Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Skip to main content
Penerapan sistem politik di negara-negara di dunia sangat beragam, tergantung pada konteks sosial, politik, dan ekonomi di negaranya masing-masing. Berbagai model sistem politik banyak diidentifikasi, namun penerapannya bisa berbeda-beda... more
Penerapan sistem politik di negara-negara di dunia sangat beragam, tergantung pada konteks sosial, politik, dan ekonomi di negaranya masing-masing. Berbagai model sistem politik banyak diidentifikasi, namun penerapannya bisa berbeda-beda dan begitu banyak variannya. Oleh karena itu, adopsi sistem politik tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa melihat kondisi politik secara keseluruhan di negara tempat sistem itu diterapkan dan berkembang. Begitu pula, studi komparasi di bidang politik juga belakangan ini cenderung melihat politik tidak dalam hal institusi-institusi politiknya belaka, melainkan melihat politik sebagai suatu proses. 1 Pada dasarnya ada dua pembedaan model pengambilan keputusan di dalam suatu lembaga legislatif. Sistem mayoritas dengan satu dewan atau satu kamar atau biasa disebut dengan unikameral dan sistem konsensus dengan dua dewan atau bikameral. Penerapan parlemen bikameral kemudian dalam praktek proses politiknya juga banyak melahirkan variasi model. Tidak dapat disimpulkan yang mana yang paling baik karena pada akhirnya yang perlu dilihat adalah efektivitasnya dalam menjalankan peran perwakilan dalam sebuah sistem politik. Kata kunci dalam menilai efektivitas parlemen bikameral adalah 'kompetisi' di antara dua dewan, yang kemudian dalam sebuah institusi politik juga akan terkait dengan legitimasinya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Arend Lijphart terhadap 36 negara, disimpulkan adanya dua karakter untuk melihat keberadaan sistem bikameral yang diterapkan kuat (strong bicameralism) atau lemah (weak bicameralism). 2 Pertama, kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh kedua kamar. Kecenderungannya, kamar kedua kedua (Senate di Amerika Serikat, Bundesrat di Jerman, atau DPD di Indonesia) biasanya mempunyai kewenangan yang lebih kecil daripada kamar pertama (House of Representatives di Amerika Serikat, Bundestag di Jerman, atau DPR di Indonesia). Kedua, signifikansi politik kamar kedua tergantung tidak hanya dari kekuatan formal mereka, melainkan juga dari cara pemilihan anggotanya. Kedua karakter ini saling berkaitan. Kamar kedua yang anggotanya tidak dipilih secara langsung mempunyai legitimasi yang minimal dan karenanya biasanya mempunyai peran politik yang kurang penting. Oleh sebab itu, ada tendensi kamar kedua yang anggotanya punya legitimasi kuat karena dipilih secara langsung lantas diberikan wewenang yang lebih kecil daripada kamar pertama. Dari kedua karakter ini, Lijphart kemudian mengklasifikasikan parlemen bikameral menjadi dua kelompok, yaitu simetris dan asimetris. 3 Dikatakan simetris bila kekuatan di antara kamar pertama dan kedua relatif setara dan asimetris bila kekuatan di antara keduanya sangat tidak berimbang.
Research Interests:
Research Interests:
The (Counter-Terrorism) Law provides authority to the state to detain and arrest people without due process of law. Its ’ foundation provides more freedom for the state to conduct violent acts and human rights violations. Even without the... more
The (Counter-Terrorism) Law provides authority to the state to detain and arrest people without due process of law. Its ’ foundation provides more freedom for the state to conduct violent acts and human rights violations. Even without the Internal Security Act disguised in the Counter-Terrorism Law, pro-democracy activists and the people have to face threats from the state in the multi- interpretative articles in the Criminal Code (Hatzaai Artikellen) and from the Counter-Terrorism Law. The arrest and detaining of people of Bulukumba is clear evidence … Not to mention many pro-democracy activists who have been arrested and penalised through the Criminal Code’s multi- interpretative articles.1 The above quote reveals three issues about the state of national security in Indonesia. Firstly, it demonstrates how the Indonesian government by enacting counter-terrorism laws responds to global concerns about terrorism and national security. Secondly, it shows human rights activist’s view of...
About the Book Commonly-used Acronyms and Abbreviations Glossary and Abbreviations List of Cited Legal Instruments Commonly-cited Constitutional Provisions Statutes and Emergency Laws Other Instruments List of Cited Cases Constitutional... more
About the Book Commonly-used Acronyms and Abbreviations Glossary and Abbreviations List of Cited Legal Instruments Commonly-cited Constitutional Provisions Statutes and Emergency Laws Other Instruments List of Cited Cases Constitutional Review Cases Electoral Disputes 2004 Legislative Election 2009 Legislative Election 2014 Legislative Election Presidential Elections Pemilukada Disputes Decisions of Other Courts 1 Introduction 1 Structure of the Book 2 Introduction to the Constitutional Court Part I: Introduction to the Constitutional Court 2 Establishment of the Constitutional Court 1 The Introduction of Constitutional Courts and Judicial Review 2 The Need for a Constitutional Court 2.1 Concern for Human Rights 3 International Influences for the Court 4 Historical and Political Factors 4.1 Constitutional Debates 4.2 Judicial Subjugation 4.3 Ideological Competitors 4.4 Structural Reforms and the Fading of Pancasila 4.5 Constitutional Reform as a Political Survival Tactic 5 Debates about Form and Jurisdiction 6 Conclusion 3 The Structure of the Court Judges, Access, Decision-making and Enforcement 1 Judicial Appointment 1.1 Prerequisites 1.2 Nomination 2 Dismissal of Judges 2.1 Dismissal Process 2.2 Arsyad Sanusi 2.3 Akil Mochtar 3 Access to the Constitutional Court 3.1 Standing: Who Can Bring an Application Before the Court? 3.2 Complaints of Damage to Constitutional Rights 3.3 Political Parties, Parliamentarians and Parliaments 3.4 Reviews Granted Despite Lack of Standing 3.5 Court Costs and Timing 4 Decision-making of the Constitutional Court 4.1 Structure of Judgments 4.2 Style and Extrinsic Material 4.3 Use of Precedent 4.4 Dissents 5 Enforcement of Constitutional Court Decisions 5.1 Resistance to Enforcement 5.2 Government Compliance with Decisions Part II: Constraints on the Constitutional Court's Decision-making and Jurisdiction 4 External Constraints on the Constitutional Court The Constitution and the Legislature 1 Constitutional Constraints 1.1 Limitation of Constitutional Review to Statutes 1.2 The Court as a 'Negative Legislator' 2 Legislative Latitude 2.1 KPK Law Case (2003) 2.2 Opened Legal Policy 2.3 Article 28J(2) and Proportionality 3 Statutorily-imposed Constraints of the 2003 Constitutional Court Law 3.1 Rulings on the Court's Own Interests 3.2 Article 50 cases 3.3 MK Perpu Case (2014) 5 Court-imposed Constraints 1 Review Limited to Norms 1.1 Implementation or Interpretation of Statutes 1.2 Wijaya and Lubis Case (2008) 1.3 Blasphemy Law Case (2010) 1.4 Retrospectivity Cases 1.5 Inconsistencies in Court-imposed Constraints 1.6 Sisa Suara Case (2009) 1.7 KPK Commissioners Case (2011) 2 Prospectivity of Decisions 2.1 Lese Majeste Case (2006) 2.2 Bali Bombing Case (2003) 2.3 Death Penalty (2007) and Firing Squad (2008) Cases 2.4 Discussion 2.5 Exceptions 3 Injunctions 3.1 Criticisms of the Court-Awarded Injunctions 6 Jurisdictional Expansion 1 The 2011 Amendments and their Invalidation 2 Structure of this Chapter 3 Conditional (Un)constitutionality 3.1 2011 Amendments and the Court's Response 4 Orders to Lawmakers 4.1 Education Budget Cases 4.2 Anti-Corruption Court Case (2007) 4.3 2011 Amendments and the Court's Response 5 Ultra petita 5.1 2011 Amendments and the Court's Response 6 Legal Certainty 6.1 2011 Amendments and the Court's Response 7 Government Policy 8 Interim Emergency Laws (Perpu) 8.1 Saor Siagian Case (2009) 8.2 MK Perpu Case (2014) 9 Implication of Rights Part III: Constitutional Challenges to Electoral Statutes 7 Indonesian Elections Systems, Laws and Scope for Challenges 1 Constitutional Framework 2 Election-related Statutes and Regulations 2.1 Statutory Evolution 2.2 Explaining Multiple Challenges to Similar Norms 3 DPR and DPRD Elections 3.1 The List System 3.2 Affirmative Action 3.3 Seat Allocation 3.4 Establishment and Verification 4 DPD Elections 4.1 The DPD Jurisdiction Case (2012) 4.2 DPD Elections 5 Presidential Elections 6 Pemilukada 7 Customary Voting Procedures 8 Election Institutions and Administration 8.1 Constitutional Court Cases 8 Legislative Elections 1 Judicial Review of Candidacy Rules 1.1 PKI Case (2003) 1.2 Former Convicts 1.3 Civil Servant Candidate Case (2010) 1.4 Political Rights of Police and Armed Forces 2 Party Establishment and Verification 3 Contesting the 'Next Election': The Election Threshold Cases 4 The Parliamentary Threshold 4.1 Parliamentary Threshold Case (2009) 4.2 Parliamentary Threshold and Party Verification Case (2012) 9 Electoral Districts and Seat Allocation 9.1 Seat Allocation 9.2 Third Round Allocation Dispute (2009) 10 The People versus the Parties 10.1 The List Cases 10.2 Affirmative Action 10.3 Removal from Parliament 10.4 Other Types of Removal 10.5 Suspensions 9 Presidential Elections 1 Judicial Review of the Presidential Electoral System 1.1 Two-candidate Presidential Election Case (2014) 1.2 Ethnic Minorities Case (2012) 1.3 Electoral Roll Case (2009) 2 Judicial Review of Candidacy 2.1 Party Nomination 2.2 Independent…
This conference was supported by the generosity of the Japan Foundation Asia Centre, AusAID, the Daiwa Foundation for Asia and Oceania, the Myer Foundation and The Australian National University's National Institute for Asia and the... more
This conference was supported by the generosity of the Japan Foundation Asia Centre, AusAID, the Daiwa Foundation for Asia and Oceania, the Myer Foundation and The Australian National University's National Institute for Asia and the Pacific and the Humanities Research Centre.
Many measures have been taken to deal with war against terrorism in the international level. One important measure is the imposition to initiate a set of legal instruments to smoothen legal procedures against international terrorist... more
Many measures have been taken to deal with war against terrorism in the international level. One important measure is the imposition to initiate a set of legal instruments to smoothen legal procedures against international terrorist organisations through, among others, the establishment of new national security laws related to international terrorist and multilateral and bilateral agreement on the investigation of international terrorist organisations.
Research Interests:
Frasa kunci " negara hukum " mengandung banyak pemahaman dan seakan tak pernah bisa habis dibahas. Berbagai pengertian negara hukum tentu kerap dibahas di mahkamah yang mempunyai peran penting dalam negara hukum ini. Mulai dari... more
Frasa kunci " negara hukum " mengandung banyak pemahaman dan seakan tak pernah bisa habis dibahas. Berbagai pengertian negara hukum tentu kerap dibahas di mahkamah yang mempunyai peran penting dalam negara hukum ini. Mulai dari prinsip-prinsip yang kerap dibahas dan dijadikan rujukan secara internasional maupun nasional, hingga kategori institusional. Namun konteks negara hukum masih perlu dibahas sekali lagi dalam konteks lembaga perwakilan rakyat.
Research Interests:
Research Interests:
1. Pendahuluan Sejatinya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebuah lembaga yang mewakili rakyat dalam memastikan bahwa penyelenggaraan negara dijalankan dengan efektif, responsif, seksama, dan untuk semaksimal mungkin mendorong... more
1. Pendahuluan Sejatinya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebuah lembaga yang mewakili rakyat dalam memastikan bahwa penyelenggaraan negara dijalankan dengan efektif, responsif, seksama, dan untuk semaksimal mungkin mendorong kesejahteraan rakyat dan keadilan. Makna itulah yang terbaca dengan jelas dalam Bab VII UUD 1945, yang bisa kita pahami konsepnya dari berbagai teori mengenai lembaga perwakilan rakyat. Maka, untuk menguji bagaimana DPR kemudian (bersama pemerintah) menerjemahkan konsep ini dalam bentuk undang-undang, kita perlu meletakkan kembali DPR dalam kerangka fungsi dan kedudukannya sebagai perwakilan rakyat. Seperti halnya bila kita bertujuan untuk keluar dari sebuah gua yang gelap menuju sinar terang di ujung lorong, lukisan indah di sepanjang dinding gua dan aliran sungai bergemericik mungkin mengalihkan perhatian kita dan akhirnya membuat kita berputar-putar dan tersesat hingga kehilangan sinar terang tadi karena hari sudah gelap di luar. Bila kita dibiarkan terus berputar-putar dengan argumen yang berpijak pada efektivitas kerja seakan-akan DPR adalah lembaga biasa saja, bahkan kantor para ningrat, padahal hakikat DPR sendiri sebagai wakil rakyat dilupakan, bisa jadi kita tersesat dalam belantara perdebatan tanpa sinar terang di ujungnya. Karena itu, dalam membahas ketiga pasal yang dimohonkan, saya akan meletakkan pasal-pasal yang diminta pada konsep awalnya sebagai alat kelengkapan dan/atau mekanisme kerja bagi DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Harus diingat, UU MD3 sesungguhnya adalah sebuah undang-undang yang dibuat untuk menerjemahkan norma-norma konstitusional mengenai lembaga perwakilan secara operasional, dalam bentuk desain alat kelengkapan dan mekanisme kerjanya. Karena itu, desain operasional tersebut mesti dibuat agar mendekatkan sebuah lembaga perwakilan rakyat dengan rakyat yang diwakilinya; dan bukan justru menjauhkan wakil dan yang-diwakili.
Research Interests:
Research Interests:
The (Counter-Terrorism) Law provides authority to the state to detain and arrest people without due process of law. Its' foundation provides more freedom for the state to conduct violent acts and human rights violations. Even without... more
The (Counter-Terrorism) Law provides authority to the state to detain and arrest people without due process of law. Its' foundation provides more freedom for the state to conduct violent acts and human rights violations. Even without the Internal Security Act disguised in the Counter-Terrorism Law, pro- democracy activists and the people have to face threats from the state in the
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
K ata 'partisipasi' mungkin sudah semakin banyak dipergunakan dan barangkali sampai titik tertentu menjadi kabur maknanya. Banyak orang bahkan mengklaim bahwa partisipasi sudah ada karena sudah ada peraturan pemerintah yang mengaturnya.... more
K ata 'partisipasi' mungkin sudah semakin banyak dipergunakan dan barangkali sampai titik tertentu menjadi kabur maknanya. Banyak orang bahkan mengklaim bahwa partisipasi sudah ada karena sudah ada peraturan pemerintah yang mengaturnya. Bahkan sudah menjadi trend baru di dalam banyak jenis peraturan untuk memasukkan 'partisipasi masyarakat' sebagai satu bab atau bagian tersendiri. Bila mau dirunut, secara teoritik kita bisa merujuk pada teori mengenai demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh Habermas ataupun banyak teori lainnya mengenai partisipasi. Namun dalam secara sederhana, jelas bahwa partisipasi penting karena dua hal: (i) rakyat jugalah yang nantinya akan terikat oleh keputusan tersebut; dan (ii) lembaga perwakilan yang merupakan evolusi panjang konsep perwakilan di negara-kota jaman Yunani yang mini tidak akan pernah mampu secara sempurna mewakili seluruh masyarakat di sebuah negara modern yang sangat luas dan kompleks ini. Sistem Pemilu tidak pernah menjadi solusi mutakhir dalam soal perwakilan. Harus ada mekanisme yang memungkinkan rakyat, yang akan terkena dampak pengaturan dan kerja lain pemerintahan dan lembaga perwakilan, berpartisipasi langsung dengan mekanisme tertentu. Gambar di samping kanan ini diambil dari publikasi internet makalah Sherry R. Arnstein, 3 yang sebenarnya sudah cukup lama, namun masih sangat relevan hingga saat ini. Poster itu pada intinya mengatakan: untuk siapa sebenarnya partisipasi dilakukan? Siapa yang mendapatkan keuntungan? Para partisipankah? Atau instansi atau lembaga yang mengundang partisipasi? Di sinilah letak relevansi makalah lama Arnstein tersebut. Dalam makalahnya yang sering dijadikan rujukan itu, Arnstein menjelaskan tipologi partisipasi, yang digambarkannya dalam bentuk tangga. Ringkasnya, dikatakan bahwa ada delapan tipologi partisipasi. (1) Manipulasi dan (2) terapi yang terdapat pada dua anak tangga paling bawah, yang dikategorikan sebagai non-partisipasi. Dalam tahap ini memang ada pelibatan masyarakat namun tujuannya bukan untuk berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan. Selanjutnya masing-masing ada (3) penyebarluasan informasi, (4) konsultasi, dan (5) placation, yang dikategorikan sebagai tokenisme atau secara tidak ketat bisa dikategorikan sebagai " partisipasi semu ". Dikatakan " semu " karena dalam ketiga tahap ini masyarakat memang bisa berpartisipasi dalam arti " didengar " suaranya, namun mereka tidak dapat dikatakan telah berpartisipasi secara genuine (sejati) karena mereka tidak dapat memastikan bahwa suara mereka telah didengar. Anak-anak tangga terakhir dikategorikan sebagai kekuatan warga, yaitu dalam tipologi (6) kemitraan, (7) delegasi kekuasaan, dan (8) kontrol masyarakat. PAGE \* MERGEFORMAT 7 F 0 A 8 Materi singkat pengantar diskusi yang disampaikan dalam Lokakarya Perumusan Disain Awal Model
Research Interests:
Suatu gagasan dalam dunia ilmu lahir dalam suatu konteks dan mengalami banyak perkembangan dalam perspektif waktu. Makalah yang membahas mengenai bagaimana kedaulatan rakyat dikonstruksikan dalam peraturan perundang-undangan harus... more
Suatu gagasan dalam dunia ilmu lahir dalam suatu konteks dan mengalami banyak perkembangan dalam perspektif waktu. Makalah yang membahas mengenai bagaimana kedaulatan rakyat dikonstruksikan dalam peraturan perundang-undangan harus beranjak pertama kali dari konsep kedaulatan rakyat itu sendiri. Secara prinsip, gagasan mengenai kedaulatan sebagai 'kekuasaan tertinggi' seringkali diterima begitu saja Konsep " kedaulatan " sesungguhnya bisa dilacak sampai ke abad pertengahan. Konsep awalnya, kedaulatan diletakkan dalam konteks kedaulatan raja, yang dilahirkan dari kepercayaan akan Tuhan. Kemudian gagasan kedaulatan ini bergerak ke wilayah konsep negara, seiring dengan lahirnya negara-negara modern yang mulai memisahkan antara Tuhan dan penguasa. 1 Lantas, dengan perkembangan negara-bangsa, konsep kedaulatan semakin banyak mengalami interpretasi. Seperti dikatakan Bartelson: " The state becomes conceptualized as a whole, capable of assimilating political and social differences into one form, held together by an array of analogical relationships which mediates between the universal and the particular, and between subject and object " 2 Konsep yang kemudian lahir adalah kedaulatan di tangan rakyat. Gagasan ini menguat terutama setelah adanya kesadaran tentang kesetaraan yang menghilangkan batas antara rakyat jelata dan kaum bangsawan, terutama setelah Revolusi Perancis. Gagasan ini bisa dilihat dari beberapa pemikir negara modern yang terkenal seperti John Locke dan Jean Jacque Rousseau, yang menggunakan 'kedaulatan rakyat' sebagai landasan argumennya. Gagasan kedaulatan rakyat kemudian menguat dan bahkan seringkali dijadikan jargon politik untuk melegitimasi kekuasaan. Dalam praktik, tentu ada berbagai tantangan dalam menerjemahkan konsep 'kedaulatan rakyat' ini, apalagi di tengah negara yang plural dan kompleks. Secara teknis, kedaulatan atau kekuasaan rakyat kerap diturunkan menjadi prosedur-prosedur, seperti pemilihan umum dan struktur kelembagaan dalam pengambilan keputusan politik. Masalahnya, seperti dikatakan oleh Christopher W. Morris, dalam dunia politik kontemporer, gagasan kedaulatan rakyat ini terlalu sering dipahami sebagai satu prosedur yang sederhana mengenai satu lembaga politik yang dianggap mewakili kedaulatan rakyat, yang dapat menggunakan kekuasaannya atas nama rakyat. 3  Disampaikan dalam Simposium Nasional " Kedaulatan Rakyat di Dalam UUD NRI Tahun 1945, " yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian MPR RI bekerjasama dengan bidang studi tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fakultas
Research Interests:
Isu-isu perempuan dalam perspektif hukum dan perundang-undangan seringkali dipinggirkan dan cenderung diabaikan karena ada anggapan mengenai kesetaraan kedudukan di muka hukum. Namun dalam kenyataannya, hukum dan peraturan... more
Isu-isu perempuan dalam perspektif hukum dan perundang-undangan seringkali dipinggirkan dan cenderung diabaikan karena ada anggapan mengenai kesetaraan kedudukan di muka hukum. Namun dalam kenyataannya, hukum dan peraturan perundang-undangan yang tidak peka gender akan mengakibatkan tekanan bagi perempuan karena adanya isu-isu khusus yang tidak hanya berkaitan dengan kondisi biologis perempuan, tetapi juga peran gender perempuan yang dibentuk dan diterapkan secara efektif oleh masyarakat. Hal-hal yang disampaikan oleh pembicara-pembicara sebelumnya adalah ilustrasi yang baik untuk menggambarkan kondisi ini. Dalam konteks perempuan yang menjadi kepala keluarga yang sudah disampaikan oleh Nani Zulminarni misalnya. Di satu sisi, merekalah yang harus menghidupi dan mengambil keputusan untuk keluarga di tengah " peran perempuan " yang tetap diharapkan ada pada diri mereka. Namun di sisi lainnya, hukum yang ada tidak memfasilitasi mereka dalam menjalankan kedua peran itu dengan baik, misalnya karena adanya perbedaan pengupahan dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya di tempat kerja. Bahkan, mereka juga masih menjumpai tantangan dalam mendapatkan hak-hak yang mereka butuhkan untuk menjadi kepala keluarga dengan efektif, misalnya hak terkait dengan identitas anak yang kadang tak mudah didapat karena status dan administrasi perkawinan. 1 Begitu pula halnya dalam hal perempuan penyandang disabilitas, yang disampaikan oleh Aria Indrawati. Bagi perempuan penyandang disabilitas, tantangannya menjadi berganda karena adanya berbagai keterbatasan fisik maupun non-fisik, yang kerap juga berkaitan langsung dengan aspek biologis perempuan.
Research Interests:
Research Interests:
Research Interests:
Seorang penjual kecap yang menjajakan dagangannya dari sepeda ditangkap dan dipukuli di kantor polisi. Yap Thiam Hien segera melaporkan pelanggaran ini kepada kepala kantor polisi, yang ketika itu masih dipegang oleh orang Belanda. Kepala... more
Seorang penjual kecap yang menjajakan dagangannya dari sepeda ditangkap dan dipukuli di kantor polisi. Yap Thiam Hien segera melaporkan pelanggaran ini kepada kepala kantor polisi, yang ketika itu masih dipegang oleh orang Belanda. Kepala kantor polisi langsung menyangkalnya. Bila memang hal itu terjadi, jawab si kepala kantor polisi, ia akan membebaskan si penjual kecap. Sewaktu Yap meninggalkan kantor polisi itu, sebuah mobil datang dari klinik membawa para tahanan yang sakit dan terluka. Di antara para penumpang, ada si penjual kecap dengan kepala dibebat karena luka pukul. Kepala kantor polisi kontan terkejut dan malu melihat kenyataan ini. Ia segera melepaskan si penjual kecap tanpa prosedur apa-apa (hlm. 118). Cerita di atas terjadi pada awal 1950-an. Namun cerita mengenai penyalahgunaan kekuasaan oleh penegak hukum masih biasa kita dengar: pengakuan yang didapat dari penyiksaan, pemerasan oleh penegak hukum, dan sebagainya. Yang tak biasa adalah bagaimana seorang advokat merespons kejadian seperti ini. Sangat sedikit advokat yang berani menyatakan praktek ini salah. Bahkan kini tak jarang advokat justru melanggengkan penyalahgunaan kekuasaan dengan mencaloi transaksi jual-beli hukum. Yap Thiam Hien berbeda. Ia berani berhadapan dengan penegak hukum lainnya untuk menyatakan apa yang dianggapnya salah. Ia mengambil risiko kalah dalam kasusnya, bahkan ancaman. Yap Thiam Hien (1913-1989) memang bukan advokat biasa. Ia dikenal sebagai seorang pembela hak asasi manusia (HAM) dan negara hukum yang sangat gigih, serta advokat yang cerdas dan berintegritas. Namanya diabadikan dalam bentuk