Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Penanganan Hipertrofi Scar Dan Keloid - Queenly Alfarita M B PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

PENANGANAN HIPERTOFI SCAR DAN KELOID

Oleh :

Queenly Alfarita M Bisararisi, S.Ked

NIM. 1830912320050

Pembimbing :

dr. Sulandri Gusasi, Sp. BP-RE

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

RSUD ULIN BANJARMASIN

Agustus, 2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 2
BAB III PENUTUP................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Angka terjadinya kelainan fibrotik yang sering muncul pasca-luka terus

meningkat, baik luka karena operasi elektif maupun luka yang disebabkan oleh

trauma lainnya. Seringkali disertai dengan keluhan lain seperti kontraktur, gatal

hingga nyeri, sehingga mengganggu kualitas hidup seseorang baik secara fisik

maupun psikologis. Secara umum kelainan fibrotik ini dibedakan atas scar

hipertrofik dan keloid. Riwayat keloid pada keluarga akan meningkatkan insidens

keloid. Pasien dengan keloid seringkali melaporkan riwayat keluarga positif

keloid, tidak seperti pasien yang menderita hipertrofik scar.1,2

Hipertrofi scar lambat laun dapat terjadi regresi secara sempurna, sedangkan

keloid jarang sekali terjadi regresi. Gambaran klinis keduanya seringkali serupa.

Oleh karena itu, sangat penting untuk menegakkan diagnosis yang tepat antara

kedua jenis kelainan fibrotik ini sebelum mengambil keputusan untuk terapi. Saat

ini sudah ada beberapa macam terapi yang ada, tetapi terapi ini pun masih terus

berkembang.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Hipertrofi scar adalah pertumbuhan jaringan parut berlebihan yang tidak

melebihi batas luka aslinya, sedangkan keloid adalah jaringan parut yang tumbuh

melebihi area luka/ cedera pada kulit yang menyembuh. Tidak seperti keloid,

hipertrofi scar dapat mencapai ukuran tertentu dan kemudian stabil atau mengecil

karena proses pertumbuhannya berhenti/ matur.3

B. EPIDEMIOLOGI

Keloid dapat terjadi pada semua ras, kecuali albino, dan ras kulit hitam

memiliki risiko hingga 15 kali lebih besar. Lebih sering pada wanita muda dan ras

afroamerika. Angka kejadian keloid lebih tinggi pada saat masa pubertas dan

kehamilan, dan menurun pada masa menopause. Hormon juga diduga menjadi

penyebab. Diduga ada peranan sel mast pada terjadinya keloid.1,3

Faktor risiko keloid diduga berkaitan dengan beberapa hal. Riwayat keloid

pada keluarga akan meningkatkan insidens keloid. Pasien dengan keloid

seringkali melaporkan riwayat keluarga positif keloid, tidak seperti pasien yang

menderita hipertrofik scar. Gen yang diduga memiliki peran terjadinya keloid

adalah HLA-B14, HLA-B21, HLA-BW16, HLABW35, HLA-DR5, dan HLA-

DQW3.2,4

2
C. ETIOLOGI

Hipertrofi scar dihubungkan dengan penyembuhan luka yang tidak normal

misalnya tegangnya tepi luka ketika ditautkan, adanya infeksi, benang jahit yang

mengiritasi, epitelisasi yang terjadi lama setelah kehilangan lapisan kulit (seperti

pada luka bakar). Pada keloid timbul pada luka/cedera pada kulit, pada

pembedahan, luka traumatik, daerah vaksinasi, terbakar, cacar, jerawat atau

goresan kecil sekalipun. Terdapat peran growth factor pada pembentukan keloid

yaitu peningkatan kadar TGF-β.3

D. PATOFISIOLOGI

Ada 3 fase penyembuhan luka, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase

remodelling.1

1. Fase Infamasi

Fase ini dimulai saat terjadi luka dan berlangsung selama 2 hingga 3 hari.

Diawali dengan vasokonstriksi untuk mencapai hemostasis. Pada fase ini

keping darah melepaskan growth factor seperti plateletderived growth factor

(PDGF) dan transforming growth factor β (TGF-β). Neutrofil mencapai area

luka dan memenuhi rongga perlukaan. Neutrofil akan memfagosit jaringan

mati dan mencegah infeksi. Selanjutnya monosit akan memasuki area luka.

Makrofag memfagosit debris dan bakteri serta berperan pada produksi growth

factor yang dibutuhkan untuk pembuatan matriks ekstraseluler oleh fibroblas

3
dan pembuluh darah baru untuk penyembuhan luka. Oleh karena itu,

ketidakhadiran monosit atau makrofag akan menghambat fase penyembuhan

luka. Terakhir, sel limfosit dan sel mast akan berdatangan ke area luka, tetapi

peranannya masih belum diketahui pasti.

2. Fase Proliferasi

Fase ini dimulai pada hari ke-4 hingga minggu ke-3 setelah luka. Makrofag

terus memproduksi growth factor seperti PDGF dan TNF-β1 yang membuat

fibroblas dapat terus berproliferasi dan migrasi membentuk jaringan matriks

ekstraseluler. Selain itu, juga menstimulasi sel endotel untuk membentuk

pembuluh darah baru. Kolagen tipe III juga mulai terbentuk yang nantinya

akan digantikan oleh kolagen tipe I pada fase remodelling. Yang penting pada

fase ini adalah saat mulai terjadi pengisian rongga luka dengan kolagen maka

fibroblas harus sudah berkurang dan proses angiogenesis juga harus mulai

melambat agar didapatkan scar normal.

3. Fase Remodelling

Fase terpanjang dalam fase penyembuhan luka, berlangsung mulai minggu

ke-3 hingga 1 tahun. Fase ini ditandai dengan kontraksi luka dan remodelling

kolagen. Kolagen tipe I mulai menggantikan kolagen tipe III. Kekuatan luka

terus meningkat sejalan dengan reorganisasi kolagen.

Fase inflamasi yang memanjang diduga merupakan salah satu penyebab

4
timbulnya scar hipertrofik atau keloid. Meningkatnya jumlah sel-sel imun pada

keloid meningkatkan aktivitas fibroblas dan terus terjadi pembentukan matriks

ekstraseluler. Hal ini juga yang diduga menyebabkan scar timbul melebihi margin

atau batas luka pada keloid. Pada scar hipertrofik, infiltrasi sel imun akan

menurun sehingga mungkin terjadi regresi.1

Teori lain menyatakan bahwa TGF-β memainkan peranan sangat penting dalam

terjadinya kelainan jaringan fibrotik ini. TGF-β1 dan TGF-β2 merupakan stimulan

penting sintesis kolagen dan proteoglikan serta mempengaruhi matriks

ekstraseluler yang tidak hanya meningkatkan sintesis kolagen tetapi juga

menghambat pemecahannya. Sedangkan TGF-β3 yang ditemukan lebih dominan

pada fase akhir penyembuhan luka memiliki fungsi sebaliknya. Decorin

merupakan proteoglikan yang memiliki kemampuan mengikat dan menetralisir

TGF-β serta menurunkan protein matriks ekstraseluler. Kadar decorin yang rendah

dapat memicu terjadinya kelainan fibrotik.4

Akhir-akhir ini dinyatakan bahwa apoptosis juga menjadi penyebab kelainan

fibrosis. Pada fase awal terbentuknya scar hipertrofik, terjadi hiperseluler, dan

pada fase remodelling sel fibroblas berkurang dan perlahan-lahan menjadi scar

normal melalui proses apoptosis. Proses ini mulai terjadi sejak hari ke-12 pasca-

luka. Penelitian pada scar hipertrofik akibat luka bakar derajat tinggi menemukan

keterlambatan proses apoptosis, yaitu pada bulan ke-19-30 pasca-luka.4

5
E. DIAGNOSIS

Hipertrofi scar terbentuk mulai minggu ke-4 hingga ke-6 setelah luka dan

tumbuh cepat hingga 6 bulan. Setelah itu akan mengalami regresi hingga

terbentuk jaringan normal.Sedangkan pada keloid scar terus bertumbuh dan

cenderung menetap. Hipertrofi scar biasanya didahului trauma dan luas scar tidak

melebihi luas luka.4

Gambar 1. Gambaran klinis hipertrofik scar dan keloid. (A) Perkembangan dari
hipertrofik scar setelah luka bakar melepuh;(B) hipertrofi scar di tungkai bawah 4 bulan
setelah prosedur pembedahan ; (C) keloid aktif di dada setelah dua operasi kecil; (D)
keloid di telinga kanan, tidak ada riwayat trauma.4

6
Keloid dapat didahului trauma dan kadang dapat terjadi spontan tanpa

didahului luka. Scar pada keloid dapat lebih luas dari area lukanya. Pada scar

hipertrofik, tindakan pembedahan dapat menjadi pilihan penanganan yang baik,

tetapi pada scar keloid, tindakan pembedahan sering menyebabkan scar menjadi

lebih besar akibat luka operasi.4

Tabel 1. Perbandingan epidemiologi, gambaran klinis, dan histologi antara scar


hipertrofik dan keloid4
Hipertrofi Scar Keloid
Insidensi 40-7-% terjadi pasca operasi dan 6-16% terjadi pada ras Afrika
>90% pasca luka bakar
Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, insidens
tertinggi pada usia 20-30 tahun
Area Predileksi Bahu, leher, sekitar sternum, lutut, Dada depan, pundak, telinga,
pergelangan kaki lengan atas dan piipi
Area paling jarang terkena: kelopak mata, kornea, telapak tangan,
genitalia, dan telapak kaki
Onset 4-8 minggu setelah luka, Beberapa tahun setelah
pertumbuhan cepat terjadi hingga 6 terjadinya luka atau
bulan kemudian mengalami spontan tanpa didahului luka
regresi di area dada tengah.
Cenderung menetap, jarang
regresi spontan
Jarang berulang setelah eksisi scar Sering berulang setelah eksisi
awal scar awal
Gambaran klinis Jarang meluas melebihi area luka Luas melebihi area luka
Gambaran Terorganisir. Tidak terorganisir, luas, tebal.
histopatologis Kolagen tipe III yang paralel Kolagen tipe I&III
epidermis, terdapat tanpa nodul atau
nodul mengandung miofibroblas dan miofibroblas. Vaskularisasi
banyak sangat buruk. Ekspresi ATP
mengandung asam tinggi.
mukopolisakarida. Ekspresi
ATP rendah.

7
F. PENATALAKSANAAN

Menghindari terjadinya luka berlebihan tetap merupakan solusi terbaik. Semua

terapi dapat dilakukan pada scar hipertrofik ataupun keloid. Walaupun demikian,

pembedaan klinis antara keduanya tetap perlu terutama sebelum tindakan

pembedahan dan laser. Angka keberhasilan lebih tinggi bila dilakukan terapi

kombinasi. Keterlambatan proses epitelisasi hingga 10-14 hari meningkatkan

angka kejadian scar hipertrofik/keloid. Lokasi, ukuran, kedalaman luka, usia

pasien, dan keberhasilan terapi sebelumnya merupakan pertimbangan klinisi

untuk menentukan terapi.

1. Terapi Tekan

Efektivitasnya masih kontroversial. Mekanisme kerja yang diharapkan

adalah dengan pemberian tekanan, maka sintesis kolagen menurun karena

terbatasnya suplai darah dan oksigen, serta nutrisi ke jaringan scar dan

apoptosis diharapkan meningkat. Tekanan kontinu (15-40 mmHg)

diberikan minimal 23 jam dan/atau 1 hari selama minimal 6 bulan atau

selama scar masih aktif. Terapi ini terbatas karena sering menyebabkan

maserasi, eksema, ataupun bau tidak sedap karena penggunaan bahan kain.

Terapi tekan biasanya berhasil lebih baik pada anak-anak.4

2. Silicone Gel Sheeting

Silicone gel sheeting bekerja dengan cara meningkatkan temperatur parut

8
1-2 derajat dari suhu tubuh, keadaan ini akan meningkatkan aktivitas

kolagenase.9 Penggunaan dianjurkan ≥12 jam dan/ atau 1 hari dimulai

sejak 2 minggu pascapenyembuhan luka. Penggunaan silicone sheet ini

lebih disukai pada area yang sering bergerak.5

3. Extractum Cepae

Extractum cepae dengan turunan spesifiknya adalah quercetin memiliki

efek anti-inflamasi, anti-bakterial, dan fibrinolitik, sehingga mampu

menghambat proliferasi fibroblas dan produksi kolagen pada keloid dan

scar hipertrofik. Zat ini banyak ditemukan di bawang, apel, anggur merah,

dan teh hitam.2 Quercetin mampu menghambat TGF-β1 dan TGF-β2.

Penggunaan topikal diberikan pasca-tindakan laser untuk menghilangkan

tattoo dan sering digunakan sebagai terapi pencegahan terutama pasca-

tindakan bedah.5

4. Injeksi Kortikosteroid

Kortikosteroid bekerja mensupresi proses inflamasi luka. Selain itu,

kortikosteroid mampu mengurangi sintesis kolagen dan glikosaminoglikan,

menghambat pertumbuhan fibroblas, dan meningkatkan degradasi kolagen

dan fibroblas. Injeksi intralesi menggunakan triamcinolon acetonide (TAC)

10-40 mg/mL diulang setiap 3-4 minggu dapat dilakukan hingga 6 bulan

memberikan hasil yang cukup baik, pada kasus tertentu terkadang

9
dibutuhkan tambahan sesi. Pada terapi tunggal, hasil maksimal hingga rata

sepenuhnya didapatkan pada scar yang masih baru. Untuk scar lama, hasil

yang dicapai hanya lesi menjadi lebih kecil dan membantu mengurangi

gejala.1 Efek samping yang sering muncul adalah atrofi kulit,

telangiektasis, dan rasa nyeri di area penyuntikan.4,5,6

5. Cryotherapy

Dapat digunakan sebagai terapi tunggal ataupun kombinasi dengan terapi

injeksi kortikosteroid untuk hasil lebih maksimal. Untuk kombinasi terapi,

disarankan cryotheraphy terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan

injeksi triamcinolon acetonide. Cryotherapy menyebabkan kerusakan

vaskular, sehingga terjadi anoksia dan nekrosis jaringan.4,5,6

6. Revisi Scar

Sebelum tindakan bedah, harus dipastikan perbedaan antara scar hipertrofi

dan keloid. Pada penanganan scar hipertrofi, scar <1 tahun masih dapat

menunjukkan perbaikan tanpa manipulasi. Kemungkinan rekuren setelah

tindakan bedah lebih kecil pada scar hipertrofik. Keloid memiliki angka

rekuren 45-100% pasca-tindakan bedah. Tindakan eksisi sering

menyebabkan scar yang lebih besar. Tindakan bedah sebaiknya

dikombinasi dengan injeksi triamcinolone acetonide dan terapi tekan di

area tindakan untuk hasil yang lebih baik.4,5

10
7. Radioterapi

Superficial x-rays, electron-beam therapy, dan brachytherapy dosis rendah

atau tinggi memberikan hasil yang cukup baik.1 Radioterapi menghambat

neovaskular dan proliferasi fibroblas, sehingga produksi kolagen menurun.

Terapi sebaiknya dimulai sejak 24-48 jam pasca-tindakan eksisi dengan

dosis total 40 Gy untuk mencegah efek samping seperti hipo- atau

hiperpigmentasi, eritema, telangiektasis, dan atrofi.4

8. Laser

Terapi 585-nm pulse dye laser (PDL) memberikan hasil yang cukup baik.

Tanpa overlap, dengan fluence 6,0-7,5 J/cm2 (7 mm spot) atau 4,5-5,5

J/cm2 (10 mm spot) sangat dianjurkan untuk terapi scar hipertrofik

ataupun keloid. Untuk hasil maksimal, sebaiknya terapi diulang hingga 2-6

kali. Dengan panas yang merusak kolagen, terapi 585 nm PDL dipercaya

dapat membentuk kolagenesis baru. Hati-hati dengan efek samping hipo-

atau hiperpigmentasi serta blister. Sering terjadi purpura pasca-terapi yang

bertahan hingga 7-10 hari. Terapi 1064-nm Neodym: YAG Laser juga

memberikan hasil yang cukup baik. Mekanisme kerjanya serupa dengan

PDL, tetapi Nd:YAG mampu menembus jaringan lebih dalam, sehingga

sangat baik untuk terapi keloid yang tebal. Ditemukan perbaikan

pigmentasi, vaskularisasi, dan ukuran scar setelah 5-10 terapi dengan

11
interval 1-2 minggu menggunakan fluence rendah.4,5

9. Injeksi Interferon (IFN)

Merupakan terapi yang cukup potensial karena IFN mampu mengurangi

sintesis kolagen tipe I dan III. Secara spesifik INF-α2b memiliki efek

antagonis terhadap TGF-β dan histamin. INF-α2b disuntikkan intralesi

(1,5x106 IU, 2 kali sehari selama 4 hari) mampu mereduksi ukuran scar

hingga 50% di hari ke-9. Efek samping yang sering muncul adalah flu like

symptoms dan nyeri di area penyuntikan.4,6

10. Injeksi Doxorubicin

Doxorubicin dapat menghambat sintesis kolagen melalui mekanisme

penghambatan enzim prolidase yang merupakan enzim kunci dalam proses

resintesis kolagen. Doxycycline, daunorubicin, gentamicin, netilmicin, dan

anthracycline juga memiliki kemampuan menghambat enzim prolidase.2

11. Injeksi Verapamil

Verapamil termasuk dalam golongan calcium channel blocker yang

bekerja menghambat sintesis dari matriks ekstraseluler dan meningkatkan

proses fibrinase.6

12. Bleomycin Sulfate

Bleomycin sulfate bekerja menghambat langsung sintesis kolagen melalui

mekanisme penghambatan terhadap stimulasi TGF-β1. Penyuntikan

12
intralesi sebanyak 3-5 kali dalam 1 bulan telah terbukti menurunkan 69,4%

keloid. Efek samping hiperpigmentasi dan atrofi dermal. Walaupun cukup

menjanjikan tetapi masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut.2,7 5-

Fluorouracil (5-FU) Zat kemoterapi kanker ini bekerja dengan cara

meningkatkan apoptosis fibroblas. Injeksi 5-FU intralesi (50 mg/mL)

setiap minggu selama 12 minggu berhasil mengurangi ukuran scar hingga

50% pada rata-rata pasien tanpa kegagalan dan rekuren dalam 24 bulan

kemudian. Efek samping yang mungkin muncul adalah nyeri, ulserasi, dan

sensasi terbakar. Pernah dilakukan terapi kombinasi TAC 10-40 mg/mL

dengan 5-FU 50 mg/mL (1:9).4,5

13. Botulinum Toxin A (BTA)

BTA mampu menghambat mobilisasi otot dan mengurangi tegangan kulit,

sehingga dapat mengurangi mikrotrauma dan inflamasi. Uji coba injeksi 15

U BTA di sepanjang garis operasi dengan jarak setiap 2 cm pada 24 jam

pasca-penutupan luka berhasil cukup baik.7 Posisi anatomi harus menjadi

perhatian karena risiko asimetri terutama pada injeksi otot tertentu dengan

jumlah besar hanya pada satu sisi, misalnya risiko asimetri alis. Masih

dibutuhkan penelitian lanjutan efektivitas BTA dan pertimbangan lain

termasuk biaya terapi.5

G. PROGNOSIS

13
Bukan hal berbahaya secara medis, namun dapat berefek pada penampilan.

Pada beberapa kasus dapat mengecil sendiri namun dapat juga bersifat permanen.

Pada pembedahan dapat menimbulkan bekas luka keloid lebih besar sehingga

operasi pengecilan dengan menyayat bukan pada kulit yang normal. Perlu

ditekankan bahwa pada pasien terapi kombinasi lebih memberi harapan pada

hasilnya.3

14
BAB III

PENUTUP

Hipertrofi scar dapat mencapai ukuran tertentu dan kemudian stabil atau

mengecil karena proses pertumbuhannya berhenti/ matur, tidak seperti keloid.

Faktor risiko keloid diduga berkaitan dengan beberapa hal. Riwayat keloid pada

keluarga akan meningkatkan insidens keloid. Pasien dengan keloid seringkali

melaporkan riwayat keluarga positif keloid, tidak seperti pasien yang menderita

hipertrofik scar. Hipertrofi scar biasanya didahului trauma dan luas scar tidak

melebihi luas luka tetapi keloid dapat didahului trauma dan kadang dapat terjadi

spontan tanpa didahului luka.

Menghindari terjadinya luka berlebihan tetap merupakan solusi terbaik.

Semua terapi dapat dilakukan pada scar hipertrofik ataupun keloid. Terapi

pencegahan hingga terapi penanganan meliputi terapi tekan, silicone gel sheeting,

injeksi TAC, cryotherapy, radioterapi, laser, INF, 5-FU hingga pembedahan.

Angka keberhasilan lebih tinggi bila dilakukan terapi kombinasi.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Sinto L. Scar hipertrofi dan keloid; patofisiologi dan penatalaksanaan. CDK.

2018; 1(45)

2. Jansen D. Keloid [Internet]. 2016. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1298013-overview#a1

3. Sudjatmiko G. Petunjuk praktis ilmu bedah plastik rekonstruksi. 1st ed.

Indonesia: Yayasan Khasanah Kebajikan; 2007

4. Gauglitz GG, Korting HC, Pavicic T, Ruzicka T, Jeschke MG. Hypertrophic

scarring and keloids: Pathomechanisms and current and emerging treatment

strategies. Mol Med 2011;17(1-2):113-25.

5. Gauglitz GG. Management of keloid and hypertrophic scars: Current and

emerging options. Clinical, Cosmetic and Investigational Dermatology 2013:6

103–114

6. Maghrabi IA, Kabel AM. Management of keloid and hyperthropic scars: Role

of nutrition, drugs, cryotherapy and phototherapy. World J Nutr Health

2014;2(2):28-32.

16

Anda mungkin juga menyukai