Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
254 AHMAD NAJIB BURHANI PENELITIAN MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA Ahmad Najib Burhani ISEAS – Yusof Ishak Institute, Singapura dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta najib27@yahoo.com Artikel diterima 18 September, diseleksi 19 Oktober, dan disetujui 8 Desember 2017 Abstract Abstrak Who is more authoritative in conducting research on certain religious minorities, insider or outsider? How to apply the concepts of ‘detachment’, ‘neutrality’, and ‘bracketing’ in studying religious groups officially declared by majority of ulama and mainstream religious organizations as deviant cults like Ahmadiyah? And how would the various concepts, methods, and scientific theories, such as ‘going native’ and ‘participant observation’ be applied in the field? How to negotiate between faith and science, our identity as part of religious mainstream and orthodox group in studying communities deemed ‘heretic’? To what extent does researcher’s identity as a nonAhmadi affect his research and judgment about Ahmadiyah? This paper intends to discuss the author’s experience in studying Ahmadiyah, in applying various theories and academic principles in the study of this community, and how to behave towards individual conflicts and controversies surrounding Ahmadiyah issues. This paper is based on seven-year experience of living with, studying, and participating in the activities of Ahmadiyah in Indonesia, Singapore, Japan, India, England, and the United States. Siapa yang lebih otoritatif dalam melakukan penelitian tentang kelompok minoritas agama tertentu,Insider atau outsider? Bagaimana menerapkan konsep detachment, neutrality, dan bracketing dalam mengkaji kelompok yang oleh mayoritas ulama difatwakan and berbagai ormas keagamaan sebagai aliran sesat seperti Ahmadiyah? Dan bagaimana pula berbagai konsep tersebut dihadapkan dengan metode penelitian lapangan yang disebut dengan going native dan participant observation? Sejauhmana identitas peneliti sebagai non-Ahmadi mempengaruhi penelitian dan penilaian tentang Ahmadiyah? Tulisan ini merupakan refleksi akademik terkait pengalaman penulis dalam mengkaji Ahmadiyah, dalam menerapkan berbagai teori dan prinsip akademik dalam kajian tentang komunitas ini, dan bagaimana penulis bersikap terhadap berbagai konflik individu serta kontroversi seputar isu Ahmadiyah. Tulisan ini didasarkan pada tujuh tahun pengalaman hidup, bergaul, mengkaji, and berpartisipasi dengan beragam aktivitas Ahmadiyah di Indonesia, Singapura, Jepang, India, Inggris, dan Amerika Serikat. Keywords: Ahmadiyah, identity, insider vs. outsider, orthodoxy vs. heterodoxy, conversion, scholarship. HARMONI Juli - Desember 2017 Kata kunci: Ahmadiyah, identitas, insider vs. outsider, going native, ortodoksi vs. heterodoksi pindah agama, kesarjanaan. MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA “Identity predetermines our intellectual trajectories or that it is on the basis of identity that the validity of our scholarship is decided... Identity does mater; scholars are not clean slates with no histories, values, or experiences shaping their scholarly work” ~Jose Cabezon dan Sheila Davaney 2004, 13~ PENDAHULUAN Dalam sebuah grup diskusi online antara para praktisi dan aktivis kerukunan umat beragama, penulis pernah menyampaikan brosur tentang acara workshop penafsiran Al-Qur’an di UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta pada September 2015. Dalam workshop itu penulis akan mempresentasikan makalah yang berjudul “Translation of the Qur’an in Indonesia: The Case of the Ahmadiyya” dan seorang teman akan berbicara tentang Tafsir Syi’ah. Tiba-tiba seorang pengikut Syi’ah dalam grup tersebut bertanya, “Siapakah yang berbicara tentang tafsir Syi’ah itu?” Penulis menjawab bahwa kawan itu adalah seorang kandidat doktor dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menulis disertasi tentang berbagai tafsir Al-Qur’an. Pengikut Syi’ah ini lantas protes yang intinya menyatakan keberatannya untuk datang jika yang berbicara tentang Syi’ah bukanlah orang Syi’ah. Bagaimana mungkin seorang nonSyi’i bisa bicara dengan benar tentang Syi’ah? Begitu pertanyaannya. Persoalan insider dan outsider ini muncul kembali dalam diskusi buku Muhammadiyah Jawa di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) pada Mei 2016. Karena penulis buku ini adalah orang Muhammadiyah atau insider, maka salah satu pembahasannya adalah netralitas penulis. Insider bisa bersikap bias terhadap kajiannya dan akan mudah terbawa emosi untuk membela dan menutupi informasi 255 yang kurang baik yang berkaitan dengan obyek penelitiannya. Dua kasus di atas lantas membawa kepada pertanyaan yang lebih luas: Apakah hanya orang perempuan yang bisa memahami feminisme? Apakah hanya orang miskin yang memahami kemiskinan? Apakah hanya orang China yang dapat menjadi pakar China? Apakah hanya orang Yahudi dan pendukung Israel yang boleh menjadi professor tentang Judaisme? Apakah hanya orang Islam yang tahu dan boleh mengajar tentang Islam? Apakah orang Muhammadiyah secara akademik sah mengkaji Ahmadiyah? Pertanyaan utama dalam kajian ini adalah sejauhmana identitas seorang peneliti yang berasal dari kelompok agama mainstream atau bahkan dari organisasi massa Islam yang ikut mengeluarkan fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah berpengaruh dalam penelitiannya tentang kelompok yang dituduh sesat atau heterodoks? Jelasnya, sejauhmana identitas penulis sebagai non-Ahmadi, atau bahkan sebagai pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah, berpengaruh dalam penelitian tentang Ahmadiyah? Apakah orang sekuler bisa lebih obyektif dalam mengkaji Ahmadiyah daripada orang yang sudah punya komitmen keagamaan tertentu atau aktivis ormas keagamaan tertentu? Seperti yang ditulis oleh Cabezon dan Davaney (2004, 13), “Who you are affects the agenda you set for yourself as a scholar, the approaches you find compelling, and the conclusions you reach... identity predetermines our intellectual trajectories or that it is on the basis of identity that the validity of our scholarship is decided... Identity does mater; scholars are not clean slates with no histories, values, or experiences shaping their scholarly work”. Intinya, identitas seseorang itu akan banyak mempengaruhi karya kesarjaannya. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16 No. 2 256 AHMAD NAJIB BURHANI Posisi penulis sebagai aktivis Muhammadiyah tentu tidak memberikan privilege tertentu untuk mengkaji Ahmadiyah. Bisa jadi, posisi itu justru menghalangi untuk bersikap obyektif. Sikap Muhammadiyah terhadap Ahmadiyah tidak berubah sejak keluarnya fatwa tahun 1929 (PP Muhammadijah, 1964, 9-10). Intinya, keputusan itu menyebutkan bahwa siapa saja yang percaya adanya nabi setelah Nabi Muhammad, maka ia adalah kafir (Burhani 2014a). Tentu, posisi di Muhammadiyah ini masih lebih baik dalam konteks Indonesia karena Muhammadiyah, bersama dengan NU (Nahdlatul Ulama), dianggap sebagai organisasi moderat yang masih bisa bersikap toleran terhadap Ahmadiyah. Namun mengingat posisi Muhammadiyah yang berseberangan dengan Ahmadiyah dalam konteks ideologi atau menganggap Ahmadiyah sebagai pemahaman yang sesat bahkan kafir, maka ketika penulis melakukan penelitian terhadap organisasi ini, pertanyaan yang barangkali ada di benak orang adalah, “Apakah kamu mengkaji Ahmadiyah untuk mencari-cari kelemahannya atau justru membelanya? Apa kamu orang Ahmadiyah yang menyusup di Muhammadiyah? Atau kamu ingin menunjukkan kesalahankesalahan Ahmadiyah dengan mengkaji mereka dan kemudian membawa mereka ke jalan