Ilmu Para Nabi
Oleh: Ilham Kadir
Dari sudut bahasa, kata 'ilmu' adalah lawan
dari 'jahil'. Dikatakan, ilmu adalah
pengetahuan kontras dengan kebodohan.
Kata ilmu dalam bahasa Arab terangkai dari
tiga huruf, 'ain, lam, mim' yang memiliki
makna filosofis sangat dalam. 'Ain adalah
salah satu aksara Arab (hija'iyah) dengan
bentuk seperti mulut menganga, yang
anehnya hanya dapat terucap dengan
sempurna melalui rongga mulut yang harus
menganga. Ini menandakan bahwa ciri orang
yang hendak belajar dan mendapatkan ilmu
harus seperti bayi yang menganga agar
makanan dapat masuk dengan mudah. Sang
penuntut harus selalu merasa lapar dan
dahaga bahkan rakus dan tamak dalam
mendapatkan ilmu (at-tham'u fi thalabil
'ilmi), karena itu pula pemburu ilmu disebut
'murid' atau yang memiliki keinginan tinggi
dalam mendapatkan ilmu, atau 'thalib' alias
peminta.
dimaknai, huruf 'lam' dari kata 'ilmu'
bermakna para ulama yang tinggi ilmunya
menjadi perantara sebagai penyebar wahyu
Allah kepada para jamaah kaum muslimin.
Ulama adalah pewaris para Nabi. Al-'ulama
waratsatul-anbiya'.
Sedangkan, huruf 'mim' dari kata 'ilmu'
adalah simbol ketundukan sebagai mana
huruf 'mim' yang selalu berada di bawah.
Orang berilmu adalah manusia mulia, penuh
dengan kehati-hatian, sedikit bicara banyak
berbuat, selalu ikhlas karena Allah. Para
ulama adalah anti riya' (poji ale), selalu
tawadhu atau rendah hati. Makin berilmu
makin merendah, ibarat padi, kian berisi
kian tunduk, jauh dari sikap congkak,
pongah, dan takabbur, namun di lain pihak,
selalu berani melawan kemungkaran, siapa
pun itu, rasa takutnya hanya pada Allah,
bukan manusia, kita saksikan banyak di
antara mereka yang rela mendekam dalam
penjara seperti Ibnu Taimiyah dan muridnya
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah hingga Buya
Hamka rahimahumullah karena
keteguhannya dalam membela kebenaran.
Bahkan harus mengorbankan nyawa sekali
pun tak masalah, demi sebuah keyakinan,
inilah yang terjadi pada Ahmad bin Hambal
dan Sayyid Quthub.
Huruf selanjutnya berupa 'lam' yang berdiri
tegak dan kokoh, secara filosofis dapat
bermakna tinggi atau memiliki kedudukan di
atas lagi mulia. Ilmu adalah jalan kemuliaan,
oleh karena itu, Imam Syafi'I berkata, al'ilmu nurun wa nurullah laa yuhda lil-'ashy.
Ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tak akan
pernah masuk kepada ahli maksiat. Karena
itu, para ulama selalu mendapat kemuliaan
di tengah masyarakat berkat ketinggian ilmu
dan kemuliaan akhlaknya, serta selalu
menjadi panutan bagi orang-orang baik dan
saleh. Ibnu Abbas, dalam menafsirkan huruf
'lam' dari 'alif-lam-mim' pada awal Surah
Albaqarah berpendapat bahwa 'lam'
bermakna 'Jibril' alaihissalam yang
mengantarkan wahyu ke pada Nabi
Muhammad. Maka, tidak bertentangan jika
Karena banyaknya jenis ilmu, maka tulisan
ini akan dibatasi, hanya membahas ilmu
yang menjadi modal bagi setiap penuntut
agar kelak dapat menjadi ulama mujtahid.
Secara garis besar, sebagaimana klasifikasi
Imam Al-Gazali, membagi ilmu menjadi dua
jenis. Pertama adalah ilmu-ilmu wahyu, atau
ilmu para nabi, ilmu inilah menjadi sumber
ajaran agama, lazim juga disebut ilmu
1
wajib, demikian pula ilmu tentang itu. Ada
pula ilmu tentang rukun Islam dan rukun
iman dan dalil-dalil berhubungan
dengannya. Tidak diragukan lagi bahwa
ilmu-ilmu tersebut masuk dalam kategori
ilmu para nabi.
fardhu fardu 'ain. Sedang jenis kedua adalah
ilmu yang menjadi asas bagi kehidupan,
seperti ilmu-ilmu pertanian, perdagangan,
perindustrian dan semacamnya, kini lazim
disebut sains. Karena pengetahuan sains
yang melahirkan teknologi yang hampir ada
di seluruh bidang.
Di Nusantara, pada awal abad ke-19, mulai
muncul sekolah-sekolah yang menyusun
kurikulum pendidikannya secara sistematis
dan terukur. Umumnya, para penuntut
dipersiapkan untuk menjadi ulama.
Kurikulum calon ulama tersebut dapat
dibagi menjadi dua, alat dan materi. Alat
adalah sebagai modal utama dalam
memahami materi ajar berupa bahasa Arab.
Ada beberapa ilmu terkait bahasa, seperti
Sharaf (morfologi), Nahwu (gramatika),
Balaghoh (ilmu komunikasi) yang terbagi
atas tiga bidang, Badi', Ma'ani, dan Bayan.
Juga Ilmu Tafsir untuk memahami metode
menafsirkan Al-Qur'an, Ilmu Hadis, untuk
memahami klasifikasi Hadis, Ilmu Ushul
Fiqhi untuk memahami cara-cara
pengambilan hukum, serta ilmu kalam untuk
memahamu perdebatan seputar akidah.
Namun sebelum masuk lebih dalam dalam
menggali ilmu-ilmu tersebut, seorang murid
terlebih dahulu harus belajar bacaan AlQuran dengan baik dan betul serta memiliki
hafalan yang cukup, minimal sepertiga dari
jumlah keseluruhan ayat-ayat suci AlQur'an, atau hafal ayat-ayat berhubungan
dengan akidah dan hukum. Saat ini, kerap
dijumpai hal-hal aneh, lucu, bahkan konyol,
sebabnya, seorang pakar tafsir atau berani
berbicara terkait Al-Qur'an dan tafsrinya,
tetapi tidak hafal ayat yang ia tafsirkan, atau
memiliki pengetahuan Bahasa Arab yang
belepotan. Selain itu, ada pula ilmu alat yang
dipandang perlu untuk dipelajar, seperti
mantik (logika), dan filsafat.
Adanya teknologi tentu sangat membantu
umat manusia dalam berbagai hal, tak
terkecuali dalam ibadah mahdah. Jika dulu
orang naik haji di Jazirah Arabiah harus naik
onta dengan perjalanan berhari-hari, kini
hanya hitungan jam, berkat adanya pesawat
yang merupakan hasil dari sains terapan.
Karena bidang ini sudah cukup banyak yang
tau dan ahli, dan saya termasuk bukan
ahlinya maka saya merasa tidak perlu
membahas lebih jauh.
Menjadi Ulama
Ulama yang dimaksud adalah mujtahid, atau
memiliki kemampuan dalam berfatwa
dengan keilmuan yang mereka miliki.
Berupa ilmu yang diwariskan oleh para
Nabi, menurut Al-Manawi, sebagaimana
dikutif oleh Abu Anas Majid Al-Bankani
dalam "Rihlatul 'Ulama fi Thalabil 'Ilmi',
berkata, yang dimaksud ilmu para rasul dan
nabi adalah, mereka tidak mewariskan dinar
maupun dirham, akan tetapi mereka
mewariskan ilmu. Para ulama adalah paling
dekat dengan Nabi.
Al-Baidhawi berkata, yang dimaksud
dengan ilmu di sini adalah sebuah keharusan
seorang hamba untuk mempelajarinya
seperti pengetahuan tentang Sang Pencipta,
berilmu untuk mengesakan Allah,
pengetahuan tentang kenabian rasul-Nya,
tata cara salat, mempelajarinya adalah
sebuah kewajiban (fardhu 'ain). Al-Bankani
lalu menulis bahwa, menuntut ilmu tentang
hal-hal yang halal adalah wajib,
sebagaimana makan harta halal adalah
Perintah Belajar
2
berupa kemudahan dalam mendapatkan
kebenaran. As-Samhudi berpendapat bahwa
orang yang tidak paham agama tidak
ditunjuki baginya kebaikan, sedangkan Abu
Nu'aim meriwayatkan bahwa orang tidak
paham agama berarti Allah tidak peduli
padanya. Dengan banyaknya pendapat
ulama tentang keutamaan belajar untuk
memahami agama, maka sudah pasti ini
adalah kewajiban pribadi yang harus
ditunaikan.
Tidak ada ajaran, ideologi, maupun
kepercayaan yang sangat menghargai ilmu
sebagaimana agama Islam. Dalam tuntunan
Rasulullah, terlalu banyak dalil-dalil naqli
yang menyeru umatnya untuk belajar, dan
menghargainya dengan nilai kemuliaan yang
amat tinggi. Seorang murid ketika belajar,
disetarakan sedang beribadah sunnah
maupun wajib. Salah satu dalinya, Hadis
yang diriwayatkan oleh At-Thabrani
bersumber dari Abu Umamah, Nabi
bersabda, Barangsiapa yang keluar menuju
masjid dan tidak ada yang diingininya,
kecuali untuk belajar atau mengajarkan
ilmu, untuknya pahala sama dengan pahala
haji yang sempurna.
Para murid adalah rekan malaikat, demikian
penegasan dalam sebuah Hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa
Tidak seorang pun yang keluar dari
rumahnya untuk menuntut ilmu, kecuali para
malaikat membentangkan sayap untuknya
karena ridha atas apa yang dilakukannya.
Imam Bukhari, meriwayatkan sebuah Hadis,
"Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah
kebaikan untuknya, Allah jadikan ia faham
akan agama. Sesungguhnya ilmu itu hanya
dapat diraih dengan belajar." Hadis ini
setidaknya mengandung beberapa hukum, di
antaranya, keutamaan memahami ilmu
agama; yang memberikan ilmu tersebut
hanyalah Allah; dan sebagian umat ini akan
senantiasa berada dalam kebenaran selamalamanya.
Cukuplah dalil-dalil di atas menjadi dasar
untuk membakar semangat kita agar lebih
rajin belajar, menelaah kitab-kita para ulama
Muktabar Ahlussunnah yang dapat menjadi
pedoman dalam beragama di tengah kondisi
yang serba carut-marut ini.
Demikian pula, sebuah kewajiban untuk
mendorong putra-putri, saudara, tetangga,
dan segenap umat Islam agar terlebih dahulu
menuntaskan pelajaran ilmu fardhu ain yang
merupakan ajaran para nabi sebelum masuk
pada ilmu-ilmu fardhu kifayah seperti sains,
keterampilan, dan semisalnya. Dengan dasar
agama yang kokoh akan menghasilkan
generasi yang taat, saleh, beriman, bertakwa,
beradab, anti korupsi, dan selalu takut pada
Allah. Sungguh naif jika generasi bangsa ini
dituntut untuk menguasai ilmu-ilmu sunnah
dengan tekanan begitu dahsyat, sampai ada
yang stres hingga kesurupan, lalu mengukur
kemampuannya hanya sekadar lulus Ujian
Akhir Nasional. Sesungguhnya belajar
bukanlah untuk ujian, melainkan sebagai
ibadah untuk meraih kemuliaan dunia
akhirat. Wallah A'lam!
Ibnu Taimiyah dalam memahami Hadis di
atas berpendapat, Barangsiapa yang
diinginkan Allah kebaikan untuknya, sudah
pasti Allah akan jadikan dia faham akan
agama. Orang yang tidak paham agama
berarti Allah tidak menginginkan kebaikan
untuknya. Namun bukan berarti yang paham
agama serta-merta mendapat kebaikan
sebelum ilmunya itu ia amalkan. Namun
paham seorang akan agama menjadi syarat
untuk menggapai kebahagiaan. Karena itu,
ia harus mengenal Tuhannya dengan disertai
ibadah kepada-Nya.
Al-Manawi berkata, jika Allah menghendaki
kebaikan pada seorang hamba, Allah jadikan
ia paham agama, memberinya petunjuk
3
4