2.2 Syarat Tumbuh Kacang
2.2 Syarat Tumbuh Kacang
2.2 Syarat Tumbuh Kacang
A. Iklim
B. Tanah
Tanah yang disesuaikan tanaman kacang hijau adalah tanah yang liat
berlempung, berdrainase baikdan cukup unsur hara N, P, K, Cadan unsur mikro,
tanah yang terlalu subur dengan kandungan N-total (0.51-0,75 %) dan K-
tersedia(0,61-1,00 C mol, kg-1) yang tinggi kurang baik untuk kacang hijau
karena akan mengakibatkan pertumbuhan vegetatif yang berlebihan dan
pembentukan polong berkurang (Sumarno, 2003). Tingkat keasaman tanah yang
optimum untuk pertumbuhan kacang hijau antara pH 6,5 (Andrianto dan
Indrianto, 2004).
Kacang hijau dapat tumbuh pada semua jenis tanah sepanjang kelembaban
dan tersedianya unsur hara yang cukup. Itu lahan yang akan dipergunakan harus
dipersiapkan sebaik-baiknya. Lahan sawah setelah panen padi, tidak perlu
dilakukan pengolahan tanah. Menurut Sunantara (2000) penyediaan lahan berupa
dengan pemotongan jerami padi sesuai untuk budidaya kacang hijau setelah
tanaman padi. Sementara itu pada lahan sawah yang agak lama tidak ditanami
perlu dilakukan pengelohan tanah secara sempurna, untuk menghindari air
tergenang pada musim hujan serta perlu dibuat saluran drainase dengan lebar dan
kedalaman 20-30 cm dan jarak antara saluran maksimum 4 m (Atman, 2007).
Fase Pertumbuahan Tanaman Kacang Hijau
A. Fase Muncul Lapang (Emergence)
Benih kacang hijau yang ditanam pada kondisi yang sesuai untuk
perkecambahan akan segera berkecambah dan akan muncul ke atas permukaan
tanah (muncul lapang) setelah 5 sampai 7 hari. Seminggu setelah itu, akan segera
terbentuk sepasang daun trifoliate yang membuka sempurna dan dapat melakukan
fotosintesis.
Proses perkecambahan benih merupakan suatu rangkaian kompleks dari
perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia. Perkecambahan adalah permulaan
munculnya pertumbuhan aktif yang menghasilkan pecah nya kulit biji dan
munculnya semai. Perkecambahan meliputi: imbibisi dan absorpsi air, hidrasi
jaringan, absorsi oksigen, pengaktifan enzim dan pencernaan, transport molekul
yang terhidrolisis ke sumbu embrio, peningkatan respirasi dan asimilasi, inisiasi
pembelahan dan pembesaran sel, munculnya embrio.
Pola pertumbuhan kecambah kacang hijau yaitu tipe epigeal dimana
hipokotil memanjang dan menarik kotiledon ke atas permukaan tanah. Proses
perkecambahan kacang hijau dimulai dengan mengimbisi air melalui kulit benih
dan mikropil. Akar primer menembus kulit benih, memanjang dengan cepat
membentuk kecambah didalam tanah. Pada saat hipokotil memanjang. Hipokotil
terletak antara akar primer dan kulit benih biasa muncul dari tanah hipokotil lebih
lanjut. Plumula dan daun primer terlindung diantara kotiledon, setelah kotiledon
muncul dari tanah hipokotil menguat epikotil memanjang, kotiledon membuka
dan daun primer mengembang. Di atas tanah kotiledon menjadi hijau dan dapat
melakukan fotosintesis, setelah daun pertama mengembang, kotiledon akan lepas.
Faktor internal yang memoengaruhi perkecambahan adalah:
1. Tingkat kemasakan benih
Benih yang di panen sebelum tingkat kemasakan fisiologisnya tercapai,
tidak mempunyai viabilitas tinggi. Diduga pada tingkatan tersebut benih belum
memiliki cadangan makanan yang cukup dan juga pembentukan embrio yang
belum sempurna.
2. Ukuran benih
Di dalam jaringan penyimpanannya, benih memiliki karbohidrat, protein,
lemak dan mineral. Dimana bahan-bahan ini diperlukan sebagai bahan baku
dan energi bagi embrio pada saat perkecambahan. Diduga bahwa benih yang
berukuran besar dan berat mengandung cadangan makanan lebih banyak
dibandingkan dengan benih yang kecil, mungkin pula embrionya lebih besar.
3. Dormansi
Dormansi atau disebut juga masa istirahat biji, dimana biji tidak akan
berkecambah meskipun dalam keadaan yang menguntungkan untuk
perkecambahan (biji belum masak sempurna)
C. Fase Pembungaan
A. Tanah
Jenis tanah lempung berpasir, liat berpasir atau lempung liat berpasir
sangat cocok untuk tanaman kacang tanah. Kemasaman (pH) tanah yang cocok
untuk kacang tanah adalah 6,5−7,0. Tanaman masih cukup baik bila tumbuh pada
tanah agak masam (pH 5,0–5,5), tetapi peka terhadap tanah basa (pH>7). Pada pH
tanah 7,5−8,5 (bereaksi basa) daun akan menguning dan terjadi bercak hitam pada
polong. Di tanah basa, hasil polong akan berkurang karena ukuran polong dan
jumlah polong menurun. Pada jenis tanah Vertisol yang bertekstur berat
(kandungan lempung tinggi) tanaman kacang tanah dapat tumbuh baik, akan tetapi
pada saat panen banyak polong tertinggal dalam tanah sehingga mengurangi hasil
yang diperoleh.
Tanah yang baik sistem drainasenya menciptakan aerasi yang lebih baik,
sehingga tanaman akan lebih mudah menyerap air, hara nitrogen, CO 2 dan O2.
Drainase yang kurang baik akan berpengaruh buruk terhadap respirasi akar,
karena persediaan O2 dalam tanah rendah. Kondisi ini akan menghambat
pertumbuhan akar dan bakteri fiksasi nitrogen menjadi tidak aktif. Apabila tanah
mempunyai struktur remah, maka keberhasilan perkecambahan benih akan lebih
besar, ginofor lebih mudah melakukan penetrasi kemudian berkembang menjadi
polong, dan polong lebih mudah dicabut pada saat panen.
B. Iklim
C. Suhu Tanah
D. Suhu Udara
A. Fase Vegetatif
Fase vegetatif pada tanaman kacang tanah dimulai sejak perkecambahan
hingga awal pembungaan, yang berkisar antara 26 hingga 31 hari setelah tanam,
dan selebihnya adalah fase reproduktif. Fase vegetatif tersebut dibagi menjadi 3
stadia, yaitu perkecambahan, pembukaan kotiledon, dan perkembangan daun
bertangkai empat (tetrafoliate). Proses perkecambahan hingga munculnya
kotiledon ke permukaan tanah (stadia VE) berlangsung selama 4–6 hari, keesokan
harinya kotiledon tersebut telah terbuka (stadia VK) (Trustinah et al. 1987). Laju
pemunculan kotiledon ke permukaan tanah dipengaruhi oleh kedalaman
penanaman, suhu tanah, dan keadaan air tanah. Suhu optimum untuk
perkecambahan kacang tanah adalah 25–39 °C. Setelah pemunculan dan
terbukanya kotiledon, batang akan memanjang dan tunas pucuk akan berkembang
diikuti oleh perkembangan dua tunas (lateral). Daun kacang tanah muncul dari
buku pada batang utama ataupun cabang.
Pengamatan pertumbuhan vegetatif didasarkan pada perkembangan buku,
karena buku pada tanaman bersifat permanen, sehingga meskipun daunnya telah
gugur namun buku-buku tersebut dapat dilihat dengan adanya daun penumpu,
bekas tangkai daun atau adanya cabang yang terbentuk pada ketiak daun.
Perkembangan buku dihitung ketika daun bertangkai empat pada batang utama
telah berkembang penuh. Beberapa faktor yang mempengaruhi perkecambahan,
diantaranya cekaman kekeringan, kemasaman atau salinitas lahan.
B. Fase Reproduktif
Penandaan fase reproduktif didasarkan atas adanya bunga, buah, dan biji.
Boote (1982) membagi fase reproduktif kacang tanah menjadi 9 stadia, yang
diikuti oleh Trustinah (1987) dengan menggunakan varietas Gajah, Kidang, Rusa,
dan Galur AH-9. Sembilan stadia tersebut adalah: mulai berbunga (Rl),
pembentukan ginofor (R2), pembentukan polong (R3), polong penuh/maksimum
(R4), pembentukan biji (R5), biji penuh (R6), biji mulai masak (R7), masak panen
(R8), dan polong lewat masak (R9).
Jumlah bunga yang dihasilkan dipengaruhi oleh varietas, suhu udara, dan
kelembaban udara. Dari seluruh bunga yang dihasilkan tidak semuanya akan
menjadi polong tua, hanya sekitar 10–40% dari bunga yang dihasilkan yang akan
menjadi polong. Polong yang terbentuk terutama berasal dari polong yang
berkembang dari bunga yang muncul pada periode awal dan letaknya tidak terlalu
tinggi, sehingga memiliki periode pengisian polong yang lebih panjang dan
mempunyai daya saing yang lebih besar dibandingkan polong-polong berikutnya.
Kekurangan air pada periode pembungaan tidak menyebabkan tertundanya
awal pembungaan, namun laju produksi bunga akan menurun dan jumlah bunga
yang dihasilkan tidak dipengaruhi meningkatnya periode berbunga. Stadia
pembungaan lebih sensitif terhadap cekaman suhu tinggi dibandingkan stadia
sebelum berbunga. Pembungaan pada kacang tanah dimulai sekitar hari ke-27
sampai ke-32 yang ditandai dengan munculnya bunga pertama (stadia Rl).
Jumlah bunga yang dihasilkan setiap harinya akan meningkat sampai
maksimum dan menurun mendekati nol selama pengisian polong (Trustinah et al.
1987).
Ginofor (tangkai kepala putik) muncul pada hari ke-4 atau ke-5 setelah
bunga mekar, kemudian akan memanjang, menuju dan menembus tanah untuk
memulai pembentukan polong. Ginofor yang jaraknya cukup jauh dari permukaan
tanah (≥15 cm) umumnya tidak bisa mencapai tanah dan ujungnya akan
mengering dan mati. Pada stadia ini kelembaban tanah sangat diperlukan,
terutama untuk membantu ginofor masuk ke dalam tanah, yaitu pada hari ke-32
hingga hari ke-36 setelah tanam. Ginofor-ginofor tersebut aktif mengisap kalium
dan kalsium dari media sekitar polong, sehingga ketersediaan unsurunsur tersebut
pada stadia ini sangat diperlukan. Perpanjangan ginofor tergantung tekanan turgor,
dan tertunda karena cekaman kekeringan. Ginofor gagal untuk menembus tanah
yang kering, terutama pada lapisan tanah keras, sehingga ginofor tertahan selama
empat hari untuk penetrasi polong. Setelah ginofor berada di dalam tanah, perlu
kelembaban dan kegelapan yang memadai untuk pengembangan polong.
Kelembaban tanah merupakan faktor kritis untuk pengembangan ginofor
pada pembentukan polong, dan air tanah yang memadai di zona akar tidak dapat
mengkompensasi kekurangan air pada zona polong untuk 30 hari pertama
pengembangan polong. Pertumbuhan awal ginofor tertunda selama tercekam
kekeringan dan mulai kembali setelah bebas dari cekaman kekeringan. Tanggapan
pengembangan ginofor dan biji pada varietas kacang tanah secara substansial
beragam, dan menyebabkan penurunan besar hasil polong dengan persentase
bervariasi antarvarietas kacang tanah (Nageswara Rao et al. 1989; Jain et al.
2001). Dari seluruh bunga yang dihasilkan hanya 55% yang menjadi ginofor, dan
ginoforginofor yang dihasilkan setelah pembungaan maksimum sampai akhir
pembungaan tidak mempengaruhi hasil. Menurut Smith (1949) dalam Ketring et
al. (1982), lebih dari 93% bakal buah mengalami fertilisasi, tetapi sekitar 12%
dari embrio telah gugur selama dua minggu pertama, di mana ovul yang terletak
di bagian ujung polong sering mengalami kegagalan dalam perkembangannya.
A. Tanah
Jenis tanah lempung berpasir, liat berpasir atau lempung liat berpasir
sangat cocok untuk tanaman kacang tanah. Kemasaman (pH) tanah yang cocok
untuk kacang tanah adalah 6,5−7,0. Tanaman masih cukup baik bila tumbuh pada
tanah agak masam (pH 5,0–5,5), tetapi peka terhadap tanah basa (pH>7). Pada pH
tanah 7,5−8,5 (bereaksi basa) daun akan menguning dan terjadi bercak hitam pada
polong. Di tanah basa, hasil polong akan berkurang karena ukuran polong dan
jumlah polong menurun. Pada jenis tanah Vertisol yang bertekstur berat
(kandungan lempung tinggi) tanaman kacang tanah dapat tumbuh baik, akan tetapi
pada saat panen banyak polong tertinggal dalam tanah sehingga mengurangi hasil
yang diperoleh.
Tanah yang baik sistem drainasenya menciptakan aerasi yang lebih baik,
sehingga tanaman akan lebih mudah menyerap air, hara nitrogen, CO 2 dan O2.
Drainase yang kurang baik akan berpengaruh buruk terhadap respirasi akar,
karena persediaan O2 dalam tanah rendah. Kondisi ini akan menghambat
pertumbuhan akar dan bakteri fiksasi nitrogen menjadi tidak aktif. Apabila tanah
mempunyai struktur remah, maka keberhasilan perkecambahan benih akan lebih
besar, ginofor lebih mudah melakukan penetrasi kemudian berkembang menjadi
polong, dan polong lebih mudah dicabut pada saat panen.
B. Iklim
C. Suhu Tanah
D. Suhu Udara
E. Cahaya
Boote, K.J. 1982. Growth stages of peanut (Arachis hypogaea L.). Peanut Sci.
9:35–39.
Boote, K.J., J.R. Stansell, AM. Schubert, and J.F. Stone. 1982. Irrigation, water
uses, and water relations. pp. 164–205. In H.E. Pattee, and C.T. Young,
(Eds.). Peanut Sci., and Tech. APRES, Inc. Texas, USA.
Ketring, D.L., R.H. Brown, G.A. Sullivan, and B.B. Johnson. 1982. Growth
physiology. P.411– 457. In H.E. Pattee, and C.T. Young, (Eds.). Peanut
Sci. and Tech. APRES, Inc.Texas, USA.
Nageswara Rao, R.C., J.H. Williams, M.V.K. Sivakumar, and K.R.D. Wadia.
1989. Effect of water deficit at different growth phases of peanut II.
Response to drought during preflowering phase. Agronomy Journal,
Vol. 80, pp. 431–438.
Sanders, T.H., AM. Schubert, and H.E. Pattee. 1982. Maturity methodology and
postharvest physiology. pp. 624–654. In Pattee, H.E. and C.T. Young,
(Eds.). Peanut Sci. and Tech. APRES, Inc.Texas, USA.
Shorter, R., K.J. Middleton, S. Sadikin, M. Machmud, M.J. Bell and G.C. Wright.
1992. Identification of disease, agronomic and eco-physiological factors
limiting peanuts yields. p. 9–18. In Peanut Improvement: A case study
in Indonesia. Proc. of an ACIAR/ AARD/ODPI collaborative review
meeting held at Malang, East Java, Indonesia, 19–23 August 1991.
ACIAR Proc. No. 40.
Thomas, E.J., and J.S. Drexler. 1981. A non-destructive method for determining
peanut pod maturity. Peanut Sci. 8:134–141.