kuburan-kuburan, berderet-deret, tegak di hadapan zaman-zaman
yang tenang. Tapi tak satu pun kulihat di sana yang bergoyang dalam tarian,
juga tidak yang tertunduk dalam doa.
Saat terjaga, kulihat kesedihan dan kepedihan; ke manakah perginya
kegembiraan dan kesenangan impian?
Mengapa keindahan mimpi lenyap, dan bagaimana gambaran-gambarannya
menghilang? Bagaimana mungkin jiwa tertahan sampai sang tidur membawa
kembali roh-roh dari hasrat dan harapannya?

DENGARLAH hatiku, dan dengarlah ucapanku.


Semalam jiwaku adalah sebatang pohon yang kukuh dan tua, menghunjam
akar-akarnya ke dasar bumi dan cabang-cabangnya mencekau ke arah yang
tak terhingga.
Jiwaku berbunga di musim bunga, memikul buah pada musim panas. Pada
musim gugur kukumpulkan buahnya di mangkuk perak dan kuletakkannya di
tengah jalan. Orang-orang yang lalu lalang mengambil dan memakannya, serta
meneruskan perjalanan mereka.

KALA musim gugur berlalu dan gita pujinya bertukar menjadi lagu kematian
dan ratapan, kudapati semua orang telah meninggalkan diriku kecuali satu-
satunya buah di talam perak.
Kuambil ia dan memakannya, dan merasakan pahitnya bagai kayu gaharu,
masam bak anggur hijau.
Aku berbicara dalam hati,"Bencana bagiku, kerana telah kutempatkan
sebentuk laknat di dalam mulut orang-orang itu, dan permusuhan dalam
perutnya.
" Apa yang telah kaulakukan, jiwaku, dengan kemanisan akar-akarmu itu yang
telah meresap dari usus besar bumi, dengan wangian daun-daunmu yang telah
meneguk cahaya matahari?"
Lalu kucabut pohon jiwaku yang kukuh dan tua.
Kucabut akarnya dari tanah liat yang di dalamnya dia telah bertunas dan
tumbuh dengan subur. Kucabut akar dari masa lampaunya, menanggalkan
kenangan seribu musim bunga dan seribu musim gugur.
Dan kutanam sekali lagi pohon jiwaku di tempat lain.
Kutanam dia di padang yang tempatnya jauh dari jalan-jalan waktu.
Kulewatkan malam dengan terjaga di sisinya, sambil berkata,"Mengamati
bersama malam yang membawa kita mendekati kerlipan bintang."
Aku memberinya minum dengan darah dan airmataku, sambil
berkata,"Terdapat sebentuk keharuman dalam darah, dan dalam airmata
sebentuk kemanisan."
Tatkala musim bunga tiba, jiwaku berbunga sekali lagi.

PADA musim panas jiwaku menyandang buah. Tatkala musim gugur tiba,
kukumpulkan buah-buahnya yang matang di talam emas dan kuletakkan di
tengah jalan. Orang-orang melintas, satu demi satu atau dalam kelompok-
kelompok, tapi tak satu pun menghulurkan tangannya untuk mengambil
bahagiannya.
Lalu kuambil sebuah dan memakannya, merasakan manisnya bagai madu
pilihan, lazat seperti musim bunga dari syurga, sangat menyenangkan laksana
anggur Babylon, wangi bak wangi-wangian dari melati.
Aku menjerit,"Orang-orang tak menginginkan rahmat pada mulutnya atau
kebenaran dalam usus mereka, kerana rahmat adalah puteri airmata dan
kebenaran putera darah!"
Lalu aku beralih dan duduk di bawah bayangan pohon sunyi jiwaku di sebuah
padang yang tempatnya jauh dari jalan waktu.

TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.


Tenanglah, kerana langit menghembus bau hamis kematian dan tak bisa
meminum nafasmu.
Dengarkan, hatiku, dan dengarkan aku bicara.
Semalam fikiranku adalah kapal yang terumbang-ambing oleh gelombang laut
dan digerakkan oleh angin dari pantai ke pantai
Kapal fikiranku kosong kecuali untuk tujuh cawan yang dilimpahi dengan
warna-warna, gemilang berwarna-warni.
Sang waktu datang kala aku merasa jemu terapung-apungan di atas
permukaan laut dan berkata,
"Aku akan kembali ke kapal kosong fikiranku menuju pelabuhan kota tempat
aku dilahirkan."
Tatkala kerjaku selesai, kapal fikiranku
Aku mulai mengecat sisi-sisi kapalku dengan warna-warni - kuning matahari
terbenam, hijau musim bunga baru, biru kubah langit, merah senjakala yang
menjadi kecil. Pada layar dan kemudinya kuukirkan susuk-susuk menakjubkan,
menyenangkan mata dan menyenangkan penglihatan.
Tatkala kerjaku selesai, kapal fikiranku laksana pandangan luas seorang nabi,
berputar dalam ketidakterbatasan laut dan langit. Kumasuki pelabuhan
kotaku, dan orang muncul menemuiku dengan pujian dan rasa terima kasih.
Mereka membawaku ke dalam kota, memukul gendang dan meniup seruling.
Ini mereka lakukan kerana bahagian luar kapalku yang dihias dengan
cemerlang, tapi tak seorang pun masuk ke dalam kapal fikiranku.
Tak seorang pun bertanya apakah yang kubawa dari seberang lautan
Tak seorang pun tahu kenapa aku kembali dengan kapal kosongku ke
pelabuhan.
Lalu kepada diriku sendiri, aku berkata,"Aku telah menyesatkan orang-orang,
dan dengan tujuh cawan warna telah kudustai mata mereka"

Setelah setahun aku menaiki kapal fikiranku dan kulayari di laut untuk kedua
kalinya.
Aku berlayar menuju pulau-pulau timur, dan mengisi kapalku dengan dupa dan
kemenyan, pohon gaharu dan kayu cendana.
Aku berlayar menuju pulau-pulau barat, dan membawa bijih emas dan gading,
batu merah delima dan zamrud, dan sulaman serta pakaian warna merah
lembayung.
Dari pulau-pulau selatan aku kembali dengan rantai dan pedang tajam,
tombak-tombak panjang, serta beraneka jenis senjata.
Aku mengisi kapal fikiranku dengan harta benda dan barang-barang lhasil
bumi dan kembali ke pelabuhan kotaku, sambil berkata, "Orang-orangku pasti
akan memujiku, memang sudah pastinya. Mereka akan menggendongku ke
dalam kota sambil menyanyi dan meniup trompet"
Tapi ketika aku tiba di pelabuhan, tak seorangpun keluar menemuiku. Ketika
kumasuki jalan-jalan kota, tak seorang pun memerhatikan diriku.
Aku berdiri di alun-alun sambil mengutuk pada orang-orang bahawa aku
membawa buah dan kekayaan bumi. Mereka memandangku, mulutnya penuh
tawa, cemuhan pada wajah mereka. Lalu mereka berpaling dariku.
Aku kembali ke pelabuhan, kesal dan bingung. Tak lama kemudian aku melihat
kapalku. Maka aku melihat perjuangan dan harapan dari perjalananku yang
menghalangi perhatianku. Aku menjerit.
Gelombang laut telah mencuri cat dari sisi-sisi kapalku, tak meninggalkan apa
pun kecuali tulang belulang yang bertaburan.
Angin, badai dan terik matahari telah menghapus lukisan-lukisan dari layar,
memudarkan ia seperti pakaian berwarna kelabu dan usang.
Kukumpulkan barang-barang hasil dan kekayaan bumi ke dalam sebuah perahu
yang terapung di atas permukaan air. Aku kembali ke orang-orangku, tapi
mereka menolak diriku kerana mata mereka hanya melihat bahagian luar.
Pada saat itu kutinggalkan kapal fikiranku dan pergi ke kota kematian. Aku
duduk di antara kuburan-kuburan yang bercat kapur, merenungkan rahsia-
rahsianya.

TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.


Tenanglah, meskipun prahara yang mengamuk mencerca bisikan-bisikan
batinmu, dan gua-gua lembah takkan menggemakan bunyi suaramu.
Tenanglah, hatiku, hingga fajar tiba. Kerana dia yang menantikan dengan
sabar hingga fajar, pagi hari akan memeluknya dengan semangat.
NUN di sana! Fajar merekah, hatiku. Bicaralah, jika kau mampu bicara!
Itulah arak-arakan sang fajar, hatiku! Akankah hening malam melumpuhkan
kedalaman hatimu yang menyanyi menyambut fajar?
Lihatlah kawanan merpati dan burung murai melayang di atas lembah.
Akankah kengerian malam menghalangi engkau untuk menduduki sayap
bersama mereka?
Para pengembala memandu kawanan dombanya dari tempat ternak dan
kandang.
Akankah roh-roh malam menghalangimu untuk mengikuti mereka ke padang
rumput hijau?
Anak lelaki dan perempuan bergegas menuju kebun anggur. Kenapa kau tak
berganjak dan berjalan bersama mereka?
Bangkitlah, hatiku, bangkit dan berjalan bersama fajar, kerana malam telah
berlalu. Ketakutan malam lenyap bersama mimpi gelapnya.
Bangkitlah, hatiku, dan lantangkan suaramu dalam nyanyian, kerana hanya
anak-anak kegelapan yang gagal menyatu ke dalam nyanyian sang fajar.

Khalil Gibran

7 ALASAN MENCELA DIRI

Tujuh kali aku pernah mencela jiwaku,


pertama kali ketika aku melihatnya lemah,
padahal seharusnya ia bisa kuat.

Kedua kali ketika melihatnya berjalan terjongket-jongket


dihadapan orang yang lumpuh
Ketiga kali ketika berhadapan dengan pilihan yang sulit dan mudah
ia memilih yang mudah

Keempat kalinya, ketika ia melakukan kesalahan dan cuba menghibur diri


dengan mengatakan bahawa semua orang juga melakukan kesalahan

Kelima kali, ia menghindar kerana takut, lalu mengatakannya sebagai sabar

Keenam kali, ketika ia mengejek kepada seraut wajah buruk


padahal ia tahu, bahawa wajah itu adalah salah satu topeng yang sering ia
pakai

Dan ketujuh, ketika ia menyanyikan lagu pujian dan menganggap itu sebagai
suatu yang bermanfaat

Kahlil Gibran

SETITIS AIRMATA DAN SEULAS SENYUMAN

Takkan kutukar dukacita hatiku demi kebahagiaan khalayak. Dan, takkan


kutumpahkan air mata kesedihan yang mengalir dari tiap bahagian diriku
berubah menjadi gelak tawa. Kuingin diriku tetaplah setitis air mata dan
seulas senyuman.

Setitis airmata yang menyucikan hatiku dan memberiku pemahaman rahsia


kehidupan dan hal ehwal yang tersembunyi. Seulas senyuman menarikku dekat
kepada putera kesayanganku dan menjelma sebuah lambang pemujaan kepada
tuhan.

Setitis airmata meyatukanku dengan mereka yang patah hati; Seulas senyum
menjadi sebuah tanda kebahagiaanku dalam kewujudan.

Aku merasa lebih baik jika aku mati dalam hasrat dan kerinduan berbanding
jika aku hidup menjemukan dan putus asa.

Aku bersedia kelaparan demi cinta dan keindahan yang ada di dasar jiwaku
setelah kusaksikan mereka yang dimanjakan amat menyusahkan orang. Telah
kudengar keluhan mereka dalam hasrat kerinduan dan itu lebih manis
daripada melodi yang termanis.

Ketika malam tiba bunga menguncupkan kelopak dan tidur, memeluk


kerinduannya. tatkala pagi menghampiri, ia membuka bibirnya demi
menyambut ciuman matahari.

Kehidupan sekuntum bunga sama dengan kerinduan dan pengabulan. Setitis


airmata dan seulas senyuman.

Air laut menjadi wap dan naik menjelma menjadi segumpal mega. Awan
terapung di atas pergunungan dan lembah ngarai hingga berjumpa angin sepoi
bahasa, jatuh bercucuran ke padang-padang lalu bergabung bersama aliran
sungai dan kembali ke laut, rumahnya.

Kehidupan awan-gemawan itu adalah sesuatu perpisahan dan pertemuan. Bagai


setitis airmata seulas senyuman. Dan, kemudian jiwa jadi terpisahkan dari
jiwa yang lebih besar, bergerak di dunia zat melintas bagai segumpal mega
diatas pergunungan dukacita dan dataran kebahagiaan.

Menuju samudera cinta dan keindahan - kepada Tuhan.

Khalil Gibran

NASIHAT JIWAKU

Jiwaku berkata padaku dan menasihatiku agar mencintai semua orang yang
membenciku,
Dan berteman dengan mereka yang memfitnahku.

Jiwaku menasihatiku dan mengungkapkan kepadaku bahawa cinta tidak hanya


menghargai orang yang mencintai, tetapi juga orang yang dicintai.

Sejak saat itu bagiku cinta ibarat jaring lelabah di antara dua bunga, dekat
satu sama lain; Tapi kini dia menjadi suatu lingkaran cahaya di sekeliling
matahari yang tiada berawal pun tiada berakhir, Melingkari semua yang ada,
dan bertambah secara kekal.

Jiwaku menasihatiku dan mengajarku agar melihat kecantikan yang ada di


sebalik bentuk dan warna.

Jiwaku memintaku untuk menatap semua yang buruk dengan tabah sampai
nampaklah keelokannya.

Sesungguhnya sebelum jiwaku meminta dan menasihatiku,


Aku melihat keindahan seperti titik api yang tergulung asap;
tapi sekarang asap itu telah tersebar dan menghilang, dan aku hanya melihat
api yang membakar.

Jiwaku menasihatiku dan memintaku untuk mendengar suara yang keluar


bukan dari lidah maupun dari tenggorokan.
Sebelumnya aku hanya mendengar teriakan dan jeritan di telingaku yang
bodoh dan sia-sia.

Tapi sekarang aku belajar mendengar keheningan,


Yang bergema dan melantunkan lagu dari zaman ke zaman.
Menyanyikan nada langit, dan menyingkap tabir rahsia keabadiaan..

Jiwaku berkata padaku dan menasihatiku agar memuaskan kehausanku dengan


meminum anggur yang tak dituangkan ke dalam cangkir-cangkir,
Yang belum terangkat oleh tangan, dan tak tersentuh oleh bibir
Hingga hari itu kehausanku seperti nyala redup yang terkubur dalam abu.
Tertiup angin dingin dari musim-musim bunga;
Tapi sekarang kerinduan menjadi cangkirku,
Cinta menjadi anggurku, dan kesendirian adalah kebahagianku.

Jiwaku menasihatiku dan memintaku mencari yang tak dapat dilihat;


Dan jiwaku menyingkapkan kepadaku bahwa apa yang kita sentuh adalah apa
yang kita impikan.

Jiwaku mengatakan padaku dan mengundangku untuk menghirup harum


tumbuhan yang tak memiliki akar, tangkai maupun bunga, dan yang tak pernah
dapat dilihat mata.
Sebelum jiwaku menasihati, aku mencari bau harum dalam kebun-kebun,
Dalam botol minyak wangi tumbuhan-tumbuhan dan bejana dupa; Tapi
sekarang aku menyedari hanya pada dupa yang tak dibakar,
Aku mencium udara lebih harum dari semua kebun-kebun di dunia ini dan
semua angin di angkasa raya.

Jiwaku menasihatiku dan memintaku agar tidak merasa mulia


kerana pujian
Dan agar tidak disusahkan oleh ketakutan kerana cacian.
Sampai hari ini aku berasa ragu akan nilai pekerjaanku;
Tapi sekarang aku belajar;
Bahawa pohon berbunga di musim bunga, dan berbuah di musim panas
Dan menggugurkan daun-daunnya di musim gugur untuk menjadi benar-benar
telanjang di musim dingin.
Tanpa merasa mulia dan tanpa ketakutan atau tanpa rasa malu.

Jiwaku menasihatiku dan meyakinkanku


Bahawa aku tak lebih tinggi berbanding cebol ataupun tak lebih rendah
berbanding raksasa.
Sebelumnya aku melihat manusia ada dua,
Seorang yang lemah yang aku caci atau kukasihani,
Dan seorang yang kuat yang kuikuti, maupun yang kulawan
dalam pemberontakan.
Tapi sekarang aku tahu bahwa aku bahkan dibentuk oleh tanah
yang sama darimana semua manusia diciptakan.
Bahwa unsur-unsurku adalah unsur-unsur mereka, dan pengembaraan mereka
adalah juga milikku.

Bila mereka melanggar aku juga pelanggar,


Dan bila mereka berbuat baik, maka aku juga bersama perbuatan baik
mereka.
Bila mereka bangkit, aku juga bangkit bersama mereka;
Bila mereka tinggal di belakang, aku juga menemani mereka.

Jiwaku menasihatiku dan memerintahku untuk melihat bahawa cahaya yang


kubawa bukanlah cahayaku,
Bahawa laguku tidak diciptakan dalam diriku;
Kerana meski aku berjalan dengan cahaya, aku bukanlah cahaya,
Dan meskipun aku bermain kecapi yang diikat kemas oleh dawai-dawaiku,
Aku bukanlah pemain kecapi.

Jiwaku menasihatiku dan mengingatkanku untuk mengukur waktu dengan


perkataan ini: "Di sana ada hari semalam dan di sana ada hari esok." Pada saat
itu aku menganggap masa lampau sebuah zaman yang lenyap dan akan
dilupakan, Dan masa depan kuanggap suatu masa yang tak bisa kucapai;

Tapi kini aku terdidik perkara ini : Bahawa dalam keseluruhan waktu masa kini
yang singkat, serta semua yang ada dalam waktu, Harus diraih sampai dapat.

Jiwaku menasihatiku, saudaraku, dan menerangiku.


Dan seringkali jiwamu menasihati dan menerangimu.
Kerana engkau seperti diriku, dan tak ada beza di antara kita.
Kusimpan apa yang kukatakan dalam diriku ini dalam kata-kata yang kudengar
dalam heningku,
Dan engkau jagalah apa yang ada di dalam dirimu, dan engkau adalah penjaga
yang sama baiknya seperti yang kukatakan ini.

Khalil Gibran

IBU

Ibu adalah segalanya, dialah penghibur di dalam kesedihan.


Pemberi harapan di dalam penderitaan, dan pemberi kekuatan di dalam
kelemahan.

Dialah sumber cinta, belas kasihan, simpati dan pengampunan.


Manusia yang kehilangan ibunya bererti kehilangan jiwa sejati yang memberi
berkat dan menjaganya tanpa henti.

Segala sesuatu di alam ini melukiskan tentang susuk ibu.


Matahari adalah ibu dari planet bumi yang memberikan makanannya dengan
pancaran panasnya.
Matahari tak pernah meninggalkan alam semesta pada malam hari sampai
matahari meminta bumi untuk tidur sejenak di dalam nyanyian lautan dan
siulan burung-burung dan anak-anak sungai.

Dan Bumi ini adalah ibu dari pepohonan dan bunga-bunga menjadi ibu yang
baik bagi buah-buahan dan biji-bijian.
Ibu sebagai pembentuk dasar dari seluruh kewujudan dan adalah roh kekal,
penuh dengan keindahan dan cinta.

Khalil Gibran

LAGU OMBAK

Pantai yang perkasa adalah kekasihku,


Dan aku adalah kekasihnya,
Akhirnya kami dipertautkan oleh cinta,
Namun kemudian Bulan menjarakkan aku darinya.
Kupergi padanya dengan cepat
Lalu berpisah dengan berat hati.
Membisikkan selamat tinggal berulang kali.

Aku segera bergerak diam-diam


Dari balik kebiruan cakerawala
Untuk mengayunkan sinar keperakan buihku
Ke pangkuan keemasan pasirnya
Dan kami berpadu dalam adunan terindah.

Aku lepaskan kehausannya


Dan nafasku memenuhi segenap relung hatinya
Dia melembutkankan suaraku dan mereda gelora di dada.
Kala fajar tiba, kuucapkan prinsip cinta
di telinganya, dan dia memelukku penuh damba

Di terik siang kunyanyikan dia lagu harapan


Diiringi kucupan-kucupan kasih sayang
Gerakku pantas diwarnai kebimbangan
Sedangkan dia tetap sabar dan tenang.
Dadanya yang bidang meneduhkan kegelisahan

Kala air pasang kami saling memeluk


Kala surut aku berlutut menjamah kakinya
Memanjatkan doa

Seribu sayang, aku selalu berjaga sendiri


Menyusut kekuatanku.
Tetapi aku pemuja cinta,
Dan kebenaran cinta itu sendiri perkasa,
Mungkin kelelahan akan menimpaku,
Namun tiada aku bakal binasa.

Khalil Gibran

DARI PETIKAN SANG NABI (THE PROPHET)

PERENGGAN 12

Seorang ahli hukum menyusul bertanya;


Dan bagaimana tentang undang-undang kita?

Dijawabnya;
Kalian senang meletakkan perundangan,
namun lebih senang lagi melakukan perlanggaran,

Bagaikan kanak-kanak yang asyik bermain di tepi pantai,


yang penuh kesungguhan menyusun pasir jadi menara,
kemudian menghancurkannya sendiri,
sambil gelak tertawa ria.

Tapi,
selama kau sedang sibuk menyusun menara pasirmu,
sang laut menghantarkan lebih banyak lagi pasir ke tepi,

Dan pada ketika kau menghancurkan menara buatanmu,


sang laut pun turut tertawa bersamamu.

Sesungguhnya,
samudera sentiasa ikut tertawa,
bersama mereka yang tanpa dosa.

Tapi bagaimanakah mereka,


yang menganggap kehidupan bukan sebagai samudera,
dan melihat undang-undang buatannya sendiri,
bukan ibarat menara pasir?

Merekalah yang memandang kehidupan,


laksana sebungkal batu karang,
dan undang-undang menjadi pahatnya,
untuk memberinya bentuk ukiran,
menurut selera manusia,
sesuai hasrat kemahuan.

Bagaimana dia,
si tempang yang membenci para penari?

Bagaimana pula kerbau yang menyukai bebannya,


dam mencemuh kijang,
menamakannya haiwan liar tiada guna?

Lalu betapa ular tua,


yang tak dapat lagi menukar kulitnya,
dan kerana itu menyebut ular lain sebagai telanjang,
tak kenal susila?

Ada lagi dia,


yang pagi- pagi mendatangi pesta,
suatu keramaian perkahwinan,
kemudian setelah kenyang perutnya,
dengan badan keletihan,
meninggalkan keramaian dengan umpatan,
menyatakan semua pesta sebagai suatu kesalahan,
dan semua terlibat melakukan kesalahan belaka.

Apalah yang kukatakan tentang mereka,


kecuali bahawa memang mereka berdiri di bawah sinar mentari,
namun berpaling wajah, dan punggung mereka membelakangi?

Mereka hanya melihat bayangannya sendiri,


dan bayangan itulah menjadi undang-undangnya.

Apakah erti sang suria bagi mereka,


selain sebuah pelempar bayangan?

Dan apakah kepatuhan hukum baginya,


selain terbongkok dan melata di atas tanah,
mencari dan menyelusuri bayangan sendiri?

Tapi kau,
yang berjalan menghadapkan wajah ke arah mentari,
bayangan apa di atas tanah,
yang dapat menahanmu?

Kau yang mengembara di atas angin,


kincir mana yang mampu memerintahkan arah perjalananmu,
hukum mana yang mengikatmu,
bila kau patahkan pikulanmu,
tanpa memukulnya pada pintu penjara orang lain?

Hukum apa yang kau takuti,


jikalau kau menari-nari,
tanpa kakimu tersadung belenggu orang lain?

Dan siapakah dia yang menuntutmu,


bila kau mencampakkan pakaianmu,
tanpa melemparkannya di jalan orang lain?

Rakyat Orphalese,
kalian mungkin mampu memukul gendang,
dan kalian dapat melonggarkan tali kecapi,
namun katakan,
siapakah yang dapat menghalangi,
burung pipit untuk menyanyi.
PERENGGAN 13

Seorang ahli pidato maju ke depan;


bertanyakan masalah kebebasan.

Dia mendapat jawapan;


Telah kusaksikan,
di gerbang kota maupun dekat tungku perapian,
dikau bertekuk lutut memuja Sang Kebebasan.

Laksana hamba budak merendahkan diri di depan sang tuan,


si zalim yang disanjung puja,
walaupun dia hendak menikam.

Ya, sampaipun di relung-relung candi,


dan keteduhan pusat kota,
kulihat yang paling bebas pun diantara kalian,
mengendong kebebasannya laksana pikulan,
mengenakannya seperti besi pembelenggu tangan.

Hatiku menitikkan darah dalam dada,


kerana kutahu,
bahawa kau hanya dapat bebas sepenuhnya,
pabila kau dapat menyedari;
bahawa keinginan untuk kebebasan pun,
merupakan sebentuk belenggu jiwamu.

Hanya jikalau kau pada akhirnya,


berhenti bicara tentang Kebebasan,
sebagai suatu tujuan dan sebuah hasil perbincangan,
maka kau akan bebas,
bila hari-hari tiada kosong dari beban fikiran,
dan malam-malammu tiada sepi dari kekurangan dan kesedihan.

Bahkan justeru Kebebasanmu berada dalam rangkuman beban hidup ini,


tetapi yang berhasil engkau atasi,
dan jaya kau tegak menjulang tinggi,
sempurna, terlepas segala tali-temali.
Dan bagaimana kau kan bangkit,
mengatasi hari dan malammu,
pabila kau tak mematahkan belenggu ikatan,
yang di pagi pengalamanmu,
telah engkau kaitkan pada ketinggian tengah harimu?

Sesungguhnyalah,
apa yang kau namai Kebebasan,
tak lain dari mata terkuat diantara mata rantai belenggumu,
walau kilaunya gemerlap cemerlang di sinar suria,
serta menyilaukan pandang matamu.

Dan sedarkah engkau,


apa yang akan kau lepaskan itu?
tiada lain adalah cebisan dari dirimu,
jikalau kau hendak mencapai kebebasan yang kau rindu.

Pabila yang akan kau buang itu,


suatu hukum yang tak adil,
akuilah bahwa dia telah kau tulis dengan tanganmu sendiri,
serta kau pahatkan diatas permukaan keningmu.

Mustahil kau akan menghapusnya,


dengan hanya membakar kitab-kitab hukummu,
tak mungkin pula dengan cara membasuh kening para hakimmu,
walau air seluruh lautan kaucurahkan untuk itu.

Pabila seorang zalim yang hendak kau tumbangkan,


usahakanlah dahulu,
agar kursi tahtanya yang kau tegakkan di hatimu,
kau cabut akarnya sebelum itu.

Sebab bagaimanakah seorang zalim,


dapat memerintah orang bebas dan punya harga diri,
jika bukan engkau sendiri membiarkannya,
menodai kebebasan yang kaujunjung tinggi,
mencorengkan arang pada harkat martabat kemanusiaanmu peribadi?
Pabila suatu beban kesusahan yang hendak kautanggalkan,
maka ingatlah bahwa beban itu telah pernah menjadi pilihanmu,
bukannya telah dipaksakan diatas pundakmu.

Bilamana ketakutan yang ingin kau hilangkan,


maka perasaan ngeri itu bersarang di hatimu,
bukannya berada pada dia yang kau takuti.

Sebenarnyalah, segalanya itu bergetar dalam diri,


dalam rangkulan setengah terkatup, yang abadi;
antara;
yang kauinginkan dan yang kau takuti,
yang memuakkan dan yang kausanjung puji,
yang kaukejar-kejar dan yang hendak kau tinggal pergi.

Kesemuanya itu hadir dalam dirimu selalu,


bagaikan Sinar dan Bayangan,
dalam pasangan-pasangan,
yang lestari berpelukan.

Dan pabila sang bayangan menjadi kabur, melenyap hilang,


maka sinar yang tinggal, wujudlah bayangan baru,
bagi sinar yang lain;
demikianlah selalu.

Seperti itulah pekerti Kebebasan,


pabila ia kehilangan pengikatnya yang lama,
maka ia sendirilah menjadi pengikat baru,
bagi Kebebasan yang lebih agung,
sentiasa.

Khalil Gibran
PROSA (I)

Bila engkau sedang bersukaria


renunglah dalam-dalam
ke lubuk hati
disanalah nanti engkau dapati
bahwa hanya yang pernah membuat derita
berkemampuan memberimu bahagia

Jika engkau berdukacita


renunanglah lagi, ke lubuk hati
disanalah pula bakal kau temui
bahawa sesungguhnya
engkau sedang menangisi
sesuatu yang pernah
engkau syukuri

Khalil Gibran

PROSA (II)

Bila kau memberi dari hartamu, tidak banyaklah pemberian itu. Bila kau
memberi dari dirimu, itulah pemberian yang penuh erti. Sebab, apalah harta
milikan itu, pabila ia bukan simpanan yang kaujaga buat persediaan di hari
kemudian ?

Dan hari kemudian; terkandung janji apakah bagi dia, si anjing kikir, Yang
menimbun tulang-tulang di bawah pasir, Dalam perjalanan ke kota suci,
mengikuti musafir ?

Dan bukankah ketakutan akan kemiskinan, Merupakan kemiskinan itu sendiri ?


Ketakutan akan dahaga, sedangkan sumur masih penuh, Bukankah dahaga yang
tak mungkin dipuaskan ?

Ada orang yang memberi sedikit dari miliknya yang banyak Dan pemberian itu
dilakukan demi sanjungan, Hasrat tersembunyi membuat tak murni dermanya.

Ada pula yang memiliki sedikit dan memberikan segalanya. Merekalah yang
percaya akan kehidupan dan anugerah kehidupan, Dan peti mereka tiada
pernah mengalami kekosongan.

Ada yang memberi dengan kegembiraan di hati, Kegembiraanlah yang menjadi


anugerah pengganti. Ada yang memberi dengan kepedihan di hati, maka
Kepedihan menjadi air pensucian diri.

Dan ada yang memberi tanpa merasa sakit di dalamnya, Tanpa mencari
kegirangan dari pemberiannya, Tanpa mengingat-ingat kebaikannya; Mereka
memberi, sebagaimana di lembah sana, Bunga-bunga menyebarkan
wewangiannya ke udara.

Melalui mereka inilah, Tuhan berbicara, Dan dari sinar lembut tatapan mata
mereka Dia tersenyum pada dunia.
...

Sebab sesungguhnya, kehidupanlah yang memberi pada kehidupan .Sedangkan


kau, yang mengira dirimu seorang pemberi, Sebetulnya hanyalah seorang
saksi.

Dan kau, kaum penerima - ya, engkau semuanya tergolong penerima ! Jangan
memberati diri dengan rasa terhutang budi, Sebab kau akan membebani
dirimu dan dia yang memberi.

Sayugia kau bangkit bersama si pemberi, Naik sayap pemberiannya,


Melambung ke taraf yang lebih tinggi.

Terlampau menyedari hutangmu, adalah meragukan kedermawanan dia, Sang


putera Bumi yang murah hati, Dan Tuhan, sebagai sumber segala hartanya.

Khalil Gibran
PROSA (III)

Dan aku melihat hal-hal yang menyedihkan,


Para Malaikat Kebahagiaan tengah berperang dgn Syaitan-syaitan
Penderitaan
Dan Manusia berdiri di antara mereka.
Yang satu menariknya dengan Harapan dan yang lain dengan Keputus-asaan.

Aku melihat Cinta dan Benci bermain-main di hati manusia, Cinta


menyembunyikan kesalahan Manusia dan memabukkanya dengan anggur
kepatuhan, pujian dan rayuan: sementara Kebencian menghasutnya dan
menutup telinganya dan membutakan matanya dari Kebenaran...

Aku melihat para pemimpin mulutnya berbuih seperti serigala licik dan juri
penyelamat palsu merencanakan dan bersekongkol untuk Melawan
Kebahagiaan Manusia..

Dan aku melihat Manusia memanggil Kebijakan untuk membebaskannya, tetapi


Kebijakan tidak mendengar jeritannya, kerana Manusia pernah
Mengabaikannya ketika ia berbicara kepadanya di jalananan kota...

(Dari Suara Sang Guru)

Khalil Gibran

PROSA (IV)

Kemudian datang seorang pertapa, Yang sekali setahun turun ke kota,


Memohon jawapan tentang kesenangan. Jawabnya demikian :
Kesenangan adalah lagu kebebasan, Namun bukannya sang kebebasan sendiri,
Dialah bunga-bunga hasrat keinginan, Namun bukan buah yang asli. Sebuah
jurang ternganga yang berseru ke puncak ketinggian, Itulah dia ; namun dia
bukan kedalaman maupun ketinggian itu sendiri. Dialah si terkurung yang
terbang terlepas, Namun bukannya ruang yang terbentang luas ; Ya,
sesungguhnyalah kesenangan merupakan lagu kebebasan. Dan aku amat suka
bila dapat mendengarkan, Kalian menyanyikannya dengan sepenuh hati, Namun
jangan hanyutkan diri dalam nyanyian

Beberapa diantaramu mencari kesenangan, Seolah kesenangan itu adalah


segala-galanya, Dan mereka ini dipersoalkan, dihakimi dan dipersalahkan. Aku
tak akan mempersalahkannya, ataupun memarahinya,
Melainkan akan mendorong mereka untuk mencari dan menyelami. Sebab
mereka akan menemukan kesenangan, Namun kesenangan tiada berdiri
sendiri. Saudaranya ada beberapa, ialah tujuh orang puteri, Yang terjelek pun
diantaranya lebih unggul kecantikannya, Daripada dia yang bernama
kesenangan. Engkau pernah mendengar tentang seorang manusia, Yang
menggali tanah hendak mencari akar, Namun menemukan harta pusaka ?

Beberapa di antara orang tua mengenangkan saat kesenangan, Dengan penuh


rasa penyesalan, Seolah kesenangan itu dosa yang diperbuatnya, Tatkala
sedang terbius di luar kesedarannya.
Tapi penyesalan ini hanya mengaburkan akal budi, Tiada berkemampuan
menyucikan hati nurani, Sayugia mereka mengingat kesenangan yang lalu,
Dengan rasa syukur dan terima kasih dalam kalbu, Sebagaimana mereka
mengenang rahmat tuaian di musim panas ; Namun pabila rasa penyesalan
lebih menenteramkan hatinya, Maka biarlah mereka menikmati
ketenteramannya.

Dan ada di antaramu yang bukan lagi remaja namun masih perlu mencari, Pun
belum terlampau tua namun memerlukan kenang-kenangan untuk digali,
Lalu menyingkirkan segala kesenangan yang ada di mayapada, Khuatir
melemahkan kekuatan jiwa, Ataupun bertentangan dan merugikannya. Tapi
dalam pencegahan diri inipun terletak kesenangan mereka, Dan dengan
demikian mereka pun menemui sebuah mustika,

Walau semua mereka dengan tangan gementar, hanya mencuba menggali akar.
Tetapi katakanlah padaku, siapakah yang dapat menenang jiwa ? Si burung
bul-bul yang menyanyikan lagu merdu, Terganggukah olehnya ketenangan
malam yang syahdu ? Atau ambillah dia, si kunang-kunang, Adakah
diganggunya keagungan bintang-bintang ? Dan nyala api, ataupun asap bara,
Adakah dia memberati pawana ? Dan dikau mengira, bahwa jiwa merupakan
danau yang tenang, Yang hanya dengan sentuhan sepucuk kayu, dapat
kauganggu ?

Betapa seringnya, dengan menyingkiri segala kesenangan, Kau hanya


menimbun keinginan tersembunyi, di relung kesedaran. Siapa tahu bahawa apa
yang nampaknya lenyap sekarang, dari
permukaan, hanya menanti saat kebangkitan dihari kemudian ?

Bahkan jasmani memahami kudratnya dan keperluan hak alamiahnya, Serta


tiada sudi mengalami tipuan dari akal manusia. Jasmani adalah kecapi jiwa,
Tergantung kepada manusia, Untuk menggetarkannya dengan petikan lagu
merdu, Ataupun suara yang tiada menentu.

Lalu sekarang bertanyalah dalam hatimu; bagaimana cara membezakan baik-


buruk dalam kesenangan? Maka pergilah dikau ke ladang, kebun dan tamanmu,
Dan kau akan mengerti, bahawa bagi lebah, menghisap madu adalah
kesenangan, namun bagi bunga pun memberikan madu adalah kesenangan.

Untuk lebah, bunga merupakan pancaran kehidupan, Untuk bunga, lebah


merupakan duta kasih kehidupan. Dan bagi keduanya, sang lebah maupun sang
bunga, Memberi dan menerima kesenangan adalah keperluan dan keasyikan.

Rakyat Orphalese, bersenanglah bagaikan bunga dan lebah.

Khalil Gibran

KATA SELEMBAR KERTAS SEPUTIH SALJU

Kata selembar kertas seputih salju,"Aku tercipta secara murni, kerana itu
aku akan tetap murni selamanya. Lebih baik aku dibakar dan kembali menjadi
abu putih daripada menderita kerana tersentuh kegelapan atau didekati oleh
sesuatu yang kotor."

Tinta botol mendengar kata kertas itu. Ia tertawa dalam hatinya yang hitam,
tapi tak berani mendekatinya. Pensil-pensil beraneka warna pun
mendengarnya, dan mereka pun tak pernah mendekatinya. Dan selembar
kertas yang seputih salju itu tetap suci dan murni selamanya -suci dan murni-
dan kosong.

Khalil Gibran
TANYA SANG ANAK

Konon pada suatu desa terpencil


Terdapat sebuah keluarga
Terdiri dari sang ayah dan ibu
Serta seorang anak gadis muda dan naif!

Pada suatu hari sang anak bertanya pada sang ibu!


Ibu! Mengapa aku dilahirkan wanita?
Sang ibu menjawab,"Kerana ibu lebih kuat dari ayah!"
Sang anak terdiam dan berkata,"Kenapa jadi begitu?"

Sang anak pun bertanya kepada sang ayah!


Ayah! Kenapa ibu lebih kuat dari ayah?
Ayah pun menjawab,"Kerana ibumu seorang wanita!!!
Sang anak kembali terdiam.

Dan sang anak pun kembali bertanya!


Ayah! Apakah aku lebih kuat dari ayah?
Dan sang ayah pun kembali menjawab," Iya, kau adalah yang terkuat!"
Sang anak kembali terdiam dan sesekali mengerut dahinya.

Dan dia pun kembali melontarkan pertanyaan yang lain.


Ayah! Apakah aku lebih kuat dari ibu?
Ayah kembali menjawab,"Iya kaulah yang terhebat dan terkuat!"
"Kenapa ayah, kenapa aku yang terkuat?" Sang anak pun kembali melontarkan
pertanyaan.

Sang ayah pun menjawab dengan perlahan dan penuh kelembutan. "Kerana
engkau adalah buah dari cintanya!
Cinta yang dapat membuat semua manusia tertunduk dan terdiam. Cinta yang
dapat membuat semua manusia buta, tuli serta bisu!

Dan kau adalah segalanya buat kami.


Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan kami.
Tawamu adalah tawa kami.
Tangismu adalah air mata kami.
Dan cintamu adalah cinta kami.
Dan sang anak pun kembali bertanya!
Apa itu Cinta, Ayah?
Apa itu cinta, Ibu?
Sang ayah dan ibu pun tersenyum!
Dan mereka pun menjawab,"Kau, kau adalah cinta kami sayang.."

Khalil Gibran

GURU

Barangsiapa mahu menjadi guru,


biarkan dia memulai mengajar dirinya sendiri
sebelum mengajar orang lain,
dan biarkan dia mengajar dengan teladan sebelum mengajar dengan kata-
kata.
Sebab mereka yang mengajar dirinya sendiri dengan memperbetulkan
perbuatan-perbuatannya sendiri
lebih berhak atas penghormatan dan kemuliaan
daripada mereka yang hanya mengajar orang lain
dan memperbetulkan perbuatan-perbuatan orang lain.

Khalil Gibran

INDAHNYA KEMATIAN

Bahagian 1 ~ Panggilan

Biarkan aku terbaring dalam lelapku, kerana jiwa ini telah dirasuki cinta, dan
biarkan daku istirahat, kerana batin ini memiliki segala kekayaan malam dan
siang.
Nyalakan lilin-lilin dan bakarlah dupa nan mewangi di sekeliling ranjang ini, dan
taburi tubuh ini dengan wangian melati serta mawar.
Minyakilah rambut ini dengan puspa dupa dan olesi kaki-kaki ini dengan
wangian, dan bacalah isyarat kematian yang telah tertulis jelas di dahi ini.
Biarku istirahat di ranjang ini, kerana kedua bola mata ini telah teramat
lelahnya;
Biar sajak-sajak bersalut perak bergetaran dan menyejukkan jiwaku;
Terbangkan dawai-dawai harpa dan singkapkan tabir lara hatiku.

Nyanyikanlah masa-masa lalu seperti engkau memandang fajar harapan dalam


mataku, kerana makna ghaibnya begitu lembut bagai ranjang kapas tempat
hatiku berbaring.
Hapuslah air matamu, saudaraku, dan tegakkanlah kepalamu seperti bunga-
bunga menyemai jari-jemarinya menyambut mahkota fajar pagi.
Lihatlah Kematian berdiri bagai kolom-kolom cahaya antara ranjangku dengan
jarak infiniti;
Tahanlah nafasmu dan dengarkan kibaran kepak sayap-sayapnya.
Dekatilah aku, dan ucapkanlah selamat tinggal buatku. Ciumlah mataku dengan
seulas senyummu.
Biarkan anak-anak merentang tangan-tangan mungilnya buatku dengan
kelembutan jemari merah jambu mereka;
Biarkanlah Masa meletakkan tangan lembutnya di dahiku dan memberkatiku;
Biarkanlah perawan-perawan mendekati dan melihat bayangan Tuhan dalam
mataku, dan mendengar Gema Iradat-Nya berlarian dengan nafasku....

Khalil Gibran

PROSA (V)

Aku akan melakukan segala apa yang telah engkau ucapkan tadi
Dan aku akan menjadikan jiwaku sebagai sebuah kelambu yang
menyelubungi jiwamu.
Hatiku akan menjadi tempat tinggal keanggunanmu
serta dadaku akan menjadi kubur bagi penderitaanmu.
Aku akan selalu mencintaimu...sebagaimana padang rumput
yang luas mencintai musim bunga.

Aku akan hidup di dalam dirimu laksana bunga-bunga yang hidup oleh panas
matahari.
Aku akan menyanyikan namamu seperti lembah menyanyikan gema loceng di
desa
Aku akan mendengar bahasa jiwamu seperti pantai mendengarkan kisah-kisah
gelombang.
Aku akan mengingatimu seperti perantau asing yang mengenang tanahair
tercintanya,
Sebagaimana orang lapar mengingati pesta jamuan makan,
Seperti raja yang turun takhta mengingati masa-masa kegemilangannya,
Dan seperti seorang tahanan mengingati masa-masa kesenangan dan
kebebasan.
Aku akan mengingatimu sebagaimana seorang petani yang mengingati bekas-
bekas gandum di lantai tempat simpanannya,
juga seperti gembala mengingati padang rumput yang luas dan
sungai yang segar airnya."

(Dari Sayap Sayap Patah)

Khalil Gibran

MUSIM BUNGA

Bunga akan nampak indah


Ketika musim bunga bermula
Mencium pucuk-pucuk kecilnya
Namun kasih akan sentiasa
Nampak indah dari bunga
Kerana ia terus tumbuh tanpa bantuan musim

Khalil Gibran

DUA PUISI

Berabad-abad yang lalu, di suatu jalan menuju Athens, dua orang penyair
bertemu. Mereka mengagumi satu sama lain. Salah seorang penyair bertanya,
"Apa yang kau ciptakan akhir-akhir ini, dan bagaimana dengan lirikmu?"

Penyair yang seorang lagi menjawab dengan bangga, "Aku tidak melakukan hal
lain selain menyelesaikan syairku yang paling indah, kemungkinan merupakan
syair yang paling hebat yang pernah ditulis di Yunani. Isinya pujian tentang
Zeus yang Mulia."
Lalu dia mengambil selembar kulit dari sebalik jubahnya dan berkata, "Ke
mari, lihatlah, syair ini kubawa, dan aku senang bila dapat membacakannya
untukmu. Ayuh, mari kita duduk berteduh di bawah pohon cypress putih itu."

Lalu penyair itu membacakan syairnya. Syair itu panjang sekali.

Setelah selesai, penyair yang satu berkata, "Itu syair yang indah sekali. Syair
itu akan dikenang berabad-abad dan akan membuat engkau masyhur."

Penyair pertama berkata dengan tenang, "Dan apa yang telah kau ciptakan
akhir-akhir ini?"

Penyair kedua menjawab, "Aku hanya menulis sedikit. Hanya lapan baris untuk
mengenang seorang anak yang bermain di kebun." Lalu ia membacakan
syairnya.

Penyair pertama berkata, "Boleh tahan, boleh tahan."

Kemudian mereka berpisah.

Sekarang, setelah dua ribu tahun berlalu, syair lapan baris itu dibaca di
setiap lidah, diulang-ulang, dihargai dan selalu dikenang. Dan walaupun syair
yang satu lagi memang benar bertahan berabad-abad lamanya dalam
perpustakaan, di rak-rak buku, dan walaupun syair itu dikenang, namun tidak
ada yang tertarik untuk menyukainya atau membacanya.

Khalil Gibran

KEKASIHKU LAYLA

Kemarilah, kekasihku.
Kemarilah Layla, dan jangan tinggalkan aku.
Kehidupan lebih lemah daripada kematian, tetapi kematian lebih lemah
daripada cinta...

Engkau telah membebaskanku, Layla, dari siksaan gelak tawa dan pahitnya
anggur itu.
Izinkan aku mencium tanganmu, tangan yang telah memutuskan rantai-
rantaiku.

Ciumlah bibirku, ciumlah bibir yang telah mencuba untuk membohongi dan
yang telah menyelimuti rahsia-rahsia hatiku.

Tutuplah mataku yang meredup ini dengan jari-jemarimu yang berlumuran


darah.

Ketika jiwaku melayang ke angkasa, taruhlah pisau itu di tangan kananku dan
katakan pada mereka bahawa aku telah bunuh diri kerana putus asa dan
cemburu.

Aku hanya mencintaimu, Layla, dan bukan yang lain, aku berfikir bahwa tadi
lebih baik bagiku untuk mengorbankan hatiku, kebahagiaanku, kehidupanku
daripada melarikan diri bersamamu pada malam pernikahanmu.
Ciumlah aku, kekasih jiwaku... sebelum orang-orang melihat tubuhku...
Ciumlah aku... ciumlah, Layla...

Kahlil Gibran

KISAHKU

Dengarkan kisahku... .

Dengarkan, tetapi jangan menaruh belas kasihan padaku: kerana belas kasihan
menyebabkan kelemahan, padahal aku masih tegar dalam penderitaanku..

Jika kita mencintai, cinta kita bukan dari diri kita, juga bukan untuk diri kita.
Jika kita bergembira, kegembiraan kita bukan berada dalam diri kita, tapi
dalam Hidup itu sendiri. Jika kita menderita, kesakitan kita tidak terletak
pada luka kita, tapi dalam hati nurani alam.

Jangan kau anggap bahawa cinta itu datang kerana pergaulan yang lama atau
rayuan yang terus menerus. Cinta adalah tunas pesona jiwa, dan jika tunas ini
tak tercipta dalam sesaat, ia takkan tercipta bertahun-tahun atau bahkan
dari generasi ke generasi.
Wanita yang menghiasi tingkah lakunya dengan keindahan jiwa dan raga
adalah sebuah kebenaran, yang terbuka namun rahsia; ia hanya dapat
difahami melalui cinta, hanya dapat disentuh dengan kebaikan; dan ketika kita
mencuba untuk menggambarkannya ia menghilang bagai segumpal wap.

Kahlil Gibran

CIUMAN PERTAMA

Itulah tegukan pertama dari cawan yang telah diisi oleh para dewa dari air
pancuran cinta.

Itulah batas antara kebimbangan yang menghiburkan dan menyedihkan hati


dengan takdir yang mengisinya dengan kebahagiaan.
Itulah baris pembuka dari suatu puisi kehidupan , bab pertama dari suatu
novel tentang manusia.
Itulah tali yang menghubungkan pengasingan masa lalu dengan kejayaan masa
depan.

Ciuman pertama menyatukan keheningan perasaan-perasaan dengan nyanyian-


nyanyiannya.
Itulah satu kata yang diucapkan oleh sepasang bibir yang menyatukan hati
sebagai singgahsana, cinta sebagai raja, kesetiaan sebagai mahkota.

Itulah sentuhan lembut yang mengungkapkan bagaimana jari-jemari angin


mencumbui mulut bunga mawar, mempesonakan desah nafas kenikmatan
panjang dan rintihan manis nan lirih.
Itulah permulaan getaran-getaran yang memisahkan kekasih dari dunia ruang
dan matra dan membawa mereka kepada ilham dan impian-impian.

Ia memadukan taman bunga berbentuk bintang-bintang dengan bunga buah


delima, menyatukan dua aroma untuk melahirkan jiwa ketiga.

Jika pandangan pertama adalah seperti benih yang ditaburkan para dewa di
ladang hati manusia, maka ciuman pertama mengungkapkan bunga pertama
yang mekar pada ranting pohon cabang pertama kehidupan.

Kahlil Gibran
SUARA PENYAIR

Berkah amal soleh tumbuh subur dalam ladang hatiku.


Aku akan menuai gandum dan membahagikannya pada mereka yang lapar.
Jiwaku menyuburkan ladang anggur yang kuperas buahnya dan kuberikan
sarinya pada mereka yang kehausan.
Syurga telah mengisi pelitaku dengan minyaknya dan akan kuletakkan di
jendela.
Agar musafir berkelana di gelap malam menemui jalannya.
Kulakukan semua itu kerana mereka adalah diriku.
Andaikan nasib membelenggu tanganku dan aku tak bisa lagi menuruti hati
nuraniku, maka yang tertinggal dalam hasratku hanyalah : Mati!
Aku seorang penyair, apabila aku tak bisa memberi, akupun tak mau menerima
apa-apa.

Khalil Gibran

BAGI SAHABATKU YANG TERTINDAS

Wahai engkau yang dilahirkan di atas ranjang kesengsaraan, diberi makan


pada dada penurunan nilai, yang bermain sebagai seorang anak di rumah tirani,
engkau yang memakan roti basimu dengan keluhan dan meminum air keruhmu
bercampur dengan airmata yang getir.

Wahai askar yang diperintah oleh hukum yang tidak adil oleh lelaki yang
meninggalkan isterinya, anak-anaknya yang masih kecil, sahabat-sahabatnya,
dan memasuki gelanggang kematian demi kepentingan cita-cita, yang mereka
sebut 'keperluan'.

Wahai penyair yang hidup sebagai orang asing di kampung halamannya, tak
dikenali di antara mereka yang mengenalinya, yang hanya berhasrat untuk
hidup di atas sampah masyarakat dan dari tinggalan atas permintaan dunia
yang hanya tinta dan kertas.

Wahai tawanan yang dilemparkan ke dalam kegelapan kerana kejahatan kecil


yang dibuat seumpama kejahatan besar oleh mereka yang membalas
kejahatan dengan kejahatan, dibuang dengan kebijaksanaan yang ingin
mempertahankan hak melalui cara-cara yang keliru.
Dan engkau, Wahai wanita yang malang, yang kepadanya Tuhan
menganugerahkan kecantikan. Masa muda yang tidak setia memandangnya dan
mengekorimu, memperdayakan engkau, menanggung kemiskinanmu dengan
emas. Ketika kau menyerah padanya, dia meninggalkanmu. Kau serupa mangsa
yang gementar dalam cakar-cakar penurunan nilai dan keadaan yang
menyedihkan.

Dan kalian, teman-temanku yang rendah hati, para martir bagi hukum buatan
manusia. Kau bersedih, dan kesedihanmu adalah akibat dari kebiadaban yang
hebat, dari ketidakadilan sang hakim, dari licik si kaya, dan dari keegoisan
hamba demi hawa nafsunya

Jangan putus asa, kerana di sebalik ketidakadilan dunia ini, di balik persoalan,
di balik awan gemawan, di balik bumi, di balik semua hal ada suatu kekuatan
yang tak lain adalah seluruh kadilan, segenap kelembutan, semua kesopanan,
segenap cinta kasih.

Engkau laksana bunga yang tumbuh dalam bayangan. Segera angin yang lembut
akan bertiup dan membawa bijianmu memasuki cahaya matahari tempat
mereka yang akan menjalani suatu kehidupan indah.

Engkau laksana pepohonan telanjang yang rendah kerana berat dan bersama
salju musim dingin. Lalu musim bunga akan tiba menyelimutimu dengan
dedaunan hijau dan berair banyak.

Kebenaran akan mengoyak tabir airmata yang menyembunyikan senyumanmu.


Saudaraku, kuucapkan selamat datang padamu dan kuanggap hina para
penindasmu.

Khalil Gibran
PERKAHWINAN

SEKARANG, CINTA mulai menciptakan puisi dalam prosa kehidupan, untuk


mencipta fikiran-fikiran masa lalu menjadi nyanyian pujian agar bersenandung
siang hari dan menyanyi pada malam hari.

Sekarang, hasrat menyingkapkan tabir keraguan dari kebingungan pada


tahun-tahun yang telah berlalu.
Dari rangkaian kesenangan, ia merajut kebahagiaan yang hanya bisa dilampaui
dengan kebahagiaan jiwa ketika ia memeluk tuannya.

Itulah dua peribadi kukuh yang berdiri berdampingan untuk


mempertentangkan cinta mereka dengan kedengkian dari takdir yang lemah.
Itulah perpaduan anggur kuning dengan anggur warna lembayung untuk
menghasilkan paduan keemasan, warna cakerawala saat fajar merekah.

Itulah pertentangan dua roh untuk pertentangan dan kesatuan dua jiwa
dengan kesatuan. Ia adalah curahan hujan jernih dari langit murni ke dalam
kesucian alam, membangkitkan kekuatan-kekuatan ladang yang penuh berkat.

Apabila pandangan pertama dari wajah sang kekasih adalah seperti benih
yang ditaburkan oleh cinta di ladang hati manusia dan ciuman pertama dari
dua bibir adalah seperti bunga pertama cabang kehidupan, maka perkahwinan
adalah buah pertama dari bunga pertama benih itu.

(Dari Suara Sang Guru)

Khalil Gibran

PANDANGAN PERTAMA

Itulah saat yang memisahkan aroma kehidupan dari kesedarannya.


Itulah percikan api pertama yang menyalakan wilayah-wilayah jiwa.
Itulah nada magis pertama yang dipetik dari dawai-dawai perak hati manusia.
Itulah saat sekilas yang menyampaikan pada telinga jiwa tentang risalah hari-
hari yang telah berlalu dan mengungkapkan karya kesedaran yang dilakukan
malam, menjadikan mata jernih melihat kenikmatan di dunia dan menjadikan
misteri-misteri keabadian di dunia ini hadir.
Itulah benih yang ditaburan oleh Ishtar, dewi cinta, dari suatu tempat yang
tinggi.
Mata mereka menaburkan benih di dalam ladang hati, perasaan
memeliharanya, dan jiwa membawanya kepada buah-buahan.
Pandangan pertama kekasih adalah seperti roh yang bergerak di permukaan
air mengalir menuju syurga dan bumi. Pandangan pertama dari sahabat
kehidupan menggemakan kata-kata Tuhan, "Jadilah, maka terjadilah ia"

Khalil Gibran

PROSA (VI)

Bersyukurlah pada kehidupan yang telah menganugerahimu rasa haus.


Hatimu akan menjadi seperti tepian pantai dari sebuah samudera yang tak
memiliki gelombang.
Tak menyimpan gemuruh dan tak mengerami pasang surut bila engkau tak
memiliki rasa haus. Teguklah isi pialamu sendiri sambil memekik gembira.
Junjunglah pialamu di atas kepalamu lalu teguklah kuat demi mereka yang
meminumnya dalam kesendirian.
AKu pernah sekali mencari gerombolan manusia yang kemudian duduk rapi
mengelilingi meja jamuan sebuah pesta kemudian minum dengan sepuas-
puasnya.
Namun mereka tidak mengangkat anggurnya di atas kepalaku, tidak pula
meresapkannya ke dalam dadaku.
Mereka hanya membasahi kakiku....kebijakanku masih kerontang.
Hatiku terkunci dan terpatri.
Cuma sepasang kakikulah yang bergomol dengan mereka diantara selubung
kabut yang suram.

Aku tidak lagi mau mencari kumpulan manusia atau pula meneguk anggur
bersama mereka dalam meja jamuan pesta mereka.
Apa yang engkau rasakan jika kututurkan padamu semua itu jika waktu begitu
garang menghentaki jantungmu?
Akan sangat baik bagimu bila engkau meneguk piala rengsamu seorang diri dan
piala bahagianmu seorang diri pula...

Khalil Gibran
SYUKUR

Bangun di fajar subuh dengan hati seringan awan


Mensyukuri hari baru penuh sinar kecintaan
Istirahat di terik siang merenungkan puncak getaran cinta
Pulang di kala senja dengan syukur penuh di rongga dada
Kemudian terlena dengan doa bagi yang tercinta dalam sanubari
Dan sebuah nyanyian kesyukuran terpahat di bibir senyuman

Kahlil Gibran

Anda mungkin juga menyukai