Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
1 Catatan Singkat Mengenai Rencana Pembentukan Undang-Undang yang Mengatur MPR secara Terpisah dengan Lembaga Legislatif Lainnya Bivitri Susanti 1. Pendahuluan Catatan singkat ini dibuat untuk mendiskusikan kemungkinan adanya undang-undang MPR tersendiri, terpisah dari UU DPR, DPD, dan DPRD seperti yang selama ini dilakukan. Ada tiga aspek yang bisa digali, yaitu susunan dan kedudukan MPR pada pasca-amandemen, aspek pembentukan peraturan perundang-undangan, dan aspek teknis perancangan peraturan. 2. Susunan dan Kedudukan MPR Pasca-amandemen 2.1. Perubahan konsep konstitusional Kedaulatan Rakyat Dalam Kerangka Acuan FGD ini, diulas adanya aspek sejarah mengenai gagasan MPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat pada 1945. Aspek sejarah ini kemudian dinegasikan sendiri dalam Kerangka Acuan, dengan mengatakan kemudian bahwa konsep ini sudah berubah setelah amademen 1999-2002. Namun demikian, pada bagian akhir ada ungkapan yang mengembalikan lagi ke posisi awal bahwa MPR merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat. Ada logika yang terputus di sini. Untuk itu, saya akan mendiskusikan terlebih dulu pernyataan ini. Ide bahwa MPR merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat merupakan gagasan yang lahir terutama dengan dorongan Soepomo, seperti yang juga diulas dalam Kerangka Acuan FGD ini. Pandangan ini dikenal luas dengan nama cita negara integralistik, yang memiliki konsekuensi yang mengacu pada tiga aspek,  Disampaikan dalam Focus Group Discussion Kerja Sama MPR RI dan APHTN-HAN, Palembang, 25 Oktober 2017.  Pengurus Pusat APHTN-HAN; Ketua Wilayah APHTN-HAN Jakarta Raya; Wakil Ketua I Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (www.jentera.ac.id) 2 yaitu hubungan antara negara dan agama, cara bentukan pemerintahan, dan hubungan negara dan ekonomi.1 Yang perlu dijadikan catatan, konsep negara integralistik ini sendiri sudah banyak mendapat kritik secara akademis, karena dianggap justru mengaburkan kedaulatan rakyat, dengan mengesampingkan prinsip checks and balances.2 Bahkan yang menarik, seperti yang dicatat oleh Shidarta, Soepomo sendiri sebagai penggagas konsep negara integralistik meninggalkan gagasan ini dan justru mendorong lahirnya lembaga-lembaga negara yang lebih akuntabel dalam UUDS 1950.3 Persoalannya bukan sekadar pada penolakan terhadap negara integralistik, melainkan pada kenyataan bahwa konsep ini, selain sudah ditinggalkan oleh konseptornya lima tahun setelah disampaikan, juga sudah terbukti dianggap menjauhkan kedaulatan rakyat dari substansinya. Bahkan, pandangan ini juga yang kemudian mendorong lahirnya konsep baru MPR pada amandemen 1999-2002. Karena itu, sebenarnya memasukkan gagasan bahwa MPR merupakan perwujudan kedaulatan rakyat tidak lagi relevan sehingga tidak dapat dijadikan landasan filosofis undang-undang tentang MPR. 2.2. Presidensialisme dan Kedudukan MPR Amandemen 1999-2002 membawa perubahan besar karena konstruksi sistem presidensialisme diperkenalkan dengan lebih tegas. Pada saat itu, MPR dianggap sebagai kekuasaan tertinggi yang memilih presiden dan dapat menjatuhkan presiden secara politik. Selanjutnya "garis-garis besar daripada haluan negara" (kemudian kerap disingkat GBHN diko struksika sebagai be tuk a dat ya g diberika MP‘ kepada presiden, sehingga presiden-pun dapat dijatuhkan oleh MPR, seperti halnya pada Presiden Sukarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Dengan model yang serupa dengan sistem parlementer, 1 Lihat pidato lengkap Soepomo di hadapan BPUPK pada 31 Mei 1945 dan penjelasannya oleh Aidul Fitriciada Azhari, Rekonstruksi Bernegara dalam UUD 1945 (Yogyakarta: Genta Publishing, 2014), hlm.58 dst. Lihat antara lain: Marsillam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Grafitti, 1994 , Hasyi Asy ari, Negara dala Pa da ga “oepo o, dala Pusat “tudi Tokoh Pemikiran Hukum, Pergulatan Tafsir Negara Integralistik, (Yogyakarta: Thafa Media, 2015). 2 3 Shidarta, Epilog: Mencari Pemikiran Soepomo Seputar Negara dan Hukum, dalam Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum, Pergulatan Tafsir Negara Integralistik, (Yogyakarta: Thafa Media, 2015). 3 sebagian pakar hukum tata negara menamakan sistem ini sistem semi parlementer ataupun quasi presidensial.4 Pada saat itu, se ua kedaulata rakyat disalurka pada satu le baga terti ggi, sehi gga ada kekuasaan absolut yang sulit untuk dikontrol. Memang ada konsepsi bahwa kontrol dilakukan oleh rakyat. Namun pelaksanaan kontrol ini tentunya bergantung pada prosedur yang dibuat, seperti mekanisme pemilihan umum, pengaturan partai politik, dll. Dalam praktik, selama masa Orde Baru dan Orde Lama (sewaktu MPR masih diposisikan sebagai lembaga tertinggi), melalui desain pemilu dan kepartaian, MPR menjadi mesin politik pemerintah yang berkuasa; bukannya sebuah lembaga yang mampu melakukan fungsi kontrol mewakili rakyat. Akibatnya, presiden dapat melestarikan kekuasaannya melalui MPR dan kedaulatan rakyat menjadi semu. Setelah amandemen 1999-2002, pasal mengenai kedaulatan rakyat diubah menjadi "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Dengan perubahan ini, kedaulatan rakyat tak lagi dilaksanakan MPR sebagai "lembaga tertinggi", tetapi oleh lembaga-lembaga negara yang dijabarkan dalam konstitusi. Perubahan inilah yang merupakan salah satu penanda penting masuknya checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Lembaga-lembaga negara, yaitu DPR, presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, dibuat mampu "berkompetisi" secara politik sehingga ada kondisi "saling mengawasi dan menyeimbangkan". Dalam konsepsi checks and balances, kuncinya memang ada pada kompetisi antar-lembaga yang sehat. Dengan konstruksi seperti ini, ruang demokrasi lebih terbuka karena konsep ini menjadi enabling environment atau kondisi yang memungkinkan lembaga-lembaga itu membawa pembicaraan politik ke ranah yang lebih luas sehingga proses politik lebih terbuka daripada sebelumnya. Terlepas dari banyaknya kekurangan di tingkat praktik dan dari aspek integritas, secara kualitatif, iklim demokrasi di Indonesia lebih membaik dengan banyaknya persoalan publik yang terbuka dan bisa dibahas secara luas. 4 Moh. Kusnardi dan Harmally Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Pusat Studi HTN U, 1983), hlm. 180. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah (telaah perbandingan konstitusi berbagai negara), Cet.1, (Jakarta: UI-PRESS, 1996), 4 Perlu dicatat pula, ada kesepakatan politik dalam proses amandemen 1999-2002 untuk menggunakan sistem presidensial. Mengikuti kesepakatan ini, pemilihan langsung presiden dan model pemakzulan melalui MK dijadikan pilihan pelaksanaan sistem presidensial. Perubahan menjadi sistem presidensialisme yang lebih konsisten ini harus dijadikan kerangka dasar dan tidak boleh diubah di dalam sebuah undang-undang (satu paket ataupun tersendiri), tanpa mengubah undang-undang dasar. 2.3. Susunan MPR Ada dua perubahan konsep dasar dalam amandemen UUD 1945 mengenai MPR. Pertama, MPR tidak lagi ditempatkan sebagai lembaga tertinggi yang memegang seluruh kedaulatan rakyat. Hal ini bisa dilihat dari Pasal 1 ayat (2) UUD yang menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Awalnya, pasal ini menyatakan bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MP‘, ya g ke udia ditafsirka dala e ega g kekuasaa egara, Pe jelasa UUD, Oleh kare a Majelis Per usyawaratan Rakyat aka kekuasaa ya tidak terbatas... Kedua, susunan MPR yang tadinya terdiri dari anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan diubah menjadi dua unsur, yaitu anggota DPR dan anggota DPD (Pasal 2 ayat (1)). Dengan adanya dua perubahan konseptual ini, dapat dipahami bahwa tujuan dari perubahan ini adalah adanya MPR menjadi lembaga perwakilan bikameral yang tidak berdiri di atas lembaga-lembaga negara lainnya. Gagasan turunannya dapat dilacak dari raiso d’etre dari keberadaan lembaga perwakilan bika eral, yaitu ada ya dua ka ar ya g relatif sejajar dala suatu le baga legislatif ya g aka bertemu hanya pada saat menjalankan wewenang tertentu. Masalahnya, Pasal 2 ayat (1) UUD mengatakan bahwa MPR yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD, bukan DPR dan DPD secara kelembagaan. Dari sini, muncul pemahaman bahwa MPR masih sebagai lembaga tersendiri. Padahal bila dilihat konstruksi besarnya, MPR hanya terbe tuk pada saat tugas-tugas konstitusionalnya harus dilakukan. Misalnya pada saat MPR harus berperan sebagai pengadilan politik dalam proses 5 pe akzula atau ketika MP‘ harus dibe tuk dala arti bersida g bersa a a tara DP‘ da DPD pada saat ada proposal amandemen UUD. MPR secara konstitusional tidak me pu yai tugas ruti sebagaimana halnya DPR, DPD, dan juga DPRD. Susunan dan kedudukan MPR inilah yang juga harus dijadikan kerangka dasar dalam memikirkan perlu atau tidaknya undang-undang tentang MPR dan materi muatan seperti apa yang seharusnya dibuat. 3. DARI ASPEK ALASAN DIPERLUKANNYA SUATU UNDANG-UNDANG Dari aspek sosiologi, prinsip utama kebutuhan akan adanya undang-undang adalah untuk mengatur perilaku masyarakat agar ada tindakan tertentu yang diwajibkan dan dilarang sehingga tatanan masyarakat terjaga. Dalam pemikiran filsafat hukum, peran negara dalam memelihara tatanan masyarakat melalui hukum publik dan pengaturan hukum perdata muncul kemudian. Dari aspek ketatanegaraan, perlunya undang-undang seringkali terkait dengan perlunya ada pengaturan lebih jauh mengenai suatu lembaga, prosedur, dan ketentuan-ketentuan konstitusional lainnya. Karena konstitusi secara prinsip memang tidak bisa memuat rincian pengaturan secara rinci, maka peraturan perundang-undangan lanjutan diperlukan. Sedangkan dalam praktik, seperti kita semua ketahui, dari segi administrasi kebutuhan akan adanya undang-undang bisa sangat berbeda. Ada kebutuhan membuat peraturan perundang-undangan untuk melegitimasi keberadaan organisasi, unit, alokasi anggaran, penggunaan anggaran, dan lain sebagainya. Usulan untuk membuat suatu undang-undang tersendiri mengenai MPR ada di aspek kedua. Kebutuhan pengaturan mengenai MPR merupakan perintah konstitusional yang harus dituntaskan. Pertanyaannya kemudian: apakah ia perlu diatur tersendiri atau tidak? Yang perlu disoroti adalah salah satu alasan yang diajukan dalam Kerangka Acuan FGD ini. Dikatakan bahwa salah satu dampak pengaturan MPR dalam satu paket dengan lembaga lain adalah keterbatasan pengaturan terhadap lembaga MPR menjadi terbatas, salah satunya pembentukan kelembagaan alat 6 pendukungnya terutama pada badan keahlian seperti Badan Pengkajian Ketatanegaraan, dan lainnya. Bila alasannya memang ini, maka terlihat bahwa keinginan untuk membahas ini lebih didorong oleh alasan praktis daripada alasan filosofis maupun konseptual. Dengan begitu, tingkat urgensinya tidak dapat dikatakan tinggi. Bila aspek konseptual yang dibahas pada bagian kedua di atas dijadikan tolok ukur, maka sesungguhnya pengaturan mengenai MPR seperti yang ada sekarang dalam UU MD3 sudah cukup. Bahkan perlu perbaikan bila kita au ko siste e gataka bahwa MP‘ ha ya ada pada saat sida g gabu ga , sehingga Pimpinan MPR sebenarnya tidak permanen. Mereka adalah anggota DPR dan DPD biasa ketika MP‘ tidak ada kare a tidak seda g 4. e jala ka tugas ko stitusio al ya. DARI ASPEK TEKNIS PERANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kerangka Acuan FGD ini menuliskan pentingnya pengaturan tersendiri karena ada penggunaan kata de ga . Pasal 2 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang menentukan: Majelis Per usyawarata Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-u da g. Dikatakan dalam Kerangka Acuan bahwa secara praktik pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk pengaturan dalam Lampiran Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menekankan penggunaan frasa diatur dala u da g-u da g menunjukkan pengaturannya diatur di dalam suatu undang-undang, sedangkan frasa diatur de ga undang-undang menekankan pada undang-u da g ya harus terpisah da berdiri se diri. Dengan begitu, seharusnya MPR diatur dalam sebuah undang-undang tersendiri. Kita perlu lebih cermat membaca Pasal 2 ayat (2) UUD tersebut. Terlihat dengan jelas, yang diatur lebih la jut de ga kata de ga u da g-undang bukanlah MPR sendiri, melainkan MPR, DPR, DPR. Sehingga alasan soal menjadi tidak relevan juga. 7 Lagipula, MPR, DPD, DPR, dan DPRD memang bila mau dilihat dalam kerangka trias politika, berada pada wilayah legislatif. Kesemuanya adalah lembaga legislastif. Agaknya ini yang mendasari penempatan keempat lembaga ini dalam satu paket. Seperti dalam SAP HTN. Tentu saja ini dapat diperdebatkan (debatable), tidak salah juga bila masing-masing lembaga dibuat dalam satu undang-u da g. “ehi gga ukura ya g bisa diterapka e urut saya buka dala hal kata de ga , melainkan materi muatan apa yang harus dimuatnya. 5. KESIMPULAN Menurut kajian dengan menggunakan tiga kerangka pikir di atas, adanya undang-undang tersendiri sesungguhnya tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah memastikan bahwa pengaturan mengenai MPR menggambarkan keinginan para pembuat UUD sewaktu amandemen UUD dilakukan pada 19992002. Ini bisa diletakkan di dalam UU MD3 seperti yang ada sekarang atau di dalam undang-undang tersendiri. Kuncinya ada pada materi muatannya, bukan pada bentuknya. Diskusi mengenai mengembalikan susunan dan kedudukan MPR menjadi seperti dulu lagi tentu tidak boleh ditutup sebagai diskusi akademik. Namun perlu disadari, perubahan untuk menguatkan MPR letaknya bukan pada undang-undang, melainkan undang-undang dasar. Bila kita ingin berbicara mengenai undang-undang, maka materi muatannya tidak boleh berbeda dengan UUD. Tentu saja tidak keliru bila MPR ingin mempunyai lembaga yang terus menerus mengadakan pengkajian konstitusional. Namun yang perlu diubah adalah pola pikir bahwa MPR adalah lembaga permanen. Adanya sebuah sekretariat yang mempunyai fungsi-fungsi kajian bisa saja dijustifikasi, namun pola kelembagaannya perlu dikaji ulang. Isu-isu seperti pertanggungjawabannya dan dampaknya pada masyarakat luas memerlukan penelitian mendalam. Bila alasan utama FGD ini adalah untuk memberikan justifikasi kelembagaan bagi sekretariat yang permanen, maka sesungguhnya dengan model paket seperti UU MD3 yang sekarang, hal ini sudah bisa diwujudkan. Tentu akan diperlukan perubahan pada pasal-pasal yang terkait dengan kelembagaan sekretariat ini serta analisis mengenai dampak kerjanya pada publik, tetapi pengaturan dasar yang sudah 8 ada sesungguhnya sudah cukup. Dengan demikian, bila ada keinginan untuk membuat undang-undang tersendiri, pertanyaannya adalah: apa signifikansinya? Bukankah secara konseptual sebenarnya pengaturan tentang MPR yang sudah ada sekarang mencukupi dan hanya diperlukan perubahan di tingkat kelembagaan? Dari segi asas manfaat dan biaya, pembentukan undang-undang tersendiri kecil manfaatnya dibandingkan dengan biaya proses legislasi yang tidak kecil dalam hal dana dan proses politik. Rasanya masih banyak hal lain yang lebih mendesak bila kita bicara program legislasi nasional. De ga de ikia , pe be tuka MP‘ dala UU terse diri e urut pa da ga saya acceptable but not necessary. Palembang, 25 Oktober 2017