Penilaian Afektif
Penilaian Afektif
Penilaian Afektif
Dosen Pengampu :
Oleh :
Dini Kamilia
(18108241047)
PGSD-3E
A. Pendahuluan
Penilaian ranah afektif merupakan hal yang penting karena penilaian ranah
afektif harus dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Adapun Popham (1995) dalam
Djemari Mardapi (2004) mengemukakan bahwa ranah afektif menentukan
keberhasilan seseorang. Sehingga, pembelajaran perlu memperhatikan pelaksanaan
penilaian ranah afektif. Satuan pendidikan perlu merancang dan mengembangkan
penilaian ranah afektif yang tepat agar tujuan pembelajaran dapat dicapai optimal.
Karena pengembangan penilaian ranah afektif sangat berpengaruh positif di sekolah
khususnya pembelajaran matematika.
Ada banyak penelitian ranah afektif yang telah dilakukan peneliti sebelumnya.
Sebagai contoh penelitian yang telah dilakukan oleh Fitria (2017) yaitu pelaksanaan
2
penilaian sikap siswa pada kurikulum 2013, penelitian pengembangan instrumen
penilaian sikap berbasis kurikulum 2013 oleh Sabrina, dkk (2017), serta penelitian
Umam, MZ (2017) yaitu pengembangan instrumen penilaian sikap dan karakter
siswa pada mata pelajaran matematika.
Penilaian ranah afektif dapat disusun dalam bentuk skala Likert atau skala
semantic differential. Pada penelitian ini, skala penilaian ranah afektif menggunakan
penilaian sikap menggunakan skala Likert karena dalam penelitian ini mengukur
sikap, pendapat, dan persepsi seseorang dalam bentuk checklist. Instrumen penilaian
sikap tersebut dapat mengetahui sikap peserta didik terhadap materi integral.
Masalah pada artikel ini terbatas pada penilaian afektif, pengembangan penilaian
skala sikap, penggunaan skala Likert. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk
memberikan gambaran tentang pengembangan instrumen penilaian skala sikap yang
dapat digunakan untuk mengukur kemampuan ranah afektif peserta didik
B. Penilaian Afektif
Penilaian afektif berarti berkenaan dengan menilai sikap dan perubahan yang
terjadi pada tingkah laku peserta didik selama pembelajaran. Sikap berhubungan
dengan tindakan seseorang dalam merespon objek. Berarti objek yang direspon
peserta didik itu adalah materi pelajaran yang sedang diajarkan oleh guru. Tindakan
seseorang atau respon tersebut dapat dibentuk, sehingga nantinya akan terjadi
perilaku yang diinginkan. Terutama setelah mengikuti pembelajaran, peserta didik
diharapkan memiliki perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik sesuai dengan
tujuan pembelajaran.
3
materi kontroversional, guru dapat pula menilai peserta didik dalam ranah afektif
dengan cara menilai peserta didik yang aktif bertanya dan berani mengungkapkan
pendapatnya. Selain itu, hasil belajar afektif peserta didik tampak dalam berbagai
tingkah laku, seperti perhatian terhadap pembelajaran, sopan santun, disiplin,
motivasi belajar, dan mengahargai guru dan teman satu kelasnya.
Hasil belajar afektif berkaitan dengan minat, sikap, dan nilai-nilai sebagai
hasil dari pembelajaran yang telah dilakukan oleh peserta didik. Menurut Krathwohl
dalam Sukiman (2012:67-69) hasil belajar afektif terdiri dari beberapa tingkatan,
yaitu receiving, responding, valuing, organization, dan characterization by a value
or value complex. Receiving merupakan kemauan dan kepekaan untuk
memperhatikan suatu kegiatan atau objek dalam pembelajaran. Responding atau
menanggapi yaitu adanya partisipasi aktif untuk memberikan rekasi dari materi yang
diberikan oleh guru. Valuing artinya memberikan nilai terhadap suatu objek,
sehingga adanya tindakan yang dilaksanakan setelah pembelajaran. Organization
artinya membandingkan nilai-nilai dari materi pembelajaran yang kemudian akan
menghubungkannya dan mampu menyelesaikan suatu konflik. Characterization by
a value or value complex yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki
oleh peserta didik, yang memengaruh pola kepribadian dan tingkah lakunya.
Menurut Sudjana (2009:31) tipe hasil belajar afektif dapat dilihat dan diniliai
saat waktu proses pembelajaran dan setelah pembelajaran selesai dilakukan. Saat
waktu pembelajaran sikap peserta didik dapat dilihat dalam hal kemauan untuk
menerima materi dari guru, perhatian peserta didik terhadap materi pembelajaran,
keinginan mendengarkan dan mencatat materi, menghargai guru dan teman satu
kelas, dan keaktifan peserta didik dalam bertanya. Sementara itu, sikap yang dapat
dilihat setelah selesai pembelajaran pada peserta didik diantaranya, kemauan
mempelajari materi lanjut, kemauan mempraktikan nilai yang terkandung dalam
materi sesuai dengan tujuan pembelajaran, dan adanya rasa senang terhadap materi
yang diajarkan oleh guru.
4
C. Proses Penilaian Afektif
Menurut Suwandi (2010:80) sikap dalam pembelajaran dapat dinilai dari beberaa
hal, yaitu sikap terhadap mata pelajaran, sikap terhadap guru atau pengajar, sikap
terhadap pembelajaran, dan sikap berkaitan dengan nilai atau norma yang
berhubungan dengan mata pelajaran, untuk mata pelajara sejarah dapat berhubungan
dengan nilai kebangsaan dan nilai karakter. Untuk mengetahui hasil dari dimensi
afektif dapat menggunakan instrumen non-tes. Instrumen ini digunakan untuk
mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran sejarah dalam aspek afektif. Sementara
itu, perubahan sikap pada peserta didik hanya dapat diukur dengan menggunakan
teknik non-tes.
Untuk penialaian sikap atau afektif bisa menggunakan teknik non-tes. Menurut
Kochhar (2008:56-63) untuk menialai sikap atau afektif bisa menggunakan teknik
non-tes. Menurut Arifin (2012 : 180) teknik non-tes ini bisa dilakukan dengan
beberapa kegiatan diantaranya yaitu observasi, wawancara, skala sikap, daftar cek,
skala penilaian, angket, studi kasus, catatan insidental, sosiometri, inventori
kepribadian, dan teknik pemberian penghargaan kepada peserta.
5
Pertanyaan tersebut mengenai sikap peserta didik terhadap pembelajaran
atau lingkungan sekolah.
d. Daftar cek merupakan suatu daftar yang digunakan oleh guru untuk
mencatat dan memberi tanda tiap kejadian-kejadian yang terjadi di diri
peserta didik baik kejadian kecil maupun besar dalam segala aspek, teknik
seperti ini membantu guru dalam mengingat apa saja yang harus dinilai
oleh guru.
e. Skala penilaian merupakan daftar cek akan dikembangan dalam bagian
yang lebih luas dan terperinci yang disusun secara tingkatan yang telah
ditentukan.
g. Angket yaitu alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dan
informasi yang berisi pendapat, paham dari peserta didik yang
dilaksanakan secara tertulis yang dipengaruhi oleh pemikiran diri sendiri.
Studi kasus adalah kegiatan untuk memahami sebuah masalah yang
dialami peserta didik dengan mencari informasi terkait dengan masalah
tersebut yang natinya kemudian akan disimpulkan dan dicari
penyelesaiannya, hal yang bisa dipahami dalam masalah-maslaah peserta
didik misalnya dalam masalah lamban dalam memahami materi.
h. Catatan insedental yaitu cacatan yang berisi tentang kejadian singkat yang
dialami atau yang telah dilakukan peserta didik dalam pembelajaran,
kejadian tersebut biasanya tingkah laku peserta didik.
i. Sosiometri adalah suatu prosedur yang digunakan untuk merangkum,
menyusun dan mengkualifikasikan pendapat-pendapat peserta didik
dalam menanggapi teman sebaya mereka bagaimana hubungan mereka
dengan para teman-temannya.
j. Inventori kepribadian merupakan tes kepribadian yang jawaban dari
peserta didik tersebut benar semua, namun jawaban tersebut tetap akan
dikualifikasikan sehingga dapat dibandingkan dengan kelompok lain.
k. Teknik pemberian penghargaan kepada peserta didik bertujuan untuk
memberikan semangat, motivasi dan meningkatkan perhatian peserta
6
didik dalam pembelajaran, serta memodifikasi tingkah laku peserta didik
dari yang kurang positif menjadi lebih produktif lagi dengan adanya
hadiah kepada peserta didik yang terbaik.
Sementara itu, menurut Fadillah (211-212) dalam Kurikulum 2013 penilaian
sikap dilakukan melalui observasi, penilaian diri, penilaian teman sejawat, dan
jurnal. Observasi merupakan teknik penilaian yang dilakukan berkelanjutan baik
dilakukan langsung maupun tidak langsung. Penilaian diri merupakan teknik
penilaian dengan meminta peserta didik untuk menilai dirinya sendiri dalam hal
kekurangan dan kelebihannya dalam konteks pecapaian kompetensi. Penilaian antar
teman hampir sama dengan penilaian diri akan tetapi penilaian ini dilakukan oleh
antar peserta didik menilai peserta didik lain, sedangkan jurnal merupakan catatan
dari guru mengenai kejadian atau tingkah laku peserta didik.
Selain itu, menurut Suwandi (2010:114) teknik penilaian diri adalah teknik
penilaian dengan cara peserta didik diminta untuk menilaia dirinya sendiri yang
berkaitan dengan proses belajar mengajar, tingkat pecapaian kompetensi dalam mata
pelajaran tertentu. Penilaian diri dapat digunakan untuk mengukur 3 ranah
kompetensi yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah afektif dalam
pelaksanaannya guru dapat memberikan tugas kepada peserta didik untuk membuat
tulisan berkaitan dengan refleksi dirinya selama mengikuti pembelajaran. Kemudian
refleksi dirinya akan dinilai sendiri berdasarkan indikator yang sudah ditetapkan
oleh guru. Banyak keuntungan dari penilaian diri ini, salah satunya yaitu peserta
didik mengetahui kelemahan dan kekuatannya dalam pembelajaran, sehingga ia
akan terus meningkatkan potensi yang ia punya agar dalam proses pembelajaran bisa
lebih baik.
Pelaksanaan penilaian diri biasanya dilakukan beberapa kali, hal ini dikarenakan
hasil penilaian diri awal atau yang baru tidak dapat langsung dipercaya. Menurut
Suwandi (2010:142) terdapat dua kemungkinan data hasil penilaian diri tidak dapat
langsung dipercaya, pertama karena peserta didik belum terbiasa sehingga akan
banyak melakukan kesalahan dalam melakukan penilaian. Kedua karena penilaian
7
ini dilakukan sendiri oleh peserta didik, maka sifat subjektifitas itu kemungkinan
terjadi. Demi mendapatkan nilai yang bagus maka peserta didik kemungkinan akan
menilai dirinya tidak sesuai dengan kenyataan dalam dirinya, bisa dikatakan untuk
mengejar nilai baik. Oleh karena itu, guru sebaiknya tidak hanya sekali melakukan
penilaian diri. Apabila hasil penilaian pertama sudah didapat, maka guru harus
menelaah dan mengkoreksi lagi hasil penilaian peserta didik. Jika peserta didik
masih menunjukan kesalahan, maka guru mengembalikannya kepada peserta didik
dan dilakukan penilaian diri untuk yang kedua kalinya, begitu seterusnya sampai
hasilnya maksimal.
8
Ada beberapa cara dalam mengolah data dari nilai non tes, Sudjana (2009:128)
mengemukakan cara mengola data dari hasil wawancara, kuesioner, observasi,
skala.
9
pengamat, maka akan dijumlahkan dan dicari rata-ratanya, yang
kemudain dapat dikonveksikan kedalam standar ratusan atau
puluhan.
Pengolahan data baik dari skala penilaian dan skala sikap tak jauh
beda dengan pengolahan data hasil observasi yang menggunakan
skor atau nilai. Caranya yaitu dengan menentukan skor dari seluruh
butir soal, kemudian akan dirata-rata dengan cara membagi jumlah
skor dengan jumlah pertanyaan, yang terakhir meninterpertasikan
jawaban yang baik dan jawaban yang tidak baik. Misalnya peserta
didik sangat bagus dalam menanggapai materi, tetapi kurang dalam
mengahargai pendapat peserta didik lainnya.
Djaali dan Muljono (2008:28) menuliskan bahwa skala Likert adalah skala
yang dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang
atau sekelompok orang tentang suatu gejala atau fenomena pendidikan. Bentuk
pertanyaan yang menggunakan skala Likert adalah pertanyaan positif dan
pertanyaan negatif. Djaali dan Muljono melanjutkan penskoran pada skala Likert
terdiri dari :
10
b. Rumusan pernyataan hendaknya singkat;
c. Satu pernyataan hendaknya mengandung satu pikiran yang
lengkap;
d. Sedapat mungkin, pernyataan hendaknya dirumuskan dalam
kalimat yang sederhana;
e. Hindari penggunaan kata-kata: semua, selalu, tidak pernah,
dan sejenisnya;
f. Hindari penyataan tentang fakta atau dapat diinterpretasikan
sebagai fakta.
Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
11
6. Edukatif, berarti mendidik dan memotivasi peserta didik dan guru.
Pendekatan penilaian yang digunakan adalah Penilaian Acuan Kriteria
(PAK). PAK merupakan penilaian pencapaian kompetensi yang
didasarkan pada Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). KKM
merupakan kriteria ketuntasan belajar minimal yang ditentukan oleh
satuan pendidikan dengan mempertimbangkan karakteristik
Kompetensi Dasar yang akan dicapai, daya dukung, dan karakteristik
peserta didik.
12
Jurnal merupakan catatan pendidik di dalam dan di luar kelas yang berisi
informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik yang
berkaitan dengan sikap dan perilaku.
Ranah afektif mencakup penilaian watak perilaku seperti sikap, minat, konsep
diri, nilai, dan moral. (Andersen, 1981) Kemampuan afektif berhubungan erat
dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin,
komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan
mengendalikan diri. Popham (1995) dalam Djemari Mardapi (2004) menambahkan
ranah afektif dapat menentukan keberhasilan belajar seseorang. Sehingga satuan
pendidikan perlu membuat program penilaian yang mengoptimalkan ranah afektif.
Penilaian tersebut memperhatikan sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral
peserta didik saat pembelajaran.
Hal yang perlu dinilai dalam penilaian ranah afektif menurut Zaenal (2009)
adalah pertama, kompetensi afektif yang ingin dicapai dalam pembelajaran
meliputi tingkatan pemberian respon, apresiasi, penilaian dan internalisasi.
Kedua, sikap dan minat peserta didik terhadap mata pelajaran dan proses
pembelajaran. Dalam Andersen (1981:5) ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang
penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.
Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui
pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus,
aktivitas,
13
pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Penilaian
minat dapat digunakan untuk mengetahui minat peserta didik sehingga mudah
untuk pengarahan dalam pembelajaran, mengetahui bakat dan minat peserta didik
yang sebenarnya, pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik,
menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas, mengelompokkan peserta
didik yang memiliki minat sama, acuan dalam menilai kemampuan peserta didik
secara keseluruhan dan memilih metode yang tepat dalam penyampaian materi,
mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan pendidik,
bahan pertimbangan menentukan program sekolah, meningkatkan motivasi belajar
peserta didik.
14
peserta didik mampu menilai dirinya, peserta didik dapat mencari materi sendiri,
peserta didik dapat berkomunikasi dengan temannya.
Tyler (1973:7) endefinisikan nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang
dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan
ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh
karena itu satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan
menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk
memperoleh kebahagiaan personal dan memberi konstribusi positif terhadap
masyarakat.
Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang
lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Moral berkaitan
dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.
15
Teori fungsional (functional theory), teori ini menjelaskan bahwa sikap
merupakan alat untuk mencapai tujuan. Sebagai alat dengan perubahan sikap
diharapkan akan memperoleh. Teori pertimbangan sosial (social judment theory),
teori ini memberikan penekanan pada persepsi dan pertimbangan individu tentang
objek, orang, atau ide yang dievaluasinya. Teori konsistensi (consistency theory),
teori konsistensi dikembangkan dari asumsi umum bahwa manusia akan berusaha
untuk mewujudkan keadaan yang serasi dalam dirinya. Jika terjadi suatu keadaan
yang tidak serasi, misalnya terjadi pertentangan antara sikap dan tingkah laku,
maka manusia akan berusaha untuk menghilangkan realita tersebut dengan
mengubah salah satu sikap atau tingkah laku.
16
Skala Sikap
a Receiving
Receiving merupakan tingkatan berpikir terendah dari ranah afektif. Level
receiving berkonsentrasi pada kepekaan siswa terhadap fenomena dan stimulus
(Krathwohl, Bloom dan Masia, 1964: 98). Receiving ditandai dengan
kemampuan seseorang untuk belajar dari orang lain. Dalam ranah ini termasuk
juga kesadaran, keinginan untuk menerima stimulus, kontrol dan seleksi gejala
atau rangsangan dari luar (Sudjana, 2009: 30).
b.Responding
Responding ditandai dengan kemampuan seseorang untuk berpartisipasi
dengan baik sesuai dengan konteks. Pada tingkatan ini, siswa termotivasi untuk
terlibat dalam kegiatan pembelajaran yang berlangsung (Krathwohl, Bloom dan
Masia, 1964: 118). Aktifitas menanggapi dan menjawab terjadi pada level ini
17
dan memberi kesan bahwa level minat dan motivasi telah muncul (Davies, 1979:
155).
c. Valuing
Valuing berhubungan dengan tingkah laku yang mengindikasikan
ketertarikan (preference) siswa terhadap sains (Trowbridge dan Bybee, 1986:
131). Prilaku yang menandai pencapaian valuing adalah keinginannya sendiri
untuk patuh dan memiliki komitmen untuk menjaga nilai yang ia patuhi
(Krathwohl, Bloom dan Masia, 1964: 140). Uno dan Koni (2012)
menambahkan bahwa pada level valuing siswa mau menerima sistem nilai
tertentu pada diri individu, seperti menunjukkan kepercayaan terhadap sesuatu,
mengapresiasi sesuatu dan kesungguhan untuk melakukan suatu kehidupan
sosial (Uno dan Koni, 2013: 64).
d.Organization
Organizing berarti siswa membawa bersama nilai sains yang berbeda dan
membangun sistem nilai yang konsisten. Hasil pembelajaran organizing adalah
konseptualisasi nilai sains dan pengorganisasian sistem nilai berdasarkan sains.
Siswa mengorganisasikan filosofi kehidupan berdasarkan nilai sains
(Trowbridge dan Bybee, 1986: 131). Uno dan Koni (2012) menambahkan
bahwa dalam organizing siswa menerima berbagai sistem nilai yang berbeda-
beda berdasarkan sistem nilai yang lebih tinggi, seperti menyadari pentingnya
keselarasan antara hak dan tanggung jawab, bertanggung jawab terhadap hal
yang telah dilakukan, memahami dan menerima kelebihan dan kekurangan diri
sendiri, atau menyadari peranan perencanaan dalam memecahkan suatu
permasalahan (Uno dan Koni, 2012: 64).
c. Characterization
Characterizing berarti, sebagai akibat, individu telah menbangun gaya
hidup berdasarkan sistem nilai sains yang lebih disukai. Prilaku individu
konsisten dan dapat diprediksi berkaitan dengan nilai sains. Hasil pembelajaran
yang berhubungan dengan pola general prilaku yang selaras dengan level ini
(Trowbridge dan Bybee, 1986: 131). Menurut Uno dan Koni (2012) level
18
characterization merupakan level tertinggi dari ranah afektif, pada level ini
siswa sudah memiliki sistem nilai dan selalu menyelaraskan prilakunya sesuai
dengan sistem nilai yang dipegang, seperti bersikap objektif terhadap segala hal
(Uno dan Koni, 2012: 64).
Berdasarkan uraian tersebut, maka penilaian pada kompetensi sikap atau ranah
afektif dilakukan dengan cara mengukur 5 tingkatan berpikir afektif menurut
Krathwohl (1964) yang meliputi receiving, responding, valuing, organization dan
characterization.
19
KESIMPULAN DAN SARAN
1) Skala Likert adalah skala yang dapat digunakan untuk mengukur sikap,
pendapat, dan persepsi seseorang.
2) Bentuk pertanyaan yang menggunakan skala Likert adalah pertanyaan
positif dan pertanyaan negatif dalam bentuk checklist.
3) Pengembangan instrumen yang dibuat berupa angket skala sikap yang
terdiri dari 22 butir pertanyaan dengan jawaban pertanyaan antara lain :
Selalu (SL), Sering (SR), Kadang-kadang (K), Jarang (JR), Tidak Pernah
(JTP) yang didasarkan pada kisi-kisi instrumen skala sikap.
4) Teknik dan instrumen penilaian yang digunakan dalam kurikulum 2013
mencakup penilaian kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Saran penulis adalah perlu ada penelitian lanjutan tentang pengembangan
instrumen penilaian sikap agar lebih berdayaguna dalam penilaian
kemampuan peserta didik.
20
DAFTAR PUSTAKA
Fitria, MZ. (2017). Pelaksanaan Penilaian Sikap Siswa pada Kurikulum 2013 Kelas
1 di SD Negeri 1 Tanjung Boyolali. Univeritas Muhammadiyah Surakarta.
http://eprints.ums.ac.id/54218/. Di akses tanggal 13 Agustus 2019.
21
Sudjana, Nana. (2009) . Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
22