Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Hipertensi Sekunder

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 28

HIPERTENSI SEKUNDER

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian / SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular RSUDZA/FK Unsyiah
Banda Aceh

Disusun Oleh:

Rizki Mauli Handayani


1307101030158

Pembimbing:

Dr. Muhammad Muqsith, Sp. JP-FIHA

BAGIAN/SMF KARDIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD DR. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi, kehidupan yang patut penulis
syukuri, keluarga yang mencintai dan teman-teman yang penuh semangat, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas
presentasikasus ini. Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar
Muhammad Saw, atas semangat perjuangan dan panutan bagi ummatnya. Adapun
tugas laporan kasus ini berjudul Hipertensi Sekunder. Diajukan Sebagai Salah
Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Unsyiah BLUD RSUD
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Penulis mengucapkan terimakasih dan
penghargaan yang setinggi tingginya kepada dr. Muqsith, Sp. JP-FIHA yang telah
meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan dalam
menyelesaikan tugas ini. Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas
ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan
teman-temanakan penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi
bahan pembelajaran dan bekal di masa mendatang.

Banda Aceh, 27 Januari 2017

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi hingga saat ini masih menjadi permasalahan utama di bidang
kesehatan, tidak hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia. Menurut
American Heart Association (AHA), sekitar 75 juta orang dewasa di Amerika
Serikat mengalami hipertensi, yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik
(TDS) 140 mmHg atau lebih/tekanan darah diastolik (TDD) 90 mmHg atau
lebih/telah meminum obat antihipertensi.[1] Berdasarkan rekomendasi dari JNC 8,
klasifikasi tekanan darah normal untuk orang dewasa berusia 18 tahun atau lebih
adalah sistolik lebih rendah dari 120 mmHg, diastolik lebih rendah dari 80 mm
Hg.2
Penyakit kardiovaskular secara global bertanggung jawab atas 17 juta
kematian pertahun, yang merupakan hampir sepertiga dari total kematian secara
global. Dari jumlah tersebut, 9,4 juta kematian diakibatankan oleh komplikasi dari
hipertensi. Hipertensi bertanggung jawab untuk setidaknya 45% dari kematian
akibat penyakit jantung dan 51% kematian akibat stroke. Pada tahun 2008 sekitar
40% dari orang dewasa berusia 25 atau lebih telah didiagnosis dengan hipertensi;
jumlah orang dengan kondisi tersebut meningkat dari 600 juta pada tahun 1980
menjadi 1 miliar dalam 2008. Prevalensi hipertensi tertinggi di wilayah Afrika
pada 46% dari orang dewasa berusia 25 atau lebih, sedangkan prevalensi terendah
35% ditemukan di Amerika. Secara keseluruhan, negara-negara berpendapatan
tinggi memiliki prevalensi lebih rendah dengan 35% jika dibandingkan dengan
kelompok lain 40%.3
Secara klinis dikenal dua jenis hipertensi yaitu hipertensi primer atau
hipertensi esensial, yang penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder
dengan penyebab diketahui. Pada anak, sebagian besar (>90%) hipertensi
merupakan hipertensi sekunder yang diketahui penyebabnya, sedangkan pada
orang dewasa sebagian besar (sekitar 90%) merupakan hipertensi primer, dan
sisanya (10%) merupakan hipertensi sekunder yang penyebabnya diketahui.4-6

3
Setiap kali seorang pasien didiagnosis dengan hipertensi, salah satu tujuan
daripenanganan awal adalah untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebabsekunder.Walaupun pasien dengan hipertensi sekunder hanya sebagian
kecil dari mereka dengan peningkatan tekanan darah, subkelompok ini tidak boleh
diabaikan. Di antara sejumlah besar orang dengan hipertensi, akan sangat
membantu untuk mengetahui apakah ada proses sekunder yang terjadi karena ini
berpotensi dapat disembuhkan dengan terapi tertentu berdasarkan etiologi yang
mendasari. Dalam banyak kasus, mengoreksi penyebab hipertensi sekunder dapat
menyembuhkan, menghindari kebutuhan untuk terapi medis jangka panjang,
meminimalisir risiko yang menyertainya dan dapat menghemat biaya.6

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 38 tahun
Alamat : Desa Beungga, Tangse
Pekerjaan : Petani
Status : Menikah
Tanggal Rawat Inap : 21 Desember 2016
Tanggal Pemeriksaan :9 Januari 2017

4
2.2 ANAMNESIS
Keluhan utama: Sesak nafas
Keluhan tambahan: perdarahan pada tempat pemasangan cimino, nyeri pingang,
BAK berpasir.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUDZA dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan
sejak 1 minggu yang lalu SMRS dan memberat sejak 2 hari terakhir. Sesak nafas
dirasakan hilang timbul. Sesak nafas tidak dipengaruhi oleh aktifitas. Pasien juga
mengeluhkan adanya perdarahan di tempat pemasangan cimino sejak 1 jam
sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pada tempat terpasangnya cimino
tumbuh benjolan yang kemudian pecah dan mengalami perdarahan. Menurut
keluarga sejak 3 bulan ini pasien rutin menjalani cuci darah 2 kali seminggu.
Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri pinggang sejak 3 bulan yang lalu, nyeri
pinggang dirasakan hilang timbul dan memberat sejak 1 bulan ini. Pasien juga
mengaku adanya riwayat BAK berpasir sejak 3 bulan terakhir. Riwayat nyeri
saat BAK tidak ada, BAK berdarah tidak ada, nyeri dada tidak ada, riwayat cepat
lelah tidak ada, riwayat kaki bengkak tidak ada, mual dan muntah tidak ada.
Riwayat hipertensi 1 tahun namun sudah mendapat terapi, riwayat diabetes
melitus tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sudah pernah dirawat sebelumnya di RSUDZA pada september 2016
yang lalu dengan diagnosa penurunan kesadaran e.c disequilibrum + CKD stage V
e.c PNC on HD reguler + nefrolithiasis bilateral + hidronefrosis bilateral. Pasien
rutin menjalani hemodialisa sejak lebih kurang 3 bulan terakhir. Pasien juga
memiliki riwayat penyakit darah tinggi sejak lebih kurang 1 tahun ini namun
pasien rutin berobat. Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal serupa
dengan pasien.
Riwayat Penggunaan Obat

5
Pasien memiliki riwayat mengkonsumsi obat amlodipin, ramipril dan
bisoprolol, biknat, lenal ace, asam folat, osteocal, nistatin drop
Riwayat Kebiasaan Sosial
Keseharian pasien adalah seorang petani di kampungnya.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


1. Status Present:
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis (GCS : E4V5M6 )
Tekanan darah : 180/100 mmHg
Nadi : 99 x/ menit
RR : 24x/mnt
Suhu badan : 36,5 C
Tinggi badan : 168 cm
Berat badan : 60 kg
2. Status General:
a. Kulit
Warna : kuning langsat
Turgor : cepat kembali
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Oedema : tidak ada
Anemia : tidak ada
b. Kepala
Bentuk : normocephali
Wajah : simetris dan tidak dijumpai adanya deformitas
Mata : konjungtiva pucat (+/+), ikterik (-/-), pupil bulat isokor 3
mm/3 mm, refleks cahaya langsung (+/+), dan refleks
cahaya tidak langsung (+/+)
Telinga : serumen (-/-)
Hidung : sekret (-/-)

6
Mulut : bibir pucat dan kering tidak dijumpai, sianosis tidak
dijumpai
c. Leher
Inspeksi : tidak ada pembesaran KGB
Palpasi : TVJ (N) R+2 cm H2O.
d. Thoraks
Inspeksi
Statis : simetris, bentuk normochest
Dinamis : simetris, pernafasan thorakoabdominal, retraksi suprasternal dan
retraksi interkostal tidak dijumpai
Paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, tidak ada jejas di dada

Kanan Kiri

Palpasi Stem fremitus normal, Stem fremitus normal,


nyeri tekan tidak ada, nyeri tekan tidak ada

Perkusi Sonor Sonor

Auskultasi Vesikuler Normal Vesikuler Normal

Ronki(-) wheezing (-) Ronki(-) wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra.
Perkusi : Atas : ICS II linea midclavicula sinistra
Kiri : ICS V linea midklavikula sinistra.
Kanan : ICS V di linea parasternal dekstra
Auskultasi : BJ I > BJ II normal, reguler, murmur tidak dijumpai
e. Abdomen
Inspeksi : Bentuk tampak simetris dan tidak tampak pembesaran,
keadaan di dinding perut: sikatrik, striae alba, kaput
medusa, pelebaran vena, kulit kuning, gerakan peristaltik

