Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Ulumul Quran

Ulumul Quran Praktis (Pengantar untuk Memahami al­Quran) Karya Drs. Hafidz Abdurrahman, MA Editor: Yogi Yogaswara Setting/Layout: Ahmad H. Desain Cover: Tito F. Hidayat Diterbitkan oleh: CV IDeA Pustaka Utama Jl. Raya Semplak No. 221 Bogor 16311 Telepon/Faksimil: 0251­511180 email: idea­pustaka@indo.net.id Cetakan 1, Rajab 1424 H/September 2003 M Pendahuluan Al-Qur’an memuat wahyu Allah SWT, Pencipta alam semesta, yang ditujukan kepada ummat manusia. Ini merupakan message dari Allah kepada manusia. Karena itu, al-Qur’an menjadi sangat urgen bagi kita. Untuk berpegang teguh pada message tersebut, yang dibutuhkan pertama kali tentu memahami kandungannya. Untuk tujuan itulah, maka kandungan al-Qur’an tersebut harus dipelajari dengan mendalam. Kenyataannya, banyak orang telah menghabiskan banyak hidupnya untuk mengkaji al-Qur’an; membaca dan merefleksikannya dalam rangka membangun aspek fisik dan spirit mereka. Mereka juga telah menemukan makna dan implikasi baru untuk kepentingan mereka sendiri. Yang kedua, beberapa pengetahun yang secara spesifik mengenai pembahasan tersebut, yang berkaitan dengan message tadi adalah juga dibutuhkan untuk secara penuh memahami makna dan implikasinya. Meski, beberapa bagian dari pengetahuan spesifik ini bisa diambil dari al-Qur’an itu sendiri, namun bagian lain dari pengetahuan tersebut hanya bisa ditemukan melalui kajian dan research yang mendalam. Seorang Muslim sejak dini dituntut mengaplikasikan, bukan hanya message dari Allah (al-Qur’an), tetapi juga setting dan framework (kerangka kerja)-nya. Karena itu, pendekatan yang seharusnya dilakukan terhadap al-Qur’an, bisa dideskripsikan melalui tiga tahapan: Pertama, menerima message al-Qur’an setelah mendengar atau membacanya; Kedua, memahami message al-Qur’an, setelah merefleksikan dan mengkaji maknanya; Ketiga, mengaplikasikan message al-Qur’an ---sebagai sumber esensial bagi kehiudupan masyarakat--- dengan mengatur kehidupan pribadi, masyarakat dan negara sesuai dengan message tersebut. Disiplin ilmu ---yang disebut Ulûm al-Qur’ân--- ini pada akhirnya memang bisa digunakan sebagai sebuah cara untuk mewujudkan tahapan kedua di atas; memahami message al-Qur’an, setelah memahami setting dan realitasnya. Berdasarkan definisi umum, Ulûm al-Qur’ân mengemukakan kajian yang berkaitan dengan kitab wahyu (book of revelation) yang diturunkan kepada Nabi yang terakhir, Muhammad saw. yang berkaitan dengan: 1. kewahyuannya 2. pengumpulannya 3. sistem dan susunannya 4. penulisannya 5. informasi seputar sebab dan waktu pewahyuannya 6. mengenai mana yang diwahyukan di Makkah dan Madinah 7. mengenai nâsikh dan mansûkh 8. mengenai muhkam dan mutasyâbih Istilah Ulûm al-Qur’ân tersebut juga meliputi kajian yang relevan dengan al-Qur’an, seperti: 1. penjelasan surat dan ayat oleh Nabi sendiri, para sahabat beliau dan tabiin, serta para pakar tafsir al-Qur’an 2. gaya penafsiran 3. mazhab ahli tafsir dan buku-buku mereka. Dengan demikian, Ulûm al-Qur’ân telah didefinisikan sebagai pembahasan yang berkaitan dengan al-Qur’an, dari aspek turunnya, kemukjizatan, pengumpulan, sistematika, nâsikh dan mansûkh, bacaan dan pembahasan-pembahasan lain yang telah populer di kalangan sahabat. Meski, ketika itu ilmu tersebut belum dibukukan. Kemudian lahir generasi tabiin, sementara ilmu tersebut masih tetap seperti itu; diperoleh melalui periwayatan dan penyampaian lisan, bukan tulisan maupun dokumentasi, hingga dilakukan pembukuan terhadap bagian-bagian ilmu tersebut yang pertama. Adalah Shufyân bin ‘Uyainah, Wakî’ bin al-Jarrâh dan Syu’bah bin al-Hajjâj orang-orang yang bangkit dan membukukan sejumlah riwayat tafsir yang diriwayatkan dari sejumlah sahabat dan tabiin senior kepada kita. Dengan begitu, upaya tersebut merupakan gerakan pembukuan ilmu tafsir yang pertama. Kemudian lahir al-Farrâ’ (w. 207 H) yang membukukan kitabnya, Ma’ânî al-Qur’ân, Yahyâ bin Salâm, dan Muhammad bin Jarîr at-Thabari (w. 310 H). Dalam mukaddimah tafsirnya, at-Thabari telah membahas kajian seputar Ulûm al-Qur’ân seperti pembahasan mengenai Tujuh Dialek (Ahruf Sab’ah), kemudian setelah itu diikuti dengan kitab-kitab tafsir, baik bi alma’tsûr (riwayat), ma’qûl (analisis tekstual) maupun kompromi antara kedua pendekatan tersebut. Inilah yang berkaitan dengan ilmu tafsir. Adapun yang berkaitan dengan Ulûm al-Qur’ân, dapat dikatakan bahwa tidak seorang pun bisa menemukan pembukuan mengenai disiplin ilmu ini sebagai sebuah kesatuan integral, selain menjelaskan beberapa aspek dan bagiannya. Adalah ‘Alî al-Madini (w. 234 H), guru al-Bukhâri, orang yang pertama kali menulis Asbâb Nuzûl al-Qur’ân, kemudian Abû ‘Ubayd bin Salâm (w. 224 H) menulis tentang an-Nâsikh wa alMansûkh. Di antara penulis Ulûm al-Qur’ân pada abad ke-4 H adalah Abû Bakar as-Sajsatâni yang telah menulis tentang Gharîb al-Qur’ân. Pada abad ke-5 H, ‘Alî bin Sa’îd al-Hawfî telah menulis I’râb alQur’ân. Kemudian pada abad ke-6 H, as-Suhayli telah menulis tentang Mubhamât al-Qur’ân. Setelah itu, berbagai karya dalam tiap aspek keilmuan ini berkembang, seperti Qirâ’ât, Asbâb an-Nuzûl, I’jâz, Amtsâl, Hujah dan perdebatan al-Qur’an. Az-Zarqâni berpendapat, bahwa istilah ini pertama kali muncul pada abad ke-4 H, ketika 'Alî bin Ibrâhîm bin Sa'îd yang terkenal dengan nama aj-Jawfî (w. 330 H) menulis kitab, al-Burhân fi 'Ulûm al-Qur'ân ---tentu bukan kitab al-Burhân-nya az-Zarkasyî--yang ada hingga saat ini sebanyak 15 juz. Dari metodologinya, tampaknya buku ini merupakan kitab tafsir. Meski di sela-sela penafsirannya, beliau mengemukakan beberapa mutiara ilmu alQur'an, yang tampaknya beliau mengemukakannya dengan detail dalam sebuah pengantar tafsirnya yang hilang dengan juz ke-15 bagian pertama. Belum pernah sampai ke tangan kami, selain bagian akhir dari kitab tersebut. Pada abad ke-6 H, Ibn al-Jawzî menulis kitabnya, Funûn alAfnân fî 'Ajâ'ib 'Ulûm al-Qur'ân, yang telah digambarkan oleh asSuyuthi, bahwa beliau belum pernah membaca kitab seperti itu, ataupun yang mirip dengan itu, sebelumnya. Kitab tersebut ada di Dâr al-Kutub al-Mishriyyah; kitab yang ukurannya kecil, di dalamnya ada sejumlah pembahasan yang ringkas, seperti jumlah kata alQur'an dan huruf-hurufnya. Kitab ini telah diedit oleh Muhammad Ibrahîm Salîm, dan diterbitkan oleh Maktabah as-Siba'i di Riyadh. Saya mempertegas, bahwa apa yang telah digambarkan oleh asSuyuthi kepada kita dari buku tersebut masih tetap hilang. Pada abad ke-7 H, 'Ilm ad-Dîn as-Sakhâwi (w. 641 H) telah menulis kitabnya, Jamâl al-Qurrâ' yang telah diedit oleh teman saya, 'Abd al-Karîm az-Zubaydi, dan diterbitkan di Beirut. Memasuki abad ke-8 H, muncullah kitab al-Burhân fi Ulûm alQur'ân, karya az-Zarkasyî (w. 794 H), yang merupakan kitab terluas pembahasannya di bidang ilmu al-Qur'an. Kitab ini terdiri dari 4 Jilid. Kitab ini telah dibacakan oleh Muhammad bin Sulaymân alKâfîji (w. 873 H) pada abad ke-8 H. Hanya saja, kitabnya --sebagaimana yang dikemukakan oleh as-Suyuthi--- belum bisa mengobati dahaga, dan belum mampu memberikan panduan ke jalan yang dimaksud. Jalâluddîn al-Balqîni (w. 911 H), kemudian membacanya kembali, sebagaimana dalam kitabnya Mawâqi' al-Ulûm min Mawâqi' an-Nujûm. As-Suyûthi (w. 911 H), telah memasukan kitab tersebut dalam kitabnya at-Tahbîr fi 'Ulûm at-Tafsîr, dan menulis kitabnya sendiri yang sangat bermutu: al-Itqân fi Ulûm al-Qur'ân, yang boleh dianggap sebagai master di bidangnya. As-Suyuthi, sebenarnya juga banyak mengambil dari al-Burhân karya az-Zarkasyî. Beliau boleh dikatakan mengambil semua bab dan ragam pembahasannya, namun secara ringkas, dan menambahkan ragam pembahasan yang lain, sehingga menjadi delapan. Bab I Al-Qur'an 1. Definisi al-Qur'an 1.1. Konotasi Harfiah Sebagian ulama' bahasa berpendapat, bahwa kata Qur'ân merupakan bentuk Mashdar (kata kerja yang dibendakan), dengan mengikuti standar Fu'lân, sebagaimana lafadz Gufrân, Rujhân dan Syukrân. Lafadz Qur'ân adalah lafadz Mahmûz, yang salah satu bagiannya berupa huruf hamzah, yaitu pada bagian akhir, karenanya disebut Mahmûz Lâm, dari lafadz: Qara'a-Yaqra'[u]-Qirâ'at[an]Qur'ân[an], dengan konotasi Talâ-Yatlu-Tilâwat[an]: membaca-bacaan. Kemudian lafadz tersebut mengalami konversi dalam peristilahan syariat, dari konotasi harfiah ini, sehingga dijadikan sebagai nama untuk bacaan tertentu, yang dalam istilah orang Arab disebut: Tasmiyyah al-maf'ûl bi al-mashdar, menyebut obyek dengan Mashdarnya. Konotasi harfiah seperti ini dinyatakan dalam firman Allah SWT. ُ‫(ِﺇﻥﱠ ﻋَ َﻠ ْﻴﻨَ ﺎ ﺟَ ْﻤﻌَ ﻪ‬16)ِ‫]ﻻَ ُﺗﺤَ ﱢﺮﻙْ ﺑِ ﻪِ ﻟِﺴَ ﺎ َﻧﻚَ ِﻟ َﺘ ْﻌﺠَ ﻞَ ﺑِ ﻪ‬ [(18)ُ‫(ﻓَﺈِﺫَﺍ َﻗﺮَ ْﺃﻧَﺎﻩُ ﻓَﺎ ﱠﺗﺒِﻊْ ُﻗﺮْءَﺍﻧَﻪ‬17)ُ‫ﻭَ ُﻗﺮْءَﺍﻧَﻪ‬ Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)-nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. (Q.s. al-Qiyâmah: 16-17) Al-Bukhâri dan Muslim telah meriwayatkan sebab turunnya ayat ini, yang mengindikasikan konotasi harfiah seperti ini. Dari Ibn 'Abbâs berkata: 4 ‫ﺤ ﱢﺮﻙْ ﺑِﻪِ ﻟِﺴَﺎ َﻧﻚَ [ ﻗَﺎﻝَ ﻛَ ﺎﻥَ ﺍﻟ ﱠﻨﺒِ ﱡ‬ ‫ﻲ‬ َ ‫ﺟﻞﱠ ] ﻻَ ُﺗ‬ َ ‫ﻋﺰﱠ َﻭ‬ َ ِ‫ﻓِﻲ َﻗﻮْﻟِﻪ‬ ُ‫ﺟ ْﺒﺮِﻳ ﻞُ ﺑِ ﺎ ْﻟ َﻮﺣْﻲِ ﻛَ ﺎﻥَ ﻣِﻤﱠ ﺎ ُﻳﺤَ ﱢﺮﻙُ ﺑِ ﻪِ ﻟِﺴَ ﺎﻧَﻪ‬ ِ ِ‫ﺇِﺫَﺍ ﻧَ َﺰ َﻝ ﻋَ َﻠﻴْ ﻪ‬ ُ‫ﻭَﺷَ َﻔ َﺘﻴْﻪِ َﻓﻴَﺸْ ﺘَﺪﱡ ﻋَ َﻠﻴْ ﻪِ َﻓﻜَ ﺎﻥَ ﺫَﻟِ ﻚَ ُﻳﻌْ ﺮَﻑُ ِﻣﻨْ ﻪُ ﻓَ َﺄ ْﻧ َﺰﻝَ ﺍﻟﻠﱠ ﻪ‬ ‫َﺗﻌَ ﺎﻟَﻰ ] ﻻَ ُﺗﺤَ ﱢﺮﻙْ ﺑِ ﻪِ ﻟِﺴَ ﺎ َﻧﻚَ ِﻟ َﺘ ْﻌﺠَ ﻞَ ﺑِ ﻪِ [ َﺃﺧْ ﺬَﻩُ ] ِﺇﻥﱠ ﻋَ َﻠ ْﻴﻨَ ﺎ‬ ُ‫ﺟَ ْﻤﻌَ ﻪُ ﻭَ ُﻗﺮْﺁﻧَ ﻪُ [ ِﺇﻥﱠ ﻋَ َﻠ ْﻴﻨَ ﺎ َﺃﻥْ َﻧﺠْ َﻤﻌَ ﻪُ ﻓِ ﻲ ﺻَ ْﺪ ِﺭﻙَ ﻭَ ُﻗﺮْﺁﻧَ ﻪ‬ ] ُ‫ﺳﺘَﻤِﻊْ ﻟَﻪ‬ ْ ‫َﻓﺘَ ْﻘ َﺮﺅُﻩُ ] ﻓَﺈِﺫَﺍ َﻗﺮَ ْﺃﻧَﺎﻩُ ﻓَﺎ ﱠﺗﺒِﻊْ ُﻗﺮْﺁﻧَﻪُ [ ﻗَﺎﻝَ َﺃ ْﻧﺰَ ْﻟﻨَﺎﻩُ ﻓَﺎ‬ ُ‫ﺟ ْﺒﺮِﻳ ﻞ‬ ِ ُ‫ِﺇﻥﱠ ﻋَ َﻠ ْﻴﻨَ ﺎ َﺑﻴَﺎﻧَ ﻪُ [ َﺃﻥْ ُﻧ َﺒ ﱢﻴﻨَ ﻪُ ﺑِﻠِﺴَ ﺎ ِﻧﻚَ َﻓﻜَ ﺎﻥَ ﺇِﺫَﺍ َﺃﺗَ ﺎﻩ‬ .ُ‫ﻃ َﺮﻕَ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺫَﻫَﺐَ َﻗﺮَﺃَﻩُ ﻛَﻤَﺎ َﻭﻋَﺪَﻩُ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ْ ‫َﺃ‬ r Tentang firman Allah SWT.: ( ) yang artinya: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca alQur'an. Beliau berkata: Dulu ketika Malaikat Jibril turun menyampaikan wahyu, Nabi saw. menggerakkan lidah dan bibir beliau untuk membaca wahyu tadi sehingga susah menggerakkannya. Keadaan beliau seperti ini dapat dilihat. Maka Allah berfirman: ( )( ) yang artinya: Janganlah kamu menggerakkan lidahmu untuk membacanya dan ingin cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Kamilah yang perlu mengumpulkannya di dadamu dan membacanya, lalu kamu membacanya. ( ) yang artinya: Jika Kami selesai membacanya, maka ikutilah bacaan itu. Kami menurunkannya, maka dengarkanlah baik) yang artinya: Sesungguhnya baik. Firman-Nya ( atas tanggungan Kamilah penjelasannya. Kami menjelaskannya melalui lidahmu. Jika Malaikat Jibril mendatangi beliau, beliau diam dan ketika Malaikat itu, maksudnya Jibril, telah pergi barulah beliau membacanya sebagaimana telah dijanjikan oleh Allah kepada beliau.1 1 Al­Bukhâri, Shahîh, Kitab Bad' al­Wahy, hadits no. 4; Muslim, Shahîh, Kitab Shalât, hadits no. 679. 5 Atsar dari Ibn 'Abbas ini menjelaskan dengan nyata konotasi harfiah tersebut. Disebut demikian, karena al-Qur'an adalah bacaan yang dibaca dengan lisan, sebagaimana disebut juga dengan istilah Kitâb, karena dibukukan dengan menggunakan pena. Penyebutan dengan kedua istilah ini merupakan bentuk penyebutan sesuatu mengikuti konotasi realitas yang ada padanya. 2 As-Syâfi'i berpendapat, dan pendapat ini kemudian dikuatkan oleh as-Suyûthi, bahwa al-Qur'ân adalah nama yang tidak diambil dari pecahan kata manapun (ghayr musytaqq). Ini adalah nama untuk kitab Allah, sebagaimana kitab-kitab samawi yang lain. 3 1.2. Konotasi Syar'i Para ulama' ushul dan kalam telah mendefinisikan al-Qur'an dengan definisi yang beragam. Namun, definisi yang terbaik dan berkualitas adalah: Al-Qur'an adalah kalam Allah yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Muhammad saw. dan dinukil kepada kita secara mutawatir, serta dinilai beribadah ketika membacanya. 4 Batasan: kalam Allah yang berupa mukjizat telah menafikan selain kalam Allah, seperti kata-kata manusia, jin, malaikat, nabi atau rasul. Karena itu, hadits Qudsi ataupun hadits Nabawi tidak termasuk di dalamnya. Batasan: diturunkan kepada Muhammad saw. telah mengeluarkan apa saja yang dikatakan sebagai al-Qur'an, namun tidak mutawatir, seperti bacaan-bacaan Syadz, yang tidak Mutawâtir, yang telah diriwayatkan bahwa bacaan tersebut merupakan al-Qur'an, namun ternyata diriwayatkan secara Ahâd, maka bacaan tersebut 2 Muhammad 'Abdullâh Darrâz, an­Naba' al­'Adhîm, Dâr al­Qalam, Kuwait, hal. 12. 3 As­Suyûthi, al­Itqân, Dâr al­Fikr, Beirut, t.t., juz I, hal. 51. 4 'Ali al­Hasan, al­Manâr, Dâr al­Fikr al­'Arabi, Beirut, cet. I, 1998, hal. 11. 6 tidak bisa dianggap sebagai al-Qur'an. Misalnya, bacaan Ibn Mas'ûd terhadap firman Allah SWT.: [ٍ‫َﺃﻳﱠﺎﻡ‬ ِ‫ﺼﻴَﺎﻡُ ﺛَﻼﺛَﺔ‬ ِ َ‫]ﻓَ َﻤﻦْ َﻟﻢْ َﻳﺠِﺪْ ﻓ‬ Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. (Q.s. al-Mâidah: 89) yang beliau tambahkan dengan: Mutatâbi'ât (berturut-turut), 5 atau bacaan beliau terhadap firman Allah: [‫ﺷ ْﻴﺌًﺎ‬ َ ُ‫]ﻭَءَﺍ َﺗ ْﻴ ُﺘﻢْ ِﺇﺣْﺪَﺍ ُﻫﻦﱠ ِﻗ ْﻨﻄَﺎﺭًﺍ َﻓﻼَ ﺗَ ْﺄﺧُﺬُﻭﺍ ِﻣﻨْﻪ‬ Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun. (Q.s. al-Nisâ': 20) yang juga beliau tambahkan dengan: Min Dzahab[in] (dari emas), setelah lafadz: Qinthâr[an] (harta yang banyak), 6 atau bacaan Ibn 'Abbâs terhadap firman Allah SWT. [ْ‫ﺭ ﱢﺑ ُﻜﻢ‬ َ ْ‫ﻀﻼً ِﻣﻦ‬ ْ َ‫ﺟﻨَﺎﺡٌ َﺃﻥْ َﺗ ْﺒ َﺘﻐُﻮﺍ ﻓ‬ ُ ْ‫] َﻟ ْﻴﺲَ ﻋَ َﻠ ْﻴ ُﻜﻢ‬ Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. (Q.s. al-Baqarah: 198) yang beliau tambahkan dengan: Fî Mawâsim al-Hajj (pada musimmusim haji),7 ataupun bacaan terhadap firman Allah SWT. [‫َﺃﻳْ ِﺪ َﻳﻬُﻤَﺎ‬ ‫ﻄﻌُﻮﺍ‬ َ ‫]ﻭَﺍﻟﺴﱠﺎ ِﺭﻕُ ﻭَﺍﻟﺴﱠﺎﺭِﻗَﺔُ ﻓَﺎ ْﻗ‬ 5 As­Suyûthi, al­Itqân, juz I, hal. Ibn Katsîr, Tafsîr al­Qur'ân al­'Adhîm, Dâr al­Fikr, Beirut, t.t., juz I, hal. 467. 7 As­Suyûthi, al­Itqân, juz I, hal. 83. 6 7 Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya. (Q.s. al-Mâ'idah: 38) yang mengganti: aydiyahumâ (tangan-tangan keduanya), dengan: aymânahumâ (bagian [tangan atau kaki] kanan keduanya).8 Jadi penggantian, penambahan atau yang sejenis dari bacaan-bacaan tersebut tidak layak disebut al-Qur'an, bahkan disebut hadits Nabawi juga tidak boleh, karena bacaan-bacaan tersebut telah dinisbatkan kepada pembacanya. Maka, ia tidak lebih dari sekedar tafsir, atau pandangan bagi orang yang menetapkannya. Mengenai batasan terakhir: dinilai beribadah ketika membacanya telah mengeluarkan hadits Qudsi, meski ia dinisbatkan kepada Allah. Sebab, membacanya tidak bernilai ibadah, sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian. 2. Beda al-Qur'an dengan Hadits dan Hadits Qudsi Pada dasarnya, al-Qur'an dan hadits, masing-masing merupakan wahyu dari Allah. Karena itu, masing-masing harus diyakini bersumber dari Allah. Bedanya, al-Qur'an bersumber dari Allah, baik makna maupun lafadznya, namun tidak dengan hadits. Hadits hanya maknanya yang bersumber dari Allah, sedangkan lafadznya bersumber dari Rasulullah saw. Meski demikian, seorang Muslim wajib mengimani, bahwa al-Qur'an dan hadits, sama-sama merupakan wahyu dari Allah SWT. [(4)‫ﻳُﻮﺣَﻰ‬ ٌ‫(ِﺇﻥْ ُﻫﻮَ ﺇِﻻﱠ َﻭﺣْﻲ‬3)‫ﻋﻦِ ﺍ ْﻟ َﻬﻮَﻯ‬ َ ُ‫ﻄﻖ‬ ِ ‫]ﻭَﻣَﺎ َﻳ ْﻨ‬ dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.s. an-Najm: 3-4) 2.1. Realitas Hadits dan Hadits Qudsi 8 As­Suyûthi, ad­Durr al­Mantsûr, Dâr al­Fikr, Beirut, t.t., juz II, hal. 523. 8 Sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama', bahwa apa yang dinukil dari Nabi saw., baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun pembenaran (taqrîr) adalah hadits. Namun, hadits tersebut kadang dinisbatkan kepada Nabi, sehingga disebut Hadits Nabawi, dan kadang dinisbatkan kepada dzat yang Qudus, sehingga disebut Hadits Qudsi. Perkataan yang dikeluarkan dari Nabi saw. dianggap sebagai hadits nabawi. Misalnya, sabda Nabi saw. َ‫ﻻَ َﺗﻜْ ِﺬﺑُﻮﺍ ﻋَﻠَﻲﱠ ﻓَ ِﺈﻧﱠﻪُ َﻣﻦْ َﻳﻜْﺬِﺏْ ﻋَﻠَﻲﱠ ﻳَﻠِﺞِ ﺍﻟﻨﱠﺎﺭ‬ Janganlah kamu cuba mendustakanku, kerana sesungguhnya orang yang mendustakanku, akan dimasukkan ke dalam api Neraka.9 Namun, jika perkataan tersebut dinisbatkan kepada Allah Azza wa Jalla, maka para ulama' menyebutnya dengan istilah hadits qudsi. Ini, misalnya, seperti sabda Nabi saw. sebagaimana yang diriwayatkan dari Tuhannya, bahwa Dia berfirman: ‫ﺟﻌَ ْﻠﺘُ ﻪُ َﺑﻴْ ﻨَ ُﻜ ْﻢ‬ َ ‫ﺣﺮﱠﻣْ ﺖُ ﺍﻟﻈﱡﻠْ ﻢَ ﻋَﻠَ ﻰ ﻧَﻔْﺴِ ﻲ َﻭ‬ َ ‫ﻋﺒَ ﺎﺩِﻱ ِﺇﻧﱢ ﻲ‬ ِ ‫ﻳَ ﺎ‬ ُ‫ﻋﺒَ ﺎﺩِﻱ ﻛُﱡﻠﻜُ ﻢْ ﺿَ ﺎﻝﱞ ﺇِﻻﱠ ﻣَ ﻦْ ﻫَ َﺪ ْﻳﺘُ ﻪ‬ ِ ‫ﺤﺮﱠﻣً ﺎ ﻓَ ﻼَ َﺗﻈَ ﺎﻟَﻤُﻮﺍ ﻳَ ﺎ‬ َ ‫ُﻣ‬ ُ‫ﻃﻌَ ْﻤﺘُ ﻪ‬ ْ ‫ﻋﺒَ ﺎﺩِﻱ ﻛُﱡﻠﻜُ ﻢْ ﺟَ ﺎﺋِﻊٌ ﺇِﻻﱠ ﻣَ ﻦْ َﺃ‬ ِ ‫ﻓَﺎﺳْ َﺘﻬْﺪُﻭﻧِﻲ ﺃَﻫْ ِﺪ ُﻛﻢْ ﻳَ ﺎ‬ ُ‫ﻋﺒَﺎﺩِﻱ ﻛُﱡﻠﻜُ ﻢْ ﻋَ ﺎﺭٍ ﺇِﻻﱠ ﻣَ ﻦْ ﻛَﺴَ ْﻮﺗُﻪ‬ ِ ‫ﻃﻌِ ْﻤ ُﻜﻢْ ﻳَﺎ‬ ْ ‫ﻄﻌِﻤُﻮﻧِﻲ ُﺃ‬ ْ ‫ﺳ َﺘ‬ ْ ‫ﻓَﺎ‬ ِ‫ﻄﺌُﻮﻥَ ﺑِﺎﻟﱠﻠ ْﻴﻞِ ﻭَﺍﻟ ﱠﻨﻬَﺎﺭ‬ ِ‫ﺨ‬ ْ ‫ﻋﺒَﺎﺩِﻱ ِﺇ ﱠﻧ ُﻜﻢْ ُﺗ‬ ِ ‫ﺴ ُﻜﻢْ ﻳَﺎ‬ ُ ْ‫ﺳ َﺘﻜْﺴُﻮﻧِﻲ َﺃﻛ‬ ْ ‫ﻓَﺎ‬ ‫ﻋﺒَﺎﺩِﻱ‬ ِ ‫ﺳ َﺘﻐْ ِﻔﺮُﻭﻧِﻲ َﺃﻏْ ِﻔﺮْ َﻟ ُﻜﻢْ ﻳَﺎ‬ ْ ‫ﻭََﺃﻧَﺎ َﺃﻏْ ِﻔﺮُ ﺍﻟ ﱡﺬﻧُﻮﺏَ ﺟَﻤِﻴﻌًﺎ ﻓَﺎ‬ ‫ِﺇ ﱠﻧﻜُ ﻢْ ﻟَ ﻦْ َﺗﺒُْﻠﻐُ ﻮﺍ ﺿَ ﺮﱢﻱ َﻓﺘَﻀُ ﺮﱡﻭﻧِﻲ ﻭَﻟَ ﻦْ َﺗﺒُْﻠﻐُ ﻮﺍ ﻧَ ْﻔﻌِ ﻲ‬ ‫َﻓ َﺘﻨْ َﻔﻌُﻮﻧِﻲ‬ Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman terhadap diri-Ku, dan Aku juga menjadikannya haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling mezalimi. Wahai hamba-Ku, masing-masing kalian itu tersesat, kecuali orang yang aku beri hidayah. Maka, mintalah hidayah kepada-Ku, pasti Aku akan 9 Al­Bukhari, Shahîh, Kitab al­'Ilm, hadits no. 103. 9 memberikan hidayah kepada kalian. Wahai hamba-Ku, setiap kalian lapar, kecuali orang yang Aku beri makan. Maka, mintalah makan kepada-Ku, pasti Aku akan memberi kalian makanan. Wahai hamba-Ku, masing-masing kalian itu telanjang, kecuali orang yang Aku beri pakaian. Maka, mintalah kalian pakaian kepada-Ku, pasti Aku akan memberi kalian pakaian. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian masing-masing itu melakukan kesalahan di siang dan malam hari, dan Aku akan mengampuni segala dosa, maka mintalah ampunan kepada-Ku, pasti Aku akan mengampuni kalian. Wahai hamba-Ku, sesunggunya kalian tidak akan bisa menandingi bahaya yang Aku ciptakan, sehingga kalian bisa membahayakan-Ku, dan kalian tidak akan bisa menandingi manfaat yang Aku ciptakan, sehingga kalian harus memanfaatkan-Ku.10 Dengan menganalisis teks hadits qudsi dan hadits nabawi, dengan nampak adanya kesamaan gaya bahasa. Masing-masing juga menggunakan lafadz dan redaksi Nabi saw. baik hadits nabawi maupun hadits qudsi, semunya levelnya sama, meski salah satunya dinisbatkan kepada Allah. Karenanya, penisbatan ini tidak menjadikan hadits qudsi secara otomatis naik levelnya menyamai alQur'an. 2.2. Perbedaan al-Qur'an dengan Hadits Qudsi Namun, masing-masing tetap mempunyai perbedaan, antara lain sebagai berikut: 1. Al-Qur'an lafadz dan maknanya bersumber dari Allah SWT, sedangkan lafadz hadits qudsi sebagaimana hadits nabawi, sehingga para ulama' juga membolehkan hadits tersebut diriwayatkan secara maknawi, tidak tekstual. Berbeda dengan al-Qur'an, karena periwayatan secara maknawi terhadap alQur'an bisa dianggap penyalinan dan tahrîf. 2. Kepada al-Qur'an berlaku tantangan (tahaddî) kepada orang Arab untuk membuat yang serupa dengan al-Qur'an, dan kepadanya juga berlaku mukjizat. Sementara hadits qudsi tidak, sebagaimana hadits nabawi. 10 Muslim, Shahîh, Kitab as­Sillah wa al­Birr, hadits no. 4674. 10 3. Ketika dibaca al-Qur'an bernilai ibadah, sehingga hukum membacanya bernilai pahala, dan membacanya dalam shalat merupakan salah satu rukun, sehingga tidak akan sempurna shalat seseorang tanpanya. Namun, tidak dengan hadits qudsi, yang jika dibaca justru akan membatalkan shalat. 4. Masing-masing ayat al-Qur'an, ayat per ayatnya adalah Mutawatir, sementara hadits qudsi tidak; di dalamnya ada yang qath'i dan kebanyakan dhanni.11 5. Al-Qur'an selalu disampaikan kepada Nabi saw. melalui malaikat Jibril, sementara hadits qudsi tidak. 6. Al-Qur'an dijaga oleh Allah, tetapi hadits qudsi tidak. 2.3. Perbedaan al-Qur'an dengan Hadits secara Umum Adapun perbedaan al-Qur'an dengan hadits secara umum, bisa diuraikan sebagai berikut: 1. Perkataan, perbuatan maupun pembenaran dalam hadits itu merupakan ekspresi manusia, meski bersumber dari wahyu. Berbeda dengan al-Qur'an yang merupakan kalam Allah. 2. Al-Qur'an selalu dinukil dalam bentuk kalam atau ungkapan kata, sedangkan hadits tidak. 3. Al-Qur'an selalu diriwayatkan secara Mutawatir, ayat per ayatnya, sedangkan hadits tidak. 4. Al-Qur'an dilindungi oleh Allah dari berbagai kesalahan, tetapi hadits tidak. Karenanya, terjadi pemalsuan hadits dan sebagainya.12 3. Nama-nama dan Sifat al-Qur'an 3.1. Nama-nama al-Qur'an Selain al-Qur'an, Allah SWT. juga menyebutnya dengan nama-nama yang lain. Dalam hal ini, bisa disebutkan sebagai berikut: 11 12 'Ali al­Hasan, al­Manâr, hal. 15. Ahmad von Danffer, Ulûm al­Qur'ân An Introduction to the Sciences of the Qur'ân, The Islamic Foundation, United Kingdom, third reprint in Malaysia. 1991, hal. 20. 11 1. Kitâb: Allah menyebut al-Qur'an dengan sebutan Kitâb, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Jâtsiyah: 2: [ِ‫ﺤﻜِﻴﻢ‬ َ ‫ﺍ ْﻟ‬ ِ‫] َﺗ ْﻨﺰِﻳﻞُ ﺍ ْﻟ ِﻜﺘَﺎﺏِ ِﻣﻦَ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺍ ْﻟ َﻌﺰِﻳﺰ‬ Kitab (ini) diturunkan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 2. Dzik: Allah menyebut al-Qur'an dengan sebutan Dzikr, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Hijr: 9: [َ‫َﻟﺤَﺎ ِﻓﻈُﻮﻥ‬ ُ‫ﺤﻦُ َﻧﺰﱠ ْﻟﻨَﺎ ﺍﻟ ﱢﺬ ْﻛﺮَ ﻭَِﺇﻧﱠﺎ ﻟَﻪ‬ ْ ‫]ِﺇﻧﱠﺎ َﻧ‬ Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. 3. Furqân: Allah juga menyebut al-Qur'an dengan sebutan Furqân, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Fuqân: 1: َ‫ﻋﺒْ ﺪِﻩِ ِﻟ َﻴﻜُ ﻮﻥَ ﻟِ ْﻠﻌَ ﺎﻟَﻤِﻴﻦ‬ َ ‫] َﺗﺒَ ﺎ َﺭﻙَ ﺍﱠﻟ ﺬِﻱ ﻧَ ﱠﺰﻝَ ﺍﻟْ ُﻔﺮْﻗَ ﺎﻥَ ﻋَﻠَ ﻰ‬ [‫ﻧَﺬِﻳﺮًﺍ‬ Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. 4. Tanzîl: al-Qur'an disebut Tanzîl oleh Allah SWT. dalam banyak ayat, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat asSyu'arâ': 192: [َ‫ﺍ ْﻟﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦ‬ ‫]ﻭَِﺇﻧﱠﻪُ َﻟ َﺘ ْﻨﺰِﻳﻞُ ﺭَﺏﱢ‬ Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. 12 3.2. Sifat-sifat al-Qur'an Allah SWT. juga menyebut sejumlah sifat sebagai sifat alQur'an. Antara lain bisa disebutkan sebagai berikut: 1. Mubârak: Allah menyifati al-Qur'an dengan sifat Mubârak, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Shad: 29: ‫] ِﻛﺘَ ﺎﺏٌ َﺃ ْﻧﺰَ ْﻟﻨَ ﺎﻩُ ﺇِ َﻟﻴْ ﻚَ ُﻣﺒَ ﺎ َﺭﻙٌ ِﻟﻴَ ﱠﺪ ﱠﺑﺮُﻭﺍ ءَﺍﻳَﺎﺗِ ﻪِ ﻭَ ِﻟ َﻴﺘَ َﺬ ﱠﻛﺮَ ﺃُﻭﻟُ ﻮ‬ [ِ‫ﺍﻷَ ْﻟﺒَﺎﺏ‬ Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. 2. Hakîm: Allah juga menyifasinya dengan al-hakîm, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Yasin: 2: [ِ‫ﺤﻜِﻴﻢ‬ َ ‫ﺍ ْﻟ‬ ِ‫]ﻭَﺍﻟْ ُﻘﺮْءَﺍﻥ‬ Demi al-Qur'an yang penuh hikmah. 3. Majîd: Allah juga menyifati al-Qur'an dengan al-Majîd, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Qaf: 1: [ِ‫ﻤﺠِﻴﺪ‬ َ ْ‫ﺍﻟ‬ ِ‫]ﻕ ﻭَﺍﻟْ ُﻘﺮْءَﺍﻥ‬ Qaaf. Demi Al Qur'an yang sangat mulia. Dan masih banyak sifat-sifat yang lain. Bagi yang ingin menambah pengetahuan akan sifat-sifat tersebut, hendaknya merujuk kepada kitab al-Burhân, karya az-Zarkasyi ataupun al-Itqân, karya as-Suyuthi. 13 Bab II Wahyu 1. Definisi Wahyu 1.1. Konotasi Harfiah Lafadz Wahy[u] adalah lafadz Mashdar yang mempunyai konotasi isyarat halus yang cepat (isyârah sarî'ah khafiyyah). Jika dikatakan: Awhaytu ila Fulân (saya berbicara kepadanya dengan cepat dan secara rahasia). Maka, secara etimologis, wahyu berarti isyarat, sinyal atau ilham. Al-Qur'an telah menggunakan lafadz tersebut dengan konotasi harfiah seperti ini, antara lain: 1. Intuisi naluri hewan: lafadz wahy[u] dengan konotasi seperti ini digunakan oleh Allah SWT. dalam surat an-Nahl: 68: َ‫ﺠﺒَ ﺎﻝِ ُﺑﻴُﻮﺗً ﺎ ﻭَﻣِ ﻦ‬ ِ ‫ﺤﻞِ َﺃﻥِ ﺍ ﱠﺗﺨِﺬِﻱ ِﻣﻦَ ﺍ ْﻟ‬ ْ ‫]ﻭََﺃ ْﻭﺣَﻰ َﺭ ﱡﺑﻚَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟ ﱠﻨ‬ [َ‫ﺠﺮِ ﻭَﻣِﻤﱠﺎ َﻳ ْﻌﺮِﺷُﻮﻥ‬ َ‫ﺸ‬ ‫ﺍﻟ ﱠ‬ Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia". 2. Bisikan jahat, baik yang berasal dari manusia, jin maupun syetan. Allah menggunakan lafadz wahy[u] dengan konotasi seperti ini, sebagaimana dinyatakan dalam surat al-An'âm: 112: ‫ﺍ ﺷَ ﻴَﺎﻃِﻴﻦَ ﺍ ِﻹﻧْ ﺲِ ﻭَﺍ ْﻟﺠِ ﻦﱢ‬‫ﺟﻌَ ـ ْﻠﻨَﺎ ِﻟﻜُ ﻞﱢ َﻧﺒِ ﻲﱟ ﻋ ـَ ُﺪﻭ‬ َ َ‫] َﻭﻛَ ﺬَ ِﻟﻚ‬ [‫ﻮﻝِ ﻏُـﺮُﻭﺭًﺍ‬ ْ ‫ﺧﺮُﻑَ ﺍﻟْ َﻘ‬ ْ ‫ﻀ ُﻬﻢْ ﺇِﻟَﻰ َﺑ ْﻌﺾٍ ُﺯ‬ ُ ْ‫ﻳُﻮﺣِﻲ َﺑﻌ‬ 15 Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataanperkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). ْ‫]ﻭَِﺇﻥﱠ ﺍﻟﺸﱠ ﻴَﺎﻃِﻴﻦَ َﻟﻴُﻮﺣُ ﻮﻥَ ﺇِﻟَ ﻰ َﺃﻭْ ِﻟﻴَ ﺎ ِﺋ ِﻬﻢْ ِﻟ ُﻴﺠَ ﺎﺩِﻟُﻮ ُﻛﻢْ ﻭَِﺇﻥ‬ [َ‫ﺮﻛُﻮﻥ‬ ِ‫ﺸ‬ ْ ُ‫ﻃ ْﻌﺘُﻤُﻮ ُﻫﻢْ ِﺇ ﱠﻧ ُﻜﻢْ ﻟَﻤ‬ َ ‫َﺃ‬ Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. 3. Isyarat dan sinyal: Konotasi seperti ini dinyatakan oleh Allah dalam surat Maryam: 11: ‫ﺨﺮَﺝَ ﻋَﻠَﻰ َﻗﻮْﻣِﻪِ ِﻣﻦَ ﺍﻟْ ِﻤﺤْ ﺮَﺍﺏِ ﻓَ َﺄ ْﻭﺣَﻰ ﺇِﻟَ ْﻴ ِﻬﻢْ َﺃﻥْ ﺳَ ﱢﺒﺤُﻮﺍ‬ َ ‫] َﻓ‬ [‫ﺎ‬‫ﺸﻴ‬ ِ َ‫ُﺑ ْﻜﺮَﺓً َﻭﻋ‬ Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang. Ayat ini tidak boleh ditafsirkan dengan konotasi berbicara, sebab konotasi tersebut terhambat oleh firman Allah sebelumnya: َ‫ﺟﻌَ ﻞْ ﻟِ ﻲ ءَﺍﻳَ ﺔً ﻗَ ﺎﻝَ ءَﺍ َﻳﺘُ ﻚَ ﺃَﻻﱠ ُﺗﻜَﻠﱢ ﻢَ ﺍﻟﻨﱠ ﺎﺱَ ﺛَ ﻼَﺙ‬ ْ ‫] َﻗ ﺎﻝَ ﺭَﺏﱢ ﺍ‬ [‫ﺎ‬‫ﻮﻳ‬ ِ‫ﺳ‬ َ ٍ‫َﻟﻴَﺎﻝ‬ Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda". Tuhan berfirman: "Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakapcakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat". 16 1.2. Konotasi Syar'i Para ulama' telah mendefinisikan wahy[u] dengan definisi yang beragam. Ada yang panjang dan sangat singkat. Namun, definisi terbaik dan berkualitas adalah definisi yang dikemukakan oleh Ibn Hajar dalam Fath al-Bâri: ‫ﺸ ْﺮﻉِ ﻭَﻗَﺪْ ُﻳﻄْﻠَﻖُ ﺍﻟ َﻮﺣْﻲُ َﻭ ُﻳﺮَﺍﺩُ ﺑِﻪِ ﺍﺳْ ُﻢ‬ ‫ﻋﻼَﻡُ ﺑِﺎﻟ ﱠ‬ ْ ‫ﺷ ْﺮﻋًﺎ ﺍ ِﻹ‬ َ َ‫ﻭ‬ ‫ﺍﻟْﻤَ ْﻔ ُﻌ ْﻮﻝِ ِﻣﻨْﻪُ ﺃﻱ ﺍﻟْ ُﻤﻮْﺣَﻲ ﻭَ ُﻫﻮَ َﻛﻼَﻡُ ﺍﷲِ ﺍﻟْ ُﻤ َﻨﺰﱠﻝُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟ ﱠﻨﺒِﻲﱢ‬ .e Secara syar’i, (wahyu) adalah pemberitahuan mengenai syariat. Kadang disebut dengan istilah wahyu, namun dengan konotasi isim Maf’ûl-nya, yaitu sesuatu yang diwahyukan, yaitu kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.1 Atau pemberitahuan Allah kepada salah seorang Nabi-Nya mengenai salah satu hukum syariat dan sejenisnya. Atau seperti yang diriwayatkan dari az-Zuhri yang menyatakan: ٬ِ‫ﺍَ ْﻟ َﻮﺣْﻲُ ﻣَﺎ ُﻳ ْﻮﺣِﻲَ ﺍﷲِ ﺇِﻟَﻰ َﻧﺒِﻲﱟ ِﻣﻦَ ﺍ َﻷ ْﻧ ِﺒﻴَﺎءِ َﻓ ُﻴ ْﺜ ِﺒﺘَﻪُ ﻓِﻲ ﻗَ ْﻠﺒِ ﻪ‬ .ِ‫ﻼﻡُ ﺍﷲ‬ َ ‫َﻓ َﻴ َﺘﻜَﱠﻠﻢَ ﺑِﻪِ َﻭ َﻳ ْﻜ ُﺘﺒَﻪُ ﻭَ ُﻫﻮَ َﻛ‬ Wahyu adalah apa yang diwahyukan Allah kepada salah seorang Nabi; Dia tetapkan ke dalam hatinya, sehingga Dia menyampaikannya dengan kata-kata, dan dia menulisnya, dan itulah kalam Allah. 2 Setelah mengemukakan berbagai konotasi yang dikemukakan di atas, ada satu pertanyaan mengenai: Apakah wahyu Allah SWT. kepada ibu Musa as. itu bisa dinisbatkan kepada konotasi harfiah ataukah 1 2 Al­Asqalâni, Fath al­Bâri, ed. Muhammad Fu’âd ‘Abd al­Bâqî – Muhibbudîn al­Khathîb, Dâr al­Ma’rifah, Beirut, 1379, juz I, hal. 9. As­Suyûthi, al­Itqân, Dâr al­Fikr, Beirut, t.t., juz I, hal. 45. 17 syar'i? sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalam surat alQashash: 7: ‫ﺿﻌِﻴﻪِ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺧِﻔْﺖِ ﻋَ َﻠﻴْﻪِ ﻓَﺄَﻟْﻘِﻴ ِﻪ‬ ِ ْ‫ﺣ ْﻴﻨَﺎ ﺇِﻟَﻰ ُﺃﻡﱢ ﻣُﻮﺳَﻰ َﺃﻥْ َﺃﺭ‬ َ ‫]ﻭََﺃ ْﻭ‬ ُ‫ﺤ َﺰﻧِ ﻲ ِﺇﻧﱠ ﺎ ﺭَﺍﺩﱡﻭﻩُ ﺇِ َﻟﻴْ ﻚِ َﻭﺟَ ﺎﻋِﻠُﻮﻩ‬ ْ ‫ﻓِ ﻲ ﺍﻟْ َﻴﻢﱢ ﻭَﻻَ َﺗﺨَ ﺎﻓِﻲ ﻭَﻻَ َﺗ‬ [َ‫ﻤﺮْﺳَﻠِﻴﻦ‬ ُ ْ‫ِﻣﻦَ ﺍﻟ‬ Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. Qatâdah berpendapat, bahwa wahyu kepada ibu Musa as. tersebut merupakan intuisi fitri atau intuisi alami. Yang antara lain mendukung pandangan tersebut adalah ar-Râghib al-Ashfahânî yang kemudian diikuti oleh Ibn Katsîr, al-Baydhâwi dan lain-lain.3 2. Realitas Wahyu 2.1. Wahyu sebagai Panduan Manusia Harus diakui, bahwa manusia memerlukan pandangan hidup tertentu untuk memandu kehidupannya. Pandangan hidup itu kadang bersumber dari akal manusia, dan kadang bersumber dari wahyu. Sejarah filsafat juga membuktikan, bahwa perdebatan dalam menentukan wisdom (hikmah), baik theoritical wisdom (hikmah teoritis), yang dicapai dengan mengetahui kebenaran (alim[a] al-haqq), maupun practical wisdom (hikmah praktis), yang dicapai dengan melaksanakan kebajikan ('amil[a] al-khayr), adalah ujud ikhtiar manusia untuk menemukan guidance (panduan) untuk menuntun kehidupan mereka. Dari sanalah kemudian muncul berbagai produk filsafat. Namun, filsafat tidak mampu menjawab seluruh persoalan kehidupan 3 'Ali al­Hasan, al­Manâr, hal. 45; Ahmad von Denffer, Ulûm al­ Qur'ân, p. 22. 18 manusia dengan tuntas, memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia. Lebih-lebih ketika manusia mempunyai naluri beragama, yang meniscayakan terjadinya hubungan antara manusia dengan Tuhan, juga naluri mempertahankan diri dan keturunan, yang meniscayakan terjadinya interaksi antarsesama manusia. Belum lagi, kebutuhan jasmani dan akalnya. Semuanya ini nyatanya tidak bisa dipenuhi oleh manusia dengan mekanisme yang dihasilkan oleh intelektualitasnya. Meski, para filsuf telah bekerja mati-matian untuk melakukannya. Di sinilah, diakui atau tidak, manusia kemudian memerlukan guidance yang bisa mengatur kehidupannya. Jika tidak, hidupnya pasti akan mengalami kekacauan yang luar biasa. Guidance itu harus mampu menyelesaikan seluruh masalah manusia, tanpa masalah. Tentu, mustahil guidance tersebut bersumber selain dari Dzat yang Maha Pencipta, Allah SWT. Karenanya, manusia memerlukan guidance tersebut dari-Nya, sehingga ini merupakan keniscayaan bagi kehidupan manusia di dunia. Bukan hanya itu, karena kehidupan manusia itu merupakan kehidupan yang bertanggungjawab, maka hal itu meniscayakan terjadinya proses akuntabilitas di akhirat. Di sanalah, berlaku pahala, dosa, surga dan neraka, sebagai konsekuensi benar dan salah. Inilah yang menjadi keyakinan seorang Muslim, ketika Allah berfirman: ‫ﺟ ْﺌﺘُﻤُﻮﻧَ ﺎ ﻓُ ﺮَﺍﺩَﻯ ﻛَﻤَ ﺎ ﺧَﻠَ ْﻘﻨَ ﺎ ُﻛﻢْ َﺃ ﱠﻭﻝَ ﻣَ ﺮﱠﺓٍ َﻭﺗَ َﺮ ْﻛ ُﺘﻢْ ﻣَ ﺎ‬ ِ ْ‫]ﻭَﻟَﻘَ ﺪ‬ [ْ‫ﺭ ُﻛﻢ‬ ِ ‫ﻇﻬُﻮ‬ ُ َ‫ﺧﻮﱠ ْﻟﻨَﺎ ُﻛﻢْ َﻭﺭَﺍء‬ َ Dan sesungguhnya kamu datang menghadap kepada Kami sendirisendiri (untuk menjalani proses akuntabilitas) sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami kurniakan kepadamu. (Q.s. alAn'âm: 94). Mereka akan mendapatkan apa yang telah mereka kerjakan. Allah pun tidak akan menzalimi mereka sedikit pun: [َ‫ُﻳﻈْﻠَﻤُﻮﻥ‬ َ‫ﺴﺒَﺖْ ﻭَ ُﻫﻢْ ﻻ‬ َ َ‫ﺠﺰَﻯ ُﻛﻞﱡ ﻧَﻔْﺲٍ ﺑِﻤَﺎ ﻛ‬ ْ ‫]ﻭَ ِﻟ ُﺘ‬ 19 Dan agar tiap-tiap diri diberi balasan terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan. (Q.s. alJâtsiyah: 22). ٍ‫(ﻭَﻣَ ﻦْ َﻳﻌْﻤَ ﻞْ ِﻣﺜْﻘَ ﺎﻝَ َﺫﺭﱠﺓ‬7)ُ‫ﺧ ْﻴﺮًﺍ ﻳَ ﺮَﻩ‬ َ ٍ‫]ﻓَ َﻤﻦْ َﻳﻌْ َﻤﻞْ ِﻣﺜْﻘَﺎﻝَ َﺫﺭﱠﺓ‬ [ُ‫ﺍ َﻳﺮَﻩ‬‫ﺷﺮ‬ َ Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula. (Q.s. al-Zalzalah: 7-8). Adanya proses akuntabilitas di akhirat itu meniscayakan adanya guidance yang final dari Allah, yang menjadi standar penilaian benar-salah, yang berlaku di dunia dan akhirat. Dengan kata lain, guidance itu adalah standar yang sama, yang menjadi standar penilaian Allah di akhirat, untuk menilai benar-salahnya perbuatan manusia dalam proses akuntabilitas tersebut, sekaligus guidance yang menjadi standar benar-salahnya perbuatan manusia ketika di dunia. Ini meniscayakan Allah untuk menurunkan guidance tersebut kepada manusia di dunia, sehingga kelak di akhirat tidak lagi ada alasan bagi mereka atas kesalahan yang mereka lakukan. Sekaligus membuktikan keadilan Allah, dimana balasan yang diterima manusia di akhirat itu sesuai dengan guidance yang telah diberikan di dunia. Untuk keperluan itulah, Allah menurunkan wahyu dalam bentuk kitab suci atau shuhuf, yang berfungsi sebagai guidance, sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya: [َ‫َﺃﻭْ ِﻟﻴَﺎء‬ ِ‫]ﺍ ﱠﺗ ِﺒﻌُﻮﺍ ﻣَﺎ ُﺃ ْﻧ ِﺰﻝَ ﺇِ َﻟ ْﻴ ُﻜﻢْ ِﻣﻦْ َﺭ ﱢﺑ ُﻜﻢْ ﻭَﻻَ َﺗ ﱠﺘ ِﺒﻌُﻮﺍ ِﻣﻦْ ﺩُﻭﻧِﻪ‬ Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya (Q.s. alA'râf: 3). 20 Allah bukan hanya menurunkan kitab suci, tetapi juga mengutus Nabi atau Rasul dari kalangan manusia, yang diberi tugas untuk menyampaikan dan menjelaskan guidance tersebut kepada manusia. Logikanya jelas, agar manusia tidak menginterpretasikan kitab suci tersebut sesuai dengan kemauannya, tetapi berdasarkan penjelasan yang diberikan oleh Nabi atau Rasul itu. Fungsi inilah yang dinyatakan oleh Allah: [َ‫ﺭ ﱢﺑﻚ‬ َ ْ‫]ﻳَﺎَﺃ ﱡﻳﻬَﺎ ﺍﻟﺮﱠﺳُﻮﻝُ ﺑَﻠﱢﻎْ ﻣَﺎ ُﺃ ْﻧ ِﺰﻝَ ﺇِ َﻟ ْﻴﻚَ ِﻣﻦ‬ Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. (Q.s. al-Mâidah: 67). ْ‫]ﻭََﺃ ْﻧﺰَ ْﻟﻨَ ﺎ ﺇِ َﻟﻴْ ﻚَ ﺍﻟ ﱢﺬ ْﻛﺮَ ِﻟ ُﺘﺒَ ﱢﻴﻦَ ﻟِﻠﻨﱠ ﺎﺱِ ﻣَ ﺎ ﻧُ ﱢﺰﻝَ ﺇِﻟَ ْﻴ ِﻬﻢْ ﻭَ َﻟﻌَﱠﻠﻬُ ﻢ‬ [َ‫َﻳﺘَ َﻔ ﱠﻜﺮُﻭﻥ‬ Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,. (Q.s. an-Nahl: 44). Karenanya kebutuhan manusia kepada Rasul merupakan keniscayaan yang tidak bisa dinafikan oleh akal sehat. Dengan diutusnya Rasul itulah, maka proses akuntabilitas itu merupakan keniscayaan yang rasional, sehingga tidak ada yang perlu dipersalahkan ketika ternyata kelak manusia melakukan kesalahan akibat pilihannya sendiri. Pada saat yang sama, manusia juga tidak bisa mencari justifikasi untuk membenarkan kesalahannya. Firman Allah: ٌ‫ﺣﺠﱠ ﺔ‬ ُ ِ‫ﺸﺮِﻳﻦَ ﻭَ ُﻣﻨْ ِﺬﺭِﻳﻦَ ِﻟ َﺌﻼﱠ َﻳﻜُﻮﻥَ ﻟِﻠﻨﱠﺎﺱِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﺳﻼً ُﻣﺒَ ﱢ‬ ُ ُ‫]ﺭ‬ [ِ‫ﺳﻞ‬ ُ ‫َﺑﻌْﺪَ ﺍﻟﺮﱡ‬ (Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia 21 membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. (Q.s. anNisâ': 165). Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa wahyu dalam bentuk kitab suci maupun tidak, yang dibawa oleh Nabi dan Rasul itu merupakan keniscayaan bagi kehidupan manusia untuk menuntun mereka dalam menemukan apa yang oleh para filsuf disebut wisdom itu. Dengan itulah, kehidupan mereka akan menemukan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat. 2.2. Bukti Autentisitas Wahyu Sebagai guidance dari Allah kepada manusia pilihan, Nabi dan Rasul, substansi wahyu sebagai ilham atau petunjuk adalah realitas gaib yang tidak bisa dijamah oleh indera manusia. Karena itu, menurut 'Ali al-Hasan, guru besar di Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab, Universitas Uni Emirates Arab, autentisitas wahyu tersebut harus dibuktikan dengan dalil naqli, bukan akli, yaitu alQur'an: ‫ﺣ ْﻴﻨَ ﺎ ﺇِﻟَ ﻰ ﻧُ ﻮﺡٍ ﻭَﺍﻟ ﱠﻨ ِﺒﻴﱢ ﻴﻦَ ﻣِ ﻦْ َﺑﻌْ ﺪِ ِﻩ‬ َ ‫ﺣ ْﻴﻨَ ﺎ ﺇِ َﻟﻴْ ﻚَ ﻛَﻤَ ﺎ َﺃ ْﻭ‬ َ ‫]ِﺇﻧﱠﺎ َﺃ ْﻭ‬ َ‫ﺣ ْﻴﻨَ ﺎ ﺇِﻟَ ﻰ ِﺇﺑْ ﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﻭَﺇِﺳْ ﻤَﺎﻋِﻴﻞَ ﻭَﺇِﺳْ ﺤَﺎﻕَ َﻭ َﻳﻌْﻘُ ﻮﺏ‬ َ ‫ﻭََﺃ ْﻭ‬ َ‫ﻭَﺍﻷَﺳْ ﺒَﺎﻁِ َﻭﻋِﻴﺴَ ﻰ ﻭََﺃﻳﱡ ﻮﺏَ َﻭﻳُ ﻮ ُﻧﺲَ ﻭَﻫَ ﺎﺭُﻭﻥَ ﻭَﺳُ َﻠﻴْﻤَﺎﻥ‬ [‫ﺯﺑُﻮﺭًﺍ‬ َ َ‫ﻭَءَﺍ َﺗ ْﻴﻨَﺎ ﺩَﺍﻭُﺩ‬ Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma`il, ishak, Ya`qub dan anak cucunya, 'Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. (Q.s. an-Nisâ': 163). [‫ﺮﻧَﺎ‬ ِ ‫ﺃَ ْﻣ‬ 22 ْ‫ﺣ ْﻴﻨَﺎ ﺇِ َﻟ ْﻴﻚَ ﺭُﻭﺣًﺎ ِﻣﻦ‬ َ ‫] َﻭﻛَﺬَ ِﻟﻚَ َﺃ ْﻭ‬ Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur'an) dengan perintah Kami. (Q.s. as-Syûrâ: 52).4 Terutama ketika bukti-bukti verbal ---seperti redaksional wahyu--tersebut bukan mukjizat, seperti hadits, misalnya, atau bukti-bukti verbal tersebut tidak bisa dibuktikan keasliannya, seperti kitab Nabi dan Rasul terdahulu yang ada saat ini, semisal Taurat dan Injil, misalnya. Maka, sangat sulit membuktikan substansinya sebagai wahyu jika bukan dengan dalil naqli, yaitu nas al-Qur'an, dan kemudian melalui periwayatan yang membuktikan keabsahannya sebagai hadits Nabi saw. Dalam konteks kewahyuan hadits, Allah berfirman: [‫ﻳُﻮﺣَﻰ‬ ٌ‫(ِﺇﻥْ ُﻫﻮَ ﺇِﻻﱠ َﻭﺣْﻲ‬3)‫ﻋﻦِ ﺍ ْﻟ َﻬﻮَﻯ‬ َ ُ‫ﻄﻖ‬ ِ ‫]ﻭَﻣَﺎ َﻳ ْﻨ‬ Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.s. an-Najm: 3-4). Sedangkan dalam konteks kewahyuan Taurat dan Injil, Allah menyatakan: َ‫ﺤﻖﱢ ﻣُﺼَ ﺪﱢﻗًﺎ ﻟِﻤَ ﺎ ﺑَ ْﻴﻦَ ﻳَ َﺪﻳْ ﻪِ ﻭََﺃﻧْ َﺰﻝ‬ َ ‫]ﻧَ ﱠﺰﻝَ ﻋَ َﻠﻴْ ﻚَ ﺍ ْﻟ ِﻜﺘَ ﺎﺏَ ﺑِ ﺎ ْﻟ‬ [َ‫ﻹ ْﻧﺠِﻴﻞ‬ ِ ‫ﺍﻟ ﱠﺘ ْﻮﺭَﺍﺓَ ﻭَﺍ‬ Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (Q.s. Ali 'Imrân: 3). Mengenai bukti verbal kewahyuan al-Qur'an memang bisa dibuktikan dengan akal, karena al-Qur'an merupakan mukjizat yang bisa dijamah oleh indera manusia hingga hari kiamat. Mukjizat yang sekaligus menjadi tantangan bagi orang Arab itu tidak lain terletak pada pilihan kata, struktur dan gaya penjelasannya. 4 'Ali al­Hasan, al­Manâr, hal. 47. 23 2.3. Wahyu Meniscayakan adanya Nabi dan Rasul Wahyu merupakan bentuk komunikasi Tuhan dengan manusia. Inilah yang menjadi konsep kunci dalam keyakinan agama apapun. Namun, wahyu ---sekali lagi--- tidak turun dengan sendirinya kepada manusia. Wahyu memerlukan manusia, sebagai ujud material, yang membawanya. Dialah orang yang diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Dalam konteks pewahyuan al-Qur'an, Allah menggunakan malaikat, sebagai ujud non-material yang bisa menjelma menjadi ujud material, sebagai perantara yang menyampaikan wahyu tersebut dari Allah. Inilah yang dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya: ُ ‫(ﻧَ َﺰﻝَ ﺑِ ﻪِ ﺍﻟ ﺮﱡﻭ‬192)َ‫]ﻭَِﺇﻧﱠ ﻪُ َﻟ َﺘ ْﻨﺰِﻳ ﻞُ ﺭَﺏﱢ ﺍ ْﻟﻌَ ﺎﻟَﻤِﻴﻦ‬ ‫ﺡ‬ ٍ‫(ﺑِﻠِﺴَ ﺎﻥ‬194)َ‫(ﻋَﻠَﻰ ﻗَ ْﻠﺒِ ﻚَ ِﻟ َﺘﻜُ ﻮﻥَ ﻣِ ﻦَ ﺍﻟْ ُﻤﻨْ ِﺬﺭِﻳﻦ‬193)ُ‫ﺍﻷَﻣِﻴﻦ‬ ْ‫(َﺃﻭَﻟَ ﻢْ َﻳﻜُ ﻦ‬196)َ‫(ﻭَِﺇﻧﱠ ﻪُ ﻟَﻔِ ﻲ ُﺯﺑُ ﺮِ ﺍ َﻷﻭﱠﻟِ ﻴﻦ‬195)ٍ‫ﻋ َﺮﺑِﻲﱟ ُﻣﺒِ ﻴﻦ‬ َ ُ‫(ﻭَﻟَ ﻮْ َﻧﺰﱠ ْﻟﻨَ ﺎﻩ‬197)َ‫َﻟ ُﻬﻢْ ءَﺍﻳَﺔً َﺃﻥْ َﻳﻌْﻠَﻤَﻪُ ﻋُﻠَﻤَ ﺎءُ َﺑﻨِ ﻲ ﺇِﺳْ ﺮَﺍﺋِﻴﻞ‬ ِ‫(ﻓَﻘَ ﺮَﺃَﻩُ ﻋَﻠَ ْﻴ ِﻬﻢْ ﻣَ ﺎ ﻛَ ﺎﻧُﻮﺍ ﺑِ ﻪ‬198)َ‫ﻋﺠَﻤِ ﻴﻦ‬ ْ ‫ﻋَﻠَ ﻰ َﺑﻌْ ﺾِ ﺍ َﻷ‬ [(199)َ‫ﻣﻨِﻴﻦ‬ ِ ْ‫ُﻣﺆ‬ Dan sesungguhnya al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh ar-Rûh al-Amîn (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya al-Qur'an itu benar-benar (tersebut) dalam Kitab-kitab orang yang dahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya? Dan kalau al-Qur'an itu Kami turunkan kepada salah seorang dari golongan non-Arab, lalu ia membacakannya kepada mereka (orang-orang kafir); niscaya mereka tidak akan beriman kepadanya. (Q.s. as-Syu'arâ': 192). 24 Karena itu, dengan konotasi wahyu secara syar'i seperti yang dinyatakan di atas, nyatalah bahwa wahyu itu merupakan guidance yang diturunkan hanya kepada Rasul untuk disampaikan kepada manusia. Maka, asumsi yang mengatakan bahwa wahyu verbal memang telah berhenti dengan berhentinya kenabian dan kerasulan, tetapi wahyu non-verbal masih tetap turun, dengan dicapainya berbagai penemuan baru oleh manusia, adalah asumsi yang salah total. Pertama, karena wahyu merupakan guidance dari Allah kepada Nabi yang mengatur syariat, atau view of life bagi manusia. Dan, bukan masalah-masalah non-syariat, seperti sains dan teknologi. Kedua, karena wahyu itu hanya diturunkan kepada Nabi dan Rasul, bukan kepada yang lain. Dengan demikian, diturunkannya wahyu telah meniscayakan orang yang menyampaikannya sebagai Nabi dan Rasul yang diangkat oleh Allah, yang dibuktikan dengan mukjizat yang menjadi bukti kenabian dan kerasulannya. Khusus bagi Nabi Muhammad saw. alQur'an adalah wahyu yang sekaligus menjadi mukjizat bagi kenabian dan kerasulan beliau. Demikian sebaliknya, ketika Nabi dan Rasul tersebut telah wafat, maka secara automatis proses pewahyuannya telah berhenti, sehingga tidak ada lagi wahyu yang turun. Meski wahyu yang telah diturunkan ---khususnya al-Qur'an dan hadits--tersebut tetap berlaku hingga hari kiamat. Para sahabat juga sangat memahami realitas itu. Maka, kadang mereka membahasakan adanya Rasul di tengah mereka itu dengan ungkapan: ُ‫ُﻛﻨﱠﺎ َﻧ ْﻌ ِﺰﻝُ ﻭَﺍﻟْ ُﻘﺮْﺁﻥُ َﻳ ْﻨ ِﺰﻝ‬ Kami telah melakukan 'azl, ketika al-Qur'an masih turun. 5 Ungkapan: ketika al-Qur'an masih turun itu maksudnya adalah ketika Rasulullah masih ada dan hidup di tengah kami. Ini sekaligus membuktikan, bahwa mereka memahami bahwa masih dan tidaknya al-Qur'an ---sebagai wahyu--- itu diturunkan tergantung kepada hidup dan wafatnya Rasul. 5 Al­Bukhâri, Shahîh, Kitab an­Nikâh, hadits no. 4808. 25 Dengan demikian, tidak ada bukti apapun baik naqli maupun akli yang bisa digunakan untuk membuktikan, bahwa wahyu dari Tuhan, khususnya wahyu non-verbal, itu tidak terputus. Ini hanyalah asumsi, atau lebih tepatnya fantasi orang-orang yang mengemukakannya. 2.4. Proses Pewahyuan Final Nabi Muhammad saw. adalah Nabi dan Rasul yang terakhir diutus kepada manusia, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur'an: َ‫]ﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ُﻣﺤَﻤﱠﺪٌ َﺃﺑَﺎ َﺃﺣَﺪٍ ِﻣﻦْ ِﺭﺟَﺎ ِﻟ ُﻜﻢْ ﻭَ َﻟ ِﻜﻦْ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﱠﻪِ َﻭﺧَﺎ َﺗﻢ‬ [َ‫ﺍﻟ ﱠﻨ ِﺒﻴﱢﻴﻦ‬ Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. (Q.s. al-Ahzâb: 40). Dengan demikian, al-Qur'an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan kepada manusia. Dengan posisinya sebagai kitab suci terakhir yang diturunkan, al-Qur'an juga berfungsi menghapus syariat terdahulu, meski message dasar yang menyangkut akidah sama, yaitu tauhid. Dalam hal ini, Allah menyatakan: َ ِ‫ﺤﻖﱢ ﻣُﺼَ ﺪﱢﻗًﺎ ﻟِﻤَ ﺎ ﺑَ ْﻴﻦَ ﻳَ َﺪﻳْ ﻪِ ﻣ‬ ‫ﻦ‬ َ ‫]ﻭََﺃ ْﻧﺰَ ْﻟﻨَ ﺎ ﺇِ َﻟﻴْ ﻚَ ﺍ ْﻟ ِﻜﺘَ ﺎﺏَ ﺑِ ﺎ ْﻟ‬ ْ‫ﺣ ُﻜﻢْ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻢْ ﺑِﻤَﺎ َﺃﻧْ َﺰﻝَ ﺍﻟﻠﱠ ﻪُ ﻭَﻻَ َﺗ ﱠﺘﺒِ ﻊ‬ ْ ‫ﺍ ْﻟ ِﻜﺘَﺎﺏِ ﻭَ ُﻣ َﻬﻴْ ِﻤﻨًﺎ ﻋَ َﻠﻴْﻪِ ﻓَﺎ‬ ً‫ﺟﻌَ ْﻠﻨَ ﺎ ﻣِ ْﻨ ُﻜﻢْ ﺷِ ْﺮﻋَﺔ‬ َ ‫ﺃَﻫْ ﻮَﺍءَ ُﻫﻢْ ﻋَ ﱠﻤ ﺎ ﺟَ ﺎ َءﻙَ ﻣِ ﻦَ ﺍ ْﻟﺤَ ﻖﱢ ِﻟﻜُ ﻞﱟ‬ ْ‫ﺠﻌَ َﻠﻜُ ﻢْ ﺃُﻣﱠ ﺔً ﻭَﺍﺣِ ﺪَﺓً ﻭَ َﻟﻜِ ﻦْ ِﻟ َﻴﺒْﻠُ َﻮ ُﻛﻢ‬ َ ‫ﻭَ ِﻣ ْﻨﻬَﺎﺟًﺎ َﻭ َﻟﻮْ ﺷَﺎءَ ﺍﻟﻠﱠ ﻪُ َﻟ‬ ‫ﺟ ُﻌ ُﻜﻢْ ﺟَﻤِﻴﻌً ﺎ‬ ِ ‫ﺨ ْﻴﺮَﺍﺕِ ﺇِﻟَ ﻰ ﺍﻟﻠﱠ ﻪِ ﻣَ ْﺮ‬ َ ‫ﺳ َﺘﺒِﻘُﻮﺍ ﺍ ْﻟ‬ ْ ‫ﻓِﻲ ﻣَﺎ ءَﺍﺗَﺎ ُﻛﻢْ ﻓَﺎ‬ [َ‫ﺨﺘَﻠِﻔُﻮﻥ‬ ْ ‫َﻓ ُﻴ َﻨ ﱢﺒ ُﺌ ُﻜﻢْ ﺑِﻤَﺎ ُﻛ ْﻨ ُﺘﻢْ ﻓِﻴﻪِ َﺗ‬ Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab 26 (yang diturunkan sebelumnya) dan mengalahkan kitab-kitab yang lain; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiaptiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (Q.s. al-Mâidah: 48). 3. Ragam Pewahyuan Wahyu yang disampaikan kepada Nabi saw. mempunyai beberapa ragam, yang disebutkan oleh Ibn al-Qayyim alJawziyyah sebagai berikut: 1. Mimpi yang benar (ru'yah shâdiqah). Nabi saw. tidak melihat mimpi tersebut kecuali seperti melihat fajar Subuh. AsSuhaylî dan lain-lain memberikan alasan bahwa mimpi tersebut merupakan wahyu, berdasarkan pernyataan Nabi Ibrâhîm as. yang menyatakan: [‫َﺗﺮَﻯ‬ ‫ﻈﺮْ ﻣَﺎﺫَﺍ‬ ُ ‫ﺤﻚَ ﻓَﺎ ْﻧ‬ ُ ‫]ﻳَﺎ ُﺑﻨَﻲﱠ ِﺇﻧﱢﻲ َﺃﺭَﻯ ﻓِﻲ ﺍﻟْ َﻤﻨَﺎﻡِ َﺃﻧﱢﻲ ﺃَ ْﺫ َﺑ‬ Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!. (Q.s. asShâffât: 102). Membuktikan, bahwa wahyu itu datang kepada mereka dalam bentuk mimpi, sebagaimana mereka dalam keadaan terjaga. Juga berdasarkan riwayat Ibn Ishâq yang menyatakan, bahwa Jibril telah mendatangi Nabi saw. pada malam kenabian, dan membangunkannya sebanyak tiga kali, lalu membacakan kepada beliau permulaan surat al-'Alaq, kemudian beliau mendatangi dan mengerjakan bersama27 samanya dalam keadaan terjaga. Dalam riwayat sahih dari 'Ubayd bin 'Umayr juga dinyatakan, bahwa mimpi para Nabi itu adalah wahyu, kemudian beliau membaca: [... ِ‫]ﻳَﺎ ُﺑﻨَﻲﱠ ِﺇﻧﱢﻲ َﺃﺭَﻯ ﻓِﻲ ﺍﻟْ َﻤﻨَﺎﻡ‬ Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi ….. (Q.s. asShâffât: 102). 6 2. Disampaikan oleh malaikat ke dalam hatinya tanpa dilihat olehnya. Hal itu, antara lain seperti yang telah diriwiyatkan dari Nabi saw.: ‫ﺣﺘﱠﻰ‬ َ ٌ‫َﺃﻥَّ ُﺭﻭْﺡَ ﺍﻟْﻘُﺪُﺱِ ﻧَﻔَﺚَ ﻓِﻲْ َﺭ ْﻭﻋِﻲْ ﺃَﻥْ َﻟﻦْ ﺗَ ُﻤﻮْﺕَ ﻧَ ْﻔﺲ‬ ‫ ﻭَﻻَ َﻳﺤْﻤِﻠَﻦﱠ‬٬ِ‫ ﻓ َﺎﺗﱠﻘُﻮْﺍ ﺍﷲَ ﻭَﺍﺟْﻤَُﻠﻮْﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻄﱠﻠَﺐ‬٬‫ﺴ َﺘﻜْ ِﻤﻞَ ِﺭﺯْ ُﻗﻬَﺎ‬ ْ َ‫ﺗ‬ َ‫ ﻓَ ِﺈﻥﱠ ﺍﷲ‬٬ِ‫ﺼﻴﱠﺔِ ﺍﷲ‬ ِ ْ‫ﺳ ِﺘ ْﺒﻄَﺎءَ ﺍﻟ ﱢﺮﺯْﻕِ ﺃﻥْ ﻳَﻄُْﻠﺒَﻪُ ﺑِﻤَﻌ‬ ْ ِ‫َﺃﺣَ ُﺪ ُﻛﻢْ ﺍ‬ ِ‫ﻋﻨْﺪَﻩُ ﺇِﻻﱠ ِﺑﻄَﺎﻋَﺘِﻪ‬ ِ ‫َﺗﻌَﺎﻟَﻰ َﻻ َﻳﻨَﺎﻝُ ﻣَﺎ‬ Bahwa Ruh al-Qudus (malaikat Jibril) telah meniupkkan ke dalam hatiku, bahwa tidak seorang pun akan meninggal dunia kecuali setelah rizkinya disempurnakan. Maka, bertakwalah kepada Allah, dan berlaku baiklah kalian dalam meminta. Salah seorang di antara kalian tidak akan dilapangkan rizkinya, jika dia mencarinya dengan cara maksiat, sebab apa yang ada disisi Allah SWT. tidak akan bisa diraih, kecuali dengan mentaatinya. 7 3. 7 Seruan malaikat, ketika malaikat tersebut menjelma menjadi manusia, kemudian dia menyerunya hingga beliau menyadari apa yang dikatakannya kepada beliau. Ini sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits Abû Hurairah: Al­Hakim, Mustadrak, mensahihkannya melalui beberapa jalur. 28 ‫ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ‪َ e‬ﻳﻮْﻣًﺎ ﺑَﺎﺭِﺯًﺍ ﻟِﻠﻨﱠﺎﺱِ ﻓَﺄَﺗَﺎ ُﻩ َﺭﺟُﻞٌ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻳَﺎ‬ ‫ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﻣَﺎ ﺍﻹِﻳﻤَﺎﻥُ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻥْ ُﺗﺆْ ِﻣﻦَ ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ ﻭَﻣَﻼ ِﺋﻜَﺘِﻪِ َﻭ ِﻛﺘَﺎﺑِﻪِ‬ ‫ﻭَﻟِﻘَﺎﺋِﻪِ َﻭﺭُﺳُﻠِﻪِ َﻭ ُﺗﺆْﻣِﻦَ ﺑِﺎ ْﻟﺒَﻌْﺚِ ﺍﻵﺧِﺮِ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻣَﺎ‬ ‫ﺸ ِﺮﻙَ ﺑِﻪِ ﺷَ ْﻴﺌًﺎ َﻭﺗُﻘِﻴﻢَ‬ ‫ﻼﻡُ َﺃﻥْ َﺗ ْﻌﺒُﺪَ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻭَﻻَ ﺗُ ْ‬ ‫ﺳَ‬ ‫ﻼﻡُ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻹِ ْ‬ ‫ﺳَ‬ ‫ﺍﻹِ ْ‬ ‫ﺼﻼَﺓَ ﺍﻟْ َﻤ ْﻜﺘُﻮﺑَﺔَ َﻭ ُﺗﺆَﺩﱢﻱَ ﺍﻟ ﱠﺰﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻤَ ْﻔﺮُﻭﺿَﺔَ َﻭﺗَﺼُﻮﻡَ‬ ‫ﺍﻟ ﱠ‬ ‫ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻣَﺎ ﺍﻹِﺣْﺴَﺎﻥُ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻥْ َﺗ ْﻌﺒُﺪَ ﺍﻟﻠﱠﻪَ‬ ‫ﻚ ﺇِﻥْ ﻻَ ﺗَﺮَﺍﻩُ ﻓَ ِﺈﻧﱠﻪُ َﻳﺮَﺍﻙَ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﱠﻪِ‬ ‫ﻛَ َﺄ ﱠﻧﻚَ َﺗﺮَﺍﻩُ ﻓَ ِﺈﻧﱠ َ‬ ‫ﻋ ْﻨﻬَﺎ ﺑِ َﺄﻋْ َﻠﻢَ ِﻣﻦَ ﺍﻟﺴﱠﺎ ِﺋﻞِ ﻭَ َﻟ ِﻜﻦْ‬ ‫ﺴﺌُﻮﻝُ َ‬ ‫َﻣﺘَﻰ ﺍﻟﺴﱠﺎﻋَﺔُ ﻗَﺎﻝَ ﻣَﺎ ﺍﻟْﻤَ ْ‬ ‫ﻃﻬَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﻭَﻟَﺪَﺕِ ﺍﻷَﻣَﺔُ َﺭ ﱠﺑﻬَﺎ ﻓَﺬَﺍﻙَ ِﻣﻦْ‬ ‫ﺷﺮَﺍ ِ‬ ‫ﻋﻦْ ﺃَ ْ‬ ‫ﺳَُﺄﺣَ ﱢﺪﺛُﻚَ َ‬ ‫ﻃﻬَﺎ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍ ْﻟﻌُﺮَﺍﺓُ ﺍ ْﻟﺤُﻔَﺎﺓُ ﺭُءُﻭﺱَ ﺍﻟﻨﱠﺎﺱِ ﻓَﺬَﺍﻙَ ﻣِﻦْ‬ ‫ﺃَﺷْﺮَﺍ ِ‬ ‫ﻃﻬَﺎ ﻭَﺇِﺫَﺍ َﺗﻄَﺎﻭَﻝَ ِﺭﻋَﺎءُ ﺍ ْﻟ َﺒ ْﻬﻢِ ﻓِﻲ ﺍ ْﻟ ُﺒ ْﻨﻴَﺎﻥِ ﻓَﺬَﺍﻙَ ﻣِﻦْ‬ ‫ﺃَﺷْﺮَﺍ ِ‬ ‫ﻃﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺧَﻤْﺲٍ ﻻَ ﻳَﻌْﻠَ ُﻤ ُﻬﻦﱠ ﺇِﻻﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ُﺛﻢﱠ ﺗَﻼَ ‪ِ] :e‬ﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪَ‬ ‫ﺃَﺷْﺮَﺍ ِ‬ ‫ﻋﻨْﺪَﻩُ ﻋِﻠْﻢُ ﺍﻟﺴﱠﺎﻋَﺔِ َﻭ ُﻳ َﻨ ﱢﺰﻝُ ﺍ ْﻟﻐَﻴْﺚَ َﻭ َﻳﻌْﻠَﻢُ ﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَ ْﺭﺣَﺎﻡِ ﻭَﻣَﺎ‬ ‫ِ‬ ‫ﺗَ ْﺪﺭِﻱ ﻧَ ْﻔﺲٌ ﻣَﺎﺫَﺍ َﺗﻜْﺴِﺐُ ﻏَﺪًﺍ ﻭَﻣَﺎ ﺗَ ْﺪﺭِﻱ ﻧَ ْﻔﺲٌ ﺑَِﺄﻱﱢ َﺃﺭْﺽٍ‬ ‫ﺟﻞُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ‬ ‫ﺧﺒِﻴﺮٌ[ ﻗَﺎﻝَ ُﺛﻢﱠ ﺃَ ْﺩ َﺑﺮَ ﺍﻟ ﱠﺮ ُ‬ ‫ﺗَﻤُﻮﺕُ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻋَﻠِﻴﻢٌ َ‬ ‫ﺷ ْﻴﺌًﺎ ﻓَﻘَﺎﻝَ‬ ‫ﺟﻞَ ﻓَ َﺄﺧَﺬُﻭﺍ ِﻟ َﻴﺮُﺩﱡﻭﻩُ ﻓَ َﻠﻢْ َﻳﺮَﻭْﺍ َ‬ ‫ﺍﻟﻠﱠﻪِ ‪ e‬ﺭُﺩﱡﻭﺍ ﻋَﻠَﻲﱠ ﺍﻟ ﱠﺮ ُ‬ ‫ﺟ ْﺒﺮِﻳﻞُ ﺟَﺎءَ ِﻟﻴُﻌَﱢﻠﻢَ ﺍﻟﻨﱠﺎﺱَ ﺩِﻳ َﻨ ُﻬﻢْ‬ ‫ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ‪ e‬ﻫَﺬَﺍ ِ‬ ‫‪Pada suatu hari, ketika Rasulullah saw. berada bersama kaum‬‬ ‫‪Muslim, datang seorang lelaki kemudian bertanya kepada beliau:‬‬ ‫‪Wahai Rasulullah! Apa yang dimaksud dengan Iman? Lalu beliau‬‬ ‫‪bersabda: Kamu hendaklah percaya, atau beriman kepada Allah,‬‬ ‫‪para Malaikat, semua Kitab yang diturunkan, hari pertemuan‬‬ ‫‪dengan-Nya, para Rasul dan percaya kepada Hari Kebangkitan.‬‬ ‫‪Lelaki itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah! Apa yang dimaksudkan‬‬ ‫‪dengan Islam? Beliau bersabda: Islam adalah mengabdikan diri‬‬ ‫‪kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan perkara lain,‬‬ ‫‪mendirikan sembahyang yang telah difardukan, mengeluarkan Zakat‬‬ ‫‪yang diwajibkan dan berpuasa pada bulan Ramadan. Kemudian‬‬ ‫‪lelaki tersebut bertanya lagi: Wahai Rasulullah! Apakah makna‬‬ ‫‪Ihsan? Rasulullah saw. bersabda: Kamu hendaknya beribadah kepada‬‬ ‫‪29‬‬ Allah seolah-olah kamu melihatNya, sekiranya kamu tidak melihatNya, maka ketahuilah bahwa Dia senantiasa memerhatikanmu. Lelaki tersebut bertanya lagi: Wahai Rasulullah! Kapankah Hari Kiamat akan terjadi? Rasulullah saw. bersabda: Memang yang bertanya lebih mengetahui dariku. Walau bagaimanapun aku akan ceritakan kepadamu mengenai tanda-tandanya. Apabila seseorang budak melahirkan majikannya, maka itu adalah sebagian dari tandanya. Seterusnya apabila seorang miskin menjadi pemimpin masyarakat, itu juga sebagian dari tandanya. Selain dari itu, apabila masyarakat yang pada asalnya pengembala kambing mampu bersaing dalam menghiasi bangunan-bangunan mereka, maka itu juga bisa dianggap menjadi tanda akan terjadinya Kiamat. Hanya lima hal itulah sebagian dari tanda-tanda yang diketahui dan selain dari itu Allah saja Yang Maha Mengetahuinya. Kemudian Rasulullah saw. membaca surat Luqman: 34 ( ) Yang artinya: Sesungguhnya Allah lebih mengetahui kapan akan terjadinya Hari Kiamat, di samping itu Dialah yang juga menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim ibu yang mengandung. Tiada seorang pun yang mengetahui apakah yang akan diusahakannya pada keesokan hari, apakah baik atau buruk dan tak seorang pun yang mengetahui di manakah dia akan menemui ajalnya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Amat Meliputi pengetahuan-Nya. Kemudian lelaki tersebut meninggalkannya. Rasulullah saw. terus bersabda kepada sahabatnya: Silahkan panggil orang itu kembali. Lalu para sahabat mengejar ke arah lelaki tersebut untuk memanggilnya kembali tetapi mereka menemukan lelaki tersebut telah hilang. Lantas Rasulullah saw. bersabda: Lelaki itu adalah Jibril as. Kedatangannya untuk mengajar manusia tentang agama mereka. 8 4. 8 Beliau didatangi malaikat Jibril dalam bentuk gemerincing bel; inilah yang paling berat bagi beliau saw. Ini sebagaimana yang dinyatakan dalam riwayat ‘Aisyah: Al­Bukhâri, Kitâb al­Imân, hadits no. 48. 30 ‫ﻋﻨْﻬﻢ ﺳَ َﺄﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ‬ َ ‫َﺃﻥﱠ ﺍ ْﻟﺤَﺎﺭِﺙَ ْﺑﻦَ ﻫِﺸَﺎﻡٍ ﺭَﺿِﻲ ﺍﻟﻠﱠﻬﻢ‬ e ِ‫ﻮﺣْﻲُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ َ ‫ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻛَﻴْﻒَ ﻳَ ْﺄﺗِﻴﻚَ ﺍ ْﻟ‬ ‫ﺠﺮَﺱِ ﻭَ ُﻫﻮَ ﺃَﺷَﺪﱡﻩُ ﻋَﻠَﻲﱠ‬ َ ‫ﺣﻴَﺎﻧًﺎ ﻳَ ْﺄﺗِﻴﻨِﻲ ِﻣ ْﺜﻞَ ﺻَﻠْﺼَﻠَﺔِ ﺍ ْﻟ‬ ْ ‫َﺃ‬ َ‫ﻋﻨْﻪُ ﻣَﺎ ﻗَﺎﻝ‬ َ ُ‫ﻋﻴْﺖ‬ َ ‫ﻋﻨﱢﻲ ﻭَﻗَﺪْ َﻭ‬ َ ُ‫ﺼﻢ‬ َ ْ‫َﻓﻴُﻔ‬ e Al-Hârits bin Hisyâm ra. bertanya kepada Rasulullah saw. seraya berkata: Wahai Rasulullah! Bagaimana caranya wahyu datang kepadamu? Rasulullah saw. menjawab: Kadang datang kepadaku seperti gemerincing bel, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia dipisahkan dariku dan menjadi nyata, akupun menyadari apa dikatakannya. 9 5. 9 Beliau pernah didatangi Jibril dalam bentuk aslinya. Beliau mempunyai 600 sayap, lalu menyampaikan wahyu kepada Rasul apa yang hendak beliau sampaikan. Ini terjadi dua kali: Pertama, ketika beliau saw. meminta Jibril untuk menampakkan ujudnya, kemudian Jibril pun menampakkan ujudnya kepada Nabi di ufuk nan tinggi. Menurut Ibn Katsîr, ini terjadi ketika Nabi saw. di gua Hira pada permulaan pengangkatan beliau sebagai Nabi. Kedua, ketika di Sidratul Muntaha pada malam Isra’ dan Mi’raj.10 Al­Bukhâri, Kitâb Bad’i al­Wahy, hadits no. 2. 'Ali al­Hasan, al­Manâr, hal. 52. 10 31 Bab III Realitas Turunnya Al-Qur'an Kajian mengenai turunnya al-Qur’an, menurut ‘Ali alHasan, merupakan kajian yang sangat penting. Dari sana, banyak melahirkan pembahasan, dan bahkan pembahasan tersebut merupakan inti ‘Ulûm al-Qur’ân, seperti proses turunnya al-Qur’an kepada Rasul saw., awal dan akhir surat dan ayat yang diturunkan kepada Rasul, sebab turunnya al-Qur’an, diturunkannya al-Qur’an dalam tujuh dialek, bacaan al-Qur’an, dan lain-lain.1 1. Tahap Turunnya al-Qur’an 1.1. Bagaimana al-Qur’an Turun Kepada Muhammad saw.? As-Suyûthi berdasarkan tiga laporan dari Abdullâh bin ‘Abbâs, dalam riwayat al-Hakim, al-Bayhaqi dan an-Nasa’i, telah menyatakan,2 bahwa al-Qur’an telah diturunkan melalui dua tahap: 1. Dari Lawh al-Mahfûdl ke Bayt al-‘Izzah (langit dunia yang paling rendah) secara keseluruhan dan turun sekaligus, yang terjadi pada malam Qadar (Laylah al-Qadar). 2. Dari Bayt al-‘Izzah ke dalam hati Rasulullah saw. secara bertahap selama 23 tahun kenabian Muhammad saw. Adapun yang pertama kali diturunkan terjadi di bulan Ramadhan, melalui malaikat Jibril as. 1.2. Yang Pertama Diturunkan Mengenai surat atau ayat al-Qur’an yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah saw. ada beberapa pendapat: 1 2 'Ali al­Hasan, al­Manâr, hal. 54. As­Suyûthi, Op. Cit., juz I, hal. 39­40. 35 1. Bahwa yang pertama kali diturunkan adalah surat al-‘Alaq; dalam satu riwayat dinyatakan ayat 1-3, dan dalam beberapa riwayat lain ayat 1-5.3 Pendapat ini didasarkan pada hadits ‘Aisyah: ‫ ﻣِ ﻦَ ﺍﻟْ َﻮﺣْﻲِ ﺍﻟ ﱡﺮ ْﺅﻳَ ﺎ‬e ِ‫ﻛَ ﺎﻥَ َﺃ ﱠﻭﻝُ ﻣَ ﺎ ﺑُ ِﺪﺉَ ﺑِ ﻪِ ﺭَﺳُ ﻮﻝُ ﺍﻟﻠﱠ ﻪ‬ ِ‫ﺍﻟﺼﱠﺎ ِﺩﻗَﺔَ ﻓِﻲ ﺍﻟ ﱠﻨ ْﻮﻡِ َﻓﻜَﺎﻥَ ﻻَ ﻳَ ﺮَﻯ ُﺭ ْﺅﻳَ ﺎ ﺇِﻻﱠ ﺟَ ﺎءَﺕْ ِﻣﺜْ ﻞَ ﻓَﻠَ ﻖ‬ ُ‫ﺤﻨﱠ ﺚ‬ َ ‫ﺨﻼَءُ َﻓﻜَﺎﻥَ َﻳﺨْﻠُﻮ ِﺑﻐَﺎﺭِ ﺣِ ﺮَﺍءٍ َﻳ َﺘ‬ َ ‫ﺣﺒﱢﺐَ ﺇِ َﻟﻴْﻪِ ﺍ ْﻟ‬ ُ ‫ﺼ ْﺒﺢِ ُﺛﻢﱠ‬ ‫ﺍﻟ ﱡ‬ ِ‫ﻓِﻴﻪِ ﻭَ ُﻫﻮَ ﺍﻟ ﱠﺘ َﻌﺒﱡﺪُ ﺍﻟﱠﻠﻴَﺎﻟِﻲَ ُﺃﻭْﻻَﺕِ ﺍ ْﻟﻌَﺪَﺩِ َﻗ ْﺒﻞَ َﺃﻥْ َﻳ ْﺮﺟِﻊَ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻫْﻠِﻪ‬ ‫ﺣﺘﱠ ﻰ‬ َ ‫َﻭ َﻳﺘَ َﺰﻭﱠﺩُ ﻟِ ﺬَ ِﻟﻚَ ﺛُ ﻢﱠ َﻳ ْﺮﺟِ ﻊُ ﺇِﻟَ ﻰ ﺧَﺪِﻳﺠَ ﺔَ َﻓ َﻴﺘَ َﺰﻭﱠﺩُ ﻟِ ِﻤﺜْ ِﻠﻬَ ﺎ‬ َ‫ﺣﺮَﺍءٍ َﻓﺠَﺎءَﻩُ ﺍﻟْﻤَ َﻠﻚُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍ ْﻗﺮَﺃْ ﻗَﺎﻝ‬ ِ ِ‫ﺤﻖﱡ ﻭَ ُﻫﻮَ ﻓِﻲ ﻏَﺎﺭ‬ َ ‫ﺠﺌَﻪُ ﺍ ْﻟ‬ ِ ‫َﻓ‬ ‫ﺠﻬْ ﺪَ ﺛُ ﻢﱠ‬ َ ‫ﺣﺘﱠﻰ ﺑَﻠَ ﻎَ ِﻣﻨﱢ ﻲ ﺍ ْﻟ‬ َ ‫ﻄﻨِﻲ‬ ‫ﻣَﺎ َﺃﻧَﺎ ﺑِﻘَﺎ ِﺭﺉٍ ﻗَﺎﻝَ ﻓَ َﺄﺧَ َﺬﻧِﻲ َﻓ َﻐ ﱠ‬ ‫َﺃﺭْﺳَ َﻠﻨِﻲ ﻓَﻘَ ﺎﻝَ ﺍﻗْ ﺮَﺃْ ﻗَ ﺎﻝَ ﻗُﻠْ ﺖُ ﻣَ ﺎ َﺃﻧَ ﺎ ﺑِﻘَ ﺎ ِﺭﺉٍ ﻗَ ﺎﻝَ ﻓَ َﺄﺧَ َﺬﻧِﻲ‬ ْ‫ﺠﻬْ ﺪَ ﺛُ ﻢﱠ َﺃﺭْﺳَ َﻠﻨِﻲ ﻓَﻘَ ﺎﻝَ ﺃَﻗْ ﺮَﺃ‬ َ ‫ﺣﺘﱠﻰ ﺑَﻠَﻎَ ِﻣﻨﱢﻲ ﺍ ْﻟ‬ َ َ‫ﻄﻨِﻲ ﺍﻟﺜﱠﺎ ِﻧﻴَﺔ‬ ‫َﻓ َﻐ ﱠ‬ ‫ﺣﺘﱠ ﻰ ﺑَﻠَ ﻎَ ِﻣﻨﱢ ﻲ‬ َ َ‫ﻄﻨِ ﻲ ﺍﻟﺜﱠﺎ ِﻟﺜَ ﺔ‬ ‫ﻓَﻘُﻠْﺖُ ﻣَﺎ َﺃﻧَﺎ ﺑِﻘَﺎ ِﺭﺉٍ ﻓَ َﺄﺧَ َﺬﻧِﻲ َﻓ َﻐ ﱠ‬ َ‫ ]ﺍ ْﻗﺮَﺃْ ﺑِﺎﺳْ ﻢِ َﺭﺑﱢ ﻚَ ﺍﻟﱠ ﺬِﻱ ﺧَﻠَ ﻖَ ﺧَﻠَ ﻖ‬:َ‫ﺠﻬْﺪَ ُﺛﻢﱠ َﺃﺭْﺳَ َﻠﻨِﻲ ﻓَﻘَﺎﻝ‬ َ ‫ﺍ ْﻟ‬ َ‫ﺍ ِﻹﻧْﺴَﺎﻥَ ِﻣﻦْ ﻋَ َﻠﻖٍ ﺍ ْﻗﺮَﺃْ َﻭ َﺭ ﱡﺑﻚَ ﺍ َﻷ ْﻛ َﺮﻡُ ﺍﻟﱠ ﺬِﻱ ﻋَﻠﱠ ﻢَ ﺑِ ﺎﻟْﻘَ َﻠﻢِ ﻋَﻠﱠ ﻢ‬ [ْ‫ﻹﻧْﺴَﺎﻥَ ﻣَﺎ َﻟﻢْ َﻳﻌْ َﻠﻢ‬ ِ‫ﺍ‬ Permulaan wahyu Rasulullah saw. telah terjadi dalam bentuk mimpi yang benar dalam tidur beliau. Beliau mendapatkan mimpi tersebut sebagaimana munculnya keheningan fajar subuh yang menyebabkan beliau suka menyendiri. Beliau biasanya menyendiri di gua Hira'. Di sana beliau menghabiskan beberapa malam untuk beribadah dengan mengabdikan diri kepada Allah SWT. sebelum kembali ke rumah. Untuk tujuan tersebut beliau membawa sedikit bekal. Setelah beberapa hari berada di sana, beliau pulang kepada Khadijah, mengambil bekal untuk beberapa malam. Keadaan ini terus berlanjut 3 Ibid, juz I, hal. 23­24; Muhammad ‘Alwî al­Mâliki, Zubdat al­Itqân, Dâr as­Syurûq, Beirut, cet. II, 1983, hal. 7; Ahmad von Denffer, Op. Cit., hal. 26. 36 sehingga beliau didatangi wahyu ketika beliau berada di gua Hira'. Wahyu tersebut disampaikan oleh Malaikat Jibril a.s dengan berkata: Bacalah wahai Muhammad! Beliau bersabda: Aku tidak bisa membaca. Rasulullah saw. bersabda: Malaikat itu kemudian memegang aku lalu memelukku erat-erat sehingga aku pulih dari ketakutan. Kemudian Malaikat itu melepasku dengan berkata: Bacalah wahai Muhammad! Beliau sekali lagi bersabda: Aku tidak bisa membaca. Rasulullah saw. bersabda: Malaikat itu kemudian memegang aku untuk kedua kalinya lalu memelukku erat-erat sehingga aku pulih dari ketakutan. Malaikat itu seterusnya melepasku dengan berkata: Bacalah wahai Muhammad! Beliau bersabda: Aku tidak bisa membaca. Rasulullah saw. bersabda: Malaikat itu kemudian memegang aku untuk ketiga kalinya serta memelukku erat-erat sehingga aku kembali pulih dari ketakutan. Kemudian Malaikat itu melepaskan aku dan membaca firman Allah ( ) Yang artinya: Bacalah wahai Muhammad dengan nama Tuhanmu yang menciptakan sekalian makhluk. Dia menciptakan manusia dari seketul darah beku, bacalah dan Tuhan mu Yang Maha Pemurah yang mengajar manusia melalui pen dan tulisan. Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahui.4 2. Bahwa yang pertama kali diturunkan adalah surat alMudatstsir. Pendapat ini didasarkan pada hadits riwayat Jâbir, yang menyatakan: ‫ ﻗَ ﺎﻝَ ﺟَ ﺎ َﻭﺭْﺕُ ِﺑﺤِ ﺮَﺍ ٍء‬e ِ‫ﻻَ ُﺃﺣَ ﱢﺪ ُﺛﻚَ ﺇِﻻﱠ ﻣَ ﺎ ﺣَ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ﺭَﺳُ ﻮﻝُ ﺍﻟﻠﱠ ﻪ‬ ْ‫ﻋﻦْ ﻳَﻤِﻴﻨِﻲ ﻓَ َﻠﻢ‬ َ ُ‫ﻈﺮْﺕ‬ َ ‫ﺟﻮَﺍﺭِﻱ َﻫ َﺒﻄْﺖُ َﻓﻨُﻮﺩِﻳﺖُ َﻓ َﻨ‬ ِ ُ‫ﻀﻴْﺖ‬ َ َ‫ﻓَﻠَﻤﱠﺎ ﻗ‬ ‫ﻋﻦْ ﺷِ ﻤَﺎﻟِﻲ ﻓَﻠَ ﻢْ َﺃﺭَ ﺷَ ْﻴﺌًﺎ َﻭ َﻧﻈَ ﺮْﺕُ ﺃَﻣَ ﺎﻣِﻲ‬ َ ُ‫ﻈﺮْﺕ‬ َ ‫ﺷ ْﻴﺌًﺎ َﻭ َﻧ‬ َ َ‫َﺃﺭ‬ ‫ﻓَﻠَ ﻢْ َﺃﺭَ ﺷَ ْﻴﺌًﺎ َﻭ َﻧﻈَ ﺮْﺕُ ﺧَﻠْﻔِ ﻲ ﻓَﻠَ ﻢْ َﺃﺭَ ﺷَ ْﻴﺌًﺎ َﻓﺮَ َﻓﻌْ ﺖُ ﺭَﺃْﺳِ ﻲ‬ ً‫ﺻﺒﱡﻮﺍ ﻋَﻠَﻲﱠ ﻣَﺎء‬ ُ َ‫ﺷ ْﻴﺌًﺎ ﻓَ َﺄ َﺗﻴْﺖُ ﺧَﺪِﻳﺠَﺔَ ﻓَﻘُﻠْﺖُ َﺩ ﱢﺛﺮُﻭﻧِﻲ ﻭ‬ َ ُ‫َﻓﺮََﺃﻳْﺖ‬ 4 Al­Bukhâri, Shahîh, hadits no. 3. 37 ‫ ]ﻳَ ﺎ‬:ْ‫ﺻﺒﱡﻮﺍ ﻋَﻠَﻲﱠ ﻣَﺎءً ﺑَﺎﺭِﺩًﺍ ﻗَﺎﻝَ َﻓ َﻨﺰَﻟَﺖ‬ َ َ‫ﺑَﺎﺭِﺩًﺍ ﻗَﺎﻝَ ﻓَ َﺪ ﱠﺛﺮُﻭﻧِﻲ ﻭ‬ [ْ‫ﺭ ﱠﺑﻚَ َﻓ َﻜ ﱢﺒﺮ‬ َ ‫َﺃ ﱡﻳﻬَﺎ ﺍﻟْﻤُ ﱠﺪ ﱢﺛﺮُ ﻗُﻢْ ﻓَ َﺄﻧْ ِﺬﺭْ َﻭ‬ Aku tidak akan menyampaikan kepadamu kecuali apa yang telah disampaikan kepada kami oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda: Aku telah tinggal mengasingkan diri di gua Hira’, maka ketika aku telah menyelesaikan pengasinganku, aku turun (dari gua itu), tiba-tiba aku dipanggil. Aku lalu melihat ke sebelah kananku, namun tidak melihat apa-apa, dan aku pun melihat ke sebelah kiriku, namun juga tidak melihat apa-apa. Aku kemudian menoleh ke belakangku, namun juga tidak melihat apa-apa, lalu aku angkat kepalaku, tibatiba saya melihat sesuatu. Aku datangi Khadijah, dan aku katakan kepadanya: Selimutilah aku, dan guyurkanlah air dingin kepadaku. Beliau pun menceritakan: Mereka pun menyelimutiku, dan mengguyurku dengan air dingin, lalu beliau bersabda: Maka, turunlah: ( ) Yang artinya: Wahai orang berselimut, bangunlah dan sampaikanlah peringatan (dari Tuhanmu), dan kepada Tuhanmulah hendaknya kamu bertakbir.5 3. Bahwa yang pertama kali diturunkan adalah al-Fâtihah: Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh al-Bayhaqî. 4. Bahwa yang pertama kali diturunkan adalah Bismillâhîrrahmânirrahîm. Perbedaan pendapat ini telah dijawab oleh para ulama’ dengan beberapa jawaban, yang paling populer adalah: Pertama, bahwa yang dimaksud dengan “awal” atau “permulaan” dalam hadits Jâbir adalah permulaan dalam hal tertentu, artinya bukan yang benar-benar pertama kali diturunkan kepada Rasul, melainkan ayat yang pertama kali diturunkan sebagai perintah untuk memberikan peringatan. Dengan kata lain, surat al-Mudatstsir merupakan yang pertama kali diturunkan kepada Muhammad saw. sebagai Rasul, sedangkan yang pertama kali diturunkan kepada beliau saw. sebagai Nabi adalah surat al-‘Alaq. 5 Al­Bukhâri, Shahîh, hadits no. 3. 38 Kedua, bahwa yang dimaksud oleh Jâbir sebagai ayat yang pertama kali diturunkan adalah yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi saw. secara lengkap. Ini juga tidak bertentangan dengan realitas surat al-‘Alaq sebagai yang pertama kali diturunkan secara mutlak, karena surat tersebut belum diturunkan secara lengkap. Ini dikuatkan dengan hadits Jabir yang lain tentang jeda wahyu (fatrah al-wahy), yang menyebut surat al-Mudatsitsir. Dari kalimat yang menyatakan: almalik al-ladzî ja’ânî bihirâ’ (malaikat yang mendatangiku di gua Hira’) dalam hadits tersebut, membuktikan bahwa kisah ini lebih akhir dibanding dengan kisah turunnya surat al-‘Alaq di gua Hira’. Ini merupakan jawaban yang paling tepat, dilihat dari sisi dalil. Ketiga, sebagain ulama’ ---sebut saja al-Kirmâni--menyatakan, bahwa Jâbir menyatakan demikian berdasarkan ijtihadnya, bukan berdasarkan periwayatannya, sehingga apa yang dinyatakan Jâbir harus dikalahkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah. Ini juga merupakan jawaban yang baik. Keempat, mengenai pendapat yang ketiga telah dijawab oleh para ulama’ dengan menyatakan, bahwa hadits yang dikeluarkan oleh al-Bayhaqi tersebut adalah hadits Mursal, atau ada kemungkinkan berisi informasi mengenai turunnya surat tersebut setelah surat al‘Alaq diturunkan kepada beliau. Kelima, pendapat yang keempat telah dibantah oleh asSuyûthi, dengan menyatakan bahwa pandangan tersebut tidak bisa dianggap sebagai pendapat yang kuat, karena tiap turunnya ayat pasti selalu disertai dengan bismillâh. Jadi, bismillâh bukanlah surat atau ayat tersendiri yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Dengan demikian, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang pertama, yang menyatakan bahwa surat al-‘Alaq merupakan yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah saw. secara mutlak. 1.3. Yang Pertama Diturunkan Dalam Konteks Tertentu Mengani yang pertama kali diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah saw. dalam konteks tertentu, baik menyangkut tempat maupun isi, adalah sebagai berikut: 39 1. Yang pertama kali diturunkan di Makkah adalah surat al‘Alaq, sedangkan yang pertama kali diturunkan di Madinah adalah surat al-Baqarah; ada yang menyatakan surat alMuthaffifîn. Adapun yang terakhir diturunkan di Makkah adalah surat al-Mu’minûn, sementara yang terakhir diturunkan di Madinah adalah surat Barâ’ah (at-Tawbah). 2. Yang pertama kali diturunkan mengenai peperangan adalah surat al-Haj: 39: ْ‫]ﺃُ ِﺫﻥَ ﻟِﻠﱠ ﺬِﻳﻦَ ﻳُﻘَ ﺎﺗَﻠُﻮﻥَ ﺑِ َﺄ ﱠﻧ ُﻬﻢْ ﻇُﻠِﻤُ ﻮﺍ ﻭَِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ﻪَ ﻋَﻠَ ﻰ ﻧَﺼْ ﺮِ ِﻫﻢ‬ [ٌ‫ﻟَﻘَﺪِﻳﺮ‬ Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benarbenar Maha Kuasa menolong mereka itu. 3. Yang pertama kali diturunkan mengenai Khamer adalah surat al-Baqarah: 219: ُ‫ﺴﺮِ ُﻗﻞْ ﻓِﻴﻬِﻤَ ﺎ ِﺇﺛْ ﻢٌ َﻛﺒِﻴ ﺮٌ ﻭَ َﻣﻨَ ﺎﻓِﻊ‬ ِ ْ‫ﻋﻦِ ﺍ ْﻟﺨَ ْﻤﺮِ ﻭَﺍﻟْ َﻤﻴ‬ َ َ‫]ﻳَﺴْﺄَﻟُﻮ َﻧﻚ‬ [‫ﻣﻦْ ﻧَ ْﻔ ِﻌﻬِﻤَﺎ‬ ِ ُ‫ﻟِﻠﻨﱠﺎﺱِ ﻭَِﺇﺛْ ُﻤﻬُﻤَﺎ َﺃ ْﻛ َﺒﺮ‬ Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya". 4. Yang pertama kali diturunkan mengenai Sajdah (sujud tilawah) adalah surat an-Najm. 5. Yang pertama kali diturunkan untuk mengatur makanan di Makkah adalah surat al-An’âm: 145: ‫ﻄﻌَﻤُ ﻪُ ﺇِ ﱠﻻ‬ ْ َ‫ﻋﻢٍ ﻳ‬ ِ ‫ﺤﺮﱠﻣًﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻃَ ﺎ‬ َ ‫] ُﻗﻞْ ﻻَ َﺃﺟِﺪُ ﻓِﻲ ﻣَﺎ ﺃُﻭﺣِﻲَ ﺇِﻟَﻲﱠ ُﻣ‬ ٌ‫ﺧ ْﻨﺰِﻳ ﺮٍ ﻓَ ِﺈﻧﱠ ﻪُ ِﺭﺟْ ﺲ‬ ِ َ‫ﺤﻢ‬ ْ ‫َﺃﻥْ َﻳﻜُﻮﻥَ َﻣ ْﻴﺘَﺔً َﺃﻭْ ﺩَﻣًﺎ ﻣَﺴْﻔُﻮﺣًﺎ َﺃﻭْ َﻟ‬ 40 ٍ‫ﻏﻴْ ﺮَ ﺑَ ﺎﻍٍ ﻭَﻻَ ﻋَ ﺎﺩ‬ َ ‫ﻄﺮﱠ‬ ُ ْ‫َﺃﻭْ ﻓِﺴْﻘًﺎ ﺃُ ِﻫﻞﱠ ِﻟ َﻐ ْﻴﺮِ ﺍﻟﻠﱠ ﻪِ ﺑِ ﻪِ ﻓَﻤَ ﻦِ ﺍﺿ‬ [ٌ‫ﺭﺣِﻴﻢ‬ َ ٌ‫ﻓَ ِﺈﻥﱠ َﺭ ﱠﺑﻚَ ﻏَﻔُﻮﺭ‬ Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi --karena sesungguhnya semua itu kotor-atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." 6. Yang pertama kali diturunkan untuk mengatur makanan di Madinah adalah surat al-Baqarah: 173: ‫ﺨ ْﻨﺰِﻳ ﺮِ ﻭَﻣَ ﺎ ُﺃﻫِ ﻞﱠ ﺑِ ِﻪ‬ ِ ‫ﺣ ﱠﺮﻡَ ﻋَ َﻠ ْﻴ ُﻜﻢُ ﺍﻟْ َﻤ ْﻴﺘَﺔَ ﻭَﺍﻟ ﱠﺪﻡَ ﻭَ َﻟﺤْ ﻢَ ﺍ ْﻟ‬ َ ‫]ِﺇﻧﱠﻤَﺎ‬ ‫ﻏﻴْ ﺮَ ﺑَ ﺎﻍٍ ﻭَﻻ ﻋَ ﺎﺩٍ ﻓَ ﻼ ِﺇﺛْ ﻢَ ﻋَ َﻠﻴْ ﻪِ ِﺇﻥﱠ‬ َ ‫ﻄﺮﱠ‬ ُ ْ‫ِﻟ َﻐ ْﻴ ِﺮ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻓَﻤَ ﻦِ ﺍﺿ‬ [ٌ‫ﺭﺣِﻴﻢ‬ َ ٌ‫ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻏَﻔُﻮﺭ‬ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 1.4. Yang Terakhir Diturunkan Para ulama’ juga berbeda pendapat mengenai yang terakhir diturunkan menjadi beberapa pendapat, yang paling populer: 1. Bahwa yang terakhir diturunkan adalah firman Allah: َ ‫ﺴﺘَ ْﻔﺘُﻮ َﻧﻚَ ُﻗﻞِ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻳُ ْﻔﺘِﻴ ُﻜﻢْ ﻓِ ﻲ ﺍ ْﻟﻜَﻼﻟَ ﺔِ ِﺇﻥِ ﺍﻣْ ُﺮﺅٌ ﻫَﻠَ ﻚَ ﻟَ ْﻴ‬ ‫ﺲ‬ ْ َ‫]ﻳ‬ ْ‫ﻟَﻪُ ﻭَﻟَﺪٌ ﻭَﻟَﻪُ ُﺃﺧْﺖٌ ﻓَ َﻠﻬَﺎ ﻧِﺼْﻒُ ﻣَﺎ َﺗ َﺮﻙَ ﻭَ ُﻫﻮَ َﻳ ِﺮ ُﺛﻬَﺎ ِﺇﻥْ َﻟﻢْ َﻳ ُﻜﻦ‬ 41 ‫َﻟﻬَﺎ ﻭَﻟَﺪٌ ﻓَ ِﺈﻥْ ﻛَﺎ َﻧﺘَﺎ ﺍ ْﺛ َﻨ َﺘ ْﻴﻦِ ﻓَ َﻠﻬُﻤَﺎ ﺍﻟﺜﱡُﻠﺜَﺎﻥِ ﻣِﻤﱠﺎ َﺗ َﺮﻙَ ﻭَﺇِﻥْ ﻛَ ﺎﻧُﻮﺍ‬ ْ‫ﺣﻆﱢ ﺍ ُﻷ ْﻧ َﺜ َﻴ ْﻴﻦِ ُﻳ َﺒ ﱢﻴﻦُ ﺍﻟﻠﱠ ﻪُ َﻟﻜُ ﻢ‬ َ ُ‫ﺧﻮَﺓً ِﺭﺟَﺎﻻ َﻭﻧِﺴَﺎءً ﻓَﻠِﻠ ﱠﺬ َﻛﺮِ ِﻣ ْﺜﻞ‬ ْ ‫ِﺇ‬ [ٌ‫َﺃﻥْ ﺗَﻀِﻠﱡﻮﺍ ﻭَﺍﻟﻠﱠﻪُ ِﺑ ُﻜﻞﱢ ﺷَﻲْءٍ ﻋَﻠِﻴﻢ‬ Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang lakilaki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudarasaudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara lakilaki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Q.s. an-Nisa’: 176).6 2. Ibn ‘Abbâs berpendapat, bahwa ayat yang diturunkan terakhir adalah ayat tentang riba: ْ‫]ﻳَﺎَﺃ ﱡﻳﻬَﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ءَﺍ َﻣﻨُﻮﺍ ﺍﺗﱠﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻭَ َﺫﺭُﻭﺍ ﻣَﺎ ﺑَﻘِﻲَ ِﻣﻦَ ﺍﻟ ﱢﺮﺑَﺎ ِﺇﻥ‬ [َ‫ﻣﻨِﻴﻦ‬ ِ ْ‫ُﻛ ْﻨ ُﺘﻢْ ُﻣﺆ‬ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman (Q.s. al-Baqarah: 278).7 3. Beliau juga berpendapat, bahwa ayat yang diturunkan terakhir adalah: 6 7 H.r. Al­Bukhâri dan Muslim. H.r. Al­Bukhâri. 42 ‫ﺟﻌُﻮﻥَ ﻓِﻴﻪِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﱠ ﻪِ ﺛُ ﻢﱠ ﺗُ ﻮَﻓﱠﻰ ﻛُ ﻞﱡ ﻧَﻔْ ﺲٍ ﻣَ ﺎ‬ َ ‫]ﻭَﺍﺗﱠﻘُﻮﺍ َﻳﻮْﻣًﺎ ُﺗ ْﺮ‬ [َ‫ﻫﻢْ ﻻ ُﻳﻈْﻠَﻤُﻮﻥ‬ ُ َ‫ﺴﺒَﺖْ ﻭ‬ َ َ‫ﻛ‬ Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan) (Q.s. al-Baqarah: 281).8 4. Sa’id bin al-Musayb berkata, bahwa ayat yang diturunkan terakhir adalah ayat hutang. Pendapat Ibn ‘Abbâs yang pertama dan kedua, bisa dikompromikan sehingga bisa disimpulkan, bahwa kedua ayat tersebut adalah ayat yang diturunkan terakhir secara bersama-sama sekaligus, sebagaimana dalam urutan ayat-ayat tersebut dalam Mushaf. Karena itu, masing-masing sah disebut sebagai yang terakhir diturunkan. Mengenai pendapat yang menyatakan, bahwa ayat Kalâlah sebagai yang terakhir diturunkan, maksudnya adalah yang terakhir diturunkan dalam konteks hukum Farâi’dh dan hukum. Meski demikian, ada ambiguitas (isykâl) yang tampak dari teks surat al-Mâ’idah: 3 yang menyatakan: ُ‫]ﺍ ْﻟﻴَ ْﻮﻡَ َﺃﻛْﻤَﻠْ ﺖُ َﻟﻜُ ﻢْ ﺩِﻳ َﻨ ُﻜﻢْ ﻭََﺃﺗْﻤَﻤْ ﺖُ ﻋَﻠَ ْﻴ ُﻜﻢْ ِﻧﻌْ َﻤﺘِ ﻲ َﻭﺭَﺿِ ﻴﺖ‬ [‫َﻟ ُﻜﻢُ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡَ ﺩِﻳﻨًﺎ‬ Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. dimana secara eksplisit ayat tersebut menyatakan, bahwa Islam telah sempurna sehingga tidak perlu lagi diturunkan ayat-ayat berikutnya. Namun kenyataannya ayat ini bukan ayat yang terakhir diturunkan kepada Rasul, sebab ketika itu Rasul masih hidup selama 81 hari. 8 H.r. Al­Bukhâri. 43 Dan setelah itu, masih ada beberapa ayat yang diturunkan, antara lain, secara berurutan ayat kalâlah, ribâ dan dayn (hutang).9 Sementara ketika ayat ribâ, ayat 281 dan ayat dayn diturunkan, Rasul masih hidup selama 9 malam.10 Lalu, apa yang dimaksud dengan firman Allah: alyawm[a] akmaltu lakum dînakum (hari ini, Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian), yang berarti secara eksplisit, ayat ini menyatakan, bahwa sejak hari ini (hari Jum'at, saat Nabi wuquf di Arafah) agama ini telah sempurna, tidak ada penambahan dan pengurangan. Bentuk ambiguitas (isykâl) sebagaimana kata as-Suyûthi ini dijelaskan oleh as-Sâyis dengan baik. Menurutnya, yang dimaksud Allah telah menyempurnakan agama ini adalah, bahwa sebelum turunnya ayat ini, hukum-hukum Islam ada yang ---menurut ilmu Allah--- bersifat temporal, dan berpeluang untuk dinasakh, namun sekarang semuanya sudah sempurna dan layak untuk diimplementasikan pada tiap waktu dan tempat. Di sini, kesempurnaan Islam tersebut terlihat pada substansinya, ketika ia mengajarkan dasar-dasar akidah, legislasi hukum (tasyrî'al-ahkâm) dan ketentuan ijtihad (qawânîn al-ijtihâd).11 Di sisi lain, orang Arab biasa menggunakan lafadz: dîn (agama) dengan konotasi: syarî'ah yang disyariatkan,12 yang meliputi akidah dan hukum syara', baik ibadah, ekonomi, pemerintahan, sosial, pendidikan maupun lain-lain. Ini artinya, sebagai ajaran, Islam adalah ajaran yang sempurna, meliputi 9 Menurut Bukhâri­Muslim, yang terakhir diturunkan adalah ayat kalâlah (Q.s. an­Nisâ' [3]: 176), sedangkan menurut Sa'id bin al­ Musayb, ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat hutang (Q.s. al­ Baqarah [2]: 282), sedangkan menurut Ibn 'Abbâs, adalah ayat riba (Q.s. al­Baqarah [2]: 277) dan ayat 281. Dalam tarjih as­Suyûthi, ketiganya bisa dikompromikan dengan kesimpulan bahwa ketiga­ tiganya diturunkan sekali, sebagaimana yang terdapat dalam urutan mushaf. 10 Lihat, as­Suyûthi, al­Itqân fi 'Ulûm al­Qur'ân, Dâr al­Fikr, Beirut, t.t., juz I, hal. 27. 11 'Ali as­Sâyis, Tafsîr, juz I, hal. 166. 12 Al­Qurthûbi, al­Jâmi' li Ahkâm al­Qur'ân, ketika menafsirkan surat al­Mâidah [5]: 3. 44 seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada lagi aspek syariah yang belum dibahas di dalamnya. Dengan demikian, pendapat yang paling kuat mengenai yang terakhir diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad saw. adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibn ‘Abbâs di atas. 1.5. Rasionalisasi Turunnya al-Qur’an Secara Bertahap Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw. secara bertahap, selama kurang lebih 23 tahun; 13 tahun ketika di Makkah, sebelum hijrah, dan 10 tahun di Madinah, pasca hijrah. Allah sendiri menegaskan, bahwa al-Qur’an ini diturunkan secara bertahap: ُ‫]ﻭَ ُﻗﺮْءَﺍﻧً ﺎ َﻓﺮَ ْﻗﻨَ ﺎﻩُ ِﻟﺘَﻘْ ﺮَﺃَﻩُ ﻋَﻠَ ﻰ ﺍﻟﻨﱠ ﺎﺱِ ﻋَﻠَ ﻰ ُﻣﻜْ ﺚٍ َﻭ َﻧﺰﱠ ْﻟﻨَ ﺎﻩ‬ [‫َﺗ ْﻨﺰِﻳﻼ‬ Dan al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian (Q.s. al-Isrâ’: 106). Allah mengemukakan rasionalisasi turunnya al-Qur’an secara berangsur itu antara lain: 1. Untuk meneguhkan hati Rasulullah saw. sehingga beliau tetap lapang dada dan bertambang senang. Allah berfirman: ً‫]ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ﻛَﻔَ ﺮُﻭﺍ ﻟَ ﻮْﻻ ﻧُ ﱢﺰﻝَ ﻋَ َﻠﻴْ ﻪِ ﺍﻟْﻘُ ﺮْءَﺍﻥُ ﺟُﻤْﻠَ ﺔً ﻭَﺍﺣِ ﺪَﺓ‬ [‫ﺮﺗِﻴﻼ‬ ْ ‫ﻛَﺬَ ِﻟﻚَ ِﻟ ُﻨ َﺜﺒﱢﺖَ ﺑِﻪِ ُﻓﺆَﺍ َﺩﻙَ َﻭ َﺭﺗﱠ ْﻠﻨَﺎﻩُ َﺗ‬ Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar) (Q.s. al-Furqân: 32). 2. Untuk memudahkan pembacaannya kepada ummat manusia, mudah dihafal dan dilaksanakan perintah-perintahnya: 45 ُ‫]ﻭَ ُﻗﺮْءَﺍﻧً ﺎ َﻓﺮَ ْﻗﻨَ ﺎﻩُ ِﻟﺘَﻘْ ﺮَﺃَﻩُ ﻋَﻠَ ﻰ ﺍﻟﻨﱠ ﺎﺱِ ﻋَﻠَ ﻰ ُﻣﻜْ ﺚٍ َﻭ َﻧﺰﱠ ْﻟﻨَ ﺎﻩ‬ [‫َﺗ ْﻨﺰِﻳﻼ‬ Dan al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian (Q.s. al-Isrâ’: 106). 3. Agar bisa dilaksanakan secara bertahap. Perlu dicatat, bahwa masyarakat Islam pertama yang dibentuk oleh Rasulullah saw. itu tumbuh dan berkembang selama bertahun-tahun. Dimulai dari pembentukan akidah dan kemuliaan akhlak, diikuti dengan pensyariatan hukum, baik dalam hal ibadah maupun muamalah, lalu diikuti dengan penjelasan hukum kenegaraan setelah berdirinya negara Islam di Madinah. Semuanya ini menuntut adanya fase-fase waktu yang berurutan diikuti dengan turunnya ayat sesuai dengan peristiwa dan kejadian yang ada pada tiap fasenya. Sekedar contoh, bisa ditunjukkan pada kasus pengharaman khamer. Khamer benar-benar telah menjadi trandisi akut yang sangat sulit ditinggalkan, namun dengan proses seperti inilah, tradisi itu akhirnya bisa dihilangkan oleh Islam dengan tuntas.13 2. Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah Meski dari Rasulullah saw. tidak ada penjelasan mengenai pembahasan ini, karena ketika itu kaum Muslim tidak membutuhkan penjelasan seperti ini, namun mereka menyaksikan wahyu, tempat, waktu dan sebab-sebab turunnya. Sekalipun demikian, pembahasan mengenai ayat Makkiyah dan Madaniyah, baik mengenai batasan, ciri 13 Bandingkan dengan upaya Amerika untuk melarang minuman tersebut. Puluhan tahun Amerika berusaha melarangnya, namun tidak mampu, sampai kemudian Senat Amerika memutuskan untuk membolehkan kembali peredaran minuman tersebut. Akhirnya puluhan tahun usaha negara itu menjadi sia­sia. 46 khas maupun isinya merupakan pembahasan yang sangat penting. Bukan hanya pada tataran teori, tetapi sekaligus menjadi guidance bagi ummat Islam dalam rangka meneladani perjalanan hidup Rasulullah saw. khususnya dalam membentuk masyarakat Madinah yang civilized (berperadaban), di bawah naungan Negara Islam Madinah. 2.1. Maksud Ayat Makkiyah dan Madaniyah Mengenai batasan ayat Makkiyah dan Madaniyah, memang telah menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama’. Meski demikian, dari aspek bahwa surat atau ayat ini Makki atau Madani, secara lobal hampir bisa dikatakan tidak ada perbedaan pendapat kecuali perbedaan yang sangat tipis. Perbedaan dalam menentukan Makki dan Madani ini umumnya berangkat dari perbedaan pijakan yang digunakan oleh ulama’. Ada yang berpijak pada waktu, tempat dan khithâb (seruan)-nya: 1. Pijakan waktu: yang paling populer di kalangan ahli tafsir, bahkan telah menjadi kesepakatan di kalangan mereka, bahwa surat atau ayat yang diturunkan sebelum hijrah adalah Makkiyah, sedangkan yang diturunkan setelah hijrah adalah Madaniyah. Dalam hal ini, tempat bukan menjadi ukuran. Misalnya, surat al-Mâ’idah: 03 adalah Madaniyah meski diturunkan di ‘Arafah-Makkah. 2. Pijakan tempat: pendapat kedua mendasarkan klasifikasinya atas Makki dan Madani berdasarkan tempat; jika diturunkan di Makkah, berarti Makkiyah, dan jika diturunkan di Madinah, berarti Madaniyah. Ketika ada sejumlah ayat yang diturunkan di luar kedua tempat tadi, maka kelompok kedua ini memperluas cakupan tempatnya, misalnya Makkah meliputi: (1) Mina, (2) ‘Arafah, (3) Hudaybiyah, sedangkan Madinah meliputi: (1) Badar dan Uhud. 3. Pijakan khithâb: pendapat ini mendasarkan klasifikasinya berdasarkan seruan yang disampaikan; jika seruan tersebut ditujukan kepada penduduk Makkah, berarti Makkiyah dan jika ditujukan kepada penduduk Madinah, berarti Madaniyah. Namun klasifikasi ini bermasalah, jika ternyata seruan tersebut tidak ditujukan kepada salah satunya. 47 Dengan demikian, pendapat yang paling kuat dan tepat mengenai batasan Makkiyah dan Madaniyah adalah pendapat yang mendasarkan klasifikasinya pada waktu, yaitu sebelum atau setelah hijrah. Maka, yang paling tepat adalah bahwa apa yang diturunkan sebelum hijrah disebut Makkiyah, dan apa yang diturunkan setelahnya disebut Madaniyah. 2.2. Cara Mengetahui Ayat Makkiyah dan Madaniyah Mengenai cara bagaimana ayat-ayat tersebut diketahui sebagai Makkiyah atau Madaniyah, menurut al-Bâqillâni, adalah dengan merujuk hafalan sahabat dan tabiin. Sebab, hal ini tidak dinyatakan oleh Nabi.14 Para sahabat ra. telah menyaksikan wahyu, tempat, waktu dan obyek yang menjadi sasarannya. Rasul saw. telah menyampaikan kepada mereka, lalu mereka menyampaikan apa yang disampaikan kepada mereka pada kita. Bukan hanya itu, mereka juga menyampaikan tempat dan waktu turunnya ayat; mana yang diturunkan malam dan siang, waktu bepergian dan tidak, di gunung atau tidak, ketika musim semi atau gugur dan seterusnya. Adalah Ibn Mus’ûd ra. diriwayatkan pernah berkata: ‫ﻏ ْﻴﺮُﻩُ ﻣَﺎ ُﺃ ْﻧﺰِﻟَﺖْ ﺳُﻮﺭَﺓٌ ِﻣﻦْ ِﻛﺘَ ﺎﺏِ ﺍﻟﻠﱠ ﻪِ ﺇِ ﱠﻻ‬ َ َ‫ﻭَﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻻَ ﺇِﻟَﻪ‬ ‫َﺃﻧَ ﺎ َﺃﻋْﻠَ ﻢُ َﺃﻳْ ﻦَ ُﺃ ْﻧﺰِﻟَ ﺖْ ﻭَﻻَ ُﺃ ْﻧﺰِﻟَ ﺖْ ﺁﻳَ ﺔٌ ﻣِ ﻦْ ِﻛﺘَ ﺎﺏِ ﺍﻟﻠﱠ ﻪِ ﺇِﻻﱠ َﺃﻧَ ﺎ‬ ُ‫َﺃﻋْ َﻠﻢُ ﻓِﻴﻢَ ُﺃ ْﻧﺰِﻟَﺖْ ﻭَ َﻟﻮْ َﺃﻋْ َﻠﻢُ َﺃﺣَﺪًﺍ َﺃﻋْ َﻠﻢَ ِﻣﻨﱢﻲ ِﺑ ِﻜﺘَﺎﺏِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ُﺗﺒَﱢﻠﻐُ ﻪ‬ ِ‫ﺍ ِﻹ ِﺑﻞُ َﻟ َﺮ ِﻛﺒْﺖُ ﺇِ َﻟﻴْﻪ‬ Demi Allah, Dzat yang tiada Tuhan selain Dia, tidak satu surat pun dari Kitabullah ini yang diturunkan kecuali aku mengetahui di mana ia diturunkan, dan tidak ada satu ayat pun dari Kitabullah ini diturunkan kecuali aku mengetahui dalam konteks apa ia diturunkan. Kalau aku tahu ada orang yang lebih tahu daripada aku mengenai Kitabullah, yang bisa dijangkau oleh unta, pasti aku akan mengendarainya ke sana (H.r. al-Bukhârî). 14 Lihat, as­Suyûthi, al­Itqân, juz I, hal. 23. 48 Karena itu, masalah Makkiyah dan Madaniyah adalah masalah simâ’î. Artinya, rujukan utama untuk mengetahui masalah tersebut adalah mendengarkan penuturan para sahabat ra. Karena merekalah yang menjadi saksi hidup wahyu; waktu, tempat, peristiwa dan orang yang menjadi sasaran turunnya seruan al-Qur’an. Pernyataan mereka dalam hal ini dihukumi Marfû’, atau sama dengan hadits yang dinisbatkan langsung kepada Nabi saw. Sebab, dalam hal ini tidak ada ruang bagi pandangan pribadi sahabat. Jika riwayat yang dinyatakan dari sahabat tersebut sahih, maka harus diterima, dan tidak boleh diganti kecuali dengan dalil yang lebih kuat. Dalam hal ini, al-Bâqillâni menganalogikan pernyataan tabiin dengan sahabat. Alasannya, karena para tabiin senior telah menyaksikan para saksi hidup wahyu tersebut, yaitu sahabat. Merekalah yang menyampaikan informasi tersebut kepada kita. Dalam konteks inilah, as-Syâfi’i telah menerima hadits Mursal tabiin senior.15 2.3. Ciri Khas Ayat Makkiyah dan Madaniyah Setelah menganalisis karakter masing-masing ayat Makkiyah dan Madaniyah, maka bisa disimpulkan ciri khas masing-masing sebagai berikut: 1. Surat Makkiyah didominasi oleh ayat-ayat pendek. Sebagai contoh, surat al-Mudatsitsir jumlah ayatnya adalah 56 ayat; kebanyakan ayatnya terdiri dua kata, tiga atau tidak kurang dari sembilan kata, kecuali satu ayat: 31. Sedangkan surat Madaniyah, ayatnya justru panjang. Jika kita membuat perbandingan satu Hizb surat Makkiyah, seperti yang terdapat dalam surat as-Syu’arâ’ dengan Hizb surat Madaniyah seperti al-Anfâl, maka kita menemukan perbedaan jumlah ayat pada masing-masing Hizb tersebut. Jumlah ayat dalam satu Hizb surat Makkiyah as-Syu’arâ’ adalah 227 ayat, sementara surat Madaniyah al-Anfâl sebenyak 75. 15 Lihat, ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 80. 49 2. Surat Makkiyah didominasi oleh pembahasan mengenai masalah akidah, penegakan dalil, dakwah untuk membebaskan diri dari menyembah berhala dan akidahakidah yang rusak. Sebagai contoh tampak pada surat alAn’âm, Yûnus, al-Furqân, al-Qashash. Sedangkan surat Madaniyah didominasi oleh pembahasan mengenai masalah legislasi hukum, hukum ibadah, muamalah, sistem sosial, jihad dan derivatnya, seperti hukum tawanan, ghanîmah, perdamaian, perjanjian dan gencatan senjata. Karena di Madinah, telah berdiri negara dan masyarakat Islam, yang tidak ditemukan di Makkah. 3. Tiap surat yang di dalamnya ada perintah sujud adalah Makkiyah, demikian juga ayat-ayat seputar kisah-kisah Nabi dan ummat terdahulu, kecuali kisah Adam dan Iblis yang disebutkan dalam surat al-Baqarah adalah Madaniyah. 4. Tiap surat yang di dalamnya dinyatakan lafadz: Kallâ adalah Makkiyah. Lafadz ini telah dinyatakan sebanyak 33 kali dalam 15 surat. Semuanya pada surat terakhir al-Qur’an, seperti al‘Alaq, al-Muthaffifîn dan lain-lain. 5. Jika didahului dengan panggilan: Yâ Ayyuhâ an-Nâs (wahai manusia) atau Yâ Banî Adam (wahai anak Adam) adalah Makkiyah, sedangkan jika didahului dengan panggilan: Yâ Ayyuhâ al-Ladzîna Amanû (wahai orang-orang yang beriman) adalah Madaniyah, kecuali pada tujuh tempat, antara lain: (1) surat al-Baqarah: 21, (2) an-Nisâ’: 1, (3) al-Hujurât: 13, (4) alBaqarah: 168, (5) an-Nisâ’: 133, (6) al-Hajj: 1. Pada ayat-ayat tersebut digunakan panggilan: Yâ Ayyuhâ an-Nâs (wahai manusia). 6. Tiap ayat yang didahului dengan huruf Hijâiyah, seperti Qaf, Nun adalah surat Makkiyah, kecuali al-Baqarah dan Ali ‘Imrân adalah Madaniyah, sementara surat ar-Ra’d ada perbedaan pendapat. Berikut ini adalah surat Makkiyah sesuai dengan kronologi turunnya, berdasarkan laporan az-Zarkasyi, ada 85 surat: (1), al‘Alaq, (2) al-Qalam, (3) al-Muzammil, (4) al-Mudatstsir, (5) al-Masad, (6) at-Takwîr, (7) al-A’lâ, (8) al-Layl, (9) al-Fajr, (10) ad-Dhuhâ, (11) as-Syarh, (12) al-‘Ashr, (13) al50 ‘Adiyât, (14) al-Kawtsar, (15) at-Takâtsur, (16) al-Mâ’ûn, (17) alKâfirûn, (18) al-Fîl, (19), al-Falaq, (20) al-Nâs, (21) al-Ikhlâsh, (22) an-Najm, (23) ‘Abasa, (24) al-Qadar, (25) as-Syams, (26) al-Burûj, (27) at-Tîn, (28) Quraiys, (29) al-Qari’ah, (30) al-Qiyamah, (31) Humazah, (32) al-Mursalât, (33) Qaf, (34) al-Balad, (35) ar-Rahmân, (36) al-Jin, (37) Yasin, (38) al-A’râf, (39) al-Furqân, (40) al-Malaikah, (41) Fâthir, (42) Maryam, (43) Thâha, (44) al-Wâqi’ah, (45) asSyu’arâ’, (46) an-Naml, (47) al-Qashash, (48) al-Isrâ’, (49) Hûd, (50) Yûsuf, (51) Yûnus, (52) al-Hijr, (53) as-Shâffât, (54) Luqmân, (55) alMu’minûn, (56) Saba’, (57) al-Anbiyâ’, (58) az-Zumar, (59) Hamim al-Mu’min, (60) Hamim ‘Aynsinqaf, (61) az-Zukhruf, (62) adDukhân, (63) al-Jâtsiyât, (64) al-Ahqâf, (65) ad-Dzâriyât, (66) alGhâsyiyah, (67) al-Kahf, (68) al-An’âm, (69) an-Nahl, (70) Nûh, (71) Ibrâhîm, (72) Sajdah, (73) at-Thûr, (74) al-Mulk, (75) al-Hâqqah, (76) al-Mâ’arij, (77) an-Naba’, (76) an-Nâzi’ât, (79) Infithâr, (80) Insyiqâq, (81) ar-Rûm, al-Ankabût, (82) al-Muthaffifîn, (83) as-Sâ’ah, (84) alQamar, dan (85) at-Thâriq.16 Adapun berikut ini, adalah yang secara konsensus disepakati sebagai ayat Madaniyyah. Dalam hal ini, ada dua puluh surat: (1) alBaqarah, (2) Ali ‘Imrân, (3) an-Nisâ’, (4) al-Mâidah, (5) al-Anfâl, (6) at-Tawbah, (7) an-Nûr, (8) al-Ahzâb, (9) Muhammad (al-Qitâl), (10) al-Fath, (11) al-Hujurât, (12) al-Hasyr, (13) al-Mumtahanah, (14) alJumu’ah, (15) al-Munâfiqûn, (16) at-Thalaq, (17) at-Tahrîm, (18) alHadîd, (19) al-Mujâdalah, dan (20) an-Nashr. Mengenai al-Fâtihah, ada yang mengatakan Makkiyah, dan ada yang mengatakan Madaniyah. Ada yang mengatakan diturunkan dua kali, sekali di Makkah dan sekali di Madinah. Ada yang mengatakan diturunkan dua kali, sebagian-sebagian; sebagian di Makkah, dan sebagian lagi di Madinah. Yang paling sahih adalah pendapat pertama. Juga terhadap surat an-Nisâ’, ar-Ra’d, al-Hajj, as-Shaff, at-Taghâbun, al-Qiyâmah, al-Kawtsar, dan al-Mu’awwidzatayn (al-Falaq dan an-Nâs), yang paling tepat surat-surat tersebut adalah Madaniyah. Juga terhadap arRahmân, al-Hadîd, al-Insân dan al-Ikhlâsh, yang paling sahih surat16 Az­Zarkasyi, al­Burhân fi ‘Ulûm al­Qur’ân, juz I, hal. 193; an­ Nadîm, al­Fihrist, Dâr al­Kutub al­‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1996, hal. 40­41. 51 surat tersebut adalah Makkiyah. Sampai di sini, penjelasan asSuyûthi.17 Sementara az-Zarkasyi berpendapat, bahwa surat Madaniyah ada 29, yaitu: 1, 2, 3, 4, 5, 8, 9, 13, 22, 24, 33, 47, 48, 49, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 76, 98, 99, 110.18 2.1. Manfaat Mengetahui Makkiyah dan Madaniyah Dengan menganalisis mana yang Makkiyah dan Madaniyyah beserta urut-urutan turunnya, misalnya kita akan menemukan --sebagaimana apa yang dinyatakan dalam al-Burhân, karya azZarkasyi--- bahwa surat al-Qur’an yang pertama kali diturunkan hingga surat al-Hijr yang berisi: Fashda’ bimâ tu’mar (Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu), atau yang dikenal dengan fase dakwah pertama, yaitu fase Sirriyah (rahasia) adalah: (1), al-‘Alaq, (2) alQalam, (3) al-Muzammil, (4) al-Mudatstsir, (5) al-Masad, (6) atTakwîr, (7) al-A’lâ, (8) al-Layl, (9) al-Fajr, (10) ad-Dhuhâ, (11) asSyarh, (12) al-‘Ashr, (13) al-‘Adiyât, (14) al-Kawtsar, (15) at-Takâtsur, (16) al-Mâ’ûn, (17) al-Kâfirûn, (18) al-Fîl, (19), al-Falaq, (20) al-Nâs, (21) al-Ikhlâsh, (22) an-Najm, (23) ‘Abasa, (24) al-Qadar, (25) asSyams, (26) al-Burûj, (27) at-Tîn, (28) Quraiys, (29) al-Qari’ah, (30) al-Qiyamah, (31) Humazah, (32) al-Mursalât, (33) Qaf, (34) al-Balad, (35) ar-Rahmân, (36) al-Jin, (37) Yasin, (38) al-A’râf, (39) al-Furqân, (40) al-Malaikah, (41) Fâthir, (42) Maryam, (43) Thâha, (44) alWâqi’ah, (45) as-Syu’arâ’, (46) an-Naml, (47) al-Qashash, (48) al-Isrâ’, (49) Hûd, (50) Yûsuf, (51) Yûnus, (52) al-Hijr, Jika kita menganalisis surat-surat Makkiyah ini, serta sejumlah pembahasan yang dikemukakannya, tentu kita akan mengetahui karakter fase tersebut, bagaimana sikap Rasulullah saw. dan aktivitas yang ditugaskan kepada beliau agar beliau laksanakan. Pembahasan-pembahasan tersebut, antara lain, meliputi: 1. Pemantapan akidah, yaitu pembahasan utama yang tidak pernah diabaikan oleh al-Qur’an dalam keseluruhan suratnya, baik menyangkut keimanan kepada Allah, dengan seluruh 17 18 Lihat, ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 80. Az­Zarkasyi, al­Burhân fi ‘Ulûm al­Qur’ân, juz I, hal. 194. 52 2. 3. 4. 5. 6. 7. sifat ketuhannya, seperti Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Esa dan lain-lain, keimanan bahwa ini adalah al-Qur’an, bukan merupakan kata-kata biasa sebagaimana yang dituduhkan, melainkan firman Allah, keimanan terhadap kenabian Muhammad saw., keimanan kepada para Nabi terdahulu, juga para Malaikat al-Muqarrabûn, ataupun keimanan kepada Hari Akhir, yang sekali waktu dinyatakan secara ringkas, dan di lain waktu dinyatakan secara detail sesuai dengan situasi dan kondisi. Sanggahan terhadap kaum Kuffar, serangan terhadap pemikiran dan akidah mereka, celaan terhadap tuhan-tuhan mereka serta penghinaan terhadap mimpi-mimpi mereka. Serangan terhadap para tokoh dan pemimpin mereka. Serangan terhadap interaksi yang rusak, yang mengatur masyarakat mereka. Meneguhkan hati Rasulullah dan menjelaskan bahwa apa yang dituduhkan terhadap beliau, tidak lain selain apa yang pernah dituduhkan kepada para Rasul sebelumnya. Meneguhkan keimanan orang-orang Mukmin, bahwa kesulitan dan kekejaman yang mereka hadapi merupakan sunnatullah kepada ciptaan-Nya. Bebarap perumpamaan untuk memperjelas isi yang disampaikan. Sebagai contoh, misalnya, dalam surat yang pertama: [ َ‫ﺳﻢِ َﺭ ﱢﺑﻚَ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﺧَ َﻠﻖ‬ ْ ‫] ﺍ ْﻗﺮَﺃْ ﺑِﺎ‬ Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (Q.s. al-‘Alaq: 1) Pada akhir surat tersebut, Allah menyatakan: [ ‫ﻋﺒْﺪًﺍ ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠﱠﻰ‬ َ ‫] َﺃﺭََﺃﻳْﺖَ ﺍﻟﱠﺬِﻱ َﻳ ْﻨﻬَﻰ‬ Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat? (Q.s. al-‘Alaq: 9-10) 53 sampai pada firman-Nya: ٍ‫] ﻛَ ﻼﱠ ﻟَ ِﺌﻦْ ﻟَ ﻢْ َﻳ ْﻨﺘَ ﻪِ َﻟﻨَﺴْ َﻔ َﻌﻦْ ﺑِﺎﻟﻨﱠﺎﺻِ ﻴَﺔ ﻧَﺎﺻِ ﻴَﺔٍ ﻛَﺎ ِﺫﺑَ ﺔ‬ [ٍِ‫ﻃﺌَﺔ‬ ِ ‫ﺧَﺎ‬ Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. (Q.s. al-‘Alaq: 15) Demikian juga dalam surat yang ketiga: [ ُ‫] ﻳَﺎﺃَ ﱡﻳﻬَﺎ ﺍﻟْﻤُ ﱠﺪ ﱢﺛﺮ‬ Hai orang yang berkemul (berselimut). (Q.s. al-Mudatstsir: 1) berisi serangan yang menusuk para konspirator, yaitu orang-orang Quraisy dan pemimpin mereka, al-Walîd bin al-Mughîrah, ketika di dalam surat tersebut dinyatakan: Saushlîhi saqar (Aku akan seret dia ke neraka Saqar). Dalam surat yang keempat: [ ‫] َﺗﺒﱠﺖْ ﻳَﺪَﺍ َﺃﺑِﻲ َﻟﻬَﺐٍ َﻭﺗَﺐﱠ‬ Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. (Q.s. al-Masad: 1) Ketika Abû Lahab bersama isterinya menganiaya Rasulullah. Dengan menganalisis surat-surat ini beserta urut-urutannya, kita akan melihat bahwa dakwah secara terbuka, menentang akidah kufur, para pemimpin kufur dan interaksi yang rusak telah dilakukan sejak awal. Dalam surat yang keduapuluh: Wa an-Najm (Demi bintang), sejumlah sahabat telah lari ke Abesenia untuk mempertahankan 54 agamanya. Ketika surat tersebut dibacakan oleh Rasulullah kepada kaum Musyrik Arab, dan diakhiri dengan ayat-ayat: ِ‫ﺤﻜُﻮﻥَ ﻭَﻻَ َﺗ ْﺒﻜُ ﻮﻥَ ﻭََﺃﻧْ ُﺘﻢْ ﺳَ ﺎﻣِﺪُﻭﻥَ ﻓَﺎﺳْ ﺠُﺪُﻭﺍ ﻟِﻠﱠ ﻪ‬ َ‫ﻀ‬ ْ َ‫] َﻭﺗ‬ [ ‫ﻋﺒُﺪُﻭﺍ‬ ْ ‫ﻭَﺍ‬ Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan (nya)? Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia). (Q.s. an-Najm: 60-62) Beliau sujud, dan orang-orang yang hadir bersama beliau pun ikut bersujud karena terhipnotis dengan daya magis bacaan dan kehebatan ungkapannya. Sebagian menganggap, bahwa mereka (orang-orang Quraisy) telah beriman. Berita tersebut kemudian sampai ke Abesenia, sehingga sebagian sahabat kembali dari hijrahnya. Maka, bisa disimpulkan, bahwa serangan dakwah terhadap orang Quraisy merupakan kemestian mulai pertama kali dakwah, bukan hanya setelah perintah terang-terangan, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagiain orang. Karena itu, kita bisa memahami bahwa perintah terang-terangan tersebut bukanlah dakwah secara terbuka, karena Rasulullah saw. telah menyampaikan dakwah tersebut kepada orang Quraisy, melainkan perintah terang-terangan itu tidak lain merupakan pemroklamiran organisasi dan siapa saja yang menjadi anggotanya. Jika tidak, mengapa para sahabat melarikan diri ke Abesenia, jika bukan karena adanya penyiksaan (yang diarahkan kepada mereka)? Perlu ditegaskan, cukup dengan menganalisis surat-surat ini, dan surat-surat Makkiyah yang lain, kita akan mengetahui karakter dakwah dan fase yang telah dilaluinnya. Caranya dengan mengetahui pembahasan yang terkandung di dalamnya. Siapa saja yang ingin terikat dengan metode al-Qur’an dan metode Rasulullah saw., dia wajib menempuh tatacara yang sama, yang telah ditempuh oleh Rasulullah saw. 1. Menjelaskan ajaran yang dibawanya, dengan menjelaskan akidahnya, baik keseluruhan maupun bagian-bagiannya, dasare-dasar dan derivatnya, sambil menyeru daya 55 intelektualitas manusia, untuk menarik perhatian manusia terhadap keimanan pada akidah yang disampaikan kepada mereka, dengan uslûb (teknik dan gaya) yang inovatif, dengan mengeksploitasi semua sarana dan prasarana yang tersedia untuk menjelaskan akidah Islam, dan menjauhkan kekaburan yang melekat padanya. 2. Menampilkan kekeliruan pemikiran yang rusak dan akidah yang batil, seperti ateis, syirik, kekufuran dan khususnya pemikiran yang kabur, yang dianggap oleh sebagian kalangan ---sebagai akibat penyesatan--- sebagai pemikiran Islam, atau digali dari semangat Islam, atau minimal tidak bertentangan dengan Islam, seperti Sosialisme, Demokrasi, Patriotisme, Nasionalisme dan lain-lain. 3. Di antara kesulitan utama adalah kepatuhan masyarakat kepada para pemimpin dan tokoh mereka, karena itu harus mengikuti metode yang ditempuh oleh Muhammad saw. dengan membeberkan dan menyerang mereka. 4. Menyerang berbagai kerusakan yang ada di tengah masyarakat, termasuk segala macam interaksinya, juga hukum-hukum yang mengatur kebobrokan dan kebatilan interaksi yang menyeret masyarakat ke dalam berbagai kesengsaraan, serta menyebabkan negeri tersebut ditimpa kerusakan dan kehancuran. 5. Menyiapkan anggota tiap organisasi (kelompok) yang berusaha untuk memimpin ummat agar mereka ---sesuai dengan taraf intelektual yang mereka emban--- mempunyai cara berfikir (‘aqliyyah) dan berperilaku (nafsiyyah) yang Islami. Ini sangat global dan ringkas sekali, melalui pengamatan singkat terhadap surat-surat dan ayat-ayat Makkiyah ini, serta sejenis surat dan ayat yang lain. Inilah sejumlah pembahasan yang paling urgen yang telah dilakukan oleh al-Qur’an, dan diimplementasikan oleh Rasulullah saw. pada fase Makkah. Masing-masing pembahasannya memuat bagian-bagian atau sejumlah derivat, yang tidak menyisakan ruang untuk diperdebatkan, atau alasan bagi manusia di hadapan Allah setelah diutusnya Rasul. Dari gambaran di atas, terlihat dengan jelas betapa pentingnya pembahasan Makkiyah dan Madaniyah; batasan, ciri khas, 56 isi dan rekonstruksi visual kehidupan Rasulullah saw. dalam mengemban risalahnya. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa manfaat mengetahui Makkiyah dan Madaniyah, antara lain: 1. Membantu untuk menafsirkan al-Qur’an: Dengan mengetahui tempat turunnya ayat, akan sangat membantu memahami ayat dan menafsirkannya secara benar, serta mengetahui mana nâsikh dan mansûkh, misalnya. 2. Mengetahui metode dakwah: Sebab, tiap situasi dan kondisi ada ungkapan tertentu yang digunakan (likulli maqâm maqâl). Ini seperti yang telah dijelaskan di atas. 3. Memahami sirah Rasulullah saw. 3. Diturunkannya al-Qur’an dalam Sab’ah Ahruf Banyak riwayat telah menyatakan, bahwa al-Qur’an telah diturunkan dalam Sab’ah Ahruf, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab-kitab hadits: 1. Hadits ‘Umar bin al-Khaththâb yang menyatakan: ‫ﺣﺰَﺍﻡٍ ﻳَ ْﻘﺮَﺃُ ﺳُﻮﺭَﺓَ ﺍﻟْ ُﻔﺮْﻗَﺎﻥِ ﻋَﻠَﻰ‬ ِ ِ‫ﺣﻜِـﻴﻢِ ْﺑﻦ‬ َ َ‫ﺳَ ِﻤﻌْﺖُ ﻫِﺸَـﺎﻡَ ْﺑﻦ‬ ْ‫ ﺃَ ْﻗﺮََﺃﻧِﻴﻬَ ﺎ َﻭﻛِ ﺪْﺕُ َﺃﻥ‬e ِ‫ﻏﻴْ ﺮِ ﻣَ ﺎ ﺃَ ْﻗ َﺮﺅُﻫَ ﺎ َﻭﻛَ ﺎﻥَ ﺭَﺳُ ﻮﻝُ ﺍﻟﻠﱠ ﻪ‬ َ ُ‫ﺠﺌْﺖ‬ ِ ‫ﺼﺮَﻑَ ُﺛﻢﱠ َﻟ ﱠﺒ ْﺒﺘُﻪُ ِﺑﺮِﺩَﺍﺋِﻪِ َﻓ‬ َ ْ‫ﺣﺘﱠﻰ ﺍﻧ‬ َ ُ‫ﺠﻞَ ﻋَ َﻠﻴْﻪِ ُﺛﻢﱠ ﺃَ ْﻣﻬَ ْﻠﺘُﻪ‬ َ‫ﻋ‬ ْ ‫َﺃ‬ ‫ﻏﻴْ ﺮِ ﻣَ ﺎ‬ َ ‫ ﻓَﻘُﻠْﺖُ ِﺇﻧﱢﻲ ﺳَ ِﻤﻌْﺖُ ﻫَ ﺬَﺍ ﻳَﻘْ ﺮَﺃُ ﻋَﻠَ ﻰ‬e ِ‫ﺑِﻪِ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﺃَ ْﻗﺮَ ْﺃ َﺗﻨِﻴﻬَ ﺎ ﻓَﻘَ ﺎﻝَ ﻟِ ﻲ َﺃﺭْﺳِ ﻠْﻪُ ﺛُ ﻢﱠ ﻗَ ﺎﻝَ ﻟَ ﻪُ ﺍﻗْ ﺮَﺃْ ﻓَﻘَ ﺮَﺃَ ﻗَ ﺎﻝَ َﻫﻜَ ﺬَﺍ‬ َ‫ُﺃ ْﻧﺰِﻟَﺖْ ُﺛﻢﱠ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻲ ﺍ ْﻗﺮَﺃْ ﻓَ َﻘﺮَﺃْﺕُ ﻓَﻘَ ﺎﻝَ َﻫﻜَ ﺬَﺍ ُﺃ ْﻧﺰِﻟَ ﺖْ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟْﻘُ ﺮْﺁﻥ‬ َ‫ﺴﺮ‬ ‫ﺣﺮُﻑٍ ﻓَﺎ ْﻗﺮَءُﻭﺍ ِﻣﻨْﻪُ ﻣَﺎ َﺗﻴَ ﱠ‬ ْ ‫ﺳ ْﺒﻌَﺔِ َﺃ‬ َ ‫ُﺃ ْﻧ ِﺰﻝَ ﻋَﻠَﻰ‬ Aku telah mendengar Hisyâm bin Hakîm membaca surat al-Furqân berbeda dengan yang aku baca, sedangkan Rasulullah saw. telah membacakannya (seperti yang aku baca), dan hampir aku terburuburu (membatalkannya), lalu aku menahan diri hingga dia berpaling (selesai dari bacaannya), kemudian aku menarik serbannya, dan membawanya kepada Rasulullah saw. Aku sampaikan: Aku telah mendengar orang ini membaca dengan bacaan yang berbeda dengan 57 yang Engkau bacakan. Beliau lalu bersabda kepadaku: Bawalah dia, dan beliaupun bersabda kepadanya: Bacalah, lalu dia pun membaca. Nabi bersabda: Demikialah ia diturunkan, lalu beliau bersabda kepadaku: Bacalah, maka aku pun membacanya. Beliau pun bersabda: Demikianlah ia telah diturunkan. Sesungguhnya alQur’an itu diturunkan dalam tujuh dialek, maka bacalah mana saja yang mudah darinya. (H.r. al-Bukhârî). 2. Hadits Ibn ‘Abbâs yang menyatakan: ْ‫ﺟ ْﺒﺮِﻳ ﻞُ ﻋَﻠَ ﻰ ﺣَ ﺮْﻑٍ ﻓَﻠَ ﻢْ َﺃ َﺯﻝ‬ ِ ‫ ﻗَ ﺎﻝَ ﺃَ ْﻗﺮََﺃﻧِ ﻲ‬e ِ‫َﺃﻥﱠ ﺭَﺳُ ﻮﻝَ ﺍﻟﻠﱠ ﻪ‬ ٍ‫ﺳ ْﺒﻌَﺔِ َﺃﺣْﺮُﻑ‬ َ ‫ﺣﺘﱠﻰ ﺍ ْﻧ َﺘﻬَﻰ ﺇِﻟَﻰ‬ َ ُ‫ﺳ َﺘﺰِﻳﺪُﻩ‬ ْ َ‫ﺃ‬ Bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: Jibril telah membacakan kepadaku dengan satu dialek, maka aku terus memintanya agar ditambah, hingga berakhir pada tujuh dialek. (H.r. al-Bukhârî). 3. Hadits Ubay bin Ka’ab yang menyatakan: ‫ﺟ ْﺒﺮِﻳﻞُ ﻋَ َﻠﻴْ ِﻪ‬ ِ ُ‫ﻋﻨْﺪَ ﺃَﺿَﺎﺓِ َﺑﻨِﻲ ﻏِﻔَﺎﺭٍ ﻗَﺎﻝَ ﻓَ َﺄﺗَﺎﻩ‬ ِ َ‫ ﻛَﺎﻥ‬e ‫َﺃﻥﱠ ﺍﻟ ﱠﻨﺒِﻲﱠ‬ ‫ﺍﻟﺴﱠ ﻼﻡ ﻓَﻘَ ﺎﻝَ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ﻪَ ﻳَ ﺄْ ُﻣ ُﺮﻙَ َﺃﻥْ ﺗَﻘْ ﺮَﺃَ ﺃُ ﱠﻣﺘُ ﻚَ ﺍﻟْﻘُ ﺮْﺁﻥَ ﻋَﻠَ ﻰ‬ ُ‫ﺣﺮْﻑٍ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺃَﺳْ َﺄﻝُ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ُﻣﻌَﺎﻓَﺎﺗَﻪُ ﻭَ َﻣﻐْ ِﻔ َﺮﺗَﻪُ ﻭَِﺇﻥﱠ ﺃُ ﱠﻣﺘِﻲ ﻻ ُﺗﻄِﻴﻖ‬ َ َ‫ﺫَﻟِ ﻚَ ﺛُ ﻢﱠ َﺃﺗَ ﺎﻩُ ﺍﻟﺜﱠﺎ ِﻧﻴَ ﺔَ ﻓَﻘَ ﺎﻝَ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ﻪَ ﻳَ ﺄْ ُﻣ ُﺮﻙَ َﺃﻥْ ﺗَﻘْ ﺮَﺃَ ﺃُ ﱠﻣﺘُ ﻚ‬ ‫ﺣﺮْ َﻓ ْﻴﻦِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺃَﺳْ َﺄﻝُ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ُﻣﻌَﺎﻓَﺎﺗَﻪُ ﻭَ َﻣﻐْ ِﻔ َﺮﺗَﻪُ ﻭَِﺇﻥﱠ‬ َ ‫ﺍﻟْ ُﻘﺮْﺁﻥَ ﻋَﻠَﻰ‬ ْ‫ﺃُ ﱠﻣﺘِﻲ ﻻ ُﺗﻄِﻴﻖُ ﺫَ ِﻟﻚَ ُﺛﻢﱠ ﺟَﺎءَﻩُ ﺍﻟﺜﱠﺎ ِﻟﺜَﺔَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻳَ ﺄْ ُﻣ ُﺮﻙَ َﺃﻥ‬ َ‫ﺗَﻘْ ﺮَﺃَ ﺃُ ﱠﻣﺘُ ﻚَ ﺍﻟْﻘُ ﺮْﺁﻥَ ﻋَﻠَ ﻰ ﺛَﻼﺛَ ﺔِ َﺃﺣْ ﺮُﻑٍ ﻓَﻘَ ﺎﻝَ ﺃَﺳْ َﺄﻝُ ﺍﻟﻠﱠ ﻪ‬ َ‫ُﻣﻌَﺎﻓَﺎﺗَﻪُ ﻭَ َﻣﻐْ ِﻔ َﺮﺗَﻪُ ﻭَِﺇﻥﱠ ﺃُ ﱠﻣﺘِﻲ ﻻ ُﺗﻄِﻴﻖُ ﺫَ ِﻟﻚَ ُﺛﻢﱠ ﺟَﺎءَﻩُ ﺍﻟﺮﱠﺍ ِﺑﻌَ ﺔ‬ ِ‫ﻓَﻘَ ﺎﻝَ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ﻪَ ﻳَ ﺄْ ُﻣ ُﺮﻙَ َﺃﻥْ ﺗَﻘْ ﺮَﺃَ ﺃُ ﱠﻣﺘُ ﻚَ ﺍﻟْﻘُ ﺮْﺁﻥَ ﻋَﻠَ ﻰ ﺳَ ْﺒﻌَﺔ‬ ‫ﺣﺮْﻑٍ َﻗﺮَءُﻭﺍ ﻋَ َﻠﻴْﻪِ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺻَﺎﺑُﻮﺍ‬ َ ‫ﺣﺮُﻑٍ ﻓَ َﺄﻳﱡﻤَﺎ‬ ْ ‫َﺃ‬ Bahwa Rasulullah saw. ketika memberi penerangan kepada Banî Ghifâr, berkata (Ubay): Beliau didatangi Jibril as. lalu berkata: 58 Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu agar kamu membacakan al-Qur’an kepada ummatmu dengan satu dialek. Beliau berkata: Aku akan meminta Allah, maaf dan ampunan-Nya. Sesungguhnya ummatku tidak mampu untuk itu. Jibril pun datang kepada beliau untuk kedua kalinya, dan berkata: Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu agar kamu membacakan alQur’an kepada ummatmu dengan dua dialek. Beliau berkata: Aku akan meminta Allah, maaf dan ampunan-Nya. Sesungguhnya ummatku tidak mampu untuk itu. Kemudian Jibril pun mendatangi beliau untuk yang ketiga kalinya, dan berkata: Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu agar kamu membacakan al-Qur’an kepada ummatmu dengan tiga dialek. Beliau berkata: Aku akan meminta Allah, maaf dan ampunan-Nya. Sesungguhnya ummatku tidak mampu untuk itu. Kemudian Jibril pun mendatanginya untuk yang keempat kalinya dan berkata: Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu agar kamu membacakan al-Qur’an kepada ummatmu dengan tujuh dialek. Dialek manapun yang mereka gunakan untuk membacanya, maka mereka benar. (H.r. Muslim). Dan masih banyak hadits lain yang serupa. Semuanya menjelaskan dengan tegas, bahwa al-Qur’an memang telah diturunkan oleh Allah SWT. kepada Rasulullah saw. dalam Sab’ah Ahruf. 3.1. Konotasi Harfiah Sab’ah Ahruf Lafadz Sab’ah dalam konteks ini, sebagaimana yang dinyatakan dalam nas syara’ di atas, telah dipahami oleh para ulama’ dengan dua maksud: 1. Makna hakiki: Sab’ah berarti angka antara enam dan delapan. 2. Makna kiasan: Sab’ah berarti banyak (al-katsrah). Pendapat yang pertama dibangun berdasarkan penjelasan hadits-hadits di atas. Riwayat-riwayat tersebut, khususnya hadits Ibn ‘Abbâs dan Ubay bin Ka’ab, dengan tegas menunjukkan, bahwa Nabi telah meminta Jibril agar kembali dan meminta kepada Allah untuk menambah dialeknya hingga mencapai tujuh. Hadits tersebut memang tidak menyatakan, bahwa permintaan kepada Jibril agar kembali tadi dinyatakan dengan menggunakan angka enam. Tetapi, 59 ungkapan hadits tersebut secara keseluruhan menunjukkan bahwa ending-nya telah ditetapkan sampai angka tujuh. Ibn al-Jawzi memberikan penjelasan setelah mengemukakan pendapat orang yang menyatakan, bahwa angka tujuh tersebut mempunyai konotasi banyak, seraya berkata: Ini merupakan pendapat yang baik, andaikan hadits tidak mengabaikannya.19 Artinya, hadits-hadits yang menyatakan Sab’ah Ahruf tadi dengan jelas menyatakan, bahwa lafadz Sab’ah itu hanya berarti angka tujuh, atau antara angka enam dan delapan. Sebab, jika hadits-hadits tersebut dicermati dengan seksama, maka kita akan melihat bahwa Sab’ah yang dimaksud tidak lain adalah tujuh, bukan katsrah (banyak). Pendapat yang kedua, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Qâdhî ‘Iyâdh dan orang yang mengikutinya, termasuk Sa’îd alAfghâni, dekan Fakultas Adab Universitas Damaskus.20 Dalam konteks ini, Muhyiddîn Khalîl memberikan komentar: Kami menemukan bahwa, kamus bahasa (Arab) menyatakan tentang kata yang sama, khususnya kata 70 (tujuh puluh) dan 700 (tujuh ratus); keduanya diulang-ulang dalam al-Qur’an dan hadits, dimana orang Arab menggunakannya dalam banyak kesempatan untuk konteks melipatgandakan jumlah (tadh’îf), bukan konotasi harfiahnya. Namun, kamus-kamus ini tidak pernah menemukan kata yang sama, khususnya Sab’ah dan Sab’ meski keduanya diulang dalam al-Qur’an, hadits dan bahasa Arab.21 Artinya, bahwa lafadz Sab’ah tersebut hanya digunakan oleh nas syara’ dengan maksud angka yang sesungguhnya, yaitu tujuh, atau angka antara enam dan delapan. Bukan yang lain. 19 Lihat, ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 88. Lihat, Saîd al­Afghâni, Muqaddimah Hujjah al­Qirâ’ât li Abî Zar’ah, hal. 8­9. 21 Lihat, ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 88. 20 60 Karena itu, pendapat yang paling tepat mengenai lafadz Sab’ah dalam konteks hadits di atas adalah tujuh, atau angka antara enam dan delapan. Dengan kata lain, makna hakiki, bukan makna kiasan. Mengenai lafadz: Ahruf, secara harfiah merupakan bentuk plural dari Harf, yang berarti ujung (tharf), salah satu huruf hijaiyah, ujud atau bentuk (wajh). Makna yang terakhir ini sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Hajj: 11: [ٍ‫ﺣﺮْﻑ‬ َ ‫]ﻭَ ِﻣﻦَ ﺍﻟﻨﱠﺎﺱِ َﻣﻦْ َﻳ ْﻌﺒُﺪُ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻋَﻠَﻰ‬ Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan keraguan. Harf di sini, sebagaimana yang dikemukakan oleh Mujâhid maksudnya adalah dengan syak, gontai, tidak teguh, layaknya orang yang berdiri di tepian yang goyang. Ada yang menyatakan, bahwa Harf berarti bahasa, atau dialek. Maka, bisa disimpulkan bahwa secara harfiah, Harf atau Ahruf berarti tepi (ujung), satu huruf hijaiyah, ujud (bentuk), bahasa dan dialek. 3.2. Konotasi Istilah Sab’ah Ahruf Mengenai konotasi Sab’ah Ahruf secara terminologis memang ada perbedaan pendapat. Menurut as-Suyuthi, perbedaan dalam hal ini mencapai 36 pendapat.22 Yang paling populer, antara lain, bisa disimpulkan sebagai berikut:23 1. Sab’ah Ahruf adalah tujuh bentuk, yaitu perintah (al-amr), larangan (an-nahy), janji (al-wa’d), ancaman (al-wa’îd), perdebatan (al-jadal), kisah (al-qashash) dan perumpamaan (almitsâl). Atau: perintah (al-amr), larangan (an-nahy), halal (alhalâl), haram (al-harâm), muhkam (al-muhkam), mutasyabih (al22 As­Suyûthi, Op. Cit., juz I, hal. 45; Ahmad von Denffer, Op Cit, hal. 115. 23 Lihat, Mannâ’ Khalîl al­Qaththân, Mabâhîts fi ‘Ulûm al­Qur’ân, Mansyûrât al­‘Ashr al­Hadîts, Beirut, t.t., hal. 158­162. 61 matasyâbih) dan perumpamaan (al-mitsâl). Ini didasarkan hadits dari Ibn Mas’ûd dari Nabi saw. bersabda: ٬ٍ‫ﺣﺮْﻑٍ ﻭَﺍﺣِﺪ‬ َ ‫ َﻭﻋَﻠَﻰ‬٬ٍ‫ﻛ َﺎﻥَ ﺍ ْﻟ ِﻜﺘَﺎﺏُ ﺍ َﻷ ﱠﻭﻝُ َﻳ ْﻨ ِﺰﻝُ ِﻣﻦْ ﺑَﺎﺏٍ ﻭَﺍﺣِﺪ‬ ٬ٍ‫ َﺯﺟَ ﺮ‬:ٍ‫ﺣﺮُﻑ‬ ْ ‫ﺳ ْﺒﻌَﺔِ َﺃ‬ َ ‫ﺳ ْﺒﻌَﺔِ َﺃ ْﺑﻮَﺍﺏٍ َﻭﻋَﻠَﻰ‬ َ ْ‫َﻭ َﻧ َﺰﻝَ ﺍﻟ ُﻘﺮْﺁﻥُ ِﻣﻦ‬ .ٍ‫ﺤ َﻜﻢٍ ﻭَ ُﻣﺘَﺸَﺎﺑِﻪٍ ﻭَﺃَ ْﻣﺜَﺎﻝ‬ ْ ‫ﺣﺮَﺍﻡٍ ﻭَ ُﻣ‬ َ ‫ َﻭ‬٬ٍ‫ﻼﻝ‬ َ‫ﺣ‬ َ ‫ َﻭ‬٬ٍ‫ﻭَﺃَ ْﻣﺮ‬ Kitab yang pertama itu turun melalui satu pintu, dan dengan satu huruf, sedangkan al-Qur’an telah diturunkan melalui tujuh pintu dan dengan tujuh huruf: larangan, perintah, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan perumpamaan. (H.r. al-Bayhaqi). 2. Sab’ah Ahruf adalah tujuh ragam perbedaan yang diperselisihkan, sebagaimana pendapat Ibn Qutaybah, Ibn al-Jawzî, al-Qâdhî Abû Thayyib, ar-Râzi dan Ibn Katsîr: (1) perbedaan isim karena Mufrad (bentuk tunggal) dan Mudzakkar (laki-laki) serta derivat dari keduanya, seperti tatsniyyah (ganda), jam’ (plural) dan Mu’annats (perempuan), seperti surat al-Mu’minûn: 8: [َ‫ﻮﻥ‬ ْ‫ﻋ‬ ُ ‫ﺭَﺍ‬ ْ‫ﻋﻬْﺪِ ِﻫﻢ‬ َ ‫]ﻭَﺍﻟﱠ ِﺬ ْﻳﻦَ ُﻫﻢْ ﻷَِ َﻣ َﻨ ِﺘ ِﻬﻢْ َﻭ‬ Dan orang-orang yang memelihara amanah dan janji mereka. Lafadz: liamanatihim ada yang membaca dengan: liamânâtihim dengan bentuk plural, dan ada yang membaca: liamânatihim dengan bentuk tunggal. (2) perbedaan i’râb seperti firman Allah dalam surat Yûsuf: 31: [‫ﺸﺮًﺍ‬ َ َ‫ﺑ‬ Ini bukanlah manusia. 62 ‫]ﻣﺎَ ﻫَﺬَﺍ‬ Jumhûr ulama’ membaca: basyar[an] dengan i’râb nashab yang ditandai fathatayn (dua fathah), dimana Mâ dianggap berfungsi seperti Laysa yang me-rafa’-kan isim (subyek) dan me-nashab-kan khabar (predikat). Ini merupakan bahasa penduduk Hijaz, yang dengannya al-Qur’an diturunkan. Sementara Ibn Mas’ûd membaca: basyar[un] dengan i’râb rafa’ yang ditandai dhammatayn (dua dhammah), mengikuti bahasa penduduk Tamîm. (3) perbedaan sharf seperti firman Allah dalam surat Saba’: 19: [‫ﺭﻧِﺎ‬ َ ‫ﺃَﺳْﻔَﺎ‬ َ‫]ﻓَﻘَﺎُﻟﻮْﺍ َﺭ ﱠﺑﻨَﺎ ﺑَﺎﻋِﺪْ َﺑ ْﻴﻦ‬ Mereka berkata: Ya Tuhan kami, jauhkanlah perjalanan kami. Ada yang membaca dengan me-nashab-kan: Rabbanâ yang berstatus sebagai Munâdâ Mudhâf (seruan yang disandarkan pada kata ganti: Nâ [kami]), dan Bâ’id dengan bentuk perintah. Ada juga yang membaca dengan (4) perbedaan taqdîm-ta’khîr (mendahulukan dan mengakhirkan bagian), kadang berupa huruf, seperti firman Allah dalam surat ar-Ra’d: 31: [ْ‫َﻳﻴْ َﺄﺱ‬ ْ‫]ﺃَﻓَ َﻠﻢ‬ Maka tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui. Ada yang membaca dengan: Afalam ya’yis; atau kadang berupa kata, seperti firman Allah dalam surat at-Taubah: 111: [َ‫ﻮﻥ‬ ْ ‫َﻭﻳُ ْﻘﺘَُﻠ‬ َ‫] َﻓﻴَ ْﻘﺘُُﻠ ْﻮﻥ‬ Maka mereka membunuh, dan mereka pun dibunuh. 63 Ada yang membaca dengan sebaliknya: wayuqtalûn fayaqtulûn. (5) perbedaan ibdâl (pergantian), seperti firman Allah dalam surat ar-Qâri’ah: 5: [ِ‫ﻮﺵ‬ ْ ‫ﺍﻟْ َﻤﻨْ ُﻔ‬ ِ‫]ﻛﺎَ ْﻟ ِﻌ ْﻬﻦ‬ Seperti kapas-kapas yang diterbangkan. Ada yang membaca dengan: ka as-shûf al-manfûsy (seperti woll yang diterbangkan). (6) perbedaan ziyâdah-naqsh (tambahan-pengurangan), seperti firman Allah dalam surat at-Taubah: 100: [ُ‫ﻷ ْﻧﻬَﺎﺭ‬ َ‫ﺍ‬ ‫ﺤ ِﺘﻬَﺎ‬ ْ ‫ﺠ ِﺮﻱْ َﺗ‬ ْ ‫ﺟﻨﱠﺎﺕٍ َﺗ‬ َ ْ‫]ﻭََﺃﻋَﺪﱠ َﻟ ُﻬﻢ‬ Dia telah menyediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Ada yang membaca dengan: min tahtihâ dengan tambahan: min. (7) perbedaan dialek karena faktor: tafkhîm-tarqîq (tebal-tipis), dan faktor bacaan yang lain. Sebagai contoh bacaan tebal pada partikel al dalam lafadz : Allâh yang dibaca tafkhîm (tebal) jika didahului harakat: fathah atau dhammah, atau di awal kalimat misalnya: Allâh[u], Qul huwa-Llâh[u], RasûluLlâh[i] dan sebagainya. Sedangkan contoh tarqîq (tipis), jika didahului harakat: kasrah misalnya: Bismi-Llâh[i], ItaqîLlâh[a] dan sebagainya. 3. Sah’ah Ahruf adalah tujuh bentuk, dengan makna yang sama dan lafadz yang berbeda. Dengan kata lain, murâdif (sinonim). Seperti: Hallum (ayolah), aqbil (ke sini), asri’ (cepatlah) dan sebagainya, yang semuanya berarti sama. Ini merupakan 64 pendapat at-Thabari, yang banyak diikuti oleh sebagian kalangan, termasuk Mannâ’ Khalîl al-Qaththân.24 4. Sab’ah Ahruf Sab’ah Ahruf adalah tujuh tujuh bahasa Arab mengenai satu makna. Ada yang mengatakan, bahwa tujuh bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Hudhayl, Tsaqîf, Hawâzin, Kinânah, Tamîm dan Yaman. Ada yang mengatakan, Quraisy, Hudhayl, Hawâzin, Tamîm, Rabî’ah dan Sa’ad bin Bakar. Mengenai pendapat pertama yang didasarkan pada hadits alHâkim dan al-Bayhaqi, pendapat ini tidak tepat. Disamping itu, sanad al-Bayhaqi lemah. Kalau seandainya sahih, tentu akan perselisihan, karena telah diriwayatkan dari Ibn Mas’ûd juga pendapat yang berbeda, sebagaimana yang dikatakan oleh at-Thabari.25 Mengenai pendapat kedua, jika diteliti sebenarnya tidak akan terlepas dari satu point, yaitu berbagai ragam bentuk yang dilihat dari berbagai aspek. Adapun contoh-contoh al-Qur’an yang digunakan tadi adalah riwayat Ahâd, yang status kequr’anannya belum bisa dibuktikan. Dalam konteks inilah as-Syâfi’i menyatakan, bahwa riwayat Ahâd tersebut tidak bisa dinyatakan sebagai al-Qur’an.26 Mengenai pendapat ketiga, harus dikatakan bahwa bacaan dengan membaca muradif-nya sama dengan membuka pintu perubahan dan pergantian terhadap al-Qur’an, sementara baik Nabi maupun Sahabat tidak mempunyai otoritas untuk mengganti kata, sehingga akan terjadi proses penggantian. Disamping itu, berbagai riwayat yang dinyatakan oleh at-Thabari di atas, yang dianggap sebagai al-Qur’an, telah disepakati oleh para ulama bahwa itu bukan al-Qur’an, meski mereka berselisih pendapat apakah itu hadits atau tafsir para sahabat.27 Mengenai pendapat yang keempat, yang menyatakan bahwa Sab’ah Ahruf adalah tujuh bahasa yang tersebar dalam al-Qur’an,28 24 al­Qaththân, Op. Cit., hal. 164 dan 168. ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 90. 26 Lihat, al­Amidi, al­Ihkâm fi Ushûl al­Ahkâm, al­Maktab al­Islâmi, Beirut, cet. II, 1402, juz I, hal. 160. 27 ‘Ali al­Hasan, ibid, hal. 93. 28 Al­Qurthûbi, al­Jâmi’ li Ahkâm al­Qur’ân, juz I, hal. 38­39. 25 65 artinya bahwa al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa penduduk dari kabilah-kabilah Arab yang berbeda, dimana al-Qur’an memang diturunkan dalam bahasa mereka. Inilah pandangan yang paling tepat, meski tidak perlu dibatasi bahwa tujuh dialek (bahasa kabilah) tersebut adalah: Quraisy, Hudhayl, Tsaqîf, Hawâzin, Kinânah, Tamîm dan Yaman; atau Quraisy, Hudhayl, Hawâzin, Tamîm, Rabî’ah dan Sa’ad bin Bakar. Yang jelas, bahwa ketujuh dialek tersebut adalah dialek yang ketika itu memang sangat populer di tengah-tengah orang Arab, sementara mereka tidak pernah mendeskripsikan yang mana. Ini merupakan pendapat ‘Alî alHasan. Berbeda dengan Muhammad Husayn ‘Abdullâh, yang menetapkan ketujuh dialek tersebut.29 3.3. Sab’ah Ahruf bukan Qirâ’ât Sab’ah Al-Qaththân menyatakan, bahwa ada sekelompok ulama’ yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan Sab’ah Ahruf adalah Qirâ’ât Sab’ah.30 Pendapat ini jelas salah salah. Pertama, secara terminologis sebutan dan konotasi Qirâ’ât Sab’ah ini baru dikenal pada akhir abad ke-2 H. Kedua, Qirâ’ât Sab’ah adalah tujuh bacaan mutawatir yang dinisbatkan kepada tujuh qâri’, yaitu: 1. Abdullâh bin Katsîr (w. 120 H) - Madinah 2. Nâfi’ bin ‘Abdurrahmân (w. 169 H) - Madinah 3. Ibn ‘Amir (w. 118 H) - Syam 4. ‘Ashim bin Abî an-Nujud (w. 127 H) - Kufah 5. Hamzah bin Habîb az-Zayyâd (w. 156 H) – Kufah 6. al-Kisâ’i (w. 189 H) - Kufah 7. Abu ‘Amr (w. 154 H) - Kufah Secara terminologis, sebutan dan konotasi Qirâ’ât Sab’ah adalah tujuh perbedaan lafadz wahyu yang dinyatakan dalam huruf, cara membacanya, seperti ringan dan beratnya, dan lain-lain. Ini jelas berbeda dengan Sab’ah Ahruf yang terdapat dalam al-Qur’an. 29 ‘Ali al­Hasan, ibid, hal. 94­95; Muhammad Husayn ‘Abdullâh, Studi Dasar­dasar Pemikiran Islam, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, cet. I, 2002, hal. 44. 30 al­Qaththân, Op. Cit., hal. 162. 66 3.4. Sanggahan atas Pendapat at-Thabari Mengenai Hilangnya Sab’ah Ahruf dalam al-Qur’an Dalam kitabnya, Jâmi’ al-Bayân, Ibn Jarîr at-Thabari menyatakan: Saat ini tidak ada bacaan (yang tersisa) pada kaum Muslimin, kecuali satu harf (dialek), yang telah dipilihkan untuk mereka oleh imam mereka yang benar-benar menginginkan kebaikan serta memberikan nasihat (kebaikan), bukan keenam dialek yang lain.31 Pendapat ini telah menuai banyak kritik dari para ulama’ klasik maupun kontemporer. Az-Zarqâni, misalnya, dalam Manâhil al‘Irfân, telah membahasnya panjang lebar untuk membantah, bahwa yang tersisa dalam al-Qur’an hanya satu dialek, sementara enam yang lainnya telah hilang.32 Hal yang sama juga dilakukan oleh Ahmad von Denffer, dengan menyatakan, bahwa al-Qur’an yang ada saat ini meliputi ketujuh dialek di atas. Alasannya, karena: 1. tidak pernah terjadi perubahan apapun pada al-Qur’an. 2. naskah al-Qur’an saat ini telah ditulis dengan berpedoman pada testimoni sahabat, baik lisan maupun tulisan dan bisa dikembalikan langsung kepada Nabi saw. 3. al-Qur’an itu sendiri telah dijaga oleh Allah SWT.33 4. Sebab-Sebab Diturunkannya al-Qur’an As-Suyûthi, mengutip pendapat al-Ja’bari, menyatakan bahwa turunnya al-Qur’an bisa diklasifikasikan menjadi dua macam: Pertama, turun tanpa sebab (ibtidâ’); Kedua, turun sebagai dampak dari 31 At­Thabari, Jâmi’ al­Bayân, juz I, hal. 22. az­Zarqâni, Manâhil al­‘Irfân, hal. 169­170. 33 Denffer, Op. Cit., hal. 117. 32 67 peristiwa atau pertanyaan.34 Ragam kedua inilah yang kemudian telah banyak dibahas oleh para ulama’. Dalam hal ini, mereka menyusun kitab-kitab yang secara khusus menjelaskan ayat-ayat yang diturunkan dengan sebab tertentu. Adalah ‘Alî al-Madîni (w. 234 H), guru al-Bukhâri, ulama’ yang mula-mula menyusun buku yang secara khusus membahas masalah ini. Karya beliau ini kemudian dibacakan ulang oleh ulama setelahnya, seperti Abû al-Mutharrif al-Qurthûbi (w. 402 H). Namun buku-buku tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali apa yang diceritakan oleh al-Wâhidi dan as-Suyûthi kepada kita. Maka, boleh dikatakan al-Wâhidi (w. 468 H) adalah ulama’ pertama yang karyanya sampai kepada kita. Kitabnya yang sangat populer itu diberi nama: Asbâb an-Nuzûl. Menurut ‘Alî al-Hasan, kitab ini merupakan kitab terbaik yang ditulis di bidangnya, meski terdapat sejumlah kesalahan catatan sejarah dan riwayat yang lemah yang umumnya diriwayatkan dari al-Kalbi. Inilah yang seharusnya menjadi tugas ulama’ setelahnya, namun mereka tidak melakukannya. Ibrâhîm alJa’bari (w. 732 H), ketika menyusun buku yang sama, hanya membuang sanad-sanad yang telah dinyatakan oleh al-Wâhidi, namun tidak melakukan perbaikan yang berarti. Ulama’ lain pasca alWâhidi yang menulis karya di bidang ini adalah Ibn al-Jawzi (w. 597 H), dengan kitabnya Asbâb Nuzûl al-Qur’ân, lalu lahir Ibn Hajar alAsqalâni (w. 852 H), dengan kitabnya al-‘Ajâb fî Bayân Asbâb. Setelah itu, lahirlah as-Suyûthi yang terkenal dengan kitabnya, Lubâb an-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl. 4.1. Definisi Asbâb an-Nuzûl ‘Alî al-Hasan mendefinisikan sabab an-nuzûl dengan: Peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. dan karenanya, al-Qur’an itu diturunkan; atau pertanyaan dan pertanyaan mengenai tafsir (ayat) yang disampaikan kepada 34 As­Suyûthi, Op. Cit., juz I, hal. 29. 68 Nabi saw. kemudian menjawabnya.35 sejumlah ayat datang untuk Hal yang senada juga dikemukakan oleh as-Shâbûni dalam kitabnya, at-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân.36 Karena itu, sebab turunnya al-Qur’an atau yang dikenal dengan sabab an-nuzûl itu tidak akan terlepas dari peristiwa atau kejadian tertentu yang terjadi pada zaman Nabi saw. serta pertanyaan yang dikemukakan kepada beliau, yang karena semuanya itu alQur’an diturunkan untuk menyikapi peristiwa atau menjelaskan pertanyaan yang dimaksud. Inilah realitas sabab an-nuzûl al-Qur’an. 4.2. Cara Mengetahui Sabab an-Nuzûl Yang perlu diingat, bahwa satu-satunya cara untuk mengetahui sabab an-nuzûl adalah melalui riwayat yang dinyatakan oleh para sahabat. Sebab, merekalah orang-orang mengerti betul kapan, di mana, kepada siapa dan dalam konteks apa al-Qur’an itu diturunkan.37 Meski demikian, tidak semua riwayat yang dinyatakan oleh sahabat mengenai turunnya al-Qur’an tersebut berkonotasi sabab an-nuzûl. Mengenai riwayat yang dinyatakan para sahabat tentang sabab an-nuzûl adalah: 1. Jika ada sahabat yang mengatakan: ‫ﺳﺒَﺐُ ُﻧ ُﺰﻭْﻝِ ﺍﻵﻳَﺔِ ﻛَﺬَﺍ‬ َ Sebab turunnya ayat ini adalah begini. Maka, riwayat ini dengan tegas menunjukkan sebab turunnya ayat, tanpa perlu penjelasan lain. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat. 2. Jika sahabat menceritakan peristiwa atau pertanyaan tertentu yang ditujukan kepada Nabi saw. dan setelah itu dinyatakan 35 ‘Alî al­Hasan, Op. Cit., hal. 120. As­Shâbûni, at­Tibyân fî ‘Ulûm al­Qur’ân, ‘Alam al­Kutub, Beirut, cet. I, 1985, hal. 24. 37 Al­Wâhidi, Asbâb an­Nuzûl, hal. 17. 36 69 ayat sebagai dampak dari peristiwa atau sebagai jawaban terhadap pertanyaan tadi, maka itu bisa dianggap sebagai nas yang menjelaskan tentang sebab turunnya ayat. Contohnya seperti hadits yang dinyatakan dari Anas bin Mâlik yang menyatakan: Abû Jahal berkata: Jika ajaranmu ini memang haq, maka turunkanlah hujan batu dari langit kepada kami atau datangkanlah azab yang pedih kepada kami. Maka, turunlah firman Allah SWT: ‫]ﻭَﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﱠ ﻪُ ِﻟ ُﻴﻌَ ﱢﺬ َﺑ ُﻬﻢْ ﻭََﺃﻧْ ﺖَ ﻓِ ﻴ ِﻬﻢْ ﻭَﻣَ ﺎ ﻛَ ﺎﻥَ ﺍﻟﻠﱠ ﻪُ ُﻣﻌَ ﱢﺬ َﺑ ُﻬ ْﻢ‬ َ‫(ﻭَﻣَﺎ َﻟ ُﻬﻢْ ﺃَﻻﱠ ُﻳﻌَ ﱢﺬ َﺑ ُﻬﻢُ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻭَ ُﻫﻢْ ﻳَﺼُ ﺪﱡﻭﻥ‬33)َ‫ﺴ َﺘﻐْ ِﻔﺮُﻭﻥ‬ ْ َ‫ﻭَ ُﻫﻢْ ﻳ‬ [ِ‫ﺤﺮَﺍﻡ‬ َ ‫ﺴﺠِﺪِ ﺍ ْﻟ‬ ْ َ‫ﻋﻦِ ﺍﻟْﻤ‬ َ Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun. Kenapa Allah tidak mengazab mereka padahal mereka menghalangi orang untuk (mendatangi) Masjidilharam.. (Q.s. al-Anfâl: 33-34) 3. Jika ada lafadz atau indikator yang secara râjih ---bukan qath’î-- menunjukkan sebab turunnya ayat, misalnya ketika ada huruf Fâ’ Ta’qîb (sebagai jawaban atas frase sebelumnya), yang masuk ke dalam materi turunnya ayat, setelah dinyatakannya sebuah peristiwa atau pertanyaan kepada Rasulullah saw. Contoh: ... ْ‫ﻋﻦْ ﻛَﺬَﺍ َﻓ َﻨﺰَﻟَﺖ‬ َ e ِ‫ﺳ ْﻮﻝُ ﺍﷲ‬ ُ َ‫ﺳ ِﺌﻞَ ﺭ‬ ُ Rasulullah saw. telah ditanya tentang ini, maka turunlah ayat…. Mengenai pernyataan sahabat yang mengatakan: ‫َﻧﺰَﻟَﺖِ ﺍ َﻷﻳَﺔُ ﻓِﻲْ ﻛَﺬَﺍ‬ Ayat ini diturunkan dalam konteks ini... 70 apakah berarti sebab turunnya? Menurut Ibn Taymiyyah, pernyataan tersebut mempunyai dua maksud. Pertama, kadang dimaksud sebagai sebab turunnya ayat; Kedua, kadang dimaksud sebagai tafsir sahabat atas ayat tersebut.38 Sebagai contoh firman Allah SWT: ‫ﺳﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠﱠ ﻪِ َﻓ َﺘ َﺒ ﱠﻴ ُﻨ ﻮﺍ ﻭَ َﻻ‬ َ ‫ﺿ َﺮ ْﺑ ُﺘﻢْ ﻓِﻲ‬ َ ‫]ﻳَﺎَﺃ ﱡﻳﻬَﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ءَﺍ َﻣﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ‬ َ‫ﻼﻡَ ﻟَﺴْﺖَ ُﻣﺆْ ِﻣﻨًﺎ َﺗ ْﺒ َﺘﻐُ ﻮﻥَ ﻋَ َﺮﺽ‬ َ‫ﺴ‬ ‫ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻟِ َﻤﻦْ ﺃَﻟْﻘَﻰ ﺇِ َﻟ ْﻴ ُﻜﻢُ ﺍﻟ ﱠ‬ [ٌ‫ﻣﻐَﺎ ِﻧﻢُ َﻛﺜِﻴﺮَﺓ‬ َ ِ‫ﺤﻴَﺎﺓِ ﺍﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ َﻓ ِﻌﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ َ ‫ﺍ ْﻟ‬ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang mu'min" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. (Q.s. an-Nisâ’: 94) Jika dinyatakan, bahwa ayat ini telah diturunkan kepada sejumlah sahabat Nabi, yang berpapasan dengan seorang lelaki Bani Sulaym yang tengah menggiring kambing, lalu lelaki itu mengucapkan salam kepada mereka, kemudian mereka pun berkata: Tidak mengucapkan salam kepada kami, kecuali hanya untuk mencari perlindungan dari kami. Mereka pun sengaja menangkap lelaki itu, lalu membunuhnya. Mereka lalu membawa kambingnya kepada Nabi saw. (al-Hadits).39 Konteks seperti merupakan penjelasan sebab turunnya ayat. Namun, jika dikatakan, bahwa ayat ini diturunkan dalam konteks muamalah masyarakat 38 Ibn Taymiyyah, Muqaddimah fî Ushûl at­Tafsîr, ed. 'Adnân Zarzûr, Dâr al­Qur'ân al­Karîm, Kuweit, cet. I, 1071, hal. 48. Mengenai status Marfû' atau Musnad dan tidaknya pernyataan sahabat, al­Bukhâri dan an­Nabhâni berpendapat yang sama, khususnya jika konteks pernyataan tersebut menjelaskan sebab, bukan tafsir sahabat. Lihat juga, an­Nabhâni, as­Syakhshiyyah al­Islâmiyyah, Dâr al­Ummah, Beirut, cet. V, 1997, juz I, hal. 339. 39 H.r. al­Bukhâri, at­Tirmidzi, al­Hâkim dan lain­lain. 71 sesuai dengan konteks zahirnya, maka pernyataan yang terakhir ini merupakan tafsir.40 4.3. Perbedaan Riwayat Sebab Turunnya Ayat Dalam hal ini, ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan oleh para ulama’. Mengenai hal-hal yang telah disepakati, antara lain: 1. Jika ada banyak riwayat mengenai sebab turunnya ayat, sedangkan salah satunya sahih dan yang lainnya lemah, maka yang sahih harus dikuatkan ketimbang yang lemah. Misalnya: ‫(ﻣَ ﺎ ﻭَ ﱠﺩﻋَ ﻚَ َﺭﺑﱡ ﻚَ ﻭَﻣَ ﺎ‬2)‫(ﻭَﺍﻟﱠﻠﻴْ ﻞِ ﺇِﺫَﺍ ﺳَ ﺠَﻰ‬1)‫]ﻭَﺍﻟﻀﱡ ﺤَﻰ‬ [(3)‫ﻗَﻠَﻰ‬ Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (Q.s. ad-Dhuhâ: 1-3) Dalam hal ini, al-Bukhâri telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. telah mengeluh, sehingga beliau tidak bangun semalam atau dua malam, lalu beliau didatangi oleh seorang wanita, dan berkata: Wahai Muhammad, aku tidak melihat temanmu (Jibril) mendatangimu, kecuali dia benar-benar telah meninggalkanmu, maka Allah menurunkan surat ad-Dhuhâ.41 Sedangkan at-Thabrâni meriwayatkan dari Khafash bin Maysarah dari ibunya dari ibunya, dimana dia adalah pelayan Rasulullah saw. yang menyatakan, bahwa ada anak anjing kecil telah memasuki rumah Rasulullah saw. lalu masuk di bawah kolong ranjang, kemudian mati. Nabi saw. lalu terdiam selama empat hari, tanpa wahyu yang turun kepada beliau…. Maka, Allah menurunkan surat ad-Dhuhâ. Dalam 40 ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 122. 41 H.r. al­Bukhâri, Shahîh, Kitab Tafsir Surat ad­Dhuhâ. 72 hal ini, Ibn Hajar berkomentar, kisah keterlambatan datangnya Jibril akibat matinya anak anjing kecil memang masyhur, tetapi jika dikatakan bahwa itu merupakan sebab turunnya ayat adalah aneh. Di dalam sanad-nya juga terdapat ada orang tidak dikenal. Jadi, yang kuat adalah riwayat yang dinyatakan dalam kitab Shahîh al-Bukhâri.42 2. Jika semua riwayat mengenai sebab turunnya ayat tersebut sahih, namun salah satunya lebih kuat ketimbang yang lain berdasarkan pertimbangan salah satu aspek tarjîh, maka yang lebih kuat harus dimenangkan. Misalnya: al-Bukhâri telah meriwayatkan dari Ibn Mas’ûd yang menyatakan: Ketika saya tengah berjalan bersama Nabi saw. di Madinah, ketika itu beliau pada kayu, lalu lewatlah sekelompok orang Yahudi, dan di antara mereka ada yang berkata: Kalau kalian bertanya kepadanya: Sampaikanlah kepada kami tentang ruh, maka beliau berdiri dan mengangkat sejenah kepalanya. Maka, saya (Ibn Mas’ûd) tahu bahwa beliau telah mendapatkan wahyu, hingga wahyu tersebut diangkat. Kemudian beliau menyatakan: ْ‫ﻋﻦِ ﺍﻟﺮﱡﻭﺡِ ُﻗﻞِ ﺍﻟﺮﱡﻭﺡُ ِﻣﻦْ ﺃَ ْﻣﺮِ َﺭﺑﱢﻲ ﻭَﻣَﺎ ﺃُﻭﺗِﻴ ُﺘﻢ‬ َ َ‫] َﻭﻳَﺴْﺄَﻟُﻮ َﻧﻚ‬ [ً‫ﻣﻦَ ﺍ ْﻟﻌِ ْﻠﻢِ ﺇِﻻﱠ ﻗَﻠِﻴﻼ‬ ِ Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.s. al-Isrâ’: 85) Sedangkan at-Tirmidzi telah meriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs, yang menyatakan bahwa orang Quraisy telah bertanya kepada orang Yahudi: Sampaikanlah kepada kami sesuatu yang akan saya tanyakan kepada lelaki (Nabi) ini. Mereka pun berkata: Tanyalah kepadanya tentang ruh, kemudian mereka pun bertanya kepada beliau, lalu Allah menurunkan (ayat di atas).. Dilihat dari aspek riwayatnya, keduanya sama-sama sahih, tetapi riwayat Ibn Mas’ûd lebih kuat karena beliau menjadi 42 Lihat, as­Suyûthi, Op. Cit., juz I, hal. 22. 73 bagian dari saksi langsung ketika ayat tersebut diturunkan, sementara Ibn ‘Abbâs tidak. Mengenai hal-hal yang diperselisihkan oleh para ulama’, antara lain, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Sebagian ulama’ ada yang berpendapat, bahwa ada beberapa riwayat mengenai sebab turunnya ayat yang sama-sama sahih, sehingga masing-masing merupakan sebab turunnya ayat tersebut. Misalnya, kasus turunnya ayat li’ân; al-Bukhâri telah meriwayatkan dari Ikrimah dari Ibn ‘Abbâs bahwa Hilâl bin Umayyah telah menuduh isterinya melakukan zina dengan Syuraik bin Samhâ’ di depan Nabi saw. Lalu bersabda: Bukti atau sanksi itu ditetapkan pada dirimu. Dia (Hilâl) berkata: Wahai Rasulullah, jika salah seorang di antara kami menyaksikan seorang lelaki melangkah (keluar dari rumah), masihkah dirasakan (perlunya) bukti? Lalu turunlah: ‫ﺟ ُﻬﻢْ ﻭَ َﻟﻢْ َﻳ ُﻜﻦْ َﻟ ُﻬﻢْ ﺷُ ﻬَﺪَﺍءُ ﺇِﻻﱠ َﺃﻧْﻔُﺴُ ُﻬ ْﻢ‬ َ ‫]ﻭَﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ َﻳﺮْﻣُﻮﻥَ َﺃ ْﺯﻭَﺍ‬ َ‫ﻓَﺸَ ﻬَﺎﺩَﺓُ َﺃﺣَ ﺪِ ِﻫﻢْ َﺃ ْﺭﺑَ ﻊُ ﺷَ ﻬَﺎﺩَﺍﺕٍ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ﻪِ ِﺇﻧﱠ ﻪُ ﻟَﻤِ ﻦ‬ َ‫(ﻭَﺍ ْﻟﺨَﺎﻣِﺴَ ﺔُ َﺃﻥﱠ َﻟ ْﻌﻨَ ﺔَ ﺍﻟﻠﱠ ﻪِ ﻋَ َﻠﻴْ ﻪِ ِﺇﻥْ ﻛَ ﺎﻥَ ﻣِ ﻦ‬6)َ‫ﺍﻟﺼﱠ ﺎﺩِﻗِﻴﻦ‬ ٍ‫ﻋ ْﻨﻬَ ﺎ ﺍﻟْﻌَ ﺬَﺍﺏَ َﺃﻥْ ﺗَﺸْ ﻬَﺪَ َﺃ ْﺭﺑَ ﻊَ ﺷَ ﻬَﺎﺩَﺍﺕ‬ َ ُ‫( َﻭﻳَ ْﺪﺭَﺃ‬7)َ‫ﺍ ْﻟﻜَ ﺎ ِﺫﺑِﻴﻦ‬ ‫(ﻭَﺍ ْﻟﺨَﺎﻣِﺴَﺔَ َﺃﻥﱠ ﻏَﻀَﺐَ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻋَ َﻠ ْﻴﻬَﺎ‬8)َ‫ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ ِﺇﻧﱠﻪُ ﻟَ ِﻤﻦَ ﺍ ْﻟﻜَﺎ ِﺫﺑِﻴﻦ‬ [(9)َ‫ﻣﻦَ ﺍﻟﺼﱠﺎﺩِﻗِﻴﻦ‬ ِ َ‫ِﺇﻥْ ﻛَﺎﻥ‬ Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la`nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa la`nat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (Q.s. an-Nûr: 6-9) 74 Al-Bukhâri dan Muslim juga telah meriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad, yang menyatakan: ‘Uwaymir telah datang menemui ‘Ashim bin ‘Adi lalu berkata: Tanyalah kepada Rasulullah saw. bagaimana pandangan Anda (wahai Rasul) jika ada seorang lelaki menemukan isterinya bersama lelaki lain, apakah dia boleh membunuhnya, atau dia akan membunuhnya? Atau bagaimana dia harus berbuat? ‘Ashim bertanya kepada Rasulullah saw. kemudian diapun menyampaikan masalah-masalah itu. ‘Ashim memberitahu ‘Umaymir dan berkata: Demi Allah, aku mendatangi Rasulullah saw. lalu menanyakannya, kemudian aku sampaikan kepadanya, lalu beliau pun bersabda: Bahwa telah diturunkan al-Qur’an kepadamu, dan temanmu (al-Hadits). Kedua riwayat ini telah dikompromikan oleh para ulama’, bahwa yang mula-mula mengalami masalah tersebut adalah Hilâl, lalu diikuti dengan kedatangan ‘Uwaymir, kemudian secara serentak diturunkanlah ayat li’ân di atas kepada mereka berdua.43 Pandangan seperti ini tentu masih perlu dicerna. Sebab, jika menganalisis kedua teks hadits di atas, tentu akan menemukan bahwa pandangan yang benar mengenai sebab turunnya ayat tersebut adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Hilâl bin ‘Umayyah, karena redaksi hadits tersebut ada indikator yang jelas, yaitu Fa’ Ta’qîb. Dari indikator tersebut terbukti, bahwa satu-satunya sebab turunnya ayat adalah kasus Hilâl. Dengan demikian, pandangan megenai banyaknya riwayat mengenai sebab turunnya satu ayat di atas tidak bisa dipertahankan. 2. Ada juga yang berpendapat, bahwa ada satu ayat yang diturunkan berkali-kali. Misalnya, firman Allah: [ِ‫ﺑِﻪ‬ 43 ْ‫]ﻭَِﺇﻥْ ﻋَﺎ َﻗ ْﺒ ُﺘﻢْ َﻓﻌَﺎ ِﻗﺒُﻮﺍ ﺑِ ِﻤ ْﺜﻞِ ﻣَﺎ ﻋُﻮ ِﻗ ْﺒ ُﺘﻢ‬ Lihat, as­Suyûthi, Op. Cit., juz I, hal. 95. 75 Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. (Q.s. anNahl: 126) Dalam hal ini ada tiga riwayat; Pertama, al-Bayhaqi dan alBazzâr dari Abû Hurairah, yang menyatakan bahwa ayat ini turun ketika Nabi tengah berdiri merenungi jenazah Hamzah saat menjadi syahid di medan Perang Uhud. Kedua, atTirmidzi dan al-Hâkim dari ‘Ubay bin Ka’ab yang menyatakan, bahwa ayat ini turun ketika Penaklukan kota Makkah. Ketiga, riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah sebelum Hijrah. Ibn al-Hashâr berkata: Kedua riwayat di atas bisa dikompromikan, sehingga bisa disimpulkan bahwa ayat tersebut diturunkan di Makkah sebelum hijrah bersama dengan surat tersebut, karena surat tersebut Makkiyah, kemudian yang kedua di Uhud, dan yang ketiga pada saat Penaklukan (kota Makkah) sebagai peringatan dari Allah kepada hamba-Nya.44 Pendapat-pendapat seperti ini, menurut ‘Ali al-Hasan, tidak didukung dengan dalil syara’ maupun akal. Jika kita perlu mengkritiknya, maka bisa dinyatakan, bahwa riwayat al-Bayhaqi di atas terdapat sanad yang bernama Shâlih bin Basyîr al-Marî. Karenanya, menurut para imam, riwayat ini lemah. Komentar al-Bukhari terhadapnya, menyatakan bahwa dia adalah orang yang haditsnya munkar. Karena itu, riwayat at-Tirmidzi lebih sahih di banding yang lain.45 4.4. Manfaat Sebab Turunnya Ayat Ibn Taymiyyah mengatakan, bahwa pengetahuan akan sebab (turunnya ayat) akan melahirkan pengetahuan akan 44 45 Lihat, ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 131. ‘Ali al­Hasan, ibid, hal. 131. 76 akibatnya.46 Ibn Daqîq al-’Id juga berkata, bahwa penjelasan mengenai sebab turunnya ayat merupakan metode paling akurat untuk memahami makna-makna al-Qur’an.47 Karena itu, pengetahuan mengenai sebab turunnya ayat ini menjadi sangat penting. Antara lain, bermanfaat untuk: 1. mengkhususkan hukum dengan sebab turunnya ayat hukum tersebut, khususnya bagi pihak yang berpendapat, bahwa konotasi ayat dibangun berdasarkan sebabnya yang spesifik, bukan keumuman lafadz. Misalnya: ِ‫]ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﺼﱠ ﻔَﺎ ﻭَﺍﻟْﻤَ ْﺮﻭَﺓَ ﻣِ ﻦْ ﺷَ ﻌَﺎ ِﺋﺮِ ﺍﻟﻠﱠ ﻪِ ﻓَﻤَ ﻦْ ﺣَ ﺞﱠ ﺍ ْﻟ َﺒﻴْ ﺖَ َﺃﻭ‬ [‫ﻄﻮﱠﻑَ ِﺑﻬِﻤَﺎ‬ ‫ﺟﻨَﺎﺡَ ﻋَ َﻠﻴْﻪِ َﺃﻥْ َﻳ ﱠ‬ ُ َ‫ﻋﺘَ َﻤﺮَ َﻓﻼ‬ ْ‫ﺍ‬ Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber‘umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya. (Q.s. al-Baqarah: 158) ‘Urwan bin Zubayr berpendapat, sebagaimana zahirnya ayat ini, bahwa sa’i antara Shafa dan Marwa itu tidak wajib, sehingga menurutnya, boleh orang meninggalkannya. Pandangan ini dinyatakan kepada ‘Aisyah, bibinya, dan dijawab oleh beliau: Seburuk-buruk pandangan adalah apa yang kamu katakan, wahai keponakanku. Andaikan masalahnya seperti yang kamu sebutnya, tentu Allah telah berfirman: Falâ Junâha ‘Alayhi Allâ Yathûfa Bihimâ (Maka, tidak ada dosa baginya untuk tidak mengelilinginya). Beliau kemudian menceritakan, bahwa pada zaman Jahiliyah orang-orang telah mengelilingi Shawa dan Marwa untuk dua berhala; di Shafa bernama Isâf, dan di Marwa bernama Nâ’il. Ketika mereka telah memeluk Islam, mereka keberatan untuk melakukan sa’i ke sana, karena khawatir terkontaminasi dengan tradisi Jahiliyah, lalu turunlah ayat ini, yang menghapus dosa dan keberatan hati 46 47 Ibn Taymiyyah, Op. Cit., hal. 47. ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 123. 77 mereka, serta mewajibkan sa’i mereka hanya untuk Allah semata, bukan untuk berhala.48 2. menghilangkan kaburnya hashr (pembatasan) atas apa yang zahirnya mengindikasikan hashr (pembatasan). Misalnya: ‫ﻄﻌَﻤُ ﻪُ ﺇِ ﱠﻻ‬ ْ ‫ﻋﻢٍ َﻳ‬ ِ ‫ﺤﺮﱠﻣًﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻃَ ﺎ‬ َ ‫] ُﻗﻞْ ﻻَ َﺃﺟِﺪُ ﻓِﻲ ﻣَﺎ ﺃُﻭﺣِﻲَ ﺇِﻟَﻲﱠ ُﻣ‬ ٌ‫ﺧ ْﻨﺰِﻳ ﺮٍ ﻓَ ِﺈﻧﱠ ﻪُ ِﺭﺟْ ﺲ‬ ِ َ‫ﺤﻢ‬ ْ ‫َﺃﻥْ َﻳﻜُﻮﻥَ َﻣ ْﻴﺘَﺔً َﺃﻭْ ﺩَﻣًﺎ ﻣَﺴْﻔُﻮﺣًﺎ َﺃﻭْ َﻟ‬ [ِ‫ﻫﻞﱠ ِﻟ َﻐ ْﻴﺮِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺑِﻪ‬ ِ ُ‫َﺃﻭْ ﻓِﺴْﻘًﺎ ﺃ‬ Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi --karena sesungguhnya semua itu kotor-atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (Q.s. alAn’âm: 145) Az-Zarkasyi menyatakan, bahwa hashr (pembatasan) dalam konteks ayat ini bukanlah maksud yang dikehendaki. Alasannya, karena ketika orang Kafir telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh-Nya, mereka itu selalu berperilaku sebaliknya. Ayat ini, secara eksplisit memang menunjukkan adanya hashr (pembatasan), sebagai tantangan dan serangan dari Allah dan Rasul-Nya, bukan dimaksud sebagai hashr (pembatasan) yang sesungguhnya.49 3. mengetahui bentuk hikmah yang menyebabkan disyariatkannya hukum. Misalnya: ‫ﺤﺒﱡ ﻮﻥَ َﺃﻥْ ُﻳﺤْﻤَ ﺪُﻭﺍ‬ ِ ‫]ﻻَ َﺗﺤْﺴَ َﺒﻦﱠ ﺍﻟﱠ ﺬِﻳﻦَ ﻳَ ْﻔ َﺮﺣُ ﻮﻥَ ﺑِﻤَ ﺎ َﺃﺗَ ﻮْﺍ َﻭ ُﻳ‬ ٌ‫ﺴ َﺒ ﱠﻨ ُﻬﻢْ ﺑِﻤَﻔَﺎﺯَﺓٍ ِﻣﻦَ ﺍ ْﻟﻌَﺬَﺍﺏِ ﻭَ َﻟ ُﻬﻢْ ﻋَ ﺬَﺍﺏ‬ َ ْ‫ﺑِﻤَﺎ َﻟﻢْ ﻳَ ْﻔﻌَﻠُﻮﺍ َﻓﻼَ َﺗﺤ‬ [ٌ‫ﺃَﻟِﻴﻢ‬ 48 49 As­Shâbûni, Op. Cit., hal. 22. Az­Zarkasyi, Op. Cit., juz I, hal. 31­32. 78 Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih. (Q.s. Ali ‘Imrân: 188) Marwân al-Hakam berkata kepada pembantunya, agar bertanya kepada Ibn ‘Abbâs: Jika tiap orang yang bangga terhadap apa yang telah diberikan kepadanya, dan suka dipuji atas apa yang belum dikerjakannya akan diazab, niscaya kita semua akan terkena azab. Maka, Ibn ‘Abbas menjelaskan, bahwa ayat tersebut diturunkan kepada Ahli Kitab, Yahudi, ketika Nabi saw. bertanya kepada mereka mengenai suatu perkara, kemudian mereka menyembunyikannya, lalu memberitahukan apa yang lain, yang dengannya mereka berharap mendapat pujian, maka turunlah ayat ini.50 4. mengetahui hukum ayat. Sebab, hukum ayat tersebut tidak akan terlepas dari sebab diturunkannya ayat itu. 50 As­Shâbûni, Op. Cit., hal. 21. 79 Bab IV Pengumpulan Dan Pembukuan Al-Qur’an Kajian mengenai realitas pengumpulan dan pembukuan alQur’an juga merupakan kajian yang sangat penting. Meski kajian ini lebih bersifat historical studies. Meski demikian, kajian historis ini menjadi urgen untuk membuktikan, bahwa al-Qur’an yang kini ada di tangan kaum Muslim adalah al-Qur’an yang sama, yang telah diturunkan oleh Allah SWT. kepada Rasul saw. tiga belas abad yang silam. Di sisi lain, upaya orang Kafir untuk melumpuhkan ummat Islam dengan meruntuhkan Khilafah Islam, pada awal abad ke-20 M, ternyata gagal memusnahkan ummat ini. Sesuatu yang kemudian mendorong mereka, bukan hanya menyerang instirusi politik Islam, Khilafah Islam, melainkan langsung menohok Islam, dengan menyerang sumber autentiknya, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Serangan terhadap al-Qur’an, antara lain, dilakukan dengan menyatakan, bahwa al-Qur’an yang ada kini bukanlah al-Qur’an yang sama dengan al-Qur’an yang ada pada zaman Nabi. Serangan ini didukung dengan argumentasi yang sangat dangkal, misalnya dengan menyangkal riwayat mutawatir tentang proses pembukuan al-Qur’an, yang dikatakan ahistoris. Setelah itu, dibenturkan dengan sejumlah riwayat Ahâd, yang dituturkan oleh individu sahabat, untuk membuktikan adanya perbedaan pendapat mengenai al-Qur’an. Akibatnya, muncul pertanyaan: al-Qur’an versi siapa? Padahal, persoalan ini telah diselesaikan oleh ulama’ pada abad ke-3 Hijriyah, sebagaimana yang ditunjukkan oleh as-Syâfi’i. Belum lagi, riwayatriwayat tersebut tentu tidak bisa mengalahkan status riwayat mutawatir. Inilah sejumlah logika dangkal, meski didukung dengan sejumlah referensi klasik yang ditulis oleh ulama’ dahulu, seperti azZarkasyi, as-Suyûthi dan lain-lain. Sekalipun, tentu tujuan mereka tidak sama dengan penjiblaknya yang terakhir ini. Karena itu, kajian 81 pada bab ini berusaha menguraikan sejumlah persoalan yang telah disinggung di atas. 1. Proses Pengumpulan al-Qur’an Merujuk kepada definisi al-Qur’an yang sebelumnya telah disepakati oleh para ulama’: Al-Qur'an adalah kalam Allah yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Muhammad saw. dan dinukil kepada kita secara mutawatir, serta dinilai beribadah ketika membacanya. 1 Maka, materi al-Qur’an ---yang merupakan mukjizat--- itu sampai kepada kita melalui proses penukilan, bukan periwayatan. Yang berarti, memindahkan materi yang sama dari sumber asli ke dalam mushaf. Karena itu, pengumpulan al-Qur’an itu tidak lain merupakan bentuk penghafalan al-Qur’an di dada dan penulisannya dalam lembaran. Sebab, dua realitas inilah yang mencerminkan proses penukilan materi al-Qur’an. Dua realitas --- penghafalan al-Qur’an di dada dan penulisannya dalam lembaran--- ini secara real telah berlangsung dari kurun ke kurun, sejak Rasul hingga kini, dan bahkan Hari Kiamat. Menurut Ahmad von Denffer, istilah pengumpulan alQur’an (jam’ al-qur’ân) dalam literatur klasik itu mempunyai berbagai makna,2 antara lain: 1. al-Qur’an dicerna oleh hati 2. menulis kembali tiap pewahyuan 3. menghadirkan materi al-Qur’an untuk ditulis 4. menghadirkan laporan (tulisan) para penulis wahyu yang telah menghafal al-Qur’an 5. menghadirkan seluruh sumber, baik lisan maupun tulisan. 1.1. Pengumpulan al-Qur’an Semasa Hidup Rasul saw. 1 2 'Ali al­Hasan, Op. Cit, hal. 11. Ahmad von Denffer, Op. Cit., hal. 35. 82 Semasa hidup Rasulullah saw. pengumpulan al-Qur’an dilakukan melalui dua cara, hafalan dan penulisan dalam lembaran (shuhuf). Al-Qur’an secara lisan telah dinukil melalui hafalan dari Rasul kepada para sahabat. Rasulullah saw. sendiri telah menghafalnya setelah Jibril as. menghadirkan materi al-Qur’an kepada beliau: ‫(ِﺇﻥﱠ ﻋَ َﻠ ْﻴﻨَ ﺎ ﺟَ ْﻤﻌَ ُﻪ‬16)ِ‫]ﻻَ ُﺗﺤَ ﱢﺮﻙْ ﺑِ ﻪِ ﻟِﺴَ ﺎ َﻧﻚَ ِﻟ َﺘ ْﻌﺠَ ﻞَ ﺑِ ﻪ‬ ‫(ﺛُ ﻢﱠ ِﺇﻥﱠ ﻋَ َﻠ ْﻴﻨَ ﺎ‬18)ُ‫(ﻓَ ﺈِﺫَﺍ َﻗﺮَ ْﺃﻧَ ﺎﻩُ ﻓَ ﺎ ﱠﺗﺒِﻊْ ُﻗﺮْءَﺍﻧَ ﻪ‬17)ُ‫ﻭَ ُﻗﺮْءَﺍﻧَ ﻪ‬ [ُ‫َﺑﻴَﺎﻧَﻪ‬ Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)-nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya. (Q.s. alQiyâmah: 16-19). Untuk menjaga keaslian hafalan tersebut, Jibril selalu mengecek hafalan Rasul saw. tiap tahun sekali. Dalam hal ini, Ibn ‘Abbâs menuturkan: ُ ‫ﺟﻮَﺩَ ﻣَﺎ َﻳﻜُﻮ‬ ‫ﻥ‬ ْ ‫ﺨ ْﻴﺮِ َﻭﻛَﺎﻥَ َﺃ‬ َ ‫ﺟﻮَﺩَ ﺍﻟﻨﱠﺎﺱِ ﺑِﺎ ْﻟ‬ ْ ‫ َﺃ‬e ِ‫ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﺴﻼَﻡ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻠْﻘَﺎﻩُ ﻓِﻲ ُﻛﻞﱢ‬ ‫ﺟ ْﺒﺮِﻳﻞَ ﻋَ َﻠﻴْﻪِ ﺍﻟ ﱠ‬ ِ ‫ﺷ ْﻬﺮِ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ِﺇﻥﱠ‬ َ ‫ﻓِﻲ‬ e ِ‫ﺮﺽُ ﻋَ َﻠﻴْﻪِ ﺭَﺳُ ﻮﻝُ ﺍﻟﻠﱠ ﻪ‬ ِ ‫ﺣﺘﱠﻰ َﻳﻨْﺴَﻠِﺦَ َﻓ َﻴ ْﻌ‬ َ َ‫ﺳﻨَﺔٍ ﻓِﻲ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥ‬ َ َ‫ﺨ ْﻴﺮِ ِﻣﻦ‬ َ ‫ﺟﻮَﺩَ ﺑِﺎ ْﻟ‬ ْ ‫ َﺃ‬e ِ‫ﺟ ْﺒﺮِﻳﻞُ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ِ ُ‫ﺍﻟْ ُﻘﺮْﺁﻥَ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻟَ ِﻘﻴَﻪ‬ ِ‫ﺍﻟﺮﱢﻳﺢِ ﺍﻟْ ُﻤﺮْﺳَﻠَﺔ‬ Rasulullah saw. adalah orang yang paling dermawan akan kebaikan. Sesuatu yang menyebabkan beliau paling dermawan di bulan Ramadhan adalah ketika Jibril as. datang menemui beliau tiap tahun di bulan Ramadhan hingga berakhirnya malam. Rasulullah saw. mengemukakan (hafalan) al-Qur’an kepadanya (Jibril). Ketika Jibril menemuinya, maka Rasulullah saw. adalah orang yang lebih 83 dermawan akan kebaikan ketimbang angin yang ditiupkan (sekalipun).3 Demikian juga hal yang sama telah dilakukan oleh Rasul terhadap para sahabat beliau. Seperti yang dituturkan oleh Ibn Mas’ûd: َ ْ‫ ﺍﻗْ ﺮَﺃْ ﻋَﻠَ ﻲﱠ ﻗُﻠْ ﺖُ ﻳَ ﺎ ﺭَﺳُ ﻮﻝَ ﺍﻟﻠﱠ ﻪِ ﺁﻗْ ﺮَﺃُ ﻋَ َﻠﻴ‬e ‫ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻲ ﺍﻟ ﱠﻨﺒِ ﻲﱡ‬ ‫ﻚ‬ ‫ﺣﺘﱠ ﻰ َﺃ َﺗﻴْ ﺖُ ﺇِﻟَ ﻰ‬ َ ِ‫َﻭﻋَ َﻠ ْﻴﻚَ ُﺃ ْﻧ ِﺰﻝَ ﻗَﺎﻝَ َﻧ َﻌﻢْ ﻓَ َﻘﺮَﺃْﺕُ ﺳُﻮﺭَﺓَ ﺍﻟﻨﱢﺴَﺎء‬ َ‫ﺟ ْﺌﻨَ ﺎ ﺑِ ﻚ‬ ِ ‫ﺟ ْﺌﻨَ ﺎ ﻣِ ﻦْ ﻛُ ﻞﱢ ﺃُﻣﱠ ﺔٍ ﺑِﺸَ ﻬِﻴﺪٍ َﻭ‬ ِ ‫ﻫَ ﺬِﻩِ ﺍﻵﻳَ ﺔِ ] َﻓ َﻜﻴْ ﻒَ ﺇِﺫَﺍ‬ ُ‫ﻋ ْﻴﻨَﺎﻩ‬ َ ‫ﺴ ُﺒﻚَ ﺍﻵﻥَ ﻓَﺎ ْﻟﺘَﻔَﺖﱡ ﺇِ َﻟﻴْﻪِ ﻓَﺈِﺫَﺍ‬ ْ َ‫ﺷﻬِﻴﺪًﺍ[ ﻗَﺎﻝَ ﺣ‬ َ ِ‫ﻋَﻠَﻰ َﻫﺆُﻻء‬ ِ‫ﺗَ ْﺬﺭِﻓَﺎﻥ‬ Nabi saw. telah bersabda kepadaku: Bacalah (al-Qur’an) untukku. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, aku harus membacakan (alQur’an) kepadamu, sementara kepadamulah (al-Qur’an) diturunkan? Beliau menjawab: Benar. Maka, aku membaca surat an-Nisâ’ hingga aku sampai ayat ini: (Lalu bagaimana jika Kami hadirkan saksi dari tiap ummat, sementara Kami hadirkan kamu [Muhammad] sebagai saksi atas mereka), beliau bersabda: Sekarang cukup. Aku pun menoleh ke arah beliau, tiba-tiba kedua matanya meneteskan air mata.4 Oleh karena itu, jumlah para penghafal al-Qur’an di kalangan para sahabat tidak terhitung jumlahnya. Barangkali catatan sejarah cukup untuk menjadi bukti. Antara lain, as-Shâbûni, mengutip laporan al-Qurthûbi, menyatakan, bahwa jumlah huffâdl senior yang meninggal dalam Perang Yamamah lebih dari 70 orang. Sedangkan yang terbunuh dalam Perang Bi’r Ma’ûnah, jumlahnya juga hampir sama. Berarti total jumlah huffâdl yang terbunuh saja dalam dua kasus peperangan tersebut adalah 140 orang.5 3 Muslim, Shahîh, hadits no. 4268. Al­Bukhâri, Shahîh, hadits no. 4662. 5 As­Shâbûni, Op. Cit., hal. 51. 4 84 Ketika Nabi saw. menyampaikan wahyu (al-Qur’an), disamping beliau menginstruksikan agar dihafalkan, beliau juga meminta kepada para penulis wahyu (kuttâb al-wahy) untuk mendokumentasikannya. Adapun jumlah para penulis wahyu telah dilaporkan al-Kattâni dari berbagai sumber; ‘Utsmân bin ‘Affân dan ‘Ali adalah penulis wahyu Rasulullah saw. Jika keduanya tidak ada, maka Ubay bin Ka’ab dan Zayd bin Tsâbitlah yang menulis. Ubay adalah di antara penulis wahyu untuk Rasul sebelum Zayd. Sedangkan Zayd adalah orang yang mengharuskan para sahabat untuk menulis wahyu. Jika Ubay tidak hadir, Rasul saw. akan memanggil Zayd bin Tsâbit. Ubay dan Zayd telah menulis wahyu di hadapan Rasulullah saw. Jika salah seorang di antara mereka tidak hadir, wahyu akan ditulis oleh siapapun yang hadir di antara mereka, seperti Mu’âwiyah, Jâbir bin Sa’îd bin al-‘Ash, Ibân bin Sa’îd, al-‘Alâ’ al-Hadhrami, Handlalah bin ar-Rabî’.6 Menurut laporan Ibn ‘Asâkir, dalam Târîkh Dimasyqa, jumlah penulis wahyu Nabi saw. itu mencapai 23 orang. Al-‘Irâqi bahkan telah menyatakan, bahwa jumlah mereka mencapai 42 orang. Mereka adalah: (1) Zayd bin Tsâbit, (2) Mu’âwiyah bin Sufyân, (3) Abû Bakar, (4) ‘Ali, (5) ‘Utsmân, (6) ‘Umar, (7) Ubay, (8) Khâlid bin Sa’îd, (9) Handlalah, (10) Syarahbîl Hasanah, (11) ‘Amir, (12) Tsâbit bin Qays, (13) Ibn Arqam, (14) Thalhah, (15) Zubayr, (16) Ibn alHadhrami, (17) Ibn Rawwâhah, (18) Jahm, (19) Khâlid bin al-Walîd, (20) Hathib bin ‘Amr, (21) Huwaythib, (22) Hudzayfah, (23) Abbân bin Sa’îd, (24) Abû Sufyân, (25) Yazîd bin Abû Sufyân, (26) Muhammad bin Maslamah, (27) ‘Amr bin al-Ash, (28) al-Mughîrah, (29) Abû Salamah, (30) Abû Ayyûb al-Anshâri, (31) Mu’ayqib, (32) Ibn Abî al-Arqam, (33) Ibn Salûl al-Muhtadi, (34) Abdullâh bin Zayd, (35) Abd Rabbih, (36) Juhaym, (37) al-‘Alâ’ bin ‘Utbah, (38) Hushayn bin Numayr, (39) Ibn Abi Sarah, (40) Ibn Hathal, dan lainlain.7 6 Al­Kattâni, at­Tarâtîb al­Idâriyyah, Syirkah Dâr al­Arqam bin al­ Arqam, Beirut, .t.t, juz I, hal. 151. Lihat rujukan aslinya; Ibn Hajar, al­ Istî’âb fi Ma’rifat al­Ashhâb, juz I, hal. 26; Ibn ‘Abd Rabbih, al­Aqd al­Farîd, juz II, hal. 143. 7 Lihat, al­Kattâni, Ibid, juz I, hal. 151­152. 85 Namun, ketika penulisan al-Qur’an ini dilakukan oleh para penulis wahyu, ketika itu orang Arab belum mengenal kertas. Istilah waraq pada zaman itu, digunakan untuk menyebut daun kayu saja, sedangkan qirthâs digunakan untuk menyebut benda-benda yang digunakan untuk menulis, seperti kulit binatang (adîm), batu tipis (lihâf), pelepah kurma (‘asab), tulang binatang (aktâf), dan lain-lain. Setelah terjadinya penaklukan atas Persia, pada zaman ‘Umar bin alKhaththâb, barulah kertas ---yang dalam bahasa aslinya disebut alKaqhid--- itu dikenal.8 Jadi, penulisan al-Qur’an pada Nabi saw. dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan tadi.9 Setelah itu, materi yang ditulis tadi disimpan di rumah Rasulullah saw. Semuanya itu telah terkumpul dalam bentuk lembaran-lembaran. Dalam konteks ini, Allah menegaskan: (3)ٌ‫(ﻓِﻴﻬَﺎ ُﻛﺘُﺐٌ َﻗﻴﱢﻤَﺔ‬2)ً‫ﻄ ﱠﻬﺮَﺓ‬ َ ‫ﺻﺤُﻔًﺎ ُﻣ‬ ُ ‫]ﺭَﺳُﻮﻝٌ ِﻣﻦَ ﺍﻟﻠﱠﻪِ َﻳﺘْﻠُﻮ‬ [ (yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Qur'an), di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus. (Q.s. al-Bayyinah: 2-3). Mengenai penulisan rasm dan susunan ayat-ayat dalam surat al-Qur’an, semuanya telah diatur oleh wahyu dari Allah SWT. Dalam hal ini, ‘Utsmân menuturkan: ‫ ﻣِﻤﱠﺎ ﻳَ ْﺄﺗِﻲ ﻋَ َﻠﻴْﻪِ ﺍﻟﺰﱠﻣَﺎﻥُ ﻭَﻫُ ﻮَ َﺗﻨْ ِﺰﻝُ ﻋَ َﻠﻴْ ِﻪ‬e ِ‫ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ َ‫ﺴﻮَﺭُ َﺫﻭَﺍﺕُ ﺍ ْﻟﻌَﺪَﺩِ َﻓﻜَﺎﻥَ ﺇِﺫَﺍ َﻧ َﺰﻝَ ﻋَ َﻠﻴْ ﻪِ ﺍﻟﺸﱠ ﻲْءُ َﺩﻋَ ﺎ َﺑﻌْ ﺾ‬ ‫ﺍﻟ ﱡ‬ ‫ﺿﻌُﻮﺍ َﻫﺆُﻻءِ ﺍﻵﻳَﺎﺕِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴﱡﻮﺭَﺓِ ﺍﱠﻟﺘِﻲ‬ َ ُ‫َﻣﻦْ ﻛَﺎﻥَ َﻳ ْﻜﺘُﺐُ َﻓﻴَﻘُﻮﻝ‬ ‫ﻳُ ْﺬ َﻛﺮُ ﻓِﻴﻬَ ﺎ ﻛَ ﺬَﺍ َﻭﻛَ ﺬَﺍ ﻭَﺇِﺫَﺍ َﻧﺰَﻟَ ﺖْ ﻋَ َﻠﻴْ ﻪِ ﺍﻵﻳَ ﺔَ َﻓﻴَﻘُ ﻮﻝُ ﺿَ ﻌُﻮﺍ‬ ‫ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻵﻳَﺔَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴﱡﻮﺭَﺓِ ﺍﱠﻟﺘِﻲ ﻳُ ْﺬ َﻛﺮُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻛَﺬَﺍ َﻭﻛَﺬَﺍ‬ 8 Lihat, Soenaryo, Mukaddimah Terjemah al­Qur’an, Kerajaan Arab Saudi, t.t., hal. 18. 9 Al­Bukhâri, Op. Cit., hadits no. 4311. 86 Suatu ketika sejumlah surat (al-Qur’an) yang panjang telah turun kepada Rasulullah saw. Jika telah turun sesuatu, beliau memanggil sebagian orang yang biasa menulis (wahyu), lalu beliau akan bersabda: Letakkanlah ayat-ayat itu dalam surat yang menyatakan begini dan begini. Jika satu ayat turun kepada beliau, maka beliau bersabda: Letakkanlah ayat ini di tengah surat yang menyatakan begini dan begini.10 Pendek kata, pengumpulan al-Qur’an telah berhasil dilakukan sejak zaman Nabi saw. baik dihafalkan secara lisan maupun didokumentasikan secara material dalam bentuk tulisan. 1.2. Pengumpulan al-Qur’an Zaman Kekhilafahan Abû Bakar Pasca wafatnya Rasulullah saw. para sahabat ra. belum merasa perlu agar al-Qur’an dikumpulkan dalam satu kitab, hingga terbunuhnya sejumlah penghafal al-Qur’an dalam Perang Riddah pada tahun 10 H/632 M dan Perang Yamâmah pada tahun 11 H/633 M. Dalam peperangan tersebut, sejumlah penghafal dan qurrâ’ telah terbunuh; ada yang mengatakan 70 orang, dan ada yang mengatakan 500 orang. Kondisi ini sempat mencemaskan ‘Umar bin al-Khaththâb, yang dikhawatirkan akan berdampak pada hilangnya sebagian suhuf. Beliau lalu berfikir untuk mengajukan hal itu kepada Abû Bakar supaya beliau mengumpulkan al-Qur’an. Zayd bin Tsâbit menuturkan: ‫ﻋﻨْﺪَﻩُ ﻋُ َﻤﺮُ ﻓَﻘَﺎﻝَ َﺃﺑُﻮ‬ ِ ‫ﺳﻞَ ﺇِﻟَﻲﱠ َﺃﺑُﻮ َﺑ ْﻜﺮٍ ﻣَ ْﻘ َﺘﻞَ ﺃَ ْﻫﻞِ ﺍ ْﻟﻴَﻤَﺎﻣَﺔِ َﻭ‬ َ ْ‫َﺃﺭ‬ ِ‫ﺤﺮﱠ ﻳَ ْﻮﻡَ ﺍ ْﻟﻴَﻤَﺎﻣَ ﺔ‬ َ ‫َﺑ ْﻜﺮٍ ِﺇﻥﱠ ﻋُ َﻤﺮَ َﺃﺗَﺎﻧِﻲ ﻓَﻘَ ﺎﻝَ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟْ َﻘﺘْ ﻞَ ﻗَ ﺪِ ﺍﺳْ َﺘ‬ ِ‫ﻃﻦ‬ ِ ‫ﺤﺮﱠ ﺍﻟْ َﻘ ْﺘﻞُ ﺑِﺎﻟْ ُﻘﺮﱠﺍءِ ﻓِﻲ ﺍﻟْ َﻤﻮَﺍ‬ ِ ‫ﺑِﺎﻟﻨﱠﺎﺱِ ﻭَِﺇﻧﱢﻲ َﺃﺧْﺸَﻰ َﺃﻥْ ﻳَﺴْ َﺘ‬ ْ‫َﻓﻴَ ﺬْﻫَﺐَ َﻛﺜِﻴ ﺮٌ ﻣِ ﻦَ ﺍﻟْﻘُ ﺮْﺁﻥِ ﺇِﻻ َﺃﻥْ َﺗﺠْ َﻤﻌُ ﻮﻩُ ﻭَِﺇﻧﱢ ﻲ َﻷﺭَﻯ َﺃﻥ‬ ْ‫ﻥ ﻗَ ﺎﻝَ َﺃﺑُ ﻮ َﺑﻜْ ﺮٍ ﻗُﻠْ ﺖُ ِﻟﻌُﻤَ ﺮَ َﻛﻴْ ﻒَ ﺃَ ْﻓﻌَ ﻞُ ﺷَ ْﻴﺌًﺎ ﻟَ ﻢ‬ َ ‫َﺗﺠْﻤَﻊَ ﺍﻟْ ُﻘﺮْﺁ‬ ُ‫ﺧ ْﻴﺮٌ ﻓَ َﻠﻢْ َﻳ َﺰﻝْ ﻋُ َﻤﺮ‬ َ ِ‫ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻋُ َﻤﺮُ ﻫُﻮَ ﻭَﺍﻟﻠﱠﻪ‬e ِ‫ﻳَ ْﻔﻌَﻠْﻪُ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ 10 At­Tirmidzi, Sunan, hadits no. 3011. 87 ‫ﺣﺘﱠ ﻰ ﺷَ ﺮَﺡَ ﺍﻟﻠﱠ ﻪُ ﻟِ ﺬَ ِﻟﻚَ ﺻَ ْﺪﺭِﻱ َﻭﺭََﺃﻳْ ﺖُ ﺍﻟﱠ ﺬِﻱ‬ َ ِ‫ﺟ ُﻌﻨِﻲ ﻓِﻴﻪ‬ ِ ‫ُﻳﺮَﺍ‬ ُ‫ﻋﻨْ ﺪَﻩُ ﺟَ ﺎ ِﻟﺲٌ ﻻ ﻳَ َﺘﻜَﱠﻠﻢ‬ ِ ُ‫ﺭَﺃَﻯ ﻋُ َﻤﺮُ ﻗَ ﺎﻝَ َﺯﻳْ ﺪُ ﺑْ ﻦُ ﺛَﺎﺑِ ﺖٍ َﻭﻋُﻤَ ﺮ‬ ُ‫ﺟﻞٌ ﺷَ ﺎﺏﱞ ﻋَﺎﻗِ ﻞٌ ﻭَﻻ ﻧَ ﱠﺘﻬِﻤُ ﻚَ ُﻛﻨْ ﺖَ َﺗ ْﻜﺘُ ﺐ‬ ُ ‫ﻓَﻘَﺎﻝَ َﺃﺑُﻮ َﺑ ْﻜﺮٍ ِﺇ ﱠﻧﻚَ َﺭ‬ ُ‫ َﻓ َﺘ َﺘﺒﱠﻊِ ﺍﻟْ ُﻘﺮْﺁﻥَ ﻓَﺎﺟْ َﻤﻌْﻪ‬e ِ‫ﺍ ْﻟ َﻮﺣْﻲَ ِﻟﺮَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ Ketika terjadi peristiwa Perang Yamamah, Abû Bakar telah mengirim utusan kepada saya, di sampingnya ada ‘Umar. Abû Bakar berkata: Saya telah didatangi oleh ‘Umar, dan dia berkata: Sesungguhnya peristiwa Yamamah telah menimpa orang-orang (qurrâ’) itu dengan tragis. Saya khawatir, para qurrâ’ itu akan banyak lagi yang terbunuh di muka bumi ini, sehingga banyak bagian dari alQur’an ini hilang hingga Anda mengumpulkannya. Saya berpendapat, bahwa Anda harus mengumpulkan al-Qur’an ini. Abu Bakar berkata kepada ‘Umar: Bagaimana saya bisa melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasul saw? ‘Umar menjawab: Demi Allah, hal itu adalah baik. Maka, ‘Umar terus mendatangiku hingga Allah melapangkan dadaku untuk melakukan hal itu. Akupun akhirnya berpendapat yang sama dengan ‘Umar. Zayd bin Tsâbit berkata: ‘Umar di sampingnya (Abû Bakar) sedang duduk, tidak berkata-kata. Abu Bakar berkata: Kamu (Zayd bin Tsâbit) seorang pemuda yang cerdas, dan kami pun tidak pernah melemparkan tuduhan apapun kepadamu. Kamu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah saw. maka telitilah al-Qur’an dan kumpulkanlah.11 Bagaimana cara Zayd bin Tsâbit mengumpulkan al-Qur’an pada zaman Abû Bakar? Realitas tersebut beliau jelaskan, sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Bukhâri dalam kitab Shahîh-nya: ِ ُ‫ﻓَﻘُﻤْﺖُ َﻓ َﺘ َﺘ ﱠﺒﻌْﺖُ ﺍﻟْ ُﻘﺮْﺁﻥَ َﺃﺟْ َﻤﻌُﻪُ ِﻣﻦَ ﺍﻟﺮﱢﻗَﺎﻉِ ﻭَﺍ َﻷ ْﻛﺘَﺎﻑِ ﻭَﺍ ْﻟﻌُﺴ‬ ‫ﺐ‬ َ‫ﺣﺘﱠﻰ َﻭﺟَﺪْﺕُ ﻣِ ﻦْ ﺳُ ﻮﺭَﺓِ ﺍﻟ ﱠﺘ ْﻮﺑَ ﺔِ ﺁ َﻳﺘَ ْﻴﻦِ ﻣَ ﻊ‬ َ ِ‫ﻭَﺻُﺪُﻭﺭِ ﺍﻟ ﱢﺮﺟَﺎﻝ‬ ْ‫ﻏﻴْ ﺮِﻩِ ]ﻟَﻘَ ﺪْ ﺟَ ﺎ َء ُﻛﻢ‬ َ ٍ‫ﺧ َﺰﻳْﻤَ ﺔَ ﺍ َﻷﻧْﺼَ ﺎ ِﺭﻱﱢ ﻟَ ﻢْ َﺃﺟِ ﺪْﻫُﻤَﺎ ﻣَ ﻊَ َﺃﺣَ ﺪ‬ ُ [ْ‫ﻋﻨِ ﱡﺘﻢْ ﺣَ ﺮِﻳﺺٌ ﻋَﻠَ ْﻴ ُﻜﻢ‬ َ ‫ﻋﺰِﻳ ﺰٌ ﻋَ َﻠﻴْ ﻪِ ﻣَ ﺎ‬ َ ْ‫ﺭَﺳُ ﻮﻝٌ ﻣِ ﻦْ َﺃﻧْﻔُﺴِ ُﻜﻢ‬ 11 Al­Bukhâri, Shahîh, hadits no. 4311. 88 ‫ﻋﻨْ َﺪ‬ ِ ُ‫ﺼﺤُﻒُ ﺍﱠﻟﺘِ ﻲ ﺟُﻤِ ﻊَ ﻓِﻴﻬَ ﺎ ﺍﻟْﻘُ ﺮْﺁﻥ‬ ‫ﺧ ِﺮﻫِﻤَﺎ َﻭﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟ ﱡ‬ ِ ‫ﺇِﻟَﻰ ﺁ‬ ‫ﺣﺘﱠ ﻰ َﺗﻮَﻓﱠ ﺎﻩُ ﺍﻟﻠﱠ ﻪُ ﺛُ ﻢﱠ‬ َ َ‫ﻋﻨْ ﺪَ ﻋُﻤَ ﺮ‬ ِ ‫َﺃﺑِﻲ َﺑ ْﻜﺮٍ ﺣَﺘﱠﻰ َﺗﻮَﻓﱠﺎﻩُ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﺛُ ﻢﱠ‬ َ‫ﻋﻨْﺪَ ﺣَﻔْﺼَﺔَ ِﺑﻨْﺖِ ﻋُ َﻤﺮ‬ ِ Maka aku melakukannya, kemudian aku meneliti al-Qur’an. Aku mengumpulkannya dari lempengan (riqâ’), tulang binatang (aktâf), pelepah kurma (‘asab), batu tipis (lihâf) dan dada (hafalan) tokohtokoh (penghafal)-nya hingga aku menemukan dua ayat dari surat atTaubah pada Huzaymah al-Anshâri, yang tidak aku temukan pada yang lain: hingga akhir. Lembaran-lembaran yang di dalamnya al-Qur’an telah dikumpulkan itu ada pada Abû Bakar hingga Allah mewafatkan beliau, kemudian di tangan ‘Umar hingga Allah pun mewafatkan beliau, kemudian berpindah ke tangan Hafshah bint ‘Umar.12 Keterangan ini menjelaskan metode Zayd bin Tsâbit dalam mengumpulkan al-Qur’an, bahwa pengumpulan tersebut berpijak pada dua hal: 1. hafalan yang tersimpan dalam dada para sahabat; 2. materi yang tertulis di depan Rasul, dan materi tersebut tidak diterima, kecuali dengan kesaksian dua orang yang adil.13 Menurut as-Sakhâwi, sebagaimana yang dinukil oleh asSuyûthi, bahwa yang dimaksud dengan disaksikan oleh dua orang adalah, bahwa hal itu merupakan sesuatu yang ditulis sebagaimana bentuk yang dengannya al-Qur’an telah diturunkan, atau bahwa yang ditulis itu memang telah ditulis di depan Rasulullah saw.14 Abû Syâmah juga menyatakan, bahwa tujuan mereka adalah agar alQur’an tersebut tidak ditulis dengan tulisan yang sama dengan yang ditulis di depan Rasulullah saw.15 12 Ibid. Al­Mubârakfûri, Tuhfat al­Ahwadhi, Dâr al­Kutub al­‘Ilmiyyah, Beirut, t.t., juz VIII, hal. 408. 14 As­Suyûthi, Op. Cit., juz I, hal. 238. 15 ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 141. 13 89 Karena itu, kesaksian tersebut bukan kesaksian atas alQur’an, karena hal itu tidak perlu diragukan. Mengingat jumlah para penghafal dan pembacanya sangat banyak. Namun, kesaksian yang dimaksud di sini adalah kesaksian atas tulisan yang ditulis di depan Nabi saw. Dengan cara itulah, penulisan tersebut telah selesai dengan sempurna sehingga terkumpul dalam lembaran yang diikat dengan benang, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebagian riwayat. Inilah peranan yang dimainkan oleh Zayd bin Tsâbit. 1.3. Pengumpulan al-Qur’an Zaman Kekhilafahan ‘Utsmân Jika motif Abû Bakar mengumpulkan al-Qur’an karena khawatir akan hilangnya materi yang tertulis tadi sebagai akibat dari banyaknya para penghafal dan pembaca yang telah meninggal dunia, maka motif ‘Utsmân adalah karena takut akan terjadinya perbedaan yang meruncing mengenai ragam bacaan. Ini terlihat dari penuturan Hudzaifah al-Yamân setelah melihat banyaknya perbedaan pada bacaan kaum Muslim: ‫ﺧﺘِﻼﻑَ ﺍ ْﻟ َﻴﻬُﻮ ِﺩ‬ ْ ‫ﺨﺘَﻠِﻔُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍ ْﻟ ِﻜﺘَﺎﺏِ ﺍ‬ ْ ‫ﺃَ ْﺩ ِﺭﻙْ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻷُﻣﱠﺔَ َﻗ ْﺒﻞَ َﺃﻥْ َﻳ‬ ‫ﻋﺜْﻤَ ﺎﻥُ ﺇِﻟَ ﻰ ﺣَﻔْﺼَ ﺔَ َﺃﻥْ َﺃﺭْﺳِ ﻠِﻲ ﺇِ َﻟ ْﻴﻨَ ﺎ‬ ُ َ‫ﻭَﺍﻟﻨﱠﺼَ ﺎﺭَﻯ ﻓَ َﺄﺭْﺳَ ﻞ‬ ْ‫ﺨﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺼَﺎﺣِﻒِ ﺛُ ﻢﱠ َﻧﺮُﺩﱡﻫَ ﺎ ﺇِ َﻟﻴْ ﻚِ ﻓَ َﺄﺭْﺳَ ﻠَﺖ‬ ُ‫ﺴ‬ َ ْ‫ﺼﺤُﻒِ َﻧﻨ‬ ‫ﺑِﺎﻟ ﱡ‬ َ‫ﻋﺒْﺪَﺍﻟﻠﱠ ﻪِ ﺑْ ﻦ‬ َ ‫ﻋﺜْﻤَ ﺎﻥَ ﻓَ ﺄَ َﻣﺮَ َﺯﻳْ ﺪَ ﺑْ ﻦَ ﺛَﺎﺑِ ﺖٍ َﻭ‬ ُ ‫ِﺑﻬَ ﺎ ﺣَﻔْﺼَ ﺔُ ﺇِﻟَ ﻰ‬ ِ‫ﻋﺒْ ﺪَﺍﻟ ﱠﺮﺣْ َﻤﻦِ ﺑْ ﻦَ ﺍ ْﻟﺤَ ﺎﺭِﺙِ ﺑْ ﻦ‬ َ ‫ﺍﻟ ﱡﺰ َﺑ ْﻴ ﺮِ ﻭَﺳَ ﻌِﻴﺪَ ﺑْ ﻦَ ﺍ ْﻟﻌَ ﺎﺹِ َﻭ‬ ِ‫ﻋﺜْﻤَ ﺎﻥُ ﻟِﻠ ﺮﱠ ْﻫﻂ‬ ُ َ‫ﻫِﺸَ ﺎﻡٍ َﻓﻨَﺴَ ﺨُﻮﻫَﺎ ﻓِ ﻲ ﺍﻟْﻤَﺼَ ﺎﺣِﻒِ ﻭَﻗَ ﺎﻝ‬ ٍ‫ﺧﺘَﻠَ ْﻔ ُﺘﻢْ َﺃ ْﻧ ُﺘﻢْ َﻭ َﺯﻳْﺪُ ْﺑﻦُ ﺛَﺎﺑِﺖٍ ﻓِﻲ ﺷَ ﻲْء‬ ْ ‫ﺷﻴﱢﻴﻦَ ﺍﻟﺜﱠﻼﺛَﺔِ ﺇِﺫَﺍ ﺍ‬ ِ َ‫ﺍﻟْ ُﻘﺮ‬ ْ‫ﻣِ ﻦَ ﺍﻟْﻘُ ﺮْﺁﻥِ ﻓَ ﺎ ْﻛ ُﺘﺒُﻮﻩُ ﺑِﻠِﺴَ ﺎﻥِ ﻗُ َﺮ ْﻳﺶٍ ﻓَ ِﺈﻧﱠﻤَ ﺎ ﻧَ َﺰﻝَ ﺑِﻠِﺴَ ﺎ ِﻧ ِﻬﻢ‬ ُ‫ﻋﺜْﻤَ ﺎﻥ‬ ُ ‫ﺼﺤُﻒَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺼَﺎﺣِﻒِ ﺭَﺩﱠ‬ ‫ﺴﺨُﻮﺍ ﺍﻟ ﱡ‬ َ َ‫ﺣﺘﱠﻰ ﺇِﺫَﺍ ﻧ‬ َ ‫ﻓَ َﻔﻌَﻠُﻮﺍ‬ ‫ﺍﻟﺼﱡ ﺤُﻒَ ﺇِﻟَ ﻰ ﺣَﻔْﺼَ ﺔَ ﻭََﺃﺭْﺳَ ﻞَ ﺇِﻟَ ﻰ ﻛُ ﻞﱢ ﺃُﻓُ ﻖٍ ﺑِﻤُﺼْ ﺤَﻒٍ ﻣِﻤﱠ ﺎ‬ ْ‫ﻧَﺴَ ﺨُﻮﺍ ﻭَﺃَﻣَ ﺮَ ﺑِﻤَ ﺎ ﺳِ ﻮَﺍﻩُ ﻣِ ﻦَ ﺍﻟْﻘُ ﺮْﺁﻥِ ﻓِ ﻲ ﻛُ ﻞﱢ ﺻَ ﺤِﻴﻔَﺔٍ َﺃﻭ‬ َ‫ﺤ َﺮﻕ‬ ْ ‫ﺼﺤَﻒٍ َﺃﻥْ ُﻳ‬ ْ ُ‫ﻣ‬ 90 Jagalah ummat ini, sebelum mereka memperselisihkan al-Qur’an ini sebagaimana perselisihan orang Yahudi dan Nasrani. Maka, ‘Utsmân menulis surat kepada Hafshah: Kirimkanlah kepadaku lembaran-lembaran itu. Kami akan menggandakannya menjadi sejumlah mushhaf, kemudian kami akan mengembalikannya kepada Anda. Hafshah pun mengirimkannya kepada ‘Utsmân. Beliau lalu memerintahkan Zayd bin Tsâbit, ‘Abdullâh bin Zubayr, Sa’îd bin al‘Ash, ‘Abdurrahmân bin al-Hârits bin Hisyâm. Mereka kemudian menggandakannya menjadi beberapa mushhaf. ‘Utsmân berkata kepada tiga kelompok orang Quraisy tersebut: Jika kalian berbeda pendapat dengan Zayd bin Tsâbit terhadap al-Qur’an, maka tulislah dengan bahasa Quraisy, sebab ia telah diturunkan dengan menggunakan bahasa mereka. Mereka pun melakukannya, hingga mereka selesai menggandakan lembaran-lembaran tersebut menjadi sejumlah mushhaf. ‘Utsmân pun mengembalikan lembaran-lembaran tersebut kepada Hafshah, dan di setiap penjuru dikirim satu mushhaf yang telah mereka gandakan. Beliau juga memerintahkan lembaran atau mushhaf al-Qur’an yang lain untuk dibakar.16 Berdasarkan riwayat di atas, bisa disimpulkan bahwa pengumpulan al-Qur’an yang terjadi pada zaman ‘Utsmân bin ‘Affân tersebut dilakukan: 1. Menggandakan tulisan yang sama yang telah dikumpulkan oleh Zayd bin Tsâbit pada zaman Abû Bakar, dimana kumpulan tulisan yang berbentuk lembaran-lembaran (shuhuf) itu telah disimpan secara berturut-turur, masing-masing di sisi Abû Bakar, ‘Umar dan Hafshah. Dari tangan Hafshahlah, ‘Utsmân memperoleh naskah asli al-Qur’an untuk digandakan menjadi beberapa eksemplar mushaf. 2. Orang yang sama ---yang telah ditunjuk Abû Bakar untuk mengumpulkan al-Qur’an--- juga telah ditunjuk oleh ‘Utsmân bin ‘Affân untuk menggandakan al-Qur’an. Dialah Zayd bin Tsâbit, pemuda yang cerdas dan kredibel. 3. Kasus pembakaran mushaf lain, selain yang ada pada Hafshah dan duplikatnya, bertujuan untuk menyamakan 16 Al­Bukhâri, Op. Cit., hadits no. 4604. 91 mushaf, dan meninggalkan bacaan syâdz serta tafsir-tafsir tambahan yang lain. Karena itulah, maka al-Qur’an yang ada di tangan kaum Muslim saat ini adalah qath’î bersumber dari Allah, tanpa sedikitpun perubahan maupun modifikasi. Pengakuan ini bukan hanya diakui oleh kaum Muslim, tetapi juga oleh para Orientalis. Goer berkata: Sesungguhnya mushaf yang telah dikumpulkan oleh ‘Utsmân telah sampai kepada kita secara mutawatir tanpa sedikitpun perubahan. Ia telah dipelihara dengan perhatian yang luas biasa, dimana tidak terbersik sedikitpun adanya perubahan pada naskah-naskah yang tidak terbatas itu, dan telah diedarkan di negeri Islam, sehingga hanya satu al-Qur’an bagi semua kelompok Islam yang berselisih. Penggunaan secara kolektif terhadap nas yang sama telah diterima semua kalangan hingga saat ini. Ia bisa dianggap sebagai hujah terbesar, dan bukti kesahihan nas yang diturunkan yang ada pada kita.17 2. Pembukuan al-Qur’an Dalam sejarah penulisan teks al-Qur’an, shuhuf ---bentuk plural dari shahîfah--- adalah basic yang menjadi lembar pengumpulan al-Qur’an pada zaman Abû Bakar. Shuhuf itu sendiri adalah potongan (bagian) lepas dari bahan tulisan, seperti lempengan (riqâ’), tulang binatang (aktâf), pelepah kurma (‘asab) dan batu tipis (lihâf). Sedangkan mushhaf adalah shuhuf yang telah dikumpulkan; dihadirkan dalam sistematika yang fixed di antara dua sampul depan (cover) dalam satu jilid. Dalam shuhuf tersebut sistematika ayat termasuk surat telah fixed, namun masih lepas, belum dibendel menjadi satu jilid. Dalam konteks sekarang, mushhaf adalah lembaran-lembaran al-Qur’an yang telah dikumpulkan pada zaman ‘Utsmân. Kini, kita juga mengenal sistematika al-Qur’an yang terdiri dari ayat dan surat yang fixed dengan nama mushhaf.18 17 18 ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 145. Ahmad von Denffer, Op. Cit., hal. 44. 92 2.1. Rasm Mushaf Yang dimaksud dengan rasm mushaf adalah seperti yang disebut oleh sebagian ulama’ dengan istilah rasm ‘Utsmâni. Sebab, ‘Utsmân ra. telah menulis mushaf, sebagaimana yang ditulis pada zaman Rasulullah. Para penulis wahyu juga telah mengakui tulisannya, seperti bentuknya yang telah populer. Rasm itu sendiri adalah gambar, bentuk atau sketsa tulisan. Misalnya, lafadz: ribâ dalam al-Qur’an tidak ditulis dengan: ‫ﺍﻟﱢﺮﺑّﺎ‬, melainkan dengan: ‫ﺍﻟﺮﱢﺑَﻮﺍ‬.19 Lafadz: sa’aw yang ditulis dengan tambahan alif: ‫ ﺳﻌﻮﺍ‬dalam surat alHajj, sedangkan dalam surat Saba’ tanpa alif: ‫ﺳﻌﻮ‬. Inilah realitas rasm mushaf. Dalam hal ini, para ulama’ telah berbeda pendapat mengenai rasm tersebut menjadi dua kelompok: 1. rasm mushaf tersebut tawqîfî. 2. rasm mushaf tersebut ijtihadi. Pendapat yang pertama dinyatakan oleh Ibn al-Mubârak, menukil pendapat ad-Dibâ’ yang menyatakan, bahwa para sahabat maupun yang lain tidak mempunyai otoritas terhadap rasm al-Qur’an, meski seutas rambut pun, selain bahwa ia merupakan persoalan tawqîfî dari Nabi saw. Beliaulah yang memerintahkan mereka untuk menulisnya sebagaimana bentuk yang populer, dengan tambahan dan pengurangan huruf, karena rahasia yang tidak bisa diketahui oleh akal. Orang Arab pada era kejahiliyahannya, serta orang mukmin dari bangsa manapun yang seagama, tidak mengetahuinya, dan tidak mampu mengetahui sedikitpun persoalan tersebut. Hal itu merupakan rahasia Allah yang dikhususkan oleh Allah untuk kitabNya, bukan kitab-kitab lain.20 Pendapat yang kedua, antara lain, dikemukakan oleh alBaqillâni dan Ibn Khaldûn. Menurut al-Baqillâni, Nabi saw. tidak mewajibkan ummat berkaitan dengan tulisan. Sebab, beliau tidak mengambil rasm tertentu untuk para penulis al-Qur’an dan pembuat khath mushaf, kemudian mewajibkannya kepada mereka dan meninggalkan yang lainnya. Sebab, kewajiban tersebut tidak bisa diketahui kecuali melalui dalil sam’î dan tawqîf. Padahal, tidak ada 19 20 Q.s. al­Baqarah: 275, 276, 278; Ali ‘Imrân: 120, an­Nisâ’: 161. Ibn al­Mubârak, al­Ibriz, hal. 57. 93 satupun dalam nas al-Qur’an maupun mafhûm-nya yang menyatakan, bahwa rasm al-Qur’an ditetapkan dalam bentuk khusus.21 Inilah pandangan dua kelompok tersebut. Dan, tampak dengan jelas bahwa pandangan yang menyatakan rasm al-Qur’an itu bersifat tawqîf itu lebih layak diterima. Dalam hal ini, al-Baihaqi berkomentar: Siapa saja yang menulis mushaf hendaknya menjaga huruf hijaiyah yang mereka (para sahabat) gunakan untuk menulis mushaf tersebut. Hendaknya dia tidak menyalahi mereka, dan tidak mengubah apapun yang telah mereka tulis. Sebab, merekalah yang lebih banyak ilmu, kejujuran hati dan lidah, serta lebih amanah ketimbang kita. Maka, kita tidak boleh menganggap diri kita lebih mengetahui ketimbang mereka.22 Bahkan, Ahmad bin Hanbal mengharamkan penulisan khath mushaf berbeda dengan khath mushaf ‘Utsmân, baik waw, ya’, alif ataupun yang lain.23 2.2. Susunan Ayat al-Qur’an Secara harfiah, âyat berarti tanda (alamat), sebagaimana yang dinyatakan dalam firman Allah: [ْ‫ﺭ ﱢﺑﻜُﻢ‬ َ ْ‫ﺳﻜِﻴﻨَﺔٌ ِﻣﻦ‬ َ ِ‫]ِﺇﻥﱠ ءَﺍﻳَﺔَ ﻣُ ْﻠﻜِﻪِ َﺃﻥْ ﻳَ ْﺄ ِﺗ َﻴ ُﻜﻢُ ﺍﻟﺘﱠﺎﺑُﻮﺕُ ﻓِﻴﻪ‬ "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu. (Q.s. al-Baqarah: 248). Juga berarti ibrah (pelajaran), seperti firman Allah: 21 Ibid, hal. 59. As­Suyûthi, Op. Cit., juz II, hal. 167. 23 Ibid. 22 94 [‫ﺍ ْﻟﺘَ َﻘﺘَﺎ‬ ِ‫]ﻗَﺪْ ﻛَﺎﻥَ َﻟ ُﻜﻢْ ءَﺍﻳَﺔٌ ﻓِﻲ ِﻓ َﺌ َﺘ ْﻴﻦ‬ Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). (Q.s. Ali ‘Imrân: 13). Juga berarti mu’jizat, seperti firman Allah: [ٍ‫َﺑ ﱢﻴﻨَﺔ‬ ٍ‫ﺳﺮَﺍﺋِﻴﻞَ َﻛﻢْ ءَﺍ َﺗ ْﻴﻨَﺎ ُﻫﻢْ ِﻣﻦْ ءَﺍﻳَﺔ‬ ْ ِ‫ﺳﻞْ َﺑﻨِﻲ ﺇ‬ َ ] Tanyakanlah kepada Bani Israil: "Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran) yang nyata, yang telah Kami berikan kepada mereka". (Q.s. al-Baqarah: 211). Juga berarti dalil dan argumentasi, seperti firman Allah: ْ‫]ﻭَ ِﻣﻦْ ءَﺍﻳَﺎﺗِ ﻪِ ﺧَﻠْ ﻖُ ﺍﻟﺴﱠ َﻤﻮَﺍﺕِ ﻭَﺍ َﻷ ْﺭﺽِ ﻭَﺍﺧْ ﺘِﻼﻑُ ﺃَﻟْﺴِ َﻨ ِﺘ ُﻜﻢ‬ [ْ‫ﻭَﺃَ ْﻟﻮَﺍ ِﻧ ُﻜﻢ‬ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. (Q.s. al-ar-Rûm: 22). Inilah konotasi etimologis lafadz: âyat. Adapun secara terminologis, ayat al-Qur’an bisa didefinisikan dengan sekelompok al-Qur’an, yang terpisah dari kelompok sebelum dan setelahnya. Menurut as-Suyûthi, definisi ini sesuai untuk ayat dan juga surat. Karena itu, harus ditambahkan batasan agar definisi tersebut hanya untuk ayat, sehingga bisa dinyatakan: ayat adalah sekelompok al-Qur’an, yang terpisah dengan kelompok sebelum dan setelahnya, yang dikenal melalui penukilan, dan terdapat dalam surat. Mengenai batasan: yang terpisah dengan kelompok sebelum dan setelahnya bukan berarti tidak mempunyai kaitan sama sekali dengan makna sebelum dan setelahnya, melainkan dianggap satu ayat, jika tidak menjadi bagian dari ayat sebelum maupun setelahnya. 95 Ijma’ sahabat telah menyepakati, bahwa susunan ayat alQur’an dalam surat itu tawqîfî (seperti apa adanya dari Allah). Dalam hal ini, ‘Utsmân menuturkan: ‫ ﻣِﻤﱠﺎ ﻳَ ْﺄﺗِﻲ ﻋَ َﻠﻴْﻪِ ﺍﻟﺰﱠﻣَﺎﻥُ ﻭَﻫُ ﻮَ َﺗﻨْ ِﺰﻝُ ﻋَ َﻠﻴْ ِﻪ‬e ِ‫ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ َ‫ﺴ َﻮﺭُ َﺫﻭَﺍﺕُ ﺍ ْﻟﻌَﺪَﺩِ َﻓﻜَﺎﻥَ ﺇِﺫَﺍ َﻧ َﺰﻝَ ﻋَ َﻠﻴْ ﻪِ ﺍﻟﺸﱠ ﻲْءُ َﺩﻋَ ﺎ َﺑﻌْ ﺾ‬ ‫ﺍﻟ ﱡ‬ ‫ﺿﻌُﻮﺍ َﻫﺆُﻻءِ ﺍﻵﻳَﺎﺕِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴﱡﻮﺭَﺓِ ﺍﱠﻟﺘِﻲ‬ َ ُ‫َﻣﻦْ ﻛَﺎﻥَ َﻳ ْﻜﺘُﺐُ َﻓﻴَﻘُﻮﻝ‬ ‫ﻳُ ْﺬ َﻛﺮُ ﻓِﻴﻬَ ﺎ ﻛَ ﺬَﺍ َﻭﻛَ ﺬَﺍ ﻭَﺇِﺫَﺍ َﻧﺰَﻟَ ﺖْ ﻋَ َﻠﻴْ ﻪِ ﺍﻵﻳَ ﺔَ َﻓﻴَﻘُ ﻮﻝُ ﺿَ ﻌُﻮﺍ‬ ‫ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻵﻳَﺔَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴﱡﻮﺭَﺓِ ﺍﱠﻟﺘِﻲ ﻳُ ْﺬ َﻛﺮُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻛَﺬَﺍ َﻭﻛَﺬَﺍ‬ Suatu ketika sejumlah surat (al-Qur’an) yang panjang telah turun kepada Rasulullah saw. Jika telah turun sesuatu, beliau memanggil sebagian orang yang biasa menulis (wahyu), lalu beliau akan bersabda: Letakkanlah ayat-ayat itu dalam surat yang menyatakan begini dan begini. Jika satu ayat turun kepada beliau, maka beliau bersabda: Letakkanlah ayat ini di tengah surat yang menyatakan begini dan begini.24 Disamping itu, sistematikan bacaan Rasulullah saw. dalam shalat terhadap sejumlah surat al-Qur’an telah disaksikan para sahabat ra. Setelah itu, mereka menukil apa yang telah mereka dengar tadi kepada para tabiin hingga sampai kepada generasi kita tanpa sedikitpun perbedaan. Karenanya, az-Zarkasyi mengatakan, bahwa masalah tersebut tidak ada perbedaan antara kaum Muslim. AsSuyûthi juga menyatakan, bahwa tidak ada syubhat dalam masalah tersebut.25 Ada yang mencoba memperselisihkan sistematika ayat tersebut melalui perbedaan jumlah ayat, misalnya ada yang menyatakan jumlah ayatnya 6.000 ayat, dan ada yang menyatakan 6.204 ayat, atau 6.214 atau 6.219 ayat. Perbedaan mengenai jumlah ini, pada dasarnya tidak menunjukkan adanya perbedaan sistematika ayat. Sebab, perbedaan di kalangan ulama’ dahulu mengenai jumlah 24 25 At­Tirmidzi, Sunan, hadits no. 3011. Lihat, ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 147. 96 ayat tersebut disebabkan oleh berhentinya Nabi saw. pada permulaan ayat. Maka, orang yang mendengarkannya akan mengira bahwa ayat tersebut terpisah.26 Misalnya, sebagian ulama’ salaf menganggap bismillah sebagai satu ayat pada tiap surat, dan sebagian lagi tidak. Maka, perbedaan jumlah ayatnya terjadi akibat perkiraan jumlah ayat dalam surat tersebut. 2.3. Struktur Surat Dalam al-Qur’an Mengenai sûrat, merupakan bentuk tunggal, dengan plural: suwar. Secara harfiah berarti kedudukan bangunan, atau salah satu barisan yang diletakkan satu sama lain. Kadang juga digunakan untuk menyebut kedudukan yang tinggi. Surat al-Qur’an disebut demikian --untuk menyerupai kedudukan bangunan--- karena merupakan potongan dari Kitab Allah, saling terkait satu sama lain yang diturunkan untuk tujuan tertentu. Atau, disebut demikian karena kedudukannya yang tinggi sebagai kalam Allah. Namun, secara terminologis surat adalah sekelompok al-Qur’an, yang terpisah dari kelompok sebelum dan setelahnya, yang dikenal melalui penukilan. Tentang sistematika surat tersebut ada tiga pendapat: 1. sistematika seluruh surat bersifat tawqîfî. 2. sistematika seluruh surat bersifat ijtihadi 3. sistematika sebagian surat bersifat tawqîfî dan sebagian lain ijtihadi. Pendapat yang pertama dibangun berdasarkan kisah pemaparan al-Qur’an kepada Nabi saw. Artinya, Jibril as. senantiasa membacakan al-Qur’an secara urut, dengan surat dan ayatnya. Dalil yang paling kuat untuk mendukung pendapat ini adalah Ijma’ Sahabat terhadap mushaf ‘Utsmâni, serta pembakaran mushaf lain yang berbeda susunannya. Pendapat yang kedua dibangun berdasarkan perbedaan susunan surat dalam mushaf para sahabat. Andai susunan tersebut bersifat tawqîfî, tentu mereka tidak akan berbeda. Disamping riwayat dari ‘Utsmân, bahwa Nabi saw. telah wafat sementara beliau tidak menjelaskan masalah dua surat al-Anfâl dan at-Taubah. Ketika Nabi 26 As­Suyûthi, Op. Cit., juz I, hal. 67. 97 tidak menjelaskan, ‘Utsmân berkesimpulan: Kisahnya (al-Anfâl) menyerupai kisahnya (at-Taubah), sehingga saya mengira surat tersebut merupakan bagian darinya. Karena itu, saya letakkan secara berdampingan antara keduanya, dan saya tidak menulis Bismillah, dan saya masukkan dalam tujuh surat panjang. Kisah ini membuktikan, bahwa susunan surat tersebut merupakan perkara ijtihadi. Sedangkan pendapat yang ketiga, menurut az-Zarqâni, merupakan pendapat yang ideal. Banyak ulama’ telah berpendapat demikian. Meski demikian, mereka berbeda pendapat soal berapa kadar ijtihadi dan tawqîfî-nya. Dari ketiga pendapat di atas, pendapat kedualah yang sesuai dengan realitas. Artinya, adanya perbedaan susunan surat dalam mushaf para sahabat, meski sistematika ayatnya sama, membuktikan bahwa susunan surat tersebut bersifat ijtihadi. Ini berbeda dengan susunan ayat termasuk jumlahnya dalam surat yang semuanya bersifat tawqîfî.27 2.4. Mushaf Para Penulis Wahyu Para sahabat yang paling populer berkaitan dengan pengumpulan materi tulisan wahyu adalah Ibn Mas’ûd, Ubay bin Ka’ab dan Zayd bin Tsâbit. Sementara daftar penulis wahyu yang mempunyai kumpulan tulisan wahyu, selain ketiganya juga termasuk: ‘Alî, Ibn ‘Abbâs, Abû Mûsâ al-Asy’arî, Hafshah, Anas bin Mâlik, ‘Umar, ‘Abdullâh bin Zubayr, ‘Abdullâh bin ‘Amr, ‘Aisyah, Sâlim, Ummu Salamah, ‘Ubayd bin ‘Umar. ‘Aisyah dan Hafshah juga dikenal mempunyai naskah tulisan, pasca wafatnya Rasulullah saw.28 1. Mushaf Ibn Mas’ûd (w. 33 H/653 M) Ibn Ma’sûd telah menulis mushaf, yang menurut Ibn anNadîm, tidak ada surat al-Fâtihah-nya. Susunan suratnya juga 27 An­Nabhâni, as­Syakhshiyyah al­Islamiyyah, Pustaka Thariqul Izzah, Bangil, cet. I, 2003, juz I, hal. 219­220. 28 Ibn Abî Dâwûd, al­Mashâhif, hal. 14; Ahmad von Denffer, Op. Cit., hal. 46. 98 berbeda dengan mushaf ‘Utsmâni. Dalam mushaf Ibn Mas’ûd, sebagaimana laporan Ibn an-Nadîm, susunannya adalah: 2, 4, 3, 7, 6, 5, 10, 9, 16, 11, 12, 17, 21, 23, 26, 37, 33, 28 , 24, 8, 19, 29, 30, 36, 25, 22, 13, 34, 35, 14, 38, 47, 31, 35, 40, 43, 41, 46, 45, 44, 48, 57, 59, 32, 50, 65, 49, 67, 64, 63, 62, 61, 72, 71, 58, 60, 66, 55, 53, 51, 52, 54, 69, 56, 68, 79, 70, 73, 74, 83, 80, 76, 75, 77, 78, 81, 82, 88, 87, 92, 89, 85, 84, 96, 90, 93, 94, 86, 100, 107, 101, 98, 91, 95, 104, 105, 102, 97, 110, 108, 109, 111, 112.29 Tentu daftar ini tidak lengkap. Mushaf tersebut berisi 106 surat, tidak sebagaimana yang ditulis oleh anNadîm, yang menurutnya ada 110 surat. Sebagai contoh, dalam surat al-Baqarah, secara total ada 101 varian. Yang paling menonjol berkaitan dengan tulisan huruf hijaiyah (spelling), pilihan kata (synonym), penggunaan partikel dan sebagainya. Misalnya: 1. pelafalan (pronunciation): dalam surat al-Baqarah: 70, Ibn Mas’ûd menulis al-Baqirah untuk al-Baqarah. 2. tulisan huruf hijaiyah (spelling): dalam surat al-Baqarah: 19, beliau membaca: kulla mâ untuk kullamâ. 3. pilihan kata (synonym): dalam surat al-Baqarah: 68, beliau membaca: sal (mintalah) untuk ad’u (mohon).30 2. Mushaf Ubay bin Ka’ab (w. 29 H/649 M) Mengenai susunan mushaf yang ditulis oleh Ubay bin Ka’ab adalah: 1, 2, 4, 3, 6, 7, 5, 10, 8, 9, 11, 19, 26, 22, 12, 18, 16, 33, 17, 39, 45, 20, 21, 24, 23, 40, 13, 28, 27, 37, 38, 36, 15, 42, 30, 43, 41, 14, 35, 48, 47, 57, 52, 25, 32, 71, 46, 50, 55, 72, 53, 68, 69, 59, 60, 77, 78, 76, 75, 81, 79, 80, 83, 84, 95, 96, 49, 63, 62, 66, 89, 67, 92, 82, 91, 85, 86, 87, 88, 74, 98, 61, 93, 94, 101, 102, 65, 104, 99, 100, 108, 97, 109, 110, 111, 106, 112, 113, 114. Sedangkan ayatnya, sebagaimana yang dilaporkan Ibn an-Nadîm, terdiri dari 6.210 ayat.31 Sama dengan mushaf Ibn Mas’ûd, mushaf Ubay juga tidak lengkap. Terdapat 93 varian dalam surat al-Baqarah, dalam mushaf Ubay. Bacaannya hampir sama dengan Ibn Mas’ûd. Sekedar contoh, 29 Ibn an­Nadîm, Op. Cit., hal. 41­42. Ahmad von Denffer, Op. Cit., hal. 47­48. 31 Ibn an­Nadîm, Ibid, hal. 42­43. 30 99 beliau membaca al-Baqirah dalam surat al-Baqarah: 70, untuk bacaan: al-Baqarah.32 3. Mushaf Ibn ‘Abbâs (w. 68 H/687 M) Ibn ‘Abbâs juga menulis mushaf, seperti yang dilaporkan dalam al-Itqân, juga termasuk dua surat tambahan yang terdapat pada mushaf Ubay.33 Susunananya juga berbeda dengan susunan mushaf yang lain. Dalam surat al-Baqarah, secara total terdapat 21 varian. Sebagiannya sama dengan mushaf Ibn Mas’ûd dan Ubay. 2.5. Mushaf ‘Utsmân Adapun mushaf ‘Utsmân, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, merupakan bendel shuhuf Abû Bakar yang pada zaman ‘Utsmân berada di tangan Hafshah binti ‘Umar, isteri Rasulullah saw. Susunan surat dan ayatnya, serta jumlah, bacaan dan rasm-nya adalah seperti yang kini disaksikan oleh kaum Muslim. Mushaf ini terdiri dari 114 surat, dengan susunan: (1) al-Fâtihah, (2) al-Baqarah, (3) Ali ‘Imrân, (4) an-Nisâ’, (5) al-Mâidah, (6) al-An’âm, (7) al-A’râf, (8) al-Anfâl, (9) at-Tawbah, (10) Yûnus, (11) Hûd, (12) Yûsuf, (13) ar-Ra’d, (14) Ibrâhîm, (15) al-Hijr, (16) an-Nahl, (17) alIsrâ’, (18) al-Kahfi, (19) Maryam, (20) Thâha, (21) al-Anbiyâ’, (22) alHajj, (23) al-Mu’minûn, (24) an-Nûr, (25) al-Furqân, (26) as-Syu’arâ’, (27) an-Naml, (28) al-Qashash, (29) al-Ankabût, (30) ar-Rûm, (31) Luqmân, (32) as-Sajdah, (33) al-Ahzâb, (34) Saba’, (35) Fâthir, (36) Yasin, (37) as-Shâffât, (38) Shad, (39) az-Zumar, (40) al-Mu’min, (41) Fushshiilât, (42) as-Syûrâ, (43) az-Zukhrûf, (44) ad-Dukhân, (45) alJâtsiyât, (46) al-Ahqâf, (47) Muhammad, (48) al-Fath, (49) al-Hujurât, (50) Qaf, (51) ad-Dzâriyât, (52) at-Thûr, (53) an-Najm, (54) alQamar, (55) ar-Rahmân, (56) al-Wâqi’ah, (57) al-Hadîd, (58) alMujâdilah, (59) al-Hasyr, (60) al-Mumtahanan, (61) as-Shaf, (62) alJumu’ah, (63) al-Munâfiqûn, (64) at-Taghâbun, (65) at-Thalâq, (66) at-Tahrîm, (67) al-Mulk, (68) al-Qalam, (69) al-Hâqqah, (70) alMa’ârij, (71) Nûh, (72) al-Jinn, (73) al-Muzammil, (74) al-Mudatstsir, 32 33 Ahmad von Denffer, Ibid, hal. 48­49. As­Suyûthi, Op. Cit., juz I, hal. 65. 100 (75) al-Qiyâmah, (76) al-Insân, (77) al-Mursalât, (78) an-Naba’, (79) an-Nâzi’ât, (80) ‘Abasa, (81) at-Takwîr, (82) al-Infithâr, (83) alMuthaffifîn, (84) al-Insyiqâq, (85) al-Burûj, (86) at-Thâriq, (87) alA’lâ, (88) al-Ghâsyiyah, (89) al-Fajr, (90) al-Balad, (91) as-Syams, (92) al-Layl, (93) ad-Dhuhâ, (94) Alam Nasyrah, (95) at-Tîn, (96) al-‘Alaq, (97) al-Qadr, (98) al-Bayyinah, (99) al-Zalzalah, (100) al-‘Adiyât, (101) al-Qâri’ah, (102) at-Takâtsur, (103) al-‘Ashr, (104) al-Humazah, (105) al-Fîl, (106) Quraisy, (107) al-Mâ’ûn, (108) al-Kawtsar, (109) alKâfirûn, (110) an-Nashr, (111) al-Lahab, (112) al-Ikhlâsh, (113) alFalaq, (114) an-Nâs. Harus dicatat, bahwa mushaf yang memuat materi al-Qur’an ini pada mulanya belum diberi tanda bacaan (i’râb), titik termasuk syakal. Pada era kekhilafahan Mu’âwiyah, beliau menunjuk Abû alAswad ad-Dualli untuk memberi tanda bacaan (i’râb) dalam bentuk titik pada tiap kalimat agar terhindar dari kesalahan membaca. Sementara titik pada huruf hijaiyah baru diberikan pada zaman ‘Abd al-Malik bin Marwân, ketika beliau menunjuk al-Hajaj bin Yûsuf untuk memberi titik pada ba’, dengan satu titik di bawah, ta’ dengan dua titik di atas, tsa’ dengan tiga titik di atas dan sebagainya. Ketika itu, beliau meminta bantuan Nashr bin ‘Ashim dan Hayy bin Ya’mar. Sementara syakal, seperti fathah, dhammah, kasrah dan sebagainya, diberikan oleh Khalîl bin Ahmad al-Farakhidi. Demikian juga pembagian al-Qur’an sebagaimana yang tertulis dalam mushaf, yang dibagi menjadi 30 juz, 60 hizb, 554 ruku’ baru dilakukan pada zaman ‘Abd al-Malik bin Marwân, dengan jasa al-Hajaj bin Yûsuf. Meski harus diakui, bahwa sejak zaman sahabat pembagian al-Qur’an menjadi ½, 1/3, 1/5, 1/7, 1/9 dan sebagainya telah dilakukan. Tujuannya adalah untuk memudahkan hafalan dan pengamalan dalam sehari semalam, atau dalam shalat. Namun, pembagian tersebut tidak tertulis dalam al-Qur’an. 101 Bab V Bahasa Dan Gaya Bahasa Al-Qur’an 1. Bahasa al-Qur’an Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan dalam bahasa Arab yang sangat jelas dan terang. Dalam hal ini, Allah sendiri menyatakan: [َ‫َﺗﻌْﻘِﻠُﻮﻥ‬ ْ‫ﺎ َﻟﻌَﱠﻠ ُﻜﻢ‬‫ﻋ َﺮ ِﺑﻴ‬ َ ‫]ِﺇﻧﱠﺎ َﺃ ْﻧﺰَ ْﻟﻨَﺎﻩُ ُﻗﺮْءَﺍﻧًﺎ‬ Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (Q.s. Yûsuf: 2). [َ‫َﻳﻌْﻠَﻤُﻮﻥ‬ ٍ‫ﺎ ﻟِ َﻘ ْﻮﻡ‬‫ﻋ َﺮ ِﺑﻴ‬ َ ‫] ِﻛﺘَﺎﺏٌ ﻓُﺼﱢﻠَﺖْ ءَﺍﻳَﺎﺗُﻪُ ُﻗﺮْءَﺍﻧًﺎ‬ Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. (Q.s. Fushshilât: 3). [َ‫َﺗﻌْﻘِﻠُﻮﻥ‬ ْ‫ﺎ َﻟﻌَﱠﻠ ُﻜﻢ‬‫ﻋ َﺮ ِﺑﻴ‬ َ ‫ﺟﻌَ ْﻠﻨَﺎﻩُ ُﻗﺮْءَﺍﻧًﺎ‬ َ ‫]ِﺇﻧﱠﺎ‬ Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami (nya). (Q.s. az-Zukhruf: 3). ‫]ﻭَﻟَﻘَ ﺪْ ﻧَﻌْ َﻠ ﻢُ َﺃ ﱠﻧﻬُ ﻢْ ﻳَﻘُﻮﻟُ ﻮﻥَ ِﺇﻧﱠﻤَ ﺎ ُﻳﻌَﻠﱢﻤُ ﻪُ ﺑَﺸَ ﺮٌ ﻟِﺴَ ﺎﻥُ ﺍﻟﱠ ﺬِﻱ‬ [ٌ‫ﻣﺒِﻴﻦ‬ ُ ‫ﻋ َﺮﺑِﻲﱞ‬ َ ٌ‫ﻋﺠَﻤِﻲﱞ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﻟِﺴَﺎﻥ‬ ْ ‫ﻳُ ْﻠﺤِﺪُﻭﻥَ ﺇِ َﻟﻴْﻪِ َﺃ‬ Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam, sedang Al Qur'an adalah dalam bahasa Arab yang terang. (Q.s. an-Nahl: 103). 103 Bahasa Arab itu sendiri adalah bahasa yang dibuat dan digunakan oleh orang Arab. Maka untuk memahami bahasa Arab, hanya ada satu metode, yaitu riwayat. Dengan kata lain, agar seseorang memahami bahasa Arab, mau tidak mau, harus meriwayatkan bahasa tersebut dari penutur asli (an-nâthiqîn)-nya, yaitu orang Arab. Bahasa bukan masalah logika. Artinya, untuk bisa memahaminya seseorang tidak bisa menggunakan akalnya, tanpa informasi apapun mengenai bahasa tersebut dari penutur aslinya. Karenanya, pengetahuan mengenai bahasa, meminjam istilah Ibn Khaldûn, juga bisa disebut sebagai pengetahuan transformatif (al‘ulûm an-naqliyyah). Untuk memahami bahasa al-Qur’an, seseorang harus menguasai bahasa Arab dengan baik. Tanpanya, mustahil al-Qur’an bisa dikuasai. Karenanya, para ulama’ telah bangkit mengerahkan seluruh kemampuan mereka untuk memindahkan bahasa Arab ini dari para penuturnya untuk didokumentasikan dalam buku yang bisa dipelajari oleh siapapun sepanjang sejarah kehidupan manusia. Sebut saja, Ibn al-Mandlûr (w. ) yang terkenal dengan karya monumentalnya, Lisân al-‘Arab. Belum ilmu-ilmu lain, seperti ilmu nahwu, sharf, balaghah, sosiolinguistik (fiqh al-lulghah), dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini selalu menyertai ulûm al-Qur’ân, ulûm al-Hadîts, bahkan telah menjadi asas bagi kedua ilmu tersebut. Maka, siapapun yang hendak menguasai ilmu al-Qur’an, Hadits atau usul dan fiqih, mau tidak mau, harus mengkaji ilmu kebahasaaraban. 2. Sumber Istilah dan Makna Bahasa al-Qur’an Dengan menganalisis bahasa Arab, sebagaimana yang telah dibukukan dan dinukil, terlihat dengan jelas bahwa sumber penyebutan (nama) dan makna lafadz Arab itu ada empat: (1) Haqîqah, (2) Majâz, (3) Isytiqâq dan (4) Ta’rîb. 2.1. Haqîqah Haqîqah adalah kata yang lafadznya digunakan sebagaimana pertama kali dipergunakan dalam konteks kebahasaan. Misalnya 104 lafadz: al-asad (singa) yang digunakan dengan konotasi hewan buas. Ini tampak pada konteks kalimat seperti berikut: « ِ‫ﺤ َﻴﻮَﺍﻥ‬ َ ‫ﺿﺨْﻤًﺎ ﻓِﻲْ ﺣَ ِﺪﻳْﻘَﺔِ ﺍ ْﻟ‬ َ ‫» ﺭََﺃﻳْﺖُ ﺃَﺳَﺪًﺍ‬ Saya telah melihat singa besar di kebun binatang. Dalam hal ini, bisa diklasifikasikan menjadi: 1. Lughawiyyah Wadh'iyyah: adalah kata yang lafadznya digunakan untuk menunjukkan makna hakiki berdasarkan konteks penggunaan asal kata tersebut. Ini juga biasa disebut dengan al-Haqîqah al-Lughawiyyah saja. Misalnya lafadz: ar-Rajul yang digunakan untuk menyebut laki-laki dewasa. 2. Lughawiyyah Manqûlah: adalah kata yang lafadznya digunakan untuk menunjukkan makna hakiki setelah mengalami transformasi maksud, baik yang dilakukan oleh ahli bahasa atau pembuat syariat. Maka, dalam hal ini bisa diklasifikasikan menjadi dua: (1) Al-Haqîqah al-Lughawiyyah al-'Urfiyyah: adalah lafadz yang mengalami tranformasi maksud dari makna asal penggunaannya, kepada makna lain, yang kemudian populer dengan makna tersebut, sehingga makna lafadz asalnya ditinggalkan. Misalnya lafadz: ad-Dâbbah (hewan melata). Asalnya lafadz ini mempunyai konotasi hewan melata di muka bumi, yang meliputi manusia dan hewan. Namun, kemudian digunakan oleh orang Arab dengan konotasi hewan berkaki empat, sehingga makna asalnya ditinggalkan. Maka, makna baru ini disebut Haqîqah Lughawiyyah 'Urfiyyah. Yang juga termasuk jenis ini adalah penggunaan istilah oleh pakar keilmuan, seperti ulama' Nahwu menyebut Fâ'il, Mubtada', Nâ'ib al-Fâ'il untuk maksud tertentu, yang secara fungsional mempunyai konotasi subyek kalimat. (2) Al-Haqîqah al-Lughawiyyah as-Syar'iyyah: adalah lafadz yang mengalami transformasi maksud dari makna asal penggunaannya kepada makna lain, yang digunakan 105 oleh pembuat syariat. Karena yang melakukan transformasi maksud lafadz ini adalah pembuat syariat, maka konotasi maknanya harus dinyatakan oleh dalil syara'. Misalnya lafadz: shalât, as-shiyâm, al-Islâm, al-kufr dan sebagainya. 2.2. Majâz: Majâz adalah lafadz yang digunakan tidak sesuai dengan asal penggunaannya yang pertama, karena adanya indikasi yang menghalangi dinyatakannya makna yang hakiki. Misalnya lafadz: Raqabah, dalam firman Allah: { ٍ‫ﺤ ِﺮ ْﻳﺮُ ﺭَ َﻗﺒَﺔٍ ُﻣﺆْ ِﻣﻨَﺔ‬ ْ ‫} َﻓ َﺘ‬ Maka, hendaknya memerdekakan budak yang beriman (Q.s. anNisâ': 92) digunakan untuk menyebut budak yang dimiliki ('abd mamlûk). Sebab, ia merupakan bagian dari budak, sehingga hubungannya merupakan hubungan bagian. Dalam istilah ahli Balâghah, disebut: Ithlâq al-juz'[i] wa irâdat al-kull[i] (yang dinyatakan sebagian, sementara maksudnya keseluruhan). Dalam hal ini, yang menentukan bahwa lafadz tersebut Majâz adalah hubungan dan indikasi, yang diperoleh oleh ahli bahasa dan Balâghah melalui penelitian dan analisis yang mendalam. Dari aspek hubungan antara makna yang digunakan dengan makna yang diletakkan pertama kali, maka Majâz bisa dibagi menjadi dua: 1. Isti'ârah: Secara harfiah, isti'ârah berarti meminjam. Disebut demikian, karena pada dasarnya Majâz dalam konteks ini disusun dengan meminjam lafadz asal untuk digunakan dengan maksud baru, karena adanya persamaan (musyâbahah) antara masing-masing. Maka, di sini berlaku konteks persamaan; Musyabbah (yang disamakan), Musyabbah bih[i] (obyek yang menjadi persamaan) dan Wajh as-Syabah (bentuk persamaan). Contoh: 106 Anda, auranya bak bulan purnama. « ً‫ﺿﻴَﺎء‬ ِ ٌ‫» َﺃﻧْﺖَ ﺑَ ْﺪﺭ‬ Maka, anda statusnya sebagai Musyabbah (yang disamakan), auranya adalah Wajh as-Syabah (bentuk persamaan), dan bak bulan purnama adalah Musyabbah bih[i] (obyek yang menjadi persamaan). Isti'ârah kemudian diklasifikasikan menjadi: (1) Isti'ârah Tashrîhiyyah: Disebut Tashrîhiyyah karena lafadz yang dipinjam digunakan untuk menjelaskan persamaan Musyabbah bih[i] dengan Musyabbah. Maka, dalam Isti'ârah Tashrîhiyyah ini, biasanya Musyabbah bih[i]nya disebutkan. Misalnya: َ‫} ﺍﻟ ﺮ ِﻛﺘَ ﺎﺏٌ َﺃ ْﻧﺰَ ْﻟﻨَ ﺎﻩُ ﺇِ َﻟﻴْ ﻚَ ِﻟ ُﺘﺨْ ﺮِﺝَ ﺍﻟﻨﱠ ﺎﺱَ ﻣِ ﻦ‬ { ِ‫ﺍﻟﻈﱡﻠُﻤَﺎﺕِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻨﱡﻮﺭ‬ Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang. (Q.s. Ibrâhîm: 1) Lafadz: ad-dhulumât (gelap gulita) dan an-nûr (cahaya terang benderang) di sini dipinjam, masing-masing untuk menjelaskan ad-dhalâlah (kesesatan atau kekufuran) dan al-hidâyah (petunjuk atau Islam). Sebenarnya yang dikehendaki oleh Allah, melalui indikasi diturunkannya al-Kitab kepada Rasulullah saw. adalah "mengeluarkan dari kesesatan menuju jalan hidayah", karena itu masingmasing ad-dhalâlah dan al-hidâyah ---yang tidak dinyatakan dalam ayat tersebut--- disebut Musyabbah (yang disamakan), sedangkan ad-dhulumât dan an-nûr disebut Musyabbah bih[i] (obyek yang menjadi persamaan). Kedua lafadz ini dipinjam dengan maksud untuk menjelaskan ad-dhalâlah dan al-hidâyah dengan majâz (kiasan): addhulumât dan an-nûr dengan maksud untuk menguatkan impresi pihak yang dijelaskan. Karena itu, disebut Isti'ârah 107 Tashrîhiyyah, sebab di dalamnya terjadi peminjaman lafadz untuk menguatkan penjelasan maksud pihak penyeru. (2) Isti'ârah Makaniyyah: adalah isti'ârah yang Musyabbah bih[i]-nya dibuang, kemudian digantikan dengan lafadz yang mencerminkan sifatnya yang dominan. Misalnya: ‫ﺟﻨَ ﺎﺡَ ﺍﻟ ﱡﺬﻝﱢ ﻣِ ﻦَ ﺍﻟ ﱠﺮﺣْﻤَ ﺔِ ﻭَﻗُ ﻞْ ﺭَﺏﱢ‬ َ ‫} ﻭَﺍﺧْ ِﻔﺾْ َﻟﻬُﻤَ ﺎ‬ { ‫ﺻﻐِﻴﺮًﺍ‬ َ ‫ﺍ ْﺭﺣَ ْﻤﻬُﻤَﺎ ﻛَﻤَﺎ َﺭ ﱠﺑﻴَﺎﻧِﻲ‬ Dan rendahkanlah "sayap kerendahan" terhadap mereka berdua (ibu-bapak) dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Q.s. al-Isrâ': 24) Di sini, lafadz: ad-dzull (kerendahan) ---yang merupakan Musyabbah (yang disamakan)--- disamakan dengan at-thayr (burung) ---yang merupakan Musyabbah bih[i] (obyek yang menjadi persamaan). Musyabbah bih[i] (burung) ini telah dihilangkan, lalu posisinya digantikan dengan sifatnya yang dominan, janâh (sayap). Inilah yang disebut isti'ârah makaniyyah, karena dalam konteks ayat ini telah terjadi peminjaman lafadz: at-thayr (burung) yang kemudian posisinya dihilangkan, lalu diganti dengan sifatnya yang dominan, janâh (sayap). Sementara digandingkannya lafadz: janâh dan ad-dzull mengindikasikan adanya Majâz dalam bentuk tasybîh (persamaan). Sebab, masing-masing lafadz tersebut tidak relevan. Dari sinilah, kemudian bisa disimpulkan, bahwa ad-dzull merupakan persamaan atthayr (burung), karena ada lafadz: janâh (sayap) yang menjadi ciri khas burung. (3) Isti'ârah Takhyîliyyah: adalah isti'ârah yang menetapkan keberadaan Musyabbah bih[i] bagi Musyabbah, sehingga pihak yang diseru akan membayangkan, bahwa Musyabbah (yang disamakan) tadi sejenis dengan Musyabbah bih[i] (obyek yang menjadi persamaan). Ciri 108 takhyîliyyah ini adalah adanya penetapan sesuatu yang sejatinya tidak menjadi miliknya, untuk dimiliki. Misalnya: ٌ‫} َﺗﻜَ ﺎﺩُ ﺗَ َﻤﻴﱠ ﺰُ ﻣِ ﻦَ ﺍ ْﻟﻐَ ْﻴﻆِ ﻛُﻠﱠﻤَ ﺎ ﺃُﻟْﻘِ ﻲَ ﻓِﻴﻬَ ﺎ ﻓَ ﻮْﺝ‬ { ٌ‫ﺰ َﻧ ُﺘﻬَﺎ ﺃَ َﻟﻢْ ﻳَ ْﺄ ِﺗ ُﻜﻢْ ﻧَﺬِﻳﺮ‬ َ‫ﺧ‬ َ ْ‫ﺳَﺄَ َﻟ ُﻬﻢ‬ Hampir-hampir (neraka) itu meledak-ledak lantaran marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir). Penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?" (Q.s. al-Mulk: 8) Lafadz: tamayyaz[u] min al-ghayth (meledak-ledak karena marah) adalah karakter manusia, yang perangainya keras dan kasar. Dalam hal ini, neraka (Musyabbah) disamakan dengan manusia (Musyabbah bih[i]), tanpa menyebut sama sekali kata: "manusia" selain karakternya saja, tamayyaz[u] min al-ghayth (meledak-ledak karena marah). Peminjaman lafadz: tamayyaz[u] min al-ghayth (meledakledak karena marah) yang seharusnya menjadi milik manusia untuk diberikan kepada neraka (Musyabbah), dan ditetapkannya apa yang lazim pada Musyabbah bih[i] (manusia), yaitu lafadz tamayyaz[u] min al-ghayth (meledakledak karena marah) tersebut sebagai karakter Musyabbah (neraka) ketika marah, sehingga ada kesan (image) neraka itu sebangsa manusia yang bisa meledak-ledak kemarahannya. Inilah yang disebut isti'ârah takhyîliyyah. (4) Isti'ârah Tamtsîliyyah: adalah susunan kata (tarkîb) yang digunakan tidak pada tempatnya, disebabkan karena adanya hubungan persamaan, dengan dihilangkannya ujud persamaan (wajh as-syabah)-nya dari beberapa perkara, dimana Musyabbah-nya masuk dalam jenis atau kelompok Musyabbah bih[i]. Misalnya: 109 ‫ﺟﻬِ ﻪِ ﺃَﻫْ ﺪَﻯ ﺃَﻣﱠ ﻦْ ﻳَﻤْﺸِ ﻲ‬ ْ ‫ﺎ ﻋَﻠَ ﻰ َﻭ‬‫} ﺃَﻓَﻤَ ﻦْ ﻳَﻤْﺸِ ﻲ ُﻣﻜِﺒ ـ‬ { ٍ‫ﺴﺘَﻘِﻴﻢ‬ ْ ُ‫ﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺻِـﺮَﺍﻁٍ ﻣ‬‫ﺳ ِﻮﻳ‬ َ Maka apakah orang yang berjalan dengan muka terjungkal itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus? (Q.s. al-Mulk: 22). Struktur (tarkîb): man yamsy[i] mukibb[an] 'alâ wajhih[i] (orang yang berjalan dengan muka terjungkal) dan man yamsy[i] sawiyy[an] 'alâ shirâth[in] mustaqîm (orang yang berjalan dengan tegak mengikuti jalan yang lurus) adalah struktur yang masing-masing tidak digunakan pada tempatnya, atau Majâz. Namun, karena adanya persamaan antara masing-masing dengan Musyabbah (yang disamakan)-nya, maka struktur tersebut digunakan. Masing-masing digunakan untuk menyebut orang Kafir dan orang Mukmin. Orang Kafir disamakan ---secara tamtsîl (permisalan)--- dengan orang yang berjalan dengan muka terjungkal (man yamsy[i] mukibb[an] 'alâ wajhih[i]), sementara orang Mukmin dengan cara yang sama disamakan dengan orang yang berjalan dengan tegak mengikuti jalan yang lurus (man yamsy[i] sawiyy[an] 'alâ shirâth[in] mustaqîm). Peminjaman struktur lafadz (tarkîb) karena persamaan antara masing-masing dengan gaya permisalan (tamtsîl) inilah yang disebut isti'ârah tamtsîliyyah. 2. Mursal: adalah bentuk Majâz; jika hubungan antara makna yang digunakan dengan makna yang diletakkan pertama kali tidak mempunyai persamaan. Berdasarkan hubungan antara makna yang digunakan dengan makna yang diletakkan pertama kali, Majâz Mursal bisa diklasifikasin menjadi: (1) Juz'iyyah: Disebut Juz'iyyah karena sesuatu disebut dengan menyebut bagiannya. Misalnya: { 110 ً‫} ُﻗﻢِ ﺍﻟﱠﻠ ْﻴﻞَ ﺇِﻻﱠ ﻗَﻠِﻴﻼ‬ Bangunlah (shalatlah) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). (Q.s. al-Muzammil: 2) Lafadz: qum dengan konotasi: shalatlah, adalah bentuk penyebutan bagian dari shalat, yaitu berdiri, tetapi dengan maksud keseluruhan shalat. Ini juga biasa disebut dengan: Ithlâq al-juz'[i] wa irâdat al-kull[i] (menyebut bagian dengan maksud keseluruhan). (2) Kulliyyah: Disebut demikian, karena yang dinyatakan adalah seluruhnya, sementara yang dimaksud hanya sebagiannya saja. Misalnya: ِ‫ﻋﻖ‬ ِ ‫ﺠﻌَﻠُﻮﻥَ ﺃَﺻَﺎ ِﺑ َﻌ ُﻬﻢْ ﻓِﻲ ءَﺍﺫَﺍ ِﻧ ِﻬﻢْ ِﻣﻦَ ﺍﻟﺼﱠ ﻮَﺍ‬ ْ ‫} َﻳ‬ { ِ‫ﻤﻮْﺕ‬ َ ْ‫ﺣَ َﺬﺭَ ﺍﻟ‬ Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. (Q.s. alBaqarah: 19) Lafadz: ashâbi'ahum (anak-anak jarinya) yang berarti seluruh jarinya digunakan untuk menyumbat telinga, sementara lubang telinga hanya cukup untuk satu jari, membuktikan bahwa sebenarnya yang dimaksud adalah sebagian jari, masing-masing kanan satu, dan kiri satu. Karena itu, bisa disebut: Ithlâq al-kull[i] wa irâdat al-juz'[i] (menyebut keseluruhan dengan maksud sebagian). (3) Sababiyyah: adalah menyebut sesuatu sesuai dengan sebutan sebabnya. Misalnya: ْ ‫} ﻓَﻤَ ﻦِ ﺍ‬ ‫ﻋﺘَ ﺪُﻭﺍ ﻋَ َﻠﻴْ ﻪِ ﺑِ ِﻤﺜْ ﻞِ ﻣَ ﺎ‬ ْ ‫ﻋﺘَ ﺪَﻯ ﻋَﻠَ ْﻴ ُﻜﻢْ ﻓَﺎ‬ { ْ‫ﻋﺘَﺪَﻯ ﻋَ َﻠ ْﻴ ُﻜﻢ‬ ْ‫ﺍ‬ Maka, siapa saja yang menyerang kamu, maka balaslah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. (Q.s. al-Baqarah: 194) 111 Lafadz: fa'tadû (balaslah) adalah lafadz yang sama, yang digunakan dalam konteks sebelumnya: faman i'tadâ (siapa saja yang menyerang), padahal maksudnya: raddû (balaslah). Penggunaan lafadz yang sama dengan maksud yang berbeda, yang satu "menyerang" sedangkan yang lain "membalas" didasarkan pada sebabnya inilah yang disebut Sababiyyah. Juga bisa disebut Bayân Musyâkalah. (4) Musabbabiyyah: Disebut demikian, karena yang menjadi dasar penyebutan adalah akibatnya. Misalnya: ْ ‫} ﻓَﺎ ْﺩﻉُ َﻟﻨَﺎ َﺭ ﱠﺑﻚَ ُﻳ‬ ‫ﺨﺮِﺝْ َﻟﻨَﺎ ﻣِﻤﱠﺎ ُﺗ ْﻨﺒِ ﺖُ ﺍ َﻷ ْﺭﺽُ ﻣِ ﻦْ ﺑَﻘْ ِﻠﻬَ ﺎ‬ { ‫ﻭﺑَﺼَ ِﻠﻬَﺎ‬ َ ‫ﺳﻬَﺎ‬ ِ َ‫ﻭَ ِﻗﺜﱠﺎ ِﺋﻬَﺎ ﻭَﻓُﻮ ِﻣﻬَﺎ َﻭﻋَﺪ‬ Maka, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang bumi tumbuhkan, yaitu: sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya dan bawang merahnya". (Q.s. al-Baqarah: 61). Penyebutan: tunbit[u] al-ardh[u] (bumi tumbuhkan), dimana bumi dinyatakan sebagai subyek dari predikat: tunbit[u] (menumbuhkan), adalah bentuk Musabbabiyyah. Sebab, sebenarnya yang menumbuhkan tanaman adalah Allah, hanya Allah menumbuhkannya di bumi, dimana bumi sejatinya merupakan akibat dari perbuatan Allah menumbuhkan tanaman di atasnya. Namun, ayat ini tidak menyebut Allah sebagai Dzat yang menumbuhkan, sebaliknya bumi disebut-sebut sebagai yang menumbuhkan. Maka, penyebutan seperti ini disebut Musabbabiyyah. a- Disebut mengikuti apa yang akan menjadi haknya. Misalnya: { 112 ‫ﺼﺮُ ﺧَ ْﻤﺮًﺍ‬ ِ ْ‫} ِﺇﻧﱢﻲ َﺃﺭَﺍﻧِﻲ َﺃﻋ‬ Sesungguhnya saya telah diberi isyarat sedang memeras khamer (Q.s. Yûsuf: 36). b- Penyebutan: a'shir[u] khamr[an] (memeras khamer), padahal maksudnya jelas memeras anggur, sebab khamer tidak bisa diperas. Sebaliknya, khamer adalah hasil perasan dari anggur. Disebut mengikuti apa yang telah menjadi haknya. Misalnya: { ْ‫} ﻭَﺁ ُﺗﻮْﺍ ﺍﻟ َﻴﺘَﺎﻣَﻰ ﺃَ ْﻣﻮَﺍ َﻟ ُﻬﻢ‬ Dan berikanlah kepada anak-anak yatim itu harta mereka. (Q.s. an-Nisâ': 2). Padahal maksudnya jelas agar harta mereka diberikan ketika mereka sudah akil baligh, bukan sebelumnya. Penyebutan seperti ini, karena harta tersebut telah menjadi hak mereka, baik sebelum maupun setelah baligh. c- Disebut mengikuti Tempat, padahal yang dimaksud adalah orangnya. Misalnya: { َ‫} ﻭَﺍﺳْ َﺄﻝِ ﺍﻟْ َﻘ ْﺮﻳَﺔ‬ Dan bertanyalah kepada (penduduk) kampung. (Q.s. Yûsuf: 82). Struktur kalimat: was'al[i] al-qaryat[a] (bertanyalah kepada kampung) maksudnya jelas bukan bertanya kepada tempatnya, yaitu kampung, melainkan orangnya. Sebab, kampung tidak bisa berbicara. d- Disebut mengikuti Keadaan, padahal yang dimaksud adalah tempat. Misalnya: 113 ِ‫} ﻭَﺃَﻣﱠﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ﺍ ْﺑﻴَﻀﱠﺖْ ُﻭﺟُﻮ ُﻫ ُﻬﻢْ ﻓَﻔِﻲ َﺭﺣْﻤَﺔِ ﺍﻟﻠﱠ ﻪ‬ { َ‫ﻫﻢْ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺧَﺎﻟِﺪُﻭﻥ‬ ُ Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya. (Q.s. Ali 'Imrân: 107). Struktur kalimat: ibyadhdhat wujûhuhum (putih berseri mukanya), adalah ungkapan mengenai keadaan para penghuni syurga. Namun, di sini lafadz yang menunjukkan tempat (syurga) tersebut sama sekali tidak disinggung, selain kondisi para penghuninya. 2.3. Isytiqâq Jika orang Arab menggunakan kata dasar dengan konotasi tertentu, maka seluruh derivat atau pecahan (musytaqqât) kata tersebut, sebagaimana paradigma kata (wazn al-kalimah), bisa digunakan dengan konotasi yang berkaitan langsung dengan makna kata dasarnya, baik pecahan baru ini telah digunakan ataupun tidak. Misalnya, orang Arab telah menggunakan kata: Salim[a], dengan makna yang sudah populer, yaitu selamat. Mereka juga telah menggunakan Sâlim, atau Salîm, namun mereka belum pernah menggunakan Salmân, dengan mengikuti paradigma kata: Fa’lân, sebagai bentuk klimaks (shîghah mubâlaghah) dari kata: Salim[a]. Maka, penggunakan kata: Salmân tersebut merupakan penggunaan bahasa Arab, dan kata tersebut merupakan kata Arab, meski belum pernah digunakan oleh orang Arab, selama mereka penggunaannya berpedoman pada akar pecahannya. Pecahan (isytiqâq) itu bisa dibagi menjadi dua macam: 1. Shaghîr: pecahan seperti ini juga disebut pecahan sederhana, umum dan ashghar. Ini hampir berlaku secara umum untuk bahasa Arab, sebagaimana tashrîf (perubahan kata) yang telah dijelaskan dalam kasus: Salim[a], dengan seluruh makna: salâmah (selamat) dan seluruh pecahannya, seperti: Salim[a], Yaslim[u], Sâlim, Salmâ, Salâmah, Salîm dan sebagainya. 114 2. Kabîr: pecahan ini terjadi pada bagian-bagian bahasa. Ini juga disebut akbar, yaitu mengubah huruf-huruf kata dasar dengan seluruh maknanya. Misalnya kata: Jabar[a], menjadi: Jarab[a], Baraj[a], Bajar[a], Rajab[a], Rabaj[a] dengan seluruh maknanya, yang semuanya berkonotasi kuat (al-quwwah) dan keras (as-syiddah). Pecahan (isytiqâq) ini umumnya diambil dari kata kerja (fi’l) atau masdar, baik dengan cara sederhana maupun kompleks. Namun, kadang diambil dari yang lain, seperti ism jâmid (kata non-derivatif), seperti kata: A’raq[a] dan Anjad[a] yang diambil dari kata: ‘Irâq dan Najd, yang berarti pergi ke Irak atau Najd, atau memasuki Irak dan Najd. Ada yang berkaitan dengan pecahan (isytiqâq), yang diambil dari struktur kata (tarkîb), seperti: ‘Abasyamî yang diambil dari ‘Abd Syams, atau Basmal[a] yang diambil dari Bismi-Llâh[i] ar-Rahmân[i] arRahîm. Pendek kata, pintu pecahan (isytiqâq) ini sangat luas dan penting. Pembahasan ini urgens, karena semua bentuk pecahannya mempunyai satu makna yang sama secara umum, dengan kata dasarnya. 2.4. Ta’rîb Ta’rîb adalah proses pengaraban kata non-Arab (‘ajam) ke dalam bahasa Arab. Misalnya, ketika orang non-Arab menggunakan sebutan tertentu untuk suatu benda, kemudian benda tersebut diambil, dan sebutannya juga digunakan oleh orang Arab untuk menyebutnya. Contoh, pengaraban yang dilakukan dalam al-Qur’an, antara lain, terlihat pada penggunaan kata: al-Qisthâs dalam surat alIsrâ’: 35, yang diambil dari bahasa Yunani; al-Sijjîl dalam surat alHijr: 74, yang diambil dari bahasa Persia; al-Ghassâq dalam surat anNaba’: 25, yang diambil dari bahasa Turki; at-Thûr dalam surat alBaqarah: 63, yang diambil dari bahasa Syiria; al-Kifl dalam surat alHadîd: 28, yang diambil dari bahasa Abisinia.1 Kata non-Arab tersebut dibentuk mengikuti paradigma kata yang mereka miliki; kadang dengan mengubah, mengurangi atau 1 Ahmad von Denffer, Op. Cit., hal. 73. 115 menambah hurufnya agar sesuai dengan paradigma kata yang mereka miliki. Ketika itulah, maka kata asing yang telah diarabkan tersebut menjadi lafadz Arab. Hanya perlu digarisbawahi, bahwa pengaraban ---sebagaimana yang telah dikenal--- tersebut hanya berlaku untuk kata benda yang terindera, bukan pada makna-makna non-inderawi. Sebab, orang Arab hanya melakukannya terhadap benda yang terindera dan ada di negeri non-Arab, yang mereka bawa ke negeri mereka, setelah huruf-hurufnya disesuaikan dengan paradigma kata dalam bahasa mereka. 3. Klasifikasi Dalam Teks al-Qur’an Al-Qur'an adalah nas tasyrî' (hukum syara'). Di dalamnya berisi tuntutan untuk melakukan (thalab al-fi'l) dan meninggalkan perbuatan (thalab at-tark). Juga berisi nas umum (al-'âm) dan khusus (khâsh), mutlak (al-muthlaq) dan terikat (al-muqayyad), serta ungkapan global (al-mujmal) yang memerlukan penjabaran, juga penjelasan (albayân) dan konteks yang dijelaskan (al-mubayyan). Disamping itu, juga berisi hukum yang dihapus (al-mansûkh) dan tidak (ghayr al-mansûkh). Semuanya ini harus diketahui, sehingga hukum syara' bisa ditarik dan disimpulkan dari al-Qur'an. Setelah menganalisis al-Qur'an, bisa diketahui bahwa klasifikasi dalam al-Qur'an itu hanya ada lima: Pertama, perintah dan larangan (al-amr wa an-nahy); Kedua, umum dan khusus (al-'âm wa alkhâsh); Ketiga, mutlak dan mengikat (al-muthlaq wa al-muqayyad); Keempat, global dan penjelasan (al-mujmal wa al-mubayyan); Kelima, yang menghapus dan dihapus (an-nâsikh wa al-mansûkh). Adapun yang lain, tidak bisa dimasukkan sebagai klasifikasi tersendiri, namun bisa dimasukkan pada salah satu dari kelima klasifikasi tersebut, atau kembali kepada bahasa, atau tidak mempunyai konotasi apapun. Misalnya, klasifikasi dhâhir dan mu'awwal, masing-masing didefinisikan dengan makna yang digunakan secara konvensional atau asli, dan makna lafadz yang tidak merujuk kepada makna lahir. Atau, klasifikasi nash yang didefinisikan dengan lafadz yang lebih jelas ketimbang lafadz dhâhir. Dan masih banyak yang lain lagi, semuanya tadi tidak bisa dimasukkan sebagai klasifikasi tersendiri, namun bisa dimasukkan pada salah satu dari kelima klasifikasi tersebut, atau kembali kepada bahasa, atau tidak mempunyai konotasi sama sekali. 116 3.1. al-Amr wa an-Nahy (Perintah dan Larangan) al-Amr (perintah) adalah permintaan untuk melakukan (thalab al-fi'l) secara superior, sedangkan an-nahy (larangan) adalah permintaan untuk meninggalkan (thalab at-tark) secara superior. AlAmr dan an-nahy masing-masing bermakna permintaan (thalab), baik untuk melakukan ataupun meninggalkan sesuatu. Dilihat dari bentuk al-amr wa an-nahy (perintah dan larangan) tersebut, maka bisa diklasifikasikan menjadi dua: 1. jelas (sharîh): perintah dan larangan ini, meliputi: (1) kalimat yang menggunakan lafadz perintah dan larangan (lafdz al-amr wa an-nahy), seperti lafadz: amar[a]-ya'mur[u]amr[an], atau nah[â]-yanh[â]-nahy[an]. Misalnya firman Allah SWT.: { ‫} ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻳَﺄْ ُﻣ ُﺮ ُﻛﻢْ َﺃﻥْ ُﺗﺆَﺩﱡﻭﺍ ﺍﻷَﻣَﺎﻧَﺎﺕِ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻫْ ِﻠﻬَﺎ‬ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (Q.s. an-Nisâ': 58) ِ‫} ِﺇﻧﱠﻤَ ﺎ َﻳ ْﻨﻬَ ﺎ ُﻛﻢُ ﺍﻟﻠﱠ ﻪُ ﻋَ ﻦِ ﺍﻟﱠ ﺬِﻳﻦَ ﻗَ ﺎﺗَﻠُﻮ ُﻛﻢْ ﻓِ ﻲ ﺍﻟ ﺪﱢﻳﻦ‬ { ْ‫ﺟ ُﻜﻢ‬ ِ ‫ﺧﺮَﺍ‬ ْ ‫ﺧ َﺮﺟُﻮ ُﻛﻢْ ِﻣﻦْ ِﺩﻳَﺎ ِﺭ ُﻛﻢْ َﻭﻇَﺎﻫَـﺮُﻭﺍ ﻋَﻠَﻰ ِﺇ‬ ْ ‫ﻭََﺃ‬ Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. (Q.s. al-Mumtahanah: 9) (2) Kalimat yang secara linguistik bisa digunakan untuk menunjukkan perintah dan larangan. Misalnya, dengan menggunakan fi'l al-amr dan fi'l an-nahy, seperti firman Allah SWT: 117 َ ‫} ﻭَﺍﻟﺴﱠﺎﺭِﻕُ ﻭَﺍﻟﺴﱠﺎﺭِﻗَﺔُ ﻓَﺎ ْﻗ‬ ‫ﺴﺒَﺎ‬ َ َ‫ﻄﻌُﻮﺍ َﺃﻳْ ِﺪ َﻳﻬُﻤَﺎ ﺟَﺰَﺍءً ﺑِﻤَﺎ ﻛ‬ { ِ‫ﻣﻦَ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ِ ‫َﻧﻜَﺎﻻ‬ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. (Q.s. al-Mâidah: 38) { ً‫ﺳﺒِﻴﻼ‬ َ َ‫} ﻭَﻻَ ﺗَ ْﻘ َﺮﺑُﻮﺍ ﺍﻟ ﱢﺰﻧَﺎ ِﺇﻧﱠﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻓَﺎﺣِﺸَﺔً ﻭَﺳَﺎء‬ Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Q.s. al-Isrâ': 32) Dengan menggunakan Fi'l al-mudhâri' yang disertai lâm alamr, misalnya firman Allah SWT. yang mengatakan: ْ ‫} ﻭَ ْﻟ َﺘ ُﻜ‬ َ ‫ﺨﻴْ ِﺮ َﻭﻳَﺄْ ُﻣﺮُﻭ‬ ‫ﻥ‬ َ ‫ﻦ ِﻣ ْﻨ ُﻜﻢْ ﺃُﻣﱠﺔٌ ﻳَ ْﺪﻋُﻮﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﺍ ْﻟ‬ َ‫ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌﺮُﻭﻑِ َﻭ َﻳ ْﻨ َﻬ ْﻮﻥَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْ ُﻤ ْﻨﻜَﺮِ ﻭَﺃُﻭ َﻟ ِﺌﻚَ ُﻫﻢُ ﺍﻟْﻤُﻔِْﻠﺤُﻮﻥ‬ { Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.s. Ali 'Imrân: 104) Dengan Mashdar yang berfungsi perintah, misalnya firman Allah SWT.: { ِ‫} ﻓَﺈِﺫﺍ ﻟَﻘِﻴ ُﺘﻢُ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ﻛَ َﻔﺮُﻭﺍ ﻓَﻀَﺮْﺏَ ﺍﻟﺮﱢﻗَﺎﺏ‬ Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. (Q.s. Muhammad: 4) 118 Dengan Ism fi'l al-amr, misalnya firman Allah SWT. yang mengatakan: { ‫ﺣ ﱠﺮﻡَ ﻫَﺬَﺍ‬ َ َ‫ﺷﻬَﺪَﺍ َء ُﻛﻢُ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ﻳَﺸْﻬَﺪُﻭﻥَ ﺃَﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ُ ‫} ُﻗﻞْ ﻫَُﻠﻢﱠ‬ Katakanlah: "Bawalah ke mari saksi-saksi kamu yang dapat mempersaksikan bahwasanya Allah telah mengharamkan (makanan yang kamu) haramkan ini." (Q.s. al-An'âm: 150) 2. tidak jelas (ghayr sharîh): perintah dan larangan ini meliputi: (1) kalimat yang terstruktur dalam Manthûq dengan konotasi perintah, misalnya dengan menggunakan harf al-Jarr, seperti Li (untuk atau buat), Fî (di dalam) dan 'Alâ (di atas); semuanya dengan makna aslinya, dan dinyatakan di permulaan kalimat. Misalnya, firman Allah SWT. yang menyatakan: ‫} ﻟِﻠ ﱢﺮﺟَﺎﻝِ ﻧَﺼِﻴﺐٌ ﻣِﻤﱠﺎ َﺗ َﺮﻙَ ﺍ ْﻟﻮَﺍﻟِﺪَﺍﻥِ ﻭَﺍﻷَ ْﻗ َﺮﺑُﻮﻥَ ﻭَﻟِﻠﻨﱢﺴَﺎ ِء‬ ْ‫ﻧَﺼِ ﻴﺐٌ ﻣِﻤﱠ ﺎ ﺗَ َﺮﻙَ ﺍ ْﻟﻮَﺍﻟِ ﺪَﺍﻥِ ﻭَﺍﻷَ ْﻗ َﺮﺑُ ﻮﻥَ ﻣِﻤﱠ ﺎ ﻗَ ﻞﱠ ِﻣﻨْ ﻪُ َﺃﻭ‬ { ‫َﻛ ُﺜﺮَ ﻧَﺼِﻴﺒًﺎ ﻣَ ْﻔﺮُﻭﺿًﺎ‬ Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.s. anNisâ': 7) Ini yang berkonotasi perintah, sedangkan yang berkonotasi larangan, misalnya firman Allah SWT. yang mengatakan: َ‫ﺣﺮَﺝٌ ﻭَﻻَ ﻋَﻠَ ﻰ ﺍ َﻷﻋْ ﺮَﺝِ ﺣَ ﺮَﺝٌ ﻭَﻻ‬ َ ‫} َﻟ ْﻴﺲَ ﻋَﻠَﻰ ﺍ َﻷﻋْﻤَﻰ‬ { ‫ﺴ ُﻜﻢْ َﺃﻥْ ﺗَ ْﺄﻛُﻠُﻮﺍ‬ ِ ُ‫ﺣﺮَﺝٌ ﻭَﻻَ ﻋَﻠَﻰ َﺃﻧْﻔ‬ َ ِ‫ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْ َﻤﺮِﻳﺾ‬ 119 Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka).. (Q.s. an-Nûr: 61) Ini artinya sama dengan: La tataharraj (janganlah kamu merasa berat) terhadap orang buta dan sebagainya. Atau dengan menggunakan harf al-'Aradh, seperti Lawlâ (Kalau bukan), Alâ (Ingatlah) dan sebagainya. Ini berkaitan dengan konteks perintah. Misalnya firman Allah SWT. yang menyatakan: َ‫ﺤﻜْ ﻢُ ﻭَﻫُ ﻮ‬ ُ ‫} ﺛُ ﻢﱠ ﺭُﺩﱡﻭﺍ ﺇِﻟَ ﻰ ﺍﻟﻠﱠ ﻪِ َﻣﻮْﻟَ ﺎ ُﻫﻢُ ﺍ ْﻟﺤَ ﻖﱢ ﺃَﻻ ﻟَ ﻪُ ﺍ ْﻟ‬ { َ‫ﺳﺒِﻴﻦ‬ ِ ‫ﺳ َﺮﻉُ ﺍ ْﻟﺤَﺎ‬ ْ َ‫ﺃ‬ Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat. (Q.s. al-An’âm: 62) Dengan menggunakan pertanyaan yang ditakwilkan untuk perintah yang didasarkan pada tuntutan yang bentuk kalimat berita (mathlûb khabarî). Misalnya firman Allah SWT. yang menyatakan: ‫ﺸ ْﻴﻄَﺎﻥُ َﺃﻥْ ﻳُﻮﻗِﻊَ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜﻢُ ﺍ ْﻟﻌَﺪَﺍﻭَﺓَ ﻭَﺍ ْﻟ َﺒﻐْﻀَﺎ َء‬ ‫} ﺇِﻧﱠﻤَﺎ ُﻳﺮِﻳﺪُ ﺍﻟ ﱠ‬ ِ‫ﻓِ ﻲ ﺍ ْﻟﺨَ ْﻤ ﺮِ ﻭَﺍﻟْ َﻤﻴْﺴِ ﺮِ َﻭﻳَﺼُ ﱠﺪ ُﻛﻢْ ﻋَ ﻦْ ِﺫﻛْ ﺮِ ﺍﻟﻠﱠ ﻪِ َﻭﻋَ ﻦ‬ ُ ْ‫ﺼﻼَﺓِ َﻓ َﻬﻞْ َﺃ ْﻧ ُﺘﻢ‬ ‫ﺍﻟ ﱠ‬ { َ‫ﻣ ْﻨ َﺘﻬُﻮﻥ‬ Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Q.s. al-Mâidah: 91) 120 Dengan menggunakan perintah secara kiasan yang disertai dengan hâl, dimana hâl tersebut merupakan sesuatu yang diperintahkan. Misalnya firman Allah SWT. yang menyatakan: ‫} ﻳَﺎَﺃ ﱡﻳﻬَﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ءَﺍ َﻣﻨُﻮﺍ ﺍﺗﱠﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠ ﻪَ ﺣَ ﻖﱠ ﺗُﻘَﺎﺗِ ﻪِ ﻭَﻻَ ﺗَﻤُ ﻮ ُﺗﻦﱠ ﺇِﻻﱠ‬ { َ‫ﻭََﺃ ْﻧ ُﺘﻢْ ﻣُﺴْﻠِﻤُﻮﻥ‬ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Q.s. Ali 'Imrân: 102) Artinya: Janganlah kamu meninggalkan Islam, dan tetaplah berpegang teguh dengannya hingga kematian menjemputmu, sementara kamu tetap seperti itu. Dengan menggunakan khabar (kalimat berita) yang berimplikasi jawaban pasti, maka kalimat berita tersebut mempunyai konotasi perintah dan tuntutan. Misalnya, firman Allah SWT. yang menyatakan: ْ ‫} ﻳَﺎَﺃ ﱡﻳﻬَﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ءَﺍ َﻣﻨُﻮﺍ َﻫﻞْ ﺃَﺩُﱡﻟ ُﻜﻢْ ﻋَﻠَﻰ ِﺗﺠَﺎﺭَﺓٍ ُﺗ ْﻨﺠِﻴ ُﻜﻢْ ِﻣ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻋَ ﺬَﺍﺏٍ ﺃَﻟِ ﻴﻢٍ ~ ُﺗﺆْ ِﻣﻨُ ﻮﻥَ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ﻪِ َﻭﺭَﺳُ ﻮﻟِﻪِ َﻭ ُﺗﺠَﺎﻫِ ﺪُﻭﻥَ ﻓِ ﻲ‬ ْ‫ﺧﻴْ ﺮٌ َﻟﻜُ ﻢْ ِﺇﻥْ ُﻛﻨْ ُﺘﻢ‬ َ ْ‫ﺳَ ﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠﱠ ﻪِ ﺑِ ﺄَ ْﻣﻮَﺍ ِﻟ ُﻜﻢْ ﻭََﺃﻧْﻔُﺴِ ُﻜﻢْ ﺫَ ِﻟﻜُ ﻢ‬ ْ‫ﺟﻨﱠ ﺎﺕٍ َﺗﺠْ ﺮِﻱ ﻣِ ﻦ‬ َ ْ‫َﺗﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ ~ َﻳﻐْﻔِﺮْ َﻟ ُﻜﻢْ ُﺫﻧُﻮ َﺑ ُﻜﻢْ َﻭﻳُ ْﺪﺧِ ْﻠ ُﻜﻢ‬ { ٍ‫ﺟﻨﱠﺎﺕِ ﻋَ ْﺪﻥ‬ َ ‫ﻃ ﱢﻴﺒَﺔً ﻓِﻲ‬ َ َ‫ﺤ ِﺘﻬَﺎ ﺍ َﻷ ْﻧﻬَﺎﺭُ ﻭَﻣَﺴَﺎ ِﻛﻦ‬ ْ ‫َﺗ‬ Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan 121 (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga `Adn. (Q.s. as-Shaff: 10-13) Frasa: Tu'minûna bi-Llâh[i] wa Rasûlih[i] (Kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya) dan seterusnya ---yang merupakan kalimat berita, bukan perintah--- telah dijawab oleh Allah dengan frasa: Yaghfir lakum (maka, Dia akan mengampuni kamu) mempunyai konotasi perintah, maka kalimat tersebut mempunyai konotasi perintah. Artinya, sama dengan: Berimanlah kepada Allah, Rasul-Nya, dan berjihadlah di jalan Allah dan seterusnya. Dengan menggunakan kalimat bersyarat (jumlah syarthiyyah) dalam bentuk kalimat berita, dengan jawaban yang berisi pujian atau celaan untuk aktivitasnya, maka kalimat tersebut mempunyai konotasi perintah atau larangan melakukan aktivitas tadi. Misalnya, firman Allah SWT. yang mempunyai konotasi perintah: ْ ‫} ِﺇﻥْ َﻳ ُﻜﻦْ ِﻣ ْﻨ ُﻜﻢْ ﻋِﺸْ ﺮُﻭﻥَ ﺻَ ﺎ ِﺑﺮُﻭﻥَ َﻳﻐْ ِﻠﺒُ ﻮﺍ ﻣِ ﺎ َﺋ َﺘ ْﻴﻦِ ﻭَِﺇ‬ ‫ﻥ‬ ٌ‫َﻳ ُﻜﻦْ ِﻣ ْﻨ ُﻜﻢْ ﻣِﺎﺋَﺔٌ َﻳﻐْ ِﻠﺒُﻮﺍ ﺃَﻟْﻔًﺎ ِﻣﻦَ ﺍﻟﱠ ﺬِﻳﻦَ ﻛَﻔَ ﺮُﻭﺍ ﺑِ َﺄ ﱠﻧ ُﻬﻢْ ﻗَ ْﻮﻡ‬ { َ‫ﻻَ ﻳَﻔْ َﻘﻬُﻮﻥ‬ Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. (Q.s. alAnfâl: 65) Frasa: Inyakun minkum shâbirûna (jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu) adalah kalimat bersyarat dalam bentuk kalimat berita, bukan perintah. Namun, adanya jawaban yang memuji orang-orang yang sabar: yaghlibûna (maka, mereka akan bisa mengalahkan) tadi menunjukkan, bahwa sabar atau keteguhan ---yang menjadi aktivitas orang yang sabar--- dalam menghadapi 122 musuh itu diperintahkan. Sedangkan yang berkonotasi larangan, seperti firman Allah yang menyatakan: َ ْ‫} ﻭَ َﻣﻦْ َﻳﻜْﺴِﺐ‬ َ‫ﺣﺘَﻤَ ﻞ‬ ْ ‫ﺧﻄِﻴﺌَﺔً َﺃﻭْ ِﺇﺛْﻤًﺎ ُﺛﻢﱠ ﻳَ ْﺮﻡِ ﺑِ ﻪِ َﺑﺮِﻳﺌً ﺎ ﻓَﻘَ ﺪِ ﺍ‬ { ‫ﻣﺒِﻴﻨًﺎ‬ ُ ‫ُﺑ ْﻬﺘَﺎﻧًﺎ ﻭَِﺇﺛْﻤًﺎ‬ Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata. (Q.s. an-Nisâ': 112) (2) kalimat yang terstruktur dalam Mafhûm dengan konotasi perintah. Antara lain, dinyatakan oleh dalâlah iqtidhâ', yang nota bene merupakan salah satu bentuk mafhûm dengan konotasi perintah; yaitu: (a) jika ungkapan penyampai (mutakallim)-nya menuntut harus benar. Contoh firman Allah SWT.: { ْ ‫} ﻭَﺍﻟْ ُﻤﻄَﻠﱠﻘَﺎﺕُ َﻳ َﺘ َﺮﺑﱠ‬ ٍ‫ﺴ ِﻬﻦﱠ ﺛَﻼﺛَﺔَ ُﻗﺮُﻭء‬ ِ ُ‫ﺼﻦَ ﺑِ َﺄﻧْﻔ‬ Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (Q.s. al-Baqarah: 228) Struktur kalimat di atas adalah struktur kalimat berita. Dalam kalimat berita, isi kalimatnya bisa mempunyai dua kemungkinan, benar dan salah. Namun, struktur surat alBaqarah: 228 di atas, kandungan makna beritanya adalah benar, karena itu frasa: yatarabbashna tersebut mempunyai konotasi: layatarabbashna (hendaklah menahan diri), yang berarti perintah. Tidak lagi berkonotasi berita, yang bisa benar dan salah. Sama dengan mafhûm dari struktur kalimat berikut ini, yang mempunyai konotasi larangan: { ً‫ﺳﺒِﻴﻼ‬ َ َ‫ﺠ َﻌﻞَ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻟِ ْﻠﻜَﺎ ِﻓﺮِﻳﻦَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْ ُﻤﺆْ ِﻣﻨِﻴﻦ‬ ْ ‫} ﻭَ َﻟﻦْ َﻳ‬ 123 Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (Q.s. an-Nisâ': 141) (b) jika dituntut oleh apa yang secara syar'i absah terjadi. Ini bisa dilakukan dengan gaya berdo'a, namun dengan kalimat berita (khabariyyah), bukan perintah atau larangan (insyâ'iyyah), baik menggunakan kata kerja masa lampau (mâdhî), kekinian dan futuristik (mudhâri'), atau kata jadian (mashdar). Misalnya do'a: َ‫ﺴ‬ ‫ﺍﻟ ﱠ‬ ‫ﻼﻡُ ﻋَ َﻠ ْﻴ ُﻜﻢْ َﻭ َﺭﺣْﻤَﺔُ ﺍﷲِ َﻭ َﺑ َﺮﻛَﺎﺗُﻪ‬ Semoga Allah memberikan keselamatan, rahmat dan berkat-Nya kepadamu. Lafadz: as-salâm, rahmah dan barakâtuh adalah kata jadian (mashdar) dari bentuk dasar masing-masing. Masingmasing lafadz tersebut digunakan dalam konteks do'a, sehingga mempunyai konotasi permintaan (perintah dan larangan). Disamping bentuk ungkapan di atas, juga bisa digunakan ungkapan lain, dengan menggunakan makna hukum dalam bentuk kalimat berita, seperti lafadz: Kutib[a], Ahall[a], Harram[a] dan sebagainya. Misalnya firman Allah SWT. yang menyatakan: ‫} ﻳَﺎَﺃ ﱡﻳﻬَﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ءَﺍ َﻣﻨُ ﻮﺍ ُﻛﺘِ ﺐَ ﻋَﻠَ ْﻴ ُﻜﻢُ ﺍﻟﺼﱢ ﻴَﺎﻡُ ﻛَﻤَ ﺎ ُﻛﺘِ ﺐَ ﻋَﻠَ ﻰ‬ { َ‫ﻣﻦْ َﻗﺒْﻠِـ ُﻜﻢْ َﻟﻌَ ﱠﻠ ُﻜﻢْ َﺗﺘﱠﻘُﻮﻥ‬ ِ َ‫ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ‬ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.s. al-Baqarah: 183) Atau firman Allah: 124 { ُ } ْ‫ﺧﻮَﺍ ُﺗ ُﻜﻢْ َﻭﻋَﻤﱠﺎ ُﺗ ُﻜﻢ‬ َ ‫ﺣﺮﱢﻣَﺖْ ﻋَ َﻠ ْﻴ ُﻜﻢْ ﺃُ ﱠﻣﻬَﺎ ُﺗ ُﻜﻢْ َﻭ َﺑﻨَﺎ ُﺗ ُﻜﻢْ ﻭََﺃ‬ Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudarasaudara bapakmu yang perempuan. (Q.s. an-Nisâ': 23) (c) jika dituntut oleh keabsahan pelaksanaan hukum syara' agar hukum tersebut bisa dilaksanakan. Misalnya firman Allah yang menyatakan: ‫ﺧﻴَﺎﻧَ ﺔً ﻓَﺎ ْﻧﺒِ ﺬْ ﺇِﻟَ ْﻴ ِﻬﻢْ ﻋَﻠَ ﻰ ﺳَ ﻮَﺍءٍ ِﺇﻥﱠ‬ ِ ٍ‫} ﻭَﺇِﻣﱠﺎ َﺗﺨَ ﺎ َﻓﻦﱠ ﻣِ ﻦْ ﻗَ ْﻮﻡ‬ { َ‫ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻻَ ُﻳﺤِﺐﱡ ﺍ ْﻟﺨَﺎ ِﺋﻨِﻴﻦ‬ Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang sama. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat. (Q.s. al-Anfâl: 58) Agar hukum di atas bisa diimplementasikan dengan benar, maka negara Khilafah harus mempunyai matamata yang bertugas memata-matai aktivitas musuh, sehingga kejujuran dan pengkhianatan mereka bisa dibuktikan. Maka, adanya mata-mata yang memata-matai musuh tadi menjadi tuntutan yang dituntut oleh keabsahan pelaksanaan hukum di atas. (d) jika dituntut oleh apa yang secara rasional (berdasarkan analisis linguistik) absah terjadi. Ini bisa dengan menggunakan mashdar untuk menjawab kalimat bersyarat, dengan indikasi perintah. Misalnya: ‫} ﻓَﻤَ ﻦْ ﻟَ ﻢْ َﻳﺠِ ﺪْ ﻓَﺼِ ﻴَﺎﻡُ ﺛَﻼﺛَ ﺔِ َﺃﻳﱠ ﺎﻡٍ ﻓِ ﻲ ﺍ ْﻟﺤَ ﺞﱢ ﻭَﺳَ ْﺒﻌَﺔٍ ﺇِﺫَﺍ‬ { ْ‫ﺟ ْﻌ ُﺘﻢ‬ َ ‫َﺭ‬ Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan 125 tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. (Q.s. alBaqarah: 196) Faman lam yajid (tetapi jika ia tidak menemukan [binatang korban atau tidak mampu]) adalah kalimat bersyarat, yang dijawab dengan mashdar: Fashiyâm (maka, wajib berpuasa), yang menurut analisis linguistik sama dengan: Fa 'alaykum as-siyâm. Namun, frasa: 'alaykum disembunyikan. Jadi, frasa: Fashiyâm tersebut mempunyai konotasi perintah, sekalipun tidak berbentuk kata perintah. Karena, frasa tersebut strukturnya berbentuk mashdar yang menjadi jawaban kata bersyarat. Masih ada klasifikasi perintah dan larangan yang lain, seperti perintah dan larangan secara real dan tidak real, dengan seluruh ragamnya, dan juga konotasinya. Maka, siapa saja yang hendak mendalaminya, hendaknya merujuk kepada pembahasan bahasa Arab dan usul fiqih.2 3.2. Umum dan Khusus Lafadz umum adalah lafadz tunggal dengan satu makna, yang di bawahnya mengalir dua atau lebih ujud derivat (fard), dimana masing-masing ujud derivat tersebut tidak berbeda dengan yang lain dari aspek dalâlah, kecuali jika ada takhshîsh. Disebut lafadz tunggal (lafdh mufrad), bukan hanya lafadz, sehingga lafadz ganda (lafdh murakkab) dienyahkan dari lafadz umum. Sebab, jika lafadz tersebut berbentuk ganda, yang di bawahnya mengalir dua atau lebih ujud derivat (fard), maka lafadz tersebut tidak disebut lafadz umum, tetapi lafadz kulli. Demikian juga disebut "dengan satu makna" agar lafadz musytarak (yang mempunyai makna ganda) terenyahkan dari lafadz umum. Sebab, lafadz musytarak tersebut masuk dalam lafadz mujmal (global). Dan dinyatakan "masing-masing ujud derivat tersebut tidak berbeda dengan yang lain 2 Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih, Membangun Paradigma Berfikir Tasyrî’i, Al­Azhar Press, Bogor, cet. I, 2003, hal. 128­162. 126 dari aspek dalâlah" agar lafadz manqûl, majâz dan kinâyah terenyahkan dari lafazd tersebut. Lafadz umum bisa diidentifikasi melalui tiga cara: Pertama, dibuktikan secara kebahasaan, yang diperoleh melalui peletakan lafadz dalam konteks bahasa Arab; Kedua, dibuktikan secara konvensional, yang diperoleh melalui penggunaan pemilik bahasa, bukan melalui asal peletakan lafadznya; Ketiga, dibuktikan melalui akal, yang diperoleh melalui penggalian, bukan akal murni. Dengan demikian, pengindentifikasian lafadz umum tersebut bisa dilakukan melalui dua cara: Pertama, melalui proses penukilan, baik melalui peletakan bahasanya maupun penggunaan lafadz oleh pemilik bahasanya; Kedua, melalui penggalian. Lafadz umum yang teridentifikasi melalui peletakan bahasanya, ada dua macam: Pertama, umum dengan sendirinya, atau berdasarkan peletakan lafadz dalam bahasa Arabnya; Kedua, umum karena adanya qarînah. Yang terakhir ini, qarînah-nya bisa berbentuk kalimat negatif (an-nafy) atau positif (al-itsbât). Sementara lafadz umum yang teridentifikasi melalui penggunaan lafadz oleh pemilik bahasa, atau melalui kovensi, seperti lafadz: ummahât (ibu-ibu) dalam kalimat: Hurrimah 'alaykum ummatukum (telah diharamkan kepadamu ibu-ibu kamu). Lafadz: ummahât tidak hanya berkonotasi zatnya, tetapi juga seluruhnya, baik tubuh, kecantikan dan sebagainya yang melekat pada ibu. Sedangkan lafadz umum yang teridentifikasi melalui proses penggalian, atau melalui akal, bisa ditetapkan berdasarkan ketentuan hukum yang jatuh setelah sifat disertai huruf Fa' at-ta'qîb (akibat) atau at-tasbîb (sebab-akibat). Misalnya, lafadz: assâriq[u] wa as-sâriqat[u] yang jatuh sebelum hukum potong tangan: faqtha'û. Maka, lafadz: as-sâriq[u] wa as-sâriqat[u] tersebut bisa diidentifikasi sebagai lafadz umum secara istinbâti. Shîghat lafadz umum berdasarkan peletakan bahasanya, baik yang mempunyai konotasi umum dengan sendirinya maupun disertai qarînah bisa dideskripsikan sebagai berikut: 1. plural yang disertai dengan partikel "al". Partikel "al" yang menyertai lafadz yang berbentuk plural (jam'), baik plural tanpa gender, seperti Jamak Taksîr, misalnya: ar-rijâl, ataupun plural yang bergender, seperti Jamak Mudzakkar Sâlim (lakilaki plural), misalnya: al-muslimûn atau Jamak Mu'annats Sâlim 127 (perempuan plural), misalnya: al-muslimât umumnya adalah partikel "al" yang berkonotasi genus yang disebut "Al" alJinsiyyah atau yang berkonotasi penyedotan seluruh genus yang biasanya disebut "Al" al-Istighrâqiyyah. Contoh firman Allah: ‫} ﻟِﻠ ﱢﺮﺟَ ﺎﻝِ ﻧَﺼِ ﻴﺐٌ ﻣِﻤﱠ ﺎ ﺗَ َﺮﻙَ ﺍ ْﻟﻮَﺍﻟِ ﺪَﺍﻥِ ﻭَﺍﻷَ ْﻗ َﺮﺑُ ﻮﻥَ ﻭَﻟِﻠﻨﱢﺴَ ﺎ ِء‬ َ‫ﻧَﺼِﻴﺐٌ ﻣِﻤﱠﺎ َﺗ َﺮﻙَ ﺍ ْﻟﻮَﺍﻟِ ﺪَﺍﻥِ ﻭَﺍﻷَ ْﻗ َﺮﺑُ ﻮﻥَ ﻣِﻤﱠ ﺎ ﻗَ ﻞﱠ ِﻣﻨْ ﻪُ َﺃﻭْ َﻛﺜُ ﺮ‬ { ‫ﻧَﺼِﻴﺒًﺎ ﻣَ ْﻔﺮُﻭﺿًﺎ‬ Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (Q.s. an-Nisâ': 7) 2. singular yang disertai dengan partikel "al". Partikel "al" yang menyertai lafadz yang berbentuk singular (mufrad), umumnya adalah partikel "al" Jinsiyyah, atau Istighrâqiyyah, dan bukan partikel "al" yang berkonotasi zaman terjadinya peristiwa, yang biasa disebut "al" Ahdiyyah, seperti dalam lafadz: alGhârr, dalam surat at-Taubah: 40, yang berkonotasi gua Tsûr. Maka, lafadz al-Ghârr tersebut tidak bisa diidentifikasi sebagai lafadz umum, karena telah mempunyai konotasi tertentu, sebagai akibat masuknya partikel "al" al-Ahdiyyah. Mengenai partikel "al" al-Jinsiyyah, atau al-Istighrâqiyyah yang menyertai lafadz yang berbetuk singular, contohnya firman Allah SWT.: { ٍ‫} ﺍﻟﺰﱠﺍ ِﻧﻴَﺔُ ﻭَﺍﻟﺰﱠﺍﻧِﻲ ﻓَﺎﺟْﻠِﺪُﻭﺍ ُﻛﻞﱠ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ِﻣ ْﻨﻬُﻤَﺎ ﻣِﺎﺋَﺔَ ﺟَﻠْﺪَﺓ‬ Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (Q.s. an-Nûr: 2) 3. Isim yang di-ma’rifat-kan dengan idhâfah. Ism al-Ma'rifat adalah kata benda yang menunjukkan makna tertentu, bisa 128 berbentuk (1) kata ganti (ad-dhamîr), (2) nama (al-'alam), (3) penunjuk (al-isyârah), (4) sambung (al-mawshûl), (5) kata benda yang diserati dengan partikel "al", (6) disandarkan (mudhâf) kepada salah satu bentuk Ma'rifat sebelumnya, atau (7) obyek seruan tertentu (al-munâdâ al-maqshûdah).3 Namun, dari sekian bentuk ism al-ma'rifat tadi yang dimaksud di sini adalah bentuk ke-6, yaitu kata benda yang di-ma'rifat-kan dengan idhâfah (disandarkan) pada salah satu bentuk ma'rifat. Misalnya, firman Allah SWT. yang menyatakan: { ْ‫} ﻳُﻮﺻِﻴ ُﻜﻢُ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻓِﻲ َﺃﻭْﻻَ ِﺩ ُﻛﻢ‬ Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. (Q.s. an-Nisâ': 11) 4. Isim Nakirah dalam konteks penafian, syarat atau larangan. Ism Nakirah adalah kata benda yang tidak menunjukkan makna tertentu, dan merupakan kebalikan Ma'rifat. Karena itu, ia bukan merupakan salah satu bentuk dari ketujuh bentuk ism al-Ma'rifat di atas. Misalnya, lafadz: Basyar, Fâsiq[un] dan Qawm ---masing-masing dalam konteks penafian, syarat dan larangan--- dalam firman Allah SWT.: 3 Kata ganti (ad­dhamîr), contohnya seperti: Huwa (dia laki­laki), Hiya (dia perempuan); nama (al­'alam), contohnya seperti: Muhammad (nama orang), Irâq (nama wilayah); penunjuk (al­isyârah), seperti Hâdzâ (ini untuk benda bergender laki­laki), Hâdzihi (ini untuk benda bergender perempuan); sambung (al­mawshûl), contohnya: al­Ladzî (laki­laki), al­Latî (perempuan); kata benda yang diserati dengan partikel "al", contohnya: al­Masjid; disandarkan (mudhâf) kepada salah satu bentuk Ma'rifat sebelumnya, seperti: Masjid Muhammad; atau obyek seruan tertentu (al­munâdâ al­maqshûdah) seperti: Ya Rajul[an] dengan maksud orang laki­laki tertentu, yang dipanggil demikian karena identitasnya tidak diketahui oleh si pemanggil. Lafadz: Rajul[an] dalam struktur kalimat tersebut adalah bentuk Ma'rifat. 129 { َ َ‫} ﻣَﺎ َﺃ ْﻧ َﺰﻝَ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺑ‬ ٍ‫ﺸﺮٍ ِﻣﻦْ ﺷَﻲْء‬ Allah tidak akan menurunkan apapun kepada manusia. (Q.s. alAn'âm: 91) { ِ ‫} ﺇﻥْ ﺟَﺎ َء ُﻛﻢْ ﻓَﺎ‬ ‫ﺳﻖٌ ِﺑ َﻨﺒَﺄٍ َﻓ َﺘ َﺒ ﱠﻴ ُﻨﻮْﺍ‬ Jika ada orang fasik membawa berita kepadamu, maka periksalah. (Q.s. al-Hujurât: 06) { ٍ‫ﺨﺮْ َﻗ ْﻮﻡٌ ِﻣﻦْ َﻗ ْﻮﻡ‬ َ‫ﺴ‬ ْ َ‫} ﻻَ ﻳ‬ Hendaknya suatu kaum tidak membanggakan diri terhadap kaum lain. (Q.s. al-Hujurât: 11) 5. Isim syarat, yaitu kata yang digunakan untuk menyusun struktur kalimat bersyarat, seperti: Man (siapa saja) atau Mâ (apa), dan lain-lain. Misalnya, lafadz: Man dan Mâ dalam firman Allah SWT.: { ُ‫ﺸ ْﻬﺮَ ﻓَ ْﻠﻴَﺼُﻤْﻪ‬ ‫ﺷﻬِﺪَ ِﻣ ْﻨ ُﻜﻢُ ﺍﻟ ﱠ‬ َ ْ‫} ﻓَ َﻤﻦ‬ Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan bulan (Ramadhan), maka hendaknya berpuasalah pada bulan tersebut. (Q.s. alBaqarah: 185) { َ‫ﺧ ْﻴﺮٍ ُﻳﻮَﻑﱠ ﺇِ َﻟ ْﻴ ُﻜﻢْ ﻭََﺃ ْﻧ ُﺘﻢْ ﻻَ ُﺗﻈْﻠَﻤُﻮﻥ‬ َ ْ‫} ﻭَﻣَﺎ ُﺗﻨْﻔِﻘُﻮﺍ ِﻣﻦ‬ Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan). (Q.s. al-Baqarah: 272) 6. Isim istifhâm, yaitu kata yang digunakan untuk menyusun struktur kalimat bertanya, seperti: Man (siapakah) atau Mâdzâ 130 (apakah), dan lain-lain. Misalnya, lafadz: Man dan Mâdzâ dalam firman Allah SWT.: { ‫} َﻣﻦْ َﻓ َﻌﻞَ ﻫَﺬَﺍ ﺑِﺂ ِﻟ َﻬ ِﺘﻨَﺎ‬ Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami. (Q.s. al-Anbiyâ': 59) { ً‫} ﻣَﺎﺫَﺍ َﺃﺭَﺍﺩَ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ِﺑﻬَﺬَﺍ َﻣ َﺜﻼ‬ Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? (Q.s. al-Baqarah: 26) 7. Isim Mawshûl, yaitu kata yang digunakan untuk menyambung bagian-bagian dalam struktur kalimat, seperti: Man (siapa saja atau semua), Mâ (apa saja atau semua), yang masingmasing berkonotasi plural, atau al-Ladzîna, al-Lâî dan lainlain. Misalnya, lafadz: Man, Mâ atau al-Ladzîna dalam firman Allah SWT.: ‫ﻃ ْﻮﻋً ﺎ َﻭ َﻛﺮْﻫً ﺎ‬ َ ِ‫} ﻭَﻟِﻠﱠ ﻪِ ﻳَﺴْ ﺠُﺪُ ﻣَ ﻦْ ﻓِ ﻲ ﺍﻟﺴﱠ َﻤﻮَﺍﺕِ ﻭَﺍ َﻷ ْﺭﺽ‬ { ِ‫ﻬﻢْ ﺑِﺎ ْﻟﻐُ ُﺪﻭﱢ ﻭَﺍﻵﺻَﺎﻝ‬ ُ ‫ﻇﻼَُﻟ‬ ِ ‫َﻭ‬ Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari. (Q.s. arRa'd: 15) { ْ‫ﺣﻞﱠ َﻟ ُﻜﻢْ ﻣَﺎ َﻭﺭَﺍءَ ﺫَ ِﻟ ُﻜﻢ‬ ِ ‫} ﻭَُﺃ‬ Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu). (Q.s. anNisâ': 24) 131 ‫ﺴ ِﻬﻦﱠ‬ ِ ُ‫ﺼﻦَ ﺑِ َﺄﻧْﻔ‬ ْ ‫} ﻭَﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ُﻳ َﺘﻮَ ﱠﻓ ْﻮﻥَ ِﻣ ْﻨ ُﻜﻢْ َﻭﻳَ َﺬﺭُﻭﻥَ َﺃ ْﺯﻭَﺍﺟًﺎ َﻳ َﺘ َﺮﺑﱠ‬ { ‫ﺸﺮًﺍ‬ ْ َ‫ﺷ ُﻬﺮٍ َﻭﻋ‬ ْ َ‫َﺃ ْﺭ َﺑﻌَﺔَ ﺃ‬ Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. (Q.s. al-Baqarah: 234) 8. plural yang berbentuk nakirah. Misalnya, lafadz: Rijâl[un] dalam firman Allah SWT.: ‫} ِﺭﺟَ ﺎﻝٌ ﻻَ ُﺗ ْﻠﻬِ ﻴ ِﻬﻢْ ِﺗﺠَ ﺎﺭَﺓٌ ﻭَﻻَ َﺑﻴْ ﻊٌ ﻋَ ﻦْ ِﺫﻛْ ﺮِ ﺍﻟﻠﱠ ﻪِ ﻭَﺇِﻗَ ﺎ ِﻡ‬ ُ‫ﺍﻟﺼﱠ ﻼَﺓِ ﻭَﺇِﻳﺘَ ﺎءِ ﺍﻟ ﱠﺰﻛَ ﺎﺓِ َﻳﺨَ ﺎﻓُﻮﻥَ َﻳﻮْﻣً ﺎ َﺗﺘَﻘَﻠﱠ ﺐُ ﻓِﻴ ﻪِ ﺍﻟْﻘُﻠُ ﻮﺏ‬ { ُ‫ﻷﺑْﺼَﺎﺭ‬ َ ‫ﻭَﺍ‬ laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Q.s. anNûr: 37) 9. Lafadz: Kull, Jamî', Ajma'ûn dan Akta'ûn. Misalnya, lafadz: Kull, Jamî', Ajma'ûn dan Akta'ûn dalam firman Allah SWT.: { َ‫ﺴﺒَﺖْ ﻭَ ُﻫﻢْ ﻻَ ُﻳﻈْﻠَﻤُﻮﻥ‬ َ َ‫} ُﻛﻞﱡ ﻧَ ْﻔﺲٍ ﺑِﻤَﺎ ﻛ‬ Agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya. (Q.s. al-Jâtsiyah: 22) ‫} ِﺇﻥْ ﻛَﺎﻧَ ﺖْ ﺇِﻻﱠ ﺻَ ْﻴﺤَﺔً ﻭَﺍﺣِ ﺪَﺓً ﻓَ ﺈِﺫَﺍ ﻫُ ﻢْ ﺟَﻤِﻴ ﻊٌ ﻟَ َﺪ ْﻳﻨَﺎ‬ { َ‫ﻀﺮُﻭﻥ‬ َ ْ‫ُﻣﺤ‬ Tidak adalah teriakan itu selain sekali teriakan saja, maka tiba-tiba mereka semua dikumpulkan kepada Kami. (Q.s. Yasin: 53) 132 { َ‫ﺟ َﻬ ﱠﻨﻢَ ِﻣ ْﻨﻚَ ﻭَﻣِ ﱠﻤﻦْ َﺗ ِﺒ َﻌﻚَ ِﻣ ْﻨ ُﻬﻢْ َﺃﺟْ َﻤﻌِﻴﻦ‬ َ ‫ﻸﻥﱠ‬ َ ‫} ﻷَ ْﻣ‬ Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jenis kamu dan dengan orang-orang yang mengikuti kamu di antara mereka kesemuanya. (Q.s. Shad: 85) Adapun shîghat lafadz khusus yang digunakan untuk membentuk lafadz dengan konotasi khusus, bisa diidentifikasi sebagai berikut: 1. Isim al-‘alam adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan nama tertentu, baik nama manusia, tempat, waktu dan lainlain. Masing-masing bisa dicontohkan seperti Muhammad, Madînah dan Ramadhân. Misalnya, firman Allah: { ُ‫ﺳﻞ‬ ُ ‫} ﻭَﻣَﺎ ُﻣﺤَﻤﱠﺪٌ ﺇِﻻﱠ ﺭَﺳُﻮﻝٌ ﻗَﺪْ ﺧَﻠَﺖْ ِﻣﻦْ َﻗﺒْﻠِﻪِ ﺍﻟﺮﱡ‬ Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. (Q.s. Ali 'Imrân: 144) ِ‫ﺣﻮْ َﻟ ُﻜﻢْ ﻣِ ﻦَ ﺍ َﻷﻋْ ﺮَﺍﺏِ ُﻣﻨَ ﺎﻓِﻘُﻮﻥَ ﻭَﻣِ ﻦْ ﺃَﻫْ ﻞِ ﺍﻟْﻤَﺪِﻳﻨَ ﺔ‬ َ ْ‫} ﻭَﻣِ ﱠﻤﻦ‬ { ْ‫ﻬﻢ‬ ُ ‫َﻣﺮَﺩُﻭﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨﱢﻔَﺎﻕِ ﻻَ َﺗﻌْﻠَ ُﻤ‬ Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka. (Q.s. at-Taubah: 101) 2. Ism al-Ma'rifat dengan partikel "al" al-Ahdiyyah, misalnya lafadz: al-Ghâr dalam firman Allah: َ ِ‫ﺧ َﺮﺟَﻪُ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ﻛَ َﻔﺮُﻭﺍ ﺛَ ﺎﻧ‬ ‫ﻲ‬ ْ ‫ﺼﺮَﻩُ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﺇِﺫْ َﺃ‬ َ َ‫ﺼﺮُﻭﻩُ ﻓَﻘَﺪْ ﻧ‬ ُ ْ‫} ﺇِﻻﱠ َﺗﻨ‬ َ‫ﺣﺒِﻪِ ﻻَ َﺗﺤْ َﺰﻥْ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ﻪ‬ ِ ‫ﺍ ْﺛ َﻨ ْﻴﻦِ ﺇِﺫْ ﻫُﻤَﺎ ﻓِﻲ ﺍ ْﻟﻐَ ﺎﺭِ ﺇِﺫْ ﻳَﻘُ ﻮﻝُ ﻟِﺼَ ﺎ‬ { ‫ﻣ َﻌﻨَﺎ‬ َ 133 Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makah) mengeluarkannya (dari Makah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua (Tsûr), di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." (Q.s. at-Taubah: 40) 3. Al-Musyâr Ilayh adalah kata benda yang ditunjuk oleh kata penunjuk (ism al-Isyârah). Misalnya, lafadz: al-Kitâb dalam firman Allah: { َ‫} ﺫَ ِﻟﻚَ ﺍ ْﻟ ِﻜﺘَﺎﺏُ ﻻَ َﺭﻳْﺐَ ﻓِﻴﻪِ ﻫُﺪًﻯ ﻟِﻠْ ُﻤﺘﱠﻘِﻴﻦ‬ Inilah adalah kitab yang tiada sedikitpun keraguan di dalamnya; merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (Q.s. alBaqarah: 02) 4. al-‘Adad, atau kata hitung, sekalipun artinya lebih dari satu, misalnya 20, 30 atau 100, statusnya tetap merupakan lafadz khusus. Misalnya, lafadz: Mi'ah dalam firman Allah: { ٍ‫} ﺍﻟﺰﱠﺍ ِﻧﻴَﺔُ ﻭَﺍﻟﺰﱠﺍﻧِﻲ ﻓَﺎﺟْﻠِﺪُﻭﺍ ُﻛﻞﱠ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ِﻣ ْﻨﻬُﻤَﺎ ﻣِﺎﺋَﺔَ ﺟَﻠْﺪَﺓ‬ Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (Q.s. an-Nûr: 02) Ini dari segi shîghat, baik umum maupun khusus. Adapun dari sisi takhshîsh, yang didefinisikan oleh ‘Alî al-Hasan dengan qashr al‘âm ‘alâ ba’dh afrâdih[i] bidalîl (membatasi lafadz umum pada sebagian genus-nya dengan dalil),4 bisa diklasifikasikan menjadi: 1. Takhshîsh Muttashil (tidak terpisah) adalah takhshîsh yang tidak berdiri sendiri, namun dinyatakan bersama konteks lafadz umum dalam satu nas yang di-takhshîsh, dengan makna 4 ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 161. 134 yang berhubungan dengan lafadz umum, serta menjadi bagian dari kalimat yang mengandung lafadz umum. Takhshîsh ini bisa diuraikan sebagai berikut: (1) Istitsnâ' (pengecualian): Takhshîsh dengan istitsnâ' (pengecualian) ini biasanya menggunakan adât istitsnâ' (perangkat untuk mengecualikan), seperti Illâ, Ghayr[a], Siwâ, Khalâ, Hâsyâ, 'Adâ, Mâ 'Adâ, Mâ Khalâ dan Lays[a]. Takhshîsh dengan istitsnâ' (pengecualian) ini mempunyai konotasi mengeluarkan konteks yang jatuh setelah adât istitsnâ', atau yang biasa disebut Mustatsnâ dari konteks sebelumnya, atau yang biasa disebut Mustatsnâ Minhu. Antara lain, dengan: Illâ yang hanya berfungsi untuk men-takhshîsh jika dalam konteks istitsnâ' muttashil (tidak terpisah). Artinya, antara konteks yang jatuh setelah adât istitsnâ' (Mustatsnâ) dengan konteks sebelumnya (Mustatsnâ Minhu) adalah satu jenis. Misalnya, firman Allah SWT.: ‫} َﻣﻦْ ﻛَ َﻔﺮَ ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ ِﻣﻦْ َﺑﻌْﺪِ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻪِ ﺇِﻻﱠ َﻣﻦْ ُﺃﻛْ ﺮِﻩَ ﻭَﻗَ ْﻠﺒُ ﻪُ ُﻣﻄْﻤَ ِﺌﻦﱞ‬ { ِ‫ﺑِﺎﻹِﻳﻤَﺎﻥ‬ Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap teguh dalam beriman (dia tidak berdosa). (Q.s. an-Nahl: 106) Lafadz: Man ukriha wa qalbuh[u] muthmainn[un] bi al-îmân (orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap teguh beriman) adalah Mustatsnâ yang dikeluarkan dari keumuman konteks sebelum Illâ (kecuali), Mustatsnâ Minhu yaitu: Man kafar[a] bi-Llâh[i] min ba'd[i] îmânih[i] (siapa saja yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman). Kedua konteks Mustatsnâ dan Mustatsnâ Minhu tersebut juga sejenis, manusia dengan manusia, bukan malaikat dengan iblis, misalnya. Maka, ketika perangkat Illâ dalam struktur kalimat yang terpisah, misalnya firman Allah: 135 { َ‫ﺴﺠَﺪُﻭﺍ ﺇِﻻّ ِﺇﺑْﻠِﻴﺲ‬ َ َ‫ﺳﺠُﺪُﻭﺍ ﻵ َﺩﻡَ ﻓ‬ ْ ‫ﻼ ِﺋﻜَﺔِ ﺍ‬ َ ‫} ﻭَﺇِﺫْ ﻗُ ْﻠﻨَﺎ ﻟِﻠْ َﻤ‬ Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis. (Q.s. al-Baqarah: 34) Lafadz: Iblîs dalam konteks di atas memang dikeluarkan dari makhluk yang telah bersujud kepada Adam, tetapi konteks pengeluaran tersebut bukan dalam konteks takhshîsh. Sebab, iblis adalah genus yang berbeda dengan malaikat. Maka dalam hal ini, Illâ tidak berfungsi mentakhshîsh, karena berada dalam konteks yang terpisah, atau tidak sejenis. Dengan Ghayr, dimana kadang mempunyai maksud yang sama dengan Illâ, sebagaimana dalam firman Allah: { ِ‫ﻀ َﺮﺭ‬ ‫ﻏ ْﻴﺮُ ﺃُﻭﻟِﻲ ﺍﻟ ﱠ‬ َ َ‫ﺴ َﺘﻮِﻱ ﺍﻟْﻘَﺎﻋِﺪُﻭﻥَ ِﻣﻦَ ﺍﻟْ ُﻤﺆْ ِﻣﻨِﻴﻦ‬ ْ َ‫} ﻻَ ﻳ‬ Tidaklah sama antara mu'min yang duduk (yang tidak turut berperang), kecuali yang mempunyai udzur. (Q.s. an-Nisâ': 95) Frasa: Ulî ad-dharar (yang mempunyai udzur), telah dikeluarkan dari konteks Mustatsnâ Minhu-nya, al-Qâ'idûna min al-mu'minîn (orang-orang mukmin yang duduk tidak berjihad), sehingga Ulî ad-dharar telah dikecualikan dari keumuman al-Qâ'idûna min al-mu'minîn. (2) Syarat: Perangkat syarat (adât as-syarth) ini meliputi: Idzâ (jika), Man (siapa saja), Mahmâ (bila), Haitsumâ (ketika), Aynamâ (di mana saja). Misalnya, firman Allah: { 136 ٌ‫ﺟ ُﻜﻢْ ِﺇﻥْ َﻟﻢْ َﻳ ُﻜﻦْ َﻟ ُﻬﻦﱠ ﻭَﻟَﺪ‬ ُ ‫} ﻭَ َﻟ ُﻜﻢْ ﻧِﺼْﻒُ ﻣَﺎ َﺗ َﺮﻙَ َﺃ ْﺯﻭَﺍ‬ Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. (Q.s. an-Nisâ': 12) Frasa: In lam yakun lahunna walad[un] (jika mereka tidak mempunyai anak), telah mengeluarkan konteks sebelumnya, yaitu: separoh bagian harta yang ditinggalkan isteri (mayit). Artinya, dengan adanya anak laki-laki, maka suami tidak lagi mendapatkan setengah dari harta waris isterinya. (3) Sifat: Takhshîsh dengan sifat, antara lain, seperti dalam firman Allah: ِ ‫} ﻭَﻣَ ﻦْ ﻟَ ﻢْ ﻳَﺴْ َﺘﻄِﻊْ ﻣِ ْﻨ ُﻜﻢْ ﻃَ ﻮْﻻً َﺃﻥْ ﻳَ ْﻨﻜِﺢَ ﺍﻟْ ُﻤﺤْﺼَ ﻨَﺎ‬ ‫ﺕ‬ ِ‫ﺍﻟْ ُﻤﺆْ ِﻣﻨَﺎﺕِ ﻓَ ِﻤﻦْ ﻣَﺎ ﻣَ َﻠﻜَﺖْ َﺃﻳْﻤَﺎ ُﻧ ُﻜﻢْ ِﻣﻦْ َﻓ َﺘﻴَﺎ ِﺗ ُﻜﻢُ ﺍﻟْ ُﻤﺆْ ِﻣﻨَ ﺎﺕ‬ { Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka yang beriman, ia boleh mengawini pemudi wanita yang beriman, dari budak-budak yang menjadi milik kamu. (Q.s. an-Nisâ': 25) Sifat: al-Mu'minât (beriman), yang menjadi sifat fatayâtikum (para pemudi wanita kamu), telah mentakhshîsh keumuman fatayâtikum ---Muslimah dan nonMuslimah--- yang menjadi miliki orang mukmin. Dengan sifat al-Mu'minât (beriman) tersebut, berarti hanya yang beriman saja yang boleh dikawini. Selain itu, tidak dibolehkan. (4) Ghâyah (Target) mempunyai dua perangkat (adât), yaitu: Ilâ (sampai) dan Hattâ (hingga). Takhshîsh dengan Ghâyah ini, misalnya: { ِ‫} ﻓَﺎﻏْﺴِﻠُﻮﺍ ُﻭﺟُﻮ َﻫ ُﻜﻢْ ﻭََﺃﻳْ ِﺪ َﻳ ُﻜﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْ َﻤﺮَﺍ ِﻓﻖ‬ 137 Maka basuhlah wajah dan tangan kamu sampai siku-siku. (Q.s. al-Mâidah: 6) Target: Ilâ l-Marâfiq (sampai ke siku-siku) telah mentakhshîsh keumuman aydiyakum, yang berkonotasi umum dari ujung jari sampai lengan, sehingga yang wajib dibasuh hanya sebatas ujung jari hingga siku-siku. 2. Takhshîsh Munfashil (terpisah) adalah takhshîsh yang berdiri sendiri, terpisah dari konteks lafadz umum. Takhshîsh ini bisa diidentifikasi melalui sejumlah dalil sam'î, yaitu al-Qur'an, asSunnah, Ijma' Sahabat dan Qiyas. Dalam hal ini, bisa diklasifikasikan menjadi: (1) Takhshîsh al-Qur'an dengan al-Qur'an: Takhshîsh al-Qur'an dengan al-Qur'an ini misalnya terlihat pada masingmasing dalil umum dan khusus berikut ini: َ‫} ﻭَﺍﻟﱠ ﺬِﻳﻦَ ُﻳ َﺘﻮَﻓﱠ ْﻮﻥَ ﻣِ ْﻨ ُﻜﻢْ َﻭﻳَ َﺬﺭُﻭﻥَ َﺃ ْﺯﻭَﺍﺟً ﺎ َﻳ َﺘ َﺮﺑﱠﺼْ ﻦ‬ { ‫ﺸﺮًﺍ‬ ْ َ‫ﺷ ُﻬﺮٍ َﻭﻋ‬ ْ َ‫ﺴ ِﻬﻦﱠ َﺃ ْﺭ َﺑﻌَﺔَ ﺃ‬ ِ ُ‫ﺑِ َﺄﻧْﻔ‬ Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. (Q.s. al-Baqarah: 234) { ‫ﻀ ْﻌﻦَ ﺣَﻤْ َﻠ ُﻬﻦﱠ‬ َ َ‫ﻭَﺃُﻭﻻَﺕُ ﺍ َﻷﺣْﻤَﺎﻝِ َﺃﺟَُﻠ ُﻬﻦﱠ َﺃﻥْ ﻳ‬ } Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Q.s. atThalâq: 4) Isteri-isteri ---baik yang hamil maupun tidak--- yang ditinggal mati suaminya, masa 'iddah-nya, menurut surat al-Baqarah: 234 adalah 4 bulan 10 hari. Namun, keumuman konteks ini dikecualikan dari isteri-isteri yang 138 mengandung, sehingga dia wajib menunggu masa 'iddahnya hingga melahirkan. (2) Takhshîsh al-Qur'an dengan as-Sunnah: Takhshîsh alQur'an dengan as-Sunnah ini misalnya terlihat pada masing-masing dalil umum dan khusus berikut ini: { ِ‫ﺣﻆﱢ ﺍ ُﻷ ْﻧ َﺜ َﻴ ْﻴﻦ‬ َ ُ‫ﻳُﻮﺻِﻴ ُﻜﻢُ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻓِﻲ َﺃﻭْﻻَ ِﺩ ُﻛﻢْ ﻟِﻠ ﱠﺬ َﻛﺮِ ِﻣ ْﺜﻞ‬ } Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. (Q.s. an-Nisâ': 11) « ُ‫» ﺍﻟْﻘَﺎ ِﺗﻞُ ﻻَ َﻳﺮِﺙ‬ Orang yang membunuh tidak bisa mewarisi. (H.r. atTirmîdzi dari Abû Hurairah) Anak laki-laki bisa mendapatkan dua bagian harta waris, namun hadits di atas mengeluarkan anak yang membunuh orang tuanya (mayit) dari keumuman anak yang berhak mendapatkan harta warisan. (3) Takhshîsh al-Qur'an dengan Ijma' Sahabat: Takhshîsh alQur'an dengan Ijma' Sahabat ini misalnya terlihat pada masing-masing dalil umum dan khusus berikut ini: َ‫} ﻭَﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ َﻳﺮْﻣُﻮﻥَ ﺍﻟْ ُﻤﺤْﺼَ ﻨَﺎﺕِ ﺛُ ﻢﱠ ﻟَ ﻢْ ﻳَ ْﺄﺗُﻮﺍ ﺑِ َﺄ ْﺭ َﺑﻌَ ﺔِ ﺷُ ﻬَﺪَﺍء‬ { ً‫ﻫﻢْ ﺛَﻤَﺎﻧِﻴﻦَ ﺟَﻠْﺪَﺓ‬ ُ ‫ﻓَﺎﺟْﻠِﺪُﻭ‬ Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera. (Q.s. an-Nûr: 04) Keumuman frasa: wa-ladzîna yarmûna al-muhshanât (orang yang menuduh orang baik-baik berzina) yang kemudian 139 dikenai sanksi 80 kali dera, telah dikecualikan dari budak berdasarkan Ijma' Sahabat. Dalam hal ini, Ijma' Sahabat menyepakati, bahwa budak yang menuduh orang baikbaik berzina hanya didera 40 kali. Dengan kata lain, ayat di atas konotasinya khusus untuk orang merdeka. (4) Takhshîsh al-Qur'an dengan Qiyas: Takhshîsh al-Qur'an dengan Qiyas ini misalnya terlihat pada masing-masing dalil umum dan khusus berikut ini: { ٍ‫ﺍﻟﺰﱠﺍ ِﻧﻴَﺔُ ﻭَﺍﻟﺰﱠﺍﻧِﻲ ﻓَﺎﺟْﻠِﺪُﻭﺍ ُﻛﻞﱠ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ِﻣ ْﻨﻬُﻤَﺎ ﻣِﺎﺋَﺔَ ﺟَﻠْﺪَﺓ‬ } Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (Q.s. an-Nûr: 2) Budak yang melakukan zina telah dikecualikan dari keumuman lafadz: az-zâniyyah dan az-zâni (perempuan dan laki-laki pezina). Ini dianalogikan pada nas al-Qur'an yang menyatakan: َ‫} ﻓَ ِﺈﻥْ َﺃ َﺗ ْﻴﻦَ ﺑِﻔَﺎﺣِﺸَﺔٍ َﻓﻌَ َﻠ ْﻴ ِﻬﻦﱠ ﻧِﺼْﻒُ ﻣَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْ ُﻤﺤْﺼَﻨَﺎﺕِ ِﻣﻦ‬ { ِ‫ﺍ ْﻟﻌَﺬَﺍﺏ‬ Apabila mereka (budak) telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka setengah hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Q.s. an-Nisâ': 25) Ayat ini menyatakan, bahwa hukuman budak ketika melakukan perbuatan keji adalah separoh sanksi orang merdeka. Maka, dalam kasus zina, ketika secara umum dinyatakan bahwa perempuan dan laki-laki yang berzina akan dicambuk 100 kali, maka berdasarkan hasil analog terhadap surat an-Nisâ': 25 di atas bisa disimpulkan, bahwa untuk budak hanya dikenakan 50 kali cambukan. 140 Adapun dalam konteks sebab turunnya wahyu ---baik alQur'an maupun as-Sunnah--- baik karena pertanyaan atau peristiwa tertentu, maka ulama' telah menetapkan kaidah kulliyah yang menyatakan: « ِ‫ﺴﺒَﺐ‬ ‫ﺼ ْﻮﺹِ ﺍﻟ ﱠ‬ ُ ُ‫» ﺍَ ْﻟ ِﻌ ْﺒﺮَﺓُ ِﺑﻌُ ُﻤ ْﻮﻡِ ﺍﻟﻠﱠ ْﻔﻆِ ﻻَ ِﺑﺨ‬ Hukum yang berlaku didasarkan pada keumuman lafadz, bukan sebabnya yang spesifik. Misalnya, ayat Kalâlah, surat an-Nisâ': 176 diturunkan berkaitan dengan pertanyaan Jabir bin 'Abdillah.5 Ayat Li'ân, surat an-Nûr: 4 diturunkan berkaitan dengan pengaduan laki-laki Anshar terhadap isterinya kepada Rasulullah saw.6 Namun, hukum-hukum tersebut telah dipraktekkan oleh Rasul dan para sahabat dalam kasus-kasus serupa yang lain. Demikianlah, semua lafadz umum yang dinyatakan berkaitan dengan kasus tertentu, atau pertanyaan tertentu, maka keumuman lafadznya tetap bisa digunakan. Seperti kata as-Syâfi'i: « ُ‫ﺼﻨَﻊُ ﺍﻷًﻟْﻔَﺎﻅ‬ ْ َ‫ﺷ ْﻴﺌًﺎ ﻭَِﺇﻧﱠﻤَﺎ ﺗ‬ َ ُ‫ﺼﻨَﻊ‬ ْ َ‫ﺴﺒَﺐُ ﻻَ ﻳ‬ ‫» ﺍﻟ ﱠ‬ Sebab, tidak akan membentuk apapun, namun lafadzlah sejatinya yang membentuk (makna).7 3.3. Mutlak dan Muqayyad Muthlaq adalah setiap lafadz yang menunjukkan madlûl (maksud) yang meliputi semua jenisnya. Dikatakan "yang meliputi semua jenisnya" supaya nama, ism al-Ma'rifat yang di-ma'rifat-kan dengan partikel "al" al-Ahdiyyah, atau al-Istighrâqiyyah, serta bentuk plural yang di-ma'rifat-kan. Sebab, "yang meliputi semua jenisnya" 5 6 7 H.r. Bukhâri, Shahîh al­Bukhâri, hadits no. 5244. H.r. Muslim, Shahîh Muslim, hadits no. 2748. Lihat, 'Abdullâh, al­Wâdhih, hal. 327. 141 mempunyai konotasi digunakannya lafadz tersebut untuk semua derivat jenis, tanpa adanya penentuan yang mana. Misalnya, lafadz: Muslim bisa digunakan untuk menyebut semua individu Muslim; Ini muslim, dan itu juga muslim. Namun, ini tidak mungkin ketika kita menggunakan nama, seperti: Muhammad atau 'Alî untuk menyebut semua jenis Muhammad atau 'Ali. Ia digunakan hanya untuk menyebut individu tertentu, dan tidak yang lain. Demikian juga ketika kita menyatakan: al-Muslim ---dengan partikel "al" alIstighrâqiyyah--- maka, yang dimaksud adalah semua individu yang masuk dalam jenisnya, Muslim. Berbeda dengan: Muslim ---tanpa partikel "al"--- adalah lafadz mutlak, yang mempunyai konotasi seorang Muslim, yang tidak dibatasi jenisnya. Sementara muqayyad adalah lafadz yang telah dihilangkan cakupan jenisnya, baik secara kullî maupun juz'î. Maka, bisa disimpulkan, bahwa lafadz mutlak dengan konotasi yang telah dijelaskan, adalah ism an-Nakirah hakiki dalam konteks kalimat positif (itsbât), bukan negatif (nafy). Dikatakan "ism an-Nakirah" karena ia merupakan lafadz yang tidak ditentukan jenisnya. Dikatakan "dalam konteks kalimat positif (itsbât)" karena jika ism al-Nakirah tersebut dalam konteks kalimat negatif, ia tidak akan menjadi lafadz mutlak, tetapi lafadz umum. Dengan demikian, shîghat Mutlak adalah ism an-Nakirah yang hakiki dalam konteks kalimat positif (itsbât), bukan negatif (nafy). Sementara ism an-Nakirah yang hakiki tersebut bisa berada dalam struktur kalimat: 1. perintah yang menggunakan Mashdar (kata jadian): Kalimat perintah mempunyai banyak uslûb (gaya bahasa), di antaranya menggunakan Mashdar kata kerja transitif. Jika ism an-Nakirah berada dalam struktur kalimat seperti ini, maka statusnya adalah mutlak. Misalnya, firman Allah: { ٍ‫ﺤﺮِﻳﺮُ ﺭَ َﻗﺒَﺔ‬ ْ ‫َﻓ َﺘ‬ Maka, hendaknya memerdekakan budak (Q.s. an-Nisâ': 92) 142 } Lafadz: tahrîr (hendaknya memerdekakan) adalah bentuk Mashdar dari: Harrar[a]-yuharrir[u]-tahrir[an]. Sedangkan: raqabah (budak perempuan) adalah ism an-Nakirah yang berada dalam struktur kalimat perintah dengan menggunakan Mashdar. 2. perintah yang menggunakan kata kerja: Jika ism an-Nakirah berada dalam struktur kalimat perintah yang menggunakan kata kerja transitif, maka statusnya adalah mutlak. Misalnya: َ » « ً‫ﺣﺮﱢﺭ ﺭَ َﻗﺒَﺔ‬ Memerdekakanlah budak perempuan. Lafadz: harrir (memerdekakanlah) adalah bentuk kata kerja perintah (fi'l al-amr). Sedangkan: raqabah (budak perempuan) adalah ism an-Nakirah yang berada dalam struktur kalimat perintah dengan menggunakan kata kerja perintah. Maka, lafadz tersebut juga merupakan bentuk lafadz mutlak. 3. berita dalam konteks kekinian dan futuristik (al-Mudhâri'): Jika ism an-Nakirah berada dalam struktur kalimat berita yang menggunakan kata kerja transitif berbentuk Mudhâri', maka statusnya adalah mutlak. Misalnya: َ ‫» ُﺃ‬ « ً‫ﺣ ﱢﺮﺭُ ﺭَ َﻗﺒَﺔ‬ Saya akan memerdekakan budak perempuan. Lafadz: uharrir[u] (saya akan memerdekakan) adalah bentuk kata kerja kekinian dan futuristik (fi'l al-Mudhâri'). Sedangkan: raqabah (budak perempuan) adalah ism an-Nakirah yang berada dalam struktur kalimat berita dengan menggunakan kata kerja al-Mudhâri'. Maka, lafadz raqabah (budak perempuan) tersebut bisa disebut lafadz mutlak. Mengapa bukan fi'l al-Mâdhi? Sebab, kata kerja tersebut mempunyai konotasi masa lalu, atau aktivitas yang sudah lewat. Konsekuensinya, beritanya atau raqabah (budak perempuan) 143 yang dibebaskan pasti tertentu untuk budak yang sudah dibebaskan, bukan yang lain. Sementara muqayyad ---lafadz yang telah dihilangkan cakupan jenisnya, baik secara kullî maupun juz'î--- bentuknya sebagai berikut: 1. Ism al-'Alam: nama (ism al-'alam) bisa menjadi taqyîd ---yang menghilangkan cakupan jenis--- kemutlakan lafadz mutlak, secara kullî (menyeluruh). Misalnya: « ِ‫ﻋﺒْﺪِ ﺍﷲ‬ َ ُ‫ﺟﻼً ﺍِﺳْﻤُﻪُ ُﻣﺤَﻤﱠﺪُ ْﺑﻦ‬ ُ ‫» ﺳَ َﺄ ُﺯ ْﻭﺭُ َﺭ‬ Saya akan mengunjungi seorang laki-laki, namanya Muhammad bin 'Abdullah. Cakupan jenis "orang laki-laki" telah hilang dan telah ditentukan hanya Muhammad bin Abdullah, bukan Muhammad bin 'Ali atau yang lain. 2. Isyârah: bisa menjadi taqyîd ---yang menghilangkan cakupan jenis--- kemutlakan lafadz mutlak, secara kullî (menyeluruh). Misalnya: « ‫» ﺃ ْﻛ ِﺮﻡُ ﻣُﺴْﻠِﻤًﺎ ُﻫﻮَ ﻫَﺬَﺍ‬ Saya akan memuliakan seorang Muslim; inilah dia (orangnya). Cakupan jenis "orang Muslim" telah hilang dan telah ditentukan hanya orang ini, bukan itu, atau yang lain. 3. Sifat (al-washf), atau lain-lain yang sejenis ---seperti syarat dan ghâyah--- bisa menjadi taqyîd ---yang menghilangkan cakupan jenis--- kemutlakan lafadz mutlak, secara juz'î (parsial). Misalnya: « ‫ﺎ‬‫ﻋﺮَﺍ ِﻗﻴ‬ ِ ‫» ﺃ ْﻛ ِﺮﻡُ ﻣُﺴْﻠِﻤًﺎ‬ Saya menghormati Muslim Irak. 144 Cakupan jenis "orang Muslim" telah hilang dan telah ditentukan hanya Musilm Irak, bukan yang lain, sementara jenis Muslim yang lain tetap mutlak. Mutlak seperti ini disebut Mutlak Dua Arah; di satu sisi mutlak, di sisi lain muqayyad. Ini dari aspek lafadz yang masuk dalam kategori muthlaq dan muqayyad. Sedangkan dari aspek taqyîd al-muthlaq, baik menyeluruh maupun parsial, sejatinya tidak akan terlepas dari dua bentuk: 1. Taqyîd Muttashil: bentuk ini terjadi ketika lafadz mutlak dan muqayyad berada dalam satu struktur kalimat, atau nas yang sama. Ini bisa terjadi, sebagaimana yang telah dibahas dalam pembahasan takhshîsh. Bentuknya bisa berupa: (1) Sifat: Sifat yang dimaksud di sini bukan an-na't wa al-man'ût dalam konteks ilmu Nahwu, melainkan semua sifat yang bisa menghilangkan bagian dari cakupan jenis lafadz mutlak. Sebab, sifat kadangkala berbentuk an-na't dalam konteks ilmu Nahwu, seperti: Raqabah Mu'minah (budak Mukmin). Lafadz: Mu'minah adalah sifat yang berbentuk an-na't dalam konteks ilmu Nahwu. Berbeda dengan: Qiyam rak'at[an] layl[an] (shalat satu rakaat di malam hari). Lafadz: Layl[an] pada dasarnya bukan sifat, tetapi statusnya menjadi sifat, yang bisa membatasi kemutlakan "shalat satu rakaat" yang hanya dilakukan malam hari. Sifat yang kedua ini bukanlah sifat yang berbentuk anna't dalam konteks ilmu Nahwu. Sekalipun demikian, masing-masing bisa berfungsi sebagai taqyîd. Dalam hal ini, bisa dicontohkan firman Allah: { ٍ‫ﺤﺮِﻳﺮُ ﺭَ َﻗﺒَﺔٍ ُﻣﺆْ ِﻣﻨَﺔ‬ ْ ‫َﻓ َﺘ‬ } Maka, hendaknya memerdekakan budak yang mukmin (Q.s. an-Nisâ': 92) Lafadz: Mu'minah adalah sifat yang mengikat konotasi "budak perempuan" secara mutlak, sehingga dengan adalah sifat tersebut, kemutlakannya hilang. 145 (2) Syarat: Dalam konteks syarat, bisa dicontohkan firman Allah: َ ْ‫ﻼﺗِ ﻲ ءَﺍ َﺗﻴ‬ ‫ﺖ‬ ‫} ﻳَﺎَﺃ ﱡﻳﻬَ ﺎ ﺍﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﻲﱡ ِﺇﻧﱠ ﺎ َﺃﺣْﻠَ ْﻠﻨَ ﺎ ﻟَ ﻚَ َﺃ ْﺯﻭَﺍﺟَ ﻚَ ﺍﻟ ﱠ‬ ِ‫ُﺃﺟُﻮ َﺭ ُﻫﻦﱠ ﻭَﻣَﺎ ﻣَ َﻠﻜَﺖْ ﻳَﻤِﻴ ُﻨﻚَ ﻣِﻤﱠﺎ ﺃَﻓَ ﺎءَ ﺍﻟﻠﱠ ﻪُ ﻋَ َﻠﻴْ ﻚَ َﻭ َﺑﻨَ ﺎﺕ‬ ‫ﻼﺗِ ﻲ‬ ‫ﻋَ ﱢﻤﻚَ َﻭ َﺑﻨَﺎﺕِ ﻋَﻤﱠﺎ ِﺗﻚَ َﻭ َﺑﻨَﺎﺕِ ﺧَﺎ ِﻟﻚَ َﻭ َﺑﻨَﺎﺕِ ﺧَﺎ َﻻ ِﺗﻚَ ﺍﻟ ﱠ‬ ‫ﺴﻬَﺎ ﻟِﻠ ﱠﻨﺒِ ﱢ‬ َ ْ‫ﺟ ْﺮﻥَ َﻣ َﻌﻚَ ﻭَﺍ ْﻣﺮَﺃَﺓً ُﻣﺆْ ِﻣﻨَﺔً ِﺇﻥْ ﻭَ َﻫﺒَﺖْ ﻧَﻔ‬ َ ‫ﻫَﺎ‬ ْ‫ﻲ ِﺇﻥ‬ َ‫ﺤﻬَﺎ ﺧَﺎﻟِﺼَﺔً َﻟﻚَ ِﻣﻦْ ﺩُﻭﻥِ ﺍﻟْ ُﻤﺆْ ِﻣﻨِﻴﻦ‬ َ ‫ﺴ َﺘ ْﻨ ِﻜ‬ ْ َ‫َﺃﺭَﺍﺩَ ﺍﻟ ﱠﻨﺒِﻲﱡ َﺃﻥْ ﻳ‬ { Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteriisterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mu'min, jika mereka menyerahkan dirinya kepada Nabi, kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu'min. (Q.s. al-Ahzâb: 50) Lafadz: In wahabat nafsahâ li an-nabiyy[i] (jika mereka menyerahkan dirinya kepada Nabi) adalah syarat yang mengikat konotasi lafadz: imra'at[an] (wanita) secara mutlak, sehingga dengan adalah sifat tersebut, kemutlakannya hilang. (3) Ghâyah: Dalam konteks ghâyah, bisa dicontohkan firman Allah: { 146 ِ‫ﺠﺮ‬ ْ ‫ﺣﺘﱠﻰ َﻣﻄْﻠَﻊِ ﺍﻟْ َﻔ‬ َ َ‫ﻼﻡٌ ﻫِﻲ‬ َ‫ﺳ‬ َ } Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Q.s. alQadar: 5) Lafadz: Hatta mathla' al-fajr[i] (sampai terbit fajar) adalah ghâyah (batas waktu) yang mengikat konotasi lafadz: salâm[un] (kesejahteraan) secara mutlak, sehingga dengan ghâyah (batas waktu) tersebut, kemutlakan salâm[un] (kesejahteraan) tersebut hilang, selain hanya sampai terbitnya fajar. (4) 'Alam (Nama): Dalam konteks 'alam (nama), bisa dicontohkan firman Allah: { ُ‫ﺸﺮًﺍ ِﺑﺮَﺳُﻮﻝٍ ﻳَ ْﺄﺗِﻲ ِﻣﻦْ َﺑﻌْﺪِﻱ ﺍﺳْﻤُﻪُ َﺃﺣْﻤَﺪ‬ ‫ﻭَ ُﻣﺒَ ﱢ‬ } Dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad). (Q.s. as-Shaf: 6) Lafadz: Ahmad (Ahmad) adalah nama, yang mengikat konotasi lafadz: Rasûl[in] (Rasul) secara mutlak, sehingga dengan nama tersebut, kemutlakan Rasûl[in] (Rasul) tersebut hilang. (5) Isyârah: Dalam konteks isyârah (kata penunjuk), bisa dicontohkan firman Allah: { ِ‫ﺣﺒًﺎ ِﺑ ِﻬﻢْ ِﺇ ﱠﻧ ُﻬﻢْ ﺻَﺎﻟُﻮﺍ ﺍﻟﻨﱠﺎﺭ‬ َ ‫ﺤﻢٌ َﻣ َﻌ ُﻜﻢْ ﻻَ َﻣ ْﺮ‬ ِ ‫ﻫَﺬَﺍ َﻓﻮْﺝٌ ﻣُ ْﻘ َﺘ‬ } (Dikatakan kepada mereka): "Ini adalah suatu rombongan (pengikut-pengikutmu) yang masuk berdesak-desak bersama kamu (ke neraka)". (Berkata pemimpin-pemimpin mereka yang durhaka): "Tiadalah ucapan selamat datang kepada mereka karena sesungguhnya mereka akan masuk neraka". (Q.s. Shad: 59) Lafadz: Fawj (suatu rombongan) adalah lafadz mutlak, yang kemudian konotasi kemutlakannya diikat dengan: Hâdzâ (ini), sehingga dengan kata penunjuk tersebut, kemutlakan Fawj (suatu rombongan) tersebut hilang. 147 2. Taqyîd Munfashil (terpisah): ini terjadi ketika lafadz mutlak dan muqayyad itu merupakan dua dalil atau nas yang berbeda. Ini bisa terjadi, antara lain, sebagai berikut: (1) Taqyîd al-Qur'an dengan al-Qur'an: Taqyîd al-Qur'an dengan al-Qur'an, antara lain, bisa dicontohkan sebagaimana firman Allah: { ً‫} ﻭَﺇِﺫْ ﻗَﺎﻝَ ﻣُﻮﺳَﻰ ﻟِ َﻘﻮْﻣِﻪِ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻳَﺄْ ُﻣ ُﺮ ُﻛﻢْ َﺃﻥْ ﺗَ ْﺬ َﺑﺤُﻮﺍ ﺑَ َﻘﺮَﺓ‬ Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". (Q.s. al-Baqarah: 67) Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada Bani Israel untuk menyembelih lembu betina secara mutlak, dengan menggunakan lafadz: Baqarah. Namun, kemutlakannya kemudian di-taqyîd dengan ayat-ayat lain. Allah SWT. befirman: { َ‫ﻋﻮَﺍﻥٌ َﺑ ْﻴﻦَ ﺫَ ِﻟﻚ‬ َ ٌ‫} ِﺇ ﱠﻧﻬَﺎ ﺑَ َﻘﺮَﺓٌ ﻻَ ﻓَﺎ ِﺭﺽٌ ﻭَﻻَ ِﺑ ْﻜﺮ‬ Bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu. (Q.s. al-Baqarah: 68) { َ‫ﻇﺮِﻳﻦ‬ ِ ‫ﺴﺮﱡ ﺍﻟﻨﱠﺎ‬ ُ َ‫} ِﺇ ﱠﻧﻬَﺎ ﺑَ َﻘﺮَﺓٌ ﺻَ ْﻔﺮَﺍءُ ﻓَﺎﻗِﻊٌ َﻟ ْﻮ ُﻧﻬَﺎ ﺗ‬ Bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya. (Q.s. al-Baqarah: 69) ٌ‫ﺤﺮْﺙَ ﻣُﺴَﻠﱠﻤَﺔ‬ َ ‫} ِﺇ ﱠﻧﻬَﺎ ﺑَ َﻘﺮَﺓٌ ﻻَ ﺫَﻟُﻮﻝٌ ُﺗﺜِﻴﺮُ ﺍ َﻷ ْﺭﺽَ ﻭَﻻَ ﺗَﺴْﻘِﻲ ﺍ ْﻟ‬ { ‫ﺷﻴَﺔَ ﻓِﻴﻬَﺎ‬ ِ َ‫ﻻ‬ Bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi 148 tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya. (Q.s. alBaqarah: 71) (2) Taqyîd al-Qur'an dengan as-Sunnah: Taqyîd al-Qur'an dengan as-Sunnah, antara lain, bisa dicontohkan sebagai berikut. Allah berfirman: ْ‫} ﻓَ َﻤﻦْ ﻛَﺎﻥَ ِﻣ ْﻨ ُﻜﻢْ َﻣﺮِﻳﻀًﺎ َﺃﻭْ ﺑِ ﻪِ ﺃَﺫًﻯ ﻣِ ﻦْ ﺭَﺃْﺳِ ﻪِ ﻓَﻔِ ْﺪﻳَ ﺔٌ ﻣِ ﻦ‬ ِ { ٍ‫ﺴﻚ‬ ُ ُ‫ﺻﻴَﺎﻡٍ َﺃﻭْ ﺻَﺪَﻗَﺔٍ َﺃﻭْ ﻧ‬ Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. (Q.s. al-Baqarah: 196) Lafadz: Shiyâm, Shadaqah atau Nusuk dalam ayat ini adalah lafadz mutlak, yang kemudian kemutlakannya ditaqyîd dengan as-Sunnah yang menyatakan: ُ‫ﺳﺘﱠﺔِ ﻣَﺴَﺎﻛِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْ َﻔ َﺮﻕ‬ ِ َ‫ﻃ ِﻌﻢْ َﻓﺮَﻗًﺎ َﺑ ْﻴﻦ‬ ْ ‫ﺳﻚَ ﻭََﺃ‬ َ ْ‫» ﻓَﺎﺣْ ِﻠﻖْ ﺭَﺃ‬ « ً‫ﺴﻚْ ﻧَﺴِﻴﻜَﺔ‬ ُ ْ‫ﻼﺛَﺔَ َﺃﻳﱠﺎﻡٍ َﺃﻭِ ﺍﻧ‬ َ ‫ﺻﻢْ َﺛ‬ ُ ْ‫ﻼﺛَﺔُ ﺁﺻُﻊٍ َﺃﻭ‬ َ ‫َﺛ‬ Cukurlah rambut kepalamu, berilah makan (shadaqah) sebanyak 6 orang miskin; 3 sha' untuk mereka, atau berpuasalah 3 hari, atau sembelihlah seekor hewan sembelihan. (H.r. Muslim dari Ka'ab bin 'Ujrah) Hadits tersebut men-taqyîd kemutlakan puasa, sedekah dan korban, dengan ketentuan masing-masing puasa 3 hari, sedekah kepada 6 orang miskin sebanyak 3 sha', dan menyembelih seekor kambing. Inilah ketentuan tentang taqyîd al-muthlaq. Adapun cara menggunakan mutlak dan muqayyad untuk menarik hukum dengan ketentuan sebagai berikut: 149 1. jika lafadz mutlak tanpa taqyîd: Jika ada dalil mutlak tanpa disertai taqyîd ---baik Muttashil atau Munfashil--- maka, dalil mutlak tersebut tetap bisa digunakan untuk menarik hukum berdasarkan kemutlakannya. Contohnya firman Allah SWT: ‫} ﻭَﺍﻟﱠ ﺬِﻳﻦَ ُﻳﻈَ ﺎ ِﻫﺮُﻭﻥَ ﻣِ ﻦْ ﻧِﺴَ ﺎ ِﺋ ِﻬﻢْ ﺛُ ﻢﱠ َﻳﻌُ ﻮﺩُﻭﻥَ ﻟِﻤَ ﺎ ﻗَ ﺎﻟُﻮﺍ‬ ْ ‫َﻓ َﺘ‬ { ‫ﻣﻦْ َﻗ ْﺒﻞِ َﺃﻥْ َﻳﺘَﻤَﺎﺳﱠﺎ‬ ِ ٍ‫ﺤﺮِﻳﺮُ ﺭَ َﻗﺒَﺔ‬ Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. (Q.s. al-Mujâdalah: 3) Lafadz: Raqabah dalam konteks kafarat Dhihâr (menyamakan isteri dengan ibu) adalah lafadz mutlak, yang meliputi budak kafir atau muslim. Karena tidak ada dalil yang men-taqyîd kemutlakannya, maka kemutlakannya berlaku seperti apa adanya. 2. jika lafadz mutlak disetai taqyîd muttashil, maka dalil mutlak tersebut telah hilang kemutlakannya, sedangkan yang berlaku adalah taqyîd-nya. Contohnya firman Allah SWT: { ٍ‫ﺤﺮِﻳﺮُ ﺭَ َﻗﺒَﺔٍ ُﻣﺆْ ِﻣﻨَﺔ‬ ْ ‫} َﻓ َﺘ‬ Maka, hendaknya memerdekakan budak yang mukmin (Q.s. anNisâ': 92) Lafadz: Raqabah dalam konteks kafarat pembunuhan yang salah (khatha') adalah lafadz mutlak, yang meliputi budak kafir atau muslim, namun kemutlakannya di-taqyîd dengan lafadz: Mu'minah, sehingga yang berlaku adalah pembebasan budak mukmin. Jika yang dibebaskan, misalnya budak perempuan kafir, maka belum cukup. 3. jika lafadz mutlak disertai taqyîd munfashil, maka harus dianalisis dahulu: 150 (1) jika konteks pembahasannya sama, misalnya ayat Baqarah yang mutlak dengan ayat Baqarah yang muqayyad, maka yang muqayyad harus digunakan, sedangkan yang mutlak harus ditinggalkan. Ini sebagaimana dicontohkan di atas. (2) jika konteks pembahasannya berbeda, misalnya ayat Dhihâr yang menyatakan pembebasan budak secara mutlak, dengan pembebasan budak mukmin yang muqayyad dalam kasus pembunuhan yang salah, maka dalil muqayyad dalam kasus pembunuhan yang salah tersebut tidak bisa digunakan untuk men-taqyîd kemutlakan pembebasan budak dalam kasus Dhihâr. Sebaliknya, karena masing-masing merupakan dua konteks yang berbeda, maka masing-masing berlaku sesuai dengan konteksnya, dan bukan untuk konteks yang lainnya. 3.4. Mujmal dan Mubayyan Secara etimologis, lafadz: Mujmal berarti al-jam' (plural). Secara terminologis, adalah sesuatu yang menunjukkan lebih dari satu madlûl (maksud), tanpa adanya pengistimewaan satu atas yang lainnya, dimana madlûl (maksud)-nya memerlukan penjelasan. Dikatakan "sesuatu yang menunjukkan" dan tidak dikatakan "lafadz yang menunjukkan" karena Mujmal tidak hanya berkaitan dengan lafadz, tetapi juga perbuatan. Ini jelas berbeda dengan 'AmKhâsh atau Muthlaq-Muqayyad, yang masing-masing berkaitan dengan lafadz. Dikatakan "lebih dari satu madlûl (maksud)" karena dengan begitu deskripsi tersebut akan mengeluarkan lafadz mutlak yang hanya menunjukkan satu madlûl (maksud), seperti Raqabah ---yang hanya berarti budak, selain orang merdeka--- sementara lafadz: Sulthân ---yang bisa berarti hujah dan penguasa--- telah menunjukkan lebih dari satu madlûl (maksud), dan karenanya disebut Mujmal. Dikatakan "tanpa adanya pengistimewaan satu atas yang lainnya" agar bisa mengeluarkan lafadz yang salah satu madlûl (maksud)-nya diunggulkan atas yang lain, seperti Haqîqah dan Majâz atau Dalâlah Iqtidhâ' yang dipalingkan dari konotasi kalimat berita menjadi thalab. Dikatakan "madlûl (maksud)-nya memerlukan penjelasan" agar bisa 151 mengenyahkan lafadz umum dari deskripsi, karena sekalipun lafadz tersebut meliputi jenis derivatnya, namun ia tidak memerlukan penjelasan. Berbeda dengan Mujmal, yang memang memerlukan penjelasan. Misalnya, al-'ayn (mata) yang khasiatnya untuk melihat, adalah lafadz umum. Bukan lagi lafadz Mujmal, karena tidak perlu penjelasan, atau qarînah untuk menentukan maksudnya. Berbeda jika dikatakan: apa komentar anda tentang al-'ayn? Dalam konteks pertanyaan ini, lafadz al-'ayn adalah Mujmal, karena pertanyaan tersebut tidak mungkin dijawab, kecuali setelah diberi penjelasan atau keterangan dengan qarînah lain. Melalui batasan di atas, maka konteks Mujmal bisa meliputi dua aspek, perbuatan dan perkataan, atau bahasa verbal dan lisan. Dalam konteks yang pertama, bahasa verbal, tidak ada lafadz, sementara dalam bahasa lisan terdapat lafadz. Karena itu, Mujmal meliputi keduanya, lafadz dan perbuatan. Dengan demikian, istilah shîghat yang berkonotasi struktur harfiah, tidak berlaku dalam konteks Mujmal-Mubayyan. Maka, setelah menganalisis nas-nas syara', khususnya al-Qur’an, konteks Mujmal ---sebagaimana konotasi yang telah dideskripsikan di atas--- mempunyai bentuk sebagai berikut: 1. lafadz Musyratak: Musytarak adalah kata yang mempunyai lebih dari satu makna. Lafadz Musytarak ini merupakan lafadz Mujmal yang membutuhkan penjelasan, melalui salah satu madlûl (maksud)-nya. Misalnya, lafadz: Quru' dalam firman Allah: { ٍ‫ﻼﺛَﺔَ ُﻗﺮُﻭء‬ َ ‫ﺴ ِﻬﻦﱠ َﺛ‬ ِ ُ‫ﺼﻦَ ﺑِ َﺄﻧْﻔ‬ ْ ‫} ﻭَﺍﻟْ ُﻤﻄَﻠﱠﻘَﺎﺕُ َﻳ َﺘ َﺮﺑﱠ‬ Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali Qurû'. (Q.s. al-Baqarah: 228) adalah lafadz Mujmal, yang mempunyai konotasi suci dan haid, sebab masih memerlukan penjelasan melalui sejumlah indikasi (qarînah). 2. Lafadz Murakkab adalah lafadz yang terbentuk lebih dari satu lafadz. Lafadz Murakkab ini merupakan lafadz Mujmal jika konotasinya memunculkan spekulasi lebih dari satu maksud; 152 dimana untuk menentukannya perlu penjelasan. Misalnya, lafadz: al-Ladzî biyadih[i] 'uqdat[u] an-nikâh (orang yang di tangannya memegang otoritas tali perkawinan) dalam firman Allah: { ِ‫َﺃﻭْ َﻳﻌْ ُﻔﻮَ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ِﺑﻴَﺪِﻩِ ﻋُﻘْﺪَﺓُ ﺍﻟ ﱢﻨﻜَﺎﺡ‬ } Atau dima`afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah. (Q.s. alBaqarah: 238) adalah lafadz Mujmal, yang mempunyai konotasi suami atau wali pihak perempuan. 3. kata ganti (dhamîr) yang merujuk lebih pada satu arah: Kata ganti (dhamîr) yang merujuk lebih pada satu rujukan (mudhmar minhu) yang sederajat ---karena memerlukan penjelasan melalui sejumlah indikasi lain--- maka bisa disebut lafadz Mujmal. Misalnya, firman Allah: ُ‫} َﻣﻦْ ﻛَﺎﻥَ ُﻳﺮِﻳﺪُ ﺍ ْﻟ ِﻌﺰﱠﺓَ ﻓَﻠِﻠﱠﻪِ ﺍ ْﻟﻌِ ﺰﱠﺓُ ﺟَﻤِﻴﻌً ﺎ ﺇِ َﻟﻴْ ﻪِ ﻳَﺼْ ﻌَﺪُ ﺍ ْﻟﻜَﻠِ ﻢ‬ َ َ‫ﻄﻴﱢﺐُ ﻭَﺍ ْﻟﻌ‬ ‫ﺍﻟ ﱠ‬ { ُ‫ﻤﻞُ ﺍﻟﺼﱠﺎﻟِﺢُ َﻳﺮْ َﻓﻌُﻪ‬ Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka milik Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan dinaikkan-Nya. (Q.s. Fâthir: 10) Frasa: Yarfa'uh[u] (menaikannya) terbentuk dari lafadz: yarfa'[u] (menaikkan) dan h[u] (nya). Dalam hal ini, kata ganti (dhamîr): h[u] (nya) ---yang merupakan kata ganti laki-laki pihak ketiga tunggal--- bisa merujuk kepada lafadz: al-'amal as-shâlih (amal kebajikan) atau: al-kalim[u] at-thayyib[u] (perkataan-perkataan yang baik). Jika merujuk kepada lafadz: al-'amal as-shâlih (amal kebajikan) berarti konotasinya adalah Allah akan mengangkat al-'amal as-shâlih (amal kebajikan) tersebut, dalam arti menerimanya. Jika merujuk kepada lafadz: al-kalim[u] at-thayyib[u] (perkataan-perkataan yang baik), berarti konotasinya adalah amal kebajikan tersebut 153 akan mengangkat al-kalim[u] at-thayyib[u] (perkataanperkataan yang baik) tadi kepada Allah. Dua konotasi ini, sama-sama benarnya atau sederajat. 4. spekulasi berhenti (waqf) dan mulai juga mengundang spekulasi maksud (makna). Karena itu, ini juga merupakan bentuk Mujmal. Misalnya, firman Allah: { ِ‫ﺳﺨُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺍ ْﻟﻌِ ْﻠﻢ‬ ِ ‫ﻭَﻣَﺎ ﻳَﻌْ َﻠﻢُ ﺗَ ْﺄﻭِﻳﻠَﻪُ ﺇِﻻﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻭَﺍﻟﺮﱠﺍ‬ } Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya.. (Q.s. Ali 'Imrân: 7) Berhenti setelah masing-masing bacaan: Allâh, atau bacaan: wa ar-râsikhûna fî al-'ilm[i] akan mempunyai implikasi maksud yang berbeda. Jika berhenti pada bacaan: Allâh, konotasinya hanya Allah yang Maha Mengetahui takwil ayat-ayat Mutasyâbihât tersebut. Jika berhenti pada bacaan: wa arrâsikhûna fî al-'ilm[i], berarti konotasinya Allah dan orangorang yang mendalam ilmunya sama-sama mengetahui takwil ayat-ayat Mutasyâbihât tersebut. Masing-masing, baik waqf maupun bermula ---dengan masing-masing implikasi konotatifnya--- memerlukan penjelasan dari indikasi yang lain. Konteks seperti ini juga bisa disebut Mujmal. 5. ambiguitas makna yang digunakan itu bisa saja terjadi karena lafadznya itu sendiri mubham (kabur), tidak jelas maksud dan maknanya bagi pihak yang dikenai seruan (al-mukhâthab), kecuali dengan penjelasan sebagai tafsir atas ambiguitasnya, atau melalui sejumlah indikasi lain. Misalnya, firman Allah: ْ َ‫} ﻳ‬ َ ‫ﺴﺘَ ْﻔﺘُﻮ َﻧﻚَ ُﻗﻞِ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻳُ ْﻔﺘِﻴ ُﻜﻢْ ﻓِﻲ ﺍ ْﻟ َﻜﻼَﻟَﺔِ ِﺇﻥِ ﺍ ْﻣ ُﺮﺅٌ ﻫَ َﻠﻚَ َﻟ ْﻴ‬ ‫ﺲ‬ ْ‫ﻟَﻪُ ﻭَﻟَﺪٌ ﻭَﻟَﻪُ ُﺃﺧْﺖٌ ﻓَ َﻠﻬَﺎ ﻧِﺼْﻒُ ﻣَﺎ َﺗ َﺮﻙَ ﻭَ ُﻫﻮَ َﻳ ِﺮ ُﺛﻬَﺎ ِﺇﻥْ َﻟﻢْ ﻳَ ُﻜﻦ‬ ‫َﻟﻬَﺎ ﻭَﻟَﺪٌ ﻓَ ِﺈﻥْ ﻛَﺎ َﻧﺘَﺎ ﺍ ْﺛ َﻨ َﺘ ْﻴﻦِ ﻓَ َﻠﻬُﻤَﺎ ﺍﻟﺜﱡُﻠﺜَﺎﻥِ ﻣِﻤﱠﺎ َﺗ َﺮﻙَ ﻭَِﺇﻥْ ﻛَ ﺎﻧُﻮﺍ‬ ْ‫ﺣﻆﱢ ﺍ ُﻷ ْﻧ َﺜ َﻴ ْﻴﻦِ ُﻳ َﺒ ﱢﻴﻦُ ﺍﻟﻠﱠ ﻪُ َﻟﻜُ ﻢ‬ َ ُ‫ﺧﻮَﺓً ِﺭﺟَﺎﻻً َﻭﻧِﺴَﺎءً ﻓَﻠِﻠ ﱠﺬ َﻛﺮِ ِﻣ ْﺜﻞ‬ ْ ‫ِﺇ‬ { ٌ‫َﺃﻥْ ﺗَﻀِﻠﱡﻮﺍ ﻭَﺍﻟﻠﱠﻪُ ِﺑ ُﻜﻞﱢ ﺷَﻲْءٍ ﻋَﻠِﻴﻢ‬ 154 Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang lakilaki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudarasaudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara lakilaki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.s. an-Nisâ': 176) Lafadz: Kalâlah adalah lafadz Mujmal, dan masih memerlukan penjelasan, yang kemudian maksudnya dijelaskan oleh Allah SWT. dalam ayat yang sama. 6. lafadz Manqûl: yang dimaksud di sini adalah lafadz yang mengalami pengalihmaknaan dari konteks kebahasaan (haqîqah lughawiyyah) kepada konteks syara' (haqîqah syar'iyyah). Di lihat dari aspek pengalihmaknaan lafadz tersebut, dari satu konteks kepada konteks lain, sehingga mempunyai implikasi makna A atau B, bisa dikatakan bahwa lafadz tersebut merupakan lafadz Mujmal yang masih memerlukan penjelasan. Misalnya: « ِ‫ﺻﻼَﺓَ ﺇِﻻﱠ ﺑِ ِﻘﺮَﺍءَﺓِ ﻓَﺎ ِﺗﺤَﺔِ ﺍ ْﻟ ِﻜﺘَﺎﺏ‬ َ َ‫» ﻻ‬ Tidak sah suatu shalat, kecuali dengan membaca Fâtihah al-Kitâb (surat al-Fâtihah). (H.r. at-Tirmîdzi dari Abû Hurairah) Lafadz: Shalât dalam konteks hadits ini adalah lafadz 'Umûm, karena berbentuk ism an-Nakirah dalam struktur kalimat negatif. Lafadz shalât di sini bisa diaplikasikan untuk semua kasus shalat, sehingga tidak sah shalat apapun kecuali dengan 155 membaca surat al-Fâtihah. Ini jelas berbeda dengan lafadz: Shalât dalam firman Allah: { َ‫ﺼﻼَﺓ‬ ‫} ﻭَﺃَ ِﻗﻴْﻤُﻮﺍ ﺍﻟ ﱠ‬ Dan dirikanlah shalat. (Q.s. Yûnus: 87) yang merupakan lafadz Mujmal, karena masih memerlukan penjelasan, baik melalui perkataan maupun perbuatan Rasulullah saw. mengenai tatacaranya. Misalnya, bagaimana Rasulullah mengajarkan cara shalat kepada kaum Muslim, dan bagaimana beliau shalat di depan mereka, agar mereka mengikuti tatacara shalat seperti shalat beliau. Mengenai Mubayyan, atau sesuatu yang dijelaskan, adalah bentuk Mujmal yang disertai penjelasan, baik secara terpisah maupun tidak. Dengan demikian, jika bentuk Mujmal tersebut telah hilang ambiguitasnya, kemudian maknanya menjadi jelas atau madlûl yang digunakannya telah dimenangkan, berarti bentuk tersebut menjadi Mubayyan. Karena itu, bentuk Mubayyan tersebut bisa diklasifikasikan menjadi: 1. perkataan: Mubayyan dalam bentuk perkataan ini, misalnya bisa dicontohkan dalam firman Allah: { ‫ﺟﺰُﻭﻋًﺎ ~ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻣَﺴﱠﻪُ ﺍ ْﻟﺨَ ْﻴﺮُ َﻣﻨُﻮﻋًﺎ‬ َ ‫ﺸﺮﱡ‬ ‫} ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺴﱠﻪُ ﺍﻟ ﱠ‬ Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (Q.s. al-Ma'ârij: 20-21) yang merupakan Bayân Qawlî terhadap kemujmalan lafadz: Halû'[an] dalam firman-Nya: { ‫} ِﺇﻥﱠ ﺍ ِﻹﻧْﺴَﺎﻥَ ﺧُ ِﻠﻖَ ﻫَﻠُﻮﻋًﺎ‬ Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. (Q.s. al-Ma'ârij: 19) 156 2. perbuatan: Mubayyan dalam bentuk perbuatan ini, misalnya bisa dicontohkan dalam konteks penjelasan Rasul: « ْ‫ﺳ َﻜ ُﻜﻢ‬ ِ ‫» ِﻟﺘَ ْﺄﺧُﺬُﻭﺍ َﻣﻨَﺎ‬ Hendaknya kalian mengambil tatacara ibadah haji kalian (dariku). (H.r. Muslim dari Jâbir) yang merupakan Bayân Fi'lî terhadap kemujmalan perintah haji. 3. perkataan dan perbuatan: Mubayyan dalam bentuk perkataan dan perbuatan ini, bisa terjadi: (1) jika masing-masing perkataan dan perbuatan tersebut konteks maksudnya sama-sama layak untuk menjelaskan maksud kemujmalan seruan pembuat syartiat; dimana satu sama lain bisa saling menguatkan maksudnya. Misalnya ketika Rasul menjelaskan tatacara shalat dengan perbuatan beliau, kemudian diikuti dengan pernyataan beliau: « ‫» ﻭَﺻَﻠﱡﻮﺍ ﻛَﻤَﺎ ﺭََﺃ ْﻳﺘُﻤُﻮﻧِﻲ ﺃُﺻَﻠﱢﻲ‬ Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (H.r. Bukhâri dari Mâlik) Maka, masing-masing hadits tersebut merupakan Bayân Fi'lî dan Qawlî terhadap kemujmalan perintah shalat. (2) jika masing-masing berbeda konteks penunjukan maksudnya, maka masing-masing tidak bisa menjadi penjelasan, kecuali setelah melalui analisis usul terhadap kedua konteks dalil tersebut, baik untuk dikompromikan ataupun diunggulkan salah satunya. Penjelasan mengenai hal ini secara lebih rinci dalam pembahasan tarjîh, dalam bab berikutnya. Hanya sekedar contoh, dalam hal ini bisa diambil hadits Nabi, yang beliau nyatakan setelah turunnya ayat haji: 157 ‫ﺎ ﺇِﻟَ ﻰ ﻋُﻤْ ﺮَﺓٍ ﻓَ ْﻠ َﻴﻄُ ﻒْ ﻃَﻮَﺍﻓً ﺎ ﻭَﺍﺣِ ﺪًﺍ َﻭﻳَﺴْ ﻌَﻰ‬‫ﺣﺠ‬ َ َ‫» َﻣﻦْ َﻗ ِﺮﻥ‬ « ‫ﺳ ْﻌﻴًﺎ ﻭَﺍﺣِﺪًﺍ‬ َ Siapa saja yang menyertakan haji dengan umrah, hendaknya thawaf sekali, dan sa'i sekali. (H.r. at-Tirmîdzi) Namun, ada riwayat lain mengenai perbuatan Rasul, bahwa beliau pernah haji dan umrah, namun tidak hanya thawaf dan sa'i, masing-masing sekali. Beliau justru telah melakukannya masing-masing dua kali.8 Maka untuk mengetahui hal ini, bisa dijelaskan sebagai berikut: a- jika diketahui, bahwa yang terdahulu adalah penjelasan lisan, maka penjelasan lisan tersebut adalah yang dikehendaki. Artinya, thawaf dan sa'i, masing-masing hanya sekali, sementara tambahannya adalah sunah. b- jika diketahui, bahwa yang terdahulu adalah penjelasan verbal, maka penjelasan lisan itulah yang dikehendaki. Adapun tambahan yang terdapat dalam penjelasan verbal yang lebih dulu tadi; bisa jadi merupakan kekhususan bagi Rasul, jika disertai indikasi takhshîsh, dan bisa jadi tambahannya ---yaitu thawaf dan sa'i lebih dari sekali--- tadi dihapus dengan penjelasan lisan. Alasannya, karena konteks penunjukan makna penjelasan lisan bagi ummat Nabi saw. itu lebih kuat ketimbang penjelasan verbal beliau. c- jika tidak diketahui mana yang terdahulu, maka lebih baik penjelasan lisan dianggap lebih dulu. Sebab, tambahannya ---sebagaimana yang dinyatakan dalam penjelasan verbal--- dalam konteks ini adalah sunah. Jika dibalik, artinya penjelasan verbalnya lebih 8 H.r. at­Tirmîdzi, Sunan at­Tirmîdzi, hadits no. 870. 158 dahulu, berarti tambahannya ada kemungkinan telah dihapus, atau dikhususkan untuk Nabi. Sementara, bagi ummat Nabi saw. menggunakan dua dalil sekaligus, lebih baik ketimbang menggugurkan salah satunya. Mubayyan (konteks yang dijelaskan) pada dasarnya merupakan bentuk Mujmal yang disertai penjelasan, baik secara terpisah maupun tidak. Karena itu, Mubayyan ---atau Mujmal yang disertai penjelasan--- tersebut bisa diklasifikasikan menjadi: 1. Mubayyan Muttashil adalah bentuk Mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu nas atau dalil. Misalnya, kemujmalan lafadz Kalâlah, telah dijelaskan dengan penjelasan yang terdapat dalam nas atau dalil yang sama. Allah berfirman: َ ‫ﺴﺘَ ْﻔﺘُﻮ َﻧﻚَ ُﻗﻞِ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻳُ ْﻔﺘِﻴ ُﻜﻢْ ﻓِﻲ ﺍ ْﻟ َﻜﻼَﻟَﺔِ ِﺇﻥِ ﺍ ْﻣ ُﺮﺅٌ ﻫَ َﻠﻚَ َﻟ ْﻴ‬ ‫ﺲ‬ ْ َ‫} ﻳ‬ ْ‫ﻟَﻪُ ﻭَﻟَﺪٌ ﻭَﻟَﻪُ ُﺃﺧْﺖٌ ﻓَ َﻠﻬَﺎ ﻧِﺼْﻒُ ﻣَﺎ َﺗ َﺮﻙَ ﻭَ ُﻫﻮَ َﻳ ِﺮ ُﺛﻬَﺎ ِﺇﻥْ َﻟﻢْ َﻳ ُﻜﻦ‬ ‫َﻟﻬَﺎ ﻭَﻟَﺪٌ ﻓَ ِﺈﻥْ ﻛَﺎ َﻧﺘَﺎ ﺍ ْﺛ َﻨ َﺘ ْﻴﻦِ ﻓَ َﻠﻬُﻤَﺎ ﺍﻟﺜﱡُﻠﺜَﺎﻥِ ﻣِﻤﱠﺎ َﺗ َﺮﻙَ ﻭَِﺇﻥْ ﻛَ ﺎﻧُﻮﺍ‬ ْ‫ﺣﻆﱢ ﺍ ُﻷ ْﻧ َﺜ َﻴ ْﻴﻦِ ُﻳ َﺒ ﱢﻴﻦُ ﺍﻟﻠﱠ ﻪُ َﻟﻜُ ﻢ‬ َ ُ‫ﺧﻮَﺓً ِﺭﺟَﺎﻻً َﻭﻧِﺴَﺎءً ﻓَﻠِﻠ ﱠﺬ َﻛﺮِ ِﻣ ْﺜﻞ‬ ْ ‫ِﺇ‬ { ٌ‫َﺃﻥْ ﺗَﻀِﻠﱡﻮﺍ ﻭَﺍﻟﻠﱠﻪُ ِﺑ ُﻜﻞﱢ ﺷَﻲْءٍ ﻋَﻠِﻴﻢ‬ Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang lakilaki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudarasaudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara lakilaki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.s. an-Nisâ': 176) 159 Kalâlah adalah orang yang meninggal dunia, yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil oleh 'Umar bin al-Khaththâb, seraya menyatakan: « ُ‫» ﺍَ ْﻟ َﻜﻼَﻟَﺔُ َﻣﻦْ ﻻَ ﻭَﻟَﺪَ ﻟَﻪ‬ Kalâlah adalah orang yang tidak mempunyai anak.9 2. Mubayyan Munfashil adalah bentuk Mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat dalam satu nas atau dalil. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil Mujmal. Dalam hal ini, bisa berupa: (1) al-Qur'an dengan al-Qur'an: Dalil Mujmal al-Qur'an yang dijelaskan dengan penjelasan al-Qur'an, misalnya firman Allah: { ِ‫ﺳﺨُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺍ ْﻟﻌِ ْﻠﻢ‬ ِ ‫ﻭَﻣَﺎ َﻳﻌْ َﻠﻢُ ﺗَ ْﺄﻭِﻳﻠَﻪُ ﺇِﻻﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻭَﺍﻟﺮﱠﺍ‬ } Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya.. (Q.s. Ali 'Imrân: 7) Allâh wa ar-râsikhûna fî al-'ilm[i] (Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya) adalah konteks Mujmal karena ambiguitas huruf Waw, yang bisa berkonotasi 'athaf (kata penghubung), atau isti'nâf (kata permulaan kalimat baru). Jika Waw tersebut dipercayai sebagai kata penghubung, maka konotasi kalimat tersebut adalah "hanya Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengetahui takwilnya", namun jika Waw tersebut dipercayai sebagai 9 Ibn Qudâmah, al­Mughnî, juz VI, hal. 168. Lihat, Rawwâs Qal'ah Jie, Mawsûah Fiq 'Umar ibn al­Khaththâb, Dâr an­Nafâ'is, Beirut, cet. V, 1997, hal. 747­748. 160 kata permulaan kalimat baru, maka konotasinya adalah "hanya Allah yang mengetahui takwilnya, sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya ---yang nota bene tidak mengetahuinya--- mengatakan: Kami beriman." Karena itu, ini diperlukan penjelasan. Dan, penjelasannya tidak terdapat dalam satu nas. Antara lain, firman Allah SWT: { ٍ‫} َﻭ َﻧﺰﱠ ْﻟﻨَﺎ ﻋَﻠَ ْﻴﻚَ ﺍ ْﻟ ِﻜﺘَﺎﺏَ ِﺗ ْﺒﻴَﺎﻧًﺎ ِﻟ ُﻜﻞﱢ ﺷَﻲْء‬ Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu. (Q.s. an-Nahl: 89) Pernyataan Allah yang menyatakan, bahwa al-Qur'an adalah: tibyân[an] likull[i] syay'[in] (untuk menjelaskan segala sesuatu), dan ia diturunkan kepada manusia, menunjukkan bahwa tidak ada kandungan al-Qur'an yang tidak dapat difahami oleh manusia, termasuk di antaranya ayat-ayat Mutasyâbihât. Dengan demikian, ayat-ayat Mutasyâbihât tersebut tidak hanya diketahui oleh Allah, tetapi juga dapat difahami orang-orang yang ilmunya mendalam. Indikasi yang kedua, bahwa konteks pernyataan Allah: Yaqulâna âmannâ (mereka mengatakan beriman), juga menguatkan konotasi di atas. Sebab, untuk menyatakan beriman, tidak memerlukan ilmu yang mendalam. Artinya, orang biasa dengan kadar intelektual biasapun bisa mempunyai keimanan yang mendalam. Inilah yang juga dibuktikan oleh keimanan orang Arab Badui. Semuanya ini merupakan indikasi yang menguatkan penjelasan, bahwa Waw yang terdapat dalam nas di atas merupakan kata penghubung. Dengan demikian, penjelasan yang bisa digunakan untuk menjelaskan kemujmalan Allâh wa ar-râsikhûna fî al-'ilm[i] (Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya) adalah penjelasan melalui sejumlah indikasi sebagaimana yang dijelaskan di atas. Ini sekaligus menunjukkan, bahwa ini 161 merupakan Mubayyan Munfashil, karena penjelasannya tidak terdapat dalam nas yang sama, melainkan dalam nas-nas lain. (2) al-Qur'an dengan as-Sunnah: dalil Mujmal al-Qur'an yang dijelaskan dengan as-Sunnah, misalnya firman Allah: { ٍ‫ﻄ ْﻌ ُﺘﻢْ ِﻣﻦْ ُﻗﻮﱠﺓ‬ َ ‫ﺳ َﺘ‬ ْ ‫} ﻭََﺃﻋِﺪﱡﻭﺍ َﻟ ُﻬﻢْ ﻣَﺎ ﺍ‬ Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. (Q.s. al-Anfâl: 60) Dalil ini dijelaskan dengan dalil lain, yaitu as-Sunnah: ‫ ﻭَﻫُ ﻮَ ﻋَﻠَ ﻰ ﺍﻟْ ِﻤ ْﻨﺒَ ﺮِ ﻳَﻘُ ﻮ ُﻝ‬r ِ‫» ﺳَ ِﻤﻌْﺖُ ﺭَﺳُ ﻮﻝَ ﺍﻟﻠﱠ ﻪ‬ ُ‫ﻄ ْﻌ ُﺘﻢْ ِﻣﻦْ ُﻗﻮﱠﺓٍ { ﺃَﻻَ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟْ ُﻘﻮﱠﺓَ ﺍﻟﺮﱠﻣْﻲ‬ َ ‫ﺳ َﺘ‬ ْ ‫ﻭََﺃﻋِﺪﱡﻭﺍ َﻟ ُﻬﻢْ ﻣَﺎ ﺍ‬ « ُ‫ﺃَﻻَ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟْ ُﻘﻮﱠﺓَ ﺍﻟﺮﱠﻣْﻲُ ﺃَﻻَ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟْ ُﻘﻮﱠﺓَ ﺍﻟﺮﱠﻣْﻲ‬ } Saya ('Uqbah) mendengar Rasulullah saw. bersabda ---sementara beliau masih di atas mimbar--- Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah. (H.r. Muslim dari 'Uqbah bin 'Amir) 3.5. Nâsikh dan Mansûkh Nasakh secara etimologis adalah menghilangkan, atau memindahkan sesuatu dan mengalihkannya dari satu kondisi kepada kondisi lain sementara ia sendiri tetap seperti sedia kala. Secara terminologis, Nasakh adalah seruan pembuat syariat yang menghalangi keberlangsungan hukum seruan pembuat syariat sebelumnya yang telah ditetapkan. Adapun Nâsikh (penghapus), kadang digunakan untuk menyebut Allah, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah: 106, dan kadang digunakan untuk menyebut 162 ayat, sehingga ayat pedang dalam surat at-Taubah: 29 bisa dikatakan telah menasakh. Sementara Mansûkh adalah hukum yang dihilangkan, seperti hukum 'iddah setahun penuh bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Dalam nasakh, hukum yang dinasakh secara syar'i wajib ditunjukkan oleh dalil yang menjelaskan dihilangkannya hukum secara syar'i, yang datangnya setelah khithâb yang hukumnya dinasakh. Mengenai keberadaan nasakh dan hukum yang dinasakh ini secara real telah dijelaskan dalam nas al-Qur'an: ْ‫ﺨ ْﻴﺮٍ ِﻣ ْﻨﻬَﺎ َﺃﻭْ ِﻣﺜْ ِﻠﻬَﺎ ﺃَ َﻟﻢ‬ َ ‫ﺴﻬَﺎ ﻧَﺄْﺕِ ِﺑ‬ ِ ْ‫} ﻣَﺎ َﻧﻨْﺴَﺦْ ِﻣﻦْ ءَﺍﻳَﺔٍ َﺃﻭْ ُﻧﻨ‬ { ٌ‫َﺗﻌْ َﻠﻢْ َﺃﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻋَﻠَﻰ ُﻛﻞﱢ ﺷَﻲْءٍ ﻗَﺪِﻳﺮ‬ Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (Q.s. al-Baqarah: 106) ‫} ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺑَﺪﱠ ْﻟﻨَﺎ ءَﺍﻳَﺔً َﻣﻜَﺎﻥَ ءَﺍﻳَﺔٍ ﻭَﺍﻟﻠﱠﻪُ َﺃﻋْ َﻠﻢُ ﺑِﻤَﺎ ُﻳ َﻨ ﱢﺰﻝُ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ِﺇﻧﱠﻤَﺎ‬ { َ‫ﻫﻢْ ﻻَ َﻳﻌْﻠَﻤُﻮﻥ‬ ُ ُ‫َﺃﻧْﺖَ ﻣُ ْﻔ َﺘﺮٍ َﺑﻞْ َﺃ ْﻛ َﺜﺮ‬ Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (Q.s. an-Nahl: 101) Nasakh hukum khithâb mempunyai beragam bentuk; ada yang hukum seruannya dinasakh tanpa mengalami perubahan, ada yang mengalami perubahan lebih ringan, ada yang setara dan ada yang lebih berat. Hanya saja, bahwa dalam konteks nasakh tersebut tidak pernah terjadi penasakhan bacaan, sementara hukumnya masih. Jika ada, kesimpulan ini tidak didukung dengan dalil qath'î, seperti 163 kasus bacaan ayat zina: as-Syaykh[u] wa as-syaykhat[u] idzâ zanayâ yang dilansir oleh kalangan tertentu, dimana konon bacaan ini telah dinasakh dengan surat an-Nûr: 2. Dari sini, maka konteks nasakh tersebut bisa dibagi menjadi: 1. nasakh hukum khithâb tanpa disertai perubahan hukum: Ini contohnya firman Allah SWT.: ْ ‫ﺟ ْﻴ ُﺘﻢُ ﺍﻟﺮﱠﺳُﻮﻝَ ﻓَﻘَﺪﱢﻣُﻮﺍ َﺑ ْﻴﻦَ ﻳَ َﺪ‬ ‫ﻱ‬ َ ‫} ﻳَﺎَﺃ ﱡﻳﻬَﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ءَﺍ َﻣﻨُﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻧَﺎ‬ َ‫ﻃ َﻬﺮُ ﻓَ ِﺈﻥْ َﻟﻢْ َﺗﺠِﺪُﻭﺍ ﻓَ ِﺈﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ْ ‫ﺧ ْﻴﺮٌ َﻟ ُﻜﻢْ ﻭََﺃ‬ َ َ‫ﺠﻮَﺍ ُﻛﻢْ ﺻَﺪَﻗَﺔً ﺫَ ِﻟﻚ‬ ْ ‫َﻧ‬ ْ‫ﻏَﻔُ ﻮﺭٌ َﺭﺣِ ﻴﻢٌ ~ ءَﺃَﺷْ ﻔَ ْﻘ ُﺘﻢْ َﺃﻥْ ﺗُﻘَ ﺪﱢﻣُﻮﺍ ﺑَ ْﻴﻦَ ﻳَ َﺪﻱْ َﻧﺠْ ﻮَﺍ ُﻛﻢ‬ َ‫ﺻَ ﺪَﻗَﺎﺕٍ ﻓَ ﺈِﺫْ ﻟَ ﻢْ ﺗَ ْﻔﻌَﻠُ ﻮﺍ َﻭﺗَ ﺎﺏَ ﺍﻟﻠﱠ ﻪُ ﻋَﻠَ ْﻴ ُﻜﻢْ ﻓَ ﺄَﻗِﻴﻤُﻮﺍ ﺍﻟﺼﱠ ﻼَﺓ‬ ‫ﺧﺒِﻴ ﺮٌ ﺑِﻤَ ﺎ‬ َ ُ‫ﻭَءَﺍﺗُ ﻮﺍ ﺍﻟ ﱠﺰﻛَ ﺎﺓَ ﻭََﺃﻃِﻴﻌُ ﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠ ﻪَ َﻭﺭَﺳُ ﻮﻟَﻪُ ﻭَﺍﻟﻠﱠ ﻪ‬ { َ‫َﺗﻌْﻤَﻠُﻮﻥ‬ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.s. al-Mujâdalah: 12-13) Ayat ini telah menasakh hukum mengeluarkan sedekah sebelum melakukan pembicaraan dengan Rasul. Namun, nasakh-nya tidak sampai mengubah. Sebaliknya, hukumnya tetap, namun jika ada yang tidak melakukannya, dan Allah berkenan menerima taubatnya, maka dia diperintahkan untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. 164 2. perubahan yang lebih ringan: Mengenai nasakh hukum khithâb dengan disertai perubahan hukum yang lebih ringan, antara lain, bisa dilihat dalam firman Allah: ‫ﺣ ﱢﺮﺽِ ﺍﻟْ ُﻤﺆْ ِﻣﻨِﻴﻦَ ﻋَﻠَ ﻰ ﺍﻟْ ِﻘﺘَ ﺎﻝِ ِﺇﻥْ َﻳﻜُ ﻦْ ﻣِ ْﻨ ُﻜ ْﻢ‬ َ ‫} ﻳَﺎَﺃ ﱡﻳﻬَﺎ ﺍﻟ ﱠﻨﺒِﻲﱡ‬ ٌ‫ﻋِﺸْ ﺮُﻭﻥَ ﺻَ ﺎ ِﺑﺮُﻭﻥَ َﻳﻐْ ِﻠﺒُ ﻮﺍ ﻣِ ﺎ َﺋ َﺘ ْﻴﻦِ ﻭَِﺇﻥْ َﻳﻜُ ﻦْ ﻣِ ْﻨ ُﻜﻢْ ﻣِﺎﺋَ ﺔ‬ { َ‫ﻮﻡٌ ﻻَ ﻳَﻔْ َﻘﻬُﻮﻥ‬ ْ ‫َﻳﻐْ ِﻠﺒُﻮﺍ ﺃَﻟْﻔًﺎ ِﻣﻦَ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ﻛَ َﻔﺮُﻭﺍ ﺑِ َﺄ ﱠﻧ ُﻬﻢْ َﻗ‬ Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. (Q.s. al-Anfâl: 65) Hukum ini kemudian dinasakh dengan perubahan yang lebih ringan, melalui firman-Nya: ‫ﺿﻌْﻔًﺎ ﻓَ ِﺈﻥْ َﻳ ُﻜﻦْ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ‬ َ ْ‫ﻋ ْﻨ ُﻜﻢْ َﻭﻋَ ِﻠﻢَ َﺃﻥﱠ ﻓِﻴ ُﻜﻢ‬ َ ُ‫} ﺍﻟْﺂﻥَ ﺧَﻔﱠﻒَ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ‫ﻣِﺎﺋَ ﺔٌ ﺻَ ﺎ ِﺑﺮَﺓٌ َﻳﻐْ ِﻠﺒُ ﻮﺍ ﻣِ ﺎ َﺋ َﺘ ْﻴﻦِ ﻭَِﺇﻥْ َﻳﻜُ ﻦْ ﻣِ ْﻨ ُﻜﻢْ ﺃَﻟْ ﻒٌ َﻳﻐْ ِﻠﺒُ ﻮﺍ‬ { َ‫ﺃَﻟْ َﻔ ْﻴﻦِ ﺑِﺈِ ْﺫﻥِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻭَﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻣَﻊَ ﺍﻟﺼﱠﺎ ِﺑﺮِﻳﻦ‬ Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.s. al-Anfâl: 66) Semula, dalam surat al-Anfâl: 65 dinyatakan, bahwa jika ada 10 orang yang bersabar, mereka bisa mengalahkan 200 orang musuh, namun setelah ummat Islam pada saat itu diketahui lemah, Allah menurunkan target 10:200, menjadi 100:200 orang. Artinya, jika ada 100 orang mukmin yang bersabar, 165 maka mereka akan bisa mengalahkan 200 orang. Ini merupakan bentuk perubahan yang lebih ringan. 3. perubahan setara: Nasakh dengan implikasi perubahan setara itu terjadi sebagaimana dihapuskannya hukum menghadap Baitul Maqdis, al-Quds dengan menghadap ke Ka'bah, di Makkah. Dikatakan setera, karena masing-masing hukum yang menasakh dan dinasakh sama-sama merupakan perintah menghadap kiblat. Hanya, kiblat yang pertama statusnya telah digantikan dengan yang kedua. Firman Allah: ‫ﺟ ِﻬﻚَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴﱠﻤَﺎءِ ﻓَ َﻠ ُﻨﻮَﱢﻟ َﻴ ﱠﻨﻚَ ِﻗﺒْﻠَ ﺔً َﺗﺮْﺿَ ﺎﻫَﺎ‬ ْ ‫} ﻗَﺪْ َﻧﺮَﻯ ﺗَ َﻘﻠﱡﺐَ َﻭ‬ ‫ﺣﻴْ ﺚُ ﻣَ ﺎ ُﻛﻨْ ُﺘﻢْ َﻓﻮَﻟﱡ ﻮﺍ‬ َ ‫ﻄﺮَ ﺍﻟْﻤَﺴْ ﺠِﺪِ ﺍ ْﻟﺤَ ﺮَﺍﻡِ َﻭ‬ ْ َ‫ﺟﻬَ ﻚَ ﺷ‬ ْ ‫ﻓَ َﻮﻝﱢ َﻭ‬ ُ‫ﻄﺮَﻩُ ﻭَِﺇﻥﱠ ﺍﻟﱠ ﺬِﻳﻦَ ﺃُﻭﺗُ ﻮﺍ ﺍ ْﻟ ِﻜﺘَ ﺎﺏَ َﻟ َﻴﻌْﻠَﻤُ ﻮﻥَ َﺃﻧﱠ ﻪ‬ ْ َ‫ُﻭﺟُ ﻮ َﻫ ُﻜﻢْ ﺷ‬ { َ‫ﻬﻢْ ﻭَﻣَﺎ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ِﺑﻐَﺎ ِﻓﻞٍ ﻋَﻤﱠﺎ َﻳﻌْﻤَﻠُﻮﻥ‬ ِ ‫ﺤﻖﱡ ِﻣﻦْ َﺭ ﱢﺑ‬ َ ‫ﺍ ْﻟ‬ Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (Q.s. al-Baqarah: 144) 4. perubahan yang lebih berat: Nasakh dengan implikasi perubahan hukum yang lebih berat, misalnya terlihat dalam konteks zina. Firman Allah: ‫ﺳﺘَﺸْ ﻬِﺪُﻭﺍ ﻋَﻠَ ْﻴ ِﻬ ﱠ‬ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻼﺗِﻲ ﻳَ ْﺄﺗِﻴﻦَ ﺍﻟْﻔَﺎﺣِﺸَﺔَ ﻣِ ﻦْ ﻧِﺴَ ﺎ ِﺋ ُﻜﻢْ ﻓَﺎ‬ ‫} ﻭَﺍﻟ ﱠ‬ ‫ﺣﺘﱠ ﻰ‬ َ ِ‫َﺃ ْﺭ َﺑﻌَ ﺔً ﻣِ ْﻨ ُﻜﻢْ ﻓَ ِﺈﻥْ ﺷَ ﻬِﺪُﻭﺍ ﻓَﺄَﻣْﺴِ ﻜُﻮ ُﻫﻦﱠ ﻓِ ﻲ ﺍ ْﻟ ُﺒﻴُ ﻮﺕ‬ ِ‫َﻳ َﺘﻮَﻓﱠ ﺎ ُﻫﻦﱠ ﺍﻟْﻤَ ﻮْﺕُ َﺃﻭْ َﻳﺠْﻌَ ﻞَ ﺍﻟﻠﱠ ﻪُ َﻟﻬُ ﻦﱠ ﺳَ ﺒِﻴﻼً ~ ﻭَﺍﻟﻠﱠ ﺬَﺍﻥ‬ ‫ﻋ ْﻨﻬُﻤَ ﺎ‬ َ ‫ﻋﺮِﺿُ ﻮﺍ‬ ْ ‫ﻳَ ْﺄ ِﺗﻴَﺎ ِﻧﻬَﺎ ِﻣ ْﻨ ُﻜﻢْ ﻓَﺂﺫُﻭﻫُﻤَﺎ ﻓَ ِﺈﻥْ ﺗَﺎﺑَﺎ ﻭَﺃَﺻْ َﻠﺤَﺎ ﻓَ َﺄ‬ { ‫ﺭﺣِﻴﻤًﺎ‬ َ ‫ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻛَﺎﻥَ َﺗﻮﱠﺍﺑًﺎ‬ 166 Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.s. an-Nisâ': 16) Sanksi untuk pelaku zina pada awalnya adalah tahanan rumah hingga meninggal dunia. Namun, sanksi hukum ini kemudian dinasakh dengan sanksi hukum yang lebih berat, sebagaimana yang dinyatakan Allah: ‫} ﺍﻟﺰﱠﺍ ِﻧﻴَﺔُ ﻭَﺍﻟﺰﱠﺍﻧِﻲ ﻓَﺎﺟْﻠِﺪُﻭﺍ ُﻛﻞﱠ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ِﻣ ْﻨﻬُﻤَ ﺎ ﻣِﺎﺋَ ﺔَ ﺟَﻠْ ﺪَﺓٍ ﻭَ َﻻ‬ ِ‫ﺗَ ْﺄﺧُ ْﺬ ُﻛﻢْ ِﺑﻬِﻤَ ﺎ ﺭَﺃْﻓَ ﺔٌ ﻓِ ﻲ ﺩِﻳ ﻦِ ﺍﻟﻠﱠ ﻪِ ِﺇﻥْ ُﻛﻨْ ُﺘﻢْ ُﺗﺆْ ِﻣﻨُ ﻮﻥَ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ﻪ‬ { َ‫ﻣﻨِﻴﻦ‬ ِ ْ‫ﺸﻬَﺪْ ﻋَﺬَﺍ َﺑﻬُﻤَﺎ ﻃَﺎﺋِﻔَﺔٌ ِﻣﻦَ ﺍﻟْ ُﻤﺆ‬ ْ َ‫ﺧﺮِ ﻭَ ْﻟﻴ‬ ِ ‫ﻭَﺍ ْﻟ َﻴ ْﻮﻡِ ﺍﻵ‬ Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (Q.s. an-Nûr: 2) Nasakh dalil satu dengan yang lain bisa dilakukan jika yang menasakh status sumbernya lebih tinggi, bukan sebaliknya. Dari sini, bisa disimpulkan, bahwa nasakh tersebut bisa terjadi melalui prosedur sebagai berikut: 1. Nasakh hukum 'iddah selama satu tahun dalam nas al-Qur'an, misalnya, telah dinasakh dengan hukum 'iddah selama 4 bulan 10 hari. Masing-masing telah dinyatakan dalam nas al-Qur'an: 167 ‫ﺟﻬِ ْﻢ‬ ِ ‫} ﻭَﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ُﻳ َﺘﻮَ ﱠﻓ ْﻮﻥَ ِﻣ ْﻨ ُﻜﻢْ َﻭﻳَ َﺬﺭُﻭﻥَ َﺃ ْﺯﻭَﺍﺟً ﺎ ﻭَﺻِ ﻴﱠﺔً َﻷ ْﺯﻭَﺍ‬ ْ‫ﺟﻨَ ﺎﺡَ ﻋَﻠَ ْﻴ ُﻜﻢ‬ ُ َ‫ﺟﻦَ َﻓﻼ‬ ْ ‫ﺧ َﺮ‬ َ ْ‫ﺧﺮَﺍﺝٍ ﻓَ ِﺈﻥ‬ ْ ‫ﻏ ْﻴﺮَ ِﺇ‬ َ ِ‫ﺤ ْﻮﻝ‬ َ ‫َﻣﺘَﺎﻋًﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺍ ْﻟ‬ { ٌ‫ﺣﻜِﻴﻢ‬ َ ٌ‫ﻋﺰِﻳﺰ‬ َ ُ‫ﺴ ِﻬﻦﱠ ِﻣﻦْ َﻣ ْﻌﺮُﻭﻑٍ ﻭَﺍﻟﻠﱠﻪ‬ ِ ُ‫ﻓِﻲ ﻣَﺎ َﻓﻌَ ْﻠﻦَ ﻓِﻲ َﺃﻧْﻔ‬ Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.s. al-Baqarah: 240) ‫ﺴ ِﻬ ﱠ‬ ‫ﻦ‬ ِ ُ‫ﺼﻦَ ﺑِ َﺄﻧْﻔ‬ ْ ‫} ﻭَﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ُﻳ َﺘﻮَ ﱠﻓ ْﻮﻥَ ِﻣ ْﻨ ُﻜﻢْ َﻭﻳَ َﺬﺭُﻭﻥَ َﺃ ْﺯﻭَﺍﺟًﺎ َﻳ َﺘ َﺮﺑﱠ‬ ْ‫ﺟﻨَ ﺎﺡَ ﻋَﻠَ ْﻴ ُﻜﻢ‬ ُ َ‫َﺃ ْﺭ َﺑﻌَ ﺔَ ﺃَﺷْ ُﻬﺮٍ َﻭﻋَﺸْ ﺮًﺍ ﻓَ ﺈِﺫَﺍ ﺑَ َﻠﻐْ ﻦَ َﺃﺟَﻠَﻬُ ﻦﱠ ﻓَ ﻼ‬ ٌ‫ﺧﺒِﻴ ﺮ‬ َ َ‫ﺴ ِﻬﻦﱠ ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌﺮُﻭﻑِ ﻭَﺍﻟﻠﱠﻪُ ﺑِﻤَﺎ َﺗﻌْﻤَﻠُ ﻮﻥ‬ ِ ُ‫ﻓِﻴﻤَﺎ َﻓﻌَ ْﻠﻦَ ﻓِﻲ َﺃﻧْﻔ‬ { Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (Q.s. al-Baqarah: 234) 2. tidak boleh menasakh al-Qur'an dengan hadits mutawatir, sekalipun hadits mutawatir statusnya qath'î, namun ia tetap tidak bisa menasakh al-Qur'an karena alasan sebagai berikut: Pertama, Allah berfirman: { 168 ُ‫} ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺑَﺪﱠ ْﻟﻨَﺎ ءَﺍﻳَﺔً َﻣﻜَﺎﻥَ ءَﺍﻳَﺔٍ ﻭَﺍﻟﻠﱠﻪُ َﺃﻋْ َﻠﻢُ ﺑِﻤَﺎ ُﻳﻨَ ﱢﺰﻝ‬ Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya. (Q.s. an-Nahl: 101) Dalam ayat tersebut, dengan jelas Allah menyatakan, bahwa jika Allah mengganti ayat satu, sejatinya menggantikan posisi ayat yang lain. Dalam hal ini, Allah juga Maha Tahu terhadap apa yang akan diturunkan-Nya. Ini artinya, proses pergantian itu terjadi antara ayat satu dengan ayat lain. Kedua, Firman Allah: ْ‫ﺨ ْﻴﺮٍ ِﻣ ْﻨﻬَﺎ َﺃﻭْ ِﻣﺜْ ِﻠﻬَﺎ ﺃَ َﻟﻢ‬ َ ‫ﺴﻬَﺎ ﻧَﺄْﺕِ ِﺑ‬ ِ ْ‫} ﻣَﺎ َﻧﻨْﺴَﺦْ ِﻣﻦْ ءَﺍﻳَﺔٍ ﺃَﻭْ ُﻧﻨ‬ { ٌ‫َﺗﻌْ َﻠﻢْ َﺃﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻋَﻠَﻰ ُﻛﻞﱢ ﺷَﻲْءٍ ﻗَﺪِﻳﺮ‬ Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (Q.s. al-Baqarah: 106) yang menyatakan: Na't[i] (Kami datangkan), jelas kata gantinya kepada Allah SWT. Artinya, Allahlah yang mendatangkan nasakh suatu ayat, sementara as-Sunnah adalah apa yang didatangkan oleh Nabi. Sebab, lafadz asSunnah dari Nabi, sementara al-Qur'an dari Allah sekaliputi substansinya masing-masing merupakan wahyu dari Allah. Jika demikian, ayat al-Qur'an hanya bisa dinasakh dengan ayat al-Qur'an yang lain. Ketiga, firman Allah: ْ‫} ﻭََﺃ ْﻧﺰَ ْﻟﻨَ ﺎ ﺇِ َﻟﻴْ ﻚَ ﺍﻟ ﱢﺬ ْﻛﺮَ ِﻟ ُﺘﺒَ ﱢﻴﻦَ ﻟِﻠﻨﱠ ﺎﺱِ ﻣَ ﺎ ﻧُ ﱢﺰﻝَ ﺇِﻟَ ْﻴ ِﻬﻢْ ﻭَ َﻟﻌَﱠﻠﻬُ ﻢ‬ { َ‫َﻳﺘَ َﻔ ﱠﻜﺮُﻭﻥ‬ Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.s. an-Nahl: 44) 169 Kedudukan Rasul dalam ayat tersebut jelas dinyatakan sebagai orang yang bertugas menjelasakan ayat yang diturunkan kepada manusia. Namun, ia tidak menasakhnya, sebab nasakh berarti menghapus, bukan menjelaskan. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka hadits mutawatir jelas tidak bisa menasakh al-Qur'an. Lebih-lebih hadits âhâd. Mengenai alasan kalangan yang membolehkan al-Qur'an dinasakh dengan hadits mutawatir karena perubahan kiblat, dari Baitul Maqdis ke Ka'bah, maka yang terjadi sesungguhnya adalah, bahwa tindakan sahabat yang berpindah kiblat dengan hadits mutawatir itu sebenarnya dalam konteks menerima hukum syara'. Sementara nasakhnya itu sendiri terjadi bukan karena hadits tersebut, melainkan karena nas al-Qur'an, sebagaimana yang disebutkan di atas. 4. Gaya Bahasa al-Qur’an Gaya bahasa al-Qur’an yang dimaksud di sini adalah variasi yang digunakan oleh al-Qur’an dalam mengungkapkan maksud yang dikehendakinya. Dalam hal ini ada beberapa variasi yang digunakan al-Qur’an, seperti uslûb al-jadal (gaya perdebatan), amtsâl (gaya bahasa perumpamaan), al-qasam (gaya sumpah), al-qashash (gaya berkisah), yang semuanya ini terangkum dalam apa yang disebut oleh al-Qur’an sendiri dengan ayat Muhkamât dan Mutasyâbihât. 4.1. Muhkamât Tentang Muhkamât, menurut al-Amidi (w. 631 H), pendapat yang paling sahih ada dua: 1. Muhkam adalah ayat yang maknanya tampak, dan maknanya benar-benar tersingkap dengan jelas sehingga bisa menghilangkan ambiguitas (isykâl), dan melenyapkan spekulasi (ihtimâl). 170 2. Muhkam adalah ayat yang tersusun dan melahirkan bentuk yang mempunyai makna tanpa harus ditakwilkan, atau jika ditakwilkan tanpa menyisakan kotradiksi dan perselisihan.10 Maka, definisi yang paling sahih mengenai muhkam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Waliyu-Llâh ad-Dahlawi, adalah sesuatu yang hanya difahami oleh ahli bahasa dengan makna. Sementara ahli bahasa yang dimaksud di sini adalah orang Arab pertama, bukan ahli bahasa dari kalangan filsuf Arab.11 Misalnya, firman Allah SWT: { ‫ﺣ ﱠﺮﻡَ ﺍﻟ ﱢﺮﺑَﺎ‬ َ ‫ﺣﻞﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﺍ ْﻟ َﺒﻴْﻊَ َﻭ‬ َ ‫} ﻭََﺃ‬ Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.. (Q.s. al-Baqarah: 275) ‫ﻄﻌُﻮﺍ َﺃﻳْ ِﺪ َﻳﻬُﻤَﺎ ﺟَ ﺰَﺍءً ﺑِﻤَ ﺎ ﻛَﺴَ ﺒَﺎ‬ َ ‫} ﻭَﺍﻟﺴﱠ ﺎ ِﺭﻕُ ﻭَﺍﻟﺴﱠ ﺎﺭِﻗَﺔُ ﻓَ ﺎ ْﻗ‬ { ٌ‫ﺣﻜِﻴﻢ‬ َ ٌ‫ﻋﺰِﻳﺰ‬ َ ُ‫َﻧﻜَﺎﻻ ِﻣﻦَ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻭَﺍﻟﻠﱠﻪ‬ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.s. al-Mâidah: 38) 4.2. Mutasyâbihât 10 Al­Amidi, al­Ihkâm fi Ushûl al­Ahkâm, al­Maktab al­Islâmi, Beirut, cet. II, 1402 H, juz I, hal. 165­166. 11 Ad­Dahlawi, al­Fawz al­Kabîr fi Ushûl at­Tafsîr, Dâr al­Basyâ’ir al­ Islâmiyyah, Beirut, cet. II, 1987, hal. 82; lihat juga, an­Nabhâni, as­ Syakhshiyyah al­Islâmiyyah, Mansyûrât Hizb at­Tahrîr, Beirut, cet. I, 1953, juz III, hal. . 171 Mutasyâbih merupakan kebalikan muhkam, yaitu ayat yang berpotensi untuk dispekulasikan, atau mempunyai lebih dari satu makna.12 Menurut al-Amidi, ada dua bentuk spekulasi: 1. Spekulasi yang setara (jihat at-tasâwi), seperti lafadz-lafadz Mujmal yang telah dijelaskan di atas. Misalnya, firman Allah: { ٍ‫ﺴ ِﻬﻦﱠ ﺛَﻼﺛَﺔَ ُﻗﺮُﻭء‬ ِ ُ‫ﺼﻦَ ﺑِ َﺄﻧْﻔ‬ ْ ‫} ﻭَﺍﻟْ ُﻤﻄَﻠﱠﻘَﺎﺕُ َﻳ َﺘ َﺮﺑﱠ‬ Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.. (Q.s. al-Baqarah: 228) { ِ‫ﺇِﻻ َﺃﻥْ َﻳﻌْﻔُﻮﻥَ َﺃﻭْ َﻳﻌْ ُﻔﻮَ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ِﺑﻴَﺪِﻩِ ﻋُﻘْﺪَﺓُ ﺍﻟ ﱢﻨﻜَﺎﺡ‬ } Kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah (Q.s. al-Baqarah: 237) 2. Spekulasi yang tidak setara (lâ ‘alâ jihat at-tasâwî), seperti kata kiasan dan kata yang secara eksplisit bisa diilusikan sebagai bentuk personifikasi terhadap Allah, sehingga perlu ditakwilkan. Misalnya, firman Allah: { ِ‫ﻹ ْﻛﺮَﺍﻡ‬ ِ ‫ﻭَﺍ‬ ِ‫} َﻭ َﻳﺒْﻘَﻰ َﻭﺟْﻪُ َﺭ ﱢﺑﻚَ ﺫُﻭ ﺍ ْﻟﺠَﻼﻝ‬ Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (Q.s. ar-Rahmân: 27) Atau firman Allah: { (2)َ‫ﻤﺘﱠﻘِﻴﻦ‬ ُ ْ‫ﻟِﻠ‬ 12 ‫(ﺫَ ِﻟﻚَ ﺍ ْﻟ ِﻜﺘَﺎﺏُ ﻻ َﺭﻳْﺐَ ﻓِﻴﻪِ ﻫُﺪًﻯ‬1)‫} ﺍﻟﻢ‬ Al­Amidi, Ibid, juz I, hal. 165; ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 193; ad­ Dahlawi, ibid, hal. 82. 172 Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Q.s. al-Baqarah: 1-2) Contoh ayat yang terakhir, disebut muqaththa’ah (potonganpotongan huruf), yaitu alif, lam dan mim, yang dianggap oleh para ulama’ sebagai ayat mutasyâbihât. Meski ada yang berpendapat, bahwa maknanya hanya diketahui oleh Allah. Namun, pendapat ini disangkal oleh al-Amidi, dan pendapat yang terakhir inilah yang paling kuat. Beliau ---dan juga anNabhâni--- menyatakan, bahwa potongan-potongan huruf tersebut mempunyai makna, yang bisa difahami oleh manusia, yaitu nama surat.13 Adapun faktor yang menyebabkan terjadinya mutasyâbih, menurut ad-Dahlawi, bisa dikembalikan kepada: 1. spekulasi kembalinya kata ganti pada dua marja’ (tempat kembali), seperti firman Allah: { ِ‫ﺇِﻻ َﺃﻥْ َﻳﻌْﻔُﻮﻥَ َﺃﻭْ َﻳﻌْ ُﻔﻮَ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ِﺑﻴَﺪِﻩِ ﻋُﻘْﺪَﺓُ ﺍﻟ ﱢﻨﻜَﺎﺡ‬ } Kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah (Q.s. al-Baqarah: 237) Di sini, kata ganti orang ketiga lelaki tunggal (dhamîr mudzakkar ghâ’ib), yaitu h[i] pada frasa: biyadih[i], yang mempunyai kemungkinan kembali kepada suami atau wali pihak perempuan. 2. kesamaan dua makna pada satu kata, seperti dalam kasus quru’ dalam surat al-Baqarah: 228 di atas, yang bisa berarti haid dan suci. 3. spekulasi ‘athaf kepada yang dekat atau jauh, seperti lafadz: arjulakum (kaki kalian) dalam firman Allah: 13 Al­Amidi, Op. Cit., juz I, hal. 167; an­Nabhâni, as­Syakhshiyyah, juz III, hal. . 173 { ِ ‫ﺴﺤُﻮﺍ ِﺑﺮُءُﻭ‬ َ ْ‫} ﻭَﺍﻣ‬ ِ‫ﺳ ُﻜﻢْ ﻭََﺃ ْﺭﺟُ َﻠ ُﻜﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍ ْﻟ َﻜ ْﻌ َﺒ ْﻴﻦ‬ Dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki (Q.s. al-Mâidah: 6) Jika lafadz: arjulakum di-‘athaf-kan kepada ru’ûsikum (kepala kalian), berarti kaki cukup diusap, namun jika di-‘athaf-kan kepada wujûhakum (wajah kalian), berarti kaki tersebut harus dibasuh, dan tidak cukup diusap. 4. spekulasi berhenti dan mulai, seperti dalam kasus mujmal yang telah dijelaskan di atas. 174 Bab VI Cara Menafsirkan Al-Qur’an 1. Realitas Tafsir Tafsîr, secara etimologis, merupakan bentuk mashdar kata: Fassar[a]-Yufassir[u]-Tafsîr[an], yang berarti kasyaf[a] atau membuka. Bisa dikatakan, bahwa lafadz: Fasar[a], merupakan isytiqâq al-akbar (pecahan kata yang kompleks), dari: Safar[a] yang berarti membuka, dan Rafas[a] yang berarti izâlah (membuang), yang sejenis dengan membuka. Dalam konteks inilah, al-Qur’an menyatakan: [‫ﺗَﻔْﺴِﻴﺮًﺍ‬ َ‫ﺴﻦ‬ َ ْ‫ﺤﻖﱢ ﻭََﺃﺣ‬ َ ‫ﺟ ْﺌﻨَﺎﻙَ ﺑِﺎ ْﻟ‬ ِ ‫]ﻭَﻻ ﻳَ ْﺄﺗُﻮ َﻧﻚَ ﺑِ َﻤ َﺜﻞٍ ﺇِﻻ‬ Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (Q.s. al-Furqân: 33). Tafsîr di sini berarti: bayân (penjelasan) dan kasyf[an] (penyingkapan). Secara terminologis, ‘Ali al-Hasan menjelaskan, bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas al-Qur’an dari aspek penunjukannya kepada maksud Allah berdasarkan kemampuan manusia.1 Batasan yang lebih sederhana, sebagaimana disebutkan oleh an-Nabhâni, menyatakan bahwa tafsir merupakan penjelasan sesuatu yang diinginkan oleh lafadz.2 Sementara al-Jurjâni (w. 816 H) menyatakan, bahwa tafsir adalah penjelasan makna ayat, permasalahan, kisah dan sebab diturunkannya ayat dengan lafadz yang menunjukkannya secara transparan.3 1 ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 209. An­Nabhâni, Syakhshiyyah Islamiyyah, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, cet. I, 2003, juz I, hal. 403. 3 Al­Jurjâni, at­Ta’rîfât, Dâr al­Bayân li at­Turâts, Beirut, t.t., hal. 87. 2 177 1.1. Tafsir dan Takwil Dengan demikian, jelas ada perbedaan antara tafsir dan takwil. Jika tafsir merupakan penjelasan yang dimaksud oleh lafadz, maka takwil merupakan penjelasan yang dimaksud oleh makna lafadz.4 Secara syar’i, menurut al-Jurjâni, takwil adalah memalingkan makna zahir kepada makna potensial, jika makna potensial (almuhtamal) tersebut dianggap sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah.5 Untuk memperjelas gambaran mengenai perbedaan di antara keduanya, al-Jurjâni (w. 816 H) membuat contoh dengan firman Allah: [ِ‫ﻤﻴﱢﺖ‬ َ ْ‫ﺍﻟ‬ َ‫ﺨﺮِﺝُ ﺍ ْﻟﺤَﻲﱠ ِﻣﻦ‬ ْ ‫] ُﻳ‬ Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.. (Q.s. al-An’âm: 95). Menurutnya, jika yang dimaksud adalah mengeluarkan burung dari telur, maka penjelasan tersebut berarti tafsir. Namun, jika yang dimaksud adalah mengeluarkan orang mukmin dari kekafiran, atau orang alim dari kebodohan, maka penjelasan seperti ini disebut takwil.6 1.2. Tafsir dan Terjemah Mengenai terjemah, yang dimaksud dengan terjemah di sini adalah pengalibahasaan al-Qur’an ke dalam bahasa non-Arab. Terjemah, dengan konotasi pengalibahasaan al-Qur’an secara harfiah, dengan mengganti kata per kata Arab dengan padanannya dalam bahasa yang digunakan untuk menerjemah, adalah jelas tidak mungkin. Para ulama’ ---baik klasik maupun kontemporer--- juga tidak pernah menyebut terjemah harfiah seperti ini sebagai alQur’an. Juga tidak boleh menyandarkan apapun dari hasil terjemahan harfiah tersebut kepada Allah. Ini juga bisa dianggap sebagai 4 An­Nabhâni, Ibid, juz I, hal. 403. Al­Jurjâni, Ibid, hal. 72. 6 Al­Jurjâni, Ibid, hal. 72. 5 178 kebohongan dan dusta atas nama Allah. Maka, dalam konteks ini, disamping mustahil, juga dilarang. Namun, jika konteks terjemah tersebut merupakan terjemah maknawiah, atau terjemah tafsir, tidak ragu lagi hukumnya boleh, bahkan bisa menjadi wajib jika al-Qur’an tidak mungkin disampaikan kecuali dengan terjemahan ini, berdasarkan kaidah: ٌ‫ﻣﺎَﻻَ َﻳ ِﺘﻢﱡ ﺍ ْﻟﻮَﺍﺟِﺐُ ﺇِﻻﱠ ﺑِﻪِ َﻓ ُﻬﻮَ ﻭَﺍﺟِﺐ‬ Sesuatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib.7 2. Sumber Tafsir al-Qur’an Yang dimaksud dengan sumber tafsir al-Qur’an ini adalah referensi yang dijadikan rujukan oleh para mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an, seperti al-Qur’an, as-Sunnah, pandagan ulama’ salaf dan lain-lain. Ini berbeda dengan pandangan hidup atau tendensi kemazhaban yang dimilikinya. 2.1. al-Qur’an Al-Qur’an merupakan sumber terbaik dan paling sahih untuk menafsirkan al-Qur’an. Karena itu, jika kita hendak mengetahui makna ayat, maka pertama kali hendaknya kita mencari makna yang telah dijelaskan oleh al-Qur’an itu sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa teks al-Qur’an kadang berbentuk Mujmal dalam satu kasus, lalu dijelaskan, baik secara terpisah maupun tidak, dengan nas al-Qur’an. Sebagai contoh, jika kita hendak menafsirkan satu ayat alQur’an, maka kita harus mengumpulkan ayat-ayat yang mempunyai lafadz dan makna yang sama, seperti: [ْ‫ﻬﻢ‬ ِ ‫ﻋَ َﻠ ْﻴ‬ 7 َ‫ﺻﺮَﺍﻁَ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ َﺃ ْﻧﻌَﻤْﺖ‬ ِ (6)َ‫ﺴﺘَﻘِﻴﻢ‬ ْ ُ‫ﺼﺮَﺍﻁَ ﺍﻟْﻤ‬ ‫]ﺍﻫْ ِﺪﻧَﺎ ﺍﻟ ﱢ‬ ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 201­02. 179 Tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat.. (Q.s. al-Fâtihah: 6). yang kemudian ditafsirkan dengan firman Allah: ‫]ﻭَﻣَ ﻦْ ُﻳﻄِ ﻊِ ﺍﻟﻠﱠ ﻪَ ﻭَﺍﻟﺮﱠﺳُ ﻮﻝَ ﻓَﺄُﻭ َﻟﺌِ ﻚَ ﻣَ ﻊَ ﺍﻟﱠ ﺬِﻳﻦَ َﺃ ْﻧﻌَ ﻢَ ﺍﻟﻠﱠ ُﻪ‬ َ‫ﺼ ﺎ ِﻟﺤِﻴﻦ‬ ‫ﻋَﻠَ ْﻴ ِﻬﻢْ ﻣِ ﻦَ ﺍﻟ ﱠﻨ ِﺒﻴﱢ ﻴﻦَ ﻭَﺍﻟﺼﱢ ﺪﱢﻳﻘِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟﺸﱡ ﻬَﺪَﺍءِ ﻭَﺍﻟ ﱠ‬ [‫ﺴﻦَ ﺃُﻭ َﻟ ِﺌﻚَ ﺭَﻓِﻴﻘًﺎ‬ ُ َ‫َﻭﺣ‬ Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddîqîn, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaikbaiknya. (Q.s. an-Nisâ’: 69). Surat al-Fâtihah: 6, telah menjelaskan maksud as-shirâth al-mustaqîm (jalan yang lurus), yang dijelaskan dengan: shirâth al-ladzîna an’amta ‘alayhim (jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat). Hanya siapa orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah itu? Ini masih perlu penjelasan, termasuk bagaimana supaya jalan mereka bisa dirambah? Maka, surat an-Nisâ’: 69 menjelaskan, bahwa mereka adalah: para Nabi, orang yang jujur, syuhada’, dan orang-orang shalih. Mana indikasi yang menunjukkan, bahwa ayat ini merupakan tafsir surat alFâtihah: 6 di atas? Indikasi itu ada pada frasa: al-ladzîna an’amaLlâh[u] ‘alayhim. Siapa mereka, dan bagaimana caranya? Mereka adalah siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dimana ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya juga merupakan jalan lurus itu. Demikian juga jika kita menemukan teks umum, mutlak, mujmal dan lain-lain, maka bisa ditafsirkan dengan merujuk teks-teks khusus, muqayyad dan mubayyan yang berfungsi sebagai takhshîsh, taqyîd dan bayân teks-teks tersebut. Ini seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. 2.2. as-Sunnah 180 Karena tidak semua nas al-Qur’an dijelaskan oleh al-Qur’an, maka keberadaan as-Sunnah menjadi sangat penting sebagai sumber kedua, setelah al-Qur’an, untuk menjelaskan maksud yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Misalnya, lafadz: as-shalât dalam firman Allah SWT: [َ‫ﺍﻟﺼﱠﻼﺓ‬ ‫]ﻭَﺃَﻗِﻴﻤُﻮﺍ‬ Dan dirikanlah shalat. (Q.s. al-Baqarah: 43). Lafadz tersebut merupakan lafadz mujmal, yang membutuhkan penjelasan, sementara penjelasannya tidak dinyatakan dalam alQur’an, melainkan dalam as-Sunnah. Ketika hendak menjelaskannya, Rasul naik di atas bukit kemudian melakukan shalat hingga sempurna, lalu bersabda: ‫ﻭَﺻَﱡﻠﻮْﺍ ﻛَﻤَﺎ ﺭََﺃﻳْﺘُ ُﻤ ْﻮﻧِﻲْ ﺃُﺻَﻠﱢﻲ‬ Dan shalatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku sedang shalat (H.r. al-Bukhâri dari Mâlik). Dari hadits tersebut diperoleh penjelasan yang detail dan sistematis mengenai realitas shalat yang diperintahkan oleh Allah dalam alQur’an tadi. 2.3. Pandangan Sahabat Selain al-Qur’an dan as-Sunnah, pandangan sahabat juga merupakan salah satu rujukan yang penting untuk dirujuk dalam menafsirkan al-Qur’an. Karena merekalah orang yang tahu konteks turunnya ayat, tempat, waktu dan kepada siapa ayat tersebut diturunkan? Dalam hal ini, bisa dicontohkan firman Allah SWT: [‫ﻣ ْﻨﻬَﺎ‬ ِ َ‫ﻇ َﻬﺮ‬ َ ‫]ﻭَﻻ ُﻳﺒْﺪِﻳﻦَ ﺯِﻳ َﻨ َﺘ ُﻬﻦﱠ ﺇِﻻ ﻣَﺎ‬ 181 Dan hendaknya mereka tidak menampakkan kecantikannya, kecuali apa yang boleh nampak darinya. (Q.s. an-Nûr: 31). Frase: mâ dlahara minhâ tersebut dijelaskan oleh Ibn ‘Abbâs: ُ‫ﺟ ُﻬﻬَﺎ َﻭﻛَﻔﱠﺎﻫَﺎ ﻭَﺍ ْﻟﺨَﺎ ِﺗﻢ‬ ْ ‫َﻭ‬ Wajahnya, kedua telapak tangannya dan cincin.8 2.4. Isra’iliyyah Yang dimaksud dengan Isrâ’îliyyah adalah, menurut Muhammad bin Muhammad Abû Syahbah, adalah pengetahuan yang bersumber dari Bani Israel, kitab dan pengetahuan mereka, atau dongeng dan kebohongan mereka.9 Namun, yang lebih tepat, sebagaimana yang dikemukakan oleh ‘Ali al-Hasan, bahwa Isrâ’îliyyah ini lebih spesifik menunjukkan corak keyahudian, sebab waktu itu aspek keyahudian tersebut sangat kental, sehingga banyak terjadi penukilan dari mereka. Karena, waktu itu jumlah mereka juga banyak, dan tradisi mereka juga menonjol, ketimbang orang Kristen. Mereka juga bergaul dengan kaum Muslim.10 Dalam konteks Isrâ’îliyyah ini bisa dibagi menjadi tiga: 1. Isrâ’îliyyah yang sesuai dengan syariat Islam; 2. Isrâ’îliyyah yang bertentangan dengan syariat Islam; 3. Isrâ’îliyyah yang didiamkan oleh syariat Islam. Mengenai contoh penggunaan Isrâ’îliyyah untuk menafsirkan al-Qur’an, bisa dilihat dalam tafsir at-Thabari, ketika menjelaskan firman Allah: [َ‫َﻳﻌْﺪِﻟُﻮﻥ‬ 8 ِ‫ﺤﻖﱢ َﻭﺑِﻪ‬ َ ‫]ﻭَ ِﻣﻦْ َﻗ ْﻮﻡِ ﻣُﻮﺳَﻰ ﺃُﻣﱠﺔٌ َﻳﻬْﺪُﻭﻥَ ﺑِﺎ ْﻟ‬ Lihat, as­Suyûthi, ad­Durr al­Mantsûr, Dâr al­Fikr, Beirut, 1993, juz VI, hal. 180. 9 Abû Syahbah, al­Isrâ’îliyyât wa al­Mawdhû’ât fi Kutub at­Tafsîr, Makbatab as­Sunnah, Kaero, cet. IV, 1408, hal. 13­14. 10 ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 227. 182 Dan di antara kaum Musa itu terdapat suatu umat yang memberi petunjuk (kepada manusia) dengan hak dan dengan yang hak itulah mereka menjalankan keadilan. (Q.s. al-A’râf: 159). dengan menyatakan: Telah sampai kepadaku, bahwa Bani Israel, ketika mereka membunuh Nabi-nabi mereka dan mengingkarinya, jumlah mereka ada 12 kabilah. Satu di antara kalibah itu telah menyatakan berlepas diri dari apa yang mereka perbuat. Mereka keberatan dan memohon kepada Allah –‘Azza wa jalla--- agar menceraiberaikan mereka. Allah kemudian membuka nafkah untuk mereka di bumi, lalu mereka berjalan hingga keluar dari belakang Cina. Mereka di sana sebagai orang yang lurus dan muslim, menghadap kiblat kita.11 2.5. Sumber Kebahasaan Sumber kebahasaan adalah suluk beluk bahasa Arab, seperti pengetahuan mengenai sastera jahiliyah, semisal syair, prosa, kebiasaan orang Arab dan ekspresi percakapan mereka. Inilah informasi kebahasaaraban (al-ma’lûmât al-lughawiyyah) yang bisa menjadi salah satu sumber bagi ahli tafsir digabungkan dengan informasi kesyariataan (al-ma’lûmât as-syar’iyyah) yang dimilikinya, seperti berbagai peristiwa yang terjadi pada zaman Rasul termasuk sebab-sebab turunnya ayat, untuk menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihadnya. Karena itu, sumber ini kadang disebut sumber ijtihad, atau ra’yu. Sekedar sebagai contoh, penafsiran sahabat terhadap ayat: [َ‫ﺍﻟﻄﱡﻮﺭ‬ ُ‫]ﻭَﺇِﺫْ َﺃﺧَ ْﺬﻧَﺎ ﻣِﻴﺜَﺎ َﻗ ُﻜﻢْ َﻭﺭَ َﻓ ْﻌﻨَﺎ َﻓﻮْ َﻗ ُﻜﻢ‬ Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu. (Q.s. al-Baqarah: 63). 11 Abû Syuhbah, Op. Cit., hal. 206. 183 Mujahid menafsirkan kata at-thûr dengan jabal (gunung); Ibn ‘Abbas menafsirkannya gunung itu sendiri, atau nama gunung; yang lain menafsirkan gunung-gunung yang berserakan, dimana yang tidak berserakan bukanlah at-thûr.12 3. Gaya Penafsiran dan Model Tafsir Yang dimaksud dengan gaya penafsiran (uslûb at-tafsîr) adalah cara masing-masing ahli tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan tendensi yang menjadi kecenderungannya. Misalnya, ada yang mempunyai tendensi kebahasaan, sehingga dalam penafsirannya sangat memperhatikan gaya bahasa dan makna yang terkandung di dalamnya, seperti az-Zamakhsyari yang terkenal dengan tafsirnya, al-Kasyyâf. Ada yang mempunyai tendensi teologis, sehingga sangat memperhatikan aspek akidah, seperti Fakhruddîn ar-Râzi, yang terkenal dengan tafsirnya, Mafâtîh al-Ghayb. Ada yang mempunyai tendensi hukum dan fiqih, sehingga aspek hukum dan fiqih sangat menonjol dalam tafsirnya, seperti Abû Bakar ar-Râzi, yang terkenal dengan tafsirnya, Ahkâm al-Qur’ân. Ada yang mempunyai tendensi historis dan kesejarahan, sehingga meneliti kisah-kisah dan menambahkan kisah-kisah dalam al-Qur’an sesuai dengan keinginanannya dari buku-buku sejarah, tanpa melihat sesuai atau tidak, seperti ‘Alâuddîn ‘Alî bin Muhammad al-Baghdadi atau yang dikenal dengan al-Khâzin, yang terkenal dengan tafsirnya, Bâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl. Inilah tendensi dan perhatian yang diberikan oleh ahli tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an yang menjadi gaya penafsiran mereka pada zaman dulu. Hal yang sama juga dilakukan oleh ahli tafsir pada zaman kontemporer. Di antara mereka, juga bahkan ada yang terpengaruh dengan budaya dan peradaban Barat, yang kemudian mempengaruhi tafsir mereka. Sebut saja, Muhammad ‘Abduh, yang terkenal tafsirnya, Juz ‘Amma dan al-Manâr, yang berusaha mengkompromikan pedaban Barat dengan Islam; Thanthâwi alJawhari, yang terkenal dengan tafsirnya, al-Jawâhir fi Tafsîr al-Qur’ân, yang berusaha memasukkan sains dalam kitab tafsirnya. Karena itu, 12 An­Nabhâni, Op. Cit., hal. 420. 184 kitab-kitab seperti ini pada dasarnya jauh dari substansi tafsir, dan tidak layak disebut tafsir bagi kaum Muslim. Inilah secara umum gambaran tentang gaya penafsiran para ahli tafsir. Adapun model tafsir yang berkembang di kalangan ummat Islam, bisa dikembalikan kepada sumber penafsiran yang menjadi rujukan mereka, bisa diklasifikasikan menjadi dua: tafsîr bi al-manqûl aw al-ma’tsûr dan tafsîr bi ar-ra’y[i]. 3.1. Tafsir Bi al-Ma’tsûr Model tafsir bi al-Ma’tsûr ini adalah seluruh kitab tafsir yang disusun dengan menggunakan sumber manqûl atau riwayat, baik alQur’an, as-Sunnah, pandangan sahabat maupun Isrâ’îliyyât. Model tafsir seperti ini, contohnya seperti tafsir al-Qur’an al-‘Adlîm, yang ditulis oleh Ibn Jarîr at-Thabari, tafsir al-Muharrir al-Wajîz, karya Ibn ‘Athiyyah, tafsir al-Qur’ân al-‘Adlîm yang ditulis oleh Ibn Katsîr, tafsir ad-Durr al-Mantsûr, karya as-Suyûthi. 3.2. Tafsir Bi ar-Ra’y[i] Model tafsir bi ar-Ra’y[i] ini adalah seluruh kitab tafsir yang disusun dengan menggunakan sumber kebahasaan atau dirayah. Model tafsir seperti ini, contohnya seperti tafsir al-Kasysyâf, yang ditulis oleh az-Zamakhsyari, tafsir Mafâtîh al-Ghayb, karya Fajkhruddîn ar-Râzi, tafsir al-Bahr al-Muhîth yang ditulis oleh Abû Hayyân. 3.3. Tafsir Bi al-Isyârah Model tafsir bi al-Isyârah ini adalah seluruh kitab tafsir yang disusun dengan tidak menggunakan salah satu dari kedua sumber di atas, baik riwayat maupun dirayah. Karena itu, sesungguhnya tafsir seperti ini tidak bisa dimasukkan sebagai tafsir. Sumber utama tafsir ini adalah kontemplasi, atau apa yang dikenal dengan makna batin alQur’an, yang ditemukan ketika membacanya. Model tafsir seperti ini, contohnya seperti tafsir an-Naysâbûri, yang ditulis oleh anNaysâbûri, tafsir Futûhât al-Makkiyah, karya Ibn ‘Arabi, tafsir alAlûsi yang ditulis oleh Syihâbuddîn al-Alûsi. 185 4. Metode Baku Tafsir al-Qur’an Dengan melihat gaya penafsiran dan model tafsir di atas tampak bahwa ada ragam tafsir dengan gaya dan bentuknya. Namun, harus difahami bahwa semuanya tadi berkaitan dengan uslûb tafsîr, yang dikembangkan oleh masing-masing ahli tafsir. Adapun berkaitan dengan metode yang seharusnya ditempuh oleh ahli tafsir, sehingga mendapatkan tafsir ideal sebagaimana yang berkembang pada zaman Rasul dan para sahabat, bisa dirumuskan sebagai berikut: 4.1. Dari Aspek Kebahasaan Sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya, bahwa alQur’an telah diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas dan terang, sehingga tidak ada satu kata atau lafadz pun dalam al-Qur’an yang merupakan kata atau lafadz non-Arab. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kata atau lafadz Arab itu ada yang digunakan sebagaimana konotasi dasarnya, yang dikenal dengan istilah haqîqah, baik lughawiyyah, ‘urfiyyah maupun syar’iyyah. Ada yang digunakan keluar dari konotasi dasarnya karena adanya indikasi dan hubungan tertentu, yang dikenal dengan istilah majâz dan kinâyah. Ada yang digunakan berdasarkan prinsip derivatif, yang dikenal dengan istilah isytiqâq. Ada juga yang digunakan dengan konotasi yang sama dengan asalnya, namun dimodifikasi sebagai istilah Arab, setelah mengalami pengaraban, yang dikenal dengan istilah ta’rîb. Sebagai contoh, ketika al-Qur’an menyatakan: [‫ﻫﻦﱠ‬ ُ ‫ﺷﺮُﻭ‬ ِ ‫ﺑَﺎ‬ َ‫]ﻓَﺎﻵﻥ‬ Maka sekarang campurilah mereka (Q.s. al-Baqarah: 187). Konotasi frase: Bâsyirûhunna (campurilah mereka) tidak bisa difahami dengan konotasi mubâsyarah secara mutlak, yaitu menyentuh isteri. Sebab, konteks seruan mubâsyarah ini berkaitan dengan larangan melakukannya di waktu puasa, bukan di malam harinya, dimana 186 konteks ini berkaitan dengan jimak, dan bukan hanya sekedar menyentuh. Sebab, menyentuh termasuk mencium, tatkala siang dan malam hari ketika berpuasa tidak dilarang. Maka, konotasi mubâsyarah ini harus difahami sebagai haqîqah syar’iyyah, yang harus ditafsirkan dengan konotasi syar’i, bukan bahasa (lughawiyyah) atau konvensi (‘urfiyyah). Pendek kata, dari aspek kebahasaan ini, al-Qur’an harus ditafsirkan sesuai dengan apa yang dituntut oleh bahasa Arab yang digunakan oleh orang Arab, yang diambil dari keempat sumber --haqîqah, majâz, isytiqâq dan ta’rîb--- di atas. 4.2. Dari Aspek Rasionalitas Aspek rasionalitas di sini adalah sudut pandang yang didasarkan pada batasan akal. Akal itu sendiri tidak bisa berfungsi kecuali jika ada empat komponen: 1. realitas yang terindera 2. otak yang sehat (waras) 3. panca indera dan penginderaan 4. informasi awal Jika keempat komponen akal tersebut terpenuhi, maka fungsi akal dalam konteks idrâk itu pasti akan berjalan. Namun jika tidak, misalnya realitasnya tidak terindera, sehingga panca indera dan penginderaan manusia tidak bisa menjankaunya, maka fungsi akal dalam konteks idrâk tersebut tidak bisa berjalan. Meski demikian, akal tetap berfungsi untuk memahami makna teks atau informasi, sehingga fungsi akal hanya memahami apa yang disampaikan, tidak lebih. Sebagai contoh, ketika Allah berfirman: [ٌ‫َﺃﺣَﺪ‬ ُ‫] ُﻗﻞْ ُﻫﻮَ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬ Katakanlah (Muhammad): Allah itu adalah Maha Esa. (Q.s. alIkhlâs: 1). 187 Lafadz: Ahad adalah lafadz yang secara kebahasaan bisa difahami dengan makna apa adanya, yaitu Maha Esa, yang juga berarti satu. Konotasi kebahasaan ini sudah jelas. Mengenai substansi satu, tidak perlu dijelaskan. Misalnya, apakah satunya Allah itu merupakan angka, yang berkonotasi aksidental, ataukah bukan, sebagaimana yang dikembangkan oleh Plato? Sebab, pembahasan mengenai substansi satunya Allah ini tidak bisa dijangkau oleh akal. Karena itu, penjelasan terhadap lafadz: Ahad tersebut harus tetap kembali kepada batasan akal yang terbatas, sehingga harus tunduk pada konotasi kebahasaan yang ditunjukkan oleh kata atau lafadz Arabnya saja. 4.3. Aspek Muhkam dan Mustâsyabih Jika ada nas yang menjelaskan satu konteks makna, yang satu muhkam dan yang lain mutasyâbih, maka yang muhkam harus menjadi pemutus bagi yang mutasyâbih. Misalnya, firman Allah: ‫]ﻳَﺎَﺃ ﱡﻳﻬَ ﺎ ﺍﻟﱠ ﺬِﻳﻦَ ءَﺍ َﻣﻨُ ﻮﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻗُﻤْ ُﺘﻢْ ﺇِﻟَ ﻰ ﺍﻟﺼﱠ ﻼﺓِ ﻓَﺎﻏْﺴِ ﻠُﻮﺍ‬ ْ‫ُﻭﺟُ ﻮ َﻫ ُﻜﻢْ ﻭََﺃ ْﻳ ِﺪ َﻳ ُﻜﻢْ ﺇِﻟَ ﻰ ﺍﻟْ َﻤﺮَﺍﻓِ ﻖِ ﻭَﺍﻣْﺴَ ﺤُﻮﺍ ِﺑﺮُءُﻭﺳِ ُﻜﻢ‬ [ِ‫ﺭﺟُ َﻠ ُﻜﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍ ْﻟ َﻜ ْﻌ َﺒ ْﻴﻦ‬ ْ ‫ﻭََﺃ‬ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (Q.s. al-Mâidah: 6). Lafadz: Arjulakum (kaki kalian) ada yang membaca dengan bacaan mutawatir, dengan me-nashab-kan lafadz tersebut karena faktor ‘athaf pada lafadz: wujûhakum (wajah kalian), yang menjadi obyek (maf’ûl bih) kata: faqghsilû (basuhlah). Ada juga bacaan mutawatir dengan: Arjulikum yang di-‘athaf-kan pada lafadz: ru’ûsikum (kepala kalian). Karena itu, lafadz Arjulakum ini mutasyâbih, yang mempunyai dua makna: 188 1. kaki mengikuti hukum wajah dan tangan, sehingga hukumnya harus dibasuh. 2. kaki mengikuti hukum kepala, sehingga hukumnya cukup dengan diusap. Maka, jika mengikuti bacaan yang pertama, hukumnya cuma satu, yaitu harus membasuh kaki. Maka, yang pertama disebut muhkam. Namun, jika mengikuti bacaan kedua, bisa dua hukum; Pertama, membasuh kaki, dengan alasan bahwa status arjul tersebut memang majrûr, namun bisa dihukumi manshûb. Kedua, mengusap kaki, dengan alasan statusnya majrûr. Maka, yang kedua disebut mutasyâbih. Dalam konteks seperti ini, yang pertama lebih dikuatkan, ketimbang yang kedua. Inilah yang dimaksud, bahwa muhkam harus menjadi pemutus yang mutasyâbih. 4.4. Aspek Korelasi Ayat Dalam Surat Dengan Integralitasnya Istilah sûrat sebagai istilah dengan konotasi kumpulan ayat adalah istilah yang digunakan oleh Allah dalam al-Qur’an, seperti yang dinyatakan dalam surat an-Nûr: 1 atau al-Baqarah: 23. Jika melihat realitas ayat dan sistematikanya dalam surat bersifat tawqîfi, maka realitas ini membuktikan, bahwa ayat-ayat dalam surat tersebut merupakan satu kesatuan integral. Di sinilah korelasi satu ayat dengan ayat lain dalam satu surat itu menemukan bentuknya. Atau, yang oleh ahli tafsir disebut Munasâbât Ayât wa Ukhrâ (korelasi ayat satu dengan yang lain). Maka, untuk menafsirkan ayat al-Qur’an, harus tetap memperhatikan korelasinya dengan ayat sebelum dan setelahnya. 4.5. Aspek Multiriwayat atau Dalâlah Jika ada banyak riwayat atau dalâlah yang ditunjukkan oleh nas al-Qur’an, maka diperlukan tarjîh. Dalam hal ini, tarjîh atas berbagai riwayat atau dalâlah tersebut menjadi salah satu penentu. Inilah metode baku yang harus dijadikan pedoman dalam menafsirkan al-Qur’an. Wallâh[u] a’lam bi as-shawâb. 189 Ulumul Quran Praktis (Pengantar untuk Memahami al­Quran) Karya Drs. Hafidz Abdurrahman, MA Editor: Yogi Yogaswara Setting/Layout: Ahmad H. Desain Cover: Tito F. Hidayat Diterbitkan oleh: CV IDeA Pustaka Utama Jl. Raya Semplak No. 221 Bogor 16311 Telepon/Faksimil: 0251­511180 email: idea­pustaka@indo.net.id Cetakan 1, Rajab 1424 H/September 2003 M Bibliografi Al-Qur’ân al-Karîm ‘Abdullâh, Muhammad Husayn, 2002. Studi Dasardasar Pemikiran Islam, Pustaka Thariqul Izzah: Bogor. ___________________________, 1995. al-Wâdhih fî Ushûl al-Fiqh, Dâr al-Bayâriq: Beirut. Abdurrahman, Hafidz, 2003. Ushul Fiqih, Membangun Paradigma Berfikir Tasyrî’i, Al-Azhar Press: Bogor. Abû Rusythah, ‘Athâ’, t.t. at-Taysîr fi Ushûl at-Tafsîr, t.p. __________________, 2000. Taysîr al-Wushûl Ilâ alUshûl, Dâr al-Bayâriq: Beirut. Cet. III. Abû Syahbah, Muhammad bin Muhammad, 1408. al-Isrâ’îliyyât wa al-Mawdhû’ât fi Kutub at-Tafsîr, Makbatab asSunnah: Kaero, cet. IV. Abî Dâwûd, al-Mashâhif, Ad-Dahlawi, Syah Waliyullâh, 1987. al-Fawz al-Kabîr fi Ushûl at-Tafsîr, Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyyah: Beirut. Al-Amidi, Sayfuddîn, 1402. al-Ihkâm fi Ushûl alAhkâm, al-Maktab al-Islâmi: Beirut. Al-Asqalâni, Ibn Hajar, 1379. Fath al-Bâri, ed. Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqî – Muhibbudîn al-Khathîb, Dâr al-Ma’rifah: Beirut. Al-Bukhâri, Muhammad bin Ismâ’îl, 1987. Shahîh alBukhâri, ed. Dr. Musthafâ Dîb al-Bighâ, Dâr Ibn Katsîr: Beirut. Cet. III. Al-Hâkim, Muhammad bin ‘Abdillâh, 1990. alMustadrak ‘alâ as-Shahîhayn, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut. Cet. I. Al-Hasan, 'Ali, 1998. al-Manâr, Dâr al-Fikr al-'Arabi: Beirut. Al-Jurjâni, t.t. at-Ta’rîfât, Dâr al-Bayân li at-Turâts: Beirut. Al-Kattâni, t.t. at-Tarâtîb al-Idâriyyah, Syirkah Dâr alArqam bin al-Arqam: Beirut. Al-Mâliki, Muhammad ‘Alwî, 1983. Zubdat al-Itqân, Dâr as-Syurûq: Beirut. Al-Mubârakfûri, t.t. Tuhfat al-Ahwadhi, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut. Al-Qaththân, Mannâ’ Khalîl, t.t. Mabâhîts fi ‘Ulûm alQur’ân, Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts: Beirut. Al-Qurthûbi, Muhammad bin Ahmad, 1372. al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'ân, Dâr as-Sya’b: Beirut. Cet. II. An-Nabhâni, Taqiyuddîn, 1997. as-Syakhshiyyah alIslâmiyyah al-Juz al-Awwâl, Dâr al-Ummah: Beirut. ______________________, 2003. as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Jilid I, Pustaka Thariqul Izzah: Bogor. ______________________, 1953. as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah al-Juz’ at-Tsâlits, Mansyûrât Hizb at-Tahrîr: Beirut. As-Sâyis, 'Ali, 1998. Tafsîr Ayât al-Ahkâm, Dâr alKutub al-‘Ilmiyyah: Beirut. Cet. I. As-Shâbûni, ‘Alî, 1985. at-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, ‘Alam al-Kutub: Beirut. As-Suyûthi, Jalâluddîn. t.t, al-Itqân, Dâr al-Fikr: Beirut. ___________________, t.t., ad-Durr al-Mantsûr, Dâr al-Fikr: Beirut. At-Thabari, Muhammad bin Jarîr, 1405. Jâmi’ alBayân, Dâr al-Fikr: Beirut. At-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Isâ, t.t. Sunan atTirmidzi, Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi; Beirut. Az-Zarkasyi, Muhammad bin Bahâdir, 1391. alBurhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, ed. Muhammad Abû al-Fadhal Ibrâhîm, Dâr al-Ma’rifah: Beirut. Az-Zarqâni, Muhammad ‘Abd al-‘Adhîm, 1996. Manâhil al-‘Irfân, ed. Maktab al-Buhûts wa ad-Dirâsah, Dâr al-Fikr: Beirut. Danffer, Ahmad von, 1991. Ulûm al-Qur'ân An Introduction to the Sciences of the Qur'ân, The Islamic Foundation: United Kingdom. Darrâz, Muhammad 'Abdullâh: t.t., an-Naba' al'Adhîm, Dâr al-Qalam: Kuwait. Muslim, Ibn Hujjaj, t.t. Shahîh Muslim, ed. Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqi, Dâr Ihyâ’ at-Turâts al‘Arabi: Beirut. Ibn an-Nadîm, Abû al-Faraj, 1996. al-Fihrist, Dâr alKutub al-‘Ilmiyyah: Beirut. Ibn Katsîr, Abû Fidâ’, t.t., Tafsîr al-Qur'ân al-'Adhîm, Dâr al-Fikr: Beirut. Ibn Taymiyyah, Taqiyuddîn, 1071. Muqaddimah fî Ushûl at-Tafsîr, ed. 'Adnân Zarzûr, Dâr al-Qur'ân al-Karîm: Kuweit. Ibn ‘Abd al-Barr, Yûsuf bin ‘Abdillâh, 1412. alIstî’âb fî Ma’rifat al-Ashhâb, ed. ‘Ali Muhammad al-Bujâwi, Dâr al-Jîl: Beirut. Cet. I. Ibn Qudâmah, ‘Abdullâh, 1405. al-Mughnî, Dâr alFikr: Beirut. Cet. I. Qal'ah Jie, Rawwâs, 1997. Mawsû’ah Fiq 'Umar ibn alKhaththâb, Dâr an-Nafâ'is: Beirut.