Al Makin
NABI-NABI NUSANTARA:
Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
i
1.
2.
3.
4.
ii
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 ayat [1]).
Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan ciptaan;
b. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; c. Penerjemahan
ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian
ciptaan; e. pendistribusian ciptaan atau salinannya; f. Pertunjukan
Ciptaan; g. Pengumuman ciptaan; h. Komunikasi ciptaan; dan i.
Penyewaan ciptaan. (Pasal 9 ayat [1]).
Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta
atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi
Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(Pasal 113 ayat [3]).
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (Pasal 113
ayat [4]).
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
NABI-NABI NUSANTARA:
Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
iii
Nabi-Nabi Nusantara:Kisah Lia Eden dan Lainnya
Copyright Al Makin, 2017
Versi Inggris: Challenging Islamic Orthodoxy: Accounts of Lia Eden and
Other Prophets in Indonesia, diterbitkan oleh Springer Swiss
Penulis
: Al Makin
Design Cover : Bhre Syahjaya
Tata Letak
: Maryono
Cetakan Pertama: April 2017
xxviii + 372 hlm, 15, 5 x 23 cm
Penerbit:
SUKA-Press
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Gedung Rektorat Lama Lantai 3
Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta 55281
Email: almakin3@gmail.com
ISBN: 978-602-1326-56-5
Dicetak oleh Margin Idea
All Rights reserved. Hak cipta dilindungi undang -undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
dalam bentuk apa pun tanpa ijin tertulis dari penerbit.
iv
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Untuk istriku tercinta Ro’fah, yang dengan kesabaran dan kasih telah
merawat Bune Siwat hingga pergi.
Al Makin
v
vi
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
PRAKATA PENULIS
D
alam buku ini, saya bagai seorang petualang yang pulang
dari perjalanan jauh di negeri seberang. Saya memakai
perumpamaan seperti itu, karena disertasi doktor saya (Makin
2010a) mendiskusikan tema kenabian di negeri nun jauh di
Jazirah Arab pada abad ketujuh. Buku yang ada di tangan Anda
ini tetap mengenai kenabian tetapi dalam konteks dan tempat
yang berbeda; yaitu di tanah air sendiri Indonesia. Selama proses
penulisan buku ini, saya telah berkunjung dan menjumpai
banyak teman lama dan baru di Bojonegoro (kota kelahiran saya),
Yogyakarta (saya tumbuh menjadi mahasiswa), Jakarta (ibukota
yang banyak menawarkan penelitian karena posisinya yang unik),
dan Medan (kota ragam yang sangat menjanjikan). Saya pergi ke
tempat kenangan semasa waktu kecil dan tempat baru dimana
saya temukan banyak kejutan tentang berbagai macam tradisi
keagamaan. Dalam studi keindonesiaan, saya sering mendengar
dilema yang diungkapkan oleh para sarjana Indonesia dan asing—
dalam hal ini, pada satu sisi, masyarakat Indonesia masih belum
Al Makin
vii
cukup dalam mempromosikan tradisi dan budaya Nusantara
di forum dunia; di sisi lain, hanya sebagian kecil masyarakat
Indonesia yang memperhatikan obyek studi tentang negeri
lain. Ketika saya menulis disertasi (Makin 2010a) di Universitas
Heidelberg, Jerman, saya merupakan mahasiswa Indonesia yang
mempelajari literatur Arab klasik. Saat ini perhatian penelitian
saya sedikit bergeser, sebagaimana juga para pengamat Indonesia
yang lain, seperti Azyumardi Azra—saya mempelajari Indonesia.
Kenyataannya, banyak buku tentang negeri kita tetapi ditulis
oleh orang asing. Nampaknya, orang Indonesia masih menyukai
pembicaraan tentang dirinya sendiri, namun tidak cukup serius.
Banyak tulisan tetapi tidak terbit dalam bahasa Inggris, sehingga
terbatas pembacanya secara internasional. Ketika saya mengajar
mata kuliah ‘the history of politics and religion in Java’ di Indonesian
Consortium for Religious Studies (ICRS) dan Center for Releigious and
Cross-cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada Yoyakarta
pada tahun 2013, saya bersama Peter Carey, diundang sebagai
profesor tamu dalam mata kuliah itu. Ia juga memunculkan isu
yang sama. Dalam hal ini, ada dua tugas utama sarjana Indonesia,
yakni mempromosikan tradisinya sendiri dan dalam waktu
bersamaan juga butuh menunjukan pengetahuannya tentang
dunia luar. Dengan buku ini, saya menempuh jalan sebagaimana
banyak kolega Indonesia lainnya, yaitu mempublikasikan karya
tentang Indonesia dalam bahasa Inggris, dengan harapan bahwa
saya bisa berkontribusi dalam diskusi ilmiah tentang Indonesia
oleh orang-orang Indonesia.
Dalam penyelesaian buku ini saya mengucapkan berjuta
terima kasih kepada banyak teman, kolega, guru, dan para
mahasiswa. Pertama, untuk Michael Feener yang baik hati karena
telah mengundang saya untuk bergabung di Asia Research Institute
(ARI), National University of Singapore, yang mendanai proyek
ini untuk mengejar impian menerbitkan karya ini, karya setelah
disertasi Ph.D. Saya juga haturkan terima kasih kepada Prasenjit
Duara, direktur ARI.Terima kasih kepada semua staf (Kalaichelvi
Krisnan, Vernice Tan Ser Nee, Jonathan Lee Ming Yao, dan
lainnya), yang sangat membantu selama saya tinggal di Singapore,
dan bagi semua teman-teman fellowship— Robin Bush, Michelle
Ann Miller, Jeremy Jacob Kingsley, Philip Michael Fountain,
viii
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Martin van Bruinessen, Bernard Arps, Steve Ferzacca, Julius
Bautista, Lai Ah-Eng, Sandeep Ray, dan lainnya—dengan banyak
pihak saya berdiskusi tentang berbagai tema dalam seminar dan
pertemuan makan siang. Saya haturkan terima kasih juga untuk
Arskal Salim, dan keluarganya (Maya, Akmal, Michael, Marsal),
untuk persahabatannya selama di Jakarta, Yogyakarta, Bochum,
Singapura, dan Sydney. Ketulusan dan kerendahan hatinya adalah
teladan untuk diikuti. Ucapan terima kasih khusus juga kepada
Andrew Zhijian Yeo, yang sangat berjasa dalam mengedit bahasa
Inggris dalam edisi lain buku ini. Juga Tracy Wright Webster
yang sangat pemurah dengan saran-saran bahasanya. Dan bagi
teman-teman di Singapura, Muhammad Hannan Hassan (MUIS),
Mohamed Imran Mohamed Taib (MUIS), dan Nenek Salbiyah
(Bukit Panjang), terima kasih atas kebaikan Anda selama saya
kesepian tinggal di Singapura.
Saya mempresentasikan draft buku ini dalam banyak
kesempatan, di seminar ARI, konferensi di School of Social Science,
Management University, Singapore (5-6 Nopember 2012), kelas
dan seminar di Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, International Indonesia Forum (IIF)
(21-22 Agustus 2013), dan dalam diskusi informal lainnya. Saya
mengucapkan terima kasih untuk semua yang telah memberikan
kritik terkait tema kenabian—komentar, kritik, dan saran telah
memperkaya draft naskah buku ini. Bagi mahasiswa saya di kelas
Pacasarjana dan Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga,
UGM, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), terima kasih
untuk keteguhan hati kalian dalam mempertahankan gagasan saya.
Terima kasih juga untuk Siti Syamsiyatun, Dicky Sofjan, Fatimah
Husein, Maufur (Ipung), Gerrith Singgih, Jeanny Dhewayani, dan
yang lainnya.
Di UIN Sunan Kalijaga, saya sampaikan terima kasih untuk
Rektor Yudian Wahyudi dan para Wakil Rektor, dan Rektor lama
ketika itu Musa Asy’arie, Dekan Fakultas Ushuluddin Syaifun
Nur, dan Dekan baru Alim Ruswantoro, semua teman-teman
dosen, yang mengizinkan saya untuk melakukan penelitian ini.
Saya haturkan terima kasih kepada Saptoni, Syaifuddin Zuhri, Ain
Dewi Utami, Ratno Lukito, Sayyidah Aslamah, Euis Nurlaelawati,
Agus Nuryatno, Moch Nur Ichwan, Ahmad Muhammad,
Al Makin
ix
Noorhaidi Hasan, Khoiron Nahdliyin, Ridwan, Muhammad
Zuhdi, Rezza Maulana Mata, dan pengurus jurnal Al-Jamiah
lainnya. Di jurusan Sosiologi Agama, saya mengucapkan terima
kasih kepada Muhammad Amin, Nurussa’adah, M. Soehadha,
M. Dawami, Inayah Rohmaniyah, Adib Soia, Nailah Abdullah,
Chumaidi Syarif, Romas, Lalu Darmawan,Yasir Arafat, dan dosen
lainnya.
Saya haturkan terima kasih juga kepada Kementerian Agama
Indonesia, terutama Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis),
kepada Direktur Diktis ketika itu Dede Rosyada, yang baru Amsal
Bakhtiar, Direktur Jendral Pendidikan Kamaruddin Amin, kepala
penelitian dan pelayanan masyarakat Khaironi dan sekretarisnya
Zidal Huda.Terima kasih juga untuk para pejabat baru: Mamat
Salamat Burhanuddin, Anis Masykur, dan Subandriyah. Terima
kasih untuk penguji dana riset kolaboratif yang membiayai
lanjutan penelitian ini Amin Abdullah dan Faisal Ismail (Sunan
Kalijaga), dua guru sepanjang hidup saya, terima kasih atas
dorongan terus menerus dalam perjalanan intelektual ini. Saya
juga haturkan terima kasih banyak kepada Suzanne Enderwitz
(Heidelberg University), guru dan pembimbing disertasi yang
selalu terbuka hingga kini. Bagi sahabat-sahabt saya selama tinggal
di Heidelberg, terima kasih Nina Sasani. Terima kasih juga untuk
dukungan Mark Woodward (Arizona University) dan Philip
Buckley (McGill University),.
Di Sydney, saya haturkan terima kasih Adam Possamai, atas
dorongan, kebaikan, dan kemurahan hati selama saya tinggal
di Religion and Society Research Center, University of Western
Sydney, di mana saya pun telah mendapatkan kesempatan
untuk mengetahui lebih jauh Julia D. Howell. Saya juga telah
membangun persahabatan dengan Eva Garcia, Nadirsyah Hosen
(yang juga sudiberbagi cerita terkait kisah Eden), Firdaus Wajdi,
Atun Wardatun, dan seorang jago tenis meja Wahyudin.Terima
kasih atas pertandingan dan perannya sebagai wasit tenis meja saat
musim semi, juga untuk nasihatnya. Saya tinggal di Sydney untuk
menyelesaikan naskah karena beasiswa Endeavour Australia, bagi
tim beasiswa ini, seperti Manu Singal, saya selalu berterima kasih.
Saya juga mengucapkan terima kasih banyak kepada semua
informan dan sumber penelitian: Paduka Bunda Lia, semua anggota
x
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Dewan Kenabian (YM Abdul Rachman,YM Dunuk Luxiaty,YM
Andito Putro Wibisono,YM Arif Rosyad, dan semuanya yang saya
sebut dalam pembahasan buku ini) keluarga Aar Sumardiono, para
pejabat kelurahan Bungur, teman-teman Ciputat (Din Wachid,
Ismatu Ropi, Alimunhanif, Yeni Ratnayuningsih), semua aktivis
LSM yang berpartisipasi (Mayong, Suaidi, Hasani, Nong Darul
Mahmada, Lutie Assyaukani, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo,
dan lainnya di LBH, JIL, Setara, Wahid Institute, dan Freedom
Institute), para pemimpin Samin di Bojonegoro, Parmalim
di Medan, dan beberapa teman baru di Yogyakarta (sebagian
disebutkan dalam buku ini). Teristimewa sahabat Indra Harahap,
terima kasih atas persahabatan dan berbagai keahliannya, serta
Faisal Reza yang selalu terbuka bagi saya di Medan yang telah
menunjukkan jalan ke desa Balige. Terima kasih untuk Bung
Surya Darma di Medan.
Dalam edisi bahasa Indonesia ini terima kasih pada kawankawan: Ahmad Izzudin (sangat membantu proses ini), seluruh
krew LPPM: Moh. Suhada, Muhrison, Abdul Mughitz, Arif
Maftuhin, Isnanto, Dandung, Tasik Intan, Rini, Paryadi, Kadi,
Aji, Cak Udin, Sarjimin, Nora, Kiman, dan seluruh nama yang
mungkin terlewatkan.
Bagi istri saya tercinta Rofah dan dua jagoan—Nabiyya
Perennia dan Arasy Dei, yang sudah tumbuh lebih tinggi dari
kami—terima kasih telah mengizinkan saya untuk menyelesaikan
penelitian ini. Untuk saudara saya, Ilham Khoiri (yang juga
menemani saya di perpustakaan Kompas), Anis Hidayah, Teguh
Prawiro, dan anak-anak mereka (Diya Orienta, Sakwa, dan Binar
Bening Embun), terima kasih atas tanggungjawab yang dipikul
bersama dalam merawat ibu kita Bune Siwat, yang telah pergi dan
meninggalkan kita.
Al Makin
xi
xii
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
DAFTAR ISI
PRAKATA PENULIS ....................................................... vii
DAFTAR ISI ....................................................................xiii
DAFTAR FOTO ............................................................. xvii
SINGKATAN DAN ISTILAH KHUSUS .........................xix
BAB SATU PENDAHULUAN.......................................... 1
Sebuah Pertanyaan ....................................................... 1
Deinisi Nabi dan Kenabian ......................................... 2
Terpinggirkannya Agama Populer ............................... 10
Deinisi Keragaman .................................................... 18
Kekalahan Keragaman di Ruang Publik Baru .............. 21
Alat Analisis ................................................................ 28
Pengumpulan Data ..................................................... 30
Sistematika Buku ........................................................ 34
BAB DUA PADUKA YANG MULIA RATU LIA EDEN 37
Jalan Mahoni .............................................................. 38
Kerajaan Eden Menyambutku .................................... 39
Al Makin
xiii
Bunda Lia ................................................................... 43
Kepribadian ............................................................... 44
Kekecewaan Awal terhadap Ulama .............................. 47
Jawaban Tuhan: Sumber Air Salamullah ....................... 48
Dalam Serangan Majelis Ulama................................... 50
Dari Mbak Lia ke Paduka yang Mulia ......................... 51
Menyampaikan Firman Tuhan .................................... 56
Meningkatnya otoritas kenabian.................................. 58
BAB TIGA PENGAJIAN SALAMULLAH (1997-1999) ... 67
Menghadiri Pengajian ................................................ 69
Rachman ................................................................... 72
Dunuk ....................................................................... 74
Yanthi ........................................................................ 75
Aar ............................................................................. 75
Umar ......................................................................... 77
Cici ............................................................................ 78
Ivuk ........................................................................... 79
Tri.............................................................................. 79
Cipi............................................................................ 80
Juru Selamat ............................................................... 82
Mulainya Pertarungan Publik ..................................... 86
BAB EMPAT ARAL MENGHADANG PEMURTADAN
(2000-2004) ................................................................. 91
Deklarasi Agama Salamullah ....................................... 93
Perintah Untuk Menyepi ............................................ 95
Kecurigaan Warga ...................................................... 99
Salamullah Diserang................................................... 102
Kutukan dalam Retorika Wahyu Tuhan ..................... 106
Ruh para Pemimpin Indonesia .................................. 107
Konsolidasi ................................................................ 109
Kesatuan Agama-Agama ............................................ 110
Tuntutan Otoritas dan Kekuasaan lebih besar ............. 111
Berkorban untuk Kerajaan Tuhan .............................. 115
Surat-Surat Jibril ....................................................... 120
xiv
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
BAB LIMA MEMBELA KERAJAAN TUHAN
(2005-2007) ................................................................ 123
Konsolidasi ............................................................... 124
Tiada Agama dalam Surga Tuhan................................ 125
Politikus Korup dan Bencana Alam ........................... 131
Mereka yang menolak Panggilan Jibril ...................... 133
Kiamat Semakin Dekat ............................................. 134
Jibril Ditangkap ......................................................... 135
Murka Jibril di Sidang Pengadilan ............................. 138
Fasihnya pembelaan Rachman ................................... 143
Di Penjara ................................................................ 148
Tiga Buku dalam Penjara .......................................... 150
BAB ENAM MELEMAHNYA KERAJAAN TUHAN
(2008-2012) ................................................................ 157
Membela yang Lemah ............................................... 158
Konsolidasi ............................................................... 159
Menghadapi Penangkapan dan Pengadilan Kedua ...... 160
Ayah Akan Pulang .................................................... 163
Pertempuran Lain di Pengadilan ............................... 165
Perenungan Mendalam di Penjara Kedua .................. 168
Bantuan Finansial di Masa Sulit.................................. 170
Perginya para Rasul Kerajaan Tuhan ........................... 171
BAB TUJUH PERTARUNGAN PUBLIK ...................... 179
Prasangka Media........................................................ 181
Penyusupan diJalan Mahoni ...................................... 184
Di Mata Teman-Teman Ciputat ................................ 186
Kemenangan Para Penganiaya dan Penuntut ............... 189
Iblis Menyamar .......................................................... 192
Pengadilan yang tidak adil .......................................... 194
Kekalahan para Pembela ............................................ 198
Para Pembela Keragaman ........................................... 202
NRM dan Orthodoksi Keislaman .............................. 209
Memikirkan Kembali Keragaman............................... 212
LAMPIRAN .................................................................... 215
Lampiran 1: Nabi-Nabi Nusantara Era Kolonial ........ 215
Al Makin
xv
Lampiran 2: Nabi-Nabi Menyambut Kemerdekaan
Bangsa ................................................... 232
Lampiran 3: Nabi-Nabi Selama Era Orde Baru
dan Reformasi ........................................ 247
Lampiran 4: Wahyu Tuhan untuk Lia Eden ................ 265
DAFTAR PUSTAKA ....................................................... 309
TENTANG PENULIS..................................................... 349
INDEKS .......................................................................... 351
xvi
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
DAFTAR FOTO
Gambar 1: Peta lokasi para nabi yang dibahas di buku ini ... 36
Gambar 2: Lia Eden tahun 2014 (Koleksi Eden) ................ 65
Gambar 3: Muhammad Abdul Rachman tahun 2011,
imam besar kerajaan Eden, reinkarnasi Nabi
Muhammad ................................................ 65
Gambar 4: Muhammad Abdul Rachman dan Penulis tahun
2014 ............................................................... 66
Gambar 5: Dunuk Luxiaty tahun 2011, reinkarnasi Dewi
Kwan Im ....................................................... 89
Gambar 6: Arif Rosyad tahun 2011, salah satu sekretaris Eden 89
Gambar 7: Rumah Eden di Jalan Mahoni no. 30 Senen
Jakarta ....................................................... 122
Gambar 8: Patung malaikat di kebun depan rumah Eden .. 122
Gambar 9: Halaman kerajaan Eden, surga Tuhan di bumi tahun
2011 ............................................................... 154
Gambar 10: Anak-anak bermain di halamanEden tahun 2011 154
Gambar 11: Halaman Eden tahun 2014 ............................ 155
Al Makin
xvii
Gambar 12: Wahyu Tuhan tergantung di dinding tahun 2011 ... 176
Gambar 13: Wahyu Tuhan tergantung di dinding tahun 2014 ... 177
Gambar 14: Wahyu Tuhan tergantung di dinding tahun 2014 ... 178
Gambar 15: Koleksi Amin Djamaluddin berupa majalah dan
buku tentang ‘aliran sesat’. Dari kanan ke kiri cover
majalah Panji menampikan Bijak Bestari, buku
Ahmad Mushaddeq, dan buku Bijak Bestari .... 213
xviii
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
SINGKATAN
DAN ISTILAH KHUSUS
Singkatan
AKABRI
AKKB
: Akademi Bersenjata Republik Indonesia
: Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama
dan Berkeyakinan
ASK
: Angesti Sampurnaning Kautaman
Bakorpakem : Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan
Baksos
: Bakti sosial
BK5I
: Badan Koordinasi Karyawan Kerohanian
Kebatinan Kejiwaan Indonesia
BKKI
: Badan Kongres Kebatinan Indonesia
BKOK
: Badan Koordinasi Organisasi Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa
BKR
: Badan Keamanan Rakyat
BPK
: Badan Pemeriksa Keuangan
BPN
: Badan Pertanahan Nasional
BPS
: Badan Pusat Statistik
DDII
: Dewan Dakwah Islam Indonesia
Al Makin
xix
DKT
DPR
DSN
FAPB
FKPK
:
:
:
:
:
FPI
FUI
GAM
GKJ
Golkar
HMI
HPK
HTI
IAIN
ICCPR
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
ICRP
IIQ
IPB
ITB
JIL
Kamtibmas
KKN
KPKB
KPU
KUA
KUHAP
KUHP
LBH
LE2
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
LPPI
Masyumi
MK
MMI
MPR
:
:
:
:
:
xx
Djawatan Kesehatan Tentara
Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Syariah National
Front Anti Permurtadan Bekasi
Forum Komunikasi Penghayat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Front Pembela Islam
Forum Umat Islam
Gerakan Aceh Merdeka
Gedung Kesenian Jakarta
Golongan Karya
Himpunan Mahasiswa Islam
Himpunan Penghayat Kepercayaan
Indonesian Hizbut Tahrir
Institut Agama Islam Negeri
International Covenant on Civil and Political
Rights
Indonesian Conference for Religion and Peace
Institut Ilmu Quran
Institut Pertanian Bogor
Institute Teknologi Bandung
Jaringan Islam Liberal
Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
korupsi, kolusi, dan nepotisme
Koalisi Pembela Kebebasan Beragama
Komisi Pemilihan Umum
Kantor Urusan Agama
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Kitab Undang Undang Hukum Pidana
Lembaga Bantuan Hukum
Lia Eden Two (Tandatangan Lia Eden yang
mengindikasikan bahwa dia adalah wakil Jibril
di bumi; Lia Eden memiliki dua unsur, yaitu
Lia dan Jibril)
Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam
Majelis Syuro Muslimin Indonesia
Mahkamah Konstitusi
Majelis Mujahidin Indonesia
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Monas
MS-PPMT
MUI
NGO
NU
Pakem
PBB
PBR
PERSIS
Pertamina
Pesindo
Peta
PGA
PKS
PNI
Q.
RT
RW
SBY
SCTV
SK
SKK
SMA
SMP
STIA-LAN
Subud
TPKB
UGM
UI
UIN
WK
: Monument Nasional
: Majelis Syura Pondok Pesantren Modern
Terpadu
: Majelis Ulama Indonesia
: Non-government Organization
: Nahdlatul Ulama, Ormas terbesar di Indonesia
: Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat
: Partai Bulan Bintang
: Partai Bintang Reformasi
: Persatuan Islam
: Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi Negara
: Pemuda Sosialis Indonesia
: Pembela Tanah Air
: Pendidikan Guru Agama
: Partai Keadilan Sejahtera
: Partai Nasional Indonesia
: Quran, Kitab Suci Umat Muslim
: Rukun Tetangga
: Rukun Warga
: Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden
RI (2004-2014)
: Surya Citra Televisi, Perusahaan Televisi Swasta
: Surat Keputusan
: Sekretariat Kerjasama Kepercayaan
terhadapTuhan Yang Maha Esa
: Sekolah Menengah Atas
: Sekolah Menengah Pertama
: Sekolah TinggiI lmu Administrasi Lembaga
Negara
: Susilo Budhi Dharma, aliran keagamaan yang
didirikan oleh Muhammad Subuh
: Tim Pembela Kebebasan Beragama
: Universitas Gajah Mada
: Universitas Indonesia
: Universitas Islam Negeri
: Wahana Kebangsaan, yaitu anggota kelompok
Eden yang tinggal di luar jalan Mahoni
Al Makin
xxi
Istilah Khusus (hanya digunakan dalam kontens
buku ini)
Asri
: Majalah khusus rancangan dan
bangunan rumah.
Ahlukitab
: Ahli kitab—istilah dalam tradisi Islam
untuk orang Yahudi dan Kristen.
Namun, istilah ini digunakan oleh
Muchidin Safa alias Abu Ala di Jakarta
untuk Muslim, yang tidak memberikan
kesaksian atas kenabiannya.
Engkang Sinuwun Kan- : Sultan Agung Abdul Hamid, ratu adil,
jeng Sultan Ngabdul kamid raja penguasa, bangsawan, pemimpin
Erucokro Kabir al-Mukmi- agama, pengganti utusan Tuhan, gelar
nin Sayidin Panatagama Diponegoro
Kalifat Rasulillah
Agama Adam
: Merujuk kepada agama Samin.
Agus Nata Sukarno Putra : Agus, mengaku sebagai putra Sukarno,
istilah yang disematkan kepada Agus
Imam Sholihin, pendaku nabi di
Jakarta.
Al-Masih al-maw’ud
: Nabi mesiah yang ditunggu, gelar
yang disematkan kepada Ahmad
Mushoddeq, pendaku nabi di Jakarta.
At-Taibin
: LSM yang didirikan oleh Lia Eden.
Balai desa
: Kantor desa.
Bale Pasogit
: Markas Besar Parmalim di Hutatinggi
Lagobuti Sumatera.
Banuaginjang
: Bagian dunia tertinggi tempa Dewa
(Batak)
Banuatonga
: Bagian dunia kedua tempat umat
manusia (Batak)
Banuatoru
: Neraka (Batak)
Batara Guru
: Tuhan Maha Adil yang menciptakan
dunia ini (Batak)
Begu
: Ruh (Batak)
Bintangkemukus
: Komet (Jawa), yang dipercaya muncul
di langit pada saat kelahiran Sukarno
xxii
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Bius
Bongso Walondo
Budiluhur
Bulubekti
Bunda Maria
Datu
Dawuh
Debata Natolu
Dewan Kerasulan
Doli-doli
Eden
Erucakra
Gondang
Habib al-Huda
Hadatuon
HMA
Ruhul Amin
Ihutan
Ilham
Imam besar
: Upacara dengan mengorbankan
kerbau (Batak)
: Belanda (Bahasa Jawa)
: Menjalankan hidup dengan kesalehan
(Bahasa Jawa)
: Membayar pajak sebagai tanda patuh
kepada penguasa (Bahasa Jawa)
: Lia
Eden
dipercaya
sebagai
reinkarnasinya
: Dukun tradisional (Batak)
: Perintah (salah satu wahyu yang
diterima oleh pendaku nabi), lihat
juga wisik, ilham, sabda, wahyu, dan
sapaan
: Dewatiga(Batak)
: Yaitu dua puluh pengikut inti Eden
: Pemuda (Batak)
: Kelompok yang didirikan oleh Lia
Eden
: Ratu adil yang ditunggu (Bahasa
Jawa)
: Musik tradisional Batak
: Pembimbing
ke
jalan
terang
(dipercaya sebagai Malaikat Jibril yang
membimbing Lia Eden)
: Mukjizat (Batak)
: Huwalmu’jizatula’la (dia yang maha
pemberi mukjizat), gelar Bijak Bestari
pendaku nabi dari Jakarta
: Ruh terpercaya, nama Jibril (Lia
Eden)
: Pemimpin (Batak)
: Inspirasi (salah satu wahyu yang
diterima oleh pendaku nabi), lihat
juga wisik, dawuh, sabda, wahyu, and
sapaan
: Gelar yang disematkan kepada Abdul
Rachman pimpinan kelompok Eden.
Al Makin
xxiii
Jati sawit
: Usaha (pemupukan diri sendiri),
dalam ajaran Samin (Bahasa Jawa)
Jawa’
: Pemimpin umat manusia, gelar yang
disematkan kepada Amaq Bakri,
pendaku nabi dari Lombok
Joan of Arc
: Orang suci Perancis abad ke 15 dan
pahlawan yang dibakar, Lia Eden
dipercaya sebagai reinkarnasinya
Kedap
: Mengisolasi diri sendiri dari keramaian
(Lia Eden)
Kitab Sasangka Jati
: Kitab kebenaran, Kitab Suci Pengikut
Pangestu
Konco sikep
: Kawan atau dalam pelukan istri dan
tanah, yaitu pengikut Samin
Kunti
: Ratu Hastinapura dan ibu Pandawa
dalam kisah, dipercaya Lia Eden
sebagai reinkarnasinya
Lampahing urip
: Perjalanan hidup dalam ajaran Samin
(Bahasa Jawa)
Latihan
: Latihan spiritual untuk pengikut
Subud
Londo Mondolan
: Pegawai Jawa selama era pemerintahan
Belanda
Lumbung desa
: Tabungan beras desa
Malim/Ugamo Malim : Agama putih di Batak
Mangannapaet
: Meminta ampunan dari Tuhan dalam
agama Malim
Mararisabtu
: Ibadah sabtu dalam Parmalim
Marsombatudebata
: Ucapan syukur kepada Tuhan dalam
agama Malim
Martutuaek
: Perayaan kelahiran dalam agama
Malim
Mengala Bulan
: Dewi Bulan (Batak)
Mula Jadi Na Bolon
: Tuhan Maha Tinggi yang menciptakan
semua makhluk (Batak)
Murabbi
: Guru, berkedudukan dalam lingkungan Tarbiyah
xxiv
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Murbo Hamaseso
: Tuhan yang menguasai alam semesta
(SumarahPurbo)
Naga Padoha
: Ular samudra yang menyebabkan
gempa bumi, petir, dan hujan (Batak)
Nandang
: Yang hanya mencertiakan kebenaran,
gelar yang disematkan kepada Amaq
Bakri, pendaku nabi dari Lombok
Narima
: Menerima, atau merasa cukup (Bahasa
Jawa)
Ngelmu
: Pengetahuan (Bahasa Jawa)
Nyai Roro Kidul/Ratu : Dewi dari Pantai Selatan Jawa
Kidul
Paliwara
: Larangan (Pangestu)
Pancasila
: Lima dasar falsafah bangsa Indonesia,
lima ajaran masyarakat Samin di
Tapelan Bojonegoro, dan lima perintah
dari Pangestu
Pandemanusia
: Seseorang yang memiliki keahlian
urusan manusia, gelar yang disematkan
kepada Amaq Bakri, pendaku kenabian
dari Lombok.
Panembah
: Berdoá atau meditasi
Panembahan
: Pemimpin yang terhormat (Bahasa
Jawa), gelar yang disematkan kepada
Akhmad Mukhyar, pendaku nabi dari
Jawa Timur
Pangestu
: PaguyubanNgesti
Tunggal,
aliran
kebatinan yang didirikan oleh
Sunarto
Panuntun Agung Sri : Penuntun besar, gelar yang disematkan
Gutama
kepada pendiri Sapta Dharma
Harjosapuro
Paranpara
: Penasehat spiritual atau penuntun,
yaitu Sunarto, pendiri Pangestu
Parbaringin
: Imam Batak
Parhudamdam
: Agama asli Batak
Parmalim
: Kepercayaan agama Malim/agama
suci dan murni dari Batak
Al Makin
xxv
Pasahattondi
: Upacara kematian dalam agama
Malim
Pengageng
: Penguasa (Bahasa Jawa), gelar
yang disematkan kepada Sumito
Joyokusumo, pendaku
kenabian
berasal dari Jawa Tengah
Perennialism
: Kesatuan semua agama dan keyakinan
(Lia Eden)
Persantian
: Kantor cabang Parmalim
pikukuh kesejatin
: Keberadaan sejati, dalam ajaran Samin
(Bahasa Jawa)
Pingit
: Pengasingan dari adat Jawa sebelum
menikah
Pustaha Poda Hangoluan : Kitab Suci agama Malim
Racut
: Ritual yang dianggap paling tinggi
dalam Sapta Dharma, satu pengalaman
kematian dalam hidup dengan bersatu
dengan Tuhan.
Rasul
: Utusan
Ratib
: Bacaan Arab (Qiroáh)
Ratu Rabul Alamin
: Raja alam semesta, gelar yang
disematkan kepada pendaku kenabian
dari Jawa Barat
Reinkarnasi
: Ruh seseorang yang sudah meninggal
masuk ke dalam ruh orang yang
masih hidup sebagai penerus, yang
masih terbebani dengan dosa-dosa
ruh sebelumnya. Dan orang tersebut
berkewajiban untuk membersihkan
dosa-dosa masa lalu orang yang sudah
meninggal (Lia Eden).
Resi Brahmana
: Imam agung, gelar yang disematkan
kepada pendiri Sapta Dharma
Harjosapuro
Roh Suci
: Ruh Kudus dari semua jiwa kehidupan
yang datang (Pangestu)
Ruh min amrih
: Ruh Tuhan, nama Jibril (Lia Eden)
Ruhul Kudus
: Nama Jibril (Lia Eden)
xxvi
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Sabda Khusus
Sabda
: Kitab Suci Pangestu
: Perintah (salah satu wahyu yang
diterima oleh pendaku nabi), lihat
juga wisik, ilham, dawuh, wahyu, and
sapaan
Sabda-Sabda Pratama
: Perintah-Perintah Agung, Kitab Suci
Pangestu
Sahala
: Kekuatan/takdir (Batak )
Salamullah
: Pengajian Islam yang diadakan oleh Lia
Eden pada awal mula dia menerima
wahyu
Sanggar
: Pusat kegiatan (Sapta Dharma)
Sapaan
: Wahyu (salah satu wahyu yang
diterima oleh pendaku kenabian),
lihat juga dawuh, wisik, ilham, sabda,
and wahyu
Sapta Dharma
: Tujuh Bakti, kelompok yang didirikan
oleh Harjosapuro
Satria Piningit Weteng : Kesatria tersembunyi dalam perut
Buwana
bumi, gelar yang disematkan kepada
Agus Imam Sholihin, pendaku
kenabian dari Jakarta
Sedulur papat lima pancer Empat saudara dan lima tiang (Sumarah
Purbo)
Sembah
: Menundukkan
kepala
dengan
menyatukan dua tangan (yang
diperaktekkan oleh kelompok Eden
ketika bertemu dengan semua orang)
Semedi
: Meditasi dalam adat Jawa
Serat punjer kawitan
: Asal mula hidup dalam ajaran Samin
(Bahasa Jawa)
Syirik
: Dosa besar dalam Islam, yang
menyekutukan Allah dengan kekuatan
yang lain
Si Bontar Mata
: Si mata putih/penguasa kolonial
Belanda (Batak)
Si Boru Deak Parujar : Anak perempuan Batara Guru
(Batak)
Al Makin
xxvii
Sidratul Muntaha
Sipahalima
Sipahasoda
Shirotal mustaqim
Soripata
Subud
Suksma Kawekas
Suksma Sejati
Tirakatan
Tondi
Tri-purasa
Uri-uri pambudi
Wahyu cakarningrat
Wisik
Yang dimuliakan
Yayasan Zakya Maqta
xxviii
: Jembatan yang menghubungkan
antara neraka dan surga (Lia Eden)
: Upacara korban dalam Malim
: Hari raya tahun pertama dalam
kalender Batak di Malim
: Jembatan yang lurus seperti disebutkan
dalam Qurán. Tetapi Rohimat dan
Tauik, pendaku kenabian dari Jawa
Barat, memaknainya sebagai jembatan
yang ada di rumahnya bagi para
pengikutnya ketika kiamat tiba, yang
katanya akan terjadi tahun 1999.
: Tuhan Pemberi Karunia (Batak)
: Susilo Budhi Dharma kelompok yang
didirikan oleh Muhammad Subuh
: Sumber kehidupan (Pangestu)
: Ruh kebenaran (Pangestu)
: Memanjatkan doá pada tengah malam
(Lia Eden)
: Jiwa (Batak)
: Tiga unsur (Pangestu)
: Nasihat Moral dalam ajaran Samin
(Bahasa Jawa)
: Wahyu
akan
mendapatkan
keberuntungan besar (Sastra Jawa)
: Bisikan (salah satu wahyu yang
diterima oleh pendaku kenabian),lihat
juga dawuh, ilham, sabda, wahyu, and
sapaan
: Yaitu para aggota Dewan Kenabian
kelompok Eden
: Didirikan oleh Bijak Bestari, pendaku
kenabian dari Jakarta
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
BAB SATU
PENDAHULUAN
Sebuah Pertanyaan
Pertanyaan sederhana mendorong saya untuk menulis buku
ini adalah apakah Indonesia mampu melahirkan seorang nabi
atau bahkan melahirkan agama, sebagaimana hal serupa telah
terjadi di Jazirah Arab yang melahirkan Nabi Muhammad (570632) yang membawa Islam? Pertanyaan ini mengusik saya karena
karena dua alasan. Pertama, ketika saya melakukan penelitian pada
buku sebelumnya, “Representing the Enemy: Musaylima in Muslim
Literature” tahun 2010, telah ditemukan bahwa Muhammad tidak
sendiri dalam mengklaim wahyu Ilahi, yang menuntunnya dalam
kepemimpinan dan pembangunan komunitas religius di Madinah.
Kenyataannya, literatur Islam itu sendiri menggambarkan bahwa
keadaan Semenanjung Arab pada abad ketujuh jauh lebih
kompleks dan plural daripada sekedar dogma teologis Islam yang
hanya mempertahankan klaim kenabian tunggal Muhammad.
Dalam buku sebelumnya, saya sudah ungkapkan bahwa ada
banyak tokoh dari pelbagai suku Arab yang juga mengklaim
kenabian serta mencoba mendirikan komunitas religius namun
Bab Satu Pendahuluan
1
Al Makin
tidak bertahan hidup—tidak seperti Islam yang bertahan dan
berkembang hinggga kini. Dalam buku ini saya tetap mencoba
untuk mengajukan pertanyaan serupa seputar kenabian tetapi
dalam konteks budaya dan tradisi keagamaan yang berbeda, yaitu
di tanah air Indonesia. Karena juga dihadapkan fakta bahwa
Indonesia saat ini merupakan negara Muslim terbesar di dunia,
muncul lah pertanyaan lain: Apakah nabi yang terlahir di tanah ini
pernah menggugat ‘hegemoni’ orthodoksi keislaman?
Setelah melihat sejarah Indonesia, saya terkejut dan
berpendapat bahwa negeri kepulauan yang kaya ini bahkan telah
menjadi tempat bagi ratusan pendaku kenabian yang menerima
pesan Ilahi yang mendirikan kelompok keagamaan. Ini terjadi
semenjak masa kolonial. Pada masa kolonial Belanda, ada beberapa
tokoh melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan di Jawa
dan Sumatra dengan didukung legitimasi wahyu Illahi dalam
memimpin serta dalam usaha membebaskan masyarakat dari
belenggu kekuatan asing. Pasca kemerdekaan, nabi-nabi baru
juga masih muncul yang berkontribusi dalam pembentukan
identitas baru; dalam hal ini mereka membimbing masyarakat
secara spiritual untuk jalan keselamatan. Banyak dari para nabi
itu berhasil mendirikan “Gerakan Keagamaan Baru” (GKB) atau
NRM (New Religious Movement) kemudian dikenal di Indonesia
sebagai aliran kepercayaan/kebatinan. Lebih jauh lagi, selama periode
Orde Baru dan reformasi para pendaku nabi membawa misi untuk
menyelamatkan negeri ini dari krisis politik dan ekonomi yang
mendera bangsa, terutama pasca Soeharto lengser (1921-2008).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Indonesia, seperti
negara-negara Timur Tengah, juga telah melahirkan nabi-nabi
dalam sejarah dan konteks yang berbeda. Mengingat jumlah para
nabi di Indonesia yang banyak dan tak mungkin semua diceritakan
dalam buku ini, maka kita hanya terfokus pada kasus ‘Lia Eden’
yang mendirikan kelompok Eden atau Kerajaan Eden di daerah
Senen Jakarta, yang menentang hegemoni orthodoksi keislaman
di negeri ini.
Deinisi Nabi dan Kenabian
Untuk memulainya, mari kita membicarakan deinisi ‘nabi’
dan ‘kenabian’. Menurut Weber, ada dua unsur penting yang
2
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
menandai legitimasi nabi di masyarakat, yaitu ‘kharisma’ dan
‘perintah Ilahi’. Dua unsur ini merupakan hal yang membedakan
nabi dan penyihir (mereka yang memiliki kekuatan ghaib) atau
imam (mereka yang memiliki orotitas kharismatik karena posisinya
sebagai petinggi agama atau organisasi keagamaan). Selanjutnya,
seorang nabi adalah orang yang berjasa sebagai pendiri sebuah
agama, yang juga menjadi sumber kebenaran, serta memiliki
otoritas tertinggi dalam tradisi keagamaan (Chryssides, 2009;
Wallis, 1982;Weber, 1978: 241, 46;Woodward, 2011: 230). Otoritas
kepemimpinan ini tidak sebanding dengan status imam, atau ulama
dalam kasus Islam, yang berperan dalam menghidupkan warisan
para nabi. Pada gilirannya, berdasarkan legitimasi wahyu Ilahi dan
kharisma, nabi berfungsi dalam memperbaharui, memulihkan,
dan menata ulang susunan dunia (Wallace, 1956).
Dalam teologi Islam, kenabian Muhammad diposisikan
sebagai yang tertinggi di antara para nabi sebelumnya. Muhammad
adalah nabi terakhir dan tidak akan ada nabi lain yang datang
setelahnya di dunia ini. Tentu saja, doktrin teologis ini berbeda
dengan fakta historis bahwa setelah Muhammad masih banyak
yang mengklaim kenabian di Jazirah Arab maupun di luar Arab
(Makin, 2010a). Perlu diingat ternyata ‘wahyu Ilahi’ dan ‘kharisma’
tidak cukup untuk mengangkat seseorang pada status kenabian.
Sebaliknya, sejarah mengajarkan kepada kita bahwa pengakuan
kenabian tergantung pada kelangsungan misi Ilahi, yang dilakukan
oleh para pengikut nabi itu dengan menjalankannya dalam
membentuk komunitas agama, atau dengan kata lain, membentuk
organisasi sosial yang di dukung oleh kekuatan politik. Dalam
konteks ini, kenabian Muhammad dibangun dan dijaga oleh dua
kekuatan dinasti (kerajaan Islam): Bani Umayyah (661-750) dan
Bani Abbasiyah (750-1517). Di sisi lain, ketika seorang pendaku
kenabian gagal, ini artinya ia gagal menarik pengikut, dan tidak
ada satu pun dari mereka yang dapat membangun kharisma
dan menyebarkan misi kenabian setelah kematian sang nabi.
Orang seperti ini disebut “nabi palsu” atau “sang pembohong/
al-kadzdzab.” Sebagaimana dalam buku saya sebelumnya (Makin,
2010a) membahas Musailamah, yang gagal berkompetisi dengan
Islam, karenanya dalam literatur Islam dikenal dengan sebutan
‘musuh’ dan ‘pendusta’ agama. Dari sudut pandang sejarah, tidak
Bab Satu Pendahuluan
3
Al Makin
berlebihan bila saya menyimpulkan bahwa bukan semata nabi
yang membangun dan mendirikan komunitas agama, tetapi para
pengikut dan yang beriman pada kenabian yang sangat berperan
dalam membangun kharisma dan meneruskan misi kenabian
untuk generasi selanjutnya.
Dengan demikian, pengertian ‘kenabian’ dan ‘nabi’ senantiasa
terikat oleh tradisi budaya, sosial, dan agama tertentu (Adas, 1979:
xx). Sudah barang tentu, setiap budaya, konteks politik, dan tradisi
agama telah memproduksi—atau dapat memproduksi—model
kenabian tersendiri. Proses di Indonesia, terlepas dari pengaruh
kekuatan tradisi Islam di negeri ini, telah menawarkan jalan yang
berbeda dengan jalan kenabian di Timur Tengah atau wilayah
lainnya.
Dalam sejarah Indonesia, istilah kenabian dan nabi dapat
ditemukan di berbagai gerakan milenarianisme, mesiah, dan
mahdi di seluruh Jawa, di mana para nabi tersebut memimpin
masyarakat untuk melakukan pemberontakan terhadap rezim
kolonial Belanda. Banyak hasil penelitian dan kajian teoritis
menyoal tentang kenabian, menawarkan teori mesianisme (van Der
Kroef 1949; 1952; 1959), mahdiisme dan mileniarisme (Trupp 1952;
Roscoe 1988; Hirosue 1994; Suwandi 2000), restorasi, revitalisasi
(Wallace 1956), nativisme (Linton 1943; Grifen 1970), serta
gerakan kenabian (Lanterni 1965). Dalam sejarah masa kolonial,
masyarakat lokal dan terjajah merasakan bahwa kekuatan asing
telah merampas identitas, iman, dan tanah mereka. Sebagian besar
nabi di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan muncul dalam menanggapi
krisis tersebut dan dalam kenabiannya mereka berjanji pada umat
untuk menyelamatkan elemen di masyarakat yang hilang. Di
Jawa, sebagian besar para pemberontak kharismatik mengaitkan
diri dengan mitos dan legenda ratu adil. Dalam beberapa kasus
mereka meramu ajaran sinkretis, berasal dari tradisi Hindu Jawa
yang dikenal dengan erucakra dan dalam Islam dikenal dengan
mahdiisme (van Der Kroef, 1949; 1952; 1959).
Sudah barang tentu, Diponegoro, Somalaing, Na Siak Bagi,
Samin Surosentiko, di antara para pemimpin mileniarisme dan
mesiah Jawa lainnya—secara umum menunjukkan tiga unsur
penting yang menandai kenabian mereka: kharisma, wahyu Ilahi
(Weber, 1963: 46; Adas 1979: xxx), dan gerakan misi revivalisme
4
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
untuk menata kembali susunan dunia (Wallace 1956). Oleh karena
itu, nabi memimpin masyarakat untuk melakukan perlawanan
terhadap pemerintah kolonial. Bahkan, kepulauan Indonesia
selama masa penjajahan Belanda dari abad ke-17 hingga awal
abad ke-20 merupakan tanah subur yang secara terus-menerus
melahirkan gerakan mileniarisme dan mesianisme (van Der Kroef,
1952; Lanternari, 1965; Hirosue 1988, 1994). Banyak pulau di
Indonesia yang melestarikan mitos, legenda, cerita rakyat, do’a,
dan terapi penyembuhan (perdukuhan) (Woodward, 2011) dalam
tradisi mereka. Setelah menemukan bahan serta mengolahnya
menjadi ramuan penyembuh, para nabi tersebut lalu mengubah
misi mereka menjadi misi kenabian dalam memimpin masyarakat.
Kondisi ini tidak sulit untuk kita bayangkan, ketika ada perjumpaan
antara nabi dengan para pengikutnya, mereka saling berbagi
ratapan atas ketidakadilan yang diderita mereka disebabkan oleh
kesewenang-wenangan kekuasaan kolonialisme Belanda. Dalam
momen itu terbangunlah solidaritas berkat kharisma kenabian
dan kepemimpinan para nabi.
Setelah era kemerdekaan 1945, atmosir baru memunculkan
para nabi baru pula, karena atmosir lama kolonialisme telah
berakhir. Para nabi baru ini memberi perhatian pada masalah
identitas dan tidak lagi menawarkan perlawanan terhadap
hegemoni kolonialisme yang telah usai. Gerakan-gerakan seperti
ini sering dianalisis sebagai ‘Gerakan Keagamaan Baru’ (GKB) atau
NRM (New Religious Movement) (Howell 2001, 2007, Bruinessen
2007). Nabi-nabi seperti ini—misalkan Sukino, Muhammad
Subuh, Harjosapuro, Sukisman, dan Darmopodo, yang sebagian
pengikutnya saya temui di Yogyakarta pada awal tahun 2013—
menerima perintah baru dari Tuhan diungkap dihadapan
masyarakat. Mereka lebih banyak menyinggung persoalan yang
berhubungan dengan identitas. Wahyu Ilahi pada gilirannya
bergeser dari tema perjuangan kemerdekaan menjadi penguatan
identitas dari bangsa yang sedang mengalami masa transisi. Pesan
dari nabi-nabi pasca-kolonial lebih menunjukan rasa percaya
diri dan optimisme. Sebagian besar mengedepankan ketenangan
batin dan perdamaian yang merupakan salah satu ciri khas pesan
misi kenabian era itu. Ini menjadi cerminan bagi bangsa di masa
depan. Ajakan emosional para nabi sebelumnya untuk perlawanan
Bab Satu Pendahuluan
5
Al Makin
terhadap kekuatan hegemoni asing pada gilirannya memudar.
Dalam hal ini, para nabi mengingatkan kembali zaman keemasan
sastra Jawa, misalnya. Para nabi di pulau Jawa berhasil mendirikan
berbagai aliran kebatinan/kepercayaan, dengan gaya organisasi
modern. Dengan begitu, para nabi ini mendapatkan pengikut
dengan jumlah yang signiikan.
Dua faktor historis berikut memberikan dorongan yang
memunculkan GKB/NRM pasca-kolonial di Indonesia. Pertama,
gerakan kenabian milenarianisme dan mesianisme mengajarkan
faham reinkarnasi, pembaruan spiritual, ratu adil, dan erucakra
(penyelamat). Kedua, ‘agama populer’ seperti Malim (diinspirasi
oleh tokoh kharismatik Si Singamangaraja XII, lihat lampiran I)
mengkombinasikan berbagai unsur tradisi agama di dunia, misalnya
Islam, Kristen, dan kepercayaan setempat. Secara sederhana, NRM
pasca periode kemerdekaan muncul dengan mewarisi dua tradisi
tersebut.
Indonesia telah menjadi tuan rumah bagi ratusan NRM, yang
sebagian besar lahir di Jawa, yaitu tanah subur yang memunculkan
sinkretisme yang menawarkan ajaran dengan berbagai akomodasi
ajaran Hindu, Buddha, Islam, dan unsur lokal yang tersimpan
baik dalam sastra Jawa Kuno, seperti Serat Cebolek dan Suluk
Dewaruci oleh Yasadipura I (1729-1803), Serat Wirid, Paramayoga,
dan Wedhatama karangan Ranggawarsita (1802-1873) (Simuh,
1996: 181-194; lihat juga Woodward, 1989). Sudah barang tentu,
karya-karya ini memberikan konsep sinkretis tentang keagungan
Tuhan, alam semesta, dan manusia, yang dirumuskan dalam konsep
kosmologi, do’a dalam beribadah, dan etika (Romdon 1996; Geels
1997; Simuh 1988; Ricklefs 1998). Maka perlu dicatat bahwa
sastra Jawa kuno sering menggambarkan tokoh para pencari
pencerahan spiritual melalui usaha dan perjalanan panjang yang
cukup melelahkan. Berkaca pada pengalaman mereka, tokohtokoh yang digambarkan dalam sastra Jawa kuno menawarkan
ajaran baru, seperti dalam tulisan-tulisan lama Serat Centhini
(Santoso, Siregar dan Pringgoharjono, 2006) dan Serat Dewa Ruci
(Soebardi, 1975). Nabi-nabi di atas—termasuk pengalaman serupa
yang dirasakan Lia Eden—mengalami perjalanan spiritual yang
sama dalam menggapai pencerahan.
Misi kenabian pasca kemerdekaan di negeri ini menunjukkan
semakin berkurangnya kecenderungan yang beracuan pada
6
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
konsep mileniarisme dan mesianisme. Sebaliknya, perhatian para nabi
tersebut lebih menekankan pada persoalan identitas kebangsaan
dan karakter pembangunan bangsa. Bukan hanya sekedar kesadaran
identitas akan nasionalisme yang didorong oleh para intelektual
Indonesia saat itu (Anderson 2006), tetapi kesadaran kolektif umat
(komunitas Muslim) yang dapat ditelusuri pada identitas ‘bangsa
Melayu’ tempo dulu yang membedakan mereka dengan Muslim
lain di Timur Tengah (Lafan, 2003). Hal ini pun diperkuat oleh
pemahaman bahwa Islam Melayu secara praktis berbeda dengan
Islam yang diperaktekkan di negara-negara Arab (Lafan, 2007).
Dalam konteks ini, Lia Eden, sebagaimana para pendahulunya,
menunjukan misi kenabian dengan membawa pesan identitas
bangsa Indonesia.
Meskipun demikian, perbedaan antara ruang dan waktu telah
menghasilkan pelbagai macam jenis nabi.Tradisi lokal dan konteks
sosial-politik telah menciptakan misi kenabian dengan membawa
pesan dari Tuhan dan ajaran-Nya, lalu mereka menyebarkannya
pada ummat. Krisis politik setelah masa reformasi tahun 1998
menyebabkan munculnya model nabi baru dengan pesan kenabian
yang baru pula. Perlu dicatat bahwa selama periode Orde Baru
dengan puncak pencapaian ekonomi melahirkan jumlah kelas
menengah yang banyak di negara ini, dan di saat yang sama
membangkitkan aspek religiusitas dan spiritualitas khususnya
di daerah perkotaan (Howell 2001, 2007; Bruinessen 2007;
Heiner 2010). Namun, setelah lengsernya Soeharto dari tampuk
kekuasaan, yang menandai awal mula era reformasi, kondisi ini
merupakan masa yang pelik karena dilanda krisis politik dan
ekonomi. Dalam kondisi ini, nabi baru muncul—seperti Syamsuri,
Samawiyah, Abd Kadir, Achmad Naf ’an, Sukarno dan seorang
wanita tua yang namanya tidak disebutkan (semua dari Jawa
Timur), Sumito Joyokusumo, Kusmanto, Sujono (keduanya dari
Jawa Tengah), Kusnanto Ahmad Tantowi, Prabu Tommy, Rahimat,
Tauik (semua dari Jawa Barat), Bijak Bestari, Agus Imam Solihin,
Ahmad Mushaddeq (semua dari Jakarta, lihat lampiran III dalam
buku ini), dan Lia Eden. Mereka semua mengaku menerima
wahyu dari Tuhan untuk menyelamatkan bangsa dari gejolak
krisis. Pungkasnya, di Indonesia setelah masa reformasi Lia Eden
tidak sendiri, ada banyak nabi lain yang merupakan tradisi lama
di negeri ini.
Bab Satu Pendahuluan
7
Al Makin
Sehubungan dengan misi kenabian mereka, yang penuh
kreatiitas dan imajinasi dengan inspirasi wahyu dari Tuhan yang
disampaikan kepada pengikutnya, mengingatkan kita pada tradisi
lama dengan corak produk budaya yang sampai kini masih ada
dan terpelihara berupa mitos, legenda, keyakinan, do’a sebelum
beribadah, cerita rakyat atau dogma. Para nabi meramu unsurunsur itu, dalam pelaksanaan ibadah dan berdo’a—pada gilirannya
menghasilkan sebuah tindakan yang menghasilkan ‘energi sosial’
baru (Greenblatt 1988; lihat juga Weenstra 1995, 1999). Dengan
demikian, kenabian seringkali muncul di saat adanya tekanan
krisis yang melanda dan di saat yang sama adanya keinginan
untuk mendapatkan solusi. Saat seperti itu, masyarakat cenderung
menggali dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai budayanya
(Swidler 1986). Maka, para nabi sebagian besar lahir di saat krisis
untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran dengan wahyu
atau ajaran baru yang diambil dari ajaran dan khazanah lama:
mitos, legenda, atau cerita rakyat yang selanjutnya dimodiikasi
berdasarkan konteks lokal dan baru;.
Sejauh ini para nabi, yang didukung oleh para pengikutnya,
sangat kreatif dalam meramu banyak unsur-unsur (mitos, legenda,
atau cerita rakyat, do’a, dan iman) yang kemudian dimodiikasi
ke dalam ajaran barunya. Memang benar bahwa mereka tidak
menemukan sesuatu hal yang benar-benar baru yang keluar dari
tradisi sebelumnya, tapi berbagai gagasan lama telah bercampur
dengan realitas baru, kemudian diinterpretasikan dengan cara
yang baru pula. Sudah barang tentu, fakta obyektif yang penting
ini telah memberikan kekayaan tradisi keagamaan, adat dan bahasa
lokal yang diperaktikkan di daerah-daerah kepulauan Indonesia.1
Mereka mengambil sumber-sumber khazanah lama namun diubah
menjadi kekuatan baru, berupa otoritas, energi, dan agama.2 Dalam
sejarah, masyarakat Nusantara telah beradaptasi dalam banyak hal;
1
Menurut Subagya (1981: 31) ada banyak tradisi keagamaan lokal yang
ditemukan di kepulauan Nusantara: Misalnya, Sabulungan di Mentawai, Kaharingan
di Kalimantan Dayak, Aluk To Dolok di Sulawesi Toraja, Parandangan Ada di Sulawesi
Tengah, Bara Marapu di Sumba, Agama Bali Aga di Bali, Ono Niha di Nias, Agam Ratu
Bita Bantara di Sikka, Flores.
2
Di Kalimantan Tengah, agama Kayan direstorasi. Adat Bungan (kebiasaan baru)
direformasi untuk mengembalikan Adat Dipuy (kebiasaan lama) yang dimodiikasi ke
dalam bentuk baru (Rousseau, 1998: 22).
8
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
mereka sudah terbiasa konversi iman dan agama. Mulai abad ke10 hingga ke-20, di Jawa misalnya, perubahan iman masyarakat
berjalan sesuai dengan dinamika kekuasaan berbagai kerajaan
dengan tradisi yang berbeda Hindu-Buddha Mataram, Wisnu
Kediri, Shiva Majapahit, sinkretisme keislaman Demak, Surakarta,
dan Yogyakarta. Nilai-nilai agama yang lebih lama dan kuno,
bagaimanapun juga, tidak punah tapi berbaur dengan agamaagama yang lebih baru, sebagaimana tercermin dalam agama Islam
Jawa modern.3
Seperti para pendahulunya (lihat lampiran I, II, dan III), Lia
Eden mendapatkan sumber inspirasi kenabian dari mitos dan
ajaran berbagai agama, seperti Islam, Kristen, Buddha, dan Hindu,
untuk menentang dominasi ajaran orthodoksi keislaman di
Indonesia. Orthodoksi, dalam hal ini dideinisikan sebagai “sebuah
sistem euimisme, yaitu cara berpikir tertentu tentang dunia alam
dan sosial, yang menolak segala macam bid’ah dan itu dianggap
penistaan agama” (Bourdieu, 1994: 165). Orthodoksi berusaha
menghilangkan banyak hal sebagai berikut: “pertentangan antara
benar dan salah,‘kanan’ dan ‘kiri’, yang membatasi keluasan wacana,
antara yang sah dan tidak sah, dan euimisme atau penistaan, yang
mengarah pada doktrin pembatasan pemikiran, bahwa doktrin
harus diterima apa adanya” (Bourdieu, 1994: 165). Karena
meresa teraniaya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai
otoritas orthodoksi keislaman yang telah mendapat dukungan
pemerintah, Lia pun meresponnya. Puncak perselisihan antara
misi kenabian Lia dan hegemoni orthodoksi keislaman terjadi
dengan adanya pengumuman publik terkait kemurtadan Eden.
Dia menyatakan diri dan diikuti pengikutnya telah berhenti
menjadi Muslim. Selanjutnya, Lia mendeklarasikan bahwa Tuhan
telah memerintahkan dirinya untuk mencabut keabsahan semua
agama termasuk Islam, dalam rangka membangun agama baru
yang berasal dari Tuhan, yang disebut agama ‘Salamullah atau
Eden’.
Penting dicatat bagaimana membedakan antara kenabian dan
kewalian, nabi dan wali. Dengan tradisi spiritualitas dan keagamaan
Indonesia, tradisi mistis lokal (Suwandi, 2000; Woodward, 2011:
3
Harun Hadiwijono (1983: 26-51) juga menunjukan bahwa sinkrestisme
bukan hanya antara Islam dan Hindu, sebagaimana yang dapat dilihat saat ini, tapi juga
antara Hindu dan Buddha di masa lampau di Jawa.
Bab Satu Pendahuluan
9
Al Makin
92) maupun suisme Islam (Millie, 2009), keduanya bertemu,
baik nabi atau wali menunjukan karomah atau mukjizat yang
secara langsung selalu dihubungkan dengan alam ghaib. Wali
mempertahankan keimanannya dalam ‘agama resmi’ dan tidak
berniat untuk membangun agama baru. Sedangkan, para nabi,
dengan kharisma dan legitimasi wahyu Ilahi, selalu identik
dengan pendirian agama baru untuk melakukan pemberontakan
terhadap hegemoni yang mengendalikan masyarakat. Singkatnya,
sebagian besar nabi cenderung melaksanakan misinya dengan
revolusi sosial, sementara wali membatasi dirinya dengan melalui
jalan spiritualitas di dalam batas agama yang dianutnya. Selain itu,
ajaran mistis lokal—seperti metode penyumbuhan terapis yang
secara umum ditemukan di Jawa (dukun), Batak (datu), Sulawesi,
Nusa Tenggara—dapat menjadi sumber kekuatan yang penting
dalam proses kenabian. Namun, dukun bukan berarti selalu nabi,
mereka bisa menjadi nabi dengan jalan mengolah kharisma dan
kepemimpinan sehingga mendapatkan momen-momen penting
dan menarik banyak pengikut dan mendirikan agama baru. Lia
Eden bukanlah dukun belaka atau sekedar wali, tetapi seorang
nabi yang berniat untuk membangun ‘Salamullah atau Eden’
sebagai agama baru.
Terpinggirkannya Agama Populer
Mari kita diskusikan tentang terma agama. Menurut Possamai
(2009a, p. 37) “agama selalu menjadi bahan perdebatan, sekalipun
pada tahap deinisi.” Begitu juga pada masa post-modernisme,
pengertian agama juga masih terus dipertentangkan. Alat untuk
mengukur sebuah tradisi dan apa saja yang bisa disebut agama
masih terus dibayang-bayangi oleh pengalaman sejarah Kristen
Eropa, yang telah menjadi alat umum namun tidak tepat untuk
mengukur tradisi yang lahir di budaya dan konteks sosial yang
berbeda (Asad 2003). Patut juga dicatat bahwa deinisi “agama”
sering gagal untuk melihat munculnya “NRM” atau juga disebut
“agama popular/agama rakyat” (Hunt 2003; Parker 2006).
Mari kia perjelas fenomena NRM dan agama rakyat. Ketika
peran gereja Kristen menurun di Eropa sejak abad dua puluh,
bersamaan dengan maraknya proses sekularisasi dan rasionalisasi,
NRM (yaitu jalan spiritual alternatif yang berbeda dengan jalan
10
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
yang ditawarkan oleh gereja pada umumnya) berhasil memenuhi
kehausan spiritualitas orang-orang tertentu sejak tahun 1960an
hinga 1970an (Hunt 2003, pp. 3–10; Clarke 2009b; Beckford
1985). Sedangkan agama rakyat/NRM menurut Possamai adalah
agama yang tidak terstruktur (unstructured religion) yang dipeluk
oleh kelompok marginal (subordinated groups) berbeda dengan
agama yang terinstitusikan, mapan, dan resmi, yang mempunyai
dogma dan teologi yang matang. Gramsci (1971, p. 391) mencatat
juga bahwa agama rakyat ini dipeluk oleh kelompok kelas bawah
yang digunakan untuk menyuarakan protes melawan agama resmi
yang dipeluk oleh kelompok kelas atas. Parker (1996, p. 100) juga
melihat kemunculan agama rakyat pada “kelas pekerja dan yang
terpinggirkan di masyarakat Amerika Latin terutama di kota-kota
metropolisnya”. Lebih menarik lagi, agama-agama yang didirikan
oleh para nabi Indonesia ini termasuk agama rakyat, seperti juga
agama-agama rakyat di Amerika Latin, yang menunjukkan tandatanda sinkretik dengan kreativitas akomodasi berbagai wahyu,
ritual, dan doa-doa dari banyak tradisi keagamaan. Di sisi lain,
Possamai mengingatkan kita bahwa agama resmi juga bisa jadi
menggunakan cara-cara kerakyatan atau populer untuk menarik
simpati ummat, dan di sisi lain, agama rakyat pun akhirnya juga
bisa menjadi agama resmi yang terinstitusikan. Begitu juga, agama
rakyat atau populer bisa menarik pengikut kelompok kelas
menengah. Ini juga cocok dengan temuan Hefner, Howell, and
Fealy (2008) tentang kebangkitan spiritual keagamaan di antara
kelas menengah urban di Indonesia dengan maraknya media
baru dan juga pasar baru yang menawarkan dagangan materi
keagamaan.
Pada dataran ini, sangatlah penting untuk melihat dinamika
Indonesia pada masa setelah kemerdekaan. Pada era Sukarno
(1901–1970) dan Soeharto agama dideinsikan oleh negara
dengan kepentingan untuk menjaga stabilitas dan harmoni
masyarakat atau bangsa, namun dengan mengorbankan praktek
dan nilai keragaman atau pluralitas. Sedangkan pemerintahan di
era reformasi mengakui enam agama: Islam, Katolik, Protestan,
Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu. Padahal, jumlah NRM di dalam
negeri terus meningkat secara signiikan dari waktu ke waktu.
Pada tahun 1950, tercatat 78 aliran. Pada tahun 1964 jumlahnya
Bab Satu Pendahuluan
11
Al Makin
semakin melonjak menjadi lebih dari 300 aliran.Antara tahun 1964
dan 1971, akibat jumlah aliran yang semakin banyak, pemerintah
secara tegas melarang aliran yang muncul, dan menurut laporan
pada tahun 1971 pemerintah membubarkan sekitar 167 sekte.
Pada tahun 1972, kantor Sekretariat Kerjasama Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa (SKK) mencatat lebih kurang 644 sekte: 257
di Jawa Tengah, 83 di Jawa Barat, 55 di Jawa Timur, 83 di Sumatra
Barat, 70 di Yogyakarta, 26 di Indonesia Timur, dan sekitar 112
tercatat di tempat lain (Dwiyanto 2010: 86-87, Subagya 1980: 251,
129-138). Namun, pada tahun 1984 Pengawasan Aliran Kepercayaan
Masyarakat (Pakem) hanya mengakui 353 sekte keagamaan (Patty,
1986: 11). Pada tahun 2000-an, diperkirakan ada setidaknya 8 juta
pengikut aliran tersebut di seluruh Indonesia (Damami, 2011:
70; Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003: v). Misalnya,
Provinsi Yogyakarta, yang terdiri dari lima Kabupaten/Kota: Kota
Yogyakarta, Kulonprogo/Wates, Bantul, Sleman, dan Gungkidul/
Wonosari, telah menjadi tempat bagi lebih dari 74 aliran yang
tercatat pada tahun 2012.4
Pemerintah juga membatasi aktivitas ‘agama populer’. Untuk
memantaunya, pada tahun 1954 didirikanlah Pengawasan Aliran
Kepercayaan Masyarakat (Pakem). Di tahun 1960, Pakem menjadi
lebih kuat lagi legitimasinya, karena lembaga ini di bawah
Kejaksaan (Kejagung) sehingga dengan otoritasnya bisa melarang
atau mencekal aliran tertentu. Pada tahun 1961, dengan landasan
hukum No. 13 polisi dapat memata-matai sekte-sekte tersebut.
Parahnya, pemerintah mengeluarkan hukum penistaan agama
tahun 1965 PNPS 1, menurutnya siapa pun yang menyatakan
menentang atau penghinaan terhadap agama resmi yang dianut
oleh bangsa Indonesia dapat dipenjara selama 2 sampai 5 tahun.5
4
Pada Desember tahun 2013, di kantor Pemda Yogyakarta tercatat 17 aliran
di Kota, 5 di Wonosari, 15 di Bantul, 15 di Wates, dan 22 di Sleman (Pemda Kota
Yogyakarta, 2012). Bakorpakem Yogyakarta sendiri mencatat 21 aliran di Kota. Menurut
kapala HPK Cabang Bantul, Mardi Yuwono, di daerahnya kurang lebih terdapat 23
aliran tapi hanya 15 yang tercatat di pemerintahan daerah (Wawancara dengan Yuwono
4 Februari 2013). Selanjutnya, dari tahun ke tahun jumlah aliran di Provinsi Yogyakarta
mengalami perubahan (Dwiyanto, 2010: 118; Soehadha, 2008: 46; Nurdjana, 2009: 5052).
5
Masyarakat dapat melaporkan siapapun yang melanggar ini berdasarkan
undang-undang penodaan agama 1965 dan berdasarkan ini pelaku bisa dituntut hingga
dipenjara. Berikut contoh-contoh nyata: pada tahun 1968, editor majalah Sastra, Hans
12
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
Agama selalu menjadi urusan serius bagi bangsa Indonesia
dan pemerintahnya juga begitu. Kepercayaan kepada Tuhan telah
termaktub pada sila pertama dalam Pancasila (dari lima sila)
sebagai dasar negara. Kebebasan keyakinan dan keimanan dijamin
oleh konstitusi negara (UUD 1945). Namun, Possamai (2009a: 37)
mengingatkan sebelumnya bahwa deinisi agama juga mengalami
perdebatan, sudah barang tentu, dalam konteks Indonesia modern,
perdebatan menyoal agama tak pernah usai. Maka dari itu,
Kementerian Agama pada tahun 1953 mengeluarkan deinisi resmi
mengenai agama: agama harus didirikan oleh ‘nabi’ atau ‘utusan’
(nabi atau rasul); dengan memiliki ‘kitab suci’; dan menawarkan
ajaran universal yang dianut oleh masyarakat lebih dari satu
negara di dunia (Mulder, 1998: 21;. Picard, 2011: 1-20;. Howell,
2007;. Woodward, 2011: 7.). Deinisi ini jelas mencerminkan
dominasi tradisi agama Semitik khususnya dengan pengaruh
ajaran Islam, yang selalu terjaga dan terpelihara sepanjang sejarah
Indonesia pasca kolonial. Deinisi ini dikeluarkan, karena mungkin
Kementerian Agama merasa resah dengan adanya lebih kurang
360 ‘agama baru’ dan ‘populer’ yang didirkan oleh nabi pribumi
(Mulder, 1978: 4-8;. Subagya, 1981.). Di sisi lain, tradisi agama
lokal dipaksa untuk beradaptasi dengan kebijakan pemerintah ini.
Tradisi keagamaan Kaharingan yang ada di Kalimantan, misalnya,
telah dimodiikasi di bawah payung agama Hindu (Schiller, 1997:
Bague (HB) Jassin menerbitkan cerpen karya Ki Panji Kusmin Langit Makin Mendung
dengan menyindir bahwa Nabi Muhammad turun ke Indonesia. Pada tahun 1990,
editor majalah Monitor, Aswendo Atmowilopo, menerbitkan hasil survei-nya yang
menempatkan Nabi Muhammad pada nomer urut sebelas dari para tokoh di Indonesia.
Pada tahun 1996, Saleh dari Situbondo berkata bahwa Allah hanya makhluk belaka.
Pada tahun 2005, lebih banyak kasus: Mas’ud Simanungkalit, menulis buku Kutemukan
Kebenaran Dalam al-Qur’an, dan memodiikasi kesaksian bahwa ‘Tidak Ada Tuhan Selain
Allah dan Isa Mahidyah (Yesus dalam mesiah), kalam dan ruh Tuhan, Mangapin Sibue
mengatakan “Kiamat dunia akan segera terjadi”, dan para pengikutnya melakukan bunuh
diri masal; Rus’an dari Palu menulis sebuah artikel, “Islam agama yang gagal”. Ardhi
Husein dari Probolinggo menulis, Menembus Gelap Menuju Terang, di mana penulisnya
berkata bahwa Iblis lebih kokoh imannya daripada umat manusia. Menurut Husein,
Veda, Tripitaka, Tao, dan buku-buknya termasuk Confusionis merupakan bagian dari
Kitab Suci Ibrahim. Dia selanjutnya mengatakan bahwa Tuhan masih mengirimnya
wahyu saat ini, surga bukan hanya milik orang Muslim, bahwa berkeyakinan tidak perlu
beragama, dan seorang Muslim tidak berarti menjadi Islam. Semua tersangka tersebut
dibawa ke pengadilan dan dijebloskan ke penjara (Rumadi, 2007: 20-57).
Bab Satu Pendahuluan
13
Al Makin
109-131), begitu juga modiikasi tradisi Toraja dari Sulawesi
(Volkman, 1985). Dalam deinisinya agama telah dipolitisasi—
atas legitimsi kekuasaan (Foulcault, 1994: 214)—dan ini menjadi
konteks dan latar belakang dikeluarkannya deinisi agama ‘resmi’
atau agama yang diakui negara.
Karena NRM atau agama populer tidak dianggap sebagai
‘agama’, sehingga para pengikutnya harus memilih salah satu dari
lima agama yang diakui—atau enam pasca era reformasi—yang
dicantumkan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan dokumen
resmi lainnya. Kemudian dua Menteri dari Kementerian Agama,
Syaifuddin Zuhri pada tahun 1967 dan Dahlan pada tahun
1968, menolak status NRM sebagai agama (Subagya, 1980: 71).
Pemimpin NRM berjuang kembali dengan mendirikan beberapa
asosiasi yang berfungsi sebagai media untuk mendapatkan keadilan
atas status alirannya.6 Namun, harapan untuk menampung aliran
ini sebagai agama independen sama dengan ajaran Semitik lainnya
sirna pada tahun 1983, karena aliran ini tidak lagi di bawah
koordinasi administrasi Kementerian Agama, tetapi di bawah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; setelah tahun 1999 di
bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Damami, 2011:
7). Ini artinya aliran dianggap hanya sebagai hasil dari konstruksi
budaya lokal, yang tidak bisa disejajarkan dengan agama ‘suci’.
Selanjutnya, berdasarkan aturan Tahun 2002 No. 2 tentang aliran
ini, polisi dapat memeriksa dan memantau aliran ini jika ada kasus
yang mencurigakan dan mungkin menjadi ancaman bagi tatanan
sosial (Nurdjana, 2009: 152).
6
Dalam perjuangannya, para pemimpin aliran mendirikan persatuan
(organisasi) yang meliputi: Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) dirikan pada
tahun 1955 oleh Wongsonegoro; Badan Koordinasi Karyawan Kerohanian Kebatinan
Kejiwaan Indonesia (BK5I) didirikan pada tahun 1966 oleh Sukowati; Sekretariat
Kerjasama Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (SKK) didirikan pada tahun
1970 yang digunakan pemerintahann Orde Baru untuk kepentingan legitimasi Partai
Golkar; Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) didirikan pada tahun 1978; Forum
Komunikasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (FKPK); dan Badan
Koordinasi Organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (BKOK) didirikan
pada tahun 1999 (Damami, 2011: 107-115). Di Yogyakarta, banyak aliran bergabung
dengan HPK, tidak dengan BKOK, yang dicurigai memiliki motif politik dibalik
aktivitasnya yang mendapat dukungan pememrintah. Beberapa pemimpin aliran saya
wawancarai memberikan informasi bahwa BKOK telah menjadi alat bagi para politikus
untuk merekrut suara.
14
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
Di sisi lain, kondisi ini memicu perdebatan publik terkait aliran
tersebut, Djojodigoeno, Warsito, dan Widji Saksono menyuarakan
hak-hak aliran ini agar diperlakukan secara adil dan sama dengan
agama ‘resmi’ lainnya. Namun, para intelektual Muslim, seperti
Rasjidi, Hamka, dan Hasbullah Bakry, mempertahankan hak-hak
istimewa agama-agama resmi—khususnya Islam, dengan tetap
mengesampingkan munculnya aliran-aliran tersebut—aliranaliran tersebut ditolak dan hak serta status keagamaannya tidak
diakui (El Haidy, 1997: 121-157;. Damami, 2011: 118-127).
Damami menggarisbawahi kegagalan aliran ini dalam memenuhi
kriteria menjadi ‘agama’ yang diakui, karena mereka tidak memiliki
struktur konsep teologi, eskatologi, dan keselamatan sebagaimana
yang ditawarkan oleh agama-agama Semitik (Damami, 2011: 83).
Namun, menurut hemat saya, dalam sejarah Islam konsep-konsep
teologis terus berevolusi dari generasi ke generasi selama berabadabad. Agama baru yang didirikan atau NRM, sejatinya masih
dalam tahap pembentukan konsep teologis, sebagaimana Islam
pada awal abad pertama. Berharap aliran-aliran itu mempunyai
konsep teologis yang matang, berarti menunggu berabad-abad,
sebagaimana juga agama Islam dan yang lainnya.
Kenyataanya, perbedaan nyata yang memisahkan antara agama
‘resmi’ dan ‘popluer’ sangat tipis. Dari beberapa agama populer
di Indonesia, seperti Subud dan Sumarah (lihat lampiran III),
menurut ukuran deinisi Kementerian Agama, telah memenuhi
dua kriteria: ‘nabi dan Kitab Suci’. Dengan begitu, para pendiri
agama populer, seperti halnya agama-agama resmi, disebut nabi
yang juga menyusun wahyu yang mereka klaim dari Tuhan dan
dikompilasi menjadi buku, yang kemudian dipandang oleh para
pengikutnya sebagai Kitab Suci.
Pertarungan politik maupun publik mengenai status aliran
kepercayaan masih jauh dari kata usai, ketika orthodoksi keislaman
terus menguat dari waktu ke waktu. Untuk itu, Soekarno, presiden
pertama Indonesia (1945-1967), cukup akomodatif dalam
mensiasati persoalan karena sifatnya yang sinkretik dalam ideologi
maupun politik. Di masa mudanya, Soekarno banyak menulis
artikel yang menyuarakan persatuan berbagai elemen dalam
budaya Indonesia, misalnya ini tercermin dalam motto Nasakom
(Nasionalisme, Komunisme, dan Agama) (Nurcholis, 2011: 7-17).
Bab Satu Pendahuluan
15
Al Makin
Tapi mungkin karena pertimbangan pragmatis dan rasional, ia
pernah memperingatkan bahaya klenik (ilmu hitam) terkait dengan
aliran kebatinan. Soeharto, di sisi yang lain, bimbang antara praktek
keagamaan dan kepentingan politik praktis. Soeharto pada dasarnya
mempercayai ilmu kebatinan (Ilmu Mistis Jawa) (Woodward, 2011:
240, 243-244). Soeharto, seperti pendahulunya, juga menunjukan
pendekatan akomodatif, tapi berhati-hati dalam mengelola tekanan
dari orthodoksi keislaman. Pada tahun 1970-an, tampaknya
ada harapan untuk ratusan aliran, karena mereka didekati oleh
mesin politik Partai Golongan Karya (Golkar) dalam rangka
mendukung Soeharto dalam melegitimasi pemerintahannya.
Namun, era setelah itu, yaitu di akhir kekuasaannya tahun 1990an,
Soeharto lebih condong ke kekuatan Islamis (lihat juga Heiner,
2000), dan membolehkan politik Islamisme bangkit di Indonesia;
dan ini memudarkan harapan agama ‘populer’ untuk mencapai
status agama resmi. Tragedi tahun 1965 dan sesudah bubarnya
komunisme dan ateisme merupakan pukulan berat bagi kebebasan
beragama dan pluralisme. Kecurigaan terhadap aliran kebatinan
pun semakin meningkat, karena banyak pengikut mereka yang
dituduh mendukung komunisme (Mulder, 1998: 22); hal ini
ini berujung pada pelarangan Jaksa Agung atas 167 aliran tahun
1971.
Sebagai buntut pergolakan 1965 yang semakin menunjukan
hegemoni orthodoksi keislaman, propaganda anti-komunis
dijalankan oleh pemerintah Orde Baru ternyata efektif. Sikap
yang digunakan oleh rezim Orde Baru untuk menurunkan
kepercayaan Orde sebelumnya yaitu dengan mengutuk keras
unsur komunisme sekaligus menguatkan orthodoksi keislaman
dalam kehidupan politik dan sosial. Sepanjang tahun 1970-an
dan 1980-an, Soeharto mempertahankan legitimasi politiknya
dengan tindakan supresif atas keragaman dan pluralitas baik dalam
politik maupun agama—misalnya penyederhanaan sistem politik
ke dalam tiga partai: Partai Golongan Karya (Golkar), Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), dan yang terakhir, memperkuat legitimasi dan dominasi
lima agama resmi: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha.
Pada tahun 1975, semasa rezim Soeharto (1967-1998),
didirikanlah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan harapan bisa
berfungsi sebagai media yang menghubungkan antara legitimasi
16
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
pemerintah dengan kepentingan masyarakat Muslim (Ichwan,
2005; Gillespie, 2007; Makin, 2009c; Makin, 2010d; Lindsey, 2012;
Nasir, 2014). Setelah pembentukan MUI, orthodoksi keislaman
semakin kuat. Faktanya, kebijakan ini memecah-belah otoritas
dalam banyak organisasi Muslim dengan mengerucutkan peran
MUI sebagai alat politik efektif yang digunakan oleh pemerintah
Orde Baru sebagai alat ‘kontrol dan pengawasan’ terhadap sekte
yang ‘menyimpang’ (Porter, 2002: 80); dan dengan memaksa
mereka kembali kepada agama mainstrem.
Di Kementerian Agama, Mukti Ali lah yang pertama
meletakan dasar dialog antar agama dan pluralisme di bawah
pemerintahan Soeharto. Dia mengusulkan kepada pemerintah
untuk memberikan lebih banyak ruang kebebasan bagi gerakan
aliran kepercayaan karena dirasa penghargaan terhadap aliran
tersebut tidak menimbulkan ancaman bagi agama yang diakui
pemerintah. Namun, penggantinya Alamsjah Ratu Prawiranegara,
secara tegas, menempatkan aliran kepercayaan dalam koordinasi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Baginya, sekte ini
bukan agama yang dikirim oleh Tuhan dari langit, tetapi murni
produk budaya yang dibuat oleh manusia.
NRM yang muncul masa pasca kemerdekaan gagal mendapat
pengakuan dari pemerintah, sedangkan para nabi yang muncul
selama Orde Baru dan periode reformasi lebih gagal lagi dalam
mendirikan kelompok agama sebaimana para pendahulunya,
karena kebijakan pemerintah yang mendorong penguatan
orthodoksi keislaman. Lia Eden, seperti nabi lainnya yang muncul
selama periode ini, dianggap menjadi ancaman bagi agama-agama
resmi. Tugas MUI adalah benteng orthodoksi keisalaman dari
penyimpangan; oleh karenanya apabila ada penyimpangan bisa
dilaporkan ke polisi dengan kasus tuduhan penistaan terhadap
agama Islam. Media pun berperan alam hal ini; misalnya media
menggambarkan Eden secara negatif sebagai wanita ‘gila’ atau
nabi yang gagal menunjukan kemukjizatannya.
Sebagai rumah bagi ratusan nabi dan kelompok agama,
pemerintah Indonesia saat ini masih membatasi deinisi agama
resmi ke dalam enam agama, sementara sisanya, termasuk NRM
dan aliran-aliran, diperlakukan secara tidak adil. Dengan begitu,
masyarakat Indonesia yang plural dengan tradisi keagamaan
Bab Satu Pendahuluan
17
Al Makin
telah gagal dalam menghargai perbedaan di antara tradisi-tradisi
tersebut, serta belum dapat memaknai apa sesungguhnya yang
dimaksud dengan pluralisme atau keragaman.
Deinisi Keragaman
Mari kita lihat deinisi tentang keragaman (pluralisme).
Menurut Riis (1999: 22), pluralisme adalah sebuah “pengakuan
keragaman dalam masyarakat dan ini berfungsi sebagai pra kondisi
bagi setiap individu untuk memilih dan kebebasannya.” Bender dan
Kalssen (2010: 8), merujuk ke Diana Eck, menambahkan bahwa
keragaman “adalah pemaknaan aktif untuk memahami batas-batas
perbedaan.” Puett (2013), pada sisi yang lain, menghubungkan
pluralisme, baik sebagai realitas ataupun sebagai norma, dengan
berbagai isu yang terkait dengan ‘pemerintahan’; di mana kekuatan
politik berperan dalam mengatur perbedaan sosial dan keagamaan.
Dengan memperhatikan hal tersebut, pluralisme sebagai sebuah
konsep baru dan modern memiliki hubungan secara melekat
dengan isu-isu lainnya, seperti demokrasi dan sekularisme.
keragaman dan pemerintahan ini faktanya dipraktekan berbeda di
masing-masing negara (Beckford, 2003: 101).
Di Indonesia selama kurun waktu 1970-an dan 1980-an, neomodernisme mendominasi diskusi intelektual dan mengajarkan
sikap ‘keterbukaan, inklusivisme, dan pemahaman Islam secara
liberal’ (Barton, 1997: 34). Para intelektual ini menyebarkan
konsep modern seperti demokrasi, sekularisme, dan pluralisme
(Assyaukanie, 2008: 150). Namun, pada tingkat kebijakan negara,
paham keragaman masih belum mendapatkan tempat yang layak,
karena deinisi agama saja dibatasi dengan hanya mengacu pada
tradisi ‘Semitik’, serta mengabaikan aspek yang muncul dari tradisi
agama yang lebih beragam, seperti pelbagai agama populer yang
didirikan oleh para nabi pribumi. Pada era transisi kepemimpinan
dari Sukarno ke Soeharto, interpretasi keragaman diabadikan
dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika (Berbeda-beda tapi satu jua).
Namun, perkembangan selanjutnya interpretasi keragaman
dibatasi oleh kepentingan ‘persatuan’ nasional dan kesatuan sosial.
Ini bisa dilihat dari bagaimana akhirnya UU PNPS 1965 muncul,
yang dikenal dengan Undang-Undang penistaan agama, yang
berbunyi:
18
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu
agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatankegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Siapa pun yang melanggar undang-undang tersebut (sebagian
besar nabi Indonesia bisa dianggap melanggar aturan ini) bisa
divonis 5 tahun penjara. Dengan adanya hukum tersebut di atas,
para nabi di era reformasi tidak mempunyai kesempatan lagi
untuk mendirikan kelompok keagamaan baru; kondisi ini tidak
sama dengan para nabi pendahulunya yang masih bisa mendirikan
agama. Ajaran baru yang ditawarkan nabi baru berbeda dengan
ajaran agama lama dianggap menghina agama lama. Sampai
saat ini intervensi negara dalam urusan agama diperankan
oleh Kementerian Agama dan MUI, yang masih bisa dilihat
hinggga kini. Jadi, konsep pluralisme yang berhubungan dengan
sekulerisasi—menurut deinisi ini agama harus menjadi urusan
pribadi dan terpisah dengan urusan publik, begitu menurut
Berger dan Luckman (Beckford, 2003: 82-84)— tidak ditemukan
dalam sejarah Indonesia. Justru, negara senantiasa hadir dalam
masalah yang berhubungan dengan kepercayaan dan keyakinan
masyarakat.
Pada sisi lain, warga Indonesia bertambah religius (Hefner
1997, 2000; Howell 2001, 2005, 2007), namun kebanyakan tidak
setuju dengan ideologi Islamisme, yang mengunakan agama untuk
alat politik guna memperoleh suara (Mujani dan Liddle, 2009;
Barton, 2010). Namun, sekulerisasi di Indonesia—sebagaimana
yang diungkapkan oleh Nurcholish Madjid (1939-2005) dengan
slogan ‘Islam yes, Partai Islam no’—tidak mengajarkan pemisahan
mutlak antara agama dan politik, serta tidak ada peminggiran
peran agama dalam masyarakat. Bagaimanapun juga, orang
Indonesia bisa dikatakan sebagai orang-orang agamis yang hidup
dalam negara non-agama; namun negara masih mengatur urusan
keyakinan mereka (lihat juga Assyaukanie, 2009).
Alasan atas ketidakberhasilan konsep pluralisme dalam
negara non-agama bukanlah karena warganya terlalu religius
Bab Satu Pendahuluan
19
Al Makin
atau karena intervensi negara dalam kehidupan beragama, tetapi
karena negara tidak memperlakukan semua agama dan kelompok
agama secara sejajar dan adil di hadapan hukum. Sebaliknya,
negara kenyataannya tidak membela kelompok lemah minoritas
yang bisa saja diserang dan dituntut berdasarkan undangundag PNPS 1965 yang diskriminatif yang hanya memberikan
perlindungan terhadap agama-agama resmi. Pemerintah masih
melihat keragaman dan pluralitas bukan sebagai modal penguatan
sumber daya tetapi sebagai ancaman terhadap kepemimpinan
dan kohesi sosial (Bouma, 2011: 3). Rupanya, pemerintah salah
mengasumsikan bahwa mengelola lima atau enam agama lebih
mudah daripada ratusan agama, padahal banyaknya keyakinan dan
iman warga malah memperkaya keragaman masyarakat modern
di era global.
Konsep pluralisme sesungguhnya berhubungan dengan
demokratisasi; ini bisa dilihat pada masa reformasi di Indonesia.
Dalam atmosir yang lebih bebas pada masa reformasi,
pemerintah, di bawah tekanan dari berbagai LSM dan intelektual,
memberikan lebih banyak ruang bagi aliran kepercayaan dengan
adanya keputusan hukum No. 23 tahun 2006 dan No. 37 tahun
2007. Berdasarkan UU tersebut, para penganut aliran dapat
mengosongkan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP)—
mereka tidak berkewajiban lagi untuk memilih salah satu dari
enam agama yang diakui (Dwiyanto, 2010: 268). Para pengikut
aliran juga bisa mengadakan upacara keagamaan sesuai dengan
kepercayaan mereka sendiri, seperti kematian dan pernikahan,
yang kemudian bisa didaftar secara resmi di administrasi negara
(Dwiyanto, 2010: 273).
Namun, peraturan tersebut lemah dalam pelaksanaannya,
dalam artian masyarakat secara umum ataupun petugas administrasi
lokal tidak mengetahui aturan tersebut dengan baik. Beberapa
pemimpin aliran bercerita kepada saya bahwa mereka dan para
pengikutnya masih harus mencatumkan satu dari agama-agama
resmi di KTP, sebab administrasi di kecamatan meminta mereka
untuk melakukannya. Tekanan sosial masih juga dirasakan. Hanya
sedikit, seperti Basuki dari Sapta Dharma dan Mardi Yuwono dari
Sumarah Purbo, yang berani mengkosongkan kolom agama dalam
KTP mereka (cerita lebih lanjut lihat lampiran II). Selanjutnya,
perlindungan yang diberikan oleh hukum tersebut belum
20
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
mencakup kelompok baru yang didirikan oleh nabi baru setelah
era reformasi yang rata-rata gagal mendirikan aliran baru.
Secara umum pluralisme berhubungan sangat erat dengan
perkembangan konsep sekularisasi. Dengan melihat konteks
Eropa, Cassanova mengusulkan tiga makna sekularisme: 1)
pemisahan agama dan negara; 2) privatisasi agama di publik;
dan 3) berkurangnya peran agama di masyarakat atau publik
(Cassanova, 1994; Asad, 2013: 181). Indonesia cukup unik kalau
dilihat dari tiga syarat tersebut; tidak menjalankan tiga prasyarat
tersebut, namun Indonesia bukan negara agama ataupun negara
Islami. Kenyataanya, negara masih mengatur agama; dan ini
dapat dilihat dalam dua hal, yaitu melalui lembaga negara (peran
Kementerian Agama dan MUI), dan kebijakan perundangundangan (UU penistaan agama PNPS 1965). Sesungguhnya,
undang-undang penistaan agama merupakan rintangan yang
nyata tidak hanya berkaitan dengan masalah privatisasi agama tapi
juga dalam pengakuan dan perlakuan tidak adil terhadap banyak
kelompok keagamaan di masyarakat negeri ini. Agama populer
(agama rakyat) atau NRM, yang menantang kemapanan agamaagama yang diakui pemerintah, terutama orthodoksi keislaman,
tidak mendapat perlindungan. Singkat kata, negara non-sekular
Indonesia tidak mampu berpihak dan melindungi kaum minoritas
dalam payung konsep pluralisme. Penganiayaan dan penuntutan
bagi agama minoritas sering terjadi dan selalu didasarkan pada
undang-undang penistaan agama PNPS 1965.
Perlu diingat bahwa konsep lama Orde Baru yang begitu
semu dan kurang jelas unsur pluralismenya, dengan hanya
melindungi enam agama dan meminggirkan kelompok-kelompok
keagamaan lain, nampaknya sudah tidak relevan lagi dan tidak
mampu mengakomodasi realitas yang plural ini. Kenyataannya,
penuntutan atas nama penistaan atau ancaman penjara tidak akan
bisa mencegah para nabi yang terus bermunculan di masyarakat
Indonesia, karena sesungguhnya religiusitas bertambah plural di
dunia yang terus bertambah kompleks di era global ini.
Kekalahan Keragaman di Ruang Publik Baru
Pada akhir masa Orde Baru, untuk memadamkan
kemungkinan munculnya sentimen pemeluk Islam yang
Bab Satu Pendahuluan
21
Al Makin
menentang kekuasaan otoriternya, Soeharto mengakomodir dan
membawa sentimen keagamaan dalam arena politik lagi (Heiner,
2000). Soeharto melihat legitimasi keagamaan penting didapat
untuk menyeimbangkan stabilitas politik sehingga mampu
menopang cita-cita kesejahteraan ekonomi. Untuk mencapai
hal ini, Soeharto berusaha menekan dan memojokkan unsurunsur radikalisme keislaman dan komunisme, yang kemungkinan
dapat melemahkan legitimasi kekuasannya. Tindakan supresif ini
berhasil; tetapi tidak bagi secara total dan tidak selamanya, karena
terbukti munculnya gerakan konservatisme dan radikalisme
setelah kejatuhannya.
Bukanlah hal yang baru dalam analisis studi keindonsian
dan keislaman bahwa Soeharto menjadikan legitimasi keislaman
sebagai pilar untuk mendukung kekuatan rezimnya dengan
mendorong pendirian lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI)
di tahun 1975. MUI bertujuan untuk memonopoli otoritas Islam
dengan menjadikannya sebagai satu-satunya; dan menjadikan
dirinya sebagai ‘penterjemah atas konsep pembangunan nasional
serta masyarakat (Ichwan, 2005: 48); diakhir tahun 2000-an
MUI bahkan berkembang menjadi satu-satunya ‘pewaris nabi
yang menyebarkan misi ajaran Islam dan berusaha keras untuk
mewujudkan masyarakat Islami’ (Ichwan, 2005: 51;. Lindsey,
2012: 257). Bahkan, MUI dan melalui fatwa dan tausiyah selalu
mendukung legitimasi kekuasaan dan mempengaruhi kehidupan
umat (lihat juga Gillespie, 2007: 107;. Nasir, 2014: 6).
Setelah masa reformasi, MUI membentuk kembali citranya
sebagai lembaga yang lebih independen yang secara langsung
manarik perhatian dan kepentingan umat, tidak lagi hanya
mendekatkan diri ke kekuasaan pemerintah (Gillespie, 2007: 211).
Dengan radikalisme dan konservatisme yang semakin tumbuh
di lembaga ini, tidaklah mengherankan dengan keluarnya fatwa
mengutuk ‘liberalisme’ dan ‘pluralisme’, yang selama ini digadanggadang banyak intelektual neo-modernis semenjak masa Orde
Baru (Nasir, 2014: 12;. Sirry, 2013;. Harvey, 2009;. lihat juga Hefner
1997, 2000;. Assyaukanie, 2008;. Barton, 1997;. Woodward, 2011:
55). Selama saya mengunjungi beberapa cabang MUI di level
daerah-daerah sekitar tahun 2014, tampak jelas bahwa lembaga
ini banyak disusupi oleh kelompok aliran konservatif dan garis
22
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
keras, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela
Islam (FPI).
Menurut hemat saya, ditengah semakin meningkatnya
radikalisme (Barton,2005),spiritualisme (Howell,2008;Fealy,2008),
dan orthodoksi keislaman (Hefner, 2000: 84) yang mengglobal
dan juga terasa di Indonesia, para nabi baru pun bermunculan di
negeri kita; di samping banyaknya suara kritis dari para aktivis;
orthodoksi keislaman juga menguat yang tidak sudi memberi
ruang bagi keragaman dalam beragama. Ini yang mendorong
marginalisasi agama populer atau NRM. Secara singkat, para nabi
selama masa kolonial berperan besar dalam melawan hegemoni
penjajah, sedangkan para nabi selama masa reformasi melakukan
pemberontakan terhadap hegemoni orthodoksi keislaman.
Hegemoni, pada dataran ini, mengarah pada kekuatan politik dan
agama untuk mengontrol masyarakat. Dengan perjuangan para
nabi melawan kekuatan hegemoni, mereka kembali mengangkat
tema perjuangannya dengan karakteristik mileniarisme, mesianisme,
dan mahdianisme. Wahyu-wahyu mereka bertema peringatan hari
kiamat atau kehancuran dunia.
Tentunya, dengan munculnya klaim kenabian ini, legitimasi
orthodoksi keiIslaman di Indonesia tertantang. Doktrin khatam—
yang mengajarkan bahwa kenabian setelah Muhammad tertutup
dan tak ada nabi setelah itu dan dengan payung koordinasi dan
penjagaan MUI—benar-benar terancam. Dalam menjawab
ancaman ini, pemerintah melalui MUI, baik di tingkat daerah
maupun pusat, telah berhasil memadamkan sebagian besar
‘paham sesat’ dan ‘sekte menyimpang’ di Nusantara. Media secara
sensasional memberitakan munculnya nabi-nabi ‘palsu’, sering
menggunakan kata-kata negatif seperti ‘gila’, ‘edan’, dan ‘sinting’,
yang membangkitkan rasa ingin tahu para pembaca, yang kemudian
menarik perhatian publik dan menimbulkan perdebatan (Makin,
2007; 2009b).
Sebagaimana pernyataan Hefner (1997), peningkatan
ekonomi selama Orde Baru mendorong pertumbuhan kelas
menengah Muslim terdidik yang memiliki ide-ide modern
seperti sekulerisasi dan pluralisme. Hefner (2000) melihat dengan
optimis bahwa ide tentang ruang publik dalam masyarakat
Muslim—sebagai prasyarat untuk ruang dialog dalam perubahan
Bab Satu Pendahuluan
23
Al Makin
masyarakat Indonesia ke dalam demokrasi plural modern—telah
lahir di Indonesia. Namun, Hefner mencatat sebuah keunikan
terkait modernisasi dan demokratisasi dalam masyarakat Islam
dibandingkan dengan demokrasi liberal yang ada di masyarakat
Barat. Modernisasi agama dalam masyarakat—atau marginalisasi
agama—tidak selalu menyebabkan kemunduran peran agama itu
sendiri, seperti yang terlihat di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Sebaliknya, Burchardt dan Becci mencatat bahwa modernisasi telah
menunjukan peningkatan spirit keagamaan di daerah perkotaan di
beberapa negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin (2013: 8-9;. lihat
juga Casanova, 1994). Di Indonesia, di mana proses ‘sekulerisasi’
dan demokratisasi hanya bisa dibandingkan dengan sekularisasi
Turki (Kersteen, 2014), kesalehan publik dan orthodoksi keislaman
juga menguat (Fealy, 2008). Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) (2004-2009) selalu dihadapkan dengan
dilema antara kebebasan beragama dan tumbuhnya tekanan dari
orthodoksi keislaman serta konservatisme yang sering berusaha
untuk melakukan kontrol dan tekanan dalam ranah publik.
Sekali lagi, meskipun negara Islam merupakan mimpi yang tidak
pernah terealisasi di Indonesia sejak masa Soekarno, tapi sentimen
islamisme setelah masa reformasi selalu mendominasi perdebatan
publik serta mendikte kemana arah masyarakat harus melaju.
Konsep pluralisme, yang mengajarkan hubungan harmonis
antar agama-agama resmi yang dianjurkan oleh pemerintah sejak
era Soeharto, pada faktanya tidak lagi sesuai dengan kenyataan
atau realitas yang terus berkembang. Agama-agama populer atau
NRM, sebagai kelompok-kelompok minoritas sering ditekan,
sehingga mereka tidak memiliki ruang di publik untuk membela
haknya atas kepercayaan yang mereka yakini. Selama masa
demokratisasi, yang bertepatan dengan gelombang globalisasi dan
ledakan media online, isu tentang kelompok minoritas ini muncul
lagi. Ketika demokrasi memberikan ruang kebebasan di masa
reformasi, masalah mayoritas dan demokrasi terutama menjelang
pemilu muncul kembali di ranah publik, dan kelompok minoritas
hanya dianggap sebagai ancaman bagi kaum mayoritas (lihat juga
Appadurai, 2006). Hal ini memang ironis dalam suasana demokrasi
baru, pluralisme—maksudnya “bagaimana mengintegrasikan
minoritas dan mengelola masyarakat plural” (Formichi, 2014:
3)—dalam bahaya.
24
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
Faktor penting lainnya yang juga melemahkan pluralisme
setelah kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 adalah munculnya
‘Islamisme’7 di panggung politik, dan meningkatnya aktivitas
kelompok garis keras di jalanan yang menyerang kebijakan
pemerintah ‘yang tidak sesuai dengan ideologi islamisme’ dan
tentu saja mengancam kaum minoritas.8 Presiden di era reformasi,
hanya Abdurrahman Wahid (1999-2001) yang secara konsisten
menjaga nilai-nilai pluralisme. Di antara upaya yang dilakukannya,
Abdurrahman Wahid mengusulkan judicial review terhadap UU
penistaan agama PNPS 1965. Namun usaha ini melibatkan
prosedur panjang dan melelahkan; dan ternyata usaha ini tidak
berhasil. Setelah wafatnya Gus Dur, beberapa intelektual, aktivis
LSM, dan pimpinan agama setuju untuk melanjutkan agenda misi
review ini dan membawanya ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada
tahun 2010. Namun gelombang radikalisme dan konservatisme
begitu kuat. Kelompok garis keras menggunakan segala cara
untuk mempertahankan undang-undang itu; sedangkan para
aktivis pluralisme dan kebebasan, kebanyakan adalah para aktivis
LSM dan intelektual yang berusaha menjauhkan diri dari sikap
pragmatisme politik, tidak siap untuk menghadapi mereka. Dalam
taktik mereka, kelompok garis keras menciptakan kekacauan
dan teror baik di dalam maupun di luar pengadilan; mengancam
mereka yang mendukung review UU. Pengadilan pun gagal
7
Islam merujuk pada agama Islam dengan kompleksitas sejarah, dogma,
dan para pengikutnya. Sedangkan Islamisme merupakan “respons atau jawaban atas
perkembangan modenitas dengan berusaha mengubah pemahaman Islam tertentu ke
dalam ideologi politik Islam. Islamisme oleh karenanya erat kaitannya dengan usaha
untuk mengubah negara maupun masyarakat sesuai dengan pemahaman Islam tertentu.
Ini berkait erat juga dengan usaha formalisasi Islam ke dalam konstitusi negara, dan
konsep ini khususnya dikembangkan Islam garis keras, yang menuntut syari’ah atau
hukum Islam dalam negara” (Barton, 2005: 29).
8
Partai politik baru dengan corak Islamisme—Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Bintang Reformasi (PBR)—tercatat menjadi peserta
pemilihan umum. Sejak kekuasan presiden BJ Habibie (1998-1999), masa organisasi
radikal telah unjuk gigi di arena publik (lihat Hasani dan Naipospos, 2012). Kelompok
tersebut—seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), Forum Umat Islam (FUI), Front Anti-Pemurtadan Bekasi
(FAPB)—telah mengumpulkan masa di jalanan untuk memprotes kebijakan pemerintah
‘anti-Islam’; mereka juga menyerang secara langsung kelompok minoritas ‘orang yang
dianggap menyimpang’ (Lihat Hasani dan Naipospos, 2010: 137-190).
Bab Satu Pendahuluan
25
Al Makin
untuk meninjau kembali UU penistaan dan akhirnya usulan pun
ditolak (Margiyono, Rumadi, dan Irianto, 2010: 25-43; wawancara
dengan Assyaukanie, 2012). Pada gilirannya, UU penistaan tetap
saja sah, dengan begitu juga polisi masih bisa menangkap mereka
yang mengaku menjadi nabi dan membawa mereka ke pengadilan,
dengan hasil kemungkinan besar mereka akan mendekam di
penjara (lihat juga Hasani, 2010).
Jelasnya, selama dua periode kepemimpiannya presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), kekalahan pluralisme di negeri ini
sangat jelas. Presiden tampak menuruti suara keras MUI di ranah
publik. Kenyataannya, pimpinan MUI, Ma’ruf Amin merupakan
anggota tim penasehat kepresidenan. Para pemimpin gerakan
radikal, seperti Gatot (al-Khaththath) dari HTI dan FUI, juga
masuk dalam kepengurusan MUI (lihat Hasani dan Naipospos,
2012). Meskipun SBY menunjukan sikap tegas terhadap aksi
teorisme dan kekerasan nyata seperti bom bunuh diri, tetapi ia
lamban dalam merespons gerakan konservatisme dan radikalisme
yang terus menggurita.
Era reformasi menjadi saksi atas maraknya konlik agama,
kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi terhadap kaum minoritas
(Howell, 2014;. Woodward, 2011: 225); semuanya tentu saja
mencederai perkembangan dan implementasi nilai-nilai pluralisme
di Indonesia. Ahmadiyah (lihat Hamdi, 2007; Makin, 2010b),
Syi’ah, Sui (lihat Ad’han, 2009), kelompok minoritas Kristen (lihat
Ridwan dan Aizudin, 2007; Kholiludin dan Roi ’ah, 2011), dan
yang lainnya, yang dianggap mempunyai pandangan menyimpang
dari mayoritas Islam Sunni di negeri ini—sering diserang oleh
massa dan kelompok radikal (lihat juga Suaedy, Rumadi, Azhari,
dan Fata, 2010: 131-208;. Suaedy, 2010;. Makin, 2012b).9 Dalam
aksinya, kelompok garis keras seperti mendapat dukungan dari
institusi resmi pemerintah, seperti Kementerian Agama, MUI,
9
Setara Institute menemukan peningkatan kekerasan atas nama agama, dari
94 kasus di tahun 2010 menjadi 99 kasus di tahun 2011 (Hassani, 2011: 51). Uniknya,
mayoritas Muslim Indonesia memilih diam ketika melihat kekerasan dan diskriminasi
yang dilakukan oleh kelompok radikal (Makin,2011b).Hasani dan Naipospos memasukan
hal tersebut ke dalam ‘intoleransi pasif ’, yang mana mayoritas tidak berpartisipasi dalam
aksi tetapi mereka membiarkan aksi tersebut terjadi tanpa perlawanan (Hasani, 2010:
191-194). Pada sisi lain, pemerintah tidak serius dalam menjalankan tugas untuk
mencegah tindakan kejahatan atas nama agama (Makin, 2011c).
26
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
dan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakorpakem)
(Suaedy, 2010).10
Melihat nasib para nabi Indonesia yang muncul selama masa
Orde Baru dan reformasi, ajaran orthodoksi keislaman dengan
mudah mengalahkan pluralisme (secara lebih detail lihat lampiran
III). Banyak nabi—Zikrullah dan Syamsuddin dari Sulawesi,
Chandra Adnan Rasyid dari Kalimantan, dan Abdul Kodir dari
Madura—ditangkap. Ajaran mereka—seperti kasus Amiruddin
Dg Pasolong dari Sulawesi, Sabda Kusuma dari Jawa Tengah,
Kusnanto dari Jawa Barat, dan Ahmad Mushaddeq dari Jakarta
dianggap menyimpang oleh MUI dan kegiatan keagamaannya
dibubarkan serta dilarang. Ariin dari Sulawesi Tengah ditembak
mati oleh polisi setelah bersembunyi di atas bukit di hutan,
begitu juga Abdul Manan dari Jawa Barat setelah konlik dengan
penduduk desa dan polisi. Beberapa nabi—Syamsuddin dari
Sulawesi, Amaq Bakri dari Nusa Tenggara, Gus Aan atau Achmad
Naf ’an dan Sukarno dari Jawa Timur, Sabda Kusuma, Lismono
dan Sumito Joyokusumo dari Jawa Tengah, Buki Syahidin,
Ahmad Tantowi, Kusnanto, dan Prabu Tommy dari Jawa Barat,
serta Ahmad Mushaddeq dari Jakarta—diamuk oleh kemarahan
masyarakat. MUI lokal memaksa para nabi—seperti Amaq Bakri,
Samawiyah dari Madura, Mushaddeq, dan yang lainnya—untuk
meninggalkan kepercayaannya serta bertobat dan kembali ke
orthodoksi keislaman. Sementara—Syamsuri dari Banyuwangi,
Buki Syahidin dan Ahmad Tantowi Jawa Barat, dan Agus Imam
Solihin serta Ahmad Mushaddeq dari Jakarta—ditangkap dan
divonis penjara. Seperti para nabi di atas, Lia Eden juga bernasib
tragis; kelompoknya diserang oleh warga di Bogor; ajarannya
dianggap menyimpang oleh MUI; Lia dan dua pengikutnya
ditangkap oleh polisi; kemudian dibawa ke pengadilan untuk
mendapat hukuman penjara pada tahun 2006 dan 2009.
10
Majelis Ulama, misalnya, mengeluarkan fatwa haram bagi sekte menyimpang,
sedangkan massa berfungsi sebagai monitoring atau alat pelaksanaan MUI. Hal ini
memicu massa untuk menyerang sekte yang dianggap menyimpang. Mereka membakar
tempat ibadah, mengusir penganutnya, dan memperingatkan mereka untuk tidak
datang ke tempat asal mereka. Pemerintah pusat mengeluarkan larangan bagi sekte
dan keyakinan menyimpang. Tentu saja, hal tersebut berbahaya bagi perkembangan
pluralisme.
Bab Satu Pendahuluan
27
Al Makin
Alat Analisis
Teori ‘milenarianisme’, ‘mesianisme’, dan ‘mahdiisme’
dijadikan alat dalam buku ini dan terbukti sangat berguna untuk
melihat munculnya para nabi Indonesia dengan misi melawan
‘hegemoni’ (baik kekuatan politik maupun otoritas keagamaan).
Salah satu karakteristik dasar gerakan milenarisme adalah percaya
terhadap apocalyptic (hari kehancuran) atau armageddon (hari kiamat)
(Clarke, 2009a), di mana para nabi terdahulu sering mengaitkan
rumor tentang ‘bencana’ di masyarakat dikaitkan dengan
ketidakadilan dan hegemoni penguasa asing.Dalam hal ini,para nabi
menebar pesona janji dengan legitimasi ‘wahyu Ilahi’ dari meditasi
mereka; dengan begitu mereka berjanji untuk “mengenyahkan
hegemoni jahat yang mengancam manusia dan juga menjanjikan
keselamatan di dunia dan akherat” (Clarke, 2009a). Ada banyak
nabi yang berjuang melawan rezim kolonial dengan menunjukan
karakteristik mileniarisme. Dalam sejarah Islam, kedatangan Imam
Mahdi (mesiah atau juru selamat) bukan hal yang aneh, seperti
dalam kasus Ubaydillah al-Mahdi (wafat 934 M), pada masa
Dinasti Fatimiyah dengan khalifahnya Muhammad bin Tumart
(wafat 1130 M), pemimpin gerakan Almohad di Magribi (salah
satu tempat di Afrika Barat) juga demikian. Dalam tradisi Kristen,
Mormon, ‘the Seventh-Day Adventists’ dan Jehovah Witnesses juga
mengajarkan adanya hari pembalasan dan keadian segera datang.
Dalam budaya lain di belahan lain, Gaiwiio dari danau Handsome,
kira-kira tahun 1800,Wovoka dengan ‘Ghost Dance (tarian hantu)’
pada tahun 1890-an, dan abad 20 ada kelompok ‘cargo cult’ juga
bisa dikategorika sebagai gerakan milenarian (Landes, 2004: 338339). Lia Eden di Indonesia setelah era reformasi menunjukan hal
yang sama dengan karakteristik milenarian, karena Lia menawarkan
keselamatan untuk pengikutnya dalam mengehadapi krisis politik
dan ekonomi dan terutama dalam banyak wahyunya ada banyak
peringatan tentang tibanya hari kiamat.
Maka, seperti kelompok keagamaan baru lain yang
muncul setelah republik ini merdeka, kelompok Lia Eden dapat
dikategorikan sebagai Gerakan Keagamaan Baru/GKB/NRM
(New Religious Movement). Mari kita klariikasi apa itu fenomena
NRM. Sepanjang kemunduran peran Gereja Kristen di masyarakat
Barat sejak abad 20, bersamaan dengan proses sekulerisasi dan
28
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
rasionalisasi, NRM menawarkan alternatif spiritual yang berbeda
dari tawaran Gereja ‘mainstream’ yang gagal memenuhi kebutuhan
spiritualitas masyarakat; terutama terjadi sekitar 1960-an dan
1970-an (Hunt, 2003: 3-10;. Clarke, 2009b;. Beckford, 1985).
Wallis (1984: 9-39;. juga Possamai, 2009a: 168-170;. Hunt, 2003:
90;. Beckford, 1985: 70;. Dowson, 2003: 78-79) menjelaskan tiga
macam NRM, yaitu ‘world-rejecting’ (penolakan dunia), ‘worldairming’ (penerimaan dunia), dan ‘world-accommodating movements’
(kompromi pada dunia). Tipe ‘world-rejecting’ mengajarkan
kepercayaan yang kuat tentang nilai moralitas bagi para anggota;
dengan itu NRM ini berusaha untuk merubah dunia dengan
semangat spiritualitas baru. Dengan melihat dunia secara kritis,
mereka sering memisahkan diri dari masyarakat. Sebagai contoh
adalah Union Church, yang didirikan pada tahun 1954 di
Korea, yang berpindah ke Amerika pada tahun 1960-an. Tipe
‘world-airming movements’ lebih membebaskan para anggota, dan
membangun relasi sebatas ‘pasien’ atau ‘audiense’; misalnya, NRM
ini menawarkan layanan terapi penyembuhan bgi para anggotanya.
Kelompok ini menunjukan sebuah tipe sinkretis dan mistis
ketimuran, yang rata-rata punya misi meningkatkan kebahagiaan
dan kebaikan anggotanya. Sebagai contoh dari tipe ini seperti
Gereja Scientology. Dan, tipe NRM ‘world-accomodating’ cenderung
memiliki ciri dari dua tipe di atas. Baik itu keanggotaanya bersifat
‘elitis’ dan ‘terbuka’ atau ‘tertutup’, kelompok ini membawa misi
revitalisasi dan dengan ajakan untuk mengubah dunia. Contoh
Subud, mungkin juga kebanyakan aliran kepercayaan/kebatinan
lain di Indonesia dengan kategori ini.
Analisis Beckford (1985; Beckford dan Levasseur, 1986)
bagaimana NRM bersikap pada masyarakat di luar kelompok
dianggap relevan untuk digunakan dalam studi ini, dan sangat
bermanfaat untuk menjelaskan perkembangan kerajaan ‘Lia Eden’.
Dalam melihat perkembangan Eden, saya gunakan klasiikasi para
anggota Eden sebagai berikut: 1) ‘devotees’, (anggota inti) yaitu
anggota inti yang hidup dalam kelompok ini secara eksklusif, hidup
dalam rumah Eden bagaikan biarawan dan biarawati dan dengan
memakai kostum putih bak berjubah; 2) ‘adept’ (penghubung), yaitu
pengikut yang bergabung dengan Eden yang membentuk forum
Wahana Kebangsaan (WK), mereka hidup luar ‘kerajaan’ Eden; dan
Bab Satu Pendahuluan
29
Al Makin
mereka berusaha menjembatani Eden dengan dunia luar; 3) ‘client’
(pasien), yaitu mereka yang menikmati layanan ‘Lia Eden’, seperti
terapi penyembuhan terutama pada fase pengajian Salamullah; 4)
‘patrons’ (pelindung), yaitu mereka yang memberikan dukungan
inansial terhadap NRM; dan 5) ‘apostate/murtad’, yaitu mereka
yang meninggalkan Eden (atau melepaskan diri) dari kelompok.
Dalam melihat relasi NRM dengan dunia eksternal, Beckford
(1985; Beckford dan Levasseur, 1986) mengusulkan tiga tipe: 1)
‘refuge/memisahkan diri atau menyendiri’, maksudnya kelompok
NRM itu hidup dengan gaya hidup eksklusif, seperti kehidupan
biarawan atau biarawati dengan jumlah pengikutnya yang terbatas,
serta jauh dari kehidupan dunia luar; 2) ‘revitalisasi’, yaitu NRM
yang membawa misi perubahan atau transofrmasi dunia, dengan
pandangan bahwa dunia ini akan diubah sesuai dengan nilai-nilai
dan moralitas ideal menurut mereka; dan 3) ‘release atau liberation/
pembebasan’ yaitu NRM yang menawarkan pelayanan pada
pasien, seperti terapi.
Secara singkat, kerajaan Eden telah mengalami banyak
perubahan dalam relasinya dengan dunia eksternal—mulai dari
‘release’ ke ‘refuge’, dari ‘refuge’ ke ‘revitalisasi, serta dari ‘revitalisasi’
ke ‘refuge’. Dari berbagai perspektif, perubahan perkembangan
gerakan Eden dari waktu ke waktu sangat dinamis, dari ‘worldairming,’ menjadi ‘world-rejecting,’ serta ‘world-accommodating’.
Pengumpulan Data
Pertama-tama saya datang ke kelompok Salamullah atau
Eden di Senen, Jakarta pada Desember 2011, dimulai dengan
mengumpulkan dua jenis sumber data—wawancara dan catatancatatan dari Eden dan para pengikutnya. Wawancara dilakukan
sebagian besar di Senen— Paduka Bunda Lia, Imam Besar
Muhammad Abdul Rachman, Siti Zaenab Luxiaty (Dunuk), Arif
Rosyad, Andito Putro Wibisono, Cipi, Cici, Tri, Umar Iskandar,
Ivuk, Bambang, Ijaz, dan Venus dalam berbagai kesempatan.
Mereka secara sukarela menjawab semua pertanyaan yang
diajukan dan saya haturkan terima kasih atas dorongan serta
izin yang diberikan Bunda. Selain itu, saya mewawancarai Aar
Sumardiono, Lala, dan Sri Murdiningsih yang sudah meninggalkan
Senen. Sebagian besar pertanyaan diajukan secara terbuka,
30
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
dimulai dengan informasi pribadi dari latar belakang keluarga,
pekerjaan, dan pendidikan. Pertanyaan yang diajukan termasuk
alasan bergabung dengan Eden, peran dalam kelompok saat ini,
dan hubungan mereka dengan Bunda Lia serta para pengikut
Eden Lainnya. Saya juga mengajukan pertanyaan yang berkaitan
dengan iman, ajaran Eden, klaim kenabian Lia, dan perkembangan
kelompoknya. Pada awalnya saya memulai percakapan, tapi karena
informan menunjukan perkembangan dalam menceritakan
sejarah mereka lebih bebas, maka informasi dari mereka pun
lebih beragam. Saya mengikuti percakapan mereka secara alamiah,
sering secara spontan meminta banyak pertanyaan yang berkaitan
dengan ajaran yang mereka pahami. Saya pun mewawancarai
mereka yang sudah keluar dari Eden (murtad), mengapa mereka
melakukannya. Semua pertanyaan menggunakan bahasa Indonesia.
Saya berteman baik dengan para informan dan dengan sopan saya
beri rasa kenyamanan kepada para informan dan secara langsung
saya mengetik cerita mereka dalam laptop. Terlebih dahulu saya
meminta izin untuk menyebutkan nama mereka dalam buku ini,
namun, saya juga menyamarkan nama tersebut jika ada keberatan
dari informan. Setelah mengunjungi beberapa informan, secara
hati-hati saya membaca kembali transkrip dan memilih ceritacerita relevan dengan studi ini. Selain itu, para informan dengan
baik hati memberi saya banyak buku, dokumen, tulisan, ile, CD,
pamplet, dan bentuk dokumentasi lainnya. Perlu dicatat bahwa para
pengikut Eden sangat teliti dan sadar akan dokumentasi mereka
sendiri. Mereka menyimpan catatan kegiatan, perkembangan, dan
wahyu yang Lia sampaikan. Sebagian besarmereka adalah lulusan
universitas di Indonesia dan luar negeri, wajar jika mereka sadar
betapa pentingnya catatan dokumen.
Lia Eden juga seorang seniman visual kreatif dan penulis
produktif. Pada puncak karirnya, dia menulis Membuat dan
Merangkai Bunga Kering (1991). Minatnya pada puisi dapat dilihat
dalam Pancasila Meniti Zaman (1998a). Karya pertama yang
menandai karirnya sebagai pemimpin spiritual adalah Perkenankan
Aku Menjelaskan Sebuah Taqdir (1998b), yang berisi tentang
pengakuan dirinya bertemu dengan Habib al-Huda, atau Malaikat
Jibril. Tulisan puisi yang ditulisnya untuk terapi bagi para pasien
dikumpulkan dalam Kemasan Sapaan Langsung Kepada Para Pasien
Bab Satu Pendahuluan
31
Al Makin
di Klinik Salamullah, Setiap: Senin-Rabu-Jum’at, (Umar Iskandar,
dkk: 1998c). Puncak perjuangan dirinya di pengadilan ditulis
dalam Fatwa Mahkamah Tuhan (2007a) dan Sumpah Tuhan Yang
Maha Kuasa (2007b). Selama dipenjara yang kedua kalinya dia
menyelesaikan Filosoi Bunga Dari Penjara (2011). Pertanyaan yang
saya ajukan dalam proses wawancara dengan Lia adalah, terkait
dengan latar belakang keluarga, kesehatan, awal klaim kenabian,
pengalaman dirinya menerima wahyu Ilahi, baik selama masa
sidang peradilan ataupun dalam menjalani hukuman penjaranya.
Sebagai catatan, munculnya Salamullah, yang kemudian
menjadi Eden, Kerajaan Tuhan dan Surga di Bumi, bertepatan
dengan semaraknya media online. Gerakan Eden mengambil
kesempatan dari boomingnya media online ini untuk
menampilkan wahyu, setidaknya dalam tiga situs. Pertama, dalam
website www.LiaEden.info, yang diluncurkan pada 1 November
2003, berisi materi dari tahun 1998 meliputi Fatwa Jibril, Wahyu
Tuhan, dan Lembaran-lembaran. Kedua, website http://le2-34-777.
info, diluncurkan pada 23 Februari 2004, yang merupakan situs
kedua yang berisi sebagian besar Sumpah Tuhan, Maklumat Jibril,
dan wahyu berikutnya selama Lia berada di penjara yang kedua
kalinya. Ketiga, website www.mahoni30.org, didedikasikan untuk
pengalaman spiritual dari para pengikut Salamullah. Website ini,
sebagian isinya saya download dan simpan, ditutup pada Februari
2012.
Selain tulisan Lia, saya juga membaca beberapa karya para
pengikut Eden. Aar Sumardiono, seorang penulis produktif
lulusan Institut Teknologi Bogor (ITB), menulis: Loving You
(2003); Penentang Rasul, Menyikapi Perbedaan Keyakinan (2004a);
Perennialisme, Jembatan Membangun Surga (2004b); Risalah Tauhid,
Pesan Abadi Sepanjang Zaman (2004c); Ruhul Kudus 2, Sistem
Komunikasi (2004d); Tetes Embun, Renungan Kehidupan (2004e);
Ruhul Kudus, Guru Pribadi Umat Manusia (2004f); Candra dimuka
Kaum Eden (2005); Dialog di Dunia Maya (2007); danInkuisisi
(2009). Sebagai tambahan, Abdul Rachman menulis Pembelaan,
Pledoi dan Duplik (2006) selama masa pebelaan dirinya di
pengadilan. Dunuk Luxiaty mengumpulkan banyak anekdot
tentang hukuman malaikat Jibril untuk para pengikut Salamullah
dalam Hukuman Musykil ala Malaikat Jibril (2007).
32
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
Saya melakukan wawancara dengan para pengikut Kerajaan
Eden dalam berbagai kesempatan selama kurun waktu tahun
2011 hingga 2013. Biasanya berkunjung ke rumah Mahoni dari
pagi hingga sore hari. Pun demikian, berkomunikasi dengan para
pengikut Eden melalui email, Facebook, dan SMS. Kelompok
ini masih aktif hingga saat ini selama Bunda menerima wahyu.
Dunuk,Andito, dan pengikut lainnya juga mengirim pesan melalui
Facebook atau SMS. Dengan begitu, materi-materi kajian yang
saya dapat berlimpah—dari wawancara, observasi, buku, surat,
catatan kegiatan, dan lagu-lagu. Aar Sumardiono memberikan
bahan lainnya kepada saya berupa paket CD yang berisi kumpulan
do’a ibadah Eden, lagu-lagu, wahyu Bunda Lia, dan dokumentasi
kegiatan lainnya. Namun, ketika Bunda dan Rachman ditangkap
polisi, semuanya disita seperti materi kajian dalam komputer,
lashdisks, CD, termasuk dalam format buku lainnya.
Untuk diskusi bab tujuh, tentang respons publik terhadap
Lia Eden, saya melakukan wawancara dengan banyak informan:
empat orang pedagang kaki lima di jalan Mahoni, ketua RT Fita,
lurah Bungur Putut Linangkung, dan kepala keamanan di desa
tersebut, Pak Bram. Saya pun pergi ke Ciputat untuk melakukan
wawancara dengan Nana, Lala, Ismatu Ropi, Hidayat, dan
Hasanuddin (UIN, Jakarta). Sebagai sumber informasi lain saya
bertemu dan wawancara dengan Isa Anshary, Amin Djamaluddin
(MUI), Mayong dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Musdah
Mulia [Indonesian Conference for Religion and Peace (ICRP)], Luti
Assyaukanie, Nong Darul Mahmada (Jaringan Islam Liberal),
Hasani (Setara Institute), dan Dawam Rahardjo. Mereka semua
terlibat dalam pengadilan dan pembelaan Eden. Saya lakukan
dengan wawancara model open-ended. Saya minta para informan
untuk menyampaikan pendapatnya tentang Lia dan Rachman,
keterlibatan mereka dalam persidangan di pengadilan, dan
penganiayaan terhadap Eden.
Lia Eden tidak sendiri dalam mengklaim dirinya sebagai nabi
di Indonesia. Maka, saya membandingkannya dengan beberapa
kasus nabi lainnya. Dalam penerapannya, saya mengumpulkan data
dengan membaca literatur dan mengunjungi beberapa kelompok
tepatnya di Jawa dan Sumatera yang mengaku nabi; namun titik
tekan masih pada kasus Lia Eden (lihat lampiran I, II, dan III).
Penelitian melibatkan riset lapangan dan wawancara di Medan,
Bab Satu Pendahuluan
33
Al Makin
Bojonegoro, Blora, Yogyakarta, dan Jakarta dari Desember 2011
hingga Februari 2013. Di Medan, saya mengunjungi Balige, di
mana wawancara dilakukan dengan pemimpin dari Parmalim
Marnakok Naiposos di Pulau Samosir, di sana bertemu dengan
pimpinan adat Parlamim Martogi Sijabat. Di Bojonegoro,
wawancara dengan Harjo Sukardi, kepala adat Samin di Jepang
bagian wilayah desa Margomulto, dan Kasdi dari desa Tapelan yang
merupakan bagian wilayah Ngraho. Di Blora, bertemu dengan
Sukeri dari desa Gedung Tuban, dan Suyoto dari desa Klopoduwur.
Semuanya berbaik hati pada saya dalam berbagi informasi. Saya
juga melakukan wawancara dengan beberapa pimpinan aliran di
Yogyakarta: Parmin Padmowiyoto (Subuh), Kusumo (Pangestu),
Sajilan dan Nugroho (Sumarah), Slamet Basuki (Sapta Darma),
Mardi Yuwono (Sumarah Purbo), Pujisidurjo dan Endang (ASK),
yang semuanya menyambut saya dalam berkunjung ke rumah
mereka. Wawancara dengan para pemimpin agama yang terlibat
diajukan pertanyaan secara terbuka dan mereka menanggapi saya
dengan menceritakan kisah-kisah sejarah kelompok masing-masing
agama, pendiri, dan peranannya dalam kelompok. Dari jawaban
para pemimpin agama tersebut kemudian saya mencatat langsung
dengan laptop. Setelah itu, dengan teliti saya ulang dan memberi
kode penting; memilih informasi yang relevan dengan tema
yang diajukan. Dalam penulisan lampiran III, saya mengandalkan
laporan yang diberikan oleh Wahid Institute, Lembaga Penelitian
dan Pengkajian Islam (LPPI), Setara Institute, koran, dan majalah.
Saya pun membandingkan kajian ini dengan hasil wawancara yang
dilakukan bersama beberapa aktivis LSM yang terlibat langsung
dalam membela beberapa nabi di pengadilan.
Sistematika Buku
Buku ini terbagi dalam tujuh bab serta dilengkapi diakhir
dengan empat lampiran. Pada bagian pertama pendahulan, yang
mendiskusikan bagaimana kemunculan nabi dalam sejarah tradisi
keagamaan Indonesia, khususnya pada masa kolonial hingga
periode pasca reformasi dan dikaitkan dengan konsep pluralisme
pada konteks Indonesia. Pada bab ini juga dijelaskan teori dan
metodologi yang digunakan dalam penelitian dan buku ini.
34
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
Bagian kedua menjelaskan biograi Lia Eden, karir awalnya
sebagai perangkai bunga, dan wahyu yang diterimanya dari
malaikat Jibril. Bab ini juga dilengkapi dengan catatan konlik
antara Eden dengan MUI.
Bab ketiga menjelaskan perkembangan awal kelompok
pengajian Lia bernama Salamullah; saat itu para anggotanya belum
meninggalkan keyakinan dan praktek keislamannya. Dalam
pengajian itu, Lia juga membuka klinik pengobatan tradisional,
yang menarik para pasien dari berbagai kalangan, seperti tokoh
aktivis Muslim dan para politikus. Mereka berkonsultasi kepada
Lia tentang masalah hidup dan kesehatan.
Bab keempat mendiskusikan deklarasi Lia bahwa Salamullah
berdiri sendiri sebagai agama tidak lagi terkait lagi dengan Islam.
Hal tersebut ditandai dengan pengasingan laku spiritualitasnya
di Bogor. Selama kurun waktu tersebut, sekelompok massa
menyerang dengan dukungan legitimasi dan kehadiran MUI lokal
dan pemerintah setempat. Hal ini merupakan tekanan eksternal
yang dialami Lia, sehingga ini menjadi faktor yang menyebabkan
perubahan NRM dari ‘refuge’ ke ‘revitalisasi’.
Bab kelima menjelaskan proses penangkapan Lia dan
pembelaan dirinya dalam pengadilan. Pada persidangan itu,
Lia juga mengungkapkan wahyu selanjutnya di tengah vonis
hukuman penjara dirinya dan Abdul Rachman, yaitu imam besar
pada kerajaan Eden. Pada bagian ini pun disajikan sikap kritis
Lia terhadap sistem pemerintah, prakterk berislam dan keislaman,
pemimpin Muslim, dan para politikus Indonesia.
Bab keenam membicarakan tentang menurunnya kerajaan
Eden, ditandai dengan semakin berkurangnya pengikut Eden
(murtad atau apostasi), serta alasan mengapa para pengikutnya
meninggalkan kelompok. Pada tahap ini, kerajaan Eden dalam
kondisi yang sulit dalam mempertahankankan dirinya, apalagi
dengan munculnya konlik internal.
Bab ketujuh menyajikan respons publik terhadap Lia,
terkait dengan perdebatan golongan fundamental yang mampu
mengalahkan kaum liberal dan moderat yang membela hak
kebebasan berkeyakinan dan berkepercayaan Eden. Bab ini juga
menyajikan tantangan NRM terhadap hegemoni orthodoksi
Islam, yang sayangnya mampu menekan NRM, yang, juga di sisi
Bab Satu Pendahuluan
35
Al Makin
lain, mampu bertahan dengan strateginya dalam mempertahankan
eksistensinya. Pada akhir diskusi, bagian ini juga melihat bagaimana
konsep pluralisme dibahas di ruang publik di Indonesia terutama
terkait dengan kasus Lia Eden.
Structure
23
Map of the 1:
locations
the prophets
in thisdibahas
book
Gambar
Peta of
lokasi
para discussed
nabi yang
di buku ini
the way in which the concept of pluralism was discussed in the public sphere in
Lampiran
I, II,
dan IIIto menyajikan
catatan singkat para nabi
Indonesia
particularly
in relation
Lia Eden.
Indonesia
tiga
masa
sejarah:
I sedikit
Appendixesdalam
I, II, and
III give
brief
accountslampiran
of Indonesian
prophets biograi
over three
I provides
biographies
of perjuangan
claimants to prophethood
historical
para nabiperiods:
yang Appendix
menuntun
masyarakat
dalam
melawan
who called upon their people to fight against colonial hegemony; Appendix II dishegemoni kolonial; lampiran II membicarakan enam nabi yang
cusses six prophets who emerged during the post-colonial era and who founded
munculgroups
selama
masa
perjuangan
kemerdekaan bangsa
dan mereka
religious
later
known
as aliran kepercayaan/kebatinan
; and Appendix
II proberhasil
mendirikan
kelompok
keagamaan
(NRM)
dengan
vides
accounts
of prophets who
emerged at the
end of the New
Order and
into the
reform
period.
Appendix
IV presents the listdan:
of divine
messages
Lia revealed
sebutan
aliran
kepercayaan/kebatinan,
lampiran
III that
memberikan
from 2000 to 2001 in order to show the development of Lia’s spirituality and that of
catatan kemunculan para nabi pada masa akhir Orde Baru dan era
the Eden kingdom (Fig. 1.1).
reformasi. Lampiran IV menyajikan tabel wahyu yang diterima
Lia Eden, dari tahun 2000 sampai 2011 untuk memperlihatkan
bagaimana wahyu itu berkembang dari waktu ke waktu.
36
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
BAB TUJUH
PERTARUNGAN PUBLIK
Keyakinan tidak bisa dituntut atapun diadili (Musdah Mulia, Aktivis
Gender Muslim).
Tugas Kementerian Agama RI bukanlah membuat orang-orang lebih
agamis saja, tetapi yang lebih penting adalah melindungi mereka yang
menjalankan agama dan menghormati kebebasan beragama, termasuk
mereka yang tidak memeluk agama (Dawam Rahardjo, Intelektual
Muslim).
M
enurut Beckford (1985; lihat juga Anthony dan Robbins,
2004; Richardson, 2004), NRM (New Religious Movement/
Gerakan Keagamaan Baru) yang memiliki misi ‘revitalisasi’ atau
‘transformasi’ tatanan dunia sering memicu kontroversi publik,
karena proses rekruitmen anggota melibatkan teknik ‘indoktrinasi,
tipu muslihat, bujuk rayu secara paksa, hipnotis pikiran, dan cuci
otak (brainwashhing).’ Hal ini mungkin tampak dalam kasus nabi
Mushoddeq pendiri Qiyadah Islamiyah (lihat lampiran III). Dalam
Bab Tujuh Pertarungan Publik
179
Al Makin
NRM seperti itu publik dan negara merasa terancam karena
metode itu, keterlibatan dalam penculikan, dan pelanggaran hak
asasi manusia. Namun, kontroversi yang disebabkan oleh kerajaan
Eden bukan karena metode rekruitmen anggota baru, tetapi
kontroversi itu dalam kasus Eden lebih pada idenya dalam proses
‘revitalisasi’ itu sendiri, yang menentang hegemoni orthodoksi
keislaman. Namun, Beckford (hal. 277) meragukan adanya sisi
positif daripara pendaku kenabian dalam gerakan NRM dalam
budaya, politik dan, kehidupan sosial pada realitas masyarakat Barat.
Meskipun begitu, Dawson (2003: 72-73) melihat munculnya
NRM sebagai ‘eksperimensosial’, yang mungkin dapat dikatakan
sebagai model ‘inovasi sosial’ dalam masyarakat modern; dengan
begitu NRM akan berkontribusi pada ‘perubahan sosial’. Mengacu
pada konteks budaya Indonesia, saya menyimpulkan bahwa para
nabi pribumi yang mendirikan NRM (agama populer/agama
rakyat) selama era reformasi mengajak kita untuk terus menggali
bagaimana masyarakat memaknai arti pluralisme dan toleransi
dalam beragama di era demokratisasi. Dengan memperhatikan
arah perdebatan di masyarakat, ini bisa menjadi jendela untuk
melihat bagaimana masyarakat bereaksi dengan kemunculan
NRM yang terkait erat dengan isu pluralisme dan toleransi
beragama. Di samping itu, kemunculan NRM dan bagaimana
respons masyarakat dan negara terhadap gerakan-gerakan tersebut,
kita juga bisa mengukur sejauhmana negara hadir dalam memenej
pluralisme dan mempraktekannya dalam kehidupan sosial.
Patut dicatat bahwa era Orde Baru, dimana berbagai
kelompok dengan berbagai ideologi bersaing di publik, perdebatan
isu pluralisme dan toleransi beragama didominasi oleh kelompok
intelektual Muslim progresif dengan ideologi sekuler dan pluralis
(Hefner, 1997, 2000; Barton, 1997; Assyaukanie, 2008). Namun
setelah era baru demokratisasi setelah Soeharto lengser, kelompok
konservatif dan radikal yang selalu ditekan oleh rezim Orde Baru,
bangkit serta menyerang kelompok moderat dan liberal (Harvey,
2009; Gillespie, 2007). Di sisi lain, munculnya Lia Eden, semakin
memperbesar perdebatan antara kelompok liberal dengan radikal
dalam memaknai konsep pluralisme, toleransi beragama, dan hak
bagi kelompok minoritas.
Tidak seperti negara-negara Barat, misalnya Jerman, Inggris,
dan Amerika, di mana pemerintah dan warga masyarakat
180
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
merespons beberapa kemunculan sekte aneh, biasanya lebih
memperioritaskan masalah keamanan dan efek psikologis para
pemimpin dan anggotanya; dalam menanggapi kemunculan Eden,
masyarakat Indonesia lebih banyak merespons masalah agama,
keyakinan, dan teologi. Pada gilirannya, kontroversi publik pada
kasus Lia Eden, baik pada level masyarakat maupun pemerintah,
lebih mencurahkan perhatiannya soal iman atau keyakinan.
Dengan begitu, peran agama jauh lebih urgen di negeri ini; maka
keyakinan sering menjadi motif di balik sikap dan tindakan yang
dijadikan sebagai alat justiikasi atau pembenaran. Perbedaan antara
negara Barat dengan Indonesia dalam menanggapi kemunculan
NRM mungkin bisa dirumuskan seperti berikut: gerakan antisekte di negara Barat, hanya memantau pola rekruitmen karena
dikhawatirkan bisa menjadi alat ‘indoktrinasi’ (Beckford, 1985,
1986; Wuthnow, 1986; Barker, 1983; Anthony dan Robbins,
2004), sedangkan di Indonesia melalui MUI, yang dipantau adalah
kemurnian iman masyarakat jangan sampai tercampur bid’ah dan
kontaminasi paham liberal. Sekali lagi, dalam menanggapi kasus
Lia Eden, perdebatan publik mengerucut pada kebebasan agama
dan pluralisme yang di dorong oleh iman keagamaan.
Prasangka Media
Beckford (1985; Beckford dan Levasseur, 1986) menyoroti
kontroversi publik yang terkiat dengan status para pemimpin
NRM dan anggotanya apakah mereka masih normal atau sudah
abnormal. Tampaknya ini juga berlaku di Indonesia, media
Indonesia mengeksploitasi kasus Lia dengan menyebutnya sebagai
‘orang gila’. Berbagai stasiun TV Indonesia seperti ANTV, SCTV,
Metro TV, dan RCTI memprovokasi cerita Lia Eden dalam setiap
tayangannya. Pembawa berita TV dan komentator menggunakan
kata-kata yang tajam dan menyudutkan seperti gila, edan, aneh,
nabi palsu, Jibril Palsu, dalam menggambarkan Lia (Youtube
2008a; 2008b; 2011; 2014). Asrori S. Karni—seorang wartawan
Majalah Gatra yang meliput berita tentang Lia selama periode
pengasingan awal di Bogor hingga periode Jalan Mahoni—
mengatakan kepada saya bahwa gaya busana yang eksentrik Lia
menarik minat pembuat berita. Tentu, Lia—seperti ratu atau raja
dari kerajaan kuno, mengendarai kuda putih dengan mahkota emas
Bab Tujuh Pertarungan Publik
181
Al Makin
tampil dalam parade di kota Jakarta yang diikuti oleh pengikutnya,
yang berkepala pelontos dengan mengenakan jubah putih pula—
dengan mudah membangkitkan rasa penasaran publik.
Menurut Mayong, seorang pengacara yang membela kasus Lia
dalam persidangan di tahun 2006, di awal tahun 2000-an media
berperan dengan mencitrakan buruk Lia. Terutama, media lokal
Jakarta, termasuk Warta Kota, Pos Kota, dan Nonstop, menyajikan
citra buruk Lia dan kelompok Eden dipublik. Koran-koran ini
menggunakan bahasa provokatif dalam meliput penggerebekan
yang dilakukan oleh kelompok Islam garis keras atas anggota
kerajaan Eden di akhir tahun 2005; ini terlihat dalam judul dan
isi beritanya. Selain itu, mereka tampaknya mendukung sikap
orthodoksi keislaman di bawah panji MUI dan Amin Djamaluddin,
yang membenarkan penangkapan Lia dan para pengikutnya, serta
mendukung status pidana bagi Lia Aminuddin, Abdul Rachman,
dan Andito Putro Wibisono. Warta Kota (2005a), misalnya,
memberi judul, “Malaikat Jibril Diciduk.” Dalam melaporkan
penyerahan Lia ke polisi, Warta Kota menulis:“Situasi makin panas
karena ratusan orang yang mengepung Kerajaan Tuhan berteriakteriak mencemooh dan menghujat Lia Aminuddin alias Lia Eden
dan pengikutnya yang dinilai sesat.” Menurut Warta Kota, situasi
semakin panas ketika Lia dipaksa masuk oleh polisi ke dalam bus,
“Bahkan, saat bus beranjak meninggalkan lokasi, massa setempat
melemparinya. Beberapa sandal karet dan batu kecil melayang
ke kendaraan yang mengangkut Lia Eden dan pengikutnya itu
menuju Polda Metro Jaya.” Dalam berita lain, Warta Kota (2005b)
menerbitkan headline, “Bubarkan Kerajaan Tuhan.” Surat kabar
ini jelas berada dipihak Masjid Meranti, yang mengadakan Tablig
Akbar dengan tema, “Membongkar Kedok Jibril Palsu.”
Koran lokal lain Berita Kota (2005) menyajikan konten berita
yang sensasional,“Istri Malaikat Jibril Dievakuasi.” Menurut Berita
Kota, warga Senen menolak kehadiran Lia di daerahnya, “Kali ini
batas toleransi masyarakat terhadap sepak terjang Lia Aminuddin
yang mengaku Tuhan dan ‘istri’ Malaikat Jibril itu sudah habis.
Warga kemudian mendesak aparat kepolisian agar mengambil
tindakan untuk menghentikan kegiatan keagamaan yang ‘unik’
yang dijalankan Lia Aminuddin bersama para pengikutnya.”
Demikian juga, surat kabar yang berkantor di Jakarta, Pos Kota
(2005a) menyajikan konten berita sebagai berikut “si Malaikat
182
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
Lia Aminudin Ditahan Polisi.” Surat kabar itu juga mengutip
keberatan dari beberapa warga Senen atas kehadiran kelompok
Eden di daerahnya. Dalam berita lainnya, Pos Kota (2005b)
memberi judul, “Kerajaan Tuhan Digerebek Polisi.” Isi dari berita
itu sebagai berikut:
Digerebeknya, markas ‘Kerajaan Tuhan’ itu atas desakan
masyarakat yang tidak terima keberadaan jamaah ini.
Warga sekitar mengirim surat ke Polres Jakarta Pusat
dan Walikota Jakarta Pusat agar rumah yang dijadikan
tempat ibadah itu dibubarkan. Jika keluhan warga tidak
dipenuhi, mereka mengancam akan menggerebek rumah
tersebut.
Nonstop (2005a) melakukan wawancara via telepon dengan
Ketua Badan Investigasi FPI (Front Pembela Islam), M. Alawi
Usman, mendukung pemerintah untuk melakukan penangkapan
Lia. Headline lain dari Nonstop (2005b) berjudul, “Agama Sesat
Diserang, Warga Marah dan Mengepung Rumah Lia Aminuddin
di Senen.” Penggalan isi berita ini sebagai berikut:
Sebuah rumah tempat kegiatan ritual Komunitas Eden
di Jalan Mahoni No 30, Bungur, Senen, Jakarta Pusat
diserang warga, Selasa (27/12) pukul 11.00 WIB. Warga
sekitar marah dan menilai kegiatan serta agama yang
diajarkan Lia Aminuddin itu sesat. Para warga yang
menyerbu rumah itu kemudian memberi ultimatum
selama seminggu Lia Aminuddin dan pengikutnya untuk
membubarkan kegiatan aliran sesat itu. Jika tidak, warga
mengancam akan melakukan tindak kekerasan.
Berita yang disajikan Nonstop (2005b) telah mencemarkan
nama baik Lia yang berbunyi:
Pengakuan Lia ini tentu dianggap kebelinger. Dasar itu
pula yang mendorong MUI mengeluarkan fatwa. Alihalih tenggelam, pengikut Salamullah malah tak tinggal
diam. Mereka memperotes dan menolak fatwa MUI.
Hebatnya lagi, belakangan Lia mengaku sudah menyatu
dengan Jibril. Berdasarkan wahyu lanjutan dari Jibril,
ajaran Salamullah berkembang menjadi aliran Paranealis
atau lintas agama yang menyatukan Islam, Kristen, Hindu,
dan Buddha.
Bab Tujuh Pertarungan Publik
183
Al Makin
Meskipun organisasi media di tingkat nasional, seperti Tempo,
Gatra dan Kompas, mengambil posisi lebih moderat dalam meliput
berita tentang kelompok Eden. Media ini masih sering meliput
berita dengan gaya eksentrik dan kinerja aneh kelompok Eden.
Tempo misalnya, menyajikan headline berita tentang penyergapan
kelompok garis kerasdi Bogor dengan judul, “Anarkis versus
aneh” (Bramantyo dan Sinaga, 2001). Dalam meliput berita dari
hukuman penjara Lia, headline berita Tempo berjudul, “Dihukum
2,5 tahun penjara: Lia Eden menanti jawaban Tuhan” (Soian,
2006). Tempo juga menyajikan beberapa cerita tentang jubah
putih, staf, dan penampilan aneh dari kelompok Eden. Di sisi
lain, Gatra tampaknya menunjukkan simpati kepada para korban
penyergapan. Salah satu judul media Gatra berbunyi, “Rumah
Zaitun Dihancurkan” (Karni, 2001).
Namun, setelah hukuman penjara Lia kedua, media nasional
jelas lebih memihak korban dan menyajikan berita Lia dengan
citra positif, seperti bagaimana Lia berbagi pizza dengan para
narapidana setelah pembebasannya (Cipta, 2011). Sementara
Kompas lebih bersikap netral dan menghindari unsur-unsur
kontroversial ketika bercerita Lia Eden (Damanik 2008a; 2008b;
Sawabi 2008; Dundu dan Aziz 2011), Tempo dan The Jakarta Post
jelas memihak mereka sebagai korban penganiayaan, begitu juga
mengkritisi UU penistaan agama (PNPS 1965) di bawah bayangbayang radikalisme dan orthodoksi di negeri ini (Wisnu, 2009;
Yuliandini, 2006; The Jakarta Post, 2011).
Penyusupan diJalan Mahoni
Berbeda dengan berita yang disajikan oleh media di atas, ketua
RT yang saya wawancarai pada Desember 2012, membenarkan
bahwa serangan pada tahun 2005 terhadap Eden datang dari
orang luar bukan dari warga setempat. Dalam menunjukan hal
tersebut, Fita sebagai ketua RT menegaskan bahwa meskipun
ada perbedaan iman warga di Jalan Mahoni tetapi masih tetap
harmonis; mereka menghargai nilai-nilai toleransi dan menjalin
hubungan baik antar tetangga. Putut Linangkung sebagai Lurah
sependapat dengan statemen Fita, dengan menetapkan slogan
“ngaji ayo, mabok ayo,”—sebuah ungkapan yang tereleksikan
cara orang Bungur yang mengkombinasikan sekuler dan iman.
184
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
Linangkung dan Keamanan Ketertiban Masyarakat (Kamtibnas),
Pak Bram, juga menunjukan bahwa kelompok garis keras tidak
ada di wilayahnya; kantor FPI tidak ada di daerah Bungur.
Singkat kata, Fita, Linangkung, dan Pak Bram berpendapat bahwa
serangan dan pengepungan Eden tahun 2005 bukan dari warga
yang berada di daerah tersebut—seperti yang diklaim oleh media
di atas—tetapi gangguan dari orang luar dan mencampuri urusan
warga.
Ketika ditanya tentang dua masjid terletak didekat dengan
rumah Lia, Fita menekankan bahwa Masjid Darussalam
menunjukan sikap toleran terhadap Lia, sementara kegiatan Masjid
Meranti memperlihatkan watak pertentangannya. Bram, yang
waktu itu berperan menenangkan massa selama pengepungan
Eden, juga berpendapat bahwa Masjid Meranti berperan dalam
merencanakan tablig akbar yang berakibat pada konfrontasi mereka
dengan Eden. Namun, karena takut akan terjadi kekacauan pihak
keamanan tidak memberikan izin.
Masjid Meranti mendapat sokongan organisasi besar
seperti Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), dimana Amin
Djamaluddin merupakan salah satu pimpinan di situ dan dia
lah yang membawa kasus Eden ke pengadilan. Beberapa Ustadz
dari mesjid itu melakukan serangan terbuka atas keberadaan
kelompok Eden di hadapan warga, yang sering berkunjung untuk
menghadiri pengajian di Masjid. Pungkasnya, tindakan menentang
Eden terkoordinasi oleh pihak tertentu tidak semata-mata murni
suara warga dan penduduk setempat. Nampaknya, terlihat sebuah
konspirasi dalam peristiwa ini. DDII, yang jelas-jelas menentang
klaim kenabian Lia berkolaborasi dengan MUI, sedangkan Masjid
Miranti sepertinya berperan sebagai mata-mata lokal.
Fita pun menjelaskan kepada saya terkait unsur-unsur
eksternal yang mengintervensi urusan lokal warga terhadap Eden
yang membuat keadaan semakin memburuk. Dia mengklaim
bahwa pengepungan pada tahun 2005, yang diwarnai kemarahan
kerumunan massa, sebagian besar dilakukan orang yang tidak
dikenal bahkan mereka mengancam dan menakuti warga setempat.
Di samping Edan ada tempat ibadah umat Kristen berupa gereja
yang terpaksa ditutup, karena jemaahnya mereka ketakutan akan
terjadi serangan yang mungkin dilakukan oleh kelompok garis
keras penyusup tersebut.
Bab Tujuh Pertarungan Publik
185
Al Makin
Di akhir Desember 2012, saya berbicara kepada beberapa
penjaja kaki lima di Jalan Mahoni dan menanyakan sikap mereka
terhadap kelompok Eden. Mereka secara umum menunjukan
sikap masa bodoh, sementara dua penjaja menyampaikan pada
saya bahwa mereka tidak mengetahui terkait kelompok Eden atau
kegiatannya. Mereka juga percaya bahwa pengepungan tahun 2005
terhadap Eden direncanakan dan dilakukan oleh orang luar.
Lebih dari itu, Fita, Bram, dan Linangkung semua sependapat
bahwa media juga memainkan peran dalam membuat kasus
Eden sensasional. Fita merasa bahwa media tidak jujur dengan
memanfaatkan berita kontrovesial untuk kepentingan sensasi.
Meskipun beberapa koran lokal mewawancara Fita, mereka
mengeluarkan cerita yang berbeda. Pungkasnya, media telah
memanipulasi kasus Eden.
Selama kunjungan saya beberapa kali, warga terlihat tidak
memiliki ketertarikan atau tidak perduli dengan adanya Eden
di antara mereka. Anehnya, ketika Lia dikeluarkan dari penjara
pada tahun 2012, aparatur kelurahan setempat mengunjungi
rumahnya. Namun, sikap hangat dan hubungan sebelumnya
dengan pemimpin kelurahan dan tetangga telah berubah. Keadaan
di sekitar Eden memang berubah. Fita dan Bram berbicara kepada
saya bahwa lurah sebelumnya, Halimi, tidak sama dengan lurah
saat ini Linangkung; Halimi sepertinya lebih condong ke sikap
MUI dan oleh karenanya menentang klaim kenabian Lia.
Di Mata Teman-Teman Ciputat
Imam besar kerajaan Eden, Abdul Rachman dulunya
merupakan salah satu mahasiswa di IAIN Syarif Hidayatullah
Ciputat, Jakarta dan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
yang ikut serta dalam berbagai demonstrasi memperotes pemerintah
otoriter Orde Baru. Teman-temannya di Ciputat, yang saya kenal
mereka secara pribadi, berbagi cerita. Reaksi dan komentar
beragam tentang Rachman dan Lia Aminuddin diungkapkan di
depan saya. Perlu digarisbawahi bahwa banyak aktivis Ciputat yang
mengikuti perkembangan Rachman dan sebagian ikut dalam
kelompok Eden. Beberapa mahasiswa Ciputat juga bergabung
pada tahapan awal kelompok pengajian Salamullah. Namun,
hanya sedikit yang kemudian terlibat secara aktif dalam komunitas
186
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
Eden dan bertahan. Tak seorang pun, terkecuali Rachman, yang
masih bertahan dan berperan dalam kelompok ini. Berdasarkan
komentar saya kumpulkan dari hasil wawancara saya pada April
2012 dengan teman-teman Rachman di Ciputat, seperti Nana,
Lala, Ropi, Wahid, Hasanuddin, dan Hidayat.
Nana melihat adanya perubahan dalam diri Rachman dan Lia
dari waktu ke waktu. Pada tahun 1996, Rachman menceritakan
kepada Nana tentang betapa terkesannya dia dengan pemahaman
Lia terhadap konsep teologi yang canggih dan pemikiran ilsafat,
padahal Lia hanya ibu rumah tangga dengan pendidikan setingkat
SMP. Rachman memang tidak hanya mengajari Lia terkait
dengan membaca al-Qur’an, ia pun juga pada gilirannya menjadi
juru tafsir dan penjelas secara logis dan rasional atas apapun yang
disampaikan Lia dalam misi kenabiannya.
Antara tahun 1996 akhir dan 1997 awal, Rachman
menunjukan kepada Nana terkait kemampuan barunya dalam
pengobatan terapi. Oleh karenanya Nana tertarik untuk
berkunjung ke kelompok Salamullah di Jalan Mahoni, di mana ia
bertemu Dunuk yang memberikannya sebuah air dalam botol dari
sumur Salamullah. Nana menyaksikan ratusan orang datang dan
pergi ke rumah Jalan Mahoni untuk melakukan pengobatan terapi.
Semua layanan diberikan secara gratis tanpa perlu membayar. Di
samping itu, Nana membawa beberapa teman untuk bergabung
di pengajian Mahoni ini, dan menyaksikan banyak publik igur,
seperti W.S. Rendra dan Akbar Tanjung yang turut serta dalam
mengunjungi rumah tersebut.
Dari tahun 1997 hingga 1999, Nana pergi ke Montreal,
Kanada untuk melanjutkan studinya. Nana menceritakan kepada
saya sebelum Januari tahun 1998 serangan angin topan dingin
menerpa Montreal, Lia anehnya sudah meramalkan terjadinya
peristiwa tersebut. Selama terpaan angin topan, Lia juga
mendo’akan Nana, yang berkata bahwa tempat tinggalnya akan
aman. Ketika listrik semua bangunan di Jalan Durocher dalam
keadaan mati, hanya bangunan Nana yang masih menyala. Perlu
dicatat bahwa Penulis pun berada dalam bangunan itu ketika
peristiwa angin topan di Montreal terjadi. Kebetulan Nana dan
Penulis mengambil S2 bersama di McGill University.
Pada tahun 2000, ketika Nana kembali bertemu dengan
Rachman, ia merasa bahwa Salamullah sudah berkembang jauh.
Bab Tujuh Pertarungan Publik
187
Al Makin
Rachman menggunakan jubah putih selama ia berkunjung ke
Ciputat. Nana percaya bahwa pengajian agama Islam Salamullah
sudah berubah menjadi aliran religius yang independen, Eden
dengan keyakinan dan tatacara pelaksanaan ibadah yang berbeda.
Rachman dan Lia pun berubah. Lia melepas jilbab. Dalam
pandangan Nana, Lia orang yang baik dan rendah hati, sering
menunjukan solidaritas dengan orang lain. Maka, Nana tetap
menghargai pilihan Rachman dan keyakinannya.
Teman Rachman yang lain, Lala, juga berkunjung ke Jalan
Mahoni pada tahun 1996. Dia secara khusus tertarik dalam klinik
terapi pengobatan yang ditawarkan Salamullah. Dalam hal ini Lala
berkata bahwa ibunya memiliki penyakit batuk, yang kemudian
dia dapatkan sebotol air setelah Lia membacakan do’a untuk air
tersebut. Pada kesempatan ini, Lala bertemu Lia secara pribadi.
Dalam pandangan Lala, Lia hanya seorang ibu rumah tangga
seperti pada umumnya, yang rendah hati dan bersikap terbuka.
Yang membuat Lala terkesan pada Lia adalah rasa percaya diri Lia
yang tinggi karena justiikasi ‘kekuatan’ tertentu di balik dirinya.
Ismatu Ropi dan Din Wahid, dosen UIN Jakarta dan teman
Abdul Rachman selama mereka tinggal di Pesantren al-Qalam di
Gintung Bala Raja, dulunya sering berdiskusi sengit dengan imam
besar Eden ini dalam berbagai kesempatan. Pada tahun 1999,
setelah Ropi menyelesaikan studinya di McGill University, ia
menerima telepon dari Rachman yang memintanya menemukan
konsep Messianik dari berbagai tradisi agama. Ropi memberikan
nasehat Rachman agar membaca The Encyclopedia of Religions. Ropi
juga sempat menjelaskan ada banyak konsep. Ropi mencurigai
Rachman mengambil ide itu untuk menyusun konsep Messianik di
Eden. Dalam pandangan Ropi, Eden sudah menunjukkan banyak
indikasi bahwa kelompok itu sudah mengarah pada‘kultus’, salah
satu di cirinya adalah adanya tuntutan loyalitas mutlak dari para
anggota pada pimpinan. Ropi juga menghawatirkan bahwa di
dalam tahapan tertentu ketika memimpin kultus gagal, terutama
terkait ramalan tertentu yang tidak terpenuhi, pemimpin akan
meminta pengikutnya untuk melakukan bunuh diri, seperti yang
terjadi dalam banyak peristiwa kultus di Jepang dan Amerika (lihat
juga Wuthnow, 1986).
Hasanuddin, seorang dosen di UIN Jakarta dan sekretaris
Dewan Syari’ah Nasional (DSN) MUI, juga banyak tahu bahkan
188
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
mengikuti kegiatan pengajian Salamullah. Dia mengenal Rachman
dan Lia secara pribadi karena keterlibatannya dalam terapi
pengobatan ketika ia menderita penyakit bengkak di kaki dan
sakit kepala. Anehnya, pijitan dan air Lia menyembuhkan penyakit
Hasanuddin, karena ini ia hampir beriman pada kenabian Lia.
Namun, keterlibatan Hasanuddin dalam Salamullah diperhatikan
oleh pimpinan MUI, Ibrahim Hosen, yang menyarankan dirinya
untuk keluar dari kelompok itu. Relasi Hasanuddin dengan
para pimpinan MUI, seperti Ali Yaie, Ma’ruf Amin, dan Muslim
Nasution, juga bertambah hangat. Pada akhirnya, Hasanuddin
dengan pertimbangan nasehat dari Hosen, memilih MUI dalam
membangun karirnya ketimbang Salamullah.
Hidayat, aktivis Freedom Institute dan sarjana dari IAIN
Jakarta, juga dulunya mengikuti kegiatan Salamullah. Hidayat
sempat berpartisipasi dalam ritual Eden pada acara Tahun Baru.
Berbeda dengan banyak teman-teman di Ciputat, Hidayat
mengapresiasi Eden bahkan menganggapnya sebagai karunia
tersembunyi. Dia menjadi lebih terbuka dalam pemahaman
keagamaan dan perbedaan agama, ini karena dikelompok itu
dianjurkan untuk membaca berbagai Kitab Suci dari tradisi yang
berbeda. Kelompok ini juga secara terus terang menyatakan ajaran
baru dan ritual yang berbeda dari agama yang ada di Indonesia.
Sikap pluralisme Hidayat tumbuh pada saat bersama dengan
Eden.
Kemenangan Para Penganiaya dan Penuntut
Bagian ini membahas mereka yang mendukung pengucilan
dan penyerangan terhadap Eden, yang kebanyakan bergabung
dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di sini saya menyajikan
beberapa komentar yang ditulis oleh Ma’ruf Amin, Cholil Ridwan,
dan Umar Syihab serta wawancara saya dengan pemimpin MUI
lain, seperti Isa Anshary, Amin Djamaluddin, dan Hasanuddin pada
awal Maret 2012.
Sejak berdirinya MUI adalah institusi yang melihat sendirinya
sebagai satu-satunya pemegang tanggungjawab atas pelabelan aliran
sesat dan menyimpang (Porter, 2002: 80). Seperti yang tersaji pada
bab satu dan dua, MUI mengklaim sebagai ulama pewaris nabi
dan penjaga kemurnian iman masyarakat (Ichwan, 2005; Lindsey,
Bab Tujuh Pertarungan Publik
189
Al Makin
2012; Gillespie, 2007; Nasir, 2014; Sirry, 2013; Harvey, 2009). Pada
tahun 2007, pengurus mengeluarkan kriteria yang digunakan
untuk menentukan apakah aliran tersebut menyimpang atau
tidak.
1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6
(enam)yakni percaya kepada Allah, kepada Malaikat,
kepada Kitab-Kitab-Nya, kepada Rasul-Rasul-Nya,
kepada hari Akhirat, kepada Qadla dan Qadar dan
rukun Islam yang 5 (lima) yakni mengucapkandua
kalimah syahadat (tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya), mendirikan solat,
mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan,
menunaikan ibadah haji;
2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak
sesuai dengan dalil syar’i (al-Qur’an dan as-Sunnah);
3. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Qur’an;
4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi alQur’an;
5. Melakukan penafsiran al-Qur’an yang tidak
berdasarkan kaidah-kaidah tafsir;
6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber
ajaran Islam;
7. Menghina, melecehkan, dan atau merendahkan para
nabi dan rasul;
8. Mengingkari Nabi Muhammad sebagai Nabi dan
Rasul terakhir;
9. Merubah, menambah, dan atau mengurangi pokokpokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syar’iah,
seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardhu tidak 5
waktu (Mimbar Ulama, Suara Majelis Ulama Indonesia,
2008:8).
Kriteria di atas jelas mencerminkan orthodoksi dan konservatisme, bila bukan radikalisme. Jika kriteria di atas digunakan
untuk menilai masyarakat Indonesia, hanya sebagian kecil Muslim
saja yang lolos dan tetap dianggap Muslim, kebanyakan Muslim
negeri ini tidak akan sesuai dengan peraturan kaku tersebut
dan dengan mudah dianggap sesat atau menyimpang. Bisa jadi,
beberapa pimpinan MUI pun bisa melanggar salah satu atau lebih
atas kriteria itu. Pada saat yang sama, kriteria itu seperti karet yang
bisa digunakan sebagai perangkap dalam menuduh orang yang
190
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
dianggap menyimpang berdasarkan kepentingan politik.
Menurut ketua MUI, Ma’ruf Amin, sementara lembaga ini
melakukan proteksi bagi iman masyarakat, para aktivis liberal
malah merusak dengan dalih hak asasi manusia sekuler dan
membela hak-hak aliran sesat. Ma’ruf selanjutnya menambahkan
bahwa beberapa aktivis HAM malah mendekati para pengikut
aliran sesat tertentu yang telah siap bertobat, dan mereka malah
dibujuk supaya menjalankan keyakinan mereka terdahulu.
Berkenaan dengan Lia Eden, yang mengklaim telah menerima
wahyu dari Jibril, Ma’ruf menekankan bahwa itu bukan pesan
dari Jibril, tetapi dari iblis yang merasukinya. Bagi Ma’ruf (2008:
18), bisikan yang datang ketika sedang berdoa pada hakikatnya
adalah iblis yang mengaku-ngaku sebagai Jibril.
Menurut Ma’ruf (2008), faktor-faktor yang menyebabkan
munculnya aliran sesat itu meliputi: 1) pemikiran liberal, yang
melahirkan interpretasi ‘bebas’ tentang ajaran Islam, yang sering
menimbulkan kesalahpahaman dan cukup berbahaya bagi agama.
Perspektif HAM saat ini bisa dianggap terlalu liberal, sehingga
memicu munculnya ajaran sesat dan bid’ah; 2) kurangnya kegiatan
dakwah Islam; 3) dihubungkan dengan teori konspirasi: hal ini
merupakan skenario besar yang direncanakan oleh orang asing
membuat masyarakat Indonesia disibukkan dengan begitu banyak
masalah seperti ini (bid’ah), sehingga tidak ada waktu untuk
membangun solidaritas antara orang Indonesia, apalagi waktu
untuk memperkuat bangsa. Umar Sihab (2008), ketua MUI
lainnya mendukung teori konspirasi seperti, ia berpendapat bahwa
ia tidak bisa pastikan apa itu didukung oleh orang asing, tapi itu
tidak mustahil bahwa ada kekuatan asing bercokol di belakang
itu. Terutama yang ingin menghancurkan Islam, suatu konspirasi,
sehingga kekuatan itu membentuk, menokohkan satu orang,
memberi dana kepada seseorang untuk menghancurkan Islam.
Dalam mengatasi praktek bid’ah dalam Islam,Ma’ruf mengajak
para tokoh Muslim untuk kembali mengajarkan Islam dengan
benar. Banyak ulama melakukan dakwah untuk memperkuat
semua level komunitas Muslim. Ma’ruf (2008: 24, juga Chalil
Ridwan, 2008) meningkatkan kerjasama di antara pemerintah
dan organisasi Islam dibawah komando MUI. Dia menegaskan
bahwa MUI dan Ormas Islam yang hanya mempunyai otoritas di
Bab Tujuh Pertarungan Publik
191
Al Makin
bidang keagamaan saja akan tetapi tidak punya otoritas melakukan
eksekusi pelarangan, misalnya, harus melakukan koordinasi
dengan instansi terkait yang mempunyai kewenangan melakukan
semua itu. Ma’ruf menunjukan lebih lanjut bahwa kepolisian
dan kejaksaan, harus juga senantiasa melakukan koordinasi
dengan MUI dan Ormas Islam. Koordinasi yang baik inilah yang
senantiasa kita perlukan, sebagaimana diamanatkan oleh Presiden
Republik Indonesia Bapak DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono
ketika membuka acara Rakernas MUI tahun 2007.
Kutipan di atas merupakan pengakuan secara terangterangan yang dibuat oleh ketua MUI, dengan didukung oleh
Chalil Ridwan (2008), bahwa Majelislah yang bertanggungjawab
atas penahanan, pengadilan, dan pemenjaraan Lia Eden, Rachman,
dan Andito. Selain itu, selama wawancara pada tahun 2012,
Nong Darul Mahmada, seorang aktivis gender, berkata bahwa
MUI mungkin berperan dibelakang layar tetapi dengan agenda
untuk menyerang dan menyergap banyak minoritas, termasuk
Eden dan Ahmadiyah. Tentu, dalam kasus pembakaran rumah
Eden di Bogor, MUI setempat tidak ambil bagian, seperti yang
terlihat dalam pertemuan di kantor kecamatan antara Eden,
pemimpin desa dan kecamatan serta MUI (lihat bab empat).
Selain itu, Dawam Rahardjo, seorang intelektual Muslim yang
membela Lia sebelum pengadilan, juga mencurigai bahwa MUI
mempelajari target mereka sebelum mengambil tindakan tertentu
dan berkoordinasi dengan berbagai organisasi keislaman. Hal ini
cukup beralasan bahwa serangan kekerasan terhadap minoritas,
seperti Ahmadiyah dan Eden, dilakukan dibawah kendali MUI,
bila bukan sepenuhnya berdasarkan koordinasi di antara mereka.
Iblis Menyamar
Pada 22 Desember 1999, MUI mengeluarkan fatwa yang
ditandatangani oleh ketua Hasan Basri dan sekretaris Nazri
Adlani, dengan vonis Eden adalah sesat dan menyesatkan. Dalam
menyajikan kata-kata fatwa tersebut, “pengakuan seseorang
bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari
Malaikat Jibril bertentangan dengan al-Qur’an. Oleh karena itu,
pengakuan tersebut dipandang sesat dan menyesatkan.” (Majelis
Ulama Indonesia, 2011: 69). Penetapan fatwa tersebut didahului oleh
192
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
pertemuan antara Eden dengan MUI. Hasanuddin menceritakan
kembali dalam wawancara dengan saya.
Hasanuddin salah satu mantan klien Salamullah dan saat ini
sebagai sekretaris Dewan Syariah Nasional (DSN) dari MUI,
mengatakan kepada saya bahwa ia menjabat sebagai salah satu
sekretaris komisi fatwa ketika Lia dan pengikutnya diundang oleh
MUI untuk mengadakan dialog di kantor pusat yang dilaksanakan
di masjid Istiqlal. Dialog dalam forum antara MUI dan Eden
diketuai oleh Ibrahim Hosen. Dalam pertemuan tersebut, Muslim
Nasution, anggota lain dari dewan MUI, memunculkan banyak
pertanyaan tentang bagaimana cara Lia dihubungi dan menerima
bimbingan dari Jibril. Menurut Hasanuddin, dialog antara Eden
dan MUI berjalan lancar. Semua anggota dewan dalam forum
menunjukan sebuah sikap rapih, memperlakukan Lia dan
pengikutnya dengan baik.
Namun, Tengku Sholeh yang merupakan salah satu anggota
MUI berasal dari Aceh, menunjukan sikap tidak ramah kepada Lia
dan para pengikutya. Sholeh datang terlambat dalam forum yang
diadakan oleh MUI itu. Melihat Lia dan anggota Eden dalam
forum, ia mengatakan “mengapa kami harus bersusah payah untuk
mengundang seorang perempuan gila kesini?” Para pengikut Lia
terlihat sangat marah. Sholeh lalu duduk berada dibelakang Lia
dan mulai membacakan sesuatu dalam bahasa Arab dengan ribut,
Lia dan para pengikutnya pun merasa jengkel.
Pengurus MUI kemudian meminta Lia untuk menunjukkan
cara dia berhubungan dengan Jibril sebelum Majelis mengajukan
persoalan yang akan ditanyakan. Lia mencoba menghubungi Jibril
dengan terdiam merenung, seperti yang sering dilakukannya pada
saat mencoba berkomunikasi dengan Malaikat. Namun, karena
keributan suara Sholeh, Lia gagal untuk fokus untuk memusatkan
pikiran dan energinya. Hasilnya pun Lia gagal membuktikan kepada
MUI bahwa Malaikat bisa datang ke dalam jiwa dan pikirannya
kapan saja yang ia inginkan. Akhirnya pertemuan dibubarkan.
Banyak yang heran dengan apa saja yang dilakukan Sholeh
ketika berada duduk di belakang Lia. Sholeh kemudian menjelaskan
bahwa doanya yang ribut tadi merupakan do’a khusus untuk
mencegah makhluk jin merasuk ke dalam pikiran Lia. Sholeh
kemudian meyakinkan pengurus MUI terkait dengan apa yang
merasuki Lia dan itu berasal dari jin, bukan dari Malaikat.
Bab Tujuh Pertarungan Publik
193
Al Makin
Setelah pertemuan dengan MUI, Lia mengirimkan surat
kepada anggota Majelis untuk meminta bimbingan. Namun,
menurut Hasanuddin, MUI tidak menanggapi permintaan
Lia secara serius. Hal ini merupakan kesalahan yang dilakukan
oleh MUI karena tidak memberikan bimbingan sebagaimana
yang dibutuhkannya. Tak seorang pun dari MUI melakukan
membimbing dengan penuh kesabaran. MUI mengeluarkan
fatwa tetapi tidak sertai dengan bimbingan ke arah yang benar.
Meskipun Eden merupakan aliran sesat yang menyebarkan ajaran
salah, Hassanuddin tidak sepakat dengan dijebloskannya Lia ke
penjara, yang tidak efektif untuk memaksanya bertobat dari
perbuatan itu dan untuk kembali ke Islam yang sebenarnya.
Namun, pada 20 Maret 2013, saya bertemu Irfan yang
merupakan salah satu anggota staf administrasi di komisi fatwa
MUI, menceritakan pengalaman berbeda tentang pertemuan
antara Lia dengan Majelis. Irfan duduk di sudut selama pertemuan.
Pengurus MUI dihadari 30 anggota, sementara Lia membawa
sekitar 10 orang. Dia dicecar dengan banyak pertanyaan yang
muncul terkait cara Jibril mengirimkan pesannya kepada Lia.
Pada saat diminta berkomunikasi langsung dengan Jibril di dalam
forum, Lia dan para pengikutnya merasa malu, karena gagal untuk
memenuhi permintaan yang diajukan oleh pengurus MUI. Di
samping itu, Rachman dan Dunuk menceritakan kepada saya
bahwa pertemuan itu sangat memojokkan Eden dan mereka
dipermalukan oleh MUI. Deskripsi Irfan lain dan berbeda dengan
cerita Hassanuddin; sepertinya ada usaha Hasanuddin untuk
menampilkan citra baik MUI ketika memperlakukan pihak lain.
Irfan mungkin lebih akurat dalam ceritanya, karena dibenarkan
oleh Dunuk dan Rachman.
Pengadilan yang tidak adil
Isa Anshary, staf disekretariat MUI, menceritakan kasus
persidangan tahun 2006 dalam mengadili Eden, di mana polisi
menginterogasinya terkait kasus Lia. Pengadilan meminta MUI
bertindak sebagai saksi dipersidangan. Selama sidang, Anshary
menduga bahwa Lia mendramatisir keadaan dengan pura-pura
pingsan dan mengaku sedang menerima wahyu dari Jibril.Anshary
datang menghadiri sidang sebagai saksi selama dua kali. Di mana
194
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
Anshary mengatakan kepada saya:
Ini tidak masuk akal seorang perempuan menyatakan
dirinya sebagai malaikat. Dalam sejarah Islam, tidak
ada satu pun malaikat yang menjelma menjadi seorang
wanita. Malaikat selalu hadir di bumi menyerupai
seorang laki-laki. Semua nabi dan para sahabat adalah
laki-laki. Dalam tradisi kenabian, seorang malaikat
mendatangi Muhammad menyerupai bentuk laki-laki
dengan memakai jubah putih.... Tidak pernah seorang
nabi itu perempuan. Juga tidak ada malaikat perempuan.
Selain itu, malaikat adalah makhluk ghaib dan misterius.
Tiba-tiba, seorang perempuan mendaku sebagai malaikat
muncul di Jalan Mahoni. Ini tidak dapat diterima.
Bagi Anshary, siapa pun yang mengaku sebagai malaikat
merupakan perbuatan syirik (berdosa karena menyekutukan Allah
dengan makhluk) dan kair. Anshary mempertahankan fatwa MUI
tahun 1997, sebagai langkah yang benar untuk menangani kasus
Eden. Seperti yang dia katakan:
Saya diminta bertindak sebagai saksi dalam persidangan
Rachman, yang mengaku sebagai reinkarnasi Nabi
Muhammad. Klaim ini harus dihentikan dengan segera.
Ini merupakan bentuk penistaan agama. Setiap kali surat
yang datang dari Eden ke kantor saya, selalu saya lempar
surat tersebut ke tempat sampah. Oleh karena itu, saya
dikutuk oleh Lia sebagai tikus atau babi. Anehnya, Muslim
liberal membela Lia dan Rachman. Berpikir liberal itu
bisa diterima, asalkan tidak keluar dari batas-batas yang
telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Apapun
harus dipelajari, tetapi tetap berpegang teguh pada dua
sumber utama sebagai garis pembatasnya. Pemikir liberal,
seperti Musdah Mulia, Zainun Kamal, dan Ulil Abshar
Abdalla semua membela dan mengesahkan tindakan
homoseksualitas... mereka juga membela Lia Eden,
sedangkan mereka menolak orang-orang yang beriman
seperti kita. Oleh karena itu, MUI mengeluarkan fatwa
untuk menjaga keimanan kita. Di sisi lain, kaum liberal
membela tindakan pornograi, perzinahan, dan penistaan
agama....
Menurut Anshary, Rachman terpengaruh oleh pendekatan
orientalis Barat dalam mempelajari Islam. Rachman menawarkan
Bab Tujuh Pertarungan Publik
195
Al Makin
argumentasi yang rasional dan logis dalam permohonan kasusnya,
di mana dia mentafsirkan al-Qur’an yang berbeda dari para mufasir
Muslim pada umumnya. Mengingat hal ini, maka Rachman telah
menjadi murtad. Rachman menunjukan kebenaran versinya sendiri,
tetapi sering mengadopsi ajaran Islam sebagai dasar argumennya.
Anshary mengatakan bahwa “Rachman itu gila dan sinting”.
Saya juga bertemu dengan Amin Djamaluddin, kepala
Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) dan
memproklamirkan dirinya sebagai pemburu ‘bid’ah’, yang juga
orang yang melaporkan kasus Lia ke polisi dan pengadilan. Dia
mengumpulkan semua wahyu dan surat-surat yang dikirim Lia
ke berbagai lembaga, termasuk MUI. Ketika saya mengunjungi
rumahnya, yang secara langsung sebagai tempatnya bekerja, dia
dengan bangga mengaku telah menulis buku yang berjudul
Kesesatan Lia Aminuddin (2004) berdasarkan kajian analisis tentang
wahyu yang dirilis Lia. Aminuddin menulis karena dipicu tetangga
Lia di Jalan Mahoni yang meresa terganggu oleh kegiatan spiritual
Lia. Djamaluddin kemudian melayangkan laporan ke polisi, yang
juga mengundangnya dalam sebuah pertemuan yang diadakan
pada tanggal 24 Desember 2005. Ketika ditanya terkait indikasi
bid’ah, Djamaluddin menjelaskan dalam salah satu wahyunya, Lia
mengatakan bahwa keluarga Imran yang disebut dalam surat nomer
3 al-Qur’an, adalah keluarga Bung Tomo (pahlawan nasional, yang
terkenal karena perannya mempejuangkan kemerdekaan). Bagi
Djamaluddin, Lia mengarang cerita ‘palsu’ yang menghubungkan
al-Qur’an dengan keluarga Bung Tomo—sebuah bentuk penistaan
agama Islam. Djamaluddin juga menunjukan pernyataan Lia
membolehkan umat Islam untuk memakan daging babi, yang
sejatinya itu dilarang dan bertentangan dengan ajaran Islam.
Dengan membatalkan hukum Islam itu, Lia bertujuan untuk
mencampur Islam dengan Hindu, Buddha, Kristen, dan mengajak
Muslim untuk duduk bersama di meja makan dengan mereka.
Dengan memberikan label halal kepada daging babi, agama yang
berbeda disatukan. Bagi Djamaluddin, hal ini adalah bentuk lain
dari penistaan agama Islam.
Djamaluddin menjelaskan bahwa setelah sesi tanya jawab di
kantor polisi, banyak orang tidak mau pulang. Kerumunan massa
bersiap untuk menyerang rumah Eden di Jalan Mahoni. Menurut
Djamaluddin, mereka semua adalah tetangga Lia. Polisi kemudian
196
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
mengevakuasi para angggota Eden dari rumah di Jalan Mahoni.
Djamaluddin juga bertindak sebagai saksi ahli dalam persidangan
Lia. Setelah pertemuan dan langsung berhadapan dengan Lia,
Djamaluddin menantangnya; ia berseru, “Ibu Lia, saya masih
Amin Djamaluddin. Saya menentang malaikat Jibril yang Anda
klaim. Anda mengatakan bahwa saya akan berubah menjadi katak.
Kapan saya berubah jadi katak?”
Ketika Djamaluddin ditanyai polisi setelah mengajukan
laporan atas kasus Lia, ia menjabarkan banyak hal tentang mengapa
ajaran Lia itu harus dianggap sesat: Lia membolehkan umat Islam
sholat menggunakan bahasa Indonesia; dia mengklaim bahwa
rumahnya di Jalan Mahoni sebagai surga; dia mengatakan para
pengikutnya sebagai malaikat; dia mengkalim sebagai imam Mahdi;
dan dia memperjuangkan Indonesia menjadi kiblat (ka’bah) bagi
orang-orang Muslim (Direktorat Reserse Kriminal Umum, 2005).
Polisi juga menanyakan saksi ahli lain, Musthofa Ali Yaqub,
dosen IIQ (Institut Ilmu Qur’an), tidak seperti Djamaluddin,
Yaqub tidak menunjukan pemahaman yang cukup tentang Lia
Eden dan ajarannya. Pemeriksa, Paimin, menuntut jawaban ‘ya’
atau ‘tidak’ dari Yaqub. Menariknya, Yaqub menegaskan bahwa
semua ajaran Lia dianggap sebagai bentuk penistaan kepada Islam
(Direktorat Reserse Kriminal Umum, 2006). Satu penyataan yang
paling mencolok yang dikeluarkan oleh Yaqub tentang Lia, seperti
berikut:
Siapa pun yang memeluk agama Islam, kemudian
dinyatakan murtad, memang murtad. Orang seperti
ini harus keluar dari Islam, dan mungkin memeluk
agama lain. Dalam istilah Islam, baik laki-laki ataupun
perempuan yang disebut ‘murtad’, mereka harus bertobat
dan kembali ke Islam. Jika menolaknya, maka wajib
untuk dibunuh....
Pemeriksa yang berbeda, Catur Hananto, B. Simanjuntak,
dan Jumadiono, menggunakan pertanyaan ‘ya’ atau ‘tidak’ untuk
Isa Anshary, sama seperti Yaqub, menjawab ‘ya’ untuk semua
penyataan yang mengandung unsur penistaan (Resor Metropolitan
Jakarta Pusat, 2006).
Polisi juga meminta pendapat kepada saksi ahli Kristen, A.
L. Tindige, sama seperti Yaqub, tidak paham betul siapa itu Lia
Bab Tujuh Pertarungan Publik
197
Al Makin
dan apa itu kelompok Eden. Dua pemeriksa, Suzana Dias dan
Denan Purba, menjelaskan ajaran Eden dan mengkonirmasi
kepada Tindige apakah ajaran-ajaran tersebut bertenangan dengan
agama Kristen. Tindige menjelaskan bahwa dalam agama Kristen,
sinkretisme seperti yang diperlihatkan Lia dilarang. Klaim Lia
menjadi ruh kudus juga dianggap menyesatkan, begitu juga Lia
mengklaim sebagai wakil Tuhan, dan anaknya, Mukti Ali, menjadi
reinkarnasiYesus.Tindige akhirnya menyimpulkan bahwa Lia telah
melakukan tindakan penistaan kepada ajaran Kristen (Direktorat
Reserse Kriminal Umum, 2012).
Dari semua itu, Djamaluddin tampaknya menjadi satusatunya saksi ahli yang memiliki kapasitas pengetahuan cukup
tentang Lia dan ajarannya. Selama berkunjung, saya terkesan
dengan rumah Djamaluddin, yang dipenuhi dengan koleksi
buku-buku, koran, dan majalah yang berisi beberapa laporan dari
berbagai aliran sesat. Dia menunjukan koleksinya, dan dengan
bangga mengatakan bahwa hampir semua laporannya mengenai
aliran sesat—Inkar Sunnah, Ahmadiyah,Teguh Esha, Syi’ah, Eden,
Mushoddeq, Mitra Bestari (lihat lampiran III)—telah di tangani
polisi dan disidangkan di pengadilan. Djamaluddin juga mengakui
telah membangun kerja sama dengan berbagai aliansi seperti polisi
dalam memantau aliran sesat dan mengarah kepada penangkapan
pemimpin mereka.
Pada satu sisi, MUI kurang memahami Lia Eden dan
kelompok keagamaan lain, namun anehnya Majelis ini langsung
menganggap dan mencap aliran-aliran atau kelompok-kelompok
tertentu sesat. MUI juga tidak memiliki koleksi sumber buku yang
dapat dijadikan sebagai referensi mereka yang ingin melakukan
penelitian tentang kelompok-kelompok itu. Bahkan, MUI tidak
menunjukan upaya untuk memahami mereka semua dengan
benar, apalagi melakukan penelitian ilmiah tentang mereka, jauh
panggang dari api.
Kekalahan para Pembela
Sementara para penuntut Eden terorganisir dengan baik dan
mendapat dukungan dari pemerintah, mereka yang membela
hak-hak kelompok minoritas dan kebebasan keyakinan sepertinya
kalah dalam persidangan. Namun, dukungan publik dalam
198
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
beberapa kasus menunjukan optimisme, karena kesadaran akan
kebebasan beragama di masyarakat semakin meningkat. Saat
ini media—tidak seperti di awal tahun 2000-an, di mana Lia
diejek, didiskriminasi, dan dikriminalisasi—menyajikan berita
tentang Lia lebih adil dan berimbang. Bagian dalam bab ini akan
mengeskplorasi pendapat para intelektual yang berpihak kepada
Eden di persidangan dan mendapat dukungan publik. Saya akan
menyajikan hasil wawancara pada bulan Maret dan April 2012
dengan Mayong, Musdah Mulia, Nong Darul Mahmada, dan
Dawam Rahardjo yang membela kasus Lia di pengadilan, dan
suntingan tulisan Danarto, Haidar Bagir, dan Ulil Abshar Abdalla,
yang diterbitkan oleh majalah Tempo.
Mayong, Musdah Mulia, Nong Darul Mahmada, dan
Dawam Rahardjo, yang menjadi saksi dalam persidangan Lia,
bercerita kepada saya bagaimana mereka menelan pil pahit
karena gagal membela Lia di bawah ancaman kelompok garis
keras. Semua menjadi saksi bahwa kenyataannya kelompok garis
keras menggunakan berbagai cara untuk mencapai kepentingan
mereka untuk menjebloskan Lia, Rachman, dan Andito ke dalam
penjara.
Awalnya, saya bertemu dengan Feby Yoneska, dijuluki
Mayong, aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta—bersama
dengan Asinawati (Direktur LBH), Uli Parulin Sihombing, dan
Saor Siagian—yang membela kasus Lia di sidang pengadilan
pertama tahun 2006. Persidangan ini merupakan sidang pertama
UU Penistaan 1965 selama periode reformasi. Pada salah satu
sidang tahun 2008, Lia menolak bantuan Mayong. Dalam
berbagai persidangan, Mayong melihat banyak tekanan eksternal
dalam pengadilan, sehingga berdampak besar pada putusan hakim.
Mayong mengatakan kepada saya bahwa hakim dan jaksa berada
di bawah tekanan MUI, yang pada akhirnya hukum sebagai
panglima keadilan gagal diimplementasikan ke dalam kasus ini
secara tepat. Di saat jaksa meminta Lia membuktikan klaimnya
untuk menghapus semua agama, jawaban yang dilontarkan tidak
pernah di dengar, karena banyaknya teriakan yang muncul. Setelah
hakim mendengar penyataan Lia, teriakan ‘astagirullah’ mencuat,
sehingga mendominasi kegaduhan di ruang sidang.
Dalam membela kasus Lia selama persidangan tahun 2006
berlangsung, Mayong mengajukan nota keberatan, di mana
Bab Tujuh Pertarungan Publik
199
Al Makin
sebelumnya terdakwa tidak terlebih dahulu diberikan peringatan,
sidang terlalu cepat diagendakan. Mayong juga mempertanyakan
keahlian Amin Djamaluddin dalam bidang teologi Islam dan
pemahaman ajaran sesat yang bertindak sebagai saksi ahli yang
di undang atas nama otoritas pengadilan. Tetapi hakim membela
posisi Djamaluddin. Selain itu, Mayong melihat adanya konlik
kepentingan Amin Djamaluddin, yang menjadi bagian dari
aktivitas MUI dan tersangka Lia, dan dialah yang melaporkan
kasus ini kepada polisi dan pada saat yang sama dia bertindak
sebagai saksi ahli dalam persidangan. Dalam mengajukan protes
atas nota keberatan ini, Mayong dan pendukung lainnya walk out ke
luar ruangan. Secara kebetulan, Lia juga ingin membela kasusnya
sendiri, sehingga Mayong dan rekan-rekan yang lain menghargai
keputusannya. Oleh karena itu, mereka semua menyerahkan
pembelaan sepenuhnya kepada Lia.
Mayong dengan tegas mengatakan kepada saya bahwa sidang
kasus Rachman lebih dramatis daripada Lia. Namun, Mayong
dapat menyimpulkan semua perkara ini seperti drama teater
dengan absennya legal standing hukum secara serius. Hasilnya sangat
mudah diprediksi. Para devotee Eden kehilangan harapan, selama
proses pengadilan berlangsung. Namun, Rachman dibebaskan
oleh pengadilan Jakarta. Kebebasan Rachman ini disesalkan oleh
Mayong karena Kejaksaan Agung menghentikan kasusnya secara
langsung karena mendapatkan tekanan dan ancaman dari pihak
luar, yakni kelompok garis kerasdi bawah bendera MUI. Akhirnya,
Rachman harus menjalani hukuman penjara kembali selama tiga
tahun.
Mayong percaya bahwa kasus persidangan Lia dan Rachman
berjalan tidak adil, karena para hakim, pengacara, dan saksi ahli
semua dari komunitas Muslim. Namun, Azhari Kautsar Noer,
saksi ahli dari UIN Jakarta, menunjukan sikap luar biasa dengan
menghargai toleransi kepada agama yang berbeda yang dianut
oleh kelompok Eden. Kautsar menolak tuduhan penistaan yang
disematkan kepada Lia. Tetapi pembelaan Noer masih lemah dan
terlalu subyektif jika dilihat dari perspektif hukum.
Kemudian persidangan yang diadakan pada tahun 2009
karena laporan yang diajukan oleh Sodiran, seorang intelejen
polisi berkantor di Polda Metro Jaya, yang merasa ketakutan atas
200
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
pernyataan Lia tentang penghapusan semua agama yang mungkin.
Secara logis, sebetulnya tidak mungkin seorang Lia yang hanya
memiliki jumlah 20 pengikut akan mampu mengancam Islam
dengan jumlah mayoritas di negeri ini. Bagi Mayong, yang percaya
kepada Lia, jika dibandingkan dengan agama-agama minoritas lain,
seperti Kristen dan Ahmadiyah, Eden terlalu kecil jumlahnya akan
menimbulkan ancaman bagi Islam di Indonesia. Namun, bila kita
mengingat penyataan Appadurai (2006), jumlah yang kecil adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari identitas kelompok mayoritas,
tanpa minoritas itu identitas mayoritas tidak jelas. Maka dari itu,
jumlah kecil ini sering di anggap sebagai acaman bagi kelompok
mayoritas.
Saya pun mewawancara Nong Darul Mahmada, aktivits
Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Freedom Institute, yang
menghadiri sesi persidangan selama tiga kali pada tahun 2006.
Dia juga berkunjung sel Lia selama di penjara. Nong mengatakan
kepada saya bahwa berbagai organisasi keislaman keras, seperti
FPI, Forum Umat Islam (FUI), dan lain-lain, di bawah payung
MUI, mengintimidasi beberapa persidangan. Nong juga melihat
koordinasi yang dilakukan begitu sistematis, seperti berikut: MUI
mengeluarkan fatwa dengan mencap Salamullah sebagai kelompok
sesat; beberapa kelompok garis keras kemudian mendukung
fatwa dengan melakukan aksi massa dan teror. Pungkasnya,
berbagai organisasi garis keras terorganisir di bawah koordinasi
MUI, walaupun aktivitas perannya hanya berada di belakang
layar. Meskipun begitu, Nong melihat bahwa saksi di pengadilan
yang membela kasus Lia juga diteror malalui ancaman telepon
dan intimidasi secara langsung, sebelum dan sesudah menjadi
saksi di persidangan. Nong juga melihat bahwa hakim ketika
memberikan hukuman ringan kepada Lia dan Rachman secara
langsung diintimasi dengan mata melotot, ancaman gerakan lebih
besar, dan teriakan nada marah.
Dalam persidangan yang dilaksanakan tahun 2009, sebelum
anggota Eden dievakuasi ke Polda Metro Jaya, Nong menghubungi
Adnan Buyung Nasution, advokat senior Indonesia, meminta dia
untuk membantu kasus yang dihadapi kelompok Eden. Namun,
Lia dan pengikutnya menolak tawaran tersebut berdasarkan
wahyu.
Bab Tujuh Pertarungan Publik
201
Al Makin
Para Pembela Keragaman
Meskipun kebijakan pemerintah Indonesia tidak selamanya
mendukung keragaman agama (lihat bab satu), ide pluralisme
terus berkembang cukup baik di kalangan intelektual. Untuk
mendapatkan kesimpulan seperti ini, perlu kiranya menyimak
gagasan Chomsky dan Said tentang peran intelektual. Menurut
Choamsky (1997), ‘intelektual’ bertugas memikul tanggungjawab
dengan penuh integritas untuk membicarakan kebenaran,
sedangkan Said (2003) menambahkan bahwa intelektual wajib
membela kaum lemah. Kita bisa lihat bahwa para aktivis LSM
Indonesia dan kaum intelektual—Mayong, Nong Darul Mahmada,
Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, Danarto, Haidar Bagir, dan
Ulil Abshar Abdalla—menjalankan dua tugas tersebut bersamaan.
Dalam prakteknya, mereka bukan hanya mempertahankan nilainilai pluralisme masyarakat Indonesia dengan tradisi keagamaan
yang beragam, tapi mereka juga menafsirkan ulang istilah
pluralisme dengan wawasan baru, yang sejalan dengan perdebatan
intelektual Barat saat ini (Riis, 1999; Bender dan Klassen, 2010;
Beckford, 2003; Barton, 1997; Bouma, 2011; Puett, 2013; lihat
juga pembahasan pada bab empat). Bagi intelektual Indonesia,
makna pluralisme merupakan proteksi terhadap semua keyakinan,
termasuk kaum minoritas dan atheis; keyakinan adalah masalah
pribadi yang tidak bisa diadili atau dipidanakan; pemerintah,
polisi, MUI, dan Kementerian Agama telah salah jalur dalam
menuntut Lia di pengadilan dan menuduhnya sebagai orang
yang menyesatkan; rasa hormat, dan menerima perbedaan dalam
keyakinan serta agama sangat penting bagi pluralisme. Di bawah
ini saya menyajikan pendapat mereka lebih rinci.
Musdah Mulia, seorang professor di UIN, Jakarta dan direktur
Indonesian Conference for Religion and Peace (ICRP), menghadiri
persidangan Lia pada tahun 2009. Kelompok Eden memanggilnya
sahabat, Penulis pun juga disebutnya demikian. Ketika ditanya
terkait penangkapan dan hukuman penjara bagi Lia, Musdah
mengatakan kepada saya: “Bu Lia ditindas. Dia dipenjara karena
keyakinannya. Saya bertanya-tanya kepada pemerintah mengapa
kami dikriminalisasi, sementara beberapa ‘penjahat beneran’
bebas berkeliaran.” Musdah, yang berasal dari suku Bugis, telah
memberikan sokongan moral kepada Lia, yang juga dari suku
202
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
Bugis. Sikap Musdah ini sejalan dengan prinsip-prinsip ICRP
yang dinyatakan dalam situs mereka http://icrp-online.org/proil,
yaitu membela pluralisme dan kebebasan beragama. Musdah
mengatakan kepada saya bahwa orang-orang yang berkeyakinan
dan ateis memiliki hak yang sama untuk hidup dan menjalankan
keyakinan mereka sebagaimana juga orang-orang beragama.
Sehubungan dengan penangkapan dan penahanan Lia,
Musdah mengatakan bahwa negara telah menyimpang dari
semangat sejati UUD 1945, menurutnya tugas dan kewajiban
negara justru harus melindungi semua kelompok, terlepas apakah
mereka beragama maupun tidak. Hal ini memang benar bahwa
satu dari lima prinsip negara (Pancasila) menyatakan keyakinan
dalam “satu Tuhan”. Namun, bagi Musdah, prinsip tersebut juga
mengakomodasi keyakinan yang berdasar pada spiritualistas pribadi;
dan itu belum tentu masuk kategori salah satu dari lima atau enam
agama yang resmi diakui oleh pemerintah. Pemerintah saat ini
telah memegang interpretasi yang salah atas kebebasan beragama.
Agama-agama resmi tidak disebutkan dalam UUD 1945. Lima
agama disebutkan hanya dalam surat yang ditandatangani oleh
Kementerian Luar Negeri pada tahun 1978, dengan penambahan
menjadi enam agama pada tahun 2006.
Musdah mengkiritik pemerintah yang memihak kaum
konservatif.Sedangkan presiden Susilo BambangYudhoyono (SBY)
hanya diam tidak berkata apa-apa. Bagi Musdah, SBY merupakan
seorang politikus yang berpendirian tidak jelas. Penindasan bagi
kelompok minoritas menjadi pemberitaan setiap hari. Musdah
memandang baik fondasi teologis maupun konstitusi negara harus
memproteksi kaum minoritas. Ia juga mengingatkan kita bahwa
kebebasan beragama dan pluralisme tidak secara otomatis dapat
terwujud bagi masyarakat Indonesia, hal ini masih membutuhkan
perjuangan yang melelahkan.
Bagi Musdah, pemeriksaan pengadilan dan hukuman penjara
merupakan kesalahan besar. Selama sesi persidangan, semua
pertanyaan yang diajukan oleh para pengacara tidak dapat dijawab,
sebab keyakinan merupakan sebuah hak asasi manusia paling
fundamental dan masalah pribadi, yang tidak akan bisa diajukan
dalam pengadilan. Seperti Musdah menggarisbawahi,
Keyakinan tidak bisa dituntut maupun diadili. Ketika
hakim dan pengacara mencecar Lia dengan pertanyaan,
Bab Tujuh Pertarungan Publik
203
Al Makin
Lia merespon mereka dengan jawaban sama sekali tidak
terduga... persidangan itu tidak rasional dan tidak logis.
Keyakinan tidak bisa dituntut maupun diadili.
Musdah menekankan bahwa Lia tidak melakukan tindakan
kriminal. Lia juga tidak layak dimasukan ke penjara hingga dua
kali. Pengadilan, di bawah bayang-bayang kekuatan orthodoksi
keislaman telah menyesatkan semua proses. Ketika di pengadilan Lia
menunjukkan kejujuran, keberanian, dan kemurnian hati dengan
membuktikan bahwa sidang pengadilan itu sepenuhnya salah.
Musdah melihat Lia sebagai pemimpin spiritual yang menyeru
umat melakukan perbuatan baik. Selama di penjara, Lia membuat
semua narapidana bahagia dengan melakukan perbuatan baik
dan berbagi keterampilan merangkai bunga sesama narapidana
dan sipir. Melihat praktik-praktik korupsi yang lazim terjadi di
banyak penjara di Indonesia, Lia mungkin dikirim Tuhan untuk
memberantas praktek-praktek itu di penjara, bahkan mereka
para pengikut Lia berhasil dalam menghindari membayar sipir
pada saat mereka berkunjung. Singkatnya, Lia sangat jauh dari
perbuatan pidana yang dituduhkan dan faktanya Lia mengajarkan
spiritualitas dan kejujuran.
Pembela lain adalah Dawam Rahardjo, aktivis Muslim yang
mendukung nilai dan prinsip pluralisme sejak era pemerintahan
Soeharto. Dia melihat cerita Lia seperti cerita para nabi lain dalam
tradisi Islam, sebagai pencari jalan spiritual. Seperti nabi lain, Lia
mengaku menerima bimbingan secara langsung dari Tuhan. Dia
mungkin juga dapat disamakan dengan Buddha Gautama, pendiri
agama Buddha, dalam menuju jalan pencerahan. Seperti Nabi
Muhammad bertapa di Gua Hira di Mekkah sebelum menerima
wahyu dari Jibril, Lia pun melakukan hal tersebut di Bogor.
Dengan begitu, Dawam Rahardja, sama seperti Musdah dan Nong,
menolak fatwa MUI yang mencap Eden sebagai aliran sesat. Bagi
Rahardjo, Lia adalah seorang yang murtad. Ambil contoh konsep
Tuhan di Eden. Konsep Tuhan yang diterapkan di Eden tidak
hanya merujuk pada konsep Islam, tetapi lebih universal, termasuk
konsep Tuhan di agama Buddha dan Kristen. Memang benar Lia
menggunakan simbol Islam, seperti Malaikat Jibril. Namun, Lia
menambahkan konsep lain seperti reinkarnasi, yang tidak ada
dalam Islam. Patut juga diingat bahwa konsep malaikat Jibril tidak
204
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
hanya terdapat dalam Islam saja, tetapi keberadaannya juga ada
diagama Kristen dan Yahudi. Secara singkat, Eden menawarkan
konsep yang lebih universal tentang spiritulitas dan religiuisitas
daripada pemahaman MUI itu sendiri.
Dawam bercerita kepada saya bahwa pemahamannya tentang
kenabian dan malaikat mungkin berbeda dengan Eden. Namun,
Dawam toleran dengan keyakinan yang berbeda dari kelompok
Eden. Dawam tidak ingin ikut campur dengan keyakinan orang
lain, tetapi cukup menghargainya. Lebih tegas, Dawam juga tegak
berdiri membela Eden ketika kelompok ini mendapat tekanan
(Rahardjo, 2006). Sebagai seorang Muslim, Dawam percaya
bahwa Muhammad merupakan Nabi terakhir (khatam anbiya)—
sebuah doktrin yang dia interpretasikan bahwa kenabian seperti
Muhammad pada abad ke tujuh tidak lagi relevan kalau muncul
sekarang. Saat ini di era masyarakat modern memang sulit untuk
menerima ide dan konsep kenabian seperti kenabian abad ke 7.
Di tengah masyarakat modern yang lebih rasional sulit untuk
menerima kemunculan dan merelevansikan konsep lama untuk
saat ini.
Namun, tidak masalah seaneh apapun ajaran religius,
kebebasan akan keyakinan dan agama harus ditegakan. Klaim
kenabian Lia adalah masalah spiritualitas yang sering masuk wilayah
pandangan subyektif atau personal. Hal ini perlu digarisbawahi
bahwa banyak masyarakat Indonesia memiliki tendensi arah
agama dan spiritualitas baru. Indonesia merupakan negara yang
tumbuh subur terhadap keyakinan beragama. Dawam percaya
bahwa munculnya pencari spiritualitas seperti Lia bukan lah hal
yang luar biasa di Nusantara dan mereka membutuhkan ruang
kebebasan dan perlindungan, bukan untuk dituntut dan dianiaya.
Dawam percaya bahwa penangkapan dan penahaman Lia
adalah kesalahan. Maka dari itu, persidangan yang dilakukan
melanggar konstitusi negara. Pengadilan, yang didukung oleh
MUI, menganggap Lia melakukan penistaan bagi Islam juga salah.
Sebaliknya, Dawam, melihat kritik yang dilontarkan Lia adalah
persoalan biasa, yang pada umumnya sering muncul dalam setiap
forum yang diikutinya. Dawam sudah biasa mengkiritik agama
dari sisi intelektual, Lia juga melakukan kritik tetapi berdasarkan
pengalaman spiritual. Sekali lagi, MUI tidak mempunyai hak
sama sekali untuk melarang spiritual Lia, terutama ketika
Bab Tujuh Pertarungan Publik
205
Al Makin
fatwanya digunakanoleh pengadilan negara untuk mengadili Lia.
Dawam juga mengkritisi Kementerian Agama yang gagal untuk
melindungi orang yang berbeda keyakinan. Dawam berargumen:
Di Indonesia, Kementerian Agama gagal menegakkan
konstitusi negara. Tugas Kementerian bukan membuat
orang untuk lebih religius tetapi yang lebih penting
melindungi praktik ibadah keagamaan dan menghormati
kebebasan beragama, termasuk mereka yang tidak
memeluk agama sekalipun. Berkenaan dengan kritik
yang dilontarkan oleh Lia Eden; ini bisa dibandingkan
dengan Marx, misalnya, yang menyatakan bahwa agama
adalah candu masyarakat. Apakah ini penistaan bagi
semua agama? Bahkan, hal ini adalah hipotesis ilmiah.
Bagi saya, agama sering menjadi opium, membuat orang
tidak menyadari bahwa mereka sedang tertindas. Marx
tidak pernah menyarankan pelarangan agama. Sebaliknya,
dia menyimpulkan bahwa jika kemiskinan diberantas,
agama akan kehilangan perannya dalam masyarakat.
Bagi Dawam, pemerintah Indonesia mengikuti logika
orthodoksi yang ‘kekanak-kanakan’ dalam merespon klaim
religius Lia. Di sisi lain, banyak pemimpin Muslim tidak siap
untuk menerima kritikan. Bahkan, dalam agama Kristen ada
banyak buku yang menyerang keimanan, tetapi Gereja tidak
pernah menanggapi kritikan tersebut sebagai bentuk penistaan
agama. Justru Dawam bertanya, apakah Muslim dapat mengikuti
contoh yang dijalankan oleh umat Kristen.
Terhadap MUI, Dawam berpendapat bahwa pengadilan yang
menuntut Lia justru malah menghancurkan nama baik Islam. Dia
melihat pelaksanaan sidang Lia sebagai bentuk penistaan agama
Islam. Orang-orang seperti Amin Djamaluddin mencemarkan
citra dan ajaran Islam dengan mengadili berbagai sekte Islam,
seperti Eden, Syi’ah, Ahmadiyah, dan aliran Inkar Sunnah di
Indonesia. Djamaluddin telah melakukan penistaan. Lia Eden dan
Ahmadiyah tidak pernah dengan sengaja melakukan penistaan
kepada agama Islam, tetapi semua tindakan Djamaluddin di
sengaja. Kebebasan beragama telah tercemar oleh penindasan dan
penganiayaan terhadap kelompok minoritas, seperti pembakaran
beberapa Masjid Ahmadiyah dan perlakuan tidak adil kepada para
206
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
pengikutnya; oleh karena karena itu sikap teologis dan ideologis
Djamaluddin telah menyesatkan.
Seperti Musdah, Dawam juga mengkritisi SBY karena
berdiam diri dan tidak bertindak. Dawam menduga bahwa ketua
MUI, Ma’ruf Amin, memiliki pengaruh besar atas keputusan SBY.
Tidak seperti Abdurrahman Wachid (Gus Dur) bersikap tegas
dalam membela pluralisme, SBY tidak pernah menunjukan sikap
yang jelas dalam memihak kebenaran karena takut kehilangan
dukungan dari umat Islam.
Dawam mengingatkan kita akan konsep sekularisme yang
dianjurkan oleh Sukarno, presiden pertama Indonesia yang
merujuk ke konsep dariTurki. Dawam menjelaskan bahwa “Negara
tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan keyakinan orang
dan seharusnya jangan pernah memihak agama tertentu secara
tidak adil pula.” Sebaliknya, negara harus netral, dan menunjukkan
rasa adil kepada agama yang diyakini masyarakat. Pada tahap ini,
politisasi agama dapat dihindari, tidak seperti situasi saat ini, di
mana agama di Indonesia dan politik menjadi tidak terpisahkan.
Demikian juga, Danarto, Haidar Bagir, dan Ulil Abshar
Abdalla, dan para intelektual lain membela Lia di pengadilan,
sebagaimana tulisan-tulisan mereka juga diterbitkan oleh majalah
Tempo. Kita mulai dengan tulisan Danarto (2006), mantan suami
Dunuk dan anggota pengajian Salamullah ini, berusaha untuk
membangun citra baik dalam menyoroti Lia yang murah hati dan
dermawan, contohnya, ia memberikan terapi gratis di rumahnya.
Di sisi lain, Danarto menyoroti MUI secara kritis karena
mengeluarkan fatwa sesat untuk ajaran Eden. Bagi Danarto, MUI
lah yang patut dikritisi karena dengan fatwanya telah melarang
pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. Danarto merasa MUI
bertentengan dengan kebijaksanaan Presiden Habibie. Danarto
masih ingat bahwa selama kepresidenan Habibie, Lia dipanggil
Kementerian Agama; kemudian Eden menjelaskan pengalaman
spiritualitas mereka. Kementerian pun menyimpulkan ajaran
Lia bukan ancaman bagi masyarakat dan publik—ini mendapat
dukungan dari Habibie. Abdurrachman Wachid (Gus Dur) juga
tidak setuju dengan sidang peradilan Lia.
Sama seperti Danarto, Haidar Bagir (2006) berpendapat
bahwa persidangan Lia merupakan kesalahan. Namun, Bagir
Bab Tujuh Pertarungan Publik
207
Al Makin
memberikan kritik atas unsur spiritualitas dan irasional dalam
kelompok Eden, seperti kharisma Lia mendominasi karakteristik
kelompok. Bagi Bagir, satu-satunya cara untuk memahami dan
mengkiritik Eden adalah dengan pemikiran rasional, bukan
menjebloskan pemimpinnya kepenjara.
Ulil Abshar Abdalla (2006), pendiri JIL, menulis dialog
imajiner antara kiai dengan santrinya tentang posisi Lia dalam
teologi Islam. Menurut santri, Ulil menyatakan suatu agama tidak
bisa dinilai berdasarkan standar agama lain, seperti Lia menyatakan
dirinya murtad. Dalam tahap ini, bagi Ulil juga mengkritisi
keberatan umat Muslim bahwa Lia telah meminjam simbol-simbol
Islam untuk kelompoknya. Seperti yang diungkapkan Rachman
dan Lia (lihat bab 5 dan 6), Abdalla berpendapat bahwa Islam
juga menggunakan simbol agama Yahudi, Kristen, dan tradisi Arab
pra-Islam. Bagi Ulil, umat Islam tidak seharunya bersikap marah
ketika Lia mengungkapkan kritikan untuk Islam, karena Islam juga
melakukan hal yang sama dengan meminjam simbol dan bersikap
kritis pada agama semit terdahulu, seperti Yahudi dan Kristen.
Meskipun Lia menawarkan ajaran yang berbeda dengan Islam dan
mungkin sesat, dia memiliki hak untuk hidup di Indonesia tanpa
intimidasi. Menariknya, Ulil menyatakan “Setahu saya, yang ada
adalah pernyataan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir.
Tetapi Islam adalah agama terakhir sepertinya tidak ada”. Bahkan,
setelah Islam, ada banyak agama di dunia terus muncul. Bagi Ulil,
Eden memiliki wahyunya sendiri, kitab suci, nabi, pengikut, dan
ibadah, harus diakui sebagai agama independen di Indonesia.
Mengingat pembahasan tersebut di atas, Harvey (2009), Sirry
(2013), dan Gillespie (2007) benar dalam menyatakan bahwa
selama era reformasi kembali kelompok garis keras-konservatif
mengalahkan komunitas liberal-moderat melalui MUI yang di
dukung pemerintah. Diskusi ini menunjukan bahwa tidak peduli
seberapa meyakinkan, logis, dan rasional argumen kaum liberal,
dalam rangka memenangkan pertempuran kaum konservatif
menggunakan cara-cara intimidasi dan teror di pengadilan,
dijalanan, dan di media massa. Dalam kasus Eden, kaum liberal
dikalahkan begitu saja oleh kelompok konservatif.
208
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
NRM dan Orthodoksi Keislaman
Selama Orde Baru dan periode reformasi, orthodoksi Islam
dengan mudah membungkam sebagian besar tantangan yang
ditimbulkan oleh NRM. Agama populer hanya punya sedikit
kebebasan di negeri ini; penganiayaan dan pengadilan bagi nabi
pribumi serta para pengikutnya sering terjadi. Dalam sejarah
Indonesia, Lia Eden adalah satu-satunya nabi yang tidak pernah
menyerah kepada tekanan yang semakin meningkat dari MUI,
pemerintah, dan media.
Khususnya, sebagian besar NRM di Indonesia ditandai
dengan sikap ‘world-accommodating’, yang memungkinkan mereka
bertahan hidup seiring semakin berkembanganya orthodoksi
Islam. Meskipun mereka memiliki misi tertentu untuk mengubah
tatanan dunia, gerakannya tidak bersikap evangelis dalam
menyebarkan misinya, melainkan menunjukan sebuah sikap
kompromi dengan dunia luar. Sebagai contoh, Subud merupakan
NRM yang sudah mendunia dan pengikutnya menyebar ke lebih
dari 80 negara, dan memperlihatkan sikap akomodatif dalam
mendorong pengikutnya di Indonesia untuk memeluk salah
satu agama resmi di negeri ini. Mereka cukup berhati-bati untuk
tidak mencampur-adukkan antara latihan dengan ritual ibadah.
Namun, antara pemimpin NRM dengan anggota yang saya temui,
termasuk dari NRM seperti Sumarah, Pangestu, Sapta Dharma,
Sumarah Purbo, ASK (lihat lampiran II), sebagian besar meminta
keyakinan mereka diakui dan memperlakukannya sebagai agama.
Dalam istilah hubungan mereka dengan masyarakat yang lebih
luas di luar kelompok, NRM ini mengadopsi sikap ‘refuge’. Mereka
mengadakan kegiatan ceramah dan pertemuan yang dihadiri
oleh anggota, memberikan layanan spiritual, dan tidak berniat
untuk menyebarkan keyakinan di luar kelompoknya. Sikap worldaccommodating merupakan cara yang efektif dalam menghadapi
dengan dunia luar, terutama dengan menghadapi orthodoksi
keislaman dan efeknya dapat diminimalisir.
Namun, kerajaan Eden menunjukan kecenderungan ke arah
gaya world-rejecting,di mana Lia memberlakukan standar moralitas
yang ketat bagi pengikutnya; bagi yang tidak dapat memenuhi
standar tersebut dikeluarkan dari kelompok. Secara bersamaan,
ia menjadi pusat kegiatan kelompok, semua printah dan
Bab Tujuh Pertarungan Publik
209
Al Makin
bimbingannya harus dipatuhi. Hal ini tentu saja menjadi salah satu
kelemahan bagi internal kelompok. Pada saat Salamullah masih
mengadopsi sikap ‘world-airming’ dengan menawarkan layanan
terapi untuk menyembuhkan klien dari pelbagai latar belakang
tanpa menuntut apapun sehingga terbangun ikatan emosional, Lia
dapat menarik peminat hingga ratusan klien. Pada tahun 2000, 88
devotee mengikuti Lia untuk melakukan pengasingan di salah satu
tempat di bukit Bogor. Tapi setelah kelompok mengubah sikap,
para anggota menjadi lebih tertutup dan mereka dikarenakan
aturan yang ketat; jumlah para anggota pun menurun tajam dari
tahun ke tahun. Di tahun 2005, devotee-nya berjumlah 48, dan
tahun 2008 jumlahnya semakin menurun menjadi 29. Di tahun
2011, ketika saya berkunjung ke Jalan Mahoni, ada 20 devotee yang
tinggal di dalam rumah. Di akhir tahun 2012, dua anggota penting
(Umar dan Ivuk), yang saya wawancarai, juga keluar dari kerajaan.
Di tahun 2014, Andito dan Aisyah juga meninggalkan Eden.
Sikap world-rejecting tidak bisa menciptakan kondisi yang stabil
bagi perkembangan kelompok. Perjuangan untuk bisa bertahan
hidup dari hari ke hari terasa berat penuh tantangan.
Selain itu, sebagai konsekuensi dari mengadopsi gaya
world-rejecting, Eden harus memenuhi banyak rintangan. NRM
yang didirikan dan dipimpin oleh pemimpin yang tidak selalu
stabil dihadapkan dengan banyak tuntutan dan moralitas yang
keras untuk para devotee-nya. Pelbagai masalah internal dengan
mudah sering membuat devotee dikeluarkan atau berhenti dengan
sendirinya dari keanggotaan kelompok. Saat yang sama suara Eden
juga ingin di dengar di luar, namun malah sering menentang opini
publik. Oleh karena itu, Lia digambarkan secara negatif di media.
Namun, misi revitalisasi Eden dalam merubah tatanan
dunia telah menentang orthodoksi keislaman di Indonesia.
Dibandingkan dengan tantangan yang ditimbulkan oleh nabi-nabi
lain, Lia paling berani dan menjadi berita kontroversial di media.
Kasusnya memicu perdebatan publik menyangkut tema kebebasan
agama, toleransi, dan konsep pluralisme. Sedangkan gaya world
airming dan world accommodating yang diadopsi banyak NRM
menyebabkan sikap kompromi dengan orthodoksi keislaman dan
peraturan pemerintah, sehingga bisa menghindari konfrontasi
secara langsung, tapi Lia Eden dengan berani dan secara langsung
210
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
menentang kekuatan dominasi MUI dan pemerintah.
Dibandingkan dengan Ahmad Mushaddeq pendiri Qiyadah
Islamiyah (lampiran III),yang juga menarik ribuan anggota di banyak
propinsi di Indonesia dan menimbulkan kontroversi pemberitaan
media, dampak Lia pada masyarakat lebih memiliki efek jangka
panjang yang memperkaya tradisi agama Indonesia. Memang
benar bahwa Mushaddeq menarik banyak anggota, membangun
organisasi yang baik dan memiliki manajemen canggih, tapi ia juga
mempunyai misi ekonomi dan politik. Jama’ah Qiyadah membayar
iuran secara teratur dan mengumpulkan modal yang digunakan
untuk mengejar impian mereka mendirikan negara ideal, ‘negara
Islam’. Lia dalam menyebarkan ide dan nilai tidak bertujuan ke
arah kekuasaan politik. Dia hanya menyatakan ide kontroversial
dihadapan publik, misalnya dalam menyatukan semua agama
(perenialisme) untuk menciptakan perdamaian, karena ia melihat
banyak masyarakat dengan beragam iman mudah terpicu konlik.
Dia mengkritisi orthodoksi keislaman yang gagal dalam membawa
perdamaian bagi Muslim maupun Non-Muslim. Pada gilirannya,
ia secara terbuka murtad dari agama Islam, sebuah langkah yang
berani karena tak ada seorang pun di Indonesia mengambil sikap
tersebut. Dia mengutuk para koruptor dan sistem pemerintah yang
gagal. Dia membela kelompok yang lemah dan kaum minoritas.
Tentu, pesan Lia ini mencerminkan krisis di era reformasi yang
patut untuk direnungkan bersama. Semua ini bisa didapatkan dari
pembacaan yang cermat dan pemaknaan wahyu Lia.
NRM dengan sikap world-airming atau world-accommodating
tampaknya memiliki kesempatan yang baik untuk tetap hidup di
Indonesia karena tingkat kompromi dengan dunia luar, namun
mereka berkontribusi terlalu sedikit untuk membawa perubahan
nyata kondisi sosial keagamaan di negeri ini. Mereka tidak pernah
membuat kontroversi di media, karena mereka menghindari
perhatian publik. Menyedihkan lagi, hak-hak dasar terkait
kepercayaan dan keyakinan mereka diabaikan oleh pemerintah.
Ini berbeda, ketika kerajaan Eden ketika mengadopsi gaya worldrejecting menarik perhatian publik dengan ide-ide yang kontroversial
khususnya pada konsep-konsep penting yang berkaitan dengan
pluralisme. Namun, hal ini tidak berarti bahwa NRM worldrejecting lebih baik daripada jenis NRM lain atau agama resmi.
Bab Tujuh Pertarungan Publik
211
Al Makin
Yang jelas adalah masyarakat Indonesia dengan mayoritas Muslim
menanggapi munculnya kerajaan Eden harus memikirkan kembali
tradisi keagamaan mereka secara kritis. Di sisi lain, kerajaan Eden
berjuang untuk bertahan hidup di bawah aturan ketat dan otoriter
pemimpin yang labil, sehingga menyebabkan banyak anggota
menjadi frustrasi dan meninggalkan kelompok. Kerajaan Eden
menawarkan pandangan alternatif di ranah diskusi publik, yang
banyak intelektual Indonesia tanggapi secara serius.
Memikirkan Kembali Keragaman
Pada dasarnya, kasus Lia Eden menggugah masyarakat
Indonesia untuk berpikir tentang makna pluralisme. Beckford
(2010) mengusulkan tiga makna pluralisme, yaitu sebagai deskripsi
realitas, yaitu keanekaragaman realitas dalam masyarakat; 2)
manajemen negara dalam pengelolaan keanekaragaman, berkaitan
dengan masalah hukum normatif; dan 3) ide-ide intelektual
tentang realitas keanekaragaman. Buku ini membahas terkait
dengan tiga tema tersebut. Memang, pluralisme sebagai realitas
tidak bisa dipungkiri di Nusantara, yang melahirkan ratusan nabi
yang mendirikan berbagai kelompok keagamaan sepanjang sejarah
negeri ini. Diskusi kita juga mencakup kebijakan pemerintah
dalam tradisi agama dari era Orde Baru sampai era reformasi,
di mana kita menyaksikan kurangnya negara dalam mendukung
keragaman melalui kebijakan dan regulasi. Pemerintah Orde Baru
dan era reformasi membatasi pluralisme agama dengan pengakuan
negara dan perlindungan hanya pada enam agama resmi (Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu), sementara
kelompok-kelompok agama lainnya, yakni agama populer yang
didirikan oleh nabi lokal tidak mendapatkan tempat. Kebijakan
ini diskriminatif dan jelas ini berimplikasi pada penolakan makna
pluralisme yang tidak bisa dipungkiri dalam tradisi keagamaan
dan spiritualitas Indonesia.
Di sisi lain, aktivis LSM dan intelektual melihat kasus Lia
Eden secara serius, sebagai batu loncatan untuk memaknai
kembali apa itu pluralisme. Mereka membela nilai-nilai pluralisme
yang meliputi: proteksi semua keyakinan, pembelaan kelompok
minoritas; penghormatan dan pemahaman pada perbedaan agama
dengan memastikan orang-orang dari berbagai kelompok agama
212
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
Al Makin
Gambar 15: Koleksi Amin Djamaluddin berupa majalah dan
buku tentang ‘aliran sesat’. Dari kanan ke kiri cover majalah Panji
menampikan Bijak Bestari, buku Ahmad Mushaddeq, dan buku
Bijak Bestari.
dan penganutnya diperlakukan secara adil dan sejajar; keimanan
adalah masalah priadi yang tidak bisa diadili dipengadilan dan
dipidanakan; maka pemerintah, MUI, dan Kementerian Agama
telah melakukan kesalahan dalam membawa Lia Eden dan nabi
lainnya dalam pengadilan dan penjara.
Sayangnya, pemerintahan SBY gagal dalam meninjau
kembali relevansi UU Penistaan 1965 sebagai dasar banyak nabi
Nusantara yang dituduh melakukan penistaan kepada agama Islam.
Pemerintah tunduk dibawah tekanan orthodoksi keislaman yang
bernaung di bawah panji MUI, yang berusaha untuk meredam
keragaman NRM yang dirasa menentang otoritas keagamaan
Majelis ini. Kriminalisasi atas para nabi, termasuk Lia Eden, berjalan
sistematis dan legal berdasarkan hukum penistaan agama 1965.
Selama hukum penistaan agama tidak dikaji ulang, pemerintah
tidak akan bisa menghormati keyakinan nabi-nabi tersebut dan
tidak akan memberi kebebasan bagi mereka yang kreatif dalam
mengungkapkan kebijaksanaan dan ajaran baru yang kreatif.
Bab Tujuh Pertarungan Publik
213
Al Makin
214
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
DAFTAR PUSTAKA
Karya Lia Eden
Aminuddin, Lia (1991). Membuat dan Merangkai Bunga Kering.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Aminuddin, Lia (1998a; 2002). Pancasila Meniti Zaman. Jakarta:
Salamullah.
Aminuddin, Lia (1998b). Perkenankan Aku Menjelaskan Sebuah
Taqdir. Jakarta:Yayasan Salamullah.
Aminuddin, Lia (1998c). Kemasan Sapaan Langsung Kepada Para
Pasien di Klinik Salamullah, Setiap: Senin-Rabu-Jum’at, ed.
Umar Iskandar. Jakarta: Klinik Penyembuhan Salamullah.
Aminuddin, Lia (1999). Lembaran Al-Hira, Fatwa Jibril Alaihissalam
Versus Fatwa MUI. Jakarta:Yayasan Salmaullah.
Eden, Lia (2007a). Fatwa Mahkamah Tuhan. Jakarta: Eden God’s
kingdom.
Eden, Lia (2007b). Sumpah Tuhan Yang Maha Kuasa. Jakarta: God’s
kingdom.
Daftar Pustaka
309
Eden, Lia (2007c). Surat Ruhul Kudus tentang Keadaan Bangsa
Indonesia ke Depan. Jakarta: God’s Kingdom Tahta Suci
Kerajaan Tuhan Eden.
Eden, Lia (2009). Memori Banding: Penghapusan Agama-Agama
adalah Pertolongan Tuhan untuk Perdamaian Dunia. Jakarta.
Eden, Lia (2011). Filosoi Bunga dari Penjara. Jakarta: Eden.
Fatwa Jibril
Fatwa Jibril (1998). Rumor tentang ninja, November 6.
Fatwa Jibril (1999). Surat untuk A.S. Maringka, Ketua panitian
Natalan,Yayasan Pelayanan Kasih,“Batu Penjuru”, Desember
2.
Fatwa Jibril (1999). Surat untuk Prof. K.H. Ali Yaie, November
24.
Fatwa Jibril (1999). Surat untuk Jaksa Agung A.M. Ghalib, Maret
15c.
Fatwa Jibril (1999). Surat untuk Kepala Urusan Sosial dan Budaya
Jaksa Agung, Jawadin Saragih,” Maret, 15b.
Fatwa Jibril (1999). Surat untuk Kepala SLTPN 52 Jakarta,
October.
Fatwa Jibril (1999). Surat untuk Menteri Agama Malik Fajar,
Maret 15d.
Fatwa Jibril (1999). Pertarungan antara Lia Aminuddin versus Nyi
Loro Kidul, September 6b.
Fatwa Jibril (1999). Mubahalah, Maret, 15a.
Fatwa Jibril (1999). Nabi Lia versus Nyi Loro Kidul, Agustus
31a.
Fatwa Jibril (1999). Ujian iman Lia Aminuddin, September 6a.
Fatwa Jibril (1999). Perang melawan kemusyrikan di Pelabuhan
Ratu, Agustus 31c.
Fatwa Jibril (1999). Prang di Pantai Selatan dengan Ratu Kidul,
Agustus 31d.
Fatwa Jibril (1999). Perang melawan Jin, Agustus 31b.
Fatwa Jibril (2000). Meminta fatwa tentang larangan publikasi
magik dan syirik di Media, surat ditujukan ke ketua MUI
310
Daftar Pustaka
Ibrahim Hosen, Maret 9.
Fatwa Jibril (2000). Mengumumkan Salamullah sebagai agama
baru, Juni 16.
Fatwa Jibril (2000). Jawaban atas pertanyaan tentang anak yang
disurupi ruh malaikat yang membakar orang-tuanya, surat
untuk redaktur majalah Amanah Eddy Yurnaidi, Maret 9.
Fatwa Jibril (2000). Kritik atas publikasi magik dan praktek syirik,
surat untuk Jaksa Agung Marzuki Darusman, Maret 9.
Fatwa Jibril (2000). Menghapus penyalahgunaan obat-obatan,
Februari10.
Fatwa Jibril (2000). Manipulasi hipnotis, Januari 18.
Fatwa Jibril (2000). Berita periodik Malaikat Jibril I, Maret 29.
Fatwa Jibril (2000). Berita periodik Malaikat Jibril III, Mei 27.
Fatwa Jibril (2000). Agama, etnis, dan ras, Januari 6.
Fatwa Jibril (2000). Melaporkan Salamullah sebagai agama baru,
dikirimkan ke Menteri Agama Tolhah Hasan, Juni 20.
Fatwa Jibril (2000). Penghapusan santet, Februari 15.
Fatwa Jibril (2000). Peringatan terakhhir dari Jibril, Juni 11.
Fatwa Jibril (2001). Sumpah Jibril, April 3.
Fatwa Jibril (2001). Berita periodik Malaikat Jibril II, April 24.
Fatwa Jibril (2003). Tentang Gus Maksum dari Lirboyo, July 31.
Fatwa Jibril (2003). Pengumuman tentang Pemilu 2004, Oktober
27.
Fatwa Jibril (2003). George W. Bush, April 14.
Fatwa Jibril (2003). Tentang pesantren Ngruki, Agustus 15.
Fatwa Jibril (2003). Tentang syirik, Juli 27.
Fatwa Jibril (2003). Tentang pelaku bom Bali, Agustus 18.
Fatwa Jibril (2003). Tentang dukun, September 6.
Fatwa Jibril (2003). Untuk masjid Al-Ikhlas, September 20.
Fatwa Jibril (2003). Untuk Media massa Islam, November 6.
Fatwa Jibril (2003). Untuk media massa, dan stasiun TV, September
15.
Fatwa Jibril (2003). Untuk Muslim, Agustus, 14.
Fatwa Jibril (2004). Surat untuk Akbar Tandjung, March 24.
Daftar Pustaka
311
Fatwa Jibril (2004). Surat untuk Bambang Pranowo, July 12.
Fatwa Jibril (2004). Surat untuk Komaruddin Hidayat, September
27.
Fatwa Jibril (2004). Surat untuk perancang tongkat, Desember 1.
Fatwa Jibril (2004). Campur tangan berita Metro TV, April 22.
Fatwa Jibril (2004). Campur tangan berita sticker SCTV, Maret
6.
Fatwa Jibril (2005). Surat untuk masjid Meranti Senen, Desember
25.
Fatwa Jibril (2005). Kemarahan Tuhan dengan tsunami Aceh, surat
terbuka publik untuk Indonesia, Januari 4.
Fatwa Jibril (2005). Surat untuk Ash-Shiddiqie, ketua MK, Januari
15.
Fatwa Jibril (2005). Surat untuk para tetanggga, Desember 19.
Fatwa Jibril (2005). Surat terbuka publik, Juni 6.
Fatwa Jibril (2005). Sholat dengan dua bahasa, surat terbuka publik
Juni 6.
Fatwa Jibril (2005). Peluncuran kerajaan Tuhan, pengumuman
publik Desember 5.
Fatwa Jibril (2006). Surat untuk presiden SBY tentang lumpur
Sidoarjo, Agustus 14a.
Fatwa Jibril (2006). Surat untuk SBY tentang kutukan Tuhan
untuk Indonesia, September 6.
Fatwa Jibril (2006). Surat untuk Hakim Lief Soijullah dan JPU
Salman Maryadi, Juni 7a.
Fatwa Jibril (2006). Surat untuk JPU, Juni 7.
Fatwa Jibril (2006). Surat terbuka untuk SBY, Oktober 2a.
Fatwa Jibril (2006). Surat terbuka tentang lumpur Sidoarjo
dibunag ke laut, Oktober 4.
Fatwa Jibril (2006). Surat terbuka untuk Hasyim Muzadi karena
mendukung dakwaan menyimpang Lia Eden, Januari 5.
Fatwa Jibril (2006). Surat terbuka tentang Ruh Kudus berkaitan
tentang ritual penyusican di Eden, Juni 7b.
Fatwa Jibril (2006). Surat terbuka tentang lumpur Sidoarjo
312
Daftar Pustaka
mudlow disaster, Agustus 14b.
Fatwa Jibril (2006). Surat terbuka berupa peringatan tentang
gempa bumi yang akan menghantam Jakarta, October 2b.
Fatwa Jibril (2006). Keterangan ramalan gempa yang tidak pernah
terjadi di Jakarta, surat terbuka November 10.
Fatwa Jibril (2006). Program TV unsolved cases 2005, Desember
22.
Fatwa Jibril (2006). Pembaruan peta dunia, surat terbuka, April
29.
Fatwa Jibril (2006). Press release tentang pengadilan Eden, Mei
17.
Sumpah Tuhan
Sumpah Tuhan (2008). Berkah di kerajaan Eden, April 12.
Sumpah Tuhan (2008). Tuhan akan membela Wahyu Andito di
pengadilan, Desember 31.
Sumpah Tuhan (2008). Tuhan menerima sumpah anggota Eden,
Juni 7.
Sumpah Tuhan (2008). Tiada lagi penuntutan Eden, Juli 18.
Sumpah Tuhan (2008). Keselamatan untuk kerajaan Eden, Juli 4.
Sumpah Tuhan (2009). Korupsi, perang, kriminal, Januari 9.
Sumpah Tuhan (2009). Eden membawa kedamaian di dunia,
January 5.
Sumpah Tuhan (2009). Menghapus kesucian semua agama, Januari
1.
Sumpah Tuhan (2010). Penghapusan MK dan Kementrian Agama,
Maret 1.
Sumpah Tuhan (2010). Tuhan tidak menerima doa manusia,
Agustus 29.
Sumpah Tuhan (2010). Banyak masalah akan dihadapi Indonesia,
Oktober 25.
Sumpah Tuhan (2010). Ancaman Eden untuk Indonesia, Februari,
11.
Sumpah Tuhan (2010). Perang atas nama agama, August 25.
Daftar Pustaka
313
Sumpah Tuhan (2011). Kerajaan Eden membawa damai, April 9.
Sumpah Tuhan (2011). Kekuasaan kerajaan Eden, November 7.
Sumpah Tuhan (2011). Jibril membekukan pemerintah Indonesia,
April 7.
Sumpah Tuhan (2011). Indonesia dipenuhi bencana, April 8.
Sumpah Tuhan (2011). Pujian untuk Moch Tjiptarjo, Februari 4.
Sumpah Tuhan (2011). Surga di Lapas Wanita Tangerang, April 7.
Sumpah Tuhan (2011). Penjara Lapas Wanita Tangerang menjadi
surga, Januari 13.
Wahyu Tuhan
Wahyu Tuhan (2001). Tentang skandal Bulog-gate dan Bruneigate, June 29.
Wahyu Tuhan (2001). Anarkisme, June 15a, 2001;
Wahyu Tuhan (2001). Bomb dan teror, September 12, 2001.
Wahyu Tuhan (2001). Para demonstran yang mejarah, July 4.
Wahyu Tuhan (2001). Krisis ekonomi, July 2c.
Wahyu Tuhan (2001). Konlik etnis, agama dan ras, religious , Juni
16
Wahyu Tuhan (2001). Untuk MPR, Juni 13c.
Wahyu Tuhan (2001). Kebebasan dan demokrasi, Juli 2d.
Wahyu Tuhan (2001). Perintah Tuhan pada tujuh iblis, Oktober
18.
Wahyu Tuhan (2001). Kutukan Tuhan pada Amerika, October
20.
Wahyu Tuhan (2001). Sumpah Tuhan atas kiamat, April 3.
Wahyu Tuhan (2001). Protes Gus Dur pada Tuhan, July 2b.
Wahyu Tuhan (2001). MUI, Juni 15b.
Wahyu Tuhan (2001). Tentang pengkhianatan, June 13a.
Wahyu Tuhan (2001). Tentang korupsi, June 20a.
Wahyu Tuhan (2001). Pengadilan June 20b.
Wahyu Tuhan (2001). Kejahatan, Juli 1.
Wahyu Tuhan (2001). Demonstrasi, Juli 2e.
314
Daftar Pustaka
Wahyu Tuhan (2001). Narkotika, June 20c.
Wahyu Tuhan (2001).Yesus, Juni 27.
Wahyu Tuhan (2001). Tobat, Juni 28.
Wahyu Tuhan (2001). Kematian Baharuddin Lopa, Juli 4.
Wahyu Tuhan (2001). Nabi Muhammad, Juli 3c.
Wahyu Tuhan (2001). Tobat dan pensucian, June, 20.
Wahyu Tuhan (2001). Pensucian ruh, September 29.
Wahyu Tuhan (2001). Solusi krisis Indonesia, Juni 17.
Wahyu Tuhan (2001). Dosa besar, Juni 13b.
Wahyu Tuhan (2001). Konlik antara Dayak dan Madura, Juli 3b.
Wahyu Tuhan (2001). Kiamat, September 5.
Wahyu Tuhan (2001). Ruh para pemimpin Indonesia, September
5.
Wahyu Tuhan (2001). Kesatuan semua agama, Juli 2a.
Wahyu Tuhan (2001). Premanisme, Juni 12.
Wahyu Tuhan (2001). Buddha, Juni 24a.
Wahyu Tuhan (2001). Kristen, Juni 16.
Wahyu Tuhan (2001). Hindu, Juni 24b.
Wahyu Tuhan (2001). Muslim, Juni 14.
Wahyu Tuhan (2001). Polisi Indonesia, Juli 3a.
Wahyu Tuhan (2001). Untuk presiden, Juni 28.
Wahyu Tuhan (2003). Pasangan suci, Januari 22.
Wahyu Tuhan (2003). Ampunan untuk Lia dan Jibril, September
24.
Wahyu Tuhan (2003). Panji Tuhan menyebar keseluruh dunia,
Agustus 9.
Wahyu Tuhan (2003). Sumpah Tuhan, Desember 19.
Wahyu Tuhan (2003). Habibie layak menjadi presiden, September
27.
Wahyu Tuhan (2003). Penyakit tanpa obat, April 5.
Wahyu Tuhan (2003). Perennialisme dan penyatuan semua agama,
September 21.
Wahyu Tuhan (2003). Pengadilan Ietje Ridwan, April 26.
Daftar Pustaka
315
Wahyu Tuhan (2004). Bunda Lia sebagai irman Tuhan [logos],
March 14.
Wahyu Tuhan (2004). Menyampaikan kebenaran, Juli 31c.
Wahyu Tuhan (2004). Kesucian dan aura kebenaran, November
13.
Wahyu Tuhan (2004). LE2 sebegai web resmi di internet, Februari
23.
Wahyu Tuhan (2004). Mentasbihkan kerajaan Tuhan, Januari 24.
Wahyu Tuhan (2004). Peresmian tongkat surga, Juli 31b.
Wahyu Tuhan (2004). Penghakiman semua makhluk, Mai 1.
Wahyu Tuhan (2004). Mukjizat tongkat, Juli 24.
Wahyu Tuhan (2004). Bangsa yang menentang para rasul,
September 4.
Wahyu Tuhan (2004). Juru damai dan juru selamat, May 27.
Wahyu Tuhan (2004). Mukjizat ratu, Juli 31a.
Wahyu Tuhan (2004). Penyelamat umat Buddha, Agustus 7.
Wahyu Tuhan (2005). Meninggalkan syariah, Februari 26.
Wahyu Tuhan (2005). Jawaban Tuhan atas sumpah para anggota
Eden, February 25.
Wahyu Tuhan (2005). Jawaban Tuhan atas sumpah para anggota
Eden, February 26.
Wahyu Tuhan (2005). Peluncuran kerajaan Tuhan, Januari 1.
Wahyu Tuhan (2005). Tobat Lilis dan Tris, Juli 29.
Wahyu Tuhan (2005). Bencana alam menimpa, January 5.
Wahyu Tuhan (2005). Ampunan bagi Lilik, Juli, 30.
Wahyu Tuhan (2005). Pembaharuan peta dunia, surat terbuka,
April 25.
Wahyu Tuhan (2005). Peresmian Tuhan atas raja Eden, November,
3.
Wahyu Tuhan (2005). Ancaman tsunami, Januari 25.
Wahyu Tuhan (2005). Peringatan bangsa Indonesia, Januari 4.
Wahyu Tuhan (2005).Yanthi menderita kanker payudara, July 14.
Wahyu Tuhan (2006). Menghapus agama Islam, Juni 23.
316
Daftar Pustaka
Wahyu Tuhan (2006). Gempa dan tsunami, Juni 29.
Wahyu Tuhan (2006). Penyakit menyebar, September 5.
Wahyu Tuhan (2008). Peringatan untuk pemerintah Indonesia
yang akan mengesahkan SKB—MK, Kementrian Agama,
and Dalam Negeri—tentang Ahmadiyah, May 1.
Wahyu Tuhan (2008). Nama baru Dewan Kerasulan kerajaan
Tuhan, Juli 8.
Wahyu Tuhan (2008). Untuk Ahmadiyah, April 30.
Wahyu Tuhan (2008). Untuk pemerintah Indonesia, Oktober 21.
Wahyu Tuhan (2008). To the Indonesian government, October
31.
Maklumat Ruhul Kudus
Maklumat Ruhul Kudus (2006). Press release (pelanggaran hak
asasi manusia atas Lia and Rachman) dibuat oleh Koalisi
Pembela Kebebasan Beragama (KPKB), December 7.
Maklumat Ruhul Kudus (2006). Panggilan pertama Rachman to
untuk ke penjara, November 25.
Maklumat Ruhul Kudus (2006). Panggilan pertama Rachman to
untuk ke penjara, November 22.
Maklumat Ruhul Kudus (2006). Panggilan pertama Rachman to
untuk ke penjara, November 27.
Maklumat Ruhul Kudus (2006). Panggilan keempat Rachman to
untuk ke penjara, December 15.
Maklumat Ruhul Kudus (2006). Panggilan kedua Rachman to
untuk ke penjara, November 29.
Maklumat Ruhul Kudus (2008). Surat untuk Polda Metro Jaya,
September 30.
Maklumat Ruhul Kudus (2008).Surat terbuka tentang penyergapan
FPI atas aktivis AKKBB FPI, Juni 1.
Maklumat Ruhul Kudus (2008). Surat terbuka tentang pembakaran
masjid Ahmadiyah, Mai 1.
Daftar Pustaka
317
Surat Ruhul Kudus
Surat Ruhul Kudus (2009). Surat dari Ayah untuk Titing Sulastami,
Maret 22.
Surat Ruhul Kudus (2009). Surat untuk Irsa Bastian, Maret 21.
Surat Ruhul Kudus (2009). Surat untuk Wawan dari Ayah, Maret
21.
Surat Ruhul Kudus (2009). Pesan untuk Aun dari Ayah, Januari
15.
Karya devotee Eden
Iskandar, Umar (2001). Peristiwa Coblong-Sukakarya. Jakarta:
Salamullah.
Luxiaty, Siti Zaenab (Dunuk) (2007). Hukuman Musykil ala
Malaikat Jibril. Jakarta: Komunitas Eden.
Rachman, Muhammad Abdul (2006). Pembelaan, Pledoi dan Duplik.
Jakarta: [Komunitas Eden].
Sumardiono, (Aar) (2003). Loving You. Jakarta: LSM
Perdamian/Salamullah.
Sumardiono, (Aar) (2004a). Penentang Rasul, Menyikapi Perbedaan
Keyakinan. Jakarta: Komunitas Eden-Salamullah.
Sumardiono, (Aar) (2004b). Perennialisme, Jembatan Membangun
Surga. Jakarta: Komunitas Eden-Salamullah.
Sumardiono, (Aar) (2004c). Risalah Tauhid, Pesan Abadi Sepanjang
Zaman. Jakarta: Komunitas Eden-Salamullah.
Sumardiono, (Aar) (2004d). Ruhul Kudus 2, Sistem Komunikasi.
Jakarta: Komunitas Eden-Salamullah.
Sumardiono, (Aar) (2004e). Tetes Embun, Renungan Kehidupan.
Jakarta: Komunitas Eden-Salamullah.
Sumardiono, (Aar) (2004f). Ruhul Kudus, Guru Pribadi Umat
Manusia. Jakarta: Komunitas Eden-Salamullah.
Sumardiono, (Aar) (2005). Candradimuka Kaum Eden. Jakarta:
Eden.
Sumardiono, (Aar) (2007). Dialog di Dunia Maya. Jakarta: EdenSalamullah, 2007.
Sumardiono, (Aar) (2009). Inkuisisi. Jakarta: Eden Kingdom.
318
Daftar Pustaka
Sumber lain: Buku, Artikel, dan bab dalam buku
Ad’han, Syamsurijal (2009) Menyingkap tabir kasus penyerangan
Naqsabandiyah di Bulukumba. In Rumadi (ed). Agama dan
Pergeseran Representasi: Konlik dan Rekonsiliasi di Indonesia.
Jakarta: The Wahid Institute: pp. 129-168.
Aifa, Neng Darol, (ed). (1998). Tradisi dan kepercayaan lokal pada
beberapa suku di Indonesia. Jakarta: Balitbang Depag RI.
Akimoto, Haruo (2006) The Aum Cult leader Asahara’s mental
deviation and its social relations. Psychiatry And Clinical
Neurosciences, 60, 3–8.
Amin, S. M. (1968). Khayal dan kenyataan di-bawah rejim Sukarno.
Singapura: S. A. Haney.
Anderson, Benedict R. O’G (2002). Bung Karno and the
fossilization of Soekarno’s thought, Indonesia, no. 74
(October), 1-20.
Anderson, Benedict R. O’G (2006). Imagined communities, relections
on the origin and spread of nationalism. London:Verso.
Anthony, Dick and Thomas Robbins (2004) Conversion and
“brainwashing” in new religious movements. In James R.
Lewis (ed.). The Oxford handbook of New Religious Movements
(pp. 243-297). Oxford: Oxford University Press.
Arimurthi (n.d.). Bulletin Sumarah. Jakarta: DPP Pagutyuban
Sumarah.
Aritonang, Jan S. (1994). Mission schools in Batakland (Indonesia)
1861-1940 (trans: Robert R. Boehlke). Leiden: Brill.
Appadurai, Arjun (2006). Fear of small numbers, an essay on the
geography of anger. London: Duke University Press.
Arjomand, Saïd Amir (1986). Social change and movements of
revitalization in contemporary Islam. In James A. Beckford,
(ed). New Religious Movements and Rapid Social Change (pp.
87-112). London: Sage.
Asad, Talal (2003). Formations of the Secular: Christianity, Islam,
modernity. Stanford: Standford University Press.
Assyaukanie, Luthi (2008). Trajectories of Islamic liberalism in
contemporary Indonesia. Australian Religion Studies Review,
Daftar Pustaka
319
21 (2), 145-174.
Assyaukanie, Luthi (2009). Isam and the secular state in Indonesia.
Singapore: ISEAS.
Bakti, Andi F. (2005). Collective memories of the Qahhar
movement. In S. Zurbuhen, (ed). Beginning to remember,
the past in the Indonesian present (pp. 123-149). Singapore:
Singapore University Press in association with University
of Washington Press.
Barker, E. (1983). New religious movements in Britain: the
context and the membership. Social Compass, 30 (1), 33-45.
Barton Greg (1997). Indonesia’s Nurcholish Madjid and
Abdurrahman Wahid as intellectual ulama: the meeting of
islamic traditionalism and modernism in neo-modernist
thought, Islam and Christian–Muslim Relations, 8 (3), 323350.
Barton, Greg (2005). Jemaah Islamiyah, radical Islamism in Indonesia.
Singapore: Singapore University Press.
Barton, Greg (2010). Indonesia: legitimacy, secular democracy,
and Islam. Politics and Policy, 38 (3), 471-496.
Batubara, Chuzaimah (1999). Islam and mystical movements
in post-independence Indonesia, Susila Budhi Dharma
(Subud) and its doctrines.Thesis, Institute of Islamic Studies,
McGill University, Montreal.
Beckford, James A. (1985). Cult controversies, the societal response to
the new religious movements. London and New York:Tavistock
Publications.
Beckford, James A. and Levasseur M. (1986). New religious
movements in western europe. In James A. Beckford, (ed).
New religious movements and rapid social change (pp. 29-54).
London: Sage.
Beckford, James A. (2003). Social theory and religion. Oxford:
Cambridge University Press, 2003.
Beckford, James A. (2010) Religious pluralism and diversity:
Response to Yang and Thériault. Social Compass 2010 (57),
217-223.
Benda, Harry J. and Lance Castles (1969). The Samin movement,
320
Daftar Pustaka
Bijdragen tot de Tall-, Land- en Volkenkunde. 125 (2), 207-216,
218-240.
Bender, Courtney and Pamela E. Klassen (2010). Introduction:
habits of pluralism. In Bender C. and Klassen P E K., (eds).
After pluralism, reimagining religious engagement (pp. 1-28).
New York: Columbia Univ. Press.
Bestari, HMA Bijak (2001). Hiper metaisik. Jakarta: Zaqya Maqta.
Bierstedt, Robert (1950). An analysis of social power. American
Sociological Review, 15 (6) (December), 730-738.
Bouma, Gary D. (2008). The challenge of religious revitalization
and religious diversity to social cohesion in secular societies.
In Bryan S. Turner, (ed). Religious diversity and civil soceity, a
comparative analysis (pp. 13-25). Oxford: The Bradwell Press:
Bouma, Gary D. (2011). Being faithful in diversity. Adelaide: ATF
Press.
Burchardt, Marian and Irene Becci (2013). Introduction: religion
takes places: producing urban locality. In Irene Becci,
Marian Burchardt, and Jose Casanova, (eds). Topographies of
faith, religion in urban spaces (pp. 1-24). Leiden: Brill.
Bourdieu, Pierre (1994). Structures, habitus, power: basis for
theory of symbolic power. In Nicholas B. Dirks, Geof
Eley, and Sherry B. Ortner, (eds.). A Reader in contemporary
social theory, culture/power/history (pp. 155-199). New Jersey:
Princeton University Press.
Burton and Ward (1826) Report of a journey into the batak
country, in the interior of Sumatra, in the Year 1824.
Transactions of the royal asiatic society of Great Britain and
Ireland, 1 (2), 485-513.
Carey, Peter B. R. (1981). Babat Dipanegara, an account of the outbreak
of the Java war (1825-1830), the Surakarta court version of the
Babad Dipanagara with translations into English and Indonesian
Malay. Kuala Lumpur: M.B.R.A.S, Art Printing Works Sdn.
Bhd.
Carey, Peter B. R. (1986). Waiting for the just king: the agrarian
world of South-Central Java from Giyanti (1755) to the
Java War 91825-30). Modern Asian Studies, 20 (1), 59-137.
Daftar Pustaka
321
Carey, Peter B. R. (2007). The Power of prophecy, prince Dipanagara
and the end of an old order in Java, 1785-1855. Leiden:
KITLV.
Casanova, José (1994). Public religions in the modern world. Chicago:
Chicago University Press.
Casanova, José (2013). Religious associations, religious innovations
and denominational identities in contemporary global
cities. In Irene Becci, Marian Burchardt, and Jose Casanova,
(eds). Topographies of faith, religion in urban spaces (pp. 113128). Leiden: Brill.
Chomsky, Noam (1997). Perspectives on power, relections on human
nature and the social order. London: Black Rose Books.
Chryssides, George D. (2009). Religious authority. In Peter B.
Clarke and Peter Beyer, (eds). The World’s religions, continuities
and transformations (pp. 556-570). London: Routledge,
2009.
Clarke, Peter B. (2009a). Millenarianism: historical and social
roots. In Peter B. Clarke and Peter Beyer, (eds). The world’s
religions, continuities and transformations (pp. 353-356). London:
Routledge.
Clarke, Peter B. (2009b). New religions: a global perspective. In
Peter B. Clarke and Peter Beyer, (eds). The world’s religions,
continuities and transformations (pp. 381-390). London:
Routledge.
Dahm, Bernard (1969). Sukarno and the struggle for Indonesian
independence. Revised and updated edition of Sukarno
Kampf um Indonesiens Unabhängigkeit (trans. Mary F. Somers
Heidhues). Ithaca: Cornell University Press.
Dahm, Bernard (1971). History of Indonesia in the tweintieth century.
New York: Praeger.
Damami, Mohammad (2011). Kepercayaan terhadap tuhan yang maha
esa pada periode 1973-1983: Sebuah sumbangan pemahaman
tentang proses legalisasi konstitusional dalam konteks pluralitas
keberagamaan di Indonesia. Jakarta: Kementrian Agama RI.
Dawson, Lorne L. (2003). The sociocultural signiicance of
modern new religious movements. In James R. Lewis, (ed).
322
Daftar Pustaka
The Oxford handbook of New Religious Movements (pp. 6898). Oxford: Oxford University Press.
Dawud, Muhammad Isa (n.d.). Dialog dengan Jin Muslim, pengalaman
spiritual (Hiwar Sai ma’a Jinn Muslim). Aif Muhammad and
Abdul Adhiem (trans.) . Bandung: Pustaka Hidayah.
Djamaluddin, Amin (2004). Kesesatan Lia Aminuddin dan agama
Salamullahnya. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian
Islam.
de Graaf, H. J. (1949). Geschiedenis van Indonesië. Bandung: Van
Hoeve.
Drewes, G. W. J. (1925). Drie Javaansche Goeroe’s. Hun Leven,
Onderricht en Messias-prediking. Ph.D. dissertation, Leiden
University.
Dwiyanto, Djoko (2010). Penghayat kepercayaan terhadap TuhanYang
Maha Esa.Yogyakarta: Pararaton.
El Haidy, As’ad (1977). Aliran-Aliran kepercayaan dan kebatinan di
Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Fealy, Greg (2008). Consuming Islam: Commodiied religion and
aspirational pietism in contemporary Indonesia. In Greg
Fealy and Sally White, (eds.). Expressing Islam, religious life
and politics in Indonesia (pp. 15-39). Singapore: ISEAS.
Feener, Michael (2007). Muslim legal thought in modern Indonesia.
Cambridge: Cambridge University Press.
Feillard, Adrée (2011). The constrained place of local tradition,
the discourse of Indonesian traditionalist ulama in the
1930s. In Michel Picard and Rémy Madinier, (eds.). The
politics of religion in Indonesia, syncretism, orthodoxy, and religious
contention in Java and Bali (pp. 48-70). London: Routledge.
Feith, Herbert (1957). The Indonesian elections of 1955. Ithaca,
N.Y.: Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program,
Dept. of Far Eastern Studies, Cornell University.
Fernando, M. R. (1995).The trumpet shall sound for rich peasants:
Kasan Mukmin’s uprising in Gedangan, East java, 1904.
Journal of Southeast Asian Studies, 26(2) (September), 242262.
Fernando, M. R. (1999). In the Eyes of the beholder: Discourses
Daftar Pustaka
323
of a peasant riot in Java. Journal of Southeast Asian Studies, 30
(2) (September), 263-285.
Formichi, Chiara (2012). Islam and the making of the nation,
Kartosuwiryo and political Islam in 20th century Indonesia.
Leiden: KITLV Press.
Formichi, Chiara (2014). Religious pluralism, state and society in
Asia. In Chiara Formichi, (ed). Religious pluralism, state and
society in Asia (pp. 1-12). London: Routledge.
Foucault, Michel (1994).Two lectures. In Nicholas B. Dirks, Geof
Eley, and Sherry B. Ortner, (eds). A Reader in contemporary
social theory, culture/power/history (pp. 200-221). New Jersey:
Princeton University Press.
Furnival, J. S. (n.d.). An introduction to the history of Netherlands India
1602-1836. Malaya: The History Department, University
of Malaya.
Furnival, J. S. (1944). Netherlands India, a study of plural economy, with
introduction by Jonkheer Mr. A. C. D. de Graef. Cambridge: at
the University Press.
Geels, Anton (1997). Subud and the Javanese mystical tradition.
Surrey: Curzon Press.
Geertz, Cliford (1960). The religion of Java. Glencoe, Ill : Free
Press
Gillespie, Piers (2007). Current issues in Indonesian Islam:
Analysing the 2005 council of Indonesian ulama fatwa No.
7 opposing pluralism, liberalism and secularism. Journal of
Islamic Studies, 18 (2), 202–240.
Gramsci, Antonio (1971). Selections from the prison notebooks of
Antonio Gramsci, Quintin Hoare and Geofrey Nowell
Smith (ed. and trans). London: Lawrence and Wishart.
Greenblatt, Stephen (1988). Shakespearean negotiations, the circulation
of social energy in renaissance England. Berkeley: University of
California Press.
Grifen,William B. (1970). A north Mexican nativistic movement,
1684. Ethnohistory, 17 (3/4) (Summer – Autumn), 95-116.
Hadiwijono, Harun (1983). Konsepsi tentang manusia dalam
kebatinan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
324
Daftar Pustaka
Hamdi, Mujtaba (2007). Sang liyan dan kekerasan kasus
penyerangan kampus Mubarak Jemaat Ahmadiyah Indoensia
Kemang-Bogor-Jawa Barat. In Rumadi and Ahmad Suaedy,
(eds). Politisasi agama dan konlik komunal, beberapa isu penting
di Indonesia (pp. 213-245). Jakarta: The Wahid Institute.
Harahap, E. St. (n.d.). Perihal bangsa Batak. Jakarta: Balai Pustaka.
Harvey, Clare Isobel (2009). Muslim intellectualism in Indonesia:
the Liberal Islam Network (JIL) controversy. Review of
Indonesian and Malaysian Afairs, 43(2), 13–52.
Hasani, Ismail (2010). Putusan uji materi undang-undang no. 1/
PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau
penodaan agama terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta:
n.p.
Hasani, Ismail and Bonar Tigor Naipospos (2010). Wajah para
‘pembela’ Islam. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara.
Hasani, Ismail and Bonar Tigor Naipospos (2012). Dari radikalisme
menuju terorisme, studi relasi dan transformasi organisasi Islam
radical di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Jakarta: Pustaka
Media.
Hasani, Ismail, ed. (2011). Dokumen kebijakan, penghapusan
diskriminasi agama/keyakinan. Jakarta: Pustaka Masyarakat
Setara.
Hasselgren,Johan (2000).Rural Batak,kings in Medan:the development
of Toba Batak ethno-religious identity in Medan, Indonesia, 19121965. Uppsala: Studia Missionalia Upsaliensia LXXX.
Hawary, Imam el Anshory (2007). Keutamaan enam program ibadah,
lengkap dengan maklumat tentang program pembersihan diri dari
budaya musyrik. Jakarta: al Qiyadah al Islamiyah.
Hawary, Mahful M. (2009). Teologi Abraham, membangun kesatuan
iman,Yahudi, Kristen, dan Islam. Jakarta: Fajar Madani.
Healy, John Paul (2011). Involvement in a New Religious
Movement: From discovery to disenchantment. Journal of
Spirituality in Mental Health, 13(1), 2-21.
Hefner, Robert W. (1997). Islamization and democratization in
Indonesia. In Robert W. Hefner and Patricia Horvatich,
(eds). Politics and reliogious renewal in Muslim Southeast Asia
Daftar Pustaka
325
(pp. 75-128). Honolulu: University of Hawai’i Press:.
Hefner, Robert W. (2000). Civil Islam, Muslims and democratization
in Indonesia. Princeton: Princeton University Press.
Hefner, Robert W. (2010). Religious resurgence in contemporary
Asia: Southeast Asian perspectives on capitalism, the state,
and the new piety. The Journal of Asian Studies, 69 (4)
(November), 1031-1047.
Hirosue, Masashi (1988). Prophets and followers in Batak
millenarian responses to the colonial order: Parmalim, Na
Siak Bagi, and Parhudamdam, Ph.D dissertation, Australian
National University, Canberra.
Hirosue, Masashi (1994). The Batak millenarian response to the
colonial order. Journal of Southeast Asian Studies, 25 (2)
(September), 331-343.
Howell, Julia Day (1999). Kebatinan and the kejawen traditions.
In James J. Fox, (ed). Indonesian heritage: religion and ritual (pp.
62-63). Singapore: Archipelago Press. .
Howell, Julia Day (2001). Suism and the Indonesian Islamic
revival. The Journal of Asian Studies, 60 (3) (August), 701729.
Howell, Julia Day (2005). Urban heirs of Ibn al-‘Arabi and the
defence of religious pluralism in contemporary Indonesia.
Australian Religion Studies Review 18 (2), 197-209.
Howell, Julia Day (2007). Modernity and Islamic spirituality in
Indonesia’s new sui networks. In Howell J. D. and van
Bruinessen M. (eds). Suism and the ‘modern’ in Islam (pp.
217-240). London: IB Tauris.
Howell, Julia Day (2014). Pluralist currents and counter-currents
in the Indonesian mass media. In Chiara Formichi, (ed).
Religious pluralism, state and society in Asia (pp. 216-235).
London: Routledge.
Hunt, Stephen J. (2003). Alternative religions,A sociological introduction.
Aldershot: Ashgate.
Ichwan, Moch. Nur (2005). ‘Ulamāʾ, state and politics: Majelis
Ulama Indonesia after Suharto. Islamic Law and Society, 12
(1), 45-72.
326
Daftar Pustaka
Ilyas, Abd Mutholib and Abd Ghofur Imam (1988). Aliran
kepercayaan dan kebatinan di Indonesia. Surabaya: CV Amin.
Indra (2011). Mengenal aliran kepercayaan. Medan: Paniaswaja
Press.
Jay, Sian (2007). Art of the ancestors, Nias, Batak, Dayak, from the
private collection of Mark A. Gordon and Pierre Monolini.
Singapore: Alliance Française de Singapour.
Kafrawi (1969).The path of Subud:A study o 20th century Javanese
mysticism founded by Muhammad Subuh Sumohadiwidjoja,
Thesis, McGill University, Montreal,.
Kahlo, Gerhard (1959). Die Debata der Batak. Numen, 6 (1)
(January), 61-73.
Kartodirdjo, Sartono (1973). Protest movements in rural java, a study
of agrarian unrest in the nineteenth and early twentieth centuries.
Singapore: Oxford University Press
Kartodirjo, Sartono (1966). The peasants’ revolt of Banten in 1888,
its conditions, course and sequel, a case study of social movements
in Indonesia. ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhof.
Kartodirjo, Sartono (1970). Religious movements of Java in the
19th and 20th centuries, originally a paper presented at the
international conference on Asian history held at the
University of Malaya, Kuala Lumpur, 5th-10th August, 1968.
Yogyakarta: Pertjetakan U.I.I.
Kartodirjo, Sartono (1984). Ratu adil. Peoradisastra (trans).
Jakarta.
Katib [Mahful Hawary] (2006). Al Masih al Maw’ud and Ruhul
Qudus, dalam perspektif Taurat, Injil, Al qur’an. Jakarta: Fajar
Islam, 2006.
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata (2003). Ensiklopedi
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jakarta: Proyek
Pelestarian Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan, 2003.
Kersteen, Carool (2014). Urbanization, civil society and religious
pluralism in Indonesia and Turkey. In Chiara Formichi
(ed). Religious pluralism, state and society in Asia (pp. 13-34).
London: Routledge.
Kertapradja, Kamil (1985). Aliran kebatinan dan kepercayaan di
Daftar Pustaka
327
Indonesia. Jakarta:Yayasan Masagung.
Kholiludin, Tedi and Siti Roi ’ah (2011). Tradisionalisme
konservatif: penutupan Gereja Isa Al-Masih (GIA)
Karangboto, Semarang, Jawa Tengah. In Marzuki Wahid
and Alamsyah M. Dja’far, (eds). Agama dan kontestasi ruang
publik: Islamisme, konlik dan demokrasi (pp. 239-262). Jakarta:
the Wahid Institute.
King,Victor T. (1973). Some observations on the Samin movement
of North-Central Java: Suggestions for the theoretical
analysis of the dynamics of rural unrest. Bijdragen tot de Tall-,
Land- en Volkenkunde, 129 (4), 457-481.
King, Victor T. (1977). Status, economic determinism and
monocausality: More on the Samin. Bijdragen tot de Tall-,
Land- en Volkenkunde, 133 (2/3), 350-354.
Kipp, Rita Smith (1990). The early years of a Dutch mission, The
Karo Field. Michigan: The University of Michigan Press.
Korver, A. Pieter E. (1976).The Samin movement and millenarism.
Bijdragen tot de Tall-, Land- en Volkenkunde, 132 (2/3), 249266.
Korver, A. Pieter E. (1985). Sarekat Islam, gerakan ratu adil? (Trans.
in Indonesian). Graitipers. Jakarta: Graitipers.
Labraousse, Pierre (1993).The second life of Bung Karno, analysis
of the myth (1978-1981). Indonesia, 57, and Archipel (April),
175-196.
Lafan, Michael (2007) “Another Andalusia”: Images of colonial
Southeast Asia in Arabic newspapers. The Journal of Asian
Studies, 66 (3) (August), 689-722.
Lafan, Michael (2003). Islamic nationhood and colonial Indonesia:
The umma below the winds. London: Routledge.
Landes, Richard (2004). Millennialism. In James R. Lewis, (ed).
The Oxford handbook of New Religious Movements (pp. 333358). Oxford: Oxford University Press.
Lanternari, Vittoro (1965). The religions of the oppressed, A study
of modern Messianic cults. Lisa Sergio (trans.). New York:
Mentor Books, 1965.
Lim, Michelle H., John F. Gleeson, and Henry J. Jackson, (2012).
328
Daftar Pustaka
The jumping-to-conclusions bias in New Religious
Movements. The Journal of Nervous and Mental Disease, 200
(10) ( October), 868-875.
Lindsey,Tim (2012). Monopolising Islam? The Indonesian Ulama
Council and state regulation of the ‘Islamic economy.
Bulletin of Indonesian Economic Studies, 48 (2), 253–74.
Linton, Ralph (1943).
Nativistic movements. American
Anthropologist, 45 (2), 230-240.
Loeb, Edwin M. (1935). Sumatra, its history and people.Wien:Verlag
des Institutes fuer Voelkerkunde der Universiteat Wien.
Longcroft (1990). Subud is a way of Life. Goden Cross: Subud
Publications International.
Makin, Al (2009a). Pope Benedict XVI and Islam: Indonesian
reactions to the Regensburg
address. Journal of Islam and
Christian-Muslim Relation, 20 (4) (October), 409–421.
Makin, Al (2010a). Representing the enemy, Musaylima in Muslim
literature. Frankfurt: Peter Lang.
Makin, A. (2011a). Pluralism versus Islamic orthodoxy, the
Indonesian public debate over the case of Lia Aminuddin,
the founder of Salamullah religious cult. In Social Justice
and Rule of Law, Adressing the Growth of a Pluralist Indonesian
Democracy. Eds. Thomas J. Conners et. al. pp. 187–206.
Semarang:Yale Indonesia Forum, International Conference
Book Series 3, Faculty of Social and Political Science
Diponegoro University.
Makin, A. (2012a). Pluralism in education, a study of Mukti Ali’s
thought. In Education in Indonesia: Perspectives, Politics and
Practices, ed. Rommel A. Curaming and Frank Dhont. pp.
9–32. Yogyakarta: Yale Indonesia Forum, International
Conference Book Series 4, Faculty of Social Sciences,
Yogyakarta State University.
Makin, A. (2016). Keragaman dan Perbedaan, Budaya dan Agama
dalam Lintas Sejarah Manusia.Yogyakarta: Suka Press.
Makin, A. (2016). “Unearthing Nusantara’s concept of religious
pluralism: Harmonization and syncretism in HinduBuddhist and Islamic classical texts”. Al-Jami’ah 54 (1):
Daftar Pustaka
329
1-30.
Makin, A (2017). Plurality, Religiosity, and Patriotism: Critical Insights
into Indonesia and Islam.Yogyakarta: Suka Press.
Makin, A. 2016. “Islamic acehnese identity, Sharia, and
christianization rumor: A study of the narratives of the
attack on the bethel church in Penauyong Banda Aceh”.
Journal of Indonesian Islam 10 (1): 1-36.
Makin, A (2016). “Are there any indonesian philosophers? dealing
with a common question and possible answers”. Ulumuna
20 (1): 1-30.
Margiyono, Muktiono, Rumadi, and Soelistyowati Irianto (2010).
“Bukan jalan tengah” eksaminasi publik putusan Mahkamah
Konstitusi perhal pengujian Undang-Undang nomor 1 PNPS
tahun 1965 tentang penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.
Jakarta: ILRC, 2010.
Marzani (2012). Ritual penyucian pada komunitas Eden. Ph.D
dissertation, the Islamic State University Sunan Kalijaga,
Yogyakarta.
Majelis Ulama Indonesia (2011). Himpunan fatwa MUI sejak 1975.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Mertowardojo, R. Soenarto (1974). Sabda-sabda pratama. Jakarta:
Proyek Penerbitan dan Perspustakaan Pangestu.
Millie, Julian (2009). Splashed by the saint, ritual reading and Islamic
sanctity in West Java. Leiden: KTLV Press.
Mujani, Saiful and R. William Liddle (2009). Muslim Indonesia’s
secular democracy. Asian Survey, 49 (4) (July/August), 575590.
Mulder, Niels (1978). Mysticism and everyday life in contemporary
Java. Singapore: Singapore University Press.
Mulder, Niels (1998). Mysticism in Java, Ideology in Indonesia. The
Hague: The Pepin Press.
Nasir, Mohamad Abdun (2014). The ʿUlamāʾ, fatāwā and
challenges to democracy in contemporary Indonesia. Islam
and Christian–Muslim Relations, 1-17.
Nurcholis, Ahmad et. al., (2011). 11 tahun ICRP melawan kekerasan
atas nama agama. Jakarta: ICRP, 2011.
330
Daftar Pustaka
Nurdjana, IGM (2009). Hukum dan aliran kepercayaan menyimpang
di Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Onghokham (1964). Saminisme: Tindjauan sosial ekonomi dan
kebudayaan pada gerakan tani dari awal abad ke –XX.
Djakarta.
Ŏnnerfors, Frida Mebius (2008). The archangel Gabriel online:
the Salamullah movement in Indonesia and globalization.
In Armin W. Geertz and Wargit Marburg (eds). New religions
and globalization. Aarhus: Aarhus University Press, pp. 215224.
Pangestu (1978) Sasangka Jati. Jakarta: Proyek Penerbitan dan
Perpustakaan Paguyuban Ngesti Tunggal Pustaka Pangestu.
Pangestu (2003). Pangestu bukan aliran kepercayaan atau agama.
Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal.
Palmer, Susan J. (2004) Women in New Religious Movements. In
James R. Lewis (ed.). The Oxford handbook of New Religious
Movements (pp. 378-385). Oxford: Oxford University Press.
Parker, Cristián (1996). Popular religion and modernization in Latin
America, a diferent logic, trans. Robert R. Barr. New York:
Orbis books.
Parker, Christián (2006). ‘Magico-popular’ in contemporary
society: Towards a post-western sociology of religion. In
James A Beckford, and John Wallis (eds). Theorising religion,
classical and contemporary debates (pp-60-74). London Ashgate,
2006.
Parker, Christián (1998). Modern popular religion. A complex
object of study for Sociology. International Sociology 13 (2):
195-2012.
Patty, Samuel Agustinus (1986). Aliran kepercayaan: A socioreligious movement in Indonesia, Ph. D dissertation,
Washington State University.
Pawenang, Sri (1968). Wewarah kerohanian Sapta Darma.Yogyakarta:
Yayasan Srati Darma.
Penders, C. L. M. (1974). The life and times of Sukarno. Kuala
Lumpur: Oxford University Press.
Picard, Michel (2011). Introduction, agama, adat, and Pancasila.
Daftar Pustaka
331
In Michel Picard and Rémy Madinier, (eds). The politics of
religion in Indonesia, syncretism, orthodoxy, and religious contention
in Java and Bali (pp. 1-20). London: Routledge,.
Porter, Donald J (2002). Managing politics and Islam in Indonesia.
London: Taylor and Francis.
Possamai, Adam (2005) In search of new age spiritualities. Aldershot:
Ashgate.
Possamai, Adam (2009a). Sociology of religion for generations X and Y.
London: Equinox.
Possamai, Adam (2009b). Popular religon. In Peter B. Clarke
and Peter Beyer, (eds). The world’s religions, continuities and
transformations (pp. 479-492). London: Routledge:.
Puett, Tifany (2013) Managing religion: Religious pluralism,
liberalism, and governmentality. Joumal of Ecumenical Studies,
48 (3) (Summer), 317-327.
Rahnip (1977). Aliran kepercayaan dan kebatinan dalam sorotan.
Surabaya: Pustaka Progressif.
Ramelan (1967). Mbah Suro Nginggil (Kisah Hantjurnya Petualangan
Dukun Klenik mbah Suro). Jakarta: Usaha Penerbit Matoa.
Renes-Boldingh, M.A.M. ([1933]). Bataknesche Sagen en Legenden.
Nijkerk: Callenbach.
Richardson, James T. (2004) Legal dimensions of new religions. In
James R. Lewis (ed.). The Oxford handbook of New Religious
Movements (pp. 163-183). Oxford: Oxford University Press.
Ricklefs, M. C. (1998). The seen and unseen worlds in Java, history,
literature and Islam in the court of Pakubuwono II, 1726-1749.
St. Leonards and Hawai’i: Allen and Unwin and University
of Hawai’i Press.
Ricklefs, M. C. (1974). Dipanagara’s early inspirational experience,
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkendunde, 130 (2/3), 23336, 239-40.
Ricklefs, M.C. (2007). Polarising Javanese society, Islamic and other
visions (c. 1830-1930). Singapore: National University of
Singapore Press.
Ridwan, Nur Khlaik and Anas Aizudin (2007). Konlik penutupan
gereja: Kasus GKJ Kronelan dan Pantekosta Demakan
332
Daftar Pustaka
Sukoharjo.I n Rumadi and Ahmad Suaedy, (eds). Politisasi
agama dan konlik komunal, beberapa isu penting di Indonesia
(pp. 247-291). Jakarta: The Wahid Institue, 2007.
Riis, Ole (1999) Modes of religious pluralism under conditions
of globalisation. International Journal on Multicultural Societies,
1 (1), 20-34.
Rodgers, Susan (1984). Islam and the changing of social and
cultural structures in the Angkola Batak homeland. Social
Compass, 31 (57) (January), 57-74.
Rofe, Husein (1959). The path of Subud. London: Rider and
Company.
Romdon (1993). Tashawwuf dan aliran kebatinan, perbandingan agama
aspek-aspek mistikisme Islam dengan aspek-aspek mistikisme
Jawa.Yogyakarta: LESFI.
Romdon (1996). Ajaran ontologi aliran kebatinan. Jakarta: Raja
Graindo Persada.
Roscoe, Paul B. (1988). The far side of Hurun: The management
of melanesian millenarian movements. American Ethnologist,
15 (3) (August), 515-529.
Rousseau, Jérôme (1998). Kayan religion, ritual life and religious
reform in Central Borneo. Leiden: KITLV Press.
Rumadi (2007). Delik penodaaan agama dan kehidupan beragama
dalam RUU KUHP. Jakarta: The Wahid Institute.
Said, Edward (2002).The public role of writers and intellectuals. In
Helen Small, (ed). The public intellectual (pp. 19-40). Oxford:
Blackwell Publishers Ltd.
Said, Mohammad (1961). Singa Mangaradja XII, dari halamanhalaman terlepas dalam tjatetan tentang tokoh. Medan:
Waspada.
Santoso, Soewito, Feni Siregar, and Kestity Pringgoharjono (2006).
The Javanese journey of life, the Centhini story. Singapore:
Marshall Cavendish.
Schiller, Anne (1997). Small sacriices, religious change and cultural
identity among the Ngaju of Indonesia. Oxford: Oxford
University Press.
Schlehe, Judith (1996). Reinterpretations of mystical traditions.
Daftar Pustaka
333
explanations of a volcanic eruption in Java. Anthropos, 91
(4/6), 391-409.
Schreiner, Lothar (1970). Gondang-Music als überlieferungestalt
alstvölischer Lebernsordnung. Bijdragen tot de Taal-, en
Volkenkunde, 126 (4), 400-428.
Schrieke, B. (1955). Indonesian sociological studies, selected writings of
B. Schrieke. Bandung: The Hague.
Shiraishi, Takashi (1990). An age in motion, popular radicalism in
Java, 1912-1926. Ithaca: Cornell University Press.
Shiraishi, Takeshi (1990). Dangir’s testemony: Saminism
reconsidered. Indonesia, 50 (25th Anniversary edition)
(October), 95-120.
Sidjabat (1982). Ahu Si Singamangaraja: Arti historis, politis, dan
relijius Si Singamangaraja XII. Jakarta: n.p.
Simon, Artur (1993). Gondang, Gods and ancestors. Religious
implications of Batak ceremonial music. Yearbook for
Traditional Music, 25, Musical Processes in Asia and Oceania,
81-88.
Simon, G.K. ([1908]). Der Islam bei den Batak ([n.p.]:
Zendingswetenschap.
Simuh (1988). Mistik Islam kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita,
suatu studi terhadap serat wirid Hidayat Jati. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Simuh (1996). Suisme Jawa, transformasi Tasawuf Islam ke mistik
Jawa.Yogyakarta: Bentang, 1996.
Sinaga, AB (1981). The Toba Batak high God: Transcendence and
immanence. St. Agustine.
Siregar, Susan Rodgers (1981). Adat, Islam and Christianity in a Batak
homeland. Ohio: Ohio University Center for International
Studies, Southeast Asia Program.
Sirry, Mun’im (2013). Fatwas and their controversy: The case of
the Council of Indonesian Ulama (MUI). Journal of Southeast
Asian Studies, 44(1) (February), 100–117.
Situmorang, Sitor (1981). Sitor Situmorang, seorang sastrawan 45,
penyair danau Toba. Jakarta: Pernerbit sinar Harapan.
Snow, D. and Machalek R (1983). The convert as a social type.
334
Daftar Pustaka
In R. Collins, (ed). Sociological Theory. San Francisco: Jossey
Bass.
Soebardi, S. (1975). The book of Cabolek. The Hague: Martinus
Nijhof.
Soebardi, S. (1983). Kartosuwriyo and the Darul Islam Rebellion
in Indonesia. Journal of Southeast Asian Studies, 14 (1) (March),
109-133.
Soehadha, M. (2008). Orang Jawa memaknai agama. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Stange, Paul Denison (1980).The Sumarah movement in Javanese
mysticism, Ph.D dissertation, The University of WisconsinMadison.
Suaedy, Ahmad (2010). Religious freedom and violence in
Indonesia. In Ota Atsushi, Okamoto masaaki, and Ahmad
Sueaedy, (eds). Islam in contention: Rethinking Islam and state in
Indonesia (pp. 139-169). Jakarta: The Wahid Institute, 2010.
Suaedy, Ahmad Rumadi, M. Subhi Azhari, and Badrus Samsul
Fata (2010). Islam, the constitution and Human Rights, the
problematics of religious freedom in Indonesia. Jakarta:The Wahid
Institute.
Subagya (JMW Bakker SJ) (1981). Agama asli Indonesia. Jakarta:
Sinar Harapan and Yayasan Cipta Loka Caraka.
Subagya, Rahmat (1980). Kepercayaan, kebatinan kerohanian kejiwaan
dan agama.Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.
Subuh (1990). Autobiography. Trans. Raymond Lee. Sussex: Subud
Publications.
Sukarno (1933 and 1982). Mentjapai Indonesia merdeka. Djakarta:
Tjita Agung. Republished Jakarta:Yayasan Idayu.
Sumarah (1975). Informasi untuk umum tentang Sumarah. Jakarta:
Sumarah.
Sumarah (n.d.). Ikhtisar perekembangan panguden Ilmu Sumarah dalam
paguyuban Sumarah, vol. 1. Jakarta: Paguyuban Sumarah.
Suwandi, Raharjo (2000). A Quest for justice, the millenary aspirations
of a contemporary Javanese wali. Leiden: KITLV Press.
Swidler, Ann (1986). Culture in action: Symbols and strategies.
American Sociological Review, 51 (2) (April), 273-286.
Daftar Pustaka
335
Thrupp, S. (1962). Millenarian dreams in action. Essays in comparative
study. Comparative studies in society and history, sup. 2. The
Hague.
Tobing, A.L (1967). Si Singamangaraja I-XII. Medan.
Tobing, POL (1963). The structure of the Toba Batak in the high God.
Amsterdam.
Troeltsch, Ernst (1931). The social teachings of the Christian Churches.
Vol. 2. New York: McMillan.
van Bruinessen, Martin (1990). The origins and development of
the Naqshabandi order in Indonesia. Der Islam, 67, 150179.
van Bruinessen, Martin (1994). Najmuddin al-Kubra, Jumadil
Kubra and Jamaluddin al-Akbar; Traces of Kubrawiyya
inluence in early Indonesian Islam. Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde, 150(2), 305-329.
van Bruinessen, Martin (2007). Saints, politicians and sui
bureaucrats: Mysiticism and politics in Indonesia’s New
Order. In Julia D. Howell and Martin van Bruinessen, (eds).
Suism and the ‘Modern’ in Islam (pp. 92-113). London: IB
Tauris: pp.
van der Kroef, Justus M. (1949). Prince Diponegoro: Progenitor
of Indonesian nationalism. The Far Eastern Quarterly, 8 (4)
(August), 424-450.
van der Kroef, Justus M. (1952). The messiah in Indonesia and
Melanesia. The Scientiic Monthly, 75, 161-165.
van der Kroef, Justus M. (1959). Javanese messianic expectations:
Their origin and cultural context. Comparative Studies in
Society and History, 1 (4) (June), 307-310, 317-318.
Veenstra, Jan R. (1995).The new historicism of Stephen Greenblatt:
On poetics of culture and the interpretation of Shakespeare.
History and Theory, 34 (3) (October), 174-198.
Veenstra, Jan R. (1999). Thematising social energy, the ‘Bal des
Ardents’ and the production of the demonic in medieval
culture. In Jürgen Pieters (ed). Critical self-fashioning, Steven
Greenblatt and the new historicism (pp. 120-237). Frankfurt:
Peter Lang.
336
Daftar Pustaka
Vergouwen, J.C. (1960). Masyarakat dan hukum adat Batak Toba.
Jakarta: Pustaka Azet, 1985.
Volkman, Toby (1985). Feasts of honor: ritual and change in the Toraja
highlands. Urbana: Illinois Studies in Anthropology, no. 16,
University of Illinois Press.
Walean, Robert P. (2006). Islam hanif. Jakarta: Last Events Duty
Institute.
Wallace, Antony F. C. (1956). Revitalization movements. American
Anthropologist, 58, 264-281.
Wallis, Roy (1982). The social construction of charisma. Social
Compass, 29 (25), 25-39.
Wallis, Roy (1984). The elementary forms of the new religious life.
London: Routledge and Kegan Paul.
Weber, Max (1925, 1978). Economy and society: An outline of
interpretative sociology. Berkeley, CA: University of California
Press.
Wessinger, Catherine (1993). Introduction, going beyond and
Retaining chrisma: Women’s leadership in marginal
religions. In Catherine Wessinger (ed). Women’s leadership
in marginal religions: Explorations outside the mainstream (pp.
1-19). Chicago: University of Illinois Press.
Winkler, J. (1954). Das Zauberbuch von Batipuh. Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde, deel, 110 (4), 335-368.
Woodward, Mark (1989). Islam in Java: Normative piety and mysticism
in the sultanate of Yogyakarta. Tucson: University of Arizona
Press.
Woodward, Mark (2011). Java, Indonesia and Islam. Dordrecht:
Springer.
Wright, S. (1987). Leaving cults:The dynamics of defection.Washington,
DC: Soceity for Scientiic Study of Religion.
Wuthnow, Robert (1986). Religious movement and countermovements in North America. In James A. Beckford, (ed).
New religious movements and rapid social change (pp. 1-28).
London: Sage.
Daftar Pustaka
337
NGO reports
Adhan, Syamsu Rizal (2009). Fatwa sesat MUI Luwu untuk agama
Allah. The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues,
21 (August).
Dja’far, Alamsyah M. (2009). Satria Piningit terancam diliaedenkan.
The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues, 20
(July).
Dja’far, Alamsyah M. (2010a). Aliran Sabda Kusuma ditahan.
The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues, 26
(March).
Dja’far, Alamsyah M. (2010b). Kelompok puang Malea ditangkap.
The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues, 28
(March).
Nisa’, Nurun (2009a). Aliran pimpinan Sukarno dituduh cabul
dan sesat. The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious
Issues, 24 (November).
Nisa’, Nurun (2009b) Santriloka gegerkan warga. The Wahid
Institute’s Monthly Report on Religious Issues, 24 (November).
Nisa’, Nurun (2010a). Aliran Sabdo Kusumo dituding sesat dan
diusir. The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues,
26 (March).
Nisa’, Nurun (2010b). Sudah bertobat tetap diawasi. The Wahid
Institute’s Monthly Report on Religious Issues, 28 (March).
Rahman, Noor (2009). Mengaku rasul, Sakti disambut protes.
The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues, 25
(December).
Ridwan, Nurkholik (2008). FPI serang tempat ritual Sapta
Dharma. The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious
Issues, 14 (October).
Tanthowi, Yusuf and Nurun Nisa’ (2009). Pemimpin Isti Raksa
Runjani diadili. The Wahid Institute’s Monthly Report on
Religious Issues, 24 (November).
The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues (2007). MUI
penyesatan keyakinan dan kekuasaan, 3 (November).
The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues (2007).
Penyesatan al-Qiyadah al-Islamiyah, 3 (November).
338
Daftar Pustaka
The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues (2007).
Pertobatan Rasul al-Qiyadah al-Islamiyah. 4 (November).
The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues (2008).
Madi: Dituduh sesat lalu ditembak, 9 (April).
The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues (2008). Nabi
baru muncul dari Lampung, 11 (June).
The Wahid Institute’s monthly Report on Religious Issues (2008). Nabi
nodai banyak wanita, ulama Madura marah, 14 (October).
The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues (2008) Enam
pengikut Mushaddeq divonis 4 bulan penjara, 12 (July).
The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues (2008).
Empat tahun penjara untuk untuk rasul Gunung Bunder,
9 (April).
The Wahid Institute’s Monthly Report on Religious Issues (2009).
Dianggap sesat, markas AKI ditutup aparat dan masyarakat,
25 (December).
Majalah dan Koran
Abdalla, Ulil Abshar (2006). Salamullah adalah Agama Baru, dialog
imajiner antara Kiai dan Santrinya. Tempo, January 15, 4243.
Ainurraik, Muchlis, Khoiri Akhmadi, Hariyadi, Andi Setia
Gunawan, and Ari Sutanti (1999). “Kiamat” minimpa yang
“sesat.” Gamma, September 26.
Alwie, Tauik, Aliian, and Aslan Laeho (2005). Imam Madi
tertembak di kaki. Gatra, November 19.
Amirris, Aris (1993) Dari jubah putih sampai Haur Koneng.”
Editor, no. 46, thn. 6, August 14.
Bagir, Haidar (2006) Gunung es Lia Aminuddin (tanggapan untuk
Danarto). Tempo, January 22, 44-45.
Bakarudin (1994) Ajaran awal dan ajaran akhir. Editor, no. 24, thn
7, March 10.
Bandung Express (2010). Pemimpin Surga Adn ditangkap. January
15.
Baskoro, L. R. and Rinny Srihartini (1997). Enam tahun untuk
Daftar Pustaka
339
Imam. Forum Keadilan, no. 01, tahun 6, April 21.
Berita Kota (2005). Istri Malikat Jibril dievakuasi. December 29.
Bramantyo, Ardi and Deddy Sinaga (2001). Yang anarkhis versus
yang aneh. Tempo, May 21.
Cipta, Ayu (2011). Jelang bebas, Lia Eden bagi Pizza di penjara.
Tempo, April 15.
D & R (1999). Liputan Utama. March 8-13.
Damanik, Caroline (2008a). Wahyu Tuhan versi Lia Eden untuk
SBY dan Polri. Kompas, December 15.
Damanik, Caroline (2008b). Warga jangan terprovokasi wahyu
versi Lia Eden. Kompas, December 15.
Danarto (2006). Sekedar catatan tentang Lia Aminuddin. Tempo,
January 15: 40-41.
Dewi, Novia Chandra (2009). Divonis 2, 5 penjara, Agus satria
piningit tertunduk lesu” Detiknews, June 30, 2009. http://
www.detiknews.com/read/2009/07/30/160642/117453
6/10/divonis-25-tahun-agus–satria-piningit–tertunduklesu. Accessed December 21, 2012.
Didiek W.S. (1994). Riwayat Syarif Hidayat. Editor, 24, thn 7,
March 10.
Didik W.S. (1996). Wawancara dengan Buya Mayo: Karena ini
mendekati Pemilu. Tiras, no. 45, thn 2, December 5.
Dundu, E Pinkan and Nasru Alam Aziz (2011). Lia Eden
dibebaskan. Kompas, April 15.
Fidrus, Multa and Rudianto Pangaribuan (1999). Ia datang dengan
sebungkus jenazah. D & R, March 8-13.
Forum Keadilan (2005). Sang ‘Imam’ Madi, no. 28, November 6.
Forum Keadilan (2008). Terusungkurnya Sang Pemimpin, no. 50,
April 21.
Harian Terbit (2010). Tuhan dan Malaikatnya resmi ditahan,
pengikut disetubuhi, ditonton rame-rame, January 15.
Husain, Muzakkir and Yusnirsyah Sirin (2001). Tasawuf tanpa
guru, Panji, July 11.
Husain, Muzakkir, Asih Arimurti, and Akmal Stanzah (2001). Dari
Srengseng dunia diselamatkan. Panji, July 11.
340
Daftar Pustaka
Karni, Asrori S. (2001). Jamaah Salamullah, Villa Zaitun Porak
Poranda. Gatra, May 23.
Karni, Asrori S. (2007). Sang Nabi pun meringkuk di Polda. Gatra,
November 7.
Karni, Asrori S., Rach Alida Bahaweres, Basin Siregar, Bernadetta
Febriana, Muklison S. Widodo, Imung Yuniardi, and Arif
Sujatmiko (2007). Jalur sempalan. Gatra, November 14.
Kompas (1993). LBH Bandung bersedia dampingi Haur Koneng,
August 10.
Kompas (2007a). Aliran Al Qiyadah dilarang di Indonesia,
November 8.
Kompas (2007b). Dua pemimpin al Qiyadah ditahan, October
29.
Kompas (2007c). Pemimpin al Qiyadah menyerahkan diri ke
polisi, October 31.
Lebang, Tomi (1997). Fatwa mobil Timor dari bidadari. D & R,
November 22.
Ma’ruf, Amin (2008). Kebijakan MUI tentang aliran sesat. Mimbar
Ulama, Suara Majelis Ulama Indonesia, no. 341, Rabi’ul
Awwal 1429/March.
Makin, Al (2009b). Are there any Indonesian prophets. The Jakarta
Post, February 13.
Makin, Al (2009c). Repositioning the Indonesian Ulema Council
(MUI). The Jakarta Post, February 3.
Makin, Al (2007). More prophets are needed in today’s Indonesia.
The Jakarta Post, October 11.
Makin, Al (2012b). Persecuting, prosecuting minorities. The
Jakarta Post, September 3.
Makin, Al (2011b). Increased radicalism: The failure of moderate
Islam. The Jakarta Post, May 16.
Makin,Al (2011c). Hesitant government a loophole for radicalism.
The Jakarta Post, March 21.
Makin, Al (2010b). Disbanding Ahmadiyah costs the freedom of
the nation. The Jakarta Post, September 17.
Makin, Al (2010c). Islam without veil. The Jakarta Post, July 27.
Daftar Pustaka
341
Makin, Al (2010d). Can the Ulema Council respond to the real
issue. The Jakarta Post, February 28.
Mattauch, Agung, Asep Nur Zaman and Sri May (1997). Dia
Mengaku Imam Mahdi. Sinar, March 15.
Mimbar Ulama, Suara Majelis Ulama Indonesia, no. 341, Rabi’ul
Awwal 1429/March 2008.
Mitra Dialog (2010) Mulai ABG hingga wanita bersuami jadi
korban. January 23.
Moenanto (1997) Mengadili Imam Mahdi berdasi. Tiras, no. 9,
tahun 3, March 27.
Mohammad, Herry (1999) Meramal kiamat sendiri. Gatra,
September 25.
Mohammad, Herry and Dipo Handoko (1999) Pupusnya azimat
tletong. Gatra, September 11.
Nonstop (2005a). Jibril Palsu cs diusir! Lia Aminuddin dan
pengikutnya diseret ke Polda Metro Jaya, December 29.
Nonstop (2005b). Agama sesat diserang, warga marah dan
mengepung rumah Lia Aminuddin di Senen, December
28.
Pikiran Rakyat (2010). Massa kembali serbu markas Adn, January
25.
Pikiran Rakyat (2010). Mulai terkuak, kesesatan aliran Surga Adn
Cirebon, January 21.
Pikiran Rakyat (2010). Pimpinan Surga Adn divonis 10 tahun,
September 17.
Pos Kota (2005a). Si Malaikat Lia Aminuddin ditahan polisi,
December 30.
Pos Kota (2005b). Kerajaaan Tuhan digerebek polisi, December
29.
Radar Bandung (2010). Aliran Surga Eden digerebek, January 15.
Raharjo, Dawam (2006). Saya pernah kecewa pada agama. Tempo,
February 5.
Rasyid, Fachrul HF (2007). Geger Nabi Gunung Bunder. Gatra,
October 24.
Ridwan, Cholil (2008). Mengawal akidah, membimbing Umat.
342
Daftar Pustaka
Mimbar Ulama, Suara Majelis Ulama Indonesia, no. 341
Rabi’ul Awwal 1429/March.
Saiful Anam (1999). Hari kiamat. Gatra, September 4.
Salamudin, Ceceng A.F. (2004). Buki Sahidin: Korban diskriminasi
negara, agama, dan public. Majalah Diaspora, edisi 9, vol. 2,
Februari.
Sawabi, IGN (2008). Lia Eden kembali di tangkap. Kompas,
December 15.
Shihab, Umar (2008). MUI akan selalu mengemban amanah
Umat. Mimbar Ulama, Suara Majelis Ulama Indonesia, no.
341, Rabi’ul Awwal 1429/March.
Soian (2006). Dituntut penjara 2, 5 tahun: Lia Eden tunggu
jawaban dari Tuhan. Tempo, August 24.
Sulistio, Eko and Multa Fidrus (1999). Seorang ‘nabi’ dan tiga
pabrik roti. D & R, March 8-13.
Suprayogi, Ariwibowo (1993). Si anak yang hilang. Editor, no. 46,
thn. 6, August 14.
Syamsuddin (2005).Akhir kiprah nabi palsu, Liputan6.com April 27.
http://kliping.kemenag.go.id/download.php?ile=4243.
Accessed June 10, 2012.
Tabloid Reformata (2009). Ritual seks bareng Satrio Piningit
Weteng Bawono” January 28. http://reformata.com/news/
view/1185/ritual-seks-bareng-satrio-piningit-wetengbuwono Accessed December 21, 2012.
Tajuk (1999). Nabi Chaidir dari Citayam, no. 20, tahun 2,
November 25.
Tantan, Hidayat (1997). Ajaran nyeleneh Buki. Gatra April 5,
1997.
Tempo (2005). Madi masih buron. November 13, 2005.
Tempo (2007). MUI: Al-Qiyadah aliran sesat, October 21.
The Jakarta Post (2011). Sect leader Lia Eden, throw pizza party
before release, April 15.
Tribun Jabar (2010). Polisi minta keterangan saksi ahli, January 21.
Warta Kota (2005a). Malaikat Jibril diciduk, December 29.
Warta Kota (2005b). Bubarkan kerajaan Tuhan, December 28.
Daftar Pustaka
343
Wisnu, Andra (2009). Lia Eden sentence to prison, again. The
Jakarta Post, March 6.
Yaqin, Anang Aenal (1996). Melarang sesat yang tak jelas. Tiras, no.
45, thn 2, December 5.
Yuliandini, Tantri (2006). Lia treads a hazardous path from dried
lower arrangement to Eden. The Jakarta Post, January 4.
Yusuf, Safruddin (1997). Aliran baiat lampu senter. Tiras no. 32,
tahun 3, September 8.
Youtube.com
Youtube (2011). Lia Eden-Orang gila yang mengaku rasul. http://
www.youtube.com/watch?v=LC-oyTu_Fxs. Private TV
station ANTV news about Lia Eden. Posted February 18,
2011. Accessed May 9, 2012.
Youtube (2008a). Lia Eden ditangkap lagi part 1. http://www.
youtube.com/watch?v=idKsGZ9x7XY. Private TV station
SCTV news about Lia Eden on December 19, 2008.
Accessed May 9, 2012.
Youtube (2008b). Lia Eden ditangkap lagi part 2. http://www.
youtube.com/watch?v=gJQAwnd9MI4&feature=relmf
u. Private TV station SCTV news about Lia Eden. Posted
December 19, 2008. Accessed May 9, 2012.
Youtube (2014). Penistaan Agama Lia Eden. https://www.
youtube.com/watch?v=TLo4kOCW7xQ . Posted April
28, 2014. Accessed December 18, 2015.
Surat Resmi dan Laporan
Direktorat Reserse Kriminal Umum (2005). Berita acara
pemeriksaan lanjutan saksi pelapor. Polri Daerah Metrojaya
dan Sekitarnya, Jakarta, December 29.
Direktorat Reserse Kriminal Umum (2006). Berita acara
pemeriksaan (ahli agama Islam). Polri Daerah Metro Jaya
dan Sekitarnya, Jakarta, February 1.
Resor Metropolitan Jakarta Pusat (2006).Berita acara pemerikasaan
(saksi). Polri Daerah Metro Jaya dan Sekitarnya, February
16.
344
Daftar Pustaka
Direktorat Reserse Kriminal Umum (2012). Berita acara
pemerikasaan (saksi ahli). Polri Daerah Metro Jaya dan
Sekitarnya, Jakarta, February 16.
Prayuda, Andi Eka and Nia Herawati (2010). Hasil identiikasi
dan klariikasi Surga Adn dan ajarannya. Interview before
the Cirebon Ulama Council (MUI), January 24.
Yogyakarta City Administration (2012). Data aliran kepercayaan
di wilayah Kejaksaan Tinggi di Yogyakarta periode Tahun
2012.
Interview
Andito, Wahyu, a devotee dan sekretaris Lia Eden (2011-2013).
Senen, Jakarta, sejak Desember 14.
Anshary, Isa, staf sekretariat MUI (2012). Kantor MUI, Jakarta,
Maret 19.
As-Syaukanie, Luthie (2012). The Freedom Institute, Jakarta,
Maret 20.
Basuki, Slamet, aktivis Sapta Dharma (2013). Bantul, Yogyakarta,
February 3.
Bram, kepada keamanan Bungur (2012). Kantor desa Bungur,
December 18.
Cici, a devotee Dewan Kerasulan Eden (2011). Senen, Jakarta,
December.
Djamaluddin, Amin (2012). The LPPI’s (Lembaga Pengkajian
Penelitian Islam) kantor, Matraman, Jakarta, March 19.
Eden (Aminuddin), Lia (Yang Mulia Paduka Bunda) (2012-2014).
Senen, Jakarta, sejak March 21.
Endang, sesepuh ASK (2013).Yogyakarta, Februari 10.
Fita, ketua RT (2012). Senen, December.
Hasanudin, sekretatis DSN/Dewan Syariah Nasional (2012).
Matraman, Jakarta, April 4.
Hidayat (2012). The Freedom Institute, Jakarta, March 20.
Irfan, staf administrasi MUI (2012). kantor MUI, Jakarta, March
20.
Ivuk, mantan devotee Dewan Kerasulan Eden (2011-2012).
Daftar Pustaka
345
Senen, Jakarta.
Karni, Asrori. S, wartawan senior Gatra (2013). Jakarta, April 5.
Kasdi, sesepuh Samin (2012). Tapelan, Ngraho, Bojonegoro,
September 1.
Kusniati, Sri/Cici, devotee Dewan Kerasulan Eden (2011). Senen,
Jakarta, December.
Kusumo, sesepuh Pangestu (2013).Yogyakarta, February 1.
Lala, mantan penyanyi Eden (2011). Cipinang, Jakarta, December
22.
Lili, devotee Dewan Kerasulan Eden (2011). Senen, Jakarta,
December.
Linangkung, Putut, kepala desa Bungur (2012). Kantor desa
Bungur, December 18.
Luxiaty, Siti Zaenab (Mbak Dunuk), devotee Dewan Kerasulan
Eden (2011-2013). Senen, Jakarta, since December 14.
Mahmada, Nong Darul (2012). The Freedom Institute, Jakarta,
March 20.
Mulia, Musdah (2002). The ICRP’s (Indonesian Conference for
Religion and Peace) kantor, Jakarta, March 19.
Murdiningsih, Sri, mantan devotee Dewan Kerasulan (2011).
Cipinang, Jakarta, December 22.
Naipospos, Raja Marnakkok, ihutan (pimpinan tertinggi)
Parmalim (2012). Bale Pasogit, Hutatinggi, Lagubuti, Balige,
North Sumatera, June 12.
Nana (2012) Ciputat, April 5.
Nugroho, cucu Sukino, nabi pendiri Sumarah (2013).Yogyakarta,
February.
Padmowiyoto, Parmin, aktivis Subud (2013). Sleman, Yogyakarta,
February 6.
Pujosudirjo, Ms. sesepuh ASK (2013).Yogyakarta, February 10.
Rachman, Muhammad Abdul, Imam besar Eden (2011-2013).
Senen, Jakarta, since December 14.
Rahardjo, Dawam (2012).Yogyakarta, March 23.
Ropi, Ismatu, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, teman
Abdul Rachman (2012). Ciputat, April 5.
346
Daftar Pustaka
Rosyad Arif, devotee Dewan Kerasulan Eden (2011-2013). Senen,
Jakarta.
Sajilan, aktivis sesepuh Sumarah (2013). Bantul, Yogyakarta,
February 4.
Sijabat, Martogi, pimpinan Parmalim (2012). Samosir, Lake Toba,
North Sumatera, June 13.
Sukardi, Harjo, sesepuh Samin (2012). Jepang, Margomulyo,
Bojonegoro, September 1.
Sukeri, sesepuh Samin (2012). Gedung Tuban, Randu Blatung,
Blora, September 2.
Sumardiono, Aar, mantan devotee Eden (2011). Cipinang, Jakarta,
December 22.
Suyoto, a leader of Samin (2012). Klopoduwur, Blora, September
3.
Tri, devotee Dewan Kerasulan Eden (2011-2013). Senen, Jakarta,
December.
Umar Iskandar, mantan devotee Dewan Kerasulan Eden (20112012). Senen, Jakarta.
Wahid, Din, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan teman
Abdul Rachman (2012). Ciputat, April 5.
Yoneska, Feby/Mayong, pengacara Lia Eden (2012). The LBH’s
oice, Jakarta, March 22.
Yuwono, Mardi, pimpinan Sumarah Purbo (2013). Gedong Sari,
Mujiharjo, Pandak, Bantul,Yogyakarta, February 3.
Daftar Pustaka
347
348
Daftar Pustaka
Al Makin
TENTANG PENULIS
Al Makin adalah dosen UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta dan ICRS (Indonesian Consortium
for Religious Studies) konsorsium antara
Universitas Gadjah Mada (UGM), UIN
Sunan Kalijaga, dan Universitas Duta Wacana.
Ia juga dosen dan peneliti tamu di beberapa
universitas luar negeri di antaranya: Faculty
Development Fellow of the collaboration
between the Hong Kong Institute for the
Humanities and Social Sciences (University of Hong Kong), Dali
University (Yunnan, China), the Asian Centre for Cross-Cultural
Studies (Chennai, India), and the Indonesian Consortium for
Religious Studies (Yogyakarta, Indonesia) (2017-2020). University
of Western Sydney, Australia (2014), Heidelberg University, Jerman (2014),Asia Research Institute, National University of Singapore (2011-2012), French Business School ESSEC, Asia Paciic,
Singapore (2012), Bochum University, Jerman (2009-2010),
Bab Sepuluh Penutup
349
Al Makin
McGill University (2009).Al Makin mendapatkan gelar Ph.D. dari
Universitas Heidelberg, Jerman (2008), MA dari McGill University,
Kanada (1999), dan S1 dari IAIN Sunan KalijagaYogyakarta (1996).
Di antara bukunya yang terbit secara internasional: Representing
the Enemy Musaylima in Muslim Literature (Peter Lang 2010),
dan Challenging Islamic Orthodoxy: Accounts of Lia Eden and Other
Prophets in Indonesia (Springer, 2016). Plurality, Religiosity, and
Patriotism: Critical Insight into Indonesia andd Islam (Suka Press, 2017)
Al Makin juga editor in chief of international Journal Al Jamiah,
Kepala Pusat Penelitian UIN Sunan Kalijaga dan sekarang sebagai
Ketua LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat)
UIN Sunan Kalijaga. Dan ia telah menerbitkan sejumlah artikel
di jurnal internasional ternama. Ia juga rutin menulis opini di
Koran The Jakarta Post 2006-2016.
Buku yang terbit secara nasional antara lain:Anti Kesempurnaan:
Membaca, Melihat, dan Bertutur tentang Islam (Pustaka Pelajar, 2002),
Nabi Palsu, Membuka Kembali Pintu Kenabian (Arruz, 2003), Bunuh
Sang Nabi: Kebenaran di Balik Pertarungan Setan melawan Malaikat
(Hikmah Mizan, 2006). Antara Barat dan Timur: Melampui Jurang
Masa Lalu untuk Meniti Jembatan Penghubung Barat dan Timur
(Serambi 2015. Keragaman dan Perbedaan: Budaya, dan Agama dalam
Lintas Sejarah Manusia (Suka Press, 2016). Berbagai penghargaan,
beasiswa, dan awards internasional juga telah diraihnya.
350
Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya
INDEKS
A
Aar Sumardiono xi, 30, 32, 33, 67,
76, 104, 172, 174
Abdel Aziz Rantisi 133, 286
Abd Kadir 7, 251, 252
Abdul Kodir 27
Abdul Manan 27, 255
Abdul Qadir Jailani 87
Abdul Rachman xi, xvii, xxiii, 30,
32, 35, 40, 41, 50, 65, 66, 70,
71, 77, 91, 100, 105, 109,
117, 127, 129, 136, 137, 138,
141, 143, 153, 158, 161, 162,
166, 170, 182, 186, 188, 267,
271, 272, 273, 275, 287, 288,
290, 292, 295, 297, 298, 346,
347
Abdul Rachman Assegaf 161
Abdul Rochim 99
Abdurrachman Wachid 107, 207,
269
Abdus Salam 263
Abu Bakar Ba’asyir 133, 145, 286
Abu Syifa 134, 290
Abu Ufairah 134, 290
Aceh xx, 131, 132, 133, 193, 282,
284, 286, 312, 330
Achmad Mushaddeq 260
Achmad Naf’an 7, 27, 251, 252,
259
Adam x, xxii, 52, 59, 60, 151, 152,
226, 227, 228, 252, 256, 257,
332
Adam Possamai x, 10, 11, 13, 29,
95, 135, 217, 226, 332
Adat Bungan 8
Adat Dipuy 8
Adept 29, 158, 163
Adoh Tanpo wangenan, cedak
Tanpa senggolan, kumpul
datan rumongso 243
Adul Gaffar Bustaman 43
Afghanistan 110
Afrika 24, 28
Afrika Barat 28
Agama Adam 226, 227, 228
Agama Bali Aga 8
Indeks
351
Apopuler 6, 12, 14, 15, 18, 23, 24,
180, 212, 217, 218, 226
Agama rakyat 10, 11, 21, 180, 217,
226
Agam Ratu Bita Bantara 8
Agus Imam Solihin 7, 27, 63, 113,
260, 262
Agus Nata Sukarno Putra xxii, 63,
262
Agus Salim 256
Agus Supriadi 163
Ahmad Ibn Hanbal 88
Ahmadiyah 26, 51, 102, 147, 158,
161, 192, 198, 201, 206, 293,
298, 300, 301, 302, 317, 325,
341
Ahmad Mukhyar 229, 230
Ahmad Mushaddeq xviii, 7, 27,
150, 161, 211, 213, 263
Ahmad Ngisa 229
Ahmad Tantowi 7, 27, 63, 113,
255, 258, 262, 352, 361
Ahmed Yassin 133, 286
Akademi Angkatan Bersenjata
(AKABRI) 261
Akbar Tanjung 120, 187, 280, 281
Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan xix, 139, 158,
293
Akmaliyah 229
Alamsjah Ratu Prawiranegara 17
Al-Hawary 264
Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) 158
Alif lam mim 82
Aliran Imamullah 247
Aliran kepercayaan/kebatinan 2,
29, 36, 232
Aliran Khalwatiah 248
Ali Yaie 90, 189, 310
Alkohol 97, 139, 146
Al-Masih al-maw’ud 263
Almohad 28
352
Al-Qur’an 13, 41, 43, 49, 63, 77,
80, 81, 82, 83, 88, 106, 129,
130, 140, 145, 162, 187, 190,
192, 195, 196, 256, 259, 287
A. L. Tindige 197
Aluk To Dolok 8
Amanah 80, 266, 311
Amaq Bakri , xxiv, xxv, 27, 85, 250
Ambon 39, 104
Amelia Hezkasari Day 44
Amerika 11, 24, 29, 81, 82, 107,
110, 134, 180, 188, 234, 273,
275, 302, 314
Amerika Latin 11, 24
Amin Abdullah x
Amin Djamaluddin xviii, 33, 136,
138, 182, 185, 189, 196, 197,
200, 206, 213, 260, 287, 292,
293
Aminuddin Day 43, 44, 59, 114,
119, 151, 152, 171, 303
Amir Syarifuddin 242
Amiruddin Dg Pasolong 27, 63,
248
A. Mukti Day 44, 152, 172, 268
Anarkisme 106, 109, 140, 145
Andan Nadriasta 50
Andito xi, 30, 33, 39, 40, 42, 57,
91, 103, 104, 105, 118, 157,
161, 162, 165, 168, 171, 173,
175, 182, 192, 199, 210, 303,
313, 345
Andri 264
Angesti Sampurnaning Kautaman
(ASK) 34, 68, 209, 245,
246, 247, 345, 346
Angon-Angon 251
Anton Medan 47
Anwar Nasution 133, 138
Apocalyptic 28
Apostate 30, 158
Appadurai 24, 38, 99, 102, 201,
319
Aquarian 135
Arab vii, viii, xxvi, 1, 3, 7, 39, 41,
Indeks
43, 132, 193, 208, 216, 220,
223, 252, 259, 260, 271, 287,
288
Arief Basuki 143, 297, 298
Ariin 27, 69, 95, 96, 99, 103, 164,
248, 252, 255
Arif Rosyad xi, xvii, 30, 40, 57, 89,
118, 151, 162, 163
Arimurthy 240, 241
Arjasa Kangean 251
Arjuna Wiwaha 239
Armageddon 28
Arswendo Atmowilopo 174
Asahan 222, 223
Asinawati 174, 199
Asia viii, 24, 285, 323, 324, 325,
326, 327, 328, 334, 349
Asma’ul husna 78, 257, 353
Aswendo Atmowilopo 13
Atik 43
At-Taibin xxii, 47
Australia 349
Ayah , 59, 61, 163, 164, 172, 227,
246, 303, 318
Azyumardi Azra viii, 41
B
Babel 142, 297
Bachtiar Effendy 120
Badan Keamanan Rakyat (BKR)
237
Badan Koordinasi Pengawasan
Aliran Kemasyarakatan (Bakorpakem) xix, 12, 27, 262
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
133
Badan Pusat Statistik (BPS) 116
Bagelen 230
Baghdad 88
Bagir Manan 139, 143, 293, 298,
300
Bagus Talban 215, 230
Baharuddin Lopa 108, 271, 315
Baksos xix
Bale Pasogit xxii, 218, 346
Bale Persantians 222
Bali 8, 39, 276, 311, 323, 332
Balige xi, 34, 218, 219, 220, 221,
222, 346
Bambang xxi, 24, 26, 30, 45, 52,
95, 103, 118, 120, 131, 137,
148, 162, 163, 192, 203, 263,
276, 281, 298, 312
Bambang Jatmiko 95, 103, 118,
162, 163
Bambang Pranowo 120, 276, 281,
312
Bandar 229
Bandung xx, 76, 246, 255, 257,
258, 263, 323, 334, 339, 341,
342
Bandung Kulon 257
Bani Abbasiyah 3
Bani Umayyah 3
Bantar Panjang 254
Bantul 12, 238, 243, 244, 345, 347
Banua ginjang 218
Banua tonga 218
Banua toru 218
Banyumas 229, 230
Banyuwangi 27, 86, 124, 135, 220,
251, 254, 258
Bara Marapu 8
Barus 223
Basuki 20, 34, 39, 143, 242, 243,
265, 297, 298, 345
Basuki Cahaya Purnama 39, 265
Batak xxii, xxiii, xxiv, xxv, xxvii,
xxviii, 10, 39, 69, 217, 218,
219, 220, 221, 222, 223, 224,
325, 326, 327, 333, 334, 336,
337
Batam 222
Batara Guru xxii, xxvii, 218, 219,
220
Batubara 222, 234, 320
Batu Moror, 221
Bea Cukai Surabaya 43
Beckford 11, 18, 19, 29, 30, 39,
Indeks
353
61, 67, 68, 92, 95, 106, 115,
120, 123, 163, 171, 179, 180,
181, 202, 212, 264, 319, 320,
331, 337
Belanda xxiii, xxiv, xxvii, 2, 4, 5,
75, 130, 215, 216, 217, 219,
220, 221, 222, 223, 224, 225,
226, 227, 228, 229, 230, 233,
234, 236, 237, 244, 245, 246
Bencana lumpur 141, 142, 164, 295
Bendasugada 242
Berita Kota 182, 340
Betawi 39, 271
Bhagavad Gita 129, 285
Bhineka Tunggal Ika 18
Bibel 98
Bid’ah 9, 181, 191, 196
Bijak Bestari xviii, xxiii, xxviii, 7,
69, 113, 213, 260, 261
Binaung 249
Binjai 261
Bius 222
BK5I xix, 14
BKKI xix, 14
BKOK xix, 14
Blado 229
Blora 34, 225, 226, 228, 347
B. Mukti Day 44
Bogor xx, 27, 32, 35, 47, 56, 61,
72, 83, 85, 86, 92, 95, 99,
100, 101, 102, 104, 106, 121,
124, 135, 161, 166, 174, 175,
181, 184, 192, 204, 210, 255,
259, 263, 325
Bojonegoro vii, xi, xxv, 34, 225,
226, 231, 346, 347
Bojonggede 259
Boru Pasaribu 219
Boru Sianangnaga 218
Brahma Kumaris 55
Brainwashhing 179
Bram 33, 185, 186, 345
Brassica juncearugosa 81
Brawijaya 107, 108, 272
Brunei 107, 269, 314
354
B. Simanjuntak 197
Budaya viii, 2, 4, 8, 10, 14, 15, 17,
28, 131, 135, 180, 244, 286,
325
Buddha 6, 9, 11, 16, 39, 82, 109,
113, 130, 152, 169, 172, 183,
196, 204, 212, 237, 268, 270,
279, 287, 304, 315, 316
Buddha Gautama 113, 130, 152,
204, 279, 287
Budi luhur 238
Buki Syahidin 27, 255, 256
Bukit Gawalise 248
Bukit Menteng Tedes 250
Bukit Puang Malea 249
Bulan xxi, xxiv, 25, 83
Bulog 107, 314
Bumi xvii, xx, xxv, xxvii, 38, 42,
50, 51, 52, 58, 59, 61, 63,
74, 82, 84, 86, 110, 112, 115,
129, 132, 134, 135, 138, 141,
142, 150, 154, 164, 170, 195,
220, 227, 234, 241, 248, 258,
262, 268, 270, 283, 284, 285,
286, 288, 290, 291, 292, 296,
305, 307, 308, 313
Bumi aji zaman 227, 228, 354
Bunda Lia , x, 30, 31, 33, 40, 41,
43, 52, 57, 59, 61, 68, 278,
316
Bunda Maria xxiii, 59, 109, 110,
151, 268, 272
Bung Tomo 130, 196, 287
Bungur xi, 33, 38, 131, 183, 184,
185, 289, 345, 346
Buya Mayo 255, 257, 340
C
Cakrabiwara 116
Cama 43
Cargo cult 28
Carik 229
Catur Hananto 197
Cecep Burhanuddin 103
Indeks
Cecep Sunarto 139, 293
Celestine 111
Cermai 54, 77, 79
Chandra Adnan Rasyid 27, 251,
355
Cholil Ridwan 88, 189
Ciamis 255
Cigondewah Kaler 257
Cijantung 116
Cilacap 86, 135, 170, 229, 254,
259, 307
Cilandak 234
Cimanggu 254
Cina 39, 47, 221, 230, 231, 241
Cipi 30, 52, 55, 60, 70, 72, 80, 81,
116, 148
Cipinang 52, 76, 144, 172, 346,
347
Ciponyo 256
Ciputat , xi, 33, 41, 71, 72, 73, 120,
186, 187, 188, 189, 346, 347
Cirebon 54, 63, 77, 246, 255, 257,
258, 262, 342, 345
Cisarua 83
Client 30
Coblong 56, 95, 97, 98, 100, 101,
103, 104, 105, 318
Crop circles 135
D
Daar el-Qalam 85
Daba 43
Daenuri 100, 101
Dahlan 14
Danarto 115, 130, 152, 199, 202,
207, 287, 339, 340
Darma Wanita 79
Darmopodo 5, 68, 69, 232, 245,
246, 246, 247
Darul Ulum 85
Darun Najah 85
Darwis 76
Dasa 43
Datu 10, 219, 220, 223
Dawam Rahardjo xi, 33, 174, 179,
192, 199, 202, 204
Dawuh xxiii, xxvii, xxviii, 237, 239
Dayak 8, 84, 271, 315, 327
Dead Sea Scrolls 94
Debata Natolu xxiii, 218
Dede Yusuf 256
Demak 9, 86, 124, 135, 244, 253,
254, 259
Demak Ijo 244
Demokratisasi 20, 24, 180
Departemen Tenaga Kerja 247
Dermojoyo 230
Destarata 107, 108, 272
Devotee 39, 40, 42, 50, 52, 53, 55,
56, 57, 59, 64, 68, 70, 72,
74, 76, 79, 81, 93, 110, 111,
114, 115, 117, 118, 119, 121,
123, 124, 125, 126, 127, 128,
129, 130, 148, 149, 151, 152,
157, 158, 159, 160, 161, 163,
164, 166, 168, 172, 174, 175,
200, 210, 274, 276, 282, 283,
287, 289, 300, 304, 318, 345,
346, 347
Devotees 29, 68, 92, 175
Dewa Matahari 59, 109, 113
Dewan Dakwah Islam Indonesia
(DDII) 135, 137, 185, 291,
355
Dewan Pesantren Bogor 102
Dewan Syariah Nasional (DSN)
193
Dhama-pada 110
Dhamapada 129
Dinasti Fatimiyah 28
Dipingit 53, 152
Diponegoro xxii, 4, 50, 63, 83, 112,
215, 216, 216, 217, 229, 233,
253, 329, 336
Diskriminasi 26, 325, 343
Djojodigoeno 15
DKT baru (Jawatan Kesehatan
Tentara/Angkatan Darat pada
Bagian Kesehatan) 237
Indeks
355
Do’a 5, 6, 8, 33, 48, 74, 96, 109,
131, 168, 188, 193, 224, 235,
236, 238, 269, 282, 283, 306
Doli-doli 224
Dony Kadnezar Irdon 143, 297
Dukun 10, 54, 68, 69, 72, 76, 219,
229, 230, 232, 248, 253, 254,
259, 289, 311
Dunuk Luxiaty xi, xvii, 32, 89,
125, 175
Durdju Ronni 139, 293
Durocher 187
Dzikir 228, 230, 231, 261
