Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

. BAB II

Teori stewardship menurut Sudaryo et al (2017:54) merupakan "teori yang menggambarkan situasi dimana eksekutif sebagai steward dan bertindak sesuai kepentingan pemilik atau principal." Dalam teori ini seorang steward akan bertindak untuk kepentingan bersama, ketika steward memiliki kepentingan yang berbeda dengan kepentingan principal maka steward akan berusaha menyamakan kepentingannya dan menghindarkan diri mereka bersebrangan dengan kepentingan principal. "Teori stewardship berakar dari bidang psikologi dan sosiologi dan dirancang bagi para peneliti untuk memeriksa situasi di mana eksekutif sebagai steward termotivasi untuk bertindak demi kepentingan principal" (Donaldson & Davis, 1991). Dalam teori stewardship, perilaku manusia dilihat sebagai seseorang yang memiliki perilaku kolektivistik dan berada pada posisi dapat memilih antara pro-organisasional atau mementingkan diri sendiri. Ketika seorang steward diberi pilihan untuk memilih antara perilaku mementingkan diri sendiri atau perilaku pro-organisasi, perilaku steward dipastikan tidak akan menyimpang dari kepentingan organisasinya. Dengan demikian, ketika kepentingan steward dan principal tidak selaras, steward tetap akan menempatkan diri mereka untuk menjunjung tinggi kerja sama daripada menentang sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak mereka. Hal ini disebabkan karena steward memandang ada utilitas yang lebih besar dalam perilaku kooperatif. Namun demikian, bukan berarti seorang steward tidak membutuhkan penghasilan yang memadai untuk kelangsungan hidupnya. Davis et al (1997) mengungkapkan bahwa perbedaannya dengan agensi adalah bagaimana kebutuhan ini dipenuhi. Steward memiliki keyakinan bahwa dengan bekerja menuju tujuan organisasi atau tujuan kolektif maka kebutuhan pribadinya pun juga akan terpenuhi. Oleh karena itu, setiap kepentingan steward dibatasi oleh persepsi

BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Stewardship Teori stewardship menurut Sudaryo et al (2017:54) merupakan “teori yang menggambarkan situasi dimana eksekutif sebagai steward dan bertindak sesuai kepentingan pemilik atau principal.” Dalam teori ini seorang steward akan bertindak untuk kepentingan bersama, ketika steward memiliki kepentingan yang berbeda dengan kepentingan principal maka steward akan berusaha menyamakan kepentingannya dan menghindarkan diri mereka bersebrangan dengan kepentingan principal. “Teori stewardship berakar dari bidang psikologi dan sosiologi dan dirancang bagi para peneliti untuk memeriksa situasi di mana eksekutif sebagai steward termotivasi untuk bertindak demi kepentingan principal” (Donaldson & Davis, 1991). Dalam teori stewardship, perilaku manusia dilihat sebagai seseorang yang memiliki perilaku kolektivistik dan berada pada posisi dapat memilih antara pro-organisasional atau mementingkan diri sendiri. Ketika seorang steward diberi pilihan untuk memilih antara perilaku mementingkan diri sendiri atau perilaku pro-organisasi, perilaku steward dipastikan tidak akan menyimpang dari kepentingan organisasinya. Dengan demikian, ketika kepentingan steward dan principal tidak selaras, steward tetap akan menempatkan diri mereka untuk menjunjung tinggi kerja sama daripada menentang sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak mereka. Hal ini disebabkan karena steward memandang ada utilitas yang lebih besar dalam perilaku kooperatif. Namun demikian, bukan berarti seorang steward tidak membutuhkan penghasilan yang memadai untuk kelangsungan hidupnya. Davis et al (1997) mengungkapkan bahwa perbedaannya dengan agensi adalah bagaimana kebutuhan ini dipenuhi. Steward memiliki keyakinan bahwa dengan bekerja menuju tujuan organisasi atau tujuan kolektif maka kebutuhan pribadinya pun juga akan terpenuhi. Oleh karena itu, setiap kepentingan steward dibatasi oleh persepsi 10 11 bahwa utilitas yang diperoleh dari perilaku pro-organisasi lebih tinggi daripada utilitas yang dapat diperoleh melalui perilaku individualistis dan mementingkan diri sendiri. Mengingat keuntungan dari teori stewardship terhadap principal dalam suatu organisasi, mungkin akan ada pertanyaan mengapa tidak hubungan stewardship saja yang digunakan, alih-alih menggunakan hubungan keagenan? Davis et al (1997) memberikan jawabannya, mereka berpendapat bahwa pemilihan antara teori agensi atau teori stewardship terletak pada risiko yang bersedia diambil oleh principal. Dalam kontrak tata kelola antara principal dan eksekutif, principal harus memutuskan seberapa besar risiko yang akan mereka tanggung dengan kekayaan mereka. Principal yang enggan mengambil risiko kemungkinan besar akan menganggap bahwa eksekutif mementingkan diri sendiri sehingga principal akan menggunakan tata kelola agensi. Sedankan ketika seorang principal merasa dirinya bisa mengambil risiko maka dia akan menganggap bahwa eksekutif akan bersifat kolektivistik dan akan mementingkan tujuan organisasi sehingga principal akan menggunakan tata kelola stewardship. Pada penerapannya, teori stewardship biasanya terdapat pada organisasiorganisasi non profit yang menggunakan dana masyarakat. Hal ini diutarakan oleh Thorton (2009) yang berpendapat bahwa “...teori stewardship dapat diterapkan pada organisasi pemerintahan.” Sedangkan Sudaryo et al (2017:56) berpendapat bahwa teori stewardship dapat diterapkan dalam Akuntansi Sektor Publik (ASP), yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi steward dan principal. Teori stewardship dapat digunakan dalam suatu organisasi dengan memperhatikan beberapa pertimbangan yang ada. Pertimbangan ini juga yang mendasari penggunaan teori stewardship dalam organisasi-organisasi sektor publik seperti organisasi pemerintahan. Podrug (2011) mengemukakan pertimbangan-pertimbangan yang harus ada ketika suatu organisasi hendak menerapkan teori stewardship: a. Manajemen sebagai steward Teori stewardship memandang bahwa steward memiliki posisi sebagai pelayan/ penerima amanah/ pengelola. Misalnya dalam organisasi 12 pemerintahan, pemerintah sebagai steward bertindak dengan penuh kesadaran, arif dan bijaksana bagi kepentingan masyarakat. b. Pendekatan governance menggunakan sosiologi dan psikologi Teori stewardship memandang bahwa steward memberikan pelayanan kepada masyarakat bukan hanya untuk kepentingan ekonomi namun juga mempertimbangkan kepentingan sosiologis dan psikologis masyarakat guna mencapai good governance (tata kelola yang baik). c. Model manusia berprilaku kolektif untuk kepentingan organisasi Steward dalam teori ini akan menjunjung tinggi nilai kebersamaan ketika dihadapkan dengan kepentingan yang berbeda antara principal dan steward. Steward pecaya bahwa terdapat nilai guna yang lebih besar dengan bertindak koopratif dan dianggap lebih rasional dibandingkan bersikap individualistik. d. Motivasi steward sejalan dengan tujuan principal Teori stewardship memandang bahwa steward tidak termotivasi oleh berbagai tujuan pribadi tetapi lebih termotivasi untuk kepentingan organisasi. e. Kepentingan principal-steward adalah konvergensi Teori stewardship mengasumsikan bahwa kepentingan principal-steward adalah konvergensi, yaitu keduanya memiliki tujuan yang sama menuju satu titik yaitu kepentingan organisasi. f. Struktur berupa fasilitas dan pemberdayaan Dalam teori stewardship model struktur yang digunakan adalah model struktur yang bisa memfasilitasi dan memberdayakan berbagai pihak baik itu steward maupun principal. g. Hubungan principal-steward saling percaya Teori stewardship dibangun atas asumsi filosofi mengenai sifat manusia, yakni pada hakikatnya manusia itu dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain. Steward dalam hal ini sebagai institusi dinilai dapat dipercaya 13 untuk bertindak sebaik-baiknya bagi kepentingan principal maupun organisasi. Dapat disimpulkan bahwa dalam praktik tata kelola suatu organisasi, akan ditemukan hubungan antara principal dan eksekutif yang pada dasarnya mereka semua adalah manusia yang memiliki sifat-sifat dasar seperti individualistik, kolektif dan mempunyai kepentingan masing-masing. Setiap orang dalam organisasi akan memilih menggunakan teori yang mana berdasarkan tingkat risiko yang sanggup mereka diambil. Yoyon (2013) berpendapat bahwa ada berbagai macam hubungan antara principal dan eksekutif , berikut ini akan diuraikan macam-macam bentuk hubungan antara principal dan eksekutif: a. Ketika principal memilih hubungan agensi, hasilnya adalah hubungan principal-agent yang nyata yaitu mencapai harapan masing-masing. Hubungan agensi didesain untuk meminimalkan kerugian yang potensial timbul dari masing-masing pihak. Dengan demikian kedua pihak mempunyai kesamaan harapan dari hubungan tersebut dan biaya terkontrol. b. Jika principal memilih hubungan stewardship dan eksekutif memilih hubungan agensi maka eksekutif akan bertindak mencari keuntungan sendiri dan mengambil manfaat dari principal. Seorang eksekutif yang berorientasi pada keuntungan pribadi demikian akan berperilaku layaknya serigala dalam kandang ayam dan akan mencari kepuasan sendiri dari organisasi atau principal. Dengan demikian, principal akan merasa dikhianati yang pada akhirnya memperketat pengawasan atau berusaha memberhentikan eksekutif. Saat dua pihak individual terlibat, pilihan yang tepat adalah hubungan agensi. Namun jika beorientasi pada kebersamaan, saat masing-masing pihak menyatukan tujuan pribadinya, maka hubungan stewardship yang dipilih. c. Jika principal memilih hubungan agensi dan eksekutif memilih hubungan stewardship, hasilnya akan menimbulkan rasa frustasi bagi eksekutif yang merasa dikhianati principal. Steward diawasi seolah-olah mereka agent, mereka tidak dapat menikmati tipe imbalan internal yang diinginkan 14 (contohnya pertumbuhan, pencapaian, atau aktualisasi diri) dan pada akhirnya mereka berperilaku anti terhadap organisasi d. Principal dan eksekutif memilih hubungan stewardship, hasilnya adalah hubungan principal-steward yang nyata didesain untuk memaksimalkan kinerja potensial dari kelompok. Berbagai macam hubungan pengelolaan yang telah disebutkan diatas tentu perlu dipahami, baik itu oleh principal maupun oleh eksekutif, sebab ketika ditemukan suatu permasalahan yang berkaitan dengan hubungan principaleksekutif maka akan mudah dalam penyelesaian masalah tersebut. Dalam tata kelola organisasi khususnya pemerintahan, sesuai dengan pendapat Sudaryo et al (2017:56) penggunaan teori stewardship dalam tata kelola organisasi pemerintahan yaitu organisasi yang berfungsi untuk melayani kepentingan masyarakat dinilai cukup relevan. Sebab pemerintah atau dalam hal ini disebut steward berkewajiban untuk mengerahkan segala kemampuannya supaya tujuan organisasi yang merupakan tujuan masyarakat dapat tercapai sesuai dengan harapan bersama. B. Akuntansi Sektor Publik Pada 1941 American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) (dalam Balkaoui, 2004: 38) mendefinisikan akuntansi sebagai “The art of recording, classifying, and summarising in a significant manner and in terms of money, transactions and events which are, in part at least, of financial character, and interpreting the results thereof’.” Sedangkan Farlex Financial Dictionary (2012) mendefinisikan akuntansi sebagai: The practice or profession of maintaining financial records, noting expenses or revenue, and determining how much one owes or is owed. Accounting seeks to assure that every individual or company pays or is paid the correct amount. Disisi lain Adam (2015:10) berpendapat bahwa: Akuntansi merupakan proses yang terdiri dari identifikasi, pengukuran dan pelaporan informasi ekonomi. Informasi ekonomi yang dihasilkan oleh 15 akuntansi diharapkan berguna dalam penilaian dan pengambilan keputusan mengenai kesatuan usaha yang bersangkutan. Dari beberapa pendapat tersebut penulis menyimpulkan bahwa akuntansi merupakan suatu ilmu yang memuat praktik pelaporan keuangan melalui tiga tahap utama yaitu yang pertama mencatat transaksi, kemudian yang kedua adalah menyusun akun/rekening yang angkanya berasal dari tahap pertama, tahap ini sering disebut dengan mengklasifikasikan hasil pencatatan kebeberapa akun/rekening. Kemudian yang terakhir adalah menyusun pertanggung jawaban berupa laporan keuangan. Sejatinya setelah menghitung dan menyusun akun/rekeing maka terbentuklah suatu laporan keuangan sebagai media komunikasi pertanggung jawaban antara pelaksana yang menerima pelimpahan kewenangan pengelola entitas (baca: uang) kepada pemberi kewenangan (sang pemilik entitas atau pihak yang ditunjuk untuk mewakili pemilik entitas). Disini terlihat nyata adanya teori agen yang menjelaskan hubungan antara pemberi tugas (principal) dengan yang diberi tugas (agent). Purwasetya (2013). Pendapat diatas menjelaskan bahwa laporan keuangan yang dihasilkan dari proses akuntansi merupakan alat atau media yang memberikan informasi bagi para pemilik entitas sebagai bentuk pertanggungjawaban atau akuntabilitas dari para pengelola. Pentingnya akuntansi sebagai ilmu yang menghasilkan media pertanggung jawaban juga diterapkan dalam penatausahan organisasi sektor publik yang dikenal dengan akuntansi sektor publik. Menurut Bastian (2006) di Indonesia pada awalnya dikenal sebagai akuntansi pemerintahan. Istilah akuntansi pemerintahan ini digunakan karena pendidikan akuntansi di Indonesia berorientasi pada Amerika Serikat yang dikenal dengan istilah Government Accounting. Perekonomian di Amerika Serikat yang lebih menekankan pada sektor swasta dan peranan negara dalam perekonomian amat minimal mengakibat Pemerintah Amerika Serikat membatasi diri mereka dengan hanya berfokus pada sistem pemerintahan mereka sendiri. Pengertian Government Accounting sendiri menurut Encyclopedia of Business and Finance (2007) adalah sebagai berikut: Government accounting was used by a parliament to limit the king's power to (1) spend public money, (2) raise taxes to cover the expenditures, and 16 (3) determine the purpose of the expenditure. The use of governmental accounting remained unchanged during the evolution into modern democratic systems. Dari kutipan diatas dapat dilihat bahwa Akuntansi Pemerintahan atau Government Accounting digunakan hanya dalam tata kelola pemerintahan yang akan membantu pemerintah dalam pengelolaan keuangannya. Berbeda dengan di Indonesia, dimana pemerintah juga memiliki peranan penting dalam perekonomian. Sehingga pembatasan akuntansi sektor publik hanya pada sektor pemerintahan akan berdampak pada kosongnya pengaturan praktik-praktik akuntansi di lembaga non-profit lainnya. Sehingga kini akuntansi pemerintahan di Indonesia mulai bergeser kedalam cakupan yang lebih luas. Bastian (2006) mendefinisikan akuntansi sektor publik sebagai “...bidang akuntansi yang mempunyai ruang lingkup lembaga-lembaga tinggi negara dan departemendepartemen dibawahnya, pemerintah daerah, yayasan, partai politik, perguruan tinggi dan organisasi-organisasi nonprofit lainnya.” Akuntansi sektor publik hadir atas dasar banyaknya tekanan agar organisasi-organisasi sektor publik dapat melaksanakan kewajibannya dengan lebih efisien. Mardiasmo (2002:4) menyatakan bahwa “sektor publik sering dinilai sebagai sarang inefisiensi, pemborosan, sumber kebocoran dana, dan institusi uang selalu merugi.” Akuntansi sebagai suatu proses yang menghasilkan informasi bermanfaat untuk pengambilan keputusan tentu menjadi angin segar bagi publik atau masyarakat yang mengharapkan organisasi sektor publik dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Akuntansi dalam cakupan sektor publik memiliki perbedaan dengan akuntansi untuk sektor swasta. Berikut ini disajikan secara ringkas mengenai perbedaan praktik akuntansi sektor publik dan akuntansi sektor swasta: 17 Table 1.1 Perbedaan Akuntansi Sektor Publik dan Akuntansi Sektor Swasta PERBEDAAN Tujuan AKUNTANSI AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK SEKTOR SWASTA Kesejahteraan Keuntungan masyarakat Organisasi Organisasi non profit Organisasi orientation Keuangan Negara, profit orientation (bisnis) Daerah, Individual Masyarakat Sumber: Bastian, 2006 Perbedaan antara sektor publik dan sektor swasta tersebut menjadikan akuntansi sektor publik begitu penting untuk diterapkan dalam tata kelola sektor publik itu sendiri. Mardiasmo (2002:14) sendiri menyatakan setidaknya ada tiga hal pokok yang bisa disajikan oleh akuntansi sektor publik, yaitu penyediaan informasi, pengendalian manajemen, dan akuntabilitas. Berperannya akuntansi sektor publik ini sendiri dikendarai oleh meningkatnya keinginan masyarakat akan transparansi dan akuntabilitas kinerja terhadap pengelolaan sektor publik, sehingga hal ini menekankan pembangunan nilai good governance dalam tata pengelolaan organisasi sektor publik. Laporan keuangan yang dihasilkan dari proses akuntansi sektor publik akan memberikan informasi bermanfaat khususnya bagi para pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengetahui sejauh mana dana digunakan oleh lembaga sektor publik tersebut. Informasi yang disampaikan kepada para pihak-pihak yang berkepentingan ini menjadi bagian dari terlaksananya tata kelola yang baik (good governance) sebagai suatu konsep yang harus dilaksanakan oleh setiap organisasi, khususnya organisasi-organisasi non-profit. 18 C. Good Governance Pengertian good governance sering diartikan sebagai tata kelola yang baik, Kharisma (2014:2) menyebutkan bahwa “World Bank merupakan pencetus gagasan pertama yang memperkenalkan good governance sebagai program pengelolaan sektor publik, dalam rangka penciptaan ketatapemerintahan yang baik dalam kerangka persyaratan bantuan pembangunan.” Dalam hal ini World Bank menjadikan good governance sebagai prasyarat bagi negara-negara di dunia yang membutuhkan bantuan keuangan dari World Bank. Dalam laporannya, World Bank (1992) kemudian memberikan definisi terkait good governance, yaitu sebagai berikut: Good governance is an essential complement to sound economic policies. Efficient and accountable management by the public sector and a predictable and transparent policy framework are critical to the efficiency of markets and governments, and hence to economic development. Selanjutnya pembahasan mengenai good governance kembali digaungkan oleh World Bank (1994) dalam laporannya yang menyebutkan bahwa: Good governance is epitomized by predictable; open, and enlightened policymaking (that is, transparent processes); a bureaucracy imbued with a professional ethos; an executive arm of government accountable for its actions, and a strong civil society participating in public affairs; and all behaving under the rule of law. Dari kedua kutipan diatas terdapat beberapa poin utama yang menjadi ciri pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu pembuatan kebijakan yang terbuka (transparan), birokrasi dijiwai dengan etos profesional, bertanggung jawab atas tindakannya (akuntabel), masyarakat sipil yang berpartisipasi dalam urusan publik (partisipasi), dan berperilaku di bawah supremasi hukum. Haryanto et al (2007) menyebutkan bahwa konsep good governance akan bermakna apabila keberadaannya ditopang oleh lembaga-lembaga yang melibatkan kepentingan publik. Jenis lembaga tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pemerintah (Good Public Governance) 2. Sektor Swasta (Good Corporate Governance) 3. Masyarakat Madani (Civil Society) 19 Ketiga lembaga ini harus bersinergi dan berpartisipasi aktif dalam membangun konsensus. Dimana masing-masing pihak memiliki perannya masingmasing. Kharisma (2014:10) memberikan pandangannya terkait peran masingmasing lembaga yaitu sebagai berikut: 1. Negara dan perangkatnya (pemerintahan) menciptakan peraturan perundang-undangan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten (consistent law enforcement). 2. Dunia usaha (sektor swasta) sebagai pelaku pasar menerapkan Good Corporate Governance sebagai pedoman dasar pelaksanaan usaha. 3. Masyarakat (civil society) sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol sosial (social control) secara obyektif dan bertanggung jawab terhadap pemerintahan. Selain sinergisnya ketiga lembaga tersebut, pelaksanaan tata kelola yang baik akan berjalan apabila memperhatikan prinsip-prinsip yang mendasari good governance. Hal ini selaras dengan pendapat Haryanto et al (2007:7) yang menyatakan bahwa “tata kepemerintahan yang baik dimaksudkan sebagai tata pemerintahan yang mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsipprinsip dasar good governance.” Prinsip-prinsip good governance itu sendiri diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Partisipasi Masyarakat Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. 2. Tegaknya Supremasi Hukum 20 Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia. 3. Transparansi Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. 4. Peduli pada Stakeholder Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan. 5. Berorientasi pada Konsensus Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedurprosedur. 6. Kesetaraan Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. 7. Efektifitas dan Efisiensi Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumbersumber daya yang ada seoptimal mungkin. 8. Akuntabilitas Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasiorganisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. 9. Visi Strategis 21 Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut. Terakhir, upaya yang bisa dilakukan dalam menciptakan good governance adalah pelaksanaan reformasi kelembagaan dan reformasi manajemen sektor publik. Hal ini selaras dengan pendapat Haryanto et al (2007) yang menyatakan bahwa: Reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan baik struktur maupun infrastrukturnya. Selain reformasi kelembagaan dan reformasi manajemen sektor publik, untuk mendukung terciptanya good governance, maka di perlukan serangkaian reformasi lanjutan terutama yang terkait dengan sistem pengelolaan keuangan pemerintah, yaitu: reformasi sistem penganggaran (budgeting reform), reformasi sistem akuntansi (accounting reform), reformasi sistem pemeriksaan (audit reform), dan reformasi sistem manajemen keuangan (financial management reform). Tuntutan pembaharuan sistem keuangan dalam reformasi manajemen sektor publik ini merupakan upaya untuk menciptakan good governance dalam pemerintahan yang ditunjukan supaya pengelolaan uang publik dapat dilakukan secara transparan serta berdaya guna dan mampu mencapai prinsip akuntabilitas. D. Akuntabilitas Salah satu prinsip yang perlu dicapai dalam tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) adalah akuntabilitas. Menurut Rahmanurrasjid (2008: 24) “akuntabilitas sebagai salah satu prinsip good governance dewasa ini boleh dikatakan sebagai harga mati yang arus dilakukan pemerinah.” Terdapat berbagai pendapat mengenai definisi dari akuntabilitas itu sendiri, Mardiasmo (2002:20) berpendapat bahwa: Akuntabilitas publik dapat dimaknai dengan adanya kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan 22 kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Sedangkan Lembaga Administrasi Negara (2015:9) mengemukakan pendapatnya mengenai akuntabilitas sebagai berikut, “akuntabilitas adalah prinsip dasar bagi organisasi yang berlaku pada setiap level/unit organisasi sebagai suatu kewajiban jabatan dalam memberikan pertanggungjawaban laporan kegiatan kepada atasannya.” Kemudian Carothers & Brechenmacher (2014:8) berpendapat bahwa, “public sector accountability emerged as crucial concepts in the effort to reduce opportunities for corruption and strengthen internal and external monitoring mechanisms.” Dari ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas merupakan prinsip yang harus dilaksanakan oleh suatu lembaga sebagai penerima amanah, pelaksanaannya berupa pengungkapan segala macam aktivitas khususnya aktivitas dalam hal penggunaan dana publik yang dilakukan dalam bentuk pelaporan pertnggungjawaban untuk kemudian disampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan amanah. Dalam hubungannya dengan organisasi pemerintah, akuntabilitas dapat diartikan sebagai pemberian informasi atas segala aktivitas dan kinerja keuangan pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan menyerahkan laporan yang dijadikan sebagai media pertanggungjawaban. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus bisa menjadi subjek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik. Mardiasmo (2002:21) membagi akuntabilitas kedalam dua jenis. Pertama, akuntabilitas vertikal yang merupakan pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya pertanggungjawaban unit-unit kerja (dinas) kepada pemerintah daerah, pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, dan pemerintah pusat kepada MPR. Kedua, akuntabilitas horizontal yaitu pertanggungjawaban kepada masyarakat luas. Kedua jenis akuntabilitas ini harus dilaksanakan secara seimbang, tidak boleh suatu organisasi hanya menekankan pada satu jenis akuntabilitas saja. 23 Sedangkan Bovens (2007:455) membagi akuntabilitas kedalam beberapa tipe, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Political Accountability Akuntabilitas politik adalah jenis akuntabilitas yang sangat penting dalam demokrasi. Dalam demokrasi rakyat sebagai pemilih mendelegasikan kedaulatan mereka kepada perwakilan rakyat dan kepala negara yang dibantu para menteri untuk melaksanakan roda pemerintahan. Menteri-menteri kemudian harus bertanggungjawab kepada kepala negara, kepala negara kemudian bertanggungjawab kepada wakil rakyat dan selanjutnya para wakil rakyat bertanggungjawab kepada rakyat. 2. Legal Accountability Akuntabilitas hukum semakin penting bagi lembaga-lembaga publik sebagai akibat dari meningkatnya formalisasi hubungan sosial. kuntabilitas hukum biasanya akan didasarkan pada tanggung jawab spesifik, yang secara formal atau legal diberikan kepada pihak berwenang. Oleh karena itu, akuntabilitas hukum adalah jenis pertanggungjawaban yang paling jelas, karena pengawasan hukum akan didasarkan pada standar hukum yang terperinci, ditentukan oleh undang-undang perdata, administrasi atau pidana, atau presiden. 3. Administrative Accountability Di samping pengadilan, berbagai forum kuasi-hukum, yang melaksanakan pengawasan dan kontrol keuangan dan administrasi independen dan eksternal, telah dibentuk dalam beberapa dekade terakhir, seperti local ombudsmen and audit offices, independent supervisory authorities, inspector generals, anti-fraud offices dan chartered accountants. Forum-forum administratif ini melaksanakan pengawasan keuangan dan administrasi secara teratur, sering kali berdasarkan undang-undang khusus dan norma yang ditentukan. Jenis pengaturan akuntabilitas ini bisa sangat penting untuk quango dan badan publik eksekutif lainnya. 24 4. Professional Accountability Terdapat berbagai macam profesi yang memiliki kode etik seperti guru, dokter dan petugas kepolisian. Pelaksanaan kode etik oleh profesi-profesi tersebut merupakan bentuk akuntabilitas. Badan profesional memberikan kode dengan standar untuk praktik yang dapat diterima yang mengikat untuk semua anggota. Standar-standar ini dipantau dan ditegakkan oleh badan pengawas profesional berdasarkan tinjauan sejawat. Jenis hubungan pertanggungjawaban ini akan sangat relevan bagi manajer publik yang bekerja di organisasi publik profesional, seperti rumah sakit, sekolah, klinik psikiatris, lembaga penelitian, departemen kepolisian, pemadam kebakaran, atau untuk beberapa ahli dalam komitologi. 5. Social Accountability Sebagai reaksi terhadap anggapan kurangnya kepercayaan pada pemerintah, ada desakan di banyak negara demokrasi untuk hubungan akuntabilitas yang lebih langsung dan eksplisit antara masyarakat dan pemerintah. Pemerintah publik harus merasa berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada publik secara luas. Akuntabilitas penting untuk menyediakan sarana yang demokratis untuk memantau dan mengendalikan perilaku pemerintah, untuk mencegah pengembangan konsentrasi kekuasaan, dan untuk meningkatkan kapasitas pembelajaran dan efektivitas administrasi publik. Bovens (2007:462) mengemukakan setidaknya ada tiga perspektif mengenai akuntabilitas, pertama dari perspektif demokratis, akuntabilitas membantu warga negara untuk mengendalikan mereka yang memegang jabatan publik. Kedua, dalam perspektif konstitusi, akuntabilitas mencegah tirani penguasa absolut, pemimpin yang terlalu sombong, terpilih atau kekuasaan eksekutif yang ekspansif dan 'diprivatisasi'. Terakhir, menurut perspektif pembelajaran akuntabilitas dipandang sebagai alat untuk membuat dan menjaga pemerintah, lembaga dan pejabat secara efektif dalam memenuhi janji mereka. Tujuan akuntabilitas publik adalah untuk mendorong cabang eksekutif untuk belajar. Kemungkinan sanksi dari klien dan 25 pemangku kepentingan lainnya di lingkungan mereka jika terjadi kesalahan dan kekurangan memotivasi mereka untuk mencari cara yang lebih cerdas dalam mengatur bisnis mereka. Pelaksanaan akuntabilitas ini didasarkan pada dimensi-dimensi yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor publik. Dimensi-dimensi tersebut diutarakan oleh Ellwood (dalam Mardiasmo, 2002:21) sebagai berikut: 1. Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum (accountability for probity and legality) Akuntabilitas kejujuran (accountability for probity) terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan (abuse of power), sedangkan akuntabilitas hukum (legal accountability) terkait dengan jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam penggunaan sumber dana publik. 2. Akuntabilitas proses (process accountability) Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur yang digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik dalam hal kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi manajemen, dan prosedur administrasi. Akuntabilitas proses dapat dilihat melalui pemberian pelayanan publik yang cepat, responsif, dan murah biaya. Pengawasan dan pemeriksaan terhadap pelaksanaan akuntabilitas proses dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa ada tidaknya mark up dan pungutan-pungutan lain di luar yang ditetapkan, serta sumbersumber inefisiensi dan pemborosan yang menyebabkan mahalnya biaya pelayanan publik dan kelambanan dalam pelayanan. Pengawasan dan pemeriksaan akuntabilitas proses juga terkait dengan pemeriksaan terhadap proses tender untuk melaksanakan proyek-proyek publik, yang harus dicermati dalam pemberian kontrak tender adalah apakah proses tender telah dilakukan secara adil melalui Compulsoty Competitive Tendering (CCT), ataukah dilakukan melalui pola Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). 3. Akuntabilitas program (program accountability) Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah telah mempertimbangkan 26 alternatif program yang memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal. 4. Akuntabilitas kebijakan (policy accountability) Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah, baik pusat maupun daerah, atas kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah terhadap DPR/DPRD dan masyarakat luas. Dari dimensi akuntabilitas yang telah dijelaskan diatas, Elwood mengelompokan kembali dimensi tersebut kedalam indikator-indikator akuntabilitas sebagai berikut: 1. Akuntabilitas hukum dan kejujuran a. Kepatuhan terhadap hukum b. Penghindaran korupsi dan kolusi 2. Akuntabilitas proses a. Adanya kepatuhan terhadap prosedur b. Adanya pelayanan publik yang responsif c. Adanya pelayanan publik yang cermat d. Adanya pelayanan publik yang biayanya murah 3. Akuntabilitas program a. Alternatif program yang memberikan hasil optimal b. Mempertanggungjawabkan yang telah dibuat 4. Akuntabilita kebijakan Mempertanggungjawabkan kebijakan yang telah dibuat Pentingnya akuntabilitas publik juga diaminkan oleh pemerintahan Indonesia, dengan lahirnya berbagai paket perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan akuntabilitas dalam tubuh organisasi kepemerintahanan. Paket perundang-undangan tersebut diantaranya adalah Undang-Undang No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No.15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, UndangUndang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah. Selain paket perundang-undangan, kebijakan yang mengatur 27 pelaksanaan akuntabilitas secara teknikal juga tertuang dalam berbagai peraturan seperti Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014 Tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Adanya kebijakan otonomi daerah juga menjadi dasar perhatian pemerintah dalam pelaksanakan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangannya, hal ini diimplementasikan melalui pengesahan Peraturan Menteri Keuangan No 225 Tahun 2017 mengenai Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Paket peraturan diatas memberikan kejelasan terkait siapa yang harus melaksanakan akuntabilitas, kepada siapa ia berakuntabilitas, apa yang menjadikan standar dari akuntabilitas dan apa media untuk akuntabilitas itu sendiri. media akuntabilitas itu sendiri menurut Widiyanti (2017) yaitu ".. berbentuk laporan yang dapat mengekspresikan pencapaian tujuan melalui pengelolaan sumber daya suatu organisasi." Sehingga dapat disimpulkan bahwa laporan merupakan media akuntabilitas dalam suatu pengelolaan khususnya pengelolaan keuangan. E. Desa Desa merupakan salah satu unit pemerintahan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai salah satu lembaga sektor publik, desa memiliki ciri khasnya sendiri. Melalui penetapan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, Desa didefinisikan sebagai berikut: Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa desa memiliki otonomi untuk mengurus urusan pemerintahannya sendiri dengan mengacu kepada kesepakatan masyarakat desa. “Untuk menjalankan penyelenggaraan pemerintahannya, desa dipimpin oleh Kepala Desa sebagai pemegang jabatan 28 tertinggi pada penyelenggaraan pemerintahan desa dengan membawahi Perangkat Desa.” Musliha (2016). Dalam pasal 48 UU No 6 Tahun 2014 disebutkan bahwa perangkat desa terdiri dari: 1. Sekretaris desa 2. Pelaksana kewilayahan 3. Pelaksana teknis Perangkat desa ini bertugas untuk membantu kepala desa dalam menjalankan segala kegiatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan desa untuk mengatur urusannya sendiri juga diatur dalam pasal 18 UU Desa, yang menyebutkan bahwa kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa. Namun meskipun desa memiliki kewenangannya sendiri, bukan berarti desa tidak memiliki hubungan dengan lembaga-lembaga lain. Desa tetap memiliki hubungan dengan lembaga-lembaga diatasnya. Walaupun desa bukan bagian pemerintahan secara langsung dari pemerintahan daerah (bukan unit kerja/SKPD), namun desa tetap memiliki hubungan koordinasi dan administratif dengan pemerintah yang ada di atasnya yang disebut sebagai pemerintah supra desa. pemerintah supra desa terdiri dari pemerintahan kecamatan, pemerintahan kabupaten/kota, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Puspawijaya dan Siregar (2016). Setiap jenjang pemerintahan supra desa memiliki fungsi pengawasan serta pembinaan masing-masing sesuai dengan perundang-undangan. Dalam UU Desa disebutkan bahwa fungsi pengawasan serta pembinaan yang dilakukan oleh pemerintahan supra desa meliputi pemberian panduan, supervisi/bimbingan, pembinaan peningkatan kapasitas, dan fasilitasi penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu desa juga berhak menerima pendapatan dari lembaga-lembaga diatasnya yang diperlukan untuk menjalankan wewenangnya. Dalam Pemendagri 29 No 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, pendapatan desa terdiri dari: 1. Pendapatan asli desa 2. Transfer 3. Pendapatan lain-lain Pertama ada pendapatan asli desa, Yuliansyah & Rusmianto (2016:31) menyebutkan bahwa,”Pendapatan Asli Desa (PADes) merupakan pendapatan yang diperoleh dan digali dari potensi pendapatan yang ada di desa.” Kelompok pendapatan asli desa terdiri dari hasil usaha, hasil aset, swadaya dan lain-lain pendapatan asli desa. Kedua adalah pendapatan transfer yang diperoleh dari entitas-entitas lain seperti pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Kelompok ini bedasarkan Pemendagri No 20 Tahun 2018 terdiri dari Dana Desa (DD), bagian dari hasil pajak daerah kabupaten/kota dan retribusi daerah, Alokasi Dana Desa (ADD), bantuan keuangan dari APBD provinsi dan bantuan keuangan dari APBD kabupaten/kota. Ketiga pendapatan lain-lain, dalam pemendagri No 20 tahun 2018 disebutkan bahwa kelompok pendapatan lain-lain terdiri dari hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat dan lain-lain pedapatan desa yang sah. Keuangan desa menurut UU Desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Hak serta kewajiban desa inilah yang akan menimbulkan pendapatan, belanja dan pembiayaan yang dalam pelaksanaannya harus dikelola dengan baik. sedangkan menurut Bastian (2015:20), “keuangan desa adalah konsekuensi dari adanya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada desa. Adanya sumber keuangan yang memadai memungkinkan desa untuk melaksanakan tugas dan fungsi desa.” Pengelolaan keuangan desa harus dilaksanakan dengan baik dan mengikuti aturan yang ada. Saat ini Pemreintah Indonesia telah mengatur secara jelas bagaimana seharusnya keuangan desa dikelola, melalui Pemendagri Nomor 20 30 Tahun 2018, pengelolaan keuangan desa harus berlandaskan kepada asas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Kemudian dalam pengelolaan keuangan desa, pihak yang memiliki kendali penuh atas keuangan desa adalah kepala desa. Hal ini diatur dalam pasal 3 Pemendagri No 20 Tahun 2018 yang menyebutkan bahwa, “Kepala Desa adalah PKPKD (Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa) dan mewakili pemerintah desa dalam kepemilikan kekayaan milik desa yang dipisahkan.” Dalam pelaksanaannya kepala desa akan melimpahkan sebagian wewenangnya kepada PPKD (Pelaksana Pengelolaan Keuangan Desa) yang terdiri dari sekretaris desa, Kepala Urusan (Kaur), Kepala Seksi (Kasi) dan Kaur Keuangan. Berikut adalah struktur pengelola keuangan desa: Kepala Desa Sekretaris Desa Kaur Keuangan Kaur Kasi Gambar 2.1 Struktur Pengelolaan Keuangan Desa Sumber: Pemendagri No 20 Tahun 2018 Pengelolan keuangan desa ini dilakukan secara terstruktur dan mengacu kepada aturan yang ada, berikut ini merupakan siklus pengelolaan keuangan desa menurut Puspawijaya & Siregar (2016) yang harus dilaksanakan oleh pemerintah desa: 31 Perencanaan Pertanggung Penganggaran jawaban pelaporan Pelaksanaan Penatausahaan Gambar 2.2 Siklus Pengelolaan Keuangan Desa Sumber: Puspawijaya & Siregar, 2016 Siklus pengelolaan keuangan desa dimulai dengan perencanaan, dalam UU No 6 Tahun 2014 dipaparkan bahwa perencanaan desa diselenggarakan dengan cara mengikut sertakan masyarakat desa melalui musyawaran perencanaan pembangunan desa (musrenbang). Musrenbang sendiri menurut Yuliansyah & Rusmianto (2016:17) adalah sebagai berikut: Musrenbang dilaksanakan guna menetapkan prioritas, program, kegiatan dan kebutuhan pembangunan desa yang didanai oleh anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDesa), swadaya masyarakat desa dan atau anggaaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan masyarakat desa, serta dilaksanakan dengan semangat gotong-royong serta memanfaatkan kearifan lokal sumber daya alam desa. Perencanaan pembangunan ini penting dilakukan untuk memberikan gambaran lengkap mengenai program apa saja yang akan dijalankan oleh suatu desa demi terpenuhinya kegiatan pembangunan yang diamanatkan oleh perundang-undangan, dimana setiap desa diharapkan bisa mempercepat dan menigkatkan kualitas pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakatnya melalui pendekatan partisipatif. Dalam tahap perencanaan ini, setiap desa perlu membuat dokumen-dokumen perencanaan. Menurut Bastian (2016:215) dokumen perencanaan merupakan “dokumen pedoman dan petunjuk pelaksanaan evaluasi 32 kinerja untuk menjamin keseragaman metode, materi, dan ukuran yang sesuai bagi masing-masing jangka waktu.” Sedangkan dokumen perencanaan desa sendiri terdiri dari, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa), Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa). “RPJM Desa berisikan visi serta misi dari kepala desa, arah kebijakan pembangunan desa serta rencana kegiatan yang meliputi bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.” Puspawijaya & Siregar (2016:4). Penyusunan RPJM Desa mengacu kepada Pemendagri No 114 tahun 2014 dimulai dengan membentuk terlebih dahulu tim penyusun, setelah itu tim penyusun melakukan penyelarasan arah kebijakan pembangunan kabupaten atau kota yang diikuti dengan pengkajian keadaan desa. Tahapan selanjutnya adalah melakukan musyawarah desa untuk menentukan susunan isi dari rencana pembangunan, barulah tim penyusun menyusun RPJM Desa. Setelah dibuat, RPJM Desa kembali dimusyawarahkan bersama masyarakat desa sebelum akhirnya disahkan. Setelah RPJM Desa tersusun, dokumen yang harus dibuat oleh desa adalah RKP sebagai penjabaran dari RPJM Desa. RKP Desa berisikan program kegiatan yang akan dilaksanakan oleh desa dalam satu periode anggaran yaitu dari tanggal satu Januari sampai dengan 31 Desember. Menurut Yuliansyah & Rusmianto (2016:26) RKP Desa akan menjadi lampiran dalam rancangan peraturan desa mengenai RKP Desa, selain itu RKP Desa juga akan menjadi dasar dalam pembuatan APB Desa. APB Desa disusun oleh sekretaris desa, pada tahap ini pengelolaan keuangan sudah sampai pada tahap penganggaran dan diajukan kepada kepala desa untuk disetujui, setelah itu kepala desa akan menyerahkan APB Desa kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai perwakilan dari masyarakat desa. Jika APB Desa disetujui oleh BPD, APB Desa akan diserahkan kepada bupati/wali kota untuk ditunjau terlebih dahulu sebelum dilaksanakan. Puspawijaya & Siregar (2016:50) menyatakan bahwa APB Desa berisikan rincian 33 pendapatan desa serta pengalokasian pendapatan kepada program-program kerja yang tercantum dalam kelompok belanja desa dan pengeluaran pembiayaan desa. Program kerja desa sendiri dapat diklasifikasikan menurut kelompok, kegiatan, dan jenis kegiatan. Adapun kelompok kegiatan yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Penyelenggaraan pemerintahan desa 2. Pelaksanaan pembangunan desa 3. Pembinaan kemasyarakatan desa 4. Pemberdayaan masyarakat desa 5. Penanggulangan bencana, keadaan darurat dan mendesak desa. Setelah desa melakukan penganggaran, tahap selanjutnya adalah pelaksanaan segala program yang telah direncanakan sebelumnya. Pada saat pelaksanaan, desa akan menerima sejumlah dana dan mengakuinya sebagai pendapatan. Desa kemudian akan membelanjakan dana tersebut untuk melaksanakan program kegiatan. Dalam tahap pelaksanaan, desa juga melakukan proses penatausahaan keuangan desa. Penatausahaan desa menurut Puspawijaya & Siregar (2016:115) adalah “proses administrasi pencatatan kegiatan keuangan desa dengan menggunakan formulir/dokumen/buku yang dilakukan oleh Bendahara Desa, pelaksana kegiatan yang melibatkan pihak terkait lainnya.” Formulir/dokumen/buku yang digunakan dalam tahap penatausahaan desa adalah sebagai berikut: 1. Buku Kas Umum 2. Buku Bank 3. Buku Kas Pembantu Pajak 4. Register Surat Perintah Pembayaran 5. Register Kuitansi Pembayaran 6. Buku Pembantu Rincian Pembiayaan 7. Buku Kas Pembantu Kegiatan Diakhir periode pengelola keuangan kemudian membuat laporan atas pelaksanaan keuangan desa dan termasuk kedalam tahap pengelolaan keuangan selanjutnya yaitu pelaporan. Puspawijaya & Siregar (2016:135) menyatakan 34 bahwa “pelaporan atas pelaksanaan tugas, kewenangan dan kewajibannya dalam penyelenggaraan keuangan desa ini diperuntukan untuk memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan desa.” Laporan tersebut dibuat secara periodik (semesteran dan tahunan) untuk dilaporkan kepada bupati/wali Kota. Susunan laporan yang harus disertakan diantaranya adalah Laporan Realisasi Pelaksanaan APB Desa dan Laporan Realisasi Penggunaan Dana Desa. Tahap terakhir dari serangkaian pengelolaan keuangan desa adalah tahap pertanggung jawaban. Pada tahap ini pengelola keuangan desa menyampaikan laporan pertanggungjawaban realisasi APB desa yang menjadi bagian tak terpisahkan dari lapora penyelenggaraan pemerintah desa kepada BPD pada akhir ahun anggaran. Penyerahan laporan kepada BPD dilaksanakan paling lambat tiga bulan setelah berakhirnya tahun anggaran (PP Nomor 43 tahun 2014). F. Dana Desa 1. Definisi Dana Desa Dana Desa yang kemudian disebut DD menurut UU No 60 Tahun 2014 adalah sebagai berikut: Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diperuntukan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat. Tujuan dari adanya DD ini diharapkan mampu “meningkatkan pelayanan publik di desa, mengentaskan kemiskinan, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antar desa dan memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.” Kemenkeu (2017a) DD dianggarkan secara nasional oleh pemerintah pusat setiap tahunnya dan dialokasikan secara berkeadilan kesetiap desa yang berada di wilayah NKRI. Dalam tata cara pembagiannya, pemerintah pusat terlebih dahulu menganggarkan alokasi dasar, yaitu alokasi minimal yang diterima setiap desa. Mulai tahun anggaran 2018, besaran dana alokasi dasar dihitung dengan cara mengalokasikan 35 77% dari anggaran dibagi dengan jumlah desa secara nasional. Selanjutnya ada alokasi afirmasi untuk desa dengan status tertinggl dan desa sangat tertinggal sebanyak 3%, kemudia sisa sebesar 20% dialokasikan untuk alokasi formula, yaitu alokasi yang dihitung dengan memperhatikan jumlah penduduk desa (bobot 10%), angka kemiskinan desa (bobot 50%), luas wilayah desa (bobot 15%) dan tingkat kesulitan geografis desa (bobot 25%). Kemekeu (2017a). 2. Penyaluran Dana Desa Untuk mewujudkan prinsip transparansi dan akuntabilitas serta memastikan capaian penggunaannya, proses penyaluran DD mempersyaratkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi terlebih dahulu, baik oleh pemerintah desa sebagai pengguna maupun oleh kabupaten/kota. Ketentuan terkait penyaluran DD diatur dalam PMK No. 225 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Dalam PMK No 225 Tahun 2017 juga diatur mengenai tahapan serta persyaratan dalam penyaluran DD yang dilakukan secara bertahap dari RKUN (Rekening Kas Umum Negara) ke RKUD (Rekening Kas Umum Daerah), hal ini tercantum dalam pasal 99 ayat 2 sebagai berikut: a. Tahap I paling cepat Bulan Januari paling lambat minggu ketiga bulan Juni sebesar 20%, dengan persyaratan berupa surat pemberitahuan bahwa pemerintah daerah yang bersangkutan telah menyampaikan peraturan daerah mengenai APBD tahun anggaran berjalan dan peraturan bupati/wali kota mengenai tata cara pembagian dan penetapan rincian DD setiap desa. b. Tahap II paling cepat bulan Maret dan paling lambat minggu keempat bulan Juni sebesar 40% dengan persyaratan berupa laporan realisasi penyaluran dana desa tahun anggaran sebelumnya dan laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output DD tahun anggaran sebelumnya. c. Tahap III paling cepat bulan Juni sebesar 40% dengan syarat menyerahkan laporan realisasi penyaluran DD sampai dengan tahap II 36 dan laporan konsolidasi realisasi penyerapan dan capaian output DD sampai dengan tahap II. Sedangkan penyaluran DD dari RKUD ke RKD (Rekening Kas Desa) dalam pasal 102 ayat 2 dilaksanakan oleh bupati/wali kota dengan persyaratan sebagai berikut: a. Tahap I berupa peraturan desa mengenai APB Desa dari Kepala Desa b. Tahap II berupa laporan realisasi penyerapan dan capaian output DD tahun anggaran sebelumnya dari kepala desa c. Tahap III berupa laporan realisasi penyerapan dan capaia outpur DD sampai tahap II dari kepala desa. 3. Prioritas Penggunaan Dana Desa Dalam pelaksanaannya, DD harus diarahkan agar sejalan dengan sasaran pembangunan wilayah perdesaan yang tercantum didalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) untuk tahun 2015-2019, yang menyebutkan bahwa “negara perlu melaksanakan pengentasan desa tertinggal demi terwujudnya kemandirian desa.” Kemenkeu (2017a). Sehingga meskipun pada dasarnya penggunaan DD merupakan hak dari pemerintah desa sesuai dengan kewenangan dan prioritas kebutuhan masyarakat desa setempat dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan, pemerintah pusat menetapkan prioritas penggunaan DD. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya mengawal dan memastikan capaian sasaran pembangunan desa. Dalam PMK Nomor 225 Tahun 2017, prioritas pelaksanaan kegiatan yang didanai oleh DD diutamakn dilakukan secara swakelola dengan menggunakan sumber daya atau bahan baku lokal dan diupayakan lebih banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat setempat. Untuk memenuhi batasan prioritas penggunaan DD tersebut Kemenkeu menyarankan desa-desa untuk menjalankan program padat karya dengan skema cash for work. Kemenkeu (2017b:37) menyebutkan bahwa program padat karya pada dasarnya merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang bersifat 37 poduktif dan berasaskan pemanfaatan tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Sasaran dari program ini adalah sebagai berikut: a. Pengangguran, yaitu penduduk yang tidak punya pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan b. Setengah pengangguran, yaitu penduduk yang bekerja dibawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu) dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan. c. Penduduk misikin, yaitu penduduk yang rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan Sedangkan untuk jenis kegiatannya sendiri bisa berupa pembuaan dan atau rehabilitasi infrastruktur sederhana, pemanfaatan lahan tidur untuk produksi pertanian, perkenbunan, peternakan dan perikanan serta kegiatan produktif lainnya seperti memanfaatkan dan mengoptimalkan sumber daya lokal yang sifatnya berkelanjutan. Sedangkan yang dimaksud dengan skema cash for work sendiri menurut Kemenkeu (2017b) adalah sebagai berikut: skema cash for work merupakan kegiatan padat karya yang dilakukan dengan harapkan bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dengan memberkan honorium/upah langsung secara tunai kepada tenaga kerja yang terlibat secara harian maupun mingguan dalam rangka memperkuat daya beli masyarakat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dengan diterapkannya skema ini maka DD tidak akan mengalir keluar desa tapi justru berputar di desa itu sendiri, sehingga memberikan sebesarbesarnya kesejahteraan masyarakat di desa setempat. 4. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Dana Desa Untuk dapat melaksanakan pengelolaan DD dengan baik, maka pemerintah desa perlu menerapka prinsip-prinsip dari pelaksanaan pengelolaan DD itu sendiri, berikut ini adalah prinsip-prinsip yang harus dilaksanakan oleh pemerintah desa yang dipaparkan oleh Kemenkeu (2017b): a. Bersifat swakelola, artinya perencanan dan pelaksanaan kegiatan dilakukan secara mandiri oleh desa dan tidak dikontrakkan kepada pihak 38 ketiga/kontraktor swasta, maupun kontraktor dari kota atau diluar daerah bersangkutan. b. Menggunakan sebanyak-banyaknya tenaga kerja setempat atau bersifat padat karya sehingga bisa menyerap tenaga kerja dan memberikan pendapatan bagi mereka yang bekerja. c. Menggunkan bahan baku atau material setempat agar dapat menumbuh kembangkan usaha kegiatan ekonomi produktif desa, sehingga dapat memberikan penghasilan kepada masyarakat yang memiliki bahan baku, seperti batu, kayu, bambu dan sebagainya. 5. Pengawasan Dana Desa Agar dana desa dapat mencapai tujuannya, pemerintah pusat melalui tiga kementerian bersinergi untuk melakukan pemantauan dana desa. Tiga kementrian tersebut adalah Kementrian Keuangan, Kementrian dalam negeri dan Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Ranah kerja dari masing-masing kementrian adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Ranah Kerja Tiga Kementrian dalam Pemantauan Dana Desa Kementrian Desa, Kementrian Keuangan Kementrian dalam Pembangunan Daerah negeri Tertinggal dan Transmigrasi Penganggaran dana desa Capacity building bagi Penetapan dalam APBN aparat desa umum pedoman dan prioritas penggunaan dana desa Penetapan rincia alokasi Penyelenggaraan Pengadaan dana desa pada peraturan pemerintahan desa pendamping untuk desa bupati/wali kota Penyaluran dana desa Pengelolaan, Penyelenggaraan tenaga 39 Kementrian Desa, Kementrian Keuangan Kementrian dalam Pembangunan Daerah negeri Tertinggal dan Transmigrasi berdasarkan kinerja penatausahaan, musyawarah desa yang penyerapan dan capaian pelaporan, dan partisipatif output dari RKUN ke pertanggungjawaban RKUD dan dari RKUD keuangan desa ke RKD Pemantauan dan evaluasi Penguatan desa terhadap Pendirian, penggunaan dana desa akss, aset dan perencanaan usaha, kepemilikan lahan dan pengelolaan, kerjasama pemanfaaatannya bagi dan kesejahteraan masyarakat Pelaksanaan peran aparat Penyusunan pengawas internal pemda Pengenaan sanksi pengurusan, pembubaran BUMDes dokumen Pembangunan perencanaan desa kawasan pedesaan tiak Kewenangan berdasarkan dipenuhinya porsi alokasi hak asal usul dan dana desa minimal 10% kewenangan skala lokal dari DAU dan DBH desa dalam APBD Pelaksanaan capacity Tata cara penyusunan building bagi aparatdesa pedoman teknis peraturan dan aparat pengelolaan desa keuangan desa Sumber: Buku Saku Dana Des, 2017 Selain pemantauan, DD juga perlu diawasi dalam pelaksanaannya. Ada cukup banyak pihak yang dilibatkan dalam pengawasan DD, baik itu secara langsung maupun secara tidak langsung. Pihak yang memiliki amanah melakukan pengawasan akan disajikan dalam gambar berikut ini: 40 Masyarakat KPK BPD Dana Desa Kecama tan BPK APIP Gambar 2.3 Pengawas Dana Desa Sumber: Puspawijaya & Siregar, 2016 Dibawah ini masing-masing amanah yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut dalam pengawasan dana desa dan keuangan desa secara umum: Tabel 2.3 Tugas Pihak-Pihak yang Berwenang Melakukan Pengawasan Dana Desa No 1 Pengawas Masyarakat Sasaran Pengawasan Pemantauan Dasar Hukum pelaksanaan UU No 6 Tahun pembangunan desa, 2014 Pasal 82 Penyelenggaraan pemerintahan desa pembangunan desa 2 dan PP No 47 Tahun 2015 Pasal 127 Badan Permusyawaratan Pengawasan kinerja kepala UU No 6 Tahun Desa (BPD) desa 2014 Pasal 61 PP No 47 Tahun 2015 Pasal 43 3 Kecamatan Pengawasan dssa melalui PP No 47 Tahun kegiatan fasilitasi 4 Aparat Pengawas Intern Pengawasan Pemerintahan (APIP) 2015 Pasal 154 atas UU No 6 Tahun pengelolaan keuangan desa 2014 Pasal 112 sd 41 No Pengawas Sasaran Pengawasan Dasar Hukum pendayagunaan aset desa 115 serta penyelenggaraan pemerintahan desa Pemendagri 20 tahun 2018 pasal 44 5 Badan Pemeriksa Pemeriksaan Keuangan (BPK) atas UU No 15 Tahun pengelolaan dan tanggung 2004 pasal 2 jawab keuangan negara 6 Komisi Pemberantas Melakukan Korupsi (KPK) penyelidikan, UU No 30 Tahun penyidikan dan penuntutan 2002 terhadap tindak pidana korupsi serta melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. Sumber: Puspawijya& Sigerar, 2016 Proses pengawsan dilakukan secara berjenjang mulai dari pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat setempat sebagai pihak yang dapat melihat secara langsung proses pelaksanaan pengelolaan DD, selanjutnya oleh BPD yang secara intens mengawasi kinerja kepala desa secara keseluruhan termasuk dalam hal pengelolaan DD. Camat juga memiliki peran serta dalam pengawasan melalui kegiatan fasilitasi, selanjutnya ketika pengelolaan DD sudah teridentifikasi tindak pidana korusi maka pengawasan akan dipegang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sedangkan APIP dan BPK melakukan pengawasan secara nasional terhadap keuangan desa, khusunya dana desa. G. Hasil Penelitian Terdahulu Sebagai Acuan dalam penelitian ini, dikemukakan pula penelitian- penelitian sebelumnya dengan tema Akuntabilitas dan Dana Desa, yaitu: 42 Tabel 2.4 Hasil Penelitian Terdahulu No Peneliti Judul 1 Gayatri, Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Dana Desa untuk Mendorong Kemandirian Masyarakat Pedesaan Made Yeni Latrini dan Ni Luh Sari Widhiya ni (2017) 2 Dwi Febri A dan Taufik Akuntabilitas Pengelolaan Alokasi Dana Desa di Kabupaten Jember Kurroh man (2014) 3 Lina N Nafidah dan Nur Anisa (2015) Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Desa di Kabupaten Jombang Keterbatasan Penelitian Penelitian ini Penelitian ini membuktikan terbatas atas desa yang bahwa ada di terdapat Kabupaten hubungan Klungkung. antara penerapan tranparansi dan akuntabilitas dengan pengelolaan keuangan dana desa dan hubungan antar variabel tersebut adalah kuat. Penelitian ini Penelitian ini membuktikan lebih mem fokuskan bahwa kepada perencanaan pertanggungj dan implementasi awaban terutama dari dari ADD segi fisiknya sudah mengindikasi saja. kan manajemen yang akuntabel dan transparan. Penelitian ini Penelitian membuktikan ini terbatas bahwa pada berdasarkan dilihatnya Peraturan akuntabilitas Bupati dari ada atau Nomor 33 tidaknya Tahun 2015 bukti Hasil Rekomendasi Penelitian Diharapkan pada penelitian berikutnya perlu diperluas untuk seluruh desa yang ada di Bali sehingga dapat dibuat suatu generalisasi atas penerapan transparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan keuangan dana desa. Diharapkan pada penelitian selanjutnya lebih banyak membahas tentang perencanaan dan pelaksanaannya dan tidak terfokus pada pertanggung jawabannya. Diharapkan pada penelitian selanjutnya dilaksanakan triangulasi untuk memperkuat validitas penelitian 43 No 4 Peneliti Siti Ainul Wida, Djoko Supat moko dan Taufik Kurroh man (2017) Judul Akuntabilitas Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa-Desa Kecamatan Rogojampi Kabupaten Banyuwangi Hasil tentang pengelolan Keuangan Desa secara garis besar pengelolaan Keuangan Desa telah mencapai akuntabilitas. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahap perencanaan dan pelaksanaan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku dan pengelolaann ya telah dilakukan secara akuntabel dan transparan. Untuk tahap pengawasan masih belum berjalan dengan baik karena kurangnya transparansi terhadap masyarakat. Sedangkan untuk tahap pertanggungj awaban juga belum berjalan Keterbatasan Penelitian dokumennya saja Rekomendasi Penelitian Penelitian ini hanya membahas mengenai Akuntabili tas Alokasi Dana Desa saja, dan tidak membahas mengenai Akuntabilita s pendapatan desa lainnya seperti Pendapatan Asli Desa, Dana Desa, BUM Desa dan lain – lain. Untuk penelitian selanjutnya dapat disarankan untuk membahas mengenai akuntabilitas pengelolaan desa lainnya, seperti Pendapatan Asli Desa, Dana Desa, BUMDesa dan lain– lain. 44 No Peneliti Judul 5 Neny Tri Peran Perangkat Indriana Desa Dalam Akuntanbi sari litas (2017) Pengelolaan Keuangan Desa (Studi Pada Desa Karangsari Kecamatan Sukodono) 6 Astri Juainita Makalal ag, Grace B Nangoi dan Herman Kara moy (2017) Akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa di Kecamatan Kotamobagu Selatan Kota Kotamobagu Hasil dengan baik dikarenakan Sumber Daya Manusia tim pelaksana dalam membuat laporan administrasi yang masih kurang. Penelitian ini menunjukan bahwa perangkat desa sangat berperan dalam pengelolaan keuangan desa dan pengelolaan keuangan telah sesuai dengan Permendagri no. 113 2014. Penelitian ini menunjukkan bahwa akuntabilitas pengelolan dana desa di Kecamatan Kotamobagu Selatan Kota Kotamobagu telah dilaksanakan berdasarkan prinsip transparan, akuntabel dan partisipatif. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini terbatas pada sempitnya lokasi penelitian dan sedikitnya variabel yang digunakan. Waktu yang singkat untuk melakukan penelitian yaitu kurang lebih 2 (dua) bulan. Penelitian ini difokuskan pada pelaporan dan pertanggungj awaban berdasarkan latar Rekomendasi Penelitian Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat memperluas lokasi penelitian di beberapa tempat dan menambah variabel penelitian yang akan diteliti sehingga dapat membandingkan dengan hasil pengujian yang ditemukan sebelumnya. Diharapkan dalam penelitian selanjutnya penelitian tidak hanya berfokus pada pelaporan saja tapi pada perencanaan dan pelaksanaannya juga. 45 No 7 Peneliti Fadhil Azhar (2017) Judul Hasil Akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa (Studi Kasus di Desa Uekuli Kecamatan Tojo Kabupaten Tojo UnaUna) Penelitian ini menunjukkan bahwa untuk perencanaan Alokasi Dana Desa sudah menampakka n adanya pengelolaan yang akuntabel dilihat dari kelengkapan dokumen serta transparansi informasi kepada masyarakat. Pelaksanaan juga dapat dikatakan akuntabel dengan melihat pengalokasia n yang sudah sesuai prioritasnya. Sedangkan dalam pertanggungj awaban dilihat secara hasil fisik sudah menunjukkan pelaksanaan yang akuntabel dengan Keterbatasan Penelitian belakang masalah Rekomendasi Penelitian Waktu penelitian yang singkat menyebabka n kurangnya informasi yang bisa didapatkan dari observasi secara langsung di lapangan, kegiatan seperti musyawarah desa, pembanguna n fisik dan kegiatan pemerintah Desa Uekuli terkait pengelolaan Dana Desa lainnya tidak sempat diikuti secara langsung,pe neliti hanya dapat mengobserv asi dan mendokume ntasikan hasilnya. Waktu penelitian sebaiknya diperpanjang sehingga peneliti bisa mendapatkan lebih banyak informasi khususnya informasi dari observasi secara langsung Sebaiknya menambahkan lebih banyak informan, semakin banyak informasi yang diperoleh dari informan dapat membantu peneliti dalam penyusunan hasil penelitian dan penarikan kesimpulan. 46 No 8 Peneliti Arista Widiyan ti (2017) 9 10 Judul Akuntabilitas dan Transparasi Pengelolaan Alokasi Dana Desa (Studi Pada Desa Sumberejo dan Desa Kandung di Kecamatan Winongan Kabupaten Pasuruan) Analisis Akuntabilitas (2016) Dalam Pengelolaan Aset Desa Ditinjau Dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Ri Nomor 1 Tahun 2016 (Studi Kasus di Kecamatan Tompobulu Kabupaten Bantaeng) Akuntabilitas Puteri Pengelolaan Ainurroh Alokasi Dana Desa Di ma Kecamatan Roman Panarukan Musliha Hasil laporan pertanggungj awaban yang lengkap. Penelitian ini menunjukan bahwa secara garis besar pengelolaan alokasi dana desa di Desa Sumberejo sudah akuntabel dan transparan pada tahap penatausahaa n, pelaporan dan pertanggungj awaban. Penelitian menunjukkan bahwa ke tiga desa yang berada di Kecamatan Tompobulu telah sesuai dengan permendagri nomor 1 tahun 2016 tentang pengelolaan asset desa. Penelitian ini yaitu menunjukkan bahwa sistem akuntabilitas perencanaan Keterbatasan Penelitian Rekomendasi Penelitian Penelitian hanya membahas pengelolaan teknis keuangan desa yang di bandingkan kesesuaiann ya dengan Pemandagri 113 tahun 2014 Saran bagi penelitian selanjutnya adalah supaya membahas komponen pengelolaan keuangan secara detail dan medalam termasuk tahap pembinann dan proses pengenaliannya Penelitian ini hanya menggunaka n empat informan. Oleh karena itu, untuk penelitian selanjutnya melibatkan lebih banyak informan untuk menjamin keakuratan informasi. 1. Jam kerja yang diterapkan oleh perangkat desa yang 1. Peneliti selanjutnya sebaiknya mengkoordinasi kan terlebih dahulu kepada 47 No Peneliti tis (2015) 11 Mohama d Azizal bin Abd Aziz, Md. Mahmud ul Alam dan Jamaliah Said (2015) Judul Hasil Kabupaten Situbondo Tahun 2014 dan pelaksanaan telah menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Public Accountabilit y System: Empirical Assessment of Public Sector of Malaysia This research show that 87.3% of the respondents mentioned that overall they practice accountabilit y in their Department and the accountabilit y in the financial and information system schemes is not strong enough. Keterbatasan Penelitian bersangkuta n kurang efektif sehingga peneliti mengalami kesulitan saat melakukan wawancara kepada informan. 2.Kurangnya informan dalam pe ngumpulan data melalui wawancara yaitu masyarakat desa. The sample in this study amounted to only 109 respondents from around 682 departments that were made into populations. Rekomendasi Penelitian para informan mengenai waktu yang akan digunakan untuk proses wawancara. 2. Peneliti selanjutnya disarankan untuk menambahkan informan yaitu masyarakat desa dalam pengumpulan data melalui wawancara untuk dapat menilai pertanggungjawa ban pemerintah desa dalam pengelolaan Alokasi Dana Desa. The research sample is adjusted again so that it can reach the maximum level of validity. 48 No 12 Peneliti Teresa M. Harrison dan Djoko Sigit Sayogo (2014) Keterbatasan Penelitian Transparency This research First, while , show that the data participation, democracy, produced by and human the Open accountability capital, and Budget practices in budget Partnership open document is of high government: disclosures quality, it is A are limited to the comparative consistently number of study related to countries transparency, that accountabilit participate y, and the in the Open involvement Budget of the Survey Supreme Audit Second, we Authority need to with the emphasize public. Ethat our data participation is and correlational commitment , not causal, to the Open which means Government that the Partnership direction of are each relationships related to cannot be particular inferred, no measures of matter how transparency tempting. and However, we accountabilit are also y. cognizant of the fact that histories, demographic characteristi cs, traditions, and government experiences Judul Hasil Rekomendasi Penelitian first, increasing the number of participating countries second, the research was conducted with case studies 49 No 13 Peneliti Ampa Nasima Richard (2018) Judul Transparancy and Accountabilit y among Public Sector Entities in Bukvu (East of DRC) Keterbatasan Penelitian in using ICTs play out in somewhat uniqueways for countries that are democratizin g and moving toward open government, which only case studies can illuminate for us. This research The study show that also relied ransparency on data had a collected positive and from only significant one source. effect on The Raccountabilit squares y; whereas derived from access to the information hierarchical had a regression positive but were all not below 50%. significant This effect on suggests that accountabilit accountabilit y. y is a Consequently complex , the concept that relationship cannot be between only transparency, explained by access to transparency information and access and to accountabilit information. Hasil Rekomendasi Penelitian Future studies can try to address this issue by collecting data from various sources to provide robust measures of transparency, access to information and accountability. Future studies can explore other variables that may explain accountability. 50 No 14 Peneliti Monir Mir dan Swapan Kumar Bala (2014) Judul NGOAccount ability in Bangladesh: Two Contras ting Cases Hasil y was not significant. It was therefore concluded that transparency alone was sufficient to explain accountabilit y among Public Sector Entities in Bukavu. The findings from the case studies suggest that NGOs which depend on foreign funding spend more time and resources in fulfilling their upward hierarchical accountabiliti es compared to NGOs which are funded from their own sources. As a result, the accountabilit y obligations of foreignfunded NGOs are not met as effectively as NGOs which are Keterbatasan Penelitian This study reviewed only two NGOs Rekomendasi Penelitian It is expected that further research can examine more than two objects that have different characteristics from the objects in this study. 51 No Peneliti Judul Hasil Keterbatasan Penelitian Rekomendasi Penelitian funded from their own sources. Dari fenomena dan masalah yang dijabarkan pada BAB I serta didukung oleh penelitian terdahulu yang menyarankan untuk kembali meneliti topik mengenai akuntabilitas maka peneliti tertarik untuk meneliti topik tersebut di Wilayah Jawa Barat. Selain itu pengambilan topik akuntabilitas didasarkan pada pentingnya pertanggungjawaban yang dilakukan oleh sebuah organisasi sektor publik untuk memenuhi kewajibannya yaitu melaksanakan amanah masyarakat dengan tata kelola yang baik (good governance). Dalam beberapa penelitian terdahulu, variabel akuntabilitas disebutkan dapat mewakili variabel-variabel lainnya seperti transparansi, partisipasi, efektifitas maupun efisiensi. Hal ini didasari karena akuntabilitas publik bisa tercipta jika asas transparansi, partisipasi, efektifitas dan efisiensi dapat dilaksanakan dalam pengelolaan organisasi sektor publik khususnya dalam pengelolaan keuangannya. Selanjutnya belum adanya penelitian serupa di Wilayah Jawa Barat juga memperkuat keterbaharuan penelitian ini. Maka dari itu peneliti memilih Desa Cikoneng yang berada di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat, yang merupakan salah-satu desa dengan IDM terbesar di Kabupaten Ciamis. Sehingga dengan diketahuinya akuntabilitas pengelolaan Dana Desa di Desa Cikoneng, diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pengelolaan Dana Desa bagi desa-desa lain. Perbedaan yang paling menonjol dari penelitian ini adalah penggunaan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang terfokus pada satu desa, penggunaan triangulasi dalam penelitian ini juga diharapkan akan mampu memperbaiki penelitian-penelitian sebelumnya yang masih terbatas pada pelibatan infoman sehingga menimbulkan bias yang cukup besar terhadap hasil penelitian.