Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Makalah Perencanaan Fix

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 29

J.

Menerapkan pendekatan dan model-model pembelajaran yang sesuai


dengan KD

1. Pendekatan saintifik (dalam pembelajaran) dan metode saintifik

Pada Permendikbud No.103 tahun 2014 dinyatakan bahwa “Pembelajaran pada


Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan saintifik atau pendekatan berbasis proses
keilmuan. Pendekatan saintifik dapat menggunakan beberapa strategi seperti pembelajaran
kontekstual. Model pembelajaran merupakan suatu bentuk pembelajaran yang memiliki
nama, ciri, sintak, pengaturan, dan budaya, misalnya Discovery Learning, Project-based
Learning, Problem-based Learning, Inquiry learning”.
Dalam beberapa buku teks pembelajaran, istilah pendekatan diartikan sebagai titik
tolak atau sudut pandang (perspektif) terhadap proses pembelajaran (Sanjaya, 2007: 127).
Dalam ranah pendidikan bahasa, Douglas Brown (2001: 14) yang merujuk pendapat Edward
Anthony (1963), juga menyatakan tiga komponen hirarkis yang kurang lebih sama yakni
pendekatan, metode, dan teknik. Di sini pendekatan dipandang sebagai seperangkat asumsi
atau prinsip tentang bahasa dan pembelajaran bahasa. Dua istilah di bawahnya yakni metode
dan teknik, kurang lebih mempunyai kedudukan yang sejajar dengan istilah strategi dan
model dalam Permendikbud.
Pendekatan saintifik disebut juga pendekatan berbasis proses keilmuan. Artinya,
proses untuk memperoleh pengetahuan (ilmiah) secara sistematis. Dalam konteks ini, tidak
sulit untuk menyatakan bahwa pendekatan saintifik ini berakar pada metode ilmiah (saintific
method), sebuah konsep yang menekankan ilmu pengetahuan lebih sebagai kata kerja
ketimbang kata benda. Metode saintifik sendiri merupakan prosedur atau proses, yakni
langkah-langkah sistematis yang perlu dilakukan untuk memperoleh pengetahuan (ilmiah)
yang didasarkan pada persepsi inderawi dan melibatkan uji hipotesis serta teori secara
terkendali (Sudarminta, 2002 : 164). Karena pengamatan inderawi biasanya mengawali
maupun mengakhiri proses kerja ilmiah, maka cara kerja atau proses ilmiah sering juga
disebut lingkaran atau siklus empiris.
Pendekatan saintifik diterapkan dalam K-2013 karena pendekatan saintifik memiliki
tujuan dan prinsip-prinsip yang telah mewakili pendekatan-pendekatan lainnya yang sesuai
dengan KD.

2. Tujuan Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik

Tujuan pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah sebagai berikut.


a. Meningkatkan kemampuan intelektual, khususnya kemampuan berpikir tingkat tinggi
peserta didik,
b. Membentuk kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan suatu masalah secara
sistematik,
c. Memperoleh hasil belajar yang tinggi,
d. Melatih peserta didik dalam mengkomunikasikan ide-ide, khususnya dalam menulis
karya ilmiah, serta
e. Mengembangkan karakter peserta didik.
3. Prinsip Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik

Prinsip-prinsip pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah sebagai berikut.


a. Berpusat pada peserta didik yaitu kegiatan aktif peserta didik secara fisik dan
mental dalam membangun makna atau pemahaman suatu konsep,
hukum/prinsip
b. Membentuk students’ self concept yaitu membangun konsep berdasarkan
pemahamannya sendiri.
c. Menghindari verbalisme,
d. Memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengasimilasi dan
mengakomodasi konsep, hukum, dan prinsip,
e. Mendorong terjadinya peningkatan kecakapan berpikir peserta didik,
f. Meningkatkan motivasi belajar peserta didik,
g. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melatih kemampuan
dalam komunikasi, serta
h. Memungkinkan adanya proses validasi terhadap konsep, hukum, dan prinsip
yang dikonstruksi peserta didik dalam struktur kognitifnya.
i. Melibatkan keterampilan proses sains dalam mengonstruksi konsep, hukum,
atau prinsip,
j. Melibatkan proses kognitif yang potensial dalam merangsang perkembangan
intelektual, khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik.

Dalam memilih model pembelajaran kita juga harus menyesuaikan dengan KD dalam
materi yang akan dipelajari. Untuk bisa menyesuaikannya kita bisa melihat dari tujuan-tujuan
model pembelajaran yang ada.

1. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-based Learning)

Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah pembelajaran yang menggunakan


masalah nyata sehari-hari (otentik) yang bersifat terbuka (open-ended) untuk diselesaikan
oleh peserta didik dalam rangka mengembangkan keterampilan berpikir, keterampilan
menyelesaikan masalah, keterampilan sosial, keterampilan untuk belajar mandiri, dan
membangun atau memperoleh pengetahuan baru. Pemilihan masalah nyata tersebut dilakukan
atas pertimbangan kesesuaiannya dengan pencapaian kompetensi dasar.
Contoh masalah nyata yang dapat digunakan dalam Pembelajaran Berbasis Masalah
dalam pembelajaran matematika: Dalam keadaan darurat seseorang harus diselamatkan
melalui pintu jendela yang tingginya 4m dengan menggunakan tangga. Dengan pertimbangan
keselamatan, tangga tersebut harus ditempatkan minimum 1m dari dasar bangunan. Berapa
panjang tangga yang mungkin?
Tujuan utama PBM adalah mengembangkan keterampilan menyelesaikan masalah,
keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan untuk belajar mandiri, dan
membentuk atau memperoleh pengetahuan baru.
2. Pembelajaran Berbasis Projek (Project-based Learning)

Pembelajaran Berbasis Projek merupakan metode pembelajaran yang berfokus pada


peserta didik dalam kegiatan pemecahan masalah terkait dengan projek dan tugas-tugas
bermakna lainnya. Pelaksanaan PBP dapat memberi peluang pada peserta didik untuk bekerja
mengkonstruk tugas yang diberikan guru yang puncaknya dapat menghasilkan produk karya
peserta didik. Tujuan Pembelajaran Berbasis Projek (PBP) adalah sebagai berikut:
a. Memperoleh pengetahuan dan ketrampilan baru dalam pembelajaran
b. Meningkatkan kemampuan peserta didik dalam pemecahan masalah projek.
c. Membuat peserta didik lebih aktif dalam memecahkan masalah projek yang
kompleks dengan hasil produk nyata berupa barang atau jasa.
d. Mengembangkan dan meningkatkan keterampilan peserta didik dalam
mengelola sumber/bahan/alat untuk menyelesaikan tugas/projek.
e. Meningkatkan kolaborasi peserta didik khususnya pada PBP yang bersifat
kelompok.

3. Pembelajaran Inkuiri
Inkuiri merupakan proses pembelajaran yang didasarkan pada pencarian dan
penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuaan bukanlah sejumlah fakta
hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Belajar pada dasarnya
merupakan proses mental seseorang yang tidak terjadi secara mekanis. Melalui proses mental
itulah, diharapkan peserta didik berkembang secara utuh baik intelektual, mental, emosi,
maupun pribadinya. Oleh karena itu dalam proses perencanaan pembelajaran, guru bukanlah
mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran
yang memungkinkan peserta didik dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya.
Pembelajaran adalah proses memfasilitasi kegiatan penemuan (inquiry) agar peserta didik
memperoleh pengetahuan dan keterampilan melalui penemuannya sendiri (bukan hasil
mengingat sejumlah fakta).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran inkuiri adalah pembelajaranyang
melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan yang meliputi sikap, pengetahuan,dan
keterampilan peserta didik untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusiaatau
peristiwa), secara sistematis, kritis, logis, dan analitis.

Karakteristik dari Pembelajaran Inkuiri:


1) Menekankan kepada proses mencari dan menemukan.
2) Pengetahuan dibangun oleh peserta didik melalui proses pencarian.
3) Peran guru sebagai fasilitator dan pembimbing peserta didik dalam belajar.
4) Menekankan pada proses berpikir kritis dan analitis untuk merumuskan kesimpulan.
4. Model Pembelajaran Menemukan (Discovery Learning)
Pembelajaran menemukan (Discovery Learning), adalah Pembelajaran untuk
menemukan konsep, makna, dan hubungan kausal melalui pengorganisasian pembelajaran
yang dilakukan oleh peserta didik.
Tiga ciri utama belajar menemukan yaitu:

(1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan dan


menggeneralisasi pengetahuan;
(2) berpusat pada peserta didik;
(3) kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada.

Karakteristik dari pembelajaran menemukan (Discovery Learning):


1. Peran guru sebagai pembimbing.
2. Peserta didik belajar secara aktif sebagai seorang ilmuwan.
3. Bahan ajar disajikan dalam bentuk informasi dan peserta didik melakukan kegiatan
menghimpun, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, serta membuat
kesimpulan.

K. MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING AND


LEARNING)

Elaine B. Johnson (Riwayat, 2008) mengatakan pembelajaran kontekstual adalah


sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna.
Lebih lanjut Elaine mengatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah suatu sistem
pembelajaran yang cocok dengan otak yang menghasilan makna dengan menghubungkan
muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Jadi, pembelajaran
kontekstual adalah usaha untuk membuat siswa aktif dalam memompa kemampuan diri tanpa
merugi dari segi manfaat, sebab siswa berusaha mempelajari konsep sekaligus menerapkan
dan mengaitkannya dengan dunia nyata.

Sejauh ini, pembelajaran masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan


sebagai fakta untuk dihapal. Pembelajaran tidak hanya difokuskan pada pemberian
pembekalan kemampuan pengetahuan pengetahuan yang bersifat teoretis saja, akan tetapi
bagaimana agar pengalaman belajar yang dimiliki siswa itu senantiasa terkait dengan
permasalahan-permasalahan aktual yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian, inti
dari pendekatan CTL adalah keterkaitan setiap materi atau topik pembelajaran dengan
kehidupan nyata. Untuk mengaitkannya bisa dilakukan berbagai cara selain karena memang
materi yang dipelajari secara langsung terkait dengan kondisi faktual, juga bisa disiasati
dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber belajar, media, dan lain sebagainya, yang
memang baik secara langsung maupun tidak diupayakan terkait atau ada hubungan dengan
pengalaman hidup nyata. Dengan demikian, pembelajaran selain akan lebih menarik, juga
akan dirasakan sangat dibutuhkan oleh setiap siswa karena apa yang dipelajari dirasakan
langsung manfaatnya.
Ketika memberikan pengalaman belajar yang diorientasikan pada pengalaman dan
kemampuan aplikatif yang lebih bersifat praktis, tidak diartikan pemberian pengalaman
teoritis konseptual tidak penting. Sebab dikuasainya pengetahuan teoritis secara baik oleh
para siswa akan memfasilitasi kemampuan aplikatif lebih baik pula. Demikian juga halnya
bagi guru, kemampuan melaksanakan proses pembelajaran melalui CTL yang baik
didasarkan pada penguasaan konsep apa, mengapa, dan bagaimana CTL itu. Melalui
pemahaman konsep yang benar dan mendalam terhadap CTL itu sendiri, akan membekali
kemampuan para guru menerapkannya secara lebih luas, tegas dan penuh keyakinan, karena
memang telah didasari oleh kemampuan konsep teori yang kuat.

