Hidrolisis Pati
Hidrolisis Pati
Hidrolisis Pati
Oleh
FITRI ANNA SARI
F34102077
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENGARUH JENIS ASAM PADA HIDROLISIS PATI SAGU
(Metroxylon sp.) UNTUK PEMBUATAN ETANOL
Oleh
FITRI ANNA SARI
F34102077
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENGARUH JENIS ASAM PADA HIDROLISIS PATI SAGU
(Metroxylon sp.) UNTUK PEMBUATAN ETANOL
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
FITRI ANNA SARI
F34102077
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
FITRI ANNA SARI
F34102077
Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi
Pembimbing I Pembimbing II
Fitri Anna Sari. F34102077. Pengaruh Jenis Asam Pada Hidrolisis Pati Sagu
(Metroxylon sp.) untuk Pembuatan Etanol. Dibawah bimbingan Liesbetini Hartoto
dan Titi Candra Sunarti. 2009.
RINGKASAN
Sebagai negara yang terletak di daerah tropika basah, Indonesia kaya akan
tanaman penghasil karbohidrat, diantaranya adalah sagu (Metroxylon sp.). Lahan
sagu di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, yaitu mencapai 50% dari
sekitar 2,6 juta ha luas lahan sagu dunia. Namun hanya 5% yang dibudidayakan,
kebanyakan secara semi-liar dengan perawatan minimal. Sekitar 90% potensi sagu
Indonesia ada di Papua, sisanya tersebar di Maluku, kepulauan Riau, Mentawai,
Kalimantan dan Sulawesi (Widjono dan Jong, 2007).
Pati sagu dapat diperoleh dari empulur batang sagu dengan cara ekstraksi.
Selain sebagai bahan makanan, pati sagu juga digunakan sebagai bahan baku
industri seperti farmasi, tekstil, kosmetika ataupun sebagai bahan energi
(bioetanol) melalui proses fermentasi. Dalam kurun 19972006, produksi
bioetanol dunia tumbuh 11% per tahun (Bukit, 2008). Seiring dengan merebaknya
isu menipisnya cadangan minyak bumi dan peluang bioetanol sebagai bahan bakar
alternatif, kebutuhan bioetanol di masa mendatang akan terus meningkat.
Fermentasi etanol secara langsung hanya dapat dilakukan terhadap bahan
yang mengandung monosakarida, sedangkan bahan pati harus dihidrolisis terlebih
dahulu menjadi glukosa. Hidrolisis pati sagu dapat dilakukan secara asam ataupun
enzimatis. Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah hidrolisis secara
asam, menggunakan H2SO4 dan HCl. Proses hidrolisis dilakukan menggunakan
autoklaf, selama 30 menit pada suhu 121 oC. Hasil hidrolisis tersebut kemudian
dinetralkan menggunakan larutan NH4OH, dan selanjutnya dipurifikasi dengan
arang aktif hingga didapat hidrolisat asam yang jernih. Dari hasil penelitian
didapat bahwa untuk menghidrolisis pati sagu dengan konsentrasi 16%,
konsentrasi asam optimum yang digunakan adalah 0,5 N. Hidrolisat pati sagu
tersebut kemudian difermentasi hingga menghasilkan etanol. Pada hidrolisis
dengan asam H2SO4 0,5 N didapat nilai total gula 148,02 g/l, sedangkan hidrolisis
dengan asam HCl 0,5 N sebesar 142,95 g/l.
Fermentasi etanol dilakukan terhadap substrat hidrolisat pati sagu hasil
hidrolisis asam dengan H2SO4 dan HCl, dengan pembanding sirup glukosa teknis,
masing-masing pada konsentrasi gula 10%. Proses fermentasi dilakukan pada
kondisi anaerob dengan bantuan Saccharomyces cerevisiae, selama 3 hari
menggunakan inkubator goyang. Setiap 6 jam selama fermentasi dilakukan
pengukuran laju pembentukan CO2, kemudian pada awal dan akhir fermentasi
dilakukan analisis total gula, gula pereduksi, pengukuran pH, total asam,
penentuan biomassa dan kadar etanol (dengan metode Gas Chromatography),
serta perhitungan parameter kinetika s/s, Yx/s, Yp/s, dan Yp/x.
Dari hasil pengukuran, laju fermentasi ketiga substrat menunjukkan
peningkatan yang lambat pada 6 jam pertama, kemudian meningkat dengan cepat
hingga jam ke-18. Pada substrat hidrolisat asam H2SO4 dan sirup glukosa teknis,
titik maksimum dicapai pada jam ke-24. Laju fermentasi kemudian menurun
secara perlahan setelah jam ke-24 hingga akhir fermentasi (jam ke-72). Sedangkan
pada substrat hidrolisat asam HCl, laju fermentasi telah mencapai titik maksimum
pada jam ke-18, kemudian menurun dengan cepat hingga kemudian berhenti pada
jam ke-54. Selama proses fermentasi, terjadi penurunan pH karena terbentuknya
asam-asam organik. Rata-rata penurunan pH terbesar diperoleh dari substrat sirup
glukosa teknis, dengan pH akhir tertinggi pada substrat hidrolisat asam H2SO4
yaitu 3,77 dan terendah pada substrat sirup glukosa teknis yaitu 3,16. Sementara
total asam akhir tertinggi diperoleh dari substrat hidrolisat asam H2SO4 sebesar
18,60 g/l dan terendah pada substrat sirup glukosa teknis sebesar 3,32 g/l.
Pada penentuan biomassa, didapat bahwa pembentukan biomassa paling
banyak terjadi pada fermentasi substrat hidrolisat asam H2SO4 sebesar 1,17 g/l
dan terendah pada substrat hidrolisat asam HCl sebesar 1,02 g/l. Dari hasil analisis
total gula dan gula pereduksi, diketahui bahwa konsumsi substrat tertinggi terjadi
pada substrat sirup glukosa teknis, dan terendah pada substrat hidrolisat asam
HCl. Sementara nilai kadar etanol tertinggi diperoleh dari fermentasi sirup
glukosa teknis yaitu 2,56%, diikuti oleh hidrolisat asam H2SO4 dengan nilai
1,91%, sedangkan kadar etanol terendah dihasilkan dari fermentasi hidrolisat
asam HCl dengan nilai 0,63%.
Dari hasil pengukuran terhadap parameter-parameter kinetika fermentasi,
didapat bahwa efisiensi pemanfaatan substrat (s/s) tertinggi diperoleh dari
fermentasi sirup glukosa teknis sebesar 41,06% dan terendah pada fermentasi
hidrolisat asam HCl sebesar 3,52%. Yield biomassa (Yx/s) terbesar diperoleh dari
fermentasi hidrolisat asam HCl dengan nilai 0,019 dan terendah pada fermentasi
sirup glukosa teknis dengan nilai 0,005. Yield produk (Yp/s) terbesar diperoleh
dari fermentasi sirup glukosa teknis dengan nilai 0,577 dan terendah pada
fermentasi hidrolisat asam H2SO4 dengan nilai 0,497. Nilai Yp/x terbesar diperoleh
dari fermentasi substrat sirup glukosa teknis sebesar 17,571, sedangkan nilai Yp/x
terkecil pada fermentasi substrat hidrolisat asam HCl sebesar 4,358.
Fitri Anna Sari. F34102077. Effect of Acids on Hydrolysis of Sago (Metroxylon
sp) Starch for Ethanol Production. Under Academic Supervision of Liesbetini
Hartoto and Titi Candra Sunarti. 2009.
SUMMARY
Semoga Allah SWT membalas budi baik semua pihak yang telah membantu
penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa-masa
mendatang. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................ iii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... viii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ....................................................... 1
B. TUJUAN ........................................................................... 3
III. METODOLOGI
A. BAHAN DAN ALAT ........................................................ 20
B. METODE PENELITIAN ................................................... 20
1. Karakterisasi Pati Sagu ................................................. 20
2. Penelitian Pendahuluan ................................................ 21
3. Penelitian Utama .......................................................... 21
a. Produksi Hidrolisat Pati Sagu ................................. 21
b. Produksi Etanol ...................................................... 23
LAMPIRAN ......................................................................................... 66
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Pertumbuhan Produksi Pati Dunia, Tahun 1970-2000 ........... 7
Tabel 2. Potensi Pemanfaatan Industri Pati Sagu ................................. 7
Tabel 3. Komposisi Pati Sagu dan Beberapa Jenis Bahan Pangan
Lain ...................................................................................... 8
Tabel 4. Sifat Pati Sagu dan Beberapa Jenis Pati Lainnya ................... 10
Tabel 5. Standar Mutu Pati Sagu (SNI 01-3729-1995) ........................ 11
Tabel 6. Karakteristik Pati Sagu .......................................................... 27
Tabel 7. Hasil Analisis Total Gula (TG) dan Total Gula Pereduksi (GP)
pada Penelitian Pendahuluan ................................................. 31
Tabel 8. Hasil Analisis Total Gula, Total Gula Pereduksi, DE, dan DP
pada Hidrolisat Pati Sagu ...................................................... 34
Tabel 9. Hasil Analisis Total Nitrogen pada Konsentrasi Gula 10% .... 36
Tabel 10. Hasil Perhitungan Efisiensi Pemanfaatan Substrat ................. 47
Tabel 11. Hasil Analisis Kadar Etanol Metode Piknometer dan GC ...... 54
Tabel 12. Hasil Perhitungan Koefisien Hasil Fermentasi (dari Data Hasil
Analisis Metode GC) ............................................................. 58
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Areal Sagu di Dunia ........................................................... 6
Gambar 2. (a) Struktur Kimia Amilosa ............................................... 9
(b) Struktur Kimia Amilopektin ......................................... 9
Gambar 3. Embden-Meyerhof-Parnas Pathway ................................... 15
Gambar 4. Diagram Alir Proses Hidrolisis Pati Sagu ........................... 22
Gambar 5. Diagram Alir Proses Produksi Etanol ................................. 25
Gambar 6. Skema Peralatan Pengukuran Laju Pembentukan Gas CO2 .. 26
Gambar 7. Hidrolisat Pati Sagu Sebelum Purifikasi ............................. 32
Gambar 8. Hidrolisat Pati Sagu Setelah Purifikasi ............................... 33
Gambar 9. Peralatan Fermentasi Hidrolisat Pati Sagu Menjadi Etanol .. 38
Gambar 10. Histogram pH Awal dan pH Akhir Fermentasi ................... 40
Gambar 11. Histogram Total Asam pada Awal dan Akhir Fermentasi ... 41
Gambar 12. Histogram Biomassa pada Awal dan Akhir Fermentasi ...... 42
Gambar 13. Histogram Total Gula pada Awal dan Akhir Fermentasi ..... 44
Gambar 14. Histogram Gula Pereduksi Awal dan Akhir Fermentasi ...... 45
Gambar 15. Grafik Laju Pembentukan CO2 Selama Fermentasi ............ 49
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu .......................... 66
Lampiran 2. Prosedur Analisis Hidrolisat Pati Sagu ............................... 69
Lampiran 3. Prosedur Analisis Cairan Fermentasi .................................. 72
Lampiran 4. Neraca Massa Produksi Hidrolisat Pati Sagu Secara Asam .. 74
Lampiran 5. Hasil Pengukuran Laju Pembentukan CO2 .......................... 76
Lampiran 6. Kromatogram Etanol Hasil Fermentasi ............................... 78
Lampiran 7. Hasil Perhitungan Kadar Etanol Metode GC ...................... 81
Lampiran 8. Hasil Analisa Cairan Fermentasi ......................................... 82
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
adalah Jepang, Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Thailand dan Singapura
(Jong dan Widjono, 2007). Permintaan dalam negeri terus meningkat, karena
perkembangan industri makanan, industri pakan ternak, industri farmasi,
industri tekstil, industri kosmetika, industri kimia, dan sebagainya. Pati sagu
juga dapat digunakan sebagai bahan energi. Untuk dapat digunakan sebagai
bahan energi, pati sagu harus diolah terlebih dahulu menjadi etanol melalui
proses hidrolisis dan fermentasi.
Etanol atau etil alkohol merupakan senyawa yang memiliki gugus
hidroksil (OH) yang terikat pada atom karbon. Dalam perdagangan dikenal
dengan nama alkohol, dengan rumus kimia C2H5OH. Industri etanol dirintis
sejak abad ke19, sejalan dengan berkembangnya industri gula di Indonesia.
Etanol memiliki banyak kegunaan, disamping sebagai bahan pelarut, etanol
juga digunakan sebagai bahan baku untuk berbagai keperluan industri, seperti
industri bahan kimia, kosmetika, obat-obatan, minuman, bidang mikrobiologi
dan lain-lain. Selain itu etanol juga dapat digunakan sebagai alternatif bahan
bakar. Etanol yang dihasilkan dari sumber daya alam terbarukan disebut
bioetanol. Molekul bioetanol mengandung oksigen yang menghasilkan
pembakaran bahan bakar dalam mesin menjadi lebih sempurna, sehingga
dapat mengurangi emisi gas buang. Dengan begitu, bioetanol turut berperan
menekan polusi udara. Bioetanol juga mudah terurai dalam air sehingga tidak
menimbulkan pencemaran air (Bukit, 2008).
Permintaan etanol di dunia juga terus meningkat. Dalam kurun 1997
2006, produksi bioetanol dunia tumbuh 11% per tahun (Bukit, 2008). Seiring
dengan akan menipisnya cadangan minyak bumi dan peluang bioetanol
sebagai bahan bakar alternatif, kebutuhan bioetanol di masa mendatang bakal
terus menanjak. Itulah sebabnya peluang usaha bioetanol di tanah air semakin
terbuka.
Etanol dapat diperoleh melalui proses fermentasi. Fermentasi etanol
dengan menggunakan galur khamir Saccharomyces cerevisiae, atau dari jenis
Schizosaccharomyces sp., secara langsung hanya dapat dilakukan terhadap
bahan baku yang mengandung gula seperti sukrosa, glukosa, fruktosa, maltosa
dan rafinosa. Untuk bahan baku pati, sebelum dapat difermentasi menjadi
2
etanol harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi glukosa (Sjamsuriputra et al.,
1986).
Hidrolisis pati sagu untuk pembuatan etanol dapat dilakukan dengan
metode hidrolisis secara asam ataupun dengan hidrolisis enzimatis. Pada
penelitian ini metode yang digunakan adalah hidrolisis secara asam, dengan
menggunakan jenis asam H2SO4 dan HCl. Metode hidrolisis secara asam lebih
sederhana, tanpa harus melalui beberapa tahapan seperti pada hidrolisis secara
enzimatis. Selain itu juga hidrolisis secara asam memerlukan waktu proses
yang relatif lebih singkat, teknologi yang lebih sederhana, pengaturan kondisi
proses yang lebih mudah, serta biaya yang lebih murah karena tidak
melibatkan enzim. Namun metode hidrolisis secara asam memiliki beberapa
kelemahan, yaitu timbulnya warna dan flavor yang tidak diinginkan, sehingga
dapat menurunkan mutu produk. Selain itu rendemen yang dihasilkan juga
lebih rendah, karena pada hidrolisis asam rantai pati dipotong secara acak,
sehingga hasilnya adalah campuran antara dekstrin, maltosa dan glukosa
(Chaplin dan Bucke, 1990). Oleh karena itu, pada tahap awal penelitian ini
dicari formulasi terbaik dari proses hidrolisis secara asam untuk
meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh hidrolisis secara asam
itu sendiri.
B. TUJUAN
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
4
empulur sagu mengandung pati sekitar 1520% (Rumalatu, 1981 dalam
Haryanto dan Pangloli, 1992).
Ciri-ciri pohon sagu yang kandungan patinya mencapai maksimum dan
siap dipanen, yaitu apabila pangkal daun yang terletak di bawah pelepah daun
berwarna kelabu biru (Ishak et al., 1984). Setelah masa panen, sagu akan
mengalami penurunan kandungan pati. Penurunan kandungan pati biasanya
ditandai dengan mulai terbentuknya primordia bunga. Setelah melewati fase
primordia, kandungan pati menurun karena digunakan sebagai energi untuk
pembentukan bunga dan buah. Setelah pembungaan dan pembentukan buah,
batang akan menjadi kosong dan tanaman sagu akan mati. Keadaan tersebut
mempermudah petani dalam mengetahui rendemen pati sagu maksimal
(Haryanto dan Pangloli, 1992).
Bagian lain yang berperan penting dalam pembentukan pati sagu adalah
daun sebagai tempat fotosintesis. Pertumbuhan dan perkembangan daun yang
baik akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organ lainnya
seperti batang, kulit dan empulur, sehingga pembentukan pati sagu dapat
berlangsung optimal (Haryanto dan Pangloli, 1992).
Sagu jenis Metroxylon, Arenga dan Mauritia merupakan produk yang
potensial untuk dikembangkan karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Jenis palem tersebut memiliki toleransi terhadap kualitas tanah rendah,
sehingga dapat dibudidayakan sebagai salah satu potensi untuk meningkatkan
pendapatan bagi daerah dengan lahan tidak subur (Rudlee et al., 1978).
5
Populasi tanaman sagu sangat bergantung dari jenis, daerah produksi,
dan perlakuan yang diberikan selama masa pertumbuhan. Pertumbuhan sagu
yang dibudidayakan populasinya lebih padat daripada yang tumbuh secara
liar. Jumlah pohon yang dapat dipanen dalam satu hektar berbeda-beda tiap
tahunnya. Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), pohon sagu di Indonesia
dapat menghasilkan 250 kg tepung kering per batang, sehingga apabila setiap
hektar terdapat 1620 batang sagu yang masak tebang, maka setiap tahun
Indonesia dapat memproduksi 4,5 juta ton tepung sagu kering.
Potensi sagu yang bisa digarap di Indonesia sebenarnya sangat besar,
sekitar 51% potensi sagu dunia ada di Indonesia (Gambar 1), dan sekitar 90%
potensi sagu Indonesia ada di Papua, sisanya tersebar di Maluku, kepulauan
Riau, Mentawai, Kalimantan dan Sulawesi. Karena itu Indonesia mempunyai
peluang amat besar untuk menjadi pelopor dalam modernisasi industri
pengolahan sagu (Jong dan Widjono, 2007). Namun pemanfataan sagu di
Indonesia masih sangat rendah. Sebagian areal sagu Indonesia, khususnya
yang berada di Papua saat ini telah menyusut akibat eksploitasi yang
berlebihan. Umumnya daerah sagu yang potensial berlokasi di daerah terisolir
dan jauh dari perkotaan. Sistem pengolahan sagu di Indonesia masih sangat
sederhana atau tradisional, ditandai dengan kapasitas dan produktivitas
pengolahan yang rendah dan tidak kontinyu.
3.7% 1.5%
Malaysia
Indonesia
Thailand
Papua New Guinea
Others
43.3% 51.3%
0.2%
6
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Pasar pati dunia diperkirakan tumbuh
sekitar 7,7% per tahun (Jong dan Widjono, 2007).
Beberapa produk olahan dari pati sagu sebagian besar berasal dari
wilayah Indonesia Bagian Timur, seperti papeda, soun dan ongol-ongol. Pada
industri kue kering atau biskuit, tepung sagu biasanya digunakan sebagai
campuran tepung terigu, yang dapat membuat kue kering lebih renyah. Buah
atau umbut dari tanaman sagu dapat dimakan, lapisan luar batangnya dapat
dibuat topi, tikar, tempat air, anak panah dan kayu bakar. Daunnya dapat
digunakan sebagai atap dan tikar, sedangkan tangkai daunnya dimanfaatkan
sebagai dinding rumah (Sastrapradja et al., 1980). Ringkasan potensi
pemanfaatannya dapat dilihat pada Tabel 2.
Industri Pemanfaatan
Non pangan Lem, keramik, kosmetik, insulasi, cat,
plywood, tekstil
Pangan Roti, permen, dairy, desserts, mi,
salad dressings, pemanis
Hidrolisis & fermentasi Asam sitrat, ethanol, lisin, asam laktat
(plastik organik)
Lain-lain Farmasi, aseton, larutan injeksi
dekstrosa, penisilin, antibiotik
7
C. KARAKTERISTIK PATI SAGU
Tabel 3. Komposisi Pati Sagu dan Beberapa Jenis Bahan Pangan Lain
8
harus diolah terlebih dahulu menjadi etanol melalui proses hidrolisis dan
fermentasi. Secara teoritis, 1 ton pati sagu dapat dijadikan 715 l etanol.
Pada dasarnya pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan
glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas.
Fraksi yang larut dalam air disebut amilosa, dan fraksi yang tidak larut disebut
amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan 1,4D
glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan 1,6D
glukosa sebanyak 45% dari berat total (Winarno, 1986). Struktur kimia
amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2a dan 2b.
9
Pati sagu dapat diperoleh dari empulur batang sagu dengan cara
ekstraksi. Empulur batang dihancurkan kemudian dicampur air yang bertindak
sebagai carrier, lalu diperas dan disaring. Kemudian pati yang terdapat dalam
filtrat diendapkan (Ishak et al., 1984).
Pati sagu mengandung 27% amilosa dan 73% amilopektin
(Wirakartakusumah et al., 1984). Menurut Haryanto dan Pangloli (1992),
berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai
karbonnya. Perbandingan komposisi kadar amilosa dan amilopektin juga akan
mempengaruhi sifat pati. Apabila kadar amilosa pada pati semakin tinggi,
maka pati bersifat kering, kurang lekat dan higroskopis atau mudah menyerap
air. Perbedaan sifat dari pati sagu dengan beberapa jenis pati lainnya dapat
dilihat pada Tabel 4.
Sifat pati tidak larut dalam air, namun bila suspensi pati dipanaskan
akan terjadi gelatinisasi setelah mencapai suhu tertentu, yang disebut suhu
gelatinisasi dari pati tersebut. Pemanasan menyebabkan energi kinetik
molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik-menarik antara
molekul pati dalam granula, sehingga air dapat masuk kedalam pati tersebut
dan pati akan membengkak (mengembang). Granula pati dapat membengkak
luar biasa dan pecah sehingga tidak dapat kembali pada kondisi semula.
10
Perubahan sifat ini disebut gelatinisasi (Winarno, 1997). Suhu gelatinisasi
tergantung pada konsentrasi suspensi pati, semakin tinggi konsentrasi larutan
(suspensi) pati, suhu gelatinisasi semakin lambat tercapai. Selain itu, suhu
gelatinisasi tiap jenis pati berbeda-beda, antara 52 oC sampai 78 oC. Menurut
Knight (1989) dalam Haryanto dan Pangloli (1992), suhu gelatinisasi pati
sagu sekitar 6072 oC, sedangkan menurut Wirakartakusumah et al. (1984),
suhu gelatinisasi pati sagu sekitar 7290 oC.
Mutu pati sagu ditentukan oleh ukuran, bentuk, aroma, rasa dan faktor
lainnya. Pati sagu yang diperdagangkan harus memenuhi standar mutu yang
telah ditetapkan. Penentuan standar mutu pati sagu perlu dilakukan agar
penggunannya dapat menjamin keselamatan konsumen. Badan Standarisasi
Nasional mengeluarkan Standar Nasional Indonesia untuk mutu pati sagu
yang ditunjukkan pada Tabel 5.
Pati tidak mempunyai rasa manis, akan tetapi komponennya terdiri dari
unit-unit glukosa yang bila dibebaskan dari polimernya dengan proses
hidrolisis akan mempunyai rasa manis (Miller, 1975). Hidrolisat pati
didefinisikan sebagai cairan jernih dan kental yang komponen utamanya
glukosa yang diperoleh dari proses hidrolisis pati (Said, 1987).
11
Hidrolisis merupakan proses pemecahan (penguraian) pati menjadi unit-
unit monomer gula. Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan bantuan asam atau
dengan enzim pada waktu, suhu, dan pH tertentu. Beberapa polisakarida
biasanya terhidrolisis oleh asam mineral, seperti H2SO4. Selain asam mineral,
asam-asam organik seperti HCl, asam oksalat, asam trikloroasetat, dan asam
trifluoroasetat juga dapat dimanfaatkan sebagai katalis dalam proses hidrolisis
pati (Tjokroadikoesoemo, 1986).
Hidrolisis asam merupakan proses yang dilakukan secara acak dan tidak
terpengaruh dengan adanya ikatan 1,6glikosidik. Pemotongan rantai pati
oleh asam tidak teratur dibandingkan hasil pemotongan rantai oleh enzim,
sehingga hasilnya adalah campuran antara dekstrin, maltosa dan glukosa
(Chaplin dan Bucke, 1990).
Proses hidrolisis pati dengan bantuan asam pertama kali ditemukan oleh
Kirchoff pada tahun 1812, namun produksi secara komersial baru terlaksana
pada tahun 1850. Pada proses ini, sejumlah pati terlebih dahulu diasamkan
sampai sekitar pH 2, kemudian dipanaskan dengan menggunakan uap dalam
suatu tangki bertekanan yang disebut konverter hingga suhu 120140 oC
(Tjokroadikoesoemo, 1986).
Pada reaksi dengan suhu tinggi, gula pereduksi menghasilkan warna
kecoklatan. Warna kecoklatan ini dibutuhkan pada beberapa produk pangan
seperti roti atau makanan panggang lainnya. Namun pada hidrolisat pati,
warna kecoklatan tersebut tidak diinginkan. Menurut Said (1987),
pembentukan warna tersebut tergantung pada beberapa faktor, antara lain
konsentrasi prekursor warna seperti hidroksimetilfurfural dan senyawa-
senyawa amino yang ada serta kadar gula pereduksi sirup (hidrolisat) pati.
Menurut Winarno (1997), pada umumnya proses pencoklatan dapat dibagi
menjadi dua jenis, yaitu proses pencoklatan enzimatik dan non enzimatik.
Salah satu proses pencoklatan non enzimatik adalah reaksi Maillard yang
terjadi antara gula pereduksi dengan gugus amina primer dan menghasilkan
bahan berwarna coklat yang dapat menurunkan mutu produk.
Menurut Junk dan Pancoast (1977) dalam Rinaldy (1987), apabila pati
dihidrolisis dengan katalis asam akan terjadi pemutusan ikatan COC
12
dengan menghasilkan glukosa dan beberapa polimernya. Dan bila diteruskan,
proses tersebut akan meningkatkan proporsi gula dengan bobot molekul
rendah. Kemudian polimer-polimer tersebut dihidrolisis sampai menjadi
glukosa. Hidrolisis pati secara sempurna berlangsung dengan reaksi sebagai
berikut,
(C6H10O5)n + nH2O n (C6H12O6)
pati katalis dan panas glukosa
Hidrolisis asam memecah pati secara acak dan sebagian gula yang
terbentuk merupakan gula pereduksi, oleh karena itu pengukuran kandungan
gula pereduksi tersebut dapat dijadikan alat pengontrol kualitas hasil
(Tjokroadikoesoemo, 1986). Tingkat konversi pati menjadi komponen glukosa
ditentukan oleh derajat konversi yang dikenal sebagai ekivalen dekstrosa atau
Dextrose Equivalent (DE). Menurut Palmer (1970), Dextrose Equivalent (DE)
adalah nilai yang menunjukkan derajat konversi pati yang diukur dengan
banyaknya molekul pati yang dipotong menjadi komponen glukosa, maltosa
dan dekstrin. Derajat konversi ditentukan oleh waktu, tekanan dan katalis.
Semakin tinggi nilai DE, semakin tinggi kandungan glukosanya.
Menurut Howling (1979), sirup glukosa hasil hidrolisis asam
mempunyai nilai DE antara 3055. Tjokroadikoesoemo (1986), menambahkan
bahwa konversi diatas DE 55 akan menghasilkan banyak zat warna dan
menimbulkan rasa pahit.
Proses hidrolisis diuji dengan menggunakan larutan KI 1% yang
diteteskan kedalam larutan hasil hidrolisis. Apabila larutan hasil hidrolisis
yang telah ditetesi larutan KI tidak menghasilkan warna biru (tidak terjadi
perubahan warna), berarti proses hidrolisis sudah selesai (Rinaldy, 1987).
E. FERMENTASI ETANOL
13
(memerlukan oksigen) maupun anaerob (tidak memerlukan oksigen). Menurut
Hidayat et al. (2006), fermentasi dapat didefinisikan sebagai perubahan
gradual oleh enzim beberapa bakteri, khamir dan kapang. Contoh perubahan
kimia dari fermentasi meliputi pengasaman susu, dekomposisi pati dan gula
menjadi alkohol dan karbondioksida, serta oksidasi senyawa nitrogen organik.
Mikroba yang digunakan pada fermentasi etanol adalah khamir. Khamir
berbentuk menyerupai kapang dari kelompok Ascomycetes yang tidak
berfilamen tetapi uniseluler, umumnya berbentuk oval, silinder, bulat dan
batang. Saccharomyces cerevisiae melakukan reproduksi vegetatif dengan
membentuk tunas, dan tidak mampu tumbuh pada nitrat sebagai satu-satunya
sumber nitrogen (Hidayat et al., 2006).
Etanol dapat diproduksi dari gula yang difermentasi oleh khamir pada
kondisi yang sesuai. Penambahan khamir dapat dilakukan dalam bentuk
kering atau sebagai suspensi. Bahan-bahan yang mengandung monosakarida
(C6H12O6 sebagai glukosa) dapat langsung difermentasi, sedangkan disakarida,
pati, selulosa, ataupun karbohidrat kompleks harus dihidrolisis terlebih dahulu
menjadi komponen sederhana (monosakarida), untuk kemudian dapat
difermentasi secara biologis dan kimia (Said, 1987).
Pemilihan mikroba biasanya didasarkan pada jenis karbohidrat yang
digunakan sebagai medium. Untuk memproduksi alkohol dari pati dan gula
digunakan Saccharomyces cerevisiae dan kadang-kadang digunakan juga
Saccharomyces ellipsoides (Said, 1987). Saccharomyces cerevisiae
merupakan khamir yang paling populer dalam pengolahan makanan. Khamir
ini telah lama digunakan dalam industri wine dan bir (Hidayat et al., 2006).
Menurut Rehm dan Reed (1981), Saccharomyces cerevisiae sering dipakai
pada fermentasi etanol karena menghasilkan kadar etanol yang tinggi, toleran
terhadap kadar etanol yang tinggi, mampu hidup pada suhu tinggi, tetap stabil
selama kondisi fermentasi dan dapat bertahan hidup pada pH rendah.
Pada awal proses fermentasi etanol, khamir memerlukan oksigen untuk
pertumbuhannya, sehingga perlu diberikan oksigen. Setelah terbentuk CO2,
reaksi akan berubah menjadi anaerob. Konsentrasi alkohol yang tinggi bersifat
racun terhadap khamir. Alkohol akan menghalangi fermentasi lebih lanjut
14
setelah tercapai konsentrasi antara 1315% (v/v), tergantung pada suhu dan
jenis khamir yang digunakan (Presscot dan Dunn, 1981).
Pada proses fermentasi etanol, khamir akan memetabolisme glukosa dan
fruktosa membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-
Meyerhorf-Parnas (EMP) atau glikolisis (Gambar 3).
15
Jalur Embden-Meyerhof-Parnas (EMP) terdiri dari beberapa tahap,
masing-masing dikatalis oleh enzim tertentu. Jalur tersebut ditandai dengan
pembentukan fruktosa difosfat, dilanjutkan dengan pemecahan fruktosa
difosfat menjadi dua molekul gliseraldehida fosfat. Reaksi ini dikatalis oleh
enzim aldolase. Kemudian terjadi reaksi dehidrogenasi gliseraldehida fosfat
(fosfogliseraldehida) yang merupakan reaksi oksidasi yang menghasilkan
energi dalam bentuk ATP (adenin-tri-phosphat). Reaksi ini dikatalis oleh
enzim gliseraldehida fosfat dehidrogenase. Atom hidrogen yang terlepas akan
ditangkap oleh nikotinamida-adenin-dinukleotida (NAD), membentuk
NADH2. Proses fermentasi dapat berlangsung terus jika NADH2 dapat
dioksidasi kembali pada tahap kedua fermentasi sehingga melepaskan atom
hidrogen kembali. Jadi, NAD berfungsi sebagai pembawa hidrogen dalam
proses fermentasi (Fardiaz, 1988).
Asam piruvat yang dihasilkan kemudian didekarboksilasi menjadi
asetaldehida, lalu mengalami dehidrogenasi sehingga terkonversi menjadi
etanol (Amerine et al., 1987). Pemecahan asam piruvat menjadi etanol terjadi
melalui reaksi berikut,
CO2 NADH H+ + NAD+
CH3COCO2H CH3CHO C2H5OH
asam piruvat asetaldehida etanol
atau dalam dasar berat, 51,1% gula diubah menjadi etanol, dan 48,9% diubah
menjadi karbondioksida. Akan tetapi pada kenyataannya hasil tersebut tidak
dapat tercapai karena adanya hasil sampingan, berupa penggunaan gula untuk
pertumbuhan dan metabolisme khamir (Amerine et al., 1987).
Menurut Paturau (1982), fermentasi etanol memakan waktu antara 30
72 jam. Sedangkan menurut Presscot dan Dunn (1981), waktu yang
dibutuhkan untuk fermentasi etanol adalah antara 37 hari.
16
Khamir memerlukan medium dan lingkungan yang sesuai untuk
pertumbuhan dan perkembangannya. Unsur-unsur dasar yang dibutuhkan
adalah karbon yang diperoleh dari gula, nitrogen dari amonia, oksigen, fosfor,
kalium, zat besi dan magnesium yang berperan dalam pembentukan alkohol.
Unsur kelumit (trace element) juga memegang peranan penting untuk
pertumbuhan khamir (Presscot dan Dunn, 1981).
Untuk mendapatkan etanol dalam jumlah yang maksimum dari proses
fermentasi, perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi fermentasi
etanol tersebut. Faktor-faktor tersebut diantaranya sebagai berikut,
a. Suhu Fermentasi
Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan
mikroba. Jika mikroba ditumbuhkan pada suhu diatas suhu maksimumnya,
maka protein dan enzim dalam sel mikroba tersebut akan mengalami
denaturasi yang mengakibatkan terhentinya proses metabolisme (Hidayat
et al., 2006). Menurut Presscot dan Dunn (1981), suhu optimum bagi
pertumbuhan khamir pada fermentasi etanol antara 2535 oC. Sedangkan
menurut Hidayat et al. (2006), suhu optimum untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakan khamir adalah 2830 oC.
Pada waktu fermentasi terjadi kenaikan panas, karena reaksinya
eksoterm. Kenaikan suhu akan menurunkan ketahanan khamir terhadap
etanol yang dihasilkan, dan meningkatkan pembentukan asam asetat yang
bersifat racun. Suhu yang terlalu tinggi juga dapat mengurangi hasil etanol
karena terjadinya proses penguapan (Hidayat et al., 2006). Amerine et al.
(1987) menambahkan bahwa fermentasi pada suhu rendah bertujuan untuk
menghambat aktivitas mikroba thermofilik, bakteri, dan khamir liar.
17
penting, maka dalam proses fermentasi parameter ini perlu dijaga agar
tetap konstan. Caranya yaitu dengan penambahan larutan penyangga
(buffer) atau dengan penggunaan sistem kontrol pH tertentu (Said, 1987).
Khamir tumbuh dan efisien untuk fermentasi etanol pada kisaran pH
3,56,0. Sementara pH optimum untuk proses fermentasi etanol adalah
antara 4,05,0. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), pada pH dibawah
3,0 dan diatas 6,0 khamir tidak dapat tumbuh dengan baik, sehingga proses
fermentasi akan berkurang kecepatannya.
c. Oksigen
Khamir tumbuh dengan baik pada kondisi aerob, tetapi ada beberapa
jenis yang dapat tumbuh pada kondisi anaerob, seperti Saccharomyces
cerevisiae. Menurut Anonim (2008), pada permulaan proses fermentasi,
khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya sehingga terjadi
metabolisme aerob atau respirasi. Pada proses respirasi, asam piruvat
dioksidasi menjadi karbondioksida (CO2) dan air. Setelah terbentuk CO2,
reaksi akan berubah menjadi anaerob. Pada kondisi anaerob, respirasi
digantikan dengan fermentasi. Pada proses fermentasi, asam piruvat
diubah menjadi etanol dan CO2. Apabila terdapat udara pada proses
fermentasi, maka etanol yang dihasilkan lebih sedikit, karena terdapat
proses respirasi sehingga terjadi konversi gula menjadi CO2 dan air.
d. Medium Fermentasi
Rancang bangun medium untuk pertumbuhan dan pembentukan
produk merupakan suatu langkah yang menentukan berhasil-tidaknya
suatu produksi. Komponen-komponen kimiawi medium harus dapat
menyuplai kebutuhan elemen untuk pembentukan massa sel dan produk,
serta harus dapat menyuplai energi yang tepat untuk sintesis dan
pemeliharaan (Said, 1987). Medium kultur harus mengandung semua
elemen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba, dalam proporsi
yang serupa dengan yang ada pada sel mikroba tersebut. Umumnya yang
disebut makronutrien adalah elemen yang dibutuhkan dalam jumlah yang
besar, seperti unsur C, H, O dan N. Mesonutrien merupakan elemen yang
18
dibutuhkan dalam jumlah yang lebih sedikit, seperti Mg, P dan S,
sedangkan mikronutrien dibutuhkan dalam jumlah yang sangat sedikit,
seperti Fe, Cu, Zn dan Mo (Hidayat et al., 2006).
Higgins et al. (1984) menyatakan bahwa konsentrasi gula yang
paling baik untuk proses fermentasi etanol adalah 1625%, yang akan
dihasilkan rendemen etanol sebesar 625%. Menurut Amerine et al.
(1987), konsentrasi gula yang tinggi (>25%), dapat menyebabkan aktivitas
khamir menjadi terhambat (substrate inhibition) dan waktu fermentasi
menjadi lebih lama, serta tidak semua gula dapat dikonversi menjadi
etanol. Jika konsentrasi gula yang terlalu tinggi (>70%), maka akan
menyebabkan proses fermentasi menjadi terhenti akibat adanya tekanan
osmotik yang menyebabkan lisis pada sel mikroba. Penggunaan
konsentrasi gula yang terlalu rendah akan menjadikan proses fermentasi
menjadi tidak ekonomis, karena penggunaan fermentor yang tidak efisien.
f. Kadar Etanol
Menurut Reed dan Peppler (1973), etanol dengan kadar sekitar 5%
(v/v) dapat mempengaruhi aktivitas khamir, tetapi etanol berantai panjang
dengan kadar diatas 5% (v/v) akan menghambat aktivitas khamir tersebut.
Fiecther (1982) menyatakan bahwa etanol dengan konsentrasi tinggi
merupakan racun bagi khamir. Etanol pada konsentrasi tinggi dapat
mendenaturasi protein dan melarutkan lemak, sehingga dinding sel khamir
menjadi rusak dan selanjutnya khamir akan mati.
19
II. METODOLOGI
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu
(Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah
Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan untuk proses fermentasi adalah
kultur Saccharomyces cerevisiae yang diperoleh dari Laboratorium
Bioindustri, Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETAIPB.
Adapun bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain aquades, HCl,
H2SO4, dan NH4OH untuk proses hidrolisis secara asam; PDA (Potato
Dextrose Agar) dan PDB (Potato Dextrose Broth) sebagai medium
perkembangbiakan; serta pupuk NPK dan ZA sebagai sumber nutrient dalam
fermentasi etanol; NaOH, pereaksi Luff Schoorl, KI, larutan tio, indikator
kanji, indikator fenolftalein, pelarut etanol, aseton, glukosa standar, pereaksi
fenol, pereaksi DNS, dan katalis yang digunakan untuk analisis bahan.
Alat-alat yang digunakan diantaranya alat-alat gelas, kertas saring,
timbangan, neraca analitik, termometer, pipet, buret, labu Soxhlet, piknometer,
stirrer, jarum ose, bunsen, oven, pH meter, otoklaf, inkubator, inkubator
goyang, penangas listrik, waterbath, tanur, destilator, desikator, clean bench,
lemari pendingin, spektrofotometer serta alat-alat analisis bahan baku dan
produk.
D. METODE PENELITIAN
20
2. Penelitian Pendahuluan
3. Penelitian Utama
21
asam diperoleh dengan menggunakan konsentrasi pati sagu 16%.
Diagram alir proses hidrolisis parsial pati sagu secara asam dapat
dilihat pada Gambar 4.
Pati Sagu
Gelatinisasi
(T = 100 oC, t = 10 menit)
Hidrolisis
(T = 121 oC, t = 30 menit)
NH4OH 3N Netralisasi pH
(pH = 4,5 - 5)
Penyaringan
Hidrolisat
Pati Sagu
22
Katalis asam yang dicobakan dalam penelitian ini adalah asam
klorida (HCl) dan asam sulfat (H2SO4) dengan konsentrasi terbaik
yang ditentukan dari hasil penelitian pendahuluan. Basa penetral yang
digunakan adalah NH4OH. Penggunaan NH4OH sebagai basa penetral
bertujuan untuk mendapatkan garam amonium klorida (NH4Cl) dan
amonium sulfat ((NH4)2SO4) pada hidrolisat pati sagu yang dihasilkan
yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber nitrogen.
Untuk mendapatkan hidrolisat pati yang jernih, terlebih dahulu
dilakukan proses pemucatan (purifikasi). Menurut Ciptadi dan
Machfud (1980), proses pemucatan dilakukan pada suhu 6070 oC
dengan penambahan arang aktif sebanyak 2% dari berat tepung dan
proses berlangsung selama satu jam. Hidrolisat pati yang dihasilkan
tersebut selanjutnya digunakan sebagai medium bagi pertumbuhan
Saccharomyces cerevisiae untuk produksi etanol.
Analisis yang dilakukan terhadap hidrolisat pati sagu yang
dihasilkan meliputi pengukuran nilai pH, nilai kadar gula total, kadar
gula pereduksi, derajat polimerisasi (DP) dan ekivalen dekstrosa
(Dextrose Equivalent/DE), serta nilai kadar nitrogen total. Analisis
total gula ditetapkan berdasarkan metode fenol sulfat (AOAC, 1995),
sedangkan analisis gula pereduksi ditetapkan menggunakan metode
DNS (Apriyantono et al., 1989). Prosedur analisis hidrolisat pati sagu
tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.
23
Pembuatan Inokulum
Kultur khamir yang telah disegarkan tersebut selanjutnya
dibiakkan pada medium cair PDB (Potato Dextrose Broth)
sebelum digunakan untuk fermentasi hidrolisat pati sagu menjadi
etanol. Sebanyak 10 ml medium cair PDB disterilisasi terlebih
dahulu, kemudian + 3 jarum Ose hasil biakan khamir yang telah
disegarkan sebelumnya diinokulasikan secara aseptis dan
ditumbuhkan secara aerobik selama 24 jam menggunakan
inkubator goyang pada suhu sekitar 30 oC atau suhu kamar. Hasil
biakan pada PDB ini kemudian digunakan sebagai inokulum untuk
fermentasi utama.
Fermentasi Etanol
Pada tahap ini, dilakukan proses fermentasi dengan
menggunakan tiga jenis substrat yang masing-masing terdiri dari
tiga kali ulangan, yaitu : A (substrat sirup glukosa teknis 10%,), B
(substrat hidrolisat H2SO4 10%), dan C (substrat hidrolisat HCl
10%). Substrat sirup glukosa teknis 10% bertindak sebagai kontrol.
Sirup tersebut diperoleh dengan cara melarutkan 10% glukosa
teknis dalam air akuades.
Metode fermentasi etanol yang digunakan merupakan
modifikasi dari metode penelitian sebelumnya yang dilakukan
Rinaldy (1987). Fermentasi utama dilakukan pada labu Erlenmeyer
300 ml. Substrat fermentasi yaitu hidrolisat pati sagu dan larutan
glukosa teknis sebanyak 200 ml dengan total gula 10%
dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer. Kemudian pada substrat
larutan glukosa ditambahkan pupuk NPK dan ZA masing-masing
sebanyak 0,08 g dan 0,3 g. Ketiga substrat tersebut kemudian
diatur pHnya sehingga konstan pada kondisi pH 4,8. Kemudian
dipasteurisasi pada suhu 85 oC selama 5 menit dan didinginkan
o
hingga suhu + 30 C. Setelah itu ditambahkan inokulum
Saccharomyces cerevisiae hasil biakan dari PDB sebanyak 10%
dari volume substrat. Fermentasi berlangsung pada suhu kamar
24
selama 3 hari dengan menggunakan inkubator goyang. Fermentasi
berlangsung pada kondisi anaerob. Diagram alir proses produksi
etanol dari hidrolisat pati sagu dapat dilihat pada Gambar 5.
Hidrolisat
Pati Sagu / Sirup
Glukosa Teknis (10%)
Kultur
Khamir Pengaturan pH
(pH = 4,8)
Inokulum Saccharomyces
Fermentasi
cerevisiae (10% v/v) (Anaerobik, t = 3 hari,
suhu ruang)
Pasteurisasi
(T = 65 oC, t = 30 menit)
Etanol
25
Pipa plastik dipasang pada ujung leher angsa yang terhubung
dengan labu erlenmeyer dan ditutup dengan sumbat. Ujung pipa
plastik tersebut kemudian dihubungkan sedemikian rupa dengan
gelas ukur yang dibenamkan ke dalam air. Gas CO2 yang
dihasilkan dari proses fermentasi akan menekan air dalam gelas
ukur sehingga dapat dibaca dengan skala yang terdapat pada gelas
ukur tersebut. Skema peralatan pengukuran laju pembentukan gas
CO2 dapat dilihat pada Gambar 6.
H2SO4 pekat
Shaker
26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu
(Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah
Cimahpar, Bogor. Pati sagu yang diperoleh dianalisis karakteristiknya,
meliputi pengukuran kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, kadar lemak,
kadar protein, dan kadar pati. Hasil analisis yang diperoleh kemudian
dibandingkan dengan standar mutu pati sagu SNI 01-3729-1995 (1995),
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.
1. Kadar Air
Pengujian kadar air dilakukan untuk menentukan kandungan air
yang terdapat dalam suatu bahan. Kadar air sangat berpengaruh terhadap
mutu dan keawetan bahan tersebut. Oleh karena itu, keberadaannya yang
berlebihan sering dikurangi dengan pengeringan atau penguapan. Bahan
pati sagu yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar
masih dalam kondisi yang lembab (sedikit basah), sehingga harus
dikeringkan kembali dan diayak agar didapatkan pati sagu dengan kondisi
yang kering dan halus merata.
27
Berdasarkan hasil penelitian, didapat data kadar air pati sagu (setelah
dikeringkan) sebesar 5,94%. Data ini memenuhi syarat mutu atau rentang
kriteria SNI 01-3729-1995 yaitu maksimum 13%. Kadar air yang tinggi
dapat memudahkan tumbuhnya mikroba, sehingga dapat memperpendek
umur simpannya. Sebaliknya, jika kadar air rendah dapat mengubah
bentuk, sifat fisik dan kimia suatu bahan.
2. Kadar Abu
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan
organik. Pada proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat
anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno, 1986).
Kandungan abu pada suatu bahan menunjukkan residu bahan
anorganik/unsur mineral yang tersisa setelah bahan organik dalam
makanan didestruksi. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan
kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta
kebersihan suatu bahan yang dihasilkan (Harijadi, 1993).
Semakin tinggi kadar abu, semakin tinggi pula kandungan
mineralnya, yang berarti semakin rendah pula tingkat kemurnian bahan
tersebut. Proses pengolahan yang kurang bersih juga dapat menyebabkan
meningkatnya nilai kadar abu. Berdasarkan hasil penelitian, didapat data
kadar abu pati sagu sebesar 0,22%. Data ini memenuhi syarat mutu atau
rentang kriteria SNI 01-3729-1995 yaitu maksimum 0,5%. Dari data
tersebut, dapat disimpulkan bahwa kandungan mineral atau zat anorganik
yang terkandung dalam pati sagu tersebut cukup rendah. Kandungan
mineral yang tinggi pada pati sagu tidak diharapkan, karena dapat
menghambat proses hidrolisis pati itu sendiri.
28
(Sudarmadji, 1996). Jika suatu bahan pangan mengandung serat kasar
yang tinggi maka relatif sangat merugikan karena serat kasar berpotensi
mengurangi serapan zat gizi, protein, lemak, vitamin dan mineral.
Pengujian kadar serat kasar dilakukan untuk menentukan jumlah
senyawaan yang terdapat dalam bahan pangan, yang tidak dapat dicerna
dalam organ pencernaan manusia maupun hewan. Berdasarkan hasil
penelitian, didapat data kadar serat kasar pati sagu sebesar 0,05%. Data ini
memenuhi syarat mutu atau rentang kriteria SNI 01-3729-1995 yaitu
maksimum 0,11%. Kecilnya nilai kadar serat kasar pati sagu yang
diperoleh terjadi karena sebelumnya pati sagu tersebut telah melalui proses
pengayakan. Tingkat kemurnian sagu sangat ditentukan oleh proses
ekstraksinya. Kadar serat kasar yang tinggi pada pati sagu tidak
diharapkan, karena dapat menurunkan efisiensi proses hidrolisis pati
tersebut.
4. Kadar Protein
Pengujian kadar protein dilakukan untuk mengetahui kandungan
protein pada senyawa organik secara tidak langsung, karena yang
dianalisis adalah banyaknya nitrogen yang membentuk ammonia.
Berdasarkan hasil penelitian, didapat data kadar protein pati sagu sebesar
0,09%. SNI tidak mengatur kadar protein, kadar lemak dan kadar pati
maksimum yang diperbolehkan pada pati sagu..
Secara umum pati sagu memiliki kandungan protein yang relatif
lebih rendah dibandingkan dengan pati serealia. Kadar protein yang
terkandung dalam pati dapat mempengaruhi warna hidrolisat pati sagu
yang dihasilkan. Reaksi yang terjadi antara gula pereduksi dengan
senyawa amino (asam amino, peptida dan protein) akan menghasilkan
warna coklat, yang disebut dengan browning (Somaatmadja, 1973).
5. Kadar Lemak
Lemak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan
kandungan yang berbeda-beda. Dalam tanaman, lemak disintesis dari
suatu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak yang terbentuk
29
dari kelanjutan oksidasi karbohidrat dalam proses respirasi. Proses
pembentukan lemak dalam tanaman dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
(1) pembentukan gliserol; (2) pembentukan molekul asam lemak; dan (3)
kondensasi asam lemak dengan gliserol membentuk lemak (Winarno,
1986).
Berdasarkan hasil penelitian, didapat data kadar lemak pati sagu
sebesar 0,15%. Kandungan lemak dan protein pada pati sagu akan
menurun akibat ikut terlarut dalam air selama proses ekstraksi basah.
Menurut Howling (1979), kandungan lemak pada pati akan terkoagulasi
dan terbuang dalam penyaringan dan dekantasi, dan hanya sekitar 10%
yang larut dengan pati.
6. Kadar Pati
Pati termasuk polisakarida, yang tersusun oleh banyak unit
monosakarida (glukosa). Berbagai macam pati tidak sama sifatnya,
tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah rantai molekulnya lurus
atau bercabang. Pengujian kadar pati dilakukan untuk mengetahui kadar
amilosa dan amilopektin yang terkandung dalam suatu bahan. Dengan
mengetahui kandungan pati sagu, maka dapat diketahui pati yang dapat
dikonversi menjadi hidrolisat pati sagu. Berdasarkan hasil penelitian,
didapat data kadar pati pada pati sagu sebesar 81,75%. Semakin tinggi
kadar pati sagu, semakin tinggi efisiensi proses hidrolisis pati tersebut,
karena semakin banyak pati yang terkonversi menjadi glukosa.
30
Tabel 7. Hasil Analisis Total Gula (TG) dan Total Gula Pereduksi (GP) pada
Penelitian Pendahuluan
Jenis Asam
Nilai TG (mg/ml) Nilai GP (mg/ml)
Konsentrasi
0,5 N 148,02 128,85
1N 124,07 117,66
H2SO4
2N 103,00 94,97
3N 92,24 82,02
0,5 N 142,95 117,28
1N 117,38 104,78
HCl
2N 94,17 76,04
3N 79,22 65,74
Pada Tabel 7 diatas, terlihat bahwa dari kedua jenis asam tersebut
(H2SO4 dan HCl), taraf konsentrasi yang menghasilkan nilai TG dan GP
tertinggi adalah 0,5 N. Semakin tinggi konsentrasi asam yang digunakan,
maka nilai TG dan GP yang dihasilkan justru semakin rendah. Warna sirup
yang dihasilkan juga semakin pekat. Menurut Somaatmadja (1973), bila sirup
glukosa dipanaskan dalam lingkungan asam, maka akan terbentuk senyawa
furfural dan 5-hidroksimetilfurfural (HMF) akibat terjadinya penguraian
glukosa. Hal ini menyebabkan perubahan warna pada sirup menjadi kekuning-
kuningan. Senyawa hidroksimetilfurfural tersebut akan terus terbentuk pada
suasana asam dan suhu yang tinggi, dan dapat menyebabkan terjadinya
peristiwa browning bila sirup masih mengandung protein (asam amino). Tsao
et al. (1978) menambahkan bahwa asam kuat menyebabkan degradasi glukosa
hasil hidrolisis. Berdasarkan data hasil penelitian pendahuluan tersebut, maka
konsentrasi asam yang dipilih untuk digunakan dalam produksi hidrolisat pati
sagu pada penelitian utama adalah 0,5 N, karena menghasilkan nilai TG dan
GP tertinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan dari taraf konsentrasi
lainnya. Hidrolisat pati yang dihasilkan melalui proses hidrolisis secara asam
berwarna agak kecoklatan, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 7.
31
Gambar 7. Hidrolisat pati sagu sebelum purifikasi
32
aktif. Produk hidrolisat pati sagu yang dihasilkan setelah melalui proses
purifikasi dapat dilihat pada Gambar 8.
33
Tabel 8. Hasil Analisis Total Gula, Total Gula Pereduksi, DE, dan DP pada
Hidrolisat Pati Sagu
Asam
TG (g/l) GP (g/l) DE DP
Penghidrolisis
Berdasarkan Tabel 8 diatas, didapat bahwa nilai total gula dan kadar
gula pereduksi yang diperoleh dari hidrolisat pati sagu dengan asam
penghidrolisis H2SO4 tidak berbeda jauh dengan nilai total gula yang
diperoleh dari hidrolisat pati sagu dengan asam penghidrolisis HCl, yaitu
masing-masing 148,02 g/l dan 142,95 g/l. Hal ini disebabkan karena sifat
penghidrolisis H2SO4 dan HCl yang sama-sama kuat. Namun nilai total gula
dan kadar gula pereduksi yang diperoleh dari hidrolisis dengan H2SO4 sedikit
lebih besar dibandingkan hidrolisis dengan HCl. Hal ini disebabkan karena
sifat HCl lebih kuat dengan reaktivitas yang lebih tinggi daripada H2SO4
(Bailar et al., 1965). Reaktivitas yang lebih tinggi dan sifat penghidrolisis
yang lebih kuat tidak selalu menguntungkan. Menurut Tsao et al. (1978), asam
kuat menyebabkan degradasi glukosa hasil hidrolisis. Somaatmadja (1973)
menambahkan apabila sirup glukosa dipanaskan dalam lingkungan asam
(hidrolisis secara asam) kuat atau pada pH yang rendah, maka akan terbentuk
senyawa turunan furfuraldehid seperti hidroksimetilfurfural (HMF) akibat
terjadinya degradasi (penguraian) glukosa. Lebih lanjut Winarno (1997)
menjelaskan bahwa senyawa tururan furfuraldehid tersebut akan terdehidrasi
menghasilkan zat antara metil--dikarbonil dan terurai menghasilkan gugus-
gugus aldehid aktif dalam larutan yang kemudian terpolimerisasi dengan
gugus amino membentuk senyawa berwarna coklat yang disebut melanoidin
yang dapat menurunkan mutu produk.
Dalam hal ini, selama proses hidrolisis berlangsung, diduga reaktivitas
asam HCl yang lebih tinggi (dibandingkan H2SO4) menyebabkan lebih banyak
glukosa yang terdegradasi membentuk senyawa-senyawa turunan
furfuraldehid (seperti furfural dan hidroksimetilfurfural), sehingga nilai TG
34
yang terukur menjadi lebih rendah. Hal ini ditandai dengan warna hidrolisat
HCl yang lebih pekat dibandingkan dengan warna hidrolisat H2SO4 (seperti
terlihat pada Gambar 7), yang berarti semakin banyak senyawa melanoidin
yang dihasilkan dari proses hidrolisis dengan asam HCl.
Nilai DE atau ekivalen dekstrosa yang diperoleh dari kedua jenis
hidrolisat pati sagu tersebut menunjukkan persentase yang tinggi, yaitu sekitar
8187%. Menurut Palmer (1970), semakin tinggi nilai DE, semakin tinggi
kandungan glukosanya. Namun dalam hal ini, tingginya nilai DE tidak hanya
menunjukkan tingginya kandungan glukosa yang dihasilkan, tapi juga
komponen lainnya seperti maltosa dan dekstrin. Menurut Junk dan Pancoast
(1977) dalam Rinaldy (1987), apabila pati dihidrolisis dengan katalis asam
akan terjadi pemutusan ikatan COC dengan menghasilkan glukosa dan
beberapa polimernya. Bila diteruskan, proses tersebut akan meningkatkan
proporsi gula dengan bobot molekul rendah. Tsao et al. (1978) menambahkan
bahwa asam kuat menyebabkan degradasi glukosa hasil hidrolisis.
Tingginya nilai DE dari hidrolisat pati sagu yang dihasilkan juga
dikarenakan tingginya kadar gula pereduksi yang terkandung dalam hidrolisat
pati sagu tersebut. Dari Tabel 8 diatas terlihat bahwa nilai kadar gula
pereduksi hidrolisat H2SO4 mencapai 128,85 g/l, dan 117,28 g/l untuk
hidrolisat HCl. Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), hidrolisis asam akan
memecah pati secara acak dan sebagian gula yang terbentuk merupakan gula
pereduksi. Ciptadi dan Machfud (1980) menambahkan bahwa selama proses
hidrolisis, akan terjadi penurunan berat molekul pati yang ditunjukkan dengan
adanya penurunan viskositas larutan dan meningkatnya kadar gula pereduksi.
Nilai gula pereduksi akan meningkat sejalan dengan lama waktu hidrolisis
pati. Semakin lama waktu hidrolisis menyebabkan semakin rendahnya tingkat
warna dan kejernihan sirup, karena dengan semakin lama waktu hidrolisis
berarti semakin besar proporsi dekstrosa yang terdegradasi menjadi senyawa-
senyawa furfural.
Hidrolisat pati sagu yang dihasilkan kemudian dianalisis kadar nitrogen
totalnya dan dibandingkan dengan kadar nitrogen total yang terkandung dalam
sirup glukosa teknis. Sumber nitrogen pada hidrolisat pati sagu yang
35
dihasilkan berasal dari basa penetral NH4OH yang ditambahkan setelah proses
hidrolisis pati. Dalam larutan, NH4OH akan terurai menjadi NH3 dan H2O.
NH3 selanjutnya bereaksi dengan asam HCl membentuk garam NH4Cl,
sedangkan reaksi dengan asam H2SO4 akan menghasilkan garam (NH4)2SO4.
Adapun sumber nitrogen pada sirup glukosa teknis berasal dari sumber nutrien
lain berupa pupuk NPK dan ZA. Hasil analisis kadar nitrogen total dapat
dilihat pada Tabel 9.
Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa nilai total nitrogen yang diperoleh dari
hidrolisat H2SO4 lebih besar dibandingkan dengan nilai total nitrogen yang
diperoleh dari hidrolisat HCl. Fenomena ini dapat dijabarkan dengan
persamaan reaksi seperti berikut.
NH4OH NH3 + H2O
(i) NH3 + HCl NH4Cl
(ii) 2 NH3 + H2SO4 (NH4)2SO4
Pada pH yang sama, setiap molekul HCl akan menyumbangkan satu ion H+
kedalam larutan, sedangkan H2SO4 menyumbangkan dua ion H+. Dalam
penetralannya, satu ion H+ dari HCl membutuhkan satu ion NH4+, sementara
dua ion H+ dari H2SO4 membutuhkan dua ion NH4+ (Bailar et al., 1965).
Dengan demikian, total nitrogen yang terkandung dalam hidrolisat H2SO4
lebih tinggi daripada total nitrogen yang terkandung dalam hidrolisat HCl.
Meskipun pada sirup glukosa teknis ditambahkan nutrien berupa pupuk
NPK dan ZA (amonium sulfat) sebagai sumber nitrogen, namun bila
dibandingkan dengan nilai total nitrogen pada sirup glukosa teknis yang hanya
0,024%, maka pada Tabel 9 terlihat bahwa kandungan nitrogen pada kedua
36
jenis hidrolisat pati sagu yang dihasilkan masih jauh lebih tinggi, yaitu
masing-masing 0,413% dan 0,368%. Hal ini disebabkan karena pada proses
hidrolisis pati, digunakan basa penetral NH4OH. Penggunaan NH4OH akan
bereaksi dengan H2SO4 membentuk garam (NH4)2SO4 (amonium sulfat), dan
dengan HCl membentuk garam NH4Cl (amonium klorida). Garam yang
dihasilkan tersebut cukup untuk menggantikan kebutuhan nitrogen yang
biasanya ditambahkan dari nutrien lain (dalam hal ini pupuk NPK dan ZA).
C. PRODUKSI ETANOL
37
Gambar 9. Peralatan fermentasi hidrolisat pati sagu menjadi etanol
38
dapat tumbuh dengan baik sehingga proses fermentasi akan berkurang
kecepatannya.
Sebelum difermentasi, pH awal substrat fermentasi diatur hingga
sekitar 4,8 untuk mencapai pH optimum khamir. Hal ini dilakukan untuk
mengoptimumkan pertumbuhan khamir pada proses fermentasi. Karena
pH sangat penting, maka dalam proses fermentasi parameter ini perlu
dijaga agar tetap konstan. Caranya yaitu dengan penambahan suatu larutan
penyangga (buffer) atau dengan penggunaan suatu sistem kontrol pH
tertentu (Said, 1987).
Pada penelitian ini, pH cairan fermentasi yang dihasilkan dari ketiga
jenis substrat yang digunakan cukup bervariasi. Derajat keasaman (pH)
akan mempengaruhi kecepatan fermentasi. Berturut-turut dari substrat
sirup glukosa teknis, substrat hidrolisat H2SO4, dan substrat hidrolisat HCl
dihasilkan etanol dengan pH 3,16, 3,77 dan 3,72. Selama proses
fermentasi akan terjadi penurunan pH. Hal ini disebabkan karena adanya
senyawa amonia yang terkandung pada substrat. Said (1987) menjelaskan
bahwa apabila amonia digunakan sebagai sumber nitrogen pada substrat,
maka pH akan cenderung menurun. Amonia pada larutan (di bawah pH 9)
ada pada keadaan NH4+, mikroba kemudian menggabungkannya dengan
sel sebagai R-NH3+, dimana R merupakan suatu gugus karbon. Pada
prosesnya, sebuah ion H+ akan dilepas ke lingkungan (medium), sehingga
selama proses fermentasi ion H+ pada cairan fermentasi akan semakin
banyak, sehingga mengakibatkan penurunan pH cairan fermentasi tersebut.
Penurunan pH juga kemungkinan disebabkan karena adanya
kontaminasi oleh mikroba lain yang dapat mengkonversi gula dan etanol
menjadi produk asam selama proses fermentasi. Menurut Frazier dan
Westhoff (1978), keberadaan mikroba jenis Lactobacillus sp. dan
Clostridium sp. mampu mengkonversi gula menjadi asam laktat, asam
butirat, etanol dan karbondioksida. Secara lebih jelas penurunan pH cairan
fermentasi dapat dilihat pada Gambar 10.
39
5.0
4.0
3.0
Nilai pH
2.0
1.0
0.0
Glukosa teknis H2SO4
H HCl
40
20
10
0
Glukosa teknis H2SO4
H2SO4 HCl
Gambar 11. Histogram total asam pada awal dan akhir fermentasi
Nilai total asam cairan fermentasi yang dihasilkan dari substrat sirup
glukosa teknis, substrat hidrolisat H2SO4, dan substrat hidrolisat HCl
berturut-turut adalah 3,32 g/l, 18,60 g/l dan 16,58 g/l; atau jika dinyatakan
dalam persen menjadi 0,332%, 1,860% dan 1,658%. Pada Gambar 11
terlihat bahwa nilai total asam cairan fermentasi dari substrat hidrolisat
H2SO4 juga tidak berbeda jauh dengan total asam cairan fermentasi dari
substrat hidrolisat HCl. Rata-rata kenaikan total asam terbesar diperoleh
dari substrat hidrolisat H2SO4. Nilai total asam akhir tertinggi diperoleh
dari substrat hidrolisat H2SO4 sebesar 18,60 g/l, sedangkan total asam
akhir terendah diperoleh dari substrat sirup glukosa teknis sebesar 3,32 g/l.
Tingginya nilai total asam cairan fermentasi dari hidrolisat pati diduga
karena nilai total asam yang terukur bukan hanya asam-asam organik yang
terbentuk melalui proses fermentasi, tetapi juga asam mineral seperti
H2SO4 dan HCl yang digunakan sebagai asam penghidrolisis pada proses
produksi hidrolisat pati sagu.
b. Biomassa
41
mikroba selama proses fermentasi. Peningkatan biomassa juga
menunjukkan adanya pertumbuhan sel. Khamir memerlukan medium dan
lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Untuk
melengkapi sumber gula pada produksi etanol, proses fermentasi etanol
harus dilengkapi pula dengan nutrien tambahan untuk pemeliharaan sel
dan pertumbuhan mikroba. Umumnya yang disebut makronutrien adalah
elemen yang dibutuhkan dalam jumlah yang besar, seperti unsur C, H, O
dan N (Hidayat et al., 2006). Kondisi medium dan lingkungan yang sesuai
serta nutrien yang cukup akan meningkatkan aktivitas mikroba.
Meningkatnya aktivitas mikroba selama fermentasi menyebabkan semakin
meningkatnya pembentukan produk fermentasi.
Nilai total biomassa cairan fermentasi yang dihasilkan dari substrat
sirup glukosa teknis, substrat hidrolisat H2SO4, dan substrat hidrolisat HCl
berturut-turut adalah 1,15 g/l, 1,17 g/l dan 1,02 g/l. Hasil analisis total
biomassa pada awal dan akhir fermentasi dapat dilihat pada Gambar 12.
2.0
1.5
Biomassa (g/l)
1.0
0.5
0.0
Glukosa teknis H2SO4
H2SO4 HCl
Sebelum Fermentasi Setelah Fermentasi
42
pada cairan fermentasi dari glukosa teknis diduga karena karena partikel
nutrien dari pupuk NPK dan ZA yang ditambahkan tidak larut secara
sempurna dengan medium, sehingga ikut terukur sebagai biomassa.
Tingginya nilai biomassa awal juga diduga disebabkan karena kondisi
awal proses fermentasi yang belum sepenuhnya anaerob. Pada saat
oksigen bebas tidak ada, atau ada dalam jumlah yang sangat sedikit, maka
terjadi konversi sumber karbon menjadi etanol dan CO2 yang lebih
banyak. Sebaliknya, apabila oksigen bebas terdapat dalam jumlah yang
mencukupi, maka akan terjadi proses respirasi dimana biomassa terbentuk
dan gula dikonversi menjadi karbondioksida, air dan asam-asam organik.
Pembentukan biomassa paling banyak terjadi pada fermentasi dengan
substrat hidrolisat H2SO4 sebesar 1,17 g/l, sedangkan total biomassa akhir
terendah diperoleh dari substrat hidrolisat HCl sebesar 1,02 g/l.
Pada hidrolisis asam kemungkinan dihasilkan bahan inhibitor seperti
furfural, 5-hidroksimetilfurfural (HMF), asam karboksilat dan komponen
fenol yang cukup besar (Ulbricht et al., 1984 dalam Subekti, 2006).
Bahan-bahan ini akan menghambat pertumbuhan khamir sehingga
biomassa yang dihasilkan seharusnya lebih rendah dari yang dihasilkan
oleh substrat sirup glukosa teknis. Tetapi pada Gambar 12 terlihat bahwa
nilai total biomassa akhir tertinggi justru diperoleh dari substrat hidrolisat
H2SO4, walaupun tidak berbeda jauh dengan nilai biomassa yang
dihasilkan dari substrat sirup glukosa teknis. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena rendahnya kandungan nitrogen pada substrat sirup
glukosa teknis (seperti terlihat pada Tabel 9). Unsur nitrogen (N)
merupakan salah satu elemen makronutrien yang dibutuhkan mikroba
dalam jumlah besar. Keterbatasan akan nutrien tersebut menyebabkan
khamir tidak dapat tumbuh dengan optimal, sehingga biomassa yang
terbentuk lebih sedikit. Selain itu keberadaan nutrien yang kurang larut
juga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Menurut Said (1987), bila
mikroba ditumbuhkan pada nutrien esensial yang tidak larut dalam air,
maka pertumbuhan mikroba akan dibatasi oleh laju difusi nutrien tersebut.
