Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Biokim Enzim Prakt

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 83

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Setiap hari tubuh kita terus menerus menerima asupan karbohidrat dari
makanan yang kita makan, khususnya nasi. Nasi yang merupakan polisakarida
merupakan makanan sumber karbohidrat, dalam hal ini adalah kelompok
amilum. Amilum, atau bahasa sehari-harinya adalah pati terdapat pada umbi,
daun, batang dan biji-bijian.Amilum terdiri atas dua macam polisakarida yang
kedua-duanya adalah polimer dari glukosa, yaitu amilosa (kira-kira 20-28%) dan
amilopektin. Pada saat kita mengunyah nasi (amilum), maka dalam mulut terjadi
suatu reaksi kimia, yaitu pemecahan ikatan-ikatan pada amilum dengan bantuan
enzim, dalam hal ini adalah enzim amilase yang terdapat dalam saliva (air liur).
Enzim adalah golongan protein yang paling banyak terdapat dalam sel hidup.
Sekarang, kira-kira lebih dari 2000 enzim telah teridentifikasi, yang masingmasing berfungsi sebagai katalisator reaksi kimia dalam sistem hidup. Enzim
Amilase adalah suatu komponen yang sangat penting saat proses pencernaan
makanan. Tanpa adanya enzim ini karbohidrat yang kita konsumsi tidak akan
bisa berubah menjadi gula yang nanti pada akhirnya diubah menjadi ATP yang
sangat penting dalam metabolisme makhluk hidup. Selain berperan dalam
proses pencernaan amilase juga memiliki banyak peranan penting lainnya baik
yang bisa dimanfaatkan dalam bidang industri, kesehatan maupun untuk
pembuatan makanan (Wirahadikusumah, 1989).

1.2
1.2.1

Maksud dan Tujuan Percobaan


Maksud Percobaan

Maksud dilakukannya percobaan ini adalah untuk mengetahui dan memahami


pengaruh pH dan temperatur terhadap keaktifan enzim amilase dalam peruraian
pati.
1.2.2

Tujuan Percobaan

Tujuan dari percobaan ini adalah sebagai berikut:


1) Menentukan pH optimum dari enzim amilase, di mana enzim amilase dapat
mengkatalisis amilum menjadi glukosa.
2) Menentukan temperatur optimum dari enzim amilase, di mana enzim
amilase dapat mengkatalisis amilum menjadi glukosa.

1.3

Prinsip Percobaan

1.3.1

Pengaruh pH terhadap Aktivitas Enzim Amilase

Menentukan aktivitas enzim amilase berdasarkan waktu penguraian pati menjadi


glukosa pada berbagai pH tertentu dengan penambahan iodida sebagai indikator
yang member warna biru dan akan berubah menjadi bening.

1..3.2

Pengaruh Temperatur terhadap Aktivitas Enzim Amilase

Menentukan temperatur dimana enzim amilase bekerja optimal berdasarkan


waktu yang dibutuhkan untuk penguraian amilum menjadi glukosa, yang
ditandai dengan perubahan warna biru menjadi bening.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa reaksi kimia dalam tubuh mahluk hidup terjadi sangat cepat. Hal ini
terjadi karena adanya suatu zat yang membantu proses tersebut. Bila zat ini
tidak ada ada maka proses proses tersebut akan terjadi lambat atau tidak
berlangsung sama sekali. Zat tersebut dikenal dengan nama fermen atau enzim
(Wirahadikusumah, 1989).
Menurut kuhne (1878), enzim berasal dari kata in + zyme yang berarti sesuatu
didalam ragi.Berdasarkan penelitian maka dapat disimpulkan bahwa enzim
adalah suatu protein yang berupa molekul molekul besar, yang berat
molekulnya adalah ribuan. Sebagai contoh adalah enzim katalase berat
molekulnya 248.000 sedang enzim urese beratnya adalah 438.000.Pada enzim
terdapat bagian protein yang tidak tahan panas yaitu disebut dengan apoenzim,
sedangkan bagian yang bukan protein adalah bagian yang aktif dan diberi nama
gugus prostetik, biasanya berupa logam seperti besi, tembaga , seng atau suatu
bahan senyawa organic yang mengandung logam.Apoenzim dan gugus prostetik
merupakan suatu kesatuanyang disebut holoenzim, tetapi ada juga bagian enzim
yang apoenzim dan gugus prospetiknya tidak menyatu. Contoh koenzim adalah
vitamin atau bagian vitamin (misalnya : vitamin B1, B2, B6, niasin dan biotin)
(Kartasapoetra, 1994).
Enzim adalah substansi yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dan berperan sebagai
katalisator pada reaksi kimia yang berlangsung dalam organisme. Katalisator
adalah substansi yang mempercepat reaksi tetapi pada hasil reaksi, substansi
tersebut tidak berubah. Enzim mempunyai ciri dimana kerjanya dipengaruhi oleh
lingkungan. Salah satu lingkungan yang berpengaruh terhadap kerja enzim
adalah pH. pH optimal enzim adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium
menjadi sangat asam atau sangat alkalis enzim mengalami inaktivasi (Gaman &
Sherrington, 1994).
Ada beberapa faktor untuk menentukan aktivitas enzim berdasarkan efek
katalisnya yaitu persamaan reaksi yang dikatalis, kebutuhan kofaktor, pengaruh
konsentrasi substrat dan kofaktor, pH optimal, daerah temperatur, dan
penentuan berkurangnya substrat atau bertambahnya hasil reaksi. Penentuan ini
biasa dilakukan di pH optimal dengan konsentrasi substrat dan kofaktor berlebih,

menjadikan laju reaksi yang terjadi merupakan tingkat ke 0 (zero order reaction)
terhadap substrat. Pengamatan reaksinya dengan berbagai cara kimia atau
spektrofotometri. Ada dua teori tentang mekanisme pengikatan substrat oleh
enzim, yaitu teori kunci dan anak kunci (lock and key) dan teori induced fit
(Wirahadikusumah, 1989).
Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase. Amilase
dapat diartikan sebagai segolongan enzim yang merombak pati, glikogen, dan
polisakarida yang lain. Tumbuhan mengandung dan amilase; hewan memiliki
hanya amilase, dijumpai dalam cairan pankreas dan juga (pada manusia dan
beberapa spesies lain) dalam ludah. Amilase memotong rantai polisakarida yang
panjang, menghasilkan campuran glukosa dan maltosa. Amilosa merupakan
polisakarida yang terdiri dari 100-1000 molekul glukosa yang saling berikatan
membentuk rantai lurus. Dalam air, amilosa bereaksi dengan iodine memberikan
warna biru yang khas . Pada manusia, amilase pada ludah dan pankreas
berguna dalam hidrolisis pati yang terkandung dalam makanan ke dalam bentuk
aligosakarida, di mana dalam perubahan tersebut dapat dihidrolisis oleh
disakarida atau trisakarida dalam jumlah kecil. Contohnya, amilase pada
mamalia memiliki pH optimum 6-7, bergantung pada ada atau tidaknya ion
halogen (Kartasapoetra, 1994).
Sumber enzim Amilase (alfa, beta dan glukoamilase) merupakan enzim yang
penting dalam bidang pangan dan bioteknologi. Amilase dapat diperoleh dari
berbagai sumber seperti tanaman, binatang dan mikroorganisme. saat ini
sejumlah enzim amilae telah diproduksi secara komersial. Penggunaan mikrobia
dianggap lebih prosepektif karena mudah tumbuh, cepat menghasilkan dan
kondisi lingkungan dapat dikendalikan ( Pujiyanti, 2007 ).
Produksi enzim amilase dapat menggunakan berbagai sumber karbon. Contohcontoh sumber karbon yang murah adalah sekam, molase, tepung jagung,
jagung, limbah tapioka dan sebagainya. Jika digunakan limbah sebagai substrat,
maka limbah tadi dapat diperkaya nutrisinya untuk mengoptimalkan produksi
enzim. Sumber karbon yang dapat digunakan sebagai suplemen antara laian:
pati, sukrosa, laktosa, maltosa, dekstyrosa, fruktosa, dan glukosa. Sumber
nitrogen sebagai suplemen antara lain: pepton, tripton, ekstrak daging, ekstrak
khamir, amonium sulfat, tepung kedelai, urea dan natrium nitrat (Kartasapoetra,
1994).
Sumber enzim kasar dapat diukur aktivitas enzimnya denngan cara campur
enzim dengan larutan soluble starch 1% dalam bufer sodium asetat 0,1 M (pH
6,0) pada suhu 50 C selama 5 menit. Ukur glukosa yang dihasilkan. Satu unit
aktivitas dijabarkan sebagai jumlah enzim yang memberikan 1 mg glukosa per
menit pada 50 C ( Pujiyanti, 2007 ).
BAB III
METODE PERCOBAAN
3.1 Bahan Percobaan

Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah larutan pati 1%, NaCl
0,1 M, Saliva ( enzim amilase ) segar ( 1:9 ), Buffer fosfat pH 8; 7,4; 6,8; 6,2; 5,4;
5,0, asam asetat 0,1 % , iodin 0,01 M, tissue roll,akuades,kertas label,es batu
dan sabun cair.

3.2 Alat Percobaan


Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah tabung reaksi, gelas piala
berisi air es, dan pipet skala, rak tabung reaksi, inkubator plat tetes ,hot plate ,
gegep kayu, labu semprot,pipet tetes dan sikat tabung.

3.3 Prosedur Percobaan


1.3.1 Pengaruh pH
Ke dalam 6 buah tabung reaksi diisi masing-masing 10 ml larutan buffer
berturut-turut pH 8; 7,4; 6,8; 6,2; 5,4; 5,0. Ke dalam larutan buffer dimasukkan
2,5 ml larutan pati 1%, 1 ml NaCl 0,1 M dan 1 ml saliva encer. Tabung
ditempatkan dalam penangas air dan ditentukan tabung mana yang lebih dahulu
mengalami perubahan warna setelah ditetesi iodium pada setiap tabung.
Diasamkan dengan asam asetat pada tabung dengan pH 8 dan pH 7,4 sebelum
ditambahkan. Dicatat waktu masing-masing perubahan yang terjadi pada
berbagai pH. Dibuatkan grafik pH vs kebalikan waktu. Ditentukan pH optimum
dari grafik ( yang aktivitasnya paling cepat ).

1.3.2 Pengaruh Temperatur terhadap Aktivitas Enzim Amilase


Ke dalam 4 tabung reaksi diisi masing-masing dengan 2,5 ml larutan pati
1%. Dicelupkan tabung pertama dalam air es, tabung kedua pada temperatur
kamar, tabung ketiga pada 36oC dan tabung keempat pada temperatur 100oC
( air mendidih ). Ditambahkan 1 tetes saliva encer pada masing-masing tabung.
Diambil contoh masing-masing pada interval 5 menit dan diuji pada plat tetes
yang sudah diisi dengan iodin 0,01 M. Ditentukan kecepatan penguraian masingmasing contoh dengan melihat perubahan warna yang terjadi.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh PH
PH sangat berpengaruh pada aktivitas enzim. Setiap enzim bertindak cekap
pada saat nilai pH tertentu yang disebut pH optimum. pH optimum bagi
kebanyakan enzim adalah pH 7. Suatu enzim mempunyai aktivitas paling besar
pada pH optimumnya. Dalam percobaan ini, aktivitas enzim amilase dilihat
berdasarkan tabung mana yang paling cepat terjadi perubahan warna dari biru
menjadi tidak berwarna yang menandakan terjadi proses enzimatik yaitu enzim
amilase menghidrolisis amilum menjadi satuan glukosa dengan memutuskan
ikatan glikosida.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pengaruh pH Terhadap Aktivitas Enzim Amilase
Waktu Warna
(menit pH
pH
)
8
7,4

pH
6,8

pH
6,2

pH
5,4

pH
5,0

++
+

++

++
+

10

++

++

++
+

15

++

++

++

20

++

++

++

Keterangan :
+++
++
+
-

= biru tua
= biru
= biru muda
= bening

Perubahan warna terjadi pada tabung dengan pH 8; pada menit 5 menuju ke


10 yang awalnya biru muda berubah menjadi bening. Pada pH 7,4 terjadi
perubahan warna dari biru muda menjadi bening pada menit ke 20 dan pada
pH 6,8 tidak terjadi perubahan warna tetap berwarna biru muda . Pada pH
6,2 , 5,4 , 5,0 tidak mengalami perubahan warna tetap berwarna biru .

Tabel 2. Nilai pH yang Menunjukkan Perubahan Warna menjadi Bening

pH

Waktu ( menit )

1 /T ( menit )

8,0

10

0,1

7,4

20

0,05

Larutan-larutan buffer dengan pH bervariasi, yaitu 8,0; 7,4; 7,0; 6,8; 6,2; 5,4; 5,0
ditambahkan larutan amilum yang bertindak sebagai subtrat. Kemudian
ditambahkan NaCl, tujuan penambahan tersebut adalah menetralkan
suasana/kondisi buffer tersebut. Setelah itu, ditambahkan larutan iodin yang
memberikan warna biru. Larutan yang memiliki pH 8,0 dan 7,4 diteteskan asam
asetat agar pH larutan tersebut menurun dan mempermudah reaksi amilum
dengan iodin. Kemudian ditambahkan 2 tetes saliva encer setelah diinkubasi
selama 5 menit. Tujuan penambahan iodin adalah untuk mempercepat hidrolisis
amilum menjadi glukosa, dengan melihat perubahan warna dari biru keunguan
menjadi bening.
Pada pH 5,4 dan 5,0 perubahan warna terjadi sangat lambat. Ini
membuktikan bahwa, aktivitas enzim pada pH tersebut sangat lambat yang
mengakibatkan enzim tidak mudah terhidrolisis menjadi glukosa sehingga
perubahan warnanya juga lambat. Suatu enzim mempunyai aktivitas paling
besar pada pH optimumnya, sedangkan pH rendah atau pH tinggi dapat
menyebabkan terjadinya proses denaturasi dan ini akan mengakibatkan
menurunnya aktivitas enzim.

4.3 Pengaruh Temperatur


Temperatur merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
keaktifan enzim sehingga akan mempengaruhi aktivitas dari enzim itu sendiri.
Pada suhu rendah reaksi kimia berlangsung lambat sedangkan pada suhu yang
lebih tinggi reaksi berlangsung lebih cepat. Di samping itu, karena enzim itu
adalah suatu protein, maka kenaikan suhu dapat menyebabkan terjadinya proses
denaturasi. Apabila terjadi proses denaturasi, maka bagian aktif enzim akan
terganggu dan dengan demikian konsentrasi efektif enzim menjadi berkurang
dan kecepatan reaksinya pun akan menurun.

Tabel 3. Hasil Pengamatan Pengaruh Temperatur terhadap Aktivitas Enzim


Amilase

Warna
Waktu
( menit)

Tabung I
100 c

Tabung II
kamar

Tabung
III

Tabung IV
36 c

air
0

Biru muda

Ungu

Biru Tua

Biru Tua
Pekat

10

Biru Muda
Pekat

Ungu
Muda

Biru

Biru Muda

15

Biru

Ungu
Butek

Biru Tua

Biru Muda

25

Biru Butek

Bening

Biru
Muda

Biru Muda

30

Bening

Bening

Bening

Biru
Butek

keterangan :
+++

= biru tua

++

= biru

= biru muda

= bening

Tabel 4. Temperatur dan Waktu Perubahan Biru Keunguan Menjadi Bening


Temperatur ( C )

Waktu ( menit )

1 /T ( menit )

36 C

10

0,1

kamar

15

0,06

Tabung reaksi sebanyak 4 buah disiapkan lalu diisi dengan 2,5 mL larutan
amilum 1%. Larutan amilum berfungsi sebagai substrat dari enzim amilase.
Tabung pertama ditempatkan dalam air es, tabung kedua pada temperatur
kamar, tabung ketiga pada suhu 36oC dan tabung keempat ditempatkan pada
suhu 100oC, selama 5 menit. Masing-masing tabung ditambahkan 1 tetes saliva
encer. Perlakuan yang berbeda ini dilakukan untuk mengetahui pada suhu
berapa enzim dapat bekerja secara optimal.

Perwarna menjadi bening kembali pada suhu 0 C memerlukan waktu yang


sangat lama karena enzim bekerja lambat dalam reaksi ini. Aktivitas enzim pada
suhu 100 C, hampir sama pada suhu kamar dan es. Hal ini disebabkan karena
enzim tidak mampu bekerja pada suhu tersebut yang diakibatkan oleh
terdenaturasinya enzim pada suhu yang tinggi. Tingginya temperatur dapat
menyebabkan pecahnya ikatan hidrogen dan ikatan kovalen yang membuat
konformasi protein, dalam hal ini adalah enzim, sehingga sisi aktifnya menjadi
berjauhan letaknya. Hal tersebut menyebabkan konsentrasi efektif enzim
menjadi berkurang atau dengan kata lain aktivitas enzim menjadi lambat. Waktu
yang tercepat bagi enzim untuk menghidrolisis pati adalah pada suhu 36 C,
yaitu suhu optimumnya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa
1. pH optimum untuk enzim amilase adalah 8,0
2. Temperatur optimum untuk aktivitas enzim amilase adalah 36C.

5.2 Saran
5.2.1 Saran untuk Laboratorium
Untuk laboratorium agar bahan-bahan diperhatikan karena sebagian bahan
hampir habis pada saat melakukan praktikum.

5.2.2 Saran untuk Asisten


Asisten diharapkan dapat mendampingi praktikan dengan baik agar tidak
terjadi kesalahan dalam melakukan percobaan dan keramahannya dapat
dipertahankan.

DAFTAR PUSTAKA
Gaman, P.M & K.B. Sherrington, 1994, Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu
Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi ,Universitas Gadjah Mada press.
Yogyakarta.

Wirahadikusumah, M. 1989, Biokimia protein, enzim, dan asam nukleat ,


Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Kartasapoetra,A.G, 1994, Teknologi Penanganan Pasca Panen, Rineka Cipta.


Jakarta.
Pujiyanti, Sri, 2007, Menjelajah Dunia Biologi , Platinum. Jakarta.

Sulistianto,yog, 2011, Enzim (online ),(file://E:/materi/kuliah/semesterII/biokimia)


Diakses tanggal 19 April 2013 pukul 12.30 WITA ).

Setiasih,siswati, dkk, 2006, Jurnal kimia Indonesia. 1 ( 1 ), 22-27.

Pharmacy Science
Sabtu, 09 April 2011
PENGARUH SUHU, pH, KONSENTRASI ENZIM TERHADAP
KECEPATAN REAKSI ENZIMATIK

BAB I
PENDAHULUAN

I.1

Latar Belakang

Dalam proses metabolisme di dalam tubuh terdapat berbagai macam reaksi kimia. Rekasi
kimia ini meupakan bagian dari sistem yang bekerja spesifik dan menghasilkan senyawasenyawa kimia. Dalam aktivitas metabolisme kita mengenal adanya katalisator. Katalisator
dalam reaksi ini disebut enzim.
Enzim adalah sekelompok protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk berbagai reaksi
kimia dalam sistem biologik. Hampir tiap reaksi kimia dalam sistem biologis dikatalisis oleh
enzim. Sintesis enzim terjadi di dalam sel dan sebagian besar enzim dapat diekstraksi dari
sel tanpa merusak fungsinya.
Dengan peran enzim pada hampir tiap reaksi biologis, dapat dikatakan enzim memilki peran
sangat penting. Dalam mendukung perannya sebgai katalisator atau mempercepat reaksi
yang terjadi tentu saja ada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut
antara lain kosenntrasi enzim, konsentrasi ion hydrogen (pH), suhu dan konsentrasi
substrat. Oleh karena pentingnya enzim, maka praktikum tentang faktor yang
mempengaruhi aktivitas enzim perlu dilakukan

I.2

Tujuan Percobaan

1. Memperlihatkan kecepatan reaksi enzimatik sampai suhu tertentu sebanding dengan


kenaikan suhu. Reaksi enzimatik mempunyai suhu optimum.
2. Membuktikan bahwa keasaman ( pH ) mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatik
3. Membuktikan bahwa kecepatan reaksi enzimatik berbanding lurus dengan konsentrasi
enzim.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1

Enzim

Enzim merupakan suatu kelompok protein yang berperan penting di dalam aktivitas biologic.
Enzim berfungsi sebagai katalisator si dalam sel dan sifatnya sangat khas. Di dalam jumlah
sangat kecil, enzim dapat mengatur reaksi tertentu sehingga di dalam keadaan normal tidak
terjadi penyimpangan-penyimpangan hasil akhir reaksinya.di dalam sel terdapat banyak
jenis enzim yang berlainan kekhasannya, sehingga suatu enzim hanya mampu menjadi
katalisator untuk reaksi tertentu saja. Ada enzim yang dapat mengkatalisa suatu kelompok
substrat, ada pula yang hanya satu kelompok substrat saja, dan ada pula ynag bersifat
stereospesifik. Karena enzim mengkataliser reaksi-reaksi di dalam system biologis, maka
enzim juga disebut sebgai biokatalisator
Bagian protein dari enzim disebut apo-enzim, sedangkan enzim keseluruhannya disebut
haloenzim.
Bagian protein ( tak aktif )
( apoenzim )

non-protein

= haloenzim ( aktif )

( gugus protestik )

Kespesifikan enzim dibedakan dalam : kespesifikan optik dan gugus ( M.T Simanjuntak,
2003 ). Kespesifikan optik tampak pada enzim-enzim yang bekerja terhadap karbohidrat.
Umumnya, enzim-enzim ini hanya bekerja terhadap karbohidrat isomer D bukan L.
Sebaliknya, enzim-enzim yang bekerja terhadap asam amino dan protein hanya bekerja

pada asam amino L dan bukan pada isomer D. Kespesifikan gugus menunjukkan bahwa
enzim hanya dapat bekerjaterhadap gugus yang tertentu. Enzim alkohol dehidrogenase
tidak dapat mengkatalisis reaksi dehidrogenasi pada senyawa bukan alcohol ( Hafiz
Soewoto,2000).
Klasifikasi enzim berdasar Commission on Enzim Of The Internasional uinion of
Biochemistry ( CEIUB ) atau Internasional Enzim Commision ( IEC ) adalah sebgai berikut :
Enzim yang berperan dalam reaksi oksidasi-reduksi contoh oksigenase
Enzim yang berperan dalam reaksi pemindahan gugus tertentu contoh enzim transaminase
Enzim yang berperan dalam reaksi hidrolisis contoh peptidase
Enzim yang berperan dalam mengkatalisis reaksi addisi atau pemecahan ikatan rangkap
contoh liase
Enzim yang berperan dalam mengkatalisis reaksi isomerisasi contoh alanin rasemase
Enzim yang berperan dalam mengkataliser reaksipembentukan ikatan dengan bantuan
pemecahan ikatan dalam ATP( ligase ) ( M.T. Simanjuntak, 2003).
Seperti molekul protein lainnya sifat biologis enzim sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor
fisiko kimia. Enzim bekerja pada kondisi tertentu yang rerlatif ketat. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kerj enzim antara lain suhu, pH, oksidasi oleh udara atau senyawa lain,
penyinaran ultraviolet, sinar x, , , dan . Di samping itu, kecepatan reaksi enzimatik
dipengaruhi pula oleh konsentrasi enzim maupun substratnya ( Hafiz Soewoto,2000).
a.