E
Eddy Suprihadi 139, 293
Eddy Utoyo 114, 281
Eling Keda 254
Emil Salim 45, 266
Endang 34, 245, 246, 345
Energi sosial 8
Eropa 10, 21, 162, 219, 222, 230,
231, 235
Erucakra 4, 6, 216, 228, 229, 230,
231
Etika 6, 228, 242
Eyang Sakti 254
G
F
Facebook 33
Faisal Ismail x
Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada 242
Fakultas Hukum Universitas Indonesia 117, 262
Fakultas Psikologi UI 75
Falun Gong 111
Farid Faqih 133
Fathun Nur Day 44, 171
Fatma 43
Fatwa 22, 27, 50, 51, 87, 88, 90,
93, 95, 99, 101, 106, 107,
109, 111, 120, 129, 132, 133,
134, 136, 137, 138, 139, 143,
356
147, 183, 192, 193, 194, 195,
201, 204, 207, 257, 266, 267,
288, 300, 310, 324, 330
Feby Yoneska 199
Feri 95, 103, 118
Feri A. Latif 95
Fita 33, 38, 184, 185, 186, 345
Flores 8
Formaci 41
Forum Umat Islam (FUI) 25, 201
Freedom Institute xi, 189, 201,
345, 346
Front Anti-Pemurtadan Bekasi
(FAPB) 25
Front Pembela Islam (FPI) 23, 25,
135, 356
Futuh 264
Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara)
265
Gaiwiio 28
Gajah Mada xxi, 108, 277
Gatot (al-Khaththath) 26
Gayus Hutahaean 222
Gedangan 230, 323
Gedongsari 243
Gedung Tuban 34, 228, 347
Gempa xxv, 132, 134, 141, 142,
164, 220, 283, 284, 285, 286,
291, 292, 293, 296, 297, 313
George W. Bush 111, 275, 311
Gerakan kenabian 4, 6
Gereja 28, 29, 125, 206, 220, 222,
284, 328
Gereja Kristen 10
Gereja Scientology 29
Ghaib 3, 10, 48, 58, 76, 78, 84,
107, 151, 152, 164, 195, 216,
220, 250, 261, 262, 273
Ghoiru mahdo 258
Ghost Dance 28
Gintung Bala Raja 188
GKB 2, 5, 6, 28, 232
Indeks
Gold Quest 159
Gomorrah 143
Gramsci 11, 217, 324
Gua Hira 49, 204, 239
Gua Secang 216
Gudel 240
Gumarang 252
Gunung Cermai 53, 77, 79
Gunung Kawi 84
Gunung Kidul 240
Gunung Lawet 229
Gunung Rinjani 250
Gunung Seureuh 255
Guru Pamosik 221
Guru Sejati 48, 58, 236, 237
Gus Aan 27, 252
H
Habib al-Huda xxiii, 31, 48, 49,
58, 73
Habibie 25, 108, 110, 111, 137,
207, 272, 275, 277, 315
Habinsaran (Maranti) 220
Haidar Bagir 199, 202, 207
Haji Ali Taetang Laikabu 247
Hajosapuro 56, 242
Halimi 131, 186, 289
Halleluiah 111
HAM 105, 191, 258, 299
Hamdan Amin 133
Hamdani Syarif Hidayat 134, 290
Hamka 15
Handsome 28
Hans Bague (HB) Jassin 12
Harajaon 222
Hardi Mulyono 161
Harjosapuro , xxv, xxvi, xxvii, 5,
85, 232, 241, 242, xxv, xxvi,
xxvii, 5, 85, 232, 241, 242
Harjo Sukardi 34, 226
Hasan Ahmad 215, 229
Hasani xi, 25, 26, 33, 98, 325
Hasanuddin 33, 187, 188, 189, 193,
194
Hasbullah Bakry 15
Hastinapura xxiv, 59
Hasyim Asy’ari 118
Hasyim Muzadi 137, 291, 312
Haur Koneng 255, 339, 341
Hawa 59, 151, 257
Hayam Wuruk 108, 118, 151, 272
Hegemoni 2, 5, 6, 9, 10, 16, 23, 28,
35, 36, 50, 63, 82, 87, 124,
157, 180, 216, 247, 252
Heidelberg viii, x, 349, 350
Hendarman Supandji 143, 300
Hendrawati Umar 53
Hidayat 33, 41, 60, 120, 134, 187,
189, 255, 256, 280, 281, 290,
312, 334, 340, 343, 345
Hidup Dibalik Hidup (HDH) 257
Hijrah 263
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
41, 186
Himpunan Penghayat Kepercayaan
(HPK) 14, 244
Hindu 4, 6, 9, 11, 13, 16, 39, 82,
109, 169, 183, 196, 212, 268,
270, 315, 329
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) 23,
25
Holbung 220
Hongkong 234
HTI xx, 23, 25, 26
Humbang 220, 224
Husein Muawiyah 134, 290
Husein Rofe 234
Hutatinggi xxii, 218, 222, 346
Hutomo Mandala Putra 45
I
IAIN Syarif Hidayatullah 41, 71,
186
Ibadah 8, 27, 33, 38, 69, 71, 77, 78,
80, 82, 95, 97, 98, 116, 125,
129, 131, 140, 161, 164, 167,
175, 183, 185, 188, 190, 206,
208, 209, 218, 222, 228, 239,
Indeks
357
247, 249, 250, 252, 253, 258,
259, 260, 267, 268, 288, 325
Ibn Taimiyah 88
Ibrahim 13, 50, 189, 193, 216, 260,
266, 311
Ibrahim Hosen 50, 90, 189, 193,
266, 311
Ibu Tien 45, 47, 139
ICCPR (International Covenant on
Civil and Political Rights)
165
Identitas 2, 4, 5, 7, 91, 93, 94, 95,
97, 98, 99, 102, 116, 201,
215, 232, 255
Ideologi sekuler 180
Ietje Ridwan 110, 161, 274, 315
Ihsan Ali Fauzi 41
Ihutan 218, 222, 346
Ijaz 30, 40
Ilham Tabrani 134, 290
Ilmu sejati 237
Imam xvii, 3, 35, 65, 74, 91, 170,
188, 197, 222, 241, 242
Imam Mahdi 28, 41, 105, 248, 254,
256, 342
Iman 4, 8, 9, 20, 31, 39, 88, 94,
148, 181, 184, 189, 190, 191,
211, 217, 219, 227, 228, 310,
325
Imran ix, 130, 196, 287
Inayat Khan 111
India 39, 102, 221, 324, 349
Indonesian Conference for Religion
and Peace (ICRP) 33, 202
Indra Rukmana 45
Inggris iv, viii, ix, 42, 81, 111, 175,
180, 234, 235, 275, 295
Injil 129, 220, 222, 251, 269, 272,
274, 285, 327
Inkar Sunnah 198, 206
Institute Ilmu Qur’an (IIQ) 138
Institute Pertanian Bogor (IPB) 104
Institut Ilmu Al-Quran 85
Institut Teknologi Bandung (ITB)
76
358
Intelektual x, 7, 15, 18, 20, 22, 25,
41, 44, 48, 120, 134, 137,
159, 174, 180, 192, 199, 202,
205, 207, 212, 226, 271, 301
Intoleransi 26, 98, 111
Inul Daratista 110, 274
Iqra 41
Iraq 110
Irfan 194, 345
Irham 95, 103
Irham Kurniawan 95
Irian Jaya 132
Irsa Bastian 72, 76, 161, 162, 172,
304, 318
Isa Anshary 33, 37, 138, 189, 194,
197, 293
Iskandar 30, 32, 43, 47, 49, 53, 60,
61, 70, 71, 77, 79, 95, 100,
101, 102, 103, 105, 171, 309,
318, 347
ISKCON 55
Islamisme 16, 19, 25, 328
Ismail Saleh 45, 47, 53, 77, 79
Ismatu Ropi xi, 33, 188
Isra 85
Isra mi’raj 239
Istijnar 250
Ivuk , 30, 52, 53, 55, 60, 61, 70, 72,
79, 96, 103, 175, 210, 345
J
Ja’far Umar Tholib 145
Jahrun 263
Jakarta Selatan 72, 261, 262, 263
Jalaluddin Rumi 88
Jaman , 96, 215, 223, 224
Jaman Pohan 223
Jaringan Islam Liberal xx, 33, 201
Jasman 63, 112
Jasmani 215, 229, 230
Jati Sari 256
Jati sawit 228
Jati Waras 256
Jawa Barat xxvi, xxviii, 7, 12, 27,
Indeks
54, 63, 69, 72, 77, 77, 83,
132, 229, 231, 255, 257, 259,
263, 325
Jawa Kuno 6, 252
Jawa Tengah xxvi, 7, 12, 27, 60,
69, 215, 225, 229, 236, 253,
253, 254, 291, 292, 325, 328
Jawa Timur xxv, 7, 12, 27, 43, 63,
69, 84, 137, 141, 215, 221,
221, 229, 230, 241, 243, 251,
252, 255, 274, 275, 291
Jayabaya 216
Jazirah Arab vii, 1, 3
Jehovah Witnesses 28
Jember, 137, 291
Jepang 34, 45, 63, 188, 221, 226,
227, 228, 234, 241, 347
Jerman viii, 180, 219, 234, 349,
350
Jibril Palsu 181, 182, 342
Jimat 229, 230, 231, 253, 276
Jimly Ash-Shiddiqie 132
Joan of Arc xxiv, 59, 151, 162
Julia D. Howell x, 336
Jumadil Kubra 229, 336
Jumadiono 197
K
Ka’bah 197, 247, 248
Kair 105, 195, 258, 263, 264
Kaharingan 8, 13
Kalijaga iv, 349, 350
Kalimantan 4, 8, 13, 27, 50, 77, 79,
247, 248, 247, 247, 248, 250,
251, 259, 263, 265
Kalimantan Selatan 250
Kamaruddin Amin x, 103
Karangsembung 257
Kartini 59, 151
Kartosuwiryo 83, 231, 324
Kartu Tanda Penduduk (KTP) 14,
20
Karuhunan 259
Kasan Mukmin 63, 69, 112, 230,
323
Kasdi 34, 227, 346
Katolik 11, 16, 39, 43, 212, 236,
239, 247, 253
Kautsar Azhari Noer 162
Kayan 8, 333
Kayin 63, 112, 215, 231
Keamanan Ketertiban Masyarakat
(Kamtibnas) 185
Kebatinan xxv, 2, 6, 16, 29, 36,
232, 243, 244, 323, 324, 327,
332, 333, 335
Kebenaran xxiv, xxv, xxviii, 3, 47,
49, 62, 74, 82, 87, 91, 98, 99,
104, 110, 116, 117, 120, 167,
173, 190, 196, 202, 207, 228,
236, 250, 251, 261, 267, 269,
277, 279, 281, 304, 305, 316
Kediri 9, 229, 230, 241, 242
Kedu 229
Kedungjati 233
Kejaksaan Agung 105, 200, 301
Kekaisaran Byzantium 82
Kekerasan 26, 51, 94, 111, 131,
133, 142, 145, 147, 158, 166,
168, 183, 192, 272, 276, 284,
285, 288, 289, 325, 330
Kelompok Eden xxi, xxiii, xxvii,
xxviii, 2, 55, 64, 68, 70, 74,
130, 147, 148, 152, 165, 166,
167, 173, 182, 183, 184, 185,
186, 198, 200, 201, 205, 208,
265, 290
Kemayoran 83
Kementerian Agama x, 13, 14, 15,
17, 19, 21, 26, 87, 94, 137,
179, 202, 206, 207, 213, 235,
248, 252, 290, 301, 306
Kementerian Dalam Negeri 105,
301
Kemerdekaan 2, 5, 6, 11, 17, 36,
68, 85, 196, 217, 223, 225,
232, 237, 240, 241, 247, 256,
287
Kenabian vii, ix, xxv, xxvi, xxvii,
Indeks
359
xxviii, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
10, 23, 31, 32, 42, 46, 48, 50,
51, 54, 57, 58, 59, 60, 63, 64,
68, 68, 69, 75, 83, 84, 87, 90,
121, 123, 124, 138, 160, 161,
162, 163, 165, 166, 171, 172,
176, 180, 185, 186, 189, 195,
205, 216, 217, 223, 229, 230,
231, 238, 248, 251, 253, 255,
256, 259, 260, 263, 265, 268,
279, 282, 284, 287, 297, 301
Kepulauan Banggai 247
Kerajaan Eden , 2, 33, 39, 91, 126,
212, 305, 306, 307, 314
Kerasulan 69, 87, 276, 301
Kesalehan publik 24
Kesultanan Yogyakarta 215, 216
Ketoprak 124
Keyakinan 32, 179, 203, 204, 224,
318
Keyo Sutaryo 131, 289
Kharisma 3, 4, 5, 10, 59, 77, 81,
90, 208, 216, 217, 230, 231
Khatam 23, 50, 162, 166, 205, 263
Khidir 76, 171, 249, 260, 303
Khilafah 248, 264
Ki Bajang Angke 254
Ki Darmopodo 245
Ki Demang Poncokerto 233
Kihdr 58
Kitab Kejadian 59, 221
Kitab Sasangka Jati xxiv, 237
Kitab Suci xxi, xxiv, xxvi, xxvii,
13, 15, 63, 81, 94, 98, 110,
129, 135, 152, 167, 189, 228,
235, 277, 285, 288, 304
Kitab Wahyu 109, 142, 269, 277
Klaim kenabian 1, 23, 31, 32, 59,
64, 87, 90, 121, 185, 186,
255, 259, 279
Klenik 16, 229
Kloning 86
Klopoduwur 34, 228, 347
Koalisi Pembela Kebebasan Beragama (KPKB) 139, 317
360
Kolonel Zaid Husein 240
Kolonialisme 5
Komala Sakti 256
Komar (Komunitas Millah Abraham) 265
Komaruddin Hidayat 41, 120, 280,
281, 312
Komet 232
Komisi Pemilihan Umum (KPU)
120, 133
Komnas HAM 105, 258
Kompas xi, 184, 255, 264, 271,
340, 341, 343
Konco sikep 226
Konlik agama 26
Kong Hu Cu 11
Korupsi xx, 45, 78, 84, 93, 97, 106,
133, 134, 139, 142, 145, 149,
204, 270, 292, 293, 294, 305,
314
Kosmologi 6, 237
Kotabaru 250
Krisnamukti 111
Kristen ix, xxii, 6, 9, 10, 26, 28, 54,
109, 112, 132, 145, 169, 183,
185, 196, 197, 198, 201, 204,
205, 206, 208, 219, 220, 222,
223, 225, 233, 237, 260, 268,
270, 285, 315, 325
Kristiani 112, 219, 221, 222
Kudus xxvi, 32, 61, 143, 144, 152,
158, 159, 171, 172, 238, 253,
254, 275, 280, 293, 294, 297,
300, 301, 303, 304, 306, 310,
312, 317, 318
Kufur 263
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) 144, 161
Kuningan 47, 255
Kunti xxiv, 59, 151
Kusmanto 7, 60, 253, 254
Kusmanto Sujono 60, 253, 254
Kusnanto 7, 27, 255, 257
Kusnanto bin Amin 255, 257
Kusumo 34, 235, 236, 253, 338,
Indeks
346
Kwan Kin 116
Kwan Yin 109
Kyai Abdurrachman 233
Kyai Hasan Maulani 229
Kyai Nurhakim 229
Ludruk 124
Luti Assyaukanie 33
Luwu 249, 338
Luyut 56, 236
L
Maddika Lekko Pini Bunda
Maryam 249
Madiun 63, 221, 229, 230, 251,
252, 253
Madura 27, 54, 84, 231, 251, 252,
271, 315, 339
Maia 106, 268
Maftuh Basyuni 137, 139, 248,
291, 293
Magelang 104, 254, 261
Magribi 28
Mahabharata 59, 107, 125, 272
Mahdiisme 4, 28
Mahdo 258
Mahkamah Konstitusi (MK) 25,
132, 169
Mahoni xvii, xxi, 33, 38, 39, 46,
49, 51, 52, 53, 59, 60, 61, 63,
70, 71, 72, 74, 75, 76, 77,
79, 80, 81, 83, 109, 112, 118,
114, 117, 119, 122, 131, 136,
148, 150, 151, 152, 159, 161,
163, 164, 166, 170, 171, 172,
173, 174, 175, 181, 183, 184,
186, 187, 188, 195, 196, 197,
210, 266, 289, 303
Majalengka 255
Majapahit 9, 107, 108, 118, 151,
152, 272
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)
25, 132, 362
Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) 107
Majelis Ulama Indonesia (MUI) 9,
22, 50, 189
Makassar 43, 248
Makdun sarpin 245
Makkah 247
M
Lagubuti 218, 222, 346
Lakon 231, 240
Lala 30, 33, 55, 70, 76, 104, 118,
148, 157, 173, 174, 187, 188,
346
Lampahing urip 228
Lampung 251, 339
Larangan xxv, 252
Laskar Jihad 145
La Tansa Masyira 85
Latihan kejiwaan 234
LE2 xx, 60, 99, 278, 316
Legenda 4, 5, 8, 60, 216, 253, 254
Leiden 74, 319, 321, 322, 323, 324,
330, 333, 335
Lelaku Itikaf 132
Lemahabang 257
Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
33, 144, 162, 199
Lembaga Penelitian dan Pengkajian
Islam (LPPI) 34, 135, 196,
291
Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) 47
Lembaran Hira 87
Lia Aminuddin 42, 50, 51, 58, 82,
95, 182, 183, 186, 196, 260,
310, 323, 329, 339, 340, 342
Liang 247
Lili 52, 70, 117, 118, 346
Linangkung 33, 184, 185, 186, 346
Lismono 27, 69, 86, 124, 135, 254,
255, 259
Logos 112, 316
Lombok Timur 250
Londo Mondolan xxiv, 226
Indeks
361
Makmur Ariin 103
Maksum Djauhari 88, 275
Malaikat xvii, 32, 35, 37, 40, 52,
54, 58, 80, 88, 110, 116, 122,
128, 131, 145, 151, 164, 170,
195, 197, 204, 205, 224, 239,
256, 257, 258, 261, 262, 266,
275, 277, 282, 289, 296, 307,
308, 311
Malaikat Jibril xxiii, 31, 32, 37, 41,
49, 50, 54, 56, 57, 58, 75, 93,
96, 105, 140, 165, 169, 182,
192, 204, 266, 267, 273, 275,
307, 311, 318, 343
Malaikat maut 231
Malang 51, 132, 137, 230, 251,
259, 292
Malik Badri 75
Malim xxiv, xxv, xxvi, xxviii, 6,
217, 218, 220, 221, 222, 223,
224, 249
Maluku 248
Mama (manusia awal manusia
akhir) 256
Manado 39
Mangapin Sibue 13
Mangunwijayan 253
Mardi Yuwono 12, 20, 34, 243
Margomulto 34
Maria Julia 125, 157
Ma’rifat 257
Marike Sukayanti 95, 118, 130,
148, 164, 173
Mark Woodward x
Marnakok Naiposos 34
Maros 248
Martogi Sijabat 34
Ma’ruf Amin 26, 50, 189, 191, 207
Maryanto 162
Masigid Imam Tohed 259
Masjid Darussalam 185
Masjid Meranti 182, 185, 290
Masjid Sampekonan 248
Mas Malangyuda 229
Mas’ud Simanungkalit 13
362
Matahari 52, 58, 83, 86, 109, 134,
238, 253, 269, 286
Mataram 9, 233, 239
Mataram Islam 233, 239
Mayang 75
Mayong xi, 33, 174, 182, 199, 200,
201, 202, 347
Mayonggo seto 245
Mbah Suro 225, 332
McGill University x, 187, 188, 320,
327, 350
Medan vii, xi, 33, 34, 47, 263, 325,
327, 333, 336
Megamendung 56, 95, 99, 100
Megawati 108, 137, 272, 292
Mekkah 77, 78, 82, 83, 167, 175,
204, 239, 252, 263
Melayu 7, 221, 223
Menep 245
Mengala Bulan xxiv, 218
Mentawai 8
Menteng 76, 83, 250
Meranti 134, 182, 185, 222, 290,
292, 312
Merkurius 86
Mesiah xxii, 4, 13, 28, 248, 253
Mesianik 68, 124, 228, 229, 231
Mesianisme 4, 5, 6, 7, 23, 28, 222
Mesir 59, 137
Metro TV 103, 120, 133, 181, 280,
289, 290, 312
Meutia Haidz 120, 280
Michael Feener viii
Milenarian 28, 228, 231, 251
Milenarianisme 4, 6, 28
Milenaris 124
Mileniarisme 4, 5, 7, 23, 28, 85
Mirah delima 231
Mirring 249
Mirza Ghulam Ahmad 102, 158,
301, 302
Mitos 4, 5, 8, 9, 111, 216, 218, 226,
231, 254
Mitra Bestari 198
Moch Tjiptardjo 171, 307
Indeks
Mohammad Hatta 252
Mojokerto 251, 252, 256, 259, 262
Monastik 68
Montreal 187, 320, 327
Mormon 28
M. Syauqi Gathmyr 100
Mubahalah 87
Muchidin Safa xxii, 260
Muhammad Abdul Rachman xvii,
30, 40, 41, 65, 66
Muhammad bin Tumart 28
Muhammad Nasiraka Ambo 249
Muhammad Subuh xxi, xxviii, 5,
232, 327
Muhayat 131, 289
Muhidin 99
MUI xxi, 9, 17, 19, 21, 22, 23, 26,
27, 33, 35, 37, 50, 51, 64, 68,
71, 73, 82, 87, 88, 90, 93, 94,
98, 99, 100, 101, 106, 107,
121, 123, 124, 129, 131, 132,
135, 136, 137, 138, 139, 140,
143, 146, 147, 148, 153, 158,
162, 166, 174, 181, 182, 183,
185, 186, 188, 189, 190, 191,
192, 193, 194, 195, 196, 198,
199, 200, 201, 202, 204, 205,
206, 207, 208, 209, 211, 213,
247, 248, 249, 250, 252, 253,
254, 257, 262, 263, 264, 266,
267, 282, 283, 286, 287, 288,
292, 293, 295, 298, 300, 309,
310, 314, 330, 334, 338, 341,
343, 345
Mujahid 258
Mujahidah 258
Mujiharjo 243, 347
Mukjizat xxiii, 10, 53, 114, 120,
124, 140, 152, 219, 230, 278,
279, 288, 306
Mukti Ali 17, 43, 44, 59, 198, 329
Mukti Day 44, 109, 152, 172, 268,
269, 303, 304
Mulajadi Nabolon 218
Mula Jadi Na Bolon xxiv, 218, 221,
223
Mulayana W. Kusumah 133
Mulla Sadra 73
Multilevel marketing (MLM) 264
Munggi 240
Murabbi 76
Musa ix, 171, 216, 260, 303
Musailamah 3
Musdah Mulia xi, 33, 41, 174, 179,
195, 199, 202
Muslim Nasution 189, 193
Musthofa Ali Yaqub 138, 162, 197
M. Zein 100, 101
N
Nabi xvii, xxii, xxiii, xxiv, xxv,
xxvii, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
10, 11, 13, 15, 17, 18, 19, 21,
22, 23, 26, 27, 28, 33, 34, 36,
37, 38, 42, 45, 48, 49, 50, 51,
54, 55, 56, 58, 60, 63, 68, 69,
76, 85, 86, 87, 88, 90, 102,
105, 107, 113, 124, 125, 127,
134, 135, 137, 150, 161, 171,
179, 180, 181, 189, 190, 195,
204, 208, 209, 210, 212, 213,
215, 216, 217, 218, 219, 221,
225, 228, 229, 230, 231, 232,
233, 234, 235, 236, 237, 238,
240, 241, 242, 245, 246, 247,
249, 250, 251, 252, 253, 254,
255, 257, 258, 260, 262, 263,
264, 287, 288, 289, 297, 301,
303, 343, 346
Nabi Harjosapuro 241
Nabi Indonesia 11, 19, 27, 28, 36,
107
Nabi Muhammad xvii, 1, 13, 41,
50, 57, 65, 83, 85, 91, 101,
105, 109, 117, 138, 146, 158,
165, 167, 190, 195, 204, 208,
231, 234, 239, 248, 256, 257,
267, 271, 272, 273, 275, 315
Nabi palsu 3, 134, 181, 343
Indeks
363
Nabi pribumi 13, 18, 180, 209, 264
Nabire 132, 284
Nabi Subuh 49, 85, 233
Nabi Sumarah 56, 85
Nabi Sunarto 237, 238
Nafsu 238, 241, 294, 301
Naga Padoha xxv, 220
Nagapadohani Raja 218
Nagasasra 242
Nahdlatul Ulama xxi, 88, 90, 118,
137, 291
Namo Oh Mee To Fo 111
Nana 33, 187, 188, 346
Nandang 250
Naqsabandiyyah 234
Narkoba 93
Narumonda 220
NASA 134, 285
Na Siak Bagi , 4, 50, 60, 221, 222,
326, 4, 50, 60, 221, 222, 326
Naskah Qumran 94
Nasr Hamid Abu Zayd 137
Nazaruddin Awaluddin 133
Negara Islam Indonesia (NII) 260,
263
Nenggela Utan Malang 259
Neo-pentakostalisme 81
Nerimo 238
New Agers 135
Nganjuk 230, 231
Ngelmu 226
Ngraho 34, 346
Nias 8, 132, 327
Nibiru 134, 285
Nong Darul Mahmada xi, 33, 174,
192, 199, 201, 202
NRM (New Religious Movement)
2, 5, 6, 10, 11, 14, 15, 17, 21,
23, 24, 28, 29, 30, 35, 36, 38,
48, 49, 55, 61, 64, 67, 68, 69,
81, 90, 92, 94, 95, 106, 115,
123, 157, 158, 163, 171, 173,
179, 180, 181, 209, 210, 211,
213, 232, 247, 251, 264, 265
364
Nugroho 34, 239, 240, 346
Nuh 216, 221
Nur Aisyah 118
Nur Cahaya 256
Nurcholish Madjid 19, 41, 73, 88,
120, 281, 320
Nur Iskandar SQ 47
Nurul Komar 256
Nusantara iv, viii, 8, 23, 69, 171,
215, 240, 125, 8, 215, 216,
212, 213, 265, 329, 265, 240,
23, 63, 69, 125, 171, 205,
212, 213, 215, 216, 251, 256,
260, 265, 329
Nusa Tenggara , 10, 27, 50, 86,
247, 250, 10, 27, 50, 86, 247,
250
Nutfah 243
Nyai Roro Kidul xxv, 84, 111, 239
Nyi Asyiah 54, 63, 69, 112, 229
Nyonya Pujosudirjo 245
O
Ojek 39, 103
Oktario Hartawan Achmad 143,
298
Ompu Barnit 221
Ompu Pulo Batu 218, 219
Ompu Sohahuaon 218
Ono Niha 8
Ontowiryo 215
Orde Baru , 2, 7, 14, 16, 17, 21, 22,
23, 27, 36, 47, 50, 85, 180,
186, 209, 212, 232, 240, 247,
255
Orthodoksi keislaman 2, 9, 15, 16,
17, 21, 23, 24, 27, 37, 50, 68,
87, 88, 93, 98, 121, 124, 125,
137, 144, 148, 153, 157, 174,
180, 182, 204, 209, 210, 211,
213, 217, 247, 252
Otoritas 3, 8, 9, 17, 22, 28, 37, 48,
51, 52, 55, 58, 60, 61, 64, 68,
86, 90, 92, 95, 106, 110, 111,
Indeks
112, 121, 123, 125, 129, 135,
137, 148, 152, 174, 191, 192,
200, 213, 271, 307
Ozon 86
P
Padang 39, 263
Padepokan Karang Kadampel Pasir
Ranji 254
Padmowiyoto 34, 232, 233, 235,
346
Paduka , 30, 38, 51, 52, 62, 63,
173, 345, x
Paimin 197
Palestina 133, 168, 274, 304, 305
Paliwara 238
Palu 13, 248, 249
Pamekasan 252
Pancasila xxv, 13, 31, 85, 147, 158,
203, 227, 238, 272, 309, 331
Pandak 243, 347
Pandawa xxiv, 59, 125
Pande manusia 250
Panembahan xxv, 230
Pangambe , 96, 215, 223
Pangeran Jayakarta 254
Pangeran Sambernyawa 253
Pangeran Sobo Kingking 254
Pangestu xxiv, xxv, xxvi, xxvii,
xxviii, 34, 48, 85, 111, 209,
235, 236, 237, 238, 246, 330,
331, 346
Panggerman 252
Pantai Parangtritis 84
Panti Rapih 247
Panuntun Agung Sri Gutama xxv,
241
Papuq Djunaidi 250
Paramayoga 6
Parandangan 8
Paranpara xxv, 236
Parbaringin 222
Parker 10, 11, 217, 218, 226, 331
Parmalim xi, xxii, xxiv, xxv, xxvi,
34, 218, 219, 220, 222, 223,
326, 346, 347
Parmin Padmowiyoto 34, 232
Parsambilan 220
Partai Bintang Reformasi (PBR)
25, 47
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
16
Partai Golongan Karya (Golkar) 16
Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
25, 115
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
47
Partai Nasional Indonesia (PNI)
251
Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) 16, 47
Parung 85
Pasaributobing 223
Pasca-kolonial 5, 6
Pati 225, 226
Patrons 30
Patuan Raja Uti 218
Paus Yohanes Paulus II 133, 286
Pekalongan 229, 251
Pelabuhan Ratu 83, 90, 132, 310
Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) 242
Pendaku kenabian xxv, xxvi, xxvii,
xxviii, 2, 3, 180, 248
Pengadilan 25, 62, 135, 138, 139,
143, 144, 145, 147, 150, 151,
160, 165, 315, 194, 204, 205,
256, 262, 265, 268, 289, 291,
292, 298, 302, 314
Perancis xxiv, 59, 302
Perang sabil 224
Perenialisme 76, 110, 123, 129, 211
Perjanjian Lama 221, 272
Persatuan Islam (PERSIS) 291
Pesantren al-Qalam 188
Peter Carey viii
Pikukuh kesejatin xxvi, 228
Pingit 43, 53, 121
Pluralisme 16, 17, 18, 19, 20, 21,
Indeks
365
22, 23, 24, 25, 26, 27, 34, 36,
212, 147, 36, 88, 147, 180,
181, 189, 202, 203, 204, 207,
210, 211, 212
PNPS 1 1965 135
Polda Metro Jaya 143, 163, 182,
200, 201, 300, 317, 342
Polewali Mandar 249
Polisi 143, 161, 183, 196, 197, 230,
249, 251, 255, 258, 315, 343
Polri 105, 107, 136, 271, 291, 340,
344, 345
Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah
47
Pondok Pesantren Buntet 77
Pontianak 84
Porong 141
Pos Kota 182, 183, 342
Poso 142
Prabowo Subianto 47
Prabu Tommy 7, 27, 86, 96, 113,
124, 255, 259
Prasenjit Duara viii
Probosutedjo 139, 293
Proselytization 123
Protestan 11, 16, 39, 212, 239
PT Lapindo Brantas 141
Puan Solong 63, 112, 248
Pujisidurjo 34
Pulau Laut 250
Pulau Seribu 245, 246
Puppha Vaga 110, 274
Pustaha Poda Hangoluan xxvi, 222
Pustaha Tumbaga Holing 222
Putut Linangkung 33, 184
Q
Qadariyyah 88
Qital 263
Qiyadah Islamiyah 179, 211, 263
R
Racut 56, 242, 243
Raden Ayu Siti Hartinah 45
366
Raden Masduki 254
Raden Muhammad Muyo Mahmud
Marzuki 257
Raden Sukisman 244
Raden Sumawinata 254
Radikal 25, 26, 132, 135, 147, 150,
158, 161, 166, 168, 174, 180,
223
Radikalisme 22, 23, 25, 26, 149,
184, 190, 292, 325
Rahimat 7, 86, 135
Rahmat Fadli 95, 130, 287
Rahmatia 248
Rajadewi Maharajasa 108, 272
Raja Glagahwangi 253
Raja Hatorusan 218, 220
Raja Kutai Kalimantan 259
Raja Marnakkok Naipospos 218,
222, 223
Raja Mulia Naipospos 222
Raja Naopatpulubosi 218
Raja Na Siak Bagi 221
Raja Rum 220
Raja Stambul 220
Raja Ukap 222, 223
Raja Uti 218, 220
Randublatung 225
Rangkas Bitung 85
RA Saud Ariin 95
Rasjidi 15
Rasul 13, 94, 119, 159, 175, 190,
234, 258, 260, 261, 262, 278,
303, 307, 316, 338, 339, 344
Rasyidi 250
Ratib 223
Ratu xxii, 4, 6, 42, 52, 59, 60, 61,
63, 108, 112, 114, 119, 120,
125, 126, 127, 137, 138, 139,
153, 174, 181, 215, 226, 228,
229, 230, 231, 232, 253, 273,
277, 279, 284, 292, 301, 307,
316, 328
Ratu adil xxii, 4, 6, 63, 215, 226,
228, 230, 231, 232, 273, 328
Ratu Kalinyamat 253
Indeks
Ratu Laut Kidul 84
Ratu rabul alamin 63, 231
Ratu Tegal Luar 63, 229
Ray Rangkuti 120, 281
RA Zaitun 95
Reformasi 2, 7, 11, 14, 17, 19, 20,
21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28,
34, 36, 47, 50, 54, 60, 63,
69, 85, 86, 87, 107, 113, 124,
125, 135, 158, 180, 199, 208,
209, 211, 212, 227, 247, 251,
261, 262, 264
Refuge 30, 35, 68, 92, 95, 106,
157, 209
Reg Veda 110
Reinkarnasi xvii, 6, 41, 44, 59, 60,
63, 65, 67, 89, 91, 107, 108,
109, 116, 117, 118, 127, 130,
138, 145, 151, 152, 158, 162,
164, 170, 171, 195, 198, 204,
215, 217, 231, 254, 255, 256,
259, 262, 267, 268, 269, 271,
273, 275, 277, 287, 290, 292,
293, 300, 301, 302, 303, 307
Release atau liberation 30
Rembang 225, 226
Resmi 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16,
17, 20, 24, 26, 51, 90, 100,
109, 111, 203, 209, 211, 212,
226, 232, 233, 234, 235, 236,
237, 244, 275, 278, 303, 316,
340
Restorasi 4
Revitalisasi 4, 29, 30, 35, 92, 106,
120, 123, 125, 157, 179, 180,
210, 264
Revitalization 68, 319, 321
R. Ghassani Karamina 139
Riani Ridwan 126
Riau 222
Rido 238
Rizal Aziz 134, 290
Rohilapi 245
Rohimat xxviii, 69, 124, 255, 259
Roh Suci xxvi, 238
Rokail 256
Romawi 145
Ropi xi, 33, 187, 188, 346
Ruh xxvi, 13, 52, 56, 58, 60, 79,
105, 107, 108, 112, 113, 114,
117, 118, 139, 151, 152, 198,
218, 238, 243, 248, 250, 266,
270, 271, 272, 273, 278, 286,
294, 311, 315
Ruh min amrih xxvi, 58
Ruhul amin 58
Ruhul kudus 58
Rus’an 13
S
Sa’adah 85
Sabda xxiii, xxvii, xxviii, 239, 330
Sabda Khusus xxvii, 237
Sabda Kusuma 27, 254, 338
Sabda-Sabda Pratama xxvii, 237
Sabulungan 8
Said Agil al-Munawar 139
Sajilan 34, 238, 239, 347
Sakti Alexender Sihite 260
Salaiah 88
Salamullah xxvii, 9, 10, 30, 32, 35,
37, 41, 42, 48, 49, 50, 51, 52,
53, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 64,
67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74,
75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82,
83, 86, 87, 88, 90, 91, 92, 93,
94, 95, 96, 97, 98, 60, 77, 99,
99, 100, 101, 102, 103, 104,
105, 106, 109, 110, 111, 112,
114, 115, 116, 117, 118, 119,
120, 121, 129, 148, 159, 171,
175, 183, 186, 187, 188, 189,
193, 201, 207, 210, 266, 267,
269, 270, 273, 274, 275, 276,
279, 280, 281, 284, 300, 309,
311, 318, 329, 331, 339, 341
Salawat 257
Salman Maryadi 138, 139, 292,
312
Indeks
367
Samatism 225
Samawiyah 7, 27, 54, 251
Sambela 250
Samil 256
Samin Surosentiko , 4, 50, 224,
225, 228, 4, 50, 224, 225,
228, 4, 50, 224, 225, 228
Samosir 34, 347
Sampekonan 247, 248
Sanggar (pusat kegiatan) 243
Sang Hyang Widi Wasa 111
Sang pembohong/al-kadzdzab 3
Sansekerta 252
Santet 72, 76, 265, 266, 311
Santriloka 252, 338
Saor Siagian 199
Sapaan xxiii, xxvii, xxviii, 53, 56,
57, 70, 71, 74, 78, 81, 83,
105, 106, 111, 114, 118, 119
Sapta Dharma xxv, xxvi, xxvii, 20,
56, 85, 209, 241, 242, 243,
246, 338, 345
Sasangka Jati xxiv, 235, 237, 331
Satria Piningit Weteng Buwana
xxvii, 63, 262
Sayidina Ali 231
SCTV xxi, 120, 181, 280, 312, 344
Seblu 215, 230
Sedong 257
Sedulur papat lima pancer 245
Segelap 229
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Kendari 248
Sekolah Tinggi Calon Guru
(PGAN) 256
Sekolah Tinggi Ilmu AdministrasiLembaga Administrasi
Negara (STIA-LAN) 261
Sekulerisasi 19, 23, 24, 28
Selo 252
Semarang 217, 229, 233, 244, 263,
328, 329
Semedi 216
Semenanjung Arab 1
Semitik 13, 14, 15, 18
368
Senen xvii, 2, 30, 38, 39, 80, 122,
131, 182, 183, 289, 290, 312,
342, 345, 346, 347
Senopati 233, 239
Senopo 229
Sentul 83
Serang 85, 300
Serat Cebolek 6
Serat Centhini 6
Serat Dewa Ruci 6, 239
Serat punjer kawitan 228
Serat Wirid 6
Setara Institute 26, 33, 34, 174
Shem 221
Shirotal mustaqim 259
Shiva 9
Si Bontar Mata xxvii, 219, 221
Siboru Daekparujar 218
Si Boru Deak Parujar xxvii, 220
Sidoarjo 141, 142, 295, 296, 312
Sidratul Muntaha xxviii, 58
Silat 249, 257
Siliwangi 63, 231, 259
Simarimbulubosi 218
Simo Boyolali 236
Simorgarap 223
Sinan Koto 259
Sinar Galih 255
Singgih ix, 45, 77, 79
Sinkretis 4, 6, 29, 97, 217, 237, 251
Sinkretisme keislaman 9
Siprus 234
Sirrin 263
Si Singamangaraja XII 6, 50, 215,
217, 218, 218, 219, 222, 223,
334
Siti Hajar 251
Siti Herdianti Rukmana 45
Siti Zaenab Luxiaty 30, 40
Slamet Basuki 34, 242
Sleman 12, 233, 235, 346
SMA xxi, 43, 54, 104, 238, 243,
248, 261
SMA Ahmadiyyah (PIRI) 238
SMA Maros 248
Indeks
SMA Muhammadiyah 261
SMA Taruna 104
SMP xxi, 43, 73, 103, 187, 292
Sodiran 161, 200
Sodom 143
Soeharto 2, 7, 11, 16, 17, 18, 22,
24, 25, 43, 44, 45, 47, 85, 98,
102, 107, 108, 118, 135, 139,
151, 152, 180, 204, 266, 271,
272, 281
Soiyullah 139
Somalaing 4, 50, 60, 69, 96, 219,
220, 220, 221, 223
Somalaing Pardede , 50, 69, 219,
50, 69, 219, 50, 69, 219
Soripata xxviii, 218
Sosial xix, 3, 4, 7, 8, 9, 10, 14, 16,
18, 20, 38, 60, 64, 70, 71, 83,
97, 108, 180, 211, 262, 331
Sosrowijayan 242
Srawet 251
Sri Gautama 242
Sri Kusniati (Cici) 78
Sri Murdiningsih 30, 46, 130, 172,
174
Sri Pawenang 242
Subud xxi, xxiv, xxviii, 15, 29, 49,
209, 232, 233, 234, 235, 240,
320, 324, 327, 329, 333, 335,
346
Subuh xxi, xxviii, 5, 34, 49, 83, 85,
111, 232, 233, 233, 234, 240,
327, 335
Sui 26
Suhandi 100
Suhrawardi 73
Sujono 7, 60, 253, 254
Sujud sembah 124
Sukabumi 85
Sukakarya 56, 95, 99, 100, 101,
105, 318
Sukardi 34, 226, 227, 347
Sukarno xxii, 7, 11, 18, 27, 63, 83,
107, 108, 116, 207, 215, 231,
232, 251, 252, 254, 256, 259,
262, 272, 276, 319, 322, 331,
335, 338
Sukeri 34, 228, 347
Sukino 5, 83, 85, 232, 238, 239, 83,
239, 239, 240, 241, 346
Sukisman 5, 232, 243, 244, 244,
245
Suklawijaya 231
Suksma Kawekas xxviii, 237
Suksma Luhur 245
Suksma Sejati xxviii, 236, 237
Sulawesi 8, 10, 14, 27, 43, 50, 58,
63, 69, 247, 69, 142, 172,
232, 247, 248, 249, 252, 255,
263
Sulawesi Selatan 232, 249
Sulawesi Tengah 8, 27, 247, 248,
252, 255
Sultan Agung xxii, 216
Sultan Saladin 108, 271
Suluk Dewaruci 6
Sumarah xxvii, 15, 20, 34, 56, 85,
209, 238, 239, 240, 241, 243,
244, 245, 246, 319, 335, 346,
347
Sumarah Purbo xxvii, 20, 34, 209,
243, 244, 245, 347
Sumatera , xxii, 4, 33, 60, 215, 217,
218, 225, 247, 250, 251, 261,
346, 347
Sumatera Utara 217, 218, 261
Sumito Joyokusumo xxvi, 7, 27,
63, 69, 86, 113, 124, 135,
253, 258
Sunan Giri 216
Sunan Gunung Jati 254
Sunan Kalijaga iv, ix, x, 79, 233,
253, 330, 349, 350
Sunanul Huda 85
Sunarto xxv, 48, 56, 58, 85, 139,
232, 235, 236, 236, 237, 238,
240, 293
Sunda Kelapa 87
Sunni 26, 88, 298
Supriyadi 253
Indeks
369
Surakarta 9, 45, 230, 231, 321
Surga xvii, xxviii, 13, 38, 42, 58,
61, 63, 85, 119, 131, 150,
151, 152, 154, 170, 197, 256,
257, 258, 259, 261, 268, 270,
278, 283, 284, 286, 287, 306,
307, 314, 316
Surga Adn (Eden) 257
Suro Basidi 228
Surokarto Kamidin 226
Survita Mayaut 131, 289
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
24, 26, 203
Susilo Budhi Dharma xxi, xxviii,
232
Sutanto 143, 300
Sutiyoso 131, 289
Suwartini 242
Suyoto 34, 228, 347
Suzanne Enderwitz x
Swiss iv, 234
Syahrir 242
Syaifuddin Zuhri ix, 14
Syamsuddin 27, 58, 96, 131, 172,
248, 249, 250, 282, 343
Syamsuri 7, 27, 69, 86, 124, 135,
251, 254, 258
Syamsuriati 43, 127
Syarif Hidayat 60, 134, 255, 290,
340
Syarifuddin 48, 99, 242
Sydney ix, x, 349
Syekh Damarsih 254
Syekh Siti Jenar 253
Syi’ah 26, 104, 198, 206
Syira 58
Syirik 69, 74, 76, 84, 88, 90, 93,
107, 108, 111, 195, 266, 270,
275, 276, 277, 280, 310, 311
T
Tahajud 48, 78
Tai Chi 76
Taklim Al-Insanul Kamil (Khotbah
370
Kesempurnaan Manusia)
255
Tangerang 85, 170, 306, 307, 314
Tao 13
Tapa 216
Tapelan xxv, 34, 227, 228, 346
Tarekat 128, 234, 250
Tasikmalaya 255, 256
Tauik xxviii, 7, 69, 86, 135, 255,
259, 339
Tauiq HD 95
Tauhid 74, 76, 82, 94, 272, 275,
276
Tausiyah 22
Tawangrejo 252
Teguh Esha 198, 260, 370
Tempo 184, 199, 207, 249, 264,
286, 339, 340, 342, 343
Tengku Sholeh 193
Teologi 3, 11, 15, 98, 112, 181,
187, 200, 208, 237
Tien Soeharto 139
Timbul Pasaribu 161
Tim Pembela Kebebasan Beragama
(TPKB) 144, 162, 299, 371
Titing Sulastami 76, 87, 130, 172,
175, 304, 318
Tjokroaminoto 215, 231
TNI AU (Tentara Nasional Indonesia Anggkatan Udara) 43
Tobing alias Entong 103
Toleransi 110, 133, 146, 155, 180,
182, 184, 200, 210, 300
Topo broto 236
Toraja 8, 14, 337
Tripitaka 13, 129, 272, 285
Tri-purasa xxviii, 237
Tri Sudiati 130
Tuhan Ra 113, 279
Turki 24, 207
U
Ugamo Malim xxiv, 218, 221, 222,
223
Indeks
Ujang Heri 103
Ujungpandang 248
Ulama 3, 47, 87, 94, 100, 108, 148,
189, 191, 226, 256, 320, 323,
324, 339
Ulil Abshar Abdalla 195, 199, 202,
207, 208
Uli Parulin Sihombing 199
Uluan 220
Ulun Sampurna 256
Umar Iskandar 30, 32, 49, 53, 70,
71, 77, 79, 100, 101, 171,
309, 347
Umar Syihab 189
Ummah 79
Ummul qura 263
Umroh 74, 75, 78, 82, 175
Uniication Chruch 81
Union Church 29
Universal Declaration of Human
Rights in the International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 143
Universitas Driyarkara 72, 76
Universitas Indonesia (UI) 74, 116
Universitas Islam Negeri (UIN)
Makkasar 249
Uri-uri pambudi 228
Ustadz Adung 150
UUD 1945 13, 101, 203, 299
UU PNPS 1965 18
V
Vatikan 133, 286
Veda 13, 110
Venus 30, 86
Vita 118
W
Wahabi 88
Wahana Kebangsaan (WK) 29,
163, 172
Wahid xi, 25, 34, 108, 187, 188,
251, 252, 253, 257, 264, 319,
320, 325, 328, 333, 335, 338,
339, 347
Wahid Institute xi, 34, 251, 252,
253, 257, 264, 319, 325, 328,
333, 335, 338, 339
Wahyu xxiii, xxvii, xxviii, 1, 2, 3,
4, 7, 8, 10, 11, 13, 15, 23, 28,
31, 32, 33, 35, 36, 37, 40, 41,
42, 46, 48, 49, 51, 53, 56, 57,
58, 59, 70, 76, 83, 105, 106,
107, 109, 110, 111, 116, 124,
129, 130, 132, 136, 137, 138,
139, 140, 141, 142, 150, 153,
160, 161, 162, 165, 167, 168,
171, 174, 175, 183, 190, 191,
194, 196, 201, 204, 211, 217,
220, 229, 230, 231, 232, 235,
237, 239, 240, 241, 242, 244,
245, 249, 250, 251, 252, 253,
260, 263, 265, 269, 270, 272,
273, 275, 287, 296, 302, 340
Wahyu Andito 57, 161, 303, 313
Wali wudhar 216
Wanabadra 229
Wangsit 252, 253
Wani 228
Waqodiyat 245
Warsito 15
Warta Kota 182, 343
Warujayeng 230
Wawan 172, 304, 318
Weber 2, 3, 4, 337
Weda 98, 129, 272, 274, 285
Wedhatama 6
Widji Saksono 15
Wirobrajan 238, 239, 240, 245
Wisnu 9, 109, 184, 268, 344
Wong Samin 228
Wong sikep 226, 228
World-accommodating movements
29
World-afirming 29, 30, 38, 64, 67,
210, 211
World-rejecting 29, 30, 38, 61, 95,
115, 209, 210, 211
Indeks
371
Wovoka 28
Wowiek Prasantyo 159, 300
WS Rendra 174
WTC 107, 273
Y
Yafet 221
Yahudi xxii, 145, 205, 208, 220,
221, 260, 325
Yahweh 220
Yang Mulia Ratu Lia , 119
Yanthi , 72, 75, 114, 129, 163, 283,
316
Yasin 80, 82
Yasser Arafat 133, 286
Yayasan Zakya Maqta xxviii, 261
Yesus 13, 44, 59, 109, 110, 112,
145, 152, 159, 175, 198, 216,
219, 220, 233, 239, 256, 260,
269, 274, 278, 303, 315
Yogyakarta iv, vii, ix, xi, 5, 9, 12,
14, 34, 68, 84, 115, 119, 135,
141, 215, 216, 229, 230, 231,
232, 233, 235, 238, 239, 240,
242, 243, 244, 245, 247, 253,
263, 285, 292, 323, 325, 327,
329, 330, 331, 333, 334, 335,
337, 345, 346, 347, 349, 350
Yusman Roy 51, 132, 138, 287,
288, 292
Yusuf Amin 103, 163
Z
Zaenab 30, 40, 59, 109, 346
Zaenuddin 131, 289
Zaid Husein 240
Zainab 43
Zainal 99
Zainuddin MZ 47
Zainun Kamal 195
Zamzam 77
Zikir 223, 257
Zikrullah 27, 247, 248
Zohrah 250
372
Indeks