Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

MAKALAH BAB PUASA

2019, Makalah Pendidikan Agama (Puasa)

pengertian puasa, jenis puasa berdasarkan hukumnya, hikmah puasa, fidyah

1 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................3 A. Latar Belakang ............................................................................................. 3 B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 3 C. Tujuan Pembahasan ..................................................................................... 4 BAB II POKOK PEMBAHASAN ..........................................................................5 A. Pengertian Puasa .......................................................................................... 5 B. Rukun Puasa Dan Syarat Puasa.................................................................... 6 1. Rukun puasa................................................................................................. 6 2. Syarat - Syarat Puasa ................................................................................... 6 C. Macam-Macam Puasa .................................................................................. 9 1. Puasa-Wajib ................................................................................................. 9 2. Puasa-Haram .................................................................................................9 3. Puasa Makruh..............................................................................................13 4. Puasa Tathawwu’ atau Puasa Sunnah ........................................................ 14 D. Hal Yang Disunnahkan Saat Puasa ............................................................ 18 1. Sahur .......................................................................................................... 19 2. Menta’hirkan makan sahur ........................................................................ 19 3. Menyegerakan berbuka .............................................................................. 19 4. Berbuka dengan kurma, sesuatu yang manis, atau dengan air. ...................19 5. Berdoa sewaktu berbuka puasa. ................................................................. 20 6. Memberi makanan untuk berbuka bagi orang-orang yang berpuasa. ........ 20 7. Hendaklah memperbanyak sedekah selama dalam bulan puasa. ............... 20 8. Menyibukkan diri dengan ilmu pengetahuan,............................................ 20 2 E. Hal Yang Membolehkan Pembatalan Puasa .............................................. 21 1. Perjalanan................................................................................................... 21 2. Sakit ........................................................................................................... 21 3. Dan 4. Wanita Hamil dan Wanita Menyusui ............................................. 22 5. Masa Tua.................................................................................................... 23 6. Rasa Lapar Dan Haus Yang Membahayakan ............................................ 23 7. Terpaksa ..................................................................................................... 24 F. Hal Yang Membatalkan Puasa. .................................................................. 24 1.Makan dan minum ...................................................................................... 24 2.Muntah yang disengaja ............................................................................... 25 3.Bersetubuh .................................................................................................. 26 4.Keluar darah haid (kotoran) atau nifas (darah sehabis melahirkan) ............26 5.Gila.............................................................................................................. 26 6. Keluar mani dengan sengaja ...................................................................... 26 G. Qadha, Kifarat dan Fidyah ......................................................................... 26 1. Hal-Hal Yang Harus Dilakukan Jika Puasa Batal .................................. 26 2. Hukum Qadha ......................................................................................... 27 3. Kafarat .................................................................................................... 30 4. Fidyah ..................................................................................................... 31 H. Faedah Puasa .............................................................................................. 32 BAB III ANALISIS DAN DISKUSI .....................................................................34 BAB IV KESIMPULAN .......................................................................................35 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alhamdulillah Hirobbil Alamin kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga kami kelompok 5 dapat menyelesaikan makalah Pendidikan Agama Islam yang berjudul “Puasa” dengan baik dan lancar. Kami menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun, sehingga tugas ini dapat menjadi bahan bacaan yang bermanfaat bagi para pembaca. Pentingnya pembahasan mengenai bab Puasa adalah yang Pertama, sebagai salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rezeki bagi kita. Kedua, sebagai perisai diri dari nafsu dan amarah. Ketiga, puasa juga bisa digunakan untuk menjaga kesehatan. Keseluruhan dari makalah ini adalah pada Bab I berisi tentang latar belakang kenapa kami membuat makalah ini, rumusan masalah yang berisi beberapa pokok pembahasan yang akan kami ulas pada makalah dan tujuan pembahasan mengenai puasa. Pada Bab II terdapat materi pembahasan dari beberapa rumusan masalah yang sudah kami sertakan pada Bab I. Bab III berisi analisa dan diskusi dari kelompok kami dengan para rekan Manajemen Reg. B. Dan yang terakhir, pada Bab IV berisikan kesimpulan dari pembahasan materi Puasa. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian puasa baik secara Etimologi maupun Terminologi? 2. Apa saja rukun dan syarat puasa? 3. Apa saja macam-macam puasa? 4. Hal apa saja yang disunnahkan dalam puasa? 5. Hal apa saja yang membolehkan pembatalan puasa? 4 6. Hal apa saja yang dapat membatalkan dan tidak membatalkan puasa? 