Pengarah: Jurnal Teologi Kristen
Volume 4, Nomor 2, 2022
Diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Alkitab Tiranus
eISSN: 2655-2019; pISSN: 2654-931X
https://journaltiranus.ac.id/index.php/pengarah/index
DOI: https://doi.org/10.36270/pengarah.v4i2.127
Penafsiran Kritik Ideologi dalam Perumpamaan Matius 21:33-46
Thabita Valenchia
Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta
valenchiathabita@gmail.com
Article Info
Article History:
Submitted : 29 Juli 2022
Reviewed : 27 November 2022
Accepted : 29 Januari 2023
Abstract
This article discusses the parable of the vineyard tenants in Matthew 21:33-46, which is associated with the
song of the vineyard in Isaiah 5:1-7. Using the ideology
critical method, the article examines the dominant
thoughts behind the text and seeks alternative perspectives. The results indicate that the parable has issues
with the relationship between master and servant, and
also explains the inclusivity of salvation as an alternative
perspective.
Keywords:
Ideological criticism; relationship of master and servant; inclusivity of salvation
Abstrak
Kata-Kata Kunci:
Kritik ideologi; relasi tuan
dan hamba; inklusivitas
keselamatan
Artikel ini membahas tentang perumpamaan tentang
penggarap kebun anggur dalam Matius 21:33-46 yang
dikaitkan dengan nyanyian kebun anggur dalam Yesaya
5:1-7. Menggunakan metode kritik ideologi, artikel ini
meneliti dominasi pemikiran di balik teks dan mencari
pemikiran alternatif. Hasilnya menunjukkan bahwa
perumpamaan tersebut memiliki masalah relasi tuan
dan hamba dan juga menjelaskan inklusivitas
keselamatan sebagai pemikiran alternatif.
menjadi budak akibat tidak dapat membayar
hutang (Collins, 2019, p. 104). Lebih lanjut,
menurut Mawene yang dikutip Yohanes
Rahdianto Suprandono menyatakan perbudakan menurut hukum Israel seorang Israel dapat membeli seorang hamba, namun
seorang Israel tidak boleh mengambil
sebangsanya untuk menjadi budak dan diperbolehkan hanya menjadi seorang upahan
atau seorang pendatang (Suprandono, 2021,
p. 129). Terlihat bahwa hukum Perjanjian
Lama ada yang mendukung dan menolak terhadap perbudakan.
Pada Perjanjian Baru relasi tuan dan
hamba terdapat dalam beberapa bagian, baik
dalam Injil maupun surat-surat Paulus. entang Yesus dan perbudakan, dikatakan
bahwa
Yesus
sering
menggunakan
perumpamaan tentang budak tanpa pernah
mempertanyakan moralitas dari institusi perbudakan. Seruan dalam Injil adalah untuk
melakukan perlakuan manusiawi terhadap
budak, bukan untuk menghapuskan sistem
perbudakan yang menindas (Collins, 2019, p.
108). Stephen J. Patterson juga menyatakan
bahwa tidak ada bukti dalam Injil bila Yesus
pernah mempertanyakan tentang penahanan
budak dan budak merupakan bagian dari lanskap di mana Yesus membayangkan visinya
untuk Kerajaan Allah yang baru dalam
perumpamaannya (Patterson, 2018, pp.
102–103). Ketika melihat sejarah, pembagian
sosial di Palestina pada zaman Yesus terbagi
menjadi dua, yaitu para penguasa (Romawi,
Herodian dan para imam) dan orang biasa
(petani dan penduduk Yerusalem dan kota
lain) (Horsley, 2003, p. 59). Pembagian kelas
pada republik Romawi sendiri terbagi atas
dua, yaitu kaum patrisia yang terdiri dari
tokoh masyarakat kelas atas dan kaum plebeian yang terdiri dari masyarakat kelas
bawah (Susanta, 2018, p. 171). Namun,
situasi sosial dalam Perjanjian Baru juga
berhubungan dengan penjajahan Romawi
terhadap komunitas Yahudi, dan terkait
dengan konteks perbudakan.
Pada masa kini, relasi tuan dan hamba
didasarkan pada pembagian kelas sosial
PENDAHULUAN
Pada Perjanjian Baru terutama Injil Sinoptik terdapat banyak pengajaran Yesus
dengan metode perumpamaan. Metode
pengajaran dengan menggunakan perumpamaan terlihat efektif dan mudah dimengerti
oleh pendengar-pendengar Yesus pada saat
itu. Hadi Sahardjo menyatakan bahwa
perumpamaan merupakan pengajaran yang
disampaikan secara tidak langsung dalam
bentuk cerita yang diambil dari kejadian
sehari-hari untuk menjelaskan suatu kebenaran kepada pendengar sehingga mereka
dapat memahami sendiri maksud dan tujuan
perumpamaan yang disampaikan oleh pembicara (Sahardjo, 2018, p. 148). Penafsiran
dalam perumpamaan dapat dilakukan secara
langsung dan juga alegori yang terdiri dari
simbol atau lambang. Kistemaker menyatakan, “Pada waktu kita menyebutkan elemen alegorikal, maka istilah itu hanya dalam
pemahaman yang terbatas dari suatu kasus
pengecualian dan tidak sebagai hukum yang
harus diterapkan secara konsisten” (Kistemaker, 2004, p. 127). Salah satu teks Alkitab
dalam perumpamaan dari Yesus yang dapat
menggunakan penafsiran alegori adalah Matius 21:33-46.
Pada perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur dalam Matius 21:33-46 terlihat suatu relasi antara tuan
tanah, penggarap kebun anggur dan hamba
yang diutus. Relasi antara tuan dan hamba
sudah ada pada masa Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru dengan penggambaran
perbudakan. David L. Baker menyatakan
pada zaman Babel tua terdapat tiga kelas sosial utama, yaitu pertama kaum elit yang termasuk para imam, bangsawan, penjabat,
pedagang dan pemilik tanah; kedua rakyat biasa yang terdiri dari tukang, gembala, buruh
dan petani yang bekerja pada pemilik tanah;
terakhir budak yang dianggap sebagai barang milik (Baker, 2019, p. 99). Terdapat tiga
cara seseorang dapat menjadi budak
menurut John J. Collins, yaitu sudah menjadi
budak dari lahir, menjadi budak akibat ditangkap pada saat perang atau diculik dan
32
ekonomi seseorang. Struktur masyarakat
dapat dilihat dari strata sosial yang
dikelompokkan sebagai masyarakat kelas
atas (masyarakat elite/kaya) dan kelas
bawah (masyarakat miskin) (Sutrisno et al.,
2020, p. 47). Pembagian kelas juga oleh
Marx yang dinyatakan oleh Franz MagnisSuseno, yaitu kaum buruh, pemilik modal dan
tuan tanah (Suseno, 2005, p. 113). Pada
akhirnya pembagian kelas dalam kapitalisme
menjadi dua kelas saja, yaitu kaum buruh dan
pemilik modal. Pembagian kelas secara tidak
sadar terus ada dan berkembang dengan
istilah dan pemikiran baru. Penekanan dari
kaum elit kepada masyarakat miskin adalah
dampak dari pembagian kelas tersebut.
Bahasa relasi antara tuan dan hamba
dalam teks Matius 21:33-46 mewarnai
perumpamaan yang dinyatakan oleh Yesus
kepada pendengarnya. Selain itu, terdapat
jawaban dari pendengar perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur
yang juga menjadi sorotan dengan memberikan makna tersendiri. Hal ini memberikan
gambaran tentang suatu pemikiran atau ideologi yang mewarnai teks Matius 21:33-46.
Ideologi yang ada bukan hanya dari penulisnya tetapi juga pembaca pertama teks tersebut. Oleh karena itu, penulis ingin melihat
ideologi yang ada dalam perumpamaan Yesus tentang penggarap-penggarap kebun
anggur (Matius 21:33-46) baik dalam konteks
penulisan Injil Matius dan teksnya tersendiri,
bagaimana ketegangannya dalam narasi,
dan ideologi alternatif apa yang dinyatakan
dalam perumpamaan tersebut. Penafsiran
ideologis ini diharapkan dapat memperkaya
penafsiran teks Matius 21:33-46 pada saat
ini. Hal ini karena kecenderungan penafsiran
yang banyak digunakan dalam membahas
narasi Matius 21:33-46 adalah penafsiran
alegori yang menghubungkan tokoh-tokoh
dalam narasi yang ada dan lambang lainnya
dengan Allah, pemuka-pemuka agama Yahudi, nabi-nabi Perjanjian Lama, Yesus,
bangsa non Yahudi, kedatangan Yesus yang
pertama dan penghakiman ketika Yesus datang kedua kali.
METODE
Pada
makalah
ini,
penulis
menggunakan metode kualitatif yaitu hermeneutis biblis ideologis dengan kajian pustaka.
Pertama, penulis akan melihat konteks penulisan dari Matius 21:33-46 untuk melihat ideologi yang ada di balik teks dengan pendekatan kecurigaan (hermeneutic of suspicion).
Selanjutnya, penulis akan menganalisis teks
Matius 21:33-46 secara naratif untuk melihat
ideologi yang ada di dalam teks untuk
menemukan ideologi alternatif yang dinyatakan dalam melawan ideologi dominan pada
saat ini.
Meir Sternberg menyatakan bahwa Alkitab merupakan tulisan ideologis yang terdapat dalam gambaran dunia atau sistem
nilai tertentu yang bertujuan untuk
mempengaruhi pembacanya (Sternberg,
1987, p. 36). Dapat dikatakan bahwa ideologi
dalam Alkitab tidak sama dengan wacana
didaktik/pengajaran
yang
menundukan
semua yang lain untuk indoktrinasi. Eagleton
yang dikutip oleh Robert Setio menegaskan,
“Teks tidak hanya merupakan produk dari sebuah ideologi tetapi teks itu sendiri adalah bagian dari sebuah penyelesaian masalah yang
bersifat ideologis” (Setio, 2004, p. 388). Hal
ini sejalan dengan pemikiran dari Walter
Brueggemann yang dikutip oleh Robet Setio
dengan mengatakan bahwa dalam analisa
ideologisnya terhadap Alkitab terlihat adanya
ideologi dominan dan alternatif, sehingga
perlu untuk membangkitkan kesadaran alternatif dan memberikan dorongan dalam
menghadapi budaya dominan (Setio, 2004,
p. 391). Penafsir perlu kecermatan dalam
melihat ideologi dominan dan ideologi alternatif dalam teks Alkitab. Pada akhirnya, dalam aktivitas menafsir teks Alkitab kita perlu
untuk melihat ideologi yang ada di balik dan
di dalam teks dengan hati-hati serta melihat
kepentingan apa yang ada dalam penerapan
ideologi tersebut baik hanya untuk menyatakan saja ideologi dan kepentingannya ataupun mengkritik.
33
ini mengatakan bahwa rasul Matius bukanlah
penulis dari Injil Matius, melainkan seorang
atau sebuah komunitas yang menulis dan
mengumpulkan tulisan yang menjadi satu
kesatuan.
Terdapat beberapa rentang waktu yang
diperkirakan sebagai waktu penulisan Injil
Matius, yaitu antara tahun 70 M sampai sebelum tahun 100 M, dan juga tahun 80-an
(Carter, 1955, p. 19). Penggunaan rentang
waktu ini memiliki dua alasan, yaitu Injil Matius menggunakan Markus dalam salah satu
sumbernya dan terdapat perumpamaan yang
merujuk pada penghancuran Yerusalem tahun 70 M, yang terdapat dalam Matius 22:114 (Carter, 1955, p. 19). Alasan pertama tentang Markus menjadi sumber dari Matius karena Matius menulis ulang, mengedit dan
menambahkan materi dari sumber Q, sehingga Injil Matius tidak mungkin lebih awal
dari Injil Markus yang ditulis sekitar tahun 70an atau akhir dekade 60-an (Carter, 1955, p.
19). J. J. De Heer menyatakan bahwa alasan
kedua tentang perumpamaan dalam Matius
22:1-14 dikatakan sebagai penggambaran
penghancuran atau pembakaran Bait Allah di
Yerusalem oleh tentara Romawi karena pemberontakan orang Yahudi pada tahun 70 M,
sehingga Injil Matius ditulis setelah periode
pembakaran tersebut (Heer, 2013, p. 4).
Meskipun perumpamaan Matius 22:7 menggambarkan tentang hukuman atas orang
yang tidak mendengarkan pengajaran Tuhan. Selain dua alasan yang dikemukakan
oleh Warren Carter, John Drane menyatakan
ada hal lain yang perlu dipertimbangkan
mengenai waktu penulisan, yaitu terdapat
jenis organisasi jemaat yang sudah berkembang pada Injil Matius dan termasuk tahap
pada akhir abad pertama (Drane, 2012, p.
220). Pada akhirnya waktu penulisan Injil Matius berada di antara rentang waktu setelah
tahun 70 M dan sebelum tahun 100 M.
Penulis dan waktu penulisan dari Injil
Matius memberikan penggambaran tentang
komunitas Matius dan konteks sosialnya.
Menurut Carter, Injil Matius diperkirakan ditulis di kota Antiokhia, provinsi Romawi di
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konteks Injil Matius
Suatu teks Alkitab tidak terlepas dari
konteks di balik teks tersebut ketika diproduksi. Pada penafsiran ideologi pertama
penting untuk melihat ideologi di balik teks
dengan melihat pengarang teks, waktu penulisan dan konteks sosial yang ada pada penulisan teks. Injil Matius tidak menyebutkan
pengarangnya secara langsung atau
dikatakan tanpa nama, namun bukanlah Matius sendiri yang mengarangnya. K. Stendhal
yang dikutip J. J. De Heer dalam bukunya
menyatakan bahwa Injil Matius tidak dikarang
oleh satu orang, tetapi oleh kumpulan orang
yang bekerja sama (Heer, 2013, p. 3). Namun
ada yang menyatakan bahwa penulis adalah
seorang Kristen, mahir dalam cara mengajar
Yahudi, hidup di Siria atau di tempat yang
pengaruh Yahudinya kuat (Bergant & Karris,
2002, p. 32). M. E. Duyverman menyatakan
bahwa terdapat dua alasan bahwa bukanlah
rasul Matius pemungut cukai yang
mengarang Injil Matius, yaitu pertama jika
rasul Matius sebagai murid Yesus sebagai
saksi mata segala peristiwa tentang Yesus,
maka dalam penulisan tidak membutuhkan
sumber lain dan menghasilkan rangkaian
susunan kata yang berbeda dengan Kitab Injil Markus dan Lukas (Duyverman, 1996, p.
48). Kedua, rasul Matius sebagai mantan
pemungut cukai dekat dengan orang non Yahudi karena “kaki tangan Roma”, namun dalam Injil Matius bersifat Yahudi di antara
keempat Injil (Duyverman, 1996, p. 48). Senada dengan alasan pertama Duyverman, J.
J. de Heer mengungkapkan bahwa tidak
mungkin Injil Matius ditulis oleh rasul Matius
sendiri karena terdapat beberapa bagian dalam Injil Matius yang mengambil kutipan dari
Injil Markus secara harfiah (contohnya Matius
14:22-27 dan Markus 6:45-50) (Heer, 2013,
p. 2). Sehingga Heer menyatakan bahwa
tidak masuk akal bahwa murid yang hadir dalam pelayanan Yesus mengikuti secara harfiah Injil Markus yang tidak hadir dalam pelayanan Yesus (Heer, 2013, p. 2). Akhirnya, hal
34
dikatakan berjuang dalam rumah ibadat dan
lingkungan rabi, namun abad 1 M mereka
dikeluarkan dari sinagoga lokal di Antiokhia
karena dianggap menyimpang dari ketaatan
Taurat agama Yahudi (Silalahi, 2019, p. 213).
Injil Matius juga berkaitan dengan kekaisaran
Romawi dalam hal kehidupan penulis dan
komunitas Matius. Carter menyatakan bahwa
konflik Yesus yang diceritakan dalam Injil Matius dengan para pemimpin agama bukanlah
masalah konflik agama saja, tetapi berkaitan
dengan struktur kekaisaran Romawi (Carter,
2001, p. 35). Konflik tersebut dikarenakan
pemimpin agama merupakan anggota kelas
pengikut/retainer yang termasuk bagian elite
penguasa yang mau untuk terus mempertahankan tatanan sosial agar dapat
menguntungkan mereka (Carter, 2001, p.
35). Oleh karena itu, perhatian Yesus kepada
kehidupan sosial kaum yang dianggap
lemah, dikucilkan, miskin dan kelas bawah
tanpa mementingkan kepentingan sendiri
bertentangan dengan konsep kehidupan
pemimpin-pemimpin agama di bawah
kekaisaran Romawi.
Ketika menganalisis konteks di balik
penulisan Injil Matius terdapat ideologi
etnosentrisme dalam dunia sekitar komunitas
Matius. Ada kaum Yahudi tetap ingin mempertahankan pemikiran mereka yang eksklusif sebagai umat pilihan Allah sesuai
dengan janji Allah. Selain tentang umat pilihan kaum Yahudi juga memelihara hukum
Taurat dalam kehidupan mereka. Hal ini
membuat kaum Yahudi yang mempertahankan kekhasannya tidak bisa berinteraksi
dengan baik dengan komunitas Matius dan
pribadi Yesus yang dinarasikan dalam Injil
Matius. Penulis Injil Matius sebenarnya ingin
memperlihatkan Yesus bukan untuk meniadakan hukum Taurat, namun untuk menggenapi janji-janji para nabi dalam Perjanjian
Lama dan teguran untuk mereka yang menolak Yesus (Heer, 2013, pp. 6–7). Selain
ideologi etnosentrisme, ada juga ideologi
kekuasaan dalam kekaisaran Romawi yang
memberikan sistem kelas yang lebih
menguntungkan penguasa dan kekaisaran
Siria, dengan alasan bahwa kutipan paling
awal dari Injil Matius ditemukan dalam tulisan
yang berhubungan dengan Siria khususnya
tentang Antiokhia (Carter, 1955, p. 18).
Alasan lainnya adalah penulisan Matius 4:24
yang tidak terdapat di Injil Lukas 6:17-19 sebagai paralel dari Matius 4:23-25 mengenai
berita tentang Yesus tersebar luas di Siria
(Carter, 1955, p. 18). Kabar tentang Yesus
yang tersebar di Siria juga tidak terdapat dalam Injil Markus, sehingga ini menjadi
kekhasan dari Injil Matius.
Duyverman
menyatakan bahwa Injil Matius ditulis
menggunakan bahasa Yunani dan terdapat
ungkapan atau adat Yahudi yang dikenal, sehingga diperkirakan ditulis di luar daerah Palestina, yaitu Antiokhia (Duyverman, 1996, p.
49). Melalui pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa lokasi dari penulisan Injil Matius adalah di Antiokhia yang terdapat orang
Yahudi dan mengerti bahasa Yunani serta
mengerti bahasa Aram.
Weren yang dikutip oleh Silalahi
menyatakan bahwa terdapat tiga fase
perkembangan komunitas Matius, yaitu
sebelum 70 M yang menganggap diri mereka
untuk menjadi anggota penuh dari komunitas
Yahudi, antara 70-80 M dengan dinamika terjadi konflik dengan orang-orang Farisi yang
berupaya untuk mendefinisikan kembali
Yudaisme, terakhir antara 80-90 M terdiri dari
orang-orang Kristen Yahudi yang bertahap
terlepas dari komunitas Yahudi dengan memahami status baru mereka (Silalahi, 2019,
p. 210). Permasalahan yang terlihat konteks
komunitas Matius adalah etnosentrisme dari
kaum Kristen Yahudi yang memandang diri
mereka sebagai umat pilihan membuat sulit
untuk dapat membuka hati kepada kaum non
Yahudi (Hwang, 2020, p. 40). Hal ini yang
menjadi perhatian dari penulis Injil Matius dalam komunitas Matius sebagai pendengarnya
yang berinteraksi dengan komunitas non Yahudi di sekitarnya dan penjangkauan keselamatan bagi non Yahudi.
Komunitas Matius mengalami dinamika
tersendiri dalam kehidupan ketika membentuk identitas mereka. Komunitas Matius
35
pengajaran Yesus, imam-imam kepala dan
tua-tua Yahudi. Narasi Matius 21:23-27
menyatakan bahwa imam-imam kepala dan
tua-tua Yahudi mempertanyakan kuasa dari
Yesus. Namun Yesus tidak memberikan jawaban yang sesuai dengan pemikiran
mereka dan melanjutkan dengan memberikan tiga perumpamaan kepada pendengarnya. Terdapat pendengar yang tidak
disebutkan dalam Matius 21:23, yaitu orangorang Farisi yang diperlihatkan dalam ayat 45
ikut mendengar perumpamaan-perumpamaan Yesus dan menyadari maksud dari
perumpamaan Yesus.
Perumpamaan tentang penggarappenggarap kebun anggur tidak hanya terdapat dalam Matius 21:33-46, tetapi juga
pada Markus 12:1-12 dan Lukas 20:9-19.
Terdapat perbedaan dalam penceritaan tentang hamba-hamba yang diutus oleh tuan
tanah dan kekerasan yang merupakan wujud
penolakan penggarap-penggarap kebun anggur terhadap utusan tersebut (Heer, 2013, p.
423). Pada Matius 21:44 pun tidak terdapat
Markus 12:1-12, tetapi ada dalam Lukas
20:18. Terdapat tanda kurung besar pada
Matius 21:44 karena tidak semua naskah
Yunani kuno memuatnya, tetapi ada ahli
yang mengatakan bahwa ayat tersebut berdasarkan Yesaya 8:14-15 dan Daniel 2:44-45
(Sembiring et al., 2008, p. 673). Duyverman
menyatakan bahwa Injil Matius memakai
sumber Injil Markus dan sumber lain (sumber
Q) dalam penulisannya (Duyverman, 1996, p.
42). Sejalan dengan pendapat Duyverman,
Laurentinus Tarpin mengungkapkan bahwa
Matius memodifikasi perumpamaan yang
ada dalam Injil Markus dengan penekanan
tentang menghasilkan buah Kerajaan Allah
dan Yesus sebagai penggenapan janji Allah
dari nubuatan nabi-nabi (Tarpin, 2022, p.
257).
Bila dilihat secara narasi, perumpamaan Matius 21:33-46 terbagi menjadi dua
latar/setting, yaitu latar dalam perumpamaan
penggarap-penggarap kebun anggur dan Yesus mengajar di Bait Allah. Pada latar/setting
pertama menceritakan tentang seorang tuan
Romawi dan menekan kelas yang lebih rendah. Sistem kelas ini sangat terlihat dalam
perjalanan pelayanan Yesus yang melihat
adanya kaum yang terpinggirkan atau tersubordinasi karena sistem kelas yang diberikan
penguasa Romawi.
Analisa Teks Matius 21:33-46
Struktur keseluruhan Injil Matius dibagi
menjadi empat bagian oleh Craig A. Evans,
yaitu kelahiran dan persiapan Mesias (1:14:11), proklamasi dan pelayanan Mesias
(4:12-11:1), reaksi dan respons terhadap Mesias (11:2-20:34) dan penolakan dan pembenaran Mesias (21:1-28:20) (Evans, 2012,
p. 10). Melihat struktur yang diberikan oleh
Evans memperlihatkan bahwa Matius 21:3346 termasuk pada cerita perjalanan Mesias di
Yerusalem dan mengalami konflik di sana.
Struktur teks Matius 21:33-46 juga termasuk
pada minggu sengsara Yesus yang merujuk
dengan dimulai Yesus datang ke Yerusalem
dan dielu-elukan dan juga perlawanan semakin meningkat antara Yesus dan pemimpin kelompok agama Yahudi (Matius
21:23-22:46) (Carson, 2010, p. 56). Pemimpin agama Yahudi dan tokoh Yesus yang
diceritakan dalam Injil Matius semakin tegang
karena penggambaran-penggambaran atau
perumpamaan yang mengkritik mereka
diberikan Yesus ketika mengajar di Bait Allah. Hal ini termasuk pada Matius 21:33-46
tentang perumpamaan penggarap kebun
anggur.
Teks Matius 21:33-46 termasuk pada
perumpamaan Yesus yang berkaitan dengan
dua perikop sebelumnya tentang pertanyaan
mengenai kuasa Yesus dan perumpamaan
sebelumnya tentang dua orang anak serta
satu perumpamaan setelahnya mengenai
perjamuan kawin. Hal ini dikarenakan kalimat
pertama dalam perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur adalah
“dengarkanlah suatu perumpamaan yang lain
(ayat 33).” Pada Matius 21:23 memperlihatkan bahwa pendengar dari perumpamaan
Yesus adalah orang banyak yang ada di Bait
Allah
karena
sedang
mendengarkan
36
yang dibuang menjadi batu penjuru. Yesus
menyelesaikan
pengajarannya
dalam
perumpamaan penggarap-penggarap kebun
anggur dengan menyatakan tentang Kerajaan Allah. Akhir dari latar di Bait Allah adalah
respons imam-imam kepala dan orang Farisi
setelah mendengar perumpamaan-perumpamaan Yesus.
Pada perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur memperlihatkan interaksi antar tokoh, yaitu tuan
tanah, penggarap-penggarap, hamba-hamba
yang diutus dan anak tuan tanah. Tokoh yang
aktif memberikan interaksi adalah tuan tanah
dan penggarap-penggarap kebun anggur. Interaksi pertama terdapat di ayat 34-36, tuan
tanah sudah mengetahui waktunya untuk
mengambil hasil dari penggarap-penggarap
kebunnya, sehingga ia mengutus hambahambanya untuk menerima hasilnya.
Sebanyak dua kali tuan tanah mengirim
hamba-hambanya, namun respons dari
penggarap-penggarap itu sama dengan menangkap hambanya, memukul, membunuh
dan melempari dengan batu. Para penggarap
tidak bertanggungjawab dengan menolak
membayar hasil panen. Mereka pun tidak
menghormati otoritas tuan tanah sebagai
pengirim hamba dan menunjukkan keserakahan dalam memperoleh hasil (Carter, 1955,
p. 498).
Interaksi kedua pada ayat 37-39, yaitu
tuan tanah menyuruh anaknya datang ke kebun anggurnya dengan pemikiran bahwa
anaknya akan disegani oleh penggarappenggarap kebun anggurnya. Pemikiran tuan
tanah memang benar bahwa tingkatan kuasa
lebih tinggi anaknya dibandingkan dengan
hamba-hamba utusannya. Narasi perumpamaan tersebut menyatakan hal yang sebaliknya.
Ketika
penggarap-penggarap
melihat anak tuan tanah, mereka merundingkan untuk membunuhnya agar mereka memiliki warisannya. Pada zaman itu terdapat peraturan bahwa penggarap-penggarap tidak
bisa diusir dari kebunnya bila tuan tanah
hidup di luar negeri, meninggal tanpa ahli
waris (anak) (Heer, 2013, p. 423). Namun
tanah membuka kebun anggur, menanam
pagar sekelilingnya, menggali lubang tempat
memeras anggur dan mendirikan menara
jaga. Setelah selesai pekerjaannya dikatakan
bahwa tuan tanah itu menyewakan kebun itu
kepada penggarap-penggarap lalu ia
berangkat ke negeri lain. Ketika musim
panen tiba maka tuan tanah menyuruh orang
untuk menerima hasil yang menjadi bagiannya. Pengungkapan tentang latar pertama
mengenai perumpamaan sudah sangat
akrab dengan pendengar Yesus pada saat itu
karena seperti hal yang diungkapkan pada
Yesaya 5:1-7 (nyanyian tentang kebun anggur). Persiapan tuan tanah dalam membuka
kebun anggur pada ayat 33 dilukiskan
menggunakan kata yang sama dengan Yesaya 5:2, yaitu mendirikan sebuah menara
jaga dan menggali tempat memeras anggur
(Heer, 2013, p. 421). Penyewaan tanah sudah lazim dilakukan dengan meminta beberapa orang untuk bekerja di kebunnya dan
menggunakan sistem bagi hasil (Sembiring
et al., 2008, p. 667). Pada zaman Yesus juga
orang kaya yang memiliki banyak tanah di
Palestina, hidup di luar Palestina dan menyewakan tanahnya, sehingga penyewa bertindak bebas sampai memberontak (Heer,
2013, p. 422).
Latar/setting kedua adalah di Bait Allah
yang berisi dialog Yesus dengan orang yang
mendengar pengajarannya termasuk imamimam kepala, tua-tua Yahudi dan orangorang Farisi. Dialog Yesus terjadi setelah
perumpamaan tentang penggarap-penggarap anggur selesai dengan anak tuan
tanah dibunuh dan Yesus bertanya tentang
apa yang dilakukan tuan tanah kepada penggarap-penggarap tersebut. Respons dari
mereka yang mendengarkan perumpamaan
Yesus terdapat dalam ayat 41, yaitu tuan
tanah akan membinasakan penggarap-penggarap kebun anggur yang jahat dan kebun
anggurnya disewakan kepada penggarappenggarap lain yang akan memberikan pembagian hasil tepat pada waktunya. Pada
akhirnya Yesus menjawab mereka dengan
mengutip Mazmur 118:22-23 tentang batu
37
Penghukuman bagi penggarap-penggarap
yang lama dikatakan bersinggungan dengan
peristiwa kehancuran Yerusalem tahun 70 M
yang dilihat melalui ayat 41, yaitu orang yang
jahat akan dihancurkan karena penolakan
atas utusan tuan tanah (Olmstead, 2003, p.
114). Pengutipan Yesus terhadap Mazmur
118:22-23 memberikan pembelaan atau
pembenaran atas pribadi anak tuan tanah
yang ditolak oleh penggarap-penggarap kebun anggur. Maksud dari batu yang dibuang
oleh Mazmur 118 adalah berbicara tentang
raja Israel atau seorang Israel yang beriman,
namun
dalam
perumpamaan
Yesus
menggunakan batu tersebut pada diri-Nya
(Heer, 2013, p. 425). Pemberontakan yang
dilakukan oleh penggarap-penggarap tidak
menghasilkan hal yang baik, namun
penghukuman bagi mereka.
Pada ayat 43, Yesus mengaitkan
perumpamaan tersebut dengan Kerajaan
Surga. Tuan tanah akan mengambil kembali
kehormatannya yang tidak dihargai oleh
penggarap-penggarap kebun anggur yang
lama yang dikaitkan dengan pengambilan
Kerajaan Allah kepada mereka yang menolak
hamba-hamba utusan dan anak dari tuan
tanah. Tuan tanah akan memberikan kebunnya untuk dikelola oleh penggarap-penggarap yang baru. Pemberian sewa kebun
anggur kepada penggarap-penggarap kebun
anggur baru yang dinyatakan pada ayat 41
memiliki harapan sama dengan awal pembukaan kebun anggur oleh tuan tanah, yaitu
menyerahkan hasil kepada tuan tanah tepat
pada waktu panen. Hal ini dikaitkan dengan
Kerajaan Allah akan diberikan kepada
bangsa yang akan menghasilkan buah kerajaan yang melimpah (Bergant & Karris, 2002,
p. 65). Penggambaran tentang keterbukaan
kebun anggur atau Kerajaan Surga bagi
bangsa atau orang yang percaya, taat, setia
dan menghasilkan buah sejalan dengan pesan penulis Matius untuk menyatakan
keselamatan juga bagi umat non Yahudi.
Respons imam-imam kepala dan
orang-orang Farisi menjadi warna tersendiri
cara penggarap-penggarap itu salah dengan
membunuh yang pada akhirnya akan
mendapat hukuman yang berat. Ketamakan
dari penggarap-penggarap merupakan sifat
mereka dengan ingin menjadi tuan atas
tanah yang bukan miliknya.
Pada dua interaksi dari tuan tanah yang
mengutus hamba-hambanya serta anaknya
dan penggarap-penggarap yang merespons
kedatangan utusan tuan tanah memperlihatkan relasi tuan dan hamba dalam bahasa
perumpamaan. Bila dianalisis dalam bingkai
kehidupan sosial, tuan tanah adalah kaum
elite atau kelompok atas yang memiliki
kekuasaan untuk melakukan apa saja yang
diinginkannya. Anak tuan tanah merupakan
kaum elite yang memiliki kekuasaan, namun
tetap mengikuti hal yang diperintahkan oleh
ayahnya dalam keluarga. Penggarap-penggarap termasuk pada kelompok kelas dua
yang miskin meskipun tidak termasuk hamba
atau budak. Hamba-hamba yang diutus untuk menerima hasil panen merupakan kaum
miskin dapat disamakan dengan budak yang
harus patuh dengan perintah atau keinginan
dari tuannya. Penggarap-penggarap yang
termasuk kaum merdeka namun harus tetap
taat kepada tuan tanah melakukan pemberontakan. Niat untuk menumpuk kekayaan
dan memandang pertemanan atau persaudaraan dengan melihat keuntungan
ekonomis merupakan motivasi pemberontakan penggarap-penggarap yang seakanakan merasa hanya dimanfaatkan (Nataniel,
2017, p. 48). Namun tindakan kekerasan
atau anarki yang dilakukan menjadi faktor
yang tidak dapat dibenarkan dalam
melakukan pemberontakan.
Interaksi di Bait Allah terlihat dalam Matius 21: 40-43, yaitu Yesus dan mereka yang
mendengar dengan pertanyaan Yesus
mengenai perlakukan tuan tanah kepada
penggarap-penggarapnya. Pada ayat 41,
orang banyak menjawab dengan memberikan hukuman kepada penggarap-penggarap yang lama dan memberikan kesempatan kepada penggarap lain untuk mengelola yang akan digambarkan dalam ayat 43.
38
bukan hanya untuk umat pilihan yang memelihara hukum Taurat saja tetapi bagi
bangsa lain yang non Yahudi. Hal ini senada
dengan yang dikatakan oleh Thomas Hwang
dalam bukunya Empat Injil & Amanat Agung
yang menyatakan bahwa kedua belas murid
Yesus juga bermental etnosentris yang terjadi sampai kebangkitan Yesus dengan
percaya bahwa mereka lebih dari bangsa
non-Yahudi dan bangsa pilihan, sehingga
tidak mau bercampur dengan bangsa non
Yahudi (Hwang, 2020, p. 196). Keuniversalan
ini memberikan warna baru bagi kaum Yahudi yang mempertahankan keunikan
mereka menjadi satu-satunya umat pilihan
Allah yang akan menerima keselamatan dan
terus memelihara hukum Taurat dengan banyak penjabaran-penjabarannya.
ketika Yesus telah mengakhiri perumpamaannya dengan mengatakan bahwa Kerajaan Allah akan diambil dari padamu dan
diberikan kepada suatu bangsa yang akan
menghasilkan buah. Hal ini menggambarkan
adanya konflik antara tokoh Yesus dan kelompok pemimpin agama Yahudi dalam teks
Matius 21:45-46. Narasi dari Matius 21:45
mengatakan bahwa imam-imam kepala dan
orang-orang Farisi mengerti bahwa maksud
dari perumpamaan Yesus adalah mereka.
Penggabungan antara imam-imam kepala
dan orang-orang Farisi yang digambarkan
secara bersamaan mendengarkan perumpamaan Yesus jarang dilakukan, namun penulis
Injil Matius hendak memperlihatkan perlawanan yang dialami oleh Yesus dari kedua
kelompok tersebut (Sembiring et al., 2008, p.
673). Konflik kepentingan antara imam-imam
kepala dan orang-orang Farisi terlihat dari
dalam Matius 21:46 dengan mencoba menangkap Yesus karena sudah dianggap
mengganggu dengan mengajarkan pengajaran yang berbeda dari pengajaran mereka.
Anggota Mahkamah Agama yang terdiri dari
imam-imam kepala, tua-tua dan ahli-ahli Taurat sebenarnya berhak untuk menangkap
orang yang dianggap sebagai seorang
pengacau (Heer, 2013, p. 426). Namun niat
dari penangkapan Yesus tidak dilakukan karena takut kepada orang banyak yang
menganggap Yesus sebagai nabi.
Pada analisa teks Matius 21:33-46 terlihat penggambaran ideologi pembebasan
yang dinyatakan dengan pemberontakan dari
penggarap-penggarap kebun anggur yang
merasa diri mereka dimanfaatkan. Mereka
mendapatkan kebebasan untuk kepentingan
diri sendiri, dengan harapan bisa meningkatkan kelas sosial mereka dari posisi orang
miskin dan merdeka menjadi tuan tanah atau
orang yang benar-benar merdeka. Namun,
tindakan pemberontakan yang dilakukan
dengan kekerasan dan pembunuhan terkesan egois dan merugikan orang lain. Selain
ideologi pembebasan juga ada ideologi alternatif dalam melawan ideologi etnosentrisme
dengan menyatakan bahwa keselamatan
Ideologi dominan dalam teks dan ideologi
alternatif
Pada konteks Injil Matius terlihat bahwa
terdapat ideologi dominan yang terus mewarnai kehidupan sosial dalam penulisan Injil
Matius. Ideologi etnosentrisme yang terus
ditekankan oleh kelompok di luar komunitas
Matius membuat tantangan tersendiri bagi
orang non Yahudi Kristen. David C. Sim
mengatakan bahwa kelompok yang ada di
sekitar komunitas Matius akan menerima
orang bukan Yahudi ketika sudah memenuhi
hukum ketentuan hukum Taurat, seperti
sunat (Sim, 2002, pp. 194–195). Komunitas
Yahudi memiliki ciri khas yang menonjol,
yaitu fokus pada hukum Yahudi, yang membedakan mereka dari bangsa lain. Ideologi
etnosentrisme ini dapat membuat mereka terlihat eksklusif dalam kehidupan keagamaan.
Ideologi yang dominan di balik teks Matius adalah ideologi kekuasaan yang cenderung kepada ideologi tuan dan hamba. Pembagian kelas yang diberikan oleh kekaisaran
Romawi menjadi tekanan bagi kaum marginal. Pemuka agama Yahudi di sekitar
komunitas Matius menekankan kepada
orang Yahudi untuk mempertahankan
kedudukan sosial mereka atau mencari keuntungan di bawah kekaisaran Romawi. Hal ini
39
221). Oleh karena itu, konflik atau ketegangan antara tokoh Yesus dan kaum elite
agama Yahudi (pemuka agama Yahudi)
bukan hanya dikatakan dalam ranah agama,
tetapi juga pada aspek sosial dalam pembagian kelas sosial.
Ideologi alternatif kedua yang diperlihatkan dalam teks Matius 21:33-46 adalah
pemikiran inklusifitas dari etnosentrisme
yang eksklusif. Penulisan Injil Matius ditujukan kepada komunitas Yahudi yang
berhubungan dengan komunitas asing (non
Yahudi) dan terdapat desakan di dalamnya
untuk memisahkan diri dari komunitas yang
sudah ada dengan masuk dalam komunitas
Yahudi yang eksklusif (Ord & Coote, 2007, p.
29). Pesan utama yang ingin disampaikan
oleh penulis Injil Matius kepada pembacanya
adalah tentang cara hidup di tengah komunitas yang terdiri dari orang Yahudi dan nonYahudi, di mana terdapat tantangan eksklusivitas komunitas (Ord & Coote, 2007, p.
29). Menurut Hwang bahwa penekanan Injil
Matius tentang berita keselamatan non Yahudi kepada pembacanya dimulai dari awal
Matius 1:3-6 yang mencatat orang non-Yahudi masuk dalam silsilah Yesus (Hwang,
2020, p. 40). Jack Dean Kingsbury juga
menyatakan bahwa Injil Matius memberikan
gambaran terdapat pembaca orang non Yahudi dari Injilnya dengan memasukkan nama
empat wanita yang bukan Israel dalam silsilah Yesus, memasukkan orang Majus dari Timur yang hadir serta memberi hadiah kepada
Yesus, dan misi kepada bangsa-bangsa
(Kingsbury, 2019, p. 199). Terlihat adanya
nuansa eksklusif dari kelompok Yahudi dan
pengajaran inklusif yang disampaikan oleh
penulis Injil Matius.
Matius 21:33-46 ingin memperlihatkan
penggambaran Kerajaan Allah bukan hanya
untuk mereka (orang-orang Yahudi), tetapi
bangsa lain yang akan menghasilkan buah
Kerajaan Allah. Matius 21:41 menggunakan
bahasa kiasan dalam penggambaran banyak
bangsa non Yahudi yang akan masuk dalam
gereja atau Kerajaan Allah, yaitu pada ka-
yang menjadi suatu ketegangan antara
komunitas Matius dan penulis Injil Matius
dengan kelompok elite agama Yahudi.
Komunitas Matius dan penulis Injil Matius
memberikan ideologi alternatif untuk mengatasi ideologi dominan yang ada di sekitarnya.
Pada analisa teks Matius 21:33-46 terlihat adanya ideologi alternatif yang diberikan
oleh penulis Matius dalam perumpamaan
yang Yesus ajarkan dan interaksi dengan
imam-imam kepala, tua-tua bangsa Yahudi
dan orang-orang Farisi. Ideologi alternatif
yang pertama adalah ideologi pembebasan
yang dilakukan untuk menentang adanya ideologi tuan hamba yang terlihat dalam bahasa
perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur. Pemberontakan yang
ada dalam perumpamaan adalah pemberontakan dari penggarap-penggarap kebun anggur. Mereka yang meskipun orang miskin
yang merdeka, namun tetap berada di tengah-tengah tekanan dari tuan tanah yang harus memberikan hasil dan juga dapat menindas kaum miskin yang di bawahnya. Pemberontakan dengan kekerasan dan pembunuhan
digambarkan sebagai bentuk protes kepada
sistem kelas agar dapat mendapatkan posisi
yang lebih baik daripada sebelumnya.
Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa melalui perumpamaan tersebut, komunitas Matius membentuk pemahaman baru dalam
melihat dominasi kekuasaan yang menekan
pada saat itu. Rodney Stark menyatakan
bahwa komunitas Matius memberikan respons praktis dengan penuh belas kasihan
terhadap orang Kristen Yahudi yang mengalami kelaparan, kemiskinan dan terdampak
dari sistem sosial kekaisaran Romawi
(Carter, 2001, p. 51). Komunitas Matius
memberikan ideologi pembebasan sebagai
respons terhadap perbudakan dan penindasan kelas sosial yang dilakukan oleh
kekaisaran Romawi. Tokoh Yesus digambarkan dalam Injil Matius sebagai perongrong kekuatan Romawi, dan orang yang
menolak Yesus serta ajarannya penggambaran lawan-lawan Yahudi (Silalahi, 2019, p.
40
limat “Ia akan membinasakan orang-orang jahat itu dan kebun anggurnya akan disewakan
kepada penggarap-penggarap lain, yang
akan menyerahkan hasilnya kepadanya pada
waktunya” (Kingsbury, 2019, p. 200). Matius
21:43 menyatakan dengan jelas dalam perkataan Yesus bahwa penolakan kepada anak
Allah (anak dari tuan tanah yang diutus datang ke kebun anggurnya) akan membawa
dampak dalam kehidupan, yaitu pengambilan
hak atas Kerajaan Allah dan akan diberikan
kepada bangsa lain yang menghasilkan
buah.
Orang-orang
Yahudi
yang
menekankan keunikan mereka sebagai umat
pilihan perlu beradaptasi dengan pesan
bahwa keselamatan bagi bangsa lain yang
percaya, setia, taat dan menghasilkan buah
yang sesuai dengan Firman. Komunitas Matius memberikan pengalaman praktik yang
inklusif, egaliter dan penuh belas kasihan
(Carter, 2001, p. 51). Keselamatan yang berlaku universal bagi mereka yang percaya,
menaati Allah dan menghasilkan buah Kerajaan Allah merupakan salah satu fokus dalam
narasi Matius 21:33-46. Sehingga, penggambaran perumpamaan ini merupakan bentuk
kritik atas corak Yahudi yang eksklusif atas
keselamatan hanya bagi etnis mereka saja
dan memberikan alternatif pandangan yang
inklusif dalam rangkaian corak Yahudi yang
ada dalam Injil Matius.
KESIMPULAN
Teks Matius 21:33-46 merupakan
perumpamaan yang terkadang ditafsirkan
secara alegori. Melalui penafsiran ideologis
Matius 21:33-46 memberikan penggambaran
baru dengan menghubungkan teks Matius
dengan konteks di balik teks, yaitu komunitas
Matius dengan konteks sosial di Antiokhia
dalam periode kekaisaran Romawi. Analisa
teks Matius 21:33-46 tentang penggarappenggarap
kebun
anggur
dengan
menggunakan penggambaran naratif dan
melihat kehidupan sosial dalam teks memperlihatkan konflik atau ketegangan antara
Yesus dan pemuka-pemuka agama Yahudi
(imam-imam kepala, tua-tua Yahudi dan
orang-orang Farisi) dan misi keselamatan untuk non Yahudi. Ideologi dominan terlihat
dibalik Injil Matius dengan ideologi etnosentrisme Yahudi dan kekuasaan Romawi dalam
pembagian kelas sosial (ideologi tuan dan
hamba). Ideologi alternatif yang diperlihatkan
dalam teks Matius 21:33-46 adalah ideologi
pembebasan untuk melawan ideologi tuan
hamba dan ideologi inklusif dalam melawan
ideologi etnosentrisme. Interaksi antara ideologi dominan dan ideologi alternatif terus
mewarnai dalam pengajaran Yesus dalam Injil Matius.
41
Olmstead, W. G. (2003). Matthew’s Trilogy of
Parables: The Nation, the Nations and
the Reader in Matthew 21.28–22.14.
Cambridge University Press.
Ord, D. R., & Coote, R. B. (2007). Apakah
Alkitab Benar? Memahami Kebenaran
Alkitab pada Masa Kini (M. L. Sinaga,
Trans.). BPK Gunung Mulia.
Patterson, S. J. (2018). The Forgotten Creed:
Christianity’s Original, Struggle against,
Bigotry, Slavery, and Sexism. Oxford
University Press.
Sahardjo, H. (2018). Metode Pengajaran
Yesus: Pendekatan Klasik yang tetap
Relevan. TE DEUM, 8(1), 125-160.
Sembiring, M. K., Miehle, H. L., Katoppo, P.
G., & Kotynski, E. A. (Eds.). (2008).
Pedoman Penafsiran Alkitab: Injil
Matius. Lembaga Alkitab Indonesia.
Setio, R. (2004). Manfaat Kritik Ideologi bagi
Pelayanan Gereja. Jurnal Teologi Dan
Gereja, 5(20), 383–402.
Silalahi, H. (2019). Merekonstruksi Konteks
Sosial Komunitas Injil Matius. TE
DEUM, 8(2), 199-223.
Sim, D. C. (2002). Christianity and Ethnicity
in the Gospel of Matthew. In M. G. Breet
(Ed.), Ethnicity and the Bible. Brill
Academic Publisher, Inc.
Sternberg, M. (1987). The Poetics of Biblical
Narrative: Ideological Literature and the
Drama of Reading. Indiana University
Press.
Suprandono, Y. R. (2021). Reinterpretasi
Sabat (Keluaran 20:8-11): Pendekatan
Teologi Perjanjian Lama Posmodern
dalam Dialog dengan Perbudakan
Modern Perdagangan Manusia. BPK
Gunung Mulia.
Susanta, Y. K. (2018). Mengenal Dunia
Perjanjian Lama: Suatu Pengantar.
Kekata Group.
Suseno, F. M. (2005). Pemikiran Karl Marx:
Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme. PT Gramedia Pustaka
Utama.
Sutrisno, A., Usman, S., Wahyuni, E.,
Jumiati, E., & Adiasti, N. (2020).
DAFTAR RUJUKAN
Baker, D. L. (2019). Kekayaan & Kemiskinan:
Menelusuri Keadilan Sosial menurut
Hukum Perjanjian Lama (R. A.
Surjanegara,
Trans.).
Yayasan
Komunikasi Bina Kasih.
Bergant, D., & Karris, R. J. (Eds.). (2002).
Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Kanisius.
Carson, D. A. (2010). The Expositor’s Bible
Commentary: Matthew (T. Logman III &
D. E. Garland, Eds.). Zondervan.
Carter, W. (1955). Matthew and the Margins:
A Sociopolitical and Religious Reading.
Orbis Books.
Carter, W. (2001). Matthew and Empire:
Initial Explorations. Trinity Press
International.
Collins, J. J. (2019). What Are Biblical
Values? What the Bible Says on Key
Ethical Issues. Yale University Press.
Drane, J. (2012). Memahami Perjanjian Baru:
Pengantar Historis-Teologis (P. G.
Katoppo, Trans.). BPK Gunung Mulia.
Duyverman, M. E. (1996). Pembimbing ke
dalam perjanjian baru (11th ed.). BPK
Gunung Mulia.
Evans, C. A. (2012). Matthew. Cambridge
University Press.
Heer, J. J. de. (2013). Tafsiran Injil Matius
Pasal 1-22. BPK Gunung Mulia.
Horsley, R. A. (2003). Jesus and Empire: The
Kingdom of God and the New World
Disorder. Fortress Press.
Hwang, T. (2020). Empat Injil & Amanat
Agung (H. W. Siregae, Trans.). Ami
publications.
Kingsbury, J. D. (2019). Injil Matius Sebagai
Cerita: Berkrnalan Dengan Narasi
Salah Satu Injil (W. Kalangit, Trans.;
5th ed.). BPK Gunung Mulia.
Kistemaker, S. J. (2004). Yesus Sebagai
Pencerita: Perspektif Sastra Dari
Perumpamaan. Veritas, 5(2), 121-130.
Nataniel, D. (2017). Minoritas Militan: Sikap
Komunitas Matius terhadap Roh
Kapitalisme. Jurnal Abdiel: Khazanah
Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama
Kristen Dan Musik Gereja, 1(1), 31-54.
42
Tarpin, L. (2022). Kebaharuan dan
Radikalitas yang Dibawa Yesus.
Kanisius.
Pengantar Sosial Ekonomi dan Budaya
Kawasan Perbatasan. Inteligensia
Media.
43