SEKOLAH TINGGI TEOLOGI TRANSFORMASI INDONESIA
0
MANADO
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI
TRANSFORMASI INDONESIA MANADO
DIKTAT
HERMENEUTIKA
DISUSUN OLEH:
Anatje I.S. Lumantow
Frimsi Wohon
Hizkia J. Kambong
1
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur bagi Tuhan Yesus Kristus yang limpah rahmat, kasih dan
karunia sehingga Buku Diktat Hermeneutika ini dapat diselesaikan dengan baik
sesuai yang diharapkan. Penyusunan Diktat ini dilakukan demi pemenuhan mutu
akademik di STT Transformasi Indonesia dan juga sebagai pedoman materi pada
Mata Kuliah Kepemimpinan Kristen.
Buku Diktat ini ditulis dalam rangka pemenuhan mutu Akademik di STT
Transformasi Indonesia dan yang nantinya akan dipakai sebagai bahan materi
pokok Mata Kuliah Hermeneutika sehingga diharapkan melalui buku ini dapat
membantu Dosen dalam memberikan materi yang dibutuhkan.
Semoga melalui Diktat ini dapat bermanfaaat bagi kita semua. Kami
menyadari dalam pembuatan diktat ini penuh dengan kekurangan oleh karena itu
kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak untuk penyempurnaan buku ini
sangat diharapkan penulis.
Manado, ........................................
Tim Penyusun
2
DAFTAR ISI
Sampul Luar ........................................................................................................ 0
Halaman Tim Penyusun ...................................................................................... 1
Kata Pengantar .................................................................................................... 2
Daftar Isi.............................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 4
BAB II SEJARAH PENAFSIRAN ALKITAB................................................... 5
II.1 Penafsiran Yahudi ............................................................................... 5
II. 2 Penafsiran Apostolik .......................................................................... 8
II. 3 Penafsiran Bapa-bapa Gereja ............................................................. 9
II. 4 Penafsiran Abad Pertengahan .......................................................... 11
II. 5 Penafsiran Reformasi ....................................................................... 12
II. 6 Penafsiran Pasca-Reformasi ............................................................. 14
II. 7 Penafsiran Modern ........................................................................... 15
BAB III DASAR-DASAR HERMENEUTIKA ............................................... 18
III. 1 Hermeneutika Alkitabiah ................................................................ 18
III. 2 Tempat Hermeneutika ..................................................................... 21
III. 3 Tugas-tugas Umum Hermeneutika: setia kepada teks .................... 22
III. 4 Kualifikasi Seorang Penafsir Alkitab ............................................. 28
BAB IV PERLENGKAPAN HERMENEUTIKA ............................................ 30
IV. 1 Perlengkapan Obyektif.................................................................... 30
IV. 2 Perlengkapan Subyektif .................................................................. 51
BAB V PRINSIP DAN METODE UMUM HERMENEUTIKA ..................... 53
V. 1 Prinsip Filsafati (Literal & Konteks) ................................................ 53
V. 2 Prinsip Sejarah & Latar Belakang .................................................... 62
Daftar Pustaka ................................................................................................... 95
3
BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan utama dari Alkitab adalah untuk mengubah dan memperbaharui
kehidupan manusia, bukan sekedar untuk menambah pengetahuan saja. Para
penulis, oleh dorongan Roh Kudus, menulis kitab-kitab Suci untuk mengajar,
menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik dalam
kebenaran, supaya anak-anak Allah "diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik" (2
Timotius 3:16-17). Yakobus memberi tantangan kepada kita untuk "menjadi pelaku
firman dan bukan hanya pendengar saja". Untuk menjadi pelaku firman dan
menerapkannya, kita perlu memperhatikan dua hal yang penting:
1. Tidak semua bagian Alkitab dapat diterapkan dengan cara yang sama
seperti diterapkan ketika bagian itu ditulis.
2. Ketika menerapkan suatu ayat atau bagian Alkitab, harus selaras dengan
penafsiran yang benar.
Tidak ada terjemahan Alkitab yang sempurna, karena penerjemah Alkitab
adalah manusia yang tidak sempurna. Oleh karena itu, sebelum menyampaikan
berita, bandingkanlah dahulu beberapa macam terjemahan. Dengan cara demikian
kita akan melihat kekurangan dan kelebihan terjemahan tertentu. Pada saat kita
mempelajari teks Perjanjian Lama, mari kita juga memakai Alkitab bahasa Ibrani.
Ketika kita mempelajari teks Perjanjian Baru, mari kita memakai juga Alkitab
bahasa Yunani. Kiranya kerja keras yang dilakukan melalui perbandingan
terjemahan-terjemahan Alkitab akan menghasilkan terjemahan yang tepat sehingga
berita yang kita sampaikan adalah berita yang benar.
Bagaimanakah
kita
dapat
mengetahui
menerapkan yang benar ?
4
cara
menafsirkan
dan
BAB II
SEJARAH PENAFSIRAN ALKITAB
Hermeneutika sebagai sebuah disiplin ilmu termasuk cukup baru karena
baru dikenal sekitar tahun 1567 Masehi. Namun demikian prinsip-prinsip
Hermeneutika sebenarnya sudah dikenal sejak jaman Diaspora yaitu masa
pembuangan bangsa Israel. Oleh karena itu untuk mempelajari sejarah
Hermeneutika kita harus kembali paling tidak lima abad sebelum Kristus lahir.
II.1
Penafsiran Yahudi
Pusat Ibadah Yahudi
Sejarah PenafsiranYahudi sudah dimulai sejak jaman Ezra (457 sM), pada
waktu orang-orang Yahudi sedang berada di tanah pembuangan. Pusat ibadah orang
Yahudi dahulu adalah Yerusalem di mana
mereka
beribadah dengan
mempersembahkan korban di Bait Suci. Tetapi karena di tanah pembuangan mereka
tidak mungkin beribadah ke Yerusalem, maka mereka menciptakan pusat ibadah
baru, yaitu dengan menggiatkan kembali pengajaran dari Kitab-kitab Taurat.
Pengajaran Taurat itu menjadi sumber penghiburan dan kekuatan yang sangat
berharga untuk mempertahankan diri dari pengaruh kafir di tanah pembuangan.
Usaha pertama yang dilakukan oleh Ezra dan kelompok para imam adalah
menghilangkan gap bahasa yaitu dengan menterjemahkan Kitabkitab Taurat itu ke
dalam bahasa Aram, karena orang-orang Yahudi di pembuangan tidak lagi bisa
berbahasa Ibrani. Usaha terjemahan ini dibarengi dengan suatu eksposisi karena
mereka juga harus menjelaskan isi kitab-kitab yang sudah mereka terjemahkan itu,
khususnya tentang pelaksanaan Taurat. Karena sumbangannya yang besar itulah
Ezra disebut sebagai Bapak Hermeneutika Pertama. Baca Nehemia 8:1-8; Ezra
8:15-20.
5
Tempat Ibadah Sinagoge
Untuk menunjang pemulihan kembali pengajaran kitab-kitab Taurat,
didirikanlah sinagoge di tanah pembuangan untuk menggantikan tempat ibadah
Bait Suci (Yerusalem). Fungsi utama sinagoge adalah sebagai tempat orang-orang
Yahudi berkumpul menaikkan doa-doa, membaca Taurat dan mempelajarinya
dengan teliti, juga sekaligus menjadi tempat mereka memelihara tradisi Yahudi dan
melakukan kegiatan sosial lainnya.
Sinagoge Agung adalah kelompok para ahli Kitab jaman itu yang terdiri dari
120 anggota, dibentuk oleh Ezra sepulangnya mereka kembali ke Palestina. Tugas
utama kelompok ini adalah menafsirkan kitab-kitab Taurat (Nehemia 8:9-13). Oleh
karena itu bisa dikatakan inilah sekolah menafsir yang pertama didirikan. Setelah
semakin banyak orang-orang Yahudi akhirnya diijinkan pulang kembali ke tanah
Palestina, tradisi mempelajari Taurat dan memelihara tradisi Yahudi ini tetap
dibawa ke tanah air mereka dan sinagoge lokal pun mulai didirikan di tempattempat
di mana mereka tinggal (meskipun Bait Suci sudah dibangun kembali). Itu
sebabnya pada jaman Tuhan Yesus dan rasul-rasul, kita menjumpai banyak
sinagoge di kota-kota di Israel, yang dipimpin oleh seorang yang disebut "kepala
rumah ibadah". (Markus 5:22; Lukas 13:14; Kisah Para rasul 13:5, 14:1).
Sekolah-sekolah Menafsir Yahudi
Melihat pentingnya mempelajari kitab-kitab, maka dalam perkembangan
selanjutnya (setelah Ezra dan Nehemia meninggal), bermunculanlah sekolahsekolah menafsir formal, di antaranya:
1. Sekolah Yahudi Palestina.
Sekolah ini mengikuti tradisi yang dipakai oleh Ezra dalam menafsir
kitab-kitab Taurat, yaitu menekankan metode penafsiran literal. Mereka
menerima otoritas mutlak Firman Allah, dan tujuan utama mereka adalah
menginterpretasikan Taurat. Hasil penafsiran mereka ini kemudian
bercampur dengan tradisi-tradisi yang berlaku pada jaman itu, sehingga
tulisan ini di kemudian hari dikenal dengan nama "Tradisi Lisan" (the Oral
6
Law). Tetapi sayang sekali bahwa tradisi lisan ini akhirnya diberikan
otoritas yang sejajar dengan tulisan Kitab-kitab Taurat.
Pada abad 2 Masehi dikumpulkanlah seluruh Tradisi Lisan yang
pernah ditulis yang disebut "Mishna" yang artinya "doktrin lisan dan
pengajarannya". Dalam Mishna ini terdapat dua macam tafsiran:
a. Halakah, penafsiran (eksegesis) resmi terhadap hukum-hukum
dalam kitab-kitab Taurat yang bersifat sangat legalistik, dengan
memperhatikan sampai ke titik dan komanya.
b. Hagadah, penafsiran seluruh Alkitab Perjanjian Lama, tetapi yang
tidak berhubungan langsung dengan hukum, yang tujuannya adalah
untuk kesalehan kehidupan beragama.
Perkembangan selanjutnya adalah para ahli kitab membuat buku
tafsiran dari buku Mishna, yang disebut Gemara. Kedua buku Mishna dan
Gemara, inilah yang akhirnya membentuk buku (kitab) Talmud.
2. Sekolah Yahudi Aleksandria.
Didirikan oleh kelompok masyarakat Yahudi yang sudah tercampur
dengan budaya dan pikiran Yunani (kaum Hellenis). Kerinduan mereka
yang paling utama adalah menterjemahkan kitab-kitab Perjanjian Lama ke
dalam bahasa Yunani Modern, sebagai hasilnya adalah Septuaginta.
Penambahan kitab-kitab Apokrifa dalam Septuaginta menunjukkan bahwa
mereka menerima penafsiran Hagadah dari sekolah Yahudi Palestina.
Namun sayang sekali, karena pengaruh yang besar dari filsafat Yunani,
orang Yahudi mengalami kesulitan dalam menerapkan cara hidup sesuai
dengan pengajaran Taurat. Sebagai jalan keluarnya muncullah cara
interpretasi alegoris yang dipakai untuk menjembatani kedua cara hidup
yang bertentangan itu.
Aristobulus (160 sM) dikenal sebagai penulis Yahudi yang pertama
menggunakan metode alegoris. Ia menyimpulkan bahwa filsafat Yunani
dapat ditemukan dalam kitab-kitab Taurat melalui penafsiran alegoris.
7
Philo (20-54 M) adalah penafsir Yahudi di Aleksandria yang paling
terkenal. Menurut prinsip menafsir yang dipakai oleh Philo, penafsiran
literal adalah untuk orang-orang yang belum dewasa karena hanya melihat
sebatas huruf-huruf yang kelihatan (tubuh); sedangkan penafsiran alegoris
adalah untuk mereka yang sudah dewasa, karena sanggup melihat arti yang
tersembunyi dari jiwa yang paling dalam (jiwa).
3. Sekolah Kaum Karait.
Kelompok dari sebuah sekte Yahudi ini menolak otoritas buku-buku
tradisi lisan dan juga metode penafsiran Hagadah. Mereka lebih cenderung
mengikuti metode penafsiran literal, kecuali bila sifat dari kalimatnya tidak
memungkinkan. Sebagai akibatnya mereka menolak dengan tegas metode
penafsiran alegoris.
Selain sekolah-sekolah di atas, ada juga sekolah-sekolah lain yang
kurang dikenal, yaitu Kabalis, Yahudi Spanyol, Yahudi Perancis, Yahudi
Modern.
II.2
Penafsiran Apostolik
Mencakup masa periode ketika Yesus masih hidup sampai jaman rasulrasul.
Metode yang dipakai adalah metode penafsiran literal. Dengan inspirasi dari Roh
Kudus, para penulis Perjanjian Baru telah menafsirkan Perjanjian Lama dengan
tanpa salah dalam tulisan-tulisan mereka.
1. YESUS KRISTUS, PENAFSIR SEMPURNA.
Dalam pengajaran kepada murid-murid-Nya Yesus banyak
memberikan penafsiran kitab-kitab Perjanjian Lama (Lukas 24:27,44;
Yohanes 5:39). Dengan cara demikian Yesus telah membuka pikiran muridmurid-Nya untuk mengerti Firman Tuhan dengan benar. Ia sendiri adalah
Firman yang menjadi Manusia (inkarnasi), yang menjadi jembatan yang
menghubungkan antara pikiran Allah dan pikiran manusia. Banyak catatan
tentang teguran Yesus terhadap penafsiran para ahli Taurat (misalnya di
Matius 15:1-9, 22:29, 23:1-33; Markus 7:1-7).
8
Contoh penafsiran yang dilakukan oleh Tuhan Yesus: Matius 10:5,6;
12:1-4,15-21; 13:1-9; 18:23; 19:3-9; 21:42-44; 22:41-46; 24:36-39; Lukas
11:29,30; 21:20-24; 24:27-44.
2. PARA RASUL, PARA PENULIS YANG MENDAPATKAN INSPIRASI DARI
ALLAH.
Mereka adalah contoh para penulis Alkitab Perjanjian Baru, yang
menafsirkan kitab-kitab Perjanjian Lama dengan inspirasi yang Allah
berikan kepada mereka tanpa salah. Mereka menolak prinsip-prinsip
alegoris, atau tambahantambahan dari tradisi-tradisi dan dongeng-dongeng
Yahudi. Mereka juga menolak filsafat Yunani yang mengambil alih
kebenaran. Yesus dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru telah
menggunakan cara interpretasi yang benar. Ini menjadi contoh yang sangat
berguna bagi para penafsir untuk belajar menafsir dengan benar. Contoh
prinsip penafsiran yang dilakukan oleh para penulis Perjanjian Baru: Roma
3:1-23, 9:6-13; Galatia 3:1-29, 4:21-31; 1 Korintus 9:9-12, 10:1-11, Ibrani
6:20-7:21, 8-8-12, 10:1-14,37-11:40; 1 Petrus 2:4-10; 2 Petrus 3:1-13.
II.3
Penafsiran Bapa-bapa Gereja
Masa periode ini adalah sesudah para rasul meninggal hingga masa Abad
Pertengahan (95-600 M). Pembagian masa-masanya adalah sebagai berikut.
1. 95 - 202 M (CLEMENT DARI ROMA SAMPAI IRENAEUS).
Tidak ada banyak catatan penting mengenai perkembangan metode
penafsiran Alkitab pada masa itu. Kemungkinan besar Bapa-bapa gereja
terlalu sibuk mempertahankan doktrin Kristologi dari ajaranajaran sesat
yang banyak bermunculan saat itu sehingga tidak banyak menekankan
tentang prinsip penafsiran yang sehat. Sebagai akibatnya beberapa dari
mereka jatuh pada penggunaan metode alegoris dalam penafsiran
mereka, seperti Barnabas dan Justin Martyr.
2. 202 - 325 M (SEKOLAH ALEKSANDRIA).
