Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Hidrolisis Pati

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 98

PENGARUH JENIS ASAM PADA HIDROLISIS PATI SAGU

(Metroxylon sp.) UNTUK PEMBUATAN ETANOL

Oleh
FITRI ANNA SARI
F34102077

2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENGARUH JENIS ASAM PADA HIDROLISIS PATI SAGU
(Metroxylon sp.) UNTUK PEMBUATAN ETANOL

Oleh
FITRI ANNA SARI
F34102077

2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENGARUH JENIS ASAM PADA HIDROLISIS PATI SAGU
(Metroxylon sp.) UNTUK PEMBUATAN ETANOL

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
FITRI ANNA SARI
F34102077

2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH JENIS ASAM PADA HIDROLISIS PATI SAGU


(Metroxylon sp.) UNTUK PEMBUATAN ETANOL

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
FITRI ANNA SARI
F34102077

Dilahirkan pada tanggal 25 Juli 1984


Di Padang Sidempuan

Tanggal Kelulusan : 2 Februari 2009

Menyetujui, 26 Mei 2009

Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi
Pembimbing I Pembimbing II
Fitri Anna Sari. F34102077. Pengaruh Jenis Asam Pada Hidrolisis Pati Sagu
(Metroxylon sp.) untuk Pembuatan Etanol. Dibawah bimbingan Liesbetini Hartoto
dan Titi Candra Sunarti. 2009.

RINGKASAN

Sebagai negara yang terletak di daerah tropika basah, Indonesia kaya akan
tanaman penghasil karbohidrat, diantaranya adalah sagu (Metroxylon sp.). Lahan
sagu di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, yaitu mencapai 50% dari
sekitar 2,6 juta ha luas lahan sagu dunia. Namun hanya 5% yang dibudidayakan,
kebanyakan secara semi-liar dengan perawatan minimal. Sekitar 90% potensi sagu
Indonesia ada di Papua, sisanya tersebar di Maluku, kepulauan Riau, Mentawai,
Kalimantan dan Sulawesi (Widjono dan Jong, 2007).
Pati sagu dapat diperoleh dari empulur batang sagu dengan cara ekstraksi.
Selain sebagai bahan makanan, pati sagu juga digunakan sebagai bahan baku
industri seperti farmasi, tekstil, kosmetika ataupun sebagai bahan energi
(bioetanol) melalui proses fermentasi. Dalam kurun 19972006, produksi
bioetanol dunia tumbuh 11% per tahun (Bukit, 2008). Seiring dengan merebaknya
isu menipisnya cadangan minyak bumi dan peluang bioetanol sebagai bahan bakar
alternatif, kebutuhan bioetanol di masa mendatang akan terus meningkat.
Fermentasi etanol secara langsung hanya dapat dilakukan terhadap bahan
yang mengandung monosakarida, sedangkan bahan pati harus dihidrolisis terlebih
dahulu menjadi glukosa. Hidrolisis pati sagu dapat dilakukan secara asam ataupun
enzimatis. Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah hidrolisis secara
asam, menggunakan H2SO4 dan HCl. Proses hidrolisis dilakukan menggunakan
autoklaf, selama 30 menit pada suhu 121 oC. Hasil hidrolisis tersebut kemudian
dinetralkan menggunakan larutan NH4OH, dan selanjutnya dipurifikasi dengan
arang aktif hingga didapat hidrolisat asam yang jernih. Dari hasil penelitian
didapat bahwa untuk menghidrolisis pati sagu dengan konsentrasi 16%,
konsentrasi asam optimum yang digunakan adalah 0,5 N. Hidrolisat pati sagu
tersebut kemudian difermentasi hingga menghasilkan etanol. Pada hidrolisis
dengan asam H2SO4 0,5 N didapat nilai total gula 148,02 g/l, sedangkan hidrolisis
dengan asam HCl 0,5 N sebesar 142,95 g/l.
Fermentasi etanol dilakukan terhadap substrat hidrolisat pati sagu hasil
hidrolisis asam dengan H2SO4 dan HCl, dengan pembanding sirup glukosa teknis,
masing-masing pada konsentrasi gula 10%. Proses fermentasi dilakukan pada
kondisi anaerob dengan bantuan Saccharomyces cerevisiae, selama 3 hari
menggunakan inkubator goyang. Setiap 6 jam selama fermentasi dilakukan
pengukuran laju pembentukan CO2, kemudian pada awal dan akhir fermentasi
dilakukan analisis total gula, gula pereduksi, pengukuran pH, total asam,
penentuan biomassa dan kadar etanol (dengan metode Gas Chromatography),
serta perhitungan parameter kinetika s/s, Yx/s, Yp/s, dan Yp/x.
Dari hasil pengukuran, laju fermentasi ketiga substrat menunjukkan
peningkatan yang lambat pada 6 jam pertama, kemudian meningkat dengan cepat
hingga jam ke-18. Pada substrat hidrolisat asam H2SO4 dan sirup glukosa teknis,
titik maksimum dicapai pada jam ke-24. Laju fermentasi kemudian menurun
secara perlahan setelah jam ke-24 hingga akhir fermentasi (jam ke-72). Sedangkan
pada substrat hidrolisat asam HCl, laju fermentasi telah mencapai titik maksimum
pada jam ke-18, kemudian menurun dengan cepat hingga kemudian berhenti pada
jam ke-54. Selama proses fermentasi, terjadi penurunan pH karena terbentuknya
asam-asam organik. Rata-rata penurunan pH terbesar diperoleh dari substrat sirup
glukosa teknis, dengan pH akhir tertinggi pada substrat hidrolisat asam H2SO4
yaitu 3,77 dan terendah pada substrat sirup glukosa teknis yaitu 3,16. Sementara
total asam akhir tertinggi diperoleh dari substrat hidrolisat asam H2SO4 sebesar
18,60 g/l dan terendah pada substrat sirup glukosa teknis sebesar 3,32 g/l.
Pada penentuan biomassa, didapat bahwa pembentukan biomassa paling
banyak terjadi pada fermentasi substrat hidrolisat asam H2SO4 sebesar 1,17 g/l
dan terendah pada substrat hidrolisat asam HCl sebesar 1,02 g/l. Dari hasil analisis
total gula dan gula pereduksi, diketahui bahwa konsumsi substrat tertinggi terjadi
pada substrat sirup glukosa teknis, dan terendah pada substrat hidrolisat asam
HCl. Sementara nilai kadar etanol tertinggi diperoleh dari fermentasi sirup
glukosa teknis yaitu 2,56%, diikuti oleh hidrolisat asam H2SO4 dengan nilai
1,91%, sedangkan kadar etanol terendah dihasilkan dari fermentasi hidrolisat
asam HCl dengan nilai 0,63%.
Dari hasil pengukuran terhadap parameter-parameter kinetika fermentasi,
didapat bahwa efisiensi pemanfaatan substrat (s/s) tertinggi diperoleh dari
fermentasi sirup glukosa teknis sebesar 41,06% dan terendah pada fermentasi
hidrolisat asam HCl sebesar 3,52%. Yield biomassa (Yx/s) terbesar diperoleh dari
fermentasi hidrolisat asam HCl dengan nilai 0,019 dan terendah pada fermentasi
sirup glukosa teknis dengan nilai 0,005. Yield produk (Yp/s) terbesar diperoleh
dari fermentasi sirup glukosa teknis dengan nilai 0,577 dan terendah pada
fermentasi hidrolisat asam H2SO4 dengan nilai 0,497. Nilai Yp/x terbesar diperoleh
dari fermentasi substrat sirup glukosa teknis sebesar 17,571, sedangkan nilai Yp/x
terkecil pada fermentasi substrat hidrolisat asam HCl sebesar 4,358.
Fitri Anna Sari. F34102077. Effect of Acids on Hydrolysis of Sago (Metroxylon
sp) Starch for Ethanol Production. Under Academic Supervision of Liesbetini
Hartoto and Titi Candra Sunarti. 2009.

SUMMARY

As a country which is located in humid tropical region, Indonesia is rich in


carbohydrate producing plants, such as sago palm (Metroxylon sp.). Indonesia has
the largest area which is grown with sago palm, reaching 50% of the
approximately 2.6 million ha of sago area in the world. From this amount, only
5% is cultivated land, and most of the land is in the form of semi natural sago
field, with only minimum care. Around 90% of sago potency in Indonesia is in
Papua, whereas the rest of it is distributed in Maluku, Riau archipelago,
Mentawai, Kalimantan and Sulawesi (Widjono and Jong 2007).
Sago starch could be obtained from the pith of sago palm stem through
extraction process. Beside serving as foodstuff, sago starch is also used as
industrial raw materials, such as for pharmacy, textile, cosmetics, or for energy
source materials (bioethanol) through fermentation process. During period 1997
2006, world production of bioethanol grew by 11% per year (Bukit, 2008). In line
with the emerging issue of depletion of fossil fuel reserves and the potency of
bioethanol as alternative fuel, the demand for bioethanol in the future will increase
progressively.
Direct fermentation of ethanol could only be conducted on materials which
contain monosaccharide, whereas starch materials should be previously
hydrolyzed to become glucose. Sago starch hydrolysis could be conducted in
acidic method or enzymatically. In this research, the method used was acidic
hydrolysis using H2SO4 and HCl. Hydrolysis process used autoclave for 30
minutes at temperature of 121 oC. The hydrolysis product was then neutralized by
using NH4OH solution and was purified by using activated charcoal until clear
acid hydrolysate was obtained. Research results showed that for hydrolyzing sago
starch with concentration of 16%, optimum acid concentration was 0.5 N. The
sago starch hydrolysate was then fermented to produce ethanol. In hydrolysis with
acid H2SO4 0.5 N, sugar total value of 148.02 g/l was obtained, whereas for
hydrolysis with acid HCl 0.5 N the value was 142.95 g/l.
Ethanol fermentation was conducted on substrate of sago starch hydrolysate
resulting from acid hydrolysis with H2SO4 and HCl, with commercial glucose
syrup as comparison, at sugar concentration of 10% each. Fermentation process
was conducted at anaerobic condition using Saccharomyces cerevisiae for about 3
days using shaker incubator. During fermentation, rate of CO2 formation was
measured every 6 hours, and in the beginning and end of fermentation, there were
analysis of total amount of sugar, reducing sugar, pH measurement, total acid,
determination of biomass and ethanol concentration (with Gas Chromatography),
and calculation of kinetics parameter s/s, Yx/s, Yp/s, and Yp/x.
Results showed that rate of fermentation of the three substrates exhibited
slow increase in the first 6 hours, which afterwards increased rapidly up to hour-
18. In substrate of H2SO4 acid hydrolysate and commercial glucose syrup,
maximum point was reached at hour-24. Subsequently, fermentation rate
decreased slowly after hour-24 up to the end of fermentation (hour-72). On the
other hand, in HCI acid hydrolysate substrate, fermentation result had reached
maximum point at hour-18, which afterwards decreased rapidly and then stopped
at hour-54. During fermentation process, pH was decreased due to the formation
of organic acids. The largest average decreasing in pH was obtained from
substrate of commercial glucose syrup, with the highest final pH in substrate of
H2SO4 acid hydrolysate with value of 3.77, and that of the lowest in substrate of
commercial glucose syrup with value of 3.16. The highest final total acid was
obtained from substrate of H2SO4 acid hydrolysate with value of 18.6 g/l and that
of the lowest in substrate of commercial glucose syrup with value of 3.32 g/l.
In biomass determination, it was found that the largest biomass formation
occurred in fermentation of H2SO4 acid hydrolysate substrate as 1.17 g/l, whereas
that of the lowest in substrate of HCl acid hydrolysate substrate as 1.02 g/l.
Analysis results of total sugar and reducing sugar, showed that the highest
substrate consumption occurred in substrate of commercial glucose syrup, and that
of the lowest, in HCl acid hydrolysate substrate. On the other hand, the highest
value of ethanol concentration was obtained from fermentation of commercial
glucose syrup with value of 2.56%, followed by H2SO4 acid hydrolysate with
value of 1.91%, whereas the lowest ethanol concentration was obtained from
fermentation of HCl acid hydrolysate with value of 0.77%.
Results of kinetics fermentation parameters showed that the highest
efficiency of substrate utilization (s/s) was obtained from fermentation of
commercial glucose syrup with value of 41.06%, whereas that of the lowest, in
fermentation of HCl acid hydrolysate with value of 3.52%. The highest biomass
yield (Yx/s) was obtained from fermentation of HCl acid hydrolysate with value of
0.019, and that of the lowest, in fermentation of commercial glucose syrup, with
value of 0.005. The highest product yield (Yp/s) was obtained from commercial
glucose, with value of 0.577 and that of the lowest, in fermentation of H2SO4 acid
hydrolysate with value of 0.497. The highest value of Yp/x was obtained from
fermentation of commercial glucose syrup substrate with value of 17.571, whereas
that of the lowest, in fermentation of HCl acid hydrolysate substrate with value of
4.358.
SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi


dengan judul Pengaruh Jenis Asam Pada Hidrolisis Pati Sagu (Metroxylon
sp.) untuk Pembuatan Etanol adalah karya saya sendiri, dengan arahan dosen
pembimbing akademik (pembimbing I) dan pembimbing penelitian (pembimbing
II). Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2009


Yang membuat pernyataan,

Fitri Anna Sari


F34102077
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang Sidempuan, Sumatera Utara


pada tanggal 25 Juli 1984. Penulis merupakan puteri ke-enam
dari enam bersaudara pasangan Muhammad Saleh Nasution,
BA. dan Dewa Harahap. Penulis menyelesaikan pendidikan
dasar di SD Negeri 112143 (SDN 10) Rantau Prapat,
Sumatera Utara pada tahun 1996 dan melanjutkan ke SMP
Negeri 2 Rantau Prapat hingga tamat pada tahun 1999.
Penulis kemudian melanjutkan studi ke SMU Negeri 5 Bogor pada tahun 1999
dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai
mahasiswi Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi kampus.
Pada periode 2003/2004, penulis menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa
Teknologi Industri (HIMALOGIN) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas
Tekologi Pertanian (BEM-FATETA) masa bakti 2004/2005. Kemudian pada
tahun ajaran 2005/2006, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah
Laboratorium Lingkungan.
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah


SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Pengaruh Jenis Asam Pada
Hidrolisis Pati Sagu (Metroxylon sp.) untuk Pembuatan Etanol ini dengan baik.
Rampungnya kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terimakasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada :
1. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS. dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi., selaku
dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II, yang telah memberikan
bimbingan dan pengarahan kepada penulis dari awal kegiatan penelitian
hingga selesainya penyusunan skripsi ini.
2. Pak Edi, Bu Ega dan Bu Rini selaku teknisi Laboratorium yang telah banyak
membantu penulis selama melaksanakan kegiatan penelitian.
3. Ayahanda dan ibunda (almarhumah) serta kakak-kakak penulis atas segala
kasih sayang, doa, dukungan dan bantuan yang sangat berarti bagi penulis.
4. Sahabat-sahabat penulis, Annisa, Mira, Indri, Dina dan Fifi, serta rekan-
rekan mahasiswa program studi Teknologi Industri Pertanian angkatan 39,
atas segala kebersamaan, dukungan dan bantuannya.
5. Segenap pihak terkait yang telah membantu penulis baik secara langsung
maupun tidak langsung.

Semoga Allah SWT membalas budi baik semua pihak yang telah membantu
penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa-masa
mendatang. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Mei 2009

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................ iii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... viii

I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ....................................................... 1
B. TUJUAN ........................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. BOTANI TANAMAN SAGU ............................................ 4
B. POPULASI, PRODUKSI DAN POTENSI SAGU ............. 5
C. KARAKTERISTIK PATI SAGU ....................................... 8
D. HIDROLISAT PATI SAGU .............................................. 11
E. FERMENTASI ETANOL .................................................. 13

III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT ........................................................ 20
B. METODE PENELITIAN ................................................... 20
1. Karakterisasi Pati Sagu ................................................. 20
2. Penelitian Pendahuluan ................................................ 21
3. Penelitian Utama .......................................................... 21
a. Produksi Hidrolisat Pati Sagu ................................. 21
b. Produksi Etanol ...................................................... 23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. KOMPOSISI PATI SAGU.................................................. 27
B. PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI ASAM
TERHADAP HIDROLISAT PATI SAGU ......................... 30
C. PRODUKSI ETANOL ....................................................... 37
1. pH dan Total Asam ...................................................... 38
2. Biomassa ...................................................................... 41
3. Total Gula dan Kadar Gula Pereduksi ........................... 44
4. Efisiensi Pemanfaatan Substrat ..................................... 47
5. Laju Pembentukan CO2 ................................................ 49
6. Kadar Etanol ................................................................ 52
7. Kinetika Fermentasi ..................................................... 57

V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN .................................................................. 60
B. SARAN ............................................................................. 60

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 62

LAMPIRAN ......................................................................................... 66
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Pertumbuhan Produksi Pati Dunia, Tahun 1970-2000 ........... 7
Tabel 2. Potensi Pemanfaatan Industri Pati Sagu ................................. 7
Tabel 3. Komposisi Pati Sagu dan Beberapa Jenis Bahan Pangan
Lain ...................................................................................... 8
Tabel 4. Sifat Pati Sagu dan Beberapa Jenis Pati Lainnya ................... 10
Tabel 5. Standar Mutu Pati Sagu (SNI 01-3729-1995) ........................ 11
Tabel 6. Karakteristik Pati Sagu .......................................................... 27
Tabel 7. Hasil Analisis Total Gula (TG) dan Total Gula Pereduksi (GP)
pada Penelitian Pendahuluan ................................................. 31
Tabel 8. Hasil Analisis Total Gula, Total Gula Pereduksi, DE, dan DP
pada Hidrolisat Pati Sagu ...................................................... 34
Tabel 9. Hasil Analisis Total Nitrogen pada Konsentrasi Gula 10% .... 36
Tabel 10. Hasil Perhitungan Efisiensi Pemanfaatan Substrat ................. 47
Tabel 11. Hasil Analisis Kadar Etanol Metode Piknometer dan GC ...... 54
Tabel 12. Hasil Perhitungan Koefisien Hasil Fermentasi (dari Data Hasil
Analisis Metode GC) ............................................................. 58
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Areal Sagu di Dunia ........................................................... 6
Gambar 2. (a) Struktur Kimia Amilosa ............................................... 9
(b) Struktur Kimia Amilopektin ......................................... 9
Gambar 3. Embden-Meyerhof-Parnas Pathway ................................... 15
Gambar 4. Diagram Alir Proses Hidrolisis Pati Sagu ........................... 22
Gambar 5. Diagram Alir Proses Produksi Etanol ................................. 25
Gambar 6. Skema Peralatan Pengukuran Laju Pembentukan Gas CO2 .. 26
Gambar 7. Hidrolisat Pati Sagu Sebelum Purifikasi ............................. 32
Gambar 8. Hidrolisat Pati Sagu Setelah Purifikasi ............................... 33
Gambar 9. Peralatan Fermentasi Hidrolisat Pati Sagu Menjadi Etanol .. 38
Gambar 10. Histogram pH Awal dan pH Akhir Fermentasi ................... 40
Gambar 11. Histogram Total Asam pada Awal dan Akhir Fermentasi ... 41
Gambar 12. Histogram Biomassa pada Awal dan Akhir Fermentasi ...... 42
Gambar 13. Histogram Total Gula pada Awal dan Akhir Fermentasi ..... 44
Gambar 14. Histogram Gula Pereduksi Awal dan Akhir Fermentasi ...... 45
Gambar 15. Grafik Laju Pembentukan CO2 Selama Fermentasi ............ 49
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu .......................... 66
Lampiran 2. Prosedur Analisis Hidrolisat Pati Sagu ............................... 69
Lampiran 3. Prosedur Analisis Cairan Fermentasi .................................. 72
Lampiran 4. Neraca Massa Produksi Hidrolisat Pati Sagu Secara Asam .. 74
Lampiran 5. Hasil Pengukuran Laju Pembentukan CO2 .......................... 76
Lampiran 6. Kromatogram Etanol Hasil Fermentasi ............................... 78
Lampiran 7. Hasil Perhitungan Kadar Etanol Metode GC ...................... 81
Lampiran 8. Hasil Analisa Cairan Fermentasi ......................................... 82
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sebagai negara yang terletak di daerah tropika basah, Indonesia kaya


akan tanaman penghasil karbohidrat. Pada umumnya karbohidrat tersebut
diperoleh dari biji-bijian (seperti beras, gandum, jagung, sorgum dan
semacamnya) dan umbi-umbian (seperti ubi kayu, ubi jalar, talas, garut,
ganyong dan semacamnya). Selain itu ada juga jenis tanaman lain yang
menyimpan karbohidrat atau pati pada bagian batang seperti aren (Arenga
pinata), sagu (Metroxylon sp.) dan semacamnya. Sagu dapat tumbuh di daerah
rawa dan gambut atau tanah marginal yang sulit ditumbuhi oleh tanaman
penghasil karbohidrat lainnya (Haryanto dan Pangloli, 1992). Dengan
demikian pengembangan sagu pada lahan tersebut tidak hanya
menguntungkan secara ekonomis, namun juga bermanfaat dari aspek ekologis.
Menurut peneliti ahli dari Universitas Kochi Jepang, Yoshinori
Yamamoto, sagu Indonesia memiliki kandungan pati yang lebih tinggi
dibanding sagu dari Malaysia. Bahkan, beberapa varietas sagu asal Kendari
(Sulawesi Tenggara) dan Bukit Tinggi (Sumatera Barat) mampu memproduksi
lebih dari 300 kg pati untuk tiap pohonnya (Humas, 2006).
Sagu (Metroxylon sp.) di Indonesia merupakan tumbuhan yang tumbuh
dalam bentuk hamparan hutan yang kurang terpelihara sebagaimana mestinya.
Menurut Jong dan Widjono (2007), luas lahan sagu di dunia lebih dari 2,6 juta
ha, namun hanya sekitar 5% yang dibudidayakan, kebanyakan secara semi-liar
dengan perawatan minimal. Pemanfataan sagu sebagai bahan baku dalam
pembuatan makanan tradisional di Indonesia sudah sejak dahulu dikenal.
Bahkan penduduk di beberapa wilayah Indonesia, seperti Maluku, Irian Jaya,
Sulawesi dan Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat mengkonsumsi sagu
sebagai makanan pokoknya. Namun pemanfaatannnya sebagai bahan baku
industri belum cukup luas.
Propek pasar sagu juga cukup baik. Permintaan sagu terus meningkat
baik untuk kebutuhan ekspor maupun domestik. Pasar ekspor yang potensial

1
adalah Jepang, Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Thailand dan Singapura
(Jong dan Widjono, 2007). Permintaan dalam negeri terus meningkat, karena
perkembangan industri makanan, industri pakan ternak, industri farmasi,
industri tekstil, industri kosmetika, industri kimia, dan sebagainya. Pati sagu
juga dapat digunakan sebagai bahan energi. Untuk dapat digunakan sebagai
bahan energi, pati sagu harus diolah terlebih dahulu menjadi etanol melalui
proses hidrolisis dan fermentasi.
Etanol atau etil alkohol merupakan senyawa yang memiliki gugus
hidroksil (OH) yang terikat pada atom karbon. Dalam perdagangan dikenal
dengan nama alkohol, dengan rumus kimia C2H5OH. Industri etanol dirintis
sejak abad ke19, sejalan dengan berkembangnya industri gula di Indonesia.
Etanol memiliki banyak kegunaan, disamping sebagai bahan pelarut, etanol
juga digunakan sebagai bahan baku untuk berbagai keperluan industri, seperti
industri bahan kimia, kosmetika, obat-obatan, minuman, bidang mikrobiologi
dan lain-lain. Selain itu etanol juga dapat digunakan sebagai alternatif bahan
bakar. Etanol yang dihasilkan dari sumber daya alam terbarukan disebut
bioetanol. Molekul bioetanol mengandung oksigen yang menghasilkan
pembakaran bahan bakar dalam mesin menjadi lebih sempurna, sehingga
dapat mengurangi emisi gas buang. Dengan begitu, bioetanol turut berperan
menekan polusi udara. Bioetanol juga mudah terurai dalam air sehingga tidak
menimbulkan pencemaran air (Bukit, 2008).
Permintaan etanol di dunia juga terus meningkat. Dalam kurun 1997
2006, produksi bioetanol dunia tumbuh 11% per tahun (Bukit, 2008). Seiring
dengan akan menipisnya cadangan minyak bumi dan peluang bioetanol
sebagai bahan bakar alternatif, kebutuhan bioetanol di masa mendatang bakal
terus menanjak. Itulah sebabnya peluang usaha bioetanol di tanah air semakin
terbuka.
Etanol dapat diperoleh melalui proses fermentasi. Fermentasi etanol
dengan menggunakan galur khamir Saccharomyces cerevisiae, atau dari jenis
Schizosaccharomyces sp., secara langsung hanya dapat dilakukan terhadap
bahan baku yang mengandung gula seperti sukrosa, glukosa, fruktosa, maltosa
dan rafinosa. Untuk bahan baku pati, sebelum dapat difermentasi menjadi

2
etanol harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi glukosa (Sjamsuriputra et al.,
1986).
Hidrolisis pati sagu untuk pembuatan etanol dapat dilakukan dengan
metode hidrolisis secara asam ataupun dengan hidrolisis enzimatis. Pada
penelitian ini metode yang digunakan adalah hidrolisis secara asam, dengan
menggunakan jenis asam H2SO4 dan HCl. Metode hidrolisis secara asam lebih
sederhana, tanpa harus melalui beberapa tahapan seperti pada hidrolisis secara
enzimatis. Selain itu juga hidrolisis secara asam memerlukan waktu proses
yang relatif lebih singkat, teknologi yang lebih sederhana, pengaturan kondisi
proses yang lebih mudah, serta biaya yang lebih murah karena tidak
melibatkan enzim. Namun metode hidrolisis secara asam memiliki beberapa
kelemahan, yaitu timbulnya warna dan flavor yang tidak diinginkan, sehingga
dapat menurunkan mutu produk. Selain itu rendemen yang dihasilkan juga
lebih rendah, karena pada hidrolisis asam rantai pati dipotong secara acak,
sehingga hasilnya adalah campuran antara dekstrin, maltosa dan glukosa
(Chaplin dan Bucke, 1990). Oleh karena itu, pada tahap awal penelitian ini
dicari formulasi terbaik dari proses hidrolisis secara asam untuk
meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh hidrolisis secara asam
itu sendiri.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian secara umum adalah memproduksi bioetanol dengan


cara fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan substrat
hidrolisat pati sagu hasil hidrolisis secara asam. Tujuan penelitian secara
khusus adalah untuk mendapatkan jenis dan dosis asam (H2SO4 dan HCl)
optimum untuk menghidrolisis pati sagu menjadi hidrolisat pati sagu dan
sebagai sumber karbon pada produksi bioetanol dengan menggunakan larutan
amonia (NH4OH) sebagai larutan penetralisasi pH pada hidrolisat pati sagu
sekaligus sebagai sumber nitrogen pada produksi bioetanol.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BOTANI TANAMAN SAGU

Sagu merupakan tanaman yang berasal dari ordo Spadiciflorae, kelas


Angiospermae, subkelas Monocotyledoneae, famili Palmae, genus
Metroxylon. Keluarga Palmae yang memiliki kandungan pati cukup tinggi
yaitu Metroxylon dan Arenga. Metroxylon berasal dari bahasa Yunani yang
terdiri dari metra yang berarti batang atau empulur dan xylon yang berarti
kayu atau xilem (Flach, 1983 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992).
Tanaman sagu tumbuh subur di berbagai daerah di Indonesia seperti
Maluku, Irian Jaya, Sulawesi, Kalimantan Barat, Riau dan sebagian kecil
Jawa. Daerah pertumbuhan pohon sagu yang paling baik adalah di dataran
rendah, di hutan rawa dan di tepi muara sungai. Menurut Flach (1983) dalam
Haryanto dan Pangloli (1992), daerah pertumbuhan pohon sagu adalah pada
ketinggian sampai 700 meter di atas permukaan laut, antara 10o LU 10o LS
dan 90o BT 180o BT.
Tanaman sagu dapat digolongkan menjadi dua, yaitu tanaman sagu yang
berbuah atau berbunga hanya sekali dan sagu yang berbuah atau berbunga dua
kali atau lebih. Golongan sagu yang berbuah atau berbunga hanya sekali
bernilai ekonomi tinggi karena memiliki kandungan pati yang tinggi, seperti
Metroxylon longispinum Martius, Metroxylon rumpii Martius, Metrozylon
micracantum Martius, Metroxylon sylvester Martius dan Metroxylon sagus
Rottbol. Jenis sagu yang berbuah atau berbunga dua kali atau lebih memiliki
kandungan pati lebih sedikit, biasanya tumbuh di daerah dataran rendah
(Haryanto dan Pangloli, 1992).
Bagian terpenting dari tanaman sagu adalah batang sagu, karena batang
merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan (karbohidrat) yang dapat
menghasilkan pati sagu. Ukuran dari batang sagu dan kandungan patinya
tergantung dari jenis sagu, umur dan habitat pertumbuhannya. Ukuran
diameter batang sagu dapat mencapai 80 cm hingga 90 cm dan rata-rata
berukuran sekitar 50 cm. Pada umur panen sagu sekitar 11 tahun keatas

4
empulur sagu mengandung pati sekitar 1520% (Rumalatu, 1981 dalam
Haryanto dan Pangloli, 1992).
Ciri-ciri pohon sagu yang kandungan patinya mencapai maksimum dan
siap dipanen, yaitu apabila pangkal daun yang terletak di bawah pelepah daun
berwarna kelabu biru (Ishak et al., 1984). Setelah masa panen, sagu akan
mengalami penurunan kandungan pati. Penurunan kandungan pati biasanya
ditandai dengan mulai terbentuknya primordia bunga. Setelah melewati fase
primordia, kandungan pati menurun karena digunakan sebagai energi untuk
pembentukan bunga dan buah. Setelah pembungaan dan pembentukan buah,
batang akan menjadi kosong dan tanaman sagu akan mati. Keadaan tersebut
mempermudah petani dalam mengetahui rendemen pati sagu maksimal
(Haryanto dan Pangloli, 1992).
Bagian lain yang berperan penting dalam pembentukan pati sagu adalah
daun sebagai tempat fotosintesis. Pertumbuhan dan perkembangan daun yang
baik akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organ lainnya
seperti batang, kulit dan empulur, sehingga pembentukan pati sagu dapat
berlangsung optimal (Haryanto dan Pangloli, 1992).
Sagu jenis Metroxylon, Arenga dan Mauritia merupakan produk yang
potensial untuk dikembangkan karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Jenis palem tersebut memiliki toleransi terhadap kualitas tanah rendah,
sehingga dapat dibudidayakan sebagai salah satu potensi untuk meningkatkan
pendapatan bagi daerah dengan lahan tidak subur (Rudlee et al., 1978).

B. POPULASI, PRODUKSI DAN POTENSI SAGU

Sagu yang tersebar di Indonesia umumnya merupakan jenis Metroxylon


sagus Rooth dan Metroxylon rumpii yang berduri. Tanaman ini berasal dari
Maluku kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Sagu
merupakan salah satu sumber karbohidrat potensial di samping beras,
khususnya bagi sebagian besar masyarakat di kawasan Timur Indonesia,
seperti Irian Jaya dan Maluku. Tanaman sagu umumnya tumbuh secara liar,
namun ada juga yang sengaja dibudidayakan secara intensif, meskipun
jumlahnya baru sedikit (Haryanto dan Pangloli, 1992).

5
Populasi tanaman sagu sangat bergantung dari jenis, daerah produksi,
dan perlakuan yang diberikan selama masa pertumbuhan. Pertumbuhan sagu
yang dibudidayakan populasinya lebih padat daripada yang tumbuh secara
liar. Jumlah pohon yang dapat dipanen dalam satu hektar berbeda-beda tiap
tahunnya. Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), pohon sagu di Indonesia
dapat menghasilkan 250 kg tepung kering per batang, sehingga apabila setiap
hektar terdapat 1620 batang sagu yang masak tebang, maka setiap tahun
Indonesia dapat memproduksi 4,5 juta ton tepung sagu kering.
Potensi sagu yang bisa digarap di Indonesia sebenarnya sangat besar,
sekitar 51% potensi sagu dunia ada di Indonesia (Gambar 1), dan sekitar 90%
potensi sagu Indonesia ada di Papua, sisanya tersebar di Maluku, kepulauan
Riau, Mentawai, Kalimantan dan Sulawesi. Karena itu Indonesia mempunyai
peluang amat besar untuk menjadi pelopor dalam modernisasi industri
pengolahan sagu (Jong dan Widjono, 2007). Namun pemanfataan sagu di
Indonesia masih sangat rendah. Sebagian areal sagu Indonesia, khususnya
yang berada di Papua saat ini telah menyusut akibat eksploitasi yang
berlebihan. Umumnya daerah sagu yang potensial berlokasi di daerah terisolir
dan jauh dari perkotaan. Sistem pengolahan sagu di Indonesia masih sangat
sederhana atau tradisional, ditandai dengan kapasitas dan produktivitas
pengolahan yang rendah dan tidak kontinyu.

3.7% 1.5%

Malaysia
Indonesia
Thailand
Papua New Guinea
Others

43.3% 51.3%
0.2%

Gambar 1. Areal sagu di dunia (Anonim, 2008)

Pati merupakan bahan dasar berbagai macam industri sehingga


produksinya di dunia terus meningkat dalam beberapa dasawarsa terakhir,

6
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Pasar pati dunia diperkirakan tumbuh
sekitar 7,7% per tahun (Jong dan Widjono, 2007).

Tabel 1. Pertumbuhan Produksi Pati Dunia, Tahun 1970 - 2000

Tahun Produksi Pati (juta ton/th)


Pertengahan 1970-an 7
Pertengahan 1980-an 18
Awal 1990-an 20
1996 36
1999 47
2000 48,5
Sumber : Jong dan Widjono (2007)

Beberapa produk olahan dari pati sagu sebagian besar berasal dari
wilayah Indonesia Bagian Timur, seperti papeda, soun dan ongol-ongol. Pada
industri kue kering atau biskuit, tepung sagu biasanya digunakan sebagai
campuran tepung terigu, yang dapat membuat kue kering lebih renyah. Buah
atau umbut dari tanaman sagu dapat dimakan, lapisan luar batangnya dapat
dibuat topi, tikar, tempat air, anak panah dan kayu bakar. Daunnya dapat
digunakan sebagai atap dan tikar, sedangkan tangkai daunnya dimanfaatkan
sebagai dinding rumah (Sastrapradja et al., 1980). Ringkasan potensi
pemanfaatannya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Potensi Pemanfaatan Industri Pati Sagu

Industri Pemanfaatan
Non pangan Lem, keramik, kosmetik, insulasi, cat,
plywood, tekstil
Pangan Roti, permen, dairy, desserts, mi,
salad dressings, pemanis
Hidrolisis & fermentasi Asam sitrat, ethanol, lisin, asam laktat
(plastik organik)
Lain-lain Farmasi, aseton, larutan injeksi
dekstrosa, penisilin, antibiotik

Sumber : Jong dan Widjono (2007)

7
C. KARAKTERISTIK PATI SAGU

Pati merupakan sumber polisakarida kedua setelah selulosa yang


jumlahnya melimpah pada tanaman. Pati dikumpulkan di dalam kloroplas dan
kromatofora dan disimpan sebagai suatu cadangan energi pada akar, biji, dan
akar umbi sebagai suatu partikel kecil yang dikenal dengan granula (Betancur
dan Chel, 1997). Pati merupakan butiran atau granula yang berwarna putih
mengkilat, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa (Haryanto dan Pangloli,
1992).
Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk persediaan
bahan makanan. Pati sagu berbentuk elips (prolate ellipsoidal) berukuran 5
80 m, relatif lebih besar daripada pati serealia (Wirakartakusumah et al.,
1984). Sagu memiliki kandungan karbohidrat, protein, lemak, serta kalori
yang tinggi. Komposisi kandungan sagu tersebut dapat menjadi penyelamat
pada saat terjadi rawan pangan, serta diversifikasi pangan. Komposisi kimia
tiap 100 g pati sagu dan beberapa jenis bahan pangan lain dapat dilihat pada
Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Pati Sagu dan Beberapa Jenis Bahan Pangan Lain

Jenis Bahan Sagu a) Ubi kayu b) Garut b)

Kalori (kal) 357 362 355


Protein (g) 0,7 0,5 0,7
Lemak (g) 0,2 0,3 0,2
Karbohidrat (g) 85 86 85
Air (g) 13,7 12 13,6
a)
Sumber : Bintoro (1999)
b)
Haryanto dan Pangloli (1992)

Secara tradisional, pati sagu biasanya dikonsumsi langsung setelah


dibakar atau diawetkan dalam bentuk bricks dan pearls. Dalam industri
pangan, pati sagu banyak digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan
kue, jelly, makanan bayi, pembuatan gula cair dan bahan energi
(Wirakartakusumah et al., 1984). Menurut Subing dan Karmansyah (1993)
dalam Bintoro (1999), untuk dapat digunakan sebagai bahan energi, pati sagu

8
harus diolah terlebih dahulu menjadi etanol melalui proses hidrolisis dan
fermentasi. Secara teoritis, 1 ton pati sagu dapat dijadikan 715 l etanol.
Pada dasarnya pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan
glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas.
Fraksi yang larut dalam air disebut amilosa, dan fraksi yang tidak larut disebut
amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan 1,4D
glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan 1,6D
glukosa sebanyak 45% dari berat total (Winarno, 1986). Struktur kimia
amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2a dan 2b.

Gambar 2a. Struktur kimia amilosa (Beynum dan Roels, 1985)

Gambar 2b. Struktur kimia amilopektin (Beynum dan Roels, 1985)

9
Pati sagu dapat diperoleh dari empulur batang sagu dengan cara
ekstraksi. Empulur batang dihancurkan kemudian dicampur air yang bertindak
sebagai carrier, lalu diperas dan disaring. Kemudian pati yang terdapat dalam
filtrat diendapkan (Ishak et al., 1984).
Pati sagu mengandung 27% amilosa dan 73% amilopektin
(Wirakartakusumah et al., 1984). Menurut Haryanto dan Pangloli (1992),
berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai
karbonnya. Perbandingan komposisi kadar amilosa dan amilopektin juga akan
mempengaruhi sifat pati. Apabila kadar amilosa pada pati semakin tinggi,
maka pati bersifat kering, kurang lekat dan higroskopis atau mudah menyerap
air. Perbedaan sifat dari pati sagu dengan beberapa jenis pati lainnya dapat
dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Sifat Pati Sagu dan Beberapa Jenis Pati Lainnya


Ukuran Kandungan Kisaran Suhu
Bentuk
Jenis Pati Granula Amilopektin / Gelatinisasi
Granula
(m) Amilosa (%) (oC)
Elips agak
Sagu 20 60 73 / 27 60 72
terpotong
Beras Poligonal 38 83 / 17 61 78
Jagung Poligonal 5 25 74 / 26 62 74
Kentang Bundar 15 100 76 / 24 56 69
Ubi kayu Oval 5 35 83 / 17 52 64
Gandum Elips 2 35 75 / 25 52 64
Ubi jalar poligonal 16 25 82 / 18 58 74
Sumber : Knight (1989) dalam Haryanto dan Pangloli (1992)

Sifat pati tidak larut dalam air, namun bila suspensi pati dipanaskan
akan terjadi gelatinisasi setelah mencapai suhu tertentu, yang disebut suhu
gelatinisasi dari pati tersebut. Pemanasan menyebabkan energi kinetik
molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik-menarik antara
molekul pati dalam granula, sehingga air dapat masuk kedalam pati tersebut
dan pati akan membengkak (mengembang). Granula pati dapat membengkak
luar biasa dan pecah sehingga tidak dapat kembali pada kondisi semula.

10
Perubahan sifat ini disebut gelatinisasi (Winarno, 1997). Suhu gelatinisasi
tergantung pada konsentrasi suspensi pati, semakin tinggi konsentrasi larutan
(suspensi) pati, suhu gelatinisasi semakin lambat tercapai. Selain itu, suhu
gelatinisasi tiap jenis pati berbeda-beda, antara 52 oC sampai 78 oC. Menurut
Knight (1989) dalam Haryanto dan Pangloli (1992), suhu gelatinisasi pati
sagu sekitar 6072 oC, sedangkan menurut Wirakartakusumah et al. (1984),
suhu gelatinisasi pati sagu sekitar 7290 oC.
Mutu pati sagu ditentukan oleh ukuran, bentuk, aroma, rasa dan faktor
lainnya. Pati sagu yang diperdagangkan harus memenuhi standar mutu yang
telah ditetapkan. Penentuan standar mutu pati sagu perlu dilakukan agar
penggunannya dapat menjamin keselamatan konsumen. Badan Standarisasi
Nasional mengeluarkan Standar Nasional Indonesia untuk mutu pati sagu
yang ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Standar Mutu Pati Sagu (SNI 01-3729-1995)


Karakteristik Kriteria
Kadar Air (% b/b) Maks. 13
Kadar Abu (% b/b) Maks. 0,5
Kadar Serat Kasar (% b/b) Maks. 0,11
Derajat Asam (ml NaOH 1N/100 g) Maks. 4
Kadar SO2 (mg/kg) Maks. 30
Jenis Pati lain selain Pati Sagu Tidak boleh ada
Kehalusan (lolos ayakan 100 mesh) % b/b Min. 95
Total Plate Count (koloni/g) Maks. 106
Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (1995)

D. HIDROLISAT PATI SAGU

Pati tidak mempunyai rasa manis, akan tetapi komponennya terdiri dari
unit-unit glukosa yang bila dibebaskan dari polimernya dengan proses
hidrolisis akan mempunyai rasa manis (Miller, 1975). Hidrolisat pati
didefinisikan sebagai cairan jernih dan kental yang komponen utamanya
glukosa yang diperoleh dari proses hidrolisis pati (Said, 1987).

11
Hidrolisis merupakan proses pemecahan (penguraian) pati menjadi unit-
unit monomer gula. Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan bantuan asam atau
dengan enzim pada waktu, suhu, dan pH tertentu. Beberapa polisakarida
biasanya terhidrolisis oleh asam mineral, seperti H2SO4. Selain asam mineral,
asam-asam organik seperti HCl, asam oksalat, asam trikloroasetat, dan asam
trifluoroasetat juga dapat dimanfaatkan sebagai katalis dalam proses hidrolisis
pati (Tjokroadikoesoemo, 1986).
Hidrolisis asam merupakan proses yang dilakukan secara acak dan tidak
terpengaruh dengan adanya ikatan 1,6glikosidik. Pemotongan rantai pati
oleh asam tidak teratur dibandingkan hasil pemotongan rantai oleh enzim,
sehingga hasilnya adalah campuran antara dekstrin, maltosa dan glukosa
(Chaplin dan Bucke, 1990).
Proses hidrolisis pati dengan bantuan asam pertama kali ditemukan oleh
Kirchoff pada tahun 1812, namun produksi secara komersial baru terlaksana
pada tahun 1850. Pada proses ini, sejumlah pati terlebih dahulu diasamkan
sampai sekitar pH 2, kemudian dipanaskan dengan menggunakan uap dalam
suatu tangki bertekanan yang disebut konverter hingga suhu 120140 oC
(Tjokroadikoesoemo, 1986).
Pada reaksi dengan suhu tinggi, gula pereduksi menghasilkan warna
kecoklatan. Warna kecoklatan ini dibutuhkan pada beberapa produk pangan
seperti roti atau makanan panggang lainnya. Namun pada hidrolisat pati,
warna kecoklatan tersebut tidak diinginkan. Menurut Said (1987),
pembentukan warna tersebut tergantung pada beberapa faktor, antara lain
konsentrasi prekursor warna seperti hidroksimetilfurfural dan senyawa-
senyawa amino yang ada serta kadar gula pereduksi sirup (hidrolisat) pati.
Menurut Winarno (1997), pada umumnya proses pencoklatan dapat dibagi
menjadi dua jenis, yaitu proses pencoklatan enzimatik dan non enzimatik.
Salah satu proses pencoklatan non enzimatik adalah reaksi Maillard yang
terjadi antara gula pereduksi dengan gugus amina primer dan menghasilkan
bahan berwarna coklat yang dapat menurunkan mutu produk.
Menurut Junk dan Pancoast (1977) dalam Rinaldy (1987), apabila pati
dihidrolisis dengan katalis asam akan terjadi pemutusan ikatan COC

12
dengan menghasilkan glukosa dan beberapa polimernya. Dan bila diteruskan,
proses tersebut akan meningkatkan proporsi gula dengan bobot molekul
rendah. Kemudian polimer-polimer tersebut dihidrolisis sampai menjadi
glukosa. Hidrolisis pati secara sempurna berlangsung dengan reaksi sebagai
berikut,
(C6H10O5)n + nH2O n (C6H12O6)
pati katalis dan panas glukosa

Hidrolisis asam memecah pati secara acak dan sebagian gula yang
terbentuk merupakan gula pereduksi, oleh karena itu pengukuran kandungan
gula pereduksi tersebut dapat dijadikan alat pengontrol kualitas hasil
(Tjokroadikoesoemo, 1986). Tingkat konversi pati menjadi komponen glukosa
ditentukan oleh derajat konversi yang dikenal sebagai ekivalen dekstrosa atau
Dextrose Equivalent (DE). Menurut Palmer (1970), Dextrose Equivalent (DE)
adalah nilai yang menunjukkan derajat konversi pati yang diukur dengan
banyaknya molekul pati yang dipotong menjadi komponen glukosa, maltosa
dan dekstrin. Derajat konversi ditentukan oleh waktu, tekanan dan katalis.
Semakin tinggi nilai DE, semakin tinggi kandungan glukosanya.
Menurut Howling (1979), sirup glukosa hasil hidrolisis asam
mempunyai nilai DE antara 3055. Tjokroadikoesoemo (1986), menambahkan
bahwa konversi diatas DE 55 akan menghasilkan banyak zat warna dan
menimbulkan rasa pahit.
Proses hidrolisis diuji dengan menggunakan larutan KI 1% yang
diteteskan kedalam larutan hasil hidrolisis. Apabila larutan hasil hidrolisis
yang telah ditetesi larutan KI tidak menghasilkan warna biru (tidak terjadi
perubahan warna), berarti proses hidrolisis sudah selesai (Rinaldy, 1987).

E. FERMENTASI ETANOL

Fermentasi adalah proses metabolisme yang menyangkut perubahan


kimia pada substrat bahan organik, baik karbohidrat, protein, lemak, maupun
bahan yang lainnya, melalui kegiatan katalis biokimia yang dikenal sebagai
enzim, dan dihasilkan dari aktivitas enzim tersebut oleh jenis mikroba spesifik
(Presscot dan Dunn, 1981). Fermentasi dapat terjadi secara aerob

13
(memerlukan oksigen) maupun anaerob (tidak memerlukan oksigen). Menurut
Hidayat et al. (2006), fermentasi dapat didefinisikan sebagai perubahan
gradual oleh enzim beberapa bakteri, khamir dan kapang. Contoh perubahan
kimia dari fermentasi meliputi pengasaman susu, dekomposisi pati dan gula
menjadi alkohol dan karbondioksida, serta oksidasi senyawa nitrogen organik.
Mikroba yang digunakan pada fermentasi etanol adalah khamir. Khamir
berbentuk menyerupai kapang dari kelompok Ascomycetes yang tidak
berfilamen tetapi uniseluler, umumnya berbentuk oval, silinder, bulat dan
batang. Saccharomyces cerevisiae melakukan reproduksi vegetatif dengan
membentuk tunas, dan tidak mampu tumbuh pada nitrat sebagai satu-satunya
sumber nitrogen (Hidayat et al., 2006).
Etanol dapat diproduksi dari gula yang difermentasi oleh khamir pada
kondisi yang sesuai. Penambahan khamir dapat dilakukan dalam bentuk
kering atau sebagai suspensi. Bahan-bahan yang mengandung monosakarida
(C6H12O6 sebagai glukosa) dapat langsung difermentasi, sedangkan disakarida,
pati, selulosa, ataupun karbohidrat kompleks harus dihidrolisis terlebih dahulu
menjadi komponen sederhana (monosakarida), untuk kemudian dapat
difermentasi secara biologis dan kimia (Said, 1987).
Pemilihan mikroba biasanya didasarkan pada jenis karbohidrat yang
digunakan sebagai medium. Untuk memproduksi alkohol dari pati dan gula
digunakan Saccharomyces cerevisiae dan kadang-kadang digunakan juga
Saccharomyces ellipsoides (Said, 1987). Saccharomyces cerevisiae
merupakan khamir yang paling populer dalam pengolahan makanan. Khamir
ini telah lama digunakan dalam industri wine dan bir (Hidayat et al., 2006).
Menurut Rehm dan Reed (1981), Saccharomyces cerevisiae sering dipakai
pada fermentasi etanol karena menghasilkan kadar etanol yang tinggi, toleran
terhadap kadar etanol yang tinggi, mampu hidup pada suhu tinggi, tetap stabil
selama kondisi fermentasi dan dapat bertahan hidup pada pH rendah.
Pada awal proses fermentasi etanol, khamir memerlukan oksigen untuk
pertumbuhannya, sehingga perlu diberikan oksigen. Setelah terbentuk CO2,
reaksi akan berubah menjadi anaerob. Konsentrasi alkohol yang tinggi bersifat
racun terhadap khamir. Alkohol akan menghalangi fermentasi lebih lanjut

14
setelah tercapai konsentrasi antara 1315% (v/v), tergantung pada suhu dan
jenis khamir yang digunakan (Presscot dan Dunn, 1981).
Pada proses fermentasi etanol, khamir akan memetabolisme glukosa dan
fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-
Meyerhorf-Parnas (EMP) atau glikolisis (Gambar 3).

Gambar 3. Embden-Meyerhof-Parnas Pathway (Fardiaz, 1988)

15
Jalur Embden-Meyerhof-Parnas (EMP) terdiri dari beberapa tahap,
masing-masing dikatalis oleh enzim tertentu. Jalur tersebut ditandai dengan
pembentukan fruktosa difosfat, dilanjutkan dengan pemecahan fruktosa
difosfat menjadi dua molekul gliseraldehida fosfat. Reaksi ini dikatalis oleh
enzim aldolase. Kemudian terjadi reaksi dehidrogenasi gliseraldehida fosfat
(fosfogliseraldehida) yang merupakan reaksi oksidasi yang menghasilkan
energi dalam bentuk ATP (adenin-tri-phosphat). Reaksi ini dikatalis oleh
enzim gliseraldehida fosfat dehidrogenase. Atom hidrogen yang terlepas akan
ditangkap oleh nikotinamida-adenin-dinukleotida (NAD), membentuk
NADH2. Proses fermentasi dapat berlangsung terus jika NADH2 dapat
dioksidasi kembali pada tahap kedua fermentasi sehingga melepaskan atom
hidrogen kembali. Jadi, NAD berfungsi sebagai pembawa hidrogen dalam
proses fermentasi (Fardiaz, 1988).
Asam piruvat yang dihasilkan kemudian didekarboksilasi menjadi
asetaldehida, lalu mengalami dehidrogenasi sehingga terkonversi menjadi
etanol (Amerine et al., 1987). Pemecahan asam piruvat menjadi etanol terjadi
melalui reaksi berikut,
CO2 NADH H+ + NAD+
CH3COCO2H CH3CHO C2H5OH
asam piruvat asetaldehida etanol

Monomer gula dapat diubah secara anaerobik menjadi alkohol oleh


bermacam-macam mikroba. Secara teoritis, setiap molekul glukosa diubah
menjadi 2 molekul etanol dan 2 molekul CO2 menurut persamaan Gay
Lussaac seperti berikut,
C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2
glukosa etanol karbondioksida

atau dalam dasar berat, 51,1% gula diubah menjadi etanol, dan 48,9% diubah
menjadi karbondioksida. Akan tetapi pada kenyataannya hasil tersebut tidak
dapat tercapai karena adanya hasil sampingan, berupa penggunaan gula untuk
pertumbuhan dan metabolisme khamir (Amerine et al., 1987).
Menurut Paturau (1982), fermentasi etanol memakan waktu antara 30
72 jam. Sedangkan menurut Presscot dan Dunn (1981), waktu yang
dibutuhkan untuk fermentasi etanol adalah antara 37 hari.

16
Khamir memerlukan medium dan lingkungan yang sesuai untuk
pertumbuhan dan perkembangannya. Unsur-unsur dasar yang dibutuhkan
adalah karbon yang diperoleh dari gula, nitrogen dari amonia, oksigen, fosfor,
kalium, zat besi dan magnesium yang berperan dalam pembentukan alkohol.
Unsur kelumit (trace element) juga memegang peranan penting untuk
pertumbuhan khamir (Presscot dan Dunn, 1981).
Untuk mendapatkan etanol dalam jumlah yang maksimum dari proses
fermentasi, perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi fermentasi
etanol tersebut. Faktor-faktor tersebut diantaranya sebagai berikut,

a. Suhu Fermentasi
Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan
mikroba. Jika mikroba ditumbuhkan pada suhu diatas suhu maksimumnya,
maka protein dan enzim dalam sel mikroba tersebut akan mengalami
denaturasi yang mengakibatkan terhentinya proses metabolisme (Hidayat
et al., 2006). Menurut Presscot dan Dunn (1981), suhu optimum bagi
pertumbuhan khamir pada fermentasi etanol antara 2535 oC. Sedangkan
menurut Hidayat et al. (2006), suhu optimum untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakan khamir adalah 2830 oC.
Pada waktu fermentasi terjadi kenaikan panas, karena reaksinya
eksoterm. Kenaikan suhu akan menurunkan ketahanan khamir terhadap
etanol yang dihasilkan, dan meningkatkan pembentukan asam asetat yang
bersifat racun. Suhu yang terlalu tinggi juga dapat mengurangi hasil etanol
karena terjadinya proses penguapan (Hidayat et al., 2006). Amerine et al.
(1987) menambahkan bahwa fermentasi pada suhu rendah bertujuan untuk
menghambat aktivitas mikroba thermofilik, bakteri, dan khamir liar.

b. Derajat Keasaman (pH)


pH medium merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan produk. Nilai pH
berkorelasi positif dengan pembentukan asam piruvat. Jika pH tinggi,
maka fase awal (lag phase) akan lebih pendek, sehingga aktivitas
fermentasi akan meningkat (Presscot dan Dunn, 1981). Karena pH sangat

17
penting, maka dalam proses fermentasi parameter ini perlu dijaga agar
tetap konstan. Caranya yaitu dengan penambahan larutan penyangga
(buffer) atau dengan penggunaan sistem kontrol pH tertentu (Said, 1987).
Khamir tumbuh dan efisien untuk fermentasi etanol pada kisaran pH
3,56,0. Sementara pH optimum untuk proses fermentasi etanol adalah
antara 4,05,0. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), pada pH dibawah
3,0 dan diatas 6,0 khamir tidak dapat tumbuh dengan baik, sehingga proses
fermentasi akan berkurang kecepatannya.

c. Oksigen
Khamir tumbuh dengan baik pada kondisi aerob, tetapi ada beberapa
jenis yang dapat tumbuh pada kondisi anaerob, seperti Saccharomyces
cerevisiae. Menurut Anonim (2008), pada permulaan proses fermentasi,
khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya sehingga terjadi
metabolisme aerob atau respirasi. Pada proses respirasi, asam piruvat
dioksidasi menjadi karbondioksida (CO2) dan air. Setelah terbentuk CO2,
reaksi akan berubah menjadi anaerob. Pada kondisi anaerob, respirasi
digantikan dengan fermentasi. Pada proses fermentasi, asam piruvat
diubah menjadi etanol dan CO2. Apabila terdapat udara pada proses
fermentasi, maka etanol yang dihasilkan lebih sedikit, karena terdapat
proses respirasi sehingga terjadi konversi gula menjadi CO2 dan air.

d. Medium Fermentasi
Rancang bangun medium untuk pertumbuhan dan pembentukan
produk merupakan suatu langkah yang menentukan berhasil-tidaknya
suatu produksi. Komponen-komponen kimiawi medium harus dapat
menyuplai kebutuhan elemen untuk pembentukan massa sel dan produk,
serta harus dapat menyuplai energi yang tepat untuk sintesis dan
pemeliharaan (Said, 1987). Medium kultur harus mengandung semua
elemen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba, dalam proporsi
yang serupa dengan yang ada pada sel mikroba tersebut. Umumnya yang
disebut makronutrien adalah elemen yang dibutuhkan dalam jumlah yang
besar, seperti unsur C, H, O dan N. Mesonutrien merupakan elemen yang

18
dibutuhkan dalam jumlah yang lebih sedikit, seperti Mg, P dan S,
sedangkan mikronutrien dibutuhkan dalam jumlah yang sangat sedikit,
seperti Fe, Cu, Zn dan Mo (Hidayat et al., 2006).
Higgins et al. (1984) menyatakan bahwa konsentrasi gula yang
paling baik untuk proses fermentasi etanol adalah 1625%, yang akan
dihasilkan rendemen etanol sebesar 625%. Menurut Amerine et al.
(1987), konsentrasi gula yang tinggi (>25%), dapat menyebabkan aktivitas
khamir menjadi terhambat (substrate inhibition) dan waktu fermentasi
menjadi lebih lama, serta tidak semua gula dapat dikonversi menjadi
etanol. Jika konsentrasi gula yang terlalu tinggi (>70%), maka akan
menyebabkan proses fermentasi menjadi terhenti akibat adanya tekanan
osmotik yang menyebabkan lisis pada sel mikroba. Penggunaan
konsentrasi gula yang terlalu rendah akan menjadikan proses fermentasi
menjadi tidak ekonomis, karena penggunaan fermentor yang tidak efisien.

e. Kebutuhan Nutrien Tambahan


Untuk melengkapi sumber gula pada produksi etanol, proses
fermentasi etanol selain menggunakan gula sebagai bahan dasar, harus
dilengkapi pula dengan nutrien tambahan untuk pemeliharaan sel dan
pertumbuhan mikroba. Menurut Hidayat (2006), unsur C, unsur N, unsur
P, mineral, vitamin, biotin, dan pantotenat merupakan bahan pendorong
pertumbuhan, sementara thiamin dan piridoksin dapat meningkatkan
produktivitas etanol serta meningkatkan kadar alkohol.

f. Kadar Etanol
Menurut Reed dan Peppler (1973), etanol dengan kadar sekitar 5%
(v/v) dapat mempengaruhi aktivitas khamir, tetapi etanol berantai panjang
dengan kadar diatas 5% (v/v) akan menghambat aktivitas khamir tersebut.
Fiecther (1982) menyatakan bahwa etanol dengan konsentrasi tinggi
merupakan racun bagi khamir. Etanol pada konsentrasi tinggi dapat
mendenaturasi protein dan melarutkan lemak, sehingga dinding sel khamir
menjadi rusak dan selanjutnya khamir akan mati.

19
II. METODOLOGI

C. BAHAN DAN ALAT

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu
(Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah
Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan untuk proses fermentasi adalah
kultur Saccharomyces cerevisiae yang diperoleh dari Laboratorium
Bioindustri, Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETAIPB.
Adapun bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain aquades, HCl,
H2SO4, dan NH4OH untuk proses hidrolisis secara asam; PDA (Potato
Dextrose Agar) dan PDB (Potato Dextrose Broth) sebagai medium
perkembangbiakan; serta pupuk NPK dan ZA sebagai sumber nutrient dalam
fermentasi etanol; NaOH, pereaksi Luff Schoorl, KI, larutan tio, indikator
kanji, indikator fenolftalein, pelarut etanol, aseton, glukosa standar, pereaksi
fenol, pereaksi DNS, dan katalis yang digunakan untuk analisis bahan.
Alat-alat yang digunakan diantaranya alat-alat gelas, kertas saring,
timbangan, neraca analitik, termometer, pipet, buret, labu Soxhlet, piknometer,
stirrer, jarum ose, bunsen, oven, pH meter, otoklaf, inkubator, inkubator
goyang, penangas listrik, waterbath, tanur, destilator, desikator, clean bench,
lemari pendingin, spektrofotometer serta alat-alat analisis bahan baku dan
produk.

D. METODE PENELITIAN

1. Karakterisasi Pati Sagu

Pada penelitian tahap pertama dilakukan karakterisasi pati sagu


untuk menganalisis sifat-sifat fisik dan kimia pati sagu yang digunakan.
Analisis yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar serat kasar,
kadar lemak, kadar protein, dan kadar pati. Prosedur analisis karakteristik
pati sagu dapat dilihat pada Lampiran 1.

20
2. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi


HCl dan H2SO4 terbaik dari empat taraf konsentrasi yang dicobakan, yaitu
(0,5 N; 1 N; 2 N; dan 3 N) yang digunakan dalam proses hidrolisis secara
asam. Konsentrasi terbaik dari kedua jenis asam tersebut ditentukan
dengan melakukan analisis terhadap hidrolisat pati sagu yang dihasilkan.
Analisis tersebut meliputi penentuan kadar gula pereduksi (GP) dan total
gula (TG). Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 2.
Konsentrasi asam yang dinilai terbaik adalah yang menghasilkan
nilai GP dan TG tertinggi pada hidrolisat pati sagu. Konsentrasi asam
terbaik yang dihasilkan dari penelitian pendahuluan tersebut kemudian
digunakan untuk produksi hidrolisat pati sagu pada penelitian utama.

3. Penelitian Utama

i. Produksi Hidrolisat Pati Sagu

Pada tahap ini, dilakukan hidrolisis pati sagu dengan metode


hidrolisis secara asam . Metode hidrolisis asam yang digunakan adalah
modifikasi metode hidrolisis asam oleh Rahayu (2006). Proses
dilakukan dalam dua tahap, yaitu gelatinisasi dan hidrolisis.
Gelatinisasi bertujuan untuk memecah granula pati sehingga asam
lebih mudah mencapai molekul-molekul pati. Gelatinisasi dilakukan
pada suhu 100 oC selama 10 menit, serta pada kondisi asam dengan
kisaran pH 2.
Tahap berikutnya yaitu hidrolisis, yang bertujuan untuk
memecah (mengurai) pati ataupun karbohidrat kompleks menjadi
komponen sederhana (monosakarida) agar dapat difermentasi.
Hidrolisis dilakukan dengan menggunakan otoklaf pada suhu 121 oC
selama 30 menit. Tahapan hidrolisis ini dilakukan dengan
menggunakan pati sagu dengan konsentrasi 16%. Penetapan
konsentrasi ini berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Rahayu (2006) yang menyatakan bahwa hidrolisat pati sagu dengan
nilai total gula dan nitrogen tertinggi yang dihasilkan melalui hidrolisis

21
asam diperoleh dengan menggunakan konsentrasi pati sagu 16%.
Diagram alir proses hidrolisis parsial pati sagu secara asam dapat
dilihat pada Gambar 4.

Pati Sagu

Larutan Asam Pembuatan Suspensi Pati


(HCl atau H2SO4) 16 % (b/b)

Gelatinisasi
(T = 100 oC, t = 10 menit)

Hidrolisis
(T = 121 oC, t = 30 menit)

NH4OH 3N Netralisasi pH
(pH = 4,5 - 5)

Karbon aktif Purifikasi


(2% bk. pati) (T = 80 oC t = 1 jam)

Penyaringan

Hidrolisat
Pati Sagu

Gambar 4. Diagram Alir Proses Hidrolisis Pati Sagu

22
Katalis asam yang dicobakan dalam penelitian ini adalah asam
klorida (HCl) dan asam sulfat (H2SO4) dengan konsentrasi terbaik
yang ditentukan dari hasil penelitian pendahuluan. Basa penetral yang
digunakan adalah NH4OH. Penggunaan NH4OH sebagai basa penetral
bertujuan untuk mendapatkan garam amonium klorida (NH4Cl) dan
amonium sulfat ((NH4)2SO4) pada hidrolisat pati sagu yang dihasilkan
yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber nitrogen.
Untuk mendapatkan hidrolisat pati yang jernih, terlebih dahulu
dilakukan proses pemucatan (purifikasi). Menurut Ciptadi dan
Machfud (1980), proses pemucatan dilakukan pada suhu 6070 oC
dengan penambahan arang aktif sebanyak 2% dari berat tepung dan
proses berlangsung selama satu jam. Hidrolisat pati yang dihasilkan
tersebut selanjutnya digunakan sebagai medium bagi pertumbuhan
Saccharomyces cerevisiae untuk produksi etanol.
Analisis yang dilakukan terhadap hidrolisat pati sagu yang
dihasilkan meliputi pengukuran nilai pH, nilai kadar gula total, kadar
gula pereduksi, derajat polimerisasi (DP) dan ekivalen dekstrosa
(Dextrose Equivalent/DE), serta nilai kadar nitrogen total. Analisis
total gula ditetapkan berdasarkan metode fenol sulfat (AOAC, 1995),
sedangkan analisis gula pereduksi ditetapkan menggunakan metode
DNS (Apriyantono et al., 1989). Prosedur analisis hidrolisat pati sagu
tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.

ii. Produksi Etanol

1. Penyegaran Kultur Khamir


Sebelum proses fermentasi dilakukan, terlebih dahulu
dilakukan penyegaran (regenerasi) kultur khamir pada medium
padat PDA (Potato Dextrose Agar). Kultur murni Saccharomyces
cerevisiae dibiakkan pada agar miring PDA selama 48 jam dalam
inkubator dengan suhu 30 oC dan kondisi aerobik.

23
 Pembuatan Inokulum
Kultur khamir yang telah disegarkan tersebut selanjutnya
dibiakkan pada medium cair PDB (Potato Dextrose Broth)
sebelum digunakan untuk fermentasi hidrolisat pati sagu menjadi
etanol. Sebanyak 10 ml medium cair PDB disterilisasi terlebih
dahulu, kemudian + 3 jarum Ose hasil biakan khamir yang telah
disegarkan sebelumnya diinokulasikan secara aseptis dan
ditumbuhkan secara aerobik selama 24 jam menggunakan
inkubator goyang pada suhu sekitar 30 oC atau suhu kamar. Hasil
biakan pada PDB ini kemudian digunakan sebagai inokulum untuk
fermentasi utama.

 Fermentasi Etanol
Pada tahap ini, dilakukan proses fermentasi dengan
menggunakan tiga jenis substrat yang masing-masing terdiri dari
tiga kali ulangan, yaitu : A (substrat sirup glukosa teknis 10%,), B
(substrat hidrolisat H2SO4 10%), dan C (substrat hidrolisat HCl
10%). Substrat sirup glukosa teknis 10% bertindak sebagai kontrol.
Sirup tersebut diperoleh dengan cara melarutkan 10% glukosa
teknis dalam air akuades.
Metode fermentasi etanol yang digunakan merupakan
modifikasi dari metode penelitian sebelumnya yang dilakukan
Rinaldy (1987). Fermentasi utama dilakukan pada labu Erlenmeyer
300 ml. Substrat fermentasi yaitu hidrolisat pati sagu dan larutan
glukosa teknis sebanyak 200 ml dengan total gula 10%
dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer. Kemudian pada substrat
larutan glukosa ditambahkan pupuk NPK dan ZA masing-masing
sebanyak 0,08 g dan 0,3 g. Ketiga substrat tersebut kemudian
diatur pHnya sehingga konstan pada kondisi pH 4,8. Kemudian
dipasteurisasi pada suhu 85 oC selama 5 menit dan didinginkan
o
hingga suhu + 30 C. Setelah itu ditambahkan inokulum
Saccharomyces cerevisiae hasil biakan dari PDB sebanyak 10%
dari volume substrat. Fermentasi berlangsung pada suhu kamar

24
selama 3 hari dengan menggunakan inkubator goyang. Fermentasi
berlangsung pada kondisi anaerob. Diagram alir proses produksi
etanol dari hidrolisat pati sagu dapat dilihat pada Gambar 5.

Hidrolisat
Pati Sagu / Sirup
Glukosa Teknis (10%)

Penambahan Nutrien / Pupuk


(0,04 g NPK dan 0,15 g ZA
pada 100 ml substrat)

Kultur
Khamir Pengaturan pH
(pH = 4,8)

Inkubasi pada PDA Pasteurisasi


(Aerobik, t = 48 jam, suhu ruang) (T = 85 oC, t = 5 menit)

Inokulasi pada PDB


Inokulasi
(Inokulum = 10% dari volume
(Aerobik, t = 24 jam, suhu ruang)
substrat)

Inokulum Saccharomyces
Fermentasi
cerevisiae (10% v/v) (Anaerobik, t = 3 hari,
suhu ruang)

Pasteurisasi
(T = 65 oC, t = 30 menit)

Etanol

Gambar 5. Diagram Alir Proses Produksi Etanol

25
Pipa plastik dipasang pada ujung leher angsa yang terhubung
dengan labu erlenmeyer dan ditutup dengan sumbat. Ujung pipa
plastik tersebut kemudian dihubungkan sedemikian rupa dengan
gelas ukur yang dibenamkan ke dalam air. Gas CO2 yang
dihasilkan dari proses fermentasi akan menekan air dalam gelas
ukur sehingga dapat dibaca dengan skala yang terdapat pada gelas
ukur tersebut. Skema peralatan pengukuran laju pembentukan gas
CO2 dapat dilihat pada Gambar 6.

H2SO4 pekat

Shaker

Gambar 6. Skema peralatan pengukuran laju pembentukan gas CO2

Laju pembentukan gas CO2 selama fermentasi diukur dengan


menggunakan grafik hubungan antara jumlah gas CO2 yang terukur
dengan waktu pengukuran. Pengukuran dilakukan setiap 6 jam, mulai
dari jam ke-0, ke-6, ke-12, ke-18, ke-24, ke-30, ke-36, ke-42, ke-48,
ke-54, ke-60, ke-66, dan ke-72. Selain pengukuran terhadap laju
pembentukan gas CO2, juga dilakukan analisis terhadap produk etanol
yang dihasilkan. Analisis tersebut meliputi pengukuran pH, total asam,
penentuan biomassa, efisiensi pemanfaatan substrat dan kadar etanol.
Penentuan kadar etanol dilakukan dengan metode piknometer dan GC
(Gas Chromatography). Prosedur analisis cairan fermentasi secara
lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3.

26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KOMPOSISI PATI SAGU

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu
(Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah
Cimahpar, Bogor. Pati sagu yang diperoleh dianalisis karakteristiknya,
meliputi pengukuran kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, kadar lemak,
kadar protein, dan kadar pati. Hasil analisis yang diperoleh kemudian
dibandingkan dengan standar mutu pati sagu SNI 01-3729-1995 (1995),
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik Pati Sagu

Hasil Penelitian SNI 01-


Karakteristik
Penelitian Lain*) 3729-1995
Kadar Air (% b/b) 5,94 5,76 Maks. 13
Kadar Abu (% b/b) 0,22 0,12 Maks. 0,5
Kadar Serat Kasar (% b/b) 0,05 0,01 Maks. 0,11
Kadar Protein (%) 0,09 0,38 -
Kadar Lemak (%) 0,15 0,36 -
Kadar Pati (%) 81,75 82,13 -
*) Akyuni (2004)

1. Kadar Air
Pengujian kadar air dilakukan untuk menentukan kandungan air
yang terdapat dalam suatu bahan. Kadar air sangat berpengaruh terhadap
mutu dan keawetan bahan tersebut. Oleh karena itu, keberadaannya yang
berlebihan sering dikurangi dengan pengeringan atau penguapan. Bahan
pati sagu yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar
masih dalam kondisi yang lembab (sedikit basah), sehingga harus
dikeringkan kembali dan diayak agar didapatkan pati sagu dengan kondisi
yang kering dan halus merata.

27
Berdasarkan hasil penelitian, didapat data kadar air pati sagu (setelah
dikeringkan) sebesar 5,94%. Data ini memenuhi syarat mutu atau rentang
kriteria SNI 01-3729-1995 yaitu maksimum 13%. Kadar air yang tinggi
dapat memudahkan tumbuhnya mikroba, sehingga dapat memperpendek
umur simpannya. Sebaliknya, jika kadar air rendah dapat mengubah
bentuk, sifat fisik dan kimia suatu bahan.

2. Kadar Abu
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan
organik. Pada proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat
anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno, 1986).
Kandungan abu pada suatu bahan menunjukkan residu bahan
anorganik/unsur mineral yang tersisa setelah bahan organik dalam
makanan didestruksi. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan
kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta
kebersihan suatu bahan yang dihasilkan (Harijadi, 1993).
Semakin tinggi kadar abu, semakin tinggi pula kandungan
mineralnya, yang berarti semakin rendah pula tingkat kemurnian bahan
tersebut. Proses pengolahan yang kurang bersih juga dapat menyebabkan
meningkatnya nilai kadar abu. Berdasarkan hasil penelitian, didapat data
kadar abu pati sagu sebesar 0,22%. Data ini memenuhi syarat mutu atau
rentang kriteria SNI 01-3729-1995 yaitu maksimum 0,5%. Dari data
tersebut, dapat disimpulkan bahwa kandungan mineral atau zat anorganik
yang terkandung dalam pati sagu tersebut cukup rendah. Kandungan
mineral yang tinggi pada pati sagu tidak diharapkan, karena dapat
menghambat proses hidrolisis pati itu sendiri.

3. Kadar Serat Kasar


Serat kasar merupakan residu dari bahan makanan atau pertanian
setelah diperlakukan dengan asam dan alkali mendidih (Gaman dan
Sherrington, 1981). Serat terdiri dari dinding sel, selulosa, hemiselulosa,
pektin, dengan sedikit lignin dan pentosan. Serat merupakan senyawaan
yang tidak dapat dicerna dalam organ pencernaan manusia maupun hewan

28
(Sudarmadji, 1996). Jika suatu bahan pangan mengandung serat kasar
yang tinggi maka relatif sangat merugikan karena serat kasar berpotensi
mengurangi serapan zat gizi, protein, lemak, vitamin dan mineral.
Pengujian kadar serat kasar dilakukan untuk menentukan jumlah
senyawaan yang terdapat dalam bahan pangan, yang tidak dapat dicerna
dalam organ pencernaan manusia maupun hewan. Berdasarkan hasil
penelitian, didapat data kadar serat kasar pati sagu sebesar 0,05%. Data ini
memenuhi syarat mutu atau rentang kriteria SNI 01-3729-1995 yaitu
maksimum 0,11%. Kecilnya nilai kadar serat kasar pati sagu yang
diperoleh terjadi karena sebelumnya pati sagu tersebut telah melalui proses
pengayakan. Tingkat kemurnian sagu sangat ditentukan oleh proses
ekstraksinya. Kadar serat kasar yang tinggi pada pati sagu tidak
diharapkan, karena dapat menurunkan efisiensi proses hidrolisis pati
tersebut.

4. Kadar Protein
Pengujian kadar protein dilakukan untuk mengetahui kandungan
protein pada senyawa organik secara tidak langsung, karena yang
dianalisis adalah banyaknya nitrogen yang membentuk ammonia.
Berdasarkan hasil penelitian, didapat data kadar protein pati sagu sebesar
0,09%. SNI tidak mengatur kadar protein, kadar lemak dan kadar pati
maksimum yang diperbolehkan pada pati sagu..
Secara umum pati sagu memiliki kandungan protein yang relatif
lebih rendah dibandingkan dengan pati serealia. Kadar protein yang
terkandung dalam pati dapat mempengaruhi warna hidrolisat pati sagu
yang dihasilkan. Reaksi yang terjadi antara gula pereduksi dengan
senyawa amino (asam amino, peptida dan protein) akan menghasilkan
warna coklat, yang disebut dengan browning (Somaatmadja, 1973).

5. Kadar Lemak
Lemak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan
kandungan yang berbeda-beda. Dalam tanaman, lemak disintesis dari
suatu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak yang terbentuk

29
dari kelanjutan oksidasi karbohidrat dalam proses respirasi. Proses
pembentukan lemak dalam tanaman dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
(1) pembentukan gliserol; (2) pembentukan molekul asam lemak; dan (3)
kondensasi asam lemak dengan gliserol membentuk lemak (Winarno,
1986).
Berdasarkan hasil penelitian, didapat data kadar lemak pati sagu
sebesar 0,15%. Kandungan lemak dan protein pada pati sagu akan
menurun akibat ikut terlarut dalam air selama proses ekstraksi basah.
Menurut Howling (1979), kandungan lemak pada pati akan terkoagulasi
dan terbuang dalam penyaringan dan dekantasi, dan hanya sekitar 10%
yang larut dengan pati.

6. Kadar Pati
Pati termasuk polisakarida, yang tersusun oleh banyak unit
monosakarida (glukosa). Berbagai macam pati tidak sama sifatnya,
tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah rantai molekulnya lurus
atau bercabang. Pengujian kadar pati dilakukan untuk mengetahui kadar
amilosa dan amilopektin yang terkandung dalam suatu bahan. Dengan
mengetahui kandungan pati sagu, maka dapat diketahui pati yang dapat
dikonversi menjadi hidrolisat pati sagu. Berdasarkan hasil penelitian,
didapat data kadar pati pada pati sagu sebesar 81,75%. Semakin tinggi
kadar pati sagu, semakin tinggi efisiensi proses hidrolisis pati tersebut,
karena semakin banyak pati yang terkonversi menjadi glukosa.

B. PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI ASAM TERHADAP


HIDROLISAT PATI SAGU

Proses hidrolisis asam dilakukan menggunakan kombinasi dua jenis


asam (H2SO4 dan HCl) dengan empat taraf konsentrasi (0,5 N; 1 N; 2N; dan
3N). Dari hasil penelitian pendahuluan terhadap hidrolisis pati sagu secara
asam dengan konsentrasi pati 16% menggunakan empat taraf konsentrasi asam
tersebut diperoleh data yang ditunjukkan pada Tabel 7.

30
Tabel 7. Hasil Analisis Total Gula (TG) dan Total Gula Pereduksi (GP) pada
Penelitian Pendahuluan
Jenis Asam
Nilai TG (mg/ml) Nilai GP (mg/ml)
Konsentrasi
0,5 N 148,02 128,85
1N 124,07 117,66
H2SO4
2N 103,00 94,97
3N 92,24 82,02
0,5 N 142,95 117,28
1N 117,38 104,78
HCl
2N 94,17 76,04
3N 79,22 65,74

Pada Tabel 7 diatas, terlihat bahwa dari kedua jenis asam tersebut
(H2SO4 dan HCl), taraf konsentrasi yang menghasilkan nilai TG dan GP
tertinggi adalah 0,5 N. Semakin tinggi konsentrasi asam yang digunakan,
maka nilai TG dan GP yang dihasilkan justru semakin rendah. Warna sirup
yang dihasilkan juga semakin pekat. Menurut Somaatmadja (1973), bila sirup
glukosa dipanaskan dalam lingkungan asam, maka akan terbentuk senyawa
furfural dan 5-hidroksimetilfurfural (HMF) akibat terjadinya penguraian
glukosa. Hal ini menyebabkan perubahan warna pada sirup menjadi kekuning-
kuningan. Senyawa hidroksimetilfurfural tersebut akan terus terbentuk pada
suasana asam dan suhu yang tinggi, dan dapat menyebabkan terjadinya
peristiwa browning bila sirup masih mengandung protein (asam amino). Tsao
et al. (1978) menambahkan bahwa asam kuat menyebabkan degradasi glukosa
hasil hidrolisis. Berdasarkan data hasil penelitian pendahuluan tersebut, maka
konsentrasi asam yang dipilih untuk digunakan dalam produksi hidrolisat pati
sagu pada penelitian utama adalah 0,5 N, karena menghasilkan nilai TG dan
GP tertinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan dari taraf konsentrasi
lainnya. Hidrolisat pati yang dihasilkan melalui proses hidrolisis secara asam
berwarna agak kecoklatan, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 7.

31
Gambar 7. Hidrolisat pati sagu sebelum purifikasi

Menurut Said (1987), pembentukan warna tersebut tergantung pada


beberapa faktor, antara lain konsentrasi prekursor warna seperti
hidroksimetilfurfural dan senyawa-senyawa amino yang ada serta kadar gula
pereduksi hidrolisat pati. Lebih lanjut Winarno (1997) menambahkan bahwa
pada reaksi dengan suhu tinggi, gula pereduksi menghasilkan warna
kecoklatan akibat terjadinya reaksi Maillard. Reaksi ini terjadi antara gula
pereduksi dengan gugus amina primer dan menghasilkan bahan berwarna
coklat yang dapat menurunkan mutu produk. Mula-mula gugus aldosa
bereaksi bolak-balik dengan amina menghasilkan basa Schiff, lalu terjadi
reaksi lanjut membentuk glukosamin. Glukosamin kemudian mengalami
reaksi amadori membentuk amino ketosa, yang selanjutnya terdehidrasi
membentuk turunan-turunan furfuraldehid seperti hidroksimetilfurfural.
Proses dehidrasi lebih lanjut menghasilkan zat antara metil--dikarbonil yang
kemudian terurai menghasilkan reduktor-reduktor dan -dikarboksil seperti
metilglioksal, asetol dan diasetil. Gugus-gugus aldehid aktif dalam larutan
selanjutnya terpolimerisasi dengan gugus amino membentuk senyawa
berwarna coklat yang disebut melanoidin.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan hidrolisat pati yang jernih, terlebih
dahulu dilakukan proses pemucatan (purifikasi) dengan menggunakan karbon

32
aktif. Produk hidrolisat pati sagu yang dihasilkan setelah melalui proses
purifikasi dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Hidrolisat pati sagu setelah purifikasi

Hidrolisat pati sagu yang telah dipurifikasi tersebut selanjutnya


digunakan sebagai medium bagi pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae
untuk produksi etanol. Derajat keasaman (pH) hidrolisat pati sagu yang
dihasilkan adalah 4,73 untuk hidrolisat pati dengan asam penghidrolisis H2SO4
dan 4,74 untuk hidrolisat pati dengan asam penghidrolisis HCl. Neraca massa
produksi hidrolisat pati sagu secara asam dapat dilihat pada Lampiran 4.
Hidrolisat pati sagu yang dihasilkan kemudian dianalisis kadar gula
total, kadar gula pereduksi dan kadar nitrogen totalnya. Kemudian dilakukan
penghitungan derajat polimerisasi (DP) dan ekivalen dekstrosa (Dextrose
Equivalent/DE). Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), hidrolisis asam
memecah pati secara acak dan sebagian gula yang terbentuk merupakan gula
pereduksi, oleh karena itu pengukuran kandungan gula pereduksi tersebut
dapat dijadikan alat pengontrol kualitas hidrolisat pati yang dihasilkan. Hasil
analisis total gula, total gula pereduksi, serta nilai DE dan DP hidrolisat pati
sagu dapat dilihat pada Tabel 8.

33
Tabel 8. Hasil Analisis Total Gula, Total Gula Pereduksi, DE, dan DP pada
Hidrolisat Pati Sagu

Asam
TG (g/l) GP (g/l) DE DP
Penghidrolisis

H2SO4 148,02 128,85 87,05 1,15

HCl 142,95 117,28 82,05 1,22

Berdasarkan Tabel 8 diatas, didapat bahwa nilai total gula dan kadar
gula pereduksi yang diperoleh dari hidrolisat pati sagu dengan asam
penghidrolisis H2SO4 tidak berbeda jauh dengan nilai total gula yang
diperoleh dari hidrolisat pati sagu dengan asam penghidrolisis HCl, yaitu
masing-masing 148,02 g/l dan 142,95 g/l. Hal ini disebabkan karena sifat
penghidrolisis H2SO4 dan HCl yang sama-sama kuat. Namun nilai total gula
dan kadar gula pereduksi yang diperoleh dari hidrolisis dengan H2SO4 sedikit
lebih besar dibandingkan hidrolisis dengan HCl. Hal ini disebabkan karena
sifat HCl lebih kuat dengan reaktivitas yang lebih tinggi daripada H2SO4
(Bailar et al., 1965). Reaktivitas yang lebih tinggi dan sifat penghidrolisis
yang lebih kuat tidak selalu menguntungkan. Menurut Tsao et al. (1978), asam
kuat menyebabkan degradasi glukosa hasil hidrolisis. Somaatmadja (1973)
menambahkan apabila sirup glukosa dipanaskan dalam lingkungan asam
(hidrolisis secara asam) kuat atau pada pH yang rendah, maka akan terbentuk
senyawa turunan furfuraldehid seperti hidroksimetilfurfural (HMF) akibat
terjadinya degradasi (penguraian) glukosa. Lebih lanjut Winarno (1997)
menjelaskan bahwa senyawa tururan furfuraldehid tersebut akan terdehidrasi
menghasilkan zat antara metil--dikarbonil dan terurai menghasilkan gugus-
gugus aldehid aktif dalam larutan yang kemudian terpolimerisasi dengan
gugus amino membentuk senyawa berwarna coklat yang disebut melanoidin
yang dapat menurunkan mutu produk.
Dalam hal ini, selama proses hidrolisis berlangsung, diduga reaktivitas
asam HCl yang lebih tinggi (dibandingkan H2SO4) menyebabkan lebih banyak
glukosa yang terdegradasi membentuk senyawa-senyawa turunan
furfuraldehid (seperti furfural dan hidroksimetilfurfural), sehingga nilai TG

34
yang terukur menjadi lebih rendah. Hal ini ditandai dengan warna hidrolisat
HCl yang lebih pekat dibandingkan dengan warna hidrolisat H2SO4 (seperti
terlihat pada Gambar 7), yang berarti semakin banyak senyawa melanoidin
yang dihasilkan dari proses hidrolisis dengan asam HCl.
Nilai DE atau ekivalen dekstrosa yang diperoleh dari kedua jenis
hidrolisat pati sagu tersebut menunjukkan persentase yang tinggi, yaitu sekitar
8187%. Menurut Palmer (1970), semakin tinggi nilai DE, semakin tinggi
kandungan glukosanya. Namun dalam hal ini, tingginya nilai DE tidak hanya
menunjukkan tingginya kandungan glukosa yang dihasilkan, tapi juga
komponen lainnya seperti maltosa dan dekstrin. Menurut Junk dan Pancoast
(1977) dalam Rinaldy (1987), apabila pati dihidrolisis dengan katalis asam
akan terjadi pemutusan ikatan COC dengan menghasilkan glukosa dan
beberapa polimernya. Bila diteruskan, proses tersebut akan meningkatkan
proporsi gula dengan bobot molekul rendah. Tsao et al. (1978) menambahkan
bahwa asam kuat menyebabkan degradasi glukosa hasil hidrolisis.
Tingginya nilai DE dari hidrolisat pati sagu yang dihasilkan juga
dikarenakan tingginya kadar gula pereduksi yang terkandung dalam hidrolisat
pati sagu tersebut. Dari Tabel 8 diatas terlihat bahwa nilai kadar gula
pereduksi hidrolisat H2SO4 mencapai 128,85 g/l, dan 117,28 g/l untuk
hidrolisat HCl. Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), hidrolisis asam akan
memecah pati secara acak dan sebagian gula yang terbentuk merupakan gula
pereduksi. Ciptadi dan Machfud (1980) menambahkan bahwa selama proses
hidrolisis, akan terjadi penurunan berat molekul pati yang ditunjukkan dengan
adanya penurunan viskositas larutan dan meningkatnya kadar gula pereduksi.
Nilai gula pereduksi akan meningkat sejalan dengan lama waktu hidrolisis
pati. Semakin lama waktu hidrolisis menyebabkan semakin rendahnya tingkat
warna dan kejernihan sirup, karena dengan semakin lama waktu hidrolisis
berarti semakin besar proporsi dekstrosa yang terdegradasi menjadi senyawa-
senyawa furfural.
Hidrolisat pati sagu yang dihasilkan kemudian dianalisis kadar nitrogen
totalnya dan dibandingkan dengan kadar nitrogen total yang terkandung dalam
sirup glukosa teknis. Sumber nitrogen pada hidrolisat pati sagu yang

35
dihasilkan berasal dari basa penetral NH4OH yang ditambahkan setelah proses
hidrolisis pati. Dalam larutan, NH4OH akan terurai menjadi NH3 dan H2O.
NH3 selanjutnya bereaksi dengan asam HCl membentuk garam NH4Cl,
sedangkan reaksi dengan asam H2SO4 akan menghasilkan garam (NH4)2SO4.
Adapun sumber nitrogen pada sirup glukosa teknis berasal dari sumber nutrien
lain berupa pupuk NPK dan ZA. Hasil analisis kadar nitrogen total dapat
dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil Analisis Total Nitrogen pada Konsentrasi Gula 10%

Jenis Sirup Total N (%)

Sirup glukosa teknis 10% 0,024

Hidrolisat pati sagu dengan penghidrolisis H2SO4 (10%) 0,413

Hidrolisat pati sagu dengan penghidrolisis HCl (10%) 0,368

Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa nilai total nitrogen yang diperoleh dari
hidrolisat H2SO4 lebih besar dibandingkan dengan nilai total nitrogen yang
diperoleh dari hidrolisat HCl. Fenomena ini dapat dijabarkan dengan
persamaan reaksi seperti berikut.
NH4OH NH3 + H2O
(i) NH3 + HCl NH4Cl
(ii) 2 NH3 + H2SO4 (NH4)2SO4

Pada pH yang sama, setiap molekul HCl akan menyumbangkan satu ion H+
kedalam larutan, sedangkan H2SO4 menyumbangkan dua ion H+. Dalam
penetralannya, satu ion H+ dari HCl membutuhkan satu ion NH4+, sementara
dua ion H+ dari H2SO4 membutuhkan dua ion NH4+ (Bailar et al., 1965).
Dengan demikian, total nitrogen yang terkandung dalam hidrolisat H2SO4
lebih tinggi daripada total nitrogen yang terkandung dalam hidrolisat HCl.
Meskipun pada sirup glukosa teknis ditambahkan nutrien berupa pupuk
NPK dan ZA (amonium sulfat) sebagai sumber nitrogen, namun bila
dibandingkan dengan nilai total nitrogen pada sirup glukosa teknis yang hanya
0,024%, maka pada Tabel 9 terlihat bahwa kandungan nitrogen pada kedua

36
jenis hidrolisat pati sagu yang dihasilkan masih jauh lebih tinggi, yaitu
masing-masing 0,413% dan 0,368%. Hal ini disebabkan karena pada proses
hidrolisis pati, digunakan basa penetral NH4OH. Penggunaan NH4OH akan
bereaksi dengan H2SO4 membentuk garam (NH4)2SO4 (amonium sulfat), dan
dengan HCl membentuk garam NH4Cl (amonium klorida). Garam yang
dihasilkan tersebut cukup untuk menggantikan kebutuhan nitrogen yang
biasanya ditambahkan dari nutrien lain (dalam hal ini pupuk NPK dan ZA).

C. PRODUKSI ETANOL

Pada tahap ini, dilakukan proses fermentasi dengan menggunakan tiga


jenis substrat, yaitu substrat hidrolisat H2SO4, substrat hidrolisat HCl, serta
substrat sirup glukosa teknis 10% sebagai kontrol (pembanding). Sebelum
difermentasi, substrat hidrolisat H2SO4 dan hidrolisat HCl yang dihasilkan
sebelumnya diencerkan terlebih dahulu hingga konsentrasinya + 10%
(mendekati konsentrasi sirup glukosa teknis sebagai kontrol). Dalam
penelitian ini, sirup hidrolisat pati sagu dan sirup glukosa teknis dijadikan
sumber karbon. Khusus untuk substrat sirup glukosa teknis, ditambahkan
pupuk NPK dan ZA sebagai sumber nitrogen, sedangkan untuk substrat
hidrolisat pati sagu tidak perlu penambahan pupuk NPK dan ZA, karena pada
hidrolisat pati sagu itu sendiri sudah memiliki kandungan nitrogen yang
tinggi. Proses fermentasi berlangsung selama tiga hari dengan bantuan
Saccharomyces cerevisiae. Peralatan fermentasi hidrolisat pati sagu menjadi
etanol dapat dilihat pada Gambar 9.

37
Gambar 9. Peralatan fermentasi hidrolisat pati sagu menjadi etanol

Saccharomyces cerevisiae dapat memproduksi etanol dari glukosa jika


konsentrasi gulanya cukup tinggi dan pada kondisi anaerob. Selama proses
fermentasi, akan dihasilkan etanol sebagai produk utama, serta karbondioksida
(CO2) dan air. Selain itu juga dihasilkan ATP yang merupakan energi dalam
bentuk panas, sedangkan komponen lainnya dalam jumlah yang kecil.
Pengukuran terhadap parameter-parameter fermentasi dilakukan selama proses
fermentasi berlangsung hingga proses fermentasi berakhir. Parameter-
parameter yang diukur meliputi nilai pH dan total asam, biomassa, konsumsi
substrat (total gula dan kadar gula pereduksi), efisiensi pemanfaatan substrat,
laju pembentukan CO2, kadar etanol, serta penentuan kinetika fermentasi.
Hasil analisa parameter-parameter tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. pH dan Total Asam

Setiap mikroba mempunyai nilai pH minimum, pH maksimum, dan


pH optimum untuk pertumbuhannya. Sel-sel mikroba sangat dipengaruhi
oleh pH, sebab mikroba tidak mempunyai mekanisme untuk mengatur pH-
nya sendiri. pH optimum untuk proses fermentasi etanol adalah antara 4,0
5,0 (Frazier dan Westhoff, 1978). Perubahan pH dapat mempengaruhi
pembentukan hasil sampingan fermentasi. Frazier dan Westhoff (1978)
menambahkan bahwa pada pH dibawah 3,0 dan diatas 6,0 khamir tidak

38
dapat tumbuh dengan baik sehingga proses fermentasi akan berkurang
kecepatannya.
Sebelum difermentasi, pH awal substrat fermentasi diatur hingga
sekitar 4,8 untuk mencapai pH optimum khamir. Hal ini dilakukan untuk
mengoptimumkan pertumbuhan khamir pada proses fermentasi. Karena
pH sangat penting, maka dalam proses fermentasi parameter ini perlu
dijaga agar tetap konstan. Caranya yaitu dengan penambahan suatu larutan
penyangga (buffer) atau dengan penggunaan suatu sistem kontrol pH
tertentu (Said, 1987).
Pada penelitian ini, pH cairan fermentasi yang dihasilkan dari ketiga
jenis substrat yang digunakan cukup bervariasi. Derajat keasaman (pH)
akan mempengaruhi kecepatan fermentasi. Berturut-turut dari substrat
sirup glukosa teknis, substrat hidrolisat H2SO4, dan substrat hidrolisat HCl
dihasilkan etanol dengan pH 3,16, 3,77 dan 3,72. Selama proses
fermentasi akan terjadi penurunan pH. Hal ini disebabkan karena adanya
senyawa amonia yang terkandung pada substrat. Said (1987) menjelaskan
bahwa apabila amonia digunakan sebagai sumber nitrogen pada substrat,
maka pH akan cenderung menurun. Amonia pada larutan (di bawah pH 9)
ada pada keadaan NH4+, mikroba kemudian menggabungkannya dengan
sel sebagai R-NH3+, dimana R merupakan suatu gugus karbon. Pada
prosesnya, sebuah ion H+ akan dilepas ke lingkungan (medium), sehingga
selama proses fermentasi ion H+ pada cairan fermentasi akan semakin
banyak, sehingga mengakibatkan penurunan pH cairan fermentasi tersebut.
Penurunan pH juga kemungkinan disebabkan karena adanya
kontaminasi oleh mikroba lain yang dapat mengkonversi gula dan etanol
menjadi produk asam selama proses fermentasi. Menurut Frazier dan
Westhoff (1978), keberadaan mikroba jenis Lactobacillus sp. dan
Clostridium sp. mampu mengkonversi gula menjadi asam laktat, asam
butirat, etanol dan karbondioksida. Secara lebih jelas penurunan pH cairan
fermentasi dapat dilihat pada Gambar 10.

39
5.0

4.0

3.0

Nilai pH
2.0

1.0

0.0
Glukosa teknis H2SO4
H HCl

Sebelum Fermentasi Setelah Fermentasi

Gambar 10. Histogram pH awal dan pH akhir fermentasi

Nilai pH cairan fermentasi dari substrat hidrolisat H2SO4 tidak


berbeda jauh dengan nilai pH cairan fermentasi dari substrat hidrolisat HCl
(Gambar 10). Rata-rata penurunan pH terbesar diperoleh dari substrat
sirup glukosa teknis. Nilai pH akhir tertinggi diperoleh dari substrat
hidrolisat H2SO4 sebesar 3,77, sedangkan pH akhir terendah diperoleh dari
substrat sirup glukosa teknis sebesar 3,16.
Total asam menunjukkan jumlah seluruh asam yang terdapat pada
cairan fermentasi. Selama proses fermentasi akan terjadi penurunan pH
yang diiringi dengan meningkatnya total asam. Nilai pH berkorelasi positif
dengan pembentukan asam piruvat. Jika pH tinggi, maka lag phase akan
berkurang, sehingga aktivitas fermentasi akan meningkat (Presscot dan
Dunn, 1981). Meningkatnya aktivitas mikroba selama fermentasi
menyebabkan semakin meningkatnya pembentukan produk fermentasi,
baik produk utama maupun produk sampingan. Pada fermentasi etanol,
khamir akan memetabolisme glukosa membentuk asam piruvat melalui
jalur Embden-Meyerhorf-Parnas. Selain itu terbentuk pula asam-asam
organik lain seperti asam piruvat sebagai hasil samping dari fermentasi.
Peningkatan total asam cairan fermentasi dapat dilihat pada Gambar 11.

40
20

Nilai Total Asam (%)


15

10

0
Glukosa teknis H2SO4
H2SO4 HCl

Sebelum Fermentasi Setelah Fermentasi

Gambar 11. Histogram total asam pada awal dan akhir fermentasi

Nilai total asam cairan fermentasi yang dihasilkan dari substrat sirup
glukosa teknis, substrat hidrolisat H2SO4, dan substrat hidrolisat HCl
berturut-turut adalah 3,32 g/l, 18,60 g/l dan 16,58 g/l; atau jika dinyatakan
dalam persen menjadi 0,332%, 1,860% dan 1,658%. Pada Gambar 11
terlihat bahwa nilai total asam cairan fermentasi dari substrat hidrolisat
H2SO4 juga tidak berbeda jauh dengan total asam cairan fermentasi dari
substrat hidrolisat HCl. Rata-rata kenaikan total asam terbesar diperoleh
dari substrat hidrolisat H2SO4. Nilai total asam akhir tertinggi diperoleh
dari substrat hidrolisat H2SO4 sebesar 18,60 g/l, sedangkan total asam
akhir terendah diperoleh dari substrat sirup glukosa teknis sebesar 3,32 g/l.
Tingginya nilai total asam cairan fermentasi dari hidrolisat pati diduga
karena nilai total asam yang terukur bukan hanya asam-asam organik yang
terbentuk melalui proses fermentasi, tetapi juga asam mineral seperti
H2SO4 dan HCl yang digunakan sebagai asam penghidrolisis pada proses
produksi hidrolisat pati sagu.

b. Biomassa

Biomassa yang dihitung adalah jumlah sel kering yang terdapat


dalam cairan fermentasi. Selama fermentasi, sel mikroba akan
mengkonversi sumber karbon menjadi biomassa dan produk sehingga akan
terjadi kenaikan biomassa. Hal ini disebabkan karena adanya aktivitas

41
mikroba selama proses fermentasi. Peningkatan biomassa juga
menunjukkan adanya pertumbuhan sel. Khamir memerlukan medium dan
lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Untuk
melengkapi sumber gula pada produksi etanol, proses fermentasi etanol
harus dilengkapi pula dengan nutrien tambahan untuk pemeliharaan sel
dan pertumbuhan mikroba. Umumnya yang disebut makronutrien adalah
elemen yang dibutuhkan dalam jumlah yang besar, seperti unsur C, H, O
dan N (Hidayat et al., 2006). Kondisi medium dan lingkungan yang sesuai
serta nutrien yang cukup akan meningkatkan aktivitas mikroba.
Meningkatnya aktivitas mikroba selama fermentasi menyebabkan semakin
meningkatnya pembentukan produk fermentasi.
Nilai total biomassa cairan fermentasi yang dihasilkan dari substrat
sirup glukosa teknis, substrat hidrolisat H2SO4, dan substrat hidrolisat HCl
berturut-turut adalah 1,15 g/l, 1,17 g/l dan 1,02 g/l. Hasil analisis total
biomassa pada awal dan akhir fermentasi dapat dilihat pada Gambar 12.

2.0

1.5
Biomassa (g/l)

1.0

0.5

0.0
Glukosa teknis H2SO4
H2SO4 HCl
Sebelum Fermentasi Setelah Fermentasi

Gambar 12. Histogram biomassa pada awal dan akhir fermentasi

Rata-rata kenaikan total biomassa terbesar diperoleh dari substrat


hidrolisat H2SO4, sedangkan rata-rata kenaikan total biomassa terendah
diperoleh dari substrat sirup glukosa teknis (Gambar 12). Hal ini terjadi
karena tingginya nilai pengukuran biomassa substrat sirup glukosa teknis
pada awal fermentasi. Tingginya nilai pengukuran terhadap biomassa awal

42
pada cairan fermentasi dari glukosa teknis diduga karena karena partikel
nutrien dari pupuk NPK dan ZA yang ditambahkan tidak larut secara
sempurna dengan medium, sehingga ikut terukur sebagai biomassa.
Tingginya nilai biomassa awal juga diduga disebabkan karena kondisi
awal proses fermentasi yang belum sepenuhnya anaerob. Pada saat
oksigen bebas tidak ada, atau ada dalam jumlah yang sangat sedikit, maka
terjadi konversi sumber karbon menjadi etanol dan CO2 yang lebih
banyak. Sebaliknya, apabila oksigen bebas terdapat dalam jumlah yang
mencukupi, maka akan terjadi proses respirasi dimana biomassa terbentuk
dan gula dikonversi menjadi karbondioksida, air dan asam-asam organik.
Pembentukan biomassa paling banyak terjadi pada fermentasi dengan
substrat hidrolisat H2SO4 sebesar 1,17 g/l, sedangkan total biomassa akhir
terendah diperoleh dari substrat hidrolisat HCl sebesar 1,02 g/l.
Pada hidrolisis asam kemungkinan dihasilkan bahan inhibitor seperti
furfural, 5-hidroksimetilfurfural (HMF), asam karboksilat dan komponen
fenol yang cukup besar (Ulbricht et al., 1984 dalam Subekti, 2006).
Bahan-bahan ini akan menghambat pertumbuhan khamir sehingga
biomassa yang dihasilkan seharusnya lebih rendah dari yang dihasilkan
oleh substrat sirup glukosa teknis. Tetapi pada Gambar 12 terlihat bahwa
nilai total biomassa akhir tertinggi justru diperoleh dari substrat hidrolisat
H2SO4, walaupun tidak berbeda jauh dengan nilai biomassa yang
dihasilkan dari substrat sirup glukosa teknis. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena rendahnya kandungan nitrogen pada substrat sirup
glukosa teknis (seperti terlihat pada Tabel 9). Unsur nitrogen (N)
merupakan salah satu elemen makronutrien yang dibutuhkan mikroba
dalam jumlah besar. Keterbatasan akan nutrien tersebut menyebabkan
khamir tidak dapat tumbuh dengan optimal, sehingga biomassa yang
terbentuk lebih sedikit. Selain itu keberadaan nutrien yang kurang larut
juga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Menurut Said (1987), bila
mikroba ditumbuhkan pada nutrien esensial yang tidak larut dalam air,
maka pertumbuhan mikroba akan dibatasi oleh laju difusi nutrien tersebut.

43
c. Total Gula dan Kadar Gula Pereduksi

Menurut Frazier dan Weshoff (1978), konsentrasi gula yang


dibutuhkan untuk proses fermentasi etanol adalah 1018%. Menurut
Amerine et al. (1987) menambahkan bahwa konsentrasi gula yang tinggi
(> 25%), dapat menyebabkan aktivitas khamir menjadi terhambat
(substrate inhibitor), waktu fermentasi menjadi lebih lama, serta tidak
semua gula dapat dikonversi menjadi etanol. Penggunaan konsentrasi gula
yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan khamir serta
menjadikan proses fermentasi menjadi tidak ekonomis, karena penggunaan
fermentor yang tidak efisien.
Total gula akhir menunjukkan total gula yang tersisa pada akhir
proses fermentasi, sedangkan kadar gula pereduksi akhir menunjukkan
kadar gula pereduksi yang tersisa setelah proses fermentasi selesai. Hasil
analisis total gula (TG) dan kadar gula pereduksi (GP) pada awal dan akhir
fermentasi dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14.

Total Gula
100

80
Nilai TG (g/l)

60

40

20

0
Glukosa teknis H2SO4
H2SO4 HCl
Sebelum Fermentasi Setelah Fermentasi

Gambar 13. Histogram total gula pada awal dan akhir fermentasi

44
Gula Pereduksi
100

80

60

Nilai GP (g/l)
40

20

0
Glukosa teknis H2SO4
H2SO4 HCl

Sebelum Fermentasi Setelah Fermentasi

Gambar 14. Histogram gula pereduksi awal dan akhir fermentasi

Selama proses fermentasi terjadi penurunan total gula dan kadar gula
pereduksi. Hal ini ditandai dengan berkurangnya total gula dan kadar gula
pereduksi yang terkandung pada substrat akibat konsumsi mikroba
Saccharomyces cerevisiae selama fermentasi. Nilai total gula yang tersisa
pada akhir fermentasi berkisar antara 51,29 g/l hingga 82,63 g/l.
Sementara kadar gula pereduksi yang tersisa pada akhir fermentasi
berkisar antara 54,37 g/l hingga 86,84 g/l. Pada Gambar 13 dan 14, dapat
dilihat bahwa total gula dan kadar gula pereduksi substrat hidrolisat H2SO4
pada akhir fermentasi tidak berbeda jauh dengan nilai total gula dan kadar
gula pereduksi cairan fermentasi kontrol (substrat sirup glukosa teknis).
Rata-rata penurunan total gula dan kadar gula pereduksi terbesar diperoleh
dari substrat sirup glukosa teknis. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas
mikroba tertinggi terjadi pada substrat sirup glukosa teknis.
Penurunan substrat sejalan dengan produksi biomassa dan produk
etanol yang dihasilkan. Semakin rendah kadar gula pereduksi sisa, maka
semakin tinggi jumlah biomassa dan kadar etanol yang dihasilkan. Namun
seharusnya aktivitas mikroba yang terjadi pada substrat sirup glukosa
teknis jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan aktivitas mikroba yang
terjadi pada substrat hidrolisat H2SO4. Karena berbeda dengan substrat
sirup glukosa teknis, pada substrat hidrolisat H2SO4 kemungkinan terdapat

45
bahan-bahan inhibitor yang terbentuk selama proses hidrolisis pati secara
asam yang dapat menghambat proses fermentasi. Hal ini diduga
disebabkan karena keterbatasan nutrien yang terdapat pada substrat
glukosa teknis, seperti rendahnya kandungan nitrogen total (0,024%),
sehingga khamir tidak dapat tumbuh secara optimal. Penambahan pupuk
NPK (16:16:16) sebesar 40% substrat belum cukup untuk memenuhi
kebutuhan mikroba atas unsur nitrogen pada substrat fermentasi. Unsur
nitrogen (N) merupakan salah satu elemen makronutrien yang dibutuhkan
mikroba dalam jumlah besar. Unsur nitrogen berperan penting sebagai
penyusun protein, asam nukleat dan koenzim (Hidayat et al., 2006).
Sementara penambahan pupuk NPK dalam jumlah yang lebih besar
menyebabkan unsur fosfor (P) dan unsur kalium (K) pada substrat akan
bertambah pula. Hal ini dikhawatirkan akan menghambat pertumbuhan
mikroba karena unsur fosfor merupakan unsur mesonutrien yang
keberadaannya pada medium hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit.
Unsur fosfor berperan sebagai penyusun asam nukleat, fosfolipida dan
koenzim (Hidayat et al., 2006). Adapun unsur kalium bukan merupakan
nutrien dasar bagi pertumbuhan khamir, sehingga keberadaannya dalam
substrat sirup glukosa teknis kurang menguntungkan bagi pertumbuhan
khamir, apalagi dalam jumlah yang cukup banyak.
Rata-rata penurunan total gula dan kadar gula pereduksi terendah
diperoleh dari substrat hidrolisat HCl. Banyaknya total gula dan kadar gula
pereduksi yang masih tersisa pada cairan fermentasi dari substrat hidrolisat
HCl menunjukkan rendahnya konsumsi mikroba Saccharomyces
cerevisiae terhadap substrat tersebut. Pada sirup glukosa teknis, meskipun
komponen gulanya adalah gula pereduksi akan tetapi karena nutrien untuk
pertumbuhannya terbatas maka biomassa yang terbentuk lebih sedikit,
yang berarti konsumsi substrat juga lebih sedikit. Rendahnya konsumsi
mikroba terhadap substrat hidrolisat HCl menunjukkan rendahnya
aktivitas mikroba yang terjadi selama proses fermentasi. Hal ini diduga
terjadi karena tingginya konsentrasi bahan-bahan inhibitor hasil degradasi
produk hidrolisat asam seperti furfural dan 5-hidroksimetilfurfural (HMF)

46
yang terdapat pada medium seiring dengan konsumsi gula. Bahan-bahan
inhibitor tersebut dapat menghambat proses fermentasi.
Selain itu, rendahnya aktivitas mikroba pada substrat hidrolisat HCl
juga kemungkinan disebabkan karena komposisi kimiawi nutrien yang
kurang seimbang pada substrat tersebut. Tidak seperti dua substrat lainnya
yaitu substrat sirup glukosa teknis dan substrat hidrolisat H2SO4 yang
mengandung garam (NH4)2SO4 (amonium sulfat), pada substrat hidrolisat
HCl tidak terkandung unsur sulfur, karena reaksi antara HCl dengan basa
penetral NH4OH pada proses hidrolisis hanya akan menghasilkan garam
NH4Cl (amonium klorida). Unsur sulfur (S) merupakan mesonutrien bagi
khamir, sehingga keberadaannya dalam garam (NH4)2SO4 cukup penting
bagi pertumbuhan khamir, sedangkan unsur klor (Cl) bukan merupakan
nutrien dasar bagi pertumbuhan khamir, sehingga keberadaannya dalam
garam NH4Cl yang terkandung dalam substrat hidrolisat HCl kurang
menguntungkan bagi pertumbuhan khamir, apalagi dalam jumlah yang
cukup banyak. Keterbatasan nutrien pada substrat hidrolisat HCl tersebut
menyebabkan pertumbuhan mikroba menjadi terhambat dan mikroba tidak
dapat tumbuh secara optimal.

d. Efisiensi Pemanfaatan Substrat

Efisiensi pemanfaatan substrat menunjukkan banyaknya substrat


yang terkonversi menjadi biomassa dan produk. Hubungan antara kadar
gula pereduksi (GP) awal dan kadar gula pereduksi (GP) akhir fermentasi
dengan efisiensi pemanfaatan substrat dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil Perhitungan Efisiensi Pemanfaatan Substrat


GP awal GP akhir
Jenis Substrat s/s (%)
(g/l) (g/l)

Sirup glukosa teknis 87,02 51,29 41,06

Hidrolisat H2SO4 84,09 54,83 34,80

Hidrolisat HCl 85,64 82,63 3,52

47
Pada Tabel 10, dapat dilihat bahwa efisiensi pemanfaatan substrat
tertinggi yang berarti konsumsi substrat terbanyak diperoleh dari substrat
sirup glukosa teknis, yaitu mencapai 41,06%, sedangkan efisiensi
pemanfaatan substrat terendah diperoleh dari substrat hidrolisat HCl, yaitu
hanya 3,52%. Rendahnya konsumsi mikroba terhadap substrat hidrolisat
HCl menunjukkan rendahnya aktivitas mikroba yang terjadi selama proses
fermentasi. Hal ini diduga terjadi karena tingginya konsentrasi bahan-
bahan inhibitor hasil degradasi produk hidrolisat asam seperti furfural dan
5-hidroksimetilfurfural (HMF), yang terdapat pada medium seiring dengan
konsumsi gula. Bahan-bahan inhibitor tersebut dapat menghambat proses
fermentasi.
Selain itu, rendahnya aktivitas mikroba pada substrat hidrolisat HCl
juga kemungkinan disebabkan karena komposisi kimiawi nutrien yang
kurang seimbang pada substrat tersebut, seperti tidak tersedianya unsur
sulfur (S) yang merupakan elemen mesonutrien bagi pertumbuhan khamir.
Unsur sulfur berperan sebagai penyusun protein dan beberapa koenzim
(Hidayat et al., 2006). Keterbatasan nutrien pada substrat hidrolisat HCl
tersebut menyebabkan pertumbuhan mikroba menjadi terhambat dan
mikroba tidak dapat tumbuh secara optimal. Aktivitas mikroba yang
rendah pada cairan fermentasi substrat hidrolisat HCl akan menghasilkan
produk seperti biomassa dan etanol dalam jumlah yang rendah pula. Hal
ini sesuai dengan hasil analisis biomassa yang menunjukkan bahwa
substrat hidrolisat HCl menghasilkan biomassa terkecil dibandingkan
substrat lainnya.
Berdasarkan data yang ditunjukkan pada Tabel 10, tingkat konsumsi
substrat selama proses fermentasi belum optimal (efisiensi pemanfaatan
substrat masih dibawah 50%). Hal ini menunjukkan bahwa pada substrat
fermentasi masih terdapat komponen gula yang tidak dikonsumsi oleh
khamir, yang berarti masih ada komponen gula yang belum terkonversi
menjadi biomassa dan produk (etanol). Hal ini disebabkan karena
kandungan hidrolisat pati sagu yang masih mengandung oligosakarida
seperti maltosa dan disakarida lainnya. Semakin sederhana komponen gula

48
yang terdapat dalam substrat fermentasi, maka akan semakin mudah bagi
mikroba untuk mengkonsumsi substrat tersebut. Pada sirup glukosa teknis,
meskipun komponen gulanya adalah gula pereduksi akan tetapi karena
nutrien untuk pertumbuhannya terbatas maka biomassa yang terbentuk
lebih sedikit, yang berarti konsumsi substrat juga lebih sedikit. Efisiensi
pemanfaatan substrat juga dapat dipengaruhi oleh komposisi substrat yang
digunakan, selain itu juga dipengaruhi oleh variabel-variabel seperti pH,
suhu, kandungan oksigen dan konsentrasi etanol.

e. Laju Pembentukan CO2

Produktivitas fermentasi dapat dilihat dari volume CO2 yang


terbentuk selama fermentasi. Hasil pengukuran laju pembentukan CO2
selama fermentasi menggunakan substrat sirup glukosa teknis, hidrolisat
H2SO4 dan hidrolisat HCl dapat dilihat pada Gambar 15.

100
CO2 Yang Terbentuk (ml)

80

60

40

20

0
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
Jam Ke-

Glukosa H2SO4 HCl

Gambar 15. Grafik laju pembentukan CO2 selama fermentasi

Pada 6 jam pertama proses fermentasi, laju pembentukan CO2 lebih


lambat dibandingkan dengan 6 jam berikutnya (Gambar 15). Hal ini
dikarenakan sel khamir baru menyesuaikan diri dengan lingkungan
medium yang baru, sehingga belum dapat tumbuh secara optimal. Menurut
Said (1987), fase ini disebut juga fase awal (lag phase), yaitu fase sejak

49
inokulasi sel pada medium, dan merupakan suatu periode adaptasi. Selama
fase ini massa sel dapat berubah tanpa adanya suatu perubahan jumlah sel.
Hidayat et al. (2006) menambahkan bahwa pada fase awal ini, bermacam-
macam enzim dan zat perantara dibentuk, sehingga keadaannya
memungkinkan terjadinya pertumbuhan lebih lanjut. Sel-sel khamir mulai
membesar, tetapi belum membelah diri.
Selain karena proses adaptasi, lambatnya laju pembentukan CO2
pada 6 jam pertama proses fermentasi juga dapat disebabkan karena
kondisi proses yang belum sepenuhnya anaerob. Pada awal proses
fermentasi masih terdapat oksigen, sehingga khamir cenderung melakukan
asimilasi sel dan proses fermentasi belum sepenuhnya terjadi. Akibatnya,
produk metabolit yang dihasilkan masih sangat rendah. Hal ini disebabkan
karena khamir bersifat fakultatif anaerobik. Pada saat oksigen bebas tidak
ada, atau ada dalam jumlah yang sangat sedikit, maka terjadi konversi
sumber karbon menjadi etanol dan CO2 yang lebih banyak. Sebaliknya,
apabila oksigen bebas terdapat dalam jumlah yang mencukupi, maka
konversi akan menuju ke arah asimilasi sel dengan pembentukan produk
metabolit dan produk antara ditekan rendah. Barnett et al. (2000) dalam
Anonim (2008), menyatakan bahwa khamir akan selalu berespirasi pada
setiap keadaan yang memungkinkan karena energi yang dihasilkan pada
respirasi jauh lebih besar dibandingkan energi yang dihasilkan pada
fermentasi. Apabila terdapat oksigen pada proses fermentasi, maka etanol
yang dihasilkan menjadi lebih sedikit karena adanya proses respirasi
dimana biomassa terbentuk dan terjadi konversi gula menjadi
karbondioksida, air dan asam-asam organik.
Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa pada jam ke-6 hingga jam ke-
18 terjadi peningkatan laju fermentasi dengan cepat yang ditandai dengan
semakin meningkatnya laju pembentukan CO2. Sepanjang fermentasi,
komposisi kimiawi cairan fermentasi berubah karena nutrien terus
menerus dikonsumsi dan produk metabolit disintesis. Sebagai akibatnya
kondisi lingkungan menjadi semakin tidak seimbang. Pada fermentasi
substrat hidrolisat HCl, laju pembentukan CO2 telah mencapai titik

50
maksimum pada jam ke-18, sedangkan pada substrat hidrolisat H2SO4 dan
substrat sirup glukosa teknis, laju pembentukan CO2 masih terus
berlangsung dan baru mencapai titik maksimumnya pada jam ke-24.
Setelah jam ke-24, laju pembentukan CO2 pada ketiga jenis substrat
mulai mengalami penurunan, yang berarti terjadi penurunan laju
fermentasi. Pada periode ini, pertumbuhan mikroba mulai terhambat.
Penurunan laju fermentasi ini diduga karena semakin berkurangnya
nutrien pada medium serta mulai terjadinya penimbunan racun sebagai
hasil kegiatan metabolisme. Penurunan laju fermentasi juga kemungkinan
disebabkan adanya akumulasi produk metabolit yaitu etanol dan asam
yang kemudian menghambat laju fermentasi. Etanol dapat menghambat
proses fermentasi dengan mekanisme penghambatan oleh produk,
sedangkan asam dapat menurunkan pH lingkungan, sehingga khamir tidak
dapat tumbuh dengan optimal. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), pH
optimum untuk proses fermentasi etanol adalah antara 4,05,0.
Pada Gambar 15 terlihat bahwa pada fermentasi substrat sirup
glukosa teknis, terjadi penurunan laju pembentukan CO2 secara perlahan
setelah jam ke-24. Laju penurunan bahkan terus berlangsung hingga akhir
fermentasi (jam ke-72). Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi
masih terus berlangsung hingga akhir fermentasi, sehingga masih terjadi
konversi etanol, walaupun dalam jumlah yang sangat kecil. Apabila proses
fermentasi terus dilanjutkan, kemungkinan laju fermentasi akan terhenti
pada jam berikutnya, karena jumlah sel hidup yang cenderung terus
menurun. Hampir mirip dengan laju fermentasi substrat sirup glukosa
teknis, pada fermentasi substrat hidrolisat H2SO4 penurunan laju
pembentukan CO2 juga terjadi setelah jam ke-24. Penurunan laju
pembentukan CO2 juga berlangsung perlahan, tetapi kemudian berhenti
pada jam ke-72. Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi masih terus
berlangsung dengan laju yang semakin melambat, hingga kemudian
terhenti pada jam ke-72. Setelah jam ke-72, tidak terbentuk gas CO2 lagi,
karena aktivitas mikroba untuk regenerasi telah terhenti, yang terjadi
adalah pembentukan etanol.

51
Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa proses fermentasi substrat
hidrolisat HCl menunjukkan perbedaan yang cukup jauh dibandingkan
fermentasi substrat lainnya. Penurunan laju pembentukan CO2 terjadi lebih
awal, yaitu mulai jam ke-18, sementara pada substrat lainnya penurunan
laju pembentukan CO2 baru terjadi pada jam ke-24. Penurunan laju
fermentasi yang ditandai dengan penurunan laju pembentukan CO2 juga
terjadi lebih cepat hingga kemudian terhenti pada jam ke-54. Rendahnya
laju pembentukan CO2 yang terjadi pada substrat hidrolisat HCl diduga
disebabkan karena adanya peningkatan konsentrasi bahan-bahan inhibitor
hasil degradasi produk hidrolisat asam seperti furfural dan 5-
hidroksimetilfurfural (HMF), yang terdapat pada medium seiring dengan
konsumsi gula. Bahan-bahan inhibitor tersebut dapat menghambat proses
fermentasi (substrate inhibition). Selain itu, laju pertumbuhan yang lebih
lambat pada substrat hidrolisat HCl juga kemungkinan disebabkan karena
komposisi kimiawi nutrien yang kurang seimbang pada substrat tersebut,
seperti tidak tersedianya unsur sulfur (S) yang merupakan elemen
mesonutrien bagi pertumbuhan khamir, serta keberadaan unsur non-
nutrien seperti klor (Cl) dalam jumlah yang banyak. Hal tersebut
menyebabkan pertumbuhan mikroba menjadi terhambat dan mikroba tidak
dapat tumbuh secara optimal, sehingga biomassa yang terbentuk lebih
sedikit, serta laju fermentasi lebih rendah, yang ditandai dengan rendahnya
laju pembentukan CO2. Hasil ini sesuai dengan hasil analisis total gula dan
kadar gula pereduksi yang menunjukkan bahwa konsumsi mikroba
terhadap substrat hidrolisat HCl selama proses fermentasi berlangsung
adalah yang paling rendah dibandingkan substrat lainnya, yang berarti
rendahnya aktivitas mikroba yang terjadi pada cairan fermentasi hidrolisat
HCl tersebut. Hasil pengukuran laju pembentukan CO2 secara lengkap
dapat dilihat pada Lampiran 5.

f. Kadar Etanol

Selama proses fermentasi, mikroba akan mengkonversi sumber


karbon dari substrat menjadi biomassa dan produk, baik produk utama

52
yaitu etanol maupun produk sampingan berupa asam-asam organik seperti
asam piruvat melalui proses glikolisis. Pada kondisi anaerob, metabolisme
glukosa menjadi etanol terjadi melalui jalur Embden-Meyerhof-Parnas
atau glikolisis (Gambar 3). Jalur Embden-Meyerhof-Parnas (EMP) terdiri
dari beberapa tahap, masing-masing dikatalis oleh enzim tertentu. Mula-
mula glukosa difosforilasi oleh ATP menjadi D-glukosa-6 fosfat,
kemudian mengalami isomerasi berubah menjadi D-frukstoda-6 fosfat, dan
difosforilasi lagi oleh ATP menjadi D-fruktosa-1,6 difosfat. D-fruktosa-1,6
difosfat kemudian dipecah menjadi satu molekul D-gliseraldehid-3 fosfat
dan satu molekul aseton fosfat. Dihidroksi aseton fosfat disederhanakan
lagi menjadi L-gliserol-3 fosfat oleh NADH2. ATP melepaskan satu
molekul fosfat yang diterima oleh gliseraldehid-3 fosfat yang kemudian
menjadi D-1,3 difosfogliserat dan ADP. D-1,3 difosfogliserat melepaskan
energi fosfat yang tinggi ke ADP untuk membentuk D-3 fosfogliserat dan
ATP. Selanjutnya D-3-fosfogliserat membentuk D-2-fosfogliserat dan
berada dalam kesetimbangan. D-2 fosfogliserat kemudian membebaskan
air untuk menghasilkan fosfoenol piruvat. ATP menggeser rantai fosfat
yang kaya energi dari fosfoenolpiruvat untuk menghasilkan piruvat dan
ATP. Selanjutnya asam piruvat didekarboksilasi menghasilkan asetaldehid
dan CO2, hingga akhirnya asetaldehid menerima hidrogen dari NADH2
dan menghasilkan etanol.
Analisis kadar etanol dilakukan dengan metode perbandingan bobot
jenis (BJ) dengan menggunakan piknometer dan metode Gas
Chromatography (GC). Hasil analisis kadar etanol dengan menggunakan
metode piknometer dan GC, yang dihasilkan dari fermentasi substrat sirup
glukosa teknis, substrat hidrolisat H2SO4 dan substrat hidrolisat HCl dapat
dilihat pada Tabel 11, sedangkan data kromatogram etanol hasil fermentasi
dengan uji GC dapat dilihat pada Lampiran 6.

53
Tabel 11. Hasil Analisis Kadar Etanol Metode Piknometer dan GC

Metode Piknometer Metode GC


Jenis Substrat Kadar Kadar Kadar Kadar
Etanol Etanol Etanol Etanol
(% v/v) (g/l) (% v/v) (g/l)
Sirup glukosa
2,60 20,51 2,56 20,22
teknis
Hidrolisat H2SO4 2,09 16,51 1,91 15,09

Hidrolisat HCl 0,77 6,11 0,63 4,98

Berdasarkan perbandingan data pada Tabel 11, dapat dilihat bahwa


hasil pengukuran kadar etanol dari masing-masing sampel baik yang
menggunakan metode piknometer maupun dengan metode GC memiliki
kecenderungan yang sama, dengan nilai yang tidak berbeda jauh. Kadar
etanol tertinggi dengan metode GC diperoleh dari fermentasi dengan
substrat sirup glukosa teknis sebesar 2,56%, diikuti dengan substrat
hidrolisat H2SO4 sebesar 1,91% dan terendah pada substrat hidrolisat HCl
sebesar 0,63%. Besarnya konsentrasi etanol yang dihasilkan dari substrat
sirup glukosa teknis terjadi karena pada sirup glukosa teknis komponen
gulanya adalah glukosa murni, sehingga lebih memudahkan mikroba
untuk mengkonsumsinya, tidak seperti pada substrat hidrolisat pati sagu
yang komponen gulanya masih mengandung disakarida seperti maltosa
dan disakarida lainnya. Semakin sederhana komponen gula yang terdapat
dalam substrat fermentasi, maka akan semakin mudah bagi mikroba untuk
mengkonsumsi substrat tersebut. Selain itu pada substrat sirup glukosa
teknis tidak terdapat bahan inhibitor yang dapat menghambat pertumbuhan
khamir. Hal ini sesuai dengan hasil analisis terhadap efisiensi pemanfaatan
substrat dan laju pembentukan CO2 yang menunjukkan bahwa efisiensi
pemanfaatan substrat dan laju pembentukan CO2 pada sirup glukosa teknis
adalah yang paling tinggi, itu berarti laju fermentasi dan aktivitas mikroba
yang terjadi pada cairan fermentasi sirup glukosa teknis tersebut juga
paling tinggi dibandingkan substrat lainnya. Semakin tinggi aktivitas
khamir selama proses fermentasi, berarti semakin banyak pula substrat

54
yang terkonversi menjadi produk (etanol), sehingga semakin tinggi pula
kadar etanol yang dihasilkan.
Meskipun demikian, bila dibandingkan dengan nilai kadar etanol
yang dihasilkan dari proses fermentasi dengan substrat hidrolisat H2SO4,
pertumbuhan khamir pada substrat sirup glukosa teknis tersebut belum
dapat dikatakan optimal. Hal ini dikarenakan kurangnya nutrien
pendukung terutama unsur nitrogen. Unsur nitrogen (N) merupakan salah
satu elemen makronutrien yang dibutuhkan mikroba dalam jumlah yang
besar. Unsur nitrogen berperan penting sebagai penyusun protein, asam
nukleat dan koenzim (Hidayat et al., 2006). Keterbatasan akan nutrien
tersebut menyebabkan khamir tidak dapat tumbuh dengan optimal,
sehingga laju pembentukan produk oleh mikroba juga tidak optimal yang
berakibat pada masih rendahnya konsentrasi produk etanol yang
dihasilkan. Selain itu, produk etanol yang dihasilkan juga merupakan
racun bagi khamir itu sendiri pada konsentrasi yang tinggi. Clark dan
Mackie (1984) menyatakan bahwa khamir sangat peka terhadap sifat
penghambatan etanol. Konsentrasi etanol 12% (v/v) cukup untuk
menghambat pertumbuhan mikroba, dan pada konsentrasi etanol 10%
(v/v) laju pertumbuhan hampir berhenti total. Menurut Presscot dan Dunn
(1981), kadar etanol yang bisa dihasilkan sebelum proses fermentasi
benar-benar berhenti adalah 13% (v/v).
Rendahnya kadar etanol yang dihasilkan dari fermentasi substrat
hidrolisat HCl sebesar 0,63% diduga disebabkan karena adanya bahan-
bahan inhibitor hasil degradasi produk hidrolisat asam seperti furfural dan
5-hidroksimetilfurfural (HMF), yang terdapat pada medium seiring dengan
konsumsi gula. Menurut Azhar et al. (1981), adanya kandungan senyawa
yang bersifat inhibitor dan racun dalam substrat hasil hidrolisis asam akan
menurunkan kadar etanol yang dihasilkan. Ada beberapa senyawa penting
dari furan yang merupakan zat inhibitor bagi pertumbuhan khamir dalam
produksi etanol, yaitu furfural, 5-hidroksimetilfurfural (HMF) dan 2-
hidroksimetilfuran. Konsentrasi HMF 0,1 mg/ml dalam substrat fermentasi
dapat mencegah pertumbuhan khamir dan menurunkan kecepatan

55
fermentasi Saccharomyces cerevisiae. Sementara konsentrasi furfural 0,46
mg/ml dapat menurunkan produksi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae
hingga 78,4%.
Adanya proses penghambatan dapat dilihat dari laju pembentukan
CO2 pada substrat hidrolisat HCl yang jauh lebih rendah dan bahkan
berhenti lebih awal. Hal ini menunjukkan bahwa metabolisme sel khamir
pada substrat hidrolisat HCl berhenti lebih awal karena adanya
penghambatan oleh bahan inhibitor. Selain itu, rendahnya konsentrasi
etanol yang dihasilkan dari fermentasi substrat hidrolisat HCl juga
kemungkinan disebabkan karena komposisi kimiawi nutrien yang kurang
seimbang pada substrat tersebut, seperti tidak tersedianya unsur sulfur (S)
yang merupakan elemen mesonutrien bagi pertumbuhan khamir. Menurut
Hidayat et al. (2006), unsur sulfur berperan cukup penting sebagai
penyusun protein dan beberapa koenzim. Keberadaan unsur non-nutrien
seperti klor (Cl) pada substrat dalam jumlah yang banyak diduga juga turut
menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga laju pembentukan produk
oleh mikroba juga tidak optimal yang berakibat pada masih rendahnya
konsentrasi produk etanol yang dihasilkan.
Kondisi awal fermentasi yang belum sepenuhnya anaerob juga dapat
menyebabkan rendahnya konsentrasi produk etanol yang dihasilkan.
Menurut Barnett et al. (2000) dalam Anonim (2008), khamir akan selalu
berespirasi pada setiap keadaan yang memungkinkan karena energi yang
dihasilkan pada respirasi jauh lebih besar dibandingkan energi yang
dihasilkan pada fermentasi. Pada saat oksigen bebas tidak ada, atau ada
dalam jumlah yang sangat sedikit, maka terjadi konversi sumber karbon
menjadi etanol dan CO2 yang lebih banyak. Sebaliknya, apabila oksigen
bebas terdapat dalam jumlah yang mencukupi, maka etanol yang
dihasilkan menjadi lebih sedikit karena adanya proses respirasi dimana
biomassa terbentuk dan terjadi konversi gula menjadi karbondioksida, air
dan asam-asam organik.
Disamping itu, kadar etanol yang terukur pada penelitian ini diduga
lebih kecil dibandingkan kadar etanol yang sebenarnya terkandung dalam

56
masing-masing cairan fermentasi tersebut. Hal ini disebabkan karena
pengukuran kadar etanol dilakukan dengan menggunakan metode destilasi.
Menurut Amerine dan Ough (1979), destilasi etanol akan menyebabkan
kehilangan kadar etanol sebesar 0,61,5% (v/v). Kualitas kultur mikroba
yang digunakan juga memegang peranan yang sangat penting terhadap
penentuan mutu produk etanol yang dihasilkan. Penggunaan kultur
Saccharomyces cerevisiae yang tidak berasal dari galur unggul pada
proses fermentasi diduga turut berpengaruh terhadap rendahnya
konsentrasi produk etanol yang dihasilkan.
Hasil penelitian yang dilakukan Rinaldy (1987) dan Subekti (2006)
masing-masing memberikan kadar etanol tertinggi sebesar 1,16% (v/v) dan
0,31% (v/v) dengan perlakuan hidrolisis secara asam menggunakan
substrat onggok singkong dan fraksi selulosa tongkol jagung. Nilai
tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai kadar etanol
yang dihasilkan pada penelitian ini. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
kultur murni Saccharomyces cerevisiae mampu mengkonsumsi hidrolisat
pati sagu lebih baik daripada penggunaan onggok singkong dan fraksi
selulosa tongkol jagung sebagai sumber karbon dalam media fermentasi.
Hal ini disebabkan karena hidrolisat pati sagu mampu menghasilkan gula
pereduksi lebih banyak dibandingkan hidrolisat onggok singkong maupun
hidrolisat selulosa tongkol jagung.

g. Kinetika Fermentasi

Kinetika fermentasi menggambarkan biomassa, konsumsi substrat,


laju pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroba. Rehm dan Reed
(1981) menyatakan bahwa pertumbuhan mikrobial ditandai dengan
peningkatan jumlah massa dan sel, sedangkan kecepatan pertumbuhannya
tergantung pada kondisi lingkungan fisik dan kimianya.
Pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroba merupakan
proses-proses biokonversi, dimana nutrien kimiawi yang diumpankan pada
proses fermentasi dikonversi menjadi massa sel dan metabolit-metabolit.
Setiap konversi tersebut dapat dikuantitatifkan oleh suatu koefisien hasil

57
yang kemudian dinyatakan sebagai massa sel atau produk yang terbentuk
per unit massa nutrien yang dikonsumsi, yaitu Yx/s untuk sel dan Yp/s untuk
produk, sedangkan koefisien produk terhadap jumlah sel hidup dinyatakan
sebagai Yp/x (Said, 1987). Koefisien hasil tersebut dapat menggambarkan
efisiensi konversi substrat menjadi produk selama proses fermentasi
berlangsung. Maka dari itu penentuan parameter kinetika fermentasi
berguna untuk mengetahui efektivitas proses fermentasi. Hasil perhitungan
terhadap ketiga koefisien hasil fermentasi (Yx/s, Yp/s dan Yp/x) tersebut
dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Hasil Perhitungan Koefisien Hasil Fermentasi (dari Data Hasil
Analisis Metode GC)

Jenis Substrat Yx/s Yp/s Yp/x

Sirup glukosa
0,005 0,577 17,571
teknis
Hidrolisat
0,015 0,497 12,553
H2SO4

Hidrolisat HCl 0,019 0,505 4,358

Yield biomassa (Yx/s) adalah rendemen biomassa yang terbentuk per


substrat yang dikonsumsi. Berdasarkan data pada Tabel 12 didapat bahwa
nilai Yx/s terbesar diperoleh dari fermentasi menggunakan substrat
hidrolisat HCl sebesar 0,019, sedangkan nilai Yx/s terkecil diperoleh dari
fermentasi substrat sirup glukosa teknis sebesar 0,005. Rendahnya nilai
Yx/s pada fermentasi substrat sirup glukosa teknis terjadi karena rendahnya
nilai biomassa yang terhitung, akibat tingginya nilai total biomassa awal
(pada jam ke-0 fermentasi) pada substrat tersebut. Hal ini diduga terjadi
karena partikel nutrien dari pupuk NPK dan ZA yang ditambahkan tidak
larut secara sempurna dengan medium, sehingga ikut terukur sebagai
biomassa, sedangkan tingginya nilai Yx/s pada fermentasi menggunakan
substrat hidrolisat asam (baik H2SO4 maupun HCl) diduga disebabkan
karena adanya peningkatan konsentrasi bahan-bahan inhibitor hasil

58
degradasi produk hidrolisat asam yang terdapat pada medium, seperti
furfural dan 5-hidroksimetilfurfural (HMF), yang terjadi seiring dengan
konsumsi gula. Pada akhir fermentasi, bahan-bahan inhibitor tersebut juga
ikut terukur sebagai biomassa. Tingginya nilai biomassa awal juga diduga
disebabkan karena kondisi anaerob pada awal proses fermentasi belum
sepenuhnya terjadi. Khamir cenderung berespirasi pada setiap keadaan
yang memungkinkan, sehingga apabila terdapat oksigen pada proses
fermentasi, maka akan terjadi proses respirasi dimana biomassa terbentuk
dan gula dikonversi menjadi karbondioksida, air dan asam-asam organik.
Yield produk (Yp/s) adalah rendemen produk yang terbentuk per
substrat yang dikonsumsi. Nilai Yp/s terbesar diperoleh dari fermentasi
menggunakan substrat sirup glukosa teknis sebesar 0,577, sedangkan nilai
Yx/s terkecil diperoleh dari fermentasi substrat hidrolisat H2SO4 sebesar
0,497. Tingginya nilai Yp/s pada fermentasi substrat sirup glukosa teknis
terjadi karena konsentrasi produk etanol yang terbentuk pada fermentasi
substrat sirup glukosa teknis lebih tinggi dibandingkan fermentasi dengan
substrat hidrolisat asam.
Koefisien produk terhadap jumlah sel hidup dinyatakan sebagai Yp/x.
Berdasarkan data pada Tabel 12, didapat bahwa nilai Yp/x terbesar
diperoleh dari fermentasi menggunakan substrat sirup glukosa teknis
sebesar 17,571, sedangkan nilai Yp/x terkecil diperoleh dari fermentasi
substrat hidrolisat HCl sebesar 4,358.

59
III. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Pati sagu memiliki kandungan pati yang tinggi dan merupakan sumber
karbohidrat yang potensial untuk digunakan sebagai bahan baku substrat
fermentasi etanol. Analisis terhadap hidrolisat pati yang dihasilkan
menunjukkan hasil yang berbeda antara hidrolisat H2SO4 dan hidrolisat HCl.
Hidrolisat H2SO4 mempunyai nilai total gula (TG), gula pereduksi (GP), DE
serta kandungan total nitrogen yang lebih tinggi dibandingkan hidrolisat HCl.
Dengan demikian, penggunaan hidrolisat H2SO4 sebagai substrat fermentasi
etanol akan lebih menguntungkan dibandingkan penggunaan substrat
hidrolisat HCl.
Fermentasi alkohol dilakukan pada kondisi anaerob dengan bantuan
Saccharomyces cerevisiae. Produk etanol yang dihasilkan dari substrat
hidrolisat H2SO4 0,5 N (konsentrasi gula 10%) memiliki kadar etanol yang
lebih tinggi yaitu sebesar 1,91%, dibandingkan dengan produk etanol dari
substrat hidrolisat HCl sebesar 0,63%. Analisis terhadap cairan fermentasi
juga menunjukkan adanya perbedaan antara substrat hidrolisat H2SO4 dan
substrat hidrolisat HCl. Untuk hidrolisat H2SO4, didapat nilai efisiensi
pemanfaatan substrat (s/s) sebesar 34,80%, yield biomassa (Yx/s) sebesar
0,015, yield produk (Yp/s) sebesar 0,497 serta nilai Yp/x sebesar 12,553,
sedangkan untuk hidrolisat HCl didapat nilai s/s sebesar 3,52%, (Yx/s)
sebesar 0,019, (Yp/s) sebesar 0,505 serta nilai Yp/x sebesar 4,358. Berdasarkan
data tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlakuan terbaik diperoleh dari
penggunaan substrat hidrolisat H2SO4, karena menghasilkan kadar etanol yang
lebih tinggi.

B. SARAN

Berdasarkan penelitian, ditemukan adanya penghambatan pada substrat


yang digunakan. Karena itu, diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui
komposisi nutrien terbaik dan paling seimbang pada medium fermentasi

60
substrat dan meminimalkan dampak yang ditimbulkan dari hidrolisis secara
asam, agar penghambatan substrat yang terjadi pada saat proses fermentasi
berlangsung dapat ditekan seminim mungkin sehingga hasil fermentasi yang
diperoleh juga lebih optimal. Selain itu perlu pengkajian lanjutan mengenai
metode ekstraksi dan pemurnian produk etanol yang paling efektif dan efisien.
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan galur unggul
Saccharomyces cerevisiae, karena kualitas kultur mikroba yang digunakan
memegang peranan yang sangat penting terhadap penentuan mutu produk
etanol yang dihasilkan. Disamping itu, perlu pengkajian lebih lanjut mengenai
optimasi proses fermentasi etanol dari hidrolisat pati sagu hasil hidrolisis
asam, perbaikan proses fermentasi dengan penggunaan fermentor, serta kajian
tekno-ekonomi produksi etanol dari hidrolisat pati sagu.

61
DAFTAR PUSTAKA

Akyuni, D. 2004. Pemanfaatan Pati Sagu (Metroxylon sp.) untuk Pembuatan Sirup
Glukosa Menggunakan -Amilase dan Amiloglukosidase [Skripsi].
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Amerine, M.A. dan C.S. Ough. 1979. Method of Analysis of Must and Wines. A
Wiley-Interscience Publication. New York.

Amerine, M.A., H.W. Berg, R.E. Kunkee, C.S. Ough, V.I. Singleton, dan A.D.
Webb. 1987. Technology of Wine Making. The AVI Publishing Co.,Inc.
Westport, Connecticut.

Anonim. 2008. Profil Investasi Biofuel dari Sagu.


http://agribisnis.deptan.go.id/layanan_info/view.php?file=USAHA-
PENGOLAHAN/PROFIL+INVESTASI+BIOENERGI/PROFIL+SAGU+FI
NAL.doc [19 November 2008].

AOAC. 1995. Official Method of Analysis of Association Official Agriculture


Chemist. AOAC International. Washington.

Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budiyanto.


1989. Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Azhar, A.F., M.K. Bery, A.R. Colcord, R.S. Roberts dan G.V. Corbitt. 1981.
Biotechnology and Bioengineering Symposium, No : 11. John Willey and
Sons Inc. England.

Bailar, J.C., T. Moeller dan J. Kleinberg. 1965. University Chemistry. D.C. Healt
and Co. Boston.

Betancur, A.D. dan G.L. Chel. 1997. Acid Hydrolysis and Characterization of
Canavalia ensiformis. J. Agric. Food Chem. 45 : 4237-4241.

Beynum, G.M.A. dan J.A. Roels. 1985. Starch Conversion Technology (ed).
Marcel Dekker, Inc. New York.

Bintoro, H.M.H. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu Sebagai Penghasil Bahan


Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalam
Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu
Tanaman Perkebunan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Bukit, E. 2008. Bioetanol : Bahan Bakar Masa Depan. Trubus : 34-35.

62
Chaplin, M.F. dan C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University
Press, New York.

Ciptadi, W. dan Machfud. 1980. Mempelajari Pendayagunaan Umbi-Umbian


sebagai Sumber Karbohidrat. Proyek Peningkatan/Pengembangan
Perguruan Tinggi, Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Clark, T. dan K.L. Mackie. 1984. Fermentation Inhibitors in Wood Hydrolysates


Derived From The Softwood Pinus radiata. J.Chem. Bioetanol 34 B : 101-
110.

Dewan Standarisasi Nasional. 1995. SNI No. 01-3729-1995 : Standar Mutu Pati
Sagu. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Dewipadma, J.K. 1978. Pekerjaan Laboratorium Mikrobiologi Pangan.


FATEMETA, IPB. Bogor

Fardiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian


Bogor. Bogor.

Fiecther, A. 1982. Advances In Biochemical Engineering. Springer-Verlag.


Berlin.

Frazier, W.C. dan D.C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. Tata Mc.Graw-Hill
Publ.Co.Ltd. New York.

Gaman, P.M. dan K.B. Sherrington. 1981. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu
Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi (Edisi kedua). Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.

Harijadi, W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Gramedia. Jakarta.

Haryanto, B. dan P. Pangloli. 1992. Potensi Pemanfataan Sagu. Kanisius.


Yogyakarta.

Hidayat, N., M.C. Padaga dan S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Penerbit
ANDI. Yogyakarta.

Higgins, I.J., D.J. Best dan J. Jones. 1984. Biotechnology Principles And
Applications. Blackwell Scientific Publication. London.

Howling, D. 1979. The General Science and Technology of Glucose Syrups. di


dalam G.G Borch dan K.J Parker (eds). Science and Technology. Applied
Science Publishers, Ltd. London.

63
Humas. 2006. Sagu, Potensial Perkaya Keragaman Pangan. http://www.bppt.go.id
/index.php?option=com_content&task=view&id=6033&Itemid=30 [28 Juli
2006].

Ishak, E., D. Sarinah, Amrullah dan B. Mariyati. 1984. Teknik Pengolahan Sagu.
Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Makassar.

Jong, F.S. dan A. Widjono. 2007. Sagu: Potensi Besar Pertanian Indonesia.
http://www.puslittan.bogor.net/index.php?bawaan=publikasi/isi_informasi&
kod=IT02/01&kd=2&id_menu=5&id_submenu=20&id=206 [19 November
2008].

Miller, D.L. 1975. Cellulose as a Chemical and Energy Resource. John Willey
and Sons. New York.

Palmer, T.J. 1970. Acid and Enzyme Hydrolisys of Starch. Publishing Company
Limited. London.

Paturau, J.M. 1982. By-Products of The Cane Sugar Industry : An Introduction to


Their Industrial Utilization. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam.

Presscot, S.C. dan C.G. Dunn. 1981. Industrial Microbiology. Mc.Graw-Hill


Book Co.Ltd. New York.

Rahayu, E.B. 2006. Pengaruh Jenis Asam dan Konsentrasi Pati pada Pembuatan
Hidrolisat Pati Sagu sebagai Media Fermentasi Asam Laktat oleh Rhizopus
oryzae [Skripsi]. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Reed, G., dan H.J. Peppler. 1973. Yeast Technology. The AVI Publ.Co., Inc.
Westport, Connecticut.

Rehm, H.J. dan G. Reed. 1981. Biotechnology, Vol.1 : Microbial Fundamental.


Verlag Chemie Gmbh, Weinheim.

Rinaldy, W. 1987. Pemanfaatan Onggok Singkong (Manihot esculenta Crantz)


Sebagai Bahan Pembuatan Etanol [Skripsi]. Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rudlee, K., J. Dennis, K.T. Patricia dan J.D. Rees. 1978. Palm Sago : A Tropical
Starch from Marginal Lands. East-West Center. Honolulu.

Said, E.G. 1987. Bioindustri : Penerapan Teknologi Fermentasi. PT. Gramedia


Pustaka Utama. Jakarta.

Sastrapradja, S., J. Palar, M. Harini, Murni dan J.A. Johar. 1980. Palem
Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

64
Sjamsuriputra, A.A., I. Sastramihardja, dan U. Sukandar. 1986. Pemanfaatan
Limbah Padat Industri Tapioka untuk Produksi Etanol dengan Cara
SakarifikasiFermentasi Simultan Tanpa Perlakuan Pemasakan [Laporan
Penelitian]. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Bandung.

Somaatmadja, D. 1973. Sirup Pati Ubi Kayu. Balai Penelitian Kimia. Bogor.

Subekti, H. 2006. Produksi Etanol dari Hidrolisat Fraksi Selulosa Tongkol Jagung
oleh Saccharomyces cerevisiae [Skripsi]. Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sudarmadji, S. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty.


Yogyakarta.

Sudjana, M.A. 1995. Desain dan Analisis Eksperimen : Edisi IV. Tarsito.
Bandung.

Tjokroadikoesoemo, P. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Gramedia.


Jakarta.

Tsao, G.T., M. Ladisch, T.A. Hsu, B. Dale, C. Ladisch dan T. Chou. 1978.
Fermentation Substrates from Cellulosic Materials : Production of
Fermentable Sugars from Cellulosic Materials. di dalam D. Perlman (eds).
Annual Reports on Fermentation Processes : Volume 2. Academic Press.
New York.

Winarno, F.G. 1986. Enzim Pangan. Penerbit Gramedia. Jakarta.

___________. 1997. Kimia pangan dan Gizi. Penerbit Gramedia. Jakarta.

Wirakartakusumah, M.A., A. Apriyantono, M.S. Maarif, Suliantari, D. Muchtadi


dan K. Otaka. 1984. Studi tentang Ekstraksi, Sifat-Sifat Fisiko Kimia Pati
Sagu dan Pengkajian Enzima. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor.

65
Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu

1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989)


Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi
sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang (W1) kemudian dimasukkan ke dalam
oven suhu 105 oC selama 1 2 jam. Cawan alumunium dan contoh yang telah
dikeringkan dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang. Pemanasan
contoh diulangi hingga didapat bobot konstan (W2). Sisa contoh dihitung
sebagai total padatan dan air yang hilang sebagai kadar air.

Kadar Air (%) = (W1 W2) x 100 %


W1

2. Analisis Kadar Abu (AOAC, 1995)


Sebanyak 2 g contoh ditimbang dalam cawan porselin yang telah
diketahui bobotnya (A), kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas
bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin berisi contoh (B)
yang sudah diarangkan kemudian dimasukkan dalam tanur bersuhu 600 oC
selama 2 jam untuk mengubah arang menjadi abu (C). Cawan porselin berissi
abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mencapai bobot tetap.

Kadar Abu (%) = (C A) x 100 %


B

3. Analisis Kadar Serat Kasar (Apriyantono et al., 1989)


Sebanyak 24 g contoh ditimbang, lalu lemaknya dibebaskan dengan
cara ekstraksi menggunakan Soxhlet atau diaduk, mengenaptuangkan contoh
dalam pelarut organik sebanyak tiga kali. Contoh dikeringkan dan
ditambahkan 50 ml larutan H2SO4 1,25% lalu dididihkan selama 30 menit
dengan pendingin tegak. Setelah itu ditambahkan 50 ml NaOH 3,25% dan
dididihkan kembali selama 30 menit. Dalam keadaan panas cairan disaring
dengan corong Buchner yang berisi kertas saring tak berabu Whatman yang
telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan pada kertas saring

66
berturut-turut dicuci dengan H2SO4 1,25% panas, air panas dan etanol 96%.
Kertas saring dan isinya diangkat dan ditimbang, lalu dikeringkan pada suhu
105 oC sampai bobotnya konstan. Bila kadar serat kasar lebih besar dari 1%,
kertas saring beserta isinya diabukan dan ditimbang hingga bobotnya konstan.

a. Serat Kasar < 1%


(kertas saring+contoh kering) kertas saring kosong x 100%
bobot contoh

b. Serat Kasar > 1%


(kertas saring+contoh kering) kertas saring kosong bobot abu x 100%
bobot contoh

4. Analisis Kadar Protein (AOAC, 1995)


Sebanyak 0,1 g contoh dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu
ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat, 1 g katalis, dan beberapa butir batu didih.
Larutan didestruksi hingga menghasilkan larutan jernih kemudian
didinginkan. Larutan hasil dekstruksi dipindahkan ke alat destilasi dan
ditambahkan 15 ml NaOH 50%. Labu erlenmeyer yang berisi 25 ml HCl 0,02
N dan 24 tetes indikator (campuran metil merah 0,02% dan metil biru 0,02%
dalam alkohol (2:1)) diletakkan di bawah kondensor, dengan ujung kondensor
terendam dalam larutan HCl. Destilasi dilakukan sampai volume larutan
dalam erlenmeyer mencapai 2 kali volume awal. Ujung kondensor dibilas
dengan akuades. Destilat dalam labu erlenmeyer dititrasi dengan NaOH 0,02
N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Kadar total
nitrogen ditentukan berdasarkan volume larutan NaOH 0,02 N yang
digunakan untuk titrasi. Blanko disiapkan seperti prosedur penentuan kadar
total nitrogen dengan metode Kjeldahl dengan aquades bebas nitrogen sebagai
larutan contoh. Penentuan kadar protein dihitung berdasarkan rumus berikut.

Total N (%) = ml titrasi (blanko contoh) x N NaOH x 14 x 100 %


bobot contoh

Kadar Protein (%) = 6,25 x Total N (%)

67
5. Analisis Kadar Lemak (AOAC, 1995)
Sebanyak 2 g contoh bebas air (hasil analisis kadar air) diekstraksi
dengan pelarut organik heksan dalam alat Soxhlet selama 6 jam. Contoh hasil
ekstraksi diuapkan terlebih dahulu dengan cara diangin-anginkan, lalu
dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC. Contoh kemudian didinginkan dalam
desikator, dan ditimbang hingga diperoleh bobot yang tetap.

Kadar Lemak (%) = bobot lemak x 100%


bobot contoh

6. Analisis Kadar Pati (AOAC, 1995)


Sebanyak 5 g contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu
erlenmeyer kemudian ditambahkan 200 ml larutan HCl 3 % dan didihkan
selama 3 jam dengan pendingin tegak. Kemudian didinginkan dan dinetralkan
dengan larutan NaOH 30 % lalu ditambahkan CH3COOH 3 % agar larutan
menjadi asam. Isi dipindahkan ke dalam labu berukuran 500 ml dan
tambahkan akuades sampai tanda tera, kemudian disaring. Sebanyak 10 ml
filtrat di pipet ke dalam erlenmeyer 500 ml, ditambahkan 2 ml larutan Luff
Schoorl dan beberapa butir batu didih serta 15 ml akuades. Campuran
dipanaskan dengan nyala tetap dan didihkan selama 3 menit. Campuran lalu
dididihkan kembali selama 10 menit, kemudian didinginkan dalam bak berisi
es. Setelah campuran dingin ditambahkan 15 ml larutan KI 20 % dan 25 ml
H2SO4 25 % dengan perlahan-lahan. Lalu dititrasi dengan menggunakan
larutan tio 0,1 N dengan penambahan indikator kanji 0,5 % (a ml). Lakukan
juga terhadap blanko dengan perlakuan yang sama (b ml).

Kadar Pati (%) = A x faktor pengencer x 0,9 x 100 %


mg contoh

Keterangan :
A = angka tabel Luff Schoorl, berdasarkan selisih ml titrasi (b a)
0,9 = perbandingan kadar glukosa dan pati

68
Lampiran 2. Prosedur Analisis Hidrolisat Pati Sagu

1. pH (AOAC, 1995)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH-meter. Sebelum
digunakan pH meter dikalibrasi terlebih dahulu ke dalam pH 4 dan pH 9,2.
Setelah dicuci dengan akuades, elektroda dimasukkan ke dalam contoh yang
akan diukur pH-nya. Nilai pH adalah nilai yang ditampilkan setelah
menunjukkan nilai konstan.

2. Kadar Gula Total dengan Metode Fenol Sulfat (AOAC, 1995)


Larutan glukosa standar dengan konsentrasi gula 10, 20, 30, 40, 50 dan
60 g/ml diambil sebanyak 2 ml. Masing-masing kemudian dimasukkan ke
dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 ml larutan fenol 5%, serta
ditambahkan 5 ml larutan H2SO4 pekat dengan cepat. Setelah dibiarkan selama
10 menit, larutan kemudian diukur absorbansinya pada = 490 nm. Penetapan
konsentrasi total gula pada contoh dilakukan seperti pada penetapan kurva
standar, kemudian ditentukan total gula contoh sebagai glukosa.

Kurva Standar Fenol


1.0
y = 0,0146x + 0,0063
0.8 R2 = 0,9962
Absorbansi

0.6

0.4

0.2

0.0
0 10 20 30 40 50 60 70

Konsentrasi Glukosa (g/m l)


Total Gulal Linear (Total Gulal)

3. Kadar Gula Pereduksi dengan Metode DNS (Apriyantono et al., 1989)


Sebanyak 10,6 g asam 3,5 dinitrosalisilat dan 19,8 NaOH dilarutkan
dalam 1416 ml air. Ke dalamnya ditambahkan 306 g Na-k-tartarat, 7,6 ml
fenol yang telah dicairkan pada suhu 105 oC dan 8,3 g Na-metabisulfit. Bahan-
bahan tersebut dicampur hingga rata. Keasaman dari pereaksi DNS yang

69
dihasilkan ditentukan. Sebanyak 3 ml larutan DNS dititrasi dengan HCl 0,1 N
dengan indikator fenolftalein. Banyaknya titran berkisar 5 6 ml. Untuk setiap
ml kekurangan HCl 0,1 N pada titrasi, ditambahkan 2 g NaOH.
Sebanyak 1 ml larutan standar glukosa atau contoh dipipet, dan
ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Larutan tersebut diletakkan dalam air
mendidih selama 5 menit, kemudian didinginkan hingga suhu kamar.
Pembacaan dengan spektrofotometer dilakukan dengan panjang gelombang
550 nm. Bila diperlukan, contoh diencerkan agar dapat terukur pada kisaran
20 80 % T (Transmitan).

Kurva Standar DNS


0.8
y = 4,2149x - 0,2824
0.6
R2 = 0,9978
Absorbansi

0.4

0.2

0.0
0.0 0.1 0.1 0.2 0.2 0.3

Konsentrasi Glukosa (mg/ml)


Gula Pereduksi Linear (Gula Pereduksi)

4. Ekuivalen Dekstrosa (Dextrose Equivalent/DE)


Ekuivalen dekstrosa (DE) diperoleh dengan membagi nilai gula
pereduksi contoh dengan nilai total gula contoh tersebut.

DE (%) = kadar gula pereduksi contoh (g/l) x 100%


total gula contoh (g/l)

5. Derajat Polimerisasi (DP)


Derajat polimerisasi (DP) adalah jumlah unit monomer dalam suatu
polimer. Derajat polimerisasi diperoleh dengan membagi nilai total gula
(metode fenol sulfat) dengan nilai gula pereduksi contoh.

DP (%) = total gula pereduksi contoh (g/l) x 100%


kadar gula pereduksi contoh (g/l)

70
6. Kadar Nitrogen dengan Metode Semi Mikro Kjeldahl (AOAC, 1995)
Sebanyak 0,1 g contoh dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu
ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat, 1 g katalis, dan beberapa butir batu didih.
Larutan didestruksi hingga menghasilkan larutan jernih kemudian
didinginkan. Larutan hasil dekstruksi dipindahkan ke alat destilasi dan
ditambahkan 15 ml NaOH 50%. Labu erlenmeyer yang berisi 25 ml HCl 0,02
N dan 2 4 tetes indikator (campuran metil merah 0,02% dan metil biru
0,02% dalam alkohol (2:1)) diletakkan di bawah kondensor, dengan ujung
kondensor terendam dalam larutan HCl. Destilasi dilakukan sampai volume
larutan dalam erlenmeyer mencapai 2 kali volume awal. Ujung kondensor
dibilas dengan akuades. Destilat dalam erlenmeyer dititrasi dengan NaOH
0,02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Kadar total
nitrogen ditentukan berdasarkan volume larutan NaOH 0,02 N yang
digunakan untuk titrasi. Blanko disiapkan seperti prosedur penentuan kadar
total nitrogen dengan metode Kjeldahl dengan aquades bebas nitrogen sebagai
larutan contoh. Penentuan kadar protein dihitung berdasarkan rumus berikut.

Total N (%) = ml titrasi (blanko contoh) x N NaOH x 14 x 100 %


bobot contoh

71
Lampiran 3. Prosedur Analisis Cairan Fermentasi

1. pH (AOAC, 1995)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH-meter. Setelah
dicuci dengan akuades, elektroda dapat dimasukkan ke dalam contoh yang
akan diukur pH-nya. Nilai pH adalah nilai yang ditampilkan setelah
menunjukkan nilai konstan.

2. Total Asam (Dewipadma, 1978)


Total asam ditentukan dengan cara titrasi dan dinyatakan sebagai asam
laktat. Sebanyak 1 ml contoh dipipet ke dalam erlenmeyer 50 ml, ditambahkan
dengan 9 ml air destilata, kemudian dipanaskan untuk menghilangkan CO2
yang ada. Campuran kemudian dititrasi dengan NaOH 0,1 N dengan indikator
fenolftalein.

Total Asam (g/l) = ml NaOH x N NaOH x 9 x faktor pengencer


ml contoh

3. Total Biomassa (Dewipadma, 1978)


Pengukuran biomassa dilakukan dengan penyaringan cairan fermentasi
menggunakan kertas saring berpori kecil (Whatman No. 42). Biomassa yang
tertahan pada kertas saring kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven
bersuhu 105 oC, dan ditimbang hingga bobotnya konstan.

Biomassa (g/l) = (bobot kertas saring+contoh) bobot kertas saring

4. Efisiensi Pemanfaatan Substrat


Efisiensi pemanfaatan substrat diperoleh dengan membagi selisih nilai
gula pereduksi awal (A) dan gula pereduksi akhir fermentasi (B) dengan nilai
gula pereduksi awal contoh tersebut. Nilai gula pereduksi diukur dengan
menggunakan metode DNS (seperti terlihat pada Lampiran 3).

Efisiensi Pemanfaatan Substrat (%) = (B A) x 100%


A

72
5. Kadar Etanol (AOAC, 1995)
Penentuan kadar etanol dilakukan dengan dua cara. Yang pertama
menggunakan metode secara tidak langsung dengan penetapan BJ (bobot
jenis) hasil destilasi contoh, sedangkan cara yang kedua kadar etanol diukur
dengan metode Gas Chromatography (GC).

 Metode Penetapan BJ (Spesific Gravity)


Sebanyak 25 ml contoh dimasukkan ke dalam botol penyuling
sambil diukur suhunya, kemudian ditambahkan aquades dengan volume
yang sama. Penyulingan dihentikan setelah diperoleh hasil sulingan + 23
ml dan diatur suhunya agar sama dengan suhu pada saat pemipetan.
Destilat tersebut dimasukkan ke dalam piknometer 25 ml yang telah
diketahui bobotnya (P), selanjutnya ditepatkan hingga tanda tera dengan
menambahkan aquades dan ditutup. Dinding piknometer dikeringkan lalu
piknometer yang telah berisi destilat tersebut ditimbang (D).
Piknometer dicuci dengan aseton, dikeringkan dan dibiarkan hingga
mencapai suhu kamar (+ 25 oC). Dengan piknometer tersebut ditentukan
pula bobot 100 ml air suling (W). Kadar etanol dapat ditentukan dengan
bantuan tabel hubungan antara bobot jenis dengan kadar etanol pada
berbagai suhu.

Bobot jenis destilat = D P


WP

 Metode Gas Chromatography (GC)


Penentuan kadar etanol dengan metode GC dilakukan dengan
membandingkan waktu retensi contoh dengan waktu retensi standar etanol.
Konsentrasi standar etanol yang diinjeksikan adalah 1 % (v/v). kadar etanol
yang terdapat dalam contoh dihitung dengan menggunakan persamaan berikut.
Kadar Etanol (%) = luas area contoh x [standar]
luas area standar

73
Lampiran 4. Neraca Massa Produksi Hidrolisat Pati Sagu Secara Asam

 Dengan H2SO4 Sebagai Penghidrolisis

Mpati sagu = 80 g Pencampuran MH2SO4 (0,5 N) = 420 g

Gelatinisasi
Mair = 2,75 g
(T = 100 oC, t = 10 menit)

Hidrolisis Mair = 9,55 g


(T = 121 oC, t = 30 menit)

MNH4OH (3N) = 41,40 g Netralisasi pH


(pH = 4,5 - 5)

Mkarbon aktif = 1,61 g Purifikasi Mair = 26,76 g


(T = 80 oC t = 1 jam)

Mhidrolisat pati sagu


= 503,95 g

74
Lampiran 4. Neraca Massa Produksi Hidrolisat Pati Sagu Secara Asam (Lanjutan)

 Dengan HCl Sebagai Penghidrolisis

Mpati sagu = 80 g Pencampuran MHCl (0,5 N) = 420 g

Gelatinisasi
Mair = 5,57 g
(T = 100 oC, t = 10 menit)

Hidrolisis Mair = 7,30 g


(T = 121 oC, t = 30 menit)

MNH4OH (3N) = 37,07 g Netralisasi pH


(pH = 4,5 - 5)

Mkarbon aktif = 1,61 g Purifikasi Mair = 25,54 g


(T = 80 oC t = 1 jam)

Mhidrolisat pati sagu


= 500,27 g

75
Lampiran 5. Hasil Pengukuran Laju Pembentukan CO2

Laju Pembentukan CO2 (ml)


Fermentasi
Substrat
Jam Ke-
U1 U2 U3 Rata-Rata
0 0 0 0 0,0
6 18 18 26 20,7
12 52 52 57 53,7
18 66 69 78 71,0
24 83 76 92 83,7
Sirup 30 55 53 68 58,7
glukosa 36 53 49 61 54,3
teknis 42 50 40 50 46,7
48 45 31 38 38,0
54 26 20 22 22,7
60 22 14 14 16,7
66 17 12 10 13,0
72 12 8 7 9,0

Laju Pembentukan CO2 (ml)


Fermentasi
Substrat
Jam Ke-
U1 U2 U3 Rata-Rata
0 0 0 0 0,0
6 17 9 18 14,7
12 51 42 53 48,7
18 58 74 65 65,7
24 66 83 77 75,3
Hidrolisat 30 50 62 68 60,0
asam 36 42 48 55 48,3
H2SO4 42 40 38 50 42,7
48 29 21 40 30,0
54 26 11 38 25,0
60 9 4 18 10,3
66 5 2 6 4,3
72 0 0 0 0,0

76
Lampiran 5. Hasil Pengukuran Laju Pembentukan CO2 (Lanjutan)

Laju Pembentukan CO2 (ml)


Fermentasi
Substrat
Jam ke-
U1 U2 U3 Rata-Rata
0 0 0 0 0,0
6 14 7 4 8,3
12 33 38 33 34,7
18 35 42 41 39,3
24 12 23 31 22,0
30 4 4 9 5,7
Hidrolisat
36 1 3 5 3,0
asam HCl
42 0 3 2 1,7
48 0 2 2 1,3
54 0 0 0 0,0
60 0 0 0 0,0
66 0 0 0 0,0
72 0 0 0 0,0

77
Lampiran 6. Kromatogram Etanol Hasil Fermentasi

78
Lampiran 6. Kromatogram Etanol Hasil Fermentasi (Lanjutan)

79
Lampiran 6. Kromatogram Etanol Hasil Fermentasi (Lanjutan)

80
Lampiran 7. Hasil Perhitungan Kadar Etanol Metode GC

Standar etanol yang digunakan = 1% (v/v) dengan bobot jenis 7,9 g/l

Kadar Etanol (%) = luas area contoh x 1%


luas area standar

Kadar Kadar
Luas Area Luas Area
Jenis Substrat Etanol Etanol
Standar Contoh
(% v/v) (g/l)
Sirup glukosa teknis
1291310 3307528 2,56 20,41
(U1)
Hidrolisat asam
1291310 2461920 1,91 16,32
H2SO4 (U3)
Hidrolisat asam HCl
1291310 807200 0,63 5,31
(U2)

81
Lampiran 8. Hasil Analisa Cairan Fermentasi

Jenis Biomassa X-Xo Substrat So-S Produk *)


Ulangan
Substrat X (g/l) S (g/l) (g/l) P (g/l)

Sirup 1 1,140 0,182 57,082 33,082 20,235


glukosa 2 1,121 0,137 54,137 37,534 20,224
teknis 3 1,192 0,163 51,877 34,521 20,777

Hidrolisat 1 1,202 0,441 63,934 29,966 17,459


asam 2 1,142 0,399 59,760 30,073 15,062
H2SO4
3 1,174 0,528 61,580 31.036 16,432

1 1,001 0,213 85,338 10,702 5,767


Hidrolisat
asam HCl 2 1,135 0,240 88,442 9,632 5,214
3 0,918 0,120 86,729 9,204 4,938
*)
kadar etanol hasil uji piknometer

82

Anda mungkin juga menyukai