Hipertensi Sekunder
Hipertensi Sekunder
Hipertensi Sekunder
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian / SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular RSUDZA/FK Unsyiah
Banda Aceh
Disusun Oleh:
Pembimbing:
BAGIAN/SMF KARDIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD DR. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
2017
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi, kehidupan yang patut penulis
syukuri, keluarga yang mencintai dan teman-teman yang penuh semangat, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas
presentasikasus ini. Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar
Muhammad Saw, atas semangat perjuangan dan panutan bagi ummatnya. Adapun
tugas laporan kasus ini berjudul Hipertensi Sekunder. Diajukan Sebagai Salah
Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Unsyiah BLUD RSUD
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Penulis mengucapkan terimakasih dan
penghargaan yang setinggi tingginya kepada dr. Muqsith, Sp. JP-FIHA yang telah
meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan dalam
menyelesaikan tugas ini. Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas
ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan
teman-temanakan penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi
bahan pembelajaran dan bekal di masa mendatang.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
Setiap kali seorang pasien didiagnosis dengan hipertensi, salah satu tujuan
daripenanganan awal adalah untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebabsekunder.Walaupun pasien dengan hipertensi sekunder hanya sebagian
kecil dari mereka dengan peningkatan tekanan darah, subkelompok ini tidak boleh
diabaikan. Di antara sejumlah besar orang dengan hipertensi, akan sangat
membantu untuk mengetahui apakah ada proses sekunder yang terjadi karena ini
berpotensi dapat disembuhkan dengan terapi tertentu berdasarkan etiologi yang
mendasari. Dalam banyak kasus, mengoreksi penyebab hipertensi sekunder dapat
menyembuhkan, menghindari kebutuhan untuk terapi medis jangka panjang,
meminimalisir risiko yang menyertainya dan dapat menghemat biaya.6
BAB II
LAPORAN KASUS
4
2.2 ANAMNESIS
Keluhan utama: Sesak nafas
Keluhan tambahan: perdarahan pada tempat pemasangan cimino, nyeri pingang,
BAK berpasir.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUDZA dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan
sejak 1 minggu yang lalu SMRS dan memberat sejak 2 hari terakhir. Sesak nafas
dirasakan hilang timbul. Sesak nafas tidak dipengaruhi oleh aktifitas. Pasien juga
mengeluhkan adanya perdarahan di tempat pemasangan cimino sejak 1 jam
sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pada tempat terpasangnya cimino
tumbuh benjolan yang kemudian pecah dan mengalami perdarahan. Menurut
keluarga sejak 3 bulan ini pasien rutin menjalani cuci darah 2 kali seminggu.
Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri pinggang sejak 3 bulan yang lalu, nyeri
pinggang dirasakan hilang timbul dan memberat sejak 1 bulan ini. Pasien juga
mengaku adanya riwayat BAK berpasir sejak 3 bulan terakhir. Riwayat nyeri
saat BAK tidak ada, BAK berdarah tidak ada, nyeri dada tidak ada, riwayat cepat
lelah tidak ada, riwayat kaki bengkak tidak ada, mual dan muntah tidak ada.
Riwayat hipertensi 1 tahun namun sudah mendapat terapi, riwayat diabetes
melitus tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sudah pernah dirawat sebelumnya di RSUDZA pada september 2016
yang lalu dengan diagnosa penurunan kesadaran e.c disequilibrum + CKD stage V
e.c PNC on HD reguler + nefrolithiasis bilateral + hidronefrosis bilateral. Pasien
rutin menjalani hemodialisa sejak lebih kurang 3 bulan terakhir. Pasien juga
memiliki riwayat penyakit darah tinggi sejak lebih kurang 1 tahun ini namun
pasien rutin berobat. Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal serupa
dengan pasien.
Riwayat Penggunaan Obat
5
Pasien memiliki riwayat mengkonsumsi obat amlodipin, ramipril dan
bisoprolol, biknat, lenal ace, asam folat, osteocal, nistatin drop
Riwayat Kebiasaan Sosial
Keseharian pasien adalah seorang petani di kampungnya.
6
Mulut : bibir pucat dan kering tidak dijumpai, sianosis tidak
dijumpai
c. Leher
Inspeksi : tidak ada pembesaran KGB
Palpasi : TVJ (N) R+2 cm H2O.
d. Thoraks
Inspeksi
Statis : simetris, bentuk normochest
Dinamis : simetris, pernafasan thorakoabdominal, retraksi suprasternal dan
retraksi interkostal tidak dijumpai
Paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, tidak ada jejas di dada
Kanan Kiri
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra.
Perkusi : Atas : ICS II linea midclavicula sinistra
Kiri : ICS V linea midklavikula sinistra.
Kanan : ICS V di linea parasternal dekstra
Auskultasi : BJ I > BJ II normal, reguler, murmur tidak dijumpai
e. Abdomen
Inspeksi : Bentuk tampak simetris dan tidak tampak pembesaran,
keadaan di dinding perut: sikatrik, striae alba, kaput
medusa, pelebaran vena, kulit kuning, gerakan peristaltik
7
usus, dinding perut tegang, darm steifung, darm kontur,
dan pulsasi pada dinding perut tidak dijumpai
Superior Inferior
8
MCV 89 fL 80-100 fL
MCH 29 pg 27-31 pg
MCHC 33 % 32-36 %
RDW 15,1 % 11,5-14,5 %
MPV 8,2 fL 7,2-11,1 fL
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 0% 0-6 %
Basofil 0% 0-2 %
Neutrofil Segmen 0% 50-70 %
Neutrofil Batang 90 % 2-6 %
Limfosit 6% 20-40 %
Monosit 4% 2-8 %
Faal Hemostasis
PT
Pasien (PT) 10,1 detik 9,3-12,4 detik
Kontrol 11,1 detik 9,3-12,4 detik
INR
0,94 < 1,5
APTT
Pasien (APTT) 41,6 detik 29,0-40,2 detik
Kontrol 28,6 detik 29,0-40,2 detik
D-dimer
3444,69 ng/mL < 500 ng/mL
Kimia Klinik
Natrium 134 mmol/L 135-145 mmol/L
Kalium 5,6 mmol/L 3.5-4.5 mmol/L
LFG pasien:
(14038)x60
LFG(ml/menit/1,73m2)=
72x7,80(mg/dL)
6.120
561,6(mg/dL)=6,14
=10,89 ml/menit/1,73m2
9
Foto thorax
Pemeriksaan EKG
Interpretasi EKG
1. Irama : sinus
2. Axis : normoaxis
3. QRS rate : 99 x/menit
4. P durasi: 0,08 detik
5. PR interval: 0,12 detik
6. QRS kompleks: 0,04 detik
7. Q patologis : (-)
8. ST- Elevasi : (-)
9. ST- Depresi : (-)
10. T- Tall : V2-V6
11. T- Inverted : (-)
10
12. LVH: (+)
USG Ginjal
2.5 DIAGNOSIS
1. CKD stage V on HD reguler
2. Hidronefrosis bilateral
3. Nefrolithiasis bilateral
4. Hipertensi Heart Disease
5. Anemia normokromik normositer
6. Leukositosis shift to the right
2.6 PENATALAKSANAAN
a. Terapi
1. Terapidari divisi Penyakit dalam
Bed rest
O2 2-4 l/menit
Diet ginjal1700 kkal/kgBB/hari + 50 gram protein/kgBB/hari
Treeway
11
Asam folat 3 x 1
Tramadol 2 x 50 mg
Amlodipin 1 x 10 mg
Lenal ace 2 x 1
Tranfusi PRC 1 kolf on HD s/d Hb: 10 mg/dl
Hemodialisa
Balance cairan
2. Terapi dari divisi kardio
Bedrest
Amlodipin 1 x 10 mg
Bisoprolol 1 x 2,5 mg
b. Planing
Foto thorax
EKG
USG ginjal
Hemodialisa
Konsul BTKV
c. monitoring
Vital Sign
2.7 PROGNOSIS
1. Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
12
2.8 Follow Up
Tanggal S O A P
9/1/2017 Sesak napas TD:120/80 1. HHD - Bed rest
sudah mmhg 2. CKD stage - Threeway
berkurang HR: 92x/i V on HD - Diet ginjal 1700
Nyeri dada (-) RR: 22x/i reguler kkal + 50 gr
T: 36,5OC 3. Hidronefros protein/hari
Tidak bisa tidur
(+) is bilateral - Amlodipin 1 x 10
4. Nefrolithias
Mual (-), mg
is bilateral
muntah (-) - Bisoprolol 1 x 2,5
2
Cepat lelah saat mg
berjalan(-) - Clorpromazine 2 x
Bab dan bak 12,5 mg
(dbn)
13
BAB III
ANALISA KASUS
14
padahipertensi(tekanandarahtinggi)
15
Selain sistem RAA ada juga system Kalikrein-Kinin (KK) yang juga dapat
menyebabkan naiknya tekanan darah. Kalikrein akan merubah bradikininogen
menjadi bradikinin kemudian ACE akan merubah Bradikinin menjadi fragmen
inaktif yang dapat meningkatkan tekanan darah. Renin mengubah angiotensinogen
menjadi angiotensin I (AI) kemudian A1 dirubah oleh ACE menjadi Angiotensin
II (AII) dan alur ini disebut alur ACE. Selain alur ACE, AII juga terbentuk
langsung dari angiotensin atau melalui alur lain dan kedua alur ini disebut alur
non ACE yang akhirnya meningkatkan tekanan darah. Pada pasien didapat
tekanan darah 180/100 mmHg. 1,3
Pada hasil rontgen thorak pasien juga didapat cardiomegali, hal ini
megindikasikan bahwa hipertensi pada pasien sudah masuk ke tahap hypertensi
hearth disease. Penyakit jantung hipertensi adalah kelainan yang menunjukkan
akumulasi dari adaptasi fungsional dan struktural dari peningkatan tekanan darah.
Pembesaran ventrikel kiri, kekakuan vaskular & ventrikel, dan disfungsi diastolik
adalah manifestasi yang akan menyebabkan penyakit jantung iskemik dan dapat
berkembang menjadi gagal jantung bila tidak ditangani dengan baik. Hipertrofi
ventrikel kiri merupakan kompensasi jantung menghadapi tekanan darah tinggi
ditambah dengan faktor neurohormonal yang ditandai oleh penebalan konsentrik
otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat
dari gangguan relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri
16
(hipertrofi eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA memacu
mekanisme Frank-Starling melalui peningkatan volume diastolik ventrikel sampai
tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan kontraksi miokard
(penurunan/gangguan fungsi diastolik).
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym
Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor).
Melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan
antihipertensi dan antiproteinuria. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-50% kematian pada
penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Tindakan yang
diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita, termasuk
pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit.3,4
Pasien datang dengan keluhan tambahan nyeri pinggang dan BAK
berpasir, hal ini sesuai dengan tanda yang diperlihatkan pada pasien yang
mengalami pembentukan batu saluran kemih. Ketika gerakan persitaltik saluran
kemih, nantinya akan mengakibatkan timbulnya nyeri yang sangat berat yang
biasa disebut dengan kolik renal. Berikut gambaran faktor risiko dan perjalan
penyakit pada pasien nephrolitiasis.8
17
Gambar 3. Perjalan penyakit nephrolitiasis.
Terjadinya CKD pada pasien terutama disebabkan oleh batu ginjal yang
menghambat aliran urin dan akhirnya menyebabkan kelebihan cairan pada ginjal
yang biasa disebut dengan hidronefrosis. Penentuan derajat kerusakan ginjal dapat
diukur menggunakan nilai darai laju filtrasi glomerulus (LFG).1,2
18
Pada pasien didapat LFG 10,89 mL/menit/ 1,73m2 hal ini menandakan bahwa
pasien sudah masuk ke tahap akhir dari kerusakan ginjal/ gagal ginjal. Sehingga
terapi utamanya adalah dialisa.
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium.
Stadium ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini
kreatinin serum dan kadar BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan
fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang
berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan kemih yang lama atau dengan
mengadakan test LFG yang teliti.1
Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana
lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari
normal). Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal.
Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein
dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat
melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya
mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium
insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh
kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons
terhadap stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita
biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut
hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti.1
Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal
ginjal stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar
90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang
masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin
mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum
dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons
terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal
tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam
tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap
sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang
19
dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-
mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala
yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada
stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia
mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis. 1
Pasien datang ke RS dikarenakan sesak yang sudah dirasakan sejak 1
minggu terakhir dan memberat 2 hari sebelum masuk RS. Gagal ginjal kronik
dapat menyebabkan edema pulmonal, kelebihan cairan .Pleuritis
mungkin ditemukan, terutama jika pericarditis berkembang.Kondisi
paru-paru uremia dapat menyebabkan pneminia.Asidosis dapat
menyebabkan kompensasi meningkatnya respirasi sebagai usaha
mengeluarkan ion hydrogen dengan manifestasi kinis sesak. Asidosis
metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia).
Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen
alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH
7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L. 1,4
Pada pasien didapat Hb 8,3 gr/dl dengan MCV dan MCH normal. Anemia
normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada
pasien gagalginjalkronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama
disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam
terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan
saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik,
proses inflamasi akut ataupun kronik.1
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau
hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/
serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity(TIBC), feritin
serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan sebagainya.1,6
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping
penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang
dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-
20
hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah
yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut
berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.1
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal. 4,6
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat
pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,
yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia
berat. 1,3
21
di Venesia, sebuah konferensi konsesus Acute Dialysis Quality
Initiative (ADQI), membahas epidemiologi, kriteria diagnostik,
termasuk defenisi dari sindrom kardiorenal. Berdasarkan
konferensi ini, istilah CRS digunakan untuk mengidentifikasi
penyakit jantung dan ginjal baik itu akut maupun kronis,
disfungsi salah satu organ dapat meyebabkan disfungsi akut
atau kronik organ lainnya. Tujuan daridefinisi
iniakanmemfasilitasipenelitian epidemiologi, mengidentifikasi
sasaranpopulasiuntuk intervensi,mengembangkan
alatdiagnostik,mencegah danmengelolasindromyang berbeda.7
Konferensi konsesus memilihistilah yang
luas,menggunakanbentuk jamak(sindroma kardiorenal,CRS),
untuk menunjukkan adanyasindromganda.Istilah ini dipilih
untukmengenalidisfungsi organutama (jantung vsginjal)dan
akutvskronis dan mempertimbangkanstrukturdan /atau
kelainanfungsionaldari keduaorganyang diperlukan.7 Namun,
sampai saat ini definisi sindrom kardiorenal belum sepenuhnya
disepakati, diantaranya adalah:
Suatu kondisi patofisiologik yang merupakan
kombinasi antara disfungsi ginjal dan jantung yang
mempercepat kegagalan masing-masing organ dan
berakibat pada peningkatan morbiditas dan mortalitas
Suatu sindrom yang ditandai dengan kegagalan ginjal
atau jantung dalam mengkompensasi gangguan fungsi
masing-masing organ tersebut, menyebabkan lingkaran
setan yang berakhir dengan kegagalan seluruh sistem
sirkulasi
Secara praktis Liang dkk, mendefinisikan sindrom
kardiorenal sebagai disregulasi kardiorenal tahap lanjut yang
ditandai oleh setidaknya salah satu dari tiga kondisi yaitu (1)
gagal jantung yang disertai gangguan ginjal yang bermakna, (2)
perburukan fungsi ginjal yang terjadi selama pengobatan pada
22
acute decompensated heart failure (ADHF), dan (3) resistensi
terhadap terapi diuretik akibat penurunan fungsi ginjal. Dalam
konteks gagal jantung kronik, sindrom kardiorenal seringkali
merupakan masa transisi menuju gagal jantung tahap lanjut
(advanced heart failure).7
Klasifikasi sindroma kardiorenal (CRS) menurut Ranco dkk
berdasarkan konferensi konsesus Acute Dialysis Quality Initiative
7
(ADQI)
23
yang berperan dalam penurunan fungsi jantung, hipertrofi
jantung, dan/atau meningkatnya risiko terjadinya penyakit
kardiovaskular.Subtipeini mengacu padapenyakit
ataudisfungsijantung yang terjadisekunder akibat penyakit ginjal
kronis.Dalam studi terakhir,sebuahhubunganeksponensialantara
keparahandisfungsi ginjaldan risiko semua
penyebabkematianmenghasilkan bahwa kematian akibat
kardiovaskularmerupakanlebih dari 50% dari keseluruhan
kematian.
24
dini, menetapkan tingkat keparahanpenyakit,
danberpotensimemprediksi hasil. Flowchartini
menjelaskanserangkaiankondisiyang menunjukkanbahwa
pasienbisa bergerak darisatu jenis CRS ke CRSjenis yang lain.
(dikutip dari Ronco dkk tahun 2010)7
25
BAB IV
KESIMPULAN
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal
sepertiproteinuria.Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal
kronikditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60
ml/menit/1,73m.Batasan penyakitginjal kronik:1.2
26
makinkecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak
darah,anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian
beratbadan.3Setiap kelainan ginjal dan jantung akan berakibat pada gangguan di
fungsi organ lainnya, sehingga kejadian cardiorenal syndrom akan umum terjadi
pada pasien yang tidak menjalani pengobatan secara paripurna.
DAFTAR PUSTAKA
27
7. Ronco C, et al. Cardio-renal syndromes: report from the
consensus conference of the Acute Dialysis Quality
Initiative. European Heart Journal. 2010;31, 703-7011.
8. Basuki, Purnomo. (2008). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional
RI, Katalog Dalam Terbitan (KDT): Jakarta.
28