Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Bab 2 bk

BAB II PEMBAHASAN Pengertian Kesulitan Belajar Definisi kesulitan belajar banyak variasinya. Variasi definisi kesulitan belajar adalah berasal dari berbagai disiplin ilmu seperti kesehatan, psikologi, bahasa, dan pendidikan (Michael L. Hardman, 1993). Pendidikan menggunakan istilah kesulitan belajar spesifik (spesific learning disability). Psikologi menggunakan istilah penyimpangan presepsi dan tingkah laku hiperkinitik (perceptual desorders and hyperkinitic behavior). Bahasa (speech and language) menggunakan istilah apasia dan diskleksia (aphasia and dylaxia). Kesehatan (medicine) menggunakan istilah rusak otak (minimal brain clemage) difungsi minimal otak ( brain impairment). Istilah yang umum digunakan adalah luka otak, difungsi minimal otak, dan kesulitan belajar. Pada tujuan historis telah di jelaskan bahwa istilah kesulitan belajar pertama kali di sampaikan oleh Samuel Krik (1963). Mengenai kesulitan belajar ini di gunakan berbagai istilah yang muncul sebelumnya. Istilah ini diterima secara luas di Amerika Serikat. Biarpun istilah ini telah disetujui secara umum, tetapi variasi pengertian yang beragam masih terjadi. NACHC (National Advisory Committee on Handicapped Children) yang dibentuk tahun 1968 mempergunakan definisi USOE (U. S. Office of Education) yang tertulis dala Publik Law 91 – 230 (PL 91 – 230) sebagai berikut: Siswa dengnan kesulitan belajar khusus mendapat gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang melibatkan pengertian atau penggunaan dalam bicara dan menulis bahasa. Gangguan tampak dalam pendengaran, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, dan berhitung. Gangguan ini juga termasuk kondisi seperti cact persepsi (perceptual handicapes), luka otak, disfungsi minimal otak, dislaxia, perkembangan aphasia. Gangguan ini tidak termasuk problem-problem belajar yang disebut cacat penglihatan, cacat pendengaran, retardasi mental, gangguan emosional, atau gangguan lingkungan. Definisi ini mendapatkan kritikan banyak ahli. Meln Bosh dan Dunn (1973) mengatakan bahwa definisi ini tidak menyebutkan tingkat kesulitan agar mudah ditentukan kualitas pelayanan individual. Cecil D. Mercer (1983) menambahkan kritikan sebagai berikut: (1) Kesenjangan antara kemampuan potensial dan kemampuan aktual, (2) Istilah proses dasar psikologis kurang jelas, (3) Definisi tidak mempunyai penyebab kejadian yang konsisten. Definisi ini disempurnakan dalam Publik Law 94 – 142 seperti dijelaskan oleh USOE (1976) sebagai berikut: At presens the only generally accepted manifestation of specific learning disability is that there is a major discrepancy between expected achievement and ability which is not the result of other kno wn and generally accepted handicapping conditions or circumtances. Pengertian ini secara umum menerima manifestasi kesulitan belajar spesifik yaitu kesenjangan umum antara hasil belajar yang diharapkan dan kemampuan. Kesenjangan ini sangat penting untuk karakteristik kesulitan belajar. Oleh karena itu, definisi federal mengusulkan bahwa anak yang berprestasi belajar 50% dibawah hasil belajar yang diharapkan tersebut disebut anak berkesulitan belajar. Definisi Federal PL 94 – 142 diadopsi oleh NACHC, juga dikutip oleh Cecil D. Mercer (1993). Definisi kesulitan belajar spesifik adalah gangguan dari satu atau lebih proses psikologis dasar yang terjadi dalam pengertian atau dalam berbicara, atau tulisan bahasa. Manifestasi gangguan ini dapat berupa kesulitan dalam mendengar, menulis, berpikir, berkata, membaca, mengeja, atau mengerjakan hitungan matematikan,. Istilah-istilah yang muncul dealam pengertian ini adalah kelainan persepsi, luka otak, disfungsi minimal otak, deslexia, dan perkembangan aphasia. Dalam istilah ini tidak termasuk anak yang mempunyai permasalahan dalam belajar yang disebabkan oleh penglihatan, pendengaran, kelainan gerakan, retardasi mental, gangguanemosional, atau permasalahan belajar yang berasal dari kemiskinan, lingkungan, budaya, atau ekonomi. Definisi tersebut perlu memperhatikan lima komponen besar, yaitu: (1) komponen proses, (2) komponen bahasa, (3) komponen akademik, (4) komponen neurologis, dan (5) kmponen inklusi, (Cecil D. Mercer, 1983). Komponen proses psikologis dapat diinterpretasi dalam tiga hal yakni, gerak perseptual, psikolinguistik, dan proses kognitif. Proses gerak perseptual terdiri atas persepsi visual, perserpsi haptik, intergrasi intersensory. Proses psikolinguistik terdiri atas penerimaan visual, penerimaan pendengaran, dan ekspresi verbal. Proses kognitif terdiri atas perhatian selektif, ingatan impulsivitas. Proses ini dapat berpengaruh pada pengertian berbicara, dan menulis bahasa. Komponen bahasa melibatkan pengertian, atau penggunaan bahasa, bicara, dan menulis, dan menjaga. Komponen akademik dapat berupa kemampuan yang tidak sempurna, membaca, dan mengerjakan kalkulasi mtemayika. Kemampuan neurologis termasuk pertimbangan dalam disfungsi sistem syaraf pusat. Perwujudan dari komponen neurologis ini adalah luka otak, disfungsi minimal otak, deslaxia, dan perkembangan aphasia. Komponen inklusif tampak pada pernyataan dalam definisi yang mengatakan bahwa istilah ini tidak termasuk siswa yang mengalami permasalahan belajar yang disebabkan cacat penglihatan, pendengaran, dan gerak retardasi mental, gangguan emosional, atau lingkungan budaya atau kemiskinan ekonomi. Definisi tersebut di atas juga mengadakan identifikasi kriteria terhadap kesulitan belajar. Menurut Janet Learner (1985) seorang siswa dinyatakan berkesulitan belajar spesifik jika (1) anak tidak mencapai tingakat kemampuan satu atau lebih dari mata pelajaran apabila diberikan pengalaman belajar yang tepat, dan (2) siswa mempunyai kesenjangan yang berat antara hasil belajar dan kemampuan intelektual dalam satu atau lebih dari ekspredi oral, pendengaran komprehensip, ekspresi tulisan, keterampilan dasar membaca, membaca komprehensip, kalkulasi matematika, dan resoning matematika. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan empat konsep tentang kesulitan belajar spesifik, seperti dibawah ini: (1) seseorang yang mempunyai gangguan satu atau lebih dari prose psikologis dasar seperti prerequisite, kemampuan instrinsik seperti memori, persepsi pandangan, presepsi penglihatan, dan bahasa oral, (2) seorang yang mempunyai kesulitan belajar spesifik dalam berbicara, mendengar, menulis, membaca (terampil dan komprehensip), matematika (perhitungan dan reasoning), (3) permasalahan bukan disebabkan oleh cacat penglihatan, pendengaran, dan gerakan, mental retardasi, gangguan emosional, kemiskinan ekonomi, lingkungan dan budaya. (4) kesenjangan berat ada antara kemampuan potensial dan hasil belajar yang rendah. Cecil D. Mercer (1983) mengatakan bahwa meskipun definisi federal PI 94 – 142 itu merupakan definisi resmi dari pemerintah, tetapi para ahli mengkritik definisi tersebut karena banyak hal yang kurang tepat. Hal-hal tersebut karena banyak hal yang kurang tepat. Hal-hal tersebut adalah: (1) kesulitan belajar dapat terjadi pada seumur umur, maka dengan menggunakan istilah anak tidak tepat; (2) Istilah proses psikologis dasar yang dinyatakan secara ekstensif barangkali membutuhkan diskusi di lapangan; (3) Spelling tidak perlu dimasukkan dalam definisi itu sebab spelling merupakan ekspresi dari tulisan; (4) memasukkan istilah lain seperti luka otak, disfungsi minimal otak, deslaxia dan, aphasia kurang tepat, bahkan membingungkan, dan salah konsepsi; (5) Pengertian ini dapat menimbulkan kekacauan karena gejala kesulitan belajar, dapat muncul bersamaan dengan atau tanpa adanya kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi. Definisi kesulitan belajar juga diajukan oleh Hamil (1991), Cecil D. Mercer (1983), Janet Learner (1985), National Joint Committee on Learning Disability (1993). Definisi ini diajukan untuk mengurangi kritik-kritik yang tajam dari para ahli. Adapun definisi tersebut sebagai berikut: kesulitan belajar merupakan istilah umum (generik term) yang menunjukkan sekelompok kesaulitan yang heterogen diwujudkan melalui kesulitan yang signifikan dalam akuisiasi (kemahiran) dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis, menalar, dan matematika. Kesulitan belajar dapat bersamaan dengan kondisi kecacatan yang lain (gangguan sensory, reterdasi mental, gangguan sosial dan emosi) atau pengaruh lingkungan (seperti perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, dan faktor psikogenik), berbagai kesulitan tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung dari kesulitan tersebut. Cecil D. Mercer (1983) menyatakan bahwa definisi NJCLD ini telah mengeliminasi proses psikologis dasar menyetujui keberadaan, kesulitan belajar untuk semua umur, dan menekankan posisi model kesulitan medis (Desorder Medical). Janet Learner (1985) menjelaskan babhwa konsep-konsep penting dalam definisi ini adalah (1) kesulitan belajar merupakan kelompok gangguan yang heterogen; (2) permasalahan adalah intrinsik pada individu (kesulitan belajar lebih disebabkan oleh faktor dalam diri anak daripada faktor dari luar, saeperti lingkungan dan sitem pendidikan; (3) permasalahan dipikirkan sebagai terkait dengan disfungsi sistem syaraf otak (definisi ini mengakui basis problem biologis); (4) Kesulitan belajar dapat terjadi bersamaan dengan kecacatan yang lain seperti gangguan emosional. Hamil (1990) mengatakan bahwa definisi perlu dikritisi dengan berbagai pertimbangan, yaitu (1) Definisi ini menggambarkan kesulitan belajar sebagai istilah umum yang menunjukkan adanya sekelompok kesulitan yang heterogen; (2) Seorang dengan kesulitan belajar harus merupakan kesulitan yang nyata (signifikan). Penggunaan kata signifikan merupakan usaha nyata untuk mengubah konotasi kesulitan ringan; (3) Definisi ini memandang kesulitan belajar sebagai problem sepanjang hidup dan menempatkan dalam kesulitan yang lain sama baiknya sebagai perbedaan kultural. Persoalan ini merupakan pembaharuan yang penting dari usaha definisi yang terdahulu. Ketiga pendapat tersebut saling melengkapi dalam mengkritisi definisi yang diajukan oleh NJCLD. Mulyono Abdurahman (1996) menyatakan bahwa meskipun definisi dari NJCRD lebih baik daripada definisi federal PL - 94 - 142, tetapi ini belum diterima oleh Assosiation For Children And Adults With Learning Disabilities (ACLD). Definisi ini juga dikutip oleh Daniel Hallahan, James M. Kauffman (1988) sebagai berikut : Kesulitan belajar spesifik merupakan kondisi kronis yang diduga bersumber murni dari neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan, Integrasi dan atau demonstrasi verbal dan atau kemampuan nonverbal. Kesulitan belajar spesifik berada sebagai pembeda kondisi kecacatan dalam keadaan intelegasi rata-rata sampai dengan superior, sistem motor dengan sensori penuh, dan kesempatan belajar yang maksimal. Variasi kondisi dalam perwujudannya dan derajad berat ringannya. Kondisi tersebut berpengaruh pada harga diri pendidikan, pekerjaan, sosialisasi dan atau aktivitas kehidupan sehari-hari. Definisi tersebut menengaskan bahwa mereka yang memiliki kemajuan intelektual (inteligensi) di atas rata-rata. Jika dikaitkan dengan kesenjangan antara kemampuan potensial dan kemampuan aktual, kesulitan belajar apabila inteligensi di atas rata-rata, tetapi hasil belajarnya di bawah rata-rata. Oleh karena itu, anak berkesulitan belajar dapat diuji secara empirik dengan membandingkaan tingkat inteligensi dan hasil belajar. Jika inteligensi anak di atas rata-rata dan hasil belajarnya di bawah rata-rata anak tersebut disebut anak berkesulitan belajar. Definisi kesilitan belajar ada bermacam-macam. Pembahasan bermacam-macam definisi tersebut di atas, memberikan gambaran adanya keperluan sebagai berikkut (Janet Leanner, 1995): (1) Kesulitan belajar telah datang dari berbagai disiplin ilmu. Permasalahan diterima dan disetujui secara luas dari seorang berkesulitan belajar, telah diidentifikasi oleh banyak disiplin ilmu, profesi, organisasi, dan bangsa-bangsa di sunia. (2) sasaran dari penemuan salah satu definisi tentang kesulitan belajar yang dapat diterima oleh semua ahli mungkin tidak mudah. Hakikat dari permasalahan kesulitan belajar sangat tinggi sifat individualitasnya dan solusi penerapannya harus luwes dan adaptif. Beberapa sekolah mengusulkan perlu adanya beberapa definisi yang diperlukan untuk masing-masing tips; (3) tampaknya diperlukan definisi kesulitan belajar. Perbedaan definisi diinginkan oleh berbagai profesi, tingkat umur, populasi, dan tingkat kesulitan belajar (ringan, sedang, berat). Dari uraian di tas, dapat disimpulkan elemen-elemen kesulitan belajar, adalah (1) disfungsi neurologis, (2) pola pertumbuhan yang tidak seimbang, (3) kesulitan akademik dan tugas-tugas belajar, (4) kesenjangan antara belajar dan kemampuan potensial (IQ). (5) tertutup (exclusif) bagi sebab-sebab lain, budaya, pengajaran, dan kemiskinan lingkungan. Anak berkesulitan belajar sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari anak luar biasa merupakan persoalan yang baru. Oleh karena itu, perlu pemahaman terhadap anak berkesulitan belajar ditinjau secara historis, empiris, dan teoretis. Ketiga tinjauan ini dapat memberi gambaran yang luas terhadap pemahaman anak berkesulitan belajar. Tinjauan historis, empiris, dan teoretik fiosofis dapat mengantarkan pada pemahaman terhadap pengertian dan karakteristik anak berkesulitan belajar yang bervariasi . bervariasinya anak berkesulitan belajar mengarahkan pembaca untuk memahami adanya klasifikasi berkesulitan belajar. Oleh karena itu anak berkesulitan belajar terdapat pada siswa taman kanak – kanak, siswa sekolah dasar, dan siswa sekolah menengah. Prevalensi siswa kesulitan belajar di Amerika Serikat dapat diketahui melalui laporan resmi dari Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Siswa berkesultan belajar di indonesia belum diketahui dengan pasti. Secara kasar prevalensi siswa berkesulitan belajar diperkirakan sebesar enam belas persen (16%) dari poulasi siswa sekolah. Siswa berkesulitan belajar merupakan persoalan yang perlu ditangani. Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor penyebab kesulitan belajar tersebut. Setiap anak baik anak normal, anak luar biasa, maupun anak berkesulitan belajar mempunyai kemampuan potensial yang disebut intelegensi. Untuk mengetahui kemampuan potensial, diperlukan alat pengukur, agar dapat diketahui derajat/tingkat kemampuan otensial tersebut. Kemampuan anak berkesulitan belajar baru diketahui jika dibandingkan antara kemampuan potensi dan kemampuan aktual yang bisa disebut prestasi belajar. Orang tua merupakan faktor yang memberi sumbangan terhadap penanganan anak berkesulitan belajar. Untuk itu perlu diketahui peran serta orang tua dalam menangani anak berkesulitan belajar, baik di rumah maupun di luar rumah melalui organisasi-organisasi orang tua maupun profesi orang lain. Karakteristik Kesulitan Belajar Seperti telah diuraikan di muka bahwa penduduk yang mengalami kesulitan belajar merupakan kelompok yang heterogen. Setiap siswa adalah unik dan dapat menunjukkan kesulitan dalam satu daerah atau dapat pula lebih. Daerahnya (range) dapat kombinasi (Cecil D. Mercer, 1983). Orang tertentu berkesulitan belajar Matematika, tetapi orang lain justru baik/pandai dalam Matematika. Banyak siswa mengalami hiperaktif dan persepsi sebagai permasalahan syndrome, tetapi tidak semua siswa mengalaminya. Jenis karakteristik tertentu tampaknya menunjukan tingkat umur tertentu. Anak-anak yang lebih cenderung hiperaktif daripada pemuda. Gangguan dapat diwujudkan dalam cara yang berbeda-beda. Pada tingkat umur yang berbeda. Gangguan bahasa tampak sebagai problem berbicara pada anak pra sekolah, ganguan membaca pada anak usia sekolah dasar (Elementary Age Student), gangguan menulis pada siswa SMP (scondary Student) (janet Lenner,1985). Karakteristik kesulitan belajar tampak pada (1) gangguan perhatian adalah hieraktif, pengalihan perhatian; (2) kegagalan untuk mengembangkan dan memobilisasi strategi untuk belajar, mengorganisasi belajar, kerangka belajar aktif, dan fungsi-fungsi metakognitif; (3) lemah dalam kemampuan gerak antara koordinasi gerakan baik dan kasar, kegagalan umum dan canggung, persoalan-persoalan spasial; (4) permasalahan-permasalahan persepsi antara lain perbedaan stimulus penglihatan, pendengaran, closure dan cequensi pendenganran, dan penglihatan; (5) kesulitan bahasa lisan, pendengaran berbicara daftar kata, kemampuan linguistik; (6) kesulitan belajar antara lain pengkodean, ketrampilan dasar membaca, membaca komprehensif; (7) kesulitan menulis bahasa, antara lain mengeja, tulisan tangan, mengarang; (8) kesulitan matematika, antara lain pemikiran kuantitatif, berhitung, waktu, ruang dan menghitung fakta; (9) tingkah laku sosial yang tidak pantas antara lain persepsi sosial, tingkah laku emosi, penegakkan saling berhubungan. Cecil D. Mercer (1983) memberikan gambaran karakteristik anak berkesulitan belajar sebelum kesulitan kesulitan belajar dan karakteristik kesulitan belajar temporer. Karakteristik kesulitan belajar sebelum istilah ini digunakan secara umum mulai tahun 1963 Clement (1966) mencatat sepuluh karakteristik disfungsi minimal otak yang dicatat dengan menggunakan tata jenjang. Kesepuluh gambaran symtom disfungsi minimal otak yang didefinisikan tersebut di atas sebagai berikut : (1) hiperaktif suatu gerakan tingkah laku yang berorientasi pada sasaran dan kerapkali kacau; (2) ganguan gerak persepsi merupakan permasalahan koordinasi perndengaran dan pengelihatan, atau input visual dengan respon gerakan umpama pengkopian kata atau bilangan; (3) ganguan emosional merupakan perpindahan tingkah laku normal yang tidak tampak secara langsung dan terkait dengan situasi tertentu; (4) ganguan orientasi umum merupakan kesulitan dangan bermacam-macam gerak perpindahan (berpindah-pindah); (5) ganguan perhatian merupakan rentang perhatian singkat/pendek dan kebingungan secara umum umpama menyimpan perhatian yang relevan dengan tugas; (6) impulsivitas merupakan tingkah laku tanpa berfikir konsekuensinya; (7) ganguan ingatan dan berfikir meruapakan kesulitan untuk mengingat kembali informasi yang telah di kuasai dan persoalan dalam menyusun konsep yang komperehensif; (8) kesulitan belajar spesifik merupakan kesulitan ktrampilan akademik membaca, menulis, berhitung dan atau mengeja; (9) ganguan bicara dan pendengaran, merupakan kesulitan mengerti dan mengingat secara bahasa, ganguan dalam artikulasi dan kesulitan dalam mengekspresikan dirinya sendiri secara verbal, dengan menggunakan kata-kata dan tata bahasa yang benar; (10) tanda/gejala neurologis samar-samar seperti problem gerak, problem persepsi dan perkembangan bahasa yang tidak seimbang dengan daerah gerakan. Karakteristik kontenporer disajikan secara berturut-turut sebagai berikut : (1) kesenjangan yang mula-mula diajukan oleh Bateman (1964) diterima dan dikembangkan untuk mengidentifikasi kesulitan belajar; (2) kesulitan ketrampilan akademik telah di terima secara umum sebagai karakteristik kesulitan belajar terdiri dari ketrampilan dasar membaca, membaca komprehensif , ekspresi tulisan dan kalkulasi matematik, resoning matematika. Gangguan bahasa seperti membaca, dan kesulitan matematik telah banyak diinterprestasu dengan konsep kesenjangan; (3) ganguan presepsi menimbulkan bermacam-macam istilah seperti prsepsi visual diskriminasi visual, ingatan visual, diskriminasi pendengaran, ingatan pendengaran, dan integrasi intersensory; (4) ganguan gerak mayers dan hamil (1992) mencatat lima daerah kesulitan belajar yaitu hiperaktif, hipoaktif, lemah dalam koordinasi gerak yang baik dan kacau, kecanggungan secara umum; (5) permasalahan emosi sosial merupakan perilaku menyimpang. Seorang yang frustasi dengan kesulitan belajarnya, tindakan yang tidak senonoh dan menginginkan perasaan negatif tentang harga diri. Rapport ( 1975) mencatat emosi anak berkesulitan belajar berkembang secara langsung dari anak normal, jika seseorang anak mengerjakan sesuatu yang tidak dapat dikerjakan maka akan menghasilkan konsep diri dan harga diri yang lemah. Bryan dan Bryan ( 1978) menemukan bahwa dalam pertemuan kelas kerap memandang anak berkesualitan belajar sebagai orang yang tidak menginginkan teman (menyindiri). Daerah emosi sosial yang mungkin tepat untuk diadakan intervensi pada anak ini yaitu hiperaktif kecanggungan, kekacauan/kebingungan, lemah konsep diri,impersepsi sosial, impulsive, perilaku tidak senonoh, menarik diri, ketergantungan dan pemeliharaan; (6) Problem memory (ingatan) pada tahun 1970-an memory diterima dengan penuh perhatian, tetapi kesimpulan yang disajikan sangat sedikit. Hallahan dan Kauffman (1982) mencatat bahwa biasanya anak berkesulitan belajar mempunyai permasalahan pengingatan pendengaran dan stimulus penglihatan. Guru berkala-kali melaporkan siswa ini lupa mengeja kata, fakta matematika, dan pengarahan/petunjuk guru. Torgisan dan Kail (1980) memberikan kesimpulan sebagai berikut: (a) siswa berkesulitan belajar gagal menggunakan strategi yang biasa digunakan anak norma; (b) siswa berkesulitan belajar dapat mempunyai kesulitan ingatan sebab keterampilan bahasa lemah. Jadi, materi verbal mungkin sulit untuk diingat; (7) Problem perhatian dan hiperaktif siswa yang berkesulitan belajar harus menyetujui dan menyimpan pemikiran dari tugas-tugas sekolah agar berhasil di sekolah. Siswa dengan problem perhatian tidak dapat memilih stimulus dari luar dan stimulus yang tidak relavan, yang menyerangnya. Disamping itu, dia mengalami perbuatan-perbuatan seperti rentang perhatian pendek kebingungan, dan hipersensitif. Banyak peneliti telah mencatat keberadaan problem perhatian (Hallahan dan Kauffman, 1982). Klasifikasi Kesulitan Belajar Seperti telah diuraikan di muka bahwa keasulitan belajar merupakan kelompok yang heterogen dari sistem sistem dan karakteristik klasifikasi belajar baru telah dilakukan melalui penelitian dan telah aturan-aturan tentang kesulitan belajar. Janet Lenner (1985) mengatakan bahwa banyak penelitian yang tertarik dalam mengklasifikasikan subtype (bagian-bagian)dari kesulitan belajar. Penelitian semacam ini dapat membantu mengklarifikasikan definisi dan memberi arahan ynag lebih efektif terhadap assessment dan remediasi. Ada bukti bahwa kesulitan belajar bukan single sindrome (satu sindrom) dan populasi kesulitan belajar jatuh dalam subtype (bagian-bagian). Kirk dan Calfant (1984) mengusulkan dua tipe yaitu kesaulitan belajar perkeambangan dan kesulitan bealajar akademik. Kesulitan belajar perkembangan termasuk keterampilan prosant yang diperlukan siswa supaya menguasai mata pelajaran akademik (perhatian, memori, keterampilan persepsi, keterampilan berpikir, keterampilan bahasa lisan). Kesulitan belajar akademik mengacu pada perolehan hsial belajar di sekolah (membaca, berhitung, menulis, mengeja, eksplorasi tulisan). Mc Kenney (1984) mengadakan penelitian terhadap kesulitan belajar menemukan empat subtype anak berkesulitan belajar. Pertama 33% rata-rata keterampilan verbal, gangguan dalam keterampilan sequensi dan special, lemah dalam orientasi bebas dan tugas, kuat dalam inteligensi pada test Weschler Intelegence Seale for Children Revoised (WISC – R). Kesulitan belajar sedang dala m membaca matematika, 60% laki-laki, kedua 10% lemah dalam informasi umum, hitung dan nesrenan gambar on WISC_R, gangguan berat pada daerah akademik, angka rendah dari guru pada skala tingkah laku, kurang pertimbangan dalam memperhitungkan sesuatu, lebih menentang guru, sangat lemah dalam tugas orientasi; ketiga (47%), 93% laki-laki, keterampilan konseptual di atas rata-rata pada WISH –R, gangguan sedang pada daerah aka-demik, tidak terbukti penyimpangan tingkah laku, keteram-pilan verbal rata-rata, gangguan dalam sequensi dan orientasi tugas. Michael L. Hardman, dkk (1993) menyatakan bahwa seseorang yang dilabel berkesulitan belajar hadir konstalasi tingkah laku dan kondisi kompleks. Biarpun demikian, orang dengan kesulitan belajar jarang secara formal diklasifikasi secara formal dalam pembedahan kategori berat. Sebagaian dicacat kesulitan belajar secara umum tampak sebagai penyimpangan sedang meskipun fakta klinis telah diobservasi rentangan simtom dari ringan sampai dengan berat. Peraturan federal dan regulasi mengaitkan pada IDEA dialamatakan pada issue hal berat (Severity) seberapa luas? Sesuai dengan peraturan dan regulasi, jenis kriteria untuk klasifikasi bagi anak yang berkesulitan belajar harus dedasarkan pada keberadaan kesenjangan berat antara kemampuan dan hasil belajar. Penentuan untuk penempatan dikaitkan pada (1) Apakah hasil dari diperoleh anak sepadan / setaraf dengan umurnya dan kemampuan jika diberikan perngalaman, pendidikan yang tepat; (2) Apakah anak mempunyai kesenjangan berat antara hasil belajar dam kemampuan intelektual dalam satu atau lebih dari tujuh saerah (mata pelajaran) yang berkualitas dengan keterampilan, komunikasi, kemampuan matematika. Anak berkesulitan belajar harus ditentuan atas dasr perseorangan dan kesenjangan belajar harus ditentukan atas dasar perseorangan dan kesenjangan berat antara hasil belajar dan kemampuan intelektual pada satu atau lebih pada daerah sebagai berikut: (1) ekspresi lisan, (2) pendengaran komperatif, (3) ekspresi tulisan, (4) keterampilan dasar membaca, (5) membaca komprehensif, (6) kalkulasi dan pemikiran matematika. Makna lebih jauh tentang kesenjangan berat (server discrepancy) terbuka untuk diperdebatkan oleh para ahli, meskipun istilah berat sebagai parameter klasifikasi dalam pengukuran bukan khusus. Berapakah angka (grade level) kesenjangan antara hasil belajar dan kemampuan yang diharapkan yang dapat diterima, 25%, 35%, atau 50%? Dari literature yang ada kesepakatan tentang tingkatan (degree). Meskipun demikian, karakteristik dan klasifikasi kesulitan belajar merupakan tantangan perilaku ilmiah yang akan datang. Dua pendapat tersebut saling melengkapi terhadap klasifikasi kesulitan belajar. Klasifikasi pertama, menitikberatkan jenis-jenis kesaulitan belajar. Klasifikasi kedua menekankan ukuran kesenjangan yang diterima oleh para ahli. Pada jenis kedua disamping menekan kesenjangan juga lebih menekan pada kesulitan beljar akademik pada tujuh daerah kesulitan belajar. Tinjauan Historis Anak Berkesulitan Belajar Anak berkesulitan belajar sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari anak luar biasa merupakan persoalan yang baru. Oleh karena itu, perlu pemahaman terhadap anak berkesulitan belajar ditinjau secara historis, empiris, dan teoretis. Ketiga tinjauan ini dapat memberi gambaran yang luas terhadap pemahaman anak berkesulitan belajar. Tinjauan histori anak luar biasa ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran anak luar biasa dari zaman kuno dari dulu sampai sekarang. Pandangan tentang anak luar biasa dan penanganannya pada tiap-tiap zaman dibagi menjadi periode tertentu. Periode-periode itu menurut Frank M. Hewet dan Steven R. Forness, (1974) dibagi menjadi 7 periode, yaitu : (1) Primitive and Ancient (3000 BC – 500 BC), (2)Greak and Roman and Seventeenth (500 BC – AD 400), (3) Middle ages (AD 400 - 1500), (4) Sixteenth and Seventeen Century, (5) Eighteenth Century, (6) Nineteenth Century, (7) Twenteenth Century, Masing-masing periode ini disajikan dalam 4 hal yaitu: (1) Survival, (2) Supersition, (3) Science, (4) Service. Pada zaman Yahudi anak luar biasa adalah anak menyimpang yang dihukum Tuhan. Di Cina anak luar biasa dipandang sebagai sakit mental. Babilonia dengan hukum Hamorabi melindungi setiap wanita dan anak-anak, tetapi tidak ada petunjuk untuk anak cacat. Masyarakat yang memeluk agam Kong Hu Tju (551479 SM), Budha (563-479 SM), Kristen (0-33 SM), dan Islam (569-622 SM) menganjurkan mengasihi umat yang kurang beruntung, tetapi kecacatan dianggap akibat dari dosa. Pada masyarakat Yunani dan Romawi penyandang cacat dibinasakan karena dianggap kendala bagi pembentukan bangsa yang kuat. Penyandang cacat mental dijadikan hiburan atau pelawak bagi orang-orang kaya. Hippocrates bahwa anak luar biasa bukan disebabkan karena kemarahan tuhan tetapi suatu penyakit. Plato menyatakan sakit mental bukan berasal dari Tuhan, tapi berasal dari keluarga (orang tua). Plato mulai memikirkan penanganan berintilegensi tinggi (Frank M. Hewitt dan Steven R. Forness, 1974). Pada abad pertengahan keberadaan penyandang cacat diakui oleh masyarakat, tetapi nasib penyandang cacat sangat memprihatinkan. Banyak yang menjadi peminta-minta dan penghibur. Benyak yang menjadi pemusik tetapi tidak dihargai sebagai pemusik profesional. Pada zaman Renainsance para penyandang cacat seperti cacat mental, gangguan emosi, cacat fisik, dan epilepsi ada yang dijadikan sebagai penghibur raja, peramal atau petunjuk tentang alam seperti bintang, bulan dan matahari (Sunardi 1996). Para penyandang cacat ini dianggap sebagai orang yang kerasukan roh jahat, halus dan dianggap bukan manusia yang layak untuk menikmati kesejahteraan hidup. Pada abad XVI sampai abad XIX mulai ada pengakuan dan peghargaan kepada anak penyandang cacat. John Locke (1690) membedakan antara retardasi mental dan sekit mental yang perlu mendapat perlakuan yang berbeda. Pelayanan bagi penyandang cacat seperti tunarungu, tunanetra, tunagrahita, tunalaras, dan tunadaksa dilayani dalam sekolah khusus. Pada abad XX pelayanan sekolah khusus mulai mendapat kritikan. Oleh karena itu, ada usaha-usaha untuk melayani anak penyandang cacat ini pada sekolah formal. Tinjauan secara historis terhadap anak luar biasa. Anak luar biasa dipandang sebagai manusia yang sakit berdosa karena kutukan Tuhan dan dianggap bukan manusia, orang gila dan sebagainya. Pandangan ini lambat laun bergeser bahwa manusia luar biasa adalah manusia yang memenuhi sesuai dengan kebutuhan khususnya. Pelayanan anak luar biasa bergeser dari sekolah khusus ke arah normalisasi. Gerakan normalisasi merupakan suatu usaha untuk sedapat mungkin melayani anak luar biasa bersama-sama anak-anak normal dalam satu kelas. Hal ini berarti anak luar biasa dipandang sebagai anak normal yang mempunyai kebutuhan khusus. Tinjauan historis, empiris, dan teoretik fiosofis dapat mengantarkan pada pemahaman terhadap pengertian dan karakteristik anak berkesulitan belajar yang bervariasi . bervariasinya anak berkesulitan belajar mengarahkan pembaca untuk memahami adanya klasifikasi berkesulitan belajar. Oleh karena itu anak berkesulitan belajar terdapat pada siswa taman kanak – kanak, siswa sekolah dasar, dan siswa sekolah menengah. Prevalensi siswa kesulitan belajar di Amerika Serikat dapat diketahui melalui laporan resmi dari Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Siswa berkesultan belajar di indonesia belum diketahui dengan pasti. Secara kasar prevalensi siswa berkesulitan belajar diperkirakan sebesar enam belas persen (16%) dari poulasi siswa sekolah. Siswa berkesulitan belajar merupakan persoalan yang perlu ditangani. Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor penyebab kesulitan belajar tersebut. Setiap anak baik anak normal, anak luar biasa, maupun anak berkesulitan belajar mempunyai kemampuan potensial yang disebut intelegensi. Untuk mengetahui kemampuan potensial, diperlukan alat pengukur, agar dapat diketahui derajat/tingkat kemampuan otensial tersebut. Kemampuan anak berkesulitan belajar baru diketahui jika dibandingkan antara kemampuan potensi dan kemampuan aktual yang bisa disebut prestasi belajar. Orang tua merupakan faktor yang memberi sumbangan terhadap penanganan anak berkesulitan belajar. Untuk itu perlu diketahui peran serta orang tua dalam menangani anak berkesulitan belajar, baik di rumah maupun di luar rumah melalui organisasi-organisasi orang tua maupun profesi orang lain. Anak berkesulitan belajar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan anak luar biasa. Anak luar biasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan anak pada umumnya. Tinjauan anak luar biasa tersebut di atas dampak adanya anak berkesulitan belajar, tetapi ekstensinya kurang mendapat perhatian khusus. Jika dicermati betul dapat diketahui bahwa anak berkesulitan belajar dipandang sebagai anak yang berperilaku menyimpang. Oleh karena itu, secara khusus perlu adanya tinjauan historis anak berkesulitan belajar merupakan gambaran tentang anak berkesulitan belajar dari periode tertentu. Wiedenbolt (1974) membagi tinjauan historis menjadi 3 periode sejarah anak berkesulitan belajar, yaitu : (1) Foundation phase (1960), (2) Transition phase (1930-1960), dan (3) Integration phase (1960-1980). Cecil D. Merser (1985) membagi 3 periode sejarah anak berkesulitan belajar yaitu : (1) Genesis (1979-1959), (2) Birth (1960-1969), dan (3) Growing pains (1970 – present). Dua pendapat ini pada dasarnya sama hanya berbeda dalam istilah periodisasi dan jangka waktu yang berbeda sedikit. Janet Leaner (1983) menambah satu periode sejarah anak berkesulitan belajar dengan istilah contenprorary phase (1980 – present). Dengan demikian fase kelahiran pada D. Merser dibagi dua khase yaitu fase yaitu fase transisi dan fase integrasi. Fase Fondasi (1800-1930) merupakan fase dasar bagi riset ilmiah pada otak dan penyimpangannya. Pada peneliti awal adalah dokter atau ahli kesehatan yang terlibat dalam penelitian pasien dewasa yang mendapat kerusakan otak karena stroke, kecelakaan, atau sakit. Para ilmuwan mengumpulkan informasi melalui penelitian pertama pada tingkah laku pasien yang telah kehilangan fungsi seperti kemampuan membaca dan berbicara. Pasien yang meninggal diuji otaknya melalui autopsi untuk mencoba menghubungkan kehilangan fungsi daerah kerusakan spesifik otak. Pada abad ke-19 timbul kepercayaan pada gerakan phrenology yang menyatakan bahwa tingkah laku abnormal dan fungsi otak dapat diprediksikan melalui pengujian bentuk otak seseorang. Kebenjolan pada kepala dipikir (diperkirakan) sebagai informasi tentang otak. Paul Broca (1878) menolak gerakan phrenology ini dalam penemuannya selama autopsi di daerah tertentu pada otak pasien yang rusak dan telah kehilangan kemampuan berbicara. Penemuan yang terpenting adalah persetujuan yang luas disebut aphasia broca. Carl Wernicke (1908) menindaklanjuti kerja Broca ini dengan mendeskripsikan porsi yang lain dari otak yaitu pengetahuan bicara dan pengertian pendengaran. Broca dan Wernicke mengajukan hipotesis bahwa daerah lokal khusus pada otak berpengaruh pada aktivitas istimewa. John Huglights Jackson (1974) mengkritik teoti lokalisasi tersebut, otak manusia lebih dari pusar ketergantungan manusia. Ia percaya bahwa bagian-bagian dari otak merupakan mata rantai yang intim dan kerusakan salah satu bagian otak akan mereduksi keseluruhan fungsi umum. Henry Head (1926) menghasilkan suatu kerja pada apasia yang merupakan puncak pengumpulan data ilmiah dari seluruh kehidupan manusia. Ia melakukan banyak observasi klinis, mengembangkan suatu sistem pengumpulan data, dan menciptakan tes apsia. Head percaya bahwa penderita apsia tidak menderita gangguan kemampuan intelektual secara umum meskipun otak mereka sudah rusak dalam waktu yang lama sebagai bukti kesulitan bahasa. James Hins Snshelwood (1917) soerang dokter yang mempelajari kondisi kebutaan yang diartikan sebagai ketidakmampuan untuk menginterpretasikan tulisan atau mencetak bahasa meskipun penglihatan normal. Laporan pada kejadian intelegensi anak yang tidak dapat belajar membaca Hinsh Shelwood berspekulasi bahwa problem tersebut disebabkan oleh kerusakan dalam daerah khusus dari otak (angular gyrus). Kurt Goldstein (1939) seorang dokter yang mengobati luka otak para serdadu selama perang dunia pertama menghipotesiskan bahwa rusak otak berpengaruh pada tingkah laku. Karakteristik yang ia catat dari serdadu yang luka otak adalah gangguan persepsi. Penelitian Goldstein ini, oleh Heinz Werner dan Alfred Strauss dilanjutkan pada luka otak anak. Fase Transisi : Penelitian Klinis pada Anak Riset otak tidak terhenti pada tahun 1930. Riset ini ditunjukkan pada fase transisi yaitu studi klinis tentang problem belajar pada anak. Fase transisi ini (1930 – 1960) penelitian otak secara ilmiah diterapkan pada penelitian klinis pada anak yang diterjemahkan dalam cara pengajaran. Ahli psikologi dan pendidikan mengembangkan instrumen untuk assesment dan remedasi dan mereka meneliti tipe-tipe khusus pada penyimpangan belajar yang ditemukan pada anak. Pada fase ini terdapat kemajuan terhadap penggunaan istilah seperti luka otak (brain injured), strauss syndrom, minimal disfungsi otak (minimal brain dysfunction) dan terakhir berkesulitan belajar (learning disabilities). Luka otak pada anak (the brain – injured child) Alfred Strauss dan Laura Lehtinem (1974) seorang pioner berhasil melaporkan penelitian tentang luka otak anak dalam wujud buku Psychopathology and Education of the Brain-Injured Child. Ia mengidentifikasikan kategori anak luar biasa disebut anak luka otak (brain-injured children). Ia mengobservasi yang pada awalnya diklasifikasikan sebagai retardasi mental, gangguan emosional, austik, ophasik, kelainan tingkah laku. Subjek yang diteliti oleh Strauss adalah mereka yang menderita gangguan tingkah laku. Subjek yang diteliti oleh Strauss adalah mereka yang menderita gangguan tingkah laku berat yang tersingkir dari lingkungan sekolah. Mereka adalah penderita luka otak selama mereka hidup (sebelum lahir, pada saat lahir, atau setelah lahir). Penelitian dengan observasi terhadap karakteristik tingkah laku disimpulkan bahwa tingkah laku dan belajar dari anak ini merupakan manifestasi dari luka otak (brain-injured children). Hipotesis Strauss pada saat itu adalah unique sebab tingkah laku abnormal dari banyak anak telah dijelaskan bahwa sebagai wujud asli emosional (being emotional origins). Strauss lebih lanjut berspekulasi bahwa anak yang sama sebagai subjek penelitian juga mempunyai luka otak yang menghasilkan tingkah laku abnormal dan karakteristik belajar. Strauss juga menghipotesiskan bahwa otak dapat luka pada tiga periode dalam hidup anak yaitu sebelum lahir, waktu lahir, dan setelah lahir. Luka otak dapat terjadi akibat infeksi seperti rubella German waktu ibu mengandung. Pemberian oksigen pada proses persalinan juga dapat menyebabkan luka otak. Setelah lahir luka otak dapat terjadi karena jatuh dengan kepala terbentur sesuatu pada saat kanak-kanak. Kejadian itu dapat menghasilkan kecacatan lain seperti retardisi mental, gangguan fisik. Di samping itu, Strauss juga berpendapat bahwa kejadian tersebut dapat menyebabkan problem tingkah laku belajar. Staruss mengidentifikasi dua karakteristik yaitu behavioral characteristic dan biological characteristic. Karakteristik tingkah laku tampak sebagai penyimpangan persepsi, penyimpangan konseptual dan penyimpangan tingkah laku. Biologocal Charakteristic tampak sebagai soft neurological sign, sejarah dari gangguan neurological (lika otak sebelum lahir, waktu lahir dan setelah lahir)tidak ada sejarah mental retardasi dalam keluarga. Istilah Stauss Syndrome muncul kerena luka otak pada anak terbukti membingungkan. Tidak semua anak luka otak mengalami penyimpangan belajar. Sebagai contoh anak cerebral palsy disebabkan oleh luka pada otak, tidak mempunyai masalah dalam belajar. Ia dapat memperoleh gelar Ph.D, atau M.D . Banyak para ahli mempertanyakan nilai dari luka otak sebagai alat untuk deskripsi kategori dianastik dan pengajaran anak. Steven dan Birch (1957) merekomendasikan istilah Stauss Syndrome digunakan sebagai pengganti istilah luka otak untuk menggambarkan anak yang tidak dapat belajar dan tidak pas dalam klasifikasi. Strauss dan Brich (1957) merinci karakteristik tingkah laku anak yang mengalami strauss syndrome sebagai berikut: (1) seorang berpindah-pindah, (2) peningkatan gerak aktivis tidak proporsional pada suatu rangsangan, (3) organisasi tingkah laku lemah, (4) kebingungan lebih dari tingkat biasa pada kondisi biasa, (5) kesalahan presepsi yang menetap, (6) hiperaktif tetap, (7) kegagalan dan konsisten gerak performance lemah. Disfungsi minimal otak (Minimal brain Dysfunction, MBD) Clements (1966) dan yang lain mengusulkan istilah disfungsi minimal otak. Clements mengklasifikasikan anak dengan gangguan otak dengan peringkat skala ringan sampai berat pada kerusakan otak adalah cerebral palsy dan epilepsi. Clements menyimpulkan bahwa syndrome disfungsi minimal otak merupakan cara yang paling baik untuk menggambarkan anak dengan intelegensi rata-rata dan berkesulitan belajar, dan tingkah laku tertentu yang disosialisasikan dengan penyimpangan atau disfungsi pusat sistem syaraf. Istilah disfungsi minimal otak mendapat banyak kritikan. Luka otak mayor (berat) pada skala konseptual disfungsi otak dapat digabung, dapat tidak dengan kesulitan_belajar. Anak luka otak seperti cerbral palsy tidak mempunyai kesulitan belajar, yang lain menunjukkan subnormalitas mental, autis kekanak-kanakan, skozophrenic anak. Para pendidik menyatakan bawa disfungsi minimal otak tidak dapat menggambarkan dengan tepat karakteristik tingkah laku dan belajar anak. Pernyataan yang timbul adalah seberapa besar istilah minimal itu? Kritik terhadap disfungsi minimal otak itu, menimbulkan tekad para ahli untuk mencari istilah yang tepat bagi anak yang luka otak itu sebagai syndrom tingkah laku. Pada tahun 1963 Samuel Kirk mengusulkan istilah sberkesulitan belajar (learning disability) pada pertemuan para ahli. Istilah ini diterima oleh para ahli, orang tua, guru, dan mahasiswa. Istilah itu kemudian digunakan dalam undang-undang tentang pendidikan di Amerika Serikat. Fase integrasi sebagai perluasan cepat dari program sekolah. Pada periode ini (1960-1980) anak berkesulitan belajar menjadi suatu disiplin yang kokoh dalam sekolah-sekolah di Amerika. Di lapangan pertumbuhannya sangat laju, program-program berkesulitan belajar diorganisasikan (disusun), duru dilatih, mulai dibuka kelas-kelas untuk melayani anak berkesulitan belajar. Organisasi-organisasi untuk pengembangn anak berkesulitan belajar tumbuh dengan pesat bantuan legislatif meningkat. Pusat demonstrasi pelayanan anak bekesulitan belajar mulai didirikan. Riset institusi anak berkesulitan belajar digalakkan. Fase cotenporery sebagai arah pertumbuhan. Pada tahun 19820 fase tersebut merupakan refleksi arah pertumbuhan anak berkesulitan belajar. Secara relatif muncul lapangan baru, satu aspek banyak berubah dalam arah dan perkembangan konsep dan ide baru. Perluasan tampak pada umur anak kesulitan belajar yang ditangani. Pada awalnya anak sekolah Dasar, meningkat pada anak Sekolah Menengah dan akhir pemuda yang mengalami kesulitan belajar. Anak berkesulitan belajar yang ditangani juga juga berkembang dari anak berkesulitan belajar ringan, sedang, dan berat. Konsep kategorial silang mulai diterapkan. Konsep ini merupakan konsep baru yang menggambarkan dua kategori anak luar biasa termasuk anak berkesulitan belajar (historis kategori) dan kategori fungsional pendidikan. Dalam konsep kategori silang ini anak berkesulitan belajar dapat diberi pelajaran tertentu bersama dengan anak yang luar biasa yang tertentu seperti retardasi mental, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, cacat tubuh, gangguan emosional, gangguan wicara, dan sebagainya. Anak berkesulitan belajar yang tadinya dilayani dalam kelas khusus di arahkan untuk dilayani di sekolah umum. Model pengajaran penerapan menerapan model pengajaran dengan komputer. Organisasi-organisasi untuk menangani anak berkesulitan belajar berkembang dengan pesat. Penelitian untuk anak berkesulitan belajar juga berkembang dengan pesat termasuk jurnal-jurnal yang diterbitkan secara periodik. Tinjauan Empirik Anak Berkesulitan Belajar Tinjauan empirik terhadap anak berkesulitan belajar merupakan suatu pendekatan anak berkesulitan belajar dalam realitanya di lapangan. Realita di lapangan tiapa anak itu berbeda-beda baik secara kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu, antara baik antara anak yang satu dengan yang lain ada perbedaan dalam besar-kecilnya, inteligensi, kemampuan dan sebagainya. Karakteristik anak yang satu dengan yang lainnya berbeda. Karakteristik siswa berkesulitan belajar dapat ditinjau dari kondisi penyimpangan (discrepancy). Penentuan terhadap keberadaan diferensiasi antara potensi seorang individu hasil belajar Lenner (1981) mengajukan pertanyaannya sebagai berikut: What is the individuals potensial for learning (What his ability level or capability for learning ?) What is the individual’s achievement level ? (What has be learning ?) What degree of discrepancy between potential and achievement is significan? Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa untuk tingkat kesenjangan perlu diketahui kemampuan potensial untuk belajar dan tingkat hasil belajar saat ini. Setelah itu akan dapat diketahui tingkat kesenjangan antara kemampuan potensial dan hasil belajar. Untuk mengetahui kemampuan potensi anak, perlu diadakan pengukuran dan penilaian terhadap kemampuan intelaktual anak. Kemampuan intelektual anak dapat diukur dengan tes intelegensi. Hasil belajar juga dapat disebut kemampuan aktual. Kemampuan aktual ini dapat diukur dengan tes hasil belajar (Sukardi, Anton Sukarno, 2002). Dalam menentukan anak berkesulitan belajar digunakan metode tertentu. Metode untuk menentukan skor kesenjangan merupakan kesenjangan antara kemampuan potensial anak dan hasil belajar. Kesenjangan ini diukur dengan teknik kuantitatif . teknik kuantitatif adalah analisis yang menggunakan teknik statistik terutama standar deviasi dan rerata. Para ahli pengukuran menggunakan empat metode uantuk menentukan kesenjangan yang digunakan di sekolah-sekolah (Cone Wilson 1981, Forness Senclair, Guthzie, 1983) Menurut Janet Lenner (1985) empat metodeyang biasa digunakan di sekolah-sekolah adalah (1) penyimpangan dari hasil belajar dari kelompoknya, (2) kesenjangan antara prestasi belajar dan potensinya, (3) kesenjangan antara prestasinya dengan membandingkan dengan umur dan tingkat kecerdasannya dan (4) kesenjangan antara prestasi belajar dan kemampuan potensial dengan analisis regresi. Dari empat metode ini terdapat dua elemen pokok dalam penentuan kesenjangan yaitu hasil belajar sebagai kemampuan aktual dan kemampuan potensial yakni inteligensi. Muhammad Suryo dan Muhammad Amien (1963) membagi kriteria kesulitan belajar menjadi empat, yaitu: (1) prestasi belajar dibawah rata-rata, (2) capaian hasil belajar dibawah target yang telah ditentukan, (3) prestasi belajar di bawah potensi yang sesungguhnya, dan (4) tingkah laku menyimpang. Kedua pendapat tersebut terdapat banyak persamaan. Persamaannya adalah Muhammad Suryo Amien menggunakan indikator tingkah laku yang menyimpang sebagai penentu kesulitan belajar. Kesenjangan Aktual pada Anak. Rata-rata hasil belajar dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan kesenjangan. Menghitung rata-rata dapat dapat langsung menggunakan rumus tendensi sentral rerata dapat pula menggunakan konversi skor dalam kurve normal. Harga rerata yang dihitung dengan rumus statistik dapat dipergunakan untuk menentukan derajad kesulitan belajar. Jika rata-rata prestasi belajar suatu kelas adalah 1,5 anak yang mendapat skor di bawaj 7,5 dikatakan sebagai anak yang berkesulitan belajar. Pengkategorian anak berkesulitan belajar sangat kasar. Dengan demikian metode ini prevalensi anak kesulitan belajar sangat banyak. Penentuan kesenjangan dengan kurve normal telah diuraikan pada Bab I bahwa daerah masing-masing kurve normal dapat dibagi dalam lima daerah kurve normal. Masing-masing daerah kurve normal diberi kategori A,B,C,D, dan E. Prevalensi anak dalam kategori A sebesar 2%, kategori B sebesar 14%, dan ketegori C sebesar 68%, kategori D sebesar 14%, dankategori E sebesar 2%. Berdasarkan perhitungan ini anak berkesulitan belajar sebesar 16% pada kategori D dan E. Prevalensi ini hanya mengetahui jumlah orang yang diprediksikan berkesulitan belajar. Metode yang lebih teliti menggunakan rumus statistik dengan mempergunakan konversi angka ke dalam skala 5 (Sukardi dan Anton Sukarno, 2000). Konvensi angka ke dalam skala 5 dapat dilihat pada tabe; di bawah ini: Tabel 6. Konversi Angka ke dalam Skala 5 Nilai Skala Soigma Angka Huruf 4 A (X+1,5 S) ke atas 3 B (X+0,5 S) – (X+1,5 S) 2 C (X-0,5 S) – (X+0,5 S) 1 D (X-1,5 S) – (X-0,5 S) 0 E Di bawah (X-1,5 S) Rata-rata (X) hasil belajar Matematika sebesar 32,7 dan Standart Deviasi (S) sebesar 9,158 : (1) Kategori 4 (A) adalah 32,7 + (1,5) (9,158) = 46 (pembulatan), (2) Kategori (3) (B) adalah sekor (32,7-0,5x9,158) sampai 45 atau 37-45, (3) kategori 2 (C) adalah (32,7-0,5x9,158) sampai 36 atau 29-36, (4) kategori 1 (D) adalah (32,7-1,5x3,158) sampai 29 atau 19-28 dan (5) kategori 0 (E) adalah di bawah 19. Perhitungan tersebut (Sukardi, Anton Sukarno, 2000) dapat dikategorikan dalam tabel di bawah ini : Tabel 7. Hasil Perhitungan Nilai Skala 5 Nilai Interval f Kategori Angka Huruf 4 A 46-ke atas 1 Baik Sekali 3 B 37-45 5 Baik 2 C 29-36 12 Sedang 1 D 19-28 1 Buruk 0 E Di bawah 19 1 Buruk Sekali Perhitungan yang disajikan dalam tabel tersebut di atas (1) anak yang mendapat nilai A sebanyak 1 anak, (2) anak yang mendapat nilai A sebanyak 1 anak, (2) anak yang mendapat nilai B sebanyak 5 anak, (3) anak yang mendapat nilai C sebanyak 12 anak, anak yang mendapat nilai D sebanyak anak, dan (5) anak yang mendapat nilai E sebanyak 3 anak diduga anak berkesulitan belajar. Jika digunakan kategori di bawah rata-rata untuk menentukan kesulitan belajar, anak berkesulitan belajar ada yang termasuk tidak berkesulitan belajar, mengingat interval untuk anak yang normal adalah 29-36. Kesenjangan Kemampuan Potensial Anak Kemampuan potensial anak dapat diukur dengan tes inteligensi. Kategori inteligensi ditentukan dengan rata-rata 1Q di tentukan 100 dan standart deviasi sebesar 15 (Michael L Hardman, dkk, 1993). Berdasarkan daerah kurve normal, maka dapat ditentukan dengan 5 kategori kemampuan intelektual anak sebagai berikut: Tabel 8. Kategori Kemampuan Intelektual Anak Level Interval Kategori 1 Di atas 130 Genius 2 115-130 Certdas 3 85-115 Normal 4 70-85 Lambat Belajar 5 55 ke baawah Retardansi Mental Dari tabel tersebut di atas dapat diketahui bahwa anak yang termasuk kategori genius di atas dapat diketahui bahwa anak yang IQ nya di atas 100 + 2 x 15 = di atas 130. Anak tersebut adalah anak yang IQ nya sebesar 100 + 1 x 15 –100 + 1 x 15 sebesar 85 – 115. Anak lambat sebesar anak yang mendapat IQ sebesar 100 – 2 x 15 sampai 85 sebesar 70 – 25. Anak retardasi mentala adalah anak yang IQ nya sebesar 100 – 3 x 15 ke bawah sebesar 55 ke bawah. Sumadi Surdjobroto (1984) mengklasifikasikan kemampuan potensial menjadi 9 kategori yaitu: (1) Genius (IQ sebesar 140 ke atas), (2) sangat superior (IQ diantara 120-139), (3) superior (IQ sebesar antara 110-119), (4) rata-rata atau sedang (IQ antara 90-109), (5) bodoh atau dull avege (IQ antara 80-89), (6) anak pada batas atau boder line (IQ antara 70-79), (7) debil / moron (IQ antara 50 – 59), (8) ambisi (IQ antara 40-49) dan (8) Idiot (IQ di bawah 30). Kategori kemampuan potensial ini dapat disajikan dalam tabel 9. Di bawah ini: Tabel 9. Klasifikasi Kemampuan Potensial Nomor Interval Kategori 1 140 ke atas Genius 2 120 – 139 Sangat superior 3 110 –119 Superior 4 90 – 109 Sedang 5 80 – 89 Bodoh 6 70 – 79 Bodirline 7 50 – 69 Debil / moron 8 30 – 49 Ambisil 9 Di bawah 30 Idiot Jika diperhatikan kemampuan potensialnya, anak berkesulitan belajar belum tampak. Anak berkesulitan belajar baru tampak, jika diketahui kemampuan aktual atau kemampuan belajar sebagai hasil belajar. Kesulitan belajar baru diketahui kalau terjadi kesenjangan antara kemampuan potensial dengan kemampuan aktual. Pada tabel 6 tersebut di atas diketahui bahwa anak yang hasil belajarnya di bawah rata-rata termasuk kategori buruk dan buruk sekali. Anak yang mendapat nilai ini dikategorikan ke dalam anak berkesulitan belajar. Penentuan ini belum menyakinkan apakah betul anak itu berkesulitan belajar atau memang kemampuan potensial yang rendah. Muhammad Suryo dan Muhammad Amien (1983) menyatakan bahwa anak berkesulitan belajar adalah anak yang capaian hasil belajar di bawah kemampuan potensialnya. Dari pendapat tersebut di atas dapat dirumuskan bahwa anak berkesulitan belajar adalah anak yang capaian hasil belajarnya di bawah rata-rata, sedang inteligensi rata-rata ke atas (James A. Mc. Laughein, 1987). Pencapaian tujuan pembelajaran dapat digunakan sebagai penentu kesulitan belajar. Pencapaian tujuan pembelajaran digunakan untuk menentukan ketuntasan belajar anak. Ketuntasan belajar diukur dengan derajad penguasaan materi belajar anak atau tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Konsep ini berasal dari belajar tuntas. Menurut konsep belajar tuntas anak yang telah menguasai 85% ke tas tujuan pembelajaran, anak tersebut sudah dapat dikatakan menguasai materi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menentukan patokan ketuntasan sekolah taraf pencapaian tujuan pembelajaran sebesar 75% ke atas tujuan pembelajaran disebut anak berkesulitan belajar (Anton Sukarno, 1997). Jika mempergunakan pedoman penilaian dari Depdikbud, anak berkesulitan belajar adalah anak yang belum menguasai 75% tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan (Suharjo Danusastro, 1983). Penentuan target ketuntasan sebagai indikator kesulitan belajar juga belum tepat sebab anak yang belum menguasai materi yang telah ditetapkan masih harus diuji inteligensinya. Apakah anak tersebut memang anak berinteligensi rendah atau anak berkesulitan belajar. Intiligensi sebagai penentu kualitas belajar anak masih banyak kritikan. Cecil D. Mercer (1983) mengatakan assisment kemampuan potensial adalah sulit, sebab pengukuran dengan tes intelegensi yang bermacam-macam menghasilkan IQ yang berbeda-beda dan menentukan saling hubungan antara hasil tes intelegensi dan hasil tes belajar adalah tidak mudah. Oleh karena itu, banyak para ahli yang merasa berkeberatan untuk menerapkan konsep IQ dan umur mental (mentalage) sebagai indikator intelegensi (Lenner,1981). Cecil D. Mercer (1983) menyatakan bahwa skor indivudial pada test IQ dapat mengubah administrasi yang satu ke administrasi yang lain dan sebagai fungsi pengalaman penggunaan seseorang saat ini seperti tersebut di atas. Kesalahan pengukuran dan skor tes tidak selalu dapat diinterpretasikan secara tepat. Cecil D. Mercer (1983) menyatakan adanya faktor kesulitan tersebut, maka digunakan faktor harapan dalam menentukan kesulitan belajar. Faktor harapan, yaitu : mental grade method, the learning question method, dan the historis method. Mental grade method digunakan oleh Horis (1961) untuk menentukan peringkat harapan membaca siswa (Reading expectancy Grade yang disingkat RE). Formula yang digunakan adalah RE = MA – 5, (RE = Reading Expectancy Grade, MA = Mental Age dan 5 bilangan umur tetap menunjukkan 5 tahun). Mental kesenjangan ditentukan dengan membandingkan antara RE siswa dan perangka membaca yang diperoleh siswa. Contoh : Badu umur 11 tahun. Ia mempunyai IQ 110 dan peringkat baca Badu 4,5 perhitungan RE dan kesenjangan sebagai berikut : MA = RE = MA – 5 = 12,1 –5 = 7,1 Kesenjangan membaca Badu adalah 7,1 – 4,5 = 2,6 tahun. Oleh karena itu, Badu diidentifikasikan sebagai anak berkesulitan belajar. Learning Question Method dikembangkan oleh Myklibust (1968). Methode ini mempergunakan parameter Mental Age (MA), Chronological Age (CA) dan Grade Age (GA). Langkah-langkah menghitung learning question (LQ), Achiement Age (AA) dan Ecpectancy Age (EA), menggunakan formula sebagai berikut : EA = LQ = Learning Question adalah ratio antara unsur umur hasil belajar sekarang dan umur harapan. Kriteria kesulitan belajar adalah di bawah skor 89. Pengukuran menggunakan Wichler Intelligence Scale for Children. MA yang digunakan oleh Verbal dan performance. Formula yang digunakan adalah : Verbal MA = Perfomance MA = Contoh = Ani berumur 11 tahun, grade 5,5 IQ WISC = 110, IQ verbal 120 Performance IQ = 100. Peringkat hasil belajar membaca 4.5. Verbal MA = Performance Ma = AA = 4,5 + 5,2 = 9,7 GA = 5,5 + 5,2 = 10,7 EA Verbal MA = EA Performance MA = EA total skor = LQ = Kriteria kesulitan belajar sebesar 89%, LQ Ani sebesar 86% . jadi, memiliki kesenjangan sebesar 3%. Kemampuan membaca Ani di bawah standar 89%. Jadi, Ani mengalami kesulitan belajar. Haris (1970) mengembangkan teknik untuk menentukan ecpectancy Age dengan metode Haris. Formula untuk menentukan Expectancy Age (EA) sebagai berikut : EA = Dengan mempergunakan data dari Badu umur 11 tahun IQ = 110 dan prestasi belajar membaca 4,5 Kesenjangan kemampuan baca Badu adalah 11,73 – 4,5 = 6,23 tahun. Badu mengalami kesulitan belajar karena umur yang diharapkan 11,43 dan umur hasil belajar 4,3. Jadi hasil belajar Badu di bawah hasil belajar yang diharapkan. Tinjauan Teoritik Tentang Anak Berkesulitan Belajar Pada Bab I telah dinyatakan anak berkesulitan belajar merupakan bagian dari anak luar biasa. Anak luar bisa merupakan bagian integral anak manusia. Pandang anak luar biasa pada awalnya dipandang sebagai orang sakit dan mencapai puncaknya anak luar biasa dipandang bukan manusia. Pada tinjauan historis anak berkesulitan belajar dipandang dari segi biologis terutama dari segi otak anak. Anak berkesulitan belajar adalah adalah anak yang rusak otaknya. Karena rusak otaknya, sistem syarafnya menjadi kacau. Syaraf tidak berfungsi sehingga dipandang sebagai anak yang mengalami disfungsi minimal otak. Tinjauan biologis ini tidak demikian maka munculah anak yang mengalami gangguan perilaku yang disebut sebagai anak yang berkesulitan belajar. Pada tinjauan empiris orang menggeser pandangan biologis pada otak sentris ke dalam pandangan psikologis. Inteligensi menjadi sorotan perilaku anak berkesulitan belajar. Ketidakmampuan belajar disebabkan oleh ketidaksinambungan antara kemampuan potensial dan kemampuan aktual. Kupasan teoritis akan mencoba memandang anak berkesulitan belajar sebagai bagian tidak terpisahkan dari manusia. Oleh karena itu persoalan anak berkesulitan belajar juga merupakan persoalan manusia. Persoalan manusia sudah lama menjadi pusat pemikiran para ahli dari berbagai bidang ilmu seperti filsafat, psikologi, dan pendidikan. Di bawah ini disajikan alur pemikiran tentang manusia pada umumnya dan anak berkesulitan belajar pada khususnya. Filsafat Filsafat Pendidikan Filsafat Psikologi Pendidikan Psikologi ABB Gambar 2. Hubungan Filsafat, Pendidikan, Psikologi, dan Anak Berkesulitan Belajar (ABB) Filsafat pada awalnya merupakan induk dari ilmu (mother of knowledge). Orang mempelajari Filsafat berarti sudah mempelajari semuanya. Dalam perkembangan selanjutnya satu-satu melepaskan diri dari filsafa. Filsafat merupakan cara dan hasil berpikir yang komprehensip dan radikal (Anton Sukarno, 1992), (Sunaryo, 2003). Karena merupakan hasil berpikir, dalam filsafat terdapat pemikiran-pemikiran yang berbeda-beda terhadap objek formal dan objek material. Objek material filsafat yaitu ada dan yang akan ada. Objek material memunculkan tiga persoalan besar filsafat, yaitu problem tentang realita, problem tentang pengetahuan, dan problem tentang nilai, problem manusia termasuk problem realita. Persoalan manusia merupakan persoalan yang telah berabad-abad ada. Oleh karena itu, telah banyak pola pikir yang mencoba menjawab persoalan tentang manusia (being of human) telah banyak dipikirkan oleh para ahli yang dapat dikelompokkan menjadi tiga aliran besar yaitu aliran idealisme, realisme. Dan realisme kritis (Anton Sukarno, 1992). Idealisme berpendapat bahwa being is being (Martin O. Viscy, 1960). Aliran-aliran yang termasuk aliran idealisme adalah adalah ratio analisme, dan spiritualisme. Rationalisme berpendapat bahwa being is rational being. Konsep tentang ada adalah ada bergeser kepada konsep yang ada adalah yang berpikir, saya ada (Anton Sukarno, 1989). Hakikat manusia adalah idea. Idea ini oleh Descortes dilanjutkan bahwa yang ada idea innate. Idea inate sebagai idea bawaan diberikan pada Tuhan. Konsep ini berpengaruh pada konsep nature dan neitarer dari Michael L. Hardman dkk, (1993). Konsep ini pada landasannya adanya kemampuan potensial yang disebut inteligensi. Spiritualisme memandang bahwa being is spiritual being. Yang ada itu yang spirit. Yang ada yang serba roh. Yang ada itu berupa jiwa. Konsep ini yang mendasari pandangan terhadap jiwa manusia. Konsep idealis dengan berbagai ragamnya memandang manusia sebagai makhluk rohaniah. Anak merupakan makluk, makluk rohaniah yang sedang berkembang. Perkembangan manusia tidak mulus, sering terjadi gangguan atau hambatan. Dari konsep itu muncul anak luar biasa pada umumnya dan anak berkesulitan belajar pada khususnya. Aliran realisme dapat bermacam-macam seperti terjadi gangguan atau hambatan. Dari konsep itu muncul anak luar biasa pada umumnya dan anak berkesulitan belajar pada khususnya. Aliran realisme dapat bermacam-macam seperti aliran naturalime, aliran materialisme, aliran biologisme. Aliran materialisme berpendapat bahwa being is material being. Yang ada itu yang materi. Manusia itupun materi pula. Anak luar biasa dipandang bukan orang merupakan gambaran bahwa paham materialisme telah berpengaruh dalam konsep ini. Aliran materialisme mendapat banyak kritikan karena tidak menganut adanya yang rohani, maka munculah aliran epiphenomenalisme. Aliran ini mengatakan bahwa yang rohani itu ada, tetapi keberadaan yang rohani terikat oleh yang materi. Aliran ini sering disebut juga biologismus. Konsep biologisme ini tampaknya mendasari munculnya anak yang mengalami gangguan otak (Brain-injured children). Paham ini berpendapat bahwa kerusakan sistem syaraf di dalam otak dapat berpengaruh pada perilaku anak. Biologisme ini merupakan perkembangan dari narualisme. Manusia merupakan makhluk alamiah yang tunduk pada hukum alam. Aliran ini memunculkan paham behaviorime yang memandang bahwa alam sangat berpengaruh pada pertumbuhan manusia. Realisme kritis muncul sebagai kritk terhadap idealisme dan materialisme. Manusia makhluk jasmani dan rohani. Driyarkoro (1959) menjelaskan bahwa manusia makhluk jasmani yang rohani yang menjasmani. Oleh karena itu, anak berkesulitan belajar adalah anak yang mendapat gangguan otak atau anak yang mengalami ketidakmampuan belajar. Ketidakmampuan belajar itu karena ada gangguan dan perilaku menyimpang. Filsafat pendidikan merupakan penerapan prinsip-prinsip filsafat dalam pendidikan. Oleh karena itu, konsep-konsep idealisme, realisme, dan realisme krisis juga berpengaruh dalam pendidikan. Natanegara (1963) dan Anton Sukarno (1992) menyatakan bahwa filsafat pendidikan dapat menerapkan prinsip-prinsip filsafat, dapat pula mempelajari pendidikan sampai pada hakikatnya. Mempelajari filsafat pendidikan sebagai penerapan prinsip filsafat memunculkan aliran filsafat pendidikan perenialisme, esensialisme, dan progressivisme (Imam Bernadet, 1988, Anton Sukarno, 1992). Perenialisme suatu aliran filsafat pendidikan yang mendasarkan hal-hal yang ada sepanjang masa. Orientasi filsafat bersumber pad pandangan dari tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Konsep-konsep manusia mengambil konsep manusia dari Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Plato seorang idealis dengan konsep being is iseal being dan Aristoteles seorang tokoh realisme kuno yang memandang being is potensial being. Thomas Aquinas merupakan tokoh abad pertengahan yang dipandang neo anatolis. Esensialisme suatu aliran filsafat pendidikan didasarkan norma dan nilai-nilai yang telah teruji oleh sejarah (waktu). Orientasi filsafat bersumber dari tokoh realisme dan idealisme modern. Tokoh realis seperti John Locke, David Hume, dan Berkeley memandang being is being perceived or esserest percipi (Martin O. Viske SY, 1960). Idealis modern yang mendukung konsep esensialisme adalah Descortes yang menyatakan bahwa being is rational being, I think thetefor I am progressivisme suatu aliran filsafat pendidikan yang mendasarkan konsepnya pada progress atau kemajuan. Orientasi filsafat bersumber pada Darvisme dan prakmatisme. Darwin dengan konsep biologisme memandang perkembangan dan pertumbuhan setiap maklik melewati evolusi, proses seleksi, dan adaptasi pada lingkungan. Pragmatisme memandang suatu yang benar itu suatu yang berguna bagi kehidupan manusia. Progressivisme berkembang menjadi rekonstrukzionisme. Rekonstrukzionisme berpendapat bahwa nilai tertinggi yang dimiliki manusia bila ia memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensinya secara alami dan wajar (Imam Bernadit, 1988). Tinjauan filsafat pendidikan ini juga menelorkan konsep manusia sebagai makluk idealis, realis, dan biologis. Manusia menyatakan tunas yang selalu berkembang baik secara jasmani maupun rohani. Konsep-konsep filsafat pendidikan ini berpengaruh pada konsep dasar pendidikan tentang dasar dan ajar (Sudomo Hadi 2001), Nature and nurture (Michael L. Hardman dkk, 1993). Konsep tentang dasar ini menyatakan bahwa perkembangan manusia itu di tentukan oleh pembawaan bakat yang dimiliki manusia sedangkan konsep ajar menyatakan perkembangan manusia ditentukan oleh lingkungannya. Filsafat psikologi merupakan penerapan prinsip-prinsip filsafat dalam psikologi. Psikologi merupakan ilmu tentang pengalaman kesadaran (science of concius experience). Prinsip-prinsip psikologi adalah belajar motivasi dan emosi. Oleh karena itu psikologi sebagai pengalaman kesadaran berkaitan dengan perilaku yang dapat diamati dan kejadian-kejadian mental (Michael L. Hardman dkk, 1993). Psikologi sebagai science secara epistemologis berkaitan dengan emperisme dan rationalisme (Gordon H. Bower, Ertnest R. Hilgt, 1981). Emperisme merupakan pendukung behavirisme sedangkan rationalism pendukung kognitivisme. Tokoh-tokoh behavirisme merupakan tokoh-tokoh psikologi asosiasi, sedangkan tokoh-tokoh kognitivisme merupakan tokoh-tokoh psikologi cognitive. Dari kedua aliran di atas muncul aliran Gestalt yang merupakan perpaduan antara behaviorisme dan kognitivisme. Pandangan tentang filsafat pendidikan dan pendidikan serta filsafat psikologi dan psikologi menelorkan tinjauan teoretis tentang anak berkesulitan belajar. Menurut Cecil D. mercer (1983) ada tiga teori yang membahas hubungan antara tingkah laku dan lingkungan yaitu teori kognitif, teori behavior (behavior theory), dan teori ekologis (ecological theory). Teori kognitif dipelopori oleh pendidikan dan psikolog seperti Anderson, Ausubel, Bandura, Brunner, Cronbach, John Dewey, dan Gagne. Mereka percaya apa yang terjadi secara internal pada siswa adalah penting dan belajar merupakan proses konstruksi. Materi, guru dan faktor-faktor eksternal lain tidak penting bagi siswa yang harus aktif dalam belajar. Siswa mengkonstruksi yang bermakna melalui pengalaman. Bruner (1973) melaporkan bahwa teori kognitif merupakan studi bagaimana seseorang pergi mencari sumber informasi. Heresco dan Reid (1981) menerapkan teori kognitif ini pada studi tentang anak berkesulitan belajar. Mereka mengidentifikasi beberapa pendekatan kognitif bagi anak berkesulitan belajar seperti pendekatan perkembangan metacognition, pemrosesan informan, kemampuan spesifik dan cognitive behavior modification. Teori pendekatan yang penting adalah pendekatan pengembangan terhambat dan teori pengembangan Peaget. Menurut Piaget (1970) perkembangan kognitif terjadi secara bertahap yaitu sensorimotor, pra operasional, operasi konkret, dan operasi formal. Anak yang sudah matang pada tahap sensori motor akan meningkat pada kemampuan berikutnya yaitu tahap pra operasional. Kematangan berfikir logis pada tahap pra operasional akan meningkat pada tahap berikutnya sampai dan sampai pada tahap terakhir. Jika anak belum matang pada tahap tertentu dipaksa pindah ke tahap berikutnya ia akan mengalami kesulitan belajar. Teori perkembangan terlambat (maturational lag) dikembangkan Oleh Bender (1983), untuk menjelaskan kesulitan belajar. Menurut teori ini kesulitan belajar terjadi, jika anak memperoleh hasil belajar di bawah kelompoknya, bukan karena tidak mampu, tetapi karena waktu yang tersedia tidak cukup. Ames (1968) menjelaskan bahwa anak berkesulitan belajar terjadi, jika anak diminta mengerjakan tugas-tugas tertentu, tetapi ia belum siap. Teori behavioral dikembangkan oleh aliran behaviorisme. Behaviorisme dipelopori oleh Thorndike dan Skiner. Penerapan teori ini untuk menjelaskan teori belajar, sebagaimana dijelaskan oleh Noris Horis dan Tom lovitt. Menurut teori ini behaviorismi lingkungan dapat dimanipulasi sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar. Kesulitan belajar terjadi jika lingkungan tidak diatur sesuai dengan tujuan belajar yang telah ditetapkan. Salah satu teori yang beorientasi pada teori behaviorime pada teori behaviorisme ini adalah academic skill mastery, seperti belajar tuntas (mastery of learning) (Janet Lerner, 1985). Kesulitan terjadi, jika anak belum menguasai tugas-tugas belajar, maupun target yang telah ditetapkan. Teori ekologis menjelaskan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor organisme dan faktor lingkungan. Teori ini menekankan interaksi antara faktor organisme dan lingkungan. Penampilan anak merupakan produk dari interaksi heriditas, historis, dan situasi yang determin. Kesulitan tidak boleh diterima secara tertutup dari faktor yang lain. Hardin (1978) menekankan pentingnya interkasi antara kekuatan dan kelemahan siswa, serta lingkungan secara keseluruhan. Dampak kesulitan belajar tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan khusus, tetapi juga oleh variabel-variabel yang berasal dari lingkungan. Smith dkk. (1978) memberikan kerangka kerja untuk mengevaluasi: (1) assesment anak, (2) kurikulum, metode dan materi, (3) lingkungan sosial, (4) lingkungan fisik dan (5) pelayanan masyarakat. Penanganan anak berkesulitan belajar yang tidak didasarkan atas landasan teoritik yang dapat diandalkan mungkin bukan yang dapat diandalkan mungkin bukan hanya efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tetapi juga menimbulkan kerugian bagi anak. Sebagai contoh, semua guru mengetahui bahwa motivasi dapat meningkatkan prestasi belajar anak. Tetapi, tidak banyak guru yang mengetahui bagaimana membangkitkan motivasi belajar anak. Dalam kelas yang siswanya memiliki kemampuan heterogen misalnya, mungkin akan menciptakan interaksi belajar yang motivasi yang pada gilirannya juga meningkatkan prestasi belajar anak. Guru tersebut lupa bahwa kompetisi antarindividu yang memiliki kekuatan tidak seimbang dapat menimbulkan ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helpless-ness) bagi yang lemah dan menimbulkan kebosanan bagi yang terlalu kuat. Jika anak berkesulitan belajar berada dalam kelas dengan suasana belajar kompetitif semacam itu maka dapat diramalkan bahwa mereka akan menjadi anak yang putus asa yang tidak hanya berakibat buruk bagi pembentukan kepribadian. Oleh karena itu, guru perlu memiliki pengetahuan teoritik yang dapat digunakan sebagai bekal dalam menciptakan strategi pembelajaran yang tidak hanya efektif untuk membangun kepribadian yang sehat pada anak. Oleh karena itu, penanganan anak berkesulitan belajar memerlukan pemahaman tentang (1) peran teori dalam penanganan anak berkesulitan belajara, (2 prosedur diagnosis, (3) hubungan antara pendidikan bagi anak berkesulitan belajar dengan pendidikan pada umumnya, dan berbagai teori tentang proses dan hasil belajar. Penanganan anak berkebutuhan khusus dalam bentuk pemberian program remidial bertolak dari konsep belajar tuntas (mastery learning), yang ditandai oleh sistem pembelajaraan dengan menggunakan modul. Pada tiap akhir kegiatan pembelajaran dari suatu unit pelajaran guru melakukan evaluasi formatif, dan setelah adanya evaluasi formatif itulah anak-anak yang belum menguasai bahan pelajaran diberikan pengajaran remedial, agar tujuan belajar yang telah ditetapkan sebelumnya dapat dicapai. Dengan demikian, pengajaran remidial pada hakikatnya merupakan kewajiban bagi semua guru setelah melakukan evaluasi formatif dan menemukan adanya anak yang belum mampu meraih tujuan belajar yang telah ditetapkan adanya anak sebelumnya. Dalam kehidupan sehari-hari ada anak ditetapkan sebelumnya diberikan pengajaran remedial oleh guru, mereka tetap memperoleh prestasi belajar yang tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Bahkan, mungkin ada anak-anak yang penguasaan prasyaratnya masih terlalu rendah untuk mengikuti pelajaran yang disajikan sehingga guru perlu memperbaiki penguasaan prasyarat tersebut. Anak-anak semacam itu umumnya tergolong anak berkesulitan belajar, yang tidak mungkin guru kelas atau guru reguler untuk terus menerus membantu anak tersebut. Tugas untuk memberikan pengajaraan remedial bagi anak-anak berkesulitan belajar. Guru yang harus memberikan pelayanan pengajaran remedial bagi anak-anak berkesulitan belajar disebut guru remedial (remedial teacher). Dengan demikian, di suatu sekolah idealnya ada dua jenis guru, guru reguler (baik guru kelas maupun guru bidang studi) dan guru remedial yang khusus memberikan pelayanan pengajaran remedial bagi anak-anak berkesulitan belajar. Sebelum pengajaran remedial diberikan, guru lebih dahulu perlu menegakkan diagnosis kesulitan belajar, yaitu menentukan jenis dan penyebab kesulitan serta alternatif strategi pengajaran remedial yang efektif dan efisien. Menurut Samuel A. Kirk (1988: 265), prosedur diagnosis mencakup lima langkah, (a) menentukan potensi atau kapasitas anak, (2) menentukan taraf kemampuan dalam suatu bidang studi yang memerlukan pengajaran remedial, (3) menentukan gejala kegagalan dalam suatu bidang studi, (4) menganalisis faktor-faktor yang terkait, dan (5) menyusun rekomendasi untuk pengajaran remedial. Dalam konteks anak belajar di sekolah, disamakan mengikuti pedoman yang mencakup tujuh langkah yaitu : (1) identifikasi, (2) menentukan prioritas, (3) menentukan potensi, (4) menentukan taraf kemampuan dalam bidang yang perlu diremediasi, (5) menentukan gejala kesulitan, (6) menganalisis faktor-faktor yang terkait, dan (7) menyusun rekomendasi untuk pengajaran remedial. Pada bagan berikut ini secara berturut-turut akan dicoba untuk membahas prosedur dan prinsip pelaksanaan diagnosis kesulitan belajar yang merupakan bagian sangat penting sebelum pengajaran remedial diberikan. Tinjauan Dari Aspek Medis Tentang Anak Berkesulitan Belajar Ilmu kedokteran secara terus-menerus terlibat dalam upaya penanggulangan kesuliatan belajar. Karena implikasi petologis dari kesulitan belajar maka banyak anak yang dikirim ke dokter spesialis anak, neurolog, psikiater anak, dokter spesialis penyakit mata, spesialis THT, dan dokter spesialis lain untuk memperoleh diagnosis yang tepat. Dokter-dokter ahli tersebut dapat menjadi salah satu anggota tim yang sangat penting dalam pendekatan multidisipliner untuk memecahkan masalah kesulitan belajar. Pada bab ini secara berturut-turut akan dibahas manfaat informasi medis bagi guru, terminologi medis tentang kesulitam belajar, pera berbagai cabang ilmu kedokteran, dan keterlibatan terapi medis dalam penanggulangan kesulitan belajar. Ada lima manfaat informasi media bagi guru, yaitu (1) dapat lebih memahami bahwa belajar merupakan suatu proses neurologis yang terjadi di dalam otak, (2) dapat menyadari bahwa dokter spesialis sering memberikan sumbangan baik pada asesmen maupun pemecahan masalah belajar, (3) dapat menginterprestasikan laporan medis tentang anak dasn mendiskusikan temuan-temuannya dengan dokter dan orang tua, (4) dapat memahami bahwa beberapa kesulitan belajar ditemukan karena kemajuan teknologi kedokteran, dan (5) penemuan-penemuan ilmiah tentang otak manusia dan belajar dapat meningkatkan pemahaman guru tentang hakikat kesulitan belajar. Secara tradisional profesi kedokteran menggunakan terminologi disfungsi minimal otak (minimal brain dysfunction ) untuk menunjuk anak-anak kesulitan belajar. Meskipun demikian, ada pula yang mengusulkan penggunaan terminologi gangguan kekurangan perhatian (attend deficit disorders). Pediatri adalah cabang ilmu kedokteran yang berkaitan dengan kesehatan anak. Dokter spesialis anak mempunyai peran tidak hanya dalam aspek kesehatan fisik tetapi juga aspek psikososial dari kesejahteraan anak. Neurologi adalah cabang ilmu kedokteran yang berkaitan dengan penyakit saraf. Dokter spesialis saraf memiliki peran penting dalam melakukan evaluasi perkembangan fungsi otak dan sistem saraf pusat, yang merupakan posisi kunci dalam diagnosis kesulitan belajar. Karena anak berkesulitan belajar sering memiliki kesulitan dalam membaca, dan kesulitan membaca sering terkait dengan kemampuan melihat, maka bantuan dari seorang dokter spesialis mata sering diperlukan. Pemeriksaan penglihatan dilakukan untuk mengetahui ketajaman penglihatan, kekeliruan pembiasan, dan kesulitan binokular. Otologi adalah cabang ilmu kedokteran yang berkaitan dengan kesehatan pendengaran. Pendengaran merupakan sarana yang sangat penting untuk menguasai bahasa. Karena anak-anak berkesulitan belajar banyak yang mengalami kesulitan dalam berbahasa, maka banyak di antara mereka yang memerlukan pemeriksaan kesehatan pendengaran dari seorang dokter spesialis pendengaran. Kesulitan belajar sering terkait dengan masalah kesehatan mental. Cabang ilmu kedokteran yang terkait dengan masalah kesehatan mental adalah psikiatri. Oleh karena itu, psikiater sering memegang peran kunci dalam diagnosis kesulitan belajar. Ada sejumlah bentuk terapi hiperaktivitas yang merupakan salah satu karakteristik dari kesulitan belajar. Penggunaan obat banyak dilakukantetapi juga banyak yang meragukan mafaatnya. Bentuk terapi yang lain mencakup pemberian nutrisi yang cukup, pengendalian makan (diet), membatasi penggunaan bahan tambahan makanan, mengendalikan kadar gula dalam darah, dan penggunaan modifikasi pelaku. Tinjauan Dari Aspek Psikologis Tentang Anak Berkesulitan Belajar Bukan hanya ilmu kedokteran, psikologi juga secara terus-menerus terlibat dalam upaya penanggulangan kesulitan belajar. Karena implikasi psikologis dari kesulitan belajar maka banyak anak berkesulitan belajar yang dikirim oleh guru ke psilokog untuk memperoleh pemeriksaan psikologis. Psikolog merupakan salah satu anggota tim yang sangat penting dalam penanggulangan kesulitan belajar, terutama pada tahap diagnosis dan pemberian rekomendasi upaya perbaikan. Agar guru dapat berkomunikasi dengan baik dalam tim multidisipliner maka salah satu keharusan yang sangat penting adalah memahami aspek psikologis dari kesulitan belajar. Untuk memenuhi tuntutan tersebut maka pada bab ini akan dibahas aspek psikologi perkembangan, aspek psikologi behavioral, dan aspek psikologi kognitif dari kesulitan belajar. Ditinjau dari aspek psikologi perkembangan, ada pola perkembangan yang bersifat umum dan ada yang bersifat individual. Pola perkembangan yang bersifat umum didasarkan atas hasil generalisasi pola perkembangan manusia pada umumnya. Pola perkembangan ini sangat besar manfaatnya bagi upaya penyusunan kurikulum sekolah bagi anak normal atau anak pada umumnya. Pola perkembangan individual berbeda-beda antara anak yang satu dari anak lainnya. Pola perkembangan individual sangat bermanfaat bagi upaya penyusunan program pendidikan yang sesuai dengan laju perkembangan anak normal. Pola perkembangan umum atau pola perkembangan anak normal dapat dijadikan dasar untuk menentukan anak berkesulitan belajar. Ditinjau dari aspek psikologi perkembangan, kesulitan belajar disebabkan oleh faktor kematangan. Bertolak dari pandangan semacam itu, mempercepat atau menghambat proses perkembangan dapat menimbulkan masalah belajar. Lingkungan sosial yang berusaha mempercepat proses perkembangan anak dapat menimbulkan kesulitan belajar, begitu pula dengan lingkungan sosial yang tidak memberikan stimulasi terhadap suatu fungsi yang telah matang untuk berkembang. Bertolak dari aspek psikologi perkembangan, ada dua konsep yang perlu diperhatikan, yaitu kelambatan kematangan dan tahapan-tahapan perkembangan. Berdasarkan atas dua konsep tersebut maka perlu dipahami implikasinya bagi upaya penanggulangan kesulitan belajar. Kelambatan Kematangan Ditinjau dari aspek psikologi perkembangan, kesulitan belajar dapat dipandang sebagai kelambatan kematangan fungsi neurologis tertentu. Menurut pandangan ini, tiap individu memiliki laju perkembangan yang berbeda-beda, baik dalam fungsi motorik, kognitif, maupun afektif. Oleh karena itu, anak yang memperlihatkan gejala kesulitan belajar tidak selayaknya dipandang sebagai memiliki disfungsi neurologis tetapi sebagai perbedaan laju perkembangan berbagai fungsi tersebut. Para penganjur pandangan keterlambatan kematangan berhipotesis bahwa anak berkesulitan belajar tidak terlalu berbeda dari anak yang tidak berkesulitan belajar, dan kelambatan kematangan keterampilan tertentu dipandang sebagai bersifat sementara. Konsep keterlambatan kematangan keterampilan pada suatu pandangan bahwa banyak kesulitan belajar tercipta karena anak didorong atau dipaksa oleh lingkungan sosial untuk mencapai kinerja akademik (academic performance) sebelum mereka siap untuk itu. Tuntutan-tuntutan dari sekolah dan upaya mengajarakan sesuatu yang tidak sesuai dengan tahapan perkembangan anak dapat menimbulkan kesulitan belajar. Pandangan ini didukung oleh hasil penelitian Koppitz (Lerner, 1988: 169), yang selama lima tahun melakukan suatu studi terhadap 177 anak berkesulitan belajar yang ditempatkan di kelas khusus. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar dari anak-anak tersebut memperlihatkan kelambatan kematangan. Menurut Koppitz, anak-anak berkesulitan belajar memerlukan waktu satu atau dua tahun lebih banyak daripada yang diperlukan oleh anak tidak berkesulitan belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Selain itu, hasil penelitian Koppitz menunjukkan bahwa jika anak-anak berkesulitan belajar diberi waktu dan bantuan yang cukup mereka ternyata mampu mengerjakan tugas-tugas akademik secara baik menurut Lemer (1988: 160). Pandangan kelambatan kematangan juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Silver dan Hagin. Hasil penelitian terhadap anak-anak yang diagnosis berkesulitan belajar membaca dan memperoleh pelayanan pendidikan khusus, beberapa tahun kemudian, setelah mereka berusia antara 16 hingga 24 tahun, banyak di antara mereka yang tidak memperlihatkan kesulitan dalam orientasi ruang, dalam membedakan bunyi-bunyi, dan dalam membedakan kiri-kanan, meskipun pada masa anak-anak mereka memperlihatkan adanya problema-problema tersebut. Melalui proses pematangan, beberapa dari berbagai problema tersebut menghilang, tetapi ada pula yang masih tetap. Pandangan lain tentang pengaruh kematangan terhadap kesulitan belajar dikemukakan oleh Samuel A. Kirk. Menurut Kirk seperti dikutip oleh Lemer (1988; 169), pada tahap-tahap awal perkembangan anak secara normal cenderung menampilkan fungsi-fungsi yang menyenangkan dan menghindari yang tidak menyenangkan. Ketika suatu fungsi mengalami kelambatan dalam kematangan, anak berkesulitan belajar malah menghindari dan menarik diri dari aktivitas-aktivitas yang menuntut fungsi tersebut. Akibatnya, fungsi yang ditolak tersebut gagal untuk berkembang sehingga kesulitannya menjadi semakin parah. Konsep kematangan mengemumukan bahwa penyebab utama kesulitan belajar adalah ketidakmatangan. Implikasi dari teori ini adalah bahwa anak-anak yang lebih muda dan kurang matang dalam suatu tingkat kelas di sekolah akan cenderung mengalami kesulitan belajar yang lebih berat daripada anak yang yang lebih tua di kelas tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang lebih muda dalam kelas-kelas permulaan lebih memiliki kesulitan belajar daripada anak-anak yang lebih tua. Jika bulan kelahiran dibandingkan dengan persentase anak-anak berkesulitan belajar, hasil penelitian menunjukkan, bahwa anak-anak yang lebih muda, yaitu anak-anak yang dilahirkan sebelum atau dekat dengan tanggal dan bulan masuk sekolah, lebih banyak yang dinyatakan berkesulitan belajar daripada yang dilahirkan jauh sebelum tanggal dan bulan masuk sekolah. Fenomena semacam itu menurut Lerner (1988: 170) disebut pengaruh tanggal lahir (birthdate effect). Tahapan-Tahapan Perkembangan Tahapan-tahapan perkembangan yang paling erat kaitannya dengan kesulitan belajar di sekolah adalah tahapan-tahapan perkembangan kognitif. Pengertian kognisi mencakup aspek-aspek struktur intelek yang digunakan untuk mengetahui sesuatu; yaitu fungsi mental yang mencakup persepsi, pikiran, simbol, penalaran, dan pemecahan masalah (Girgagunarsa, 1981: 234). Perwujudan fungsi kognitif dapat dilihat dari kemampuan anak dalam menggunakan bahasa dan matematika (Weinmen, 1981: 142). Piaget sebagai tokoh peneliti perkembangan kognitif sesungguhnya tidak mengemukakan penahapan berdasarkan umur. Penahapan perkembangan kognitif yang didasarkan atas umur dilakukan oleh Ginsburg dan Opper (Dirgagunarsa, 1981: 123). Adapun tahap-tahap perkembangan kognitif tersebut adalah (1) tahap sensorimotor (usia 0-2 tahun), (2) tahap praoperasional (usia 2-7 tahun), (3) tahap konkret-operasional (usia 7-11 tahun), dan (4) tahap formal-operasional (usia 11 atau lebih). Dua tahun pertama kehidupan manusia disebut periode sensorimotor. Pada periode ini anak belajar melalui indra dan gerakan serta dengan berinteraksi dengan lingkungan fisik. Melalui bergerak, meraba, memukul, menggigit dan memanipulasi objek-objek secara fisik, anak belajar mengenai sifat ruang, waktu, lokasi, ketetapan, dan sebab akibat. Sebagian dari anak-anak berkesulitan belajar sering memerlukan lebih banyak kesempatan untuk melakukan eksplorasi motorik semacam itu. Lima tahun kehidupan berikutnya, yaitu umur dua tahun hingga tujuh tahun, disebut tahapan kehidupan praoperasional. Tahapan ini dibagi menjadi dua subtahapan, yaitu subtahapan berpikir prakonseptual (usia 2-4 tahun) dari subtahapan berpikir intuitif (usia 4-7 tahun). Berbeda dari tahapan sensorimotor yang perilakunya masih praverbal dan tidak menggunakan tanda atau simbol, pada subtahapan berpikir prakonseptual anak telah menggunakan tanda atau simbol, pada subtahapan berpikir prakonseptual anak telah menggunakan tanda ata simbol. Pada subtahapan ini anak mengembangkan yang dinamakan oleh Piaget sebagai fungsi simbolik. Pada usia dua hingga empat tahun anak berkesulitan belajar sering belum dapat mengelompokkan benda-benda atas sifat khusus benda tersebut, tetapi masih terbatas pada satu dimensi saja. Menurut Piaget seperti dikutip oleh Joyse dan Weil (1980: 108) anak pada subtahapan ini belum dapat memusatkan perhatian pada dua dimensi yang berbeda secara bersamaan. Pada subtahapan ini anak baru dapat menyusun benda-benda berdasarkan satu dimensi saja, misalnya dari segi panjangnya atau besarnya saja. Pada subtahapan berpikir intuitif anak belum mampu mengkonversikan angka-angka. Jika keadaan anak diberikan dua deretan benda yang sama banyaknya misalnya mungkin anak akan mengatakan bahwa deretan yang satu lebih banyak dari deretan yang lain karena deretannya lebih panjang. Hal ini menurut Piaget seperti yang dikutip oleh Gunarsa (1981 : 155) karena anak belum dapat memecahkan masalah konversi. Anak-anak berkesulitan belajar pada usia empat hingga tujuh tahun sering belum memiliki kemampuan untuk memahami konsep-konsep seperti panjang - pendek, besar - kecil, jauh – dekat, banyak – sedikit, dan sebagainya, sehingga mereka memerlakukan banyak bantuan dan latihan. Pada usia antara 7 hingga 11 tahun anak berada pada tahapan operasi konkret. Pada tahapan ini yang dapat dipikirkan oleh anak masih terbatas pada benda-benda konkret yang dapat dilihat dan diraba. Benda-benda yang tidak jelas, yang tidak tampak dalam kenyataan, masih sulit dipikirkan oleh anak. Itulah sebabnya seperti dikemukakan oleh Kohlberg dan Giligan yang dikutip oleh Gunarsa (1981 : 164) bahwa kesulitan pelajaran matematika karena adanya upaya untuk mengajarkan kepada anak yang masih berada pada tahapan operasi konkret dengan materi yang abstrak. Tahapan operasi formal, dimulai pada sekitar umur sebelas tahun. Pada tahapan ini anak memperlihatkan adanya suatu masa transisi utama dalam proses berfikir. Pada tahapan ini anak telah mampu berfikir abstrak, menggunakan berbagai teori, dan menggunakan berbagai hubungan logis tanpa harus menunjuk pada hal-hal yang konkret. Tahapan operasi formal ini merupakan landasan yang memungkinkan anak melakukan pemecahan berbagai masalah. Banyak anak berkesulitan belajar meskipun umurnya telah mencapai sebelas tahun tetapi masih berada pada tahapan operasi konkret. Mereka memerlukan banyak bantuan dan latihan agar memiliki landasan yang kuat untuk mencapai tahapan operasi formal. Transisi dari suatu tahapan ke tahapan yang lain memerlukan kematangan. Menurut Piaget, tahapan-tahapan tersebut berurutan dan hierarkis. Anak hendanya diberi kesempatan untuk memantapkan perilaku dan berpikir sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangannya. Kegagalan anak disekolah umumnya karena sekolah sering menuntut anak-anak menggunakan konsep-konsep logis dalam suatu bidang pelajaran tanpa memberikan kesempatan yang cukup kepada anak untuk melalui tahapan-tahapan pemahaman sebelumnya. Secara ringkas, pandangan kematangan didasarkan atas anggapan bahwa semua individu memiliki tahapan-tahapan perkembangan yang alami dan waktu kematangan berbagai keterampilan. Problema belajar pada anak mungkin hanya merupakan suatu kelambatan dalam perkembangan dari proses tertentu. Ini merupakan hal yang penting bagi orang yang bertanggung jawab menyediakan lingkungan pendidikan bagi anak untuk menyadari tahapan-tahapan kematangan dan kelambatan-kelambatan yang mungkin muncul. Implikasi Teori Perkembangan bagi Kesulitan Belajar Teori perkembangan kematangan memiliki implikasi yang bermakna untuk memahami dan mengajar anak berkesulitan belajar teori tersebut mengemukakan bahwa kemampuan kognitif anak kualitatif berbeda dari orang dewasa. Kemampuan kognitif berkembang menurut cara yang beraturan yang tidak dapat diubah. Suatu implikasi penting dari pendekatan perkembangan kematangan adalah bahwa sekolah hendaknya merancang pengalaman belajar untuk mempertinggi kemantapan perkembangan alami. Dala beberapa hal, lingkungan pendidikan mungkin lebih banyak menghalangi daripada membantu perkembangan anak, kesulitan belajar mungkin akan terjadi. Tujuan penting dari sekolah seharusnya adalah untuk memperkuat landasan berfikir anak yang dapat menjadi landasan belajar berikutnya. Para pendidik umumnya menggunakan istilah kesiapan (readiness) untuk menunjuk pada taraf perkembangan kematangan yang diperlukan sebelum ketrampilan yang diinginkan dapat dipelajari sebagai contoh, kesiapan untuk berjalan memerlukan suatu taraf tertentu dari perkembangan sistem neorologis, kekuatan otot yang cukup, dan perkembangan fungsi-fungsi motorik prasyarat tertentu. Hingga seorang bayi memiliki berbagai kemampuan tersebut, upaya mengajarkan keterampilan berjalan akan merupakan pekerjaan yang sia-sia. Penentuan Anak Berkesulitan Belajar Tes inteligensi Binet-Simon diciptakan untuk membedakan anak normal dan anak tidak normal. Inteligensi anak dapat diketahuai dengan membandingkan CA dan MA dengan selisih skore 3 tahun. Jika CA anak 10 tahun dan MA anak 8 tahun, anak itu normal, tetapi jika MA nya 7 tahun, anak itu tidak normal. Tes inteligensi ini untuk anak luar biasa pada umumnya, belum menunjuk untuk anak berkesulitan belajar. Tes WISC-R digunakan untuk mengukur inteligensi anak berkesulitan belajar dengan menggunakan daerah kurve normal, maka dapat dibedakan menjadi lima kategori atau grade atau tingkatan. Masing-masing grade ditentukan dengan menghitung rata-rata dan standar deviasi. Rata-rata yang digunakan adalah 100 (seratus) dan standar deviasi adalah 15 (lima belas). Dengan rumus seperti yang telah diuraikan di muka dapat disajikan lima grade berdasarkan tes WISC-R seperti pada tabel di bawah ini: Tabel 11. Grade Inteligensi Anak Grade Interval Kategori I 130 ke atas Sangat Superior II 115 – 130 Superior III 85 – 115 Sedang IV 70 – 85 Kurang V Di bawah 70 Kurang Sekali Sesuai dengan teori kesenjangan untuk menentukan kesulitan belajar perlu dibandingkan antara inteligensi dan hasil belajar. Inteligensi yang digunakan adalah grade tiga ke atas. Jika inteligensi anak grade tiga ke atas sedangkan hasil belajar. Jika inteligensi rata-rata, anak tersebut berkesulitan belajar. CPM juga dapat digunakan untuk menentukan grade inteligensi anak dengan mengelompokkan anak ke dalam lima kategori berdasarkan skore presentil (Cahaya Prabu, 1984). Lima kategori berdasarkan tes CPM dapat disajikan dalam tabel di bawah ini : Tabel 12. Grade Inteligensi Tes CPM Grade Interval Kategori I 91 ke atas Superior II 75 – 90 Di atas rata-rata III 25 – 74 Rata-rata IV 6 – 24 Di bawah rata-rata V 5 ke bawah Rendah Sesuai dengan ketentuan teori kesenjangan tersebut di atas, anak berkesulitan belajar adalah ana ayang grade inteligensi 3 ke atas sedangkan hasil belajarnya di bawah rata-rata kelompok / kelasnya, maka anak tersebut termasuk anak berkesulitan belajar. 45