Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Lapres Biokimia Enzim

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 55

A.

Judul Percobaan : Pengaruh pH dan Konsentrasi Enzim


Terhadap Aktivitas Enzim
B. Hari / Tanggal Percobaan : Kamis, 25 Mei 2023 pukul 07.00 WIB
C. Selesai Percobaan : Kamis, 25 Mei 2023 pukul 12.00 WIB
D. Tujuan Percobaan : Membuktikan bahwa pH dan konsentrasi
enzim mempengaruhi aktivitas enzim
E. Dasar Teori
1. Enzim
Enzim merupakan katalisator pilihan yang diharapkan dapat
mengurangi dampak pencemaran lingkungan dan pemborosan energi
karena reaksinya tidak membutuhkan energi, bersifat spesifik dan tidak
beracun. Enzim telah dimanfaatkan secara luas pada berbagai industri
produk pertanian, kimia dan industri obat-obatan. Tiga sifat utama dari
biokatalisator adalah menaikkan kecepatan reaksi, mempunyai kekhususan
dalam reaksi dan produk serta kontrol kinetik (Akhdiya, 2003). Enzim
memegang peranan penting dalam proses pencernaan makanan maupun
proses metabolisme zat-zat makanan dalam tubuh. Fungsi enzim adalah
mengurangi energi aktivasi, yaitu energi yang diperlukan untuk mencapai
status transisi (suatu bentuk dengan tingkat energi tertinggi) dalam suatu
reaksi kimiawi. Suatu reaksi yang di katalisis oleh enzim mempunyai
energi aktivasi yang lebih rendah, dengan demikian membutuhkan lebih
sedikit energi untuk berlangsungnya reaksi tersebut. Enzim mempercepat
reaksi kimiawi secara spesifik tanpa pembentukan hasil samping dan
bekerja pada larutan dengan keadaan suhu dan pH tertentu (Tyanjani &
Yuananta, 2015).
Energi yang diperlukan oleh enzim di dalam reaksi kimia sangat
kecil sehingga berfungsi menurunkan energi aktivasi. Molekul awal yang
disebut substrat akan dipercepat perubahannya menjadi molekul lain yang
disebut produk. Semua proses biologis sel memerlukan enzim agar dapat
berlangsung dengan cukup cepat dalam suatu arah lintasan metabolisme.
Enzim bekerja dengan cara bereaksi dengan molekul substrat untuk
menghasilkan senyawa intermediat melalui suatu reaksi kimia organik
yang membutuhkan energi aktivasi lebih rendah, sehingga percepatan
reaksi kimia terjadi karena reaksi kimia dengan energi aktivasi lebih tinggi
membutuhkan waktu lebih lama. Sebagian besar enzim bekerja secara
khas, yang artinya setiap jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu
macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan struktur
kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Sebagai contoh, enzim α-amilase
hanya dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa
(Ainezzahira & Multri, 2019).
Kimiawan Prancis, Anselme Payen, adalah ilmuwan pertama yang
menemukan sebuah enzim, yaitu diastase, pada 1833. Berselang beberapa
dasawarsa kemudian, Louis Pasteur yang sedang meneliti fermentasi gula
menjadi alkohol dengan menggunakan ragi, menulis bahwa reaksi
fermentasi ini disebabkan oleh "gaya dorong vital" yang terdapat dalam sel
ragi, disebut sebagai "ferment", yang menurutnya hanya berfungsi dalam
tubuh organisme hidup. Ia menulis bahwa "fermentasi alkohol adalah aksi
yang berhubungan dengan kehidupan dan keteraturan sel-sel ragi, dan
bukannya kematian ataupun membusuknya sel-sel tersebut”. Pada tahun
1878, ahli fisiologi Jerman Wilhelm Kühne (1837–1900) pertama kali
menggunakan istilah "enzyme", yang berasal dari bahasa Yunani ενζυμον
yang berarti "dalam bahan pengembang" atau "dalam ragi", untuk
menjelaskan proses ini. Kata "enzim" (enzyme) kelak digunakan untuk
merujuk pada zat mati seperti pepsin, dan kata ferment digunakan untuk
merujuk pada aktivitas kimiawi yang dihasilkan oleh organisme hidup.
Pada tahun 1897, Eduard Buchner memulai rangkaian makalah ilmiahnya
tentang ekstrak ragi. Dalam sejumlah eksperimen di Universitas Berlin, ia
menemukan bahwa fermentasi gula oleh ekstrak ragi tetap berjalan
sekalipun tidak ada sel ragi yang masih hidup di campuran. Ia menamai
enzim yang memicu fermentasi sukrosa ini sebagai "zymase" (zimase).
Pada tahun 1907, ia menerima penghargaan Nobel dalam bidang kimia
untuk "penemuan fermentasi tanpa sel" (Hidayati, 2018). Tata nama enzim
hingga kini mengikuti contoh Buchner, yaitu dengan akhiran -ase dan
sesuai dengan reaksi yang dikatalisasi oleh enzim tersebut. Umumnya,
akhiran -ase ditambahkan pada nama substrat (zat yang direaksikan) enzim
tersebut (contohnya: laktase, merupakan enzim yang mengurai laktosa)
ataupun pada jenis reaksi yang dikatalisasi (contoh: DNA polimerase
mengatalisasi reaksi polimerisasi terhadap DNA). Dengan berhasilnya
kristalisasi enzim, struktur enzim kemudian dapat dijabarkan melalui
metode kristalografi sinar-X. Hal ini pertama kali diterapkan terhadap
lisozim, sebuah enzim yang ditemukan pada air mata, air ludah, dan putih
telur, yang dapat memecah lapisan pelindung beberapa bakteri. Struktur
enzim ini diuraikan oleh sekelompok ilmuwan yang diketuai oleh David
Chilton Phillips dan hasilnya diterbitkan pada 1965. Struktur rinci lisozim
ini menandai permulaan bidang biologi struktur serta dimulainya usaha
untuk memahami cara kerja enzim dalam tingkat atom (Ainezzahira &
Multri, 2019).
Nama enzim sering kali diturunkan dari nama substrat ataupun
reaksi kimia yang dikatalisasinya, menjadi sebuah nama dengan akhiran -
ase. Contohnya adalah laktase (menguraikan laktosa), alkohol
dehidrogenase (mengatalisis dehidrogenisasi/penghilangan hidrogen dari
alkohol), dan DNA polimerase (polimerisasi DNA). Enzim-enzim dengan
struktur berbeda tetapi mengatalisis reaksi kimia yang sama disebut
isoenzim. Selain itu, International Union of Biochemistry and Molecular
Biology (IUBMB, Persatuan Biokimia dan Biologi Molekul Internasional)
telah mengembangkan suatu tatanama untuk enzim, yang disebut sebagai
nomor EC (EC berasal dari Enzyme Commission/"Komisi Enzim").
Dalam tatanama ini, nama enzim diawali dengan "EC" dan diikuti dengan
empat nomor yang menunjukkan penggolongan reaksi yang dikatalisis
oleh enzim tersebut. Angka pertama menunjukan pengelompokan tingkat
teratas (berdasarakan kesamaan yang paling umum), yang kemudian
dibagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil dan lebih
spesifik, berdasarkan substrat, produk (hasil reaksi), atau mekanisme
kimianya. Sebagai contoh, heksokinase adalah EC 2.7.1.1, dengan EC 2
menunjukkan bahwa enzim tersebut termasuk kelompok transferase
(Wahyuningsih, 2019).
Enzim umumnya merupakan protein globular, yang berdiri sendiri
maupun menjadi bagian dari kompleks protein. Aktivitas katalisis sebuah
enzim ditentukan oleh strukturnya, dan struktur ini tergantung dari urutan
asam-asam aminonya. Walaupun begitu, memprediksi secara efisien
aktivitas enzim berdasarkan strukturnya saja masih merupakan persoalan
yang belum terpecahkan, dan melibatkan ilmu enzimologi, biologi
struktur, dan kimia komputasi. Ukuran enzim berkisar dari hanya 62 asam
amino (monomer 4-oksalokrotonat tautomerase), sampai dengan lebih dari
2.500 (asam lemak sintase). Enzim umumnya berukuran jauh lebih besar
dari substratnya, dan hanya sebagian kecil (sekitar 3–4 asam amino) dari
keseluruhan struktur enzim yang secara langsung terlibat dalam katalisis,
bagian ini disebut situs katalitik. Di dekat situs katalitik terdapat satu atau
lebih situs ikatan yang asam-asam aminonya berfungsi mengarahkan
orientasi molekul substrat. Gabungan situs katalitik dan situs ikatan
disebut situs aktif. Bagian enzim yang selebihnya berfungsi menjaga
orientasi persis serta dinamika situs aktif (Mardani, 2012).
2. Sifat-Sifat Enzim
Enzim sebagai suatu senyawa yang berstruktur protein baik murni
maupun protein yang terikat pada gugus non protein, memiliki sifat yang
sama dengan protein lain yaitu:
 Dapat terdenaturasikan oleh panas
 Terpresipitasikan atau terendapkan oleh senyawa-senyawa organik cair
seperti etanol dan aseton juga oleh garam-garam organik
berkonsentrasi tinggi seperti ammonium sulfat
 memiliki bobot molekul yang relatif besar sehingga tidak dapat
melewati membran semi permeabel atau tidak dapat terdialisis
(Ainezzahira & Multri, 2019)
 Dengan kondisi stabil, enzim tidak akan terpengaruh pada reaksi yang
ada. Hal ini dapat terjadi karena sifat protein dan enzim aktivitas
dipengaruhi oleh pH dan suhu. Pada kondisi yang dianggap tidak
optimum suatu enzim merupakan senyawa realtif tidak stabil dan
dipengaruhi oleh reaksi yang dikatalisisnya.
 Enzim aktif dalam jumlah yang sangat sedikit. Hal ini hanya
membutuhkan sejumlah kecil enzim untuk mengubah di dalam reaksi
kimia.
 Enzim tidak memengaruhi keseimbangan rekasi. Meskipun enzim
mempercepat penyelesaian suatu reaksi, enzim tidak mempengaruhi
keseimbangan reaksi tersebut. Jika kecepatan yang tinggi, maka suatu
enzim akan mempunyai timbal balik dalam sistem hidup yang
berlangsung.
 Kerja katalis enzim spesifik. Enzim menunjukkan kekhasan untuk
reaksi yang dikatalisnya. Jadi, pada suatu enzim yang mengkatalis
suatu reaksi, maka enzim tersebut tidak mengkatalis enzim lainnya.
 Kerja enzim bersifat bolak-balik atau reversible. Suatu enzim dapat
melakukan reaksi dua arah, yaitu substrat menjadi produk atau produk
menjadi substrat (Kusumaningrum, 2019).
 Enzim merupakan koloid. Enzim tersusun atas komponen protein. Oleh
sebab itu, sifat enzim tergolong koloid. Aktivitas pada enzim
cenderung besar karena ia memiliki permukaan antar partikel yang
cukup besar.
 Tidak menentukan arah reaksi. Enzim tidak mempunyai peran untuk
melangkah kemana arah reaksi tersebut. Misalnya, tubuh yang
kekurangan glukosa maka akan bisa memecah gula cadangan atau
glikogen dan juga sebaliknya.
 Enzim dapat digunakan berulang kali/reusable. Selama enzim tidak
rusak, maka enzim dapat digunakan berulang-ulang kali karena tidak
ikut bereaksi.
 Enzim tidak ikut berubah menjadi produk. Meskipun enzim bekerja
untuk mengubah substrat menjadi produk, tetapi enzim tidak ikut
berubah menjadi produk juga (Supriyatna & Amalia, 2015).
3. Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Enzim
Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja enzim antara lain
temperature, derajat keasaman (pH), konsentrasi enzim dan substrat,
kofaktor dan inhibitor. Tiap enzim memerlukan suhu dan pH (tingkat
keasaman) optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein yang
dapat mengalami perubahan jika bentuk suhu dan keasaman berubah.
Kerja enzim juga dipengaruhi oleh molekul lain. Inhibitor sebagai molekul
yang meminimalisir aktivitas enzim, sedangkan untuk activator molekul
yang meningkatkan aktivitas enzim (Anggraeni, 2015). Berikut ini faktor-
faktor yang dapat memengaruhi kinerja dari enzim.
 Temperatur atau suhu
Enzim yang tersusun dari protein, sangat peka terhadap temperature.
Apabila temperatur terlalu tinggi maka dapat menyebabkan denaturasi
protein. Temperature yang terlalu rendah dapat menghambat reaksi.
Pada umumnya temperature optimum enzim adalah 30 – 400 oC.
Kebanyakan enzim tidak menunjukkan reaksi jika suhu turun hingga
0oC, namun enzim tidak rusak, bila suhu normal maka enzim akan aktif
kembali. Enzim dapat tahan pada suhu rendah, namun jika suhu diatas
500oC akan mengalami kerusakan (Kusumaningrum, 2019).
 pH
Potensial Hidrogen (pH) merupakan salah satu faktor penting yang
harus diperhatikan apabila bekerja dengan enzim, hal ini dikarenakan
enzim hanya mampu bekerja pada kondisi pH tertentu saja. Suatu
kondisi pH dimana enzim dapat bekerja dengan aktivitas tertinggi yang
dapat dilakukannya dinamakan pH optimum. Sebaliknya pada pH
tertentu enzim sama sekali tidak aktif atau bahkan rusak. Hal ini dapat
dijelaskan karena diketahui bahwa enzim merupakan molekul protein,
molekul protein kestabilannya dapat dipengaruhi oleh tingkat
keasaman lingkungan, pada kondisi keasaman yang ekstrim molekul-
molekul protein dari enzim akan rusak (Anggraeni, 2015).
 Konsentrasi Enzim dan Substrat
Jika melakukan pengujian konsentrasi substrat dari rendah ke tinggi
terhadap kecepatan reaksi enzimatis, maka pada awalnya akan
diperoleh hubungan kesebandingan yang menyatakan kecepatan reaksi
akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi substrat,
namun kemudian akan diperoleh data yang menyatakan pada
konsentrasi substrat tinggi tertentu kecepatan reaksi tidak lagi
bertambah. Pada kondisi ini konsentrasi substrat menjadi jenuh dan
kecepatan reaksi menjadi maksimum yang sering juga disebut sebagai
kecepatan maksimum (Vmax). Seperti pada katalis lain, kecepatan
suatu reaksi yang menggunakan enzim tergantung pada konsentrasi
enzim tersebut. Pada suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan
reaksi bertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim. Agar reaksi
berjalan dengan optimum, maka perbandingan jumlah antara enzim
dan subtract harus sesuai. Jika enzim terlalu sedikit dan substrat terlalu
banyak reaksi akan berjalan lambat, bahkan ada subtract yang tidak
terkatalisasi. Reaksi akan cepat jika enzim semakin banyak
(Wahyuningsih, 2019).
 Kofaktor
Sejumlah besar enzim membutuhkan suatu komponen lain untuk dapat
berfungsi sebagai katalis. Komponen ini secara umum disebut
kofaktor. Kofaktor ini dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu : gugus
prostetik, koenzim dan aktivator. Aktivator pada umumnya ialah ion-
ion logam yang dapat terikat atau mudah terlepas dari enzim. Contoh
aktivator logam adalah K+, Mn++, Mg++, Cu++, atau Zn++. Adapun zat
kimia tertentu bisa meningkatkan enzim. Misalnya, garam-garam dan
juga logam alkali dengan konsentrasi encer yakni 2 persen hingga 5
persen, sehingga bisa mengontrol kerja enzim (Hidayati, 2018).
 Inhibitor Enzim
Beberapa zat kimia bisa menghambat kinerja enzim. Misalnya saja,
garam yang mengandung raksa dan juga sianida. Ada tiga jenis
inhibitor atau penghambat. Berikut ini diantaranya:
a. Inhibitor kompetitif. Pada penghambatan inhibitor, maka setiap zat
penghambatnya memiliki struktur yang hampir sama dengan
struktur substrat. Oleh sebab itu, zat penghambat akan berpotensi
terhadap sisi aktif enzim. Jika penghambat lebih dulu berkaitan
dengan sisi aktif enzim, maka substratnya tidak dapat lagi berikatan
dengan sisi aktif enzim.
b. Inhibitor non kompetitif. Pada penghambatan ini, substrat sudah
tidak dapat berikatan dengan kompleks enzim inhibitor, karena sisi
aktif enzim berubah. sehingga enzim akan kehilangan aktivitasnya.
Oleh karena itu, permukaan sisi aktif tidak dapat berhubungan
dengan substrat.
c. Inhibitor umpan balik. Suatu reaksi yang dapat menghambat sebuah
proses kerja enzim pada reaksi tersebut (Mardani, 2012).
4. Enzim Amilase
Amilase adalah enzim yang memecah pati, mengubahnya menjadi
gula. Terdapat dua jenis utama, yaitu alpha dan beta. Alpha-amilase
ditemukan dalam air liur manusia, di mana ia memulai proses kimia dalam
pencernaan dengan hidrolisis pati. Alpha-amilase juga ditemukan dalam
pankreas. Beta-amilase ditemukan dalam biji beberapa tanaman, serta
bakteri, ragi, dan jamur. Amilase juga ditemukan pada hewan lain yang
menggunakannya untuk membantu proses pencernaan. Enzim ini mulai
bekerja di mulut ketika makanan dikunyah, memecah ikatan polisakarida
yang memiliki kaitan sama untuk membuat rantai molekul pati. Pati alami
mengandung glukosa, di mana tubuh memisahkannya agar dapat
memberikan nutrisi yang tepat ke aliran darah. Dengan memutus dan
memisahkan berbagai ikatan dalam pati, amilase dapat mengekstrak gula
sehingga dapat disimpan dalam tubuh. Proses ini dimulai di mulut dan
yang berlanjut pada pankreas, di mana lebih banyak enzim yang digunakan
untuk memecah karbohidrat dan meloloskan makanan melalui sistem
pencernaan. Bagi seseorang yang tidak mampu memproduksi cukup
amilase untuk memecah pati, maka suplemen kesehatan yang mengandung
amilase dapat membantu mengkompensasi kekurangan amilase dalam
tubuh (Ainezzahira & Multri, 2019).
Enzim α-amilase (α -1,4- glukan 4- glukanohidrolase, E.C 3.2.1.1)
merupakan endoenzim yang menghidrolisis ikatan α-(1,4)-glikosida dari
bagian dalam secara acak baik pada amilosa maupun amilopektin. Enzim
α-amilase disebut juga dengan α-retaining double displacement. Enzim α-
amilase dibedakan menjadi dua golongan yaitu termostabil (tahan panas)
dan termolabil (tidak tahan panas). Enzim α-amilase yang termostabil
dapat diperoleh dari Bacillus lichenoformis, Bacillus subtilis, Bacillus
stearothermopHilus dan Bacillus amyloliquefaciens, sedangkan yang
termasuk termolabil dihasilkan dari jamur seperti Aspergilus oryzae dan
Aspergilus niger. Enzim α-amilase termodifikasi dapat bekerja pada suhu
hingga 105-110ºC dengan kisaran pH 5.1-5.6 selama 60-180 menit.
Aktivitas enzim α-amilase dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
diantaranya adalah pH dan suhu. Enzim α-amilase mempunyai kondisi
optimum pada suhu 90-105°C dengan pH 5.6-6.0. Suhu yang terlampau
tinggi dari kondisi optimum akan menganggu dan merusak enzim,
sedangkan pemberian suhu yang terlampau rendah dari kondisi optimum
akan menyebabkan gelatinisasi pati tidak sempurna. Berikut mekanisme
kerja Enzim α-amilase:

Gambar 1: Mekanisme kerja Enzim α-amilase


(Sumber: (Ainezzahira & Multri, 2019))

Enzim amilase merupakan salah satu enzim yang ada di saluran


pencernaan. Fungsi enzim amilase adalah agen yang dapat mempercepat
pemecahan karbohidrat menjadi gula. Keberadaannya sangat penting bagi
sistem pencernaan manusia. Bahkan kelebihan dan kekurangan enzim
amilase, bisa menjadi sebuah tanda gangguan kesehatan di sistem
pencernaan. Sebelum fungsi enzim amilase memainkan peran, kelenjar air
liur, pankreas, dan usus halus akan memproduksinya. Fungsi enzim
amilase dimulai dari mengunyah makanan yang mengandung karbohidrat.
Pada saat mengunyah, air liur akan secara otomatis menghasilkan enzim
amilase. Lalu ketika masuk ke saluran cerna, usus halus akan
menghasilkan enzim amilase dari pankreas untuk mencernanya.
Karbohidrat yang sudah berhasil mencapai usus halus akan diubah
menjadi glukosa atau gula dengan pemecahan zat pati. Pada saat inilah
fungsi enzim amilase dapat berdampak pada penyerapan glukosa ke
sirkulasi darah melalui dinding usus halus (Supriyatna & Amalia, 2015).
Cara kerja enzim dengan substrat melibatkan serangkaian tahapan
yang dikenal sebagai model "kunci dan gembok" atau model "induced fit".
Berikut adalah langkah-langkah umum yang terjadi saat enzim berinteraksi
dengan substrat:
 Pengenalan substrat: Enzim memiliki situs aktif yang
merupakan tempat pengikatan substrat. Substrat, yang
merupakan molekul yang akan diubah oleh reaksi enzim,
mendekati enzim dan berinteraksi dengan situs aktif.
 Pembentukan kompleks enzim-substrat (ES): Substrat terikat
pada situs aktif enzim dan membentuk kompleks enzim-substrat
(ES). Interaksi antara enzim dan substrat terjadi melalui gaya
tarik antara gugus fungsional pada situs aktif dan substrat.
 Pemfasilitas reaksi: Setelah kompleks ES terbentuk, enzim
memfasilitasi reaksi kimia dengan mempercepat konversi
substrat menjadi produk. Enzim bertindak sebagai katalis yang
mengurangi energi aktivasi yang diperlukan untuk reaksi kimia.
 Pemisahan produk: Setelah reaksi selesai, enzim melepaskan
produk dari situs aktifnya. Enzim tetap tidak berubah setelah
reaksi dan dapat digunakan kembali untuk mengkatalisis reaksi
lain dengan substrat baru (Supriyatna & Amalia, 2015).
5. Reaksi Hidrolisis Pati
Hidrolisis adalah proses dekomposisi kimia dengan menggunakan air
untuk memisahkan ikatan kimia dari substansinya. Hidrolisis pati
merupakan proses pemecahan molekul amilum menjadi bagian-bagian
penyusunnya yang lebih sederhana seperti dekstrin, isomaltosa, maltosa
dan glukosa. Proses hidrolisis dapat dilakukan secara enzimatis dan asam.
Hidrolisis secara enzimatis lebih menguntungkan dibandingkan dengan
hidrolisis asam, karena enzim akan memutus ikatan glikosida secara
spesifik, kerusakan warna dapat diminimalkan dan tidak menyisakan
residu. Produk hasil hidrolisis pati umumnya dikarakterisasi berdasarkan
tingkat derajat hidrolisisnya dan dinyatakan dengan nilai DE (Dekstrosa
Equivalen) yang menunjukkan prosentase dekstrosa murni dalam total
padatan substrat yang dihirolisis. Hidrolisis pati menjadi sirup glukosa
melalui tiga tahapan, yaitu gelatinisasi, likuifikasi, dan sakarifikasi
(Mardani, 2012).
 Gelatinisasi merupakan proses awalan sebelum likuifikasi.
Gelatinisasi adalah proses pembengkakan granula pati akibat
pemanasan yang memutus ikatan hidrogen pada ikatan glikosida
pati. Pembengkakan granula tersebut bersifat irreversible atau tidak
bisa lembali lagi ke bentuk semula. Likuifikasi yang dilakukan
tanpa gelatinisasi terlebih dahulu akan membutuhkan waktu yang
lebih lama dibandingkan dengan substrat yang telah mengalami
gelatinisasi.
 Likuifikasi merupakan proses hidrolisis pati menjadi molekul-
molekul yang lebih kecil seperti maltosa, glukosa, dan dekstrin
dengan menggunakan enzim α-amilase. Likuifikasi Sirup Glukosa
Fungsional dari Tepung Ubi Jalar Ungu umumnya dilakukan
hingga dekstrosa equivalen mencapai 15-20% atau sampai larutan
berwarna merah bata jika direaksikan dengan larutan iodin.
Aktivitas enzim α-amilase menentukan cepat lambatnya proses
likuifikasi. Enzim ini akan bekerja lebih cepat jika menggunakan
substrat yang berbentuk gel atau yang sebelumnya telah
digelatinisasi. Likuifikasi dapat dilakukan pada suhu 105°C, pH 6
selama 5 menit atau pada suhu 95-97°C, pH 6 selama 1-3 jam
dengan menggunakan α–amilase termostabil. Enzim α–amilase ini
memecah ikatan α-(1,4) glikosidik secara acak pada bagian dalam
substrat dan menghasilkan gula reduksi dan dekstrin dengan rantai
glukosa jumlah kecil.
 Sakarifikasi merupakan tahap hidrolisis lanjutan dari tahap
likuifikasi dengan menggunakan enzim glukoamilase. Enzim
glukoamilase merupakan salah satu eksoenzim yang mampu
menghdrolisis ikatan α-1,4 dan sedikit pada ikatan α-1,6 pada titik
percabangan. Enzim ini akan menghidrolisis pati menjadi
oligosakarida, matotriosa menjadi maltosa dan menghidrolisa
maltosa menjadi glukosa. Sakarifikasi dapat dilakukan pada suhu
antara 55-60°C dengan pH 4.5 yang mana proses tersebut
membutuhkan waktu antara 24-72 jam.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses hidrolisis pati antara lain
yaitu konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, suhu, pH dan lama proses
hidrolisis. Enzim mempunyai spesifitas yang tinggi, sehingga kinerja
enzim akan optimal jika substrat yang digunakan cocok dan dalam
konsentrasi yang tepat. Selain itu konsentrasi enzim juga berpengaruh
terhadap likuifikasi sebab efektivas kerja enzim berbanding lurus dengan
konsentrasi enzim, sehingga semakin optimal kerja enzim, maka proses
hidrolisis juga akan semakin cepat (Tyanjani & Yuananta, 2015).
6. Reaksi Dekstrin
Dekstrin merupakan sejenis oligosakarida yang dihasilkan dari
aktivitas pemecahan polisakarida (pati atau glikogen). Dekstrin dapat
berupa α-1,6 dan α-1,4. Dekstrin dapat digunakan untuk berbagai pelapis
untuk produk farmaseutikal, lem yang dapat dimakan, dan sealant.
Dekstrin merupakan hasil hidrolisis pati menjadi gula oleh panas, asam
atau enzim. Proses ini melibatkan alkali dan oksidator, Pengurangan
panjang rantai tersebut akan menyebabkan perubahan sifat dimana pati
yang tidak mudah larut dalam air diubah menjadi dekstrin yang mudah
larut. Dekstrin bersifat sangat larut dalam air panas atau dingin, dengan
viskositas yang relatif rendah. Sifat tersebut mempermudah penggunaan
dekstrin apabila digunakan dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Dekstrin
yang pada umumnya mempunyai nilai DE 10 – 15 dengan menggunakan
asam atau enzim α – amilase. Dalam penelitian ini akan diproduksi
dekstrin dengan nilai DE yang lebih kecil menggunakan enzim β –
amilase. Penggunaan enzim β – amilase dengan tujuan tersebut sangat
memungkinkan, oleh karena itu cara penyerangan enzim β – amylase yang
memotong ikatan α – 1,4 – glikosida sangat lambat dan hanya memotong 2
unit glukosa setiap pemotongannya dari ujung non reduksi rantai glukosa.
Dimana pada rantai percabangan khususnya pada molekul amilopektin
tidak dapat menghidrolisa α – 1,6 – glikosida pada titik percabangan,
sehingga didapatkan hasil yan didominasi oleh maltose dan β - limit
dekstrin (Tyanjani & Yuananta, 2015).
7. Spektrofotometer UV Vis
Spektrofotometri sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari
spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari
spectrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat
pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau diabsorbsi. Jadi
spektrofotometer digunakan untuk mengukur energy relatif jika energy
tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi
panjang gelombang (Aryasa & Aprilianti, 2018). Spektrofotometer UV-
VIS adalah pengukuran serapan cahaya di daerah ultraviolet (200-350nm)
dan sinar tampak (350-800nm) oleh suatu senyawa. Serapan cahaya UV
atau VIS (cahaya tampak) mengakibatkan transisi elektronik, yaitu
promosi elektron-elektron dari orbital keadan dasar yang berenergi rendah
ke orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih rendah (Anisah & Prawita,
2021).
Spektrofotometer UV-Vis pada umumnya digunakan untuk:
 Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonyugasi dan
ausokrom dari suatu senyawa organik.
 Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang
maksimum suatu senyawa.
 Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan
menggunakan hukum Lambert-Beer (Sahumena & Ruslin, 2020).
Prinsip kerja spektrofotometer adalah penyerapan cahaya pada panjang
gelombang tertentu oleh bahan yang diperiksa. Tiap zat memiliki
absorbansi pada panjang gelombang tetentu yang khas. Panjang
gelombang dengan absorbansi tertinggi digunakan untuk mengukur kadar
zat yang diperiksa. Banyaknya cahaya yang diabsorbsi oleh zat berbanding
lurus dengan kadar zat. Memastikan ketepatan pengukuran, kadar yang
hendak diukur dibandingkan terhadap kadar yang diketahui (standar).
Setelah dimasukan blangko (Junaidi, 2017).

Gambar 2: Prinsip Kerja Spektrofotometer UV-Vis


(Sumber: (Junaidi, 2017))
Secara sederhana instrument spektrofotometeri yang disebut
spektrofotometer terdiri dari Sumber cahaya – monokromatis – sel sampel
– detector- read out. Fungsi masing-masing bagian:
a. Sumber sinar polikromatis
berfungsi sebagai sumber sinar polikromatis dengan berbagai macam
rentang panjang gelombang.
b. Monokromator

berfungsi sebagai penyeleksi panjang gelombang yaitu mengubah


cahaya yang berasal dari sumber sinar polikromatis menjadi cahaya
monokromatis.
c. Sel sampel
berfungsi sebagai tempat meletakan sampel - UV, VIS dan UV-VIS
menggunakan kuvet sebagai tempat sampel. Kuvet biasanya terbuat
dari kuarsa atau gelas, namun kuvet dari kuarsa yang terbuat dari silika
memiliki kualitas yang lebih baik. Hal ini disebabkan yang terbuat dari
kaca dan plastik dapat menyerap UV sehingga penggunaannya hanya
pada spektrofotometer sinar tampak (VIS). Kuvet biasanya berbentuk
persegi panjang dengan lebar 1 cm. - IR, untuk sampel cair dan padat
(dalam bentuk pasta) biasanya dioleskan pada dua lempeng natrium
klorida. Untuk sampel dalam bentuk larutan dimasukan ke dalam sel
natrium klorida. Sel ini akan dipecahkan untuk mengambil kembali
larutan yang dianalisis, jika sampel yang dimiliki sangat sedikit dan
harganya mahal.
d. Detektor
berfungsi menangkap cahaya yang diteruskan dari sampel dan
mengubahnya menjadi arus listrik. Macam-macam detector yaitu
Detektor foto (Photo detector),Photocell, misalnya CdS, Phototube,
Hantaran foto, Dioda foto, Detektor panas.
e. Read out
merupakan suatu sistem baca yang menangkap besarnya isyarat listrik
yang berasal dari detector (Aryasa & Aprilianti, 2018).
Spektrofotometer memiliki 2 tipe yaitu spektrofotometer sinar tunggal
dan spektrofotometer sinar ganda. Spektrofotometer sinar tunggal biasanya
dipakai untuk kawasan spectrum ultraungu dan cahaya yang terlihat.
Spektrofotometer sinar ganda dapat dipergunakan baik dalam kawasan
ultraungu dan cahaya yang terlihat maupun dalam kawasan inframerah
(Sahumena & Ruslin, 2020). Berikut penjelasan mengenai tipe
spektrofotometer:
a. Singel Beam
Single-Bean instrument dapat digunakan untuk kuantitatif dengan
mengukur absorbansi pada panjang gelombang tunggal. Pengukuran
sampel dan larutan blangko atau standar harus dilakukan secara
bergantian dengan sel yang sama.
b. Double Beam
Spektrofotometer memiliki berkas sinar ganda, sehingga dalam
pengukuran absorbansi tidak perlu bergantian antara sampel dan
larutan blangko, spektrofotometer double bean memakai absorbansi
(A) otomatis sebagai fungsi panjang gelombang (Junaidi, 2017).
Faktor-faktor yang sering menyebabkan kesalahan dalam
menggunakan spektrofotometer dalam mengukur konsentrasi suatu analit:
 Adanya serapan oleh pelarut. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan
blangko, yaitu larutan yang berisi selain komponen yang akan
dianalisis termasuk zat pembentuk warna.
 Serapan oleh kuvet. Kuvet yang ada biasanya dari bahan gelas atau
kuarsa, namun kuvet dari kuarsa memiliki kualitas yang lebih baik.
 Kesalahan fotometrik normal pada pengukuran dengan absorbansi
sangat rendah atau sangat tinggi, hal ini dapat diatur dengan
pengaturan konsentrasi, sesuai dengan kisaran sensitivitas dari alat
yang digunakan (melalui pengenceran atau pemekatan) (Irawan, 2019).
Keuntungan utama metode spektrofotometri adalah bahwa metode ini
memberikan cara sederhana untuk menetapkan kuantitas zat yang sangat
kecil. Selain itu, hasil yang diperoleh cukup akurat, dimana angka yang
terbaca langsung dicatat oleh detector dan tercetak dalam bentuk angka
digital ataupun grafik yang sudah diregresikan (Anisah & Prawita, 2021).
Kelebihan spektrofotometer dengan fotometer adalah panjang gelombang
dari sinar putih dapat lebih di deteksi dan cara ini diperoleh dengan alat
pengurai seperti prisma, grating atau celah optis. Pada fotometer filter dari
berbagai warna yang mempunyai spesifikasi melewatkan trayek pada
panjang gelombang tertentu (Anisah & Prawita, 2021).

8. Larutan Blanko
Larutan blanko adalah larutan tidak berisi analit atau larutan tanpa
sampel. Larutan blanko adalah larutan yang digunakan sebagai referensi
untuk membandingkan intensitas cahaya yang diukur pada sampel yang
dianalisis. Larutan blanko biasanya terdiri dari pelarut yang sama seperti
yang digunakan dalam sampel, tetapi tidak mengandung zat yang akan
dianalisis. Dalam spektrofotometri, larutan blanko digunakan untuk
mengkompensasi efek penyerapan oleh zat-zat selain zat yang akan
dianalisis. Fungsi utama larutan blanko pada spektrofotometri adalah
untuk mengurangi kesalahan pengukuran. Ini dilakukan dengan
mengkompensasi efek penyerapan oleh zat-zat selain zat yang akan
dianalisis. Tanpa larutan blanko, efek penyerapan oleh zat-zat selain zat
yang akan dianalisis akan masuk ke dalam pengukuran, sehingga
menghasilkan hasil yang tidak akurat. Dengan menggunakan larutan
blanko, kita dapat mengurangi pengaruh penyerapan oleh zat-zat selain zat
yang akan dianalisis, sehingga menghasilkan hasil yang lebih akurat
(Supriatin & Sumartini, 2020).
Ada dua jenis larutan blanko yang digunakan dalam
spektrofotometri, yaitu larutan blanko pelarut dan larutan blanko zat.
Larutan blanko pelarut digunakan untuk mengukur pengaruh pelarut pada
hasil pengukuran. Sedangkan, larutan blanko zat digunakan untuk
mengkompensasi efek penyerapan oleh zat-zat selain zat yang akan
dianalisis. Larutan blanko zat umumnya diperlukan dalam analisis sampel
yang memiliki konsentrasi zat yang sangat tinggi atau pekat. Pada sampel
dengan konsentrasi tinggi, efek penyerapan oleh zat-zat selain zat yang
akan dianalisis akan semakin besar dan dapat mempengaruhi akurasi hasil
pengukuran. Oleh karena itu, penggunaan larutan blanko zat sangat
penting untuk mengkompensasi efek penyerapan oleh zat-zat selain zat
yang akan dianalisis dan memastikan akurasi hasil pengukuran yang lebih
tinggi (Irawan, 2019).

F. Alat dan Bahan


Alat:
1. Kompor listrik 1 buah
2. Waterbath 1 buah
3. Gelas kimia 100 mL 4 buah
4. Gelas kimia 500 mL 1 buah
5. Gelas ukur 10 mL 1 buah
6. Termometer 1 buah
7. Mikropipet 1 buah
8. Blue tip 10 buah
9. Tabung reaksi 10 buah
10. Rak tabung reaksi 1 buah
11. Pipet tetes 5 buah
12. Labu ukur 10 mL 5 buah
13. Spektrofotometri UV-Vis 1 buah
14. Stopwatch 1 buah

Bahan:

1. Aquades ±100 mL
2. Larutan pH (1,3,7, dan 9) 1 mL
3. Larutan pH 5 7 mL
4. Larutan enzim amylase 1 mL
5. Larutan pati 12 mL
6. Larutan iodium 2 mL
G. Alur Percobaan
1. Pengenceran larutan enzim
Pengenceran 10x

1 mL larutan enzim amilase

1. Dimasukkan ke labu ukur 10 mL


2. Diencerkan dengan aquades hingga tanda batas
3. Dikocok hingga homogen

Larutan Enzim pengenceran 10x

Dilakukan juga pada pengenceran 20x, 30x, 40x, dan 50x.

2. Pengaruh pH enzim terhadap aktivitas enzim


a. Blanko

1 mL larutan pati
1. Dimasukkan dalam tabung reaksi
2. Ditambah 0,5 mL aquades
3. Diinkubasi di waterbath selama 3 menit pada suhu 37oC
4. Ditambah 2 tetes larutan iodium
5. Ditambah 10 mL aquades
6. Dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 680 nm

Absorbansi larutan blanko

Reaksi:
 Reaksi Dextrin

Pati + aquades dextrin


 Reaksi amilum
Amilum + Iodium kompleks iod amilum
(larutan biru)

b. Uji enzim

1 mL larutan pati + 1 mL pH (1,3,5,7, dan 9)

1. Dimasukkan ke dalam tabung reaksi


2. Ditambahkan 0,5 mL enzim pengenceran 10x
3. Diinkubasi di waterbath selama 3 menit pada suhu 37oC
4. Ditambah 2 tetes larutan iodium
5. Ditambah 10 mL aquades
6. Dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 680 nm

Absorbansi larutan uji


7. Dihitung selisih absorbansinya

Selisih absorbansi larutan uji

Reaksi:
 Reaksi Dextrin

Pati + aquades dextrin

 Reaksi amilum

Amilum + Iodium kompleks iod amilum


(larutan biru)
3. Pengaruh konsentrasi enzim terhadap aktivitas enzim
a. Blanko
1 mL larutan pati + 1 mL pH optimum

1. Dimasukkan ke dalam tabung reaksi


2. Ditambah 0,5 mL aquades
3. Diinkubasi di waterbath selama 3 menit pada suhu 37oC
4. Dipanaskan selama 3 menit pada suhu >60oC
5. Ditambah 2 tetes larutan iodium
6. Ditambah 10 mL aquades
7. Dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 680 nm

Absorbansi larutan blanko

Reaksi:

 Reaksi Dextrin

Pati + aquades dextrin

 Reaksi amilum

Amilum + Iodium kompleks iod amilum


(larutan biru)
b. Uji enzim

1 mL larutan pati + 1 mL pH optimum

1. Dimasukkan ke tabung reaksi


2. Ditambah 0,5 mL enzim pengenceran 10x – 50x
3. Diinkubasi di waterbath selama 3 menit pada suhu 37oC
4. Dipanaskan selama 3 menit pada suhu >60oC
5. Ditambah 2 tetes larutan iodium
6. Ditambah 10 mL aquades
7. Dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 680 nm

Absorbansi larutan uji


8. Dihitung selisih absorbansinya

Selisih absorbansi larutan uji

Reaksi:
 Reaksi Dextrin

Pati + aquades dextrin

 Reaksi amilum

Amilum + Iodium kompleks iod amilum


(larutan biru)
H. Hasil Pengamatan
I. Analisis dan Pembahasan
Percobaan yang dilakukan pada Kamis, 25 Mei 2023 pukul 07.00 –
12.00 WIB berjudul “Pengaruh pH dan Konsentrasi Enzim Terhadap Aktivitas
Enzim”. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk membuktikan bahwa pH dan
konsentrasi enzim mempengaruhi aktivitas enzim.
Enzim merupakan katalisator pilihan yang diharapkan dapat
mengurangi dampak pencemaran lingkungan dan pemborosan energi karena
reaksinya tidak membutuhkan energi, bersifat spesifik dan tidak beracun.
Enzim telah dimanfaatkan secara luas pada berbagai industri produk pertanian,
kimia dan industri obat-obatan. Tiga sifat utama dari biokatalisator adalah
menaikkan kecepatan reaksi, mempunyai kekhususan dalam reaksi dan produk
serta kontrol kinetik (Akhdiya, 2003). Enzim memegang peranan penting
dalam proses pencernaan makanan maupun proses metabolisme zat-zat
makanan dalam tubuh. Fungsi enzim adalah mengurangi energi aktivasi, yaitu
energi yang diperlukan untuk mencapai status transisi (suatu bentuk dengan
tingkat energi tertinggi) dalam suatu reaksi kimiawi. Suatu reaksi yang di
katalisis oleh enzim mempunyai energi aktivasi yang lebih rendah, dengan
demikian membutuhkan lebih sedikit energi untuk berlangsungnya reaksi
tersebut. Enzim mempercepat reaksi kimiawi secara spesifik tanpa
pembentukan hasil samping dan bekerja pada larutan dengan keadaan suhu
dan pH tertentu (Tyanjani & Yuananta, 2015). Faktor-faktor yang
mempengaruhi kerja enzim antara lain temperature, derajat keasaman (pH),
konsentrasi enzim dan substrat, kofaktor dan inhibitor. Tiap enzim
memerlukan suhu dan pH (tingkat keasaman) optimum yang berbeda-beda
karena enzim adalah protein yang dapat mengalami perubahan jika bentuk
suhu dan keasaman berubah. Kerja enzim juga dipengaruhi oleh molekul lain.
Inhibitor sebagai molekul yang meminimalisir aktivitas enzim, sedangkan
untuk activator molekul yang meningkatkan aktivitas enzim (Anggraeni,
2015). Berikut ini faktor-faktor yang dapat memengaruhi kinerja dari enzim.
 Temperatur atau suhu
Enzim yang tersusun dari protein, sangat peka terhadap temperature.
Apabila temperatur terlalu tinggi maka dapat menyebabkan denaturasi
protein. Temperature yang terlalu rendah dapat menghambat reaksi.
Pada umumnya temperature optimum enzim adalah 30 – 400 oC.
Kebanyakan enzim tidak menunjukkan reaksi jika suhu turun hingga
0oC, namun enzim tidak rusak, bila suhu normal maka enzim akan aktif
kembali. Enzim dapat tahan pada suhu rendah, namun jika suhu diatas
500oC akan mengalami kerusakan (Kusumaningrum, 2019).
 pH
Potensial Hidrogen (pH) merupakan salah satu faktor penting yang
harus diperhatikan apabila bekerja dengan enzim, hal ini dikarenakan
enzim hanya mampu bekerja pada kondisi pH tertentu saja. Suatu
kondisi pH dimana enzim dapat bekerja dengan aktivitas tertinggi yang
dapat dilakukannya dinamakan pH optimum. Sebaliknya pada pH
tertentu enzim sama sekali tidak aktif atau bahkan rusak. Hal ini dapat
dijelaskan karena diketahui bahwa enzim merupakan molekul protein,
molekul protein kestabilannya dapat dipengaruhi oleh tingkat
keasaman lingkungan, pada kondisi keasaman yang ekstrim molekul-
molekul protein dari enzim akan rusak (Anggraeni, 2015).
 Konsentrasi Enzim dan Substrat
Jika melakukan pengujian konsentrasi substrat dari rendah ke tinggi
terhadap kecepatan reaksi enzimatis, maka pada awalnya akan
diperoleh hubungan kesebandingan yang menyatakan kecepatan reaksi
akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi substrat,
namun kemudian akan diperoleh data yang menyatakan pada
konsentrasi substrat tinggi tertentu kecepatan reaksi tidak lagi
bertambah. Pada kondisi ini konsentrasi substrat menjadi jenuh dan
kecepatan reaksi menjadi maksimum yang sering juga disebut sebagai
kecepatan maksimum (Vmax). Seperti pada katalis lain, kecepatan
suatu reaksi yang menggunakan enzim tergantung pada konsentrasi
enzim tersebut. Pada suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan
reaksi bertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim. Agar reaksi
berjalan dengan optimum, maka perbandingan jumlah antara enzim
dan subtract harus sesuai. Jika enzim terlalu sedikit dan substrat terlalu
banyak reaksi akan berjalan lambat, bahkan ada subtract yang tidak
terkatalisasi. Reaksi akan cepat jika enzim semakin banyak
(Wahyuningsih, 2019).
 Kofaktor
Sejumlah besar enzim membutuhkan suatu komponen lain untuk dapat
berfungsi sebagai katalis. Komponen ini secara umum disebut
kofaktor. Kofaktor ini dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu : gugus
prostetik, koenzim dan aktivator. Aktivator pada umumnya ialah ion-
ion logam yang dapat terikat atau mudah terlepas dari enzim. Contoh
aktivator logam adalah K+, Mn++, Mg++, Cu++, atau Zn++. Adapun zat
kimia tertentu bisa meningkatkan enzim. Misalnya, garam-garam dan
juga logam alkali dengan konsentrasi encer yakni 2 persen hingga 5
persen, sehingga bisa mengontrol kerja enzim (Hidayati, 2018).
 Inhibitor Enzim
Beberapa zat kimia bisa menghambat kinerja enzim. Misalnya saja,
garam yang mengandung raksa dan juga sianida. Ada tiga jenis
inhibitor atau penghambat. Berikut ini diantaranya:
a. Inhibitor kompetitif. Pada penghambatan inhibitor, maka setiap zat
penghambatnya memiliki struktur yang hampir sama dengan
struktur substrat. Oleh sebab itu, zat penghambat akan berpotensi
terhadap sisi aktif enzim. Jika penghambat lebih dulu berkaitan
dengan sisi aktif enzim, maka substratnya tidak dapat lagi berikatan
dengan sisi aktif enzim.
b. Inhibitor non kompetitif. Pada penghambatan ini, substrat sudah
tidak dapat berikatan dengan kompleks enzim inhibitor, karena sisi
aktif enzim berubah. sehingga enzim akan kehilangan aktivitasnya.
Oleh karena itu, permukaan sisi aktif tidak dapat berhubungan
dengan substrat.
c. Inhibitor umpan balik. Suatu reaksi yang dapat menghambat sebuah
proses kerja enzim pada reaksi tersebut (Mardani, 2012).
Enzim yang digunakan pada percobaan ini adalah enzim amylase. Enzim α-
amilase (α -1,4- glukan 4- glukanohidrolase, E.C 3.2.1.1) merupakan
endoenzim yang menghidrolisis ikatan α-(1,4)-glikosida dari bagian dalam
secara acak baik pada amilosa maupun amilopektin. Enzim α-amilase disebut
juga dengan α-retaining double displacement. Enzim α-amilase dibedakan
menjadi dua golongan yaitu termostabil (tahan panas) dan termolabil (tidak
tahan panas). Enzim α-amilase yang termostabil dapat diperoleh dari Bacillus
lichenoformis, Bacillus subtilis, Bacillus stearothermopHilus dan Bacillus
amyloliquefaciens, sedangkan yang termasuk termolabil dihasilkan dari jamur
seperti Aspergilus oryzae dan Aspergilus niger. Enzim α-amilase
termodifikasi dapat bekerja pada suhu hingga 105-110ºC dengan kisaran pH
5.1-5.6 selama 60-180 menit. Aktivitas enzim α-amilase dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang diantaranya adalah pH dan suhu. Enzim α-amilase
mempunyai kondisi optimum pada suhu 90-105°C dengan pH 5-7 (Winarno,
1988). Suhu yang terlampau tinggi dari kondisi optimum akan menganggu dan
merusak enzim, sedangkan pemberian suhu yang terlampau rendah dari
kondisi optimum akan menyebabkan gelatinisasi pati tidak sempurna.
Semakin besar konsentrasi enzim, reaksi pun akan semakin cepat (Soewoto,
2000). Berikut mekanisme kerja Enzim α-amilase:

Gambar 3: Mekanisme kerja Enzim α-amilase


(Sumber: (Ainezzahira & Multri, 2019))

Pada percobaan ini yang bertindak sebagai enzim adalah enzim


amylase dan substratnya adalah amilum. Cara kerja enzim dengan substrat
melibatkan serangkaian tahapan yang dikenal sebagai model "kunci dan
gembok" atau model "induced fit". Berikut adalah langkah-langkah umum
yang terjadi saat enzim berinteraksi dengan substrat:
1. Pengenalan substrat: Enzim memiliki situs aktif yang merupakan tempat
pengikatan substrat. Substrat, yang merupakan molekul yang akan diubah
oleh reaksi enzim, mendekati enzim dan berinteraksi dengan situs aktif.
2. Pembentukan kompleks enzim-substrat (ES): Substrat terikat pada situs
aktif enzim dan membentuk kompleks enzim-substrat (ES). Interaksi
antara enzim dan substrat terjadi melalui gaya tarik antara gugus
fungsional pada situs aktif dan substrat.
3. Pemfasilitas reaksi: Setelah kompleks ES terbentuk, enzim memfasilitasi
reaksi kimia dengan mempercepat konversi substrat menjadi produk.
Enzim bertindak sebagai katalis yang mengurangi energi aktivasi yang
diperlukan untuk reaksi kimia.
4. Pemisahan produk: Setelah reaksi selesai, enzim melepaskan produk dari
situs aktifnya. Enzim tetap tidak berubah setelah reaksi dan dapat
digunakan kembali untuk mengkatalisis reaksi lain dengan substrat baru.
Pada percobaan berjudul “Pengaruh pH dan Konsentrasi Enzim
Terhadap Aktivitas Enzim”, dilakukan 3 tahapan percobaan yaitu pengenceran
larutan enzim. Percobaan pengaruh pH terhadap aktivitas enzim, dan
percobaan pengaruh konsentrasi enzim terhadap aktivitas enzim. Berikut
penjelasannya:
Pengenceran Larutan Enzim
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk membuat larutan pengenceran
yang digunakan pada uji variasi konsentrasi. Pengenceran yang digunakan
dalam percobaan ini adalah metode pengenceran bertingkat. Pengenceran
bertingkat adalah metode yang digunakan untuk mengurangi konsentrasi suatu
larutan dengan cara secara berulang kali menambahkan pelarut ke dalam
larutan asli. Tujuan utama dari pengenceran bertingkat adalah untuk mencapai
konsentrasi yang lebih rendah, sehingga membuat larutan lebih mudah untuk
diukur atau digunakan dalam percobaan atau analisis.
Langkah percobaannya membuat larutan pengenceran 10x. 1 mL
larutan enzim amylase (larutan coklat muda keruh) diambil menggunakan
mikropipet dan dimasukkan ke labu ukur 10 mL. Setelah itu diencerkan
dengan aquades (cairan tidak berwarna) sampai tanda batas. Labu ukur 10 mL
ditutup kemudian dikocok hingga larutan homogen. Labu ukur 10 mL dibuka
tutupnya dan larutan pengenceran 10x dipindahkan ke gelas kimia 100 mL.
Setelah itu diambil 1 mL larutan pengenceran 10x dengan menggunakan
mikropipet untuk pembuatan larutan pengenceran 20x. Dimulai langkah
seperti pembuatan larutan pengenceran 10x yaitu pengenceran. Hal tersebut
dilakukan terus hingga didapatkan larutan pengenceran 50x. hasil larutan yang
didapat sebagai berikut:
Larutan pengenceran Hasil pengamatan
10x Larutan kekuningan
20x Larutan tidak berwarna
30x Larutan tidak berwarna
40x Larutan tidak berwarna
50x Larutan tidak berwarna
Pada percobaan pengenceran larutan enzim, diperoleh larutan pengenceran
enzim konsentrasi 10x – 50x.
Penentuan pH enzim terhadap aktivitas enzim
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menentukan pengaruh pH
enzim terhadap aktivitas enzim. Dalam percobaan ini dilakukan reaksi
hidrolisis pati/amilum menjadi glukosa. Hidrolisis adalah proses dekomposisi
kimia dengan menggunakan air untuk memisahkan ikatan kimia dari
substansinya. Hidrolisis pati merupakan proses pemecahan molekul amilum
menjadi bagian-bagian penyusunnya yang lebih sederhana seperti dekstrin,
isomaltosa, maltosa dan glukosa. Proses hidrolisis dapat dilakukan secara
enzimatis dan asam. Hidrolisis secara enzimatis lebih menguntungkan
dibandingkan dengan hidrolisis asam, karena enzim akan memutus ikatan
glikosida secara spesifik, kerusakan warna dapat diminimalkan dan tidak
menyisakan residu. Produk hasil hidrolisis pati umumnya dikarakterisasi
berdasarkan tingkat derajat hidrolisisnya dan dinyatakan dengan nilai DE
(Dekstrosa Equivalen) yang menunjukkan prosentase dekstrosa murni dalam
total padatan substrat yang dihirolisis. Hidrolisis pati menjadi sirup glukosa
melalui tiga tahapan, yaitu gelatinisasi, likuifikasi, dan sakarifikasi (Mardani,
2012).
Dalam pecobaan penentuan pH enzim terhadap aktivitas enzim,
dilakukan 2 pembuatan larutan yaitu larutan blanko dan larutan uji. Berikut
penjelasannya:
a) Larutan Blanko
Larutan blanko adalah larutan yang digunakan sebagai referensi
untuk membandingkan intensitas cahaya yang diukur pada sampel yang
dianalisis. Larutan blanko biasanya terdiri dari pelarut yang sama seperti
yang digunakan dalam sampel, tetapi tidak mengandung zat yang akan
dianalisis. Dalam spektrofotometri, larutan blanko digunakan untuk
mengkompensasi efek penyerapan oleh zat-zat selain zat yang akan
dianalisis. Fungsi utama larutan blanko pada spektrofotometri adalah
untuk mengurangi kesalahan pengukuran. Ini dilakukan dengan
mengkompensasi efek penyerapan oleh zat-zat selain zat yang akan
dianalisis. Tanpa larutan blanko, efek penyerapan oleh zat-zat selain zat
yang akan dianalisis akan masuk ke dalam pengukuran, sehingga
menghasilkan hasil yang tidak akurat. Dengan menggunakan larutan
blanko, kita dapat mengurangi pengaruh penyerapan oleh zat-zat selain
zat yang akan dianalisis, sehingga menghasilkan hasil yang lebih akurat
(Supriatin & Sumartini, 2020). Ada dua jenis larutan blanko yang
digunakan dalam spektrofotometri, yaitu larutan blanko pelarut dan
larutan blanko zat. Larutan blanko pelarut digunakan untuk mengukur
pengaruh pelarut pada hasil pengukuran. Sedangkan, larutan blanko zat
digunakan untuk mengkompensasi efek penyerapan oleh zat-zat selain zat
yang akan dianalisis. Larutan blanko zat umumnya diperlukan dalam
analisis sampel yang memiliki konsentrasi zat yang sangat tinggi atau
pekat.
Langkah percobaannya adalah 1 mL larutan pati (larutan tidak
berwarna) diambil dengan mikropipet dimasukkan ke dalam tabung
reaksi. Kemudian ditambahkan 0,5 mL aquades (cairan tidak berwarna)
menggunakan pipet tetes kedalam tabung reaksi. Fungsi penambahan
aquades adalah untuk menyamakan volume blanko dengan volume
sampel. Larutan pati setelah ditambah aquades menjadi larutan tidak
berwarna. Setelah itu, tabung reaksi yang berisi larutan blanko diinkubasi
di waterbath selama 3 menit pada suhu 37 oC. Tujuan diinkubasi adalah
untuk mengaktifkan enzim agar enzim bekerja secara optimal. Selain itu,
digunakan suhu 37oC karena suhu tersebut merupakan suhu optimum
enzim amylase. Tidak terjadi perubahan warna ketika larutan diinkubasi.
Larutan tetap menjadi larutan tidak berwarna. Setelah 3 menit tabung
reaksi dikeluarkan dari waterbath dan ditambahkan 2 tetes larutan iodium
(larutan kuning kecoklatan) menggunakan pipet tetes. Fungsi penambahan
iodium adalah sebagai indikator untuk mengetahui apakah masih ada sisa
amilum yang belum terhidrolisis ditandai dengan larutan berubah menjadi
wrna biru. Setelah penambahan iodium, larutan yang awalnya tidak
berwarna menjadi larutan biru (++). Setelah itu, ditambahkan lagi aquades
(cairan tidak berwarna) sebanyak 10 mL. Fungsi penambahan aquades
lagi adalah untuk mengenceran larutan blanko. Larutan setelah
penambahan iodium menjadi pekat sehingga dikhawatirkan absorbansinya
terlalu tinggi dan tidak terdeteksi spetrofotometer UV-Vis. Hal ini
mengacu pada LOD spektrofotometer UV-Vis. LOD merupakan ukuran
dari sensitivitas metode UV-Vis dan biasanya dinyatakan dalam
konsentrasi analit atau sinyal absorbansi. LOD pada spektrofotometer
UV-Vis dapat bervariasi tergantung pada beberapa faktor, termasuk
instrumen yang digunakan, analit spesifik, matriks sampel, dan kondisi
pengukuran. Untuk mencapai LOD yang lebih rendah, biasanya
diperlukan untuk meminimalkan derau latar belakang, memaksimalkan
rasio sinyal terhadap derau, dan mengoptimalkan sensitivitas instrumen.
Apabila suatu larutan terlalu pekat atau terlalu jernih, instrument
kemungkinan tidak dapat mendeteksi karena setiap instrument memiliki
LOD. Setelah ditambahkan aquades, larutan berubah menjadi larutan
tidak berwarna. Kemungkinan masih ada warna biru tetapi sangat samar
sehingga hampir dikatakan tidak berwarna. Reaksi yang terjadi pada
percobaan ini adalah:
 Reaksi Dextrin
Pati + aquades dextrin

 Reaksi amilum

Amilum + Iodium kompleks iod amilum


(larutan biru)

Langkah selanjunya adalah mencari absorbansi alrutan blanko


menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 680
nm. Alasan digunakan panjang gelombang tersebut karena panjang
gelombang 680 adalah panjang gelombang optimum kompleks iod
amilum. Selain itu hal tersebut berhubungan dengan spectrum warna
dimana pada panjang gelombang 610-750 nm warna yang terabsorbsi
adalah warna merah dan warna komplementer (warna yang diamati)
adalah biru-hijau. Setelah dibaca absorbansinya, ditemukan absorbansi
larutan blanko sebesar 0,0001.
b) Uji Enzim
Langkah percobaannya adalah disiapkan 5 tabung reaksi dan diberi
label pH 1, pH 3, pH 5, pH 7, dan pH 9. Kemudian dimasukkan 1 mL
larutan pati (larutan tidak berwarna) dengan mikropipet ke masing-masing
tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 1 mL larutan pH 1, pH 3, pH 5, pH
7, dan pH 9 (larutan tidak berwarna) ke tabung reaksi sesuai labelnya.
Setelah pencampuran 2 larutan tersebut pada 5 tabung reaksi
menghasilkan larutan tidak berwarna. Langkah selanjutnya ditambahkan
0,5 mL larutan pengenceran 10x (larutan kekuningan) menggunakan pipet
tetes ke masing-masing tabung reaksi. Fungsi penambahan larutan
pengenceran 10x adalah karena larutan tersebut konsentrasinya paling
besar diantara larutan pengenceran 10x – 50x. semakin besar konsentrasi,
maka aktivitas enzimpun semakin tinggi. Larutan 10x digunakan pada
semua tabung reaksi (tabung reaksi pH 1, pH 3, pH 5, pH 7, dan pH 9)
agar tidak ada pengaruh zat lain ketika reaksi karena yang diuji adalah
pengaruh pH. Setelah itu, 5 tabung reaksi diletakkan pada rak tabung
reaksi dan diinkubasi di waterbath selama 3 menit pada suhu 37 oC.
Tujuan diinkubasi adalah untuk mengaktifkan enzim agar enzim bekerja
secara optimal. Selain itu, digunakan suhu 37 oC karena suhu tersebut
merupakan suhu optimum enzim amylase. Tidak terjadi perubahan warna
ketika larutan diinkubasi. Larutan tetap menjadi larutan tidak berwarna.
Setelah 3 menit tabung reaksi dikeluarkan dari waterbath dan
ditambahkan 2 tetes larutan iodium (larutan kuning kecoklatan)
menggunakan pipet tetes. Fungsi penambahan iodium adalah sebagai
indikator untuk mengetahui apakah masih ada sisa amilum yang belum
terhidrolisis ditandai dengan larutan berubah menjadi wrna biru. Setelah
penambahan iodium, larutan tetap tidak berwarna. Seharusnya pada
larutan yang pH-nya tidak optimum, muncul warna biru. Hal ini
kemungkinan karena setelah penambahan larutan pengenceran 10x
amilum sudah banyak yang berubah menjadi glukosa sehingga warna
larutan terlihat mata tidak berwarna. Setelah itu, ditambahkan lagi
aquades (cairan tidak berwarna) sebanyak 10 mL. Fungsi penambahan
aquades lagi adalah untuk mengenceran larutan sampel. Larutan setelah
penambahan iodium menjadi pekat sehingga dikhawatirkan absorbansinya
terlalu tinggi dan tidak terdeteksi spetrofotometer UV-Vis. Hal ini
mengacu pada LOD spektrofotometer UV-Vis. LOD merupakan ukuran
dari sensitivitas metode UV-Vis dan biasanya dinyatakan dalam
konsentrasi analit atau sinyal absorbansi. LOD pada spektrofotometer
UV-Vis dapat bervariasi tergantung pada beberapa faktor, termasuk
instrumen yang digunakan, analit spesifik, matriks sampel, dan kondisi
pengukuran. Untuk mencapai LOD yang lebih rendah, biasanya
diperlukan untuk meminimalkan derau latar belakang, memaksimalkan
rasio sinyal terhadap derau, dan mengoptimalkan sensitivitas instrumen.
Apabila suatu larutan terlalu pekat atau terlalu jernih, instrument
kemungkinan tidak dapat mendeteksi karena setiap instrument memiliki
LOD. Setelah ditambahkan aquades, larutan di 5 tabung reaksi tetap
menjadi larutan tidak berwarna. Kemungkinan masih ada warna biru di
tabung reaksi pH non-optimal tetapi sangat samar sehingga hampir
dikatakan tidak berwarna. Hasil pengamatannya yaitu:
Tabel 1. Hasil pengamatan larutan pH
Larutan Hasil pengamatan
(diamati mata, tanpa dicoba tabung reaksi dengan kertas putih)

pH 1 Larutan tidak berwarna


pH 3 Larutan tidak berwarna
pH 5 Larutan tidak berwarna
pH 7 Larutan tidak berwarna
pH 9 Larutan tidak berwarna

Reaksi yang terjadi pada percobaan ini adalah:


 Reaksi Dextrin

Pati + aquades dextrin

 Reaksi amilum

Amilum + Iodium kompleks iod amilum


(larutan biru)

Langkah selanjutnya adalah mencari absorbansi larutan sampel


menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 680
nm. Alasan digunakan panjang gelombang tersebut karena panjang
gelombang 680 adalah panjang gelombang optimum kompleks iod
amilum. Selain itu hal tersebut berhubungan dengan spectrum warna
dimana pada panjang gelombang 610-750 nm warna yang terabsorbsi
adalah warna merah dan warna komplementer (warna yang diamati)
adalah biru-hijau. Setelah dibaca absorbansinya, ditemukan absorbansi
sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil absorbansi larutan pH
Larutan Hasil absorbansi
pH 1 0,0049
pH 3 0,0061
pH 5 0,0004
pH 7 0,0013
pH 9 0,0036

Grafik Hubungan pH dengan absorbansi


0.007
Absorbansi sampel pH

0.006
0.005
0.004
0.003
0.002
0.001
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
pH

Grafik 1. Grafik hubungan pH dengan absorbansi

Setelah diketahui absorbansi larutan pH, ditentukan pH optimum dengan


rumus
∆A = Absorbansi blanko – Absorbansi sampel
Ditemukan nilai ∆A sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil ∆A larutan pH
Larutan Hasil ∆A
pH 1 -0,0048
pH 3 -0,0060
pH 5 -0,0003
pH 7 -0,0012
pH 9 -0,0035
Grafik Hubungan pH terhadap Aktivitas
Enzim
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
-0.001
-0.002 f(x) = 0.00037 x − 0.00501
-0.003 R² = 0.239210204438232
∆A

-0.004
-0.005
-0.006
-0.007
pH

Grafik 2. Grafik hubungan pH dengan aktivitas enzim

pH optimum dapat dilihat dari absorbansi paling kecil sehingga nilai ∆A-
nya yang paling besar. Dari tabel 2 dan 3, absorbansi paling kecil adalah
pH 5 yaitu 0,0004 dan ∆A paling besar adalah pH 5 yaitu -0,0003. Dengan
demikian, pada percobaan ini pH optimum enzim amylase adalah pH 5.
Hal ini sesuai teori dimana pH optimum enzim amylase adalah 5-7
(Winarno, 1988).
Penentuan konsentrasi enzim terhadap aktivitas enzim
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menentukan pengaruh
konsentrasi enzim terhadap aktivitas enzim. Dalam percobaan ini dilakukan
reaksi hidrolisis pati/amilum menjadi glukosa. Hidrolisis adalah proses
dekomposisi kimia dengan menggunakan air untuk memisahkan ikatan kimia
dari substansinya. Hidrolisis pati merupakan proses pemecahan molekul
amilum menjadi bagian-bagian penyusunnya yang lebih sederhana seperti
dekstrin, isomaltosa, maltosa dan glukosa. Proses hidrolisis dapat dilakukan
secara enzimatis dan asam. Hidrolisis secara enzimatis lebih menguntungkan
dibandingkan dengan hidrolisis asam, karena enzim akan memutus ikatan
glikosida secara spesifik, kerusakan warna dapat diminimalkan dan tidak
menyisakan residu. Produk hasil hidrolisis pati umumnya dikarakterisasi
berdasarkan tingkat derajat hidrolisisnya dan dinyatakan dengan nilai DE
(Dekstrosa Equivalen) yang menunjukkan prosentase dekstrosa murni dalam
total padatan substrat yang dihirolisis. Hidrolisis pati menjadi sirup glukosa
melalui tiga tahapan, yaitu gelatinisasi, likuifikasi, dan sakarifikasi (Mardani,
2012).
Dalam pecobaan penentuan konsentrasi enzim terhadap aktivitas
enzim, dilakukan 2 pembuatan larutan yaitu larutan blanko dan larutan uji.
Berikut penjelasannya:
c) Larutan Blanko
Larutan blanko adalah larutan yang digunakan sebagai referensi
untuk membandingkan intensitas cahaya yang diukur pada sampel yang
dianalisis. Larutan blanko biasanya terdiri dari pelarut yang sama seperti
yang digunakan dalam sampel, tetapi tidak mengandung zat yang akan
dianalisis. Dalam spektrofotometri, larutan blanko digunakan untuk
mengkompensasi efek penyerapan oleh zat-zat selain zat yang akan
dianalisis. Fungsi utama larutan blanko pada spektrofotometri adalah
untuk mengurangi kesalahan pengukuran. Ini dilakukan dengan
mengkompensasi efek penyerapan oleh zat-zat selain zat yang akan
dianalisis. Tanpa larutan blanko, efek penyerapan oleh zat-zat selain zat
yang akan dianalisis akan masuk ke dalam pengukuran, sehingga
menghasilkan hasil yang tidak akurat. Dengan menggunakan larutan
blanko, kita dapat mengurangi pengaruh penyerapan oleh zat-zat selain
zat yang akan dianalisis, sehingga menghasilkan hasil yang lebih akurat
(Supriatin & Sumartini, 2020). Ada dua jenis larutan blanko yang
digunakan dalam spektrofotometri, yaitu larutan blanko pelarut dan
larutan blanko zat. Larutan blanko pelarut digunakan untuk mengukur
pengaruh pelarut pada hasil pengukuran. Sedangkan, larutan blanko zat
digunakan untuk mengkompensasi efek penyerapan oleh zat-zat selain zat
yang akan dianalisis. Larutan blanko zat umumnya diperlukan dalam
analisis sampel yang memiliki konsentrasi zat yang sangat tinggi atau
pekat.
Langkah percobaannya adalah 1 mL larutan pati (larutan tidak
berwarna) diambil dengan mikropipet dimasukkan ke dalam tabung
reaksi. Kemudian ditambahkan 1 mL larutan pH optimum dimana pH
optimum yang ditemukan adalah pH 5 (larutan tidak berwarna). Fungsi
penambahan pH 5 adalah karena pH 5 adalah pH optimum enzim
amylase. Suatu kondisi pH dimana enzim dapat bekerja dengan aktivitas
tertinggi yang dapat dilakukannya dinamakan pH optimum. Campuran 2
larutan tersebut menghasilkan larutan tidak berwarna. Kemudian
ditambahkan 0,5 mL aquades (cairan tidak berwarna) menggunakan pipet
tetes kedalam tabung reaksi. Fungsi penambahan aquades adalah untuk
menyamakan volume blanko dengan volume sampel. Larutan pati dan pH
5 setelah ditambah aquades menjadi larutan tidak berwarna. Setelah itu,
tabung reaksi yang berisi larutan blanko diinkubasi di waterbath selama 3
menit pada suhu 37oC. Tujuan diinkubasi adalah untuk mengaktifkan
enzim agar enzim bekerja secara optimal. Selain itu, digunakan suhu 37 oC
karena suhu tersebut merupakan suhu optimum enzim amylase. Tidak
terjadi perubahan warna ketika larutan diinkubasi. Larutan tetap menjadi
larutan tidak berwarna. Setelah 3 menit tabung reaksi dikeluarkan dari
waterbath. Setelah itu tabung reaksi dipanaskan menggunakan kompor
listrik yang diatasnya terdapat gelas ukur 500 mL berisi air yang
dipanaskan pada >60oC. Alasan dipanaskan pada suhu >60 oC adalah
untuk mendagradasi enzim agar reaksi terhambat dan amilum masih bisa
dideteksi oleh spektrofotometer UV-Vis. Setelah dipanaskan, larutan
blanko tetap menjadi larutan tidak berwarna. Selanjutnya, ditambahkan 2
tetes larutan iodium (larutan kuning kecoklatan) menggunakan pipet tetes.
Fungsi penambahan iodium adalah sebagai indikator untuk mengetahui
apakah masih ada sisa amilum yang belum terhidrolisis ditandai dengan
larutan berubah menjadi wrna biru. Setelah penambahan iodium, larutan
yang awalnya tidak berwarna menjadi larutan biru (+). Setelah itu,
ditambahkan lagi aquades (cairan tidak berwarna) sebanyak 10 mL.
Fungsi penambahan aquades lagi adalah untuk mengenceran larutan
blanko. Larutan setelah penambahan iodium menjadi pekat sehingga
dikhawatirkan absorbansinya terlalu tinggi dan tidak terdeteksi
spetrofotometer UV-Vis. Hal ini mengacu pada LOD spektrofotometer
UV-Vis. LOD merupakan ukuran dari sensitivitas metode UV-Vis dan
biasanya dinyatakan dalam konsentrasi analit atau sinyal absorbansi. LOD
pada spektrofotometer UV-Vis dapat bervariasi tergantung pada beberapa
faktor, termasuk instrumen yang digunakan, analit spesifik, matriks
sampel, dan kondisi pengukuran. Untuk mencapai LOD yang lebih
rendah, biasanya diperlukan untuk meminimalkan derau latar belakang,
memaksimalkan rasio sinyal terhadap derau, dan mengoptimalkan
sensitivitas instrumen. Apabila suatu larutan terlalu pekat atau terlalu
jernih, instrument kemungkinan tidak dapat mendeteksi karena setiap
instrument memiliki LOD. Setelah ditambahkan aquades, larutan berubah
menjadi larutan tidak berwarna. Kemungkinan masih ada warna biru
tetapi sangat samar sehingga hampir dikatakan tidak berwarna. Reaksi
yang terjadi pada percobaan ini adalah:
 Reaksi Dextrin

Pati + aquades dextrin

 Reaksi amilum

Amilum + Iodium kompleks iod amilum


(larutan biru)

Langkah selanjutnya adalah mencari absorbansi larutan blanko


menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 680
nm. Alasan digunakan panjang gelombang tersebut karena panjang
gelombang 680 adalah panjang gelombang optimum kompleks iod
amilum. Selain itu hal tersebut berhubungan dengan spectrum warna
dimana pada panjang gelombang 610-750 nm warna yang terabsorbsi
adalah warna merah dan warna komplementer (warna yang diamati)
adalah biru-hijau. Setelah dibaca absorbansinya, ditemukan absorbansi
larutan blanko sebesar -0,00044.
d) Uji Enzim
Langkah percobaannya adalah disiapkan 5 tabung reaksi dan diberi
label 10x, 20x, 30x, 40, dan 50x. Kemudian dimasukkan 1 mL larutan
pati (larutan tidak berwarna) dengan mikropipet ke masing-masing tabung
reaksi. Kemudian ditambahkan 1 mL larutan pH optimum di masing-
masing tabung reaksi dimana pH optimum yang ditemukan adalah pH 5
(larutan tidak berwarna). Fungsi penambahan pH 5 adalah karena pH 5
adalah pH optimum enzim amylase. Suatu kondisi pH dimana enzim
dapat bekerja dengan aktivitas tertinggi yang dapat dilakukannya
dinamakan pH optimum. Campuran 2 larutan tersebut menghasilkan
larutan tidak berwarna. Kemudian ditambahkan 0,5 mL larutan
pengenceran 10x (larutan kekuningan, larutan pengenceran 20x (larutan
tidak berwarna), larutan pengenceran 30x (larutan tidak berwarna),
larutan pengenceran 40x (larutan tidak berwarna), dan larutan
pengenceran 50x (larutan tidak berwarna) ke tabung reaksi sesuai
labelnya. Pencampuran larutan pati, larutan pH optimum, dan larutan
pengenceran 5 tabung reaksi menghasilkan larutan tidak berwarna.
Setelah itu, 5 tabung reaksi diletakkan pada rak tabung reaksi dan
diinkubasi di waterbath selama 3 menit pada suhu 37 oC. Tujuan
diinkubasi adalah untuk mengaktifkan enzim agar enzim bekerja secara
optimal. Selain itu, digunakan suhu 37oC karena suhu tersebut merupakan
suhu optimum enzim amylase. Tidak terjadi perubahan warna ketika
larutan diinkubasi. Larutan tetap menjadi larutan tidak berwarna. Setelah
3 menit tabung reaksi dikeluarkan dari waterbath. Setelah itu 5 tabung
reaksi dipanaskan menggunakan kompor listrik yang diatasnya terdapat
gelas ukur 500 mL berisi air yang dipanaskan pada >60oC. Alasan
dipanaskan pada suhu >60oC adalah untuk mendagradasi enzim agar
reaksi terhambat dan amilum masih bisa dideteksi oleh spektrofotometer
UV-Vis. setelah dipanaskan, larutan tetap tidak berwarna. Kemudian
ditambahkan 2 tetes larutan iodium (larutan kuning kecoklatan)
menggunakan pipet tetes. Fungsi penambahan iodium adalah sebagai
indikator untuk mengetahui apakah masih ada sisa amilum yang belum
terhidrolisis ditandai dengan larutan berubah menjadi warna biru. Setelah
penambahan iodium, larutan tetap tidak berwarna. Seharusnya pada
larutan yang konsentrasi enzimnya rendah, muncul warna biru. Hal ini
kemungkinan karena setelah penambahan larutan pengenceran 10x - 50 x
amilum sudah banyak yang berubah menjadi glukosa sehingga warna
larutan terlihat mata tidak berwarna. Setelah itu, ditambahkan lagi
aquades (cairan tidak berwarna) sebanyak 10 mL. Fungsi penambahan
aquades lagi adalah untuk mengenceran larutan sampel. Larutan setelah
penambahan iodium menjadi pekat sehingga dikhawatirkan absorbansinya
terlalu tinggi dan tidak terdeteksi spetrofotometer UV-Vis. Hal ini
mengacu pada LOD spektrofotometer UV-Vis. LOD merupakan ukuran
dari sensitivitas metode UV-Vis dan biasanya dinyatakan dalam
konsentrasi analit atau sinyal absorbansi. LOD pada spektrofotometer
UV-Vis dapat bervariasi tergantung pada beberapa faktor, termasuk
instrumen yang digunakan, analit spesifik, matriks sampel, dan kondisi
pengukuran. Untuk mencapai LOD yang lebih rendah, biasanya
diperlukan untuk meminimalkan derau latar belakang, memaksimalkan
rasio sinyal terhadap derau, dan mengoptimalkan sensitivitas instrumen.
Apabila suatu larutan terlalu pekat atau terlalu jernih, instrument
kemungkinan tidak dapat mendeteksi karena setiap instrument memiliki
LOD. Setelah ditambahkan aquades, larutan di 5 tabung reaksi tetap
menjadi larutan tidak berwarna. Kemungkinan masih ada warna biru di
tabung reaksi konsentrasi rendah tetapi sangat samar sehingga hampir
dikatakan tidak berwarna. Hasil pengamatannya yaitu:
Tabel 4. Hasil pengamatan larutan pengenceran
Larutan Hasil pengamatan
(diamati mata, tanpa dicoba tabung reaksi dengan kertas putih)

10x Larutan tidak berwarna


20x Larutan tidak berwarna
30x Larutan tidak berwarna
40x Larutan tidak berwarna
50x Larutan tidak berwarna
Reaksi yang terjadi pada percobaan ini adalah:
 Reaksi Dextrin

Pati + aquades dextrin

 Reaksi amilum

Amilum + Iodium kompleks iod amilum


(larutan biru)

Langkah selanjunya adalah mencari absorbansi larutan sampel


menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 680
nm. Alasan digunakan panjang gelombang tersebut karena panjang
gelombang 680 adalah panjang gelombang optimum kompleks iod
amilum. Selain itu hal tersebut berhubungan dengan spectrum warna
dimana pada panjang gelombang 610-750 nm warna yang terabsorbsi
adalah warna merah dan warna komplementer (warna yang diamati)
adalah biru-hijau. Setelah dibaca absorbansinya, ditemukan absorbansi
sebagai berikut:
Tabel 5. Hasil absorbansi larutan pengenceran
Larutan Hasil absorbansi
10x -0,0037
20x -0,0044
30x -0,0061
40x -0,0063
50x -0,0047
Grafik Hubungan Konsentrasi Enzim dengan
Absorbansi
0
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55
-0.001
-0.002

Absorbansi
-0.003
-0.004
-0.005
-0.006
-0.007
Pengenceran (kali)

Grafik 3. Grafik hubungan kosentrasi enzim dengan absorbansi

Setelah diketahui absorbansi larutan pengenceran, ditentukan konsentrasi


optimum dengan rumus
∆A = Absorbansi blanko – Absorbansi sampel
Ditemukan nilai ∆A sebagai berikut:
Tabel 6. Hasil ∆A larutan pengenceran
Larutan Hasil ∆A
10x -0,0007
20x 0
30x 0,0017
40x 0,0019
50x 0,0003
Grafik Hubungan Konsentrasi Enzim
terhadap Aktivitas Enzim
0.0025
0.002
0.0015
f(x) = 0.000039 x − 0.00053
0.001 R² = 0.302265500794913
∆A 0.0005
0
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55
-0.0005
-0.001
Pengenceran (kali)

Grafik 4. Grafik hubungan kosentrasi enzim dengan absorbansi

konsentrasi optimum dapat dilihat dari absorbansi paling kecil sehingga


nilai ∆A-nya yang paling besar. Dari tabel 5 dan 6, absorbansi paling kecil
adalah larutan pengenceran 40x yaitu -0,0063 dan ∆A paling besar adalah
larutan pengenceran 40x yaitu 0,0019. Dengan demikian, pada percobaan
ini konsentrasi optimum enzim amylase adalah pada larutan pengenceran
40x. Hal ini tidak sesuai teori dimana Semakin besar konsentrasi enzim,
reaksi pun akan semakin cepat (Soewoto, 2000). Konsentrasi terbesar dari
larutan pengenceran 10x – 50x adalah larutan pengenceran 10x.

J. Diskusi
Dari percobaan yang dilakukan pada Kamis, 25 Mei 2023 pukul 07.00
– 12.00 WIB yang berjudul “Pengaruh pH dan Konsentrasi Enzim Terhadap
Aktivitas Enzim” terdapat beberapa hal yang harus didiskusikan, berikut
rinciannya:
1. Absorbansi larutan blanko yang lebih rendah dari sampel. Hal ini diduga
karena adanya komponen lain dalam larutan blanko sehingga
mempengaruhi hasil pengukuran dengan spektrofotometer UV-Vis.
Penggunaan bluetip juga diduga sebagai salah satu faktor penyebab
rendahnya nilai absorbansi larutan blanko. Bluetip yang digunakan
kemungkinan masih belum bersih dari larutan lainnya atau bluetip yang
bocor. Selain itu kemungkinan karena larutan belum homogen secara
sempurna sehingga absorbansinya rendah.
2. Konsentrasi pengenceran 40x yang memiliki absorbansi paling kecil
dimana seharusnya yang memiliki absorbansi paling kecil konsentrasi
pengenceran 10x. Hal ini diduga karena metode pengenceran bertingkat
yang dilakukan kurang tepat sehingga hasil pengenceran setelahnya yang
kurang tepat mempengaruhi yang lain. Selain itu kemungkinan adanya
komponen lain dalam larutan pengenceran 10x dan 40x sehingga
mempengaruhi hasil pengukuran dengan spektrofotometer UV-Vis.
Penggunaan bluetip juga diduga sebagai salah satu faktor penyebab
rendahnya nilai absorbansi larutan 10x. Bluetip yang digunakan
kemungkinan masih belum bersih dari larutan lainnya atau bluetip yang
bocor. Alsan lain juga kemungkinan karena larutan pengenceran 10x
belum homogen secara sempurna sehingga absorbansinya tidak sesuai
teori.

K. Kesimpulan
Dari percobaan yang dilakukan pada Kamis, 25 Mei 2023 pukul 07.00
– 12.00 WIB yang berjudul “Pengaruh pH dan Konsentrasi Enzim Terhadap
Aktivitas Enzim” dapat disimpulkan bahwa pH dan konsentrasi
mempengaruhi aktivitas enzim dimana didapatkan pH optimum enzim
amylase pada pH 5 dengan absorbansi 0,0004 dan ∆A -0,0003 serta
konsentrasi enzim pada pengenceran 40x dengan absorbansi -0,0063 dan ∆ A
0,0019. Seharusnya konsentrasi enzim pengenceran yang tepat adalah 10x.
Hal tersebut terjadi diduga karena kesalahan pengenceran, kurang
homogennya larutan, instrument yang tidak bekerja secara baik serta
kemungkinan adanya kontaminan.

L. Daftar Pustaka

Achmad, H. (2021). Kimia Larutan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.


Ainezzahira, & Multri, H. D. (2019). Review: Pemanfaatan enzim Alpha-
Amilase pada Modifikasi Pati Singkong Sebagai Substitusi Gelatin
Produk masrmallow. Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi Vol 3 No 1,
76-89.

Anggraeni, W. (2015). Pengaruh pH Terhadap Aktivitas Enzim Kitinase dari


Isolat Actinomycetes Dengan Metode Somogyi-Nelson. Jurnal Ilmiah
Pendidikan Fisika Al-Biruni Vol 4 No 2, 217-228.

Anisah, S. U., & Prawita, A. (2021). Validasi Metode spektrofotometri UV


untuk Penetapan Kalor Kadar Lopinavir dan Ritonavir Secara
Simultan. Berkala Ilmiah Kimia farmasi Vol. 8 No. 2, 48-54.

Aryasa, I. w., & Aprilianti, N. K. (2018). Pengendalian Kadar Paracetamol


pada Obat dan Jamu tradisional menggunakan Metode
Spektrofotometri UV-Vis. Jurnal Media Sains Vol. 2 No. 1, 715-726.

Dasli, d. (2017). Diktat Kimia Analitik. Padang: Universitas Andalas.

Hidayati, F. N. (2018). Pengaruh pH, Suhu, dan Bufer Terhadap aktivitas


alfa-amilase dari Bacillus sp K2Br5. Prosiding Seminar nasional
Kimia UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 26-49.

Irawan, A. (2019). Kalibrasi Spekrofotometer sebagai Penjaminan Mutu Hasil


Pengukuran dalam Kegiatan Penelitian dan Pengujian. Indonesian
Journal of Laboratory Vol. 1 No. 2, 1-9.

Junaidi. (2017). Spektrofotometer Uv-Vis untuk Estimasi Ukuran


Nanopartikel Perak. Jurnal Teori dan Aplikasi Fisika Vol. 5 No.1, 97-
102.

Karyadi, B. (2018). Kimia 2. Jakarta: Balai Pustaka.

Kusumaningrum, A. (2019). Optimasi Suhu dan pH Terhadap Aktivitas


Enzim Endoglukanase Menggunakan Response Surface Methodology.
Jurnal Rekayasa dan Manajemen Agroindustri Vol 7 No 2, 243-253.
Mardani, I. (2012). Optimalisasi Penggunaan Substrat dan Penambahan
Enzim Alpha Amilase Glukoamilase pada Proses Hidrolisis Kulit
Singkong. Jurnal UIN Yogyakarta Vol 2 No 3, 68-78.

Richana, P. L. (2011). Purifikasi dan Karakterisasi Alfa-Amilase Termostabil


dari Bacillus steatothermophilus TII-12. Jurnal AgroBiogen Vol 7 No
1, 56-62.

Rusman, Rahmayani, R. F., & Mukhlis. (2018). Kimia Larutan. Banda Aceh:
Syiah Kuala University Press.

Sahumena, M. H., & Ruslin. (2020). Identifikasi jamu yang Beredar di Kota
Kendari Menggunakan Metode Spektrofotometri UV-Vis. Journal
Syifa Sciences and Clinical Research Vol. 2 No. 2, 25-37.

Sulistyarti, H., & Mulyasuryani, A. (2021). Kimia Analisis Kuantitatif Dasar.


Malang: Universitas Brawijaya Press.

Supriatin, T., & Sumartini, N. (2020). Panduan Praktikum Biokimia.


Bandung: MANGGU MAKMUR TANJUNG LESTARI.

Supriyatna, A., & Amalia, D. (2015). Aktivitas Enzim Amilase, Lipase, dan
Protease, dari Larva. Jurnal Agro Vol 9 No 2, 16-24.

Tyanjani, E. F., & Yuananta. (2015). Pembuatan Dekstrin dari Pati Sagy
Dengan Enzim Beta-Amilase terhadap Sifat Fisiko Kimia. Jurnal
Pangan dan Agroindustri Vol 3 No 3, 1119-1127.

Wahyuningsih, S. (2019). Pengaruh Konsentrasi Enzim Alfa-Amilase Pada


hidrolisis Pati Labu Jepang (Kabocha). CHEESA: Chemical
Engineering Reseach Articles Vol 2 No 1, 26-32.
M. Jawaban Pertanyaan
1. Buatlah kurva yang menggambarkan hubungan antara kecepatan reaksi
enzimatis (V = ∆A/menit) dengan pH!
Jawab:

Grafik Hubungan pH dengan absorbansi


0.007
Absorbansi sampel pH

0.006
0.005
0.004
0.003
0.002
0.001
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
pH

Grafik Hubungan pH terhadap Aktivitas


Enzim
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
-0.001
-0.002 f(x) = 0.00037 x − 0.00501
-0.003 R² = 0.239210204438232
∆A

-0.004
-0.005
-0.006
-0.007
pH

2. Buatlah kurva antara konsentrasi/pengenceran enzim dengan kecepatan


enzimatis (V = ∆A/menit)!
Jawab:
Grafik Hubungan Konsentrasi Enzim dengan
Aktivitas Enzimatik
0
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55
-0.001
-0.002

Absorbansi
-0.003
-0.004
-0.005
-0.006
-0.007
Pengenceran (kali)

Grafik Hubungan Konsentrasi Enzim


terhadap Aktivitas Enzim
0.0025
0.002
0.0015
f(x) = 0.000039 x − 0.00053
0.001 R² = 0.302265500794913
∆A

0.0005
0
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55
-0.0005
-0.001
Pengenceran (kali)

N. Lampiran Foto
No Gambar Keterangan
Pengenceran enzim
1 Pengenceran enzim amilase
10x, 20x, 30, 40x, dan 50x

Penentuan pH optimum
1 1 mL larutan pati
dimasukkan tabung reaksi

2 Ditambah 0,5 mL aquades


untuk blanko

3 Larutan pati + 1 mL larutan


pH 1, 3, 5, 7, dan 9

4 Ditambah enzim pengenceran


10x

5 Diinkubasi pada suhu 37oC


selama 3 menit

6 Ditambah 2 tetes iodium


7 Ditambah 10 mL aquades

Pengaruh Konsentrasi
1 1 mL larutan pati
dimasukkan tabung reaksi

2 Ditambahkan larutan pH
optimum, yaitu pH 5

3 Ditambah 0,5 mL aquades


untuk blanko. Sedangkan,
pada sampel ditambah enzim
pengenceran 10x, 20x, 30x,
40x, dan 50x.

4 Diinkubasi pada suhu 37oC


selama 3 menit
5 Dibiarkan pada suhu >60oC
selama 3 menit

6 Ditambah 2 tetes larutan


iodium

7 Ditambahkan aquades 10 mL

8 Dihitung absorbansinya
dengan spektrofotometer
UV-Vis

O. Lampiran Perhitungan
Penentuan pH Optimum
Diketahui absorbansi:
 Blanko = 0,0001
 Sampel pH 1 = 0,0049
 Sampel pH 3 = 0,0061
 Sampel pH 5 = 0,0004
 Sampel pH 7 = 0,0013
 Sampel pH 9 = 0,0036
Ditanya: ∆A?
Jawab:
∆A = Absorbansi blanko – Absorbansi sampel
∆A pH 1 = 0,0001 – 0,0049 = -0,0048
∆A pH 3 = 0,0001 – 0,0061 = -0,006
∆A pH 5 = 0,0001 – 0,0004 = -0,0003
∆A pH 7 = 0,0001 – 0,0013 = -0,0012
∆A pH 9 = 0,0001 – 0,0036 = -0,0035

Grafik Hubungan pH dengan absorbansi


0.007
Absorbansi sampel pH

0.006
0.005
0.004
0.003
0.002
0.001
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
pH

Grafik Hubungan pH terhadap Aktivitas


Enzim
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
-0.001
-0.002 f(x) = 0.00037 x − 0.00501
-0.003 R² = 0.239210204438232
∆A

-0.004
-0.005
-0.006
-0.007
pH

Penentuan Pengaruh Konsentrasi


Diketahui absorbansi:
 Blanko = -0,0044
 Konsentrasi 10x = -0,0037
 Konsentrasi 20x =-0,0044
 Konsentrasi 30x = -0,0061
 Konsentrasi 40x = -0,0063
 Konsentrasi 50x = -0,0047
Ditanya: ∆A?
Jawab:
∆A = Absorbansi blanko – Absorbansi sampel
∆A 10x = -0,0044 - (-0,0037) = -0,0007
∆A 20x = -0,0044 - (-0,0044) = 0
∆A 30x = -0,0044 - (-0,0061) = 0,0017
∆A 40x = -0,0044 - (-0,0063) = 0,0019
∆A 50x = -0,0044 - (-0,0047) = 0,0003

Grafik Hubungan Konsentrasi Enzim dengan


Aktivitas Enzimatik
0
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55
-0.001
-0.002
Absorbansi

-0.003
-0.004
-0.005
-0.006
-0.007
Pengenceran (kali)

Grafik Hubungan Konsentrasi Enzim


terhadap Aktivitas Enzim
0.0025
0.002
0.0015
f(x) = 0.000039 x − 0.00053
0.001 R² = 0.302265500794913
∆A

0.0005
0
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55
-0.0005
-0.001
Pengenceran (kali)

P. Lampiran Tulis Tangan


 Alur Percobaan (Pralab)
 Laporan Sementara
 Lampiran Perhitungan

Anda mungkin juga menyukai