Aranya Kanda
Aranya Kanda
Aranya Kanda
S etelah selesai menuntut ilmu di suatu petapaan, Rama, Sinta dan Lesmana kembali
memasuki hutan. Mereka sudah terbiasa dengan kehidupan di hutan. Kehidupan
mereka tidak ada bedanya dengan kehidupan para pendeta, sedikit pun tidak ada tanda-tanda
bahwa mereka adalah putra-putri raja. Pada suatu hari mereka berjalan keluar dari hutan tersebut.
Mereka melihat banyak pendeta dari berbagai petapaan yang hidupnya sangat sederhana .
Melihat para pendeta itu Rama kagum. Mereka meneruskan perjalanan samba bercakap-cakap
sebentar dengan Lesmana tentang pendeta-pendeta tersebut. Tidak terasa perjalan mereka telah
sampai di pertapaan Dandaka. Kedatangan mereka sambut meriah oleh penduduk di Gunung
Dandaka. Orang-orang ingin menyaksikan dan mengelu-elukan putra-putri raja Ayodya yang
telah menewaskan Raksasa Wirada. Mereka dielu-elukan sebagai pahlawan karena telah
menewaskan Raksasa Wirada. Rakyat di sana hidup dengan rukun dan damai juga tekun
bersemedi. Rama memutuskan untuk tinggal di Dandaka untuk waktu yang tidak ditentukan.
Kehadiran mereka membuat kehidupan di daerah itu menjadi lebih tentram dan di daerah
tersebut terasa ada pengayoman. Pada waktu malam Rama melakukan Semedi sedangkan pada
waktu siang Ia, istri dan adiknya bercengkrama di hutan sekitar.
Sudah lama Rama, Sinta dan Lesmana tinggal di Dandaka. Mereka senang menyaksikan
kehidupan rakyat kecil yang sudah mulai meningkat, bertambah tentram, dan orang-orang
bersemedi dan menuntut ilmu tiada gangguan. Pada suatu hari di hutan Dandaka tibalah seorang
putri raksasa yang bertubuh besar tinggi, matanya menyala-nyala, mulutnya terbuka dengan gigi
besar dan bertaring. Pakaiannya pun gemerlapan yang menandakan ia bukan raksasa
sembarangan, melainkan seorang putri raksasa. Ia adalah Sarpakenaka, putri Alengka adik Prabu
Rahwana. Sarpakenaka sangat sakti. Pada waktu itu sarpakenaka sedang mengemban tugas dari
kakaknya Prabu Rahwana untuk melakukan pengawasan perbatasan. Ia terbang melaang-layang
di atas gunung, persawahan dan akhirnya tiba di Dandaka. Pada waktu itu Sarpakenaka sedang
beristirahat duduk di sebatang pohon tumbang di tengah hutan yang tersembunyi. Tiba-tiba ia
terkejut mendengar suara canda gurau seorang pria dan seorang wanita. Sarpakenaka bangkit.
Jantung Sarpakenaka berdebar menyaksikan kedua insan yang sedang bergandengan tangan
dengan mesra. Tak jauh dari situ Sarpakenaka melihat seorang lagi kesatria yang berdiri
menyendiri. Ia berparas sangat elok, bagaikan Batara Asmara. Ternyata kesetria itu merupakan
Lesmana. Sarpakenaka pun langsung jatuh cinta kepada Lesmana yang baru dilihatnya itu. Putri
raksasa itu sangan lihai dalam merubah dirinya. Ia pun langsung merubah dirinya menjadi
seorang putri yang sangat cantik. Ia pun langsung mendekati Lesmana dan menyapanya.
Lesmana yang semulanya melamun pun kaget dengan kedatangan putri palsu tersebut. Karena
Lesmana layaknya seorang pendeta wadat tidak kawin. Lesmana menyarankan putri palsu
tersebut mendekati Ramawijaya kakaknya yang tidak berada tidak jauh darinya. Putri palsu
jelmaan Sarpakenaka itu pun langsung mendekati Rama, ia menggoda Rama seperti menggoda
Lesmana. Namun sayangnya Rama menolaknya dengan mentah-menta karena cinta Rama hanya
untuk putri Mantili Dewi Sinta isrinya yang kecantikannya tidak ada bidadari yang dapat
menandinginya. Mendengar ucapan Rama, Sarpakenaka pun merasa malu sekali dan ia kembali
ke tempat Lesmana. Ia marah bukan kepalang kepada Lesmana. Nafsu birahi putri jelmaan
Sarpakenaka itu pun memuncak dan tanpa basa basi lagi ia langsung saja menggulat Lesmana.
Lesmana merasakan ada sesuatu yang janggal. Lesmana langsung memusatkan pikiran dan
hidungnya pun mencium bau keringat raksasa, pengelihatannya yang jernih dapat melihat wajah
asli dari siapa yang sedang dihadapinya itu. Lesmana tanpa ragu-ragu lagi diputirnya hidung
putri palsu tersebut hingga putus. Sarpakenaka seketika berubah kembali seperti wujud aslinya.
Ia menjerit kesakitan dan terbang melesat ke udara dan menggeram seperti singa dan berteriak
menantang. Sarpakenaka menangis di udara. Seletah puas menangis, ia segera mendarat di
Alengka dan menemui kedua suaminya yaitu Karadusana dan Trimurda. Sarpakenaka
berbohong pada suaminya. Ia mengatakan kalau ia ingin diperkosa oleh Rama dan Lesmana.
Sungguh licik Sarpakenaka. Mendengar cerita dari Sarpakenaka, suaminya pun marah. Tangan
Karadursana dan Trimurda memukul tanah sehingga debu dan pasir beraburan ke atas. Mereka
pun langsung menyiapkan dan membawa satu laksa raksasa ke Dandaka. Raksasa-raksasa itu
terbang besenjata lengkap dan pakaian yang bergemerlapan. Tiba mereka di atas daerah
Dandaka, mereka terbang melayang mengitari gunung mencari Rama dan Lesmana.
Ternyata Rama dan Lesmana sudah bersiap dari tadi. Keduanya muali menarik panah
sakti dan akibatnya sangat menakjubkan. Bagaikan hujan, bangkai raksasa berjatuhan di tanah.
Raksasa Trimurda pun geram melihat perlakuan kedua putra Aodya tersebut terhadap
pasukannya. Ia menukik ke tanah menyambar dan menyerang Rama. Namun sayangnya Rama
dengan cekatan telah melepas paanah dadalinya yang mengakibatkan Trimurda tewas dengan
leher putus. Melihat Trimurda tewas, raksasa Karadusana marah bukan kepalang. Ia kembali
menyerang Rama. Tapi panah dadali tetap saja menyerang dan mengakibatkan raksasa
Karadusana tewas dengan leher terputus juga. Sisa-sisa raksasa yang terbang masih banyak.
Langit terasa mendung. Raksasa-raksasa itu melempar Rama dan Lesmana dengan gada alugora
dan limpung. Tidak sedikit yang menyerang dengan melesatkan anak panah. Namun Lesmana
cepat menarik panah sakti dan Rama tetap menarik panah dadali. Alhasil semua raksasa itu tewas
dan jatuh ke tanah bagaikan hujan. Suluruh rakyat Dandaka bersorak gembira. Mereka
menaburkan bunga tanda syukur.
