Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Proses hermeneutik dari waktu ke waktu semakin berkembang mengikuti alur dialektika manusia yang semakin kompleks dan terbuka di dalam memahami pesan-pesan ketuhanan. Dalam perkembangannya, hermeneutik memiliki tiga model, yaitu hermeneutik sebagai cara atau hermeneutik teoritis, hermeneutik sebagai cara untuk memahami pemahaman atau hermeneutika filosofis, hermeneutik sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman atau hermeneutik kritis. Problema hermeneutik dalam kajian agama, lebih- lebih filsafat, makin bertambah penting mengingat penafsiran ulang terhadap suatu teks. Dalam proses menerjemahkan tersebut terdapat faktor memahami dan menerangkan sebuah pesan ke dalam medium bahasa. Inilah sesungguhnya rahim historisitas yang kemudian melahirkan hermeneutik. Akan tetapi, proses hermeneutik tidak sekedar memahami, menerjemahkan, dan menjelaskan sebuah pesan. Namun di balik proses hermeneutik berjubel-jubel elemen lain yang saling berkait, seperti praanggapan, tradisi, dialektika, bahasa, dan realitas. Secara historis, penggunaan hermeneutika dapat ditemukan dalam karya-karya klasik pemikir Yunani kuno, seperti tulisan Aristoteles Peri Hermenias atau de intepretatione.Minat utama Aristoteles dan pemikir-pemikir masa tersebut adalah intepretasi terhadap ungkapan-uangkapan, baik lisan maupun tulisan, yang dilakukan oleh orang yang berbeda-beda. Asumsi hermeneutika pada masa tersebut bersifat personal, bahwa setiap orang mempunyai pengalaman-pengalaman mental sendiri-sendiri sehingga berpengaruh terhadap cara pengungkapan dan gaya bahasa yang berbeda pula. Oleh karena itu, tujuan hermeneutika pada masa itu antara lain untuk memahami bentuk-bentuk ekspresi manusiawi dari peristiwa mental manusia. M.Amin Abdullah, dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Hasan Hanafi, ( Jakarta, TERAJU, 2002) hlm: xxi Dengan berkembangnya diskursus filsafat ke arah postmodernisme, hermeneutika mulai berperan sebaga salah satu disiplin yang sangat kritis terhadap metodologi memahami teks dan realitas. Ia tidak lagi sebagai teori penafsiran, akan tetapi menempatkan diri sebagi kritikus metode penafsiran. Hermeneutika di sini mulai berubah menjadi “metateori tentang teori intepretasi”. Ibid Oleh karena itu, berdasarkan asumsi diatas, dalam makalah ini penulis akan membahas tentang Hermeneutika dengan pokok pembahasan; pengertian Hermeneutik, sejarah munculnya beserta tokoh-tokohnya. Pokok Bahasan Pengertian Hermeneutika Sejarah perkembangan Hermeneutika beserta tokoh-tokohnya Tujuan Mengetahui pengertian Hermeneutika Mengetahui sejarah perkembangan Hermeneutika beserta tokoh-tokohnya. BAB II PEMBAHASAN Pengertian Hermeneutika Disepanjang sejarahnya, hermeneutik secara sporadis muncul dan berkembang sebagai teori interpretasi saat ia diperlukan untuk menerjemahkan literature otoritatif di bawah kondisi-kondisi yang tidak mengijinkan akses kepadanya, karena alasan ruang dan waktu atau pada perbedaan bahasa. Dalam hal ini sebuah teks dapat diperdebatkan atau tetap tersembunyi sehingga memerlukan penjelasan interpretasi agar membuatnya transparan. Josep Bleicher, Contemporery Hermeneutics, Hermeneutics as Method, Philosophy, and Critique, (London: Routhledge & Keegan Paul, 2003), h. 5-6 Hermeneutik adalah studi pemahaman, khususnya tugas pemahaman teks. Kajian hermeneutik berkembang sebagai sebuah usaha untuk menggambarkan pemahaman teks, lebih spesifik pemahaman historis dan humanistik. Dengan demikian, hermeneutik mencakup dalam dua fokus perhatian yang berbeda dan saling berinteraksi yaitu; 1) peristiwa pemahaman teks, 2) persoalan yang mengarah mengenai apa pemahaman interpretasi itu Hery, Musnur et al, Richard E. Palmer, Interpretation Theory In Scheimacher, Dilthey, Heidger dan Gadamer, terj. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, h. 08. Secara etimologi kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari Yunani, hermeneuein yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan. Ia merupakan sebuah proses mengubah sesuatu dari situasi ketidak tahuan menjadi mengerti. Oleh sebab itu, tugas pokok hermeneutika adalah sebagaimana menafsirkan sebuah teks klasik dan asing menjadi milik kita yang hidup di zaman dan tempat berbeda Umiarso, Hasan Hanafi; Pendekatan Hermeneuti Dalam Menghidupkan Tuhan, Sebuah Bungan Rampai, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011, h. 193. Istilah hermeneutika juga kerap dihubungkan dengan tokoh mitologis Yunani, Hermes, yang bertugas menyampaikan tugas Yupiter kepada manusia. Mitos ini menjelaskan tugas seorang hermes yang begitu penting, yang bila keliru dapat berakibat fatal. Hermes adalah seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang dewa. Berhasil atau tidaknya misi menyampaikan pesan tersebut tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan demikian, hermeneutika secara sederhana diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu. Sumaryono, E, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: kanisius, 2003, h. 24-25 Pada awalnya hermeneutika digunakan oleh para kalangan agamawan. Melihat hermeneutika dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka abad ke-17 kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutis untuk membongkar makna teks Injil. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab suci itu, mereka berkesimpulan bahwa kesulitan itu akan membantu pemecahannya oleh hermeneutik. Karena itu dalam posisi ini hermeneutik dianggap sebagai metode untuk memahami teks kitab suci. Fakta ini di nisbatkan sebagai langkah awal dalam pertumbuhan hermeneutika adalah gerakan interpretasi atau eksegesis diawal perkembangannya. Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, Yogyakarta: Jalasutra, 2007, h. 7 Jean Grodin (1994: 20) menjelaskan bahwa dalam sejarahnya hermeneutika sebagai metode penafsiran dapat dilacak kemunculannya paling tidak sejak periode pratistik, jika bukan pada filsafat Stoik yang mengembangkan filsafat aligoris terhadap mitos atau bahkan pada tradisi sastra kuno Yunani. Meskipun demikian, hermeneutika sebagai metode penafsiran, baru pada abad tersebut (ke-17). Namun sebelum abad ke-17 belum memperkenalkan istilah hermeneutika secara definitive dan belum bercorak filosofis. Tentang istilah hermeneutika sendiri secara historis baru muncul pertama kali dalam karya Johann Konrad Dannhauer, seorang teolog Jerman, yang berjudul Hermeneutika Sacra, Shive Methodus Exponendarums Sacrarum yang ditulis pada tahun 1654. Sebagai seorang teolog, hermeneutika yang dibahas masih terbatas dalam penafsiran teks-teks Bibel. Mudjia Raharjo,. Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan Gadamerian, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008, h. 54 Memasuki abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang. Schleiermacher, filusuf yang kelak digelari Bapak hermeneutic modern, memperluas cakupan hermeneutika tidak hanya dalam bidang sastra dan kitab suci. Ia melihat bahwa sebagai metode interpretasi, hermeneutika sangat besar artinya bagi keilmuan dan bisa diadopsi oleh semua kalangan hingga akhir abad ke-20. Sejarah perkembangan Hermeneutika beserta tokoh-tokohnya Terdapat sejumlah tokoh yang memberi sumbangan dalam perkembangan filsafat hermeneutika, di antaranya adalah: Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834). Schleiermacher, seorang Protestan dan pernah menjadi Rektor di Universitas Berlin pada tahun 1815-1816, digelar sebagai “the founder of General Hermeneutics.” Gelar tersebut diberikan karena  pemikirannya dianggap telah memberi nuansa baru dalam teori penafsiran. Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika Menggugat Metode Tafsir al-Qurán, dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran, IKPM cabang Kairo, 2006, hal. 1. Materi kuliahnya “universal hermeneutic” menjadi rujukan Gadamer dan berpangaruh terhadap pemikiran Weber dan Dilthey. Ia dianggap sebagai filosof Jerman pertama yang terus menerus memikirkan persoalan-persoalan hermeneutika. Karena itu ia dianggap sebagai Bapak Hermeneutika modern dan juga pendiri Protestan Liberal. Hamid Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo, 2006), h. 7. Schleiemecher menandai lahirnya hermeneutika yang bukan lagi terbatas kepada idiom filologi maupun eksegesis Bibel, melainkan prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fondasi bagi semua ragam interpretasi teks. Schleiermacher mengadakan reorientasi paradigma dari “makna” teks kepada “pemahaman” teks. Rasionalitas modern seperti dianut oleh mazhab protestantisme telah mengubah makna literal Bible yang selama ini dianggap oleh mazhab resmi gereja sebagai “makna historis” menjadi “pemahaman historis” yang segala sesuatunya merujuk kepada masa silam. Afiliasi suatu teks kepada masa silam itu menyebabkan kehadirannya di masa kini menjadi sebentuk kecurigaan; mengapa teks yang merespon kejadian masa lalu harus menjadi jawaban problem kekinian?! Tidak kah lebih baik jika teks masa silam itu dienyahkan karena realitas yang terus berubah dari waktu ke waktu? Henry Salahuddin, Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat Hermeneutik Alquran, dalam Blog pada WordPress.com. Schleiermacher menjadikan persoalan hermeneutis sebagai persoalan universal dan mengajukan teori pemahaman yang filosofis untuk mengatasinya. Ia merubah makan hermeneutika dari sekedar kajian teks Bibel menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Dalam pandangan Schleiermacher, tradisi hermeneutika filologis dan hermeneutika teologis bisa berinteraksi, yang membuka kemungkinan untuk mengembangkan teori umum mengenai pemahaman dan penafsiran. Paul Ricoeur berpendapat hermeneutika lahir dengan usaha untuk menaikkan penafsiran Bibel dan filologis ke tingkat ilmiah, yang tidak terbatas kepada metode yang khusus. Dengan mensubordinasikan kaidah-kaidah dalam tafsir Bibel dan filologis kepada problem penafsiran yang umum, maka teori penafsiran Schleiermacher disebut juga dengan hermeneutika universal (universal hermeneutics). Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika., loc. cit. Schleirmacher telah menumbuhkan asas seni pemahaman teks; pemahaman yang selalu terkait mengikuti perkembangan dari setiap orang dan dari satu zaman ke zaman yang lain. Jarak pemisah antara zaman produksi teks dengan zaman pemahaman kekinian sedemikian meluas dan membentang, sehingga diperlukan ilmu yang mencegah kekeliruan pemahaman. Atas dasar itu, Schleirmacher meletakkan kaidah pemahaman teks yang terbatas pada dua aspek utama yaitu: aspek kebahasaan (penafsiran tata bahasa) dan aspek kemampuan menembus karakter psikis pengarang (penafsiran psikologi). Kedua aspek itu saling melengkapi satu dengan lainnya. Tugas kaedah hermeneutik Schleirmacher-ian itu adalah untuk sejauh mungkin memahami teks seperti yang dipahami pengarangnya dan bahkan lebih baik dari apa yang dipahami oleh si pengarang (merekonstruksi pikiran pengarang). Tugas itulah yang kemudian dikenal dengan “Hermeneutical Circle”. Henry Salahuddin, loc. cit. Jadi, bukan saja setiap unit, tata bahasa harus dipahami dalam konteks keseluruhan ucapan, tetapi ucapan juga harus dipahami dari konteks keseluruhan mental pengarang (the part whole principle). Jika tugas tersebut dilakukan oleh seorang interpreter maka Schleirmacher menyimpulkan sesorang penafsir akan bisa memahami teks sebaik atau bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri, dan memahami pengarang teks tersebut lebih baik daripada pengarang sendiri. Adnin Armas, Dampak Hermeneutik, op. cit., h. 74. Wilhelm Dilthey (1833-1911) Wilhelm adalah penulis biografi Scleiermacher dan salah satu pemikir filsafat besar pada akhir abad  ke-19. Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat digunakan sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia). Richard E. Palmer, op.cit., h. 45. Wilhelm Dilthey adalah seorang filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal Jerman. Bagi filosof yang pakar metodologi ilmu-ilmu sosial ini, hermeneutika adalah “tehnik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis Schleiermacher. Pada bagian awal pemikirannya, Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah transformasi psikologis. Namun karena psikologi bukan merupakan disiplin historis, usaha-usahanya ia hentikan. Ibid., h. 45-46. Ia menolak asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang. Ia anggap asumsi ini anti-historis sebab ia tidak mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang. Selain itu Dilthey juga mencoba mengangkat hermeneutika menjadi suatu disiplin ilmu yang memisahkan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam dan mengembangkannya menjadi metode-metode dan aturan-aturan yang menentukan obyektifitas dan validitas setiap ilmu. Bagi Dilthey hermeneutika universal memerlukan prinsip-prinsip epistemologi yang mendukung pengembangan ilmu-ilmu sosial. Hamid Fahmy Zarkasyi, op. cit ,h. 8. Menurutnya, dalam tindakan pemahaman historis, yang harus berperan adalah pengetahuan pribadi mengenai apa yang dimaksudkan manusia. Jika Kant menulis Crituque of Pure Reason, ia mencurahkan pemikiran untuk gagasan Crtique of Historical Reason. Richard E. Palmer, op.cit., h. 45. Wilhelm Dilthey mengawalinya dengan memilah-milah ilmu menjadi dua disiplin: ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora. Yang pertama menjadikan alam sebagai obyek penelitiannya, yang kedua manusia. Oleh karena obyek dari ilmu alam berada di luar subyek, ia diposisikan sebagai sesuatu yang datang kepada subyek, sebaliknya karena obyek ilmu sosial-humaniora berada di dalam subyek itu sendiri, keduanya seolah tak terpisah. Yang membedakan kedua disiplin ilmu ini menurut Dilthey bukan obyeknya semata, tapi juga orientasi dari subyek pengetahuan, yakni “sikapnya” terhadap obyek. Dengan demikian, perbedaan kedua disiplin ilmu tersebut bersifat epistemologis, bukan ontologis. Secara epistemologis, Dilthey menganggap disiplin ilmu alam menggunakan penjelasan (Erklaren), yakni menjelaskan hukum alam menurut penyebabnya dengan menggunakan teori. Sebab, pengalaman dengan teori terpisah. Sedang disiplin ilmu sosial-humaniora mengunakan pemahaman (Verstehen), dengan tujuan untuk menemukan makna obyek, karena di dalam pemahaman, terjadi pencampuran antara pengalaman dan pemahaman teoritis. Dilthey menganggap makna obyektif yang perlu dipahami dari ilmu humaniora adalah makna teks dalam konteks kesejarahaannya. Sehingga, hermeneutika menurut Dilthey bertujuan untuk memahami teks sebagai ekspresi sejarah, bukan ekspresi mental penggagas. Karena itu, yang perlu direkonstruksi dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks. Dilthey menjadihan hermeneutika sebagai komponen utama bagi fondasi ilmu humaniora (Geistesswissenchaften). Ambisi ini menyebabkan Dilthey telah meluaskan penggunaan hermeneutika ke dalam segala disiplin ilmu humaniora. Jadi, dalam pandangan Dilthey, teori hermeneutika telah berada jauh di atas persoalan bahasa. Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika, op. cit., h. 4. Martin Heidegger (1889-1976) Latar belakang intelektualitas Heidegger berada dibawah pengaruh fisika, metafisika dan etika Aristotle yang di interpretasikan oleh Husserl dengan metode fenomenologinya. Pendiri fenomenologi, Edmund Husserl, adalah guru dan sekaligus kawan yang paling dihormati dan disegani oleh Heidegger. Pemikiran Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis, meskipun akhirnya Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip fenomenologi yang dibangun Husserl. Fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologis karena menyangkut pengetahuan tentang dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi karena menyangkut kenyataan itu sendiri. Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara Husserl cenderung memandang fakta keberadaan sebagai sebuah datum keberadaan. Heidegger tidak memenjara realitas dalam kesadaran subjektif, melainkan pada akhirnya realitas sendiri yang menelanjangi dirinya di hadapan subjek. Bagi Heidegger, realitas tidak mungkin dipaksa untuk menyingkapkan diri. Realitas, mau tidak mau, harus ditunggu agar ia menyingkapkan diri. Heidegger mengembangkan hermeneutika sebagai interpretasi yang berdimensi ontologis. Dalam pandangan Heidegger, pemahaman (verstehen) bukanlah sebuah metode. Menurutnya pemahaman lebih dari sekedar metode. Sebabnya pemahaman telah wujud terlebih dahulu (pre-reflective understanding) sebelum merefleksikan sesuatu. Heidegger menamakan pra-pemahaman tersebut sebagai Dasein, yang secara harfiah berarti disana-wujud. Richard E. Palmer, op.cit., h. 46. Apa yang ditulis Heidegger sebagai hermeneutika tidak bisa dipahami dalam pengertian pemahaman yang subjektif. Hermeneutika juga bukan hanya sebuah metode pengungkapan realitas. Hermeneutika adalah hakikat keberadaan manusia yang menyingkap selubung Ada (Sein). Ia tidak berada dalam pengertian subjek-objek, di mana pemahaman tentang objek berangkat dari persepsi kategoris dalam diri subjek. Subjek tidak memahami sejauh objek tidak mengungkapkan diri. Subjek tergantung kepada pengungkapan objek. Dan sebetulnya term subjek dan objek di sini tidak tepat, sebab Dasein adalah seinde yang memiliki kemampuan yang lain. Dikatakan Dasein karena cara beradanya berbeda dengan benda-benda lain (seinde) yang ada begitu saja. Dasein berarti mengada di sana. Terdapat nuansa aktifitas dari Dasein. Dasein adalah satu-satunya seinde yang secara ontologis mampu keluar dari dirinya sendiri (Existenz) guna menguakkan adanya sendiri dan adanya seinde lainnya. Sekalipun Heidegger masih tidak mengidentikkan antara manusia yang menginterpretasi atau berpikir dan yang diintrepretasi atau yang dipikirkan, tetapi ia tidak bisa dipisahkan sama sekali. Intensionalitas Husserl tidak dibuang sama sekali, tapi digunakan dalam pengertian yang lain, yaitu bahwa faktisitaslah yang menjadi anutan kesadaran. Bukan kita yang menunjuk benda, tapi benda itu sendiri yang menunjukkan dirinya. Interpretasi manusia dibaca dalam pengertian ontologis karena ia merupakan hakekat manusia itu sendiri. Berpikir (menginterpretasi) adalah Dasein itu sendiri.  Berpikir, dalam pengertian Heidegger, bukan menggambarkan, bukan memvisualisasikan sesuatu di depan mata, bukan merefleksi, melainkan bertanya dan meminta keterangan, mendengarkan dengan penuh rasa hormat suara Ada, menunggu dengan bertanya dan mendengarkan Ada. Heidegger menghubungkan kajian tentang makna kesejarahan dengan makna kehidupan. Teks tidak cukup dikaji dengan kamus dan grammar, ia memerlukan pemahaman terhadap kehidupan, situasi pengarang dan audiennya. Hermeneutikanya tercermin dalam karyanya Being and Time. Dasein (suatu keberadaan atau eksistensi yang berhubungan dengan orang dan obyek) itu sendiri sudah merupakan pemahaman, dan interpretasi yang essensial dan terus menerus. Hamid Fahmy Zarkasyi, loc. cit. Martin Heidegger mencoba memahami teks dengan metode eksistensialis. Ia menganggap teks sebagai suatu “ketegangan” dan “tarik-menarik” antara kejelasan dan ketertutupan, antara ada dan tidak ada. Eksistensi, menurut Heidegger, bukanlah eksistensi yang terbagi antara wujud transendent dan horisontal. Semakin dalam kesadaran manusia terhadap eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya atas teks; karena itu, teks tidak lagi mengungkapkan pengalaman historis yang terkait dengan suatu peristiwa. Dengan pengalaman eksistensialnya itulah manusia bisa meresapi wujudnya dan cara dia bereksistensi sebagai unsur penegas dalam proses memahami suatu teks. Henry Salahuddin, loc. cit. Heidegger mencoba memberikan pengertian lain kepada bahasa dan tidak hanya berkutat pada pengertian bahasa sebagai alat komunikasi saja. Bahasa merupakan artikulasi eksistensial pemahaman. Bahasa kemudian juga bermakna ontologis. Antara keberadaan, kemunculan, dan bahasa, saling mengandalkan. Bersama pikiran, bahasa adalah juga ciri keberadaan manusia. Dalam bahasa, Ada pengejawantah. Oleh karenanya, interpretasi merupakan kegiatan membantu terlaksananya peristiwa bahasa, karena teks mempunyai fungsi hermeneutik sebagai tempat pengejawantahan Ada itu sendiri. Hermeneutika Heidegger telah mengubah konteks dan konsepsi lama tentang hermeneutika yang berpusat pada analisa filologi interpretasi teks. Heidegger tidak berbicara pada skema subjek-objek, klaim objektivitas, melainkan melampaui itu semua dengan mengangkat hermeneutika pada tataran ontologis. Hans-Georg Gadamer (1900-1998) Gadamer menegaskan bahwa pemahaman adalah persoalan ontologis. Ia tidak menganggap hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Artinya kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode tapi melalui dialektika, dimana lebih banyak pertanyaan dapat diajukan. Dan ini disebut filsafat praktis. Hamid Fahmy Zarkasyi, loc. cit. Gadamer melontarkan konsep “pengalaman” historis dan dialektis, di mana pengetahuan bukan merupakan bias persepsi semata tetapi merupakan kejadian, peristiwa, perjumpaan. Richard E. Palmer, op.cit., h. 231-232. Gadamer menegaskan makna bukanlah dihasilkan oleh interioritas individu tetapi dari wawasan-wawasan sejarah yang saling terkait yang mengkondisikan pengalaman individu. Gadamer mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca. Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika, loc. cit. Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri. Pada saat kita membaca suatu karya agung, ketika itu kita lantas menghadirkan pengalaman-pengalaman hidup kita di masa silam, sehingga melahirkan keseimbangan pemahaman atas diri kita sendiri. Proses dialektika memahami karya seni berdiri atas asas pertanyaan yang diajukan karya itu kepada kita; pertanyaan yang menjadi sebab karya itu ada. Henry Salahuddin, loc. cit. Dia umpamakan pemahaman manusia sebagai interpretasi-teks. Dalam proses memahami teks selalu didahului oleh pra-pemahaman sang pembaca dan kepentingannya untuk berpatisipasi dalam makna teks. Kita mendekati teks selalu dengan seperangkat pertanyaan atau dengan potensi kandungan makna dalam teks. Melalui horizon ekspektasi inilah kita memasuki proses pemahaman yang terkondisikan oleh realitas sejarah. Hermeneutika dalam pengertian Gadamer adalah interpretasi teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter. Inilah yang ia sebut dengan effective historical consciousness yang struktur utamanya adalah bahasa. Hamid Fahmy Zarkasyi, op. cit., h. 8-9. Menurut Gadamer, pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis yang dimiliki manusia, namun pemahaman adalah kita. Oleh sebab itu, ilmu tanpa pra-duga adalah tidak terjadi. Kita gagal memahami hermeneutic circle, jika kita berusaha keluar dari lingkaran tersebut. Menurut Gadamer, ketika kita berusaha memahami sebuah teks kita akan berhadapan dengan koherensi relatif dari ruang lingkup makna. Jadi, sebenarnya ada dua metode yang perlu dihindari ketika memahami sesuatu. Pertama, sikap reduktif ketika dengan seenaknya  memasukkan konsep kita sendiri dengan berlebih-lebihan ke dalam ruang lingkup budaya, sehingga menafikan kekhususan maknanya; kedua, sikap self-effacement ketika kita menafikan kepentingan kita sendiri dengan berusaha masuk ke dalam kacamata orang lain. Kedua metode tersebut tidak menyelesaikan persoalan ilmu yang objektif karena masih terjerat dengan dikotomisasi antara subjek atau objek, padahal kondisi primordial kita melampaui hubungan antara subjek dan objek. Adnin Armas, Filsafat Hermeneutika, op. cit., h.  5. Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci heremeneutis: Pertama, kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”. Pembaca perlu menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan melihat seseorang dalam membaca teks. Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Kendati ini merupakan syarat dalam membaca teks, menurut Gadamer, pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga, setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut “lingkaran hermeneutik”. Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan makna obyektif teks. Bertolak pada asumsi bahwa manusia tidak bisa lepas dari tradisi dimana dia hidup, maka setiap pembaca menurutnya tentu tidak bisa menghilangkan tradisinya begitu saja ketika hendak membaca sebuah teks. Jurgen Habermas (1929) Habermas sebagai penggagas hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya. Sesuatu yang dimaksud adalah dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai. Menurut Habermas, teks bukanlah media netral, melainkan media dominasi. Karena itu, ia harus selalu dicurigai. Bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpereter. Hamid Fahmy Zarkasyi, op. cit., h. 9. Paul Richour (1913-2005) Paul Richour mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra. Hermeneutika harus terkait dengan teks simbolik yang memiliki multi makna (multiple meaning); ia dapat membentuk kesatuan semantik yang memiliki makna permukaan yang betul-betul koheren dan sekaligus mempunyai signifikansi lebih dalam. Hermeneutika adalah sistem di mana signifikansi mendalam diketahui di bawah kandungan yang nampak. Richard E. Palmer, op.cit., h. 47-48. Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna obyektif diekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan hidup (worldview) pengarang, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya. Hamid Fahmy Zarkasyi, loc. cit. Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir. BAB III KESIMPULAN Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Hermeneutika Secara etimologi kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari Yunani, hermeneuein yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan. Ia merupakan sebuah proses mengubah sesuatu dari situasi ketidak tahuan menjadi mengerti. Oleh sebab itu, tugas pokok hermeneutika adalah sebagaimana menafsirkan sebuah teks klasik dan asing menjadi milik kita yang hidup di zaman dan tempat berbeda. Menurut Schleirmacher meletakkan kaidah pemahaman teks pada dua aspek utama yaitu: aspek kebahasaan (penafsiran tata bahasa) dan aspek kemampuan menembus karakter psikis pengarang (penafsiran psikologi). Sehingga dalam hermeneutika Schleimacher ini diharapkan mampu memahami teks seperti halnya pengaragnya, dan memahami pengarang lebih dari dirinya sendiri. Menurut Dilthey hermeneutika bertujuan untuk memahami teks sebagai ekspresi sejarah, bukan ekspresi mental penggagas. Karena itu, yang perlu direkonstruksi dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks. Hermeneutika Heidegger telah mengubah konteks dan konsepsi lama tentang hermeneutika yang berpusat pada analisa filologi interpretasi teks. Heidegger tidak berbicara pada skema subjek-objek, klaim objektivitas, melainkan melampaui itu semua dengan mengangkat hermeneutika pada tataran ontologis. Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Habermas sebagai penggagas hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya. Sesuatu yang dimaksud adalah dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Selanjutnya menurut Paul Richour Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir. DAFTAR PUSTAKA Armas, Adnin, 2006. Filsafat Hermeneutika Menggugat Metode Tafsir al-Qurán, dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran, IKPM cabang Kairo Bleicher, Josep, 2003. Contemporery Hermeneutics, Hermeneutics as Method, Philosophy, and Critique, London: Routhledge & Keegan Paul Raharjo, Mudjia,2008. Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan Gadamerian, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Richard E. Palmer, 2005. Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer diterjemahkan oleh Masnuri Hery dan Damanhuri dengan judul Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi . Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar Saenong, Ilham B. 2002, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Hasan Hanafi, Jakarta, Teraju Salahuddin, Henry, Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat Hermeneutik Alquran, dalam Blog pada WordPress.com. Sibawaihi, 2007. Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, Yogyakarta: Jalasutra Sumaryono, E, 2003. Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: kanisius Umiarso, Hasan Hanafi; 2011. Pendekatan Hermeneuti Dalam Menghidupkan Tuhan, Sebuah Bungan Rampai, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Zarkasyi, Hamid Fahmy, 2006. Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo