PERAN SAFETY CLIMATE DALAM FOSTERING
BUDAYA KESELAMATAN
W. Prasuad
Pusat Sains dan Teknologi Bahan Maju – BATAN
Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang Banten
prasuad@batan.go.id
ABSTRAK
PERAN SAFETY CLIMATE DALAM FOSTERING BUDAYA KESELAMATAN.
Para ahli psikologi organisasi dan budaya keselamatan mendapatkan bahwa akan lebih
mudah untuk mengukur
artefak, tata nilai maupun asumsi mendasar budaya
keselamatan dilakukan melalui pengukuran safety climate. Untuk mendapatkan faktor
dominan safety climate, maka dilakukan kajian pustaka untuk mendapatkan elemen
utama pada lingkup safety climate. Dari hasil kajian pada makalah ini diperoleh 5
(lima) elemen dominan safety climate yang dihipotesis menjadi faktor penguat dalam
fostering budaya keselamatan. Agar dapat diimplementasikan, maka setiap elemen
dibuatkan kuesionernya, sehingga memudahkan dalam pengukuran.
Untuk
melaksanakan fostering budaya keselamatan melalui safety climate, maka elemen yang
kuat hasil kuesioner dijadikan bagian KPI (Key Performance Indicator) budaya
keselamatan organisasi, selanjutnya dijadikan sebagai program prioritas dalam budaya
keselamatan organisasi. Pada makalah ini diperoleh pemodelan penguatan budaya
keselamatan melalui safety climate serta
kuesioner safety climate yang dapat
digunakan dan dikembangkan oleh organisasi sebagai alat untuk fostering budya
keselamatan.
Kata Kunci : Budaya Keselamatan, Faktor Safety Climate, Model Safety Climate
ABSTRACT
ROLE OF SAFETY CLIMATE IN A SAFETY CULTURE FOSTERING.
Psychologists and organizational safety culture that will get easier to measure artefacts,
values and basic assumptions made by measuring the safety culture of safety climate.
To obtain the dominant factors of safety climate, the literature review conducted to get a
major element in the sphere of safety climate. From the results of the study in this paper
was obtained 5 (five) the dominant element of safety climate were hypothesized to be a
factor in fostering safety culture amplifier. In order to be implemented, then each
element of the questionnaires made, to facilitate the measurement. To implement
fostering a safety culture through safety climate, it is a strong element of the
questionnaire used as part of KPI (Key Performance Indicator) organizational safety
culture, then it was made as a priority program in the organization's safety culture. In
this paper modeling dperoleh strengthening safety culture through safety climate and
safety climate questionnaire that can be used and developed by the organization as a
tool for fostering a culture of safety.
Key words : Safety Culture, Safety Climate factors, Safety Climate Model
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah, Serpong 30 september 2014
Page 1
PENDAHULUAN
Sejak IAEA (INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY),
mempublikasikan
budaya keselamatan pada kasus kecelakaan reaktor nuklir
chernobyl[1.2,3], banyak ahli memanfaatkannya untuk mencari akar permasalahan
dalam meningkatkan kinerja keselamatan pada industri berisiko tinggi. Kasus
kecelakaan terbesar pada 10 (sepuluh) industri berisiko tinggi periode tahun 19862006 diperoleh 80%
terjadi disebabkan lemahnya budaya keselamatan[4]. Sifat
budaya keselamatan yang abstrak namun mampu menjadi solusi yang permanen
terhadap kinerja keselamatan inilah yang membuat banyak para ahli mencoba
membuat budaya keselamatan agar mudah diamati, diukur dan dilakukan
peningkatan berkelanjutan.
Banyak usaha yang telah dilakukan para ahli untuk
membuat budaya keselamatan dari sifat intangible menjadi tangible. Diantaranya
melalui
pendekatan individu dan organisasi.
Pendekatan organisasi umumnya dilakukan dengan melaksanakan sistem
manajemen, sedangkan pendekatan individu dilakukan melalui penguatan sikap dan
perilaku individu, teori ini lebih dikenal sebagai behavior base safety (BBS).
Pendekatan implementasi organisasi yang ditunjukkan dengan penerapan sistem
manajemen,
misalnya manajemen keselamatan, sistem manajemen mutu,
manajemen risiko (risk management) dan
manajemen gap analysis.
psikologi organisasi dan budaya keselamatan bersepakat
bahwa
Para ahli
budaya
keselamatan akan lebih mudah diamati secara artefak dan nilai nilai maupun peran
organisasi melalui safety climate (Zohar)[5]. Zohar juga memandang perlunya
mengukur budaya keselamatan dalam waktu yang cepat pada suatu kelompok kecil
yang bekerja pada lingkup yang spesifik (tertentu) dalam organisasi.
Dengan
mendapatkan snapshot ini, maka secara holistik dapat dipandang sebagai ukuran
budaya keselamatan organisasi dalam waktu tertentu. Meskipun sampai saat ini
belum ada kesepakatan tentang defenisi maupun lingkup safety climate[6] hal ini
disebabkan sifat budaya kerja yang beragam serta adanya interseksi
dengan
penerapan BBS maupun metode pengukurannya. Safety climate menggabungkan
lingkup sistem manajemen keselamatan, sifat dan perilaku individu pada kelompok
dan peran organisasi pada kelompok kecil. Pada penelitian terdahulu telah dilakukan
kajian penerapan budaya keselamatan melalui hasil audit sistem manajemen
keselamatan, pada kajian ini diperoleh suatu langkah yang cepat dalam mengukur
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah, Serpong 30 september 2014
Page 2
budaya keselmatan secara snapshot dan dapat dibuat langkah-langkah penguatan
budaya keselamatan secara cepat[7,8]. Namun langkah ini belum mencerminkan
budaya keselamatan secara menyeluruh, karena masih didominasi pada tingkatan
artefak saja maupun nilai-nilai, belum memasukkan faktor individu, waktor waktu
dan lingkungan kerja secara khusus. Untuk itu pelu dilengkapi dengan pendekatan
safety climate untuk melengkapi snap shot tersebut.
Tujuan dari tinjauan ini adalah mengkaji berbagai laporan dan studi yang
telah dilakukan untuk mendapatkan elemen dominan, lingkup dan cara pengukuran
safety climate. Melalui alur peran model safety climate diajukan ini diharapkan
memudahkan dalam melakukan fostering budaya keselamatan melalui safety climate.
Dengan peran safety climate ini diharapkan dapat digunakan sebagai alat untuk
mempermudah satuan kerja di BATAN dalam mengimplementasikan budaya
keselamatan sesuai Perka No.200/KA/X/2012[9].
METODOLOGI
Kajian ini dilakuan dengan cara studi pustaka menggunakan dokumen IAEA
dan bahan kajian terkait safety climate yang berinduk pada HSE (health safety and
envinronment) dan HSO (health safety organizations) untuk mendapatkan faktor
dominan pada elemen safety climate. Selanjutnya dilakukan analisis faktor dominan
elemen safety climate. Faktor dominan yang diperoleh digunakan sebagai elemen
utama safety climate dan menjadi dasar pembuatan kuesioner. Untuk mendapatkan
pola safety climate pada kelompok tertentu dalam organisasi (misalnya, Bidang, dan
Subbidang), perlu dilakukan pengukuran melalui pengisian kuesioner.
Hasil
kuesioner ini digunakan sebagai bagian dari model alur penguatan budaya
keselamatan melalui safety climate.
TINJAUAN TEORI
Istilah
budaya keselamatan
pertama kali digunakan dalam INSAG
(International Nuclear Safety Advisory Group), tentang Ringkasan Laporan Rapat
Tinjauan Pasca Kecelakaan di Chernobyl[1]. Pasca kecelakaan nuklir ini para pakar
keselamatan tingkat dunia memandang bahwa budaya keselamatan merupakan suatu
komplemen penting dari banyak teori keselamatan yang sudah lama digunakan
kalangan industri berisiko tinggi. Budaya keselamatan dianggap dapat menjawab
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah, Serpong 30 september 2014
Page 3
secara holistik tentang kecelakaan, sehingga
banyak ahli bersepakat bahwa
penyebabnya adalah faktor tindakan yang tidak aman dan kondisi yang tidak aman
sangat dipengaruhi oleh iklim keselamatan (safety climate) di tempat kerja. Safety
climate dipandang sebagai alat interface budaya keselamatan dan sistem manajemen
keselamatan sehingga sifat intangible budaya keselamatan dapat terlihat sebagai
tangible melalui sikap dan perilaku individu serta kinerja keselamatan organisasi
[10,11,12].
Mengingat sifat budaya yang sangat abstrak (tangible) dan sangat tergantung
pada budaya lokal dan nasional maupun yang lebih luas lagi, maka implementasi
budaya keselamatan menjadi persoalan sendiri dalam penerapannya. Pada makalah
terdahulu telah dibuat suatu pendekatan implementasi budaya keselamatan melalui
penerapan sistem manajemen keselamatan[7]. Dengan cara ini budaya keselamatan
lebih terlihat sebagai bagian dari sistem manajemen keselamatan. Pendekataan ini
masih belum menyentuh esensi budaya keselamatan yang memiliki
3 (tiga)
komponen utama, yaitu individu, teknologi dan organisasi, IAEA menyebutnya
sebagai konsep ITO[3]. Dengan memasukkkan unsur organisasi dan lingkungan
pada
safety
climate,
maka
budaya
keselamatan
sangat
mudah
untuk
diimplementasikan pada organisasi.
Pada dokumen Safety Fundamental IAEA , SF-1 disebutkan bahwa[13] :
3.14. “An important factor in a management system is the recognition of the
entire range of Interactions of individuals at all levels with technology and with
organizations . To prevent human and organizational failures, human factors
have to be taken into account and good performance and good practices have to
be supported;
3.1.3. “A safety culture that governs the attitudes and behaviour in relation to
safety of all organizations and individuals concerned must be integrated in the
management system.
Pada teori keselamatan sudah diakui bahwa penyebab kecelakaan terbesar
adalah faktor manusia, lebih dari 80% disebabkan oleh perilaku tidak aman (unsave
action) dan kondisi tidak aman ( unsafe condition). Faktor individu inilah yang
menjadi dasar teori behavior base safety (BBS)[14]. Pasca kecelakaan Chernobyl,
para ahli keselamatan mencoba membuat ekplorasi budaya keselamatan lebih
tangible, selain melalui sistem manajemen juga melakukan pendekaan melalui
pengukuran karakteristik dan atribut, sikap dan perilaku selamat (BBS) maupun
sistem manajemen, yang merupakan implementasi dari ITO, yang berlaku pada suatu
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah, Serpong 30 september 2014
Page 4
kondisi tempat kerja dan waktu tertentu. Dasar pemikiran inilah maka safety climate
menjadi bagian penting dalam budaya keselamatan, kerena berperan sebagai
komplementer dalam penerapannya di organisasi.
Hubungan Budaya Keselamatan dengan Safety Climate
Konsep iklim keselamatan (safety climate) pertama kali disampaikan oleh
Zohar[[5] dan telah dibahas selama lebih dari 30 tahun[14]. Namun, sampai saat ini
belum ada kesepakatan pada definisi tunggal safety climate. Pada umumnya safety
climate diukur dengan kuesioner, yang memberikan beberapa implikasi dari keadaan
keselamatan pada saat tertentu. Menurut Kofi Adutwum[15], safety climate
digunakan untuk menggambarkan persepsi karyawan tentang bagaimana keselamatan
dibahas di suatu tempat kerja, Cooper dan Phillips[16] mengelompokkan lingkup
safety climate
dalam empat bidang yaitu,
desain dasar alat pengukuran safety
climate, pengembangan teoritis dan pengujian model, hubungan iklim keamanan dan
K3 serta eksplorasi hubungan antara iklim keselamatan dan iklim organisasi.
Lingkup budaya keselamatan meliputi persepsi artefak, nilai nilai dan asumsi
mendasar lebih bersifat global dan intangible dibandingkan dengan safety climate
yang bersifat instant.
Shadur dkk juga berpendapat bahwa budaya keselamatan
bersifat melekat kepada kelompok dalam suatu organisasi, dan lebih sulit diukur dari
pada safety climate, yang merupakan indikator permukaan dari kultur yang lebih
tangible dan mudah dimengerti[17]. Guldenmund, menyatakan bahwa safety climate
mengarah kepada sikap (persepsi) individu dalam organisasi terhadap keselamatan
dalam suatu organisasi, sedangkan budaya keselamatan
menekankan
kepada
keyakinan dan kepastian terhadap sikap dan perilaku berdasarkan nilai-nilai dalam
kelompok sosial[18]. Budaya keselamatan (safety culture) memiliki persepsi dasar
pada asumsi, nilai-nilai, norma dan keyakinan pekerja, sehingga dianggap lebih
bersifat global dibandingkan safety climate. Para ahli keselamatan menggunakan
safety climate untuk memahami budaya organisasi pada waktu tertentu,
sikap dan perilaku dalam penerapan
manajemen keselamatan
melalui
dan lingkungan
kerjanya (Cheyne et al.,1998)[19]. Safety climate juga dipandang sebagai indikator
budaya keselamatan melalui sikap dan perilaku anggota organisasi
dalam
waktu tertentu (Flin et al.,2000)[20]. Guldenmund[18] mengusulkan bahwa budaya
keselamatan terdiri dari tiga tingkat , seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah, Serpong 30 september 2014
Page 5
Gambar 1. Model Safety cimate dalam budaya keselamatan [18].
Lapisan inti terdiri dari 'asumsi dasar‟, tetapi asumsi ini tidak spesifik
untuk keselamatan, tetapi lebih umum. Lapisan berikutnya diberi nama 'nilai-nilai
yang
dianut'
yang
dalam prakteknya mengacu pada sikap anggota organisasi.
Sikap-sikap yang spesifik untuk keselamatan, dipandang sebagai antitesis faktor
organisasi umum. Ada empat kelompok besar dari sikap, yaitu sikap terhadap
perangkat keras (misalnya: desain pabrik), sistem manajemen (misalnya: sistem
keselamatan), faktor individu (misalnya: manajemen senior) dan perilaku (misalnya:
mengambil resiko). Lapisan luar terdiri dari artefak level 1 pada tingkatan budaya
keselamatan. Kondisi ini akan meliputi penggunaan
alat pelindung diri oleh
individu, perilaku serta peninjauan tempat kerja oleh pimpinan organisasi seperti
pada Gambar 1.
Pengukuran Safety Climate
Masalah utama dalam pengukuran safety climate adalah menentukan elemen
pokok yang diyakini seluruh anggota organisasi dan sudah ditetapkan bersama
sebagai fungsi waktu. Dengan demikian metodologi yang akan diterapkan dalam
mengukur akan tepat sasaran. Menurut Guldenmund[18] dan Cooper(2000)[16,21],
pengukuran safety climate yang biasa digunakan adalah
menggunakan kuesioner
untuk kaji diri. Dengan berkembangnya metode kuesioner, maka hasil kuesioner
dapat dianalisis terhadap faktor faktor pendukung safety climate secara internal
maupun eksternal. Metode lain yang dapat dilakukan adalah melakukan observasi
terhadap individu, misalnya dengan melakukan pengamatan pada daerah kerja
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah, Serpong 30 september 2014
Page 6
tertentu secara periodik[31].
Sejumlah instrumen untuk tujuan mengukur iklim keselamatan digunakan oleh
Brown et al, 2000[22]; Carder & Ragan , 2003[23]; Clarke, 1999[24]; Cox & Cox,
1991[25]; Mearns et al, 2000 [26]. Hayes et al. , 1998[27], Ony Fishwick et al,
(2004)[28], Niskanen, 1994[29]. Instrumen safety climate adalah sejumlah respon
individu (kuesioner atau pengamatan lapangan) untuk mengukur sikap mengenai
aspek keselamatan organisasi[30].
Perubahan Safety Climate
Contoh yang paling mencolok adalah dampak pada iklim keselamatan terlihat
menguat setelah terjadi kecelakaan serius di tempat kerja. Sebagian besar waktu,
peristiwa semacam itu memicu penguatan iklim keselamatan pada sub organisasi
yang akan berdampak pada organisasi secara keseluruhan. Namun, perubahan ini
sering tidak berlangsung dalam jangka panjang,
karena perubahan iklim sub
organisasi yang tidak mengalami kecelakaan lebih mudah berubah, kembali pada
kondisi sebelum terjadinya kecelakaan.
Terjadinya kecelakaan ditempat kerja umumnya terjadi karena rendahnya
kepedulian terhadap keselamatan, seperti
mengabaikan prosedur keselamatan.
Perilaku seperti ini ditandai dengan beberapa asumsi penting seperti tidak adanya
keinginan sub organisasi menjadi role model dalam penerapan keselamatan di
organisasi.
Faktor penting yang diperlukan organisasi untuk memperkuat perubahan
safety climate dalam mempengaruhi budaya keselamatan adalah peran pemimpin
(staff senior).
Kepemimpinan di kelompok ini harus segera mengidentifikasi dan
mempraktekkan perilaku kepemimpinan yang dapat mempengruhi perubahan
asumsi anggota kelompok tentang nilai-nilai yang mendasari dan tujuan organisasi.
Misalnya
memberikan pemahaman dan penanaman penggunaan prosedur
keselamatan,
mengajak berdiskusi tentang upaya peningkatan keselamatan,
mencegah terjadinya miss operation. Memberikan penanaman untuk menjadi yang
terbaik di bidang, bagian atau kelompok dalam organisasi sebagai refleksi dari
ukuran kinerja.
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah, Serpong 30 september 2014
Page 7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari studi literatur rentang tahun 1980 sampai 2010, sebanyak 21 bahan
pustaka
telah dikaji dan menghasilkan 12 elemen yang berperan dominan dalam
safety climate. Pengelompokan (clustering) menjadi 12 elemen didasarkan pada
defenisi dan lingkup dominan yang digunakan dalam literatur yang dikaji. Dari 12
elemen tersebut diperoleh 5 elemen yang dominan seperti pada Tabel-1, yaitu:
pandangan individu terhadap keselamatan (presepsi individu); sikap dan perilaku
keselamatan individu; leaderhip dan komitmen manajemen; lingkungan tempat kerja
dan Fungsi waktu.
Tabel 1. Kesesuaian elemen dominan safety climate
No
Pustaka yang digunakan
1.
5.
CHEYNE, COX, OLIVER &THOMAS
(1998)[19]
HAYES, B. E., PERANDER, J.,
SMECKO, T., & TRASK, J. (1998)[27]
FLIN, MEARNS, GORDON, &
FLEMING (1998)[10]
FLIN, MEARNS, O‟CONNOR, &
BRYDEN (2000)[20]
GRIFFIN & NEAL (2000)[11]
6.
HOFMANN & STEZER (1996)[34]
7.
X
X
X
X
X
9.
MEARNS, WHITAKER, FLIN,
GORDON, O‟CONNOR (2001)[26 ]
MINERALS COUNCIL OF
AUSTRALIA[35]
YULE, FLIN, & MURDY (2001)[36]
X
X
X
X
10.
ZOHAR (1980)[5]
X
X
X
X
11.
ZOHAR (2000)[12]
12.
SHARON CLARKE(1999)[24].
13.
FOGARTY AND SHAW (2004)[38].
14.
X
15.
SMITH-CROWE, BURKE, & LANDIS
(2003)[37].
MICHAEL EDWARD HALL(2006)[30].
X
X
16.
DOV ZOHAR(2010)[14].
X
X
17.
CARDER, B., & RAGAN, P (2003)[23].
X
X
18.
XAVIER QUAYZIN, MBA. DIPL.ING(2012)[4].
SHADUR, M. A., KIENZLE, R., &
RODWELL, J. J. (1999)[17].
CHARLES FRANCIS
PECQUET(2013)[33]
Jumlah kesesuaian
2.
3.
4.
8.
19.
20.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
3
2
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah, Serpong 30 september 2014
10
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
8
10
X
X
X
X
12
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
12
X
X
X
13
X
X
X
X
11
X
X
X
10
3
4
13
4
5
Page 8
dengan ;
1. Pandangan Individu terhadap manajemen/organisasi; 2. Sikap dan perilaku keselamatan individu;
3. Keselamatan di tempat kerja; 4. Sebagai lapisan terluar budkes; 5. Kebijakan, Komitmen
manajemen; 6. Organisasi; 7. Sikap dan perilaku keselamatan; 8. Lingkungan kerja/organisasi; 9.
Operasional manajemen; 10. Nilai nilai keselaman; 11. Prosedur; 12. Berdasarkan waktu tertentu.
Meskipun pada Tabel 1 elemen prosedur cukup dominan, namun tidak
dimasukkan sebagai elemen utama safety climate, hal ini disebabkan prosedur
merupakan bagian sistem manajemen yang berada lapisan terluar atau Level-I dari
budaya keselamatan. Dari 5 (lima) elemen
ini peran safety climate dalam budaya
keselamatan ditunjukkan dengan fungsi waktu yang dilaksanakan oleh invidu pada
lingkup lingkungan kerja spesifik
(misalnya, bidang, subbidang, kelompok, baik
teknis maupun administrasi) dalam organisasi. Pembagian
kondisi parsial budaya keselamatan
ini disebut sebagai
dalam sub organisasi. Dengan demikian
penguatan secara parsial ini diharapkan menjadi persaingan positif antar lingkungan
kerja yang akan berujung pada penguatan budaya keselamatan organisasi.
Dengan mengadaptasi Gambar 2, akan diusulkan
maturity
(kemapanan)
budaya
keselamatan
atau
suatu model tahapan
tahapan
peningkatan
berkelanjutannya. Istilah maturity budaya keselamatan diimunculkan oleh kalangan
HSE, sedangkan untuk versi IAEA dikenal sebagai Lavel-I, Level-II dan Level-III.
Pada dasarnya keduanya memiliki faktor yang sama, hanya pada kelompok HSE
membagi Level-II menjadi tahapan investigasi dan improve. Hasil ini memperkuat
bahwa safety climate berada pada irisan Level-I dan Level-II budaya keselamatan
(IAEA) atau berada pada tahapan investigasi dan improve pada budaya keselamatan
versi HSE.
Pada tahapan
improve terlihat merupakan penguatan dari fase
investigasi yang diperoleh dari hasil pengukuran safety climate. Pada Lavel
penerapan (Level-I) pada Gambar 2, budaya keselamatan dijalankan sebagai produk
mekanis, artinya keselamatan dijalankan berdasarkan kepatuhan terhadap prosedur
sistem manajemen yang dijalankan,misalnya sistem manajemen mutu, manajemen
keselamatan maupun sistem manajmen yang sudah terintegrasi.
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah, Serpong 30 september 2014
Page 9
Gambar 2. Tahapan maturiti budaya keselamatan
Pada Gambar 2 juga terlihat peran penting safety climate dalam penguatan
budaya keselamatan sangat jelas pada Level-II (fase investigasi dan improve). Fase
investigasi
dapat
dilakukan
dengan
pengukuran
safety
climate
pada
lingkungan/tempet kerja spesifik dalam sub organisasi. Pada fase improve ,
merupakan
peran utama safety climate yang menjadi langkah untuk tindakan
peningkatan hasil dari pengukuran melalui survei pada kelompok kecil dalam
organisasi.
Hasil survey ini harus ditindaklanjuti seperti yang diusulkan pada
Gambar 3 untuk mencapat Level-III. Pada Gambar 3 diusulkan sebagai “Model
BSC-3”, sebagai alur yang harus dilakukan dalam fostering budaya keselamatan
melalui pendekatan safety climate. Dengan melakukan pengukuran maka akan
didapatkan peta kekuatan safety climate setiap kelompok kerja tertentu. Elemen
yang kuat pada setiap kelompok kerja disarankan digunakan sebagai KPI (key
performance indikator). Kumpulan KPI ini dijadikan KPI organisasi setelah
disesuaikan dengan KPI sesuai 5 (lima) karakteristik budaya keselamatan. Dengan
mengikuti “Model BSC-3” ini, maka secara cepat diketahui snapshot budaya
keselamatan melalui data kekuatan dan kelemahan safety climate sub.
Pada alur Gambar 3 peran safety climate dilakukan melalui penentuan 5
(lima) elemen dalam safety climate yang diperoleh dari hasil kajian terhadap
literatur. Pada alur penguatan yang diusulkan ini pertama tama dilakukan survei
terhadap 5 (lima) elemen melalui pengisian kuesioner (untuk tahan lanjutan dapat
dilakukan observasi lapangan dan peer group).
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah, Serpong 30 september 2014
Page 10
Gambar 3. “Model BSC-3”, alur fostering budaya keselamatan
melalui safety climate.
Kuesioner safety climate yang diusulkan pada makalah ini dikembangkan dari
3 elemen (elemen 1,2 dan 4 pada Tabel 1)
dari
Michael Edward Hall[31],
sedangkan elemen-3 diadaptasi dari Perka BATAN No. 200/KA/X/2012[9] ,
sedangkan elemen ke lima (elemen waktu) tidak dimasukkan dalam kuesioner,
karena sebagai initial spot
(titik awal) pengukuran safety climate dan sebagai
pembanding untuk waktu yang akan datang.
Hasil pengukuran elemen safety climate yang lemah dikaji untuk dilakukan
penguatan dengan cara memasukkan sebagai program keselamatan untuk tahun
berikutnya. Sedangkan elemen safety climate yang sudah kuat disarankan dibuat
sebagai KPI (key performance indikator) organisasi[32]. Kestabilan elemen yang
kuat ini harus dipelihara dan dijadikan best practice yang harus di promosikan oleh
manajemen ke bidang dan subbidang didalam organisasi sebagai praktek budaya
keselamatan yang baik. Praktek praktek budaya keselamatan yang baik dari safety
climate ini dengan fungsi waktu diharapkan
akan tumbuh sebagai bagian dari
manajemen pengetahuan nuklir (nuclear knowledge management, NKM), serta
merupakan tahapan menuju tingkatan budaya keselamatan yang lebih baik (safety
culture maturity atau Level-III budaya keselamatan).
Berdasar 4 (empat) elemen ini di buat menjadi kuesioner yang ditampilkan
pada Tabel 2, dalam implementasinya dapat diuji validasinya melalui pengisian oleh
masing masing sub organisasi dengan cara memberikan jawaban “ya”, “ tidak” dan
“tidak tahu”, serta dilanjutkan dengan penilaian berdasarkan skala Liekert.
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah, Serpong 30 september 2014
Page 11
Tabel 2. Kuesioner safety climate
dengan 4 (empat) elemen pandangan
individu[30,32]
5
Kinerja saya akan lebih lambat jika saya
mengikuti prosedur keselamatan kerja
6
Prosedur keselamatan tidak akan
melindungi saya dari cedera yang dapat
terjadi akibat pekerjaan
Prosedur keselamatan membuat saya
merasa aman dalam bekerja
Peralatan keselamatan akan melindungi
saya dalam bekerja, walaupun saya
tidak
mengikuti
prosedur keselamatan
Saya
bekerja
dengan
prosedur
keselamatan yang memadai
Elemen 1: Persepsi Individu terhadap
manajemen/organisasi
7
1
Manajemen peduli jika saya bekerja
berdasarkan prosedur keselamatan
8
2
Manajemen peduli terhadap keselamatan
saya dalam bekerja
3
Manajer hanya memikirkan keselamatan
kerja jika telah terjadi kecelakaan/cedera.
9
10
Peningkatan prosedur keselamatan
membuat saya lebih aman dalam
bekkerja
Elemen 3: Leadership dan komitmen
Manajemen
4
Manajemen menempatkan keselamatan
kerja dengan prioritas tinggi
5
Manajemen menegur jika pegawai tidak
mengikuti prosedur keselamatan kerja
6
Manajemen peduli jika saya mengikuti
prosedur keselamatan yang diperlukan
oleh pekerjaan saya
1.
Manajemen mendorong pekerja di sini
untuk bekerja sesuai aturan keselamatan
walaupun jadwal kerja sedang padat
7
Manajemen akan merespon dengan cepat
untuk kepentingan keselamatan kerja saya
2.
8
Pengawas (kasubbid/kasubbag/kepala
kelompok) sering mendiskusikan tentang
keselamatan kerja dengan saya
Manajemen menjamin setiap orang
menerima informasi yang dibutuhkan
berkaitan dengan keselamatan
3.
Manajemen tidak peduli ketika seorang
pekerja mengabaikan keselamatan
Manajemen
lebih
mementingkan
keselamatan dibandingkan produksi
9
10
11
12
Pengawas mengharapkan saya untuk
mengikuti prosedur keselamatan
Pengawas sangat membantu jika ditanya
tentang keselamatan kerja
Pengawas mendengarkan ide-ide saya
tentang cara untuk meningkatkan
Pengawas berupaya meningkatkan
keselamatan di tempat kerja saya
13
Pengawas akan tahu jika saya tidak
mengikuti prosedur keselamatan
14
Pengawas memeriksa apakah saya
mematuhi prosedur keselamatan dalam
bekerja
Pengawas secara teratur membahas
tujuan keselamatan kerja dengan saya
15
Elemen 2: Sikap dan perilaku individu
terhadap keselamatan
1
2
3
4
Saya 12atu melakukan pekerjaan tanpa
mengikuti prosedur keselamatan yang
diperlukan.
Saya menggunakan peralatan
keselamatan yang diperlukan saat
melakukan
pekerjaan
Saya mampu
bekerja dalam kondisi yang
tidak aman dan tidak mendapat cedera
Jika saya tidak mengikuti prosedur
keselamatan dalam bekerja, saya akan
mendapat cedera
4.
5.
6.
7.
8
9
Manajemen memberi toleransi pada
pegawai jika melakukan tindakan yang
berbahaya ketika jadwal kerja sedang
padat
Kami yang bekerja di sini yakin pada
kemampuan
manajemen
untuk
menangani keselamatan
Manajemen
menjamin
masalah
keselamatan yang ditemukan ketika
pemeriksaan/evaluasi
keselamatan
ditangani dengan segera
Ketika
risiko
bahaya
terdeteksi,
manajemen
mengabaikan
tanpa
melakukan tindakan apapun
Manajemen kurang mampu menangani
keselamatan dengan cara yang benar
10
Manajemen
membuat
keselamatan dengan benar
11
Manajemen menjamin setiap orang dapat
Mengusulkan program keselamatan kerja
Manajemen mendorong pekerja untuk
berpartisipasi
dalam
pengambilan
keputusan
yang berdampak pada
keselamatan mereka
Manajemen tidak peduli saran pekerja
berkaitan dengan keselamatan
12
13
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah, Serpong 30 september 2014
program
Page 12
14
Manajemen berjuang agar setiap orang
memiliki kompetensi yang tinggi
berkaitan dengan keselamatan dan risiko
kecelakaan.
15
Manajemen tidak pernah menanyakan
pendapat pekerja sebelum mengambil
keputusan yang berhubungan dengan
keselamatan
16
Manajemen melibatkan pekerja dalam
pengambilan keputusan yang berkaitan
keselamatan
Manajemen mengumpulkan informasi
yang akurat dalam investigasi kecelakaan
17
18
19
Ketakutan terhadap sanksi (konsekuensi
13aturity) dari manajemen membuat
pekerja enggan melaporkan kejadian
yang 13aturi menyebabkan
kecelakaan(near-miss accidents)
Manajemen selalu menyalahkan pekerja
ketika terjadi kecelakaan
14
Di tempat kerja saya kemungkinan
terlibat dalam kecelakaan yang cukup
15 besar
Instalasi ini memiliki „budaya tidak
menyalahkan “.
16
Standar keselamatan sangat tinggi di
tempat
saya bekerja
17 Ketika
orang mengabaikan prosedur
keselamatan , saya merasa itu bukan
urusan saya
18 Saya tidak khawatir pekerjaan saya
mengakibatkan cedera.
19 Pekerjaan
Saya yakin kecelakaan hanya masalah
waktu jika tidak menggunakan prosedur
keselamatan
20 Hal penting bagi saya bahwa harus ada
penekanan dari manajemen dalam
melaksanakan prosedur keselamatan.
20
Manajemen mencari akar masalah
penyebab
kecelakaan,
bukan
menyalahkan pegawai.
Elemen 4: Lingkungan tempat kerja
1 Saya mengetahui ada di
Bidang/Subbidang lain di Satker saya
yang tidak mengikuti prosedur
2 keselamatan
Saya akan melewatkan prosedur
keselamatan kerja jika tidak ada yang
memperhatikan
3 Saya tahu ada pegawai di lingkungan
kerja saya yang bekerja tanpa mengikuti
prosedur keselamatan kerja
4 Orang di sini (di tempat kerja saya)
berpikir tidak ada masalah K3
5 Saya percaya kebanyakan orang yang
bekerja dengan saya untuk bekerja dengan
aman
6 Keselamatan dipandang serius pada
instalasi tempat saya bekerja.
7
Saya akan melaporkan pekerja lain yang
tidak mengikuti prosedur keselamatan
9 Saya sadar di lingkungan kerja saya tidak
peduli terhadap prosedur keselamatan
10 kerja
Saya tahu pekerja di tempat kerja ada
yang tidak mengikuti prosedur
keselamatan
11 Pegawai di fasilitas ini menolak untuk
melakukan pekerjaan jika mereka merasa
tugas tersebut tidak aman
12 Standar keselamatan sangat tinggi di
tempat saya bekerja
13
Kadang-kadang kondisi fisik di tempat
kerja membatasi kemampuan orang untuk
bekerja dengan aman
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah, Serpong 30 september 2014
Page 13
KESIMPULAN
1. Safety climate merupakan komplemen penting dalam budaya keselamatan, karena
merupakan tampilan tangible budaya keselamatan Sub. Organisasi yang berlaku
pada kondisi waktu, lingkungan, leadership, sumberdaya manusia serta pada
kelompok tertentu di dalam organiasi. Dengan mempertahankan safety climate
yang positif,
maka
akan lebih mudah dalam melakukan fostering budaya
keselamatan menuju tingkatan 14maturity budaya keselamatan organisasi.
2. Hasil pengukuran safety climate yang kuat dijadikan KPI organisasi yang akan
mempengaruhi secara positif pada budaya keselamatan organisasi. Sedangkan
hasil pengukuran yang lemah digunakan sebagai program untuk ditingkatkan
dalam program budaya keselamatan organisasi.
3. Keberhasilan safety climate dalam fostering budaya keselamatan organisasi
sangat dipengaruhi oleh safety leadership pimpinan kelompok ( sub organisasi),
yang akan menjadi fondasi bagi 14aturity budaya keselamatan organisasi.
4. Untuk dapat menerapkan kuesioner ini, maka harus dilakukan validasi sehingga
akan diperoleh reabilitas yang tinggi dan valid untuk digunakan sebagai alat ukur
safety climate.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
IAEA SAFETY SERIES REPORT No.11, Developing Safety Culture In
Nuclear Activities Practical Suggestions to Assist Progress,Vienna, (1998).
IAEA SAFETY REPORT INSAG-4 Safety Culture, Vienna (1991).
IAEA TECDOC 1329, Safety Culture In Nuclear Installation, Vienna (2002)
XAVIER QUAYZIN, Leadership, Safety Culture and Cathastrophe: Lessons
From 10 Cases Studies From 7 Safety Critical Industries, ASPECT-IRSE, .
University of Manchester,(2012).
ZOHAR, D. Safety climate in industrial organizations: Theoretical and applied
implications. Journal of Applied Psychology, 65, 96-102,(1980).
A.,DOUGLAS WIEGMANN, HUI ZHANG, TERRY VON THADEN,
GUNJAN SHARMA, AND ALYSSA MITCHELL, A Synthesis of Safety
Culture and Safety Climate Research, Technical Report ARL-02-3/FAA-02-2,
University of Illinois at Urbana-Champaign 1 Airport Road Savoy, Illinois
61874,(2002
W. PRASUAD, Strategi Dalam Implementasi dan Pengembangan Budaya
Keselamatan, telah dipresentasikan pada Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi Nuklir 2014, Pusat Sains dan Teknologi Akselerator - BATAN
Yogyakarta, 10-11 Juni 2014(2014).
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah, Serpong 30 september 2014
Page 14
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
W., PRASUAD, Penerapan Budaya Keselamatan melalui SMK3, Materi
Pelatihan Budaya Keselamatan, Pusdiklat-BATAN, 5-9 Mei 2014, Jakarta,
(2014).
PERATURAN KEPALA BATAN NOMOR 200/KA/X/2012, Tentang
Pedoman Pelaksanaan Budaya Keselamatan, Jakarta, (2012).
R., FLIN., Safety condition monitoring. Lessons from `Man-Made Disasters‟.
Journal of Contingencies and Crisis Management 6, 88-92, (1998).
M.A., GRIFFIN, & A.,NEAL, Perceptions of safety at work: A framework for
linking safety climate to safety performance, knowledge, and motivation.
Journal of Occupational Health Psychology, 5, 347-358, (2000).
D., ZOHAR, A group-level model of safety climate: Testing the effect of group
climate on micro-accidents in manufacturing jobs. Journal of Applied
Psychology, 85, 587-596, (2000).
IAEA (2006), Safety Standart Series No. SF- 1, Safety Principles, Vienna.
DOV ZOHAR, Thirty years of safety climate research: Reflections and future
directions, Accident Analysis and Prevention 42 (2010) 1517–1522, Liberty
Mutual Research Institute for Safety, Hopkinton, MA and Technion
– Israel Institute of Technology, 32000, (2010).
KOFI ADUTWUM, The psychometric properties of a safety climate scale,
International Researcher Volume No.1, Issue No. 4 December 2014, ISSN 2277471, (2014).
M., COOPER & R., PHILLIPS, Exploratory analysis of the safety climate and
safety behaviour relationship. Journal of Safety Research , 35, 497–512, (2004).
M. A., SHADUR, R., KIENZLE, & J.J., RODWELL, Climate and Employee
Perceptions ofInvolvement:
The
Importance
of Support. Group &
Organizational Management, 24(4),479-503, (1999).
F.W., GULDENMUND, The nature of safety culture: a review of theory and
research. Safety Science 34, (2000).
A., CHEYNE, S., COX, A., OLIVER, & J.M., TOMAS, Modeling safety
climate in the prediction of levels of safety activity. Work and Stress, 12, 255271, (1998).
R., FLIN, K., MEARNS, P., O‟CONNOR, & R., BRYDEN, Measuring safety
climate: Identifying the common features. Safety Science, 34, 177-192, (2000).
M.D., COOPER, Towards a model of safety culture. Safety Science, 36, 111136, (2000).
K.A., BROWN, P.G., WILLIS, & G.E., PRUSSIA, Predicting safe employee
behavior in the steel industry: Development and test of a sociotechnical model.
Journal of Operations Management, 18, 445-465, (2000).
B., CARDER, & P.A., RAGAN, Survey-based system for safety measurement
and improvement. Journal of Safety Research, 34, 157-165, (2003).
S., CLARKE, Perceptions of organizational safety: Implications for the
development of safety culture. Journal of Organizational Behavior, 20, 185-198,
(1999).
S., COX, & T., COX, The structure of employee attitudes to safety: A European
example. Work & Stress, 5(93-106), (1991).
K., MEARNS, S., WHITAKER, R., FLIN, R., GORDON & P., O‟CONNOR,
Factoring the human into safety: Translating research into practice (Rep. No.
HSE OTO 2000 061), (2000).
B.E., HAYES, J., PERANDER, T., SMECKO, & J., TRAsk, Measuring
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah, Serpong 30 september 2014
Page 15
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
perceptions of workplace safety: Development and validation of the work safety
scale. Journal of Safety Research, 29(3), 145-161, (1998).
ONY FISHWICK, TIM SOUTHAM AND DAN RIDLEY, JOHN ORMOND,
Behavior Base Safety Application Guide, PRISM Management Consultants Ltd.,
Blackpool, Lancashire, England, (2004).
T.,NISKANEN, Safety climate in the road administration. Safety Science, 17,
237-255, (1994).
B.,HERUTOMO, Behavior Base Safety, Bahan Ajar pelatihan Budaya
Keselamatan, Pusdiklat BATAN, 2014, Jakarta, (2014).
MICHAEL EDWARD Hall, Measuring the safety Climate of Stell Mini-Mill
Workers using an instrument validity by Structural Equation Modeling,
Doctoral dissertation Graduate School, University of Tennesse-Knoxville,
(2006).
IAEA INSAG 15, Key Practical Issues In Strengthening Safety Culture, Vienna,
(2002).
CHARLES FRANCIS PECQUET, Measuring Safety Climate as an Indicator of
Effective Safety and Health Promgram In The Construction Industry, A Phd.
Dissertation,
Graduate Faculty of the Louisiana State University and
Agricultural and Mechanical College in partial fulfillment of the requirements
for the degree of Doctor of Philosophy, Louisiana State University,(2013).
D.A., HOFMANN & A., STEZER, A cross-level investigation of factors
influencing unsafe behaviors and accidents. Personnel Psychology, 49, 307-339,
(1996).
MINERALS COUNCIL OF AUSTRALIA, Safety culture survey report of the
Australia minerals industry. Author: Australia, (1999).
S.J.,YULE, FLIN, R., & A.J, MURDY, Modeling managerial influence on
safety climate. Poster presented at Society for Industrial and Organizational
Psychology (SIOP) Conference. San Diego, CA, (2001).
SMITH-CROWE, K., BURKE, M. J., & R.S, LANDIS, Organizational climate
as a moderator of safety knowledge-safety performance relationships. Journal of
Organizational Behavior, 24, 861-876,(2003).
GERARD J. FOGARTY, ANDREW SHAW, Safety climate and the Theory of
Planned Behavior: Towards the prediction of unsafe behavior, diunduh tanggal
tanggal
22
Juli
2014,
dari
eprint.usg.edu.au/8579/3/
Fogarty__Shaw_AAP_2010_AV.pdf prints.usq.edu.au/8579/3/.
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah, Serpong 30 september 2014
Page 16
Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah, Serpong 30 september 2014
Page 17