Pembelajaran di sekolah tidak hanya difokuskan pada pemberian pembekalan


kemampuan pengetahuan yang bersifat teoritis saja, akan tetapi bagaimana agar pengalaman
agar pengalaman belajar yang dimiliki siswa senantiasa terkait dengan permasalahan-
permasalahan aktual yang terjadi di lingungannya. Dengan demikian, inti dari pendekatan
CTL, adalah keterkaitan setiap materi atau topik pembelajaran dengan kehidupan nyata.
Untuk mengaitkannya bisa dilakukan berbagai cara, selain karena memang materi yang
dipelajari secara langsung terkait dengan kondisi faktual, juga bisa disiasati dengan
pemberian ilustrasi atau contoh, sumber belajar, media dan lain sebagainya, yang memang
baik secara langsung maupun tidak diupayakan terkait atau ada hubungan dengan
pengalaman hidup nyata. Dengan demikian, pembelajaran selain akan lebih menarik, juga
akan dirasakn langsung manfaatnya.

Ketika memberikan pengalaman belajar yang diorientasikan pada pengalaman dan


kemampuan aplikatif yang lebih bersifat praktis, tidak diartikan pemberian pengalaman
teoretis konseptual tidak penting. Sebab dikuasainya pengetahuan teoretis secara baik oleh
para siswa akan memfasilitasi kemampuan aplikatif lebih baik pula. Demikian juga halnya
bagi guru, kemampuan melaksanakan proses pembelajaran melalaui CTL yang baik
didasarkan pada penguasaan konsep apa, mengapa, dan bagaimana CTL itu. Melalui
pemahaman konsep yang benar dan mendalam terhadap CTL itu sendiri, akan membekali
kemampuan para guru menerapkannya secara lebih luas, tegas dan penuh keyakinan karena
memang telah didasari oleh kemampuan konsep teori yang kuat.

A. Konsep Dasar Pembelajaran Kontekstual


Pembelajaran kontekstual (contekstual teaching and learning) merupakan
konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi, 2002).
Untuk memperkuat dimilikinya pengalaman belajar yang aplikatif bagi
siswa, tentu saja diperlukan pembelajaran yang lelih banyak memberikan kesempatan
kepada siswa untuk melakukan, mencoba, dan mengalami sendiri (learning to do),
dan bahkan sekadar pendengar yang pasif terhadap semus informasi yang disampaika
guru. Oleh sebab itu, melalui pembelajaran kontekstual, guru tidak mengubah
pengetahuan dari guru dengan menghafal beberapa konsep-konsep yang ada selain
dari kehidupan nyata, tetapi akan lebih membantu pada upaya memfasilitasi siows
untuk mencari kemampuan untuk bisa hidup (life skill) dari apa yang dipelajarinya.
Dengan demikian, pembelajaran akan lebih bermakna, sekolah lebih dekat dengan
lingkungan masyarakat, tidak akan berarti apa-apa yang ada di sekola senantiasa
bersentuhan dengan perubahan dan pembahasan kehidupan yang terjadi di
lingkungannya (keluarga dan masyarakat).
(CTL memungkinkan siswa menghubungkan mata pelajaran akademik dengan
konteks kehidupan sehari-hari untuk menemukan makna. CTL memperluas konteks
pribadi siswa lelih lanjut melalui pemberian pengalaman segar yang akan merangsang
otak guna menjalin hubungan baru untuk menemukan makna yarig baru) (Johnson,
2002).
Sementara itu, Howey R, Keneth, (2001) mendefinisikan CTL sebagai berikut.
(CTL) adalah sebuah proses pembelajaran yang memungkinkan terjadinya
proses belajar dimana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya
dalam berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang
bersifat simulatif atau nyata, baik sendiri maupun bersama-sama).
Sistem CTL adalah proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat
makna dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan jalan menghubungkan
mata Pelajaran akademik dengan kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks
kehidupan pribadi, sosial, dan budaya.
Pembelajaran kontekstual sebagai suatu model pembelajaran yang
memberikan fasilitas kegiatan belajar siswa untuk mencari, mengolah, dan
menemukau pengalaman belajar yang lebih bersifat konkret (terkait dengan
kehidupan nyata) melalui pengalaman dalam membuat dan melakukan sendiri.
Dengan demikian, pemembelajaran tidak menjadi bagian dari proses.
Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) merupakan
konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitka yang diajarkannya dengan dunia
dan membuat kepribadian hubungan antara pengetahuan yang dimakukan dengan
penerapannya sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi, 2002). Untuk
mempelajari pembelajaran yang digunakan untuk siswa, tentu saja diperlukan
pembelajaran yang lebih banyak bagi siswa untuk mencoba, dan belajar sendiri, dan
bahkan untuk pendengar yang pasif bagi penerima informasi yang disampaikan guru.
Oleh sebab itu itu, melalui model pembelajaran kontekstual, mengajar tidak
mengubah pengetahuan dari guru dengan siswa menjadi beberapa konsep-konsep
yang ada terlepas dari kehidupan nyata, akan tetapi lebih efektif pada upaya
memfasilitasi siswa untuk mencari kemampuan dapat hidup dari apa yang
dipelajarinya.
Dengan demikian, pembelajaran akan lebih bermakna, sekolah lebih dekat
dengan lingkungan masyarakat (bukan dekat dari segi fisik). Akan tetapi, apa yang
dipelajari di sekolah senantiasa bersentuhan dan masalah-masalah yang terjadi di
lingkungannya (keluarga dan masyarakat).
Secara lebih terurai diungkapkan oleh Reigeluth, bahwa fungsi dan peran
desain pembelajaran, antara lain:
1. Instructional design prescribes methods a part of instructional development;
2. Instructional design prescribes procedure for instructional implementation;
3. Instructional design prescribes procedure for instructional management;
4. Instructional design identifies and remedies weakness as a part of instructional
evaluation.
Berdasarkan uraian singkat konsep desain di atas, maka desain pembelajaran
memiliki sifat keluwesan (fleksibel), tidak kaku dalam satu model tertentu saja.
Format desain dapat dikembangkan dalam bentuk yang bervariasi tergantung pada
tujuan dan model pembelajaran yang akan dilaksanakan oleh guru dalam proses
belajar. Dari hasil inovasi, kini berbagai model pembelajaran scperti model terpadu,
model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran pengajaran dan pembelajaran
guantum, dan lain sebagainya. Kini muncul model lain, yang disebut dengan
Contextual Teaching and Learning (CTL). Tentu saja setiap model tersebut di samping
memiliki tidak konvensional, juga ada beberapa angka tertentu. Hal ini karena setiap
model memiliki ciri khas tertentu, yang tentu saja berimplikasi pada ketentuan yang
ada dalam membuat desain / skenarionya disesuaikan dengan model yang akan
diterapkan.
Ciri khas CTL ditandai oleh tujuh komponen utama, yaitu 1) Konseptivisme;
2) Pertanyaan; 3) Mempertanyakan; 4) Komunitas Pembelajar; 5) Pemodelan; 6)
Refleksi; dan 7) Penilaian Otentik. Penjelasan dari setiap komponen tersebut sudah
ada dalam materí sebelumnya. Sekarang tinggal bagaimana mengerjakan setiap
komponen tersebut dalam bentuk pembelajaran di kelas atau di luar kelas benar-benar
mencer-minkan pelaksanaan model CTL.
Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan CTL tentu saja
pertama kali guru harus membuat desain / skenario pembelajarannya lajarannya,
sebagai alat umum dan juga sebagai alat kontrol dalam pelaksanaannya. Pada intinya
pengembangan setiap komponen CTL tersebut dalam konteks dapat dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut.
1. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih
mendalam, dengan bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengonstruksi
pengetahuan dan keterampilan baru yang akan dimilikinya.
2. Melaksanakan dari mungkin kegiatan penyelidikan untuk semua topic yang
diajarkan.
3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaan-
pertanyaan.
4. Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok
berdiskusi, tanya jawab, dan lain sebagainya.
5. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi,
model bahkan media yang sebenarnya.
6. Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan
pembelajaran yang telah dilakukan.
7. Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang
sebenarnya pada setiap siswa.