yang benar?” Peran teologis ketika mengkaji agama lain atau keyakinan lain itu sering ada di benak aktivis keagamaan. Pikiran-pikiran seperti di atas bisa jadi ada dibenak orang Muhammadiyah dan Ahmadiyah sekaligus. Karena itu, pertanyaan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana identitas penulis sebagai aktivis dan pimpinan Muhammadiyah berpengaruh dalam penelitian tentang Ahmadiyah? Pertanyaan selanjutnya adalah apakah outsider bisa bicara dan menulis dengan benar seperti insider? Apakah dia bisa memahami kulturnya dan menjiwai HARMONI Juli - Desember 2017 perasaannya? Sebagai peneliti tentang isu sosial tertentu, kita sering diasumsikan dengan sesuatu yang kita kaji. Sebagai peneliti tentang Ahmadiyah, kadang orang bertanya, baik melalui email atau langsung, “Apakah Anda seorang Ahmadi?” Dalam masyarakat luas, kadang penulis dianggap sebagai juru bicara Ahmadiyah atau justru saya sendiri yang memposisikan diri sebagai juru bicara Ahmadiyah ketika berhadapan dengan pandangan-pandangan yang saya yakini keliru dalam melihat Ahmadiyah. Dalam fenomenologi dikenal adanya konsep epoche yang berarti “abstention” atau “suspension of judgment” (mengambil jarak) atau sering pula didefinisikan sebagai metode “bracketing”. Maksud dari metode ini adalah “freeing the phenomenologist from unexamined presuppositions, or of rendering explicit and clarifying our presuppositions, rather than denying their existence” (Allen 1987, v. 11, 275). Nah, sejauhmana metode ini berfungsi dalam kajian tentang Ahmadiyah. Tulisan ini akan membahas tentang pengalaman penulis dalam menerapkan berbagai teori dan prinsip akademik dalam kajian tentang komunitas Ahmadiyah, dan bagaimana penulis bersikap terhadap berbagai konflik individu serta kontroversi seputar isu Ahmadiyah. PEMBAHASAN Perjumpaan dengan Ahmadiyah Sebelum masuk dalam pembahasan tentang penelitian mengenai Ahmadiyah, perlu disampaikan terlebih dahulu perjumpaan penulis dengan komunitas ini yang setidaknya terdapat tiga fase perjumpaan. Perjumpaan pertama hanya mengenal biasa dan terfokus pada isu HAM (Hak Asasi Manusia). Perjumpaan kedua ketika menulis disertasi dan karena itu lebih akademik. Perjumpaan ketiga seusai menulis disertasi dan lebih MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA banyak menyentuh persoalan ideologis serta dilakukan secara bersahabat. Secara lebih detail, bisa dikatakan bahwa perjumpaan penulis yang cukup intensif dengan Jemaat Ahmadiyah memang sudah dimulai ketika saya menulis disertasi S3 tentang Ahmadiyah di UCSB (University of California Santa Barbara) yang diserahkan tahun 2013. Namun penelitian dan perjumpaan penulis dengan Ahmadiyah yang lebih intens lagi atau lebih produktif lagi justru terjadi setelah selesai menulis disertasi. Tepatnya, setelah pulang ke Indonesia pada September 2013, penulis justru banyak berjumpa dengan anggota komunitas ini. Bukan sekadar untuk tujuan penelitian, tapi lebih sebagai pertemanan dan keterlibatan dengan kehidupan mereka. Perjumpaan pada tahap ketiga ini lebih alami (natural) daripada ketika menulis disertasi. Karena tidak ada interview, tidak ada janji pertemuan untuk menggali informasi. Banyak kegiatan yang belum pernah penulis ketahui dan ikuti justru menjadi pengalaman baru seusai menulis disertasi. Diantaranya adalah mengikuti Jalsa Salana di beberapa tempat dan negara, termasuk di Qadian, India. Jika dilihat semata dari aspek penelitian, banyak sekali data dan informasi yang justru penulis dapatkan dari jemaat Ahmadiyah dalam rentang waktu tiga tahun (2013-2016) yang tidak bisa atau tidak mungkin diperoleh ketika sedang menulis disertasi tentang Ahmadiyah. Ketika masa-masa awal kuliah di UIN Jakarta tahun 1994, nama Ahmadiyah pernah melintas dalam buku pelajaran atau diucapkan oleh dosen. Namun ketika itu penulis belum merasa ingin tahu lebih jauh tentang gerakan atau komunitas ini. “Perjumpaan” pertama yang cukup membekas di kepala adalah sekitar tahun 1997. Itu terjadi secara tak sengaja, yaitu dalam perjalanan acara IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang 257 melewati Kampus Mubarak yang juga kantor pusat Ahmadiyah di Parung. Secara kebetulan, seorang teman memberikan penjalasan sekilas tentang tempat itu. “Oh ini ya kantor Ahmadiyah yang sering disebut-sebut itu?” begitu yang terbersit di benak penulis. Ada sedikit rasa ingin tahu yang muncul di pikiran. Namun keingintahuan itu hilang begitu saja bersamaan dengan hadirnya aktivitas lain. Ketika khalifah Ahmadiyah datang ke Indonesia tahun 2000 dan berjumpa dengan berbagai tokoh nasional seperti Amien Rais, Abdurrahman Wahid, dan Dawam Rahardjo, penulis sedang menekuni pekerjaan lain dan tidak begitu perhatian dengan peristiwa ini. Demikian juga dengan berbagai resistensi yang dilakukan oleh Amin Djamaluddin, pendiri dan ketua LPPI (Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam)1, terhadap Ahmadiyah pada tahun tersebut. Berbagai penerbitan antiAhmadiyah juga tidak pernah penulis perhatikan. Penulis juga belum pernah ketemu dengan seorang Ahmadi pun dan tidak pernah menyebut nama Ahmadiyah dalam tulisan-tulisan hingga tahun 2005. Perjumpaan yang nyata baru terjadi tahun 2005, tepatnya setelah penyerangan terhadap Kampus Mubarak di Parung yang juga merupakan kantor pusat JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia). Itu juga yang menjadi awal menulis tentang Ahmadiyah, meskipun hanya didistribusikan dalam komunitas yang sangat terbatas (mailing list). Judul tulisan itu adalah “Satu tempat, tiga aktivitas”. Tulisan itu berdasarkan observasi singkat di sekitar kampus Mubarak pada malam hari setelah penyerangan. Setelah itu, Dawam Rahardjo mengajak beberapa orang dari Muhammadiyah dan NU untuk membahas tentang nasib yang menimpa Ahmadiyah dan gerakan advokasi apa yang perlu dilakukan bersama untuk 1 Untuk informasi tentang LPPI, silahkan baca Burhani (2016). Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16 No. 2 258 AHMAD NAJIB BURHANI merespon penyerangan tersebut. Kita berangkat dengan bus dari Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jl. Menteng Raya 62 Jakarta. Tempat yang dituju adalah Garut, ke hotel dan pemandian air panas milik seorang anggota jemaat Ahmadiyah. Setelah kegiatan tersebut, penulis membuat beberapa artikel yang diantaranya berbicara tentang Ahmadiyah, minus pembahasan tentang teologi. Tema utama tulisan-tulisan itu berkisar persoalan toleransi dan kebebasan beragama. Tulisan-tulisan model inilah yang banyak dibuat oleh aktivis HAM. Penyerangan terhadap Ahmadiyah di Parung tidak hanya membuka pengetahuan penulis, tapi juga banyak orang lain, tentang Ahmadiyah. Kejadian itu, pada satu sisi, Ahmadiyah telah menjadi korban. Namun pada sisi lain, ia juga menjadi medium yang memperkenalkan organisasi atau komunitas ini ke masyarakat Indonesia secara luas. Perjumpaan selanjutnya dengan Ahmadiyah terjadi di Manchester, Inggris. Ketika itu penulis tinggal di Grove House yang terletak di Oxford Rd, Manchester yang tak jauh dari masjid Ahmadiyah, yaitu Masjid Dar al-Aman. Karena memang letaknya tidak jauh, penulis merencanakan hadir ke sana pada hari Jum’at yang menjadi kesempatan pertama sholat berjamaah dengan orang Ahmadiyah di masjid Ahmadiyah. Karena bersamaan dengan Jalsa Salanah, maka khutbahnya dan jama’ah Jum’at diimami oleh khalifah dari jarak jauh. Beberapa waktu setelah perjumpaan di Manchester tersebut, penulis tidak lagi berhubungan langsung dengan orang Ahmadiyah sampai terjadi kasus Cikeusik. Peristiwa itulah yang mengubah intensitas pertemuan dengan Ahmadiyah. Sebelumnya sempat merencanakan membuat studi perbandingan tentang sistem khilafah dengan membandingkan sistem di Ahmadiyah, Hizbut Tahrir, dan HARMONI Juli - Desember 2017 kekhilafahan Sunni Islam dulu. Namun tema itu batal dan berganti dengan isu orthodoxy dan heterodoxy sebagai tema utama disertasi. Dalam menulis disertasi itulah penulis berkunjung dan bertemu dengan orang-orang Ahmadiyah di Manis Lor, Parung, Transito Mataram, Bogor, Pandeglang, dan beberapa tempat lain. Di Amerika Serikat penulis juga berkenalan dengan komunitas Ahmadiyah di Bait Ul Muqeet Austin Texas dan juga dengan beberapa orang Ahmadiyah dari Indonesia seperti Chaerul Bahri dan Atab Ahmad Lubis. Nama yang pertama tinggal di Pantai Timur Amerika. Ia merupakan putra dari Luis Maala (Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia periode 1996-2001). Sementara Atab tinggal di Dallas. Ia adalah putra dari Syarif Ahmad Saitama Lubis, Amir JAI periode 1990-1996 dan adik dari Kandali Lubis, Direktur Humanity First Indonesia dan Ketua JAI Kebayoran Lama. Gambar 1 Berjumpa dan berdialog dengan Mirza Masroor Ahmad, Khalifah V Ahmadiyah, di Singapura Seperti disebutkan di atas, intensitas pertemuan dengan Ahmadiyah justru semakin meningkat setelah selesai menulis disertasi dan kembali ke Indonesia. Pada 26-28 September 2013, penulis ikut Peace Symposium dan mulaqat atau pertemuan Khalifah Ahmadiyah di Singapura. Di situlah saya bertemu langsung dan berdialog dengan Mirza Masroor Ahmad, khalifah Ahmadiyah yang kelima. Pertemuan dengan Ahmadiyah, MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA baik JAI dan GAI (Gerakan Ahmadiyah Indonesia), menjadi lebih intensif setelah itu. Dengan GAI, penulis hadir pada Jalsa di Yogyakarta pada 24 Desember 2013 dan menjadi pembicara pada haul keluarga Djojosoegito pada 25 April 2015. Dengan JAI, saya hadir di Jalsa DKI di Carita pada 19-21 Februari 2015, Jalsa Tangerang di Gondrong pada 20 Maret 2015, Jalsa di Qadian India pada 26-28 Desember 2016, bertemu dengan jamaah di Kebayoran, Bandung, Surabaya, Medan, Depok, Perigi, dan lain-lain. Penulis ikut berpartisipasi di International Peace Symposisum (IPS) 2015 di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan IPS 2016 di UIN Yogyakarta. Beberapa jamaah Ahmadiyah juga berkunjung ke rumah penulis beberapa kali. Kajian penulis di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) tentang Pluralitas dan Minoritas yang akan dikerjakan dari tahun 2015-2019 juga memberikan kesempatan untuk sering bertemu dengan orang Ahmadiyah dan mengundang mereka hadir di LIPI atau dalam FGD (Focus Group Discussion) yang diselenggarakan di beberapa kota di Indonesia. Lebih dari Sekadar Organisasi, Ahmadiyah adalah Keluarga Jemaah Ahmadiyah terdatar di Indonesia sebagai sebuah organisasi massa. Namun jika orang melihat apa yang terjadi pada organisasi ini dari dalam, diantaranya dengan menghadiri Jalsa Salana dan bergaul dengan warga Ahmadiyah, maka mereka akan menemukan bahwa Ahmadiyah itu bukan sekadar organisasi. Ahmadiyah adalah family atau keluarga atau bisa juga disebut sebagai gerakan tarekat. Ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa Ahmadiyah itu bukan sekadar organisasi dan gerakan, tapi sebagai sebuah family dan tarekat (Burhani 2017a). 259 Secara kasat mata bisa dilihat bahwa warga Ahmadiyah memiliki hubungan sesama jemaat yang erat (strong bond) antara satu dengan yang lain. Mereka bukan hanya menyapa dan mengucapkan salam, mereka saling peluk ketika bertemu tanpa melihat kebangsaan, etnisitas, dan warna kulit. Mereka membantu satu sama lain dalam berbagai hal, termasuk ekonomi. Ini misalnya terjadi di berbagai tempat seperti Rabwah dan Manis Lor. Mereka saling menopang secara ekonomi sehingga menyulap kedua tempat itu menjadi daerah yang sejahtera dan penduduknya hidup dengan tingkat ekonomi yang mapan. Hal lain yang membuktikan bahwa Ahmadiyah adalah sebuah keluarga atau tarekat adalah kebersamaan mereka dalam gerak menuju tujuan tertentu dibawah kepemimpinan khalifah. Peran khalifah, atau yang biasa dipanggil sebagai Huzur, begitu sentral dalam membimbing warga Ahmadiyah. Semua orang bertanya dan berkomunikasi dengannya, baik untuk meminta nama untuk anak-anaknya maupun untuk mengkonsultasikan persoalan hidup. Mereka menyimak khutbah Jum’ah yang disampaikan oleh khalifah setiap minggu. Mereka menerjemahkan, mencatat, dan berusaha sekuat mungkin mengamalkan apa yang disampaikan itu.2 Pendeknya, khalifah bukan hanya menjadi pemimpin spiritual dan imam, tapi juga sebagai pemimpin sosial dan bahkan menjadi ayah dan mursyid bagi pengikut Ahmadiyah. Dalam forum Jalsa Salana, peran Ahmadiyah sebagai keluarga dengan huzur sebagai ayah itu terasa dengan adanya acara melaporkan adanya anggota keluarga baru pada anggota Ahmadiyah. Bagi yang baru memiliki bayi atau masih 2 Seperti yang diceritakan Sukarta, yang menangani bagian pendidikan di PB JAI dan pimpinan pendidikan Arief Rahman Hakim Tangerang Selatan, ia mencatat dan menghapalkan doa apa saja yang dibaca khalifah pada khutbah Jum’at. Ia lantas meminta siswa-siswi di sekolahnya untuk ikut menghapalkan do’a-doa tersebut dan mempraktekkan dalam keseharian. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16 No. 2 260 AHMAD NAJIB BURHANI mengandung, mereka meminta kepada khalifah untuk memberi nama kepada bayi yang baru lahir atau masih dalam kandungan tersebut. Di acara jalsa Qadian bahkan ada acara pernikahan secara agama terhadap pasangan Ahmadiyah. Dilaksanakan setelah sholat isya’, pernikahan dan pemberian restu itu dilakukan. Bukan hanya pemberian nama bagi bayi dan pernikahan yang memberi warna forum jalsa sebagai forum reuni atau pertemuan keluarga, bahkan ketika ada orang tua yang terpeleset jatuh pun dilaporkan ke khalifah. Ini, misalnya, yang terjadi pada Abdul Qoyum, salah satu tokoh Ahmadiyah Indonesia. Ia terpeleset jatuh ketika berdiri untuk pergi ke kamar kecil dan sempat dibawa ke rumah sakit. Menurut Maulana Sayuti, mantan Raisut Tabligh Indonesia, peristiwa itu sudah dilaporkan ke Huzur dan karena itu ia minta disediakan mobil untuk membawa Qoyum ke Jalsa Gah (Jalsa venue) yang berjarak sekitar satu kilometer dari Dar al-Masih, tempat Qoyum menginap. Namun demikian, karena khalifah itu begitu sentral, sebagai pemimpin, imam, dan ayah, maka kadang muncul kesan, terutama bagi outsider, bahwa Ahmadiyah itu menjadi semacam kultus. Istilah kultus itu tentu saja dianggap tidak tepat dan ditolak oleh warga Ahmadiyah. Namun jika istilah kultul ini dihubungkan dengan gerakan tarekat, maka ini adalah fenomena umum dalam tradisi tasawuf tertentu. Dalam Ahmadiyah dan beberapa gerakan tarekat, segala hal yang disampaikan khalifah atau mursyid adalah kebenaran. Para Ahmadi memperhatikan dengan seksama, mencatat, dan mengamalkan setiap khutbah yang disampaikan khalifah. Jika dibandingkan dengan sikap pendukung fanatik Gus Dur terhadap Gus Dur, misalnya, maka apa yang ada di Ahmadiyah ini bisa disebut lebih tinggi dari itu. Penulis belum pernah HARMONI Juli - Desember 2017 menemukan ada Ahmadi yang berani mengkritik khalifah, apalagi menyebut khalifah pernah melakukan kesalahan. Keunikan Ahmadi Indonesia Pada 25 Desember 2016, sore hari, penulis diajak oleh Maulana Rahmat, seorang muballigh Ahmadiyah dari Indonesia yang sedang belajar di Jamia Ahmadiyah Qadian, untuk bertemu dengan Maulana Muhammad Inaam Sahib Ghori, Nazir Aala Sadr Anjuman Ahmadiyya dan Ameer-e-Maqami Qadian. Pertemuan itu berlangsung di rumahnya yang sederhana. Hadir pula salah satu keluarga Ahmadiyah yang cukup berpengaruh di Indonesia, Ibnu Umar beserta istri (Asrida) dan empat orang keluarga dekatnya. Dalam pertemuan tersebut penulis bertanya tentang perbedaan atau keunikan jamaah Ahmadiyah dari Indonesia dibandingkan dengan jamaah Ahmadiyah dari negara lain. Beliau menjawab bahwa dalam pandangannya, Ahmadi di Indonesia itu sama dengan jemaah dari negara lain, baik mereka yang berasal dari Afrika, seperti Ghana, maupun Eropa. Dalam arti, dalam pemahaman penulis, Jemaah dari Indonesia tidak lebih rendah dari mereka yang berasal dari negara lain, termasuk mereka yang dari India dan Pakistan. Penulis sebetulnya berharap mendapat jawaban yang berbeda atau lebih dari itu darinya. Ini karena penulis mendengar dan melihat keunikan dari jemaah dari Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Diantaranya, adalah: Pertama, Ahmadiyah Indonesia tak dipimpin orang Indo-Pakistani. Tidak seperti negara-negara lain yang jemaah Ahmadiyahnya didominasi oleh orang keturunan Indo-Pakistan, di Indonesia jemaah Ahmadiyah adalah orang asli Indonesia. Pengurus dan pimpinannya MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA (amir dan muballigh) adalah orang Indonesia. Ini dimulai sejak pertama kali Ahmadiyah hadir ke Indonesia, yaitu ketika jemaat dipimpin oleh tiga serangkai: Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan. Kedua, kehadiran Ahmadiyah di Indonesia pun berkat inisiatif orang Indonesia yang datang ke Qadian, yaitu tiga serangkai pelajar Indonesia dari Padang yang belajar di Qadian. Baru setelah ada permintaan tersebut, khalifah lantas mengirim muballigh (Rahmat Ali) ke Indonesia. Umumnya, dalam penyebaran Ahmadiyah di negaranegara lain, penyebaran Ahmadiyah itu dimulai ketika kantor pusat Ahmadiyah mengirimkan muballigh/ missionaris ke negara atau daerah tersebut. Inilah diantaranya yang, menurut seorang juru bicara Ahmadiyah, membuat jamaah Ahmadiyah dari Indonesia mendapat tempat istimewa di hati khalifah. Makanya, ketika berkunjung ke Indonesia tahun 2000, khalifah memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi pusat dari Ahmadiyah pada tahun-tahun mendatang. Pernyataan ini yang dimanfaatkan oleh Amin Djamaluddin untuk menakut-nakuti orang Indonesia tentang ancaman Ahmadiyah (Burhani, 2016). “Sesungguhnya aku tegaskan kepada kalian bahwa sebelum akhir abad baru Indonesia akan jadi negara Ahmadiyah terbesar, Insya Allah,” demikian disampaikan Khalifah keempat Ahmadiyah, Mirza Tahir Ahmad, dalam kunjungannya ke Indonesia tahun 2000. Pernyataan ini dimuat di Majalah mingguan Al-Fadhl International, No. 7, tanggal 13 Juli 2000.3 Ketiga, kedatangan peserta dari Indonesia dalam jalsa salanah di Qadian 2016 ini juga menjadi wujud dari nubuwwah Masih Mau’ud Mirza Ghulam Ahmad bahwa pada suatu hari nanti akan 3 Penulis belum melihat langsung majalah nomor itu. Referensi untuk tulisan ini justru datang dari penentang Ahmadiyah (Amin Djamaluddin, 2011: 28). 261 hadir jamaah ke Qadian dengan menyewa satu pesawat penuh. Bunyi nubuwwah itu adalah sebagai berikut: “Beliau bersabda (Hazrat Mirza Ghulam Ahmad). Aku yakin bahwa suatu hari akan datang masa ketika orang-orang akan datang ke sini dari tempat yang jauh-jauh. Sebagaimana salah satu rukya Hazrat Masih Mauud (as) yang di dalamnya beliau melihat bahwa dirinya sedang berenang di udara. Lalu bersabda, Isa (as) dulu berjalan di atas air, sedangkan aku berenang di udara dan karunia Tuhan kepadaku melebihi karunia yang diberikan kepada Isa (as). Berdasarkan rukya ini aku berfikir bahwa masa itu akan datang, sebagimana untuk datang ke Jalsah Qadian ini mula-mulanya dengan delman, kemudian motor-motor mulai masuk yang menyebabkan jalan berlubang dimana-mana, dan sekarang orang-orang datang dengan kereta api. Begitu pula suatu masa dalam hari-hari jalsah mulai terdengar kabar bahwa dari negara ini dan itu datang sekian pesawat. Hal ini tampak aneh di hadapan dunia tapi tidak bagi Allah Taala”. Nubuwwah muncul dalam rukya yang diterima oleh Ghulam Ahmad sebagaimana dijelaskan oleh Khalifah Ahmadiyah ke-2 Basyiruddin Mahmud Ahmad dalam khutbah Jumat tanggal 10 Desember 1937 dan disampaikan ulang oleh Khalifah Ahmadiyah ke-5, Mirza Masroor Ahmad pada khutbah Jumat tanggal 25 Desember 2015 (Budiana, 2016). Inilah yang menyebabkan peserta dari Indonesia yang berjumlah 201 orang diperkenankan menempati Dar al-Masih selama pelaksanaan Jalsa. Tempat ini jarang dibuka untuk umum. Bahkan pelajar Ahmadiyah, termasuk Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16 No. 2 262 AHMAD NAJIB BURHANI dari Indonesia, yang sedang menimba ilmu di Jamia Ahmadiyah Qadian pun sebelumnya belum pernah mendapat kesempatan untuk masuk Dar al-Masih ini. Ini tentu menjadi pengalaman yang istimewa bagi para peserta dan mungkin tak terulang lagi. Keempat, bila kita berkunjung ke Bahishti Maqbarah Qadian, maka jumlah orang Indonesia juga sangat banyak. Mungkin jumlahnya sekitar 10-20 persen dari mereka yang namanya ada dalam taman pekuburan tersebut. Ini menarik karena ia menunjukkan bahwa kontribusi orang Indonesia dalam Ahmadiyah ini cukup besar. Mereka yang namanya ada di Bahishti Maqbarah adalah orang-orang yang berwasiat untuk menyerahkan 1/3 atau 1/10 hartanya ke Ahmadiyah dan terus menerus membayar candah dalam jumlah yang sama setiap bulan. Pembahasan tentang posisi Ahmadiyah Indonesia dalam konteks Ahmadiyah global ini berhubungan erat dengan posisi dan peran umat Islam Indonesia secara umum dalam pergaulan di dunia Islam. Umat Islam Indonesia sering dipandang memiliki peran peripheral (pinggiran) serta keislamannya juga sering dipandang belum sempurna. Islam Indonesia dipandang merupakan sinkretisme dari keyakinan keagamaan yang sebelumnya dipeluk oleh masyarakat Indonesia, yaitu Hinduisme, Buddhisme, Animisme, dan Dinamisme. Keunggulan yang dibanggakan hanyalah pada jumlah besarnya, yaitu sebagai negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia. Inilah yang menyebabkan penulis bertanyatanya tentang posisi Ahmadi Indonesia dalam komunitas Ahmadiyah dunia. Persoalan Metode dalam Mengkaji Ahmadiyah Sebagai non-Ahmadi, ada beberapa persoalan yang terus penulis hadapi ketika mengkaji dan hidup dengan HARMONI Juli - Desember 2017 komunitas Ahmadiyah. Pertama, pertanyaan mengenai afiliasi keagamaan. “Mengapa belum berbai’at menjadi Ahmadi?” Pertanyaan ini beberapa kali disampaikan ketika penulis mengikuti kegiatan Jalsa Salana dan memberikan kesaksian tentang keyakinan teologis Ahmadiyah. Pertanyaan ini juga sering ditanyakan kepada para antropolog yang mengkaji keyakinan keagamaan yang berbeda dengan dirinya. Seperti ditulis oleh James L. Peacock dalam bukunya Purifying the Faith: The Muhammadijah Movement in Indonesian Islam (1978), setelah sekian lama mengkaji Islam dan Muhammadiyah, orang di Yogyakarta bertanya kepadanya tentang agamanya dan mencoba mengajaknya memeluk Islam. Berikut ini kutipan panjang dari Peacock: Exactly how to define one’s role as participant –observer is a classic problem in ethnographic research. Traditionally one is advised to seek a middle point between the extremes of the fieldworker who goes native and the one who coldly stares at the people as though they were speciments in a laboratory. This issue of balancing observation and participation acquires a new dimension in the study of movements. Movements tend toward a radical view of outsiders; those who are not members are enemies; those not for, are against. At the same time, movements desire converts. Thus movements do not easily set a place for the neutral observer. The outsider tends to be regarded as either an enemy or a potential convert, or both. Both atitudes entered my experience with the Muhammadijah, though the Javanese sense of tact and moderation prevented extremes in either direction. During the months of participation in the Muhammadijah, several efforts were made to win my conversion to Islam. For example, a congregation of some five hundred Muslims once prayed for MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA several minutes that I convert. More oten, I experienced no direct pressure to convert –they realized that I was not the proper sheep for their fold—but rather an effort to clarify my religious identity. Christians (which is what I, as a Westerner, was generally assumed to be) compete with Muslims for control of Indonesia, and a certain conflict exists between the two movements. To a degree, I could not avoid the religious label by claiming to be a scholar –one who learns as opposed to one who believes—but the image of scholar too has been tainted. Muhammadijans used the term Orientalist to refer to Western scholars (some of whom were employed by the Dutch during the colonial era) of Christian bias who studied Islam in order to denigrate or control it. Once at a large gathering of Muhammadijah teachers where I was atempting to explain my research, I was asked if I were such an Orientalist. I denied this, and someone in the assembled group then asked, “What, then, is your religion (agama)?” I replied, “My religion is Anthropology.” The answer was doubtless cryptic and certainly idealistic, but I went on to explain that I was trying to follow an academic discipline, to acquire knowledge, to take notes. No one could be a truly neutral observer, but in term of my observations of the Muhammadijah I would try to fulfill the requirements of the ethnographic method and avoid the more blatant biases of a sectarian point of view (Peacock 1978, 11-12). Bagi sebagian masyarakat, jika seseorang mempelajari Islam dengan serius, maka ia pasti akan terkagum dengan agama ini dan kemudian memeluk Islam. Bahwa para peneliti asing ini akan terbuka hatinya untuk masuk Islam setelah sekian lama mempelajari ajaran agama ini secara benar. Ini 263 berangkat dari keyakinan bahwa Islam adalah agama yang paling benar, paling sesuai dengan nalar manusia, dan paling sesuai dengan perkembangan zaman. Jadi, mereka akan heran terhadap orang yang sudah sekian lama mempelajari Islam namun belum juga masuk Islam. Sementara bagi seorang akademisi, terutama hasil didikan Barat, ketika mengkaji agama, mereka melihatnya sebagai sebuah subyek penelitian, melepaskan dari pertanyaan benar dan salah, membebaskan diri dari isu percaya dan tidak percaya. Intinya, para peneliti itu, “Defined religious tradition as part of broader cultural processes that were available to scientific scrutiny and explanation” (Cabezon and Davaney 2004, 10). Mereka mendefinisikan tradisi keagamaan sebagai bagian proses kultural secara umum yang terbuka untuk kajian dan penjelasan ilmiah. Ketika hadir di Qadian, mantan raisut tabligh Ahmadiyah dari Indonesia, Maulana Sayuti Azis memperkenalkan penulis kepada beberapa orang sebagai anggota dan pengurus Muhammadiyah, “namun hatinya sudah Ahmadiyah.” Bahwa penulis sudah sangat dekat dengan Ahmadiyah, meski secara resmi masih ghair Ahmadi. Beberapa orang Ahmadiyah lain, seperti muballigh Mataram tahun 2013, Maulana Nashiruddin, bahkan menyebut saya sebagai “anggota istimewa Ahmadiyah”. “You are so close to Ahmadiyya, why do not you join this community? Bai’ah is only a formality,” begitu pertanyaan dari seorang Ahmadi di Qadian yang menjadi akuntan di Sadr Anjuman Ahmadiyya Qadian.4 4 Bai’ah adalah pledge of allegiance. Ia menjadi pintu pertama untuk menjadi anggota Ahmadiyah. Menjadi Islam adalah dengan mengucapkan kalimat syahadat. Untuk menjadi Ahmadiyah, selain pengucapan kalimat syahadat, maka seseorang harus berbai’at. Orang yang bai’at, berjanji dengan hati jujur bahwa sebagai Ahmadi akan menjalankan 10 syarat bai’at sebagai berikut: 1. Dimasa yang akan datang hingga masuk ke dalam kubur, senantiasa akan menjauhi syirik. 2. Akan senantiasa menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan birahi terhadap bukan muhrim, perbuatan fasik, kejahatan, aniaya, Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16 No. 2 264 AHMAD NAJIB BURHANI Gambar 2 Delegasi Indonesia pada Jalsa Salana Ahmadiyah di Qadian 2016 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. khianat, huru-hara, pemberontakan; serta tidak akan dikalahkan oleh gejolak-gejolak hawa nafsunya meskipun bagaimana juga dorongan terhadapnya. Akan senantiasa mendirikan salat lima waktu tanpa putus-putusnya, semata-mata karena mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan dengan sekuat tenaga akan senantiasa mengerjakan salat tahajjud, dan mengirimkan shalawat kepada Yang Mulia Rasulullah saw, dan memohon ampun dari kesalahan dan memohon perlindungan dari dosa; akan ingat setiap saat kepada nikmat-nikmat Allah, lalu mensyukuri dengan hati tulus, serta memuji dan menjunjung-Nya dengan hati yang penuh kecintaan. Tidak akan kesusahan apapun yang tidak pada tempatnya terhadap makhluk Allah umumnya dan kaum Muslimin khususnya karena dorongan hawa nafsunya, baik dengan lisan atau dengan tangan atau dengan cara papaun juga. Akan tetap setia terhadap Allah Taala baik dalam segala keadaan susah ataupun senang, dalam duka atau suka, nikmat dan musibah; pendeknya, akan rela atas putusan Allah. Dan senatiasa akan bersedia menerima segala kehinaan dan kesusahan di dalam jalan Allah. Tidak akan memalingkan mukanya dari Allah Taala ketika ditimpa suatu musibah, bahkan akan terus melangkah ke muka. Akan berhenti dari adat yang buruk dan dari menuruti hawa nafsu. Dan benar-benar akan menjunjung tinggi perintah al Quran Suci atas dirinya. Firman Allah dan sabda Rasul-Nya itu akan menjadi pedoman baginya dalam setiap langkahnya. Meninggalkan takabur dan sombong; akan hidup dengan merendahkan diri, beradat lemah lembut, berbudi pekerti halus, dan sopan santun. Akan menghargai agama, kehormatan agama dan mencintai Islam lebih daripada jiwanya, hartanya, anak-anaknya, dan dari segala yang dicintainya. Akan selamanya menaruh belas kasihan terhadap makhluk Allah umumnya, dan akan sejauh mungkin mendatangkan faedah kepada umat manusia dengan kekuatan dan nikmat yang dianugerahkan Allah Taala kepadanya. Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini “Imam Mahdi dan al Masih Mau’ud”, sematamata karena Allah dengan pengakuan taat dalam hal ma’ruf dan akan berdiri di atas perjanjian ini hingga mautnya, dan menjunjung tinggi ikatan perjanjian ini melebihi ikatan duniawi, baik ikatan keluarga, ikatan persahabatan, ataupun ikatan kerja. HARMONI Juli - Desember 2017 Pertanyaan tentang conversion dan bai’at ini merupakan pertanyaan yang sulit dijawab. Secara teoritis dalam penelitian, ada perbedaan tipis antara going native dan menjadi believer. Going native adalah menjadikan peneliti menyatu betul dengan subyek yang dikaji, mengikuti segala aktivitas yang mereka lakukan. Sehingga ia tidak berbeda dari anggota kelompok yang dikaji. Beberapa peneliti tentang Islam, seperti Snouck Hurgronje, bersyahadat menjadi Muslim dan mengambil nama Islam untuk mempraktekkan konsep going native ini. Peneliti Barat lain yang mengkaji masyarakat adat Dayak di Indonesia memilih untuk menikahi lakilaki anggota masyarakat adat tersebut. Dalam mengkaji Ahmadiyah, isu yang dihadapi sebetulnya bukan sekadar going native. Sebagai Muslim, sebagian besar dari ajaran Ahmadiyah adalah ajaran keagamaan yang selama ini sudah penulis jalankan. Jika mengacu pada hal tersebut, maka bisa dikatakan bahwa sebagian besar dari jiwa dan keyakinan penulis sebetulnya sudah Ahmadiyah bahkan sebelum saya mengenal jemaah ini. Tanpa harus menerapkan konsep going native pun penulis sudah menjadi native. Hanya ada perbedaan kecil antara saya dan Ahmadiyah sebelum saya mengenal mereka, yaitu tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan perannya sebagai Al-Masih serta persoalan khilafah. Inilah yang kemudian membawa ke isu kedua, yaitu: batas yang memisahkan antara believer dan non-believer itu sangat tipis, perbedaan antara Ahmadi dan penulis itu juga sangat tipis.5 Selain isu kontroversial yang berkaitan dengan teologi, ada beberapa hal, baik yang bersumber pada keyakinan 5 Penulis sering mengatakan kepada beberapa orang Ahmadiyah, bahwa batas antara penulis dengan mereka sebetulnya adalah persoalan hidayah. Pembahasan tentang hidayah ini tentu tidak bisa dipahami dalam bahasa rasional. Ini adalah istilah teologis untuk menjelaskan berbagai peristiwa seperti conversion (perpindahan keyakinan). MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA teologis maupun murni sosial, yang menimbulkan kontroversi atau, paling tidak, sering menggelitik timbulnya pertanyaan berkaitan dengan Ahmadiyah. Beberapa hal tersebut adalah: Pertama, terkait imam sholat berjamaah dan pernikahan. Ahmadiyah menganjurkan pengikutnya untuk hanya menikah dengan sesama Ahmadi. Ini berkaitan dengan kultur dan harmoni dalam keluarga. Secara sosiologis, model pernikahan ini juga terjadi pada komunitas Arab tertentu yang melarang perkawinan antara sayyid dengan nonsayyid atau antara orang Arab dan nonArab (Burhani 2017b). Demikian juga tentang perkawinan antara suku (seperti Jawa dengan Sunda) dan antar agama yang mendapat banyak penentangan. Namun ketika orang Ahmadiyah hanya mau mengimami dan tidak mau diimami dalam sholat berjamaah dengan umat Islam lain, kadang ini dipandang sebagai penghalang bersatunya mereka dengan komunitas Islam yang lain. Secara teologis tentu hal ini bisa dipahami, bahwa ini sebagai upaya untuk meneguhkan kebenaran ajarannya dan pada saat yang sama menunjukkan kesalahan dari Islam lain. Namun secara sosial, mungkin ini terasa aneh (Burhani 2017a). Kedua, tentang penekanan pada ibadah ritual. Ini bisa dilihat pada penekanan mereka pada ibadah ritual dan peningkatan keimanan. Masalah ibadah ritual dan keimanan ini juga yang selalu menjadi tema dari muballigh-muballigh Ahmadiyah. Bahkan dalam jalsa salana yang diadakan di berbagai negara dan daerah di Indonesia, ibadah ritual adalah salah satu kegiatan utama atau bisa jadi merupakan inti dari pertemuan tahunan tersebut. Sebagaimana hukumnya dalam fiqh Sunni, awalnya penulis menduga bahwa tahajud adalah kegiatan optional (pilihan, bukan wajib). Namun pada Jalsa, orang sangat bersemangat dan berlomba- 265 lomba untuk ikut sholat tahajud yang dilakukan secara berjamaah sebanyak 8 rokaat (4 x 2 rokaat). Sholat Tahajut itu ditutup dengan witir yang disertai do’a qunut yang cukup panjang. Pada momen inilah kita akan menyaksikan bagaimana komunitas Ahmadi banyak yang menangis tersedu dalam sujud setelah do’a qunut. Doa qunut itu sendiri berisi tentang permohonan kepada Allah untuk memberikan kemenangan bagi Islam, menjaga umat Islam, menjadikan mereka orang sabar dan taat kepada Allah, taat kepada khalifah, dan selalu diberkati, dan sebagainya. Berbeda dari sholat Tahajud, sholat lima waktu yang lain dilakukan tak sesyahdu pelaksanaan Tahajud. Dalam forum Jalsa, sholat fardlu itu selalu dilaksanakan secara berjama’ah dan dengan di-jama’ (gabung), yaitu Dzuhur dengan ‘Asyar dan Maghrib dengan Isya’. Seluruh materi yang disampaikan pada jalsa juga berisi tentang upayaupaya peningkatan iman Ahmadiyah. Misalnya, tentang tauhid, kehidupan Nabi Muhammad, kebenaran janjijanji Al-Masih, kehidupan para sahabat Nabi dan sahabat al-Masih, pentingnya institusi wasiyyat, persatuan umat Islam, kegiatan da’wah, ketaatan kepada institusi khilafah, dan kehidupan AlMasih. Ketiga, produktivitas karya tulis. Salah satu missi yang diemban oleh Ahmadiyah adalah mengubah makna jihad dari jihad bial-saif (jihad dengan pedang atau warfare jihad) menjadi jihad bi al-qolam (jihad dengan pena atau peaceful jihad). Namun jemaat Ahmadiyah seperti kurang produktif menulis buku. Orang yang paling produktif di komunitas ini adalah pendiri Ahmadiyah, yaitu Ghulam Ahmad sendiri dengan 79 buku karyanya. Khalifah kedua, Mahmud Ahmad, adalah orang yang produktif kedua. Meski tidak seproduktif Ghulam Ahmad dan Mahmud Ahmad, tradisi Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16 No. 2 266 AHMAD NAJIB BURHANI menulis buku ini masih dilanjutkan oleh khalifah-khalifah berikutnya. Ada dua orang bintang Ahmadiyah dalam hal ilmu pengetahuan, yaitu Sir Zafrullah Khan dan Profesor Abdus Salam. Dua orang ini dalam literatur Ahmadiyah disebut dua bintang. Zafrullah Khan pernah menjadi Menteri Luar Negeri Pakistan pada masa Ali Jinnah dan menjadi hakim pengadilan internasional PBB (Perserikatan BangsaBangsa). Khan menerjemahkan AlQur’an dan menulis sejumlah buku bermutu tentang Ahmadiyah dalam bahasa Urdu dan Inggris. Sementara Abdus Salam adalah seorang ilmuwan yang memperoleh hadiah nobel dalam bidang Fisika bersama Sheldon Glashow and Steven Weinberg pada tahun 1979. Sepertinya belum ada warga Ahmadiyah yang menyamai kedua bintang tersebut dalam capaian ilmiah dan produktifitas menulis buku. Ini yang menimbulkan pertanyaan, “Apakah kedua orang ini outlier di Ahmadiyah?” dan “Apakah pencapaian mereka tak berhubungan dengan tradisi keilmuwan yang ada dalam Ahmadiyah?” Keempat, harapan terhadap do’a dan terjadinya miracle atau keajaiban. Selain percaya terhadap kekuatan do’a, orang Ahmadiyah juga sangat percaya bahwa hukuman Tuhan akan datang dengan segera jika mereka melakukan dosa atau kesalahan. Intinya, janji dan ancaman Tuhan untuk akan hadir tanpa menunggu lama, apalagi sampai di akhirat. Pengabulan doa dan pemberian hukuman itu akan terjadi “here and now”, dengan cepat di dunia ini. Masih berkaitan dengan do’a, ada kepercayaan yang tinggi dari warga Ahmadiyah bahwa mereka adalah komunitas yang diberkati oleh Allah. Mereka sangat percaya bukan hanya pada kekuatan do’a, tapi juga terwujudnya do’a-do’a yang dipanjatkan. Setiap kali bertemu dengan tokoh kharismatik dalam HARMONI Juli - Desember 2017 komunitas Ahmadiyah, yang sering diminta hanyalah do’a. Tidak mengajukan proposal atau melobi, tapi meminta do’a. Ini yang terjadi, misalnya, ketika sejumlah kecil warga Ahmadiyah Indonesia untuk bertemu dengan Maulana Muhammad Inaam Sahib Ghori, Nazir Aala Sadr Anjuman Ahmadiyya dan Ameer-eMaqami Qadian di rumahnya di Qadian. Salah satu tema dari pertemuan itu adalah memohon do’a. Ini adalah tradisi yang cukup dekat dengan orang-orang NU ketika berkunjung ke ulama atau kiai. Gambar 3 Berdo’a di Bahishti Maqbarah Qadian, India Hal menarik lain dari warga Ahmadiyah adalah kepercayaan sebagai komunitas yang terpilih dan diberkati. Banyak cerita yang muncul selama perjalanan dari Indonesia ke Qadian yang menunjukkan bahwa jemaat Ahmadiyah adalah komunitas diberkati. Misalnya, seseorang bercerita bahwa ketika ia perlu air, maka tiba-tiba ada orang yang memberi air; ketika ada orang yang berbuat jahat kepadanya, tiba-tiba orang itu celaka. Cerita-cerita itu seperti menjadi bukti terhadap keyakinan itu. Cerita tentang kekutan do’a dan kedekatan orang Ahmadiyah dengan keajaiban ini juga menjadi salah satu tema dari buku Mirza Mubarak Ahmad (1964), salah satu cucu Ghulam Ahmad, ketika melaporkan kunjungannya ke Indonesia (Burhani 2014b). Ketika penulis bertemu dengan jemaah asal Indonesia yang lama tinggal di Abu Dhabi, cerita-cerita ketaatan, MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA loyalitas, dan miracle ini yang banyak disampaikan ke saya. Setiap peristiwa yang dialami hampir selalu dikaitkan dengan pembayaran candah yang ia lakukan. Ia sangat yakin bahwa menjadi Ahmadiyah itu menjadi umat pilihan dan diberkati oleh Allah. Peringatan Allah itu akan datang dengan cepat bila melakukan kesalahan. Begitu juga kasih-sayang Allah itu begitu cepat tiba bila seseorang berbuat kebaikan. Mereka percaya bahwa doa-doa Ahmadi akan cepat didengar dan dikabulkan Allah. Berikut beberapa penuturan Abdul Halim Ghazali6: Ketika masih di Jakarta, Halim pernah terlambat membayar candah dan tak lama setelah itu mobil kijang yang dinaiki tiba-tiba ditabrak oleh taksi dari belakang. Di Qadian, ia pernah mengambil sebagian uang candah. Sebetulnya ia hanya bermaksud meminjam dan akan dikembalikan segera. Namun tak lama dari tindakannya itu, rem mobilnya blong. Ia bisa menghindarkan diri dari menabrak mobil lain yang ada di depannya. Namun ia tak bisa menghindar menabrak bajai yang ada di pinggir jalan. Ia harus memperbaiki bajai yang ditabrak dan harus memperbaiki mobilnya. Halim percaya bahwa dua kejadian itu terkait erat dengan apa yang dilakukan terhadap candah; yang pertama karena terlambat dan yang kedua karena meminjamnya. Ia langsung diberi peringatan oleh Allah bahwa yang ia lakukan itu tidak benar. Ia juga bercerita tentang temannya yang terlambat bayar candah dan Allah memperingatkannya dengan lepasnya ban mobil yang dikendarai di jalan toll di Jakarta. “Apapun kesulitannya, harus diusahakan untuk membayar candah tepat waktu dan tidak boleh menyentuh uang tersebut. Saya ke Qadian di bulan 6 Abdul Halim Ghazali ini adalah cucu Bagindo Zakaria di Padang yang rumahnya dipakai untuk debat antara Rahmat Ali dengan ulama di Padang tahun 1926. Ketiga anaknya diwaqakan ke jemaat: Seorangadalah dokter tamatan universitas di Abu Dhabi, seoang lagi adalah anaknya yang kedua yang juga sedang kuliah kedokteran di Rusia, dan yang ketiga adalah anaknya yang kini masih di SMA. 267 Desember ini, candah saya untuk Januari sudah saya bayarkan karena saya khawatir bisa terlambat membayar candah kalau ditinggal pergi jauh,” begitu Halim bercerita tentang ketaatannya membayar cahdah dan keyakinannya akan peringatan Allah yang cepat jika ia melakukan kesalahan. Namun demikian, ia juga bercerita tentang bagaimana kasih sayang Allah itu hadir ke keluarganya. Ketika anaknya sakit, iapergi ke beberapa dokter, tapi anaknya tak juga sembuh. Lantas ia meminta anaknya berkirim surat ke khalifah. Jam 7 pagi suratdikirim melalui facsimile, jam 8 pagi anaknya sudah berlari-lari dan tak sakit lagi. Ketika kuliah di ITB (Institute Teknologi Bandung),ia juga mengajukan surat ke khalifah. Ini berkaitan dengan wisudanya yang harus ditunda ke tahun berikutnya karena ia belum selesai menulis tesis, sehingga belum bisa mengikuti wisuda. Ia lantas berdoa dan berkirim surat ke khalifah. Akhirnya, thesisnya yg baru 40 persen bisa disidangkan. Padahal surat ke London itu perlu satu bulan di perjalanan. Ia percaya proses doa dan ijabah Allah itu sudah berjalan begitu surat dikirim ke kotak pos. Jauh sebelum dibaca dan didoakan oleh khalifah. Begitu juga ketika anaknya ikut kompetisi cerdas cermat di Abu Dhabi. Anaknya yang sebetulnya di sekolah ranking III itu akhirnya juga menjadi pemenang dan mengalahkan temannya yang rangking I dan II. Kemenangan dalam lomba cerdas cermat itu, menurutnya, terjadi karena anaknya berkirim surat ke Huzur dan meminta didoakan agar bisa menjadi pemenang dalam lomba itu. Itulah yang menyebabkan Halim mengingatkan anaknya bahwa kemenangannya itu adalah berkat do’a Huzur. “Ini bukan karena kepintaranmu, nak. Tapi karena doa Huzur,” begitu Halim menasehati anaknya. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16 No. 2 268 AHMAD NAJIB BURHANI Cerita lain yang berkaitan dengan kasih-sayang Allah terjadi pada dirinya. Pada suatu ketika Halim dan keluarganya akan mengikuti Jalsa di Qadian. Ketika pesawat yang ditumpangi dari Abu Dhabi tiba di bandara Amritsar, ada kabut tebal yang tidak memungkinkan pesawat mendarat. Akhirnya pesawat naik lagi dan mendarat di New Delhi. Dari Delhi ia harus naik bis selama 10 jam ke Qadian. Ketika tiba di lokasi Jalsa, ia tidak diperkenankan masuk ke area yang bisa mendengarkan materi-materi dengan terjemahan bahasa Inggris atau Indonesia. Ketika itu bahasa Urdunya masih belum bagus. Karena tidak bisa masuk ke area terjemahan, maka hanya sedikit materi yang bisa dipelajari. Ia berkata kepada dirinya dan anaknya untuk sabar. Bagai pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga”, ketika kembali ke Abu Dhabi, mobilnya hilang. Cobaan yang ia terima datang secara bertubi-tubi. Namun sebagai Ahmadi ia yakin bahwa pasti ada sesuatu dibalik peristiwa-peristiwa ini. Dan betul, tak lama kemudian Amir Ahmadiyah Abu Dhabi memberitahu bahwa ia mendapat surat dari khalifah. Ketika ia terima dan baca, begitu gembiranya ia karena ia disebut berhak memiliki tanah di kavling-kavling perumahan Ahmadiyah di Qadian. Baginya ini adalah sebuah berkah yang luar biasa dan itu semua merupakan jawaban dari cobaan yang beberapa kali ia terima menjelang tibanya kabar gembira tersebut. Kelima, sebagian outsider melihat Ahmadiyah itu seperti organisasi yang tertutup. Ketika pertama kali datang ke Parung, penulis sedikit merasakan ketertutupan dan kecurigaan terhadap orang luar ini. Padahal penulis sudah meminta beberapa teman, seperti Firdaus Mubarak, untuk mengkomunikasikan kunjungan itu dan sudah berkirim surat. Namun ketika masuk, penulis harus ditahan dulu di dekat pintu gerbang selama beberapa lama. Penulis juga tidak bisa meminjam buku di perpustakaan. HARMONI Juli - Desember 2017 Beruntung waktu itu Amir Nasional JAI, Maulana Abdul Basith, melihat penulis dan kemudian membantu mengkomunikasikan dengan pihak-pihak yang ada di Kampus Mubarak Parung. Pengalaman ini juga di rasakan oleh teman yang datang langsung ke Parung tanpa memberitahukan terlebih dahulu atau suratnya mengalami hambatan. Tentu bisa dipahami mengapa kadang orang-orang Ahmadiyah bersikap hati-hati terhadap orang asing. Itu tak lepas dari pengalaman mereka didiskriminasi dan diberitakan atau ditulis secara kurang simpatik oleh wartawan atau peneliti yang menemui mereka. Ada institusi yang menyebut dirinya sebagai Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) yang sangat aktif menulis dan menerbitkan buku-buku hujatan terhadap Ahmadiyah (Burhani 2016). Meskipun namanya lembaga penelitian dan pengkajian, namun apa yang mereka lakukan berbeda dari standar akademik dalam penelitian dan pengkajian. Lembaga ini sangat ideologis dan penerbitannya lebih ditujukan untuk kepentingan menghancurkan lawanlawan ideologinya. Demikian juga banyak wartawan yang mencari informasi, namun sudah memiliki frame tertentu dalam penulisan. Ketika menulis tentang Ahmadiyah, maka hampir selalu diisi dengan suara negatif. Inilah diantaranya yang membuat mereka kadang curiga dengan orang asing hadir menemui mereka atau datang ke tempat mereka. Kesan tentang penjagaan keamanan yang ketat itu juga terjadi pada Jalsa Salana di Qadian, India. Untuk masuk ke Dar alMasih, Masjid Al-Aqsa, Masjid Mubarak, dan Jalsa Gah (arena jalsa), semua orang, termasuk anggota Ahmadiyah, harus melewati pengamanan yang berlapis. Mulai dari pengecekan identitas kepesertaan, melewati metal detector, pengecekan fisik, dan scanning barang- MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA barang yang dibawa. Pengecekannya lebih ketat dari pengecekan untuk naik pesawat di airport di Amerika Serikat atau Singapura. Bahkan beberapa polisi dengan laras panjang selalu berdiri di gerabang Dar al-Masih, Jalsa Gah, dan Bahishti Maqbarah. Untuk masuk ke Bahishti Maqbarah pun tidak bisa dilakukan oleh semua orang, harus menunjukkan identitas peserta jalsa atau identitas Ahmadiyah. Tentu semua itu dengan alasan security, karena selalu ada atau bahkan banyak orang-orang yang berniat jahat kepada orang Ahmadiyah. Penyerangan terhadap Ahmadiyah itu terjadi beberapa waktu lalu ketika masjid Ahmadiyah di tembaki dan sekitar 80 orang meninggal dunia. Ini diantaranya yang membuat jemaah Ahmadiyah waspada terhadap orang asing atau orang luar. Keenam, ada kontras antara lingkungan Ahmadiyah dan sekitarnya. Ketika tiba di Qadian, penulis masuk Dar al-Masih yang bersih, rapi, dan kokoh. Kemudian esoknya berkunjung ke Bahishti Maqbarah yang hijau, indah, sejuk, dan menenteramkan. Namun begitu keluar dari lingkungan Ahmadiyah, kita menemukan banyak pengemis, berdebu, lingkungan yang kumuh, kotor, semrawut, dan tak tertata. Ini yang mengingatkan kepada kalimat dari Wilfred Cantwell Smith yang mengatakan “If half a village somewhere is Ahmadi, that half is apt to be cleaner than the other half” (Smith 1969, 370). Intinya Smith ingin mengatakan bahwa orang Ahmadiyah itu lebih banyak memikirkan jamaahnya dan kurang melibatkan masyarakat sekitarnya. Tentu pernyataan ini tidak sepenuhnya benar jika melihat pada kondisi lingkungan yang selalu mendiskriminasikan Ahmadiyah. Namun jika dilihat secara kasat mata dan sekilas, kesan itu yang muncul pertama kali. 269 SIMPULAN Ada tiga catatan yang perlu diulang pada penutup tulisan ini. Pertama, studi tentang agama dan keyakinan tertentu bukanlah sesuatu yang menjadi obyek kajian eksklusif bagi pemeluknya. Tentu ada individu yang menentang posisi ini. Seperti yang disebut oleh Cabezon dan Davaney (2004, 16), “Individuals or communities with a traditional (and oten conservative) religious stance find something objectionable or offensive in the work of the scholar.” Tapi, banyak yang lebih terbuka dengan kerja akademik dari ilmuwan. Memang, peneliti yang bukan penganut agama atau keyakinan yang dikaji akan dipengaruhi, baik besar atau kecil, oleh identitas yang ia miliki. Ini berlaku sama bagi peneliti yang memiliki afiliasi keagamaan tertentu dan juga peneliti sekular. Hal yang membedakan mereka adalah kemampuannya untuk melakukan suspension of judgement, apakah ia bisa menerapkan metode bracketing atau epoche atau justru ia ia memilih bersikap bias. Kedua, dalam studi tentang metode penelitian, outsider dan insider seringkali dilihat sebagai dua pendekatan dan perspektif yang berbeda. Namun dalam mengkaji Ahmadiyah, maka dua kategori ini menjadi kabur, terutama jika pengkajianya adalah seorang Muslim nonAhmadi. Ini terkait dengan dua definisi yang berbeda terhadap Ahmadiyah; sebagai kelompok sesat atau heterodoks bagi Muslim non-Ahmadi dan sebagai the true and real Islam bagi orang Ahmadiyah. Seorang sarjana Muslim non-Ahmadi yang melakukan penelitian tentang Ahmadiyah adalah partly outsider dan partly insider. Sebagian dari pengalaman, ekspresi keagamaan, doktrin, dan nilai yang ada pada Ahmadiyah adalah sesuatu yang biasa ia jalani, amalkan, dan rasakan dalam kehidupan keagamaannya. Namun sebagian lagi adalah sesautu yang sama sekali baru, berbeda, atau Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16 No. 2 270 AHMAD NAJIB BURHANI bahkan bertolak belakang dari apa yang selama ini ia yakini dan jalani. Karena itu, dalam kajian dan penelitian tentang Ahmadiyah dan kelompok agama yang disebut “heretiks”, kategori insider dan outsider menjadi sesuatu yang kabur atau kadang berbaur menjadi satu dalam diri peneliti. Ketiga, meski sebuah kajian ilmiah kadang berpretensi tidak berpihak secara politik, namun tak bisa dipungkiri bahwa ia bisa juga berpengaruh secara politik. Ini, misalnya, berpengaruh dalam isu yang terkait dengan kebijakan pemerintah terhadap kelompok agama minoritas. Kajian ilmiah juga bisa berpengaruh pada pandangan dan sikap masyarakat, misalnya mereka menjadi netral sikapnya atau menjadi paham duduk persoalannya atau bahkan menjadi pendukung kelompok yang selama ini mereka benci. Seperti dinyatakan oleh Kwasi Wiredu bahwa “scholarship can contribute to widening our horizons and overcoming the parochialisms of our narrow identities, helping us to forge new historical identities more fully informed by the world” (Cabezon dan Davaney 2004, 20). UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada editor, beberapa pembaca, dan reviewer yang telah memberikan kritik dan masukan untuk memperbaiki tulisan ini. Tidak lupa, terima kasih juga penulis tujukan kepada Pengelola Jurnal Harmoni yang telah berkenan menerbitkannya pada edisi kali ini. DAFTAR PUSTAKA Abidin EP., Zaenal. 2007. Syarif Ahmad Saitama Lubis: Dari Ahmadiyah untuk Bangsa. Yogyakarta: Logung Pustaka. Allen, Douglas. 1987. “Phenomenology of Religion”, dalam Mircea Eliade (ed.). The Encyclopedia of Religion. Volume 11. New York: Macmillan. Budiana, Yendra. 2016. “Delegasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia Genapi Kebenaran Imam Mahdi AS.” Warta Ahmadiyah, 30 Desember 2016. Diakses di: htp://wartaahmadiyah.org/delegasi-jemaat-ahmadiyah-indonesia-genapi-kebenaran-imammahdi-as.html (11 Januari 2017). Burhani, Ahmad Najib. 2017a. “Memahami Kontroversi Ahmadiyah”. Geotimes, 24 November. Diakses di: htps://geotimes.co.id/kolom/agama/memahamikontroversi-ahmadiyah/ (30 November 2017). Burhani, Ahmad Najib. 2017b. “Ethnic Minority Politics in Jakarta’s Gubernatorial Election”. ISEAS Perspective, No. 39, June. Burhani, Ahmad Najib. 2016. “Fundamentalism and Religious Dissent: The LPPI’s Mission to Eradicate the Ahmadiyya in Indonesia.” Indonesia and the Malay World, Vol. 44 (129): 145-164. Burhani, Ahmad Najib. 2014a. “Treating minorities with Fatwas: A study of the Ahmadiyya community in Indonesia,” Contemporary Islam, 8 (3/Sep): 285-301. HARMONI Juli - Desember 2017 MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA 271 Burhani, Ahmad Najib. 2014b. “Conversion to Ahmadiyya in Indonesia: Winning Hearts through Ethical and Spiritual Appeals,” Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, 29 (3): 657-690. Cabezon, Jose Ignacio and Sheila Greeve Davaney. 2004. Identity and the Politics of Scholarship in the Study of Religion. New York: Routledge. Djamaluddin, M. Amin. 2011. Fakta dan Data Ahmadiyah Menodai Islam. Edisi revisi. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI). Maarif, Samsul (peny.). 2015. Studi Agama di Indonesia: Refleksi Pengalaman. Yogyakarta: Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya, UGM. Mahmud Ahmad, Bashir-ud-Din. 1980. Invitation to Ahmadiyyat: Being a statement of beliefs, a rationale of claims, and an invitation, on behalf of the Ahmadiyya Movement for the propagation and rejuvenation of Islam. London: Routledge & Kegan Paul. Mubarak Ahmad, Mirza. 1964. Ahmadiyyat in the Far East. Trans. from Urdu by Soofi A.Q. Niaz. Rabwah, West Pakistan: Ahmadiyya Muslim Foreign Missions. Muryadi, Wahyu (ed.). 2005. Ahmadiyah: Keyakinan yang digugat. Jakarta: PDAT Tempo. Peacock, James L. 1978. Purifying the faith: The Muhammadijah movement in Indonesian Islam. Menlo Park, Calif: Benjamin/Cummings Pub Co. PP Muhammadijah. 1964. Kitab beberapa masalah dan masalah lima. Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadijah. Smith, Wilfred Cantwell. 1969. Modern Islām in India, a social analysis. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf. Soejono Tjiptomihardjo. 1956. “28 Oktober dan arti ‘Indonesia Raya’ untuk bangsa kita” dalam Buku kenang-kenangan 10 Tahun Kabupaten Madiun. Madiun: Panitya. Winarno, Bondan. 2003. Lagu kebangsaan Indonesia Raya. Jakarta: TSA Komunika. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16 No. 2