Pengaruh suhu :

Suhu rendah mendekati titik beku tidak merusak enzim, namun enzim tidak dapat bekerja.
Dengan kenaikan suhu lingkungan, enzim mulai bekerja sebagian dan mencapai suhu
maksimum pada suhu tertentu. Bila suhu ditingkatkan terus, jumlah enzim yang aktif akan
berkurang karena mengalami denaturasi. Kecepatan reaksi enzimatik mencapai puncaknya
pada suhu optimum. Enzim dalam tubuh manusia mempunyai suhu optimum sekitar 37 C.
Sebagian besar enzim menjadi tidak aktif pada pemanasan sampai 60 C, karena terjadi
denaturasi( Hafiz Soewoto,2000) .
Suhu campuran reaksi juga berpengaruh terhadap laju reaksi enzimatik. Jika reaksi tersebut
dilangsungkan dalam berbagai suhu, kurva hubungan tersebut akan menunjukkan suhu
tertentu, yang menghasilkan laju reaksi yang maksimum. Dengan demikian, dalam hal ini
juga ada kondisi optimum yang disebut sebagai suhu optimum
Laju reaksi

t0

Suhu optimum
Pengaruh suhu terhadap laju reaksi enzimatik

Pada gambar tampak bahwa di luar suhu optimum, laju enzimatik selalu lebih rendah.
Makin besar perbedaan suhu reaksi dengan suhu optimum, makin rendah pula laju
reaksinya. Akan tetapi, keadaan yang menyebabkan rendahnya suhu di luar suhu optimum
berbeda antara suhu yang lebih rendah dengan suhu yang lebih tinggi. Pada suhu yang
lebih rendah (sisi A pada gambar), penyebab kurangnya laju reaksi enzimatik yaitu
kurangnya gerak termodinamik, yang menyebabkan kurangnya tumbukan antara molekul
enzim dengan substrat. Jika kontak antara kedua jenis molekul itu tidak terjadi, kompleks ES
tidak terbentuk. Padahal kompleks ini sangat penting untuk mengolah S menjadi P. Oleh
karena itu, makin rendah suhu, gerak termodinamik tersebut akan makin kurang.
Pada daerah suhu yang lebih tinggi (sisi B pada gambar), gerak termodinamik akan lebih
meningkat, sehingga tumbukan antara molekul akan lebih sering. Akan tetapi laju reaksi
tidak terus meningkat, melainkan malah menurun dengan cara yang lebih kurang sebanding
dengan selisih nilai dan suhu optimum. Dalam peningkatan suhu ini, selain gerak
termodinamik meningkat, molekul protein enzim juga mengalami denaturasi, sehingga
bangun tiga dimensinya berubah secara bertahap. Jika suhu jauh lebih tinggi dari suhu
optimum, maka makin besar deformasi struktur tiga dimensi tersebut dan makin sukar bagi
substrat untuk menempati secara tepat di bagian aktif molekul enzim. Akibatnya, kompleks
E-S akan sukar terbentuk, sehingga produk juga makin sedikit.

II

Interaksi enzim-substrat dalam suhu berbeda. I. enzim dalam suhu optimum. II. Enzim di atas suhu
optimum.

Pada sisi A dari kurva terdapat hubungan tertentu antara kenaikan suhu dengan laju reaksi.
Arrhenius secara empiris telah mengembangkan suatu rumusan umum antara laju suatu
reaksi kimia dengan suhu mutlak system reaksi tersebut. Yang dinyatakan sebagai berikut
( Mohamad Sadikin, 2002 ):

R adalah gas yang bernilai 1,987 kal per derajat per molar, T adalah suhu mutlak, E adalah suatu
tetapan yang dinamakan energi aktivitas dan k adalah tetapan laju reaksi.

b.

Pengaruh pH :

Enzim bekerja pada kisaran pH tertentu. Jika dilakukan pengukuran aktivitas enzim pada
beberapa macam pH yang berlainan, sebagian besar enzim di dalam tubuh akan
menunjukkan aktivitas maksimum antara pH 5,0 sampai 9,0. Kecepatan reaksi enzimatik
mencapai puncaknya pada pH optimum. Ada enzim yang mempunyai pH optimum yang
sangat rendah, seperti pepsin, yang mempunyai pH optimum 2. pada pH yang jauh di luar
pH optimum, enzim akan terdenaturasi. Selain itu pada keaadan ini baik enzim maupun
substrat dapat mengalami perubahan muatan listrik yang mengakibatkan enzim tidak dapat
berikatan dengan substrat( Hafiz Soewoto,2000) .
Sebagian besar enzim bekerja aktif dalam trayek pH yang sempit umumnya 5 - 9. Ini adalah
hasil merupakan hasilpengaruh dari pH atas kombinasi factor ( 1 ) ikatan dari substrat ke
enzim ( 2 ) aktivitas katalik dari enzim ( 3 ) ionisasi substrat dan ( 4 ) variasi struktur protein (
biasanya signifikan hanya pada pH yang cukup tinggi ) ( M.T. Simanjuntak, 2003).
Ada 2 alasan untuk menyelidiki pengaruh tingkat keasaman atau pH terhadap
aktivitas emzim, yaitu :
1. sebagai produk makhluk hidup secara teori selalu ada kemungkinan dari pengaruh ph ini
terhadap aktivitas biologis dari enzim ini.
2. sebagai suatu protein enzim tidak berbeda dengan protein lainnya.
Kurva hubungan antara pH dengan laju reaksi suatu enzim biasanya menghasilkan
gambaran seperti lonceng, seperti yang tampak pada gambar di bawah ini

Laju reaksi

pH optimum

Ph

Hubungan antara pH larutan enzim dengan laju reaksi enzim

Kadang-kadang, seperti pada enzim amylase liur, hubungan tersebut tidak menunjukkan
suatu titik puncak, melainkan suatu garis merata (plateau setelah kurva yang naik, untuk
kemudian turun lagi sesudah plateau )

Laju reaksi
plateau

Rentangan pH optimum

pH

Hubungan antara pH larutan enzim dengan laju reaksi. Tampak adanya plateau.

Fenomena seperti ini dapat ditafsirkan sebab adanya molekul amylase dalam bentuk
beberapa molekul protein yang berbeda (isozim). Tiap molekul isozem niscaya bekerja pada
pH yang sedikit berbeda.
Perlu diingat bahwa dalam mencari hubungan antara derajat keasaman dengan laju
reaksi maksimum ini, rentangan pH yang diselidiki biasanya berkisar dalam rentangan yang
tidak lebar dan bukan dalam rentangan antara pH 1 sampai 14. Karena tidak ada sistem

dapar masing-masing di sekitar nilai kapasitas yang maksimum dari tiap dapar (rentangan
pH di sekitar nilai pKa komponen asam tiap dapar), bukan tidak mengkin ada interaksi yang
merugikan antara enzim dan ion penyusun dapar dan bukan karena pH yang disebabkan
dapar itu sendiri.
Dalam gambar dapat dilihat adanya nilai pH tertentu, yang memungkinkan enzim
bekerja maksimum. pH tersebut dinamakan pH maksimum. Dalam lingkungan keasaman
seperti itu, protein enzim mengambil struktur 3 dimensi yang sangat tepat, sehingga ia dapat
mengikat dan mengolah substrat dengan kecepatan yang setinggi-tingginya. Di luar nilai pH
optimum tersebut, struktur 3 dimensi enzim mulai berubah, sehingga substrat tidak dapat
lagi duduk dengan tepat di bagian molekul enzim yang mengolah substrat. Akibatnaya,
proses katalisis berjalan tidak optimum. Oleh karena itu, struktur 3 dimensi berubah akibat
pH yang tidak optimum ( Mohamad Sadikin, 2002).

c.

Pengaruh konsentrasi enzim :

Peningkatan konsentrasi enzim akan meningkatkan kecepatan reaksi enzimatik. Dapat


dikatakan bahwa kecepatan reaksi enzimatik (v) berbanding lurus dengan konsentrasi enzim
[E]. Makin besar konsentrasi enzim, reaksi makin cepat( Hafiz Soewoto,2000) .
Bagaimana akibat dari perubahan konsentrasi enzim terhadap reaksi enzimztik itu
sendiri? Jawaban dari pertanyaan ini harus dicari dari pengamatan yang dilakukan atas satu
seri campuran yang terdiri atas substrat dalam konsentrasi yang tetap dan enzim dalam
konsentrasi yang berbeda-beda, dengan volume akhir larutan yang sama. Pengamatan
dapat dilakukan terhadap dua hal, yaitu :
1. terhadap hubungan antara selang waktu pengamatan dan konsentrasi produk yang
terbentuk pada tiap konsentrasi enzim.
2. terhadap hubungan antara konsentrasi enzim dan kecepatan reaksi enzimatik yang
dikatalisis oleh enzim tersebut.
Jika data hasil kedua pengamatan tersebut masing-masing disajikan dalam bentuk grafik,
akan diperoleh kurva seperti yang tampak dalam gambar 1 dan 2.
Jumlah produk

10

15

Menit

Gambar 1. hubungan jumlah produk terbentuk dengan lama reaksi enzimatik pada berbagai
konsentrasi enzim. Tiap garis kurva mewakili satu konsentrasi enzim.

Pada gambar 1 tampak bahwa makin besar konsentrasi enzim maka makin banyak pula
produk yang terbentuk dalam tiap waktu pengamatan. Dari pengamatan tersebut dapat
dikatakan bahwa konsentrasi enzim berbanding lurus dengan kecepatan enzim. Dengan
bertambahnya waktu, pada tiap konsentrasi enzim pertambahan jumlah produk akan
menunjukkan defleksi, tidak lagi berbanding lurus sejalan dengan berlalunya waktu tersebut.
Fenomena itu tentu mudah dimaklumi, karena setelah selang beberapa waktu, jumlah
substrat yang tersedia sudah mulai berkurang, sehingga dengan sendirinya produk olahan
enzim juga akan berkurang. Akan tetapi pada gambar 1 tampak pula dengan jelas, bahwa
defleksi tersebut makin jelas dengan makin tingginya konsentrasi enzim. Sebaliknya, pada
konsentrasi enzim yang rendah, dalam jangka waktu pengamatan yang sama hubungan
waktu dengan jumlah produk yang dihasilkan masih berbanding lurus.
Hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi enzim ternyata berbanding lurus. Jadi,
makin besar konsentrasi enzim, maka makin cepat laju reaksi.

Laju reaksi

Enzim

Gambar 2. pengaruh konsentrasi enzim terhadap laju reaksi enzimatik.

Kadang-kadang terjadi penyimpangan dari persamaan ini, sehingga diperoleh garis agak
melengkung. Biasanya, penyimpangan ini terjadi jika enzim yang dipelajari tidak dalam
keadaan murni, sehingga mungkin terdapat senyawa-senyawa penghambat reaksi dalam
jumlah yang sangat kecil. Sebaliknya, penyimpangan juga terdapat dalam sediaan enzim
dengan kemurniaan yang tinggi. Dalam keadaan ini, penyimpangan disebabkan oleh
senyawa pengaktif (aktivator), misalnya tidak adanya ion tertentu, meskipun ph yang
diperlukan sudah dipastikan dengan menggunakan larutan dapar dan tidak hanya sekedar
larutan dengan ph yang diperlukan tersebut ( Mohamad Sadikin, 2002 ).

d.

Pengaruh konsentrasi substrat :

Pada suatu reaksi enzimatik bila konsentrasi substrat diperbesar, sedangkan kondisi lainnya
tetap, maka kecepatan reaksi (v) akan meningkat sampai suatu batas kecepatan maksimum
(V). Pada titik maksimum ini enzim telah jenuh dengan substrat.
Dalam suatu reaksi enzimatik, enzim akan mengikat substrat membentuk kompleks enzimsubstrat [ES], kemudian kompleks ini akan terurai menjadi [E] dan produk [P]. Makin banyak
kompleks [ES] terbentuk, makin cepat reaksi berlangsung sampai batas kejenuhan [ES].
Pada konsentrasi substrat [S] melampaui batas kejenuhan kecepatan reaksi akan konstan.
Dalam keadaan itu seluruh enzim sudah berada dalam bentuk kompleks E-S. Penambahan
jumlah substrat tidak menambah jumlah kompleks E-S.

Fungsi enzim dalam kepentingan medis. Enzim terdistribusi di tempat-tempat


tertentu di dalam sel, kurang lebih sesuai dengan golongan dan fungsinya. Sebagai contoh,
enzim-enzim yang berperan dalam sintesis dan reparasi DNA terletak di dalam inti sel.
Enzim yang mengkatalisasi berbagai reaksi yang menghasilkan energi secara aerob terletak
di dalam mitokondria. Enzim yang berhubungan dengan berbagai biosintesis protein berada
bersama ribosom. Dengan demikian reaksi kimia dalam sel berjalan sangat terarah dan
efisien.
Ada penyakit yang disebabkan oleh abnormalitas sintesis enzim tertentu, misalnya
pada defisiensi enzim glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PDH/ G6PD). Sel darah merah
penderita defisiensi G6PDH ini sangta rentan terhadap pembebanan oksidatif, misalnya
pada pemakaian obat analgetik tertentu dan obat anti malaria. Pada pemakaian obat-obat
tersebut dapat terjadi hemolisis intravaskuler.
Analisis enzim dalam serum pada dasarnya dapat dipakai untuk diagnosis berbagai
penyakit. Dasar penggunaan enzim sebagai penunjang diagnosis ialah bahwa (1) pada
hakikatnya, sebagian besar enzim terdapat dan bekerja dalam sel dan (2) bahwa enzim
tertentu dibuat dalam jumlah besar oleh jaringan tertentu. Karena itu enzim intrasel
seharusnya tidak ditemukan dalam serum dan bila ditemukan, berarti sel yang membuatnya
mengalami disintegrasi. Bila enzim yang diukur dalam serum terutama dibuat oleh jaringan

atau organ tertentu, maka peningkatan aktivitas dalam serum menunjukkan adanya
kerusakan pada jaringan atau organ tersebut ( Hafiz Soewoto,2000). .

II.2

Pati

Pati ialah polisakarida simpanan yang terdapat dalam tumbuhan tingkat tingkat tinggi.
Homopolimer ini terdiri atas campuran amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan
polisakarida linear dari unti-unit D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan -(1,4)-glukosida.
Bobot molekulnya beragam dari beberapa ribu sampai 150.000. amilosa ini menghasilkan
kompleks biru-hitam yang tajam dengan iodium akibat masuknya I2 ke dalam gelung helical
ynag terbentuk ketika amilosa berada dalam air. Amilopektin memiliki rantai tulang
punggung ( backbone ) yang sama dengan amilosa, tetapi dengan banyak percabangan
lewat ikatan -(1,6)-glukosida. Bobot molekulnya lebih besar daripada amilosa. Reaksi
amilopektin dan iodium membentuk kompleks merah-ungu..
Pati ( mailosa maupun amilopektin ) jika terhidrolisis sempurna ( semua ikatan asetal diputus
) akan menghasilkan hanya D-glukosa. Namun jika dihidrolisis sebagian diperoleh produk
yang berbeda: amilosa menghasilkan maltose sebagai satu-satunya disakarfida sedangkan
amilopektin menghasilkan campuran disakarida maltose dan isomaltosa. Dari hidrolisis
parsial amilopektin, juga diperoleh campuran oligosakarida yang biasa dirujuk sebgai
dekstrin, digunakan untuk membuat lem, pasta, atau kanji tekstil. Dekstrin tidak membentuk
kompleks berwarna dengan iodium.
Hidrolisis sempurna biasanya dilakukan dengan asam encer pada suhu tinggi sedangkan
hidrolisis parsial umumnya terjadi secara enzimatik. Enzim -amilase dalam saluran
pencernaan ( air liur dan cairan pancreas ) akan menghidrolisis rantai lurus amilosa dan
amilopektin secara acak menjadi campuran glukosa dan maltose. Enzim -amilase pada
tumbuhan secara lebih spesifik menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit maltose. Akhirnya
tambahan enzim -(1,6)-glukosidase dapa menghidrolisis ikatan -(1,6)-glikosida pada titik
percabangan amilopektin dan menghasilkan hidrolisis sempurna ( Staf Pengajar Kimia
Organik IPB, 2005 ).

II.3

Enzim Amilase

Air liur mengandung enzim amylase liur, musin, air, dan garam natrium. Fungsi dari
musin yaitu lendir yang melekatkan butir-butir makanan dan melincirkan makanan.
Sedangkan fungsi air yaitu melembabkan dan melembutkan makanan. Adapun fungsi garam
natrium yaitu menyediakan enzim beralkali untuk kerja amylase liur. Enzim amylase sendiri
di jelaskan di bawah ini.
Enzim Amilase mempunyai kemampuan untuk memecah molekul-molekul pati dan glikogen
Molekul pati yang merupakan polimer dari alfa-D-glikopiranosa akan dipecah oleh enzim
pada ikatan alfa-1,4- dan alfa-l,6-glikosida.
Secara umum, amilase dibedakan menjadi tiga berdasarkan hasil pemecahan dan letak
ikatan yang dipecah, yaitu alfa-amilase, beta-amilase, dan glukoamilase. Enzim alfa-amilase
merupakan endoenzim yang memotong ikatan alfa-1,4 amilosa dan amilopektin dengan

cepat pada larutan pati kental yang telah mengalami gelatinisasi. Proses ini juga dikenal
dengan nama proses likuifikasi pati. Produk akhir yang dihasilkan dari aktivitasnya adalah
dekstrin beserta sejumlah kecil glukosa dan maltosa. Alfa-amilase akan menghidrolisis
ikatan alfa-1-4 glikosida pada polisakarida dengan hasil degradasi secara acak di bagian
tengah atau bagian dalam molekul. Enzim beta-amilase atau disebut juga alfa-l,4glukanmaltohidrolas E.C. 3.2.1.2. bekerja pada ikatan alfa-1,4-glikosida dengan menginversi
konfigurasi posisi atom C(l) atau C nomor 1 molekul glukosa dari alfa menjadi beta. Enzim
ini memutus ikatan amilosa maupun amilopektin dari luar molekul dan menghasilkan unitunit maltosa dari ujung nonpe-reduksi pada rantai polisakarida. Bila tiba pada ikatan alfa-1,6
glikosida aktivitas enzim ini akan berhenti. Glukoamilase dikenal dengan nama lain alfa-1,4glukan glukohidro-lase atau EC 3.2.1.3. Enzim ini menghidrolisis ikatan glukosida alfa-1,4,
tetapi hasilnya beta-glukosa yang mempunyai konfigurasi berlawanan dengan hasil hidrolisis
oleh enzim a-amilase. Selain itu, enzim ini dapat pula menghidrolisis ikatan glikosida alfa-1,6
dan alfa-1,3 tetapi dengan laju yang lebih lambat dibandingkan dengan hidrolisis ikatan
glikosida a-1,4( http://june-s.blogspot.com/2008/05/deteksi-dan-uji-kualitas-amilase.html ).