7. Apa itu Qadha, Kifarat dan Fidyah? 8. Apa saja hikmah puasa? C. Tujuan Pembahasan 1. Ingin memahami pengertian puasa 2. Ingin memahami rukun dan syarat puasa 3. Ingin memahami macam-macam puasa 4. Ingin memahami apa saja yang disunnahkan saat puasa 5. Ingin memahami apa saja yang membolehkan pembatalan puasa 6. Ingin memahami hal yang membatalkan dan tidak membatalkan puasa 7. Ingin memahami Qadha, Kifarat dan Fidyah 8. Ingin memahami hikmah puasa 5 BAB II POKOK PEMBAHASAN A. Pengertian Puasa Dari segi bahasa, puasa berarti menahan (imsak) dan mencegah (kaff) dari sesuatu. Misalnya, dikatakan “shama ‘anil-kalam”, artinya menahan dari berbicara. Allah SWT berfirman sebagai pemberitahuan tentang kisah Maryam: ُ ‫إِنِّي نَ َذ ۡر‬... ٢٦ ‫نس ٗيا‬ ِ ِ‫ص ۡو ٗما فَلَ ۡن أُ َكلِّ َم ۡٱليَ ۡو َم إ‬ َ ‫ت لِلر َّۡح َٰ َم ِن‬ “Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah...”(Q.S. Maryam : 26) Maksutnya, diam dan menahan diri dari berbicara. Orang Arab lazim mengatakan, “shama an-nahar”, maksutnya perjalanan matahari berhenti pada batas pertengahan siang. Adapun menurut syarak (syara’), puasa berarti menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya dengan niat yang dilakukan oleh orang bersangkutan pada siang hari, mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Dengan kata lain, puasa menurut istilah adalah menahan diri dari perbuatan (fi’li) yang berupa dua macam syahwat (syahwat perut dan syahwat kemaluan serta menahan diri dari segala sesuatu agar tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya. Hal itu dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar sampai terbenam matahari, oleh orang tertentu yang berhak melakukannya, yaitu orang Muslim, berakal, tidak sedang haid, dan tidak sedang nifas. Puasa harus dilakukan dengan niat, yakni, bertekad dalam hati untuk mewujudkan perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu. Tujuan niat adalah membedakan antara perbuatan ibadah dan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan.1 1 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 84-85. 6 B. Rukun Puasa Dan Syarat Puasa 1. Rukun puasa Ialah menahan diri dari dua macam syahwat, yakni syahwat perut dan syahwat kemaluan. Maksudnya, menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya. 2 Dalam buku Fiqh Islam disebutkan ada 2 rukun puasa, yaitu: a. Niat pada malamnya, yaitu setiap malam selama bulan Ramadhan. Yang dimaksud dengan malam puasa ialah malam yang sebelumnya. Sabda Rasulullah SAW : “Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malamnya sebelum fajar terbit, maka tiada puasa baginya.” (Riwayat Lima Orang Ahli Hadis) Kecuali puasa sunat, boleh berniat pada siang hari, asal sebelum zawal (matahari condong ke barat). b. Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.3 2. Syarat - Syarat Puasa a. Syarat Wajib Puasa 1) Baligh Puasa tidak diwajibkan atas anak kecil. Akan tetapi, puasa yang dilakukan oleh anak kecil yang mumayiz, hukumannya sah, seperti halnya sholat. Wali anak tersebut, menurut mazhab Syafi’i, Hanafi, dan hanbali, wajib menyuruhnya berpuasa ketika dia telah berpuasa tujuh tahun. Dan jika anak kecil itu tidak mau berpuasa, 2 3 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 85. H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), 230. 7 walinya wajib memukulnya ketika di atelah berusia sepuluh tahun. Hal itu dimaksudkan agar dia menjadi terbiasa dengan puasa, seperti halnya sholat. Kecuali, terkadang seseorang mampu melakukan sholat, tetapi belum tentu mampu berpuasa.4 Sabda Rasulullah SAW : “Tiga orang terlepas dari hukum (a) orang yang sedang tidur hingga ia bangun, (b) ornag gila sampai ia sembuh, (c) kanak-kanan sampai ia balig.” (Riwayat Abu Dawud dan Nasai)5 2) Berakal Puasa tidak wajib dilakukan oleh orang gila, orang pingsan dan orang-orang mabuk, karena mereka tidak dikenai khithab taklifiy; mereka tidak berhak berpuasa. Pendapat ini dipahami dari Hadis Nabi SAW berikut: Pena diangkat dari tiga orang; dari anak kecil sampai dia dewasa, dari orang gila sampai dia sadar, dan dari orang tidur sampai dia terjaga.6 Orang yang akalnya (ingatannya) hilang tidak dikenai kewajiban berpuasa. Dengan demikian, puasa yang dilakukan oleh orang gila, orang pingsan, dan orang mabuk tidak sah. Sebab, mereka tidak berkemungkinan untuk melakukan niat.7 3) Mampu (Sehat) dan Berada di Tempat Tinggal (Iqamah) 4 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 163. H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014),227. 6 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 162. 7 Ibid, 163. 5 8 Puasa tidak diwajibkan atas orang sakit. Walaupun demikian mereka wajib mengqadhanya. Kewajiban mengqadha puasa bagi keduanya ini telah disepakati oleh para ulama. Tetapi jika keduanya ternyata berpuasa, puasanya dipandang sah. Dalilnya ialah ayat berikut: ‫ة ِّم ۡن أَي ٍَّام أُ َخ ٖۚ َر‬ٞ ‫ان ِمن ُكم َّم ِريضًا أَ ۡو َعلَ َٰى َسفَ ٖر فَ ِع َّد‬ َ ‫ت فَ َمن َك‬ ٖ ٖۚ ‫أَي َّٗاما َّم ۡع ُدو َٰ َد‬ ُ‫ر لَّ ٖۚۥه‬ٞ ‫ع خ َۡي ٗرا فَهُ َو خ َۡي‬ َ ‫ين فَ َمن تَطَ َّو‬ َ ‫َو َعلَى ٱلَّ ِذ‬ ٖٖۖ ‫ة طَ َعا ُم ِم ۡس ِك‬ٞ َ‫ين يُ ِطيقُونَ ۥهُ فِ ۡدي‬ ١٨٤ ‫ون‬ َ ‫ر لَّ ُكمۡ ِإن ُكنتُمۡ ت َۡعلَ ُم‬ٞ ‫َوأَن تَصُو ُمو ْا خ َۡي‬ “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada harihari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah: 184) b. Syarat Sah Puasa8 1) Islam. Orang yang bukan Islam tidak sah puasa. 2) Mumayiz (dapat membedakan yang baik dengan yang tidak baik). 3) Suci dari darah haid (kotoran) dan nifas (darah sehabis melahirkan). Orang yang haid atau nifas itu tidak sah berpuasa, tetapi keduanya wajib mengqadha (membayar) puasa yang tertinggal itu secukupnya. 8 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), 169. 9 Dari Aisyah. Ia berkata, “kami disuruh oleh Rasulullah SAW mengqada puasa dan tidak disuruhnya mengqada salat,” (Riwayat Bukhari) 4) Dalam waktu yang diperbolehkan puasa padanya. Dilarang puasa pada dua hari raya dan hari Tasyrik (tanggal 11-12-13 bulan Haji). Dari Anas, “Nabi SAW telah melarang berpuasa lima hari dalam satu tahun; (a) Hari Raya Idul Fitri, (b) Hari Raya Haji, (c) tiga hari Tasyriq (tanggal 11,12,13 bulan Haji).” (Riwayat Daruqutni)9 C. Macam-Macam Puasa Puasa banyak macamnya; puasa-wajib, puasa sunah (tathawwu), puasa yang diharamkan, dan puasa yang dimakruhkan.10 1. Puasa-Wajib Puasa jenis ini terdiri dari tiga macam : a. Puasa yang diwajibkan karena waktu tertentu, yakni puasa pada bulan ramadan, b. Puasa yang diwajibkan karena suatu sebab (‘illat), yakni puasa kafarat, dan c. Puasa yang diwajibkan karena seseorang mewajibkan puasa kepada dirinya sendiri, yakni puasa nazar. 2. Puasa-Haram11 Puasa jenis ini ialah sebagai berikut : a. Puasa sunnah (nafilah) seorang perempuan yang dilakukan tanpa izin suaminya. Kecuali, jika suaminya tidak memerlukannya. Misalnya, ketika suaminya sedang bepergian, sedang melakukan ihram haji atau umrah, atau sedang 9 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), 229. Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 107. 11 Ibid, 108-109. 10 10 melakukan itikaf. Puasa ini diharamkan berdasarkan hadis yang diriwayatkan dalam kitab Ash-Shahihain berikut: “Seorang perempuan tidak dihalalkan berpuasa ketika suaminya hadir di sampingnya, kecuali dengan izinnya.”12 Lagipula, faktor yang menyebabkan pengharaman puasa ini ialah karena memenuhi hak suami merupakan kewajiban, yang tidak boleh diabaikan karena ada perbuatan sunnah. Seorang perempuan yang berpuasa tanpa izin suaminya, maka puasanya maka puasanya dipandang sah, sekalipun diharamkan; seperti halnya seorang yang salat di tempat hasil gasab. Suami perempuan tersebut berhak menyuruhnya membatalkan puasa, demi memenuhi hak dan kebutuhannya. Puasa jenis ini, menurut mazhab Hanafi, hukumnya makruh tanzihiy. b. Puasa pada hari yang diragukan (yaumus-sakk). Yakni, puasa pada hari ketiga puluh bulan Syakban, ketika orang-orang meragukan bahwa hari itu termasuk bulan Ramadan. Para fukaha mempunyai beberap ungkapan yang hampir sama mengenai batasan antara bulan Syakban dan Ramadan. Namun mereka berbeda pendapat dalam penetapan hukumnya. Walaupun demikian, mereka bersepakat bahwa puasa tersebut tidak makruh. Bahkan, mereka membolehkan puasa itu dilakukan jika bertepatan dengan kebiasaan melakukan puasa sunah, misalnya puasa sunah hari Senin dan hari Kamis. Dengan demikian, puasa yang dilakukan sehari atau dua hari sebelum Ramadan, hukumnya makruh. Kecuali, jika sebelumya seseorang telah terbiasa melakukan puasa sunah. Alasan pemakruhan puasa ini, karena khawatir puasa itu dianggapp sebagai tambahan untuk bulan Ramadan. Puasasunah yang dilakukan tanpa ada keraguan, hukumnya tidak 12 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 108. 11 makruh. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh berpuasa pada hari syak, kecuali puasa sunah. Menurut mazhab Maliki yang masyhur, puasa syak terjadi pada tanggal 30 Syakban ketika langit pada malam itu (tanggal tiga puluh) dalam keadaan mendung, sehingga hilal tidak bisa terlihat. Jika langit cerah, hari syak tidak ada. Dengan demikian, jika pada saat itu hilal tidak terlihat, berarti sudah pasti bahwa hari esoknya masih termasuk bulan Syakban. Pendapat ini sama dengan pendapat mazhab Hanafi. Disebut juga hari syak jika hilal disaksikan oleh seseorang yang kesaksiannya tidak diterima, seperti hamba sahaya, perempuan, atau orang fasik. Sedangkan, jika langit dalam keadaan mendung hari itu dipandang masih termasuk bulan Syakban hal demikian ini didasarkan atas hadis yang terdapat dalam kita Ash-Shahihain berikut: “Jika langit mendung di atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Syakan sebanyak tiga puluh hari.”13 Puasa hari syak yang dilakukan karena berhati-hati (ihtiyath), kalau hari itu termasuk bulan Ramadan, hukumnya makruh. Puasa yang demikian dipandang sebagai puasa Ramadan. Barang siapa pada pagi hari itu tidak makan dan tidak minum, kemudian ternyata bahwa hari itu termasuk bulan Ramadan, puasanya tidak dipandang sebagai puasa Ramadan. Puasa pada hari itu boleh dilakukan oleh orang yang terbiasa melakukan puasa sunah terus menerus atau puasa pada hari yang ditentukan, misalnya hari Kamis. Pembolehan puasa pada hari 13 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 111. 12 itu dengan melihat kasus seperti di atas adalah sebagaimana dibolehkan melakukan puasa sunah pada hari yang sama, atau seperti mengqadha puasa Ramadan yang lalu, atau puasa kafarat karena sumpah atau yang lainnya, atau puasa nazar yang harinya ditentukan, atau puasa karena menghormati kedatangan seseorang yang semuanya ternyata dilakukan pada hari syak. Seseorang disunahkan melakukan imsa (mencegah hal-hal yang membatalkan puasa) pada hari syak. Tujuannya, untuk mengetahui hal yang sebenarnya. Jika ternyata hari itu adalah bulan Ramadan, penghormatan dia telah kepadanya, melakukan meskipun imsak semula sebagai dia tidak melakukan imsak. Puasa qadha, puasa nazar, atau puasa kafarat yang dilakukan pada hari syak, hukumnya tidak makruh. Karena, ketiga jenis puasa tersebut wajib hukumnya. Jika seseorang berpuasa pada hari syak sesuai dengan kebiasaanya kemudian ternyata hari itu termasuk bulan Ramadan, puasanya tidak dipandang sebagai puasa Ramadan. Dia wajib melakukan imsak pada hari itu, serta wajib mengqadhanya setelah bulan Ramadan berakhir.14 Kesimpulannya, puasa yang dilakukan pada hari syak, hukumnya makruh menurut Jumhur dan haram menurut mazhab Syafi’i. c. Puasa pada hari raya dan hari-hari Tasyrik.15 Menurut mazhab Hanafi, puasa yang dilakukan pada harihari tersebut hukumnya makruh tahrimiy, sedangkan menurut mazhab yang lainnya haram, serta tidak sah menurut mazhab yang lain baik puasa tersebut merupakan puasa wajib maupun puasa sunah. Seseorang dianggap melakukan maksiat jika 14 15 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 113. Ibid, 113. 13 sengaja berpuasa pada hari-hari tersebut. Puasa-wajib yang dilakukan di dalamnya dipandang tidak membebaskannya dari kewajiban; yakni berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berikut: “Rasulullah SAW melarang puasa pada dua hari. Yaitu, pada hari Raya Fitri dan hari Raya Adha.” d. Puasa wanita yang sedang haid atau nifas hukumnya haram dan tidak sah. e. Puasa yang dilakukan oleh seorang yang khawatir akan keselamatan dirinya jika dia berpuasa, hukumnya haram. 3. Puasa Makruh16 Puasa jenis ini seperti puasa dhar, puasa yang dikhususkan pada hari Jumat saja atau hari Sabtu saja, puasa pada hari yang diragukan (syak) dan menurut Jumhur puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadan. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadan, hukumnya haram. Adapun puasa yang termasuk kategori makruh tanzihiy adalah puasa pada hari Asyura yang dilakukan tanpa didahului oleh hari sebelumnya (9 Muharram) atau diikuti oleh hari sesudahnya (11 Muharram). Puasa lain yang termasuk kategori ini ialah puasa pada hari Jum’at yang ifradi (tanpa melakukan puasa pada hari-hari yang lainnya), hari Sabtu, hari Nairuz (hari terakhir pada musim bunga), dan hari Mahrajan (hari terakhir pada musim gugur). Kemakruhan puasa-puasa ini menjadi hilang jika puasa tersebut disertai dengan puasa-puasa lain yang telah menjadi kebiasaan. Puasa yang dilakukan oleh musafir yang merasa kesulitan, hukumnya makruh. Begitu juga, puasa yang dilakukan oleh perempuan tanpa seizin suaminya. Suaminya berhak menyuruhnya 16 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 116. 14 berbuka puasa untuk memenuhi hak dan kebutuhannya. Kecuali, jika suaminya dalam keadaan sakit, sedang berpuasa, atau sedang melakukan ihram dalam ibadah haji atau umrah.17 4. Puasa Tathawwu’ atau Puasa Sunnah18 Tathawwu’ artinya mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melakukan amal ibadah yang tidak diwajibkan. Istilah ini diambil dari ayat berikut. ...‫ َو َمن تَطَ َّو َع َخ ۡي ٗرا‬... “Dan barang siapa melakukan kebaikan dengan kerelaan hati....” (Q.S. Al Baqarah:158) Istilah ini terkadang diungkapkan dengan kata nafilah, sebagaimana dalam shalat. Yakni berdasarkan ayat berikut : ... ‫ك‬ َ َّ‫َو ِم َن ٱلَّ ۡي ِل فَتَهَج َّۡد بِ ِهۦ نَافِلَ ٗة ل‬ “Dan pada sebagian malam hari, bertahajudlah kamu sebagai nafilah bagimu.” (Q.S. Al Isra’ : 79) Menurut kesepakatan para ulama, yang termasuk puasa tathawwu’ ialah sebagai berikut.19 a. Berpuasa sehari dan berbuka sehari Puasa ini merupakan jenis puasa tathawwu’ yang paling utama. Berdasarkan hadis yang terdapat dalam kitab AshShahihain dikemukakan sebagai berikut: “Puasa yang paling utama iaah puasa Dawwud. Dia berpuasa sehari berbuka sehari” Dalam hadis lain ditambahkan sebagai berikut: “Tidak ada yang lebih utama daripada puasa Dawud.” 17 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 119. Ibid, 122-132. 19 Ibid, 123. 18 15 b. Berpuasa tiga hari dalam setiap bulan Dalam puasa jenis ini, yang lebih utama ialah berpuasa pada tiga hari bidh, yakni pada tanggal 13,14, dan 15. Ketiga hari ini dinamakan bidh karena malam hari pada ketiganya diterangi bulan dan pada siang harinya diterangi matahari. Pahala puasa jenis ini seperti puasa dahr, yakni pelipat gandaan. Satu kebaikan dilipat-gandakan menjadi sepuluh kali kebaikan, tanpa ada bahaya dan kerusakan seperti yang terdapat dalam puasa dahr. Dalil puasa jenis ini ialah hadis yang diriwayatkan Abu Dzar. Dia mengaakan bahwa Nabi saw. Bersabda kepadanya: “Jika kamu (hendak) berpuasa tiga hari dalam sebulan, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15” Dalam hadis diriwayatkan sebagai berikut: “Sesungguhnya Nabi SAW, berpuasa sebanyak tiga hari dalam satu bulan. c. Puasa pada hari Senin dan Kamis dalam setiap minggu. Puasa jenis ini berdasarkan perkataan Usamah bin Zaid berikut:20 “Sesungguhnya Nabi SAW, berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Lalu, ketika beliau ditanya mengenai hal itu, beliau bersabda , ‘Sesungguhnya, amalan-amalan manusia diperlihatkan pada hari Senin dan Kamis.’” Dalam lafal lain disebutkan: “Aku senang amalanku diperlihatkan ketika berpuasa.” 20 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 125. aku 16 d. Puasa enam hari pada bulan Syawal, meskipun tidak beruntun. Tetapi, jika puasa enam hari tersebut dilakukan secara beruntun setelah hari raya, hal itu lebih utama. Karena dalam hal demikian, berarti seseorang bersegera dalam melakukan ibadah. Seseorang akan mendapatkan pahala puasa tersebut meskipun puasanya dimaksudkan sebagai puasa qadha, nazar ata yang lainnya. Barang siapa melakukannya setelah puasa Ramadanm maka seakan – akan dia melakukan puasa dahr yang diwajiban. Pernyataan ini didasarkan atas hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub berikut: “Barang siapa berpuasa ramadan kemudian berpuasa enam hari pada bulan Syawal sesudahnya, maka itulah yang disebutkan puasa dahr.” Tsauban meriwayatkan hadis sebagai berikut : “Pahala puasa sebulan Ramadan sama dengan puasa sepuluh bulan. Satu bulan dilipatgandakan menjadi sepuluh bulan. Enam hari dilipatgandakan menjadi enam puluh hari. Dan hal itu sama dengan setahun penuh.” Maksudnya, satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh. Satu bulan dilipatgandakan menjadi sepuluh bulan. Enam hari dilipatgandakan menjadi enam puluh hari. Dan hal itu sama dengan setahun penuh. e. Puasa hari Arafah; yaitu puasa tanggal 9 Zulhijah bagi orang yang tidak sedang melakukan ibadah haji.21 Puasa ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim berikut: 21 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 126. 17 “Berpuasa pada hari arafah dipandang oleh Allah sebagai amalan yang menjadi kafarat untuk satu tahun sebelum dan sesudahnya.” Hari Arafah merupakan hari yang paling utama. Pernyataan ini didasarkan atas hadis yang diriwayatkan oleh Muslim berikut: “Tiada satu hari pun yang di dalamnya Allah lebih banyak memerdekakan seseorang dari api neraka, selain hari Arafah.” f. Berpuasa selama delapan hari dalam bulan Zulhijah, sebelum hari Arafah.22 Penyunahan puasa ini berlaku bagi orang melakukan ibadah haji ataupun yang tidak melakukan ibadah haji ataupun yang tidak melakukan ibadah haji. Puasa ini disunahkan berdasarkan perkataan Hafsnah berikut: “Empat hal yang tidak ditinggalkan oleh Rasulullah SAW adalah puasa Asyura, puasa sepuluh hari (Zulhijah), puasa tiga hari dalam setiap bulan, dan dua rakaat sebelum subuh” Dalam pembahasan “Salat Dua Hari Raya” telah disebutkan beberapa hadis yang menunjukan keutamaan amalan secara umum yang dilakukan pada sepuluh hari bulan Zulhijah.dan puasa termasuk di dalamnya. g. Berpuasa pada hari Tasu’a’ dan ‘Asyura’; yaitu tanggal 9 dan 10 Muharram.23 22 23 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 128. Ibid, 129. 18 Puasa jenis ini disunahkan lagi (akan lebih baik) jika keduanya dilakukan atas hadis marfu yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut: “Seandainya aku masih hidup sampai masa mendatang, niscaya aku akan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.” h. Berpuasa pada bulan-bulan yang dimuliakan.24 Yakni, keempat bulan dalam satu tahun; tiga bulan berturut-turut (Zulkaidah, Zulhijah, Muharram), serta Rajab. Keempat bulan ini merupakan bulan-bulan yang utama untuk berpuasa setelah bulan Ramadan. Bulan-bulan mulia yang paling utama ialah Muharram, Rajab, Zulhijah, dan Zulkaidah. Selanjutnya adalah bulan Syakban. Dalam bulan Muharram ada hari-hari yang paling utama, sebagaimana telah kami jelaskan, yaitu hari Asyura. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa puasa yang disunnahkan dalam bulan-bulan yang mulia adalah pada tiga hari, yakni hari Kamis, Jumat, dan Sabtu. i. Puasa pada bulan Syakban.25 Puasa ini disunahkan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Dia menyatakan bahwa Nabi SAW tidak pernah berpuasa sebulan penuh dalam setahun, kecuali dalam bulan Syakban. Dan beliau, lanjut Ummu Salamah, menyambungkannya sengan puasa Ramadan. Dari Aisyah diceritakan sebagai berikut : “Nabi SAW tidak berpuasa melebihi bulan Syakban. Beliau berpuasa di dalamnya (bulan Syakban) secara penuh” D. Hal Yang Disunnahkan Saat Puasa Orang yg berpuasa disunahkan melakukan hal-hal berikut : 24 25 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 131. Ibid, 132. 19 1. Sahur, meskipun hanya sedikit; misalnya seteguk air. Sahur sunah dilakukan pada akhir malam. Sahur dimaksudkan untuk menguatkan fisik ketika berpuasa. Sabda Rasulullah SAW : “Dari Anas, Rasulullah SAW telah berkata, ‘Makan sahurlah kamu. Sesungguhnya makan sahur itu mengandung berkat (menguatkan badan menahan lapar karena puasa)” (Riwayat Bukhari dan Muslim)26 2. Menta’hirkan makan sahur sampai kira-kira 15 menit sebelum fajar.27 Dari Abu Zarr, “Rasulullah SAW telah berkata, ‘Senantiasa umatku dalam kebaikan selama mereka mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka’.” (Riwayat Ahmad) 3. Menyegerakan berbuka ketika diyakini bahwa matahari telah tenggelam. Sabda Rasulullah SAW: Dari Sahl bin Sa’ad, “Rasulullah SAW berkata, ‘Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)28 4. Berbuka dengan kurma, sesuatu yang manis, atau dengan air. Diriwayatkan : Dari Anas, “Nabi SAW berbuka dengan rutab (kurma gemading) sebelum shalat; kalau tidak ada, dengan kurma; kalau tidak ada juga, beliau minum beberapa teguk.” (Riwayat Abu Dawud dan Tirmizi)29 26 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), 239. Ibid, 239-240. 28 Ibid, 238. 29 Ibid, 239. 27 20 5. Berdoa sewaktu berbuka puasa. Sabda Rasulullah SAW: Dari Ibnu Umar, “Rasulullah SAW apabila berbuka puasa, beliau berdoa : Ya Allah, karena Engkau saya puasa, dan dengan rezeki pemberian Engkau saya berbuka, dahaga telah lenyap dan urat-urat telah minum, serta pahala telah tetap bila Allah SWT menghendaki.” (Riwayat Bukhari dan Muslim) 6. Memberi makanan untuk berbuka bagi orang-orang yang berpuasa. Rasulullah SAW : “Barang siapa memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala seperti orang yang berpuasa sedikit pun” (Riwayat Tirmidzi) 7. Hendaklah memperbanyak sedekah selama dalam bulan puasa. Sabda Rasulullah SAW:30 Dari Anas, “Ditanyakan kepada Rasulullah SAW, ‘Kapankah sedekah yang lebihh baik?’ Jawab Rasulullah SAW, ‘Sedekah baik ialah sedekah pada bulan Ramadan’.” (Riwayat Tirmizi) 8. Menyibukkan diri dengan ilmu pengetahuan, membaca dan mengaji al-qur’an, serta memperbanyak zikir dan membaca salawat kepada nabi saw yang dilakukan pada setiap saat yang tidak memberatkan, baik pada malam hari maupun siang hari. Hal ini berdasarkan hadis yang terdapat dalam ash-shahihain berikut: 31 “Jibril menemui nabi saw, pada setiap malam bulan ramadan. Dia mengajak beliau untuk mengaji al-qur’an.” 30 31 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), 227. Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 199. 21 E. Hal Yang Membolehkan Pembatalan Puasa Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat memperbolehkan pembatalan puasa: 1. Perjalanan32 Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT, sebagai berikut : “Maka barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Q.S. Al-Baqarah : 184) Dari segi Bahasa, perjalanan berarti keluarnya seseorang dengan dibebani barang-barang bawaan. Perjalanan yang membolehkan pembatalan puasa adalah perjalanan jauh, yang membolehkan pengqasharan salat. Perjalanan seperti ini, kira-kira sejauh 89km. Dengan syarat, menurut Jumhur, perjalanan itu harus dimulai sebelum terbit fajar. Syarat yang lain, orang-orang yang melakukan perjalanan itu harus telah sampai ke tempat pengwasharan salat dibolehkan. Yakni, seukuran dia telah meninggalkan rumah/tempat tinggalnya. Adanya syarat di atas dikarenakan puasa tidak boleh dibatalkan dalam perjalanan setelah seseorang berada dalam keadaan puasa. Status dia sebagai seorang mukmin lebih dikuatkan daripada statusnya sebagai seorang musafir. Jika seseorang berjalan dan telah melewati keramaian daerahnya sebelum fajar terbit, dia boleh berbuka (membatalkan puasanya) tetapi harus mengqadhanya. Begitu juga, jika dia memulai perjalanan ketika sedang berpuasa kemudian mengalami kesulitan yang tidak bisa diatasi. 2. 32 Sakit33 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 209-210. 22 Sakit adalah perubahan fisik kepada kerusakan. Sakit, seperti halnya perjalanan, membolehkan pembatalan puasa; yakni berdasarkan ayat yang lalu: ...Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain... (Q.S. 2:184). Penyakit yang membolehkan pembatalan puasa ialah penyakit yang jika seseorang berpuasa menimbulkan kesulitan yang berat, atau menyebabkan kerusakan bagi dirinya. Begitu pula jika khawatir jika dia berpuasa penyakitnya akan bertambah parah, atau kesembuhannya memakan waktu lama. Namun, jika penyakit itu tidak membahayakan orang yang berpuasa, puasa tidak boleh dibatalkan. Contoh penyakit yang tidak membahayakan, seperti penyakit kulit, sakit gigi, sakit jati, bisul, dan yang lainnya. Jihad, meskipun tidak dilakukan dengan menempuh perjalanan, merupakan salah satu sebab dibolehkannya berbuka puasa. Hal itu merupakan salah satu sebab dibolehkannya berbuka puasa. Hal itu dimaksudkan agar tentara memiliki kekuatan untuk menghadapi musuh. 3. Dan 4. Wanita Hamil dan Wanita Menyusui34 Wanita hamil dan wanita menyusui bayi dibolehkan berbuka. Dengan catatan, keduanya merasa khawatir atas dirinya atau bayinya, baik bayi itu putra wanita menyusui itu sendiri ibu yang disusui maupun sebagai wanita yang disewa. Kekhawatiran itu bisa berupa kurangnya ketajaman akal, kerusakan atau timbulnya suatu penyakit. Kekhawatiran yang dipandang sah ialah kekhawatiran yang didasarkan atas perkiraan yang mendekati kepastian atau pemberitahuan dari dokter Muslim yang andal dan adil. 33 34 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 215. Ibid, 217. 23 Alasan pembolehan berbuka puasa bagi keduanya ialah pengiasan terhadap orang sakit dan musafir dan hadits Nabi saw, yang artinya sebagai berikut:35 Dari Anas bin Malik Al-Ka’bi. “Sesungguhnya Allah swt, meringankan kewajiban puasa dan sebagian shalat dari musafir, dan (meringankan kewajiban) puasa dari wanita hamil dan wanita yang menyusui” (HR Al-Khamzah) Ketika seorang wanita hamil atau menyusui khawatir akan timbul kesulitan-kesulitan bagi dirinya atau bayinya jika berpuasa bagi keduanya dalah haram. 5. Masa Tua Menurut Ijma,berbuka puasa dibolehkan bagi orang tua renta (baik laki-laki maupun perempuan) yang sudah tidak mampu lagi berpuasa sepanjang tahun. Keduanya tidak wajib mengqadha puasa, karena tidak ada kemampuan dalam diri keduanya. Tetapi, keduanya wajib mengeluarkan fidiyah, yakni member makanan kepada seorang miskin untuk setiap hari. Adapun orang sakit yang tidak mampu berpuasa pada bulan Ramadhan, tetapi dia mampu mengqadhanya pada waktu yang lain, maka dia wajib mengqadhanya. Dia tidak wajib mengeluarkan fidyah. 6. Rasa Lapar Dan Haus Yang Membahayakan Berbuka boleh dilakukan oleh orang yang sangat lapar dan haus yang khawatir akan terjadi kerusakan atas dirinya, khawatir akan berkurang ketajaman akalnya, atau, khawatir akan keselamatan sebagian alat inderanya. Jika dia berbuka, dia harus mengqadha puasanya. Jika seseorang merasa khawatir atas 35 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 218. 24 keselamatan jiwanya, dia diharamkan berpuasa. Pendapat ini berdasarkan atas ayat: ْ ُ‫ َو ََل تُ ۡلق‬... ... ‫وا بِأ َ ۡي ِدي ُكمۡ إِلَى ٱلتَّ ۡهلُ َك ِة‬ “…Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan...”.(Q.S 2:195) Mengenai seseorang yang merasa sangat lapar atau haus kemudian berbuka puasa, ada perbedaan pendapat. Sebuah pendapat mengatakan bahwa dia harus menahan diri pada waktuwaktu yang masih tersisa dalam hari tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa dia boleh dimakan.36 7. Terpaksa Orang yang dipaksa boleh berbuka puasa. Dia, menurut Jumhur, harus mengqadha puasanya; sedangkan menurut mazhab Syafi’i, orang yang terpaksa tidak boleh berbuka puasa. Jika seorang perempuan disetubuhi secara paksa atau dalam keadaan tertidur, dia harus mengqadha puasanya. Itulah uzur-uzur terpenting yang membolehkan pembatalan puasa. Adapun haid, nifas, dan penyakit gila yang terjadi secara tiba-tiba pada orang yang sedang berpuasa, jika memperbolehkan pembatalan puasa. Bahkan, puasa menjadi tidak wajib dan tidak sah, sebagaimana telah kami jelaskan dalam syarat-syarat puasa. F. Hal Yang Membatalkan Puasa. 1. Makan dan minum Firman Allah SWT : ْ‫اس َو ُكلُوا‬ ُ َ‫أُ ِح َّل لَ ُكمۡ لَ ۡيلَةَ ٱلصِّ يَ ِام ٱل َّرف‬ ٞ َ‫ث إِلَ َٰى نِ َسآئِ ُكمٖۡۚ هُ َّن لِب‬ ۡ ‫َو‬ ْ ‫ٱش َرب‬ ‫ُوا َحتَّ َٰى يَتَبَي ََّن لَ ُك ُم ۡٱل َخ ۡيطُ ۡٱۡلَ ۡبيَضُ ِم َن ۡٱل َخ ۡي ِط ۡٱۡلَ ۡس َو ِد‬ ‫ِم َن ۡٱلفَ ۡج ِر‬ 36 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 220. 25 “Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benag hitam, yaitu fajar.” (Q.S. Al Baqarah : 187) Makan dan minum yang membatalkan puasa ialah apabila dilakukan dengan sengaja. Kalau tidak sengaja, misalnya lupam tidak membatalkan puasa. Sabda Rasulullah SAW : “Barangsiapa lupa, sedangkan ia dalam keadaan puasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah puasanya disempurnakan, karena sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan minum.” (Riwayat Bukhari dan Muslim) Memasukkan sesuatu ke dalam lubang yang ada pada badan, seperti lubang telinga, hidung, dan sebagainya, menurut sebagian ulama sama dengan makan dan minum; artinya membatalkan puasa. Mereka mengambil alasan dengan qias, diqiaskan (disamakan) dengan makan dan minum. Ulama yang lain berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan karena tidak dapat diqiaskan dengan makan dan minum. Menurut pendapat yang kedua itu, kemasukan air sewaktu mandi tidak membatalkan puasa, begitu juga memasukkan obat melalui lubang badan selain mulut, suntuk, dan sebagainya, tidak membatalkan puasa karena yang demikian tidak dinamakan makan dan minum. 2. Muntah yang disengaja, sekalipun tidak ada yang kembali ke dalam.37 Muntah yang tidak disengaja tidaklah membatalkan puasa. Sabda Rasulullah SAW : Dari Abu Hurairah. Rasulullah SAW telah berkata, “Barangsiapa paksa muntah, tidaklah wajib mengqada puasanya; dan barangsiapa yang mengusahakan munta, maka hendaklah dia mengqada puasanya.” (Riwayat Abu Dawud, dan Ibnu Hibban) 37 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), 231. 26 3. Bersetubuh Firman Allah SWT : ٖۚۡ‫ث إِلَ َٰى نِ َسآئِ ُكم‬ ُ َ‫أُ ِح َّل لَ ُكمۡ لَ ۡيلَةَ ٱلصِّ يَ ِام ٱل َّرف‬ “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu.” (Q.S. Al-Baqarah : 187) Laki-laki yang membatalkan puasanya dengan bersetubuh di waktu siang hari di bulan Ramadan, sedangkan dia berkewajiban puasa, maka ia wajib membayar kafarat.38 4. Keluar darah haid (kotoran) atau nifas (darah sehabis melahirkan)39 Dari Aisyah. Ia berkata, “Kami disuruh oleh Rasulullah SAW mengqada puasa, dan tidak disuruhnya untuk mengqada salat.” (Riwayat Bukhari) 5. Gila.40 Jika gila itu datang waktu siang hari, batallah puasa. 6. Keluar mani dengan sengaja (karena berentuhan dengan perempuan atau lainnya). Karena keluar mani itu adalah uncak yang dituju orang pada persetubuhan, maka hukumnya disamakan dengan bersetubuh. Adapun keluar mani karena bermimpi, mengkhayal, dan sebagainya, tidak membatalkan puasa.41 G. Qadha, Kifarat dan Fidyah 42 1. Hal-Hal Yang Harus Dilakukan Jika Puasa Batal Mazhab Maliki berpendapat bahwa ada tujuh hal secara beruntutan yng mesti dilakukan oleh orang yang membatalkan puasanya, yaitu: qadha, kafarat kubra, kafarat sughra (fidyah), imsak, menghentikan tatabu’ (keberuntutan dalam peng-qadha-an puasa), mendapat siksaan, dan menghentikan niat. 38 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), 231.. Ibid, 232. 40 Ibid, 233. 41 Ibid, 233. 42 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 268. 39 27 2. Hukum Qadha Menurut kesepakatan ulama, qadha diwajibkan atas orangorang yang membatalkan puasa Ramadan selama sehari atau lebih karena ada uzur, seperti sakit, melakukan perjalanan, haid, dan lain-lain. Qadha juga diwajibkan atas orang yang membatalkan puasanya karena tidak adda uzur, misalnya, tidak berniat pada malam hari karena lupa atau sengaja. Pendapat ini berdasarkan ayat berikut : ‫ان ِمن ُكم َّم ِريضً ا أَ ۡو َعلَ َٰى َسفَ ٖر‬ َ ‫فَ َمن َك‬... ...‫ة ِّم ۡن أَي ٍَّام أُ َخ َر‬ٞ ‫فَ ِع َّد‬ “...Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain...” Aisyah berkata dalam hadis yang telah disebutkan di muka, “Kami mengeluarkan darah haid pada zaman Rasulullah SAW. Kami diperintahkan mengqadha puasa.” Puasa yang wajib di qadha adalah puasa Ramadan, puasa kafarat, puasa nazar, dan menurut mazhab Hanafi dan Maliki, puasa tathawwu’. Mazhab Maliki mewajibkan qadha bagi orang yang sengaja membatalkan puasa tathawwu’-nya tanpa sebab. Adapun orang yang membatalkan puasa tathawwu’-nya karena lupa, menurut kesepakatan ulama, hendaknya menyempurnakan puasanya. Dia tidak berkewajiban qadha. Apabila dia membatalkan puasa tathawwu’-nya karena ada uzur yang membolehkan (berbuka), dia tidak wajib mengqadhanya. a. Waktu Pengqadhaan Puasa Ramadan Waktu pengqadhaan puasa Ramadan adalah semenjak bulan Ramadan berakhir sampai bulan Ramadan selanjutnya. Seseorang disunahkan menyegerakan pengqadhaan puasanya. 28 Tujuannya, agar tanggungannya segera bebas dan kewajibannya segera gugur. Orang yang belum bisa melakukan qadha untuk ibadah apapun dalam waktu yang segera, wajib bertekad mengqadhanya. Mengqadha puasa dalam waktu yang sesegera mungkin, ketika bulan Ramadan berikutnya akan segera tiba, hukumnya wajib. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa mengqadha puasa dalam waktu yang sesegera mungkin, hukumnya wajib bagi orang yang membatalkan puasanya tanpa ada uzur yang diakui kebenarannya. Orang yang belum mengqadha puasa Ramadan, dimakruhkan melakukan puasa tathawwu’. Mengenai orang yang mengangguhkan pengqadhaan puasanya sampai bulan Ramadan berikutnya tiba, ada dua pendapat. Pertama, pendapat Jumhur. Pendapat ini menyatakan bahwa dia setelah bulan Ramadan yang kedua itu berakhir wajib melakukan qadha dan kafarat sughra (fidyah). Kedua, pendapat mazhab Hanafi. Manurut mazhab ini,, orang tadi tidak berkewajiban mengeluarkan fidyah, baik pengangguhan itu dilakukan karena ada uzur maupun tidak ada uzur. Jumlah fidyah, menurut mazhab Syafi’i, disesuaikan dengan jumlah tahun (maksudnya jika penangguhan qadha itu melewati satu tahun, fidyah yang dikeluarkan adalah satu kali. Jika penangguhan itu melewati dua tahun, fidyah yang dikeluarkan adalah dua kali. Begitu seterusnya.) Mengqadha puasa pada hari yang dilarang, seperti hari raya, tidak sah hukumnya. Begitu juga, pengqadhaan puasa tidak sah dilakukan pada hari-hari yang di dalamnya suatu jenis puasa telah dinazari. Misalnya, hari-hari pertama bulan Zulhijah. Demikian juga., pengqadhaan puasa tidak sah dilakukan pada bulan Ramadan berikutnya. Karena, waktu tersebut telah ditetapkan sebagai hari H pelaksanaan puasa 29 Ramadan. Oleh sebab itu, puasa selain puasa Ramadan yang dilakukan secara ada’, tidak diterima. Mengqadha puasa pada hari syak, hukumnya sah. Sebab, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa berpuasa tathawwu’ di dalamnya sah juga. Pengqadhaan puasa dilakukan sesuai dengan bilangan. Jika bulan Ramadan berjumlah 29 hari, puasa yang wajib diqadha adalah sebanyak jumlah tersebut. b. Mengqadha Secara Beruntun (Tatabu’) Mayoritas ulama sepakat bahwa mengqadha puasa secara beruntun, hukumnya mustahabb. Akan tetapi, tidak disyaratkan mengqadha puasa secara tatabu’ atau dengan segera. Dengan demikian, pengqadhaan puasa Ramadan ini diserahkan kepada kehendak masing-masing. Sebab, nas AlQur’an yang mewajibkan pengqadhaan puasa, juga tidak mengikat. Meskipun demikian, jika bulan Syakban berikutnya hanya tersisa beberapa hari yang cukup untuk mengqadha puasa, maka tatabu’ dalam mengqadha puasa dalam kasus ini adalah wajib. Karena, waktu telah sempit. Pewajiban tatabu’ dalam mengqadha puasa pada saat seperti ini sama dengan kewajiban melaksanakan puasa Ramadan secara ada’ bagi orang yang tidak memiliki uzur. Dalil ketidakwajiban mengqadha puasa secara tatabu’ ialah pada ayat berikut : ...‫ة ِّم ۡن أَي ٍَّام أُ َخ َر‬ٞ ‫فَ ِع َّد‬... “...maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain...” Ayat ini hanya mewajibkan jumlah pengqadhaan. Ia tidak mewajibkan pengqadhaan secara tatabu’. Mazhab Zhahiri dan Hasan Bashri menjadikan tatabu’ sebagai syarat. Dalil mereka adalah ucapan Aisyah yang 30 menyatakan bahwa ayat ini (Q.S. Al Baqarah:184) pada mulanya berbunyi “fa’iddatun min ayyamin ukhar mutataabi’at” kemudian kata “mutataabi’at” dihapuskan. 3. Kafarat Hal yang mewajibkan kafarat ialah pembatalan puasa Ramadan secara khusus, yaitu dilakukan secara sengaja dan atas kehendak sendiri. Hal ini menyebabkan kafarat diwajibkan, karena tindakan tersebut merusak kesucian puasa tanpa ada uzur yang membolehkan pembatalan puasa.43 Kafarat tidak diwajibkan atas orang yang mencium istrinya, wanita haid, wanita nifas, orang gila, atau orang pingsan. Karena, hal-hal tersebut bukan terjadi atas kehendak mereka. Demikian juga, kafarat tidak diwajibkan atas orang sakit, musafir, orang yang sangat merasa lapar dan haus, serta wanita hamil, sebab mereka memiliki uzur. Begitu pula, kafarat tidak diwajibkan atas seorang murtad. Alasannya, karena dia merusak kesucian puasa secara khusus. Penyebab yang paling penting adalah persetubuhan. Hal ini disepakati oleh semua ulama. Kafarat hanya diwajibkan kepada orang yang membatalkan puasanya pada bulan Ramadan.44 Dalil pewajiban kafarat ialah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Dia mengatakan bahwa seseorang datang kepada Nabi SAW seraya berkata, “Aku celaka wahai Rasulullah.” Beliau bertanya : “Apa yang mencelakakanmu?” Dia menjawab: “Aku menyetubuhi istriku pada bulan Ramadan.” Beliau bertanya : ”Apakah kamu bisa memerdekakan hamba sahaya?” Dia menjawab : “Tidak.” Beliau bertanya lagi : “Apakah kamu sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia menjawab : “Tidak.” Beliau bertanya lagi : “Apakah kamu memiliki makanan untuk diberikan 43 44 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 275. Ibid, 276. 31 kepada enam puluh orang miskin?” Dia menjawab : “Tidak.” Abu Hurairah menceritakan lagi bahwa kemudian Nabi SAW duduk. Setelah itu, kepada beliau didatangkan sekeranjang kurma. Beliau bersabda : “Bersedekahlah dengan ini.” Orang tadi bertanya : “Apakah ini akan diberikan kepada orang yang lebih fakir dari kami? Tidak satu pun keluarga yang berada di antara perbatasan daerah (labah) kami yang membutuhkan (makanan ini) daripada kami.” Nabi SAW tertawa hingga beberapa gerahamnya terlihat. Beliau bersabda, “Pergilah, dan berikan makanan ini kepada keluargamu.”45 Jenis kafarat puasa ada tiga, yaitu : (1) memerdekakan hamba sahaya, (2) berpuasa selama dua bulan berturut-turut, dan (3) memberi makan enam puluh orang miskin.46 4. Fidyah Hukum fidyah adalah wajib. Hal ini berdasarkan ayat Al-Qur’an berikut : ...‫ين‬ َ ‫ َو َعلَى ٱلَّ ِذ‬... ٖ ‫ة طَ َعا ُم ِم ۡس ِك‬ٞ َ‫ين ي ُِطيقُونَهۥ ُ فِ ۡدي‬ “…Dan wajib bagi orang-orang yang berta menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan satu orang miskin…(Q.S. Al Baqarah : 184) Fidyah, menurut mazhab Hanafi, sebanyak setengah sha’ biji gandum, atau uang senilai itu. Fidyah, baru boleh dilakukan jika orang yang bersangkutan tidak mampu berpuasa sepanjang hidupnya. Adapun menurut Jumhur, fidyah boleh berupa satu mud makanan yang mengenyangkan untuk setiap hari. Banyaknya fidyah disesuaikan dengan jumlah puasa yang tidak dilakukan. Seseorang diwajibkan membayar fidyah ketika ia dirasa tidak mampu berpuasa, seperti orang tua renta yang merasa berat 45 46 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 276-277. Ibid, 277. 32 berpuasa atau puasa akan membuatnya menderita kesulitan yang sangat berat. Jika orang tua renta tersebut menanggung bebannya sendiri dan tidak mampu memberi makan orang miskin, maka ia tidak berkewajiban apa pun. Seperti yang disebutkan pada ayat berikut : َّ ‫ف‬ ُ ِّ‫ََل يُ َكل‬ ...‫ٱّللُ نَ ۡفسًا إِ ََّل ُو ۡس َعهَا‬ “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya…(Q.S. Al Baqarah : 286)47 Fidyah diwajibkan juga atas orang sakit yang kesembuhannya tidak bisa diharapkan.48 Fidyah juga diwajibkan bersamaan dengan qadha kepada perempuan hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan dirinya (tanpa anaknya). Keduanya boleh berbuka puasa, dan hanya berkewajiban mengqadha puasa.49 Fidyah bersama qadha juga diwajibkan kepada orang yang meremehkan pengqadhaan puasa Ramadan. Misalnya orang yang menangguhkan pengqadhaan puasanya sampai Ramadan berikutnya tiba. Jumlah fidyah disesuaikan dengan jumlah puasa yang ditinggalkan.50 H. Faedah Puasa Ibadah puasa itu mengandung beberapa hikmah, di antaranya sebagai berikut : 1. Tanda terima kasih pada Allah karena semua ibadah mengandung arti terima kasih kepada Allah atas nikmat pemberian-Nya yang tidak terbatas banyaknya, dan tidak ternilai harganya. 51 Firman Allah SWT : 47 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 283. Ibid. 49 Ibid, 284. 50 Ibid, 285. 51 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), 243. 48 33 ٓۗ ْ ‫َوإِن تَ ُع ُّد‬ َّ ‫ت‬ َ ‫وا نِ ۡع َم‬ ‫ار‬ٞ َّ‫وم َكف‬ ٞ ُ‫ٱۡلن َٰ َس َن لَظَل‬ ِ ۡ ‫ٱّللِ ََل ت ُ ۡحصُوهَآ إِ َّن‬ “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (Q.S. Ibrahim : 34) 2. Didikan kepercayaan. Seseorang yang telah sanggup menahan makan dan minum dari harta yang halal kepunyaannya sendiri, karena ingat perintah Allah, sudah tentu ia tidak akan meninggalkan segala perintah Allah, dan tidak akan berani melanggar segala larangan-Nya.52 3. Didikan perasaan belas kasihan terhadap fakir-miskin karena seseorang yang telah merasa sakit dan pedihnya perut keroncongan. Hal itu akan dapat mengukur kesedihan dan kesusahan orang yang sepanjang masa merasakan ngilunya perut yang kelaparan karena ketiadaan. Dengan demikian, akan timbul perasaan belas kasihan dan suka menolong fakir miskin.53 4. Guna menjaga kesehatan.54 5. Guna menenangkan nafsu amarah dan meruntuhkan kekuatannya yang tersalurkan dalam anggota tubuh, seperti mata, lidah, telinga, dan kemaluan.55 52 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2014), 243. Ibid. 54 Ibid, 244. 55 Dr. Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 89. 53 34 BAB III ANALISIS DAN DISKUSI 1. 35 BAB IV KESIMPULAN Dari makalah yang kami buat ini kami simpulkan bahwa dari segi bahasa, puasa berarti menahan dan mencegah dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah adalah menahan diri dari perbuatan (fi’li) yang berupa dua macam syahwat (syahwat perut dan syahwat kemaluan serta menahan diri dari segala sesuatu agar tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya.) Hal itu dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar sampai terbenam matahari. Puasa dilakukan oleh orang tertentu yang berhak, yaitu orang Muslim, sudah baligh, berakal, tidak sedang haid, dan tidak sedang nifas. Puasa harus dilakukan dengan niat, yakni, bertekad dalam hati untuk mewujudkan perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu dan mampu menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Puasa banyak macamnya, diantaranya puasa wajib, puasa Sunnah (tathawwu), puasa yang diharamkan, dan puasa yang dimakruhkan. Orang yang berpuasa disunnahkan untuk melakukan sahur, menta’hirkan makan sahur, menyegerakan berbuka, berbuka dengan sesuatu yang manis, berdoa sewaktu berbuka puasa, memberi makanan untuk berbuka bagi orang-orang yang berpuasa, hendaklah memperbanyak sedekah selama dalam bulan puasa, dan menyibukkan diri dengan ilmu pengetahuan. Ada beberapa uzur yang memperbolehkan seseorang untuk membatalkan puasanya, diantaranya ketika sedang berada di perjalanan jauh, dalam keadaan sakit, bagi wanita hamil dan menyusui, berada pada masa tua, takut akan rasa lapar dan haus yang membahayakan, dan karena terpaksa membatalkan puasanya. Ada pula beberapa hal yang membatalkan puasa, yaitu, makan dan minum yang disengaja, muntah yang disengaja, bersetubuh, keluar darah haid (kotoran) atau nifas, gila, dan keluar mani dengan sengaja. Pembatalan puasa juga dapat diganti dengan melakukan qadha, kifarat ataupun fidyah. 36 Puasa mengajarkan kita untuk lebih bersyukur terhadap segala hal yang telah kita miliki pada saat ini. Mengajarkan kita untuk mampu membantu orangorang fakir dan miskin.