Pada permulaan abad III, penafsiran Alkitab banyak dipengaruhi
oleh Sekolah Aleksandria. Aleksandria adalah sebuah kota besar tempat
9
pertemuan antara agama Yudaisme dan filsafat Yunani. Usaha
mempertemukan
keduanya
memaksa
orang-orang
Yahudi
menggunakan metode interpretasi alegoris, suatu sistem penafsiran yang
sudah sangat dikenal sebelumnya. Ketika Kekristenan tersebar di
Aleksandria, hal ini pun menjadi pengaruh yang tidak mungkin
dihindari. Gereja Kristen di Aleksandria lebih tertarik menggunakan
penafsiran alegoris karena seakan-akan memberikan arti yang lebih
dalam dari pada arti harafiah.
Bapak Gereja yang paling berpengaruh saat itu adalah Clement dari
Aleksandria dan Origenes. Tetapi meskipun mengakui penafsiran literal,
mereka memberikan bobot yang kuat dalam penafsiran alegoris.
Origenes adalah pengganti Clement dari Aleksandria. Ia bukan
hanya menjadi teolog besar tapi juga ahli kritik Alkitab besar pada
jamannya. Dalam memakai metode penafsirannya ia percaya bahwa
Alkitab memberikan 3 arti, sama halnya manusia dibagi menjadi 3
aspek, yaitu tubuh, jiwa dan roh. Maka Alkitab juga mempunyai arti
literal, moral dan mistik (alegoris). Namun demikian dalam
kenyataannya Origen paling sering memakai metode alegoris dari pada
literal.
3. 325 - 600 M (SEKOLAH ANTIOKIA).
Pengaruh besar dari Sekolah Antiokia ini adalah perlawanannya
terhadap Sekolah Aleksandria khususnya dalam eksegesis alegorisnya.
Prinsip penafsiran mereka dapat diringkaskan sebagai berikut: ilmiah,
menggunakan prinsip literal dan tinjauan sejarah, sebagai ganti alegoris
mereka memakai metode tipologi.
Tokoh-tokoh Sekolah Antiokia adalah: Diodorus dari Tarsus,
Theodore dari Mopsuestia dan Chrysostom. Mereka semua menolak
prinsip alegoris dalam penafsiran Alkitab, tapi menerima prinsip literal
dengan tinjauan tata bahasa dan sejarah.
Selama abad 4 dan 5, perdebatan teologis berlanjut menjadi
perpecahan gereja, menjadi Gereja Bagian Timur dan Gereja Bagian
Barat.
10
a. Gereja Bagian Timur. Tokoh mereka adalah Athanasius dari
Aleksandria (literal, tapi juga alegoris), Basil dari Caeserea (literal),
Theodoret dan Andreas dari Capadocia (literal dan historis).
b. Gereja Bagian Barat. Tokoh mereka adalah Tertulianus (literal,
tetapi nubuatan ditafsirkan secara alegoris), Ambrosius (alegoris
ektrim), Jerome (sumbangannya terbesar adalah menterjemahkan
Alkitab dalam bahasa Latin yang disebut Vulgate. Secara teori ia
mengikuti penafsiran literal, tapi dalam praktek adalah alegoris,
karena menurutnya tidak ada kontradiksi antara literal dan alegoris),
Augustinus (Teolog terbesar pada jamannya. Ia tidak menolak
penafsiran alegoris tetapi ia memberikan sedikit modifikasi, dan
dikhususkan bagi nubuatan. Menurutnya Alkitab harus ditafsirkan
secara historis, mengikuti tata bahasa, diperbandingkan dan kalau
perlu memakai alegoris. Tetapi penekanan yang utama adalah bahwa
untuk memahami Alkitab seseorang harus mempunyai iman Kristen
yang murni dan penuh kasih. Dan dalam menafsirkan ayat/perikop
harus melihat keseluruhan kebenaran yang diajarkan Alkitab. Tugas
penafsir adalah menemukan kebenaran Alkitab bukan memberi arti
kepada Alkitab), Vincentius (tafsiran harus disesuaikan dengan
tradisi gereja).
II.4
Penafsiran Abad Pertengahan
Masa periode tahun 600 - 1517 disebut sebagai Hermeneutika Abad
Pertengahan, yang diakhiri sebelum masa Reformasi. Masa ini dikenal sebagai abad
gelap karena tidak banyak pembaharuan yang terjadi, hanya melanjutkan tradisi
yang sudah dipegang erat oleh gereja. Semua penafsiran disinkronkan dengan
tradisi gereja. Pengajaran dan hasil eksposisi Bapa-bapa Gereja menjadi otoritas
gereja. Alkitab hanya dipergunakan sebagai pengesahan akan apa yang dikatakan
oleh para Bapa gereja, bahkan penafsiran para Bapa gereja kadangkala mempunyai
otoritas yang lebih tinggi daripada Alkitab.
Alkitab lama kelamaan dianggap sebagai benda misterius yang banyak
berisi pengajaran-pengajaran yang takhayul. Itu sebabnya cara penafsiran alegoris
11
menjadi paling dominan. Dua tokoh penafsir literal yang dikenal pada masa ini
adalah:
1. Thomas Aquinas. Meskipun ia menyetujui penafsiran literal, dalam
praktek ia banyak menggunakan penafsiran alegoris. Dalam masalah
teologi ia percaya bahwa Alkitab memegang otoritas tertinggi.
2. John Wycliffe. Ia sering disebut sebagai "Bintang Fajar Reformasi"
karena kegigihannya menyerang pendapat bahwa otoritas gereja tidak
lebih tinggi daripada otoritas Alkitab. Karena keyakinannya itulah ia
terdorong untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa yang
dikenal umum, sehingga setiap orang bisa membaca dan menyelidiki
sendiri pengajaran Alkitab.
Menjelang berakhirnya Abad pertengahan terjadi kebangunan dalam
minat belajar, khususnya belajar bahasa kuno. Didukung dengan
ditemukannya mesin cetak kertas, dan dicetaknya Alkitab, maka
kepercayaan takhayul terhadap Alkitab perlahan-lahan lenyap dan mereka
mulai mempercayai bahwa otoritas Alkitab lebih tinggi dari pada otoritas
gereja. Inilah yang membuka jalan untuk lahirnya Reformasi.
II.5
Penafsiran Reformasi
Periode ini terjadi pada tahun 1517 - 1600 M, dimulai pada saat Martin
Luther memakukan 95 tesisnya dan berakhir sampai abad 16.
1. Perjuangan Reformasi.
Dengan bangkitnya periode intelektual dan pencerahan rohani,
perang memperjuangkan "sola scriptura" (hanya Alkitab) merupakan
fokus Reformasi. Secara umum isi perjuangan Reformasi adalah sebagai
berikut.
a. Alkitab adalah Firman Allah yang diinspirasikan oleh Allah sendiri.
b. Alkitab harus dipelajari dalam bahasa aslinya.
c. Alkitab adalah satu-satunya otoritas yang tanpa salah; sedangkan
gereja dapat salah.
d. Alkitab adalah otoritas tertinggi dalam semua masalah iman Kristen.
12
e. Gereja harus tunduk pada otoritas kebenaran Alkitab.
f. Alkitab harus diinterpretasikan/ditafsirkan oleh Alkitab.
g. Semua pemahaman dan ekposisi Alkitab harus tidak bertentangan
dengan seluruh kebenaran Alkitab.
2. Tokoh Reformasi.
a. Martin Luther.
95 tesisnya merupakan serangan yang dilancarkan terhadap otoritas
gereja. Martin percaya penuh bahwa Alkitab harus menjadi otoritas
tertinggi bagi iman dan kehidupan orang percaya. Untuk itulah ia
menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman
supaya rakyat biasa dapat membaca dan menyelidikinya. Prinsip
penafsiran Martin Luther:
1) Untuk menafsir dengan benar harus ada penerangan dari Roh
Kudus.
2) Alkitab adalah otoritas tertinggi, bukan gereja.
3) Penafsir harus memberi perhatian pada tata bahasa dan latar
belakang sejarah. Penafsiran alegoris tidak berlaku.
4) Alkitab adalah jelas sehingga orang percaya pasti dapat
menafsirkannya.
5) Fungsi menafsir Alkitab adalah sentralitas dalam Kristus.
6) Taurat menghukum (mengikat), tetapi Injil membebaskan.
b. John Calvin.
Diakui sebagai tokoh penafsir ilmiah pertama dalam sejarah Gereja.
Ia menentang penafsiran alegoris, tetapi menerima tipologi dalam
Perjanjian Lama. Tetapi tidak seperti Luther, Calvin tidak
memaksakan pada penafsiran yang berpusatkan pada Kristus.
Prinsip penafsiran John Calvin:
1) Roh Kudus adalah vital dalam pekerjaan penafsiran.
2) Alkitab akan menafsirkan Alkitab.
3) Penafsiran harus literal; penafsir harus menemukan apa yang
ingin disampaikan oleh penulis Alkitab, melihat pada konteks,
13
meneliti latar belakang sejarah, melakukan studi kata dan
memeriksa tata bahasa.
4) Menolak penafsiran alegoris.
5) Menolak otoritas gereja dalam menginterpretasikan Alkitab.
6) Teologi yang benar harus dihasilkan dari eksegesis yang sehat.
Setelah kematian Calvin, para teolog Protestant bergumul keras
untuk
merumuskan
kredo
doktrin
iman
Kristen
dan
mensistematiskan teologianya. Tapi perdebatan dalam masalah
penafsiran terus berlangsung sampai pada masa berikutnya.
II.6
Penafsiran Pasca-Reformasi
Periode ini adalah antara tahun 1600 - 1800 M. Periode ini dipenuhi dengan
semangat penafsiran literal Reformasi, tetapi akhir periode ini ditutup dengan
penekanan pada metode penafsiran devotional.
1. Sesudah Reformasi. Terjadi banyak kontroversi dan perdebatan teologis
yang akhirnya menjadi kepahitan di antara para teolog dan mulai terjadi
perpecahan. Dogmatisme mulai meracuni gereja. Studi Alkitab akhirnya
hanya dipakai untuk membenarkan dogma dan teologi mereka sendiri.
2. Gerakan Peitisme. Gerakan ini muncul sebagai reaksi Dogmatisme
pasca-Reformasi, karena Alkitab telah disalah gunakan sebagai pedang
yang melukai dan merusak kemurnian hidup rohani. Oleh karena itu
mereka melakukan pendekatan yang berbeda, yaitu mempelajari Alkitab
dan menafsirkannya secara pribadi untuk tujuan memperkaya aplikasi
kehidupan rohani. Meskipun motivasi ini baik, tetapi berakibat negatif
karena membuat tujuan penafsiran bukan lagi untuk mengetahui apa
yang Allah ingin kita ketahui, tapi hanya untuk mempererat hubungan
pribadi dengan Allah. Sebagai hasilnya muncullah kelompok-kelompok
seperti Moravian, Puritan dan Quaker. Tokoh-tokoh gerakan Pietisme
ini adalah:
a. Philipp Jakob Spener - Bapak Pietisme.
Ia percaya bahwa kemurnian hati lebih berharga daripada kemurnian
doktrin. Ia mendorong setiap orang percaya untuk mempelajari
14
sendiri Firman Allah dan mengaplikasikan kebenarannya dalam
kehidupan praktis.
b. August Hermann Francke.
Sebagai murid Spener, ia juga mengikuti prinsip-prinsip Pietisme.
Menurutnya hanya orang Kristen lahir baru yang dapat mengerti arti
berita Alkitab. Ia juga mengkombinasikan antara eksegesis dengan
pengalaman. Tetapi segi negatif dari gerakan ini muncul yaitu
menjadi tindakan legalistik terhadap mereka yang bukan anggota
Pietisme dan mengabaikan teologi.
3. Kritisisme. Melihat kelemahan Pietisme dengan metode devotional,
banyak teolog mulai melakukan pendekatan skolastis studi Alkitab.
Banyak usaha dilakukan dalam bidang kritik teks. Naskah-naskah
Alkitab mulai dievaluasi dan diteliti untuk pertama kalinya untuk
mengetahui keabsahannya sebagai kitab Kanon. Tokoh yang terkenal
adalah Johann August Ernesti.
4. Rasionalisme. Dari Kritisisme para teolog melanjutkan lebih jauh
sampai melampaui batas yang seharusnya, yaitu mereka menempatkan
rasio manusia sebagai otoritas yang lebih tinggi dari Alkitab. Rasio
manusia, tanpa campur tangan Allah, dianggap cukup untuk mengetahui
Penyataan Allah. Apabila ada hal yang tidak dapat dimengerti oleh
intelek manusia, maka harus dibuang. Sebagai akibatnya mereka
berpendapat bahwa Alkitab bisa salah karena ditulis oleh manusia.
Mereka memperlakukan Alkitab tidak jauh berbeda seperti buku-buku
yang lain. Tiga tokoh terkenal Rasionalisme adalah Hobbes, Spinoza
dan Semler.
II.7
Penafsiran Modern
Masa periode ini adalah tahun 1800 - sekarang. Semua metode penafsiran
yang pernah dilakukan masih terus dilakukan hingga sekarang. Walaupun dari
waktu ke waktu penekanan terus bergeser dari satu ekstrim kepada ekstrim yang
lain. Dalam era modern ini serangan yang paling tajam akhirnya ditujukan pada
otoritas Alkitab, sebagai fondasi dalam menafsir. Sebagai contohnya:
15
1. Liberalisme. Rasionalisme telah membuka era modern untuk lahirnya
Liberalisme. Secara umum diringkaskan pendekatan mereka adalah:
a. Hal-hal yang tidak dapat diterima oleh rasio harus ditolak.
b. Inspirasi didefinisikan ulang, yaitu merupakan tulisan hasil
pengalaman religius manusia (penulis Alkitab).
c. Alkitab harus ditafsirkan secara historis, sebagai konsep teologis
dari penulis Alkitab sendiri.
2. Neo Ortodoks. Karl Barth tidak mau disebut sebagai penganut
Liberalisme, ia tetap ingin mencari kembali inti-inti Teologi Reformasi.
Dalam pendekatannya Karl Barth menolak baik inspirasi maupun
ketidakbersalahan Alkitab karena menurut Barth, Penyataan/Firman
Allah baru akan terjadi apabila ada pertemuan antara Allah dan manusia
dalam Alkitab. Alkitab sendiri bukanlah Firman Tuhan tetapi hanya
saksi akan Firman Tuhan. Oleh karena itu penafsiran Alkitab merupakan
pekerjaan sia-sia kalau bukan Allah sendiri yang bertemu dengan
manusia.
3. Konservatisme / Injili. Gerakan Konservatisme merupakan reaksi untuk
melawan pikiran-pikiran modern. Beberapa pendekatan mereka pada
Alkitab adalah antara lain:
a. Rasio harus ditaklukkan di bawah otoritas Alkitab, karena rasio tidak
cukup untuk menginterpretasi Alkitab. Oleh karena itu Roh Kudus
adalah vital untuk memberikan penerangan supaya kita mengerti.
b. Pendekatan
penafsiran
literal,
karena
percaya
pada
ketidakbersalahan Alkitab.
c. Percaya pada penyataan yang progresif, tetapikebenaran tidaklah
dibatasi oleh waktu sehingga berlaku di sepanjang jaman.
4. Hermeneutika Baru. Tokohnya adalah Rudolf Bultman. Prinsip yang
dipakai untuk menafsir adalah kita harus membaca sesuai dengan
prinsip ilmu pengetahuan, karena manusia tidak boleh mengabaikan
inteleknya. Otoritas Alkitab tidak diterima sepenuhnya. Mereka bahkan
meragukan apakah yang Alkitab katakan itu sama dengan apa yang
16
dituliskan. Tujuan utama Hermeneutika Baru adalah mencoba
menghindarkan diri dari kelemahan yang dimiliki Liberalisme.
17
BAB III
DASAR-DASAR HERMENEUTIKA
III.1
Hermeneutika Alkitabiah
Sebenarnya istilah Hermeneutika ini tidak hanya dipakai untuk penafsiran
Alkitab saja melainkan juga dipakai secara umum dan luas, untuk mencari makna
yang sesungguhnya dari, misalnya: kesenian, sejarah, literatur, arkeologi, dan
penerjemahan.
Bahkan
dalam
kehidupan
sehari-hari
kita
juga
selalu
mempergunakan cara-cara tertentu, secara sadar atau tidak sadar, untuk menafsir
atau menjelaskan hal-hal yang kita lihat atau dengar.
