Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

F08vha PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 123

ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.

)
YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT

Oleh:
VIDY HARYANTI
F14104067

2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.)
YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh:
Vidy Haryanti
F14104067

2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.)


YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh:
Vidy Haryanti
F14104067

Dilahirkan pada Jakarta, 5 September 1986

Tanggal Lulus:............................

Bogor, September 2008


Menyetujui,
Pembimbing Akademik,

Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M.Agr.


NIP. 131 471 384

Mengetahui,
Ketua Departemen Teknik Pertanian,

Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS.


NIP. 131 671 603
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 5 September 1986 di Jakarta, dari orang tua
yang bernama Sugeng Haryanto, SH. MSi dan Endang Widarmawati. Penulis
adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan dasar
di SDN II Penengahan, Bandar Lampung, Lampung pada tahun 1998, lalu
melanjutkan ke SLTPN 4 Tebing Tinggi, Sumatera Utara dan tamat pada tahun
2001. Tahun 2004, penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan pada tahun yang
sama penulis melanjutkan studi di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum pada
mata kuliah Mekanika Fluida pada Tahun Akademik 2006/2007 dan asisten
praktikum pada mata kuliah Teknik Mesin dan Budidaya Pertanian pada Tahun
Akademik 2007/2008. Penulis juga terdaftar menjadi anggota Dewam Perwakilan
Mahasiswa (DPM) IPB sebagai Staf Riset dan Pengembangan pada masa jabatan
2004/2005, pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fateta IPB sebagai Staf
Minat dan Bakat Mahasiswa pada masa jabatan 2005/2006, pengurus Himpunan
Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA) sebagai Staf Hubungan Masyarakat
pada masa jabatan 2006/2007.
Pada tahun 2007 penulis melaksanakan Praktek Lapang di PT. Gula Putih
Mataram, Lampung dengan judul laporan ”Aspek Keteknikan Pertanian di PT.
Gula Putih Mataram, Lampung (Kajian Khusus pada Pemanenan Tebu
(Saccharum officinarum L.)”. Pada tahun 2008 Penulis melakukan penelitian
masalah khusus dengan judul ”Analisa Sistem Pemanenan Tebu yang Optimal
di PG. Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat” sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana.
Vidy Haryanti. F14104067. Analisa Sistem Pemanenan Tebu yang Optimal di
PG. Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Setyo
Pertiwi, M.Agr. 2008.

RINGKASAN
Gula sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia memiliki
nilai strategis dalam usaha menjaga ketahanan pangan. Perkembangan jumlah
penduduk yang semakin meningkat dan berkembangnya industri-industri
makanan dan minuman memerlukan gula sebagai salah satu bahan bakunya.
Namun kenaikan konsumsi gula masyarakat dan keperluan industri ini tidak
diimbangi dengan peningkatan produksi gula dalam negeri. Hal ini tercermin dari
turunnya produksi tebu sebagai bahan baku utama dalam pembuatan gula.
Produksi tebu tahun 2006 mencapai 30,244.051 ton. Jika dibandingkan dengan
tahun 2005 yang menghasilkan 31,139.969 ton berarti mengalami penurunan
sebesar 895.917 ton atau sebesar 2.88%. Salah satu yang mempengaruhi
penurunan tersebut adalah kegiatan pemanenan. Untuk itu sistem pemanenan yang
paling tepat (optimal) dapat diterapkan dalam rangka mengoptimalkan produksi
tebu.
Pemanenan tebu dapat didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan
memungut hasil gula yang masih potensial berada pada bagian tanaman tebu di
kebun untuk diolah menjadi butiran kristal gula di pabrik (GPM Grup, 1995).
Pemanenan tebu yang diterapkan dalam industri gula saat ini adalah sistem tebang
manual, sistem tebang semi mekanis dan sistem tebang mekanis. Kegiatan
pemanenan selalu menjadi fokus perhatian dari manajemen pabrik gula. PG.
Jatitujuh merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam industri gula.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisa biaya pemanenan pada
setiap sistem pemanenan tebu. (2) menganalisa kerugian yang ditimbulkan oleh
tebu tertinggal di kebun dan trash yang terbawa ke pabrik. (3) mempelajari
pengaruh pembebanan akibat lintasan angkutan dan mesin pemanenan tebu di
lahan kering. (4) menentukan sistem pemanenan tebu yang optimal di PG
Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat.
Biaya pemanenan adalah biaya yang diperlukan untuk menebang dan
mengangkut tiap kwintal tebu sesuai dengan sistem pemanenan yang digunakan.
Besarnya biaya dengan sistem tebang manual adalah jumlah keseluruhan biaya
pokok tenaga tebang, ongkos muat tebu, ongkos angkutan, dan biaya lainnya yang
berhubungan dengan pengadaan tenaga tebang. Besarnya biaya dengan sistem
semi mekanis adalah jumlah keseluruhan biaya tenaga tebang dan biaya muat
menggunakan grab loader dan biaya pengangkutan. Biaya muat dihitung dengan
menjumlahkan biaya pemilikan dan biaya operasional grab loader. Besarnya
biaya dengan sistem tebang mekanis adalah biaya total penggunaan mesin-mesin
yang terlibat dalam kegiatan pemanenan ini. Biaya total terdiri dari biaya
pemilikan dan biaya operasional mesin-mesin seperti mesin panen tebu (cane
harvester), traktor angkutan, dan trailer.
Pengukuran jumlah tebu tertinggal, jumlah trash, dan pemadatan tanah
dilakukan pada lahan dengan pemanenan menggunakan sistem tebang manual dan
semi mekanis. Pengukuran pada sistem mekanis tidak dapat dilakukan karena
sistem ini sedang tidak beroperasi pada tahun pelaksanaan penelitian. Jumlah tebu
tertinggal di kebun dihitung dengan banyaknya tunggak dan cako per Ha (kw/Ha).
Jumlah trash (sampah) yang terbawa ke pabrik adalah persentase antara berat
sampel kotoran tebu (kg) dengan berat sampel tebu (kg). Pemadatan tanah
merupakan hasil dari pembebanan akibat lintasan angkutan dan mesin pemanenan
tebu. Pemadatan tanah dinyatakan dengan nilai tahanan penetrasi (kg/cm²), berat
isi tanah (gram/cm³) dan porositas (%). Tahanan penetrasi diukur menggunakan
penetrometer. Pengukuran berat isi tanah dan porositas tanah dilakukan dengan
metode gravimetrik dengan menggunakan sampel tanah dari kebun.
Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk memodelkan
permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan penentuan sistem
pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh. Metode AHP dibagi menjadi tiga
model. Model pertama yaitu pengambilan keputusan oleh empat aktor yang
terlibat dalam kegiatan pemanenan di PG Jatitujuh yaitu bagian Tebang-Angkut,
bagian Riset dan Pengembangan, bagian Mekanisasi dan bagian Pabrikasi. Model
kedua yaitu pengambilan keputusan oleh pelaku tunggal yaitu peneliti. Model
ketiga yaitu pengambilan keputusan oleh lima pelaku yang merupakan gabungan
dari hasil keputusan kedua model sebelumnya. Ketiga model tersebut masing-
masing mempunyai kriteria dan alternatif. Kriteria terdiri dari biaya pemanenan,
jumlah tebu tertinggal, jumlah trash, dan pemadatan tanah. Alternatif terdiri dari
sistem tebang manual, sistem tebang semi mekanis dan sistem tebang mekanis.
Biaya pokok (Rp./kw) pada sistem tebang manual pada masa giling tahun
2007 lebih kecil dibandingkan dengan sistem tebang semi mekanis dan mekanis
yaitu sebesar Rp. 5,329/kw. Biaya pokok pada sistem tebang semi mekanis dan
mekanis adalah sebesar Rp. 6,316/kw dan Rp. 5,568/kw.
Hasil pengukuran tebu tertinggal di kebun menyatakan bahwa mutu
tebangan pada sistem tebang semi mekanis lebih baik dibandingkan dengan sistem
tebang manual berdasarkan jumlah tebu tertinggal di kebun. Rata-rata jumlah cako
dan tunggak yang tertinggal di kebun pada sistem pemanenan semi mekanis
sebesar 0.2 kw/ha dan 3.55 kw/ha. Rata-rata jumlah cako yang tertinggal di kebun
pada sistem pemanenan manual sebesar 0.09 kw/ha tetapi rata-rata jumlah
tunggak yang tertinggal di kebun sebesar 12.4 kw/ha atau lebih tinggi dari batas
yang diizinkan sebesar 9 kw/ha. Tebu tertinggal di kebun maupun di lahan
sebanyak ± 1 kw/ha, biaya kerugian yang dapat disimpan setiap hari setelah
melakukan usaha pengambilan tebu tertinggal dengan luasan 45 ha/hari mencapai
Rp. 16,183,125.
Hasil analisa trash menyatakan bahwa mutu tebangan pada sistem manual
lebih baik dibandingkan dengan sistem semi mekanis berdasarkan jumlah trash
yang terbawa ke pabrik. Rata-rata jumlah trash untuk sistem pemanenan manual
dan semi mekanis sebesar 1.79% dan 3.11%,dan mutu tebangan kedua sistem
pemanenan dinyatakan baik karena trash < 5%. Biaya kerugian akibat trash
terbawa ke penggilingan di pabrik tidak dapat diketahui akibat data lapangan yang
kurang memadai.
Hasil pengukuran pemadatan tanah menunjukkan nilai porositas (%) yang
lebih rendah, nilai tahanan penetrasi (kg/cm²) dan nilai bobot isi tanah (gr/cm³)
lebih tinggi setelah proses tebang baik pada sistem tebang manual maupun
mekanis. Sistem tebang manual menghasilkan pemadatan tanah yang lebih rendah
dibandingkan dengan sistem tebang semi mekanis. Hal ini ditunjukkan oleh nilai
tahanan penetrasi (kg/cm²) dan nilai bobot isi tanah (gr/cm³) yang lebih kecil
dibandingkan dengan sistem tebang semi mekanis. Hal ini ditunjukkan pula oleh
nilai porositas (%) yang lebih besar pada sistem tebang manual.
Berdasarkan hasil analisa metode AHP dengan empat aktor yang berasal
dari PG. Jatitujuh, menghasilkan alternatif sistem tebang manual sebagai prioritas
utama dengan bobot sebesar 0.581. Prioritas kedua dan ketiga ditempati oleh
sistem tebang semi mekanis dan mekanis dengan bobot sebesar 0.283 dan 0.137.
Berdasarkan hasil analisa metode AHP dengan aktor tunggal yaitu peneliti,
menghasilkan alternatif sistem tebang manual sebagai prioritas utama dengan
bobot sebesar 0.467. Prioritas kedua dan ketiga ditempati oleh sistem tebang
mekanis dan semi mekanis dengan bobot sebesar 0.313 dan 0.220. Pengambilan
keputusan oleh peneliti didasarkan atas data kuantitatif yang diperoleh selama
penelitian. Berdasarkan hasil analisa metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
dengan lima aktor yang merupakan gabungan dari pegawai PG. Jatitujuh dan
peneliti, menghasilkan alternatif sistem tebang manual sebagai prioritas utama
dengan bobot sebesar 0.575. Prioritas kedua dan ketiga ditempati oleh sistem
tebang semi mekanis dan mekanis dengan bobot sebesar 0.259 dan 0.166. Dari
hasil tersebut dapat disimpulkan, sistem pemanenan tebu yang optimal di PG.
Jatitujuh adalah sistem tebang manual. Sistem tebang manual dapat dilaksanakan
dengan asumsi jumlah tenaga kerja memadai. Jika tidak sistem tebang semi
mekanis atau mekanis harus dilaksanakan agar pabrik tetap dapat beroperasi.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena hanya atas berkat
dan rahmat-Nya lah penulis dapat meyelesaikan penelitian dengan judul ”Analisa
Sistem Pemanenan Tebu yang Optimal di PG. Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat”.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M.Agr sebagai dosen pembimbing akademik atas
bimbingan, arahan, masukan, kesabaran, dan pengertiannya dalam penyusunan
skripsi ini.
2. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng dan Dr. Ir. Desrial, M.Eng selaku
dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penulisan skripsi.
3. Pimpinan dan karyawan PG. Jatitujuh atas bimbingan selama penulis
melaksanakan penelitian.
4. Gina Agustina, STP atas bimbingan dan tempat tinggal selama penelitian.
5. Bapak, Ibu, Bhakti Haryanto Atmojo, Whisnu Haryanto dan seluruh keluarga
besar atas doa, dorongan, dan dukungannya selama ini.
6. Teman-teman seperjuangan di areal kering penuh debu : Tania, Bayu, Heru,
Malik, Sukris, Ludy, Busan, Pak Farry, Pak Lamto atas kekompakan dan
kebersamaannya selama penelitian.
7. Sahabat-sahabat : Ismi, Ananti, Dara, Tami, Nurul, dan Puspita atas doa,
kesabaran, pengertian dan kebersamaan selama menyelesaikan pendidikan.
8. Teman-teman Teknik Pertanian Angkatan 41 yang telah banyak membantu
penulis dalam menyelesaikan pendidikan.
9. Panji Yudha Prakasa, atas doa dan dukungan yang telah diberikan.
10. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian tulisan ini.
Penulis menyadari akan kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan
skripsi ini. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan.
Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi seluruh
pihak yang memerlukannya.
Bogor, Agustus 2008

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
DAFTAR TABEL .................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... vii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Tujuan ......................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Tebu ........................................................................... 4
B. Pemanenan Tebu ........................................................................ 4
C. Biaya Pemanenan Tebu .............................................................. 8
D. Tebu Tertinggal dan Trash ......................................................... 8
E. Pemadatan Tanah ....................................................................... 9
F. Teknik Penganbilan Keputusan .................................................. 10
G. Penelitian Terdahulu ................................................................... 15
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................... 16
B. Asumsi ....................................................................................... 16
C. Bahan dan Alat ............................................................................ 16
D. Metode Pengumpulan Data.......................................................... 16
E. Metode Analisa Data ................................................................... 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Perusahaan ........................................................ 30
B. Pemanenan Tebu ........................................................................ 31
C. Biaya Pemanenan ....................................................................... 34
D. Tebu Tertinggal dan Trash ......................................................... 36
E. Pemadatan Tanah ....................................................................... 40
F. Pengambilan Keputusan ............................................................. 48
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................. 65
B. Saran ........................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 68
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perkembangan produksi tebu dan hablur serta jumlah pabrik


gula yang giling di Jawa dan di luar Jawa tahun 2002-2006 .... 2
Tabel 2. Skala penilaian perbandingan berpasangan ............................... 12
Tabel 3. Contoh matriks perbandingan berpasangan ............................... 13
Tabel 4. Nilai random indeks (RI) .......................................................... 14
Tabel 5. Luas areal dan tata guna lahan PG Jatitujuh tahun 2007............. 31
Tabel 6. Biaya transportasi (Rp./kw) PG. Jatitujuh tahun 2007 ................ 34
Tabel 7. Biaya pokok ketiga sistem pemanenan di PG Jatitujuh
tahun 2007 ............................................................................... 35
Tabel 8. Jumlah kandungan trash, cako dan tunggak pada sistem
pemanenan manual dan semi mekanis ..................................... 37
Tabel 9. Rata-rata hasil pengukuran tahanan penetrasi tanah dengan
menggunakan penetrometer tipe tekan dengan luas cone
3.23 cm² (kg/cm²) .................................................................... 40
Tabel 10. Rata-rata hasil pengukuran berat isi tanah (gr/cm³) ................. 44
Tabel 11. Rata-rata porositas tanah (%) ................................................... 46
Tabel 12. Hasil pengolahan horizontal pada aktor yang mempengaruhi
penentuan sistem pemanenan .................................................. 50
Tabel 13. Hasil pengolahan horizontal pada kriteria dalam setiap aktor
yang mempengaruhi penentuan sistem pemanenan tebu yang
optimal .................................................................................... 52
Tabel 14. Hasil pengolahan horizontal pada alternatif dalam setiap aktor
yang mempengaruhi penentuan sistem pemanenan tebu yang
optimal .................................................................................... 55
Tabel 15. Hasil pengolahan vertikal pada level alternatif ......................... 56
Tabel 16. Hasil uji konsistensi matriks pendapat empat aktor ................. 57
Tabel 17. Hasil pengolahan horizontal kriteria oleh aktor tunggal .......... 58
Tabel 18. Hasil pengolahan horizontal pada alternatif dalam setiap kriteria
yang mempengaruhi penentuan sistem pemanenan tebu yang
optimal .................................................................................... 60
Tabel 19. Hasil pengolahan vertikal pada alternatif ................................. 61
Tabel 20. Hasil pengolahan horizontal pada level aktor .......................... 62
Tabel 21. Hasil pengolahan vertikal pada alternatif ................................ 64
Tabel 22. Hasil uji konsistensi matriks pendapat lima aktor .................... 64
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tanaman Tebu ...................................................................... 6


Gambar 2. Mekanisme kerja cane harvester ........................................... 7
Gambar 3. Struktur hierarki AHP ........................................................... 12
Gambar 4. Diagram alir penelitian ......................................................... 17
Gambar 5. Model sistem hierarki keputusan untuk menentukan sistem
pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh ...................... 26
Gambar 6. Proses muat tebu dengan grab loader di PG. Jatitujuh .......... 33
Gambar 7. Proses muat tebu dengan grab loader di PT. GPM ................ 33
Gambar 8. Hubungan nilai tahanan penetrasi tanah pada Ratoon II
dengan kedalaman tanah ...................................................... 41
Gambar 9. Hubungan nilai tahanan penetrasi tanah pada Ratoon III
dengan kedalaman tanah (cm) ............................................... 41
Gambar 10. Sistem tebang manual ......................................................... 42
Gambar 11. Sistem tebang semi mekanis ............................................... 43
Gambar 12. Sistem tebang mekanis ........................................................ 44
Gambar 13. Hubungan nilai berat isi tanah (gr/cm³) pada Ratoon II
dengan kedalaman tanah (cm) ............................................... 44
Gambar 14. Hubungan nilai berat isi tanah (gr/cm³) pada Ratoon III
dengan kedalaman tanah (cm) ............................................... 45
Gambar 15. Hubungan nilai porositas (%) pada Ratoon II dengan
kedalaman tanah (cm) ......................................................... 46
Gambar 16. Hubungan nilai porositas (%) pada Ratoon III dengan
kedalaman tanah (cm) ......................................................... 47
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuisioner untuk penentuan sistem pemanenan tebu yang


optimal di PG. Jatitujuh, Jawa Barat .................................. 71
Lampiran 2. Struktur organisasi PG. Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat .. 73
Lampiran 3. Peta PG. Jatitujuh ............................................................... 74
Lampiran 4. Hasil pengukuran kapasitas kerja pemanenan tenaga tebang
lokal (laki-laki) .................................................................. 75
Lampiran 5. Hasil pengukuran kapasitas kerja pemanenan tenaga tebang
lokal (wanita)...................................................................... 76
Lampiran 6. Hasil pengukuran kapasitas kerja pemanenan tenaga tebang
impor ................................................................................. 77
Lampiran 7. Hasil pengukuran kapasitas kerja grab loader .................... 78
Lampiran 8. Analisa biaya tebang dan angkut dengan sistem tebang
manual tahun 2007 ............................................................. 79
Lampiran 9. Analisa biaya pokok grab loader ........................................ 81
Lampiran 10. Analisa biaya tebang dan angkut dengan sistem tebang
semi mekanis tahun 2007 ................................................. 83
Lampiran 11. Analisa biaya pokok mesin panen (cane harvester) .......... 85
Lampiran 12. Analisa biaya pokok traktor tebangan ............................... 87
Lampiran 13. Analisa biaya pokok trailer tebangan ............................... 89
Lampiran 14. Analisa biaya tebang dan angkut dengan sistem tebang
mekanis tahun 2007 .......................................................... 90
Lampiran 15. Hasil analisa cako dan tunggak pada tebang manual ......... 91
Lampiran 16. Hasil analisa cako dan tunggak pada tebang semi mekanis 92
Lampiran 17. Hasil analisa trash pada tebang manual ............................ 93
Lampiran 18. Hasil analisa trash pada tebang semi mekanis ................... 94
Lampiran 19. Analisa biaya pengambilan tebu tertinggal tahun 2007 ..... 95
Lampiran 20. Data hasil pengukuran tahanan penetrasi (kg/cm²) pada
status tanaman ratoon II dan III ........................................ 96
Lampiran 21. Data hasil pengukuran berat isi tanah (gr/cm³) dan kadar
air (%) pada status tanaman ratoon II dan III .................... 97
Lampiran 22. Data hasil pengukuran porositas tanah (%) pada status
tanaman ratoon II dan III ................................................. 99
Lampiran 23. Analisa biaya pokok kegiatan rippering ............................ 100
Lampiran 24. Model sistem hierarki keputusan oleh empat
aktor untuk menentukan sistem pemanenan tebu yang
optimal di PG. Jatitujuh .................................................. 102
Lampiran 25. Model sistem hierarki keputusan oleh aktor tunggal
untuk menentukan sistem pemanenan tebu yang
optimal di PG. Jatitujuh .................................................. 103
Lampiran 26. Model sistem hierarki keputusan oleh lima aktor
untuk menentukan sistem pemanenan tebu yang
optimal di PG. Jatitujuh .................................................. 104
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu
tanaman yang penting sebagai penghasil gula. Gula sebagai salah satu
kebutuhan pokok masyarakat Indonesia memiliki nilai strategis dalam usaha
menjaga ketahanan pangan. Perkembangan jumlah penduduk yang semakin
meningkat dan berkembangnya industri-industri makanan dan minuman
memerlukan gula sebagai salah satu bahan bakunya. Namun kenaikan
konsumsi gula masyarakat dan keperluan industri ini tidak diimbangi dengan
peningkatan produksi gula dalam negeri. Rendahnya produksi gula di
Indonesia disebabkan oleh lahan yang semakin sempit dengan produktivitas
lahan yang semakin menurun khususnya di pulau Jawa, cuaca yang terkadang
kurang mendukung, menurunnya kemampuan pabrik dalam mengolah tebu
menjadi gula, dan sarana produksi kurang, serta teknik budidaya kurang
sehingga dihasilkan tebu dengan rendemen yang rendah dan biaya produksi
gula yang semakin tinggi (Hadi, 2007).
Pada teknik budidaya tebu mencakup kegiatan pemanenan. Kegiatan
ini menjadi jembatan antara kebun yang menyediakan bahan baku dengan
pabrik yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi. Kegiatan ini hanya
dapat meminimalkan kehilangan hasil gula karena pemanenan dan pengolahan
di pabrik tidak pernah bisa menambah hasil gula yang telah diproduksi di
kebun. Kegiatan pemanenan menggabungkan tiga kegiatan yaitu tebang, muat,
dan angkut. Walaupun kegiatan ini sudah menjadi kegiatan rutin setiap tahun
bagi pabrik gula, namun bukan berarti dalam pelaksanaannya selalu mulus dan
lancar. Untuk itu kegiatan pemanenan selalu menjadi fokus yang mendapat
perhatian lebih dari manajemen pabrik gula.
Pada masa giling 2006, pabrik gula (PG) di Indonesia yang
melaksanakan giling berjumlah 59 buah. Areal tanaman tebu giling tahun
2006 seluas 397,281.60 ha. Jika dibandingkan dengan luas areal tanaman
tahun 2005 seluas 382,354.14 ha berarti mengalami kenaikan seluas 14,924.46
ha. Namun kenaikan luas areal tebu sebesar (3.90%) tidak diimbangi dengan
kenaikan produksi tebu. Produksi tebu tahun 2006 mencapai 30,244.051 ton.
Jika dibandingkan dengan tahun 2005 yang menghasilkan 31,139.969 ton
berarti mengalami penurunan sebesar 895.917 ton atau sebesar 2.88% (Hadi,
2007). Perkembangan produksi tebu dan hablur serta jumlah PG yang giling di
Jawa dan di luar Jawa tahun 2002-2006 dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan produksi tebu dan hablur serta jumlah pabrik gula
yang giling di Jawa dan luar Jawa tahun 2002-2006
Tahun
Wilayah 2002 2003 2004 2005 2006
Giling
Produksi
16.715.495 14.782.288 16.978.751 20.435.639 19.918.387
tebu (ton)
Produksi
hablur 1.097.670 1.024.672 1.206.179 1.389.128 1.455.805
Jawa
(ton)
Jumlah
pabrik 47 47 47 47 47
gula
Produksi
8.777.308 7.842.667 9.764.429 10.704.330 10.325.664
tebu (ton)
Produksi
Luar hablur 661.134 607.158 845.472 855.74 852.169
Jawa (ton)
Jumlah
pabrik 13 12 11 12 12
gula
Produksi
25.492.603 22.624.955 26.743.179 31.139.969 30.244.051
tebu (ton)
Produksi
hablur 1.758.771 1.631.830 2.051.916 2.244.868 2.307.974
Indonesia
(ton)
Jumlah
pabrik 60 59 58 59 59
gula
Sumber: Hadi, 2007

Dalam usaha meningkatkan produksi gula di Indonesia dan memenuhi


kebutuhan konsumsi penduduk, maka dilakukan segala usaha ke arah ini baik
dalam bidang budidaya tanaman tebu, pasca panen sampai pengolahan gula.
Pemerintah juga mengupayakan pembangunan pabrik gula yang diarahkan
pembangunannya terutama di luar Jawa.
Pemanenan tebu yang diterapkan dalam industri gula saat ini adalah
sistem manual, sistem semi mekanis dan sistem mekanis. Sistem pemanenan
tebu yang lebih tepat (optimal) dapat diterapkan dalam rangka
mengoptimalkan produktivitas tebu (kw/ha). Untuk mengetahui kriteria dalam
penerapan sistem pemanenan tebu yang optimal, perlu adanya penelitian
tentang hal tersebut. Dari kriteria yang telah ditemukan maka harus dapat
ditetapkan kriteria mana yang memegang peranan. Beberapa kriteria tersebut
dapat disederhanakan dengan menggunakan metode Analytic Hierarchy
Process (AHP). Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman bagi
perusahaan dalam pelaksanaan kegiatan pemanenan tebu, sehingga dapat
memaksimumkan keuntungan yang dapat diperoleh.

B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisa biaya pemanenan pada setiap sistem pemanenan tebu.
2. Menganalisa kerugian yang ditimbulkan oleh tebu tertinggal di kebun dan
trash yang terbawa ke pabrik.
3. Mempelajari pengaruh pembebanan akibat lintasan angkutan dan mesin
pemanenan tebu di lahan kering.
4. Menentukan sistem pemanenan tebu yang optimal di PG Jatitujuh,
Majalengka, Jawa Barat.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Tebu
Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan
semusim yang mempunyai sifat tersendiri, karena di dalam batangnya terdapat
zat gula. Tanaman ini tumbuh optimal di khatulistiwa pada 39o LU-35o LS
dengan suhu 21oC (Sutardjo, 1994). Tanaman ini merupakan salah satu
tanaman penting sebagai penghasil gula karena lebih dari setengah produksi
gula berasal dari tebu.
Tebu merupakan famili graminae yang dapat tumbuh di berbagai
kondisi tanah dan iklim. Menurut Muljana (1989), tanah yang paling cocok
untuk tanaman tebu adalah daerah dataran dengan ketinggian di bawah 500 m
di atas permukaan laut dan mempunyai curah hujan kurang dari 2000 mm per
tahunnya. Lebih baik lagi apabila dipadu dengan keadaan iklim yang
bergantian antara kemarau dan penghujan.
Dalam masa pertumbuhannya tanaman tebu membutuhkan banyak air,
sedangkan ketika tebu akan menghadapi waktu masak menghendaki keadaan
kering sehingga pertumbuhannya terhenti. Apabila hujan turun terus menerus
akan menyebabkan tanaman tebu rendah rendemennya. Jadi jelas bahwa tebu
selain memerlukan daerah-daerah yang beriklim panas, juga diperlukan
adanya perbedaan yang nyata antara musin hujan dan musim kemarau
(Notojoewono, 1967).

B. Pemanenan Tebu
Menurut Notojoewono (1967), pemanenan adalah suatu kegiatan
penyiapan tebu untuk diangkut ke pabrik, dimana kegiatannya terdiri dari
penebangan, pembersihan dari segala kotoran dan penyiapan tebu ke tempat
pengangkutan. GPM Grup (1995) menyatakan bahwa pemanenan tebu dapat
didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan memungut hasil gula yang masih
potensial berada pada bagian tanaman tebu di kebun untuk diolah menjadi
butiran kristal gula di pabrik. Implikasi dari makna tersebut adalah:
1. Orang yang terlibat dalam kegiatan pemanenan akan selalu ingat dan hati-
hati bahwa barang yang ditangani adalah gula yang nilai ekonominya
tinggi.
2. Setiap elemen dari bagian pemanenan harus mengerti dan sadar bahwa
bagian tanaman yang mengandung gula yang harus dikirim sedangkan
yang tidak harus ditinggalkan.
Pada pelaksanaan proses tebang, jika dilihat dari kondisi tebu, terdapat
dua macam metode yaitu tebu hijau (green cane) dan tebu bakar (burn cane).
PG. Jatitujuh menerapkan metode tebu hijau. Keunggulan dari sistem ini
adalah kesegaran tebu relatif terjamin, resiko kehilangan pol in cane relatif
kecil. Kekurangan pada penerapan sistem tebang ini yaitu kandungan sampah
yang dibawa ke pabrik relatif banyak, tebu tertinggal di lahan juga lebih
banyak, produktivitas tenaga kerja lebih kecil, dan memerlukan pengawasan
yang ketat baik dalam tebang maupun angkut.
Sistem pemanenan ialah apakah tebu akan ditebang secara manual atau
mekanis atau kedua-duanya; tebu akan ditebang sebagai tebu utuh atau
dipotong-potong (chopped cane); dipanen sebagai tebu segar atau dibakar.
Setiap kombinasi sistem yang digunakan memerlukan persiapan, perlakuan
dan penyediaan sarana dan prasarana yang berbeda (Mochtar, et. al (1989)
dalam Rahmawati (1994)). Terdapat tiga sistem penebangan di PG Jatitujuh,
yaitu:
1. Sistem tebang manual
Sistem pemanenan dimana pelaksanaan seluruh kegiatan sejak tebang,
pembersihan klaras, pengikatan dan muat tebu hasil tebangan dilakukan
seluruhnya oleh tenaga manusia. Sedangkan pengangkutan dilakukan
menggunakan truk-truk serta pembongkarannya dilakukan secara mekanis
di pabrik.
2. Sistem tebang semi mekanis
Sistem pemanenan dimana pelaksanaan seluruh kegiatan sejak tebang,
pembersihan klaras dan pengikatan batang-batang tebu tebangan dilakukan
oleh tenaga manusia sedangkan muat, angkut dan bongkarnya di pabrik
dilakukan secara mekanis.
3. Sistem tebang mekanis
Sistem pemanenan dimana pelaksanaan seluruh kegiatan sejak tebang,
muat, angkut dan bongkarnya di pabrik dilakukan secara mekanis.
Pada penebangan secara manual, pekerjaan yang dilakukan oleh
penebang adalah sebagai berikut:
1. Batang tanaman tebu (Gambar 1) dipotong hingga pandes atau hingga
tunggak (sisa batang di tanah, lihat Gambar 1a) maksimal 5 cm dari tanah.
2. Batang tebu dibersihkan dari klaras, akar dan kotoran lain yang melekat
pada batang tebu.
3. Pemotongan pucuk harus sesuai standar yaitu pada daun kelima ( ± 30 cm
dari atas). Apabila pemotongan terlalu panjang akan menghasilkan cako
(tebu lonjoran) (lihat Gambar 1b).
4. Menyisihkan pucuk bersama klaras dan kotoran lain dalam satu lajur dan
membuang sogolan (tebu muda).
5. Meletakkan tebu yang telah ditebang pada lajur yang bersih dari kotoran
dan kemudian diikat dengan sayatan kulit tebu atau bambu dengan berat
tebangan 40-50 kg per ikatnya.

Pucuk
tebu

Tunggak

> 30 cm
Tanah
(a) Cako

(b)

Gambar 1. Tanaman tebu


Perbedaan antara sistem manual dan semi mekanis hanya pada proses
pemuatannya. Pada sistem manual pemuatannya dilakukan secara manual
dengan menggunakan tenaga manual sedangkan sistem semi mekanis
pemuatannya dilakukan secara mekanis dengan menggunakan grab loader.
Pada sistem tebang mekanis dilakukan dengan menggunakan cane harvester
tipe chopper harvester. Mekanisme kerja dari mesin ini (Gambar 2) adalah
melakukan sekaligus pemotongan pucuk, pangkal batang, membuang daun
dan memotong batang menjadi potongan-potongan sepanjang 20-45 cm serta
langsung memuatnya ke dalam trailer/dump truck. Sistem ini baru akan
diterapkan apabila jumlah tenaga tebang manual berkurang secara drastis
dimana kuota tebangan harus segera dipenuhi untuk memenuhi target giling
pabrik.

Sumber : www.beeh.unp.ac.za [25 Agustus 2008]

Gambar 2. Mekanisme kerja cane harvester

Tebu setelah ditebang harus segera diangkut ke pabrik untuk


selanjutnya digiling. Pengangkutan tebu dari kebun sampai ke pabrik dapat
dilaksanakan menggunakan cane trailer dan truk. Pengangkutan ke pabrik
menggunakan truk. Truk angkutan yang digunakan adalah truk milik
kontraktor.
C. Biaya Pemanenan Tebu
Biaya pemanenan tebu adalah biaya yang diperlukan untuk memanen
tiap kwintal tebu. Biaya ini merupakan biaya penebangan dan biaya
pengangkutan tebu ke pabrik dengan alat angkut. Biaya penebangan yang
dikeluarkan tergantung dari cara penebangan yang digunakan, cara manual,
semi mekanis atau mekanis. Sedangkan biaya pengangkutan ditentukan dari
jumlah tebu yang ditebang dan cara pengangkutan tebu dari kebun ke pabrik.
Pembayaran (sistem upah) dilakukan pada sistem manual dan semi
mekanis dengan sistem tonage (berat tebu yang dikirim ke pabrik). Upah dari
perusahaan langsung dibayarkan kepada kontraktor tebang, kemudian
dibayarkan kepada masing-masing tenaga tebang melalui mandornya.
Biaya yang diperlukan dalam penggunaan peralatan mekanis dapat
dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu biaya tetap (fixed costs) atau biaya
pemilikan (owning costs), dan biaya tidak tetap (variabel costs) atau biaya
operasi (operation costs). Biaya pemilikan terdiri dari penyusutan, bunga
modal, pajak, asuransi dan bangunan penyimpanan. Biaya operasi terdiri dari
biaya untuk bahan bakar, pelumas, pemeliharaan, perbaikan ban dan upah
untuk operator (Pramudya, 1989). Besarnya biaya yang diperlukan mesin
panen tebu untuk memanen tebu akan ditentukan juga oleh besarnya
pemakaian mesin tersebut dalam setiap tahunnya. Besarnya pemakaian ini
tergantung dari banyaknya tebu yang harus dipanen.

D. Tebu tertinggal dan Trash


Susut atau kehilangan tebu di kebun pada waktu penebangan dapat
berupa sisa batang bawah (tunggak) atau yang tidak tertebang, dan tebu yang
tercecer di kebun (Dardak dan Suryanto dalam Pramudya, 1989).
Kebersihan tebu yang dikirim ke pabrik adalah sangat penting. Trash
(kotoran) yang ikut terbawa ke pabrik harus ditekan serendah mungkin. Trash
adalah segala sesuatu yang tidak mengandung gula yang melekat pada
tanaman tebu. Trash yang dianalisa meliputi klaras daun kering/hijau, sogolan
< 1,5 m, pucuk, akar, tali ikat, tanah dan tebu mati. Trash dinyatakan dengan
nilai EM (extraneous matter), yaitu persentase dari berat kotoran dibagi
dengan berat tebu. Berdasarkan kriteria di lapangan, kebersihan tebu dapat
dibagi menjadi tiga kriteria, yaitu :
a. Tebu bersih apabila EM < 5%
b. Tebu normal apabila EM 5-8 %
c. Tebu kotor apabila EM > 8 %
Untuk meminimalkan EM maka dibuat sistem insentif dan penalti kepada
kontraktor tebang agar kebersihan tebu yang dikirim dapat terjaga.

E. Pemadatan Tanah
Tanah merupakan suatu sistem yang dinamis yang tersusun dari empat
bahan utama, yaitu bahan mineral, bahan organik, air, dan udara. Bahan-bahan
penyusun tanah tersebut masing-masing berbeda komposisinya untuk setiap
jenis tanah, kadar air dan perlakuan terhadap tanah. Pada tanah lapis atas yang
baik untuk pertumbuhan tanaman lahan kering (bukan sawah) umumnya
mengandung 45% (volume) bahan mineral, 5% bahan organik, 20-30% udara,
dan 20-30% air (Hardjowigeno. 1989). Koolen dan Kuiper (1983) menyatakan
bahwa pada tanah-tanah pertanian, sifat mekanis tanah yang terpenting adalah
reaksi tanah terhadap gaya-gaya yang bekerja pada tanah dimana salah satu
bentuknya yang dapat diamati adalah perubahan tingkat kepadatan tanah.
Pemadatan tanah dinyatakan sebagai menurunnya volume atau naiknya
berat isi suatu massa tanah. Menurut McKyes (1985) pemadatan tanah adalah
perubahan naik merapatnya partikel-partikel padatan tanah serta menurunnya
porositas tanah. Williford (1980) menyatakan bahwa perubahan ciri fisik
tanah, dimana tanah menjadi lebih padat, adalah karena hancurnya kerangka
tanah oleh kerja gaya mekanis pada tanah. Perubahan tingkat kepadatan tanah
dapat dinyatakan dengan menggunakan parameter seperti berat isi, porositas
dan tahanan penetrasi. Tahanan penetrasi dapat diukur menggunakan
penetrometer.
Pemadatan tanah ditentukan oleh faktor mesin yang melintasi tanah
dan faktor tanah itu sendiri. Faktor mesin dilihat dari intensitas lintasan mesin
pertanian yang ditunjukkan oleh umur penggunaan lahan (kategori lahan
replanting cane atau ratoon cane) dalam satu siklus musim. Faktor tanah
meliputi kadar air tanah dan kepadatan tanah awal. Kondisi akhir sebagai hasil
proses pemadatan tanah diukur dengan besaran berat isi tanah (gr/cm³),
porositas (%), dan tahanan penetrasi tanah (kg/cm²). Pemadatan tanah
menurunkan aerasi tanah sehingga menghambat metabolisme perakaran
tanaman, meningkatkan keteguhan tanah sehingga menghambat
perkembangan akar, menurunkan permeabilitas tanah sehingga meningkatkan
aliran permukaan dan erosi.

F. Teknik Pengambilan Keputusan


Metode yang dipakai untuk dasar penentuan sistem pemanenan tebu
yang optimal adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP merupakan
suatu alat analisis yang dapat dipakai dalam pengambilan keputusan untuk
memahami kondisi suatu sistem dan membantu melakukan prediksi dalam
pengambilan keputusan (Saaty, 1993). Pada hakikatnya AHP adalah suatu
model pengambil keputusan yang komprehensif dengan memperhitungkan
hal-hal yang bersifat kualitatif dan kuantitatif.
Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks
yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta
menata dalam suatu hirarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel
diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut
secara relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan
tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang
memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem
tersebut (Marimin, 2004).
Peralatan utama dari AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan
input utamanya adalah persepsi manusia. Jadi perbedaan yang mencolok
antara metode AHP dengan metode lainnya terletak pada jenis inputnya.
Terdapat 4 aksioma yang terkandung dalam metode AHP, yaitu:
1. Reciprocal Comparison, artinya pengambilan keputusan harus dapat
memuat perbandingan dan menyatakan preferensinya. Preferensi tersebut
harus memenuhi syarat resiprokal yaitu apabila A lebih disukai daripada B
dengan skala x, maka B lebih disukai daripada A dengan skala 1/x.
2. Homogenity, artinya preferensi seseorang harus dapat dinyatakan dalam
skala terbatas atau dengan kata lain elemen-elemennya dapat dibandingkan
satu sama lainnya. Kalau aksioma ini tidak dipenuhi maka elemen-elemen
yang dibandingkan tersebut tidak homogen dan harus dibentuk cluster
(kelompok elemen) yang baru.
3. Independence, artinya preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan
bahwa kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada
melainkan oleh objektif keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa pola
ketergantungan dalam AHP adalah searah, maksudnya perbandingan
antara elemen-elemen dalam satu tingkat dipengaruhi atau tergantung oleh
elemen-elemen pada tingkat diatasnya.
4. Expectation, artinya untuk tujuan pengambil keputusan. Struktur hirarki
diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka pengambil
keputusan tidak memakai seluruh kriteria atau objectif yang tersedia atau
diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap.
Selanjutnya Saaty (1993) menyatakan bahwa AHP menyediakan
kerangka yang memungkinkan untuk membuat suatu keputusan efektif atas
isu kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pendukung
keputusan. Pada dasarnya AHP adalah suatu metode dalam merinci suatu
situasi yang kompleks, yang terstruktur kedalam suatu komponen-
komponennya. Artinya dengan menggunakan pendekatan AHP, kita dapat
memecahkan suatu masalah dalam pengambilan keputusan.
Pada dasarnya langkah-langkah dalam metode AHP meliputi :
1. Menyusun hirarki dari permasalahan yang dihadapi.
Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-
unsurnya, yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur
hierarki seperti pada Gambar 3.
Goal

Objectives

Alternatives

Gambar 3. Struktur hierarki AHP

2. Penilaian kriteria dan alternatif


Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan.
Menurut Saaty (1993), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah
skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi
pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Skala penilaian perbandingan berpasangan


Intensitas Keterangan
Kepentingan
1 Kedua elemen sama pentingnya
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen
yang lainnya
5 Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya
7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen
lainnya
9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan
yang berdekatan

Perbandingan dilakukan berdasarkan kebijakan pembuat keputusan


dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen terhadap elemen lainnya.
Proses perbandingan berpasangan, dimulai dari level hirarki paling atas
yang ditujukan untuk memilih kriteria, misalnya A, kemudian diambil
elemen yang akan dibandingkan, misal A1, A2, dan A3. Maka susunan
elemen-elemen yang dibandingkan tersebut akan tampak seperti pada
Tabel 3.

Tabel 3. Contoh matriks perbandingan berpasangan


A1 A2 A3
A1 1
A2 1
A3 1

Untuk menentukan nilai kepentingan relatif antar elemen


digunakan skala bilangan dari 1 sampai 9 seperti pada Tabel 2. Penilaian
ini dilakukan oleh seorang pembuat keputusan yang ahli dalam bidang
persoalan yang sedang dianalisa dan mempunyai kepentingan terhadapnya.
Dalam AHP ini, penilaian alternatif dapat dilakukan dengan metode
langsung (direct), yaitu metode yang digunakan untuk memasukkan data
kuantitatif. Biasanya nilai-nilai ini berasal dari sebuah analisis sebelumnya
atau dari pengalaman dan pengertian yang detail dari masalah keputusan
tersebut.
Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan
berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif
kemudian diolah untuk menentukan peringkat alternatif dari seluruh
alternatif. Baik kriteria kualitatif maupun kriteria kuantitatif, dapat
dibandingkan sesuai dengan penilaian yang telah ditentukan untuk
menghasilkan bobot atau prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan
manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik.
Penyelesaian dengan manipulasi matriks yaitu dengan jalan menentukan
nilai eigen (eigen vector). Prosedur untuk mendapatkan nilai eigen adalah :
a. Jika k adalah jumlah iterasi (k = 1, 2, .... n), hitung Ak dimana A adalah
perbandingan berpasangan.
b. Hitung jumlah nilai dari setiap baris kemudian lakukan normalisasi.
c. Ulangi proses a dan b untuk k = k + 1
d. Hentikan proses ini, bila perbedaan antara hasil dari dua perhitungan
berturut-turut telah lebih kecil atau sama dengan suatu nilai batas
tertentu.
3. Konsistensi Logis
Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingatkan
secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Matriks bobot
yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut harus
mempunyai hubungan kardinal dan ordinal. Hubungan tersebut dapat
ditunjukkan sebagai berikut:
Hubungan kardinal : aij . ajk = aik
Hubungan ordinal : Ai > Aj, Aj > Ak maka Ai > Ak
Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari
hubungan tersebut, sehingga matriks tersebut tidak konsisten sempurna.
Hal ini terjadi karena ketidakkonsistenan dalam preferensi seseorang.
Penghitungan konsistensi logis dapat menggunakan persamaan
matematika dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
a. Mengalikan matriks dengan prioritas bersesuaian.
b. Menjumlahkan hasil perkalian per baris.
c. Hasil penjumlahan tiap baris dibagi prioritas bersangkutan dan
hasilnya dijumlahkan.
d. Hasil c dibagi jumlah elemen, akan didapat λmaks.
e. Indeks Konsistensi (CI) = (λmaks-n)/(n-1)
f. Rasio Konsistensi = CI/ RI, di mana RI adalah indeks random
konsistensi. Jika rasio konsistensi ≤ 0.1, hasil perhitungan data dapat
dibenarkan. Daftar RI dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai random indeks (RI)

N 1,2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
RI 0 0.58 0.9 1.12 1.24 1.3 1.41 1.45 1.49 1.51
G. Penelitian Terdahulu
Ada beberapa metode yang dapat dipakai untuk dasar pengambilan
keputusan, salah satunya adalah metode Bayes. Dalam metode ini
diperhitungkan juga adanya unsur peluang atau ketidakpastiaan dan alternatif
yang terpilih merupakan alternatif yang dapat memberikan persentase
kerugiaan terkecil.
Zulichah (1990) menggunakan metode Bayes untuk menganalisis
beberapa pelaksanaan alternatif tebang angkut dalam usaha pengendalian
penyediaan bahan baku di Pabrik Gula Kebon Agung, Malang. Pelaksanaan
tebang angkut pabrik diprioritaskan karena mempunyai tingkat kerugian
terkecil, dimana tiap harinya dibutuhkan 1700 pekerja, 229 truk, dan biaya Rp.
18,840,385.88. Namun dalam pemilihan alternatif tersebut belum
diperhitungkan susut tebu akibat tercecer di kebun, trash yang terbawa ke
pabrik dan pemadatan tanah hasil pembebanan akibat lintasan alat angkutan
dan mesin panen tebu.
III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli
2008, meliputi persiapan penelitian, penelitian lapangan, penelitian
laboratorium. Penelitian utama dilakukan di lahan perkebunan tebu PG.
Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat. PG. Jatitujuh terletak di desa Sumber,
Majalengka dan berjarak ± 78 km dari kota Cirebon ke arah Barat.
Pengukuran berat isi tanah, porositas dan kadar air tanah dilaksanakan di
Laboratorium Mekanika dan Fisika Tanah, Departemen Teknik Pertanian,
Fateta, IPB. Analisa data dilakukan di Bagian Sistem dan Manajemen
Mekanisasi Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, Fateta, IPB.

B. Asumsi
1. Varietas tanaman tebu, bentuk lahan, dan jenis tanah tidak
dipertimbangkan.
2. Biaya pada kegiatan pemanenan adalah yang berlaku pada tahun
pelaksanaan penelitian.
3. Metode tebang yang dianalisis hanya metode tebu hijau (green cane).
4. Jenis golok tebang tidak dipertimbangkan dalam proses tebang tebu.

C. Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan adalah tebu tertinggal berupa tunggak dan
batang tertinggal (cako) di kebun, tanah yang berasal dari petak kebun, dan
trash (sampah) yang ikut terbawa ke pabrik. Peralatan lapangan yang
digunakan terdiri dari Stopwach, Penetrometer, Ring Sampel, Cangkul,
Meteran, Tali, Patok, Golok dan Timbangan. Peralatan Laboratorium yang
digunakan adalah Oven, Desicator, Wadah Tanah, Sendok, dan Timbangan.

D. Metode Pengumpulan Data


Pemilihan sistem pemanenan yang optimum dilakukan berdasarkan
kriteria biaya pemanenan, jumlah tebu tertinggal, jumlah trash dan pemadatan
tanah. Kriteria di atas kemudian disederhanakan dengan dengan menggunakan
metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Diagram alir penelitian dapat
dilihat pada Gambar 4.

Mulai

Identifikasi Masalah

Survey Pra Penelitian untuk


Penentuan Kriteria Pada AHP

Pengambilan Data

Pengolahan Data
1. Waktu Kerja
2. Analisa biaya
3. Trash dan Tebu
Tertinggal
4. Pemadatan Tanah

Analytical Hierarchy
Process (AHP)

Hasil Pemilihan
Sistem Pemanenan
Tebu yang Optimal

Selesai

Gambar 4. Diagram alir penelitian


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer dan sekunder ini dikumpulkan untuk mengidentifikasi
dan mengevaluasi komponen-komponen penelitian seperti biaya tetap, biaya
variabel, biaya pokok, waktu kerja, produktivitas lahan, kapasitas kerja rata-
rata tenaga panen dan kapasitas kerja peralatan serta tingkat kepadatan tanah.
1. Data Primer
Data primer diperoleh melalui observasi lapang, pengujian di
laboratorium dan wawancara langsung serta pengisian kuesioner.
Pengisian kuesioner kepada responden bertujuan sebagai input dalam
komparasi berpasangan yang diperoleh dari para pelaku yang terlibat
(aktor) dalam penentuan sistem pemanenan tebu yang optimal. Responden
dapat seorang ahli atau bukan ahli tetapi yang penting terlibat dan
mengetahui dengan baik permasalahan yang dinilai. Jumlah responden
yang diambil sebanyak 16 orang staf perusahaan yang terdiri dari empat
orang dari empat bagian, yaitu bagian Tebang-Angkut, bagian Riset dan
Pengembangan, Bagian Mekanisasi dan bagian Pabrikasi. Kuesioner untuk
penentuan sistem pemanenan tebu yang optimal disajikan pada Lampiran
1. Data yang diperoleh dari kuisioner kemudian diolah berdasarkan
pengolahan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).
Sebelum dilaksanakan penelitian lapangan, terlebih dahulu
ditentukan petak-petak contoh pada lahan. Petak yang digunakan
berdasarkan umur penggunaan lahan, misalnya :
RPC = lahan replanting cane (lahan tanaman tebu yang ditanam pada areal
bekas tanaman tebu yang dibongkar setelah pemanenan).
RC1 = lahan ratoon cane 1 (lahan tanaman tebu yang tumbuh dari bekas
RPC yang telah ditebang).
RC2 = lahan ratoon cane 2 (lahan tanaman tebu yang tumbuh dari bekas
RC1 yang telah ditebang).
RC3 = lahan ratoon cane 3 (lahan tanaman tebu yang tumbuh dari bekas
RC2 yang telah ditebang).
Pada petak contoh dilakukan pengukuran waktu kerja dan
pengambilan sampel tebu tertinggal dan tanah. Pengambilan sampel trash
(sampah) yang terbawa ke pabrik dilakukan di cane yard (tempat
membongkar tebu dari lahan baik yang dibawa dengan menggunakan truk.
Pengambilan data primer berupa waktu kerja, tebu tertinggal dan
trash serta pemadatan tanah.
a. Waktu Kerja
Waktu pelaksanaan dan hasil kegiatan digunakan untuk
menentukan kapasitas kerja dan efisiensi pelaksanaan pemanenan.
Analisa waktu kerja digunakan untuk mengetahui waktu yang
diperlukan dalam penyelesaian suatu kegiatan. Pengukuran waktu
menggunakan stopwatch. Pengukuran langsung ini dimulai dari waktu
pada saat kegiatan akan dimulai sampai waktu kegiatan berakhir.
Pengukuran luasan lahan yang dipanen menggunakan meteran, tali dan
patok. Sedangkan hasil panen diperoleh dari data pada tiket timbang.
Pengukuran waktu dilakukan dalam tiga kali ulangan untuk masing-
masing petak contoh.
Hasil pengukuran meliputi waktu standar operasi kegiatan,
waktu aktual pelaksanaan, luas panen dan hasil panen tebu. Dengan
data tersebut kapasitas kerja tenaga tebang baik manual maupun
mekanis dan effisiensi kegiatan pemanenan dapat diperoleh dengan
menggunakan persamaan (1) dan (2).

Kapasitas kerja = Banyaknya tebu (kw) ….……………(1)


= Waktu pemanenan (hari)

Kap (kw/hari)
Effisiensi pemanenan = Ksp (kw/hari) x 100% …..…(2)

keterangan :
Kap : Kapasitas aktual pemanenan (kw/hari)
Ksp : Kapasitas standar pemanenan (kw/hari) dengan rata-rata 8 jam
kerja
b. Tebu Tertinggal dan Trash
Pengambilan sampel tebu tertinggal dilakukan pada petak-
petak contoh, dilakukan dengan menganalisa tunggak dan cako (batang
yang tertinggal di kebun). Pada pengambilan sampel tunggak, petak
contoh yang diambil mempunyai luasan 5 juring x 15 m = 75 m. Total
panjang baris tebu/ha adalah 7400 m. Pada pengambilan sampel cako,
petak contoh yang diambil mempunyai luasan 5 juring x 1.35 m x 15
m = 101.25 m². Sampel tunggak dan cako kemudian ditimbang dengan
menggunakan timbangan.
Persamaan yang digunakan untuk menghitung banyaknya
tunggak (kw/ha) dan cako (kw/ha) yang berada di kebun adalah :

Tunggak = Banyaknya tunggak (kw) x 7400 m .……...(3)


75 m

10,000 m ² ….…..……(4)
Cako = Banyaknya cako (kw) x
101.25 m²

Proses pengambilan data trash (sampah) dimulai dari


pengambilan sampel dari truk yang telah dibongkar. Pengambilan
secara acak ± 5 ikat/truk (2 atas, 1 tengah, dan 2 bawah). Batang-
batang tersebut kemudian dibersihkan untuk dipisahkan dari trashnya.
Trash yang diperoleh kemudian ditimbang dengan menggunakan
timbangan. Jumlah trash nilainya dinyatakan dengan nilai EM, EM
dapat diperoleh melalui persamaan (5), yaitu:

Berat sampel kotoran (kg) x 100% .…….......(5)


EM = Berat sampel tebu (kg)

c. Pemadatan Tanah
Tingkat kepadatan tanah akibat penggunaan alat dan mesin
pemanenan dapat diketahui melalui pengukuran kondisi tanah.
Parameter yang digunakan adalah tahanan penetrasi (kg/cm²), berat isi
tanah (gram/cm³), porositas tanah (%) dan kadar ait tanah (%).
Pengukuran tingkat kepadatan tanah dilakukan melalui penelitian
lapangan dan pengujian laboratorium. Data tingkat pemadatan tanah
yang ingin diketahui adalah sebelum dan sesudah kegiatan pemanenan.
1) Penelitian Lapangan
Pengambilan sampel tanah untuk pengukuran berat isi
tanah, porositas dan kadar air tanah dilakukan pada kedalaman 0-
60 cm dengan selang kedalaman 10 cm dengan tiga kali ulangan
pada tiap petak contoh. Pengukuran tahanan penetrasi dilakukan di
antara barisan tebu pada kedalaman 0-60 cm dengan selang
kedalaman 10 cm dengan enam kali ulangan dari setiap petak
kebun, tiga sebelum tebang dan tiga kali setelah tebang. Tahanan
penetrasi diukur dengan menggunakan alat penetrometer. Nilai
tahanan penetrasi yang ditunjukkan penetrometer kemudian
dikonversi dengan menggunakan rumus (6) (Asep, 1990).

((Nr) x 0.384) + Bp
Tahanan penetrasi (kg/cm²) = ……(6)
Lcp

keterangan :
Nr = Nilai yang terbaca di penetrometer
Bp = Berat penetrometer (3.8 kg)
Lcp = Luas cone penetrometer ( 3.23 cm²)
2) Pengujian Laboratorium
Pengukuran kadar air tanah dilakukan dengan metode
gravimetrik dengan menggunakan contoh tanah yang sama dengan
tanah untuk pengukuran berat isi tanah dan porositas tanah.
Pengujian dilakukan terhadap sampel tanah pada kedalaman 0-10,
10-20, 20-30, 30-40, 50-60 cm. Metode gravimetrik dilakukan
dengan mengeringkan sampel tanah pada oven selama minimal 24
jam pada suhu 105ºC dan kemudian ditimbang berat sampel
tanahnya. Besarnya kadar air tanah dihitung berdasarkan
persamaan (7) (Asep, 1990):

(Wa-Wb)
Kab = …………………………………..…(7)
Wa
keterangan :
Kab = Kadar air tanah basis basah (%)
Wa = Berat contoh tanah basah (gram)
Wb = Berat contoh tanah kering (gram)
Dengan mengukur volume ring sampel dan berat kering
tanah besarnya berat isi tanah/bulk density (gram/cm³) dapat
dihitung dengan persamaan (8) (Asep,1990).

Massa padatan (gram)


Bulk density = ……..………..(8)
Volume total (cm³)

Besarnya porositas (%) dapat dihitung dengan persamaan (9)


(Pelawi,1999):

Porositas = (1- (x / 2.65)) x 100% ……..……………….(9)


keterangan :
x = nilai bulk density (gram/cm³)
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari data perusahaan, internet, literatur
perusahaan, bahan-bahan yang sesuai dengan topik penelitian maupun
informasi dari pihak-pihak yang berhubungan dengan topik penelitian.
Data sekunder ini meliputi data lahan dan jenis biaya. Data lahan di
antaranya jumlah tenaga kerja, jumlah peralatan, kapasitas peralatan yang
digunakan dan jam kerja per hari kerja.
Jenis biaya yang dikumpulkan antara lain biaya dari tenaga kerja,
mesin panen tebu dan alat muat serta alat angkut berupa trailer dan truk
milik kontraktor. Mesin panen tebu, alat muat tebu (grab loader), alat
angkut (trailer) dimiliki oleh perusahaan sehingga komponen biayanya
terdiri dari biaya pemilikan dan operasi. Komponen biaya pemilikan dari
mesin panen tebu, alat muat dan alat angkut yaitu penyusutan, bunga
modal, pajak, asuransi, dan bangunan penyimpanan (gudang). Komponen
biaya operasi dari mesin panen tebu, alat muat, dan traktor penarik alat
angkut (trailer) yaitu bahan bakar, pelumas, ban, perbaikan, pemeliharaan
dan upah operator.
Komponen-komponen biaya dari tenaga kerja yaitu biaya untuk
tenaga tebang, tenaga harian dan penyediaan sarana dan prasarana tempat
tinggal tenaga tebang. Data harga insentif dan potongan untuk sistem
tebang bundle cane dan loose cane juga diperlukan untuk menunjang data
dari aspek tenaga kerja. Komponen biaya dari alat angkut berupa biaya
pengangkutan (Rp/kw) dan harga insentif berdasarkan jarak angkut. Selain
itu data sekunder yang diperlukan yaitu tingkat suku bunga dan gambaran
umum dari tempat penelitian yang meliputi sejarah dan perkembangannya,
aspek personalia, struktur organisasi dan produksi umum.

E. Metode Analisa Data


1. Analisa Biaya
Biaya yang diperhitungkan adalah biaya pemanenan (tebang-
angkut), biaya (opportunity lost) tebu tertinggal di kebun dan trash yang
terbawa ke pabrik, biaya pengoperasian mesin baik penggunaan subsoiler,
mesin pemuat (grab loader) dan traktor penarik trailer. Besarnya biaya
total pemanenan (tebang-angkut) tebu adalah jumlah keseluruhan biaya
tebang, ongkos muat, ongkos angkut dan biaya lainnya yang berkaitan
dengan tebang-angkut tebu.
Biaya pengoperasian mesin pertanian terdiri dari biaya tetap dan
biaya tidak tetap. Biaya tetap adalah semua komponen biaya yang
besarnya tidak dipengaruhi oleh beroperasinya alat-mesin. Sedangkan
biaya tidak tetap adalah semua komponen biaya yang besarnya tergantung
pada intensitas pengoperasian alat-mesin. Komponen-komponen biaya
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Komponen biaya tetap per tahun, terdiri dari:
1) Penyusutan atau depresiasi (D), disajikan sebagai:

D = (P − S)/ …….......……………………………….(10)
keterangan:
P = Harga pembelian mesin
S = Nilai sisa (10% P)
N = Umur ekonomi mesin
2) Bunga modal (I) yang disajikan sebagai:

= r x P……………………...…………………..…………(11)
keterangan :
r = Tingkat bunga modal
Jika tidak ada data lokal/perusahaan, dipakai perkiraan r =
15%/tahun berdasarkan tingkat bunga modal pada tahun penelitian.
3) Pajak (T) dan Asuransi (A), menggunakan data perusahaan. Jika
tidak ada data lokal/perusahaan, dipakai perkiraan T dan A =
5%/tahun.
4) Gudang (H) yang disajikan sebagai (Ciptohadijoyo (1995) dalam
Haryanto (2001)):

 = h x P……………………………………...……….(12)

keterangan :
h = Nilai gudang yang besarnya 0.5% x P (RNAM (1983) dalam
Haryanto (2001)).
b. Komponen biaya tidak tetap per jam operasi terdiri dari biaya untuk
bahan bakar, oli, grease, penggantian ban, perawatan dan perbaikan,
dan upah (gaji) operator.
1) Biaya bahan bakar (F) menggunakan data perusahaan, bila tidak
terdapat data yang memadai dapat digunakan pendekatan berikut:

0.2 lt
F= x Pm x Fp ……..……………….(13)
Hp x jam

keterangan :
Pm = Daya mesin (Hp)
Fp = Harga bahan bakar (Rp)
2) Biaya oli (O) menggunakan data perusahaan. Bila tidak ada, dapat
didekati dengan persamaan berikut:

0.4 lt
O= x Pm x Op ….……………….(14)
Hp x 100 jam

keterangan : O adalah harga oli (Rp)


3) Grease (G) menggunakan data perusahaan. Bila tidak ada, dapat
didekati dengan persamaan berikut:
G = 60% x O …………………………………………..(15)
4) Perawatan dan Perbaikan (M)

m
O= xP ….………………………………...(16)
100

keterangan :
m adalah nilai perawatan dan perbaikan yang nilainya 5% (RNAM
(1983) dalam Haryanto (2001)).
5) Ban
N x Tp
Ban = ….…………………………………….(17)
Nt
Keterangan :
N = Jumlah ban (buah),
Tp = Harga ban (Rp) dan
Nt = Umur pakai ban (jam).
6) Operator dan pembantu operator mengikuti harga lokal
(perusahaan).
c. Biaya Pokok (BP)
Menurut Pramudya dan Dewi (1992), biaya pokok adalah biaya
yang diperlukan untuk memproduksi tiap unit produk yang akan
dihasilkan.

BT BTT
BP = + ….………………………..(18)
kx k
Keterangan :
BP = Biaya pokok (Rp/unit produk)
BT = Biaya tetap (Rp/tahun)
BTT = Biaya tidak tetap (Rp/jam atau Rp/unit produk)
x = Perkiraan jam kerja (jam/tahun atau unit produk/jam)
k = Kapasitas mesin (unit produk/jam)
2. Pengambilan Keputusan
Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk
memodelkan permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan
penentuan kriteria dalam penentuan sistem pemanenan tebu yang optimal.
Kriteria berupa kriteria biaya pemanenan, jumlah tebu tertinggal dan trash
serta pemadatan tanah. Pengolahan data kuesioner menggunakan Expert
Choice 2000. Model sistem hirarki keputusan dapat dilihat pada Gambar 5.

Tujuan Sistem Pemanenan Tebu yang Optimal

Aktor Bagian Bagian Riset & Bagian Bagian


Tebang-Angkut Pengembangan Mekanisasi Pabrikasi

Biaya Jumlah Tebu Jumlah Trash Pemadatan


Kriteria
Pemanenan Tertinggal (Sampah) Tanah

Alternatif Sistem Tebang Sistem Tebang Sistem Tebang


Manual Semi Mekanis Mekanis

Gambar 5. Model sistem hierarki keputusan untuk menentukan sistem


pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh

a. Perbandingan Berpasangan
Di dalam menentukan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-
elemen keputusan yang ada pada setiap tingkat hierarki keputusan,
penilaian pendapat (judgement) dilakukan dengan menggunakan fungsi
berpikir yang dikombinasikan dengan intuisi, perasaan dan
penginderaan. Penilaian pendapat ini dilakukan dengan perbandingan
berpasangan (pairwise comparison), yaitu dengan membandingkan
setiap elemen dengan elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki
secara berpasangan sehingga didapat nilai kepentingan elemen. Dalam
membandingkan setiap elemen digunakan skala penilaian yang telah
ditentukan.
b. Matriks Pendapat Individu
Jika C1, C2, ….., Cn adalah merupakan set elemen suatu
tingkat keputusan dalam hirarki, maka kuantifikasi pendapat dari hasil
komparasi berpasangan tiap elemen terhadap lainnya akan membentuk
matriks A yang berukuran n x n. Misalkan suatu Ci dibandingkan
dengan Cj maka aij merupakan nilai matriks pendapat hasil komparasi
yang mencerminkan nilai tingkat kepentingan Ci terhadap Cj.
Sedangkan untuk penentuan nilai matriks aij = 1/ aij, yaitu nilai
kebalikan dari matriks aij. Untuk i = j, maka nilai matriks aij = aji = 1,
karena perbandingan elemen terhadap elemen itu sendiri = 1.
Formulasi matriks A yang berukuran n x n dengan elemen C1 ,
C2,.., Cn untuk i,j = 1,2,…n adalah

C1 C2 . . Cn
C1 a11 a12 . . a1n
A=(aij)= C2 1/a12 a22 . . a2n
. . . . . .
. . . . . .
Cn 1/a1n 1/a2n . . ann

c. Matriks Pendapat Gabungan


Matriks pendapatan gabungan (G) merupakan susunan matriks
baru yang elemen matriksnya (gij) berasal dari rata-rata geometrik
elemen matriks pendapat individu (aij) yang rasio konsistensinya (CR)
memenuhi persyaratan. Formulasi rata-rata geometrik adalah sebagai
berikut:
gij = ∑
 aij (k) ………………………………………(19)


keterangan:
gij = Elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i kolom ke-j
aij = Elemen matriks pendapat individu pada baris ke-i kolom ke-j
untuk matriks pendapat individu dengan Rasio Konsistensi
(CR) yang memenuhi persyaratan ke-k
k = 1,2,….,m
m = Jumlah matriks pendapat individu dengan Rasio Konsistensi
(CR) yang memenuhi persyaratan.
d. Pengolahan Horizontal
Pengolahan horizontal digunakan untuk menyusun prioritas
elemen pada setiap tingkat hierarki keputusan. Tahapannya menurut
Saaty (1983) dalam Marimin (2004) adalah sebagai berikut:
1) Perkalian baris (z) dengan rumus:

 = ∑ aij………………………………………....(20)
!

(i,j = 1,2,….n)
2) Perhitungan vektor prioritas (VP) dengan rumus:
&
∑&
'() #$%
VP = !
……………………………….…...…(21)
∑! !
+() ∑*() #$%

3) Perhitungan nilai eigen maksimum (λmaks) dengan rumus:


VA = (aij) x VP, dengan VA = (Vai)
VB = VA; VP, dengan VB = (Vbi), dan

1
, -./0 =  ∑1  aij…………….……………..………(22)

Untuk I = 1,2,3,…n
VA = VB = vektor antara
4) Perhitungan indeks konsistensi (CI) dengan rumus:

CI =
λ4#5678
…………...………………………………(23)
87

5) Perhitungan rasio konsistensi (CR)


Untuk mengetahui apakah CI dengan besaran tertentu
cukup baik atau tidak, perlu diketahui yang dianggap baik, yaitu
apabila CR ≤ 0.1, Rumus CR adalah:
CR = CI / RI…………………………………………....(24)
Nilai RI seperti tertera pada Tabel 4.
e. Pengolahan Vertikal
Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prioritas
pengaruh setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan tertentu
terhadap sasaran utama (fokus). Apabila CVij didefenisikan sebagai
nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap sasaran
utama, maka

CVij = ∑:1 CHij (t, i − 1)x VWt(i − 1) ..……...….......…(25)

Untuk i = 1,2,3,…r
j = 1,2,3,…s
Chij = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-j tingkat ke-i terhadap
elemen ke-t pada tingkat di atasnya (i-1), yang diperoleh
dari pengolahan horisontal.
VWt(i-t) = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke-(i-1)
terhadap sasaran utama yang diperoleh dari hasil
pengolahan vertikal.
r = Jumlah elemen pada tingkat ke-i
s = Jumlah elemen pada tingkat ke-(i-1)
Jika dalam hirarki terdapat dua faktor yang tidak berhubungan,
keduanya tidak saling mempengaruhi, maka nilai prioritas sama
dengan nol. Vektor prioritas vertikal pada tingkat ke-i (CV)
didefinisikan sebagai :
CV = (CVij), untuk j = 1, 2,3,…..s
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keadaan Umum Perusahaan


1. Sejarah berdirinya PG. Jatitujuh
Pada tahun 1971, Pemerintah Indonesia mengadakan kerjasama
dengan Bank Dunia membentuk Indonesian Sugar Study (ISS) dalam
rangka swasembada gula. Salah satu programnya adalah mencari areal
baru yang berorientasi pada lahan kering. Hasil survei yang dilakukan
pada tahun 1972-1975, menyatakan areal Jatitujuh, Kerticala, Cibenda dan
Jatimunggul cocok untuk pertanaman tebu sehingga pada tanggal 9
Agustus 1975 dikeluarkan SK. Mentan No. 795/VI/1975 tentang izin
prinsip pendirian pabrik gula di Jatitujuh yang dikenal dengan nama
“Proyek Gula Jatitujuh” dan diikuti SK. Mentan No. 654/Kpts/UM/76
untuk membebaskan lahan tersebut.
Pada tahun 1977-1978 dibangun PG Jatitujuh yang ditangani oleh
Kontraktor Perancis Fives Cail Babcock (FCB) yang diresmikan oleh
Presiden Soeharto pada tanggal 5 September 1980. Sejak itu
pengelolaannya ditangani oleh PNP XIV. Pada tahun 1989, PG Jatitujuh
diambil alih oleh PT. Rajawali Nusantara Indonesia dengan tujuan untuk
meningkatkan kinerja produksi dan manajemen. Bagan struktur organisasi
PT. PG. Jatitujuh dapat dilihat pada Lampiran 2.
2. Lokasi dan Areal PG Jatitujuh
PG Jatitujuh terletak di Desa Sumber, Majalengka dan berjarak ±
78 km dari kota Cirebon ke arah Barat atau ± 20 km di sebelah Selatan
kec. Jatibarang, kab. Indramayu, Jawa Barat. PG Jatitujuh terletak di
antara garis-garis Bujur Timur 108º6’23” dan 108º16’36” serta garis
Lintang Selatan 6º31’58” dan 6º38’22”. Suhu udara rata-rata tahunan
berkisar antara 26.3-27.1ºC dan berada pada ketinggian 3-50 m dpl.
Iklim wilayah Jatitujuh tergolong tipe hujan tropis yang dicirikan
dengan adanya bulan-bulan kering lebih dari 3 bulan dengan curah hujan
rata-rata tahunan 1500-2500 mm/tahun. Lima jenis tanah yang ditemukan
di wilayah Jatitujuh yaitu: Aluvial, Kambisol, Crumusol, Mediteran, dan
Padsolik.
Areal PG Jatitujuh merupakan areal HGU seluas 11,921.56 ha,
yang terdiri dari:
1. SK HGU No. 2 Tahun 2005 (Kab. Indramayu) seluas 6,248.52 ha
2. SK HGU No.001 Tahun 2005 (Kab. Majalengka) seluas 5,673.04 ha.
Peta lokasi PG Jatitujuh tahun 2007/2008 disajikan pada Lampiran 3. Pada
Tabel 5 disajikan data luas areal dan tata guna lahan PG. Jatitujuh sampai
tahun 2007.

Tabel 5. Luas areal dan tata guna lahan PG Jatitujuh tahun 2007
No. Pemanfaatan Lahan Luas (ha)
1. Emplasemen 135.40
2. Jalan 682.40
3. Kantong air 479.50
4. Pertamina 66.50
5. Hortikultura dan penghijauan 253.00
6. Sungai/daerah genangan 1,794.76
7. Kebun produksi 8,200.00
Total 11,921.56
Sumber : Risbang PG Jatitujuh, 2008

B. Pemanenan Tebu
Pemanenan tebu dalam industri gula dikenal dengan tiga sistem tebang
antara lain sistem manual, sistem semi mekanis, dan sistem mekanis. PG.
Jatitujuh menerapkan pemanenan dengan sistem manual (93%) dan sistem
semi mekanis (7%). Pemanenan secara manual membutuhkan banyak tenaga
kerja karena seluruh kegiatan tebang dan muat menggunakan tenaga manusia.
Pemenuhan tenaga tebang pada PG. Jatitujuh dipenuhi oleh tenaga tebang
lokal dan impor. Tenaga tebang lokal bertempat tinggal tidak jauh dari pabrik
dan tidak memerlukan pemondokan yang harus disediakan oleh pabrik.
Tenaga tebang yang digunakan terdiri dari pria dan wanita. Tenaga tebang
impor berasal dari luar daerah sehingga memerlukan pemondokan selama
bekerja pada musim giling. Tenaga tebang impor hanya terdiri dari laki-laki.
Jumlah tenaga tebang yang diperlukan adalah ± 4500 orang pada saat
kapasitas giling maksimum yaitu sebesar 45000 kw tebu. Tiap kelompok
tebang dipimpin oleh seorang mandor tebang. Mandor tebang bersifat
musiman dan ditunjuk berdasarkan kesepakatan antara sinder tebang dan
kepala tebang angkut atas persetujuan kepala tanaman.
Pada PG. Jatitujuh, berdasarkan hasil pengamatan kapasitas kerja rata-
rata tenaga tebang lokal laki-laki adalah 10.90 kw/orang/hari dan tenaga
wanita adalah 8.9 kw/orang/hari. Kapasitas kerja rata-rata tenaga tebang impor
adalah 12.01 kw/orang/hari. Kapasitas tebang standar untuk laki-laki adalah
13 kw/orang/hari dan wanita adalah 10 kw/orang/hari dengan rata-rata bekeja
selama 8 jam. Effisiensi pemanenan dengan tenaga tebang lokal laki-laki
adalah 84% dan tenaga tebang wanita adalah 89%. Effisiensi pemanenan yang
lebih tinggi didapat dari tenaga tebang impor yaitu sebesar 92%. Hal ini terjadi
karena tenaga tebang impor memanfaatkan waktu seoptimal mungkin yang
disediakan oleh pihak pabrik untuk mendapatkan penghasilan yang maksimal.
Hasil pengamatan kerja tenaga tebang lokal laki-laki, wanita dan tenaga
tebang impor terdapat pada Lampiran 4, 5 dan 6. Efisiensi pemanenan dapat
ditingkatkan dengan pengawasan yang ketat pada setiap tahap pemanenan baik
tebang maupun muat.
Tenaga tebang laki-laki baik lokal maupun impor biasanya
mengerjakan pemanenan dengan sistem tebang manual dimana seluruh proses
pengerjaannya dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia. Tenaga
tebang wanita mengerjakan pemanenan dengan sistem tebang semi mekanis
dimana seluruh proses tebangnya dilakukan oleh tenaga manusia dan proses
muat tebu ke angkutan dilakukan oleh alat muat yaitu grab loader.
Pengamatan kapasitas kerja proses muat menggunakan grab loader
Cameco SP 1800. Berdasarkan hasil pengukuran, kapasitas kerja rata-rata
grab loader dalam memuat tebu ke angkutan di PG. Jatitujuh adalah 1.63
kw/menit. Namun berdasarkan hasil pengukuran saat praktek lapangan tahun
2007 di PT. GPM kapasitas kerja rata-rata grab loader tipe yang sama adalah
9.2 kw/menit. Hasil pengukuran kapasitas pada grab loader terdapat pada
Lampiran 7.
Perbedaan kapasitas kerja antara dua pabrik gula ini dapat terjadi
karena perbedaan keahlian operator dan sistem kerja dalam proses muat yang
berbeda. Di PG. Jatitujuh, truk angkutan hanya menunggu di suatu titik di
lahan dan grab loader bolak balik memuat tebu menuju tempat truk
menunggu. Hal ini menyebabkan waktu yang diperlukan akan relatif lebih
lama. Pada Gambar 6, truk hanya menunggu di pinggir lahan dan grab loader
bolak balik memuat tebu ke pinggir jalan. Truk tidak dapat masuk dikarenakan
kondisi pinggir lahan yang belum dipersiapkan agar truk angkutan bisa masuk
ke lahan. Di PT. GPM, sistem kerja dalam memuat tebu adalah grab loader
dan truk angkutan masuk ke lahan dengan beriringan seperti yang terlihat di
Gambar 7. Dengan sistem kerja yang seperti ini prosesnya akan lebih cepat
daripada grab loader yang harus bolak balik memuat tebu ke tempat yang
sama. Keahlian operator, penyiapan kondisi lahan dan penerapan sistem kerja
yang tepat dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas tebu yang diangkut ke
cane yard.

Gambar 6. Proses muat tebu dengan grab loader di PG. Jatitujuh

Gambar 7. Proses muat tebu dengan grab loader di PT. GPM


C. Biaya Pemanenan
Biaya pemanenan adalah biaya yang diperlukan untuk memanen tiap
kwintal tebu. Biaya pemanenan dihitung dengan asumsi apabila operasional
pemanenan 100% menggunakan salah satu sistem tebang baik sistem manual,
sistem semi mekanis maupun sistem mekanis. Besarnya biaya pemanenan
tergantung pada luas atau jumlah tebu yang dipanen oleh pabrik selama
setahun. Jumlah tebu yang dipanen oleh PG. Jatitujuh selama tahun 2007
sebanyak 4,987,269 kw.
Biaya pemanenan termasuk biaya tebang dan muat, biaya transportasi,
biaya kepemilikan dan operasional mesin, biaya yang timbul akibat
mendatangkan penebang dari daerah, biaya perbaikan sarana dan prasarana
yang menunjang kegiatan pemanenan, dan biaya insidental seperti biaya
tebang diliburkan. Upah pokok tebang dan upah muat untuk sistem
pemanenan manual didasarkan pada Rencana Kerja Anggaran Perusahaan
(RKAP) tahun 2007 yaitu sebesar Rp. 700/kw dan Rp. 299/kw. Biaya
transportasi (Rp./kw) untuk sistem pemanenan manual dan semi mekanis
disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Biaya transportasi (Rp./kw) PG. Jatitujuh tahun 2007

Kelompok Jarak Biaya (Rp./kw)


Kelompok 1 (00.01 - 5 km) 1,070
Kelompok 2 (5.01 - 10 km) 1,215
Kelompok 3 (10.01-15 km) 1,570
Kelompok 4 (15.01-20 km) 2,075
Kelompok 5 (20.01-25 km) 2,180
Sumber: Realisasi RKAP tahun 2007

Biaya kepemilikan dan biaya operasional mesin baik mesin panen


(cane harvester), grab loader, traktor tebangan dan trailer dihitung dengan
beberapa asumsi, yaitu: umur ekonomis mesin 30 tahun, bunga modal 15%,
asuransi dan pajak 5%, harga solar Rp. 9,500/liter dan biaya perbaikan dan
perawatan 5%/tahun. Biaya bahan bakar, biaya pelumas, jam kerja/tahun,
kapasitas kerja/tahun dan upah operator menggunakan data operasional di
lahan. Biaya perbaikan sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan
pemanenan, dan biaya insidental seperti biaya tebang diliburkan dan seluruh
biaya yang ditimbulkan akibat menggunakan salah satu sistem panen
menggunakan data perusahaan.
Analisa biaya sistem pemanenan manual, semi mekanis dan mekanis
berturut-turut disajikan dalam Lampiran 8, 10, dan 14. Analisa biaya
operasional grab loader, harvester, traktor tebangan dan trailer tersaji dalam
Lampiran 9, 11, 12 dan 13. Hasil perhitungan biaya pemanenan menggunakan
ketiga sistem panen tersebut tersaji dalam Tabel 7.

Tabel 7. Biaya pokok ketiga sistem pemanenan di PG Jatitujuh tahun 2007


No Sistem Panen Biaya (Rp./kw)

1. Sistem Tebang Manual 5,329

2. Sistem Tebang Semi Mekanis 6,316

3. Sistem Tebang Mekanis 5,568

Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa biaya pemanenan per


kwintal tebu dengan sistem manual lebih murah dibandingkan dengan sistem
semi mekanis maupun mekanis. Namun dalam segi yang lain, kapasitas
pemanenan manual (± 12 kw/orang/hari dengan rata-rata bekerja 8 jam/hari)
lebih rendah dari kapasitas pemanenan yang dicapai oleh mesin panen tebu
dengan sistem mekanis (200 kw/jam). Apabila pada suatu saat tenaga kerja
terbatas, maka dengan kapasitas kerja yang rendah dapat mengakibatkan
kapasitas giling pabrik tidak akan terpenuhi, sehingga pabrik akan mengalami
kemacetan atau penggilingan tebu terhenti.
Pabrik yang kegiatan penggilingannya terhenti akan mengalami
kerugian berupa penambahan biaya kerja dan kehilangan rendemen akan
meningkat karena masa giling akan bertambah lama. Penambahan biaya kerja
berupa pembayaran dengan jumlah tertentu kepada tenaga tebang maupun truk
angkutan sewa agar tidak pindah ke PG lain. Rendemen akibat tebu terlambat
ditebang menurun sebesar 8% terhadap angka rendemen awal pada hari
pertama. Pada hari kedua menurun 10.5% dan hari keenam menurun 22%
terhadap angka rendemen awal (Disbun Jatim, 2005).
Selain itu, kegiatan penggilingan terhenti juga mengakibatkan jadwal
pertanaman tebu yang tepat sehingga kegiatan berikutnya dapat dilakukan
pada waktu yang tepat. Untuk mencegah peningkatan biaya yang diperlukan,
penggunaan mesin panen tebu dapat dipertimbangkan. Karena dalam
penelitian tidak dilakukan analisa kerugian pabrik apabila terjadi penambahan
masa giling tebu, maka tidak dapat diketahui seberapa besar pengaruhnya.

D. Tebu Tertinggal dan Trash


Pemanenan tebu yang dilakukan di PG. Jatitujuh tahun 2007
menggunakan sistem manual (93%) dan sistem semi mekanis (7%).
Pemanenan secara manual ini menghasilkan batang tebu berupa lonjoran.
Lonjoran batang tebu ini ditumpuk pada lajur tertentu untuk selanjutnya diikat
dalam bentuk ikatan-ikatan tebu dan dimuat secara manual ke alat angkutan.
Pada sistem tebang semi mekanis, lonjoran tersebut dimuat dengan
menggunakan grab loader.
Sistem tebang yang digunakan oleh PG. Jatitujuh pada pemanenan
baik secara manual maupun semi mekanis adalah sistem 4-2. Penggunaan
sistem ini dimaksudkan agar tebangan yang baik dapat tercapai, tebu layak
giling yang tertinggal di kebun dapat diperkecil. Umumya tebu tertinggal di
kebun karena tersembunyi atau tertimbun oleh timbunan trash dan potongan-
potongan pucuk. Hal ini terjadi terutama pada penebangan menggunakan
tangan yang penempatan klarasnya tidak teratur.
Kehilangan tebu pada saat penebangan yang dapat dihitung adalah
berupa tebu yang tertinggal di kebun berupa sisa batang bawah yang tidak
tertebang (tunggak) dan batang tebu lonjoran (cako) yang tercecer di kebun
dan tidak terangkut ke pabrik. Tunggak merupakan bagian tebu yang
mempunyai kandungan gula yang lebih tinggi dari pada bagian komponen
lainnya. Hasil perhitungan untuk analisa trash, cako dan tunggak pada sistem
pemanenan manual dan semi mekanis disajikan pada Tabel 8. Hasil analisa
cako, tunggak dan trash untuk kedua sistem panen tersebut disajikan pada
Lampiran 15, 16, 17 dan 18.
Tabel 8. Jumlah kandungan trash, cako dan tunggak pada sistem pemanenan
manual dan semi mekanis

Sistem Rata-rata Jumlah


Trash Tunggak
Panen (%) Cako (kw/ha) (kw/ha)
Manual 1.79 0.09 12.4
Semi mekanis 3.11 0.2 3.55

Jumlah tebu tertinggal berupa cako dan tunggak yang diizinkan oleh
pabrik sebanyak 6 kw/ha dan 9 kw/ha. Berdasarkan hasil analisa, rata-rata
jumlah cako dan tunggak yang tertinggal di kebun pada sistem pemanenan
semi mekanis sebesar 0.2 kw/ha dan 3.55 kw/ha, lebih rendah dari batas yang
diizinkan. Hal ini menunjukkan bahwa mutu tebangan pada sistem semi
mekanis baik. Berdasarkan hasil analisa, rata-rata jumlah cako yang tertinggal
di kebun pada sistem pemanenan manual sebesar 0.09 kw/ha, lebih rendah dari
batas yang diizinkan. Namun rata-rata jumlah tunggak yang tertinggal di
kebun sebesar 12.4 kw/ha atau melebihi batas yang diizinkan. Hal ini dapat
disebabkan pengawasan yang kurang ketat oleh mandor dan sinder tebang
mengingat luasan tebu yang lebih luas bila dibandingkan dengan sistem
pemanenan semi mekanis. Selain pengawasan, diperlukan usaha untuk
memungut tebu yang tercecer baik di kebun maupun di jalan agar kehilangan
akibat tebu tertinggal dapat diminimalkan. Tebu tertinggal di kebun maupun
di lahan sebanyak ± 1 kw/ha, biaya kerugian yang dapat disimpan setiap hari
setelah melakukan usaha pengambilan tebu tertinggal dengan luasan 45
ha/hari mencapai Rp. 16,183,125. Analisa biaya pengambilan cako dan
ceceran disajikan dalam Lampiran 19.
Jumlah trash yang diizinkan adalah 5% dari kwintal tebu yang terbawa
ke pabrik. Berdasarkan hasil analisa, rata-rata jumlah trash untuk sistem
pemanenan manual dan semi mekanis sebesar 1.79% dan 3.11%, mutu
tebangan dinyatakan baik karena trash lebih rendah dari batas yang diizinkan.
Banyaknya kandungan trash yang terbawa oleh tebu ke pabrik dipengaruhi
oleh sifat-sifat morfologi dari varietas tebu, kondisi cuaca, keadaan gulma,
tinggi pemotongan pucuk, metode pemanenan yang digunakan (tebu hijau
atau tebu bakar) dan alat pemanenan yang digunakan (manual atau mekanis).
Trash yang terbawa ke penggilingan akan mengurangi rendemen yang
dihasilkan. Setiap kandungan trash sebesar 10% akan mengurangi rendemen
sebesar 1% (Anonim, 1983 dalam Pramudya (1989)). Karena dalam penelitian
tidak dapat dilakukan analisa kerugian di pabrik akibat trash yang terikut ke
penggilingan, maka tidak dapat diketahui seberapa biaya kerugiannya.
Berdasarkan hasil wawancara, bila dilihat komponen yang tertinggal,
maka tunggak yang tertinggal pada pemanenan dengan cara mekanis lebih
rendah. Hal ini terjadi karena dengan mesin panen tebu mekanis, pemotongan
batang tebu dapat dilakukan serendah mungkin (pandes), sehingga tunggak
yang tertinggal akan rendah. Kandungan trash yang terbawa dengan
menggunakan mesin panen tebu jumlahnya cukup tinggi. Hal ini dikarenakan
faktor teknis seperti tinggi tanaman tebu yang rata dan banyak terdapat sarang
rayap di lahan PG. Jatitujuh. Kandungan trash yang terbawa terutama pucuk
dan tanah. Namun karena sistem tebang mekanis tidak dilaksanakan sehingga
tidak dapat dilakukan analisa tunggak, cako dan trash pada sistem ini.
Pada tebang secara manual, untuk memotong batang tebu yang rendah
diperlukan posisi badan yang membungkuk. Karena pekerjaan ini dilakukan
berulang-ulang, maka lama kelamaan, ketepatan memotong akan cenderung
berkurang hingga banyak tunggak yang tertinggal akan meningkat. Namun
jumlah pucuk dan batang tertinggal (cako) yang terjadi pada pemanenan
secara manual lebih rendah daripada pemanenan secara mekanis.
James (2004) menyatakan bahwa aplikasi mekanisasi pada kegiatan
pemuatan dapat mengurangi kebutuhan tenaga kerja hingga 50% apabila
dibandingkan dengan muat manual, tetapi muat tebu secara mekanis dapat
meningkatkan nilai dari extraneous matter (EM) atau trash atau segala sesuatu
yang tidak mengandung gula seperti klaras, daun, dan akar. Pada kegiatan
muat tebu manual dapat dihindari terikutnya sampah, lumpur atau kotoran.
Sistem pemanenan akan mempengaruhi besarnya susut yang terjadi.
Pemanenan dengan tenaga manusia sebenarnya mempunyai kemungkinan
untuk menebang batang tebu pada bagian yang tepat. Tetapi untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan memerlukan sistem pengawasan yang
ketat. Sedangkan ketepatan pemotongan batang tebu dengan menggunakan
mesin panen tebu mekanis banyak ditentukan oleh keadaan lahan serta
keadaan tanaman tebu itu sendiri saat dipanen. Keadaan tanah yang relatif
seragam dan sedikitnya jumlah tebu yang rebah akan banyak membantu usaha
pengurangan susut yang terjadi saat pemanenan (Pramudya, 1989).
Penebang dibayarkan upahnya berdasarkan kwintal tebu yang
dihasilkan selama satu hari ditambah dengan premi-premi. Daftar upah dalam
surat perjanjian yang ditetapkan oleh pihak perusahaan disebutkan mengenai
premi yang dilakukan guna meningkatkan jumlah dan mutu tebangan tebu.
Premi tersebut adalah premi mutu hasil tebangan, antara lain memotong tebu
rata tanah, bersih dari klaras dan daun, dan tidak banyak tebu tertinggal.
Dalam pelaksanaannya premi tersebut dijadikan satu pembayarannya,
termasuk juga premi tebu roboh. Untuk meningkatkan mutu dan hasil
tebangan sehingga penebang mendapat upah yang lebih baik, maka sebaiknya
pemberian tiap premi dipisahkan sehingga penebang mengetahui bahwa jika
pekerjaan yang dilakukannya baik, upah yang mereka terima akan baik pula.
Hal ini akan dapat meningkatkan mutu tebangan dan mengurangi susut tebu
akibat tebu tertinggal di kebun.
Pengarahan dan pemberian premi yang diberikan oleh pihak pabrik
dapat meningkatkan mutu dan hasil tebangan. Jumlah premi maksimal yang
dapat diberikan kepada para penebang didapatkan dari perhitungan biaya,
namun perlu diperhatikan aspek sosial dari para penebang tersebut.
Secara ekonomi dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi premi yang
diberikan maka jumlah tebu tertinggal di kebun dan jumlah trash yang
terbawa ke pabrik akan tidak ada. Hal tersebut pada kenyataannya tidak dapat
dilakukan karena yang melakukan penebangan adalah manusia dimana banyak
faktor yang mempengaruhi pekerjaannya. Faktor tersebut antara lain adalah
faktor cuaca, kondisi fisik penebang dan budaya masyarakat setempat.
Pemberian premi yang tinggi memang merangsang para penebang untuk
bekerja dengan baik, namun bukan berarti semakin tinggi premi yang
diberikan semakin tinggi pula tebu tertinggal di kebun dan trash yang terbawa
ke pabrik dapat dikurangi.
E. Pemadatan Tanah
Pada penelitian ini, pemadatan tanah akibat lalu lintas alat dan mesin
pertanian ditunjukkan oleh perubahan nilai tahanan penetrasi (kg/cm²), berat
isi tanah (gram/cm³) dan porositas (%). Pengukuran tahanan penetrasi
dilakukan dengan menggunakan penetrometer tipe tekan dengan luasan cone
cone 3.23 cm². Data hasil pengukuran tahanan penetrasi pada status tanaman
ratoon II dan III diperlihatkan pada Lampiran 20. Rata-rata hasil pengukuran
tahanan penetrasi disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9. Rata-rata hasil pengukuran tahanan penetrasi tanah dengan


menggunakan penetrometer tipe tekan dengan luas cone 3.23 cm²
(kg/cm²)

Status Sistem Kondisi Kedalaman (cm) Rata-


Tanaman Tebang tanah 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60 rata
Sebelum 12.11 23.17 18.41 15.42 12.35 11.28
Manual Setelah 19.28 25.54 21.03 17.71 14.35 14.15
Selisih 6.89 2.37 2.62 2.29 2 2.87 3.17
Ratoon II
Sebelum 13.77 17.71 16.75 14.72 17.82 18.17
Semi
Setelah 19.84 21.86 18.77 18.89 19.84 20.07
Mekanis
Selisih 6.07 4.15 2.02 4.17 2.02 1.9 3.39
Sebelum 12.83 12.35 11.64 9.14 9.49 9.14
Manual Setelah 15.21 16.63 14.96 12.58 9.73 9.73
Selisih 2.38 4.28 3.32 3.44 0.24 0.59 2.38
Ratoon III
Sebelum 13.18 16.15 14.01 13.06 10.33 9.37
Semi
Mekanis Setelah 18.53 19.61 19.48 18.41 13.77 12.23
Selisih 5.35 3.46 5.47 5.35 3.44 2.86 4.32
30

Tahanan penetrasi (kg/cm²)


25

20 sebelum tebang manual

15 setelah tebang manual

10
sebelum tebang semi
mekanis
5
setelah tebang semi
0 mekanis
0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60
Kedalaman (cm)

Gambar 8. Hubungan nilai tahanan penetrasi tanah pada Ratoon II dengan


kedalaman tanah

25 sebelum
tebang
Tahanan Penetrasi (kg/cm²)

manual
20 setelah tebang
manual
15
sebelum
tebang semi
10 mekanis
setelah tebang
semi mekanis
5

0
0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60
Kedalaman (cm)

Gambar 9. Hubungan nilai tahanan penetrasi tanah pada Ratoon III dengan
kedalaman tanah

Pada Gambar 8 dan 9 terlihat bahwa nilai tahanan penetrasi tanah pada
lahan sebelum ditebang lebih kecil daripada lahan setelah tebang. Hal ini
menunjukkan bahwa intensitas penggunaan alat dan mesin yang digunakan
dalam pemanenan berpengaruh terhadap pemadatan tanah.
Berdasarkan Tabel 9, rata-rata selisih tahanan penetrasi antara sebelum
dan sesudah tebang manual (3.17 kg/cm²) lebih kecil dibandingkan tebang
semi mekanis (3.39 kg/cm²) pada tanaman ratoon II. Berdasarkan Tabel 9,
rata-rata selisih tahanan penetrasi antara sebelum dan sesudah tebang manual
(2.38 kg/cm²) lebih kecil dibandingkan tebang semi mekanis (4.32 kg/cm²)
pada tanaman ratoon III. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem tebang
manual menghasilkan tahanan penetrasi yang lebih kecil dibandingkan dengan
sistem tebang semi mekanis. Hal ini terjadi karena pada sistem tebang manual
(Gambar 10) yang beroperasi hanya tenaga kerja dan truk angkutan tebu ke
pabrik (± 3000 kg).

Tebang tebu manual Muat tebu manual

Gambar 10. Sistem tebang manual

Pada sistem tebang semi mekanis (Gambar 11), selain tenaga kerja,
alat dan mesin yang beroperasi alat muat tebu (grab loader) dan truk angkutan
tebu. Berat grab loader merk Vanguard tipe V1600 adalah 6350 kg.
Tebang manual Muat mekanis
Gambar 11. Sistem tebang semi mekanis

Berdasarkan kenyataan bahwa nilai tahanan penetrasi pada sistem


tebang semi mekanis lebih besar dari sistem tebang manual, maka dapat
diperkirakan bahwa sistem tebang mekanis lebih tinggi jika dibandingkan
dengan kedua sistem yang lain. Hal ini terjadi karena pada sistem mekanis,
alat dan mesin yang beroperasi di lahan lebih banyak dari alat dan mesin yang
beroperasi di kedua sistem yang lain. Alat dan mesin yang beroperasi adalah
mesin tebang, traktor dan trailer pengangkutan (Gambar 12). Mesin tebang
yang digunakan cane harvester tipe chopper merk Austoft 7700. Traktor yang
digunakan adalah traktor dengan daya 49 Hp merk Mersey Ferguson tipe
M4500 2 WD. Trailer yang digunakan adalah trailer bukaka. Berat total alat
dan mesin yang beroperasi adalah 14500 kg dengan rincian mesin tebang
12500 kg, traktor 1700 kg dan trailer ± 300 kg. Nilai tahanan penetrasi pada
sistem tebang mekanis tidak dapat diketahui karena sistem tersebut tidak
dioperasikan pada musim giling tahun ini.
Data hasil pengukuran berat isi tanah dan kadar air pada status
tanaman ratoon II dan III disajikan dalam Lampiran 21. Rata-rata hasil
pengukuran berat isi tanah ditunjukkan oleh Tabel 10 di bawah ini.
Gambar 12. Sistem tebang mekanis

rata hasil pengukuran berat isi tanah (gram/cm³)


Tabel 10. Rata-rata (gram/cm
Status Sistem Kondisi Kedalaman (cm) Rata-
Tanaman Tebang Tanah 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 50
50-60 rata
Sebelum 0.94 0.9 0.91 0.97 1.07 1.07 0.98
Manual
Setelah 0.88 0.93 0.9 1.03 1.06 1.06 0.98
Ratoon II
Semi Sebelum 1.24 1.18 1.17 1.22 1.25 1.32 1.23
Mekanis Setelah 1.25 1.25 1.25 1.34 1.4 1.45 1.32
Sebelum 0.9 0.9 0.95 0.94 1.07 1.12 0.98
Manual
Setelah 0.86 0.94 0.94 1.06 1.12 1.15 1.01
Ratoon III
Semi Sebelum 0.86 0.91 0.91 0.91 0.99 1.04 0.94
Mekanis Setelah 0.87 0.95 0.92 0.95 0.95 0.99 0.94

1.6
sebelum tebang
1.4 manual
Berat Isi Tanah (gr/cm³)

1.2 setelah tebang


manual
1
sebelum tebang
0.8 semi mekanis
0.6 setelah tebang
semi mekanis
0.4
0.2
0
0-10 10-20
10 20-30 30-40 40-50 50-60
Kedalaman (cm)

Gambar 13. Hubungan nilai


ni berat isi tanah (gr/cm³) pada Ratoon II dengan
kedalaman tanah
1.4 sebelum tebang
1.2 manual

Berat Isi Tanah (gr/cm³)


setelah tebang
1 manual
sebelum tebang
0.8 semi mekanis
0.6 setelah tebang
semi mekanis
0.4

0.2

0
0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60
Kedalaman (cm)

Gambar 14. Hubungan nilai berat isi tanah (gr/cm³) pada Ratoon III dengan
kedalaman tanah

Pada Gambar 13 nilai berat isi tanah pada lahan sebelum ditebang
lebih kecil daripada lahan setelah tebang. Berdasarkan Tabel 15, rata-rata
berat isi tanah antara sebelum (0.98 gram/cm³) dan sesudah tebang manual
lebih kecil dibandingkan tebang semi mekanis (1.25 gram/cm³) pada tanaman
ratoon II. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas penggunaan alat dan mesin
yang digunakan dalam pemanenan berpengaruh terhadap berat isi tanah.
Pada Gambar 14, nilai berat isi tanah pada setiap kedalaman tidak
mencerminkan bahwa nilai berat isi tanah sebelum tebang lebih kecil daripada
setelah tebang. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi lahan,
jenis tanah, kandungam liat dan kandungan bahan organik di setiap kedalaman
berbeda. Berdasarkan Tabel 10, rata-rata selisih berat isi tanah antara sebelum
dan sesudah tebang manual (0.99 gram/cm³) lebih besar dibandingkan tebang
semi mekanis (0.94 gram/cm³) pada tanaman ratoon III.
Dengan diketahui bahwa nilai tahanan penetrasi pada keadaan sebelum
tebang lebih kecil bila dibandingkan dengan setelah tebang, maka dapat
disimpulkan bahwa berat isi tanah sebelum tebang lebih kecil daripada setelah
tebang. Menurut Trouse dan Humbert (1961) dalam Pelawi (1999), makin
sering menggunakan sistem mekanis untuk panen tebu maka makin
meningkatkan berat isi tanah yang dihasilkan.
Data hasil pengukuran porositas tanah (%) pada status tanaman ratoon
II dan III disajikan dalam Lampiran 22. Rata-rata hasil pengukuran porositas
(%) ditunjukkan oleh Tabel 11 di bawah ini.

Tabel 11. Rata-rata porositas tanah (%)


Status Sistem Kondisi Kedalaman (cm) Rata-
Tanaman Tebang Tanah 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60 rata
Sebelum 0.64 0.66 0.66 0.64 0.6 0.6 0.63
Manual
Setelah 0.67 0.65 0.66 0.61 0.6 0.6 0.63
Ratoon Semi Sebelum 0.53 0.55 0.56 0.54 0.53 0.5 0.54
II Mekanis Setelah 0.53 0.53 0.53 0.49 0.47 0.44 0.5
Sebelum 0.66 0.66 0.64 0.65 0.6 0.58 0.63
Manual
Setelah 0.67 0.65 0.64 0.6 0.58 0.57 0.62
Ratoon Semi Sebelum 0.67 0.65 0.66 0.66 0.63 0.61 0.65
III Mekanis Setelah 0.67 0.64 0.65 0.64 0.64 0.63 0.65

0.8
sebelum tebang
0.7 manual
0.6 setelah tebang
Porositas Tanah (%)

manual
0.5
sebelum tebang
0.4 semi mekanis
0.3 setelah tebang
0.2 semi mekanis

0.1
0
0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60
Axis Title

Gambar 15. Hubungan nilai porositas (%) pada Ratoon II dengan


kedalaman tanah.
0.68
Sebelum
0.66 tebang manual
0.64
0.62 Setelah tebang

Porositas (%)
manual
0.60
0.58 Sebelum
0.56 tebang semi
mekanis
0.54
Setelah tebang
0.52 semi mekanis
0.50
0-10 cm 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60
cm cm cm cm cm
Kedalaman

Gambar 16. Hubungan nilai porositas (%) pada Ratoon III dengan
kedalaman tanah.

Pada Gambar 15 dan 16, nilai porositas tanah pada setiap kedalaman
tidak mencerminkan bahwa porositas tanah sebelum tebang lebih besar
daripada setelah tebang. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan kadar
air tanah, kondisi lahan, jenis tanah, kandungam liat, dan kandungan bahan
organik di setiap kedalaman berbeda.
Berdasarkan Tabel 11, rata-rata nilai porositas (%) antara sebelum
tebang pada sistem tebang semi mekanis lebih besar dibandingkan dengan
setelah tebang pada sistem tebang manual baik pada tanaman ratoon II dan III.
Hal ini sesuai dengan Foth (1988) menyatakan bahwa budidaya tanaman yang
dilakukan terus menerus dengan menggunakan alat dan mesin pertanian dapat
meningkatkan nilai berat isi tanah dan menyebabkan pengaruh yang nyata
terhadap ruang pori tanah.
Berdasarkan hasil pengukuran di lahan dapat disimpulkan bahwa
penggunaan alat dan mesin pertanian secara terus menerus pada budidaya tebu
dapat meningkatkan tahanan penetrasi, meningkatkan bobot isi tanah dan
menurunkan porositas tanah. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus maka
akan mengganggu pertumbuhan akar tanaman. Guna mengatasi masalah ini,
PG. Jatitujuh melakukan kegiatan rippering. Rippering berguna memecah
lapisan hard pan pada kedalaman 40-60. Kegiatan rippering telah dijalankan
mulai tahun 2006. Dengan kegiatan ini diharapkan dapat mengurangi tingkat
pemadatan tanah yang terjadi di lahan PG. Jatitujuh.
Budidaya tebu di PG Jatitujuh dimulai sejak tahun 1975, dimana
pengolahan tanahnya dilakukan dengan sistem mekanis. Berdasarkan hasil
pengukuran oleh Lembaga Penelitian Tanah Bogor di PG. Jatitujuh pada tahun
1980 menunjukkan bahwa berat isi tanah dan porositas tanah dalam selang
kedalaman 0-60 cm masing-masing adalah 1.17-1.33 gr/cm³ dan 49.81-
56.02%. Hasil penelitian Amri Pelawi tahun 1999 menunjukkan bahwa rata-
rata berat isi tanah dan porositas tanah pada selang kedalaman 0-60 cm
masing-masing adalah 1.255-1.55 gr/cm³ dan 41.48-52.63%. Hasil ini
menunjukkan bahwa aplikasi alat dan mesin pertanian dapat meningkatkan
nilai berat isi tanah dan menurunkan porositas tanah. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa rata-rata berat isi tanah dan porositas tanah pada selang
kedalaman 0-60 cm masing-masing adalah 0.98-1.32 gr/cm³ dan 50-65%. Hal
ini menunjukkan kegiatan rippering dapat menurunkan nilai berat isi tanah
dan meningkatkan porositas tanah. Namun kegiatan ini dapat meningkatkan
biaya pengolahan tanah sebesar Rp. 431,310/ha. Analisa biaya pada kegiatan
rippering disajikan pada Lampiran 23.

F. Pengambilan Keputusan
Penerapan sistem pemanenan tebu yang optimal dapat diterapkan
dalam rangka mengoptimalkan produktivitas tebu per hektar. Dari kriteria
yang telah ditemukan maka harus dapat ditetapkan kriteria mana yang
memegang peranan. Berdasarkan hasil wawancara, sistem pemanenan yang
akan diterapkan diharapkan memiliki kriteria sebagai berikut :
1. Biaya pemanenan paling rendah,
2. Jumlah tebu tertinggal baik di kebun maupun di jalan paling sedikit,
3. Jumlah trash yang terbawa ke pabrik (EM < 5%),
4. Pemadatan tanah paling minimum.
Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk memodelkan
permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan penentuan sistem
pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat.
Model pengambilan keputusan dibagi menjadi pengambilan keputusan empat
aktor yang terlibat dalam kegiatan pemanenan di PG Jatitujuh, pengambilan
keputusan pelaku tunggal yaitu peneliti, dan pengambilan keputusan lima
pelaku yang merupakan gabungan dari hasil keputusan kedua model
sebelumnya.
1. Pengambilan Keputusan dengan Empat Aktor
Dalam model ini, pengambilan keputusan dilakukan oleh para
pegawai PG. Jatitujuh. Pembobotan prioritas ini dilakukan oleh seorang
pembuat keputusan yang berpengalaman dalam bidang persoalan yang
sedang dianalisa dan mempunyai kepentingan terhadapnya. Untuk itu
seorang yang dipilih adalah pegawai yang mempunyai kriteria masa kerja
lebih dari 20 tahun dalam industri gula dengan jabatan mulai dari tingkat
sinder sampai kepala bagian.
a. Penentuan Prioritas Lokal
Prioritas lokal ditetapkan melalui perhitungan secara horizontal
pada setiap level, yaitu dengan menyusun prioritas elemen-elemen
keputusan pada tingkat hierarki yang sama. Sehingga diperoleh
pembobotan untuk level aktor, kriteria dan alternatif, masing-masing
terhadap satu level yang terkait di atasnya.
1) Level Aktor
Aktor atau pelaku dalam kegiatan pemanenan adalah pihak-
pihak yang memiliki tugas dan tanggung jawab langsung dalam
mensukseskan rencana giling setiap tahunnya. Pihak-pihak tersebut
adalah Bagian Tebang-Angkut, Bagian Riset dan Pengembangan,
Bagian Mekanisasi, dan Bagian Pabrikasi.
Berdasarkan Tabel 12, keempat aktor dalam kegiatan
pemanenan diberikan bobot yang sama yaitu 0.250. Hal ini terjadi
karena keempatnya berada di bawah pimpinan yang sama yaitu
General Manager. Hal ini berarti keempatnya mempunyai prioritas
sama dalam level aktor. Dalam struktur organisasi PG. Jatitujuh
(Lampiran 2), Bagian Tanaman membawahi ketiga bagian yang
berperan langsung dalam kegiatan pemanenan yaitu Bagian Riset
dan Pengembangan, Bagian Tebang-Angkut dan Bagian
Mekanisasi. Bagian Tanaman dan Bagian Pabrikasi berada dalam
tingkatan yang sama. Walaupun setiap bagian memiliki tugas dan
tanggung jawab yang berbeda-beda, namun memiliki kepentingan
yang sama untuk memaksimalkan hasil gula yang dapat diperoleh.

Tabel 12. Hasil pengolahan horizontal pada aktor yang


mempengaruhi penentuan sistem pemanenan

No. Pelaku Bobot

1. Bagian Riset dan Pengembangan 0.250

2. Bagian Tebang-Angkut 0.250

3. Bagian Mekanisasi 0.250

4. Bagian Pabrik 0.250

2) Level Kriteria
Pada tingkat ini, pengolahan dilakukan dengan menganalisa
kriteria-kriteria dalam setiap aktor dalam menentukan sistem
pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh. Aktor-aktor
tersebut adalah Bagian Tebang-Angkut, Bagian Riset dan
Pengembangan, Bagian Mekanisasi, dan Bagian Pabrikasi. Hasil
pengolahan horizontal pada level kriteria disajikan pada Tabel 13.
Bagian tebang-angkut merencanakan dan bertanggung
jawab dalam pengelolaan pasokan tebu dari kebun sampai ke cane
yard mengikuti sistem yang telah ditentukan oleh pabrik gula
untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas baik serta dapat
memenuhi kapasitas giling.
Berdasarkan Tabel 13, prioritas utama pada kegiatan
pemanenan di bagian Tebang-Angkut adalah kriteria biaya
pemanenan dengan bobot sebesar 0.412. Hal ini terjadi karena
bagian ini menyiapkan segala sarana dan prasarana yang digunakan
untuk mendukung kelancaran kegiatan pemanenan sehingga biaya
menjadi faktor yang sangat dipertimbangkan. Kriteria jumlah tebu
tertinggal dan jumlah trash menempati prioritas kedua dan ketiga.
Keduanya dinilai dengan bobot yang tidak terlalu jauh yaitu 0.282
dan 0.231. Hal ini disebabkan oleh kinerja pada bagian ini salah
satunya dinilai berdasarkan mutu tebangan meliputi jumlah tebu
tertinggal dan jumlah trash. Hal ini menunjukkan bahwa kedua
kriteria tersebut sangat diperhatikan untuk mendapatkan kualitas
tebangan yang baik.
Berdasarkan Tabel 13, prioritas utama pada kegiatan
pemanenan di bagian Riset dan Pengembangan adalah kriteria
jumlah tebu tertinggal dengan bobot sebesar 0.406. Hal ini sesuai
dengan tugas dan tangung jawab bagian ini dalam melakukan
analisa pendahuluan pada tebu sebelum ditebang dan mengawasi
mutu hasil tebangan. Pengawasan yang dilakukan meliputi analisa
tebu, air nira, trash, cako dan tunggak. Tebu tertinggal berupa
tunggak dan cako merupakan bagian dari pengawasan mutu
tebangan pada setiap musim panen.
Dalam kegiatan pemanenan, bagian Mekanisasi
bertanggung jawab dalam pemenuhan alat dan mesin yang
mendukung kegiatan pemanenan seperti alat muat (grab loader),
mesin tebang (cane harvester), traktor angkutan, traktor
transportasi penebang, traktor traksi dan penyediaan operator.
Berdasarkan Tabel 13, prioritas dalam kegiatan pemanenan di
bagian ini adalah kriteria jumlah tebu tertinggal dengan bobot
sebesar 0.389. Hal ini menunjukkan bahwa pada bagian ini
mendukung optimalnya kegiatan pemanenan yang dilakukan
khususnya pada saat proses muat tebu dengan menggunakan grab
loader. Keahlian operator sangat dibutuhkan guna meminimalkan
jumlah tebu tertinggal pada saat proses muat. Kriteria biaya
pemanenan menempati prioritas kedua dengan bobot sebesar 0.303.
Hal ini terjadi karena biaya menjadi faktor pertimbangan penting
dalam memutuskan operasi mesin di lahan.

Tabel 13. Hasil pengolahan horizontal pada kriteria dalam setiap


aktor yang mempengaruhi penentuan sistem pemanenan
tebu yang optimal

Aktor Kriteria Bobot Prioritas


Bagian Tebang- Biaya pemanenan 0.412 1
Angkut Jumlah tebu tertinggal 0.282 2
Jumlah trash 0.231 3
Pemadatan tanah 0.075 4
Bagian Riset & Biaya pemanenan 0.356 2
Pengembangan Jumlah tebu tertinggal 0.406 1
Jumlah trash 0.17 3
Pemadatan tanah 0.068 4
Bagian Biaya pemanenan 0.303 2
Mekanisasi Jumlah tebu tertinggal 0.389 1
Jumlah trash 0.13 4
Pemadatan tanah 0.178 3
Bagian Pabrikasi Biaya pemanenan 0.243 2
Jumlah tebu tertinggal 0.23 3
Jumlah trash 0.474 1
Pemadatan tanah 0.053 4

Bagian pabrikasi bertanggung jawab dalam mengolah tebu


menjadi kristal gula di pabrik sehingga tidak berperan langsung
dalam kegiatan pemanenan. Bagian pabrikasi mengharapkan tebu
giling yang bersih dengan batas maksimum trash yang terbawa ke
pabrik adalah < 5%. Trash mempengaruhi produksi gula yang
dihasilkan. Hal ini terjadi karena trash yang ikut tergiling juga
menyerap nira yang dihasilkan pada proses penggilingan tebu.
Sehingga semakin banyak trash yang ikut digiling maka semakin
sedikit gula yang dihasilkan. Berdasarkan Tabel 13, prioritas
kriteria dalam kegiatan pemanenan di bagian ini adalah jumlah
trash dengan bobot sebesar 0.474.
Kriteria biaya pemanenan menempati prioritas kedua pada
bagian pabrikasi dengan bobot sebesar 0.243. Berdasarkan hasil
wawancara, hal ini dikarenakan trash yang terbawa ke
penggilingan dapat menurunkan rendemen tebu, akibatnya potensi
keuntungan menurun.
3) Level Alternatif
Pada level ini, pengolahan dilakukan dengan menganalisa
lebih mendalam pada alternatif-alternatif dalam suatu kriteria oleh
aktor yang mempengaruhi penentuan sistem pemanenan tebu yang
optimal. Hasil pengolahan horizontal pada level alternatif disajikan
pada Tabel 14.
Pada bagian Tebang-Angkut, bagian ini memberikan
perhatian lebih pada alternatif sistem tebang manual. Alternatif ini
mempunyai bobot terbesar untuk kriteria biaya pemanenan, jumlah
tebu tertinggal dan pemadatan tanah dengan bobot masing-masing
sebesar 0.661, 0.582, dan 0.659 (Tabel 14). Berdasarkan kriteria
jumlah trash, sistem tebang semi mekanis merupakan prioritas
pertama dengan bobot sebesar 0.500 (Tabel 14). Hal ini
dikarenakan tenaga tebang pada sistem tebang semi mekanis
adalah perempuan. Tenaga perempuan lebih ulet dan sabar dalam
memisahkan trash tebangan daripada tenaga laki-laki.
Pada bagian Riset dan Pengembangan, alternatif sistem
tebang manual merupakan proritas pertama untuk keempat kriteria
yaitu masing-masing dengan bobot sebesar 0.705 (biaya
pemanenan), 0.701 (jumlah tebu tertinggal), 0.733 (jumlah trash)
dan 0.740 (pemadatan tanah).
Pada bagian Mekanisasi, alternatif sistem tebang manual
juga merupakan proritas pertama untuk keempat kriteria yaitu
masing-masing dengan bobot sebesar 0.761 (biaya pemanenan),
0.643 (jumlah tebu tertinggal), 0.413 (jumlah trash) dan 0.571
(pemadatan tanah).
Pada bagian Pabrikasi, bagian ini memberikan perhatian
lebih pada alternatif sistem tebang manual. Alternatif ini
mempunyai bobot terbesar untuk kriteria biaya pemanenan, jumlah
tebu tertinggal dan pemadatan tanah masing-masing sebesar 0.671,
0.493, dan 0.678 (Tabel 14). Pada kriteria jumlah trash, sistem
tebang manual dan semi mekanis mempunyai prioritas yang sama
yaitu dengan bobot sebesar 0.429. Hal ini dikarenakan tebu
digiling dengan proses yang sama tanpa membedakan dengan
sistem apa tebu tersebut dipanen.
Berdasarkan Tabel 14, sistem tebang manual menempati
prioritas pertama hampir di setiap kriteria pada setiap bagian yang
terlibat dalam kegiatan pemanenan. Hal ini didasari dari
ketersediaan tenaga kerja yang mencukupi untuk penyelenggaraan
sistem tebang manual. Selain itu para aktor menilai, sistem ini
dalam pelaksanaannya membutuhkan biaya pemanenan paling
rendah, menghasilkan jumlah tebu tertinggal paling minim dan
tingkat pemadatan tanah yang paling rendah dibandingkan sistem
tebang semi mekanis dan mekanis.
b. Penentuan Bobot Menyeluruh
Penentuan bobot menyeluruh dilakukan secara vertikal
sehingga diperoleh bobot alternatif terhadap tujuan pengambilan
keputusan. Tujuan pengambilan keputusan adalah sistem pemanenan
tebu yang optimal di PG. Jatitujuh dari seluruh alternatif yang ada
dalam struktur hirarki. Model sistem hierarki keputusan oleh empat
pelaku untuk menentukan sistem pemanenan yang optimal di PG.
Jatitujuh beserta nilai-nilai bobot lokalnya disajikan di Lampiran 24.
Hasil akhir penentuan bobot menyeluruh tiap alternatif terhadap tujuan
pengambilan keputusan disajikan pada Tabel 15.
Berdasarkan Tabel 15, sistem tebang manual dipilih sebagai
prioritas utama dengan nilai bobot sebesar 0.581. PG Jatitujuh selama
ini menggunakan sistem tebang manual (93-95%) dan sistem tebang
semi mekanis (5-7%). Tebang secara mekanis tidak dilakukan, mesin
tebang yang ada hanya digunakan untuk kegiatan percobaan dalam
rangka persiapan apabila pelaksanaan tebang akan dilakukan dengan
mekanisasi penuh.
Tabel 14. Hasil pengolahan horizontal pada alternatif dalam setiap
aktor yang mempengaruhi penentuan sistem pemanenan
tebu yang optimal

Aktor Kriteria Alternatif Bobot Prioritas


Bagian Tebang- Biaya Sistem manual 0.661 1
Angkut pemanenan Sistem semi mekanis 0.208 2
(0.250) (0.412) Sistem mekanis 0.131 3
Jumlah tebu Sistem manual 0.582 1
tertinggal Sistem semi mekanis 0.309 2
(0.282) Sistem mekanis 0.109 3
Jumlah Sistem manual 0.25 2
trash Sistem semi mekanis 0.5 1
(0.231) Sistem mekanis 0.25 2
Pemadatan Sistem manual 0.659 1
tanah Sistem semi mekanis 0.185 2
(0.075) Sistem mekanis 0.156 3
Bagian Riset & Biaya Sistem manual 0.705 1
Pengembangan pemanenan Sistem semi mekanis 0.211 2
(0.250) (0.356) Sistem mekanis 0.084 3
Jumlah tebu Sistem manual 0.701 1
tertinggal Sistem semi mekanis 0.193 2
(0.406) Sistem mekanis 0.106 3
Jumlah Sistem manual 0.733 1
trash Sistem semi mekanis 0.199 2
(0.170) Sistem mekanis 0.068 3
Pemadatan Sistem manual 0.74 1
tanah Sistem semi mekanis 0.167 2
(0.068) Sistem mekanis 0.94 3
Bagian Biaya Sistem manual 0.761 1
Mekanisasi pemanenan Sistem semi mekanis 0.166 2
(0.250) (0.303) Sistem mekanis 0.073 3
Jumlah tebu Sistem manual 0.643 1
tertinggal Sistem semi mekanis 0.255 2
(0.389) Sistem mekanis 0.101 3
Jumlah Sistem manual 0.413 1
trash Sistem semi mekanis 0.26 3
(0.130) Sistem mekanis 0.327 2
Pemadatan Sistem manual 0.571 1
tanah Sistem semi mekanis 0.286 2
(0.178) Sistem mekanis 0.143 3
Bagian Biaya Sistem manual 0.671 1
Pabrikasi pemanenan Sistem semi mekanis 0.256 2
(0.250) (0.243) Sistem mekanis 0.073 3
Jumlah tebu Sistem manual 0.493 1
tertinggal Sistem semi mekanis 0.311 2
(0.230) Sistem mekanis 0.196 3
Jumlah Sistem manual 0.429 1
trash Sistem semi mekanis 0.429 2
(0.474) Sistem mekanis 0.143 2
Pemadatan Sistem manual 0.678 1
tanah Sistem semi mekanis 0.179 2
(0.053) Sistem mekanis 0.142 3
Sistem tebang mekanis tidak dilakukan karena beberapa
pertimbangan yaitu:
1. Biaya operasional yang lebih tinggi dibanding dengan sistem
manual.
2. Ketersediaan tenaga kerja yang mencukupi.
3. Pemadatan tanah yang cukup tinggi akibat operasi di lahan.
4. Pada tebu yang roboh, tebu yang tertinggal banyak sekali.
5. Banyak terjadi kehilangan kandungan gula dalam tebu karena tebu
tersebut dipotong menjadi pendek-pendek sehingga mempercepat
penguapan dan penguraian sukrosa tebu oleh udara.
6. Kondisi tebu yang tidak seragam sehingga terdapat banyak trash
saat proses muat ke truk.

Tabel 15. Hasil pengolahan vertikal pada level alternatif


Alternatif Bobot Prioritas

Sistem Tebang Manual 0.581 1

Sistem Tebang Semi Mekanis 0.283 2

Sistem Tebang Mekanis 0.137 3

c. Uji Konsistensi
Hasil dari model struktur hirarki untuk penentuan sistem
pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh diperoleh matriks
perbandingan berpasangan yang terdiri dari :
1) Level aktor : bagian tebang-angkut, bagian riset dan
pengembangan, bagian mekanisasi, dan bagian pabrikasi.
2) Level kriteria : biaya pemanenan, jumlah tebu tertinggal, jumlah
trash, dan pemadatan tanah.
3) Level alternatif : Sistem tebang manual, sistem tebang semi
mekanis, dan sistem tebang mekanis.
Matriks perbandingan berpasangan yang nilainya didapat dari
pendapat responden pada wawancara perlu dilakukan uji konsistensi.
Uji konsistensi dimaksudkan untuk mengetahui apakah penilaian
perbandingan berpasangan telah dilakukan dengan konsisten atau tidak
(Marimin, 2004).
Matriks perbandingan berpasangan yang diuji konsistensinya
adalah matriks-matriks yang disebutkan di atas setelah dibuat pendapat
gabungan responden pada setiap bagian di level aktor. Hasil uji
kosistensi disajikan pada Tabel 16. Berdasarkan hasil uji konsistensi
didapat nilai CR < 0.1. Hal ini menunjukkan bahwa matriks dalam
struktur hirarki telah memenuhi kriteria konsistensi.

Tabel 16. Hasil uji konsistensi matriks pendapat empat aktor

Matriks pendapat CR
Level aktor 0
Level kriteria Bagian tebang-angkut 0.03
Bagian riset dan pegembangan 0.02
Bagian mekanisasi 0.06
Bagian pabrikasi 0
Level Alternatif 0.02

2. Pengambilan Keputusan dengan Aktor Tunggal


Dalam model kedua ini, pengambilan keputusan dilakukan oleh
peneliti yang bertindak sebagai aktor tunggal sehingga prioritasnya
bernilai satu. Hasil pembobotan adalah berdasarkan informasi dan data
kuantitatif yang diperoleh selama penelitian.
a. Penentuan Prioritas Lokal
Penentuan prioritas lokal ditetapkan melalui perhitungan secara
horizontal pada setiap level yaitu menyusun prioritas elemen-elemen
keputusan pada tingkat hierarki yang sama. Pengolahan ini meliputi
level kriteria dan level alternatif masing-masing terhadap satu level
yang terkait diatasnya.
1) Level Kriteria
Kriteria kegiatan pemanenan oleh aktor tunggal sama
dengan empat pelaku yaitu biaya pemanenan, jumlah tebu
tertinggal, jumlah trash, dan pemadatan tanah.
Biaya pemanenan adalah biaya yang diperlukan untuk
memanen tiap kwintal tebu. Berdasarkan Tabel 17, Biaya
pemanenan menjadi kriteria utama yaitu dengan bobot sebesar
0.522. Hal ini karena dalam pelaksanaan kegiatan pemanenan,
biaya menjadi pertimbangan utama. Ketersediaan modal digunakan
sebagai biaya investasi yang diperlukan terutama untuk pengadaan
penebang, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana yang
menunjang operasional kegiatan pemanenan.

Tabel 17. Hasil pengolahan horizontal kriteria oleh aktor tunggal

No. Kriteria Bobot


1. Biaya pemanenan 0.522
2. Jumlah tebu tertinggal 0.200
3. Jumlah trash 0.200
4. Pemadatan tanah 0.078

Prioritas kriteria jumlah tebu tertinggal sama dengan


prioritas kriteria jumlah trash dalam kegiatan pemanenan yaitu
dengan bobot sebesar 0.200 (Tabel 17). Hal ini terjadi karena tebu
tertinggal maupun trash sama-sama menimbulkan kerugian kepada
perusahaan. Untuk mengurangi kehilangan tebu perlu dilakukan
usaha pengambilan kembali tebu tertinggal baik cako maupun
ceceran baik di kebun maupun di jalan. Pengawasan dan
pengarahan kepada setiap elemen dari bagian pemanenan agar
mengerti dan sadar bahwa bagian tanaman tebu yang mengandung
gula harus dikirim ke pabrik sedangkan yang tidak harus
ditinggalkan.
2) Level Alternatif
Pada level ini, pengolahan dilakukan dengan menganalisa
lebih mendalam pada alternatif-alternatif dalam suatu kriteria yang
mempegaruhi penentuan sistem pemanenan tebu yang optimal.
Hasil pengolahan horizontal pada level alternatif disajikan pada
Tabel 18. Alternatif-alternatif dalam struktur hirarki adalah sistem
tebang manual, sistem tebang semi mekanis dan sistem tebang
mekanis.
Berdasarkan Tabel 18, prioritas pertama dalam kriteria
biaya pemanenan adalah alternatif pemanenan dengan sistem
tebang manual dengan bobot sebesar 0.570. Keputusan ini
diperoleh dari hasil perhitungan pada analisa biaya pokok untuk
ketiga sistem pemanenan tersebut, yang menyimpulkan bahwa
sistem pemanenan dengan manual lebih murah dibandingkan
dengan dua sistem yang lain. Biaya pokok sistem tebang manual
sebesar Rp. 5.329/kw. Hasil perhitungan biaya pokok untuk ketiga
alternatif sistem pemanenan disajikan pada Tabel 7.
Berdasarkan kriteria jumlah tebu tertinggal pada Tabel 18,
prioritas alternatif sistem pemanenan yang digunakan adalah sistem
tebang mekanis (0.582). Berdasarkan hasil wawancara oleh
responden, mesin panen tebu dapat menghasilkan tebangan hingga
pandes (± 5 cm dari permukaan tanah). Hasil perhitungan pada
analisa tebu tertinggal berupa cako dan tunggak untuk pemanenan
pada sistem tebang semi mekanis adalah sebesar 0.2 kw/ha dan
3.55 kw/ha. Hasil perhitungan cako dan tunggak untuk pemanenan
pada sistem tebang semi mekanis adalah sebesar 0.09 kw/ha dan
12.4 kw/ha. Hasil perhitungan cako dan tunggak pada sistem
manual dan semi mekanis disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan
fakta tersebut, prioritas alternatif kedua dan ketiga pada kriteria
jumlah tebu tertinggal adalah sistem tebang semi mekanis dan
sistem tebang manual dengan bobot masing-masing sebesar 0.309
dan 0.109.
Berdasarkan kriteria jumlah trash, prioritas alternatif sistem
pemanenan yang digunakan adalah sistem tebang manual (0.481),
sistem tebang semi mekanis (0.405), dan sistem tebang mekanis
(0.114). Keputusan ini berdasarkan hasil perhitungan analisa trash
pada sistem tebang manual dan semi mekanis sebesar 1.79% dan
3.11%. Hasil perhitungan trash pada sistem manual dan semi
mekanis disajikan pada Tabel 8.
Pada Tabel 20 berdasarkan kriteria pemadatan tanah,
prioritas alternatif sistem pemanenan yang digunakan adalah sistem
tebang manual (0.671), sistem tebang semi mekanis (0.256), dan
sistem tebang mekanis (0.073). Hal ini terjadi karena rata-rata nilai
tahanan penetrasi dan bobot isi tanah pada pemanenan dengan
sistem tebang manual lebih kecil jika dibandingkan dengan dua
sistem yang lain. Rata-rata nilai tahanan penetrasi untuk sistem
manual dan semi mekanis adalah sebesar 2.38-3.17 kg/cm² dan
3.39-4.32 kg/cm². Rata-rata nilai berat isi tanah untuk sistem
manual dan semi mekanis adalah sebesar 0.98-1.01 gr/cm³ dan
0.94-1.32 gr/cm³. Hasil perhitungan rata-rata tahanan penetrasi dan
berat isi tanah pada sistem tebang manual dan mekanis disajikan
pada Tabel 9 dan 10. Rata-rata nilai porositas tanah pada sistem
manual lebih besar dibandingkan dua sistem yang lain. Rata-rata
nilai porositas tanah untuk sistem manual dan mekanis sebesar
0.62-0.63% dan 0.50-0.65%. Hasil perhitungan nilai porositas (%)
disajikan pada Tabel 11.
Tabel 18. Hasil pengolahan horizontal pada alternatif dalam setiap
kriteria yang mempengaruhi penentuan sistem
pemanenan tebu yang optimal

Kriteria Alternatif Bobot Prioritas


Biaya Sistem manual 0.570 1
pemanenan Sistem semi mekanis 0.097 3
(0.522) Sistem mekanis 0.333 2
Jumlah tebu Sistem manual 0.109 3
tertinggal Sistem semi mekanis 0.309 2
(0.200) Sistem mekanis 0.582 1
Jumlah trash Sistem manual 0.481 1
(0.200) Sistem semi mekanis 0.405 2
Sistem mekanis 0.114 3
Pemadatan tanah Sistem manual 0.671 1
(0.078) Sistem semi mekanis 0.256 2
Sistem mekanis 0.073 3
b. Penentuan Bobot Menyeluruh
Penentuan bobot menyeluruh (composite priority) dilakukan
secara vertikal sehingga diperoleh bobot alternatif terhadap tujuan
pengambilan keputusan. Tujuan pengambilan keputusan adalah sistem
pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh dari seluruh alternatif
yang ada dalam struktur hirarki. Model sistem hierarki keputusan oleh
peneliti untuk menentukan sistem pemanenan yang optimal di PG.
Jatitujuh beserta nilai bobot lokalnya disajikan di Lampiran 25. Hasil
akhir penentuan bobot menyeluruh tiap alternatif terhadap tujuan
pengambilan keputusan disajikan pada Tabel 19.
Berdasarkan Tabel 19, sistem tebang manual dipilih sebagai
prioritas utama dengan bobot sebesar 0.467. Hal ini terjadi karena
sistem tebang manual memiliki beberapa keunggulan, di antaranya
biaya pemanenan yang lebih rendah, jumlah tebu tertinggal di kebun
dan jumlah trash yang sedikit dan tingkat pemadatan tanah yang lebih
rendah bila dibandingkan dengan sistem tebang manual dan semi
mekanis. Sistem pemanenan manual dapat dijalankan secara maksimal
apabila ketersediaan tenaga kerja mencukupi selama musim panen.
Dalam sistem pemanenan ini diperlukan pembinaan dan pengawasan
yang ketat, mengingat objek yang diawasi adalah manusia.

Tabel 19. Hasil pengolahan vertikal pada alternatif


Alternatif Bobot Prioritas

Sistem Tebang Manual 0.467 1

Sistem Tebang Mekanis 0.313 2

Sistem Tebang Semi Mekanis 0.220 3


c. Uji konsistensi
Hasil dari model struktur hirarki untuk penentuan sistem
pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh diperoleh matriks
perbandingan berpasangan yang terdiri dari :
1) Level kriteria : biaya pemanenan, jumlah tebu tertinggal, jumlah
trash, dan pemadatan tanah.
2) Level alternatif : Sistem tebang manual, sistem tebang semi
mekanis, dan sistem tebang mekanis.
Matriks perbandingan berpasangan yang nilainya didapat dari pendapat
seseorang perlu dilakukan uji konsistensi. Hasil uji kosistensi pada
level kriteria dan level alternatif adalah 0.02 dan 0.02 . Berdasarkan
hasil uji konsistensi didapat nilai CR < 0.1. Hal ini menunjukkan
bahwa matriks dalam struktur hirarki telah memenuhi kriteria
konsistensi.
3. Pengambilan Keputusan dengan Lima Aktor
Dalam model ketiga ini, pengambilan keputusan dilakukan oleh
empat aktor dan peneliti. Hasil pembobotan merupakan pendapat
gabungan dari lima aktor berdasarkan pembobotan oleh pegawai yang
berpengalaman dan informasi data kuantitatif yang diperoleh selama
penelitian.
a. Penentuan Prioritas Lokal
Prioritas lokal ditetapkan menggunakan perhitungan secara
horizontal pada tiap level, yaitu dengan menyusun prioritas elemen-
elemen keputusan pada tingkat hirarki yang sama. Sehingga diperoleh
pembobotan untuk level aktor, level kriteria dan level alternatif,
masing-masing terhadap satu level yang terkait diatasnya. Pada level
aktor kelima pelaku dalam kegiatan pemanenan diberikan bobot yang
sama yaitu 0.200 (Tabel 20). Hal ini terjadi karena diasumsikan
kelimanya berada di bawah satu pimpinan yang sama.
Tabel 20.Hasil pengolahan horizontal pada level aktor
No. Pelaku Bobot

1. Bagian Riset dan Pengembangan 0.200

2. Bagian Tebang-Angkut 0.200

3. Bagian Mekanisasi 0.200

4. Bagian Pabrik 0.200

5. Mahasiswa 0.200

Prioritas kriteria dan alternatif dalam ketiga sistem pemanenan


oleh lima pelaku adalah sama seperti bahasan sub bab sebelumnya
dalam bab pengambilan keputusan. Hal ini terjadi karena kelima aktor
memiliki bobot yang sama satu sama lain sehingga hasil pembobotan
kriteria dan alternatif juga bernilai sama.
b. Penentuan Bobot Menyeluruh
Penentuan bobot menyeluruh (composite priority) dilakukan
secara vertikal sehingga diperoleh bobot alternatif terhadap tujuan
pengambilan keputusan. Tujuan pengambilan keputusan adalah sistem
pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh dari seluruh alternatif
yang ada dalam struktur hirarki. Model sistem hierarki keputusan oleh
empat pelaku untuk menentukan sistem pemanenan yang optimal di
PG. Jatitujuh beserta nilai-nilai bobot lokalnya disajikan di Lampiran
26. Hasil akhir penentuan bobot menyeluruh tiap alternatif terhadap
tujuan pengambilan keputusan disajikan pada Tabel 21.
Berdasarkan hasil pengolahan vertikal pada level alternatif
yang mengacu pada tujuan pengambilan keputusan, sistem tebang
manual dipilih sebagai prioritas utama dengan bobot sebesar 0.575
(Tabel 21). Hasil pembobotan terhadap ketiga sistem panen tersebut
oleh lima pelaku, sistem tebang manual bernilai paling besar daripada
kedua sistem pemanenan yang lain. Hal ini terjadi karena sistem
tebang manual memiliki beberapa keunggulan, di antaranya biaya
pemanenan yang lebih rendah, jumlah trash yang sedikit dan tingkat
pemadatan tanah yang lebih rendah bila dibandingkan dengan sistem
tebang manual dan semi mekanis. Sistem pemanenan manual dapat
dijalankan secara maksimal apabila ketersediaan tenaga kerja
mencukupi selama musim panen. Dalam sistem pemanenan ini
diperlukan pengawasan yang ketat, mengingat objek yang diawasi
adalah manusia.

Tabel 21. Hasil pengolahan vertikal pada alternatif


Alternatif Bobot Prioritas

Sistem Tebang Manual 0.575 1

Sistem Tebang Semi Mekanis 0.259 2

Sistem Tebang Mekanis 0.166 3

c. Uji konsistensi
Hasil dari model struktur hirarki untuk penentuan sistem
pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh diperoleh matriks
perbandingan berpasangan yang terdiri dari :
1) Level aktor : Bagian tebang-angkut, bagian Riset dan
Pengembangan, bagian Mekanisasi, dan Bagian Pabrikasi serta
peneliti.
2) Level kriteria : biaya pemanenan, jumlah tebu tertinggal, jumlah
trash, dan pemadatan tanah.
3) Level alternatif : Sistem tebang manual, sistem tebang semi
mekanis, dan sistem tebang mekanis.
Matriks perbandingan berpasangan yang nilainya didapat dari
pendapat seseorang perlu dilakukan uji konsistensi. Hasil uji
konsistensi disajikan pada Tabel 22. Berdasarkan hasil uji konsistensi
didapat nilai CR < 0.1. Hal ini menunjukkan bahwa matriks dalam
struktur hirarki telah memenuhi kriteria konsistensi.

Tabel 22. Hasil uji konsistensi matriks pendapat lima aktor

Matriks pendapat CR
Level aktor 0
Level kriteria Bagian tebang-angkut 0.03
Bagian riset dan pegembangan 0.02
Bagian mekanisasi 0.06
Bagian pabrikasi 0
Peneliti 0.02
Level Alternatif 0.01
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Biaya pokok (Rp./kw) pada sistem tebang manual pada masa giling tahun
2007 lebih kecil dibandingkan dengan sistem tebang semi mekanis dan
mekanis yaitu sebesar Rp. 5,329/kw. Biaya pokok pada sistem tebang semi
mekanis dan mekanis adalah sebesar Rp. 6,316/kw dan Rp. 6,040/kw.
2. Mutu tebangan pada sistem tebang semi mekanis lebih baik dibandingkan
dengan sistem tebang manual berdasarkan jumlah tebu tertinggal di kebun.
Rata-rata jumlah cako dan tunggak yang tertinggal di kebun pada sistem
pemanenan semi mekanis sebesar 0.2 kw/ha dan 3.55 kw/ha. Rata-rata
jumlah cako yang tertinggal di kebun pada sistem pemanenan manual
sebesar 0.09 kw/ha tetapi rata-rata jumlah tunggak yang tertinggal di
kebun sebesar 12.4 kw/ha atau melebihi batas yang diizinkan.
3. Biaya kerugian akibat tebu tertinggal yang dapat disimpan setiap hari
mencapai Rp. 16,183,125. Biaya kerugian akibat trash terbawa ke
penggilingan di pabrik tidak dapat diketahui akibat data lapangan yang
kurang memadai.
4. Mutu tebangan pada sistem manual lebih baik dibandingkan dengan sistem
semi mekanis berdasarkan jumlah trash yang terbawa ke pabrik. Rata-rata
jumlah trash untuk sistem pemanenan manual dan semi mekanis sebesar
1.79% dan 3.11%, namun mutu tebangan kedua sistem pemanenan
dinyatakan baik karena trash < 5%.
5. Pemadatan tanah merupakan hasil dari pembebanan akibat lintasan
angkutan dan mesin pemanenan tebu. Hal ini ditunjukkan oleh nilai
porositas (%) yang lebih rendah, nilai tahanan penetrasi (kg/cm²) dan nilai
bobot isi tanah (gr/cm³) yang lebih tinggi setelah proses tebang baik pada
sistem tebang manual maupun mekanis.
6. Sistem tebang manual menghasilkan pemadatan tanah yang lebih rendah
dibandingkan dengan sistem tebang semi mekanis. Hal ini ditunjukkan
oleh nilai tahanan penetrasi (kg/cm²) dan nilai bobot isi tanah (gr/cm³)
yang lebih kecil dibandingkan dengan sistem tebang semi mekanis. Hal ini
ditunjukkan pula oleh nilai porositas (%) yang lebih besar pada sistem
tebang manual.
7. Berdasarkan hasil analisa metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
dengan empat aktor yang berasal dari PG. Jatitujuh, menghasilkan
alternatif sistem tebang manual sebagai prioritas utama dengan bobot
sebesar 0.581. Prioritas kedua dan ketiga ditempati oleh sistem tebang
semi mekanis dan mekanis dengan bobot sebesar 0.283 dan 0.137.
8. Berdasarkan hasil analisa metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
dengan aktor tunggal yaitu peneliti, menghasilkan alternatif sistem tebang
manual sebagai prioritas utama dengan bobot sebesar 0.467. Prioritas
kedua dan ketiga ditempati oleh sistem tebang mekanis dan semi mekanis
dengan bobot sebesar 0.313 dan 0.220.
9. Berdasarkan hasil analisa metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
dengan lima aktor yang merupakan gabungan dari pegawai PG. Jatitujuh
dan peneliti, menghasilkan alternatif sistem tebang manual sebagai
prioritas utama dengan bobot sebesar 0.575. Prioritas kedua dan ketiga
ditempati oleh sistem tebang semi mekanis dan mekanis dengan bobot
sebesar 0.259 dan 0.166.
10. Berdasarkan hasil analisa metode Analytical Hierarchy Process (AHP),
sistem pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh adalah sistem tebang
manual

B. SARAN
1. Sistem tebang manual dapat dilaksanakan dengan asumsi jumlah tenaga
kerja memadai. Jika tidak sistem tebang semi mekanis atau mekanis harus
dilaksanakan agar pabrik tetap dapat beroperasi.
2. Sistem kerja dengan cara truk dan grab loader berjalan beriringan saat
proses muat dapat diterapkan guna meningkatkan kapasitas kerja proses
muat menggunakan grab loader. Untuk itu lahan perlu diratakan dengan
menggunakan motor grader pada bagian pinggir kebun agar
memungkinkan pergerakan truk dan grab loader secara beririgan.
3. Usaha yang dapat dilakukan untuk memperkecil jumlah tebu tertinggal dan
jumlah trash yang terbawa ke pabrik adalah memberikan pengarahan dan
memperketat pengawasan kepada penebang serta usaha memungut tebu
tertinggal baik di lahan maupun di jalan.
4. Perlu penelitian lebih lanjut pada analisa kerugian akibat trash yang
terbawa ke penggilingan di pabrik.
5. Untuk mengurangi tingkat kepadatan akibat operasi angkutan dan mesin
pemanenan di lahan dapat dilakukan rippering sampai kedalaman 60 cm
dan sistem pengedalian lintasan yaitu operasi alat dan mesin pertanian
dilakukan dengan pola lintasan yang sama sehingga pemadatan berikutnya
tidak terjadi di luar jalur lintasan.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuisioner Untuk Penentuan Sistem Pemanenan Tebu Yang Optimal
Di PG Jatitujuh, Jawa Barat
Bagian I
Bandingkanlah tingkat kepentingan atau prioritas dari faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan sistem pemanenan tebu di PT. PG Jatitujuh berdasarkan
Nilai Skala Banding yang tercantum di bawah dan isikan di dalam kolom
prioritas.
Kriteria Prioritas
Biaya Pemanenan dibandingkan Cako dan Ceceran
Biaya Pemanenan dibandingkan Banyaknya Trash
Biaya Pemanenan dibandingkan Pemadatan Tanah
Cako dan Ceceran dibandingkan Trash
Cako dan Ceceran dibandingkan Pemadatan Tanah
Banyaknya Trash dibandingkan Pemadatan Tanah

Bagian II
Bandingkanlah tingkat kepentingan atau prioritas dari alternatif di bawah ini
terhadap kriteria Biaya Pemanenan yang mempengaruhi penerapan sistem
pemanenan tebu di PT. PG Jatitujuh berdasarkan Nilai Skala Banding yang
tercantum di bawah dan isikan di dalam kolom prioritas.

Kriteria Prioritas
Sistem T. Manual dibandingkan Sistem T. Semi Mekanis
Sistem T. Manual dibandingkan Sistem T. Mekanis
Sistem T. Semi Mekanis dibandingkan Sistem T. Mekanis

PETUNJUK SKALA NILAI BANDING

Bila A sama penting dengan B = 1


Bila A sedikit lebih penting dibandingkan B = 3 ; bila sebaliknya (B sedikit lebih penting dibandingkan A) = 1/3
Bila A jelas lebih penting dibandingkan B = 5 ; bila sebaliknya (B sedikit jelas penting dibandingkan A) = 1/5
Bila A sangat jelas lebih penting dibandingkan B = 7 ; bila sebaliknya (B sangat jelas lebih penting dibandingkan A) =1/7
Bila A mutlak lebih penting dibandingkan B = 9 ; bila sebaliknya (B mutlak lebih penting dibandingkan A) = 1/9

Nilai skala banding genap(2,4,6,8 atau 1/2,1/4, 1/6, 1/8) diberikan untuk nilai skala perbandingan yang nilainya
berada di antara dua nilai perbandingan ganjil yang berurutan. Misalnya pada kasus A dibandingkan dengan B,
nilai A sedikit lebih penting namun jelas lebih penting dibandingkan B, maka nilai skala pembandingan yang
diberikan antara nilai 3 dan 5, yaitu 4 (atau 1/4 bila sebaliknya).
Bandingkanlah tingkat kepentingan atau prioritas dari alternatif di bawah ini
terhadap kriteria Cako dan Ceceran di lahan yang mempengaruhi penerapan
sistem pemanenan tebu di PT. PG Jatitujuh berdasarkan Nilai Skala Banding yang
tercantum di bawah dan isikan di dalam kolom prioritas.

Kriteria Prioritas
Sistem T. Manual dibandingkan Sistem T. Semi Mekanis
Sistem T. Manual dibandingkan Sistem T. Mekanis
Sistem T. Semi Mekanis dibandingkan Sistem T. Mekanis

Bandingkanlah tingkat kepentingan atau prioritas dari alternatif di bawah ini


terhadap kriteria Banyaknya trash yang terangkut ke pabrik yang mempengaruhi
penerapan sistem pemanenan tebu di PT. PG Jatitujuh berdasarkan Nilai Skala
Banding yang tercantum di bawah dan isikan di dalam kolom prioritas.
Kriteria Prioritas
Sistem T. Manual dibandingkan Sistem T. Semi Mekanis
Sistem T. Manual dibandingkan Sistem T. Mekanis
Sistem T. Semi Mekanis dibandingkan Sistem T. Mekanis

Bandingkanlah tingkat kepentingan atau prioritas dari alternatif di bawah ini


terhadap kriteria Pemadatan Tanah yang mempengaruhi penerapan sistem
pemanenan tebu di PT. PG Jatitujuh berdasarkan Nilai Skala Banding yang
tercantum di bawah dan isikan di dalam kolom prioritas.
Kriteria Prioritas
Sistem T. Manual dibandingkan Sistem T. Semi Mekanis
Sistem T. Manual dibandingkan Sistem T. Mekanis
Sistem T. Semi Mekanis dibandingkan Sistem T. Mekanis
Lampiran 2. Struktur Organisasi PG. Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat

Direksi PT. PG. Rajawali

General

K. Bag TUK Ka. Bag SDM Ka. Bag. Ka. Bag. Ka. Bag
& Umum

Ka. Tanaman II Ka. Tanaman II


Divisi Barat Divisi Timur

Ka.
Mekanisasi

SKK SKK TRI SKK


HGU HGU
Ka. Ka.
Teb/Angkut Mekanisasi

Staff Staff Staff Staff Staff Staff Staff Staff Staff Staff

Karyawan PG. Jatitujuh


Lampiran 3. Peta PG. Jatitujuh
Lampiran 4. Hasil Pengukuran Kapasitas Kerja Pemanenan Tenaga Tebang Lokal (Laki-laki)

No Keterangan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3


1 Tahap 1 2 1 2 1 2
2 No Petak 99 (Jatitujuh) 99 (Jatitujuh) 99 (Jatitujuh)
3 Jumlah tenaga (orang) 10 10 10
4 Luas tebang (ha) 0.0081 0.0135 0.01485 0.01215 0.0108 0.0162
5 Jumlah luas tebang (ha/hari) 0.0216 0.027 0.027
6 Waktu tebang (jam) 2.25 2.76 2.83 2.45 2.75 3.2
7 Jumlah waktu tebang (jam/hari) 5.01 5.28 5.95
8 Waktu muat (jam) 1.02 1.22 1.73 1.1 1.22 2.03
9 Jumlah waktu muat (jam/hari) 2.24 2.83 3.25
10 Jumlah waktu tebang dan muat (jam/hari) 7.25 8.11 9.2
11 Alat angkut Truk Truk Truk
12 Net weight (kw) 48 55 60 52 50 62
13 Jumlah net weight (kw/kelompok/hari) 103 112 112
Kapasitas tebang dan muat
14 10.30 11.20 11.20
(kw/orang/hari)
15 Kapasitas kerja rata-rata (kw/orang/hari) 10.90

Eff pemanenan
= Kap kerja aktual x 100 %
Kap kerja standar
= 10.9
x 100%
13
= 84%
Lampiran 5. Hasil Pengukuran Kapasitas Kerja Pemanenan Tenaga Tebang Lokal (Wanita)

No Keterangan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3


1 Tahap 1 2 1 2 1 2
2 No Petak 337 (K. Kencana Brt) 337 (K. Kencana Brt) 337 (K. Kencana Brt)
3 Jumlah tenaga (orang) 10 10 10
4 Luas tebang (ha) 0.0162 0.0108 0.0135 0.00945 0.0145 0.0108
5 Jumlah luas tebang (ha/hari) 0.027 0.02295 0.0253
6 Waktu tebang (jam) 3.53 3.45 3.33 3.6 3.35 3.76
7 Jumlah waktu tebang (jam/hari) 6.98 6.93 7.11
11 Alat angkut Truk Truk Truk
12 Net weight (kw) 51 43 45 41 45 42
Jumlah net weight
13
(kw/kelompok/hari) 94 86 87
Kapasitas tebang dan muat
14 8.70
(kw/orang/hari) 9.40 8.60
Kapasitas kerja rata-rata
15 8.90
(kw/orang/hari)

Eff pemanenan
= Kap kerja aktual x 100 %
Kap kerja standar
= 8.9
x 100%
10
= 89%
Lampiran 6. Hasil Pengukuran Kapasitas Kerja Pemanenan Tenaga Tebang Impor

No Keterangan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3


1 Tahap 1 2 3 1 2 1 2
2 No Petak 479 (Gobel) 479 (Gobel) 479 (Gobel)
3 Jumlah tenaga (orang) 15 8 7
4 Luas tebang (ha) 0.010125 0.01215 0.0081 0.014175 0.01215 0.0081 0.0108
5 Jumlah luas tebang (ha/hari) 0.030375 0.026325 0.0189
6 Waktu tebang (jam) 2.35 2.5 2.18 2.55 3 2 3.33
7 Jumlah waktu tebang (jam/hari) 7.03 5.55 5.33
8 Waktu muat (jam) 1.23 1.55 1.03 1.45 1.5 1.33 1.76
9 Jumlah waktu muat (jam/hari) 3.81 2.95 3.09
10 Jumlah waktu tebang dan muat (jam/hari) 10.84 8.5 8.42
11 Alat angkut Truk Truk Truk
12 Net weight (kw) 55 55 52 41 50 45 52
13 Jumlah net weight (kw/kelompok/hari) 162 91 97
Kapasitas tebang dan muat
14 10.80
(kw/orang/hari) 11.38 13.86
15 Kapasitas kerja rata-rata (kw/orang/hari) 12.01

Eff pemanenan
= Kap kerja aktual x 100 %
Kap kerja standar
= 12.01
x 100%
13
= 92%
Lampiran 7. Hasil Pengukuran Kapasitas Kerja Grab Loader

Grab Loader (Cameco SP 1800)


No Keterangan
PT. GPM PG. Jatitujuh
1 Ulangan 1 2 3 1 2 3
2 Banyaknya Cakupan Grab (kali) 33 28 33 13 12 14
3 Waktu Muat ( menit ) 17 14 15 27 23 29
4 Net Weight ( kw ) 157 139 129 40 42 46
5 Kapasitas Muat GL (kw/kali) 4.8 4.9 3.9 3.08 3.50 3.29
Kapasitas Muat GL ke truk
6 (kw/menit) 9.2 9.9 8.6 1.48 1.83 1.59
Rata - rata kapasitas Muat GL ke
7 truk 9.2 1.63
(kw/menit)
Lampiran 8. Analisa Biaya Tebang & Angkut dengan Sistem Tebang Manual Tahun 2007

No Uraian Biaya (Rp)


Komposisi Tebang (ku)
1. Tebang Manual 100 %x 4987269 (kw) 4,987,269
Jumlah 4,987,269
1 Tebang dan muat
Upah Pokok 100 %x 4987269 x @Rp. 700 3,491,088,300
Premi-premi 100 %x 4987269 x @Rp. 1306 6,513,373,314
Muat 100 %x 4987269 x @Rp. 299 1,491,193,431
Lain-lain (Uang pisah keluarga tenaga import) 60 %x 4987269 x @Rp. 588 1,759,508,503
Jumlah 1 13,255,163,548
2 Pemeliharaan jalan dan jembatan
Jalan Perbaikan jln Brangkal 5000 m³ x @Rp78850 394,249,984
Jembatan 16,940,390
Upah Tenaga Bahan dan Alat 0
Lain-lain (Sewa 2 Unit Motor Grader) 0
Jumlah 2 411,190,374
3 Ongkos Alat Pengangkutan
Harga rata
3.1 Kel. Jarak Manual Jumlah (kw)
(Rp.)
I. (13.04%) 650340 650340 1070 695,863,669
II. (39.13%) 1951518 1951518 1215 2,371,094,807
III. (32.61%) 1626348 1626348 1570 2,553,367,021
IV. (10.87%) 542116 542116 2075 1,124,890,991
V. (4.35%) 216946 216946 2180 472,942,719
Jumlah 4987269 4987269 7,218,159,207
3.2 Premi kontraktor dan tebang diliburkan 481,102,970
Jumlah 3 7,699,262,178
Lanjutan Lampiran 8. Analisa Biaya Tebang & Angkut dengan Sistem Tebang Manual Tahun 2007
No Uraian Biaya (Rp)
4.1 Alat-alat Perkakas Tebang Barak import dan perkakas tebang 373,421,306
4.2 Lain-lain. (Biaya Penyelenggara)
> Honor Muspika 5 Kecamatan @ 3 orang 5 x 3 x 5 bln x @ Rp. 200,000 15,000,000
> Upah harian musiman 10 org.x 142 hr x @ Rp. 28,300 40,204,000
> Upah Lembur harian musiman 2 org.x 142 hr x @ Rp. 41,000 11,621,406
> Upah Mandor Tebang 100 %x 4987269 kw x Rp. 87 432,068,245
> Biaya Mendatangkan tenaga import 60 %x 4987269 kw x Rp. 558 1,670,918,775
> Biaya tk. Masak, tk.air, pengganti tikar 60 %x 4987269 kw x Rp. 86 257,767,059
> Biaya antar/ jemput tenaga TSM 6 %x 4987269 kw x Rp. 360 107,620,000
> Biaya antar/ jemput tenaga Manual 5 %x 4620923 kw x Rp. 42 9,600,000
> Upah tenaga harian ceceran 10 org.x 142 hr x @ Rp. 19,000 27,216,000
> Insentif truck angkut tebu MSB
- Kelompok I & II
- Kelompok III, IV & V
> Insentif sopir angkut tebu MSB
- Kelompok I & II
- Kelompok III, IV & V
> Premi asuransi tenaga tebang
> Biaya insidentil 27,258,800
> Biaya kebutuhan alat tulis 38,817,684
> Ngoprek tenaga tebang 0
> Pengganti BBM 3 org.x 5 bln. x @ Rp. 59,000 875,000
> Pembelian Jiregen alat minum 1000 buah x @ Rp. 8,500 8,500,000
> Uang makan pertama datang tenaga import 3500 orang x @ Rp. 7,000 24,495,000
> uang insentif (black jeans) 4987269 kw x Rp. 5 24,762,120
> uang insentif tebang tebu MSB 4987269 kw x Rp. 12 60,237,090
> Biaya khusus pengamanan kebakaran 4987269 kw x Rp. 37 184,172,725
> insentif tali kulit tebu 4620923 kw x Rp. 143 662,829,750
> Biaya tebang diliburkan 1,231,927,260
Jumlah 4.2 4,835,890,914
Jumlah 4 5,209,312,220
TOTAL 26,574,928,320
Harga rata-rata per ku 5,329
Lampiran 9. Analisa Biaya Pokok Grab Loader

Data peralatan
Jenis peralatan : GRAB LOADER
Hp : 100 Hp
Merk / Type : VANGUARD / V 1900
Negara pembuat : USA
Tahun perolehan : 1996
Umur ekonomis alat : 30 Tahun
Jam kerja per tahun : 735 Jam/tahun
Harga awal : Rp. 211,000,000
Nilai sisa (10% dari harga awal) : Rp. 21,100,000
Harga penyusutan : Rp. 189,900,000
Tingkat bunga modal : 15 %
Pajak dan asuransi : 5 %
Gudang : 0.5 %
Kapasitas kerja per hari : 981 kw/hari
Konsumsi bahan bakar : 5,140 liter/hari
Harga bahan bakar : Rp. 9,500
Jumlah (kw) tebu yang dimuat oleh grab loader : 115,804 kw/tahun
Biaya perbaikan dan perawatan selama setahun : 5 %/tahun
Operasional grab loader : 118 hari/tahun
Penyusutan dihitung menggunakan metode garis lurus tanpa bunga
Bunga modal dihitung dengan bunga sederhana (flat)
Lanjutan Lampiran 9. Analisa Biaya Pokok Grab Loader
Biaya pokok peralatan
1 Biaya Tetap (Rp./jam)
a. Penyusutan 189,900,000 = Rp. 8,612
30 x 735
b. Bunga modal 15% x Rp. 211,000,000 = Rp. 1,435
30 x 735
c. Pajak dan asuransi 5% x Rp. 211,000,000 = Rp. 478
30 x 735
d. Gudang 0.5% x Rp. 211,000,000 = Rp. 48
30 x 735
Total Biaya Tetap Rp. 10,574
2 Biaya Tidak Tetap (Rp/jam)
a. Bahan bakar (5140 / 735) x Rp. 9,500 = Rp. 66,435
b. Pelumas

Engine (Med SX.40) 1/250 x 20 lt.x Rp. 10,000 = 800

Tambahan harian (Med. Sx. 40) (0.005 x 3083)/735 x Rp. 10,000 = 210

Transmisi (Rored Hd 90) 1/1000 x 26 lt.x Rp. 10,000 = 260

Steering Style (Rem 30) 1/1000 x 26 lt.x Rp. 15,300 = 398

Rigit Style (Rem 30) 1/1000 x 20 lt.x Rp. 15,300 = 306

Hyd tawk (Rem 30) 1/1000 x 311 lt.x Rp. 15,300 = 4,758

Grease EP-2 1/10 x 0.3 kg.x Rp. 27,700 = 831 = Rp. 7,563
c. Biaya perawatan dan perbaikan (0.0005 x Rp. 211,000,000) = Rp. 105,500
d. Pemakaian ban 1/2000 x Rp 12,240,000 = Rp. 6,120
e. Operator (asumsi) Rp. 40,000 / 6 jam/hari = Rp. 6,667
Total Biaya Tidak Tetap Rp. 192,285
TOTAL Rp. 202,859
3 Biaya Pokok (Rp/kw) = Biaya Total
Kapasitas Kerja
Rp. 202,859 / jam
=
(115,804 ku/tahun) / (735 jam/tahun)
= 1,288
Lampiran 10. Analisa Biaya Tebang & Angkut dengan Sistem Tebang Semi Mekanis Tahun 2007

No Uraian Biaya (Rp)


Komposisi Tebang (kw)
Tebang Semi Mekanis 100 %x 4987269 (kw) 4,987,269
Jumlah 4,987,269
1 Tebang dan muat
Upah Pokok 100 %x 4987269 x @Rp. 700 3,491,088,300
Premi-premi 100 %x 4987269 x @Rp. 1,306 6,513,373,314
Muat 100 %x 4987269 x @Rp. 1,288 6,423,602,472
Lain-lain (Uang pisah keluarga tenaga
4987269
import) 60 %x x @Rp. 588 1,759,508,503
Jumlah 1 18,187,572,589
2 Pemeliharaan jalan dan jembatan
Jalan Perbaikan jln Brangkal 5000 m³ x @Rp78850 394,249,984
Jembatan 16,940,390
Upah Tenaga Bahan dan Alat 0
Lain-lain (Sewa 2 Unit Motor Grader) 0
Jumlah 2 411,190,374
3 Ongkos Alat Pengangkutan
Jumlah Harga rata
3.1 Kel. Jarak TSM
(kw) (Rp.)
I. (13.04%) 650340 650340 1070 695,863,669
II. (39.13%) 1951518 1951518 1215 2,371,094,807
III. (32.61%) 1626348 1626348 1570 2,553,367,021
IV. (10.87%) 542116 542116 2075 1,124,890,991
V. (4.35%) 216946 216946 2180 472,942,719
Jumlah 4987269 4987269 7,218,159,207
3.2 Premi kontraktor dan tebang diliburkan 481,102,970
Jumlah 3 7,699,262,178
Lanjutan Lampiran 10. Analisa Biaya Tebang & Angkut dengan Sistem Tebang Semi Mekanis Tahun 2007
4 Lain-lain
4.1 Alat-alat Perkakas Tebang Barak import dan perkakas tebang 373,421,306
4.2 Lain-lain. (Biaya Penyelenggara)
> Honor Muspika 5 Kecamatan @ 3 orang 5 x 3 x 5 bln x @ Rp. 200,000 15,000,000
10 org.x 142
> Upah harian musiman hr x @ Rp. 28,300 40,204,000
2 org.x 142
> Upah Lembur harian musiman hr x @ Rp. 41,000 11,621,406
> Upah Mandor Tebang 100 %x 4987269 kw x Rp. 87 432,068,245
> Biaya Mendatangkan tenaga import 60 %x 4987269 kw x Rp. 558 1,670,918,775
> Biaya tk. Masak, tk.air, pengganti tikar 60 %x 4987269 kw x Rp. 86 257,767,059
> Biaya antar/ jemput tenaga TSM 6 %x 4987269 kw x Rp. 360 107,620,000
10 org.x 142
> Upah tenaga harian ceceran hr x @ Rp. 19,000 27,216,000
> Insentif truck angkut tebu MSB
- Kelompok I & II
- Kelompok III, IV & V
> Insentif sopir angkut tebu MSB
- Kelompok I & II
- Kelompok III, IV & V
> Premi asuransi tenaga tebang
> Biaya insidentil 27,258,800
> Biaya kebutuhan alat tulis 38,817,684
> Ngoprek tenaga tebang 0
> Pengganti BBM 3 org.x 5 bln. x @ Rp. 59,000 875,000
> Pembelian Jiregen alat minum 1000 buah x @ Rp. 8,500 8,500,000
> Uang makan pertama datang tenaga import 3500 orang x @ Rp. 7,000 24,495,000
> uang insentif (black jeans) 4987269 kw x Rp. 5 24,762,120
> uang insentif tebang tebu MSB 4987269 kw x Rp. 12 60,237,090
> Biaya khusus pengamanan kebakaran 4987269 kw x Rp. 37 184,172,725
> insentif tali kulit tebu 4620923 kw x Rp. 143 662,829,750
> Biaya tebang diliburkan 1,231,927,260
Jumlah 4.2 4,826,290,914
Jumlah 4 5,199,712,220
TOTAL 31,497,737,361
Harga rata-rata per kw 6,316
Lampiran 11. Analisa Biaya Pokok Mesin Panen (harvester)

Data peralatan
Jenis peralatan : Mesin Panen
Hp : 240 Hp
Merk / Type : Harvester 12 Austof 7700
Negara pembuat : USA
Tahun perolehan : 2002
Umur ekonomis alat : 30 Tahun
Jam kerja per tahun : 231 Jam/tahun
Harga awal : Rp. 747,000,000
Nilai sisa (10% dari harga awal) : Rp. 74,700,000
Harga penyusutan : Rp. 672,300,000
Tingkat bunga modal (i) : 15 %
Pajak dan asuransi : 5 %
Gudang : 0.5 %
Kapasitas kerja per jam : 200 kw/jam
Harga bahan bakar : Rp. 9,500
Biaya perbaikan dan perawatan selama setahun : 5 %/tahun
Kapasitas kerja mesin : 8 jam/hari
Jumlah hari tebang : 142 hari/tahun
Penyusutan dihitung menggunakan metode garis lurus tanpa bunga
Bunga modal dihitung dengan bunga sederhana (flat)
Lanjutan Lampiran 11. Analisa Biaya Pokok Mesin Panen (harvester)
Biaya pokok peralatan
1 Biaya Tetap (Rp./jam)
a. Penyusutan 672,300,000 = Rp. 19,727
30 x 8 x 142
b. Bunga modal 15% x Rp. 747,000,000 = Rp. 3,288
30 x 8 x 142
c. Pajak dan asuransi 5% x Rp. 747,000,000 = Rp. 1,096
30 x 8 x 142
d. Gudang 0.5% x Rp. 747,000,000 = Rp. 110
30 x 8 x 142
Total Biaya Tetap Rp. 24,221
2 Biaya Tidak Tetap (Rp/jam)
a. Bahan bakar (43400 / (8 x 142) x Rp. 9,500 = Rp. 362,940
b. Pelumas
Oli Mesin 1/250 jam x 34 liter x 10,076 = 1,370
Oli Hydraulic System 1/1000 jam x 480 liter x 9,361 = 4,493
Oli Pump Drive Gearbox 1/1000 jam x 1.6 liter x 13,379 = 21
Oli Base Cutter Gearbox 1/1000 jam x 9.5 liter x 13,379 = 127
Oli Chopper Gearbox 1/1000 jam x 5 liter x 13,379 = 67
Oli Rear Wheel Hub Oil 1/1000 jam x 6 liter x 13,379 = 80
Grease 1/8 x 2 kg x 25,685 = 6,421 = Rp. 12,581
c. Biaya perawatan dan perbaikan (0.0005 x Rp. 747,000,000 = Rp. 373,500
d. Operator (asumsi) Rp. 40,000/6 jam = Rp. 6,667
Total Biaya Tidak Tetap Rp. 755,687
TOTAL Rp. 779,908
3 Biaya Pokok (Rp/kw) = Biaya Total
Kapasitas Kerja
= Rp. 779,908/ jam
200 kw/jam
= 3,900
Lampiran 12. Analisa Biaya Pokok Traktor Tebangan

Data peralatan
Jenis peralatan : Traktor tebangan (Wheel Traktor) MF 236
Hp : 79 Hp
Merk / Type : MF 290
Tahun perolehan : 1982
Umur ekonomis alat : 30 Tahun
Jam kerja per tahun : 687 Jam/tahun
Harga awal : Rp. 12,755,000
Nilai sisa (10% dari harga awal) : Rp. 1,275,500
Harga penyusutan : Rp. 11,479,500
Tingkat bunga modal (i) : 15 %
Pajak dan asuransi : 5 %
Gudang : : 0.5 %
Kapasitas kerja per jam : 46 kw/jam
Kapasitas kerja per hari : 267 kw/hari
Konsumsi bahan bakar : 2,884 liter/tahun
Harga bahan bakar : Rp. 9,500
Jumlah (kw) tebu yang ditebang : 31,495 kw/tahun
Biaya perbaikan dan perawatan : 5 %/tahun
Operasional mesin tebang : 118 hari/tahun
Penyusutan dihitung menggunakan metode garis lurus tanpa bunga
Bunga modal dihitung dengan bunga sederhana (flat)
Lanjutan Lampiran 12. Analisa Biaya Pokok Traktor Tebangan
Biaya pokok peralatan
1 Biaya Tetap (Rp./jam)
a. Penyusutan 11,479,500 = Rp. 557
30 x 687
b. Bunga modal 15% x Rp. 12755000 = Rp. 93
30 x 687
c. Pajak dan asuransi 5% x Rp. 12755000 = Rp. 31
30 x 687
d. Gudang 0.5% x Rp. 12755000 = Rp. 3
30 x 687
Total Biaya Tetap Rp. 684 /jam
2 Biaya Tidak Tetap (Rp/jam)
a. Bahan bakar (2884 / 687) x Rp. 9,500 = Rp. 39,881
b. Pelumas
Engine (Med. S. 40) 1/250 jam x 8 ltr x 10,000 = 320
Tambahan harian 0.005 x 26700 x 10,000 = 134
Hyd/Trans (Rem.30) 1/1000 jam x 43 ltr x 15,300 = 658
Stering Respoir (Rem. 10) 1/1000 jam x 2.5 ltr x 15,800 = 40
Air Cleaner (Med.S.40) 1/1000 jam x 1.5 ltr x 10,000 = 15
Epyciclie Hub (Rord.HD.90) 1/1000 jam x 6 ltr x 10,000 = 60
Grease EP 2 1/10 jam x 0.3 kg x 27,700 = 831 = Rp. 2,057
c. Biaya perawatan dan perbaikan (0.0005 x Rp.12,755,000) = Rp. 6,378
d. Pemakaian ban 1/2000 x Rp 617,400 = Rp. 309
e. Operator (asumsi) Rp. 40,000 / 6 jam = Rp. 6,667
Total Biaya Tidak Tetap Rp. /jam
55,290
TOTAL Rp. 55,974 /jam
3 Biaya Pokok (Rp/kw) Biaya Total
Kapasitas Kerja
= Rp. 55,974 / jam
(31,495 ku/thn)/( 687 jam/thn)
= 1,221
Lampiran 13. Analisa Biaya Pokok Trailer Tebangan

Data peralatan
Jenis peralatan : Trailer Bukaka
Tahun perolehan : 1993
Umur ekonomis alat : 30 Tahun
Jam kerja per tahun : 687 Jam/tahun
Harga awal : Rp. 9,047,464
Nilai sisa (10% dari harga awal) Rp. 904,746
Harga penyusutan Rp. 8,142,718
Tingkat bunga modal (i) : 15 %
Pajak dan asuransi 5 %
Gudang : 0.5 %
Jumlah (ku) tebu yang ditebang 31,495 kw/tahun
Biaya perbaikan dan perawatan 5 %/tahun
Penyusutan dihitung menggunakan metode garis lurus tanpa bunga
Bunga modal dihitung dengan bunga sederhana (flat)

Biaya pokok peralatan


1 Biaya Tetap (Rp./jam)
a. Penyusutan 8,142,718 = Rp. 395
30 x 687
b. Bunga modal 6% x Rp. 9047464 = Rp. 66
30 x 687
c. Pajak dan asuransi 5% x Rp. 9047464 = Rp. 22
30 x 687
d. Gudang 0.5% x Rp. 9047464 = Rp. 2
30 x 687
Total Biaya Tetap Rp. 485
2 Biaya Tidak Tetap (Rp/jam)

a. Grease 1/10 jam x 1 kg x Rp. 27,700 = Rp. 2,770


b. Biaya perawatan dan perbaikan (0.0005 x Rp.9047464) = Rp. 4,524
c. Pemakaian ban 1/2000 x Rp 3,914,400 = Rp. 1,957
Total Biaya Tidak Tetap Rp. 9,251
TOTAL Rp. 9,736
Biaya Pokok (Rp/kw)
3 = Biaya Total
Kapasitas Kerja
= Rp. 9,736 / jam
(31,495 ku/thn)/( 687 jam/thn)
= 212
Lampiran 14. Analisa Biaya Tebang & Angkut dengan Sistem Tebang Mekanis Tahun 2007

No Uraian Biaya (Rp)


Komposisi Tebang (kw)
Tebang Mekanis 100 %x 4987269 (kw) 4,987,269
Jumlah 4,987,269
1 Tebang dan muat
biaya tebang dan muat dengan harvester 100 %x 4987269 x @Rp. 3,900 19,450,349,100
Jumlah 1 19,450,349,100
2 Pemeliharaan jalan dan jembatan
Jalan Perbaikan jln Brangkal 5000 m³ x @Rp78850 394,249,984
Jembatan 16,940,390
Jumlah 2 411,190,374
3 Ongkos Alat Pengangkutan (Rp./kw) Traktor tebangan + Trailer Tebangan
Rp. 1221 /kw + Rp. 212/kw = Rp. 1433/kw
Harga
3.1 Kel. Jarak Mekanis Jumlah (kw)
(Rp./kw)
I. (13.04%) 650340 650340 1433 931,937,045
II. (39.13%) 1951518 1951518 1433 2,796,525,809
III. (32.61%) 1626348 1626348 1433 2,330,557,287
IV. (10.87%) 542116 542116 1433 776,852,429
V. (4.35%) 216946 216946 1433 310,883,907
Jumlah 4987269 4987269
Jumlah 3 7,146,756,477
4.1 Lain-lain. (Biaya Penyelenggara)
10 org.x 142
> Upah harian musiman hr x @ Rp. 28,300 40,204,000.00
2 org.x 142
> Upah Lembur harian musiman hr x @ Rp. 41,000 11,621,406.00
> Upah Mandor 100 %x 4987269 kw x Rp. 87 432,068,245
> Biaya khusus pengamanan kebakaran 4987269 kw x Rp. 37 184,172,725.00
10 org.x 142
> Upah tenaga harian ceceran hr x @ Rp. 19,000 27,216,000
> Biaya insidentil 27,258,800
> Biaya kebutuhan alat tulis 38,817,684
Jumlah 4 761,358,860
TOTAL 27,769,654,811
Harga rata-rata per kw 5,568.11
Lampiran 15. Hasil Analisa Cako dan Tunggak pada Tebang Manual
0.987
Kd Sinder Mandor Sample
Cako Tunggak
No Tanggal Wil Tebang Tebang Kebun Ptk Di Analisa
(5 Jr X15 M) Kg Ku/ha Kg Ku/ha
1 22/5/2008 8 Kamdani Endi Cikamuning 565 0.40 0.14 4.90 14.00
- 3.50 10.00
0.30 0.11 4.40 12.57
Rata-rata 0.35 0.12 4.27 12.19
2 23/5/2008 12 H Rasda Marjuki M. B Utara 7 - 3.70 10.57
- 4.30 12.29
- 4.20 12.00
Rata-rata - - 4.07 11.62
3 24/5/2008 19 Taryono Raskam K.K Timur 314 0.30 0.11 4.00 11.43
0.10 0.04 3.90 11.14
- 4.60 13.14
Rata-rata 0.13 0.05 4.17 11.90
4 25/5/2008 19 H. Enco Sunardi Cimindel 513 - - 3.90 11.14
- - 5.40 15.43
0.60 0.21 4.20 12.00
Rata-rata 0.20 0.07 4.50 12.86
5 26/5/2008 7 Suwandi Karmin B.G. Timur 12 0.90 0.32 4.90 14.00
0.70 0.25 5.30 15.14
0.50 0.18 3.90 11.14
Rata-rata 0.70 0.25 4.70 13.43
Rata-rata Total 0.28 0.09683 4.34 12.4
Lampiran 16. Hasil Analisa Cako dan Tunggak Tebang Semi Mekanis
0.987
Kd Sinder Mandor Sample
Cako Tunggak
No Tanggal Wil Tebang Tebang Kebun Ptk Di Analisa
(5 Jr X15 M) Kg Ku/ha Kg Ku/ha
Ujang
1 22/5/2008 14 Warca Carma Mk Bujang Selatan 405 0.20 0.20 3.70 3.75
- 4.40 4.46
- 4.50 4.56
Rata-rata 0.07 0.07 1.40 1.42
Ujang Kidang Kencana
2 22/5/2008 19 Warca Medi Timur 537 - 4.90 4.96
- 4.00 4.05
- 4.50 4.56
Rata-rata - - 1.49 1.51
Ujang
3 23/5/2008 15 Warca Carma Mk Bujang Selatan 406 0.30 0.30 5.00 5.07
0.50 0.49 4.30 4.36
- 4.70 4.76
Rata-rata 0.27 0.26 4.67 4.73
Ujang
4 23/5/2008 14 Warca Karta Mk Bujang Selatan 405 0.70 0.69 5.10 5.17
0.40 0.39 4.90 4.96
0.60 0.59 5.20 5.27
Rata-rata 0.57 0.56 5.07 5.13
Ujang Kidang Kencana
5 28/5/2008 19 Warca Sumaja Timur 458 0.60 0.59 4.80 4.86
- - 5.00 5.07
- - 5.00 5.07
Rata-rata 0.20 0.20 4.93 5.00
Rata-rata total 0.22 0.20 3.51 3.55
Lampiran 17. Hasil Analisa Trash pada Tebang Manual
LAIN-
KD Berat KLARAS SOGOLAN PUCUK JUMLAH
LAIN
No TANGGAL Ptk
Kotor
Wil Kg % Kg % Kg % Kg % Kg %
(Kg)
1 22 May-08 19 314 52 0.80 1.54 - - - - 0.80 1.54
2 22 May-08 8 565 40 0.70 1.75 - - - - 0.70 1.75
3 23 May-08 6 427 38 0.40 1.05 - - - - 0.40 1.05
4 24 May-08 4 505 42 0.50 1.19 - 0.60 1.43 - - 1.10 2.62
5 24 May-08 4 480 47 0.80 1.70 - 0.60 1.28 - - 1.40 2.98
6 25 May-08 15 99 56 0.40 0.71 0.70 1.25 - - - 1.10 1.96
7 25 May-08 8 565 37 0.20 0.54 0.50 1.35 0.10 0.27 - - 0.80 2.16
8 26 May-08 10 321 38 0.40 1.05 - - - - - - 0.40 1.05
9 26 May-08 19 384 62 0.70 1.13 0.50 0.81 0.10 0.16 - - 1.30 2.10
10 27 May-08 9 21 63 1.00 1.59 - - - - - - 1.00 1.59
11 27 May-08 8 706 40 0.70 1.75 - - - - - - 0.70 1.75
12 28 May-08 11 479 35 0.60 1.71 - - - - - - 0.60 1.71
13 28 May-08 11 477 37 0.50 1.35 - - - - - - 0.50 1.35
14 29 May-08 19 346 32 0.60 1.88 - - - - - - 0.60 1.88
15 29 May-08 9 119 44 0.60 1.36 - - - - - - 0.60 1.36

Rata-rata 44 0.59 1.35 0.17 0.23 0.13 0.21 - - 0.80 1.79

Lampiran 18. Hasil Analisa Trash pada Tebang Semi Mekanis


LAIN-
Berat KLARAS SOGOLAN PUCUK JUMLAH
KD LAIN
No TANGGAL Ptk
Kotor
Kg % Kg % Kg % Kg % Kg %
Wil (Kg)
1 22 May-08 19 405
47
0.80 1.70 - - - - 0.80 1.70
2 22 May-08 19 537
37
0.50 1.35 - - - - 0.50 1.35
3 23 May-08 19 538
75
0.90 1.20 1.10 1.47 - - - 2.00 2.67
4 24 May-08 14 406
52
0.80 1.54 - 1.00 1.92 - - 1.80 3.46
5 25 May-08 19 538
37
0.80 2.16 0.50 1.35 - - - 1.30 3.51
6 25 May-08 19 538
54
0.50 0.93 0.90 1.67 - - - 1.40 2.59
7 25 May-08 14 406
78
0.60 0.77 1.00 1.28 0.30 0.38 - - 1.90 2.44
8 26 May-08 19 406
81
1.30 1.60 0.80 0.99 0.70 0.86 - - 2.80 3.46
9 26 May-08 19 346
43
1.00 2.33 1.30 3.02 0.10 0.23 - - 2.40 5.58
10 27 May-08 19 456
33
0.50 1.52 0.80 2.42 - - - - 1.30 3.94
11 28 May-08 19 458
62
1.30 2.10 0.60 0.97 0.30 0.48 - - 2.20 3.55
12 28 May-08 11 470
47
0.70 1.49 0.40 0.85 - - - - 1.10 2.34
13 28 May-08 19 458
42
0.80 1.90 - - 0.60 1.43 - - 1.40 3.33
14 29 May-08 19 346
32
0.60 1.88 - - - - - - 0.60 1.88
15 30 May-08 12 16
25
0.80 3.20 - - 0.40 1.60 - - 1.20 4.80

50
Rata-rata 0.79 1.71 0.62 0.93 0.34 0.46 - - 1.51 3.11
Lampiran 19. Analisa Biaya Pengambilan Tebu Tertinggal Tahun 2007

NO URAIAN SATUAN JUMLAH


I TENAGA
- Perkiraan cako dan tebu ceceran yang harus diambil
setiap hari :
1. Perkiraan ha. tebang per hari ha 45
2. Perkiraan cako dan ceceran = 1 ku / ha* kw / ha 45
3. Perkiraan kapasitas tenaga per hari kw/hari/orang 3
4. Kebutuhan tenaga per hari orang / hari 15

5. UMR dan lembur Rp/hari/orang 35,000


6. Total upah tenaga per hari

( 15 org. x Rp. 35.000 ) Rp / hari 525,000

7. Biaya tenaga pengambilan cako Rp / kw 11,666


II TRUCK

1. Sewa per hari Rp/ kw 250,000

2. BBM solar 35 liter x Rp 5500 Liter / hari 192,500

3. Uang makan supir dan karnet Rp / hari 50,000

4. Upah supir + karnet Rp / hari 75,000

Jumlah : Rp / hari 567,500

Perawatan 5 % x jumlah Rp / hari 28,375

Total biaya operasional : Rp / hari 595,875

5. Ongkos angkut Rp / kw 13,242

III BIAYA TENAGA + TRUCK Rp / hari 1,120,875

Rp / kw 24,908

IV NILAI EKONOMIS
1. Cako ceceran yang terambil kw/ hari 45
2. Bila rendement 7 % maka gula yang terselamatkan kw / hari 3.15

3. Harga gula Rp. 470.000** x 3,15 Ku. RP/kw / hari 1,480,500

V SELISIH LEBIH Rp/kw/ hari 359,625

Rp/hari 16,183,125

* data risbang
** harga tahun 2007
Lampiran 20. Data hasil pengukuran tahanan penetrasi (kg/cm²) pada status tanaman ratoon II dan III

Status Sistem Kondisi Kedalaman (cm) Rata-rata


Tanaman Tebang Tanah 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60
14.25 28.52 15.73 13.22 11.54 10.54
Sebelum 13.07 22.39 18.90 15.33 10.67 9.36
9.12 18.82 20.78 17.53 14.75 13.83
Rata-rata 12.11 23.17 18.41 15.42 12.35 11.28 15.46
Manual
18.75 25.31 22.21 15.12 13.89 15.62
Setelah 18.97 24.77 23.46 18.88 11.47 13.99
20.13 26.63 19.66 19.12 17.63 12.62
Rata-rata 19.28 25.54 21.03 17.71 14.35 14.15 18.68
Ratoon II
12.85 18.12 17.45 15.23 20.87 19.48
Sebelum 11.18 20.34 18.36 16.62 17.65 18.23
16.91 15.04 14.67 12.81 14.83 16.73
Semi Rata-rata 13.77 17.71 16.75 14.72 17.82 18.17 16.49
Mekanis 19.68 20.87 19.77 20.36 21.55 21.16
Setelah 21.56 22.96 17.16 16.96 18.99 18.53
17.93 20.94 19.37 19.37 19.07 20.43
Rata-rata 19.84 21.86 18.77 18.89 19.84 20.07 19.88
13.74 12.97 11.61 8.63 9.04 7.13
Sebelum 11.75 12.35 12.86 9.04 9.14 8.32
12.93 11.82 10.82 10.03 10.23 12.06
Rata-rata 12.83 12.35 11.64 9.14 9.49 9.14 10.77
Manual
14.65 17.23 15.23 13.04 10.53 10.03
Setelah 14.52 18.56 16.31 14.21 9.26 9.19
16.37 14.24 13.29 10.89 9.31 9.91
Rata-rata 15.21 16.63 14.96 12.58 9.73 9.73 13.14
Ratoon III
13.65 15.43 13.11 12.02 10.03 9.43
Sebelum 14.28 17.62 15.01 14.25 11.27 10.03
11.58 15.37 14.06 13.02 10.13 8.98
Semi Rata-rata 13.18 16.15 14.01 13.06 10.33 9.37 12.68
Mekanis 20.15 20.21 19.67 20.13 16.62 15.13
Setelah 21.68 21.68 21.43 19.37 12.84 10.15
14.16 17.02 17.33 16.21 11.42 12.04
Rata-rata 18.53 19.61 19.48 18.41 13.77 12.23 17.01
Lampiran 21. Data hasil pengukuran berat isi tanah (gram/cm³) dan kadar air tanah pada status tanaman ratoon 2 & 3
Status Status Berat Isi Tanah (gr/cm³)
Kondisi tanah
Tanaman Tanaman 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm 50-60 cm
0.88 0.81 0.88 0.91 0.99 1
Sebelum 0.94 0.95 0.87 1.04 1.07 1.17
1 0.93 0.98 0.95 1.15 1.03
Rata-rata 0.94 0.90 0.91 0.97 1.07 1.07
Manual
0.85 0.87 0.9 0.99 0.98 1
Setelah 0.92 0.99 0.91 1.03 1.09 1.09
0.87 0.92 0.89 1.07 1.12 1.08
Rata-rata 0.88 0.93 0.90 1.03 1.06 1.06
Ratoon II
1.21 1.23 1.08 1.18 1.15 1.28
Sebelum 1.29 1.15 1.17 1.18 1.26 1.37
1.21 1.16 1.27 1.3 1.33 1.31
Rata-rata 1.24 1.18 1.17 1.22 1.25 1.32
Semi Mekanis
1.25 1.28 1.21 1.33 1.53 1.52
Setelah 1.23 1.26 1.27 1.4 1.36 1.47
1.26 1.22 1.27 1.29 1.31 1.37
Rata-rata 1.25 1.25 1.25 1.34 1.40 1.45
0.86 0.84 0.89 0.88 1.01 1.15
Setelah 0.91 0.86 0.95 0.87 1.04 1.09
0.93 1 1 1.06 1.17 1.11
Rata-rata 0.90 0.90 0.95 0.94 1.07 1.12
Manual
0.87 0.86 0.87 0.95 1.15 1.19
Sebelum 0.87 1.02 1.01 1.23 1.13 1.12
0.85 0.94 0.94 1 1.08 1.15
Rata-rata 0.86 0.94 0.94 1.06 1.12 1.15
Ratoon III
0.87 0.99 0.91 0.96 0.89 0.96
Sebelum 0.93 0.89 0.86 0.85 0.89 1
0.78 0.86 0.97 0.92 1.19 1.16
Rata-rata 0.86 0.91 0.91 0.91 0.99 1.04
Semi Mekanis
0.83 0.9 0.9 0.86 0.9 0.96
Setelah 0.88 0.99 0.96 0.95 1.01 1.08
0.9 0.95 0.9 1.03 0.94 0.93
Rata-rata 0.87 0.95 0.92 0.95 0.95 0.99
Lampiran 21. Data hasil pengukuran berat isi tanah (gram/cm³) dan kadar air tanah pada status tanaman ratoon 2 & 3
Status Sistem Kondisi Kadar Air (%) Rata-rata
Tanaman Tebang Tanah 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm 50-60 cm %
19.91 22.52 26.9 28.06 30.25 29.96
Sebelum 18.18 20.4 20.68 25.24 28.85 32.66
33.49 27.08 28.14 20.85 32.5 36.53
Rata-rata 23.86 23.33 25.24 24.72 30.53 33.05 26.79
Manual
19.4 26.86 29.17 31.32 33.64 34.05
Setelah 17.85 28.94 32.58 31.51 32.53 32.5
20.19 20.57 23.48 26.85 29.86 31.77
Rata-rata 19.15 25.46 28.41 29.89 32.01 32.77 27.95
Ratoon II
15.33 17.64 19.56 13.62 13.64 15.34
Sebelum 17.35 21.27 21.05 10.23 10.26 10.18
16.75 20.47 21.68 18.22 18.42 14.4
Semi Rata-rata 16.48 19.79 20.76 14.02 14.11 13.31 16.41
Mekanis 15.98 18.21 18.94 10.59 8.88 10.27
Setelah 14.36 15.01 16.16 14.59 21.28 12.31
14.95 19.84 19.41 18.81 20.65 22.52
Rata-rata 15.10 17.69 18.17 14.66 16.94 15.03 16.26
20.1 22.07 27.33 23.72 22.47 31.31
Sebelum 26.33 25.84 25.82 29.08 33.86 36.76
18.99 20.51 24.09 29.25 31 36.08
Rata-rata 21.81 22.81 25.75 27.35 29.11 34.72 26.92
Manual
22.09 22.85 25.27 29.01 30.92 31.46
Setelah 21.75 22.36 21.63 21.55 26.58 32.95
25.06 22.54 25.11 34.14 34.94 34.33
Rata-rata 22.97 22.58 24.00 28.23 30.81 32.91 26.92
Ratoon III
24.49 21.42 20.31 23.3 25.65 29.85
Sebelum 27.07 21.17 24.13 25.2 20.52 31.56
22.9 22.88 21.76 22.85 28.49 28.72
Semi Rata-rata 24.82 21.82 22.07 23.78 24.89 30.04 24.57
Mekanis 23.31 25.75 27.79 27.91 29.78 27.86
Setelah 20.34 19.09 20.53 23.37 25.67 27.17
18.62 22.36 22.44 21.97 22.09 23.8
Rata-rata 20.76 22.40 23.59 24.42 25.85 26.28 23.88
Lampiran 22. Data hasil pengukuran porositas tanah (%) pada status tanaman ratoon II dan III
Status Sistem Kondisi Porositas Tanah (%) Rata-rata
0-10
Tanaman Tebang Tanah 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 40-50 cm 50-60 cm %
cm
0.67 0.7 0.67 0.66 0.63 0.62
Sebelum 0.64 0.64 0.67 0.61 0.59 0.56
0.62 0.65 0.63 0.64 0.57 0.61
Rata-rata 0.64 0.66 0.66 0.64 0.60 0.60 0.63
Manual
0.68 0.67 0.66 0.63 0.63 0.62
Setelah 0.65 0.63 0.65 0.61 0.59 0.59
0.67 0.65 0.66 0.6 0.58 0.59
Rata-rata 0.67 0.65 0.66 0.61 0.60 0.60 0.63
Ratoon II
0.54 0.53 0.59 0.55 0.57 0.52
Setelah 0.51 0.57 0.56 0.56 0.52 0.48
0.55 0.56 0.52 0.51 0.5 0.5
Semi Rata-rata 0.53 0.55 0.56 0.54 0.53 0.50 0.54
Mekanis 0.53 0.52 0.55 0.5 0.42 0.43
Sebelum 0.53 0.52 0.52 0.47 0.49 0.45
0.52 0.54 0.52 0.51 0.51 0.45
Rata-rata 0.53 0.53 0.53 0.49 0.47 0.44 0.50
0.67 0.68 0.67 0.67 0.62 0.57
Setelah 0.66 0.68 0.64 0.67 0.61 0.59
0.65 0.62 0.62 0.6 0.56 0.58
Rata-rata 0.66 0.66 0.64 0.65 0.60 0.58 0.63
Manual
0.67 0.67 0.67 0.64 0.57 0.55
Sebelum 0.67 0.62 0.62 0.54 0.57 0.58
0.68 0.65 0.64 0.62 0.59 0.57
Rata-rata 0.67 0.65 0.64 0.60 0.58 0.57 0.62
Ratoon III
0.67 0.63 0.66 0.64 0.67 0.64
Sebelum 0.65 0.66 0.68 0.68 0.66 0.62
0.7 0.67 0.64 0.65 0.55 0.56
Semi Rata-rata 0.67 0.65 0.66 0.66 0.63 0.61 0.65
Mekanis 0.69 0.66 0.66 0.67 0.66 0.64
Setelah 0.67 0.63 0.64 0.64 0.62 0.59
0.66 0.64 0.66 0.61 0.65 0.65
Rata-rata 0.67 0.64 0.65 0.64 0.64 0.63 0.65
Lampiran 23. Analisa Biaya Pokok Kegiatan Rippering

Data peralatan
Jenis peralatan : Traktor
Hp 110 Hp
Merk / Type John Deere 6415
Tahun perolehan 1997
Umur ekonomis alat 30 Tahun
Jam kerja per tahun 350 Jam/tahun
Harga awal : Rp. 364,800,000
Nilai sisa (10% dari harga awal) : Rp. 36,480,000
Harga penyusutan Rp. 328,320,000
Tingkat bunga modal (i) 15 %
Pajak dan asuransi : 5 %
Gudang 0.5 %
Kapasitas kerja per jam : 0.9 Ha/jam
Konsumsi bahan bakar : 5,324 liter/tahun
Harga bahan bakar : Rp. 9,500
Jumlah (ha) lahan yang diolah oleh traktor : 308 Ha/tahun
Biaya perbaikan dan perawatan selama setahun : 5 %/tahun
Operasional mesin tebang : 55 hari/tahun
Penyusutan dihitung menggunakan metode garis lurus tanpa bunga
Bunga modal dihitung dengan bunga sederhana (flat)
Lanjutan Lampiran 23. Analisa Biaya Pokok Kegiatan Rippering

Biaya pokok peralatan


1 Biaya Tetap (Rp./jam)
a. Penyusutan 328,320,000 = Rp. 31,269
30 x 350
Bunga modal
15% x Rp. 364,800,000
b. : = Rp. 5,211
30 x 350
c. Pajak dan asuransi 5% x Rp. 364,800,000 = Rp. 1,737
30 x 350
d. Gudang 0.5% x Rp. 364,000,000 = Rp. 174
30 x 350
Total Biaya Tetap Rp. 38,391 /jam
2 Biaya Tidak Tetap (Rp/jam)
a. Bahan bakar (5324 / 350) x Rp. 9,500 = Rp. 144,509
b. Pelumas
Engine (Med SX 40) 1/250 jam x 22 liter x 10,000 = 880
Tambahan harian (Med SX 40) 0.005 x 1/250 jam x 22 liter x 10,000 = 4
Trans/Hydraulic (Med 30) 1/600 jam x 53 liter x 15,300 = 1,352
Epicyclic (Rored HD 90) 1/1000 jam x 12 liter x 10,000 = 120
Grease EP2 1/10 jam x 0.3 kg x 27,700 = 831 = Rp. 3,187
c. Biaya perawatan dan perbaikan (0.0005 x Rp. 364,800,000) = Rp. 182,400
d. Operator (asumsi) Rp. 40,000 / 6 jam = Rp. 6,667
Total Biaya Tidak Tetap Rp. /jam
336,762
BIAYA TOTAL Rp. 375,153 /jam
3 Biaya Pokok (Rp/Ha) = Biaya Total
Kapasitas Kerja
= Rp. 375,153/ jam
( 308 Ha/tahun) / ( 350 jam/tahun)
= 426,310
Lampiran 24. Model sistem hirarki keputusan oleh empat aktor untuk menentukan sistem pemanenan tebu yang optimal di PG.
Jatitujuh

Tujuan Sistem pemanenan tebu yang


optimal (1.0000)

Bagian Tebang-Angkut Bagian Riset & Bagian Mekanisasi Bagian Pabrikasi


(0.250) Pengembangan (0.250) (0.250) (0.250)
ktor

Biaya Jumlah Jumlah Pemadatan Biaya Jumlah Jumlah Pemadatan Biaya Jumlah Jumlah Pemadatan Biaya Jumlah Jumlah Pemadatan
Pemanenan Tebu Trash Tanah Pemanenan Tebu Trash Tanah Pemanenan Tebu Trash Tanah Pemanenan Tebu Trash Tanah
Tertinggal Tertinggal Tertinggal Tertinggal
(0.412) (0.282) (0.231) (0.075) (0.356) (0.406) (0.170) (0.068) (0.303) (0.389) (0.130) (0.178) (0.243) (0.230) (0.474) (0.053)

A 0.661 0.582 0.250 0.659 0.705 0.701 0.733 0.740 0.761 0.643 0.413 0.571 0.671 0.493 0.429 0.678
B 0.208 0.309 0.500 0.185 0.211 0.193 0.199 0.167 0.166 0.255 0.260 0.286 0.256 0.311 0.429 0.179
C 0.131 0.109 0.250 0.156 0.084 0.106 0.068 0.093 0.073 0.102 0.327 0.143 0.073 0.196 0.143 0.142

Keterangan :
A = Sistem tebang manual
B = Sistem tebang semi mekanis
C = Sistem tebang mekanis
Lampiran 25. Model sistem hirarki keputusan oleh aktor tunggal untuk menentukan sistem pemanenan tebu yang optimal di PG.
Jatitujuh

Sistem pemanenan tebu yang optimal


(1.0000)
Tujuan

Aktor
Biaya Pemanenan Jumlah Tebu Tertinggal Jumlah Trash Pemadatan Tanah
(0.522) (0.200) (0.200) (0.078)

Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem
Tebang Tebang Tebang Tebang Tebang Tebang Tebang Tebang Tebang Tebang Tebang Tebang
Manual Semi Mekanis Manual Semi Mekanis Manual Semi Mekanis Manual Semi Mekanis
Mekanis Mekanis Mekanis Mekanis
(0.570) (0.097) (0.333) (0.109) (0.309) (0.582) (0.481) (0.405) (0.114) (0.671) (0.256) (0.073)
Lampiran 26. Model sistem hirarki keputusan oleh lima aktor untuk menentukan sistem pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh

Tujuan Sistem pemanenan tebu yang optimal


(1.0000)

Aktor
Bag Tebang-Angkut Bag Riset & Pengembangan Bagian Mekanisasi Bagian Pabrikasi Bagian Peneliti
(0.250) (0.250) (0.250) (0.250) (0.250)

BP JTT JT PT BP JTT JT PT BP JTT JT PT


BP JTT JT PT BP JTT JT PT
(0.412) (0.282) (0.231) (0.075) (0.356) (0.406) (0.170) (0.068) (0.303) (0.389) (0.130) (0.178)
(0.243) (0.230) (0.474) (0.053) (0.522) (0.200) (0.200) (0.078)

A 0.661 0.582 0.250 0.659 0.705 0.701 0.733 0.74 0.761 0.643 0.413 0.571 0.671 0.493 0.429 0.678 0.570 0.109 0.481 0.671
B 0.208 0.309 0.500 0.185 0.211 0.193 0.199 0.167 0.166 0.255 0.26 0.286 0.256 0.311 0.429 0.179 0.097 0.309 0.405 0.256
C 0.131 0.109 0.250 0.156 0.084 0.106 0.068 0.093 0.073 0.102 0.327 0.143 0.073 0.196 0.143 0.142 0.333 0.582 0.114 0.073

Keterangan :
BP = Biaya Pemanenan
JTT = Jumlah Tebu Tertinggal
JT = Jumlah Trash
PT = Pemadatan Tanah
A = Sistem Tebang Manual
B = Sistem Tebang Semi Mekanis
C = Sistem Tebang Mekanis

Anda mungkin juga menyukai