Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
M. Mujibuddin SM Jurnal Sosiologi Agama - ISSN (p) 1978-4457, ISSN (e) 2548-477X Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018, pp. 261-282. doi: http://dx.doi.org/10.14421/ jsa.2018/122.261-282 KONTRUKSI MEDIA DALAM GERAKAN ISLAM POPULIS 212 M. Mujibuddin SM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mujibuddin79@gmail.com Abstrak This paper studied the movement of Aksi Bela Islam (ABI) which was propagated by the GNPF MUI group to bring down Basuki Tjahaja Purnama from the governor position. This demonstration not only in Jakarta but also the various cities in Indonesia. The involvement of Muslims are influenced by social media. Social media has succeeded in becoming a public sphere for society. Today, society can take a truth from social media. Therefore, social construction is not only formed from individuals or society but also social media. This research uses literature study with analytical descriptive writing method. This paper uses framing analysis approach and Islam populist. The results of this paper show that social media has an important role in the construction of public awareness. This social construction can be seen with the birth of Islam populist movement 212 which has a goal to reform the bureaucracy in government. Keyword: Social Contruction, Islam Populist, Aksi Bela Islam, Social Media, Post-Truth. PENDAHULUAN Gerakan Aksi Bela Islam (ABI) merupakan serangkaian aksi demonstrasi yang diprakarsai oleh GNPF MUI untuk menurunkan dan memenjarakan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dalam pandangan Ahmad Najib Burhani, gerakan ini merupakan fragmentasi otoritas Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o) 261 Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212 keagamaan (Ahmad Najib Burhani, 2016: 16). Fragmentasi ini bisa dilihat dari banyaknya massa aksi yang terlibat untuk menyuarakan aspirasinya. Di samping itu, aksi ini tidak hanya dilakukan sekali waktu saja, akan tetapi juga dilakukan beberapa kali yaitu pada 14 Oktober 2016 (ABI I), 4 November 2016 (ABI II), dan 2 Desember 2016 (ABI III). Aksi Bela Islam I, II, dan III bermula dari pidato Ahok di Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016. Dalam pidatonya, Ahok berbicara mengenai kebijakan dan program pemberdayaan budi daya kerapu. Ahok meyakinkan warga Kepulauan Seribua bahwa program ini akan tetap dilaksanakan meskipun ia sendiri tidak terpilih menjadi gubernur lagi. Adapun cuplikan dari video pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang menjadi kontroversi sebagai berikut: “Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi pakai Surat al-Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu.... Program ini jalan saja. Jadi Bapak Ibu nggak usah merasa nggak enak karena nuraninya nggak bisa pilih Ahok”. Pidato yang berdurasi 1 jam 48 menit itu sudah diunggah di Youtube oleh Pemda DKI Jakarta pada 28 September 2016. Setelah video itu diupload tidak ada respon yang berarti di masyarakat. Video tersebut belum menjadi polemik di masyarakat. Akan tetapi, setelah Buni Yani mengunggah dan memotong video menjadi 30 detik di Facebook pada 6 Oktober dengan diawali kalimat “Penista Terhadap Agama”, serta melampirkan transkipsi pidato sebagai berikut; “Bapak Ibu (Pemilih muslim)....dibohongi surat Al Maidah 51”....(dan) “masuk neraka (juga Bapak Ibu) dibodohi”. Transkipsi tersebut terletak pada menit ke 24 dalam pidatonya Ahok. Akan tetapi, ada satu kata yang hilang yaitu kata “pake (pakai)”. Status ini kemudian dishare oleh puluhan ribu orang tanpa melihat video asli pidato yang berdurasi 1 jam 48 menit. Setelah status itu di upload, kemarahan dan kecaman terhadap Ahok semakin meningkat. Layaknya bola salju jika 262 Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial M. Mujibuddin SM diturunkan menjadi semakin besar. Bola salju yang dilemparkan oleh Buni Yani diikuti respon ribuan orang. Respon ini kemudian melahirkan berbagai Aksi Bela Islam yang tidak hanya di Jakarta saja melainkan juga diberbagai kota di Indonesia. Kontroversi status Buni Yani dalam Facebooknya menjadi trending topic pada saat itu. Bahkan setelah status Buni Yani ini bergulir, banyak ormas yang menginginkan agar MUI menyatakan sikap terhadap pidato Ahok. Meskipun MUI hanya menyatakan sikap (bukan fatwa) terhadap Ahok, akan tetapi hal itu sudah cukup untuk melegitimasi ormas tertentu untuk menjatuhkan dan memenjarakan Ahok. Apa yang menarik dalam fenomena di atas adalah bahwa media mampu membentuk kesadaran masyarakat. Pada awalnya media hanya sebatas kepanjangan tangan dari realitas. Media menyalurkan informasi yang terjadi dalam waktu dan tempat tertentu. Akan tetapi, perkembangan zaman tidak bisa dilepaskan oleh semua pihak, begitu juga dalam media. Media dalam perkembangannya juga melalui beberapa tahapan. Media yang semula hanya sebatas kepanjangan tangan dari realitas akan tetapi saat ini media mampu membentuk realitas sendiri dengan menyaring, memilih diksi kata, dan sudut pandang realitas, sehingga hasil dari pemberitaan ini akan terlihat berbeda antara media satu dengan lainnya. Sebuah realitas yang diambil dari sudut pandang tertentu akan menghasilkan makna lain dari realitas tersebut. Dalam tataran teoritis, media yang melakukan hal seperti itu bisa dianalisis menggunakan pendekatan analisis framing. Analisis framing digunakan untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkontruksikan fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan tautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya (Sobur 2001, 162). Penggiringan Buni Yani dalam statusnya bisa dikatakan ‘berhasil’ dalam membentuk kesadaran masyarakat. Hal ini dikarenakan video yang diupload oleh Pemda DKI tidak mendapat respon dari masyarakat, akan tetapi dengan memilih diksi kata dan sudut pandang berbeda seperti yang dilakukan oleh Buni Yani mampu merekayasa kesadara masyarakat. Sampai-sampai dari unggahan Buni Yani mampu melahirkan berbagai agenda Aksi Bela Islam berjilid-jilid. Menurut Vedi R. Hadiz fenomena ini disebut gerakan Islam populis. Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o) 263 Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212 Hal ini menandakan adanya fenomena post truth bahwa kesadaran masyarakat untuk merespon hal-hal tertentu saat ini tidak hanya dipengeruhi oleh individu atau masyarakat melainkan juga media. Media memiliki andil yang cukup besar dalam membentuk kesadaran masyarakat. Maka dari itu, artikel ini akan meneliti lebih dalam lagi terkait peranan media dalam membentuk kesadaran masyarakat, terutama kaitannya dengan kemunculan Aksi Bela Islam di Jakarta pada akhir tahun 2016. Tujuan artikel ini adalah untuk mengetahui bagaimana media saat ini mampu membentuk kesadaran dan menggiring opini masyarakat. LANDASAN TEORI A. Analisis Framing Analisis framing berawal dari teori kontruksi realitas sosial yang dikenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Dalam bukunya yang berjudul Tafsir Sosial Atas Kenyataan, Peter L. Berger dan Thomas Luckmann beranggapan bahwa terdapat tiga dialektika yaitu eksternalisasi, internalisasi, dan objektivasi (Berger and Luckmann 2012). Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya. Objektivasi adalah disandangnya produk-produk itu (baik fisis maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya semula, dalam bentuk suatu kefaktaan (faktisitas) yang eksternal terhadap para produser itu sendiri. Internalisasi adalah peresapan kembali realitas tersebut oleh manusia, dan menstransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia objektif ke dalam strukturstruktur kesadaran subjektif (Berger 1991, 4–5). Menurut Mufid (Mufid 2012, 92), Berger dan Luckmann menilai proses mengonstruksi melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas, yakni syimbolic reality, objective reality, dan subjektive reality yang berlangsung dalam suatu proses simultan melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Objektive reality merupakan suatu kompleksitas realitas (termasuk ideologi dan keyakinan) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola dan dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta. Syimbolic reality, termasuk di dalamnya teks industri media, representasi pasar, kapitalisme, dan sebagainya dalam media. Sedangkan subjektive reality merupakan kontruksi definisi 264 Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial M. Mujibuddin SM realitas yang dimiliki oleh individu dan di kontruksi melalui proses internalisasi. Dari teori kontruksi sosial ini kemudian melahirkan sebuah konsep analisis framing. Konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media. Analisis framing digunakan untuk membedah caracara atau ideologi media saat mengonstruksikan fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan tautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya (Sobur 2001, 162). Menurut Eriyanto (Eriyanto 2002, 67–68) menjabarkan beberapa definisi terkait framing. Pertama, menurut Robert N. Entman yaitu sebuah proses seleksi di berbagai aspek realitas sehingga aspek tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan dengan aspek lainnya. Ia juga menyatakan informasi-informasi dalam konteks yang khas. Kedua, menurut Todd Gitlin yaitu strategi bagaiman realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak. Peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Hal itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan dan presentasi pada aspek tertentu dari realitas. Ketiga, menurut David Snow dan Robert Benford yaitu pemberian makna untuk ditafsirkan peristiwa dari kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, seperti anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi dan kalimat tertentu. Keempat, menurut Zhongdan dan Pan Konsicki ialah sebagai kontruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita. Framing dalam pemberitaan merupakan metode penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu realitas tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunya koneksi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya dengan kata lain dibingkai, dikontruksi dan dimaknai oleh media (Kriyantono 2014, 253). Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o) 265 Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212 Analisis framing menanyakan mengapa peristiwa X diberitakan? Mengapa peristiwa yang lain tidak diberitakan? Mengapa suatu tempat dan pihak terlibat? Mengapa realitas didefinisikan dengan cara tertentu? Mengapa sisi atau angle tertentu ditonjolkan sedangkan yang lain tidak? Mengapa fakta tertentu ditonjolkan sedangkan yang lain tidak? Mengapa menampilkan sumber X dan mengapa bukan sumber berita yang lain yang diwawancarai? (Kriyantono 2014, 252). Terdapat dua aspek penting framing dalam pandangan Eriyanto (Eriyanto 2002, 81). Pertama, memilih fakta atau realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih dan apa yang dibuang. Bagian mana yang ditekankan dalam realitas? Bagian mana dari realitas yang tidak diberitakan?. Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta lainnya. Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaman dan kontruksi atau suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lainnya, baik itu media pemberitaan konvensional maupun personal. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, dan sebagainya. Dari beberapa pandangan framing di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis framing digunakan untuk salah satu alat analisis untuk melihat cara media mengonstruksi fakta. Fakta objekif yang terdapat di lapangan dikonstruksikan dengan cara menyoroti bagian tertentu saja. Teori ini juga bisa melihat ideologi dari pemilik akun media sosial atau media lainnya. Hal ini dikarenakan media saat ini penuh syarat akan kepentingan kapitalis. B. Islam Populis Istilah populisme biasanya digunakan dalam ranah politik. 266 Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial M. Mujibuddin SM Populisme berkembang karena adanya relasi yang timpang antara publik dengan elite. Populisme sendiri dijalankan secara informal, gerakan ekstra parlementer ,dan juga irrasional sebagai bentuk manifestasi anti tesis melawan dominasi oligarki. Semangat populisme adalah sebagai upaya korektif terhadap pemerintahan oligarki. Populisme berkembang dalam berbagai bentuk ekspresi politis yang tergantung pada konteks dan konten politik kontemporer. Populisme berkembang dalam tiga ranah yaitu sebagai ideologi, populisme sebagai komunikasi politik, dan populisme sebagai gaya politik (Woods 2014, 9). Populisme sebagai ideologi politik sebenarnya melihat masyarakat biasa sebagai bentuk konstruksi sosial akan komunalitas yang perlu diperjuangkan. Konstruksi sosial tersebut ingin melihat orang biasa sebagai subjek berdaulat maupun sebagai kelas sosial. Populisme sebagai gaya politik lebih mengarah pada bentuk patronase yang menjamin adanya hajat hidup masyarakat luas. Populisme sebagai gaya politik mengarahkan pada bentuk pemenuhan kebutuhan material fisik yang mengarah pada hak dasar. Biasanya mengarah pada bentuk rezim kesejahteraan bagi masyarakat. Sedangkan populisme sebagai komunikasi politik lebih diutamakan dalam mengonstruksikan adanya sosok pemimpin kharismatik. Rakyat akan menjadikan satu sosok tertentu untuk dijadikan pemimpinnya. Sedangkan istilah Islam populis berawal dari munculnya kelas menengah muslim perkotaan. Muslim perkotaan muncul akibat adanya alienasi umat muslim, rezim otoritarianisme, maupun juga ketimpangan ekonomi-politik menjadi sumber pemicu penting. Kelas menengah muslim merupakan kelas masyarakat baru yang menampilkan sisi rasionalitas, material, maupun intelektualitas dari adanya kehidupan perekonomian yang semakin baik. Kemunculan Islam populisme dapat dilihat dari dua hal; Pertama, perkembangan industrialisasi dan kapitalisme yang tidak seimbang. Kehidupan perekonomian sendiri secara tidak berpihak kepada masyarakat kelas menengah muslim, namun justru pada kelas borjuasi yang didominasi oleh kepentingan Barat dan Tionghoa. Kedua, rezim pemerintahan yang otoriter telah memberangus kehidupan masyarakat dengan menciptakan prinsip monolayalitas terhadap rezim. Dalam penjelasan Hadiz, Islam populis juga merupakan bentuk respon terhadap kontradiksi pembangunan kapitalisme yang selama ini mengalienasikan Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o) 267 Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212 masyarakat kelas menengah muslim (Hadiz 2016, 4–8). Dalam konsep populisme terdapat kata rakyat yang memiliki makna tersendiri. Akan tetapi, dalam populisme Islam kata rakyat dipahami atau bisa dilihat dari konsep umat. Konsep umat inilah yang digunakan dalam populisme Islam (Hadiz 2016, 4). Populisme Islam di kalangan kelas menengah muslim dapat dipahami dalam dua pengertian; Pertama, upaya mempopulerkan Islam di ruang publik; kedua, upaya membangkitkan Islam sebagai kekuatan kepentingan dan kekuatan penekan (Jati 2017, 2017). Derivasi kata umat dalam populisme kontemporer adalah sebagai payung atas kepentingan berbagai macam kelompok kelas menengah muslim. Populisme yang berkembang di kalangan kelas menengah muslim dapat dikategorisasikan dalam tabel berikut ini: No. Ekspresi Populisme Aktor Islam Tujuan 1 Populisme berbasis Kelompok being Afirmasi dan Afiliasi Isidentitas Islam lam dalam modernitas 2 Populisme berbasis Kelompok Islam Aksesbilitas terhadap material organik sumber ekonomi politik kekuasaan 3 Populisme berbasis Kelompok pen- Representasi Islam simbolitas gajian dalam ruang publik 4 Populisme berbasis Kelompok tarbiyah telektual 5 Populisme berbasis Kelompok Islam Amar ma’ruf syariah konservati munkar in- Diseminiasi nilai, norma, dan prinsip Islam dalam kehidupan nahi Tabel 1 Sumber: Wasisto Raharjo Jati, 2017; 29. PEMBAHASAN A. Media sebagai Alat Propaganda Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa analisis framing digunakan untuk melihat secara mendalam tentang ideologi tertentu dalam media, baik itu media berskala besar seperti media cetak dan media online yang mainstream, maupun media sosial yang bersifat pribadi. Dalam kasus pilkada DKI Jakarta, yang menarik untuk diperhatikan lebih lanjut ialah adanya campur tangan dari media personal, sehingga hal itu bisa menjadi 268 Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial M. Mujibuddin SM kontroversi dan melahirkan berbagai respon dari masyarakat terutama kalangan Islam. Kasus Pilkada DKI mulai ramai diperbincangkan setelah seorang jurnalis Buni Yani mengunggah potongan pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang semula berdurasi 1 jam 48 menit menjadi 30 detik. Di samping itu juga, Buni Yani memberi komentar dalam potongan video tersebut dengan diawali “Penista Terhadap Agama”. “Bapak Ibu (Pemilih muslim)....dibohongi surat Al Maidah 51”....(dan) “masuk neraka (juga Bapak Ibu) dibodohi”. Transkipsi tersebut terletak pada menit ke 24 dalam pidatonya Ahok. Akan tetapi, ada satu kata yang hilang yaitu kata “pake (pakai)”. Status ini kemudian dishare oleh puluhan ribu orang tanpa melihat video asli pidato yang berdurasi 1 jam 48 menit. Buni Yani ingin menonjolkan satu momen tertentu agar masyarakat lebih tertarik untuk melihat postingannya. Meskipun unggahan tersebut melalui akun facebook pribadinya, akan tetapi hal itu bisa menjadi berita besar pada akhir tahun 2016. Bahkan mungkin Buni Yani tidak mengira kalau video yang ia unggah akan menjadi kontroversi dan boomerang tersendiri untuk dirinya. Secara tidak sengaja Buni Yani membelokkan secara halus sebuah realitas objektif dalam video yang diupload oleh Pemda DKI. Sebab antara transkipsi dengan suara video yang asli terdapat kata yang tidak dicantumkan. Jika ditanyakan kepada Buni Yani, mengapa hanya di satu sudut pandang saja yang di unggah, akan tetapi yang lain dihapus. Maka hal itu memperkuat adanya kepentingan di balik unggahannya. Penulis sendiri tidak tahu sebenarnya apa motif di balik itu semua. Akan tetapi, yang jelas adalah pada saat itu akan ada pemillihan Gubernur Jakarta. Maka bisa jadi apa yang dilakukan oleh Buni Yani sebagai upaya politik untuk mengurangi nilai suara politik Ahok ketika akan maju menjadi Calon Gubernur. Di samping itu juga, frame yang digunakan oleh Buni Yani dengan memilih diksi kata yang bisa menarik perhatian khalayak umum. Kata “penista agama” bisa diartikan sebagai orang yang menghina agama tertentu. Apalagi kata tersebut ditujukan dari seorang Nasrani kepada umat muslim yang notabennya terbesar di Indonesia. Sehingga simpati atau respon masyarakat akan semakin Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o) 269 Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212 meningkat tatkala agamanya dilecehkan oleh orang beragama lain. Dalam hal ini, Buni Yani telah berhasil memilih sebuah fakta yang bisa menarik perhatian khalayak umum. Buni Yani telah menggunakan media pribadinya untuk menginformasikan sebuah berita kepada khalayak umum. Media komunikasi seperti ini menurut Vin Crosbie disebut mass media. Media ini digunakan untuk sarana menyebarluaskan informasi dari satu orang ke banyak orang. Di samping mass media, Crosbie juga menambahkan media interpersonal (one to one), dan new media. New media digunakan untuk menyebarluaskan ide dan informasi dari banyak orang ke banyak orang (Jinan 2013, 325). Jika mengikuti media komunikasi yang dimaksud oleh Vin Crosbie, maka individu bisa menjadi jurnalis yang independen. Ia bisa membuat sebuah ide dan gagasan untuk disebarluaskan melalui media pribadi maupun media konvensional. Seperti yang dilakukan oleh Buni Yani dalam akun facebooknya, ia mencoba menawarkan ide dan gagasannya terkait dengan Ahok, beserta memilih diksi dan kalimat yang sekiranya membuat menarik banyak orang. Setelah unggahan Buni Yani menjadi perbincangan publik, akhirnya banyak menuai respon dari kalangan umat Islam terutama yang berhalauan radikal. Respon tersebut bisa dilihat dari media yang dimiliki oleh ormas radikal, seperti Tabloid Media Umat Edisi 184, 4.17 November 2016 yang dimiliki oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Media ini memuat berbagai macam ekspresi kemarahan dan kebencian terhadap Ahok atas kasus yang menjeratnya. Bahkan mereka tidak mentolerir sedikitpun atas kasus tersebut. Hal ini bisa dilihat dari pemilihan kata yang memiliki intensitas tinggi seperti “harus tersangka”, “wajib marah”, dan “perangi” (Qibtiyah 2016, 173). Pemilihan kata tersebut merupakan sebuah gagasan yang ingin disampaikan oleh HTI kepada khalayak umum, bahwa umat muslim wajib marah, Ahok harus menjadi tersangka dan harus diperangi. Melalui medianya, HTI ingin mencoba menawarkan sebuah perspektif baru untuk meyakinkan kepada umat muslim bahwa Ahok memang telah menistakan agama. Dari penekanan dan penonjolan atas fakta di atas membuat masyarakat sulit untuk membedakan kebenaran dari realitas tersebut. Akan tetapi, yang menjadi menarik untuk diperhatikan lebih lanjut ialah dari unggahan Buni Yani mampu memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa Ahok telah menistakan agama. Hal ini terbukti pasca unggahan tersebut banyak masyarakat 270 Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial M. Mujibuddin SM yang meresponnya. Dibuktikan dengan adanya berbagai rangkaian aksi untuk menurunkan dan memenjarakan Ahok. Bahkan gerakan ini tidak hanya di Jakarta saja melainkan juga diberbagai kota di Indonesia. Meskipun ormas besar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, secara struktural tidak ikut serta dalam aksi tersebut, akan tetapi kedua ormas ini membolehkan jika anggotanya ikut berpartisipasi dengan syarat tidak mengatasnamakan sebagai anggota NU atau Muhammadiyah. B. Fenomena Post-truth dan Hiperrealitas Media Politik kontemporer telah membawa media sebagai alat propoganda yang dapat disalahgunakan bagi demokrasi dan pluralisme. Akses informasi digital yang sangat cepat dan tidak terbatasi oleh ruang dan waktu berdampak multidimensional. Euforia kemajuan teknologi informasi menjadi fenomena yang menggegerkan di kancah global. Fenomena inilah yang kemudian dengan istilah “post-truth”. Istilah post-truth menjadi populer setelah dinyatakan oleh penyunting kamus Oxford sebagai “the word of the year” pada tahun 2016 untuk menggambarkan suatu anomali dari realitas. Ketenaran penggunaan istilah “posttruth” tentu saja merujuk pada beberapa momen politik paling berpengaruh di tahun 2016, yakni kasus terpilihnya Trump menjadi presidan Amerika Serikat, mensukseskan Brexit, dan referendum Katalania. Post-truth kemudian didefinisikan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding dengan emosi dan keyakinan pribadi (Mekelberg 2016). Media massa dikonstruksikan bagi pihak berkepentingan dan mengabaikan realitas sesungguhnya. Indonesia sebagai salah satu negara pengguna internet terbesar di dunia, juga berpontensi menjadi target fenomena post-truth baik dalam kepentingan ekonomi maupun politik. Salah satu fenomena mutakhir adalah kasus Pilkada DKI pada tahun 2017 terkait pemotongan video Ahok yang viral di media sosial. Fenomena post truth di Indonesia meluas karena empat sebab. Pertama, kemajuan teknologi informasi yang asimetris dengan kapasitas adaptasi pemerintah dan masyaakat. Kedua, adanya kompetisi politik yang tidak berkesudahan sejak pilpres 2014. Ketiga, adanya dukungan dari masyarakat tertentu pada ideologi ekstrim anti Pancasila. Keempat, adanya kegelisahan dengan Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o) 271 Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212 perubahan dan perbaikan sistem yang dilakukan pemerintah saat ini (Sulistyo 2017). Post-truth pertama kali muncul pada tahun 90-an oleh Steve Tesich untuk merefleksikan kasus Perang Teluk dan kasus Iran dalam tulisan esainya di majalah The Nation pada tahun 1992. Pernyataan Tesich menggarisbawahi bahwa setiap orang bebas mengemukakan dan memberikan keputusannya di era post truth. Istilah tersebut kemudian kemballi dipopulerkan pada tahun 2004 oleh Ralph Keyes dalam bukunya yang berjudul The Post Truth Era-Dishonesty and Deception in Contemporary Life. Frekuensi penggunaan istilah ini tenar sepanjang tahun 2016, khususnya dalam konteks politik. Di era post truth batas antara kejujuran dan ketidakjujuran, kebenaran dan kebohongan, realita dan dunia maya, fiksi dan nonfiksi menjadi semakin kabur. Media sebagai akses informasi digital menjadi arus utama untuk penyebaran berbagai informasi yang tidak terbatasi oleh apapun. Ghufron (Ghufran 2017) menyatakan bahwa industri media pada saat ini sedang mengalami refeodalisasi ruang publik dimana terdapat logika ekonomi dan politik yang dimasukkan ke dalam sendi-sendi kesadaran masyarakat untuk memperlemah kekuatan masyarakat dalam ruang publik. Karl Marx, dalam Ritzer (Ritzer 2012), mengungkapkan bahwa mereka yang menguasai basis modal akan menguasai gagasan dalam sebuah zaman, sehingga di era kontemporer saat ini, pemilik modal mampu merekayasa, menggiring, dan memanipulasi opini publik sesuai kehendak mereka. Melalui perkembangan teknologi komunikasi, terutama sosial media, setiap golongan yang memiliki kepentingan mempunyai kuasa dalam memengaruhi opini publik. Tentu penjabaran terkait post-truth tidak terlepas dari aspek politik yang melatarbelakanginya. Dalam realitas politik, fakta-fakta objektif ditempatkan sebagai narasi tunggal kebenaran yang dianggap tidak relevan. Hal ini beriringan dengan perkembangan media sosial yang semakin meluas sehingga memberikan dampak pada kemudahan pembentukan opini publik melalui berita-berita hoax yang jauh dari fakta objektifnya. Produksi kebenaran menjadi paradoks dalam ruang publik. Keadaan seperti inilah menjadi praktik yang mengarah pada post-truth, dimana anomali-anomali realitas dikondisikan sebagai sesuatu yang benar oleh golongan yang memiliki kepentingan. Opini publik kemudian dimanipulasi 272 Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial M. Mujibuddin SM untuk membentuk kesadaran masyarakat sebagaimana mereka kehendaki. Pada tahun 2011, sosial media memiliki peran penting dalam kasus penumbangan Presiden Husni Mubarak. Kasus tumbangnya presiden di Ukraina merupakan akibat dari sebuah status yang ditulis di sosial media facebook oleh seorang jurnalis dengan seruan untuk berkumpul di lapangan Maidan Kiev. Di Jerman, partai ultra kanan mendapat 12,6% kursi di parlemen melalui penyebaran ketakutan di media sosial. Di Rusia, Presiden Putin memanfaatkan sosial media sebagai kampanye terselubung. Kasus terpilihnya Trump sebagai presiden Amerika Serikat juga berawal dari penyebaran informasi yang ‘seolah-olah benar’ melalui media sosial. Polemik pertarungan kebenaran tidak hanya terjadi di luar negeri saja. Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah contoh kasus pertarungan kebenaran yang terjadi di Indonesia. Kasus prokontra kasus penistaan agama yang dialami oleh Gubernur Jakarta Basuki Tjahya Purnama, merupakan fenomena yang dilematis. Banyak narasi palsu disebarkan melalui sosial media demi memenuhi kebutuhan politik golongan. Banyak gerakan-gerakan baru yang dibentuk oleh masyarakat, tidak hanya sebagai tagar di media sosial, namun mereka berkumpul untuk membenarkan apa yang mereka lihat di media sosial tanpa melakukan klarifikasi atas objektivitas kebenaran yang mereka peroleh. Persoalan inilah yang akan membawa masyarakat pada keadaan yang mana mereka semakin sulit untuk membedakan antara kebenaran dan ketidakbenaran. Kenyataan yang terdapat dalam media sudah menjadi kabur. Media telah menjadi komoditas baru dan sebagai daya tawar kepada masyarakat. Di dalam media dibuat semanrik mungkin untuk memancing minat manusia. Segala yang dapat menarik minat manusia ditayangkan melalui berbagai media dengan model-model ideal, sehingga batas antara simulasi dan kenyataan menjadi tercampur aduk dan menciptakan hyperrelity, yang mana kenyataan dan ketidaknyataan menjadi tidak jelas. Dunia hyperreality dipenuhi oleh duplikasi realitas melalui berbagai media (Baudrillard 1983, 2). Menurut Lechte hal ini disebut sebagai munculnya realitas baru yang diakibatkan oleh reproduksi sempurna dari suatu objek, yang diwakili oleh kode-kode yang telah merasuk dalam sendi-sendi kehidupan masa modern, sehingga Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o) 273 Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212 mampu mem-baypass sesuatu yang real (Lechte 2001, 352). Maka dari itu, adanya fenomena post-truth dan dominasi media telah mengaburkan makna realitas sesungguhnya. Jadi seolah-olah kebenaran yang terdapat dalam media menjadi kebenaran yang real dari sebuah realitas. Dalam pandangan ini muncul sebuah konstruksi baru bagi masyarakat. Konstruksi ini dibuat oleh media, sehingga dari situ pemahaman masyarakat akan terbentuk tentang sebuah realitas yang ditampakkan oleh media. Seperti kasus video unggahan Buni Yani yang telah membentuk kesadaran masyarakat tentang kebenaran dari suatu fenomena penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama. C. Munculnya Gerakan Islam Populis 212 Munculnya gerakan Islam populis 212 tidak bisa dilepaskan dari peran media. Sebelum aksi berlangsung, sebagaimana telah dijelaskan di atas, media telah mengambil peran penting dalam membentuk kesadaran umat muslim atas kasus Ahok. Terlebih lagi, jaringan informasi melalui media internet berkembang dengan pesat sehingga memudahkan orang untuk mengaksesnya. Di tambah lagi, di era informasi saat ini, di dalam media terdapat kekaburan makna antara realitas dan non realitas. Hal ini dikarenakan media mampu menampilkan suatu fenomena yang bisa memanipulasi sebuah kebenaran dari realitas sesungguhnya. Akibatnya, masyarakat secara tidak langsung akan terkonstruksi oleh sistem kode yang ditampilkan oleh media, baik itu media sosial pribadi maupun media lainnya. Konstruksi media dalam menanggapi sebuah isu tertentu bisa mempengaruhi pandangan masyarakat. Seperti halnya kasus video unggahan Buni Yani dalam akun facebooknya yang telah menampilkan sudut pandang tertentu dengan judul yang bisa menarik massa untuk melihatnya. Dalam fenomena ini, media sosial milik Buni yani telah mendapatkan respon dari berbagai kalangan. Bahkan telah mampu melahirkan sebuah gerakan besar dari umat Islam untuk menindaklanjuti fenomena yang menyangkut Ahok, dan hal ini menjadi pengalaman berharga bagi demokrasi Indonesia. Gerakan ini kemudian disebut Aksi Bela Islam atau gerakan Islam populis 212. Gerakan Aksi Bela Islam telah menarik massa yang banyak. Akan tetapi, kebanyakan massa aksi yang terlibat 274 Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial M. Mujibuddin SM didominasi oleh muslim perkotaan atau muslim kelas menengah. Premis penting dalam kemunculan muslim kelas menengah hari ini adalah kelas yang teresklusi secara sosial ekonomi, sosial politik, maupun sosial teologis. Keberislaman yang diekspresikan oleh muslim kelas menengah mulai dari sifatnya yang simboliskomoditas, fungsionl-agamis, dogmatif-reaksioner, dan substantifsugestif. Berbagai macam tipologi tersebut muncul tidak hanya terkait dengan pemahaman Islam saja melaikan juga terkait bagaimana mengkonstekstualisasikan Islam dalam keseharian baik dalam interaksi inti, sosial, maupun juga bentuk sosialisasi eksternal lainnya (Jati 2017, 32). No. Tipologi Ekspresi Kelas Menengah Muslim Indonesia 1. Simbolis-komoditas 2. Fungsional-agamis 3. Dogmatif-reaksioner 4. Substantif-sugestif Bentuk Ekspresi Kelas menengah Muslim Indonesia Islam sebagai bagian identitas Islam sebagai bagian dari sosialisasi Islam sebagai bagian dari perjuangan Islam sebagai bagian dari dakwah Relasinya dengan populisme Islam Komoditas fashion, budaya populer Majelis pengajian, lembaga filantropis Organisasi massa Islam Kelompok epistemik Tabel 2 Sumber: (Wasisto Raharjo Jati, 2017; 33) Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa ekspresi pemahaman keagamaan di lapangan memiliki berbagai macam ekspresi mulai dari levelnya hingga pada diskursusnya. Kesemuanya kemudian berujung pada bentuk Islam sebagai agama, norma, dan perilaku kemudian berkembang di ruang publik. Hal itulah yang sebenarnya menjadi esensi dari populisme Islam dimana aliansi kepentingan dari setiap elemen kelas menengah kemudian terwadahkan (Jati 2017, 33). Berbicara mengenai populisme Islam yang tidak hanya terjadi di Indonesia saja melainkan juga dibelahan dunia Islam lainnya, tidak lepas dari praktik kolonialisme, dominasi dan hegemoni negara-negara Barat atas dunia muslim. Ketimpangan antar kelas sosial menjadi satu produk spesifik yang lahir dari rahim sistem politik yang hegemonik. Dominasi satu budaya atas budaya lainnya melahirkan banyak kalangan yang akhirnya terpinggirkan. Kalangan borjuasi cilik (petty bourgeoisie) di dunia muslim, yang posisinya Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o) 275 Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212 tidak begitu diuntungkan sistem politik kolonialisme. Dari sinilah embrio koalisi kelas sosial dari beragam struktur kelas mulai terbentuk. Mereka disatukan oleh beberapa persamaan seperti pedihnya penderitaan sistem dan punya angan-angan bersama untuk membangun sebuah negara-bangsa modern di masa datang (Hadiz 2016, 382). Aktivitas populisme Islam di Indonesia memposisikan etnis Tionghoa sebagai “musuh bersama” menjadi tesis utama sekaligus ciri distingtif populisme Islam di Indonesia. Hal tersebut terus direproduksi para borjuis cilik sejak lama. Sebab, ladang bisnis yang digarap oleh etnis Tionghoa telah merambah wilayah yang sebetulnya sudah digarap kaum borjuis cilik muslim sejak lama(Hadiz 2016, 383). Permasalahan identitas inilah yang coba ditawarkan oleh gerakan 212 kepada khalayak umum. Secara garis besar, gerakan Islam populis 212 dikomandoi oleh GNPF MUI yang dipimpin oleh Habib Rizieq, pemimpin Front Pembela Islam (FPI). GNPF MUI merupakan sebuah koalisi lintas ormas Islam konservatif di Indonesia. Di dalamnya terdapat partai PKS, HTI, PERSIS, Wahdah Islamiyah, akan tetapi suara koalisi ini masih tetap didominasi oleh FPI. Dominasi FPI dalam berbagai Aksi Bela Islam menunjukkan kuatnya pengaruh Habib Rizieq terhadap ormas lainnya. Sehingga posisi Habib Rizieq yang pada awalnya sebagai ulama ‘pinggiran’ menjadi ulama yang memiliki pengaruh besar bagi Islam konservatif di Indonesia. Adanya koalisi ormas Islam di Indonesia menunjukkan bersatunya seluruh kepentingan antar ormas konservatif di Indonesia. Gerakan ini dikemas dengan begitu halus dengan tujuan menghilangkan stigma radikal. Sebab, dengan menghilangkan stigma tersebut akan menggiring lebih banyak orang yang terlibat dalam aksi. Maka dari itu, dalam Aksi Bela Islam tidak bisa digeneralisir menjadi gerakan radikal di Indonesia. Akan tetapi gerakan tersebut cukup dikatakan sebagai gerakan Islam populis di Indonesia. Gerakan Islam populis 212 merupakan bentuk dari upaya untuk memperjuangkan kepentingan umat muslim konservatif. Selain membawa isu etnis Tionghoa, gerakan Islam populis 212 juga membawa isu menolak pemimpin non muslim (Woodward and Nurish 2016, 109). Tuntutan penolakan atas pemimpin non muslim memang menjadi wacana gerakan Islam konservatif di Indonesia. FPI selaku ormas yang mendominasi dalam gerakan 276 Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial M. Mujibuddin SM 212 telah mengusung isu tersebut sebagai daya tawar terhadap massa aksi yang ikut. Isu ini diangkat karena pada saat itu akan ada pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Maka upaya yang coba dilakukan oleh Habib Rizieq adalah menawarkan isu penolakan pemimpin non muslim kepada warga Jakarta, dan secara tersembunyi harus mendukung pasangan Anies –Sandi. Penolakan terhadap pemimpin non muslim merupakan salah satu agenda proses syariatisasi. Sebuah proses dimana dibutuhkan reformasi birokrasi untuk menuju sistem yang berdasarkan syariat Islam. Proyeksi ini sebenarnya identik dengan kemunculan gerakan Islam radikal di Indonesia. Sejak reformasi bergulir di Indonesia, wacana syariat Islam mulai ramai diperbincangkan. Azyumardi Azra melihat tumbuhnya gerakan Islam pada era reformasi, tidak jauh dari arus perpolitikan Indonesia. Azra kemudian membagi dua tipe Islam politik di Indonesia. Pertama, Islam politik yang direpresentasikan partai-partai Islam yang terlibat dalam sistem dan proses politik yang sah; mereka berusaha mencapai agenda politik tertentu seperti penerapan syariah Islam dan pendirian negara Islam. Kedua, agenda politiknya hampir sama dengan yang pertama namun memiliki perbedaan. Perbedaan ini terletak pada tidak diakuinya sistem politik yang sekarang ada oleh kelompok kedua.ormas yang termasuk dalam kelompok kedua ini seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) (Azra 2012, 235–36). Salah satu upaya yang pernah dilakukan untuk menjadikan Islam sebagai dasar kenegaraan adalah ingin memperjuangkan Piagam Jakarta. Gerakan yang paling menonjol dengan adanya ormas-ormas Islam di masa reformasi ialah untuk mengusung kembali Piagam Jakarta dan penerapan syariat Islam. Mereka mendapat momentum pada sidang MPR pada tahun 2000 untuk memasukkan agenda Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, namun gagal di tengah jalan. Akan tetapi mereka tidak menyerah di situ saja, usaha-usaha terus dilakukan dalam menerapkan hukum syariat Islam di berbagai daerah seperti Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan daerah-daerah lainnya (Haidar Nashir 2013, 281). Akan tetapi, usaha untuk memperjuangkan diberlakukannya Piagam Jakarta dirasa sudah gagal. Maka dari itu, FPI beralih strategi, yang semula ingin memperjuangkan di ranah Parlemen, akan tetapi saat ini bergerak di ruang akar rumput. Dalam arti, ketika ada pemilihan umum, FPI akan lebih memilih pemimpin Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o) 277 Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212 muslim ketimbang kemimpin non muslim. Hal ini bisa dilihat dari isu yang dibawa Habib Rizieq di atas dengan menolak calon gubernur Ahok dan memilih pemimpin muslim. Penolakan ini sejak kasus Ahok dimulai sudah dikumandangkan. Harapannya ketika pemimpin muslim yang terpilih, maka langkah untuk memberlakukan perda syariat akan lebih mudah dilakukan. Dominasi FPI dalam Aksi Bela Islam juga memperkuat adanya proses reformasi birokrasi dengan berlandaskan sistem syariah Islam. Terdapat beberapa agenda yang hendak dicapai selain menolak pemimpin non muslim, yaitu; Pertama, Kampanye syariat secara umum. Kedua, penerapan hukum ta’zir terhadap pelanggaran moralitas Islam melalui Peraturan Daerah (Perda). Ketiga, membangun kesadaran akan ancaman kristenisasi yang mengarah pada tuntutan pembuatan peraturan pemerintah yang membatasi aktivitas umat Kristen, seperti pembangunan gereja dan aktivitas sosial lembaga kemanusiaan Kristen. Keempat, penentangan terhadap apa yang dianggap sebagai liberalisasi dan penyimpangan ajaran Islam dengan tuntuan pembatasan negara terhadap penyebaran ide liberalisme, pluralisme, dan ajaran Ahmadiyah (Ahnaf 2016, 129). Maka dari itu, fenomena pemberlakuan Perda Syariah bukan lagi hal baru dalam perpolitikan di Indonesia. Jika Jakarta menerapkan sistem syariah Islam, hal itu akan mempermudah pemberlakuan sistem syariah di daerah lain. Hal ini dikarenakan Jakarta merupakan representasi perpolitikan di Indonesia. sehingga perubahan struktural yang ada di Jakarta akan dicontoh oleh daerah-daerah lainnya. Langkah pertama yang dilakukan dalam sistem syariah ialah menolak pemimpin non muslim, sebagaimana penolakannya terhadap Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Langkah selanjutnya yang akan dilakukan ialah menerapkan beberapa agenda besar seperti yang telah dijelaskan di atas. Akan tetapi, jika sistem syariah memang diterapkan di Jakarta, hal itu bukan menjadi jaminan untuk memperbaiki sistem pemerintahan yang ada. Ambil contoh misalnya daerah yang sudah menerapkan Perda Syariah adalah di Kabupaten Cianjur. Setelah Perda ini diterapkan, banyak aspek kehidupan lainnya juga terkena dampaknya. Salah satunya adanya kewajiban memakai jilbab di kantor-kantor pada waktu hari Jumat baik muslim maupun non muslim (Wahid 2009, 139). Ini menunjukkan bahwa adanya Perda Syariah yang berujung pada Islamisasi ruang publik justru 278 Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial M. Mujibuddin SM mendiskriminasi non muslim. Alih-alih ingin memperbaiki sistem yang ada, akan tetapi Perda Syariah justru melakukan pelanggaranpelanggaran hak sipil warga negara. KESIMPULAN Di era modern saat ini, media sosial memiliki peran yang cukup besar. Hal ini dibuktikan dengan kebebasan individu untuk berpendapat tentang segala hal yang terkait disekitarnya. Di dalam media sosial, individu bisa jurnalis dadakan untuk meliput fenomena yang terjadi di sekitarnya. Mereka akan membentuk sebuah opini baru dan mengambil dari sudut pandang tertentu. Dalam video unggahan Buni Yani, ia telah mampu memunculkan sebuah frame yang berbeda dengan ditambahi judul menarik supaya bisa mendapatkan respon dari banyak kalangan. Di arus media saat ini, fenomena yang dimunculkan dalam media telah mampu merekayasa sebuah realitas. Rekayasa ini kemudian melahirkan kekaburan dari realitas sesungguhnya. Masyarakat yang sebagai objek dan subjek tidak bisa lagi membedakan mana realitas yang dibuat dan mana realitas yang sesungguhnya. Kekaburan inilah yang menimbulkan sebuah gejala post-truth. Jadi, apa yang ditampakkan di media merupakan sebuah kebenaran tersendiri bagi masyarakat. Dalam video unggahan Buni Yani, adanya kekaburan makna di dalamnya. Akan tetapi, kekaburan ini dimenangkan oleh realitas yang ditampakkan oleh Buni Yani, yakni Ahok Penista Agama, dengan dibuktikan adanya respon dan gerakan dari umat muslim. Maka dari itu, pemahaman masyarakat tentang video Ahok di Kepulauan Seribu telah terkonstruksi melalui media sosialnya Buni Yani ketimbang dari video aslinya. Konstruksi sosial yang semula hanya terjadi dalam tingkat lingkungan maupun individu sudah tidak bisa lagi dijadikan rujukan dalam melihat konstruksi masyarakat. Akan tetapi, saat ini media juga mampu menkonstruksi kesadaran masyarakat atas fenomena tertentu. Hal ini bisa dilihat dari adanya gerakan Islam populis 212 yang lahir dari konstruksi media sosial milik Buni Yani tentang pidato Ahok di Kepulauan Seribu. Kemunculan gerakan Islam populis 212 tidak hanya ingin menurunkan dan memenjarakan Ahok dari kursi gubernur, akan tetapi juga menyisipkan beberapa agenda besar dalam proses Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o) 279 Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212 syariatisasi pemerintah. Melalui jalur reformasi, gerakan Islam populis setidaknya menawarkan dua agenda besar sebagai tawarannya. Pertama, menolak pemimpin non muslim. Penolakan ini untuk mempermudah Islamisasi ruang publik bagi pemerintahan ke depannya. Di samping itu juga, penolakan pemimpin non muslim untuk memudahkan pemberlakuan Perda syariah dalam sistem pemerintahan. Kedua, penolakan dominisi Etnis Tionghoa dalam perekonomian Indonesia. Permasalahan ini muncul akibat tidak diterimanya etnis Tionghoa sebagai pemilik modal yang besar dalam perekonomian Indoensia. 280 Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial M. Mujibuddin SM DAFTAR PUSTAKA Ahnaf, Mohammad Iqbal. 2016. “Tiga Jalan Islam Politik di Indonesia: Reformasi, Refolusi dan Revolusi.” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1 (2): 127–40. https:// doi.org/10.15575/jw.v1i2.728. Azra, Azyumardi. 2012. “Revisitasi Islam Politik Dan Islam Kultural Di Indonesia.” JURNAL INDO-ISLAMIKA 1 (2): 233–44. https:// doi.org/10.1548/idi.v1i2.1176. Berger, Peter L. 1991. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES. Berger, Peter L, and Thomas Luckmann. 2012. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang sosiologi pengetahuan. Translated by Hasan Basari. Jakarta: Pustaka LP3ES. Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS. Ghufran, Fathorrahman. 2017. “Menyikapi Era Defisit Kebenaran.” Kompas, January 5, 2017, 2017 edition. Hadiz, Vedi R. 2016. Islamic Populism in Indonesia and the Middle East. Cambridge: Cambridge University Press. Jati, Wasisto Raharjo. 2017. “Dari Umat Menuju Ummah: Melacak Akar Populisme Kelas Menengah Muslim Indonesia.” Maarif: Jurnal Arus Pemikiran Islam Dan Sosial 12 (1): 22–36. Jinan, Mutohharun. 2013. “Intervensi New Media Dan Impersonalisasi Otoritas Keagamaan Di Indonesia.” Jurnal Komunikasi Islam 3 (2). https://doi.org/10.15642/jki.2013.3.2.%p. Kriyantono, Rachmat. 2014. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media. Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. Kanisius. Mekelberg, Yossi. 2016. “Is Post-Truth the Only Truth Left in Public Life?” November 24, 2016. http://english.alarabiya.net/ en/views/news/middle-east/2016/11/24/Is-Post-Truth-theonly-truth-left-in-public-life-.html. Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2018/ISSN: 1978-4457 (p), 2548-477X (o) 281 Kontruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212 Mufid, Muhamad. 2012. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Prenada Media. Qibtiyah, Alimatul. 2016. Maarif: Jurnal Arus Pemikiran Islam Dan Sosial 11 (2): 2–20. Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Remaja Rosdakarya. Sulistyo, Eko. 2017. “Medsos dan Fenomena Post-Truth.” SINDOnews.com. November 28, 2017. https://nasional. sindonews.com/read/1261141/18/medsos-dan-fenomenapost-truth-1511797550. Wahid, Abdurrahman, ed. 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Di Indonesia. Jakarta: Wahid Institute. Woods, Dwayne. 2014. “(PDF) The Many Faces of Populism: Current Perspectives Article Information.” ResearchGate. 2014. http://dx.doi.org/10.1108/S0895-9935_2014_0000022001. Woodward, Mark, and Amanah Nurish. 2016. “Quo Vadis FPI Dalam Aksi Bela Islam.” Maarif: Jurnal Arus Pemikiran Islam dan Sosial 11 (2): 105–22. 282 Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial