www.legalit as.org
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 34 TAHUN 2006
TENTANG
JALAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
Mengingat:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
11, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 22, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 35, Pasal 41, dan Pasal 62
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Jalan;
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4444);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG JALAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o
r
g
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
3. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan
tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air,
kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
4. Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.
5. Penyelenggaraan jalan adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan
pengawasan jalan.
6. Pengaturan jalan adalah kegiatan perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum,
dan penyusunan peraturan perundang-undangan jalan.
7. Pembinaan jalan adalah kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan
sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan jalan.
8. Pembangunan jalan adalah kegiatan pemrograman dan penganggaran, perencanaan teknis,
pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan.
9. Pengawasan jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan, dan
pembangunan jalan.
10. Penyelenggara jalan adalah pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan
pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya.
11. Sistem jaringan jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusatpusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan
hierarki.
12. Leger jalan adalah dokumen yang memuat data mengenai perkembangan suatu ruas jalan.
13. Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.
14. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang jalan.
Pasal 2
Lingkup Peraturan Pemerintah ini mencakup pengaturan jalan umum dan jalan khusus.
1
www.legalit as.org
BAB II
JALAN UMUM
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1) Penyelenggaraan jalan umum dilakukan dengan mengutamakan pembangunan jaringan jalan di pusatpusat produksi serta jalan-jalan yang menghubungkan pusat-pusat produksi dengan daerah pemasaran.
(2) Penyelenggaraan jalan umum diarahkan untuk pembangunan jaringan jalan dalam rangka memperkokoh
kesatuan wilayah nasional sehingga menjangkau daerah terpencil.
(3) Penyelenggaraan jalan umum diarahkan untuk mewujudkan:
a. perikehidupan rakyat yang serasi dengan tingkat kemajuan yang sama, merata, dan seimbang; dan
b. daya guna dan hasil guna upaya pertahanan keamanan negara.
Pasal 4
(1) Penyelenggara jalan umum wajib mengusahakan agar jalan dapat digunakan sebesar-besar
kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, dengan
mengusahakan agar biaya umum perjalanan menjadi serendah-rendahnya.
(2) Penyelenggara jalan umum wajib mendorong ke arah terwujudnya keseimbangan antardaerah, dalam
hal pertumbuhannya mempertimbangkan satuan wilayah pengembangan dan orientasi geografis
pemasaran sesuai dengan struktur pengembangan wilayah tingkat nasional yang dituju.
(3) Penyelenggara jalan umum wajib mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayah yang sudah berkembang
agar pertumbuhannya tidak terhambat oleh kurang memadainya prasarana transportasi jalan, yang
disusun dengan mempertimbangkan pelayanan kegiatan perkotaan.
(4) Dalam usaha mewujudkan pelayanan jasa distribusi yang seimbang, penyelenggara jalan umum wajib
memperhatikan bahwa jalan merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan.
lit
as
.o
r
g
Pasal 5
Jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikelompokkan dalam sistem jaringan jalan, fungsi
jalan, status jalan, dan kelas jalan.
w
.le
ga
Bagian Kedua
Sistem Jaringan Jalan
w
w
Pasal 6
(1) Sistem jaringan jalan merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri dari sistem jaringan jalan
primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan hierarki.
(2) Sistem jaringan jalan disusun dengan mengacu pada rencana tata ruang wilayah dan dengan
memperhatikan keterhubungan antarkawasan dan/atau dalam kawasan perkotaan, dan kawasan
perdesaan.
Pasal 7
Sistem jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan
jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa
distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut:
a. menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal
sampai ke pusat kegiatan lingkungan; dan
b. menghubungkan antarpusat kegiatan nasional.
Pasal 8
Sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan
secara menerus kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua,
fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil.
2
www.legalit as.org
Bagian Ketiga
Fungsi Jalan, dan Persyaratan Teknis Jalan
Paragraf 1
Fungsi Jalan
Pasal 9
(1) Berdasarkan sifat dan pergerakan pada lalu lintas dan angkutan jalan, fungsi jalan dibedakan atas arteri,
kolektor, lokal, dan lingkungan.
(2) Fungsi jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pada sistem jaringan jalan primer dan sistem
jaringan jalan sekunder.
(3) Fungsi jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada sistem jaringan primer dibedakan atas arteri
primer, kolektor primer, lokal primer, dan lingkungan primer.
(4) Jalan dengan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan sebagai jalan arteri primer, jalan
kolektor primer, jalan lokal primer, dan jalan lingkungan primer.
(5) Fungsi jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada sistem jaringan sekunder dibedakan atas arteri
sekunder, kolektor sekunder, lokal sekunder, dan lingkungan sekunder.
(6) Jalan dengan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan sebagai jalan arteri sekunder,
jalan kolektor sekunder, jalan lokal sekunder, dan jalan lingkungan sekunder.
lit
as
.o
r
g
Pasal 10
(1) Jalan arteri primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) menghubungkan secara berdaya guna
antarpusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah.
(2) Jalan kolektor primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) menghubungkan secara berdaya
guna antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan wilayah, atau
antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal (3) Jalan lokal primer sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (4) menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat
kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan
lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan.
(4) Jalan lingkungan primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) menghubungkan antarpusat
kegiatan di dalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan perdesaan.
w
w
w
.le
ga
Pasal 11
(1) Jalan arteri sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) menghubungkan kawasan primer
dengan kawasan sekunder kesatu, kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu, atau
kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.
(2) Jalan kolektor sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) menghubungkan kawasan
sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan
sekunder ketiga.
(3) Jalan lokal sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) menghubungkan kawasan sekunder
kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga
dan seterusnya sampai ke perumahan.
(4) Jalan lingkungan sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) menghubungkan antarpersil
dalam kawasan perkotaan.
Paragraf 2
Persyaratan Teknis Jalan
Pasal 12
(1) Persyaratan teknis jalan meliputi kecepatan rencana, lebar badan jalan, kapasitas, jalan masuk,
persimpangan sebidang, bangunan pelengkap, perlengkapan jalan, penggunaan jalan sesuai dengan
fungsinya, dan tidak terputus.
(2) Persyaratan teknis jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan keamanan,
keselamatan, dan lingkungan.
Pasal 13
(1) Jalan arteri primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 (enam puluh) kilometer
per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 11 (sebelas) meter.
(2) Jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.
(3) Pada jalan arteri primer lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas
lokal, dan kegiatan lokal.
3
www.legalit as.org
(4) Jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi sedemikian rupa sehingga ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) harus tetap terpenuhi.
(5) Persimpangan sebidang pada jalan arteri primer dengan pengaturan tertentu harus memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
(6) Jalan arteri primer yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan pengembangan perkotaan
tidak boleh terputus.
Pasal 14
(1) Jalan kolektor primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40 (empat puluh) kilometer
per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 9 (sembilan) meter.
(2) Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.
(3) Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan sehingga ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) masih tetap terpenuhi.
(4) Persimpangan sebidang pada jalan kolektor primer dengan pengaturan tertentu harus tetap memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
(5) Jalan kolektor primer yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan pengembangan perkotaan
tidak boleh terputus.
Pasal 15
(1) Jalan lokal primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) kilometer per
jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 7, 5 (tujuh koma lima) meter.
(2) Jalan lokal primer yang memasuki kawasan perdesaan tidak boleh terputus.
as
.o
r
g
Pasal 16
(1) Jalan lingkungan primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 15 (lima belas)
kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 6, 5 (enam koma lima) meter.
(2) Persyaratan teknis jalan lingkungan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperuntukkan bagi
kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih.
(3) Jalan lingkungan primer yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih harus
mempunyai lebar badan jalan paling sedikit 3, 5 (tiga koma lima) meter.
w
w
w
.le
ga
lit
Pasal 17
(1) Jalan arteri sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 30 (tiga puluh) kilometer
per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 11 (sebelas) meter.
(2) Jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata.
(3) Pada jalan arteri sekunder lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat.
(4) Persimpangan sebidang pada jalan arteri sekunder dengan pengaturan tertentu harus dapat memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 18
(1) Jalan kolektor sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) kilometer
per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 9 (sembilan) meter.
(2) Jalan kolektor sekunder mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata.
(3) Pada jalan kolektor sekunder lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat.
(4) Persimpangan sebidang pada jalan kolektor sekunder dengan pengaturan tertentu harus memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 19
Jalan lokal sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10 (sepuluh) kilometer per jam
dengan lebar badan jalan paling sedikit 7, 5 (tujuh koma lima) meter.
Pasal 20
(1) Jalan lingkungan sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10 (sepuluh)
kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 6, 5 (enam koma lima) meter.
(2) Persyaratan teknis jalan lingkungan sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperuntukkan bagi
kendaraan bermotor beroda 3 (tiga) atau lebih.
(3) Jalan lingkungan sekunder yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda 3 (tiga) atau lebih
harus mempunyai lebar badan jalan paling sedikit 3, 5 (tiga koma lima) meter.
Pasal 21
(1) Jalan dilengkapi dengan bangunan pelengkap.
(2) Bangunan pelengkap jalan harus disesuaikan dengan fungsi jalan yang bersangkutan.
4
www.legalit as.org
Pasal 22
(1) Jalan dilengkapi dengan perlengkapan jalan.
(2) Perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas perlengkapan jalan yang berkaitan
langsung dan tidak langsung dengan pengguna jalan.
(3) Perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) meliputi perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan, baik wajib maupun
tidak wajib.
(4) Perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus memenuhi ketentuan teknis perlengkapan jalan yang ditetapkan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
(5) Perlengkapan jalan yang berkaitan tidak langsung dengan pengguna jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus memenuhi persyaratan teknis perlengkapan jalan.
Pasal 23
(1) Perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (3) diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lalu lintas
dan angkutan jalan setelah memperhatikan pendapat Menteri.
(2) Perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (3) pada pembangunan jalan baru dan peningkatan jalan dilaksanakan oleh
penyelenggara jalan dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
(3) Perlengkapan jalan yang berkaitan tidak langsung dengan pengguna jalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (5) dilaksanakan oleh penyelenggara jalan sesuai kewenangannya.
.o
r
g
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 diatur dalam
Peraturan Menteri.
ga
lit
as
Bagian Keempat
Status Jalan
w
w
w
.le
Pasal 25
Jalan umum menurut statusnya dikelompokkan atas:
a. jalan nasional;
b. jalan provinsi;
c. jalan kabupaten;
d. jalan kota; dan
e. jalan desa.
Pasal 26
Jalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a terdiri atas:
a. jalan arteri primer;
b. jalan kolektor primer yang menghubungkan antaribukota provinsi;
c. jalan tol; dan
d. jalan strategis nasional.
Pasal 27
Jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b terdiri atas:
a. jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten atau kota;
b. jalan kolektor primer yang menghubungkan antaribukota kabupaten atau kota;
c. jalan strategis provinsi; dan
d. jalan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, kecuali jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
Pasal 28
Jalan kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c terdiri atas:
a. jalan kolektor primer yang tidak termasuk jalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b
dan jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27;
b. jalan lokal primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, ibukota
kabupaten dengan pusat desa, antaribukota kecamatan, ibukota kecamatan dengan desa, dan
antardesa;
5
www.legalit as.org
c. jalan sekunder yang tidak termasuk jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf d dan
jalan sekunder dalam kota; dan
d. jalan strategis kabupaten.
Pasal 29
Jalan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf d adalah jalan umum pada jaringan jalan sekunder
di dalam kota.
Pasal 30
Jalan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf e adalah jalan lingkungan primer dan jalan lokal
primer yang tidak termasuk jalan kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b di dalam
kawasan perdesaan, dan merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau
antarpermukiman di dalam desa.
Bagian Kelima
Kelas Jalan
Pasal 31
(1) Kelas jalan dikelompokkan berdasarkan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan,
serta spesifikasi penyediaan prasarana jalan.
(2) Pembagian kelas jalan berdasarkan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas dan jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lalu
lintas dan angkutan jalan.
(3) Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan dikelompokkan atas jalan bebas
hambatan, jalan raya, jalan sedang, dan jalan kecil.
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o
r
g
Pasal 32
(1) Spesifikasi penyediaan prasarana jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) meliputi
pengendalian jalan masuk, persimpangan sebidang, jumlah dan lebar lajur, ketersediaan median, serta
pagar.
(2) Spesifikasi jalan bebas hambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) meliputi pengendalian
jalan masuk secara penuh, tidak ada persimpangan sebidang, dilengkapi pagar ruang milik jalan,
dilengkapi dengan median, paling sedikit mempunyai 2 (dua) lajur setiap arah, dan lebar lajur paling
sedikit 3, 5 (tiga koma lima) meter.
(3) Spesifikasi jalan raya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) adalah jalan umum untuk lalu
lintas secara menerus dengan pengendalian jalan masuk secara terbatas dan dilengkapi dengan
median, paling sedikit 2 (dua) lajur setiap arah, lebar lajur paling sedikit 3, 5 (tiga koma lima) meter.
(4) Spesifikasi jalan sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) adalah jalan umum dengan lalu
lintas jarak sedang dengan pengendalian jalan masuk tidak dibatasi, paling sedikit 2 (dua) lajur untuk 2
(dua) arah dengan lebar jalur paling sedikit 7 (tujuh) meter.
(5) Spesifikasi jalan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) adalah jalan umum untuk
melayani lalu lintas setempat, paling sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua) arah dengan lebar jalur paling
sedikit 5, 5 (lima koma lima) meter.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB III
BAGIAN-BAGIAN JALAN
DAN PEMANFAATAN BAGIAN-BAGIAN JALAN
Bagian Kesatu
Bagian-Bagian Jalan
Pasal 33
Bagian-bagian jalan meliputi ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan.
6
www.legalit as.org
Paragraf 1
Ruang Manfaat Jalan
Pasal 34
(1) Ruang manfaat jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya.
(2) Ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ruang sepanjang jalan yang
dibatasi oleh lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan yang
bersangkutan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diperuntukkan bagi median,
perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman,
timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan, dan bangunan pelengkap lainnya.
(4) Trotoar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki.
Pasal 35
(1) Badan jalan hanya diperuntukkan bagi pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan.
(2) Dalam rangka menunjang pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan serta pengamanan konstruksi jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) badan jalan dilengkapi dengan ruang bebas.
(3) Ruang bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibatasi oleh lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu.
(4) Lebar ruang bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan lebar badan jalan.
(5) Tinggi dan kedalaman ruang bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan lebih lanjut oleh
penyelenggara jalan yang bersangkutan berdasarkan pedoman yang ditetapkan dengan Peraturan
Menteri.
(6) Tinggi ruang bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi jalan arteri dan jalan kolektor paling
rendah 5 (lima) meter.
(7) Kedalaman ruang bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi jalan arteri dan jalan kolektor paling
rendah 1, 5 (satu koma lima) meter dari permukaan jalan.
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o
r
g
Pasal 36
(1) Saluran tepi jalan hanya diperuntukkan bagi penampungan dan penyaluran air agar badan jalan bebas
dari pengaruh air.
(2) Ukuran saluran tepi jalan ditetapkan sesuai dengan lebar permukaan jalan dan keadaan lingkungan.
(3) Saluran tepi jalan dibangun dengan konstruksi yang mudah dipelihara secara rutin.
(4) Dalam hal tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan, saluran
tepi jalan dapat diperuntukkan sebagai saluran lingkungan.
(5) Dimensi dan ketentuan teknis saluran tepi jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) ditentukan berdasarkan pedoman yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
Pasal 37
Ambang pengaman jalan berupa bidang tanah dan/atau konstruksi bangunan pengaman yang berada di
antara tepi badan jalan dan batas ruang manfaat jalan yang hanya diperuntukkan bagi pengamanan
konstruksi jalan.
Pasal 38
Setiap orang dilarang memanfaatkan ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal
35, Pasal 36, dan Pasal 37 yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan.
Paragraf 2
Ruang Milik Jalan
Pasal 39
(1) Ruang milik jalan terdiri dari ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan.
(2) Ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi
oleh lebar, kedalaman, dan tinggi tertentu.
(3) Ruang milik jalan diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran jalan, dan penambahan jalur lalu
lintas di masa akan datang serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan.
(4) Sejalur tanah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimanfaatkan sebagai ruang terbuka
hijau yang berfungsi sebagai lansekap jalan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan ruang di atas dan/atau di bawah ruang milik jalan diatur
dalam Peraturan Menteri.
Pasal 40
(1) Ruang milik jalan paling sedikit memiliki lebar sebagai berikut:
7
www.legalit as.org
a. jalan bebas hambatan 30 (tiga puluh) meter;
b. jalan raya 25 (dua puluh lima) meter;
c. jalan sedang 15 (lima belas) meter; dan
d. jalan kecil 11 (sebelas) meter.
(2) Ruang milik jalan diberi tanda batas ruang milik jalan yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lebar ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tanda
batas ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 41
Apabila terjadi gangguan dan hambatan terhadap fungsi ruang milik jalan, penyelenggara jalan wajib segera
mengambil tindakan untuk kepentingan pengguna jalan.
Pasal 42
Bidang tanah ruang milik jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dikuasai oleh penyelenggara jalan
dengan suatu hak tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 43
Setiap orang dilarang menggunakan dan memanfaatkan ruang milik jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 dan Pasal 40 yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan.
Paragraf 3
Ruang Pengawasan Jalan
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o
r
g
Pasal 44
(1) Ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang penggunaannya ada di
bawah pengawasan penyelenggara jalan.
(2) Ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperuntukkan bagi pandangan bebas
pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan serta pengamanan fungsi jalan.
(3) Ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ruang sepanjang jalan di
luar ruang milik jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu.
(4) Dalam hal ruang milik jalan tidak cukup luas, lebar ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditentukan dari tepi badan jalan paling sedikit dengan ukuran sebagai berikut:
a. jalan arteri primer 15 (lima belas) meter;
b. jalan kolektor primer 10 (sepuluh) meter;
c. jalan lokal primer 7 (tujuh) meter;
d. jalan lingkungan primer 5 (lima) meter;
e. jalan arteri sekunder 15 (lima belas) meter;
f. jalan kolektor sekunder 5 (lima) meter;
g. jalan lokal sekunder 3 (tiga) meter;
h. jalan lingkungan sekunder 2 (dua) meter; dan
i. jembatan 100 (seratus) meter ke arah hilir dan hulu.
Pasal 45
(1) Setiap orang dilarang menggunakan ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Jalan Khusus.
(3) Dalam pengawasan penggunaan ruang pengawasan jalan, penyelenggara jalan yang bersangkutan
bersama instansi terkait berwenang mengeluarkan larangan terhadap kegiatan tertentu yang dapat
mengganggu pandangan bebas pengemudi dan konstruksi jalan, dan/atau berwenang melakukan
perbuatan tertentu untuk menjamin peruntukan ruang pengawasan jalan.
Bagian Kedua
Pemanfaatan Bagian-Bagian Jalan
Pasal 46
Pemanfaatan bagian-bagian jalan meliputi bangunan utilitas, penanaman pohon, dan prasarana moda
transportasi lain.
Paragraf 1
Bangunan Utilitas
8
www.legalit as.org
Pasal 47
(1) Pada tempat tertentu di ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan dapat dimanfaatkan untuk penempatan
bangunan utilitas.
(2) Bangunan utilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada jaringan jalan di dalam kota dapat
ditempatkan di dalam ruang manfaat jalan dengan ketentuan:
a. yang berada di atas tanah ditempatkan di luar jarak tertentu dari tepi paling luar bahu jalan atau
trotoar sehingga tidak menimbulkan hambatan samping bagi pemakai jalan; atau
b. yang berada di bawah tanah ditempatkan di luar jarak tertentu dari tepi paling luar bahu jalan atau
trotoar sehingga tidak mengganggu keamanan konstruksi jalan.
(3) Bangunan utilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada jaringan jalan di luar kota, dapat
ditempatkan di dalam ruang milik jalan pada sisi terluar.
(4) Jarak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b ditentukan oleh penyelenggara
jalan yang bersangkutan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri.
(5) Penempatan, pembuatan, dan pemasangan bangunan utilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) harus direncanakan dan dikerjakan sesuai dengan persyaratan teknis jalan yang ditetapkan oleh
Menteri.
(6) Rencana kerja, jadwal kerja, dan cara-cara pengerjaan bangunan utilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) harus disetujui oleh penyelenggara jalan sesuai kewenangannya.
Pasal 48
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pemasangan, pembangunan, perbaikan, penggantian baru,
pemindahan, dan relokasi bangunan utilitas yang terletak di dalam, pada, sepanjang, melintas, serta di
bawah ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan diatur dalam Peraturan Menteri.
as
.o
r
g
Pasal 49
Dalam hal ruang manfaat jalan dan/atau ruang milik jalan bersilangan, berpotongan, berhimpit, melintas,
atau di bawah bangunan utilitas maka persyaratan teknis dan pengaturan pelaksanaannya, ditetapkan
bersama oleh penyelenggara jalan dan pemilik bangunan utilitas yang bersangkutan, dengan
mengutamakan kepentingan umum.
.le
ga
lit
Paragraf 2
Penanaman Pohon
w
w
w
Pasal 50
(1) Pohon pada sistem jaringan jalan di luar kota harus ditanam di luar ruang manfaat jalan.
(2) Pohon pada sistem jaringan jalan di dalam kota dapat ditanam di batas ruang manfaat jalan, median,
atau di jalur pemisah.
(3) Penanaman pohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditentukan berdasarkan pedoman
yang ditetapkan Menteri.
Paragraf 3
Prasarana Moda Transportasi Lain
Pasal 51
Dalam hal ruang milik jalan digunakan untuk prasarana moda transportasi lain, maka persyaratan teknis dan
pengaturan pelaksanaannya ditetapkan bersama oleh penyelenggara jalan dan instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang prasarana moda transportasi yang bersangkutan
dengan mengutamakan kepentingan umum.
BAB IV
IZIN, REKOMENDASI, DAN DISPENSASI
Pasal 52
(1) Pemanfaataan ruang manfaat jalan selain peruntukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35,
Pasal 36, dan Pasal 37, serta pemanfaatan ruang milik jalan selain peruntukan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 wajib memperoleh izin.
(2) Pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
bangunan yang ditempatkan di atas, pada, dan di bawah permukaan tanah di ruang manfaat jalan dan di
ruang milik jalan dengan syarat:
a. tidak mengganggu kelancaran dan keselamatan pengguna jalan serta tidak membahayakan
konstruksi jalan;
9
www.legalit as.org
b. sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
c. sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri dan pedoman yang ditetapkan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
(3) Izin pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat hal-hal sebagai berikut:
a. gambar teknis, jenis, dan dimensi bangunan;
b. jangka waktu;
c. kewajiban memelihara dan menjaga bangunan untuk keselamatan umum dan menanggung risiko
yang terjadi akibat pemasangan bangunan;
d. penunjukan lokasi dan persyaratan teknis pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan
berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri;
e. apabila ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan diperlukan untuk penyelenggaraan jalan, pemegang
izin yang bersangkutan wajib mengembalikan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan seperti
keadaan semula, atas beban biaya pemegang izin yang bersangkutan; dan
f. apabila pemegang izin tidak mengembalikan keadaan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan
sebagaimana dimaksud pada huruf c, penyelenggara jalan dapat mengembalikan keadaan seperti
semula atas biaya pemegang izin.
(4) Izin pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh penyelenggara jalan sesuai kewenangannya.
(5) Izin pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ditetapkan oleh gubernur.
as
.o
r
g
Pasal 53
(1) Izin pemanfaatan ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dan Pasal 45
dikeluarkan oleh instansi pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing setelah
mendapat rekomendasi dari penyelenggara jalan sesuai kewenangannya.
(2) Rekomendasi penyelenggara jalan kepada instansi pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat memuat larangan terhadap kegiatan tertentu yang dapat mengganggu pandangan bebas
pengemudi dan konstruksi jalan atau perintah melakukan perbuatan tertentu guna menjamin peruntukan
ruang pengawasan jalan.
w
w
w
.le
ga
lit
Pasal 54
(1) Penggunaan ruang manfaat jalan yang memerlukan perlakuan khusus terhadap konstruksi jalan dan
jembatan harus mendapat dispensasi dari penyelenggara jalan sesuai kewenangannya.
(2) Semua akibat yang ditimbulkan dalam rangka perlakuan khusus terhadap konstruksi jalan dan jembatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab pemohon dispensasi.
(3) Perbaikan terhadap kerusakan jalan dan jembatan sebagai akibat penggunaan ruang manfaat jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab pemohon dispensasi.
Pasal 55
(1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, dan
dispensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 pada jalan nasional, kecuali jalan tol, dapat
dilimpahkan kepada gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemberian izin, rekomendasi, dan dispensasi oleh gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada
jalan nasional, kecuali jalan tol, wajib dilaporkan kepada Menteri.
(3) Pemberian izin pemanfaatan ruang milik jalan dan ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52, pemberian rekomendasi penggunaan ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53, dan pemberian dispensasi penggunaan ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 untuk lintas wilayah kabupaten/kota dapat dikoordinasikan oleh gubernur.
(4) Pemberian izin pemanfaatan ruang milik jalan dan ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52, pemberian rekomendasi penggunaan ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53, dan pemberian dispensasi penggunaan ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 untuk lintas wilayah provinsi dapat dikoordinasikan oleh Menteri.
Pasal 56
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, pemberian rekomendasi penggunaan ruang pengawasan jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, dan pemberian dispensasi penggunaan jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 diatur dalam Peraturan Menteri.
(2) Pengawasan terhadap pelaksanaan pemasangan, pembuatan, penempatan bangunan atau benda, dan
penanaman pohon dalam rangka pemanfaatan ruang manfaat jalan dan ruang milik jalan sebagaimana
10
www.legalit as.org
dimaksud dalam Pasal 52, serta penggunaan ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 dilaksanakan oleh penyelenggara jalan sesuai kewenangannya.
BAB V
WEWENANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 57
(1) Wewenang penyelenggaraan jalan ada pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(2) Wewenang penyelenggaraan jalan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional.
(3) Wewenang penyelenggaraan jalan oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi penyelenggaraan jalan provinsi, jalan kabupaten/kota, dan jalan desa.
(4) Penyelenggaraan jalan secara umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pengaturan,
pembinaan, pembangunan, dan pengawasan secara makro sesuai dengan kebijakan nasional.
(5) Penyelenggaraan jalan secara umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi jalan nasional, jalan
provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa.
Pasal 58
(1) Penyelenggaraan jalan umum oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57ayat (2)
dilaksanakan oleh Menteri.
(2) Penyelenggaraan jalan provinsi oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3)
dilaksanakan oleh gubernur atau pejabat yang ditunjuk.
(3) Penyelenggaraan jalan kabupaten/kota dan jalan desa oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (3) dilaksanakan oleh bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk.
as
.o
r
g
Bagian Kedua
Pelimpahan Wewenang dan Penugasan
w
w
w
.le
ga
lit
Pasal 59
(1) Sebagian wewenang Pemerintah dalam pembangunan jalan nasional yang meliputi perencanaan teknis,
pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan dapat dilaksanakan oleh pemerintah
provinsi.
(2) Perencanaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada gubernur sebagai
wakil pemerintah di daerah dalam rangka dekonsentrasi.
(3) Pelaksanaan konstruksi serta pengoperasian dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah melalui tugas pembantuan.
(4) Pelaksanaan wewenang dalam rangka dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tugas
pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Penetapan Sistem Jaringan Jalan, Fungsi Jalan,
Status Jalan, dan Kelas Jalan
Paragraf 1
Penetapan Sistem Jaringan Jalan
Pasal 60
Sistem jaringan jalan sebagai sistem jaringan jalan primer ditetapkan dengan keputusan Menteri dengan
memperhatikan pendapat menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi.
Paragraf 2
Penetapan Fungsi Jalan
Pasal 61
(1) Penetapan ruas-ruas jalan menurut fungsinya untuk jalan arteri dan jalan kolektor yang menghubungkan
antar ibukota provinsi dalam sistem jaringan jalan primer dilakukan secara berkala dengan keputusan
Menteri.
11
www.legalit as.org
(2) Penetapan ruas-ruas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendengar pendapat
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan sesuai
dengan tingkat perkembangan wilayah yang telah dicapai.
(3) Penetapan ruas-ruas jalan menurut fungsinya dalam sistem jaringan jalan sekunder, jalan kolektor dalam
sistem jaringan jalan primer selain dimaksud pada ayat (1), jalan lokal dalam sistem jaringan jalan
primer, serta jalan lingkungan dalam sistem jaringan jalan primer dilakukan secara berkala dengan
Keputusan Gubernur.
(4) Penetapan ruas-ruas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan usul
bupati/walikota yang bersangkutan dengan memperhatikan keputusan Menteri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan berdasarkan pedoman
yang ditetapkan oleh Menteri.
Paragraf 3
Penetapan Status Jalan
lit
as
.o
r
g
Pasal 62
(1) Penetapan status suatu ruas jalan sebagai jalan nasional dilakukan secara berkala dengan keputusan
Menteri dengan memperhatikan fungsi jalan yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 ayat (1).
(2) Penetapan status suatu ruas jalan sebagai jalan provinsi dilakukan dengan Keputusan Gubernur yang
bersangkutan, dengan memperhatikan keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
fungsi jalan yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2).
(3) Penetapan status suatu ruas jalan sebagai jalan kabupaten dilakukan dengan keputusan bupati yang
bersangkutan.
(4) Penetapan status suatu ruas jalan sebagai jalan kota dilakukan dengan keputusan walikota yang
bersangkutan.
(5) Penetapan status suatu ruas jalan sebagai jalan desa dilakukan dengan keputusan bupati yang
bersangkutan.
(6) Penetapan ruas-ruas jalan menurut statusnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5) dilakukan secara berkala dan dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh
Menteri.
w
w
.le
ga
Paragraf 4
Penetapan Kelas Jalan
Berdasarkan Spesifikasi Penyediaan Prasarana Jalan
w
Pasal 63
Penetapan kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (1), dan lebar ruang milik jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dilakukan
oleh penyelenggara jalan sesuai dengan status jalan masing-masing berdasarkan pedoman yang ditetapkan
oleh Menteri.
Bagian Keempat
Perubahan Fungsi Jalan,
Status Jalan, dan Kelas Jalan
Pasal 64
(1) Fungsi jalan suatu ruas jalan dapat berubah apabila:
a. berperan penting dalam pelayanan terhadap wilayah yang lebih luas daripada wilayah sebelumnya;
b. semakin dibutuhkan masyarakat dalam rangka pengembangan sistem transportasi;
c. lebih banyak melayani masyarakat dalam wilayah wewenang penyelenggara jalan yang baru;
dan/atau
d. oleh sebab-sebab tertentu menjadi berkurang peranannya, dan/atau melayani wilayah yang lebih
sempit dari wilayah sebelumnya.
(2) Perubahan fungsi jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusulkan oleh penyelenggara jalan
sebelumnya kepada penyelenggara jalan yang akan menerima.
(3) Dalam hal usulan perubahan fungsi jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, maka
penyelenggara jalan yang menyetujuinya mengusulkan penetapan perubahan fungsi jalan kepada
pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61.
Pasal 65
(1) Status jalan suatu ruas jalan dapat berubah setelah perubahan fungsi jalan ditetapkan.
12
www.legalit as.org
(2) Perubahan status jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusulkan oleh penyelenggara jalan
sebelumnya kepada penyelenggara jalan yang akan menerima.
(3) Dalam hal usulan perubahan status jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, maka
penyelenggara jalan yang menyetujuinya menetapkan status jalan tersebut.
(4) Penyelenggara jalan sebelumnya tetap bertanggung jawab atas penyelenggaraan jalan tersebut sebelum
status jalan ditetapkan.
Pasal 66
Perubahan kelas jalan berdasarkan spesifikasi prasarana jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(1) dilakukan oleh penyelenggara jalan sesuai kewenangannya berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh
Menteri.
BAB VI
PENYELENGGARAAN JALAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 67
Penyelenggaraan jalan meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan.
Bagian Kedua
Pengaturan
Paragraf 1
Perumusan Kebijakan Perencanaan
lit
as
.o
r
g
Pasal 68
Perumusan kebijakan perencanaan jalan didasarkan pada prinsip-prinsip kemanfaatan, keamanan dan
keselamatan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan, keadilan, transparansi dan akuntabilitas,
keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, serta kebersamaan dan kemitraan.
w
w
w
.le
ga
Pasal 69
Kebijakan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dirumuskan dengan mempertimbangkan:
a. koordinasi antarpelaku pembangunan;
b. terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi, baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi
pemerintah, maupun antara pusat dan daerah;
c. keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;
d. partisipasi masyarakat secara optimal termasuk dalam pembiayaan penyelenggaraan jalan;
e. penggunaan sumber daya secara berdaya guna dan berhasil guna, berkeadilan, dan berkelanjutan;
f. sistem transportasi nasional;
g. peran dunia usaha dalam penyelenggaraan prasarana dan sarana jalan;
h. kondisi ekonomi nasional;
i. kebijakan pembangunan nasional;
j. kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
k. kondisi sumber daya, ekonomi, sosial, budaya, alam, dan lingkungan daerah; dan
l. tata kepemerintahan yang baik (good governance).
Paragraf 2
Penyusunan Perencanaan Umum
Pasal 70
(1) Penyusunan perencanaan umum jaringan jalan menghasilkan rencana umum jaringan jalan yang
menggambarkan wujud jaringan jalan sebagai satu kesatuan sistem jaringan.
(2) Rencana umum jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kumpulan rencana ruas-ruas
jalan beserta besaran pencapaian sasaran kinerja pelayanan jalan tertentu untuk jangka waktu tertentu.
(3) Rencana umum jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rencana umum jangka
panjang dan rencana umum jangka menengah.
Pasal 71
13
www.legalit as.org
(1) Rencana umum jangka panjang terdiri dari rencana umum jangka panjang jaringan jalan nasional,
rencana umum jangka panjang jaringan jalan provinsi, dan rencana umum jangka panjang jaringan jalan
kabupaten/kota.
(2) Rencana umum jangka menengah terdiri dari rencana umum jangka menengah jaringan jalan nasional,
rencana umum jangka menengah jaringan jalan provinsi, dan rencana umum jangka menengah jaringan
jalan kabupaten/kota.
Pasal 72
(1) Rencana umum jangka panjang jaringan jalan nasional disusun berdasarkan pada rencana
pembangunan nasional jangka panjang, rencana tata ruang wilayah nasional, dan rencana umum
jaringan transportasi jalan serta berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Rencana umum jangka panjang jaringan jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Menteri.
(3) Rencana umum jangka panjang jaringan jalan provinsi disusun berdasarkan pada rencana
pembangunan provinsi jangka panjang, rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana umum jaringan
transportasi jalan, rencana umum jaringan transportasi jalan provinsi, rencana umum jangka panjang
jaringan jalan nasional dan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(4) Rencana umum jangka panjang jaringan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
dengan Keputusan Gubernur.
(5) Rencana umum jangka panjang jaringan jalan kabupaten/kota disusun berdasarkan rencana
pembangunan kabupaten/kota jangka panjang, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, rencana
umum jaringan transportasi jalan, rencana umum jangka panjang jaringan jalan nasional dan provinsi,
serta berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(6) Rencana umum jangka panjang jaringan jalan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditetapkan dengan keputusan bupati/walikota.
lit
as
.o
r
g
Pasal 73
(1) Rencana umum jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5)
disusun dengan memperhatikan masukan dari masyarakat melalui konsultasi publik.
(2) Rencana umum jangka panjang disusun untuk periode 20 (dua puluh) tahun.
(3) Evaluasi rencana umum jangka panjang dilakukan paling lama setiap 5 (lima) tahun.
w
w
w
.le
ga
Pasal 74
(1) Rencana umum jangka menengah jaringan jalan nasional disusun dengan memperhatikan rencana
umum jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1).
(2) Rencana umum jangka menengah jaringan jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.
(3) Rencana umum jangka menengah jaringan jalan provinsi disusun dengan memperhatikan rencana
umum jangka menengah jaringan jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan rencana
umum jangka panjang jaringan jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (3), serta
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(4) Rencana umum jangka menengah jaringan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
(5) Rencana umum jangka menengah jaringan jalan kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan
rencana jangka menengah jaringan jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rencana umum
jangka menengah jaringan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan rencana umum
jangka panjang jaringan jalan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (5), serta
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
(6) Rencana umum jangka menengah jaringan jalan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditetapkan dengan keputusan bupati/walikota.
Pasal 75
(1) Rencana umum jangka menengah disusun untuk periode 5 (lima) tahun.
(2) Evaluasi rencana umum jangka menengah dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun.
Paragraf 3
Pengendalian Penyelenggaraan Jalan Secara Makro
Pasal 76
Pengendalian penyelenggaraan jalan secara makro oleh Pemerintah meliputi:
a. pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan jalan oleh pemerintah daerah; dan
b. pengendalian peraturan pelaksanaan yang terkait dengan penyelenggaraan jalan di daerah.
14
www.legalit as.org
Bagian Ketiga
Pembinaan
Paragraf 1
Umum
Pasal 77
(1) Pembinaan jalan umum meliputi pembinaan jalan secara umum, jalan nasional, jalan provinsi, jalan
kabupaten dan jalan desa, serta jalan kota.
(2) Pembinaan jalan secara umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyusunan dan penetapan norma, standar, kriteria, dan pedoman penyelenggaraan jalan;
b. pengembangan sistem bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan di bidang jalan; dan
c. pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan dan yang terkait.
(3) Pembinaan jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten dan jalan desa, serta jalan kota meliputi:
a. pemberian bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan
dan pemangku kepentingan di bidang jalan;
b. pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan dan yang terkait;
c. pemberian fasilitas penyelesaian sengketa antarwilayah dalam penyelenggaraan jalan; dan
d. pemberian izin, rekomendasi, dan dispensasi, pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan,
dan ruang pengawasan jalan.
Paragraf 2
Penyusunan dan Penetapan Norma,
Standar, Kriteria, dan Pedoman
as
.o
r
g
Pasal 78
(1) Menteri menyusun dan menetapkan norma, standar, kriteria, dan pedoman penyelenggaraan jalan.
(2) Norma, standar, kriteria, dan pedoman penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun dengan memperhatikan masukan dari masyarakat.
.le
ga
lit
Paragraf 3
Pelayanan dan Pemberdayaan
Sumber Daya Manusia
w
w
w
Pasal 79
(1) Pelayanan dalam rangka penyelenggaraan jalan meliputi kegiatan:
a. pelayanan kepada masyarakat; dan
b. pemberian fasilitas penyelesaian sengketa antarprovinsi/kabupaten/kota, atau provinsi/kabupaten/kota
dengan pihak lain.
(2) Pelayanan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa penyediaan sistem
informasi, penyediaan data dan informasi, penerimaan masukan, pelayanan kajian, pelayanan
pengujian, pelayanan penelitian dan pengembangan, pemberian izin, rekomendasi, dispensasi, dan
pertimbangan pemanfaatan bagian-bagian jalan.
(3) Pemberian fasilitas penyelesaian sengketa antarprovinsi, atau provinsi dengan pihak lain, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh Menteri.
(4) Pemberian fasilitas penyelesaian sengketa antarkabupaten/kota, atau kabupaten/kota dengan pihak lain
dalam satu provinsi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh gubernur.
(5) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib memperhatikan
keterpaduan sistem jaringan jalan, keberdayagunaan, dan keberhasilgunaan penyelenggaraan jalan
serta keberpihakan pada kepentingan umum.
Pasal 80
(1) Pemberdayaan dalam rangka penyelenggaraan jalan meliputi kegiatan pemberian bimbingan,
penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan kepada aparatur penyelenggara jalan dan pemangku
kepentingan.
(2) Pemberian bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mencakup aspek perencanaan, pemrograman, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi,
pengoperasian dan pemeliharaan, tata laksana, serta pengendalian dan pengawasan.
(3) Pemberian bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan secara berkala dan/atau sesuai dengan kebutuhan.
15
www.legalit as.org
(4) Pemberian bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan bekerja sama dengan pihak lain.
(5) Pengembangan sistem bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan di bidang jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
(1) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam
nasional dilakukan oleh Menteri.
(2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam
dilakukan oleh gubernur.
(3) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam
kabupaten/kota dan jalan desa dilakukan oleh
Pasal 81
Pasal 80 untuk aparatur penyelenggara jalan secara
Pasal 80 untuk aparatur penyelenggara jalan provinsi
Pasal 80 untuk aparatur penyelenggara jalan
bupati/walikota.
Paragraf 4
Penelitian dan Pengembangan Jalan
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o
r
g
Pasal 82
(1) Pengkajian, penelitian, dan pengembangan di bidang jalan dilakukan dengan maksud untuk
meningkatkan keandalan jalan, mengembangkan potensi sumber daya alam, meningkatkan kinerja
penyelenggaraan jalan, dan memberi nilai tambah dalam penyelenggaraan jalan.
(2) Pengkajian, penelitian, dan pengembangan di bidang jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu dan berkelanjutan.
(3) Pengkajian, penelitian, dan pengembangan di bidang jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup aspek perencanaan, pemrograman, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi,
pengoperasian dan pemeliharaan, teknologi bahan dan alat, tata laksana, serta pengawasan dan
pengendalian.
(4) Kegiatan pelaksanaan pengkajian, penelitian, dan pengembangan di bidang jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh penyelenggara jalan dan dapat bekerja sama dengan
pemangku kepentingan penyelenggaraan jalan, termasuk perguruan tinggi dan para pihak yang
mempunyai hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan penyelenggaraan jalan.
(5) Produk pengkajian, penelitian, dan pengembangan di bidang jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disosialisasikan dan digunakan sebagai bahan pembuatan norma, standar, pedoman, manual,
serta sebagai bahan masukan dalam pembuatan keputusan penyelenggaraan jalan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pengkajian, penelitian, dan pengembangan di bidang
jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Pembangunan
Paragraf 1
Umum
Pasal 83
Pembangunan jalan meliputi kegiatan:
a. pemrograman dan penganggaran;
b. perencanaan teknis;
c. pengadaan tanah;
d. pelaksanaan konstruksi; dan
e. pengoperasian dan pemeliharaan jalan.
Paragraf 2
Pemrograman dan Penganggaran
Pasal 84
(1) Pemrograman penanganan jaringan jalan merupakan penyusunan rencana kegiatan penanganan ruas
jalan yang menjadi tanggung jawab penyelenggara jalan sesuai kewenangannya.
(2) Pemrograman penanganan jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup penetapan
rencana tingkat kinerja yang akan dicapai serta perkiraan biaya yang diperlukan.
(3) Program penanganan jaringan jalan meliputi program pemeliharaan jalan, program peningkatan jalan,
dan program konstruksi jalan baru.
16
www.legalit as.org
(4) Program penanganan jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh penyelenggara
jalan yang bersangkutan dengan mengacu pada rencana jangka menengah jaringan jalan dengan
memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 85
(1) Penganggaran dalam rangka pelaksanaan program penanganan jaringan jalan merupakan kegiatan
pengalokasian dana yang diperlukan untuk mewujudkan sasaran program.
(2) Dalam hal pemerintah daerah belum mampu membiayai pembangunan jalan yang menjadi tanggung
jawabnya secara keseluruhan, Pemerintah dapat membantu sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian bantuan pembiayaan kepada
pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Perencanaan Teknis
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o
r
g
Pasal 86
(1) Perencanaan teknis merupakan kegiatan penyusunan dokumen rencana teknis yang berisi gambaran
produk yang ingin diwujudkan.
(2) Perencanaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara optimal dengan
memperhatikan aspek lingkungan hidup.
(3) Perencanaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup perencanaan teknis jalan,
jembatan, dan terowongan.
(4) Perencanaan teknis jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang-kurangnya memenuhi
ketentuan teknis mengenai:
a. ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan;
b. dimensi jalan;
c. muatan sumbu terberat, volume lalu lintas, dan kapasitas;
d. persyaratan geometrik jalan;
e. konstruksi jalan;
f. konstruksi bangunan pelengkap;
g. perlengkapan jalan;
h. ruang bebas; dan
i. kelestarian lingkungan hidup.
(5) Rencana teknis jalan wajib memperhitungkan kebutuhan fasilitas pejalan kaki dan penyandang cacat.
(6) Pedoman rencana teknis jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur oleh Menteri.
Pasal 87
(1) Perencanaan teknis jembatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) sekurang-kurangnya
memenuhi ketentuan teknis beban rencana.
(2) Ruang bebas bawah jembatan harus memenuhi ketentuan ruang bebas untuk lalu lintas dan angkutan
yang melewatinya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban rencana jembatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri setelah mendengar pendapat menteri yang menyelenggarakan urusan di
bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 88
Perencanaan teknis terowongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) sekurang-kurangnya
memenuhi ketentuan teknis pengoperasian dan pemeliharaan, keselamatan, serta keadaan darurat.
Pasal 89
(1) Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) harus dibuat oleh perencana
teknis dan disetujui oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Perencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab penuh terhadap dokumen
rencana teknis sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi.
(3) Perencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan keahlian sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi.
17
www.legalit as.org
Paragraf 4
Pengadaan Tanah
Pasal 90
(1) Jalan umum dibangun di atas tanah yang dikuasai oleh Negara.
(2) Dalam hal pelaksanaan konstruksi jalan umum di atas hak atas tanah orang, pelaksanaan konstruksi
jalan umum dilakukan dengan cara pengadaan tanah.
(3) Pengadaan tanah diperlukan untuk konstruksi jalan baru, pelebaran jalan, atau perbaikan alinemen.
(4) Pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 5
Pelaksanaan Konstruksi
Pasal 91
Pelaksanaan konstruksi jalan merupakan kegiatan fisik penanganan jaringan jalan untuk memenuhi
kebutuhan transportasi jalan.
Pasal 92
(1) Pelaksanaan konstruksi jalan dapat dimulai setelah pengadaan tanah selesai dilaksanakan sekurangkurangnya pada bagian ruas jalan yang dapat berfungsi.
(2) Pelaksanaan konstruksi jalan harus didasarkan atas rencana teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89.
(3) Pelaksanaan konstruksi jalan harus diawasi oleh penyelenggara jalan atau penyedia jasa pengawas.
(4) Pelaksana konstruksi jalan dan penyedia jasa pengawas konstruksi jalan harus memenuhi persyaratan
keahlian sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi.
ga
lit
as
.o
r
g
Pasal 93
(1) Penyelenggara jalan wajib menjaga kelancaran dan keselamatan lalu lintas selama pelaksanaan
konstruksi jalan.
(2) Kewajiban penyelenggara jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan
pendapat instansi yang menyelenggarakan urusan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
w
w
w
.le
Pasal 94
Selama berlangsungnya pelaksanaan konstruksi jalan, penyelenggara jalan wajib menjaga fungsi bangunan
utilitas.
Pasal 95
(1) Dalam hal pembangunan jalan provinsi atau kabupaten/kota yang melampaui batas daerahnya,
penyelenggara jalan provinsi atau kabupaten/kota tersebut wajib mendapat persetujuan dari pemerintah
daerah yang daerahnya dilampaui.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai persyaratan administratif dan persyaratan
teknis.
(3) Pemerintah atau pemerintah provinsi dapat memberikan fasilitas dalam pembangunan jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Paragraf 6
Pengoperasian dan Pemeliharaan
Pasal 96
(1) Pengoperasian jalan merupakan kegiatan penggunaan jalan untuk melayani lalu lintas jalan.
(2) Pengoperasian jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan perlengkapan jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 untuk menjamin keselamatan pengguna jalan.
Pasal 97
(1) Penyelenggara jalan mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk memelihara jalan sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Pemeliharaan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan prioritas tertinggi dari semua jenis
penanganan jalan.
(3) Pemeliharaan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeliharaan rutin, pemeliharaan
berkala, dan rehabilitasi.
18
www.legalit as.org
(4) Pemeliharaan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan rencana
pemeliharaan jalan.
Pasal 98
Pelaksanaan pemeliharaan jalan harus memperhatikan keselamatan pengguna jalan dengan penempatan
perlengkapan jalan secara jelas sesuai dengan peraturan perundang–undangan.
Pasal 99
Pelaksanaan pemeliharaan jalan di ruang milik jalan yang terletak di luar ruang manfaat jalan harus
dilaksanakan dengan tidak mengganggu fungsi ruang manfaat jalan.
Pasal 100
Ketentuan tentang pemeliharaan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97, Pasal 98, dan Pasal 99
berlaku juga terhadap setiap kegiatan pemeliharaan bangunan utilitas yang menggunakan ruang milik jalan.
Pasal 101
(1) Pemeliharaan jalan umum dapat dilaksanakan oleh orang atau instansi sepanjang tidak merugikan
kepentingan umum.
(2) Pemeliharaan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penyediaan biaya dan
pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh orang atau instansi, atau pelaksanaan konstruksi oleh
penyelenggara jalan atas biaya dari orang atau instansi yang bersangkutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeliharaan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 7
Laik Fungsi Jalan
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o
r
g
Pasal 102
(1) Jalan umum dioperasikan setelah ditetapkan memenuhi persyaratan laik fungsi jalan umum secara
teknis dan administratif sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri dan menteri terkait.
(2) Uji kelaikan fungsi jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebelum pengoperasian
jalan yang belum beroperasi.
(3) Uji kelaikan fungsi jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada jalan yang sudah beroperasi
dilakukan secara berkala paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan.
(4) Suatu ruas jalan umum dinyatakan laik fungsi secara teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. teknis struktur perkerasan jalan;
b. teknis struktur bangunan pelengkap jalan;
c. teknis geometri jalan;
d. teknis pemanfaatan bagian-bagian jalan;
e. teknis penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas; dan
f. teknis perlengkapan jalan.
(5) Suatu ruas jalan umum dinyatakan laik fungsi secara administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
apabila memenuhi persyaratan administrasi perlengkapan jalan, status jalan, kelas jalan, kepemilikan
tanah ruang milik jalan, leger jalan, dan dokumen analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
(6) Prosedur pelaksanaan uji kelaikan fungsi jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan oleh tim uji laik fungsi yang dibentuk oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan terdiri
dari unsur penyelenggara jalan, instansi menyelenggarakan urusan di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan.
(7) Penetapan laik fungsi jalan suatu ruas dilakukan oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan
berdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh tim uji laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan laik fungsi jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan penetapan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 8
Penilikan Jalan
Pasal 103
(1) Penyelenggara jalan berwenang mengadakan penilikan jalan sesuai dengan kewenangannya.
(2) Dalam hal pelaksanaan penilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara jalan berwenang
mengangkat penilik jalan sesuai dengan kewenangannya.
19
www.legalit as.org
Pasal 104
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penilik jalan diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 105
Penilik jalan bertugas:
a. mengamati pemanfaatan dan kondisi bagian-bagian jalan setiap hari;
b. menyampaikan laporan hasil pengamatan secara tertulis kepada penyelenggara jalan paling sedikit satu
kali setiap bulan; dan
c. menyampaikan usul tindakan terhadap hasil pengamatan kepada penyelenggara jalan atau instansi yang
berwenang.
Pasal 106
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilikan jalan diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Pengawasan
Pasal 107
Pengawasan jalan meliputi pengawasan jalan secara umum, jalan nasional, jalan provinsi, jalan
kabupaten/kota, dan jalan desa.
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o
r
g
Pasal 108
(1) Pengawasan jalan secara umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 terhadap jalan nasional, jalan
provinsi, jalan kabupaten/kota, dan jalan desa dilaksanakan oleh Menteri.
(2) Pengawasan jalan secara umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kegiatan evaluasi dan pengkajian pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan jalan;
b. pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan; dan
c. pemenuhan standar pelayanan minimal yang ditetapkan.
(3) Kegiatan evaluasi dan pengkajian pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. sistem jaringan jalan;
b. sistem pemrograman;
c. sistem penganggaran;
d. standar konstruksi; dan
e. manajemen pemeliharaan dan pengoperasian jalan.
(4) Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b merupakan pengendalian ruang manfaat jalan agar tetap berfungsi.
Pasal 109
(1) Pengawasan jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota, dan jalan desa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 107 dilaksanakan oleh penyelenggara jalan sesuai dengan kewenangannya.
(2) Pengawasan jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota, dan jalan desa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 107 meliputi evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan, serta pengendalian fungsi dan
manfaat hasil pembangunan jalan.
(3) Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi evaluasi kinerja
pengaturan, pembinaan, dan pembangunan.
(4) Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi pengendalian jalan masuk, penjagaan ruang manfaat jalan agar tetap berfungsi, dan
pencegahan terhadap gangguan atas fungsi jalan.
Pasal 110
Penyelenggara jalan wajib melakukan langkah-langkah penanganan terhadap hasil pengawasan, termasuk
upaya hukum atas terjadinya pelanggaran terhadap penggunaan bagian-bagian jalan selain peruntukannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 111
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan jalan secara umum, jalan nasional, jalan provinsi,
jalan kabupaten/kota, dan jalan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 diatur dalam Peraturan
Menteri.
20
www.legalit as.org
Bagian Keenam
Standar Pelayanan Minimal
Pasal 112
(1) Pelayanan jalan umum ditentukan dengan kriteria yang dituangkan dalam standar pelayanan minimal
yang terdiri dari standar pelayanan minimal jaringan jalan dan standar pelayanan minimal ruas jalan.
(2) Standar pelayanan minimal jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aksesibilitas,
mobilitas, dan keselamatan.
(3) Standar pelayanan minimal ruas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kondisi jalan dan
kecepatan.
(4) Standar pelayanan minimal jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan standar pelayanan
minimal ruas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diwujudkan dengan penyediaan prasarana
jalan dan penggunaan jalan yang memadai.
(5) Standar pelayanan minimal jaringan jalan dan standar pelayanan minimal ruas jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dievaluasi secara berkala berdasarkan hasil pengawasan fungsi dan manfaat.
Pasal 113
(1) Standar pelayanan minimal jaringan jalan dan standar pelayanan minimal ruas jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 112 ayat (4) ditetapkan berdasarkan:
a. Peraturan Menteri untuk jalan nasional;
b. Peraturan Gubernur untuk jalan provinsi; dan
c. Peraturan Gubernur atas usul bupati/walikota, untuk jalan kabupaten/kota dan desa.
(2) Standar pelayanan minimal yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur untuk jalan provinsi dan jalan
kabupaten/kota dan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c disusun sesuai
dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
g
BAB VII
DOKUMEN JALAN
lit
as
.o
r
Pasal 114
Dokumen jalan meliputi leger jalan, dokumen aset jalan, gambar terlaksana, dan dokumen laik fungsi jalan.
w
w
w
.le
ga
Pasal 115
(1) Setiap penyelenggara jalan wajib mengadakan leger jalan yang meliputi pembuatan, penetapan,
pemantauan, pemutakhiran, penyimpanan dan pemeliharaan, penggantian, serta penyampaian
informasi.
(2) Pembuatan leger jalan meliputi kegiatan untuk mewujudkan leger jalan dalam bentuk kartu dan digital
dengan susunan sesuai dengan yang ditetapkan.
(3) Penetapan leger jalan meliputi kegiatan pengesahan leger jalan yang telah disiapkan oleh
penyelenggara jalan sesuai kewenangannya.
(4) Pemantauan leger jalan meliputi kegiatan pengamatan, pencatatan, dan pengkajian dokumen untuk
mengetahui perubahan yang terjadi pada ruas jalan yang telah dibuat leger jalan sebelumnya.
(5) Pemutakhiran leger jalan meliputi kegiatan untuk mengubah data dan/atau gambar leger jalan yang telah
ada karena terjadi perubahan.
(6) Penyimpanan dan pemeliharaan meliputi kegiatan untuk menjaga agar leger jalan sesuai dengan umur
yang ditetapkan.
(7) Penggantian leger jalan meliputi kegiatan untuk mengganti leger jalan yang rusak.
(8) Penyampaian informasi merupakan kegiatan untuk menginformasikan data leger jalan kepada pihak
yang memerlukan.
Pasal 116
Leger jalan digunakan untuk:
a. penyusunan rencana dan program pembangunan jalan; dan
b. pendataan tentang sejarah perkembangan suatu ruas jalan.
Pasal 117
(1) Leger jalan sekurang-kurangnya memuat data sebagai berikut:
a. data identitas jalan;
b. data jalan;
c. peta lokasi ruas jalan; dan
d. data ruang milik jalan.
(2) Data identitas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
21
www.legalit as.org
.o
r
g
a. nomor dan nama ruas jalan;
b. nama pengenal jalan;
c. titik awal dan akhir serta jurusan jalan;
d. sistem jaringan jalan;
e. fungsi jalan;
f. status jalan; dan
g. kelas jalan.
(3) Data jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi data teknis:
a. jalan;
b. jembatan;
c. terowongan;
d. bangunan pelengkap lainnya;
e. perlengkapan jalan; dan
f. tanah dasar.
(4) Peta lokasi ruas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat:
a. titik awal dan akhir ruas jalan;
b. batas administrasi;
c. patok kilometer;
d. persimpangan;
e. jembatan; dan
f. terowongan.
(5) Data ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
a. luas lahan;
b. data perolehan hak atas tanah;
c. nilai perolehan; dan
d. bukti sertifikat hak atas tanah.
(6) Pelaksanaan pembuatan, penetapan, pemantauan, pemutakhiran, penyimpanan dan pemeliharaan,
penggantian, serta penyampaian informasi leger jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118, dan
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
ga
lit
as
BAB VIII
PERAN MASYARAKAT
w
w
w
.le
Pasal 118
(1) Masyarakat dapat ikut berperan dalam pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan.
(2) Dalam pengaturan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masyarakat dapat berperan dalam
penyusunan kebijakan perencanaan dan perencanaan umum.
(3) Dalam pembinaan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masyarakat dapat berperan dalam
pelayanan, pemberdayaan, serta penelitian dan pengembangan.
(4) Dalam pembangunan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masyarakat dapat berperan dalam
penyusunan program, penganggaran, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian
dan pemeliharaan.
(5) Dalam pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masyarakat dapat berperan dalam
pengawasan fungsi dan manfaat jalan, serta pengendalian fungsi dan manfaat.
Pasal 119
(1) Peran masyarakat dalam pengaturan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1), pelayanan
dan pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (3) dapat berupa pemberian usulan,
saran, atau informasi.
(2) Peran masyarakat dalam penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat
(3) dapat berupa pemberian usulan, saran, informasi, atau melakukan sendiri.
(3) Peran masyarakat dalam penyusunan program dan perencanaan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 118 ayat (4) dapat berupa pemberian usulan, saran, atau informasi.
(4) Peran masyarakat dalam penganggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (4) dapat berupa
pemberian usulan, saran, informasi, atau dana.
(5) Peran masyarakat dalam pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 118 ayat (4) dapat berupa pemberian usulan, saran, informasi, atau melakukan
langsung.
(6) Peran masyarakat dalam pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat
(5) dapat berupa pemberian usulan, saran, laporan atau informasi.
22
www.legalit as.org
Pasal 120
(1) Masyarakat berhak melaporkan penyimpangan pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan
ruang pengawasan jalan kepada penyelenggara jalan.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118, Pasal 119, dan laporan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
Menteri.
BAB IX
JALAN KHUSUS
Pasal 121
(1) Jalan khusus merupakan jalan yang dibangun dan dipelihara oleh orang atau instansi untuk melayani
kepentingan sendiri.
(2) Penyelenggaraan jalan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
pedoman yang ditetapkan Menteri.
Pasal 122
(1) Suatu ruas jalan khusus apabila digunakan untuk lalu lintas umum, sepanjang tidak merugikan
kepentingan penyelenggara jalan khusus dibangun sesuai dengan persyaratan jalan umum.
(2) Jalan khusus dapat digunakan untuk lalu lintas umum sepanjang tidak merugikan kepentingan
penyelenggara jalan khusus berdasarkan persetujuan dari penyelenggara jalan khusus.
as
.o
r
g
Pasal 123
(1) Penyelenggara jalan khusus dapat menyerahkan jalan khusus kepada pemerintah kabupaten/kota untuk
dinyatakan sebagai jalan umum.
(2) Pemerintah kabupaten/kota dapat mengambil alih suatu ruas jalan khusus tertentu untuk dijadikan jalan
umum dengan pertimbangan:
a. untuk kepentingan pertahanan dan keamanan Negara;
b. untuk kepentingan pembangunan ekonomi nasional dan perkembangan suatu daerah; dan/atau
c. untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
w
w
w
.le
ga
lit
Pasal 124
(1) Jalan khusus yang diserahkan oleh penyelenggara jalan khusus kepada pemerintah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1), dan jalan khusus yang diambil alih oleh pemerintah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) diubah menjadi jalan umum.
(2) Perubahan jalan khusus menjadi jalan umum karena penyerahan dari penyelenggara jalan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) dilakukan berdasarkan peraturan perundangundangan atas usul penyelenggara jalan khusus kepada bupati/walikota.
(3) Bupati/walikota yang menyetujui usulan perubahan jalan khusus menjadi jalan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menetapkan ruas jalan khusus menjadi jalan umum.
(4) Perubahan jalan khusus menjadi jalan umum karena pengambilalihan oleh pemerintah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (2) oleh bupati/walikota dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan setelah mendapat persetujuan dari penyelenggara jalan khusus.
(5) Sebelum jalan khusus ditetapkan oleh bupati/walikota menjadi jalan umum, penyelenggara jalan khusus
tetap bertanggung jawab atas penyelenggaraan jalan khusus tersebut.
(6) Jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan statusnya menjadi jalan
kabupaten/kota oleh bupati/walikota.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 125
Dengan berlakunya peraturan pemerintah ini, semua peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
26 Tahun 1985 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 37, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3293) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan peraturan pemerintah ini.
23
www.legalit as.org
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 126
(1) Dengan berlakunya peraturan pemerintah ini Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1985 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3293) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2006
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
.o
r
g
HAMID AWALUDIN
w
w
w
.le
ga
lit
as
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 86
24
www.legalit as.org
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 34 TAHUN 2006
TENTANG
JALAN
UMUM
1. Sebagai salah satu prasarana transportasi dalam kehidupan bangsa, kedudukan dan
peranan jaringan jalan pada hakikatnya menyangkut hajat hidup orang banyak serta
mengendalikan struktur pengembangan wilayah pada tingkat nasional, terutama
yang menyangkut pewujudan perkembangan antardaerah yang seimbang dan
pemerataan hasil-hasil pembangunan, serta peningkatan pertahanan dan keamanan
negara, dalam rangka mewujudkan rencana pembangunan jangka panjang dan
rencana pembangunan jangka menengah menuju masyarakat Indonesia yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Dengan kedudukan dan peranan jalan tersebut, negara berhak menguasai jalan.
Penyediaan jalan umum oleh negara pada dasarnya dibangun di atas tanah yang
dikuasai oleh negara. Bila dibangun di atas tanah hak atas orang, dilaksanakan
dengan pengadaan tanah. Dengan hak penguasaan jalan ada pada negara,
pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara, mempunyai hak
menyelenggarakan jalan secara umum.
as
.o
r
g
Penyelenggaraan jalan harus menjamin terselenggaranya peranan jalan yang
berdasarkan rencana tata ruang wilayah dengan memperhatikan keterhubungan
antarkawasan atau keterhubungan dalam kawasan serta dilakukan secara
konsepsional dan menyeluruh.
w
w
.le
ga
lit
3. Penyelenggaraan jalan sebagai salah satu bagian kegiatan dalam mewujudkan
prasarana transportasi melibatkan masyarakat dan pemerintah. Sehubungan dengan
hal tersebut, setiap usaha penyelenggaraan jalan memerlukan kesepakatan atas
pengenalan sasaran pokok yang dilandasi oleh jiwa pengabdian dan tanggung jawab
terhadap bangsa dan negara.
w
I.
4. Pengenalan masalah pokok jalan memberi petunjuk bahwa penyelenggaraan jalan
yang konsepsional dan menyeluruh perlu melihat jalan sebagai suatu kesatuan
sistem jaringan jalan yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat kegiatan.
Dalam hubungan ini dikenal sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan
sekunder. Pada setiap sistem jaringan jalan diadakan pengelompokan jalan menurut
fungsi, status, dan kelas jalan. Pengelompokan jalan berdasarkan status
memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan jalan yang
mempunyai layanan nasional dan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan jalan
di wilayahnya sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah.
5. Penegasan tentang hak dan kewajiban pemerintah serta masyarakat menunjukkan
bahwa wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan jalan dapat dilimpahkan
dan/atau diserahkan kepada instansi-instansi di daerah atau diserahkan kepada
badan usaha atau perorangan.
Pelimpahan dan/atau penyerahan wewenang penyelenggaraan jalan tersebut tidak
melepas tanggung jawab pemerintah atas penyelenggaraan jalan.
6. Jalan sebagai salah satu prasarana transportasi yang menyangkut hajat hidup orang
banyak, mempunyai fungsi sosial yang sangat penting. Dengan pengertian tersebut
wewenang penyelanggaraan jalan wajib dilaksanakan dengan mengutamakan
sebesar-besar kepentingan umum.
25
www.legalit as.org
7. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk mengatur pelaksanaan lebih lanjut
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dalam menyelenggarakan
jalan yang meliputi jalan khusus dan jalan umum, termasuk jalan tol kecuali yang
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Biaya umum perjalanan adalah biaya yang timbul sehubungan dengan
pelaksanaan perjalanan.
Biaya umum perjalanan meliputi biaya perjalanan, biaya penyediaan
prasarana, dan biaya lain akibat dampak adanya perjalanan.
Biaya perjalanan terdiri dari biaya operasi kendaraan dan nilai waktu.
Biaya operasi kendaraan merupakan pengeluaran pengguna jalan
antara lain untuk membiayai bahan bakar, pelumas, dan keausan.
Ayat (2)
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o
r
g
Keseimbangan antarwilayah dalam tingkat pertumbuhan nya, bukanlah
sesuatu yang terjadi dengan sendirinya. Yang terjadi justru adanya
sistem sosial yang cenderung untuk mengarah kepada meningkatnya
ketidak seimbangan antarwilayah dalam hal tingkat perkembangan nya.
Wilayah dengan tingkat kemudahan yang tinggi akan lebih cepat
berkembang dan akan lebih menarik manusia untuk datang dan
melakukan kegiatan usaha.
Sebaliknya, wilayah dengan tingkat kemudahan yang rendah, kurang
menarik bagi manusia untuk melakukan kegiatan usaha, bahkan
cenderung untuk ditinggalkan. Keadaan tersebut apabila dibiarkan tanpa
ditangani akan berakibat terjadinya peningkatan kesenjangan dan
ketidakseimbangan antarwilayah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pelayanan jasa distribusi terdiri dari pelayanan jasa perdagangan dan
pelayanan jasa angkutan sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan.
Sebagai salah satu prasarana di dalam sistem transportasi, perlu
diusahakan agar jalan dapat melayani dengan lancar arus barang yang
bermula dari lokasi sumber alam dan menerus sampai konsumen akhir.
Gangguan atau ketidaklancaran arus barang pada salah satu ruas jalan,
akan berakibat pula gangguan pada jasa distribusi. Oleh karena itu,
dalam penyelenggaraan jalan, perlu kiranya jalan dipandang sebagai
satu kesatuan sistem jaringan jalan. Dalam sistem jaringan jalan tersebut
fungsi jalan secara berjenjang terdiri dari jalan arteri, jalan kolektor, jalan
lokal, dan jalan lingkungan, baik dalam sistem jaringan jalan antarkota
atau sistem jaringan jalan primer maupun dalam sistem jaringan jalan
perkotaan atau sistem jaringan jalan sekunder.
Pasal 5
Cukup jelas
26
www.legalit as.org
Pasal 6
Ayat (1)
Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan yang
menghubungkan antarkawasan perkotaan, yang diatur secara
berjenjang sesuai dengan peran perkotaan yang dihubungkannya.
Untuk melayani lalu lintas menerus maka ruas-ruas jalan dalam sistem
jaringan jalan primer tidak terputus walaupun memasuki kawasan
perkotaan.
Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan yang
menghubungkan antarkawasan di dalam perkotaan yang diatur secara
berjenjang sesuai dengan fungsi kawasan yang dihubungkannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 7
lit
as
.o
r
g
Rencana tata ruang meliputi seluruh rencana tata ruang nasional, provinsi,
kabupaten/kota.
Bagi pusat-pusat kegiatan berlaku satu hierarki, yaitu Pusat Kegiatan Nasional
(PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), Pusat Kegiatan Lokal (PKL), Pusat
Kegiatan Lingkungan (PKLing) dan seterusnya sampai ke persil.
Yang dimaksud dengan "PKN", "PKW", dan "PKL" adalah kawasan-kawasan
perkotaan yang masing-masing mempunyai jangkauan pelayanan berskala
nasional, wilayah, dan lokal.
Makin tinggi hierarki suatu pusat kegiatan menggambarkan makin besar fungsi
dan manfaat ruang pusat kegiatannya.
Penyusunan sistem jaringan jalan primer dimaksudkan untuk mendukung
layanan angkutan nasional yang terintegrasi, menerus, dan mempunyai hierarki
sehingga dapat diwujudkan sistem transportasi nasional yang sinergis, terpadu,
dan efisien.
ga
Pasal 8
w
w
w
.le
Kawasan yang mempunyai fungsi primer adalah kawasan perkotaan yang
mempunyai fungsi pelayanan, baik untuk kawasan perkotaan maupun untuk
wilayah di luarnya.
Kawasan yang mempunyai fungsi sekunder adalah kawasan perkotaan yang
mempunyai fungsi pelayanan hanya dalam wilayah kawasan perkotaan yang
bersangkutan.
Kawasan fungsi sekunder kesatu adalah kawasan perkotaan yang mempunyai
fungsi pelayanan seluruh wilayah kawasan perkotaan yang bersangkutan.
Kawasan fungsi sekunder kedua adalah kawasan perkotaan yang mempunyai
fungsi pelayanan yang merupakan bagian dari pelayanan kawasan fungsi
sekunder kesatu.
Kawasan fungsi sekunder ketiga adalah kawasan perkotaan yang mempunyai
fungsi pelayanan yang merupakan bagian dari pelayanan kawasan fungsi
sekunder kedua.
Persil adalah sebidang tanah dengan ukuran tertentu untuk keperluan
perumahan atau kegiatan lainnya.
Kawasan yang mempunyai fungsi primer dan kawasan yang mempunyai fungsi
sekunder harus tersusun secara teratur dan tidak terbaurkan. Fungsi primer,
fungsi sekunder kesatu, serta fungsi sekunder kedua dan seterusnya terikat
dalam satu hubungan hierarki.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Berdaya guna dimaksudkan bahwa jalan yang digunakan memerlukan
biaya perjalanan terendah yang ditunjukkan dengan waktu tempuh
27
www.legalit as.org
tercepat, faktor hambatan samping kecil, dan kondisi jalan baik.
Yang dimaksud hambatan samping adalah segala gangguan lalu lintas
di tepi jalan antara lain pejalan kaki, pedagang kaki lima, parkir.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "perumahan" adalah kelompok rumah yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian
yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o
r
g
Yang dimaksud dengan "persyaratan teknis jalan" adalah ketentuan
teknis untuk menjamin agar jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 dan Pasal 11 dapat berfungsi secara optimal dalam melayani lalu
lintas dan angkutan jalan.
Yang dimaksud dengan "kecepatan rencana" (design speed) adalah
kecepatan kendaraan yang dapat dicapai bila berjalan tanpa gangguan
dan aman.
Yang dimaksud dengan "kapasitas jalan" adalah jumlah maksimum
kendaraan yang dapat melewati suatu penampang tertentu pada suatu
ruas jalan, satuan waktu, keadaan jalan, dan lalu lintas tertentu.
Yang dimaksud dengan "jalan masuk" adalah fasilitas akses lalu lintas
untuk memasuki suatu ruas jalan.
Yang dimaksud dengan "tidak terputus" adalah jalan harus tetap
menerus untuk menjaga agar kepentingan lintas ekonomi tingkat
nasional dan regional tidak dirugikan dengan mempertahankan fungsi
pelayanan antarperkotaan dan antardesa.
Yang dimaksud dengan "persimpangan sebidang" adalah pertemuan
dua ruas jalan atau lebih dalam satu bidang antara lain simpang tiga dan
simpang empat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Jalan dengan kecepatan rencana paling rendah 60 (enam puluh)
kilometer per jam adalah jalan yang didesain dengan persyaratanpersyaratan geometrik yang diper hitungkan terhadap kecepatan
minimum 60 (enam puluh) kilometer per jam sehingga kendaraan
bermotor dapat menggunakan kecepatan 60 (enam puluh) kilometer per
jam
dengan
aman.
Persyaratan kecepatan rencana diambil angka paling rendah dengan
maksud untuk memberikan kebebasan bagi perencana jalan dalam
menetapkan kecepatan rencana yang paling tepat, disesuaikan dengan
kondisi lingkungannya.
28
www.legalit as.org
Ayat (2)
Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu
penampang tertentu pada suatu ruas jalan tertentu dalam satuan waktu
tertentu.
Volume lalu lintas rata-rata adalah jumlah kendaraan rata-rata dihitung
menurut satu satuan waktu tertentu;
Ayat (3)
as
.o
r
g
Lalu lintas jarak jauh adalah lalu lintas antarwilayah.
Yang dimaksud terganggu pada ayat ini adalah apabila terjadi
penurunan kecepatan lalu lintas jarak jauh yang diakibatkan oleh adanya
lalu lintas lokal, lalu lintas ulang-alik, dan kegiatan lokal.
Pembebasan lalu lintas jarak jauh dari gangguan lalu lintas lokal dan
ulang-alik, secara prinsip dilakukan dengan menghilangkan pembauran
dengan jalan penegasan fungsi jalan dan manajemen lalu lintas antara
lain berupa:
a. pengurangan/pembatasan hubungan langsung ke jalan arteri primer;
b. penyediaan jalur lambat;
c. penyediaan jembatan penyeberangan; dan/atau
d. pengurangan/pembatasan peruntukan parkir.
Lalu lintas ulang-alik adalah lalu lintas yang ditimbulkan pengguna jalan
yang berdomisili di pinggiran perkotaan dan pusat-pusat pemukiman di
luar perkotaan yang mempunyai ketergantungan kehidupan sehari-hari
di perkotaan;
Lalu lintas lokal adalah lalu lintas yang ditimbulkan oleh pengguna jalan
yang mempunyai asal dan tujuan lokal (setempat);
Kegiatan lokal adalah semua aktivitas masyarakat di tepi jalan yang
dapat menimbulkan gangguan lalu lintas antara lain kegiatan
perdagangan, perkantoran, pendidikan, sosial.
lit
Ayat (4)
ga
Cukup jelas.
.le
Ayat (5)
w
w
w
Pengaturan tertentu dapat berupa pengaturan dengan petugas, marka,
rambu lalu lintas termasuk di dalamnya lampu lalu lintas.
Ayat (6)
Hal ini untuk menjaga agar kepentingan lintas ekonomi tingkat nasional
tidak dirugikan
dengan mempertahankan
fungsi
pelayanan
antarperkotaan.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Hal ini untuk menjaga agar kepentingan lintas ekonomi tingkat lokal tidak
dirugikan, dengan mempertahankan fungsi pelayanan antardesa.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kebutuhan lebar badan jalan paling sedikit 3, 5 (tiga koma lima) meter ini
mengandung maksud agar lebar jalur lalu lintas dapat mencapai 3 (tiga)
meter. Dengan demikian, pada keadaan darurat dapat dilewati mobil dan
kendaraan khusus lainnya.
29
www.legalit as.org
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "bangunan pelengkap" antara lain jembatan,
terowongan, ponton, lintas atas, lintas bawah, tempat parkir, goronggorong, tembok penahan, dan saluran tepi jalan dibangun sesuai dengan
persyaratan teknis.
Ayat (2)
Yang dimaksud sesuai dengan "fungsi jalan yang bersangkutan" adalah
agar lalu lintas (volume dan kecepatan) dapat terlayani sesuai dengan
fungsi jalan.
Pasal 22
Ayat (1)
g
Cukup jelas.
.o
r
Ayat (2)
w
w
w
.le
ga
lit
as
Yang dimaksud dengan "perlengkapan jalan yang berkaitan langsung
dengan pengguna jalan" adalah bangunan atau alat yang dimaksudkan
untuk keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas
serta kemudahan bagi pengguna jalan dalam berlalu lintas.
Contoh perlengkapan jalan tersebut antara lain rambu-rambu (termasuk
nomor rute jalan), marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, lampu
jalan, alat pengendali dan alat pengamanan pengguna jalan, serta
fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada
di jalan dan di luar jalan seperti tempat parkir dan halte bus.
Yang dimaksud dengan "perlengkapan jalan yang berkaitan tidak
langsung dengan pengguna jalan" adalah bangunan yang dimaksudkan
untuk keselamatan penggunan jalan, dan pengamanan aset jalan, dan
informasi pengguna jalan.
Contoh perlengkapan jalan tersebut antara lain patok-patok pengarah,
pagar pengaman, patok kilometer, patok hektometer, patok ruang milik
jalan, batas seksi, pagar jalan, fasilitas yang mempunyai fungsi sebagai
sarana untuk keperluan memberikan perlengkapan dan pengamanan
jalan, dan tempat istirahat.
Ayat (3)
Perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan
yang wajib meliputi:
a. aturan perintah dan larangan yang dinyatakan dengan APILL (Alat
Pemberi Isyarat Lalu Lintas), rambu, dan marka;
b. petunjuk dan peringatan yang dinyatakan dengan rambu dan tandatanda lain; dan/atau
c. fasilitas pejalan kaki di jalan yang telah ditentukan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
30
www.legalit as.org
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "diatur" meliputi pengadaan, penempatan,
pemasangan, perbaikan, penggantian baru, dan pemindahan
perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "dilaksanakan" meliputi pengadaan,
penempatan, dan pemasangan.
Yang dimaksud dengan "berpedoman" termasuk juga berkoordinasi
dengan instansi yang menyelenggarakan urusan di bidang lalu lintas dan
angkutan jalan sesuai dengan kewenangannya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "dilaksanakan" meliputi pengadaan,
pemasangan, perbaikan, penggantian baru, pemindahan, dan
pemeliharaan.
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
.o
r
g
Pasal 26
Huruf a
as
Cukup jelas.
lit
Huruf b
w
.le
ga
Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih jalan kolektor primer yang
menghubungkan antaribukota provinsi maka hanya satu yang ditetapkan
statusnya sebagai jalan nasional.
Cukup jelas.
w
w
Huruf c
Huruf d
Jalan strategis nasional adalah jalan yang melayani kepentingan
nasional dan internasional atas dasar kriteria strategis, yaitu mempunyai
peranan untuk membina kesatuan dan keutuhan nasional, melayani
daerah rawan, merupakan bagian dari jalan lintas regional atau lintas
internasional, melayani kepentingan perbatasan antarnegara, melayani
aset penting negara serta dalam rangka pertahanan dan keamanan.
Pasal 27
Huruf a
Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih jalan kolektor primer yang
menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, hanya
satu yang ditetapkan statusnya sebagai jalan provinsi.
Huruf b
Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih jalan kolektor primer yang
menghubungkan antar ibukota kabupaten/kota, hanya satu yang
ditetapkan statusnya sebagai jalan provinsi.
Huruf c
Jalan strategis provinsi adalah jalan yang diprioritaskan untuk melayani
kepentingan provinsi berdasarkan pertimbangan untuk membangkitkan
pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan keamanan provinsi.
31
www.legalit as.org
Huruf d
Jalan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta hanya terdiri atas jalan provinsi
dan jalan nasional.
Pasal 28
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Jalan strategis kabupaten adalah jalan yang diprioritas kan untuk
melayani kepentingan kabupaten berdasarkan pertimbangan untuk
membangkitkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan keamanan
kabupaten.
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
g
dimaksudkan
untuk
standardisasi
.o
r
Pengelompokan kelas jalan
penyediaan prasarana jalan.
as
Ayat (2)
lit
Cukup jelas.
ga
Ayat (3)
w
.le
Cukup jelas
w
w
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jalan bebas hambatan adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus
dengan pengendalian jalan masuk secara penuh dan tanpa adanya
persimpangan sebidang serta dilengkapi dengan pagar ruang milik jalan.
Pengendalian jalan masuk secara penuh adalah pengendalian jalan
masuk yang
memenuhi
standar
geometrik
jalan
dengan
mempertimbangkan kaidah kecepatan rencana, perlambatan,
percepatan, dan konflik lalu lintas.
Ayat (3)
Pengendalian jalan masuk secara terbatas adalah pengendalian jalan
masuk yang karena sebab-sebab tertentu tidak dapat memenuhi aturan
secara penuh. Akan tetapi, sejauh mungkin diupayakan memenuhi
standar geometrik jalan dengan mempertimbangkan kaidah kecepatan
rencana, perlambatan, percepatan, dan konflik lalu lintas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas
32
www.legalit as.org
Pasal 33
Bagian-bagian jalan dapat digambarkan sebagai berikut:
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Badan jalan meliputi jalur lalu lintas, dengan atau tanpa jalur pemisah,
dan bahu jalan.
Pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan adalah penggunaan badan
jalan untuk melayani kecepatan lalu lintas sesuai dengan yang
direncanakan, antara lain penggunaan bahu jalan untuk berhenti bagi
kendaraan dalam keadaan darurat agar tidak mengganggu arus lalu
lintas yang melewati perkerasan jalan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Tinggi dan kedalaman ruang bebas diukur dari permukaan jalur lalu
lintas tertinggi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
g
Cukup jelas.
.o
r
Ayat (7)
lit
as
Cukup jelas
.le
ga
Pasal 36
Ayat (1)
w
w
w
Saluran tepi jalan dimaksudkan terutama untuk menampung dan
menyalurkan air hujan yang jatuh di ruang manfaat jalan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Apabila pada saluran tepi jalan ada penutup harus mudah dibuka dan
mudah dipelihara.
Ayat (4)
Dalam hal tertentu misalnya di dalam daerah perkotaan, penyediaan
ruang untuk penempatan saluran lingkungan terbatas dan untuk efisiensi
pengadaan saluran lingkungan tersebut, maka dengan syarat-syarat
teknis tertentu saluran tepi jalan dapat berfungsi juga sebagai saluran
lingkungan.
Syarat-syarat tertentu yang akan ditetapkan oleh Menteri antara lain
meliputi perizinan, ketentuan teknis, dan pembebanan biaya.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Yang dimaksud dengan "terganggunya fungsi jalan" adalah
berkurangnya kapasitas jalan dan kecepatan lalu lintas antara lain
menumpuk barang/benda/material di bahu jalan, berjualan di badan
33
www.legalit as.org
jalan, parkir, dan berhenti untuk keperluan lain selain kendaraan dalam
keadaan darurat.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penggunaan ruang terbuka pada ruang milik jalan untuk ruang terbuka
hijau dimungkinkan selama belum dimanfaatkan untuk keperluan ruang
manfaat jalan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Huruf a
Lebar 30 (tiga puluh) meter terdiri dari median 3 (tiga) meter,
lebar lajur 3, 5 (tiga koma lima) meter, bahu jalan 2 (dua) meter,
saluran tepi jalan 2 (dua) meter, ambang pengaman 2, 5 (dua
koma lima) meter, dan marginal strip 0, 5 (nol koma lima) meter.
Huruf b
ga
lit
as
.o
r
g
Lebar 25 (dua puluh lima) meter terdiri dari median 2 (dua)
meter, lebar lajur 3, 5 (tiga koma lima) meter, bahu jalan 2 (dua)
meter, saluran tepi jalan 1, 5 (satu koma lima) meter, dan
ambang pengaman 1 (satu) meter, marginal strip 0, 25 (nol
koma dua puluh lima) meter.
.le
Huruf c
w
w
w
Lebar 15 (lima belas) meter terdiri dari lebar jalur 7 (tujuh) meter,
bahu jalan 2 (dua) meter, saluran tepi jalan 1, 5 satu koma lima)
meter, dan ambang pengaman 0, 5 (nol koma lima) meter.
Huruf d
Lebar 11 (sebelas) meter terdiri dari lebar jalur 5, 5 (lima koma
lima) meter, bahu jalan 2 (dua) meter, saluran tepi jalan 0, 75
(nol koma tujuh puluh lima) meter.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 41
Yang dimaksud dengan "tindakan untuk kepentingan pengguna jalan" adalah
suatu penanganan secara langsung untuk meniadakan gangguan dan hambatan
yang wajib dilakukan oleh penyelenggara jalan supaya jalan berfungsi
sebagaimana mestinya.
Selain itu penyelenggara jalan dapat melaporkan gangguan dan hambatan
tersebut kepada instansi yang berwenang dalam rangka penegakan hukum.
Gangguan dan hambatan fungsi ruang milik jalan antara lain:
a. akibat kejadian alam seperti longsoran, pohon tumbang, kebakaran; dan/atau
b akibat kegiatan manusia seperti pendirian bangunan antara lain tugu, gapura,
gardu, rumah, pasar, dan tiang.
34
www.legalit as.org
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pandangan bebas pengemudi adalah istilah yang digunakan dalam
kaitan dengan hambatan terhadap keamanan pengemudi kendaraan,
misalnya pada sisi dalam dari tikungan tajam pandangan bebas
terganggu karena tertutup bangunan dan/atau pohon sehingga jarak
untuk melihat ke samping tidak cukup bebas, asap yang menutup
pandangan, dan/atau permukaan yang menyilaukan.
Pengamanan konstruksi jalan adalah pembatasan penggunaan lahan
sedemikian rupa untuk tidak membahayakan konstruksi jalan misalnya
air yang dapat meresap masuk ke bawah jalan atau keseimbangan berat
di lereng galian/timbunan, erosi yang diakibatkan oleh kegiatan manusia,
dan/atau akar pohon yang merusak pondasi/perkerasan jalan.
Pengamanan fungsi jalan dimaksudkan untuk mengendalikan akses dan
penggunaan lahan sekitar jalan sehingga hambatan samping tidak
meningkat.
Ayat (3)
g
Cukup jelas.
.o
r
Ayat (4)
lit
as
Cukup jelas
.le
ga
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
w
w
w
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kegiatan tertentu yang dapat mengganggu
pandangan bebas pengemudi" adalah kegiatan orang secara tetap atau
tidak tetap antara lain mendirikan bangunan yang menghalangi
pandangan
dan/atau
menyilaukan
pengemudi.
Perbuatan tertentu antara lain pengendalian penggunaan ruang
pengawasan jalan, pemberian peringatan, perintah pembongkaran,
penghentian kegiatan tertentu, atau penghilangan benda-benda yang
mengganggu pandangan pengemudi.
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Pengertian bangunan utilitas pada Pasal ini meliputi antara lain jaringan
telepon, listrik, gas, air minum, minyak, dan sanitasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
35
www.legalit as.org
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup Jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Yang termasuk "prasarana moda transportasi lain" antara lain jalan rel atau jalan
kabel.
Pasal 52
Ayat (1)
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o
r
g
Izin pemanfaatan ruang milik jalan dapat diberikan sepanjang tidak
mengganggu fungsi jalan antara lain untuk:
a. pemasangan papan iklan, hiasan, gapura, dan benda-benda sejenis
yang bersifat sementara;
b. pembuatan bangunan-bangunan sementara untuk kepentingan umum
yang mudah dibongkar setelah fungsinya selesai seperti gardu jaga
dan kantor sementara lapangan;
c. penanaman pohon-pohon dalam rangka penghijauan, keindahan
ataupun keteduhan lingkungan yang berkaitan dengan kepentingan
umum; dan
d. penempatan bangunan dan instalasi utilitas seperti tiang telepon, tiang
listrik, kabel telepon, kabel listrik, pipa air minum, pipa gas, pipa limbah
dan lainnya yang bersifat melayani kepentingan umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "instansi pemerintah daerah" adalah instansi
pemberi izin penggunaan ruang pengawasan jalan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Perlakuan khusus terhadap konstruksi jalan dan jembatan berupa
penyesuaian struktur dan geometrik jalan dan jembatan untuk mampu
mendukung kebutuhan penggunaan ruang manfaat jalan, seperti
36
www.legalit as.org
perkuatan jembatan, perkuatan/perbaikan perkerasan, penyesuaian
geometrik jalan, penyesuaian ruang bebas, penentuan lokasi, dan
penyiapan tempat istirahat.
Kebutuhan penggunaan ruang manfaat jalan tersebut berupa muatan
dan kendaraan dengan dimensi, muatan sumbu terberat, dan beban total
melebihi standar seperti trafo, alat/instalasi pabrik.
Dispensasi hanya berlaku untuk satu kali periode waktu yang disetujui.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "jalan" tidak termasuk jalan khusus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
g
Ayat (4)
.le
ga
lit
as
.o
r
Yang dimaksud dengan "pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan
pengawasan secara makro" meliputi kebijakan jaringan jalan,
pembentukan peraturan perundang-undangan, standar pelayanan,
sistem pemrograman, sistem penganggaran, standar konstruksi,
manajemen pemeliharaan, dan pengoperasian jalan.
w
w
Cukup jelas
w
Ayat (5)
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pejabat yang ditunjuk" adalah pejabat yang
diberi wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pejabat yang ditunjuk" adalah pejabat yang
diberi wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Sistem jaringan menunjukkan keterhubungan ruas jalan secara hierarki, satu
kesatuan jaringan yang saling mempengaruhi, bukan hanya sekadar kumpulan
daftar ruas jalan dan mengindikasikan fungsi jalan arteri, kolektor, lokal, dan
lingkungan, termasuk jalan tol.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
37
www.legalit as.org
Ayat (2)
Penetapan secara berkala dilakukan paling singkat lima tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Penetapan secara berkala dilakukan paling singkat 5 (lima) tahun.
Pasal 63
Cukup jelas
g
Pasal 64
Ayat (1)
.o
r
Huruf a
as
Cukup jelas.
.le
ga
Cukup jelas.
Huruf c
lit
Huruf b
w
Cukup jelas.
w
w
Huruf d
Sebab-sebab tertentu antara lain dibangunnya jalan elak
(bypass) di suatu perkotaan yang menggantikan jalan primer
semula sehingga jalan primer semula yang masuk kota menjadi
berkurang fungsinya dari fungsi primer menjadi fungsi sekunder.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Yang dimaksud dengan "kemanfaatan" adalah berkenaan dengan semua
kegiatan penyelenggaraan jalan yang dapat memberikan nilai tambah yang
sebesar-besarnya, baik bagi pemangku kepentingan ("stakeholders") maupun
bagi kepentingan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
38
www.legalit as.org
.o
r
g
masyarakat.
Yang dimaksud dengan "keamanan" adalah berkenaan dengan semua kegiatan
penyelenggaraan jalan yang harus memenuhi persyaratan keteknikan jalan,
sedangkan keselamatan berkenaan dengan kondisi permukaan jalan dan kondisi
geometrik jalan.
Yang dimaksud dengan "keserasian" adalah berkenaan dengan keharmonisan
lingkungan sekitarnya.
Yang dimaksud dengan "keselarasan" adalah berkenaan dengan keterpaduan
sektor lain, sedangkan keseimbangan adalah berkenaan dengan keseimbangan
antarwilayah dan pengurangan kesenjangan sosial.
Yang dimaksud dengan "keadilan" adalah berkenaan dengan penyelenggaraan
jalan termasuk jalan tol yang harus memberikan perlakuan yang sama terhadap
semua pihak dan tidak mengarah kepada pemberian keuntungan terhadap
pihak-pihak tertentu dengan cara atau alasan apapun.
Yang dimaksud dengan "transparansi" adalah berkenaan dengan
penyelenggaraan jalan yang prosesnya dapat diketahui masyarakat, sedangkan
akuntabilitas adalah berkenaan dengan hasil penyelenggaraan jalan yang dapat
dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.
Yang dimaksud dengan "keberdayagunaan" adalah berkenaan dengan
penyelenggaraan yang harus dilaksanakan berlandaskan pemanfaatan sumber
daya dan ruang yang optimal, keberhasilgunaan adalah berkenaan dengan
pencapaian hasil sesuai dengan sasaran.
Yang dimaksud dengan "kebersamaan dan kemitraan" adalah berkenaan
dengan penyelenggaraan jalan yang melibatkan peran serta pemangku
kepentingan melalui suatu hubungan kerja yang harmonis, setara, timbal balik,
dan sinergis.
ga
lit
as
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
w
w
w
.le
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 72
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "jaringan jalan nasional" adalah kumpulan ruas
jalan dengan status jalan nasional yang membentuk satu sistem jaringan
jalan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "jaringan jalan provinsi" adalah kumpulan ruas
jalan dengan status jalan provinsi yang membentuk satu sistem jaringan
jalan di dalam satu provinsi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "jaringan jalan kabupaten/kota" adalah
kumpulan ruas jalan dengan status jalan kabupaten/kota yang
membentuk satu sistem jaringan jalan di dalam satu kabupaten/kota.
Ayat (6)
Cukup jelas
39
www.legalit as.org
Pasal 73
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "konsultasi publik" dapat dilakukan dengan cara
seminar, diskusi, atau lokakarya dengan mengikutsertakan pemangku
kepentingan (stake holder).
Ayat (2)
Perkembangan jaringan dipengaruhi faktor-faktor yang tidak pasti
sehingga rencana umum jangka panjang yang jangkauannya terlalu jauh
tidak akan sesuai dengan perkembangan lalu lintas yang terjadi.
Oleh karena itu, untuk jaringan jalan, jangka waktu 20 (dua puluh) tahun
dianggap wajar guna mencakup tahapan jangka panjang, kecuali ada
data yang lebih pasti untuk jangkauan yang lebih jauh.
Ayat (3)
Revisi atau perbaikan dapat dilakukan paling lama setiap 5 (lima) tahun.
Pasal 74
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin tercapainya sasaran, baik
fisik maupun fungsional yang telah ditetapkan dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sebagai sasaran antara tercapainya sasaran rencana umum
jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
.o
r
g
Jangkauan perencanaan jalan provinsi dalam waktu 5 (lima) tahun dinilai
cukup memadai untuk digunakan sebagai acuan penyusunan rencana
kerja tahunan.
as
Ayat (4)
lit
Cukup jelas.
ga
Ayat (5)
w
w
w
.le
Jangkauan perencanaan jalan kabupaten/kota dalam waktu 5 (lima)
tahun dinilai cukup memadai untuk digunakan sebagai acuan
penyusunan rencana kerja tahunan.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Pengendalian dimaksudkan agar pelaksanaan penyelenggaraan jalan oleh
pemerintah daerah dapat berjalan sesuai dengan standar dan kebijakan
Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pengembangan teknologi bidang jalan diarahkan dengan prinsip
teknologi terapan, tepat guna, sesuai dengan kondisi setempat,
dan menggunakan sebesar-besarnya bahan dasar setempat,
40
www.legalit as.org
dengan tanpa meninggalkan kriteria berdaya guna dan berhasil
guna.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pemberian fasilitas penyelesaian sengketa dilaksanakan oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah secara berjenjang.
Huruf d
Pelaksanaan pemberian izin, rekomendasi, dan dispensasi,
pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang
pengawasan jalan dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal
53, dan Pasal 54.
Pasal 78
Ayat (1)
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o
r
g
Yang dimaksud dengan "norma" adalah aturan atau ketentuan yang
mengikat
dalam
melaksanakan
penyelenggaraan
jalan.
Yang dimaksud dengan "standar" adalah spesifikasi teknis sebagai
acuan dalam penyelenggaraan jalan.
Yang dimaksud dengan "kriteria" adalah ukuran yang menjadi dasar
penilaian atau penetapan sesuatu hasil atau proses dalam tahapan
penyelenggaraan jalan. Termasuk pengertian kriteria misalnya kerataan
permukaan jalan yang dinyatakan dengan jumlah perubahan vertikal
permukaan jalan untuk setiap satuan panjang jalan (mm/km; IRIInternational Roughness Index), besaran parameter geometrik jalan
antara lain kecepatan rencana, tanjakan, tikungan, dan kemiringan
melintang.
Yang dimaksud dengan "pedoman" adalah acuan dalam
penyelenggaraan jalan yang bersifat umum yang harus dijabarkan lebih
lanjut dan dapat disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik daerah
setempat.
Ayat (2)
Masyarakat dapat mengusulkan judul, materi, atau konsep norma,
standar, kriteria, dan pedoman. Rancangan norma, standar, kriteria, dan
pedoman dibahas oleh tim yang anggotanya terdiri dari instansi
Pemerintah dan pemerintah daerah terkait, serta para pemangku
kepentingan antara lain perguruan tinggi, asosiasi profesi, narasumber,
kontraktor, konsultan, produsen di bidang jalan.
Pasal 79
Ayat (1)
Pelayanan kepada masyarakat termasuk sosialisasi dan informasi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "informasi" antara lain informasi mengenai
kondisi jalan, waktu tempuh, kelas jalan, status, fungsi, program
penanganan, dan rencana umum jaringan yang terbuka untuk seluruh
masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
41
www.legalit as.org
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Ayat (1)
Penanganan jaringan jalan termasuk penanganan bangunan pelengkap
jalan antara lain jembatan, terowongan, gorong-gorong, dan bangunan
pengaman.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
w
w
w
.le
ga
lit
as
.o
r
g
Pemeliharaan jalan meliputi pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala,
dan rehabilitasi.
Pemeliharaan rutin jalan merupakan kegiatan merawat serta
memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi pada ruas-ruas jalan
dengan kondisi pelayanan mantap. Jalan dengan kondisi pelayanan
mantap adalah ruas-ruas jalan dengan umur rencana yang dapat
diperhitungkan serta mengikuti suatu standar tertentu.
Pemeliharaan berkala jalan merupakan kegiatan penanganan terhadap
setiap kerusakan yang diperhitungkan dalam desain agar penurunan
kondisi jalan dapat dikembalikan pada kondisi kemantapan sesuai
dengan rencana.
Rehabilitasi jalan merupakan kegiatan penanganan terhadap setiap
kerusakan yang tidak diperhitungkan dalam desain, yang berakibat
menurunnya kondisi kemantapan pada bagian/tempat tertentu dari suatu
ruas jalan dengan kondisi rusak ringan, agar penurunan kondisi
kemantapan tersebut dapat dikembalikan pada kondisi kemantapan
sesuai dengan rencana.
Peningkatan jalan terdiri atas peningkatan struktur dan peningkatan
kapasitas.
Peningkatan struktur merupakan kegiatan penanganan untuk dapat
meningkatkan kemampuan ruas-ruas jalan dalam kondisi tidak mantap
atau kritis agar ruas-ruas jalan tersebut mempunyai kondisi pelayanan
mantap sesuai dengan umur rencana yang ditetapkan.
Peningkatan kapasitas merupakan penanganan jalan dengan pelebaran
perkerasan, baik menambah maupun tidak menambah jumlah lajur.
Konstruksi jalan baru merupakan penanganan jalan dari kondisi belum
tersedia badan jalan sampai kondisi jalan dapat berfungsi.
Ayat (4)
Cukup jelas
42
www.legalit as.org
Pasal 85
Ayat (1)
Pengalokasian dana dimaksud berasal dari dana penyelenggara jalan
sesuai kewenangannya.
Ayat (2)
Pemerintah daerah dinyatakan belum mampu membiayai pembangunan
jalan apabila telah melaksanakan pemeliharaan dan peningkatan jalan
dengan baik dengan dana paling sedikit sebesar 20% (dua puluh
persen) dari total anggaran pendapatan dan belanja daerah, tetapi
kondisi jalan belum memenuhi kriteria standar pelayanan minimal yang
ditetapkan.
Penentuan ruas jalan yang dibantu oleh Pemerintah didasarkan pada
prioritas ruas jalan dan kemampuan pendanaan Pemerintah setelah
mendapat persetujuan Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 86
Ayat (1)
Dokumen rencana teknis terdiri dari gambar teknis, syarat-syarat, dan
spesifikasi pekerjaan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "optimal" adalah pemenuhan kebutuhan
pengguna jalan dengan menggunakan sekecil mungkin sumber daya.
g
Ayat (3)
ga
lit
as
.o
r
Yang dimaksud dengan "jembatan" adalah jalan yang terletak di atas
permukaan air dan/atau di atas permukaan tanah.
Yang dimaksud dengan "terowongan" adalah jalan yang terletak di
dalam tanah dan/atau di dalam air.
.le
Ayat (4)
w
Huruf a
w
w
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "muatan sumbu terberat" adalah beban
sumbu paling tinggi yang diizinkan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
ukup jelas.
Huruf h
ukup jelas.
Huruf i
ukup jelas.
Ayat (5)
Pejalan kaki dan penyandang cacat perlu diperhitungkan karena
merupakan bagian dari lalu lintas.
Fasilitas pejalan kaki dan penyandang cacat merupakan prasarana
moda transportasi yang penting antara lain dapat berupa trotoar dan
43
www.legalit as.org
penyeberangan jalan di atas jalan, pada permukaan jalan, dan di bawah
jalan.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "beban rencana" antara lain muatan sumbu
terberat, konfigurasi sumbu kendaraan, beban total kendaraan, beban
terpusat, dan beban merata.
Ayat (2)
Lalu lintas di bawah jembatan antara lain berupa lalu lintas air dan lalu
lintas rel.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pejabat yang ditunjuk" adalah pejabat yang
diberi wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
g
Ayat (3)
as
.o
r
Cukup jelas
ga
lit
Pasal 90
Ayat (1)
.le
Cukup jelas.
w
w
Cukup jelas.
w
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah peraturan
perundang-undangan di bidang pertanahan.
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Ayat (1)
Dalam hal pelaksanaan konstruksi dilakukan oleh penyedia jasa,
kelancaran dan keselamatan lalu lintas selama pelaksanaan konstruksi
menjadi tanggung jawab pelaksana konstruksi yang diatur dalam kontrak
pekerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
44
www.legalit as.org
Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Persyaratan administratif dan persyaratan teknis dimaksud merupakan
persyaratan laik fungsi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Prioritas tertinggi
pemeliharaan.
termasuk
pemenuhan
kecukupan
pendanaan
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
g
Rencana pemeliharaan jalan antara lain meliputi sistem informasi, sistem
manajemen aset, dan rencana penanganan pemeliharaan jalan.
Rencana pemeliharaan jalan dipublikasikan kepada umum.
lit
as
.o
r
Pasal 98
Cukup jelas
w
.le
ga
Pasal 99
Cukup jelas
w
w
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Ayat (1)
Hal ini dimaksudkan dengan pertimbangan bahwa orang atau instansi
yang bersangkutan mendapat manfaat lebih dari penggunaan jalan
umum yang bersangkutan, seperti pemeliharaan jalan umum oleh
pengembang perumahan.
Ayat (2)
Biaya dari orang atau instansi dapat sebagian atau seluruhnya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
45
www.legalit as.org
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
ukup jelas.
Huruf e
Teknis penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas
merupakan pemenuhan terhadap ketentuan perintah dan/atau
larangan.
Huruf f
Teknis perlengkapan jalan merupakan pemenuhan terhadap
ketentuan spesifikasi teknis yang meliputi tata cara
pemasangan, bahan, dan ukuran perlengkapan jalan.
Ayat (5)
Administrasi perlengkapan jalan meliputi dokumen penetapan aturan
perintah dan larangan, serta dokumen penetapan titik lokasi
perlengkapan jalan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas
as
.o
r
g
Pasal 103
Cukup jelas
.le
ga
lit
Pasal 104
Cukup jelas
w
w
w
Pasal 105
Huruf a
Yang dimaksud dengan "mengamati pemanfaatan dan kondisi bagianbagian jalan" adalah mengawasi segala kejadian di ruang manfaat jalan,
ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan di ruas jalan yang
menjadi tanggung jawabnya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 106
Penilikan jalan meliputi semua bagian-bagian jalan.
Pasal 107
Cukup jelas
Pasal 108
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
46
www.legalit as.org
Ayat (3)
Kegiatan
evaluasi
dan
pengkajian
pelaksanaan
kebijakan
penyelenggaraan jalan mencakup peraturan pelaksanaan di bidang
jalan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 109
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
ga
lit
as
.o
r
g
Pengendalian jalan masuk meliputi pembatasan jumlah jalan masuk
yang memenuhi ketentuan jarak antarjalanmasuk sesuai dengan fungsi
jalan.
Penjagaan ruang manfaat jalan meliputi penjagaan pemanfaatan bagianbagian jalan selain peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36.
Penjagaan ruang manfaat jalan dapat dilakukan dengan cara antara lain
sosialisasi, pemasangan pagar, melakukan penilikan secara
rutin/berkala.
Pencegahan terhadap gangguan atas fungsi jalan antara lain
memberikan peringatan dan melaporkan terjadinya gangguan kepada
pihak berwajib.
Gangguan atas fungsi jalan adalah semua perbuatan yang mengganggu
dan membahayakan pengguna jalan.
Pasal 111
Cukup jelas
w
w
w
.le
Pasal 110
Cukup jelas
Pasal 112
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "aksesibilitas" adalah jumlah panjang jalan di
satu wilayah dalam satuan kilometer dibagi dengan luas wilayah tersebut
dalam satuan kilometer persegi.
Yang dimaksud dengan "mobilitas" adalah jumlah panjang jalan di satu
wilayah dalam satuan kilometer dibagi dengan jumlah penduduk di
wilayah tersebut dalam satuan ribuan jiwa.
Keselamatan dinyatakan dalam pemenuhan kondisi jalan sesuai dengan
perencanaan teknis dan persyaratan laik fungsi jalan.
Ayat (3)
Kondisi jalan merupakan nilai kerataan permukaan jalan dan dinyatakan
dengan IRI (International Roughness Index). IRI adalah kerataan
permukaan jalan yang dinyatakan dengan jumlah perubahan vertikal
permukaan jalan untuk setiap satuan panjang jalan (mm/km).
Kecepatan dinyatakan dalam pemenuhan kondisi jalan sesuai dengan
kecepatan rencana.
47
www.legalit as.org
Ayat (4)
Penyediaan prasarana jalan berkaitan dengan kondisi fisik jalan yang
mendukung tercapainya kriteria standar pelayanan minimal, baik
jaringan jalan maupun ruas jalan.
Penggunaan jalan berkaitan langsung dengan kriteria standar pelayanan
minimal keselamatan dan kecepatan.
Pemanfaatan ruang manfaat jalan dan penggunaan ruang di ruang
pengawasan jalan mempengaruhi pencapaian kriteria standar pelayanan
minimal keselamatan dan kecepatan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 113
Cukup jelas
Pasal 114
Dokumen aset jalan meliputi dokumen perolehan dan perizinan atas bangunan
dan tanah ruang milik jalan.
Gambar terlaksana (as-built drawing) adalah gambar teknis hasil pelaksanaan
pembangunan jalan.
Dokumen laik fungsi jalan merupakan dokumen penetapan laik fungsi jalan.
Pasal 115
Cukup jelas
as
.o
r
g
Pasal 116
Cukup jelas
ga
.le
w
w
w
Pasal 118
Cukup jelas
lit
Pasal 117
Cukup jelas
Pasal 119
Cukup jelas
Pasal 120
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "penyimpangan" antara lain mendirikan
bangunan tanpa izin penyelenggara jalan, menempatkan benda-benda
pada ruang manfaat jalan, dan menutup jalan tanpa izin penyelenggara
jalan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 121
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "jalan khusus" antara lain jalan perkebunan,
jalan pertanian, jalan kehutanan, jalan pertambangan, jalan inspeksi
saluran pengairan, jalan sementara pelaksanaan konstruksi, jalan di
kawasan pelabuhan, jalan di kawasan industri, jalan di kawasan berikat,
dan jalan di kawasan permukiman yang belum diserahkan kepada
penyelenggara
jalan
umum.
Yang dimaksud dengan "instansi" adalah Pemerintah atau pemerintah
daerah selain penyelenggara jalan umum.
48
www.legalit as.org
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 122
Ayat (1)
Jalan khusus diusahakan menjadi bagian dari jaringan jalan umum.
Peraturan perundang-undangan mengenai lalu lintas dan angkutan jalan
berlaku pada jalan khusus yang digunakan untuk lalu lintas umum.
Ayat (2)
Jalan khusus yang digunakan untuk lalu lintas umum, penyelenggaraan
jalan khusus tersebut masih tetap dilakukan oleh penyelenggara jalan
khusus.
Pasal 123
Ayat (1)
Jalan khusus dapat berubah menjadi jalan umum apabila memenuhi
syarat sebagai jalan umum, seperti memenuhi kriteria geometrik dan
perkerasan jalan umum, serta laik fungsi jalan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 124
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
.o
r
g
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain peraturan
perundang-undangan di bidang pertanahan.
as
Ayat (3)
lit
Cukup jelas.
ga
Ayat (4)
.le
Cukup jelas.
w
w
Cukup jelas.
w
Ayat (5)
Ayat (6)
Apabila jalan kabupaten/kota tersebut mempunyai peranan penting
terhadap provinsi, bupati/walikota dapat mengusulkan jalan
kabupaten/kota tersebut menjadi jalan provinsi kepada gubernur.
Apabila jalan kabupaten/kota mempunyai peranan penting secara
nasional, bupati/walikota dapat mengusulkan jalan kabupaten/kota
tersebut menjadi jalan nasional kepada Menteri.
Pasal 125
Cukup jelas
Pasal 126
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4655
49