B. Komponen Pembelajaran Kontekstual


Komponen pembelajaran kontekstual meliputi: (1) menjalin hubungan-
hubungan yang jelas (membuat koneksi bermakna): (2) mengerjakan pekerjaan-
pekerjaan yang berarti (melakukan pekerjaan yang signifikan) (3) melakukan proses
belajar yang sendiri (seif -regulated learning): (4) mengadakan kolaborasi
(berkolaborasi), (5) berpikir kritis dan kreatif (berpikir kritis dan kreatif): (6)
memberikan layanan secara individual (mengasuh individu); (7) mengupayakan
masuk standar yang tinggi (mencapai standar tinggi), dan (8) menggunakan asesmen
autentik (menggunakan penilaian autentik). Johnson B. Elaine, 2002)

C. Prinsip Pembelajaran Kontekstual


CTL, model yang digunakan, dalam implementasinya tentu saja memerlukan
perencanaan pembelajaran yang mencerminkan konsep dan prinsip CTL.
Setiap model pembelajaran, di samping memiliki unsur-unsur yang unik, juga
ada beberapa tingkat tertentu. Hal ini karena setiap model memiliki ciri khas tertentu,
yang tentu saja berimplikasi pada memungkinkan untuk membuat desain (skenario)
yang disesuaikan dengan model yang akan diterapkan.
Ada tujuh prinsip pembelajaran kontekstual yang harus dikuasai oleh guru,
yaitu:
1. Konstruktivisme (constructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (Filosofi) dalam CTL, yaitu
bahwa pengetahuan yang dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Ilmu pengetahuan seperangkat
fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk, dan dingat. Manusia harus membangun
dan memberi makna melalui pengalaman yang nyata. Batasan konstruktivisme di
atas memberikan pemahaman bahwa konsep tidak penting sebagai bagian integral
dari pengalaman belajar yang harus dikuasai oleh siswa, akan tetapi bagaimana
dari setiap konsep atau pengetahuan yang memungkinkan siswa dapat
memberikan pembelajaran yang nyata bagi siswa untuk diaktualisasikan dalam
kondisi nyata.
Oleh karena itu, dalam CTL, strategi untuk membelajarkan siswa
menghubungkan antara setiap konsep dengan fakta merupakan hal-hal yang dapat
digunakan dibandingkan dengan kecerdasan terhadap banyak pengetahuan yang
harus dihindari oleh siswa.
Hasil penelitian menemukan bahwa pemenuhan terhadap kemampuan
penguasaan teori negatif untuk jangka pendek, tetapi tidak memberikan kontribusi
yang cukup baik dalam waktu jangka panjang. Pengetahuan teoretis yang bersifat
hapalan mudah lepas dari pikiran seseorang tidak ditunjang dengan pengalaman
nyata. Implikasi ruktivisme ini secara khusus bagi guru dalam mengembangkan
tahap konstruksi Ismed ini terutama dituntut kemampuan untuk membimbing
siswa mendapatkan makna dari setiap konsep yang dipelajarinya.
Pembelajaran akan dirasakan memiliki makna secara langsung atau tidak
langsung berhubungan dengan pengalaman sehari-hari yang dialami oleh para
siswa itu sendiri. Oleh karena itu, setiap guru harus menyediakan bekal wawasan
yang cukup luas, dengan wawasan yang sangat mudah dengan mudah
memberikan ilustrasi, menggunakan belajar, dan media pembelajaran yang dapat
digunakan untuk mencari dan mempelajari berbagai konsep yang tersedia dengan
baik. pengalamannya. Dengan cara itu, pengalaman belajar siswa akan
memfasilitasi kemampuan siswa untuk melakukan transformasi terhadap masalah
lain yang memiliki sifat keterkaitan, meskipun terjadi pada ruang dan waktu yang
berbeda.

2. Menemukan (Inquiry)
Menemukan, merupakan kegiatan inti dari CTL, melalui upaya menemukan
akan memberikan wawasan dan pengetahuan serta kemampuan-kemampuan yang
lain yang diperlukan bukan sebagai hasil dari fakta-fakta, tetapi sebagai hasil
menemukan sendiri. Kegiatan pembelajaran yang berfokus pada upaya
menemukan, telah lama diperkenalkan pula dalam pembelajaran inquiry dan
discovery (mencari dan menemukan). Tentu saja saja unsur menemukan dari
kedua pembelajaran (CTL dan inquiry and discovery) secara prinsip tidak banayk
perbedaan, intinya sama yaitu model atau sistem pembelajaran yang membenatu
siswa baik secara individu maupun kelompok belajar untuk menemukan sendiri
sesuai dengan pengalaman masing-masing.
Dilihat dari segi kepuasan secara emosional, sesuatu hasil menentu sendiri
nilai kepuasan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pemberian. Beranjak dari
logika yang cukup sederhana itu akan memiliki hubungan yang erat saat
membuang dengan pendekatan pembelajaran. Di mana hasil belajar merupakan
hasil dan kreativitas siswa, akan lebih berbahaya lagi dibandingkan dengan belajar
dari guru. Untuk menumbuhkan sikap siswa agar bisa kreatif menemukan
pengalaman belajarnya sendiri, berimplikasi pada strategi yang dikembangkan
olch guru.

3. Bertanya (Questioning)
Unsur lain yang menjadi ciri utama CTL adalah kemampuan dan kebiasaan
untuk bertanya. Ilmu yang melahirkan orang selalu bermula dari bertanya. Oleh
karena itu, bertanya merupakan strategi utama dalarn CTL. Penerapan tidak tahu
dalam CTL harus difasilitasi oleh guru, kebiasaan siswa untuk bertanya atau
kemampuan guru dalam menggunakan pertanyaan yang baik akan mendorong
pada peningkatan kualitas dan produktivitas pembelajaran. Seperti pada tahap
sebelumnya, berkembangnya kemampuan dan keinginan untuk bertanya, sangat
berbeda dengan pembelajaran yang dikembangkan oleh guru. Dalam pelaksanaan
CTL, pertanyaan yang diajukan olch guru atau siswa harus menggunakan alat atau
pendekatan untuk menggali informasi atau belajar yang ada dengan kehidupan
nyata. Dengan kata lain, tugas bagi para guru adalah membimbing siswa melalui
pertanyaan yang diajukan untuk mencari dan menemukan konsep-konsep yang
ada dalam kehidupan dengan kehidupan nyata.
Melalui penerapan bertanya, pembelajaran akan lebih hidup, akan mendorong
proses dan hasil belajar yang lebih luas dan mendalam dan akan banyak
ditemukan terpikirkan baik oleh guru maupun oleh siswa. Oleh karena itu, cukup
beralasan jika dengan mengembangkan bertanya akan lebih tinggi karena dengan
bertanya, maka: 1) Dapat memuat informasi, baik acdministrasi atau akademik; 2)
Mengecek pemahaman siswa; 3) Membangkitkan respons siswa; 4) Mengetahui
biaya mana keingintahuan siswa, 5) Mengetahui hal-hal yang diketahui siswa; 6)
Memfokuskan perhatian siswa, 7) Membayangkan lebih banyak lagi Pertanyaan
dari siswa; dan 8) Menyegarkan kembali pengetahuan yang telah digunakan oleh
siswa.

4. Masyarakat Belajar (Learning Community).


Maksud dari masyarakat belajar adalah membiasakan siswa untuk melakukan
kerja sama dan memanfaatkan sumber belajar dari teman-teman belajarnya.
Seperti yang disarankan dalam masyarakat belajar, bahwa hasil pembelajaran
diperoleh dari bekerja sama dengan orang lain melalui berbagai pengalaman
(berbagi). Melalui berbagi ini anak dibiasakan untul aling memberi dan menerima,
sifat-sifat yang sesuai dalam pembelajaran komunitas dikembangkan.
Manusia diciptakan menjadi makhluk individu sekaligus sebagai makhluk
sosial. Hal ini berimplikasi pada adanya seseorang bekerja sendiri untuk mencapai
tujuan yang diharapkan, namun di sisi lain tidak dapat Melepaskan diri dengan
orang lain. Penerapan pembelajaran komunitas dalam pembelajaran di kelas akan
banyak bergantung pada model pembelajaran yang dikembangkan oleh guru. Di
mana dituntut keterampilan dan profesionalisme guru untuk mengembangkarn
komunikasi banyak arah (interaksi), yaitu model komunikasi yang tidak hanya
hubungan antara guru dengan siswa atau sebaliknya, akan tetapi secara luas
dibuka jalur hubungan komunikasi pembelajaran antara siswa dengan siswa
lainnya.
Kebiasaan penerapan dan mengembangkan masyarakat belajar dalam CTL
sangat dimungkinkan dan digunakan oleh banyak orang di luar kelas. Setiap siswa
semestinya dibimbing dan dirancang untuk mengembangkan rasa ingin tahunya
melalui penggunaan. Hal yang hanya disekat oleh masyarakat belajar di dalam
kelas, tetapi akan melibatkan orang lain di luar kelas (keluarga dan masyarakat).
Jika kita dan siswa dibiasakan untuk memberikan pengalaman yang luas bagi
orang lain, maka saat itu pula kita atau siswa akan mendapatkan pengalaman yang
lebih banyak dari komunitas lain.

5. Pemodelan (Modelling).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, rumitnya perma- salahan
yang hidup dan juga siswa yang semakin berkembang dan beranekaragam, telah
berpengaruh pada kemampuan guru yang memiliki kemampuan lengkap, dan ini
yang sulit membayangkan. Oleh karena itu, maka kini guru tidak lagi satu-satunya
yang dapat dipelajari, karena dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang
dimiliki oleh guru akan memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan
kebutuhan siswa. Dengan demikian, pembuatan model dapat dijadikan alternatif
untuk mengembangkan pelajaran agar siswa dapat mengumpulkan siswa secara
mendalam, dan membantu mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh para guru.

6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru terjadi atau baru dipelajari.
Dengan kata lain refleksi adalah pengetahuan tentang apa yang telah dilakukan di
kemudian, siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai pengetahuan
yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.
Pada saat refleksi, siswa memberi kesempatan untuk mencerna, menimbang
membandingkan, menghayati, dan melakukan diskusi dengan dirinya sendiri
(learning to be).
Pengetahuan yang berarti yang diperoleh dari proses yang bermakna, yaitu
melalui penerimaan, pengobatan dan pengendapan, untuk dapat digunakan.
Melalui model CTL, pengalaman belajar tidak hanya terjadi dan seseorang yang
berada di dalam kelas, akan tetapi jauh lebih penting dari itu adalah belajar dari
apa yang terjadi di antara mereka. sehari-hari. Keterampilan untuk mengetahui,
sikap dan keterampilan pada dunia nyata yang dihadapinya akan mudah
diaktualisasikan manakala pengalaman belajar itu telah terinternalisasi dalam
setiap jiwa siswa dan di sinilah pentingnya menerapkan unsur refleksi pada setiap
keempatan pembelajaran.

7. Penilaian Sebenarnya (Penilaian Otentik)


Tahap terakhir dari pembelajaran kontekstual adalah melakukan penilaian.
Penilaian sebagai bagian integral dari pembelajaran yang bertujuan untuk
mendapatkan informasi kualitas proses dan hasil pembelajaran melalui penerapan
CTL. Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data dan informasi yang bisa
memberika informasi mengenai pengalaman belajar siswa. Dengan terkumpulnya
berbagai data dan informasi yang lengkap sebagai perwujudan dari penerapan
penilaian, maka akan semakin akurat pula pemahaman guru terhadap proses dan
hasil pengalaman belajar setiap siswa.
Guru dengan cermat akan mengetahui kemajuan, kemunduran, dan esensi
siswa dalam belajar, dan dengan itu pula guru akan mermilik kemudahan untuk
melakukan upaya-upaya perbaikan dan penyempur proses pemberian pelajaran
dalam langkah selanjutnya. Perlu belajar tentang pembelajaran yang diperlukan di
seluruh proseidikan, maka tidak hanya dilakukan di akhir program, tetapi secara
integral akan dilakukan selama proses pembelajaran itu terjadi. Dengan cara
tersebut, guru akan mengetahui tingkat kemampuan siswa yang sebenarnya.
Proses pembelajaran dengan menggunakan CTL harus mempertimbangkan
karakteristik-karakteristik: 1) Kerja sama; 2) Saling menunjang; 3) Menyenangkan
dan tidak membosankan; 4) Belajar dengan bergairah, 5) Pembelajaran
terintegrasi; 6) Menggunakan berbagai sumber; 7) Siswa aktif ;, 8) Berbagi
dengan teman; 9) Siswa tidak kreatif kreatif; 10) Dinding kelas dan loreng-lorong
penuh dengan hasii karya siswa (peta-peta gambar); 11) Laporan kepada orang tua
bukan hanya sekedar rapor, tetapi hasil karya siswa, hasil praktikum, karangan
siswa, dan lain-lain (Depdiknas, 2002: 20).
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran merupakan salah
satu bentuk kegiatan yang dirancang oleh guru, yaitu dalam pentas drama tahap
demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswa selama
berlangsungnya proses pembelajaran. Dalam program tersebut harus digunakan
dari ketujuh komponen CTL dengan jelas. Sehingga setiap guru memiliki
persiapan yang utuh mengenai rencana yang akan digunakan dalam kegiatan
pembelajaran di kelas.
Secara umum, tidak ada perbedaan dasar yang jelas antara format program
pembelajaran konvensional seperti yang biasa dilakukan oleh guru. -guru selama
ini. Adapun yang membedakannya, terletak pada penekanannya, di mana pada
model konvensional lebih jelas pada deskripsi (jelas dan operasional), sementara
program pembelajaran CTL lebih menekankan pada skenario pembelajarannya,
yaitu kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam upaya
mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Oleh karena itu upaya program
pembelajaran kontekstual hendaknya.
1. Nyatakan kegiatan utama pembelajarannya, yaitu sebuah kegiatan kegiatan
siswa yang merupakan salah satu dasar dari dasar materi. dan indikator hasil
belajar.
2. Rumuskan dengan jelas tujuan umum pembelajarannya.
3. Uraikan secara terperinci media dan pembelajaran yang akan digunakan untuk
mendukung kegiatan pembelajaran yang di harapkan.
4. Rumuskan skenario tahap demi tahap kegiatan yang harus dilakukan siswa
dalam melakukan proses pembelajarannya.
5. Rumuskan dan lakukan sistem dengan fokus pada kemampuan yang dilakukan
oleh siswa baik pada saat berlangsungnya (proses) maupun setelah siswa
selesai belajar.

D. Skenario Pembelajaran Kontekstual


Sebelum melakukan pembelajaran dengan menggunakan CTL tentu saja
terlebih dahulu guru harus membuat desain (skenario) pembelajarannya, sebagai alat
umum dan juga sebagai alat kontrol dalam pelaksanaannya. Pada intinya
pengembangan setiap komponen CTL tersebut dalam konteks dapat dilakukan sebagai
berikut.
1. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar
lebih banyak dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan
mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus
dimilikinya.
2. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan penyelidikan/inquiry untuk
semua topik yang diajarkan.
3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan
pertanyaan-pertanyaan.
4. Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan-kegiatan
kelompok berdikusi, tanya jawab,dan lain sebagainya.
5. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui
pertanyaan yang ber-pertanyaan berdiskusi, tanya jawab, dan lain
sebagainya ilustrasi, model, bahkan media yang sebenarnya.
6. Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan
pembelajaran yang telah dilakukan.
7. Melakuakan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang
sebenarnya pada setiap siswa.
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran merupakan rencana
kegiatan kelas yang dirancang oleh guru, yaitu dalam bentuk pelajaran tentang apa
yang akan dilakukan bersama siswa selama berlangsungnya proses pembelajaran.
Dalam program tersebut harus digunakan dari ketujuh komponen CTL dengan jelas,
sehingga semua guru memiliki persiapan yang utuh mengenai rencana yang akan
dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran dalam kelas.
Secara umum, tidak ada dasar perbedaan yang jelas antara format program
pembelajaran konvensional seperti yang biasa dilakukan oleh guru-guru selama ini.
Adapun yang membedakannya, terletak pada penekanannya, di mana pada model
konvensional lebih menckankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan
operasional), sementara program pe belajaran CTL lebih menekankan pada skenario
pembelajarannya, yaitu kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam
upaya mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

L. MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

Teori yang melandasi pembelajaran kooperatif adalah teori konstruktivisme. Pada


dasarnya, pendekatan yang konstruktivisme dalam belajar adalah pendekatan di mana siswa
harus secara individu menemukan dan mentransformasikan informasi yang kompleks,
memeriksa informasi dengan aturan yang ada dan merevisi- nya diperlukan (Soejadi dalam
Teti Sobari, 2006: 15). Menurut Slavin (2007), pembelajaran kooperatif menggalakkan siswa
secara aktif dan positif dalam kelompok. Ini membolehkan berpindah ide dan mencicipi ide
itu sendiri dalam suasana yang tidak terancam, sesuai dengan falsafah konstruktivisme.
Dengan demikian, pendidikan inginnya mampu mengondisikan, dan memberikan dorongan
untuk dapat mengoptimalkan dan memunculkan potensi siswa, menumbuhkan aktivitas dan
daya cipta, menciptakan proses yang dinamis. Dalam teori konstruktivisme ini lebih
mengutamakan pada pembelajaran siswa yang dinadapkan pada masalah-masalah kompleks
untuk dicari solusinya, kemudian menemukan bagian-bagian yang lebih sederhana atau yang
diharapkan, Model pembelajaran ini dikembangkan dari teori belajar konstruktivisme yang
lahir dari gagasan Piaget dan Vigotsky. Berdasarkan penelitian Piaget yang pertama kali
dikemukakan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran anak. (Ratna, 1988: 181)

Dalam model pembelajaran kooperatif ini, guru lebih memilih sebagai fasilitator yang
bekerja sebagai jembatan penghubung ke arah pencarian yang lebih tinggi, dengan catatan
siswa sendiri. Guru tidak hanya memberikan pengetahuan pada siswa, tetapi juga harus
membangun pengetahuan dalam pikirannya. Siswa dapat menggunakan untuk mendapatkan
pengalaman langsung dalam penerapan ide-ide mereka ini bagi siswa untuk menemukan dan
menerapkan ide-ide mereka sendiri.

Menurut pandangan Piaget dan Vigotsky adanya hakikat sosial dari sebuah proses
belajar dan juga tentang penggunaan kelompok-kelompok belajar dengan kemampuan
anggotanya yang beragam, sehingga terjadi perubahan konseptual.

Berkaitan dengan karya Vigotsky dan penjelasan Piaget, para konstruktivistertukaran


dengan para siswa. Dengan kelompok belaj memberikan kesempatan untuk siswa secara aktif
dan acara untuk mengungkapkan sesuatu yang dipikirkan orang-orang untuk teman akan
membantunya untuk melihat sesuatu dengan lebih jelas melihat ketidaksesuaian pandangan
mereka sendiri.
A. Konsep Dasar Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif (pembelajaran kooperatif) merupakan bentuk pembelajaran
dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok yang ada dari orang-
orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.

Pada hakikatnya pembelajaran kooperatif sama dengan kerja kelompok. Oleh karena
itu, banyak guru yang mengatakan tidak ada sesuatu yang dalam pembelajaran kooperatif
karena mereka beranggapan telah melakukan pembelajaran kooperatif dalam bentuk belajar.
Pembelajaran kooperatif yang sama, seperti dijelaskan Abdulhak (2001: 19-20) bahwa
pembelajaran kooperatif untuk proses berbagi peserta belajar, dapat diakses bersama di antara
peserta belajar itu sendiri.

Dalam pembelajaran ini akan tercipta sebuah interaksi yang lebih luas, yaitu interaksi
dan komunikasi yang dilakukan antara guru dengan siswa dengan siswa, dan siswa dengan
guru (multi way traffic comunication).

Pembelajaran kooperatif adaiah strategi pembelajaran yang melibatkan keterlibatan


siswa dalam satu kelompok kecil untuk saling bcrinteraksi (Nurulhayati, 2002: 25) .ststem
belajar yang kooperatif, siswa belajar bekerja sama dengan anggota., Dalam hal ini siswa
memiliki dua tanggung jawab, yaitu mereka belajar untuk sendiri dan membantu orang lain
untuk belajar. mereka dapat melakukannya seorang diri

Cooperative learning merupakan kegiatan belajar siswa yang dilakukan dengan cara
berkelompok. Model pembelajaran kelompok adalah rang aian kegiatan belajar yang
dilakukan oleh siswa dalam kelompok kelompok khusus untuk mencapai tujuan pembelajaran
yang telah dirumuskan (Sanjaya 2006: 239).

Tom V. Savage (1987: 217) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah


suatu pendekatan yang menekankan kerja sama dalam kelompok.

Pembelajaran kooperativ tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Ada
unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakan dengan belajar kelompok yang
dilakukan asal-asalan. Melakukan pembelajaran dengan sistem pembelajaran kooperatif
dengan benar akan memungkinkan guru untuk mengelola kelas dengan lebih efektif. Proses
pembelajaran tidak bisa belajar dari guru ke siswa. Siswa dapat saling membelajarkan sesama
siswa lainnya. Pembelajaran oleh rekan sebaya (peerteaching) lebih efektif dari pembelajaran
oleh guru.

Pembelajaran kooperatif adalah teknik pengelompokan yang di dalamnya siswa


bekerja di tempat belajar bersama dalam kelompok kecil yang umumnya terdiri dari 4-5
orang. Belajar kooperatif adalah pemanfatan kelompok kecil dalam pembelajaran yang
memungkinkan siswa bekerja bersama-sama menggunakan kelompok (Johnson dalam Hasan,
1996).

Strategi pembelajaran kooperatif merupakan kegiatan yang dilakukan oleh siswa


dalam kelompok, untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Ada empat hal
yang penting dalarm strategi pembelajaran kooperatif, yaitu: (1) adanya peserta didik dalam
kelompok, (2) adanya aturan main (peran) dalam kelompok, (3) adanya upaya belajar dalam
kelompok, (4) adanya kompetensi yang harus dicapai oleh kelompok.

Berkenaan dengan pengelompokkan siswa dapat ditentukan berdasarkan atas: (1)


minat dan bakat siswa, (2) latar belakang kemampuan siswa, (3) perpaduan antara minat dan
bakat siswa dan kemampuan belajar siswa.

Nurulhayati, (2002: 25-28), mengemukakan lima pembelajaran kooperatif yang


paling dasar mode, yaitu: (1) hubungan yang positif, (2) pertanggung jawaban individu, (3)
kemampuan bersosialisasi, (4) tatap muka, dan (5) proses evaluasi kelompok.

Ketergantungan yang positif adalah bentuk kerja sama yang sangat erat kaitannya
antara anggota kelompok. Kerja sama ini dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Siswa benar-
benar memahami bahwa keberhasilan kelompok tergantung pada keberhasilan anggotanya.
Maksud dari pertanggungjawaban individu adalah kelompok tergantung pada cara
belajar perseorangan seluruh anggota kelompok. Pertanggungjawaban memfokuskan
kelompok-kelompok dalam menjelas- kan konsep pada satu orang dan memastikan bahwa
setiap orang dalam kelompok siap untuk beraktivitas di mana siswa harus menerima tanpa
pertolongan. Kemampuan bersosialisasi adalah kemampuan yang sama yang digunakan
dalam aktivitas kelompok. Kelompok tidak berfungsi secara efektif jika siswa tidak memiliki
kemampuan bersosialisasi yang diperlukan.

Setiap kelompok diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi.


Kegiatan berinteraksi ini akan memberi siswa bentuk sinergi yang menguntungkan semua
anggota. Pengajaran yang dilakukan untuk kelompok-kelompok untuk proses kerja dan kerja
sama mereka agar dapat bekerja sama lebih efektif.

Senada dengan penjelasan tersebut Siahaan (2005: 2) mengutarakan lima unsur yang
esensial yang ditekankan dalam pembelajaran kooperatif, yaitu (a) saling setia yang positif,
(b) menghadapi berhadapan (interaksi tatap muka), (c) tanggung jawab individu ( tanggung
jawab individu) (d) keterampilan sosial (keterampilan sosial), (e) proses yang terjadi dalam
kelompok (pengolahan kelompok).

Pembelajaran kooperatif mewadahi bagaimana siswa dapat bekerja sama dalam


kelompok, tujuan adalah bersama. Situasi kooperatif merupakan bagian dari siswa untuk
mencapai tujuan kelompok, siswa harus merasakan bahwa mereka akan mencapai tujuan,
maka kelompok-kelompok lain dalam kelompok-kelompok tersebut, bersama-sama dengan
anggota kelompoknya.

Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang banyak dan


menjadi perhatian dan ditampilkan oleh para ahli pendidikan. Hal ini dilakukan berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Slavin (1995) yang menyatakan: (1) penggunaan
pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan dapat meningkatkan
hubungan sosial, menumbuhkan sikap, dan menghargai orang lain, (2) pembelajaran koope-
ratif dapat memenuhi kebutuhan siswa dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan
alasan itu, meningkatkan kualitas pembelajaran.

Ada dua komponen pembelajaran kooperatif, yaitu: (1) cooperative task atau tugas
kerja sama dan (2) struktur insentif koperasi. Tugas kerja sama berkenaan dengan hal-hal
yang membentuk kelompok kerja sama dalam menyelesaikarn tugas yang telah diberikan.
Jika struktur insentif bekerja sama dengan hal-hal yang membuat siswa tertarik untuk bekerja
sama dalam rangka mencapai tujuan kelompok tersebut. Dalam pembelajaran Kooperatif
adanya upaya Peningkatan Prestasi belajar (prestasi siswa) dampak penyerta, Yaitu sikap
Toleransi dan menghargai Pendapat orang lain.

Pembelajaran Kooperatif akan Efektif digunakan apabila: (1) guru menekankan


pentingnya usaha bersama di Samping usaha Beroperasi individu, (2) guru měnghendaki
peinerataan Yang Dimiliki hasil temuan hearts belajar, (3) guru Ingin menanamkan guru
sebaya atau belajar melalui teman Sendiri, (4) guru menghendaki adanya pemerataan
Partisipasi Aktif Siswa, (5) guru menghendaki kemampuan Siswa dalam memmecahkan
berbagai permasaiahan. (Sanjaya, 2006)

Pembelajaran kooperatif merupakan sistem pembelajaran yang memberi kesempatan


kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas terstruktur.
Pemebelajaran kooperatif dikenal dengan pembelajaran secara berkelompok, tetapi
belajar kooperatif lebih dari sekedar belajar kelompok atau kerja kelompok karena
dalam belajar kooperatif ada struktur dorongan atau tugas yang bersifat
interdependensi efektif di antara anggota kelompok. Hubungan kerja seperti itu
memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat dilakukan
siswa untuk mencapai keberhasilan belajar berdasarkan kemampuan dirinya dan adil
dari anggota kelompok lain selama belajar bersama dalam kelompok.
Pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan
permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka
mencapai tujuan pembelajaran. Semua model pembelajaran ditandai dengan adanya
struktur tugas, struktur tujuan dan struktur penghargaan. Struktur tugas, struktur
tujuan dan struktur penghargaan pada model pembelajaran kooperatif berbeda dengan
struktur tugas, struktur tujuan serta sruktur penghargaan model pembelajaran
kooperatif, siswa didorong untuk bekerja sama pada suatu tugas bersama dan mereka
harus mengoordinasikan usahanya untuk menyekesaikan tugas yang diberikan guru.
Sebagai pembeda dengan pembelajaran kelompok yang lain, pembelajaran kooperatif
mempunyai beberapa ciri umum, di antaranya ialah sebagai berikut :
1. Tujuan kelompok
Tujuan kelompok ialah tujuan yang akan dicapai melalui proses kerja sama
dalam menguasai suatu konsep yang dipelajari. Tujuan ini dicapai melalui
usaha bersama semua anggota kelompok. Dengan demikian, setiap anggota
mempunyai peranan tertentu yang jelas dalam usaha kelompok mencapai
tujuan yang ditetapkan.
2. Interaksi sosial
Setiap anggota kelompok akan berinteraksi secara langsung dalam kelompok.
Interaksi ini dimaksud agar setiap anggota keompok dapat berhubungan,
saling membantu, toleran, dan berkomunikasi secara efektif dan etis.
3. Ketergantungan positif
Keberhasilan kelompok bergantung pada keberhasilan individu sebagai
anggota kelompok. Setiap anggota mempunyai tanggung jawab untuk
mencapai keberhasilan kelompok. Prinsip ini dikenal sebagai ketergantungan
positif. Untuk mencapai keberhasilan dalam prinsip ini, perlu ada pembagian
tugas kepada semua anggota kelompok sehingga mereka akan berpartisipasi
secara aktif terhadap kelompoknya.

Walaupun pembelajaran kooperatif menimbulkan keresahan pada guru akan kelancaran


pembelajaran apabila pelajar yang cerdas berada didalam kelompok yang kurang cerdas,
Salvin (2005) justru menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif akan menempatkan anak
cerdas dalam kelompok sebagai anggota yang banyak membantu bagi anak-anak lainnya
yang kurang mampu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran
kooperatif dapat meningkatkan pencapaian dan kemahirn kognitif pelajar. Slavin (2005)
menyatakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif siswa akan lebih mudah menentukan dan
memahami konsep-konsep yang apabila meraka dapat saling mendiskusikan masalah-
masalah tersebut dengan temannya. Sejalan dengan konsep tersebut, unsur pembelajaran
kooperatif antara lain sebagaia berikut.
1. Memiliki persepsi mereka tenggelam ataua berenang bersama
2. Tanggung jawab individu dan siswa lain dalam kelompoknya
3. Berpandangan semua memiliki tanggung jawab yang sama
4. Berbagai tugas dan tanggung jawab yang sama dalam kelompoknya
5. Pengulangan/evaluasi yang berpengaruh pada seluruh anggota kelompoknya
6. Berbagi kepemimpinan dan bekerja sama
7. Bertanggung jawab individual terhadap materi yang ditangani kelompok
Kagan dan kagan (2009) menyatakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif terdapat empata
prinsip yakni (1) saling ketergantungan positif (positive independence), (2) pengakuan
terhadap individu (individual accountability), (3) partisipasi yang sama (equal participates)
dan (4) interaksi belajar mengajar yang simultan (simultaneous interaction). Lebih gampang,
Jhonson dan Jhonson (1994) menyatakan bahwa ada lima unsur model pembelajaran
kooperatif yang harus diterapkan yaitu sebagai berikut.
a. Saling Bergantungan Positif
Dalam interaksi kooperatif ini, guru memberikan motovasi kepada siswa untuk
menciptakan suasana belajar yang saling membutuhkan. Adanya interaksi yang saling
membutuhkan ini disebut saling keteragantungan.
b. Tanggung Jawab Perseorangan
Jika setiap tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran
Cooperatif Learning, setiap siswa akan merasa akan bertanggung jawab untuk
melakukan yang terbaik. Pengajaran yang efektif dalam model pembelajaran
Cooperatif Learning membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa
sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawab
sendiri-sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.
c. Tatap Muka
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi.
Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pemelajar untuk membentuk sinergi
yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi adalah menghargai perbedaan,
memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing.
d. Komunikasi antar Anggota
Unsur ini juga menghendaki agar para pemelajar dibekali dengan berbagai
keterampilan berkomunikasi. Sebelum menugaskan siswa dan kelompok, pengajar
perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Tidak setiap siswa mempunyai keahlian
mendengar dan berbicara. Keberhasilan suatu kelompok juga tergantung pada
kesediaan para anggotanya untuk saling berbicara dan kemampuan mercka untuk
mengutarakan pendapat mereka.
e. Evaluasi proses kelompok
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi
proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutmya bisa bekerja
sama dengan lebih efektif.

