- Tia Pamungkas is Arie Setyaningrum Pamungkas.
A sociologistedit
Abstraksi Ulasan buku 'Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial' karya Katrin Bandel (2017) ini merupakan pembacaan kritis tentang kajian gender di wilayah masyarakat pascakolonial terutama di Indonesia dimana feminisme melahirkan dilema... more
Abstraksi Ulasan buku 'Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial' karya Katrin Bandel (2017) ini merupakan pembacaan kritis tentang kajian gender di wilayah masyarakat pascakolonial terutama di Indonesia dimana feminisme melahirkan dilema politik identitas. Menurut penulis, feminisme yang berakar dari ideologi moderen Barat memiliki kecenderungan universalis dan eurosentris sehingga acapkali mengabaikan konteks lokal seperti tradisi dan norma setempat. Dengan kata lain, buku ini memproblematisasikan feminisme sebagai suatu alat perubahan sosial karena memuat kepentingan eurosentrisme yang bersifat kolonialis. Padahal, feminisme menyadarkan kita akan ketidakadilan gender. Di satu sisi, kritik atas feminisme baik sebagai suatu ideologi dan strategi gerakan sosial diperlukan dan relevan untuk menggugat ketidakadilan gender yang bersifat spesifik atau particular di dalam konteks pascakolonial. Di sisi lain, saat kritik itu diartikulasikan tanpa suatu kajian akademik atas konteks sosial yang kompleks, maka justru akan berpotensi menjadi kontraproduktif. Yaitu justru menjadi pembenaran wacana kolonial sebagai 'bukti' bahwa masyarakat setempat bersifat patriarkis, kolot dan represif. Kata kunci: feminisme, kajian gender, kajian pascakolonial, eurosentrisme, politik identitas A. Latar Belakang Di Indonesia khususnya di dunia akademik meskipun feminisme sudah banyak dikaji dan menjadi kurikulum pembelajaran khususnya di bidang ilmu sosial humaniora, kajian gender masih belum banyak menjadi kurikulum pengkajian yang secara serius dikembangkan di perguruan-perguruan tinggi. Sebaliknya, wacana gender di Indonesia justru lebih banyak direspon oleh lembaga lain yang tidak menjalankan otoritas akademik seperti NGO, komunitas kesenian dan komunitas yang memperjuangkan LGBT. Kajian gender merupakan suatu ranah keilmuan bersifat interdisipliner yang ditujukan untuk meneliti, membahas dan mengartikulasikan identitas berbasis gender. Dengan kata lain, kajian gender membahas konstruksi identitas dan implikasinya sehingga menampilkan representasi identitas berbasis pada pembedaan gender (secara maskulin dan secara feminin). Menurut Judith Butler (1990), kajian gender muncul sebagai suatu alternatif memahami dan
Research Interests:
Perdebatan mengenai kondisi perguruan tinggi negeri kita ramai menjadi perbincangan khalayak, khususnya ketika beberapa PTN bergengsi "diprivatisasi" oleh negara yang utamanya dikarenakan berkurangnya kapasitas negara dalam mensubsidi... more
Perdebatan mengenai kondisi perguruan tinggi negeri kita ramai menjadi perbincangan khalayak, khususnya ketika beberapa PTN bergengsi "diprivatisasi" oleh negara yang utamanya dikarenakan berkurangnya kapasitas negara dalam mensubsidi aktivitas PTN tersebut. Tulisan ini tidak dimaksutkan untuk mengulangi perdebatan diseputar "mengapa PTN harus diprivatisasi yang berdampak pada naiknya ongkos pendidikan". Meski demikian ada salah satu kritik tulisan ini terhadap argumen yang menyatakan secara optimis bahwa privatisasi PTN akan mampu mendorong PTN secara independen mewujudkan cita-cita dan fungsinya sebagai "Research University" atau universitas sebagai basis riset. Berangkat atas kritik tersebut, tulisan ini merupakan suatu bentuk artikulasi dan juga refleksi dari pengalaman penulis dan catatan atas obrolan penulis dengan berbagai elemen civitas akademika seperti beberapa orang dosen, para pegawai dan juga mahasiswa tentang berlangsungnya aktivitas belajar-mengajar di PT yang masih jauh dari harapan mewujudkan PT khususnya PTN sebagai "Research University". Meski demikian, pada akhir bagian dari tulisan ini, ada beberapa hal yang dapat direfleksikan sebagai rumusan agenda aksi khususnya bagi pengambil kebijakan pengelolaan PT dalam merespon "kebutuhan aktual dari arus bawah" yakni "mahasiswa" kita sebagai salah satu agen yang paling berkepentingan di dalam kehidupan akademik dan reproduksi sosial suatu bangsa. Salah satu argumen yang mendasari privatisasi PTN adalah untuk menjadikan PTN sebagai institusi yang independen baik secara politis maupun secara ekonomis. Sejarah panjang PTN kita khususnya di zaman Orba menggambarkan PTN sebagai institusi akademik yang tidak sepenuhnya murni menjalankan praktek akademik yang bebas dari kepentingan kekuasaan dan juga non-partisan. Negara (dalam hal ini penguasa) memiliki kontrol yang amat kuat terhadap aktivitas akademik, baik pada proses pengajaran maupun pada proses belajar, sehingga bukan hanya dosen yang diawasi oleh penguasa, mahasiswa-pun demikian. Kontrol negara pada saat itu adalah
Research Interests:
The Equator Newsletter is published by Yayasan Biennale Yogyakarta
(thanks to Khairunnisa and all the authors of this NL edition)
(thanks to Khairunnisa and all the authors of this NL edition)
Research Interests:
Shifting narratives about Islam
Research Interests:
Bayangkanlah ketika kita menjadi seorang warga dunia (cosmopolitan) dan terpaksa meninggalkan 'tanah air' merantau ke negeri orang. Ini misalnya dimungkinkan karena peperangan, masalah ekonomi, atau kehendak untuk mencari kehidupan yang... more
Bayangkanlah ketika kita menjadi seorang warga dunia (cosmopolitan) dan terpaksa meninggalkan 'tanah air' merantau ke negeri orang. Ini misalnya dimungkinkan karena peperangan, masalah ekonomi, atau kehendak untuk mencari kehidupan yang jauh lebih baik seperti memperoleh pendidikan dan juga lapangan kerja, telah memisahkan kita dari sanak keluarga dan rumah dimana kita pernah lahir dan dibesarkan. Pertanyaan yang sering datang pada kita sebagai "orang asing" di negeri orang adalah, "Where are you from?", maka kita akan menjawabnya dengan, "Indonesia". Ikatan kita pada apa yang kita sebut sebagai suatu "bangsa" seringkali dikonotasikan dengan ikatan darah (blood), tempat kelahiran (birth), atau keturunan (ancestry). Ikatan semacam inilah yang membatasi kita mendefinisikan suatu bangsa dalam suatu lingkup teritorial atau lingkup budaya tertentu (a sense of territorial fixity and cultural limits). Studi Ben Anderson (1983) 1 menegaskan bahwa ikatan-ikatan semacam inilah yang kemudian menjadi embrio lahirnya sebuah "bangsa", apa yang kemudian disebutnya sebagai "imagined communities". Karenanya rasa kebangsaan seseorang seringkali merupakan suatu ikatan atas kelangsungan hidup suatu komunitas dalam jangka waktu yang panjang (a sense of longevity), ikatan atas sejarah bersama yang terjadi di masa lampau (a sense of belonging to a history drawn from ancient times). Rasa kebangsaan semacam inilah yang oleh Anderson menandai lahirnya suatu negara-bangsa (nation-state) dimana ikatan dan keanggotaan seseorang pada negara-bangsa bukan hanya dikonstruksikan secara politis, tetapi lebih merupakan suatu konstruksi kebudayaan yang dipraktekkan melalui ritual dan simbol-simbol seperti; bendera nasional, upacara bendera, lagu kebangsaan, peringatan hari nasional, semuanya tujukan untuk menyampaikan makna, yakni ikatan-ikatan sebagai satu bangsa. Thesis Ben Anderson memperkaya diskursus dalam studi mengenai negara-bangsa (nation-state) 1 Anderson, Ben. 1983. Imagined Communities: Reflections on the origins and spread of nationalism, Verso, London.
Peranan Titarubi di dalam proses pengkaryaannya mewakili suatu praktek estetika seni modernitas cair. Konsep Liquid modernity (late modernity) atau ‘modernitas cair’ merupakan suatu konsep mengenai modernitas tingkat lanjut yang bukan... more
Peranan Titarubi di dalam proses pengkaryaannya mewakili suatu praktek estetika seni modernitas cair. Konsep Liquid modernity (late modernity) atau ‘modernitas cair’ merupakan suatu konsep mengenai modernitas tingkat lanjut yang bukan hanya semata-mata bertujuan untuk melakukan dekonstruksi atas kehidupan moderen belaka – melainkan suatu eksplorasi metanaratif (pewacanaan) atas tujuan kemanusiaan tanpa harus menghancurkan fondasi kemerdekaan berfikir yang melekat sebagai sesuatu yang asasi pada setiap individu. Konsep modernitas cair (liquid modernity) – digagas oleh seorang sosiolog Inggris Zygmunt Bauman yang melihat kecenderungan kritik postmodernisme hanya bermuara pada ‘intellectual exercise’ (kepuasan intelektual) belaka – tanpa disertai oleh suatu proyek partisipatoris (keiikutsertaan secara suka rela) untuk memperbaiki kehidupan masyarakat – khususnya masyarakat pasca industri (yang kini ditentukan oleh mekanisme pasar). Dalam konteks seni rupa misalnya, pengaruh postmodernisme – melahirkan kritikus-kritikus seni rupa yang juga ikut berpengaruh di dalam menentukan tafsir atas suatu karya. Keberadaan para kritikus seni rupa ini pada gilirannya bisa menjadi demikian hegemonik khususnya ketika si seniman itu sendiri tak mampu menghadirkan wacana apa yang direpresentasikan oleh karya-karyanya.