Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
MEMBACA HUKUM MELALUI HIDUP YAP THIAM HIEN Resensi Buku Oleh: Bivitri Susanti. Peneliti PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia). Judul: NO CONCESSIONS. The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer. Penulis: Daniel S. Lev Penerbit: University of Washington Press, Seattle, USA Cetakan: I, 2011 Tebal: 464 halaman ISBN: 978-0-295-99114-6 Seorang penjual kecap yang menjajakan dagangannya dari sepeda ditangkap dan dipukuli di kantor polisi. Yap Thiam Hien segera melaporkan pelanggaran ini kepada kepala kantor polisi, yang ketika itu masih dipegang oleh orang Belanda. Kepala kantor polisi langsung menyangkalnya. Bila memang hal itu terjadi, jawab si kepala kantor polisi, ia akan membebaskan si penjual kecap. Sewaktu Yap meninggalkan kantor polisi itu, sebuah mobil datang dari klinik membawa para tahanan yang sakit dan terluka. Di antara para penumpang, ada si penjual kecap dengan kepala dibebat karena luka pukul. Kepala kantor polisi kontan terkejut dan malu melihat kenyataan ini. Ia segera melepaskan si penjual kecap tanpa prosedur apa-apa (hlm. 118). Cerita di atas terjadi pada awal 1950-an. Namun cerita mengenai penyalahgunaan kekuasaan oleh penegak hukum masih biasa kita dengar: pengakuan yang didapat dari penyiksaan, pemerasan oleh penegak hukum, dan sebagainya. Yang tak biasa adalah bagaimana seorang advokat merespons kejadian seperti ini. Sangat sedikit advokat yang berani menyatakan praktek ini salah. Bahkan kini tak jarang advokat justru melanggengkan penyalahgunaan kekuasaan dengan mencaloi transaksi jual-beli hukum. Yap Thiam Hien berbeda. Ia berani berhadapan dengan penegak hukum lainnya untuk menyatakan apa yang dianggapnya salah. Ia mengambil risiko kalah dalam kasusnya, bahkan ancaman. Yap Thiam Hien (1913-1989) memang bukan advokat biasa. Ia dikenal sebagai seorang pembela hak asasi manusia (HAM) dan negara hukum yang sangat gigih, serta advokat yang cerdas dan berintegritas. Namanya diabadikan dalam bentuk penghargaan bagi pejuang HAM. Sejak 1992, sudah 23 orang dan organisasi mendapat Yap Thiam Hien Awards. Advokat-Reformis Biografi yang ditulis oleh Daniel S. Lev ini banyak bercerita mengenai kegairahan (passion) Yap Thiam Hien mengenai dunia advokasi. Namun dalam pengamatan Lev, hal yang sangat mempengaruhi hidup Yap sebenarnya bukan advokasi itu sendiri, melainkan pelayanan bagi prinsip-prinsip sosial dan politik yang diyakininya. Advokasi, bagi Yap, adalah cara untuk menegakkan prinsip-prinsip ini. Karakter inilah yang membedakan Yap dengan banyak advokat lainnya, sehingga Lev melihat Yap sebagai bagian dari kelompok kecil yang disebutnya sebagai “advokat-reformis” (advocate-reformers) yang mulai muncul setelah 1965 (hlm. 119). Selain Yap Thiam Hien, yang disebut sebagai advokat-reformis oleh Lev adalah Lukman Wiriadinata, Hasjim Mahdan, A.Z. Abidin, Suardi Tasrif, Soemarno P. Wirjanto, dan Ani Abas Manopo. Kelompok ini mempunyai kesamaan dalam pandangan mereka mengenai negara hukum. Dengan latar belakang pendidikan hukum ditambah dengan pengalaman bersekolah di Belanda, mereka memaknai negara hukum dalam konteks lahir dan bekerjanya “rechtsstaat” di daratan Eropa, yang sarat dengan soal-soal pembatasan kekuasaan dan keadilan. Kesewenang-wenangan dalam hukum yang ditunjukkan oleh Sukarno dalam masa Demokrasi Terpimpin amat jauh dari gagasan mereka tentang negara hukum. Begitu pula, ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi yang dipertontonkan pasca-1965 membuat mereka tergugah. Dengan semangat itu, Yap Thiam Hien bersama para advokat-reformis lainnya mendirikan dua organisasi yang penting dalam perkembangan negara hukum Indonesia: Peradin (Perhimpunan Advokat Indonesia) dan LBH (Lembaga Bantuan Hukum). Peradin adalah organisasi advokat profesional Indonesia nasional dan multi-etnis yang pertama setelah kemerdekaan. Sedangkan LBH awalnya merupakan bagian dari kerja Peradin yang membawa misi bantuan hukum bagi anggotanya. LBH kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi non-pemerintah berbentuk yayasan (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, YLBHI) dengan lima belas kantor di berbagai provinsi di Indonesia. LBH dikenal sebagai “lokomotif demokrasi” karena kerja-kerjanya dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi selama masa Orde Baru. Pengadilan sebagai arena politik Yap Thiam Hien dikenal karena argumentasinya di ruang pengadilan yang berbobot dan disampaikan dengan gaya yang mengesankan. Yang membuat namanya mencuat adalah kasus-kasus bernuansa politik yang ditanganinya sebagai bagian dari kerja LBH. Misalnya kasus-kasus yang terkait dengan Gerakan 30 September 1965 dan Kasus Tanjung Priok. Mereka kebanyakan didakwa dengan Undang Undang No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Undang-undang yang telah dicabut pada 1999 ini dikenal sebagai ‘undang-undang karet’ karena pasal-pasalnya yang multi-interpretatif. Ia banyak digunakan oleh rezim Orde Baru untuk memadamkan berbagai gejolak politik yang mengganggu ‘stabilitas.’ Dengan situasi politik pada masa Orde Baru, membela kasus-kasus tersebut ibarat menggantang asap: melakukan perbuatan yang sia-sia. Yap Thiam Hien tahu kliennya tidak akan menang di pengadilan. Namun baginya, soalnya bukanlah menang atau kalah. Pengadilan adalah soal politik hukum: kesempatan untuk mengungkapkan secara terbuka dan tercatat mengenai penyalahgunaan hukum oleh penguasa. Lebih dari biografi Biografi ini terdiri dari tiga belas bab yang disusun secara kronologis, ditambah sebuah epilog dan catatan tambahan (postscript). Ia unik karena beberapa bagiannya dibuat oleh orang-orang yang dekat dengan Lev. Sebabnya, Lev tutup usia ketika buku ini belum sepenuhnya usai. Benedict O. Anderson menuliskan sebuah kata pengantar berupa ulasan mendalam mengenai buku ini, yang disertai dengan catatan yang terasa hangat mengenai penulisnya. Arlene Lev, istri Dan Lev, menulis epilog yang memberikan konteks pasca-Orde Baru. Sebastiaan Pompe dan Ibrahim Assegaf menulis bab catatan tambahan mengenai kasus-kasus yang ditangani Yap pada awal Orde Baru. Daniel S. Lev (1933-2006) dikenal sebagai “Indonesianis” yang berfokus pada politik dan institusi hukum. Maka kisah hidup Yap dipaparkannya dengan penjelasan yang mendalam mengenai politik Indonesia masa kemerdekaan, gejolak politik seputar 1965, serta masa Orde Baru. Dengan begitu, Lev membuat biografi Yap Thiam Hien tidak hanya sebagai sebuah biografi seorang advokat dan pembela HAM, namun juga sebuah catatan dan analisis politik mengenai institusi-institusi hukum Indonesia yang penting untuk dibaca oleh pengamat dan pemerhati hukum.