Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
red0;;;;PUBLIK‭ ‬ISLAM DAN MASA DEPAN DEMOKRASI DI‭ ‬NTB‭ Oleh:‭ ‬Agus Dedi Putrawan Abstrak Demokrasi sebagai sebuah‭ ‬“sistem‭”‬ telah memenangkan dirinya sebagai satu-satunya‭ “‬The Best Among The Worst‭”‬.‭ ‬Namun demikian penolakan terhadap‭ ‬dirinya‭ ‬tetap saja hadir di ruang publik‭ ‬terutama‭ ‬kalau dikaitkan-kaitkan‭ ‬“perkawinannya‭”‬ dengan Islam.‭ ‬Para apparatus agama kini harus berfikir ulang tentang posisinya di ruang‭ ‬public‭ (‬Habermas‭)‬,‭ ‬karena hanya di ruang inilah setiap orang bisa membahasakan agamanya‭ (‬Armando Salvatore,‭ ‬Eickleman dan James Piscatori‭)‬ sesuai pengetahuannya.‭ ‬Isu agama seperti fatwa MUI‭ ‬dan perda syariah yang kontroversial‭ ‬menjadi wacana empuk dalam publik‭ ‬Islam‭ ‬ini‭; ‬penilaian,‭ ‬klarifikasi,‭ ‬diskusi,‭ ‬debat,‭ ‬hingga pada akhirnya orang-orang yang terlibat‭ ‬di‭ ‬dalam publik Islam harus berfikir ulang tentang‭ ‬Maqasid Al-Shariah atau maksud syariah‭ (‬Jasser Auda‭)‬.‭ Index Demokrasi Indonesia‭ (‬IDI‭) ‬menempatkan‭ ‬Masyarakat NTB,‭ ‬dari‭ ‬34‭ ‬provinsi di Indonesia NTB menempati‭ ‬posisi terendah kedua indeks demokrasi secara nasional.‭ ‬Begitu‭ ‬pula dengan Indeks Pembangunan Manusia‭ (‬IPM‭)‬-nya.‭ ‬Tentu ini merupakan pukulan yang begitu menyakitkan bagi masyarakat NTB yang kini sedang melakukan persiapan Pilkada serentak Desember‭ ‬2015.‭ ‬Ditambah lagi ia sedang‭ ‬merayakan keberhasilannya menjadi ikon‭ ‬World Halal Travel Award‭ ‬2015,‭ ‬baik nasional maupun internasional. Tulisan ini ingin‭ ‬menjelaskan penyebab-penyebab menciutnya semangat berdemokrasi pada masyarakat NTB terutama hubungannya dengan Islam.‭ ‬Kemudian ingin melihat‭ ‬sejauh mana instrumen-instrumen demokrasi‭ ‬dan Islam bermunculan‭ ‬dalam wacana-wacana di‭ ‬Ruang Publik.‭ ‬Terakhir,‭ ‬dengan lahirnya public Islam,‭ ‬bagaimana posisi tokoh agama‭ ‬mempertahan privilege-nya. Keyword:‭ ‬Public Sphere,‭ ‬Demokrasi,‭ ‬Islam,‭ ‬NTB‭ Pendahuluan‭ Index Demokrasi Indonesia‭ (‬IDI‭) ‬menempatkan Masyarakat NTB,‭ ‬dari‭ ‬34‭ ‬provinsi di Indonesia NTB menempati posisi terendah kedua indeks demokrasi secara nasional.‭ ‬Begitu pula dengan Indeks Pembangunan Manusia‭ (‬IPM‭)‬-nya.‭ ‬Tentu ini merupakan pukulan yang begitu menyakitkan bagi masyarakat NTB yang kini sedang merayakan keberhasilannya menjadi ikon World Halal Travel Award‭ ‬2015,‭ ‬berskala internasional.‭ ‬Pertanyaan-pertanyaan mengemukan di ruang publik terutama diskusi-diskusi para analis.‭ Gencarnya promosi NTB sebagai destinasi pariwisata ‭ ‬“kebijakan pengembangan sector pariwisata di Nusa Tenggara Barat Berawal dari sebuah studi perencanaan pembangunan pariwisata yang disponsori oleh United Nations Development Program‭ (‬UNDP‭) ‬dan dilaksanakan World Tourism Organization‭ (‬WTO‭)‬.‭ ‬hasil studi tersebut merekomendasikan untuk wilayah Nusa Tenggara‭ (‬NTT dan NTB‭) ‬layak untuk pengembangan bagi sector pariwisata.‭ ‬hasil studi tersebut langsung direspon oleh Pemda dengan dikeluarkannya SK Gubernur Kepala Daerah Tk.I NTB No.‭ ‬113/1984‭ ‬tentang penunjukan lokasi dan pengaturan penggunaan tanah bagi pengembangan pariwisata di NTB.‭” ‬dikutip dari,‭ ‬ABD.‭ ‬Karim,‭ ‬Kapitalisasi Pariwisata‭ “‬dan Marjinalisasi Masyarakat Lokal di Lombok‭”‬,‭ (‬Yogyakarta:‭ ‬Genta Press,‭ ‬2008‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬92.‭ ‬setelah provinsi Bali berbanding terbalik dengan kondisi IPM mansyarakatnya.‭ ‬Dalam buku yang berjudul Politik Tuan Guru Bajang‭ ‬“Fajar Kebangkitan Demokrasi di Lombok”yang di tulis oleh Sarjono mengemukakan bahwa dalam empat‭ ‬dekade terakhir,‭ ‬Nusa Tenggara Barat bergerak lambat.‭ ‬NTB masuk dalam Indeks Pembangunan Manusia Peringkat ke-32‭ ‬dari‭ ‬33‭ ‬provinsi dengan nilai‭ ‬57,8.‭ ‬di tahun‭ ‬2004‭ ‬semakin merosot menjadi urutan‭ ‬33,‭ ‬padahal Indeks Pembangunan Manusia sedang naik menjadi‭ ‬60,6.‭ ‬Ini‭ ‬membuktikan betapa daya saing NTB sangatlah rendah. ‭ ‬ Sarjono,‭ ‬Politik Tuan Guru Bajang‭ “‬Fajar Kebangkitan Demokrasi di Lombok,‭ (‬Malang:‭ ‬Enzal Press,‭ ‬2012‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬104.‭ ‬Kemudian tahun‭ ‬2015‭ ‬tetap saja NTB meraih renking buncit‭ (‬kedua‭) ‬paling bawah‭ (‬Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Demokrasi Nasional‭)‬. ‭“‬Kepala BPS NTB,‭ ‬Wahyuddin mengatakan,‭ ‬IDI NTB‭ ‬2014‭ ‬sebesar‭ ‬62,62‭ ‬dari skala‭ ‬0‭ ‬sampai‭ ‬100.‭ ‬Angka ini naik‭ ‬5,40‭ ‬poin dibandingkan dengan IDI NTB‭ ‬2013‭ ‬sebesar‭ ‬57,22.‭ ‬Namun tetap saja tidak mampu mengerek peringkat NTB.‭ “‬Artinya,‭ ‬tingkat demokrasi di NTB mengalami peningkatan.‭ ‬Semua dari kategori rendah naik menjadi kategori sedang,‭” ‬katanya,‭ ‬dalam jumpa pers,‭ ‬Kamis‭ ‬ kemarin‭ (‬13/8‭)‬.‭ ‬Perkembangan ‭ ‬IDI NTB,‭ ‬jelasnya,‭ ‬dari‭ ‬2009‭ ‬hingga‭ ‬2014‭ ‬mengalami fluktuasi.‭ ‬Tingkat demokrasi di NTB berdasarkan penghitungan indeks mengalami peningkatn cukup signifikan di tahun‭ ‬2014,‭ ‬sehigga NTB masuk dalam kategori sedang.‭ ‬IDI,‭ ‬terangnya,‭ ‬merupakan alat untuk mengukur perkembangan demokrasi.‭ ‬Alat ini sengaja dirancang dan sensitif dengan naik turun dinamika demokrasi.‭ “‬Karena IDI disusun berdasarkan pada kejadian,‭ ‬sehingga potret yang dihasilkan merupakan refleksi dari realitas yang ada,‭” ‬jelasnya.‭ ‬Dia menambahkan,‭ ‬angka IDI merupakan ‭ ‬indeks komposit yang disusun dari skor beberapa aspek.‭ ‬Yakni,‭ ‬angka kebebasan sipil dengan nilai sekitar‭ ‬53,75,‭ ‬aspek hak politik dengan nilai sekitar‭ ‬62,08,‭ ‬dan aspek lembaga demokrasi dengan nilai sekitar‭ ‬68,38.‭” http://www.radarlombok.co.id/indeks-demokrasi-ntb-terendah-kedua.html ‭ Berbicara tentang anjloknya‭ ‬indeks demokrasi NTB,‭ ‬tidak lepas dari konteks lokal kedaerahan di mana NTB merupakan daerah rawan konflik‭ (‬Bima,‭ ‬Dompu,‭ ‬Lombok Timur‭)‬.‭ ‬Pada dasarnya,‭ ‬konflik dan kekerasan telah menjadi bagian dari konstruksi budaya dan tradisi masyarakat lokal yang sulit untuk dihilangkan.‭ ‬Selain faktor budaya,‭ ‬terdapat juga‭ ‬faktor determinan termasuk faktor ekonomi,‭ ‬sektarianisme,‭ ‬eklusivisme,‭ ‬promordialisme dan pendidikan multikulturalisme yang masih kurang. ‭ ‬ Saipul Hamdi,‭ ‬Nahdlatul Wathan di Era Reformasi‭ “‬Agama,‭ ‬Konflik Komunal dan Peta Rekonsiliasi‭”‬,‭ (‬Yogyakarta:‭ ‬KKS Jogjakarta dan Nawa Institute Kalimantan Timur,‭ ‬2014‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬vii.‭ Sebagian mengatakan,‭ ‬salah satu peyebab‭ “‬selalu‭” ‬merosotnya nilai demokrasi NTB adalah sulitnya menghapus sisa-sisa budaya patrimornial ‭ ‬“Hirarki kekuasaan ini dapat ditemukan dalam gambaran tentang konsep-konsep Max Weber mengenai sistem politik Patrimornial.‭ ‬Patrimornial dalam pengertian Weber yakni di mana seluruh kekuasaan mengalir langsung dari sang pemilik kekuasaan,‭ ‬yang dimaksud di sini adalah raja.‭ ‬Segala apa yang dikatakan oleh raja akan menjadi undang-undang dan bahkan agama raja pun menjadi agama rakyatnya.‭ ‬Weber menulis tentang patrimornialisme sebagai bentuk dominasi otoritas tradisional.‭ ‬Pada awalnya berpusat pada struktur keluarga terutama kekuasaan ayah dalam keluarga‭ (‬Patriarki‭)‬.‭” ‬Sebagaimana dikutip oleh I Gede Parimartha dalam R.‭ ‬Bendix,‭ ‬Max Weber On Intellectual Portrait,‭ (‬New York:‭ ‬Anchor Books,‭ ‬Doubleday‭ & ‬Company Inc.,‭ ‬1962‭)‬,‭ ‬hlm.‭ ‬334-336.‭ ‬lihat pada I Gede Pamarimatha,‭ ‬Perdagangan dan politik di Nusa Tenggara‭ ‬1815-1915,‭ (‬Jakarta:‭ ‬KTILV,‭ ‬2002‭)‬,‭ ‬hlm.‭ ‬2-3.‭ ‬lihat juga,‭ ‬Dalam analisis Weber tentang patrimornial,‭ ‬ia membaginya menjadi dua bagian.‭ ‬pertama,‭ ‬salah satu bentuk patrimonisalisme ditandai dengan struktur‭ ‬Top-Down,‭ ‬di mana seorang penguasa‭ (‬raja,‭ ‬kaisar,‭ ‬sultan‭) ‬berkuasa atas dasar memiliki otoritas yang sah melalui pejabat birokrasi tradisional‭ (‬misalnya‭; ‬kasim‭); ‬Kedua,‭ ‬struktur yang masih Top-Down tapi memiliki kekuasaan yang sah di luar kewenangan penguasa pusat.‭ ‬Dikutip dari,‭ ‬Agus Dedi Putrawan,‭ ‬Dekarismatisasi di Lombok NTB‭ “‬Studi Pudarnya Pesona Tuan Guru Pada Pemilu‭ ‬2014‭”‬,‭ (‬Yogyakarta:‭ ‬Uin Sunan Kalijaga,‭ ‬2015‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬42.‭ ‬ di kalangan masyarakat akar rumput.‭ ‬Budaya primordialisme masih mengakar dan kuat‭ ‬membayang-banyangi konsolidasi demokrasi di NTB,‭ ‬terlebih pasca tumbangnya rezim orde baru dengan lahirnya desentralisasi di setiap daerah.‭ Warisan tradisi kekuasaan Jawa tradisional di Lombok NTB,‭ ‬para penguasa‭ ‬sibuk‭ ‬menghabiskan waktu dan energi untuk sumber legitimasi eksternal sebagaimana dilakukan‭ ‬oleh‭ ‬raja-raja tradisional Jawa pada masa Mataram.‭ ‬Hal ini terjadi karena‭ ‬para‭ ‬penguasa ingin menampilkan‭ ‬diri,‭ ‬harus‭ ‬ digambarkan di mata rakyat,‭ ‬sebagai wakil dewa,‭ ‬wakil para nabi,‭ ‬wakil tuhan,‭ ‬dengan kekuasaan luas‭ ‬gung binathara nyakrawati. ‭ ‬ Zainuddin Maliki,‭ ‬Agama Priayi‭ “‬Makna Agama di Tangan Elit Penguasa‭”‬,‭ (‬Yogyakarata‭; ‬Pustaka Maswa,‭ ‬2004‭)‬,‭ ‬h,‭ ‬303‭ ‬ Otonomi daerah di‭ ‬satu‭ ‬sisi melahirkan kemandirian setiap daerah,‭ ‬di mana mereka‭ (‬orang-orang daerah‭)‬ dapat menentukan sendiri apa yang menjadi kebutuhan dan nasip,‭ ‬guna mencapai kesejahtraan masyarakat daerah.‭ ‬Namun di sisi lain,‭ ‬otonomi ini melahirkan catatan kelam primordialisme‭ (‬atas nama putra daerah‭; ‬budayawan dan tokoh agamawan,‭ ‬karismatik‭)‬,‭ ‬masyarakat feodal,‭ ‬fanatisme buta terhadap ketokohan sehingga mematikan nalar kritis untuk mengontrol kebijakan-kebijakan terkait kepentingan bersama di ruang publik.‭ ‬Sementara‭ ‬menyangkut penguatan masyarakat sipil,‭ ‬khususnya basis desa‭ (‬ataupun sebutan adat dan lainnya‭)‬,‭ ‬tidak pernah di eksplorasi dan dikembangkan secara mendasar. ‭ ‬ ABD.‭ ‬Karim,‭ ‬Kapitalisasi Pariwisata‭… (‬Yogyakarta:‭ ‬Genta Press,‭ ‬2008‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬xviii‭ Dalam kondisi ini maka berbicara di ruang publik menjadi hal yang tabu‭ (‬su’ul adab‭)‬,‭ ‬pengkultusan terhadap sang tokoh mengakibatkan‭ ‬penggunaan instrumen-instrumen demokrasi hanya sebatas‭ ‬lips service.‭ ‬Sebagaimana dikawatirkan oleh‭ ‬Syaifullah dalam penelitiannya‭ ‬yang menyoroti tentang tokoh karismatik‭ (‬kiai‭) ‬terjun ke dunia politik praktik‭ ‬di Kabupaten Sumenep Madura: ‭“‬Pertama,‭ ‬Kiai yang terjun ke pentas politik praktis,‭ ‬lebih-lebih di tingkat lokal,‭ ‬pada umumnya tidak memiliki‭ ‬background teoritik maupun pengalaman dalam politik praktis yang memadai,‭ ‬selain itu kiai lebih diakui sebagai tokoh agama pengayom masyarakat,‭ ‬benteng moral dan tempat bertanya serta memecahkan masalah agama dan masyarakat.‭ ‬Sehingga pemerintahan yang dipimpin oleh seorang kiai kerap kali terperangkap ke dalam praktek‭ ‬otoritarianisme.‭ ‬Hal ini disebabkan penyelesaian masalah-masalah politik tidak sama dengan penyelesaian masalah sosial keagamaan.‭ ‬Ditambah lagi klaim-klaim bahwa para kiai sering kali tidak mampu membedakan mana wilayah politik dan mana wilayah agama.‭ ‬Ia mencampur adukkan isu-isu agama dan isu-isu politik,‭ ‬bahkan sentimen-sentimen keagamaan kerap kali dieksploitasi untuk kepentingan politik.‭ ‬Kedua,‭ ‬hubungan kiai sebagai elit politik‭ (‬lokal‭) ‬dengan massanya bersifat‭ ‬paternalistik,‭ ‬hubungan guru dan murid,‭ ‬dan komunikasi yang dibangun antara keduanya bersifat emosional‭ (‬kepatuhan‭)‬.‭ ‬Akibatnya,‭ ‬massa cenderung pasif,‭ ‬pasrah dan tidak kritis terhadap elitnya.‭ ‬Ketiga,‭ ‬para kiai umumnya berperan ganda,‭ ‬di satu sisi sebagai elit politik dan pemimpin pesantren di sisi lain,‭ ‬maka tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin pesantren terabaikan.‭” Tesis,‭ ‬Syaifullah,‭ ‬Politik‭ & ‬Kiai‭ (‬Studi Tentang Keterlibatan Kiai dalam Politik di Kabupaten Sumenep,‭ (‬Yogyakarta:‭ ‬Uin Sunan Kali Jaga,‭ ‬2013‭)‬..‭ ‬ Agus Dedi membagi tiga tahapan perubahan sistem kekuasaan pada masyarakat Lombok dengan mengutip teori otoritas Max Weber.‭ ‬Masyarakat‭ ‬Lombok‭ ‬hari ini‭ ‬adalah masyarakat yang berubah-ubah dari tokoh karismatik yang dikultuskan menjadi sebuah birokrasi tradisional‭ (‬kerajaan‭)‬,‭ ‬kemudian berubah menjadi birokrasi modern dengan undang-undang sebagai konstitusi Negara.‭ ‬Namun peninggalan budaya patrimornial masih mengakar sampai sekarang.‭ ”Jenis otoritas seperti ini,‭ ‬masyarakat,‭ ‬jam’ah,‭ ‬atau pengikutnya bersedia untuk mengikuti dan mematuhi seorang pemimpin karismatik atas dasar keyakinan mereka akan wibawa atau karisma yang melekat pada dirinya.‭ ‬Biasanya wibawa atau karisma tersebut diyakini bersumber dari kekuatan yang sakral.‭ ‬Otoritas karisma dibangun atas dasar keyakinan orang-orang akan kesakralan pemilik otoritas yang tak boleh di pertanyakan.‭” Tesis,‭ ‬Agus Dedi Putrawan,‭ ‬Dekarismatisasi di Lombok NTB‭ “‬Studi Pudarnya Pesona Tuan Guru Pada Pemilu‭ ‬2014‭”‬,‭ (‬Yogyakarta:‭ ‬Uin Sunan Kalijaga,‭ ‬2015‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬96. Sebagian‭ ‬yang lain‭ ‬mengatakan,‭ ‬salah satu peyebab‭ “‬selalu‭” ‬merosotnya nilai demokrasi NTB adalah hubungan inharmonis antara Islam dan demokrasi.‭ ‬Demokrasi menjadi ancaman bagi elit agamawan‭ (‬Muslim‭)‬,‭ ‬Demokrasi dengan kebebasannya sangat tidak diinginkan oleh para otoritas agama,‭ ‬ketika kebebasan itu terbuka,‭ ‬maka legitimasi yang dikeluarkan oleh para‭ ‬ulama akan hilang.‭ ‬Tentunya ini akan menghilangkan legitimasinya. Jauh sebelumnya,‭ ‬diskusi-diskusi‭ ‬bertemakan‭ ‬“hubungan Islam dan demokrasi‭”‬ hampir selalu berujung pada pertanyaan:‭ ‬“apakah Islam cocok dengan demokrasi‭”‬.‭ ‬Dunia Barat‭ ‬pada‭ ‬umumnya memandang Islam kurang‭ ‬akrab dengan konsep‭ ‬kedaulatan rakyat,‭ ‬kewargaan‭ (‬citizenship‭) ‬dan kebebasan‭ ‬(freedom‭) ‬yang‭ ‬bertentangan dengan konsep kedaulatan Tuhan.‭ ‬Sayid Qutb dan Maududi,‭ ‬memperkenalkan‭ ‬konsep‭ ‬kedaulatan Tuhan‭ ‬yang secara otomatis menggusur gagasan tentang kedaulatan rakyat,‭ ‬di mana kedaulatan rakyat‭ (‬dari rakyat,‭ ‬oleh rakyat dan untuk rakyat‭)‬ adalah termasuk gagasan kunci dari‭ ‬teori‭ ‬demokrasi.‭ ‬Maka dalam‭ ‬Islam‭ ‬kedaulatan rakyat menjadi barang yang asing dalam khasanah ajaran Islam.‭ Dalam laporan‭ “‬Us State Departement Country Report on Terrorism‭ ‬2011,‭ ‬Setidaknya ada‭ ‬10.000‭ ‬aksi terror yang menelan‭ ‬12.‭ ‬500‭ ‬korban meninggal dunia yang terjadi di‭ ‬70‭ ‬negara‭ (‬Timur Tengah,‭ ‬Afrika,‭ ‬Amerika Utara,‭ ‬Amerika Selatan,‭ ‬Eropa,‭ ‬Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia‭)‬.‭ ‬Darul Islam/Tentara Islam Indonesia‭ (‬DI/TII‭) ‬pimpinan Kartosuwiryo sebagai awal gerakan radikal berbasis agama di Indonesia,‭ ‬ia menyatakan negeri ini merdeka dengan tujuan membentuk sebuah Negara berdasarkan syariat Islam dengan nama Negara Islam Indonesia‭ (‬NII‭)‬.‭ ‬Di Sulawesi terdapat Abdul Kahar Muzakar pempinan DI/TII dengan jabatan Panglima Divisi IV TII wilayah Sulawesi,‭ ‬di Aceh terdapat Daud Beureueh pendiri Gerakan Aceh Merdeka‭ (‬GAM‭) Latar‭ ‬belakang timbulnya gerakan ini adalah bentuk dari kekecewaan atas ingkar janjinya pemerintah untuk menerapkan syaraiah islam di aceh setelah selesainya perang kemerdekaan selesai.‭ ‬dan menyatakan sebagai bagian atas DI/TII.‭ ‬Di Jawa Tengah terdapat dua tokoh utama‭; ‬Abdullah‭ ‬Sungkar‭ ‬dan‭ ‬Abu Bakar Baasyir,‭ ‬pada tahun‭ ‬1963,‭ ‬Abdullah sungkar menyatakan diri keluar dari DI/TII dan membentuk‭ ‬al-Jama’ah al-Islamiyah. ‭ ‬ Makalah,‭ ‬ Mudjitahid,‭ “‬Pemberdayaan Pemuda dan Perempuan dalam Rangka Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di NTB‭” ‬lampiran I,‭ ‬h,‭ ‬4-5.‭ ‬Mataram,‭ ‬1‭ ‬Oktober,‭ ‬2015. Di NTB berdasarkan hasil penelitian tentang‭ “‬Pola Penyebaran dan Penerimaan Radikalisme di Mataram,‭ ‬Nusa Tenggara Barat‭” ‬yang dilakukan oleh tim dari Universitas Islam Negeri‭ (‬UIN‭) ‬Sunan Kalijaga Yogyakarta,‭ ‬yang diberi tugas oleh BNPT dan disosialisasikan pada tanggal‭ ‬10‭ ‬Desember‭ ‬2013‭; ‬tema-tema radikalisme dan teorirsme menunjukan hamper semua informan tidak setuju dengan aksi-aksi radikalisme dan terorisme yang terjadi selama ini di Indonesia.‭ ‬Namun terdapat juga organisasi-oraganisasi yang memiliki‭ “‬kecenderungan‭” ‬setuju dengan konsep jihad perang,‭ ‬dan mendukung pola kekerasan yang dilakukan FPI,‭ ‬walaupun di sisi lain mereka tidak setuju dengan jihad‭ “‬terorisme‭”‬,‭ ‬masuk dalam kategori ini versi mereka adalah Lembaga Dakwah Kampus‭ (‬LDK‭) ‬UNRAM,‭ ‬LDK IKIP Mataram,‭ ‬GAMAIS,‭ ‬Pemuda Bima,‭ ‬temuan lain adalah PII‭ (‬Pelajar Islam Indonesia‭) ‬yang merupakan jalur masuk bertemunya konsep Khilafah HTI ke berbagai Remaja Mushola dan LDK Mataram. ‭ ‬Ibid‭…‬ Lampiran‭ ‬II,‭ ‬ h,‭ ‬3-5.‭ ‬Mataram,‭ ‬1‭ ‬Oktober,‭ ‬2015.‭ Asef Bayat‭ (‬2007‭)‬,‭ ‬dalam‭ ‬“Islam and Democracy.‭ ‬What is the Real Question‭?‬”,‭ ‬tidak menampik adanya pandangan seperti itu,‭ ‬akan tetapi dia justru menolak pertanyaan awalnya.‭ ‬sebenarnya menurut Aseb Bayat pertanyaan apakah Islam cocok dengan demokrasi merupakan pertanyaan yang keliru.‭ ‬Jika pertanyaannya demikian,‭ ‬maka seakan-akan konsep tentang demokrasi adalah sesuatu konsep yang solid,‭ ‬padahal konsep tentang demokrasi sendiri tidak terlepas dari perdebatan panjang para tokoh demokrasi dan penuh dengan penyesuaian-penyesuaian dalam konsolidasinya.‭ ‬Maka‭ ‬pertanyaan yang seharusnya timbul adalah dalam kondisi apa‭ ‬Islam‭ ‬dan demokrasi‭ ‬dapat hidup dan‭ ‬dapat sejajar.‭ Ruang Publik dan‭ ‬Sebuah‭ ‬Tantangan Selama ini,‭ ‬diskusi tentang ruang publik‭ ‬atau disebut‭ ‬Public Sphare,‭ ‬sudah marak didiskusikan‭ ‬di berbagai tempat,‭ ‬baik dalam dunia akademisi maupun dalam diskusi-diskusi di warung kopi.‭ ‬Di‭ ‬mulai‭ ‬dari sarjana-sarjana yang‭ ‬concern di dalamnya termasuk‭ ‬Jurgen‭ ‬Jurgen‭ ‬Habermas,‭ ‬Jaser Auda,‭ ‬Nilüfer Göle,‭ ‬Armando Salvatore,‭ ‬Eickleman dan James Piscatori.‭ ‬Menurut Habermas,‭ ‬ruang publik‭ ‬mempunyai peran yang cukup‭ ‬signifikan dalam proses berdemokrasi. ‭ ‬ Fresco Budi Hardiman Demokrasi Deliberatif.‭ ‬(Yogyakarta:‭ ‬Penerbit Kanisius.‭ ‬2009‭)‬.‭ ‬hlm.‭ ‬128. ‭“‬Ruang publik,‭ ‬public sphere‭ (‬Inggris‭) ‬atau‭ ‬offentlichkeit‭ (‬Jerman‭) ‬merupakan sebuah konsep yang dewasa ini menjadi popular di dalam ilmu-ilmu sosial,‭ ‬teori-teori demokrasi dan diskursus politis pada umumnya.‭ …‬.‭ ‬konsep‭ “‬ruang public‭” ‬ingin mendorong pertisipasi seluruh warganegara untuk mengubah praktik-praktik sosio-politis mereka lewat reformasi hukum dan politik secara komunikatif.‭” Lihat.‭ ‬Fransisco Budi Hardiman,‭ ‬Ruang Public‭ (‬Yogyakarta:‭ ‬Kanisius,‭ ‬2010‭)‬,‭ ‬hlm.‭ ‬1. Ruang publik‭ ‬adalah ruang‭ ‬yang bersifat‭ ‬demokratis,‭ ‬yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini,‭ ‬kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.‭ ‬Ruang Publik itu adalah suatu kondisi,‭ ‬wahana diskursus masyarakat di mana orang dari berbagai macam latar belakang tanpa membedakan sukunya,‭ ‬status sosial,‭ ‬agama dan lain-lain,‭ ‬berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politisnya,‭ ‬bebas menyatakan sikap dan argumen,‭ ‬menyediakan semua orang untuk bisa terlibat membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan bersama‭ (‬negara atau pemerintah‭)‬,‭ ‬bukan di tentukan oleh satu individu‭; ‬presiden,‭ ‬tuan guru,‭ ‬pejabat,‭ ‬pendeta,‭ ‬kaisar,‭ ‬raja,‭ ‬kepala suku,‭ ‬dan lain-lain.‭ Ruang publik harus bersifat‭ ‬“bebas‭”‬ dari pengaruh siapapun termasuk pemerintah,‭ ‬“terbuka dan transparan‭”‬ bagi/untuk warga Negara/masyarakat.‭ ‬Ruang ini harus mudah diakses semua anggota masyarakat. ‭ ‬ Budi Hardiman, Ruang Publik.‭ ‬(Yogyakarta:‭ ‬Penerbit Kansius.‭ ‬2010‭)‬.‭ ‬hlm‭ ‬185.‭ ‬Dalam kondisi ini,‭ ‬ruang publik menjadi hal yang penting dalam sistem demokrasi.‭ ‬Dari ruang publik ini dapat terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat warga‭ ‬sebagai‭ ‬civil society yang berperan mengontrol/mengawasi kebijakan-kebijakan‭ ‬baik legislatif maupun eksekutif. Ruang publik dapat timbul di mana saja.‭ ‬Perkumpulan‭ ‬tiga,‭ ‬empat orang membicarakan‭ ‬kepentingan-kepentingan bersama,‭ ‬mengkritisi hukum,‭ ‬sosial,‭ ‬politik,‭ ‬ekonomi,‭ ‬agama dapat dikatakan ruang publik.‭ ‬Public Sphere lahir dari‭ ‬Gagasan Habermas tentang demokrasi deliberatif ‭ ‬ “The civic–republican view legitimately corrects the bourgeois model’s tendency to view the common good as something given which can be‭ ‬revealed‭ ‬through public discussion.‭ ‬The common good is,‭ ‬instead,‭ ‬conceived as something that can potentially be‭ ‬generated‭ ‬through dialogue.‭ ‬This is a‭ ‘‬deliberative‭’ ‬model of democracy,‭ ‬one which Habermas revisits in his more recent work,‭ ‬The Inclusion of the Other‭” ‬Luke Goode,‭ ‬Jurgen Habermas‭ “‬Democracy and the Public Sphere‭”‬,‭ (‬London:‭ ‬Pluto Press,‭ ‬2005‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬51.,‭ ‬demokrasi yang melahirkan partisipasi aktif warga masyarakat dalam ruang publik demokrasi. ‭“‬Habermas’s deliberative model departs both from models of democracy that reduce the public sphere to nothing more than an arena for the clash of views or the thrashing out of grudging compromises,‭ ‬and‭ ‬from the hubris of Enlightenment humanism.‭” Ibid,‭ ‬52. Menurut‭ ‬Nilufer Gole: ‭“‬In the global era,‭ ‬the public sphere is not limited to a single national language community.‭ ‬Rather than the discursive and regulatory or normative aspects of the public sphere,‭ ‬the antagonistic and the experimental dimensions of the public sphere need stressing.‭ ‬The performative and visual repertoire of action staged in a given physical locality opens the way for new forms of public agency and brings the cultural−artistic realm to the fore.‭ ‬Just as Jürgen Habermas did in his works,‭ ‬we need to revisit the relations between the public sphere and democracy and question the autonomous and interdependent aspects of both.‭” Nilufer Gole,‭ ‬The Forbidden Modern‭ “‬Civilization and‭ ‬Veiling‭” (‬USA:‭ ‬The University of Michigan Press,‭ ‬1996‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬3-84.‭ ‬lihat juga Nilufer Gole,‭ ‬Public Space Democracy,‭ (‬An article from‭ ‬www.eurozine.com‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬9 ‭ Di‭ ‬era global hari ini,‭ ‬ruang publik tidak terbatas pada komunitas bahasa pada suatu bangsa.‭ ‬Nilufer Gole banyak bercerita tentang protes,‭ ‬gerakan-geraka baik gerakan wanita dengan kebebasan kerudungnya maupun gerakan gerakan‭ ‬semisal‭ ‬“The Gezi Park‭” ‬di ruang publik ‭ ‬ “The Gezi Park movement seeks to defend public space against commercialization and the transformation of urban life into a mere generator of rents.‭ ‬The park stands for the public sphere.‭ ‬The protection of the park is not merely metaphorical.‭ ‬The park signifies the physicality of the public sphere.‭ ‬It is the concrete,‭ ‬open space in which citizens can give voice to their opinions and gather together.‭”‬,‭ ‬Ibid,‭ ‬3-8..‭ ‬Public‭ ‬sphare ini hadir sebagai antithesis dari sistem budaya patrimonial,‭ ‬primordial,‭ ‬masyarakat feodal dan‭ ‬segelintir elit birokrasi aristokrat yang mengatur masyarakat awam. Mereka menjadi penafsir tunggal akan fenomena-fenomena privat maupun sosial,‭ ‬dalam kondisi ini hanya merekalah yang maha tahu.‭ “‬Keadilan‭ ‬itu apa,‭ ‬hanya dia yang paling tahu,‭ ‬kebenaran itu apa,‭ ‬amar maqruf itu apa,‭ ‬hanya dia yang paling tahu‭”‬.‭ ‬Raja-raja dari sistem patrimonial selalu menempatkan dirinya sebagai‭ ‬The Only Source of Authority,‭ “‬satu-satunya sumber kekuasaan‭” ‬tidak boleh ada yang membantah,‭ ‬jika ada yang membantah titah raja,‭ ‬maka akan di jatuhkan hukuman sebagai melawan raja. Model‭ ‬kekuasaan patrimonial ini baru bisa di terapkan jika masyarakatnya masih bodoh,‭ ‬dungu,‭ ‬dan‭ ‬penguasa‭ ‬cenderung lebih mudah memimpin dalam kondisi seperti ini.‭ ‬Karena akses ilmu pengetahuan selalu dalam lingkaran keluarga aristokrat kerajaan,‭ ‬dan cenderung dalam kekuasaan patrimonial kekuasaan‭ ‬“selalu‭” ‬berselingkuh dengan agamawan,‭ “‬agar mendapatkan legitimasi yang kuat,‭ ‬harus ambil agamawan-agamawan‭” ‬para agamawan memberikan justifikasi atas nama agama sehingga apa yang dikatakan raja adalah suatu yang bertuah,‭ ‬seakan-akan sacral titah tuhan dan lain sebagainya. Public Islam dan Peluang Demokrasi Selanjutnya diskusi tentang‭ “‬Public Islam‭” ‬hadir dari wacana kaum muslim tentang kehidupan keberislaman diruang publik‭ “‬gabungan‭ ‬public sphere‭ ‬and‭ ‬Islam‭”‬.‭ ‬Noorhaidi Hasan dalam tulisannya berpendapat sebagaimana disarikan dari tulisan Armando Salvatore,‭ ‬Eickleman dan James Piscatori‭; “Mass education and mass communication have facilitated a greater sense of autonomy for both men and women and an awareness in muslims of the need to reconfigure the nature of religious throught and action,‭ ‬create new forms of public space,‭ ‬and encourage debate over meaning.‭ ‬Open contests over the use of the symbolic language of islam and its meanings have increasingly shaped the new sense of public space that is discursive,‭ ‬performative,‭ ‬and participative.‭ ‬in such engagements,‭ ‬publicly shared ideas of community,‭ ‬identity and leadership take new shapes.‭” Noorhaidi Hasan,‭ ‬Maqasid Al-Sharia,‭ ‬Knowledge Production,‭ ‬and Public Islam Towards a Post-Islamist Turn,‭ ‬Makalah Diskusi Mingguan,‭ ‬Yogyakarta,‭ ‬Pacasarjana Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta,‭ ‬2015,‭ ‬hlm.‭ ‬1.‭ ‬Lebih‭ ‬lanjut pembahasan tentang Public Islam dapat kita temukan dalam tulisan‭ ‬Armando‭ ‬Salvatore dan‭ ‬James‭ ‬Eickelman,‭ ‬2004.‭ “‬Public Islam and Common Good,‭” ‬Et al,,‭ ‬Public Islam and the Common Good.‭ (‬Leiden‭; ‬Boston,‭ ‬Brill,‭ ‬2004‭)‬,,‭ ‬hlm..‭ ‬xi-xxv.‭ ‬lihat juga‭ ‬Dale F.‭ ‬Eickelman and James Piscatori,‭ ‬Muslim Politics,‭ ‬United States of America by Princeton University Press,‭ ‬1996,‭ Ia Mengemukakan Perubahan besar-besaran yang terjadi di kalangan muslim terkait dengan terbukannya akses pendidikan,‭ ‬terbukanya akses komunikasi dan transportasi yang begitu mudah hanya dengan hitungan detik,‭ ‬membuat orang-orang diseluruh dunia seakan disulap menjadi desa global yang segalanya dapat diakses oleh siapa saja di belahan dunia. Dalam tulisannya yang berbeda ia juga berpendapat‭; “Although the new media did not necessarily call the so-called public sphere into being,‭ ‬they contributed significantly to reshaping a sense and tructure of public that was already available.‭ ‬An embrio of‭ “‬public islam‭” ‬emerges and poses a challenge to the secularist definition of the boundaries and content of the public sphere.‭ ‬It public space for encounters on different levels dan inform individual and collective strategies of cultural dialogue‭ (‬Salvatore and Eicklaman‭ ‬2004‭)” Noorhaidi Hasan,.‭ ‬New Media and Post-Islamist Pity in Indonesia,‭ ‬Makalah Seminar Nasional,‭ ‬Yogyakarta,‭ ‬UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,‭ ‬2014.‭ ‬hlm.‭ ‬1.‭ Meningkatnya‭ ‬jumlah‭ ‬intensitas‭ ‬penyebaran informasi melalui media baik media cetak seperti buku-buku,‭ ‬surat kabar,‭ ‬majalah,‭ ‬bulletin,‭ ‬serta jurnal-jurnal lainnya,‭ ‬maupun media elektronik seperti televisi,‭ ‬radio,‭ ‬bahkan sekarang internet sudah masuk ke perkampungan,‭ ‬memberikan alternatif‭ ‬baru‭ ‬bagi masyarakat untuk tidak menjadikan‭ ‬tukoh tunggal seperti‭ ‬kiai sebagai satu-satunya saluran‭ ‬untuk memperoleh informasi baru‭”‬. ‭ ‬ Muhibbin,‭ “‬Politik Kiai Versus Politik Rakyat‭”‬..hlm.‭ ‬62.‭ Jika dibandingkan dengan beberapa abad yang lalu,‭ ‬di mana ekses pendidikan hanya terbatas pada lingkaran bangsawan,‭ ‬aristokrat,‭ ‬dan keluarga kerajaan,‭ ‬sehingga tak heran bila melahirkan peran tunggal‭ ‬seorang tokoh‭ ‬dalam masyarakat atas tafsir kehidupan baik sosial maupun agama.‭ ‬Pada‭ ‬abad-abad yang lalu,‭ ‬masyarakat NTB mendudukan tokoh-tokoh budayawan dan para tuan guru sebagai penafsir tunggal dengan ditopang social capital yang dimilikinya ‭ ‬ “Pembicaraan mengenai faktor kepemilikan tanah,‭ ‬pemilikan pesantren kiai/tuan guru dapat dimasukkan ke dalam pembicaraan mengenai modal ekonomi.‭ ‬factor pengetahuan agama beserta cara‭ ‬transmisinya akan tergolong ke dalam modal cultural.‭ ‬Faktor pertalian kekerabatan dengan para penguasa lain yang lebih besar,‭ ‬dengan kiai/tuan guru di pesantren-pesantren lain,‭ ‬dapat dimasukkan ke dalam kategori modal simbolik.‭ ‬begitu juga faktor pertalian kiai/tuan guru dengan dan keanggotaannya dalam organisasi politik tertentu.‭” ‬Sebuah pengantar oleh,‭ ‬Faruk,‭ ‬dalam buku‭ ‬Pradjarta Dirdjosanjoto,‭ ‬Memelihara Umat‭ “‬Kiai Pesantren-Kiai,‭ ‬Langgar di Jawa‭” ‬Cet-2‭ ‬,‭ (‬Yogyakarta:‭ ‬LKiS,‭ ‬2013‭)‬,‭ ‬hlm xxvii,‭ “‬Para bangsawan Sasak dengan‭ ‬privilege yang diberikan oleh kolonial memberikan akses untuk sekolah di sekolah-sekolah yang didirikan colonial‭”‬,‭ ‬lihat Fath Zakaria,‭ ‬Mozaik Budaya Orang Mataram,‭ ‬hlm.‭ ‬181-185 ‭ ‬Perkawinan Islam‭ ‬dan demokrasi hanya dapat terwujud‭ ‬jika‭ ‬dalam ruang publik partisipasi serta kebebasan setiap individu kelompok yang mandiri dapat mengekplorasikan hak dan kewajibannya,‭ ‬mengontrol dan membicarakan kebijakan-kebijakan terkait kesejahtraan bersama. Eickelman dalam tulisannya mengatakan:‭ “Andai kata bab ini diselesaikan seluruhnya sebelum peristiwa‭ ‬11‭ ‬september‭ ‬2011,‭ ‬tema utamanya adalah bahwa peningkatan tingkat pendidikan,‭ ‬kemudahan lebih besar dalam bepergian,‭ ‬dan kemunculan media-media komunikasi baru secara cepat telah mendorong berkembangnya sebuah wilayah public‭ (‬public sphere‭) ‬di masyarakat mayoritas muslim di mana sejumlah orang dan tidak terbatas pada elit politik dan ekonomi yang terdidik ingin berbicara dalam isu-isu agama,‭ ‬pemerintahan dan public.‭ ‬Pragmentasi‭ ‬dalam otoritas public dan agama ini menghadang otoritarianisme.‭ ‬ini akan membawa masyarakat kearah yang lebih terbuka,‭ ‬persis seperti globalisasi telah diikuti dengan perkembangan seperti gerakan-gerakan hak-hak asasi manusia lintas bangasa dan Vatican II.‭” Dale F.‭ ‬Eickelman,‭ ‬Islam dan Pluralism,‭ ‬Dalam Bassam Tibi,‭ ‬et al,‭ ‬Etika Politik Islam‭ “‬Civil Society,‭ ‬Pluralism,‭ ‬dan Konflik,‭ (‬Jakarta:‭ ‬ICIP,‭ ‬2005‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬158.‭ Publik Islam pada masyarakat‭ ‬NTB yakni orang dari berbagai latar belakang sosial,‭ ‬ekonomi,‭ ‬berdiskusi,‭ ‬berdialog,‭ ‬dengan leluasa saling melempar isu.‭ ‬Setiap‭ ‬orang dari berbagai disiplin ikut‭ ‬melibatkan diri mendiskusikan agama‭ ‬private mereka,‭ ‬bahkan Gubernur,‭ ‬Bupati,‭ ‬Camat,‭ ‬kepala Desa,‭ ‬kepala Dusun,‭ ‬ketua RT,‭ ‬laki-laki,‭ ‬perempuan,‭ ‬tua,‭ ‬muda,‭ ‬dan lain-lain berkesempatan juga mengiterpretasikan doktrin-doktrin‭ ‬agama.‭ Publik Islam berdampak terhadap peran tokoh agama yang tereliminasi oleh sarjana-sarjana baru penghafal al Quran dan Hadist,‭ ‬serta oleh orang-orang yang mulai berani menafsirkan agama sebatas pengetahuan mereka.‭ ‬Hal ini ditandai dengan dakwah-dakwah yang tersebar di internet,‭ ‬TV dan radio yang notabene bukan dilakukan oleh para tuan guru melainkan orang-orang biasa yang keilmuannya masih‭ ‬tidak sebanding dengan para tuan guru.‭ ‬Dalam segi sosial kemasyarakatan,‭ ‬para pejabat pemerintahan,‭ ‬guru,‭ ‬karyawan,‭ ‬petani,‭ ‬nelayan,‭ ‬buruh mulai sibuk‭ “‬berkicau‭” ‬di ruang-ruang‭ (‬public sphere‭) ‬membahas tentang isi perut,‭ ‬budaya,‭ ‬dan termasuk agama.‭ Para tuan guru‭ ‬(Political A Religion Establishment‭)‬ kini,‭ ‬hanya berfungsi sebagai‭ ‬religious authority dalam bidang keagamaan saja yang berkaitan dengan ibadah,‭ ‬sedang peran-peran yang lain diemban oleh ototitas-otoritas baru yang timbul oleh berbagai faktor‭ (‬pembahasan sebelumnya‭)‬.‭ ‬Orang-orang‭ ‬NTB kini tidak lagi menunggu fatwa dari tuan guru untuk menafsirkan kejadian-kejadian baik rumah tangga,‭ ‬regional,‭ ‬nasional serta internasional sebagai pedoman tindakan masyarakat di masa lampau yang ditandai dengan kehadiran akses internet‭ (‬Google‭) ‬yang memberikan informasi yang begitu mudah. ‭ ‬ Persaingan fatwa tuan guru dengan teknologi ilmu pengetahuan memang melahirkan suatu sangkaan oleh masyarakat modern,‭ ‬ketika seorang tuan guru dengan kekurangan dan kelebihannya sebagai manusia biasa selalu tampak kalah bersaing dengan kecepatan internet‭ “‬google‭” ‬dalam memberi informasi.‭ ‬Meski pun sebagian masyarakat tidak menyangkal bahwa informasi-informasi yang disediakan‭ (‬internet‭) ‬terkadang abu-abu.‭ ‬Lebih lanjut dapat dilihat dalam paparan,‭ ‬Pitra Narendra,‭ “‬Internet,‭ ‬Public Sphere dan Perubahan Sosial‭”‬,‭ ‬dalam Jurnal Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Komunikasi,‭ (‬Volume‭ ‬8,‭ ‬no.‭ ‬1,‭ ‬Juni‭ ‬2006‭)‬,‭ ‬hlm.‭ ‬49-65.‭ ‬ Tegaknya demokrasi‭ ‬dalam Publik Islam‭ ‬dimungkinkan apabila Negara memberikan perlindungan‭ ‬hukum bagi tiap warga Negara‭ ‬melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak dengan menjamin hak asasi manusia.‭ ‬peran serta masyarakat madani sebagai masyarakat yang terbuka,‭ ‬egaliter,‭ ‬bebas dari dominasi dan tekanan Negara.‭ ‬Partisipasi aktif masyarakat madani dalam proses-proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah menjadi penting dalam proses demokrasi. ‭ ‬ Abdul Rozak,‭ ‬dkk,‭ ‬Pendidikan Kewargaan‭ “‬Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani‭”‬,‭ (‬Jakarta:‭ ‬Kencana dan ICCE Uin Jakarta,‭ ‬2008‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬49-50. Mengukur Kemajuan Demokrasi dan Islam Bagaimana pun idealnya‭ ‬public sphere dalam dunia demokrasi,‭ ‬tetap saja hanya akan menjadi wacana dalam angan-angan para analis,‭ ‬jika instrumen ini tidak hidup dan dihidupkan oleh masyarakat yang mandiri akan peranannya.‭ ‬Maka dalam kondisi demikian yang diperlukan adalah apa yang disebut oleh Weber dengan istilah rasionalitas.‭ ‬Rasionalitas memiliki pengertian-pengertian yang berbeda dari tokoh-tokoh‭ ‬sosiolog semisal Freud dan Habermas.‭ ‬Menurut Habermas‭; ‬rasionalisasi adalah meluasnya wilayah-wilayah masyarakat yang ditempatkan di bawah aturan-aturan keputusan rasional. ‭ ‬ J.‭ ‬Habermas,‭ ‬Toward a Rational Society:‭ ‬Student Protest,‭ ‬Science and Politics,‭ ‬trans.‭ ‬J.‭ ‬Shapiro‭ (‬Cambridge:‭ ‬Polity Press,‭ ‬1987‭ [‬1962‭])‬. ‭“‬Freud mengatakan rasionalisasi adalah suatu proses mencari pembenaran terhadap tindakan-tindakan seseorang yang dirasanya benar namun menurut para analis dinyatakan keliru ketika dipastikan melalui psikoanalisis bahwa tindakan-tindakan itu dibawah alam sadar.‭ ‬Ketika Weber berbicara mengenai rasionalisasi,‭ ‬ia kemudian mengaitkan dengan kebangkitan sains dan tinjauan ilmiah atau kemajuan rasionalisme‭ (‬pencapaian unik peradaban barat‭) ‬dengan meyakini bahwa pengertian,‭ ‬persepsi dan penalaran merupakan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.‭ Tesis,‭ ‬Agus Dedi Putrawan,‭ ‬Dekarismatisasi‭ ‬… (Yogyakarta:‭ ‬Uin Sunan Kalijaga,‭ ‬2015‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬129.‭ ‬Lihat juga,‭ ‬Max Weber,‭ ‬Etika Protestan and Spirit of Kapitalisme,‭ (‬Yogyakarta:Pustaka Pelajar,‭ ‬2006‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬xxxiii-197. Jasser Auda dalam tulisannya yang berjudul‭ ‬Maqasid al-Shariah‭ ‬as‭ ”‬Philosophy of Islamic Law A Systems Approach‭”‬ yang menekankan pada konsep‭ “‬keadilan‭”‬,‭ ‬memandang umat Islam,‭ ‬terlebih khusus di Indonesia selama ini berkutat pada fiqih-fiqih menurut empat Imam mazhab‭; ‬Syafii,‭ ‬Maliki,‭ ‬Hambali,‭ ‬Hanafi.‭ ‬Dalam perkembangannya‭ ‬umat Islam mengalami kegelisahan,‭ ‬kesukaran dan ketidak pastian karena para imam mazhab di atas hidup di ruang dan waktu‭ (‬zaman khilafah‭) ‬yang berbeda dengan umat Islam yang hidup tersebar di seluruh belahan dunia.‭ ‬Entah‭ ‬itu negara dengan sistem sekuler,‭ ‬demokrasi,‭ ‬serta monarki,‭ ‬maupun yang mengaku diri Negara Islam seperti Arab Saudi.‭ ‬Maka menurut Jaser Auda perlu kiranya umat Islam melihat ulang‭ ‬maqasid syariah ini. ‭ ‬ Jaser Auda‭ ‬,‭ ‬Maqasid al-Shariah‭ ‬as‭ ”‬Philosophy of Islamic Law A Systems Approach‭”(‬London:the International Institute of Islamic Thought,‭ ‬2007‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬xx,‭ ‬21-48. Umat Islam kini tersebar di seluruh belahan dunia,‭ ‬dengan latar belakang suku dan bahasanya disetiap Negara dengan sistem yang tidak sama satu dengan lainnya,‭ ‬mereka memeluk agama Islam,‭ ‬meyakini keesaan Allah SWT dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya.‭ ‬Permasalahan yang timbul kemudian,‭ ‬bagaimana menerapkan Islam yang benar dalam Negara yang sistemnya berbeda-beda‭; ‬ada yang skuler,‭ ‬demokrasi,‭ ‬monarki,‭ ‬federasi,‭ ‬komunis dan lain-lain.‭ ‬Sebagaimana sudah dipaparkan di atas,‭ ‬fiqih-fiqih menurut empat Imam mazhab‭; ‬Syafii,‭ ‬Maliki,‭ ‬Hambali,‭ ‬Hanafi,‭ ‬kini perlu pembumian kembali sesuai konteks kekinian. Kegelisahan,‭ ‬kesukaran dan ketidak pastian karena para imam mazhab di atas hidup di ruang dan waktu‭ (‬zaman khilafah‭) ‬yang berbeda dengan umat Islam yang hidup‭ ‬di era digital hari ini.‭ ‬Lalu bagaimana mengukur tingkat keadilan yang berlaku bagi setiap warga masyarakat dalam sebuah Negara.‭?‬,‭ ‬Maka jawaban Jasser Auda adalah dengan melihat Human Development Index.‭ ‬Jika‭ ‬pendapatan perkapita sebuah Negara tinggi,‭ ‬minimnya pengangguran,‭ ‬tidak adanya buta huruf,‭ ‬pelayanan kesehatan yang tinggi,‭ ‬jaminan hari tua yang cerah,‭ ‬hukum yang ditaati karena adil,‭ ‬nihilnya korupsi,‭ ‬kolusi dan nepotisme,‭ ‬partisipasi masyarakat tinggi,‭ ‬penghargaan hak asasi manusia,‭ ‬penghargaan terhadapan perempuan,‭ ‬toleransi atas multikulturalisme yang kesemuanya itu membuat masyarakat sejahtra,‭ ‬maka Negara yang demikianlah yang menerapkan nilai-nilai Islami sesungguhnya.‭ ‬tidak masalah ia hidup di Negara yang sekuler,‭ ‬namun nilai-nilai Islami diterapkan,‭ ‬maka itulah hakikat keadilan‭ “‬justice‭” ‬yang dimaksud Jasser Auda.‭ Banyak Negara mengklaim diri mereka Negara Islam,‭ ‬namun penghargaan terhadap perempuan diabaikan,‭ ‬kekerasan terhadap anak‭ ‬terus merebak,‭ ‬tingkat kriminalitas tinggi,‭ ‬intolerasi di mana-mana,‭ ‬masyarakat terjebak dalam lingkaran syetan kemiskinan,‭ ‬tumbuh suburnya koruptor,‭ ‬maka bukan itu yang dimaksud Negara Islam sesungguhnya.‭ ‬Atas‭ ‬nama Islam mereka‭ ‬mempertahankan status quo,‭ ‬atas simbol-simbol Islam mereka menghegemoni rakyat lemah.‭ “seringkali agama dimatimulasi untuk mempertahankan status quo,‭ ‬bahkan direkayasa untuk memberikan legitimasi yang cenderung mempolitisasi agama.‭ ‬Aspek‭ ‬dari fungsional agama yang antara lain untuk membangun nilai kemanusiaan,‭ ‬menghargai hak asasi manusia dan menegakkan keadilan,‭ ‬lambat laun menjadi terabaikan dan membeku.‭ ‬Demokrasi‭ ‬hanya dapat ditegakkan ketika keadilan dijalankan secara baik yaitu siapapun yang berkuasa dan dalam bentuk Negara apapun,‭ ‬selama sang penguasa menegakkan keadilan,‭ ‬maka ia bisa dikatakan sebagai pengawal demokrasi.‭” Makalah,‭ ‬Abd.‭ ‬Salam Arief,‭ ‬Dinamika Politik,‭ ‬Perkembangan Zaman dan‭ ‬Studi Politik dalam Islam,‭ ‬disampaikan dalam‭ ‬Seminar Nasional Implementasi Pembelajaran Integrasi Interkoneksi pada mata kulia‭ ‬Prodi Hukum Islam Pasca Sarjana Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta,‭ ‬tanggal‭ ‬23-24‭ ‬September,‭ ‬2014.‭ ‬h.‭ ‬3-4. Ibn Taimiyyah‭ (‬61-728‭ ‬H/1263-1328‭) ‬mengatakan:‭ ”bahwa tuhan menolong Negara‭ (‬kekuasaan‭) ‬yang adil walaupun bukan islam,‭ ‬dan tuhan tidak mendukung Negara‭ (‬kekuasaan‭) ‬yang zalim meskipun Islam‭” Ibn Taimiyyah,‭ ‬al-Hisbah‭ ‬fi al-Islam,‭ (‬Riyad‭; ‬al-Muasasah‭ ‬al-Sa’idiyyah,ttp‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬17.‭ ‬lihat juga‭ ‬Public Duties Of Islam The Institution Of The Hisbah,‭ (‬London:‭ ‬Islamic Foundation,‭ ‬1982‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬25. Secara‭ ‬tidak langsung dalam tesis ini‭ ‬Ibn Taimiyyah ingin menyatakan bahwa keadilan itu adalah hukum‭ ‬alam‭ (‬sunnahtullah‭)‬ dan‭ ‬siapapun yang berkuasa jika menegakkan keadilan berarti menjunjung tinggi hukum alam.‭ ‬Kemudian sebaliknya siapapun yang melakukan kezaliman‭ ‬sama artinya ia menentang hukum alam.‭ ‬Secara‭ ‬esensial‭ ‬Islam artinya damai,‭ ‬benar,‭ ‬berserah diri,‭ ‬baik,‭ ‬ilmiah,‭ ‬dan‭ ‬akidah‭ ‬maupun‭ ‬amaliah‭ ‬ adalah tidak mentolerir adanya kezaliman.‭ ‬Dengan‭ ‬demikian al-Adalah‭ ‬adalah al-Qanun,‭ ‬atau‭ ‬Nidham‭ ‬atau‭ ‬Sunnah Allah.‭” Makalah,‭ ‬Abd.‭ ‬Salam arief,‭ ‬Dinamika Politik,‭…‬.‭ ‬Yogyakarta,‭ ‬tanggal‭ ‬23-24‭ ‬September,‭ ‬2014.‭ ‬h.‭ ‬3-4.‭ ‬ Keadilan adalah sesuatu yang dapat kita rasakan,‭ ‬keadilan bukan sebuah lips service atas jargon-jargon kampanye lima tahunan untuk mendulang suara mayoritas.‭ “Keadilan‭ ‬dapat‭ ‬mencakup‭ ‬semua aspek kehidupan,‭ ‬mulai dari keadilan hukum,‭ ‬pendidikan,‭ ‬ekonomi,‭ ‬keadilan politik,‭ ‬sampai keadilan sosial kemasyarakatan.‭ ‬Karenanya dalam wacana agama dan Negara menuju spiritualitas politik,‭ ‬agaknya tesis ibn taimiyyah itu memberikan isyarat mengedepankan subtantik ajaran agama ketimbang formalistic ideology.‭ ‬Agama dalam persfektif tersebut merupakan sumber nilai bagi tegaknya demokrasi.‭ ‬artinya,‭ ‬agama juga sejalan dengan nilai-nilai demokrasi.‭” Ibid ‭ Penutup Public Sphere‭ ‬sendiri‭ ‬adalah istilah yang asing bagi masyarakat NTB,‭ ‬namun aplikasi‭ ‬public sphere sebenarnya‭ ‬sudah dimiliki NTB sejak dahulu,‭ ‬dapat kita temukan pada musyarawah di kampung-kampung,‭ ‬kemudian musyawarah di masjid-masjid,‭ ‬membicarakan kepentingan bersama dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang dialami masyarakat desa.‭ ‬Namun‭ ‬public sphere dalam glombang ketiga atas demokratisasi yang dibawa oleh globalisasi kini tidak terbatas pada jumlah dan tempat,‭ ‬seperti balai desa,‭ ‬masjid dan tempat-tempat tradisional zaman dahulu.‭ ‬Kini‭ ‬public sphere dapat hadir di mana saja,‭ ‬kapan saja dan oleh siapa saja. Dengan adanya public sphere sebenarnya dapat mendorong partisipasi aktif warga Negara untuk ikut terlibat dalam kebijakan-kebijakan pemerintah.‭ ‬Jika ruang ini ditutup oleh kefanatikan,‭ ‬feodalisme,‭ ‬dan primordialisme atas warisan budaya patrimornial zaman dahulu.‭ ‬Maka dapat dipastikan demokrasi tidak akan tumbuh subur sebagai kedaulatan dari rakyat,‭ ‬oleh rakyat dan untuk rakyat.‭ ‬Meskipun hari ini NTB mendapat ranking kedua terbawah tidak menutup kemungkinan dengan rasionalitas warganya dengan memanfaatkan intrumen-instrumen demokrasi yang ada,‭ ‬maka ranking itu akan berubah kearah yang lebih baik.‭ NTB‭ ‬dikenal dengan masyarakat yang religious dan berbudaya.‭ ‬Banyak organisasi keagamaan tumbuh subur,‭ ‬di antara organisasi keagamaan terbesar adalah Nahdlatul Wathan‭ (‬NW‭)‬,‭ ‬Nahdlatul Ulama‭ (‬NU‭) ‬dan Muhammadiyah.‭ ‬Di pulau Lombok sendiri NW menjadi organisasi keagamaan yang terbesar.‭ ‬Para tuan guru menduduki struktur sosial teratas pada masyarakat sasak. ‭ ‬ Lihat‭ ‬penelitian,‭ ‬Jamaludin,‭ ‬Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun‭ ‬1740-1935.‭ ‬Seri Desertasi,‭ ‬Jakarta:‭ ‬Litbang Kementrian Agama RI,‭ ‬2011.‭ ‬Mereka memerankan tindakan sosial masyarakat sasak‭ ‬yang‭ ‬pada umumnya,‭ ‬diikuti,‭ ‬diguru dan ditiru sebagai public figure.‭ Partisipasi para tuan guru masih kurang maksimal sehingga demokrasi di NTB secara umum dan Lombok secara khusus masih tiarap,‭ ‬sebagian mereka masih menganggap demokrasi sebagai barang haram,‭ ‬thogut dan cenderung fasif.‭ ‬Sebagian lagi memanfaatkan instrumen-instrumen demokrasi dan ikut terjun menjadi perserta pemilihan umum sebagai kepala daerah.‭ ‬Seandainya demokrasi dapat disadari sebagai sebuah pilihan guna mewujudkan kesejahtraan,‭ ‬maka seharusnya para tuan guru ikut serta sebagai aliansi kelompok stragis mengontrol dan bekerjasama dengan pemerintah,‭ ‬menggerakan dan menghidupkan civil society.‭ Meminjam pendapat Artidjo Alkostar‭ “Negara demokrasi tidak bisa tidak harus dapat menujukan adanya kebebasan politik,‭ ‬yang menyangkut kebebasan berfikir,‭ ‬menyatakan pendapat dan aksi dalam urusan politik.‭ ‬Termasuk‭ ‬hak mendapat akses untuk informasi politik serta kebebasan untuk mendiskusikan dan mengkritik figure politik.‭ ‬Dalam‭ ‬suatu Negara demokrasi,‭ ‬selain menghargai mayoritas,‭ ‬juga pelaksanaan kekuasan harus dipertanggung jawabkan dan responsif terhadap aspirasi rakyat.‭ ‬Demokrasi‭ ‬menuntut suatu dasar kesepakatan ideologis suatu keteraturan dan kebebasan sehingga ada sofistikasi di‭ ‬dalam pertarungan politik.‭” Artidjo Alkostar,‭ ‬Negara Tanpa Hukum‭ “‬Catatan Pengacara Jalanan‭”‬,‭ (‬Yogyakarta:‭ ‬Pustaka Pelajar,‭ ‬2000‭)‬,‭ ‬h.‭ ‬3-4. Di satu sisi,‭ ‬demokrasi NTB akan tumbuh mana kala para aktor tindakan sosial seperti tuan guru dan budayawan faham akan demokrasi,‭ ‬kemudian menelurkannya kepada masyarakat.‭ ‬DI sisi lain fasilitas publik dalam arti umum,‭ ‬publik Islam dalam arti khusus ini dapat digunakan semua warga masyarakat religious untuk menyalurkan pendapatnya secara bebas dan aman,‭ ‬rasa aman dalam menyalurkan pendapat dan sikap harus dijamin oleh Negara melalui undang-undang yang dijalankan secara adil.‭ ‬ruang publik‭ (‬public sphere‭) ‬sebagai sarana interaksi sosial,‭ ‬seperti stasiun radio dan televisi,‭ ‬taman dan fasilitas umum lainnya.‭ Referensi Abd.‭ ‬Salam Arief,‭ ‬Dinamika Politik,‭ ‬Perkembangan Zaman dan Studi Politik dalam Islam,‭ ‬ disampaikan dalam Seminar Nasional Implementasi Pembelajaran Integrasi Interkoneksi‭ ‬ pada mata kulia Prodi Hukum Islam Pasca Sarjana Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta,‭ ‬ tanggal‭ ‬23-24‭ ‬September,‭ ‬2014. Abd.‭ ‬Karim,‭ ‬Kapitalisasi Pariwisata‭ “‬dan Marjinalisasi Masyarakat Lokal di Lombok‭”‬,‭ ‬ (Yogyakarta:‭ ‬Genta Press,‭ ‬2008‭)‬. Abdul Rozak,‭ ‬dkk,‭ ‬Pendidikan Kewargaan‭ “‬Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat‭ ‬ Madani‭”‬,‭ (‬Jakarta:‭ ‬Kencana dan ICCE Uin Jakarta,‭ ‬2008‭)‬. Artidjo Alkostar,‭ ‬Negara Tanpa Hukum‭ “‬Catatan Pengacara Jalanan‭”‬,‭ (‬Yogyakarta:‭ ‬Pustaka‭ ‬ Pelajar,‭ ‬2000‭) Armando Salvatore dan James Eickelman,‭ ‬2004.‭ “‬Public Islam and Common Good,‭” ‬Et al,,‭ ‬ Public Islam and the Common Good.‭ (‬Leiden‭; ‬Boston,‭ ‬Brill,‭ ‬2004‭)‬, Dedi Putrawan,‭ ‬Agus,‭ ‬Dekarismatisasi di Lombok NTB‭ “‬Studi Pudarnya Pesona Tuan Guru‭ ‬ Pada‭ ‬ Pemilu‭ ‬2014‭”‬,‭ (‬Yogyakarta:‭ ‬Uin Sunan Kalijaga,‭ ‬2015‭)‬. Dale F.‭ ‬Eickelman and James Piscatori,‭ ‬Muslim Politics,‭ ‬United States of America by Princeton‭ ‬ University Press,‭ ‬1996,‭ Dale F.‭ ‬Eickelman,‭ ‬Islam dan Pluralism,‭ ‬Dalam Bassam Tibi,‭ ‬et al,‭ ‬Etika Politik Islam‭ “‬Civil‭ ‬ Society,‭ ‬Pluralism,‭ ‬dan Konflik,‭ (‬Jakarta:‭ ‬ICIP,‭ ‬2005‭)‬. Fresco Budi Hardiman Demokrasi Deliberatif.‭ ‬(Yogyakarta:‭ ‬Penerbit Kanisius.‭ ‬2009‭)‬.‭ Fransisco Budi Hardiman,‭ ‬Ruang Public‭ (‬Yogyakarta:‭ ‬Kanisius,‭ ‬2010‭)‬.‭ Faruk,‭ ‬dalam buku‭ ‬Pradjarta Dirdjosanjoto,‭ ‬Memelihara Umat‭ “‬Kiai Pesantren-Kiai,‭ ‬Langgar di‭ ‬ Jawa‭” ‬Cet-2‭ ‬,‭ (‬Yogyakarta:‭ ‬LKiS,‭ ‬2013‭)‬. Fath Zakaria,‭ ‬Mozaik Budaya Orang Mataram,‭ J.‭ ‬Habermas,‭ ‬Toward a Rational Society:‭ ‬Student Protest,‭ ‬Science and Politics,‭ ‬trans.‭ ‬J.‭ ‬Shapiro‭ ‬ (Cambridge:‭ ‬Polity Press,‭ ‬1987‭ [‬1962‭])‬. I Gede Pamarimatha,‭ ‬Perdagangan dan politik di Nusa Tenggara‭ ‬1815-1915,‭ (‬Jakarta:‭ ‬KTILV,‭ ‬ 2002‭)‬. Ibn Taimiyyah,‭ ‬al-Hisbah fi al-Islam,‭ (‬Riyad‭; ‬al-Muasasah al-Sa’idiyyah,ttp‭)‬,‭ ‬Public Duties Of‭ ‬ Islam The Institution Of The Hisbah,‭ (‬London:‭ ‬Islamic Foundation,‭ ‬1982‭) Jaser Auda,‭ ‬Maqasid al-Shariah‭ ‬as‭ ‬”Philosophy of Islamic Law A Systems‭ ‬ Approach‭”(‬London:the International Institute of Islamic Thought,‭ ‬2007‭)‬. Jamaludin,‭ ‬Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun‭ ‬1740-1935.‭ ‬Seri Desertasi,‭ ‬Jakarta:‭ ‬Litbang‭ ‬ Kementrian Agama RI,‭ ‬2011‭)‬.‭ Luke Goode,‭ ‬Jurgen Habermas‭ “‬Democracy and the Public Sphere‭”‬,‭ (‬London:‭ ‬Pluto Press,‭ ‬ 2005‭)‬. Muhibbin,‭ ‬Politik Kiai versus Politik Rakyat‭ “‬Pembacaan Masyarakat Terhadap Prilaku Politik‭ ‬ Kiai‭”‬,‭ (‬Yogyakarta:‭ ‬Pustaka Pelajar,‭ ‬STAIN Jember Press,‭ ‬2012‭)‬. Noorhaidi Hasan,‭ ‬Maqasid Al-Sharia,‭ ‬Knowledge Production,‭ ‬and Public Islam Towards a Post-‭ ‬Islamist Turn,‭ ‬Makalah Diskusi Mingguan,‭ ‬Yogyakarta,‭ ‬Pacasarjana Uin Sunan Kalijaga‭ ‬ Yogyakarta,‭ ‬2015 Noorhaidi Hasan,.‭ ‬New Media and Post-Islamist Pity in Indonesia,‭ ‬Makalah Seminar Nasional,‭ ‬ Yogyakarta,‭ ‬UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,‭ ‬2014 ‭ Pitra Narendra,‭ “‬Internet,‭ ‬Public Sphere dan Perubahan Sosial‭”‬,‭ ‬dalam Jurnal Penelitian Ilmu‭ ‬ Pengetahuan dan Teknologi Komunikasi,‭ (‬Volume‭ ‬8,‭ ‬no.‭ ‬1,‭ ‬Juni‭ ‬2006‭)‬, R.‭ ‬Bendix,‭ ‬Max Weber On Intellectual Portrait,‭ (‬New York:‭ ‬Anchor Books,‭ ‬Doubleday‭ & ‬ Company Inc.,‭ ‬1962‭)‬. Salvatore dan Eickelman,‭ ‬2004.‭ “‬Public Islam and Common Good,‭” ‬Et al,,‭ ‬Public Islam and the‭ ‬ Common Good.‭ (‬Leiden‭; ‬Boston,‭ ‬Brill,‭ ‬2004‭) Sarjono,‭ ‬Politik Tuan Guru Bajang‭ “‬Fajar Kebangkitan Demokrasi di Lombok,‭ (‬Malang:‭ ‬Enzal‭ ‬ Press,‭ ‬2012‭)‬. Syaifullah,‭ ‬Politik‭ & ‬Kiai‭ (‬Studi Tentang Keterlibatan Kiai dalam Politik di Kabupaten‭ ‬ Sumenep,‭ (‬Yogyakarta:‭ ‬Uin Sunan Kali Jaga,‭ ‬2013‭)‬.‭ Saipul Hamdi,‭ ‬Nahdlatul Wathan di Era Reformasi‭ “‬Agama,‭ ‬Konflik Komunal dan Peta‭ ‬ Rekonsiliasi‭”‬,‭ (‬Yogyakarta:‭ ‬KKS Jogjakarta dan Nawa Institute Kalimantan Timur,‭ ‬ 2014‭) Nilufer Gole,‭ ‬The Forbidden Modern‭ “‬Civilization and Veiling‭” (‬USA:‭ ‬The University of‭ ‬ Michigan Press,‭ ‬1996‭) Nilufer Gole,‭ ‬Public Space Democracy,‭ (‬An article from‭ ‬www.eurozine.com‭)‬, Noorhaidi Hasan,‭ ‬Maqasid Al-Sharia,‭ ‬Knowledge Production,‭ ‬and Public Islam Towards a Post-‭ ‬Islamist Turn,‭ ‬Makalah Diskusi Mingguan,‭ ‬Yogyakarta,‭ ‬Pacasarjana Uin Sunan Kalijaga‭ ‬ Yogyakarta,‭ ‬2015. Noorhaidi Hasan,.‭ ‬New Media and Post-Islamist Pity in Indonesia,‭ ‬Makalah Seminar Nasional,‭ ‬ Yogyakarta,‭ ‬UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,‭ ‬2014. Pitra Narendra,‭ “‬Internet,‭ ‬Public Sphere dan Perubahan Sosial‭”‬,‭ ‬dalam Jurnal Penelitian Ilmu‭ ‬ Pengetahuan dan Teknologi Komunikasi,‭ (‬Volume‭ ‬8,‭ ‬no.‭ ‬1,‭ ‬Juni‭ ‬2006‭)‬.‭ Max Weber,‭ ‬Etika Protestan and Spirit of Kapitalisme,‭ (‬Yogyakarta:Pustaka Pelajar,‭ ‬2006‭)‬. Mudjitahid,‭ “‬Pemberdayaan Pemuda dan Perempuan dalam Rangka Pencegahan Radikalisme‭ ‬ dan Terorisme di NTB‭” ‬lampiran I,‭ ‬h,‭ ‬4-5.‭ ‬Mataram,‭ ‬1‭ ‬Oktober,‭ ‬2015. Zainuddin Maliki,‭ ‬Agama Priayi‭ “‬Makna Agama di Tangan Elit Penguasa‭”‬,‭ (‬Yogyakarata‭; ‬ Pustaka Maswa,‭ ‬2004‭)