Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
PETA KONSEP 1.1 Materialitas MA1.1TERIALITAS DEFINISI MATERIAL 1.2 Pentingnya Konsep Materialitas 1.3 Pertimbangan Awal Tentang Materialitas 1.4 Hubungan Antara Materilitas dengan Bukti Audit TAHAP KEGIATAN CARA MENETAPKAN TINGKAT MATERIALITAS 2.1 Penentuan Dasar Penetapan Materialitas 2.2 Mempertimbangkan Tingkat yang Akan Digunakan dalam Menghitung Materialitas Awal JENIS-JENISS RISIKO AUDIT 3.1 Risiko Reteksi Terencana 3.2 Risiko Inheren 3.3 Risiko Pengendalian 3.4 Risiko Akseptibilitas Audit 3.5 Risiko Keuangan HUBUNGAN MASING-MASING RISIKO AUDIT PEMBAHASAN I. DEFINISI MATERIALITAS 1.1 Materialitas Materialitas merupakan dasar penerapan standar auditing, terutama standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Menurut SA seksi 312 tentang Risiko Audit dan Materialitas Audit menyatakan bahwa dalam Pelaksanaan Audit mengharuskan auditor untuk memertimbangkan materialitas dalam perencanaan audit dan penilaian terhadap kewajaran sebuah laporan keuangan secara keseluruhan sesuai Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU) yang berlaku di Indonesia. Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji suatu informasi akuntasi yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya. Dimana hal tersebut dapat mengakibatkan perubahan atau pengaruh terhadap pertimbangan pihak-pihak yang berkepentingan atas informasi karena adanya salah saji tersebut. Dari definisi ini, dapat diketahui bahwa materialitas mengharuskan seorang auditor untuk memertimbangkan baik keadaan yang berkaitan dengan entitas dan kebutuhan informasi pihak yang berkepentingan. Seperti halnya suatu jumlah yang material bagi laporan keuangan suatu perusahan tertentu, mungkin tidak material bagi laproran keuangan perusaham lain yang berbeda ukuran atau sifatnya. Selain itu, apa yang material bagi laporan keuangan suatu perusahan , bisa berubah dari periode ke periode. Sebagai contoh misalnya auditor dapat menyimpulkan bahwa tingkat materialitas untuk rekening-rekening modal kerja (working capital account) pada sebuah perusahan yang hampir bangkrut harus lebih rendah bila dibandingkan dengan materialitas yang memiliki risiko lancar 4 : 1. Dalam pertimbangan informasi yang diperlukan bagi pemakai laporan keuangan, hendaknya dilandasi dengan asumi yang tepat, misalnya bahwa pemakai laporan keuangan adalah investor-investor yang memahami informasi keuangan. 1.2 Pentingnya Konsep Materialitas Dalam audit atas laporan keuangan, auditor tidak dapat memberikan jaminan bagi klien atau pemakai laporan keuangan yang lain, bahwa laporan keuangan auditan adalah akurat. Auditor tidak dapat memberikan jaminan karena ia tidak memeriksa setiap transaksi yang terjadi dalam tahun yang diaudit dan tidak dapat menentukan apakah semua transaksi yang telah dicatat, diringkas, digolongkan, dan dikompilasi secara semestinya kedalam laporan keuangan. Oleh karena itu, dalam audit atas laporan keuangan, auditor memberikan keyakinan berikut ini : Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa jumlah-jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan beserta pengungkapannya telah dicatat, diringkas, digolongkan, dan dikompilasi. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan auditan. Auditor dapat memberikan keyakinan, dalam bentuk pendapat bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji material karena kekeliruan dan kecurangan. Dengan demikian ada dua konsep yang melandasi keyakinan yang diberikan oleh auditor yaitu konsep materialitas dan konsep risiko audit. Konsep materialitas menunjukkan seberapa besar salah saji yang dapat diterima oleh auditor agar para pengguna laporan keuangan tidak terpengaruh dengan salah saji tersebut. Sedangkan konsep risiko audit menunjukkan tingkat risiko kegagalan auditor untuk mengubah pendapatnya atas laporan keuangan walaupun terdapat salah saji material. 1.3 Pertimbangan Awal tentang Materialitas Auditor melakukan pertimbangan awal tentang materialitas dalam perenacanaan auditnya. Penentuan materialitas ini, yang seringkali disebut dengan materialitas perencanaan, mungkin dapat berbeda dengan tingkat materialitas yang digunakan saat pengambilan kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi temuan audit karena : Keadaan yang melingkupi merubah. Informasi tambahan tentang klien dapat diperoleh selama berlangsungnya audit Sebagai contoh, klien kita mendapat tambahan dana yang diperlukan untuk mampu melangsungkan kegiatan usahanya yang diragukan auditor ketika dulu audit direncanakan , dan hasil audit memberi penegasan bahwa kemampuan perusahaan untuk melunasi hutang-hutang jangka pendeknya telah berubah secara signifikan selama audit berlansung. Dalam keadaan semacam itu, tingkat materialitas yang digunakan untuk mengevluasi temuan-temuan audit bisa menjadi lebih tinggi dari pada materialitas yang direncanakan. Dalam melakukan pertimbangan awal tentang materialitas, mula-mula auditor menentukan tingkat materialitas gabungan untuk setiap laporan keuangan. Sebagai contoh, auditor dapat menaksir bahwa kekeliruan berjumlah Rp 2 juta untuk laporan laba-rugi dan Rp 4 juta untuk neraca merupakan kekeliruan material. Dalam keadaan ini, auditor tidak semestinya menggunakan materialitas neraca dalam perencanaan audit karena jika salah saji neraca yang berjumlah Rp 4 juta juga berdampak terhadap laporan laba-rugi, maka laporan laba-rugi akan salah saji secara material. Untuk tujuan perencanaan audit, auditor harus menggunakan tingkat salah saji gabungan yang terkecil yang dianggap material terhadap salah satu laporan keuangan. Dasar pengambilan keputusan ini semestinya digunakan karena (1) laporan keuangan adalah saling berhubungan satu dengan lainnya, (2) banyak prosedur audit berkaitan dengan lebih dari satu laporan keuangan. Sebagai contoh, prosedur audit untuk menentukan apakah penjualan kredit pada akhir tahun dicacat dalam periode akuntansi semestinya memberikan bukti tentang baik piutang usaha (neraca) dan pendapatan penjualan (laporan laba-rugi). Pertimbangan awal auditor tentang materialitas seringkali dibuat enam sampai dengan sembilan bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas data laporan keuangan yang dibuat tahunan. Sebagai alternatif, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas hasil keuangan satu tahun atau lebih yang telah lalu, yang disesuaikan dengan perubahan terkini, seperti keadaan ekonomi umum dan trend industri. Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif. Pertimbangan kuantitatif berkaitan dengan hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan keuangan. Sedangkan pertimbangan kualitatif berkaitan dengan penyebab salah saji. Faktor Kuantitatif seperti : Laba bersih sebelum pajak dalam laporan keuangan. Total aktiva dalam neraca. Total aktiva lancar dalam neraca. Total ekuitas pemegang saham dalam neraca. Faktor kualitatif seperti : Kemungkinan terjadinya pembayaran yang melanggar hukum. Kemungkinan terjadinya kecurangan. Syarat yang tercantum dalam perjanjian penarikan kredit dari bank yang mengharuskan klien untuk mempertahankan beberapa rasio keuangan pada tingkat minimum tertentu. Adanya gangguan dalam trend laba. Sikap manajemen terhadap integritas laporan keuangan. Sebagai contoh, auditor memutuskan kombinasi salah saji berjumlah 8 % dari laba bersih sebelum pajak dipandang material untuk laporan laba-rugi, dengan memperhatikan faktor kualitatif dalam salah saji tersebut. Oleh karena itu, jika kombinasi salah saji kurang dari 3 %, auditor akan memandang sebagai salah saji yang tidak material, dengan memperhatikan faktor kualitatif dalam salah saji tersebut. Salah saji berada diantara 3 % dan 8 % memerlukan pertimbangan auditor untuk memutuskan materialitasnya. Jika misalnya, laba bersih sebelum pajak yang dipakai sebagai jumlah kunci berjumlah Rp 100 juta, maka batas materialitas (materiality border) untuk laporan laba-rugi berada dalam kisaran : Rp 3.000.000 sampai Rp 8.000.000 (Batas bawah dihitung 3% x Rp100.000.000 dan batas atas dihitung 8% x Rp 100.000.000) Contoh berikut ini menunjukan batas materialitas yang ditentukan oleh auditor : Untuk total aktiva dalam neraca                                  Rp 41 juta s.d Rp 100 juta Untuk aktiva lancar                                                     Rp 25 juta s.d Rp 60 juta Untuk total ekuitas pemegang saham dalam neraca   Rp 15 juta s.d Rp 45 juta Dalam prosesnya melakukan perencanaan audit, auditor harus menetapkan materialitas pada dua tingkat sebagai berikut: Tingkat laporan keuangan, karena pendapat auditor atas kewajaran mencakup sebuah laporan keuangan. Tingkat saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai kesimpulan yang menyeluruh atas kewajaran sebuah laporan keuangan. Materialitas Pada Tingkat Laporan Keuangan Materialitas laporan keuangan adalah besarnya keseluruhan salah saji minimum dalam suatu laporan keuangan yang cukup penting sehingga membuat laporan keuangan menjadi tidak disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip akutansi yang berlaku umum. Dalam konteks ini, salah saji diakibatkan oleh prinsip akutansi secara keliru, tidak sesuai dengan fakta, atau karena hilangnya informasi penting. Auditor menggunakan materialitas dalam perencanaan audit, dengan membuat estimasi materialitas karena terdapat hubungan terbalik antara jumlah dalam laporan keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan. Dalam merencanakan audit, auditor bisa menggunakan lebih dari satu tingkatan materialitas terhadap laporan keuangan, dan setiap jenis laporan keuangan bisa memiliki beberapa tingkatan materialitas. Untuk laporan rugi-laba, materialitas bias dihubungkan dengan total pendapatan, laba kotor operasi, laba sebelum pajak, atau laba bersih. Untuk neraca, materialitas bisa didasarkan pada total aktiva, aktiva lancar, modal kerja, atau ekuitas pemegang saham. Sampai dengan saat ini, tidak terdapat panduan resmi yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia tentang ukuran kuantitatif materialitas. Berikut ini diberikan contoh beberapa panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik: Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 5% sampai 10% dari laba sebelum pajak. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1/2%  sampai 1% dari total aktiva. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji meterial jika terdapat salah saji 1% dari pasiva. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1/2% sampai 1% dari pendapatan bruto. Materialitas Pada Tingkat Saldo Akun Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas pada timgkat saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan istilah saldo akun material. Saldo akun material adalah besarnya saldo akun yang tercatat, sedangkan konsep materialitas berkaitan dengan jumlah salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuangan. Saldo suatu akun yang tercatat umumnya mencerminkan batas atas lebih saji ( overstatement ) dalam akun tersebut. Oleh krena itu, akun dengan saldo yang jauh lebih kecil dibandingkan materialitas seringkali disebut sebagai tidak material mengenai risiko lebih saji. Namun, tidak ada batas jumlah kurang saji dalam suatu akun dengan saldo tercatat yang sangat kecil. Oleh karena itu, harus disadari oleh auditor, bahwa akun yang kelihatannya bersaldo tidak material, dapat berisi kurang saji ( understatement ) yang melampaui materialitasnya. Alokasi Materialitas Laporan Keuangan ke Akun Bila pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keuangan dikuantifikasikan, penaksiran awal tentang materialitas untuk setiap akun dapat diperoleh dengan mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara individu. Pengalokasian ini dapat dilakukan baik untuk akun neraca  maupun akun laba-rugi. Namun, karena hampir semua salah saji laporan laba-rugi juga mempengaruhi neraca dan karena akun neraca lebih sedikit, banyak auditor yang melakukan alokasi atas dasar akun neraca. Dalam melakukan alokasi, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memversifikasi akun tersebut. Sebagai contoh, salah saji lebih kemungkinan lebih besar terdapat dalam sediaan dibandingkan dengan aktiva tetap, dan umumnya biaya untuk mengaudit sediaan lebih mahal dibandingkan dengan biaya untuk mengaudit aktiva tetap. Rekening Saldo % Kas Piutang dagang Persediaan Aktiva tetap Rp 500.000 1.500.000 3.000.000 5.000.000 Rp 10.000.000 5 15 30 50 100 Untuk menggambarkan alokasi materialitas tersebut, misalnya PT X memiliki komposisi aktiva sebagai berikut Auditor memperkirakan salah saji dalam akun  kas dan aktiva tetap kemungkinannya kecil terjadi dan salah saji dalam akun piutang usaha dan sediaan kemungkinan lebih banyak terjadi. Berdasarkan pengalaman sebelumnya dengan klien, auditor memperkirakan akun dengan sedikit salah saji akan sangat murah biayanya untuk mengaudit dibandingkan dengan akun lain. Misalnya jika perkiraan awal materialitas laporan keuangan adalah 1% dari total aktiva, atau Rp100.000 auditor tersebut dapat mempertimbangkan dua alternatif dalam mengaokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara individual sebagai berikut: Pengalokasian materialitas Rekening Rencana A % Rencana B % Kas Rp 5.000.00 5 Rp\ 2.000.00 2 Piutang dagang 15.000.00 15 18.000.00 18 Persediaan 30.000.00 30 50.000.00 50 Aktiva tetap 50.000.00 50 30.000.00 30 Total Rp 1.000.000.00 100 Rp100.000.00 100 Dalam Alternatif A, materialitas dialokasikan secara proposional ke dalam setiap akun, tanpa memperhatikan taksiran salah saji moneter dan biaya audit untuk mendeteksi salah saji tersebut. Dalam Alternatif B, alokasi materialitas lebih besar dilakukan ke dalam akun piutang usaha dan sediaan, yang diperkirakan lebih banyak salah sajinya dibandingkan dengan akun lain dan biaya untuk mendeteksinya diperkirakan lebih besar. Oleh karena itu, jumlah bukti yang diperlukan untuk akun-akun piutang usaha dan sediaan tersebut berkurang, dibandingkan dengan Alternatif A, karena terdapat hubungan terbaik antara materialitas saldo akun dan bukti audit. Sebagai akibatnya, audit tersebut secara sederhana membiarkan proporsi yang lebih besar dari total salah saji, tetap berada dalam akun yang memerlukan biaya mahal untuk mendeteksi sala saji.  Meskipun alokasi materialitas lebih kecil untuk kas dan aktiva tetap akan berakibat meningkatkan jumlah bukti yang diperlukan untuk akun-akun tersebut, kenyataan bahwa akun-akun tersebut memerlukan biaya murah untuk mengauditnya, secara keseluruhan akan menghasilkan penghematan biaya audit. Alokasi taksiran awal materialitas dapat revisi setelah dilaksanakannya pekerjaan lapangan. Sebagai contoh, jika ditemukan hanya Rp8.000 salah saji dalam verifikasi akun piutang usaha, jumlah Rp10.000 yang tidak terpakai dalam Alternatif B dapat dialokasikan ke akun sediaan. Meskipun dalam contoh tersebut di atas kelihatan diperlukan ketepatan alokasi materialitas laporan keuangan ke akun, analisis akhir proses alokasi tersebut sangat tergantung pada pertimbangan subjektif auditor Penggunaan Materialitas dalam Mengevaluasi Bukti Audit Jika pada tahap perencanaan audit, auditor menaksirkan salah saji Rp9.000.000 dipandang material untuk total aktiva, jumlah ini kemudian dipakai oleh auditor untuk mengevaluasi bukti audit yang dikumpulkan dalam membuktikan berbagai asersi yang terkandung dalam akun-akun aktiva dalam neraca. Misalnya, auditor  kemudian menentukan salah saji sebesar Rp3.000.000 dalam akun sediaan. Apakah dengan penemuan ini auditor kemudian mengambil kesimpulan bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan berisi salah saji material, tidak semudah itu pertimbangannya. Auditor akan menjumlah berbagai kekeliruan yang ditemukan dalam audit atas berbagai akun yang termasuk dalam kelompok aktiva. Misalnya, auditor mengumpulkan salah saji yang terdapat dalam akun-akun yang termasuk dalam kelompok aktiva berikut ini: Salah saji dalam akun sediaan                       Rp     3.000.000 Salah saji dalam akun-akun aktiva lain                   8.000.000 Jumlah salah saji                                            Rp  11.000.000 Bagaiman kesimpulan auditor tentang materialitas, Ada dua kemungkinan yang ditempuh oleh auditor: Dengan berbagai alasan tertentu, auditor dapat menaikan batas materialitas yang ditentukan dari jumlah Rp9.000.000  pada tahap perencaan auditnya menjadi Rp11.000.000 untuk mengevaluasi bukti audit. Hal ini kemungkinan disebabkan jumlah aktiva yang dipakai sebagai dasar penentuan materialitas pada tahap perencanaan berbeda dengan jumlah aktiva yang dapat dalan laporan keuangan akhir, sehingga persentase materialitas diterapkan pada jumlah yang berbeda. Auditor berkesimpulan bahwa laporan keuangan sebagaikeseluruhan tidak disajikan secara wajar karena salah saji Rp11.000.000 melebihi jumlah materialitas Rp9.000.000. oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan materialitas ini, auditor dapat meyakinkan kliennya untuk melakukan koreksi atas jumlah salah saji yang terdapat dalam akun-akun yang pendapatnya dari pendapat wajar tanpa pengecualian menjadi pendapat wajar dengan pengecualian atau pendapat tidak wajar. Hubungan Antara Materealitas dengan Bukti Audit Materialitas merupakan satu diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pertimbangan auditor tentang kecukupan (kuantitas) bukti audit. Dalam membuat generalisasi hubungan antara materialitas dengan bukti audit, perbedaan istilah materialitas dan saldo akuan material harus tetap diperhatikan. Semakin rendah tingkat materialitas, semakin besar jumlah bukti yang diperlukan (hubungan terbalik). II.          CARA MENETAPKAN TINGKAT MATERIALITAS 2.1 Tahap kegiatan (penetapan materialitas awal) : A. Penentuan dasar penetapan materialitas Dasar penetapan materialitas diantaranya adalah laba bersih sebelum pajak, total aset, ekuitas, total penerimaan, atau total belanja. Dalam memutuskan nilai yang akan dijadikan dasar, sebaiknya mempertimbangkan : Karakteristik (sifat, besar dan tugas pokok) dan lingkungan entitas yang diperiksa. Area dalam laporan keuangan yang akan lebih diperhatikan oleh pengguna laporan keuangan Kestabilan atau keandalan nilai yang akan dijadikan dasar. Dasar penetapan materialitas yang dapat digunakan: Total penerimaan atau total belanja, untuk entitas nirlaba Laba sebelum pajak atau pendapatan, untuk entitas yang bertujuan mencari laba, dan Nilai aset bersih atau ekuitas, untuk entitas yang berbasis aset. Mengenai angka yang harus diambil, apakah angka tahun lalu, tahun berjalan, atau angka ekspektasi, tergantung pertimbangan reliabilitas atau keakuratan data. Praktik yang umum dengan mengambil angka tahun lalu, kemudian disesuaikan dengan inflasi atau perkiraan anggaran. Cara lain adalah dengan mengambil data actual pada saat perencanaan, kemudian diekstrapolasi ke dalam sejumlah periode. Misalnya : Dep Kesehatan mengemban tugas untuk meningkatkan kesehatan di seluruh Indonesia sering melakukan proyek penelitian dan pengembangan mengenai masalah-masalah kesehatan dan mendirikan fasilitas-fasilitas layanan kesehatan, seperti rumah sakit,pukesmas, dan sebagainya yang dibiayai oleh pemerintah. Nilai total belanja pada Laporan Realiasi Anggaran (LRA) departemen tersebut cukup tinggi, dan pengguna laporan keuangan diperkirakan akan tertarik untuk mengetahui penggunaan dana dari pemerintah tersebut. Oleh karena itu, dasar penetapan materialitas yang paling sesuaiuntuk pemeriksaan laporan keuangan departemen ini adalah total belanja. B. Mempertimbangkan tingkat yang akan digunakan dalam menghitung materialitas awal : Tingkat materialitas Keterangan entitas Tingkat Materialitas Entitas nirlaba 0.5% - 5% dari total penerimaan atau total belanja Entitas yang bertujuan mencari laba 5%-10% dari laba sebelum pajak atau 0.5% - 1% dari total penjualan/pendapatan Entitas berbasis asset 1% dari ekuitas atau 0.5% - 1% dari total aktiva Kesalahan gabungan (E+) dalam laporan keuangan yang diperiksa, harus dipertimbang -kan sebagai berikut: E+> 10% ; dinilai “MATERIAL” E+< 5% ; dinilai “TIDAK MATERIAL” bila tidak ada faktor kualitatif 5% < E+ < 10% ; memerlukan tindak lanjut berdasarkan kebijakan profesional auditor bersangkutan untuk menentukan materialitasnya Pedoman umum penerapan tingkat materialitas : 0.5% dari belanja/ pendapatan digunakan pada entitas nirlaba pada saat pemeriksaan yang baru pertama kali dilakukan atau pada kondisi SPI entitas belum memadai. Pemeriksa dapat berangsur-angsur meningkatkan tingkat materialitas yang akan digunakannya pada pemeriksaan-pemeriksaan selanjutnya samapi dengan tingkat materialitas 5 % dari total belanja / pendapatan 5 % - 10% dari laba sebelum pajak. Tingkat materialitas 10% digunakan pada perusahaan nonpublic dan anak perusahaannya dan 5 % digunakan pada perusahaan publik. 0.5% - 1% dari penjualan, apabila sebuah perusahaan telah beroperasi pada atau mendekati titik impas dan keuntungan / kerugian bersih berfluktuasi dari tahun ke tahun. 1% dari ekuitas pada saat hasil dari operasi sangat rendah yang menyebabkan likuiditas sebagai perhatian utama/ pada saat pengguna laporan keuangan lebih memfokuskan perhatian pada ekuita dari pada hasil dari operasi. 0.5% - 1% dari total aktiva pada saat ekuitas mengalami penurunan pada titik paling rendah. Dianjurkan : kepada pemeriksa menggunakan tingkat materialitas yang paling rendah (paling konservatif) pada pemeriksaan atas laporan keuangan entitas yang baru kali pertama diperiksa. Selain itu, tingkat materialitas yang konservatif juga harus digunakan pada pemeriksaan atas laporan keuangan entitas-entitas yang mempunyai risiko pemeriksaan tinggi atau belum mempunyai system pengendalian intern yang memadai. Penetapan Nilai Materialitas Awal Nilai Materialitas Awal (PM) merupakan nilai materialita awal untuk tingkat laporan keuangan secara keseluruhan. Nilai materialitas awal yang diperoleh merupakan bearnya kesalahan yang mempengaruhi pertimbangan pengguna Laporan Keuangan. Ilustrasi penetapan nilai materialitas awal : Dasar Penetapan Materialitas : Total Belanja Tingkat Materialitas : 1 % Nilai Total Belanja pada Laporan Keuangan : Rp 15.560.855,20 juta PM (penetapan nilai materialitas awal) : 1 % X Rp 15.560.855,20 juta = Rp 155.608,55 juta III.       JENIS-JENIS RISIKO AUDIT 3.1 Risiko Deteksi Terencana Risiko deteksi terencana (planned detection risk) merupakan ukuran risiko bahwa bukti audit atas segmen tertentu akan gagal mendeteksi keberadaan salah saji yang melebihi suatu nilai salah saji yang masih dapat ditoleransi, andaikan salah saji semacam itu ada. Terdapat dua poin utama tentang risiko deteksi terencana ini yaitu sebagai berikut : Risiko ini tergantung pada ketiga faktor lainnya yang terdapat dalam model. Risiko deteksi terencana hanya akan berubah jika auditor melakukan perubahan pada salah satu dari ketiga faktor lainnya tersebut. Risiko ini menentukan nilai substantif yang direncanakan oleh auditor untuk dikumpulkan, yang merupakan kebalikan dari ukuran risiko deteksi terencana itu sendiri. Jika nilai risiko deteksi terencana berkurang, maka auditor harus mengumpulkan lebih banyak bukti audit untuk mencapai nilai risiko deteksi yang berkurang ini. Risko Inheren Risko inheren (inheren risiko) merupakan suatu ukuran yang dipergunakan oleh auditor dalam menilai adanya kemungkinan bahwa terdapat sejumlah salah saji yang material (kekeliruan atau kecurangan) dalam suatu segmen sebelum ia mempertimbangkan keefektifan dan pengendalian intern yang ada. Dengan mengasumsikan tiadanya pengendalian intern, maka risiko inheren ini dapat dinyatakan sebagai kerentanan laporan keuangan terhadap timbulnya salah saji yang material. Jika auditor, dengan mengabaikan pengendalian intern, menyimpulkan bahwa terdapat suatu kecenderungan yang tinggi atas keberadaan sejumlah salah saji, maka auditor akan menyimpulkan bahwa tingkat risiko inherennya tinggi. pengendalian intern diabaikan dalam menetapkan dalam menetapkan nilai risiko inheren karena pengendalian intern ini dipertimbangkan secara terpisah dalam model risiko audit sebagai risiko pengendalian. Penilaian ini cenderung didasarkan atas sejumlah diskusi yang telah dilakukan dengan pihak manajemen, pemahaman yang dimiliki akan perusahaan, serta hasil-hasil yang diperoleh dari tahun-tahun sebelumnya. Hubungan antara risiko dengan risiko deteksi terencana serta dengan bukti audit yang direncanakan adalah sebagai berikut : risiko inheren saling berlawanan dengan risiko deteksi terencana serta memiliki hubungan yang searah dengan bukti audit. Selain semakin meningkatnya bukti audit yang diperlukan untuk suatu tingkat risiko inheren yang lebih tinggi dalam suatu area audit tertentu, merupakan hal yang umum dilakukan pula untuk menugaskan staf yang telah memiliki lebih banyak pengalaman untuk melakukan audit pada area tersebut serta melakukan riview yang lebih mendalam pada kertas kerja yang telah selesai dibuat. Sebagai contoh : jika risiko inheren atas keusangan persediaan sanagt tinggi, maka sangatlah masuk akal bila kantor akuntan publik memilih staf yang berpengalaman untuk melakukan sejumlah tes yang lebih mendalam atas keusangan persediaan ini dan melakukan review yang lebih cermat atas hasil-hasil yang diperoleh dari audit ini. Resiko Pengendalian Resiko pengendalian (control risk) merupakan ukuran yang digunakan oleh auditor untuk menilai adanya kemungkina bahwa terdapat sejumlah salah saji material yang melebihi nilai salah saji yang masi dapat ditoleransi atas segmen tertentu akan tidak terhadang atau tidak terdeteksi oleh pengendalian intern yang dimiliki klien. Resiko pengendalian ini memperhatikan 2 hal berikut: Penilaian tentang apakah pengendalian intern yang dimiliki klien efektif untuk mencegah atau mendeteksi terjadinya salah saji. Kehendak auditor membuat penilaian tersebut senantiasa berada di bawah nilai maksimum (100 persen) sebagai bagian dari rencana audit yang dibuatnya. Model resiko audit menunjukan hubungan yang erat antara resiko inheren dan resiko pengendalian. Sama dengan yang terjadi pada resiko inheren, hubungan antara resiko pengendalian dan resiko deteksi terencana adalah saling berlawanan, sementara hubungan antara resiko pengendalian dan bukti substantif merupakan hubungan yang searah. Sebagai contoh, jika auditor menyimpulkan bahwa pengendalian intern bersifat efektif, maka nilai resiko deteksi terencana dapat meningkat sehingga jumlah bukti audit yang direncanakan akan dikumpulkan akan turun. Auditor dapat meningkatkan resiko deteksi terencana pada saat pengendalian intern bersifat efektif karena pengendalian intern yang efektif akan mengurangi kemungkinan hadirnya salah saji dalam laporan keuangan. Sebelum auditor dapat menetapkan nilai resiko pengendalian kurang dari 100 persen, auditor harus memahami pengendalian intern yang ada, dan berdasarkan pemahaman itu, auditor melakukan evaluasi tentang bagaimana seharusnya fungsi pengendalian intern tersebut, serta melakukan uji atas efektifitas pengendalian intern tersebut. Hal pertama dari semua ini adalah keharusan untuk memahami semua jenis audit. Dua hal terakhir adalah langkah-langkah penilaian resiko pengendalian yang diperlukan jika auditor memilih untuk memberikan nilai atas resiko pengendalian supaya berada di bawah nilai maksimum. Risiko Akseptibilitas Audit Resiko akseptibilitas audit (acceptable audit risk) merupakan ukuran atas tingkat kesediaan auditor untuk menerima kenyataan bahwa laporan keuangan mungkin masih mengandung salah saji yang material setelah audit selesai dilaksanakan serta suatu laporan audit wajar tanpa syarat telah diterbitkan. Ketika auditor memutuskan untuk menetapkan suatu tingkat resiko akseptibilitas audit yang lebih rendah, hal tersbut berarti bahwa auditor ingin memperoleh tingkat keyakinan yang lebih tinggi bahwa laporan keuangan tidak mengandung salah saji yang material. Resiko nol berarti yakin sekali, dan suatu tingkat resiko sebesar 100 persen berarti benar-benar tidak yakin. Dalam audit terdapat istilah audit assurance atau tingkat keyakinan, yaitu merupakan pelengkap dari resiko akseptibilitas audit. Audit assurance dihitung dengan perhitungan satu dikurangi resiko akseptibilitas audit. Sebagai contoh, tingkat resiko akseptibilitas audit sebesar 2 persen sama dengan tingkat audit assurance sebesar 98 persen. Dengan mempergunakan model audit, akan terlihat adanya hubungan yang searah antara resiko akseptibilitas audit dan resiko deteksi terencana, serta hubungan yang saling berlawanan antara resiko akseptibilitas audit dan bukti audit yang direncanakan. Sebagai contoh, jika auditor memutuskan akan mengurangi nilai resiko akseptibilitas audit, maka akan mengurangi pula resiko deteksi terencana serta bukti audit yang direncanakan akan dikumpulkan harus ditingkatkan. Auditor pun seringkali harus menugaskan staf yang lebih berpengalaman atau mereview kertas kerja dengan lebih cermat bagi klien dengan tingkat resiko akseptibilitas audit yang lebih rendah. 3.5 Resiko Kecurangan Resiko kecurangan merupakan resiko selain 4 resiko di atas dan resiko ini biasanya di perhitungkan di luar dari model resiko audit. Karena resiko kecurangan secara konsep dan praktek sangat sulit untuk dipisahkan faktor-faktornya ke dalam 4 jenis resiko di atas. Kecurangan sendiri memiliki arti kesalahan penyajian yang dilakukan secara sengaja dalam bentuk penggelapan aktiva dan kecurangan pelaporan keuangan. Untuk menilai resiko kecurangan, auditor mengumpulkan informasi untuk menentukan luasnya keberadaan kondisi kecurangan. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya resiko kecurangan antara lain tekanan yang diterima manajemen baik kelompok maupun individual, kesempatan yang tercipta, dan perilaku manajemen untuk membiarkan terjadinya tindakan ketidakjujuran tersebut. IV.       HUBUNGAN MASING-MASING RISIKO AUDIT Baik resiko pengendalian maupun resiko inheren umumnya ditentukan bagi setiap siklus, setiap akun, dan seringkali pula bagi setiap tujuan audit, bukan bagi keseluruhan penugasan audit, dan kemungkinan besar akan sangat bervariasi dari satu siklus ke siklus lainnya, sari satu akun ke akun lainnya, serta dari satu tujuan audit ke tujuan audit lainnya untuk suatu penugasan audit saja. Pengendalian intern barangkali memiliki tingkat keefektifan yang lebih tinggi untuk sejumlah akun yang terkait dengan saldo daripada atas akun-akun yang terkait dengan aktiva tetap. Selanjutnya, resiko pengendalian pun akan berbeda bagi akun-akun yang berbeda. Resiko akseptibilitas audit umumnya ditetapkan oleh auditor selama fase perencanaan dan ditetapkan pada tingkat yang sama bagi setiap siklus dan akun utama. Para auditor umumnya mempergunakan tingkat resiko akseptibilitas audit yang sama bagi setiap segmen karena berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat resiko akseptibilitas audit terkait dengan seluruh aspek penugasan audit, bukan pada masing-masing akun. Tetapi, pada beberapa kasus, tingkat resiko akseptibilitas audit yang lebih rendah barangkali akan lebih tepat bagi suatu akun daripada akun-akun lainnya. Dalam contoh terdahulu, walaupun auditor memutuskan untuk menggunakan suatu tingkat resiko akseptibilitas audit yang menengah bagi keseluruhan penugasan audit, auditor dapat saja memutuskan untuk mengurangi tingkat resiko akseptibilitas audit hingga tingkat yang rendah bila ternyata persediaan tersebut dipergunakan sebagai jaminan atas suatu kredit jangka pendek. Beberapa auditor menggunakan tingkat resiko akseptibilitas audit yang sama dengan tingkat resiko akseptibilitas audit atas keseluruhan penugasan audit bagi setiap segmen auditnya, sementara sejumlah auditor lain menggunakan suatu tingkat resiko akseptibilitas audit yang lebih tinggi bagi setiap segmen. Karena tingkat resiko pengendalian dan tingkat resiko inheren sangat bervariasi dari satu siklus ke siklus lainnya, dari satu akun ke akun lainnya, atau dari satu tujuan audit ke tujuan audit lainnya, maka tingkat resiko deteksi terencana serta jumlah bukti audit yang direncanakan pun semakin bervariasi. Setiap penugasan didasari oleh situasi-situasi yang berbeda, serta rentang bukti audit yang diperlukan akan tergantung pada sejumlah situasi yang unik. Sebagai contoh, pada suatu penugasan audit, akun persediaan barangkali akan membutuhkan pengujian yang ekstensif akibat dari lemahnya pengendalian intern serta akibat dari pertimbangan tentang tingkat keusangan yang terjadi dari sejumlah perubahan teknologi yang terdapat dalam industry. Dalam penugasan audit yang sama, akun piutang dagang barangkali hanya memerlukan sedikit pengujian saja karena efektifnya tingkat pengendalian intern yang ada, tingkat penagihan piutang yang tinggi, serta temuan audit yang baik pada penugasa audit tahun-tahun sebelumnya. Maka bagi suatu audit atas persediaan, auditor dapat menetapkan suatu penilaian bahwa di dalam akun tersebut terdapat suatu tingkat resiko inheren yang tinggi atas suatu salah saji dalam nilai yang terealisasi akibat dari tingginya potensi keusangan persediaan, tetapi menetapkan suatu tingkat resiko inheren yang rendah atas suatu salah saji dalam klasifikasi karena pada klien tersebut hanya terdapat persediaan yang dibeli dari pihak ketiga saja. DAFTAR PUSTAKA Halim, Abdul. 2008. Auditing 1 (Dasar-dasar audit laporan keuangan). Yogyakarta : Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN http://tensilatif31.blogspot.com/2012/07/resiko-audit.html (diakses pada tanggal 9 April 2017) http://yuvinella.wordpress.com/2012/10/21/materialitas-risiko-dan-strategi-audit-awal/ (diakses pada tanggal 9 April 2017) http://lukasang46.blogspot.co.id/2014/06/audit-1-materialitas-risiko-dan.html (diakses pada tanggal 22 Januari 2017) 19