M. Mujibuddin SM
Jurnal Sosiologi Agama - ISSN (p) 1978-4457, ISSN (e) 2548-477X
Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018, pp. 261-282. doi: http://dx.doi.org/10.14421/
jsa.2018/122.261-282
KONTRUKSI MEDIA DALAM GERAKAN ISLAM
POPULIS 212
M. Mujibuddin SM
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
mujibuddin79@gmail.com
Abstrak
This paper studied the movement of Aksi Bela Islam
(ABI) which was propagated by the GNPF MUI group to
bring down Basuki Tjahaja Purnama from the governor
position. This demonstration not only in Jakarta but also the
various cities in Indonesia. The involvement of Muslims are
influenced by social media. Social media has succeeded in
becoming a public sphere for society. Today, society can take
a truth from social media. Therefore, social construction is
not only formed from individuals or society but also social
media. This research uses literature study with analytical
descriptive writing method. This paper uses framing analysis
approach and Islam populist. The results of this paper show
that social media has an important role in the construction
of public awareness. This social construction can be seen
with the birth of Islam populist movement 212 which has a
goal to reform the bureaucracy in government.
Keyword: Social Contruction, Islam Populist, Aksi Bela
Islam, Social Media, Post-Truth.
PENDAHULUAN
Gerakan Aksi Bela Islam (ABI) merupakan serangkaian aksi
demonstrasi yang diprakarsai oleh GNPF MUI untuk menurunkan dan
memenjarakan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dalam pandangan
Ahmad Najib Burhani, gerakan ini merupakan fragmentasi otoritas
Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o)
261
Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212
keagamaan (Ahmad Najib Burhani, 2016: 16). Fragmentasi ini bisa
dilihat dari banyaknya massa aksi yang terlibat untuk menyuarakan
aspirasinya. Di samping itu, aksi ini tidak hanya dilakukan sekali
waktu saja, akan tetapi juga dilakukan beberapa kali yaitu pada
14 Oktober 2016 (ABI I), 4 November 2016 (ABI II), dan 2 Desember
2016 (ABI III).
Aksi Bela Islam I, II, dan III bermula dari pidato Ahok di
Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016. Dalam
pidatonya, Ahok berbicara mengenai kebijakan dan program
pemberdayaan budi daya kerapu. Ahok meyakinkan warga
Kepulauan Seribua bahwa program ini akan tetap dilaksanakan
meskipun ia sendiri tidak terpilih menjadi gubernur lagi. Adapun
cuplikan dari video pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang menjadi
kontroversi sebagai berikut:
“Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya
karena dibohongi pakai Surat al-Maidah 51 macam-macam
itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa
pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh
nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu....
Program ini jalan saja. Jadi Bapak Ibu nggak usah merasa
nggak enak karena nuraninya nggak bisa pilih Ahok”.
Pidato yang berdurasi 1 jam 48 menit itu sudah diunggah di
Youtube oleh Pemda DKI Jakarta pada 28 September 2016. Setelah
video itu diupload tidak ada respon yang berarti di masyarakat.
Video tersebut belum menjadi polemik di masyarakat. Akan tetapi,
setelah Buni Yani mengunggah dan memotong video menjadi 30
detik di Facebook pada 6 Oktober dengan diawali kalimat “Penista
Terhadap Agama”, serta melampirkan transkipsi pidato sebagai
berikut;
“Bapak Ibu (Pemilih muslim)....dibohongi surat Al Maidah
51”....(dan) “masuk neraka (juga Bapak Ibu) dibodohi”.
Transkipsi tersebut terletak pada menit ke 24 dalam
pidatonya Ahok. Akan tetapi, ada satu kata yang hilang yaitu kata
“pake (pakai)”. Status ini kemudian dishare oleh puluhan ribu
orang tanpa melihat video asli pidato yang berdurasi 1 jam 48
menit.
Setelah status itu di upload, kemarahan dan kecaman
terhadap Ahok semakin meningkat. Layaknya bola salju jika
262
Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial
M. Mujibuddin SM
diturunkan menjadi semakin besar. Bola salju yang dilemparkan
oleh Buni Yani diikuti respon ribuan orang. Respon ini kemudian
melahirkan berbagai Aksi Bela Islam yang tidak hanya di Jakarta
saja melainkan juga diberbagai kota di Indonesia. Kontroversi
status Buni Yani dalam Facebooknya menjadi trending topic pada
saat itu. Bahkan setelah status Buni Yani ini bergulir, banyak
ormas yang menginginkan agar MUI menyatakan sikap terhadap
pidato Ahok. Meskipun MUI hanya menyatakan sikap (bukan fatwa)
terhadap Ahok, akan tetapi hal itu sudah cukup untuk melegitimasi
ormas tertentu untuk menjatuhkan dan memenjarakan Ahok.
Apa yang menarik dalam fenomena di atas adalah bahwa
media mampu membentuk kesadaran masyarakat. Pada awalnya
media hanya sebatas kepanjangan tangan dari realitas. Media
menyalurkan informasi yang terjadi dalam waktu dan tempat
tertentu. Akan tetapi, perkembangan zaman tidak bisa dilepaskan
oleh semua pihak, begitu juga dalam media. Media dalam
perkembangannya juga melalui beberapa tahapan. Media yang
semula hanya sebatas kepanjangan tangan dari realitas akan
tetapi saat ini media mampu membentuk realitas sendiri dengan
menyaring, memilih diksi kata, dan sudut pandang realitas,
sehingga hasil dari pemberitaan ini akan terlihat berbeda antara
media satu dengan lainnya.
Sebuah realitas yang diambil dari sudut pandang tertentu
akan menghasilkan makna lain dari realitas tersebut. Dalam tataran
teoritis, media yang melakukan hal seperti itu bisa dianalisis
menggunakan pendekatan analisis framing. Analisis framing
digunakan untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat
mengkontruksikan fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi,
penonjolan, dan tautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna,
lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring
interpretasi khalayak sesuai perspektifnya (Sobur 2001, 162).
Penggiringan Buni Yani dalam statusnya bisa dikatakan
‘berhasil’ dalam membentuk kesadaran masyarakat. Hal ini
dikarenakan video yang diupload oleh Pemda DKI tidak mendapat
respon dari masyarakat, akan tetapi dengan memilih diksi kata
dan sudut pandang berbeda seperti yang dilakukan oleh Buni Yani
mampu merekayasa kesadara masyarakat. Sampai-sampai dari
unggahan Buni Yani mampu melahirkan berbagai agenda Aksi Bela
Islam berjilid-jilid. Menurut Vedi R. Hadiz fenomena ini disebut
gerakan Islam populis.
Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o)
263
Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212
Hal ini menandakan adanya fenomena post truth bahwa
kesadaran masyarakat untuk merespon hal-hal tertentu saat ini
tidak hanya dipengeruhi oleh individu atau masyarakat melainkan
juga media. Media memiliki andil yang cukup besar dalam
membentuk kesadaran masyarakat. Maka dari itu, artikel ini akan
meneliti lebih dalam lagi terkait peranan media dalam membentuk
kesadaran masyarakat, terutama kaitannya dengan kemunculan
Aksi Bela Islam di Jakarta pada akhir tahun 2016. Tujuan artikel
ini adalah untuk mengetahui bagaimana media saat ini mampu
membentuk kesadaran dan menggiring opini masyarakat.
LANDASAN TEORI
A. Analisis Framing
Analisis framing berawal dari teori kontruksi realitas sosial
yang dikenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann.
Dalam bukunya yang berjudul Tafsir Sosial Atas Kenyataan, Peter
L. Berger dan Thomas Luckmann beranggapan bahwa terdapat
tiga dialektika yaitu eksternalisasi, internalisasi, dan objektivasi
(Berger and Luckmann 2012). Eksternalisasi adalah suatu
pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam
dunia baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya. Objektivasi
adalah disandangnya produk-produk itu (baik fisis maupun mental),
suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya semula,
dalam bentuk suatu kefaktaan (faktisitas) yang eksternal terhadap
para produser itu sendiri. Internalisasi adalah peresapan kembali
realitas tersebut oleh manusia, dan menstransformasikannya
sekali lagi dari struktur-struktur dunia objektif ke dalam strukturstruktur kesadaran subjektif (Berger 1991, 4–5).
Menurut Mufid (Mufid 2012, 92), Berger dan Luckmann menilai
proses mengonstruksi melalui interaksi sosial yang dialektis dari
tiga bentuk realitas, yakni syimbolic reality, objective reality, dan
subjektive reality yang berlangsung dalam suatu proses simultan
melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Objektive
reality merupakan suatu kompleksitas realitas (termasuk ideologi
dan keyakinan) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah
mapan terpola dan dihayati oleh individu secara umum sebagai
fakta. Syimbolic reality, termasuk di dalamnya teks industri
media, representasi pasar, kapitalisme, dan sebagainya dalam
media. Sedangkan subjektive reality merupakan kontruksi definisi
264
Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial
M. Mujibuddin SM
realitas yang dimiliki oleh individu dan di kontruksi melalui proses
internalisasi.
Dari teori kontruksi sosial ini kemudian melahirkan sebuah
konsep analisis framing. Konsep framing telah digunakan secara
luas dalam literatur komunikasi untuk menggambarkan proses
penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita
oleh media. Analisis framing digunakan untuk membedah caracara atau ideologi media saat mengonstruksikan fakta. Analisis
ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan tautan fakta ke
dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti
atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai
perspektifnya (Sobur 2001, 162).
Menurut Eriyanto (Eriyanto 2002, 67–68) menjabarkan
beberapa definisi terkait framing. Pertama, menurut Robert N.
Entman yaitu sebuah proses seleksi di berbagai aspek realitas
sehingga aspek tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol
dibandingkan dengan aspek lainnya. Ia juga menyatakan
informasi-informasi dalam konteks yang khas. Kedua, menurut
Todd Gitlin yaitu strategi bagaiman realitas atau dunia dibentuk
dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada
khalayak. Peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak
menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Hal itu
dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan dan presentasi
pada aspek tertentu dari realitas. Ketiga, menurut David Snow
dan Robert Benford yaitu pemberian makna untuk ditafsirkan
peristiwa dari kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan
sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu,
seperti anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi dan kalimat
tertentu. Keempat, menurut Zhongdan dan Pan Konsicki ialah
sebagai kontruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang
digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa
dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.
Framing dalam pemberitaan merupakan metode penyajian
realitas di mana kebenaran tentang suatu realitas tidak diingkari
secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan
memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, dengan
menggunakan istilah-istilah yang mempunya koneksi tertentu,
dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya
dengan kata lain dibingkai, dikontruksi dan dimaknai oleh media
(Kriyantono 2014, 253).
Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o)
265
Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212
Analisis framing menanyakan mengapa peristiwa X diberitakan?
Mengapa peristiwa yang lain tidak diberitakan? Mengapa suatu
tempat dan pihak terlibat? Mengapa realitas didefinisikan dengan
cara tertentu? Mengapa sisi atau angle tertentu ditonjolkan
sedangkan yang lain tidak? Mengapa fakta tertentu ditonjolkan
sedangkan yang lain tidak? Mengapa menampilkan sumber X dan
mengapa bukan sumber berita yang lain yang diwawancarai?
(Kriyantono 2014, 252).
Terdapat dua aspek penting framing dalam pandangan
Eriyanto (Eriyanto 2002, 81). Pertama, memilih fakta atau realitas.
Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak
mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta
ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih dan apa
yang dibuang. Bagian mana yang ditekankan dalam realitas? Bagian
mana dari realitas yang tidak diberitakan?. Penekanan aspek
tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih
fakta tertentu, dan melupakan fakta lainnya. Intinya, peristiwa
dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaman dan kontruksi
atau suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan
media lainnya, baik itu media pemberitaan konvensional maupun
personal.
Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan
bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak.
Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi apa,
dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya.
Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan
pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok,
pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat
penonjolan, dan sebagainya.
Dari beberapa pandangan framing di atas, dapat disimpulkan
bahwa analisis framing digunakan untuk salah satu alat analisis
untuk melihat cara media mengonstruksi fakta. Fakta objekif
yang terdapat di lapangan dikonstruksikan dengan cara menyoroti
bagian tertentu saja. Teori ini juga bisa melihat ideologi dari
pemilik akun media sosial atau media lainnya. Hal ini dikarenakan
media saat ini penuh syarat akan kepentingan kapitalis.
B. Islam Populis
Istilah populisme biasanya digunakan dalam ranah politik.
266
Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial
M. Mujibuddin SM
Populisme berkembang karena adanya relasi yang timpang antara
publik dengan elite. Populisme sendiri dijalankan secara informal,
gerakan ekstra parlementer ,dan juga irrasional sebagai bentuk
manifestasi anti tesis melawan dominasi oligarki. Semangat
populisme adalah sebagai upaya korektif terhadap pemerintahan
oligarki. Populisme berkembang dalam berbagai bentuk ekspresi
politis yang tergantung pada konteks dan konten politik
kontemporer.
Populisme berkembang dalam tiga ranah yaitu sebagai
ideologi, populisme sebagai komunikasi politik, dan populisme
sebagai gaya politik (Woods 2014, 9). Populisme sebagai ideologi
politik sebenarnya melihat masyarakat biasa sebagai bentuk
konstruksi sosial akan komunalitas yang perlu diperjuangkan.
Konstruksi sosial tersebut ingin melihat orang biasa sebagai subjek
berdaulat maupun sebagai kelas sosial. Populisme sebagai gaya
politik lebih mengarah pada bentuk patronase yang menjamin
adanya hajat hidup masyarakat luas. Populisme sebagai gaya politik
mengarahkan pada bentuk pemenuhan kebutuhan material fisik
yang mengarah pada hak dasar. Biasanya mengarah pada bentuk
rezim kesejahteraan bagi masyarakat. Sedangkan populisme sebagai
komunikasi politik lebih diutamakan dalam mengonstruksikan
adanya sosok pemimpin kharismatik. Rakyat akan menjadikan satu
sosok tertentu untuk dijadikan pemimpinnya.
Sedangkan istilah Islam populis berawal dari munculnya kelas
menengah muslim perkotaan. Muslim perkotaan muncul akibat
adanya alienasi umat muslim, rezim otoritarianisme, maupun juga
ketimpangan ekonomi-politik menjadi sumber pemicu penting.
Kelas menengah muslim merupakan kelas masyarakat baru yang
menampilkan sisi rasionalitas, material, maupun intelektualitas
dari adanya kehidupan perekonomian yang semakin baik.
Kemunculan Islam populisme dapat dilihat dari dua hal;
Pertama, perkembangan industrialisasi dan kapitalisme yang
tidak seimbang. Kehidupan perekonomian sendiri secara tidak
berpihak kepada masyarakat kelas menengah muslim, namun
justru pada kelas borjuasi yang didominasi oleh kepentingan
Barat dan Tionghoa. Kedua, rezim pemerintahan yang otoriter
telah memberangus kehidupan masyarakat dengan menciptakan
prinsip monolayalitas terhadap rezim. Dalam penjelasan Hadiz,
Islam populis juga merupakan bentuk respon terhadap kontradiksi
pembangunan kapitalisme yang selama ini mengalienasikan
Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o)
267
Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212
masyarakat kelas menengah muslim (Hadiz 2016, 4–8).
Dalam konsep populisme terdapat kata rakyat yang memiliki
makna tersendiri. Akan tetapi, dalam populisme Islam kata rakyat
dipahami atau bisa dilihat dari konsep umat. Konsep umat inilah
yang digunakan dalam populisme Islam (Hadiz 2016, 4). Populisme
Islam di kalangan kelas menengah muslim dapat dipahami dalam
dua pengertian; Pertama, upaya mempopulerkan Islam di ruang
publik; kedua, upaya membangkitkan Islam sebagai kekuatan
kepentingan dan kekuatan penekan (Jati 2017, 2017).
Derivasi kata umat dalam populisme kontemporer adalah
sebagai payung atas kepentingan berbagai macam kelompok kelas
menengah muslim. Populisme yang berkembang di kalangan kelas
menengah muslim dapat dikategorisasikan dalam tabel berikut ini:
No. Ekspresi Populisme Aktor
Islam
Tujuan
1
Populisme berbasis Kelompok being Afirmasi dan Afiliasi Isidentitas
Islam
lam dalam modernitas
2
Populisme berbasis Kelompok Islam Aksesbilitas
terhadap
material
organik
sumber ekonomi politik
kekuasaan
3
Populisme berbasis Kelompok pen- Representasi
Islam
simbolitas
gajian
dalam ruang publik
4
Populisme berbasis Kelompok
tarbiyah
telektual
5
Populisme berbasis Kelompok Islam Amar
ma’ruf
syariah
konservati
munkar
in- Diseminiasi nilai, norma, dan prinsip Islam
dalam kehidupan
nahi
Tabel 1 Sumber: Wasisto Raharjo Jati, 2017; 29.
PEMBAHASAN
A. Media sebagai Alat Propaganda
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa analisis
framing digunakan untuk melihat secara mendalam tentang
ideologi tertentu dalam media, baik itu media berskala besar
seperti media cetak dan media online yang mainstream, maupun
media sosial yang bersifat pribadi. Dalam kasus pilkada DKI
Jakarta, yang menarik untuk diperhatikan lebih lanjut ialah adanya
campur tangan dari media personal, sehingga hal itu bisa menjadi
268
Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial
M. Mujibuddin SM
kontroversi dan melahirkan berbagai respon dari masyarakat
terutama kalangan Islam.
Kasus Pilkada DKI mulai ramai diperbincangkan setelah
seorang jurnalis Buni Yani mengunggah potongan pidato Ahok di
Kepulauan Seribu yang semula berdurasi 1 jam 48 menit menjadi
30 detik. Di samping itu juga, Buni Yani memberi komentar
dalam potongan video tersebut dengan diawali “Penista Terhadap
Agama”.
“Bapak Ibu (Pemilih muslim)....dibohongi surat Al Maidah
51”....(dan) “masuk neraka (juga Bapak Ibu) dibodohi”.
Transkipsi tersebut terletak pada menit ke 24 dalam
pidatonya Ahok. Akan tetapi, ada satu kata yang hilang yaitu kata
“pake (pakai)”. Status ini kemudian dishare oleh puluhan ribu
orang tanpa melihat video asli pidato yang berdurasi 1 jam 48
menit.
Buni Yani ingin menonjolkan satu momen tertentu agar
masyarakat lebih tertarik untuk melihat postingannya. Meskipun
unggahan tersebut melalui akun facebook pribadinya, akan tetapi
hal itu bisa menjadi berita besar pada akhir tahun 2016. Bahkan
mungkin Buni Yani tidak mengira kalau video yang ia unggah akan
menjadi kontroversi dan boomerang tersendiri untuk dirinya.
Secara tidak sengaja Buni Yani membelokkan secara halus
sebuah realitas objektif dalam video yang diupload oleh Pemda
DKI. Sebab antara transkipsi dengan suara video yang asli
terdapat kata yang tidak dicantumkan. Jika ditanyakan kepada
Buni Yani, mengapa hanya di satu sudut pandang saja yang di
unggah, akan tetapi yang lain dihapus. Maka hal itu memperkuat
adanya kepentingan di balik unggahannya. Penulis sendiri tidak
tahu sebenarnya apa motif di balik itu semua. Akan tetapi, yang
jelas adalah pada saat itu akan ada pemillihan Gubernur Jakarta.
Maka bisa jadi apa yang dilakukan oleh Buni Yani sebagai upaya
politik untuk mengurangi nilai suara politik Ahok ketika akan maju
menjadi Calon Gubernur.
Di samping itu juga, frame yang digunakan oleh Buni Yani
dengan memilih diksi kata yang bisa menarik perhatian khalayak
umum. Kata “penista agama” bisa diartikan sebagai orang yang
menghina agama tertentu. Apalagi kata tersebut ditujukan dari
seorang Nasrani kepada umat muslim yang notabennya terbesar di
Indonesia. Sehingga simpati atau respon masyarakat akan semakin
Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o)
269
Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212
meningkat tatkala agamanya dilecehkan oleh orang beragama
lain. Dalam hal ini, Buni Yani telah berhasil memilih sebuah fakta
yang bisa menarik perhatian khalayak umum.
Buni Yani telah menggunakan media pribadinya untuk
menginformasikan sebuah berita kepada khalayak umum. Media
komunikasi seperti ini menurut Vin Crosbie disebut mass media.
Media ini digunakan untuk sarana menyebarluaskan informasi dari
satu orang ke banyak orang. Di samping mass media, Crosbie juga
menambahkan media interpersonal (one to one), dan new media.
New media digunakan untuk menyebarluaskan ide dan informasi
dari banyak orang ke banyak orang (Jinan 2013, 325).
Jika mengikuti media komunikasi yang dimaksud oleh Vin
Crosbie, maka individu bisa menjadi jurnalis yang independen. Ia
bisa membuat sebuah ide dan gagasan untuk disebarluaskan melalui
media pribadi maupun media konvensional. Seperti yang dilakukan
oleh Buni Yani dalam akun facebooknya, ia mencoba menawarkan
ide dan gagasannya terkait dengan Ahok, beserta memilih diksi
dan kalimat yang sekiranya membuat menarik banyak orang.
Setelah unggahan Buni Yani menjadi perbincangan publik,
akhirnya banyak menuai respon dari kalangan umat Islam terutama
yang berhalauan radikal. Respon tersebut bisa dilihat dari media
yang dimiliki oleh ormas radikal, seperti Tabloid Media Umat Edisi
184, 4.17 November 2016 yang dimiliki oleh Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI). Media ini memuat berbagai macam ekspresi kemarahan dan
kebencian terhadap Ahok atas kasus yang menjeratnya. Bahkan
mereka tidak mentolerir sedikitpun atas kasus tersebut. Hal ini bisa
dilihat dari pemilihan kata yang memiliki intensitas tinggi seperti
“harus tersangka”, “wajib marah”, dan “perangi” (Qibtiyah 2016,
173). Pemilihan kata tersebut merupakan sebuah gagasan yang
ingin disampaikan oleh HTI kepada khalayak umum, bahwa umat
muslim wajib marah, Ahok harus menjadi tersangka dan harus
diperangi. Melalui medianya, HTI ingin mencoba menawarkan
sebuah perspektif baru untuk meyakinkan kepada umat muslim
bahwa Ahok memang telah menistakan agama.
Dari penekanan dan penonjolan atas fakta di atas membuat
masyarakat sulit untuk membedakan kebenaran dari realitas
tersebut. Akan tetapi, yang menjadi menarik untuk diperhatikan
lebih lanjut ialah dari unggahan Buni Yani mampu memberikan
kesadaran kepada masyarakat bahwa Ahok telah menistakan
agama. Hal ini terbukti pasca unggahan tersebut banyak masyarakat
270
Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial
M. Mujibuddin SM
yang meresponnya. Dibuktikan dengan adanya berbagai rangkaian
aksi untuk menurunkan dan memenjarakan Ahok. Bahkan gerakan
ini tidak hanya di Jakarta saja melainkan juga diberbagai kota
di Indonesia. Meskipun ormas besar, Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah, secara struktural tidak ikut serta dalam aksi
tersebut, akan tetapi kedua ormas ini membolehkan jika anggotanya
ikut berpartisipasi dengan syarat tidak mengatasnamakan sebagai
anggota NU atau Muhammadiyah.
B. Fenomena Post-truth dan Hiperrealitas Media
Politik kontemporer telah membawa media sebagai alat
propoganda yang dapat disalahgunakan bagi demokrasi dan
pluralisme. Akses informasi digital yang sangat cepat dan tidak
terbatasi oleh ruang dan waktu berdampak multidimensional.
Euforia kemajuan teknologi informasi menjadi fenomena yang
menggegerkan di kancah global. Fenomena inilah yang kemudian
dengan istilah “post-truth”. Istilah post-truth menjadi populer
setelah dinyatakan oleh penyunting kamus Oxford sebagai “the
word of the year” pada tahun 2016 untuk menggambarkan suatu
anomali dari realitas. Ketenaran penggunaan istilah “posttruth” tentu saja merujuk pada beberapa momen politik paling
berpengaruh di tahun 2016, yakni kasus terpilihnya Trump menjadi
presidan Amerika Serikat, mensukseskan Brexit, dan referendum
Katalania. Post-truth kemudian didefinisikan untuk menunjukkan
suatu keadaan dimana fakta objektif kurang berpengaruh dalam
membentuk opini publik dibanding dengan emosi dan keyakinan
pribadi (Mekelberg 2016). Media massa dikonstruksikan bagi pihak
berkepentingan dan mengabaikan realitas sesungguhnya.
Indonesia sebagai salah satu negara pengguna internet
terbesar di dunia, juga berpontensi menjadi target fenomena
post-truth baik dalam kepentingan ekonomi maupun politik. Salah
satu fenomena mutakhir adalah kasus Pilkada DKI pada tahun
2017 terkait pemotongan video Ahok yang viral di media sosial.
Fenomena post truth di Indonesia meluas karena empat sebab.
Pertama, kemajuan teknologi informasi yang asimetris dengan
kapasitas adaptasi pemerintah dan masyaakat. Kedua, adanya
kompetisi politik yang tidak berkesudahan sejak pilpres 2014.
Ketiga, adanya dukungan dari masyarakat tertentu pada ideologi
ekstrim anti Pancasila. Keempat, adanya kegelisahan dengan
Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o)
271
Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212
perubahan dan perbaikan sistem yang dilakukan pemerintah saat
ini (Sulistyo 2017).
Post-truth pertama kali muncul pada tahun 90-an oleh Steve
Tesich untuk merefleksikan kasus Perang Teluk dan kasus Iran
dalam tulisan esainya di majalah The Nation pada tahun 1992.
Pernyataan Tesich menggarisbawahi bahwa setiap orang bebas
mengemukakan dan memberikan keputusannya di era post truth.
Istilah tersebut kemudian kemballi dipopulerkan pada tahun 2004
oleh Ralph Keyes dalam bukunya yang berjudul The Post Truth
Era-Dishonesty and Deception in Contemporary Life. Frekuensi
penggunaan istilah ini tenar sepanjang tahun 2016, khususnya
dalam konteks politik.
Di era post truth batas antara kejujuran dan ketidakjujuran,
kebenaran dan kebohongan, realita dan dunia maya, fiksi dan nonfiksi menjadi semakin kabur. Media sebagai akses informasi digital
menjadi arus utama untuk penyebaran berbagai informasi yang
tidak terbatasi oleh apapun. Ghufron (Ghufran 2017) menyatakan
bahwa industri media pada saat ini sedang mengalami refeodalisasi
ruang publik dimana terdapat logika ekonomi dan politik yang
dimasukkan ke dalam sendi-sendi kesadaran masyarakat untuk
memperlemah kekuatan masyarakat dalam ruang publik. Karl
Marx, dalam Ritzer (Ritzer 2012), mengungkapkan bahwa mereka
yang menguasai basis modal akan menguasai gagasan dalam
sebuah zaman, sehingga di era kontemporer saat ini, pemilik
modal mampu merekayasa, menggiring, dan memanipulasi opini
publik sesuai kehendak mereka. Melalui perkembangan teknologi
komunikasi, terutama sosial media, setiap golongan yang memiliki
kepentingan mempunyai kuasa dalam memengaruhi opini publik.
Tentu penjabaran terkait post-truth tidak terlepas dari aspek
politik yang melatarbelakanginya.
Dalam realitas politik, fakta-fakta objektif ditempatkan
sebagai narasi tunggal kebenaran yang dianggap tidak relevan.
Hal ini beriringan dengan perkembangan media sosial yang
semakin meluas sehingga memberikan dampak pada kemudahan
pembentukan opini publik melalui berita-berita hoax yang jauh
dari fakta objektifnya. Produksi kebenaran menjadi paradoks
dalam ruang publik. Keadaan seperti inilah menjadi praktik yang
mengarah pada post-truth, dimana anomali-anomali realitas
dikondisikan sebagai sesuatu yang benar oleh golongan yang
memiliki kepentingan. Opini publik kemudian dimanipulasi
272
Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial
M. Mujibuddin SM
untuk membentuk kesadaran masyarakat sebagaimana mereka
kehendaki.
Pada tahun 2011, sosial media memiliki peran penting dalam
kasus penumbangan Presiden Husni Mubarak. Kasus tumbangnya
presiden di Ukraina merupakan akibat dari sebuah status yang
ditulis di sosial media facebook oleh seorang jurnalis dengan
seruan untuk berkumpul di lapangan Maidan Kiev. Di Jerman,
partai ultra kanan mendapat 12,6% kursi di parlemen melalui
penyebaran ketakutan di media sosial. Di Rusia, Presiden Putin
memanfaatkan sosial media sebagai kampanye terselubung. Kasus
terpilihnya Trump sebagai presiden Amerika Serikat juga berawal
dari penyebaran informasi yang ‘seolah-olah benar’ melalui media
sosial.
Polemik pertarungan kebenaran tidak hanya terjadi di
luar negeri saja. Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah contoh kasus
pertarungan kebenaran yang terjadi di Indonesia. Kasus prokontra kasus penistaan agama yang dialami oleh Gubernur Jakarta
Basuki Tjahya Purnama, merupakan fenomena yang dilematis.
Banyak narasi palsu disebarkan melalui sosial media demi
memenuhi kebutuhan politik golongan. Banyak gerakan-gerakan
baru yang dibentuk oleh masyarakat, tidak hanya sebagai tagar
di media sosial, namun mereka berkumpul untuk membenarkan
apa yang mereka lihat di media sosial tanpa melakukan klarifikasi
atas objektivitas kebenaran yang mereka peroleh. Persoalan
inilah yang akan membawa masyarakat pada keadaan yang mana
mereka semakin sulit untuk membedakan antara kebenaran dan
ketidakbenaran.
Kenyataan yang terdapat dalam media sudah menjadi kabur.
Media telah menjadi komoditas baru dan sebagai daya tawar
kepada masyarakat. Di dalam media dibuat semanrik mungkin
untuk memancing minat manusia. Segala yang dapat menarik
minat manusia ditayangkan melalui berbagai media dengan
model-model ideal, sehingga batas antara simulasi dan kenyataan
menjadi tercampur aduk dan menciptakan hyperrelity, yang
mana kenyataan dan ketidaknyataan menjadi tidak jelas. Dunia
hyperreality dipenuhi oleh duplikasi realitas melalui berbagai
media (Baudrillard 1983, 2). Menurut Lechte hal ini disebut
sebagai munculnya realitas baru yang diakibatkan oleh reproduksi
sempurna dari suatu objek, yang diwakili oleh kode-kode yang telah
merasuk dalam sendi-sendi kehidupan masa modern, sehingga
Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o)
273
Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212
mampu mem-baypass sesuatu yang real (Lechte 2001, 352).
Maka dari itu, adanya fenomena post-truth dan dominasi media
telah mengaburkan makna realitas sesungguhnya. Jadi seolah-olah
kebenaran yang terdapat dalam media menjadi kebenaran yang
real dari sebuah realitas. Dalam pandangan ini muncul sebuah
konstruksi baru bagi masyarakat. Konstruksi ini dibuat oleh media,
sehingga dari situ pemahaman masyarakat akan terbentuk tentang
sebuah realitas yang ditampakkan oleh media. Seperti kasus video
unggahan Buni Yani yang telah membentuk kesadaran masyarakat
tentang kebenaran dari suatu fenomena penistaan agama oleh
Basuki Tjahaja Purnama.
C. Munculnya Gerakan Islam Populis 212
Munculnya gerakan Islam populis 212 tidak bisa dilepaskan
dari peran media. Sebelum aksi berlangsung, sebagaimana telah
dijelaskan di atas, media telah mengambil peran penting dalam
membentuk kesadaran umat muslim atas kasus Ahok. Terlebih
lagi, jaringan informasi melalui media internet berkembang
dengan pesat sehingga memudahkan orang untuk mengaksesnya.
Di tambah lagi, di era informasi saat ini, di dalam media terdapat
kekaburan makna antara realitas dan non realitas. Hal ini
dikarenakan media mampu menampilkan suatu fenomena yang
bisa memanipulasi sebuah kebenaran dari realitas sesungguhnya.
Akibatnya, masyarakat secara tidak langsung akan terkonstruksi
oleh sistem kode yang ditampilkan oleh media, baik itu media
sosial pribadi maupun media lainnya.
Konstruksi media dalam menanggapi sebuah isu tertentu
bisa mempengaruhi pandangan masyarakat. Seperti halnya kasus
video unggahan Buni Yani dalam akun facebooknya yang telah
menampilkan sudut pandang tertentu dengan judul yang bisa
menarik massa untuk melihatnya. Dalam fenomena ini, media
sosial milik Buni yani telah mendapatkan respon dari berbagai
kalangan. Bahkan telah mampu melahirkan sebuah gerakan besar
dari umat Islam untuk menindaklanjuti fenomena yang menyangkut
Ahok, dan hal ini menjadi pengalaman berharga bagi demokrasi
Indonesia.
Gerakan ini kemudian disebut Aksi Bela Islam atau gerakan
Islam populis 212. Gerakan Aksi Bela Islam telah menarik massa
yang banyak. Akan tetapi, kebanyakan massa aksi yang terlibat
274
Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial
M. Mujibuddin SM
didominasi oleh muslim perkotaan atau muslim kelas menengah.
Premis penting dalam kemunculan muslim kelas menengah hari
ini adalah kelas yang teresklusi secara sosial ekonomi, sosial
politik, maupun sosial teologis. Keberislaman yang diekspresikan
oleh muslim kelas menengah mulai dari sifatnya yang simboliskomoditas, fungsionl-agamis, dogmatif-reaksioner, dan substantifsugestif. Berbagai macam tipologi tersebut muncul tidak hanya
terkait dengan pemahaman Islam saja melaikan juga terkait
bagaimana mengkonstekstualisasikan Islam dalam keseharian
baik dalam interaksi inti, sosial, maupun juga bentuk sosialisasi
eksternal lainnya (Jati 2017, 32).
No. Tipologi Ekspresi Kelas
Menengah Muslim
Indonesia
1. Simbolis-komoditas
2.
Fungsional-agamis
3.
Dogmatif-reaksioner
4.
Substantif-sugestif
Bentuk Ekspresi
Kelas menengah
Muslim Indonesia
Islam sebagai bagian
identitas
Islam sebagai bagian
dari sosialisasi
Islam sebagai bagian
dari perjuangan
Islam sebagai bagian
dari dakwah
Relasinya dengan
populisme Islam
Komoditas fashion,
budaya populer
Majelis pengajian,
lembaga filantropis
Organisasi massa
Islam
Kelompok epistemik
Tabel 2 Sumber: (Wasisto Raharjo Jati, 2017; 33)
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa ekspresi pemahaman
keagamaan di lapangan memiliki berbagai macam ekspresi mulai
dari levelnya hingga pada diskursusnya. Kesemuanya kemudian
berujung pada bentuk Islam sebagai agama, norma, dan perilaku
kemudian berkembang di ruang publik. Hal itulah yang sebenarnya
menjadi esensi dari populisme Islam dimana aliansi kepentingan
dari setiap elemen kelas menengah kemudian terwadahkan (Jati
2017, 33).
Berbicara mengenai populisme Islam yang tidak hanya terjadi
di Indonesia saja melainkan juga dibelahan dunia Islam lainnya,
tidak lepas dari praktik kolonialisme, dominasi dan hegemoni
negara-negara Barat atas dunia muslim. Ketimpangan antar kelas
sosial menjadi satu produk spesifik yang lahir dari rahim sistem
politik yang hegemonik. Dominasi satu budaya atas budaya lainnya
melahirkan banyak kalangan yang akhirnya terpinggirkan. Kalangan
borjuasi cilik (petty bourgeoisie) di dunia muslim, yang posisinya
Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o)
275
Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212
tidak begitu diuntungkan sistem politik kolonialisme. Dari sinilah
embrio koalisi kelas sosial dari beragam struktur kelas mulai
terbentuk. Mereka disatukan oleh beberapa persamaan seperti
pedihnya penderitaan sistem dan punya angan-angan bersama
untuk membangun sebuah negara-bangsa modern di masa datang
(Hadiz 2016, 382).
Aktivitas populisme Islam di Indonesia memposisikan etnis
Tionghoa sebagai “musuh bersama” menjadi tesis utama sekaligus
ciri distingtif populisme Islam di Indonesia. Hal tersebut terus
direproduksi para borjuis cilik sejak lama. Sebab, ladang bisnis
yang digarap oleh etnis Tionghoa telah merambah wilayah
yang sebetulnya sudah digarap kaum borjuis cilik muslim sejak
lama(Hadiz 2016, 383). Permasalahan identitas inilah yang coba
ditawarkan oleh gerakan 212 kepada khalayak umum.
Secara garis besar, gerakan Islam populis 212 dikomandoi
oleh GNPF MUI yang dipimpin oleh Habib Rizieq, pemimpin Front
Pembela Islam (FPI). GNPF MUI merupakan sebuah koalisi lintas
ormas Islam konservatif di Indonesia. Di dalamnya terdapat partai
PKS, HTI, PERSIS, Wahdah Islamiyah, akan tetapi suara koalisi ini
masih tetap didominasi oleh FPI. Dominasi FPI dalam berbagai Aksi
Bela Islam menunjukkan kuatnya pengaruh Habib Rizieq terhadap
ormas lainnya. Sehingga posisi Habib Rizieq yang pada awalnya
sebagai ulama ‘pinggiran’ menjadi ulama yang memiliki pengaruh
besar bagi Islam konservatif di Indonesia.
Adanya koalisi ormas Islam di Indonesia menunjukkan
bersatunya seluruh kepentingan antar ormas konservatif di
Indonesia. Gerakan ini dikemas dengan begitu halus dengan tujuan
menghilangkan stigma radikal. Sebab, dengan menghilangkan
stigma tersebut akan menggiring lebih banyak orang yang terlibat
dalam aksi. Maka dari itu, dalam Aksi Bela Islam tidak bisa
digeneralisir menjadi gerakan radikal di Indonesia. Akan tetapi
gerakan tersebut cukup dikatakan sebagai gerakan Islam populis
di Indonesia.
Gerakan Islam populis 212 merupakan bentuk dari upaya
untuk memperjuangkan kepentingan umat muslim konservatif.
Selain membawa isu etnis Tionghoa, gerakan Islam populis 212
juga membawa isu menolak pemimpin non muslim (Woodward
and Nurish 2016, 109). Tuntutan penolakan atas pemimpin non
muslim memang menjadi wacana gerakan Islam konservatif di
Indonesia. FPI selaku ormas yang mendominasi dalam gerakan
276
Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial
M. Mujibuddin SM
212 telah mengusung isu tersebut sebagai daya tawar terhadap
massa aksi yang ikut. Isu ini diangkat karena pada saat itu akan
ada pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Maka
upaya yang coba dilakukan oleh Habib Rizieq adalah menawarkan
isu penolakan pemimpin non muslim kepada warga Jakarta, dan
secara tersembunyi harus mendukung pasangan Anies –Sandi.
Penolakan terhadap pemimpin non muslim merupakan salah
satu agenda proses syariatisasi. Sebuah proses dimana dibutuhkan
reformasi birokrasi untuk menuju sistem yang berdasarkan syariat
Islam. Proyeksi ini sebenarnya identik dengan kemunculan gerakan
Islam radikal di Indonesia. Sejak reformasi bergulir di Indonesia,
wacana syariat Islam mulai ramai diperbincangkan. Azyumardi
Azra melihat tumbuhnya gerakan Islam pada era reformasi, tidak
jauh dari arus perpolitikan Indonesia. Azra kemudian membagi
dua tipe Islam politik di Indonesia. Pertama, Islam politik yang
direpresentasikan partai-partai Islam yang terlibat dalam sistem
dan proses politik yang sah; mereka berusaha mencapai agenda
politik tertentu seperti penerapan syariah Islam dan pendirian
negara Islam. Kedua, agenda politiknya hampir sama dengan yang
pertama namun memiliki perbedaan. Perbedaan ini terletak pada
tidak diakuinya sistem politik yang sekarang ada oleh kelompok
kedua.ormas yang termasuk dalam kelompok kedua ini seperti
Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) (Azra 2012, 235–36).
Salah satu upaya yang pernah dilakukan untuk menjadikan
Islam sebagai dasar kenegaraan adalah ingin memperjuangkan
Piagam Jakarta. Gerakan yang paling menonjol dengan adanya
ormas-ormas Islam di masa reformasi ialah untuk mengusung
kembali Piagam Jakarta dan penerapan syariat Islam. Mereka
mendapat momentum pada sidang MPR pada tahun 2000 untuk
memasukkan agenda Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945,
namun gagal di tengah jalan. Akan tetapi mereka tidak menyerah
di situ saja, usaha-usaha terus dilakukan dalam menerapkan
hukum syariat Islam di berbagai daerah seperti Sulawesi Selatan,
Jawa Barat, dan daerah-daerah lainnya (Haidar Nashir 2013, 281).
Akan tetapi, usaha untuk memperjuangkan diberlakukannya
Piagam Jakarta dirasa sudah gagal. Maka dari itu, FPI beralih
strategi, yang semula ingin memperjuangkan di ranah Parlemen,
akan tetapi saat ini bergerak di ruang akar rumput. Dalam arti,
ketika ada pemilihan umum, FPI akan lebih memilih pemimpin
Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o)
277
Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212
muslim ketimbang kemimpin non muslim. Hal ini bisa dilihat dari isu
yang dibawa Habib Rizieq di atas dengan menolak calon gubernur
Ahok dan memilih pemimpin muslim. Penolakan ini sejak kasus
Ahok dimulai sudah dikumandangkan. Harapannya ketika pemimpin
muslim yang terpilih, maka langkah untuk memberlakukan perda
syariat akan lebih mudah dilakukan.
Dominasi FPI dalam Aksi Bela Islam juga memperkuat
adanya proses reformasi birokrasi dengan berlandaskan sistem
syariah Islam. Terdapat beberapa agenda yang hendak dicapai
selain menolak pemimpin non muslim, yaitu; Pertama, Kampanye
syariat secara umum. Kedua, penerapan hukum ta’zir terhadap
pelanggaran moralitas Islam melalui Peraturan Daerah (Perda).
Ketiga, membangun kesadaran akan ancaman kristenisasi yang
mengarah pada tuntutan pembuatan peraturan pemerintah yang
membatasi aktivitas umat Kristen, seperti pembangunan gereja
dan aktivitas sosial lembaga kemanusiaan Kristen. Keempat,
penentangan terhadap apa yang dianggap sebagai liberalisasi dan
penyimpangan ajaran Islam dengan tuntuan pembatasan negara
terhadap penyebaran ide liberalisme, pluralisme, dan ajaran
Ahmadiyah (Ahnaf 2016, 129).
Maka dari itu, fenomena pemberlakuan Perda Syariah
bukan lagi hal baru dalam perpolitikan di Indonesia. Jika Jakarta
menerapkan sistem syariah Islam, hal itu akan mempermudah
pemberlakuan sistem syariah di daerah lain. Hal ini dikarenakan
Jakarta merupakan representasi perpolitikan di Indonesia. sehingga
perubahan struktural yang ada di Jakarta akan dicontoh oleh
daerah-daerah lainnya. Langkah pertama yang dilakukan dalam
sistem syariah ialah menolak pemimpin non muslim, sebagaimana
penolakannya terhadap Gubernur Basuki Tjahaja Purnama.
Langkah selanjutnya yang akan dilakukan ialah menerapkan
beberapa agenda besar seperti yang telah dijelaskan di atas.
Akan tetapi, jika sistem syariah memang diterapkan di
Jakarta, hal itu bukan menjadi jaminan untuk memperbaiki sistem
pemerintahan yang ada. Ambil contoh misalnya daerah yang sudah
menerapkan Perda Syariah adalah di Kabupaten Cianjur. Setelah
Perda ini diterapkan, banyak aspek kehidupan lainnya juga terkena
dampaknya. Salah satunya adanya kewajiban memakai jilbab
di kantor-kantor pada waktu hari Jumat baik muslim maupun
non muslim (Wahid 2009, 139). Ini menunjukkan bahwa adanya
Perda Syariah yang berujung pada Islamisasi ruang publik justru
278
Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial
M. Mujibuddin SM
mendiskriminasi non muslim. Alih-alih ingin memperbaiki sistem
yang ada, akan tetapi Perda Syariah justru melakukan pelanggaranpelanggaran hak sipil warga negara.
KESIMPULAN
Di era modern saat ini, media sosial memiliki peran yang
cukup besar. Hal ini dibuktikan dengan kebebasan individu untuk
berpendapat tentang segala hal yang terkait disekitarnya. Di
dalam media sosial, individu bisa jurnalis dadakan untuk meliput
fenomena yang terjadi di sekitarnya. Mereka akan membentuk
sebuah opini baru dan mengambil dari sudut pandang tertentu.
Dalam video unggahan Buni Yani, ia telah mampu memunculkan
sebuah frame yang berbeda dengan ditambahi judul menarik
supaya bisa mendapatkan respon dari banyak kalangan.
Di arus media saat ini, fenomena yang dimunculkan dalam
media telah mampu merekayasa sebuah realitas. Rekayasa ini
kemudian melahirkan kekaburan dari realitas sesungguhnya.
Masyarakat yang sebagai objek dan subjek tidak bisa lagi
membedakan mana realitas yang dibuat dan mana realitas yang
sesungguhnya. Kekaburan inilah yang menimbulkan sebuah gejala
post-truth. Jadi, apa yang ditampakkan di media merupakan sebuah
kebenaran tersendiri bagi masyarakat. Dalam video unggahan
Buni Yani, adanya kekaburan makna di dalamnya. Akan tetapi,
kekaburan ini dimenangkan oleh realitas yang ditampakkan oleh
Buni Yani, yakni Ahok Penista Agama, dengan dibuktikan adanya
respon dan gerakan dari umat muslim.
Maka dari itu, pemahaman masyarakat tentang video Ahok
di Kepulauan Seribu telah terkonstruksi melalui media sosialnya
Buni Yani ketimbang dari video aslinya. Konstruksi sosial yang
semula hanya terjadi dalam tingkat lingkungan maupun individu
sudah tidak bisa lagi dijadikan rujukan dalam melihat konstruksi
masyarakat. Akan tetapi, saat ini media juga mampu menkonstruksi
kesadaran masyarakat atas fenomena tertentu. Hal ini bisa dilihat
dari adanya gerakan Islam populis 212 yang lahir dari konstruksi
media sosial milik Buni Yani tentang pidato Ahok di Kepulauan
Seribu.
Kemunculan gerakan Islam populis 212 tidak hanya ingin
menurunkan dan memenjarakan Ahok dari kursi gubernur, akan
tetapi juga menyisipkan beberapa agenda besar dalam proses
Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o)
279
Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212
syariatisasi pemerintah. Melalui jalur reformasi, gerakan Islam
populis setidaknya menawarkan dua agenda besar sebagai
tawarannya. Pertama, menolak pemimpin non muslim. Penolakan
ini untuk mempermudah Islamisasi ruang publik bagi pemerintahan
ke depannya. Di samping itu juga, penolakan pemimpin non muslim
untuk memudahkan pemberlakuan Perda syariah dalam sistem
pemerintahan. Kedua, penolakan dominisi Etnis Tionghoa dalam
perekonomian Indonesia. Permasalahan ini muncul akibat tidak
diterimanya etnis Tionghoa sebagai pemilik modal yang besar
dalam perekonomian Indoensia.
280
Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial
M. Mujibuddin SM
DAFTAR PUSTAKA
Ahnaf, Mohammad Iqbal. 2016. “Tiga Jalan Islam Politik di
Indonesia: Reformasi, Refolusi dan Revolusi.” Wawasan:
Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1 (2): 127–40. https://
doi.org/10.15575/jw.v1i2.728.
Azra, Azyumardi. 2012. “Revisitasi Islam Politik Dan Islam Kultural
Di Indonesia.” JURNAL INDO-ISLAMIKA 1 (2): 233–44. https://
doi.org/10.1548/idi.v1i2.1176.
Berger, Peter L. 1991. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial.
Jakarta: LP3ES.
Berger, Peter L, and Thomas Luckmann. 2012. Tafsir Sosial
Atas Kenyataan: Risalah tentang sosiologi pengetahuan.
Translated by Hasan Basari. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik
Media. Yogyakarta: LKiS.
Ghufran, Fathorrahman. 2017. “Menyikapi Era Defisit Kebenaran.”
Kompas, January 5, 2017, 2017 edition.
Hadiz, Vedi R. 2016. Islamic Populism in Indonesia and the Middle
East. Cambridge: Cambridge University Press.
Jati, Wasisto Raharjo. 2017. “Dari Umat Menuju Ummah: Melacak
Akar Populisme Kelas Menengah Muslim Indonesia.” Maarif:
Jurnal Arus Pemikiran Islam Dan Sosial 12 (1): 22–36.
Jinan, Mutohharun. 2013. “Intervensi New Media Dan Impersonalisasi
Otoritas Keagamaan Di Indonesia.” Jurnal Komunikasi Islam
3 (2). https://doi.org/10.15642/jki.2013.3.2.%p.
Kriyantono, Rachmat. 2014. Teknik Praktis Riset Komunikasi.
Jakarta: Prenada Media.
Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme
sampai Postmodernitas. Kanisius.
Mekelberg, Yossi. 2016. “Is Post-Truth the Only Truth Left in Public
Life?” November 24, 2016. http://english.alarabiya.net/
en/views/news/middle-east/2016/11/24/Is-Post-Truth-theonly-truth-left-in-public-life-.html.
Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o)
281
Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212
Mufid, Muhamad. 2012. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta:
Prenada Media.
Qibtiyah, Alimatul. 2016. Maarif: Jurnal Arus Pemikiran Islam Dan
Sosial 11 (2): 2–20.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk
Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing.
Remaja Rosdakarya.
Sulistyo, Eko. 2017. “Medsos dan Fenomena Post-Truth.”
SINDOnews.com. November 28, 2017. https://nasional.
sindonews.com/read/1261141/18/medsos-dan-fenomenapost-truth-1511797550.
Wahid, Abdurrahman, ed. 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi
Gerakan Islam Transnasional Di Indonesia. Jakarta: Wahid
Institute.
Woods, Dwayne. 2014. “(PDF) The Many Faces of Populism: Current
Perspectives Article Information.” ResearchGate. 2014.
http://dx.doi.org/10.1108/S0895-9935_2014_0000022001.
Woodward, Mark, and Amanah Nurish. 2016. “Quo Vadis FPI Dalam
Aksi Bela Islam.” Maarif: Jurnal Arus Pemikiran Islam dan
Sosial 11 (2): 105–22.
282
Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial