BAB II (Dina Fitria) (Repaired)
BAB II (Dina Fitria) (Repaired)
BAB II (Dina Fitria) (Repaired)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1
: Plantae
: Magnoliophyta
: Liliopsida
: Zingiberales
: Marantaceae
: Phrynium
Spesies
: Phyrinium pubinerve
(Global Biodiversity Information Facility, 2011)
Secara luas spesies ini dapat ditemukan di sepanjang Asia Tenggara.
senyawa kimia utama yang ada pada tanaman lerek dengan metode analisis Gas
Chromatography/Mass Spectrometry adalah (Z)-3-hexen-1-ol (17,31%), (E)-2hexenal (9,01%) dan 1-hexanol (8,61%). Tanaman ini telah sering digunakan oleh
warga pribumi sebagai tanaman pembungkus makanan yang memiliki efek
antioksidan tinggi serta antibakteri. Wilayah dengan temperatur yang tinggi
menyebabkan makanan cepat mengalami reaksi oksidasi, namun dengan teori
berbasis empiris masyarakat pribumi Asia Tenggara maupun Semenanjung
Malaysia menggunakan daun lerek (Phyrinium pubinerve Blume) sebagai
pembungkus makanan yang menurut penelitian mengandung Phytol, 2-Methoxy4-vinylphenol dan Eugenol sebagai antioksidan. Eugenol merupakan senyawa
kimia yang bersifat bakteriostatik terhadap fungi dan bakteri (Cowan, 1999).
Eugenol biasanya digunakan pada parfum, minyak esensial, dan bahan medis.
Eugenol dan isoeugenol merupakan turunan dari prekursor lignin; asam ferulat
atau alkohol koniferil (Rhodes, 2008). Selain itu, kandungan fenol pada tanaman
ini juga merupakan senyawa yang bersifat toksik terhadap bakteri.
Gambar 2. S. aureus
(Sumber: Jawetz, Melnick, & Adelbergs Medical Microbiology, 24th Edition)
Klasifikasi S. aureus
Kingdom
: Protozoa
Divisi
: Schyzomycetes
Kelas
: Schyzomycetes
Ordo
: Eubacterialos
Famili
: Micrococcaceae
Genus
: Staphylococcus
Spesies
: Staphylococcus aureus (Salle, 1961)
2.2.1
Kokus muda berwarna gram positif kuat dan pada proses penuaan bakteri
ini banyak sel menjadi gram negatif. Organisme ini mudah tumbuh pada banyak
jenis medium dan aktif secara metabolis, memfermentasi karbohidrat dan
menghasilkan pigmen yang bervariasi dari putih sampai kuning tua. Bakteri ini
tumbuh pada suhu optimum 37 C, tetapi membentuk pigmen paling baik pada
suhu kamar (20-25 C). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai
kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari
90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang mempunyai kapsul polisakarida
atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri (Jawetz et al., 1995 ;
Novick et al., 2000).
Beberapa anggota dari genus Staphylococcus merupakan flora normal kulit
dan membran mukosa lainnya menyebabkan supurasi, pembentukan abses,
berbagai infeksi piogenik dan bahkan sepsis yang fatal. Stafilokok patogen sering
kali menghemolisis darah, menyebabkan koagulasi plasma, dan menghasilkan
berbagai toksin serta enzim ekstraseluler. Keracunan makanan yang paling umum
disebabkan secara global disebabkan oleh enterotoksin stafilokok yang stabil
terhadap suhu panas. Stafilokok dengan cepat menjadi resisten terhadap banyak
agen antimikroba dan menimbulkan persoalan terapi yang sulit.
Genus Stayphylococcus mempunyai paling sedikit empat puluh spesies.
Tiga spesies yang paling sering dijumpai yang mempunyai kepentingan klinis
adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Staphylococcus
saprophyticus. S. aureus bersifat koagulase positif yang merupakan enzim
penghancur jaringan dan yang membedakannya dari spesies yang lain. Enzim
koagulase yang dimiliki oleh bakteri patogen S. aureus bekerja sama dengan
faktor pembekuan darah menyebabkan koagulasi plasma. Koagulase berperan
dalam pembentukan dinding fibrin di sekeliling lesi stafilokokus yang membantu
bakteri ini tetap berada di dalam jaringan. Koagulase juga menyebabkan
penumpukan fibrin pada permukaan tiap stafilokok yang dapat membantu
melindungi bakteri dari fagositosis atau dari penghancuran di dalam sel fagosit.
Oleh karena itu, S. aureus seringkali disebut-sebut sebagai patogen utama
manusia. (Brooks dkk, 2013).