Namun dalam Diktat ini, istilah Hermeneutika dipakai dalam pengertian
sempit (khusus), yakni Hermeneutika Alkitabiah, yang memusatkan perhatian
kepada Alkitab saja. Dengan demikian di dalam Hermeneutika Alkitabiah perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Hermeneutika Alkitabiah merupakan: Jabatan Yang Suci, selaku
Pelayanan Firman (Ministerium Verbi Divine).
Studi kasus:
Di dalam 2 Timotius 2:15 dipergunakan kata orvqotomou/nta (dari kata
o vrqotomew yang berarti “to cut a straight line”, “rightly dividing”
atau memisahkan perkataan-perkataan Allah secara benar dari
perkataanperkataan manusia).
2. Adanya Pertimbangan-pertimbangan Teoritis:
a.
Sebagai Ilmu Pengetahuan: menggunakan cara-cara ilmiah dalam
mencari arti sesungguhnya dari Alkitab. Prinsip-prinsip & metodemetode yang dipergunakannya merupakan suatu sistim yang masuk akal,
dapat diuji dan dipertahankan/dipertanggung jawabkan (“jangan asal
ngecap”).
18
b.
Sebagai Ilmu Seni: Hermeneutika harus menghasilkan sesuatu yang
indah, harmonis, bahkan pada kasus tertentu, ia menuntut pendekatan
yang berbeda dengan pendekatan ilmiah.
c.
Sebagai Eksegesis: Bagaimana teks dipahami secara historis (What
The Bible Said) - Aplikasi dari prinsip-prinsip Hermeneutik terhadap
teks dalam Alkitab.
d.
Sebagai Eksposisi: Aplikasi & relevansi Teks di dalam setting
eksistensial (Generasi Kontemporer - What The Bible Says) bagi tujuan
Homiletika. Atau, dengan kata lain, Eksposisi adalah penguraian hasil
eksegesis yang telah dilakukan, pada umumnya berupa kotbah.
3. Adanya Asumsi-asumsi Dasar:
a. Sifat Teologis Alkitab: Alkitab mempunyai sistim yang unik &
kebersatuan.
b. Kuasa Yang Menjiwai Alkitab: Alkitab menghayati manusia.
c. Kanonitas Alkitab: Alkitab merupakan tolak ukur bagi kehidupan
manusia.
4. Definisi Hermeneutika. Untuk memahami Definisi Hermeneutika, kita
perlu menyelusurinya, mulai dari:
a. Istilah-istilah yang dipakai di dalam Perjanjian Lama:
Studi kasus:
1)
rt;P'
– Pathar (Kejadian 40:16,22, 41:12-13): mengartikan,
menerangkan, menafsir (mimpi),
2)
!Art.Pi
- Pithron (Kejadian 40:5,8,12,18, 41:11): suatu tafsiran.
Kata ini paling umum digunakan dalam konotasi menafsirkan
mimpi, karena mimpi berwujud simbol yang artinya tidak jelas
(Kejadian 41:8,12,15).
19
a. Istilah-istilah yang dipakai di dalam Perjanjian Baru:
Studi kasus:
1) e `rmhnei,a – hermêneia (1 Korintus 12:10, 14:26): tafsiran.
2) e `rmhneu,w
- hermêneuô (Yohanes 1:42,
9:7, Ibrani 7:2):
menafsirkan, menerjemahkan, menjelaskan).1
a) Definisi Formal (sebagaimana dinyatakan oleh Ramm):
“Hermeneutics is a science in that it can determine certain
principles for discovering the meaning of a document, and in
that these principles are not a mere list of rules but bear
organic connection to each other.”
2
(Hermeneutika adalah
suatu ilmu yang dapat menentukan prinsip-prinsip tertentu
untuk menemukan makna dari sebuah dokumen, dan dalam
prinsipprinsip
ini
tidak
sekadar
daftar
aturan
tapi
menghasilkan hubungan organik satu sama lain)
b) Dengan
demikian,
dapatlah
disimpulkan
bahwa
Hermeneutika adalah Ilmu pengetahuan yang mempelajari
prinsip-prinsip & metode-metode tertentu untuk menemukan
arti dari suatu teks (nats), sebagaimana dimaksudkan oleh
penulisnya semula, ketika ia menuliskannya dengan ilham
Roh Kudus (bandingkan dengan 2 Petrus 1:20-21).
Kata “hermêneuô” tidak dapat dipisahkan dari pemahaman dalam mitologis Yunani tentang
seorang dewa yang bernama Hermes, yang bertugas sebagai pembawa berita dari dewa-dewa
kepada manusia. Jadi Hermes bertugas menafsirkan berita para dewa agar dapat dipahami oleh
manusia, demikianlah latar belakang sejarah pemahaman hermeneutika itu terbentuk. Dengan
demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa hermeneutika adalah sebuah ilmu yang
mempelajari secara teoretis kaidah-kaidah atau metode-metode dalam menafsir (dalam hal ini
berkaitan langsung dengan teks Alkitab) yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
khususnya secara teologis. Bdk. Kisah Para Rasul 14:11-12.
1
Bernard Ramm, Protestant Biblical Interpretation (Grand Rapids: Baker Book House, 1970), p.
11.
2
20
III.2
Tempat Hermeneutika
Hermeneutika di dalam bidang Teologi termasuk dalam rumpun Biblika,
sebagaimana tertera dalam tabel di bawah ini :
No
1
BIBLIKA
Pengetahuan & Pembimbing
SISTIMATIKA
Dogmatika
Perjanjian Lama
2
3
Pengetahuan & Pembimbing
HISTORIKA
Sejarah Gereja
PRAKTIKA
PAK
Umum
Etika Kristen
Sejarah Gereja
Perjanjian Baru
Asia
Bahasa Ibrani
Sejarah Gereja
PWG
Kateketika
Indonesia
4
Bahasa Yunani
Oikumeneka
Liturgika
5
Hermeneutika
Misiologi
Homiletika
6
Tafsir Perjanjian Lama
Agama Suku
Musik Gereja
7
Tafsir Perjanjian Baru
Hindu & Budha
Pastoralia
8
Teologi Perjanjian Lama
Islamologi
Manajemen
Gereja
9
Teologi Perjanjian Baru
Dengan memperhatikan tabel tersebut, maka Hermeneutik bukanlah ilmu
yang berdiri sendiri, tetapi berkaitan erat dengan ilmu-ilmu lain yang tergabung
dalam Teologi Biblika (Teologi yang berurusan dengan penelaahan isi naskah
Alkitab dan alat-alat bantunya). Misalnya: Ilmu Pembimbing/Pengantar Alkitab
(Perjanjian Lama & Perjanjian Baru), Ilmu Tafsir Alkitab (Perjanjian Lama &
Perjanjian Baru), Ilmu Teologi Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) dan
Ilmu Bahasa Asli Alkitab (Bahasa Ibrani & Bahasa Yunani).
Hal yang tidak dapat dihindari setelah mengaplikasikan prinsip-prinsip
Hermeneutik adalah bagaimana menyampaikan kebenaran yang kita dapatkan dari
hasil penafsiran itu kepada orang lain dengan cara yang benar dan menarik. Oleh
karena itu Homelitika (Ilmu Berkotbah) adalah ilmu yang juga tidak dapat
dilepaskan dari Hermeneutika.
21
Selain dengan Teologi Biblika, Hermeneutika juga berkaitan dengan
Teologi Sistematika, yaitu pengajaran Alkitab yang sudah diformulasikan secara
sistematis dalam doktrin-doktrin. Hermeneutika akan menjadi dasar yang kuat bagi
doktrindoktrin yang dipelajari.
III.3
Tugas-tugas Umum Hermeneutika: Setia Kepada Teks
1. Tugas-tugas Utama: Biarlah Umat Allah Mendengar Firman Allah
a. Memastikan apa yang telah Allah katakan di dalam Alkitab.
b. Menentukan makna Firman Allah bagi umat Allah.
c. Menyediakan dasar yang kritis & realistis bagi penerapan Firman
Allah di dalam kehidupan umat Allah sehari-hari.
d. Melindungi arti yang sebenarnya !!!
Ada banyak hal yang terjadi di dalam sejarah Israel yang diceritakan
di dalam Perjanjian Lama. Apakah semua hal itu masih berlaku pada
zaman ini ?
1) Tokoh-tokoh mempunyai beberapa istri. Bolehkah sekarang ?
2) Ada tugas khusus bagi Raja dan Nabi. Ada sekarang ?
3) Penderitaan dalam kelahiran. Semua wanita ?
4) Harus membalas dendam. Bagaimana sekarang ?
5) Genocide atas perintah Tuhan. Legalitas pada masa kini ?
Maka kita perlu suatu sistem atau prinsip-prinsip untuk menolong
dan menjaga penafsiran Alkitab. Dengan demikian, kita dapat
memahami dan mengerti kebenaran dari Firman Tuhan dengan
sungguh-sungguh tanpa takut, dan tanpa membawa prasangkaprasangka atau halanganhalangan pribadi yang kita semua miliki. Dan
jangan lupa kenyataan yang utama: Alkitab ada banyak PENERAPAN,
tetapi hanya ada satu PENAFSIRAN yang benar.
22
2. Tugas-tugas Sekunder: Menjembatani Gap-gap di antara pikiran
penulis Alkitab dan pengertian kita.
a. Bahasa (Linguistic Gap)
Salah satu masalah utama yang kita temui adalah bahwa Alkitab
pada mulanya ditulis dalam 3 macam bahasa yang bukan bahasa kita,
bahkan adalah bahasa yang secara umum sudah tidak dipakai lagi,
yaitu: Bahasa Ibrani Kuno, Aram, dan Yunani Koine. Dan memang kita
ketahui bahwa Alkitab pertama ditulis bukan untuk orang-orang pascamodern sekarang. Linguistic Gap ini bisa kita lihat dalam hal:
1) Tenses. Mungkin tidak ada bahasa dalam dunia ini yang lebih
rumit tensesnya dibandingkan dengan bahasa Yunani. Ini
menyebabkan pada waktu diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris, maka tenses bahasa Inggrisnya tidak mencukupi
sehingga tidak bisa menerjemahkan dengan tepat. Lebih lagi
bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang tidak
mengenal tenses.
2) Gender. Dalam bahasa Ibrani setiap kata benda dan kata sifat
mempunyai gender, Maskulin atau Feminin, sedangkan dalam
bahasa Yunani bahkan ada 3 macam, yaitu Maskulin, Feminin,
dan Neutral. Pada waktu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
atau Indonesia, maka semua ini hilang, padahal jenis kelamin
ini bisa mempengaruhi penafsiran.
3) Perbendaharaan Kata. Bila kita menerjemahkan dari satu
bahasa ke bahasa lain, kita sering mengalami kesukaran dalam
hal ini, yaitu tidak adanya kata yang cocok/tepat, yang artinya
betul-betul sama.
4) Idioms (Ungkapan-ungkapan)
23
Studi kasus:
-
Matius 26:25,64 - ungkapan “Engkau telah
mengatakannya” artinya adalah ‘ya’.
-
Yosua 7:19 dan Yohanes 9:24 - ungkapan “give glory to
the Lord / God” (NIV) / “berilah kemuliaan kepada Allah”
merupakan suatu desakan untuk bersumpah.
-
Lukas 14:26 – istilah “membenci” berarti “‘kurang
mengasihi / mengasihi lebih sedikit”.
-
Matius 16:16 di mana Petrus mengakui Yesus sebagai
“Anak Allah”.
a) Saksi Yehovah berpendapat bahwa karena Yesus adalah
Anak Allah, maka Ia bukan Allah.
b) Namun, perlu diingat bahwa suatu istilah dalam Kitab Suci
harus diartikan sesuai dengan pengertian penulisnya/orang
jaman itu tentang istilah tersebut, dan bukan dengan
pengertian orang jaman sekarang tentang istilah tersebut.
c) Tentang istilah ‘Anak Allah’ yang digunakan oleh Yesus
terhadap diri-Nya sendiri, banyak orang menyalah-artikan
istilah ini, dengan mengatakan bahwa istilah ‘Anak Allah’
menunjukkan bahwa tadinya hanya ada Allah saja, yang
kemudian beranak, dan sebagainya. Oleh karena itu jelas
bahwa Yesus tidak sekekal Bapa-Nya. Tetapi ini adalah
penafsiran yang menggunakan pengertian orang jaman
sekarang tentang istilah itu.
d) Bila kita melihat pada Yohanes 5:18b dan 10:33b, maka akan
terlihat dengan jelas bahwa pada jaman itu menyebut diri
Anak Allah berarti menganggap diri sehakekat dengan Allah,
dan itu adalah sama dengan menyamakan diri dengan Allah
atau menganggap diri setara dengan Allah. 3
3
Kata Yunani yang diterjemahkan ‘menyamakan’ dalam Yohanes 5:18 adalah kata yang sama
dengan kata Yunani yang diterjemahkan ‘setara’ dalam Filipi 2:6.
24
Untuk kita mempelajari sendiri bahasa-bahasa kuno tersebut
sehingga bisa membaca dan memahami manuskrip-manuskrip Alkitab
kuno tersebut tidaklah mungkin. Namun kita bersyukur bahwa ada
orangorang yang telah khusus belajar bahasa-bahasa itu sehingga
memungkinkan kita mempelajarinya dengan cara yang jauh lebih
mudah. Telah tersedia kamus-kamus bahasa (Leksikon) yang dapat
menolong kita mempelajari kosa kata bahasa asli Alkitab yang kita cari,
khususnya bila disertai dengan penjelasan tentang penggunaan tense
yang dipakai. Juga telah cukup tersedia (walaupun dalam bahasa
Inggris) buku-buku yang menguraikan tentang arti dan makna katakata/frasa/kalimat atau ayat-ayat penting Alkitab yang diambil dari
bahasa aslinya. Hal ini sangat menolong karena banyak kata/istilahistilah yang sulit kita ketahui makna/artinya jika tidak dimengerti dalam
bahasa aslinya.
b. Sejarah (Historical Gap)
Konteks sejarah penulis Alkitab adalah berkisar dari jaman Musa
sampai Yohanes, yaitu kira-kira 16 abad. Dibandingkan dengan
pembaca Alkitab yang hidup pada jaman pasca-modern, maka ada gap
yang sangat besar. Sebagai contoh berikut,
Studi kasus:
1) Pada jaman Alkitab, para nabi berjalan kaki karena belum ada
mobil; haruskah pendeta jaman sekarang juga demikian?
2) Pada jaman Alkitab, puji-pujian menggunakan rebana, gambus,
kecapi, dan sebagainya karena belum ada piano, organ, keyboard,
dan sebagainya; haruskah puji-pujian jaman sekarang meniru
mereka?
3) Pada jaman Alkitab, anggur dan minyak sering dipakai sebagai
obat (Markus 6:13; Lukas 10:34; Yesaya 1:6), sehingga Paulus
dan Yakobus menganjurkannya (1 Timotius 5:23; Yakobus 5:14).
Haruskah kita sekarang, setelah ada obat-obatan modern yang
lebih manjur, tetap mengikuti anjuran mereka?
25
Untuk mempelajari tentang sejarah, kita bisa dibantu dengan banyak
buku-buku sejarah Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), di
mana
di
dalamnya
dapat
kita
pelajari
misalnya
tentang
peristiwaperistiwa dan keadaan (latar belakang politik, ekonomi,
agama) yang mempengaruhi jalannya sejarah atau tindakan para tokoh
Alkitab.
c. Budaya (Cultural Gap)
Budaya sekitar penulisan Alkitab sangat berbeda dengan konteks
budaya pasca-modern para pembacanya sekarang. Oleh karena itu gap
budaya ini perlu dijembatani dengan mempelajari budaya, khususnya
budaya saat para penulis Alkitab hidup. Namun ini bukan masalah yang
mudah karena ada kira-kira 40 penulis Alkitab yang hidup dalam
budaya yang berbeda satu dengan yang lain. Misalnya,
Studi kasus:
1) Penggunaan tudung kepala bagi perempuan dalam kebaktian (1
Korintus 11:5-6,13-15).
2) Sarai memanggil Abraham tuannya (1 Petrus 3:6).
3) Pertemuan di pintu gerbang kota (Rut 3:1).
Ada buku-buku yang dapat membantu kita mempelajari budaya
Alkitab, misalnya ensiklopedia Alkitab, dan buku-buku pengantar
Alkitab. Di sana kita bisa mendapatkan informasi tentang cara-cara
tertentu mereka melangsungkan kehidupan bermasyarakat, misalnya
cara mereka bermata pencaharian, bagaimana mereka bersosialisasi,
berkeluarga, melakukan penyembahan atau menjalankan hukum adat
istiadat. Juga hal-hal mengenai perumahan, makanan, pakaian, alat-alat
bercocok tanam, senjata perang, alat transportasi, benda-benda seni,
alat-alat penyembahan, alat-alat masak, dan lain sebagainya.
26
d. Geologi (Geological Gap)
Konteks geografi jaman Alkitab sangat asing bagi pembaca
pascamodern sekarang. Tetapi ini penting dipelajari karena tempat di
mana peristiwa-peristiwa dan penulisan-penulisan terjadi dapat
memberikan gambaran yang lebih tepat tentang arti peristiwa yang
terjadi. Satu kendala besar adalah perubahan yang cukup drastis antara
keadaan waktu lampau dan sekarang sehingga kadang-kadang kita
sudah tidak mempunyai informasi lagi tentang tempat-tempat itu.
Buku-buku yang dapat membantu kita mengenal keadaan geografis
penulisan Alkitab adalah buku-buku hasil penelitian arkeologi tentang
kota-kota, negara-negara dan bangsa-bangsa, juga tentang iklim,
susunan (formasi) tanah, laut-laut, sungai-sungai, tanaman dan jenisjenis binatang pada jaman Alkitab. Selain penemuan arkeologis, kita
juga
dapat
dibantu
dengan
peta-peta
kuno,
foto-foto
dan
membandingkan dengan peta pasca-modern.
3. Adanya Bahaya Di Dalam Menafsir.
Melihat gap-gap (yang telah dijelaskan di atas) antara pembaca
Alkitab masa kini dan Alkitab yang ditulis pada masa yang lampau,
maka kemungkinan terjadi kesalahan menafsir besar sekali. Oleh
karena itu diperlukan studi khusus yang berisi aturan-aturan dalam
menafsir untuk menolong para pembaca Alkitab tidak terjebak dalam
kesalahan menafsir. Contoh-contoh bahaya tersebut adalah:
a. Mencomot Ayat Dan Dilepaskan Dari Konteksnya.
Jika
menafsirkan
ayat
dengan
tidak
memperhatikan
konteksnya, maka kemungkinan besar hasil penafsirannya
tidak sesuai dengan maksud yang diinginkan penulisnya atau
tidak lengkap sehingga tidak dapat dimengerti dengan jelas dan
benar.
b. Menafsir Secara Harafiah Yang Tidak Pada Tempatnya.
Memang Alkitab harus dibaca sebagaimana kata-kata yang
tercantum di dalamnya, namun demikian tidak selalu hal ini
bisa diterapkan. Perlu dipelajari dengan teliti untuk mengetahui
27
apakah yang dimaksud adalah arti harafiah, sebab kalau tidak
dapat menimbulkan kesalahan menafsir.
c. Mencari Arti Rohani Dalam Setiap Ayat.
Ini adalah kebalikan dari menafsirkan secara harafiah.
Kesulitan mengerti ayat-ayat dalam Alkitab atau tidak
mendapatkan apa yang diinginkan seringkali diatasi dengan
cara merohanikan arti harafiah yang sudah jelas dalam ayatayat tersebut sehingga akhirnya menyelewengkan tujuan asli
penulis Alkitab.
d. Kelemahan Dalam Terjemahan Alkitab.
Tidak ada Alkitab terjemahan yang terjemahannya tepat secara
sempurna. Oleh karena itu perlu cara-cara penyelidikan yang
tepat sehingga menghindarkan kita dari mengikuti hanya satu
versi Alkitab saja.
e. Keterbatasan Manusia.
Terutama karena sifat malas kita dalam mempelajari Alkitab
secara teliti, obyektif dan sistematis, maka mengikuti aturanaturan penafsiran yang sehat akan menolong kita untuk disiplin
dan tidak jatuh pada subyektivisme.
III.4
Kualifikasi Seorang Penafsir Alkitab
1. Kualifikasi Spiritual:
a. Memiliki hubungan pribadi dengan Allah & persekutuan dengan
orang-orang percaya (iman - Ibrani 11:6).
b. Memiliki kerinduan untuk memahami Firman Allah dan nasehatnya
(memiliki kecenderungan terhadap Kebenaran - Mazmur 119:103).
c. Kesediaan & kesiapsediaan untuk mendengarkan, mempercayai,
dan menaati (mempunyai perasaan hormat terhadap Kebenaran –
Yesaya 50:4, Matius 7:24-25, Yakobus 1:22).
d. Memohon penerangan dari Roh Kudus (melepaskan diri dari
keduniawian - Yohanes 16:13, 1 Korintus 2:11-16).
e. Mempunyai penghargaan tertinggi terhadap Kebenaran.
28
2. Kualifikasi Akademis:
a. Memiliki kedisiplinan yang ketat (Kisah Para Rasul 17:11).
b. Menampung informasi di bidang-bidang yang luas dan beraneka
ragam dari sejarah, ilmu pengetahuan, dan filsafat.
c. Mempelajari ilmu bahasa (linguistic science).
3. Kualifikasi Kontekstual:
a. Menjadi anggota gereja lokal, yang memiliki kesaksian hidup yang
baik.
b. Menempatkan dengan kesadaran penuh suatu teks ke dalam
konteksnya.
c. Mengindahkan tradisi & warisan Kristen.
29
BAB IV
PERLENGKAPAN HERMENEUTIKA
IV.1
Perlengkapan Obyektif
1. Teks Alkitab
Dibutuhkan beberapa versi Alkitab yang baik untuk bisa
memungkinkan hasil penafsiran yang baik. Tujuannya adalah untuk
menjadi bahan perbandingan guna menemukan ketepatan arti kata atau
kekayaan pengertiannya.
a. Alkitab Versi Bahasa Indonesia, misalnya: Terjemahan Lama,
Terjemahan Baru, Bahasa Indonesia Sehari-hari, Firman Allah
yang Hidup.
b. Alkitab Versi Bahasa Inggris, misalnya: New International
Version, Revised Standard Version, New American Standard
Bible, New King James Version.
c. Alkitab Bahasa Daerah, misalnya: Bahasa Jawa, Sunda, Batak,
Ambon.
d. Alkitab Dalam Bahasa Aslinya. Alkitab Bahasa Yunani & Ibrani
dibutuhkan untuk mereka yang sudah mempelajari bahasabahasa Alkitab tersebut.
e. Alkitab Dengan Nomor Strong atau Alkitab Interlinier. sangat
membantu untuk mencari padanan kata bahasa aslinya dengan
bahasa Inggris (karena bahasa Indonesia belum ada).
f. Alkitab Dengan Anotasi. Pilihlah Alkitab yang memiliki anotasi
catatan-catatan tepi atau catatan-catatan kaki, karena hal itu
sangat berguna untuk mencari penjelasan lebih lanjut.
g. Alkitab Dengan Referensi Silang. Alkitab dengan Referensi
Silang sangat membantu untuk mendapatkan ayat-ayat paralel
sebagai referensi.
30
Selaku hamba Tuhan, kita dipanggil untuk menyampaikan
berita yang benar. Untuk menyampaikan berita yang benar, kita
perlu memakai terjemahan Alkitab yang tepat. Orang-orang Kristen
di Indonesia mempunyai Alkitab LAI Terjemahan Baru (LAI TB,
1974) yang merupakan LAI Terjemahan Lama (LAI TL, 1965) yang
diperbaharui, dan Alkitab dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS,
1995). Sebelum menyampaikan Firman Tuhan, kita perlu
melakukan pekerjaan rumah dengan membandingkan terlebih
dahulu beberapa terjemahan LAI di atas. Alangkah baiknya jika
perbandingan versi LAI ini dibandingkan juga dengan beberapa
versi bahasa Inggris, misalnya New International Version (NIV) dan
New King James Version (NKJV).
Di samping itu, untuk memastikan arti dari beberapa terjemahan
di atas, maka kita perlu melihat langsung dari Teks Masoret (TM)
untuk Perjanjian Lama dan Alkitab Yunani untuk Perjanjian Baru.
Jadi, memilih terjemahan yang tepat bukan sebuah pekerjaan yang
mudah dan untuk menyampaikan berita yang benar seorang hamba
Tuhan harus berani membayar harganya. Dalam tulisan berikut,
saya akan membandingkan beberapa ayat dari Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru yang perlu kita analisa terjemahannya. Saya
memakai LAI TL, LAI TB dan BIS sebagai teks utama, NIV dan
NKJV sebagai teks pembanding, TM dan Alkitab Yunani sebagai
teks penuntun.
31
Beberapa Ayat Perjanjian Lama Yang Perlu Dikoreksi Terjemahannya
Studi kasus 1:
Ada "bajingan" (Ibrani: @sup.s;a] -asafsuf) Di Antara Orang Orang Israel Yang Keluar
Dari Mesir.
Mari kita perhatikan catatan Bilangan 11:4 dalam beberapa versi di bawah ini:
LAI TL
: "Maka bangsa kacauan, yang di antara mereka itu, beringin- inginlah
lalu pulang..."
LAI TB
: "Orang-orang bajingan yang ada di antara mereka kemasukan nafsu
rakus..."
BIS
: "Dalam perjalanan orang-orang Israel itu ada juga orang- orang asing
yang ikut."
NIV
: "The rabble with them began to crave other food."
NKJV
: "Now the mix multitude who were among them yielded to intense
raving."
Ketika bangsa Israel mengembara di padang belantara, asafsuf yang ada di
antara mereka kemasukan nafsu rakus. Kata yang dipakai di Bilangan 11:4 hanya
dipakai satu kali dalam Perjanjian Lama, sehingga kata ini merupakan sebuah
"hapax legomenon". Bagaimana menerjemahkan kata Ibrani asafsuf ini ? Dari
konteks Bilangan 11:4, kata asafsuf mengacu kepada sekelompok orang yang ada
di antara bangsa Israel. Kelompok orang yang bagaimana mereka ini ? Untuk
mengerti arti dari kata Ibrani ini, mari kita membandingkan referensi paralel dari
Keluaran 12:38 di mana kelompok orang-orang ini (Ibrani: br:Þ
br<[îe
- erev rav)
disebut sebagai:
(LAI TB) "Banyak orang dari berbagai-bagai bangsa turut dengan mereka"
(LAI TL) "Dan lagi suatu tentara besar dari pada pelbagai bangsa itupun
berangkat dengan mereka... "
(BIS) "... Sejumlah besar orang asing juga ikut"
(NIV) "Many other people went up with them... "
(NKJV) "A mixed multitude went up with them also..."
Dari Keluaran 12:38 kita mengetahui bahwa di antara orang Israel yang
keluar dari Mesir, ada sekelompok orang asing yang bergabung dengan bangsa
32
Israel. Keluaran 12:38 tidak memberitahu kita bagaimana mentalitas kelompok ini,
apakah mereka orang baik-baik atau kelompok preman atau bajingan. Kata benda
Ibrani erev hanya berarti "mixture, mixed company, heterogenous body" yang bukan
bangsa Israel. LAI TL memberikan pengertian yang berlebihan untuk kata erev,
karena istilah "tentara besar" tidak tercakup dalam kata erev.
Dalam Bilangan 11:4 dicatat bahwa kelompok orang asing ini merasa tidak
puas dengan makanan manna yang mereka makan tiap hari. Keluhan mereka
menyebabkan orang Israel ikut mengeluh dengan manna yang dianggap
membosankan. Kata "bajingan" yang dipakai di LAI TB adalah sebuah kata
bernada keras yang mungkin diambil dari kata safsuf yang digunakan di Pentateukh
orang Samaria. Karena Pentateukh orang Samaria menghilangkan 'alep dari kata
asafsuf, maka penggunaan kata asafsuf di Teks Masoret sepatutnya dipertahankan.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa istilah "bajingan" yang
dipakai oleh LAI TB untuk menerjemahkan asafsuf adalah tidak tepat. "Bangsa
kekacauan" yang digunakan oleh LAI TL juga kurang cocok. istilah asafsuf hanya
mengacu kepada sekelompok orang asing. Jadi, menurut Bilangan 11:4 dan
ditambah dukungan dari Keluaran 12:38, tidak ada bajingan di antara orang Israel.
Yang ada adalah sekelompok orang asing yang ikut keluar dari Mesir bersama
orang Israel.
Studi kasus 2:
Orang Gibeon: Licik Atau Bijaksana ?
Orang Gibeon mengetahui bahwa orang Israel di bawah pimpinan Yosua
sudah menaklukkan Yerikho dan Ai. Mereka menyadari bahwa mereka tidak dapat
melawan orang Israel. Yosua 9:4 mencatat bagaimana tindakan mereka untuk
menghadapi orang Israel.
(LAI TL) "maka dipakainya akal, pura-pura mereka itu utusan..."
(LAI TB) "maka merekapun bertindak dengan memakai akal: mereka pergi
menyediakan bekal..."
(BIS) "Lalu mereka memutuskan untuk mengelabui Yosua..."
33
(NIV) "they resorted to a ruse"
(NKJV ) "they worked craftily..."
LAI TL dan LAI TB menerjemahkan kata Ibrani
hmê'r>['B.
- beorma
(preposisi be- dan kata benda orma) dengan konotasi positif "akal". Tetapi BIS
("mengelabui"), NIV ("they resorted to a ruse") dan NKJV ("they worked craftily")
memberikan konotasi negatif. Istilah Ibrani hm'êr>['B. - beorma yang dipakai dalam
Yosua 9:4 juga dipakai pada Keluaran 21:14:
(LAI TB) "Tetapi apabila seseorang berlaku angkara terhadap sesamanya,
hingga ia membunuhnya dengan tipu daya (be'orma)...."
(LAI TL) "Tetapi jikalau barang seorang telah membunuh temannya dengan
sengajanya..."
(BIS) "Tetapi jikalau seseorang naik darah dan dengan sengaja membunuh
orang lain ..."
(NIV)
"kills another man deliberately ..."
(NKJV) "to kill him by treachery..."
Dalam Keluaran 21:14, LAI TB ("dengan tipu daya") dan konotasi negatif
yaitu hm'êr>['B. - beorma. Terjemahan LAI TL ("dengan sengaja"), BIS ("dengan
sengaja") dan NIV ("deliberately") menjelaskan motif membunuh seseorang yang
negatif, yaitu hm'êr>['B. - beorma juga.
BDB, TWOT dan NIDOTTE menjelaskan kata benda Ibrani hm'r>[' dengan
dua macam arti. Arti pertama mempunyai konotasi positif, yaitu "akal" atau
"kebijaksanaan". Penggunaan kata hm'r>[' di kitab Amsal 1:4 berkonotasi positif.
Arti kedua berkonotasi negatif, yaitu "tipu muslihat" atau "kelicikan." Pemakaian
kata hm'r>[' di Keluaran 21:14 dan Yosua 9:4 berkonotasi negatif. Dari penjelasan
BDB, TWOT dan NIDOTTE di atas, maka
hm'r>['
di Yosua 9:4 seharusnya
diterjemahkan dengan konotasi negatif. Konteks dekat ayat tersebut juga
mendukung pengertian demikian. Kesimpulannya orang Gibeon memakai "tipu
34
daya" untuk mengatasi orang Israel. Jadi, penggunaan kata "akal" di Yosua 9:4 LAI
TL dan LAI TB seharusnya diterjemahkan dengan kata "tipu daya" untuk mengatasi
orang Israel, sebagaimana LAI TB menerjemahkan kata Ibrani
hm'r>[' di Keluaran
21:14. Judul perikop Yosua 9 dan LAI TB juga seharusnya "Tipu Daya Orang
Gibeon", bukan "Akal Orang Gibeon".
Studi kasus 3:
Rut Sampai Di Ladang Boas: Kebetulan Atau Pengaturan Tuhan ?
Kehidupan Rut setelah ia dan Naomi sampai di Betlehem dikisahkan
dalam Rut 2:3 sebagai berikut:
LAI TB : "Pergilah ia [Rut], lalu sampai di ladang dan memungut jelai di
belakang penyabit-penyabit; kebetulan ia berada di tanah milik
Boas...."
LAI TL memakai kata "untung" bagi kata "kebetulan" yang terdapat di LAI TB : "Maka pergilah ia lalu sampai ke bendang, dipungutnya mayang
di belakang orang pemotong, maka dengan untungnya didapatnya
akan sepotong bendang milik Boaz...."
BIS mengikuti pemakaian kata "kebetulan" dari LAI TB : "Maka pergilah Rut ke ladang dan memungut gandum
mengikuti para penuai. Kebetulan ia pergi ke ladang milik Boas."
NIV
: "As it turned out, she found herself working in a field belonging
to Boaz." NIV tidak memakai "doktrin kebetulan" dalam Rut 2:3.
NKJV
: "And she happened to come to the part of the field be longing to
Boaz."
Yang menjadi fokus perhatian kita pada ayat ini ialah frasa Ibrani
h'r<êq.mi
rq,YIåw:- "wayyiqer miqreah" yang diterjemahkan menjadi "kebetulan" (LAI TB dan
BIS) atau "untung" (LAI TL). Frasa Ibrani
h'r<êq.mi
dipakai oleh pengarang kitab
Samuel untuk menyatakan kepercayaan para imam dan petenung Filistin. Mereka
percaya kepada hal-hal yang terjadi secara kebetulan. Misalnya, dua induk lembu
35
yang baru melahirkan dan mau menarik kereta baru berisi tabut ke arah Bet-Semes
dianggap sebuah peristiwa kebetulan (1 Sam. 6:9 "...kebetulan saja hal itu terjadi
kepada kita" [LAI TB]).
Frasa Ibrani "wayyiqer miqreah" melukiskan apa yang terjadi pada diri Rut
saat itu, ia berada di ladang milik Boas. Meskipun menurut perkiraan manusia, Rut
datang ke ladang Boas kelihatannya seperti sebuah kebetulan, namun sebenarnya
langkah Rut dipimpin oleh pengaturan Tuhan. Tuhan campur tangan sepenuhnya
atas rencana masa depan Rut. Michael Grisanti mengemukakan arti kata
h'r<êq.mi
dalam Rut 2:3 dengan tepat, "In fact, the expression constitutes hyperbolic
understatement to stress divine, rather than human involvement".
Kesimpulannya Rut datang ke ladang Boas bukan terjadi secara kebetulan
melainkan pengaturan Tuhan sehingga kelak ia menjadi nenek moyang Juru
Selamat melalui pernikahannya dengan Boas. Terjemahan yang tepat untuk Rut 2:3
ialah: "Dan terjadilah padanya (ternyata) ia berada di tanah milik Boas...."
Mari kita melihat satu ayat lagi dari kitab Rut di mana kata "kebetulan"
dipakai di LAI TB. "Boas telah pergi ke pintu gerbang dan duduk di sana.
Kebetulan lewatlah penebus yang disebutkan Boas itu" (Rut 4:1). LAI TL
mengganti pemakaian kata "kebetulan" dengan "maka sesungguhnya": "Arakian,
maka Boaz pun pergilah ke pintu gerbang, lalu duduklah di sana, maka
sesungguhnya penebus yang telah dikatakan Boaz itupun lalu dari sana." Dalam
Rut 4:1 kata "kebetulan" dari LAI TB adalah terjemahan dari partikel Ibrani hNEhi "hinneh"," lalu diikuti oleh subyek (Ibrani:
laeÛGOh;
- Hago'el - "penebus") dan kata
kerja partisip (Ibrani: rbe[o - 'ober. "lewat"). Partikel Ibrani "hinneh" biasa dipakai
untuk menekankan pentingnya sebuah peristiwa yang terjadi (akan terjadi), setelah
kata "hinneh" dipakai. Penulis kitab Rut menekankan pentingnya penebus yang
lewat di pintu gerbang di mana Boas duduk. Lewatnya penebus di pintu gerbang
menurut penulis kitab Rut bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi merupakan
campur tangan atau pengaturan Tuhan.
Sintaks "hinneh" + subjek + kata kerja partisip seperti pada Rut 4:1 dipakai
juga di Kejadian 24:15 dan diterjemahkan oleh LAI TB dengan tepat: "Sebelum ia
(hamba Abraham) selesai berkata, maka (Ibrani: "hinneh") datanglah Ribka...."
36
(dalam bahasa Ibrani: hinneh + Ribka + datanglah). LAI TL memberikan
terjemahan TM secara harfiah dengan baik,".....bahwa sesungguhnya keluar
Ribkah....". NIV tidak menerjemahkan pemakaian "hinneh" di Kejadian 24:15
"Before he had finished praying, Rebekah came out...". NKJV menerjemahkan
"hinneh" dengan kata “behold" :... before he had finished speaking, that behold,
Rebekah...came out...".
Sebagaimana lewatnya Ribka di depan hamba Abraham bukan suatu
kebetulan (Kejadian 24:15), demikian juga lewatnya penebus di pintu gerbang kota
Betlehem bukan kebetulan (Rut 4:1). Kesimpulannya, kata "kebetulan" di Rut 4:1
LAI
TB
sebaiknya
diganti
dengan
"maka/maka
sesungguhnya/bahwa
sesungguhnya", sehingga kalimatnya akan berbunyi: "Boas telah pergi ke pintu
gerbang dan duduk di sana. Maka lewatlah penebus yang disebutkan Boas itu".
Studi kasus 4:
Haman Dan Anak-Anaknya: Disula Atau Digantung ?
Akar kata "sula" (LAI TB) merupakan sebuah Leitwort dalam kitab Ester
dan dipakai sembilan kali dalam kitab ini (Ester 2:23; 5:14; 6:4; 7:9,10; 8:7;
9:13,14,25). Terjemahan kata "sula" berasal dari kata Ibrani hl'T'. Kata ini pertama
kali dipakai sebagai hukuman terhadap para pengkhianat yang diketahui oleh
Mordekhai (2:23). Kemudian dalam peristiwa lain yakni ketika istri Haman
mengusulkan agar Mordekhai disulakan (5:14 LAI TB). Ironisnya, justru Haman
dan anak-anaknyalah yang disula di atas tiang yang dibuatnya (7:10; 9:25 LAI TB).
Orang yang disula ialah seseorang yang dihukum mati pada tongkat yang
runcing atau tajam ujungnya.4 Hukuman "sula" hanya dicatat satu kali dalam
Alkitab, yaitu terhadap orang yang melanggar perintah raja Darius, "Selanjutnya
telah dikeluarkan perintah olehku, supaya setiap orang yang melanggar keputusan
Ini salah satu hukuman mati terkejam dan sadis di dunia. Mereka yang bersalah dilucuti
pakaiannya lalu ditusuk dengan kayu panjang yang runcing ujungnya, mulai dari dubur, hingga
mulut, atau mulai dari kemaluan hingga kepala. Lalu kayu panjang tersebut ditancapkan di atas
tanah. Si terhukum itu meregang nyawa dengan cara paling menyakitkan, bahkan beberapa hari
kemudian baru meninggal.
4
37
ini, akan dicabut sebatang tiang dari rumahnya, untuk menyulakannya pada ujung
tiang itu...." (Ezra 6:11).
Pertanyaan kita ialah, apakah benar terjemahan kata "sula" untuk kata Ibrani
hl'T'? Akar kata hlt
dalam bahasa Ibrani berarti "menggantung (to hang)." Baik
NIDOTTE maupun BDB menerjemahkan
hlt dengan kata "menggantung". Di
luar kitab Ester, kata kerja ini juga dipakai untuk menggantung benda. Umpamanya,
orang-orang Israel yang hidup di pembuangan di Babilon menggantung kecapikecapi mereka di pohon-pohon gandarusa (Mazmur 137:2); penduduk Tirus
menggantung perisai-perisai mereka di tembok-tembok kota mereka (Yehezkiel
27:10, 11).
Kesimpulannya, LAI TL dan BIS memberikan terjemahan yang tepat untuk
kata hl'T' dalam kitab Ester, yaitu "menggantung." Jadi LAI TB sepatutnya juga
menerjemahkan seluruh kata hl'T' di kitab Ester dengan kata "menggantung." Raja
Ahasyweros mengeluarkan undang-undang di Susan untuk menggantung Haman
dan anak-anaknja (Ester 9:14, 25). Haman dan anak-anaknya bukan disula, tetapi
digantung.
Studi kasus 5:
Apakah Ayub Seorang Yang Suka Bicara Kotor ?
Mari kita melihat dua peristiwa dalam kehidupan Ayub untuk menjawab
pertanyaan di atas:
1. Teguran Ayub kepada isterinya sebagai
tAlb'N>h; tx;Ûa;
- “ahat
hannebalot “ di Ayub 2:10 diterjemahkan:
LAI TL
: "Katamu ini seperti kata perempuan yang sangat gila."
LAI TB
: "Engkau berbicara seperti perempuan gila."
BIS
: "Kau bicara seperti orang dungu."
NIV
: "You are talking like a foolish woman."
NKJV
: "You speak as one of the foolish women speaks."
38
a.
Frasa Ibrani “ahat hanebalot” terdiri dari
tx;Ûa -"ahat" (bentuk
feminin konstruk) dan tAlb'N>h; - "hannebalot" (Awalan Penentu
dan kata sifat feminin plural dari "nabal"). Frasa Ibrani ini
sebenarnya mudah untuk diterjemahkan. Terjemahan harfiahnya
seperti NKJV "one of the foolish women" atau "seorang dari
wanita-wanita bodoh/bebal".
b.
Kata sifat Ibrani "nabal" (dalam bentuk maskulin tunggal)dipakai
di Perjanjian Lama sebanyak 15 kali, sedangkan "hanebalot"
(dalam bentuk feminin plural) hanya dipakai satu kali yaitu di
Ayub 2:10. BDB menerjemahkan "nabal" dengan pengertian
"bodoh atau dungu", yaitu orang yang bodoh bukan secara intelek
tetapi secara moral dan etika.
c.
Kata Ibrani "nabal" dipakai pertama kali di Ulangan 32:6
"Demikianlah engkau mengadakan pembalasan terhadap Tuhan,
hai bangsa yang bebal..." (LAI TB). Di kitab Mazmur, kata
"nabal" dipakai misalnya di: Mazmur 14:1 "Orang bebal berkata
dalam hatinya: 'Tidak ada Allah'" (LAI TB); 39:9 "Lepaskanlah
aku dari segala pelanggaranku, jangan jadikan aku celaan orang
bebal" (LAI TB); 74:22 "Bangunlah, ya Allah, lakukanlah
perjuangan-Mu! Ingatlah akan cela kepadaMu dari pihak orang
bebal sepanjang hari" (LAI TB). Agaknya penerjemah LAI TB
untuk kitab Mazmur berbeda dengan penerjemah LAI TB untuk
kitab Ayub, sedangkan kata "nabal" di kitab Ayub diterjemahkan
dengan kata "gila" oleh penerjemah LAI TB. Terjemahan LAI TL
lebih menyimpang lagi dari LAI TB.
d.
Kesimpulannya, terjemahan yang baik untuk Ayub 2:10
ialah"Engkau berbicara seperti perempuan bebal", atau seperti
terjemahan BIS, "Engkau seperti perempuan dungu".
39
2. Jawab Ayub kepada Elifas, Bildad dan Zofar - ketiga temannya yang
menuduh Ayub sudah berdosa kepada Tuhan - sebagai penghibur 'amal
(Ayub 16:2). Perhatikanlah perbandingan terjemahan lm'ä[' – “amal”
berikut ini:
LAI TL
: "maka kamu ini penghibur yang tiada tertahan."
LAI TB
: "Penghibur sialan kamu semua."
BIS
: "penghiburanmu hanyalah siksaan"
NIV & NKJV : "... miserable comforters are you all..."
a.
Jawaban Ayub kepada ketiga temannya menurut LAI TL, BIS,NIV
dan NKJV tidak sekeras atau sekotor LAI TB. Apakah yang
dimaksud dengan kata Ibrani
lm'ä['
– “amal” di Ayub 16:2 ?
NIDOTTE menjelaskan "'amal" sebagai "trouble, misery,
adversity", dan menurut BDB "amal" berarti "trouble, labour, toil".
TWOT memberikan 16 macam arti untuk "amal" di mana pada
dasarnya "amal" berhubungan dengan "unpleasant factors of work
and toil". Kata benda ini dipakai 53 kali di Perjanjian Lama,
kebanyakan di kitab Pengkhotbah (22 kali), Mazmur (13 kali) dan
Ayub (8 kali).
b.
Perbandingan terjemahan kedelapan kata "amal" di kitab
Ayubmenurut LAI TB ialah:
3:10
"...tidak disembunyikannya kesusahan dari mataku...."
4:8
"...orang yang membajak kejahatan dan menabur kesusahan,
ia menuainya juga..."
5:6
"...bukan dari tanah tumbuh kesusahan."
5:7
"...melainkan
manusia
menimbulkan
kesusahan
dirinya..."
7:3
"...malam-malam penuh kesusahan."
11:16 "...Bahkan engkau akan melupakan kesusahanmu..."
15:35 "Mereka (orang-orang fasik) menghamilkan bencana..."
16:2
"...Penghibur sialan kamu semua."
40
bagi
1) Beberapa contoh terjemahan dari kata "amal" di kitab Mazmur
menurut LAI TB ialah:
10:4
"... engkaulah yang melihat kesusahan.."
25:18 "tiliklah...kesukaranku..."
73:5
"... mereka tidak mengalami kesusahan manusia..."
2) Dalam kitab Pengkhotbah,”amal" di LAI TB diterjemahkan
dengan "usaha atau jerih payah," contoh: "Aku membenci
segala usaha yang kulakukan ..." (2:18); "... aku mulai putus asa
terhadap segala usaha yang kulakukan..." (2:20); "...tak
diperolehnya dari jerih payahnya suatupun yang dapat dibawa
dalam tangannya," (5:14).
3) Dari beberapa contoh terjemahan "amal" yang ada di kitab
Ayub,
Mazmur
dan
Pengkhotbah,
ternyata
LAI
TB
menerjemahkan "'amal" dengan pengertian "kesusahan",
"kesukaran", "usaha," "jerih payah". Arti ini sesuai dengan
penjelasan yang diberikan oleh NIDOTTE dan BDB. Tidak ada
satu pun pengertian yang berkonotasi kasar atau kotor dalam
kata "amal".
4) Kesimpulannya, memang Ayub menegur ketiga temannya yang
telah menuduh dia sebagai orang berdosa, tetapi Ayub bukan
menegur dengan kata-kata yang kotor atau kasar. Kita perlu
mengingat sekali lagi bahwa Ayub tidak membiarkan mulutnya
berbuat dosa dengan mengucapkan sumpah serapah (Ayub 2:10;
31:30). Teguran Ayub kepada ketiga temannya ialah:
"Penghibur yang menyusahkan kamu semua".
41
Studi kasus 6:
Sapan Itu Pelanduk, Kelinci Atau Marmot ?
Amsal 30:24-28 mencatat tentang empat binatang kecil di bumi yang sangat
bijaksana. Salah satu dari keempat binatang kecil yang sangat bijaksana itu ialah
!p'v'
- shafan (Amsal 30:26). Perhatikan perbedaan terjemahan !p'v' shafan dalam
versi bahasa Indonesia dan Inggris di bawah ini:
LAI TL : "Kelinci itu suatu bangsa yang lemah, maka diperbuatkannya juga
sarangnya dalam batu gunung."
LAI TB : "Pelanduk bangsa yang lemah, tetapi yang membuat rumahnya
di bukit batu."
BIS
: "Pelanduk binatang yang lemah, tetapi membuat rumahnya di
bukit batu."
NIV
: "Coneys are creatures of little power, yet they make their home
in the crag."
NKJV
: "The rock badgers are a feeble folk, yet they make their homes
in the crags."
Hewan !p'v' - shafan hanya dipakai empat kali di Perjanjian Lama,
yaitu di Imamat 11:5; Ulangan 14:7; Mazmur 104:18 dan Amsal 30:26.
Mari kita memperhatikan perbandingan terjemahan LAI TL, LAI TB, BIS,
NIV dan NKJV untuk hewan
!p'v'
tersebut:
42
- shafan di keempat bagian Alkitab
i.
Imamat 11:15
LAI TL : Kelinci
NIV
LAI TB : pelanduk
: coney
NKJV
ii.
BIS
: pelanduk
BIS
: marmot
BIS
: pelanduk
BIS
: pelanduk
: rock hyrax
Ulangan 14:7
LAI TL : kelinci
NIV
LAI TB : marmot
: coney
NKJV
iii.
: rock hyrax
Mazmur 104:8
LAI TL : pelanduk
NIV
: coneys
LAI TB : pelanduk
NKJV
iv.
: rock badgers
Amsal 30:26
LAI TL : kelinci
NIV
LAI TB : pelanduk
: coneys
Istilah
!p'v'
NKJV
dalam
bahasa
: rockbadgers
Ibrani
mengacu
kepada
"coney/rock
badger/hyrax". Terjemahan kata Ibrani !p'v' di keempat bagian Alkitab di atas jelas
tidak tepat untuk pelanduk. Pelanduk termasuk jenis rusa yang tidak termasuk
hewan kecil sebagaimana disebut di Amsal 30:24. Kelinci boleh termasuk hewan
kecil, tidak berkuku belah, tetapi kelinci bertelinga panjang. Pengertian !p'v' di NIV
dan NKJV, "coney, rock badger, hyrax" mengacu kepada hewan kecil seukuran
kelinci tetapi bertelinga pendek dan tidak berkuku belah.
Binatang
!p'v'
memang tidak ada di Indonesia, tetapi "marmot" cukup
menjelaskan istilah !p'v'. Gambar yang dicantumkan dalam BIS halaman 156 untuk
menjelaskan
!p'v'
menerjemahkan
di Imamat 11:5 sudah tepat, yaitu "marmot." Sayangnya BIS
!p'v' di Imamat 11:5; Mazmur 105:18 dan
Amsal 30:26 dengan
"pelanduk". Terjemahan "pelanduk" dari BIS di Imamat 11:5 tidak cocok dengan
gambar yang ada. Kesimpulannya, !p'v' pada Imamat 11:5; Ulangan 14:7; Mazmur
104:18 dan Amsal 30:26 dapat diterjemahkan dengan "marmot".
43
Studi kasus 7:
Apakah Ada Sebutan Nama Tuhan Dalam Kitab Kidung Agung ?
Kidung Agung 8:6b merupakan ayat yang tepat untuk menjawab pertanyaan
ini. Mari kita perhatikan perbandingan beberapa terjemahan dari ayat ini di mana
kecemburuan dilambangkan seperti hy")t.b,h,l.v; - "shalhevetya":
LAI TL:"....nyalanya seperti nyala api, seperti halilintar Tuhan."
LAI TB:"....nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api Tuhan."
BIS
:"Nyalanya seperti nyala api yang berkobar dengan dahsyat."
NIV
:"It burns like blazing fire, like a mighty flame."
NKJV :"Its flames are flames of fire, a most vehement flame."
Dari perbandingan terjemahan di atas, ternyata terjemahan LAI TL dan LAI
TB memasukkan nama Tuhan (LAI TL)/TUHAN (LAI TB), sedangkan terjemahan
BIS, NIV dan NKJV tidak memasukkan nama Tuhan. Mengapa dapat terjadi
perbedaan seperti demikian ? Hal ini disebabkan karena perbedaan dalam
menerjemahkan suku kata -ya di akhir kata "shalhevetya".
Akhiran -ya dalam bahasa Ibrani dapat diterjemahkan sebagai kependekan
dari nama Yahweh, nama dari TUHAN Perjanjian. Misalnya: (i) Azarya berarti:
"Tuhan sudah menolong"; (ii) Yesaya berarti: "Tuhan sudah menyelamatkan".
Ternyata LAI TL dan LAI TB menerjemahkan suku kata -ya dari
"shalhevetya" dengan arti "Tuhan". Tetapi perlu diketahui bahwa akhiran ya dalam
bahasa Ibrani juga dapat diterjemahkan untuk pengertian superlatif. Misalnya, frasa
Ibrani
hy"l+ .PeÞa.m; #r<a,î
- "erets mapelya" dalam Yeremia 2:31 diterjemahkan oleh
LAI TL, LAI TB dan BIS dengan pengertian superlatif:
"...Sudahkah Aku menjadi padang gurun bagi Israel atau tanah yang
gelap gulita?" (LAI TB)
"...Adakah pernah Aku bagi orang Israel seperti padang tekukur
atau seperti tanah yang gelap gulita?" (LAI TL)
"...Pernahkah Aku seperti padang gurun bagimu atau seperti tanah
yang gelap gulita?"
44
NIV juga memberikan pengertian superlatif untuk frasa Ibrani
ini: "Have I been a desert to Israel or land of great darkness?"
Frasa "tanah gelap" sebenarnya sudah cukup menjelaskan bahwa tanah itu
gelap. Dengan memakai kata majemuk "gelap gulita" berarti bahwa tanah itu amat
gelap.
Dari penjelasan di atas ternyata kita melihat bahwa: (i) Suku kata terakhir
ya tidak selalu harus diterjemahkan untuk kependekan dari nama Tuhan; (ii) Suku
kata terakhir -ya dapat diterjemahkan dengan pengertian superlatif. Jadi, kata
"shalhevetya" di Kidung Agung 8:6 dapat diterjemahkan dengan pengertian
superlatif. Pengertian kedua ini juga mempunyai dukungan dari isi kitab ini. Dalam
kitab Kidung Agung tidak ada ajaran tentang doa, persembahan, ibadah, pengakuan
dosa atau pertobatan. Pokok utama kitab ini ialah tentang kasih di antara seorang
wanita dengan seorang pria.
Kesimpulannya, terjemahan dengan pengertian superlatif untuk kata Ibrani
"shalhevetya" di Kidung 8:6b ialah: "nyalanya seperti nyala api yang dahsyat".
Bandingkan NIV: "It burns like blazing fire, like a mighty flame". Bandingkan
NKJV: "It flames are flames of fire."
45
Beberapa Ayat Perjanjian Baru Yang Perlu Dikoreksi Terjemahannya
Studi kasus 1:
Zakheus Memanjat Pohon Ara Atau Pohon Ara Hutan ?
Versi-versi Alkitab untuk Lukas 19:4 memberikan jawab yang berbeda:
LAI TL : "Maka berlarilah ia dahulu, lalu memanjat sepohon ara hendak
melihat Yesus..."
LAI TB : "Maka berlarilah ia mendahului orang banyak, lalu memanjat,
pohon ara untuk melihat Yesus..."
BIS
: "Jadi ia berlari mendahului orang-orang banyak, lalu memanjat
pohon ara untuk melihat Yesus.."
NIV
: "So he ran ahead and climbed a sycamore fig tree (pohon ara
hutan) to see him..."
NKJV
: "So he ran ahead and climbed up into a sycamore tree (pohon ara
hutan) to see Him..."
LAI TL dan LAI TB memberitahukan jenis pohon yang dipanjat oleh
Zakheus yaitu pohon ara. BIS tidak memberitahukan jenis pohon yang dipanjat oleh
Zakheus, BIS hanya menyebut Zakheus memanjat sebatang pohon. Yang menarik
perhatian kita ialah meskipun BIS tidak menyebut jenis pohon yang dipanjat oleh
Zakheus dalam ayat 4, tetapi BIS (h. 153) memberikan gambar setangkai pohon ara
yang berbuah tetapi tanpa penjelasan untuk gambar yang dipakai tersebut. Versi
bahasa Inggris, NIV dan NKJV mencatat Zakheus memanjat sycamore tree (pohon
ara hutan).
Sebelum kita mengambil kesimpulan tentang pohon ara yang dipanjat
Zakeus, mari kita lebih dahulu memeriksa catatan Lukas tentang jenis pohon ara
dalam Injilnya. Lukas membedakan dua macam pohon ara:
1.
Pohon ara (fig tree; Yunani: suke; Latin: Ficus carica; Ibrani: te'ena).
Jenis ponon ara ini yang dikutuk oleh Yesus (Lukas 13:6,7; lihat juga
21:29).
2.
Pohon ara hutan (sycamore tree; Yunani: sukomorea; Latin: Ficus
sycomorus; Ibrani: siqma).
46
Jenis pohon ara yang dicatat di Lukas 19:4 ialah sukomorea atau pohon
ara hutan. Dalam Perjanjian Baru sebutan pohon ara hutan hanya disebut
satu kali, yaitu di Lukas 19:4. Di Perjanjian Lama, pohon ara hutan dicatat
sebanyak tujuh kali. Perbedaan istilah pohon ara dengan pohon ara hutan
dapat kita ketahui dengan membandingkan Amos 4:9 dengan 7:14. LAI TB
di kedua bagian kitab Amos ini dengan jelas membedakan pohon ara
dengan pohon ara hutan:
3.
Amos 4:9 "... pohon-pohon ara (Ibrani: te'enim [jamak]; NIV: fig tree)
dan pohon-pohon zaitunmu dimakan habis oleh belalang..." BIS
memberikan terjemahan yang serupa dengan LAI TB: "pohon-pohon
ara dan pohon-pohon zaitunmu telah habis dimakan belalang".
4.
Amos 7:14 mencatat bahwa Amos adalah pemungut buah ara hutan
(Ibrani: siqma; NIV: sycamore-fig tree). Di Amos 7:14 BIS hanya
mencatat: "...aku pemetik buah ara."
Apa sebenarnya perbedaan antara pohon ara (fig tree) dengan pohon
ara hutan (sycamore tree) ? Pohon ara adalah pohon yang rimbun dan
tingginya lebih kurang 5 meter. Di Perjanjian Lama, pohon ara (Ibrani:
te'ena) dicatat sebanyak 37 kali. Dalam Alkitab pohon ini disebut untuk
pertama kalinya dalam Kejadian 3 ketika Adam dan Hawa makan buah
pengetahuan baik dan jahat, "maka terbukalah mata mereka berdua dan
mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon
ara dan membuat cawat" (Kejadian 3:7). Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan
Yesus melihat Natanael yang berteduh di bawah pohon ara dan berkata
kepadanya: "Sebelum Filipus memanggil engkau, aku telah melihat engkau
di bawah pohon ara" (Yohanes 1:48).
Pohon ara hutan juga rimbun, tetapi lebih tinggi dari pohon ara. Pohon
ara hutan dapat mencapai ketinggian sampai lebih kurang 10 meter. Jadi,
pohon ara hutan hampir dua kali lebih tinggi dari pohon ara biasa.
Kelebihan pohon ara hutan dari pohon ara ialah kayu pohon ara hutan lebih
keras dari pohon ara sehingga dapat dipakai untuk membuat perabot rumah.
Sedangkan kelebihan pohon ara dari pohon ara hutan ialah buahnya lebih
manis daripada pohon ara hutan. Yang selalu kita ingat adalah bila Alkitab
47
memberikan istilah yang spesifik tentang sesuatu hal, jangan kita berikan
arti yang general. Sebaliknya, kalau Alkitab memakai istilah general jangan
kita berikan arti yang spesifik. Kesimpulannya, sebagaimana TM, NIV dan
NKJV membedakan antara fig tree dan sycamore tree, maka kita juga harus
membedakan antara pohon ara dengan pohon ara hutan. Zakheus memanjat
pohon ara hutan, bukan pohon ara biasa. Ia harus bersusah payah memanjat
pohon ara hutan untuk melihat Yesus. Pertobatannya tidak mudah. Ia berani
bayar harga.
Studi kasus 2:
Markus: kemenakan atau saudara sepupu Barnabas ?
LAI TL, LAI TB dan BIS memberikan catatan berbeda tentang hubungan
keluarga antara Markus dengan Barnabas (Kolose 4:10).
LAI TL
: "... Markus yang sepupu dengan Barnabas..."
LAI TB
: "Markus, kemenakan Barnabas..."
BIS
: "Markus, saudara sepupu Barnabas..."
NIV & NKJV : "...Mark the cousin of Barnabas..."
Dari perbandingan di atas ternyata LAI TB berdiri sendiri dengan
memberikan data bahwa Markus adalah kemenakan Barnabas. Data dari
LAI TL, BIS, NIV dan NKJV sama, yaitu Markus adalah saudara sepupu
Barnabas. Kalau kita menyampaikan firman dari Kolose 4:10 hanya
bersandar pada LAI TB, maka kita akan memberitakan bahwa Markus
adalah kemenakan Barnabas. Manakah yang lebih tepat, kemenakan atau
sepupu Barnabaskah Markus itu sebenarnya ? Untuk mengetahui jawabnya,
mari kita melakukan pekerjaan rumah dengan melihat kata Yunani avneyio.j
(anepsios) yang dipakai di Kolose 4:10. Menurut Arndt-Gingrich dan
Rienecker, kata Yunani anveyio.j berarti cousin (sepupu) bukan nephew
(kemenakan). Contoh hubungan saudara sepupu lain di Alkitab ialah antara
Mordekhai dengan Ester, hanya saja Mordekhai mengangkat Ester sebagai
anak (Ester 2:15). Jadi, Markus adalah sepupu dan bukan kemenakan
Barnabas. LAI TL meskipun "lebih tua" dari LAI TB, tetapi memberi
48
terjemahan lebih tepat. Memang perbedaan terjemahan kemenakan dengan
sepupu tidak mempengaruhi doktrin keselamatan, tetapi alangkah baiknya
bila hamba Tuhan memakai terjemahan yang tepat sehingga berita yang
disampaikan juga benar.
2. Kamus (Lexicon & Dictionaries)
a.
Kamus Bahasa Indonesia Dan Inggris. Baik Kamus bahasa
Indonesia-Inggris maupun Inggris-Indonesia diperlukan untuk
mencari definisi kata yang benar.
b.
Kamus Bahasa Ibrani/Yunani. Juga sangat diperlukan Kamus
Bahasa Alkitab (Leksikon) Ibrani/Yunani untuk mencari arti dan
penjelasan dalam bahasa aslinya. Untuk itu perlu dilengkapi juga
dengan Buku Tata Bahasa Ibrani danYunani untuk mereka yang
mempelajari kedua bahasa tersebut.
c.
Kamus Idiom Ibrani/Yunani. Ada idiom-idiom yang sulit kita
ketahui artinya sehingga perlu bantuan dari alat-alat ini.
d.
Kamus Alkitab. Sangat berguna untuk mendapatkan penjelasan
sehubungan dengan istilah-istilah teologis, nama-nama tempat,
orang dan binatang/tumbuh-tumbuhan.
1) Kamus Alkitab, diterbitkan oleh Nusa Indah.
2) Kamus Alkitab, diterbitkan oleh YPI Immanuel.
3) Kamus Istilah Teologia, diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia.
4) Unger's Bible Dictionary, diterbitkan oleh Moody Press.
5) New Bible Dictionary, diterbitkan oleh Eerdmans Publishing
Company.
49
3. Konkordansi
Konkordani berisi daftar kata-kata yang ada dalam Alkitab yang
dilengkapi dengan alamat ayat-ayat di mana kata-kata tersebut berada
dalam Alkitab. Sangat berguna untuk mencari ayat atau padanan ayat
yang tidak kita ketahui alamatnya. Beberapa Konkordansi yang bisa kita
gunakan:
a.
Konkordansi Alkitab. Konkordansi ini dalam bahasa Indonesia,
dikerjakan oleh Dr. D.F. Walker, diterbitkan oleh BPK Gunung
Mulia dan Kanisius.
b.
Strong's Exhaustive Concordance of the Bible. Konkordansi ini
telah menjadi referensi standar pemahaman Alkitab selama
beberapa dekade. Daftar kata-kata yang disusun menurut abjad
(teks King James Version) menawarkan referensi silang yang
sangat menolong. Adanya kamus singkat bahasa Yunani dan
Ibrani menambah manfaat buku ini.
c.
Young's Analytical Concordance to the Bible
d.
Cruden's Complete Concordance
4. Atlas & Arkeologi
Atlas menunjukkan gambaran (peta) tempat-tempat dalam Alkitab
pada jaman Alkitab. Di dalamnya ditunjukkan juga perkiraan ukuran
jarak tempat-tempat dan hubungan tempat-tempat itu sesuai dengan
sejarah peristiwanya dalam Alkitab.
a. Atlas Alkitab Masa Kini, diterbitkan oleh SAAT.
b. Atlas Alkitab, diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia.
c. Peta Alkitab, diterbitkan oleh SAAT.
d. Atlas of Bible Lands, diterbitkan oleh Hammond, Inc.
e. Bakers's Bible Atlas, diterbitkan oleh Baker Book House.
f. The Moody Atlas of Bible Lands, diterbitkan oleh Moody
Press.