Sarpakenaka yang sedang menderita lahir batin di istana menerima laporan dari raksasa
pengintai pertempuran di Dandaka mengenai tewasnya kedua suaminya juga seluruh pasukan
terbangnya. Sarpakenaka segera melesat terbang ke istana kakaknya raja Alengka Prabu
Rahwana. Prabu Rahwana sangat sakti dan memiliki aji-aji pancasona yang membuatnya tuidak
dapat mati. Banyak raja yang sudah ditaklukannya. Ayahnya adalah Bagawan Wisrawa dan
ibunya Dewi Sukesi. Rahwana memiliki tiga adik. Yang pertama raksasa Kumbakarna yang
bertubuh besar dan tinggi seperti gunung, yang kedua putri raksasa Sarpakeneka. Sedangkan
yang ketiga dan yang bungsu Raden Arya Wibisana atau Gunawan yang berparas elok. Ini hasil
permohonan Bagawan Wirsawa dahulu kepada Dewa. Wibisana sangat bijaksana, cerdas dan
mengetahui apa yang akan datang. Empat putra Bagawan Wirsawa sudah memiliki istana
sendiri-sendiri. Rahawana tinggal di istana Alengka yang sangat indah. Waktu itu Rahwana
sedang duduk sendirian. Tiba-tiba datang Sarpakenaka menubruknya dan langsung melakukan
sembah su ngkem dan menjerit. Sarpakenaka melapokan tentang tewasnya kedua suaminya dan
pasukan terbangnya. Ia juaga menceritakan tentang 2 kesatria Ayodya yang telah menewaskan
suami dan pasukannya. Satu lagi ia juga menceritakan tentang kecantikan dari istri Rama yaitu
putri Mantili. Setelah Sarpakenaka bercerita panjang lebar ia meminta bantuan Prabu Rahwana.
Pertamanya Prabu Rahwana tidak tertarik dengan laporan dari adiknya itu. Namun pada saat
Sarpakenaka menceritakan tentang istri Rama yang katanya kecantikannya tidak ada yang bisa
menandingi, Rahwana mulai bangkit dan penyakitnya mulai kambuh lagi untuk mengejar sampai
dapat istri-istrinya yang sekarang, dan juga akan melakukan itu juga untuk mendapatkan putri
Mantili. Muka Rahwana merah padam matanya menyala-nyala. Rahwana berkata pada adiknya
bahwa ia akan menghadapi Rama dan Lesmana. Setelelah Rahwana berbicara ia langsung
terbang ke perbatasan dimana Marica bertempat tinggal. Sesampai di perbatasan Marica
menyambut Rahwana dan melakukan sembah sungkem. Rahwana mengajak Marica ke Dandaka
untuk mencari Rama dan Lesmana. Namun Marica masih takut karena Rama dan Lesmana
sangat sakti dan dapat membunuh satu laksa raksasa bersama raksasa Karadusana dan Trimurda
juga ikut terbunuh. Marica yang tertegun dengan kesaktian putra Ayodya itu. Ia terus
mengungkapkan kesaktian mereka. Itu membuat Rahwana marah besar terhadap Marica yang
telah memuji Rama dan Lesmana setinggi langit. Rahwana pun hampir menusukan Candrasa ke
leher Marica. Dan mereka pun akhirnya pergi ke Dandaka dengan Marica merubah diri menjadi
kijang kencana berbulu keemasan untuk menarik perhatian putri Mantili. Bala tentara Marica
pun mengintai dari kejauhan.
Pada waktu itu Dewi Sinta sedang berada di hutan Dandaka bersama Rama dan Lesmana.
Dewi Sinta yang pertama melihat kijang kencana itu. Ia kagum karena baru kali ini ia melihat
kijang berbulu keemasan. Sinta meminta kepada Rama agar ditangkapnya kijang itu. Rama
dengan sanang hati menuruti kehendak istrinya. Dikejarnya kijang kencana itu namun
sebelumnya Rama berpesan pada Lesmana agar dalam keadaan bagaimanapun agar ia tidak
meninggalkan Sinta. Rama pun mengejar kijang yang larinya sangat cepat itu. Rama semakin
terpisah dengan istrinya Sinta. Kijang itu seperti minta ditangkap. Tapi kalau Rama mendekat
kijang itu malah lari. Namun saat Rama ketinggalan jauh kijang itu menunggu seolah ia ingin
Rama menangkapnya. Akhirnya betapa sabarnya Rama, namun dia bisa marah juga. Rama
melepaskan panahnya menuju kijang itu. Kijang itu pun menggelepar, tubuhnya bersimbahan
darah segar dan berubah wujud aslinya menjadi Raksasa Marica. Raksasa Marica yang cerdik itu
sangat setia dengan Rahwana. Ia mengorbankan seluruh hidupnya untuk gustinya. Sebelum ia
menghembuskan nafas terakhir, Marica mengeluarkan rintihan mengaduh seperti suara rintihan
Rama. Dengan teus menyebut nama Lesmana untuk menolongnya. Dewi Sinta pun terkecoh oleh
Marica. Ia menugaskan Lesmana untuk menolong Rama suaminya yang diduganya sedang
terluka. Namun Lesmana tidak mau. Ia masih ingat dengan pesan kandanya yag menyuruhnya
jangan meninggalkan Sinta meskipun dalam keadaan apa pun. Namun Dewi Sinta salah paham.
Ia malah menuduh Lesmana yang bukan-bukan. Lesmana sedih sekali hatinya mendengar kata-
kata yang dituduhkan oleh Dewi Sinta terhadapnya. Lesmana pun meneteskan air mata. Ia
meminta maaf kepada Dewi Sinta. Lesmana pun menuruti kehendak Dewi Sinta untuk menyusul
kakaknya, Rama dan meninggalkan Dewi Sinta di sana. Melihat Lesmana sudah jauh dari Dewi
Sinta, Rahwana segera muncul dari tempat persembunyiannya dengan merubah diri menjadi
seorang kakek, seorang pendeta yang sudah lanjut usia. Pendeta palsu itu berjalan sempoyongan
dengan susah payah. Kelihatannya ia letih sekali, kepalanya yang gundul plontos itu berkucir di
bagian belakang. Giginya mengeluarkan suara gemetar seperti kedinginan. Ia membawa labu
kosong untuk mencari air. Ia berjalan setapak demi setapak seperti orang yang sudah benar –
benar terlampau tua. Ia mencari perhatian Dewi Sinta yang sedang berdiri sendirian.
Rahwana yang menjelma menjadi pendeta tua mulai membuka percakapan dengan Dewi
Sinta. Pendeta itu banyak bertanya pada Dewi Sinta. Ia bertanya nama, dari istana mana, dan
putri siapa. Sinta pun menjawab semua pertanyaan dari pendeta itu. Dia juga mengatakan bahwa
ia istri dari Rama, putra almarhum Prabu Dasarata yang tertua dari negeri Ayodya. Pendeta itu
berkata bahwa Sinta salah memilih pasangan hidup, padahal di negeri Alengka sana ada yang
namanya Prabu Rahwana, prabu yang sakti mandraguna yang sekarang sedang kesepian yang
menginginkan Sinta menjadi istrinya. Setelah berkata seperti itu, pendeta palsu itu langsung
menubruk Sinta dan membawanya terbang ke angkasa dan seketika Rahwana merubah wujudnya
seperti semula. Dewi Sinta menjerit dan berteriak meminta tolong. Ia menangis keras – keras di
udara dan tangisannya itu kedengaran sampai hutan di sekitarnya. Sinta menangis sambil
memanggil nama suaminya, Rama, dan adiknya, Lesmana. Pada waktu itu ada seekor burung
raksasa yang bernama Jatayu. Ia mendengar jeritan Dewi Sinta dan mencoba menolongnya
karena diketahui bahwa Dewi Sinta merupakan menantu dari Prabu Dasarata yang sejak dulu
adalah teman karibnya. Jatayu mengetahui bahwa itu pasti ulah Rahwana. Ia kemudian mencari
arah datangnya suara. Ia terbang dengan begitu cepat. Tak lama kemudian Jatayu melihat sebuah
titik hitam di udara dari kejauhan yang ternyata itu adalah Rahwana. Ia mengejar sambil
berteriak, “Hei, berhenti!”. Mendengar teriakan itu Rahwana menoleh. Dilihatnya seekor burung
besar mengejarnya. Ia marah sekali dan dicabutnya senjata Candrasa. Sebelum sempat Rahwana
menyerang Jatayu segera melesat menukik menyambar dari atas. Ia menyerang Rahwana dan
mulai bercucuran darah segar dari mulut Rahwana. Tulang iga Rahwana hancur. Sebelum tewas,
Rahwana melambaikan tangan memanggil bala tentaranya yang mengikutinya dari kejauhan.
Dan dilemparnya Dewi Sinta kepada mereka. Sinta diterima oleh mereka dan dimasukkan
kedalam kereta. Jatayu marah dan langsung menyerang perwira – perwira raksasa yang
mengawal kereta. Semuanya tewas. Kereta itu diterjangnya hancur. Sinta yang terlempar dan
akan jatuh ke tanah diterkamnya dan dibawanya terbang ke udara. Tubuh Rahwana yang sudah
tewas, ketika menyentuh tanah, hidup lagi karena Rahwana memiliki aji – aji pancasona yang
diterimanya dari Subali, ketika tubuhnya menyentuh tanah, dia akan hidup kembali.
Rahwana langsung meluncur ke udara mengejar Jatayu. Jatayu terkejar Rahwana yang
sangat marah itu. Jatayu diserang dengan menggunakan senjata Candrasa milik Rahwana. Jatayu
mengalami luka parah. Sayapnya patah. Ia lemah dan tubuhnya meluncur ke tanah. Sinta terlepas
dari punggungnya. Sinta lalu disambar oleh Rahwana dan segera dibawa ke Alengka. Setibanya
di Alengka, Sinta segera diserahkan kepada kemenakannya, Dewi Trijata Putri dan Raden
Wibisana. Trijata merawat Sinta dengan penuh kecintaan. Sekjak saat itu Sinta tinggal di
Alengka bersama Trijata. Hati Sinta sangat sedih. Ia jarang mau makan dan minum. Tubuhnya
menjadi kurus. Setelah 3 hari Sinta berada di taman itu, Rahwana datang. Rahwana mencoba
merayu Sinta untuk menjadi istrinya. Namun Sinta menolak. Ia mengancam bunuh diri karena
dipaksa. Trijata pun menghibur Sinta dengan kebesaran hatinya.
Pada waktu Kijang Kencana yang terpanah oleh Rama itu tewas, wujudnya kembali
menjadi Marica. Setelah itu Rama segera meninggalkan tempat tersebut dan cepat – cepat
mencari istrinya. Setelah Rama kembali ke tempat istrinya semula, ia tidak menemukan
seorangpun, baik itu Lesmana, maupun Sinta. Mukanya menjadi pucat. Ia khawatir akan
keselamatan istrinya. Tak lama kemudian, Lesmana muncul. Rama menanyakan istrinya kepada
Lesmana. Lesmana pun melaporkan bahwa tadi Sinta menugaskannya untuk mencari Rama.
Namun entah mengapa Sinta menghilang. Mendengar laporan adiknya, hati Rama hancur dan
Rama pun pingsan. Lesmana memeluk Rama sambil berkata, “Bangunlah Kanda. Bukankah kita
ini sekedar makhluk ciptaan dewa. Sudah barang tentunya kita tidak terbebas dari rasa sakit, sdih
dan lain sebagainya. Bangunlah Kanda.” Rama terbangun pandangannya masih kabur. Rama
seperti orang gila yang tersenyum sendiri. Ia seperti melihat bangan Sinta di celah-celah pohon.
Rama menjadi gandrung. Tingkah lakunya seperti orang gila.