10
pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga
ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. S. aureus yang patogen bersifat
invasif, menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan
manitol (Warsa, 1994).
Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai
abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah
bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya
pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan
endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama infeksi nosokomial,
keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan, et al., 1994; Warsa, 1994).
Staphylococcus aureus mampu menginvasi jaringan tubuh manusia dengan
menggunakan toksin dan enzim ekstraseluler yang dihasilkannya dan rendahnya
daya tahan tubuh menyebabkan infeksi mudah terjadi (Brooks dkk, 2013).
Patogenesis Staphylococcus aureus disebabkan oleh ekspresi dari faktor-faktor
virulensi yang dapat mengakibatkan lesi superfisial kulit, misalnya furunkel,
11
paronychia, dan styes, atau infeksi yang lebih serius, seperti pneumonia, mastitis,
infeksi saluran kemih, osteomielitis, endokarditis, meningitis dan sepsis. Infeksi
terjadi akibat inokulasi pada luka yang terbuka. Terkadang infeksi melalui saluran
pernapasan atas yang menyebabkan kerusakan mukosa dan menjadi predisposisi
infeksi pneumonia, biasanya terjadi satu minggu setelah onset infeksi influenza
(Liu, 2010).
Lesi oleh Staphylococcus sp menyebabkan nekrosis jaringan setempat
akibat perkembangbiakan kuman. Selanjutnya terjadi koagulasi fibrin di sekitar
lesi dan pembuluh getah bening sehingga terbentuk dinding yang membatasi
proses nekrosis. Kemudian disusul dengan serbukan sel radang, di pusat lesi akan
terjadi pencairan jaringan nekrotik, cairan abses ini akan mencari jalan keluar di
tempat yang paling kurang tahanannya. Pengeluaran cairan abses diikuti dengan
pembentukan jaringan granulasi. Sifat khas dari infeksi Staphylococcus sp. adalah
terjadinya peradangan setempat. Dari fokus ini kuman akan menyebar ke bagian
tubuh lain lewat pembuluh getah bening dan pembuluh darah, sehingga
peradangan dari vena dan thrombosis pun merupakan hal yang biasa (Brooks dkk,
2013).
2.2.3 Faktor Virulensi S. aureus
Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein,
termasuk enzim dan toksin, contohnya:
Katalase
Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap
proses fagositosis. Tes adanya aktivtias katalase menjadi pembeda genus
Staphylococcus dari Streptococcus. Stafilokok menghasilkan katalase yang
mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen (Ryan dkk, 1994;
Brooks dkk, 2013).
Koagulase
Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat,
karena adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan
enzim tersebut. Esterase yang dihaslkan dapat meningkatkan aktivitas
12
Hemolisin
Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona
hemolisis di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa
hemolisin, beta hemolisisn, dan delta hemolisin. Alfa hemolisin adalah toksin
yang bertanggung jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar
koloni S. aureus pada medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan
nekrosis pada kulit hewan dan manusia. Beta hemolisin adalah toksin yang
terutama dihasilkan Stafilokok yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan
lisis pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah
toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek
lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba (Warsa, 1994).
Eksotoksin
Toksin- adalah protein heterogen yang bekerja pada spektrum luas
membran sel eukariot. Toksin- merupakan hemolisis poten. Toksin-
mendegradasi sfingomielin dan karena itu bersifat toksik untuk banyak jenis
sel, termasuk sel darah merah manusia. Toksin- bersifat heterogen dan
mengalami disosiasi menjadi subunit-subunit di dalam detergen nonionik.
Toksin ini merusak membran biologi dan mungkin mempunyai peran pada
penyakit diare S. aureus. Hemolisin yang berinteraksi dengan dua protein
leukosidin panton-valentine mampu secara efisien melisis sel darah putih
dengan menimbulkan
Leukosidin panton-valentine
Toksin S. aureus ini mempunyai dua komponen. Toksin ini dapat
membunuh sel darah putih manusia dan kelinci. Dua komponen yang dapat
disebut sebagai S dan F bekerja secara sinergis pada membran sel darah putih.
13
Toksin ini merupakan faktor virulensi penting dalam infeksi S. aureus yang
resisten terhadap metisilin yang berhubungan dengan komunitas (Brooks dkk,
2013).
Toksin eksfoliatif
Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks
mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepitelial
pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan
penyebab Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai dengan
melepuhnya kulit (Warsa, 1994).
Enterotoksin
Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana
basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan
makanan, terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein
(Brooks dkk, 2013).
2.2.4
14
yang tidak memproduksi laktamase-, penisilin G adalah obat terpilih, tetapi galur
S. aureus seperti ini jarang dijumpai (Brooks dkk, 2013).
Untuk kasus di luar rumah sakit diberikan penisilin G. Pada infeksi yang
berat atau jika diduga resisten terhadap penisilin, dapat diberikan metisilin atau
derivat penisilin lain yang resisten penicilinase. Jika hasil tes telah ada, sebaiknya
diberikan obat yang sesuai dengan hasil tes kepekaan tersebut. Pada penderita
yang alergi penisilin, dapat diberikan sefalosporin, eritromisin, linkomisin atau
klindamisin. Pada infeksi oleh suatu jenis yang tahan terhadap metisilin, dapat
diberikan vankomisin; rimfapisin atau fusidic acid juga dapat diberikan, asal
dalam bentuk kombinasi dengan antibiotik lainnya. Kalau diberikan tersendiri
cepat terjadi resistensi. Jenis resisten metisilin biasanya juga resisten terhadap
oksasilin, kloksasilin dan sefalosporin (Jawetz, 2005).
Hingga kini belum ada terapi yang benar-benar efektif untuk strain resisten
seperti MRSA. Glikopeptida vankomisin yang merupakan drug of choice untuk
infeksi MRSA ternyata memiliki efek bakterisidal yang lambat dan sering
menimbulkan kegagalan terapi. Masalah menjadi semakin rumit dengan
ditemukannya galur MRSA yang menurun kepekaannya terhadap vankomisin dan
MRSA yang resisten vankomisin. Antimikroba lain seperti asam fusidat,
rifampisin, fosfomisin, quinolon dan trimetoprim-sulfametoksazol memiliki
kemanjuran yang lebih rendah dibandingkan dengan vankomisin. Juga telah
terbukti adanya galur MRSA yang resisten terhadap antimikroba tersebut.
Antimikroba baru sebagai alternatif terapi infeksi MRSA adalah streptogramin,
oksazolidinon, daptomisin, glisilsiklin, oritavansin dan peptida. Selain itu
direkomendasikan pula terapi infeksi MRSA dengan antimikroba kombinasi.
Glikopeptida vankomisin dan teikoplanin masih merupakan obat pilihan (drug of
choice) untuk terapi infeksi MRSA (Yuwono, 2010).
Glikopeptida vankomisin dan teikoplanin masih merupakan obat pilihan
(drug of choice) untuk terapi infeksi MRSA. Glikopptida adalah molekul
berukuran besar yang bekerja menghambat tahap akhir sintesa peptidoglikan dan
anyamannya (cross linked). Galur MRSA yang menurun kepekaannya terhadap
glikopeptida pertama kali dilaporkan di Jepang pada tahun 1996 dan kemudian
15
2.2.5
16
17
seperti yang terjadi pada MRSA. PBP 1, 2 dan 3 memiliki aktifitas transpeptidase
primer sedangkan PBP 4 memiliki aktifitas transpeptidase sekunder. Reaksi lain
dalam pembentukan peptidoglikan adalah transglikosilasi yang tidak berhubungan
dengan penicillin binding activity (tidak berhubungan dengan reseptor penisilin).
PBP 2 memiliki aktifitas unik yaitu selain sebagai enzim transpeptidase ternyata
juga memiliki aktifitas transglikosilase. Afinitas PBP 2a yang sangat rendah
terhadap beta laktam mengakibatkan antimikroba ini tidak dapat mempengaruhi
reaksi transpeptidasi. Selain itu karena aktifitas transglikosilasi PBP 2a sama
sekali tidak terpengaruh oleh beta laktam maka diduga resistensi MRSA juga
ditentukan oleh keutuhan fungsi transglikosilasi dari PBP 2a ini (Yuwono, 2010).
Lebih dari 80% Staphylococcus aureus menghasilkan penicilinase (salah
satu bentuk betalaktamase), suatu enzim yang menyebabkan cincin beta-laktam
hancur sehingga antibiotik tidak akan lagi memiliki kemampuan untuk mengikat
PBP (Penisilin-mengikat protein) (Brown et al., 2005).
Metisilin mulai diperkenalkan untuk menanggulangi Staphylococcus
aureus yang resisten terhadap penisilin pada tahun tahun 1959. Cara kerjanya
sama dengan antibiotik betalaktam pada umumnya, hanya saja metisilin ini
resisten terhadap penicilinase dan mampu menghambat pembentukkan akhir
sintesis dinding sel bakteri peptidoglikan yang difasilitasi PBP. Antibiotik ini akan
berikatan dengan PBP2 sehingga menghambat peptidoglikan dan akhirnya lisis.
Satu tahun setelahnya, Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA),
galur Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotik betalaktam,
termasuk penisilin dan turunannya (Metisilin, Oxacilin, dicloxacilin, Nafcilin dan
Sephalosporin) ditemukan di Inggris untuk pertama kalinya. MRSA terjadi karena
adanya perubahan PBP2 menjadi PBP2a yang dikode oleh gen mecA sehingga
afinitas Metisilin ini rendah yang menyebabkan bakteri tidak dapat berikatan
dengan PBP2a hingga pembentukkan tahap akhir peptidoglikan tidak terganggu
dan bakteri menjadi resisten (Fuda et al., 2005).
Sejak tahun 1990-an, vankomisin yang merupakan golongan glikopeptide
dipilih sebagai pengganti metisilin (Goodman and Gilman, 2004). Peningkatan
penggunaan
vankomisin
menyebabkan
terjadi
kecenderungan
penurunan
18
antibiotika
semakin
terbatas
dikarenakan
terjadinya
resistensi
Keterangan
Penicilin diperkenalkan
Muncul Staphylococcus aureus resisten terhadap
penisilin
1959
Metisilin diperkenalkan; sebagian besar strain
Staphylococcus aureus di rumah sakit dan masyarakat
resisten penisilin
1961
Muncul MRSA (Methicillin-resistant S aureus)
1963
Wabah pertama MRSA di rumah sakit
1968
Ditemukan strain MRSA pertama di rumah sakit
Amerika
1970-an
Penyebaran MRSA secara global, ditemukan kejadian
MRSA yang sangat tinggi di Eropa
1980-an &
Penurunan MRSA yang dramatis dengan adanya
awal 1990-an program search & destroy di Eropa utara
1996
VRSA (Vancomycin-resistant S aureus) pertama kali
dilaporkan di Jepang
1997
Kejadian MRSA di rumah sakit di Amerika hampir 25
%; penggunaan vancomycin meningkat; muncul VISA;
dilaporkan adanya infeksi CA-MRSA yang serius
2002
Terjadi VRSA yang pertama di Amerika
2003
Kejadian MRSA kembali meningkat; hampir 60 %
terjadi di ICU; wabah CA-MRSA dilaporkan terjadi di
banyak tempat dan berimplikasi pada wabah di rumah
sakit
2006
>50 % infeksi kulit Staphylococcal muncul di bagian
19
Antibiotik Vankomisin
20
21
2.3.4 Dosis
Dosis vankomisin pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal adalah 15 mg/kg
berat badan (BB) selama 12 jam atau 8 mg/ kgBB selama 6-8 jam. Pada fungsi
ginjal yang tidak normal, pada luka bakar, kelebihan cairan atau obesitas
22
2.4
Ekstraksi
2.4.1
Definisi
Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut
cair. Diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah
pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Senyawa aktif yang terdapat
dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri,
alkaloid, flavonoid dan lain-lain (Ditjen POM, 2000). Tujuan dilakukannya
ekstraksi ialah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat yang
memiliki khasiat pengobatan dari zat yang tidak berkhasiat agar lebih mudah
dipergunakan dan disimpan (Syamsuni, 2006).
Hasil dari proses ekstraksi disebut sebagai ekstrak, berupa sediaan kental
yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau
hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua
23
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian
sehingga memenuhi baku yang telah ditentukan (Nurussakinah, 2010).
2.4.2
Prinsip Ekstraksi
Pada prinsipnya, ekstraksi adalah melarutkan dan menarik senyawa
dengan menggunakan pelarut yang tepat. Ada tiga tahapan proses pada waktu
ekstraksi yaitu:
1. Penetrasi pelarut ke dalam sel tanaman dan pengembangan sel
2. Disolusi pelarut ke dalam sel tanaman dan pengembangan sel
3. Difusi bahan yang terekstraksi ke luar sel
Pada proses di atas diharapkan terjadi kesetimbangan antara zat larut dan
pelarut. Kecepatan untuk mencapai kesetimbangan umumnya tergantung pada
suhu, pH, ukuran, dan gerakan partikel. Prinsip yang utama adalah yang berkaitan
dengan kelarutan, yaitu senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar dan
senyawa nonpolar akan mudah larut dalam pelarut nonpolar (Emilan, 2011).
2.4.3
Metode Ekstraksi
Menurut Mc Cabe (1999) dalam Muhiedin (2008), ekstraksi dapat
24
25
26
ini
bisa
digunakan
untuk
27
28
2. Zat pelarut
Zat pelarut seharusnya merupakan pelarut pilihan terbaik dan
viskositasnya harus cukup rendah agar dapat bersikulasi dengan mudah.
Biasanya, zat pelarut murni akan digunakan pada awal proses ekstraksi dan
selanjutnya konsentrasi zat terlarut akan naik dan laju ekstraksinya turun
karena gradiennya berkurang dan zat terlarutnya menjadi lebih kental.
Jenis pelarut berkaitan dengan polaritas dari pelarut tersebut. Hal yang
perlu diperhatikan dalam proses ekstraksi adalah senyawa yang memiliki
kepolaran yang sama akan lebih mudah tertarik/terlarut dengan pelarut yang
memiliki tingkat kepolaran yang sama. Berkaitan dengan polaritas dari pelarut,
terdapat tiga golongan pelarut yaitu:
o Pelarut polar
Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi sehingga bisa mengekstrak
senyawa-senyawa yang polar dari tanaman. Pelarut polar cenderung
universal digunakan karena biasanya walaupun polar, tetap dapat menyari
senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran lebih rendah. Salah satu
contoh pelarut polar adalah: air, metanol, etanol, asam asetat.
o Pelarut semipolar
Pelarut semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah
dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan
senyawa-senyawa semipolar dari tumbuhan. Contoh pelarut ini adalah:
aseton, etil asetat, kloroform.
o Pelarut nonpolar
Pelarut nonpolar, hampir sama sekali tidak polar. Pelarut ini baik untuk
mengekstrak senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut dalam pelarut
polar. Senyawa ini baik untuk mengekstrak berbagai jenis minyak. Contoh:
heksana, eter.
3. Temperatur
Dalam banyak hal, kelarutan zat terlarut (pada partikel yang
diekstraksi) di dalam pelarut akan naik bersamaan dengan kenaikan temperatur
untuk memberikan laju ekstraksi yang lebih tinggi.
4. Pengadukan fluida
29
30
reaksi kimia. Dalam hal ini bahan yang akan dipisahkan mutlak harus berada
dalam bentuk larutan.
6. Titik didih
Ekstrak dan pelarut biasanya harus dipisahkan dengan cara penguapan,
destilasi atau rektifikasi, maka titik didih kedua bahan itu tidak boleh terlalu
dekat, dan keduanya tidak membentuk aseotrop.
7. Kriteria yang lain
Pelarut sedapat mungkin harus murah, tersedia dalam jumlah besar,
tidak beracun, tidak dapat terbakar, tidak eksplosif bila bercampur dengan
udara, tidak korosif, tidak menyebabkan terbentuknya emulsi, memilliki
viskositas yang rendah, stabil secara kimia dan termis.
Karena hampir tidak ada pelarut yang memenuhi syarat di atas, maka
untuk setiap proses ekstraksi harus dicari pelarut yang paling sesuai. Beberapa
pelarut yang terpenting adalah: air, asam-asam organik dan anorganik,
hidrokarbon jenuh, toluen, karbon disulfit, eter, aseton, hidrokarbon yang
mengandung khlor, isopropanol, etanol.
2.5
Metode Difusi
a. Metode disc diffusion (Metode Kirby Bauer) untuk menuntukan
aktivitas agen antimikroba. Piringan yang berisi agen antimikroba
diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme
yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih
mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme
oleh agen antimikroba pada permukaan media agar (Pratiwi, 2008).
b. Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (Minimum
Inhibitory Concentration) atau KHM (Kadar Hambat Minimum),
yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini
31
pada
menunjukkan
area
kadar
jernih
agen
yang
ditimbulkannya
antimikroba
yang
yang
menghambat
32
Hambat
Minimum)
dan
MBC
(Minimum
Bactericidal
33
2.7
coba yang dapat membunuh bakteri sebesar 99 % atau 100 % pada media agar.
2.8
Uji Kromatografi
Istilah kromatografi berasal dari kata latin chroma berarti warna dan
tergantung pada
34
35
0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan adalah mengurangi
kepolaran eluen, dan sebaliknya (Hidayat, 2015).
2.9
Kerangka Teori
Flavonoid
Menghambat
sintesis asam
nukleat
Menghambat
fungsi
membran
sitoplasma
Saponin
Tanin
Alkaloid
Mengganggu
tegangan permukaan
dinding sel
Mengganggu
komponen
penyususn
peptidoglikan
Lapisan dinding
sel tidak utuh
mendenaturasi
protein yang
terdapat pada
dinding sel
menghambat enzim
topoisomerase sel
bakteri
Menghambat
metabolisme
energi
Menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus