Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
Al Makin NABI-NABI NUSANTARA: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin i 1. 2. 3. 4. ii Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 ayat [1]). Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan ciptaan; b. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; c. Penerjemahan ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; e. pendistribusian ciptaan atau salinannya; f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h. Komunikasi ciptaan; dan i. Penyewaan ciptaan. (Pasal 9 ayat [1]). Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [3]). Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [4]). Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin NABI-NABI NUSANTARA: Kisah Lia Eden dan Lainnya   Al Makin iii Nabi-Nabi Nusantara:Kisah Lia Eden dan Lainnya Copyright Al Makin, 2017 Versi Inggris: Challenging Islamic Orthodoxy: Accounts of Lia Eden and Other Prophets in Indonesia, diterbitkan oleh Springer Swiss Penulis : Al Makin Design Cover : Bhre Syahjaya Tata Letak : Maryono Cetakan Pertama: April 2017 xxviii + 372 hlm, 15, 5 x 23 cm Penerbit: SUKA-Press Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Gedung Rektorat Lama Lantai 3 Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281 Email: almakin3@gmail.com ISBN: 978-602-1326-56-5 Dicetak oleh Margin Idea All Rights reserved. Hak cipta dilindungi undang -undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun tanpa ijin tertulis dari penerbit. iv Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Untuk istriku tercinta Ro’fah, yang dengan kesabaran dan kasih telah merawat Bune Siwat hingga pergi. Al Makin v vi Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya PRAKATA PENULIS D alam buku ini, saya bagai seorang petualang yang pulang dari perjalanan jauh di negeri seberang. Saya memakai perumpamaan seperti itu, karena disertasi doktor saya (Makin 2010a) mendiskusikan tema kenabian di negeri nun jauh di Jazirah Arab pada abad ketujuh. Buku yang ada di tangan Anda ini tetap mengenai kenabian tetapi dalam konteks dan tempat yang berbeda; yaitu di tanah air sendiri Indonesia. Selama proses penulisan buku ini, saya telah berkunjung dan menjumpai banyak teman lama dan baru di Bojonegoro (kota kelahiran saya), Yogyakarta (saya tumbuh menjadi mahasiswa), Jakarta (ibukota yang banyak menawarkan penelitian karena posisinya yang unik), dan Medan (kota ragam yang sangat menjanjikan). Saya pergi ke tempat kenangan semasa waktu kecil dan tempat baru dimana saya temukan banyak kejutan tentang berbagai macam tradisi keagamaan. Dalam studi keindonesiaan, saya sering mendengar dilema yang diungkapkan oleh para sarjana Indonesia dan asing— dalam hal ini, pada satu sisi, masyarakat Indonesia masih belum Al Makin vii cukup dalam mempromosikan tradisi dan budaya Nusantara di forum dunia; di sisi lain, hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang memperhatikan obyek studi tentang negeri lain. Ketika saya menulis disertasi (Makin 2010a) di Universitas Heidelberg, Jerman, saya merupakan mahasiswa Indonesia yang mempelajari literatur Arab klasik. Saat ini perhatian penelitian saya sedikit bergeser, sebagaimana juga para pengamat Indonesia yang lain, seperti Azyumardi Azra—saya mempelajari Indonesia. Kenyataannya, banyak buku tentang negeri kita tetapi ditulis oleh orang asing. Nampaknya, orang Indonesia masih menyukai pembicaraan tentang dirinya sendiri, namun tidak cukup serius. Banyak tulisan tetapi tidak terbit dalam bahasa Inggris, sehingga terbatas pembacanya secara internasional. Ketika saya mengajar mata kuliah ‘the history of politics and religion in Java’ di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) dan Center for Releigious and Cross-cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada Yoyakarta pada tahun 2013, saya bersama Peter Carey, diundang sebagai profesor tamu dalam mata kuliah itu. Ia juga memunculkan isu yang sama. Dalam hal ini, ada dua tugas utama sarjana Indonesia, yakni mempromosikan tradisinya sendiri dan dalam waktu bersamaan juga butuh menunjukan pengetahuannya tentang dunia luar. Dengan buku ini, saya menempuh jalan sebagaimana banyak kolega Indonesia lainnya, yaitu mempublikasikan karya tentang Indonesia dalam bahasa Inggris, dengan harapan bahwa saya bisa berkontribusi dalam diskusi ilmiah tentang Indonesia oleh orang-orang Indonesia. Dalam penyelesaian buku ini saya mengucapkan berjuta terima kasih kepada banyak teman, kolega, guru, dan para mahasiswa. Pertama, untuk Michael Feener yang baik hati karena telah mengundang saya untuk bergabung di Asia Research Institute (ARI), National University of Singapore, yang mendanai proyek ini untuk mengejar impian menerbitkan karya ini, karya setelah disertasi Ph.D. Saya juga haturkan terima kasih kepada Prasenjit Duara, direktur ARI.Terima kasih kepada semua staf (Kalaichelvi Krisnan, Vernice Tan Ser Nee, Jonathan Lee Ming Yao, dan lainnya), yang sangat membantu selama saya tinggal di Singapore, dan bagi semua teman-teman fellowship— Robin Bush, Michelle Ann Miller, Jeremy Jacob Kingsley, Philip Michael Fountain, viii Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Martin van Bruinessen, Bernard Arps, Steve Ferzacca, Julius Bautista, Lai Ah-Eng, Sandeep Ray, dan lainnya—dengan banyak pihak saya berdiskusi tentang berbagai tema dalam seminar dan pertemuan makan siang. Saya haturkan terima kasih juga untuk Arskal Salim, dan keluarganya (Maya, Akmal, Michael, Marsal), untuk persahabatannya selama di Jakarta, Yogyakarta, Bochum, Singapura, dan Sydney. Ketulusan dan kerendahan hatinya adalah teladan untuk diikuti. Ucapan terima kasih khusus juga kepada Andrew Zhijian Yeo, yang sangat berjasa dalam mengedit bahasa Inggris dalam edisi lain buku ini. Juga Tracy Wright Webster yang sangat pemurah dengan saran-saran bahasanya. Dan bagi teman-teman di Singapura, Muhammad Hannan Hassan (MUIS), Mohamed Imran Mohamed Taib (MUIS), dan Nenek Salbiyah (Bukit Panjang), terima kasih atas kebaikan Anda selama saya kesepian tinggal di Singapura. Saya mempresentasikan draft buku ini dalam banyak kesempatan, di seminar ARI, konferensi di School of Social Science, Management University, Singapore (5-6 Nopember 2012), kelas dan seminar di Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, International Indonesia Forum (IIF) (21-22 Agustus 2013), dan dalam diskusi informal lainnya. Saya mengucapkan terima kasih untuk semua yang telah memberikan kritik terkait tema kenabian—komentar, kritik, dan saran telah memperkaya draft naskah buku ini. Bagi mahasiswa saya di kelas Pacasarjana dan Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, UGM, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), terima kasih untuk keteguhan hati kalian dalam mempertahankan gagasan saya. Terima kasih juga untuk Siti Syamsiyatun, Dicky Sofjan, Fatimah Husein, Maufur (Ipung), Gerrith Singgih, Jeanny Dhewayani, dan yang lainnya. Di UIN Sunan Kalijaga, saya sampaikan terima kasih untuk Rektor Yudian Wahyudi dan para Wakil Rektor, dan Rektor lama ketika itu Musa Asy’arie, Dekan Fakultas Ushuluddin Syaifun Nur, dan Dekan baru Alim Ruswantoro, semua teman-teman dosen, yang mengizinkan saya untuk melakukan penelitian ini. Saya haturkan terima kasih kepada Saptoni, Syaifuddin Zuhri, Ain Dewi Utami, Ratno Lukito, Sayyidah Aslamah, Euis Nurlaelawati, Agus Nuryatno, Moch Nur Ichwan, Ahmad Muhammad, Al Makin ix Noorhaidi Hasan, Khoiron Nahdliyin, Ridwan, Muhammad Zuhdi, Rezza Maulana Mata, dan pengurus jurnal Al-Jamiah lainnya. Di jurusan Sosiologi Agama, saya mengucapkan terima kasih kepada Muhammad Amin, Nurussa’adah, M. Soehadha, M. Dawami, Inayah Rohmaniyah, Adib Soia, Nailah Abdullah, Chumaidi Syarif, Romas, Lalu Darmawan,Yasir Arafat, dan dosen lainnya. Saya haturkan terima kasih juga kepada Kementerian Agama Indonesia, terutama Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis), kepada Direktur Diktis ketika itu Dede Rosyada, yang baru Amsal Bakhtiar, Direktur Jendral Pendidikan Kamaruddin Amin, kepala penelitian dan pelayanan masyarakat Khaironi dan sekretarisnya Zidal Huda.Terima kasih juga untuk para pejabat baru: Mamat Salamat Burhanuddin, Anis Masykur, dan Subandriyah. Terima kasih untuk penguji dana riset kolaboratif yang membiayai lanjutan penelitian ini Amin Abdullah dan Faisal Ismail (Sunan Kalijaga), dua guru sepanjang hidup saya, terima kasih atas dorongan terus menerus dalam perjalanan intelektual ini. Saya juga haturkan terima kasih banyak kepada Suzanne Enderwitz (Heidelberg University), guru dan pembimbing disertasi yang selalu terbuka hingga kini. Bagi sahabat-sahabt saya selama tinggal di Heidelberg, terima kasih Nina Sasani. Terima kasih juga untuk dukungan Mark Woodward (Arizona University) dan Philip Buckley (McGill University),. Di Sydney, saya haturkan terima kasih Adam Possamai, atas dorongan, kebaikan, dan kemurahan hati selama saya tinggal di Religion and Society Research Center, University of Western Sydney, di mana saya pun telah mendapatkan kesempatan untuk mengetahui lebih jauh Julia D. Howell. Saya juga telah membangun persahabatan dengan Eva Garcia, Nadirsyah Hosen (yang juga sudiberbagi cerita terkait kisah Eden), Firdaus Wajdi, Atun Wardatun, dan seorang jago tenis meja Wahyudin.Terima kasih atas pertandingan dan perannya sebagai wasit tenis meja saat musim semi, juga untuk nasihatnya. Saya tinggal di Sydney untuk menyelesaikan naskah karena beasiswa Endeavour Australia, bagi tim beasiswa ini, seperti Manu Singal, saya selalu berterima kasih. Saya juga mengucapkan terima kasih banyak kepada semua informan dan sumber penelitian: Paduka Bunda Lia, semua anggota x Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Dewan Kenabian (YM Abdul Rachman,YM Dunuk Luxiaty,YM Andito Putro Wibisono,YM Arif Rosyad, dan semuanya yang saya sebut dalam pembahasan buku ini) keluarga Aar Sumardiono, para pejabat kelurahan Bungur, teman-teman Ciputat (Din Wachid, Ismatu Ropi, Alimunhanif, Yeni Ratnayuningsih), semua aktivis LSM yang berpartisipasi (Mayong, Suaidi, Hasani, Nong Darul Mahmada, Lutie Assyaukani, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan lainnya di LBH, JIL, Setara, Wahid Institute, dan Freedom Institute), para pemimpin Samin di Bojonegoro, Parmalim di Medan, dan beberapa teman baru di Yogyakarta (sebagian disebutkan dalam buku ini). Teristimewa sahabat Indra Harahap, terima kasih atas persahabatan dan berbagai keahliannya, serta Faisal Reza yang selalu terbuka bagi saya di Medan yang telah menunjukkan jalan ke desa Balige. Terima kasih untuk Bung Surya Darma di Medan. Dalam edisi bahasa Indonesia ini terima kasih pada kawankawan: Ahmad Izzudin (sangat membantu proses ini), seluruh krew LPPM: Moh. Suhada, Muhrison, Abdul Mughitz, Arif Maftuhin, Isnanto, Dandung, Tasik Intan, Rini, Paryadi, Kadi, Aji, Cak Udin, Sarjimin, Nora, Kiman, dan seluruh nama yang mungkin terlewatkan. Bagi istri saya tercinta Rofah dan dua jagoan—Nabiyya Perennia dan Arasy Dei, yang sudah tumbuh lebih tinggi dari kami—terima kasih telah mengizinkan saya untuk menyelesaikan penelitian ini. Untuk saudara saya, Ilham Khoiri (yang juga menemani saya di perpustakaan Kompas), Anis Hidayah, Teguh Prawiro, dan anak-anak mereka (Diya Orienta, Sakwa, dan Binar Bening Embun), terima kasih atas tanggungjawab yang dipikul bersama dalam merawat ibu kita Bune Siwat, yang telah pergi dan meninggalkan kita. Al Makin xi xii Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya DAFTAR ISI PRAKATA PENULIS ....................................................... vii DAFTAR ISI ....................................................................xiii DAFTAR FOTO ............................................................. xvii SINGKATAN DAN ISTILAH KHUSUS .........................xix BAB SATU PENDAHULUAN.......................................... 1 Sebuah Pertanyaan ....................................................... 1 Deinisi Nabi dan Kenabian ......................................... 2 Terpinggirkannya Agama Populer ............................... 10 Deinisi Keragaman .................................................... 18 Kekalahan Keragaman di Ruang Publik Baru .............. 21 Alat Analisis ................................................................ 28 Pengumpulan Data ..................................................... 30 Sistematika Buku ........................................................ 34 BAB DUA PADUKA YANG MULIA RATU LIA EDEN 37 Jalan Mahoni .............................................................. 38 Kerajaan Eden Menyambutku .................................... 39 Al Makin xiii Bunda Lia ................................................................... 43 Kepribadian ............................................................... 44 Kekecewaan Awal terhadap Ulama .............................. 47 Jawaban Tuhan: Sumber Air Salamullah ....................... 48 Dalam Serangan Majelis Ulama................................... 50 Dari Mbak Lia ke Paduka yang Mulia ......................... 51 Menyampaikan Firman Tuhan .................................... 56 Meningkatnya otoritas kenabian.................................. 58 BAB TIGA PENGAJIAN SALAMULLAH (1997-1999) ... 67 Menghadiri Pengajian ................................................ 69 Rachman ................................................................... 72 Dunuk ....................................................................... 74 Yanthi ........................................................................ 75 Aar ............................................................................. 75 Umar ......................................................................... 77 Cici ............................................................................ 78 Ivuk ........................................................................... 79 Tri.............................................................................. 79 Cipi............................................................................ 80 Juru Selamat ............................................................... 82 Mulainya Pertarungan Publik ..................................... 86 BAB EMPAT ARAL MENGHADANG PEMURTADAN (2000-2004) ................................................................. 91 Deklarasi Agama Salamullah ....................................... 93 Perintah Untuk Menyepi ............................................ 95 Kecurigaan Warga ...................................................... 99 Salamullah Diserang................................................... 102 Kutukan dalam Retorika Wahyu Tuhan ..................... 106 Ruh para Pemimpin Indonesia .................................. 107 Konsolidasi ................................................................ 109 Kesatuan Agama-Agama ............................................ 110 Tuntutan Otoritas dan Kekuasaan lebih besar ............. 111 Berkorban untuk Kerajaan Tuhan .............................. 115 Surat-Surat Jibril ....................................................... 120 xiv Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya BAB LIMA MEMBELA KERAJAAN TUHAN (2005-2007) ................................................................ 123 Konsolidasi ............................................................... 124 Tiada Agama dalam Surga Tuhan................................ 125 Politikus Korup dan Bencana Alam ........................... 131 Mereka yang menolak Panggilan Jibril ...................... 133 Kiamat Semakin Dekat ............................................. 134 Jibril Ditangkap ......................................................... 135 Murka Jibril di Sidang Pengadilan ............................. 138 Fasihnya pembelaan Rachman ................................... 143 Di Penjara ................................................................ 148 Tiga Buku dalam Penjara .......................................... 150 BAB ENAM MELEMAHNYA KERAJAAN TUHAN (2008-2012) ................................................................ 157 Membela yang Lemah ............................................... 158 Konsolidasi ............................................................... 159 Menghadapi Penangkapan dan Pengadilan Kedua ...... 160 Ayah Akan Pulang .................................................... 163 Pertempuran Lain di Pengadilan ............................... 165 Perenungan Mendalam di Penjara Kedua .................. 168 Bantuan Finansial di Masa Sulit.................................. 170 Perginya para Rasul Kerajaan Tuhan ........................... 171 BAB TUJUH PERTARUNGAN PUBLIK ...................... 179 Prasangka Media........................................................ 181 Penyusupan diJalan Mahoni ...................................... 184 Di Mata Teman-Teman Ciputat ................................ 186 Kemenangan Para Penganiaya dan Penuntut ............... 189 Iblis Menyamar .......................................................... 192 Pengadilan yang tidak adil .......................................... 194 Kekalahan para Pembela ............................................ 198 Para Pembela Keragaman ........................................... 202 NRM dan Orthodoksi Keislaman .............................. 209 Memikirkan Kembali Keragaman............................... 212 LAMPIRAN .................................................................... 215 Lampiran 1: Nabi-Nabi Nusantara Era Kolonial ........ 215 Al Makin xv Lampiran 2: Nabi-Nabi Menyambut Kemerdekaan Bangsa ................................................... 232 Lampiran 3: Nabi-Nabi Selama Era Orde Baru dan Reformasi ........................................ 247 Lampiran 4: Wahyu Tuhan untuk Lia Eden ................ 265 DAFTAR PUSTAKA ....................................................... 309 TENTANG PENULIS..................................................... 349 INDEKS .......................................................................... 351 xvi Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya DAFTAR FOTO Gambar 1: Peta lokasi para nabi yang dibahas di buku ini ... 36 Gambar 2: Lia Eden tahun 2014 (Koleksi Eden) ................ 65 Gambar 3: Muhammad Abdul Rachman tahun 2011, imam besar kerajaan Eden, reinkarnasi Nabi Muhammad ................................................ 65 Gambar 4: Muhammad Abdul Rachman dan Penulis tahun 2014 ............................................................... 66 Gambar 5: Dunuk Luxiaty tahun 2011, reinkarnasi Dewi Kwan Im ....................................................... 89 Gambar 6: Arif Rosyad tahun 2011, salah satu sekretaris Eden 89 Gambar 7: Rumah Eden di Jalan Mahoni no. 30 Senen Jakarta ....................................................... 122 Gambar 8: Patung malaikat di kebun depan rumah Eden .. 122 Gambar 9: Halaman kerajaan Eden, surga Tuhan di bumi tahun 2011 ............................................................... 154 Gambar 10: Anak-anak bermain di halamanEden tahun 2011 154 Gambar 11: Halaman Eden tahun 2014 ............................ 155 Al Makin xvii Gambar 12: Wahyu Tuhan tergantung di dinding tahun 2011 ... 176 Gambar 13: Wahyu Tuhan tergantung di dinding tahun 2014 ... 177 Gambar 14: Wahyu Tuhan tergantung di dinding tahun 2014 ... 178 Gambar 15: Koleksi Amin Djamaluddin berupa majalah dan buku tentang ‘aliran sesat’. Dari kanan ke kiri cover majalah Panji menampikan Bijak Bestari, buku Ahmad Mushaddeq, dan buku Bijak Bestari .... 213 xviii Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya SINGKATAN DAN ISTILAH KHUSUS Singkatan AKABRI AKKB : Akademi Bersenjata Republik Indonesia : Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan ASK : Angesti Sampurnaning Kautaman Bakorpakem : Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Baksos : Bakti sosial BK5I : Badan Koordinasi Karyawan Kerohanian Kebatinan Kejiwaan Indonesia BKKI : Badan Kongres Kebatinan Indonesia BKOK : Badan Koordinasi Organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa BKR : Badan Keamanan Rakyat BPK : Badan Pemeriksa Keuangan BPN : Badan Pertanahan Nasional BPS : Badan Pusat Statistik DDII : Dewan Dakwah Islam Indonesia Al Makin xix DKT DPR DSN FAPB FKPK : : : : : FPI FUI GAM GKJ Golkar HMI HPK HTI IAIN ICCPR : : : : : : : : : : ICRP IIQ IPB ITB JIL Kamtibmas KKN KPKB KPU KUA KUHAP KUHP LBH LE2 : : : : : : : : : : : : : : LPPI Masyumi MK MMI MPR : : : : : xx Djawatan Kesehatan Tentara Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Syariah National Front Anti Permurtadan Bekasi Forum Komunikasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Front Pembela Islam Forum Umat Islam Gerakan Aceh Merdeka Gedung Kesenian Jakarta Golongan Karya Himpunan Mahasiswa Islam Himpunan Penghayat Kepercayaan Indonesian Hizbut Tahrir Institut Agama Islam Negeri International Covenant on Civil and Political Rights Indonesian Conference for Religion and Peace Institut Ilmu Quran Institut Pertanian Bogor Institute Teknologi Bandung Jaringan Islam Liberal Keamanan dan Ketertiban Masyarakat korupsi, kolusi, dan nepotisme Koalisi Pembela Kebebasan Beragama Komisi Pemilihan Umum Kantor Urusan Agama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Kitab Undang Undang Hukum Pidana Lembaga Bantuan Hukum Lia Eden Two (Tandatangan Lia Eden yang mengindikasikan bahwa dia adalah wakil Jibril di bumi; Lia Eden memiliki dua unsur, yaitu Lia dan Jibril) Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam Majelis Syuro Muslimin Indonesia Mahkamah Konstitusi Majelis Mujahidin Indonesia Majelis Permusyawaratan Rakyat Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Monas MS-PPMT MUI NGO NU Pakem PBB PBR PERSIS Pertamina Pesindo Peta PGA PKS PNI Q. RT RW SBY SCTV SK SKK SMA SMP STIA-LAN Subud TPKB UGM UI UIN WK : Monument Nasional : Majelis Syura Pondok Pesantren Modern Terpadu : Majelis Ulama Indonesia : Non-government Organization : Nahdlatul Ulama, Ormas terbesar di Indonesia : Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat : Partai Bulan Bintang : Partai Bintang Reformasi : Persatuan Islam : Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara : Pemuda Sosialis Indonesia : Pembela Tanah Air : Pendidikan Guru Agama : Partai Keadilan Sejahtera : Partai Nasional Indonesia : Quran, Kitab Suci Umat Muslim : Rukun Tetangga : Rukun Warga : Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden RI (2004-2014) : Surya Citra Televisi, Perusahaan Televisi Swasta : Surat Keputusan : Sekretariat Kerjasama Kepercayaan terhadapTuhan Yang Maha Esa : Sekolah Menengah Atas : Sekolah Menengah Pertama : Sekolah TinggiI lmu Administrasi Lembaga Negara : Susilo Budhi Dharma, aliran keagamaan yang didirikan oleh Muhammad Subuh : Tim Pembela Kebebasan Beragama : Universitas Gajah Mada : Universitas Indonesia : Universitas Islam Negeri : Wahana Kebangsaan, yaitu anggota kelompok Eden yang tinggal di luar jalan Mahoni Al Makin xxi Istilah Khusus (hanya digunakan dalam kontens buku ini) Asri : Majalah khusus rancangan dan bangunan rumah. Ahlukitab : Ahli kitab—istilah dalam tradisi Islam untuk orang Yahudi dan Kristen. Namun, istilah ini digunakan oleh Muchidin Safa alias Abu Ala di Jakarta untuk Muslim, yang tidak memberikan kesaksian atas kenabiannya. Engkang Sinuwun Kan- : Sultan Agung Abdul Hamid, ratu adil, jeng Sultan Ngabdul kamid raja penguasa, bangsawan, pemimpin Erucokro Kabir al-Mukmi- agama, pengganti utusan Tuhan, gelar nin Sayidin Panatagama Diponegoro Kalifat Rasulillah Agama Adam : Merujuk kepada agama Samin. Agus Nata Sukarno Putra : Agus, mengaku sebagai putra Sukarno, istilah yang disematkan kepada Agus Imam Sholihin, pendaku nabi di Jakarta. Al-Masih al-maw’ud : Nabi mesiah yang ditunggu, gelar yang disematkan kepada Ahmad Mushoddeq, pendaku nabi di Jakarta. At-Taibin : LSM yang didirikan oleh Lia Eden. Balai desa : Kantor desa. Bale Pasogit : Markas Besar Parmalim di Hutatinggi Lagobuti Sumatera. Banuaginjang : Bagian dunia tertinggi tempa Dewa (Batak) Banuatonga : Bagian dunia kedua tempat umat manusia (Batak) Banuatoru : Neraka (Batak) Batara Guru : Tuhan Maha Adil yang menciptakan dunia ini (Batak) Begu : Ruh (Batak) Bintangkemukus : Komet (Jawa), yang dipercaya muncul di langit pada saat kelahiran Sukarno xxii Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Bius Bongso Walondo Budiluhur Bulubekti Bunda Maria Datu Dawuh Debata Natolu Dewan Kerasulan Doli-doli Eden Erucakra Gondang Habib al-Huda Hadatuon HMA Ruhul Amin Ihutan Ilham Imam besar : Upacara dengan mengorbankan kerbau (Batak) : Belanda (Bahasa Jawa) : Menjalankan hidup dengan kesalehan (Bahasa Jawa) : Membayar pajak sebagai tanda patuh kepada penguasa (Bahasa Jawa) : Lia Eden dipercaya sebagai reinkarnasinya : Dukun tradisional (Batak) : Perintah (salah satu wahyu yang diterima oleh pendaku nabi), lihat juga wisik, ilham, sabda, wahyu, dan sapaan : Dewatiga(Batak) : Yaitu dua puluh pengikut inti Eden : Pemuda (Batak) : Kelompok yang didirikan oleh Lia Eden : Ratu adil yang ditunggu (Bahasa Jawa) : Musik tradisional Batak : Pembimbing ke jalan terang (dipercaya sebagai Malaikat Jibril yang membimbing Lia Eden) : Mukjizat (Batak) : Huwalmu’jizatula’la (dia yang maha pemberi mukjizat), gelar Bijak Bestari pendaku nabi dari Jakarta : Ruh terpercaya, nama Jibril (Lia Eden) : Pemimpin (Batak) : Inspirasi (salah satu wahyu yang diterima oleh pendaku nabi), lihat juga wisik, dawuh, sabda, wahyu, and sapaan : Gelar yang disematkan kepada Abdul Rachman pimpinan kelompok Eden. Al Makin xxiii Jati sawit : Usaha (pemupukan diri sendiri), dalam ajaran Samin (Bahasa Jawa) Jawa’ : Pemimpin umat manusia, gelar yang disematkan kepada Amaq Bakri, pendaku nabi dari Lombok Joan of Arc : Orang suci Perancis abad ke 15 dan pahlawan yang dibakar, Lia Eden dipercaya sebagai reinkarnasinya Kedap : Mengisolasi diri sendiri dari keramaian (Lia Eden) Kitab Sasangka Jati : Kitab kebenaran, Kitab Suci Pengikut Pangestu Konco sikep : Kawan atau dalam pelukan istri dan tanah, yaitu pengikut Samin Kunti : Ratu Hastinapura dan ibu Pandawa dalam kisah, dipercaya Lia Eden sebagai reinkarnasinya Lampahing urip : Perjalanan hidup dalam ajaran Samin (Bahasa Jawa) Latihan : Latihan spiritual untuk pengikut Subud Londo Mondolan : Pegawai Jawa selama era pemerintahan Belanda Lumbung desa : Tabungan beras desa Malim/Ugamo Malim : Agama putih di Batak Mangannapaet : Meminta ampunan dari Tuhan dalam agama Malim Mararisabtu : Ibadah sabtu dalam Parmalim Marsombatudebata : Ucapan syukur kepada Tuhan dalam agama Malim Martutuaek : Perayaan kelahiran dalam agama Malim Mengala Bulan : Dewi Bulan (Batak) Mula Jadi Na Bolon : Tuhan Maha Tinggi yang menciptakan semua makhluk (Batak) Murabbi : Guru, berkedudukan dalam lingkungan Tarbiyah xxiv Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Murbo Hamaseso : Tuhan yang menguasai alam semesta (SumarahPurbo) Naga Padoha : Ular samudra yang menyebabkan gempa bumi, petir, dan hujan (Batak) Nandang : Yang hanya mencertiakan kebenaran, gelar yang disematkan kepada Amaq Bakri, pendaku nabi dari Lombok Narima : Menerima, atau merasa cukup (Bahasa Jawa) Ngelmu : Pengetahuan (Bahasa Jawa) Nyai Roro Kidul/Ratu : Dewi dari Pantai Selatan Jawa Kidul Paliwara : Larangan (Pangestu) Pancasila : Lima dasar falsafah bangsa Indonesia, lima ajaran masyarakat Samin di Tapelan Bojonegoro, dan lima perintah dari Pangestu Pandemanusia : Seseorang yang memiliki keahlian urusan manusia, gelar yang disematkan kepada Amaq Bakri, pendaku kenabian dari Lombok. Panembah : Berdoá atau meditasi Panembahan : Pemimpin yang terhormat (Bahasa Jawa), gelar yang disematkan kepada Akhmad Mukhyar, pendaku nabi dari Jawa Timur Pangestu : PaguyubanNgesti Tunggal, aliran kebatinan yang didirikan oleh Sunarto Panuntun Agung Sri : Penuntun besar, gelar yang disematkan Gutama kepada pendiri Sapta Dharma Harjosapuro Paranpara : Penasehat spiritual atau penuntun, yaitu Sunarto, pendiri Pangestu Parbaringin : Imam Batak Parhudamdam : Agama asli Batak Parmalim : Kepercayaan agama Malim/agama suci dan murni dari Batak Al Makin xxv Pasahattondi : Upacara kematian dalam agama Malim Pengageng : Penguasa (Bahasa Jawa), gelar yang disematkan kepada Sumito Joyokusumo, pendaku kenabian berasal dari Jawa Tengah Perennialism : Kesatuan semua agama dan keyakinan (Lia Eden) Persantian : Kantor cabang Parmalim pikukuh kesejatin : Keberadaan sejati, dalam ajaran Samin (Bahasa Jawa) Pingit : Pengasingan dari adat Jawa sebelum menikah Pustaha Poda Hangoluan : Kitab Suci agama Malim Racut : Ritual yang dianggap paling tinggi dalam Sapta Dharma, satu pengalaman kematian dalam hidup dengan bersatu dengan Tuhan. Rasul : Utusan Ratib : Bacaan Arab (Qiroáh) Ratu Rabul Alamin : Raja alam semesta, gelar yang disematkan kepada pendaku kenabian dari Jawa Barat Reinkarnasi : Ruh seseorang yang sudah meninggal masuk ke dalam ruh orang yang masih hidup sebagai penerus, yang masih terbebani dengan dosa-dosa ruh sebelumnya. Dan orang tersebut berkewajiban untuk membersihkan dosa-dosa masa lalu orang yang sudah meninggal (Lia Eden). Resi Brahmana : Imam agung, gelar yang disematkan kepada pendiri Sapta Dharma Harjosapuro Roh Suci : Ruh Kudus dari semua jiwa kehidupan yang datang (Pangestu) Ruh min amrih : Ruh Tuhan, nama Jibril (Lia Eden) Ruhul Kudus : Nama Jibril (Lia Eden) xxvi Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Sabda Khusus Sabda : Kitab Suci Pangestu : Perintah (salah satu wahyu yang diterima oleh pendaku nabi), lihat juga wisik, ilham, dawuh, wahyu, and sapaan Sabda-Sabda Pratama : Perintah-Perintah Agung, Kitab Suci Pangestu Sahala : Kekuatan/takdir (Batak ) Salamullah : Pengajian Islam yang diadakan oleh Lia Eden pada awal mula dia menerima wahyu Sanggar : Pusat kegiatan (Sapta Dharma) Sapaan : Wahyu (salah satu wahyu yang diterima oleh pendaku kenabian), lihat juga dawuh, wisik, ilham, sabda, and wahyu Sapta Dharma : Tujuh Bakti, kelompok yang didirikan oleh Harjosapuro Satria Piningit Weteng : Kesatria tersembunyi dalam perut Buwana bumi, gelar yang disematkan kepada Agus Imam Sholihin, pendaku kenabian dari Jakarta Sedulur papat lima pancer Empat saudara dan lima tiang (Sumarah Purbo) Sembah : Menundukkan kepala dengan menyatukan dua tangan (yang diperaktekkan oleh kelompok Eden ketika bertemu dengan semua orang) Semedi : Meditasi dalam adat Jawa Serat punjer kawitan : Asal mula hidup dalam ajaran Samin (Bahasa Jawa) Syirik : Dosa besar dalam Islam, yang menyekutukan Allah dengan kekuatan yang lain Si Bontar Mata : Si mata putih/penguasa kolonial Belanda (Batak) Si Boru Deak Parujar : Anak perempuan Batara Guru (Batak) Al Makin xxvii Sidratul Muntaha Sipahalima Sipahasoda Shirotal mustaqim Soripata Subud Suksma Kawekas Suksma Sejati Tirakatan Tondi Tri-purasa Uri-uri pambudi Wahyu cakarningrat Wisik Yang dimuliakan Yayasan Zakya Maqta xxviii : Jembatan yang menghubungkan antara neraka dan surga (Lia Eden) : Upacara korban dalam Malim : Hari raya tahun pertama dalam kalender Batak di Malim : Jembatan yang lurus seperti disebutkan dalam Qurán. Tetapi Rohimat dan Tauik, pendaku kenabian dari Jawa Barat, memaknainya sebagai jembatan yang ada di rumahnya bagi para pengikutnya ketika kiamat tiba, yang katanya akan terjadi tahun 1999. : Tuhan Pemberi Karunia (Batak) : Susilo Budhi Dharma kelompok yang didirikan oleh Muhammad Subuh : Sumber kehidupan (Pangestu) : Ruh kebenaran (Pangestu) : Memanjatkan doá pada tengah malam (Lia Eden) : Jiwa (Batak) : Tiga unsur (Pangestu) : Nasihat Moral dalam ajaran Samin (Bahasa Jawa) : Wahyu akan mendapatkan keberuntungan besar (Sastra Jawa) : Bisikan (salah satu wahyu yang diterima oleh pendaku kenabian),lihat juga dawuh, ilham, sabda, wahyu, and sapaan : Yaitu para aggota Dewan Kenabian kelompok Eden : Didirikan oleh Bijak Bestari, pendaku kenabian dari Jakarta Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin BAB SATU PENDAHULUAN Sebuah Pertanyaan Pertanyaan sederhana mendorong saya untuk menulis buku ini adalah apakah Indonesia mampu melahirkan seorang nabi atau bahkan melahirkan agama, sebagaimana hal serupa telah terjadi di Jazirah Arab yang melahirkan Nabi Muhammad (570632) yang membawa Islam? Pertanyaan ini mengusik saya karena karena dua alasan. Pertama, ketika saya melakukan penelitian pada buku sebelumnya, “Representing the Enemy: Musaylima in Muslim Literature” tahun 2010, telah ditemukan bahwa Muhammad tidak sendiri dalam mengklaim wahyu Ilahi, yang menuntunnya dalam kepemimpinan dan pembangunan komunitas religius di Madinah. Kenyataannya, literatur Islam itu sendiri menggambarkan bahwa keadaan Semenanjung Arab pada abad ketujuh jauh lebih kompleks dan plural daripada sekedar dogma teologis Islam yang hanya mempertahankan klaim kenabian tunggal Muhammad. Dalam buku sebelumnya, saya sudah ungkapkan bahwa ada banyak tokoh dari pelbagai suku Arab yang juga mengklaim kenabian serta mencoba mendirikan komunitas religius namun Bab Satu Pendahuluan 1 Al Makin tidak bertahan hidup—tidak seperti Islam yang bertahan dan berkembang hinggga kini. Dalam buku ini saya tetap mencoba untuk mengajukan pertanyaan serupa seputar kenabian tetapi dalam konteks budaya dan tradisi keagamaan yang berbeda, yaitu di tanah air Indonesia. Karena juga dihadapkan fakta bahwa Indonesia saat ini merupakan negara Muslim terbesar di dunia, muncul lah pertanyaan lain: Apakah nabi yang terlahir di tanah ini pernah menggugat ‘hegemoni’ orthodoksi keislaman? Setelah melihat sejarah Indonesia, saya terkejut dan berpendapat bahwa negeri kepulauan yang kaya ini bahkan telah menjadi tempat bagi ratusan pendaku kenabian yang menerima pesan Ilahi yang mendirikan kelompok keagamaan. Ini terjadi semenjak masa kolonial. Pada masa kolonial Belanda, ada beberapa tokoh melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan di Jawa dan Sumatra dengan didukung legitimasi wahyu Illahi dalam memimpin serta dalam usaha membebaskan masyarakat dari belenggu kekuatan asing. Pasca kemerdekaan, nabi-nabi baru juga masih muncul yang berkontribusi dalam pembentukan identitas baru; dalam hal ini mereka membimbing masyarakat secara spiritual untuk jalan keselamatan. Banyak dari para nabi itu berhasil mendirikan “Gerakan Keagamaan Baru” (GKB) atau NRM (New Religious Movement) kemudian dikenal di Indonesia sebagai aliran kepercayaan/kebatinan. Lebih jauh lagi, selama periode Orde Baru dan reformasi para pendaku nabi membawa misi untuk menyelamatkan negeri ini dari krisis politik dan ekonomi yang mendera bangsa, terutama pasca Soeharto lengser (1921-2008). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Indonesia, seperti negara-negara Timur Tengah, juga telah melahirkan nabi-nabi dalam sejarah dan konteks yang berbeda. Mengingat jumlah para nabi di Indonesia yang banyak dan tak mungkin semua diceritakan dalam buku ini, maka kita hanya terfokus pada kasus ‘Lia Eden’ yang mendirikan kelompok Eden atau Kerajaan Eden di daerah Senen Jakarta, yang menentang hegemoni orthodoksi keislaman di negeri ini. Deinisi Nabi dan Kenabian Untuk memulainya, mari kita membicarakan deinisi ‘nabi’ dan ‘kenabian’. Menurut Weber, ada dua unsur penting yang 2 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin menandai legitimasi nabi di masyarakat, yaitu ‘kharisma’ dan ‘perintah Ilahi’. Dua unsur ini merupakan hal yang membedakan nabi dan penyihir (mereka yang memiliki kekuatan ghaib) atau imam (mereka yang memiliki orotitas kharismatik karena posisinya sebagai petinggi agama atau organisasi keagamaan). Selanjutnya, seorang nabi adalah orang yang berjasa sebagai pendiri sebuah agama, yang juga menjadi sumber kebenaran, serta memiliki otoritas tertinggi dalam tradisi keagamaan (Chryssides, 2009; Wallis, 1982;Weber, 1978: 241, 46;Woodward, 2011: 230). Otoritas kepemimpinan ini tidak sebanding dengan status imam, atau ulama dalam kasus Islam, yang berperan dalam menghidupkan warisan para nabi. Pada gilirannya, berdasarkan legitimasi wahyu Ilahi dan kharisma, nabi berfungsi dalam memperbaharui, memulihkan, dan menata ulang susunan dunia (Wallace, 1956). Dalam teologi Islam, kenabian Muhammad diposisikan sebagai yang tertinggi di antara para nabi sebelumnya. Muhammad adalah nabi terakhir dan tidak akan ada nabi lain yang datang setelahnya di dunia ini. Tentu saja, doktrin teologis ini berbeda dengan fakta historis bahwa setelah Muhammad masih banyak yang mengklaim kenabian di Jazirah Arab maupun di luar Arab (Makin, 2010a). Perlu diingat ternyata ‘wahyu Ilahi’ dan ‘kharisma’ tidak cukup untuk mengangkat seseorang pada status kenabian. Sebaliknya, sejarah mengajarkan kepada kita bahwa pengakuan kenabian tergantung pada kelangsungan misi Ilahi, yang dilakukan oleh para pengikut nabi itu dengan menjalankannya dalam membentuk komunitas agama, atau dengan kata lain, membentuk organisasi sosial yang di dukung oleh kekuatan politik. Dalam konteks ini, kenabian Muhammad dibangun dan dijaga oleh dua kekuatan dinasti (kerajaan Islam): Bani Umayyah (661-750) dan Bani Abbasiyah (750-1517). Di sisi lain, ketika seorang pendaku kenabian gagal, ini artinya ia gagal menarik pengikut, dan tidak ada satu pun dari mereka yang dapat membangun kharisma dan menyebarkan misi kenabian setelah kematian sang nabi. Orang seperti ini disebut “nabi palsu” atau “sang pembohong/ al-kadzdzab.” Sebagaimana dalam buku saya sebelumnya (Makin, 2010a) membahas Musailamah, yang gagal berkompetisi dengan Islam, karenanya dalam literatur Islam dikenal dengan sebutan ‘musuh’ dan ‘pendusta’ agama. Dari sudut pandang sejarah, tidak Bab Satu Pendahuluan 3 Al Makin berlebihan bila saya menyimpulkan bahwa bukan semata nabi yang membangun dan mendirikan komunitas agama, tetapi para pengikut dan yang beriman pada kenabian yang sangat berperan dalam membangun kharisma dan meneruskan misi kenabian untuk generasi selanjutnya. Dengan demikian, pengertian ‘kenabian’ dan ‘nabi’ senantiasa terikat oleh tradisi budaya, sosial, dan agama tertentu (Adas, 1979: xx). Sudah barang tentu, setiap budaya, konteks politik, dan tradisi agama telah memproduksi—atau dapat memproduksi—model kenabian tersendiri. Proses di Indonesia, terlepas dari pengaruh kekuatan tradisi Islam di negeri ini, telah menawarkan jalan yang berbeda dengan jalan kenabian di Timur Tengah atau wilayah lainnya. Dalam sejarah Indonesia, istilah kenabian dan nabi dapat ditemukan di berbagai gerakan milenarianisme, mesiah, dan mahdi di seluruh Jawa, di mana para nabi tersebut memimpin masyarakat untuk melakukan pemberontakan terhadap rezim kolonial Belanda. Banyak hasil penelitian dan kajian teoritis menyoal tentang kenabian, menawarkan teori mesianisme (van Der Kroef 1949; 1952; 1959), mahdiisme dan mileniarisme (Trupp 1952; Roscoe 1988; Hirosue 1994; Suwandi 2000), restorasi, revitalisasi (Wallace 1956), nativisme (Linton 1943; Grifen 1970), serta gerakan kenabian (Lanterni 1965). Dalam sejarah masa kolonial, masyarakat lokal dan terjajah merasakan bahwa kekuatan asing telah merampas identitas, iman, dan tanah mereka. Sebagian besar nabi di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan muncul dalam menanggapi krisis tersebut dan dalam kenabiannya mereka berjanji pada umat untuk menyelamatkan elemen di masyarakat yang hilang. Di Jawa, sebagian besar para pemberontak kharismatik mengaitkan diri dengan mitos dan legenda ratu adil. Dalam beberapa kasus mereka meramu ajaran sinkretis, berasal dari tradisi Hindu Jawa yang dikenal dengan erucakra dan dalam Islam dikenal dengan mahdiisme (van Der Kroef, 1949; 1952; 1959). Sudah barang tentu, Diponegoro, Somalaing, Na Siak Bagi, Samin Surosentiko, di antara para pemimpin mileniarisme dan mesiah Jawa lainnya—secara umum menunjukkan tiga unsur penting yang menandai kenabian mereka: kharisma, wahyu Ilahi (Weber, 1963: 46; Adas 1979: xxx), dan gerakan misi revivalisme 4 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin untuk menata kembali susunan dunia (Wallace 1956). Oleh karena itu, nabi memimpin masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Bahkan, kepulauan Indonesia selama masa penjajahan Belanda dari abad ke-17 hingga awal abad ke-20 merupakan tanah subur yang secara terus-menerus melahirkan gerakan mileniarisme dan mesianisme (van Der Kroef, 1952; Lanternari, 1965; Hirosue 1988, 1994). Banyak pulau di Indonesia yang melestarikan mitos, legenda, cerita rakyat, do’a, dan terapi penyembuhan (perdukuhan) (Woodward, 2011) dalam tradisi mereka. Setelah menemukan bahan serta mengolahnya menjadi ramuan penyembuh, para nabi tersebut lalu mengubah misi mereka menjadi misi kenabian dalam memimpin masyarakat. Kondisi ini tidak sulit untuk kita bayangkan, ketika ada perjumpaan antara nabi dengan para pengikutnya, mereka saling berbagi ratapan atas ketidakadilan yang diderita mereka disebabkan oleh kesewenang-wenangan kekuasaan kolonialisme Belanda. Dalam momen itu terbangunlah solidaritas berkat kharisma kenabian dan kepemimpinan para nabi. Setelah era kemerdekaan 1945, atmosir baru memunculkan para nabi baru pula, karena atmosir lama kolonialisme telah berakhir. Para nabi baru ini memberi perhatian pada masalah identitas dan tidak lagi menawarkan perlawanan terhadap hegemoni kolonialisme yang telah usai. Gerakan-gerakan seperti ini sering dianalisis sebagai ‘Gerakan Keagamaan Baru’ (GKB) atau NRM (New Religious Movement) (Howell 2001, 2007, Bruinessen 2007). Nabi-nabi seperti ini—misalkan Sukino, Muhammad Subuh, Harjosapuro, Sukisman, dan Darmopodo, yang sebagian pengikutnya saya temui di Yogyakarta pada awal tahun 2013— menerima perintah baru dari Tuhan diungkap dihadapan masyarakat. Mereka lebih banyak menyinggung persoalan yang berhubungan dengan identitas. Wahyu Ilahi pada gilirannya bergeser dari tema perjuangan kemerdekaan menjadi penguatan identitas dari bangsa yang sedang mengalami masa transisi. Pesan dari nabi-nabi pasca-kolonial lebih menunjukan rasa percaya diri dan optimisme. Sebagian besar mengedepankan ketenangan batin dan perdamaian yang merupakan salah satu ciri khas pesan misi kenabian era itu. Ini menjadi cerminan bagi bangsa di masa depan. Ajakan emosional para nabi sebelumnya untuk perlawanan Bab Satu Pendahuluan 5 Al Makin terhadap kekuatan hegemoni asing pada gilirannya memudar. Dalam hal ini, para nabi mengingatkan kembali zaman keemasan sastra Jawa, misalnya. Para nabi di pulau Jawa berhasil mendirikan berbagai aliran kebatinan/kepercayaan, dengan gaya organisasi modern. Dengan begitu, para nabi ini mendapatkan pengikut dengan jumlah yang signiikan. Dua faktor historis berikut memberikan dorongan yang memunculkan GKB/NRM pasca-kolonial di Indonesia. Pertama, gerakan kenabian milenarianisme dan mesianisme mengajarkan faham reinkarnasi, pembaruan spiritual, ratu adil, dan erucakra (penyelamat). Kedua, ‘agama populer’ seperti Malim (diinspirasi oleh tokoh kharismatik Si Singamangaraja XII, lihat lampiran I) mengkombinasikan berbagai unsur tradisi agama di dunia, misalnya Islam, Kristen, dan kepercayaan setempat. Secara sederhana, NRM pasca periode kemerdekaan muncul dengan mewarisi dua tradisi tersebut. Indonesia telah menjadi tuan rumah bagi ratusan NRM, yang sebagian besar lahir di Jawa, yaitu tanah subur yang memunculkan sinkretisme yang menawarkan ajaran dengan berbagai akomodasi ajaran Hindu, Buddha, Islam, dan unsur lokal yang tersimpan baik dalam sastra Jawa Kuno, seperti Serat Cebolek dan Suluk Dewaruci oleh Yasadipura I (1729-1803), Serat Wirid, Paramayoga, dan Wedhatama karangan Ranggawarsita (1802-1873) (Simuh, 1996: 181-194; lihat juga Woodward, 1989). Sudah barang tentu, karya-karya ini memberikan konsep sinkretis tentang keagungan Tuhan, alam semesta, dan manusia, yang dirumuskan dalam konsep kosmologi, do’a dalam beribadah, dan etika (Romdon 1996; Geels 1997; Simuh 1988; Ricklefs 1998). Maka perlu dicatat bahwa sastra Jawa kuno sering menggambarkan tokoh para pencari pencerahan spiritual melalui usaha dan perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Berkaca pada pengalaman mereka, tokohtokoh yang digambarkan dalam sastra Jawa kuno menawarkan ajaran baru, seperti dalam tulisan-tulisan lama Serat Centhini (Santoso, Siregar dan Pringgoharjono, 2006) dan Serat Dewa Ruci (Soebardi, 1975). Nabi-nabi di atas—termasuk pengalaman serupa yang dirasakan Lia Eden—mengalami perjalanan spiritual yang sama dalam menggapai pencerahan. Misi kenabian pasca kemerdekaan di negeri ini menunjukkan semakin berkurangnya kecenderungan yang beracuan pada 6 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin konsep mileniarisme dan mesianisme. Sebaliknya, perhatian para nabi tersebut lebih menekankan pada persoalan identitas kebangsaan dan karakter pembangunan bangsa. Bukan hanya sekedar kesadaran identitas akan nasionalisme yang didorong oleh para intelektual Indonesia saat itu (Anderson 2006), tetapi kesadaran kolektif umat (komunitas Muslim) yang dapat ditelusuri pada identitas ‘bangsa Melayu’ tempo dulu yang membedakan mereka dengan Muslim lain di Timur Tengah (Lafan, 2003). Hal ini pun diperkuat oleh pemahaman bahwa Islam Melayu secara praktis berbeda dengan Islam yang diperaktekkan di negara-negara Arab (Lafan, 2007). Dalam konteks ini, Lia Eden, sebagaimana para pendahulunya, menunjukan misi kenabian dengan membawa pesan identitas bangsa Indonesia. Meskipun demikian, perbedaan antara ruang dan waktu telah menghasilkan pelbagai macam jenis nabi.Tradisi lokal dan konteks sosial-politik telah menciptakan misi kenabian dengan membawa pesan dari Tuhan dan ajaran-Nya, lalu mereka menyebarkannya pada ummat. Krisis politik setelah masa reformasi tahun 1998 menyebabkan munculnya model nabi baru dengan pesan kenabian yang baru pula. Perlu dicatat bahwa selama periode Orde Baru dengan puncak pencapaian ekonomi melahirkan jumlah kelas menengah yang banyak di negara ini, dan di saat yang sama membangkitkan aspek religiusitas dan spiritualitas khususnya di daerah perkotaan (Howell 2001, 2007; Bruinessen 2007; Heiner 2010). Namun, setelah lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan, yang menandai awal mula era reformasi, kondisi ini merupakan masa yang pelik karena dilanda krisis politik dan ekonomi. Dalam kondisi ini, nabi baru muncul—seperti Syamsuri, Samawiyah, Abd Kadir, Achmad Naf ’an, Sukarno dan seorang wanita tua yang namanya tidak disebutkan (semua dari Jawa Timur), Sumito Joyokusumo, Kusmanto, Sujono (keduanya dari Jawa Tengah), Kusnanto Ahmad Tantowi, Prabu Tommy, Rahimat, Tauik (semua dari Jawa Barat), Bijak Bestari, Agus Imam Solihin, Ahmad Mushaddeq (semua dari Jakarta, lihat lampiran III dalam buku ini), dan Lia Eden. Mereka semua mengaku menerima wahyu dari Tuhan untuk menyelamatkan bangsa dari gejolak krisis. Pungkasnya, di Indonesia setelah masa reformasi Lia Eden tidak sendiri, ada banyak nabi lain yang merupakan tradisi lama di negeri ini. Bab Satu Pendahuluan 7 Al Makin Sehubungan dengan misi kenabian mereka, yang penuh kreatiitas dan imajinasi dengan inspirasi wahyu dari Tuhan yang disampaikan kepada pengikutnya, mengingatkan kita pada tradisi lama dengan corak produk budaya yang sampai kini masih ada dan terpelihara berupa mitos, legenda, keyakinan, do’a sebelum beribadah, cerita rakyat atau dogma. Para nabi meramu unsurunsur itu, dalam pelaksanaan ibadah dan berdo’a—pada gilirannya menghasilkan sebuah tindakan yang menghasilkan ‘energi sosial’ baru (Greenblatt 1988; lihat juga Weenstra 1995, 1999). Dengan demikian, kenabian seringkali muncul di saat adanya tekanan krisis yang melanda dan di saat yang sama adanya keinginan untuk mendapatkan solusi. Saat seperti itu, masyarakat cenderung menggali dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai budayanya (Swidler 1986). Maka, para nabi sebagian besar lahir di saat krisis untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran dengan wahyu atau ajaran baru yang diambil dari ajaran dan khazanah lama: mitos, legenda, atau cerita rakyat yang selanjutnya dimodiikasi berdasarkan konteks lokal dan baru;. Sejauh ini para nabi, yang didukung oleh para pengikutnya, sangat kreatif dalam meramu banyak unsur-unsur (mitos, legenda, atau cerita rakyat, do’a, dan iman) yang kemudian dimodiikasi ke dalam ajaran barunya. Memang benar bahwa mereka tidak menemukan sesuatu hal yang benar-benar baru yang keluar dari tradisi sebelumnya, tapi berbagai gagasan lama telah bercampur dengan realitas baru, kemudian diinterpretasikan dengan cara yang baru pula. Sudah barang tentu, fakta obyektif yang penting ini telah memberikan kekayaan tradisi keagamaan, adat dan bahasa lokal yang diperaktikkan di daerah-daerah kepulauan Indonesia.1 Mereka mengambil sumber-sumber khazanah lama namun diubah menjadi kekuatan baru, berupa otoritas, energi, dan agama.2 Dalam sejarah, masyarakat Nusantara telah beradaptasi dalam banyak hal; 1 Menurut Subagya (1981: 31) ada banyak tradisi keagamaan lokal yang ditemukan di kepulauan Nusantara: Misalnya, Sabulungan di Mentawai, Kaharingan di Kalimantan Dayak, Aluk To Dolok di Sulawesi Toraja, Parandangan Ada di Sulawesi Tengah, Bara Marapu di Sumba, Agama Bali Aga di Bali, Ono Niha di Nias, Agam Ratu Bita Bantara di Sikka, Flores. 2 Di Kalimantan Tengah, agama Kayan direstorasi. Adat Bungan (kebiasaan baru) direformasi untuk mengembalikan Adat Dipuy (kebiasaan lama) yang dimodiikasi ke dalam bentuk baru (Rousseau, 1998: 22). 8 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin mereka sudah terbiasa konversi iman dan agama. Mulai abad ke10 hingga ke-20, di Jawa misalnya, perubahan iman masyarakat berjalan sesuai dengan dinamika kekuasaan berbagai kerajaan dengan tradisi yang berbeda Hindu-Buddha Mataram, Wisnu Kediri, Shiva Majapahit, sinkretisme keislaman Demak, Surakarta, dan Yogyakarta. Nilai-nilai agama yang lebih lama dan kuno, bagaimanapun juga, tidak punah tapi berbaur dengan agamaagama yang lebih baru, sebagaimana tercermin dalam agama Islam Jawa modern.3 Seperti para pendahulunya (lihat lampiran I, II, dan III), Lia Eden mendapatkan sumber inspirasi kenabian dari mitos dan ajaran berbagai agama, seperti Islam, Kristen, Buddha, dan Hindu, untuk menentang dominasi ajaran orthodoksi keislaman di Indonesia. Orthodoksi, dalam hal ini dideinisikan sebagai “sebuah sistem euimisme, yaitu cara berpikir tertentu tentang dunia alam dan sosial, yang menolak segala macam bid’ah dan itu dianggap penistaan agama” (Bourdieu, 1994: 165). Orthodoksi berusaha menghilangkan banyak hal sebagai berikut: “pertentangan antara benar dan salah,‘kanan’ dan ‘kiri’, yang membatasi keluasan wacana, antara yang sah dan tidak sah, dan euimisme atau penistaan, yang mengarah pada doktrin pembatasan pemikiran, bahwa doktrin harus diterima apa adanya” (Bourdieu, 1994: 165). Karena meresa teraniaya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai otoritas orthodoksi keislaman yang telah mendapat dukungan pemerintah, Lia pun meresponnya. Puncak perselisihan antara misi kenabian Lia dan hegemoni orthodoksi keislaman terjadi dengan adanya pengumuman publik terkait kemurtadan Eden. Dia menyatakan diri dan diikuti pengikutnya telah berhenti menjadi Muslim. Selanjutnya, Lia mendeklarasikan bahwa Tuhan telah memerintahkan dirinya untuk mencabut keabsahan semua agama termasuk Islam, dalam rangka membangun agama baru yang berasal dari Tuhan, yang disebut agama ‘Salamullah atau Eden’. Penting dicatat bagaimana membedakan antara kenabian dan kewalian, nabi dan wali. Dengan tradisi spiritualitas dan keagamaan Indonesia, tradisi mistis lokal (Suwandi, 2000; Woodward, 2011: 3 Harun Hadiwijono (1983: 26-51) juga menunjukan bahwa sinkrestisme bukan hanya antara Islam dan Hindu, sebagaimana yang dapat dilihat saat ini, tapi juga antara Hindu dan Buddha di masa lampau di Jawa. Bab Satu Pendahuluan 9 Al Makin 92) maupun suisme Islam (Millie, 2009), keduanya bertemu, baik nabi atau wali menunjukan karomah atau mukjizat yang secara langsung selalu dihubungkan dengan alam ghaib. Wali mempertahankan keimanannya dalam ‘agama resmi’ dan tidak berniat untuk membangun agama baru. Sedangkan, para nabi, dengan kharisma dan legitimasi wahyu Ilahi, selalu identik dengan pendirian agama baru untuk melakukan pemberontakan terhadap hegemoni yang mengendalikan masyarakat. Singkatnya, sebagian besar nabi cenderung melaksanakan misinya dengan revolusi sosial, sementara wali membatasi dirinya dengan melalui jalan spiritualitas di dalam batas agama yang dianutnya. Selain itu, ajaran mistis lokal—seperti metode penyumbuhan terapis yang secara umum ditemukan di Jawa (dukun), Batak (datu), Sulawesi, Nusa Tenggara—dapat menjadi sumber kekuatan yang penting dalam proses kenabian. Namun, dukun bukan berarti selalu nabi, mereka bisa menjadi nabi dengan jalan mengolah kharisma dan kepemimpinan sehingga mendapatkan momen-momen penting dan menarik banyak pengikut dan mendirikan agama baru. Lia Eden bukanlah dukun belaka atau sekedar wali, tetapi seorang nabi yang berniat untuk membangun ‘Salamullah atau Eden’ sebagai agama baru. Terpinggirkannya Agama Populer Mari kita diskusikan tentang terma agama. Menurut Possamai (2009a, p. 37) “agama selalu menjadi bahan perdebatan, sekalipun pada tahap deinisi.” Begitu juga pada masa post-modernisme, pengertian agama juga masih terus dipertentangkan. Alat untuk mengukur sebuah tradisi dan apa saja yang bisa disebut agama masih terus dibayang-bayangi oleh pengalaman sejarah Kristen Eropa, yang telah menjadi alat umum namun tidak tepat untuk mengukur tradisi yang lahir di budaya dan konteks sosial yang berbeda (Asad 2003). Patut juga dicatat bahwa deinisi “agama” sering gagal untuk melihat munculnya “NRM” atau juga disebut “agama popular/agama rakyat” (Hunt 2003; Parker 2006). Mari kia perjelas fenomena NRM dan agama rakyat. Ketika peran gereja Kristen menurun di Eropa sejak abad dua puluh, bersamaan dengan maraknya proses sekularisasi dan rasionalisasi, NRM (yaitu jalan spiritual alternatif yang berbeda dengan jalan 10 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin yang ditawarkan oleh gereja pada umumnya) berhasil memenuhi kehausan spiritualitas orang-orang tertentu sejak tahun 1960an hinga 1970an (Hunt 2003, pp. 3–10; Clarke 2009b; Beckford 1985). Sedangkan agama rakyat/NRM menurut Possamai adalah agama yang tidak terstruktur (unstructured religion) yang dipeluk oleh kelompok marginal (subordinated groups) berbeda dengan agama yang terinstitusikan, mapan, dan resmi, yang mempunyai dogma dan teologi yang matang. Gramsci (1971, p. 391) mencatat juga bahwa agama rakyat ini dipeluk oleh kelompok kelas bawah yang digunakan untuk menyuarakan protes melawan agama resmi yang dipeluk oleh kelompok kelas atas. Parker (1996, p. 100) juga melihat kemunculan agama rakyat pada “kelas pekerja dan yang terpinggirkan di masyarakat Amerika Latin terutama di kota-kota metropolisnya”. Lebih menarik lagi, agama-agama yang didirikan oleh para nabi Indonesia ini termasuk agama rakyat, seperti juga agama-agama rakyat di Amerika Latin, yang menunjukkan tandatanda sinkretik dengan kreativitas akomodasi berbagai wahyu, ritual, dan doa-doa dari banyak tradisi keagamaan. Di sisi lain, Possamai mengingatkan kita bahwa agama resmi juga bisa jadi menggunakan cara-cara kerakyatan atau populer untuk menarik simpati ummat, dan di sisi lain, agama rakyat pun akhirnya juga bisa menjadi agama resmi yang terinstitusikan. Begitu juga, agama rakyat atau populer bisa menarik pengikut kelompok kelas menengah. Ini juga cocok dengan temuan Hefner, Howell, and Fealy (2008) tentang kebangkitan spiritual keagamaan di antara kelas menengah urban di Indonesia dengan maraknya media baru dan juga pasar baru yang menawarkan dagangan materi keagamaan. Pada dataran ini, sangatlah penting untuk melihat dinamika Indonesia pada masa setelah kemerdekaan. Pada era Sukarno (1901–1970) dan Soeharto agama dideinsikan oleh negara dengan kepentingan untuk menjaga stabilitas dan harmoni masyarakat atau bangsa, namun dengan mengorbankan praktek dan nilai keragaman atau pluralitas. Sedangkan pemerintahan di era reformasi mengakui enam agama: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu. Padahal, jumlah NRM di dalam negeri terus meningkat secara signiikan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1950, tercatat 78 aliran. Pada tahun 1964 jumlahnya Bab Satu Pendahuluan 11 Al Makin semakin melonjak menjadi lebih dari 300 aliran.Antara tahun 1964 dan 1971, akibat jumlah aliran yang semakin banyak, pemerintah secara tegas melarang aliran yang muncul, dan menurut laporan pada tahun 1971 pemerintah membubarkan sekitar 167 sekte. Pada tahun 1972, kantor Sekretariat Kerjasama Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (SKK) mencatat lebih kurang 644 sekte: 257 di Jawa Tengah, 83 di Jawa Barat, 55 di Jawa Timur, 83 di Sumatra Barat, 70 di Yogyakarta, 26 di Indonesia Timur, dan sekitar 112 tercatat di tempat lain (Dwiyanto 2010: 86-87, Subagya 1980: 251, 129-138). Namun, pada tahun 1984 Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) hanya mengakui 353 sekte keagamaan (Patty, 1986: 11). Pada tahun 2000-an, diperkirakan ada setidaknya 8 juta pengikut aliran tersebut di seluruh Indonesia (Damami, 2011: 70; Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003: v). Misalnya, Provinsi Yogyakarta, yang terdiri dari lima Kabupaten/Kota: Kota Yogyakarta, Kulonprogo/Wates, Bantul, Sleman, dan Gungkidul/ Wonosari, telah menjadi tempat bagi lebih dari 74 aliran yang tercatat pada tahun 2012.4 Pemerintah juga membatasi aktivitas ‘agama populer’. Untuk memantaunya, pada tahun 1954 didirikanlah Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem). Di tahun 1960, Pakem menjadi lebih kuat lagi legitimasinya, karena lembaga ini di bawah Kejaksaan (Kejagung) sehingga dengan otoritasnya bisa melarang atau mencekal aliran tertentu. Pada tahun 1961, dengan landasan hukum No. 13 polisi dapat memata-matai sekte-sekte tersebut. Parahnya, pemerintah mengeluarkan hukum penistaan agama tahun 1965 PNPS 1, menurutnya siapa pun yang menyatakan menentang atau penghinaan terhadap agama resmi yang dianut oleh bangsa Indonesia dapat dipenjara selama 2 sampai 5 tahun.5 4 Pada Desember tahun 2013, di kantor Pemda Yogyakarta tercatat 17 aliran di Kota, 5 di Wonosari, 15 di Bantul, 15 di Wates, dan 22 di Sleman (Pemda Kota Yogyakarta, 2012). Bakorpakem Yogyakarta sendiri mencatat 21 aliran di Kota. Menurut kapala HPK Cabang Bantul, Mardi Yuwono, di daerahnya kurang lebih terdapat 23 aliran tapi hanya 15 yang tercatat di pemerintahan daerah (Wawancara dengan Yuwono 4 Februari 2013). Selanjutnya, dari tahun ke tahun jumlah aliran di Provinsi Yogyakarta mengalami perubahan (Dwiyanto, 2010: 118; Soehadha, 2008: 46; Nurdjana, 2009: 5052). 5 Masyarakat dapat melaporkan siapapun yang melanggar ini berdasarkan undang-undang penodaan agama 1965 dan berdasarkan ini pelaku bisa dituntut hingga dipenjara. Berikut contoh-contoh nyata: pada tahun 1968, editor majalah Sastra, Hans 12 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin Agama selalu menjadi urusan serius bagi bangsa Indonesia dan pemerintahnya juga begitu. Kepercayaan kepada Tuhan telah termaktub pada sila pertama dalam Pancasila (dari lima sila) sebagai dasar negara. Kebebasan keyakinan dan keimanan dijamin oleh konstitusi negara (UUD 1945). Namun, Possamai (2009a: 37) mengingatkan sebelumnya bahwa deinisi agama juga mengalami perdebatan, sudah barang tentu, dalam konteks Indonesia modern, perdebatan menyoal agama tak pernah usai. Maka dari itu, Kementerian Agama pada tahun 1953 mengeluarkan deinisi resmi mengenai agama: agama harus didirikan oleh ‘nabi’ atau ‘utusan’ (nabi atau rasul); dengan memiliki ‘kitab suci’; dan menawarkan ajaran universal yang dianut oleh masyarakat lebih dari satu negara di dunia (Mulder, 1998: 21;. Picard, 2011: 1-20;. Howell, 2007;. Woodward, 2011: 7.). Deinisi ini jelas mencerminkan dominasi tradisi agama Semitik khususnya dengan pengaruh ajaran Islam, yang selalu terjaga dan terpelihara sepanjang sejarah Indonesia pasca kolonial. Deinisi ini dikeluarkan, karena mungkin Kementerian Agama merasa resah dengan adanya lebih kurang 360 ‘agama baru’ dan ‘populer’ yang didirkan oleh nabi pribumi (Mulder, 1978: 4-8;. Subagya, 1981.). Di sisi lain, tradisi agama lokal dipaksa untuk beradaptasi dengan kebijakan pemerintah ini. Tradisi keagamaan Kaharingan yang ada di Kalimantan, misalnya, telah dimodiikasi di bawah payung agama Hindu (Schiller, 1997: Bague (HB) Jassin menerbitkan cerpen karya Ki Panji Kusmin Langit Makin Mendung dengan menyindir bahwa Nabi Muhammad turun ke Indonesia. Pada tahun 1990, editor majalah Monitor, Aswendo Atmowilopo, menerbitkan hasil survei-nya yang menempatkan Nabi Muhammad pada nomer urut sebelas dari para tokoh di Indonesia. Pada tahun 1996, Saleh dari Situbondo berkata bahwa Allah hanya makhluk belaka. Pada tahun 2005, lebih banyak kasus: Mas’ud Simanungkalit, menulis buku Kutemukan Kebenaran Dalam al-Qur’an, dan memodiikasi kesaksian bahwa ‘Tidak Ada Tuhan Selain Allah dan Isa Mahidyah (Yesus dalam mesiah), kalam dan ruh Tuhan, Mangapin Sibue mengatakan “Kiamat dunia akan segera terjadi”, dan para pengikutnya melakukan bunuh diri masal; Rus’an dari Palu menulis sebuah artikel, “Islam agama yang gagal”. Ardhi Husein dari Probolinggo menulis, Menembus Gelap Menuju Terang, di mana penulisnya berkata bahwa Iblis lebih kokoh imannya daripada umat manusia. Menurut Husein, Veda, Tripitaka, Tao, dan buku-buknya termasuk Confusionis merupakan bagian dari Kitab Suci Ibrahim. Dia selanjutnya mengatakan bahwa Tuhan masih mengirimnya wahyu saat ini, surga bukan hanya milik orang Muslim, bahwa berkeyakinan tidak perlu beragama, dan seorang Muslim tidak berarti menjadi Islam. Semua tersangka tersebut dibawa ke pengadilan dan dijebloskan ke penjara (Rumadi, 2007: 20-57). Bab Satu Pendahuluan 13 Al Makin 109-131), begitu juga modiikasi tradisi Toraja dari Sulawesi (Volkman, 1985). Dalam deinisinya agama telah dipolitisasi— atas legitimsi kekuasaan (Foulcault, 1994: 214)—dan ini menjadi konteks dan latar belakang dikeluarkannya deinisi agama ‘resmi’ atau agama yang diakui negara. Karena NRM atau agama populer tidak dianggap sebagai ‘agama’, sehingga para pengikutnya harus memilih salah satu dari lima agama yang diakui—atau enam pasca era reformasi—yang dicantumkan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan dokumen resmi lainnya. Kemudian dua Menteri dari Kementerian Agama, Syaifuddin Zuhri pada tahun 1967 dan Dahlan pada tahun 1968, menolak status NRM sebagai agama (Subagya, 1980: 71). Pemimpin NRM berjuang kembali dengan mendirikan beberapa asosiasi yang berfungsi sebagai media untuk mendapatkan keadilan atas status alirannya.6 Namun, harapan untuk menampung aliran ini sebagai agama independen sama dengan ajaran Semitik lainnya sirna pada tahun 1983, karena aliran ini tidak lagi di bawah koordinasi administrasi Kementerian Agama, tetapi di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; setelah tahun 1999 di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Damami, 2011: 7). Ini artinya aliran dianggap hanya sebagai hasil dari konstruksi budaya lokal, yang tidak bisa disejajarkan dengan agama ‘suci’. Selanjutnya, berdasarkan aturan Tahun 2002 No. 2 tentang aliran ini, polisi dapat memeriksa dan memantau aliran ini jika ada kasus yang mencurigakan dan mungkin menjadi ancaman bagi tatanan sosial (Nurdjana, 2009: 152). 6 Dalam perjuangannya, para pemimpin aliran mendirikan persatuan (organisasi) yang meliputi: Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) dirikan pada tahun 1955 oleh Wongsonegoro; Badan Koordinasi Karyawan Kerohanian Kebatinan Kejiwaan Indonesia (BK5I) didirikan pada tahun 1966 oleh Sukowati; Sekretariat Kerjasama Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (SKK) didirikan pada tahun 1970 yang digunakan pemerintahann Orde Baru untuk kepentingan legitimasi Partai Golkar; Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) didirikan pada tahun 1978; Forum Komunikasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (FKPK); dan Badan Koordinasi Organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (BKOK) didirikan pada tahun 1999 (Damami, 2011: 107-115). Di Yogyakarta, banyak aliran bergabung dengan HPK, tidak dengan BKOK, yang dicurigai memiliki motif politik dibalik aktivitasnya yang mendapat dukungan pememrintah. Beberapa pemimpin aliran saya wawancarai memberikan informasi bahwa BKOK telah menjadi alat bagi para politikus untuk merekrut suara. 14 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin Di sisi lain, kondisi ini memicu perdebatan publik terkait aliran tersebut, Djojodigoeno, Warsito, dan Widji Saksono menyuarakan hak-hak aliran ini agar diperlakukan secara adil dan sama dengan agama ‘resmi’ lainnya. Namun, para intelektual Muslim, seperti Rasjidi, Hamka, dan Hasbullah Bakry, mempertahankan hak-hak istimewa agama-agama resmi—khususnya Islam, dengan tetap mengesampingkan munculnya aliran-aliran tersebut—aliranaliran tersebut ditolak dan hak serta status keagamaannya tidak diakui (El Haidy, 1997: 121-157;. Damami, 2011: 118-127). Damami menggarisbawahi kegagalan aliran ini dalam memenuhi kriteria menjadi ‘agama’ yang diakui, karena mereka tidak memiliki struktur konsep teologi, eskatologi, dan keselamatan sebagaimana yang ditawarkan oleh agama-agama Semitik (Damami, 2011: 83). Namun, menurut hemat saya, dalam sejarah Islam konsep-konsep teologis terus berevolusi dari generasi ke generasi selama berabadabad. Agama baru yang didirikan atau NRM, sejatinya masih dalam tahap pembentukan konsep teologis, sebagaimana Islam pada awal abad pertama. Berharap aliran-aliran itu mempunyai konsep teologis yang matang, berarti menunggu berabad-abad, sebagaimana juga agama Islam dan yang lainnya. Kenyataanya, perbedaan nyata yang memisahkan antara agama ‘resmi’ dan ‘popluer’ sangat tipis. Dari beberapa agama populer di Indonesia, seperti Subud dan Sumarah (lihat lampiran III), menurut ukuran deinisi Kementerian Agama, telah memenuhi dua kriteria: ‘nabi dan Kitab Suci’. Dengan begitu, para pendiri agama populer, seperti halnya agama-agama resmi, disebut nabi yang juga menyusun wahyu yang mereka klaim dari Tuhan dan dikompilasi menjadi buku, yang kemudian dipandang oleh para pengikutnya sebagai Kitab Suci. Pertarungan politik maupun publik mengenai status aliran kepercayaan masih jauh dari kata usai, ketika orthodoksi keislaman terus menguat dari waktu ke waktu. Untuk itu, Soekarno, presiden pertama Indonesia (1945-1967), cukup akomodatif dalam mensiasati persoalan karena sifatnya yang sinkretik dalam ideologi maupun politik. Di masa mudanya, Soekarno banyak menulis artikel yang menyuarakan persatuan berbagai elemen dalam budaya Indonesia, misalnya ini tercermin dalam motto Nasakom (Nasionalisme, Komunisme, dan Agama) (Nurcholis, 2011: 7-17). Bab Satu Pendahuluan 15 Al Makin Tapi mungkin karena pertimbangan pragmatis dan rasional, ia pernah memperingatkan bahaya klenik (ilmu hitam) terkait dengan aliran kebatinan. Soeharto, di sisi yang lain, bimbang antara praktek keagamaan dan kepentingan politik praktis. Soeharto pada dasarnya mempercayai ilmu kebatinan (Ilmu Mistis Jawa) (Woodward, 2011: 240, 243-244). Soeharto, seperti pendahulunya, juga menunjukan pendekatan akomodatif, tapi berhati-hati dalam mengelola tekanan dari orthodoksi keislaman. Pada tahun 1970-an, tampaknya ada harapan untuk ratusan aliran, karena mereka didekati oleh mesin politik Partai Golongan Karya (Golkar) dalam rangka mendukung Soeharto dalam melegitimasi pemerintahannya. Namun, era setelah itu, yaitu di akhir kekuasaannya tahun 1990an, Soeharto lebih condong ke kekuatan Islamis (lihat juga Heiner, 2000), dan membolehkan politik Islamisme bangkit di Indonesia; dan ini memudarkan harapan agama ‘populer’ untuk mencapai status agama resmi. Tragedi tahun 1965 dan sesudah bubarnya komunisme dan ateisme merupakan pukulan berat bagi kebebasan beragama dan pluralisme. Kecurigaan terhadap aliran kebatinan pun semakin meningkat, karena banyak pengikut mereka yang dituduh mendukung komunisme (Mulder, 1998: 22); hal ini ini berujung pada pelarangan Jaksa Agung atas 167 aliran tahun 1971. Sebagai buntut pergolakan 1965 yang semakin menunjukan hegemoni orthodoksi keislaman, propaganda anti-komunis dijalankan oleh pemerintah Orde Baru ternyata efektif. Sikap yang digunakan oleh rezim Orde Baru untuk menurunkan kepercayaan Orde sebelumnya yaitu dengan mengutuk keras unsur komunisme sekaligus menguatkan orthodoksi keislaman dalam kehidupan politik dan sosial. Sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an, Soeharto mempertahankan legitimasi politiknya dengan tindakan supresif atas keragaman dan pluralitas baik dalam politik maupun agama—misalnya penyederhanaan sistem politik ke dalam tiga partai: Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan yang terakhir, memperkuat legitimasi dan dominasi lima agama resmi: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Pada tahun 1975, semasa rezim Soeharto (1967-1998), didirikanlah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan harapan bisa berfungsi sebagai media yang menghubungkan antara legitimasi 16 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin pemerintah dengan kepentingan masyarakat Muslim (Ichwan, 2005; Gillespie, 2007; Makin, 2009c; Makin, 2010d; Lindsey, 2012; Nasir, 2014). Setelah pembentukan MUI, orthodoksi keislaman semakin kuat. Faktanya, kebijakan ini memecah-belah otoritas dalam banyak organisasi Muslim dengan mengerucutkan peran MUI sebagai alat politik efektif yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru sebagai alat ‘kontrol dan pengawasan’ terhadap sekte yang ‘menyimpang’ (Porter, 2002: 80); dan dengan memaksa mereka kembali kepada agama mainstrem. Di Kementerian Agama, Mukti Ali lah yang pertama meletakan dasar dialog antar agama dan pluralisme di bawah pemerintahan Soeharto. Dia mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan lebih banyak ruang kebebasan bagi gerakan aliran kepercayaan karena dirasa penghargaan terhadap aliran tersebut tidak menimbulkan ancaman bagi agama yang diakui pemerintah. Namun, penggantinya Alamsjah Ratu Prawiranegara, secara tegas, menempatkan aliran kepercayaan dalam koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Baginya, sekte ini bukan agama yang dikirim oleh Tuhan dari langit, tetapi murni produk budaya yang dibuat oleh manusia. NRM yang muncul masa pasca kemerdekaan gagal mendapat pengakuan dari pemerintah, sedangkan para nabi yang muncul selama Orde Baru dan periode reformasi lebih gagal lagi dalam mendirikan kelompok agama sebaimana para pendahulunya, karena kebijakan pemerintah yang mendorong penguatan orthodoksi keislaman. Lia Eden, seperti nabi lainnya yang muncul selama periode ini, dianggap menjadi ancaman bagi agama-agama resmi. Tugas MUI adalah benteng orthodoksi keisalaman dari penyimpangan; oleh karenanya apabila ada penyimpangan bisa dilaporkan ke polisi dengan kasus tuduhan penistaan terhadap agama Islam. Media pun berperan alam hal ini; misalnya media menggambarkan Eden secara negatif sebagai wanita ‘gila’ atau nabi yang gagal menunjukan kemukjizatannya. Sebagai rumah bagi ratusan nabi dan kelompok agama, pemerintah Indonesia saat ini masih membatasi deinisi agama resmi ke dalam enam agama, sementara sisanya, termasuk NRM dan aliran-aliran, diperlakukan secara tidak adil. Dengan begitu, masyarakat Indonesia yang plural dengan tradisi keagamaan Bab Satu Pendahuluan 17 Al Makin telah gagal dalam menghargai perbedaan di antara tradisi-tradisi tersebut, serta belum dapat memaknai apa sesungguhnya yang dimaksud dengan pluralisme atau keragaman. Deinisi Keragaman Mari kita lihat deinisi tentang keragaman (pluralisme). Menurut Riis (1999: 22), pluralisme adalah sebuah “pengakuan keragaman dalam masyarakat dan ini berfungsi sebagai pra kondisi bagi setiap individu untuk memilih dan kebebasannya.” Bender dan Kalssen (2010: 8), merujuk ke Diana Eck, menambahkan bahwa keragaman “adalah pemaknaan aktif untuk memahami batas-batas perbedaan.” Puett (2013), pada sisi yang lain, menghubungkan pluralisme, baik sebagai realitas ataupun sebagai norma, dengan berbagai isu yang terkait dengan ‘pemerintahan’; di mana kekuatan politik berperan dalam mengatur perbedaan sosial dan keagamaan. Dengan memperhatikan hal tersebut, pluralisme sebagai sebuah konsep baru dan modern memiliki hubungan secara melekat dengan isu-isu lainnya, seperti demokrasi dan sekularisme. keragaman dan pemerintahan ini faktanya dipraktekan berbeda di masing-masing negara (Beckford, 2003: 101). Di Indonesia selama kurun waktu 1970-an dan 1980-an, neomodernisme mendominasi diskusi intelektual dan mengajarkan sikap ‘keterbukaan, inklusivisme, dan pemahaman Islam secara liberal’ (Barton, 1997: 34). Para intelektual ini menyebarkan konsep modern seperti demokrasi, sekularisme, dan pluralisme (Assyaukanie, 2008: 150). Namun, pada tingkat kebijakan negara, paham keragaman masih belum mendapatkan tempat yang layak, karena deinisi agama saja dibatasi dengan hanya mengacu pada tradisi ‘Semitik’, serta mengabaikan aspek yang muncul dari tradisi agama yang lebih beragam, seperti pelbagai agama populer yang didirikan oleh para nabi pribumi. Pada era transisi kepemimpinan dari Sukarno ke Soeharto, interpretasi keragaman diabadikan dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda tapi satu jua). Namun, perkembangan selanjutnya interpretasi keragaman dibatasi oleh kepentingan ‘persatuan’ nasional dan kesatuan sosial. Ini bisa dilihat dari bagaimana akhirnya UU PNPS 1965 muncul, yang dikenal dengan Undang-Undang penistaan agama, yang berbunyi: 18 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatankegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Siapa pun yang melanggar undang-undang tersebut (sebagian besar nabi Indonesia bisa dianggap melanggar aturan ini) bisa divonis 5 tahun penjara. Dengan adanya hukum tersebut di atas, para nabi di era reformasi tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mendirikan kelompok keagamaan baru; kondisi ini tidak sama dengan para nabi pendahulunya yang masih bisa mendirikan agama. Ajaran baru yang ditawarkan nabi baru berbeda dengan ajaran agama lama dianggap menghina agama lama. Sampai saat ini intervensi negara dalam urusan agama diperankan oleh Kementerian Agama dan MUI, yang masih bisa dilihat hinggga kini. Jadi, konsep pluralisme yang berhubungan dengan sekulerisasi—menurut deinisi ini agama harus menjadi urusan pribadi dan terpisah dengan urusan publik, begitu menurut Berger dan Luckman (Beckford, 2003: 82-84)— tidak ditemukan dalam sejarah Indonesia. Justru, negara senantiasa hadir dalam masalah yang berhubungan dengan kepercayaan dan keyakinan masyarakat. Pada sisi lain, warga Indonesia bertambah religius (Hefner 1997, 2000; Howell 2001, 2005, 2007), namun kebanyakan tidak setuju dengan ideologi Islamisme, yang mengunakan agama untuk alat politik guna memperoleh suara (Mujani dan Liddle, 2009; Barton, 2010). Namun, sekulerisasi di Indonesia—sebagaimana yang diungkapkan oleh Nurcholish Madjid (1939-2005) dengan slogan ‘Islam yes, Partai Islam no’—tidak mengajarkan pemisahan mutlak antara agama dan politik, serta tidak ada peminggiran peran agama dalam masyarakat. Bagaimanapun juga, orang Indonesia bisa dikatakan sebagai