7
usus, dinding perut tegang, darm steifung, darm kontur,
dan pulsasi pada dinding perut tidak dijumpai

Auskultasi : Peristaltik usus normal, bising pembuluh darah tidak


dijumpai
Palpasi : Nyeri tekan dan defans muskular tidak dijumpai
Hepar : Tidak teraba adanya pembesaran
Lien : Tidak teraba adanya pembesaran
Ginjal : Ballotement tidak di jumpai
Perkusi : Batas paru-hati relatif di ICS V, batas paru-hati absolut di
ICS VI, suara timpani di semua lapangan abdomen.
Pinggang : nyeri ketok kostovertebrae (+)
f. Genitalia : Tidak diperiksa
g. Anus : Tidak diperiksa
h. Ekstremitas: Akral hangat

Superior Inferior

Kanan Kiri Kanan Kiri

Sianosis Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Oedema Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Pucat Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium Darah (21-12-2016)


Jenis Pemeriksaan 21-12-2017 Nilai rujukan

Hemoglobin 8,3 g/dl 14.0-17.0 g/dl


Hematoktrit 25 % 45-55%

Leukosit 20,1 x 103/mm3 4.5-10.5 x 103/mm3

Trombosit 262 x 103/mm3 150-450 x 103/mm3

Eritrosit 2,8 x 106/mm3 4.7-6.1 x 106/mm3

8
MCV 89 fL 80-100 fL
MCH 29 pg 27-31 pg
MCHC 33 % 32-36 %
RDW 15,1 % 11,5-14,5 %
MPV 8,2 fL 7,2-11,1 fL
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 0% 0-6 %
Basofil 0% 0-2 %
Neutrofil Segmen 0% 50-70 %
Neutrofil Batang 90 % 2-6 %
Limfosit 6% 20-40 %
Monosit 4% 2-8 %
Faal Hemostasis
PT
Pasien (PT) 10,1 detik 9,3-12,4 detik
Kontrol 11,1 detik 9,3-12,4 detik
INR
0,94 < 1,5
APTT
Pasien (APTT) 41,6 detik 29,0-40,2 detik
Kontrol 28,6 detik 29,0-40,2 detik
D-dimer
3444,69 ng/mL < 500 ng/mL
Kimia Klinik
Natrium 134 mmol/L 135-145 mmol/L
Kalium 5,6 mmol/L 3.5-4.5 mmol/L

Klorida 100 mmol/L 90-110 mmol/L

Gula darah sewaktu 116 mg/dL <200 mg/dL

Ureum 174 mg/dL 13-43 mg/dL


Creatinin 7,8 mg/dL 0,67-1.17 mg/dL

Kesimpulan: Anemia normokromik normositer, Leukositosis shift to the right

LFG pasien:
(14038)x60
LFG(ml/menit/1,73m2)=
72x7,80(mg/dL)

6.120
561,6(mg/dL)=6,14
=10,89 ml/menit/1,73m2

9
Foto thorax

Kesan: Cardiomegali dengan LVH

Pemeriksaan EKG

EKG tanggal 21 desember 2016

Interpretasi EKG

1. Irama : sinus
2. Axis : normoaxis
3. QRS rate : 99 x/menit
4. P durasi: 0,08 detik
5. PR interval: 0,12 detik
6. QRS kompleks: 0,04 detik
7. Q patologis : (-)
8. ST- Elevasi : (-)
9. ST- Depresi : (-)
10. T- Tall : V2-V6
11. T- Inverted : (-)

10
12. LVH: (+)

Kesan : Sinus ritme HR 99 x/menit, LVH

USG Ginjal

Kesan: Hidronefrosis bilateral, nefrolithiasis bilateral

2.5 DIAGNOSIS
1. CKD stage V on HD reguler
2. Hidronefrosis bilateral
3. Nefrolithiasis bilateral
4. Hipertensi Heart Disease
5. Anemia normokromik normositer
6. Leukositosis shift to the right

2.6 PENATALAKSANAAN
a. Terapi
1. Terapidari divisi Penyakit dalam
Bed rest
O2 2-4 l/menit
Diet ginjal1700 kkal/kgBB/hari + 50 gram protein/kgBB/hari
Treeway

11
Asam folat 3 x 1
Tramadol 2 x 50 mg
Amlodipin 1 x 10 mg
Lenal ace 2 x 1
Tranfusi PRC 1 kolf on HD s/d Hb: 10 mg/dl
Hemodialisa
Balance cairan
2. Terapi dari divisi kardio
Bedrest
Amlodipin 1 x 10 mg
Bisoprolol 1 x 2,5 mg
b. Planing
Foto thorax
EKG
USG ginjal
Hemodialisa
Konsul BTKV
c. monitoring
Vital Sign

2.7 PROGNOSIS
1. Quo ad Vitam : Dubia ad bonam

2. Quo ad Fungsionam : Dubia ad bonam

3. Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam

12
2.8 Follow Up

Tanggal S O A P
9/1/2017 Sesak napas TD:120/80 1. HHD - Bed rest
sudah mmhg 2. CKD stage - Threeway
berkurang HR: 92x/i V on HD - Diet ginjal 1700
Nyeri dada (-) RR: 22x/i reguler kkal + 50 gr
T: 36,5OC 3. Hidronefros protein/hari
Tidak bisa tidur
(+) is bilateral - Amlodipin 1 x 10
4. Nefrolithias
Mual (-), mg
is bilateral
muntah (-) - Bisoprolol 1 x 2,5
2
Cepat lelah saat mg
berjalan(-) - Clorpromazine 2 x
Bab dan bak 12,5 mg
(dbn)

10/1/2017 Sesak napas(-) TD:130/90 1. HHD - Bed rest


Nyeri dada (-) mmhg 2. CKD stage - Threeway
Mual (-), HR: 84x/i V on HD - Diet ginjal 1700
muntah (-) RR: 20x/i reguler kkal + 50 gr
T: 36,3 OC 3. Hidronefros
Cepat lelah saat protein/hari
berjalan(-) is bilateral - Amlodipin 1 x 10
4. Nefrolithias
Bab dan bak mg
is bilateral
(dbn - Bisoprolol 1 x 2,5
mg
- Clorpromazine 2 x
12,5 mg

13
BAB III
ANALISA KASUS

Pasien merupakan penderita batu ginjal yang sudah berkomplikasi menjadi


hidronefrosis + CKD Stage V dan hipertensi skunder. Hipertensi pada penyakit
ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut maupun ginjal kronis baik karena
kelainan glomerulus atau vascular. Penyakit-penyakit ginjal dapat menyebabkan
hipertensi sekunder.
Tipe dari hipertensi sekunder ini disebut hipertensi ginjal/renal karena
disebabkan oleh suatu persoalan didalam ginjal.Satu penyebab penting dari
hipertensi ginjal adalah penyempitan (stenosis) arteri yang mensuplai darah ke
ginjal-ginjal (arteri ginjal/renal arteri).Pada individu-individu yang lebih muda,
terutama wanita, penyempitan disebabkan oleh suatu penebalan otot dinding
arteri-arteri yang menuju ke ginjal (fibromuscular hyperplasia). Pada individu-
individu yang lebih tua, penyempitan umumnya disebabkan oleh plak-plak
mengandung lemak (atherosclerotic) yang mengeras yang menghalangi arteri
ginjal atau dikarenakan adanya batu pada ginjal dan salurannya.1,4
Mekanisme penyempitan arteri ginjal hingga dapat menyebabkan
hipertensi yaitu penyempitan arteri ginjal merusak/mengganggu sirkulasi darah
ke ginjal yang dipengaruhinya. Kehilangan darah ini kemudian menstimulasi
ginjal untuk memproduksi hormon-hormon, renin dan angiotensin. Hormon-
hormon ini,bersama-sama dengan aldosterone dari kelenjar adrenal,menyebabkan
suatu penyempitan dan meningkatkan kekakuan (resisten) pada arteri-arteri
sekeliling (peripheral arteries) seluruh tubuh, yang berakibat

14
padahipertensi(tekanandarahtinggi)

Sistem RAA adalah satu system hormonal enzimatik yang bersifat


multikompleks dan berperan dalam hal naiknya tekanan darah, pengaturan
keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit. Sekresi rennin oleh ginjal dipengaruhi
oleh: 1. Mekanisme intrarenal : reseptor vascular, macula densa. 2. Mekanisme
simpto adenergik. 3. Mekanisme humoral.

15
Selain sistem RAA ada juga system Kalikrein-Kinin (KK) yang juga dapat
menyebabkan naiknya tekanan darah. Kalikrein akan merubah bradikininogen
menjadi bradikinin kemudian ACE akan merubah Bradikinin menjadi fragmen
inaktif yang dapat meningkatkan tekanan darah. Renin mengubah angiotensinogen
menjadi angiotensin I (AI) kemudian A1 dirubah oleh ACE menjadi Angiotensin
II (AII) dan alur ini disebut alur ACE. Selain alur ACE, AII juga terbentuk
langsung dari angiotensin atau melalui alur lain dan kedua alur ini disebut alur
non ACE yang akhirnya meningkatkan tekanan darah. Pada pasien didapat
tekanan darah 180/100 mmHg. 1,3
Pada hasil rontgen thorak pasien juga didapat cardiomegali, hal ini
megindikasikan bahwa hipertensi pada pasien sudah masuk ke tahap hypertensi
hearth disease. Penyakit jantung hipertensi adalah kelainan yang menunjukkan
akumulasi dari adaptasi fungsional dan struktural dari peningkatan tekanan darah.
Pembesaran ventrikel kiri, kekakuan vaskular & ventrikel, dan disfungsi diastolik
adalah manifestasi yang akan menyebabkan penyakit jantung iskemik dan dapat
berkembang menjadi gagal jantung bila tidak ditangani dengan baik. Hipertrofi
ventrikel kiri merupakan kompensasi jantung menghadapi tekanan darah tinggi
ditambah dengan faktor neurohormonal yang ditandai oleh penebalan konsentrik
otot jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat
dari gangguan relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri

16
(hipertrofi eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA memacu
mekanisme Frank-Starling melalui peningkatan volume diastolik ventrikel sampai
tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan kontraksi miokard
(penurunan/gangguan fungsi diastolik).
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym
Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor).
Melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan
antihipertensi dan antiproteinuria. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-50% kematian pada
penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Tindakan yang
diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita, termasuk
pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit.3,4
Pasien datang dengan keluhan tambahan nyeri pinggang dan BAK
berpasir, hal ini sesuai dengan tanda yang diperlihatkan pada pasien yang
mengalami pembentukan batu saluran kemih. Ketika gerakan persitaltik saluran
kemih, nantinya akan mengakibatkan timbulnya nyeri yang sangat berat yang
biasa disebut dengan kolik renal. Berikut gambaran faktor risiko dan perjalan
penyakit pada pasien nephrolitiasis.8

17
Gambar 3. Perjalan penyakit nephrolitiasis.

Terjadinya CKD pada pasien terutama disebabkan oleh batu ginjal yang
menghambat aliran urin dan akhirnya menyebabkan kelebihan cairan pada ginjal
yang biasa disebut dengan hidronefrosis. Penentuan derajat kerusakan ginjal dapat
diukur menggunakan nilai darai laju filtrasi glomerulus (LFG).1,2

18
Pada pasien didapat LFG 10,89 mL/menit/ 1,73m2 hal ini menandakan bahwa
pasien sudah masuk ke tahap akhir dari kerusakan ginjal/ gagal ginjal. Sehingga
terapi utamanya adalah dialisa.
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium.
Stadium ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini
kreatinin serum dan kadar BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan
fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang
berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan kemih yang lama atau dengan
mengadakan test LFG yang teliti.1
Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana
lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari
normal). Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal.
Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein
dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai meningkat
melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya
mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium
insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh
kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons
terhadap stress dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita
biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut
hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti.1
Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal
ginjal stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar
90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang
masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin
mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum
dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons
terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal
tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam
tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap
sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang

19
dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-
mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala
yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada
stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia
mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis. 1
Pasien datang ke RS dikarenakan sesak yang sudah dirasakan sejak 1
minggu terakhir dan memberat 2 hari sebelum masuk RS. Gagal ginjal kronik
dapat menyebabkan edema pulmonal, kelebihan cairan .Pleuritis
mungkin ditemukan, terutama jika pericarditis berkembang.Kondisi
paru-paru uremia dapat menyebabkan pneminia.Asidosis dapat
menyebabkan kompensasi meningkatnya respirasi sebagai usaha
mengeluarkan ion hydrogen dengan manifestasi kinis sesak. Asidosis
metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia).
Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen
alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH
7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L. 1,4
Pada pasien didapat Hb 8,3 gr/dl dengan MCV dan MCH normal. Anemia
normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada
pasien gagalginjalkronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama
disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam
terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan
saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik,
proses inflamasi akut ataupun kronik.1
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau
hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/
serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity(TIBC), feritin
serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan sebagainya.1,6
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping
penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang
dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-

20
hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah
yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut
berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.1
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal. 4,6

a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat
pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,
yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia
berat. 1,3

b. Dialisis peritoneal (DP)


Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD,
yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-
morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri,
tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang
jauh dari pusat ginjal. 1,2
Semua kejadian yang melibatkan kegagalan fungsi ginjal dan jantung
dengan bentuk jamak disebut dengan cardiorenal syndrom. Pada tahun 2008,

21
di Venesia, sebuah konferensi konsesus Acute Dialysis Quality
Initiative (ADQI), membahas epidemiologi, kriteria diagnostik,
termasuk defenisi dari sindrom kardiorenal. Berdasarkan
konferensi ini, istilah CRS digunakan untuk mengidentifikasi
penyakit jantung dan ginjal baik itu akut maupun kronis,
disfungsi salah satu organ dapat meyebabkan disfungsi akut
atau kronik organ lainnya. Tujuan daridefinisi
iniakanmemfasilitasipenelitian epidemiologi, mengidentifikasi
sasaranpopulasiuntuk intervensi,mengembangkan
alatdiagnostik,mencegah danmengelolasindromyang berbeda.7
Konferensi konsesus memilihistilah yang
luas,menggunakanbentuk jamak(sindroma kardiorenal,CRS),
untuk menunjukkan adanyasindromganda.Istilah ini dipilih
untukmengenalidisfungsi organutama (jantung vsginjal)dan
akutvskronis dan mempertimbangkanstrukturdan /atau
kelainanfungsionaldari keduaorganyang diperlukan.7 Namun,
sampai saat ini definisi sindrom kardiorenal belum sepenuhnya
disepakati, diantaranya adalah:
Suatu kondisi patofisiologik yang merupakan
kombinasi antara disfungsi ginjal dan jantung yang
mempercepat kegagalan masing-masing organ dan
berakibat pada peningkatan morbiditas dan mortalitas
Suatu sindrom yang ditandai dengan kegagalan ginjal
atau jantung dalam mengkompensasi gangguan fungsi
masing-masing organ tersebut, menyebabkan lingkaran
setan yang berakhir dengan kegagalan seluruh sistem
sirkulasi
Secara praktis Liang dkk, mendefinisikan sindrom
kardiorenal sebagai disregulasi kardiorenal tahap lanjut yang
ditandai oleh setidaknya salah satu dari tiga kondisi yaitu (1)
gagal jantung yang disertai gangguan ginjal yang bermakna, (2)
perburukan fungsi ginjal yang terjadi selama pengobatan pada

22
acute decompensated heart failure (ADHF), dan (3) resistensi
terhadap terapi diuretik akibat penurunan fungsi ginjal. Dalam
konteks gagal jantung kronik, sindrom kardiorenal seringkali
merupakan masa transisi menuju gagal jantung tahap lanjut
(advanced heart failure).7
Klasifikasi sindroma kardiorenal (CRS) menurut Ranco dkk
berdasarkan konferensi konsesus Acute Dialysis Quality Initiative
7
(ADQI)

Tip Sindrom Patofisiologi


e
I Acute Cardio- Penurunan fungsi jantung akut (acute
renal cardiogenic shock atau ADHF-acute
coronary syndrome/ACS) yang
menyebabkan acute kidney injury (AKI)
II Chronic Cardio- Penurunan fungsi jantung kronis (gagal
renal jantung kongestif) yang menyebabkan
penyakit ginjal kronis(PGK)
III Acute Reno- Penurunan fungsi ginjal akut (iskemik
cardiac atau glomerulonefritis) menyebabkan
gangguan jantung akut
(aritmia,iskemia,infark)
IV Chronic Reno- Penurunan fungsi ginjal kronis (iskemik
cardiac atau glomerulonefritis kronik)
menyebabkan gangguan jantung kronis
(LVH/left ventricular hypertrophy, gagal
jantung)
V Secondary Kondisi sitemik (diabetes mellitus,
Cardiorenal sepsis) menyebabkan gangguan kedua
organ

Pada pasien merupakan kondisi penyakit ginjal yang


mengakibatkan gangguan jantung.Penyakit ginjal kronik (seperti
pada penyakit glomerular kronik atau penyakit interstisial kronik)

23
yang berperan dalam penurunan fungsi jantung, hipertrofi
jantung, dan/atau meningkatnya risiko terjadinya penyakit
kardiovaskular.Subtipeini mengacu padapenyakit
ataudisfungsijantung yang terjadisekunder akibat penyakit ginjal
kronis.Dalam studi terakhir,sebuahhubunganeksponensialantara
keparahandisfungsi ginjaldan risiko semua
penyebabkematianmenghasilkan bahwa kematian akibat
kardiovaskularmerupakanlebih dari 50% dari keseluruhan
kematian.

Gambar 3. Interaksi antara jantung dan ginjal: DalamCRS,


ada dua aspek penting: yang pertama adalah
urutanketerlibatanorgan danyang kedua adalahsinyal.Aspek
penting lainnyaadalah kerangkawaktu
dimanagangguannyakronis atau akut. Dalam semua
kasus,ada saat-saatdimanapencegahanadalah mungkin
dilakukan. Pada waktu yang berbeda, peran
pentingdimainkan olehteknik pencitraandan
biomarkermemungkinkandokter untukmembuatdiagnosis

24
dini, menetapkan tingkat keparahanpenyakit,
danberpotensimemprediksi hasil. Flowchartini
menjelaskanserangkaiankondisiyang menunjukkanbahwa
pasienbisa bergerak darisatu jenis CRS ke CRSjenis yang lain.
(dikutip dari Ronco dkk tahun 2010)7

Prognosispasien gagal ginjal kronik stadium terminal atau stadium V.


Angka progresivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan
terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis
kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan
gagal ginjal stadium akhir yang menjalani transplantasi ginjal akan hidup lebih
lama daripada yang menjalani dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena
kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan
keganasan (4%).2

25
BAB IV
KESIMPULAN

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal
sepertiproteinuria.Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal
kronikditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60
ml/menit/1,73m.Batasan penyakitginjal kronik:1.2

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi


ginjal,dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Kelainan patologik
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan
padapemeriksaan pencitraan radiologi
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan
denganatau tanpa kerusakan ginjal.
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah
mulaidilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya
pencegahanyang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal
dankardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah

26
makinkecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak
darah,anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian
beratbadan.3Setiap kelainan ginjal dan jantung akan berakibat pada gangguan di
fungsi organ lainnya, sehingga kejadian cardiorenal syndrom akan umum terjadi
pada pasien yang tidak menjalani pengobatan secara paripurna.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A,


Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.
2. Editorial. Gagal Ginjal Kronik. Diunduh dari: http://emedicine.
medscape.com/article/238798-overview, 25Mei 2013.
3. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney
Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Diunduh
dari:http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm
GGK, 25Mei 2013.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis
R, Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan
Pelayanan Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006. hlm 168-70.
5. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord
Handbook of Clinical Medicine. Ed. 7 th. New York: Oxford University;
2007. 294-97.
6. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8.
Jakarta: CMP Medica Asia Pte Ltd; 2008. Hlm. 114.

27
7. Ronco C, et al. Cardio-renal syndromes: report from the
consensus conference of the Acute Dialysis Quality
Initiative. European Heart Journal. 2010;31, 703-7011.
8. Basuki, Purnomo. (2008). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional
RI, Katalog Dalam Terbitan (KDT): Jakarta.

28

Anda mungkin juga menyukai