Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Tesis Bab IV

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hukum dan Urgensi Moralitas Sebelum membahas lebih lanjut bagian ini, pertanyaan pertama adalah mengapa hukum membutuhkan moralitas? Pertanyaan ini adalah pertanyaan mendasar mengenai hakekat hukum. Hukum hanya disebut hukum kalau di dalamnya mengandung aspek keadilan dan moralitas. Tanpa keadilan dan moralitas hukum tidak layak disebut hukum. Menurut Hans Kelsen hukum adalah bagian dari moral. Tentang hal itu Hans Kelsen (1978:72) menegaskan bahwa: Jika dikatakan bahwa hukum, menurut sifatnya, memiliki muatan moral atau merupakan nilai moral; maka kita dapat menegaskan dengan pernyataan ini bahwa hukum berlaku dalam lingkup moral, bahwa tatanan hukum merupakan bagian dari tatanan moral, bahwa hukum adalah moral dan karenanya, berdasarkan sifatnya, ia adil. Dengan demikian jelas bahwa, menurut Hans Kelsen hukum yang mengandung tatanan moral itu dalam dirinya sendiri mesti bersifat adil. Hukum dan penegakan hukum mesti berlaku adil karena mengandung muatan moral di dalamnya. Karena itu, hukum dan moralitas tampaknya memiliki keterkaitan yang tidak bisa diabaikan (Andre Ata Ujan, 2009:153). Hukum yang adil dan mengandung muatan moral juga membutuhkan aparat penegak hukum yang bermoral tinggi. Menurut Beja, (selaku Kabagbinopsnal Polda DIY) moral aparat penegak hukum sangat penting agar hukum tetap superior dalam sebuah negara hukum (Beja, Wawancara, 27/09/2013). Oleh karena itu, menurut Beja, sebaik apa pun hukum kalau tidak dijalankan oleh aparat yang bermoral tinggi tidak akan berguna dalam upaya untuk mencapai tujuan-tujuan hukum. Pada abad pertengahan praktek hukum di Inggris memberikan penekanan sangat kuat pada yurisprudensi analitis (analytical jurisprudence). Namun selain menekankan yuriprudensi analitis, hukum di Inggris pada abad pertengahan tetap memberi perhatian terhadap apa yang disebut yurisprudensi etis, atau disebut normative jurisprudence. Adanya yurisprudensi etis dalam konsep hukum memperlihatkan bahwa hukum tidak hanya dilihat dan diterima sebagaimana adanya, melainkan harus dikritik untuk memperlihatkan dimensi seharusnya dari norma hukum yaitu upaya untuk mencapai tujuan hukum yakni memenuhi rasa keadilan (Andre Ata Ujan, 2009:154). Oleh karena itu, moralitas urgen dibutuhkan dalam hukum dan penegakan hukum sebagai upaya mencapai keadilan. Urgensi moralitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan bahwa aspek moral sangat mendesak dibutuhkan. Pertanyaannya mengapa moralitas urgen atau mendesak dibutuhkan? Pertanyaan ini terkait dengan kelekatan antara aspek moral dengan manusia itu sendiri. Menurut Sutedjo, selaku hakim penitera pada pengadilan negeri Yogyakarta (Sutedja, wawancara 12/09/2013), “moral itu paling diutamakan dan nomor satu dalam penegakan hukum”. Menurut Sutedja tanpa moral aparat yang baik hukum akan inferior dan berada pada titik yang memalukan. Moral aparat yang baik membuat hukum superior dan kredibel (sutedja, wawancara 12/09/2013). Moral selalu terkait dengan aspek manusiawi, karena hanya manusia yang bisa membuat distingsi antara yang baik dan buruk (jahat). Kemampuan akal budi dan hati nurani memampukan manusia untuk melakukan yang baik dan menolak berbuat jahat dan yang tidak adil serta merugikan hak-hak orang lain. Hanya manusia saja disebut sebagai makhluk bermoral karena manusia tahu membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik. Manusia yang tidak bisa membedakan yang baik dan jahat disebut manusia tidak baik dan bahkan tidak beradab (kecuali bayi dan anak-anak dalam usia tertentu yang belum memiliki kemampuan tersebut). Namun manusia tidak merasa cukup hanya mengetahui dan membedakan yang baik dan tidak baik. Manusia dalam hidupnya selalu berusaha melampaui dirinya. Manusia ingin memperoleh level-level baru dalam pengetahuan, tingkatan baru dalam kebudayaan dan kebaikan hidup. Transendensi diri manusia merupakan suatu gerakan khas dan eksklusif manusia dengannya ia secara terus menerus melampaui dirinya, melampaui adanya dengan segala sesuatu yang ia inginkan dan miliki (Konrad Kebung, 2006:182-183). Sebagai makhluk rasional yang berusaha melampaui level yang ada manusia selalu berupaya menjelaskan secara rasional semua temuan dalam hidupnya, termasuk upaya untuk menjelaskan aspek moralitas. Sebagai makhluk berakal budi, manusia terus berupaya menjelaskan secara rasional mengapa sesuatu itu mesti dikatakan baik, dan apakah kebaikan itu juga diakui oleh orang lain, sehingga tidak menjadi kebaikan subjektif yang berlaku untuk diri sendiri. Manusia senantiasa berusaha agar konsep kebaikan tersebut menjadi objektif, berlaku universal, dan diakui atau diterima oleh publik pada umumnya. Mempertanyakan moralitas berarti manusia sedang menyelami aspek metafisis dari moralitas. Moralitas merupakan diskusi yang manusiawi karena manusia dalam pergumulan sejarah peradabannya selalu mengarahkan diri pada kebaikan agar disebut sebagai manusia beradab. Sebagai makhluk rasional, manusia berupaya merefleksikan kebaikan sebagai bagian yang mesti ada dan melekat dalam diri manusia. Moralitas tidak saja melekat dalam diri manusia tetapi aspek moral tersebut mesti sanggup ditunjukkan manusia dalam setiap tugas dan profesinya, entah sebagai pejabat negara atau sebagai petani sederhana, entah sebagai dosen, guru, atau dokter maupun sebagai ahli hukum dan aparat penegak hukum. Aspek moral melekat dalam diri manusia dan membuat manusia tampak lebih manusiawi dan tahu menghargai dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Sebagai manusia yang bermartabat, aparat penegak hukum memiliki aspek moralitas. Aspek moral melekat dalam diri dan kehidupan aparat penegak hukum. Melekatnya aspek moral tersebut menegaskan bahwa hukum tidak cukup sempurna untuk mengatur semua hal yang berkaitan dengan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Hukum membutuhkan aparat penegak hukum yang bermoral agar bisa superior dan memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak. Aparat penegak hukum, ibarat pengemudi yang menjalankan kendaraan bernama hukum. Agar kendaraan tersebut bisa berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh semua pihak maka seorang pengemudi membutuhkan kondisi kendaraan yang baik dan lingkungan, jalan yang layak untuk dilalui kendaraan tersebut (Antonius Triyogo Whisnu, wawancara, 12/09/2013). Demikian juga, aparat yang bermoral membutuhkan struktur hukum, budaya hukum dan substansi hukum yang baik agar bisa menegakkan hukum yang minimal memenuhi rasa keadilan semua pihak. Selain itu, lingkup penegak hukum juga mesti mendukung bagi bertumbuh dan berkembangnya moralitas aparat yang baik agar mampu mempertahankan diri sebagai aparat penegak hukum yang baik dan bermoral tinggi. Namun, tidak dapat disangkal adanya keterbatasan dasariah yang terkandung dalam hukum karena dibuat oleh otoritas berwenang yaitu manusia yang terbatas secara kodrati, juga keterbatasan masyarakat untuk menyelami dan menyadari manfaat adanya hukum dalam mengatur tertib hidup bersama. Hukum positif adalah hukum buatan manusia yang direpresentasikan oleh pejabat berwenang. Para pejabat ini adalah manusia terbatas yang tidak sanggup membuat sebuah hukum sempurna yang mampu mengatur seluruh dimensi kehidupan manusia alam sekitar. Hukum hanya sanggup mengatur hal-hal yang dirasa perlu dan mendesak bagi kebutuhan manusia dan lingkungan sekitar. Hukum positif, betapa pun lengkapnya, tetap saja terbatas. Adanya keterbatasan natural (bersifat alamiah) tersebut membuat manusia tidak akan pernah menciptakan hukum yang sempurna. Bahkan hukum positif cenderung reaktif karena diciptakan setelah berbagai pengalaman dan penderitaan dialami manusia. Banyak kasus yang terjadi tidak dapat ditangani karena hukum positif yang ada tidak dapat dijadikan pegangan sebagai kepastian hukum untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia. Dengan pertimbangan seperti ini adanya moralitas yang berfungsi mengontrol manusia dari dalam dirinya sendiri akan sangat bermanfaat dan urgen dibutuhkan untuk mengisi kekosongan dan keterbatasan hukum positif tersebut (William H. Shaw, Business Ethics, 1999:7-8, seperti dikutip dalam Andre Ata Ujan, 2009:156). MORALITAS APARAT PENEGAK HUKUM SEBAGAI PENOPANG SUPERIORITAS HUKUM Menurut hasil penelitian penulis melalui wawancara di sejumlah lembaga penegak hukum, umumnya aparat penegak hukum selaku narasumber setuju bahwa moralitas aparat penegak hukum menjadi penopang superioritas hukum. Menurut Sutedja (wawancara, 12/09/2013), aparat penegak hukum (hakim) yang baik dalam penegakan hukum selalu menegakkan hukum berdasarkan aturan atau hukum yang berlaku dan berdasarkan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal itu berarti bahwa hakim dalam menegakkan hukum selalu mengikuti peraturan perundangan-undangan, kode etik dan moral yang benar. Dengan demikian, sebagai corong undang-undang hakim akan membuat hukum semakin superior. Menurut Sutedja, “aparat penegak hukum yang bermoral baik akan memperhatikan undang-undang yang berlaku dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Hukum yang superior, pertama-tama mesti ditegakan oleh aparat yang tegas dan memiliki integritas moral yang tinggi. Oleh karena itu, aspek moralitas itu penting dan utama dalam penegakan hukum. Pertanyaannya, mengapa banyak terjadi penyimpangan dalam penegakan hukum oleh aparat (oleh hakim, misalnya)? Menurut Sutedja, penyimpangan penegakan hukum oleh aparat yang menyebabkan hukum menjadi inferior merupakan kasus yang terjadi ketika aparat penegak hukum menyalahgunakan wewenang (Sutedja, wawancara 12/09/2013). Penyalahgunaan wewenang tersebut terkait sangat erat dengan aspek ketegasan dan integritas aparat untuk mengutamakan kepentingan keadilan dan kebenaran di atas kepentingan pribadi dan pertimbangan keuntungan ekonomis apa pun. Seorang aparat penegak hukum yang bermoral akan selalu mempertimbangkan secara matang dan bertanggungjawab sebelum menentukan suatu keputusan. Setiap keputusan yang diambil adalah keputusan yang bermoral. Menurut Krisna Pramono, seorang jaksa penuntut umum dan jaksa intelijen pada kejaksaan negeri Yogyakarta (wawancara, 12/09/2013), moralitas aparat yang baik membuat hukum akan semakin superior dan dapat dipercapa oleh para pencari keadilan. Namun menurut Krisna, dalam kaitannya dengan penuntut umum, seorang jaksa menuntut suatu perkara berdasarkan hasil konsultasi dengan atasan. Hal itu berarti bahwa kalau atasan bermoral baik, maka tuntutan akan semakin baik. Namun kalau atasan bermoral kurang baik, maka tuntutan akan jauh dari rasa keadilan. Menurut Krisna, Jaksa dalam melakukan tuntutan selalu berdasarkan undang-undang dan kode etik profesi sebagai moralitas kolektif. Jaksa dapat saja mengabaikan moral dan pertimbangan individual dalam melakukan tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum karena keputusannya selalu didasarkan pada konsultasi dengan atasan. Namun dalam Undang-undang kejaksaan tidak disebutkan tentang prosedur penuntutan yang didasarkan pada konsultasi dengan atasan jaksa. Hal itu berarti bahwa jaksa secara umum dalam melaksanakan tugas tuntutan sudah menyimpang dari peraturan perundang-undangan, karena tidak ada independensi dari jaksa penuntut umum yang memimiliki kewenangan untuk menuntut. Jaksa penuntut umum selalu mendengarkan apa yang dikatakan sang atasan dalam melakukan tugas tuntutan. Menurut Krisna, moralitas jaksa penuntut umum selalu dibatasi oleh undang-undang dan perintah atasan dalam melakukan tugas tuntutan. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 ditegaskan bahwa ayat (3) “Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah”. Sedang dalam ayat (4) ditegaskan bahwa “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya”. Tidak ditemukan aturan yang menegaskan bahwa jaksa harus menuntut berdasarkan komando atau perintah atasan. Hal tersebut dapat diuraikan bahwa dalam tugas penuntutan tersebut seorang jaksa melanggar peraturan perundang-undangan karena menuntut berdasarkan perintah atau komando atasan. Padahal menurut Krisna sebenarnya dalam suatu tugas dan tanggung jawab tuntutan, seorang penuntut umum harus bebas dari tekanan mana pun. Seorang jaksa penuntut umum harus bebas dalam melakukan tugas tuntutan berdasarkan moral kolektif (kode etik) dan juga pertimbangan moral individu. Kedua moralitas tersebut mesti dipadukan dan integral dalam upaya penegakan hukum yang adil dan bermoral (Krisna Pramono, wawancara 12/09/2013). Menurut Beja, SH (Kabagbinopsal Polda DIY) moral aparat yang tinggi tentu akan membuat hukum semakin superior. Dalam tataran teoretis, hukum di Indonesia tetap superior karena Indonesia merupakan negara hukum. Namun dalam tataran praktis, hukum di Indonesia inferior, karena masih ada banyak kepentingan termasuk kepentingan politik yang mempengaruhi pembuatan hukum di lembaga legislatif. Adanya dominasi partai pemenang pemilu, misalnya, membuat produk hukum dilandasi oleh semangat partai yang bersangkutan (Beja, wawancara, 27/09.2013). Namun menurut Beja, walaupun produk hukum tersebut tidak sempurna atau terbatas, tetapi jika dijalankan oleh aparat penegak hukum yang bermoral tinggi, maka hukum akan tetap superior dan hukum akan tetap ditegakkan untuk mencapai tujuan-tujuan hukum. Menurut Anastasia Ririn Tri Setyaningrum (wawancara, 12/09/2013) hukum di Indonesia hingga saat ini masih superior. Namun jika aparat penegak hukum selalu memilih untuk mengesampingkan hukum dalam menyelesaikan setiap perkara hukum yang terjadi, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa masyarakat tidak percaya pada hukum sebagai sarana yang bisa mengayomi, melindungi dan memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Hal itu berarti bahwa agar hukum tetap superior dan kredibel, maka aparat penegak hukum mesti tetap mengandalkan hukum dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku dalam penegakan hukum. Masyarakat tidak mungkin mengandalkan hukum kalau aparatnya tidak berpegang pada kekuatan hukum untuk menegakan hukum dan tidak mengupayakan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Karena itu, prosedur penegakan hukum yang murni dan konsisten akan sangat menentukan ke mana arah penegakan hukum dan superioritas hukum di Indonesia akan bermuara. Aparat hukum mesti memiliki tanggungjawab dan mengutamakan para pencari keadilan dalam penegakan hukum. Dalam Pasal 3 huruf (b) Kode Etik Advokat Indonesia, ditegaskan bahwa “Advokat dalam melakukan tugasnya tidak semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan”. Hal itu berarti bahwa Advokat mengutamakan kepentingan hukum dan keadilan dalam memperjuangkan hak-hak kliennya, selain imbalan materi yang merupakan konsekuensi langsung dari pembelaan tersebut. Sementara itu, dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, ditegaskan bahwa Advokat dalam menjalankan tugas profesinya harus tetap berpegang teguh pada itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. Itikad baik dimaksudkan agar dalam menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kliennya. Hal tersebut berarti bahwa aparat penegak hukum mengutamakan penekannya pada konsep etika heteronom. Menurut Emanuel Levinas (seperti diuraikan pada bagian landasan teori), etika heteronom selalu mengutaman tanggungjawab pada pihak lain. Yang lain itu dilihat sebagai ‘wajah’ yang menuntut pertanggungjawaban kita. Di sini, penegak hukum melihat yang lain (orang lain) sebagai bagian yang menuntut pertanggungjawabannya. Penegak hukum harus bertanggungjawab atas nilai keadilan yang dituntut oleh pihak-pihak dalam penegakan hukum. Mempertanggungjawabkan tanggung jawab orang lain berarti aparat penegak hukum ingin menegakkan hukum sesuai dengan apa yang mesti menjadi tanggung jawabnya, juga bertanggung jawab atas hak-hak hukum yang menjadi bagian dari kliennya. Dengan demikian, penegak hukum, seperti Advokat dalam melaksanakan tugas profesinya selalu berupaya untuk menegakkan hukum dan memenuhi rasa keadilan yang sedang dituntut oleh para pihak pencari keadilan. MORALITAS APARAT PENEGAK HUKUM DALAM UPAYA MENCAPAI KEADILAN Berbicara tentang moralitas berarti berbicara tentang struktur dasar yang membentuk manusia. Sebagai agen moral manusia dibentuk oleh lingkungan (dunia kehidupan) secara internal dan eksternal. Hal itu berarti bahwa, manusia dibentuk oleh faktor bawaan (diri sendiri) dan faktor dari luar dirinya (lingkungan). Ada moralitas individual dan moralitas kolektif. Moral individu terbentuk oleh faktor bawaan dan watak (karakter) individu manusia. Sedangkan moralitas kolektif dibentuk oleh lingkungan, entah lingkungan keluarga maupun masyarakat pada umumnya. Berdasarkan wawancara dengan beberapa aparat penegak hukum diperoleh informasi dari narasumber bahwa secara individu penegak hukum mesti memiliki moralitas secara individual yang baik. Moralitas individual tersebut diharapkan akan menjadi secercah harapan yang menerangi (menjadi penerang) kegelapan moralitas kolektif, kalau sebelumnya moralitas kolektif (kode etik profesi) sangat memprihatinkan karena tidak dipatuhi dan ditaati oleh aparat penegak hukum (Anastasia Ririn Tri Setyaningrum, wawancara 12/09/2013). Moral kolektif digerakkan oleh kode etik aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum yang bermoral dan berkomitmen untuk mempertahankan moralitas tersebut mesti tetap konsisten dengan keyakinan pada moral pribadi. Ketegasan dan konsistensi pada moralitas pribadi tersebut membuat aparat penegak hukum bersangkutan tetap tegar dan konsisten mengahadapi moralitas kolektif (kode etik) yang sering kali tidak dipatuhi dan tidak dijalankan secara sungguh-sungguh. Ada semacam kesepakatan internal untuk mengabaikan kode etik dan menciptakan ‘moral kolektif’ yang menyimpang dari kode etik profesi. Hal itu berarti bahwa, manusia yang baik mesti terlebih dahulu terbentuk oleh lingkungan internal dan eksternal yang baik. Namun pemikiran ideal tersebut tidak terlepas dari kondisi konkret akan banyaknya aparat penegak hukum yang tidak mampu merealisasikan moral yang baik sehingga berlaku menyimpang dari moralitas, entah secara individu maupun secara kolektif. Menguatnya potensi konflik akibat keterbatasan natural, di satu pihak, dan keterbatasan hukum positif, di lain pihak, membuat moral sebagai isi minimum dari hukum semakin relevan dan urgen. Keterbatasan natural tersebut mendorong pentingnya memberi tempat pada nilai moral yang berfungsi mengendalikan individu secara internal agar mengejar kepentingannya di tengah sumber daya yang terbatas secara bertanggung jawab. Karena itu kode etik profesi aparat penegak hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur dan memberikan batasan pertanggungjawaban profesi. Namun, kode etik sebagai moral kolektif tidak cukup baik kalau tidak dijalankan oleh individu aparat penegak hukum yang secara personal bermoral baik. Dengan demikian perpaduan antara moral individual dan moral kolektif (kode etik) sangat urgen dibutuhkan dalam penegakan hukum yang adil dan bermoral. Moralitas dan Kode Etik Profesi Polisi Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 4 mengatur tentang ruang lingkup Kode Etik Profesi Polri yakni huruf (a) tentang etika kenegaraan. Etika Kenegaraan adalah sikap moral Anggota Polri terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan kebhinekatunggalikaan. Dalam Pasal 5 diuraikan bahwa etika kenegaraan memuat pedoman berperilaku anggota Polri dalam hubungan dengan: (1). tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); (2). Pancasila; (3). Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan (4). kebhinekatunggalikaan. Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, huruf (b) diuraikan tentang etika kelembagaan. Etika Kelembagaan adalah sikap moral Anggota Polri terhadap institusi yang menjadi wadah pengabdian dan patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dengan segala martabat dan kehormatannya sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Tribrata dan Catur Prasetya. Pada Pasal 5 ditegaskan bahwa Etika Kelembagaan memuat pedoman berperilaku Anggota Polri dalam hubungan dengan: (1). Tribrata sebagai pedoman hidup; (2). Catur Prasetya sebagai pedoman kerja; (3). sumpah/janji Anggota Polri; dan (4). sumpah/janji jabatan. Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, huruf (c) ditegaskan tentang etika kemasyarakatan. Etika kemasyarakatan adalah sikap moral Anggota Polri yang senantiasa memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan mengindahkan kearifan lokal dalam budaya Indonesia. Pada pasal 5 ditegaskan bahwa etika kemasyarakatan memuat pedoman berperilaku Anggota Polri dalam hubungan dengan: (1). pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas); (2). penegakan hukum; (3). pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat; dan (4). kearifan lokal, antara lain gotong royong, kesetiakawanan, dan toleransi. Pada Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia huruf (d) diuraikan tentang etika kepribadian. Etika kepribadian adalah sikap perilaku perseorangan Anggota Polri dalam kehidupan beragama, kepatuhan, ketaatan, dan sopan santun dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pada pasal 5 ditegaskan bahwa etika kepribadian memuat pedoman berperilaku anggota Polri dalam hubungan: (1). kehidupan beragama; (2). kepatuhan dan ketaatan terhadap hukum; dan (3). sopan santun dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa,dan bernegara. Dari ruang lingkup Kode Etik Profesi Polri tersebut tampak jelas bahwa Polisi sebagai aparat penegak hukum harus mengabdikan diri kepada Negara, kepada institusi Kepolisian, kepada masyarakat, dengan kekuatan dan kemampuan kepribadian yang baik dan bermoral (etika kepribadian). Menurut Beja (wawancara, 27/09/2012) seorang penegak hukum (Polisi) mesti memiliki moralitas individual yang baik agar bisa mengabdi dengan baik pula kepada negara, institusi kepolisian, dan kepada masyarakat. Tanpa memiliki moralitas yang baik, sulit mengharapkan kepada aparat penegak hukum (polisi) dapat melakukan tugas pengabdian dengan baik. Jadi menurut Beja, moral individu dan moral kolektif (dalam kode etik) mesti berjalan beriringan agar aparat penegak hukum dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik dan mencapai tujuan-tujuan hukum yang diinginkan oleh semua pihak, termasuk memenuhi rasa keadilan bagi para pihak. Moralitas dan Kode Etik Profesi Hakim Dalam Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Pasal 4 ditegaskan mengenai kewajiban dan larangan bagi Hakim yang dijabarkan dari 10 (sepuluh) prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yaitu: (a) berperilaku adil; (b) berperilaku jujur; (c) berperilaku arif dan bijaksana; (d) bersikap mandiri; (e) berintegritas tinggi; (f) bertanggung jawab; (g) menjunjung tinggi harga diri (h) berdisiplin tinggi; (i) berperilaku rendah hati; dan (j) bersikap profesional. Berikut ini, penulis akan menguraikan beberapa hal penting dari kode etik tersebut yang berkaitan dengan kepentingan tesis. Berperilaku adil. Dalam Pasal 5 Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, dijelaskan bahwa berperilaku adil berarti: Menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberikan kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang. Dengan demikian adil berarti tidak diskriminatif dalam penegakan hukum (equality before the law). Semua warga negara mesti diperlakukan sama di hadapan hukum tidak membeda-bedakan. Setiap orang mesti diberikan porsi yang sama dan seimbang dalam hal penegakan hukum. Memberikan keistimewaan terhadap orang tertentu berarti mencoreng dan melukai superioritas hukum. Hal tersebut seperti ditegaskan John Rawls dalam prinsip keadilannya bahwa “setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan yang sama yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang” (John Rawls, 1995:72). Hal itu berarti bahwa setiap orang diberikan hak yang sama dan kebebasan yang sama untuk diperlakukan secara adil di hadapan peraturan dalam proses penegakan hukum. Tidak ada upaya dari aparat penegak hukum untuk menekan hak seseorang sementara membiarkan orang lain bebas di hadapan hukum. Karena itu bagi John Rawls, sebuah lembaga yang adil adalah lembaga yang otoritasnya berlaku netral dan tidak dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan personal, moneter dan pertimbangan-pertimbangan lain yang tidak bersesuaian. Menurut Rawls salah satu ketidakadilan lembaga hukum adalah kegagalan para hakim dan otoritas lain untuk mematuhi aturan-aturan yang sesuai atau interpretasi-interpretasinya dalam mengambil keputusan (John Rawls, 1995:70). Bagi Rawl dalam hal penegakan hukum sebagai upaya mencapai keadilan harus ada kriteria atau standard independen untuk memutuskan hasil mana yang adil dan sebuah prosedur dijamin mengarah kepada keadilan (John Rawls, 1995:101). Dengan demikian aparat penegak hukum sudah memiliki konsep keadilan berdasarkan hukum dan juga berdasarkan nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat untuk menentukan sebuah keputusan hukum yang adil bagi para pihak. Berperilaku Jujur. Menurut Pasal 6 Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, berperilaku jujur berarti: Dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil (buruk). Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun di luar persidangan. Uraian tersebut bermakna bahwa berperilaku jujur berkaitan sangat erat dengan membedakan secara tegas antara yang benar dan yang tidak benar. Aparat penegak hukum yang jujur akan membentuk dirinya menjadi pribadi yang kuat, yang tahu membedakan hak-hak orang lain dan tahu membedakan yang baik dan yang jahat, tidak berpihak dan tidak kompromistis terhadap kejahatan. Orang yang jujur selalu berlaku tegas dan fair. Menurut Franz Magnis-Suseso, bersikap jujur berarti bersikap adanya, bersikap berdasarkan apa yang muncul dari dalam diri sebagai diri kita sendiri, sesuai dengan keyakinan kita. Jujur berarti tidak menyebunyikan wajah kita yang sebenarnya, atau tidak menyesuaikan kepribadian kita dengan harapan-harapan dan keinginan orang lain. Dalam sikap dan tindakannya, manusia diharapkan untuk tanggap (respon) terhadap kebutuhan orang lain, kepentingan dan hak orang lain yang berhadapan dengan kita. Kita tidak bersikap egois belaka. Manusia seharusnya bersikap berkorban demi kepentingan orang lain. Namun hal itu kita lakukan bukan sekedar untuk menyesuaikan diri dengan kepentingan dan harapan orang lain, melainkan sebagai diri kita sendiri dengan sikap moral yang otonom bahwa berkorban untuk orang lain itu baik (Franz Magnis-Suseno, 1987:142). Dengan demikian, seorang penegak hukum yang baik dan berperiku jujur berarti seorang penegak hukum yang sadar dan tahu bahwa berperilaku jujur itu baik dalam dirinya sendiri. Berperilaku jujur bukan karena memenuhi harapan-harapan orang lain, tetapi karena berperilaku jujur dalam dirinya sendiri baik adanya. Dalam etika deontologis, Emannuel Kant menegaskan bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak dan tidak bergantung dari apakah ketaatan atas norma tersebut membawa hasil yang menguntungkan atau tidak. Misalnya, norma moral ‘jangan berbohong’ atau ‘bertindaklah secara adil’ tidak perlu dipertimbangkan terlebih dahulu apakah menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di mana saja harus ditaati entah apa pun akibatnya. Hukum moral mengikat mutlak semua manusia sebagai manusia rasional (Imannuel Kant seperti dikutip dalam J. Sudarminta, 2013:136). Bagi Kant, hukum moral selalu mengarahkan manusia pada kebaikan. Karena itu manusia mesti melakukan perintah moral sebab perintah moral tersebut baik dan adil dalam dirinya sendiri. Dengan demikian aparat penegak hukum juga wajib berperilaku jujur karena perintah moral tersebut baik dalam dirinya sendiri dan bukan berperilaku jujur untuk memenuhi harapan-harapan orang lain atau demi kepentingan yang menguntungkan individu dan kelompok tertentu. Berperilaku arif dan bijaksana. Menurut Pasal 7 Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, berperilaku arif dan bijaksana berarti: Mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun. Kebijaksanaan dan kearifan aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum mengandaikan jangkauan wawasan dan pengetahuan yang luas dan berakar pada norma-norma keagamaan, kebiasaan dan kesusilaan. Bijaksana dan arif berarti sikap yang selalu didasarkan pertimbangan yang matang dan hati-hati untuk menentukan suatu pilihan dan memutuskan suatu perkara. Orang yang bijaksana juga selalu membuka diri dan berdialog dengan orang lain untuk menentukan sikap dan pilihan, serta memutuskan secara tepat suatu persoalan sehingga memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak. d. Berintegritas tinggi. Dalam Pasal 9, Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, angka (1) berintegritas tinggi di maknai sebagai “memiliki sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tak tergoyahkan; angka (2) integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas; angka (3) integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik. e. Berperilaku bertanggungjawab. Dalam pasal 10 Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, bertanggungjawab berarti “kesediaan untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut”. f. Profesional. Dalam Pasal 14 Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, profesional berarti “suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Manusia (aparat penegak hukum) dalam keterbatasan, ketidakmampuan dan ketidaksempurnaannya tersebut membutuhkan sarana-sarana pembantu yang membantu dia, agar dapat berkembang menjadi aparat yang bermoral. Sarana pendukung tersebut antara lain: pertama, struktur hukum yang baik. Kedua, lingkungan kerja yang mendukung. Ketiga, sistem penegakan hukum yang tidak memberi peluang bagi penyimpangan dalam penegakan hukum. Keempat, kehidupan ekonomi aparat penegak hukum diperhatikan dan dijamin. Moralitas dan Kode Etik Profesi Advokat Dalam Pasal 3 Kode Etik Advokat Indonesia, huruf (a) ditegaskan bahwa: Advokat dapat menolak untuk memberikan nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa hukum dan/atau bantuan hukum dengan pertimbangan tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak menolak dengan alasan karena perbedaan suku, agama, kepercayaan, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik, dan kedudukan sosialnya. Substansi Pasal 3 tersebut hendak menegaskan kejujuran seorang Advokat untuk mengakui dan menyadari kemampuan dan juga ketidakmampuannya. Advokat akan mengatakan kemampuannya untuk menangani suatu perkara yang benar-benar sesuai dengan latar belakang pengetahuan dan kesanggupan untuk menyelesaikan perkara tersebut sampai tuntas sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku untuk memenuhi keadilan para pencari keadilan (baca: Kliennya). Hal tersebut sesuai dengan teori etika heteronom Emannuel Levinas (pada landasan teori) bahwa seseorang mesti bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain, khususnya bagi mereka yang tidak mampu mempertanggungjawabkan hak-haknya. Di sini tugas para Advokat adalah melindungi hak-hak hukum para kliennya, menjelaskan bahwa setiap orang sekalipun bersalah, tetap mempunyai hak-hak hukum. Di lain pihak seorang Advokat juga mengakui keterbatasan dan kesanggupannya kalau perkara tersebut di luar jangkauan kemampuanya atau sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Sikap seorang Advokat yang bermoral adalah mengatakan dengan tegas sesuatu sebagai benar atau salah. Advokat tidak dibenarkan untuk menggunakan keahliannya demi mendapatkan keuntungan secara ekonomis walaupun perkara hukum tersebut jelas-jelas bertentangan dengan hati nurani dan moral. Oleh karena itu sikap jujur dan terbuka seorang advokat sangat dibutuhkan agar hukum bisa benar-benar ditegakkan secara adil. Seorang Advokat juga tidak dibenarkan untuk melakukan diskriminasi dalam upaya pembelaan hak-hak hukum para kliennya. Semua orang memiliki kesamaan kedudukan di hadapan hukum. Jadi, semua orang memiliki hak yang sama untuk dibela dan dilindungi hak-hak hukumnya. Selain itu, pada Pasal 3 huruf (b) Kode Etik advokat Indonesia juga dijelaskan bahwa “Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan”. Hal itu berarti bahwa hal yang paling diprioritaskan dalam upaya pembelaan yang dilakukan Advokat adalah supaya nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam hukum sungguh-sungguh ditegakkan. Karena itu segala praktek yang berkaitan dengan ‘jual beli perkara’ atau mafia peradilan sangat tidak dibenarkan dan bahkan merendahkan keluhuran tugas dan tanggung jawab seorang Advokat. Bukan materi yang menjadi tujuan utama pembelaannya tetapi lebih karena tegaknya kebenaran dan keadilan agar hukum tetap superior. Moralitas dan Kode Etik Profesi Jaksa Dalam Pasal 3 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-067/A/JA/07/2007 Tentang Kode Perilaku Jaksa diuraikan bahwa dalam melaksanakan tugas profesi, Jaksa wajib: a). Mentaati kaidah hukum, peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku. Hal itu berarti bahwa seorang jaksa tidak boleh bertindak di luar aturan hukum yang berlaku. Tindakan penuntutan yang dilakukan jaksa berkaitan dengan kasus tertentu yang berada di luar aturan hukum akan dinilai tidak bermoral dan menyalahi kode etik perilaku jaksa. Karena itu tidak dibenarkan adanya hasil tuntutan jaksa yang didasarkan pada hasil konsultasi dengan atasan. Hal itu dapat berbahaya, karena jaksa penuntut umum dapat saja terjebak pada moral atasan yang tidak baik, dan meninggalkan komitmen moralitas dan komitmen individual seorang jaksa untuk menuntut secara benar dan adil seperti diuraikan oleh Krisna Pramono selaku intelijen Kejaksaan Negeri Yogyakarta (wawancara, 12/09/2013). b). Menghormati prinsip cepat, sederhana, biaya ringan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Prinsip biaya ringan dapat mempermudah para pencari keadilan yang terbatas secara ekonomis. Sedangkan prinsip cepat dan sederhana membantu para pihak pencari keadilan agar tidak terlalu bertele-tele terlibat dalam prosedur hukum. Prinsip tersebut juga bermaksud agar para pencari keadilan tetap semangat dan berkomitmen untuk mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Karena kalau prosedur hukum terlalu kompleks dan berbelit-belit akan menciptakan peluang bagi para pencari keadilan untuk mencari cara mudah dan sederhana menyelesaikan kasus hukum bahkan melalui tindakan penyuapan atau penyogokan. Dengan demikian prosedur hukum tidak akan diikuti dan upaya untuk mencapai keadilan sulit terpenuhi. c). Mendasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk mencapai keadilan dan kebenaran. Jaksa mesti memiliki keyakinan untuk menuntut perkara secara benar dan adil karena memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas serta memiliki integritas moral yang tinggi untuk mencapai keadilan dan kebenaran. d). Bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan /ancaman opini publik secara langsung atau tidak langsung. Jaksa yang memiliki integritas moral akan menuntut suatu perkara secara mandiri tanpa dipengaruhi oleh tekanan dan ancaman apa pun. Dengan demikian pengaruh apa pun tidak akan sanggup mempengaruhi tuntutan oleh jaksa terhadap suatu perkara agar nilai keadilan bisa diwujudkan. e). Bertindak secara obyektif dan tidak memihak. Seorang jaksa harus berlaku objektif terhadap suatu perkara berdasarkan bukti-bukti hukum yang otentik dan meyakinkan dalam suatu penuntutan. Sikap objektif dan tidak memihak ini mengandaikan sikap dasar dan ketegasan moral seorang jaksa untuk tetap berpihak dan memperjuangkan keadilan para pihak. f). Memberitahukan dan/atau memberikan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka /terdakwa maupun korban. g). Membangun dan memelihara hubungan fungsional antara aparat penegak hukum dalam mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu. h). Mengundurkan diri dari penanganan perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau finansial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari penuntutan yang tidak adil terhadap perkara hukum tertentu. i). Menyimpan dan memegang rahasia sesuatu yang seharusnya dirahasiakan. j). Menghormati kebebasan dan perbedaan pendapat sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. k). Menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia dan hak-hak kebebasan sebagaimana yang tertera dalam peraturan perundang-undangan dan instrumen Hak Asasi Manusia yang diterima secara universal. l). Menanggapi kritik dengan arif dan bijaksana. Setiap kritik yang konstruktif tentu akan menambah pengetahuan dan wawasan jaksa dalam penegakan hukum agar tetap mengutamakan keadilan dan kebenaran. Selain itu kritik juga menjadi sarana kontrol sosial entah secara internal maupun eksternal agar jaksa sebagai penegak hukum senantiasa bersikap baik, setia, dan konsisten menjalankan tugas profesinya. m). Bertanggung jawab secara internal dan berjenjang, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. n). Bertanggung jawab secara eksternal kepada publik sesuai kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat tentang keadilan dan kebenaran. KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI APARAT PENEGAK HUKUM DALAM MEMPERBAIKI MORALITAS SEBAGAI UPAYA MENCAPAI KEADILAN Berdasarkan hasil penelitian, penulis mencatat beberapa hal yang menjadi kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum: Pencari keadilan tidak mau repot. Menurut Sutedjo (wawancara/12/09/2013) kasus tersebut sering terjadi pada masalah penertiban lalu lintas. Banyak pelanggar lalu lintas yang tidak mau repot dan langsung membayar uang pada saat pelanggarannya diketahui aparat, dan tidak mau mengikuti sidang sesuai dengan prosedur yang berlaku. Hal tersebut sebenarnya menunjukkan masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat untuk menyelesaikan persoalan hukum sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Di samping kesadaran hukum masyarakat yang relatif rendah, juga terdapat ketidaktegasan aparat penegak hukum yang memanfaatkan situasi tersebut. Kalau aparat penegak hukum (polisi) tegas dalam menegakkan hukum, maka hal itu sebenarnya menjadi suatu pendidikan hukum yang sangat baik bagi masyarakat, agar mereka menyadari pelanggarannya. Dengan membayar sejumlah uang, masyarakat merasa bahwa hukum mudah dibeli dengan uang, sehingga setiap pelanggaran yang dilakukan mudah diselesaikan dengan uang. Hal tersebut menyebabkan hukum menjadi tidak superior, mudah disogok dan dibuat sewenang-wenang oleh orang-orang yang memiliki banyak uang. Karena itu, pencari keadilan dan penegak hukum mesti mengikuti prosedur hukum yang sungguh-sungguh agar hukum tetap superior dan upaya mencapai keadilan bisa tercapai. Mafia Hukum Para mafia hukum ini umumnya berasal dari sarjana hukum yang memahami hukum dengan baik. Aparat penegak hukum juga tidak terlepas dari praktek yang disebut ‘perdagangan perkara’. Menurut Anastasia Ririn Tri Setyaningrum (wawancara 12/09/2013) suatu praktek jual beli perkara terjadi ketika untuk “suatu tuntutan dan putusan” aparat penegak hukum menarik suatu harga tertentu. Akibatnya, pihak yang membayar akan dimenangkan, dengan memanipulasi pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkara tersebut. Ketidaktegasan Aparat Penegak Hukum Menurut Anastasia Ririn Try Setyaningrum, ketika menghadapi orang-orang yang memiliki jabatan dan kekuasaan, aparat penegak hukum tidak berani bersikap tegas. Tidak jarang pula aparat penegak hukum harus mencari pasal-pasal yang bisa meringankan pejabat tersebut, bahkan kalau dipenjarakan para pejabat umumnya diberi fasilitas yang lebih baik dibanding orang biasa. Dalam kasus tersebut, hukum tampak diskriminatif. Hal itu tampak kontraktif dengan penegasan yang tertuang dalam Pasal 5 huruf (a) dan pasal 7 huruf (a) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008, tentang Pengahapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis. Dalam Pasal 5 huruf (a) ditegaskan bahwa “perlindungan, kepastian, dan kesamaan kedudukan di dalam hukum kepada semua warga negara untuk hidup bebas dari diskriminasi ras dan etnis”. Sedangkan Pasal 7 huruf (a) ditegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib: Memberikan perlindungan yang efektif kepada setiap warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis dan menjamin terlaksananya secara efektif upaya penegakan hukum terhadap setiap tindakan diskriminasi yang terjadi, melalui proses peradilan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Karena itu tindakan diskriminasi secara hukum tidak dibenarkan. Setiap warga negara mesti mendapatkan proses peradilan yang adil sesuai dengan prosedur hukum tanpa membeda-bedakan latar belakang ras dan etnis. Tugas dan keharusan tersebut mesti disadari oleh seluruh warga negara dan juga ditegaskan pemerintah yang direpresentasikan dalam lembaga-lembaga penegak hukum. Sistem dan prosedur Rekrutmen Menurut Mahendra Sony Indriyo (wawancara 12/09/2013), sistem rekrutmen dan prosedur yang tidak fair membuat aparat penegak hukum yang direkrut tidak sesuai dengan kriteria seorang penegak hukum yang kredibel dan bermoral. Karena itu, sistem rekrutmen harus diperbaiki agar aparat penegak hukum yang direkrut melalui sistem yang baik menjadi aparat penegak hukum yang bermoral tinggi sehingga upaya-upaya untuk mencapai keadilan hukum minimal bisa diwujudkan. Menurut Rawls yang dibutuhkan dalam penegakan hukum adalah prosedur yang benar dan adil dan menjamin hasil akhir yang benar dan adil pula. Hasil dari kesepakatan harus dilihat sebagai fair atau adil karena ada semacam posisi yang sejati (yang baik dan benar secara natural) yang bisa menjamin suatu situasi yang adil bagi semua pihak (John Rawls, seperti dikutip dalam Andre Ata Ujan, 2001:42). Oleh karena itu, dalam kaitan dengan sistem rekrutman maka, seorang aparat penegak hukum mesti direkrut dengan prosedur dan sistem yang berlaku agar penegak hukum yang lulus seleksi benar-benar sesuai dengan kemampuan, kualitas dan kredibilitasnya sebagi aparat penegak hukum yang memiliki integritas moral. Aparat penegak hukum yang telah direkrut melalui prosedur dan sistem yang baik dan benar diharapkan dapat menegakkan hukum dengan baik, benar, dan bermoral dalam upaya mencapai keadilan hukum. UPAYA-UPAYA MEMPERBAIKI MORALITAS APARAT PENEGAK HUKUM Menurut penelitian yang dilakukan penulis di sejumlah kantor penegakan hukum di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, aparat penegak hukum umumnya berpendapat bahwa peningkatan moralitas aparat penegak hukum mesti dilakukan melalui beberapa kegiatan berikut: Memberikan ceramah-ceramah keagamaan. Ceramah keagamaan tersebut tentu mesti diberikan oleh para tokoh agama yang memiliki moralitas baik sehingga menjadi panutan banyak orang. Karena itu, ceramah keagamaan tersebut lebih layak diberikan oleh para pemimpin agama memiliki sikap, keteladanan, dan moralitas yang kredibel sebagai contoh yang baik bagi banyak orang termasuk bagi aparat penegak hukum. Dengan demikian, ceramah-ceramah yang disampaikan merupakan penegasan (afirmasi) dari sikap dan moralitas seorang penceramah yang baik yang menjadi teladan bagi semua pihak termasuk aparat penegak hukum. Memperbanyak keterampilan hukum. Hal tersebut bermaksud bahwa dengan memiliki keterampilan hukum yang semakin baik, kemampuan untuk menginterpretasi semakin ditingkatkan dan diperkaya maka, aparat penegak hukum dapat menerapkan pemahaman yang baik dan benar tersebut dalam proses penegakan hukum, sehingga upaya mencapai keadilan dapat terwujud. Penegak hukum mesti berwawasan inter-disipliner. Penegak hukum yang berwawasan luas akan dengan mudah memutuskan suatu perkara (Beja, wawancara, 27/09/2013). Hal tersebut berarti bahwa seorang aparat penegak hukum mesti membekali diri dengan banyak ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu humaniora yang memampukan aparat penegak hukum dapat mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang matang, bijaksana, dan bertanggungjawab karena dilandasi keluasan pengetahuan dan wawasan. Perbaikan sistem hukum. Sistem hukum yang semakin baik akan memudahkan para pencari keadilan dan aparat penegak hukum semakin efektif dan efisien dalam menegakkan hukum dengan prosedur yang lebih mudah dan dengan biaya yang ringan. Dengan prosedur yang lebih sederhana dan biaya yang ringan, sistem hukum tersebut akan turut mambantu dan mempermudah masyarakat pencari keadilan untuk mengikuti prosedur hukum dengan sungguh-sungguh. Selain itu, perbaikan sistem hukum dilakukan untuk menghindari praktek-praktek hukum yang menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain, seperti yang terjadi dalam praktek jual beli perkara atau mafia peradilan. Lingkungan penegakan hukum yang mendukung. Suasana lembaga penegak hukum harus kondusif sehingga memungkinkan setiap aparat penegak hukum dapat menjalankan tugas dengan baik dan benar. Kondisi yang baik dalam instansi atau lembaga penegak hukum juga dapat membuat setiap aparat penegak hukum dapat bertumbuh dengan baik dalam aspek moralitas, sehingga dapat menegakkan hukum yang baik dan benar serta mengarah pada nilai-nilai keadilan yang dikehendaki semua pihak. Keteladan secara individu dan kolektif. Secara individu setiap aparat penegak hukum mesti menjadi pribadi yang baik sehingga dapat menjadi panutan yang baik bagi setiap orang dalam ruang lingkup aparat penegak hukum. Selain itu, secara kolektif atau bersama-sama lembaga penegak hukum tersebut mesti menunjukkan sikap (teladan) yang baik dan benar bagi masyarakat agar menjadi lembaga yang kehadirannya kredibel serta diterima oleh masyarakat. Perbaikan sistem rekrutmen. Sistem rekrutmen diharapkan dapat berjalan dengan baik dan objektif agar setiap pribadi yang sudah melalui prosedur rekrutmen yang baik dan benar tersebut dapat menjadi aparat penegak hukum yang baik pula dalam menegakkan hukum dan keadilan. Gaji yang cukup bagi aparat penegak hukum. Persoalan ekonomis menjadi hal yang sangat serius dan mendesak untuk diperhatikan. Hal itu terkait dengan aparat penegak hukum yang memiliki gaji sangat terbatas untuk kebutuhan keluarga dan pemenuhan kebutuhan ekonomis lainnya. Dengan keterbatasan ekonomi dan jaminan hidup yang terbatas, mereka dapat saja dengan mudah menerima uang suap sebagai ‘tambahan gaji’ untuk memenuhi kebutuhan harian. Hal tersebut memang tidak mutlak benar sebab banyak aparat penegak hukum dengan gaji mencukupi juga tetap melakukan praktek suap-menyuap. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa urgensitas kebutuhan ekonomi tersebut telah meruntuhkan keteguhan moral, sehingga aparat penegak hukum dapat melakukan praktek yang menyimpang dari praktek penegakan hukum yang adil dan benar. Kontrol dari pimpinan sebagai kontrol internal dan kontrol sosial dari masyarakat sebagai kontrol eksternal (Sutedjo, Wawancara 12/09/2013). Dalam membantu aparat penegak hukum tetap berpegang pada nilai-nilai kebaikan atau moralitas, dibutuhkan kontrol yang berasal dari pimpinan lembaga penegak hukum. Hal itu hanya berlaku kalau pemimpin memiliki integritas moral yang baik dan menjadi teladan bagi semua orang di lingkungan lembaga penegak hukum. Selain itu, kontrol dan sikap kritis dari masyarakat sangat dibutuhkan agar aparat penegak hukum dapat menjalankan tugas sesuai tugas dan kewajibannya. Artinya kontrol sosial masyarakat membantu aparat penegak hukum untuk tidak menyimpang dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai aparat penegak hukum yang bermoral baik dan berlaku adil dalam penegakan hukum. Pelatihan-pelatihan yang sifatnya meningkatkan profesionalitas. Pelatihan-pelatihan tersebut dapat berupa in service training yaitu suatu pendidikan bagi aparat penegak hukum untuk mempertinggi mutu pelaksaan pekerjaan atau tugas-tugas khusus. Selain itu, meningkatkan kemampuan teknis akademis, misalnya kemampuan menganalisis masalah hukum dalam masyarakat, meningkatkan kepekaan akan masalah keadilan dan masalah sosial lainnya, dan meningkatkan kemampuan untuk menggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan masalah konkret secara bijaksana berdasarkan prinsip-prinsip hukum. Konkretnya, pelatihan kemampuan dan keterampilan penyidik seperti polisi, misalnya, untuk menyelidiki dan menyidik kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam dunia maya (cyber crime). Menyamakan visi dan misi dari instansi penegak hukum (pengadilan). Visi dan misi yang disamakan tersebut lebih terfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan upaya untuk mencapai keadilan hukum. Artinya, prosedur pemeriksaan perkara, misalnya, harus objektif dan sungguh-sungguh sehingga hasil akhir yang diharapkan dapat terwujud karena aparat penegak hukum sudah melalui prosedur yang baik dan benar. Menurut Fence M. Wantu (2011:174-195) ada sejumlah upaya untuk meningkatkan profesionalitas dan moralitas aparat penegak hukum antara lain: Pengangkatan aparat penegak hukum Intelektualitas. Kemampuan tersebut berkaitan dengan kesanggupan aparat penegak hukum memahami dan menginterpretasikan hukum dengan baik dan benar karena keluasan wawasan dan pengetahuan hukum. Kemampuan tersebut juga memampukan aparat penegak hukum untuk memutuskan perkara yang memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak. Integritas. Kemampuan ini berkaitan dengan kesanggupan aparat penegak hukum untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai yang berakar dalam kepribadian aparat dan keyakinan diri yang teguh untuk memutuskan suatu perkara hukum secara adil dan bertanggung jawab. Pendidikan, penataran, rapat-rapat berkala, dan diklat. Langkah-langkah efisiensi dan efektifitas kelas-kelas diklat. Pendidikan aparat penegak hukum Model pendidikan dan pelatihan. Harus ada model pendidikan dan latihan terencana yang dibuat lembaga penegak hukum bersangkutan yang efektif untuk meningkatkan profesionalitas dan moralitas aparat penegak hukum. Pengetahuan akan penemuan hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Penguasaan terhadap ilmu hukum Mengakses, menggunakan serta mengolah informasi secara tepat dan rasional. Berkomunikasi secara efektif dan efisien (baik secara lisan maupun tulisan). Mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-masalah hukum dalam rangka pengambilan keputusan hukum yang tepat. Moral aparat penegak hukum Aparat penegak hukum dituntut untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan nilai-nilai moralitas umum (Fence M.Wantu, 2011:188) yang terdiri atas: Nilai-nilai kemanusiaan (humanity), dalam arti menghormati keluhuran martabat kemanusiaan; Nilai-nilai keadilan (justice), yakni dorongan untuk selalu memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya; Nilai-nilai kepatutan dan kewajaran, dalam arti bahwa upaya mewujudkan keadilan dalam masyarakat selalu diwarnai oleh kesadaran untuk memperhatikan dan memperhitungkan rasionalitas situasi dan rasa keadilan individual dan kolektif masyarakat; Nilai-nilai kejujuran, dalam arti selalu terdorong untuk memelihara kejujuran dan menghindari diri dari perbuatan-perbuatan yang curang; Keharusan untuk memiliki kualitas keahlian dalam keilmuan yang tinggi dalam disiplin ilmu hukum pada para pengembannya; Nilai-nilai pelayanan dan kepentingan publik, yakni bahwa dalam pengembanan profesi hukum telah melekat semangat keberpihakan pada hak-hak dan kepuasan masyarakat pencari keadilan dengan memegang teguh nilai keadilan, kejujuran, kredibilitas profesi dan keilmuan. Kesejahteraan aparat penegak hukum. Aspek kesejahteraan aparat penegak hukum harus diperhatikan secara serius agar mereka dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan Undang-undang dan kode etik profesi. Selain itu upaya untuk melahirkan aparat penegak hukum yang memiliki integritas moral mesti dimulai sejak dini. Pembentukan moralitas aparat penegak hukum yang baik dan berlaku adil mesti dimulai sejak manusia hidup, bertumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan yang baik. Seorang pribadi yang baik, lahir dan terbentuk dalam suatu atmosfir keluarga yang selalu mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai moral yang baik. Menurut Rawls, dalam sebuah keluarga yang baik moralitas seorang anak akan bertumbuh dan berkembang dengan baik pula. Orang tua harus menjadi conroh bagi moralitas yang mereka ajarkan kepada anak-anak mereka, juga menjelaskan prinsip-prinsip yang mendasari moralitas tersebut (John Rawls, 1995:606). Berawal dari keluarga yang baik akan terbentuk seorang pribadi yang baik dalam perkembangan selanjutnya ketika dia memasuki dunia pendidikan dan dunia kerja. Lembaga pendidikan, seperti lembaga pendidikan hukum juga memberikan peluang yang memungkinkan seorang aparat penegak hukum akan berkembang dengan baik secara moral, asalkan para pendidikan juga menjadi contoh yang baik bagi para peserta didik. Menurut Rawls, keteladanan moral bisa dicapai kalau orang-orang yang dalam berbagai cara dikagumi (seperti para pendidik) dan yang dalam taraf lebih tinggi karena otoritasnya, menunjukkan cita-cita moral yang sesuai dengan posisi atau jabatan mereka (John Rawls, 1995:613). Hal itu berarti bahwa para pendidik sudah menunjukkan keahlian, kecakapan, dan kebajikan yang mengundang keinginan orang lain untuk mengikuti teladannya. Di sini keteladanan moral seorang penegak hukum menjadi kekuatan yang turut mempengaruhi superioritas hukum dan juga sebagai upaya untuk mencapai keadilan. Sistem pendidikan juga mesti membuat para akademisi hukum merasa dididik secara jujur tanpa ada penyimpangan dan penyelewengan. Selain itu dalam menghadapi profesi hukum, sistem hukum yang baik, sistem penegakan hukum yang baik, dengan moral kolektif yang kredibel akan memungkin setiap aparat penegak hukum akan menegakkan hukum secara baik (bermoral) dan memenuhi rasa keadilan semua pihak (Antonius Wisnu, wawancara 12/09/2013). Kita tidak dapat mengharapkan penegakan hukum yang adil, kalau penegakan hukum tidak terbentuk secara baik dalam proses pendidikan di lingkungan keluarga, lembaga pendidikan hukum, lingkungan masyarakat dan lingkungan penegakan hukum. Karena itu, struktur sosial masyarakat sebagai basis moral harus ditata dengan baik, agar individu-individu seperti karakter individu aparat penegak hukum (yang oleh John Rawls disebut agen moral) dapat berkembang menjadi pribadi yang baik dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Kekuatan kebaikan (kekuatan moral) dapat menjadi modal dalam menentukan penilaian moral dan penegakan hukum yang bermoral dan adil. Pada prinsipnya, pribadi yang baik akan memberi pengaruh positif dalam pelaksanaan tugas profesinya dan hal itu akan tampak juga dari hasil kerjanya. Seorang pribadi yang bermoral baik akan tampak dari karakter, perbuatan dan keputusan-keputusannya (Anastasia Ririn Tri setyaningrum, wawancara 12/09/2013). Menurut Anastasia Ririn, dalam sebuah struktur penegakan hukum, moralitas tidak terlepas dari keteladanan seorang pemimpin. Seorang atasan atau pemimpin yang baik dengan teladan yang baik akan memberikan dampak positif bagi orang-orang yang dipimpinnya. Moralitas individual sangat penting bagi moralitas kolektif dalam sebuah lembaga penegak hukum. Moral individu akan memberikan pengaruh positif bagi lingkungan kerja sehingga mempengaruhi moral kolektif. Karena itu, aparat penegak hukum mesti ditanamkan sejak dini moralitas baik yang melekat pada dirinya, agar tidak goyah dan mudah dibawah arus dalam upaya penegakan hukum yang adil dan bermoral dalam melaksanakan profesi hukum. Profesi hukum merupakan suatu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral dan pengembangannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Upaya untuk memperbaiki moral aparat penegak hukum menurut Frans Magnis Suseno (1987:142-150), mesti memenuhi lima kriteria moral sebagai berikut: Kejujuran. Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesional hukum mengingkari misi profesinya, sehingga dia menjadi munafik, licik, penuh tipu diri. Dua sikap yang terdapat dalam kejujuran yaitu sikap terbuka dan sikap wajar; Autentik. Artinya menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, kepribadian yang sebenarnya. Autentik pribadi profesional hukum antara lain: (a) tidak menyalahgunakan wewenang; (b) tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat; (c) mendahulukan kepentingan klien; (d) berani berinisiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana; (e) tidak mengisolasi diri dari pergaulan; Bertanggung jawab. Artinya (a) kesediaan untuk melakukan sebaik-baiknya tugas apa saja yang termasuk lingkup profesinya; (b) bertindak secara proporsional; Kemandirian moral. Artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah mengikuti pandangan moral yang terjadi di sekitarnya, melainkan membentuk penilaian sendiri; Keberanian moral. Artinya ada kesetiaan terhadap suatu hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Dalam Laporan Akhir Standar Disiplin Hukum Profesi yang dibuat oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN RI) tahun 2003 seperti dikutip oleh Fence M. Wantu (2011:33-35), terdapat 12 (duabelas) asas-asas atau prinsip-prinsip moralitas profesi aparat penegak hukum. Asas atau prinsip moralitas tersebut yakni sebagai berikut: 1. Seorang pengemban profesi hukum berkewajiban untuk senantiasa menjalankan profesinya dengan integritas yang tinggi dan untuk menegakkan serta melaksanakan keadilan; 2. Seorang pengemban profesi hukum akan selalu menjalankan profesinya dengan penuh rasa pengabdian kepada masyarakat berdasarkan kejujuran, keterbukaan, dan kepatutan; 3. Seorang pengemban profesi hukum berkewajiban untuk menangani persoalan-persoalan hukum berdasarkan kompetensinya, dan melaksanakan setiap jasa hukum demi kepentingan klien atau pihak lain; 4. Semua pengemban profesi hukum harus senantiasa memberikan jasa hukum, melaksanakan keahlian hukumnya, dengan penuh kehati-hatian, efisien, dan cara yang beradab, demi tingkat kualitas pelayanan yang diharapkan dari seorang pengemban profesi hukum, dan menghindari diri dari perilaku atau tindakan yang tidak pantas atau tidak sesuai standar profesional; 5. Seorang pengemban profesi hukum harus melaksanakan profesinya dengan penuh kejujuran dan keterbukaan, serta berupaya untuk mencegah praktek hukum yang tidak sah; Seorang pengemban profesi hukum harus memelihara dan menjaga kepercayaan dan rahasia yang menyangkut urusan dan kepentingan dari klien atau pihak pencari keadilan yang mempercayakan kepentingan atau urusan itu kepadanya; Seorang pengemban profesi hukum harus senantiasa membuat keputusan-keputusan profesional yang bebas demi kepentingan klien atau pencari keadilan dan menghindari benturan kepentingan (conflict of interest); Seorang pengemban profesi hukum memiliki kewajiban untuk tidak berupaya memperoleh bisnis pelayanan jasa hukum; Seorang pengemban profesi hukum harus mewakili dan mengupayakan kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan yang sah dari klien atau pihak yang direpresentasikannya dengan semaksimal mungkin dalam batasan-batasan hukum yang berlaku; Seorang pengemban profesi hukum harus berupaya dan mendukung setiap upaya untuk memajukan dan mengembangkan sistem hukum dan sistem peradilan; Setiap pengemban profesi hukum harus selalu ikut menghormati dan mengawasi pelaksaan tugas pengembanan profesi hukum, baik oleh pengemban profesi hukum yang memiliki bidang kerja yang sama atau yang berbeda, demi mempertahankan integritas dan kehormatan profesi hukum pada umumnya. Seorang pengemban profesi hukum berkewajiban untuk senantiasa menghormati dan mentaati setiap keputusan atau tindakan indisipliner yang dimaksudkan untuk menegakkan prinsip-prinsip moral umum dan kode etik profesi yang berlaku terhadapnya. D. UPAYA-UPAYA MENCAPAI KEADILAN Konsep keadilan yang dimaksud adalah keadilan hukum. Dalam konsepsi hukum di Indonesia keadilan tidak terlepas dari keadilan berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Dalam pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 diuraikan bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal tersebut mengandung dan mencerminkan jiwa Pancasila. Jiwa Pancasila tersebut terkandung dalam hakekatnya yang menyangkut “keadilan hukum” bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak ada kecualinya (Abdullah Sani, 1977:71). Oleh karena itu dalam pasal tersebut terkandung makna “Rule of Law”, yang harus ditekankan dalam sebuah negara hukum atau negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat). Keadilan hukum berdasarkan pancasila tersebut harus diperlakukan secara sama terhadap seluruh rakyat Indonesia dengan tidak ada kecualinya dan tidak mengenal ras dan diskriminasi. Hukum diperlakukan sama dan bersifat universal bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal itu berarti bahwa, tidak ada perlakuan yang istimewa terhadap pejabat negara atau keluarga pejabat negara yang terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar hukum. Semua warga negara Indonesia harus diperlakukan secara sama dan adil di hadapan hukum dengan tidak ada yang dikecualikan. Hal tersebut ditegaskan juga dalam Pasal 7 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia bahwa “Semua orang bersamaan kedudukannya di depan hukum, dan berhak mendapatkan perlindungan hukum yang sama dengan tidak ada kekecualiaannya”. Dalam Pasal 3 angka (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi manusia ditegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”. Konsep keadilan tersebut tidak jauh berbeda dengan konsep keadilan yang digagaskan oleh Jhon Rawls. Konsep keadilan Jhon Raws mengutamakan konsep keadilan prosedural murni. Artinya, setiap orang yang mencari dan mengendaki keadilan juga aparat penegak hukum mesti mengetahui hasil akhir dari pencariannya dan mengikuti prosedur penegakan hukum secara murni dan sungguh-sungguh. Dengan demikian, agar penegak hukum hendak menegakkan hukum secara sungguh-sungguh dan adil, dia mesti mengikuti semua prosedur hukum tersebut tanpa memiliki prasangka atau kepentingan apapun. Aparat penegak hukum harus mengikuti prosedur hukum dengan murni dan sungguh-sungguh sambil tetap menggali dan memperhatikan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Menurut Aristoteles, keadilan terbagi dalam dua bagian, yaitu keadilan distributiva dan keadilan commutativa (Abdullah Sani, 1977:72). “Keadilan distributiva adalah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya”. Sedangkan keadilan commutativa adalah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perorangan” (Van Apeldoorn, seperti dikutip dalam Abdullah Sani, 1997:72). Menurut Abdullah Sani, keadilan hukum identik dengan keadilan distributiva di mana setiap orang diberikan hak-haknya seturut jasa-jasa atau perbuatan-perbuatannya. Hal itu berarti bahwa, setiap orang yang sudah memberikan jasanya kepada negara akan diperlakukan secara berbeda dihadapan hukum daripada orang yang belum memberikan jasanya kepada negara. Dengan demikian, pendapat tersebut kontradiktif dengan konsep ‘persamaan di hadapan hukum bagi setiap warga negara’. Hemat penulis, keadilan hukum adalah keadilan berdasarkan prosedur murni hukum tersebut, seperti dikatakan John Rawls dengan tetap memperhatikan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Prosedur murni dimaksudkan bahwa, setiap aparat penegak hukum, mengikuti secara serius dan sungguh-sungguh prosedur hukum dalam upaya penegakan hukum tanpa memiliki kepentingan apa pun yang membuat penegakan hukum menyimpang dari kandungan nilai keadilan. Prosedur murni penegakan hukum mesti dipatuhi oleh aparat penegak hukum berdasarkan Undang-undang dan kode etik profesi yang berlaku, dan ditopang oleh integritas moral aparat yang baik sehingga penegakan hukum dapat memenuhi rasa keadilan semua pihak. Keadilan yang hendak dicapai adalah keadilan berdasarkan hukum yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku dan penerapannya dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum serta keadilan yang merujuk pada nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Menurut Rawls yang dibutuhkan dalam penegakan hukum adalah prosedur yang benar dan adil dan menjamin hasil akhir yang benar dan adil pula. Hasil dari kesepakatan harus dilihat sebagai fair atau adil karena ada semacam posisi yang sejati (yang baik dan benar secara natural) yang bisa menjamin suatu situasi yang adil bagi semua pihak (John Rawls, seperti dikutip dalam Andre Ata Ujan, 2001:42). Hal itu mengandaikan bahwa prosedur dan sistem penegakan hukum sudah ditata dengan baik. Struktur yang baik dan adil akan mengarahkan dan mendukung proses penegakan hukum yang adil dan bermoral. 41