orang-orang agamis yang hidup dalam negara non-agama; namun negara masih mengatur urusan keyakinan mereka (lihat juga Assyaukanie, 2009). Alasan atas ketidakberhasilan konsep pluralisme dalam negara non-agama bukanlah karena warganya terlalu religius Bab Satu Pendahuluan 19 Al Makin atau karena intervensi negara dalam kehidupan beragama, tetapi karena negara tidak memperlakukan semua agama dan kelompok agama secara sejajar dan adil di hadapan hukum. Sebaliknya, negara kenyataannya tidak membela kelompok lemah minoritas yang bisa saja diserang dan dituntut berdasarkan undangundag PNPS 1965 yang diskriminatif yang hanya memberikan perlindungan terhadap agama-agama resmi. Pemerintah masih melihat keragaman dan pluralitas bukan sebagai modal penguatan sumber daya tetapi sebagai ancaman terhadap kepemimpinan dan kohesi sosial (Bouma, 2011: 3). Rupanya, pemerintah salah mengasumsikan bahwa mengelola lima atau enam agama lebih mudah daripada ratusan agama, padahal banyaknya keyakinan dan iman warga malah memperkaya keragaman masyarakat modern di era global. Konsep pluralisme sesungguhnya berhubungan dengan demokratisasi; ini bisa dilihat pada masa reformasi di Indonesia. Dalam atmosir yang lebih bebas pada masa reformasi, pemerintah, di bawah tekanan dari berbagai LSM dan intelektual, memberikan lebih banyak ruang bagi aliran kepercayaan dengan adanya keputusan hukum No. 23 tahun 2006 dan No. 37 tahun 2007. Berdasarkan UU tersebut, para penganut aliran dapat mengosongkan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP)— mereka tidak berkewajiban lagi untuk memilih salah satu dari enam agama yang diakui (Dwiyanto, 2010: 268). Para pengikut aliran juga bisa mengadakan upacara keagamaan sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri, seperti kematian dan pernikahan, yang kemudian bisa didaftar secara resmi di administrasi negara (Dwiyanto, 2010: 273). Namun, peraturan tersebut lemah dalam pelaksanaannya, dalam artian masyarakat secara umum ataupun petugas administrasi lokal tidak mengetahui aturan tersebut dengan baik. Beberapa pemimpin aliran bercerita kepada saya bahwa mereka dan para pengikutnya masih harus mencatumkan satu dari agama-agama resmi di KTP, sebab administrasi di kecamatan meminta mereka untuk melakukannya. Tekanan sosial masih juga dirasakan. Hanya sedikit, seperti Basuki dari Sapta Dharma dan Mardi Yuwono dari Sumarah Purbo, yang berani mengkosongkan kolom agama dalam KTP mereka (cerita lebih lanjut lihat lampiran II). Selanjutnya, perlindungan yang diberikan oleh hukum tersebut belum 20 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin mencakup kelompok baru yang didirikan oleh nabi baru setelah era reformasi yang rata-rata gagal mendirikan aliran baru. Secara umum pluralisme berhubungan sangat erat dengan perkembangan konsep sekularisasi. Dengan melihat konteks Eropa, Cassanova mengusulkan tiga makna sekularisme: 1) pemisahan agama dan negara; 2) privatisasi agama di publik; dan 3) berkurangnya peran agama di masyarakat atau publik (Cassanova, 1994; Asad, 2013: 181). Indonesia cukup unik kalau dilihat dari tiga syarat tersebut; tidak menjalankan tiga prasyarat tersebut, namun Indonesia bukan negara agama ataupun negara Islami. Kenyataanya, negara masih mengatur agama; dan ini dapat dilihat dalam dua hal, yaitu melalui lembaga negara (peran Kementerian Agama dan MUI), dan kebijakan perundangundangan (UU penistaan agama PNPS 1965). Sesungguhnya, undang-undang penistaan agama merupakan rintangan yang nyata tidak hanya berkaitan dengan masalah privatisasi agama tapi juga dalam pengakuan dan perlakuan tidak adil terhadap banyak kelompok keagamaan di masyarakat negeri ini. Agama populer (agama rakyat) atau NRM, yang menantang kemapanan agamaagama yang diakui pemerintah, terutama orthodoksi keislaman, tidak mendapat perlindungan. Singkat kata, negara non-sekular Indonesia tidak mampu berpihak dan melindungi kaum minoritas dalam payung konsep pluralisme. Penganiayaan dan penuntutan bagi agama minoritas sering terjadi dan selalu didasarkan pada undang-undang penistaan agama PNPS 1965. Perlu diingat bahwa konsep lama Orde Baru yang begitu semu dan kurang jelas unsur pluralismenya, dengan hanya melindungi enam agama dan meminggirkan kelompok-kelompok keagamaan lain, nampaknya sudah tidak relevan lagi dan tidak mampu mengakomodasi realitas yang plural ini. Kenyataannya, penuntutan atas nama penistaan atau ancaman penjara tidak akan bisa mencegah para nabi yang terus bermunculan di masyarakat Indonesia, karena sesungguhnya religiusitas bertambah plural di dunia yang terus bertambah kompleks di era global ini. Kekalahan Keragaman di Ruang Publik Baru Pada akhir masa Orde Baru, untuk memadamkan kemungkinan munculnya sentimen pemeluk Islam yang Bab Satu Pendahuluan 21 Al Makin menentang kekuasaan otoriternya, Soeharto mengakomodir dan membawa sentimen keagamaan dalam arena politik lagi (Heiner, 2000). Soeharto melihat legitimasi keagamaan penting didapat untuk menyeimbangkan stabilitas politik sehingga mampu menopang cita-cita kesejahteraan ekonomi. Untuk mencapai hal ini, Soeharto berusaha menekan dan memojokkan unsurunsur radikalisme keislaman dan komunisme, yang kemungkinan dapat melemahkan legitimasi kekuasannya. Tindakan supresif ini berhasil; tetapi tidak bagi secara total dan tidak selamanya, karena terbukti munculnya gerakan konservatisme dan radikalisme setelah kejatuhannya. Bukanlah hal yang baru dalam analisis studi keindonsian dan keislaman bahwa Soeharto menjadikan legitimasi keislaman sebagai pilar untuk mendukung kekuatan rezimnya dengan mendorong pendirian lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI) di tahun 1975. MUI bertujuan untuk memonopoli otoritas Islam dengan menjadikannya sebagai satu-satunya; dan menjadikan dirinya sebagai ‘penterjemah atas konsep pembangunan nasional serta masyarakat (Ichwan, 2005: 48); diakhir tahun 2000-an MUI bahkan berkembang menjadi satu-satunya ‘pewaris nabi yang menyebarkan misi ajaran Islam dan berusaha keras untuk mewujudkan masyarakat Islami’ (Ichwan, 2005: 51;. Lindsey, 2012: 257). Bahkan, MUI dan melalui fatwa dan tausiyah selalu mendukung legitimasi kekuasaan dan mempengaruhi kehidupan umat (lihat juga Gillespie, 2007: 107;. Nasir, 2014: 6). Setelah masa reformasi, MUI membentuk kembali citranya sebagai lembaga yang lebih independen yang secara langsung manarik perhatian dan kepentingan umat, tidak lagi hanya mendekatkan diri ke kekuasaan pemerintah (Gillespie, 2007: 211). Dengan radikalisme dan konservatisme yang semakin tumbuh di lembaga ini, tidaklah mengherankan dengan keluarnya fatwa mengutuk ‘liberalisme’ dan ‘pluralisme’, yang selama ini digadanggadang banyak intelektual neo-modernis semenjak masa Orde Baru (Nasir, 2014: 12;. Sirry, 2013;. Harvey, 2009;. lihat juga Hefner 1997, 2000;. Assyaukanie, 2008;. Barton, 1997;. Woodward, 2011: 55). Selama saya mengunjungi beberapa cabang MUI di level daerah-daerah sekitar tahun 2014, tampak jelas bahwa lembaga ini banyak disusupi oleh kelompok aliran konservatif dan garis 22 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin keras, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Menurut hemat saya, ditengah semakin meningkatnya radikalisme (Barton,2005),spiritualisme (Howell,2008;Fealy,2008), dan orthodoksi keislaman (Hefner, 2000: 84) yang mengglobal dan juga terasa di Indonesia, para nabi baru pun bermunculan di negeri kita; di samping banyaknya suara kritis dari para aktivis; orthodoksi keislaman juga menguat yang tidak sudi memberi ruang bagi keragaman dalam beragama. Ini yang mendorong marginalisasi agama populer atau NRM. Secara singkat, para nabi selama masa kolonial berperan besar dalam melawan hegemoni penjajah, sedangkan para nabi selama masa reformasi melakukan pemberontakan terhadap hegemoni orthodoksi keislaman. Hegemoni, pada dataran ini, mengarah pada kekuatan politik dan agama untuk mengontrol masyarakat. Dengan perjuangan para nabi melawan kekuatan hegemoni, mereka kembali mengangkat tema perjuangannya dengan karakteristik mileniarisme, mesianisme, dan mahdianisme. Wahyu-wahyu mereka bertema peringatan hari kiamat atau kehancuran dunia. Tentunya, dengan munculnya klaim kenabian ini, legitimasi orthodoksi keiIslaman di Indonesia tertantang. Doktrin khatam— yang mengajarkan bahwa kenabian setelah Muhammad tertutup dan tak ada nabi setelah itu dan dengan payung koordinasi dan penjagaan MUI—benar-benar terancam. Dalam menjawab ancaman ini, pemerintah melalui MUI, baik di tingkat daerah maupun pusat, telah berhasil memadamkan sebagian besar ‘paham sesat’ dan ‘sekte menyimpang’ di Nusantara. Media secara sensasional memberitakan munculnya nabi-nabi ‘palsu’, sering menggunakan kata-kata negatif seperti ‘gila’, ‘edan’, dan ‘sinting’, yang membangkitkan rasa ingin tahu para pembaca, yang kemudian menarik perhatian publik dan menimbulkan perdebatan (Makin, 2007; 2009b). Sebagaimana pernyataan Hefner (1997), peningkatan ekonomi selama Orde Baru mendorong pertumbuhan kelas menengah Muslim terdidik yang memiliki ide-ide modern seperti sekulerisasi dan pluralisme. Hefner (2000) melihat dengan optimis bahwa ide tentang ruang publik dalam masyarakat Muslim—sebagai prasyarat untuk ruang dialog dalam perubahan Bab Satu Pendahuluan 23 Al Makin masyarakat Indonesia ke dalam demokrasi plural modern—telah lahir di Indonesia. Namun, Hefner mencatat sebuah keunikan terkait modernisasi dan demokratisasi dalam masyarakat Islam dibandingkan dengan demokrasi liberal yang ada di masyarakat Barat. Modernisasi agama dalam masyarakat—atau marginalisasi agama—tidak selalu menyebabkan kemunduran peran agama itu sendiri, seperti yang terlihat di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Sebaliknya, Burchardt dan Becci mencatat bahwa modernisasi telah menunjukan peningkatan spirit keagamaan di daerah perkotaan di beberapa negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin (2013: 8-9;. lihat juga Casanova, 1994). Di Indonesia, di mana proses ‘sekulerisasi’ dan demokratisasi hanya bisa dibandingkan dengan sekularisasi Turki (Kersteen, 2014), kesalehan publik dan orthodoksi keislaman juga menguat (Fealy, 2008). Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) (2004-2009) selalu dihadapkan dengan dilema antara kebebasan beragama dan tumbuhnya tekanan dari orthodoksi keislaman serta konservatisme yang sering berusaha untuk melakukan kontrol dan tekanan dalam ranah publik. Sekali lagi, meskipun negara Islam merupakan mimpi yang tidak pernah terealisasi di Indonesia sejak masa Soekarno, tapi sentimen islamisme setelah masa reformasi selalu mendominasi perdebatan publik serta mendikte kemana arah masyarakat harus melaju. Konsep pluralisme, yang mengajarkan hubungan harmonis antar agama-agama resmi yang dianjurkan oleh pemerintah sejak era Soeharto, pada faktanya tidak lagi sesuai dengan kenyataan atau realitas yang terus berkembang. Agama-agama populer atau NRM, sebagai kelompok-kelompok minoritas sering ditekan, sehingga mereka tidak memiliki ruang di publik untuk membela haknya atas kepercayaan yang mereka yakini. Selama masa demokratisasi, yang bertepatan dengan gelombang globalisasi dan ledakan media online, isu tentang kelompok minoritas ini muncul lagi. Ketika demokrasi memberikan ruang kebebasan di masa reformasi, masalah mayoritas dan demokrasi terutama menjelang pemilu muncul kembali di ranah publik, dan kelompok minoritas hanya dianggap sebagai ancaman bagi kaum mayoritas (lihat juga Appadurai, 2006). Hal ini memang ironis dalam suasana demokrasi baru, pluralisme—maksudnya “bagaimana mengintegrasikan minoritas dan mengelola masyarakat plural” (Formichi, 2014: 3)—dalam bahaya. 24 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin Faktor penting lainnya yang juga melemahkan pluralisme setelah kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 adalah munculnya ‘Islamisme’7 di panggung politik, dan meningkatnya aktivitas kelompok garis keras di jalanan yang menyerang kebijakan pemerintah ‘yang tidak sesuai dengan ideologi islamisme’ dan tentu saja mengancam kaum minoritas.8 Presiden di era reformasi, hanya Abdurrahman Wahid (1999-2001) yang secara konsisten menjaga nilai-nilai pluralisme. Di antara upaya yang dilakukannya, Abdurrahman Wahid mengusulkan judicial review terhadap UU penistaan agama PNPS 1965. Namun usaha ini melibatkan prosedur panjang dan melelahkan; dan ternyata usaha ini tidak berhasil. Setelah wafatnya Gus Dur, beberapa intelektual, aktivis LSM, dan pimpinan agama setuju untuk melanjutkan agenda misi review ini dan membawanya ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2010. Namun gelombang radikalisme dan konservatisme begitu kuat. Kelompok garis keras menggunakan segala cara untuk mempertahankan undang-undang itu; sedangkan para aktivis pluralisme dan kebebasan, kebanyakan adalah para aktivis LSM dan intelektual yang berusaha menjauhkan diri dari sikap pragmatisme politik, tidak siap untuk menghadapi mereka. Dalam taktik mereka, kelompok garis keras menciptakan kekacauan dan teror baik di dalam maupun di luar pengadilan; mengancam mereka yang mendukung review UU. Pengadilan pun gagal 7 Islam merujuk pada agama Islam dengan kompleksitas sejarah, dogma, dan para pengikutnya. Sedangkan Islamisme merupakan “respons atau jawaban atas perkembangan modenitas dengan berusaha mengubah pemahaman Islam tertentu ke dalam ideologi politik Islam. Islamisme oleh karenanya erat kaitannya dengan usaha untuk mengubah negara maupun masyarakat sesuai dengan pemahaman Islam tertentu. Ini berkait erat juga dengan usaha formalisasi Islam ke dalam konstitusi negara, dan konsep ini khususnya dikembangkan Islam garis keras, yang menuntut syari’ah atau hukum Islam dalam negara” (Barton, 2005: 29). 8 Partai politik baru dengan corak Islamisme—Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Bintang Reformasi (PBR)—tercatat menjadi peserta pemilihan umum. Sejak kekuasan presiden BJ Habibie (1998-1999), masa organisasi radikal telah unjuk gigi di arena publik (lihat Hasani dan Naipospos, 2012). Kelompok tersebut—seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Forum Umat Islam (FUI), Front Anti-Pemurtadan Bekasi (FAPB)—telah mengumpulkan masa di jalanan untuk memprotes kebijakan pemerintah ‘anti-Islam’; mereka juga menyerang secara langsung kelompok minoritas ‘orang yang dianggap menyimpang’ (Lihat Hasani dan Naipospos, 2010: 137-190). Bab Satu Pendahuluan 25 Al Makin untuk meninjau kembali UU penistaan dan akhirnya usulan pun ditolak (Margiyono, Rumadi, dan Irianto, 2010: 25-43; wawancara dengan Assyaukanie, 2012). Pada gilirannya, UU penistaan tetap saja sah, dengan begitu juga polisi masih bisa menangkap mereka yang mengaku menjadi nabi dan membawa mereka ke pengadilan, dengan hasil kemungkinan besar mereka akan mendekam di penjara (lihat juga Hasani, 2010). Jelasnya, selama dua periode kepemimpiannya presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kekalahan pluralisme di negeri ini sangat jelas. Presiden tampak menuruti suara keras MUI di ranah publik. Kenyataannya, pimpinan MUI, Ma’ruf Amin merupakan anggota tim penasehat kepresidenan. Para pemimpin gerakan radikal, seperti Gatot (al-Khaththath) dari HTI dan FUI, juga masuk dalam kepengurusan MUI (lihat Hasani dan Naipospos, 2012). Meskipun SBY menunjukan sikap tegas terhadap aksi teorisme dan kekerasan nyata seperti bom bunuh diri, tetapi ia lamban dalam merespons gerakan konservatisme dan radikalisme yang terus menggurita. Era reformasi menjadi saksi atas maraknya konlik agama, kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi terhadap kaum minoritas (Howell, 2014;. Woodward, 2011: 225); semuanya tentu saja mencederai perkembangan dan implementasi nilai-nilai pluralisme di Indonesia. Ahmadiyah (lihat Hamdi, 2007; Makin, 2010b), Syi’ah, Sui (lihat Ad’han, 2009), kelompok minoritas Kristen (lihat Ridwan dan Aizudin, 2007; Kholiludin dan Roi ’ah, 2011), dan yang lainnya, yang dianggap mempunyai pandangan menyimpang dari mayoritas Islam Sunni di negeri ini—sering diserang oleh massa dan kelompok radikal (lihat juga Suaedy, Rumadi, Azhari, dan Fata, 2010: 131-208;. Suaedy, 2010;. Makin, 2012b).9 Dalam aksinya, kelompok garis keras seperti mendapat dukungan dari institusi resmi pemerintah, seperti Kementerian Agama, MUI, 9 Setara Institute menemukan peningkatan kekerasan atas nama agama, dari 94 kasus di tahun 2010 menjadi 99 kasus di tahun 2011 (Hassani, 2011: 51). Uniknya, mayoritas Muslim Indonesia memilih diam ketika melihat kekerasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh kelompok radikal (Makin,2011b).Hasani dan Naipospos memasukan hal tersebut ke dalam ‘intoleransi pasif ’, yang mana mayoritas tidak berpartisipasi dalam aksi tetapi mereka membiarkan aksi tersebut terjadi tanpa perlawanan (Hasani, 2010: 191-194). Pada sisi lain, pemerintah tidak serius dalam menjalankan tugas untuk mencegah tindakan kejahatan atas nama agama (Makin, 2011c). 26 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin dan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) (Suaedy, 2010).10 Melihat nasib para nabi Indonesia yang muncul selama masa Orde Baru dan reformasi, ajaran orthodoksi keislaman dengan mudah mengalahkan pluralisme (secara lebih detail lihat lampiran III). Banyak nabi—Zikrullah dan Syamsuddin dari Sulawesi, Chandra Adnan Rasyid dari Kalimantan, dan Abdul Kodir dari Madura—ditangkap. Ajaran mereka—seperti kasus Amiruddin Dg Pasolong dari Sulawesi, Sabda Kusuma dari Jawa Tengah, Kusnanto dari Jawa Barat, dan Ahmad Mushaddeq dari Jakarta dianggap menyimpang oleh MUI dan kegiatan keagamaannya dibubarkan serta dilarang. Ariin dari Sulawesi Tengah ditembak mati oleh polisi setelah bersembunyi di atas bukit di hutan, begitu juga Abdul Manan dari Jawa Barat setelah konlik dengan penduduk desa dan polisi. Beberapa nabi—Syamsuddin dari Sulawesi, Amaq Bakri dari Nusa Tenggara, Gus Aan atau Achmad Naf ’an dan Sukarno dari Jawa Timur, Sabda Kusuma, Lismono dan Sumito Joyokusumo dari Jawa Tengah, Buki Syahidin, Ahmad Tantowi, Kusnanto, dan Prabu Tommy dari Jawa Barat, serta Ahmad Mushaddeq dari Jakarta—diamuk oleh kemarahan masyarakat. MUI lokal memaksa para nabi—seperti Amaq Bakri, Samawiyah dari Madura, Mushaddeq, dan yang lainnya—untuk meninggalkan kepercayaannya serta bertobat dan kembali ke orthodoksi keislaman. Sementara—Syamsuri dari Banyuwangi, Buki Syahidin dan Ahmad Tantowi Jawa Barat, dan Agus Imam Solihin serta Ahmad Mushaddeq dari Jakarta—ditangkap dan divonis penjara. Seperti para nabi di atas, Lia Eden juga bernasib tragis; kelompoknya diserang oleh warga di Bogor; ajarannya dianggap menyimpang oleh MUI; Lia dan dua pengikutnya ditangkap oleh polisi; kemudian dibawa ke pengadilan untuk mendapat hukuman penjara pada tahun 2006 dan 2009. 10 Majelis Ulama, misalnya, mengeluarkan fatwa haram bagi sekte menyimpang, sedangkan massa berfungsi sebagai monitoring atau alat pelaksanaan MUI. Hal ini memicu massa untuk menyerang sekte yang dianggap menyimpang. Mereka membakar tempat ibadah, mengusir penganutnya, dan memperingatkan mereka untuk tidak datang ke tempat asal mereka. Pemerintah pusat mengeluarkan larangan bagi sekte dan keyakinan menyimpang. Tentu saja, hal tersebut berbahaya bagi perkembangan pluralisme. Bab Satu Pendahuluan 27 Al Makin Alat Analisis Teori ‘milenarianisme’, ‘mesianisme’, dan ‘mahdiisme’ dijadikan alat dalam buku ini dan terbukti sangat berguna untuk melihat munculnya para nabi Indonesia dengan misi melawan ‘hegemoni’ (baik kekuatan politik maupun otoritas keagamaan). Salah satu karakteristik dasar gerakan milenarisme adalah percaya terhadap apocalyptic (hari kehancuran) atau armageddon (hari kiamat) (Clarke, 2009a), di mana para nabi terdahulu sering mengaitkan rumor tentang ‘bencana’ di masyarakat dikaitkan dengan ketidakadilan dan hegemoni penguasa asing.Dalam hal ini,para nabi menebar pesona janji dengan legitimasi ‘wahyu Ilahi’ dari meditasi mereka; dengan begitu mereka berjanji untuk “mengenyahkan hegemoni jahat yang mengancam manusia dan juga menjanjikan keselamatan di dunia dan akherat” (Clarke, 2009a). Ada banyak nabi yang berjuang melawan rezim kolonial dengan menunjukan karakteristik mileniarisme. Dalam sejarah Islam, kedatangan Imam Mahdi (mesiah atau juru selamat) bukan hal yang aneh, seperti dalam kasus Ubaydillah al-Mahdi (wafat 934 M), pada masa Dinasti Fatimiyah dengan khalifahnya Muhammad bin Tumart (wafat 1130 M), pemimpin gerakan Almohad di Magribi (salah satu tempat di Afrika Barat) juga demikian. Dalam tradisi Kristen, Mormon, ‘the Seventh-Day Adventists’ dan Jehovah Witnesses juga mengajarkan adanya hari pembalasan dan keadian segera datang. Dalam budaya lain di belahan lain, Gaiwiio dari danau Handsome, kira-kira tahun 1800,Wovoka dengan ‘Ghost Dance (tarian hantu)’ pada tahun 1890-an, dan abad 20 ada kelompok ‘cargo cult’ juga bisa dikategorika sebagai gerakan milenarian (Landes, 2004: 338339). Lia Eden di Indonesia setelah era reformasi menunjukan hal yang sama dengan karakteristik milenarian, karena Lia menawarkan keselamatan untuk pengikutnya dalam mengehadapi krisis politik dan ekonomi dan terutama dalam banyak wahyunya ada banyak peringatan tentang tibanya hari kiamat. Maka, seperti kelompok keagamaan baru lain yang muncul setelah republik ini merdeka, kelompok Lia Eden dapat dikategorikan sebagai Gerakan Keagamaan Baru/GKB/NRM (New Religious Movement). Mari kita klariikasi apa itu fenomena NRM. Sepanjang kemunduran peran Gereja Kristen di masyarakat Barat sejak abad 20, bersamaan dengan proses sekulerisasi dan 28 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin rasionalisasi, NRM menawarkan alternatif spiritual yang berbeda dari tawaran Gereja ‘mainstream’ yang gagal memenuhi kebutuhan spiritualitas masyarakat; terutama terjadi sekitar 1960-an dan 1970-an (Hunt, 2003: 3-10;. Clarke, 2009b;. Beckford, 1985). Wallis (1984: 9-39;. juga Possamai, 2009a: 168-170;. Hunt, 2003: 90;. Beckford, 1985: 70;. Dowson, 2003: 78-79) menjelaskan tiga macam NRM, yaitu ‘world-rejecting’ (penolakan dunia), ‘worldairming’ (penerimaan dunia), dan ‘world-accommodating movements’ (kompromi pada dunia). Tipe ‘world-rejecting’ mengajarkan kepercayaan yang kuat tentang nilai moralitas bagi para anggota; dengan itu NRM ini berusaha untuk merubah dunia dengan semangat spiritualitas baru. Dengan melihat dunia secara kritis, mereka sering memisahkan diri dari masyarakat. Sebagai contoh adalah Union Church, yang didirikan pada tahun 1954 di Korea, yang berpindah ke Amerika pada tahun 1960-an. Tipe ‘world-airming movements’ lebih membebaskan para anggota, dan membangun relasi sebatas ‘pasien’ atau ‘audiense’; misalnya, NRM ini menawarkan layanan terapi penyembuhan bgi para anggotanya. Kelompok ini menunjukan sebuah tipe sinkretis dan mistis ketimuran, yang rata-rata punya misi meningkatkan kebahagiaan dan kebaikan anggotanya. Sebagai contoh dari tipe ini seperti Gereja Scientology. Dan, tipe NRM ‘world-accomodating’ cenderung memiliki ciri dari dua tipe di atas. Baik itu keanggotaanya bersifat ‘elitis’ dan ‘terbuka’ atau ‘tertutup’, kelompok ini membawa misi revitalisasi dan dengan ajakan untuk mengubah dunia. Contoh Subud, mungkin juga kebanyakan aliran kepercayaan/kebatinan lain di Indonesia dengan kategori ini. Analisis Beckford (1985; Beckford dan Levasseur, 1986) bagaimana NRM bersikap pada masyarakat di luar kelompok dianggap relevan untuk digunakan dalam studi ini, dan sangat bermanfaat untuk menjelaskan perkembangan kerajaan ‘Lia Eden’. Dalam melihat perkembangan Eden, saya gunakan klasiikasi para anggota Eden sebagai berikut: 1) ‘devotees’, (anggota inti) yaitu anggota inti yang hidup dalam kelompok ini secara eksklusif, hidup dalam rumah Eden bagaikan biarawan dan biarawati dan dengan memakai kostum putih bak berjubah; 2) ‘adept’ (penghubung), yaitu pengikut yang bergabung dengan Eden yang membentuk forum Wahana Kebangsaan (WK), mereka hidup luar ‘kerajaan’ Eden; dan Bab Satu Pendahuluan 29 Al Makin mereka berusaha menjembatani Eden dengan dunia luar; 3) ‘client’ (pasien), yaitu mereka yang menikmati layanan ‘Lia Eden’, seperti terapi penyembuhan terutama pada fase pengajian Salamullah; 4) ‘patrons’ (pelindung), yaitu mereka yang memberikan dukungan inansial terhadap NRM; dan 5) ‘apostate/murtad’, yaitu mereka yang meninggalkan Eden (atau melepaskan diri) dari kelompok. Dalam melihat relasi NRM dengan dunia eksternal, Beckford (1985; Beckford dan Levasseur, 1986) mengusulkan tiga tipe: 1) ‘refuge/memisahkan diri atau menyendiri’, maksudnya kelompok NRM itu hidup dengan gaya hidup eksklusif, seperti kehidupan biarawan atau biarawati dengan jumlah pengikutnya yang terbatas, serta jauh dari kehidupan dunia luar; 2) ‘revitalisasi’, yaitu NRM yang membawa misi perubahan atau transofrmasi dunia, dengan pandangan bahwa dunia ini akan diubah sesuai dengan nilai-nilai dan moralitas ideal menurut mereka; dan 3) ‘release atau liberation/ pembebasan’ yaitu NRM yang menawarkan pelayanan pada pasien, seperti terapi. Secara singkat, kerajaan Eden telah mengalami banyak perubahan dalam relasinya dengan dunia eksternal—mulai dari ‘release’ ke ‘refuge’, dari ‘refuge’ ke ‘revitalisasi, serta dari ‘revitalisasi’ ke ‘refuge’. Dari berbagai perspektif, perubahan perkembangan gerakan Eden dari waktu ke waktu sangat dinamis, dari ‘worldairming,’ menjadi ‘world-rejecting,’ serta ‘world-accommodating’. Pengumpulan Data Pertama-tama saya datang ke kelompok Salamullah atau Eden di Senen, Jakarta pada Desember 2011, dimulai dengan mengumpulkan dua jenis sumber data—wawancara dan catatancatatan dari Eden dan para pengikutnya. Wawancara dilakukan sebagian besar di Senen— Paduka Bunda Lia, Imam Besar Muhammad Abdul Rachman, Siti Zaenab Luxiaty (Dunuk), Arif Rosyad, Andito Putro Wibisono, Cipi, Cici, Tri, Umar Iskandar, Ivuk, Bambang, Ijaz, dan Venus dalam berbagai kesempatan. Mereka secara sukarela menjawab semua pertanyaan yang diajukan dan saya haturkan terima kasih atas dorongan serta izin yang diberikan Bunda. Selain itu, saya mewawancarai Aar Sumardiono, Lala, dan Sri Murdiningsih yang sudah meninggalkan Senen. Sebagian besar pertanyaan diajukan secara terbuka, 30 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin dimulai dengan informasi pribadi dari latar belakang keluarga, pekerjaan, dan pendidikan. Pertanyaan yang diajukan termasuk alasan bergabung dengan Eden, peran dalam kelompok saat ini, dan hubungan mereka dengan Bunda Lia serta para pengikut Eden Lainnya. Saya juga mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan iman, ajaran Eden, klaim kenabian Lia, dan perkembangan kelompoknya. Pada awalnya saya memulai percakapan, tapi karena informan menunjukan perkembangan dalam menceritakan sejarah mereka lebih bebas, maka informasi dari mereka pun lebih beragam. Saya mengikuti percakapan mereka secara alamiah, sering secara spontan meminta banyak pertanyaan yang berkaitan dengan ajaran yang mereka pahami. Saya pun mewawancarai mereka yang sudah keluar dari Eden (murtad), mengapa mereka melakukannya. Semua pertanyaan menggunakan bahasa Indonesia. Saya berteman baik dengan para informan dan dengan sopan saya beri rasa kenyamanan kepada para informan dan secara langsung saya mengetik cerita mereka dalam laptop. Terlebih dahulu saya meminta izin untuk menyebutkan nama mereka dalam buku ini, namun, saya juga menyamarkan nama tersebut jika ada keberatan dari informan. Setelah mengunjungi beberapa informan, secara hati-hati saya membaca kembali transkrip dan memilih ceritacerita relevan dengan studi ini. Selain itu, para informan dengan baik hati memberi saya banyak buku, dokumen, tulisan, ile, CD, pamplet, dan bentuk dokumentasi lainnya. Perlu dicatat bahwa para pengikut Eden sangat teliti dan sadar akan dokumentasi mereka sendiri. Mereka menyimpan catatan kegiatan, perkembangan, dan wahyu yang Lia sampaikan. Sebagian besarmereka adalah lulusan universitas di Indonesia dan luar negeri, wajar jika mereka sadar betapa pentingnya catatan dokumen. Lia Eden juga seorang seniman visual kreatif dan penulis produktif. Pada puncak karirnya, dia menulis Membuat dan Merangkai Bunga Kering (1991). Minatnya pada puisi dapat dilihat dalam Pancasila Meniti Zaman (1998a). Karya pertama yang menandai karirnya sebagai pemimpin spiritual adalah Perkenankan Aku Menjelaskan Sebuah Taqdir (1998b), yang berisi tentang pengakuan dirinya bertemu dengan Habib al-Huda, atau Malaikat Jibril. Tulisan puisi yang ditulisnya untuk terapi bagi para pasien dikumpulkan dalam Kemasan Sapaan Langsung Kepada Para Pasien Bab Satu Pendahuluan 31 Al Makin di Klinik Salamullah, Setiap: Senin-Rabu-Jum’at, (Umar Iskandar, dkk: 1998c). Puncak perjuangan dirinya di pengadilan ditulis dalam Fatwa Mahkamah Tuhan (2007a) dan Sumpah Tuhan Yang Maha Kuasa (2007b). Selama dipenjara yang kedua kalinya dia menyelesaikan Filosoi Bunga Dari Penjara (2011). Pertanyaan yang saya ajukan dalam proses wawancara dengan Lia adalah, terkait dengan latar belakang keluarga, kesehatan, awal klaim kenabian, pengalaman dirinya menerima wahyu Ilahi, baik selama masa sidang peradilan ataupun dalam menjalani hukuman penjaranya. Sebagai catatan, munculnya Salamullah, yang kemudian menjadi Eden, Kerajaan Tuhan dan Surga di Bumi, bertepatan dengan semaraknya media online. Gerakan Eden mengambil kesempatan dari boomingnya media online ini untuk menampilkan wahyu, setidaknya dalam tiga situs. Pertama, dalam website www.LiaEden.info, yang diluncurkan pada 1 November 2003, berisi materi dari tahun 1998 meliputi Fatwa Jibril, Wahyu Tuhan, dan Lembaran-lembaran. Kedua, website http://le2-34-777. info, diluncurkan pada 23 Februari 2004, yang merupakan situs kedua yang berisi sebagian besar Sumpah Tuhan, Maklumat Jibril, dan wahyu berikutnya selama Lia berada di penjara yang kedua kalinya. Ketiga, website www.mahoni30.org, didedikasikan untuk pengalaman spiritual dari para pengikut Salamullah. Website ini, sebagian isinya saya download dan simpan, ditutup pada Februari 2012. Selain tulisan Lia, saya juga membaca beberapa karya para pengikut Eden. Aar Sumardiono, seorang penulis produktif lulusan Institut Teknologi Bogor (ITB), menulis: Loving You (2003); Penentang Rasul, Menyikapi Perbedaan Keyakinan (2004a); Perennialisme, Jembatan Membangun Surga (2004b); Risalah Tauhid, Pesan Abadi Sepanjang Zaman (2004c); Ruhul Kudus 2, Sistem Komunikasi (2004d); Tetes Embun, Renungan Kehidupan (2004e); Ruhul Kudus, Guru Pribadi Umat Manusia (2004f); Candra dimuka Kaum Eden (2005); Dialog di Dunia Maya (2007); danInkuisisi (2009). Sebagai tambahan, Abdul Rachman menulis Pembelaan, Pledoi dan Duplik (2006) selama masa pebelaan dirinya di pengadilan. Dunuk Luxiaty mengumpulkan banyak anekdot tentang hukuman malaikat Jibril untuk para pengikut Salamullah dalam Hukuman Musykil ala Malaikat Jibril (2007). 32 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin Saya melakukan wawancara dengan para pengikut Kerajaan Eden dalam berbagai kesempatan selama kurun waktu tahun 2011 hingga 2013. Biasanya berkunjung ke rumah Mahoni dari pagi hingga sore hari. Pun demikian, berkomunikasi dengan para pengikut Eden melalui email, Facebook, dan SMS. Kelompok ini masih aktif hingga saat ini selama Bunda menerima wahyu. Dunuk,Andito, dan pengikut lainnya juga mengirim pesan melalui Facebook atau SMS. Dengan begitu, materi-materi kajian yang saya dapat berlimpah—dari wawancara, observasi, buku, surat, catatan kegiatan, dan lagu-lagu. Aar Sumardiono memberikan bahan lainnya kepada saya berupa paket CD yang berisi kumpulan do’a ibadah Eden, lagu-lagu, wahyu Bunda Lia, dan dokumentasi kegiatan lainnya. Namun, ketika Bunda dan Rachman ditangkap polisi, semuanya disita seperti materi kajian dalam komputer, lashdisks, CD, termasuk dalam format buku lainnya. Untuk diskusi bab tujuh, tentang respons publik terhadap Lia Eden, saya melakukan wawancara dengan banyak informan: empat orang pedagang kaki lima di jalan Mahoni, ketua RT Fita, lurah Bungur Putut Linangkung, dan kepala keamanan di desa tersebut, Pak Bram. Saya pun pergi ke Ciputat untuk melakukan wawancara dengan Nana, Lala, Ismatu Ropi, Hidayat, dan Hasanuddin (UIN, Jakarta). Sebagai sumber informasi lain saya bertemu dan wawancara dengan Isa Anshary, Amin Djamaluddin (MUI), Mayong dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Musdah Mulia [Indonesian Conference for Religion and Peace (ICRP)], Luti Assyaukanie, Nong Darul Mahmada (Jaringan Islam Liberal), Hasani (Setara Institute), dan Dawam Rahardjo. Mereka semua terlibat dalam pengadilan dan pembelaan Eden. Saya lakukan dengan wawancara model open-ended. Saya minta para informan untuk menyampaikan pendapatnya tentang Lia dan Rachman, keterlibatan mereka dalam persidangan di pengadilan, dan penganiayaan terhadap Eden. Lia Eden tidak sendiri dalam mengklaim dirinya sebagai nabi di Indonesia. Maka, saya membandingkannya dengan beberapa kasus nabi lainnya. Dalam penerapannya, saya mengumpulkan data dengan membaca literatur dan mengunjungi beberapa kelompok tepatnya di Jawa dan Sumatera yang mengaku nabi; namun titik tekan masih pada kasus Lia Eden (lihat lampiran I, II, dan III). Penelitian melibatkan riset lapangan dan wawancara di Medan, Bab Satu Pendahuluan 33 Al Makin Bojonegoro, Blora, Yogyakarta, dan Jakarta dari Desember 2011 hingga Februari 2013. Di Medan, saya mengunjungi Balige, di mana wawancara dilakukan dengan pemimpin dari Parmalim Marnakok Naiposos di Pulau Samosir, di sana bertemu dengan pimpinan adat Parlamim Martogi Sijabat. Di Bojonegoro, wawancara dengan Harjo Sukardi, kepala adat Samin di Jepang bagian wilayah desa Margomulto, dan Kasdi dari desa Tapelan yang merupakan bagian wilayah Ngraho. Di Blora, bertemu dengan Sukeri dari desa Gedung Tuban, dan Suyoto dari desa Klopoduwur. Semuanya berbaik hati pada saya dalam berbagi informasi. Saya juga melakukan wawancara dengan beberapa pimpinan aliran di Yogyakarta: Parmin Padmowiyoto (Subuh), Kusumo (Pangestu), Sajilan dan Nugroho (Sumarah), Slamet Basuki (Sapta Darma), Mardi Yuwono (Sumarah Purbo), Pujisidurjo dan Endang (ASK), yang semuanya menyambut saya dalam berkunjung ke rumah mereka. Wawancara dengan para pemimpin agama yang terlibat diajukan pertanyaan secara terbuka dan mereka menanggapi saya dengan menceritakan kisah-kisah sejarah kelompok masing-masing agama, pendiri, dan peranannya dalam kelompok. Dari jawaban para pemimpin agama tersebut kemudian saya mencatat langsung dengan laptop. Setelah itu, dengan teliti saya ulang dan memberi kode penting; memilih informasi yang relevan dengan tema yang diajukan. Dalam penulisan lampiran III, saya mengandalkan laporan yang diberikan oleh Wahid Institute, Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Setara Institute, koran, dan majalah. Saya pun membandingkan kajian ini dengan hasil wawancara yang dilakukan bersama beberapa aktivis LSM yang terlibat langsung dalam membela beberapa nabi di pengadilan. Sistematika Buku Buku ini terbagi dalam tujuh bab serta dilengkapi diakhir dengan empat lampiran. Pada bagian pertama pendahulan, yang mendiskusikan bagaimana kemunculan nabi dalam sejarah tradisi keagamaan Indonesia, khususnya pada masa kolonial hingga periode pasca reformasi dan dikaitkan dengan konsep pluralisme pada konteks Indonesia. Pada bab ini juga dijelaskan teori dan metodologi yang digunakan dalam penelitian dan buku ini. 34 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin Bagian kedua menjelaskan biograi Lia Eden, karir awalnya sebagai perangkai bunga, dan wahyu yang diterimanya dari malaikat Jibril. Bab ini juga dilengkapi dengan catatan konlik antara Eden dengan MUI. Bab ketiga menjelaskan perkembangan awal kelompok pengajian Lia bernama Salamullah; saat itu para anggotanya belum meninggalkan keyakinan dan praktek keislamannya. Dalam pengajian itu, Lia juga membuka klinik pengobatan tradisional, yang menarik para pasien dari berbagai kalangan, seperti tokoh aktivis Muslim dan para politikus. Mereka berkonsultasi kepada Lia tentang masalah hidup dan kesehatan. Bab keempat mendiskusikan deklarasi Lia bahwa Salamullah berdiri sendiri sebagai agama tidak lagi terkait lagi dengan Islam. Hal tersebut ditandai dengan pengasingan laku spiritualitasnya di Bogor. Selama kurun waktu tersebut, sekelompok massa menyerang dengan dukungan legitimasi dan kehadiran MUI lokal dan pemerintah setempat. Hal ini merupakan tekanan eksternal yang dialami Lia, sehingga ini menjadi faktor yang menyebabkan perubahan NRM dari ‘refuge’ ke ‘revitalisasi’. Bab kelima menjelaskan proses penangkapan Lia dan pembelaan dirinya dalam pengadilan. Pada persidangan itu, Lia juga mengungkapkan wahyu selanjutnya di tengah vonis hukuman penjara dirinya dan Abdul Rachman, yaitu imam besar pada kerajaan Eden. Pada bagian ini pun disajikan sikap kritis Lia terhadap sistem pemerintah, prakterk berislam dan keislaman, pemimpin Muslim, dan para politikus Indonesia. Bab keenam membicarakan tentang menurunnya kerajaan Eden, ditandai dengan semakin berkurangnya pengikut Eden (murtad atau apostasi), serta alasan mengapa para pengikutnya meninggalkan kelompok. Pada tahap ini, kerajaan Eden dalam kondisi yang sulit dalam mempertahankankan dirinya, apalagi dengan munculnya konlik internal. Bab ketujuh menyajikan respons publik terhadap Lia, terkait dengan perdebatan golongan fundamental yang mampu mengalahkan kaum liberal dan moderat yang membela hak kebebasan berkeyakinan dan berkepercayaan Eden. Bab ini juga menyajikan tantangan NRM terhadap hegemoni orthodoksi Islam, yang sayangnya mampu menekan NRM, yang, juga di sisi Bab Satu Pendahuluan 35 Al Makin lain, mampu bertahan dengan strateginya dalam mempertahankan eksistensinya. Pada akhir diskusi, bagian ini juga melihat bagaimana konsep pluralisme dibahas di ruang publik di Indonesia terutama terkait dengan kasus Lia Eden. Structure 23 Map of the 1: locations the prophets in thisdibahas book Gambar Peta of lokasi para discussed nabi yang di buku ini the way in which the concept of pluralism was discussed in the public sphere in Lampiran I, II, dan IIIto menyajikan catatan singkat para nabi Indonesia particularly in relation Lia Eden. Indonesia tiga masa sejarah: I sedikit Appendixesdalam I, II, and III give brief accountslampiran of Indonesian prophets biograi over three I provides biographies of perjuangan claimants to prophethood historical para nabiperiods: yang Appendix menuntun masyarakat dalam melawan who called upon their people to fight against colonial hegemony; Appendix II dishegemoni kolonial; lampiran II membicarakan enam nabi yang cusses six prophets who emerged during the post-colonial era and who founded munculgroups selama masa perjuangan kemerdekaan bangsa dan mereka religious later known as aliran kepercayaan/kebatinan ; and Appendix II proberhasil mendirikan kelompok keagamaan (NRM) dengan vides accounts of prophets who emerged at the end of the New Order and into the reform period. Appendix IV presents the listdan: of divine messages Lia revealed sebutan aliran kepercayaan/kebatinan, lampiran III that memberikan from 2000 to 2001 in order to show the development of Lia’s spirituality and that of catatan kemunculan para nabi pada masa akhir Orde Baru dan era the Eden kingdom (Fig. 1.1). reformasi. Lampiran IV menyajikan tabel wahyu yang diterima Lia Eden, dari tahun 2000 sampai 2011 untuk memperlihatkan bagaimana wahyu itu berkembang dari waktu ke waktu. 36 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin BAB TUJUH PERTARUNGAN PUBLIK Keyakinan tidak bisa dituntut atapun diadili (Musdah Mulia, Aktivis Gender Muslim). Tugas Kementerian Agama RI bukanlah membuat orang-orang lebih agamis saja, tetapi yang lebih penting adalah melindungi mereka yang menjalankan agama dan menghormati kebebasan beragama, termasuk mereka yang tidak memeluk agama (Dawam Rahardjo, Intelektual Muslim). M enurut Beckford (1985; lihat juga Anthony dan Robbins, 2004; Richardson, 2004), NRM (New Religious Movement/ Gerakan Keagamaan Baru) yang memiliki misi ‘revitalisasi’ atau ‘transformasi’ tatanan dunia sering memicu kontroversi publik, karena proses rekruitmen anggota melibatkan teknik ‘indoktrinasi, tipu muslihat, bujuk rayu secara paksa, hipnotis pikiran, dan cuci otak (brainwashhing).’ Hal ini mungkin tampak dalam kasus nabi Mushoddeq pendiri Qiyadah Islamiyah (lihat lampiran III). Dalam Bab Tujuh Pertarungan Publik 179 Al Makin NRM seperti itu publik dan negara merasa terancam karena metode itu, keterlibatan dalam penculikan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Namun, kontroversi yang disebabkan oleh kerajaan Eden bukan karena metode rekruitmen anggota baru, tetapi kontroversi itu dalam kasus Eden lebih pada idenya dalam proses ‘revitalisasi’ itu sendiri, yang menentang hegemoni orthodoksi keislaman. Namun, Beckford (hal. 277) meragukan adanya sisi positif daripara pendaku kenabian dalam gerakan NRM dalam budaya, politik dan, kehidupan sosial pada realitas masyarakat Barat. Meskipun begitu, Dawson (2003: 72-73) melihat munculnya NRM sebagai ‘eksperimensosial’, yang mungkin dapat dikatakan sebagai model ‘inovasi sosial’ dalam masyarakat modern; dengan begitu NRM akan berkontribusi pada ‘perubahan sosial’. Mengacu pada konteks budaya Indonesia, saya menyimpulkan bahwa para nabi pribumi yang mendirikan NRM (agama populer/agama rakyat) selama era reformasi mengajak kita untuk terus menggali bagaimana masyarakat memaknai arti pluralisme dan toleransi dalam beragama di era demokratisasi. Dengan memperhatikan arah perdebatan di masyarakat, ini bisa menjadi jendela untuk melihat bagaimana masyarakat bereaksi dengan kemunculan NRM yang terkait erat dengan isu pluralisme dan toleransi beragama. Di samping itu, kemunculan NRM dan bagaimana respons masyarakat dan negara terhadap gerakan-gerakan tersebut, kita juga bisa mengukur sejauhmana negara hadir dalam memenej pluralisme dan mempraktekannya dalam kehidupan sosial. Patut dicatat bahwa era Orde Baru, dimana berbagai kelompok dengan berbagai ideologi bersaing di publik, perdebatan isu pluralisme dan toleransi beragama didominasi oleh kelompok intelektual Muslim progresif dengan ideologi sekuler dan pluralis (Hefner, 1997, 2000; Barton, 1997; Assyaukanie, 2008). Namun setelah era baru demokratisasi setelah Soeharto lengser, kelompok konservatif dan radikal yang selalu ditekan oleh rezim Orde Baru, bangkit serta menyerang kelompok moderat dan liberal (Harvey, 2009; Gillespie, 2007). Di sisi lain, munculnya Lia Eden, semakin memperbesar perdebatan antara kelompok liberal dengan radikal dalam memaknai konsep pluralisme, toleransi beragama, dan hak bagi kelompok minoritas. Tidak seperti negara-negara Barat, misalnya Jerman, Inggris, dan Amerika, di mana pemerintah dan warga masyarakat 180 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin merespons beberapa kemunculan sekte aneh, biasanya lebih memperioritaskan masalah keamanan dan efek psikologis para pemimpin dan anggotanya; dalam menanggapi kemunculan Eden, masyarakat Indonesia lebih banyak merespons masalah agama, keyakinan, dan teologi. Pada gilirannya, kontroversi publik pada kasus Lia Eden, baik pada level masyarakat maupun pemerintah, lebih mencurahkan perhatiannya soal iman atau keyakinan. Dengan begitu, peran agama jauh lebih urgen di negeri ini; maka keyakinan sering menjadi motif di balik sikap dan tindakan yang dijadikan sebagai alat justiikasi atau pembenaran. Perbedaan antara negara Barat dengan Indonesia dalam menanggapi kemunculan NRM mungkin bisa dirumuskan seperti berikut: gerakan antisekte di negara Barat, hanya memantau pola rekruitmen karena dikhawatirkan bisa menjadi alat ‘indoktrinasi’ (Beckford, 1985, 1986; Wuthnow, 1986; Barker, 1983; Anthony dan Robbins, 2004), sedangkan di Indonesia melalui MUI, yang dipantau adalah kemurnian iman masyarakat jangan sampai tercampur bid’ah dan kontaminasi paham liberal. Sekali lagi, dalam menanggapi kasus Lia Eden, perdebatan publik mengerucut pada kebebasan agama dan pluralisme yang di dorong oleh iman keagamaan. Prasangka Media Beckford (1985; Beckford dan Levasseur, 1986) menyoroti kontroversi publik yang terkiat dengan status para pemimpin NRM dan anggotanya apakah mereka masih normal atau sudah abnormal. Tampaknya ini juga berlaku di Indonesia, media Indonesia mengeksploitasi kasus Lia dengan menyebutnya sebagai ‘orang gila’. Berbagai stasiun TV Indonesia seperti ANTV, SCTV, Metro TV, dan RCTI memprovokasi cerita Lia Eden dalam setiap tayangannya. Pembawa berita TV dan komentator menggunakan kata-kata yang tajam dan menyudutkan seperti gila, edan, aneh, nabi palsu, Jibril Palsu, dalam menggambarkan Lia (Youtube 2008a; 2008b; 2011; 2014). Asrori S. Karni—seorang wartawan Majalah Gatra yang meliput berita tentang Lia selama periode pengasingan awal di Bogor hingga periode Jalan Mahoni— mengatakan kepada saya bahwa gaya busana yang eksentrik Lia menarik minat pembuat berita. Tentu, Lia—seperti ratu atau raja dari kerajaan kuno, mengendarai kuda putih dengan mahkota emas Bab Tujuh Pertarungan Publik 181 Al Makin tampil dalam parade di kota Jakarta yang diikuti oleh pengikutnya, yang berkepala pelontos dengan mengenakan jubah putih pula— dengan mudah membangkitkan rasa penasaran publik. Menurut Mayong, seorang pengacara yang membela kasus Lia dalam persidangan di tahun 2006, di awal tahun 2000-an media berperan dengan mencitrakan buruk Lia. Terutama, media lokal Jakarta, termasuk Warta Kota, Pos Kota, dan Nonstop, menyajikan citra buruk Lia dan kelompok Eden dipublik. Koran-koran ini menggunakan bahasa provokatif dalam meliput penggerebekan yang dilakukan oleh kelompok Islam garis keras atas anggota kerajaan Eden di akhir tahun 2005; ini terlihat dalam judul dan isi beritanya. Selain itu, mereka tampaknya mendukung sikap orthodoksi keislaman di bawah panji MUI dan Amin Djamaluddin, yang membenarkan penangkapan Lia dan para pengikutnya, serta mendukung status pidana bagi Lia Aminuddin, Abdul Rachman, dan Andito Putro Wibisono. Warta Kota (2005a), misalnya, memberi judul, “Malaikat Jibril Diciduk.” Dalam melaporkan penyerahan Lia ke polisi, Warta Kota menulis:“Situasi makin panas karena ratusan orang yang mengepung Kerajaan Tuhan berteriakteriak mencemooh dan menghujat Lia Aminuddin alias Lia Eden dan pengikutnya yang dinilai sesat.” Menurut Warta Kota, situasi semakin panas ketika Lia dipaksa masuk oleh polisi ke dalam bus, “Bahkan, saat bus beranjak meninggalkan lokasi, massa setempat melemparinya. Beberapa sandal karet dan batu kecil melayang ke kendaraan yang mengangkut Lia Eden dan pengikutnya itu menuju Polda Metro Jaya.” Dalam berita lain, Warta Kota (2005b) menerbitkan headline, “Bubarkan Kerajaan Tuhan.” Surat kabar ini jelas berada dipihak Masjid Meranti, yang mengadakan Tablig Akbar dengan tema, “Membongkar Kedok Jibril Palsu.” Koran lokal lain Berita Kota (2005) menyajikan konten berita yang sensasional,“Istri Malaikat Jibril Dievakuasi.” Menurut Berita Kota, warga Senen menolak kehadiran Lia di daerahnya, “Kali ini batas toleransi masyarakat terhadap sepak terjang Lia Aminuddin yang mengaku Tuhan dan ‘istri’ Malaikat Jibril itu sudah habis. Warga kemudian mendesak aparat kepolisian agar mengambil tindakan untuk menghentikan kegiatan keagamaan yang ‘unik’ yang dijalankan Lia Aminuddin bersama para pengikutnya.” Demikian juga, surat kabar yang berkantor di Jakarta, Pos Kota (2005a) menyajikan konten berita sebagai berikut “si Malaikat 182 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin Lia Aminudin Ditahan Polisi.” Surat kabar itu juga mengutip keberatan dari beberapa warga Senen atas kehadiran kelompok Eden di daerahnya. Dalam berita lainnya, Pos Kota (2005b) memberi judul, “Kerajaan Tuhan Digerebek Polisi.” Isi dari berita itu sebagai berikut: Digerebeknya, markas ‘Kerajaan Tuhan’ itu atas desakan masyarakat yang tidak terima keberadaan jamaah ini. Warga sekitar mengirim surat ke Polres Jakarta Pusat dan Walikota Jakarta Pusat agar rumah yang dijadikan tempat ibadah itu dibubarkan. Jika keluhan warga tidak dipenuhi, mereka mengancam akan menggerebek rumah tersebut. Nonstop (2005a) melakukan wawancara via telepon dengan Ketua Badan Investigasi FPI (Front Pembela Islam), M. Alawi Usman, mendukung pemerintah untuk melakukan penangkapan Lia. Headline lain dari Nonstop (2005b) berjudul, “Agama Sesat Diserang, Warga Marah dan Mengepung Rumah Lia Aminuddin di Senen.” Penggalan isi berita ini sebagai berikut: Sebuah rumah tempat kegiatan ritual Komunitas Eden di Jalan Mahoni No 30, Bungur, Senen, Jakarta Pusat diserang warga, Selasa (27/12) pukul 11.00 WIB. Warga sekitar marah dan menilai kegiatan serta agama yang diajarkan Lia Aminuddin itu sesat. Para warga yang menyerbu rumah itu kemudian memberi ultimatum selama seminggu Lia Aminuddin dan pengikutnya untuk membubarkan kegiatan aliran sesat itu. Jika tidak, warga mengancam akan melakukan tindak kekerasan. Berita yang disajikan Nonstop (2005b) telah mencemarkan nama baik Lia yang berbunyi: Pengakuan Lia ini tentu dianggap kebelinger. Dasar itu pula yang mendorong MUI mengeluarkan fatwa. Alihalih tenggelam, pengikut Salamullah malah tak tinggal diam. Mereka memperotes dan menolak fatwa MUI. Hebatnya lagi, belakangan Lia mengaku sudah menyatu dengan Jibril. Berdasarkan wahyu lanjutan dari Jibril, ajaran Salamullah berkembang menjadi aliran Paranealis atau lintas agama yang menyatukan Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Bab Tujuh Pertarungan Publik 183 Al Makin Meskipun organisasi media di tingkat nasional, seperti Tempo, Gatra dan Kompas, mengambil posisi lebih moderat dalam meliput berita tentang kelompok Eden. Media ini masih sering meliput berita dengan gaya eksentrik dan kinerja aneh kelompok Eden. Tempo misalnya, menyajikan headline berita tentang penyergapan kelompok garis kerasdi Bogor dengan judul, “Anarkis versus aneh” (Bramantyo dan Sinaga, 2001). Dalam meliput berita dari hukuman penjara Lia, headline berita Tempo berjudul, “Dihukum 2,5 tahun penjara: Lia Eden menanti jawaban Tuhan” (Soian, 2006). Tempo juga menyajikan beberapa cerita tentang jubah putih, staf, dan penampilan aneh dari kelompok Eden. Di sisi lain, Gatra tampaknya menunjukkan simpati kepada para korban penyergapan. Salah satu judul media Gatra berbunyi, “Rumah Zaitun Dihancurkan” (Karni, 2001). Namun, setelah hukuman penjara Lia kedua, media nasional jelas lebih memihak korban dan menyajikan berita Lia dengan citra positif, seperti bagaimana Lia berbagi pizza dengan para narapidana setelah pembebasannya (Cipta, 2011). Sementara Kompas lebih bersikap netral dan menghindari unsur-unsur kontroversial ketika bercerita Lia Eden (Damanik 2008a; 2008b; Sawabi 2008; Dundu dan Aziz 2011), Tempo dan The Jakarta Post jelas memihak mereka sebagai korban penganiayaan, begitu juga mengkritisi UU penistaan agama (PNPS 1965) di bawah bayangbayang radikalisme dan orthodoksi di negeri ini (Wisnu, 2009; Yuliandini, 2006; The Jakarta Post, 2011). Penyusupan diJalan Mahoni Berbeda dengan berita yang disajikan oleh media di atas, ketua RT yang saya wawancarai pada Desember 2012, membenarkan bahwa serangan pada tahun 2005 terhadap Eden datang dari orang luar bukan dari warga setempat. Dalam menunjukan hal tersebut, Fita sebagai ketua RT menegaskan bahwa meskipun ada perbedaan iman warga di Jalan Mahoni tetapi masih tetap harmonis; mereka menghargai nilai-nilai toleransi dan menjalin hubungan baik antar tetangga. Putut Linangkung sebagai Lurah sependapat dengan statemen Fita, dengan menetapkan slogan “ngaji ayo, mabok ayo,”—sebuah ungkapan yang tereleksikan cara orang Bungur yang mengkombinasikan sekuler dan iman. 184 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin Linangkung dan Keamanan Ketertiban Masyarakat (Kamtibnas), Pak Bram, juga menunjukan bahwa kelompok garis keras tidak ada di wilayahnya; kantor FPI tidak ada di daerah Bungur. Singkat kata, Fita, Linangkung, dan Pak Bram berpendapat bahwa serangan dan pengepungan Eden tahun 2005 bukan dari warga yang berada di daerah tersebut—seperti yang diklaim oleh media di atas—tetapi gangguan dari orang luar dan mencampuri urusan warga. Ketika ditanya tentang dua masjid terletak didekat dengan rumah Lia, Fita menekankan bahwa Masjid Darussalam menunjukan sikap toleran terhadap Lia, sementara kegiatan Masjid Meranti memperlihatkan watak pertentangannya. Bram, yang waktu itu berperan menenangkan massa selama pengepungan Eden, juga berpendapat bahwa Masjid Meranti berperan dalam merencanakan tablig akbar yang berakibat pada konfrontasi mereka dengan Eden. Namun, karena takut akan terjadi kekacauan pihak keamanan tidak memberikan izin. Masjid Meranti mendapat sokongan organisasi besar seperti Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), dimana Amin Djamaluddin merupakan salah satu pimpinan di situ dan dia lah yang membawa kasus Eden ke pengadilan. Beberapa Ustadz dari mesjid itu melakukan serangan terbuka atas keberadaan kelompok Eden di hadapan warga, yang sering berkunjung untuk menghadiri pengajian di Masjid. Pungkasnya, tindakan menentang Eden terkoordinasi oleh pihak tertentu tidak semata-mata murni suara warga dan penduduk setempat. Nampaknya, terlihat sebuah konspirasi dalam peristiwa ini. DDII, yang jelas-jelas menentang klaim kenabian Lia berkolaborasi dengan MUI, sedangkan Masjid Miranti sepertinya berperan sebagai mata-mata lokal. Fita pun menjelaskan kepada saya terkait unsur-unsur eksternal yang mengintervensi urusan lokal warga terhadap Eden yang membuat keadaan semakin memburuk. Dia mengklaim bahwa pengepungan pada tahun 2005, yang diwarnai kemarahan kerumunan massa, sebagian besar dilakukan orang yang tidak dikenal bahkan mereka mengancam dan menakuti warga setempat. Di samping Edan ada tempat ibadah umat Kristen berupa gereja yang terpaksa ditutup, karena jemaahnya mereka ketakutan akan terjadi serangan yang mungkin dilakukan oleh kelompok garis keras penyusup tersebut. Bab Tujuh Pertarungan Publik 185 Al Makin Di akhir Desember 2012, saya berbicara kepada beberapa penjaja kaki lima di Jalan Mahoni dan menanyakan sikap mereka terhadap kelompok Eden. Mereka secara umum menunjukan sikap masa bodoh, sementara dua penjaja menyampaikan pada saya bahwa mereka tidak mengetahui terkait kelompok Eden atau kegiatannya. Mereka juga percaya bahwa pengepungan tahun 2005 terhadap Eden direncanakan dan dilakukan oleh orang luar. Lebih dari itu, Fita, Bram, dan Linangkung semua sependapat bahwa media juga memainkan peran dalam membuat kasus Eden sensasional. Fita merasa bahwa media tidak jujur dengan memanfaatkan berita kontrovesial untuk kepentingan sensasi. Meskipun beberapa koran lokal mewawancara Fita, mereka mengeluarkan cerita yang berbeda. Pungkasnya, media telah memanipulasi kasus Eden. Selama kunjungan saya beberapa kali, warga terlihat tidak memiliki ketertarikan atau tidak perduli dengan adanya Eden di antara mereka. Anehnya, ketika Lia dikeluarkan dari penjara pada tahun 2012, aparatur kelurahan setempat mengunjungi rumahnya. Namun, sikap hangat dan hubungan sebelumnya dengan pemimpin kelurahan dan tetangga telah berubah. Keadaan di sekitar Eden memang berubah. Fita dan Bram berbicara kepada saya bahwa lurah sebelumnya, Halimi, tidak sama dengan lurah saat ini Linangkung; Halimi sepertinya lebih condong ke sikap MUI dan oleh karenanya menentang klaim kenabian Lia. Di Mata Teman-Teman Ciputat Imam besar kerajaan Eden, Abdul Rachman dulunya merupakan salah satu mahasiswa di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat, Jakarta dan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang ikut serta dalam berbagai demonstrasi memperotes pemerintah otoriter Orde Baru. Teman-temannya di Ciputat, yang saya kenal mereka secara pribadi, berbagi cerita. Reaksi dan komentar beragam tentang Rachman dan Lia Aminuddin diungkapkan di depan saya. Perlu digarisbawahi bahwa banyak aktivis Ciputat yang mengikuti perkembangan Rachman dan sebagian ikut dalam kelompok Eden. Beberapa mahasiswa Ciputat juga bergabung pada tahapan awal kelompok pengajian Salamullah. Namun, hanya sedikit yang kemudian terlibat secara aktif dalam komunitas 186 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin Eden dan bertahan. Tak seorang pun, terkecuali Rachman, yang masih bertahan dan berperan dalam kelompok ini. Berdasarkan komentar saya kumpulkan dari hasil wawancara saya pada April 2012 dengan teman-teman Rachman di Ciputat, seperti Nana, Lala, Ropi, Wahid, Hasanuddin, dan Hidayat. Nana melihat adanya perubahan dalam diri Rachman dan Lia dari waktu ke waktu. Pada tahun 1996, Rachman menceritakan kepada Nana tentang betapa terkesannya dia dengan pemahaman Lia terhadap konsep teologi yang canggih dan pemikiran ilsafat, padahal Lia hanya ibu rumah tangga dengan pendidikan setingkat SMP. Rachman memang tidak hanya mengajari Lia terkait dengan membaca al-Qur’an, ia pun juga pada gilirannya menjadi juru tafsir dan penjelas secara logis dan rasional atas apapun yang disampaikan Lia dalam misi kenabiannya. Antara tahun 1996 akhir dan 1997 awal, Rachman menunjukan kepada Nana terkait kemampuan barunya dalam pengobatan terapi. Oleh karenanya Nana tertarik untuk berkunjung ke kelompok Salamullah di Jalan Mahoni, di mana ia bertemu Dunuk yang memberikannya sebuah air dalam botol dari sumur Salamullah. Nana menyaksikan ratusan orang datang dan pergi ke rumah Jalan Mahoni untuk melakukan pengobatan terapi. Semua layanan diberikan secara gratis tanpa perlu membayar. Di samping itu, Nana membawa beberapa teman untuk bergabung di pengajian Mahoni ini, dan menyaksikan banyak publik igur, seperti W.S. Rendra dan Akbar Tanjung yang turut serta dalam mengunjungi rumah tersebut. Dari tahun 1997 hingga 1999, Nana pergi ke Montreal, Kanada untuk melanjutkan studinya. Nana menceritakan kepada saya sebelum Januari tahun 1998 serangan angin topan dingin menerpa Montreal, Lia anehnya sudah meramalkan terjadinya peristiwa tersebut. Selama terpaan angin topan, Lia juga mendo’akan Nana, yang berkata bahwa tempat tinggalnya akan aman. Ketika listrik semua bangunan di Jalan Durocher dalam keadaan mati, hanya bangunan Nana yang masih menyala. Perlu dicatat bahwa Penulis pun berada dalam bangunan itu ketika peristiwa angin topan di Montreal terjadi. Kebetulan Nana dan Penulis mengambil S2 bersama di McGill University. Pada tahun 2000, ketika Nana kembali bertemu dengan Rachman, ia merasa bahwa Salamullah sudah berkembang jauh. Bab Tujuh Pertarungan Publik 187 Al Makin Rachman menggunakan jubah putih selama ia berkunjung ke Ciputat. Nana percaya bahwa pengajian agama Islam Salamullah sudah berubah menjadi aliran religius yang independen, Eden dengan keyakinan dan tatacara pelaksanaan ibadah yang berbeda. Rachman dan Lia pun berubah. Lia melepas jilbab. Dalam pandangan Nana, Lia orang yang baik dan rendah hati, sering menunjukan solidaritas dengan orang lain. Maka, Nana tetap menghargai pilihan Rachman dan keyakinannya. Teman Rachman yang lain, Lala, juga berkunjung ke Jalan Mahoni pada tahun 1996. Dia secara khusus tertarik dalam klinik terapi pengobatan yang ditawarkan Salamullah. Dalam hal ini Lala berkata bahwa ibunya memiliki penyakit batuk, yang kemudian dia dapatkan sebotol air setelah Lia membacakan do’a untuk air tersebut. Pada kesempatan ini, Lala bertemu Lia secara pribadi. Dalam pandangan Lala, Lia hanya seorang ibu rumah tangga seperti pada umumnya, yang rendah hati dan bersikap terbuka. Yang membuat Lala terkesan pada Lia adalah rasa percaya diri Lia yang tinggi karena justiikasi ‘kekuatan’ tertentu di balik dirinya. Ismatu Ropi dan Din Wahid, dosen UIN Jakarta dan teman Abdul Rachman selama mereka tinggal di Pesantren al-Qalam di Gintung Bala Raja, dulunya sering berdiskusi sengit dengan imam besar Eden ini dalam berbagai kesempatan. Pada tahun 1999, setelah Ropi menyelesaikan studinya di McGill University, ia menerima telepon dari Rachman yang memintanya menemukan konsep Messianik dari berbagai tradisi agama. Ropi memberikan nasehat Rachman agar membaca The Encyclopedia of Religions. Ropi juga sempat menjelaskan ada banyak konsep. Ropi mencurigai Rachman mengambil ide itu untuk menyusun konsep Messianik di Eden. Dalam pandangan Ropi, Eden sudah menunjukkan banyak indikasi bahwa kelompok itu sudah mengarah pada‘kultus’, salah satu di cirinya adalah adanya tuntutan loyalitas mutlak dari para anggota pada pimpinan. Ropi juga menghawatirkan bahwa di dalam tahapan tertentu ketika memimpin kultus gagal, terutama terkait ramalan tertentu yang tidak terpenuhi, pemimpin akan meminta pengikutnya untuk melakukan bunuh diri, seperti yang terjadi dalam banyak peristiwa kultus di Jepang dan Amerika (lihat juga Wuthnow, 1986). Hasanuddin, seorang dosen di UIN Jakarta dan sekretaris Dewan Syari’ah Nasional (DSN) MUI, juga banyak tahu bahkan 188 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin mengikuti kegiatan pengajian Salamullah. Dia mengenal Rachman dan Lia secara pribadi karena keterlibatannya dalam terapi pengobatan ketika ia menderita penyakit bengkak di kaki dan sakit kepala. Anehnya, pijitan dan air Lia menyembuhkan penyakit Hasanuddin, karena ini ia hampir beriman pada kenabian Lia. Namun, keterlibatan Hasanuddin dalam Salamullah diperhatikan oleh pimpinan MUI, Ibrahim Hosen, yang menyarankan dirinya untuk keluar dari kelompok itu. Relasi Hasanuddin dengan para pimpinan MUI, seperti Ali Yaie, Ma’ruf Amin, dan Muslim Nasution, juga bertambah hangat. Pada akhirnya, Hasanuddin dengan pertimbangan nasehat dari Hosen, memilih MUI dalam membangun karirnya ketimbang Salamullah. Hidayat, aktivis Freedom Institute dan sarjana dari IAIN Jakarta, juga dulunya mengikuti kegiatan Salamullah. Hidayat sempat berpartisipasi dalam ritual Eden pada acara Tahun Baru. Berbeda dengan banyak teman-teman di Ciputat, Hidayat mengapresiasi Eden bahkan menganggapnya sebagai karunia tersembunyi. Dia menjadi lebih terbuka dalam pemahaman keagamaan dan perbedaan agama, ini karena dikelompok itu dianjurkan untuk membaca berbagai Kitab Suci dari tradisi yang berbeda. Kelompok ini juga secara terus terang menyatakan ajaran baru dan ritual yang berbeda dari agama yang ada di Indonesia. Sikap pluralisme Hidayat tumbuh pada saat bersama dengan Eden. Kemenangan Para Penganiaya dan Penuntut Bagian ini membahas mereka yang mendukung pengucilan dan penyerangan terhadap Eden, yang kebanyakan bergabung dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di sini saya menyajikan beberapa komentar yang ditulis oleh Ma’ruf Amin, Cholil Ridwan, dan Umar Syihab serta wawancara saya dengan pemimpin MUI lain, seperti Isa Anshary, Amin Djamaluddin, dan Hasanuddin pada awal Maret 2012. Sejak berdirinya MUI adalah institusi yang melihat sendirinya sebagai satu-satunya pemegang tanggungjawab atas pelabelan aliran sesat dan menyimpang (Porter, 2002: 80). Seperti yang tersaji pada bab satu dan dua, MUI mengklaim sebagai ulama pewaris nabi dan penjaga kemurnian iman masyarakat (Ichwan, 2005; Lindsey, Bab Tujuh Pertarungan Publik 189 Al Makin 2012; Gillespie, 2007; Nasir, 2014; Sirry, 2013; Harvey, 2009). Pada tahun 2007, pengurus mengeluarkan kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah aliran tersebut menyimpang atau tidak. 1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6 (enam)yakni percaya kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Kitab-Kitab-Nya, kepada Rasul-Rasul-Nya, kepada hari Akhirat, kepada Qadla dan Qadar dan rukun Islam yang 5 (lima) yakni mengucapkandua kalimah syahadat (tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya), mendirikan solat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji; 2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i (al-Qur’an dan as-Sunnah); 3. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Qur’an; 4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi alQur’an; 5. Melakukan penafsiran al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; 6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam; 7. Menghina, melecehkan, dan atau merendahkan para nabi dan rasul; 8. Mengingkari Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir; 9. Merubah, menambah, dan atau mengurangi pokokpokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syar’iah, seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardhu tidak 5 waktu (Mimbar Ulama, Suara Majelis Ulama Indonesia, 2008:8). Kriteria di atas jelas mencerminkan orthodoksi dan konservatisme, bila bukan radikalisme. Jika kriteria di atas digunakan untuk menilai masyarakat Indonesia, hanya sebagian kecil Muslim saja yang lolos dan tetap dianggap Muslim, kebanyakan Muslim negeri ini tidak akan sesuai dengan peraturan kaku tersebut dan dengan mudah dianggap sesat atau menyimpang. Bisa jadi, beberapa pimpinan MUI pun bisa melanggar salah satu atau lebih atas kriteria itu. Pada saat yang sama, kriteria itu seperti karet yang bisa digunakan sebagai perangkap dalam menuduh orang yang 190 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin dianggap menyimpang berdasarkan kepentingan politik. Menurut ketua MUI, Ma’ruf Amin, sementara lembaga ini melakukan proteksi bagi iman masyarakat, para aktivis liberal malah merusak dengan dalih hak asasi manusia sekuler dan membela hak-hak aliran sesat. Ma’ruf selanjutnya menambahkan bahwa beberapa aktivis HAM malah mendekati para pengikut aliran sesat tertentu yang telah siap bertobat, dan mereka malah dibujuk supaya menjalankan keyakinan mereka terdahulu. Berkenaan dengan Lia Eden, yang mengklaim telah menerima wahyu dari Jibril, Ma’ruf menekankan bahwa itu bukan pesan dari Jibril, tetapi dari iblis yang merasukinya. Bagi Ma’ruf (2008: 18), bisikan yang datang ketika sedang berdoa pada hakikatnya adalah iblis yang mengaku-ngaku sebagai Jibril. Menurut Ma’ruf (2008), faktor-faktor yang menyebabkan munculnya aliran sesat itu meliputi: 1) pemikiran liberal, yang melahirkan interpretasi ‘bebas’ tentang ajaran Islam, yang sering menimbulkan kesalahpahaman dan cukup berbahaya bagi agama. Perspektif HAM saat ini bisa dianggap terlalu liberal, sehingga memicu munculnya ajaran sesat dan bid’ah; 2) kurangnya kegiatan dakwah Islam; 3) dihubungkan dengan teori konspirasi: hal ini merupakan skenario besar yang direncanakan oleh orang asing membuat masyarakat Indonesia disibukkan dengan begitu banyak masalah seperti ini (bid’ah), sehingga tidak ada waktu untuk membangun solidaritas antara orang Indonesia, apalagi waktu untuk memperkuat bangsa. Umar Sihab (2008), ketua MUI lainnya mendukung teori konspirasi seperti, ia berpendapat bahwa ia tidak bisa pastikan apa itu didukung oleh orang asing, tapi itu tidak mustahil bahwa ada kekuatan asing bercokol di belakang itu. Terutama yang ingin menghancurkan Islam, suatu konspirasi, sehingga kekuatan itu membentuk, menokohkan satu orang, memberi dana kepada seseorang untuk menghancurkan Islam. Dalam mengatasi praktek bid’ah dalam Islam,Ma’ruf mengajak para tokoh Muslim untuk kembali mengajarkan Islam dengan benar. Banyak ulama melakukan dakwah untuk memperkuat semua level komunitas Muslim. Ma’ruf (2008: 24, juga Chalil Ridwan, 2008) meningkatkan kerjasama di antara pemerintah dan organisasi Islam dibawah komando MUI. Dia menegaskan bahwa MUI dan Ormas Islam yang hanya mempunyai otoritas di Bab Tujuh Pertarungan Publik 191 Al Makin bidang keagamaan saja akan tetapi tidak punya otoritas melakukan eksekusi pelarangan, misalnya, harus melakukan koordinasi dengan instansi terkait yang mempunyai kewenangan melakukan semua itu. Ma’ruf menunjukan lebih lanjut bahwa kepolisian dan kejaksaan, harus juga senantiasa melakukan koordinasi dengan MUI dan Ormas Islam. Koordinasi yang baik inilah yang senantiasa kita perlukan, sebagaimana diamanatkan oleh Presiden Republik Indonesia Bapak DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono ketika membuka acara Rakernas MUI tahun 2007. Kutipan di atas merupakan pengakuan secara terangterangan yang dibuat oleh ketua MUI, dengan didukung oleh Chalil Ridwan (2008), bahwa Majelislah yang bertanggungjawab atas penahanan, pengadilan, dan pemenjaraan Lia Eden, Rachman, dan Andito. Selain itu, selama wawancara pada tahun 2012, Nong Darul Mahmada, seorang aktivis gender, berkata bahwa MUI mungkin berperan dibelakang layar tetapi dengan agenda untuk menyerang dan menyergap banyak minoritas, termasuk Eden dan Ahmadiyah. Tentu, dalam kasus pembakaran rumah Eden di Bogor, MUI setempat tidak ambil bagian, seperti yang terlihat dalam pertemuan di kantor kecamatan antara Eden, pemimpin desa dan kecamatan serta MUI (lihat bab empat). Selain itu, Dawam Rahardjo, seorang intelektual Muslim yang membela Lia sebelum pengadilan, juga mencurigai bahwa MUI mempelajari target mereka sebelum mengambil tindakan tertentu dan berkoordinasi dengan berbagai organisasi keislaman. Hal ini cukup beralasan bahwa serangan kekerasan terhadap minoritas, seperti Ahmadiyah dan Eden, dilakukan dibawah kendali MUI, bila bukan sepenuhnya berdasarkan koordinasi di antara mereka. Iblis Menyamar Pada 22 Desember 1999, MUI mengeluarkan fatwa yang ditandatangani oleh ketua Hasan Basri dan sekretaris Nazri Adlani, dengan vonis Eden adalah sesat dan menyesatkan. Dalam menyajikan kata-kata fatwa tersebut, “pengakuan seseorang bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari Malaikat Jibril bertentangan dengan al-Qur’an. Oleh karena itu, pengakuan tersebut dipandang sesat dan menyesatkan.” (Majelis Ulama Indonesia, 2011: 69). Penetapan fatwa tersebut didahului oleh 192 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin pertemuan antara Eden dengan MUI. Hasanuddin menceritakan kembali dalam wawancara dengan saya. Hasanuddin salah satu mantan klien Salamullah dan saat ini sebagai sekretaris Dewan Syariah Nasional (DSN) dari MUI, mengatakan kepada saya bahwa ia menjabat sebagai salah satu sekretaris komisi fatwa ketika Lia dan pengikutnya diundang oleh MUI untuk mengadakan dialog di kantor pusat yang dilaksanakan di masjid Istiqlal. Dialog dalam forum antara MUI dan Eden diketuai oleh Ibrahim Hosen. Dalam pertemuan tersebut, Muslim Nasution, anggota lain dari dewan MUI, memunculkan banyak pertanyaan tentang bagaimana cara Lia dihubungi dan menerima bimbingan dari Jibril. Menurut Hasanuddin, dialog antara Eden dan MUI berjalan lancar. Semua anggota dewan dalam forum menunjukan sebuah sikap rapih, memperlakukan Lia dan pengikutnya dengan baik. Namun, Tengku Sholeh yang merupakan salah satu anggota MUI berasal dari Aceh, menunjukan sikap tidak ramah kepada Lia dan para pengikutya. Sholeh datang terlambat dalam forum yang diadakan oleh MUI itu. Melihat Lia dan anggota Eden dalam forum, ia mengatakan “mengapa kami harus bersusah payah untuk mengundang seorang perempuan gila kesini?” Para pengikut Lia terlihat sangat marah. Sholeh lalu duduk berada dibelakang Lia dan mulai membacakan sesuatu dalam bahasa Arab dengan ribut, Lia dan para pengikutnya pun merasa jengkel. Pengurus MUI kemudian meminta Lia untuk menunjukkan cara dia berhubungan dengan Jibril sebelum Majelis mengajukan persoalan yang akan ditanyakan. Lia mencoba menghubungi Jibril dengan terdiam merenung, seperti yang sering dilakukannya pada saat mencoba berkomunikasi dengan Malaikat. Namun, karena keributan suara Sholeh, Lia gagal untuk fokus untuk memusatkan pikiran dan energinya. Hasilnya pun Lia gagal membuktikan kepada MUI bahwa Malaikat bisa datang ke dalam jiwa dan pikirannya kapan saja yang ia inginkan. Akhirnya pertemuan dibubarkan. Banyak yang heran dengan apa saja yang dilakukan Sholeh ketika berada duduk di belakang Lia. Sholeh kemudian menjelaskan bahwa doanya yang ribut tadi merupakan do’a khusus untuk mencegah makhluk jin merasuk ke dalam pikiran Lia. Sholeh kemudian meyakinkan pengurus MUI terkait dengan apa yang merasuki Lia dan itu berasal dari jin, bukan dari Malaikat. Bab Tujuh Pertarungan Publik 193 Al Makin Setelah pertemuan dengan MUI, Lia mengirimkan surat kepada anggota Majelis untuk meminta bimbingan. Namun, menurut Hasanuddin, MUI tidak menanggapi permintaan Lia secara serius. Hal ini merupakan kesalahan yang dilakukan oleh MUI karena tidak memberikan bimbingan sebagaimana yang dibutuhkannya. Tak seorang pun dari MUI melakukan membimbing dengan penuh kesabaran. MUI mengeluarkan fatwa tetapi tidak sertai dengan bimbingan ke arah yang benar. Meskipun Eden merupakan aliran sesat yang menyebarkan ajaran salah, Hassanuddin tidak sepakat dengan dijebloskannya Lia ke penjara, yang tidak efektif untuk memaksanya bertobat dari perbuatan itu dan untuk kembali ke Islam yang sebenarnya. Namun, pada 20 Maret 2013, saya bertemu Irfan yang merupakan salah satu anggota staf administrasi di komisi fatwa MUI, menceritakan pengalaman berbeda tentang pertemuan antara Lia dengan Majelis. Irfan duduk di sudut selama pertemuan. Pengurus MUI dihadari 30 anggota, sementara Lia membawa sekitar 10 orang. Dia dicecar dengan banyak pertanyaan yang muncul terkait cara Jibril mengirimkan pesannya kepada Lia. Pada saat diminta berkomunikasi langsung dengan Jibril di dalam forum, Lia dan para pengikutnya merasa malu, karena gagal untuk memenuhi permintaan yang diajukan oleh pengurus MUI. Di samping itu, Rachman dan Dunuk menceritakan kepada saya bahwa pertemuan itu sangat memojokkan Eden dan mereka dipermalukan oleh MUI. Deskripsi Irfan lain dan berbeda dengan cerita Hassanuddin; sepertinya ada usaha Hasanuddin untuk menampilkan citra baik MUI ketika memperlakukan pihak lain. Irfan mungkin lebih akurat dalam ceritanya, karena dibenarkan oleh Dunuk dan Rachman. Pengadilan yang tidak adil Isa Anshary, staf disekretariat MUI, menceritakan kasus persidangan tahun 2006 dalam mengadili Eden, di mana polisi menginterogasinya terkait kasus Lia. Pengadilan meminta MUI bertindak sebagai saksi dipersidangan. Selama sidang, Anshary menduga bahwa Lia mendramatisir keadaan dengan pura-pura pingsan dan mengaku sedang menerima wahyu dari Jibril.Anshary datang menghadiri sidang sebagai saksi selama dua kali. Di mana 194 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin Anshary mengatakan kepada saya: Ini tidak masuk akal seorang perempuan menyatakan dirinya sebagai malaikat. Dalam sejarah Islam, tidak ada satu pun malaikat yang menjelma menjadi seorang wanita. Malaikat selalu hadir di bumi menyerupai seorang laki-laki. Semua nabi dan para sahabat adalah laki-laki. Dalam tradisi kenabian, seorang malaikat mendatangi Muhammad menyerupai bentuk laki-laki dengan memakai jubah putih.... Tidak pernah seorang nabi itu perempuan. Juga tidak ada malaikat perempuan. Selain itu, malaikat adalah makhluk ghaib dan misterius. Tiba-tiba, seorang perempuan mendaku sebagai malaikat muncul di Jalan Mahoni. Ini tidak dapat diterima. Bagi Anshary, siapa pun yang mengaku sebagai malaikat merupakan perbuatan syirik (berdosa karena menyekutukan Allah dengan makhluk) dan kair. Anshary mempertahankan fatwa MUI tahun 1997, sebagai langkah yang benar untuk menangani kasus Eden. Seperti yang dia katakan: Saya diminta bertindak sebagai saksi dalam persidangan Rachman, yang mengaku sebagai reinkarnasi Nabi Muhammad. Klaim ini harus dihentikan dengan segera. Ini merupakan bentuk penistaan agama. Setiap kali surat yang datang dari Eden ke kantor saya, selalu saya lempar surat tersebut ke tempat sampah. Oleh karena itu, saya dikutuk oleh Lia sebagai tikus atau babi. Anehnya, Muslim liberal membela Lia dan Rachman. Berpikir liberal itu bisa diterima, asalkan tidak keluar dari batas-batas yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Apapun harus dipelajari, tetapi tetap berpegang teguh pada dua sumber utama sebagai garis pembatasnya. Pemikir liberal, seperti Musdah Mulia, Zainun Kamal, dan Ulil Abshar Abdalla semua membela dan mengesahkan tindakan homoseksualitas... mereka juga membela Lia Eden, sedangkan mereka menolak orang-orang yang beriman seperti kita. Oleh karena itu, MUI mengeluarkan fatwa untuk menjaga keimanan kita. Di sisi lain, kaum liberal membela tindakan pornograi, perzinahan, dan penistaan agama.... Menurut Anshary, Rachman terpengaruh oleh pendekatan orientalis Barat dalam mempelajari Islam. Rachman menawarkan Bab Tujuh Pertarungan Publik 195 Al Makin argumentasi yang rasional dan logis dalam permohonan kasusnya, di mana dia mentafsirkan al-Qur’an yang berbeda dari para mufasir Muslim pada umumnya. Mengingat hal ini, maka Rachman telah menjadi murtad. Rachman menunjukan kebenaran versinya sendiri, tetapi sering mengadopsi ajaran Islam sebagai dasar argumennya. Anshary mengatakan bahwa “Rachman itu gila dan sinting”. Saya juga bertemu dengan Amin Djamaluddin, kepala Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) dan memproklamirkan dirinya sebagai pemburu ‘bid’ah’, yang juga orang yang melaporkan kasus Lia ke polisi dan pengadilan. Dia mengumpulkan semua wahyu dan surat-surat yang dikirim Lia ke berbagai lembaga, termasuk MUI. Ketika saya mengunjungi rumahnya, yang secara langsung sebagai tempatnya bekerja, dia dengan bangga mengaku telah menulis buku yang berjudul Kesesatan Lia Aminuddin (2004) berdasarkan kajian analisis tentang wahyu yang dirilis Lia. Aminuddin menulis karena dipicu tetangga Lia di Jalan Mahoni yang meresa terganggu oleh kegiatan spiritual Lia. Djamaluddin kemudian melayangkan laporan ke polisi, yang juga mengundangnya dalam sebuah pertemuan yang diadakan pada tanggal 24 Desember 2005. Ketika ditanya terkait indikasi bid’ah, Djamaluddin menjelaskan dalam salah satu wahyunya, Lia mengatakan bahwa keluarga Imran yang disebut dalam surat nomer 3 al-Qur’an, adalah keluarga Bung Tomo (pahlawan nasional, yang terkenal karena perannya mempejuangkan kemerdekaan). Bagi Djamaluddin, Lia mengarang cerita ‘palsu’ yang menghubungkan al-Qur’an dengan keluarga Bung Tomo—sebuah bentuk penistaan agama Islam. Djamaluddin juga menunjukan pernyataan Lia membolehkan umat Islam untuk memakan daging babi, yang sejatinya itu dilarang dan bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan membatalkan hukum Islam itu, Lia bertujuan untuk mencampur Islam dengan Hindu, Buddha, Kristen, dan mengajak Muslim untuk duduk bersama di meja makan dengan mereka. Dengan memberikan label halal kepada daging babi, agama yang berbeda disatukan. Bagi Djamaluddin, hal ini adalah bentuk lain dari penistaan agama Islam. Djamaluddin menjelaskan bahwa setelah sesi tanya jawab di kantor polisi, banyak orang tidak mau pulang. Kerumunan massa bersiap untuk menyerang rumah Eden di Jalan Mahoni. Menurut Djamaluddin, mereka semua adalah tetangga Lia. Polisi kemudian 196 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin mengevakuasi para angggota Eden dari rumah di Jalan Mahoni. Djamaluddin juga bertindak sebagai saksi ahli dalam persidangan Lia. Setelah pertemuan dan langsung berhadapan dengan Lia, Djamaluddin menantangnya; ia berseru, “Ibu Lia, saya masih Amin Djamaluddin. Saya menentang malaikat Jibril yang Anda klaim. Anda mengatakan bahwa saya akan berubah menjadi katak. Kapan saya berubah jadi katak?” Ketika Djamaluddin ditanyai polisi setelah mengajukan laporan atas kasus Lia, ia menjabarkan banyak hal tentang mengapa ajaran Lia itu harus dianggap sesat: Lia membolehkan umat Islam sholat menggunakan bahasa Indonesia; dia mengklaim bahwa rumahnya di Jalan Mahoni sebagai surga; dia mengatakan para pengikutnya sebagai malaikat; dia mengkalim sebagai imam Mahdi; dan dia memperjuangkan Indonesia menjadi kiblat (ka’bah) bagi orang-orang Muslim (Direktorat Reserse Kriminal Umum, 2005). Polisi juga menanyakan saksi ahli lain, Musthofa Ali Yaqub, dosen IIQ (Institut Ilmu Qur’an), tidak seperti Djamaluddin, Yaqub tidak menunjukan pemahaman yang cukup tentang Lia Eden dan ajarannya. Pemeriksa, Paimin, menuntut jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ dari Yaqub. Menariknya, Yaqub menegaskan bahwa semua ajaran Lia dianggap sebagai bentuk penistaan kepada Islam (Direktorat Reserse Kriminal Umum, 2006). Satu penyataan yang paling mencolok yang dikeluarkan oleh Yaqub tentang Lia, seperti berikut: Siapa pun yang memeluk agama Islam, kemudian dinyatakan murtad, memang murtad. Orang seperti ini harus keluar dari Islam, dan mungkin memeluk agama lain. Dalam istilah Islam, baik laki-laki ataupun perempuan yang disebut ‘murtad’, mereka harus bertobat dan kembali ke Islam. Jika menolaknya, maka wajib untuk dibunuh.... Pemeriksa yang berbeda, Catur Hananto, B. Simanjuntak, dan Jumadiono, menggunakan pertanyaan ‘ya’ atau ‘tidak’ untuk Isa Anshary, sama seperti Yaqub, menjawab ‘ya’ untuk semua penyataan yang mengandung unsur penistaan (Resor Metropolitan Jakarta Pusat, 2006). Polisi juga meminta pendapat kepada saksi ahli Kristen, A. L. Tindige, sama seperti Yaqub, tidak paham betul siapa itu Lia Bab Tujuh Pertarungan Publik 197 Al Makin dan apa itu kelompok Eden. Dua pemeriksa, Suzana Dias dan Denan Purba, menjelaskan ajaran Eden dan mengkonirmasi kepada Tindige apakah ajaran-ajaran tersebut bertenangan dengan agama Kristen. Tindige menjelaskan bahwa dalam agama Kristen, sinkretisme seperti yang diperlihatkan Lia dilarang. Klaim Lia menjadi ruh kudus juga dianggap menyesatkan, begitu juga Lia mengklaim sebagai wakil Tuhan, dan anaknya, Mukti Ali, menjadi reinkarnasiYesus.Tindige akhirnya menyimpulkan bahwa Lia telah melakukan tindakan penistaan kepada ajaran Kristen (Direktorat Reserse Kriminal Umum, 2012). Dari semua itu, Djamaluddin tampaknya menjadi satusatunya saksi ahli yang memiliki kapasitas pengetahuan cukup tentang Lia dan ajarannya. Selama berkunjung, saya terkesan dengan rumah Djamaluddin, yang dipenuhi dengan koleksi buku-buku, koran, dan majalah yang berisi beberapa laporan dari berbagai aliran sesat. Dia menunjukan koleksinya, dan dengan bangga mengatakan bahwa hampir semua laporannya mengenai aliran sesat—Inkar Sunnah, Ahmadiyah,Teguh Esha, Syi’ah, Eden, Mushoddeq, Mitra Bestari (lihat lampiran III)—telah di tangani polisi dan disidangkan di pengadilan. Djamaluddin juga mengakui telah membangun kerja sama dengan berbagai aliansi seperti polisi dalam memantau aliran sesat dan mengarah kepada penangkapan pemimpin mereka. Pada satu sisi, MUI kurang memahami Lia Eden dan kelompok keagamaan lain, namun anehnya Majelis ini langsung menganggap dan mencap aliran-aliran atau kelompok-kelompok tertentu sesat. MUI juga tidak memiliki koleksi sumber buku yang dapat dijadikan sebagai referensi mereka yang ingin melakukan penelitian tentang kelompok-kelompok itu. Bahkan, MUI tidak menunjukan upaya untuk memahami mereka semua dengan benar, apalagi melakukan penelitian ilmiah tentang mereka, jauh panggang dari api. Kekalahan para Pembela Sementara para penuntut Eden terorganisir dengan baik dan mendapat dukungan dari pemerintah, mereka yang membela hak-hak kelompok minoritas dan kebebasan keyakinan sepertinya kalah dalam persidangan. Namun, dukungan publik dalam 198 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin beberapa kasus menunjukan optimisme, karena kesadaran akan kebebasan beragama di masyarakat semakin meningkat. Saat ini media—tidak seperti di awal tahun 2000-an, di mana Lia diejek, didiskriminasi, dan dikriminalisasi—menyajikan berita tentang Lia lebih adil dan berimbang. Bagian dalam bab ini akan mengeskplorasi pendapat para intelektual yang berpihak kepada Eden di persidangan dan mendapat dukungan publik. Saya akan menyajikan hasil wawancara pada bulan Maret dan April 2012 dengan Mayong, Musdah Mulia, Nong Darul Mahmada, dan Dawam Rahardjo yang membela kasus Lia di pengadilan, dan suntingan tulisan Danarto, Haidar Bagir, dan Ulil Abshar Abdalla, yang diterbitkan oleh majalah Tempo. Mayong, Musdah Mulia, Nong Darul Mahmada, dan Dawam Rahardjo, yang menjadi saksi dalam persidangan Lia, bercerita kepada saya bagaimana mereka menelan pil pahit karena gagal membela Lia di bawah ancaman kelompok garis keras. Semua menjadi saksi bahwa kenyataannya kelompok garis keras menggunakan berbagai cara untuk mencapai kepentingan mereka untuk menjebloskan Lia, Rachman, dan Andito ke dalam penjara. Awalnya, saya bertemu dengan Feby Yoneska, dijuluki Mayong, aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta—bersama dengan Asinawati (Direktur LBH), Uli Parulin Sihombing, dan Saor Siagian—yang membela kasus Lia di sidang pengadilan pertama tahun 2006. Persidangan ini merupakan sidang pertama UU Penistaan 1965 selama periode reformasi. Pada salah satu sidang tahun 2008, Lia menolak bantuan Mayong. Dalam berbagai persidangan, Mayong melihat banyak tekanan eksternal dalam pengadilan, sehingga berdampak besar pada putusan hakim. Mayong mengatakan kepada saya bahwa hakim dan jaksa berada di bawah tekanan MUI, yang pada akhirnya hukum sebagai panglima keadilan gagal diimplementasikan ke dalam kasus ini secara tepat. Di saat jaksa meminta Lia membuktikan klaimnya untuk menghapus semua agama, jawaban yang dilontarkan tidak pernah di dengar, karena banyaknya teriakan yang muncul. Setelah hakim mendengar penyataan Lia, teriakan ‘astagirullah’ mencuat, sehingga mendominasi kegaduhan di ruang sidang. Dalam membela kasus Lia selama persidangan tahun 2006 berlangsung, Mayong mengajukan nota keberatan, di mana Bab Tujuh Pertarungan Publik 199 Al Makin sebelumnya terdakwa tidak terlebih dahulu diberikan peringatan, sidang terlalu cepat diagendakan. Mayong juga mempertanyakan keahlian Amin Djamaluddin dalam bidang teologi Islam dan pemahaman ajaran sesat yang bertindak sebagai saksi ahli yang di undang atas nama otoritas pengadilan. Tetapi hakim membela posisi Djamaluddin. Selain itu, Mayong melihat adanya konlik kepentingan Amin Djamaluddin, yang menjadi bagian dari aktivitas MUI dan tersangka Lia, dan dialah yang melaporkan kasus ini kepada polisi dan pada saat yang sama dia bertindak sebagai saksi ahli dalam persidangan. Dalam mengajukan protes atas nota keberatan ini, Mayong dan pendukung lainnya walk out ke luar ruangan. Secara kebetulan, Lia juga ingin membela kasusnya sendiri, sehingga Mayong dan rekan-rekan yang lain menghargai keputusannya. Oleh karena itu, mereka semua menyerahkan pembelaan sepenuhnya kepada Lia. Mayong dengan tegas mengatakan kepada saya bahwa sidang kasus Rachman lebih dramatis daripada Lia. Namun, Mayong dapat menyimpulkan semua perkara ini seperti drama teater dengan absennya legal standing hukum secara serius. Hasilnya sangat mudah diprediksi. Para devotee Eden kehilangan harapan, selama proses pengadilan berlangsung. Namun, Rachman dibebaskan oleh pengadilan Jakarta. Kebebasan Rachman ini disesalkan oleh Mayong karena Kejaksaan Agung menghentikan kasusnya secara langsung karena mendapatkan tekanan dan ancaman dari pihak luar, yakni kelompok garis kerasdi bawah bendera MUI. Akhirnya, Rachman harus menjalani hukuman penjara kembali selama tiga tahun. Mayong percaya bahwa kasus persidangan Lia dan Rachman berjalan tidak adil, karena para hakim, pengacara, dan saksi ahli semua dari komunitas Muslim. Namun, Azhari Kautsar Noer, saksi ahli dari UIN Jakarta, menunjukan sikap luar biasa dengan menghargai toleransi kepada agama yang berbeda yang dianut oleh kelompok Eden. Kautsar menolak tuduhan penistaan yang disematkan kepada Lia. Tetapi pembelaan Noer masih lemah dan terlalu subyektif jika dilihat dari perspektif hukum. Kemudian persidangan yang diadakan pada tahun 2009 karena laporan yang diajukan oleh Sodiran, seorang intelejen polisi berkantor di Polda Metro Jaya, yang merasa ketakutan atas 200 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin pernyataan Lia tentang penghapusan semua agama yang mungkin. Secara logis, sebetulnya tidak mungkin seorang Lia yang hanya memiliki jumlah 20 pengikut akan mampu mengancam Islam dengan jumlah mayoritas di negeri ini. Bagi Mayong, yang percaya kepada Lia, jika dibandingkan dengan agama-agama minoritas lain, seperti Kristen dan Ahmadiyah, Eden terlalu kecil jumlahnya akan menimbulkan ancaman bagi Islam di Indonesia. Namun, bila kita mengingat penyataan Appadurai (2006), jumlah yang kecil adalah bagian yang tidak terpisahkan dari identitas kelompok mayoritas, tanpa minoritas itu identitas mayoritas tidak jelas. Maka dari itu, jumlah kecil ini sering di anggap sebagai acaman bagi kelompok mayoritas. Saya pun mewawancara Nong Darul Mahmada, aktivits Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Freedom Institute, yang menghadiri sesi persidangan selama tiga kali pada tahun 2006. Dia juga berkunjung sel Lia selama di penjara. Nong mengatakan kepada saya bahwa berbagai organisasi keislaman keras, seperti FPI, Forum Umat Islam (FUI), dan lain-lain, di bawah payung MUI, mengintimidasi beberapa persidangan. Nong juga melihat koordinasi yang dilakukan begitu sistematis, seperti berikut: MUI mengeluarkan fatwa dengan mencap Salamullah sebagai kelompok sesat; beberapa kelompok garis keras kemudian mendukung fatwa dengan melakukan aksi massa dan teror. Pungkasnya, berbagai organisasi garis keras terorganisir di bawah koordinasi MUI, walaupun aktivitas perannya hanya berada di belakang layar. Meskipun begitu, Nong melihat bahwa saksi di pengadilan yang membela kasus Lia juga diteror malalui ancaman telepon dan intimidasi secara langsung, sebelum dan sesudah menjadi saksi di persidangan. Nong juga melihat bahwa hakim ketika memberikan hukuman ringan kepada Lia dan Rachman secara langsung diintimasi dengan mata melotot, ancaman gerakan lebih besar, dan teriakan nada marah. Dalam persidangan yang dilaksanakan tahun 2009, sebelum anggota Eden dievakuasi ke Polda Metro Jaya, Nong menghubungi Adnan Buyung Nasution, advokat senior Indonesia, meminta dia untuk membantu kasus yang dihadapi kelompok Eden. Namun, Lia dan pengikutnya menolak tawaran tersebut berdasarkan wahyu. Bab Tujuh Pertarungan Publik 201 Al Makin Para Pembela Keragaman Meskipun kebijakan pemerintah Indonesia tidak selamanya mendukung keragaman agama (lihat bab satu), ide pluralisme terus berkembang cukup baik di kalangan intelektual. Untuk mendapatkan kesimpulan seperti ini, perlu kiranya menyimak gagasan Chomsky dan Said tentang peran intelektual. Menurut Choamsky (1997), ‘intelektual’ bertugas memikul tanggungjawab dengan penuh integritas untuk membicarakan kebenaran, sedangkan Said (2003) menambahkan bahwa intelektual wajib membela kaum lemah. Kita bisa lihat bahwa para aktivis LSM Indonesia dan kaum intelektual—Mayong, Nong Darul Mahmada, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, Danarto, Haidar Bagir, dan Ulil Abshar Abdalla—menjalankan dua tugas tersebut bersamaan. Dalam prakteknya, mereka bukan hanya mempertahankan nilainilai pluralisme masyarakat Indonesia dengan tradisi keagamaan yang beragam, tapi mereka juga menafsirkan ulang istilah pluralisme dengan wawasan baru, yang sejalan dengan perdebatan intelektual Barat saat ini (Riis, 1999; Bender dan Klassen, 2010; Beckford, 2003; Barton, 1997; Bouma, 2011; Puett, 2013; lihat juga pembahasan pada bab empat). Bagi intelektual Indonesia, makna pluralisme merupakan proteksi terhadap semua keyakinan, termasuk kaum minoritas dan atheis; keyakinan adalah masalah pribadi yang tidak bisa diadili atau dipidanakan; pemerintah, polisi, MUI, dan Kementerian Agama telah salah jalur dalam menuntut Lia di pengadilan dan menuduhnya sebagai orang yang menyesatkan; rasa hormat, dan menerima perbedaan dalam keyakinan serta agama sangat penting bagi pluralisme. Di bawah ini saya menyajikan pendapat mereka lebih rinci. Musdah Mulia, seorang professor di UIN, Jakarta dan direktur Indonesian Conference for Religion and Peace (ICRP), menghadiri persidangan Lia pada tahun 2009. Kelompok Eden memanggilnya sahabat, Penulis pun juga disebutnya demikian. Ketika ditanya terkait penangkapan dan hukuman penjara bagi Lia, Musdah mengatakan kepada saya: “Bu Lia ditindas. Dia dipenjara karena keyakinannya. Saya bertanya-tanya kepada pemerintah mengapa kami dikriminalisasi, sementara beberapa ‘penjahat beneran’ bebas berkeliaran.” Musdah, yang berasal dari suku Bugis, telah memberikan sokongan moral kepada Lia, yang juga dari suku 202 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin Bugis. Sikap Musdah ini sejalan dengan prinsip-prinsip ICRP yang dinyatakan dalam situs mereka http://icrp-online.org/proil, yaitu membela pluralisme dan kebebasan beragama. Musdah mengatakan kepada saya bahwa orang-orang yang berkeyakinan dan ateis memiliki hak yang sama untuk hidup dan menjalankan keyakinan mereka sebagaimana juga orang-orang beragama. Sehubungan dengan penangkapan dan penahanan Lia, Musdah mengatakan bahwa negara telah menyimpang dari semangat sejati UUD 1945, menurutnya tugas dan kewajiban negara justru harus melindungi semua kelompok, terlepas apakah mereka beragama maupun tidak. Hal ini memang benar bahwa satu dari lima prinsip negara (Pancasila) menyatakan keyakinan dalam “satu Tuhan”. Namun, bagi Musdah, prinsip tersebut juga mengakomodasi keyakinan yang berdasar pada spiritualistas pribadi; dan itu belum tentu masuk kategori salah satu dari lima atau enam agama yang resmi diakui oleh pemerintah. Pemerintah saat ini telah memegang interpretasi yang salah atas kebebasan beragama. Agama-agama resmi tidak disebutkan dalam UUD 1945. Lima agama disebutkan hanya dalam surat yang ditandatangani oleh Kementerian Luar Negeri pada tahun 1978, dengan penambahan menjadi enam agama pada tahun 2006. Musdah mengkiritik pemerintah yang memihak kaum konservatif.Sedangkan presiden Susilo BambangYudhoyono (SBY) hanya diam tidak berkata apa-apa. Bagi Musdah, SBY merupakan seorang politikus yang berpendirian tidak jelas. Penindasan bagi kelompok minoritas menjadi pemberitaan setiap hari. Musdah memandang baik fondasi teologis maupun konstitusi negara harus memproteksi kaum minoritas. Ia juga mengingatkan kita bahwa kebebasan beragama dan pluralisme tidak secara otomatis dapat terwujud bagi masyarakat Indonesia, hal ini masih membutuhkan perjuangan yang melelahkan. Bagi Musdah, pemeriksaan pengadilan dan hukuman penjara merupakan kesalahan besar. Selama sesi persidangan, semua pertanyaan yang diajukan oleh para pengacara tidak dapat dijawab, sebab keyakinan merupakan sebuah hak asasi manusia paling fundamental dan masalah pribadi, yang tidak akan bisa diajukan dalam pengadilan. Seperti Musdah menggarisbawahi, Keyakinan tidak bisa dituntut maupun diadili. Ketika hakim dan pengacara mencecar Lia dengan pertanyaan, Bab Tujuh Pertarungan Publik 203 Al Makin Lia merespon mereka dengan jawaban sama sekali tidak terduga... persidangan itu tidak rasional dan tidak logis. Keyakinan tidak bisa dituntut maupun diadili. Musdah menekankan bahwa Lia tidak melakukan tindakan kriminal. Lia juga tidak layak dimasukan ke penjara hingga dua kali. Pengadilan, di bawah bayang-bayang kekuatan orthodoksi keislaman telah menyesatkan semua proses. Ketika di pengadilan Lia menunjukkan kejujuran, keberanian, dan kemurnian hati dengan membuktikan bahwa sidang pengadilan itu sepenuhnya salah. Musdah melihat Lia sebagai pemimpin spiritual yang menyeru umat melakukan perbuatan baik. Selama di penjara, Lia membuat semua narapidana bahagia dengan melakukan perbuatan baik dan berbagi keterampilan merangkai bunga sesama narapidana dan sipir. Melihat praktik-praktik korupsi yang lazim terjadi di banyak penjara di Indonesia, Lia mungkin dikirim Tuhan untuk memberantas praktek-praktek itu di penjara, bahkan mereka para pengikut Lia berhasil dalam menghindari membayar sipir pada saat mereka berkunjung. Singkatnya, Lia sangat jauh dari perbuatan pidana yang dituduhkan dan faktanya Lia mengajarkan spiritualitas dan kejujuran. Pembela lain adalah Dawam Rahardjo, aktivis Muslim yang mendukung nilai dan prinsip pluralisme sejak era pemerintahan Soeharto. Dia melihat cerita Lia seperti cerita para nabi lain dalam tradisi Islam, sebagai pencari jalan spiritual. Seperti nabi lain, Lia mengaku menerima bimbingan secara langsung dari Tuhan. Dia mungkin juga dapat disamakan dengan Buddha Gautama, pendiri agama Buddha, dalam menuju jalan pencerahan. Seperti Nabi Muhammad bertapa di Gua Hira di Mekkah sebelum menerima wahyu dari Jibril, Lia pun melakukan hal tersebut di Bogor. Dengan begitu, Dawam Rahardja, sama seperti Musdah dan Nong, menolak fatwa MUI yang mencap Eden sebagai aliran sesat. Bagi Rahardjo, Lia adalah seorang yang murtad. Ambil contoh konsep Tuhan di Eden. Konsep Tuhan yang diterapkan di Eden tidak hanya merujuk pada konsep Islam, tetapi lebih universal, termasuk konsep Tuhan di agama Buddha dan Kristen. Memang benar Lia menggunakan simbol Islam, seperti Malaikat Jibril. Namun, Lia menambahkan konsep lain seperti reinkarnasi, yang tidak ada dalam Islam. Patut juga diingat bahwa konsep malaikat Jibril tidak 204 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin hanya terdapat dalam Islam saja, tetapi keberadaannya juga ada diagama Kristen dan Yahudi. Secara singkat, Eden menawarkan konsep yang lebih universal tentang spiritulitas dan religiuisitas daripada pemahaman MUI itu sendiri. Dawam bercerita kepada saya bahwa pemahamannya tentang kenabian dan malaikat mungkin berbeda dengan Eden. Namun, Dawam toleran dengan keyakinan yang berbeda dari kelompok Eden. Dawam tidak ingin ikut campur dengan keyakinan orang lain, tetapi cukup menghargainya. Lebih tegas, Dawam juga tegak berdiri membela Eden ketika kelompok ini mendapat tekanan (Rahardjo, 2006). Sebagai seorang Muslim, Dawam percaya bahwa Muhammad merupakan Nabi terakhir (khatam anbiya)— sebuah doktrin yang dia interpretasikan bahwa kenabian seperti Muhammad pada abad ke tujuh tidak lagi relevan kalau muncul sekarang. Saat ini di era masyarakat modern memang sulit untuk menerima ide dan konsep kenabian seperti kenabian abad ke 7. Di tengah masyarakat modern yang lebih rasional sulit untuk menerima kemunculan dan merelevansikan konsep lama untuk saat ini. Namun, tidak masalah seaneh apapun ajaran religius, kebebasan akan keyakinan dan agama harus ditegakan. Klaim kenabian Lia adalah masalah spiritualitas yang sering masuk wilayah pandangan subyektif atau personal. Hal ini perlu digarisbawahi bahwa banyak masyarakat Indonesia memiliki tendensi arah agama dan spiritualitas baru. Indonesia merupakan negara yang tumbuh subur terhadap keyakinan beragama. Dawam percaya bahwa munculnya pencari spiritualitas seperti Lia bukan lah hal yang luar biasa di Nusantara dan mereka membutuhkan ruang kebebasan dan perlindungan, bukan untuk dituntut dan dianiaya. Dawam percaya bahwa penangkapan dan penahaman Lia adalah kesalahan. Maka dari itu, persidangan yang dilakukan melanggar konstitusi negara. Pengadilan, yang didukung oleh MUI, menganggap Lia melakukan penistaan bagi Islam juga salah. Sebaliknya, Dawam, melihat kritik yang dilontarkan Lia adalah persoalan biasa, yang pada umumnya sering muncul dalam setiap forum yang diikutinya. Dawam sudah biasa mengkiritik agama dari sisi intelektual, Lia juga melakukan kritik tetapi berdasarkan pengalaman spiritual. Sekali lagi, MUI tidak mempunyai hak sama sekali untuk melarang spiritual Lia, terutama ketika Bab Tujuh Pertarungan Publik 205 Al Makin fatwanya digunakanoleh pengadilan negara untuk mengadili Lia. Dawam juga mengkritisi Kementerian Agama yang gagal untuk melindungi orang yang berbeda keyakinan. Dawam berargumen: Di Indonesia, Kementerian Agama gagal menegakkan konstitusi negara. Tugas Kementerian bukan membuat orang untuk lebih religius tetapi yang lebih penting melindungi praktik ibadah keagamaan dan menghormati kebebasan beragama, termasuk mereka yang tidak memeluk agama sekalipun. Berkenaan dengan kritik yang dilontarkan oleh Lia Eden; ini bisa dibandingkan dengan Marx, misalnya, yang menyatakan bahwa agama adalah candu masyarakat. Apakah ini penistaan bagi semua agama? Bahkan, hal ini adalah hipotesis ilmiah. Bagi saya, agama sering menjadi opium, membuat orang tidak menyadari bahwa mereka sedang tertindas. Marx tidak pernah menyarankan pelarangan agama. Sebaliknya, dia menyimpulkan bahwa jika kemiskinan diberantas, agama akan kehilangan perannya dalam masyarakat. Bagi Dawam, pemerintah Indonesia mengikuti logika orthodoksi yang ‘kekanak-kanakan’ dalam merespon klaim religius Lia. Di sisi lain, banyak pemimpin Muslim tidak siap untuk menerima kritikan. Bahkan, dalam agama Kristen ada banyak buku yang menyerang keimanan, tetapi Gereja tidak pernah menanggapi kritikan tersebut sebagai bentuk penistaan agama. Justru Dawam bertanya, apakah Muslim dapat mengikuti contoh yang dijalankan oleh umat Kristen. Terhadap MUI, Dawam berpendapat bahwa pengadilan yang menuntut Lia justru malah menghancurkan nama baik Islam. Dia melihat pelaksanaan sidang Lia sebagai bentuk penistaan agama Islam. Orang-orang seperti Amin Djamaluddin mencemarkan citra dan ajaran Islam dengan mengadili berbagai sekte Islam, seperti Eden, Syi’ah, Ahmadiyah, dan aliran Inkar Sunnah di Indonesia. Djamaluddin telah melakukan penistaan. Lia Eden dan Ahmadiyah tidak pernah dengan sengaja melakukan penistaan kepada agama Islam, tetapi semua tindakan Djamaluddin di sengaja. Kebebasan beragama telah tercemar oleh penindasan dan penganiayaan terhadap kelompok minoritas, seperti pembakaran beberapa Masjid Ahmadiyah dan perlakuan tidak adil kepada para 206 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin pengikutnya; oleh karena karena itu sikap teologis dan ideologis Djamaluddin telah menyesatkan. Seperti Musdah, Dawam juga mengkritisi SBY karena berdiam diri dan tidak bertindak. Dawam menduga bahwa ketua MUI, Ma’ruf Amin, memiliki pengaruh besar atas keputusan SBY. Tidak seperti Abdurrahman Wachid (Gus Dur) bersikap tegas dalam membela pluralisme, SBY tidak pernah menunjukan sikap yang jelas dalam memihak kebenaran karena takut kehilangan dukungan dari umat Islam. Dawam mengingatkan kita akan konsep sekularisme yang dianjurkan oleh Sukarno, presiden pertama Indonesia yang merujuk ke konsep dariTurki. Dawam menjelaskan bahwa “Negara tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan keyakinan orang dan seharusnya jangan pernah memihak agama tertentu secara tidak adil pula.” Sebaliknya, negara harus netral, dan menunjukkan rasa adil kepada agama yang diyakini masyarakat. Pada tahap ini, politisasi agama dapat dihindari, tidak seperti situasi saat ini, di mana agama di Indonesia dan politik menjadi tidak terpisahkan. Demikian juga, Danarto, Haidar Bagir, dan Ulil Abshar Abdalla, dan para intelektual lain membela Lia di pengadilan, sebagaimana tulisan-tulisan mereka juga diterbitkan oleh majalah Tempo. Kita mulai dengan tulisan Danarto (2006), mantan suami Dunuk dan anggota pengajian Salamullah ini, berusaha untuk membangun citra baik dalam menyoroti Lia yang murah hati dan dermawan, contohnya, ia memberikan terapi gratis di rumahnya. Di sisi lain, Danarto menyoroti MUI secara kritis karena mengeluarkan fatwa sesat untuk ajaran Eden. Bagi Danarto, MUI lah yang patut dikritisi karena dengan fatwanya telah melarang pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. Danarto merasa MUI bertentengan dengan kebijaksanaan Presiden Habibie. Danarto masih ingat bahwa selama kepresidenan Habibie, Lia dipanggil Kementerian Agama; kemudian Eden menjelaskan pengalaman spiritualitas mereka. Kementerian pun menyimpulkan ajaran Lia bukan ancaman bagi masyarakat dan publik—ini mendapat dukungan dari Habibie. Abdurrachman Wachid (Gus Dur) juga tidak setuju dengan sidang peradilan Lia. Sama seperti Danarto, Haidar Bagir (2006) berpendapat bahwa persidangan Lia merupakan kesalahan. Namun, Bagir Bab Tujuh Pertarungan Publik 207 Al Makin memberikan kritik atas unsur spiritualitas dan irasional dalam kelompok Eden, seperti kharisma Lia mendominasi karakteristik kelompok. Bagi Bagir, satu-satunya cara untuk memahami dan mengkiritik Eden adalah dengan pemikiran rasional, bukan menjebloskan pemimpinnya kepenjara. Ulil Abshar Abdalla (2006), pendiri JIL, menulis dialog imajiner antara kiai dengan santrinya tentang posisi Lia dalam teologi Islam. Menurut santri, Ulil menyatakan suatu agama tidak bisa dinilai berdasarkan standar agama lain, seperti Lia menyatakan dirinya murtad. Dalam tahap ini, bagi Ulil juga mengkritisi keberatan umat Muslim bahwa Lia telah meminjam simbol-simbol Islam untuk kelompoknya. Seperti yang diungkapkan Rachman dan Lia (lihat bab 5 dan 6), Abdalla berpendapat bahwa Islam juga menggunakan simbol agama Yahudi, Kristen, dan tradisi Arab pra-Islam. Bagi Ulil, umat Islam tidak seharunya bersikap marah ketika Lia mengungkapkan kritikan untuk Islam, karena Islam juga melakukan hal yang sama dengan meminjam simbol dan bersikap kritis pada agama semit terdahulu, seperti Yahudi dan Kristen. Meskipun Lia menawarkan ajaran yang berbeda dengan Islam dan mungkin sesat, dia memiliki hak untuk hidup di Indonesia tanpa intimidasi. Menariknya, Ulil menyatakan “Setahu saya, yang ada adalah pernyataan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir. Tetapi Islam adalah agama terakhir sepertinya tidak ada”. Bahkan, setelah Islam, ada banyak agama di dunia terus muncul. Bagi Ulil, Eden memiliki wahyunya sendiri, kitab suci, nabi, pengikut, dan ibadah, harus diakui sebagai agama independen di Indonesia. Mengingat pembahasan tersebut di atas, Harvey (2009), Sirry (2013), dan Gillespie (2007) benar dalam menyatakan bahwa selama era reformasi kembali kelompok garis keras-konservatif mengalahkan komunitas liberal-moderat melalui MUI yang di dukung pemerintah. Diskusi ini menunjukan bahwa tidak peduli seberapa meyakinkan, logis, dan rasional argumen kaum liberal, dalam rangka memenangkan pertempuran kaum konservatif menggunakan cara-cara intimidasi dan teror di pengadilan, dijalanan, dan di media massa. Dalam kasus Eden, kaum liberal dikalahkan begitu saja oleh kelompok konservatif. 208 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin NRM dan Orthodoksi Keislaman Selama Orde Baru dan periode reformasi, orthodoksi Islam dengan mudah membungkam sebagian besar tantangan yang ditimbulkan oleh NRM. Agama populer hanya punya sedikit kebebasan di negeri ini; penganiayaan dan pengadilan bagi nabi pribumi serta para pengikutnya sering terjadi. Dalam sejarah Indonesia, Lia Eden adalah satu-satunya nabi yang tidak pernah menyerah kepada tekanan yang semakin meningkat dari MUI, pemerintah, dan media. Khususnya, sebagian besar NRM di Indonesia ditandai dengan sikap ‘world-accommodating’, yang memungkinkan mereka bertahan hidup seiring semakin berkembanganya orthodoksi Islam. Meskipun mereka memiliki misi tertentu untuk mengubah tatanan dunia, gerakannya tidak bersikap evangelis dalam menyebarkan misinya, melainkan menunjukan sebuah sikap kompromi dengan dunia luar. Sebagai contoh, Subud merupakan NRM yang sudah mendunia dan pengikutnya menyebar ke lebih dari 80 negara, dan memperlihatkan sikap akomodatif dalam mendorong pengikutnya di Indonesia untuk memeluk salah satu agama resmi di negeri ini. Mereka cukup berhati-bati untuk tidak mencampur-adukkan antara latihan dengan ritual ibadah. Namun, antara pemimpin NRM dengan anggota yang saya temui, termasuk dari NRM seperti Sumarah, Pangestu, Sapta Dharma, Sumarah Purbo, ASK (lihat lampiran II), sebagian besar meminta keyakinan mereka diakui dan memperlakukannya sebagai agama. Dalam istilah hubungan mereka dengan masyarakat yang lebih luas di luar kelompok, NRM ini mengadopsi sikap ‘refuge’. Mereka mengadakan kegiatan ceramah dan pertemuan yang dihadiri oleh anggota, memberikan layanan spiritual, dan tidak berniat untuk menyebarkan keyakinan di luar kelompoknya. Sikap worldaccommodating merupakan cara yang efektif dalam menghadapi dengan dunia luar, terutama dengan menghadapi orthodoksi keislaman dan efeknya dapat diminimalisir. Namun, kerajaan Eden menunjukan kecenderungan ke arah gaya world-rejecting,di mana Lia memberlakukan standar moralitas yang ketat bagi pengikutnya; bagi yang tidak dapat memenuhi standar tersebut dikeluarkan dari kelompok. Secara bersamaan, ia menjadi pusat kegiatan kelompok, semua printah dan Bab Tujuh Pertarungan Publik 209 Al Makin bimbingannya harus dipatuhi. Hal ini tentu saja menjadi salah satu kelemahan bagi internal kelompok. Pada saat Salamullah masih mengadopsi sikap ‘world-airming’ dengan menawarkan layanan terapi untuk menyembuhkan klien dari pelbagai latar belakang tanpa menuntut apapun sehingga terbangun ikatan emosional, Lia dapat menarik peminat hingga ratusan klien. Pada tahun 2000, 88 devotee mengikuti Lia untuk melakukan pengasingan di salah satu tempat di bukit Bogor. Tapi setelah kelompok mengubah sikap, para anggota menjadi lebih tertutup dan mereka dikarenakan aturan yang ketat; jumlah para anggota pun menurun tajam dari tahun ke tahun. Di tahun 2005, devotee-nya berjumlah 48, dan tahun 2008 jumlahnya semakin menurun menjadi 29. Di tahun 2011, ketika saya berkunjung ke Jalan Mahoni, ada 20 devotee yang tinggal di dalam rumah. Di akhir tahun 2012, dua anggota penting (Umar dan Ivuk), yang saya wawancarai, juga keluar dari kerajaan. Di tahun 2014, Andito dan Aisyah juga meninggalkan Eden. Sikap world-rejecting tidak bisa menciptakan kondisi yang stabil bagi perkembangan kelompok. Perjuangan untuk bisa bertahan hidup dari hari ke hari terasa berat penuh tantangan. Selain itu, sebagai konsekuensi dari mengadopsi gaya world-rejecting, Eden harus memenuhi banyak rintangan. NRM yang didirikan dan dipimpin oleh pemimpin yang tidak selalu stabil dihadapkan dengan banyak tuntutan dan moralitas yang keras untuk para devotee-nya. Pelbagai masalah internal dengan mudah sering membuat devotee dikeluarkan atau berhenti dengan sendirinya dari keanggotaan kelompok. Saat yang sama suara Eden juga ingin di dengar di luar, namun malah sering menentang opini publik. Oleh karena itu, Lia digambarkan secara negatif di media. Namun, misi revitalisasi Eden dalam merubah tatanan dunia telah menentang orthodoksi keislaman di Indonesia. Dibandingkan dengan tantangan yang ditimbulkan oleh nabi-nabi lain, Lia paling berani dan menjadi berita kontroversial di media. Kasusnya memicu perdebatan publik menyangkut tema kebebasan agama, toleransi, dan konsep pluralisme. Sedangkan gaya world airming dan world accommodating yang diadopsi banyak NRM menyebabkan sikap kompromi dengan orthodoksi keislaman dan peraturan pemerintah, sehingga bisa menghindari konfrontasi secara langsung, tapi Lia Eden dengan berani dan secara langsung 210 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin menentang kekuatan dominasi MUI dan pemerintah. Dibandingkan dengan Ahmad Mushaddeq pendiri Qiyadah Islamiyah (lampiran III),yang juga menarik ribuan anggota di banyak propinsi di Indonesia dan menimbulkan kontroversi pemberitaan media, dampak Lia pada masyarakat lebih memiliki efek jangka panjang yang memperkaya tradisi agama Indonesia. Memang benar bahwa Mushaddeq menarik banyak anggota, membangun organisasi yang baik dan memiliki manajemen canggih, tapi ia juga mempunyai misi ekonomi dan politik. Jama’ah Qiyadah membayar iuran secara teratur dan mengumpulkan modal yang digunakan untuk mengejar impian mereka mendirikan negara ideal, ‘negara Islam’. Lia dalam menyebarkan ide dan nilai tidak bertujuan ke arah kekuasaan politik. Dia hanya menyatakan ide kontroversial dihadapan publik, misalnya dalam menyatukan semua agama (perenialisme) untuk menciptakan perdamaian, karena ia melihat banyak masyarakat dengan beragam iman mudah terpicu konlik. Dia mengkritisi orthodoksi keislaman yang gagal dalam membawa perdamaian bagi Muslim maupun Non-Muslim. Pada gilirannya, ia secara terbuka murtad dari agama Islam, sebuah langkah yang berani karena tak ada seorang pun di Indonesia mengambil sikap tersebut. Dia mengutuk para koruptor dan sistem pemerintah yang gagal. Dia membela kelompok yang lemah dan kaum minoritas. Tentu, pesan Lia ini mencerminkan krisis di era reformasi yang patut untuk direnungkan bersama. Semua ini bisa didapatkan dari pembacaan yang cermat dan pemaknaan wahyu Lia. NRM dengan sikap world-airming atau world-accommodating tampaknya memiliki kesempatan yang baik untuk tetap hidup di Indonesia karena tingkat kompromi dengan dunia luar, namun mereka berkontribusi terlalu sedikit untuk membawa perubahan nyata kondisi sosial keagamaan di negeri ini. Mereka tidak pernah membuat kontroversi di media, karena mereka menghindari perhatian publik. Menyedihkan lagi, hak-hak dasar terkait kepercayaan dan keyakinan mereka diabaikan oleh pemerintah. Ini berbeda, ketika kerajaan Eden ketika mengadopsi gaya worldrejecting menarik perhatian publik dengan ide-ide yang kontroversial khususnya pada konsep-konsep penting yang berkaitan dengan pluralisme. Namun, hal ini tidak berarti bahwa NRM worldrejecting lebih baik daripada jenis NRM lain atau agama resmi. Bab Tujuh Pertarungan Publik 211 Al Makin Yang jelas adalah masyarakat Indonesia dengan mayoritas Muslim menanggapi munculnya kerajaan Eden harus memikirkan kembali tradisi keagamaan mereka secara kritis. Di sisi lain, kerajaan Eden berjuang untuk bertahan hidup di bawah aturan ketat dan otoriter pemimpin yang labil, sehingga menyebabkan banyak anggota menjadi frustrasi dan meninggalkan kelompok. Kerajaan Eden menawarkan pandangan alternatif di ranah diskusi publik, yang banyak intelektual Indonesia tanggapi secara serius. Memikirkan Kembali Keragaman Pada dasarnya, kasus Lia Eden menggugah masyarakat Indonesia untuk berpikir tentang makna pluralisme. Beckford (2010) mengusulkan tiga makna pluralisme, yaitu sebagai deskripsi realitas, yaitu keanekaragaman realitas dalam masyarakat; 2) manajemen negara dalam pengelolaan keanekaragaman, berkaitan dengan masalah hukum normatif; dan 3) ide-ide intelektual tentang realitas keanekaragaman. Buku ini membahas terkait dengan tiga tema tersebut. Memang, pluralisme sebagai realitas tidak bisa dipungkiri di Nusantara, yang melahirkan ratusan nabi yang mendirikan berbagai kelompok keagamaan sepanjang sejarah negeri ini. Diskusi kita juga mencakup kebijakan pemerintah dalam tradisi agama dari era Orde Baru sampai era reformasi, di mana kita menyaksikan kurangnya negara dalam mendukung keragaman melalui kebijakan dan regulasi. Pemerintah Orde Baru dan era reformasi membatasi pluralisme agama dengan pengakuan negara dan perlindungan hanya pada enam agama resmi (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu), sementara kelompok-kelompok agama lainnya, yakni agama populer yang didirikan oleh nabi lokal tidak mendapatkan tempat. Kebijakan ini diskriminatif dan jelas ini berimplikasi pada penolakan makna pluralisme yang tidak bisa dipungkiri dalam tradisi keagamaan dan spiritualitas Indonesia. Di sisi lain, aktivis LSM dan intelektual melihat kasus Lia Eden secara serius, sebagai batu loncatan untuk memaknai kembali apa itu pluralisme. Mereka membela nilai-nilai pluralisme yang meliputi: proteksi semua keyakinan, pembelaan kelompok minoritas; penghormatan dan pemahaman pada perbedaan agama dengan memastikan orang-orang dari berbagai kelompok agama 212 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya Al Makin Gambar 15: Koleksi Amin Djamaluddin berupa majalah dan buku tentang ‘aliran sesat’. Dari kanan ke kiri cover majalah Panji menampikan Bijak Bestari, buku Ahmad Mushaddeq, dan buku Bijak Bestari. dan penganutnya diperlakukan secara adil dan sejajar; keimanan adalah masalah priadi yang tidak bisa diadili dipengadilan dan dipidanakan; maka pemerintah, MUI, dan Kementerian Agama telah melakukan kesalahan dalam membawa Lia Eden dan nabi lainnya dalam pengadilan dan penjara. Sayangnya, pemerintahan SBY gagal dalam meninjau kembali relevansi UU Penistaan 1965 sebagai dasar banyak nabi Nusantara yang dituduh melakukan penistaan kepada agama Islam. Pemerintah tunduk dibawah tekanan orthodoksi keislaman yang bernaung di bawah panji MUI, yang berusaha untuk meredam keragaman NRM yang dirasa menentang otoritas keagamaan Majelis ini. Kriminalisasi atas para nabi, termasuk Lia Eden, berjalan sistematis dan legal berdasarkan hukum penistaan agama 1965. Selama hukum penistaan agama tidak dikaji ulang, pemerintah tidak akan bisa menghormati keyakinan nabi-nabi tersebut dan tidak akan memberi kebebasan bagi mereka yang kreatif dalam mengungkapkan kebijaksanaan dan ajaran baru yang kreatif. Bab Tujuh Pertarungan Publik 213 Al Makin 214 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya DAFTAR PUSTAKA Karya Lia Eden Aminuddin, Lia (1991). Membuat dan Merangkai Bunga Kering. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Aminuddin, Lia (1998a; 2002). Pancasila Meniti Zaman. Jakarta: Salamullah. Aminuddin, Lia (1998b). Perkenankan Aku Menjelaskan Sebuah Taqdir. Jakarta:Yayasan Salamullah. Aminuddin, Lia (1998c). Kemasan Sapaan Langsung Kepada Para Pasien di Klinik Salamullah, Setiap: Senin-Rabu-Jum’at, ed. Umar Iskandar. Jakarta: Klinik Penyembuhan Salamullah. Aminuddin, Lia (1999). Lembaran Al-Hira, Fatwa Jibril Alaihissalam Versus Fatwa MUI. Jakarta:Yayasan Salmaullah. Eden, Lia (2007a). Fatwa Mahkamah Tuhan. Jakarta: Eden God’s kingdom. Eden, Lia (2007b). Sumpah Tuhan Yang Maha Kuasa. Jakarta: God’s kingdom. Daftar Pustaka 309 Eden, Lia (2007c). Surat Ruhul Kudus tentang Keadaan Bangsa Indonesia ke Depan. Jakarta: God’s Kingdom Tahta Suci Kerajaan Tuhan Eden. Eden, Lia (2009). Memori Banding: Penghapusan Agama-Agama adalah Pertolongan Tuhan untuk Perdamaian Dunia. Jakarta. Eden, Lia (2011). Filosoi Bunga dari Penjara. Jakarta: Eden. Fatwa Jibril Fatwa Jibril (1998). Rumor tentang ninja, November 6. Fatwa Jibril (1999). Surat untuk A.S. Maringka, Ketua panitian Natalan,Yayasan Pelayanan Kasih,“Batu Penjuru”, Desember 2. Fatwa Jibril (1999). Surat untuk Prof. K.H. Ali Yaie, November 24. Fatwa Jibril (1999). Surat untuk Jaksa Agung A.M. Ghalib, Maret 15c. Fatwa Jibril (1999). Surat untuk Kepala Urusan Sosial dan Budaya Jaksa Agung, Jawadin Saragih,” Maret, 15b. Fatwa Jibril (1999). Surat untuk Kepala SLTPN 52 Jakarta, October. Fatwa Jibril (1999). Surat untuk Menteri Agama Malik Fajar, Maret 15d. Fatwa Jibril (1999). Pertarungan antara Lia Aminuddin versus Nyi Loro Kidul, September 6b. Fatwa Jibril (1999). Mubahalah, Maret, 15a. Fatwa Jibril (1999). Nabi Lia versus Nyi Loro Kidul, Agustus 31a. Fatwa Jibril (1999). Ujian iman Lia Aminuddin, September 6a. Fatwa Jibril (1999). Perang melawan kemusyrikan di Pelabuhan Ratu, Agustus 31c. Fatwa Jibril (1999). Prang di Pantai Selatan dengan Ratu Kidul, Agustus 31d. Fatwa Jibril (1999). Perang melawan Jin, Agustus 31b. Fatwa Jibril (2000). Meminta fatwa tentang larangan publikasi magik dan syirik di Media, surat ditujukan ke ketua MUI 310 Daftar Pustaka Ibrahim Hosen, Maret 9. Fatwa Jibril (2000). Mengumumkan Salamullah sebagai agama baru, Juni 16. Fatwa Jibril (2000). Jawaban atas pertanyaan tentang anak yang disurupi ruh malaikat yang membakar orang-tuanya, surat untuk redaktur majalah Amanah Eddy Yurnaidi, Maret 9. Fatwa Jibril (2000). Kritik atas publikasi magik dan praktek syirik, surat untuk Jaksa Agung Marzuki Darusman, Maret 9. Fatwa Jibril (2000). Menghapus penyalahgunaan obat-obatan, Februari10. Fatwa Jibril (2000). Manipulasi hipnotis, Januari 18. Fatwa Jibril (2000). Berita periodik Malaikat Jibril I, Maret 29. Fatwa Jibril (2000). Berita periodik Malaikat Jibril III, Mei 27. Fatwa Jibril (2000). Agama, etnis, dan ras, Januari 6. Fatwa Jibril (2000). Melaporkan Salamullah sebagai agama baru, dikirimkan ke Menteri Agama Tolhah Hasan, Juni 20. Fatwa Jibril (2000). Penghapusan santet, Februari 15. Fatwa Jibril (2000). Peringatan terakhhir dari Jibril, Juni 11. Fatwa Jibril (2001). Sumpah Jibril, April 3. Fatwa Jibril (2001). Berita periodik Malaikat Jibril II, April 24. Fatwa Jibril (2003). Tentang Gus Maksum dari Lirboyo, July 31. Fatwa Jibril (2003). Pengumuman tentang Pemilu 2004, Oktober 27. Fatwa Jibril (2003). George W. Bush, April 14. Fatwa Jibril (2003). Tentang pesantren Ngruki, Agustus 15. Fatwa Jibril (2003). Tentang syirik, Juli 27. Fatwa Jibril (2003). Tentang pelaku bom Bali, Agustus 18. Fatwa Jibril (2003). Tentang dukun, September 6. Fatwa Jibril (2003). Untuk masjid Al-Ikhlas, September 20. Fatwa Jibril (2003). Untuk Media massa Islam, November 6. Fatwa Jibril (2003). Untuk media massa, dan stasiun TV, September 15. Fatwa Jibril (2003). Untuk Muslim, Agustus, 14. Fatwa Jibril (2004). Surat untuk Akbar Tandjung, March 24. Daftar Pustaka 311 Fatwa Jibril (2004). Surat untuk Bambang Pranowo, July 12. Fatwa Jibril (2004). Surat untuk Komaruddin Hidayat, September 27. Fatwa Jibril (2004). Surat untuk perancang tongkat, Desember 1. Fatwa Jibril (2004). Campur tangan berita Metro TV, April 22. Fatwa Jibril (2004). Campur tangan berita sticker SCTV, Maret 6. Fatwa Jibril (2005). Surat untuk masjid Meranti Senen, Desember 25. Fatwa Jibril (2005). Kemarahan Tuhan dengan tsunami Aceh, surat terbuka publik untuk Indonesia, Januari 4. Fatwa Jibril (2005). Surat untuk Ash-Shiddiqie, ketua MK, Januari 15. Fatwa Jibril (2005). Surat untuk para tetanggga, Desember 19. Fatwa Jibril (2005). Surat terbuka publik, Juni 6. Fatwa Jibril (2005). Sholat dengan dua bahasa, surat terbuka publik Juni 6. Fatwa Jibril (2005). Peluncuran kerajaan Tuhan, pengumuman publik Desember 5. Fatwa Jibril (2006). Surat untuk presiden SBY tentang lumpur Sidoarjo, Agustus 14a. Fatwa Jibril (2006). Surat untuk SBY tentang kutukan Tuhan untuk Indonesia, September 6. Fatwa Jibril (2006). Surat untuk Hakim Lief Soijullah dan JPU Salman Maryadi, Juni 7a. Fatwa Jibril (2006). Surat untuk JPU, Juni 7. Fatwa Jibril (2006). Surat terbuka untuk SBY, Oktober 2a. Fatwa Jibril (2006). Surat terbuka tentang lumpur Sidoarjo dibunag ke laut, Oktober 4. Fatwa Jibril (2006). Surat terbuka untuk Hasyim Muzadi karena mendukung dakwaan menyimpang Lia Eden, Januari 5. Fatwa Jibril (2006). Surat terbuka tentang Ruh Kudus berkaitan tentang ritual penyusican di Eden, Juni 7b. Fatwa Jibril (2006). Surat terbuka tentang lumpur Sidoarjo 312 Daftar Pustaka mudlow disaster, Agustus 14b. Fatwa Jibril (2006). Surat terbuka berupa peringatan tentang gempa bumi yang akan menghantam Jakarta, October 2b. Fatwa Jibril (2006). Keterangan ramalan gempa yang tidak pernah terjadi di Jakarta, surat terbuka November 10. Fatwa Jibril (2006). Program TV unsolved cases 2005, Desember 22. Fatwa Jibril (2006). Pembaruan peta dunia, surat terbuka, April 29. Fatwa Jibril (2006). Press release tentang pengadilan Eden, Mei 17. Sumpah Tuhan Sumpah Tuhan (2008). Berkah di kerajaan Eden, April 12. Sumpah Tuhan (2008). Tuhan akan membela Wahyu Andito di pengadilan, Desember 31. Sumpah Tuhan (2008). Tuhan menerima sumpah anggota Eden, Juni 7. Sumpah Tuhan (2008). Tiada lagi penuntutan Eden, Juli 18. Sumpah Tuhan (2008). Keselamatan untuk kerajaan Eden, Juli 4. Sumpah Tuhan (2009). Korupsi, perang, kriminal, Januari 9. Sumpah Tuhan (2009). Eden membawa kedamaian di dunia, January 5. Sumpah Tuhan (2009). Menghapus kesucian semua agama, Januari 1. Sumpah Tuhan (2010). Penghapusan MK dan Kementrian Agama, Maret 1. Sumpah Tuhan (2010). Tuhan tidak menerima doa manusia, Agustus 29. Sumpah Tuhan (2010). Banyak masalah akan dihadapi Indonesia, Oktober 25. Sumpah Tuhan (2010). Ancaman Eden untuk Indonesia, Februari, 11. Sumpah Tuhan (2010). Perang atas nama agama, August 25. Daftar Pustaka 313 Sumpah Tuhan (2011). Kerajaan Eden membawa damai, April 9. Sumpah Tuhan (2011). Kekuasaan kerajaan Eden, November 7. Sumpah Tuhan (2011). Jibril membekukan pemerintah Indonesia, April 7. Sumpah Tuhan (2011). Indonesia dipenuhi bencana, April 8. Sumpah Tuhan (2011). Pujian untuk Moch Tjiptarjo, Februari 4. Sumpah Tuhan (2011). Surga di Lapas Wanita Tangerang, April 7. Sumpah Tuhan (2011). Penjara Lapas Wanita Tangerang menjadi surga, Januari 13. Wahyu Tuhan Wahyu Tuhan (2001). Tentang skandal Bulog-gate dan Bruneigate, June 29. Wahyu Tuhan (2001). Anarkisme, June 15a, 2001; Wahyu Tuhan (2001). Bomb dan teror, September 12, 2001. Wahyu Tuhan (2001). Para demonstran yang mejarah, July 4. Wahyu Tuhan (2001). Krisis ekonomi, July 2c. Wahyu Tuhan (2001). Konlik etnis, agama dan ras, religious , Juni 16 Wahyu Tuhan (2001). Untuk MPR, Juni 13c. Wahyu Tuhan (2001). Kebebasan dan demokrasi, Juli 2d. Wahyu Tuhan (2001). Perintah Tuhan pada tujuh iblis, Oktober 18. Wahyu Tuhan (2001). Kutukan Tuhan pada Amerika, October 20. Wahyu Tuhan (2001). Sumpah Tuhan atas kiamat, April 3. Wahyu Tuhan (2001). Protes Gus Dur pada Tuhan, July 2b. Wahyu Tuhan (2001). MUI, Juni 15b. Wahyu Tuhan (2001). Tentang pengkhianatan, June 13a. Wahyu Tuhan (2001). Tentang korupsi, June 20a. Wahyu Tuhan (2001). Pengadilan June 20b. Wahyu Tuhan (2001). Kejahatan, Juli 1. Wahyu Tuhan (2001). Demonstrasi, Juli 2e. 314 Daftar Pustaka Wahyu Tuhan (2001). Narkotika, June 20c. Wahyu Tuhan (2001).Yesus, Juni 27. Wahyu Tuhan (2001). Tobat, Juni 28. Wahyu Tuhan (2001). Kematian Baharuddin Lopa, Juli 4. Wahyu Tuhan (2001). Nabi Muhammad, Juli 3c. Wahyu Tuhan (2001). Tobat dan pensucian, June, 20. Wahyu Tuhan (2001). Pensucian ruh, September 29. Wahyu Tuhan (2001). Solusi krisis Indonesia, Juni 17. Wahyu Tuhan (2001). Dosa besar, Juni 13b. Wahyu Tuhan (2001). Konlik antara Dayak dan Madura, Juli 3b. Wahyu Tuhan (2001). Kiamat, September 5. Wahyu Tuhan (2001). Ruh para pemimpin Indonesia, September 5. Wahyu Tuhan (2001). Kesatuan semua agama, Juli 2a. Wahyu Tuhan (2001). Premanisme, Juni 12. Wahyu Tuhan (2001). Buddha, Juni 24a. Wahyu Tuhan (2001). Kristen, Juni 16. Wahyu Tuhan (2001). Hindu, Juni 24b. Wahyu Tuhan (2001). Muslim, Juni 14. Wahyu Tuhan (2001). Polisi Indonesia, Juli 3a. Wahyu Tuhan (2001). Untuk presiden, Juni 28. Wahyu Tuhan (2003). Pasangan suci, Januari 22. Wahyu Tuhan (2003). Ampunan untuk Lia dan Jibril, September 24. Wahyu Tuhan (2003). Panji Tuhan menyebar keseluruh dunia, Agustus 9. Wahyu Tuhan (2003). Sumpah Tuhan, Desember 19. Wahyu Tuhan (2003). Habibie layak menjadi presiden, September 27. Wahyu Tuhan (2003). Penyakit tanpa obat, April 5. Wahyu Tuhan (2003). Perennialisme dan penyatuan semua agama, September 21. Wahyu Tuhan (2003). Pengadilan Ietje Ridwan, April 26. Daftar Pustaka 315 Wahyu Tuhan (2004). Bunda Lia sebagai irman Tuhan [logos], March 14. Wahyu Tuhan (2004). Menyampaikan kebenaran, Juli 31c. Wahyu Tuhan (2004). Kesucian dan aura kebenaran, November 13. Wahyu Tuhan (2004). LE2 sebegai web resmi di internet, Februari 23. Wahyu Tuhan (2004). Mentasbihkan kerajaan Tuhan, Januari 24. Wahyu Tuhan (2004). Peresmian tongkat surga, Juli 31b. Wahyu Tuhan (2004). Penghakiman semua makhluk, Mai 1. Wahyu Tuhan (2004). Mukjizat tongkat, Juli 24. Wahyu Tuhan (2004). Bangsa yang menentang para rasul, September 4. Wahyu Tuhan (2004). Juru damai dan juru selamat, May 27. Wahyu Tuhan (2004). Mukjizat ratu, Juli 31a. Wahyu Tuhan (2004). Penyelamat umat Buddha, Agustus 7. Wahyu Tuhan (2005). Meninggalkan syariah, Februari 26. Wahyu Tuhan (2005). Jawaban Tuhan atas sumpah para anggota Eden, February 25. Wahyu Tuhan (2005). Jawaban Tuhan atas sumpah para anggota Eden, February 26. Wahyu Tuhan (2005). Peluncuran kerajaan Tuhan, Januari 1. Wahyu Tuhan (2005). Tobat Lilis dan Tris, Juli 29. Wahyu Tuhan (2005). Bencana alam menimpa, January 5. Wahyu Tuhan (2005). Ampunan bagi Lilik, Juli, 30. Wahyu Tuhan (2005). Pembaharuan peta dunia, surat terbuka, April 25. Wahyu Tuhan (2005). Peresmian Tuhan atas raja Eden, November, 3. Wahyu Tuhan (2005). Ancaman tsunami, Januari 25. Wahyu Tuhan (2005). Peringatan bangsa Indonesia, Januari 4. Wahyu Tuhan (2005).Yanthi menderita kanker payudara, July 14. Wahyu Tuhan (2006). Menghapus agama Islam, Juni 23. 316 Daftar Pustaka Wahyu Tuhan (2006). Gempa dan tsunami, Juni 29. Wahyu Tuhan (2006). Penyakit menyebar, September 5. Wahyu Tuhan (2008). Peringatan untuk pemerintah Indonesia yang akan mengesahkan SKB—MK, Kementrian Agama, and Dalam Negeri—tentang Ahmadiyah, May 1. Wahyu Tuhan (2008). Nama baru Dewan Kerasulan kerajaan Tuhan, Juli 8. Wahyu Tuhan (2008). Untuk Ahmadiyah, April 30. Wahyu Tuhan (2008). Untuk pemerintah Indonesia, Oktober 21. Wahyu Tuhan (2008). To the Indonesian government, October 31. Maklumat Ruhul Kudus Maklumat Ruhul Kudus (2006). Press release (pelanggaran hak asasi manusia atas Lia and Rachman) dibuat oleh Koalisi Pembela Kebebasan Beragama (KPKB), December 7. Maklumat Ruhul Kudus (2006). Panggilan pertama Rachman to untuk ke penjara, November 25. Maklumat Ruhul Kudus (2006). Panggilan pertama Rachman to untuk ke penjara, November 22. Maklumat Ruhul Kudus (2006). Panggilan pertama Rachman to untuk ke penjara, November 27. Maklumat Ruhul Kudus (2006). Panggilan keempat Rachman to untuk ke penjara, December 15. Maklumat Ruhul Kudus (2006). Panggilan kedua Rachman to untuk ke penjara, November 29. Maklumat Ruhul Kudus (2008). Surat untuk Polda Metro Jaya, September 30. Maklumat Ruhul Kudus (2008).Surat terbuka tentang penyergapan FPI atas aktivis AKKBB FPI, Juni 1. Maklumat Ruhul Kudus (2008). Surat terbuka tentang pembakaran masjid Ahmadiyah, Mai 1. Daftar Pustaka 317 Surat Ruhul Kudus Surat Ruhul Kudus (2009). Surat dari Ayah untuk Titing Sulastami, Maret 22. Surat Ruhul Kudus (2009). Surat untuk Irsa Bastian, Maret 21. Surat Ruhul Kudus (2009). Surat untuk Wawan dari Ayah, Maret 21. Surat Ruhul Kudus (2009). Pesan untuk Aun dari Ayah, Januari 15. Karya devotee Eden Iskandar, Umar (2001). Peristiwa Coblong-Sukakarya. Jakarta: Salamullah. Luxiaty, Siti Zaenab (Dunuk) (2007). Hukuman Musykil ala Malaikat Jibril. Jakarta: Komunitas Eden. Rachman, Muhammad Abdul (2006). Pembelaan, Pledoi dan Duplik. Jakarta: [Komunitas Eden]. Sumardiono, (Aar) (2003). Loving You. Jakarta: LSM Perdamian/Salamullah. Sumardiono, (Aar) (2004a). Penentang Rasul, Menyikapi Perbedaan Keyakinan. Jakarta: Komunitas Eden-Salamullah. Sumardiono, (Aar) (2004b). Perennialisme, Jembatan Membangun Surga. Jakarta: Komunitas Eden-Salamullah. Sumardiono, (Aar) (2004c). Risalah Tauhid, Pesan Abadi Sepanjang Zaman. Jakarta: Komunitas Eden-Salamullah. Sumardiono, (Aar) (2004d). Ruhul Kudus 2, Sistem Komunikasi. Jakarta: Komunitas Eden-Salamullah. Sumardiono, (Aar) (2004e). Tetes Embun, Renungan Kehidupan. Jakarta: Komunitas Eden-Salamullah. Sumardiono, (Aar) (2004f). Ruhul Kudus, Guru Pribadi Umat Manusia. Jakarta: Komunitas Eden-Salamullah. Sumardiono, (Aar) (2005). Candradimuka Kaum Eden. Jakarta: Eden. Sumardiono, (Aar) (2007). Dialog di Dunia Maya. Jakarta: EdenSalamullah, 2007. Sumardiono, (Aar) (2009). Inkuisisi. Jakarta: Eden Kingdom. 318 Daftar Pustaka Sumber lain: Buku, Artikel, dan bab dalam buku Ad’han, Syamsurijal (2009) Menyingkap tabir kasus penyerangan Naqsabandiyah di Bulukumba. In Rumadi (ed). Agama dan Pergeseran Representasi: Konlik dan Rekonsiliasi di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute: pp. 129-168. Aifa, Neng Darol, (ed). (1998). Tradisi dan kepercayaan lokal pada beberapa suku di Indonesia. Jakarta: Balitbang Depag RI. Akimoto, Haruo (2006) The Aum Cult leader Asahara’s mental deviation and its social relations. Psychiatry And Clinical Neurosciences, 60, 3–8. Amin, S. M. (1968). Khayal dan kenyataan di-bawah rejim Sukarno. Singapura: S. A. Haney. Anderson, Benedict R. O’G (2002). Bung Karno and the fossilization of Soekarno’s thought, Indonesia, no. 74 (October), 1-20. Anderson, Benedict R. O’G (2006). Imagined communities, relections on the origin and spread of nationalism. London:Verso. Anthony, Dick and Thomas Robbins (2004) Conversion and “brainwashing” in new religious movements. In James R. Lewis (ed.). The Oxford handbook of New Religious Movements (pp. 243-297). Oxford: Oxford University Press. Arimurthi (n.d.). Bulletin Sumarah. Jakarta: DPP Pagutyuban Sumarah. Aritonang, Jan S. (1994). Mission schools in Batakland (Indonesia) 1861-1940 (trans: Robert R. Boehlke). Leiden: Brill. Appadurai, Arjun (2006). Fear of small numbers, an essay on the geography of anger. London: Duke University Press. Arjomand, Saïd Amir (1986). Social change and movements of revitalization in contemporary Islam. In James A. Beckford, (ed). New Religious Movements and Rapid Social Change (pp. 87-112). London: Sage. Asad, Talal (2003). Formations of the Secular: Christianity, Islam, modernity. Stanford: Standford University Press. Assyaukanie, Luthi (2008). Trajectories of Islamic liberalism in contemporary Indonesia. Australian Religion Studies Review, Daftar Pustaka 319 21 (2), 145-174. Assyaukanie, Luthi (2009). Isam and the secular state in Indonesia. Singapore: ISEAS. Bakti, Andi F. (2005). Collective memories of the Qahhar movement. In S. Zurbuhen, (ed). Beginning to remember, the past in the Indonesian present (pp. 123-149). Singapore: Singapore University Press in association with University of Washington Press. Barker, E. (1983). New religious movements in Britain: the context and the membership. Social Compass, 30 (1), 33-45. Barton Greg (1997). Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid as intellectual ulama: the meeting of islamic traditionalism and modernism in neo-modernist thought, Islam and Christian–Muslim Relations, 8 (3), 323350. Barton, Greg (2005). Jemaah Islamiyah, radical Islamism in Indonesia. Singapore: Singapore University Press. Barton, Greg (2010). Indonesia: legitimacy, secular democracy, and Islam. Politics and Policy, 38 (3), 471-496. Batubara, Chuzaimah (1999). Islam and mystical movements in post-independence Indonesia, Susila Budhi Dharma (Subud) and its doctrines.Thesis, Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal. Beckford, James A. (1985). Cult controversies, the societal response to the new religious movements. London and New York:Tavistock Publications. Beckford, James A. and Levasseur M. (1986). New religious movements in western europe. In James A. Beckford, (ed). New religious movements and rapid social change (pp. 29-54). London: Sage. Beckford, James A. (2003). Social theory and religion. Oxford: Cambridge University Press, 2003. Beckford, James A. (2010) Religious pluralism and diversity: Response to Yang and Thériault. Social Compass 2010 (57), 217-223. Benda, Harry J. and Lance Castles (1969). The Samin movement, 320 Daftar Pustaka Bijdragen tot de Tall-, Land- en Volkenkunde. 125 (2), 207-216, 218-240. Bender, Courtney and Pamela E. Klassen (2010). Introduction: habits of pluralism. In Bender C. and Klassen P E K., (eds). After pluralism, reimagining religious engagement (pp. 1-28). New York: Columbia Univ. Press. Bestari, HMA Bijak (2001). Hiper metaisik. Jakarta: Zaqya Maqta. Bierstedt, Robert (1950). An analysis of social power. American Sociological Review, 15 (6) (December), 730-738. Bouma, Gary D. (2008). The challenge of religious revitalization and religious diversity to social cohesion in secular societies. In Bryan S. Turner, (ed). Religious diversity and civil soceity, a comparative analysis (pp. 13-25). Oxford: The Bradwell Press: Bouma, Gary D. (2011). Being faithful in diversity. Adelaide: ATF Press. Burchardt, Marian and Irene Becci (2013). Introduction: religion takes places: producing urban locality. In Irene Becci, Marian Burchardt, and Jose Casanova, (eds). Topographies of faith, religion in urban spaces (pp. 1-24). Leiden: Brill. Bourdieu, Pierre (1994). Structures, habitus, power: basis for theory of symbolic power. In Nicholas B. Dirks, Geof Eley, and Sherry B. Ortner, (eds.). A Reader in contemporary social theory, culture/power/history (pp. 155-199). New Jersey: Princeton University Press. Burton and Ward (1826) Report of a journey into the batak country, in the interior of Sumatra, in the Year 1824. Transactions of the royal asiatic society of Great Britain and Ireland, 1 (2), 485-513. Carey, Peter B. R. (1981). Babat Dipanegara, an account of the outbreak of the Java war (1825-1830), the Surakarta court version of the Babad Dipanagara with translations into English and Indonesian Malay. Kuala Lumpur: M.B.R.A.S, Art Printing Works Sdn. Bhd. Carey, Peter B. R. (1986). Waiting for the just king: the agrarian world of South-Central Java from Giyanti (1755) to the Java War 91825-30). Modern Asian Studies, 20 (1), 59-137. Daftar Pustaka 321 Carey, Peter B. R. (2007). The Power of prophecy, prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855. Leiden: KITLV. Casanova, José (1994). Public religions in the modern world. Chicago: Chicago University Press. Casanova, José (2013). Religious associations, religious innovations and denominational identities in contemporary global cities. In Irene Becci, Marian Burchardt, and Jose Casanova, (eds). Topographies of faith, religion in urban spaces (pp. 113128). Leiden: Brill. Chomsky, Noam (1997). Perspectives on power, relections on human nature and the social order. London: Black Rose Books. Chryssides, George D. (2009). Religious authority. In Peter B. Clarke and Peter Beyer, (eds). The World’s religions, continuities and transformations (pp. 556-570). London: Routledge, 2009. Clarke, Peter B. (2009a). Millenarianism: historical and social roots. In Peter B. Clarke and Peter Beyer, (eds). The world’s religions, continuities and transformations (pp. 353-356). London: Routledge. Clarke, Peter B. (2009b). New religions: a global perspective. In Peter B. Clarke and Peter Beyer, (eds). The world’s religions, continuities and transformations (pp. 381-390). London: Routledge. Dahm, Bernard (1969). Sukarno and the struggle for Indonesian independence. Revised and updated edition of Sukarno Kampf um Indonesiens Unabhängigkeit (trans. Mary F. Somers Heidhues). Ithaca: Cornell University Press. Dahm, Bernard (1971). History of Indonesia in the tweintieth century. New York: Praeger. Damami, Mohammad (2011). Kepercayaan terhadap tuhan yang maha esa pada periode 1973-1983: Sebuah sumbangan pemahaman tentang proses legalisasi konstitusional dalam konteks pluralitas keberagamaan di Indonesia. Jakarta: Kementrian Agama RI. Dawson, Lorne L. (2003). The sociocultural signiicance of modern new religious movements. In James R. Lewis, (ed). 322 Daftar Pustaka The Oxford handbook of New Religious Movements (pp. 6898). Oxford: Oxford University Press. Dawud, Muhammad Isa (n.d.). Dialog dengan Jin Muslim, pengalaman spiritual (Hiwar Sai ma’a Jinn Muslim). Aif Muhammad and Abdul Adhiem (trans.) . Bandung: Pustaka Hidayah. Djamaluddin, Amin (2004). Kesesatan Lia Aminuddin dan agama Salamullahnya. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam. de Graaf, H. J. (1949). Geschiedenis van Indonesië. Bandung: Van Hoeve. Drewes, G. W. J. (1925). Drie Javaansche Goeroe’s. Hun Leven, Onderricht en Messias-prediking. Ph.D. dissertation, Leiden University. Dwiyanto, Djoko (2010). Penghayat kepercayaan terhadap TuhanYang Maha Esa.Yogyakarta: Pararaton. El Haidy, As’ad (1977). Aliran-Aliran kepercayaan dan kebatinan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Fealy, Greg (2008). Consuming Islam: Commodiied religion and aspirational pietism in contemporary Indonesia. In Greg Fealy and Sally White, (eds.). Expressing Islam, religious life and politics in Indonesia (pp. 15-39). Singapore: ISEAS. Feener, Michael (2007). Muslim legal thought in modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. Feillard, Adrée (2011). The constrained place of local tradition, the discourse of Indonesian traditionalist ulama in the 1930s. In Michel Picard and Rémy Madinier, (eds.). The politics of religion in Indonesia, syncretism, orthodoxy, and religious contention in Java and Bali (pp. 48-70). London: Routledge. Feith, Herbert (1957). The Indonesian elections of 1955. Ithaca, N.Y.: Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Dept. of Far Eastern Studies, Cornell University. Fernando, M. R. (1995).The trumpet shall sound for rich peasants: Kasan Mukmin’s uprising in Gedangan, East java, 1904. Journal of Southeast Asian Studies, 26(2) (September), 242262. Fernando, M. R. (1999). In the Eyes of the beholder: Discourses Daftar Pustaka 323 of a peasant riot in Java. Journal of Southeast Asian Studies, 30 (2) (September), 263-285. Formichi, Chiara (2012). Islam and the making of the nation, Kartosuwiryo and political Islam in 20th century Indonesia. Leiden: KITLV Press. Formichi, Chiara (2014). Religious pluralism, state and society in Asia. In Chiara Formichi, (ed). Religious pluralism, state and society in Asia (pp. 1-12). London: Routledge. Foucault, Michel (1994).Two lectures. In Nicholas B. Dirks, Geof Eley, and Sherry B. Ortner, (eds). A Reader in contemporary social theory, culture/power/history (pp. 200-221). New Jersey: Princeton University Press. Furnival, J. S. (n.d.). An introduction to the history of Netherlands India 1602-1836. Malaya: The History Department, University of Malaya. Furnival, J. S. (1944). Netherlands India, a study of plural economy, with introduction by Jonkheer Mr. A. C. D. de Graef. Cambridge: at the University Press. Geels, Anton (1997). Subud and the Javanese mystical tradition. Surrey: Curzon Press. Geertz, Cliford (1960). The religion of Java. Glencoe, Ill : Free Press Gillespie, Piers (2007). Current issues in Indonesian Islam: Analysing the 2005 council of Indonesian ulama fatwa No. 7 opposing pluralism, liberalism and secularism. Journal of Islamic Studies, 18 (2), 202–240. Gramsci, Antonio (1971). Selections from the prison notebooks of Antonio Gramsci, Quintin Hoare and Geofrey Nowell Smith (ed. and trans). London: Lawrence and Wishart. Greenblatt, Stephen (1988). Shakespearean negotiations, the circulation of social energy in renaissance England. Berkeley: University of California Press. Grifen,William B. (1970). A north Mexican nativistic movement, 1684. Ethnohistory, 17 (3/4) (Summer – Autumn), 95-116. Hadiwijono, Harun (1983). Konsepsi tentang manusia dalam kebatinan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan. 324 Daftar Pustaka Hamdi, Mujtaba (2007). Sang liyan dan kekerasan kasus penyerangan kampus Mubarak Jemaat Ahmadiyah Indoensia Kemang-Bogor-Jawa Barat. In Rumadi and Ahmad Suaedy, (eds). Politisasi agama dan konlik komunal, beberapa isu penting di Indonesia (pp. 213-245). Jakarta: The Wahid Institute. Harahap, E. St. (n.d.). Perihal bangsa Batak. Jakarta: Balai Pustaka. Harvey, Clare Isobel (2009). Muslim intellectualism in Indonesia: the Liberal Islam Network (JIL) controversy. Review of Indonesian and Malaysian Afairs, 43(2), 13–52. Hasani, Ismail (2010). Putusan uji materi undang-undang no. 1/ PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: n.p. Hasani, Ismail and Bonar Tigor Naipospos (2010). Wajah para ‘pembela’ Islam. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara. Hasani, Ismail and Bonar Tigor Naipospos (2012). Dari radikalisme menuju terorisme, studi relasi dan transformasi organisasi Islam radical di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Jakarta: Pustaka Media. Hasani, Ismail, ed. (2011). Dokumen kebijakan, penghapusan diskriminasi agama/keyakinan. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara. Hasselgren,Johan (2000).Rural Batak,kings in Medan:the development of Toba Batak ethno-religious identity in Medan, Indonesia, 19121965. Uppsala: Studia Missionalia Upsaliensia LXXX. Hawary, Imam el Anshory (2007). Keutamaan enam program ibadah, lengkap dengan maklumat tentang program pembersihan diri dari budaya musyrik. Jakarta: al Qiyadah al Islamiyah. Hawary, Mahful M. (2009). Teologi Abraham, membangun kesatuan iman,Yahudi, Kristen, dan Islam. Jakarta: Fajar Madani. Healy, John Paul (2011). Involvement in a New Religious Movement: From discovery to disenchantment. Journal of Spirituality in Mental Health, 13(1), 2-21. Hefner, Robert W. (1997). Islamization and democratization in Indonesia. In Robert W. Hefner and Patricia Horvatich, (eds). Politics and reliogious renewal in Muslim Southeast Asia Daftar Pustaka 325 (pp. 75-128). Honolulu: University of Hawai’i Press:. Hefner, Robert W. (2000). Civil Islam, Muslims and democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press. Hefner, Robert W. (2010). Religious resurgence in contemporary Asia: Southeast Asian perspectives on capitalism, the state, and the new piety. The Journal of Asian Studies, 69 (4) (November), 1031-1047. Hirosue, Masashi (1988). Prophets and followers in Batak millenarian responses to the colonial order: Parmalim, Na Siak Bagi, and Parhudamdam, Ph.D dissertation, Australian National University, Canberra. Hirosue, Masashi (1994). The Batak millenarian response to the colonial order. Journal of Southeast Asian Studies, 25 (2) (September), 331-343. Howell, Julia Day (1999). Kebatinan and the kejawen traditions. In James J. Fox, (ed). Indonesian heritage: religion and ritual (pp. 62-63). Singapore: Archipelago Press. . Howell, Julia Day (2001). Suism and the Indonesian Islamic revival. The Journal of Asian Studies, 60 (3) (August), 701729. Howell, Julia Day (2005). Urban heirs of Ibn al-‘Arabi and the defence of religious pluralism in contemporary Indonesia. Australian Religion Studies Review 18 (2), 197-209. Howell, Julia Day (2007). Modernity and Islamic spirituality in Indonesia’s new sui networks. In Howell J. D. and van Bruinessen M. (eds). Suism and the ‘modern’ in Islam (pp. 217-240). London: IB Tauris. Howell, Julia Day (2014). Pluralist currents and counter-currents in the Indonesian mass media. In Chiara Formichi, (ed). Religious pluralism, state and society in Asia (pp. 216-235). London: Routledge. Hunt, Stephen J. (2003). Alternative religions,A sociological introduction. Aldershot: Ashgate. Ichwan, Moch. Nur (2005). ‘Ulamāʾ, state and politics: Majelis Ulama Indonesia after Suharto. Islamic Law and Society, 12 (1), 45-72. 326 Daftar Pustaka Ilyas, Abd Mutholib and Abd Ghofur Imam (1988). Aliran kepercayaan dan kebatinan di Indonesia. Surabaya: CV Amin. Indra (2011). Mengenal aliran kepercayaan. Medan: Paniaswaja Press. Jay, Sian (2007). Art of the ancestors, Nias, Batak, Dayak, from the private collection of Mark A. Gordon and Pierre Monolini. Singapore: Alliance Française de Singapour. Kafrawi (1969).The path of Subud:A study o 20th century Javanese mysticism founded by Muhammad Subuh Sumohadiwidjoja, Thesis, McGill University, Montreal,. Kahlo, Gerhard (1959). Die Debata der Batak. Numen, 6 (1) (January), 61-73. Kartodirdjo, Sartono (1973). Protest movements in rural java, a study of agrarian unrest in the nineteenth and early twentieth centuries. Singapore: Oxford University Press Kartodirjo, Sartono (1966). The peasants’ revolt of Banten in 1888, its conditions, course and sequel, a case study of social movements in Indonesia. ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhof. Kartodirjo, Sartono (1970). Religious movements of Java in the 19th and 20th centuries, originally a paper presented at the international conference on Asian history held at the University of Malaya, Kuala Lumpur, 5th-10th August, 1968. Yogyakarta: Pertjetakan U.I.I. Kartodirjo, Sartono (1984). Ratu adil. Peoradisastra (trans). Jakarta. Katib [Mahful Hawary] (2006). Al Masih al Maw’ud and Ruhul Qudus, dalam perspektif Taurat, Injil, Al qur’an. Jakarta: Fajar Islam, 2006. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata (2003). Ensiklopedi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jakarta: Proyek Pelestarian Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan, 2003. Kersteen, Carool (2014). Urbanization, civil society and religious pluralism in Indonesia and Turkey. In Chiara Formichi (ed). Religious pluralism, state and society in Asia (pp. 13-34). London: Routledge. Kertapradja, Kamil (1985). Aliran kebatinan dan kepercayaan di Daftar Pustaka 327 Indonesia. Jakarta:Yayasan Masagung. Kholiludin, Tedi and Siti Roi ’ah (2011). Tradisionalisme konservatif: penutupan Gereja Isa Al-Masih (GIA) Karangboto, Semarang, Jawa Tengah. In Marzuki Wahid and Alamsyah M. Dja’far, (eds). Agama dan kontestasi ruang publik: Islamisme, konlik dan demokrasi (pp. 239-262). Jakarta: the Wahid Institute. King,Victor T. (1973). Some observations on the Samin movement of North-Central Java: Suggestions for the theoretical analysis of the dynamics of rural unrest. Bijdragen tot de Tall-, Land- en Volkenkunde, 129 (4), 457-481. King, Victor T. (1977). Status, economic determinism and monocausality: More on the Samin. Bijdragen tot de Tall-, Land- en Volkenkunde, 133 (2/3), 350-354. Kipp, Rita Smith (1990). The early years of a Dutch mission, The Karo Field. Michigan: The University of Michigan Press. Korver, A. Pieter E. (1976).The Samin movement and millenarism. Bijdragen tot de Tall-, Land- en Volkenkunde, 132 (2/3), 249266. Korver, A. Pieter E. (1985). Sarekat Islam, gerakan ratu adil? (Trans. in Indonesian). Graitipers. Jakarta: Graitipers. Labraousse, Pierre (1993).The second life of Bung Karno, analysis of the myth (1978-1981). Indonesia, 57, and Archipel (April), 175-196. Lafan, Michael (2007) “Another Andalusia”: Images of colonial Southeast Asia in Arabic newspapers. The Journal of Asian Studies, 66 (3) (August), 689-722. Lafan, Michael (2003). Islamic nationhood and colonial Indonesia: The umma below the winds. London: Routledge. Landes, Richard (2004). Millennialism. In James R. Lewis, (ed). The Oxford handbook of New Religious Movements (pp. 333358). Oxford: Oxford University Press. Lanternari, Vittoro (1965). The religions of the oppressed, A study of modern Messianic cults. Lisa Sergio (trans.). New York: Mentor Books, 1965. Lim, Michelle H., John F. Gleeson, and Henry J. Jackson, (2012). 328 Daftar Pustaka The jumping-to-conclusions bias in New Religious Movements. The Journal of Nervous and Mental Disease, 200 (10) ( October), 868-875. Lindsey,Tim (2012). Monopolising Islam? The Indonesian Ulama Council and state regulation of the ‘Islamic economy. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 48 (2), 253–74. Linton, Ralph (1943). Nativistic movements. American Anthropologist, 45 (2), 230-240. Loeb, Edwin M. (1935). Sumatra, its history and people.Wien:Verlag des Institutes fuer Voelkerkunde der Universiteat Wien. Longcroft (1990). Subud is a way of Life. Goden Cross: Subud Publications International. Makin, Al (2009a). Pope Benedict XVI and Islam: Indonesian reactions to the Regensburg address. Journal of Islam and Christian-Muslim Relation, 20 (4) (October), 409–421. Makin, Al (2010a). Representing the enemy, Musaylima in Muslim literature. Frankfurt: Peter Lang. Makin, A. (2011a). Pluralism versus Islamic orthodoxy, the Indonesian public debate over the case of Lia Aminuddin, the founder of Salamullah religious cult. In Social Justice and Rule of Law, Adressing the Growth of a Pluralist Indonesian Democracy. Eds. Thomas J. Conners et. al. pp. 187–206. Semarang:Yale Indonesia Forum, International Conference Book Series 3, Faculty of Social and Political Science Diponegoro University. Makin, A. (2012a). Pluralism in education, a study of Mukti Ali’s thought. In Education in Indonesia: Perspectives, Politics and Practices, ed. Rommel A. Curaming and Frank Dhont. pp. 9–32. Yogyakarta: Yale Indonesia Forum, International Conference Book Series 4, Faculty of Social Sciences, Yogyakarta State University. Makin, A. (2016). Keragaman dan Perbedaan, Budaya dan Agama dalam Lintas Sejarah Manusia.Yogyakarta: Suka Press. Makin, A. (2016). “Unearthing Nusantara’s concept of religious pluralism: Harmonization and syncretism in HinduBuddhist and Islamic classical texts”. Al-Jami’ah 54 (1): Daftar Pustaka 329 1-30. Makin, A (2017). Plurality, Religiosity, and Patriotism: Critical Insights into Indonesia and Islam.Yogyakarta: Suka Press. Makin, A. 2016. “Islamic acehnese identity, Sharia, and christianization rumor: A study of the narratives of the attack on the bethel church in Penauyong Banda Aceh”. Journal of Indonesian Islam 10 (1): 1-36. Makin, A (2016). “Are there any indonesian philosophers? dealing with a common question and possible answers”. Ulumuna 20 (1): 1-30. Margiyono, Muktiono, Rumadi, and Soelistyowati Irianto (2010). “Bukan jalan tengah” eksaminasi publik putusan Mahkamah Konstitusi perhal pengujian Undang-Undang nomor 1 PNPS tahun 1965 tentang penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Jakarta: ILRC, 2010. Marzani (2012). Ritual penyucian pada komunitas Eden. Ph.D dissertation, the Islamic State University Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Majelis Ulama Indonesia (2011). Himpunan fatwa MUI sejak 1975. Jakarta: Penerbit Erlangga. Mertowardojo, R. Soenarto (1974). Sabda-sabda pratama. Jakarta: Proyek Penerbitan dan Perspustakaan Pangestu. Millie, Julian (2009). Splashed by the saint, ritual reading and Islamic sanctity in West Java. Leiden: KTLV Press. Mujani, Saiful and R. William Liddle (2009). Muslim Indonesia’s secular democracy. Asian Survey, 49 (4) (July/August), 575590. Mulder, Niels (1978). Mysticism and everyday life in contemporary Java. Singapore: Singapore University Press. Mulder, Niels (1998). Mysticism in Java, Ideology in Indonesia. The Hague: The Pepin Press. Nasir, Mohamad Abdun (2014). The ʿUlamāʾ, fatāwā and challenges to democracy in contemporary Indonesia. Islam and Christian–Muslim Relations, 1-17. Nurcholis, Ahmad et. al., (2011). 11 tahun ICRP melawan kekerasan atas nama agama. Jakarta: ICRP, 2011. 330 Daftar Pustaka Nurdjana, IGM (2009). Hukum dan aliran kepercayaan menyimpang di Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Onghokham (1964). Saminisme: Tindjauan sosial ekonomi dan kebudayaan pada gerakan tani dari awal abad ke –XX. Djakarta. Ŏnnerfors, Frida Mebius (2008). The archangel Gabriel online: the Salamullah movement in Indonesia and globalization. In Armin W. Geertz and Wargit Marburg (eds). New religions and globalization. Aarhus: Aarhus University Press, pp. 215224. Pangestu (1978) Sasangka Jati. Jakarta: Proyek Penerbitan dan Perpustakaan Paguyuban Ngesti Tunggal Pustaka Pangestu. Pangestu (2003). Pangestu bukan aliran kepercayaan atau agama. Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal. Palmer, Susan J. (2004) Women in New Religious Movements. In James R. Lewis (ed.). The Oxford handbook of New Religious Movements (pp. 378-385). Oxford: Oxford University Press. Parker, Cristián (1996). Popular religion and modernization in Latin America, a diferent logic, trans. Robert R. Barr. New York: Orbis books. Parker, Christián (2006). ‘Magico-popular’ in contemporary society: Towards a post-western sociology of religion. In James A Beckford, and John Wallis (eds). Theorising religion, classical and contemporary debates (pp-60-74). London Ashgate, 2006. Parker, Christián (1998). Modern popular religion. A complex object of study for Sociology. International Sociology 13 (2): 195-2012. Patty, Samuel Agustinus (1986). Aliran kepercayaan: A socioreligious movement in Indonesia, Ph. D dissertation, Washington State University. Pawenang, Sri (1968). Wewarah kerohanian Sapta Darma.Yogyakarta: Yayasan Srati Darma. Penders, C. L. M. (1974). The life and times of Sukarno. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Picard, Michel (2011). Introduction, agama, adat, and Pancasila. Daftar Pustaka 331 In Michel Picard and Rémy Madinier, (eds). The politics of religion in Indonesia, syncretism, orthodoxy, and religious contention in Java and Bali (pp. 1-20). London: Routledge,. Porter, Donald J (2002). Managing politics and Islam in Indonesia. London: Taylor and Francis. Possamai, Adam (2005) In search of new age spiritualities. Aldershot: Ashgate. Possamai, Adam (2009a). Sociology of religion for generations X and Y. London: Equinox. Possamai, Adam (2009b). Popular religon. In Peter B. Clarke and Peter Beyer, (eds). The world’s religions, continuities and transformations (pp. 479-492). London: Routledge:. Puett, Tifany (2013) Managing religion: Religious pluralism, liberalism, and governmentality. Joumal of Ecumenical Studies, 48 (3) (Summer), 317-327. Rahnip (1977). Aliran kepercayaan dan kebatinan dalam sorotan. Surabaya: Pustaka Progressif. Ramelan (1967). Mbah Suro Nginggil (Kisah Hantjurnya Petualangan Dukun Klenik mbah Suro). Jakarta: Usaha Penerbit Matoa. Renes-Boldingh, M.A.M. ([1933]). Bataknesche Sagen en Legenden. Nijkerk: Callenbach. Richardson, James T. (2004) Legal dimensions of new religions. In James R. Lewis (ed.). The Oxford handbook of New Religious Movements (pp. 163-183). Oxford: Oxford University Press. Ricklefs, M. C. (1998). The seen and unseen worlds in Java, history, literature and Islam in the court of Pakubuwono II, 1726-1749. St. Leonards and Hawai’i: Allen and Unwin and University of Hawai’i Press. Ricklefs, M. C. (1974). Dipanagara’s early inspirational experience, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkendunde, 130 (2/3), 23336, 239-40. Ricklefs, M.C. (2007). Polarising Javanese society, Islamic and other visions (c. 1830-1930). Singapore: National University of Singapore Press. Ridwan, Nur Khlaik and Anas Aizudin (2007). Konlik penutupan gereja: Kasus GKJ Kronelan dan Pantekosta Demakan 332 Daftar Pustaka Sukoharjo.I n Rumadi and Ahmad Suaedy, (eds). Politisasi agama dan konlik komunal, beberapa isu penting di Indonesia (pp. 247-291). Jakarta: The Wahid Institue, 2007. Riis, Ole (1999) Modes of religious pluralism under conditions of globalisation. International Journal on Multicultural Societies, 1 (1), 20-34. Rodgers, Susan (1984). Islam and the changing of social and cultural structures in the Angkola Batak homeland. Social Compass, 31 (57) (January), 57-74. Rofe, Husein (1959). The path of Subud. London: Rider and Company. Romdon (1993). Tashawwuf dan aliran kebatinan, perbandingan agama aspek-aspek mistikisme Islam dengan aspek-aspek mistikisme Jawa.Yogyakarta: LESFI. Romdon (1996). Ajaran ontologi aliran kebatinan. Jakarta: Raja Graindo Persada. Roscoe, Paul B. (1988). The far side of Hurun: The management of melanesian millenarian movements. American Ethnologist, 15 (3) (August), 515-529. Rousseau, Jérôme (1998). Kayan religion, ritual life and religious reform in Central Borneo. Leiden: KITLV Press. Rumadi (2007). Delik penodaaan agama dan kehidupan beragama dalam RUU KUHP. Jakarta: The Wahid Institute. Said, Edward (2002).The public role of writers and intellectuals. In Helen Small, (ed). The public intellectual (pp. 19-40). Oxford: Blackwell Publishers Ltd. Said, Mohammad (1961). Singa Mangaradja XII, dari halamanhalaman terlepas dalam tjatetan tentang tokoh. Medan: Waspada. Santoso, Soewito, Feni Siregar, and Kestity Pringgoharjono (2006). The Javanese journey of life, the Centhini story. Singapore: Marshall Cavendish. Schiller, Anne (1997). Small sacriices, religious change and cultural identity among the Ngaju of Indonesia. Oxford: Oxford University Press. Schlehe, Judith (1996). Reinterpretations of mystical traditions. Daftar Pustaka 333 explanations of a volcanic eruption in Java. Anthropos, 91 (4/6), 391-409. Schreiner, Lothar (1970). Gondang-Music als überlieferungestalt alstvölischer Lebernsordnung. Bijdragen tot de Taal-, en Volkenkunde, 126 (4), 400-428. Schrieke, B. (1955). Indonesian sociological studies, selected writings of B. Schrieke. Bandung: The Hague. Shiraishi, Takashi (1990). An age in motion, popular radicalism in Java, 1912-1926. Ithaca: Cornell University Press. Shiraishi, Takeshi (1990). Dangir’s testemony: Saminism reconsidered. Indonesia, 50 (25th Anniversary edition) (October), 95-120. Sidjabat (1982). Ahu Si Singamangaraja: Arti historis, politis, dan relijius Si Singamangaraja XII. Jakarta: n.p. Simon, Artur (1993). Gondang, Gods and ancestors. Religious implications of Batak ceremonial music. Yearbook for Traditional Music, 25, Musical Processes in Asia and Oceania, 81-88. Simon, G.K. ([1908]). Der Islam bei den Batak ([n.p.]: Zendingswetenschap. Simuh (1988). Mistik Islam kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, suatu studi terhadap serat wirid Hidayat Jati. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Simuh (1996). Suisme Jawa, transformasi Tasawuf Islam ke mistik Jawa.Yogyakarta: Bentang, 1996. Sinaga, AB (1981). The Toba Batak high God: Transcendence and immanence. St. Agustine. Siregar, Susan Rodgers (1981). Adat, Islam and Christianity in a Batak homeland. Ohio: Ohio University Center for International Studies, Southeast Asia Program. Sirry, Mun’im (2013). Fatwas and their controversy: The case of the Council of Indonesian Ulama (MUI). Journal of Southeast Asian Studies, 44(1) (February), 100–117. Situmorang, Sitor (1981). Sitor Situmorang, seorang sastrawan 45, penyair danau Toba. Jakarta: Pernerbit sinar Harapan. Snow, D. and Machalek R (1983). The convert as a social type. 334 Daftar Pustaka In R. Collins, (ed). Sociological Theory. San Francisco: Jossey Bass. Soebardi, S. (1975). The book of Cabolek. The Hague: Martinus Nijhof. Soebardi, S. (1983). Kartosuwriyo and the Darul Islam Rebellion in Indonesia. Journal of Southeast Asian Studies, 14 (1) (March), 109-133. Soehadha, M. (2008). Orang Jawa memaknai agama. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Stange, Paul Denison (1980).The Sumarah movement in Javanese mysticism, Ph.D dissertation, The University of WisconsinMadison. Suaedy, Ahmad (2010). Religious freedom and violence in Indonesia. In Ota Atsushi, Okamoto masaaki, and Ahmad Sueaedy, (eds). Islam in contention: Rethinking Islam and state in Indonesia (pp. 139-169). Jakarta: The Wahid Institute, 2010. Suaedy, Ahmad Rumadi, M. Subhi Azhari, and Badrus Samsul Fata (2010). Islam, the constitution and Human Rights, the problematics of religious freedom in Indonesia. Jakarta:The Wahid Institute. Subagya (JMW Bakker SJ) (1981). Agama asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan and Yayasan Cipta Loka Caraka. Subagya, Rahmat (1980). Kepercayaan, kebatinan kerohanian kejiwaan dan agama.Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius. Subuh (1990). Autobiography. Trans. Raymond Lee. Sussex: Subud Publications. Sukarno (1933 and 1982). Mentjapai Indonesia merdeka. Djakarta: Tjita Agung. Republished Jakarta:Yayasan Idayu. Sumarah (1975). Informasi untuk umum tentang Sumarah. Jakarta: Sumarah. Sumarah (n.d.). Ikhtisar perekembangan panguden Ilmu Sumarah dalam paguyuban Sumarah, vol. 1. Jakarta: Paguyuban Sumarah. Suwandi, Raharjo (2000). A Quest for justice, the millenary aspirations of a contemporary Javanese wali. Leiden: KITLV Press. Swidler, Ann (1986). Culture in action: Symbols and strategies. American Sociological Review, 51 (2) (April), 273-286. Daftar Pustaka 335 Thrupp, S. (1962). Millenarian dreams in action. Essays in comparative study. Comparative studies in society and history, sup. 2. The Hague. Tobing, A.L (1967). Si Singamangaraja I-XII. Medan. Tobing, POL (1963). The structure of the Toba Batak in the high God. Amsterdam. Troeltsch, Ernst (1931). The social teachings of the Christian Churches. Vol. 2. New York: McMillan. van Bruinessen, Martin (1990). The origins and development of the Naqshabandi order in Indonesia. Der Islam, 67, 150179. van Bruinessen, Martin (1994). Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar; Traces of Kubrawiyya inluence in early Indonesian Islam. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 150(2), 305-329. van Bruinessen, Martin (2007). Saints, politicians and sui bureaucrats: Mysiticism and politics in Indonesia’s New Order. In Julia D. Howell and Martin van Bruinessen, (eds). Suism and the ‘Modern’ in Islam (pp. 92-113). London: IB Tauris: pp. van der Kroef, Justus M. (1949). Prince Diponegoro: Progenitor of Indonesian nationalism. The Far Eastern Quarterly, 8 (4) (August), 424-450. van der Kroef, Justus M. (1952). The messiah in Indonesia and Melanesia. The Scientiic Monthly, 75, 161-165. van der Kroef, Justus M. (1959). Javanese messianic expectations: Their origin and cultural context. Comparative Studies in Society and History, 1 (4) (June), 307-310, 317-318. Veenstra, Jan R. (1995).The new historicism of Stephen Greenblatt: On poetics of culture and the interpretation of Shakespeare. History and Theory, 34 (3) (October), 174-198. Veenstra, Jan R. (1999). Thematising social energy, the ‘Bal des Ardents’ and the production of the demonic in medieval culture. In Jürgen Pieters (ed). Critical self-fashioning, Steven Greenblatt and the new historicism (pp. 120-237). Frankfurt: Peter Lang. 336 Daftar Pustaka Vergouwen, J.C. (1960). Masyarakat dan hukum adat Batak Toba. Jakarta: Pustaka Azet, 1985. Volkman, Toby (1985). Feasts of honor: ritual and change in the Toraja highlands. Urbana: Illinois Studies in Anthropology, no. 16, University of Illinois Press. Walean, Robert P. (2006). Islam hanif. Jakarta: Last Events Duty Institute. Wallace, Antony F. C. (1956). Revitalization movements. American Anthropologist, 58, 264-281. Wallis, Roy (1982). The social construction of charisma. Social Compass, 29 (25), 25-39. Wallis, Roy (1984). The elementary forms of the new religious life. London: Routledge and Kegan Paul. Weber, Max (1925, 1978). Economy and society: An outline of interpretative sociology. Berkeley, CA: University of California Press. Wessinger, Catherine (1993). Introduction, going beyond and Retaining chrisma: Women’s leadership in marginal religions. In Catherine Wessinger (ed). Women’s leadership in marginal religions: Explorations outside the mainstream (pp. 1-19). Chicago: University of Illinois Press. Winkler, J. (1954). Das Zauberbuch von Batipuh. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, deel, 110 (4), 335-368. Woodward, Mark (1989). Islam in Java: Normative piety and mysticism in the sultanate of Yogyakarta. Tucson: University of Arizona Press. Woodward, Mark (2011). Java, Indonesia and Islam. Dordrecht: Springer. Wright, S. (1987). Leaving cults:The dynamics of defection.Washington, DC: Soceity for Scientiic Study of Religion. Wuthnow, Robert (1986). Religious movement and countermovements in North America. In James A. Beckford, (ed). New religious movements and rapid social change (pp. 1-28). London: Sage. Daftar Pustaka 337 NGO reports Adhan, Syamsu Rizal (2009). Fatwa sesat MUI Luwu untuk agama Allah. The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues, 21 (August). Dja’far, Alamsyah M. (2009). Satria Piningit terancam diliaedenkan. The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues, 20 (July). Dja’far, Alamsyah M. (2010a). Aliran Sabda Kusuma ditahan. The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues, 26 (March). Dja’far, Alamsyah M. (2010b). Kelompok puang Malea ditangkap. The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues, 28 (March). Nisa’, Nurun (2009a). Aliran pimpinan Sukarno dituduh cabul dan sesat. The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues, 24 (November). Nisa’, Nurun (2009b) Santriloka gegerkan warga. The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues, 24 (November). Nisa’, Nurun (2010a). Aliran Sabdo Kusumo dituding sesat dan diusir. The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues, 26 (March). Nisa’, Nurun (2010b). Sudah bertobat tetap diawasi. The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues, 28 (March). Rahman, Noor (2009). Mengaku rasul, Sakti disambut protes. The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues, 25 (December). Ridwan, Nurkholik (2008). FPI serang tempat ritual Sapta Dharma. The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues, 14 (October). Tanthowi, Yusuf and Nurun Nisa’ (2009). Pemimpin Isti Raksa Runjani diadili. The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues, 24 (November). The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues (2007). MUI penyesatan keyakinan dan kekuasaan, 3 (November). The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues (2007). Penyesatan al-Qiyadah al-Islamiyah, 3 (November). 338 Daftar Pustaka The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues (2007). Pertobatan Rasul al-Qiyadah al-Islamiyah. 4 (November). The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues (2008). Madi: Dituduh sesat lalu ditembak, 9 (April). The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues (2008). Nabi baru muncul dari Lampung, 11 (June). The Wahid Institute’s monthly Report on Religious Issues (2008). Nabi nodai banyak wanita, ulama Madura marah, 14 (October). The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues (2008) Enam pengikut Mushaddeq divonis 4 bulan penjara, 12 (July). The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues (2008). Empat tahun penjara untuk untuk rasul Gunung Bunder, 9 (April). The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues (2009). Dianggap sesat, markas AKI ditutup aparat dan masyarakat, 25 (December). Majalah dan Koran Abdalla, Ulil Abshar (2006). Salamullah adalah Agama Baru, dialog imajiner antara Kiai dan Santrinya. Tempo, January 15, 4243. Ainurraik, Muchlis, Khoiri Akhmadi, Hariyadi, Andi Setia Gunawan, and Ari Sutanti (1999). “Kiamat” minimpa yang “sesat.” Gamma, September 26. Alwie, Tauik, Aliian, and Aslan Laeho (2005). Imam Madi tertembak di kaki. Gatra, November 19. Amirris, Aris (1993) Dari jubah putih sampai Haur Koneng.” Editor, no. 46, thn. 6, August 14. Bagir, Haidar (2006) Gunung es Lia Aminuddin (tanggapan untuk Danarto). Tempo, January 22, 44-45. Bakarudin (1994) Ajaran awal dan ajaran akhir. Editor, no. 24, thn 7, March 10. Bandung Express (2010). Pemimpin Surga Adn ditangkap. January 15. Baskoro, L. R. and Rinny Srihartini (1997). Enam tahun untuk Daftar Pustaka 339 Imam. Forum Keadilan, no. 01, tahun 6, April 21. Berita Kota (2005). Istri Malikat Jibril dievakuasi. December 29. Bramantyo, Ardi and Deddy Sinaga (2001). Yang anarkhis versus yang aneh. Tempo, May 21. Cipta, Ayu (2011). Jelang bebas, Lia Eden bagi Pizza di penjara. Tempo, April 15. D & R (1999). Liputan Utama. March 8-13. Damanik, Caroline (2008a). Wahyu Tuhan versi Lia Eden untuk SBY dan Polri. Kompas, December 15. Damanik, Caroline (2008b). Warga jangan terprovokasi wahyu versi Lia Eden. Kompas, December 15. Danarto (2006). Sekedar catatan tentang Lia Aminuddin. Tempo, January 15: 40-41. Dewi, Novia Chandra (2009). Divonis 2, 5 penjara, Agus satria piningit tertunduk lesu” Detiknews, June 30, 2009. http:// www.detiknews.com/read/2009/07/30/160642/117453 6/10/divonis-25-tahun-agus–satria-piningit–tertunduklesu. Accessed December 21, 2012. Didiek W.S. (1994). Riwayat Syarif Hidayat. Editor, 24, thn 7, March 10. Didik W.S. (1996). Wawancara dengan Buya Mayo: Karena ini mendekati Pemilu. Tiras, no. 45, thn 2, December 5. Dundu, E Pinkan and Nasru Alam Aziz (2011). Lia Eden dibebaskan. Kompas, April 15. Fidrus, Multa and Rudianto Pangaribuan (1999). Ia datang dengan sebungkus jenazah. D & R, March 8-13. Forum Keadilan (2005). Sang ‘Imam’ Madi, no. 28, November 6. Forum Keadilan (2008). Terusungkurnya Sang Pemimpin, no. 50, April 21. Harian Terbit (2010). Tuhan dan Malaikatnya resmi ditahan, pengikut disetubuhi, ditonton rame-rame, January 15. Husain, Muzakkir and Yusnirsyah Sirin (2001). Tasawuf tanpa guru, Panji, July 11. Husain, Muzakkir, Asih Arimurti, and Akmal Stanzah (2001). Dari Srengseng dunia diselamatkan. Panji, July 11. 340 Daftar Pustaka Karni, Asrori S. (2001). Jamaah Salamullah, Villa Zaitun Porak Poranda. Gatra, May 23. Karni, Asrori S. (2007). Sang Nabi pun meringkuk di Polda. Gatra, November 7. Karni, Asrori S., Rach Alida Bahaweres, Basin Siregar, Bernadetta Febriana, Muklison S. Widodo, Imung Yuniardi, and Arif Sujatmiko (2007). Jalur sempalan. Gatra, November 14. Kompas (1993). LBH Bandung bersedia dampingi Haur Koneng, August 10. Kompas (2007a). Aliran Al Qiyadah dilarang di Indonesia, November 8. Kompas (2007b). Dua pemimpin al Qiyadah ditahan, October 29. Kompas (2007c). Pemimpin al Qiyadah menyerahkan diri ke polisi, October 31. Lebang, Tomi (1997). Fatwa mobil Timor dari bidadari. D & R, November 22. Ma’ruf, Amin (2008). Kebijakan MUI tentang aliran sesat. Mimbar Ulama, Suara Majelis Ulama Indonesia, no. 341, Rabi’ul Awwal 1429/March. Makin, Al (2009b). Are there any Indonesian prophets. The Jakarta Post, February 13. Makin, Al (2009c). Repositioning the Indonesian Ulema Council (MUI). The Jakarta Post, February 3. Makin, Al (2007). More prophets are needed in today’s Indonesia. The Jakarta Post, October 11. Makin, Al (2012b). Persecuting, prosecuting minorities. The Jakarta Post, September 3. Makin, Al (2011b). Increased radicalism: The failure of moderate Islam. The Jakarta Post, May 16. Makin,Al (2011c). Hesitant government a loophole for radicalism. The Jakarta Post, March 21. Makin, Al (2010b). Disbanding Ahmadiyah costs the freedom of the nation. The Jakarta Post, September 17. Makin, Al (2010c). Islam without veil. The Jakarta Post, July 27. Daftar Pustaka 341 Makin, Al (2010d). Can the Ulema Council respond to the real issue. The Jakarta Post, February 28. Mattauch, Agung, Asep Nur Zaman and Sri May (1997). Dia Mengaku Imam Mahdi. Sinar, March 15. Mimbar Ulama, Suara Majelis Ulama Indonesia, no. 341, Rabi’ul Awwal 1429/March 2008. Mitra Dialog (2010) Mulai ABG hingga wanita bersuami jadi korban. January 23. Moenanto (1997) Mengadili Imam Mahdi berdasi. Tiras, no. 9, tahun 3, March 27. Mohammad, Herry (1999) Meramal kiamat sendiri. Gatra, September 25. Mohammad, Herry and Dipo Handoko (1999) Pupusnya azimat tletong. Gatra, September 11. Nonstop (2005a). Jibril Palsu cs diusir! Lia Aminuddin dan pengikutnya diseret ke Polda Metro Jaya, December 29. Nonstop (2005b). Agama sesat diserang, warga marah dan mengepung rumah Lia Aminuddin di Senen, December 28. Pikiran Rakyat (2010). Massa kembali serbu markas Adn, January 25. Pikiran Rakyat (2010). Mulai terkuak, kesesatan aliran Surga Adn Cirebon, January 21. Pikiran Rakyat (2010). Pimpinan Surga Adn divonis 10 tahun, September 17. Pos Kota (2005a). Si Malaikat Lia Aminuddin ditahan polisi, December 30. Pos Kota (2005b). Kerajaaan Tuhan digerebek polisi, December 29. Radar Bandung (2010). Aliran Surga Eden digerebek, January 15. Raharjo, Dawam (2006). Saya pernah kecewa pada agama. Tempo, February 5. Rasyid, Fachrul HF (2007). Geger Nabi Gunung Bunder. Gatra, October 24. Ridwan, Cholil (2008). Mengawal akidah, membimbing Umat. 342 Daftar Pustaka Mimbar Ulama, Suara Majelis Ulama Indonesia, no. 341 Rabi’ul Awwal 1429/March. Saiful Anam (1999). Hari kiamat. Gatra, September 4. Salamudin, Ceceng A.F. (2004). Buki Sahidin: Korban diskriminasi negara, agama, dan public. Majalah Diaspora, edisi 9, vol. 2, Februari. Sawabi, IGN (2008). Lia Eden kembali di tangkap. Kompas, December 15. Shihab, Umar (2008). MUI akan selalu mengemban amanah Umat. Mimbar Ulama, Suara Majelis Ulama Indonesia, no. 341, Rabi’ul Awwal 1429/March. Soian (2006). Dituntut penjara 2, 5 tahun: Lia Eden tunggu jawaban dari Tuhan. Tempo, August 24. Sulistio, Eko and Multa Fidrus (1999). Seorang ‘nabi’ dan tiga pabrik roti. D & R, March 8-13. Suprayogi, Ariwibowo (1993). Si anak yang hilang. Editor, no. 46, thn. 6, August 14. Syamsuddin (2005).Akhir kiprah nabi palsu, Liputan6.com April 27. http://kliping.kemenag.go.id/download.php?ile=4243. Accessed June 10, 2012. Tabloid Reformata (2009). Ritual seks bareng Satrio Piningit Weteng Bawono” January 28. http://reformata.com/news/ view/1185/ritual-seks-bareng-satrio-piningit-wetengbuwono Accessed December 21, 2012. Tajuk (1999). Nabi Chaidir dari Citayam, no. 20, tahun 2, November 25. Tantan, Hidayat (1997). Ajaran nyeleneh Buki. Gatra April 5, 1997. Tempo (2005). Madi masih buron. November 13, 2005. Tempo (2007). MUI: Al-Qiyadah aliran sesat, October 21. The Jakarta Post (2011). Sect leader Lia Eden, throw pizza party before release, April 15. Tribun Jabar (2010). Polisi minta keterangan saksi ahli, January 21. Warta Kota (2005a). Malaikat Jibril diciduk, December 29. Warta Kota (2005b). Bubarkan kerajaan Tuhan, December 28. Daftar Pustaka 343 Wisnu, Andra (2009). Lia Eden sentence to prison, again. The Jakarta Post, March 6. Yaqin, Anang Aenal (1996). Melarang sesat yang tak jelas. Tiras, no. 45, thn 2, December 5. Yuliandini, Tantri (2006). Lia treads a hazardous path from dried lower arrangement to Eden. The Jakarta Post, January 4. Yusuf, Safruddin (1997). Aliran baiat lampu senter. Tiras no. 32, tahun 3, September 8. Youtube.com Youtube (2011). Lia Eden-Orang gila yang mengaku rasul. http:// www.youtube.com/watch?v=LC-oyTu_Fxs. Private TV station ANTV news about Lia Eden. Posted February 18, 2011. Accessed May 9, 2012. Youtube (2008a). Lia Eden ditangkap lagi part 1. http://www. youtube.com/watch?v=idKsGZ9x7XY. Private TV station SCTV news about Lia Eden on December 19, 2008. Accessed May 9, 2012. Youtube (2008b). Lia Eden ditangkap lagi part 2. http://www. youtube.com/watch?v=gJQAwnd9MI4&feature=relmf u. Private TV station SCTV news about Lia Eden. Posted December 19, 2008. Accessed May 9, 2012. Youtube (2014). Penistaan Agama Lia Eden. https://www. youtube.com/watch?v=TLo4kOCW7xQ . Posted April 28, 2014. Accessed December 18, 2015. Surat Resmi dan Laporan Direktorat Reserse Kriminal Umum (2005). Berita acara pemeriksaan lanjutan saksi pelapor. Polri Daerah Metrojaya dan Sekitarnya, Jakarta, December 29. Direktorat Reserse Kriminal Umum (2006). Berita acara pemeriksaan (ahli agama Islam). Polri Daerah Metro Jaya dan Sekitarnya, Jakarta, February 1. Resor Metropolitan Jakarta Pusat (2006).Berita acara pemerikasaan (saksi). Polri Daerah Metro Jaya dan Sekitarnya, February 16. 344 Daftar Pustaka Direktorat Reserse Kriminal Umum (2012). Berita acara pemerikasaan (saksi ahli). Polri Daerah Metro Jaya dan Sekitarnya, Jakarta, February 16. Prayuda, Andi Eka and Nia Herawati (2010). Hasil identiikasi dan klariikasi Surga Adn dan ajarannya. Interview before the Cirebon Ulama Council (MUI), January 24. Yogyakarta City Administration (2012). Data aliran kepercayaan di wilayah Kejaksaan Tinggi di Yogyakarta periode Tahun 2012. Interview Andito, Wahyu, a devotee dan sekretaris Lia Eden (2011-2013). Senen, Jakarta, sejak Desember 14. Anshary, Isa, staf sekretariat MUI (2012). Kantor MUI, Jakarta, Maret 19. As-Syaukanie, Luthie (2012). The Freedom Institute, Jakarta, Maret 20. Basuki, Slamet, aktivis Sapta Dharma (2013). Bantul, Yogyakarta, February 3. Bram, kepada keamanan Bungur (2012). Kantor desa Bungur, December 18. Cici, a devotee Dewan Kerasulan Eden (2011). Senen, Jakarta, December. Djamaluddin, Amin (2012). The LPPI’s (Lembaga Pengkajian Penelitian Islam) kantor, Matraman, Jakarta, March 19. Eden (Aminuddin), Lia (Yang Mulia Paduka Bunda) (2012-2014). Senen, Jakarta, sejak March 21. Endang, sesepuh ASK (2013).Yogyakarta, Februari 10. Fita, ketua RT (2012). Senen, December. Hasanudin, sekretatis DSN/Dewan Syariah Nasional (2012). Matraman, Jakarta, April 4. Hidayat (2012). The Freedom Institute, Jakarta, March 20. Irfan, staf administrasi MUI (2012). kantor MUI, Jakarta, March 20. Ivuk, mantan devotee Dewan Kerasulan Eden (2011-2012). Daftar Pustaka 345 Senen, Jakarta. Karni, Asrori. S, wartawan senior Gatra (2013). Jakarta, April 5. Kasdi, sesepuh Samin (2012). Tapelan, Ngraho, Bojonegoro, September 1. Kusniati, Sri/Cici, devotee Dewan Kerasulan Eden (2011). Senen, Jakarta, December. Kusumo, sesepuh Pangestu (2013).Yogyakarta, February 1. Lala, mantan penyanyi Eden (2011). Cipinang, Jakarta, December 22. Lili, devotee Dewan Kerasulan Eden (2011). Senen, Jakarta, December. Linangkung, Putut, kepala desa Bungur (2012). Kantor desa Bungur, December 18. Luxiaty, Siti Zaenab (Mbak Dunuk), devotee Dewan Kerasulan Eden (2011-2013). Senen, Jakarta, since December 14. Mahmada, Nong Darul (2012). The Freedom Institute, Jakarta, March 20. Mulia, Musdah (2002). The ICRP’s (Indonesian Conference for Religion and Peace) kantor, Jakarta, March 19. Murdiningsih, Sri, mantan devotee Dewan Kerasulan (2011). Cipinang, Jakarta, December 22. Naipospos, Raja Marnakkok, ihutan (pimpinan tertinggi) Parmalim (2012). Bale Pasogit, Hutatinggi, Lagubuti, Balige, North Sumatera, June 12. Nana (2012) Ciputat, April 5. Nugroho, cucu Sukino, nabi pendiri Sumarah (2013).Yogyakarta, February. Padmowiyoto, Parmin, aktivis Subud (2013). Sleman, Yogyakarta, February 6. Pujosudirjo, Ms. sesepuh ASK (2013).Yogyakarta, February 10. Rachman, Muhammad Abdul, Imam besar Eden (2011-2013). Senen, Jakarta, since December 14. Rahardjo, Dawam (2012).Yogyakarta, March 23. Ropi, Ismatu, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, teman Abdul Rachman (2012). Ciputat, April 5. 346 Daftar Pustaka Rosyad Arif, devotee Dewan Kerasulan Eden (2011-2013). Senen, Jakarta. Sajilan, aktivis sesepuh Sumarah (2013). Bantul, Yogyakarta, February 4. Sijabat, Martogi, pimpinan Parmalim (2012). Samosir, Lake Toba, North Sumatera, June 13. Sukardi, Harjo, sesepuh Samin (2012). Jepang, Margomulyo, Bojonegoro, September 1. Sukeri, sesepuh Samin (2012). Gedung Tuban, Randu Blatung, Blora, September 2. Sumardiono, Aar, mantan devotee Eden (2011). Cipinang, Jakarta, December 22. Suyoto, a leader of Samin (2012). Klopoduwur, Blora, September 3. Tri, devotee Dewan Kerasulan Eden (2011-2013). Senen, Jakarta, December. Umar Iskandar, mantan devotee Dewan Kerasulan Eden (20112012). Senen, Jakarta. Wahid, Din, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan teman Abdul Rachman (2012). Ciputat, April 5. Yoneska, Feby/Mayong, pengacara Lia Eden (2012). The LBH’s oice, Jakarta, March 22. Yuwono, Mardi, pimpinan Sumarah Purbo (2013). Gedong Sari, Mujiharjo, Pandak, Bantul,Yogyakarta, February 3. Daftar Pustaka 347 348 Daftar Pustaka Al Makin TENTANG PENULIS Al Makin adalah dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies) konsorsium antara Universitas Gadjah Mada (UGM), UIN Sunan Kalijaga, dan Universitas Duta Wacana. Ia juga dosen dan peneliti tamu di beberapa universitas luar negeri di antaranya: Faculty Development Fellow of the collaboration between the Hong Kong Institute for the Humanities and Social Sciences (University of Hong Kong), Dali University (Yunnan, China), the Asian Centre for Cross-Cultural Studies (Chennai, India), and the Indonesian Consortium for Religious Studies (Yogyakarta, Indonesia) (2017-2020). University of Western Sydney, Australia (2014), Heidelberg University, Jerman (2014),Asia Research Institute, National University of Singapore (2011-2012), French Business School ESSEC, Asia Paciic, Singapore (2012), Bochum University, Jerman (2009-2010), Bab Sepuluh Penutup 349 Al Makin McGill University (2009).Al Makin mendapatkan gelar Ph.D. dari Universitas Heidelberg, Jerman (2008), MA dari McGill University, Kanada (1999), dan S1 dari IAIN Sunan KalijagaYogyakarta (1996). Di antara bukunya yang terbit secara internasional: Representing the Enemy Musaylima in Muslim Literature (Peter Lang 2010), dan Challenging Islamic Orthodoxy: Accounts of Lia Eden and Other Prophets in Indonesia (Springer, 2016). Plurality, Religiosity, and Patriotism: Critical Insight into Indonesia andd Islam (Suka Press, 2017) Al Makin juga editor in chief of international Journal Al Jamiah, Kepala Pusat Penelitian UIN Sunan Kalijaga dan sekarang sebagai Ketua LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) UIN Sunan Kalijaga. Dan ia telah menerbitkan sejumlah artikel di jurnal internasional ternama. Ia juga rutin menulis opini di Koran The Jakarta Post 2006-2016. Buku yang terbit secara nasional antara lain:Anti Kesempurnaan: Membaca, Melihat, dan Bertutur tentang Islam (Pustaka Pelajar, 2002), Nabi Palsu, Membuka Kembali Pintu Kenabian (Arruz, 2003), Bunuh Sang Nabi: Kebenaran di Balik Pertarungan Setan melawan Malaikat (Hikmah Mizan, 2006). Antara Barat dan Timur: Melampui Jurang Masa Lalu untuk Meniti Jembatan Penghubung Barat dan Timur (Serambi 2015. Keragaman dan Perbedaan: Budaya, dan Agama dalam Lintas Sejarah Manusia (Suka Press, 2016). Berbagai penghargaan, beasiswa, dan awards internasional juga telah diraihnya. 350 Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya INDEKS A Aar Sumardiono xi, 30, 32, 33, 67, 76, 104, 172, 174 Abdel Aziz Rantisi 133, 286 Abd Kadir 7, 251, 252 Abdul Kodir 27 Abdul Manan 27, 255 Abdul Qadir Jailani 87 Abdul Rachman xi, xvii, xxiii, 30, 32, 35, 40, 41, 50, 65, 66, 70, 71, 77, 91, 100, 105, 109, 117, 127, 129, 136, 137, 138, 141, 143, 153, 158, 161, 162, 166, 170, 182, 186, 188, 267, 271, 272, 273, 275, 287, 288, 290, 292, 295, 297, 298, 346, 347 Abdul Rachman Assegaf 161 Abdul Rochim 99 Abdurrachman Wachid 107, 207, 269 Abdus Salam 263 Abu Bakar Ba’asyir 133, 145, 286 Abu Syifa 134, 290 Abu Ufairah 134, 290 Aceh xx, 131, 132, 133, 193, 282, 284, 286, 312, 330 Achmad Mushaddeq 260 Achmad Naf’an 7, 27, 251, 252, 259 Adam x, xxii, 52, 59, 60, 151, 152, 226, 227, 228, 252, 256, 257, 332 Adam Possamai x, 10, 11, 13, 29, 95, 135, 217, 226, 332 Adat Bungan 8 Adat Dipuy 8 Adept 29, 158, 163 Adoh Tanpo wangenan, cedak Tanpa senggolan, kumpul datan rumongso 243 Adul Gaffar Bustaman 43 Afghanistan 110 Afrika 24, 28 Afrika Barat 28 Agama Adam 226, 227, 228 Agama Bali Aga 8 Indeks 351 Apopuler 6, 12, 14, 15, 18, 23, 24, 180, 212, 217, 218, 226 Agama rakyat 10, 11, 21, 180, 217, 226 Agam Ratu Bita Bantara 8 Agus Imam Solihin 7, 27, 63, 113, 260, 262 Agus Nata Sukarno Putra xxii, 63, 262 Agus Salim 256 Agus Supriadi 163 Ahmad Ibn Hanbal 88 Ahmadiyah 26, 51, 102, 147, 158, 161, 192, 198, 201, 206, 293, 298, 300, 301, 302, 317, 325, 341 Ahmad Mukhyar 229, 230 Ahmad Mushaddeq xviii, 7, 27, 150, 161, 211, 213, 263 Ahmad Ngisa 229 Ahmad Tantowi 7, 27, 63, 113, 255, 258, 262, 352, 361 Ahmed Yassin 133, 286 Akademi Angkatan Bersenjata (AKABRI) 261 Akbar Tanjung 120, 187, 280, 281 Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan xix, 139, 158, 293 Akmaliyah 229 Alamsjah Ratu Prawiranegara 17 Al-Hawary 264 Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) 158 Alif lam mim 82 Aliran Imamullah 247 Aliran kepercayaan/kebatinan 2, 29, 36, 232 Aliran Khalwatiah 248 Ali Yaie 90, 189, 310 Alkohol 97, 139, 146 Al-Masih al-maw’ud 263 Almohad 28 352 Al-Qur’an 13, 41, 43, 49, 63, 77, 80, 81, 82, 83, 88, 106, 129, 130, 140, 145, 162, 187, 190, 192, 195, 196, 256, 259, 287 A. L. Tindige 197 Aluk To Dolok 8 Amanah 80, 266, 311 Amaq Bakri , xxiv, xxv, 27, 85, 250 Ambon 39, 104 Amelia Hezkasari Day 44 Amerika 11, 24, 29, 81, 82, 107, 110, 134, 180, 188, 234, 273, 275, 302, 314 Amerika Latin 11, 24 Amin Abdullah x Amin Djamaluddin xviii, 33, 136, 138, 182, 185, 189, 196, 197, 200, 206, 213, 260, 287, 292, 293 Aminuddin Day 43, 44, 59, 114, 119, 151, 152, 171, 303 Amir Syarifuddin 242 Amiruddin Dg Pasolong 27, 63, 248 A. Mukti Day 44, 152, 172, 268 Anarkisme 106, 109, 140, 145 Andan Nadriasta 50 Andito xi, 30, 33, 39, 40, 42, 57, 91, 103, 104, 105, 118, 157, 161, 162, 165, 168, 171, 173, 175, 182, 192, 199, 210, 303, 313, 345 Andri 264 Angesti Sampurnaning Kautaman (ASK) 34, 68, 209, 245, 246, 247, 345, 346 Angon-Angon 251 Anton Medan 47 Anwar Nasution 133, 138 Apocalyptic 28 Apostate 30, 158 Appadurai 24, 38, 99, 102, 201, 319 Aquarian 135 Arab vii, viii, xxvi, 1, 3, 7, 39, 41, Indeks 43, 132, 193, 208, 216, 220, 223, 252, 259, 260, 271, 287, 288 Arief Basuki 143, 297, 298 Ariin 27, 69, 95, 96, 99, 103, 164, 248, 252, 255 Arif Rosyad xi, xvii, 30, 40, 57, 89, 118, 151, 162, 163 Arimurthy 240, 241 Arjasa Kangean 251 Arjuna Wiwaha 239 Armageddon 28 Arswendo Atmowilopo 174 Asahan 222, 223 Asinawati 174, 199 Asia viii, 24, 285, 323, 324, 325, 326, 327, 328, 334, 349 Asma’ul husna 78, 257, 353 Aswendo Atmowilopo 13 Atik 43 At-Taibin xxii, 47 Australia 349 Ayah , 59, 61, 163, 164, 172, 227, 246, 303, 318 Azyumardi Azra viii, 41 B Babel 142, 297 Bachtiar Effendy 120 Badan Keamanan Rakyat (BKR) 237 Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kemasyarakatan (Bakorpakem) xix, 12, 27, 262 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 133 Badan Pusat Statistik (BPS) 116 Bagelen 230 Baghdad 88 Bagir Manan 139, 143, 293, 298, 300 Bagus Talban 215, 230 Baharuddin Lopa 108, 271, 315 Baksos xix Bale Pasogit xxii, 218, 346 Bale Persantians 222 Bali 8, 39, 276, 311, 323, 332 Balige xi, 34, 218, 219, 220, 221, 222, 346 Bambang xxi, 24, 26, 30, 45, 52, 95, 103, 118, 120, 131, 137, 148, 162, 163, 192, 203, 263, 276, 281, 298, 312 Bambang Jatmiko 95, 103, 118, 162, 163 Bambang Pranowo 120, 276, 281, 312 Bandar 229 Bandung xx, 76, 246, 255, 257, 258, 263, 323, 334, 339, 341, 342 Bandung Kulon 257 Bani Abbasiyah 3 Bani Umayyah 3 Bantar Panjang 254 Bantul 12, 238, 243, 244, 345, 347 Banua ginjang 218 Banua tonga 218 Banua toru 218 Banyumas 229, 230 Banyuwangi 27, 86, 124, 135, 220, 251, 254, 258 Bara Marapu 8 Barus 223 Basuki 20, 34, 39, 143, 242, 243, 265, 297, 298, 345 Basuki Cahaya Purnama 39, 265 Batak xxii, xxiii, xxiv, xxv, xxvii, xxviii, 10, 39, 69, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 325, 326, 327, 333, 334, 336, 337 Batam 222 Batara Guru xxii, xxvii, 218, 219, 220 Batubara 222, 234, 320 Batu Moror, 221 Bea Cukai Surabaya 43 Beckford 11, 18, 19, 29, 30, 39, Indeks 353 61, 67, 68, 92, 95, 106, 115, 120, 123, 163, 171, 179, 180, 181, 202, 212, 264, 319, 320, 331, 337 Belanda xxiii, xxiv, xxvii, 2, 4, 5, 75, 130, 215, 216, 217, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 233, 234, 236, 237, 244, 245, 246 Bencana lumpur 141, 142, 164, 295 Bendasugada 242 Berita Kota 182, 340 Betawi 39, 271 Bhagavad Gita 129, 285 Bhineka Tunggal Ika 18 Bibel 98 Bid’ah 9, 181, 191, 196 Bijak Bestari xviii, xxiii, xxviii, 7, 69, 113, 213, 260, 261 Binaung 249 Binjai 261 Bius 222 BK5I xix, 14 BKKI xix, 14 BKOK xix, 14 Blado 229 Blora 34, 225, 226, 228, 347 B. Mukti Day 44 Bogor xx, 27, 32, 35, 47, 56, 61, 72, 83, 85, 86, 92, 95, 99, 100, 101, 102, 104, 106, 121, 124, 135, 161, 166, 174, 175, 181, 184, 192, 204, 210, 255, 259, 263, 325 Bojonegoro vii, xi, xxv, 34, 225, 226, 231, 346, 347 Bojonggede 259 Boru Pasaribu 219 Boru Sianangnaga 218 Brahma Kumaris 55 Brainwashhing 179 Bram 33, 185, 186, 345 Brassica juncearugosa 81 Brawijaya 107, 108, 272 Brunei 107, 269, 314 354 B. Simanjuntak 197 Budaya viii, 2, 4, 8, 10, 14, 15, 17, 28, 131, 135, 180, 244, 286, 325 Buddha 6, 9, 11, 16, 39, 82, 109, 113, 130, 152, 169, 172, 183, 196, 204, 212, 237, 268, 270, 279, 287, 304, 315, 316 Buddha Gautama 113, 130, 152, 204, 279, 287 Budi luhur 238 Buki Syahidin 27, 255, 256 Bukit Gawalise 248 Bukit Menteng Tedes 250 Bukit Puang Malea 249 Bulan xxi, xxiv, 25, 83 Bulog 107, 314 Bumi xvii, xx, xxv, xxvii, 38, 42, 50, 51, 52, 58, 59, 61, 63, 74, 82, 84, 86, 110, 112, 115, 129, 132, 134, 135, 138, 141, 142, 150, 154, 164, 170, 195, 220, 227, 234, 241, 248, 258, 262, 268, 270, 283, 284, 285, 286, 288, 290, 291, 292, 296, 305, 307, 308, 313 Bumi aji zaman 227, 228, 354 Bunda Lia , x, 30, 31, 33, 40, 41, 43, 52, 57, 59, 61, 68, 278, 316 Bunda Maria xxiii, 59, 109, 110, 151, 268, 272 Bung Tomo 130, 196, 287 Bungur xi, 33, 38, 131, 183, 184, 185, 289, 345, 346 Buya Mayo 255, 257, 340 C Cakrabiwara 116 Cama 43 Cargo cult 28 Carik 229 Catur Hananto 197 Cecep Burhanuddin 103 Indeks Cecep Sunarto 139, 293 Celestine 111 Cermai 54, 77, 79 Chandra Adnan Rasyid 27, 251, 355 Cholil Ridwan 88, 189 Ciamis 255 Cigondewah Kaler 257 Cijantung 116 Cilacap 86, 135, 170, 229, 254, 259, 307 Cilandak 234 Cimanggu 254 Cina 39, 47, 221, 230, 231, 241 Cipi 30, 52, 55, 60, 70, 72, 80, 81, 116, 148 Cipinang 52, 76, 144, 172, 346, 347 Ciponyo 256 Ciputat , xi, 33, 41, 71, 72, 73, 120, 186, 187, 188, 189, 346, 347 Cirebon 54, 63, 77, 246, 255, 257, 258, 262, 342, 345 Cisarua 83 Client 30 Coblong 56, 95, 97, 98, 100, 101, 103, 104, 105, 318 Crop circles 135 D Daar el-Qalam 85 Daba 43 Daenuri 100, 101 Dahlan 14 Danarto 115, 130, 152, 199, 202, 207, 287, 339, 340 Darma Wanita 79 Darmopodo 5, 68, 69, 232, 245, 246, 246, 247 Darul Ulum 85 Darun Najah 85 Darwis 76 Dasa 43 Datu 10, 219, 220, 223 Dawam Rahardjo xi, 33, 174, 179, 192, 199, 202, 204 Dawuh xxiii, xxvii, xxviii, 237, 239 Dayak 8, 84, 271, 315, 327 Dead Sea Scrolls 94 Debata Natolu xxiii, 218 Dede Yusuf 256 Demak 9, 86, 124, 135, 244, 253, 254, 259 Demak Ijo 244 Demokratisasi 20, 24, 180 Departemen Tenaga Kerja 247 Dermojoyo 230 Destarata 107, 108, 272 Devotee 39, 40, 42, 50, 52, 53, 55, 56, 57, 59, 64, 68, 70, 72, 74, 76, 79, 81, 93, 110, 111, 114, 115, 117, 118, 119, 121, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 148, 149, 151, 152, 157, 158, 159, 160, 161, 163, 164, 166, 168, 172, 174, 175, 200, 210, 274, 276, 282, 283, 287, 289, 300, 304, 318, 345, 346, 347 Devotees 29, 68, 92, 175 Dewa Matahari 59, 109, 113 Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) 135, 137, 185, 291, 355 Dewan Pesantren Bogor 102 Dewan Syariah Nasional (DSN) 193 Dhama-pada 110 Dhamapada 129 Dinasti Fatimiyah 28 Dipingit 53, 152 Diponegoro xxii, 4, 50, 63, 83, 112, 215, 216, 216, 217, 229, 233, 253, 329, 336 Diskriminasi 26, 325, 343 Djojodigoeno 15 DKT baru (Jawatan Kesehatan Tentara/Angkatan Darat pada Bagian Kesehatan) 237 Indeks 355 Do’a 5, 6, 8, 33, 48, 74, 96, 109, 131, 168, 188, 193, 224, 235, 236, 238, 269, 282, 283, 306 Doli-doli 224 Dony Kadnezar Irdon 143, 297 Dukun 10, 54, 68, 69, 72, 76, 219, 229, 230, 232, 248, 253, 254, 259, 289, 311 Dunuk Luxiaty xi, xvii, 32, 89, 125, 175 Durdju Ronni 139, 293 Durocher 187 Dzikir 228, 230, 231, 261 E Eddy Suprihadi 139, 293 Eddy Utoyo 114, 281 Eling Keda 254 Emil Salim 45, 266 Endang 34, 245, 246, 345 Energi sosial 8 Eropa 10, 21, 162, 219, 222, 230, 231, 235 Erucakra 4, 6, 216, 228, 229, 230, 231 Etika 6, 228, 242 Eyang Sakti 254 G F Facebook 33 Faisal Ismail x Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 242 Fakultas Hukum Universitas Indonesia 117, 262 Fakultas Psikologi UI 75 Falun Gong 111 Farid Faqih 133 Fathun Nur Day 44, 171 Fatma 43 Fatwa 22, 27, 50, 51, 87, 88, 90, 93, 95, 99, 101, 106, 107, 109, 111, 120, 129, 132, 133, 134, 136, 137, 138, 139, 143, 356 147, 183, 192, 193, 194, 195, 201, 204, 207, 257, 266, 267, 288, 300, 310, 324, 330 Feby Yoneska 199 Feri 95, 103, 118 Feri A. Latif 95 Fita 33, 38, 184, 185, 186, 345 Flores 8 Formaci 41 Forum Umat Islam (FUI) 25, 201 Freedom Institute xi, 189, 201, 345, 346 Front Anti-Pemurtadan Bekasi (FAPB) 25 Front Pembela Islam (FPI) 23, 25, 135, 356 Futuh 264 Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) 265 Gaiwiio 28 Gajah Mada xxi, 108, 277 Gatot (al-Khaththath) 26 Gayus Hutahaean 222 Gedangan 230, 323 Gedongsari 243 Gedung Tuban 34, 228, 347 Gempa xxv, 132, 134, 141, 142, 164, 220, 283, 284, 285, 286, 291, 292, 293, 296, 297, 313 George W. Bush 111, 275, 311 Gerakan kenabian 4, 6 Gereja 28, 29, 125, 206, 220, 222, 284, 328 Gereja Kristen 10 Gereja Scientology 29 Ghaib 3, 10, 48, 58, 76, 78, 84, 107, 151, 152, 164, 195, 216, 220, 250, 261, 262, 273 Ghoiru mahdo 258 Ghost Dance 28 Gintung Bala Raja 188 GKB 2, 5, 6, 28, 232 Indeks Gold Quest 159 Gomorrah 143 Gramsci 11, 217, 324 Gua Hira 49, 204, 239 Gua Secang 216 Gudel 240 Gumarang 252 Gunung Cermai 53, 77, 79 Gunung Kawi 84 Gunung Kidul 240 Gunung Lawet 229 Gunung Rinjani 250 Gunung Seureuh 255 Guru Pamosik 221 Guru Sejati 48, 58, 236, 237 Gus Aan 27, 252 H Habib al-Huda xxiii, 31, 48, 49, 58, 73 Habibie 25, 108, 110, 111, 137, 207, 272, 275, 277, 315 Habinsaran (Maranti) 220 Haidar Bagir 199, 202, 207 Haji Ali Taetang Laikabu 247 Hajosapuro 56, 242 Halimi 131, 186, 289 Halleluiah 111 HAM 105, 191, 258, 299 Hamdan Amin 133 Hamdani Syarif Hidayat 134, 290 Hamka 15 Handsome 28 Hans Bague (HB) Jassin 12 Harajaon 222 Hardi Mulyono 161 Harjosapuro , xxv, xxvi, xxvii, 5, 85, 232, 241, 242, xxv, xxvi, xxvii, 5, 85, 232, 241, 242 Harjo Sukardi 34, 226 Hasan Ahmad 215, 229 Hasani xi, 25, 26, 33, 98, 325 Hasanuddin 33, 187, 188, 189, 193, 194 Hasbullah Bakry 15 Hastinapura xxiv, 59 Hasyim Asy’ari 118 Hasyim Muzadi 137, 291, 312 Haur Koneng 255, 339, 341 Hawa 59, 151, 257 Hayam Wuruk 108, 118, 151, 272 Hegemoni 2, 5, 6, 9, 10, 16, 23, 28, 35, 36, 50, 63, 82, 87, 124, 157, 180, 216, 247, 252 Heidelberg viii, x, 349, 350 Hendarman Supandji 143, 300 Hendrawati Umar 53 Hidayat 33, 41, 60, 120, 134, 187, 189, 255, 256, 280, 281, 290, 312, 334, 340, 343, 345 Hidup Dibalik Hidup (HDH) 257 Hijrah 263 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) 41, 186 Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) 14, 244 Hindu 4, 6, 9, 11, 13, 16, 39, 82, 109, 169, 183, 196, 212, 268, 270, 315, 329 Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) 23, 25 Holbung 220 Hongkong 234 HTI xx, 23, 25, 26 Humbang 220, 224 Husein Muawiyah 134, 290 Husein Rofe 234 Hutatinggi xxii, 218, 222, 346 Hutomo Mandala Putra 45 I IAIN Syarif Hidayatullah 41, 71, 186 Ibadah 8, 27, 33, 38, 69, 71, 77, 78, 80, 82, 95, 97, 98, 116, 125, 129, 131, 140, 161, 164, 167, 175, 183, 185, 188, 190, 206, 208, 209, 218, 222, 228, 239, Indeks 357 247, 249, 250, 252, 253, 258, 259, 260, 267, 268, 288, 325 Ibn Taimiyah 88 Ibrahim 13, 50, 189, 193, 216, 260, 266, 311 Ibrahim Hosen 50, 90, 189, 193, 266, 311 Ibu Tien 45, 47, 139 ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) 165 Identitas 2, 4, 5, 7, 91, 93, 94, 95, 97, 98, 99, 102, 116, 201, 215, 232, 255 Ideologi sekuler 180 Ietje Ridwan 110, 161, 274, 315 Ihsan Ali Fauzi 41 Ihutan 218, 222, 346 Ijaz 30, 40 Ilham Tabrani 134, 290 Ilmu sejati 237 Imam xvii, 3, 35, 65, 74, 91, 170, 188, 197, 222, 241, 242 Imam Mahdi 28, 41, 105, 248, 254, 256, 342 Iman 4, 8, 9, 20, 31, 39, 88, 94, 148, 181, 184, 189, 190, 191, 211, 217, 219, 227, 228, 310, 325 Imran ix, 130, 196, 287 Inayat Khan 111 India 39, 102, 221, 324, 349 Indonesian Conference for Religion and Peace (ICRP) 33, 202 Indra Rukmana 45 Inggris iv, viii, ix, 42, 81, 111, 175, 180, 234, 235, 275, 295 Injil 129, 220, 222, 251, 269, 272, 274, 285, 327 Inkar Sunnah 198, 206 Institute Ilmu Qur’an (IIQ) 138 Institute Pertanian Bogor (IPB) 104 Institut Ilmu Al-Quran 85 Institut Teknologi Bandung (ITB) 76 358 Intelektual x, 7, 15, 18, 20, 22, 25, 41, 44, 48, 120, 134, 137, 159, 174, 180, 192, 199, 202, 205, 207, 212, 226, 271, 301 Intoleransi 26, 98, 111 Inul Daratista 110, 274 Iqra 41 Iraq 110 Irfan 194, 345 Irham 95, 103 Irham Kurniawan 95 Irian Jaya 132 Irsa Bastian 72, 76, 161, 162, 172, 304, 318 Isa Anshary 33, 37, 138, 189, 194, 197, 293 Iskandar 30, 32, 43, 47, 49, 53, 60, 61, 70, 71, 77, 79, 95, 100, 101, 102, 103, 105, 171, 309, 318, 347 ISKCON 55 Islamisme 16, 19, 25, 328 Ismail Saleh 45, 47, 53, 77, 79 Ismatu Ropi xi, 33, 188 Isra 85 Isra mi’raj 239 Istijnar 250 Ivuk , 30, 52, 53, 55, 60, 61, 70, 72, 79, 96, 103, 175, 210, 345 J Ja’far Umar Tholib 145 Jahrun 263 Jakarta Selatan 72, 261, 262, 263 Jalaluddin Rumi 88 Jaman , 96, 215, 223, 224 Jaman Pohan 223 Jaringan Islam Liberal xx, 33, 201 Jasman 63, 112 Jasmani 215, 229, 230 Jati Sari 256 Jati sawit 228 Jati Waras 256 Jawa Barat xxvi, xxviii, 7, 12, 27, Indeks 54, 63, 69, 72, 77, 77, 83, 132, 229, 231, 255, 257, 259, 263, 325 Jawa Kuno 6, 252 Jawa Tengah xxvi, 7, 12, 27, 60, 69, 215, 225, 229, 236, 253, 253, 254, 291, 292, 325, 328 Jawa Timur xxv, 7, 12, 27, 43, 63, 69, 84, 137, 141, 215, 221, 221, 229, 230, 241, 243, 251, 252, 255, 274, 275, 291 Jayabaya 216 Jazirah Arab vii, 1, 3 Jehovah Witnesses 28 Jember, 137, 291 Jepang 34, 45, 63, 188, 221, 226, 227, 228, 234, 241, 347 Jerman viii, 180, 219, 234, 349, 350 Jibril Palsu 181, 182, 342 Jimat 229, 230, 231, 253, 276 Jimly Ash-Shiddiqie 132 Joan of Arc xxiv, 59, 151, 162 Julia D. Howell x, 336 Jumadil Kubra 229, 336 Jumadiono 197 K Ka’bah 197, 247, 248 Kair 105, 195, 258, 263, 264 Kaharingan 8, 13 Kalijaga iv, 349, 350 Kalimantan 4, 8, 13, 27, 50, 77, 79, 247, 248, 247, 247, 248, 250, 251, 259, 263, 265 Kalimantan Selatan 250 Kamaruddin Amin x, 103 Karangsembung 257 Kartini 59, 151 Kartosuwiryo 83, 231, 324 Kartu Tanda Penduduk (KTP) 14, 20 Karuhunan 259 Kasan Mukmin 63, 69, 112, 230, 323 Kasdi 34, 227, 346 Katolik 11, 16, 39, 43, 212, 236, 239, 247, 253 Kautsar Azhari Noer 162 Kayan 8, 333 Kayin 63, 112, 215, 231 Keamanan Ketertiban Masyarakat (Kamtibnas) 185 Kebatinan xxv, 2, 6, 16, 29, 36, 232, 243, 244, 323, 324, 327, 332, 333, 335 Kebenaran xxiv, xxv, xxviii, 3, 47, 49, 62, 74, 82, 87, 91, 98, 99, 104, 110, 116, 117, 120, 167, 173, 190, 196, 202, 207, 228, 236, 250, 251, 261, 267, 269, 277, 279, 281, 304, 305, 316 Kediri 9, 229, 230, 241, 242 Kedu 229 Kedungjati 233 Kejaksaan Agung 105, 200, 301 Kekaisaran Byzantium 82 Kekerasan 26, 51, 94, 111, 131, 133, 142, 145, 147, 158, 166, 168, 183, 192, 272, 276, 284, 285, 288, 289, 325, 330 Kelompok Eden xxi, xxiii, xxvii, xxviii, 2, 55, 64, 68, 70, 74, 130, 147, 148, 152, 165, 166, 167, 173, 182, 183, 184, 185, 186, 198, 200, 201, 205, 208, 265, 290 Kemayoran 83 Kementerian Agama x, 13, 14, 15, 17, 19, 21, 26, 87, 94, 137, 179, 202, 206, 207, 213, 235, 248, 252, 290, 301, 306 Kementerian Dalam Negeri 105, 301 Kemerdekaan 2, 5, 6, 11, 17, 36, 68, 85, 196, 217, 223, 225, 232, 237, 240, 241, 247, 256, 287 Kenabian vii, ix, xxv, xxvi, xxvii, Indeks 359 xxviii, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 23, 31, 32, 42, 46, 48, 50, 51, 54, 57, 58, 59, 60, 63, 64, 68, 68, 69, 75, 83, 84, 87, 90, 121, 123, 124, 138, 160, 161, 162, 163, 165, 166, 171, 172, 176, 180, 185, 186, 189, 195, 205, 216, 217, 223, 229, 230, 231, 238, 248, 251, 253, 255, 256, 259, 260, 263, 265, 268, 279, 282, 284, 287, 297, 301 Kepulauan Banggai 247 Kerajaan Eden , 2, 33, 39, 91, 126, 212, 305, 306, 307, 314 Kerasulan 69, 87, 276, 301 Kesalehan publik 24 Kesultanan Yogyakarta 215, 216 Ketoprak 124 Keyakinan 32, 179, 203, 204, 224, 318 Keyo Sutaryo 131, 289 Kharisma 3, 4, 5, 10, 59, 77, 81, 90, 208, 216, 217, 230, 231 Khatam 23, 50, 162, 166, 205, 263 Khidir 76, 171, 249, 260, 303 Khilafah 248, 264 Ki Bajang Angke 254 Ki Darmopodo 245 Ki Demang Poncokerto 233 Kihdr 58 Kitab Kejadian 59, 221 Kitab Sasangka Jati xxiv, 237 Kitab Suci xxi, xxiv, xxvi, xxvii, 13, 15, 63, 81, 94, 98, 110, 129, 135, 152, 167, 189, 228, 235, 277, 285, 288, 304 Kitab Wahyu 109, 142, 269, 277 Klaim kenabian 1, 23, 31, 32, 59, 64, 87, 90, 121, 185, 186, 255, 259, 279 Klenik 16, 229 Kloning 86 Klopoduwur 34, 228, 347 Koalisi Pembela Kebebasan Beragama (KPKB) 139, 317 360 Kolonel Zaid Husein 240 Kolonialisme 5 Komala Sakti 256 Komar (Komunitas Millah Abraham) 265 Komaruddin Hidayat 41, 120, 280, 281, 312 Komet 232 Komisi Pemilihan Umum (KPU) 120, 133 Komnas HAM 105, 258 Kompas xi, 184, 255, 264, 271, 340, 341, 343 Konco sikep 226 Konlik agama 26 Kong Hu Cu 11 Korupsi xx, 45, 78, 84, 93, 97, 106, 133, 134, 139, 142, 145, 149, 204, 270, 292, 293, 294, 305, 314 Kosmologi 6, 237 Kotabaru 250 Krisnamukti 111 Kristen ix, xxii, 6, 9, 10, 26, 28, 54, 109, 112, 132, 145, 169, 183, 185, 196, 197, 198, 201, 204, 205, 206, 208, 219, 220, 222, 223, 225, 233, 237, 260, 268, 270, 285, 315, 325 Kristiani 112, 219, 221, 222 Kudus xxvi, 32, 61, 143, 144, 152, 158, 159, 171, 172, 238, 253, 254, 275, 280, 293, 294, 297, 300, 301, 303, 304, 306, 310, 312, 317, 318 Kufur 263 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) 144, 161 Kuningan 47, 255 Kunti xxiv, 59, 151 Kusmanto 7, 60, 253, 254 Kusmanto Sujono 60, 253, 254 Kusnanto 7, 27, 255, 257 Kusnanto bin Amin 255, 257 Kusumo 34, 235, 236, 253, 338, Indeks 346 Kwan Kin 116 Kwan Yin 109 Kyai Abdurrachman 233 Kyai Hasan Maulani 229 Kyai Nurhakim 229 Ludruk 124 Luti Assyaukanie 33 Luwu 249, 338 Luyut 56, 236 L Maddika Lekko Pini Bunda Maryam 249 Madiun 63, 221, 229, 230, 251, 252, 253 Madura 27, 54, 84, 231, 251, 252, 271, 315, 339 Maia 106, 268 Maftuh Basyuni 137, 139, 248, 291, 293 Magelang 104, 254, 261 Magribi 28 Mahabharata 59, 107, 125, 272 Mahdiisme 4, 28 Mahdo 258 Mahkamah Konstitusi (MK) 25, 132, 169 Mahoni xvii, xxi, 33, 38, 39, 46, 49, 51, 52, 53, 59, 60, 61, 63, 70, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 79, 80, 81, 83, 109, 112, 118, 114, 117, 119, 122, 131, 136, 148, 150, 151, 152, 159, 161, 163, 164, 166, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 181, 183, 184, 186, 187, 188, 195, 196, 197, 210, 266, 289, 303 Majalengka 255 Majapahit 9, 107, 108, 118, 151, 152, 272 Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) 25, 132, 362 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 107 Majelis Ulama Indonesia (MUI) 9, 22, 50, 189 Makassar 43, 248 Makdun sarpin 245 Makkah 247 M Lagubuti 218, 222, 346 Lakon 231, 240 Lala 30, 33, 55, 70, 76, 104, 118, 148, 157, 173, 174, 187, 188, 346 Lampahing urip 228 Lampung 251, 339 Larangan xxv, 252 Laskar Jihad 145 La Tansa Masyira 85 Latihan kejiwaan 234 LE2 xx, 60, 99, 278, 316 Legenda 4, 5, 8, 60, 216, 253, 254 Leiden 74, 319, 321, 322, 323, 324, 330, 333, 335 Lelaku Itikaf 132 Lemahabang 257 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) 33, 144, 162, 199 Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) 34, 135, 196, 291 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 47 Lembaran Hira 87 Lia Aminuddin 42, 50, 51, 58, 82, 95, 182, 183, 186, 196, 260, 310, 323, 329, 339, 340, 342 Liang 247 Lili 52, 70, 117, 118, 346 Linangkung 33, 184, 185, 186, 346 Lismono 27, 69, 86, 124, 135, 254, 255, 259 Logos 112, 316 Lombok Timur 250 Londo Mondolan xxiv, 226 Indeks 361 Makmur Ariin 103 Maksum Djauhari 88, 275 Malaikat xvii, 32, 35, 37, 40, 52, 54, 58, 80, 88, 110, 116, 122, 128, 131, 145, 151, 164, 170, 195, 197, 204, 205, 224, 239, 256, 257, 258, 261, 262, 266, 275, 277, 282, 289, 296, 307, 308, 311 Malaikat Jibril xxiii, 31, 32, 37, 41, 49, 50, 54, 56, 57, 58, 75, 93, 96, 105, 140, 165, 169, 182, 192, 204, 266, 267, 273, 275, 307, 311, 318, 343 Malaikat maut 231 Malang 51, 132, 137, 230, 251, 259, 292 Malik Badri 75 Malim xxiv, xxv, xxvi, xxviii, 6, 217, 218, 220, 221, 222, 223, 224, 249 Maluku 248 Mama (manusia awal manusia akhir) 256 Manado 39 Mangapin Sibue 13 Mangunwijayan 253 Mardi Yuwono 12, 20, 34, 243 Margomulto 34 Maria Julia 125, 157 Ma’rifat 257 Marike Sukayanti 95, 118, 130, 148, 164, 173 Mark Woodward x Marnakok Naiposos 34 Maros 248 Martogi Sijabat 34 Ma’ruf Amin 26, 50, 189, 191, 207 Maryanto 162 Masigid Imam Tohed 259 Masjid Darussalam 185 Masjid Meranti 182, 185, 290 Masjid Sampekonan 248 Mas Malangyuda 229 Mas’ud Simanungkalit 13 362 Matahari 52, 58, 83, 86, 109, 134, 238, 253, 269, 286 Mataram 9, 233, 239 Mataram Islam 233, 239 Mayang 75 Mayong xi, 33, 174, 182, 199, 200, 201, 202, 347 Mayonggo seto 245 Mbah Suro 225, 332 McGill University x, 187, 188, 320, 327, 350 Medan vii, xi, 33, 34, 47, 263, 325, 327, 333, 336 Megamendung 56, 95, 99, 100 Megawati 108, 137, 272, 292 Mekkah 77, 78, 82, 83, 167, 175, 204, 239, 252, 263 Melayu 7, 221, 223 Menep 245 Mengala Bulan xxiv, 218 Mentawai 8 Menteng 76, 83, 250 Meranti 134, 182, 185, 222, 290, 292, 312 Merkurius 86 Mesiah xxii, 4, 13, 28, 248, 253 Mesianik 68, 124, 228, 229, 231 Mesianisme 4, 5, 6, 7, 23, 28, 222 Mesir 59, 137 Metro TV 103, 120, 133, 181, 280, 289, 290, 312 Meutia Haidz 120, 280 Michael Feener viii Milenarian 28, 228, 231, 251 Milenarianisme 4, 6, 28 Milenaris 124 Mileniarisme 4, 5, 7, 23, 28, 85 Mirah delima 231 Mirring 249 Mirza Ghulam Ahmad 102, 158, 301, 302 Mitos 4, 5, 8, 9, 111, 216, 218, 226, 231, 254 Mitra Bestari 198 Moch Tjiptardjo 171, 307 Indeks Mohammad Hatta 252 Mojokerto 251, 252, 256, 259, 262 Monastik 68 Montreal 187, 320, 327 Mormon 28 M. Syauqi Gathmyr 100 Mubahalah 87 Muchidin Safa xxii, 260 Muhammad Abdul Rachman xvii, 30, 40, 41, 65, 66 Muhammad bin Tumart 28 Muhammad Nasiraka Ambo 249 Muhammad Subuh xxi, xxviii, 5, 232, 327 Muhayat 131, 289 Muhidin 99 MUI xxi, 9, 17, 19, 21, 22, 23, 26, 27, 33, 35, 37, 50, 51, 64, 68, 71, 73, 82, 87, 88, 90, 93, 94, 98, 99, 100, 101, 106, 107, 121, 123, 124, 129, 131, 132, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 143, 146, 147, 148, 153, 158, 162, 166, 174, 181, 182, 183, 185, 186, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 198, 199, 200, 201, 202, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 211, 213, 247, 248, 249, 250, 252, 253, 254, 257, 262, 263, 264, 266, 267, 282, 283, 286, 287, 288, 292, 293, 295, 298, 300, 309, 310, 314, 330, 334, 338, 341, 343, 345 Mujahid 258 Mujahidah 258 Mujiharjo 243, 347 Mukjizat xxiii, 10, 53, 114, 120, 124, 140, 152, 219, 230, 278, 279, 288, 306 Mukti Ali 17, 43, 44, 59, 198, 329 Mukti Day 44, 109, 152, 172, 268, 269, 303, 304 Mulajadi Nabolon 218 Mula Jadi Na Bolon xxiv, 218, 221, 223 Mulayana W. Kusumah 133 Mulla Sadra 73 Multilevel marketing (MLM) 264 Munggi 240 Murabbi 76 Musa ix, 171, 216, 260, 303 Musailamah 3 Musdah Mulia xi, 33, 41, 174, 179, 195, 199, 202 Muslim Nasution 189, 193 Musthofa Ali Yaqub 138, 162, 197 M. Zein 100, 101 N Nabi xvii, xxii, xxiii, xxiv, xxv, xxvii, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 15, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 26, 27, 28, 33, 34, 36, 37, 38, 42, 45, 48, 49, 50, 51, 54, 55, 56, 58, 60, 63, 68, 69, 76, 85, 86, 87, 88, 90, 102, 105, 107, 113, 124, 125, 127, 134, 135, 137, 150, 161, 171, 179, 180, 181, 189, 190, 195, 204, 208, 209, 210, 212, 213, 215, 216, 217, 218, 219, 221, 225, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237, 238, 240, 241, 242, 245, 246, 247, 249, 250, 251, 252, 253, 254, 255, 257, 258, 260, 262, 263, 264, 287, 288, 289, 297, 301, 303, 343, 346 Nabi Harjosapuro 241 Nabi Indonesia 11, 19, 27, 28, 36, 107 Nabi Muhammad xvii, 1, 13, 41, 50, 57, 65, 83, 85, 91, 101, 105, 109, 117, 138, 146, 158, 165, 167, 190, 195, 204, 208, 231, 234, 239, 248, 256, 257, 267, 271, 272, 273, 275, 315 Nabi palsu 3, 134, 181, 343 Indeks 363 Nabi pribumi 13, 18, 180, 209, 264 Nabire 132, 284 Nabi Subuh 49, 85, 233 Nabi Sumarah 56, 85 Nabi Sunarto 237, 238 Nafsu 238, 241, 294, 301 Naga Padoha xxv, 220 Nagapadohani Raja 218 Nagasasra 242 Nahdlatul Ulama xxi, 88, 90, 118, 137, 291 Namo Oh Mee To Fo 111 Nana 33, 187, 188, 346 Nandang 250 Naqsabandiyyah 234 Narkoba 93 Narumonda 220 NASA 134, 285 Na Siak Bagi , 4, 50, 60, 221, 222, 326, 4, 50, 60, 221, 222, 326 Naskah Qumran 94 Nasr Hamid Abu Zayd 137 Nazaruddin Awaluddin 133 Negara Islam Indonesia (NII) 260, 263 Nenggela Utan Malang 259 Neo-pentakostalisme 81 Nerimo 238 New Agers 135 Nganjuk 230, 231 Ngelmu 226 Ngraho 34, 346 Nias 8, 132, 327 Nibiru 134, 285 Nong Darul Mahmada xi, 33, 174, 192, 199, 201, 202 NRM (New Religious Movement) 2, 5, 6, 10, 11, 14, 15, 17, 21, 23, 24, 28, 29, 30, 35, 36, 38, 48, 49, 55, 61, 64, 67, 68, 69, 81, 90, 92, 94, 95, 106, 115, 123, 157, 158, 163, 171, 173, 179, 180, 181, 209, 210, 211, 213, 232, 247, 251, 264, 265 364 Nugroho 34, 239, 240, 346 Nuh 216, 221 Nur Aisyah 118 Nur Cahaya 256 Nurcholish Madjid 19, 41, 73, 88, 120, 281, 320 Nur Iskandar SQ 47 Nurul Komar 256 Nusantara iv, viii, 8, 23, 69, 171, 215, 240, 125, 8, 215, 216, 212, 213, 265, 329, 265, 240, 23, 63, 69, 125, 171, 205, 212, 213, 215, 216, 251, 256, 260, 265, 329 Nusa Tenggara , 10, 27, 50, 86, 247, 250, 10, 27, 50, 86, 247, 250 Nutfah 243 Nyai Roro Kidul xxv, 84, 111, 239 Nyi Asyiah 54, 63, 69, 112, 229 Nyonya Pujosudirjo 245 O Ojek 39, 103 Oktario Hartawan Achmad 143, 298 Ompu Barnit 221 Ompu Pulo Batu 218, 219 Ompu Sohahuaon 218 Ono Niha 8 Ontowiryo 215 Orde Baru , 2, 7, 14, 16, 17, 21, 22, 23, 27, 36, 47, 50, 85, 180, 186, 209, 212, 232, 240, 247, 255 Orthodoksi keislaman 2, 9, 15, 16, 17, 21, 23, 24, 27, 37, 50, 68, 87, 88, 93, 98, 121, 124, 125, 137, 144, 148, 153, 157, 174, 180, 182, 204, 209, 210, 211, 213, 217, 247, 252 Otoritas 3, 8, 9, 17, 22, 28, 37, 48, 51, 52, 55, 58, 60, 61, 64, 68, 86, 90, 92, 95, 106, 110, 111, Indeks 112, 121, 123, 125, 129, 135, 137, 148, 152, 174, 191, 192, 200, 213, 271, 307 Ozon 86 P Padang 39, 263 Padepokan Karang Kadampel Pasir Ranji 254 Padmowiyoto 34, 232, 233, 235, 346 Paduka , 30, 38, 51, 52, 62, 63, 173, 345, x Paimin 197 Palestina 133, 168, 274, 304, 305 Paliwara 238 Palu 13, 248, 249 Pamekasan 252 Pancasila xxv, 13, 31, 85, 147, 158, 203, 227, 238, 272, 309, 331 Pandak 243, 347 Pandawa xxiv, 59, 125 Pande manusia 250 Panembahan xxv, 230 Pangambe , 96, 215, 223 Pangeran Jayakarta 254 Pangeran Sambernyawa 253 Pangeran Sobo Kingking 254 Pangestu xxiv, xxv, xxvi, xxvii, xxviii, 34, 48, 85, 111, 209, 235, 236, 237, 238, 246, 330, 331, 346 Panggerman 252 Pantai Parangtritis 84 Panti Rapih 247 Panuntun Agung Sri Gutama xxv, 241 Papuq Djunaidi 250 Paramayoga 6 Parandangan 8 Paranpara xxv, 236 Parbaringin 222 Parker 10, 11, 217, 218, 226, 331 Parmalim xi, xxii, xxiv, xxv, xxvi, 34, 218, 219, 220, 222, 223, 326, 346, 347 Parmin Padmowiyoto 34, 232 Parsambilan 220 Partai Bintang Reformasi (PBR) 25, 47 Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 16 Partai Golongan Karya (Golkar) 16 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 25, 115 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 47 Partai Nasional Indonesia (PNI) 251 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 16, 47 Parung 85 Pasaributobing 223 Pasca-kolonial 5, 6 Pati 225, 226 Patrons 30 Patuan Raja Uti 218 Paus Yohanes Paulus II 133, 286 Pekalongan 229, 251 Pelabuhan Ratu 83, 90, 132, 310 Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) 242 Pendaku kenabian xxv, xxvi, xxvii, xxviii, 2, 3, 180, 248 Pengadilan 25, 62, 135, 138, 139, 143, 144, 145, 147, 150, 151, 160, 165, 315, 194, 204, 205, 256, 262, 265, 268, 289, 291, 292, 298, 302, 314 Perancis xxiv, 59, 302 Perang sabil 224 Perenialisme 76, 110, 123, 129, 211 Perjanjian Lama 221, 272 Persatuan Islam (PERSIS) 291 Pesantren al-Qalam 188 Peter Carey viii Pikukuh kesejatin xxvi, 228 Pingit 43, 53, 121 Pluralisme 16, 17, 18, 19, 20, 21, Indeks 365 22, 23, 24, 25, 26, 27, 34, 36, 212, 147, 36, 88, 147, 180, 181, 189, 202, 203, 204, 207, 210, 211, 212 PNPS 1 1965 135 Polda Metro Jaya 143, 163, 182, 200, 201, 300, 317, 342 Polewali Mandar 249 Polisi 143, 161, 183, 196, 197, 230, 249, 251, 255, 258, 315, 343 Polri 105, 107, 136, 271, 291, 340, 344, 345 Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah 47 Pondok Pesantren Buntet 77 Pontianak 84 Porong 141 Pos Kota 182, 183, 342 Poso 142 Prabowo Subianto 47 Prabu Tommy 7, 27, 86, 96, 113, 124, 255, 259 Prasenjit Duara viii Probosutedjo 139, 293 Proselytization 123 Protestan 11, 16, 39, 212, 239 PT Lapindo Brantas 141 Puan Solong 63, 112, 248 Pujisidurjo 34 Pulau Laut 250 Pulau Seribu 245, 246 Puppha Vaga 110, 274 Pustaha Poda Hangoluan xxvi, 222 Pustaha Tumbaga Holing 222 Putut Linangkung 33, 184 Q Qadariyyah 88 Qital 263 Qiyadah Islamiyah 179, 211, 263 R Racut 56, 242, 243 Raden Ayu Siti Hartinah 45 366 Raden Masduki 254 Raden Muhammad Muyo Mahmud Marzuki 257 Raden Sukisman 244 Raden Sumawinata 254 Radikal 25, 26, 132, 135, 147, 150, 158, 161, 166, 168, 174, 180, 223 Radikalisme 22, 23, 25, 26, 149, 184, 190, 292, 325 Rahimat 7, 86, 135 Rahmat Fadli 95, 130, 287 Rahmatia 248 Rajadewi Maharajasa 108, 272 Raja Glagahwangi 253 Raja Hatorusan 218, 220 Raja Kutai Kalimantan 259 Raja Marnakkok Naipospos 218, 222, 223 Raja Mulia Naipospos 222 Raja Naopatpulubosi 218 Raja Na Siak Bagi 221 Raja Rum 220 Raja Stambul 220 Raja Ukap 222, 223 Raja Uti 218, 220 Randublatung 225 Rangkas Bitung 85 RA Saud Ariin 95 Rasjidi 15 Rasul 13, 94, 119, 159, 175, 190, 234, 258, 260, 261, 262, 278, 303, 307, 316, 338, 339, 344 Rasyidi 250 Ratib 223 Ratu xxii, 4, 6, 42, 52, 59, 60, 61, 63, 108, 112, 114, 119, 120, 125, 126, 127, 137, 138, 139, 153, 174, 181, 215, 226, 228, 229, 230, 231, 232, 253, 273, 277, 279, 284, 292, 301, 307, 316, 328 Ratu adil xxii, 4, 6, 63, 215, 226, 228, 230, 231, 232, 273, 328 Ratu Kalinyamat 253 Indeks Ratu Laut Kidul 84 Ratu rabul alamin 63, 231 Ratu Tegal Luar 63, 229 Ray Rangkuti 120, 281 RA Zaitun 95 Reformasi 2, 7, 11, 14, 17, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 34, 36, 47, 50, 54, 60, 63, 69, 85, 86, 87, 107, 113, 124, 125, 135, 158, 180, 199, 208, 209, 211, 212, 227, 247, 251, 261, 262, 264 Refuge 30, 35, 68, 92, 95, 106, 157, 209 Reg Veda 110 Reinkarnasi xvii, 6, 41, 44, 59, 60, 63, 65, 67, 89, 91, 107, 108, 109, 116, 117, 118, 127, 130, 138, 145, 151, 152, 158, 162, 164, 170, 171, 195, 198, 204, 215, 217, 231, 254, 255, 256, 259, 262, 267, 268, 269, 271, 273, 275, 277, 287, 290, 292, 293, 300, 301, 302, 303, 307 Release atau liberation 30 Rembang 225, 226 Resmi 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 20, 24, 26, 51, 90, 100, 109, 111, 203, 209, 211, 212, 226, 232, 233, 234, 235, 236, 237, 244, 275, 278, 303, 316, 340 Restorasi 4 Revitalisasi 4, 29, 30, 35, 92, 106, 120, 123, 125, 157, 179, 180, 210, 264 Revitalization 68, 319, 321 R. Ghassani Karamina 139 Riani Ridwan 126 Riau 222 Rido 238 Rizal Aziz 134, 290 Rohilapi 245 Rohimat xxviii, 69, 124, 255, 259 Roh Suci xxvi, 238 Rokail 256 Romawi 145 Ropi xi, 33, 187, 188, 346 Ruh xxvi, 13, 52, 56, 58, 60, 79, 105, 107, 108, 112, 113, 114, 117, 118, 139, 151, 152, 198, 218, 238, 243, 248, 250, 266, 270, 271, 272, 273, 278, 286, 294, 311, 315 Ruh min amrih xxvi, 58 Ruhul amin 58 Ruhul kudus 58 Rus’an 13 S Sa’adah 85 Sabda xxiii, xxvii, xxviii, 239, 330 Sabda Khusus xxvii, 237 Sabda Kusuma 27, 254, 338 Sabda-Sabda Pratama xxvii, 237 Sabulungan 8 Said Agil al-Munawar 139 Sajilan 34, 238, 239, 347 Sakti Alexender Sihite 260 Salaiah 88 Salamullah xxvii, 9, 10, 30, 32, 35, 37, 41, 42, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 64, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 86, 87, 88, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 60, 77, 99, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 109, 110, 111, 112, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 129, 148, 159, 171, 175, 183, 186, 187, 188, 189, 193, 201, 207, 210, 266, 267, 269, 270, 273, 274, 275, 276, 279, 280, 281, 284, 300, 309, 311, 318, 329, 331, 339, 341 Salawat 257 Salman Maryadi 138, 139, 292, 312 Indeks 367 Samatism 225 Samawiyah 7, 27, 54, 251 Sambela 250 Samil 256 Samin Surosentiko , 4, 50, 224, 225, 228, 4, 50, 224, 225, 228, 4, 50, 224, 225, 228 Samosir 34, 347 Sampekonan 247, 248 Sanggar (pusat kegiatan) 243 Sang Hyang Widi Wasa 111 Sang pembohong/al-kadzdzab 3 Sansekerta 252 Santet 72, 76, 265, 266, 311 Santriloka 252, 338 Saor Siagian 199 Sapaan xxiii, xxvii, xxviii, 53, 56, 57, 70, 71, 74, 78, 81, 83, 105, 106, 111, 114, 118, 119 Sapta Dharma xxv, xxvi, xxvii, 20, 56, 85, 209, 241, 242, 243, 246, 338, 345 Sasangka Jati xxiv, 235, 237, 331 Satria Piningit Weteng Buwana xxvii, 63, 262 Sayidina Ali 231 SCTV xxi, 120, 181, 280, 312, 344 Seblu 215, 230 Sedong 257 Sedulur papat lima pancer 245 Segelap 229 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kendari 248 Sekolah Tinggi Calon Guru (PGAN) 256 Sekolah Tinggi Ilmu AdministrasiLembaga Administrasi Negara (STIA-LAN) 261 Sekulerisasi 19, 23, 24, 28 Selo 252 Semarang 217, 229, 233, 244, 263, 328, 329 Semedi 216 Semenanjung Arab 1 Semitik 13, 14, 15, 18 368 Senen xvii, 2, 30, 38, 39, 80, 122, 131, 182, 183, 289, 290, 312, 342, 345, 346, 347 Senopati 233, 239 Senopo 229 Sentul 83 Serang 85, 300 Serat Cebolek 6 Serat Centhini 6 Serat Dewa Ruci 6, 239 Serat punjer kawitan 228 Serat Wirid 6 Setara Institute 26, 33, 34, 174 Shem 221 Shirotal mustaqim 259 Shiva 9 Si Bontar Mata xxvii, 219, 221 Siboru Daekparujar 218 Si Boru Deak Parujar xxvii, 220 Sidoarjo 141, 142, 295, 296, 312 Sidratul Muntaha xxviii, 58 Silat 249, 257 Siliwangi 63, 231, 259 Simarimbulubosi 218 Simo Boyolali 236 Simorgarap 223 Sinan Koto 259 Sinar Galih 255 Singgih ix, 45, 77, 79 Sinkretis 4, 6, 29, 97, 217, 237, 251 Sinkretisme keislaman 9 Siprus 234 Sirrin 263 Si Singamangaraja XII 6, 50, 215, 217, 218, 218, 219, 222, 223, 334 Siti Hajar 251 Siti Herdianti Rukmana 45 Siti Zaenab Luxiaty 30, 40 Slamet Basuki 34, 242 Sleman 12, 233, 235, 346 SMA xxi, 43, 54, 104, 238, 243, 248, 261 SMA Ahmadiyyah (PIRI) 238 SMA Maros 248 Indeks SMA Muhammadiyah 261 SMA Taruna 104 SMP xxi, 43, 73, 103, 187, 292 Sodiran 161, 200 Sodom 143 Soeharto 2, 7, 11, 16, 17, 18, 22, 24, 25, 43, 44, 45, 47, 85, 98, 102, 107, 108, 118, 135, 139, 151, 152, 180, 204, 266, 271, 272, 281 Soiyullah 139 Somalaing 4, 50, 60, 69, 96, 219, 220, 220, 221, 223 Somalaing Pardede , 50, 69, 219, 50, 69, 219, 50, 69, 219 Soripata xxviii, 218 Sosial xix, 3, 4, 7, 8, 9, 10, 14, 16, 18, 20, 38, 60, 64, 70, 71, 83, 97, 108, 180, 211, 262, 331 Sosrowijayan 242 Srawet 251 Sri Gautama 242 Sri Kusniati (Cici) 78 Sri Murdiningsih 30, 46, 130, 172, 174 Sri Pawenang 242 Subud xxi, xxiv, xxviii, 15, 29, 49, 209, 232, 233, 234, 235, 240, 320, 324, 327, 329, 333, 335, 346 Subuh xxi, xxviii, 5, 34, 49, 83, 85, 111, 232, 233, 233, 234, 240, 327, 335 Sui 26 Suhandi 100 Suhrawardi 73 Sujono 7, 60, 253, 254 Sujud sembah 124 Sukabumi 85 Sukakarya 56, 95, 99, 100, 101, 105, 318 Sukardi 34, 226, 227, 347 Sukarno xxii, 7, 11, 18, 27, 63, 83, 107, 108, 116, 207, 215, 231, 232, 251, 252, 254, 256, 259, 262, 272, 276, 319, 322, 331, 335, 338 Sukeri 34, 228, 347 Sukino 5, 83, 85, 232, 238, 239, 83, 239, 239, 240, 241, 346 Sukisman 5, 232, 243, 244, 244, 245 Suklawijaya 231 Suksma Kawekas xxviii, 237 Suksma Luhur 245 Suksma Sejati xxviii, 236, 237 Sulawesi 8, 10, 14, 27, 43, 50, 58, 63, 69, 247, 69, 142, 172, 232, 247, 248, 249, 252, 255, 263 Sulawesi Selatan 232, 249 Sulawesi Tengah 8, 27, 247, 248, 252, 255 Sultan Agung xxii, 216 Sultan Saladin 108, 271 Suluk Dewaruci 6 Sumarah xxvii, 15, 20, 34, 56, 85, 209, 238, 239, 240, 241, 243, 244, 245, 246, 319, 335, 346, 347 Sumarah Purbo xxvii, 20, 34, 209, 243, 244, 245, 347 Sumatera , xxii, 4, 33, 60, 215, 217, 218, 225, 247, 250, 251, 261, 346, 347 Sumatera Utara 217, 218, 261 Sumito Joyokusumo xxvi, 7, 27, 63, 69, 86, 113, 124, 135, 253, 258 Sunan Giri 216 Sunan Gunung Jati 254 Sunan Kalijaga iv, ix, x, 79, 233, 253, 330, 349, 350 Sunanul Huda 85 Sunarto xxv, 48, 56, 58, 85, 139, 232, 235, 236, 236, 237, 238, 240, 293 Sunda Kelapa 87 Sunni 26, 88, 298 Supriyadi 253 Indeks 369 Surakarta 9, 45, 230, 231, 321 Surga xvii, xxviii, 13, 38, 42, 58, 61, 63, 85, 119, 131, 150, 151, 152, 154, 170, 197, 256, 257, 258, 259, 261, 268, 270, 278, 283, 284, 286, 287, 306, 307, 314, 316 Surga Adn (Eden) 257 Suro Basidi 228 Surokarto Kamidin 226 Survita Mayaut 131, 289 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 24, 26, 203 Susilo Budhi Dharma xxi, xxviii, 232 Sutanto 143, 300 Sutiyoso 131, 289 Suwartini 242 Suyoto 34, 228, 347 Suzanne Enderwitz x Swiss iv, 234 Syahrir 242 Syaifuddin Zuhri ix, 14 Syamsuddin 27, 58, 96, 131, 172, 248, 249, 250, 282, 343 Syamsuri 7, 27, 69, 86, 124, 135, 251, 254, 258 Syamsuriati 43, 127 Syarif Hidayat 60, 134, 255, 290, 340 Syarifuddin 48, 99, 242 Sydney ix, x, 349 Syekh Damarsih 254 Syekh Siti Jenar 253 Syi’ah 26, 104, 198, 206 Syira 58 Syirik 69, 74, 76, 84, 88, 90, 93, 107, 108, 111, 195, 266, 270, 275, 276, 277, 280, 310, 311 T Tahajud 48, 78 Tai Chi 76 Taklim Al-Insanul Kamil (Khotbah 370 Kesempurnaan Manusia) 255 Tangerang 85, 170, 306, 307, 314 Tao 13 Tapa 216 Tapelan xxv, 34, 227, 228, 346 Tarekat 128, 234, 250 Tasikmalaya 255, 256 Tauik xxviii, 7, 69, 86, 135, 255, 259, 339 Tauiq HD 95 Tauhid 74, 76, 82, 94, 272, 275, 276 Tausiyah 22 Tawangrejo 252 Teguh Esha 198, 260, 370 Tempo 184, 199, 207, 249, 264, 286, 339, 340, 342, 343 Tengku Sholeh 193 Teologi 3, 11, 15, 98, 112, 181, 187, 200, 208, 237 Tien Soeharto 139 Timbul Pasaribu 161 Tim Pembela Kebebasan Beragama (TPKB) 144, 162, 299, 371 Titing Sulastami 76, 87, 130, 172, 175, 304, 318 Tjokroaminoto 215, 231 TNI AU (Tentara Nasional Indonesia Anggkatan Udara) 43 Tobing alias Entong 103 Toleransi 110, 133, 146, 155, 180, 182, 184, 200, 210, 300 Topo broto 236 Toraja 8, 14, 337 Tripitaka 13, 129, 272, 285 Tri-purasa xxviii, 237 Tri Sudiati 130 Tuhan Ra 113, 279 Turki 24, 207 U Ugamo Malim xxiv, 218, 221, 222, 223 Indeks Ujang Heri 103 Ujungpandang 248 Ulama 3, 47, 87, 94, 100, 108, 148, 189, 191, 226, 256, 320, 323, 324, 339 Ulil Abshar Abdalla 195, 199, 202, 207, 208 Uli Parulin Sihombing 199 Uluan 220 Ulun Sampurna 256 Umar Iskandar 30, 32, 49, 53, 70, 71, 77, 79, 100, 101, 171, 309, 347 Umar Syihab 189 Ummah 79 Ummul qura 263 Umroh 74, 75, 78, 82, 175 Uniication Chruch 81 Union Church 29 Universal Declaration of Human Rights in the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 143 Universitas Driyarkara 72, 76 Universitas Indonesia (UI) 74, 116 Universitas Islam Negeri (UIN) Makkasar 249 Uri-uri pambudi 228 Ustadz Adung 150 UUD 1945 13, 101, 203, 299 UU PNPS 1965 18 V Vatikan 133, 286 Veda 13, 110 Venus 30, 86 Vita 118 W Wahabi 88 Wahana Kebangsaan (WK) 29, 163, 172 Wahid xi, 25, 34, 108, 187, 188, 251, 252, 253, 257, 264, 319, 320, 325, 328, 333, 335, 338, 339, 347 Wahid Institute xi, 34, 251, 252, 253, 257, 264, 319, 325, 328, 333, 335, 338, 339 Wahyu xxiii, xxvii, xxviii, 1, 2, 3, 4, 7, 8, 10, 11, 13, 15, 23, 28, 31, 32, 33, 35, 36, 37, 40, 41, 42, 46, 48, 49, 51, 53, 56, 57, 58, 59, 70, 76, 83, 105, 106, 107, 109, 110, 111, 116, 124, 129, 130, 132, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 150, 153, 160, 161, 162, 165, 167, 168, 171, 174, 175, 183, 190, 191, 194, 196, 201, 204, 211, 217, 220, 229, 230, 231, 232, 235, 237, 239, 240, 241, 242, 244, 245, 249, 250, 251, 252, 253, 260, 263, 265, 269, 270, 272, 273, 275, 287, 296, 302, 340 Wahyu Andito 57, 161, 303, 313 Wali wudhar 216 Wanabadra 229 Wangsit 252, 253 Wani 228 Waqodiyat 245 Warsito 15 Warta Kota 182, 343 Warujayeng 230 Wawan 172, 304, 318 Weber 2, 3, 4, 337 Weda 98, 129, 272, 274, 285 Wedhatama 6 Widji Saksono 15 Wirobrajan 238, 239, 240, 245 Wisnu 9, 109, 184, 268, 344 Wong Samin 228 Wong sikep 226, 228 World-accommodating movements 29 World-afirming 29, 30, 38, 64, 67, 210, 211 World-rejecting 29, 30, 38, 61, 95, 115, 209, 210, 211 Indeks 371 Wovoka 28 Wowiek Prasantyo 159, 300 WS Rendra 174 WTC 107, 273 Y Yafet 221 Yahudi xxii, 145, 205, 208, 220, 221, 260, 325 Yahweh 220 Yang Mulia Ratu Lia , 119 Yanthi , 72, 75, 114, 129, 163, 283, 316 Yasin 80, 82 Yasser Arafat 133, 286 Yayasan Zakya Maqta xxviii, 261 Yesus 13, 44, 59, 109, 110, 112, 145, 152, 159, 175, 198, 216, 219, 220, 233, 239, 256, 260, 269, 274, 278, 303, 315 Yogyakarta iv, vii, ix, xi, 5, 9, 12, 14, 34, 68, 84, 115, 119, 135, 141, 215, 216, 229, 230, 231, 232, 233, 235, 238, 239, 240, 242, 243, 244, 245, 247, 253, 263, 285, 292, 323, 325, 327, 329, 330, 331, 333, 334, 335, 337, 345, 346, 347, 349, 350 Yusman Roy 51, 132, 138, 287, 288, 292 Yusuf Amin 103, 163 Z Zaenab 30, 40, 59, 109, 346 Zaenuddin 131, 289 Zaid Husein 240 Zainab 43 Zainal 99 Zainuddin MZ 47 Zainun Kamal 195 Zamzam 77 Zikir 223, 257 Zikrullah 27, 247, 248 Zohrah 250 372 Indeks