Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

2.2 Syarat Tumbuh Kacang

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 20

Syarat Tumbuh Tanaman Kacang Hijau

A. Iklim

Rukmana (2006) menyatakan bahwa untuk dapat tumbuh dan berkembang


kacang hijau menghendaki curah hujan yang optimal 50-200 mm/bln dengan
temperatur 25-270C, kelembaban udara berkisar 50-80% dan cukup mendapatkan
sinar matahari. Kacang hijau merupakan tanaman tropis yang menghendaki
suasana panas selama hidupnya. Tanaman ini dapat ditanam di dataran rendah
hingga tinggi 500m di atas pemukan laut (dpl), tanaman kacang hijau dapat hidup
didaerah curah hujan rendah dengan memanfaatkan sisa-sisa kelembaban bekas
tanaman yang diairi sepenuhnya, misalnya padi, kacang hijau dapat tumbuh di
segala macam tipe tanah, namun pertumbuhan terbaik pada tanah lempung dengan
bahan organik tinggi (Rukmana, 2006).

B. Tanah

Tanah yang disesuaikan tanaman kacang hijau adalah tanah yang liat
berlempung, berdrainase baikdan cukup unsur hara N, P, K, Cadan unsur mikro,
tanah yang terlalu subur dengan kandungan N-total (0.51-0,75 %) dan K-
tersedia(0,61-1,00 C mol, kg-1) yang tinggi kurang baik untuk kacang hijau
karena akan mengakibatkan pertumbuhan vegetatif yang berlebihan dan
pembentukan polong berkurang (Sumarno, 2003). Tingkat keasaman tanah yang
optimum untuk pertumbuhan kacang hijau antara pH 6,5 (Andrianto dan
Indrianto, 2004).
Kacang hijau dapat tumbuh pada semua jenis tanah sepanjang kelembaban
dan tersedianya unsur hara yang cukup. Itu lahan yang akan dipergunakan harus
dipersiapkan sebaik-baiknya. Lahan sawah setelah panen padi, tidak perlu
dilakukan pengolahan tanah. Menurut Sunantara (2000) penyediaan lahan berupa
dengan pemotongan jerami padi sesuai untuk budidaya kacang hijau setelah
tanaman padi. Sementara itu pada lahan sawah yang agak lama tidak ditanami
perlu dilakukan pengelohan tanah secara sempurna, untuk menghindari air
tergenang pada musim hujan serta perlu dibuat saluran drainase dengan lebar dan
kedalaman 20-30 cm dan jarak antara saluran maksimum 4 m (Atman, 2007).
Fase Pertumbuahan Tanaman Kacang Hijau
A. Fase Muncul Lapang (Emergence)
Benih kacang hijau yang ditanam pada kondisi yang sesuai untuk
perkecambahan akan segera berkecambah dan akan muncul ke atas permukaan
tanah (muncul lapang) setelah 5 sampai 7 hari. Seminggu setelah itu, akan segera
terbentuk sepasang daun trifoliate yang membuka sempurna dan dapat melakukan
fotosintesis.
Proses perkecambahan benih merupakan suatu rangkaian kompleks dari
perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia. Perkecambahan adalah permulaan
munculnya pertumbuhan aktif yang menghasilkan pecah nya kulit biji dan
munculnya semai. Perkecambahan meliputi: imbibisi dan absorpsi air, hidrasi
jaringan, absorsi oksigen, pengaktifan enzim dan pencernaan, transport molekul
yang terhidrolisis ke sumbu embrio, peningkatan respirasi dan asimilasi, inisiasi
pembelahan dan pembesaran sel, munculnya embrio.
Pola pertumbuhan kecambah kacang hijau yaitu tipe epigeal dimana
hipokotil memanjang dan menarik kotiledon ke atas permukaan tanah. Proses
perkecambahan kacang hijau dimulai dengan mengimbisi air melalui kulit benih
dan mikropil. Akar primer menembus kulit benih, memanjang dengan cepat
membentuk kecambah didalam tanah. Pada saat hipokotil memanjang. Hipokotil
terletak antara akar primer dan kulit benih biasa muncul dari tanah hipokotil lebih
lanjut. Plumula dan daun primer terlindung diantara kotiledon, setelah kotiledon
muncul dari tanah hipokotil menguat epikotil memanjang, kotiledon membuka
dan daun primer mengembang. Di atas tanah kotiledon menjadi hijau dan dapat
melakukan fotosintesis, setelah daun pertama mengembang, kotiledon akan lepas.
Faktor internal yang memoengaruhi perkecambahan adalah:
1. Tingkat kemasakan benih
Benih yang di panen sebelum tingkat kemasakan fisiologisnya tercapai,
tidak mempunyai viabilitas tinggi. Diduga pada tingkatan tersebut benih belum
memiliki cadangan makanan yang cukup dan juga pembentukan embrio yang
belum sempurna.

2. Ukuran benih
Di dalam jaringan penyimpanannya, benih memiliki karbohidrat, protein,
lemak dan mineral. Dimana bahan-bahan ini diperlukan sebagai bahan baku
dan energi bagi embrio pada saat perkecambahan. Diduga bahwa benih yang
berukuran besar dan berat mengandung cadangan makanan lebih banyak
dibandingkan dengan benih yang kecil, mungkin pula embrionya lebih besar.
3. Dormansi
Dormansi atau disebut juga masa istirahat biji, dimana biji tidak akan
berkecambah meskipun dalam keadaan yang menguntungkan untuk
perkecambahan (biji belum masak sempurna)

B. Fase Pertumbuhan Vegetative

Setelah muncul lapang, tanaman kacang hijau akan mengalami


pertumbuhan vegetative sampai awal muncul atau terbentuknya bunga. Periode ini
umumnya terjadi pada periode 2 – 6 minggu setelah tanam. Pertumbuhan
vegetatif ini juga masih terjadi setelah tanaman mulai berbunga tetapi dengan
kecepatan yang berkurang.

C. Fase Pembungaan

Fase ini diawali dengan pembentukan bunga. Setelah bunga terbentuk


terjadi penyerbukan sendiri yang dilanjutkan dengan proses pembuahan.
Pembuahan yang berhasil akan dilanjutkan dengan pembentukan polong.
Pembungaan akan terus terjadi walaupun sebagian bunga telah berkembang
menjadi polong.

D. Fase Pembentukan Polong Pengisian Biji

Polong yang terbentuk setelah terjadi pembuahan mengalami pertumbuhan


sampai pada ukuran tertentu. Selama pertumbuhan tersebut, di dalamnya terjadi
pembentukan dan pengisian biji. Pemasakan biji dianggap selesai apabila polong
telah mencapai ukuran maksimum. Selanjutnya biji di dalam polong akan
mengalami proses pematangan yang ditandai oleh perubahan warna polong yang
pada umumnya dari hijau menjadi hitam, sekaligus sebagai tanda polong siap
dipanen.
Syarat Tumbuh Kacang Tanah

A. Tanah

Jenis tanah lempung berpasir, liat berpasir atau lempung liat berpasir
sangat cocok untuk tanaman kacang tanah. Kemasaman (pH) tanah yang cocok
untuk kacang tanah adalah 6,5−7,0. Tanaman masih cukup baik bila tumbuh pada
tanah agak masam (pH 5,0–5,5), tetapi peka terhadap tanah basa (pH>7). Pada pH
tanah 7,5−8,5 (bereaksi basa) daun akan menguning dan terjadi bercak hitam pada
polong. Di tanah basa, hasil polong akan berkurang karena ukuran polong dan
jumlah polong menurun. Pada jenis tanah Vertisol yang bertekstur berat
(kandungan lempung tinggi) tanaman kacang tanah dapat tumbuh baik, akan tetapi
pada saat panen banyak polong tertinggal dalam tanah sehingga mengurangi hasil
yang diperoleh.
Tanah yang baik sistem drainasenya menciptakan aerasi yang lebih baik,
sehingga tanaman akan lebih mudah menyerap air, hara nitrogen, CO 2 dan O2.
Drainase yang kurang baik akan berpengaruh buruk terhadap respirasi akar,
karena persediaan O2 dalam tanah rendah. Kondisi ini akan menghambat
pertumbuhan akar dan bakteri fiksasi nitrogen menjadi tidak aktif. Apabila tanah
mempunyai struktur remah, maka keberhasilan perkecambahan benih akan lebih
besar, ginofor lebih mudah melakukan penetrasi kemudian berkembang menjadi
polong, dan polong lebih mudah dicabut pada saat panen.

B. Iklim

Unsur iklim meliputi suhu, curah hujan, angin, kelembaban udara,


penguapan, awan dan radiasi matahari. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh
unsur-unsur iklim antara lain suhu, curah hujan dan radiasi matahari.

C. Suhu Tanah

Suhu tanah merupakan faktor penting yang mempengaruhi perkecambahan


benih dan pertumbuhan awal kecambah. Pada suhu tanah kurang dari 18 oC,
kecepatan perkecambahan akan lambat, sebaliknya suhu tanah >40 oC akan
mematikan benih yang baru ditanam. Kecepatan tumbuh tanaman kacang tanah
meningkat dengan meningkatnya suhu dari 20 oC menjadi 30 oC. Suhu untuk
pertumbuhan optimum berkisar antara 27 oC dan 30 oC tergantung pada macam
varietas. Suhu tanah maksimum untuk perkembangan ginofor adalah 30−34 oC.
Bentuk polong akan menjadi kecil dan keras apabila suhu udara dan suhu tanah
tinggi.

D. Suhu Udara

Suhu udara merupakan unsur iklim yang mempengaruhi pertumbuhan dan


perkem-bangan tanaman, serta pembungaan. Pada fase generatif, suhu maksimum
terletak antara 24 oC dan 27 oC, dan suhu udara >33 oC akan mempengaruhi
benangsari. Suhu diurnal memegang peranan penting khususnya pada awal stadia
pertumbuhan tanaman. Proses asimilasi mencapai optimum pada suhu di atas 22
°C dan fotosintesis terhambat pada suhu malam kurang dari 20 °C. Fenomena ini
mempunyai arti penting di daerah subtropik atau di daerah tropik pada lokasi
dengan elevasi tinggi, karena efisiensi penggunaan cahaya berkurang sekitar 25%
pada suhu malam 18 °C dibandingkan dengan suhu malam 23 °C (Shorter et al.,
1992). Di lokasi yang berbeda suhu malam minimumnya, 16,7 °C dan 20,1 °C
misalnya, hasil polong lebih tinggi pada lokasi dengan suhu malam yang lebih
tinggi tersebut. Hal ini karena kecepatan laju pertumbuhan tanaman dan
akumulasi hasil polong, masing-masing 30% dan 25–50% lebih tinggi. Pada suhu
malam yang lebih tinggi, efisiensi penggunaan cahaya 39% lebih besar dibanding
pada suhu malam yang lebih rendah (Bell et al., 1992).
Fase Pertumbuhan Kacang Tanah

A. Fase Vegetatif
Fase vegetatif pada tanaman kacang tanah dimulai sejak perkecambahan
hingga awal pembungaan, yang berkisar antara 26 hingga 31 hari setelah tanam,
dan selebihnya adalah fase reproduktif. Fase vegetatif tersebut dibagi menjadi 3
stadia, yaitu perkecambahan, pembukaan kotiledon, dan perkembangan daun
bertangkai empat (tetrafoliate). Proses perkecambahan hingga munculnya
kotiledon ke permukaan tanah (stadia VE) berlangsung selama 4–6 hari, keesokan
harinya kotiledon tersebut telah terbuka (stadia VK) (Trustinah et al. 1987). Laju
pemunculan kotiledon ke permukaan tanah dipengaruhi oleh kedalaman
penanaman, suhu tanah, dan keadaan air tanah. Suhu optimum untuk
perkecambahan kacang tanah adalah 25–39 °C. Setelah pemunculan dan
terbukanya kotiledon, batang akan memanjang dan tunas pucuk akan berkembang
diikuti oleh perkembangan dua tunas (lateral). Daun kacang tanah muncul dari
buku pada batang utama ataupun cabang.
Pengamatan pertumbuhan vegetatif didasarkan pada perkembangan buku,
karena buku pada tanaman bersifat permanen, sehingga meskipun daunnya telah
gugur namun buku-buku tersebut dapat dilihat dengan adanya daun penumpu,
bekas tangkai daun atau adanya cabang yang terbentuk pada ketiak daun.
Perkembangan buku dihitung ketika daun bertangkai empat pada batang utama
telah berkembang penuh. Beberapa faktor yang mempengaruhi perkecambahan,
diantaranya cekaman kekeringan, kemasaman atau salinitas lahan.

B. Fase Reproduktif

Penandaan fase reproduktif didasarkan atas adanya bunga, buah, dan biji.
Boote (1982) membagi fase reproduktif kacang tanah menjadi 9 stadia, yang
diikuti oleh Trustinah (1987) dengan menggunakan varietas Gajah, Kidang, Rusa,
dan Galur AH-9. Sembilan stadia tersebut adalah: mulai berbunga (Rl),
pembentukan ginofor (R2), pembentukan polong (R3), polong penuh/maksimum
(R4), pembentukan biji (R5), biji penuh (R6), biji mulai masak (R7), masak panen
(R8), dan polong lewat masak (R9).

a. Stadia Pembungaan (R1)

Jumlah bunga yang dihasilkan dipengaruhi oleh varietas, suhu udara, dan
kelembaban udara. Dari seluruh bunga yang dihasilkan tidak semuanya akan
menjadi polong tua, hanya sekitar 10–40% dari bunga yang dihasilkan yang akan
menjadi polong. Polong yang terbentuk terutama berasal dari polong yang
berkembang dari bunga yang muncul pada periode awal dan letaknya tidak terlalu
tinggi, sehingga memiliki periode pengisian polong yang lebih panjang dan
mempunyai daya saing yang lebih besar dibandingkan polong-polong berikutnya.
Kekurangan air pada periode pembungaan tidak menyebabkan tertundanya
awal pembungaan, namun laju produksi bunga akan menurun dan jumlah bunga
yang dihasilkan tidak dipengaruhi meningkatnya periode berbunga. Stadia
pembungaan lebih sensitif terhadap cekaman suhu tinggi dibandingkan stadia
sebelum berbunga. Pembungaan pada kacang tanah dimulai sekitar hari ke-27
sampai ke-32 yang ditandai dengan munculnya bunga pertama (stadia Rl).
Jumlah bunga yang dihasilkan setiap harinya akan meningkat sampai
maksimum dan menurun mendekati nol selama pengisian polong (Trustinah et al.
1987).

b. Stadia Pertumbuhan Ginofor (R2)

Ginofor (tangkai kepala putik) muncul pada hari ke-4 atau ke-5 setelah
bunga mekar, kemudian akan memanjang, menuju dan menembus tanah untuk
memulai pembentukan polong. Ginofor yang jaraknya cukup jauh dari permukaan
tanah (≥15 cm) umumnya tidak bisa mencapai tanah dan ujungnya akan
mengering dan mati. Pada stadia ini kelembaban tanah sangat diperlukan,
terutama untuk membantu ginofor masuk ke dalam tanah, yaitu pada hari ke-32
hingga hari ke-36 setelah tanam. Ginofor-ginofor tersebut aktif mengisap kalium
dan kalsium dari media sekitar polong, sehingga ketersediaan unsurunsur tersebut
pada stadia ini sangat diperlukan. Perpanjangan ginofor tergantung tekanan turgor,
dan tertunda karena cekaman kekeringan. Ginofor gagal untuk menembus tanah
yang kering, terutama pada lapisan tanah keras, sehingga ginofor tertahan selama
empat hari untuk penetrasi polong. Setelah ginofor berada di dalam tanah, perlu
kelembaban dan kegelapan yang memadai untuk pengembangan polong.
Kelembaban tanah merupakan faktor kritis untuk pengembangan ginofor
pada pembentukan polong, dan air tanah yang memadai di zona akar tidak dapat
mengkompensasi kekurangan air pada zona polong untuk 30 hari pertama
pengembangan polong. Pertumbuhan awal ginofor tertunda selama tercekam
kekeringan dan mulai kembali setelah bebas dari cekaman kekeringan. Tanggapan
pengembangan ginofor dan biji pada varietas kacang tanah secara substansial
beragam, dan menyebabkan penurunan besar hasil polong dengan persentase
bervariasi antarvarietas kacang tanah (Nageswara Rao et al. 1989; Jain et al.
2001). Dari seluruh bunga yang dihasilkan hanya 55% yang menjadi ginofor, dan
ginoforginofor yang dihasilkan setelah pembungaan maksimum sampai akhir
pembungaan tidak mempengaruhi hasil. Menurut Smith (1949) dalam Ketring et
al. (1982), lebih dari 93% bakal buah mengalami fertilisasi, tetapi sekitar 12%
dari embrio telah gugur selama dua minggu pertama, di mana ovul yang terletak
di bagian ujung polong sering mengalami kegagalan dalam perkembangannya.

c. Pertumbuhan Polong dan Biji (Stadia R3–R6)

Pembentukan polong (stadia R3) dimulai ketika ujung ginofor mulai


membengkak, yaitu pada hari ke-40 hingga hari ke-45 setelah tanam, atau sekitar
satu minggu setelah ginofor masuk ke dalam tanah. Ujung ginofor tersebut akan
membesar sampai mencapai ukuran maksimum untuk pengisian polong (polong
penuh). Polong penuh (stadia R4) dicapai pada hari ke-44 sampai hari ke-52
setelah tanam, yaitu sekitar satu minggu setelah pembengkakan ginofor atau 2
minggu setelah ginofor menembus tanah. Pada keadaan ini polong masih
berwarna putih, dan guratan pada kulit polong bagian luar belum tampak.
Pembentukan polong merupakan suatu periode yang sangat peka terhadap
kekurangan air, karena pada periode tersebut pertumbuhan polong mempunyai
laju akumulasi bahan kering yang maksimum (Boote, 1983).
Kekurangan air pada fase pembentukan polong akan mengurangi
pembungaan, pembentukan polong, dan penurunan hasil akhir lebih banyak
dibandingkan kekurangan air pada stadia lain (Songsri et al. 2008). Tanaman
kacang tanah yang mengalami cekaman air selama pembentukan dan
pengembangan polong namun kemudian mengalami kecukupan air,
mengakibatkan penurunan hasil panen yang nyata, dan besarnya penurunan hasil
tergantung pada varietas kacang tanah (Reddy et al. 2003). Pembentukan biji
(stadia R5) dimulai setelah polong mencapai ukuran maksimum, yaitu antara hari
ke-52 hingga hari ke-57 setelah tanam, atau sekitar tiga minggu setelah ginofor
menembus tanah. Pada stadia ini kotiledon akan terlihat apabila polong disayat
melintang ataupun horizontal, dan warna kulit ari sudah dapat dibedakan untuk
varietasvarietas tertentu sesuai dengan warna kulit bijinya. Pengisian polong
dimulai dari pangkal ke ujung, dan berlangsung sampai bagian dalam polong telah
terisi biji (biji penuh). Biji penuh (stadia R6) dicapai antara hari ke-60 hingga hari
ke-68 setelah tanam, atau sekitar 4–5 minggu setelah ginofor menembus tanah.
Pada stadia pembentukan biji dan biji penuh (R5 dan R6), polong telah
memperlihatkan perubahan warna kulit bagian luar dari putih menjadi kuning
kecoklatan. Begitu pula guratan pada kulit polong bagian luar sudah jelas dan
permukaannya sudah kasar. Dilaporkan oleh Schenk (1961) dalam Ketring et al.
(1982) bahwa perkembangan yang paling aktif dari polong terjadi dalam minggu
kedua dan ketiga setelah ginofor menembus tanah. Pada minggu kelima setelah
menembus tanah, aktivitas sintesis lemak dan protein mulai meningkat, sedangkan
kadar air dan zat pati masih tinggi (Boote, 1982). Kekurangan air selama periode
pengisian polong akan mengurangi laju pertumbuhan biji, dan bila keadaan
tersebut berlangsung lebih panjang, maka hasil dapat menurun secara drastis
dikarenakan meningkatnya jumlah biji yang keriput dan gugur. Selain itu dapat
menghambat perpanjangan ginofor, pembesaran polong, pengisian polong, dan
menyebabkan sukrosa terakumulasi pada bagian buah yang belum matang (Pallas
et al. 1979).

d. Kemasakan Polong (R7–R9)

Tahap selanjutnya setelah proses pembentukan biji adalah proses


pematangan biji (R7–R9). Beberapa cara telah dilakukan untuk menentukan
tingkat kematangan polong kacang tanah. Pattee et al. (1974) dalam Sanders et al.
(1982), membagi tingkat kematangan polong kacang tanah varietas Florunner
menjadi 13 tingkat, yaitu mulai pembengkakan ginofor sampai dengan polong tua.
Kriteria yang digunakan didasarkan atas perubahan yang terjadi pada kulit polong
bagian dalam, dan cara ini disebut sebagai Indeks Kematangan Polong (Pod
Maturity Index atau PMI). Selanjutnya Thomas dan Drexler (1981) melakukan
penelitian untuk menentukan tingkat kematangan polong kacang tanah dengan
tidak merusak polong yang bersangkutan, yaitu dengan mengamati kulit polong
bagian luar, yang meliputi: ukuran, tekstur, warna, dan guratan yang ada pada
polong. Penelitian tersebut menggunakan varietas Florunner, dan membagi tingkat
kematangan polong menjadi 7 tingkat, mulai dari pembengkakan ginofor sampai
polong tua. Cara ini disebut sebagai Pod Maturity Profile atau PMP.
Cara lain untuk menentukan tingkat kematangan polong adalah dengan
mengukur perubahan bobot biji dan bobot kulit selama pematangan, yaitu dengan
Indeks Masak Biji/Kulit atau Seed/Hull Maturity Index (SHMI) seperti yang
digunakan oleh Pattte et al. (1982); dan Sanders et al. (1982), atau dengan melihat
adanya perubahan warna di bagian dalam kulit polong seperti yang dilaporkan
Boote (1982); Trustinah (2012), atau dengan mengamati secara visual tektur,
warna dan bentuk biji, yang dipadukan dengan warna kulit polong (Rucker et al.
1994). Dengan mengamati perubahan kulit polong bagian dalam, McNeill dan
Sanders (1996) mendapatkan distribusi kemasakan yang bervariasi dari suatu
kelompok waktu panen dari hitam coklat-kuning yang menunjukkan beragamnya
kematangan polong secara individu.
Penggunaan persentase kulit polong coklat dan hitam dalam menentukan
waktu panen yang optimal juga telah dilaporkan oleh Rowland et al. (2006) dan
Trustinah (2012) dengan mengkombinasikan dua kelompok polong (kulit polong
coklat dan hitam) untuk menentukan kemasakan relatif dalam menentukan saat
panen. Indeks Kemasakan I (total persentase polong coklat dan hitam) merupakan
indikator terbaik karena sangat berkorelasi positif dengan hasil. Hal yang sama
juga dilaporkan Branch et al. (2010). Oleh karenanya penilaian dengan
menggunakan persentase warna kulit polong lebih mudah dilakukan. Proses
pematangan biji kacang tanah varietas Gajah, Kidang, Rusa (stadia R7) dimulai
antara hari ke-68 sampai hari ke-75 setelah tanam, atau sekitar 5–6 minggu setelah
ginofor menembus tanah.
Keadaan ini dicirikan dengan timbulnya bintik-bintik hitam di kulit polong
bagian dalam, tetapi belum begitu jelas. Sedangkan warna polong sudah semakin
gelap dan guratan pada polong sudah semakin nyata. Pematangan biji tersebut
akan berlangsung terus, diiringi dengan perubahan morfologi di dalam maupun di
luar kulit polong, serta perubahan bobot biji dan bintik-bintik hitam di kulit
bagian dalam yang semakin banyak dan jelas. Biji masak (stadia R8) dicapai pada
hari ke-85 setelah tanam, dan pada umur lebih lanjut (90, 95, dan 100 hari) akan
didapatkan perubahan-perubahan seperti bobot biji yang makin meningkat,
maupun bintik-bintik hitam yang semakin jelas di kulit bagian dalam (Trustinah et
al. 1987). Pada saat panen umur 80 sampai 100 hari terdapat polong-polong yang
secara morfologi hampir sama tingkat kematangannya, beberapa ginofor serta
polong yang baru mencapai stadia awal pembentukan polong (stadia R2, R3, dan
R8), sedangkan stadia polong penuh, awal pembentukan biji, dan biji penuh
(stadia R4, R5, dan R6) hampir tidak ditemukan (Trustinah et al. 1987a). Hal
tersebut disebabkan polong-polong yang terbentuk pada stadia awal akan
menghalangi pertumbuhan polong-polong berikutnya.
Waktu panen yang terbaik adalah bila 75% dari polong-polong yang ada
telah memperlihatkan bintik-bintik hitam di bagian dalam kulit. Hal ini
berdasarkan pertimbangan bahwa pada keadaan ini persentase polong masak
sudah cukup tinggi, dan kehilangan hasil mungkin akan lebih cepat dibandingkan
perkembangan polong yang baru jika panen ditunda. Kehilangan hasil tersebut
disebabkan oleh lemahnya ginofor sehingga beberapa polong akan tertinggal di
dalam tanah bila panen ditunda lebih lama. Pada kacang tanah varietas Kancil,
Trustinah et al. (2004) melaporkan bobot polong, ukuran biji, bobot biji bernas,
kandungan lemak, protein, dan persentase polong tua akan meningkat seiring
dengan meningkatnya umur tanaman dari 80 hingga 100 hari. Sebaliknya kadar
air dan gula reduksi berkurang sejalan dengan bertambahnya umur panen dari 80
hari hingga 100 hari. Pada umur 80 hari, tanaman masih segar yang ditunjukkan
dengan bobot brangkasan, kadar air biji (45%) dan gula reduksi (18,3%) yang
masih tinggi. Pada umur tersebut, bobot polong, bobot biji, ukuran biji,
kandungan lemak dan protein belum maksimal.
Kulit polong berwarna coklat merupakan stadia transisi antara polong
muda dan polong tua. Peningkatan secara linier persentase polong agak tua dan
polong tua terjadi mulai umur 80 hari hingga 90 hari. Perubahan kombinasi
persentase polong coklat dan hitam terlihat pada setiap umur panen Persentase biji
keriput pada umur 80 hari masing tinggi, yaitu 18%, dan pada umur tersebut
guratan pada kulit polong bagian luar telah jelas, polong telah keras, ukuran
polong sudah optimal, namun pengisian polong belum optimal. Sedangkan kulit
polong bagian dalam belum masak benar yang dicirikan dengan proporsi kulit
polong bagian dalam yang 35% masih berwarna putih, 57% agak kecoklatan, dan
hanya 8% berbintikbintik coklat. Kondisi polong seperti ini dikategorikan sebagai
stadia antara “masak sebagian (partial immature)” dan “masak”. Pada umur 80–85
hari kadar gula reduksi masih tinggi, sehingga bila polong direbus terasa lebih
manis. Produk demikian banyak dijumpai pada kacang garing ataupun kacang
rebus. Sedangkan untuk teknologi pengolahan seperti pada teknologi ekstraksi dan
ekstrusi diperlukan bahan baku dengan kadar air sekitar 10–40% (Herper, 1981
dalam Santosa et al., 1996) yang akan menentukan sifat elastisitas produk.
Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai

A. Tanah

Jenis tanah lempung berpasir, liat berpasir atau lempung liat berpasir
sangat cocok untuk tanaman kacang tanah. Kemasaman (pH) tanah yang cocok
untuk kacang tanah adalah 6,5−7,0. Tanaman masih cukup baik bila tumbuh pada
tanah agak masam (pH 5,0–5,5), tetapi peka terhadap tanah basa (pH>7). Pada pH
tanah 7,5−8,5 (bereaksi basa) daun akan menguning dan terjadi bercak hitam pada
polong. Di tanah basa, hasil polong akan berkurang karena ukuran polong dan
jumlah polong menurun. Pada jenis tanah Vertisol yang bertekstur berat
(kandungan lempung tinggi) tanaman kacang tanah dapat tumbuh baik, akan tetapi
pada saat panen banyak polong tertinggal dalam tanah sehingga mengurangi hasil
yang diperoleh.
Tanah yang baik sistem drainasenya menciptakan aerasi yang lebih baik,
sehingga tanaman akan lebih mudah menyerap air, hara nitrogen, CO 2 dan O2.
Drainase yang kurang baik akan berpengaruh buruk terhadap respirasi akar,
karena persediaan O2 dalam tanah rendah. Kondisi ini akan menghambat
pertumbuhan akar dan bakteri fiksasi nitrogen menjadi tidak aktif. Apabila tanah
mempunyai struktur remah, maka keberhasilan perkecambahan benih akan lebih
besar, ginofor lebih mudah melakukan penetrasi kemudian berkembang menjadi
polong, dan polong lebih mudah dicabut pada saat panen.

B. Iklim

Unsur iklim meliputi suhu, curah hujan, angin, kelembaban udara,


penguapan, awan dan radiasi matahari. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh
unsur-unsur iklim antara lain suhu, curah hujan dan radiasi matahari.

C. Suhu Tanah

Suhu tanah merupakan faktor penting yang mempengaruhi perkecambahan


benih dan pertumbuhan awal kecambah. Pada suhu tanah kurang dari 18 oC,
kecepatan perkecam bahan akan lambat, sebaliknya suhu tanah >40 oC akan
mematikan benih yang baru ditanam. Kecepatan tumbuh tanaman kacang tanah
meningkat dengan meningkatnya suhu dari 20 oC menjadi 30 oC. Suhu untuk
pertumbuhan optimum berkisar antara 27 oC dan 30 oC tergantung pada macam
varietas. Suhu tanah maksimum untuk perkembangan ginofor adalah 30−34 oC.
Bentuk polong akan menjadi kecil dan keras apabila suhu udara dan suhu tanah
tinggi.

D. Suhu Udara

Suhu udara merupakan unsur iklim yang mempengaruhi pertumbuhan dan


perkembangan tanaman, serta pembungaan. Pada fase generatif, suhu maksimum
terletak antara 24 oC dan 27 oC, dan suhu udara >33 oC akan mempengaruhi
benang sari. Suhu diurnal memegang peranan penting khususnya pada awal stadia
pertumbuhan tanaman. Proses asimilasi mencapai optimum pada suhu di atas 22
°C dan fotosintesis terhambat pada suhu malam kurang dari 20 °C. Fenomena ini
mempunyai arti penting di daerah subtropik atau di daerah tropik pada lokasi
dengan elevasi tinggi, karena efisiensi penggunaan cahaya berkurang sekitar 25%
pada suhu malam 18 °C dibandingkan dengan suhu malam 23 °C (Shorter et al.
1992).

E. Cahaya

Kacang tanah adalah tanaman C3 dan cahaya mempengaruhi proses


fotosintesis dan respirasi. Kanopi tanaman sangat respons terhadap meningkatnya
intensitas cahaya. Penyinaran 60% radiasi matahari pada tanaman berumur 60 hari
setelah kecambah merupakan saat kritis bagi tanaman. Intensitas cahaya yang
rendah pada saat berbunga akan menghambat pertumbuhan vegetatif. Pada fase
pembungaan, saat terbukanya bunga dan jumlah bunga yang terbentuk sangat
tergantung pada cahaya. Intensitas cahaya yang rendah pada saat pembentukan
ginofor akan mengurangi jumlah ginofor. Di samping itu, rendahnya intensitas
penyinaran pada masa pengisian polong akan menurunkan jumlah dan bobot
polong sehingga meningkatkan jumlah polong hampa.
Fase Pertumbuhan Kedelai

Stadia pertumbuhan kedelai secara garis besar dapat dibedakan atas


pertumbuhan vegetatif dan generatif. Stadia pertumbuhan vegetatif dihitung sejak
tanaman mulai muncul ke permukaan tanah sampai saat mulai berbunga. Stadia
perkecambahan dicirikan dengan adanya kotiledon, sedangkan penandaan stadia
pertumbuhan vegetatif dihitung dari jumlah buku yang terbentuk pada batang
utama. Menurut Kadarwati (2006), nitrogen merupakan unsur hara makro yang
paling banyak dibutuhkan tanaman, unsur nitrogen sangat berperan dalam fase
vegetatif tanaman.
Stadia vegetatif umumnya dimulai pada buku ketiga. Tanda V
dimaksudkan untuk menandakan stadia vegetatif yag diikuti oleh angka untuk
menunjukkan jumlah buku (Tabel 1). Stadia pertumbuhan reproduktif (generatif)
dihitung sejak tanaman kedelai mulai berbunga sampai pembentukan polong,
perkembangan biji dan pemasakan biji. Pada fase ini sangat memerlukan unsur P
dan K dalam jumlah yang lebih banyak (Kadarwati, 2006).
Penandaan setiap stadia pada periode generatif yaitu tanda R (reproduktif)
dan diikuti dengan penulisan angka 1-8. Pemberian penandaan masih berdasarkan
perkembangan yang terjadi pada batang utama (Tabel 2). Pada saat ini, hanya
sedikit unsur hara yang diangkut ke akar dan bagian vegetatif lainnya. Dengan
demikian, pertumbuhan akar tertekan dan proses pengambilan hara dari tanah
menjadi terhambat sehingga aktivasi bintil akar akan menjadi terganggu (Hanway
dan Weber (1977) yang dikutip oleh Zuleika (2001)). Apabila ketersediaan unsur
hara rendah dan proses penyerapan hara terganggu maka pegisian polong dan biji
akan terganggu pula.

Tabel 1. Penandaan stadia pertumbuhan vegetatif kedelai.

Singkatan Stadia Tingkatan Stadia Keterangan


Stadia pemunculan Kotiledon muncul ke
VE permukaan tanah

VC Stadia Kotiledon Daun unifololioliate


berkembang, tepi daun
tidak menyentuh tanah

Stadia Buku Pertama Daun terbuka penuh pada


V1
buku unifololioliate

Stadia Buku kedua Daun trifololioliate


terbuka penuh pada buku
V2
kedua diatas buku
unifololioliate

Stadia Buku ketiga Pada buku ketiga, batang


V3 utama terdapat daun yang
terbuka penuh

Stadia Buku ke-n Pada buku ke-n, batang


Vn
utama

Tabel 2. Penandaan stadia pertumbuhan reprouktif kedelai.

Singkatan Stadia Tingkatan Stadia Keterangan


Munculnya bunga pertama
R1 Mulai berbunga
pada buku mana pun pada
batang

Bunga terbuka penuh pada


satu atau dua buku paling
R2
Berbunga penuh atas pada batang utama
dengan daun yang telah
terbuka

Polong telah terbentuk


dengan panjang 0,5 cm
R3
Mulai berpolong pada salah satu buku
batang utama

Polong telah mempunyai


R4 Berpolong penuh panjang 2 cm pada salah
satu buku teratas pada
batang utama

Ukuran biji dalam polong


R5 Mulai pembentukan biji mencapai 3 mm pada salah
satu buku batang utama
Setiap polong pada batang
R6 Berbiji penuh
utama telah berisi biji satu
atau dua
Salah satu warna polong
pada batang utama telah
R7 Mulai masak berubah menjadi cokelat
kekuningan atau warna
masak
95% jumlah polong telah
R8 Masak Penuh
mencapai warna masak
DAFTAR PUSTAKA

Bell, M.J., B. Sukarno dan A.A. Rahmianna. 1992. Effect of photoperiod,


temperature and irradiance on peanut growth and development. p. 85–
94. In Peanut Improvement: A case study in Indonesia. Proc. of an
ACIAR/AARD/QDPI Collaboraative review meeting held at Malang,
East Java, Indonesia, 19–23 August, 1991. ACIAR Proc. No. 40. 108 p.

Boote, K.J. 1982. Growth stages of peanut (Arachis hypogaea L.). Peanut Sci.
9:35–39.

Boote, K.J., J.R. Stansell, AM. Schubert, and J.F. Stone. 1982. Irrigation, water
uses, and water relations. pp. 164–205. In H.E. Pattee, and C.T. Young,
(Eds.). Peanut Sci., and Tech. APRES, Inc. Texas, USA.

Ketring, D.L., R.H. Brown, G.A. Sullivan, and B.B. Johnson. 1982. Growth
physiology. P.411– 457. In H.E. Pattee, and C.T. Young, (Eds.). Peanut
Sci. and Tech. APRES, Inc.Texas, USA.

Nageswara Rao, R.C., J.H. Williams, M.V.K. Sivakumar, and K.R.D. Wadia.
1989. Effect of water deficit at different growth phases of peanut II.
Response to drought during preflowering phase. Agronomy Journal,
Vol. 80, pp. 431–438.

Reddy, T.Y.; V.R. Reddy, V. Anbumozhi. 2003. Physiological responses of


groundnut (Arachis hypogea L.) to drought stress and its amelioration:
A critical review. Plant Growth Regulation. 41: 75–88.

Sanders, T.H., AM. Schubert, and H.E. Pattee. 1982. Maturity methodology and
postharvest physiology. pp. 624–654. In Pattee, H.E. and C.T. Young,
(Eds.). Peanut Sci. and Tech. APRES, Inc.Texas, USA.

Shorter, R., K.J. Middleton, S. Sadikin, M. Machmud, M.J. Bell and G.C. Wright.
1992. Identification of disease, agronomic and eco-physiological factors
limiting peanuts yields. p. 9–18. In Peanut Improvement: A case study
in Indonesia. Proc. of an ACIAR/ AARD/ODPI collaborative review
meeting held at Malang, East Java, Indonesia, 19–23 August 1991.
ACIAR Proc. No. 40.

Songsri, P., S. Jogloy, T. Kesmala, N. Vorasoot, C. Akkasaeng, A. Patanothai, and


C. C. Holbrook. 2008. Response of reproductive characters of drought
resistant peanut genotypes to drought. Asian J. of Plant Sci. 7(5):427–
439.

Thomas, E.J., and J.S. Drexler. 1981. A non-destructive method for determining
peanut pod maturity. Peanut Sci. 8:134–141.

Trustinah, E. Guhardja, dan W. Gunarso. 1987a. Perkembangan polong kacang


tanah (Arachis hypogaea (L.) Merr.). Penelitian Palawija, 2(1): 56–60.

Anda mungkin juga menyukai