F08vha PDF
F08vha PDF
F08vha PDF
)
YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT
Oleh:
VIDY HARYANTI
F14104067
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.)
YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Vidy Haryanti
F14104067
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Vidy Haryanti
F14104067
Tanggal Lulus:............................
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknik Pertanian,
Penulis dilahirkan pada tanggal 5 September 1986 di Jakarta, dari orang tua
yang bernama Sugeng Haryanto, SH. MSi dan Endang Widarmawati. Penulis
adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan dasar
di SDN II Penengahan, Bandar Lampung, Lampung pada tahun 1998, lalu
melanjutkan ke SLTPN 4 Tebing Tinggi, Sumatera Utara dan tamat pada tahun
2001. Tahun 2004, penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan pada tahun yang
sama penulis melanjutkan studi di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum pada
mata kuliah Mekanika Fluida pada Tahun Akademik 2006/2007 dan asisten
praktikum pada mata kuliah Teknik Mesin dan Budidaya Pertanian pada Tahun
Akademik 2007/2008. Penulis juga terdaftar menjadi anggota Dewam Perwakilan
Mahasiswa (DPM) IPB sebagai Staf Riset dan Pengembangan pada masa jabatan
2004/2005, pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fateta IPB sebagai Staf
Minat dan Bakat Mahasiswa pada masa jabatan 2005/2006, pengurus Himpunan
Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA) sebagai Staf Hubungan Masyarakat
pada masa jabatan 2006/2007.
Pada tahun 2007 penulis melaksanakan Praktek Lapang di PT. Gula Putih
Mataram, Lampung dengan judul laporan ”Aspek Keteknikan Pertanian di PT.
Gula Putih Mataram, Lampung (Kajian Khusus pada Pemanenan Tebu
(Saccharum officinarum L.)”. Pada tahun 2008 Penulis melakukan penelitian
masalah khusus dengan judul ”Analisa Sistem Pemanenan Tebu yang Optimal
di PG. Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat” sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana.
Vidy Haryanti. F14104067. Analisa Sistem Pemanenan Tebu yang Optimal di
PG. Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Setyo
Pertiwi, M.Agr. 2008.
RINGKASAN
Gula sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia memiliki
nilai strategis dalam usaha menjaga ketahanan pangan. Perkembangan jumlah
penduduk yang semakin meningkat dan berkembangnya industri-industri
makanan dan minuman memerlukan gula sebagai salah satu bahan bakunya.
Namun kenaikan konsumsi gula masyarakat dan keperluan industri ini tidak
diimbangi dengan peningkatan produksi gula dalam negeri. Hal ini tercermin dari
turunnya produksi tebu sebagai bahan baku utama dalam pembuatan gula.
Produksi tebu tahun 2006 mencapai 30,244.051 ton. Jika dibandingkan dengan
tahun 2005 yang menghasilkan 31,139.969 ton berarti mengalami penurunan
sebesar 895.917 ton atau sebesar 2.88%. Salah satu yang mempengaruhi
penurunan tersebut adalah kegiatan pemanenan. Untuk itu sistem pemanenan yang
paling tepat (optimal) dapat diterapkan dalam rangka mengoptimalkan produksi
tebu.
Pemanenan tebu dapat didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan
memungut hasil gula yang masih potensial berada pada bagian tanaman tebu di
kebun untuk diolah menjadi butiran kristal gula di pabrik (GPM Grup, 1995).
Pemanenan tebu yang diterapkan dalam industri gula saat ini adalah sistem tebang
manual, sistem tebang semi mekanis dan sistem tebang mekanis. Kegiatan
pemanenan selalu menjadi fokus perhatian dari manajemen pabrik gula. PG.
Jatitujuh merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam industri gula.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisa biaya pemanenan pada
setiap sistem pemanenan tebu. (2) menganalisa kerugian yang ditimbulkan oleh
tebu tertinggal di kebun dan trash yang terbawa ke pabrik. (3) mempelajari
pengaruh pembebanan akibat lintasan angkutan dan mesin pemanenan tebu di
lahan kering. (4) menentukan sistem pemanenan tebu yang optimal di PG
Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat.
Biaya pemanenan adalah biaya yang diperlukan untuk menebang dan
mengangkut tiap kwintal tebu sesuai dengan sistem pemanenan yang digunakan.
Besarnya biaya dengan sistem tebang manual adalah jumlah keseluruhan biaya
pokok tenaga tebang, ongkos muat tebu, ongkos angkutan, dan biaya lainnya yang
berhubungan dengan pengadaan tenaga tebang. Besarnya biaya dengan sistem
semi mekanis adalah jumlah keseluruhan biaya tenaga tebang dan biaya muat
menggunakan grab loader dan biaya pengangkutan. Biaya muat dihitung dengan
menjumlahkan biaya pemilikan dan biaya operasional grab loader. Besarnya
biaya dengan sistem tebang mekanis adalah biaya total penggunaan mesin-mesin
yang terlibat dalam kegiatan pemanenan ini. Biaya total terdiri dari biaya
pemilikan dan biaya operasional mesin-mesin seperti mesin panen tebu (cane
harvester), traktor angkutan, dan trailer.
Pengukuran jumlah tebu tertinggal, jumlah trash, dan pemadatan tanah
dilakukan pada lahan dengan pemanenan menggunakan sistem tebang manual dan
semi mekanis. Pengukuran pada sistem mekanis tidak dapat dilakukan karena
sistem ini sedang tidak beroperasi pada tahun pelaksanaan penelitian. Jumlah tebu
tertinggal di kebun dihitung dengan banyaknya tunggak dan cako per Ha (kw/Ha).
Jumlah trash (sampah) yang terbawa ke pabrik adalah persentase antara berat
sampel kotoran tebu (kg) dengan berat sampel tebu (kg). Pemadatan tanah
merupakan hasil dari pembebanan akibat lintasan angkutan dan mesin pemanenan
tebu. Pemadatan tanah dinyatakan dengan nilai tahanan penetrasi (kg/cm²), berat
isi tanah (gram/cm³) dan porositas (%). Tahanan penetrasi diukur menggunakan
penetrometer. Pengukuran berat isi tanah dan porositas tanah dilakukan dengan
metode gravimetrik dengan menggunakan sampel tanah dari kebun.
Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk memodelkan
permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan penentuan sistem
pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh. Metode AHP dibagi menjadi tiga
model. Model pertama yaitu pengambilan keputusan oleh empat aktor yang
terlibat dalam kegiatan pemanenan di PG Jatitujuh yaitu bagian Tebang-Angkut,
bagian Riset dan Pengembangan, bagian Mekanisasi dan bagian Pabrikasi. Model
kedua yaitu pengambilan keputusan oleh pelaku tunggal yaitu peneliti. Model
ketiga yaitu pengambilan keputusan oleh lima pelaku yang merupakan gabungan
dari hasil keputusan kedua model sebelumnya. Ketiga model tersebut masing-
masing mempunyai kriteria dan alternatif. Kriteria terdiri dari biaya pemanenan,
jumlah tebu tertinggal, jumlah trash, dan pemadatan tanah. Alternatif terdiri dari
sistem tebang manual, sistem tebang semi mekanis dan sistem tebang mekanis.
Biaya pokok (Rp./kw) pada sistem tebang manual pada masa giling tahun
2007 lebih kecil dibandingkan dengan sistem tebang semi mekanis dan mekanis
yaitu sebesar Rp. 5,329/kw. Biaya pokok pada sistem tebang semi mekanis dan
mekanis adalah sebesar Rp. 6,316/kw dan Rp. 5,568/kw.
Hasil pengukuran tebu tertinggal di kebun menyatakan bahwa mutu
tebangan pada sistem tebang semi mekanis lebih baik dibandingkan dengan sistem
tebang manual berdasarkan jumlah tebu tertinggal di kebun. Rata-rata jumlah cako
dan tunggak yang tertinggal di kebun pada sistem pemanenan semi mekanis
sebesar 0.2 kw/ha dan 3.55 kw/ha. Rata-rata jumlah cako yang tertinggal di kebun
pada sistem pemanenan manual sebesar 0.09 kw/ha tetapi rata-rata jumlah
tunggak yang tertinggal di kebun sebesar 12.4 kw/ha atau lebih tinggi dari batas
yang diizinkan sebesar 9 kw/ha. Tebu tertinggal di kebun maupun di lahan
sebanyak ± 1 kw/ha, biaya kerugian yang dapat disimpan setiap hari setelah
melakukan usaha pengambilan tebu tertinggal dengan luasan 45 ha/hari mencapai
Rp. 16,183,125.
Hasil analisa trash menyatakan bahwa mutu tebangan pada sistem manual
lebih baik dibandingkan dengan sistem semi mekanis berdasarkan jumlah trash
yang terbawa ke pabrik. Rata-rata jumlah trash untuk sistem pemanenan manual
dan semi mekanis sebesar 1.79% dan 3.11%,dan mutu tebangan kedua sistem
pemanenan dinyatakan baik karena trash < 5%. Biaya kerugian akibat trash
terbawa ke penggilingan di pabrik tidak dapat diketahui akibat data lapangan yang
kurang memadai.
Hasil pengukuran pemadatan tanah menunjukkan nilai porositas (%) yang
lebih rendah, nilai tahanan penetrasi (kg/cm²) dan nilai bobot isi tanah (gr/cm³)
lebih tinggi setelah proses tebang baik pada sistem tebang manual maupun
mekanis. Sistem tebang manual menghasilkan pemadatan tanah yang lebih rendah
dibandingkan dengan sistem tebang semi mekanis. Hal ini ditunjukkan oleh nilai
tahanan penetrasi (kg/cm²) dan nilai bobot isi tanah (gr/cm³) yang lebih kecil
dibandingkan dengan sistem tebang semi mekanis. Hal ini ditunjukkan pula oleh
nilai porositas (%) yang lebih besar pada sistem tebang manual.
Berdasarkan hasil analisa metode AHP dengan empat aktor yang berasal
dari PG. Jatitujuh, menghasilkan alternatif sistem tebang manual sebagai prioritas
utama dengan bobot sebesar 0.581. Prioritas kedua dan ketiga ditempati oleh
sistem tebang semi mekanis dan mekanis dengan bobot sebesar 0.283 dan 0.137.
Berdasarkan hasil analisa metode AHP dengan aktor tunggal yaitu peneliti,
menghasilkan alternatif sistem tebang manual sebagai prioritas utama dengan
bobot sebesar 0.467. Prioritas kedua dan ketiga ditempati oleh sistem tebang
mekanis dan semi mekanis dengan bobot sebesar 0.313 dan 0.220. Pengambilan
keputusan oleh peneliti didasarkan atas data kuantitatif yang diperoleh selama
penelitian. Berdasarkan hasil analisa metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
dengan lima aktor yang merupakan gabungan dari pegawai PG. Jatitujuh dan
peneliti, menghasilkan alternatif sistem tebang manual sebagai prioritas utama
dengan bobot sebesar 0.575. Prioritas kedua dan ketiga ditempati oleh sistem
tebang semi mekanis dan mekanis dengan bobot sebesar 0.259 dan 0.166. Dari
hasil tersebut dapat disimpulkan, sistem pemanenan tebu yang optimal di PG.
Jatitujuh adalah sistem tebang manual. Sistem tebang manual dapat dilaksanakan
dengan asumsi jumlah tenaga kerja memadai. Jika tidak sistem tebang semi
mekanis atau mekanis harus dilaksanakan agar pabrik tetap dapat beroperasi.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena hanya atas berkat
dan rahmat-Nya lah penulis dapat meyelesaikan penelitian dengan judul ”Analisa
Sistem Pemanenan Tebu yang Optimal di PG. Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat”.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M.Agr sebagai dosen pembimbing akademik atas
bimbingan, arahan, masukan, kesabaran, dan pengertiannya dalam penyusunan
skripsi ini.
2. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng dan Dr. Ir. Desrial, M.Eng selaku
dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penulisan skripsi.
3. Pimpinan dan karyawan PG. Jatitujuh atas bimbingan selama penulis
melaksanakan penelitian.
4. Gina Agustina, STP atas bimbingan dan tempat tinggal selama penelitian.
5. Bapak, Ibu, Bhakti Haryanto Atmojo, Whisnu Haryanto dan seluruh keluarga
besar atas doa, dorongan, dan dukungannya selama ini.
6. Teman-teman seperjuangan di areal kering penuh debu : Tania, Bayu, Heru,
Malik, Sukris, Ludy, Busan, Pak Farry, Pak Lamto atas kekompakan dan
kebersamaannya selama penelitian.
7. Sahabat-sahabat : Ismi, Ananti, Dara, Tami, Nurul, dan Puspita atas doa,
kesabaran, pengertian dan kebersamaan selama menyelesaikan pendidikan.
8. Teman-teman Teknik Pertanian Angkatan 41 yang telah banyak membantu
penulis dalam menyelesaikan pendidikan.
9. Panji Yudha Prakasa, atas doa dan dukungan yang telah diberikan.
10. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian tulisan ini.
Penulis menyadari akan kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan
skripsi ini. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan.
Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi seluruh
pihak yang memerlukannya.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang
Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu
tanaman yang penting sebagai penghasil gula. Gula sebagai salah satu
kebutuhan pokok masyarakat Indonesia memiliki nilai strategis dalam usaha
menjaga ketahanan pangan. Perkembangan jumlah penduduk yang semakin
meningkat dan berkembangnya industri-industri makanan dan minuman
memerlukan gula sebagai salah satu bahan bakunya. Namun kenaikan
konsumsi gula masyarakat dan keperluan industri ini tidak diimbangi dengan
peningkatan produksi gula dalam negeri. Rendahnya produksi gula di
Indonesia disebabkan oleh lahan yang semakin sempit dengan produktivitas
lahan yang semakin menurun khususnya di pulau Jawa, cuaca yang terkadang
kurang mendukung, menurunnya kemampuan pabrik dalam mengolah tebu
menjadi gula, dan sarana produksi kurang, serta teknik budidaya kurang
sehingga dihasilkan tebu dengan rendemen yang rendah dan biaya produksi
gula yang semakin tinggi (Hadi, 2007).
Pada teknik budidaya tebu mencakup kegiatan pemanenan. Kegiatan
ini menjadi jembatan antara kebun yang menyediakan bahan baku dengan
pabrik yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi. Kegiatan ini hanya
dapat meminimalkan kehilangan hasil gula karena pemanenan dan pengolahan
di pabrik tidak pernah bisa menambah hasil gula yang telah diproduksi di
kebun. Kegiatan pemanenan menggabungkan tiga kegiatan yaitu tebang, muat,
dan angkut. Walaupun kegiatan ini sudah menjadi kegiatan rutin setiap tahun
bagi pabrik gula, namun bukan berarti dalam pelaksanaannya selalu mulus dan
lancar. Untuk itu kegiatan pemanenan selalu menjadi fokus yang mendapat
perhatian lebih dari manajemen pabrik gula.
Pada masa giling 2006, pabrik gula (PG) di Indonesia yang
melaksanakan giling berjumlah 59 buah. Areal tanaman tebu giling tahun
2006 seluas 397,281.60 ha. Jika dibandingkan dengan luas areal tanaman
tahun 2005 seluas 382,354.14 ha berarti mengalami kenaikan seluas 14,924.46
ha. Namun kenaikan luas areal tebu sebesar (3.90%) tidak diimbangi dengan
kenaikan produksi tebu. Produksi tebu tahun 2006 mencapai 30,244.051 ton.
Jika dibandingkan dengan tahun 2005 yang menghasilkan 31,139.969 ton
berarti mengalami penurunan sebesar 895.917 ton atau sebesar 2.88% (Hadi,
2007). Perkembangan produksi tebu dan hablur serta jumlah PG yang giling di
Jawa dan di luar Jawa tahun 2002-2006 dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan produksi tebu dan hablur serta jumlah pabrik gula
yang giling di Jawa dan luar Jawa tahun 2002-2006
Tahun
Wilayah 2002 2003 2004 2005 2006
Giling
Produksi
16.715.495 14.782.288 16.978.751 20.435.639 19.918.387
tebu (ton)
Produksi
hablur 1.097.670 1.024.672 1.206.179 1.389.128 1.455.805
Jawa
(ton)
Jumlah
pabrik 47 47 47 47 47
gula
Produksi
8.777.308 7.842.667 9.764.429 10.704.330 10.325.664
tebu (ton)
Produksi
Luar hablur 661.134 607.158 845.472 855.74 852.169
Jawa (ton)
Jumlah
pabrik 13 12 11 12 12
gula
Produksi
25.492.603 22.624.955 26.743.179 31.139.969 30.244.051
tebu (ton)
Produksi
hablur 1.758.771 1.631.830 2.051.916 2.244.868 2.307.974
Indonesia
(ton)
Jumlah
pabrik 60 59 58 59 59
gula
Sumber: Hadi, 2007
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisa biaya pemanenan pada setiap sistem pemanenan tebu.
2. Menganalisa kerugian yang ditimbulkan oleh tebu tertinggal di kebun dan
trash yang terbawa ke pabrik.
3. Mempelajari pengaruh pembebanan akibat lintasan angkutan dan mesin
pemanenan tebu di lahan kering.
4. Menentukan sistem pemanenan tebu yang optimal di PG Jatitujuh,
Majalengka, Jawa Barat.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Tebu
Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan
semusim yang mempunyai sifat tersendiri, karena di dalam batangnya terdapat
zat gula. Tanaman ini tumbuh optimal di khatulistiwa pada 39o LU-35o LS
dengan suhu 21oC (Sutardjo, 1994). Tanaman ini merupakan salah satu
tanaman penting sebagai penghasil gula karena lebih dari setengah produksi
gula berasal dari tebu.
Tebu merupakan famili graminae yang dapat tumbuh di berbagai
kondisi tanah dan iklim. Menurut Muljana (1989), tanah yang paling cocok
untuk tanaman tebu adalah daerah dataran dengan ketinggian di bawah 500 m
di atas permukaan laut dan mempunyai curah hujan kurang dari 2000 mm per
tahunnya. Lebih baik lagi apabila dipadu dengan keadaan iklim yang
bergantian antara kemarau dan penghujan.
Dalam masa pertumbuhannya tanaman tebu membutuhkan banyak air,
sedangkan ketika tebu akan menghadapi waktu masak menghendaki keadaan
kering sehingga pertumbuhannya terhenti. Apabila hujan turun terus menerus
akan menyebabkan tanaman tebu rendah rendemennya. Jadi jelas bahwa tebu
selain memerlukan daerah-daerah yang beriklim panas, juga diperlukan
adanya perbedaan yang nyata antara musin hujan dan musim kemarau
(Notojoewono, 1967).
B. Pemanenan Tebu
Menurut Notojoewono (1967), pemanenan adalah suatu kegiatan
penyiapan tebu untuk diangkut ke pabrik, dimana kegiatannya terdiri dari
penebangan, pembersihan dari segala kotoran dan penyiapan tebu ke tempat
pengangkutan. GPM Grup (1995) menyatakan bahwa pemanenan tebu dapat
didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan memungut hasil gula yang masih
potensial berada pada bagian tanaman tebu di kebun untuk diolah menjadi
butiran kristal gula di pabrik. Implikasi dari makna tersebut adalah:
1. Orang yang terlibat dalam kegiatan pemanenan akan selalu ingat dan hati-
hati bahwa barang yang ditangani adalah gula yang nilai ekonominya
tinggi.
2. Setiap elemen dari bagian pemanenan harus mengerti dan sadar bahwa
bagian tanaman yang mengandung gula yang harus dikirim sedangkan
yang tidak harus ditinggalkan.
Pada pelaksanaan proses tebang, jika dilihat dari kondisi tebu, terdapat
dua macam metode yaitu tebu hijau (green cane) dan tebu bakar (burn cane).
PG. Jatitujuh menerapkan metode tebu hijau. Keunggulan dari sistem ini
adalah kesegaran tebu relatif terjamin, resiko kehilangan pol in cane relatif
kecil. Kekurangan pada penerapan sistem tebang ini yaitu kandungan sampah
yang dibawa ke pabrik relatif banyak, tebu tertinggal di lahan juga lebih
banyak, produktivitas tenaga kerja lebih kecil, dan memerlukan pengawasan
yang ketat baik dalam tebang maupun angkut.
Sistem pemanenan ialah apakah tebu akan ditebang secara manual atau
mekanis atau kedua-duanya; tebu akan ditebang sebagai tebu utuh atau
dipotong-potong (chopped cane); dipanen sebagai tebu segar atau dibakar.
Setiap kombinasi sistem yang digunakan memerlukan persiapan, perlakuan
dan penyediaan sarana dan prasarana yang berbeda (Mochtar, et. al (1989)
dalam Rahmawati (1994)). Terdapat tiga sistem penebangan di PG Jatitujuh,
yaitu:
1. Sistem tebang manual
Sistem pemanenan dimana pelaksanaan seluruh kegiatan sejak tebang,
pembersihan klaras, pengikatan dan muat tebu hasil tebangan dilakukan
seluruhnya oleh tenaga manusia. Sedangkan pengangkutan dilakukan
menggunakan truk-truk serta pembongkarannya dilakukan secara mekanis
di pabrik.
2. Sistem tebang semi mekanis
Sistem pemanenan dimana pelaksanaan seluruh kegiatan sejak tebang,
pembersihan klaras dan pengikatan batang-batang tebu tebangan dilakukan
oleh tenaga manusia sedangkan muat, angkut dan bongkarnya di pabrik
dilakukan secara mekanis.
3. Sistem tebang mekanis
Sistem pemanenan dimana pelaksanaan seluruh kegiatan sejak tebang,
muat, angkut dan bongkarnya di pabrik dilakukan secara mekanis.
Pada penebangan secara manual, pekerjaan yang dilakukan oleh
penebang adalah sebagai berikut:
1. Batang tanaman tebu (Gambar 1) dipotong hingga pandes atau hingga
tunggak (sisa batang di tanah, lihat Gambar 1a) maksimal 5 cm dari tanah.
2. Batang tebu dibersihkan dari klaras, akar dan kotoran lain yang melekat
pada batang tebu.
3. Pemotongan pucuk harus sesuai standar yaitu pada daun kelima ( ± 30 cm
dari atas). Apabila pemotongan terlalu panjang akan menghasilkan cako
(tebu lonjoran) (lihat Gambar 1b).
4. Menyisihkan pucuk bersama klaras dan kotoran lain dalam satu lajur dan
membuang sogolan (tebu muda).
5. Meletakkan tebu yang telah ditebang pada lajur yang bersih dari kotoran
dan kemudian diikat dengan sayatan kulit tebu atau bambu dengan berat
tebangan 40-50 kg per ikatnya.
Pucuk
tebu
Tunggak
> 30 cm
Tanah
(a) Cako
(b)
E. Pemadatan Tanah
Tanah merupakan suatu sistem yang dinamis yang tersusun dari empat
bahan utama, yaitu bahan mineral, bahan organik, air, dan udara. Bahan-bahan
penyusun tanah tersebut masing-masing berbeda komposisinya untuk setiap
jenis tanah, kadar air dan perlakuan terhadap tanah. Pada tanah lapis atas yang
baik untuk pertumbuhan tanaman lahan kering (bukan sawah) umumnya
mengandung 45% (volume) bahan mineral, 5% bahan organik, 20-30% udara,
dan 20-30% air (Hardjowigeno. 1989). Koolen dan Kuiper (1983) menyatakan
bahwa pada tanah-tanah pertanian, sifat mekanis tanah yang terpenting adalah
reaksi tanah terhadap gaya-gaya yang bekerja pada tanah dimana salah satu
bentuknya yang dapat diamati adalah perubahan tingkat kepadatan tanah.
Pemadatan tanah dinyatakan sebagai menurunnya volume atau naiknya
berat isi suatu massa tanah. Menurut McKyes (1985) pemadatan tanah adalah
perubahan naik merapatnya partikel-partikel padatan tanah serta menurunnya
porositas tanah. Williford (1980) menyatakan bahwa perubahan ciri fisik
tanah, dimana tanah menjadi lebih padat, adalah karena hancurnya kerangka
tanah oleh kerja gaya mekanis pada tanah. Perubahan tingkat kepadatan tanah
dapat dinyatakan dengan menggunakan parameter seperti berat isi, porositas
dan tahanan penetrasi. Tahanan penetrasi dapat diukur menggunakan
penetrometer.
Pemadatan tanah ditentukan oleh faktor mesin yang melintasi tanah
dan faktor tanah itu sendiri. Faktor mesin dilihat dari intensitas lintasan mesin
pertanian yang ditunjukkan oleh umur penggunaan lahan (kategori lahan
replanting cane atau ratoon cane) dalam satu siklus musim. Faktor tanah
meliputi kadar air tanah dan kepadatan tanah awal. Kondisi akhir sebagai hasil
proses pemadatan tanah diukur dengan besaran berat isi tanah (gr/cm³),
porositas (%), dan tahanan penetrasi tanah (kg/cm²). Pemadatan tanah
menurunkan aerasi tanah sehingga menghambat metabolisme perakaran
tanaman, meningkatkan keteguhan tanah sehingga menghambat
perkembangan akar, menurunkan permeabilitas tanah sehingga meningkatkan
aliran permukaan dan erosi.
Objectives
Alternatives
N 1,2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
RI 0 0.58 0.9 1.12 1.24 1.3 1.41 1.45 1.49 1.51
G. Penelitian Terdahulu
Ada beberapa metode yang dapat dipakai untuk dasar pengambilan
keputusan, salah satunya adalah metode Bayes. Dalam metode ini
diperhitungkan juga adanya unsur peluang atau ketidakpastiaan dan alternatif
yang terpilih merupakan alternatif yang dapat memberikan persentase
kerugiaan terkecil.
Zulichah (1990) menggunakan metode Bayes untuk menganalisis
beberapa pelaksanaan alternatif tebang angkut dalam usaha pengendalian
penyediaan bahan baku di Pabrik Gula Kebon Agung, Malang. Pelaksanaan
tebang angkut pabrik diprioritaskan karena mempunyai tingkat kerugian
terkecil, dimana tiap harinya dibutuhkan 1700 pekerja, 229 truk, dan biaya Rp.
18,840,385.88. Namun dalam pemilihan alternatif tersebut belum
diperhitungkan susut tebu akibat tercecer di kebun, trash yang terbawa ke
pabrik dan pemadatan tanah hasil pembebanan akibat lintasan alat angkutan
dan mesin panen tebu.
III. METODE PENELITIAN
B. Asumsi
1. Varietas tanaman tebu, bentuk lahan, dan jenis tanah tidak
dipertimbangkan.
2. Biaya pada kegiatan pemanenan adalah yang berlaku pada tahun
pelaksanaan penelitian.
3. Metode tebang yang dianalisis hanya metode tebu hijau (green cane).
4. Jenis golok tebang tidak dipertimbangkan dalam proses tebang tebu.
Mulai
Identifikasi Masalah
Pengambilan Data
Pengolahan Data
1. Waktu Kerja
2. Analisa biaya
3. Trash dan Tebu
Tertinggal
4. Pemadatan Tanah
Analytical Hierarchy
Process (AHP)
Hasil Pemilihan
Sistem Pemanenan
Tebu yang Optimal
Selesai
Kap (kw/hari)
Effisiensi pemanenan = Ksp (kw/hari) x 100% …..…(2)
keterangan :
Kap : Kapasitas aktual pemanenan (kw/hari)
Ksp : Kapasitas standar pemanenan (kw/hari) dengan rata-rata 8 jam
kerja
b. Tebu Tertinggal dan Trash
Pengambilan sampel tebu tertinggal dilakukan pada petak-
petak contoh, dilakukan dengan menganalisa tunggak dan cako (batang
yang tertinggal di kebun). Pada pengambilan sampel tunggak, petak
contoh yang diambil mempunyai luasan 5 juring x 15 m = 75 m. Total
panjang baris tebu/ha adalah 7400 m. Pada pengambilan sampel cako,
petak contoh yang diambil mempunyai luasan 5 juring x 1.35 m x 15
m = 101.25 m². Sampel tunggak dan cako kemudian ditimbang dengan
menggunakan timbangan.
Persamaan yang digunakan untuk menghitung banyaknya
tunggak (kw/ha) dan cako (kw/ha) yang berada di kebun adalah :
10,000 m ² ….…..……(4)
Cako = Banyaknya cako (kw) x
101.25 m²
c. Pemadatan Tanah
Tingkat kepadatan tanah akibat penggunaan alat dan mesin
pemanenan dapat diketahui melalui pengukuran kondisi tanah.
Parameter yang digunakan adalah tahanan penetrasi (kg/cm²), berat isi
tanah (gram/cm³), porositas tanah (%) dan kadar ait tanah (%).
Pengukuran tingkat kepadatan tanah dilakukan melalui penelitian
lapangan dan pengujian laboratorium. Data tingkat pemadatan tanah
yang ingin diketahui adalah sebelum dan sesudah kegiatan pemanenan.
1) Penelitian Lapangan
Pengambilan sampel tanah untuk pengukuran berat isi
tanah, porositas dan kadar air tanah dilakukan pada kedalaman 0-
60 cm dengan selang kedalaman 10 cm dengan tiga kali ulangan
pada tiap petak contoh. Pengukuran tahanan penetrasi dilakukan di
antara barisan tebu pada kedalaman 0-60 cm dengan selang
kedalaman 10 cm dengan enam kali ulangan dari setiap petak
kebun, tiga sebelum tebang dan tiga kali setelah tebang. Tahanan
penetrasi diukur dengan menggunakan alat penetrometer. Nilai
tahanan penetrasi yang ditunjukkan penetrometer kemudian
dikonversi dengan menggunakan rumus (6) (Asep, 1990).
((Nr) x 0.384) + Bp
Tahanan penetrasi (kg/cm²) = ……(6)
Lcp
keterangan :
Nr = Nilai yang terbaca di penetrometer
Bp = Berat penetrometer (3.8 kg)
Lcp = Luas cone penetrometer ( 3.23 cm²)
2) Pengujian Laboratorium
Pengukuran kadar air tanah dilakukan dengan metode
gravimetrik dengan menggunakan contoh tanah yang sama dengan
tanah untuk pengukuran berat isi tanah dan porositas tanah.
Pengujian dilakukan terhadap sampel tanah pada kedalaman 0-10,
10-20, 20-30, 30-40, 50-60 cm. Metode gravimetrik dilakukan
dengan mengeringkan sampel tanah pada oven selama minimal 24
jam pada suhu 105ºC dan kemudian ditimbang berat sampel
tanahnya. Besarnya kadar air tanah dihitung berdasarkan
persamaan (7) (Asep, 1990):
(Wa-Wb)
Kab = …………………………………..…(7)
Wa
keterangan :
Kab = Kadar air tanah basis basah (%)
Wa = Berat contoh tanah basah (gram)
Wb = Berat contoh tanah kering (gram)
Dengan mengukur volume ring sampel dan berat kering
tanah besarnya berat isi tanah/bulk density (gram/cm³) dapat
dihitung dengan persamaan (8) (Asep,1990).
D = (P − S)/ …….......……………………………….(10)
keterangan:
P = Harga pembelian mesin
S = Nilai sisa (10% P)
N = Umur ekonomi mesin
2) Bunga modal (I) yang disajikan sebagai:
= r x P……………………...…………………..…………(11)
keterangan :
r = Tingkat bunga modal
Jika tidak ada data lokal/perusahaan, dipakai perkiraan r =
15%/tahun berdasarkan tingkat bunga modal pada tahun penelitian.
3) Pajak (T) dan Asuransi (A), menggunakan data perusahaan. Jika
tidak ada data lokal/perusahaan, dipakai perkiraan T dan A =
5%/tahun.
4) Gudang (H) yang disajikan sebagai (Ciptohadijoyo (1995) dalam
Haryanto (2001)):
= h x P……………………………………...……….(12)
keterangan :
h = Nilai gudang yang besarnya 0.5% x P (RNAM (1983) dalam
Haryanto (2001)).
b. Komponen biaya tidak tetap per jam operasi terdiri dari biaya untuk
bahan bakar, oli, grease, penggantian ban, perawatan dan perbaikan,
dan upah (gaji) operator.
1) Biaya bahan bakar (F) menggunakan data perusahaan, bila tidak
terdapat data yang memadai dapat digunakan pendekatan berikut:
0.2 lt
F= x Pm x Fp ……..……………….(13)
Hp x jam
keterangan :
Pm = Daya mesin (Hp)
Fp = Harga bahan bakar (Rp)
2) Biaya oli (O) menggunakan data perusahaan. Bila tidak ada, dapat
didekati dengan persamaan berikut:
0.4 lt
O= x Pm x Op ….……………….(14)
Hp x 100 jam
m
O= xP ….………………………………...(16)
100
keterangan :
m adalah nilai perawatan dan perbaikan yang nilainya 5% (RNAM
(1983) dalam Haryanto (2001)).
5) Ban
N x Tp
Ban = ….…………………………………….(17)
Nt
Keterangan :
N = Jumlah ban (buah),
Tp = Harga ban (Rp) dan
Nt = Umur pakai ban (jam).
6) Operator dan pembantu operator mengikuti harga lokal
(perusahaan).
c. Biaya Pokok (BP)
Menurut Pramudya dan Dewi (1992), biaya pokok adalah biaya
yang diperlukan untuk memproduksi tiap unit produk yang akan
dihasilkan.
BT BTT
BP = + ….………………………..(18)
kx k
Keterangan :
BP = Biaya pokok (Rp/unit produk)
BT = Biaya tetap (Rp/tahun)
BTT = Biaya tidak tetap (Rp/jam atau Rp/unit produk)
x = Perkiraan jam kerja (jam/tahun atau unit produk/jam)
k = Kapasitas mesin (unit produk/jam)
2. Pengambilan Keputusan
Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk
memodelkan permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan
penentuan kriteria dalam penentuan sistem pemanenan tebu yang optimal.
Kriteria berupa kriteria biaya pemanenan, jumlah tebu tertinggal dan trash
serta pemadatan tanah. Pengolahan data kuesioner menggunakan Expert
Choice 2000. Model sistem hirarki keputusan dapat dilihat pada Gambar 5.
a. Perbandingan Berpasangan
Di dalam menentukan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-
elemen keputusan yang ada pada setiap tingkat hierarki keputusan,
penilaian pendapat (judgement) dilakukan dengan menggunakan fungsi
berpikir yang dikombinasikan dengan intuisi, perasaan dan
penginderaan. Penilaian pendapat ini dilakukan dengan perbandingan
berpasangan (pairwise comparison), yaitu dengan membandingkan
setiap elemen dengan elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki
secara berpasangan sehingga didapat nilai kepentingan elemen. Dalam
membandingkan setiap elemen digunakan skala penilaian yang telah
ditentukan.
b. Matriks Pendapat Individu
Jika C1, C2, ….., Cn adalah merupakan set elemen suatu
tingkat keputusan dalam hirarki, maka kuantifikasi pendapat dari hasil
komparasi berpasangan tiap elemen terhadap lainnya akan membentuk
matriks A yang berukuran n x n. Misalkan suatu Ci dibandingkan
dengan Cj maka aij merupakan nilai matriks pendapat hasil komparasi
yang mencerminkan nilai tingkat kepentingan Ci terhadap Cj.
Sedangkan untuk penentuan nilai matriks aij = 1/ aij, yaitu nilai
kebalikan dari matriks aij. Untuk i = j, maka nilai matriks aij = aji = 1,
karena perbandingan elemen terhadap elemen itu sendiri = 1.
Formulasi matriks A yang berukuran n x n dengan elemen C1 ,
C2,.., Cn untuk i,j = 1,2,…n adalah
C1 C2 . . Cn
C1 a11 a12 . . a1n
A=(aij)= C2 1/a12 a22 . . a2n
. . . . . .
. . . . . .
Cn 1/a1n 1/a2n . . ann
keterangan:
gij = Elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i kolom ke-j
aij = Elemen matriks pendapat individu pada baris ke-i kolom ke-j
untuk matriks pendapat individu dengan Rasio Konsistensi
(CR) yang memenuhi persyaratan ke-k
k = 1,2,….,m
m = Jumlah matriks pendapat individu dengan Rasio Konsistensi
(CR) yang memenuhi persyaratan.
d. Pengolahan Horizontal
Pengolahan horizontal digunakan untuk menyusun prioritas
elemen pada setiap tingkat hierarki keputusan. Tahapannya menurut
Saaty (1983) dalam Marimin (2004) adalah sebagai berikut:
1) Perkalian baris (z) dengan rumus:
= ∑ aij………………………………………....(20)
!
(i,j = 1,2,….n)
2) Perhitungan vektor prioritas (VP) dengan rumus:
&
∑&
'() #$%
VP = !
……………………………….…...…(21)
∑! !
+() ∑*() #$%
1
, -./0 = ∑1 aij…………….……………..………(22)
Untuk I = 1,2,3,…n
VA = VB = vektor antara
4) Perhitungan indeks konsistensi (CI) dengan rumus:
CI =
λ4#5678
…………...………………………………(23)
87
Untuk i = 1,2,3,…r
j = 1,2,3,…s
Chij = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-j tingkat ke-i terhadap
elemen ke-t pada tingkat di atasnya (i-1), yang diperoleh
dari pengolahan horisontal.
VWt(i-t) = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke-(i-1)
terhadap sasaran utama yang diperoleh dari hasil
pengolahan vertikal.
r = Jumlah elemen pada tingkat ke-i
s = Jumlah elemen pada tingkat ke-(i-1)
Jika dalam hirarki terdapat dua faktor yang tidak berhubungan,
keduanya tidak saling mempengaruhi, maka nilai prioritas sama
dengan nol. Vektor prioritas vertikal pada tingkat ke-i (CV)
didefinisikan sebagai :
CV = (CVij), untuk j = 1, 2,3,…..s
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 5. Luas areal dan tata guna lahan PG Jatitujuh tahun 2007
No. Pemanfaatan Lahan Luas (ha)
1. Emplasemen 135.40
2. Jalan 682.40
3. Kantong air 479.50
4. Pertamina 66.50
5. Hortikultura dan penghijauan 253.00
6. Sungai/daerah genangan 1,794.76
7. Kebun produksi 8,200.00
Total 11,921.56
Sumber : Risbang PG Jatitujuh, 2008
B. Pemanenan Tebu
Pemanenan tebu dalam industri gula dikenal dengan tiga sistem tebang
antara lain sistem manual, sistem semi mekanis, dan sistem mekanis. PG.
Jatitujuh menerapkan pemanenan dengan sistem manual (93%) dan sistem
semi mekanis (7%). Pemanenan secara manual membutuhkan banyak tenaga
kerja karena seluruh kegiatan tebang dan muat menggunakan tenaga manusia.
Pemenuhan tenaga tebang pada PG. Jatitujuh dipenuhi oleh tenaga tebang
lokal dan impor. Tenaga tebang lokal bertempat tinggal tidak jauh dari pabrik
dan tidak memerlukan pemondokan yang harus disediakan oleh pabrik.
Tenaga tebang yang digunakan terdiri dari pria dan wanita. Tenaga tebang
impor berasal dari luar daerah sehingga memerlukan pemondokan selama
bekerja pada musim giling. Tenaga tebang impor hanya terdiri dari laki-laki.
Jumlah tenaga tebang yang diperlukan adalah ± 4500 orang pada saat
kapasitas giling maksimum yaitu sebesar 45000 kw tebu. Tiap kelompok
tebang dipimpin oleh seorang mandor tebang. Mandor tebang bersifat
musiman dan ditunjuk berdasarkan kesepakatan antara sinder tebang dan
kepala tebang angkut atas persetujuan kepala tanaman.
Pada PG. Jatitujuh, berdasarkan hasil pengamatan kapasitas kerja rata-
rata tenaga tebang lokal laki-laki adalah 10.90 kw/orang/hari dan tenaga
wanita adalah 8.9 kw/orang/hari. Kapasitas kerja rata-rata tenaga tebang impor
adalah 12.01 kw/orang/hari. Kapasitas tebang standar untuk laki-laki adalah
13 kw/orang/hari dan wanita adalah 10 kw/orang/hari dengan rata-rata bekeja
selama 8 jam. Effisiensi pemanenan dengan tenaga tebang lokal laki-laki
adalah 84% dan tenaga tebang wanita adalah 89%. Effisiensi pemanenan yang
lebih tinggi didapat dari tenaga tebang impor yaitu sebesar 92%. Hal ini terjadi
karena tenaga tebang impor memanfaatkan waktu seoptimal mungkin yang
disediakan oleh pihak pabrik untuk mendapatkan penghasilan yang maksimal.
Hasil pengamatan kerja tenaga tebang lokal laki-laki, wanita dan tenaga
tebang impor terdapat pada Lampiran 4, 5 dan 6. Efisiensi pemanenan dapat
ditingkatkan dengan pengawasan yang ketat pada setiap tahap pemanenan baik
tebang maupun muat.
Tenaga tebang laki-laki baik lokal maupun impor biasanya
mengerjakan pemanenan dengan sistem tebang manual dimana seluruh proses
pengerjaannya dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia. Tenaga
tebang wanita mengerjakan pemanenan dengan sistem tebang semi mekanis
dimana seluruh proses tebangnya dilakukan oleh tenaga manusia dan proses
muat tebu ke angkutan dilakukan oleh alat muat yaitu grab loader.
Pengamatan kapasitas kerja proses muat menggunakan grab loader
Cameco SP 1800. Berdasarkan hasil pengukuran, kapasitas kerja rata-rata
grab loader dalam memuat tebu ke angkutan di PG. Jatitujuh adalah 1.63
kw/menit. Namun berdasarkan hasil pengukuran saat praktek lapangan tahun
2007 di PT. GPM kapasitas kerja rata-rata grab loader tipe yang sama adalah
9.2 kw/menit. Hasil pengukuran kapasitas pada grab loader terdapat pada
Lampiran 7.
Perbedaan kapasitas kerja antara dua pabrik gula ini dapat terjadi
karena perbedaan keahlian operator dan sistem kerja dalam proses muat yang
berbeda. Di PG. Jatitujuh, truk angkutan hanya menunggu di suatu titik di
lahan dan grab loader bolak balik memuat tebu menuju tempat truk
menunggu. Hal ini menyebabkan waktu yang diperlukan akan relatif lebih
lama. Pada Gambar 6, truk hanya menunggu di pinggir lahan dan grab loader
bolak balik memuat tebu ke pinggir jalan. Truk tidak dapat masuk dikarenakan
kondisi pinggir lahan yang belum dipersiapkan agar truk angkutan bisa masuk
ke lahan. Di PT. GPM, sistem kerja dalam memuat tebu adalah grab loader
dan truk angkutan masuk ke lahan dengan beriringan seperti yang terlihat di
Gambar 7. Dengan sistem kerja yang seperti ini prosesnya akan lebih cepat
daripada grab loader yang harus bolak balik memuat tebu ke tempat yang
sama. Keahlian operator, penyiapan kondisi lahan dan penerapan sistem kerja
yang tepat dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas tebu yang diangkut ke
cane yard.
Jumlah tebu tertinggal berupa cako dan tunggak yang diizinkan oleh
pabrik sebanyak 6 kw/ha dan 9 kw/ha. Berdasarkan hasil analisa, rata-rata
jumlah cako dan tunggak yang tertinggal di kebun pada sistem pemanenan
semi mekanis sebesar 0.2 kw/ha dan 3.55 kw/ha, lebih rendah dari batas yang
diizinkan. Hal ini menunjukkan bahwa mutu tebangan pada sistem semi
mekanis baik. Berdasarkan hasil analisa, rata-rata jumlah cako yang tertinggal
di kebun pada sistem pemanenan manual sebesar 0.09 kw/ha, lebih rendah dari
batas yang diizinkan. Namun rata-rata jumlah tunggak yang tertinggal di
kebun sebesar 12.4 kw/ha atau melebihi batas yang diizinkan. Hal ini dapat
disebabkan pengawasan yang kurang ketat oleh mandor dan sinder tebang
mengingat luasan tebu yang lebih luas bila dibandingkan dengan sistem
pemanenan semi mekanis. Selain pengawasan, diperlukan usaha untuk
memungut tebu yang tercecer baik di kebun maupun di jalan agar kehilangan
akibat tebu tertinggal dapat diminimalkan. Tebu tertinggal di kebun maupun
di lahan sebanyak ± 1 kw/ha, biaya kerugian yang dapat disimpan setiap hari
setelah melakukan usaha pengambilan tebu tertinggal dengan luasan 45
ha/hari mencapai Rp. 16,183,125. Analisa biaya pengambilan cako dan
ceceran disajikan dalam Lampiran 19.
Jumlah trash yang diizinkan adalah 5% dari kwintal tebu yang terbawa
ke pabrik. Berdasarkan hasil analisa, rata-rata jumlah trash untuk sistem
pemanenan manual dan semi mekanis sebesar 1.79% dan 3.11%, mutu
tebangan dinyatakan baik karena trash lebih rendah dari batas yang diizinkan.
Banyaknya kandungan trash yang terbawa oleh tebu ke pabrik dipengaruhi
oleh sifat-sifat morfologi dari varietas tebu, kondisi cuaca, keadaan gulma,
tinggi pemotongan pucuk, metode pemanenan yang digunakan (tebu hijau
atau tebu bakar) dan alat pemanenan yang digunakan (manual atau mekanis).
Trash yang terbawa ke penggilingan akan mengurangi rendemen yang
dihasilkan. Setiap kandungan trash sebesar 10% akan mengurangi rendemen
sebesar 1% (Anonim, 1983 dalam Pramudya (1989)). Karena dalam penelitian
tidak dapat dilakukan analisa kerugian di pabrik akibat trash yang terikut ke
penggilingan, maka tidak dapat diketahui seberapa biaya kerugiannya.
Berdasarkan hasil wawancara, bila dilihat komponen yang tertinggal,
maka tunggak yang tertinggal pada pemanenan dengan cara mekanis lebih
rendah. Hal ini terjadi karena dengan mesin panen tebu mekanis, pemotongan
batang tebu dapat dilakukan serendah mungkin (pandes), sehingga tunggak
yang tertinggal akan rendah. Kandungan trash yang terbawa dengan
menggunakan mesin panen tebu jumlahnya cukup tinggi. Hal ini dikarenakan
faktor teknis seperti tinggi tanaman tebu yang rata dan banyak terdapat sarang
rayap di lahan PG. Jatitujuh. Kandungan trash yang terbawa terutama pucuk
dan tanah. Namun karena sistem tebang mekanis tidak dilaksanakan sehingga
tidak dapat dilakukan analisa tunggak, cako dan trash pada sistem ini.
Pada tebang secara manual, untuk memotong batang tebu yang rendah
diperlukan posisi badan yang membungkuk. Karena pekerjaan ini dilakukan
berulang-ulang, maka lama kelamaan, ketepatan memotong akan cenderung
berkurang hingga banyak tunggak yang tertinggal akan meningkat. Namun
jumlah pucuk dan batang tertinggal (cako) yang terjadi pada pemanenan
secara manual lebih rendah daripada pemanenan secara mekanis.
James (2004) menyatakan bahwa aplikasi mekanisasi pada kegiatan
pemuatan dapat mengurangi kebutuhan tenaga kerja hingga 50% apabila
dibandingkan dengan muat manual, tetapi muat tebu secara mekanis dapat
meningkatkan nilai dari extraneous matter (EM) atau trash atau segala sesuatu
yang tidak mengandung gula seperti klaras, daun, dan akar. Pada kegiatan
muat tebu manual dapat dihindari terikutnya sampah, lumpur atau kotoran.
Sistem pemanenan akan mempengaruhi besarnya susut yang terjadi.
Pemanenan dengan tenaga manusia sebenarnya mempunyai kemungkinan
untuk menebang batang tebu pada bagian yang tepat. Tetapi untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan memerlukan sistem pengawasan yang
ketat. Sedangkan ketepatan pemotongan batang tebu dengan menggunakan
mesin panen tebu mekanis banyak ditentukan oleh keadaan lahan serta
keadaan tanaman tebu itu sendiri saat dipanen. Keadaan tanah yang relatif
seragam dan sedikitnya jumlah tebu yang rebah akan banyak membantu usaha
pengurangan susut yang terjadi saat pemanenan (Pramudya, 1989).
Penebang dibayarkan upahnya berdasarkan kwintal tebu yang
dihasilkan selama satu hari ditambah dengan premi-premi. Daftar upah dalam
surat perjanjian yang ditetapkan oleh pihak perusahaan disebutkan mengenai
premi yang dilakukan guna meningkatkan jumlah dan mutu tebangan tebu.
Premi tersebut adalah premi mutu hasil tebangan, antara lain memotong tebu
rata tanah, bersih dari klaras dan daun, dan tidak banyak tebu tertinggal.
Dalam pelaksanaannya premi tersebut dijadikan satu pembayarannya,
termasuk juga premi tebu roboh. Untuk meningkatkan mutu dan hasil
tebangan sehingga penebang mendapat upah yang lebih baik, maka sebaiknya
pemberian tiap premi dipisahkan sehingga penebang mengetahui bahwa jika
pekerjaan yang dilakukannya baik, upah yang mereka terima akan baik pula.
Hal ini akan dapat meningkatkan mutu tebangan dan mengurangi susut tebu
akibat tebu tertinggal di kebun.
Pengarahan dan pemberian premi yang diberikan oleh pihak pabrik
dapat meningkatkan mutu dan hasil tebangan. Jumlah premi maksimal yang
dapat diberikan kepada para penebang didapatkan dari perhitungan biaya,
namun perlu diperhatikan aspek sosial dari para penebang tersebut.
Secara ekonomi dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi premi yang
diberikan maka jumlah tebu tertinggal di kebun dan jumlah trash yang
terbawa ke pabrik akan tidak ada. Hal tersebut pada kenyataannya tidak dapat
dilakukan karena yang melakukan penebangan adalah manusia dimana banyak
faktor yang mempengaruhi pekerjaannya. Faktor tersebut antara lain adalah
faktor cuaca, kondisi fisik penebang dan budaya masyarakat setempat.
Pemberian premi yang tinggi memang merangsang para penebang untuk
bekerja dengan baik, namun bukan berarti semakin tinggi premi yang
diberikan semakin tinggi pula tebu tertinggal di kebun dan trash yang terbawa
ke pabrik dapat dikurangi.
E. Pemadatan Tanah
Pada penelitian ini, pemadatan tanah akibat lalu lintas alat dan mesin
pertanian ditunjukkan oleh perubahan nilai tahanan penetrasi (kg/cm²), berat
isi tanah (gram/cm³) dan porositas (%). Pengukuran tahanan penetrasi
dilakukan dengan menggunakan penetrometer tipe tekan dengan luasan cone
cone 3.23 cm². Data hasil pengukuran tahanan penetrasi pada status tanaman
ratoon II dan III diperlihatkan pada Lampiran 20. Rata-rata hasil pengukuran
tahanan penetrasi disajikan dalam Tabel 9.
10
sebelum tebang semi
mekanis
5
setelah tebang semi
0 mekanis
0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60
Kedalaman (cm)
25 sebelum
tebang
Tahanan Penetrasi (kg/cm²)
manual
20 setelah tebang
manual
15
sebelum
tebang semi
10 mekanis
setelah tebang
semi mekanis
5
0
0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60
Kedalaman (cm)
Gambar 9. Hubungan nilai tahanan penetrasi tanah pada Ratoon III dengan
kedalaman tanah
Pada Gambar 8 dan 9 terlihat bahwa nilai tahanan penetrasi tanah pada
lahan sebelum ditebang lebih kecil daripada lahan setelah tebang. Hal ini
menunjukkan bahwa intensitas penggunaan alat dan mesin yang digunakan
dalam pemanenan berpengaruh terhadap pemadatan tanah.
Berdasarkan Tabel 9, rata-rata selisih tahanan penetrasi antara sebelum
dan sesudah tebang manual (3.17 kg/cm²) lebih kecil dibandingkan tebang
semi mekanis (3.39 kg/cm²) pada tanaman ratoon II. Berdasarkan Tabel 9,
rata-rata selisih tahanan penetrasi antara sebelum dan sesudah tebang manual
(2.38 kg/cm²) lebih kecil dibandingkan tebang semi mekanis (4.32 kg/cm²)
pada tanaman ratoon III. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem tebang
manual menghasilkan tahanan penetrasi yang lebih kecil dibandingkan dengan
sistem tebang semi mekanis. Hal ini terjadi karena pada sistem tebang manual
(Gambar 10) yang beroperasi hanya tenaga kerja dan truk angkutan tebu ke
pabrik (± 3000 kg).
Pada sistem tebang semi mekanis (Gambar 11), selain tenaga kerja,
alat dan mesin yang beroperasi alat muat tebu (grab loader) dan truk angkutan
tebu. Berat grab loader merk Vanguard tipe V1600 adalah 6350 kg.
Tebang manual Muat mekanis
Gambar 11. Sistem tebang semi mekanis
1.6
sebelum tebang
1.4 manual
Berat Isi Tanah (gr/cm³)
0.2
0
0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60
Kedalaman (cm)
Gambar 14. Hubungan nilai berat isi tanah (gr/cm³) pada Ratoon III dengan
kedalaman tanah
Pada Gambar 13 nilai berat isi tanah pada lahan sebelum ditebang
lebih kecil daripada lahan setelah tebang. Berdasarkan Tabel 15, rata-rata
berat isi tanah antara sebelum (0.98 gram/cm³) dan sesudah tebang manual
lebih kecil dibandingkan tebang semi mekanis (1.25 gram/cm³) pada tanaman
ratoon II. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas penggunaan alat dan mesin
yang digunakan dalam pemanenan berpengaruh terhadap berat isi tanah.
Pada Gambar 14, nilai berat isi tanah pada setiap kedalaman tidak
mencerminkan bahwa nilai berat isi tanah sebelum tebang lebih kecil daripada
setelah tebang. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi lahan,
jenis tanah, kandungam liat dan kandungan bahan organik di setiap kedalaman
berbeda. Berdasarkan Tabel 10, rata-rata selisih berat isi tanah antara sebelum
dan sesudah tebang manual (0.99 gram/cm³) lebih besar dibandingkan tebang
semi mekanis (0.94 gram/cm³) pada tanaman ratoon III.
Dengan diketahui bahwa nilai tahanan penetrasi pada keadaan sebelum
tebang lebih kecil bila dibandingkan dengan setelah tebang, maka dapat
disimpulkan bahwa berat isi tanah sebelum tebang lebih kecil daripada setelah
tebang. Menurut Trouse dan Humbert (1961) dalam Pelawi (1999), makin
sering menggunakan sistem mekanis untuk panen tebu maka makin
meningkatkan berat isi tanah yang dihasilkan.
Data hasil pengukuran porositas tanah (%) pada status tanaman ratoon
II dan III disajikan dalam Lampiran 22. Rata-rata hasil pengukuran porositas
(%) ditunjukkan oleh Tabel 11 di bawah ini.
0.8
sebelum tebang
0.7 manual
0.6 setelah tebang
Porositas Tanah (%)
manual
0.5
sebelum tebang
0.4 semi mekanis
0.3 setelah tebang
0.2 semi mekanis
0.1
0
0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60
Axis Title
Porositas (%)
manual
0.60
0.58 Sebelum
0.56 tebang semi
mekanis
0.54
Setelah tebang
0.52 semi mekanis
0.50
0-10 cm 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60
cm cm cm cm cm
Kedalaman
Gambar 16. Hubungan nilai porositas (%) pada Ratoon III dengan
kedalaman tanah.
Pada Gambar 15 dan 16, nilai porositas tanah pada setiap kedalaman
tidak mencerminkan bahwa porositas tanah sebelum tebang lebih besar
daripada setelah tebang. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan kadar
air tanah, kondisi lahan, jenis tanah, kandungam liat, dan kandungan bahan
organik di setiap kedalaman berbeda.
Berdasarkan Tabel 11, rata-rata nilai porositas (%) antara sebelum
tebang pada sistem tebang semi mekanis lebih besar dibandingkan dengan
setelah tebang pada sistem tebang manual baik pada tanaman ratoon II dan III.
Hal ini sesuai dengan Foth (1988) menyatakan bahwa budidaya tanaman yang
dilakukan terus menerus dengan menggunakan alat dan mesin pertanian dapat
meningkatkan nilai berat isi tanah dan menyebabkan pengaruh yang nyata
terhadap ruang pori tanah.
Berdasarkan hasil pengukuran di lahan dapat disimpulkan bahwa
penggunaan alat dan mesin pertanian secara terus menerus pada budidaya tebu
dapat meningkatkan tahanan penetrasi, meningkatkan bobot isi tanah dan
menurunkan porositas tanah. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus maka
akan mengganggu pertumbuhan akar tanaman. Guna mengatasi masalah ini,
PG. Jatitujuh melakukan kegiatan rippering. Rippering berguna memecah
lapisan hard pan pada kedalaman 40-60. Kegiatan rippering telah dijalankan
mulai tahun 2006. Dengan kegiatan ini diharapkan dapat mengurangi tingkat
pemadatan tanah yang terjadi di lahan PG. Jatitujuh.
Budidaya tebu di PG Jatitujuh dimulai sejak tahun 1975, dimana
pengolahan tanahnya dilakukan dengan sistem mekanis. Berdasarkan hasil
pengukuran oleh Lembaga Penelitian Tanah Bogor di PG. Jatitujuh pada tahun
1980 menunjukkan bahwa berat isi tanah dan porositas tanah dalam selang
kedalaman 0-60 cm masing-masing adalah 1.17-1.33 gr/cm³ dan 49.81-
56.02%. Hasil penelitian Amri Pelawi tahun 1999 menunjukkan bahwa rata-
rata berat isi tanah dan porositas tanah pada selang kedalaman 0-60 cm
masing-masing adalah 1.255-1.55 gr/cm³ dan 41.48-52.63%. Hasil ini
menunjukkan bahwa aplikasi alat dan mesin pertanian dapat meningkatkan
nilai berat isi tanah dan menurunkan porositas tanah. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa rata-rata berat isi tanah dan porositas tanah pada selang
kedalaman 0-60 cm masing-masing adalah 0.98-1.32 gr/cm³ dan 50-65%. Hal
ini menunjukkan kegiatan rippering dapat menurunkan nilai berat isi tanah
dan meningkatkan porositas tanah. Namun kegiatan ini dapat meningkatkan
biaya pengolahan tanah sebesar Rp. 431,310/ha. Analisa biaya pada kegiatan
rippering disajikan pada Lampiran 23.
F. Pengambilan Keputusan
Penerapan sistem pemanenan tebu yang optimal dapat diterapkan
dalam rangka mengoptimalkan produktivitas tebu per hektar. Dari kriteria
yang telah ditemukan maka harus dapat ditetapkan kriteria mana yang
memegang peranan. Berdasarkan hasil wawancara, sistem pemanenan yang
akan diterapkan diharapkan memiliki kriteria sebagai berikut :
1. Biaya pemanenan paling rendah,
2. Jumlah tebu tertinggal baik di kebun maupun di jalan paling sedikit,
3. Jumlah trash yang terbawa ke pabrik (EM < 5%),
4. Pemadatan tanah paling minimum.
Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk memodelkan
permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan penentuan sistem
pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat.
Model pengambilan keputusan dibagi menjadi pengambilan keputusan empat
aktor yang terlibat dalam kegiatan pemanenan di PG Jatitujuh, pengambilan
keputusan pelaku tunggal yaitu peneliti, dan pengambilan keputusan lima
pelaku yang merupakan gabungan dari hasil keputusan kedua model
sebelumnya.
1. Pengambilan Keputusan dengan Empat Aktor
Dalam model ini, pengambilan keputusan dilakukan oleh para
pegawai PG. Jatitujuh. Pembobotan prioritas ini dilakukan oleh seorang
pembuat keputusan yang berpengalaman dalam bidang persoalan yang
sedang dianalisa dan mempunyai kepentingan terhadapnya. Untuk itu
seorang yang dipilih adalah pegawai yang mempunyai kriteria masa kerja
lebih dari 20 tahun dalam industri gula dengan jabatan mulai dari tingkat
sinder sampai kepala bagian.
a. Penentuan Prioritas Lokal
Prioritas lokal ditetapkan melalui perhitungan secara horizontal
pada setiap level, yaitu dengan menyusun prioritas elemen-elemen
keputusan pada tingkat hierarki yang sama. Sehingga diperoleh
pembobotan untuk level aktor, kriteria dan alternatif, masing-masing
terhadap satu level yang terkait di atasnya.
1) Level Aktor
Aktor atau pelaku dalam kegiatan pemanenan adalah pihak-
pihak yang memiliki tugas dan tanggung jawab langsung dalam
mensukseskan rencana giling setiap tahunnya. Pihak-pihak tersebut
adalah Bagian Tebang-Angkut, Bagian Riset dan Pengembangan,
Bagian Mekanisasi, dan Bagian Pabrikasi.
Berdasarkan Tabel 12, keempat aktor dalam kegiatan
pemanenan diberikan bobot yang sama yaitu 0.250. Hal ini terjadi
karena keempatnya berada di bawah pimpinan yang sama yaitu
General Manager. Hal ini berarti keempatnya mempunyai prioritas
sama dalam level aktor. Dalam struktur organisasi PG. Jatitujuh
(Lampiran 2), Bagian Tanaman membawahi ketiga bagian yang
berperan langsung dalam kegiatan pemanenan yaitu Bagian Riset
dan Pengembangan, Bagian Tebang-Angkut dan Bagian
Mekanisasi. Bagian Tanaman dan Bagian Pabrikasi berada dalam
tingkatan yang sama. Walaupun setiap bagian memiliki tugas dan
tanggung jawab yang berbeda-beda, namun memiliki kepentingan
yang sama untuk memaksimalkan hasil gula yang dapat diperoleh.
2) Level Kriteria
Pada tingkat ini, pengolahan dilakukan dengan menganalisa
kriteria-kriteria dalam setiap aktor dalam menentukan sistem
pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh. Aktor-aktor
tersebut adalah Bagian Tebang-Angkut, Bagian Riset dan
Pengembangan, Bagian Mekanisasi, dan Bagian Pabrikasi. Hasil
pengolahan horizontal pada level kriteria disajikan pada Tabel 13.
Bagian tebang-angkut merencanakan dan bertanggung
jawab dalam pengelolaan pasokan tebu dari kebun sampai ke cane
yard mengikuti sistem yang telah ditentukan oleh pabrik gula
untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas baik serta dapat
memenuhi kapasitas giling.
Berdasarkan Tabel 13, prioritas utama pada kegiatan
pemanenan di bagian Tebang-Angkut adalah kriteria biaya
pemanenan dengan bobot sebesar 0.412. Hal ini terjadi karena
bagian ini menyiapkan segala sarana dan prasarana yang digunakan
untuk mendukung kelancaran kegiatan pemanenan sehingga biaya
menjadi faktor yang sangat dipertimbangkan. Kriteria jumlah tebu
tertinggal dan jumlah trash menempati prioritas kedua dan ketiga.
Keduanya dinilai dengan bobot yang tidak terlalu jauh yaitu 0.282
dan 0.231. Hal ini disebabkan oleh kinerja pada bagian ini salah
satunya dinilai berdasarkan mutu tebangan meliputi jumlah tebu
tertinggal dan jumlah trash. Hal ini menunjukkan bahwa kedua
kriteria tersebut sangat diperhatikan untuk mendapatkan kualitas
tebangan yang baik.
Berdasarkan Tabel 13, prioritas utama pada kegiatan
pemanenan di bagian Riset dan Pengembangan adalah kriteria
jumlah tebu tertinggal dengan bobot sebesar 0.406. Hal ini sesuai
dengan tugas dan tangung jawab bagian ini dalam melakukan
analisa pendahuluan pada tebu sebelum ditebang dan mengawasi
mutu hasil tebangan. Pengawasan yang dilakukan meliputi analisa
tebu, air nira, trash, cako dan tunggak. Tebu tertinggal berupa
tunggak dan cako merupakan bagian dari pengawasan mutu
tebangan pada setiap musim panen.
Dalam kegiatan pemanenan, bagian Mekanisasi
bertanggung jawab dalam pemenuhan alat dan mesin yang
mendukung kegiatan pemanenan seperti alat muat (grab loader),
mesin tebang (cane harvester), traktor angkutan, traktor
transportasi penebang, traktor traksi dan penyediaan operator.
Berdasarkan Tabel 13, prioritas dalam kegiatan pemanenan di
bagian ini adalah kriteria jumlah tebu tertinggal dengan bobot
sebesar 0.389. Hal ini menunjukkan bahwa pada bagian ini
mendukung optimalnya kegiatan pemanenan yang dilakukan
khususnya pada saat proses muat tebu dengan menggunakan grab
loader. Keahlian operator sangat dibutuhkan guna meminimalkan
jumlah tebu tertinggal pada saat proses muat. Kriteria biaya
pemanenan menempati prioritas kedua dengan bobot sebesar 0.303.
Hal ini terjadi karena biaya menjadi faktor pertimbangan penting
dalam memutuskan operasi mesin di lahan.
c. Uji Konsistensi
Hasil dari model struktur hirarki untuk penentuan sistem
pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh diperoleh matriks
perbandingan berpasangan yang terdiri dari :
1) Level aktor : bagian tebang-angkut, bagian riset dan
pengembangan, bagian mekanisasi, dan bagian pabrikasi.
2) Level kriteria : biaya pemanenan, jumlah tebu tertinggal, jumlah
trash, dan pemadatan tanah.
3) Level alternatif : Sistem tebang manual, sistem tebang semi
mekanis, dan sistem tebang mekanis.
Matriks perbandingan berpasangan yang nilainya didapat dari
pendapat responden pada wawancara perlu dilakukan uji konsistensi.
Uji konsistensi dimaksudkan untuk mengetahui apakah penilaian
perbandingan berpasangan telah dilakukan dengan konsisten atau tidak
(Marimin, 2004).
Matriks perbandingan berpasangan yang diuji konsistensinya
adalah matriks-matriks yang disebutkan di atas setelah dibuat pendapat
gabungan responden pada setiap bagian di level aktor. Hasil uji
kosistensi disajikan pada Tabel 16. Berdasarkan hasil uji konsistensi
didapat nilai CR < 0.1. Hal ini menunjukkan bahwa matriks dalam
struktur hirarki telah memenuhi kriteria konsistensi.
Matriks pendapat CR
Level aktor 0
Level kriteria Bagian tebang-angkut 0.03
Bagian riset dan pegembangan 0.02
Bagian mekanisasi 0.06
Bagian pabrikasi 0
Level Alternatif 0.02
5. Mahasiswa 0.200
c. Uji konsistensi
Hasil dari model struktur hirarki untuk penentuan sistem
pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh diperoleh matriks
perbandingan berpasangan yang terdiri dari :
1) Level aktor : Bagian tebang-angkut, bagian Riset dan
Pengembangan, bagian Mekanisasi, dan Bagian Pabrikasi serta
peneliti.
2) Level kriteria : biaya pemanenan, jumlah tebu tertinggal, jumlah
trash, dan pemadatan tanah.
3) Level alternatif : Sistem tebang manual, sistem tebang semi
mekanis, dan sistem tebang mekanis.
Matriks perbandingan berpasangan yang nilainya didapat dari
pendapat seseorang perlu dilakukan uji konsistensi. Hasil uji
konsistensi disajikan pada Tabel 22. Berdasarkan hasil uji konsistensi
didapat nilai CR < 0.1. Hal ini menunjukkan bahwa matriks dalam
struktur hirarki telah memenuhi kriteria konsistensi.
Matriks pendapat CR
Level aktor 0
Level kriteria Bagian tebang-angkut 0.03
Bagian riset dan pegembangan 0.02
Bagian mekanisasi 0.06
Bagian pabrikasi 0
Peneliti 0.02
Level Alternatif 0.01
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Biaya pokok (Rp./kw) pada sistem tebang manual pada masa giling tahun
2007 lebih kecil dibandingkan dengan sistem tebang semi mekanis dan
mekanis yaitu sebesar Rp. 5,329/kw. Biaya pokok pada sistem tebang semi
mekanis dan mekanis adalah sebesar Rp. 6,316/kw dan Rp. 6,040/kw.
2. Mutu tebangan pada sistem tebang semi mekanis lebih baik dibandingkan
dengan sistem tebang manual berdasarkan jumlah tebu tertinggal di kebun.
Rata-rata jumlah cako dan tunggak yang tertinggal di kebun pada sistem
pemanenan semi mekanis sebesar 0.2 kw/ha dan 3.55 kw/ha. Rata-rata
jumlah cako yang tertinggal di kebun pada sistem pemanenan manual
sebesar 0.09 kw/ha tetapi rata-rata jumlah tunggak yang tertinggal di
kebun sebesar 12.4 kw/ha atau melebihi batas yang diizinkan.
3. Biaya kerugian akibat tebu tertinggal yang dapat disimpan setiap hari
mencapai Rp. 16,183,125. Biaya kerugian akibat trash terbawa ke
penggilingan di pabrik tidak dapat diketahui akibat data lapangan yang
kurang memadai.
4. Mutu tebangan pada sistem manual lebih baik dibandingkan dengan sistem
semi mekanis berdasarkan jumlah trash yang terbawa ke pabrik. Rata-rata
jumlah trash untuk sistem pemanenan manual dan semi mekanis sebesar
1.79% dan 3.11%, namun mutu tebangan kedua sistem pemanenan
dinyatakan baik karena trash < 5%.
5. Pemadatan tanah merupakan hasil dari pembebanan akibat lintasan
angkutan dan mesin pemanenan tebu. Hal ini ditunjukkan oleh nilai
porositas (%) yang lebih rendah, nilai tahanan penetrasi (kg/cm²) dan nilai
bobot isi tanah (gr/cm³) yang lebih tinggi setelah proses tebang baik pada
sistem tebang manual maupun mekanis.
6. Sistem tebang manual menghasilkan pemadatan tanah yang lebih rendah
dibandingkan dengan sistem tebang semi mekanis. Hal ini ditunjukkan
oleh nilai tahanan penetrasi (kg/cm²) dan nilai bobot isi tanah (gr/cm³)
yang lebih kecil dibandingkan dengan sistem tebang semi mekanis. Hal ini
ditunjukkan pula oleh nilai porositas (%) yang lebih besar pada sistem
tebang manual.
7. Berdasarkan hasil analisa metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
dengan empat aktor yang berasal dari PG. Jatitujuh, menghasilkan
alternatif sistem tebang manual sebagai prioritas utama dengan bobot
sebesar 0.581. Prioritas kedua dan ketiga ditempati oleh sistem tebang
semi mekanis dan mekanis dengan bobot sebesar 0.283 dan 0.137.
8. Berdasarkan hasil analisa metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
dengan aktor tunggal yaitu peneliti, menghasilkan alternatif sistem tebang
manual sebagai prioritas utama dengan bobot sebesar 0.467. Prioritas
kedua dan ketiga ditempati oleh sistem tebang mekanis dan semi mekanis
dengan bobot sebesar 0.313 dan 0.220.
9. Berdasarkan hasil analisa metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
dengan lima aktor yang merupakan gabungan dari pegawai PG. Jatitujuh
dan peneliti, menghasilkan alternatif sistem tebang manual sebagai
prioritas utama dengan bobot sebesar 0.575. Prioritas kedua dan ketiga
ditempati oleh sistem tebang semi mekanis dan mekanis dengan bobot
sebesar 0.259 dan 0.166.
10. Berdasarkan hasil analisa metode Analytical Hierarchy Process (AHP),
sistem pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh adalah sistem tebang
manual
B. SARAN
1. Sistem tebang manual dapat dilaksanakan dengan asumsi jumlah tenaga
kerja memadai. Jika tidak sistem tebang semi mekanis atau mekanis harus
dilaksanakan agar pabrik tetap dapat beroperasi.
2. Sistem kerja dengan cara truk dan grab loader berjalan beriringan saat
proses muat dapat diterapkan guna meningkatkan kapasitas kerja proses
muat menggunakan grab loader. Untuk itu lahan perlu diratakan dengan
menggunakan motor grader pada bagian pinggir kebun agar
memungkinkan pergerakan truk dan grab loader secara beririgan.
3. Usaha yang dapat dilakukan untuk memperkecil jumlah tebu tertinggal dan
jumlah trash yang terbawa ke pabrik adalah memberikan pengarahan dan
memperketat pengawasan kepada penebang serta usaha memungut tebu
tertinggal baik di lahan maupun di jalan.
4. Perlu penelitian lebih lanjut pada analisa kerugian akibat trash yang
terbawa ke penggilingan di pabrik.
5. Untuk mengurangi tingkat kepadatan akibat operasi angkutan dan mesin
pemanenan di lahan dapat dilakukan rippering sampai kedalaman 60 cm
dan sistem pengedalian lintasan yaitu operasi alat dan mesin pertanian
dilakukan dengan pola lintasan yang sama sehingga pemadatan berikutnya
tidak terjadi di luar jalur lintasan.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuisioner Untuk Penentuan Sistem Pemanenan Tebu Yang Optimal
Di PG Jatitujuh, Jawa Barat
Bagian I
Bandingkanlah tingkat kepentingan atau prioritas dari faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan sistem pemanenan tebu di PT. PG Jatitujuh berdasarkan
Nilai Skala Banding yang tercantum di bawah dan isikan di dalam kolom
prioritas.
Kriteria Prioritas
Biaya Pemanenan dibandingkan Cako dan Ceceran
Biaya Pemanenan dibandingkan Banyaknya Trash
Biaya Pemanenan dibandingkan Pemadatan Tanah
Cako dan Ceceran dibandingkan Trash
Cako dan Ceceran dibandingkan Pemadatan Tanah
Banyaknya Trash dibandingkan Pemadatan Tanah
Bagian II
Bandingkanlah tingkat kepentingan atau prioritas dari alternatif di bawah ini
terhadap kriteria Biaya Pemanenan yang mempengaruhi penerapan sistem
pemanenan tebu di PT. PG Jatitujuh berdasarkan Nilai Skala Banding yang
tercantum di bawah dan isikan di dalam kolom prioritas.
Kriteria Prioritas
Sistem T. Manual dibandingkan Sistem T. Semi Mekanis
Sistem T. Manual dibandingkan Sistem T. Mekanis
Sistem T. Semi Mekanis dibandingkan Sistem T. Mekanis
Nilai skala banding genap(2,4,6,8 atau 1/2,1/4, 1/6, 1/8) diberikan untuk nilai skala perbandingan yang nilainya
berada di antara dua nilai perbandingan ganjil yang berurutan. Misalnya pada kasus A dibandingkan dengan B,
nilai A sedikit lebih penting namun jelas lebih penting dibandingkan B, maka nilai skala pembandingan yang
diberikan antara nilai 3 dan 5, yaitu 4 (atau 1/4 bila sebaliknya).
Bandingkanlah tingkat kepentingan atau prioritas dari alternatif di bawah ini
terhadap kriteria Cako dan Ceceran di lahan yang mempengaruhi penerapan
sistem pemanenan tebu di PT. PG Jatitujuh berdasarkan Nilai Skala Banding yang
tercantum di bawah dan isikan di dalam kolom prioritas.
Kriteria Prioritas
Sistem T. Manual dibandingkan Sistem T. Semi Mekanis
Sistem T. Manual dibandingkan Sistem T. Mekanis
Sistem T. Semi Mekanis dibandingkan Sistem T. Mekanis
General
K. Bag TUK Ka. Bag SDM Ka. Bag. Ka. Bag. Ka. Bag
& Umum
Ka.
Mekanisasi
Staff Staff Staff Staff Staff Staff Staff Staff Staff Staff
Eff pemanenan
= Kap kerja aktual x 100 %
Kap kerja standar
= 10.9
x 100%
13
= 84%
Lampiran 5. Hasil Pengukuran Kapasitas Kerja Pemanenan Tenaga Tebang Lokal (Wanita)
Eff pemanenan
= Kap kerja aktual x 100 %
Kap kerja standar
= 8.9
x 100%
10
= 89%
Lampiran 6. Hasil Pengukuran Kapasitas Kerja Pemanenan Tenaga Tebang Impor
Eff pemanenan
= Kap kerja aktual x 100 %
Kap kerja standar
= 12.01
x 100%
13
= 92%
Lampiran 7. Hasil Pengukuran Kapasitas Kerja Grab Loader
Data peralatan
Jenis peralatan : GRAB LOADER
Hp : 100 Hp
Merk / Type : VANGUARD / V 1900
Negara pembuat : USA
Tahun perolehan : 1996
Umur ekonomis alat : 30 Tahun
Jam kerja per tahun : 735 Jam/tahun
Harga awal : Rp. 211,000,000
Nilai sisa (10% dari harga awal) : Rp. 21,100,000
Harga penyusutan : Rp. 189,900,000
Tingkat bunga modal : 15 %
Pajak dan asuransi : 5 %
Gudang : 0.5 %
Kapasitas kerja per hari : 981 kw/hari
Konsumsi bahan bakar : 5,140 liter/hari
Harga bahan bakar : Rp. 9,500
Jumlah (kw) tebu yang dimuat oleh grab loader : 115,804 kw/tahun
Biaya perbaikan dan perawatan selama setahun : 5 %/tahun
Operasional grab loader : 118 hari/tahun
Penyusutan dihitung menggunakan metode garis lurus tanpa bunga
Bunga modal dihitung dengan bunga sederhana (flat)
Lanjutan Lampiran 9. Analisa Biaya Pokok Grab Loader
Biaya pokok peralatan
1 Biaya Tetap (Rp./jam)
a. Penyusutan 189,900,000 = Rp. 8,612
30 x 735
b. Bunga modal 15% x Rp. 211,000,000 = Rp. 1,435
30 x 735
c. Pajak dan asuransi 5% x Rp. 211,000,000 = Rp. 478
30 x 735
d. Gudang 0.5% x Rp. 211,000,000 = Rp. 48
30 x 735
Total Biaya Tetap Rp. 10,574
2 Biaya Tidak Tetap (Rp/jam)
a. Bahan bakar (5140 / 735) x Rp. 9,500 = Rp. 66,435
b. Pelumas
Tambahan harian (Med. Sx. 40) (0.005 x 3083)/735 x Rp. 10,000 = 210
Hyd tawk (Rem 30) 1/1000 x 311 lt.x Rp. 15,300 = 4,758
Grease EP-2 1/10 x 0.3 kg.x Rp. 27,700 = 831 = Rp. 7,563
c. Biaya perawatan dan perbaikan (0.0005 x Rp. 211,000,000) = Rp. 105,500
d. Pemakaian ban 1/2000 x Rp 12,240,000 = Rp. 6,120
e. Operator (asumsi) Rp. 40,000 / 6 jam/hari = Rp. 6,667
Total Biaya Tidak Tetap Rp. 192,285
TOTAL Rp. 202,859
3 Biaya Pokok (Rp/kw) = Biaya Total
Kapasitas Kerja
Rp. 202,859 / jam
=
(115,804 ku/tahun) / (735 jam/tahun)
= 1,288
Lampiran 10. Analisa Biaya Tebang & Angkut dengan Sistem Tebang Semi Mekanis Tahun 2007
Data peralatan
Jenis peralatan : Mesin Panen
Hp : 240 Hp
Merk / Type : Harvester 12 Austof 7700
Negara pembuat : USA
Tahun perolehan : 2002
Umur ekonomis alat : 30 Tahun
Jam kerja per tahun : 231 Jam/tahun
Harga awal : Rp. 747,000,000
Nilai sisa (10% dari harga awal) : Rp. 74,700,000
Harga penyusutan : Rp. 672,300,000
Tingkat bunga modal (i) : 15 %
Pajak dan asuransi : 5 %
Gudang : 0.5 %
Kapasitas kerja per jam : 200 kw/jam
Harga bahan bakar : Rp. 9,500
Biaya perbaikan dan perawatan selama setahun : 5 %/tahun
Kapasitas kerja mesin : 8 jam/hari
Jumlah hari tebang : 142 hari/tahun
Penyusutan dihitung menggunakan metode garis lurus tanpa bunga
Bunga modal dihitung dengan bunga sederhana (flat)
Lanjutan Lampiran 11. Analisa Biaya Pokok Mesin Panen (harvester)
Biaya pokok peralatan
1 Biaya Tetap (Rp./jam)
a. Penyusutan 672,300,000 = Rp. 19,727
30 x 8 x 142
b. Bunga modal 15% x Rp. 747,000,000 = Rp. 3,288
30 x 8 x 142
c. Pajak dan asuransi 5% x Rp. 747,000,000 = Rp. 1,096
30 x 8 x 142
d. Gudang 0.5% x Rp. 747,000,000 = Rp. 110
30 x 8 x 142
Total Biaya Tetap Rp. 24,221
2 Biaya Tidak Tetap (Rp/jam)
a. Bahan bakar (43400 / (8 x 142) x Rp. 9,500 = Rp. 362,940
b. Pelumas
Oli Mesin 1/250 jam x 34 liter x 10,076 = 1,370
Oli Hydraulic System 1/1000 jam x 480 liter x 9,361 = 4,493
Oli Pump Drive Gearbox 1/1000 jam x 1.6 liter x 13,379 = 21
Oli Base Cutter Gearbox 1/1000 jam x 9.5 liter x 13,379 = 127
Oli Chopper Gearbox 1/1000 jam x 5 liter x 13,379 = 67
Oli Rear Wheel Hub Oil 1/1000 jam x 6 liter x 13,379 = 80
Grease 1/8 x 2 kg x 25,685 = 6,421 = Rp. 12,581
c. Biaya perawatan dan perbaikan (0.0005 x Rp. 747,000,000 = Rp. 373,500
d. Operator (asumsi) Rp. 40,000/6 jam = Rp. 6,667
Total Biaya Tidak Tetap Rp. 755,687
TOTAL Rp. 779,908
3 Biaya Pokok (Rp/kw) = Biaya Total
Kapasitas Kerja
= Rp. 779,908/ jam
200 kw/jam
= 3,900
Lampiran 12. Analisa Biaya Pokok Traktor Tebangan
Data peralatan
Jenis peralatan : Traktor tebangan (Wheel Traktor) MF 236
Hp : 79 Hp
Merk / Type : MF 290
Tahun perolehan : 1982
Umur ekonomis alat : 30 Tahun
Jam kerja per tahun : 687 Jam/tahun
Harga awal : Rp. 12,755,000
Nilai sisa (10% dari harga awal) : Rp. 1,275,500
Harga penyusutan : Rp. 11,479,500
Tingkat bunga modal (i) : 15 %
Pajak dan asuransi : 5 %
Gudang : : 0.5 %
Kapasitas kerja per jam : 46 kw/jam
Kapasitas kerja per hari : 267 kw/hari
Konsumsi bahan bakar : 2,884 liter/tahun
Harga bahan bakar : Rp. 9,500
Jumlah (kw) tebu yang ditebang : 31,495 kw/tahun
Biaya perbaikan dan perawatan : 5 %/tahun
Operasional mesin tebang : 118 hari/tahun
Penyusutan dihitung menggunakan metode garis lurus tanpa bunga
Bunga modal dihitung dengan bunga sederhana (flat)
Lanjutan Lampiran 12. Analisa Biaya Pokok Traktor Tebangan
Biaya pokok peralatan
1 Biaya Tetap (Rp./jam)
a. Penyusutan 11,479,500 = Rp. 557
30 x 687
b. Bunga modal 15% x Rp. 12755000 = Rp. 93
30 x 687
c. Pajak dan asuransi 5% x Rp. 12755000 = Rp. 31
30 x 687
d. Gudang 0.5% x Rp. 12755000 = Rp. 3
30 x 687
Total Biaya Tetap Rp. 684 /jam
2 Biaya Tidak Tetap (Rp/jam)
a. Bahan bakar (2884 / 687) x Rp. 9,500 = Rp. 39,881
b. Pelumas
Engine (Med. S. 40) 1/250 jam x 8 ltr x 10,000 = 320
Tambahan harian 0.005 x 26700 x 10,000 = 134
Hyd/Trans (Rem.30) 1/1000 jam x 43 ltr x 15,300 = 658
Stering Respoir (Rem. 10) 1/1000 jam x 2.5 ltr x 15,800 = 40
Air Cleaner (Med.S.40) 1/1000 jam x 1.5 ltr x 10,000 = 15
Epyciclie Hub (Rord.HD.90) 1/1000 jam x 6 ltr x 10,000 = 60
Grease EP 2 1/10 jam x 0.3 kg x 27,700 = 831 = Rp. 2,057
c. Biaya perawatan dan perbaikan (0.0005 x Rp.12,755,000) = Rp. 6,378
d. Pemakaian ban 1/2000 x Rp 617,400 = Rp. 309
e. Operator (asumsi) Rp. 40,000 / 6 jam = Rp. 6,667
Total Biaya Tidak Tetap Rp. /jam
55,290
TOTAL Rp. 55,974 /jam
3 Biaya Pokok (Rp/kw) Biaya Total
Kapasitas Kerja
= Rp. 55,974 / jam
(31,495 ku/thn)/( 687 jam/thn)
= 1,221
Lampiran 13. Analisa Biaya Pokok Trailer Tebangan
Data peralatan
Jenis peralatan : Trailer Bukaka
Tahun perolehan : 1993
Umur ekonomis alat : 30 Tahun
Jam kerja per tahun : 687 Jam/tahun
Harga awal : Rp. 9,047,464
Nilai sisa (10% dari harga awal) Rp. 904,746
Harga penyusutan Rp. 8,142,718
Tingkat bunga modal (i) : 15 %
Pajak dan asuransi 5 %
Gudang : 0.5 %
Jumlah (ku) tebu yang ditebang 31,495 kw/tahun
Biaya perbaikan dan perawatan 5 %/tahun
Penyusutan dihitung menggunakan metode garis lurus tanpa bunga
Bunga modal dihitung dengan bunga sederhana (flat)
50
Rata-rata 0.79 1.71 0.62 0.93 0.34 0.46 - - 1.51 3.11
Lampiran 19. Analisa Biaya Pengambilan Tebu Tertinggal Tahun 2007
Rp / kw 24,908
IV NILAI EKONOMIS
1. Cako ceceran yang terambil kw/ hari 45
2. Bila rendement 7 % maka gula yang terselamatkan kw / hari 3.15
Rp/hari 16,183,125
* data risbang
** harga tahun 2007
Lampiran 20. Data hasil pengukuran tahanan penetrasi (kg/cm²) pada status tanaman ratoon II dan III
Data peralatan
Jenis peralatan : Traktor
Hp 110 Hp
Merk / Type John Deere 6415
Tahun perolehan 1997
Umur ekonomis alat 30 Tahun
Jam kerja per tahun 350 Jam/tahun
Harga awal : Rp. 364,800,000
Nilai sisa (10% dari harga awal) : Rp. 36,480,000
Harga penyusutan Rp. 328,320,000
Tingkat bunga modal (i) 15 %
Pajak dan asuransi : 5 %
Gudang 0.5 %
Kapasitas kerja per jam : 0.9 Ha/jam
Konsumsi bahan bakar : 5,324 liter/tahun
Harga bahan bakar : Rp. 9,500
Jumlah (ha) lahan yang diolah oleh traktor : 308 Ha/tahun
Biaya perbaikan dan perawatan selama setahun : 5 %/tahun
Operasional mesin tebang : 55 hari/tahun
Penyusutan dihitung menggunakan metode garis lurus tanpa bunga
Bunga modal dihitung dengan bunga sederhana (flat)
Lanjutan Lampiran 23. Analisa Biaya Pokok Kegiatan Rippering
Biaya Jumlah Jumlah Pemadatan Biaya Jumlah Jumlah Pemadatan Biaya Jumlah Jumlah Pemadatan Biaya Jumlah Jumlah Pemadatan
Pemanenan Tebu Trash Tanah Pemanenan Tebu Trash Tanah Pemanenan Tebu Trash Tanah Pemanenan Tebu Trash Tanah
Tertinggal Tertinggal Tertinggal Tertinggal
(0.412) (0.282) (0.231) (0.075) (0.356) (0.406) (0.170) (0.068) (0.303) (0.389) (0.130) (0.178) (0.243) (0.230) (0.474) (0.053)
A 0.661 0.582 0.250 0.659 0.705 0.701 0.733 0.740 0.761 0.643 0.413 0.571 0.671 0.493 0.429 0.678
B 0.208 0.309 0.500 0.185 0.211 0.193 0.199 0.167 0.166 0.255 0.260 0.286 0.256 0.311 0.429 0.179
C 0.131 0.109 0.250 0.156 0.084 0.106 0.068 0.093 0.073 0.102 0.327 0.143 0.073 0.196 0.143 0.142
Keterangan :
A = Sistem tebang manual
B = Sistem tebang semi mekanis
C = Sistem tebang mekanis
Lampiran 25. Model sistem hirarki keputusan oleh aktor tunggal untuk menentukan sistem pemanenan tebu yang optimal di PG.
Jatitujuh
Aktor
Biaya Pemanenan Jumlah Tebu Tertinggal Jumlah Trash Pemadatan Tanah
(0.522) (0.200) (0.200) (0.078)
Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem
Tebang Tebang Tebang Tebang Tebang Tebang Tebang Tebang Tebang Tebang Tebang Tebang
Manual Semi Mekanis Manual Semi Mekanis Manual Semi Mekanis Manual Semi Mekanis
Mekanis Mekanis Mekanis Mekanis
(0.570) (0.097) (0.333) (0.109) (0.309) (0.582) (0.481) (0.405) (0.114) (0.671) (0.256) (0.073)
Lampiran 26. Model sistem hirarki keputusan oleh lima aktor untuk menentukan sistem pemanenan tebu yang optimal di PG. Jatitujuh
Aktor
Bag Tebang-Angkut Bag Riset & Pengembangan Bagian Mekanisasi Bagian Pabrikasi Bagian Peneliti
(0.250) (0.250) (0.250) (0.250) (0.250)
A 0.661 0.582 0.250 0.659 0.705 0.701 0.733 0.74 0.761 0.643 0.413 0.571 0.671 0.493 0.429 0.678 0.570 0.109 0.481 0.671
B 0.208 0.309 0.500 0.185 0.211 0.193 0.199 0.167 0.166 0.255 0.26 0.286 0.256 0.311 0.429 0.179 0.097 0.309 0.405 0.256
C 0.131 0.109 0.250 0.156 0.084 0.106 0.068 0.093 0.073 0.102 0.327 0.143 0.073 0.196 0.143 0.142 0.333 0.582 0.114 0.073
Keterangan :
BP = Biaya Pemanenan
JTT = Jumlah Tebu Tertinggal
JT = Jumlah Trash
PT = Pemadatan Tanah
A = Sistem Tebang Manual
B = Sistem Tebang Semi Mekanis
C = Sistem Tebang Mekanis