BAB III
MATERI DAN METODE

III.1

Alat dan Bahan

Alat :
a) Beaker glass
b) Tabung reaksi
c) Pipet volume
d) Pipet tetes
e) Erlenmeyer
f)

Spektrofotometri

g) Incubator

Bahan :
a) Air liur
b) Larutan pati
c) Larutan iodium
d) Larutan pH 7 dan 11
e) Aquadest

III.2

Prosedur Kerja

Sebelum melakukan percobaan diambil sampel air liur dari praktikan dan
ditempatkan pada wadah
Pengaruh Suhu
a)
air liur diencerkan 100 kali, dengan mengambil 1ml air liur dari sample dan dilarutkan
dalam 100ml air dalam labu ukur

b)
larutan pati kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diberi tanda
blangko dan uji kemudian pasangan tabung diinkubasi pada suhu 40, 280, 370, 600, 1000 C
selama 5 menit
c)
larutan pati dicampurkan ke dalam 0,2 ml air liur kemudian diinkubasi selama tepat 1
menit
d)
ditambahkan larutan iodium 1 ml dan aquadest 8 ml pada masing-masing tabung
(untuk suhu 600 C dan 1000 C dilakukan di luar penangas)
e)
dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
680 nm
f)
dihitung kecepatan reaksi enzimatik dan dibuat kurva yang menghubungkan
kecepatan reaksi dengan suhu

Pengaruh pH
a) Air liur diencerkan 100 kali dengan mengambil 1ml air liur dari sample dan dilarutkan
dalam 100ml air dalam labu ukur
b) 0,5 ml larutan pati ditambah dengan 0,5 ml larutan pH 7 (tabung A), o,5 ml larutan pati
ditambah dengan 0,5 ml larutan pH 11 (tabung B). Masing-asing tabung ditandai blanko dan
uji. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 370 C selama minimal 5 menit
c) campuran larutan pati dengan larutan pH yang telah diinkubasi ditambahkan dengan 0,2
ml air liur yang telah diencerkan, kemudian diinkubasi kembali selama tepat 1 menit.
d) ditambah larutan iodium 1 ml dan aquadest 8 ml pada masing-masing tabung
e) dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 680
nm
f) dihitung kecepatan reaksi enzimatik dan dibuat kurva yang menghubungkan kecepatan
reaksi dengan suhu

Pengaruh Konsentrasi Enzim


a) Air liur diencerkan dengan pengenceran 100 kali ; 200 kali ; 400 kali ; 600 kali
b) 1 ml larutan pati dimasukkan kedalam 8 tabung reaksi yang diberi tanda blangko dan uji
kemudian diinkubasi pada suhu 370 selama 5 menit
c) Air liur yang telah diencerkan diambil 0,2 ml (setiap konsentrasi) dimasukkan ke dalam
tabung reaksi
d) Larutan pati yang telah diinkubasi dicampurkan ke air liur kemudian diinkubasi tepat 1
menit
e)

Ditambahkan larutan iodium 1 ml dan aquadest 8 ml pada masing-masing tabung

f) dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 680


nm
g) dihitung kecepatan reaksi enzimatik dan dibuat kurva yang menghubungakan kecepatan
reaksi dengan suhu

BAB IV
HASIL PENGAMATAN

Adapun hasil percobaan yang kami lakukan adalah sebagai berikut :

Pengaruh Suhu
Tabel hasil pengamatan serapan berdasarkan pengukuran spectrofotometer pada = 680
nm
Suhu

AB

AU

A/meni
t

40C

0,175

0,142

0,033

280C

0,245

0,194

0,051

370C

0,211

0,150

0,061

600C

0,226

0,183

0,043

1000C

0,255

0,189

0,066

Dari data di atas didapatkan kurva

Pengaruh pH
Tabel hasil pengamatan serapan berdasarkan pengukuran spectrofotometer pada = 680
nm dan perubahn warna yang terjadi
pH

AB

AU

A/menit

Perubahan warna

0,093

0,1245

-0,0315

Coklat

11

0,003

0,011

-0,008

Biru

Dari data didapatkan kurva seperti di atas


Foto di bawah ini memperlihatkan perbedaan warna hasil reaksi anatara pH 7 dan 11

Gambar1. pH 7

Gambar2. pH 11

Kiri adalah Blanko,


Kanan adalah larutan uji

Pengaruh konsentrasi
Tabel hasil pengamatan serapan berdasarkan pengukuran spectrofotometer pada = 680
nm

Pengenceran

Konsentra
si

AB

AU

A/menit

100 X

0,01

0,207

0,173

0,024

200 X

0,005

0,200

0,120

0,08

400 X

0,0025

0,193

0,174

0,019

600 X

0,0017

0,185

0,189

-0,004

Dari data di atas didapatkan kurva

Keterangan:
?A/menit pada judul tiap kurva maksudnya adalah A/menit.
A/menit diindikasikan sebagai laju reaksi

BAB V
PEMBAHASAN

Pada praktikum ini kami melakukan percobaan secara invitro mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi aktivitas enzim amylase yang terdapat pada air liur dalam memecah
larutan pati. Faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim diantaranya adalah konsentrasi
enzim, konsentrasi ion hydrogen (pH), suhu dan konsentrasi substrat. Namun kami tidak
melakukan praktikum mengenai pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas enzim.
Dalam praktikum kali ini digunakan bahan pati yang diindikasikan sebagai substrat.
Sedangkan air liur digunakan untuk mengetahui reaksi enzimatik dari enzim amylase di
dalamnya. Larutan Iodium digunakan sebagai indicator perubahan warna dari larutan uji.
Pada ketiga percobaan perlakuan hampir sama pada pembuatan larutan uji dan
blanko. Perlakuan yang sama pada larutan uji dan blanko yaitu sample yang sama yaitu
larutan pati yang berfungsi sebagai substrat lalu di inkubasi selama 5 menit pada suhu 370C
( untuk percobaan pengaruh suhu dan konsentrasi enzim ) yang berfungsi untuk
menyamakan kondisi suhu enzim dengan suhu tubuh. Lalu mencampurkan pati dengan air
liur dimana pada keadaan ini akan terjadi hidrolisis parsial. Kemudian ditambahkan Larutan
iodium yang akan menandakan perbedaan warna dari masing-masing perlakuan pada

percobaan factor yang mempengaruhi kerja enzim, larutan iodium ini merupakan indicator
adanya karbohidrat atau tidak dalam larutan.

Pengaruh Suhu
Suhu mempengaruhi aktivitas katalisis enzim. Diluar suhu optimum aktivitas enzim
menjadi tidak maksimal. Bila suhu terlalu rendah, enzim menjadi tidak aktif, karena tidak
terjadi benturan antara molekul enzim dengan substrat. Sedangkan bila suhu terlalu tinggi,
dimana benturan yang terjadi semakin banyak maka struktur tiga dimensi dari enzim
tersebut akan terganggu sehingga enzim akan mengalami denaturasi, atau dapat dikatakan
enzim akan kehilangan sifat alamiahnya.
Pada percoban mengenai pengaruh suhu terhadap aktiivitas enzim, yang pertama
kami lakukan adalah pengenceran air liur hingga 100 kali. Kami juga menggunakan larutan
pati sebagai larutan uji untuk melihat aktivitas enzim amylase. Larutan pati dimasukkan ke
dalam tabung reaksi sebanyak 1 ml, yang kemudian diinkubasi selama 5 menit pada suhu 4,
28, 37, 60, 100 C yang masing-masing suhu dibuat blanko dan uji. Setelah diinkubasi
larutan pati dicampurkan ke dalam 0,2 ml air liur kemudian diinkubasi kembali selama tepat
1 menit dan ditambahkan larutan iodium 1 ml dalam 8 ml aquadest pada masing-masing
tabung, untuk suhu 600 C dan 1000 C dilakukan di luar penangas, perlakuan tersebut
bertujuan untuk menghindari terjadinya bumping selama proses pemanasan. Setelah itu
dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 680 nm,
dan dihitung kecepatan reaksi enzimatik serta dibuat kurva yang menghubungkan
kecepatan reaksi dengan suhu.
Berdasarkan data hasil pengamatan, perubahan absorbansi per menit yang diperoleh dari
absorbansi larutan blanko dan absorbansi larutan uji dapat dilihat dari kurva disamping.
Adapun kurva hasil percobaan memperlihatkan laju reaksi dari enzim semakin cepat seiring
bertambahnya suhu ini terlihat pada kenaikan suhu dari 4oC hingga 37oC namun ketika suhu
mengalami kenaikan hingga 60oC terjadi penurunan laju reaksi. Kedua keadaan ini
diakibatkan oleh benturan antara enzim dan substrat. Pada keadaan pertama yaitu 4oC
hingga 37oC, telihat peningkatan laju reaksi akibat adanya gerak termodinamik yang secara
perlahan membentuk produk dan pada titik optimum ( suhu optimum ) yaitu 37oC dapat
dikatakan membentuk secara sempurna karena enzim amylase yang merupakan enzim
yang terdapat tubuh memilki suhu optimum 37oC. pada keadaan kedua yaitu suhu
mengalami kenaikan hingga 60oC, pada keadaan ini perbenturan antara enzim dan substrat
terus berlangsung namun keadaan ini tidak menambah laju reaksi namun mengurangi laju
reaksi ini disebabkan karena enzim mengalami denaturasi sehingga bangun tiga dimensinya
berubah secara bertahap. Jika suhu jauh lebih tinggi dari suhu optimum, maka makin besar
deformasi struktur tiga dimensi tersebut dan makin sukar bagi substrat untuk menempati
secara tepat di bagian aktif molekul enzim. Akibatnya, kompleks E-S akan sukar terbentuk,
sehingga produk juga makin sedikit dan ini terlihat ( Mohamad Sadikin, 2002 ) dari kurva laju
reaksi yang semakin menurun. Dari kurva terlihat bahwa pada suhu 100 oC terjadi kenaikan
nilai absorbansi, sehingga didapatkan kurva yang tidak sesuai teori. Hal ini disebabkan
telalu lamanya tabung reaksi berada di luar penangas, sehingga diperkirakan suhu dalam
tabung berada di bawah 100 oC pada saat pencampuran sehingga tumbukan antara enzim

dan substrat mengalami penurun dan mendekati suhu optimum sehingga menghasilkan laju
reaksi yang menurun.

Pengaruh pH
Dari hasil percobaan kami tidak dapat membuktikan bahwa keasaman mengaruhi
kecepatan reaksi enzimatik. Kesalahan ini terletak pada penambahan air liur yang tidak
sesuai dengan prosedur kerja dimana air liur yang ditambahkan hanya 1ml bukan 2ml yang
merupakan tahapan pada prosedur kerja sehingga hasil absorbansi nilai A/menit menjadi
minus. Terlihat pada kurva di samping. Kurva di samping pun menjadi rancu bila
dibandingkan dengan kurva antara pH larutan enizm amylase dari air liur dengan laju reaksi
menurut Mohamad Sadikin (2002)
Laju reaksi
plateau

Rentangan pH optimum

pH

Hubungan antara pH larutan enzim dengan laju reaksi. Tampak adanya plateau.

Dari kurva hasil percobaan terlihat semakin tinggi pH semakin tinggi nilai absorbansi
yang menandakan semakin tingginya laju reaksi dari pH 7 ke pH 11. Pada umumnya enzim
bekerja maksimum pada pH 5-9, namun dari kurva kita lihat enzim amylase dari air liur
bekerja semakin tinggi dengan bertambahnya pH ( yaitu pH 11 yang berada di luar kisaran
pH untuk enzim bekerja maksimum). Kerja enzim sebagai katalis dipengaruhi oleh pH.
adanya nilai pH tertentu, yang memungkinkan enzim bekerja maksimum. pH tersebut
dinamakan pH maksimum. Dalam lingkungan keasaman seperti itu, protein enzim
mengambil struktur 3 dimensi yang sangat tepat, sehingga ia dapat mengikat dan mengolah
substrat dengan kecepatan yang setinggi-tingginya. Di luar nilai ph optimum tersebut,
struktur 3 dimensi enzim mulai berubah, sehingga substrat tidak dapat lagi duduk dengan
tepat di bagian molekul enzim yang mengolah substrat. Akibatnaya, proses katalisis berjalan
tidak optimum. Oleh karena itu, struktur 3 dimensi berubah akibat ph yang tidak optimum
( Mohamad Sadikin, 2002).
Dari pengamatan warna larutan uji, terlihat perbedaan warna yang signifikan antara
larutan pati yang dicampurkan dengan air liur pada pH 7 dan pada pH 11 setelah
ditambahkan larutan iodium. Pada larutan uji pH 7 warna yang dihasilkan yaitu coklat.
Keadaan ini menandakan bahwa enzim amylase pada air liur bekerja menghidrolisa larutan

pati menjadi produk yang terdiri dari glukosa dan maltosa. Pada pH 7 ini dapat dikatakan
sudah tidak adanya karbohidrat ( dari larutan pati yang terdiri dari amilosa dan amilopektin )
karena dihidrolisis oleh amylase terlihat dengan tidak didapatkan warna biru kehitaman
( menandakan adanya amilosa) ataupun merah ungu ( menandakan adanya amilopektin )
ketika ditambahkan larutan iodium. Kerja enzim amylase disini dikatatan sebagai hidrolisis
parsial dan memperlihatkan bahwa enzim amylase berada pada kondisi 3 dimensi yang
tepat sehingga dapat mengolah ( menghidrolisis ) karbohidrat dari larutan pati dengan
sangat cepat.
Sedangkan hasil pengamatan pada pH 11 menunjukan warna biru pada larutan uji
setelah ditambhkan iodium. Ini menunjukan adanya kompleks pati iodium dimana dapat
diindikasikan adanya amilosa yang merupakan bagian dari pati ( karbohidrat ). Sehingga
dapat dikatakan pada pH ini enzim amylase tidak bekerja optimum dalam menghirdrolis
larutan pati karena struktur 3 dimensi dari enzim amylase telah berubah sehingga tidak
dapat mengolah substrat dengan baik.

Pengaruh konsentrasi enzim


Konsentrasi enzim mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatik. Pengaruh konsentrasi enzim
ini yaitu pembentukan produk, dimana makin besar konsentrasi enzim makin banyak pula
produk yang dihasilkan sehingga dapat dinyatakan bahwa laju reaksi berbanding lurus
dengan konsentrasi enzim.
Pada percobaan pengaruh konsentrasi enzim ini, konsentrasi enzim amylase dari air liur
yang berbeda-beda didapatkan dari pengenceran larutan air liur. Larutan air liur diencerkan
menjadi 100x, 200x, 300x, 400x dan konsentrasi yang di dapat yaitu 0,01; 0,005;0,0025; dan
0,0017. Dari konsentrasi ini sebelum praktikum kita dapat memprediksikan jika laju reaksi
akan mencapai titik tertinggi pada konsentrasi 0,01 dan titik terendah pada konsentrasi
0,0017.
Dari hasil percobaan pengaruh konsentrasi enzim terlihat pada pergerakan laju reaksi dari
0,0017 hingga 0,0025 dimana laju reaksi semakin meningkat, namun kondisi ini ini terus
menurun pada konsentrasi 0,0025 hingga konsentrasi 0,01. Kondisi ini terlihat dari kurva di
samping kanan. Keadaan ini tidak dapat membuktikan teori yang menyebutkan Hubungan
antara laju reaksi dengan konsentrasi enzim ternyata berbanding lurus. Jadi, makin besar
konsentrasi enzim, maka makin cepat laju reaksi yang tertera pada kurva ( Mohamad
Sadikin, 2002).
Kurva yang berbeda pada hasil percobaan dikarenakan adanya kesalahan dalam prosedur
kerja. Kesalahan dalam prosedur kerja ini yaitu ketidaktelitian dalam pengenceran.
Pengenceran yang dimaksud adalah ketika mengencerkan air liur dari 100x menjadi 200x
dan seterusnya.

BAB VI
KESIMPULAN

Dari hasil percobaan maka dapat kami simpulkan yaitu enzim dalam aktivitasnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama yaitu suhu, aktivitas enzim semakin
meningkat seiring bertambahnya suhu terlihat dari laju reaksi namun aktivitasnya menurun
setelah melewati suhu optimum. Faktor kedua yaitu pH dimana terlihat perbedaan warna
akibat kerja enzim pada pH yang berbeda, dan aktivitas enzim dapat dikatakan bekerja
cepat dan tepat pada pH optimumnya. Faktor ketiga yaitu konsentrasi enzim, dimana
semakin tinggi konsentrasi enzim semakin banyak produk yang dihasilkan.
Selain itu dapat kami simpulkan bahwa enzim amylase bekerja menghidrolis secara parsial
larutan pati yang merupakan karbohidrat. Enzim amylase bekerja maksimum pada pH 7 dan
pada suhu 37 0C. sehingga dapat dikatakan pH 7 merupakan pH optimum dalam kerja
enzim amylase. Sedangakan suhu 37 0C merupakan suhu optimum bagi enzim amylase
dalam melaksanakan kerjanya.

DAFTAR PUSTAKA

Sadikin, Mohamad. 2002. Biokimia Enzim. Jakarta : Widya Medika.


Soewoto, Hafiz, dkk. 2000. Biokimia Eksperimen Laboratorium. Jakarta: Widya Medika.
Staf Pengajar Kimia Organik. 2005. Penuntun Praktikum Kimia Organik untuk Mahasiswa
Program D3 Analisis Kimia. Departemen Kimia FMIPA-IPB.

metabolisme dan oksidasi

PENDAHULUAN
Setiap makhluk hidup membutuhkan bebas untuk kelangsungan hidupnya.
Energi bebas tersebut diperoleh dari berbagai sumber. Makhluk tingkat tinggi
memperoleh energi dari peristiwa oksidasi senyawa karbon.
A.

Pengertian Metabolisme

Metabolisme adalah serangkaian reaksi kimia yang berlangsung dalam tubuh


makhluk hidup. Metabolisme dibedakan atas:
1.

Anabolisme(sintesis, membutuhkan energi)

Bertujuan untuk membentuk senyawa-senyawa dari prekursor sederhana.


Seperti:

Glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa.

Glukoneogenesis, pembentukan glukosa dari senyawa organik lain.

Jalur sintesis porfirin

Jalur HMG-CoA reduktase, mengawali pembentukan kolesterol dan


isoprenoid.

Metabolisme sekunder, jalur-jalur metabolisme yang tidak esensial bagi


pertumbuhan,
perkembangan, maupun reproduksi, namun biasanya berfungsi
secara ekologis, misalnya
pembentukan alkaloid dan terpenoid.

Fotosintesis
2.

Katabolisme (oksidasi, menghasilkan energi).

Bertujuan untuk menguraikan molekul kompleks menjadi senyawa sederhana.


Seperti:
Respirasi sel, jalur metabolisme yang menghasilkan energi (dalam bentuk
ATP dan NADPH)
dari molekul-molekul bahan bakar (karbohidrat, lemak, dan protein).
Jalur-jalur metabolisme
respirasi sel juga terlibat dalam pencernaan makanan. Contoh:

Katabolisme karbohidrat

Glikogenolisis, pengubahan glikogen menjadi glukosa.


Glikolisis, pengubahan glukosa menjadi piruvat dan ATP tanpa membutuhkan
oksigen
Jalur pentosa fosfat, pembentukan NADPH dari glukosa.

Katabolisme protein : hidrolisis protein menjadi asam amino.


Respirasi aerobik

Transpor elektron

Fosforilasi oksidatif

Respirasi anaerobik

Fermentasi asam laktat

Fermentasi

Fermentasi etanol

Secara kimia, oksidasi adalah pengurangan elektron, sedangkan reduksi adalah


penambahan elektron. Zat yang memberi elektron disebut oksidator (donor) dan
zat yang menerima elektron disebut reduktor. Beberapa vitamin dapat bersifat
sebagai reduktor, sehingga dapat digunakan sebagai antioksidan. Vitamin C
merupakan salah satu vitamin yang memiliki sifat mudah teroksidasi, sehingga
dapat melindungi dari pengaruh oksidasi udara

Semua proses metabolisme bersifat intermediet yaitu pengubahan suatu zat


menjadi yang lain biasanya menyangkut tahap-tahap berurutan yang zat-zat
kimianya adalah jelas dan dapat dikenali, atau intermediat adalah pereaksi dan
zat hasil. Sifat intermediet dari metabolisme memungkinkannya bagi beberapa
zat sederhana bekerja sebagai pelopor untuk semua kebutuhan kimia suatu sel.

A.

Oksidasi Biologis

Molekul oksigen dengan sendirinya tidak mampu mengoksidasi dan telah


terbukti dalam banyak percobaan. Sebagai contoh: hipoksantin dalam kontak
dengan ekstrak hati mudah teroksidasi menjadi xantin dalam kehadiran oksigen,
namun dengan tidak adanya enzim dari hati, molekul oksigen tidak memiliki efek
seperti itu. Bahkan, hipoksantin dapat direbus dengan asam nitrat tanpa ada
perubahan yang cukup. Hati mengandung enzim xanthine oxidase, yang
memungkinkan oksigen untuk melaksanakan oksidasi.Jadi jaringan mengandung
oksidase dapat segera ditampilkan dalam eksperimen yang sederhana pada

larutan guaiac dengan ekstrak air kentang. Guaiac mengandung turunan fenolik
yang ketika teroksidasi, perubahan warna biru (guaiac biru). Warna biru sangat
mudah diperoleh ketika ekstrak jaringan dan solusi guaiac dicampur dengan
kehadiran oksigen.
B.

Enzim dan Koenzim yang Berperan dalam Oksidasi-Reduksi

Semua enzim yang berhubungan dengan proses oksidatif dinamakan


oksidoreduktase. Dalam hal berikut, mereka dibagi menjadi 5 golongan, yaitu:
1.

Oksidase:

Enzim-enzim yang mengkatalisis pelepasan hydrogen dari substrat tetapi hanya


mempegunakan oksigen sebagai akseptor hydrogen. Oksidase mengandung
tembaga dan membentuk air sebagai hasil reaksinya (dengan pengecualian
urikase dan monoamine oksidase yang membentuk H 2O2)
2.

Aerobik dehidroginase:

Enzim-enzim yang mengkatalisis pelepasan hydrogen dari substrat, tetapi


berbeda dengan oksidase, dapat memakai baik oksigen maupun zat buatan,
seperti biru metilen, sebagai akseptor hydrogen. Yang khas dari dehydrogenase
ini adalah flavoprotein. Sebagai hasil dibentuk hydrogen peroksida dan bukan air.
3.

Anaerobik dehydrogenase:

Enzim-enzim yang mengkatalisis pelepasan hydrogen dari substrat, tetapi tidak


dapat memakai oksigen sebagai akseptor hydrogen. Terdapat banyak enzim
dalam kelas ini. Mereka melakukan dua fungsi utama:
a. Transfer hydrogen dari satu substrat ke substrat lain dalam reaksi kopeling
oksidasi reduksi yang tidak mempergunakan rantai pernapasan.
b. Sebagai komponen rantai pernapasan untuk transport electron dari substrat
keoksigen.
4.

Hidroperoksidase:

Enzim-enzim yang mempergunakan hydrogen peroksidase bagai substrat. Dua


enzim termasuk dalam golongan ini: peroksidase, terdapat dalam susu dan
tumbuh-tumbuhan, leukosit dan eritrosit; dan katalase terdapat pada hewan dan
tumbuh-tumbuhan.
5.

Oksigenase:

Enzim-enzim yang mengkatalisis transfer langsung dan penggabungan oksigen


ke dalam molekul substrat.

C.

Pengertian Vitamin

Vitamin adalah sekelompok senyawa organik berbobot molekul kecil yang


memiliki fungsi vital dalam metabolisme organisme yang tidak tergantung faktor
lingkungan kecuali udara. Vitamin tidak digunakan sebagai unit pembangun
struktur tubuh organisme, tetapi sangat penting untuk transformasi energi dan
pengaturan metabolisme tubuh. Dipandang dari sisi kerja enzim, vitamin adalah
kofaktor dalam reaksi kimia yang dikatalisis oleh enzim. Sebagai salah satu
komponen gizi, vitamin diperlukan mempelancar proses metabolisme tubuh dan
tidak berfungsi menghasilkan energi. Vitamin terlibat dalam proses enzimatik.
Tubuh memerlukan vitamin dalam jumlah sedikit, tetapi jika kebutuhan yang
sedikit itu diabaikan, akan mengakibatkan terganggunya metabolisme di dalam
tubuh kita karena fungsinya tidak dapat digantikan oleh senyawa lain. Vitamin
dibagi berdasarkan kelarutannya, yaitu vitamin larut dalam air ( vitamin C dan
semua golongan vitamin B ) dan vitamin larut dalam minyak ( vitamin A,D,E, dan
K ).
Beberapa vitamin dapat bersifat sebagai reduktor, yang dapat digunakan untuk
mencegah terjadinya oksidasi pada zat lain atau sebagai antioksidan. Vitamin
yang dapat bersifat sebagai antioksidan adalah vitamin yang dapat memberikan
satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut
dapat diredam atau tidak mudah teroksidasi oleh udara, contohnya adalah
vitamin C ( asam askorbat ) dan vitamin E ( -tokoferol ). Fungsi utama
antioksidan digunakansebagai upaya untuk memperkecil terjadinya proses
kerusakan dalam makanan, dan meghambat proses aging atau penuaan.
Pada saat ini, asam askorbat dan -tokoferol banyak digunakan sebagai senyawa
pelindung terbentuknya nitrosamine dari nitrit dan precursor amin. Dalam hal ini
-tokoferol bereaksi dengan nitrit membentuk senyawa yang identik dengan
senyawa yang dihasilkan oleh oksidasi udara.

D.

Antioksidan

Antioksidan merupakan zat yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan


radikal bebas. Yang termasuk ke dalam golongan zat ini antara lain vitamin,
polipenol, karoten dan mineral. Antioksidan melakukan semua itu dengan cara
menekan kerusakan sel yang terjadi akibat proses oksidasi radikal bebas. Secara
umum, antioksidan dikelompokkan menjadi 2 yaitu antioksidan enzimatis dan
antioksidan non enzimatis yang berupa mikronitrien. Antioksidan enzimatis
dapat dibentuk dalam tubuh, seperti dismutase (SOD), glutation peroksida, dan
katalase. Mampu memperlambat atau mencegah proses oksidasi. Zat ini secara
nyata mampu memperlambat atau menghambat oksidasi zat yang mudah
teroksidasi meskipun dalam konsentrasi rendah. Antioksidan juga sesuai
didefinisikan sebagai senyawa-senyawa yang melindungi sel dari efek berbahaya
radikal bebas oksigen reaktif jika berkaitan dengan penyakit, radikal bebas ini
dapat berasal dari metabolisme tubuh maupun faktor eksternal lainnya.
Radikal bebas adalah spesies yang tidak stabil karena memiliki elektron yang
tidak berpasangan dan mencari pasangan elektron dalam makromolekul biologi.

Protein lipida dan DNA dari sel manusia yang sehat merupakan sumber
pasangan elektron yang baik. Kondisi oksidasi dapat menyebabkan kerusakan
protein dan DNA, kanker, penuaan, dan penyakit lainnya. Komponen kimia yang
berperan sebagai antioksidan adalah senyawa golongan fenolik dan polifenolik.
Senyawa-senyawa golongan tersebut banyak terdapat dialam, terutama pada
tumbuh-tumbuhan, dan memiliki kemampuan untuk menangkap radikal bebas.
Antioksidan yang banyak ditemukan pada bahan pangan, antara lain vitamin E,
vitamin C, dan karotenoid.

Penggolongan Antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya:


Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dibedakan menjadi antioksidan
primer yang dapat bereaksi dengan radikal bebas atau mengubahnya menjadi
produk yang stabil , dan antioksidan sekunder atau antioksidan preventif yang
dapat mengurangi laju awal reaksi rantai serta antioksidan tersier. Mekanisme
kerja antioksidan selular antara lain, antioksidan yang berinteraksi langsung
dengan oksidan, radikal bebas, atau oksigen tunggal; mencegah pembentukan
jenis oksigen reaktif; mengubah jenis oksigen rekatif menjadi kurang toksik;
mencegah kemampuan oksigen reaktif; dan memperbaiki kerusakan yang
timbul.

Antioksidan primer

Antioksidan primer berperan untuk mencegah pembentukan radikal bebas baru


dengan memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk yang lebih
stabil. Contoh antioksidan primer, ialah enzim superoksida dimustase (SOD),
katalase, dan glutation dimustase.

Antioksidan Sekunder

Antioksidan sekunder berfungsi menangkap senyawa radikal serta mencegah


terjadinya reaksi berantai. Contoh antioksidan sekunder diantaranya yaitu
vitamin E, Vitamin C, dan -karoten.

Antioksidan Tersier

Antioksidan tersier berfungsi memperbaiki kerusakan sel dan jaringan yang


disebabkan oleh radikal bebas. Contohnya yaitu enzim yang memperbaiki DNA
pada inti sel adalah metionin sulfoksida reduktase.

Berdasarkan fungsinya, antioksidan dapat dibagi menjadi :


a.
Tipe pemutus rantai reaksi pembentuk radikal bebas, dengan
menyumbangkan atom H, misalnya vitamin E
b.
Tipe pereduksi, dengan mentransfer atom H atau oksigen, atau bersifat
pemulung, misalnya vitamin C
c.
Tipe pengikat logam, mampu mengikat zat peroksidan, seperti Fe2+ dan
Cu2+, misalnya flavonoid
d.
Antioksidan sekunder, mampu mendekomposisi hidroperoksida menjadi
bentuk stabil, pada manusia dikenal SOD, katalase, glutation peroksidase.

Vitamin C (Asam Askorbat)

Vitamin C adalah salah satu jenis vitamin yang larut dalam air . Vitamin ini juga
dikenal dengan nama kimia dari bentuk utamanya yaitu asam askorbat. Vitamin
C termasuk golongan vitamin antioksidan yang mampu menangkal berbagai
radikal bebas ekstraselular. Beberapa karakteristiknya antara lain sangat mudah
teroksidasi oleh panas, cahaya, dan logam
Vitamin C diperlukan untuk menjaga struktur kolagen, yaitu sejenis protein yang
menghubungkan semua jaringan serabut, kulit, urat, tulang rawan, dan jaringan
lain di tubuh manusia. Struktur kolagen yang baik dapat menyembuhkan patah
tulang, memar, pendarahan kecil, dan luka ringan. Vitamin C juga berperan
penting dalam membantu penyerapan zat besi dan mempertajam kesadaran.
Sebagai antioksidan, vitamin C mampu menetralkan radikal bebas di seluruh
tubuh. Hipoaskorbemia (defisiensi asam askorbat) bisa berakibat keadaan pecahpecah di lidah scorbut, baik di mulut maupun perut, kulit kasar, gusi tidak sehat
sehingga gigi mudah goyah dan lepas, perdarahan di bawah kulit (sekitar mata
dan gusi), cepat lelah, otot lemah dan depresi. Di samping itu, asam askorbat
juga berkorelasi dengan masalah kesehatan lain, seperti kolestrol tinggi, sakit
jantung, artritis (radang sendi), dan pilek.
Vitamin C juga berperan penting dalam sintesis neurotransmitter, norepinefrin.
Neurotransmiter sangat penting untuk fungsi otak dan diketahui mempengaruhi
suasana hati. Selain itu, vitamin C diperlukan untuk sintesis carnitine, sebuah
molekul kecil yang sangat penting untuk transportasi lemak untuk konversi
menjadi energi. Fungsi Vitamin C selanjutnya adalah, membantu metabolisme
kolesterol menjadi asam empedu, yang mungkin memiliki implikasi untuk tingkat
kolesterol darah dan timbulnya batu empedu. Bahkan dalam jumlah kecil,

vitamin C dapat melindungi molekul penting, seperti protein, lipid (lemak),


karbohidrat, dan asam nukleat (DNA dan RNA) dari kerusakan yang diakibatkan
radikal bebas, racun, ataupun polusi.
Vitamin C sangat sensitive terhadap pemanasan, bahkan pemanasan yang
tergolong ringan (sedikit diatas suhu kamar). Vitamin C juga sensitive terhadap
sinar, senyawa oksidator seperti: yodium, hydrogen peroksida, dan logam.
Vitamin C mudah teroksidasi, terutama bila terlarut dalam suatu pelarut (air
misalnya). Vitamin C teroksidasi dalam larutan oleh oksigen, dengan
memberikan 2 elektron pada senyawa oksidator. Asam askorbat merupakan
reduktor yang kuat dan mampu bertindak sebagai oksigen scavenger, sehingga
akan mencegah terjadinya oksidasi enzimatis senyawa-senyawa fenol.
Penggunaan asam mampu menginaktivasi enzim, karena pH bahan akan
diturunkan hingga dibawah 5,0. Vitamin C dapat hilang karena hal-hal seperti:
a.

Pemanasan, yang menyebabkan rusak atau berbahayanya struktur

b.

Pencucian sayuran setelah dipotong-potong terlebih dahulu

c.

Adanya alkali atau suasana basa selama pengolahan

d.
Membuka tempat berisi vitamin C, sebab oleh udara akan terjadi oksidasi
yang tidak reversible. Penambahan tomat atau jeruk nipis dapat mengurangi
kadar vitamin C.
Sebagai zat penyapu radikal bebas, vitamin C dapat langsung bereaksi dengan
anion superoksida, radikal hidroksil, oksigen singlet dan lipid peroksida. Sebagai
reduktor asam askorbat akan mendonorkan satu elektron membentuk
semidehidroaskorbat yang tidak bersifat reaktif dan selanjutnya mengalami
reaksi disproporsionasi membentuk dehidroaskorbat yang bersifat tidak stabil.
Dehidroaskorbat akan terdegradasi membentuk asam oksalat dan asam treonat.
Oleh karena kemampuan vitamin C sebagai penghambat radikal bebas, maka
peranannya sangat penting dalam menjaga integritas membran sel.

Vitamin E ( -tokoferol )
Vitamin E adalah nama umum untuk dua kelas molekul (tocopherol dan
tocotrienol) yang memiliki aktivitas vitamin E dalam nutrisi. Tocopherol tidak
larut dalam air tetapi larut dalam pelarut lemak seperti minyak, lemak, alkohol,
aseton, eter dan sebagainya. Karena tidak larut dalam air, vitamin E dalam tubuh
hanya dapat dicerna dengan bantuan empedu hati, sebagai pengelmulsi minyak
saat melalui duodenum. Kelarutannya dalam lemak merupakan sifat yang
menguntungkan karena sebagian besar kerusakan akibat radikal bebas terjadi di
dalam membran sel dan lipoprotein yang terbuat dari molekul lemak.Vitamin E
stabil pada pemanasan namun akan rusak bila pemanasan terlalu tinggi. Vitamin
E bersifat basa jika tidak ada oksigen dan tidak terpengaruh oleh asam pada
suhu 100o C. Bila terkena oksigen di udara, akan teroksidasi secara perlahan-

lahan. Sedangkan bila terkena cahaya warnanya akan menjadi gelap secara
bertahap.
Secara umum, vitamin E memiliki fungsi utama sebagai antioksidan alami untuk
membuang radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini dikarenakan
adanya kandungan alfa-tokoferol aktif yang dapat diregenerasi dengan vitamin C
sehingga dapat menghambat oksidasi rakdikal bebas peroksi dan vitamin E akan
memutus berbagai reaksi rantai radikal bebas karena kemampuannya
memindahkan atau menyumbangkan hidrogen fenolat kepada radikal bebas
peroksil yang terperoksidasi, sehingga radikal bebas peroksil menjadi tidak
reaktif.
Stabilitas kimia vitamin E mudah berubah akibat pengaruh berbagai zat alami.
Minyak tak jenuh, seperti minyak hati ikan cod, minyak jagung, minyak kacang
kedele, minyak biji bunga matahari, semuanya mempertinggi kebutuhan vitamin
E. Hal ini terjadi jika minyak-minyak tersebut mengalami ketengikan oksidatif
dalam makanan.. Garam-garam besi, seperti feriklorida, kalium ferrisianida
bersifat mengoksidasi tokoferol.
Fungsi utama vitamin E di dalam tubuh adalah sebagai antioksidan alami yang
mambuang radikal bebas dan molekul oksigen. Secara partikular, vitamin E juga
penting dalam mencegah peroksidasi membran asam lemak tak jenuh. Vitamin E
dan C berhubungan dengan efektifitas antioksidan masing-masing. Alfa-tokoferol
yang aktif dapat diregenerasi dengan adanya interaksi dengan vitamin C yang
menghambat oksidasi radikal bebas peroksi. Alternatif lain, alfa tokoferol dapat
membuang dua radikal bebas peroksi dan mengkonjugasinya menjadi glukuronat
ketika ekskresi di ginjal.
Sebagai antioksidan, vitamin E berfungsi melindungi senyawa-senyawa yang
mudah teroksidasi, antara lain ikatan rangkap dua pada UFA (Unsaturated Fatty
Acid), DNA dan RNA dan ikatan atau gugus SH (sulfhidril) pada protein. Apabila
senyawa-senyawa tersebut teroksidasi, maka akan terbentuk radikal bebas,
yang merupakan hasil proses peroksidasi. Radikal bebas yang terjadi akan
mengoksidasi senyawa-senyawa protein, DNA, RNA dan UFA. Vitamin E akan
bertindak sebagai reduktor dan menangkap radikal bebas tersebut. Vitamin E
dalam hal ini berperan sebagai scavenger. Scavenger yang lain selain vitamin E
adalah vitamin C, enzim glutation reduktase, desmutase dan perosidase, yang
bersifat larut dalam air. Scavenger yang larut dalam lemak adalah vitamin E dan
-karoten.

Urutan aktivitas antioksidan dalam sistem lipida dari tokoferol adalah -tokoferol
> -tokoferol > -tokoferol. -tokoferol merupakan homolog tokoferol yang
mempunyai aktivitas vitamin E paling tinggi. Sedangkan aktivitas antioksidan

tokoferol secara in vivo adalah -tokoferol > -tokoferol > -tokoferol > tokoferol.

Fenol
Senyawa fenol (C6H3OH) atau hidroksi benzena atau karbonat termasuk asam
lemak (pH 9,9), senyawa organik dengan gugus OH -, sistem cincin benzena atau
aromatik kompleks, sangat peka terhadap oksidasi enzim fenolase. Titik leleh
dan titik didih berturut-turut 41,8 42oC dan 182 183oC. Bersifat mudah larut
dalam air. Terdapat 592 jenis turunan fenol. Semua senyawa fenol berupa
senyawa aromatik sehingga semuanya menunjukkan serapan kuat daerah
spektrum ultra violet. Fenol terdapat pada dinding sel, apabila sel rusak, fenol
akan bereaksi dengan oksigen, lalu membentuk melanoidin berwarna coklat.
Senyawa fenol diduga berasal dari metabolisme asam amino aromatik sehingga
termasuk produk sekunder. Setelah pelukaan, terbentuk polifenol oksidase (PPO),
kemudian reaksi pencoklatan terbentuk, karena PPO akan bebas dari fenol dan
membentuk oquinon. Kadar fenol yang terbentuk ini akan semakin tinggi pada
jaringan yang dekat di daerah luka dan berangsur-angsur berkurang ke bagian
dalam.
Senyawa polifenol dan fenolat terbentuk dimulai dari proses fotosintesa melalui
terbentuknya karbohidrat yang melalui jalur asam shikimat terjadi fenilalanin
dan tirosin. Dari bentuk fenilalanin dan tirosin satu bagian jalur akan terbentuk
golongan fenilpropanoid. Asam sinamat merupakan senyawa kunci terbentuknya
berbagai fenolat lain.

Karakteristik Fenol
Fenol atau asam karbolat atau benzenol adalah zat kristal tak berwarna yang
memiliki bau khas. Rumus kimianya adalah C6H5OH dan strukturnya memiliki
gugus hidroksil
(-OH) yang berikatan dengan cincin fenil. Kata fenol juga
merujuk pada beberapa zat yang memiliki cincin aromatik yang berikatan
dengan gugus hidroksil. Fenol memiliki kelarutan terbatas dalam air, yakni 8,3
gram/100 ml. Fenol memiliki sifat yang cenderung asam, artinya dapat
melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya. Pengeluaran ion tersebut menjadikan
anion fenoksida C6H5O yang dapat dilarutkan dalam air.
Dibandingkan dengan alkohol alifatik lainnya, fenol bersifat lebih asam. Hal ini
dibuktikan dengan mereaksikan fenol dengan NaOH, di mana fenol dapat
melepaskan H+. Pada keadaan yang sama, alkohol alifatik lainnya tidak dapat
bereaksi seperti itu.Pelepasan ini diakibatkan pelengkapan orbital antara
satusatunya pasangan oksigen dan sistem aromatik, yang mendelokalisasi
beban negatif melalui cincin tersebut dan menstabilkan anionnya. Fenol
didapatkan melalui oksidasi sebagian pada benzene atau asam benzoat dengan
proses Raschig.

Polifenol Oksidase (PPO)


Enzim polifenol oksidase atau fenolase terdiri dari 2 tipe enzim, yaitu odifenol
dan p-difenol. PPO termasuk dalam golongan enzim oksidoreduktase dengan
kode EC (1.14.18.1). Angka pertama, 1, menunjukkan golongan oksidoreduktase,
angka kedua, 14, berperan pada pasangan donor dengan cara inkorporasi
oksigen ke dalam salah satu donor (hidroksilase), angka ketiga, 18, dengan
oksigen sebagai donor dan angka keempat, 1, dengan NAD dan NADP sebagai
akseptor. Enzim polifenol oksidase dihasilkan dari reaksi antara L-tyrosine, Ldopa, dan O2 menjadi L-dopa, dopaquinone, dan H 2O.
PPO adalah enzim oksidatif golongan protein yang mengandung logam tembaga
yang secara merata tersebar luas di dalam tanaman. Lepasnya logam tersebut
menyebabkan denaturasi enzim secara reversible bila kondisi kembali normal.
Enzim ini dapat mengkatalis reaksi pencoklatan dan menimbulkan pengaruh
terhadap karakteristik sensory dan nilai gizi pada sebagian besar produk hasil
pertanian, serta memiliki kaitan erat dengan pencoklatan enzimatis pada
beberapa jaringan tanaman.
Pencoklatan enzimatis dapat terjadi karena adanya jaringan tanaman yang
terluka, misalnya pemotongan, penyikatan, dan perlakuan lain yang dapat
mengakibatkan kerusakan integritas jaringan tanaman (Cheng & Crisosto 1995).
Adanya kerusakan jaringan seringkali mengakibatkan enzim kontak dengan
substrat. Enzim yang bertanggung jawab dalam reaksi pencoklatan enzimatis
adalah oksidase yang disebut Polifenol Oksidase (PPO). Substrat untuk PPO
dalam tanaman biasanya asam amino tirosin dan komponen polifenolik seperti
katekin, asam kafeat, pirokatekol/katekol dan asam klorogenat . Tirosin yang
merupakan monofenol, pertama kali dihidroksilasi menjadi 3,4dihidroksifenilalanin dan kemudian dioksidasi menjadi quinon yang akan
membentuk warna coklat.
Pencoklatan (browning) merupakan proses pembentukan pigmen berwarna
kuning yang akan segera berubah menjadi coklat gelap (Rahmawati 2008).
Pembentukan warna coklat ini dipicu oleh reaksi oksidasi yang dikatalisis oleh
enzim fenol oksidase atau polifenol oksidase. Kedua enzim ini dapat mengkatalis
oksidasi senyawa fenol menjadi quinon dan kemudian dipolimerasi menjadi
pigmen melaniadin yang berwarna coklat (Mardiah 1996). Bahan pangan
tertentu, seperti pada sayur dan buah, senyawa fenol dan kelompok enzim
oksidase tersebut tersedia secara alami. Oleh karena itu pencoklatan yang
terjadi disebut juga reaksi pencoklatan enzimatis.
Enzim yang bertanggung jawab dalam reaksi pencoklatan enzimatis adalah
oksidase yangdisebut fenolase, fenoloksidase, tirosinase, polifenolase atau
katekolase. Dalam tanaman, enzim ini lebih sering dikenal dengan polifenol
oksidase (PPO). Substrat untuk PPO dalam tanaman biasanya asam amino tirosin
dan komponen polifenolik seperti katekin, asam kafeat, pirokatekol atau katekol
dan asam klorogenat. Penggunaan vitamin C dapat mereduksi kembali quinon

berwarna hasil oksidasi (o-quinon) menjadi senyawa fenolat (o-difenol) tak


berwarna. Asam askorbat selanjutnya dioksidasi menjadi asam dehidroaskorbat.
Ketika vitamin C habis, komponen berwarna akan terbentuk sebagai hasil reaksi
polimerisasi dan menjadi produk antara yang irreversibel. Jadi produk berwama
hanya akan terjadi jika vitamin C yang ada habis dioksidasi dan quinon
terpolimerisasi.
Metode penggunaan asam sebagai penghambat pencoklatan enzimatis ini
didasarkan pada pengaruh pH terhadap enzim polifenolase. pH optimum enzim
ini berkisar antara 4,0-7,0 dan aktivitas terkecil pada pH dibawah 3,0. Perubahan
warna yang tidak diinginkan akibat browning dapat diatasi dengan perlakuan
perendaman dalam asam askorbat. Menurut Winarno (1997), asam askorbat
merupakan reduktor yang kuat dan mampu bertindak sebagai oksigen
scavenger, sehingga akan mencegah terjadinya oksidasi enzimatis senyawasenyawa fenol yang terkandung dalam kentang. Penggunaan asam mampu
menginaktivasi enzim, karena pH bahan akan diturunkan hingga dibawah 5.
Penambahan asam askorbat dengan tujuan untuk menurunkan pH sampai 3,0
atau dibawahnya akan dapat mempertahankan perubahan warna sebab pH
optimal enzim fenolase adalah 6,5. Logam seperti besi dan tembaga dapat diikat
oleh asam askorbat, logam-logam ini merupakan katalisator oksidasi yang dapat
menyebabkan perubahan warna yang tidak diinginkan. Fenol yang terdapat
dalam kentang akan dioksidasi oleh PPO menjadi katekol, yang kemudian
menjadi kinon. Setelah melalui kondensasi membentuk senyawa berwarna
coklat. PPO juga mengubah pirogalol menjadi purpurogalin yang berwarna
coklat. Penambahan vitamin C dapat menghambat oksidasi fenol oleh PPO.

