Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Arti Sebuah Hidup Merdeka

Arti Sebuah Hidup Merdeka Andri Jepisa Bako Andrijepisa@gmail.com Membangun pendidikan memerlukan kerjasama dan cinta. Memberikan diri dengan segenap kerendahan hati. Filosofi orang Afrika yang patut untuk kita renungkan “Jika engkau ingin berjalan cepat berjalanlah sendiri, tetapi jika engkau ingin berjalan jauh berjalanlah bersama-sama”. Bukan hendak meromantisasi gotong royong namun pada kenyataannya dengan begitu semua dapat tertolong dengan kontribusi dan daya yang ada. Setiap persoalan menerpa akan mampu terselesaikan asal bersama. Sejalan dengan peribahasa “Berat sama dengan dipikul ringan sama dengan dijinjing”. Kerjasama saja tidak cukup untuk membangun pendidikan. Kita perlu menanamkan cinta pada diri dan orang lain. Mengutip kalimat indah B. J. Habibie “Tanpa cinta, kecerdasan itu berbahaya dan tanpa kecerdasan, cinta itu tidak cukup”. Jika kita mencintai, cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, sakit menjadi sembuh, keruh menjadi bening dan debu menjadi emas. Melakukan sesuatunya dengan kesukaan dan kerelaan serta penuh pengharapan. Pendidikan di sekolah berkaitan erat dengan guru, pembelajaran dan sekolah sebagai lingkungan. Guru sebagai ujung tombak dalam dunia pendidikan. Guru diminta untuk menggunakan cinta dalam mendidik dan mampu bekerja sama dengan anak didik dalam mencapai tujuan pendidikan itu sendiri. Tan Malaka berkata “Tujuan pendidikan ialah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan”. Gurulah yang merasakan betul realita dalam mendidik. Merasakan betul emosional anak didik di dalam pembelajaran. Menemukan berbagai karakter dan memikirkan berbagai cara pula dalam mengahadapinya. Ada pendapat mengatakan “Kualitas sekolah tidak bisa melebihi kualitas gurunya”. Kualitas guru adalah faktor paling dominan yang memengaruhi kualitas pendidikan dibandingkan faktor lainnya. Gurulah kurikulum sesungguhnya. Penelitian menunjukkan bahwa prestasi anak didik yang diajar oleh guru bermutu akan terus meningkat sedangkan bersama guru yang tidak bermutu menghalangi semua kemampuan anak didik untuk mencapai potensinya, termasuk yang punya faktor genetik unggul sekalipun. Maka dari itu marilah kita meneladani Ki Hadjar Dewantara. Beliau bukan hanya sekedar menjadi pendidik tetapi juga aktivis. Pendidikan bukan hanya pengajaran sejatinya sebentuk pergerakan. Bergerak dari gelap menjadi terang, dari ketidaktahuan menjadi kesadaran. Pembelajaran yang akan dilaksanakan di dalam ruangan maupun di luar ruangan haruslah menyenangkan, menggairahkan dan mencerahkan. Sekolah sebagai lingkungan belajar dituntut bukan lagi menjadi tempat penyeragaman, namun tempat menumbuh kembangkan keragaman potensi, kegemaran, cita-cita dan keyakinan anak didik. Dalam praktik pembelajaran bukan hanya sekedar mentransfer pengetahuan. Namun ada hal yang lebih penting ialah mengajarkan anak didik nilai-nilai luhur kehidupan. Salah satunya meyakinkan anak didik bahwa kejujuran harus ada dalam diri. Mengajarkan anak didik mengenai kemerdekaan akal budi untuk membebaskan mereka dari segala macam belenggu dan kefakiran integritas termasuk korupsi. Kejujuran akan memperlihatkan apakah seseorang tersebut berintegritas apa tidak. Muhammad Hatta berkata “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki”. Mengemas pembelajaran sedemikian rupa dengan menyisipkan tentang kejujuran. Hal yang tidak asing pada diri anak didik ialah diberinya uang saku atau uang jajan. Memberikan penjelasan bahwa uang bukan segalanya karena uang hanyalah sebagai alat tukar saja. Sewaktu-waktu adapun kebutuhan anak didik untuk membeli buku atau kewajiban membayar uang sekolah. Disini guru memainkan peran untuk mengingatkan kepada anak didik untuk jujur pada diri sendiri menggunakan uang tersebut sesuai keperluannya. Guru juga memberikan nasihat kepada anak didik untuk menjauhkan diri dari perbuatan curang, seperti menyontek, mencuri entah itu pensil, penghapus dan lainnya. Karena perbuatan curang bukan tidak mungkin akan bermuara pada perbuatan korupsi. Seiiring berjalannya waktu akan muncul dan membekas dalam benak anak didik mengenai pentingnya kejujuran. Di sisi lainnya anak didik akan mengerti bahwa korupsi akan merugikan diri sendiri dan banyak orang. Ajaklah anak didik untuk selalu jujur dalam kondisi apapun. Karena nilainya lebih mahal daripada batu permata sekalipun. Salah satu dari sekian banyak kisah inspiratif yang perlu disampaikan kepada anak didik tentang Sjafruddin Prawiranegara. Sjafruddin Prawiranegara lahir di Serang dengan nama kecil Kuding. Sjafruddin Prawiranegara seorang pemimpin yang dikenal sederhana dan hidup miskin. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, isterinya sampai-sampai berjualan sukun goreng. Ketika seorang puteranya lahir, ia sama sekali tidak memiliki uang meski pada waktu yang sama ia tengah menjabat sebagai wakil perdana menteri, menteri kemakmuran dan menteri keuangan pada masa Presiden Soekarno. “Ayahmu sama sekali tak tergoda memakai uang negara, meski hanya untuk membeli sepotong kain gurita,” tutur isterinya, Halimah. Tertulis dalam sebuah buku. Guru perlu terbuka dan mau saling bertukar cerita dengan anak didik. Baik itu mengenai pembelajaran di sekolah ataupun di luar sekolah. Mengajak anak didik melakukan perubahan sosial baik bagi diri sendiri maupun bagi lingkungan masyarakat. Memberikan stimulus bahwa mereka seperti lilin-lilin kecil, walaupun kecil cahayanya akan sanggup menerangi setiap hati orang-orang disekelilingnya. Mereka akan mampu menerangi satu sama lain bahkan orang yang tidak mereka kenal untuk selalu bersikap jujur dan menjauhi segala bentuk korupsi. Teruslah semangat wahai guru tetap berjuang mengajarkan nilai kejujuran. Memegang teguh prinsip tersebut dalam kondisi apapun, walaupun banyak penolakan. Sesungguhnya kita akan menang bersama hati yang tenang.