Dalam proses pengembangannya, Arends (2009) menjelaskan apa yang ada dalam
pembelajaran kooperatif yang ada dalam model pembelajaran kooperatif, yaitu sebagai
berikut.
1) Forming (pembentukan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk membentuk
kelompok dan membentuk sikap yang sesuai dengan norma.
2) Functioning (pengaturan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatur
aktivitas kelompok dalam menyelesaikan tugas dan membina hubungan kerja sama di
antara anggota kelompok.
3) Formating (perumusan) yaitu terampilan yang dibutuhkan untuk pembentukkan
pemahaman yang lebin dalam terhadap bahan-bahan yang dipelajari, merangsang
penggunakan tingkat berpikir yang lebilh, dan menekankan penguasaan serta
pemahaman dari materi yang dibeirkan.
4) Fermenting (penyerapan), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk merangsang
pemahaman konsep sebelum pembelajran, konflik kognitif, mencari lebih banyak
informasi, dan mengomunikasikan pemikiran untuk memperoleh kesimpulan.
Kagan dan Kagan (2009) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif memiliki
keunggulan seperti berikut.
1. Memperbaiki hubungan sosial
2. Meningkatkan pencapaian tujuan pembelajaran
3. Meningkatkan kemahiran kepemimpinan
4. Meningkaikan kemahiran sosial
5. Meningkatkan tahap kemahiran berpikir yang tinggi
6. Meningkatkan kemahiran teknologi
7. Meningkatkan keyakinan diri.
Berdasarkan berbagai keunggulan tersebut, pembelajaran kooperatif merupakan sistem
yang sangat penting dalam konteks pembelajaran Kurilulum 2013. Pola penerapan
pembelajaran ini dalam konteks kurikulum 2013 akan berbeda dengan konteks kurikulum
2006. Oleh sebab itu, guna dapat menggunakan pembelajaran kooperatif konteks
pembelajaran kooperatif koteks pembelajaran berbasis kurikulum 2013.

B. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif


Pembelajaran kooperatif berbeda dengan strategi pembelajaran yang lain. Perbedaan
tersebut terlihat dalam berbagai proses. Tujuan yang ingin dicapai tidak hanya
kemampuan akademik dalam pengertian penguasaan, tetapi juga untuk menjamin
pengaruhnya. Adanya kerja samailah yang menjadi ciri khas dari pembelajaran
kooperatif.
Pembelajaran kooperatif dapat dijelaskan dalam beberapa perspektif, yaitu:
1) Perspektif motivasi artinya yang diberikan kepada kelompok yang dalam kegiatannya
saling membantu untuk memperjuangkan keberhasilan kelompok. 2) Perspektif sosial
artinya melalui kooperatif setiap siswa akan saling membantu dalam belajar karena
mereka menginginkan mereka. 3) Perspektif perkembangan kognitif berarti dengan
adanya interaksi antara anggota kelompok dapat mengembangkan siswa-siswa yang
membutuhkan informasi yang beragam (Sanjaya, 2006: 242).
Karakteristik atau ciri-ciri pembelajaran kooperatif dapat dijelaskan sebagai berikut

1. Pembelajaran secara Tim


Pembelajaran kooperatif adalah pelajaran yang dilakukan secara tim untuk
mencapai tujuan. Karena itu, tim harus dapat membuat setiap siswa belajar. Setiap
anggota tim harus saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran.

2. Didasarkan pada Manajemen Kooperatif


Manajemen seperti yang telah dilakukan pada bab sebelumnya memiliki tiga
fungsi, yaitu: (a) Fungsi pembelajaran sebagai langkah yang digunakan untuk
mengoordinasi, dan langkah-langkah yang sudah ditentukan. Misalnya tujuan apa
yang harus disampaikan, bagaimana cara mencapainya, apa yang harus digunakan
untuk mencapai tujuan, dan lain sebagainya. (b) fungsi manajemen sebagai organisasi,
dan pembelajaran yang memungkinkan proses pembelajaran berjalan dengan efektif.
(c) fungsi manajemen sebagai kontrol, menunjukkan bahwa dalam pembelajaran
kooperatif perlu ditentukan kriteria keberhasilan baik melalui bentuk tes maupun
nontes.
3. Kemauan untuk bekerja sama
Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan
secara kelompok, oleh karenanya prinsip-prinsip kebersamaan atau bekerja
sama perlu ditekankan dalam pembelajaran kooperatif . Tanpa kerja sama yang
baik, pembelajaran kooperatif tidak akan mencapai hasil yang optimal.

4. Keterampilan bekerja sama


Kemampuan bekerja sama itu dipraktikkan melalui aktivitas dalam
kegiatan pembelajaran berkelompok. Dengan demikian, siswa idorong untuk
mau dan sanggup hubungan dan berkomunikasi dengan anggota lain dalam
rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Pembelajaran kooperatif merupakan kegiatan pembelajaran yang
menggunakan pola belajar siswa berkelompok untuk menjalin kerja sama
saling terikat dalam struktur tugas, tujuan, dan hadiah (Muslim Ibrahim,
2000:3).
Siswa yang bekerja dalam pembelajaran kooperatif didorong dan / atau
dikeharapkan untuk bekerja sama tugas dan mereka harus mengoordinasikan
usahanya untuk menyelesaikan tugasnya. Dalam penerapan pembelajaran
kooperatif, dua atau lebih individu saling bergantung satu sama lain untuk
mencapai satu Penghargaan bersama.
Mereka akan membagikan penghargaan tersebut seandainya mereka
berhasil sebagai kelompck.
a. Siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa
mereka sehidup sepenangungan bersama.
b. Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam
kelompoknya, seperti milik mereka sendiri.
c. Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam
kelompoknya memiliki tujuan yang sama.
d. Siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama
di antara anggota kelompoknya.
e. Siswa akan diberi kebebasan atau diberikan hadiah /
penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota
kelompok.
f. Siswa-siswa berbagi misi dan mereka membutuhkan
keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
g. Siswa diminta untuk mempertanggungjawabkan secara
individu materi yang terlibat dalam kelompok kooperatif.
Ciri-ciri yang terjadi pada kebanyakan pembelajaran yang
menggunakan model pembelajaran kooperatif, adaiah sebagai berikut
a. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi
belajarnya.
b. Kelompok dibentuk dan siswa yang memiliki kemampuan tingsi sedang, dan
rendah.
c. Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dan ras, budaya, suku, jenis
kelamin yang berbeda-bela.
d. Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu.

Ada tiga bentuk keterampilan kooperative sebagaimana yang diungkapkan oleh


Lundgren (1994), yaitu:

a. Keterampilan kooperatif tingkat awal


Meliputi: (a) menggunakan kesepakatan; (b) merayakan kontri
busi; (o) pengambilan putar dan berbagi tugas; (d) Ada dalam
kelompok; (e) berada dalam tugas; (f) mendorong partisipasi; (g)
mengundang orang lain untuk berbicara; (h) menyelesaikan tugas pada
waktunya; dan (i) menghargai perbedaan individu.

b. Keterampilan kooperatif tingkat menengah


Meliputi: (a) menunjukkan penghargaan dan simpati; (b) meng
ungkapkan ketidaksetujuan dengan cara yang dapat diterima; (c)
mendengarkan dengan aktif (d) bertanya; (e) membuat ringkasan (f).
menafsirkan; (g) mengatur dan mengorganisir, (h) menerima, tanggung
jawab; (i) mengurangi ketegangan.

b. Keterampilan kooperatif tingkat Mahir


Meliputi: (a) mengelaborasi; (b) memeriksa dengan cermat, (c)
menanyakan kebenaran; (d) menentukan tujuan; dan (e) berkompromi.

Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang


menggunakan pembeiajaran kooperatif, Pelajaran dimulai dengan guru
Menyampaikan tugas Pelajar dan memotivasi siswa untuk belajar Fase
ini diikuti oleh penyajian informasi, sering kali dengan bahan bacaan
dari lisan. Selanjurnya, siswa dikelompokkan ke dalam tim- tim
belajar. Tahap ini merupakan panduan bagi para siswa untuk bekerja
bersama mereka. Fase terakhir pembelajaran kooperatif termasuk hasil
akhir kerja kelompok, atau Laporan tentang apa yang telah mereka
pelajari dan berikan penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok dan
individu.

TABEL 7.1 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif

TAHAP TINGKAH LAKU GURU


Tahap 1 Guru Menyampaikan tujuan Pelajaran yang
Menyampaikan Tujuan dan Memotivasi akan dilakukan pada kegiatan Pelajaran dan
Siswa topik yang akan dipelajari dan memotivasi
siswa belajar
Tahap 2 Guru memberikan informasi atau materi kepada
Menyajikan Informasi siswa dengan jalan demonstrasi atau melalui
bahan bacaan.
Tahap 3 Mengorganisasikan Siswa ke Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana
arah kelompuk beiajar caranya membentuk kelompok belajar dan
membimbing setiap kelompok agar melakukan
transisi secara efektif dan efisien
Tahap 4 Guru membimbing kelompok belajar pada saat
Membimbing kelompok bekerja dan mereka mengerjakan tugas
belajar
Tahap 5 Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi
Evaluasi yang telah dipelajari atau masing-masing
kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
Tahap 6 Guru mencari cara-cara untuk mencapai hasil
Memberi Penghargaan yang baik dan hasil belajar individu dan
kelompolok

C. Prinsip-prinsip Pembelajaran Kooperatif


Menurut Roger dan David lohnson (Lie 2008) ada lima unsur dasar dalam
pembelajaran kooperatif (cooperative larning), yaitu sebagai berikut.
1. Prinsip ketergantungan positive (positive interdependence), yaitu
dalam pembelajaran kooperatif, keberhasilan dalam tergantung
tugas-tugas yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut dan
oleh masing-masing kelompok. Oleh karena itu, semua anggota
dalam kelompok akan merasakan saling ketergantungan.
2. Tanggung jawab individu (akuntabilitas individu), yaitu keberhasilan
kelompok sangat tergantung dari masing-masing anggota
kelompoknya. Oleh karena itu, setiap anggota kelompok memiliki
tanggung jawab yang harus dikerjakan dalam kelompok tersebut.
3. Interaksi tatap muka (face to face promotion interaction), yaitu mem
berikan kesempatan yang luas untuk setiap anggota kelompok untuk
bertatap muka melakukan interaksi dan diskusi untuk saling memberi
dan menerima informasi dari anggota kelompok lain.
4. Partisipasi dan komunikasi (partieipation communication), yaitu
mela- tih siswa untuk dapat mengakses dan mengkomunikasikan
dalam kegiatan pembelajaran.
5. Evaluasi proses kelompok, yaitu menjadwalkan waktu khusus bagi
kelompok untuk proses kerja dan kerja bersama, agar bisa bekerja
sama dengan lebih efektif.

D. Prosedur Pembelajaran Kooperatif


Kegiatan atau langkah-langkah pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas
empat tahap, yaitu sebagai berikut.

a. Penjelasan Materi, dalam tahap ini merupakan tahap penyampaian materi-


materi Sebelum belajar dalam kelom pok. Tujuan utama pembelajaran ini
adalah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran Pelajaran.
b. Belajar Kelompok yang dilakukan setelah guru memberikan penjelasan,
siswa bekerja dalam kelompok yang telah dilakukan sebelumnya.
c. Penilaian, penilaian dalam pembelajaran dapat dilakukan melalui tes,
yang dilakukan secara individual atau kelompok individu akan
memberikan peringkat individu, sedangkan kelompok akan memberikan
nilai pada kemampuan kelompoknya, seperti gabungan Sanjaya (2006:
247), "Hasil akhir setiap siswa adalah penggabungan dan berdua. Nilai-
nilai setiap kelompok memiliki nilai yang sama dalam kelompoknya. Hal
ini merupakan kelompok yang bernilai bersama dalam kelompoknya yang
merupakan hasil kerja sama setiap anggota kelompoknya. "
d. Pengakuan tim, adalah penetapan tim yang paling tepat atau paling sesuai
untuk memberikan hadiah atau hadiah, dengan harapan dapat memotivasi
tim untuk terus berprestasi lebih baik lagi.

E. Koefisien Pembelajaran dan Fungsi Kooperatif dalam Konteks Kurikulum 2013


Pembelajaran kooperatif dalam konteks pembelajaran 2013 bersifat integrasi dengan
model pembelajaran yang lain. Hal ini berarti pembelajaran kooperatif sebenarnya tidak
perlu dijadikan model pembelajaran khusus dalam konteks kurikulum 2013. Namun
justru lebih jauh semua model pembelajaran yang diterapkan dalam pembelajaran
kurikulum 2013.
Kedudukan pembelajaran kooperatif yang terintegrasi dengan model pembelajaran
lain ini sejalan dengan pernyataan penggagas awal model ini yakni Spencer Kagan.
Kagan dan Kagan (2009) telah secara gamblang menyatakan bahwa “Don’t do
cooperative learning lessons; make cooperative learning part of every lesson”.
Berdasarkan penyataan ini jelaslah bahwa pembelajaran kooperatif sebenarnya tidaklah
harus dijadikan sebagai model khusus melainkan sebuah konsep pembelajaran yang
berintegrasi dengan model pembelajaran lain. Kedudukan ini tidak mengurangi fungsi
pembelajaran kooperatif sebagai sistem pembelajaran yang berfungsi membangun kerja
sama, melatih daya nalar, dan mengembangkan kecakapan intelektual siswa.
Bertemali dengan kedudukan diatas, lebih lanjut Kagan dan Kagan (2009)
menjelaskan bahwa untuk dapat melaksanakan pembelajaran apapun yang berbasis
pembelajaran kooperatif harus diperhatikan 7 kunci suskses sebagai berikut.
1. Key 1, Structures. How to use cooperative learning intructional strategies.
2. Key 2, Teams. How and when to from and re-from the varios types of teams.
3. Key 3, Management. How to manage the cooperative classroom.
4. Key 4, Classbuilding. How to manage to create a caring, cooperative community of
learners.
5. Key 5, Teambuilding. How to develop powerful learning teams.
6. Key 6, Social Skills. How to develop students’ ability to cooperative.
7. Key 7, Basic Principles (PIES). How to use the proven principles of cooperative
learning.
Berdasarkan ketujuh kunci di atas, pembelajaran kooperatif haruslah direncanakan
secara sistematis agar mampu memainkan peran pentingnya bagi ketercapaian tujuan
pembelajaran. Pola perencanaan sistem pembelajaran kooperatif dimulai dari
menstrukturkan penerapan pembelajaran kooperatif. Kunci ini sebenarnya
mengisyaratkan bahwa penerapan pemebelajaran kooperatif dapat dilakukan secara
terintegrasi dengan jenis pembelajaran lain namun tetap harus dikemas sedemikian rupa
sehingga prinsip kerja kooperatif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari desain
strategi pembelajaran yang dikembangkan dan sekaligus menjadi penyempurna desain
pembelajaran yang digunakan.
Kunci kedua keberhasilan penerapan-penerapan pemebelajaran kooperatif secara
terintegrasi dengan pemebelajaran lain adalah bagaimana dan kapan membentuk dan
merevisi bentuk tim kooperatif. Kunci ini mengisyaratkan bahwa kelompok dalam
pembelajaran kooperatif harus disusun dengan komposisi yang tepat yakni heterogen dan
anggota kelompok harus diubah sesuai dengan kebutuhan pemebelajaran. Dengan kata
lain, anggota kelompok tidak boleh tetap untuk setiap mata pelajaran apalagi dalam satu
tahun pelajaran. Pemebentukkan kelompok seyogianya bersifat flekisbel sesuai dengan
mata pelajaran, waktu belajar, dan kebutuhan siswa.
Pembelajaran kooperatif akan berhasil jika kelas dikelola dengan baik. Manajemen
kelas dan konteks ini dimaksudkan bahwa kerja kooperatif tidak harus dimulai dari awal
pemebelajaran melainkan bisa juga dilakukan di tengah atau bahkan diakhir
pemebelajaran. Kunci ketiga ini sangat relevan dengan model-model pembelajaran yang
telah dibahas sebelumnya bahwa dalam model tertentu pemebelajaran bisa saja dimulai
dari kerja individu baru pada tahapan tertentu menggunakan prinsip kerja pembelejaran
kooperatif.
Kunci keempat bagi kesuksesan pemebelajaran kooperatif adalah membnagun kelas
kooperatif yang kondusif. kelas kooperatif yang kondusif ditandai adanya kelompok-
kelompok kooperatif yang harmonis yakni kelompok kooperatif yang mampu memainkan
perannnya sebagai komunitas sosial pemebelajaran. Kelompok yang demikian tercermin
dari adanya jiwa kebersamaan, kerja sama efektif, komunikasi yang baik, dan toleransi
yang tinggi. Guna menciptakan kelompok yang demikian guru harus benar-benar
mempertimbangkan keberagaraman siswa sekaligus mempertimbangkan karakateristik
psikologis tiap anak dan mempertimbangkan kebutuhan anak.
Kunci kelima adalah membangun tim. Kunci ini menghendaki tim yang dibangun
benar-benar dikembangkan berdasarkan tahapan pemebentukan tim yang reflektif dan
evalutif. Hal ini berarti guru harus memahami tahapan pemebentukan kelompok yang
biasanya akan dimulai dari tahap individu, tahap pancaroba, tahap inisiasi, dan tahap
kerja sama. Pada setiap tahapan pembentukan tim ini guru harus mengevaluasi apakah
tim tersebut akan mampu bertahan atau bahkan harus segera diubah komposisinya agar
menjadi tim yang harmonis dan efektif. Bertemani dengan kondisi ini, pengembangan tim
hrus dilakukan secara reflektif evaluatif dari tahap penentuan anggota tim hingga tahap
perkembangan tim hingga keompok yang terbentuk akan menjadi kelompok sosial
pembelajaran yang baik.
Kunci keenam adalah keterampilan sosial. Hal ini berarti pembentukan kleompok
kooperatif harus disertai dengan upaya-upaya mengembangkan keterampilan sosial para
anggota kelompok. Keterampilan sosial yang harus dikembangkan tentu saja adalah
keterampilan kerja sma, keterampilan interaksi, keterampilan komunikasi, dan
ketermapilan berkolaborasi. Melalui pengembangan keterampilan sosial ini diharapkan
kelompok yang terbentuk akan mampu melaksanakan berbagai kerja kooperatif dalam
rangka mencapai tujuan pembelajaran.
Kunci sukses terakhir yang harus diperhatikan dalam meningkatkan efektivitas
pemebelajaran kooperatif adalah penggunaan prinsip-prinsip pembelajaran kooperatif.
Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa pembelajaran kooperatif jika di dalamnya tidak
tercermin prinsip-prinsip kooperatif. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah (1) saling
ketergantungan positif (positive independences), (2) pengakuan terhadap individu
(individual accountability), (3) partisipasi yang sama (equal participates), dan interaksi
belajar mengajar yang simultan (simultaneous interaction).
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa pembelajaran yang harus dilakukan secara
terpisah sebagai model pemebelajaran sendiri. Pembelajaran ini dapat diintegrasikan
dalam pemebelajaran ini. Pengintegrasi tersebut dapat dilakukan dengan mengambil
prinsip kerja kooperatif dan dimasukkan dalam model pembelajaran yang digunakan. Jika
kita menilik pada bab sebelumnya, memang benar seluruh model pembelajaran yang
digunakan dalam kurikulum 2013 membutuhkan pola kerja kooperatif sebagai bagian
tidak terpisahkan dari model-model tersebut.

F. Model-model Pembelajaran Kooperatif


Ada beberapa variasi jenis model dalam pembelajaran kooperatif, walaupun prinsip-
dasar dari pembelajaran kooperatif ini tidak berubah jenis-jenis model tersebut, adalah
sebagai berikut.

