Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
KEUNIKAN PENGGUNAAN BAHASA WALIKAN DI KOTA MALANG Oleh: Adek Kharisma Rezal Fajrin Peran Bahasa dalam Komunikasi Dalam ilmu komunikasi, secara sederhana dapat diartikan bahwa komunikasi merupakan suatu proses penginterpretasian atau pemaknaan sebuah pesan. Pesan memiliki peran yang penting, karena pesan menjadi tujuan utama sebuah komunikasi terjadi. Berdasarkan isi pesan, sebuah komunikasi dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal. Dalam komunikasi verbal, isi pesan berupa rangkaian kata yang dapat memaknai objek, benda, maupun perasaan, dalam bentuk ucapan atau pun tulisan. Rangkaian kata disusun menggunakan bahasa. Dengan bahasa, kita mengenal nama atau sebutan dari sesuatu, yang dapat berupa orang, benda, hal, ilmu, dan lain-lain. Setelah mengetahui nama dari berbagai “sesuatu” tersebut, kita dapat mempelajari lebih dalam lagi mengenai “sesuatu” yang menjadi minat kita, sehingga informasi yang kita dapat akan semakin bertambah. Bahasa pula yang membuat kita mampu mengenal dan bergaul dengan orang lain. Hal tersebut semakin mudah apabila antara diri kita dengan orang lain menggunakan bahasa yang sama. Bahasa menjadi sebuah kendala apabila komunikan – orang yang menerima pesan – sama sekali tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh komunikator. Hal tersebut menyebabkan pesan tidak dapat tersampaikan dengan baik. Misalnya, ketika kita berada di negara Perancis, sedangkan kita tidak mengerti bahasa Perancis dan kemampuan bahasa Inggris kita juga tidak bagus. Kita akan kesulitan untuk dapat bertahan di negara tersebut, karena kita tidak dapat berinteraksi dengan penduduk di sana. Padahal mau tidak mau kita membutuhkan mereka agar dapat memperoleh banyak informasi, contoh paling sederhananya untuk bertanya arah jalan. Ragam Bahasa Jawa di Indonesia Di Indonesia terdapat 746 bahasa daerah. Ada bahasa Aceh, bahasa Batak, bahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Banjar, bahasa Melayu, dan lain-lain. Dalam tiap bahasa tersebut, ada pula yang dibedakan ke dalam beberapa jenis. Misalnya bahasa Batak yang terdiri dari bahasa Batak Angkola, Batak Mandailing, Batak Simalungun, dan Batak Toba. Begitu pula bahasa Jawa, yang dibedakan berdasarkan dialeknya, yakni dialek bahasa Jawa Standar, dialek bahasa Jawa Banyumas, dan dialek bahasa Jawa Timur. Dialek Jawa Standar banyak digunakan di daerah Yogyakarta, Solo, dan daerah peralihan bagian timur – Pacitan, Madiun, dan Grobogan –, serta daerah peralihan bagian barat – Prembun, Wonosobo, dan Banjarnegara. Dialek ini memiliki kekhasan berupa tata bunyi (fonetik), struktur (gramatika), dan kosakata (leksikon). Misalnya penambahan prefiks tak-/dak- yang dalam bahasa Indonesia berarti ku-. Contoh: taktuku = kubeli, taktulung = kutolong. Pemakaian dialek Jawa Banyumas meliputi wilayah Karesidenan Banyumas, sebagian Karesidenan Pekalongan, dan sebagian barat Karesidenan Kedu. Seperti halnya dialek Jawa Standar, dialek Jawa Banyumas memiliki kekhasan pada leksikal, tata bunyi, dan struktur gramatikanya. Biasanya dialek ini menggunakan -é/-né untuk menunjukkan kepemilikan. Contoh: tasé inyong = tas saya, dulinané adhik = mainan adik. Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur Untuk dialek Jawa Timur masih dibedakan lagi menjadi 2 jenis, yaitu bahasa Jawa Timur dengan dialek Osing dan dialek Jawa Timur. Dialek Osing masih digunakan oleh masyarakat Kabupaten Banyuwangi sebelah Timur. Karena letaknya yang berdekatan, dialek ini banyak dipengaruhi oleh bahasa Bali. Osing sendiri berarti penduduk asli Banyuwangi yang merupakan keturunan rakyat kerajaan Blambangan pada zaman Majapahit. Perbedaannya dengan dialek Jawa Timur, dialek Osing memiliki kekhasan pada fonetiknya. Untuk fonem /i/ dan /u/ pada suku kata yang terbuka menjadi [ai] dan [au], contohnya: alu → alau. Pemakaian dialek Jawa Timur meliputi hampir seluruh wilayah Provinsi Jawa Timur, kecuali Banyuwangi. Pengucapannya biasanya lebih tebal, misalnya bunyi ba pada kata amba yang berarti lebar, dan bunyi beh pada kata kabeh yang berarti semua. Selain itu, ada penghilangan bunyi /w/ pada awal kata, seperti pada kata wétan → étan, weruh → eruh, dan wutu → utuh. Tingkat Tutur Bahasa Jawa Selain keragaman dialek pada bahasa Jawa, penggunaan bahasa ini dapat bervariasi menurut tingkat kedudukan seseorang. Variasi ini disebut tingkat tutur, yang dibedakan berdasarkan umur, derajat tingkat sosial/kasta, dan jarak keakraban antar penutur. Pengguna bahasa Jawa harus mengerti tingkat tutur ini agar tidak salah dalam penggunaannya. Jika tidak, penurut tersebut akan dianggap tidak tahu tata krama/tidak sopan. Tingkat tutur bahasa Jawa dibagi menjadi 3 macam, yaitu bahasa Jawa Krama, Madya, dan Ngoko. Tingkat tutur Krama digunakan kepada yang lebih tua, orang yang belum akrab benar, dan orang dengan status sosial yang lebih tinggi. Penggunaan bahasa ini berarti menggambarkan sopan santun dan rasa menghormati/segan kepada lawan bicaranya. Misalnya komunikasi anak ke orang tuanya, orang yang baru saja bertemu, dan karyawan kepada atasannya. Ada pula istri kepada suami sebagai bentuk penghormatannya, serta memenuhi kewajiban seorang istri untuk patuh dan melayani sang suami. Tingkat tutur Madya atau Ngoko Alus, memiliki banyak kemiripan dengan tingkat tutur Krama. Bahasa ini digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang status sosialnya lebih rendah, namun masih menunjukkan rasa segan yang sedang. Banyak juga yang menggunakan bahasa Madya untuk menunjukkan rasa sayang. Misalnya dari seorang suami ke istrinya, dan sebaliknya. Penggunaan 2 variasi tingkat tutur ini sudah jarang ditemui, selain karena memang lebih sulit dipelajari, juga karena tidak dibiasakan. Untuk tingkat tutur paling umum digunakan, yakni tingkat tutur Ngoko, yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang sederajat atau yang sudah akrab. Penggunaan bahasa ini mencerminkan rasa tidak berjarak antara komunikator dan komunikannya, misalnya dengan teman sebaya, sahabat, dari kakak kepada adiknya, dan dari senior kepada juniornya. Penggunaan Bahasa Jawa di Kota Malang Kota Malang menjadi salah satu kota di Jawa Timur yang menggunakan bahasa Jawa dengan dialek bahasa Jawa Timur. Namun akhir-akhir ini, penggunaannya campur aduk dengan berbagai bahasa karena banyaknya perantau yang mempengaruhi baik pemilihan kata, fonetik, maupun dialek yang digunakan. Sehingga tidak jelas, apakah masyarakat Kota Malang menggunakan bahasa Jawa Timur, Osing, Banyumas, atau yang standar. Begitu pula dengan tingkat tuturnya yang cenderung campuran, antara Ngoko dan Madya. Penutur tingkat tutur Krama juga sudah sangat jarang ditemui. Banyak anak yang menggunakan bahasa Indonesia kepada orang tua atau gurunya. Tidak sedikit sesepuh – orang-orang tua – yang mengeluh ketika mengajak anak-anak muda berbicara bahasa Jawa, malah dibalas dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dibalik hal tersebut, di Kota Malang bisa ditemukan sebuah keunikan dalam penggunaan bahasa, yakni menggunakan Boso Walikan/Osob Kiwalan – bahasa kebalikan. Bahasa yang menjadi tren pada masyarakat Kota Malang ini merupakan bahasa yang beberapa katanya dibolak-balik. Bahasa ini juga menjadi ciri khas kota, seperti apel, bakso, dan pendidikannya. Seperti halnya bahasa Jawa Ngoko, Boso Walikan ini mencerminkan keakraban antar penuturnya. Bisa dibilang, Boso Walikan merupakan bahasa slang dari bahasa Jawa. Meski baru ramai digunakan, Boso Walikan ini sebenarnya sudah digunakan sejak jaman perjuangan Gerilya Rakyat Kota. Bahasa ini bertujuan agar mata-mata Belanda yang merupakan orang pribumi terkelabui, sehingga strategi perjuangan yang disusun para gerilyawan tidak bocor. Penggunaan bahasa ini dapat membedakan mana yang kawan maupun yang lawan, karena bahasa ini tidak mudah dimengerti meskipun pada dasarnya hanya mengubah arah baca yang biasanya dari kiri ke kanan, menjadi kanan ke kiri. Tidak semua kata bisa dijadikan Boso Walikan, selain karena terdengar aneh, kata tersebut sulit diucapkan dan tidak lazim digunakan. Misalnya, dhuwit – uang – tidak bisa diubah menjadi tiwudh, atau celono – celana – diubah menjadi onolec. Asal katanya pun tidak hanya dari bahasa Jawa, beberapa kata diambil dari bahasa Indonesia. Contohnya, makan → nakam, tidur → rudit, dan sepeda → adepes. Selain Boso Walikan, ada kekhasan yang digunakan dalam berkomunikasi oleh masyarakat Kota Malang, antara lain: Beberapa kata ada yang sudah paten dan lazim digunakan, antara lain: Idrek → kerja Ojir → uang Oker → rokok Ebes → bapak Wanyik → dia Sikim → pisau Dengan penggunaan Boso Walikan yang semakin berkembang, beberapa istilah baru pun muncul. Hailuk → kuliah Halokes → sekolah Izig → gizi Beberapa bahasa khas daerah lain juga digunakan. Yoopo → bagaimana Pripun → bagaimana Piye → bagaimana, yang saat ini juga dibalik menjadi eyip Cenderung menggunakan akhiran -a. Wes budhal a? → sudah berangkat? Gelem mangan a? → mau makankah? Gak hailuk a? → tidak kuliah? Ada beberapa kata yang lazim digunakan dalam bahasa Malangan, namun memiliki arti berbeda bagi bahasa Jawa pada umumnya, antara lain: Kon → kamu, dalam bahasa Jawa standar Yogya-Solo, merupakan singkatan dari kata kongkon yang berarti ‘suruh’. Kon mangan ora? Malang : Kamu makan tidak? Yogya-Solo : Disuruh makan tidak? Mari → selesai, dalam bahasa Jawa standar Yogya-Solo berarti ‘sembuh’. Tugasmu wes mari durung? Malang : Tugasmu sudah selesai belum? Yogya-Solo : Tugasmu sudah sembuh belum? Boso Walikan menurut Sudut Pandang Penutur Sesuai dengan sejarahnya, Boso Walikan berfungsi sebagai enkripsi, yakni pengemasan informasi dalam sebuah bahasa sehingga orang awam tidak mudah mengerti informasi tersebut tanpa memiliki pengetahuan mengenai bahasa tersebut. Fungsi tersebut masih berlaku sampai sekarang. Beberapa penutur mengaku menggunakan Boso Walikan untuk menyembunyikan isi pesan dari orang-orang yang tidak diinginkan. Boso Walikan bukan semata-mata sebagai bahasa “gaul” biasa, namun ada arti tersendiri bagi para penuturnya. Bahasa unik ini mencerminkan siapa dan dari mana mereka berasal. Beberapa penutur bahkan sudah akrab dengan bahasa ini sejak mereka kecil, namun penggunaannya sebagai variasi. Untuk bahasa sehari-harinya, mereka tetap menggunakan bahasa Jawa dengan tingkat tutur Ngoko. Secara garis besar, dapat dikatakan sebagai identitas dari warga Malang atau orang-orang yang pernah tinggal di Malang. Bisa jadi ketika berada di luar daerah, antar satu orang dengan orang lain yang sama-sama mengerti dan menggunakan bahasa ini akan merasa lebih akrab, karena merasa adanya kesamaan pengalaman dalam berbahasa. Sebaliknya untuk orang-orang yang tidak mengerti bahasa ini, akan merasa bahwa mereka bukan berasal dari daerah yang sama, sehingga cenderung tidak akrab atau bahkan menjauh karena perbedaan pengalaman. Penutur bahasa ini patut merasa bangga atas skill dan kemampuan mereka dalam menggunakan Boso Walikan, karena bahasa ini bukan bahasa yang mudah. Penutur harus berbicara sambil berpikir bagaimana menyertakan bahasa ini agar pembicaraan tetap memiliki makna dan pesan tetap dapat tersampaikan dengan baik Sebagian besar penuturnya terdiri dari kalangan menengah ke bawah. Kita bisa menemuinya di beberapa tempat, seperti daerah-daerah pinggiran kota dan pasar. Tidak jarang pula di tengah kota, seperti daerah Celaket, Klojen, Mergosono, dan Gadang. Selain itu, Boso Walikan juga sering digunakan oleh supporter klub sepak bola terbesar di Kota Malang, yakni Arema. Contoh penggunaannya yakni “Arema Ongis Nade” yang berarti Arema Singo Edan, sebagai semboyan klub tersebut. Boso Walikan bagi Orang Awam Banyak orang awam dan pendatang yang menganggap bahwa Boso Walikan merupakan bahasa yang aneh dan tidak mudah dimengerti, khususnya bagi pendatang dengan bahasa daerah yang berbeda. Meskipun banyak dari mereka yang mengerti percakapan dasar Bahasa Jawa, Boso Walikan tetap dirasa asing dan sulit untuk dipraktekkan. Namun peribahasa “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” tetap berlaku bagi beberapa pendatang. Berbekal bahasa daerah yang sama, yakni bahasa Jawa, mereka mengaku menggunakan Boso Walikan agar lebih dekat dengan orang-orang asli Malang. Sesuai yang telah dibahas pada sub bab peran bahasa dalam komunikasi, kesamaan bahasa bisa memudahkan komunikator dalam bergaul satu sama lain. Warga asli Malang juga tentunya akan merasa dihargai apabila warga lain turut menggunakan bahasa ini. Boso Walikan merupakan salah satu budaya yang perlu dilestarikan, karena bahasa ini lahir dari kreativitas anak bangsa. Banyak warga Malang yang tidak menggunakannya. Hal tersebut bisa disebabkan karena tidak terbiasa, sehingga merasa malu atau kaku untuk mengucapkannya. Beberapa juga salah dalam penggunaan bahasa yang unik ini, karena ketidak-pahaman akan aturan baku dan pakemnya. Pada dasarnya Kota Malang memang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Namun sudah sejak lama masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timur yang khas. Jika dibandingkan dengan bahasa Jawa standar di Yogyakarta dan Solo, bahasa yang digunakan di Kota Malang cenderung kasar, seperti halnya di Surabaya. Gaya bahasanya terkesan blak-blakan, menunjukkan ketegasan, lugas, dan tidak banyak basa-basi. BIOGRAFI PENULIS ADEK KHARISMA REZAL FAJRIN, lahir pada 12 November 1994 di Malang – Jawa Timur sebagai anak kedua dari pasangan Wimbo Karno Rusetyo Budi (Alm.) dan Alfiah Udayani. Setelah menempuh pendidikan formal di SD Negeri Mulyorejo 1 Malang, SMP Negeri 8 Malang, dan SMK Telkom Sandhy Putra Malang, penulis melanjutkan pendidikan tinggi di S1 Ilmu Komunikasi pada tahun 2013. Sedari kecil, penulis hobi membaca buku dalam bentuk majalah, komik, novel, dan buku pengetahuan. Selain membaca, penulis juga tertarik dalam bidang seni, seperti menyanyi, bermain musik, membuat seni rupa, fotografi, dan beberapa kali tampil membaca puisi, serta menjadi dai cilik. Penulis juga menjadi vokalis nasyid sejak masih duduk di kelas 5 SD. Saat SD, penulis menjadi ketua regu pramuka di gudepnya. Saat SMP, selain mengikuti ekstrakulikuler, penulis juga pernah mengikuti olimpiade Pasiad Matematika. Saat SMK aktivitasnya merambah ke dunia jurnalistik dan menjadi koordinator nasyid di Badan Dakwah Islam. KATA PENGANTAR Anonim. 2014. Kota Malang. (Online). (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Malang#Bahasa, diakses 22 Maret 2015). Anonim. 2015. [Ngalamers Harus Tahu] Sejarah Boso Walikan. (Online). (http://halomalang.com/serba-serbi/ngalamers-harus-tahu-sejarah-boso-walikan, diakses 22 Maret 2015). Bayu. 2010. Perbedaan Bahasa Jawa Yogya dan Malang. (Online). (http://bayukw.blogspot.com/2010/07/perbedaan-bahasa-jawa-yogya-dan-malang.html, diakses 22 Maret 2015). Hasan, Muhammad. 2013. Penerapan Stratifikasi Bahasa Jawa dalam Komunikasi Internal Keluarga Besar Kyai di Pondok Pesantren Wilayah Kecamatan Senori Kabupaten Tuban. (Online). (http://muhammadhasan-fib11.web.unair.ac.id/artikel_detail-71268-TUKUL%20%28Tugas%20Kuliah%29-PENERAPAN%20STRATIFIKASI%20BAHASA%20JAWA%20DALAM%20KOMUNIKASI%20INTERNAL%20KELUARGA%20BESAR%20KYAI%20DI%20PONDOK%20PESANTREN%20WILAYAH%20%20KECAMAAN%20SENORI%20KABUPATEN%20TUBAN.html, diakses 22 Maret 2015). Lassta, Adi. 2011. Sak Klérapan. (Online) (http://osobngalam.blogspot.com/, diakses 22 Maret 2015). Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Wedhawati dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: KANISIUS.