PEMBAHASAN
1.

Laktat Dehidrogenase dalam Ragi

Pada Uji Laktat Dehidrogenase, metilen blue akan bertindak sebagai akseptor
hydrogen, sodium laktat sebagai donor hidrogen sedangkan enzim laktat
dehidrogenase akan membantu proses pengambilan atom hidrogen dari
senyawa donor (sodium laktat) ke senyawa penerima (metilen blue). Enzim
laktat dehidrogenase yang berasal dari ragi akan membantu perpindahan atom
hidrogen dari sodium laktat ke metilen blue. Atom hydrogen akan mereduksi
metilen blue sehingga pada tabung I yang telah diberi sodium laktat warna yang
akan dihasilkan akan lebih pucat. Sedangkan pada tabung II yang tanpa
pemberian metilen blue warna yang dihasilkan akan lebih tua karena pada
tabung tersebut tidak ada substrat sodium laktat, sehingga metilen blue tidak
bisa mereduksi karena tidak ada pemberian donor hidrogen.

2.

Uji Schardinger

Test ini umumnya digunakan untuk membedakan susu segar dan susu yang telah
dipsteurisasi. Susu segar mengandung beberapa enzim, diantaranya yaitu
katalase, dehidrogenasedan peroksidase. Bila susu dipasteurisasi, enzim-enzim
tersebut menjadi rusak.Test ini berdasarkan reduksi metilen blue oleh enzim
dehidrogenase pembentuk leukometilen biru (MbH 2) yang tidak berwarna.
Hidrogen yang diperoleh dari formaldehid digunakan untuk mereduksi. Atom H
yang terjadi oleh enzimnya segera diikat pada oksigen atau atom H diikat oleh
akseptor birumetilen (Mb), maka terjadilah air atau leukometilen biru yang tidak
berwarna.
Hanya susu murni (yang tidak dipanaskan) akan memberikan hasil positif
terhadap reaksi tersebut (karena enzim dehidrogenase nya belum rusak) dan
terjadi perubahan warna terbentuk warna biru pucat hampir putih. Ini
disebabkan karena adanya enzime dehidrogenase yang masih aktif pada susu
murni sehingga pada saat pemanasan dapat mereduksi metilen biru (warna biru
berubah menjadi putih). Oleh karena itu, pada tabung susu segar, didapatkan
hasil larutan berwarna biru pucat ( mendekati putih ) karena mungkin masih ada
sedikit metilen yang tidak tereduksi. Enzim dehidrogenasi yang terdapat dalam
susu segar mengkatalis perlepasan H dari formaldehid, atom yang dibebaskan
akan bereaksi dengan metilen blue membentuk leuko metilen blue.
Pada susu pasteurisasi, enzim dehidrogenase telah rusak sehingga tidak dapat
mereduksi birumetilen dan warna larutan tetap biru. Ini disebabkan karena
adanya pemanasan pada susu segar yang dapat merusak enzim dehidrogenase
yang ada dalam susu segar yang dapat mereduksi metilen blue, sehingga pada
saat pemberian metilen blue dan pemanasan warna biru akan tetap tidak
berunah karena tidak dapat tereduksi enzime dehidrogenase. pada susu yang
telah dipanaskan sampai 70oC (pasteurized milk) enzim tidak aktif.

3.

Uji Oksidasi dan Pengaruh Vitamin C dalam Buah Apel, kentang dan Pisang

Praktikum uji oksidase dalam ini bertujuan untuk mengetahui proses oksidase
senyawa fenol oleh enzim polifenol oksidase (PPO) dan juga untuk
memperlihatkan efek pemberian antioksidan dan berupa vitamin C terhadap
oksidasi fenol oleh enzim PPO apel,kentang dan pisang.
Pada tabung 1 dimasukkan larutan vitamin C dan Fenol pada ekstrak apel,
kentang, dan pisang. Perubahan warna yang terbentuk putih keruh sampai agak
kekuningan. Hal ini dikarenakan fungsi larutan vitamin C adalah untuk

menghambat terjadinya oksidasi fenol oleh enzim PPO dengan caravitamin C


akan mendonorkan satu elektron kepada radikal bebas pada ekstrak membentuk
semi dehidroaskorbat yang tidak bersifat reaktif dan selanjutnya mengalami
reaksi disproporsionasi membentuk dehidroaskorbat yang bersifat tidak stabil.
Dehidroaskorbat akan terdegradasi membentuk asam oksalat dan asam treonat.
Dengan demikian maka tabung 1 tidak terjadi perubahan warna ( putih keruh
sampai agak kekuningan ).

Pada tabung 2 dimasukkan larutan Vitamin E dan Fenol pada ekstrak apel,
kentang, dan pisang. Perubahan warna yang terjadi menjadi putih keruh sampai
coklat susu. Hal ini karenakan adanya vitamin E yang di tambahakan pada
tabung 2 sebagai antioksidan dan mencegah terjadinya oksidasi dengan cara
memutus berbagai reaksi rantai radikal bebas dalam ekstrak tersebut,karena
kemampuannya memindahkan atau menyumbangkan hidrogen fenolat kepada
radikal bebas yang teroksidasi, sehingga radikal bebas menjadi tidak reaktif.
Adanya hidrogen yang disumbangkan kepada radikal bebas ekstrak tersebut,
tokoferol sendiri menjadi suatu radikal, tetapi lebih stabil karena elektron yang
tidak berpasangan pada atom oksigen mengalami delokalisasi ke dalam struktur
cincin aromatik.
Radikal bebas fenoksi yang terbentuk dapat bereaksi dengan vitamin C untuk
menghasilkan kembali tokoferol atau bereaksi dengan radikal bebas berikutnya
sehingga cincin kromana serta rantai samping dioksida menjadi produk bukan
radikal bebas. Namun vitamin E daya antioksidannya tidak sekuat vitamin C,
sehingga warna pada tabung 2 berwarna lebih coklat dari tabung 1.
Pada tabung 3 dimasukkan larutan fenol pada ekstrak apel, kentang, dan pisang.
Terjadi perubahan warna menjadi coklat jernih sampai putih kekeruhan.
Pembentukan warna coklat ini dikarenakan oleh reaksi oksidasi yang dikatalisis
oleh enzim fenol oksidase atau polifenol oksidase ( PPO ).Kedua enzim ini dapat
mengkatalis oksidasi senyawa fenol menjadi quinon dan kemudian dipolimerasi
menjadi pigmen melaniadin yang berwarna coklat. Oleh karena itu pada tabung
3 terjadi perubahan warna menjadi coklat jernih sampai putih kekeruhan.

4.

Uji Sifat Antioksidan Vitamin C terhadap Gugus Fenol

Uji ini bertujuan untuk menguji proses oksidasi senyawa fenol oleh polifenol
oksidase (PPO) di dalam kentang, dan pisang serta menguji efek antioksidan
vitamin C terhadap oksidasi fenol oleh PPO.

Pada tabung 1, diberi ekstrak kentang dan pisang lalu ditambahkan larutan asam
askorbat. Pada tabung buah pisang, terdapat warna kuning pucat. Pada tabung
buah kentang berwarna kuning. Ini disebabkan karena adanya larutan asam
askorbat yang berfungsi sebagai antioksidan, dengan cara vitamin C
menyumbangkan satu atau lebih electron kepada radikal bebas yang
terdapat dalam buah, sehingga radikal bebas tersebut dapat dikurangi
sehingga tidak ada radikal bebas yang aktif yang dapat merubah warna menjadi
coklat tua.
Pada tabung 2, diberi ekstrak kentang dan pisang lalu ditambahkan air suling.
Pada tabung pisang terdapat warna kuning kecoklatan dengan larutan agak
keruh dan pada tabung kentang terjadi perubahan warna menjadi coklat. Ini
disebabkan karena senyawa yang terdapat dalam buah pisang dan kentang
mudah teroksidasi berubah menjadi warna coklat. Radikal bebas yang ada dalam
buah akan terus aktif dan teroksidasi oleh udara dan mengubah warna menjadi
coklat.

5.

Uji Sifat Reduksi Vitamin C terhadap Reagen Benedict

Pereaksi benedict berupa larutan yang mengandung kuprisulfat, natrium


karbonat dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion Cu ++ dari kuprisulfat
menjadi ion Cu+ yang kemudian mengendap sebagai Cu 2O. Adanya natrium
karbonat dan natrium sitrat membuat pereaksi Benedict bersifat basa lemah.
Endapan yang terbentuk dapat berwarna hijau, kuning atau merah bata.
Pada tabung 1, diberi reagen benedict dan larutan vitamin C. Lalu dipanaskan.
Dan terjadi perubahan warna menjadi endapan merah bata.Hal ini dikarenakan
Vitamin C merupakan reduktor kuat dengan adanya gugus enadiol sehingga
mampu mereduksi ion Cu2+ dari pereaksi benedict menjadi ion Cu+ dengan
membentuk endapan Cu2O yang berwarna hijau kekuningan, kuning atau merah
bata.
Pada tabung 2, diberi reagen benedict dan larutan glukosa. Lalu dipanaskan. Dan
terjadi terjadi perubahan warna menjadi warna merah hati. Hal ini dikarenakan,
Uji benedict ini melibatkan proses oksidasi dan reduksi sebagai prinsip dasar
pengujian benedict. Pada dasar pengujian dapat mengindikasikan adanya gula
pereduksi. Terjadi reduksi Cu2+ menjadi Cu+, proses reduksi dilakukan oleh
karbohidrat yang mempunyai gugus aldehid atau keton bebas . reduksi ini
menghasilkan suatu endapan kupro oksida (Cu 2O) yang memiliki warna merah.
Dalam larutan vitamin C mudah rusak karena oksidasi dari udara, tetapi lebih
stabil bila terdapat dalam bentuk kristal kering. Jika vitamin C dilarutkan dengan

asam askorbat dan pereaksi Benedict menghasilkan warna merah bata yang
menunjukkan bahan asam askorbat mengandung vitamin C. Vitamin C mudah
dioksidasi terutama bila di panaskan. Dimana proses oksidasi akan dipercepat
dengan adanya tembaga, oksigen dan alkali.

KESIMPULAN
Beberapa vitamin memiliki aktivitas antioksidan antara lain: vitamin c dan
vitamin E, namun daya antioksidan lebih besar pada vitamin C

Vitamin C merupakan reduktor kuat karena adanya gugus enadiol sehingga


dapat menghambat proses oksidasi.
Enzim laktat dehidrogenase yang berasal dari ragi akan membantu perpindahan
atom hydrogen dari sodium laktat ke metilen blue. Tanpa pemberian metilen blue
warna yang dihasilkan akan lebih tua karena pada tabung tersebut tidak ada
substrat sodium laktat, sehingga metilen blue tidak bisa mereduksi karena tidak
ada pemberian donor hydrogen.
Pada Uji Schadinger, susu segar dapat mereduksi metilen blue daripada
susu pasteurisasi karena enzim laktat dehidrogenasenya belum rusak

Vitamin C dapat mereduksi ion Cu2+ dari pereaksi benedict menjadi ion Cu+
dengan membentuk endapan Cu2O yang berwarna hijau kekuningan, kuning
atau merah bata.
Vitamin C dapat menghambat terjadinya oksidasi fenol oleh enzim PPO dalam
kentang, apel, dan pisang

lestari
Rabu, 30 Mei 2012
Laporan Glikolisis Dalam Sel Ragi

PERCOBAAN III
GLIKOLISIS DALAM SEL RAGI

I.

Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya percobaan ini adalah sebagai berikut:

1. Mempelajari/mengamati proses glikolisis di dalam sel ragi dengan mengukur


tinggi kolom CO2 yang dihasilkan.
2. Mempelajari/mengamati pengaruh inhibitor seperti fluoride dan arsenat
terhadap proses glikolisis.
II.

Dasar Teori

Glikolisis merupakan rangkaian reaksi yang mengkonversi glukosa menjadi


piruvat. Pada organisme aerob, glikolisis adalah pendahuluan daur asam sitrat
dan rantai transport electron, saat sebagian besar energi bebas glukosa
dihasilkan. Sepuluh reaksi glikolisis terjadi didalam sitosol. Pada tahap pertama,
glukosa dikonversi menjadi fruktosa 1,6-bifosfat melalui reaksi fosforilasi,
isomerasi, dan fosforilasi kedua. Dua molekul ATP dipakai per molekul glukosa
pada reaksi-reaksi ini. Pada tahap kedua, fruktosa 1,6 difosfat dipecah oleh
aldolase membentuk dihrosiaseton fosfat dan gliserildehida 3-fosfat, yang
dengan mudah mengalami interkonvensi. Gliseraldehida 3-fosfat kemudian
mengalami oksidasi dan fofforilasi membentuk 1-3-bisfosfogliserat, suatu asetil
fosfat dengan potensi transfer fosforil yang tinggi. 3-fosfogliserat kemudian
terbentuk dan ATPdihasilkan. Pada tahap akhir glikolisis, fosfoenolpiruvat, zat
antara kedua dengan potensi transfer yang tinggi, dibentuk melalui pergeseran
fosforil dan dehidrasi. ATP lainnya dihasilkan sewaktu fosfienolpiruvat dikonnversi
menjadi piruvat. Tedapat keuntungan bersih dua molekul ATP pada pembentukan
dua molekul piruvat dari satu molekul glukosa. Akseptor elektron pada oksidasi
gliseraldehida 3-fosfat adalh NAD+, yang harus dihasilkan kembali agar glikosis
dapat dihasilkan kembali agar glikolisis dapat berlangsung terus. Pada organism
aerob, NADH yang terbentuk pada glikolisis mentransfer elektronnya ke O 2
melalui rantai transport elektron, dan dengan demikian menghasilkan kembali
NAD+. Pada keadaan aerob, NAD+ dihasilkan kembali melalui reduksi piruvat
menjadi laktat. Pada sejumlah mikroorganisme, NAD+ biasanya dihasilkan
kembali oleh sintesis laktat atau etanol dari piruvat. Dua proses ini merupakan
contoh fermentasi.
Jalur glikolisis mempunyai peran ganda: degradasi glukosa untuk menghasilkan
ATP, dan memberikan unit-unit penyusun untuk sintesis komponen-komponen
sel. Kecepatan konversi glukosa piruvat diatur sesuai dengan dua keperluan
utama sel ini. Pada reaksi fisiologis, reaksi-reaksi glikolisis dengan mudah
reversible kecuali reaksi-reaksi yang dikalisis oleh heksokinase,
fosfofruktokinase, dan piruvat kinase. Fosfofruktokinase, elemen pengontrol
terpenting pada glikolisis, dihambat oleh kadar tinggi ATP dan sitrat, dan
diaktifkan oleh AMP dan fruktosa 2,6 bifosfat. Pada hati, bifosfat menandakan
bahwa glukosa berlimpah. Karenanya, fosfofruktokinase aktif bila diperlukan
energy atau unit-unit penyusun. Hksokinase dihambat oleh glukosa 6-fosfat,
yang berakumulasi bila fosfofruktokinase aktif. Piruvat kinase situs pengontrol
lainnya, secara alosterik dihambat oleh ATP dan alanin, dan diaktif oleh fruktosa

1,6 bifosfat. Akibatnya, piruvat kinase aktif maksimal bila muatan energy rendah
dan zat-zat ntara glikolisis menumpuk. Piruvat kinase, seperti enzim bifungsi
yang mengontrol kadar fruktosa 2,6 bisfosfat, diatur melalui fosforilasi. Kadar
glukosa yang rendah dalam darah mendorong fosforilasi pirivat kinase hati,
sehingga aktivitasnya menurun dengan demikian menurunkan pemakaian
glukosa dalam hati (Anonim, 2011).

III.

Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai
berikut:
-

Alat:

1.

Tabung peragian 4 buah

2.

Pipet tetes

3.

Gelas kimia

4.

Penangas listrik

5.

Batang pengaduk

6.

Tabung reaksi

7.

Statif dan klem

8.

Gelas ukur 10 mL

9.

Mistar

10. Stopwatch
-

Bahan:

1.

Ragi

2.

Larutan Ca(OH)2 1 M

3.

Larutan glukosa 2%

4.

Larutan fluoride

5.

Larutan arsenat

6.

Aquades

IV.

Prosedur Kerja

Adapun prosedur kerja yang dilakukan pada percobaan ini adalah sebagai
berikut:
1.

Menyediakan 4 buah tabung peragian yang bersih dan kering

Menggunakan tabung 1 sebagai control positif


Menggunakan tabung 2 sebagai control negative
Menggunakan tabung 3 dan 4 untuk melihat pengaruh inhibitor
2.

Memasukkan 14 mL suspensi ragi ke dalam tabung peragian 1

3. Memasukkan 14 mL suspensi ragi yang telah dididihkan ke dalam tabung


reaksi 2
4. Memasukkan 13,5 mL suspensi ragi ke dalam tabung reaksi 3 kemudian
menambahkan 0,5 mL larutan fluoride
5. Memasukkan 13,5 mL suspensi ragi ke dalam tabung reaksi 4, kemudian
menambahkan 0,5 larutan arsenat
6. Memasukkan 10 mL larutan Ca(OH)2 ke dalam tabung reaksi, kemudian
meletakkannya pada ujung selang tabung peragian
7. Menambahkan 2 mL larutan glukosa 2% ke dalam masing-masing tabung
peragian secara bersamaan, kemudian mengukur tinggi kolom sebelum
dihasilkannya CO2, selanjutnya membuka kran tabung peragian
8.

Membiarkan suspensi ragi tersebut selama 15 menit dalam suhu kamar

9. Setelah tepat 15 menit menutup kembali kran pada lengan tabung


peragian, kemudian melakukan pengukuran pada setiap tabung tersebut tinggi
kolom CO2 yang terbentuk pada lengan tertutup
10. Mengamati keadaan suspensi ragi dan keadaan larutan Ca(OH) 2.

V.

Hasil Pengamatan

Adapun hasil pengamatan yang diperoleh dari percobaan ini adalah sebagai
berikut:
Tabung
Hasil

Kontrol
+

Kontrol -

+
fluorida

+
arsenat

Tinggi
kolom
CO2
yang
terbent
uk

2,4 cm

1,5 cm

1,5 cm

Keadaa
n
suspen
si ragi

Berwarn
a putih
susu

berwarn
a putih
susu

Berwarn
a putih
susu

Berwarn
a putih
susu

Terbentu
k
banyak
gelembu
ng

Tidak
terbentu
k
gelembu
ng

Terbentu
k sedikit
gelembu
ng

Terbentu
k sedikit
gelembu
ng

Tercamp
ur

Campur
an
terpisah

Tercamp
ur

Tercamp
ur

Tidak
Tidak
ada
ada
endapan endapan

Tidak
ada
endapan

Keadaa
n
Ca(OH)
2

Tidak
ada
endapan

VI.

Persamaan Reaksi

C6H1206 2C2H5OH + 2C02


CO2 + Ca(OH)2 CaCO3 + H2O

VII. Pembahasan
Metabolisme merupakan suatu proses reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh
makhluk hidup guna memperoleh energi untuk kelangsungan hidupnya.
Metabolisme terbagi menjadi dua jalur yaitu anabolisme (suatu proses untuk
membentuk atau mensintesa suatu senyawa) dan katabolisme (suatu proses
perombakan atau penguraian suatu senyawa sehingga menghasilkan energi).
Glikolisis merupakan proses penguraian atau katabolisme karbohidrat (glukosa)
menjadi asam piruvat. Glikolisis dapat berlangsung secara aerob (memerlukan
oksigen) dan juga anaerob (tanpa oksigen). Dalam kondisi aerob, piruvat yang
terbentuk akan dioksidasi menjadi CO2 dan H2O. Sedangkan dalam kondisi
anaerob, karbohidrat seperti glukosa dan sukrosa akan diuraikan oleh enzim
dalam ragi menjadi alkohol dan CO2 sebagai produk akhir (Anonim, 2010).
Adapun tujuan dilakukannya percobaan ini yaitu mempelajari/mengamati proses
glikolisis di dalam sel ragi dengan mengukur tinggi kolom CO 2 yang dihasilkan,
serta mempelajari/mengamati pengaruh inhibitor seperti fluorida dan arsenat
terhadap proses glikolisis.
Pertama-tama prosedur yang dilakukan yaitu membuat suspensi ragi dengan
cara memasukkan ragi ke dalam gelas kimia kemudian menambahkannya
dengan aquades. Suspensi yang digunakan dibedakan menjadi dua yaitu
suspensi ragi tanpa dididihkan dan suspensi ragi yang dididihkan. Suspensi ragi
berfungsi sebagai bahan yang digunakan sebagai sel ragi tempat
berlangsungnya proses glikolisis. Jalur glikolisis ditemukan di dalam sitosol sel.
Suspensi ragi ini dibedakan menjadi dua yaitu suspense ragi tanpa dididihkan
dan suspensi ragi yang dididihkan. Suspensi ragi yang tidak dididihkan bertindak
sebagai sel ragi yang masih berfungsi baik sebagai sel hidup dalam proses
glikolisis dan dijadikan sebagai kontrol positif. Sedangkan suspensi yang
dididihkan bertindak sebagai sel ragi yang telah rusak sehingga tidak berfungsi
efektif lagi sebagai sel hidup dalam proses glikolisis dan dijadikan sebagai
kontrol negative. Kemudian memasukkan 14 mL suspensi ragi yang tanpa di
didihkan ke dalam tabung peragian 1, sedangkan untuk tabung peragian 3 dan
tabung peragian 4 masing-masing sebanyak 13,5 mL. Untuk tabung peragian 2
dimasukkan suspensi ragi yang dididihkan sebanyak 14 mL. Kemudian
menambahkan 0,5 mL larutan fluorida kedalam tabung peragian 3 dan 0,5 mL
larutan arsenat ke dalam tabung peragian 4. Teknik ini sebisa mungkin dilakukan
dengan cepat (tabung peragian tertutup), tujuannya untuk meminimalisir kontak
antara oksigen dengan campuran larutan, karena diharapkan glikolisis alkohol ini
berjalan secara anaerob (tanpa oksigen). Larutan fluorida dan larutan arsenat
berfungsi sebagai penghambat atau inhibitor kerja enzim dalam memecah
glukosa menjadi etanol dan CO2 (Anonim, 2011).
Kemudian memasukkan masing-masing 10 mL larutan Ca(OH) 2 kedalam 4 buah
tabung reaksi yang berbeda dan meletakkannya pada ujung selang tabung
peragian. Menambahkan 2 mL larutan glukosa 2% ke dalam masing-masing
tabung peragian secara bersamaan, dan kemudian mengukur tinggi kolom
sebelum dihasilkannya CO2, selanjutnya membuka kran tabung peragian.

Larutan glukosa 2% berfungsi sebagai bahan utama yang digunakan dalam


proses glikolisis oleh sel ragi, dimana glikolisis akan memecah glukosa menjadi
etanol dan CO2. Setelah itu mendiamkannya selama 15 menit, dan mengamati
tinggi kolom udara yang terjadi. Tujuan pendiaman selam 15 menit yaitu agar
berlangsungnya proses glikolisis dalam sel ragi. Terbentuknya kolom udara
tersebut diakibatkan oleh adanya gas CO 2 yang dihasilkan melalui proses
glikolisis ini, semakin banyak CO2 yang terbentuk maka semakin besar pula
tekanan yang ada di dalam tabung sehingga kolom udara akan terlihat lebih
tinggi. Adapun tinggi kolom CO2 yang dihasilkan dari percobaan ini yaitu untuk
tabung 1 yaitu 2,4 cm suspensinya berwarna putih susu dan bercampur,
terbentuk banyak gelembung serta tidak ada endapan pada larutan Ca(OH) 2.,
tabung 2 tidak dihasilkan tinggi kolom CO 2, suspensinya berwarna putih susu dan
terpisah/tidak bercampur, tidak terbentuk gelembung serta tidak ada endapan
pada larutan Ca(OH)2, sedangkan untuk tabung 3 dan 4 yaitu 1,5 cm,
suspensinya berwarna putih susu dan bercampur, terbentuk sedikit gelembung
serta tidak ada endapan pada larutan Ca(OH) 2
Dalam larutan Ca(OH)2 tidak terbentuk endapan CaCO3 hal ini dikarenakan
karenan kadar CO2 yang terbentuk hanya sedikit.
Kadar glukosa dan kadar etanol dari hasil glikolisis sel ragi dapat ditentukan
dengan melihat tinggi rendahnya kolom CO 2 yang terbentuk pada lengan tabung.
Semakin tinggi kolom CO2 yang terbentuk, maka kadar CO2 yang dihasilkan pada
proses glikolisis semakin tinggi, yang berarti kadar glukosa dalam sel ragi
berkurang karena glukosa dihidrolisis oleh enzim glikolisis menjadi CO 2 dan
etanol. Sedangkan kadar etanol juga akan meningkat jika tinggi kolom CO 2
semakin besar karena etanol dan CO2 merupakan hasil penguraian glukosa pada
proses glikolisis. Sebaliknya jika kolom CO2 semakin rendah, maka kadar etanol
juga akan rendah dan kadar glukosa meningkat. Hal ini terjadi karena glukosa
tidak banyak terurai menjadi etanol dan CO 2. Dengan demikian dapat dikatakan
proses glikolisis tidak berlangsung dengan baik. Hal ini dapat disebabkan oleh
adanya inhibitor dalam proses glikolisis yang mempengaruhi fungsi enzim dalam
memecah glukosa atau juga disebabkan oleh rusaknya sel ragi sehingga proses
glikolisis tidak terjadi.
Dalam beberapa jasad renik seperti ragi, glukosa dioksidasi menghasilkan etanol
dan CO2 dalam proses yang disebut fermentasi alkohol. Jalur metabolisme proses
ini sama dengan glikolisis sampai dengan terbentuknya piruvat. Dua tahap reaksi
enzim berikutnya adalah reaksi perubahan asam piruvat menjadi asetaldehide,
reaksi reduksi asetaldehide menjadi alkohol. Dalam reaksi yang pertama piruvat
didekarboksilasi diubah menjadi asetaldehide dan CO 2 oleh piruvat
dekarboksilase, suatu enzim yang tidak terdapat dalam hewan (Anonim, 2011).
Reaksi dekarboksilasi ini merupakan reaksi yang tidak reversible, membutuhkan
ion Mg2+ dan koenzim tiamin piropospat. Dalam reaksi terakhir, asetaldehide
direduksi oleh NADH dengan enzim alkohol dehidrogenase, menghasilkan etanol.
Dengan demikian etanol dan CO2 merupakan hasil akhir fermentasi alkohol, dan

jumlah energi yang dihasilkannya sama dengan glikolisis anaerob, yaitu 2 ATP.
(Anonim, 2010).
Persamaan reaksi dari hasil fermentasi alcohol berupa sebuah molekul C0 2 dan
sebuah molekul etanol ( sebenarnya masing-masing dua molekul untuk setiap
molekul glukosa yang difermentasi) yaitu
C6H1206 2C2H5OH + 2C02
Sebagian besar energi yang terkandung di dalam glukosa masih terdapat dalam
etanol (inilah sebabnya mengapa etanol sering dipakai sebgai bahan bakar
bensin). Ragi meracuni diri sendiri jika konsentrasi ethanol mencapai kira-kira
13%. Fermentasi telah membuang sebuah karbohidrat ( C 3H603 ), mengoksidai
sebuah karbon dengan sempurna ( menjadi C0 2 ) dan mereduksi lainnya
( CH3CH2OH ) (Anonim, 2010).
\

VIII. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari percobaan ini adalah sebagai
berikut:
1. Tinggi kolom CO2 yang dihasilkan pada percobaan ini yaitu untuk tabung 1
sebesar 2,4 cm, tabung 2 tidak dihasilkan tinggi kolom CO 2, sedangkan untuk
tabung 3 dan 4 sebesar 1,5 cm.
2. Larutan fluorida dan larutan arsenat berfungsi sebagai penghambat atau
inhibitor kerja enzim dalam memecah glukosa menjadi etanol dan CO 2. Hal ini
dapat di tunjukkan dengan tinggi kolom CO 2 yang terbentuk pada masing-masing
tabung, untuk tabung peragian yang ditambahkan larutan fluoride dan arsenat
menghasilkan tinggi kolom CO2 yang lebih rendah dibandingkan pada control
positif ini menandakan bahwa adanya penghabatan proses glikolisis sehingga
CO2 yang terbentuk lebih sedikit.

Daftar Pustaka

Anonim. 2010. Glikolisis Dalam Sel Ragi. http://bukuhijau.blogspot.com/2010/03/reaksi-glikolisis-dalam-sel-ragi-dan.html. diunggah


30 April 2012.
Anonim. 2010. Glikolisis Dalam Sel Ragi. http://misspurplepharmacy.blogspot.com/2010/01/glikolisis-anaerob.html diunggah 30 April
2012.
Anonim. 2011. Glikolisis Dalam Sel Ragi
http://www.scribd.com/doc/80044357/71560310-Prak-Biokim-Glikolisis-Anaerob.
diunggah 01 Mei 2012.
Anonim. 2011. Glikolisis Dalam Sel Ragi
http://www.scribd.com/doc/29525485/Laporan-Praktikum-BIOKIM. diunggah 01
Mei 2012.
Pembina Mata Kuliah. 2012. Penuntun Praktikum Biokimia lanjut. Universitas
Tadulako. Palu

PERCOBAAN I
GLIKOLISIS DALAM SEL RAGI

I.

TUJUAN

Adapun tujuan dari percobaan ini adalah sebagai berikut:


1. Mempelajari/mengamati proses glikolisis di dalam sel ragi dengan mengukur
tinggi kolom CO2 yang terbentuk.
2. Mempelajari/mengamati pengaruh inhibitor seperti flourida dan arsenat
terhadap proses glikolisis.

II.

DASAR TEORI

Pada dasarnya metabolisme glukosa dapat dibagi dalam dua bagian yaitu yang
tidak menggunakan oksigen atau anaerob dan yang menggunakan oksigen atau
aerob. Reaksi anaerob terdiri atas serangkaian reaksi yang mengubah glukosa
menjadi asam laktat. Proses ini disebut glikolisis. Tiap reaksi dalam proses
glikolisis ini menggunakan enzim tertentu, misalnya seperti enzim heksokinase,
fosfoheksoisomerase, fosfofruktokinase, enolase, laktat dehidrogenase, piruvat
kinase, fosfogliseril kinase, dan lain-lain. Enzim yang mengkatalis reaksi dalam
tahapan glikolisis dijumpai di sitoplasma sel.

Sepuluh reaksi glikolisis terjadi didalam sitosol. Pada tahap pertama, glukosa
dikonversi menjadi fruktosa 1,6-bifosfat melalui reaksi fosforilasi, isomerasi, dan
fosforilasi kedua. Dua molekul ATP dipakai per molekul glukosa pada reaksireaksi ini. Pada tahap kedua, fruktosa 1,6 difosfat dipecah oleh aldolase
membentuk dihrosiaseton fosfat dan gliserildehida 3-fosfat, yang dengan mudah
mengalami interkonvensi. Gliseraldehida 3-fosfat kemudian mengalami oksidasi
dan fofforilasi membentuk 1-3-bisfosfogliserat, suatu asetil fosfat dengan potensi
transfer fosforil yang tinggi. 3-fosfogliserat kemudian terbentuk dan
ATPdihasilkan. Pada tahap akhir glikolisis, fosfoenolpiruvat, zat antara kedua
dengan potensi transfer yang tinggi, dibentuk melalui pergeseran fosforil dan
dehidrasi. ATP lainnya dihasilkan sewaktu fosfienolpiruvat dikonnversi menjadi
piruvat.

Glikolisis pada ragi dihasilkan 4 molekul ATP (masing-masing satu dari ke-2 DPGA
dan masing-masing satu dari ke-2 PEP). Jadi, hasil bersih glikolisis adalah 2
molekul ATP dari setiap molekul glukosa. Jika dalam ATP ini tersimpan 14,6 Kkal

(2 x 7,3) maka kira-kira 31 % dari energi yang tersedia (47 Kkal) tersimpan
dalam bentuk ATP.
Pada ragi asam piruvat didekarboksilasi (sebuah CO 2 dikeluarkan) sebelum
direduksi oleh NADH. Hasilnya ialah sebuah molekul CO 2 dan sebuah molekul
etanol (sebenarnya masing-masing dua molekul untuk setiap molekul glukosa
yang difermentasi).

C6H12O6

------>

Glukosa

2C2H5OH

2CO2
Etanol

Proses fermentasi alkohol merupakan suatu pemborosan. Sebagian besar dari


energi yang terkadung didalam glukosa masih terdapat didalam etanol (hal inilah
sebabnya mengapa etanol sering dipakai sebagai bahan bakar mesin). Proses
fermentasi alkohol sangat berbahaya. Ragi meracuni diri sendiri jika konsentrasi
etanol mencapai kira-kira 19 %. (hal ini menjelaskan kadar maksimum alkohol
minuman hasil fermentasi seperti anggur, untuk membuat minuman dengan
kadar alkohol yang lebih tinggi, alkohol tersebut harus dikonsentrasikan dengan
distilasi). Fermentasi alkohol telah membuang sebuah karbohidrat (CH 3H6O3);
mengoksidasi sebuah karbon dengan sempurna (menjadi CO 2) dan mereduksi
lainnya (CH3CH2OH).
Dalam beberapa jasad renik seperti ragi, glukosa dioksidasi menghasilkan etanol
dan CO2 dalam proses yang disebut fermentasi alkohol. Jalur metabolisme proses
ini sama dengan glikolisis sampai dengan terbentuknya piruvat. Dua tahap reaksi
enzim berikutnya adalah reaksi perubahan asam piruvat menjadi asetaldehide,
reaksi reduksi asetaldehide menjadi alkohol. Dalam reaksi yang pertama piruvat
didekarboksilasi diubah menjadi asetaldehide dan CO 2 oleh piruvat
dekarboksilase, suatu enzim yang tidak terdapat dalam hewan.
Reaksi dekarboksilasi ini merupakan reaksi yang tidak reversible, membutuhkan
ion Mg2+ dan koenzim tiamin piropospat. Dalam reaksi terakhir, asetaldehide
direduksi oleh NADH dengan enzim alkohol dehidrogenase, menghasilkan etanol.
Dengan demikian etanol dan CO2 merupakan hasil akhir fermentasi alkohol, dan
jumlah energi yang dihasilkannya sama dengan glikolisis anaerob, yaitu 2 ATP
(Fauziah, 2010).

III.

ALAT DAN BAHAN

Adapun alat dan bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu sebagai
berikut:
a.

Alat

o Tabung reaksi
o Pipet tetes
o Gelas kimia
o Gelas ukur
o Batang pengaduk
o Tabung peragian
o Statif dan klem
o Mistar
o Penangas listrik
o Selang
o Stopwatch
o Tissue

b.

Bahan

o Larutan flourida
o Larutan arsenat
o Suspensi ragi
o Larutan Ba(OH)2
o Larutan glukosa 2%
o Aquades

IV. PROSEDUR KERJA


Adapun prosedur kerja yang dilakukan pada percobaan ini adalah sebagai
berikut:
1.
Menyediakan 4 buah tabung peragian yang bersih dan kering dimana pada
tabung 1 digunakan sebagai control positif, tabung 2 sebagai control negative,
sedangkan pada tabung 3 dan 4 digunakan untuk melihat pengaruh inhibitor.
2.

Memipet ke dalam setiap tabung


Bahan

Tabung
1

Suspensi ragi

14 ml

14 ml

14ml

Suspensi ragi
yang telah
didihkan

14 ml

Larutan Flourida

0,5ml

Larutan arsenat

0,5 ml

Larutan glukosa

2 ml

2 ml

2 ml

2 ml

3.
Setelah mencampurkan dengan masing-masing larutan tersebut, menutup
tabung peragian yang terisi dengan suspense ragi kemudian membiarkan 15
menit dalam suhu kamar.

4.
Mengisi 4 buah tabung reaksi yang lain dengan larutan Ba(OH) 2 dan
meletakkannya pada masing-masing ujung selang dari tabung peragian (Tabung
1, 2, 3 dan 4).
5.
Setelah 15 menit, melakukan pengukuran terhadap tinggi kolom CO 2 yang
terbentuk pada setiap tabung tersebut, dan mengamati endapan yang terbentuk
pada tabung yang berisi Ba(OH)2.

V.

HASIL PENGAMATAN

Adapun prosedur kerja yang dilakukan pada percobaan ini adalah sebagai
berikut:
Tabun
g1

Tabun
g2

Tabun
g3

Tabun
g4

Kontro
l (+)

Kontro
l ( -)

+
Flourid
a

+
Arsen
at

Tinggi
kolom
mula-mula

4 cm

4 cm

4 cm

4 cm

Tinggi
kolom
CO2yang
terbentuk

2,2 cm

0,3 cm

2 cm

2,5 cm

Adanya
endapan

+++

++

Pengamata
n

Keterangan :
o

+++

Terdapat banyak endapan

++

Terdapat endapan

Terdapat Sedikit endapan

Tidak terbentuk endapan

Persamaan Reaksi

C6H12O6(aq)

Ba(OH)2(aq)

------>
+

CO2(g)

2C2H5OH(aq)
------>

2CO2(g)

BaCO3(s) + H2O(aq)

VI. PEMBAHASAN
Glikolisis adalah serangkaian rekasi biokimia dimana glukosa dioksidasi menjadi
molekul asam piruvat. Pada dasarnya metabolisme glukosa dapat dibagi dalam
dua bagian yaitu yang tidak menggunakan oksigen atau anaerob dan yang
menggunakan oksigen atau aerob. Reaksi anaerob terdiri atas serangkaian reaksi
yang mengubah glukosa menjadi asam laktat. Tiap reaksi dalam proses glikolisis
ini menggunakan enzim tertentu, misalnya seperti enzim heksokinase,
fosfoheksoisomerase, fosfofruktokinase, enolase, laktat dehidrogenase, piruvat
kinase, fosfogliseril kinase, dan lain-lain. Enzim yang mengkatalis reaksi dalam
tahapan glikolisis dijumpai di sitoplasma sel (Fauziah, 2010).
Percobaan ini dilakukan bertujuan untuk mempelajari atau mengamati proses
glikolisis di dalam sel ragi dengan mengukur tinggi kolom CO 2 yang terbentuk
serta mempelajari atau mengamati pengaruh inhibitor seperti flourida dan
arsenat terhadap proses glikolisis.
Pada percobaan ini, digunakan ragi atau sel ragi sebagai tempat berlangsungnya
proses glikolisis. Ragi (Saccharomyces cereviceae) merupakan zat yang
menyebabkan fermentasi. Ragi biasanya mengandung mikroorganismeyang
melakukan fermentasi dan media biakan bagi mikroorganisme
tersebut.Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam
keadaan anaerobik(tanpa oksigen). Sama halnya dengan proses glikolisis secara
aerob, proses fermentasi pada percobaan ini juga membutuhkan enzim untuk
mengubah glukosa menjadi alkohol dan CO2, enzim tersebut yaitu enzim simase
yang diperoleh dari ragi. Enzim merupakan senyawa protein yang berfungsi
sebagai katalis (senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi)
dalam suatu reaksi kimia. Selain itu, percobaan ini juga akan melihat pengaruh
inhibitor pada proses glikolisis. Dimana inhibitor merupakan suatu molekul atau
zat yang menghambat kerja enzim (Budiyanto, 2013)
Pada percobaan ini, pertama-tama dilakukan menyiapkan suspensi ragi cara
menambahkannya aquades. Dan juga menyiapkan suspensi ragi lainnya yang
dipanaskan atau dididihkan. Pemanasan ini bertujuan untuk merusak atau
menonaktifkan enzim yang berada dalam ragi tersebut. Enzim mempunyai suhu
optimum, dimana enzim akan bekerja optimal pada suhu tersebut dan akan
rusak atau tidak bekerja pada suhu dibawah atau diatas suhu optimumnya.
Setelah itu menyediakan 4 tabung peragian bersih yang telah dirangkaikan
dengan kran dan selang penghubungnnya. Dimana tabung pertama digunakan
sebagai kontrol positif, pada tabung ini dimasukkan 14 mL suspensi ragi tidak
dipanaskan. Tabung kedua digunakan sebagai kontrol negatif, pada tabung ini

dimasukkan 14 mL suspensi ragi telah mengamalami proses pemanasan.


Sedangkan untuk tabung ketiga dan keempat, masing-masing dimasukkan 13,5
mL suspensi ragi yang tidak mengalami proses pemanasan, setelah itu
ditambahkan dengan 0,5 mL larutan flourida pada tabung ketiga dan 0,5 mL
larutan arsenat pada tabung keempat. Tujuan penambahan kedua larutan ini
yaitu untuk melihat pengaruh inhibitor terhadap proses glikolisis sel ragi.
Perlakuan selanjutnya yaitu memasukkan 5 mL larutan glukosa 2% ke dalam
empat tabung tersebut disecara bersamaan dan dengan segera menutup
keempat tabung tersebut agar tidak ada oksigen yang masuk, hal ini bertujuan
agar proses glikolisis dalam sel ragi dapat berjalan sempurna dalam keadaan
anaerob sehingga menghasilkan etanol dan gas CO 2. Adapun tujuan
penambahan larutan glukosa 2% secara bersamaan yaitu untuk membuat proses
glikolisis dalam sel ragi ini berjalan secara bersamaan sehingga pengamatan
terhadap hasil perlakuan ini dapat diperoleh secara tepat. Larutan glukosa ini
berfungsi sebagai substrat yang akan diubah oleh enzim (enzim simase) dalam
ragi menjadi etanol dan gas CO2. Setelah itu, membolak balikkan keempat
tabung tersebut sebanyak 4 kali dengan tujuan untuk menghomogenkan larutan
yang berada di dalamnya, lalu mengukur tinggi kolom tabung tersebut sebelum
terbentuk gas. Kemudian meletakkan ujung selang ke dalam tabung reaksi yang
berisi larutan Ba(OH)2, dan membuka kran dari tabung peragian tersebut.
Dimana tujuan penambahan Ba(OH)2 yaitu untuk mengamati banyaknya gas
CO2 yang terbentuk dengan cara melihat kadar endapan yang terbentuk.
Perlakuan selanjutnya yaitu mendiamkan keempat tabung selama 15 menit.
Dimana proses pendiaman ini bertujuan untuk memaksimalkan proses glikolisis
yang terjadi dalam sel ragi. Setelah 15 menit, terbentuk gas CO 2 yang ditandai
dengan bertambahnya tinggi kolom tabung peragian. Setelah itu, dilakukan
proses pengukuran terhadap panjang kolom CO 2 yang terbentuk dari masingmasing tabung peragian tersebut. Adapun tinggi kolom CO 2 yang diperoleh,
untuk tabung pertama tinggi kolom CO2 yaitu 2,2 cm, tabung kedua 0,3 cm,
tabung ketiga 2 cm dan tabung keempat 2,5 cm. Berdasarkan hasil tersebut,
terlihat bahwa proses glikolisis berjalan lebih baik pada tabung peragian
keempat sedangkan yang paling lambat yaitu pada tabung peragian kedua. Hal
ini terlihat karena semakin tinggi kolom tabung peragian maka gas CO 2 yang
terbentuk semakin banyak yang berarti proses hidrolisis glukosa berjalan dengan
baik. Hasil yang diperoleh ini sedikit berbeda dengan literatur, yaitu pada tabung
keempat, dimana seharusnya pada tabung ini tinggi kolom CO 2 yang terbentuk
tidak lebih besar dari tabung pertama, karena adanya larutan flourida sebagai
inhibitor. Kesalahan ini kemungkinan dikarenakan tutup tabung yang tidak rapat
dan oksigen masuk oksigen, sehingga proses terbentuknya etanol dan gas
CO2tidak maksimal. Selain itu, percobaan ini telah sesuai dengan literatur, yaitu
pada tabung pertama mengalami proses glikolisis yang baik sedangkan yang
paling lambat adalah tabung peragian kedua. Hal ini karena pada tabung
pertama enzim dan sel ragi masih berfungsi dengan baik, sedangkan pada
tabung kedua enzim dan sel ragi telah mengalami kerusakan akibat dipanaskan
sedangkan untuk tabung ketiga proses glikolisis sedikit lambat karena adanya
inhibitor yang akan menghambat proses glikolisis.

Pada percobaan ini juga mengamati endapan yang terbentuk pada tabung reaksi
yang berisi Ba(OH)2. Dimana endapan merupakan endapan BaCO 3 yang berasal
dari larutan Ba(OH)2 yang bereaksi dengan gas CO2 dari hasil glikolisis. Hasil
pengamatan yang diperoleh telah sesuai dengan literatur dimana endapan
BaCO3 terbanyak ada pada tabung pertama sedangkan pada tabung kedua tidak
terdapat endapan, dan untuk tabung ketiga dan keempat diperoleh endapan
BaCO3 lebih sedikit dibandingkan dengan tabung pertama.
Pada percobaan ini juga dapat diamati kadar etanol yang terbentuk dan kadar
glukosa yang bersisa. Dimana menurut literatur, jika dilihat dari kadar etanol
yang terbentuk, maka dapat diurutkan dari yang memiliki kadar etanol
terbanyak hingga sedikit yaitu tabung pertama, tabung ketiga dan keempat
serta tabung kedua. Sedangkan untuk kadar glukosa yang tersisa, diurutkan dari
yang memiliki kadar glukosa terbanyak hingga sedikit yaitu tabung kedua,
tabung ketiga dan keempat lalu tabung pertama. Hal tersebut saling berbanding
terbalik. Hal ini karena pembentukkan etanol sejalan dengan pembentukan gas
CO2dimana semakin baik kondisi enzim dalam sel ragi maka proses
pembentukan etanol akan semakin banyak. Dan sebaliknya jika kondisi enzim
tidak baik, maka kadar etanol dan CO2 yang terbentuk sedikit sehingga kadar
glukosa yang bersisa akan banyak. Kondisi enzim dipengaruhi oleh banyak
faktor, yang mana pada percobaan ini dipengaruhi oleh suhu dan inhibitor
(Poedjiadi, 2005).

VII.

KESIMPULAN

Berdasarkan tujuan dan hasil pengamatan dapat ditarik kesimpulan sebagai


berikut:
1. Proses glikolisis dalam sel ragi dapat terjadi secara anaerob dengan bantuan
enzim simase, menghasilkan etanol dan gas CO 2. Adapun tinggi kolom CO2yang
terbentuk pada percobaan ini, sebagai berikut:
-

Tabung 1

2,3 cm

Tabung 2

0,3 cm

Tabung 3

2,0 cm

Tabung 4

2,5 cm

2. Larutan fluorida dan larutan arsenat berfungsi sebagai inhibitor atau


penghambat kerja enzim dalam memecah glukosa menjadi etanol dan CO 2. Hal

ini dapat di tunjukkan dengan tinggi kolom CO 2 yang terbentuk pada masingmasing tabung, yang berbeda.

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Metabolisme adalah suatu proses yang terjadi di dalam suatu organisme atau sel hidup.
Jalur metabolisme terbagi menjadi tiga bagian yaitu jalur metabolisme yang mengkatalisis
pemecahan suatu senyawa disebut jalur katabolisme, jalur untuk proses sintesis suatu
senyawa dalam sel disebut anabolisme dan jalur yang digunakan untuk proses pemecahan
dan proses sintesis disebut jalur amfibolisme. Jalur metabolisme dan reaksi-reaksi yang
terjadi di dalam jalur metabolisme, baik pada organisme sederhana seperti bakteri, maupun
organisme tingkat tinggi seperti mamalia. Glikolisis jalur utama dalam metabolisme
karbohidrat untuk mengahasilkan energi dan berperan sebagai jalur amfibolik yang bersama

dengan siklus asam sitrat serta berfungsi setiap saat dan tersebar dalam seluruh makhluk
hidup.
Glukosa yang terdapat dalam larutan dipanaskan dalam larutan tembaga alkalis.Glukosa
akan mereduksi ion kupri menjadi senyawa kupro yang tidak terlarut. Pada penambahan
pereaksi asam fosfomlibadat, senyawa kupro akan larut dan mereduksi ion fosfomlibdat
yang berwarna biru tua.

Tujuan
Tujuan umum dari laporan praktikum ini adalah mengamati sifat-sifat fisik dariglikolisis dan
kadar glukosa
Tujuan khusus dari laporan praktikum adalah untuk:
1. Mempelajari proses glikolisis yang terjadi dalam sel ragi dengan mengukur kadar
glukosa yang tersisa, tinggi kadar etanol dan tinggi kolom CO2 yang dihasilkan.
2.

Mempelajari pengaruh inhibitor seperti flourida dan arsenat terhadap proses glikolisis.

TINJAUAN PUSTAKA
Karbohidrat merupakan produk primer fotosintesis dan juga merupakan sumber
energi utama untuk sistem kehidupan. Karbohidrat didefinisikan sebagai
polihidroksialaldehid atau polihidroksiketon dan derivatnya. Suatu karbohidrat merupakan
suatu aldehid (-CHO ) jika oksigen karbonil berkaitan dengan suatu atom karbon terminal,
dan suatu keton (=C=0 ) jika oksigen karbonil berkaitan dengan deoksi dan amino. Dalam
alam, karbohidrat terdapat sebagai monosakarida ( gula individual dan sederhana ),
oligosakarida, dan polisakarida. Oligosakarida umumnya didefinisikan sebagai suatu
molekul yang mengandung dua hingga sepuluh unit monosakarida, beberapa di antaranya
mempunyai berat molekul beberapa juta. .( Armstrong, 1995 ).Karbohidrat atau sakarida
adalah polisakarida aldehid atau polihidroksi keton, atau senyawa yang dihidrolisis dari
keduanya. Unsur utama penyusun karbohirat adalah karbon, hydrogen dan oksigen.
Karbohidrat juga pusat metabolisme tanaman hijau dan organisme fotosintetik lain yang
menggunakan energi matahari untuk melakukan pembentukan karbohidrat, karbohidrat

yang terdapat dalam bentuk pati dan gula berfungsi sebagai bagian utama energi yang
dikonsumsi oleh kebanyakan organisme dimuka bumi ini. Sebagai pati dan glikogen,
karbohidrat berfungsi sebagai penyedia sementara glukosa. Karbohidrat dapat berfungsi
juga sebagai penyangga di dalam dinding sel bakteri dan tanaman serta pada jaringan
pengikat dan dinding sel organisme hewan. Karbohidrat jenis lain dapat berfungsi sebagai
pelumas sendi kerangka, sebagai perekat diantara sel, dan senyawa pemberi spesifitas
biologi pada permukaan sel hewan. Sifat kimia karbohidrat berhubungan erat dengan gugus
fungsi yang dimilikinya, seperti gugus OH, gugus aldehida dan gugus keton. Beberapa
jenis karbohidrat mempunyai sifat dapat mereduksi bebas dalam molekul karbohidrat.sifat ini
dapat digunakan untuk identifikasi karbohidrat dan tampak pada reaksi reduksi ion-ion
logam misalnyaa ion Cu++ dan ion Ag+.
Metabolisme karbohidrat seperti halnya metabolisme lainnya terdiri dari reaksi
katabolisme dan anabolisme. Tujuan katabolisme karbohidrat adalah untuk mendapatkan
energi yang tersimpan dalam senyawanya. Energi yang dihadilkan biasanya tersimpan lagi
dalam senyawa energi tinggi sebelum digunakan. Sementara anabolisme karbohidrat
bertujuan untuk memasok karbohidrat pada makhluk hidup sebagai salah satu nutrient
utama yang dibuat dari senyawa-senyawa yang amat sederhana seperti CO2 atau senyawa
lainnya (Abdul Hamid, 2001).
Ragi
Ragi adalah fungsi ekasel (uniselular) yang beberapa jenis spesies umumnya
digunakan untuk membuat roti, fermentasi minuman beralkohol, dan bahkan digunakan
percobaan bahan bakar. Kebanyakan ragi merupakan anggota devisi Ascomycota,
walaupun ada yang digolongkan dalam Basidiomiycota. Selain itu ragi adalah
mikroorganisme hidup yang dapat ditemukan dimana-mana. Ragi berasal dari keluarga
fugus bersel satu dari genus saccaharomyces, spesies cerevisae, dan memiliki ukuran 6-8
mikron. Dalam 1 gram ragi padat, terdapat kurang lebih 10 milyar sel hidup. Ragi ini
membentuk bulat telur, dan dilindungi oleh dinding membrane yang semi berpori (semi
permeable), melakukan reproduksi dengan cara membelah diri, dan dapat hidup
dilingkungan tanpa oksigen (anaerob) maupun dengan oksigen (aerob). Untuk bertahan
hidup ragi membutuhkan air, makannan, dan lingkungan yang sesuai (Darwindra S 2009).
Ragi merupakan starter/inokulum tradisional Indonesia untuk membuat berbagai
macam makanan fermentasi seperti tape ketan/singkong. brem cair/padat dll. Mikroba yang
terkandung dalam ragi umumnya berupa kultur campuran (mixed culture) terdiri dari kapang,
khamir dan bakteri. Beragamnya bumbu rempah yang digunakan dalam pembuatan ragi
menjadikan jenis, populasi dan keaktifan mikroba dalam ragi sangat beragam, sehingga sulit
untuk mendapatkan ragi dengan kualitas yang seragam. Salah satu cara mengatasi
permasalahan tersebut adalah dengan membuat ragi menggunakan mikroba murni yang
diketahui memiliki aktivitas amilolitik dan berperan dalam proses fermentasi.( tita rialita, 2004
)
Ragi yang digunakan tentu saja bebeda-beda sesuai dengan produk yang
diinginkan. Ada tiga jenis ragi yang umum dikenal, yaitu, ragi tape, ragi roti, dan
ragi tempeatau oncom. Ragi tape berwujud padat dengan bentuk bulat pipih berwarna putih,
ragi roti berbentuk butiran, dan ragi tempe berbentuk bubuk. Ragi roti dan
ragi tempe mengandung mikroorganisme yang sama yaitu saccaharomyces cerevisae.

Ragi Tape
Tape merupakan makanan fermentasi tradisional yang sudah tidak asing lagi. Tape
dibuat dari beras, beras ketan, atau dari singkong (ketela pohon). Berbeda dengan
makanan-makanan fermentasi lain yang hanya melibatkan satu mikroorganisme yang
berperan utama, seperti tempe atau minuman alkohol, pembuatan tape melibatkan banyak
mikroorganisme. Inokulum tape, atau sering disebut ragi tape, telah lama diteliti.
Mikroorganisme yang terdapat di dalam ragi tape adalah kapang Amylomyces
rouxii, Mucor sp., dan Rhizopus sp.; khamir Saccharomycopsis fibuligera,Saccharomycopsis
malanga, Pichia burtonii, Saccharomyces cerevisiae, dan Candida utilis; serta
bakteri Pediococcus sp. dan Bacillus sp. Kedua kelompok mikroorganisme tersebut bekerja
sama dalam menghasilkan tape (Gandjar 2004).
Mikroorganisme dari kelompok kapang akan menghasilkan enzim-enzim amilolitik yang akan
memecahkan amilum pada bahan dasar menjadi gula-gula yang lebih sederhana
(disakarida dan monosakarida). Proses tersebut sering dinamakan sakarifikasi
(saccharification). Kemudian khamir akan merubah sebagian gula-gula sederhana tersebut
menjadi alkohol. Inilah yang menyebabkan aroma alkoholis pada tape. ( Milmi, 2008 ).
Ragi Roti
Ragi roti. Merupakan jasad renik sejenis jamur yang berkembang biak dengan
sangat cepat dan menghasilkan fermentasi yang mampu mengubah pati dan gula menjadi
karbon dioksida dan alkohol. Saccharomyces cerevisiae biasa digunakan untuk ragi
roti. Ada tiga jenis yang terkenal, yang segar, yang dikeringkan, dan brewer's yeast. Jenis
yang segar dan yang kering sering dipakai untuk membuat roti dan kue-kue. Jenis ragi
kering yang lebih praktis dan menghemat waktu adalah ragi instan, yang bisa langsung
dicampur dengan bahan lain. Brewer's yeast yang agak cair dipakai oleh para pembuat bir
dan minuman lain yang beragi).
Glikolisis
Glikolisis adalah urutan tertentu yang melibatkan sepuluh reaksi antara senyawa (salah satu
langkah yang melibatkan dua zat antara). Glikolisis dianggap sebagai pola dasar yang
universal jalur metabolisme. Terjadi, dengan variasi, di hampir semua organisme, baik
aerobik dan anaerobik.
Fermentasi anaerobik sederhana, metabolisme dari satu molekul glukosa menjadi dua
molekul piruvat memiliki hasil bersih dua molekul ATP. Sebagian besar sel kemudian akan
melakukan reaksi lebih lanjut untuk membayar yang digunakan NAD + dan menghasilkan
produk akhir dari etanol atau asam laktat. Banyak bakteri menggunakan senyawa anorganik
sebagai akseptor hidrogen untuk meregenerasi NAD +. Sel melakukan respirasi aerobik
lebih mensintesis ATP, tetapi bukan sebagai bagian dari glikolisis. Ini reaksi aerobik lebih
lanjut menggunakan piruvat dan NADH + H + dari glikolisis. Eukariotik respirasi aerobik
tambahan menghasilkan kira-kira 34 molekul ATP untuk setiap molekul glukosa, namun
sebagian besar diproduksi oleh mekanisme yang sangat berbeda pada tingkat substrat
fosforilasi dalam glikolisis. Produksi energi yang lebih rendah, per glukosa, respirasi anaerob
relatif terhadap respirasi aerobik, menghasilkan fluks yang lebih besar melalui jalur di bawah

hipoksia (oksigen rendah) kondisi, kecuali alternatif sumber-oxidizable anaerobik substrat,


seperti asam lemak, yang ditemukan.
Pada dasarnya metabolisme glukosa dapat dibagi dalam dua bagian yaitu yang tidak
menggunakan oksigen atau anaerob dan yang menggunakan oksigen atau aerob. Reaksi
anaerob terdiri atas serangkaian reaksi yang mengubah glukosa menjadi asam laktat.
Proses ini disebut glikolisis. Tiap reaksi dalam proses glikolisis ini menggunakan enzim
tertentu, misalnya seperti enzim heksokinase, fosfoheksoisomerase, fosfofruktokinase,
enolase, laktat dehidrogenase, piruvat kinase, fosfogliseril kinase, dan lain-lain. Enzim yang
mengkatalis reaksi dalam tahapan glikolisis dijumpai sitoplasma sel. Disinilah glikolisis
berlangsung. Glikolisis dimulai dengan fosforilasi glukosa menjadi glukosa 6 fosfat.
Jalur glikolisis mempunyai peran ganda, yakni degradasi glukosa untuk
menghasilkan ATP, dan memberikan unit-unit penyusun untuk sintesis komponen-komponen
sel. Kecepatan konversi glukosa piruvat diatur sesuai dengan dua keperluan utama sel ini.
Pada reaksi fisiologis, reaksi-reaksi glikolisis dengan mudah reversibel kecuali reaksi-reaksi
yang dikalisis oleh heksokinase, fosfofruktokinase, dan piruvat kinase. Fosfofruktokinase,
elemen pengontrol terpenting pada glikolisis, dihambat oleh kadar tinggi ATP dan sitrat, dan
diaktifkan oleh AMP dan fruktosa 2,6 bifosfat. Pada hati, bifosfat menandakan bahwa
glukosa berlimpah. Karenanya, fosfofruktokinase aktif bila diperlukan energi atau unit-unit
penyusun. Hksokinase dihambat oleh glukosa 6-fosfat, yang berakumulasi bila
fosfofruktokinase aktif. Piruvat kinase situs pengontrol lainnya, secara alosterik dihambat
oleh ATP dan alanin, dan diaktif oleh fruktosa 1,6 bifosfat. Akibatnya, piruvat kinase aktif
maksimal bila muatan energi rendah dan zat-zat ntara glikolisis menumpuk. Piruvat kinase,
seperti enzim bifungsi yang mengontrol kadar fruktosa 2,6 bisfosfat, diatur melalui fosforilasi.
Kadar glukosa yang rendah dalam darah mendorong fosforilasi pirivat kinase hati, sehingga
aktivitasnya menurun dengan demikian menurunkan pemakaian glukosa dalam hati
Metabolisme adalah suatu proses reaksi kimia yang terjadi di dalam makhluk hidup, mulai
dari makhluk bersel satu yang sangat sederhana seperti bakteri, jamur, tumbuhan, hewan
sampai manusia. Di dalam proses ini makhluk hidup mendapat, mengubah, dan memakai
senyawa kimia dari sekitarnya untuk kelangsungan hidupnya. Kelangsungan reaksi kimia di
dalam metabolisme dari permulaan sampai ke suatu hasil akhir disebut jalur metabolisme.
(pathway). Senyawa yang terbentuk selama jalur metabolisme berlangsung disebut
senyawa antara (intermediate).
Metabolisme meliputi proses sintesis (anabolisme) dan proses penguraian (katabolisme)
senyawa atau komponen di dalam sel hidup. Melalui jalur anabolisme terbentuk senyawa.
Diperlukan sejumlah energi supaya proses anabolisme terjadi. Reaksi kimia yang terjadi
meliputi sintesis dari ikatan .C-C- (sintesa asam lemak), ikatan .CO-N- (sintesa protein),
ikatan C-N- (sintesis urea), dan ikatan .C-O- (sintesa trigliserida) memerlukan energi. Unsur
kimia dan senyawa digunakan untuk membentuk senyawa baru yang lebih besar.
Sebaliknya melaui jalur katabolisme akan terjadi penguraian senyawa menjadi komponen
yang lebih kecil. Misalnya, katabolisme glukosa akan terurai menjadi karbon dioksida (CO2)
dan air (H2O). Di dalam proses katabolisme sejumlah energi dilepaskan; sebagian dipakai
oleh sel dan sisanya hilang sebagai panas. Produksi energi untuk keperluan sel terjadi
dalam tiga tahap;

(1) molekul-molekul besar komponen makanan seperti protein, pati, lemak dipecah selama
proses pencernaan dan penyerapan menjadi molekul-molekul yang lebih kecil seperti asam
amino, monosakarida dan asam lemak
(2) sebagian besar molekul-molekul yang lebih sederhana ini selanjutnya diuraikan menjadi
senyawa antara (intermediate) yang terdiri dari dua atom karbon yakni asam asetat
(CH3COOH), dan
(3) asam asetat dipecah menjadi air dan karbon dioksida.
Elektron dan ion hidrogen yang dilepaskan selama proses metabolisme ini
disumbangkan ke atom oksigen membentuk air. Sebahagian energi yang dihasilkan di
dalam proses katabolisme ini memicu sintesa adenosin triphosphat (ATP). ATP adalah
energi di dalam suatu bentuk yang digunakan sel (Simanjuntak dan Silalahi 2003).
Glukosa
Glukosa (C6H12O6, berat molekul 180.18) adalah heksosamonosakarida yang
mengandung enam atom karbon. Glukosa merupakan aldehida (mengandung gugus
-CHO). Lima karbon dan satu oksigennya membentuk cincin yang disebut "cincin piranosa",
bentuk paling stabil untuk aldosa berkabon enam. Dalam cincin ini, tiap karbon terikat pada
gugus samping hidroksil dan hidrogen kecuali atom kelimanya, yang terikat pada atom
karbon keenam di luar cincin, membentuk suatu gugus CH2OH. Struktur cincin ini berada
dalam kesetimbangan dengan bentuk yang lebih reaktif, yang proporsinya 0.0026%
pada pH 7.
Glukosa diserap ke dalam peredaran darah melalui saluran pencernaan. Sebagian glukosa
ini kemudian langsung menjadi bahan bakar sel otak, sedangkan yang lainnya menuju hati
dan otot, yang menyimpannya sebagai glikogen dan sel lemak, yang menyimpannya
sebagai lemak. Glikogen merupakan sumber energi cadangan yang akan dikonversi kembali
menjadi glukosa pada saat dibutuhkan lebih banyak energi. Meskipun lemak simpanan
dapat juga menjadi sumber energi cadangan, lemak tak pernak secara langsung dikonversi
menjadi glukosa. Fruktosa dan galaktosa, gula lain yang dihasilkan dari pemecahan
karbohidrat, langsung diangkut ke hati, yang mengkonversinya menjadi glukosa.
Metode Folin wu
Metode Follin Wu digunakan dalam analisis kuantitatif gula dalam darah. Prinsip
pengukuran kadar glukosa darah dengan metode Folin Wu adalah ion kupri akan direduksi
oleh gula dalam darah menjadi kupro dan mengendap menjadi Cu2O. Penambahan pereaksi
fosfomolibdat akan melarutkan Cu2O dan warna larutan menjadi biru tua, karena ada oksida.
Dengan demikian, banyaknya Cu2O yang terbentuk berhubungan linier dengan banyaknya
glukosa di dalam darah. Filtrat yang berwarna biru tua yang terbentuk akibat melarutnya
Cu2O karena oksida Mo dapat diukur kadar glukosanya dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm.

METODOLOGI

Waktu dan Tempat


Praktikum pengujian glikolisis ini dilakukan pada tanggal 24 Februari 2011 pada
pukul 13.00-16.30 WIB. Tempat praktikum di Laboratorium Biokimia lantai dua Departemen
Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, IPB Darmaga.

Bahan dan Alat


Glikolisis
Bahan-bahan yang digunakan dalam uji glikolisis adalah suspensi ragi, larutan
glukosa 2%, dan larutan flourida. Alat-alat yang digunakan adalah gelas kimia, pipet, gelas
ukur, dan tabung peragian.

Pembuatan Filtrat Bebas Protein dengan Cara Folin Wu


Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan filtrat bebas protein dengan cara
Folin Wu adalah akuades, larutan natrium tungstat 10%, larutan asam sulfat (H2SO4) 2/3N,
dan bahan yang akan diuji. Alat-alat yang digunakan dalam uji ini adalah labu erlenmeyer,
pipet, gelas ukur, gelas kimia, dan kertas saring.

Pengukuran Kadar Glukosa


Pengukuran kadar glukosa menggunakan bahan-bahan yaitu filtrat bebas protein, pereaksi
asam fosfomoblidat dan natrium tungstat, larutan standar glukosa mengandung 0,1 mg/mL,
dan larutan tembaga alkalis mengandung natrium karbonat, tembaga sulfat, dan asam
tartrat. Alat-alat yang digunakan adalah gelas kimia, pipet, gelas ukur, penangas air, tabung
reaksi, plastik wrap, puvet, dan spektrofotometer.

Penetapan Kadar Etanol


Bahan-bahan yang digunakan dalam penetapan kadar etanol adalah dikromat asam, larutan
flourida, bahan yang akan diuji, akuades, dan larutan Na2CO3 20%. Alat-alat yang digunakan
adalah piring Conway dengan penutupnya, pipet, gelas kimia, tabung reaksi, puvet, dan
spektrofotometer.

Prosedur Percobaan
Disediakan 3 tabung peragian:
- Tabung 1: kontrol positif
- Tabung 2: kontrol negatif
- Tabung 3: inhibitor

Glikolisis

Tabung
1

Suspensi ragi

14 mL

13,5 mL

13,5 mL

Suspensi ragi yang telah didihkan

14 mL

Larutan flourida

2 mL

Larutan glukosa 2%

2 mL

2 mL

2 mL

Setelah 15 menit, dilakukan


2 mL
pengukuran:
- Tinggi kolom CO2 yang
terbentuk pada lengan tertutup
- Kadar glukosa
- Kadar etanol

Gambar 1 Prosedur percobaan uji glikolisis

Pembuatan Filtrat Bebas Protein dengan Cara Folin Wu

Gambar 2 Prosedur percobaan pembuatan filtrat bebas protein


dengan cara Folin Wu

Pengukuran Kadar Glukosa


Dipipetkan ke dalam tabung:

Tabung

Larutan

Filtrat bebas protein


(mL) 4 piring
- Conway:
Disediakan

2,0

2,0

Standar glukosa-(mL)
Piring 1: kontrol- positif

2,0

2,0

Akuades (mL)

2,0
- Piring 2: kontrol negatif

Pereaksi tembaga alkalis (mL) 2,0


2,0
2,0
2,0
2,0
- Piring 3: pengaruh flourida
Dicampurkan dengan cara menggoyang-goyangkan tabung. Diletakkan di
- Piring 4: standar
penangas air mendidih selama 8 menit, kemudian didinginkan dalam air
selama 3 menit
Asam fosfomoblidat (mL)

2,0

2,0

2,0

2,0

2,0

Dicampurkan dengan baik. Didiamkan 3 menit untuk melarutkan Cu2O,


kemudian diencerkan sampai 25 mL dengan akuades. Dibaca serapan tiap
tabung dengan spektrofotometer pada = 420 nm
Penetapan Kadar Etanol

Dipipetkan bersebelahan pada bagian (lingkaran)


luar piring Connway:
- 0,5 mL larutan yang diperiksa atau 0,5 mL
larutan standar
-

1 mL Na2CO3

Gambar 3 Prosedur percobaan penetapan kadar etanol

HASIL DAN PEMBAHASAN


Proses glikolisis merupakan jalur utama dalam metabolisme karbohidrat untuk
menghasilkan energi. Jalur glikolisis berfungsi pada seluruh makhluk hidup, mulai dari
bakteri hingga manusia. Pada percobaan proses glikolisis kali ini menggunakan sel ragi
yang akan menghasilkan etanol dan CO2. Proses glikolisis yang dilakukan adalah mengukur
tinggi kolom CO2, mengukur kadar glukosa, dan mengukur tinggi kadar etanol CO2 yang
dihasilkan.
Karbondioksida (CO2)
Pengukuran tinggi kolom CO2 dilakukan dengan mempersiapkan tiga jenis tabung yang
terdiri dari kontrol positif, kontrol negatif dan inhibitor. Kontrol positif merupakan tabung
kontrol yang diberikan perlakuan penambahan suspensi sampel uji dengan suspensi sampel
pendukung, dalam hal ini adalah larutan glukosa 2%, kontrol negatif merupakan tabung
kontrol yang diberikan perlakuan suspensi sampel penghambat, dalam hal ini adalah
suspense sampel uji yang telah didihkan dan diberikan suspense sampel pendukung, yakni
larutan glukosa 2%, sedangkan tabung inhibitor merupakan tabung yang diberi perlakuan
yang berlawanan, dalam percobaan kali ini adalah larutan arsenat dan flourida. Hasil
praktikum pengukuran CO2 dilakukan secara kualitatif dengan mengamati gelembunggelembung gas yang dihasilkan. Hasil percobaan pengukuran kolom CO2 dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1 Pengamatan Kolom CO2
Jenis Ragi

Kolom CO2
Kontrol (+)

Kontrol (-)

Inhibitor

Tape

++

Oncom

Ragi

+++

Keterangan : (+) = ada sedikit ; (++) = ada banyak ; (-) = tidak ada

Berdasarkan hasil pengukuran tinggi Kolom CO2 diatas dengan perlakuan control positif
yang memiliki tinggi gelembung paling banyak terdapat pada ragi roti, disebabkan karena
ragi roti berkembang biak dengan sangat cepat dan menghasilkan fermentasi yang mampu
mengubah pati dan gula menjadi karbon dioksida dan alkohol. Ragi roti biasa digunakan
adalah Saccharomyces cerevisiae.
Pada control negatif yang memiliki tinggi gelembung CO2 yaitu pada ragi tape,
disebabkan karena ragi tape melibatkan banyak mikroorganisme. Sehingga proses
pemanasan yang dilakukan pada perlakuan control negatif pada ragi tape, tidak seluruhnya
menginaktifkan enzim-enzim glikolisis pada mikroorganisme ragi tape. Mikroorganisme yang
terdapat di dalam ragi tape adalah jenis kapang Amylomyces rouxii,Mucor sp.,

dan Rhizopus sp.; khamir Saccharomycopsis fibuligera, Saccharomycopsis malanga, Pichia


burtonii, Saccharomyces cerevisiae, dan Candida utilis; serta bakteriPediococcus sp.
dan Bacillus sp.
Perlakuan inhibitor dengan penambahan pereaksi florida pada masing-masing ragi,
didapatkan bahwa ragi roti terdapat sedikit gelembung CO2 dibandingkan dengan ragi tape
dan ragi oncom yang tidak terdpat gelem,bung CO2. Hal ini disebabkan karena larutan
fluoride yang ditambahkan berperan sebagai larutan penghambat dalam proses glikolisis
pada ragi. Selain itu pada ragi roti. merupakan jasad renik sejenis jamur yang berkembang
biak dengan sangat cepat dan menghasilkan fermentasi yang mampu mengubah pati dan
gula menjadi karbon dioksida dan alkohol. Ragi roti yang biasa digunakan
adalah Saccharomyces cerevisiae.
Penetapan Kadar Glukosa Cara Follin Wu

Metode Follin Wu digunakan dalam analisis kuantitatif gula dalam ragi. Prinsip pengukuran
dengan metode Folin Wu adalah ion kupri direduksi oleh gula dalam ragi menjadi kupro dan
mengendap menjadi Cu2O. Penambahan pereaksi fosfomolibdat akan melarutkan Cu2O dan
warna larutan menjadi biru tua, karena ada oksida. Dengan demikian, banyaknya Cu2O yang
terbentuk berhubungan linier dengan banyaknya glukosa di dalam ragi. Filtrat yang
berwarna biru tua yang terbentuk akibat melarutnya Cu2O karena oksida mikroorganisme.
Penambahan 7 ml aquadest dengan 1 ml suspensi bertujuan untuk mengencerkan suspensi
ragi, kemudian homogenkan dengan cara menggoyang-goyangkan labu. Selanjutnya
ditambahkan larutan Na-tungstat 10% untuk menghasilkan endapan protein akibat
kombinasi ion asam dengan bentuk kation protein. Filtrat yang telah ditambahlan
H2SO4 tetes demi tetes kemudian di saring dengan kertas saring agar terpisah dari endapan
protein sehingga didapatkan filtrat bebas protein. Kemudian setelah didapatkan filtrat bebas
protein ditambahkan standar glukosa, aquades sesuai dengan pembagian masing-masing
tabung. Selanjutnya ditambahkan pula pereaksi tembaga alkalis yang akan mereduksi ion
kupri menjadi senyawa kupro dan senyawa fosfomolibdat yang melarutkan Cu2O dan warna
larutan menjadi biru tua, dan intensitas warna tersebut menyatajkan jumlah glukosa yang
ada. Kadar glukosa dapat diukur dengan melihat absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Berdasarkan hasil pengujian
absorbansi ketiga jenis kemudian dapat dihitung kadar glukosa yang dihasilkan pada
masing-masing sampel. Hasil pengukuran kadar glukosa dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Pengukuran Kadar Glukosa (mg/100ml)
Jenis Ragi

Kontrol (+)

Kontrol (-)

Inhibitor

Tape

61.4

71.4

81.1

Oncom

61.2

67.2

108.3

Roti

10.7

43.8

43.4

Berdasarkan table tersebut didapatkan bahwa tape dan oncom memiliki absorbansi yang
hampir sama yaitu sebanyak 61,4 serta 61,2, adapun ragi adalah 10,7. Hal tersebut
menunjukkan bahwa ragi pada tape dan oncom memiliki kadar glukosa yang tinggi,
berkaitan dengan semakin tinggi glukosa maka kadar CO2 dan etanolnya rendah, pada
pengukuran tinggi CO2 pada ragi tape dan oncom lebih rendah daripada ragi roti, begitupula
kadar etanol pada tape dan oncom lebih rendah dibandingkan dengan roti.
Pada perlakuan kontrol negatif diketahui bahwa tape dan oncom memiliki kadar
glukosa yang tinggi dibandingkan dengan roti. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
perlakuan pemanasan pada setiap ragi yang diuji, tape dan oncom memiliki kadar glukosa
yang tinggi dibandingkan oncom, dengan ragi tape berada di urutan teratas tingkat/kadar
glukosanya, hal ini disebabkan karena pada ragi tape terdiri atas berbagai mikroorganisme
yaitu pada adalah kapang Amylomyces rouxii, Mucor sp., dan Rhizopussp.;
khamir Saccharomycopsis fibuligera, Saccharomycopsis malanga, Pichia
burtonii,Saccharomyces cerevisiae, dan Candida utilis; serta bakteri Pediococcus sp.
danBacillus sp, dimana banyaknya mikroorganisme akan menghasilkan enzim-enzim
amilolitik yang akan memecahkan amilum pada bahan dasar menjadi gula-gula yang lebih
sederhana dan banyak menghasilkan glukosa dibandingkan dengan ragi yang hanya
melibatkan satu mikroorganisme yang berperan utama dalam proses fermentasinya.
Penambahan inhibitor fluoride dapat menghambat dalam proses glikolisis pada ragi.
Berdasarkan hasil absorbansi pada setiap ragi yang ditambahkan inhibitor, ragi yang
memiliki glukosa tertinggi adalah oncom yaitu sebanyak 108,3, sedangkan yang terkecil
adalah pada ragi roti. Hal ini berkaitan dengan peningkatan kadar etanol dan CO2 pada ragi
roti tinggi, sehingga kadar glukosanya menurun. Sedangkan pada ragi oncom memiliki
kadar glukosa yang paling tinggi karena memiliki kadar etanol dan CO2 yang rendah.
Kadar Etanol
Pengukuran kadar etanol dilakukan dengan mempersiapkan lima jenis piringConway yang
digunakan untuk kontrol positif, kontrol negatif, inhibitor (flourida), serta piring Conway yang
digunakan untuk standar. Penambahan larutan dikromat asam pada bagian tengah
piring Conway dilakukan untuk mengoksidasi etanol menjadi asetat. Warna yang dihasilkan
adalah jingga. Dikromat dalam suasana asam akan mengoksidasi etanol menjadi asetat.
Penambahan Na2CO3 dilakukan untuk memberikan suasana asam, sehingga warna
dikromat akan berkurang. Penghilangan warna dikromat akan sebanding dengan jumlah
etanol yang terdapat dalam larutan, sehingga intensitas penyerapan warna dapat diukur.
Pengukuran absorbansi dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 450
nm. Berdasarkan hasil pengukuran absorbansi ketiga jenis kemudian dapat dihitung kadar
etanol yang dihasilkan pada masing-masing sampel. Hasil pengukuran kadar etanol dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Pengukuran Kadar Etanol (gr/dl)
Jenis Ragi

Kontrol (+)

Kontrol (-)

Inhibitor

Tape

19.92

31.6

-3.55

Oncom

3.73

0.71

-0.88

Roti

62.9

40.56

18.5

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa kadar etanol pada tape, oncom, dan ragi
menghasilkan kadar yang berbeda-beda. Kadar etanol ragi tape pada kontrol positif adalah
19.92 gr/dl, sedangkan kadar etanol ragi tape pada kontrol negative adalah 31.6 gr/dl. Pada
penambahan inhibitor, kadar etanol yang dihasilkan -3.55 gr/dl. Kadar etanol yang minus
menunjukkan hasil yang diperoleh tidak valid, artinya tidak dapat dilakukan pembahasan
lebih lanjut karena adanya kesalahan pada prosedur yang dilakukan. Pada ragi oncom,
kadar etanol yang dihasilkan lebih sedikit, yakni pada kontrol positif 3.73 gr/dl sedangkan
pada kontrol negative kadar etanol yang dihasilkan sangat kecil, yakni 0.71 gr/dl, dan pada
inhibitor terjadi kesalahan prosedur yang menyebabkan hasil yang negative, yakni -0.88
gr/dl. Kadar etanol pada ragi roti menghasilkan kadar etanol yang lebih besar daripada
kedua jenis ragi lainnya, kadar etanol pada ragi roti yakni 62.9 gr/dl, sedangkan pada kontrol
negative ragi roti yakni 40.56 gr/dl, dan pada penambahan inhibitor, kadar etanol menurun
menjadi 18.5 gr/dl. Kadar etanol yang tinggi pada ragi roti disebabkan oleh jenis
mikroorganisme yang berada pada ragi roti adalah jenis khamir, yakni Saccharomyces
cerevisiae. Sel-sel khamir menghasilkan produk utama yang berupa etanol dan CO2. sel-sel
khamir menghasilkan enzim maltase yang mengubah maltosa menjadi glukosa yang
kemudian difermentasi menjadi etanol dan CO2 serta sedikit komponen volatil (Buckle 2007).
Sedangkan pada kedua jenis ragi lainnya, yakni ragi tape dan oncom adalah jenis
mikroorganisme kapang Rhizopus,sp. Fermentasi produk yang dihasilkan oleh kapang
secara umum mengakibatkan terurainya glukosa dan menghasilkan protein, lemak dan
polisakarida yang terhidrolisa (Buckle 2007) sehingga kadar etanol yang dihasilkan tidak
sebesar khamir.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Hasil praktikum yang telah didapat bahwa pengukuran tinggi kolom CO2 pada ketiga ragi
yang diuji dengan tiga perlakuan yang berbeda yaitu tanpa pemanasan, dengan pemanasan
dan penambahan larutan penghambat (larutan fluoride) adalah pada perlakuan tanpa
pemanasan terdapat pada ragi roti yang memiliki tinggi kolom CO2tertinggi, sedangkan
dengan perlakuan pemanasan, yang memiliki tinggi kolom CO2tertinggi yaitu pada tape dan
pada perlakuan dengan pemberian larutan inhibitor berupa larutan fluoride yaitu pada ragi
roti yang tertinggi..
Pengujian kadar glukosa dengan metode Follin wu, dari ketiga ragi dengan perlakuan
berbeda, yakni untuk kontrol positif yang memiliki kadar glukosa yang tinggi adalah tape dan
oncom yaitu dengan absorbansi 61,4 dan 61,2, sedangkan dengan perlakuan kontrol negatif
ragi yang memiliki kadar glukosa paling tinggi terdapat pada ragi tape dengan absorbansi
71.4 dan terendah pada ragi roti dengan absorbansi 43.8, sedangkan pada perlakuan
penambahan inhibitor yang memiliki kadar tertinggi adalah pada oncom dengan absorbansi
sebesar 108.3, dan terendah adalah ragi roti yakni dengan absorbansi sebesar 43,4.
Kadar etanol pada masing-masing jenis ragi menghasilkan kadar etanol yang berbeda,
bergantung pada jenis mikroba pengurainya. Pada kadar etanol pada ragi tape dan oncom
yang menggunakan kapang sebagai mikroba pengurainya, menghasilkan kadar etanol yang
biasa saja, yakni rata-rata sekitar 25.76 gr/dl dan 2.22 gr/dl, sedangkan pada kadar etanol
roti yang mikroba pengurainya berupa khamir menghasilkan kadar etanol yang lebih tinggi,
yakni 51.73 gr/dl. Hasil ini disebabkan karena khamir secara utama mampu
mengurai glukosa menjadi etanol dan CO2 dalam jumlah yang signifikan dibadingkan
dengan jenis kapang. Kadar etanol yang minus menunjukkan hasil yang diperoleh tidak
valid, artinya tidak dapat dilakukan pembahasan lebih lanjut karena adanya kesalahan pada
prosedur yang dilakukan. Kadar etanol yang tidak valid pada percobaan kali ini dihasilkan
pada kadar etanol pada inhibitor ragi tape dan oncom.

Saran
Sebaiknya dilakukan prosedur yang lebih teliti lagi sehingga dihasilkan data percobaan yang
valid.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid A. 2001. Biokimia: Metabolisme Biomolekul. Manokwari: Alfabeta.

Armstrong, Frank.B. 1995. Buku ajar biokimia ( Biochemistry ) diterjemahkan oleh dr. RF.
Maulany Msc. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EG.

Irawan A. 2007. Glulosa dan Metabolisme Energi. http://www. paslab.com.


[28 Februari 2011]

Milmi. 2008. GlikolisisAnaerob. http://www.forumsains.com [28 Februari 2011].

Poedjiadi, Supriyanti, T. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta : UI Press.

Purnomo, H. Adiono. 2007. Ilmu Pangan [terjemahan] Buckle, K.A .Edwards, R.A, Fleet, G.
H. Jakarta : UI Press

Simanjuntak M.T, S.Silalahi. 2003. Karbohidrat. http://library.usu.ac.id


[28 Februari 2011].

Tita R. 2004. Glikolisis. http://digilib.sith.itb.ac.id [28 Februari 2011].

Anda mungkin juga menyukai