Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Kemajemukan Agama Di Tiang Merah Putih

Ilmu tanpa agama, ilmu itu buta dan agama tanpa ilmu, agama itu pincang (Albert Einstain)

Kemajemukan Agama Di Tiang Merah Putih Judul : Rekonsiliasi Tak-Berprivilese Dari Perspektif Agama Sebagai Kesaktian Bineka Tunggal Ika “Perbedaan Adalah Bentuk Dari Baiknya Tuhan Kepadamu” (F. Rettob) Kemajemukan agama adalah bentuk dari kontras keagamaan yang masih bercorong pada nilai-nilai keukhwaan yang masih terlindungi dalam Kebinekaan Tunggal Ika. Kontras terbesar muncul dari sisi ke sisi. Kontras yang dimaksud meliputi tabu-tabu kasta dan agamaagama magis atau mistagogik entah yang sakramental atau orgiasik di India, animisme di China, sufistik di Islam, dan agama kongregasi pneumatik (penuh gelora) antusiastik di Kristen. Semua bentuk dari kontras tersebut pernah ada dan masih ada yang dipraktek di Indonesia. Indonesia telah melewati beberapa dasawarsa konflik keagamaan yang dialami oleh masyarakat Maluku di tahun 1998. Salah satu dari banyak tempat yang merasakan konflik tersebut adalah Poso. Walaupun bentuk dari kehidupan tidak akan sama lagi sejak peristiwa konflik di Poso. Kenyataan ini dialami seluruh masyarakat Poso saat ini. Peristiwa di bulan Desember 1998 menjadi awal perubahan tatanan kehidupan masyarakat Poso secara dramatis. Para perempuan, laki-laki dewasa, orang tua, remaja, anak-anak, lanjut usia, segala usia dari segala lapisan dan latar belakang, tanpa terkecuali, terseret, dipaksa masuk dalam tepian dan pusaran konflik kekerasan berdarah yang berkepanjangan. Sebagian dipaksa terlibat untuk sekedar bertahan atau untuk menyerang demi mempertahankan diri1. . Konflik berakhir dalam ruang perdamaian Rumah Adat Maluku. Konflik itu pun menjadi goresan emas dalam sejarah kebangkitan solidaritas di masyarakat Maluku dan membuktikan kesaktian dari Kebinekaan itu sendiri. 1 Konflik poso; suara perempuan dan anak menuju rekonsilasi ingatan; Yogyakarta, Penerbit Galangpress Ilmu tanpa agama, ilmu itu buta dan agama tanpa ilmu, agama itu pincang (Albert Einstain) Kontemporeri ini Kebinekaan sering mengalami goncangan dan ancaman dari dogmatis tokoh agama yang ingin menyederhanakan Kebinekaan ini dalam satu bentuk ideologi yang berlafaskan Keislamana atau kita mengenalnya dengan bentuk Kekhilafaan. Bercermin dari kelahiran Pancasila maka semua dogma tokoh agama suda terserap masuk dalam landasan dasar ide kebangkitan Pancasila sebab Pancasila adalah bentuk dari pemikiran yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah tetapi tidak dikatakan secara letelatur dalam butir-butir Pancasila. Coba kita buka lembaran-lembaran “Sosiologi Agama” Max Weber yang mengungkapkan sejarah kelahiran agama, dewa, ahli magis, dan pendeta. Gagasan tentang tuhan, etika keagaamaan, dan tabo. Tentang nabi, kasta, harta, kelas, intelektualisme, dan kaum intelektual. Bila kita tafsirkan secara mendalam maka akan diambil kesimpulan bahwa perbedaan adalah fitrahnya kehidupan yang tak bisa dihindari maupun dipisahkan dari bentuk kehidupan itu snediri. Bila kita liat dari perspektif Al-Qur’an maka Allah pun mengakuhi perbedaan itu. Allah menyebutkannya dalam Surah Al-Hujurat ayat 132 serta Allah mengkonsulidasi pengakuannya tentang perbedaan tercermin dalam Surah Al-Kafirun ayat 63. Jadi hargai perbedaan sebagai bentuk dari manifestasi keimanan kepada sang Khalid yang telah memberikan perbedaan kepada kita makhluknya yang lemah ini. Indonesia adalah salah satu dari sekian banyak bentuk dari tempat perbedaan yang dikaruniahi Allah kepada Ummatnya, sebagai warga Negara yang terkungkung dalam keperbedaan ini harus menerima dan menghormati privilese yang diberikan Allah serta melaksakan kewajibannya sebagai warga negara yang sesuai dengan supramasi hukum. 2 3 Surah Al-Hujurat : 13 Surah Al-Kafirun : 6 Ilmu tanpa agama, ilmu itu buta dan agama tanpa ilmu, agama itu pincang (Albert Einstain)