Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

LAPORAN BIOFARMASETIKA Hub. Formulasi THDP Laju Disolusi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

“PENGARUH FORMULASI TERHADAP LAJU DISOLUSI”

Kelompok 2
Syari Sekar Suryandari
17101105037

PROGRAM STUDI FARMASI


UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO
2019
I. Tujuan Percobaan
Mahasiswa dapat memahami pengaruh formulasi sediaan obat terhadap laju disolusi

II. Dasar Teori


Sediaan padat, seperti tablet atau kapsul, penyerapannya ke dalam sirkulasi
sistemik dapat secara umum dijelaskan dengan empat langkah berturut-turut.
Langkah pertama melibatkan pengiriman obat ke situs penyerapan melalui
pengosongan lambung dan aliran transit usus (proses disintegrasi). diikuti oleh
langkah kedua di mana proses disolusi terjadi di perut dan / atau di usus kecil. .
Langkah ketiga ditandai dengan absorpsi obat terlarut melintasi membran
gastrointestinal (GI). Akhirnya, obat yang diserap melewati hati (metabolisme first
pass) mencapai sirkulasi sistemik. Untuk obat yang sukar larut yang diformulasikan
dalam bentuk dosis konvensional, laju disolusi akan menjadi penentu dalam “rate
limmiting step” (Krishna, 2008).
Disolusi diketahui memiliki pengaruh yang signifikan terhadap bioavailabilitas
dan kinerja klinis. Analisis disolusi padatan farmasi telah menjadi salah satu tes
paling penting dalam pengembangan dan pembuatan produk obat, serta dalam
penilaian regulasi kualitas produk obat. Pengujian disolusi dapat memberikan
informasi mengenai laju dan tingkat penyerapan obat dalam tubuh, dan dapat menilai
efek dari sifat obat biofarmasi serta prinsip formulasi pada sifat pelepasan produk
obat (Krishna, 2008).
Disolusi umumnya didefinisikan sebagai proses dimana zat padat dilarutkan ke
dalam pelarut untuk menghasilkan larutan. Proses ini pada dasarnya dikendalikan
oleh afinitas antara zat padat dan pelarut dan terdiri dari dua langkah berturut-turut.
Langkah pertama melibatkan pembebasan molekul dari fase padat ke lapisan cair di
dekat permukaan padat (reaksi antarmuka antara permukaan padat dan pelarut).
Kemudian diikuti oleh pengangkutan zat terlarut dari antarmuka padat-cair ke solusi
massal. Zat padat terlarut umumnya dimodelkan berdasarkan signifikansi relatif dari
kedua langkah pengangkutan ini (Krishna, 2008).
Menurut Krishna, 2008 faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi bentuk
sediaan padat dapat diklasifikasikan dalam empat kategori utama: (1) faktor yang
berkaitan dengan sifat fisikokimia bahan obat, (2) faktor yang terkait dengan
formulasi produk obat, (3) faktor yang berkaitan dengan pembuatan proses, dan (4)
faktor yang terkait dengan kondisi pengujian disolusi.
Beberapa proses fisikokimia perlu dipertimbangkan bersamaan dengan proses
disolusi zat obat untuk menentukan laju disolusi obat secara keseluruhan dari bentuk
sediaan padat dalam kondisi standar. Proses disolusi untuk bentuk sediaan padat
(atau produk obat) dalam larutan dimulai dengan pembasahan dan penetrasi media
disolusi ke dalam formulasi padat. Umumnya diikuti oleh disintegrasi dan / atau
deagregasi menjadi butiran atau partikel halus (Krishna, 2008).
Untuk sebagian besar obat yang sukar larut, disolusi dianggap sebagai disolusi
yang terkendali, karena pelarutan partikel obat relatif lambat terhadap disintegrasi
atau deagregasi bentuk sediaan. Jika tahap disintegrasi atau deagregasi mencapai
“rate-limitting”, maka disolusi dianggap sebagai disintegrasi yang terkendali
(Krishna, 2008).
Laju disolusi tergantung pada kelarutan dan luas permukaan suatu zat obat.
Terbukti bahwa senyawa dengan kelarutan yang tinggi secara umum menunjukkan
tingkat disolusi yang lebih tinggi. Kelarutan obat-obatan yang dapat terionisasi,
seperti asam dan basa lemah, tergantung pada pH medium dan pKa senyawa. Oleh
karena itu, penting untuk memastikan kelarutan zat obat dalam rentang pH yang
relevan secara fisiologis dari 1–7,5 untuk memprediksi efek kelarutan terhadap
pelarutan (Krishna, 2008).
Laju disolusi berbanding lurus dengan luas permukaan obat, sehingga
mengurangi ukuran partikel menyebabkan peningkatan luas permukaan yang
terpapar ke media disolusi, dan menghasilkan laju disolusi yang lebih besar. Dengan
demikian, laju disolusi obat-obatan yang sukar larut sering dapat ditingkatkan secara
nyata dengan menjalani pengurangan ukuran (misalnya melalui mikronisasi)
(Stavchansky dan McGinity, 1989). Namun, pengurangan ukuran partikel tidak
selalu meningkatkan laju disolusi. Hal ini disebabkan oleh adsorpsi udara pada
permukaan obat hidrofobik, yang menghambat pembasahan dan karenanya
mengurangi luas permukaan efektif (Krishna, 2008). Bentuk geometris partikel juga
mempengaruhi luas permukaan, dan, selama pelarutan, permukaannya terus berubah.
Dalam perhitungan disolusi, partikel terlarut biasanya diasumsikan telah
mempertahankan bentuk geometrisnya (Shargel, 2004).
Zat obat dapat ada dalam berbagai bentuk padat (polimorfisme). Bentuk-bentuk
yang berbeda ini dapat secara umum diklasifikasikan menjadi dua kelas yang
berbeda : (1) fase kristal yang memiliki susunan dan / atau konformasi molekul
dalam kisi kristal, (2) fase amorf yang tidak memiliki kisi kristal. Perbedaan energi
kisi di antara berbagai bentuk polimorfik dapat menyebabkan perbedaan kelarutan
(Krishna, 2008). Beberapa kristal polimorfik memiliki kelarutan dalam air yang jauh
lebih rendah daripada bentuk amorf. Obat dalam bentuk amorf (bentuk nonkristalin)
umumnya larut lebih cepat daripada obat dalam bentuk kristal yang lebih struktural.
Perubahan bentuk kristal dapat menyebabkan masalah dalam pembuatan produk.
Sebagai contoh, perubahan struktur kristal obat dapat menyebabkan retak pada tablet
atau bahkan mencegah granulasi tertekan menjadi tablet (Shargel, 2004).
Selain sifat fisikokimia suatu zat obat, bahan-bahan yang tidak aktif (atau
eksipien) dalam formulasi sediaan dapat mempengaruhi disolusi suatu produk obat.
Eksipien ditambahkan ke formulasi untuk memberikan sifat fungsional tertentu pada
bentuk obat dan dosis. Beberapa sifat fungsional dari eksipien ini digunakan untuk
meningkatkan kompresibilitas obat aktif, menstabilkan obat terhadap degradasi,
mengurangi iritasi lambung, mengontrol laju penyerapan obat dari situs penyerapan,
meningkatkan ketersediaan hayati obat, dll. Eksipien dalam formulasi dapat
berinteraksi langsung dengan obat untuk membentuk kompleks yang larut dalam air
atau tidak larut dalam air. Eksipien dapat ditambahkan secara sengaja ke dalam
formulasi untuk meningkatkan laju dan tingkat penyerapan obat atau untuk menunda
atau memperlambat laju penyerapan obat (Shargel, 2004).
Eksipien harus inert secara farmakodinamik. Namun, eksipien dapat mengubah
fungsi zat obat dan ketersediaan hayati obat dari bentuk sediaan. Untuk bentuk
sediaan oral padat seperti tablet terkompresi, eksipien dapat meliputi (1) pengencer
(misalnya, laktosa), (2) disintegran (misalnya, pati), (3) pelumas (misalnya,
magnesium stearat), dan (4) ) komponen lain seperti mengikat dan menstabilkan
agen. Jika digunakan secara tidak benar dalam formulasi, laju dan tingkat penyerapan
obat dapat terpengaruh. Sebagai contoh, menunjukkan bahwa jumlah magnesium
stearat (pelumas hidrofobik) yang berlebihan dalam formulasi dapat memperlambat
pembubaran obat dan memperlambat laju penyerapan obat (Shargel, 2004).
Efek eksipien pada laju disolusi produk obat tergantung pada bentuk sediaan.
Untuk bentuk sediaan lepas langsung, eksipien sering digunakan untuk
meningkatkan pelepasan obat dari formulasi atau pelarutan bahan obat. Misalnya,
bahan penghancur seperti pati sering digunakan untuk memfasilitasi pemecahan
tablet dan meningkatkan deagregasi menjadi butiran atau partikel setelah pemberian
(Peck et al., 1989). Untuk obat yang sukar larut, memasukkan surfaktan (mis.,
Polisorbat) ke dalam formulasi dapat meningkatkan laju disolusi (Banaker, 1991).
Banyak faktor proses pembuatan dapat berdampak pada karakteristik disolusi
bentuk sediaan padat. Granulasi, secara umum, telah terbukti meningkatkan
keterbasahan obat yang kurang larut dengan memasukkan sifat hidrofilik ke dalam
permukaan butiran, sehingga menghasilkan tingkat disolusi yang lebih besar
(Bandelin, 1990). Berdasarkan kecenderungan tablet yang langsung dikompresi
untuk terdeagregasi menjadi partikel obat yang lebih halus, kompresi langsung dapat
dipilih daripada granulasi untuk meningkatkan disolusi (Shangraw, 1990).

III. Percobaan
1. Alat dan Bahan
a. Alat
- Aquades
- Tablet parasetamol generik dan paten
b. Bahan
- Disolution tester
- Spektrofotometer UV-Vis
- Pipet ukur, labu ukur, pipet volume dan alat gelas lainnya.
2. Prosedur Kerja
a. Pembuatan Baku Induk 1000 ppm
1) Ditimbang baku parasetamol sebanyak 100 mg.
2) Dimasukkan ke dalam labu ukur 100 Ml.
3) Ditambahkan dengan aquades sebanyak 50 mL, lalu diaduk sampai
larut.
4) Ditambah dengan aquades sampai tanda batas, lalu dikocok sampai
homogen
b. Pembuatan Baku Seri 10; 15; 20; 25; dan 30 ppm
1) Dipipet 0,1 mL; 0,15 mL; 0,2 mL; 0,25 mL dan 0,3 mL dari baku seri
1000 ppm.
2) Dimasukkan masing-masing ke dalam labu ukur 100 mL.
3) Ditambahkan dengan aquades sampai tanda batas, lalu dikocok hingga
homogen.
c. Pembuatan Kurva Kalibrasi Baku
1) Dipipet larutan baku seri 10; 15; 20; 25; dan 30 ppm ke dalam kuvet.
2) Diukur absorbansi baku seri pada panjang gelombang maksimum.
d. Uji Disolusi Tablet
1) Bak mantel (tempat wadah disolusi) dimasukkan, diisi dengan air dan
diatur pada suhu 37 ± 0,5 ℃.
2) Isi keranjang/labu disolusi dengan media disolusi (aquades). Volume
larutan disolusi, yaitu 900 mL.
3) Dimasukkan tablet ke dalam keranjang/labu bila suhu telah mencapai
37oC.
4) Dinyalakan/atur pengaduk pada kecepatan 100 rpm.
5) Diambil media disolusi secukupnya dengan pipet volume pada menit
ke 5; 10 dan 15. Media disolusi dicukupkan kembali hingga
volumenya 900 mL pada tiap pengambilan.
6) Ditentukan kadar dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis
pada panjang gelombang (λ) 243 nm. Dibandingkan dengan kurva
kalibrasi dan dilakukan perhitungan kadar.

IV. Hasil Percobaan


a. Hasil absorbansi baku seri dengan berbagai konsentrasi

Konsentrasi (ppm) Absorbansi


10 0,276
15 0,294
20 0,329
25 0,358
30 0,462
b. Buat kurva kalibrasi baku parasetamol

Absorbansi
0.5
y = 0.0087x + 0.1694
0.4
R² = 0.8855
Axis Title

0.3
0.2 Absorbansi

0.1 Linear (Absorbansi)

0
0 10 20 30 40
Axis Title

c. Hasil uji disolusi sampel tablet parasetamol


1) Menit ke-5
𝑦 = 𝑏𝑥 + 𝑎
𝑦−𝑎
𝑥=
𝑏
2,555 − 0,1694
𝑥=
0,0087
𝑥 = 274,206 𝑚𝑐𝑔/𝑚𝑙
𝑚𝑐𝑔
Terdisolusi dalam 900 ml = 900 𝑚𝑙 x 274,206 𝑚𝑙
246.786,206 𝑚𝑐𝑔
=
1000
= 246,786 𝑚𝑔
246,786 𝑚𝑔
% Terdisolusi = x 100% = 47,357%
500 𝑚𝑔
2) Menit ke-10
𝑦 = 𝑏𝑥 + 𝑎
𝑦−𝑎
𝑥=
𝑏
3,154 − 0,1694
𝑥=
0,0087
𝑥 = 343,057 𝑚𝑐𝑔/𝑚𝑙
𝑚𝑐𝑔
Terdisolusi dalam 900 ml = 900 𝑚𝑙 x 343,057 𝑚𝑙

308.751,3 𝑚𝑐𝑔
=
1000
= 308,751 𝑚𝑔
308,751 𝑚𝑔
% Terdisolusi = x 100% = 61,750%
500 𝑚𝑔

3) Menit ke-15
𝑦 = 𝑏𝑥 + 𝑎
𝑦−𝑎
𝑥=
𝑏
1,793 − 0,1694
𝑥=
0,0087
𝑥 = 186,620 𝑚𝑐𝑔/𝑚𝑙
𝑚𝑐𝑔
Terdisolusi dalam 900 ml = 900 𝑚𝑙 x 186,620 𝑚𝑙

167.958,620 𝑚𝑐𝑔
=
1000
= 167,959 𝑚𝑔
167,959 𝑚𝑔
% Terdisolusi = x 100% = 33,591%
500 𝑚𝑔

Menit Ke Absorbansi % Terdisolusi


5 2,555 47,357%
10 3,154 61,750%
15 1,793 33,591%
V. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian laju disolusi terhadap tablet
paracetamol 500gr. Tablet paracetamol yang digunakan adalah tablet paracetamol
generik, sedangkan media disolusi yang digunakan adalah air/aquades karena air
merupakan cairan penyusun utama dalam tubuh manusia. Jadi, diumpamakan obat
berdisolusi di dalam tubuh manusia. Suhu yang digunakan juga dipertahankan pada
37℃, agar sama dengan suhu fisiologis dari tubuh manusia.
Hasil dari pengujian larutan baku paracetamol dengan menggunakan
spektrofotometri UV-Vis didapati bahwa terjadi penurunan dan kenaikan nilai
absorbansi pada tiap konsentrasi (5, 10, 15, 20, 25, 30 ppm). Padahal nilai absorbansi
seharusnya semakin besar bila semakin besar konsentrasi dari larutan baku
paracetamol. Hal ini dapat disebabkan karena terjadinya kesalahan saat dilakukannya
pengujian, seperti adanya zat-zat kontaminan.
Kemudian dari nilai absorbansi yang telah didapat, dilakukan pembuatan kurva
baku paracetamol. Didapatkan persamaan regresi linier 𝑦 = 0,0087𝑥 + 0,1694, dan
diperoleh nilai koefisien regresi linier (𝑅 2 ) sebesar 0,8855. Dapat dilihat bahwa nilai
𝑅 2 yang didapat memenuhi syarat yakni semakin nilai 𝑅 2 mendekati 1 maka semakin
baik nilai 𝑅 2 .
Selanjutnya hasil pengujian laju disolusi terhadap tablet paracetamol dalam
900ml media, pada selang waktu 5, 10, dan 15 menit diuji dengan menggunakan
spektrofotometri UV-Vis. Didapatkan dari hasil, bahwa pada menit ke 5 terdapat
47,357% paracetamol yang terdisolusi, pada menit ke 10 terdapat 61,750%
paracetamol yang terdisolusi, sedangkan pada menit ke 15 terdapat 33,591%
paracetamol yang terdisolusi. Seharusnya nilai % terdisolusi dari paracetamol
menunjukkan peningkatan dari menit ke menit. Pada menit ke 5 dan 10 terjadi
peningkatan % terdisolusi paracetamol namun pada menit ke 15 nilai % terdisolusi
paracetamol menurun.
Tidak akuratnya hasil percobaan dapat disebabkan karena beberapa kesalahan
saat melakukan pengujian, seperti kesalahan pengukuran pada waktu pengambilan
sampel menggunakan pipet, adanya kontaminasi pada larutan sampel, pengenceran
larutan sampel yang tidak akurat. Faktor lain yang menyebabkan hasil percobaan
tidak akurat adalah kecepatan pengadukan saat uji. Pengadukan mempengaruhi
penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga memperluas
permukaan partikel yang kontak dengan pelarut. Semakin lama kecepatan
pengadukan maka laju disolusi akan semakin tinggi.
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV tahun 1995, kecepatan pengadukan pada
uji laju disolusi untuk paracetamol adalah 50 rpm dan dilakukan dalam waktu 30
menit. Namun pada pengujian kali ini kecepatan pengadukan yang digunakan adalah
100 rpm dengan waktu 15 menit, hal ini lah yang membuat % disolusi yang
dihasilkan menurun.

VI. Saran
Pada saat praktikum dilakukan, banyak alat-alat gelas yang kurang dan tidak
lengkap sehingga praktikum berjalan dengan waktu yang lama. Untuk itu disarankan
agar dapat menambah alat-alat laboratorium seperti labu ukur, piper tetes, dan tabung
reaksi agar praktikum dapat berjalan dengan baik.
VII. Daftar Pustaka
Banakar, Umesh V. 1991. Pharmaceutical Dissolution Testing. Marcell Dekker, Inc.
United State America.

Bandelin, F.J. 1990. Compressed Tablets by Wet Granulation. Marcel Dekker, Inc.
New York.

Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta

Krishna, R., Yu, L. 2008. Biopharmaceutics Applications in Drug Development.


Springer. New York.

Peck, G.E., Baley, G.J., McCurdy, V.E., and Banker, G.S. 1989. Tablet Formulation
and Design. Marcel Dekker, Inc. New York.

Shangraw, R. F. 1990. Compressed Tablets by Direct Compression. Marcel Dekker,


Inc. New York.
Shargel, L., Wu-Pong, S., Yu, A. 2004. Applied Biopharmaceutics and
Pharmacokinetics 5th Edition. The McGraw-Hill Companies. Virginia.

Stavchansky, R., and McGinity, J. 1989. Bioavailability and Tablet Technology.


Marcel Dekker, Inc. New York.

Anda mungkin juga menyukai