1. Model Student Teams Achievement Division (STAD)


. Model yang dikembangkan olch Robert Slavin dan teman-di Universitas John
Hopkin.
Menurut Slavin (2007) model STAD (Student Team Achievement Divisions)
merupakan pembelajaran kooperatif yang paling banyak diteliti. Model ini juga sangat
mudah diadaptasi, yaitu dalam matematika, IPA, IPS, bahasa Inggris, teknik dan banyak
subjek lainnya, dan juga pada tingkat tinggi.
Dalam STAD, siswa yang dibagi menjadi kelompok beranggotakan empat orang yang
beragam kemampuan, jenis kelamin, dan sukunya. Guru memberikan pelajaran dan
siswa-siswa di dalam kelompok memastikan bahwa semua anggota kelompok itu bisa
menguasai Pelajaran tersebut. Akhirnya semua siswa menjalani kuis perseorangan
tentang materi itu, dan pada saat itu hanya satu sama lain. Nilai-nilai hasil kuis siswa
diperbandingkan dengan nila ka tidak memungkinkan saling membantu aa tata mereka
sendiri yang diperoleh sebelumnya, dan nilai-nilai hadiah yang diberikan kepada mereka
tinggi yang bisa mereka capai atau jumlah yang tinggi melebihi mereka sebelumnya.
Nilai-nilai ini kemudian dijumlah untuk mendapat nilai kelompok, dan kelompok yang
dapat mencapai angka yang bisa mendapatkan sertifikat atau hadiah yang lain.
Keseluruhan siklus kegiatan itu, mulai dari guru ke kerja kelompok hingga kuis, biasanya
hingga tiga kali pertemuan kelas.
STAD adalah yang paling tepat untuk mengatur materi-materi Pelajaran yang tepat,
seperti penghitungan dan penerapan matematika, penggunaar dan inekanika, geografi dan
keterampilan, dan konsep-konsep sains lainnya. Lebih jauh Slavin memaparkan bahwa:
"Gagasan utama di belakang STAD adalah memacu orang-orang agar saling mendorong
dan membantu yang lain untuk melatih para guru yang ingin meningkatkan kemampuan
mereka, mereka harus membantu teman-teman mereka dalam pekerjaan mereka. yang
terbaik, lihatlah norma-norma yang belajar itu penting, dan menyenangkan. Para siswa
diberi waktu untuk bekerja sama setelab Pelajaran diberikan oleh guru, tetapi tidak saling
membantu mengisi kekangan, tidak ada yang bisa mengeluarkan materi (tanggung jawab
perseorangan).
Siswa mungkin bekerja berpasangan untuk bertukar jawaban, melihat ketidaksamaan,
dan saling membantu satu sama lain, mereka bisa mendiskusikan pendekatan untuk mein
memecahkan masalah itu, atau mereka bisa saling memberikan informasi tentang isi dari
mereka yang belajar itu. Mereka mengajari teman sekelompok dan menaksir kelebihan
dan kekurangan mereka untuk membantu agar bisa berhasil lewat tes. Karena skor
kelompok pada tingkat yang lebih tinggi dari nilai sebelumnya (pertemuan yang sama
untuk berhasil) bisa menjadi "bintang" kelompok dalam satu minggu itu karena nilainya
lebih baik dari nilai sebelumnya atau karena makalahnya dianggap sempurna, sehingga
akan menghasilkan nilai yang maksimal tanpa sebutkan nilai rata-rata siswa yang
sebelumnya.
Secara garis besar tahapan-tahapan pembelajaran kooperatif tipe STAD sebagai
dikemukakan Slavin (2005) adalah sebagai berikut.
a. Tahap penyajian materi
Tahapan ini guru memberikan penyajian materi melalui metode ceramah,
demonstrasi, ekspositori, atau membahas buku teks. Guru memulai pembelajaran
dengan menyampaikan tujuan pemebelajaran umum dan khusus dan memotivasi rasa
ingin tahu siswa tentang konsep yang akan dipelajarinya. Dilanjutkan dengan
memberikan apersepsi dengan tujuan mengingatkan siswa terhadap materi yang telah
dipelajarinya, agar siswa dapat menghubungkan materi-materi yang akan diberikan
dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Mengenai lamanya presentasidan berapa kali
harus dipresentasikan bergantung pada kompleks tidaknya materi yang akan dibahas.
Dalam pengembangan materi pelajaran perlu ditekankan pada pengembangan materi
pelajaran yang sesuai dengan apa yang akan dipelajari siswa dalam kelompok.
b. Tahap kegiatan kelompok
Pada tahap ini guru membagikan LKS kepada setiap siswa dalam kelompok sebagai
bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok ini, siswa saling berbagi tugas dan
saling membantu memberikan penyelesaian agar semua anggota kelompok dapat
memahami materi yang akan dibahas dan satu lambar dikumpulkan sebagai hasil
kerja kelompok. Selain itu, dalam kegiatan kelompok, jika ada seorang siswa yang
belum memahami materi pelajaran, teman sekelompoknya bertanggung jawab untuk
menjelaskan sebelum bertanya kepada guru. Pada tahap ini, guru bertindak sebagai
fasilitator yang monitor kegiatan masing-masing kelompok.
c. Tahap tes individu/kuis
Untuk mengetahui bagaimana keberhasilan belajar yang telah dicapai, maka diadakan
tes individu mengenai materi yang telah dibahas. Tes individu biasanya dilakukan
setelah selesai pembelajaran setiap kali pertemuan, agar siswa dapat menunjukkan apa
yang telah dipelajarinya secara individu selama dalam kelompok.
d. Tahap perhitungan skor perkembangan individu
Skor perkembangan individu dihitung berdasarkan skor awal. Berdasarkan skor ini
setiap siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk memberikan sumbangan skor
maksimal bagi kelompoknya berdasarkan skor tes yang diperoleh.
e. Tahap penghargaan kelompok
Perhitungan skor kelompok dilakukan dengan cara menjumlahkan masing-masing
perkembangan skor individu hasilnya dibagi dengan jumlah seluruh anggota
kelompok.

2. Teams Assisted Individualization (TAI)


Salvin (2005) menyatakan, “Teams Assisted Individualization (TAI)
merupakan slah satu tipe belajar kooperatif dengan pemberian bantuan secara
individual dari siswa yang pandai atau guru kepada siswa yang lemah”. Ada
delapan tahap, yaitu:
a. Pembentukan kelompok
b. Tes penempatan
c. Meningkatkan kreativitas
d. Belajar dalam kelompok
e. Nilai kelompok dan penghargaan kelompok
f. Pengajaran materi-materi pokok oleh guru
g. Tes fakta
h. Pengajaran unit-unit secara klasik
Kelebihan dan kelemahan dari berbagai penelitian yang telah bnayak dilakukan
yakni sebagai berikut :
a. Kelebihan
1) Siswa dapat termotivasi belajar karena hasil belajar dinilai secara teliti dan
cepat.
2) Para iswa terbina kemampuan komunikasinya.
3) Perilaku yang menggangu dan konflik antar pribadi akan terkurangi
melalui penanaman prinsip kerja kooperatif
4) Program ini sangat membantu siswa yang lemah dan sekaligus
meningkatkan prestasi belajar siswa secara keseluruhan.
b. Kelemahan
1) Diperlukan media pembelajaran yang lengkap dan memadai.
2) Waktu yang lama untuk pembuatan dan pengembangan perangkat
pembelajaran.
3) Diperlukan kinerja kritis evauatif dari guru selama siswa bekerja dalam
kelompok.

3. Metode Jigsaw

Langkah – langkahnya :
a. Kelas dibagi menjadi beberapa tim yang anggotanya terdiri 4 atau 5 siswa dengan
karakteristik yang heterogen.
b. Bahan akademik disajikan kepada siswa dalam bentuk teks dan setiap siswa
bertanggung jawab untuk mempelajari suatu bagian dari bahan akademik tersebut.
c. Para anggota dari beberapa tim yang berbeda memiliki tanggung jawab untuk
mempelajari suatu bagian akademik yang sama dan selanjutnya berkumpul untuk
saling membantu mengkaji bagian bahan tersebut (kelompok pakar / expert
group).
d. Selanjutnya para siswa yang berada dalam kelompok pakar kembali ke kelompok
semula ( home teams )untuk mengajar anggota lain mengenai materi yang telah
dipelajari dalam kelompok pakar.
e. Setelah diadakan pertemuan dan diskusi dalam “ home teams “ para siswa
dievaluasi secara individual mengenai bahan yang telah dipelajari.

4. Metode G ( Group Investigation )


Metode ini dirancang oleh Herbet Thelen dan diperbaiki oleh Sharn. Dalam
metode ini siswa dilibatkan sejak perencanaan baik dalam menentukan topik
maupun mempelajari melalui investigasi. Dalam metode ini siswa dituntut untuk
memiliki kemampuan yang baik dalam komunikasi dan proses memiliki
kelompok.
Langkah-langkahnya :
a. Seleksi topik
b. Merencanakan kerjasama
c. Implementasi
d. Analisis dan sintesis
e. Penyajian hasil akhir
f. Evaluasi selanjutnya

5. Metode structural
Metode ini dikembangkan oleh Spencer Kagan, yang menekankan pada struktur –
struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola – pola interaksi
siswa.Contoh teknik pembelajaran metode struktural yaitu :
a. Mencari Pasangan ( Make a Match )
Dikembangkan oleh Larana Curran, dimana keunggulan teknik ini adalah
siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topic
dalam suasana yang menyenangkan.

Langkah – langkahnya :
1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang
cocok untuk sesi review ( persiapan menjelang tes atau ujian ).
2) Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
3) Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan
kartunya.
4) Siswa bisa juga bergabung dengan dua atau tiga siswa lain yang memegang
kartu yang cocok.
5) Para siswa mendiskusikan penyelesaian tugas secara bersama – sama.
6) Presentasi hasil kelompok atau kuis.

b. Bertukar Pasangan

Langkah – langkahnya :
1) Setiap siswa mendapatkan satu pasangan ( guru bisa menunjukkan
pasangannya atau siswa melakukan prosedur / teknik mencari pasangan.
2) Guru memberikan tugas dan siswa mengerjakan tugas dengan pasangannya.
3) Setelah selesai setiap pasangan bergabung dengan satu pasangan yang lain.
4) Kedua pasangan tersebut bertukar pasangan. Masing – masing pasangan yang
baru ini kemudian saling menanyakan dan mengukuhkan jawaban mereka.
5) Temuan baru yang didapatkan dari pertukaran pasangan kemudian dibagikan
pada pasangan semula.

c. Berkirim Salam dan Soal


Langkah – langkahnya :
1) Guru membagi siswa dalam kelompok berempat dan setiap kelompok
ditugaskan untuk menuliskan beberapa pertanyaan yang akan dikirim ke
kelompok lain. Guru bisa mengawasi dan membantu memilih soal-soal yang
cocok.
2) Kemudian masing-masing kelompok mengirimkan satu orang utusan yang
akan menyampaikan salam dan soal dari kelompoknya.
3) Setiap kelompok mengerjakan soal kiriman dari kelompok lain.
4) Setelah selesai jawaban masing – masing kelompok dicocokan dengan
jawaban kelompok yang membuat soal.

d. Bercerita Berpasangan
Teknik ini menggabungkan kegiatan membaca, menulis, mendengarkan dan
berbicara. Langkah – langkahnya :
1) Pengajar membagi bahan pelajaran menjadi dua bagian.
2) Pengajar memberikan pengenalan topik yang akan dibahas dalam pelajaran.
3) Siswa dipasangkan
4) Bagian pertama bahan diberikan kepada siswa yang pertama sedangkan siswa
yang kedua menerima bagian yang kedua.
5) Kemudian siswa disuruh membaca atau mendengarkan bagian mereka masing-
masing
6) Sambil membaca/mendengarkan siswa mencatat beberapa kata atau frase
kunci yang ada dalam bagian masing-masing.
7) Siswa berusaha untuk mengarang bagian lain yang belum dibaca/didengarkan
berdasarkan kata kunci.
8) Setelah selesai menulis, beberapa siswa bisa diberi kesempatan untuk
membacakan hasil karangan mereka.
9) Pengajar membagiakan bagian cerita yang belum terbaca kepada masing –
masing siswa.
10) Diskusi mengenai topik tersebut.

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai