Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Pengarah: Jurnal Teologi Kristen Volume 4, Nomor 2, 2022 Diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Alkitab Tiranus eISSN: 2655-2019; pISSN: 2654-931X https://journaltiranus.ac.id/index.php/pengarah/index DOI: https://doi.org/10.36270/pengarah.v4i2.127 Penafsiran Kritik Ideologi dalam Perumpamaan Matius 21:33-46 Thabita Valenchia Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta valenchiathabita@gmail.com Article Info Article History: Submitted : 29 Juli 2022 Reviewed : 27 November 2022 Accepted : 29 Januari 2023 Abstract This article discusses the parable of the vineyard tenants in Matthew 21:33-46, which is associated with the song of the vineyard in Isaiah 5:1-7. Using the ideology critical method, the article examines the dominant thoughts behind the text and seeks alternative perspectives. The results indicate that the parable has issues with the relationship between master and servant, and also explains the inclusivity of salvation as an alternative perspective. Keywords: Ideological criticism; relationship of master and servant; inclusivity of salvation Abstrak Kata-Kata Kunci: Kritik ideologi; relasi tuan dan hamba; inklusivitas keselamatan Artikel ini membahas tentang perumpamaan tentang penggarap kebun anggur dalam Matius 21:33-46 yang dikaitkan dengan nyanyian kebun anggur dalam Yesaya 5:1-7. Menggunakan metode kritik ideologi, artikel ini meneliti dominasi pemikiran di balik teks dan mencari pemikiran alternatif. Hasilnya menunjukkan bahwa perumpamaan tersebut memiliki masalah relasi tuan dan hamba dan juga menjelaskan inklusivitas keselamatan sebagai pemikiran alternatif. menjadi budak akibat tidak dapat membayar hutang (Collins, 2019, p. 104). Lebih lanjut, menurut Mawene yang dikutip Yohanes Rahdianto Suprandono menyatakan perbudakan menurut hukum Israel seorang Israel dapat membeli seorang hamba, namun seorang Israel tidak boleh mengambil sebangsanya untuk menjadi budak dan diperbolehkan hanya menjadi seorang upahan atau seorang pendatang (Suprandono, 2021, p. 129). Terlihat bahwa hukum Perjanjian Lama ada yang mendukung dan menolak terhadap perbudakan. Pada Perjanjian Baru relasi tuan dan hamba terdapat dalam beberapa bagian, baik dalam Injil maupun surat-surat Paulus. entang Yesus dan perbudakan, dikatakan bahwa Yesus sering menggunakan perumpamaan tentang budak tanpa pernah mempertanyakan moralitas dari institusi perbudakan. Seruan dalam Injil adalah untuk melakukan perlakuan manusiawi terhadap budak, bukan untuk menghapuskan sistem perbudakan yang menindas (Collins, 2019, p. 108). Stephen J. Patterson juga menyatakan bahwa tidak ada bukti dalam Injil bila Yesus pernah mempertanyakan tentang penahanan budak dan budak merupakan bagian dari lanskap di mana Yesus membayangkan visinya untuk Kerajaan Allah yang baru dalam perumpamaannya (Patterson, 2018, pp. 102–103). Ketika melihat sejarah, pembagian sosial di Palestina pada zaman Yesus terbagi menjadi dua, yaitu para penguasa (Romawi, Herodian dan para imam) dan orang biasa (petani dan penduduk Yerusalem dan kota lain) (Horsley, 2003, p. 59). Pembagian kelas pada republik Romawi sendiri terbagi atas dua, yaitu kaum patrisia yang terdiri dari tokoh masyarakat kelas atas dan kaum plebeian yang terdiri dari masyarakat kelas bawah (Susanta, 2018, p. 171). Namun, situasi sosial dalam Perjanjian Baru juga berhubungan dengan penjajahan Romawi terhadap komunitas Yahudi, dan terkait dengan konteks perbudakan. Pada masa kini, relasi tuan dan hamba didasarkan pada pembagian kelas sosial PENDAHULUAN Pada Perjanjian Baru terutama Injil Sinoptik terdapat banyak pengajaran Yesus dengan metode perumpamaan. Metode pengajaran dengan menggunakan perumpamaan terlihat efektif dan mudah dimengerti oleh pendengar-pendengar Yesus pada saat itu. Hadi Sahardjo menyatakan bahwa perumpamaan merupakan pengajaran yang disampaikan secara tidak langsung dalam bentuk cerita yang diambil dari kejadian sehari-hari untuk menjelaskan suatu kebenaran kepada pendengar sehingga mereka dapat memahami sendiri maksud dan tujuan perumpamaan yang disampaikan oleh pembicara (Sahardjo, 2018, p. 148). Penafsiran dalam perumpamaan dapat dilakukan secara langsung dan juga alegori yang terdiri dari simbol atau lambang. Kistemaker menyatakan, “Pada waktu kita menyebutkan elemen alegorikal, maka istilah itu hanya dalam pemahaman yang terbatas dari suatu kasus pengecualian dan tidak sebagai hukum yang harus diterapkan secara konsisten” (Kistemaker, 2004, p. 127). Salah satu teks Alkitab dalam perumpamaan dari Yesus yang dapat menggunakan penafsiran alegori adalah Matius 21:33-46. Pada perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur dalam Matius 21:33-46 terlihat suatu relasi antara tuan tanah, penggarap kebun anggur dan hamba yang diutus. Relasi antara tuan dan hamba sudah ada pada masa Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru dengan penggambaran perbudakan. David L. Baker menyatakan pada zaman Babel tua terdapat tiga kelas sosial utama, yaitu pertama kaum elit yang termasuk para imam, bangsawan, penjabat, pedagang dan pemilik tanah; kedua rakyat biasa yang terdiri dari tukang, gembala, buruh dan petani yang bekerja pada pemilik tanah; terakhir budak yang dianggap sebagai barang milik (Baker, 2019, p. 99). Terdapat tiga cara seseorang dapat menjadi budak menurut John J. Collins, yaitu sudah menjadi budak dari lahir, menjadi budak akibat ditangkap pada saat perang atau diculik dan 32 ekonomi seseorang. Struktur masyarakat dapat dilihat dari strata sosial yang dikelompokkan sebagai masyarakat kelas atas (masyarakat elite/kaya) dan kelas bawah (masyarakat miskin) (Sutrisno et al., 2020, p. 47). Pembagian kelas juga oleh Marx yang dinyatakan oleh Franz MagnisSuseno, yaitu kaum buruh, pemilik modal dan tuan tanah (Suseno, 2005, p. 113). Pada akhirnya pembagian kelas dalam kapitalisme menjadi dua kelas saja, yaitu kaum buruh dan pemilik modal. Pembagian kelas secara tidak sadar terus ada dan berkembang dengan istilah dan pemikiran baru. Penekanan dari kaum elit kepada masyarakat miskin adalah dampak dari pembagian kelas tersebut. Bahasa relasi antara tuan dan hamba dalam teks Matius 21:33-46 mewarnai perumpamaan yang dinyatakan oleh Yesus kepada pendengarnya. Selain itu, terdapat jawaban dari pendengar perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur yang juga menjadi sorotan dengan memberikan makna tersendiri. Hal ini memberikan gambaran tentang suatu pemikiran atau ideologi yang mewarnai teks Matius 21:33-46. Ideologi yang ada bukan hanya dari penulisnya tetapi juga pembaca pertama teks tersebut. Oleh karena itu, penulis ingin melihat ideologi yang ada dalam perumpamaan Yesus tentang penggarap-penggarap kebun anggur (Matius 21:33-46) baik dalam konteks penulisan Injil Matius dan teksnya tersendiri, bagaimana ketegangannya dalam narasi, dan ideologi alternatif apa yang dinyatakan dalam perumpamaan tersebut. Penafsiran ideologis ini diharapkan dapat memperkaya penafsiran teks Matius 21:33-46 pada saat ini. Hal ini karena kecenderungan penafsiran yang banyak digunakan dalam membahas narasi Matius 21:33-46 adalah penafsiran alegori yang menghubungkan tokoh-tokoh dalam narasi yang ada dan lambang lainnya dengan Allah, pemuka-pemuka agama Yahudi, nabi-nabi Perjanjian Lama, Yesus, bangsa non Yahudi, kedatangan Yesus yang pertama dan penghakiman ketika Yesus datang kedua kali. METODE Pada makalah ini, penulis menggunakan metode kualitatif yaitu hermeneutis biblis ideologis dengan kajian pustaka. Pertama, penulis akan melihat konteks penulisan dari Matius 21:33-46 untuk melihat ideologi yang ada di balik teks dengan pendekatan kecurigaan (hermeneutic of suspicion). Selanjutnya, penulis akan menganalisis teks Matius 21:33-46 secara naratif untuk melihat ideologi yang ada di dalam teks untuk menemukan ideologi alternatif yang dinyatakan dalam melawan ideologi dominan pada saat ini. Meir Sternberg menyatakan bahwa Alkitab merupakan tulisan ideologis yang terdapat dalam gambaran dunia atau sistem nilai tertentu yang bertujuan untuk mempengaruhi pembacanya (Sternberg, 1987, p. 36). Dapat dikatakan bahwa ideologi dalam Alkitab tidak sama dengan wacana didaktik/pengajaran yang menundukan semua yang lain untuk indoktrinasi. Eagleton yang dikutip oleh Robert Setio menegaskan, “Teks tidak hanya merupakan produk dari sebuah ideologi tetapi teks itu sendiri adalah bagian dari sebuah penyelesaian masalah yang bersifat ideologis” (Setio, 2004, p. 388). Hal ini sejalan dengan pemikiran dari Walter Brueggemann yang dikutip oleh Robet Setio dengan mengatakan bahwa dalam analisa ideologisnya terhadap Alkitab terlihat adanya ideologi dominan dan alternatif, sehingga perlu untuk membangkitkan kesadaran alternatif dan memberikan dorongan dalam menghadapi budaya dominan (Setio, 2004, p. 391). Penafsir perlu kecermatan dalam melihat ideologi dominan dan ideologi alternatif dalam teks Alkitab. Pada akhirnya, dalam aktivitas menafsir teks Alkitab kita perlu untuk melihat ideologi yang ada di balik dan di dalam teks dengan hati-hati serta melihat kepentingan apa yang ada dalam penerapan ideologi tersebut baik hanya untuk menyatakan saja ideologi dan kepentingannya ataupun mengkritik. 33 ini mengatakan bahwa rasul Matius bukanlah penulis dari Injil Matius, melainkan seorang atau sebuah komunitas yang menulis dan mengumpulkan tulisan yang menjadi satu kesatuan. Terdapat beberapa rentang waktu yang diperkirakan sebagai waktu penulisan Injil Matius, yaitu antara tahun 70 M sampai sebelum tahun 100 M, dan juga tahun 80-an (Carter, 1955, p. 19). Penggunaan rentang waktu ini memiliki dua alasan, yaitu Injil Matius menggunakan Markus dalam salah satu sumbernya dan terdapat perumpamaan yang merujuk pada penghancuran Yerusalem tahun 70 M, yang terdapat dalam Matius 22:114 (Carter, 1955, p. 19). Alasan pertama tentang Markus menjadi sumber dari Matius karena Matius menulis ulang, mengedit dan menambahkan materi dari sumber Q, sehingga Injil Matius tidak mungkin lebih awal dari Injil Markus yang ditulis sekitar tahun 70an atau akhir dekade 60-an (Carter, 1955, p. 19). J. J. De Heer menyatakan bahwa alasan kedua tentang perumpamaan dalam Matius 22:1-14 dikatakan sebagai penggambaran penghancuran atau pembakaran Bait Allah di Yerusalem oleh tentara Romawi karena pemberontakan orang Yahudi pada tahun 70 M, sehingga Injil Matius ditulis setelah periode pembakaran tersebut (Heer, 2013, p. 4). Meskipun perumpamaan Matius 22:7 menggambarkan tentang hukuman atas orang yang tidak mendengarkan pengajaran Tuhan. Selain dua alasan yang dikemukakan oleh Warren Carter, John Drane menyatakan ada hal lain yang perlu dipertimbangkan mengenai waktu penulisan, yaitu terdapat jenis organisasi jemaat yang sudah berkembang pada Injil Matius dan termasuk tahap pada akhir abad pertama (Drane, 2012, p. 220). Pada akhirnya waktu penulisan Injil Matius berada di antara rentang waktu setelah tahun 70 M dan sebelum tahun 100 M. Penulis dan waktu penulisan dari Injil Matius memberikan penggambaran tentang komunitas Matius dan konteks sosialnya. Menurut Carter, Injil Matius diperkirakan ditulis di kota Antiokhia, provinsi Romawi di HASIL DAN PEMBAHASAN Konteks Injil Matius Suatu teks Alkitab tidak terlepas dari konteks di balik teks tersebut ketika diproduksi. Pada penafsiran ideologi pertama penting untuk melihat ideologi di balik teks dengan melihat pengarang teks, waktu penulisan dan konteks sosial yang ada pada penulisan teks. Injil Matius tidak menyebutkan pengarangnya secara langsung atau dikatakan tanpa nama, namun bukanlah Matius sendiri yang mengarangnya. K. Stendhal yang dikutip J. J. De Heer dalam bukunya menyatakan bahwa Injil Matius tidak dikarang oleh satu orang, tetapi oleh kumpulan orang yang bekerja sama (Heer, 2013, p. 3). Namun ada yang menyatakan bahwa penulis adalah seorang Kristen, mahir dalam cara mengajar Yahudi, hidup di Siria atau di tempat yang pengaruh Yahudinya kuat (Bergant & Karris, 2002, p. 32). M. E. Duyverman menyatakan bahwa terdapat dua alasan bahwa bukanlah rasul Matius pemungut cukai yang mengarang Injil Matius, yaitu pertama jika rasul Matius sebagai murid Yesus sebagai saksi mata segala peristiwa tentang Yesus, maka dalam penulisan tidak membutuhkan sumber lain dan menghasilkan rangkaian susunan kata yang berbeda dengan Kitab Injil Markus dan Lukas (Duyverman, 1996, p. 48). Kedua, rasul Matius sebagai mantan pemungut cukai dekat dengan orang non Yahudi karena “kaki tangan Roma”, namun dalam Injil Matius bersifat Yahudi di antara keempat Injil (Duyverman, 1996, p. 48). Senada dengan alasan pertama Duyverman, J. J. de Heer mengungkapkan bahwa tidak mungkin Injil Matius ditulis oleh rasul Matius sendiri karena terdapat beberapa bagian dalam Injil Matius yang mengambil kutipan dari Injil Markus secara harfiah (contohnya Matius 14:22-27 dan Markus 6:45-50) (Heer, 2013, p. 2). Sehingga Heer menyatakan bahwa tidak masuk akal bahwa murid yang hadir dalam pelayanan Yesus mengikuti secara harfiah Injil Markus yang tidak hadir dalam pelayanan Yesus (Heer, 2013, p. 2). Akhirnya, hal 34 dikatakan berjuang dalam rumah ibadat dan lingkungan rabi, namun abad 1 M mereka dikeluarkan dari sinagoga lokal di Antiokhia karena dianggap menyimpang dari ketaatan Taurat agama Yahudi (Silalahi, 2019, p. 213). Injil Matius juga berkaitan dengan kekaisaran Romawi dalam hal kehidupan penulis dan komunitas Matius. Carter menyatakan bahwa konflik Yesus yang diceritakan dalam Injil Matius dengan para pemimpin agama bukanlah masalah konflik agama saja, tetapi berkaitan dengan struktur kekaisaran Romawi (Carter, 2001, p. 35). Konflik tersebut dikarenakan pemimpin agama merupakan anggota kelas pengikut/retainer yang termasuk bagian elite penguasa yang mau untuk terus mempertahankan tatanan sosial agar dapat menguntungkan mereka (Carter, 2001, p. 35). Oleh karena itu, perhatian Yesus kepada kehidupan sosial kaum yang dianggap lemah, dikucilkan, miskin dan kelas bawah tanpa mementingkan kepentingan sendiri bertentangan dengan konsep kehidupan pemimpin-pemimpin agama di bawah kekaisaran Romawi. Ketika menganalisis konteks di balik penulisan Injil Matius terdapat ideologi etnosentrisme dalam dunia sekitar komunitas Matius. Ada kaum Yahudi tetap ingin mempertahankan pemikiran mereka yang eksklusif sebagai umat pilihan Allah sesuai dengan janji Allah. Selain tentang umat pilihan kaum Yahudi juga memelihara hukum Taurat dalam kehidupan mereka. Hal ini membuat kaum Yahudi yang mempertahankan kekhasannya tidak bisa berinteraksi dengan baik dengan komunitas Matius dan pribadi Yesus yang dinarasikan dalam Injil Matius. Penulis Injil Matius sebenarnya ingin memperlihatkan Yesus bukan untuk meniadakan hukum Taurat, namun untuk menggenapi janji-janji para nabi dalam Perjanjian Lama dan teguran untuk mereka yang menolak Yesus (Heer, 2013, pp. 6–7). Selain ideologi etnosentrisme, ada juga ideologi kekuasaan dalam kekaisaran Romawi yang memberikan sistem kelas yang lebih menguntungkan penguasa dan kekaisaran Siria, dengan alasan bahwa kutipan paling awal dari Injil Matius ditemukan dalam tulisan yang berhubungan dengan Siria khususnya tentang Antiokhia (Carter, 1955, p. 18). Alasan lainnya adalah penulisan Matius 4:24 yang tidak terdapat di Injil Lukas 6:17-19 sebagai paralel dari Matius 4:23-25 mengenai berita tentang Yesus tersebar luas di Siria (Carter, 1955, p. 18). Kabar tentang Yesus yang tersebar di Siria juga tidak terdapat dalam Injil Markus, sehingga ini menjadi kekhasan dari Injil Matius. Duyverman menyatakan bahwa Injil Matius ditulis menggunakan bahasa Yunani dan terdapat ungkapan atau adat Yahudi yang dikenal, sehingga diperkirakan ditulis di luar daerah Palestina, yaitu Antiokhia (Duyverman, 1996, p. 49). Melalui pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa lokasi dari penulisan Injil Matius adalah di Antiokhia yang terdapat orang Yahudi dan mengerti bahasa Yunani serta mengerti bahasa Aram. Weren yang dikutip oleh Silalahi menyatakan bahwa terdapat tiga fase perkembangan komunitas Matius, yaitu sebelum 70 M yang menganggap diri mereka untuk menjadi anggota penuh dari komunitas Yahudi, antara 70-80 M dengan dinamika terjadi konflik dengan orang-orang Farisi yang berupaya untuk mendefinisikan kembali Yudaisme, terakhir antara 80-90 M terdiri dari orang-orang Kristen Yahudi yang bertahap terlepas dari komunitas Yahudi dengan memahami status baru mereka (Silalahi, 2019, p. 210). Permasalahan yang terlihat konteks komunitas Matius adalah etnosentrisme dari kaum Kristen Yahudi yang memandang diri mereka sebagai umat pilihan membuat sulit untuk dapat membuka hati kepada kaum non Yahudi (Hwang, 2020, p. 40). Hal ini yang menjadi perhatian dari penulis Injil Matius dalam komunitas Matius sebagai pendengarnya yang berinteraksi dengan komunitas non Yahudi di sekitarnya dan penjangkauan keselamatan bagi non Yahudi. Komunitas Matius mengalami dinamika tersendiri dalam kehidupan ketika membentuk identitas mereka. Komunitas Matius 35 pengajaran Yesus, imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi. Narasi Matius 21:23-27 menyatakan bahwa imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi mempertanyakan kuasa dari Yesus. Namun Yesus tidak memberikan jawaban yang sesuai dengan pemikiran mereka dan melanjutkan dengan memberikan tiga perumpamaan kepada pendengarnya. Terdapat pendengar yang tidak disebutkan dalam Matius 21:23, yaitu orangorang Farisi yang diperlihatkan dalam ayat 45 ikut mendengar perumpamaan-perumpamaan Yesus dan menyadari maksud dari perumpamaan Yesus. Perumpamaan tentang penggarappenggarap kebun anggur tidak hanya terdapat dalam Matius 21:33-46, tetapi juga pada Markus 12:1-12 dan Lukas 20:9-19. Terdapat perbedaan dalam penceritaan tentang hamba-hamba yang diutus oleh tuan tanah dan kekerasan yang merupakan wujud penolakan penggarap-penggarap kebun anggur terhadap utusan tersebut (Heer, 2013, p. 423). Pada Matius 21:44 pun tidak terdapat Markus 12:1-12, tetapi ada dalam Lukas 20:18. Terdapat tanda kurung besar pada Matius 21:44 karena tidak semua naskah Yunani kuno memuatnya, tetapi ada ahli yang mengatakan bahwa ayat tersebut berdasarkan Yesaya 8:14-15 dan Daniel 2:44-45 (Sembiring et al., 2008, p. 673). Duyverman menyatakan bahwa Injil Matius memakai sumber Injil Markus dan sumber lain (sumber Q) dalam penulisannya (Duyverman, 1996, p. 42). Sejalan dengan pendapat Duyverman, Laurentinus Tarpin mengungkapkan bahwa Matius memodifikasi perumpamaan yang ada dalam Injil Markus dengan penekanan tentang menghasilkan buah Kerajaan Allah dan Yesus sebagai penggenapan janji Allah dari nubuatan nabi-nabi (Tarpin, 2022, p. 257). Bila dilihat secara narasi, perumpamaan Matius 21:33-46 terbagi menjadi dua latar/setting, yaitu latar dalam perumpamaan penggarap-penggarap kebun anggur dan Yesus mengajar di Bait Allah. Pada latar/setting pertama menceritakan tentang seorang tuan Romawi dan menekan kelas yang lebih rendah. Sistem kelas ini sangat terlihat dalam perjalanan pelayanan Yesus yang melihat adanya kaum yang terpinggirkan atau tersubordinasi karena sistem kelas yang diberikan penguasa Romawi. Analisa Teks Matius 21:33-46 Struktur keseluruhan Injil Matius dibagi menjadi empat bagian oleh Craig A. Evans, yaitu kelahiran dan persiapan Mesias (1:14:11), proklamasi dan pelayanan Mesias (4:12-11:1), reaksi dan respons terhadap Mesias (11:2-20:34) dan penolakan dan pembenaran Mesias (21:1-28:20) (Evans, 2012, p. 10). Melihat struktur yang diberikan oleh Evans memperlihatkan bahwa Matius 21:3346 termasuk pada cerita perjalanan Mesias di Yerusalem dan mengalami konflik di sana. Struktur teks Matius 21:33-46 juga termasuk pada minggu sengsara Yesus yang merujuk dengan dimulai Yesus datang ke Yerusalem dan dielu-elukan dan juga perlawanan semakin meningkat antara Yesus dan pemimpin kelompok agama Yahudi (Matius 21:23-22:46) (Carson, 2010, p. 56). Pemimpin agama Yahudi dan tokoh Yesus yang diceritakan dalam Injil Matius semakin tegang karena penggambaran-penggambaran atau perumpamaan yang mengkritik mereka diberikan Yesus ketika mengajar di Bait Allah. Hal ini termasuk pada Matius 21:33-46 tentang perumpamaan penggarap kebun anggur. Teks Matius 21:33-46 termasuk pada perumpamaan Yesus yang berkaitan dengan dua perikop sebelumnya tentang pertanyaan mengenai kuasa Yesus dan perumpamaan sebelumnya tentang dua orang anak serta satu perumpamaan setelahnya mengenai perjamuan kawin. Hal ini dikarenakan kalimat pertama dalam perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur adalah “dengarkanlah suatu perumpamaan yang lain (ayat 33).” Pada Matius 21:23 memperlihatkan bahwa pendengar dari perumpamaan Yesus adalah orang banyak yang ada di Bait Allah karena sedang mendengarkan 36 yang dibuang menjadi batu penjuru. Yesus menyelesaikan pengajarannya dalam perumpamaan penggarap-penggarap kebun anggur dengan menyatakan tentang Kerajaan Allah. Akhir dari latar di Bait Allah adalah respons imam-imam kepala dan orang Farisi setelah mendengar perumpamaan-perumpamaan Yesus. Pada perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur memperlihatkan interaksi antar tokoh, yaitu tuan tanah, penggarap-penggarap, hamba-hamba yang diutus dan anak tuan tanah. Tokoh yang aktif memberikan interaksi adalah tuan tanah dan penggarap-penggarap kebun anggur. Interaksi pertama terdapat di ayat 34-36, tuan tanah sudah mengetahui waktunya untuk mengambil hasil dari penggarap-penggarap kebunnya, sehingga ia mengutus hambahambanya untuk menerima hasilnya. Sebanyak dua kali tuan tanah mengirim hamba-hambanya, namun respons dari penggarap-penggarap itu sama dengan menangkap hambanya, memukul, membunuh dan melempari dengan batu. Para penggarap tidak bertanggungjawab dengan menolak membayar hasil panen. Mereka pun tidak menghormati otoritas tuan tanah sebagai pengirim hamba dan menunjukkan keserakahan dalam memperoleh hasil (Carter, 1955, p. 498). Interaksi kedua pada ayat 37-39, yaitu tuan tanah menyuruh anaknya datang ke kebun anggurnya dengan pemikiran bahwa anaknya akan disegani oleh penggarappenggarap kebun anggurnya. Pemikiran tuan tanah memang benar bahwa tingkatan kuasa lebih tinggi anaknya dibandingkan dengan hamba-hamba utusannya. Narasi perumpamaan tersebut menyatakan hal yang sebaliknya. Ketika penggarap-penggarap melihat anak tuan tanah, mereka merundingkan untuk membunuhnya agar mereka memiliki warisannya. Pada zaman itu terdapat peraturan bahwa penggarap-penggarap tidak bisa diusir dari kebunnya bila tuan tanah hidup di luar negeri, meninggal tanpa ahli waris (anak) (Heer, 2013, p. 423). Namun tanah membuka kebun anggur, menanam pagar sekelilingnya, menggali lubang tempat memeras anggur dan mendirikan menara jaga. Setelah selesai pekerjaannya dikatakan bahwa tuan tanah itu menyewakan kebun itu kepada penggarap-penggarap lalu ia berangkat ke negeri lain. Ketika musim panen tiba maka tuan tanah menyuruh orang untuk menerima hasil yang menjadi bagiannya. Pengungkapan tentang latar pertama mengenai perumpamaan sudah sangat akrab dengan pendengar Yesus pada saat itu karena seperti hal yang diungkapkan pada Yesaya 5:1-7 (nyanyian tentang kebun anggur). Persiapan tuan tanah dalam membuka kebun anggur pada ayat 33 dilukiskan menggunakan kata yang sama dengan Yesaya 5:2, yaitu mendirikan sebuah menara jaga dan menggali tempat memeras anggur (Heer, 2013, p. 421). Penyewaan tanah sudah lazim dilakukan dengan meminta beberapa orang untuk bekerja di kebunnya dan menggunakan sistem bagi hasil (Sembiring et al., 2008, p. 667). Pada zaman Yesus juga orang kaya yang memiliki banyak tanah di Palestina, hidup di luar Palestina dan menyewakan tanahnya, sehingga penyewa bertindak bebas sampai memberontak (Heer, 2013, p. 422). Latar/setting kedua adalah di Bait Allah yang berisi dialog Yesus dengan orang yang mendengar pengajarannya termasuk imamimam kepala, tua-tua Yahudi dan orangorang Farisi. Dialog Yesus terjadi setelah perumpamaan tentang penggarap-penggarap anggur selesai dengan anak tuan tanah dibunuh dan Yesus bertanya tentang apa yang dilakukan tuan tanah kepada penggarap-penggarap tersebut. Respons dari mereka yang mendengarkan perumpamaan Yesus terdapat dalam ayat 41, yaitu tuan tanah akan membinasakan penggarap-penggarap kebun anggur yang jahat dan kebun anggurnya disewakan kepada penggarappenggarap lain yang akan memberikan pembagian hasil tepat pada waktunya. Pada akhirnya Yesus menjawab mereka dengan mengutip Mazmur 118:22-23 tentang batu 37 Penghukuman bagi penggarap-penggarap yang lama dikatakan bersinggungan dengan peristiwa kehancuran Yerusalem tahun 70 M yang dilihat melalui ayat 41, yaitu orang yang jahat akan dihancurkan karena penolakan atas utusan tuan tanah (Olmstead, 2003, p. 114). Pengutipan Yesus terhadap Mazmur 118:22-23 memberikan pembelaan atau pembenaran atas pribadi anak tuan tanah yang ditolak oleh penggarap-penggarap kebun anggur. Maksud dari batu yang dibuang oleh Mazmur 118 adalah berbicara tentang raja Israel atau seorang Israel yang beriman, namun dalam perumpamaan Yesus menggunakan batu tersebut pada diri-Nya (Heer, 2013, p. 425). Pemberontakan yang dilakukan oleh penggarap-penggarap tidak menghasilkan hal yang baik, namun penghukuman bagi mereka. Pada ayat 43, Yesus mengaitkan perumpamaan tersebut dengan Kerajaan Surga. Tuan tanah akan mengambil kembali kehormatannya yang tidak dihargai oleh penggarap-penggarap kebun anggur yang lama yang dikaitkan dengan pengambilan Kerajaan Allah kepada mereka yang menolak hamba-hamba utusan dan anak dari tuan tanah. Tuan tanah akan memberikan kebunnya untuk dikelola oleh penggarap-penggarap yang baru. Pemberian sewa kebun anggur kepada penggarap-penggarap kebun anggur baru yang dinyatakan pada ayat 41 memiliki harapan sama dengan awal pembukaan kebun anggur oleh tuan tanah, yaitu menyerahkan hasil kepada tuan tanah tepat pada waktu panen. Hal ini dikaitkan dengan Kerajaan Allah akan diberikan kepada bangsa yang akan menghasilkan buah kerajaan yang melimpah (Bergant & Karris, 2002, p. 65). Penggambaran tentang keterbukaan kebun anggur atau Kerajaan Surga bagi bangsa atau orang yang percaya, taat, setia dan menghasilkan buah sejalan dengan pesan penulis Matius untuk menyatakan keselamatan juga bagi umat non Yahudi. Respons imam-imam kepala dan orang-orang Farisi menjadi warna tersendiri cara penggarap-penggarap itu salah dengan membunuh yang pada akhirnya akan mendapat hukuman yang berat. Ketamakan dari penggarap-penggarap merupakan sifat mereka dengan ingin menjadi tuan atas tanah yang bukan miliknya. Pada dua interaksi dari tuan tanah yang mengutus hamba-hambanya serta anaknya dan penggarap-penggarap yang merespons kedatangan utusan tuan tanah memperlihatkan relasi tuan dan hamba dalam bahasa perumpamaan. Bila dianalisis dalam bingkai kehidupan sosial, tuan tanah adalah kaum elite atau kelompok atas yang memiliki kekuasaan untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Anak tuan tanah merupakan kaum elite yang memiliki kekuasaan, namun tetap mengikuti hal yang diperintahkan oleh ayahnya dalam keluarga. Penggarap-penggarap termasuk pada kelompok kelas dua yang miskin meskipun tidak termasuk hamba atau budak. Hamba-hamba yang diutus untuk menerima hasil panen merupakan kaum miskin dapat disamakan dengan budak yang harus patuh dengan perintah atau keinginan dari tuannya. Penggarap-penggarap yang termasuk kaum merdeka namun harus tetap taat kepada tuan tanah melakukan pemberontakan. Niat untuk menumpuk kekayaan dan memandang pertemanan atau persaudaraan dengan melihat keuntungan ekonomis merupakan motivasi pemberontakan penggarap-penggarap yang seakanakan merasa hanya dimanfaatkan (Nataniel, 2017, p. 48). Namun tindakan kekerasan atau anarki yang dilakukan menjadi faktor yang tidak dapat dibenarkan dalam melakukan pemberontakan. Interaksi di Bait Allah terlihat dalam Matius 21: 40-43, yaitu Yesus dan mereka yang mendengar dengan pertanyaan Yesus mengenai perlakukan tuan tanah kepada penggarap-penggarapnya. Pada ayat 41, orang banyak menjawab dengan memberikan hukuman kepada penggarap-penggarap yang lama dan memberikan kesempatan kepada penggarap lain untuk mengelola yang akan digambarkan dalam ayat 43. 38 bukan hanya untuk umat pilihan yang memelihara hukum Taurat saja tetapi bagi bangsa lain yang non Yahudi. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Thomas Hwang dalam bukunya Empat Injil & Amanat Agung yang menyatakan bahwa kedua belas murid Yesus juga bermental etnosentris yang terjadi sampai kebangkitan Yesus dengan percaya bahwa mereka lebih dari bangsa non-Yahudi dan bangsa pilihan, sehingga tidak mau bercampur dengan bangsa non Yahudi (Hwang, 2020, p. 196). Keuniversalan ini memberikan warna baru bagi kaum Yahudi yang mempertahankan keunikan mereka menjadi satu-satunya umat pilihan Allah yang akan menerima keselamatan dan terus memelihara hukum Taurat dengan banyak penjabaran-penjabarannya. ketika Yesus telah mengakhiri perumpamaannya dengan mengatakan bahwa Kerajaan Allah akan diambil dari padamu dan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah. Hal ini menggambarkan adanya konflik antara tokoh Yesus dan kelompok pemimpin agama Yahudi dalam teks Matius 21:45-46. Narasi dari Matius 21:45 mengatakan bahwa imam-imam kepala dan orang-orang Farisi mengerti bahwa maksud dari perumpamaan Yesus adalah mereka. Penggabungan antara imam-imam kepala dan orang-orang Farisi yang digambarkan secara bersamaan mendengarkan perumpamaan Yesus jarang dilakukan, namun penulis Injil Matius hendak memperlihatkan perlawanan yang dialami oleh Yesus dari kedua kelompok tersebut (Sembiring et al., 2008, p. 673). Konflik kepentingan antara imam-imam kepala dan orang-orang Farisi terlihat dari dalam Matius 21:46 dengan mencoba menangkap Yesus karena sudah dianggap mengganggu dengan mengajarkan pengajaran yang berbeda dari pengajaran mereka. Anggota Mahkamah Agama yang terdiri dari imam-imam kepala, tua-tua dan ahli-ahli Taurat sebenarnya berhak untuk menangkap orang yang dianggap sebagai seorang pengacau (Heer, 2013, p. 426). Namun niat dari penangkapan Yesus tidak dilakukan karena takut kepada orang banyak yang menganggap Yesus sebagai nabi. Pada analisa teks Matius 21:33-46 terlihat penggambaran ideologi pembebasan yang dinyatakan dengan pemberontakan dari penggarap-penggarap kebun anggur yang merasa diri mereka dimanfaatkan. Mereka mendapatkan kebebasan untuk kepentingan diri sendiri, dengan harapan bisa meningkatkan kelas sosial mereka dari posisi orang miskin dan merdeka menjadi tuan tanah atau orang yang benar-benar merdeka. Namun, tindakan pemberontakan yang dilakukan dengan kekerasan dan pembunuhan terkesan egois dan merugikan orang lain. Selain ideologi pembebasan juga ada ideologi alternatif dalam melawan ideologi etnosentrisme dengan menyatakan bahwa keselamatan Ideologi dominan dalam teks dan ideologi alternatif Pada konteks Injil Matius terlihat bahwa terdapat ideologi dominan yang terus mewarnai kehidupan sosial dalam penulisan Injil Matius. Ideologi etnosentrisme yang terus ditekankan oleh kelompok di luar komunitas Matius membuat tantangan tersendiri bagi orang non Yahudi Kristen. David C. Sim mengatakan bahwa kelompok yang ada di sekitar komunitas Matius akan menerima orang bukan Yahudi ketika sudah memenuhi hukum ketentuan hukum Taurat, seperti sunat (Sim, 2002, pp. 194–195). Komunitas Yahudi memiliki ciri khas yang menonjol, yaitu fokus pada hukum Yahudi, yang membedakan mereka dari bangsa lain. Ideologi etnosentrisme ini dapat membuat mereka terlihat eksklusif dalam kehidupan keagamaan. Ideologi yang dominan di balik teks Matius adalah ideologi kekuasaan yang cenderung kepada ideologi tuan dan hamba. Pembagian kelas yang diberikan oleh kekaisaran Romawi menjadi tekanan bagi kaum marginal. Pemuka agama Yahudi di sekitar komunitas Matius menekankan kepada orang Yahudi untuk mempertahankan kedudukan sosial mereka atau mencari keuntungan di bawah kekaisaran Romawi. Hal ini 39 221). Oleh karena itu, konflik atau ketegangan antara tokoh Yesus dan kaum elite agama Yahudi (pemuka agama Yahudi) bukan hanya dikatakan dalam ranah agama, tetapi juga pada aspek sosial dalam pembagian kelas sosial. Ideologi alternatif kedua yang diperlihatkan dalam teks Matius 21:33-46 adalah pemikiran inklusifitas dari etnosentrisme yang eksklusif. Penulisan Injil Matius ditujukan kepada komunitas Yahudi yang berhubungan dengan komunitas asing (non Yahudi) dan terdapat desakan di dalamnya untuk memisahkan diri dari komunitas yang sudah ada dengan masuk dalam komunitas Yahudi yang eksklusif (Ord & Coote, 2007, p. 29). Pesan utama yang ingin disampaikan oleh penulis Injil Matius kepada pembacanya adalah tentang cara hidup di tengah komunitas yang terdiri dari orang Yahudi dan nonYahudi, di mana terdapat tantangan eksklusivitas komunitas (Ord & Coote, 2007, p. 29). Menurut Hwang bahwa penekanan Injil Matius tentang berita keselamatan non Yahudi kepada pembacanya dimulai dari awal Matius 1:3-6 yang mencatat orang non-Yahudi masuk dalam silsilah Yesus (Hwang, 2020, p. 40). Jack Dean Kingsbury juga menyatakan bahwa Injil Matius memberikan gambaran terdapat pembaca orang non Yahudi dari Injilnya dengan memasukkan nama empat wanita yang bukan Israel dalam silsilah Yesus, memasukkan orang Majus dari Timur yang hadir serta memberi hadiah kepada Yesus, dan misi kepada bangsa-bangsa (Kingsbury, 2019, p. 199). Terlihat adanya nuansa eksklusif dari kelompok Yahudi dan pengajaran inklusif yang disampaikan oleh penulis Injil Matius. Matius 21:33-46 ingin memperlihatkan penggambaran Kerajaan Allah bukan hanya untuk mereka (orang-orang Yahudi), tetapi bangsa lain yang akan menghasilkan buah Kerajaan Allah. Matius 21:41 menggunakan bahasa kiasan dalam penggambaran banyak bangsa non Yahudi yang akan masuk dalam gereja atau Kerajaan Allah, yaitu pada ka- yang menjadi suatu ketegangan antara komunitas Matius dan penulis Injil Matius dengan kelompok elite agama Yahudi. Komunitas Matius dan penulis Injil Matius memberikan ideologi alternatif untuk mengatasi ideologi dominan yang ada di sekitarnya. Pada analisa teks Matius 21:33-46 terlihat adanya ideologi alternatif yang diberikan oleh penulis Matius dalam perumpamaan yang Yesus ajarkan dan interaksi dengan imam-imam kepala, tua-tua bangsa Yahudi dan orang-orang Farisi. Ideologi alternatif yang pertama adalah ideologi pembebasan yang dilakukan untuk menentang adanya ideologi tuan hamba yang terlihat dalam bahasa perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur. Pemberontakan yang ada dalam perumpamaan adalah pemberontakan dari penggarap-penggarap kebun anggur. Mereka yang meskipun orang miskin yang merdeka, namun tetap berada di tengah-tengah tekanan dari tuan tanah yang harus memberikan hasil dan juga dapat menindas kaum miskin yang di bawahnya. Pemberontakan dengan kekerasan dan pembunuhan digambarkan sebagai bentuk protes kepada sistem kelas agar dapat mendapatkan posisi yang lebih baik daripada sebelumnya. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa melalui perumpamaan tersebut, komunitas Matius membentuk pemahaman baru dalam melihat dominasi kekuasaan yang menekan pada saat itu. Rodney Stark menyatakan bahwa komunitas Matius memberikan respons praktis dengan penuh belas kasihan terhadap orang Kristen Yahudi yang mengalami kelaparan, kemiskinan dan terdampak dari sistem sosial kekaisaran Romawi (Carter, 2001, p. 51). Komunitas Matius memberikan ideologi pembebasan sebagai respons terhadap perbudakan dan penindasan kelas sosial yang dilakukan oleh kekaisaran Romawi. Tokoh Yesus digambarkan dalam Injil Matius sebagai perongrong kekuatan Romawi, dan orang yang menolak Yesus serta ajarannya penggambaran lawan-lawan Yahudi (Silalahi, 2019, p. 40 limat “Ia akan membinasakan orang-orang jahat itu dan kebun anggurnya akan disewakan kepada penggarap-penggarap lain, yang akan menyerahkan hasilnya kepadanya pada waktunya” (Kingsbury, 2019, p. 200). Matius 21:43 menyatakan dengan jelas dalam perkataan Yesus bahwa penolakan kepada anak Allah (anak dari tuan tanah yang diutus datang ke kebun anggurnya) akan membawa dampak dalam kehidupan, yaitu pengambilan hak atas Kerajaan Allah dan akan diberikan kepada bangsa lain yang menghasilkan buah. Orang-orang Yahudi yang menekankan keunikan mereka sebagai umat pilihan perlu beradaptasi dengan pesan bahwa keselamatan bagi bangsa lain yang percaya, setia, taat dan menghasilkan buah yang sesuai dengan Firman. Komunitas Matius memberikan pengalaman praktik yang inklusif, egaliter dan penuh belas kasihan (Carter, 2001, p. 51). Keselamatan yang berlaku universal bagi mereka yang percaya, menaati Allah dan menghasilkan buah Kerajaan Allah merupakan salah satu fokus dalam narasi Matius 21:33-46. Sehingga, penggambaran perumpamaan ini merupakan bentuk kritik atas corak Yahudi yang eksklusif atas keselamatan hanya bagi etnis mereka saja dan memberikan alternatif pandangan yang inklusif dalam rangkaian corak Yahudi yang ada dalam Injil Matius. KESIMPULAN Teks Matius 21:33-46 merupakan perumpamaan yang terkadang ditafsirkan secara alegori. Melalui penafsiran ideologis Matius 21:33-46 memberikan penggambaran baru dengan menghubungkan teks Matius dengan konteks di balik teks, yaitu komunitas Matius dengan konteks sosial di Antiokhia dalam periode kekaisaran Romawi. Analisa teks Matius 21:33-46 tentang penggarappenggarap kebun anggur dengan menggunakan penggambaran naratif dan melihat kehidupan sosial dalam teks memperlihatkan konflik atau ketegangan antara Yesus dan pemuka-pemuka agama Yahudi (imam-imam kepala, tua-tua Yahudi dan orang-orang Farisi) dan misi keselamatan untuk non Yahudi. Ideologi dominan terlihat dibalik Injil Matius dengan ideologi etnosentrisme Yahudi dan kekuasaan Romawi dalam pembagian kelas sosial (ideologi tuan dan hamba). Ideologi alternatif yang diperlihatkan dalam teks Matius 21:33-46 adalah ideologi pembebasan untuk melawan ideologi tuan hamba dan ideologi inklusif dalam melawan ideologi etnosentrisme. Interaksi antara ideologi dominan dan ideologi alternatif terus mewarnai dalam pengajaran Yesus dalam Injil Matius. 41 Olmstead, W. G. (2003). Matthew’s Trilogy of Parables: The Nation, the Nations and the Reader in Matthew 21.28–22.14. Cambridge University Press. Ord, D. R., & Coote, R. B. (2007). Apakah Alkitab Benar? Memahami Kebenaran Alkitab pada Masa Kini (M. L. Sinaga, Trans.). BPK Gunung Mulia. Patterson, S. J. (2018). The Forgotten Creed: Christianity’s Original, Struggle against, Bigotry, Slavery, and Sexism. Oxford University Press. Sahardjo, H. (2018). Metode Pengajaran Yesus: Pendekatan Klasik yang tetap Relevan. TE DEUM, 8(1), 125-160. Sembiring, M. K., Miehle, H. L., Katoppo, P. G., & Kotynski, E. A. (Eds.). (2008). Pedoman Penafsiran Alkitab: Injil Matius. Lembaga Alkitab Indonesia. Setio, R. (2004). Manfaat Kritik Ideologi bagi Pelayanan Gereja. Jurnal Teologi Dan Gereja, 5(20), 383–402. Silalahi, H. (2019). Merekonstruksi Konteks Sosial Komunitas Injil Matius. TE DEUM, 8(2), 199-223. Sim, D. C. (2002). Christianity and Ethnicity in the Gospel of Matthew. In M. G. Breet (Ed.), Ethnicity and the Bible. Brill Academic Publisher, Inc. Sternberg, M. (1987). The Poetics of Biblical Narrative: Ideological Literature and the Drama of Reading. Indiana University Press. Suprandono, Y. R. (2021). Reinterpretasi Sabat (Keluaran 20:8-11): Pendekatan Teologi Perjanjian Lama Posmodern dalam Dialog dengan Perbudakan Modern Perdagangan Manusia. BPK Gunung Mulia. Susanta, Y. K. (2018). Mengenal Dunia Perjanjian Lama: Suatu Pengantar. Kekata Group. Suseno, F. M. (2005). Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. PT Gramedia Pustaka Utama. Sutrisno, A., Usman, S., Wahyuni, E., Jumiati, E., & Adiasti, N. (2020). DAFTAR RUJUKAN Baker, D. L. (2019). Kekayaan & Kemiskinan: Menelusuri Keadilan Sosial menurut Hukum Perjanjian Lama (R. A. Surjanegara, Trans.). Yayasan Komunikasi Bina Kasih. Bergant, D., & Karris, R. J. (Eds.). (2002). Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Kanisius. Carson, D. A. (2010). The Expositor’s Bible Commentary: Matthew (T. Logman III & D. E. Garland, Eds.). Zondervan. Carter, W. (1955). Matthew and the Margins: A Sociopolitical and Religious Reading. Orbis Books. Carter, W. (2001). Matthew and Empire: Initial Explorations. Trinity Press International. Collins, J. J. (2019). What Are Biblical Values? What the Bible Says on Key Ethical Issues. Yale University Press. Drane, J. (2012). Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis-Teologis (P. G. Katoppo, Trans.). BPK Gunung Mulia. Duyverman, M. E. (1996). Pembimbing ke dalam perjanjian baru (11th ed.). BPK Gunung Mulia. Evans, C. A. (2012). Matthew. Cambridge University Press. Heer, J. J. de. (2013). Tafsiran Injil Matius Pasal 1-22. BPK Gunung Mulia. Horsley, R. A. (2003). Jesus and Empire: The Kingdom of God and the New World Disorder. Fortress Press. Hwang, T. (2020). Empat Injil & Amanat Agung (H. W. Siregae, Trans.). Ami publications. Kingsbury, J. D. (2019). Injil Matius Sebagai Cerita: Berkrnalan Dengan Narasi Salah Satu Injil (W. Kalangit, Trans.; 5th ed.). BPK Gunung Mulia. Kistemaker, S. J. (2004). Yesus Sebagai Pencerita: Perspektif Sastra Dari Perumpamaan. Veritas, 5(2), 121-130. Nataniel, D. (2017). Minoritas Militan: Sikap Komunitas Matius terhadap Roh Kapitalisme. Jurnal Abdiel: Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen Dan Musik Gereja, 1(1), 31-54. 42 Tarpin, L. (2022). Kebaharuan dan Radikalitas yang Dibawa Yesus. Kanisius. Pengantar Sosial Ekonomi dan Budaya Kawasan Perbatasan. Inteligensia Media. 43