Sementara
itu, Arkeologi
berguna
untuk
mempelajari
kebudayaan (manusia) masa lalu melalui kajian sistematis atas data
50
bendawi yang ditinggalkan. Sering kali temuan para arkeolog turut
menambah pemahaman akan kehidupan pada zaman Alkitab dan
bahasa asli yang digunakan untuk menulis Alkitab.
IV.2
Perlengkapan Subyektif
1. Ensiklopedia Alkitab
Buku yang menyusun topik-topik dalam Alkitab sedemikian rupa
(sesuai dengan abjad) sehingga mempermudah pencarian ayat-ayat
yang membicarakan topik yang sama.
a.
Ensiklopedia Alkitab Praktis, diterbitkan oleh Lembaga
Literatur Baptis.
b.
Ensiklopedi Perjanjian Baru, diterbitkan oleh Kanisius.
c.
The
Zondervan
Pictorial
Encyclopedia
of
the
Bible.
Ensiklopedia ini sebanyak 5 volume, diterbitkan oleh
Zondervan Publishing House.
d.
Wycliffe Bible Encyclopedia. Ensiklopedia ini sebanyak 2
volume, diterbitkan oleh Moody Press.
2. Bible Studies, Word Studies
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas tentang arti kata,
sejarah dan konteks linguistik dalam Alkitab.
a. An Expository Dictionary of Biblical Words, karya W.E. Vine,
diterbitkan oleh Revell.
b. Theological Wordbook of the Old Testament (2 vol.), diterbitkan
oleh Moody Press.
c. Dictionary of New Testament Theology (3 vol.), diterbitkan oleh
Zondervan Publishing House
3. Buku-buku Komentar/Tafsir Alkitab (Commentaries).
Buku-buku Tafsiran Alkitab berisi hasil tafsiran oleh para ahli
teologi. Penting diingat bahwa tidak semua buku-buku Tafsiran baik.
Pilihlah buku-buku tafsiran yang baik dan sudah diterima oleh gerejagereja secara umum. Buku-buku tafsiran adalah alat yang penting tapi
51
pemakaiannya adalah yang terakhir, khususnya ketika kita mengalami
kesulitan menemukan pengertian isi ayat tertentu atau untuk
memeriksa/mencocokkan/ membandingkan hasil tafsiran yang kita
kerjakan.
a. Tafsiran Alkitab Masa Kini (3 jilid), diterbitkan oleh Yayasan
Komunikasi Bina Kasih.
b. Tafsiran Alkitab, diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia.
c. The Wycliffe Bible Commentary, diterbitkan oleh Moody Press.
Eksposisi ringkas ini menyajikan informasi latar belakang,
garis besar dan tafsiran.
d. The Bible Knowledge Commentary (2 vol.), diterbitkan oleh
Victor Books. Ditulis oleh staf Dallas Theological Seminary,
merupakan kombinasi dari pengajaran yang tajam dan jelas.
Catatan:
Dengan
perkembangan
IPTEK
sekarang
ini,
semua
perlengkapan tersebut di atas dapat ditemukan dalam bentuk
program aplikasi seperti Bibleworks, Logos, Quick Verse, Sabda,
dan Alkitab.
Alat-alat menafsir di atas sangat berguna untuk membantu pekerjaan
penafsir, tetapi alat-alat tersebut tidak akan dapat menggantikan pekerjaan
dan tanggung jawab penafsir. Penafsir adalah subjek (pribadi) yang harus
mengerjakannya. Alat-alat yang lengkap dan baik belum cukup menjamin
hasil penafsiran yang baik. Kesungguhan penafsir untuk bergantung kepada
Roh Kudus, sebagai Iluminator, dan kemampuan yang cukup dari penafsir
sangat menentukan keberhasilan pekerjaan menafsir. Tetapi alat-alat yang
lengkap akan memungkinkan hasil tersebut maksimal dan akurat.
52
BAB V
PRINSIP DAN METODE UMUM HERMENEUTIKA
Prinsip-prinsip Hermeneutika dibagi menjadi Prinsip Umum dan Prinsip
Khusus. Prinsip Umum adalah aturan-aturan yang dapat dipakai untuk menafsirkan
segala macam bentuk sastra dalam Alkitab. Dalam Prinsip Umum ini tercakup di
dalamnya adalah:
V.1
Prinsip Filsafati (Literal & Konteks)
1. Prinsip Literal
a. Studi Kata
1) Etimologi (asal-usul kata): memahami kata dengan cara
bagaimana kata tersebut dibentuk (misalnya prefiks & sufiks,
akar kata, asal-mulanya, perkembangannya & pemakaiannya
sekarang).
2) Studi Komparatif Kata-kata: menemukan makna dari sebuah
kata dengan membandingkan bagaimana kata itu dipergunakan
di seluruh Alkitab dengan menggunakan konkordansi Ibrani atau
Yunani (misalnya kata-kata: jiwa, roh ), studi tentang sinonim
(misalnya Matius 20:21 dibandingkan dengan Markus 10:37,
Matius 18:9 bandingkan dengan Markus 9:47).
3) Studi Kultural Kata-kata: studi pemakaian kata-kata dalam
suatu waktu khusus dan di dalam budaya mereka, dan makna
signifikal di dalam konteks budaya tersebut.
53
Studi kasus 1:
Sebagai contoh di dalam Yohanes 2:15 tertulis bahwa Yesus
membuat cambuk dan mengusir penukar-penukar uang dari Bait
Suci. Orang Yahudi tidak menyukai perbuatan Yesus itu dan
berdebat dengan Yesus. Yesus menjawab mereka "Rombak 'Bait
Allah' ini dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya
kembali". Ayat 21 mengatakan, "tetapi yang dimaksudkan-Nya
dengan 'Bait Allah' ialah tubuh-Nya sendiri". Di sini Yesus
memberitakan arti perkataan 'Bait Allah'.
Studi kasus 2:
Contoh lain: rasul Paulus menafsirkan/menjelaskan arti dari kata
"aku" di dalam kesaksian mengenai kesusahan-kesusahan yang
ia alami. "Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam
aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab
kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat
apa yang baik" (Roma 7:18). Kata "aku" dapat berarti kehendak,
intelek, manusia rohani, atau manusia jasmani. Ataupun kata
tersebut dapat berarti kepribadian seseorang secara keseluruhan.
Paulus membatasi arti kata itu di dalam ayat tersebut dan
menjelaskan kepada para pembaca arti yang dimaksudkannya.
Petunjuk Mempelajari Kata:
a) Satu kata bisa mempunyai beberapa arti yang berbeda.
b) Kata-kata yang berbeda bisa mempunyai arti yang sama.
c) Selidiki hanya kata-kata yang penting, yang memiliki arti
teologis, khususnya yang sering diulang-ulang.
d) Pelajari kata-kata penting tersebut dalam konteksnya.
e) Gunakan konkordansi atau referensi silang untuk mencari
padanan arti.
54
f) Arti kata bisa berubah setelah melewati jangka waktu
tertentu.
g) Alkitab kadang menggunakan kata-kata/terminologi yang
mempunyai arti yang berbeda dengan penggunaan umum.
h) Arti kata tersebut dalam bahasa Ibrani/Yunani kadang
berbeda dengan bahasa Indonesia.
b. Studi Gramatikal
1) Setiap kata dalam kalimat tidak berdiri sendiri. Kata yang
disusun
bersama-sama
memberi
kombinasi
arti
yang
membangun alur pikiran. Arti dari kata itu sering ditentukan dari
hubungannya dengan kata-kata yang lain dalam kalimat. Tata
Bahasa sendiri tidak memperlihatkan arti sesungguhnya dari
kata itu, tapi memperlihatkan kemungkinan arti lain yang
terdapat dalam kata (kalimat) itu. Tata Bahasa terdiri dari
beberapa unsur penting, misalnya: subyek, obyek, kata kerja,
kata keterangan waktu/tempat/cara, kata ganti dan kata
sambung. Masing-masing unsur ini akan memberikan bentukan
kata dan hubungan kata dalam kalimat.
2) Tropus
Tropus adalah bentuk-bentuk percakapan di mana sebuah kata
atau ekspresi dipergunakan di dalam suatu makna yang berbeda
dari apa yang sebenarnya dimilikinya (bahasa kiasan yang
pendek). Hal ini ditemukan pada hubungan persamaan atau
hubungan tertentu.
a) Simile: bahasa kiasan yang membandingkan dua obyek
dengan memakai kata-kata “seperti”, “bagaikan”. Biasanya
Simile hanya memperbandingkan persamaan dua obyek
tersebut. Simile ini banyak ditemukan di Perjanjian Lama,
sedangkan di Perjanjian Baru banyak ditemukan di Surat55
surat Paulus, dan terutama di Kitab Wahyu. Misalnya:
Mazmur 7:2-3, 42:2, Hosea 14:6.
b) Metafora: bahasa kiasan yang di dalamnya pengertian
sebuah kata dipindahkan kepada kata lain. Metafora
memberikan perbandingan secara langsung dua obyek
dengan tujuan yang jelas. Contoh: Mazmur 18:2, 23:1, Lukas
13:32. Ada dua macam Metafora yang dipakai di dalam
Alkitab untuk menggambarkan Allah, yakni:
-
Anthropopathisme: perasaan, kegemaran dan keinginan
manusia dipakai untuk melukiskan Allah.
Misalnya: Kejadian 6:6, Ulangan 13:17, Epesus 4:30,
Ibrani 10:31.
-
Anthropomorphisme: bentuk/organ manusia dan segala
aktivitas fisik dipakai untuk melukiskan Alllah.
Misalnya: Keluaran 15:3,16, Mazmur 34:16, Yakobus
5:4.
c) Metonimi: bahasa kiasan yang menghubungkan satu hal
dengan hal lain, sebab keduanya sering diasosiasikan, atau
yang satu dapat menunjuk yang lain. Misalnya: Kejadian
42:38 - kata “ubanan” menunjuk umur Yakub yang lanjut.
Roma 3:30 - katakata “orang-orang bersunat” dan “orangorang tak bersunat” masing-masing menunjuk kepada orang
Yahudi dan orang non Yahudi.
d) Sinekdok: bahasa kiasan yang mengasosiasikan dua obyek,
yang
sebenarnya
mempunyai
hubungan
“bagian”
dengan“keseluruhan”, atau sebaliknya. Dalam percakapan
sehari-hari kita seringkali temukan pemakaian gaya bahasa
ini (Penduduk Indonesia sekarang ini sudah mencapai sekitar
200 juta jiwa; dalam perebutan piala Thomas Cup, Indonesia
dikalahkan oleh Cina). Di dalam Alkitab, misalnya: Hakimhakim 12:7, Daniel 12:2, Kisah Para Rasul 27:37.
56
e) Personifikasi: bahasa kiasan yang memberikan gambaran
yang bersifat mempribadikan atas sesuatu hal. Paling banyak
ditemukan dalam kitab atau bagian kitab syair dalam Alkitab.
Misalnya: Mazmur 98:8.
f) Apostrofi: bahasa kiasan yang dipakai dalam suatu seruan,
yang ditujukan kepada suatu obyek dan sekaligus
mempribadikannya. Biasanya obyek yang menerima seruan
itu, tidak hadir di depan pembicara atau hanya berada di
dalam imajinasinya. Nabi-nabi di Perjanjian Lama sering
memakai bahasa kiasan ini. Misalnya: Yesaya 54:1.
g) Hiperbola:
bahasa
kiasan
yang
dengan
sengaja
membesarbesarkan sesuatu demi penegasan (menekankan
suatu arti). Misalnya: Mazmur 119:136, Yohanes 21:25, 1
Korintus 13:1.
h) Ironi: bahasa kiasan yang menyampaikan arti yang
sebaliknya, dengan demikian diharapkan dapat memberikan
penegasan. Misalnya: 2 Samuel 6:20, 1 Raja-raja 22:15, 1
Korintus 4:8.
i) Eufemisme: bahasa kiasan yang menghubungkan suatu
kata/ungkapan dengan kata/ungkapan yang walaupun tidak
begitu berhubungan langsung, namun dianggap lebih
halus/sopan. Misalnya: Imamat 18:6 - “menghampiri” &
“menyingkapkan auratnya” dipakai untuk menggantikan
istilah yang kurang enak diucapkan. Kisah Para Rasul 1:25 “telah jatuh ke tempat yang wajar baginya” menggantikan
sebutan langsung tentang kematian Yudas.
j) Interogasi: pertanyaan retoris yang tidak perlu dijawab,
tetapi maksud atau jawabannya sudah jelas. Misalnya:
Mazmur 8:5, Yeremia 32:27, Matius 7:16.
57
Bagaimanakah kita dapat menentukan pengertian figuratif
atau literal dari sebuah kata untuk menghindari kesalah-pahaman
sebagaimana pernah dialami oleh orang-orang Yahudi (Yohanes
6:52) ?
-
Ketika bahasa kiasan (figuratif) adalah kemustahilan apriori,
sebagaimana
terdapat
di
dalam
peraturan-peraturan,
dokumen resmi, tulisan-tulisan historis, dan pengakuan
iman.
-
Ketika penafsiran literal mengakibatkan kontradiksi yang
nyata atau absurditas (kemustahilan).
-
Ketika Konteks Dekat tidak membenarkan/menjamin
pemahaman yang demikian.
Prinsip-prinsip Penafsiran Bahasa Figuratif di Dalam Alkitab:
-
Menentukan bagian Alkitab yang akan ditafsir adalah bahasa
kiasanatau bukan, dengan menyelidiki konteksnya berkalikali.
-
Jangan membiarkan imajinasi pribadi penafsir menjadi
patokandalam menafsir bahasa kiasan. Penafsir Alkitab
dianjurkan menyelidiki dengan seksama latar belakang
penulis/pembicara bahasa kiasan tersebut.
-
Sebelum seorang penafsir menafsir arti dari suatu bagian
yangbersifat kiasan, ia terlebih dahulu harus mengerti arti
harfiah dari bagian tersebut. Misalnya: Yohanes 10:7 - arti
“pintu” perlu diselidiki dari segi konteks, latar belakang
waktu itu, dan sebagainya (konsep tentang pintu dikuasai
terlebih dahulu dengan baik).
-
Menentukan bagian Alkitab yang akan ditafsir itu termasuk
bahasakiasan jenis apa, di mana kiasan itu didasarkan, dari
mana kiasan itu dipinjam (kebiasaan atau obyek-obyek
umum).
58
Studi kasus :
Misalnya: Mazmur 51:9, 92:12.
Cobalah temukan titik perbandingan tanpa menempatkan terlalu banyak
detailnya. Misalnya kata “keberhakkan” di Roma 8:17 tidak perlu
dipahami bahwa Sang Bapa telah wafat.
Semua penafsiran gramatikal perlu mengambil pertimbangan
kemungkinan adanya bagian-bagian yang paralel atau penunjukan
silang. Prinsip pemahaman bahwa apa yang dinyatakan di bagian yang
satu dapat melukiskan apa yang dinyatakan di bagian lain dari Alkitab.
2. Prinsip Konteks
Kata “Konteks” berasal dari dua kata bahasa Latin: Con yang berarti
“bersama-sama/menjadi satu” dan Textus yang berarti “tersusun”.5
Dengan demikian, kata “konteks” secara umum diartikan sebagai
hubungan pikiran yang menyatukan sebagian (konteks dekat) atau
keseluruhan tulisan (konteks jauh). Sehubungan dengan Alkitab,
konteks diartikan sebagai hubungan pikiran yang menyatukan bagian
Alkitab yang akan ditafsir dengan perikop tertentu, atau satu pasal
tertentu, atau satu kitab tertentu, atau bahkan keseluruhan Alkitab.
Biasanya Prinsip Konteks dapat dibagi dalam lima (5) bagian, yakni:
a. Konteks Pertama (Corpus Context) dari sebuah ayat adalah Alkitab
secara keseluruhan. “Scriptura Scripturae Interpres” (Alkitab
Menafsirkan Alkitab). Konteks dari setiap ayat adalah seluruh
Alkitab. Tidak boleh ayat ditafsirkan lepas di luar Alkitab.
Spiral/Lingkaran Hermeneutik: “seseorang hanya dapat memahami
bagian yang khusus bila ia mengetahui apa yang Alkitab secara
keseluruhan ajarkan; namun ia hanya dapat mengetahui apa yang
Kaiser, Walter C.,Jr., Toward an Exegetical Theology, Grand Rapids: Baker Book House, 1981, p.
71.
5
59
Alkitab secara keseluruhan ajarkan dengan mengetahui makna
bagian-bagiannya.
b. Konteks Kedua (Canonical Context) dari suatu bagian/perikop
adalah Perjanjian di mana ia termasuk di dalamnya, Perjanjian Lama
atau Perjanjian Baru. Seseorang harus datang kepada Perjanjian
Lama atau Perjanjian Baru dengan proper mid set, yang
menghubungkan pokok, susunan, konfigurasi historis yang khusus,
dan tempat di dalam perkembangan revelasi ilahi, pada Perjanjian
itu.
c. Konteks Ketiga (Book Context) dari suatu bagian/perikop adalah
kitab khusus di mana bagian/perikop itu terdapat. Misalnya
penafsiran Wahyu harus dipahami sejarah kesyahidan & teologi
kesyahidan dari Gereja mulamula, agar seseorang tidak mengambil
kitab Wahyu sebagai spekulasi profetik.
d. Konteks Keempat (Immediate Context) dari suatu bagian/perikop
adalah ayat/ayat-ayat sebelum dan sesudah ayat/ayat-ayat yang akan
ditafsir. Konteks Segera/Dekat ini harus disinkronkan dengan
Konteks Buku Konteks Kanon - Konteks Corpus - Konteks
Komunitas.
e. Konteks Kelima (Community Context) adalah Gereja Tuhan, di
mana berita Firman Allah itu dialamatkan.
Dengan demikian, dapatlah dinyatakan bahwa:
-
Konteks ayat adalah perikop;
-
Konteks perikop adalah Kitab (buku);
-
Konteks kitab adalah Kitab Perjanjian;
-
Konteks Kitab Perjanjian adalah seluruh Alkitab;
60
Petunjuk mempelajari konteks:
-
Bacalah keseluruhan perikop (atau pasal) yang menjadi konteks ayat
yang andapelajari.
-
Selidiki keseluruhan data dan pelajari kaitan-kaitannya.
-
Carilah informasi latar belakang dari nama/tempat/peristiwa yang
sedangdipelajari dengan menggunakan Kamus Alkitab.
-
Gunakan Referensi Silang untuk membandingkan jika peristiwa/kisah
yangsedang dipelajari juga dicatat dalam kitab yang lain (memiliki
kisah paralel) Contoh Pemakaian Prinsip Konteks:
Studi kasus 1:
Kemungkinan besar kita sudah menghafal beberapa ayat tanpa
kesadaran bahwa ayat itu hanya sebagian dari suatu kalimat atau
paragraf yang lebih besar, misalnya; Roma 3:23. Sebenarnya artinya
yang lengkap tidak dapat dimengerti tanpa membaca ayat seluruhnya.
Apa lagi, mungkin kita pernah menghafal satu janji dari Tuhan tanpa
melihat bahwa di dalam ayat sebelumnya atau ayat sesudahnya ada
syarat yang mengikuti janji itu seperti di kitab Yesaya 58:11 "TUHAN
akan menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di
tanah yang kering ...". Tetapi perhatikan di dalam ayat ke-9 dan ke-10
bahwa "apabila engkau..." dipakai dua kali.
Sering satu perkataan berbeda artinya dalam beberapa bagian Alkitab.
Kata "Iman" bisa dipakai sebagai contoh. Di dalam Galatia 1:23 Paulus
menulis, "ia yang dahulu menganiaya mereka, sekarang memberitakan
'iman', yang pernah hendak dibinasakannya". Di sini "Iman" berarti doktrin Alkitab. Di dalam surat Roma Paulus menulis, "Tetapi
barangsiapa yang bimbang, kalau ia makan, ia telah dihukum, karena ia
tidak melakukannya berdasarkan 'iman'" (Roma 14:23). Menurut
konteksnya, iman di sini berarti - keyakinan bahwa Tuhan menghendaki
demikian. Dalam nasehat Paulus kepada Timotius (5:11-12) tertulis,
"memungkiri kesetiaan mereka yang semula
61
kepadanya". Dalam
terjemahan lain kesetiaan disebutkan sebagai 'iman', yang berarti - satu
niat atau janji kepada Tuhan.
Studi kasus 2:
Contoh lainnya adalah pemakaian istilah "Darah". Khotbah Paulus di
Atena dalam Kisah Para Rasul 17:24-26 mengatakan bahwa "dari satu
orang" yang dalam terjemahan lain dikatakan "satu darah". Dalam
Efesus 1:7, "Darah" mempunyai arti penebusan Kristus untuk kita.
Dalam Ibrani 9:7 "Darah" mempunyai arti cairan dalam nadi darah
binatang. Jadi, konteksnya sangat mempengaruhi artinya bagi setiap
perkataan.
V.2
Prinsip Sejarah & Latar Belakang
1. Pengantar
Dengan mengetahui sejarah dan latar belakang situasi jaman itu
diharapkan penafsir pasca-modern dapat mengerti maksud sesungguhnya
dari penulis Alkitab. Hal ini sangat penting agar penafsir tidak membawa
masuk maksudnya ke dalam Alkitab karena bisa saja suatu kebiasaan pada
jaman itu berbeda maknanya dengan jaman sekarang. Demikian juga dalam
menyelidiki latar belakang harus memperhatikan unsur geografis, unsur
waktu, unsur agama, unsur politik dan ekonomi, unsur kebudayaan dan
kebiasaan. Dengan menyelidiki hal-hal tersebut kita akan dapat memahami
tujuan dan maksud penulis dalam penulisan kitabnya. Penggolongan kitabkitab, jenis dan gaya sastra, bagian-bagian teks bersifat kiasan, metafora,
dan bentuk-bentuk tulisan asli lainnya yang berhubungan dengan budaya
setempat pada penulisan Alkitab, harus dikenal dan didapati keasliannya.
Penafsiran Alkitab tidak bisa lepas dari bentuk sastra dan konteks pada
masa itu, sebelum kita menerapkannya pada masa kini.
2. Asumsi-asumsi Dasar Untuk Prinsip Sejarah & Latar Belakang
a. Kondisi Historis dari Firman Allah: Firman Allah dimulai di dalam
sejarahdan hanya dapat dipahami di dalam terang sejarah.
62
b. Kondisi Historis dari Bahasa Manusia: Bahasa mengambil bentuk,
danhanya dapat dipahami di dalam konteks sejarah.
c. Dunia dan sudut pandang dari Penulis secara alami mewarnai
tulisantulisannya yang adalah produk di bawah kondisi waktu,
tempat, dan lingkungan.
3. Tuntutan Sejarah & Latar Belakang Bagi Penafsir
a. Mencari tahu latar belakang historis dari si Penulis Alkitab.
b. Menyusun kembali dari data sejarah, dan dengan bantuan hipotesa
sejarah,lingkungan di mana tulisan-tulisan itu berasal.
c. Mempertimbangkan pengaruh-pengaruh yang beragam yang
menentukankarakter dari suatu tulisan.
d. Usahakan untuk memindahkan diri sendiri secara mental ke dalam
budaya& kondisi di mana tulisan itu mengambil tempat, untuk
menghindari diri mendengar gagasannya sendiri di dalam kerangka
mentalnya.
e. Mengenal dengan baik lingkungan sosial, geografis, waktu, politik
danekonomi, kebudayaan & kebiasaan, dan religius dari si penulis
Alkitab.
4. Analisa Eksegetikal Di Dalam Prinsip Sejarah & Latar Belakang
a. Tentukan siapa penulisnya :
1) Mengenali kehidupan si penulis
2) Memahami pemikiranpenulis &
cara ia berpikir.
b. Dapat membedakan antara si penulis & si pembicara (khususnya di
dalamkitab-kitab Injil):
1) Narasi historis & catatan sejarah.
2) Kutipan langsung & penjelasan oleh penulis.
Misalnya: Yohanes 3:16-21 adalah kesaksian tentang Yesus (bukan
perkataan Yesus). Lihat juga Hosea 9:9-10, Zakharia 12:8-10,
14:1-3, Roma 3:1-9.
63
3) Aturan Umum: Penulis kitab harus dipandang sebagai si pembicara
sampai beberapa bukti jelas yang berlawanan muncul.
c. Pastikan para pembaca & para pendengar mula-mula. Misalnya Surat
Filemon ditujukan kepada Filemon sebagai pembaca mulamula,
namun jemaat di rumahnya adalah para pendengarnya. Kasus yang
lebih kompleks dengan Kitab-kitab Injil Sinoptik. Suatu pengenalan
yang akrab terhadap para pembaca mula-mula seringkali akan
menerangi halaman-halaman dari suatu tulisan yang dialamatkan
kepada mereka di dalam suatu cara yang tidak terduga &
mengejutkan.6Misalnya :
1) Matius 7:24-27 - pembacanya adalah orang-orang Yahudi.
2) Lukas 6:47-49 - pembacanya adalah orang-orang Helenis
d. Tujuan si penulis, lingkungan historisnya dan kerangka berpikirnya.
Misalnya ratapan Daud terhadap kematian Saul dan Yonathan (2
Samuel 1:19-27 ), kata-kata Paulus terhadap orang-orang Korintus (
1 Korintus 3:20-23, 15:32); kepada jemaat-jemaat Galatia (Galatia
5:2); kepada jemaat di Kolose (Kolose 2:9 . Perhatikan pula Lukas
1:1-3, Yohanes 20:31, dan Wahyu 1:1.
e. Bantuan Teknis Bagi Penafsiran Sejarah & Latar Belakang :
1) Bantuan Internal: Sumber Utama - dari Alkitab itu sendiri.
2) Bantuan Eksternal: Sumber Sekunder - Arkeologi, tulisan-tulisan
historis.
5. Contoh pemakaian Prinsip Sejarah & Latar Belakang
Pengertian tentang latar belakang kitab Galatia akan menolong banyak
dalam pengertian tentang arti dan pentingnya. Jemaat pertama di Yerusalem
terdiri dari orang-orang Yahudi yang baru diselamatkan. Pada Hari
Pentakosta (Kisah Para Rasul 2:1-47) kebanyakan yang diselamatkan
adalah orang-orang bukan Yahudi. Asumsi yang dipegang oleh orang-orang
6
Berkhof, Louis, Principles of Biblical Interpretation, Grand Rapids: Zondervan Publishing
House, 1962, p. 125.
64
yang percaya pada saat itu adalah bahwa jalan masuk kepada Kristus adalah
melalui agama Yahudi.
Kemudian Kornelius serta keluarga menerima Kristus tanpa disunat
dulu (Kisah Para Rasul 10:1-48), dan ini membuat pertanyaan besar di
antara orang-orang Yahudi yang sudah percaya. Beberapa tahun kemudian,
Paulus mulai melayani bukan hanya orang-orang yang berlatar belakang
Yahudi yang lain, tetapi juga orang Yunani dan orang-orang kafir. Jemaatjemaat dibentuk tanpa lebih dahulu mempraktekkan hukum-hukum
Keyahudian. Banyak orang Yahudi yang sudah percaya sulit menerima hal
ini.
Ketika kembali ke Yerusalem, Paulus mengikuti sidang pemimpinpemimpin dan bertanya kepada mereka, "Apakah orang-orang bukan
Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk menuruti hukum Musa?",
"Bagaimanakah seseorang dibenarkan di hadapan Allah?", "Oleh karena
iman kepada Kristus dan bukan oleh karena perbuatan-perbuatannya"
jawab Paulus. Pemimpin-pemimpin di Yerusalem setuju dengan Paulus, dan
sejak saat itu berubahlah pandangan dan arah jemaat Kristus seterusnya.
Mulai saat itu Kekristenan dipandang terpisah dari Keyahudian.
Bagaimanakah Paulus dapat menjelaskan hal ini kepada jemaat di
Galatia? Paulus memakai banyak ayat dari Perjanjian Lama untuk
membuktikan bahwa setiap orang harus diselamatkan oleh iman, mulai dari
Abraham sendiri.
Alkitab bersifat progresif, yaitu maju bertahap. Baik Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru adalah penyataan Allah dan merupakan suatu
kesatuan. Sering kita mendengar seorang berkata, "Allah dalam Perjanjian
Lama berbeda dari Allah dalam Perjanjian Baru". Kepercayaan ini
dipegang banyak orang, tetapi tidak mempunyai dasar sama sekali dalam
Alkitab, dan kepercayaan ini akan menghalangi penafsiran Alkitab yang
benar bagi kita. Perjanjian Lama menjadi dasar untuk menafsirkan
Perjanjian Baru dengan baik. Sangat berat mengerti Perjanjian Baru kalau
kita tidak mengerti atau mengetahui isi Perjanjian Lama seperti penciptaan
dunia atau kejatuhan manusia. Dari segi yang lain, Perjanjian Baru menjadi
65
penjelasan bagi Perjanjian Lama, bagaimanakah Allah menyatakan diriNya dan bagaimana rencana-Nya bersifat progresif.
Suatu ungkapan atau istilah mengandung arti tertentu di dalam satu
kebudayaan atau waktu tetapi tidak berarti sama sekali dalam kebudayaan
atau waktu yang lain. Arti dari ungkapan-ungkapan dan istilah-istilah
berubah dengan waktu dan kebudayaan, jadi kita perlu menggali teksnya
supaya mengetahui artinya di dalam zaman yang ditulisnya. Dalam 2 Rajaraja 2:9 kita membaca, "...berkatalah Elia kepada Elisa: 'Mintalah apa yang
hendak kulakukan kepadamu, sebelum aku terangkat dari padamu'. Jawab
Elisa: 'Biarlah kiranya aku mendapat dua bagian dari rohmu'".
Di dalam beberapa kebudayaan ini berarti bahwa Elisa minta dua kali
lipat dari roh Elia (mungkin Roh Kudus). Tetapi kalau mempelajari
kebudayaan, ada kemungkinan yang muncul, yaitu bahwa Elisa minta
warisan sebagai anak sulung; dia ingin menjadi ahli waris Elia. Jadi ingat
bahwa arti sebenarnya dari suatu ungkapan atau istilah adalah arti dalam
konteks kebudayaan dan sejarah. Bagaimana hal ini dimengerti oleh orangorang dalam zaman itu.
66
DAFTAR PUSTAKA
Berkhof, Louis, Principles of Biblical Interpretation, Grand Rapids : Zondervan
Publishing House, 1962.
Cox, Alan. D., Penafsiran Alkitabiah, Catatan Pribadi, 1988
Fee, Gordon D., & Stuart, Douglas, Hermeneutik; Bagaimana Menafsirkan Firman
Tuhan dengan Tepat! Malang, Penerbit Gandum Mas, 1989
Grant, R. M. & Tracy D. Sejarah Singkat Penafsiran Alkitab. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1993.
Groenen, C. Hermeneuse Alkitabiah. Ende-Flores: Nusa Indah, 1977.
Hesselgrave, D. J. & Rommen E. Kontekstualisasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1994.
Hayes, J. H. & Holladay, C.R. Pedoman Singkat Penafsiran Alkitab. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1993.
Kaiser, Walter C.,Jr., Toward an Exegetical Theology, Grand Rapids: Baker Book
House, 1981
Lohfink, G. Sekarang Saya Memahami Kitab Suci. Yogyakarta: Kanisius, 1974.
Mickelsen, A. Berkeley, Interpreting The Bible, Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans
Publishing Co., 1966.
Ramm, Bernard, Protestant Biblical Interpretation, Grand Rapids: Baker Book
House, 1970.
Rumahlatu, Jerry. Hermeneutik dari Masa ke Masa, Jakarta: STT Jaffray Jakarta,
2010
Saparman. Belajar Alkitab: Cara dan Contoh. Yogyakarta: Andi Offset, 2009.
Sitompul, A. A. & U. Bayer. Metode Penafsiran Alkitab. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1977.
67
Sutanto, Hasan. Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab. Malang:
SAAT, 1986.
Terry, Milton S., Biblical Hermeneutics, Grand Rapids: Zondervan Publishing
House, 1974.
Tong, Joseph, Hermeneutics and Biblical Interpretation, Pacet: ICTS, 1999.
Wald, O. Temukanlah Sendiri. Malang: Gandum Mas, 1986.
Wan, Enoch, Ethnohermeneutics, A paper presented at The Evangelical Theological
Society (46 th Annual Meeting), November, 17-19, 1994, Listle, Illinois.
Warren, R. Twelve Dinamic Bible Study Methods for Individuals or Groups.
Wheaton: Victor Books, 1981.
68