43
c. Total Gula dan Kadar Gula Pereduksi
Total Gula
100
80
Nilai TG (g/l)
60
40
20
0
Glukosa teknis H2SO4
H2SO4 HCl
Sebelum Fermentasi Setelah Fermentasi
Gambar 13. Histogram total gula pada awal dan akhir fermentasi
44
Gula Pereduksi
100
80
60
Nilai GP (g/l)
40
20
0
Glukosa teknis H2SO4
H2SO4 HCl
Selama proses fermentasi terjadi penurunan total gula dan kadar gula
pereduksi. Hal ini ditandai dengan berkurangnya total gula dan kadar gula
pereduksi yang terkandung pada substrat akibat konsumsi mikroba
Saccharomyces cerevisiae selama fermentasi. Nilai total gula yang tersisa
pada akhir fermentasi berkisar antara 51,29 g/l hingga 82,63 g/l.
Sementara kadar gula pereduksi yang tersisa pada akhir fermentasi
berkisar antara 54,37 g/l hingga 86,84 g/l. Pada Gambar 13 dan 14, dapat
dilihat bahwa total gula dan kadar gula pereduksi substrat hidrolisat H2SO4
pada akhir fermentasi tidak berbeda jauh dengan nilai total gula dan kadar
gula pereduksi cairan fermentasi kontrol (substrat sirup glukosa teknis).
Rata-rata penurunan total gula dan kadar gula pereduksi terbesar diperoleh
dari substrat sirup glukosa teknis. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas
mikroba tertinggi terjadi pada substrat sirup glukosa teknis.
Penurunan substrat sejalan dengan produksi biomassa dan produk
etanol yang dihasilkan. Semakin rendah kadar gula pereduksi sisa, maka
semakin tinggi jumlah biomassa dan kadar etanol yang dihasilkan. Namun
seharusnya aktivitas mikroba yang terjadi pada substrat sirup glukosa
teknis jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan aktivitas mikroba yang
terjadi pada substrat hidrolisat H2SO4. Karena berbeda dengan substrat
sirup glukosa teknis, pada substrat hidrolisat H2SO4 kemungkinan terdapat
45
bahan-bahan inhibitor yang terbentuk selama proses hidrolisis pati secara
asam yang dapat menghambat proses fermentasi. Hal ini diduga
disebabkan karena keterbatasan nutrien yang terdapat pada substrat
glukosa teknis, seperti rendahnya kandungan nitrogen total (0,024%),
sehingga khamir tidak dapat tumbuh secara optimal. Penambahan pupuk
NPK (16:16:16) sebesar 40% substrat belum cukup untuk memenuhi
kebutuhan mikroba atas unsur nitrogen pada substrat fermentasi. Unsur
nitrogen (N) merupakan salah satu elemen makronutrien yang dibutuhkan
mikroba dalam jumlah besar. Unsur nitrogen berperan penting sebagai
penyusun protein, asam nukleat dan koenzim (Hidayat et al., 2006).
Sementara penambahan pupuk NPK dalam jumlah yang lebih besar
menyebabkan unsur fosfor (P) dan unsur kalium (K) pada substrat akan
bertambah pula. Hal ini dikhawatirkan akan menghambat pertumbuhan
mikroba karena unsur fosfor merupakan unsur mesonutrien yang
keberadaannya pada medium hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit.
Unsur fosfor berperan sebagai penyusun asam nukleat, fosfolipida dan
koenzim (Hidayat et al., 2006). Adapun unsur kalium bukan merupakan
nutrien dasar bagi pertumbuhan khamir, sehingga keberadaannya dalam
substrat sirup glukosa teknis kurang menguntungkan bagi pertumbuhan
khamir, apalagi dalam jumlah yang cukup banyak.
Rata-rata penurunan total gula dan kadar gula pereduksi terendah
diperoleh dari substrat hidrolisat HCl. Banyaknya total gula dan kadar gula
pereduksi yang masih tersisa pada cairan fermentasi dari substrat hidrolisat
HCl menunjukkan rendahnya konsumsi mikroba Saccharomyces
cerevisiae terhadap substrat tersebut. Pada sirup glukosa teknis, meskipun
komponen gulanya adalah gula pereduksi akan tetapi karena nutrien untuk
pertumbuhannya terbatas maka biomassa yang terbentuk lebih sedikit,
yang berarti konsumsi substrat juga lebih sedikit. Rendahnya konsumsi
mikroba terhadap substrat hidrolisat HCl menunjukkan rendahnya
aktivitas mikroba yang terjadi selama proses fermentasi. Hal ini diduga
terjadi karena tingginya konsentrasi bahan-bahan inhibitor hasil degradasi
produk hidrolisat asam seperti furfural dan 5-hidroksimetilfurfural (HMF)
46
yang terdapat pada medium seiring dengan konsumsi gula. Bahan-bahan
inhibitor tersebut dapat menghambat proses fermentasi.
Selain itu, rendahnya aktivitas mikroba pada substrat hidrolisat HCl
juga kemungkinan disebabkan karena komposisi kimiawi nutrien yang
kurang seimbang pada substrat tersebut. Tidak seperti dua substrat lainnya
yaitu substrat sirup glukosa teknis dan substrat hidrolisat H2SO4 yang
mengandung garam (NH4)2SO4 (amonium sulfat), pada substrat hidrolisat
HCl tidak terkandung unsur sulfur, karena reaksi antara HCl dengan basa
penetral NH4OH pada proses hidrolisis hanya akan menghasilkan garam
NH4Cl (amonium klorida). Unsur sulfur (S) merupakan mesonutrien bagi
khamir, sehingga keberadaannya dalam garam (NH4)2SO4 cukup penting
bagi pertumbuhan khamir, sedangkan unsur klor (Cl) bukan merupakan
nutrien dasar bagi pertumbuhan khamir, sehingga keberadaannya dalam
garam NH4Cl yang terkandung dalam substrat hidrolisat HCl kurang
menguntungkan bagi pertumbuhan khamir, apalagi dalam jumlah yang
cukup banyak. Keterbatasan nutrien pada substrat hidrolisat HCl tersebut
menyebabkan pertumbuhan mikroba menjadi terhambat dan mikroba tidak
dapat tumbuh secara optimal.
47
Pada Tabel 10, dapat dilihat bahwa efisiensi pemanfaatan substrat
tertinggi yang berarti konsumsi substrat terbanyak diperoleh dari substrat
sirup glukosa teknis, yaitu mencapai 41,06%, sedangkan efisiensi
pemanfaatan substrat terendah diperoleh dari substrat hidrolisat HCl, yaitu
hanya 3,52%. Rendahnya konsumsi mikroba terhadap substrat hidrolisat
HCl menunjukkan rendahnya aktivitas mikroba yang terjadi selama proses
fermentasi. Hal ini diduga terjadi karena tingginya konsentrasi bahan-
bahan inhibitor hasil degradasi produk hidrolisat asam seperti furfural dan
5-hidroksimetilfurfural (HMF), yang terdapat pada medium seiring dengan
konsumsi gula. Bahan-bahan inhibitor tersebut dapat menghambat proses
fermentasi.
Selain itu, rendahnya aktivitas mikroba pada substrat hidrolisat HCl
juga kemungkinan disebabkan karena komposisi kimiawi nutrien yang
kurang seimbang pada substrat tersebut, seperti tidak tersedianya unsur
sulfur (S) yang merupakan elemen mesonutrien bagi pertumbuhan khamir.
Unsur sulfur berperan sebagai penyusun protein dan beberapa koenzim
(Hidayat et al., 2006). Keterbatasan nutrien pada substrat hidrolisat HCl
tersebut menyebabkan pertumbuhan mikroba menjadi terhambat dan
mikroba tidak dapat tumbuh secara optimal. Aktivitas mikroba yang
rendah pada cairan fermentasi substrat hidrolisat HCl akan menghasilkan
produk seperti biomassa dan etanol dalam jumlah yang rendah pula. Hal
ini sesuai dengan hasil analisis biomassa yang menunjukkan bahwa
substrat hidrolisat HCl menghasilkan biomassa terkecil dibandingkan
substrat lainnya.
Berdasarkan data yang ditunjukkan pada Tabel 10, tingkat konsumsi
substrat selama proses fermentasi belum optimal (efisiensi pemanfaatan
substrat masih dibawah 50%). Hal ini menunjukkan bahwa pada substrat
fermentasi masih terdapat komponen gula yang tidak dikonsumsi oleh
khamir, yang berarti masih ada komponen gula yang belum terkonversi
menjadi biomassa dan produk (etanol). Hal ini disebabkan karena
kandungan hidrolisat pati sagu yang masih mengandung oligosakarida
seperti maltosa dan disakarida lainnya. Semakin sederhana komponen gula
48
yang terdapat dalam substrat fermentasi, maka akan semakin mudah bagi
mikroba untuk mengkonsumsi substrat tersebut. Pada sirup glukosa teknis,
meskipun komponen gulanya adalah gula pereduksi akan tetapi karena
nutrien untuk pertumbuhannya terbatas maka biomassa yang terbentuk
lebih sedikit, yang berarti konsumsi substrat juga lebih sedikit. Efisiensi
pemanfaatan substrat juga dapat dipengaruhi oleh komposisi substrat yang
digunakan, selain itu juga dipengaruhi oleh variabel-variabel seperti pH,
suhu, kandungan oksigen dan konsentrasi etanol.
100
CO2 Yang Terbentuk (ml)
80
60
40
20
0
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
Jam Ke-
49
inokulasi sel pada medium, dan merupakan suatu periode adaptasi. Selama
fase ini massa sel dapat berubah tanpa adanya suatu perubahan jumlah sel.
Hidayat et al. (2006) menambahkan bahwa pada fase awal ini, bermacam-
macam enzim dan zat perantara dibentuk, sehingga keadaannya
memungkinkan terjadinya pertumbuhan lebih lanjut. Sel-sel khamir mulai
membesar, tetapi belum membelah diri.
Selain karena proses adaptasi, lambatnya laju pembentukan CO2
pada 6 jam pertama proses fermentasi juga dapat disebabkan karena
kondisi proses yang belum sepenuhnya anaerob. Pada awal proses
fermentasi masih terdapat oksigen, sehingga khamir cenderung melakukan
asimilasi sel dan proses fermentasi belum sepenuhnya terjadi. Akibatnya,
produk metabolit yang dihasilkan masih sangat rendah. Hal ini disebabkan
karena khamir bersifat fakultatif anaerobik. Pada saat oksigen bebas tidak
ada, atau ada dalam jumlah yang sangat sedikit, maka terjadi konversi
sumber karbon menjadi etanol dan CO2 yang lebih banyak. Sebaliknya,
apabila oksigen bebas terdapat dalam jumlah yang mencukupi, maka
konversi akan menuju ke arah asimilasi sel dengan pembentukan produk
metabolit dan produk antara ditekan rendah. Barnett et al. (2000) dalam
Anonim (2008), menyatakan bahwa khamir akan selalu berespirasi pada
setiap keadaan yang memungkinkan karena energi yang dihasilkan pada
respirasi jauh lebih besar dibandingkan energi yang dihasilkan pada
fermentasi. Apabila terdapat oksigen pada proses fermentasi, maka etanol
yang dihasilkan menjadi lebih sedikit karena adanya proses respirasi
dimana biomassa terbentuk dan terjadi konversi gula menjadi
karbondioksida, air dan asam-asam organik.
Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa pada jam ke-6 hingga jam ke-
18 terjadi peningkatan laju fermentasi dengan cepat yang ditandai dengan
semakin meningkatnya laju pembentukan CO2. Sepanjang fermentasi,
komposisi kimiawi cairan fermentasi berubah karena nutrien terus
menerus dikonsumsi dan produk metabolit disintesis. Sebagai akibatnya
kondisi lingkungan menjadi semakin tidak seimbang. Pada fermentasi
substrat hidrolisat HCl, laju pembentukan CO2 telah mencapai titik
50
maksimum pada jam ke-18, sedangkan pada substrat hidrolisat H2SO4 dan
substrat sirup glukosa teknis, laju pembentukan CO2 masih terus
berlangsung dan baru mencapai titik maksimumnya pada jam ke-24.
Setelah jam ke-24, laju pembentukan CO2 pada ketiga jenis substrat
mulai mengalami penurunan, yang berarti terjadi penurunan laju
fermentasi. Pada periode ini, pertumbuhan mikroba mulai terhambat.
Penurunan laju fermentasi ini diduga karena semakin berkurangnya
nutrien pada medium serta mulai terjadinya penimbunan racun sebagai
hasil kegiatan metabolisme. Penurunan laju fermentasi juga kemungkinan
disebabkan adanya akumulasi produk metabolit yaitu etanol dan asam
yang kemudian menghambat laju fermentasi. Etanol dapat menghambat
proses fermentasi dengan mekanisme penghambatan oleh produk,
sedangkan asam dapat menurunkan pH lingkungan, sehingga khamir tidak
dapat tumbuh dengan optimal. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), pH
optimum untuk proses fermentasi etanol adalah antara 4,05,0.
Pada Gambar 15 terlihat bahwa pada fermentasi substrat sirup
glukosa teknis, terjadi penurunan laju pembentukan CO2 secara perlahan
setelah jam ke-24. Laju penurunan bahkan terus berlangsung hingga akhir
fermentasi (jam ke-72). Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi
masih terus berlangsung hingga akhir fermentasi, sehingga masih terjadi
konversi etanol, walaupun dalam jumlah yang sangat kecil. Apabila proses
fermentasi terus dilanjutkan, kemungkinan laju fermentasi akan terhenti
pada jam berikutnya, karena jumlah sel hidup yang cenderung terus
menurun. Hampir mirip dengan laju fermentasi substrat sirup glukosa
teknis, pada fermentasi substrat hidrolisat H2SO4 penurunan laju
pembentukan CO2 juga terjadi setelah jam ke-24. Penurunan laju
pembentukan CO2 juga berlangsung perlahan, tetapi kemudian berhenti
pada jam ke-72. Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi masih terus
berlangsung dengan laju yang semakin melambat, hingga kemudian
terhenti pada jam ke-72. Setelah jam ke-72, tidak terbentuk gas CO2 lagi,
karena aktivitas mikroba untuk regenerasi telah terhenti, yang terjadi
adalah pembentukan etanol.
51
Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa proses fermentasi substrat
hidrolisat HCl menunjukkan perbedaan yang cukup jauh dibandingkan
fermentasi substrat lainnya. Penurunan laju pembentukan CO2 terjadi lebih
awal, yaitu mulai jam ke-18, sementara pada substrat lainnya penurunan
laju pembentukan CO2 baru terjadi pada jam ke-24. Penurunan laju
fermentasi yang ditandai dengan penurunan laju pembentukan CO2 juga
terjadi lebih cepat hingga kemudian terhenti pada jam ke-54. Rendahnya
laju pembentukan CO2 yang terjadi pada substrat hidrolisat HCl diduga
disebabkan karena adanya peningkatan konsentrasi bahan-bahan inhibitor
hasil degradasi produk hidrolisat asam seperti furfural dan 5-
hidroksimetilfurfural (HMF), yang terdapat pada medium seiring dengan
konsumsi gula. Bahan-bahan inhibitor tersebut dapat menghambat proses
fermentasi (substrate inhibition). Selain itu, laju pertumbuhan yang lebih
lambat pada substrat hidrolisat HCl juga kemungkinan disebabkan karena
komposisi kimiawi nutrien yang kurang seimbang pada substrat tersebut,
seperti tidak tersedianya unsur sulfur (S) yang merupakan elemen
mesonutrien bagi pertumbuhan khamir, serta keberadaan unsur non-
nutrien seperti klor (Cl) dalam jumlah yang banyak. Hal tersebut
menyebabkan pertumbuhan mikroba menjadi terhambat dan mikroba tidak
dapat tumbuh secara optimal, sehingga biomassa yang terbentuk lebih
sedikit, serta laju fermentasi lebih rendah, yang ditandai dengan rendahnya
laju pembentukan CO2. Hasil ini sesuai dengan hasil analisis total gula dan
kadar gula pereduksi yang menunjukkan bahwa konsumsi mikroba
terhadap substrat hidrolisat HCl selama proses fermentasi berlangsung
adalah yang paling rendah dibandingkan substrat lainnya, yang berarti
rendahnya aktivitas mikroba yang terjadi pada cairan fermentasi hidrolisat
HCl tersebut. Hasil pengukuran laju pembentukan CO2 secara lengkap
dapat dilihat pada Lampiran 5.
f. Kadar Etanol
52
yaitu etanol maupun produk sampingan berupa asam-asam organik seperti
asam piruvat melalui proses glikolisis. Pada kondisi anaerob, metabolisme
glukosa menjadi etanol terjadi melalui jalur Embden-Meyerhof-Parnas
atau glikolisis (Gambar 3). Jalur Embden-Meyerhof-Parnas (EMP) terdiri
dari beberapa tahap, masing-masing dikatalis oleh enzim tertentu. Mula-
mula glukosa difosforilasi oleh ATP menjadi D-glukosa-6 fosfat,
kemudian mengalami isomerasi berubah menjadi D-frukstoda-6 fosfat, dan
difosforilasi lagi oleh ATP menjadi D-fruktosa-1,6 difosfat. D-fruktosa-1,6
difosfat kemudian dipecah menjadi satu molekul D-gliseraldehid-3 fosfat
dan satu molekul aseton fosfat. Dihidroksi aseton fosfat disederhanakan
lagi menjadi L-gliserol-3 fosfat oleh NADH2. ATP melepaskan satu
molekul fosfat yang diterima oleh gliseraldehid-3 fosfat yang kemudian
menjadi D-1,3 difosfogliserat dan ADP. D-1,3 difosfogliserat melepaskan
energi fosfat yang tinggi ke ADP untuk membentuk D-3 fosfogliserat dan
ATP. Selanjutnya D-3-fosfogliserat membentuk D-2-fosfogliserat dan
berada dalam kesetimbangan. D-2 fosfogliserat kemudian membebaskan
air untuk menghasilkan fosfoenol piruvat. ATP menggeser rantai fosfat
yang kaya energi dari fosfoenolpiruvat untuk menghasilkan piruvat dan
ATP. Selanjutnya asam piruvat didekarboksilasi menghasilkan asetaldehid
dan CO2, hingga akhirnya asetaldehid menerima hidrogen dari NADH2
dan menghasilkan etanol.
Analisis kadar etanol dilakukan dengan metode perbandingan bobot
jenis (BJ) dengan menggunakan piknometer dan metode Gas
Chromatography (GC). Hasil analisis kadar etanol dengan menggunakan
metode piknometer dan GC, yang dihasilkan dari fermentasi substrat sirup
glukosa teknis, substrat hidrolisat H2SO4 dan substrat hidrolisat HCl dapat
dilihat pada Tabel 11, sedangkan data kromatogram etanol hasil fermentasi
dengan uji GC dapat dilihat pada Lampiran 6.
53
Tabel 11. Hasil Analisis Kadar Etanol Metode Piknometer dan GC
54
yang terkonversi menjadi produk (etanol), sehingga semakin tinggi pula
kadar etanol yang dihasilkan.
Meskipun demikian, bila dibandingkan dengan nilai kadar etanol
yang dihasilkan dari proses fermentasi dengan substrat hidrolisat H2SO4,
pertumbuhan khamir pada substrat sirup glukosa teknis tersebut belum
dapat dikatakan optimal. Hal ini dikarenakan kurangnya nutrien
pendukung terutama unsur nitrogen. Unsur nitrogen (N) merupakan salah
satu elemen makronutrien yang dibutuhkan mikroba dalam jumlah yang
besar. Unsur nitrogen berperan penting sebagai penyusun protein, asam
nukleat dan koenzim (Hidayat et al., 2006). Keterbatasan akan nutrien
tersebut menyebabkan khamir tidak dapat tumbuh dengan optimal,
sehingga laju pembentukan produk oleh mikroba juga tidak optimal yang
berakibat pada masih rendahnya konsentrasi produk etanol yang
dihasilkan. Selain itu, produk etanol yang dihasilkan juga merupakan
racun bagi khamir itu sendiri pada konsentrasi yang tinggi. Clark dan
Mackie (1984) menyatakan bahwa khamir sangat peka terhadap sifat
penghambatan etanol. Konsentrasi etanol 12% (v/v) cukup untuk
menghambat pertumbuhan mikroba, dan pada konsentrasi etanol 10%
(v/v) laju pertumbuhan hampir berhenti total. Menurut Presscot dan Dunn
(1981), kadar etanol yang bisa dihasilkan sebelum proses fermentasi
benar-benar berhenti adalah 13% (v/v).
Rendahnya kadar etanol yang dihasilkan dari fermentasi substrat
hidrolisat HCl sebesar 0,63% diduga disebabkan karena adanya bahan-
bahan inhibitor hasil degradasi produk hidrolisat asam seperti furfural dan
5-hidroksimetilfurfural (HMF), yang terdapat pada medium seiring dengan
konsumsi gula. Menurut Azhar et al. (1981), adanya kandungan senyawa
yang bersifat inhibitor dan racun dalam substrat hasil hidrolisis asam akan
menurunkan kadar etanol yang dihasilkan. Ada beberapa senyawa penting
dari furan yang merupakan zat inhibitor bagi pertumbuhan khamir dalam
produksi etanol, yaitu furfural, 5-hidroksimetilfurfural (HMF) dan 2-
hidroksimetilfuran. Konsentrasi HMF 0,1 mg/ml dalam substrat fermentasi
dapat mencegah pertumbuhan khamir dan menurunkan kecepatan
55
fermentasi Saccharomyces cerevisiae. Sementara konsentrasi furfural 0,46
mg/ml dapat menurunkan produksi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae
hingga 78,4%.
Adanya proses penghambatan dapat dilihat dari laju pembentukan
CO2 pada substrat hidrolisat HCl yang jauh lebih rendah dan bahkan
berhenti lebih awal. Hal ini menunjukkan bahwa metabolisme sel khamir
pada substrat hidrolisat HCl berhenti lebih awal karena adanya
penghambatan oleh bahan inhibitor. Selain itu, rendahnya konsentrasi
etanol yang dihasilkan dari fermentasi substrat hidrolisat HCl juga
kemungkinan disebabkan karena komposisi kimiawi nutrien yang kurang
seimbang pada substrat tersebut, seperti tidak tersedianya unsur sulfur (S)
yang merupakan elemen mesonutrien bagi pertumbuhan khamir. Menurut
Hidayat et al. (2006), unsur sulfur berperan cukup penting sebagai
penyusun protein dan beberapa koenzim. Keberadaan unsur non-nutrien
seperti klor (Cl) pada substrat dalam jumlah yang banyak diduga juga turut
menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga laju pembentukan produk
oleh mikroba juga tidak optimal yang berakibat pada masih rendahnya
konsentrasi produk etanol yang dihasilkan.
Kondisi awal fermentasi yang belum sepenuhnya anaerob juga dapat
menyebabkan rendahnya konsentrasi produk etanol yang dihasilkan.
Menurut Barnett et al. (2000) dalam Anonim (2008), khamir akan selalu
berespirasi pada setiap keadaan yang memungkinkan karena energi yang
dihasilkan pada respirasi jauh lebih besar dibandingkan energi yang
dihasilkan pada fermentasi. Pada saat oksigen bebas tidak ada, atau ada
dalam jumlah yang sangat sedikit, maka terjadi konversi sumber karbon
menjadi etanol dan CO2 yang lebih banyak. Sebaliknya, apabila oksigen
bebas terdapat dalam jumlah yang mencukupi, maka etanol yang
dihasilkan menjadi lebih sedikit karena adanya proses respirasi dimana
biomassa terbentuk dan terjadi konversi gula menjadi karbondioksida, air
dan asam-asam organik.
Disamping itu, kadar etanol yang terukur pada penelitian ini diduga
lebih kecil dibandingkan kadar etanol yang sebenarnya terkandung dalam
56
masing-masing cairan fermentasi tersebut. Hal ini disebabkan karena
pengukuran kadar etanol dilakukan dengan menggunakan metode destilasi.
Menurut Amerine dan Ough (1979), destilasi etanol akan menyebabkan
kehilangan kadar etanol sebesar 0,61,5% (v/v). Kualitas kultur mikroba
yang digunakan juga memegang peranan yang sangat penting terhadap
penentuan mutu produk etanol yang dihasilkan. Penggunaan kultur
Saccharomyces cerevisiae yang tidak berasal dari galur unggul pada
proses fermentasi diduga turut berpengaruh terhadap rendahnya
konsentrasi produk etanol yang dihasilkan.
Hasil penelitian yang dilakukan Rinaldy (1987) dan Subekti (2006)
masing-masing memberikan kadar etanol tertinggi sebesar 1,16% (v/v) dan
0,31% (v/v) dengan perlakuan hidrolisis secara asam menggunakan
substrat onggok singkong dan fraksi selulosa tongkol jagung. Nilai
tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai kadar etanol
yang dihasilkan pada penelitian ini. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
kultur murni Saccharomyces cerevisiae mampu mengkonsumsi hidrolisat
pati sagu lebih baik daripada penggunaan onggok singkong dan fraksi
selulosa tongkol jagung sebagai sumber karbon dalam media fermentasi.
Hal ini disebabkan karena hidrolisat pati sagu mampu menghasilkan gula
pereduksi lebih banyak dibandingkan hidrolisat onggok singkong maupun
hidrolisat selulosa tongkol jagung.
g. Kinetika Fermentasi
57
yang kemudian dinyatakan sebagai massa sel atau produk yang terbentuk
per unit massa nutrien yang dikonsumsi, yaitu Yx/s untuk sel dan Yp/s untuk
produk, sedangkan koefisien produk terhadap jumlah sel hidup dinyatakan
sebagai Yp/x (Said, 1987). Koefisien hasil tersebut dapat menggambarkan
efisiensi konversi substrat menjadi produk selama proses fermentasi
berlangsung. Maka dari itu penentuan parameter kinetika fermentasi
berguna untuk mengetahui efektivitas proses fermentasi. Hasil perhitungan
terhadap ketiga koefisien hasil fermentasi (Yx/s, Yp/s dan Yp/x) tersebut
dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Perhitungan Koefisien Hasil Fermentasi (dari Data Hasil
Analisis Metode GC)
Sirup glukosa
0,005 0,577 17,571
teknis
Hidrolisat
0,015 0,497 12,553
H2SO4
58
degradasi produk hidrolisat asam yang terdapat pada medium, seperti
furfural dan 5-hidroksimetilfurfural (HMF), yang terjadi seiring dengan
konsumsi gula. Pada akhir fermentasi, bahan-bahan inhibitor tersebut juga
ikut terukur sebagai biomassa. Tingginya nilai biomassa awal juga diduga
disebabkan karena kondisi anaerob pada awal proses fermentasi belum
sepenuhnya terjadi. Khamir cenderung berespirasi pada setiap keadaan
yang memungkinkan, sehingga apabila terdapat oksigen pada proses
fermentasi, maka akan terjadi proses respirasi dimana biomassa terbentuk
dan gula dikonversi menjadi karbondioksida, air dan asam-asam organik.
Yield produk (Yp/s) adalah rendemen produk yang terbentuk per
substrat yang dikonsumsi. Nilai Yp/s terbesar diperoleh dari fermentasi
menggunakan substrat sirup glukosa teknis sebesar 0,577, sedangkan nilai
Yx/s terkecil diperoleh dari fermentasi substrat hidrolisat H2SO4 sebesar
0,497. Tingginya nilai Yp/s pada fermentasi substrat sirup glukosa teknis
terjadi karena konsentrasi produk etanol yang terbentuk pada fermentasi
substrat sirup glukosa teknis lebih tinggi dibandingkan fermentasi dengan
substrat hidrolisat asam.
Koefisien produk terhadap jumlah sel hidup dinyatakan sebagai Yp/x.
Berdasarkan data pada Tabel 12, didapat bahwa nilai Yp/x terbesar
diperoleh dari fermentasi menggunakan substrat sirup glukosa teknis
sebesar 17,571, sedangkan nilai Yp/x terkecil diperoleh dari fermentasi
substrat hidrolisat HCl sebesar 4,358.
59
III. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pati sagu memiliki kandungan pati yang tinggi dan merupakan sumber
karbohidrat yang potensial untuk digunakan sebagai bahan baku substrat
fermentasi etanol. Analisis terhadap hidrolisat pati yang dihasilkan
menunjukkan hasil yang berbeda antara hidrolisat H2SO4 dan hidrolisat HCl.
Hidrolisat H2SO4 mempunyai nilai total gula (TG), gula pereduksi (GP), DE
serta kandungan total nitrogen yang lebih tinggi dibandingkan hidrolisat HCl.
Dengan demikian, penggunaan hidrolisat H2SO4 sebagai substrat fermentasi
etanol akan lebih menguntungkan dibandingkan penggunaan substrat
hidrolisat HCl.
Fermentasi alkohol dilakukan pada kondisi anaerob dengan bantuan
Saccharomyces cerevisiae. Produk etanol yang dihasilkan dari substrat
hidrolisat H2SO4 0,5 N (konsentrasi gula 10%) memiliki kadar etanol yang
lebih tinggi yaitu sebesar 1,91%, dibandingkan dengan produk etanol dari
substrat hidrolisat HCl sebesar 0,63%. Analisis terhadap cairan fermentasi
juga menunjukkan adanya perbedaan antara substrat hidrolisat H2SO4 dan
substrat hidrolisat HCl. Untuk hidrolisat H2SO4, didapat nilai efisiensi
pemanfaatan substrat (s/s) sebesar 34,80%, yield biomassa (Yx/s) sebesar
0,015, yield produk (Yp/s) sebesar 0,497 serta nilai Yp/x sebesar 12,553,
sedangkan untuk hidrolisat HCl didapat nilai s/s sebesar 3,52%, (Yx/s)
sebesar 0,019, (Yp/s) sebesar 0,505 serta nilai Yp/x sebesar 4,358. Berdasarkan
data tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlakuan terbaik diperoleh dari
penggunaan substrat hidrolisat H2SO4, karena menghasilkan kadar etanol yang
lebih tinggi.
B. SARAN
60
substrat dan meminimalkan dampak yang ditimbulkan dari hidrolisis secara
asam, agar penghambatan substrat yang terjadi pada saat proses fermentasi
berlangsung dapat ditekan seminim mungkin sehingga hasil fermentasi yang
diperoleh juga lebih optimal. Selain itu perlu pengkajian lanjutan mengenai
metode ekstraksi dan pemurnian produk etanol yang paling efektif dan efisien.
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan galur unggul
Saccharomyces cerevisiae, karena kualitas kultur mikroba yang digunakan
memegang peranan yang sangat penting terhadap penentuan mutu produk
etanol yang dihasilkan. Disamping itu, perlu pengkajian lebih lanjut mengenai
optimasi proses fermentasi etanol dari hidrolisat pati sagu hasil hidrolisis
asam, perbaikan proses fermentasi dengan penggunaan fermentor, serta kajian
tekno-ekonomi produksi etanol dari hidrolisat pati sagu.
61
DAFTAR PUSTAKA
Akyuni, D. 2004. Pemanfaatan Pati Sagu (Metroxylon sp.) untuk Pembuatan Sirup
Glukosa Menggunakan -Amilase dan Amiloglukosidase [Skripsi].
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Amerine, M.A. dan C.S. Ough. 1979. Method of Analysis of Must and Wines. A
Wiley-Interscience Publication. New York.
Amerine, M.A., H.W. Berg, R.E. Kunkee, C.S. Ough, V.I. Singleton, dan A.D.
Webb. 1987. Technology of Wine Making. The AVI Publishing Co.,Inc.
Westport, Connecticut.
Azhar, A.F., M.K. Bery, A.R. Colcord, R.S. Roberts dan G.V. Corbitt. 1981.
Biotechnology and Bioengineering Symposium, No : 11. John Willey and
Sons Inc. England.
Bailar, J.C., T. Moeller dan J. Kleinberg. 1965. University Chemistry. D.C. Healt
and Co. Boston.
Betancur, A.D. dan G.L. Chel. 1997. Acid Hydrolysis and Characterization of
Canavalia ensiformis. J. Agric. Food Chem. 45 : 4237-4241.
Beynum, G.M.A. dan J.A. Roels. 1985. Starch Conversion Technology (ed).
Marcel Dekker, Inc. New York.
62
Chaplin, M.F. dan C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University
Press, New York.
Dewan Standarisasi Nasional. 1995. SNI No. 01-3729-1995 : Standar Mutu Pati
Sagu. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Frazier, W.C. dan D.C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. Tata Mc.Graw-Hill
Publ.Co.Ltd. New York.
Gaman, P.M. dan K.B. Sherrington. 1981. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu
Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi (Edisi kedua). Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Hidayat, N., M.C. Padaga dan S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Penerbit
ANDI. Yogyakarta.
Higgins, I.J., D.J. Best dan J. Jones. 1984. Biotechnology Principles And
Applications. Blackwell Scientific Publication. London.
63
Humas. 2006. Sagu, Potensial Perkaya Keragaman Pangan. http://www.bppt.go.id
/index.php?option=com_content&task=view&id=6033&Itemid=30 [28 Juli
2006].
Ishak, E., D. Sarinah, Amrullah dan B. Mariyati. 1984. Teknik Pengolahan Sagu.
Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Makassar.
Jong, F.S. dan A. Widjono. 2007. Sagu: Potensi Besar Pertanian Indonesia.
http://www.puslittan.bogor.net/index.php?bawaan=publikasi/isi_informasi&
kod=IT02/01&kd=2&id_menu=5&id_submenu=20&id=206 [19 November
2008].
Miller, D.L. 1975. Cellulose as a Chemical and Energy Resource. John Willey
and Sons. New York.
Palmer, T.J. 1970. Acid and Enzyme Hydrolisys of Starch. Publishing Company
Limited. London.
Rahayu, E.B. 2006. Pengaruh Jenis Asam dan Konsentrasi Pati pada Pembuatan
Hidrolisat Pati Sagu sebagai Media Fermentasi Asam Laktat oleh Rhizopus
oryzae [Skripsi]. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Reed, G., dan H.J. Peppler. 1973. Yeast Technology. The AVI Publ.Co., Inc.
Westport, Connecticut.
Rudlee, K., J. Dennis, K.T. Patricia dan J.D. Rees. 1978. Palm Sago : A Tropical
Starch from Marginal Lands. East-West Center. Honolulu.
Sastrapradja, S., J. Palar, M. Harini, Murni dan J.A. Johar. 1980. Palem
Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
64
Sjamsuriputra, A.A., I. Sastramihardja, dan U. Sukandar. 1986. Pemanfaatan
Limbah Padat Industri Tapioka untuk Produksi Etanol dengan Cara
SakarifikasiFermentasi Simultan Tanpa Perlakuan Pemasakan [Laporan
Penelitian]. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Bandung.
Somaatmadja, D. 1973. Sirup Pati Ubi Kayu. Balai Penelitian Kimia. Bogor.
Subekti, H. 2006. Produksi Etanol dari Hidrolisat Fraksi Selulosa Tongkol Jagung
oleh Saccharomyces cerevisiae [Skripsi]. Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sudjana, M.A. 1995. Desain dan Analisis Eksperimen : Edisi IV. Tarsito.
Bandung.
Tsao, G.T., M. Ladisch, T.A. Hsu, B. Dale, C. Ladisch dan T. Chou. 1978.
Fermentation Substrates from Cellulosic Materials : Production of
Fermentable Sugars from Cellulosic Materials. di dalam D. Perlman (eds).
Annual Reports on Fermentation Processes : Volume 2. Academic Press.
New York.
65
Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu
66
berturut-turut dicuci dengan H2SO4 1,25% panas, air panas dan etanol 96%.
Kertas saring dan isinya diangkat dan ditimbang, lalu dikeringkan pada suhu
105 oC sampai bobotnya konstan. Bila kadar serat kasar lebih besar dari 1%,
kertas saring beserta isinya diabukan dan ditimbang hingga bobotnya konstan.
67
5. Analisis Kadar Lemak (AOAC, 1995)
Sebanyak 2 g contoh bebas air (hasil analisis kadar air) diekstraksi
dengan pelarut organik heksan dalam alat Soxhlet selama 6 jam. Contoh hasil
ekstraksi diuapkan terlebih dahulu dengan cara diangin-anginkan, lalu
dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC. Contoh kemudian didinginkan dalam
desikator, dan ditimbang hingga diperoleh bobot yang tetap.
Keterangan :
A = angka tabel Luff Schoorl, berdasarkan selisih ml titrasi (b a)
0,9 = perbandingan kadar glukosa dan pati
68
Lampiran 2. Prosedur Analisis Hidrolisat Pati Sagu
1. pH (AOAC, 1995)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH-meter. Sebelum
digunakan pH meter dikalibrasi terlebih dahulu ke dalam pH 4 dan pH 9,2.
Setelah dicuci dengan akuades, elektroda dimasukkan ke dalam contoh yang
akan diukur pH-nya. Nilai pH adalah nilai yang ditampilkan setelah
menunjukkan nilai konstan.
0.6
0.4
0.2
0.0
0 10 20 30 40 50 60 70
69
dihasilkan ditentukan. Sebanyak 3 ml larutan DNS dititrasi dengan HCl 0,1 N
dengan indikator fenolftalein. Banyaknya titran berkisar 5 6 ml. Untuk setiap
ml kekurangan HCl 0,1 N pada titrasi, ditambahkan 2 g NaOH.
Sebanyak 1 ml larutan standar glukosa atau contoh dipipet, dan
ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Larutan tersebut diletakkan dalam air
mendidih selama 5 menit, kemudian didinginkan hingga suhu kamar.
Pembacaan dengan spektrofotometer dilakukan dengan panjang gelombang
550 nm. Bila diperlukan, contoh diencerkan agar dapat terukur pada kisaran
20 80 % T (Transmitan).
0.4
0.2
0.0
0.0 0.1 0.1 0.2 0.2 0.3
70
6. Kadar Nitrogen dengan Metode Semi Mikro Kjeldahl (AOAC, 1995)
Sebanyak 0,1 g contoh dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu
ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat, 1 g katalis, dan beberapa butir batu didih.
Larutan didestruksi hingga menghasilkan larutan jernih kemudian
didinginkan. Larutan hasil dekstruksi dipindahkan ke alat destilasi dan
ditambahkan 15 ml NaOH 50%. Labu erlenmeyer yang berisi 25 ml HCl 0,02
N dan 2 4 tetes indikator (campuran metil merah 0,02% dan metil biru
0,02% dalam alkohol (2:1)) diletakkan di bawah kondensor, dengan ujung
kondensor terendam dalam larutan HCl. Destilasi dilakukan sampai volume
larutan dalam erlenmeyer mencapai 2 kali volume awal. Ujung kondensor
dibilas dengan akuades. Destilat dalam erlenmeyer dititrasi dengan NaOH
0,02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Kadar total
nitrogen ditentukan berdasarkan volume larutan NaOH 0,02 N yang
digunakan untuk titrasi. Blanko disiapkan seperti prosedur penentuan kadar
total nitrogen dengan metode Kjeldahl dengan aquades bebas nitrogen sebagai
larutan contoh. Penentuan kadar protein dihitung berdasarkan rumus berikut.
71
Lampiran 3. Prosedur Analisis Cairan Fermentasi
1. pH (AOAC, 1995)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH-meter. Setelah
dicuci dengan akuades, elektroda dapat dimasukkan ke dalam contoh yang
akan diukur pH-nya. Nilai pH adalah nilai yang ditampilkan setelah
menunjukkan nilai konstan.
72
5. Kadar Etanol (AOAC, 1995)
Penentuan kadar etanol dilakukan dengan dua cara. Yang pertama
menggunakan metode secara tidak langsung dengan penetapan BJ (bobot
jenis) hasil destilasi contoh, sedangkan cara yang kedua kadar etanol diukur
dengan metode Gas Chromatography (GC).
73
Lampiran 4. Neraca Massa Produksi Hidrolisat Pati Sagu Secara Asam
Gelatinisasi
Mair = 2,75 g
(T = 100 oC, t = 10 menit)
74
Lampiran 4. Neraca Massa Produksi Hidrolisat Pati Sagu Secara Asam (Lanjutan)
Gelatinisasi
Mair = 5,57 g
(T = 100 oC, t = 10 menit)
75
Lampiran 5. Hasil Pengukuran Laju Pembentukan CO2
76
Lampiran 5. Hasil Pengukuran Laju Pembentukan CO2 (Lanjutan)
77
Lampiran 6. Kromatogram Etanol Hasil Fermentasi
78
Lampiran 6. Kromatogram Etanol Hasil Fermentasi (Lanjutan)
79
Lampiran 6. Kromatogram Etanol Hasil Fermentasi (Lanjutan)
80
Lampiran 7. Hasil Perhitungan Kadar Etanol Metode GC
Standar etanol yang digunakan = 1% (v/v) dengan bobot jenis 7,9 g/l
Kadar Kadar
Luas Area Luas Area
Jenis Substrat Etanol Etanol
Standar Contoh
(% v/v) (g/l)
Sirup glukosa teknis
1291310 3307528 2,56 20,41
(U1)
Hidrolisat asam
1291310 2461920 1,91 16,32
H2SO4 (U3)
Hidrolisat asam HCl
1291310 807200 0,63 5,31
(U2)
81
Lampiran 8. Hasil Analisa Cairan Fermentasi
82