254
AHMAD NAJIB BURHANI
PENELITIAN
MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN:
STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA
Ahmad Najib Burhani
ISEAS – Yusof Ishak Institute, Singapura dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta
najib27@yahoo.com
Artikel diterima 18 September, diseleksi 19 Oktober, dan disetujui 8 Desember 2017
Abstract
Abstrak
Who is more authoritative in conducting
research on certain religious minorities,
insider or outsider? How to apply the
concepts of ‘detachment’, ‘neutrality’, and
‘bracketing’ in studying religious groups
officially declared by majority of ulama
and mainstream religious organizations as
deviant cults like Ahmadiyah? And how
would the various concepts, methods, and
scientific theories, such as ‘going native’
and ‘participant observation’ be applied in
the field? How to negotiate between faith
and science, our identity as part of religious
mainstream and orthodox group in studying
communities deemed ‘heretic’? To what
extent does researcher’s identity as a nonAhmadi affect his research and judgment
about Ahmadiyah? This paper intends to
discuss the author’s experience in studying
Ahmadiyah, in applying various theories
and academic principles in the study of this
community, and how to behave towards
individual conflicts and controversies
surrounding Ahmadiyah issues. This paper
is based on seven-year experience of
living with, studying, and participating in
the activities of Ahmadiyah in Indonesia,
Singapore, Japan, India, England, and the
United States.
Siapa yang lebih otoritatif dalam
melakukan penelitian tentang kelompok
minoritas agama tertentu,Insider atau
outsider? Bagaimana menerapkan konsep
detachment, neutrality, dan bracketing
dalam mengkaji kelompok yang oleh
mayoritas ulama difatwakan and berbagai
ormas keagamaan sebagai aliran sesat
seperti Ahmadiyah? Dan bagaimana pula
berbagai konsep tersebut dihadapkan
dengan metode penelitian lapangan
yang disebut dengan going native dan
participant
observation?
Sejauhmana
identitas peneliti sebagai non-Ahmadi
mempengaruhi penelitian dan penilaian
tentang Ahmadiyah? Tulisan ini merupakan
refleksi akademik terkait pengalaman
penulis dalam mengkaji Ahmadiyah,
dalam menerapkan berbagai teori dan
prinsip akademik dalam kajian tentang
komunitas ini, dan bagaimana penulis
bersikap terhadap berbagai konflik individu
serta kontroversi seputar isu Ahmadiyah.
Tulisan ini didasarkan pada tujuh tahun
pengalaman hidup, bergaul, mengkaji, and
berpartisipasi dengan beragam aktivitas
Ahmadiyah di Indonesia, Singapura,
Jepang, India, Inggris, dan Amerika Serikat.
Keywords: Ahmadiyah, identity, insider
vs. outsider, orthodoxy vs. heterodoxy,
conversion, scholarship.
HARMONI
Juli - Desember 2017
Kata kunci: Ahmadiyah, identitas, insider
vs. outsider, going native, ortodoksi vs.
heterodoksi pindah agama, kesarjanaan.
MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA
“Identity predetermines our intellectual
trajectories or that it is
on the basis of identity that the validity
of our scholarship is decided...
Identity does mater; scholars are not
clean slates with no histories,
values, or experiences shaping their
scholarly work”
~Jose Cabezon dan Sheila Davaney 2004,
13~
PENDAHULUAN
Dalam sebuah grup diskusi online
antara para praktisi dan aktivis kerukunan
umat
beragama,
penulis
pernah
menyampaikan brosur tentang acara
workshop penafsiran Al-Qur’an di UIN
(Universitas Islam Negeri) Jakarta pada
September 2015. Dalam workshop itu
penulis akan mempresentasikan makalah
yang berjudul “Translation of the Qur’an
in Indonesia: The Case of the Ahmadiyya”
dan seorang teman akan berbicara tentang
Tafsir Syi’ah. Tiba-tiba seorang pengikut
Syi’ah dalam grup tersebut bertanya,
“Siapakah yang berbicara tentang tafsir
Syi’ah itu?” Penulis menjawab bahwa
kawan itu adalah seorang kandidat
doktor dari UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang menulis disertasi tentang
berbagai tafsir Al-Qur’an. Pengikut Syi’ah
ini lantas protes yang intinya menyatakan
keberatannya untuk datang jika yang
berbicara tentang Syi’ah bukanlah orang
Syi’ah. Bagaimana mungkin seorang nonSyi’i bisa bicara dengan benar tentang
Syi’ah? Begitu pertanyaannya. Persoalan
insider dan outsider ini muncul kembali
dalam diskusi buku Muhammadiyah
Jawa di Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara (UMSU) pada Mei 2016.
Karena penulis buku ini adalah orang
Muhammadiyah atau insider, maka salah
satu pembahasannya adalah netralitas
penulis. Insider bisa bersikap bias terhadap
kajiannya dan akan mudah terbawa emosi
untuk membela dan menutupi informasi
255
yang kurang baik yang berkaitan dengan
obyek penelitiannya.
Dua kasus di atas lantas membawa
kepada pertanyaan yang lebih luas:
Apakah hanya orang perempuan yang
bisa memahami feminisme? Apakah
hanya orang miskin yang memahami
kemiskinan? Apakah hanya orang
China yang dapat menjadi pakar China?
Apakah hanya orang Yahudi dan
pendukung Israel yang boleh menjadi
professor tentang Judaisme? Apakah
hanya orang Islam yang tahu dan boleh
mengajar tentang Islam? Apakah orang
Muhammadiyah secara akademik sah
mengkaji Ahmadiyah?
Pertanyaan utama dalam kajian
ini adalah sejauhmana identitas seorang
peneliti yang berasal dari kelompok agama
mainstream atau bahkan dari organisasi
massa Islam yang ikut mengeluarkan
fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah
berpengaruh
dalam
penelitiannya
tentang kelompok yang dituduh sesat
atau heterodoks? Jelasnya, sejauhmana
identitas penulis sebagai non-Ahmadi,
atau bahkan sebagai pengurus Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, berpengaruh
dalam penelitian tentang Ahmadiyah?
Apakah orang sekuler bisa lebih obyektif
dalam mengkaji Ahmadiyah daripada
orang yang sudah punya komitmen
keagamaan tertentu atau aktivis ormas
keagamaan tertentu? Seperti yang ditulis
oleh Cabezon dan Davaney (2004, 13),
“Who you are affects the agenda you set
for yourself as a scholar, the approaches
you find compelling, and the conclusions
you reach... identity predetermines our
intellectual trajectories or that it is on
the basis of identity that the validity of
our scholarship is decided... Identity
does mater; scholars are not clean slates
with no histories, values, or experiences
shaping their scholarly work”. Intinya,
identitas seseorang itu akan banyak
mempengaruhi karya kesarjaannya.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16
No. 2
256
AHMAD NAJIB BURHANI
Posisi penulis sebagai aktivis
Muhammadiyah tentu tidak memberikan
privilege
tertentu
untuk
mengkaji
Ahmadiyah. Bisa jadi, posisi itu
justru menghalangi untuk bersikap
obyektif.
Sikap
Muhammadiyah
terhadap Ahmadiyah tidak berubah
sejak keluarnya fatwa tahun 1929 (PP
Muhammadijah, 1964, 9-10). Intinya,
keputusan itu menyebutkan bahwa
siapa saja yang percaya adanya nabi
setelah Nabi Muhammad, maka ia
adalah kafir (Burhani 2014a). Tentu,
posisi di Muhammadiyah ini masih lebih
baik dalam konteks Indonesia karena
Muhammadiyah, bersama dengan NU
(Nahdlatul Ulama), dianggap sebagai
organisasi moderat yang masih bisa
bersikap toleran terhadap Ahmadiyah.
Namun mengingat posisi Muhammadiyah
yang berseberangan dengan Ahmadiyah
dalam konteks ideologi atau menganggap
Ahmadiyah sebagai pemahaman yang
sesat bahkan kafir, maka ketika penulis
melakukan penelitian terhadap organisasi
ini, pertanyaan yang barangkali ada
di benak orang adalah, “Apakah kamu
mengkaji Ahmadiyah untuk mencari-cari
kelemahannya atau justru membelanya?
Apa kamu orang Ahmadiyah yang
menyusup di Muhammadiyah? Atau
kamu ingin menunjukkan kesalahankesalahan Ahmadiyah dengan mengkaji
mereka dan kemudian membawa mereka
ke jalan yang benar?” Peran teologis ketika
mengkaji agama lain atau keyakinan lain
itu sering ada di benak aktivis keagamaan.
Pikiran-pikiran seperti di atas bisa jadi
ada dibenak orang Muhammadiyah
dan Ahmadiyah sekaligus. Karena itu,
pertanyaan yang akan dikaji dalam
tulisan ini adalah bagaimana identitas
penulis sebagai aktivis dan pimpinan
Muhammadiyah berpengaruh dalam
penelitian tentang Ahmadiyah?
Pertanyaan selanjutnya adalah
apakah outsider bisa bicara dan menulis
dengan benar seperti insider? Apakah dia
bisa memahami kulturnya dan menjiwai
HARMONI
Juli - Desember 2017
perasaannya? Sebagai peneliti tentang isu
sosial tertentu, kita sering diasumsikan
dengan sesuatu yang kita kaji. Sebagai
peneliti tentang Ahmadiyah, kadang
orang bertanya, baik melalui email
atau langsung, “Apakah Anda seorang
Ahmadi?” Dalam masyarakat luas, kadang
penulis dianggap sebagai juru bicara
Ahmadiyah atau justru saya sendiri yang
memposisikan diri sebagai juru bicara
Ahmadiyah ketika berhadapan dengan
pandangan-pandangan yang saya yakini
keliru dalam melihat Ahmadiyah. Dalam
fenomenologi dikenal adanya konsep
epoche yang berarti “abstention” atau
“suspension of judgment” (mengambil
jarak) atau sering pula didefinisikan
sebagai metode “bracketing”. Maksud
dari metode ini adalah “freeing the
phenomenologist from unexamined
presuppositions, or of rendering explicit
and clarifying our presuppositions,
rather than denying their existence”
(Allen 1987, v. 11, 275). Nah, sejauhmana
metode ini berfungsi dalam kajian
tentang Ahmadiyah. Tulisan ini akan
membahas tentang pengalaman penulis
dalam menerapkan berbagai teori dan
prinsip akademik dalam kajian tentang
komunitas Ahmadiyah, dan bagaimana
penulis bersikap terhadap berbagai
konflik individu serta kontroversi seputar
isu Ahmadiyah.
PEMBAHASAN
Perjumpaan dengan Ahmadiyah
Sebelum masuk dalam pembahasan
tentang penelitian mengenai Ahmadiyah,
perlu disampaikan terlebih dahulu
perjumpaan penulis dengan komunitas
ini yang setidaknya terdapat tiga fase
perjumpaan. Perjumpaan pertama hanya
mengenal biasa dan terfokus pada isu
HAM (Hak Asasi Manusia). Perjumpaan
kedua ketika menulis disertasi dan
karena itu lebih akademik. Perjumpaan
ketiga seusai menulis disertasi dan lebih
MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA
banyak menyentuh persoalan ideologis
serta dilakukan secara bersahabat.
Secara lebih detail, bisa dikatakan
bahwa perjumpaan penulis yang cukup
intensif dengan Jemaat Ahmadiyah
memang sudah dimulai ketika saya
menulis disertasi S3 tentang Ahmadiyah
di UCSB (University of California Santa
Barbara) yang diserahkan tahun 2013.
Namun penelitian dan perjumpaan
penulis dengan Ahmadiyah yang lebih
intens lagi atau lebih produktif lagi
justru terjadi setelah selesai menulis
disertasi. Tepatnya, setelah pulang ke
Indonesia pada September 2013, penulis
justru banyak berjumpa dengan anggota
komunitas ini. Bukan sekadar untuk
tujuan penelitian, tapi lebih sebagai
pertemanan dan keterlibatan dengan
kehidupan mereka.
Perjumpaan pada tahap ketiga ini
lebih alami (natural) daripada ketika
menulis disertasi. Karena tidak ada
interview, tidak ada janji pertemuan untuk
menggali informasi. Banyak kegiatan yang
belum pernah penulis ketahui dan ikuti
justru menjadi pengalaman baru seusai
menulis disertasi. Diantaranya adalah
mengikuti Jalsa Salana di beberapa tempat
dan negara, termasuk di Qadian, India.
Jika dilihat semata dari aspek penelitian,
banyak sekali data dan informasi yang
justru penulis dapatkan dari jemaat
Ahmadiyah dalam rentang waktu tiga
tahun (2013-2016) yang tidak bisa atau
tidak mungkin diperoleh ketika sedang
menulis disertasi tentang Ahmadiyah.
Ketika masa-masa awal kuliah di
UIN Jakarta tahun 1994, nama Ahmadiyah
pernah melintas dalam buku pelajaran
atau diucapkan oleh dosen. Namun ketika
itu penulis belum merasa ingin tahu lebih
jauh tentang gerakan atau komunitas
ini. “Perjumpaan” pertama yang cukup
membekas di kepala adalah sekitar tahun
1997. Itu terjadi secara tak sengaja, yaitu
dalam perjalanan acara IMM (Ikatan
Mahasiswa
Muhammadiyah)
yang
257
melewati Kampus Mubarak yang juga
kantor pusat Ahmadiyah di Parung.
Secara
kebetulan,
seorang
teman
memberikan penjalasan sekilas tentang
tempat itu. “Oh ini ya kantor Ahmadiyah
yang sering disebut-sebut itu?” begitu
yang terbersit di benak penulis. Ada
sedikit rasa ingin tahu yang muncul di
pikiran. Namun keingintahuan itu hilang
begitu saja bersamaan dengan hadirnya
aktivitas lain.
Ketika khalifah Ahmadiyah datang
ke Indonesia tahun 2000 dan berjumpa
dengan berbagai tokoh nasional seperti
Amien Rais, Abdurrahman Wahid,
dan Dawam Rahardjo, penulis sedang
menekuni pekerjaan lain dan tidak
begitu perhatian dengan peristiwa
ini. Demikian juga dengan berbagai
resistensi yang dilakukan oleh Amin
Djamaluddin, pendiri dan ketua LPPI
(Lembaga Pengkajian dan Penelitian
Islam)1, terhadap Ahmadiyah pada
tahun tersebut. Berbagai penerbitan antiAhmadiyah juga tidak pernah penulis
perhatikan. Penulis juga belum pernah
ketemu dengan seorang Ahmadi pun dan
tidak pernah menyebut nama Ahmadiyah
dalam tulisan-tulisan hingga tahun 2005.
Perjumpaan yang nyata baru
terjadi tahun 2005, tepatnya setelah
penyerangan terhadap Kampus Mubarak
di Parung yang juga merupakan kantor
pusat JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia).
Itu juga yang menjadi awal menulis
tentang Ahmadiyah, meskipun hanya
didistribusikan dalam komunitas yang
sangat terbatas (mailing list). Judul tulisan
itu adalah “Satu tempat, tiga aktivitas”.
Tulisan itu berdasarkan observasi singkat
di sekitar kampus Mubarak pada malam
hari setelah penyerangan. Setelah itu,
Dawam Rahardjo mengajak beberapa
orang dari Muhammadiyah dan NU untuk
membahas tentang nasib yang menimpa
Ahmadiyah dan gerakan advokasi apa
yang perlu dilakukan bersama untuk
1 Untuk informasi tentang LPPI, silahkan baca
Burhani (2016).
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16
No. 2
258
AHMAD NAJIB BURHANI
merespon penyerangan tersebut. Kita
berangkat dengan bus dari Pusat Dakwah
Muhammadiyah, Jl. Menteng Raya 62
Jakarta. Tempat yang dituju adalah Garut,
ke hotel dan pemandian air panas milik
seorang anggota jemaat Ahmadiyah.
Setelah
kegiatan
tersebut,
penulis membuat beberapa artikel
yang diantaranya berbicara tentang
Ahmadiyah, minus pembahasan tentang
teologi. Tema utama tulisan-tulisan
itu berkisar persoalan toleransi dan
kebebasan beragama. Tulisan-tulisan
model inilah yang banyak dibuat oleh
aktivis HAM. Penyerangan terhadap
Ahmadiyah di Parung tidak hanya
membuka pengetahuan penulis, tapi juga
banyak orang lain, tentang Ahmadiyah.
Kejadian itu, pada satu sisi, Ahmadiyah
telah menjadi korban. Namun pada
sisi lain, ia juga menjadi medium yang
memperkenalkan
organisasi
atau
komunitas ini ke masyarakat Indonesia
secara luas.
Perjumpaan selanjutnya dengan
Ahmadiyah terjadi di Manchester,
Inggris. Ketika itu penulis tinggal di
Grove House yang terletak di Oxford Rd,
Manchester yang tak jauh dari masjid
Ahmadiyah, yaitu Masjid Dar al-Aman.
Karena memang letaknya tidak jauh,
penulis merencanakan hadir ke sana pada
hari Jum’at yang menjadi kesempatan
pertama sholat berjamaah dengan orang
Ahmadiyah di masjid Ahmadiyah.
Karena bersamaan dengan Jalsa Salanah,
maka khutbahnya dan jama’ah Jum’at
diimami oleh khalifah dari jarak jauh.
Beberapa waktu setelah perjumpaan
di Manchester tersebut, penulis tidak
lagi berhubungan langsung dengan
orang Ahmadiyah sampai terjadi kasus
Cikeusik. Peristiwa itulah yang mengubah
intensitas pertemuan dengan Ahmadiyah.
Sebelumnya
sempat
merencanakan
membuat studi perbandingan tentang
sistem khilafah dengan membandingkan
sistem di Ahmadiyah, Hizbut Tahrir, dan
HARMONI
Juli - Desember 2017
kekhilafahan Sunni Islam dulu. Namun
tema itu batal dan berganti dengan isu
orthodoxy dan heterodoxy sebagai tema
utama disertasi. Dalam menulis disertasi
itulah penulis berkunjung dan bertemu
dengan orang-orang Ahmadiyah di Manis
Lor, Parung, Transito Mataram, Bogor,
Pandeglang, dan beberapa tempat lain. Di
Amerika Serikat penulis juga berkenalan
dengan komunitas Ahmadiyah di
Bait Ul Muqeet Austin Texas dan juga
dengan beberapa orang Ahmadiyah dari
Indonesia seperti Chaerul Bahri dan
Atab Ahmad Lubis. Nama yang pertama
tinggal di Pantai Timur Amerika. Ia
merupakan putra dari Luis Maala (Amir
Jemaat Ahmadiyah Indonesia periode
1996-2001). Sementara Atab tinggal
di Dallas. Ia adalah putra dari Syarif
Ahmad Saitama Lubis, Amir JAI periode
1990-1996 dan adik dari Kandali Lubis,
Direktur Humanity First Indonesia dan
Ketua JAI Kebayoran Lama.
Gambar 1 Berjumpa dan berdialog
dengan Mirza Masroor Ahmad, Khalifah
V Ahmadiyah, di Singapura
Seperti disebutkan di atas, intensitas
pertemuan dengan Ahmadiyah justru
semakin meningkat setelah selesai menulis
disertasi dan kembali ke Indonesia. Pada
26-28 September 2013, penulis ikut Peace
Symposium dan mulaqat atau pertemuan
Khalifah Ahmadiyah di Singapura.
Di situlah saya bertemu langsung
dan berdialog dengan Mirza Masroor
Ahmad, khalifah Ahmadiyah yang
kelima. Pertemuan dengan Ahmadiyah,
MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA
baik JAI dan GAI (Gerakan Ahmadiyah
Indonesia), menjadi lebih intensif setelah
itu. Dengan GAI, penulis hadir pada Jalsa
di Yogyakarta pada 24 Desember 2013 dan
menjadi pembicara pada haul keluarga
Djojosoegito pada 25 April 2015. Dengan
JAI, saya hadir di Jalsa DKI di Carita pada
19-21 Februari 2015, Jalsa Tangerang di
Gondrong pada 20 Maret 2015, Jalsa di
Qadian India pada 26-28 Desember 2016,
bertemu dengan jamaah di Kebayoran,
Bandung, Surabaya, Medan, Depok,
Perigi, dan lain-lain.
Penulis ikut berpartisipasi di
International Peace Symposisum (IPS)
2015 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Jakarta dan IPS 2016 di UIN Yogyakarta.
Beberapa jamaah Ahmadiyah juga
berkunjung ke rumah penulis beberapa
kali. Kajian penulis di LIPI (Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia) tentang
Pluralitas dan Minoritas yang akan
dikerjakan dari tahun 2015-2019 juga
memberikan kesempatan untuk sering
bertemu dengan orang Ahmadiyah dan
mengundang mereka hadir di LIPI atau
dalam FGD (Focus Group Discussion) yang
diselenggarakan di beberapa kota di
Indonesia.
Lebih dari Sekadar Organisasi, Ahmadiyah
adalah Keluarga
Jemaah Ahmadiyah terdatar di
Indonesia sebagai sebuah organisasi
massa. Namun jika orang melihat apa
yang terjadi pada organisasi ini dari
dalam, diantaranya dengan menghadiri
Jalsa Salana dan bergaul dengan
warga Ahmadiyah, maka mereka akan
menemukan bahwa Ahmadiyah itu
bukan sekadar organisasi. Ahmadiyah
adalah family atau keluarga atau bisa
juga disebut sebagai gerakan tarekat. Ada
beberapa hal yang menunjukkan bahwa
Ahmadiyah itu bukan sekadar organisasi
dan gerakan, tapi sebagai sebuah family
dan tarekat (Burhani 2017a).
259
Secara kasat mata bisa dilihat bahwa
warga Ahmadiyah memiliki hubungan
sesama jemaat yang erat (strong bond)
antara satu dengan yang lain. Mereka
bukan hanya menyapa dan mengucapkan
salam, mereka saling peluk ketika bertemu
tanpa melihat kebangsaan, etnisitas, dan
warna kulit. Mereka membantu satu
sama lain dalam berbagai hal, termasuk
ekonomi. Ini misalnya terjadi di berbagai
tempat seperti Rabwah dan Manis Lor.
Mereka saling menopang secara ekonomi
sehingga menyulap kedua tempat itu
menjadi daerah yang sejahtera dan
penduduknya hidup dengan tingkat
ekonomi yang mapan.
Hal lain yang membuktikan bahwa
Ahmadiyah adalah sebuah keluarga atau
tarekat adalah kebersamaan mereka dalam
gerak menuju tujuan tertentu dibawah
kepemimpinan khalifah. Peran khalifah,
atau yang biasa dipanggil sebagai Huzur,
begitu sentral dalam membimbing warga
Ahmadiyah. Semua orang bertanya dan
berkomunikasi dengannya, baik untuk
meminta nama untuk anak-anaknya
maupun
untuk
mengkonsultasikan
persoalan hidup. Mereka menyimak
khutbah Jum’ah yang disampaikan
oleh khalifah setiap minggu. Mereka
menerjemahkan, mencatat, dan berusaha
sekuat mungkin mengamalkan apa yang
disampaikan itu.2 Pendeknya, khalifah
bukan hanya menjadi pemimpin spiritual
dan imam, tapi juga sebagai pemimpin
sosial dan bahkan menjadi ayah dan
mursyid bagi pengikut Ahmadiyah.
Dalam forum Jalsa Salana, peran
Ahmadiyah sebagai keluarga dengan
huzur sebagai ayah itu terasa dengan
adanya acara melaporkan adanya anggota
keluarga baru pada anggota Ahmadiyah.
Bagi yang baru memiliki bayi atau masih
2 Seperti yang diceritakan Sukarta, yang menangani bagian pendidikan di PB JAI dan pimpinan pendidikan Arief Rahman Hakim Tangerang Selatan, ia mencatat
dan menghapalkan doa apa saja yang dibaca khalifah
pada khutbah Jum’at. Ia lantas meminta siswa-siswi di
sekolahnya untuk ikut menghapalkan do’a-doa tersebut
dan mempraktekkan dalam keseharian.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16
No. 2
260
AHMAD NAJIB BURHANI
mengandung, mereka meminta kepada
khalifah untuk memberi nama kepada
bayi yang baru lahir atau masih dalam
kandungan tersebut. Di acara jalsa
Qadian bahkan ada acara pernikahan
secara agama terhadap pasangan
Ahmadiyah. Dilaksanakan setelah sholat
isya’, pernikahan dan pemberian restu itu
dilakukan. Bukan hanya pemberian nama
bagi bayi dan pernikahan yang memberi
warna forum jalsa sebagai forum reuni
atau pertemuan keluarga, bahkan ketika
ada orang tua yang terpeleset jatuh pun
dilaporkan ke khalifah. Ini, misalnya, yang
terjadi pada Abdul Qoyum, salah satu
tokoh Ahmadiyah Indonesia. Ia terpeleset
jatuh ketika berdiri untuk pergi ke kamar
kecil dan sempat dibawa ke rumah sakit.
Menurut Maulana Sayuti, mantan Raisut
Tabligh Indonesia, peristiwa itu sudah
dilaporkan ke Huzur dan karena itu ia
minta disediakan mobil untuk membawa
Qoyum ke Jalsa Gah (Jalsa venue) yang
berjarak sekitar satu kilometer dari Dar
al-Masih, tempat Qoyum menginap.
Namun demikian, karena khalifah
itu begitu sentral, sebagai pemimpin,
imam, dan ayah, maka kadang muncul
kesan, terutama bagi outsider, bahwa
Ahmadiyah itu menjadi semacam
kultus. Istilah kultus itu tentu saja
dianggap tidak tepat dan ditolak oleh
warga Ahmadiyah. Namun jika istilah
kultul ini dihubungkan dengan gerakan
tarekat, maka ini adalah fenomena
umum dalam tradisi tasawuf tertentu.
Dalam Ahmadiyah dan beberapa gerakan
tarekat, segala hal yang disampaikan
khalifah atau mursyid adalah kebenaran.
Para Ahmadi memperhatikan dengan
seksama, mencatat, dan mengamalkan
setiap khutbah yang disampaikan
khalifah. Jika dibandingkan dengan sikap
pendukung fanatik Gus Dur terhadap
Gus Dur, misalnya, maka apa yang ada
di Ahmadiyah ini bisa disebut lebih
tinggi dari itu. Penulis belum pernah
HARMONI
Juli - Desember 2017
menemukan ada Ahmadi yang berani
mengkritik khalifah, apalagi menyebut
khalifah pernah melakukan kesalahan.
Keunikan Ahmadi Indonesia
Pada 25 Desember 2016, sore hari,
penulis diajak oleh Maulana Rahmat,
seorang muballigh Ahmadiyah dari
Indonesia yang sedang belajar di Jamia
Ahmadiyah Qadian, untuk bertemu
dengan Maulana Muhammad Inaam
Sahib Ghori, Nazir Aala Sadr Anjuman
Ahmadiyya
dan
Ameer-e-Maqami
Qadian. Pertemuan itu berlangsung di
rumahnya yang sederhana. Hadir pula
salah satu keluarga Ahmadiyah yang
cukup berpengaruh di Indonesia, Ibnu
Umar beserta istri (Asrida) dan empat
orang keluarga dekatnya.
Dalam
pertemuan
tersebut
penulis bertanya tentang perbedaan
atau keunikan jamaah Ahmadiyah dari
Indonesia dibandingkan dengan jamaah
Ahmadiyah dari negara lain. Beliau
menjawab bahwa dalam pandangannya,
Ahmadi di Indonesia itu sama dengan
jemaah dari negara lain, baik mereka
yang berasal dari Afrika, seperti Ghana,
maupun Eropa. Dalam arti, dalam
pemahaman penulis, Jemaah dari
Indonesia tidak lebih rendah dari mereka
yang berasal dari negara lain, termasuk
mereka yang dari India dan Pakistan.
Penulis sebetulnya berharap mendapat
jawaban yang berbeda atau lebih dari itu
darinya. Ini karena penulis mendengar
dan melihat keunikan dari jemaah dari
Indonesia dibandingkan dengan negara
lain. Diantaranya, adalah:
Pertama, Ahmadiyah Indonesia tak
dipimpin orang Indo-Pakistani. Tidak
seperti negara-negara lain yang jemaah
Ahmadiyahnya didominasi oleh orang
keturunan Indo-Pakistan, di Indonesia
jemaah Ahmadiyah adalah orang asli
Indonesia. Pengurus dan pimpinannya
MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA
(amir dan muballigh) adalah orang
Indonesia. Ini dimulai sejak pertama
kali Ahmadiyah hadir ke Indonesia,
yaitu ketika jemaat dipimpin oleh tiga
serangkai: Abu Bakar Ayyub, Ahmad
Nuruddin, dan Zaini Dahlan.
Kedua, kehadiran Ahmadiyah di
Indonesia pun berkat inisiatif orang
Indonesia yang datang ke Qadian, yaitu
tiga serangkai pelajar Indonesia dari
Padang yang belajar di Qadian. Baru
setelah ada permintaan tersebut, khalifah
lantas mengirim muballigh (Rahmat
Ali) ke Indonesia. Umumnya, dalam
penyebaran Ahmadiyah di negaranegara lain, penyebaran Ahmadiyah itu
dimulai ketika kantor pusat Ahmadiyah
mengirimkan muballigh/ missionaris
ke negara atau daerah tersebut. Inilah
diantaranya yang, menurut seorang juru
bicara Ahmadiyah, membuat jamaah
Ahmadiyah dari Indonesia mendapat
tempat istimewa di hati khalifah.
Makanya, ketika berkunjung ke Indonesia
tahun 2000, khalifah memprediksi
bahwa Indonesia akan menjadi pusat
dari Ahmadiyah pada tahun-tahun
mendatang.
Pernyataan
ini
yang
dimanfaatkan oleh Amin Djamaluddin
untuk menakut-nakuti orang Indonesia
tentang ancaman Ahmadiyah (Burhani,
2016). “Sesungguhnya aku tegaskan
kepada kalian bahwa sebelum akhir
abad baru Indonesia akan jadi negara
Ahmadiyah terbesar, Insya Allah,”
demikian disampaikan Khalifah keempat
Ahmadiyah, Mirza Tahir Ahmad, dalam
kunjungannya ke Indonesia tahun
2000. Pernyataan ini dimuat di Majalah
mingguan Al-Fadhl International, No. 7,
tanggal 13 Juli 2000.3
Ketiga,
kedatangan
peserta
dari Indonesia dalam jalsa salanah di
Qadian 2016 ini juga menjadi wujud dari
nubuwwah Masih Mau’ud Mirza Ghulam
Ahmad bahwa pada suatu hari nanti akan
3 Penulis belum melihat langsung majalah
nomor itu. Referensi untuk tulisan ini justru datang dari
penentang Ahmadiyah (Amin Djamaluddin, 2011: 28).
261
hadir jamaah ke Qadian dengan menyewa
satu pesawat penuh. Bunyi nubuwwah
itu adalah sebagai berikut:
“Beliau bersabda (Hazrat Mirza
Ghulam Ahmad). Aku yakin
bahwa suatu hari akan datang
masa ketika orang-orang akan
datang ke sini dari tempat yang
jauh-jauh. Sebagaimana salah satu
rukya Hazrat Masih Mauud (as)
yang di dalamnya beliau melihat
bahwa dirinya sedang berenang di
udara. Lalu bersabda, Isa (as) dulu
berjalan di atas air, sedangkan aku
berenang di udara dan karunia
Tuhan kepadaku melebihi karunia
yang diberikan kepada Isa (as).
Berdasarkan rukya ini aku berfikir
bahwa masa itu akan datang,
sebagimana untuk datang ke Jalsah
Qadian ini mula-mulanya dengan
delman, kemudian motor-motor
mulai masuk yang menyebabkan
jalan berlubang dimana-mana,
dan sekarang orang-orang datang
dengan kereta api. Begitu pula
suatu masa dalam hari-hari jalsah
mulai terdengar kabar bahwa dari
negara ini dan itu datang sekian
pesawat. Hal ini tampak aneh di
hadapan dunia tapi tidak bagi Allah
Taala”.
Nubuwwah muncul dalam rukya
yang diterima oleh Ghulam Ahmad
sebagaimana dijelaskan oleh Khalifah
Ahmadiyah ke-2 Basyiruddin Mahmud
Ahmad dalam khutbah Jumat tanggal 10
Desember 1937 dan disampaikan ulang
oleh Khalifah Ahmadiyah ke-5, Mirza
Masroor Ahmad pada khutbah Jumat
tanggal 25 Desember 2015 (Budiana,
2016).
Inilah yang menyebabkan peserta
dari Indonesia yang berjumlah 201
orang diperkenankan menempati Dar
al-Masih selama pelaksanaan Jalsa.
Tempat ini jarang dibuka untuk umum.
Bahkan pelajar Ahmadiyah, termasuk
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16
No. 2
262
AHMAD NAJIB BURHANI
dari Indonesia, yang sedang menimba
ilmu di Jamia Ahmadiyah Qadian pun
sebelumnya belum pernah mendapat
kesempatan untuk masuk Dar al-Masih
ini. Ini tentu menjadi pengalaman yang
istimewa bagi para peserta dan mungkin
tak terulang lagi.
Keempat, bila kita berkunjung ke
Bahishti Maqbarah Qadian, maka jumlah
orang Indonesia juga sangat banyak.
Mungkin jumlahnya sekitar 10-20 persen
dari mereka yang namanya ada dalam
taman pekuburan tersebut. Ini menarik
karena ia menunjukkan bahwa kontribusi
orang Indonesia dalam Ahmadiyah ini
cukup besar. Mereka yang namanya ada
di Bahishti Maqbarah adalah orang-orang
yang berwasiat untuk menyerahkan 1/3
atau 1/10 hartanya ke Ahmadiyah dan
terus menerus membayar candah dalam
jumlah yang sama setiap bulan.
Pembahasan
tentang
posisi
Ahmadiyah Indonesia dalam konteks
Ahmadiyah global ini berhubungan erat
dengan posisi dan peran umat Islam
Indonesia secara umum dalam pergaulan
di dunia Islam. Umat Islam Indonesia
sering dipandang memiliki peran
peripheral (pinggiran) serta keislamannya
juga sering dipandang belum sempurna.
Islam Indonesia dipandang merupakan
sinkretisme dari keyakinan keagamaan
yang sebelumnya dipeluk oleh masyarakat
Indonesia, yaitu Hinduisme, Buddhisme,
Animisme, dan Dinamisme. Keunggulan
yang dibanggakan hanyalah pada jumlah
besarnya, yaitu sebagai negara dengan
pemeluk Islam terbesar di dunia. Inilah
yang menyebabkan penulis bertanyatanya tentang posisi Ahmadi Indonesia
dalam komunitas Ahmadiyah dunia.
Persoalan Metode dalam Mengkaji
Ahmadiyah
Sebagai non-Ahmadi, ada beberapa
persoalan yang terus penulis hadapi
ketika mengkaji dan hidup dengan
HARMONI
Juli - Desember 2017
komunitas
Ahmadiyah.
Pertama,
pertanyaan mengenai afiliasi keagamaan.
“Mengapa belum berbai’at menjadi
Ahmadi?” Pertanyaan ini beberapa kali
disampaikan ketika penulis mengikuti
kegiatan Jalsa Salana dan memberikan
kesaksian tentang keyakinan teologis
Ahmadiyah. Pertanyaan ini juga sering
ditanyakan kepada para antropolog yang
mengkaji keyakinan keagamaan yang
berbeda dengan dirinya. Seperti ditulis
oleh James L. Peacock dalam bukunya
Purifying the Faith: The Muhammadijah
Movement in Indonesian Islam (1978),
setelah sekian lama mengkaji Islam dan
Muhammadiyah, orang di Yogyakarta
bertanya kepadanya tentang agamanya
dan mencoba mengajaknya memeluk
Islam. Berikut ini kutipan panjang dari
Peacock:
Exactly how to define one’s role as
participant –observer is a classic
problem in ethnographic research.
Traditionally one is advised to seek a
middle point between the extremes of the
fieldworker who goes native and the one
who coldly stares at the people as though
they were speciments in a laboratory.
This issue of balancing observation and
participation acquires a new dimension
in the study of movements. Movements
tend toward a radical view of outsiders;
those who are not members are enemies;
those not for, are against. At the same
time, movements desire converts. Thus
movements do not easily set a place for
the neutral observer. The outsider tends
to be regarded as either an enemy or a
potential convert, or both.
Both atitudes entered my experience
with the Muhammadijah, though the
Javanese sense of tact and moderation
prevented extremes in either direction.
During the months of participation in
the Muhammadijah, several efforts were
made to win my conversion to Islam.
For example, a congregation of some
five hundred Muslims once prayed for
MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA
several minutes that I convert. More
oten, I experienced no direct pressure
to convert –they realized that I was
not the proper sheep for their fold—but
rather an effort to clarify my religious
identity.
Christians (which is what I, as a
Westerner, was generally assumed to
be) compete with Muslims for control
of Indonesia, and a certain conflict
exists between the two movements. To
a degree, I could not avoid the religious
label by claiming to be a scholar –one
who learns as opposed to one who
believes—but the image of scholar too
has been tainted. Muhammadijans used
the term Orientalist to refer to Western
scholars (some of whom were employed
by the Dutch during the colonial era)
of Christian bias who studied Islam in
order to denigrate or control it. Once
at a large gathering of Muhammadijah
teachers where I was atempting to
explain my research, I was asked if
I were such an Orientalist. I denied
this, and someone in the assembled
group then asked, “What, then, is your
religion (agama)?” I replied, “My
religion is Anthropology.” The answer
was doubtless cryptic and certainly
idealistic, but I went on to explain that
I was trying to follow an academic
discipline, to acquire knowledge, to
take notes. No one could be a truly
neutral observer, but in term of my
observations of the Muhammadijah I
would try to fulfill the requirements of
the ethnographic method and avoid the
more blatant biases of a sectarian point
of view (Peacock 1978, 11-12).
Bagi sebagian masyarakat, jika
seseorang mempelajari Islam dengan
serius, maka ia pasti akan terkagum
dengan agama ini dan kemudian
memeluk Islam. Bahwa para peneliti asing
ini akan terbuka hatinya untuk masuk
Islam setelah sekian lama mempelajari
ajaran agama ini secara benar. Ini
263
berangkat dari keyakinan bahwa Islam
adalah agama yang paling benar, paling
sesuai dengan nalar manusia, dan paling
sesuai dengan perkembangan zaman.
Jadi, mereka akan heran terhadap orang
yang sudah sekian lama mempelajari
Islam namun belum juga masuk Islam.
Sementara bagi seorang akademisi,
terutama hasil didikan Barat, ketika
mengkaji agama, mereka melihatnya
sebagai sebuah subyek penelitian,
melepaskan dari pertanyaan benar
dan salah, membebaskan diri dari isu
percaya dan tidak percaya. Intinya, para
peneliti itu, “Defined religious tradition
as part of broader cultural processes that
were available to scientific scrutiny and
explanation” (Cabezon and Davaney
2004, 10). Mereka mendefinisikan tradisi
keagamaan sebagai bagian proses kultural
secara umum yang terbuka untuk kajian
dan penjelasan ilmiah.
Ketika hadir di Qadian, mantan
raisut tabligh Ahmadiyah dari Indonesia,
Maulana Sayuti Azis memperkenalkan
penulis kepada beberapa orang sebagai
anggota dan pengurus Muhammadiyah,
“namun hatinya sudah Ahmadiyah.”
Bahwa penulis sudah sangat dekat
dengan Ahmadiyah, meski secara resmi
masih ghair Ahmadi. Beberapa orang
Ahmadiyah lain, seperti muballigh
Mataram
tahun
2013,
Maulana
Nashiruddin, bahkan menyebut saya
sebagai “anggota istimewa Ahmadiyah”.
“You are so close to Ahmadiyya, why do
not you join this community? Bai’ah is
only a formality,” begitu pertanyaan dari
seorang Ahmadi di Qadian yang menjadi
akuntan di Sadr Anjuman Ahmadiyya
Qadian.4
4 Bai’ah adalah pledge of allegiance. Ia menjadi
pintu pertama untuk menjadi anggota Ahmadiyah. Menjadi Islam adalah dengan mengucapkan kalimat syahadat. Untuk menjadi Ahmadiyah, selain pengucapan kalimat syahadat, maka seseorang harus berbai’at. Orang
yang bai’at, berjanji dengan hati jujur bahwa sebagai Ahmadi akan menjalankan 10 syarat bai’at sebagai berikut:
1.
Dimasa yang akan datang hingga masuk ke dalam
kubur, senantiasa akan menjauhi syirik.
2.
Akan senantiasa menghindarkan diri dari segala
corak bohong, zina, pandangan birahi terhadap
bukan muhrim, perbuatan fasik, kejahatan, aniaya,
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16
No. 2
264
AHMAD NAJIB BURHANI
Gambar 2 Delegasi Indonesia pada Jalsa
Salana Ahmadiyah di Qadian 2016
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
khianat, huru-hara, pemberontakan; serta tidak
akan dikalahkan oleh gejolak-gejolak hawa nafsunya meskipun bagaimana juga dorongan terhadapnya.
Akan senantiasa mendirikan salat lima waktu tanpa putus-putusnya, semata-mata karena mengikuti
perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan dengan sekuat
tenaga akan senantiasa mengerjakan salat tahajjud,
dan mengirimkan shalawat kepada Yang Mulia Rasulullah saw, dan memohon ampun dari kesalahan
dan memohon perlindungan dari dosa; akan ingat
setiap saat kepada nikmat-nikmat Allah, lalu mensyukuri dengan hati tulus, serta memuji dan menjunjung-Nya dengan hati yang penuh kecintaan.
Tidak akan kesusahan apapun yang tidak pada
tempatnya terhadap makhluk Allah umumnya dan
kaum Muslimin khususnya karena dorongan hawa
nafsunya, baik dengan lisan atau dengan tangan
atau dengan cara papaun juga.
Akan tetap setia terhadap Allah Taala baik dalam
segala keadaan susah ataupun senang, dalam duka
atau suka, nikmat dan musibah; pendeknya, akan
rela atas putusan Allah. Dan senatiasa akan bersedia menerima segala kehinaan dan kesusahan
di dalam jalan Allah. Tidak akan memalingkan
mukanya dari Allah Taala ketika ditimpa suatu
musibah, bahkan akan terus melangkah ke muka.
Akan berhenti dari adat yang buruk dan dari menuruti hawa nafsu. Dan benar-benar akan menjunjung
tinggi perintah al Quran Suci atas dirinya. Firman
Allah dan sabda Rasul-Nya itu akan menjadi pedoman baginya dalam setiap langkahnya.
Meninggalkan takabur dan sombong; akan hidup
dengan merendahkan diri, beradat lemah lembut,
berbudi pekerti halus, dan sopan santun.
Akan menghargai agama, kehormatan agama dan
mencintai Islam lebih daripada jiwanya, hartanya,
anak-anaknya, dan dari segala yang dicintainya.
Akan selamanya menaruh belas kasihan terhadap
makhluk Allah umumnya, dan akan sejauh mungkin mendatangkan faedah kepada umat manusia
dengan kekuatan dan nikmat yang dianugerahkan
Allah Taala kepadanya.
Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba
ini “Imam Mahdi dan al Masih Mau’ud”, sematamata karena Allah dengan pengakuan taat dalam
hal ma’ruf dan akan berdiri di atas perjanjian ini
hingga mautnya, dan menjunjung tinggi ikatan
perjanjian ini melebihi ikatan duniawi, baik ikatan keluarga, ikatan persahabatan, ataupun ikatan
kerja.
HARMONI
Juli - Desember 2017
Pertanyaan
tentang
conversion
dan bai’at ini merupakan pertanyaan
yang sulit dijawab. Secara teoritis dalam
penelitian, ada perbedaan tipis antara
going native dan menjadi believer. Going
native adalah menjadikan peneliti
menyatu betul dengan subyek yang
dikaji, mengikuti segala aktivitas yang
mereka lakukan. Sehingga ia tidak
berbeda dari anggota kelompok yang
dikaji. Beberapa peneliti tentang Islam,
seperti Snouck Hurgronje, bersyahadat
menjadi Muslim dan mengambil nama
Islam untuk mempraktekkan konsep
going native ini. Peneliti Barat lain yang
mengkaji masyarakat adat Dayak di
Indonesia memilih untuk menikahi lakilaki anggota masyarakat adat tersebut.
Dalam mengkaji Ahmadiyah, isu
yang dihadapi sebetulnya bukan sekadar
going native. Sebagai Muslim, sebagian
besar dari ajaran Ahmadiyah adalah
ajaran keagamaan yang selama ini sudah
penulis jalankan. Jika mengacu pada hal
tersebut, maka bisa dikatakan bahwa
sebagian besar dari jiwa dan keyakinan
penulis sebetulnya sudah Ahmadiyah
bahkan sebelum saya mengenal jemaah
ini. Tanpa harus menerapkan konsep going
native pun penulis sudah menjadi native.
Hanya ada perbedaan kecil antara saya
dan Ahmadiyah sebelum saya mengenal
mereka, yaitu tentang kenabian Mirza
Ghulam Ahmad dan perannya sebagai
Al-Masih serta persoalan khilafah. Inilah
yang kemudian membawa ke isu kedua,
yaitu: batas yang memisahkan antara
believer dan non-believer itu sangat tipis,
perbedaan antara Ahmadi dan penulis itu
juga sangat tipis.5
Selain isu kontroversial yang
berkaitan dengan teologi, ada beberapa
hal, baik yang bersumber pada keyakinan
5 Penulis sering mengatakan kepada beberapa
orang Ahmadiyah, bahwa batas antara penulis dengan
mereka sebetulnya adalah persoalan hidayah. Pembahasan tentang hidayah ini tentu tidak bisa dipahami
dalam bahasa rasional. Ini adalah istilah teologis untuk
menjelaskan berbagai peristiwa seperti conversion (perpindahan keyakinan).
MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA
teologis maupun murni sosial, yang
menimbulkan kontroversi atau, paling
tidak, sering menggelitik timbulnya
pertanyaan berkaitan dengan Ahmadiyah.
Beberapa hal tersebut adalah:
Pertama, terkait imam sholat
berjamaah dan pernikahan. Ahmadiyah
menganjurkan pengikutnya untuk hanya
menikah dengan sesama Ahmadi. Ini
berkaitan dengan kultur dan harmoni
dalam keluarga. Secara sosiologis,
model pernikahan ini juga terjadi pada
komunitas Arab tertentu yang melarang
perkawinan antara sayyid dengan nonsayyid atau antara orang Arab dan nonArab (Burhani 2017b). Demikian juga
tentang perkawinan antara suku (seperti
Jawa dengan Sunda) dan antar agama yang
mendapat banyak penentangan. Namun
ketika orang Ahmadiyah hanya mau
mengimami dan tidak mau diimami
dalam sholat berjamaah dengan umat
Islam lain, kadang ini dipandang sebagai
penghalang bersatunya mereka dengan
komunitas Islam yang lain. Secara teologis
tentu hal ini bisa dipahami, bahwa
ini sebagai upaya untuk meneguhkan
kebenaran ajarannya dan pada saat yang
sama menunjukkan kesalahan dari Islam
lain. Namun secara sosial, mungkin ini
terasa aneh (Burhani 2017a).
Kedua, tentang penekanan pada
ibadah ritual. Ini bisa dilihat pada
penekanan mereka pada ibadah ritual dan
peningkatan keimanan. Masalah ibadah
ritual dan keimanan ini juga yang selalu
menjadi tema dari muballigh-muballigh
Ahmadiyah. Bahkan dalam jalsa salana
yang diadakan di berbagai negara dan
daerah di Indonesia, ibadah ritual adalah
salah satu kegiatan utama atau bisa jadi
merupakan inti dari pertemuan tahunan
tersebut.
Sebagaimana hukumnya dalam
fiqh Sunni, awalnya penulis menduga
bahwa tahajud adalah kegiatan optional
(pilihan, bukan wajib). Namun pada Jalsa,
orang sangat bersemangat dan berlomba-
265
lomba untuk ikut sholat tahajud yang
dilakukan secara berjamaah sebanyak
8 rokaat (4 x 2 rokaat). Sholat Tahajut
itu ditutup dengan witir yang disertai
do’a qunut yang cukup panjang. Pada
momen inilah kita akan menyaksikan
bagaimana komunitas Ahmadi banyak
yang menangis tersedu dalam sujud
setelah do’a qunut. Doa qunut itu sendiri
berisi tentang permohonan kepada Allah
untuk memberikan kemenangan bagi
Islam, menjaga umat Islam, menjadikan
mereka orang sabar dan taat kepada
Allah, taat kepada khalifah, dan selalu
diberkati, dan sebagainya. Berbeda dari
sholat Tahajud, sholat lima waktu yang
lain dilakukan tak sesyahdu pelaksanaan
Tahajud. Dalam forum Jalsa, sholat fardlu
itu selalu dilaksanakan secara berjama’ah
dan dengan di-jama’ (gabung), yaitu
Dzuhur dengan ‘Asyar dan Maghrib
dengan Isya’.
Seluruh materi yang disampaikan
pada jalsa juga berisi tentang upayaupaya peningkatan iman Ahmadiyah.
Misalnya, tentang tauhid, kehidupan
Nabi Muhammad, kebenaran janjijanji Al-Masih, kehidupan para sahabat
Nabi dan sahabat al-Masih, pentingnya
institusi wasiyyat, persatuan umat
Islam, kegiatan da’wah, ketaatan kepada
institusi khilafah, dan kehidupan AlMasih.
Ketiga, produktivitas karya tulis.
Salah satu missi yang diemban oleh
Ahmadiyah adalah mengubah makna
jihad dari jihad bial-saif (jihad dengan
pedang atau warfare jihad) menjadi jihad bi
al-qolam (jihad dengan pena atau peaceful
jihad). Namun jemaat Ahmadiyah seperti
kurang produktif menulis buku. Orang
yang paling produktif di komunitas
ini adalah pendiri Ahmadiyah, yaitu
Ghulam Ahmad sendiri dengan 79 buku
karyanya. Khalifah kedua, Mahmud
Ahmad, adalah orang yang produktif
kedua. Meski tidak seproduktif Ghulam
Ahmad dan Mahmud Ahmad, tradisi
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16
No. 2
266
AHMAD NAJIB BURHANI
menulis buku ini masih dilanjutkan oleh
khalifah-khalifah berikutnya.
Ada dua orang bintang Ahmadiyah
dalam hal ilmu pengetahuan, yaitu Sir
Zafrullah Khan dan Profesor Abdus
Salam. Dua orang ini dalam literatur
Ahmadiyah disebut dua bintang.
Zafrullah Khan pernah menjadi Menteri
Luar Negeri Pakistan pada masa Ali
Jinnah dan menjadi hakim pengadilan
internasional PBB (Perserikatan BangsaBangsa). Khan menerjemahkan AlQur’an dan menulis sejumlah buku
bermutu tentang Ahmadiyah dalam
bahasa Urdu dan Inggris. Sementara
Abdus Salam adalah seorang ilmuwan
yang memperoleh hadiah nobel dalam
bidang Fisika bersama Sheldon Glashow
and Steven Weinberg pada tahun 1979.
Sepertinya belum ada warga Ahmadiyah
yang menyamai kedua bintang tersebut
dalam capaian ilmiah dan produktifitas
menulis buku. Ini yang menimbulkan
pertanyaan, “Apakah kedua orang ini
outlier di Ahmadiyah?” dan “Apakah
pencapaian mereka tak berhubungan
dengan tradisi keilmuwan yang ada
dalam Ahmadiyah?”
Keempat, harapan terhadap do’a
dan terjadinya miracle atau keajaiban.
Selain percaya terhadap kekuatan do’a,
orang Ahmadiyah juga sangat percaya
bahwa hukuman Tuhan akan datang
dengan segera jika mereka melakukan
dosa atau kesalahan. Intinya, janji dan
ancaman Tuhan untuk akan hadir tanpa
menunggu lama, apalagi sampai di
akhirat. Pengabulan doa dan pemberian
hukuman itu akan terjadi “here and
now”, dengan cepat di dunia ini.
Masih berkaitan dengan do’a, ada
kepercayaan yang tinggi dari warga
Ahmadiyah bahwa mereka adalah
komunitas yang diberkati oleh Allah.
Mereka sangat percaya bukan hanya pada
kekuatan do’a, tapi juga terwujudnya
do’a-do’a yang dipanjatkan. Setiap kali
bertemu dengan tokoh kharismatik dalam
HARMONI
Juli - Desember 2017
komunitas Ahmadiyah, yang sering
diminta hanyalah do’a. Tidak mengajukan
proposal atau melobi, tapi meminta do’a.
Ini yang terjadi, misalnya, ketika sejumlah
kecil warga Ahmadiyah Indonesia untuk
bertemu dengan Maulana Muhammad
Inaam Sahib Ghori, Nazir Aala Sadr
Anjuman Ahmadiyya dan Ameer-eMaqami Qadian di rumahnya di Qadian.
Salah satu tema dari pertemuan itu
adalah memohon do’a. Ini adalah tradisi
yang cukup dekat dengan orang-orang
NU ketika berkunjung ke ulama atau kiai.
Gambar 3 Berdo’a di Bahishti Maqbarah
Qadian, India
Hal menarik lain dari warga
Ahmadiyah adalah kepercayaan sebagai
komunitas yang terpilih dan diberkati.
Banyak cerita yang muncul selama
perjalanan dari Indonesia ke Qadian yang
menunjukkan bahwa jemaat Ahmadiyah
adalah komunitas diberkati. Misalnya,
seseorang bercerita bahwa ketika ia
perlu air, maka tiba-tiba ada orang yang
memberi air; ketika ada orang yang
berbuat jahat kepadanya, tiba-tiba orang
itu celaka. Cerita-cerita itu seperti menjadi
bukti terhadap keyakinan itu. Cerita
tentang kekutan do’a dan kedekatan
orang Ahmadiyah dengan keajaiban ini
juga menjadi salah satu tema dari buku
Mirza Mubarak Ahmad (1964), salah satu
cucu Ghulam Ahmad, ketika melaporkan
kunjungannya ke Indonesia (Burhani
2014b).
Ketika penulis bertemu dengan
jemaah asal Indonesia yang lama tinggal
di Abu Dhabi, cerita-cerita ketaatan,
MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA
loyalitas, dan miracle ini yang banyak
disampaikan ke saya. Setiap peristiwa
yang dialami hampir selalu dikaitkan
dengan pembayaran candah yang ia
lakukan. Ia sangat yakin bahwa menjadi
Ahmadiyah itu menjadi umat pilihan dan
diberkati oleh Allah. Peringatan Allah itu
akan datang dengan cepat bila melakukan
kesalahan. Begitu juga kasih-sayang
Allah itu begitu cepat tiba bila seseorang
berbuat kebaikan. Mereka percaya bahwa
doa-doa Ahmadi akan cepat didengar
dan dikabulkan Allah. Berikut beberapa
penuturan Abdul Halim Ghazali6:
Ketika masih di Jakarta, Halim
pernah terlambat membayar candah dan
tak lama setelah itu mobil kijang yang
dinaiki tiba-tiba ditabrak oleh taksi dari
belakang. Di Qadian, ia pernah mengambil
sebagian uang candah. Sebetulnya ia
hanya bermaksud meminjam dan akan
dikembalikan segera. Namun tak lama
dari tindakannya itu, rem mobilnya
blong. Ia bisa menghindarkan diri
dari menabrak mobil lain yang ada di
depannya. Namun ia tak bisa menghindar
menabrak bajai yang ada di pinggir jalan.
Ia harus memperbaiki bajai yang ditabrak
dan harus memperbaiki mobilnya. Halim
percaya bahwa dua kejadian itu terkait
erat dengan apa yang dilakukan terhadap
candah; yang pertama karena terlambat
dan yang kedua karena meminjamnya.
Ia langsung diberi peringatan oleh Allah
bahwa yang ia lakukan itu tidak benar.
Ia juga bercerita tentang temannya
yang terlambat bayar candah dan Allah
memperingatkannya dengan lepasnya
ban mobil yang dikendarai di jalan toll
di Jakarta. “Apapun kesulitannya, harus
diusahakan untuk membayar candah
tepat waktu dan tidak boleh menyentuh
uang tersebut. Saya ke Qadian di bulan
6 Abdul Halim Ghazali ini adalah cucu Bagindo
Zakaria di Padang yang rumahnya dipakai untuk debat
antara Rahmat Ali dengan ulama di Padang tahun 1926.
Ketiga anaknya diwaqakan ke jemaat: Seorangadalah
dokter tamatan universitas di Abu Dhabi, seoang lagi
adalah anaknya yang kedua yang juga sedang kuliah kedokteran di Rusia, dan yang ketiga adalah anaknya yang
kini masih di SMA.
267
Desember ini, candah saya untuk
Januari sudah saya bayarkan karena
saya khawatir bisa terlambat membayar
candah kalau ditinggal pergi jauh,” begitu
Halim bercerita tentang ketaatannya
membayar cahdah dan keyakinannya
akan peringatan Allah yang cepat jika ia
melakukan kesalahan.
Namun demikian, ia juga bercerita
tentang bagaimana kasih sayang Allah
itu hadir ke keluarganya. Ketika anaknya
sakit, iapergi ke beberapa dokter, tapi
anaknya tak juga sembuh. Lantas
ia meminta anaknya berkirim surat
ke khalifah. Jam 7 pagi suratdikirim
melalui facsimile, jam 8 pagi anaknya
sudah berlari-lari dan tak sakit lagi.
Ketika kuliah di ITB (Institute Teknologi
Bandung),ia juga mengajukan surat ke
khalifah. Ini berkaitan dengan wisudanya
yang harus ditunda ke tahun berikutnya
karena ia belum selesai menulis tesis,
sehingga belum bisa mengikuti wisuda.
Ia lantas berdoa dan berkirim surat ke
khalifah. Akhirnya, thesisnya yg baru
40 persen bisa disidangkan. Padahal
surat ke London itu perlu satu bulan di
perjalanan. Ia percaya proses doa dan
ijabah Allah itu sudah berjalan begitu
surat dikirim ke kotak pos. Jauh sebelum
dibaca dan didoakan oleh khalifah.
Begitu juga ketika anaknya ikut kompetisi
cerdas cermat di Abu Dhabi. Anaknya
yang sebetulnya di sekolah ranking III
itu akhirnya juga menjadi pemenang dan
mengalahkan temannya yang rangking I
dan II. Kemenangan dalam lomba cerdas
cermat itu, menurutnya, terjadi karena
anaknya berkirim surat ke Huzur dan
meminta didoakan agar bisa menjadi
pemenang dalam lomba itu. Itulah yang
menyebabkan Halim mengingatkan
anaknya bahwa kemenangannya itu
adalah berkat do’a Huzur. “Ini bukan
karena kepintaranmu, nak. Tapi karena
doa Huzur,” begitu Halim menasehati
anaknya.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16
No. 2
268
AHMAD NAJIB BURHANI
Cerita lain yang berkaitan dengan
kasih-sayang Allah terjadi pada dirinya.
Pada suatu ketika Halim dan keluarganya
akan mengikuti Jalsa di Qadian. Ketika
pesawat yang ditumpangi dari Abu
Dhabi tiba di bandara Amritsar, ada
kabut tebal yang tidak memungkinkan
pesawat mendarat. Akhirnya pesawat
naik lagi dan mendarat di New Delhi.
Dari Delhi ia harus naik bis selama 10 jam
ke Qadian. Ketika tiba di lokasi Jalsa, ia
tidak diperkenankan masuk ke area yang
bisa mendengarkan materi-materi dengan
terjemahan bahasa Inggris atau Indonesia.
Ketika itu bahasa Urdunya masih belum
bagus. Karena tidak bisa masuk ke area
terjemahan, maka hanya sedikit materi
yang bisa dipelajari. Ia berkata kepada
dirinya dan anaknya untuk sabar. Bagai
pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga”,
ketika kembali ke Abu Dhabi, mobilnya
hilang. Cobaan yang ia terima datang
secara bertubi-tubi. Namun sebagai
Ahmadi ia yakin bahwa pasti ada sesuatu
dibalik peristiwa-peristiwa ini. Dan betul,
tak lama kemudian Amir Ahmadiyah Abu
Dhabi memberitahu bahwa ia mendapat
surat dari khalifah. Ketika ia terima
dan baca, begitu gembiranya ia karena
ia disebut berhak memiliki tanah di
kavling-kavling perumahan Ahmadiyah
di Qadian. Baginya ini adalah sebuah
berkah yang luar biasa dan itu semua
merupakan jawaban dari cobaan yang
beberapa kali ia terima menjelang tibanya
kabar gembira tersebut.
Kelima, sebagian outsider melihat
Ahmadiyah itu seperti organisasi yang
tertutup. Ketika pertama kali datang
ke Parung, penulis sedikit merasakan
ketertutupan dan kecurigaan terhadap
orang luar ini. Padahal penulis sudah
meminta beberapa teman, seperti Firdaus
Mubarak, untuk mengkomunikasikan
kunjungan itu dan sudah berkirim surat.
Namun ketika masuk, penulis harus
ditahan dulu di dekat pintu gerbang
selama beberapa lama. Penulis juga tidak
bisa meminjam buku di perpustakaan.
HARMONI
Juli - Desember 2017
Beruntung waktu itu Amir Nasional
JAI, Maulana Abdul Basith, melihat
penulis dan kemudian membantu
mengkomunikasikan dengan pihak-pihak
yang ada di Kampus Mubarak Parung.
Pengalaman ini juga di rasakan oleh
teman yang datang langsung ke Parung
tanpa memberitahukan terlebih dahulu
atau suratnya mengalami hambatan.
Tentu bisa dipahami mengapa
kadang
orang-orang
Ahmadiyah
bersikap hati-hati terhadap orang asing.
Itu tak lepas dari pengalaman mereka
didiskriminasi dan diberitakan atau
ditulis secara kurang simpatik oleh
wartawan atau peneliti yang menemui
mereka. Ada institusi yang menyebut
dirinya sebagai Lembaga Penelitian dan
Pengkajian Islam (LPPI) yang sangat aktif
menulis dan menerbitkan buku-buku
hujatan terhadap Ahmadiyah (Burhani
2016). Meskipun namanya lembaga
penelitian dan pengkajian, namun apa
yang mereka lakukan berbeda dari
standar akademik dalam penelitian dan
pengkajian. Lembaga ini sangat ideologis
dan penerbitannya lebih ditujukan untuk
kepentingan menghancurkan lawanlawan ideologinya. Demikian juga banyak
wartawan yang mencari informasi,
namun sudah memiliki frame tertentu
dalam penulisan. Ketika menulis tentang
Ahmadiyah, maka hampir selalu diisi
dengan suara negatif. Inilah diantaranya
yang membuat mereka kadang curiga
dengan orang asing hadir menemui
mereka atau datang ke tempat mereka.
Kesan tentang penjagaan keamanan
yang ketat itu juga terjadi pada Jalsa Salana
di Qadian, India. Untuk masuk ke Dar alMasih, Masjid Al-Aqsa, Masjid Mubarak,
dan Jalsa Gah (arena jalsa), semua
orang, termasuk anggota Ahmadiyah,
harus melewati pengamanan yang
berlapis. Mulai dari pengecekan identitas
kepesertaan, melewati metal detector,
pengecekan fisik, dan scanning barang-
MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA
barang yang dibawa. Pengecekannya
lebih ketat dari pengecekan untuk naik
pesawat di airport di Amerika Serikat
atau Singapura. Bahkan beberapa polisi
dengan laras panjang selalu berdiri
di gerabang Dar al-Masih, Jalsa Gah,
dan Bahishti Maqbarah. Untuk masuk
ke Bahishti Maqbarah pun tidak bisa
dilakukan oleh semua orang, harus
menunjukkan identitas peserta jalsa atau
identitas Ahmadiyah. Tentu semua itu
dengan alasan security, karena selalu ada
atau bahkan banyak orang-orang yang
berniat jahat kepada orang Ahmadiyah.
Penyerangan terhadap Ahmadiyah itu
terjadi beberapa waktu lalu ketika masjid
Ahmadiyah di tembaki dan sekitar 80
orang meninggal dunia. Ini diantaranya
yang membuat jemaah Ahmadiyah
waspada terhadap orang asing atau orang
luar.
Keenam,
ada
kontras
antara
lingkungan Ahmadiyah dan sekitarnya.
Ketika tiba di Qadian, penulis masuk
Dar al-Masih yang bersih, rapi, dan
kokoh. Kemudian esoknya berkunjung
ke Bahishti Maqbarah yang hijau,
indah, sejuk, dan menenteramkan.
Namun begitu keluar dari lingkungan
Ahmadiyah, kita menemukan banyak
pengemis, berdebu, lingkungan yang
kumuh, kotor, semrawut, dan tak tertata.
Ini yang mengingatkan kepada kalimat
dari Wilfred Cantwell Smith yang
mengatakan “If half a village somewhere
is Ahmadi, that half is apt to be cleaner than
the other half” (Smith 1969, 370). Intinya
Smith ingin mengatakan bahwa orang
Ahmadiyah itu lebih banyak memikirkan
jamaahnya dan kurang melibatkan
masyarakat sekitarnya. Tentu pernyataan
ini tidak sepenuhnya benar jika melihat
pada kondisi lingkungan yang selalu
mendiskriminasikan Ahmadiyah. Namun
jika dilihat secara kasat mata dan sekilas,
kesan itu yang muncul pertama kali.
269
SIMPULAN
Ada tiga catatan yang perlu diulang
pada penutup tulisan ini. Pertama, studi
tentang agama dan keyakinan tertentu
bukanlah sesuatu yang menjadi obyek
kajian eksklusif bagi pemeluknya. Tentu
ada individu yang menentang posisi
ini. Seperti yang disebut oleh Cabezon
dan Davaney (2004, 16), “Individuals
or communities with a traditional (and
oten conservative) religious stance find
something objectionable or offensive in
the work of the scholar.” Tapi, banyak yang
lebih terbuka dengan kerja akademik dari
ilmuwan. Memang, peneliti yang bukan
penganut agama atau keyakinan yang
dikaji akan dipengaruhi, baik besar atau
kecil, oleh identitas yang ia miliki. Ini
berlaku sama bagi peneliti yang memiliki
afiliasi keagamaan tertentu dan juga
peneliti sekular. Hal yang membedakan
mereka adalah kemampuannya untuk
melakukan suspension of judgement,
apakah ia bisa menerapkan metode
bracketing atau epoche atau justru ia ia
memilih bersikap bias.
Kedua, dalam studi tentang metode
penelitian, outsider dan insider seringkali
dilihat sebagai dua pendekatan dan
perspektif yang berbeda. Namun
dalam mengkaji Ahmadiyah, maka dua
kategori ini menjadi kabur, terutama jika
pengkajianya adalah seorang Muslim nonAhmadi. Ini terkait dengan dua definisi
yang berbeda terhadap Ahmadiyah;
sebagai kelompok sesat atau heterodoks
bagi Muslim non-Ahmadi dan sebagai the
true and real Islam bagi orang Ahmadiyah.
Seorang sarjana Muslim non-Ahmadi
yang melakukan penelitian tentang
Ahmadiyah adalah partly outsider dan
partly insider. Sebagian dari pengalaman,
ekspresi keagamaan, doktrin, dan nilai
yang ada pada Ahmadiyah adalah sesuatu
yang biasa ia jalani, amalkan, dan rasakan
dalam
kehidupan
keagamaannya.
Namun sebagian lagi adalah sesautu
yang sama sekali baru, berbeda, atau
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16
No. 2
270
AHMAD NAJIB BURHANI
bahkan bertolak belakang dari apa yang
selama ini ia yakini dan jalani. Karena
itu, dalam kajian dan penelitian tentang
Ahmadiyah dan kelompok agama yang
disebut “heretiks”, kategori insider dan
outsider menjadi sesuatu yang kabur atau
kadang berbaur menjadi satu dalam diri
peneliti.
Ketiga, meski sebuah kajian ilmiah
kadang berpretensi tidak berpihak
secara politik, namun tak bisa dipungkiri
bahwa ia bisa juga berpengaruh secara
politik. Ini, misalnya, berpengaruh
dalam isu yang terkait dengan kebijakan
pemerintah terhadap kelompok agama
minoritas. Kajian ilmiah juga bisa
berpengaruh pada pandangan dan sikap
masyarakat, misalnya mereka menjadi
netral sikapnya atau menjadi paham
duduk persoalannya atau bahkan menjadi
pendukung kelompok yang selama ini
mereka benci. Seperti dinyatakan oleh
Kwasi Wiredu bahwa “scholarship can
contribute to widening our horizons and
overcoming the parochialisms of our
narrow identities, helping us to forge new
historical identities more fully informed
by the world” (Cabezon dan Davaney
2004, 20).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada editor, beberapa pembaca, dan
reviewer yang telah memberikan kritik
dan masukan untuk memperbaiki tulisan
ini. Tidak lupa, terima kasih juga penulis
tujukan kepada Pengelola Jurnal Harmoni
yang telah berkenan menerbitkannya
pada edisi kali ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin EP., Zaenal. 2007. Syarif Ahmad Saitama Lubis: Dari Ahmadiyah untuk Bangsa.
Yogyakarta: Logung Pustaka.
Allen, Douglas. 1987. “Phenomenology of Religion”, dalam Mircea Eliade (ed.). The
Encyclopedia of Religion. Volume 11. New York: Macmillan.
Budiana, Yendra. 2016. “Delegasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia Genapi Kebenaran
Imam Mahdi AS.” Warta Ahmadiyah, 30 Desember 2016. Diakses di: htp://wartaahmadiyah.org/delegasi-jemaat-ahmadiyah-indonesia-genapi-kebenaran-imammahdi-as.html (11 Januari 2017).
Burhani, Ahmad Najib. 2017a. “Memahami Kontroversi Ahmadiyah”. Geotimes,
24 November. Diakses di: htps://geotimes.co.id/kolom/agama/memahamikontroversi-ahmadiyah/ (30 November 2017).
Burhani, Ahmad Najib. 2017b. “Ethnic Minority Politics in Jakarta’s Gubernatorial
Election”. ISEAS Perspective, No. 39, June.
Burhani, Ahmad Najib. 2016. “Fundamentalism and Religious Dissent: The LPPI’s
Mission to Eradicate the Ahmadiyya in Indonesia.” Indonesia and the Malay World,
Vol. 44 (129): 145-164.
Burhani, Ahmad Najib. 2014a. “Treating minorities with Fatwas: A study of the
Ahmadiyya community in Indonesia,” Contemporary Islam, 8 (3/Sep): 285-301.
HARMONI
Juli - Desember 2017
MELINTASI BATAS IDENTITAS DAN KESARJANAAN: STUDI TENTANG AHMADIYAH DI INDONESIA
271
Burhani, Ahmad Najib. 2014b. “Conversion to Ahmadiyya in Indonesia: Winning Hearts
through Ethical and Spiritual Appeals,” Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast
Asia, 29 (3): 657-690.
Cabezon, Jose Ignacio and Sheila Greeve Davaney. 2004. Identity and the Politics of
Scholarship in the Study of Religion. New York: Routledge.
Djamaluddin, M. Amin. 2011. Fakta dan Data Ahmadiyah Menodai Islam. Edisi revisi.
Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI).
Maarif, Samsul (peny.). 2015. Studi Agama di Indonesia: Refleksi Pengalaman. Yogyakarta:
Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya, UGM.
Mahmud Ahmad, Bashir-ud-Din. 1980. Invitation to Ahmadiyyat: Being a statement of
beliefs, a rationale of claims, and an invitation, on behalf of the Ahmadiyya Movement for
the propagation and rejuvenation of Islam. London: Routledge & Kegan Paul.
Mubarak Ahmad, Mirza. 1964. Ahmadiyyat in the Far East. Trans. from Urdu by Soofi A.Q.
Niaz. Rabwah, West Pakistan: Ahmadiyya Muslim Foreign Missions.
Muryadi, Wahyu (ed.). 2005. Ahmadiyah: Keyakinan yang digugat. Jakarta: PDAT Tempo.
Peacock, James L. 1978. Purifying the faith: The Muhammadijah movement in Indonesian
Islam. Menlo Park, Calif: Benjamin/Cummings Pub Co.
PP Muhammadijah. 1964. Kitab beberapa masalah dan masalah lima. Yogyakarta: Pimpinan
Pusat Muhammadijah.
Smith, Wilfred Cantwell. 1969. Modern Islām in India, a social analysis. Lahore: Sh.
Muhammad Ashraf.
Soejono Tjiptomihardjo. 1956. “28 Oktober dan arti ‘Indonesia Raya’ untuk bangsa kita”
dalam Buku kenang-kenangan 10 Tahun Kabupaten Madiun. Madiun: Panitya.
Winarno, Bondan. 2003. Lagu kebangsaan Indonesia Raya. Jakarta: TSA Komunika.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 16
No. 2