Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Rencana Perawatan Odontektomi Gigi Molar Ketiga Bawah Kanan Impaksi Sebagian Dengan Angulasi Vertikal Kelas II Level A

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 26

RENCANA PERAWATAN ODONTEKTOMI GIGI MOLAR KETIGA

BAWAH KANAN IMPAKSI SEBAGIAN DENGAN ANGULASI


VERTIKAL KELAS II LEVEL A

Operator :
Arimbi Gupitasari
141611101069

Instruktur :
drg. Budi Yuwono, M.Kes

BAGIAN BEDAH MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2019

1
Identitas Penderita
Nama : Alisa Aiman
Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Mahasiswi FISIP Universitas Jember
Alamat : Jl. Mastrip II No. 86 Ling. Panji, RT 002/ RW 001 Sumbersari,
Jember

I. Anamnesa
Pasien mengeluhkan gigi belakang kanan bawahnya tumbuh sebagian dan
kadang terasa sakit. Pasien merasakan sakit terutama saat makan makanan
keras dan terdapat makanan yang terselip pada gigi tersebut. Makanan yang
terselip dibersihkan dengan tangan dan dilanjutkan dengan berkumur. Hal
ini sudah dirasakan pasien sejak ± 1 tahun yang lalu. Rasa sakit tersebut
hilang timbul dan terakhir dirasakan 2 bulan yang lalu. Pasien tidak
membiarkan kondisi tersebut sampai sembuh sendiri. Gusi disekitar gigi
tersebut pernah bengkak saat gigi tersebut mulai tumbuh 1 tahun yang lalu.
Kondisi saat ini tidak sakit.
II. Kajian Rontgenologis
Gambar :

1. Klasifikasi
Relasi gigi terhadap ramus mandibula ke permukaan distal M2 bawah
Kelas II : ruang antara ramus mandibula bagian anterior dengan sisi distal
M2 lebih kecil dari lebar mesiodistal mahkota gigi M3.

2
2. Letak kedudukan gigi impaksi terhadap molar kedua
Posisi A : bagian yang paling tinggi dari gigi M3 terletak pada ketinggian
yang sama dengan garis oklusal M2.
3. Posisi sumbu panjang gigi impaksi terhadap sumbu panjang gigi molar
kedua adalah posisi vertikal.
4. Jumlah dan bentuk akar gigi impaksi
Jumlah akar gigi impaksi adalah 2, bentuk akar divergen dan sudah
erupsi sebagian.
5. Indeks kesulitan
Tingkat kesulitan berhubungan dengan perkiraan biaya, rencana
perawatan, durasi operasi, komplikasi, dan prognosis.
Keterangan Nilai
Posisi terhadap sumbu gigi (hubungan dengan rahang): 3
Vertikal
Kedalaman ruang: Level A 1
Relasi ramus terhadap distal M2: Kelas II 2
Tingkat kesulitan 6 (sedang)

III. Diagnosa
Impaksi sebagian pada gigi 48 dengan angulasi vertikal, kedalaman level A,
dan relasi terhadap ramus mandibula dengan gigi M2 kelas II.
IV. Metode Pengambilan Gigi Impaksi
Metode yang digunakan adalah pengambilan gigi impaksi yang didahului
dengan pengambilan jaringan penghambat (jaringan lunak: gingiva dan
jaringan keras: tulang alveolar) di sekitar gigi tersebut secukupnya,
kemudian gigi dikeluarkan secara utuh.
V. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan:
a. Alat dasar: kaca mulut, sonde, pinset kedokteran gigi, eskavator
b. Alat untuk anastesi: disposible syringe 2,5 ml

3
c. Alat untuk membuka flap: handle dan blade scalpel, pinset
chirurgis, rasparatorium
d. Alat untuk membuang jaringan penghambat: high speed, longshank
bur, bur tulang, chisel, hammer
e. Alat pengungkit: bein bengkok, bein lurus (besar dan kecil), cryer
f. Alat pencabutan: tang mahkota gigi molar rahang bawah, tang sisa
akar rahang bawah, tang trismus
g. Alat penjahitan: needle holder, needle cutting edge, gunting, pinset
chirurgis
h. Alat lain: nierbeken, cheek retractor, knable tang, water syringe,
tempat alkohol, tempat tampon, kain penutup wajah, lap dada,
bone file, alat kuret, duck clamp, petridish, saliva ejector, cotton
roll, deppen glass, dan artey clamp.

Bahan yang digunakan:


Betadine antiseptik, pehacain, adrenalin, vaselin, alkohol 70%, larutan
PZ, aquadest steril, benang non absorbable, cotton pellet, dan tampon.

VI. Tahap Pelaksanaan


1. Persiapan penderita meliputi:
a. Persiapan fisik (istrirahat dan makan yang cukup), persiapan psikis
(cemas) dan mental (memotivasi pasien)
b. Informed consent, persetujuan pasien terhadap tindakan operasi
setelah diberi penjelasan tentang kemungkinan terjadinya
komplikasi setelah operasi, yaitu:
 Terjadinya keterbatasan membuka mulut (trismus) sementara
oleh karena kelelahan otot pembuka-penutup mulut
 Terjadinya bengkak ekstraoral sementara
 Terjadinya parastesi
 Terjadinya fraktur mandibula

4
c. Pemeriksaan tanda-tanda vital pre-operasi meliputi pemeriksaan
tekanan darah, nadi, respirasi dan pengukuran lebar buka mulut
pre-operasi
2. Persiapan alat dan bahan
3. Persiapan operator dan asisten operasi
a. Persiapan Operator
 Memahami teknik pelaksaan odontektomi
 Menjalankan operasi sesuai prosedur tetap
 Mempersiapkan fisik dan mental
b. Asisten Operasi 1
 Mempersiapkan informed consent
 Mempersiapkan kondisi fisik pasien: memeriksa vital sign dan
lebar buka mulut pasien
 Mengantarkan pasien ke ruang operasi
 Membantu operator saat operasi berlangsung
 Memegang suction dan cheek retractor
c. Asisten Operasi 2
 Mempersiapkan alat-alat operasi
 Membantu mengambilkan alat pada saat operasi berlangsung
 Membereskan dan mencuci alat operasi
d. Asisten Operasi 3
 Membantu operator, ass.op 1, dan ass.op 2 apabila diperlukan
 Mendudukkan pasien ke ruang operasi dan membuat pasien
relaks
 Menghidupkan lampu dan memasang foto rontgen
 Melaporkan semua tahapan dan kegiatan operasi kepada
instruktur
 Mencatat tindakan apa saja yang akan dilakukan saat operasi
dan waktu tahapan-tahapan operasi
 Membantu fiksasi pasien

5
 Membawa pasien keluar ruang operasi sampai ke dental chair
 Menuliskan resep
4. Asepsis daerah kerja dengan betadine antiseptik
- Intraoral: berkumur dengan larutan betadine
- Ekstraoral: mengulasi dengan betadine pada daerah bibir dari bagian
tengah dengan gerakan memutar ke arah luar (sudut mulut) searah
jarum jam.
5. Anastesi lokal dengan pehacain
- Blok N. Alveolaris Inferior 1 cc
- Blok N. Lingualis 0,5 cc
- Infiltrasi N. Bukalis Longus 0,5 cc
6. Mengulasi bibir dan sudut mulut dengan vaselin (membuat daerah
operasi licin agar tidak melukai bibir) kemudian menutup penderita
dengan kain penutup steril dan dijepit dengan duck clamp.
7. Pembuatan flap
a. Tipe : Mukoperiosteal flap
b. Bentuk : Triangular flap
c. Syarat insisi :
 Pada jaringan sehat
 Berlandaskan tulang supaya gerakan insisi terkontrol dan saat
penjahitan flap tidak mudah putus
 Gerakan satu arah hingga menggores tulang
 Basis flap harus lebar untuk suplai vaskularisasi
 Aksesibilitas (lapang pandang yang lebar)
d. Cara :
Insisi vertikal dimulai dari 0,5 cm bagian distal dari gigi impaksi
hingga menyentuh tulang pada fossa retromolar pad kemudian
insisi horizontal menyusuri tepi gingival sebelah bukal gigi
impaksi dan berhenti pada sepertiga mesiodistal gigi molar kedua,
kemudian membentuk diagonal 45º distomesial dan insisi berakhir
pada batas mukosa bergerak dan tidak bergerak, kemudian

6
dipisahkan dengan rasparatorium hingga tulang alveolar tampak.
Insisi dilakukan tanpa mengenai pembuluh darah dan saraf yang
vital.
Gambar:

8. Menghilangkan jaringan penghambat dilakukan dengan memotong


tulang alveolar menggunakan bur tulang dari sisi bukal ke distal gigi
molar ketiga impaksi hingga kelengkungan terbesar gigi terbebaskan
sehingga terdapat ruang antara gigi dan fulcrum yang dapat dimasuki
ujung elevator. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan jaringan
penghambat, memberikan lapang pandang, dan sebagai tempat tumpuan
hingga gigi mudah diungkit.
Gambar:

9. Apabila seluruh mahkota terbuka, maka gigi impaksi diungkit secara


utuh dengan elevator pada bagian bukal, mesial hingga gigi tersebut
goyang yang menandakan bahwa soket sudah longgar.
Gambar:

7
10. Menghaluskan tulang-tulang yang tajam dengan bone file
11. Melakukan debridement dengan:
a. Membersihkan serpihan tulang atau gigi dari soket melalui kuretase
dengan alat kuret
b. Irigasi dengan aquadest steril dan larutan PZ untuk menghilangkan
serbuk gigi dan tulang sisa pengeburan
12. Kontrol perdarahan
a. Saat operasi:
- Perdarahan normal, druk dengan tampon
- Perdarahan abnormal, druk dengan tampon adrenalin
b. Post operasi:
- Perdarahan normal, druk dengan tampon, langsung dilakukan
penjahitan
- Perdarahan abnormal, druk dengan tampon adrenalin dan
pemberian vitamin K dan bila terjadi perdarahan cukup besar,
dilakukan kauterisasi pembuluh darah
13. Menutup luka operasi
Melakukan penjahitan 3 simpul yaitu 2 simpul di daerah oklusal gigi
impaksi dan 1 simpul di daerah bukal.
Gambar:

14. Instruksi post-odontektomi


a. Penderita dianjurkan menggigit tampon selama 30-60 menit
b. Penderita diberi tahu kadang-kadang setelah tampon dilepas darah
masih merembes, maka sebaiknya dikompres
c. Daerah luka tidak boleh dimainkan dengan lidah dan dihisap-hisap
d. Tidak boleh kumur keras-keras setelah operasi

8
e. Selama 24 jam setelah operasi tidak boleh makan dan minum yang
panas
f. Jika ada pembengkakan setelah 24 jam disarankan kumur-kumur
air garam hangat
g. Disarankan banyak istirahat
h. Disarankan untuk meningkatkan kebersihan mulut
i. Disarankan untuk minum obat secara teratur sesuai resep yang
diberikan
j. Instruksi pasien untuk melakukan kontrol

15. Pemberian resep


R/ Amoxicilin tab. 500 mg No. XII
ʃ 3 dd I
R/ Asam Mefenamat tab. 500 mg No. XII
ʃ 3 dd I

16. Kontrol
a. 24 jam post odontektomi bertujuan untuk kontrol perdarahan,
keradangan, kebersihan daerah operasi dan kontrol jahitan
b. 3 hari post odontektomi bertujuan untuk mengetahui proses radang
reda atau belum, kontrol kebersihan daerah operasi
c. 7 hari post odontektomi bertujuan untuk mengetahui penyembuhan
dan membuka jahitan.

VII. Komplikasi
A. Komplikasi Ante-Operatif
Pingsan/ Sinkop (takut berlebihan)
Sinkop adalah suatu keadaan menurunnya kesadaran akibat
ketidakseimbangan dalam sirkulasi/distribusi darah ke perifer. Adanya
kekurangan darah di dalam otak dalam waktu tertentu disebabkan oleh
peningkatan aliran darah ke dalam pembuluh darah yang lebih besar

9
sehingga otak akan berefek lebih dahulu alibat kekurangan volume
darah dalam sirkulasi. Gejala-gejala sinkop adalah pusing, lemah, mual,
diiringi kulit menjadi pucat, rasa dingin dan berkeringat kemudian
dilanjutkan kehilangan kesadaran. Sedangkan faktor kontributor
terjadinya sinkop adalah rasa takut, mual, dehidrasi, nyeri, dental office
smell, melihat instrumen/darah, keadaaan pasien tegang, keadaan hamil,
atau menjelang menstruasi. Pertolongan pertama harus dilakukan
dengan secepatnya dan sedetikpun pasien tidak boleh lepas dari
pengawasan/kehilangan komunikasi verbal. Kepala pasien direndahkan
dengan merubah posisi sandaran kursi. Posisikan pasien dengan posisi
trendelenberg atau baringkan pasien di lantai. Hal ini penting untuk
hiperekstensi kepala dan menaikkan ekstremitas bawah. Pakaian pasien
dilonggarkan, kepala dimiringkan, perhatikan jalan nafas. Jika pasien
sudah sadar baru diberikan cairan yang mengandung glukosa. Biasanya
kesembuhan pasien spontan dan terkadang pencabutan gigi dapat
dilanjutkan. Jika kesadaran tidak kembali, maka pertolongan pertama
harus segera diberikan karena penyebab pingsan mungkin bukan
berasal dari rasa takut berlebihan dan harus segera diberikan oksigen
serta pertolongan medis lain harus segera dipanggil. Bila pernafasan
terhenti dengan tanda-tanda otot skelet menjadi lemah, pupil dilatasi
(melebar) maka pasien harus segera dibaringkan di lantai dan jalan
nafas harus segera dilapangkan dengan mengeluarkan semua peralatan
atau benda asing dan kemudian dilakukan resusuitasi.
B. Komplikasi Durante-Operatif
Komplikasi ketika menggunakan anastesi lokal
1. Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik adalah suatu reaksi yang berasal dari efek
vasodilator dari histamin yang mengurangi volume heart stroke dan
tekanan darah akibat aliran balik vena ke jantung berkurang yang
dapat menyebabkan kematian dalam beberapa menit.

10
Syok anafilaktik disebabkan oleh reintroduction protein asing ke
dalam tubuh pasien yang tersensitisasi melalui kontak sebelumnya.
Obat-obatan yang sering menyebabkan reaksi ini terutama penisilin
atau derivat PABA, sefalosporin, sulfonamid, vankomisin, NSAID,
bahan kontras radiologi, immunoglobulin, vaksin, procaine,
tetracaine, bahkan berbagai makanan, dan gigitan serangga.
Gejala yang ditimbulkan akibat pelepasan sejumlah besar histamine
like substance akan menyebabkan keluhan-keluhan pasien seperti
dispnea, dizziness, headache, itching atau urtikaria, rasa panas dalam
mulut/lidah, nadi lemah.
Bila terlihat gelaja-gejala awal syok anafilaktik, maka harus
bertindak segera. Adapun langkah-langkah penanganan yang harus
dilakukan sebagai berikut:
a. Segera hentikan pemberian anastesi (obat-obatan lain)
b. Baringkan pasien di lantai dengan kepala miring pada salah satu
sisi (untuk menghindari muntah)
c. Angkat kepala dan leher pasien, kemudian ektensikan
dagu/kepala dan jaga aliran udara agar bebas dari obstruksi
d. Beri oksigen
e. Jika arteri karotis tidak teraba, maka segera lakukan resusitasi
jantung dan paru
f. Segera cari bantuan/telepon ambulans dan dokter spesialis THT
(jika diperlukan suatu intubasi/tracheostomy)
g. Berikan obat-obatan sesuai urutan:
- Adrenalin 1:1000 sebanyak 0,5 ml secara subkutan (ulangi
setiap 10 menit) sampai gejala menghilang dengan adrenalin
sebanyak 0,5 mg. Tujuannya untuk menghilangkan
brankospasme dan menstabilkan tekanan darah.
- Chlor-Trimenton (vial 10 mg), histamin, benadryl (50 mg
IV/IM) yang tujuannya untuk mengeblok reseptor histamin

11
- Solu cortef (hydrocortisone) 1 vial 100 mg x 2 atau lebih secara
intra vena atau 50 mg methylprednidson dan suntikkan secara
perlahan
- Aminophylline 1 atau 2 vial 10 ml secara intra vena (jika
bronkial spasme masih ada)
- Bawa pasien sesegera mungkin ke rumah sakit

Komplikasi saat dilakukan flap dan pengeburan tulang


1. Perdarahan
Komplikasi pada saat pembedahan odontektomi dapat terjadi
perdarahan yang berlebihan. Faktor yang mempengaruhi
diantaranya sebagai berikut.
- Faktor umum
Adanya kelainan sistemik yaitu beberapa kelainan darah
karena kongenital seperti hemofilia, leukimia, dsb; adanya
kelainan yang didapat seperti karena obat-obatan, sinar X misal
pada pasien dengan terapi anti koagulan; adanya idiopathic
thrombocytopenic purpura (ITP).
Penyakit-penyakit tersebut pada umumnya dapat diketahui
dengan anamnesa yang teliti, pemeriksaan klinis maupun
laboratoris. Bila dokter gigi menemukan kelainan darah tersebut
segera dikonsultasikan ke hematolog sehingga tindakan bedah
yang diperlukan dapat dikerjakan di rumah sakit dengan fasilitas
lengkap dan bekerja sama dengan para ahli seperti
internist/pediatric, hematolog, dan ahli bedah mulut.
- Faktor lokal
Dapat berasal dari jaringan lunak (gingiva) maupun dari
jaringan tulang (pembuluh darah dari tulang alveolus dan yang
tersering pada odontektomi yaitu dari kanalis mandibularis).
Perawatan perdarahan dapat bermacam-macam yaitu dengan

12
tekanan, tekanan hemostatik, ligasi arteri, elektro cauter, bone
wax (khusus pada perdarahan tulang).
Bila perdarahan terjadi pada saat dilakukan pembedahan
maka harus dilakukan pemeriksaan dengan teliti mengenai
sumber perdarahan. Suction dan penerangan yang baik
merupakan syarat utama. Bila lokasi perdarahan sudah
ditemukan, lakukan anastesi lokal supaya perawatan tidka
menyakitkan. Bagian darah dibersihkan dan daerah tersebut
dikeringkan. Bila berasal dari soket gigi atau dinding tulang
dilakukan penekanan dengan tampon adrenalin dan apabila tidak
berhenti dapat dijahit. Bila gagal juga, masukkan oxidized
cellulose gauze ke dalam soket dibawah jahitan dan pasien
mengigit tampon selama 10 menit. Bila berasal dari tepi gusi
yang sobek dapat dilakukan penjahitan.
Perdarahan yang terjadi pada tindakan odontektomi molar
ketiga bawah umumnya berasal dari arteri lingualis dan arteri
alveolaris inferior. Pada perdarahan akibat rupturnya arteri
alveolaris inferior dapat diatasi dengan penekanan bone wax,
pemakaian hemostatik lokal seperti absorbable gelatin sponge
gauze, oxidized cellulose yang berfungsi menghentikan
perdarahan dengan cara pembentukan bekuan dan matriks
mekanik untuk mempercepat pembentukan bekuan darah pada
daerah soket tersebut. Dapat juga dilakukan penjepitan arteri
dengan hemostat atau dengan penjahitan mukosa disekitar
pembuluh darah tersebut bila diperlukan. Pengikatan dilakukan
dengan hati-hati dan tidak teralu kencang karena dapat
menyebabkan hilangnya suplai darah di daerah tersebut dan
menyebabkan nekrosis.
Langkah terakhir dari kontrol perdarahan adalah dengan
melakukan druk tampon kasa. Mulut pasien dibersihkan dengan
hati-hati dari sisa-sisa darah dan ludah di daerah tersebut. Kasa

13
diletakan dengan hati-hati did aerah operasi. Setelah perdarahan
diatasi, pasien diinstruksikan untuk tidak berkumur dengan
keras dan makan-makanan yang bertekstur lembut.
Perdarahan juga dapat terjadi post bedah, kadang terjadi 24
jam setelah tindakan bedah. Hal ini disebabkan dari jaringan
granulasi atau dari adanya pecahan tulang alveolar atau lepasnya
bekuan darah akibat berkumur-kumur dan menguyah. Adanya
oedema pada jaringan juga dapat memutuskan pembuluh darah
kecil di daerah operasi.
Bila pasien mengabarkan lewat telepon, pasien disarankan
mengigit tampon sebelum ke dokter gigi. Setelah itu daerah
perdarahan dicari, dapat digunakan pemberian anastetikum
untuk mengontrol perdarahan sebelum sumber perdarahan
dtemukan. Setelah ditemukan sumber perdarahan segera
dilakukan tindakan. Bila perdarahan berasal dari tulang,
dilakukan penghalusan tulang dan dibersihkan dari sisa-sisa
fragmen tulang dan ditambah dengan penjahitan. Jika berasal
dari sisa jaringan granulasi, maka harus dibersihkan. Jika tidak
efektif, bahan hemostatik seperti spongostan dapat diletakkan ke
dalam soket dan diatasnya diberi tampon kassa. Setelah
beberapa menit, tampon diambil dan dilakukan penjahitan
kembali.
2. Trauma pada N. Alveolaris Mandibula
Tertekannya/terputusnya nervus mandibula dapat terjadi pada saat
pengeburan. Tertekannya canalis mandibularis terjadi karena
perubahan tempat dinding canalis karena trauma operasi, perlu
segera dideteksi dan dilakukan dekompresi pada jaringan saraf
tersebut untuk menghindari nekrosis pada cabang distal tempat
tekanan.
Anastesi atau bahkan parastesi dapat terjadi pada daerah yang
diinervasi oleh saraf tersebut. Regenerasi saraf nervus mandibularis

14
cukup baik asal canalis terbebas dari obstruksi. Pada kasus yang
mempunyai prognosa baik, fungsi saraf akan kembali dalam 6
minggu-6 bulan.
Gejala kembalinya fungsi saraf ditandai dengan adanya parastesi
dan secara berangsur-angsur gejala anastesi akan hilang dan
kadang-kadang diikuti dengan gejala hipersensitif untuk beberapa
waktu. Bila nervus mandibula diketahui setelah beberapa waktu
maka kemungkinan kembalinya fungsi saraf adalah kecil sehingga
akan terus terjadi anastesi secara persisten. Untuk menghindari
komplikasi tersebut diperlukan pentingnya pemeriksaan
rontgenologis sebelum odontektomi, perencanaan operasi yang
matang dan pelaksanaan operasi yang sesuai dengan rencana operasi
yang telah dibuat.
3. Cedera jaringan lunak
Cedera jaringan lunak yang paling umum adalah lecet (luka
sobek). Lecet sering diakibatkan oleh retraksi berlebihan dari flap
yang kurang besar. Sobeknya mukosa sering terjadi pada tempat
yang tidak diharapkan yaitu pada penyambung tepi-tepi flap.
Komplikasi ini bisa dihindari dengan membuat flap yang lebih besar
dan melakukan retraksi yang ringan. Lecet juga dapat diakibatkan
dari penggunaan elevator, skalpel, dan instrumen tajam lain yang
kurang hati-hati. Luka akibat tertekannya handpiece atau instrumen
lain pada bibir yang dalam keadaan teranastesi. Luka pada bibir
dapat dihinari dengan melakukan kerjasama yang baik dengan
asisten pada waktu operasi. Luka bibir bisa diatasi dengan aplikasi
salep antibiotik atau steroid contohnya bethamethasone (valisone).
4. Cedera saraf
Saraf yang sering cedera selama pencabutan dan pembedahan gigi
adalah divisi ketiga N. Trigeminus. N. Alveolaris Inferior sangat
dekat dengan regio apikal gigi molar ketiga dan kadang-kadang
molar kedua. Meskipun putusnya saraf relatif jarang terjadi, namun

15
tekanan mungkin terjadi selama pengeluaran gigi molar ketiga yang
erupsi atau impaksi, ujung akar dan fragmen akar atau keduanya. N.
Lingualis paling sering cedera selama pencabutan molar ketiga
bawah yang impaksi. Hal ini terjadi karena penyingkapan flap
lingual, fraktur dataran lingual, atau penembusan bur melalui
konteks lingual pada waktu memecah gigi. N. Lingualis menempel
pada aspek medial mandibula pada regio molar. Pada beberapa
kasus letaknya sangat tinggi, tepat di inferior batas mukosa cekat.
N. Mentalis berhubungan erat dengan apeks gigi premolar sehingga
mudah diidentifikasi. Saraf mengeluarkan cabang anterior ke bibir
bawah yang relatif superfisial dan mudah terkena cedera. Cabang n.
Mentalis mudah terpotong saat pembuatan flap atau mengalami
cedera regangan akibat retraksi. Pada rahang tak bergigi, kondisi
atropik yang merupakan akibat sekunder dari dehisense tulang, N.
Alveolaris Inferior, N. Lingualis, dan N. Mentalis mungkin terletak
superfisial, menempel pada basis mandibula.
Cedera saraf yang terlamabat ditemukan-Pada cedera saraf
sensoris hanya kadang-kadang bisa diketahui pada waktu tindakan
operasi. Pasien sering merasakan kelaianan tanpa suatu tanda
sebelumnya. Rujukan segera sangat diperlukan, karena diperlukan
perawatan sedini mungkin. Apabila kontinuitas saraf tetap terjaga,
sensai biasanya kembali sesudah 2-6 bulan. Apabila melebihi
jangka waktu tersebut kesempatan untuk kembali seperti semula
sangat kecil. Cedera saraf dirawat dengan dekompresi, eksisi, dan
anastomosis ulang/cangkok. Cedera saraf ini merupakan kejadian
yang sering dipermasalahkan oleh pasien.
Klasifikasi cedera saraf
Neuropraksis: berkurangnya fungsi serabut-serabut saraf perifer
dalam waktu singkat akibat tekanan, obat, atau rangsang dingin dan
menyebabkan paralisis sementara serabut saraf motorik atau
sensorik.

16
Aksonotmesis: kerusakan cukup berat atau cedera regangan yang
menyebabkan terputusnya kontinuitas akson tetapi jaringan ikat
pendukungnya tetap utuh.
Neurotmesis: suatu cedera yang parah yaitu putusnya batang saraf.
Saraf-saraf yang riskan terhadap bedah dentoalveolar
N. Lingualis: Kemungkinan rusaknya saraf ini paling tinggi pada
pencabutan gigi molar ketiga bawah yang impaksi, baik pada waktu
pembuatan flap maupun waktu pemotongan gigi. Harus dihindari
semua pemotongan lingual pada daerah molar ketiga. Pada waktu
pemotongan gigi diusahakan untuk tidak melubangi tulang lingual.
Pada pasien yang tak bergigi dengan atropi mandibula yang hebat,
harus diperhatikan pada waktu melakukan insisi dan pemotongan
pada daerah lingir posterior.
N. Alveolaris Inferior: kemungkinan cedera saraf ini paling besar
pada pencabutan molar ketiga bawah yang impaksi atau ujung akar
gigi molar. Pada mandibula yang tak bergigi atau atropi, saraf ini
mungkin terdesak ke arah posterior.
N. Mentalis: paling sering cedera pada pembuatan flap bukal di
regio premolar bawah.
Penatalaksanaan
Rujuk setelah dideteksi adanya cedera. Perawatan harus segera
dilakukan bila ada bukti bahwa saraf teropotong. Apabila sifat dan
perluasan cedera tidak bisa ditemukan, maka sebaiknya perawatan
ditunda 3-6 bulan. Perawatan yang terdiri dari dekompresi,
anastomosis, atau graft biasanya memberikan hasil yang baik.

Komplikasi saat menggunakan tang/elevator


1. Fraktur prosesus alveolaris sebelah lingual
Pemakaian elevator dengan kekuatan yang tidak diperhitungkan
(terlalu besar) pada gigi impaksi M3 rahang bawah yang linguoversi
dapat menyebabkan lingual alveolar plate patah dan melekat pada

17
gigi impaksi tersebut sehingga sukar dilepaskan dan terpaksa ikut
dikeluarkan bersamaan dengan gigi impaksi tersebut. Rahang pada
mukosa sebelah lingual dan disphagia akan mengikuti komplikasi
ini.
2. Fraktur akar
Patahnya gigi biasanya pada daerah apikal gigi yang harus
dikeluarkan. Tetapi bila akar gigi tersebut dekat sekali dengan
kanalis mandibularis atau dengan sinus maksilaris (impaksi M3
rahang atas), maka resiko cederanya nervus mandibularis. Pada
pengambilan gigi impaksi M3 rahang bawah yang bukoversi dan
apikal gigi tersebut dekat sekali dengan lingual alveolar plate
kemungkinan pengambilan fragmen akar gigi akan menembus
lingual alveolar plate yang tipis dan fragmen akan masuk ke
submandibular space.
3. Fraktur mandibula
Managemen dari teknik yang sering digunakan adalah mengikat
gigi-gigi dengan arch bar dan elastic band untuk fiksasi intermaxilla
untuk fraktur yang stabil. Dapat juga digunakan dengan kombinasi
dengan reduksi terbuka dan intraosseus wire atau plate yang rigid
pada fraktur yang tidak stabil/unfavorable.
Contoh pelaksanaan fraktur pada angulus mandibula post
odontektomi gigi 48 dengan melakukan operasi reposisi fiksasi
fragmen fraktur dalam general anastesi dengan plate, screw dan arch
bar.
Tahapan pekerjaan:
a. Pasien telentang diatas meja operasi dalam nasal intubasi dan
general anastesi. Antiseptis daerah operasi sekitarnya, kemudian
dilakukan anastesi pada regio mukosa bukal dan distal M3 s/d
P1, dilakukan insisi dari distal M3 terus sampai 3 mm dibawah
servikal gigi 47 s/d distal gigi 45, 1 mm ke arah mukonukal fold.

18
b. Flap dibuka dengan rasparatorium sehingga terlihat jaringan
fibrous yang menutupi garis fraktur di sekitar angulus
mandibula, jaringan fibrous dikuret sampai bersih, irigasi
dengan H2O2, NaOCl dan betadine, dilakukan penghalusan
tulang dengan bur tulang (frezer), perdarahan dirawat, luka
dibersihkan, flap dikembalikan dengan silk 3.0, kemudian
dipasang IMF sementara untuk penyesuaian oklusi.
c. Ekstra oral dibuat marker 1 cm dibawah anterior border angulus
mandibula 4 cm, kemudian dilakukan infiltrasi anastesi
subkutan, diberikan marker vertikal dengan bagian tumpul
pisau, dilakukan insisi selapis demi selapis, kutis, subkutis s/d
menembus platysma, tampak vena fasialis diligasi, insisi s/d
periosteum, garis fraktur diidentifikasi, jaringan fibrous dikuret,
pencucian NaCl+betadine, garis fraktur direposisi dengan bone
clamp, dipasang mini plate monokortikal 6 hole dan screw 4
buah pada daerah fraktur, luka operasi dirawat dan dijahit
selapis demi selapis, operasi selesai.
d. Medikasi post operasi Clavamox 1 gr 2x1, Toradol ampl,
keesokan harinya Solumedrol inj, diet cair per NGT 1x24 jam.
Kontrol 1 hari post operasi fixatur rigid, oklusi tercapai, edema
(+), perdarahan (-), nyeri (+). Kontrol 7 hari post operasi fixatur
rigid, oklusi tercapai, edema minimal, perdarahan (-), nyeri (-),.
IMF dari wire dibuka dengan rubber untuk IMF nya, dan
instruksi menjaga oral hygiene.
4. Trauma pada gigi terdekat
Trauma pada gigi terdekat dapat terjadi karena pemakaian bein
yang tidak benar sehingga titik fulkrum dari bein terletak pada gigi
M2 atau terjadi hambatan (retensi) pada jalan keluar M3 oleh gigi
M2 yang tidak dihilangkan lebih dahulu dengan akibat M2 akan
goyang dengan beberapa kasus M2 dengan akar fusi dapat terjadi
avulsi (keluarnya gigi dari soket alveolar). Bila goyangnya gigi

19
tersebut sedikit, maka kemungkinan gigi tersebut akan lekat
kembali tetapi jika sudah avulsi maka ada kemungkinan nekrosis
pulpa, terputusnya pembuluh darah dari foramen apikal dan
kemungkinan gigi M2 tersebut tidak bisa dilakukan.
5. Perubahan tempat fragmen gigi (displacement) ke dalam
submandibular space
Fragmen akar gigi atau bahkan gigi M3 bawah dapat terdorong
masuk ke dalam submandibular space bila alveolar lingual plate
tipis dan pemakaian bein tidak diperhitungkan. Pengeluran
gigi/fragmen gigi di dalam submandibular space tidak mudah. Oleh
karena itu sebaiknya dicegah jangan sampai hal ini terjadi.
6. Patahnya instrumen
Patahnya instrumen biasanya ujung bein yang tipis dan runcing
akan tertinggal pada pemakain bein yang tidak hati-hati dan kadang
mata bur bedah dapat pula patah sehingga harus diambil.
7. Fraktur tuber maksila
Patahnya tuber maksila dapat terjadi bila pemakaian bein
dengan kekuatan besar untuk mengungkit impaksi molar ketiga
rahang atas dan adanya hambatan pada cusp gigi M3 atas. Fragmen
tuber sukar dilepaskan dari gigi yang bersangkutan dan bila dapat
dilepaskan maka dilakukan reposisi dan fiksasi tuber tersebut
dengan menjahit mukosa diatasnya dan prognosa keadaan tersebut
biasanya baik. Dapat terjadi pula perdarahan yang hebat karena
trauma pada arteri palatina dan terlibatnya sinus maksilaris
menyertai fraktur tuber maksila. Pada keadaan tersebut reposisi
fragmen dan fiksasi tuber maksila dapat menyebabkan komplikasi
yang terjadi (sinusitis) dengan syarat tidak ada hubungan dengan
cavum oris. Perdarahan yang terjadi diatasi dengan menjahit
mukosa yang menutupi tuber maksila, reposisi, ligasi arteri, dan
apabila diperlukan menggunakan elektro kauter.

20
8. Displacement fragmen gigi kedalam sinus maksilaris
Terdorongnya gigi/fragmen akar kedalam sinus maksilaris dapat
terjadi karena operator tidak mempunyai foto rontgen pra-bedah
sedangkan apikal gigi terletak dekat sekali dengan dasar sinus
maksilaris dan pemakaian bein tidak hati-hati sehingga dengan
mudahnya gigi/fragmen akar gigi masuk ke dalam rongga sinus
maksilaris. Kadang-kadang gigi/fragmen akar gigi tidak menembus
dinding mukosa sinus, hanya pada tulang sinus sehingga terjadi
sinusitis dan kadang pengambilan fragmen akar gigi dapat melalui
alveolar soket gigi yang bersangkutan. Sedangkan fragmen gigi
yang telah menembus mukosa sinus akan menyebabkan sinusitis.
9. Aspirasi gigi kedalam pharing/jalan nafas
Masuknya gigi pada jalan nafas dapat terjadi bila gigi secara
tiba-tiba terlepas dan terdorong ke arah pharing/jalan nafas. Hal ini
dapat terjadi pada waktu pemakaian elevator, jangan sampai gigi
M3 terdorong ke jalan nafas. Gigi yang terlepas dan masuk jalan
nafas secepatnya dikonsultasikan ke ahli THT atau spesialis paru
untuk secepatnya dikeluarkan dengan bantuan alat bronkoskopi.
C. Komplikasi Post-Operatif
1. Edema
Edema merupakan kelanjuta normal dari setiap pencabutan dan
pembedahan gigi, serta merupakan reaksi normal dari jaringan
yang cedera. Edema adalah reaksi individual, yaitu trauma yang
besarnya sama tidak selalu mengakibatkan derajat pembengkakan
yang sama, baik pada pasien yang sama atau berbeda.
Usaha-usaha untuk mengontrol edema mencakup termal
(dingin), fisik (penekanan), dan obat-obatan. Aplikasi dingin
selama 24 jam pertama sesudah pembedahan biasanya bermanfaat.
Penekanan dilakukan dengan sebungkus es pada regio fasial
maupun servikal. Keefektifan obat untuk mengontrol edema sulit
ditentukan, yang seringkali ditentukan berdasarkan penilaianklinis

21
yang subjektif. Obat yang paling sering digunakan adalah jenis
steroid yang diberikan secara parenteral, oral, atau topikal sebagai
pembalut alveolar. Walaupun pembengkakan pada pasien
mengganggu estetik tetapi hanya sementara, biasanya pada
kebanyakan pasien 7-20 hari.
2. Infeksi
Terapi antibiotik yang sesuai kadar (kadar penicilin terapeutik
dalam arah diacapi 1 jam sesudah pemberian per oral) dan apabila
diindikasikan, insisi dan drainase digunakan untuk mengontrol
keadaan akut. Pencabutan gigi tertentu yang mengalami sepsis
lokal baik yang sudah dirawat maupun belum, misalnya seperti
deposit kalkulus yang banyak dan gingivitis akut atau kronis
sebaiknya dihindari.
Infeksi pasca bedah, abses, atau selulitis bisa terjadi pada awal
atau bersamaan dengan edema. Diagnosa banding ditentukan
dengan adanya fakta bahwa infeksi biasanya diikuti oleh
peningkatan rasa sakit, lemas, dan demam. Perkembangan fluktuan
merupakan tanda yang jelas dari adanya nanah dan sering
memerlukan aspirasi jarum untuk memastikannya diikuti insisi dan
drainase. Studi laboratorium juga sangat membantu dalam
menentukan diagnosis, dimana leukositosis (jumlah sel darah putih
yang melebihi 10.000) dan meningkatnya laju sedimentasi eritrosit
(ESR) biasanya menunjukkan adanya infeksi. Apabila terdapat
tanda-tanda tersebut, maka perlu dilakukan tindakan untuk merawat
infeksi, yaitu terapi antibiotik serta tindakan pembedahan dan
terapi pendukung.
3. Alveolitis
Komplikasi yang paling sering terjadi dan paling sakit sesudah
pencabutan gigi adalah alveolitis dan dry socket. Biasanya dimulai
pada hari ketiga sampai ke lima sesudah operasi. Keluhan
utamanya adalah rasa sakit yang sangat hebat. Pada pemeriksaan

22
terlihat alveolus terbuka, terselimuti kotoran dan dikelilingi
berbagai tingkatan peradangan dari gingiva. Kebersihan mulut
kurang atau buruk. Regio molar bawah adalah daerah yang sering
terkena, khususnya alveolus molar ketiga.
Penyebab alveolitis adalah hilangnya bekuan akibat lisis,
mengelupas, atau keduanya. Alveolitis ini biasanya disebabkan
oleh streptococcus, tetapi lisis mungkin bisa juga terjadi tanpa
keterlibatan bakteri. Diduga trauma berperan karena mengurangi
vaskularisasi, yaitu pada tulang yang mengalami mineralisasi yang
tinggi pada pasien lanjut usia. Didasarkan hal tersebut, pada waktu
melakukan pencabutan pada pasien lanjut usia atau pasien dengan
gangguan kesehatan, perlu dilakukan packing profilaksis dengan
pembalut obat-obatan pada alveolus mandibula.
Penatalaksanaan pada kasus alveolitis dilakukan dengan hati-
hati. Bagian yang mengalami alveolitis diirigasi dengan larutan
saline yang hangat dan diperiksa. Palpasi dengan menggunakan
aplikator kapas untuk membantu dalam menentukan sensitivitas.
Apabila pasien tidak tahan terhadap hal tersebut, maka dilakukan
anastesi topikal atau lokal sebelum melakukan packing. Pembalut
obat-obatan dimasukkan ke dalam alveolus. Pembalut diganti
sesudah 24-48 jam, kemudian diirigasi dan diperiksa lagi. Kadang-
kadang memerlukan resep analgesik.
Proses penyembuhan dinilai secara objektif dan subjektif.
Berkurangnya rasa sakit dan granulasi dengan epitelisasi ulang
yang perlahan merupakan tanda-tanda resolusi yang paling nyata.
Jika terlihat nanah, maka diperlukan terapi antibiotik dan kultur.
Kebanyakan dry socket sembuh sesudah 4-5 hari. Persistensi yang
berkepanjangan, yaitu sampai lebih dari 10 hari merupakan
keadaan yang perlu perhatian khusus. Apabila hal tersebut terjadi,
pertimbangkan kemungkinan adanya osteotis akut insipient atau

23
osteomyelitis. Radiologi periapikal yang memperlihatkan kaburnya
batas lamina dura cenderung mempertegas diagnosis tersebut.
4. Trismus
Trismus yang persisten sesudah pencabutan gigi dengan
pembedahan jarang terjadi, tetapi merupakan komplikasi yang
membingungkan. Penyebab yang sering adalah infeksi yang
bermanifestasi sebagai miositis kronis, yaitu radang dari otot-otot
penguyahan, terutama masseter. Pembukaan interinsisal biasanya
tidak lebih dari 15-20 mm. Reduksi rentang gerakan mandibula
yang serupa dapat terjadi pada spasme otot yang akut atau kelainan
susunan internal dari sendi tempromandibula yang akut (sendi
terkunci), kemungkinan ini harus ikut dipertimbangkan. Jika
terbukti ada infeksi, yaitu pembengkakan, nyeri, demam, lemas,
maka diperlukan terapi antibiotik. Trismus yang persisten kadang-
kadang terjadi sesudah hilangnya selulitis yang luas (mungkin
karena fibrosis atau adesi), tapi bisa juga terjadi sesudah anastesi
blok mandibula tanpa melibatkan tindakan pembedahan. Apabila
tidak ada bukti-bukti infeksi akut, maka perawatan dilakukan
dengan aplikasi panas, pemijatan, latihan yang ditujukan untuk
mendapatkan kembali hubungan interinsisal yang normal.
5. Rasa sakit
Pengontrolan rasa sakit sangat bergantung pada dosis dan cara
pemberian obat (kerja sama pasien). Rasa sakit pada awal
pencabutan gigi, terutama sesudah pembedahan untuk gigi erupsi
maupun impaksi dapat sangat mengganggu. Orang dewasa
sebaiknya mulai meminum obat pengontrol rasa sakit sesudah
makan tetapi sebelum timbulnya rasa sakit. Pada delapan jam
pertama setelah pembedahan, dosis dewasa untuk obat analgesik
non-narkotik/narkotik dapat dilipatgandakan. Meskipun kontrol
rasa sakit tidak menimbulkan masalah pada anak-anak, baik karena
sifatnya atau prosedur yang dialaminya, suspensi pediatrik yang

24
berisi agen narkotik atau kombinasi non narkotik/narkotik dapat
digunakan. Lebih sering dosis resep yang diberikan lebih rendah
dari yang seharusnya ketimbang lebih tinggi karena sikap hati-hati
yang timbul akibat seringnya penyalahgunaan obat. Meneruskan
penggunaan analgesik narkotik sesudah 24 jam atau 48 jam pasca
pencabutan tidak dianjurkan. Pasien dengan hati-hati diarahkan
untuk mengurangi dosis analgesik secara bertahap, misalnya dari
dosis awal obat narkotik/non-narkotik yang tinggi dikurangi
menjadi dosis yang lebih rendah dan kemudian disusul dengan
dosis obat analgesik non-narkotik yang lebih tinggi dan akhornya
dosis yang lebih rendah dari obat yang sama.

25
Waktu
No Tindakan
Mulai Selesai
1 Anastesi lokal
2 Membuat flap
3 Menghilangkan jaringan penghambat
4 Mengeluarkan/mengungkit gigi
5 Menghaluskan tulang yang tajam,
debridement, dan irigasi
6 Suturing/penjahitan

26

Anda mungkin juga menyukai