Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULAGAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Terbentuknya negara Indonesia tidak lain memiliki suatu tujuan yang mulia yaitu mendorong dan menciptakan kesejahteraan umum dalam payung Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Tujuan atau cita-cita tersebut tercermin dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam alinea ke-4 (empat) yaitu: Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Persandingan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia, 2000 :2-3 Kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa kecuali merupakan landasan utama bagi setiap pengambilan kebijakan termasuk kebijakan legislatif untuk terus berupaya meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang pada dasarnya merupakan hak konstitusional setiap warga negara Indonesia. Kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia hanya sekedar cita-cita belaka jika tanpa diiringi oleh usaha yang nyata oleh penyelenggara negara dalam mengemban amanat konstitusi, salah satu upaya nyata adalah dengan merumuskan suatu perundang-undangan yang bertujuan melindungi segenap bangsa dan tumpah darah dari segala kesewenang-wenangan termasuk kesewenang-wenangan mengenai hak-hak perekonomian rakyat. Perlindungan terhadap segenap bangsa dan tumpah darah melalui perangkat hukum yang berlaku merupakan hal yang mutlak untuk diwujudkan, tidak ada artinya kata-kata “melindungi segenap bangsa dan tumpah darah” jika ternyata masih ada penderitaan yang dirasakan oleh rakyat berupa ketimpangan-ketimpangan hak-hak ekonomi yang mencerminkan ketidaksejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ridwan, “Kebijakan Penegakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”Jurnal Jure Humano, Volume1 No.1, 2009:74 Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut, yang berkaitan dengan manifestasi atas kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia maka lahirlah suatu pedoman bagi Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Dalam undang-undang tersebut memuat prinsip- prinsipatau asas-asas Kepastian hukum, TertibPenyelenggaraan Negara, Kepentingan Umum , Keterbukaan, Proporsionalitas, Profesionalitas, dan Akuntabilitas, yang dijabarkan dalam penjelasan Pasal 3 sebagai berikut: Asas Kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara; Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggaraan Negara; Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif; Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara; Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara; Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pedoman mengenai Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN ini menjadi penting dan sangat diperlukan untuk menghindari praktek-praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme tidak saja melibatkan pejabat yang bersangkutan tetapi juga oleh keluarga dan kroninya, yang jika dibiarkan maka rakyat Indonesia akan berada dalam posisi yang sangat dirugikan. Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya, bahwa Tindak pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme tidak hanya dilakukan oleh Penyelenggara Negara, antar Penyelenggara Negara, melainkan juga Penyelenggara Negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan eksistensi negara. Nyoman Serikat Putra Jaya, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, Semarang: Badan Penerbit Undip, 2005, hlm. 2. Untuk lebih menjamin pelaksanaan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme maka, dibentuknya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai pengganti Undang-Undang nomor 3 Tahun 1971. Lahirnya undang-undang ini diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan kesejahteraan rakyat, dengan sebuah penanggulangan terhadap sifat jahat yang terkandung dalam korupsi. Korupsi adalah bencana terbesar bangsa ini. Meski sebagian besar para koruptor sering mengucapkan di bibir sangat peduli masyarakat dan cinta tanah air. Korupsi adalah perbuatan buruk yang telah mengakar di negara Indonesia yang sulit diberantas. Tindakan tidak terpuji ini dapat mengganggu dan berdampak dalam semua segi kehidupan manusia. Korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.. http://demokrasiindonesia.com/2014/03/23/kumpulan-artikel-korupsi-korupsi-bencana-terbesar-bangsa-ini/, diakses pada tanggal 25 januari 2015, pukul 11:00 wib. Salah satu bentuk dari tindak pidana korupsi itu sendiri ialah penyalahgunaan wewenang. Semakin besar kekuasaan dan kewenangan seseorang, semakin besar pula peluang melakukan korupsi. Bedanya, terletak pada pelaku-pelaku korupsi. Dalam rezim otoriter, berkembang secara luas korupsi birokrasi (beaurocrazy corruption) yang dilakukan oleh birokrat sipil dan militer. Militerisme menyebarkan benih korupsi. Penguasa kroni merupakan jaringan patronase korupsi. Itulah sebaliknya, skala volume korupsi dalam rezim otoriter Orde Baru demikian besar dan mengakar. Sebaliknya, dalam rezim demokratis, pelaku korupsi didominasi oleh aktor-aktor politik (politician corruption). Dwi Saputra dkk (ed), Tiada Ruang Tanpa Korupsi, KP2KKN Jawa Tengah, Semarang, 2004, hlm. 28. Upaya Pemberantasan Peraturan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia telah mengalami banyak perbuhan, dicabut dan diganti dengan peraturan baru. Hal ini dapat dimengerti karena di satu pihak perkembangan masyarakat demikian cepat dan modus operandi Tindak Pidana Korupsi makin canggih dan variatif sedangkan di lain pihak perkembangan hukum (‘law in book”) relative tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut di atas, secara kronologis dapatlah disebutkan ada sedikitnya 8 (delapan) fase perkembangan peraturan yang mengatur mengenai Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, yaitu : Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktis, dan Masalahnya, Bandung: PT. Alumni, 2011, hlm. 3 dan 4. Fase Ketidakmampuan Tindak Pidana Jabatan (ambtsdelicten) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk Menganggulangi Korupsi; Fase Keputusan Presiden No. 40 Tahun 1957 jo. Regling op de Staat van Oorlog en van Beleg (Stb. 39-582 jo 40-79 Tahun 1939) tentang Keadaan Darurat Perang; Fase Keputusan Presiden No. 225 Tahun 1957 jo Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 jo Undang-Undang No. 79 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya; Fase Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi; Fase Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19; TLNRI 2958); Fase Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40; TLNRI 387) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Fase Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; dan Fase Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003 yang diratifikasi dengan Undang-Undang No.7 Tahun 2002. Di dalam penjelasan umumnya atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, pembentukan undang-undang telah memandang tindak pidana korupsi sebagai perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara serta pelaksanaan dari pembangunan nasional yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. P.A.F Lamitang, Theo Lamitang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 47. Tindak pidana korupsi diatur dalam pasal 2 (1) dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pasal 2 (1) dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pasal 2 (1) berbunyi: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Pasal 3 berbunyi: “Setiap orang dengan tujuan menguntungkan disi sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit RP. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Dengan adanya persoalan-persoalan tersebut diatas, perlu difikirkan kebijakan formulasi hukum pidana dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi. Rumusan Masalah Bertitik tolak pada latar belakang yang dikemukakan di atas, maka permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah berkisar pada masalah kebijakan formulasi hukum pidana. Khususnya terhadap aspek substansi mengenai perumusan tindak pidana korupsi dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut maka dalam penyusunan tesis ini, penulis membatasi masalah yang akan diangkat agar dalam pembahasan masalah yang dikaji tidak meluas dan tidak rancu. Adapun rumusan permasalahanya adalah sebagai berikut: Bagaimana kebijakan formulasi tindak pidana korupsi dalam perundang-undangan yang berlaku saat ini ? Bagaimana kebijakan formulasi tindak pidana korupsi yang akan datang ? Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian di atas, maka sebagai tujuan dilakukan penelitian ini adalah: Menganalisis kebijakan formulasi yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai kebijakan formulasi yang harus dilakukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi di masa yang akan datang. Kerangka Teori Dalam sebuah tulisan ilmiah kerangka teori adalah hal yang sangat penting, karena dalam kerangka teori tersebut akan dimuat teori-teori yang relevan dalam menjelaskan masalah yang sedang diteliti. Kemudian kerangka teori ini digunakan sebagai landasan teori atau dasar pemikiran dalam penelitian yang dilakukan. Karena itu adalah sangat penting bagi seorang peneliti untuk menyusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pemikiran yang akan menggambarkan dari sudut mana suatu masalah akan disoroti H. Nawawi, Metode penelitian bidang sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995. Hal. 39-40 Grand Theory Grand Theory yang dipergunakan untuk melakukan pembahasan karakteristik hukum adalah memaksa disertai dengan ancaman dan sanksi. Tetapi hukum bukan dipaksa untuk membenarkan persoalan yang salah, atau memaksa mereka yang tidak berkedudukan dan tidak beruang. Agar peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar dipatuhi dan ditaati sehingga menjadi kaidah hukum, maka peraturan kemasyarakatan tersebut harus dilengkapi dengan unsur memaksa. Dengan demikian, hukum mempunyai sifat mengatur dan memaksa setiap orang supaya menaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas ( berupa hukuman ) terhadap siapa saja yang tidak mau mematuhinya. Suharto, dan Junaidi Efendi, 2010, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana, Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan, Prestasi Pustaka, Jakarta.hal.25-26 Middle Range Theory Middle Range Theory dalam khasus ini prinsipnya sesuai dengan sifat hukum pidana sebagai hukum public tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat sebagai suatu kolektiviteit dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang dari perseorangan maupun kelompok orang (suatu organisasi). Berbagai kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman, ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. M.Abdul, Kholiq, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, hal.15 Law Level Theory Berbicara tentang penegakkan hukum pidana ada beberapa teori yang menyertainya antara lain : C.S.T.Kansil, 1993, Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Ctk.9, Balai Pustaka, Jakarta, hal.97 1.      Teori mutlak (pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl. Teori ini teori tertua (klasik) berpendapat bahwa dasar keadilan hukum itu harus dalam perbuatan jahat itu sendiri. Seseorang mendapat hukuman karena ia telah berbuat jahat. Jadi hukuman itu melulu untuk menghukum saja (mutlak) dan untuk membalas pebuatan itu (pemabalasan). 2.      Teori relative (teori tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum bukanlah pembalasan tetapi lebih kepada maksud/ tujuan hukuman, artinya tujuan ini mencari manfaat daripada hukuman. Beberapa doktrin mengajarkan yaitu diantaranya tujuan hukuman untuk mencegah kejahatan baik pencegahan umum (Algemene Crime) maupun pencegahan khusus (Special Crime). Selain itu, terdapat paham lain yaitu tujuan hukuman adalah untuk membinasakan orang yang melakukan kejahatan dari pergaulan masyarakat, tujuan pelaksanaaan daripada hukuman terletak pada tujuan hukuman. Akan tetapi disamping teori relative ini ini masih dikenal lagi Teori relative modern , penganutnya Frans Von Lizt, Van Hommel, D. Simons. Teori ini berpendapat dasar hukuman adalah untuk menjamin ketertiban hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara, dimana negara melindungi masyarakat dengan cara membuat peraturan yang mengandung larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/ norma. 3.      Teori gabungan (1 dan 2), menurut teori ini dasar hukuman adalah terletak pada kejahatan sendiri yaitu pembalasan atau siksaan (teori mutlak) tetapi disamping itu diakuinya dasar-dasar tujuan daripada hukuman. Penganut aliran ini diantaranya adalah Binding. Berdasarkan pada teori ini sebenarnya tujuan dari pada penegakkan hukum pidana tidak lain adalah untuk memeberikan hukuman pidana kepada seseorang tidak semata-mata karena pelakunya telah melakukan kejahatan, tetapi juga mencegah terjadinya kejahatan itu sendiri. Tujuan hukum pidana sebagaimana disebut diatas adalah merupakan sumber hukum tertulis atau hukum yang sifatnya modern, namun selain hukum tertulis itu ada sumber hukum tidak tertulis yang merupakan pedoman hidup masyarakat adalah hukum adat. Dan didalam peraturan perundang-undangan hukum adat diakui dan dijadikan sumber hukum tidak tertulis.  Von Savigny  mengatakan bahwa terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu tidak dibuat. Ia harus ditemukan. Legislasi hanya penting selama ia memiliki sifat deklaratif terhadap hukum sejati itu. Bernard L. Tanya, Yoan  Simanjuntak, & Markus, Y. Hage,  2010, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta. Hal.103 Lebih lanjut Eugen Ehrlich dalam teorinya menyatakan bahwa : Ibid. hal.142 “hukum adalah hukum sosial. Ia lahir dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Ia terbentuk lewat kebiasaan. Kebiasaan itu lambat laun mengikat da menjadi tatanan yang efektif . lalu kehidupan berjalan dalam tatanan itu. Kekuatan mengikat hukum yang hidup itu tidak ditentukan oleh kewibawaan negara. Ia tergantung pada kompetensi penguasa dalam negara. Memang semua hukum dalam segi ekstrennya dapat diatur oleh instansi-instansi negara, akan tetapi menurut segi internnya hubungan-hubungan dalam kelompok sosial tergantung dari anggota-anggota kelompok itu. Inilah living law.Hukum sebagai norma-norma hukum” (Rechtsnormen). PAGE \* MERGEFORMAT 12