Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
88929
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Indonesia:
Menghindari Perangkap
THE WORLD BANK OFFICE JAKARTA
Indonesia Stock Exchange Building, Tower II/12-13th Fl.
Jl. Jenderal Sudirman Kav. 52-53
Jakarta 12910
Tel: (6221) 5299-3000
Fax: (6221) 5299-3111
Dicetak Juni 2014
Tinjauan Kebijakan Pembangunan Indonesia 2014 merupakan produk staf Bank Dunia. Temuan, interpretasi dan kesimpulan dalam laporan ini tidak
mencerminkan pandangan dari Dewan Direksi Eksekutif Bank Dunia atau pemerintah yang mereka wakili. .
Bank Dunia tidak menjamin akurasi data di dalam laporan ini. Batas-batas, warna, denominasi dan informasi lainnya yang terlihat pada peta dalam laporan
ini tidak mencerminkan penilaian dari pihak Bank Dunia terhadap status hukum suatu wilayah atau pengesahan dari penerimaan atas batasan tersebut.
Foto sampul dan bab merupakan: Hak milik @ World Bank. Foto pada Bab 1 dan 4 diambil oleh Jufferdy; Bab 2 oleh Tim Pendidikan; Bab
3 oleh Aldian; Bab 5,7 dan 8 oleh Josh Estey; Bab 6 oleh Takiko ; dan Bab 9 oleh Tim Disater Risk Management. Semua hak milik dilindungi.
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Indonesia:
Menghindari Perangkap
Poverty Reduction and Economic Management Department
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Daftar Isi
Indonesia: Menghindari Perangkap
Daftar Isi
Kata Pengantar
Ucapan Terima Kasih
Ringkasan Eksekutif
v
vi
1
Berbagai peluang dan tantangan telah menanti Indonesia dalam dekade
yang akan datang
Strategi apa yang dibutuhkan untuk menciptakan pertumbuhan yang kuat dan
inklusif di Indonesia?
Prioritas kebijakan apakah yang dapat mendukung pertumbuhan yang
berdasarkan produktivitas?
Prioritas kebijakan apakah yang dapat menjamin lebih meratanya kesejahteraan?
Tantangan dalam Implementasi: Apa yang Dapat Dilakukan?
Bab I. Transformasi Ekonomi Indonesia Pasca-1997/98
2
5
8
16
21
32
1. Perubahan Arah Penentuan Kebijakan Makro Pasca-1997/98
Warisan krisis tahun 1997/98
Menangani imbas krisis
Kebijakan baik di masa sulit: tanggapan kebijakan terhadap krisis keuangan global
2. Dampak Transformasi Lnjakan Komoditas
Dampak pada nilai tukar perdagangan dan kekayaan korporat di Indonesia
Kontribusi bagi pemulihan investasi Indonesia
Kontribusi bagi pertumbuhan PDB nominal dan pendapatan rumah tangga Indonesia
Tanggapan sisi penawaran dan transformasi struktural
33
34
35
35
36
37
39
39
41
3. Ketergantungan Berlebih terhadap Ekspor Komoditas Mendorong Kerentanan
Perubahan dalam komposisi dan tujuan ekspor
Peningkatan kerentanan terhadap perubahan pada pasar komoditas
4. Lonjakan Komoditas juga Mempertajam Isu-isu Lingkungan
46
46
47
47
Bab II. Dampak Sosial Transformasi Ekonomi
1. Kemiskinan
Tren dalam kemiskinan-pendapatan
Pentingnya peran penciptaan pekerjaan yang didorong oleh pertumbuhan bagi
pengentasan kemiskinan
2. Kerentanan
Kerentanan untuk terjatuh kembali ke dalam kemiskinan masih tetap tinggi
Rumah tangga rentan menghadapi risiko tingginya harga pangan
Rumah tangga rentan berisiko tinggi terhadap guncangan kesehatan
Terdapat perbedaan gender dalam kerentanan
Pasar tenaga kerja adalah sumber utama kerentanan
3. Ketimpangan pendapatan dan kesempatan
Ketimpangan pendapatan telah meningkat selama dekade lalu
Ketimpangan kesempatan memburuk
ii
50
51
51
51
53
53
54
55
56
57
60
60
62
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Daftar Isi
Indonesia: Menghindari Perangkap
Peran lonjakan komoditas dalam peningkatan ketimpangan pendapatan
! "
4. Akses ke Layanan Dasar
Pendidikan
Kesehatan
Air dan Sanitasi
Listrik
Bab III. Jalan Menuju Kesejahteraan Bersama
1. Berbagai Kesempatan dan Risiko Utama
Kesempatan utama
Risiko perlambatan pertumbuhan
Risiko pertumbuhan yang tidak cukup inklusif
2. Strategi Pertumbuhan
3. Prioritas Bidang Reformasi
4. Menjawab Tantangan Implementasi Lintas Sektor
Pusat Pemerintahan yang lebih kuat
Perampingan prosedur dan struktur birokrasi
Pengelolaan strategis sumber daya manusia
Mewujudkan hasil melalui belanja publik
Mengkaji ulang fokus pemerintah daerah agar bertanggung jawab atas peningkatan penyediaan
layanan
Bab IV. Menutup Kesenjangan Besar di Bidang Infrastruktur
63
64
65
65
67
69
70
74
74
74
76
77
80
82
85
86
86
87
88
88
91
1. Investasi Infrastruktur yang Rendah dan Pengaruhnya terhadap Ekonomi
Rasio total investasi Indonesia telah pulih dalam beberapa tahun terakhir
Namun investasi infrastruktur (sebagai bagian dari PDB) jauh tertinggal…
…yang menimbulkan biaya lebih tinggi bagi pertumbuhan ekonomi…
…dan rendahnya investasi terjadi hampir di semua sub-sektor infrastruktur utama
93
93
94
96
97
2. Tidak hanya masalah dana
Rumitnya masalah pembebasan tanah
Masalah koordinasi
Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)
102
102
103
104
3. Pilihan-pillihan kebijakan
Menggerakkan pendanaan bagi pembangunan infrastruktur
Koordinasi/keterlibatan dengan ASEAN
104
104
106
Bab V. Menutup Kesenjangan Keterampilan pada Angkatan Kerja
1. Rapor Indonesia sejauh ini
Angkatan kerja lebih terdidik
…namun banyak lulusan masuk ke pasar tenaga kerja tanpa keterampilan yang tepat
Kelangkaan keterampilan terkait pada kualitas dan relevansi pendidikan
iii
107
108
108
110
115
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Daftar Isi
Indonesia: Menghindari Perangkap
2. Pilihan kebijakan
Fokus pada kualitas dan keterampilan, tidak hanya pada perluasan
Meningkatkan relevansi pengisi pasar tenaga kerja: pendidikan kejuruan dan tinggi
Meningkatkan keterampilan angkatan kerja yang ada
118
118
119
120
Bab VI. Peningkatan Fungsi Pasar
123
1. Meningkatkan fungsi pasar produk
Masalah utama terkait pasar produk/iklim investasi
Pilihan kebijakan
2. Menurunkan kekakuan dan ketidakpastian pasar tenaga kerja
Masalah utama pasar tenaga kerja
Pilihan kebijakan
3. Memperdalam pasar keuangan
Masalah utama pasar keuangan
Pilihan kebijakan
4. Pasar lahan
124
124
127
128
128
131
132
132
133
134
Bab VII. Meningkatkan Akses ke Layanan Berkualitas untuk Semua
138
1. Konteks kemiskinan dan kelembagaan
Tren-tren dalam kemiskinan perdesaan dan perkotaan
Perubahan dalam konteks kelembagaan: desentralisasi
2. Akses ke layanan berkualitas tinggi di daerah perkotaan
3. Akses ke perbaikan layanan utama di daerah perdesaan
4. Pilihan kebijakan untuk meningkatkan akses layanan bagi seluruh masyarakat
Peningkatan sumber daya bagi layanan gugus depan & penurunan bagi pegawai & administrasi
Memberikan pilihan pendanaan alternatif bagi pemerintah daerah
Meningkatkan kualitas belanja
#! $! ! !
Memperkuat program yang diprakarsai oleh masyarakat serta akuntabilitas sisi permintaan
Bab VIII. Memperkuat Perlindungan Sosial
154
1. Membangun Kerangka Jaminan Sosial yang Efektif dan Berkelanjutan
2. Memperkuat jaring pengaman Indonesia yang baru bagi kaum miskin
Jaring pengaman memiliki dampak langsung dalam mengurangi kemiskinan ekstrim
Dibutuhkan reformasi lebih lanjut untuk memperkuat jaring pengaman
3. Pelihara Pengawasan Nasional untuk Menjamin bahwa Bantuan Sosial Terkoordinasi
dan Terintegrasi dengan Baik
Bab IX. Mengelola risiko-risiko bencana, membangun ketahanan
2. Urbanisasi dan kerentanan terhadap Ancaman Baru
3. Pilihan kebijakan
Daftar Pustaka
139
139
140
141
142
145
145
147
147
%'*
149
154
158
158
159
161
164
168
170
171
iv
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Kata Pengantar
Indonesia: Menghindari Perangkap
Kata Pengantar
Bank Dunia melakukan, secara berkala dan di berbagai negara berkembang, kajian berdasarkan
bukti tentang tantangan pembangunan dan berbagai pilihan solusi kebijakan untuk mengatasi isuisu tersebut. Salah satu analisis ini bertajuk Kajian tentang Kebijakan Pembangunan.
Bank Dunia telah menyelesaikan sebuah Kajian tentang Kebijakan Pembangunan untuk
+ <==>? !
mengatur fungsi negara sebagai suatu hal penting dalam merealisasikan potensi pembangunan
negara. Laporan itu memberikan landasan analisis bagi Strategi Kemitraan Negara yang
diterapkan oleh Bank Dunia untuk periode 2009-2014 dan membantu membentuk dukungan
Bank Dunia terhadap RPJMN Pemerintah 2010-2014.
Sementara agenda reformasi kelembagaan masih belum tertuntaskan, laporan ini menyatakan
bahwa Indonesia berpotensi untuk bangkit serta menjadi lebih sejahtera dan adil-merata dalam
dua dekade berikutnya. Tesis utamanya adalah bahwa dengan pelaksanaan beberapa reformasi
! $+
pendapatan dan bergabung dengan peringkat ekonomi berpenghasilan tinggi dalam jangka dua
dekade, secara inklusif. Pada saat yang sama, tanpa adanya reformasi penting, Indonesia akan
mengambang di tengah, seperti yang terjadi pada Brasil, Meksiko, Afrika Selatan, dan negaranegara berpenghasilan menengah lainnya dari awal 1980-an sampai pertengahan 2000-an.
Arah ekonomi Indonesia akan tergantung, hingga batas kritis tertentu, di tangan pemerintah
Indonesia. Kesulitan utama terletak pada pelaksanaan reformasi dalam kerangka kelembagaan
dan desentralisasi yang rumit. Namun, Indonesia, tidak bisa tidak, harus berusaha keras. Beban
yang akan ditanggung bila berpuas diri - dan imbalan bila tindakan benar diambil - terlalu tinggi.
Laporan itu dipaparkan berdasarkan konsultasi/diskusi dengan para pemangku kepentingan di
Indonesia, termasuk pejabat pemerintah, pemimpin sektor swasta, organisasi non-pemerintah,
akademisi, dan serikat buruh. Diharapkan bahwa para pemangku kepentingan, serta pembaca
yang lain, akan mendapatkan manfaat dari laporan ini.
Rodrigo A. Chaves
Country Director, Indonesia
Sudhir Shetty
PREM Sector Director
v
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ucapan Terima Kasih
Indonesia: Menghindari Perangkap
Ucapan Terima Kasih
Laporan ini disusun oleh tim yang para anggotanya berasal dari bagian-bagian yang berbeda pada
Kantor Bank Dunia Jakarta. Tim itu dipimpin oleh Ndiame Diop (Pemimpin Tim) dan terdiri
dari Fitria Fitrani, Yue Man Lee, Arvind Nair, Matthew Grant Wai-Poi, Alex Sienaert, Ashley
Taylor dan Maria Monica Wihardja (PREM), Carlos Pinerua dan Connor P. Spreng (FPD), Iwan
Gunawan, Taimur Samad, dan Renata Simatupang (SD), Samer Al-Samarrai, Pedro CerdanInfantes, Darren W. Dorkin dan Mitchell Wiener (HD) dan Dini Sari Djalal (EXT). Masukanmasukan dan komentar-komentar bermanfaat disumbangkan oleh: Vivi Alatas, Cut Dian
Agustina, Mark Eugene Ahern, Hans Antlov, Brendan M. Coates, Fook Chuan Eng, Ahya Ihsan,
Amri Ilmma, Blane D. Lewis, Mattia Makovec, Bernard Myers, Dhanie Nugroho, Gregorius D.V.
Pattinasarany, Anh Nguyet Pham, Sjamsu Rahardja, Cristobal Ridao-Cano, Henry Sandee, Della
Y.A. Temenggung, Violeta Vilovic, dan Robert Wrobel. Tim mengucapkan terima kasih kepada
Arsianti dan Peter Milner atas bantuannya dalam menyunting dan merancang tampilan laporan
ini. Pekerjaan ini dilakukan di bawah bimbingan Jim Brumby, Rodrigo Chaves, dan Sudhir Shetty.
Tim berterima kasih atas tinjauan sejawat dari Indermit S. Gill, Vikram Nehru, dan Raden
Pardede, yang memberikan komentar dan saran yang membantu. Tim juga berterima kasih atas
komentar dan dukungan dari Josephine M. Bassinette, Shubham Chaudhuri, Bert Hofman,
Stefan G. Koeberle, dan William Wallace.
Laporan ini diperkaya oleh rangkaian diskusi dengan sejumlah besar ekonom dan narasumber
utama di Indonesia. Para penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak M. Chatib
Basri (Menteri Keuangan), Bapak Mahendra Siregar (Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal), Ibu Armida S. Alisjahbana (Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Bappenas), Bapak Lukita Dinarsyah Tuwo (Wakil Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional), Bapak Mohamad Ikhsan (Profesor, Universitas Indonesia) dan Bapak
Thee Kian Wie (alm) (Peneliti Senior, LIPI) atas saran-saran penelitian yang berguna pada tahap
konsep penelitian. Tim juga menerima saran-saran berharga terkait temuan-temuan awal dari
Bapak Wijayanto Samirin (Paramadina), perwakilan sektor swasta (Apindo dan Kadin), serta
berbagai anggota masyarakat sipil dan komunitas pakar Indonesia.
vi
Ringkasan Eksekutif
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
Ringkasan Eksekutif
Dalam dua dekade ke depan Indonesia bersiap untuk meningkatkan kesejahteraan, menghindari
diri dari perangkap zona negara berpenghasilan menengah, dan bertekad untuk tak meninggalkan
siapapun dalam upayanya mengejar negara-negara berpenghasilan tinggi. Semua ini adalah citacita yang ambisius. Untuk mencapainya, dibutuhkan pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja
yang tinggi dan berkelanjutan, serta peningkatan pemerataan. Pertanyaannya, dapatkah Indonesia
" O+ !
meraih kesejahteraan dan pemerataan. Namun demikian, risiko “mengambang di tengah”
memang nyata. Pilihan jalur yang akan diambil dalam pembangunan perekonomian bergantung
kepada: (i) pemilihan strategi pertumbuhan yang dapat menyalurkan potensi produktivitas
ekonomi; dan (ii) penerapan kebijakan yang konsisten sebagai buah reformasi struktural di
beberapa sektor prioritas guna mendorong pertumbuhan dan mendistribusikan kesejahteraan
secara lebih luas. Indonesia sebenarnya cukup beruntung karena memiliki pilihan dalam
! ?
Kesulitannya terletak dalam pelaksanaan reformasi, khususnya dalam memasuki kerangka kerja
institusi yang rumit dan terdesentralisasi. Namun Indonesia harus berupaya sekeras-kerasnya.
Harga yang harus dibayar bila berpuas diri terlalu dini – dan imbalan bila tindakan benar diambil
– terlalu tinggi untuk diabaikan.
Berbagai peluang dan tantangan telah menanti Indonesia dalam dekade yang
akan datang
Dalam dekade mendatang, ada empat hal utama, dalam dan luar negeri, yang dapat
dijadikan tumpuan harapan bagi perkembangan perekonomian Indonesia. Keempat hal
ini ditengarai dapat—dengan dukungan rangkaian kebijakan yang baik, menjadi faktor pendorong
pertumbuhan yang kuat, atau bisa disebut sebagai “faktor penarik”— membentuk masa depan
?QZ ! $ $
komoditas, dan perkembangan di Tiongkok.
Indonesia beruntung memiliki tenaga kerja yang melimpah. Antara
tahun 2013 dan 2020, penduduk dengan usia kerja akan meningkat sebesar 14,8 juta jiwa,
mencapai 189 juta dari 174 juta saat ini. Saat ini, 50 persen penduduk berusia kurang dari 30
tahun. Tenaga muda yang semakin berpendidikan dan memahami teknologi informasi ini
merupakan aset yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan. Dengan penerapan kebijakan-kebijakan pemanfaatan tenaga
$+ !
sebelum populasi yang ada mulai memasuki usia tua pada tahun 2025-30.
Urbanisasi. Laju pertumbuhan urbanisasi yang mencapai 4 persen per tahun menjadikan
Indonesia salah satu negara yang mengalami urbanisasi tercepat di dunia. Pada tahun 2025,
68 persen dari seluruh penduduk Indonesia diperkirakan akan hidup di daerah perkotaan,
dibandingkan dengan 52 persen pada tahun 2012. Dengan meningkatnya pendapatan
dan daerah-daerah metropolitan besar seperti Jakarta dan Surabaya yang semakin jenuh,
2
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
maka permintaan akan barang-barang konsumsi, tempat perbelanjaan, dan perumahan
Z ! !?[ Z
itu dengan para penghuninya ke daerah-daerah perdesaan, daerah-daerah metropolitan,
dan ekonomi global menjadi sangat penting dalam menarik perusahaan-perusahaan dan
mencapai kesejahteraan bersama. Bukti empiris menunjukkan bahwa urbanisasi mendukung
pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan di Indonesia hanya bila disertai dengan kehadiran
infrastruktur yang memadai (Lewis, 2014).
Harga komoditas global. Perlemahan harga-harga komoditas global sejak tahun
2011 membawa tantangan-tantangan jangka pendek bagi Indonesia, seperti terlihat dari
dampaknya terhadap neraca perdagangan Indonesia, namun demikian perlemahan ini
menawarkan kesempatan untuk meningkatkan kualitas dan keragaman investasi di Indonesia.
Selama dekade terakhir ini, tingginya harga-harga komoditas mendorong insentif investasi
yang lebih besar bagi sektor sumber daya alam dan sektor yang tidak dapat diperdagangkan
(non-tradable) (misalnya sektor perumahan) dibanding investasi di sektor manufaktur dan
sektor-sektor yang dapat diperdagangkan. Sejak tahun 2005, komoditas telah menyusul
manufaktur dan menjadi ekspor terbesar Indonesia (65 persen dari seluruh ekspor). Ke
$! Z !!
dan daya tarik dari manufaktur dan dapat membantu Indonesia mengembangkan basis
industrinya. Penurunan harga komoditas selama dua tahun terakhir membawa dampak
depresiasi pada kurs tukar efektif riil, yang mendorong investasi manufaktur, ekspor, dan
daya saing. Dengan melakukan reformasi yang mampu mengurangi kendala yang dihadapi
oleh perusahaan-perusahaan manufaktur (lihat di bawah), maka melemahnya harga-harga
komoditas dapat berbuah menjadi sebuah keberkahan yang terselubung.
Perkembangan di Tiongkok. Meningkatnya situasi pengupahan yang begitu cepat terjadi
di Tiongkok juga memberikan kesempatan kedua bagi Indonesia untuk kembali meraih
keunggulan komparatif pada sektor-sektor ekspor padat karya. Upah nominal di Tiongkok
saat ini telah meningkat hampir sebesar 15 persen secara rata-rata sejak tahun 2001, diiringi
dengan perlambatan pertumbuhan produktivitas pada sektor-sektor berketerampilan rendah
pada beberapa tahun terakhir, telah mengakibatkan peningkatan biaya tenaga kerja hampir
sebesar 70 persen di Tiongkok sejak tahun 2005, (Economist Intelligence Unit, 2012).
Sementara itu, apresiasi Yuan yang terus berlangsung, dengan peningkatan kurs tukar riil
efektif sebesar 30 persen sejak tahun 2005, telah mengikis daya saing Tiongkok dalam
memproduksi barang-barang manufaktur. Tekanan-tekanan ini, disertai dengan perlambatan
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dikenal sebagai penyeimbangan pertumbuhan
ekonomi (re-balancing) di Tiongkok, tampaknya akan mampu mendorong para investor
untuk memperluas pertimbangannya dalam berinvestasi lebih jauh hingga melintasi daerahdaerah pesisir Tiongkok. Pada saat yang sama, dinamika tersebut memberikan peluang
bagi negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, untuk menarik lebih banyak investasi ke
industri-industri manufaktur mereka.
Namun, sementara faktor-faktor yang berpotensi menguntungkan tersebut tak akan
membuahkan hasil tanpa disertai dengan reformasi, Indonesia tetap menghadapi dua risiko:
risiko perlambatan pada pertumbuhan jangka panjang dan risiko pertumbuhan yang tidak cukup
inklusif.
3
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
Risiko perlambatan pertumbuhan. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa
perlambatan pertumbuhan dapat terjadi pada tingkat pendapatan berapa pun (Bulman
dkk., 2012). Bukti-bukti terakhir menunjukkan bahwa kejadian ini lebih banyak dialami oleh
negara-negara berpenghasilan menengah (IMF, 2013). Sebagai contoh, Brasil tumbuh secara
pesat pada tahun 1960an dan 1970an. Lalu sejak tahun 1981, ketika PDB per kapitanya
mencapai 3.939 dolar AS (sedikit di atas PDB per kapita Indonesia saat ini), Brasil mulai
mencatat perlambatan pertumbuhan relatif yang berkepanjangan, hingga tahun 2004.1
Pengalaman serupa juga terjadi di Meksiko, yang mencatat perlambatan pertumbuhan
berkepanjangan selama lebih dari 20 tahun setelah tahun 1981 ketika PDB per kapitanya
berjumlah 6.965 dolar AS. Afrika Selatan pun mencatat tren serupa. Contoh-contoh itu
menunjukkan bahwa Indonesia tidak dapat berpangku tangan dan hanya berdiam menikmati
kinerja pertumbuhannya yang kuat. Apalagi bila mengingat bahwa sebagian pertumbuhan ini
sebenarnya didorong oleh faktor eksternal yang sangat mendukung: ledakan komoditas pada
periode tahun 2003-11 yang terjadi bersamaan dengan rendahnya suku bunga global sejak
tahun 2009 yang mendukung pendapatan bagi dunia usaha, pendapatan yang diterima rumah
tangga dan penerimaan pemerintah, yang selanjutnya mendorong peningkatan permintaan
dalam negeri yang cukup tajam.2 Namun, harga-harga komoditas mencatat perlemahan yang
<=%%?\ ! ]$ !^
Sentral AS, quantitative easing—yang mendorong rendahnya suku bunga dunia—tengah
dikurangi secara bertahap, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan beban pendanaan di
dalam negeri. Tanpa adanya reformasi-reformasi struktural, risiko perlambatan pertumbuhan
bagi Indonesia sangatlah nyata.
Gambar ES1: Brasil, Meksiko, dan Afrika Selatan mencatat perlambatan yang relatif panjang
Sumber: Bank Dunia, Indikator Pembangunan Dunia (World Development Indicator).
Risiko pertumbuhan yang tidak cukup inklusif. Meskipun Indonesia mampu
menghindari perlambatan pertumbuhan yang berkepanjangan, pertumbuhan mungkin
tidak inklusif, yaitu manfaat dan kesempatan yang tersedia tidak terdistribusi secara merata
pada seluruh penduduk. Dari tahun 1999 hingga 2012, tingkat kemiskinan telah berkurang
separuhnya: dari 24 persen menjadi 12 persen. Namun pada tahun 2012, sekitar 65 juta
1 Brasil adalah negara yang kaya akan komoditas seperti Indonesia, yang memetik banyak keuntungan dari ledakan komoditas pada
tahun 2004-11. Faktor eksternal yang menguntungkan ini menjelaskan sebagian pemulihan pertumbuhan yang kuat di Brasil pada
periode tersebut.
< $ ! ! !Z _ O$$$$ !!?`$ !Z
! ! _ $ $ `$
dan investasi untuk aset-aset tersebut dan menghasilkan efek multiplier di dalam ekonomi.
4
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
jiwa masih hidup di antara garis kemiskinan nasional dan tingkat 50 persen di atas garis itu.
Bersama-sama dengan penduduk miskin, kelompok tersebut masih sangat rentan terhadap
peningkatan harga bahan pangan, permasalahan kesehatan yang tak terduga, dan bencana
alam. Kerentanan ini terus bercokol antara lain karena rumah tangga yang paling miskin
hanya mencatat peningkatan pendapatan riil yang jauh lebih sedikit dibanding dengan
peningkatan pendapatan riil yang terjadi pada rumah tangga yang lebih beruntung. Selama
periode tahun 2003-10, pertumbuhan riil konsumsi per kapita bagi 40 persen kelompok
rumah tangga paling miskin hanya 1,3 persen per tahun, dibanding 3,5 persen bagi 40 persen
kelompok rumah tangga berikutnya, dan 5,9 persen bagi 20 persen bagi kelompok rumah
tangga di paling atas (Gambar ES.2). Selain itu, ketimpangan konsumsi di Indonesia juga
semakin dijelaskan melalui perbedaan dalam akses kepada kesempatan. Pada tahun 2002,
27 persen ketimpangan konsumsi seorang anak diakibatkan oleh perbedaan gender, status
pekerjaan, dan gender kepala rumah tangga, pendidikan orangtua, serta daerah dan tempat
lahirnya. Pada tahun 2012, angka ketimpangan ini telah mencapai 37 persen. Ke depannya,
pertumbuhan yang merata harus benar-benar diusahakan dan tidak bisa dibiarkan tanpa ada
upaya sedikitpun.
Gambar ES.2: Kelompok rumah tangga yang lebih miskin mencatat pertumbuhan konsumsi riil
yang lebih rendah dibanding rata-rata seluruh kelompok rumah tangga selama tahun 2003-10
Catatan: Growth Incidence Curve (GIC) menunjukkan laju pertumbuhan konsumsi tahunan antara dua periode untuk setiap persentil
dalam distribusi. Dengan demikian, GIC menunjukkan bagaimana rata-rata pertumbuhan konsumsi didistribusikan lintas seluruh
distribusi rumah tangga. Lihat laporan Bank Dunia (yang akan datang) tentang Inequality of Income and Consumption in Indonesia.
Sumber: Susenas dan perhitungan Bank Dunia.
Strategi apa yang dibutuhkan untuk menciptakan pertumbuhan yang kuat dan
inklusif di Indonesia?
Berbagai peluang dan risiko telah dibahas di atas, begitu juga dengan keinginan
kuat Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan yang merata, selanjutnya strategi
pertumbuhan terbaik manakah yang harus diterapkan oleh Indonesia ke depan? Secara
sederhana, suatu negara dapat meningkatkan pendapatan per kapitanya (ukuran kesejahteraan)
dengan menggabungkan peningkatan produktivitas tenaga kerja dan peningkatan jumlah
penduduk bekerjanya.3 Karena jumlah pekerja meningkat sangat lambat seiring waktu, buktibukti di berbagai negara menunjukkan bahwa 92 persen dari perbedaan dalam PDB per kapita di
3 Penguraian PDB per kapitanya adalah sebagai berikut:
Workers
Population adalah proporsi dari jumlah populasi yang bekerja.
GDP
Population
GDP
Workers
= Workers * Population .
5
GDP
Workers
adalah agregat produktivitas tenaga kerja dan
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
beberapa negara dapat dijelaskan dengan melihat perbedaan dalam produktivitas tenaga kerjanya
secara agregat (IMF, 2013). Dengan demikian, agar PDB per kapita Indonesia dapat menyusul
negara-negara berpenghasilan tinggi secara cepat, pemacuan pertumbuhan ekonomi melalui
peningkatan produktivitas tenaga kerja menjadi sangat penting. Selain mendorong perekonomian
menuju situasi yang dapat menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi, strategi pertumbuhan
yang didorong oleh produktivitas juga penting bagi Indonesia untuk meminimalisir kerentanan
dan meningkatkan daya saing sektor swastanya. Tentunya, tekanan politis untuk meningkatkan
upah tampaknya tidak akan melemah di Indonesia. Dalam konteks ini, satu-satunya jalan untuk
mengakomodir peningkatan upah tanpa mengganggu daya saing adalah dengan meningkatkan
produktivitas tenaga kerja.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana Indonesia dapat mendorong pertumbuhan
produktivitas tenaga kerjanya? Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja agregat memiliki
dua sumber. Pertama, pergeseran tenaga kerja (dan modal atau faktor-faktor produksi lainya)
dari sektor berproduktivitas rendah ke yang lebih tinggi (hal ini disebut sebagai “pengaruh
transformasi struktural”, lihat McMillan dan Rodrik, 2011). Sebagai contoh, ketika para pekerja
meninggalkan bidang pertanian untuk bekerja pada sektor dengan produktivitas yang lebih
tinggi (mis. sebagai akibat dari investasi di sektor pertanian yang meningkatkan hasil panen),
produktivitas agregat ekonomi pun meningkat. Sumber kedua pertumbuhan produktivitas
agregat adalah pertumbuhan produktivitas di dalam sektor-sektor ekonomi, misalnya peningkatan
produktivitas pertanian berkat penggunaan benih dengan hasil panen yang lebih tinggi atau lebih
tingginya produktivitas dalam manufaktur berkat munculnya perusahaan-perusahaan baru yang
inovatif.
Kabar baiknya adalah bahwa adanya kesenjangan produktivitas pada sektor-sektor
ekonomi Indonesia sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk mendorong produktivitas
Indonesia melalui perubahan struktural. Tabel ES.1 menunjukkan kesenjangan tingkat
produktivitas tenaga kerja antara pertanian dan sektor-sektor ekonomi lainnya, yang diukur
sebagai rasio dari produktivitas sektoral terhadap pertanian. Memindahkan seorang pekerja dari
pertanian ke jasa tingkat rendah (perdagangan ritel dan kulakan dan perorangan, jasa sosial, dan
konstruksi) secara rata-rata akan mengakibatkan peningkatan produktivitas rata-rata sebesar dua
kali lipat. Pergerakan ini sebagian besar terjadi pada dekade lalu dan telah menjadi pendorong
utama pengentasan kemiskinan. Tujuh belas dari 20 juta pekerjaan yang tercipta pada tahun
2001-11 berada pada sektor jasa-jasa, dan sebagian besar berada di sektor jasa tingkat rendah.
Saat ini, lebih dari 50 persen pekerja bekerja pada sektor pertanian dan jasa tingkat rendah. Pada
tahun-tahun mendatang, Indonesia harus berusaha untuk mengembangkan peluang pergerakan
tenaga kerja dan penciptaan pekerjaan menuju sektor manufaktur dan jasa-jasa tingkat tinggi.4
Walau pertumbuhan produktivitas manufaktur mengalami penurunan tajam pada dekade lalu,
secara rata-rata pekerja di sektor industri manufaktur menunjukkan produktivitas yang jauh
lebih tinggi, yaitu lima kali lipat lebih besar dibanding produktivitas pekerja di sektor pertanian.5
Indonesia akan mencatat peningkatan pertumbuhan produktivitasnya secara umum bila sebagian
4 Namun persyaratan keterampilan untuk dapat masuk ke sektor jasa yang tinggi juga lebih tinggi, menunjukkan bahwa kesempatan
untuk penciptaan pekerjaan dalam manufaktur sesungguhnya jauh lebih besar dengan rata-rata tingkat keterampilan yang ada pada
angkatan kerja.
5 Pada dekade lalu, pertumbuhan produktivitas tenaga kerja pada pertanian mencatat peningkatan (didorong oleh karet, minyak
sawit, kopi, dan teh) sementara pertumbuhan pada manufaktur turun hampir mencapai nol. Penurunan paling tajam dalam
pertumbuhan produktivitas tenaga kerja terjadi pada bidang pertambangan dan penggalian. Lihat Bagian 2.
6
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
besar dari 15 juta pekerja yang akan masuk ke angkatan kerja pada tahun 2020 bekerja di bidang
manufaktur dan jasa-jasa tingkat tinggi (dibanding jasa-jasa tingkat rendah).
Cakupan pertumbuhan produktivitas “di dalam masing-masing sektor” juga masih
memiliki peluang yang besar di Indonesia. Jenis pertumbuhan produktivitas ini umumnya
membutuhkan penggunaan modal yang lebih besar oleh pekerja (mesin dan peralatan yang lebih
modern), peningkatan kualitas tenaga kerja (pekerja yang lebih terlatih), penerapan teknologi
baru (termasuk melalui penanaman modal asing langsung (foreign direct investment, FDI) dan modal
ventura dengan perusahaan-perusahaan asing) dan persaingan di dalam masing-masing sektor
! ! ? +
dalam rencana-rencana pembangunannya telah mencanangkan niatnya untuk mengembangkan
industri-industri di negara ini guna meningkatkan nilai tambah. Pengalaman di berbagai negara
menunjukkan bahwa mereka yang berhasil mencapai tujuan tersebut adalah mereka yang
melakukan beberapa hal berikut: (i) menerapkan strategi industri yang jelas dan konsisten; (ii)
meniadakan kendala administratif dan peraturan perundangan yang merintangi kegiatan investasi
dan usaha; serta (iii) berkoordinasi dan bermitra dengan sektor swasta dalam memasok tenaga
terampil, menciptakan dukungan infrastruktur dan kelembagaan khusus yang tepat pada sektorsektor di mana negara itu memiliki keunggulan komparatif yang nyata. Seperti dipaparkan di
bawah, reformasi-reformasi multidimensi yang penting harus segera dilakukan bila Indonesia
hendak mewujudkan berbagai hal tersebut.
!" # " " $ " " %
(Produktivitas sektor tenaga kerja (secara riil) dibanding dengan produktivitas tenaga kerja di bidang pertanian)
Sektor
2000-03
2005-08
2009-12
Pertanian
1,0
1,0
1,0
Jasa tingkat rendah
2,4
2,5
2,2
Industri manufaktur
5,7
5,8
5,0
Transportasi dan komunikasi
2,8
3,5
5,5
| !
21,5
20,5
14,6
Pertambangan dan penggalian
46,8
26,7
18,0
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia.
Pergerakan ke model pertumbuhan yang didorong oleh produktivitas akan
% & Selama beberapa dekade terakhir,
sebagian besar pertumbuhan didorong oleh akumulasi modal dan pertumbuhan tenaga kerja
dengan kontribusi jumlah faktor produktivitas (total factor productivity, TFP) yang terbatas. Van
Der Eng (2008) mengungkapkan bahwa TFP hanya menjelaskan 33 persen pertumbuhan yang
terjadi pada periode 2000-07 dan tidak memiliki andil dalam pertumbuhan sebelum tahun 2000.6
Dibandingkan dengan Tiongkok dan Korea Selatan, TFP kedua negara ini menjelaskan lebih dari
50 persen pertumbuhan pada periode tersebut. Tingkat produktivitas agregat Indonesia—yang
diukur oleh rata-rata nilai tambah per pekerja—juga tidak terlalu tinggi menurut standar regional.
Sebagai contoh, rata-rata produktivitas setiap pekerja di Malaysia hampir mencapai lima kali
lipat dibanding Indonesia. Rata-rata produktivitas tenaga kerja di Indonesia juga lebih rendah
dibanding Thailand, Filipina, dan Tiongkok (Bagian 3). Reformasi kebijakan yang tegas seperti
6 Van der Eng, Pierre (2008) ‘Capital Formation and Capital Stock in Indonesia, 1950-2007.’ Working Papers in Trade and
Development No.24. Canberra: School of Economics, ANU College of Business and Economics, Australian National University.
7
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
dibahas di bawah akan sangat dibutuhkan bila Indonesia hendak mengejar ketertinggalannya dari
negara-negara tersebut.
Prioritas kebijakan apakah yang dapat mendukung pertumbuhan yang
berdasarkan produktivitas?
' " " " ! !!
pertumbuhan yang berdasarkan produktivitas: (i) menutup kesenjangan infrastruktur
(jalan, pelabuhan, listrik, air, serta jaringan sanitasi dan irigasi); (ii) menutup kesenjangan
tenaga terampil; dan (iii) memperbaiki fungsionalitas pasar produksi, pasar tenaga kerja,
dan pasar modal. Penanganan terhadap prioritas-prioritas di atas sangat dibutuhkan untuk
mendorong produktivitas pada sektor-sektor utama, termasuk pertanian (sebagai sektor yang
akan melepaskan tenaga kerja), manufaktur dan jasa-jasa tingkat tinggi (yang akan menyerap
tenaga kerja) dan mempercepat transformasi struktural. Sejauh ini perkembangan penanganan
prioritas-prioritas andalan, yang sebenarnya telah lama diketahui ini, masih belum merata.
Desentralisasi sejak awal tahun 2000an semakin memperumit dan memperlambat implementasi.
} $ ! ! !
mendorong pertumbuhan di beberapa bidang prioritas tersebut (lihat ringkasan pada Tabel ES.1).
Reformasi-reformasi ini juga dapat membantu memperluas pemerataan kesejahteraan walau
dibutuhkan berbagai reformasi tambahan untuk mencapai tujuan tersebut.
Menutup kesenjangan infrastruktur Indonesia
Pembangunan infrastruktur di Indonesia bertumpu pada, utamanya, peningkatan
kualitas belanja publik di pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, sehingga
lebih banyak dana yang dapat dialokasikan untuk infrastruktur. Jumlah investasi
infrastruktur—yaitu investasi yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN,
dan sektor swasta—secara konsisten hanya mencapai 3 hingga 4 persen dari PDB selama dekade
terakhir. Jumlah ini jauh di bawah rata-rata di atas 7 persen dari PDB sebelum krisis keuangan
Asia tahun 1997 serta 10 persen dan 7,5 persen yang dibelanjakan oleh pemerintah Tiongkok dan
India.
Di tingkat pemerintahan pusat, pilihan utama untuk membiayai peningkatan belanja
infrastruktur adalah dengan mengurangi besarnya belanja subsidi BBM. Dengan besaran
mencapai 2,6 persen dari PDB dan 21 persen dari anggaran pemerintah pusat setelah transfer
ke daerah dan pembayaran bunga, besar belanja subsidi BBM mencapai lebih dari dua kali lipat
dari belanja untuk infrastruktur yang hanya mencapai 1 persen dari PDB. Peningkatan belanja
pemerintah untuk infrastruktur sebesar lebih dari dua kali lipat (dari 2,5 persen dari PDB) dapat
berasal dari penurunan subsidi energi (lihat di bawah). Namun, realokasi belanja apapun harus
diiringi dengan perbaikan lebih lanjut dalam bidang perencanaan maupun pelaksanaan anggaran
sehingga dapat meningkatkan kapasitas penyerapan dan menjamin kualitas pengelolaan dan
pelaksanaan investasi infrastruktur.
Pada pemerintah daerah, peningkatan belanja untuk infrastruktur dalam kebanyakan
! $!!"!% " $ Pemerintah
daerah memang mencatat belanja yang lebih besar dari pemerintah pusat (1,5 persen dari PDB
dibanding 1 persen dari PDB). Namun sesungguhnya pemerintah daerah dapat mencatat belanja
8
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
yang jauh lebih besar lagi untuk meningkatkan infrastruktur jalan-jalan, air dan sanitasi, serta
kesehatan (baik investasi baru maupun pemeliharaan), jika anggaran mereka tidak terikat oleh
belanja pegawai yang berlebihan dan bila mereka dapat meningkatkan pendapatan mereka. Lebih
dari 40 persen belanja pemerintah daerah dialokasikan untuk pegawai, sementara sekitar 90
! _ !`?#
reformasi yang bertujuan memberikan insentif kepada proses realokasi belanja infrastruktur yang
lebih besar adalah melakukan menuju sistem tranfer berdasarkan
kinerja; yaitu dengan meningkatkan bagian transfer yang terikat kepada belanja pada sektorsektor atau bidang-bidang yang menjadi prioritas nasional.7 Bagi sejumlah kecil kabupaten/kota
Z ! $sarana pembiayaan alternatif, seperti
KPS, obligasi daerah, dan pembiayaan perantara, dapat membantu pembiayaan infrastruktur
setempat.
Menutup kesenjangan infrastruktur di Indonesia membutuhkan reformasi lebih lanjut.
Khususnya dibutuhkan reformasi-reformasi pelengkap lanjutan sebagai berikut: (i) Penguatan
prioritas proyek/pemilihan dan penyusunannya. Saat ini berbagai badan pemerintahan/
kementerian memiliki daftar proyek yang berbeda-beda. Pemerintah dapat mempertimbangkan
pemberdayaan satu badan/kementerian khusus untuk menangani pemilihan proyek. Hal ini
dapat membantu memastikan bahwa proyek-proyek yang terpilih memiliki tingkat kelayakan
dan perbandingan manfaat-biaya yang mendukung dan bukan karena pertimbangan politis; (ii)
Penguatan kemitraan antara sektor publik dan swasta dalam negeri dan investor luar negeri. Dibutuhkan
mitra-mitra swasta untuk menjembatani kesenjangan pembiayaan (peningkatan investasi publik
dalam infrastruktur sebesar dua kali lipat hanya membantu menutup sekitar setengah dari
kesenjangan pembiayaan). Investor-investor swasta harus dianggap sebagai mitra utama dalam
! ! ~ _` elaksanaan UU
pertanahan baru yang efektif, yang bila telah ditetapkan, akan membutuhkan peraturan-peraturan pelaksana
yang baik.8 ! ! ! $!
proyek-proyek infrastruktur akan tetap tidak pasti dan berbiaya tinggi, yang menjadi kendala
terhadap partisipasi sektor swasta.9
Hasil pertumbuhan yang berasal dari peningkatan investasi dalam infrastruktur tidak
bisa dipandang rendah. Kurangnya investasi infrastruktur telah menjadi kendala besar di
dalam pertumbuhan Indonesia selama dekade lalu.10 Lambatnya pertumbuhan persediaan modal
infrastruktur dibanding dengan laju pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi berakibat kepada
masalah kemacetan dan buruknya kinerja logistik, yang kemudian menjadi kendala pertumbuhan
produktivitas. Penelitian di kalangan perusahaan menunjukkan bahwa masalah-masalah yang
berkaitan dengan transportasi merupakan satu dari beberapa kendala usaha paling buruk yang
! ! !_\`
alokasi khusus. DAU tidak terikat, sehingga memfasilitasi belanja pegawai yang terlalu besar di daerah, yang menyisakan hanya sedikit
ruang bagi transfer yang dapat terikat pada jajaran pemberi layanan di gugus depan. Pada tahun 2012, porsi DAU hampir mencapai
60 persen dari transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dana alokasi khusus (DAK) kepada daerah-daerah tertentu yang
bertujuan untuk mendanai kegiatan khusus di daerah tersebut sesuai dengan prioritas nasional hanya mencapai 6 persen dari transfertransfer tersebut dan sifatnya terlalu terpecah (mencakup terlalu banyak sektor).
8 Sesuai dengan pengesahan UU Pertanahan oleh DPR dan penetapannya.
9 Seperti dibahas pada Bagian 4 dan 6, UU Pertanahan yang sedang dibahas di DPR diperkirakan akan memungkinkan penyediaan
lahan bagi kepentingan umum.
10 Jika persediaan modal infrastruktur riil Indonesia meningkat sebesar 5 persen per tahun pada 2001-11 dibanding laju
pertumbuhan aktuil sebesar 3 persen, diperkirakan bahwa pertumbuhan riil PDB tahunan akan lebih besar sebanyak 0.5 poin
persentase. Lihat laporan Triwulanan Perekonomian Indonesia edisi bulan Oktober 2013 untuk perincian lebih lanjut.
9
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
dialami oleh perusahaan manufaktur di perkotaan. Di kawasan perdesaan, para produsen
perdesaan mendapati bahwa mereka tidak mampu bersaing dengan produk impor. Sehingga jelas
bahwa pembangunan infrastruktur penghubung dapat membantu mendorong proses aglomerasi
perekonomian di daerah perkotaan serta mampu mendukung realisasi potensi pertumbuhan dan
produktivitas pertanian, industri perdesaan non-pertanian, dan sektor manufaktur perkotaan.
Selain itu, karena seperempat penduduk perkotaan dan lebih dari setengah penduduk perdesaan
memiliki akses yang buruk ke layanan transportasi, peningkatan infrastruktur merupakan kunci
utama untuk meningkatkan kesejahteraan di Indonesia.
Menutup kesenjangan tenaga terampil Indonesia
Indonesia harus meningkatkan kualitas semua tingkatan pendidikan dan fungsi pusatpusat pelatihan untuk menutup kesenjangan tenaga terampil. Saat ini, dua per tiga
perusahaan mengeluhkan “sulit” atau “sangat sulit” untuk menemukan pegawai yang tepat guna
mengisi posisi manajerial dan profesional; dan hampir 70 persen pemilik perusahaan dalam
bidang manufaktur melaporkan bahwa “sangat sulit” untuk mengisi posisi tingkat profesional
yang terampil (insinyur). Terdapat dua jenis ketidaksesuaian. Sejumlah sektor melaporkan tidak
cukupnya lulusan pendidikan sebagai alasan (sebagai contoh, dalam tekstil), sementara sektorsektor lain mengeluhkan akan keterampilan lulusan yang ada (sebagai contoh, dalam bidang karet
dan plastik). Sementara, perusahaan-perusahaan di Indonesia lebih jarang menawarkan pelatihan
kepada para pegawainya dibanding dengan negara-negara lain di kawasan yang sama. Sebagian
besar lembaga pelatihan terkonsentrasi pada bidang-bidang dengan nilai tambah rendah (seperti
keterampilan salon kecantikan dan spa, dan keterampilan dasar komputer). Selain itu, terkait
kemampuan akademis dasar, taraf Indonesia tidaklah menggembirakan bila dibandingkan dengan
negara-negara berpenghasilan menengah lain maupun dengan negara-negara tetangganya di Asia
Timur, terutama dalam penilaian kemampuan siswa internasional seperti PISA. Sebagai contoh,
siswa usia 15 tahun di Indonesia memiliki tingkat pengetahuan yang jauh di bawah rata-rata
rekannya dari Vietnam, walau Indonesia memiliki pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Untuk
meningkatkan jumlah pekerja yang masuk ke bidang manufaktur dan jasa-jasa tingkat tinggi
(seperti pembiayaan, layanan usaha, komunikasi, dll.)—yang sangat penting bagi pertumbuhan
produktivitas—masalah-masalah ini harus ditangani.
Kebijakan pemerintah sejauh ini baru terfokus kepada tingkat akses/pendaftaran
siswa. Berkat komitmen pemerintah Indonesia yang kuat, Indonesia tampaknya akan menjadi
salah satu negara dengan jumlah siswa berpendidikan tinggi terbesar di dunia di kemudian
hari.11 Selama lima tahun terakhir, angkatan kerja dengan tingkat pendidikan tersier dan
sekunder telah meningkat masing-masing lebih dari 1 juta jiwa dan lebih dari 2 juta per tahun.
Jika kecenderungan terakhir dalam pendaftaran siswa terus berlanjut, maka jumlah penduduk
Indonesia berpendidikan tinggi akan meningkat lebih dari dua kali lipat di dekade mendatang.12
Karenanya, fokus ke depan adalah pada pembekalan lulusan pendidikan dan pekerja
dengan keterampilan teknis yang tepat dan perilaku profesional yang dikehendaki
oleh pemilik perusahaan (disiplin, keandalan, kerjasama, dan kepemimpinan) untuk
mendukung/memungkinkan investasi yang substansial di sektor-sektor utama. Hal
11 UUD memberikan mandat bahwa 20% dari APBN harus disalurkan bagi pendidikan.
12 Sasaran Pemerintah adalah memberikan akses universal kepada pendidikan menengah atas melalui wajib belajar 12 tahun
dan meningkatkan pendaftaran murid ke pendidikan yang lebih tinggi sebanyak dua kali lipat pada tahun 2020. Individu dengan
pendidikan tersier pada angkatan kerja mencapai 8 persen pada tahun 2012.
10
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
ini membutuhkan tiga strategi reformasi utama. Pertama, meningkatkan kualitas pendidikan
dasar untuk membangun dasar keterampilan kognitif yang lebih kuat yang dibutuhkan untuk
mendapatkan keterampilan dengan tingkat yang lebih tinggi yang akan dibutuhkan oleh angkatan
? "]! ! ! memperkuat
sistem penjaminan kualitas dengan memastikan bahwa penilaian kualitas akan diikuti dengan
tindak lanjut dan lembaga-lembaga pendidikan mendapat insentif untuk melaksanakan tindakan
?
Namun, bahkan apabila sistem pendidikan dapat disempurnakan secara seketika, para
lulusan pertama baru akan masuk ke angkatan kerja 10-20 tahun lagi. Sehingga sangatlah
penting untuk menemukan solusi jangka pendek dan menengah bagi kendala keterampilan yang
ada: strategi kedua dan ketiga adalah dengan meningkatkan relevansi mereka yang akan masuk ke
pasar tenaga kerja (pendidikan kejuruan dan teknis, dan pendidikan tersier) serta meningkatkan
keterampilan dari angkatan kerja yang ada (reformasi sistem pelatihan). Meningkatkan relevansi
pendidikan tersier dan kejuruan membutuhkan (i) penyediaan lebih banyak informasi bagi siswa dan
lulusan tentang kesempatan di pasar tenaga kerja (sebagian besar lulusan memilih sektor pemerintah,
sementara pengembalian ke pendidikan tersier pada banyak bagian sektor swasta lebih tinggi
dibanding sektor pemerintah) dan (ii) membuat pendidikan kejuruan dan tersier lebih tanggap terhadap
kebutuhan pasar. Peningkatan relevansi sistem pelatihan di sisi lain membutuhkan pembentukan
pada sektor-sektor strategis dengan nilai tambah yang lebih tinggi (tekstil, produk makanan, serta cabangcabang manufaktur utama lainnya dan jasa-jasa tingkat tinggi).
Hasil pertumbuhan yang berasal dari perkembangan keterampilan sangatlah berharga,
walau sulit untuk dihitung dengan angka. Karena lebih dari 60 persen perusahaan di
Indonesia melaporkan keterampilan sebagai suatu kendala, maka pemecahan kendala ini
akan membantu perusahaan-perusahaan untuk berkembang dan menjadi lebih mampu untuk
bersaing.13 Saat ini sebagian besar lulusan pendidikan tersier bekerja di sektor pemerintahan.
Di kemudian hari, pengembangan keterampilan tampaknya akan meningkatkan arus lulusan
yang mampu bekerja di sektor swasta, yang lebih menekankan pada keterampilan-keterampilan
tertentu dibanding ijazah (berkebalikan dengan apa yang terjadi di sektor pemerintahan). Hal ini
dapat meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas agregat melalui pertumbuhan produktivitas
“di dalam sektor” (misalnya bila para pekerja di bidang manufaktur dan jasa tingkat tinggi
dibekali dengan lebih banyak keterampilan) dan/atau pergerakan tenaga kerja dari jasa tingkat
rendah ke manufaktur (misalnya pekerja dari jasa tingkat rendah mampu masuk ke bidang
manufaktur berkat pelatihan yang memadai). Pengembangan keterampilan juga akan membantu
Indonesia memanfaatkan beberapa kesempatan yang muncul dari semakin meningkatnya
permintaan dari kelas menengah dan bersaing dengan para mitranya di ASEAN. Tanpa
keterampilan yang tepat di antara mereka yang masuk ke angkatan kerja, produk impor akan
terus menjadi lebih kompetitif dibanding produksi dalam negeri dalam memenuhi permintaan
akan produk-produk dan layanan dengan kualitas lebih tinggi dari kelompok menengah
Indonesia yang jumlahnya semakin meningkat.
13 Pentingnya modal tenaga kerja dan perannya terhadap pertumbuhan ekonomi sangat ditekankan pada makalah-makalah teori
pertumbuhan endogen, yang dimulai oleh Romer (1986) dan Lucas (1988).
11
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
Meningkatkan fungsi pasar
Mendorong pertumbuhan produktivitas melalui perubahan struktural dan di dalam
sektor-sektor di Indonesia membutuhkan peningkatan fungsi pasar produk, tenaga
kerja, modal, dan tanah.14 Sehubungan dengan pasar produk (atau sektor-sektor), walau
Indonesia menerapkan reformasi untuk menurunkan kendala investasi dan peraturan dan
memfasilitasi investasi dan perizinan pada sejumlah sektor, namun penyusunan kebijakan yang
bersifat proteksionis secara ad-hoc telah meningkatkan ketidakpastian dalam dunia usaha dan
mengirimkan sinyal-sinyal yang membingungkan bagi para investor. Sebagai contoh, sejumlah
! Z!
UU yang lalu atau menciptakan kebingungan tentang arah reformasi (misalnya benturan antara
UU hortikultura dan UU investasi). UU industri dan perdagangan yang baru memberikan
kementerian yang berwenang wewenang baru yang luas untuk melakukan intervensi pasar,
sehingga meningkatkan ketidakpastian dan memberi ruang dalam perekonomian untuk
melakukan kegiatan berburu rente (rent-seeking). Di sektor pertambangan, terlepas dari bagaimana
peraturan baru yang melarang ekspor bijih mineral pada akhirnya akan diterapkan, pergeseran
kebijakan yang berulang-ulang telah meningkatkan ketidakpastian.15 Pendekatan yang belakangan
dilakukan oleh pemerintah dalam mencoba meningkatkan rantai nilai adalah menetapkan
peraturan perundangan terlebih dahulu, lalu melakukan negosiasi dengan sektor swasta yang
mana investasinya dibutuhkan untuk mencapai sasaran pemerintah. Pendekatan ini berlawanan
dengan pendekatan yang dilakukan oleh negara-negara yang telah berhasil, yang melakukan
analisis sehat dan kemitraan kuat dengan sektor swasta dalam menemukan dan mengkoordinasi
Z !
langkah awal.
Agar dapat meningkatkan dunia industri di dalam negeri pada masa depan, dibutuhkan
strategi industri yang konsisten yang dijabarkan dalam kemitraan dengan sektor swasta.
Kebijakan industri tersebut dapat mencerminkan beberapa pembelajaran yang bermanfaat
yang dipetik dari kebijakan-kebijakan industri di seluruh dunia. Secara khusus, dibutuhkan
suatu pendekatan terkoordinasi untuk menemukan dan memecahkan kendala-kendala yang
membebani, seperti infrastruktur sektoral, keterampilan, dan dukungan kelembagaan. Untuk
menjamin implementasi yang memadai, salah satu pilihan utama adalah memperkuat kualitas
proses penyusunan kebijakan bagi kebijakan-kebijakan dan peraturan perekonomian. Sejumlah
negara telah melakukan hal ini dengan memberdayakan satu kementerian dan lembaga negara
untuk menjalankan fungsi “pelaksana kebijakan yang integratif ” (yaitu dengan membentuk apa yang
biasa disebut sebagai “Pusat dari Pemerintahan”).16 Suatu proses penyusunan kebijakan yang diperkuat
akan menjawab keprihatinan utama rakyat Indonesia dengan lebih baik tentang perlindungan
kepentingan umum, dan akan memungkinkan Pemerintah untuk menekan kegiatan-kegiatan
berburu rente dan kepentingan usaha yang egosentris. Semua ini menjadi lebih penting
mengingat peringkat buruk pengadilan, pemerintah daerah, dan politisi Indonesia pada indeks
persepsi korupsi oleh lembaga Transparency International (TI) (pada tahun 2012, TI memberi
peringkat 100 bagi Indonesia dari 183 negara yang ditinjau). Selain penguatan penyusunan
14 Pasar tanah juga sangat penting bagi investasi pemerintah dan swasta. Suatu UU Pertanahan yang komprehensif, yang kini sedang
dibahas di DPR, diperkirakan akan menjawab sejumlah masalah-masalah utama yang telah menghambat investasi pada beberapa
tahun terakhir. Lihat Bagian 4.
15 Pada UU Pertambangan tahun 2009 yang baru dan peraturan pelaksananya yang diterbitkan pada tahun 2012, ekspor mineral
mentah akan seluruhnya dilarang. Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang saling bertolak belakang tentang penerapan larangan ini,
menambah rasa ketidakpastian peraturan perundangan pada seluruh sektor.
% ! O?
12
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
kebijakan, upaya menuju reformasi yang terus berlangsung yang dipelopori oleh BKPM untuk
mendukung perizinan usaha dan investasi akan membantu Indonesia dalam menarik lebih banyak
investasi ke dalam sektor-sektor dengan nilai tambah yang lebih tinggi.
Pasar tenaga kerja. Agar pasar tenaga kerja Indonesia dapat mendukung mobilitas dan
transformasi struktural pekerja, akan dibutuhkan pengubahan peraturan uang pesangon dalam
? <==
Z ! ?} $
peraturan di dalam UU itu yang menetapkan bahwa uang pesangon tidak boleh kurang dari 100
minggu upah merupakan suatu contoh peraturan dengan itikad baik namun dampak yang tidak
menguntungkan bagi kedua belah pihak. Sebagian besar perusahaan-perusahaan menyesuaikan
terhadap aturan pembayaran uang pesangon yang besar ini dengan tidak menandatangani
kontrak resmi dengan pekerja atau memilih melakukan kontrak jangka pendek (80 persen pekerja
tidak memiliki kontrak resmi). Sejumlah kecil perusahaan resmi yang mengikuti UU itu harus
menempatkan cadangan tunai bagi uang pesangon pada suatu rekening penampung (escrow) agar
dapat membayar uang pesangon bila perusahaan memutuskan untuk memecat pekerjanya. Pada
saat yang bersamaan, bila seorang pekerja hendak mengundurkan diri secara sukarela, hanya
bagian uang pesangon yang telah menjadi haknya saja yang dibayarkan. Pada tahun 2011, hanya
7 persen dari pekerja yang diberhentikan benar-benar menerima uang pesangon sepenuhnya.
Karenanya, uang pesangon tidak melindungi pekerja dan tidak pula mendorong kepegawaian
yang resmi. Sebagai akibatnya, misalnya, pekerja yang meninggalkan kegiatan bercocok tanam
atau kegiatan non-pertanian perdesaan akan terjebak pada sektor informal yang sedikit lebih
tinggi, namun masih tetap berproduktivitas rendah. Revisi atas aturan uang pesangon ini dapat
?
Proses penetapan upah minimum adalah masalah lain yang harus dihadapi untuk
meningkatkan fungsi pasar tenaga kerja.] <=%%$
laju peningkatan upah minimum moderat yang tercatat selama satu dekade lalu. Pada tahun 2012,
sementara 25 provinsi meningkatkan upah minimumnya sebesar rata-rata 30 persen, Jakarta
meningkatkan upah minimumnya sebesar 44 persen. Sementara pekerja di Jakarta memandang
peningkatan ini sebagai sesuatu yang “wajar” sesuai dengan biaya hidup di daerah metropolitan,
ketidakadaan peningkatan produktivitas tenaga kerja yang sebanding akan menurunkan daya
saing Indonesia serta menurunkan kapasitas dan insentif perusahaan untuk membuka lapangan
kerja di sektor formal. Yang mungkin lebih rumit adalah ketidakpastian proses penetapan upah
minimum, yang dapat mendorong perusahaan-perusahaan untuk mengganti tenaga kerja dengan
barang modal ketika mereka membuat keputusan investasi/ekspansi.17 Guna mendukung
transformasi struktural dan penciptaan lapangan kerja formal, sangat penting untuk melakukan
pembicaraan antara pemilik usaha, tenaga kerja, dan Pemerintah dalam hal pemilihan rumus
(seperti ditetapkan dalam
Inpres yang baru).18
17 Proses penetapan upah minimum adalah proses yang rumit. Negosiasi dan kesepakatan akhir dibuat pada tingkat provinsi dan
sektoral (dan seringkali pada tingkat kabupaten dan sub-sektor), yang mempersulit komunikasi dan ketaatan dengan penyesuaian yang
berdasarkan rumus yang baru. Secara lebih umum, memastikan kepatuhan perusahaan-perusahaan dan pemberi pekerjaan kepada
peraturan upah minimum tidaklah mudah, dan membutuhkan pemantauan dan koordinasi pada tingkat pusat, antara Kementerian
Tenaga Kerja dan kementerian-kementerian yang relevan agar mencapai implementasi yang efektif, dan juga antara pemerintah pusat
dan daerah dan para pelaku yang relevan (kepala daerah dan Dewan Upah).
18 Karena upah minimum pada beberapa provinsi berada sangat jauh dari biaya hidup minimum, suatu mekanisme penyesuaian
dapat disertakan ke dalam rumus tersebut untuk secara bertahap menyesuaikan tingkat upah minimum dengan biaya hidup.
13
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
Pasar modal. Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di
Indonesia menghadapi kendala kredit (IMF 2012). Sebagian besar perusahaan cenderung lebih
banyak mengandalkan laba ditahan dibanding kredit bank untuk perluasan kegiatannya, yang
pada gilirannya berarti bahwa aliran kas lancar menjadi faktor penting dalam pengambilan
?! ! Z
jenis investasi yang ada dalam perekonomian, terutama pada perusahaan-perusahaan baru
dan inovatif yang umumnya memiliki aliran kas negatif pada tahap-tahap awal operasinya,
serta membutuhkan pembiayaan dari bank dan non-bank untuk bertumbuh dan menciptakan
pekerjaan-pekerjaan berkualitas tinggi.
Kendala kredit yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan mencerminkan kurang
& ] ! ! Z _
menguasai 78 persen aset) dan bagian pengelolaannya pada sektor swasta hanya sekitar 35
persen, dibanding hampir 100 persen secara rata-rata bagi Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Pasar modal masih tipis dengan sekuritas utang (beredar) korporat dalam negeri yang berjumlah
kurang dari 5 persen dari PDB, setara dengan Thailand dan Filipina namun jauh lebih rendah
dibanding 45 persen di Malaysia. Aset-aset dana pensiun juga relatif rendah dibanding ukuran
perekonomiannya (5 persen dibanding 10-15 persen di Filipina dan Thailand, dan 40 persen di
Malaysia).
& ! "! "! "
merupakan cerminan dari perilaku penghindaran risiko yang kuat. Sebagai contoh, setelah
! %>>Z>*$ !!
tempo yang lebih pendek. Asuransi, dana investasi dan penerbitan obligasi korporasi, misalnya,
telah meningkat pada beberapa tahun terakhir, namun masih belum memberikan kontribusi
! ! ?19
# ! ! ! !?]
contoh, perkembangan pasar obligasi korporasi tampaknya secara khusus dibatasi oleh persyaratan
investasi yang ketat, tingginya biaya penjaminan emisi (underwriting) dan lemahnya bagian
pelaksanaan. Pengalaman internasional menekankan peran pembangunan sistem hukum terpercaya
yang memungkinkan penegakan kontrak dan hak kekayaan yang efektif serta memberikan
! ?# Z ! !
efektif dengan dukungan hak-hak hukum dan mekanisme penegakan. Dari sudut pandang ini,
peningkatan sistem hukum Indonesia akan memfasilitasi operasi pasar dan para perantaranya.
Hal ini berkaitan dengan peningkatan kualitas lingkungan usaha secara lebih luas, karena para pelaku
!$ $
membuat keputusan pembiayaan jangka panjang.
Pasar tanah. Tanah menjadi pusat dari sejumlah masalah sosial-ekonomi di Indonesia, termasuk
pembangunan infrastruktur, pembangunan perkotaan, pengelolaan sumber daya pertambangan
$ ! $ $ !!?
tanah dengan seluruh masalah di atas berada di luar cakupan laporan ini.20 Dari sudut pandang
19 Persentase penabung dengan kekayaan besar, yang memilih untuk menempatkan kekayaan mereka di luar negeri melalui perantara,
?
20 Untuk tinjauan menyeluruh tentang bidang pertanahan di Indonesia, lihat pada laporan Bank Dunia (2014–akan datang): Towards
Indonesian Land Reforms: Challenges and Opportunities.
14
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
pertumbuhan, patut dicatat bahwa kurang jelasnya peraturan perundangan yang mengatur
pembebasan tanah untuk kepentingan umum telah menjadi kendala utama dalam
beberapa proyek infrastruktur, terutama jalan tol. Sebagian hal ini disebabkan oleh kurang
tepatnya aturan dan tata cara pada Peraturan Presiden No 36 tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum ketika menghadapi masalah
yang rumit (walau kepemilikan tanah ditandai dengan penguasaan negara atas tanah, namun
sistem tradisional juga tetap berlaku dan penegakan pun lemah). Pemilik tanah yang sah maupun
tidak sah seringkali bertahan di atas tanah mereka untuk mengambil manfaat dari perbaikan
nilai atau peningkatan daya tawarnya. Para investor dalam bidang infrastruktur, baik pemerintah
maupun swasta, harus menyelesaikan rintangan ini terlebih dahulu sebelum pembangunan dapat
!$ ?
Rancangan UU pertanahan yang baru diperkirakan akan meningkatkan kejelasan
dan transparansi pembebasan tanah bagi kepentingan umum. Memetik pembelajaran
<==$ !
?21
Bidang-bidang yang membutuhkan peningkatan termasuk proses penilaian tanah, mekanisme
pengaduan, dan kompensasi bagi mereka yang terdampak atau dipindahkan.22 Sebagai contoh,
aturan baru itu memerinci orang-orang dan harta benda yang terdampak, proses konsultasi, ganti
rugi, dan penyelesaian sengketa. Aturan itu juga menetapkan jangka waktu yang jelas untuk setiap
tahapan dan sub-tahapan pembebasan, termasuk jangka waktu maksimum bagi pengadilan untuk
memutuskan sengketa yang berkaitan dengan pembebasan tanah. Bila ditetapkan dan dilaksanakan
dengan baik, UU pertanahan yang baru itu akan sangat membantu.
*+ ! +" " % Pasar
$ $ !$
$
ekonomi secara keseluruhan. Pasar-pasar itu bertindak sebagai penghantar yang memungkinkan
peningkatan sektor individu dan pergerakan sumber daya lintas sektor. Di Indonesia, bersamasama dengan pembangunan infrastruktur dan keterampilan, mereka menentukan apakah sumber
daya (tenaga kerja, bakat, dan modal) dapat bergerak di sektor-sektor dengan produktivitas yang
lebih tinggi atau tetap terpenjara pada pemanfaatan dengan produktivitas rendah. Walaupun
reformasi produk dan faktor pasar (terutama pasar tenaga kerja) merupakan hal yang sulit dan
!$! !?!
potensi pertumbuhan Indonesia sebagian bergantung pada bagaimana membuat produk dan
pasar faktor agar berfungsi dengan lebih baik.
21 Peraturan Presiden No. 71/2012 menetapkan pengaturan kelembagaan untuk pelaksanaan UU ini.
22 Pada tahun 2012, pemerintah Indonesia menerbitkan sejumlah peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengadaan
tanah yang dilaksanakan bagi proyek-proyek untuk kepentingan umum (UU No. 2/2012 pada bulan Januari 2012; Perpres No.
71/2012 pada bulan Agustus 2012; dan petunjuk-petunjuk teknis yang diterbitkan oleh kementerian-kementerian terkait). Mereka
menggantikan perpres-perpres yang lalu yang tidak mampu mendukung percepatan pembangunan di Indonesia, sementara menjamin
bahwa mereka yang terpengaruh dengan dampak negatif terkait pengadaan tanah mendapat perlindungan yang memadai. Sesuai
dengan UU No. 2/2012, Perpres No. 36/05 yang diubah berlaku hingga tanggal 31 Desember 2014. Tata cara peraturan yang baru
berlaku bagi pengadaan tanah di bawah wewenang dan kuasa Badan Pertanahan Nasional. Jika tanah yang dibutuhkan berada di
bawah wewenang kementerian lain, seperti Kementerian Kehutanan, maka sebelum tanah itu dapat diperlakukan menurut tata cara
peraturan yang baru, tanah itu harus dibebaskan dari penetapan wilayah hutan sesuai dengan peraturan kehutanan yang berlaku atau
peraturan lain yang terkait, seperti pertambangan, gas alam, dll.
15
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
Prioritas kebijakan apakah yang dapat menjamin lebih meratanya kesejahteraan?
Tantangan kebijakan publik Indonesia tidak hanya dalam mendukung kebijakankebijakan yang menghasilkan kesejahteraan. Tantangan lain yang dihadapi oleh para
penyusun kebijakan adalah meningkatkan pemerataan kesejahteraan secara lebih luas.
Sesungguhnya, sejumlah besar rumah tangga yang digolongkan sebagai tidak miskin secara
pendapatan/konsumsi sebetulnya mengalami kemiskinan dalam banyak segi lainnya, termasuk
akses ke perumahan yang layak, transportasi, air bersih, sanitasi, dan pendidikan. Di samping
itu, walau dengan keberhasilan Indonesia dalam pengentasan kemiskinan, perlambatan laju
pengentasan yang dicatat pada beberapa tahun terakhir dan tingginya kerentanan masih tetap
mengkhawatirkan. Sementara, hasil pengentasan kemiskinan Indonesia yang penuh dengan
perjuangan selalu dibayangi oleh ancaman, akibat kerawanan Indonesia terhadap bencana alam,
seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor dan kebakaran
hutan. Laporan ini membahas tiga bidang prioritas utama untuk menjawab tantangan-tantangan
tersebut.
Peningkatan akses lokal kepada layanan bagi semua penduduk
Bagi kaum miskin, penduduk yang rentan, dan beberapa yang berada pada kelas
menengah, pendapatan dan kesejahteraan yang lebih tinggi tidak sepenuhnya
meningkatkan standar hidup jika akses kepada layanan-layanan utama tidak
ditingkatkan. Harapan-harapan yang ditempatkan pada reformasi desentralisasi untuk
meningkatkan layanan masyarakat belum terwujud. Otonomi daerah sesungguhnya telah gagal
dalam meningkatkan layanan umum di daerah seperti yang diharapkan ketika diluncurkan pada
tahun 2001, walau dengan besarnya transfer sumber daya ke pemerintah-pemerintah daerah.
Transfer ke pemerintah daerah kini mencapai sekitar setengah dari APBN, di luar subsidi
dan pembayaran bunga (sekitar 6 persen dari PDB), dan lebih dari 80 persen dari jumlah ini
terkumpul pada pemerintah daerah pada tingkatan yang paling rendah—kabupaten/kota.
Namun, kualitas layanan masih tetap menghadapi rintangan (seperti diperinci pada bab 7,
indikator-indikator Indonesia dalam bidang sanitasi, air, kesehatan, listrik berada di bawah tingkat
yang diharapkan dari negara anggota G-20, berada di bawah rata-rata negara berpenghasilan
menengah, dan lebih rendah dari ambisi pihak yang berwenang).
Peningkatan penyediaan layanan membutuhkan penguatan akuntabilitas melalui
langkah-langkah sisi permintaan maupun sisi penawaran. Pengalaman internasional
menunjukkan bahwa lemahnya akuntabilitas umumnya terkait dengan buruknya layanan
masyarakat setempat. Akuntabilitas pada konteks ini mencakup dua dimensi berbeda: (i)
permintaan warga negara atas peningkatan kualitas layanan, dan (ii) tanggapan dari pemerintah
daerah untuk memenuhi permintaan para warga. Upaya mengatasi buruknya kinerja penyedia
layanan daerah akan membutuhkan langkah-langkah yang terpusat pada setiap dimensi. Berbagai
pendekatan dapat membantu keterlibatan warga negara, termasuk berbagi informasi tentang
kualitas layanan umum dengan penduduk setempat (data terbuka), seperti studi komparatif
dari satu lokalitas dengan lokalitas-lokalitas lain yang mirip. Dalam konteks Indonesia, penguatan
program-program yang didorong oleh masyarakat, yang mengandung komponen akuntabilitas sisi
permintaan yang kuat, dapat membantu. Dari sudut pandang penyedia layanan (sisi penawaran),
terdapat sejumlah kendala akibat mekanisme pembiayaan yang ada yang merintangi kinerja.
16
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
Pertama, penggunaan pendekatan umum untuk menjawab seluruh masalah dalam sistem
pembiayaan antar-pemerintahan, walaupun sebenarnya masalah yang dihadapi oleh daerahdaerah di Indonesia beraneka ragam. Perlakuan serupa terhadap unit-unit daerah yang heterogen
terkait rancangan dan penerapan kebijakan adalah suatu masalah bagi penyediaan sumber daya
yang memadai pada tingkat provinsi dan kabupaten. Kotamadya yang besar, kota-kota berukuran
kecil dan menengah, dan daerah-daerah perdesaan seluruhnya dipandang relatif sama dari sudut
!?]! $ ! !! !
belanja untuk gaji dan administrasi dengan mengorbankan penggunaan sumber daya yang lebih
berimbang dalam mendorong realisasi penyediaan layanan. Karenanya, terdapat dua pilihan
reformasi untuk dipertimbangkan: (i) mengubah sistem transfer pemerintah pusat untuk meningkatkan
proporsi anggaran pemerintah daerah yang terkait dengan sektor-sektor tertentu dan layanan
gugus depan, dan (ii)
sekaligus melalukan fokus ulang dengan memberikan tanggung jawab atas hasil-hasil kepada birokrasi (lihat
pada bagian “implementasi” di bawah).
Memperkuat Jaminan Sosial
"$ & " +
Sesungguhnya, jaminan sosial secara universal telah dimandatkan secara hukum untuk bidang
kesehatan (pada tahun 2014) dan pekerjaan (pada tahun 2015) menurut UU Sistem Jaminan
Sosial Nasional tahun 2004 dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tahun 2011. Apakah
hasil yang dikehendaki dapat tercapai akan sangat bergantung kepada kualitas penerapannya.
ZO! ! peningkatan
dalam belanja bantuan sosial dan kesehatan masyarakat. Ditilik dari tingkat pendapatannya, belanja
bantuan sosial dan kesehatan di Indonesia sangatlah rendah dibanding dengan negara-negara
lain. Pada tahun 2013, jumlah belanja kesehatan masyarakat (pusat dan daerah) diperkirakan
hanya mencapai 0,9 persen dari PDB dan bantuan sosial pemerintah pusat hanya mencapai 0,7
persen dari PDB. Sementara Indonesia memiliki pilihan-pilihan pendanaan untuk mengakomodir
peningkatan belanja (lihat bagian “pilihan pendanaan” di bawah), namun pencapaian hasil-hasil
yang dikehendaki akan sangat bergantung kepada kualitas implementasinya. Agar dapat efektif dan
berkelanjutan, sistem itu akan membutuhkan tingkat manfaat yang memadai, pengelolaan risiko
! $ !! ! $ !
miskin dan lemah secara bebas iuran, sementara, pada saat yang bersamaan, memungut iuran
dari mereka yang mampu membayar. Namun, hal yang paling dibutuhkan oleh reformasi yang
transformatif ini adalah kepemimpinan yang kuat untuk implementasi yang efektif, karena besarnya
jumlah pemangku kepentingan dengan kepentingan yang berbeda dan potensi dampak yang
$ $ ?
Bersama-sama dengan jaminan sosial, penguatan program-program bantuan sosial
yang telah ada merupakan komponen lain yang sangat penting dalam kerangka jaminan
sosial Indonesia secara menyeluruh. Indonesia harus melakukan reformasi pada programprogram yang ada, mengisi kesenjangan yang ada, dan memadukan program-program tersebut
menjadi suatu sistem—yang semuanya akan meningkatkan kualitas belanja dan dampak programprogram bantuan sosial. Sekali lagi, kepemimpinan dan koordinasi akan menjadi hal yang penting.
Belanja pemerintah pusat kini tersebar ke sekitar 12 kementerian, 22 program, dan 87 kegiatan.
17
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
Untuk memastikan bahwa layanan disampaikan secara tepat, Pemerintah harus melanjutkan upayanya
dalam menyingkirkan fragmentasi dan duplikasi pada program-program. Pengawasan dan koordinasi di
bawah Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) memainkan peran yang
vital dalam merancang strategi bantuan kemiskinan, memadukan program-program kemiskinan
dan mengkoordinasi implementasi dengan berbagai kementerian. Ke depannya, suatu model
pengawasan gabungan dan koordinasi akan sangat penting bagi implementasi yang efektif terlepas dari jenis
pengaturan kelembagaan yang ada.
Mengelola risiko bencana alam, membangun ketahanan
Menjaga hasil-hasil pengentasan kemiskinan dan kemajuan jaminan sosial yang telah
dicapai melalui upaya keras membutuhkan perbaikan berkelanjutan dalam pengelolaan
risiko-risiko bencana dan pembangunan ketahanan yang lebih kokoh. Indonesia terletak
di salah satu zona bencana yang paling aktif di dunia, rawan terhadap gempa bumi, tsunami,
letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan. Peningkatan penduduk dan
aset-aset yang memiliki risiko terkena bencana alam belakangan ini, seiring dengan peningkatan
jumlah dan intensitas kejadian-kejadian hidro-meteorologi akibat perubahan iklim, dapat semakin
meningkatkan dampak bencana alam terhadap ekonomi dan manusia. Menurut analisis risiko
global oleh Bank Dunia23, Indonesia termasuk dalam 35 negara dengan risiko-risiko mortalitas
yang tinggi terhadap berbagai ancaman. Risiko mengancam sekitar 40 persen penduduk, atau
lebih dari 90 juta jiwa.
Pada saat yang sama, ketahanan kota-kota di Indonesia terhadap bencana alam telah
% " " $! ! "; " % "
lemahnya penegakan persyaratan bangunan dan peraturan tata ruang. Ibukota Indonesia,
Jakarta, sangatlah berisiko, dengan penurunan ketinggian permukaan tanah yang didorong oleh
urbanisasi sebagai ancaman yang lebih besar dibanding perubahan iklim yang berkaitan dengan
naiknya permukaan air laut. Ketidakpatuhan terhadap persyaratan bangunan dan peraturan tata
ruang, dan pemanfaatan daerah “terbuka” yang sebetulnya untuk aliran air, tidak hanya membuat
Jakarta dan banyak kota lain di Indonesia menjadi lebih terancam risiko bencana alam, namun
juga menciptakan ancaman baru seperti banjir dan genangan air laut pada daerah-daerah pesisir
yang rendah.
< " "; " " !"!% "!
yang kredibel dan pasar yang sehat untuk mendorong dinamika ekonomi disertai
dengan pencegahan dan pengelolaan risiko investasi. Pilihan reformasi termasuk (i)
program nasional tentang penetapan wilayah bahaya berukuran mikro dengan instrumen-instrumen yang
terperinci guna menyertakan ketahanan ke dalam rancangan situs dan standar-standar konstruksi
pembangunan; (ii) kerangka pembiayaan bagi pembangunan daerah perkotaan, perumahan dan properti
yang memberikan insentif bagi investasi yang mengandung faktor ketahanan terkait dengan
asuransi bencana; serta (iii) suatu program nasional untuk peningkatan daerah perkotaan dan rehabilitasi
ekosistem untuk meningkatkan ketahanan pemukiman dan infrastruktur perkotaan yang telah ada.
23 Lihat Bank Dunia, Natural Disaster Hotspots, A Global Risk Analysis (Washington, DC: Disaster Risk Management Series, 2005),
!%?<? !Z O ! $!
Abhas K. Jha dan Zuzana Stanton-Geddes, Editors (2012): Strong, Safe, and Resilient A Strategic Policy Guide for Disaster Risk Management
. Bank Dunia
18
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
Pilihan pendanaan bagi agenda reformasi
Pilihan-pilihan apa yang tersedia untuk membiayai ekspansi belanja infrastruktur,
%" = "! " % >
Indonesia menghadapi tantangan yang besar dan saling terkait dalam meningkatkan kualitas
komposisi belanja guna mencapai sasaran-sasaran pembangunannya. Kuatnya pertumbuhan
! $ !
$ !
Indonesia. Pertama, relatif terhadap jumlah produksi (output), penerimaan dan pengeluaran
sesungguhnya mengalami penurunan sejak tahun 2001, masing-masing menjadi sekitar 15,7
persen dan 18,1 persen dari PDB pada tahun 2013—keduanya termasuk rendah untuk standar
negara berpenghasilan menengah. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya terdapat ruang bagi
Indonesia untuk meningkatkan bagian sektor pemerintah dalam keseluruhan pengeluaran
(penyerapan), sehingga cukup layak bagi Indonesia untuk meningkatkan belanjanya bagi prioritas
pembangunan utama seperti infrastruktur, kesehatan, dan bantuan sosial. Kedua, kualitas
komposisi pengeluaran mengalami penurunan karena tingginya belanja bagi subsidi energi, yang
membatasi kemampuan Pemerintah untuk meningkatkan alokasi anggaran untuk bentuk-bentuk
belanja yang lebih bermanfaat, terutama dalam bidang sosial dan infrastruktur.
@
belanja
$ " Q"" ! "
"% ! ! ! "! ! $
menengah (RPJMN) berikutnya: 2015-19 (lihat Tabel ES.2, bagian 1 pada akhir
Ringkasan Eksekutif). Dengan mengasumsikan kasus dasar (base case) skenario pertumbuhan
PDB sebesar 5,5-5,8 persen per tahun dan situasi “bisnis berjalan seperti biasa” tanpa reformasi
! $! !
akan tetap relatif konstan selama periode tersebut masing-masing sebesar 16,5-16,7 persen
\^ %*$'Z%*$ \^?! !<$%
persen dari PDB pada tahun 2015, yang secara bertahap turun menjadi 1,7 persen dari PDB pada
<=%>?^! !<$ \^
! !$ !!
terbatas, terutama bila muncul tekanan pengeluaran dasar (baseline) tambahan. Sumber-sumber
potensial tekanan termasuk kejutan eksternal (seperti peningkatan harga minyak dan depresiasi
rupiah pada belanja subsidi), serta perkembangan kebijakan dalam negeri seperti implementasi
SJSN (risiko biaya aktuil lebih tinggi dari yang sekarang diperkirakan), implementasi UU
perdesaan baru dan pelaksanaan reformasi birokrasi pada tingkat daerah. Selain itu, pertumbuhan
yang lebih rendah dari perkiraan dapat menurunkan penerimaan.
*+ !"!% ! "!
dan subsidi BBM
" ! $= $ Y =
" " " % !" " " !
" Pada sisi penerimaan, Indonesia dapat memulai upaya “dorongan
besar” untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai bagian dari PDB dengan meningkatkan
kepatuhan dan administrasi pajak, serta meningkatkan cukai tembakau (yang akan membawa
19
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
manfaat tambahan bagi kesehatan). Kedua, pertumbuhan dalam rata-rata belanja pegawai pusat
! *
?]! $ ^^[
secara bertahap pada tahun 2019. Bagian 2 Tabel 1 menunjukkan potensi penghematan tahunan
dari langkah-langkah tersebut, dibanding nilai dasar (baseline) hingga tahun 2019. Penghapusan
bertahap BBM secara sepenuhnya pada tahun 2009 akan membebaskan hingga 2 persen dari
PDB tahun-ke-tahun pada tahun 2019. Langkah-langkah perpajakan untuk meningkatkan
kepatuhan seperti melaksanakan pelaporan pihak ketiga sepenuhnya dan meningkatkan
kesesuaian data dapat meningkatkan penerimaan hingga hampir 1,5 persen dari PDB per tahun
pada tahun 2019, sementara peningkatan cukai tembakau hingga 70 persen akan meningkatkan
penerimaan sebesar 0,5 persen dari PDB pada tahun 2019. Pengelolaan belanja pegawai pusat
dan daerah agar tetap datar secara riil akan membebaskan hingga 1,4 persen dari PDB per tahun
pada tahun 2019. Secara keseluruhan, langkah-langkah tersebut berpotensi untuk meningkatkan
! %$% \^ <=%$
peningkatan hingga 5,3 persen dari PDB pada tahun 2019 (lihat Bagian 2 dari Tabel ES.2).24
Prioritas belanja: meningkatkan belanja infrastruktur, kesehatan, dan bantuan sosial
Penghapusan subsidi BBM secara bertahap seiring dengan reformasi pajak atau
upaya pengendalian belanja pegawai akan memungkinkan Indonesia untuk mampu
meningkatkan belanja bidang infrastruktur, kesehatan, dan bantuan sosialnya sebesar
dua kali lipat (Bagian 3 dari Tabel 1). Indonesia dapat melipatgandakan jumlah belanja
infrastrukturnya secara riil dan meningkatkannya ke 4,4 persen dari PDB pada tahun 2019,
dengan tambahan pembiayaan hanya 0,3 persen dari PDB pada 2015, yang secara bertahap
meningkat menjadi 1,9 persen dari PDB pada tahun 2019.
Untuk menutup setengah dari perbedaan dengan standar belanja kesehatan pemerintah
normal internasional per kapita25 pada akhir periode RPJMN itu, Indonesia harus
meningkatkan belanja kesehatannya menjadi 2,4 persen dari PDB pada tahun 2019
(dari 0,9 persen dari PDB pada tahun 2013). Belanja bantuan sosial harus meningkat
menjadi 1 persen dari PDB sejak tahun 2015 untuk mengakomodir biaya SJSN kesehatan, serta
memungkinkan peningkatan program-program kemiskinan. Peningkatan belanja kesehatan dan
bantuan sosial akan membutuhkan tambahan pendanaan sebesar 0,4 persen dari PDB pada tahun
2015, dan akan meningkat menjadi 1,6 persen dari PDB pada tahun 2019.
Jumlah tambahan pendanaan yang dibutuhkan untuk ketiga prioritas belanja ini
adalah 0,6 persen dari PDB pada tahun 2015, dan akan meningkat menjadi 3,6 persen
dari PDB pada tahun 2019. Tambahan itu dapat dipenuhi melalui gabungan pilihan ruang
! ^ <! !!
ditambah reformasi pajak atau upaya terpadu untuk mengendalikan belanja pegawai.26 Indonesia
berada pada posisi yang menguntungkan untuk memenuhi tantangan perluasan pendanaan yang
ambisius dalam bidang yang mendukung pembangunan tersebut.
24 Diskusi ini memfokuskan pada kesempatan yang dapat tercipta melalui pengarahan ulang belanja dan peningkatan pengumpulan
penerimaan, namun pilihan itu bukan merupakan satu-satunya pilihan. Sebagai contoh, sesuai dengan pertimbangan keberlanjutan
$+ ! ?
25 Perkiraan rata-rata semua negara dengan tingkat pendapatan yang sebanding (PDB per kapita) dengan Indonesia.
26 Angka-angka ini bersifat konservatif dalam hal mereka tidak menyertakan potensi lingkaran masukan positif dari peningkatan
! \^ $ ?
20
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
Tantangan dalam Implementasi: Apa yang Dapat Dilakukan?
Administrasi publik memainkan peran penting dalam penyediaan lingkungan maupun
layanan aturan hukum yang sangat penting bagi terciptanya negara yang makmur
dan adil merata. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, administrasi harus cepat tanggap
dalam memberikan peraturan yang kuat untuk mendukung investasi serta menyediakan layanan
dan infrastruktur inti bagi kebutuhan perorangan maupun perusahaan – termasuk jalan-jalan,
! $ $ $ ! $ !!?} $!
dan praktik di dalam administrasi pemerintah yang menjadi bagian dari proses pembangunan
Indonesia selama dekade lalu tidak akan dibutuhkan di masa depan dan bahkan dapat merintangi
pertumbuhan masa depan. Perlu ada perhatian untuk menyelaraskan dan memfokuskan ulang
lembaga-lembaga inti pemerintahan guna mendukung ekonomi yang moderen dan berkembang
pesat.
Z ! "$ !% " " " ! $Y;
lembaga pemerintah yang berlangsung sejak tahun 1998, masih banyak unsur-unsur inti
dari masa sebelum tahun 1998 yang masih tersisa. Sebagai contoh, Kemenpan & RB terus
mengendalikan pengelolaan aparat negara dan, sementara sekarang terdapat sejumlah pemangku
kepentingan yang merumuskan dan menerapkan kebijakan pada tingkat nasional dan daerah,
tidak terdapat mekanisme koordinasi antar pemerintahan yang efektf. Hal ini mengakibatkan
penyediaan layanan lembaga-lembaga pemerintahan yang buruk, penetapan kebijakan lintas
sektor yang tidak konsisten, dan tidak tanggapnya pengaturan terhadap prioritas pemerintah
dan warga negara. Kegagalan pengaturan kebijakan dan kelembagaan lama dalam melakukan
penyesuaian untuk mencerminkan lingkungan yang baru merupakan kendala terhadap efektivitas
administrasi pemerintah, dan membawa ancaman terhadap ambisi masa depan Indonesia.
Untuk mendukung ekonomi yang berkembang pesat, fokus ulang administrasi pemerintahan
perlu diperhatikan untuk mendukung hal-hal berikut:
Pusat Pemerintahan yang lebih kuat untuk mengelola proses kebijakan dan menyelesaikan
?
Perampingan birokrasi demi peningkatan akuntabilitas.
Peningkatan pengelolaan strategis sumber daya manusia dalam administrasi pemerintahan.
Tata cara perencanaan dan penganggaran yang lebih baik untuk mewujudkan hasil belanja
pemerintah yang lebih baik pula.
Akuntabilitas yang lebih kuat bagi penyampaian layanan pada tingkat daerah.
Reformasi-reformasi tersebut sangat sulit untuk diterapkan. Namun, menilik beban
terhadap ekonomi dan ambisi negara yang diakibatkannya, Indonesia tidak mampu untuk
tidak mempertimbangkan penerapan yang tegas dari sejumlah reformasi tersebut untuk jangka
panjang (hasil yang mudah dipetik). Mungkin yang paling mendesak adalah kebutuhan akan
Pusat Pemerintahan (Center of Government, CoG) yang lebih kuat. Pada tahun 2004, OECD/
Sigma memberikan suatu ikhtisar dari sejumlah fungsi inti yang dapat dijumpai pada CoG yang
efektif.27 Fungsi-fungsi itu termasuk: (i) tinjauan dokumen kebijakan: jaminan kualitas; mediasi
<]+[ Q
(OECD; Paris, 2004).
21
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
antar kementerian; (ii) pemantauan kinerja pemerintah; (iii) koordinasi kebijakan/prioritas
horisontal; (iv) kesesuaian hukum dari RUU; (v) komunikasi dengan media dan masyarakat; serta
(vi) koordinasi dengan cabang-cabang pemerintah yang lain.
Sejumlah lembaga negara yang berbeda di Indonesia, yang dimulai dari Kabinet
Kepresidenan, memainkan sejumlah peran dalam koordinasi kebijakan termasuk tiga
Kementerian Koordinator, Kementerian Keuangan, Bappenas, Kemenpan&RB, kantor
Wakil Presiden, satuan-satuan pelaksanaan (UKP4 dan TPN2K), dan lain-lain. Namun
fragmentasi peran dan fungsi CoG ini tidak memberikan yang terbaik bagi negara. Sebaliknya,
para kementerian telah menerapkan peraturan dan kebijakan baru yang bertentangan dengan
aturan-aturan lainnya. Pengelolaan kebijakan juga menjadi lebih sulit akibat adanya berbagai
tantangan dalam mengkoordinasi proses-proses perencanaan dan penganggaran yang berlainan
untuk bagian-bagian anggaran yang berbeda. Di kemudian hari, pemerintah Indonesia dapat
mempertimbangkan bagaimana menyempurnakan mandat-mandat dan fungsi-fungsi dari
berbagai lembaga yang mendukung CoG, dan memberdayakan Kantor Presiden (atau yang
ditugaskan) atau lembaga lain untuk memegang peran yang lebih kuat dalam mengelola proses
kebijakan.
Pertaruhan yang sangat besar: hasil yang dicapai bila melakukan reformasi dan biaya
yang harus ditanggung bila tidak melakukan reformasi
Indonesia harus tumbuh di atas 5 persen untuk menghindari masalah pengangguran
yang serius. $
10 tahun ke depan sebelum mencapai puncaknya sebagai proporsi jumlah penduduk sekitar
tahun 2025. Sebagian besar dari tambahan 14,8 juta jiwa yang akan masuk menjadi penduduk
usia kerja pada tahun 2020 akan mencari pekerjaan dan penyerapan tenaga kerja ini akan
membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Berdasarkan sensitivitas pekerjaan terhadap
pertumbuhan pada periode tahun 1990-2012, jika Indonesia bertumbuh sebesar 6,5 persen
per tahun, maka akan tercipta 12,4 juta pekerjaan baru pada tahun 2020. Pencapaian tersebut
memiliki perbandingan yang baik dengan penciptaan lapangan kerja, bila laju pertumbuhan
Indonesia hanya mencapai 5,0 persen per tahun: 10,2 juta pekerjaan baru pada tahun 2020.
Karenanya, perbedaan antara bertumbuh sebesar 5,0 persen dan 6,5 persen adalah 2,2 juta
! ! $ ! ?
Melihat pada jangka yang lebih panjang, pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat (di
atas 5 persen) juga dibutuhkan bila Indonesia hendak menaiki tangga pendapatan dan
menempatkan dirinya menjadi ekonomi berpenghasilan tinggi sebelum mulai menua.
Agar Indonesia dapat mencapai status berpenghasilan tinggi pada tahun 2030—yaitu dengan
pendapatan per kapita sebesar 12.000 dolar AS—maka Indonesia harus mencatat pertumbuhan
sebesar 9 persen per tahun pada 16 tahun berikutnya.28 Bila tingkat pertumbuhan yang sangat
tinggi ini tidak tercapai, maka pertumbuhan setidaknya di atas “kecenderungan” pertumbuhan
yang ada sekarang pada 5-6 persen akan dibutuhkan untuk memposisikan Indonesia sehingga
negara ini terhindar dari perangkap pendapatan menengah. Pendapatan per kapita di Singapura,
Jepang, Korea Selatan, dan Hong Kong semuanya telah berada di atas 12.000 dolar AS ketika
28 Menggunakan konstanta dolar AS tahun 2013.
22
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
populasi negara-negara itu mulai menua. Bagi Indonesia, akan dibutuhkan pertumbuhan
yang sangat cepat untuk mencapai hal itu. Untungnya, Indonesia memiliki kemampuan untuk
melakukannya, namun dibutuhkan implementasi berbagai reformasi yang serius seperti yang
diuraikan di atas.
\]
Indonesia (2030)
" " " # % =
Struktur Laporan
Laporan ini terdiri dari 3 bagian dan 9 bab. Pada Bagian 1, laporan melihat ke belakang
dan menganalisis pendorong-pendorong utama transformasi Indonesia pada dekade yang
lalu (Bab 1) dan konsekuensi sosialnya (Bab 2). Bagian kedua laporan, yang terdiri dari 4 bab,
dibuka dengan menempatkan kerangka bagi analisis perjalanan Indonesia mencapai status
berpenghasilan tinggi (Bab 3). Bab ini menyoroti kesempatan-kesempatan dan risiko-risiko yang
akan membentuk prospek ekonomi dan strategi pertumbuhan, prioritas kebijakan, dan reformasi
kelembagaan yang dapat membantu Indonesia untuk merealisasikan cita-cita Indonesia. Bab 4,
5, dan 6 kemudian akan menguraikan bidang reformasi kebijakan dan prioritas-prioritas untuk
mendorong kesejahteraan, yaitu dengan menutup kesenjangan infrastruktur dan keterampilan
Indonesia (masing-masing Bab 4 dan 5) serta meningkatkan fungsi pasar faktor dan produk
(Bab 6). Bagian akhir laporan akan membahas sejumlah rincian prioritas kebijakan untuk berbagi
kesejahteraan secara lebih luas: penyediaan layanan berkualitas bagi semua (Bab 7), jaminan sosial
yang ditingkatkan (Bab 8), dan peningkatan ketahanan dan pengelolaan risiko-risiko bencana
alam.
23
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
Lampiran Tabel ES 1: Ringkasan pilihan reformasi kebijakan utama yang disarankan
Sasaran pembangunan Pilihan kebijakan yang disaBukti, fakta yang penting
rankan
Meningkatkan pertumbuhan produktivitas
Menutup kesenjangan infra- Meningkatkan jumlah belanja
Penghapusan subsidi BBM secara bertahap
struktur
infrastruktur sektor publik dari 2,5 saja sudah cukup untuk mendanai peningpersen dari PDB pada 2013 ke 4,5 katan ini sepenuhnya (akan membebaskan
persen pada 2019
2% dari PDB)
!
Kecilnya bagian DAK dalam jumlah transpemerintah daerah untuk mendorong fer (hanya 7 persen) dan sangat terpecahinvestasi infrastruktur
pecah
Pendanaan alternatif bagi daerah
Kabupaten-kabupaten yang besar tak
kabupaten yang telah siap
dapat memanfaatkan kesempatan ini;
namun dibutuhkan langkah-langkah pengamanan untuk menurunkan risiko-risiko
!
Memperkuat prioritas/pemilihan
Berbagai badan dan kementerian menyudan persiapan proyek
sun daftar proyek; kelayakan/perbandingan dengan dana seringkali tidak ada
Memperkuat kemitraan antara sek- Sektor swasta sering hanya diharapkan
tor publik dan swasta
untuk menjalankan proyek-proyek yang
telah dipilih sebelumnya dan menyediakan
pendanaan
Implementasi UU pertanahan yang Setelah ditetapkan, UU ini akan membubaru secara efektif
tuhkan peraturan pelaksana yang baik
Menutup kesenjangan tenaga Memperkuat sistem jaminan kuali- Penilaian kualitas tidak ditindaklanjuti dan
terampil
tas pendidikan dengan melakukan
tindakan korektif tidak diimplementasikan
tindak lanjut pada hasil penilaian
secara efektif
kualitas
Memberikan lebih banyak informasi Pilihan pekerjaan bagi para lulusan bergankepada siswa tentang kesempatan
tung kepada informasi tentang kesempatan
pada pasar tenaga kerja
kerja
Membuat pendidikan tersier dan
Kekurangan dan ketidakcocokan keterkejuruan lebih tanggap terhadap
ampilan masih bertahan, sebagian karena
kebutuhan pasar
sistem tidak tanggap terhadap pasar
Membentuk lebih banyak lembaga
Sebagian besar pusat pelatihan bergerak di
pendidikan untuk memberikan pela- sektor dengan produktivitas rendah (spa,
tihan yang relevan dan keterampilan salon kecantikan, dll.).
"
dengan nilai tambah yang lebih
tinggi
Meningkatkan fungsi pasar
# Pasar produk
Membangun “Pusat Pemerintahan” Tidak konsistennya kebijakan dan aturan
yang kuat
mencerminkan kaburnya strategi dan
lemahnya integrasi/perantaraan kebijakan
24
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
Melanjutkan penyederhanaan prosedur investasi, termasuk perizinan
# Pasar tenaga kerja
# Pasar Modal
# Pasar Tanah
Layanan daerah yang
berkualitas bagi semua
Mengubah aturan uang pesangon
pada UU tenaga kerja setelah
berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan terkait
Menggunakan rumus penetapan
upah minimum baru berdasar biaya
gunaan faktor produktivitas untuk
kenaikan upah
$ " sus untuk mengembangkan pasar
obligasi perusahaan
Membangun sistem hukum yang
lebih terpercaya untuk melindungi
"
Implementasi UU pertanahan yang
baru secara efektif
Waktu hingga menerima izin bervariasi
menurut daerah dan sektor; fasilitasi investasi membantu investor
Uang pesangon tidak melindungi pekerja
dan tidak mendorong ketenagakerjaan
formal
Ketidakpastian penetapan upah minimum
menjadi kendala ketenagakerjaan formal
Dibutuhkan tambahan analisis untuk
menemukan langkah-langkah khusus yang
mendukung
Dibutuhkan tambahan analisis untuk menemukan langkah-langkah khusus yang lebih
mendukung
RUU pertanahan yang baru menjawab
sejumlah masalah utama terkait pengadaan
tanah
Pemerataan kesejahteraan yang lebih luas
Mengubah aturan uang pesangon
Tidak konsistennya kebijakan dan aturan
pada UU tenaga kerja setelah
mencerminkan kaburnya strategi dan
berkonsultasi dengan para pelemahnya integrasi/perantaraan kebijakan
mangku kepentingan terkait
Menggunakan rumus penetapan
Waktu hingga menerima izin bervariasi
upah minimum baru berdasar biaya menurut daerah dan sektor; fasilitasi in vestasi membantu investor
gunaan faktor produktivitas untuk
kenaikan upah
$ " - Uang pesangon tidak melindungi pekerja
sus untuk mengembangkan pasar
dan tidak mendorong ketenagakerjaan
obligasi perusahaan
formal
Membangun sistem hukum yang
Ketidakpastian penetapan upah minimum
lebih terpercaya untuk melindungi
menjadi kendala ketenagakerjaan formal
"
25
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
Penguatan perlindungan
sosial
Implementasi UU pertanahan yang
baru secara efektif
Kepemimpinan dan implementasi
berkualitas tinggi dari SJSN
Meningkatkan belanja bantuan
sosial dari 0,7 persen dari PDB
pada 2013 ke 1 persen dari PDB
mulai tahun 2015
Meningkatkan program-program
kemiskinan yang telah terbukti
(mis. PKH), reformasi yang tidak
efektif (mis. RASKIN) dan isi kesenjangan cakupan dengan program
percontohan (mis. lansia, berkebutuhan khusus, usia dini, kesejahteraan
kerja)
Menjaga model koordinasi dan pengawasan terpadu bagi implementasi
program kemiskinan yang efektif
Pengelolaan risiko bencana,
membangun ketahanan
Pembangunan infrastruktur
Peningkatan perlindungan terhadap risikorisiko kesehatan
Bantuan sosial bagi
kaum miskin
Dibutuhkan tambahan analisis untuk
menemukan langkah-langkah khusus yang
mendukung
Dibutuhkan tambahan analisis untuk menemukan langkah-langkah khusus yang lebih
mendukung
RUU pertanahan yang baru menjawab
sejumlah masalah utama terkait pengadaan
tanah
Lihat bukti terkait pada bab 2 dan 8
Karena banyaknya jumlah kementerian
dan badan negara yang melaksanakan,
dibutuhkan suatu “perantara” unik yang
menjadi payung untuk menjaga konsistensi
dan efektivitas
Menetapkan program nasional pada Dibutuhkan bagi peningkatan ketahanan
tata ruang mikro daerah berbahaya dengan rancangan situs dan standar pembangunan
Menempatkan kerangka pendanaan Dibutuhkan untuk memberi insentif asurbagi pembangunan perumahan dan ansi bencana
properti
Menetapkan program nasional
Untuk meningkatkan ketahanan pemukiuntuk peningkatan perkotaan dan
man dan infrastruktur perkotaan yang ada
rehabilitasi ekosistem
(pertumbuhan hijau)
Prakarsa pilihan pendanaan
Penghapusan subsidi
Penghapusan subsidi BBM secara bertahap
premium dan solar secara
akan membebaskan 2 persen dari PDB
bertahap dalam 5 tahun
pada tahun 2019
Mengendalikan belanja
1,4 persen dari PDB bisa didapat jika
pegawai pusat dan daerah
belanja pegawai pusat dan daerah bisa
Meningkatkan penerimaan
pajak dengan peningkatan
dibanding kenaikan 5 persen hingga 8
administrasi pajak (lang
kah-langkah peningkatan
tahun terakhir
kepatuhan seperti pelaksaLangkah-langkah administrasi pajak dapat
naan pelaporan pihak ketiga
meningkatkan penerimaan hampir 1,5
sepenuhnya dan meninpersen dari PDB per tahun pada tahun
gkatkan kesesuaian data)
2019, sementara peningkatan cukai temdan meningkatkan cukai
bakau ke 70 persen akan meningkatkan
tembakau
penerimaan sebesar 0,5 persen dari PDB
pada tahun 2019
26
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Implementasi agenda
pembangunan yang
efektif
Indonesia: Menghindari Perangkap
Memperkuat implementasi
Pusat Pemerintahan yang
lebih kuat untuk mengelola
proses kebijakan dan meny!
Merampingkan birokrasi
bagi peningkatan akuntabilitas
Lebih banyak pengelolaan
sumber daya manusia yang
strategis lintas administrasi
pemerintahan
Prosedur perencanaan dan
penganggaran yang lebih
baik untuk penyampaian hasil belanja pemerintah yang
lebih baik
Lebih kuatnya akuntabilitas
bagi penyediaan layanan
pada tingkat daerah
^ _baseline`= % " !
peningkatan belanja infrastruktur, bantuan sosial dan kesehatan
(Semua angka adalah persen dari PDB)
2013
2014
2015
2016
2017
2018
_baseline) – bisnis berjalan seperti biasa
Penerimaan
15,7
16,6
16,5
16,5
16,7
16,7
Pajak
11,8
11,7
11,7
11,7
11,7
11,7
Bukan pajak
3,9
4,8
4,8
4,8
5,0
4,9
Pengeluaran
18,1
18,6
18,6
18,5
18,5
18,4
Belanja pegawai pusat
2,4
2,4
2,4
2,4
2,4
2,4
Belanja pegawai daerah
3,3
3,4
3,5
3,6
3,8
3,9
Subsidi BBM
2,3
2,4
2,4
2,5
2,5
2,6
Infrastruktur
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
Bantuan sosial (termasuk SJSN)
0,7
0,9
0,8
0,8
0,8
0,8
Kesehatan
0,9
0,9
1,0
1,0
1,0
1,0
q
-2,4
-2,1
-2,1
-2,0
-1,8
-1,8
^ % " !
(a) Peningkatan penerimaan pajak
0,4
0,8
1,1
1,5
1,9
dengan peningkatan administrasi pajak
dan kenaikan cukai tembakau
(b) Pengendalian belanja pegawai pusat
0,3
0,5
0,8
1,1
1,4
dan daerah
(c) Penghapusan bertahap subsidi
0,4
1,0
1,5
1,9
2,0
premium & solar selama 5 tahun
27
2019
16,7
11,7
5,0
18,5
2,4
4,1
2,7
2,5
0,7
1,1
-1,7
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Ringkasan Eksekutif
Indonesia: Menghindari Perangkap
|! !
1,1
2,3
3,5
4,4
5,3
3. Jumlah prioritas belanja –
0,6
1,2
2,1
2,8
3,5
kebutuhan tambahan pendanaan
3a. Prioritas Belanja 1: Peningkatan jumlah belanja modal infrastruktur hingga 4,4 persen pada
tahun 2019
Infrastruktur
2,5
2,5
2,8
3,0
3,6
4,0
4,4
Kebutuhan tambahan pendanaan
0,3
0,5
1,1
1,5
1,9
3b. Prioritas Belanja 2: Peningkatan belanja bantuan sosial ke 1 persen dari PDB sejak tahun 2015
Bantuan sosial/Social Assistance
0,7
0,9
1,0
1,0
1,0
1,0
1,0
(termasuk SJSN)
Kebutuhan tambahan pendanaan
0,2
0,2
0,2
0,2
0,3
3c. Prioritas Belanja 3: Peningkatan belanja kesehatan masyarakat ke 2,4 persen dari PDB pada
tahun 2019
Kesehatan
0,9
0,9
1,2
1,5
1,8
2,1
2,4
Kebutuhan tambahan pendanaan
0,2
0,5
0,8
1,0
1,3
] ! _baseline) dari model RMSM Bank Dunia untuk Indonesia, diperbaharui bulan Februari 2014. Perkiraan
! ! ! ! ! ! ^ \ ?
Catatan:
<=% ! !$ $ ! ?
Untuk tahun 2014-19, penerimaan dan pengeluaran diproyeksikan dengan mengasumsikan kasus dasar (base case) skenario
\^$Z$* !
! ! ?
Penerimaan agregat adalah jumlah penerimaan pemerintah pusat dan hibah di luar pendapatan asli daerah. Pengeluaran agregat
!! ! ! ! ?
Belanja infrastruktur adalah jumlah perkiraan belanja modal dan berjalan untuk infrastruktur dari pemerintah pusat dan daerah.
Belanja modal diperkirakan mencapai 85 persen dari jumlah belanja infrastruktur.
Angka belanja bantuan sosial hanya untuk pemerintah pusat dan termasuk perkiraan biaya kesehatan SJSN mulai dari tahun
2014 dan selanjutnya.
Angka belanja kesehatan adalah jumlah perkiraan belanja untuk kesehatan oleh pemerintah pusat dan daerah.
28
Bagian 1
Indonesia pada Dekade
yang Lalu
Bab I. Transformasi
Ekonomi Indonesia
Pasca-1997/98
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
Bab I
Transformasi Ekonomi Indonesia
Pasca-1997/98
Indonesia menunjukkan kebangkitan ekonomi yang mengagumkan pasca-krisis keuangan
Asia tahun 1997/98. Dalam waktu satu dekade lebih sedikit, Indonesia telah berkembang dari
negara berpenghasilan rendah-menengah (middle-income country, MIC) yang menghadapi krisis
politik, keuangan, dan ekonomi, menjadi sebuah negara anggota G-20 yang demokratis, stabil,
dan percaya diri. Antara tahun 2001 dan 2012, jumlah PDB Indonesia meningkat hampir dua
kali lipat dari 580 miliar dolar AS ke 1,1 triliun dolar AS (ekonomi dunia terbesar nomor 15).
Pada periode yang sama, PDB per kapita meningkat dari 2.737 dolar AS ke 4.272 dolar AS
(semua dalam konstanta dolar AS tahun 2005, PPP). Pergeseran ini mencerminkan pemulihan
pertumbuhan ekonomi secara bertahap pasca tahun 1998: setelah mengalami kontraksi sebesar
13 persen pada tahun 1998, PDB riil kembali tumbuh ke tingkat rata-rata pertumbuhan
tahunan sebesar 4,7 persen pada periode tahun 2000-05, kemudian meningkat menjadi 5,7
persen pada periode tahun 2006-10 dan mencapai 6,0 persen pada periode tahun 2011-12, yang
mencerminkan kuatnya ketahanan Indonesia terhadap penurunan ekonomi global pada tahun
<==*? $ !
! $ \^ $ !
<=%$+ ! !
tahunan untuk pertama kali sejak tahun 1997.
Pelemahan pertumbuhan ekonomi dan tajamnya tekanan neraca luar negeri yang belakangan
terjadi memotivasi dilakukannya pengkajian ulang terhadap model dan pola pertumbuhan
Indonesia secara lebih mendalam. Bab pertama ini memfokuskan kepada pengkajian hal tersebut.
Adapun temuan-temuan utamanya adalah sebagai berikut:
Perbaikan manajemen kebijakan makro dalam dekade terkhir setelah krisis keuangan tahun
1997/98 berperan penting dalam mendukung stabilitas kinerja pertumbuhan Indonesia
selama dekade lalu;
Namun, pergeseran struktural yang cukup besar terlihat dalam perekonomian yang didorong
oleh dinamika-dinamika yang lebih dalam, terutama yang berasal dari lonjakan komoditas
yang dialami Indonesia selama periode tahun 2003-12, yang menjadikan perekonomian
bergantung terhadap ekspor yang berbasis komoditas;
Efek pendapatan dan kesejahteraan yang sangat besar yang berasal dari lonjakan komoditas
berkontribusi pada pertumbuhan PDB nominal, mendorong konsumsi swasta dan
mendukung pemulihan investasi;
Akibatnya, sektor jasa meningkat dengan cepat dan menjadi sektor terbesar dalam ekonomi,
baik dalam hal produksi maupun tenaga kerja dibanding pertanian; namun pola transformasi
struktural Indonesia menunjukkan perbedaan penting dibanding dengan Tiongkok, Korea
Selatan, dan India:
32
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
o Penurunan di sektor pertanian (sebagai rasio dari total produksi dan total tenaga kerja)
secara relatif lebih lambat di Indonesia dibanding ketiga ekonomi di atas selama tiga
dekade terakhir, yang mencerminkan kenyataan bahwa sejumlah cabang pertanian di
Indonesia merasakan manfaat dari lonjakan komoditas pada dekade lalu (minyak kelapa
sawit, karet, dan dalam taraf yang lebih kecil, kopi dan teh);
o Peningkatan di sektor jasa di Indonesia juga relatif lebih kecil dibanding Tiongkok,
Korea Selatan, dan India, mencerminkan kenyataan bahwa ukuran sektor jasa dengan
nilai tambah yang lebih kecil meningkat jauh lebih besar dibanding sektor jasa modern di
Indonesia;
Sementara sektor manufaktur juga menurun sebagai rasio dari PDB selama dekade lalu,
besarnya ketersediaan tenaga kerja di pulau Jawa (populasi 139 juta), di mana sebagian
besar perusahaan manufaktur berlokasi, membantu Indonesia untuk menghindari kontraksi
absolut di sektor manufaktur dan Dutch Disease; dan
Lonjakan komoditas telah mendorong ekspor untuk condong ke arah komoditas (65
persen dari jumlah ekspor tahun 2012). Hal ini meningkatkan risiko terhadap lonjakan nilai
tukar perdagangan (terms of trade) kepada Indonesia yang dapat dengan cepat mendorong
peningkatan ketidakseimbangan luar negeri, seperti yang terlihat pada tahun lalu.
Gambar 1.1: Pertumbuhan PDB riil, 1990-2012
Sumber: World Development Indicators 2013 (WDI), Staf Bank Dunia.
Bab berikut menyoroti transformasi sosial
yang berkaitan dengan pergeseran ekonomi
di atas. Transformasi ekonomi dan sosial
pada dekade lalu membutuhkan pergeseran
bertahap menuju pertumbuhan yang didorong
oleh produktivitas untuk memperdalam
transformasi struktural (Bab 3). Bagian lain bab
itu membahas kualitas penyusunan kebijakan
ekonomi makro pasca tahun 1997/98 (Bagian
1), menjelaskan bagaimana besarnya pengaruh
pendapatan dan kesejahteraan yang berasal
dari lonjakan komoditas mempengaruhi
permintaan dalam negeri melalui sektor
korporat, rumah tangga, dan keuangan publik
(Bagian 2), membahas pergeseran yang terjadi
pada struktur produksi, tenaga kerja, dan
ekspor, serta melihat ongkos lingkungan akibat
adanya pertumbuhan selama dekade yang telah
berlangsung (Bagian 5).
1. Perubahan Arah Penentuan Kebijakan Makro Pasca-1997/98
Indonesia telah mengalami kemajuan yang mengagumkan dalam hal stabilitas ekonomi
makro dalam dekade terakhir. Sebagaimana disoroti di atas, kuatnya permintaan komoditas
global telah menciptakan pertumbuhan produksi (output) yang kuat dan konsisten, yang juga
didukung oleh meningkatnya investasi sektor swasta, konsumsi dalam negeri yang kuat, serta
surplus neraca luar negeri yang secara umum berkelanjutan. Walau sempat terdapat kecemasan
33
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
pada akhir tahun 2008 bahwa ekonomi akan terseret ke krisis besar lainnya seperti krisis yang
terjadi pada tahun 1997/98, namun pada akhirnya ekonomi Indonesia mampu bertahan
! !!!?
"% $ ! "%! ^xxz{x|
+ !"} " "
kebijakan makronya—serta pendekatan yang bersifat proaktif dan berhati-hati dalam
mempersiapkan dan meminimalisir dampak krisis. Kedua hal di atas sebenarnya tak lepas
dari pengalaman pada krisis tahun 1997/98. Kekuatan yang ada pada kebijakan makro dan
!$ ! ! ! !
tahun berjibaku dan mengolah langkah-langkah dalam rangka mengatasi kerentanan yang
ditunjukkan oleh, atau berasal dari, krisis tahun 1997/98. Tanggapan kebijakan pemerintah pada
<==* O!<==>$ ! ! $
juga mencerminkan tekad yang kuat untuk tidak mengulangi dampak krisis tahun 1997/8
!$ !$ ! !
$ $
yang lalu.
Warisan krisis tahun 1997/98
Asal mula dan evolusi krisis tahun 1997/98 telah diuraikan secara terperinci pada
laporan lain.29 Secara singkat, menumpuknya permasalahan yang diakibatkan oleh adanya
ketidaksesuaian antara nilai tukar mata uang dan waktu jatuh tempo, tingginya kewajiban dan
risiko investasi, lemahnya struktur pengawasan dan pengaturan dan tata kelola perusahaan,
bersamaan dengan situasi ketidakseimbangan makro luar negeri, terakumulasi dan seluruhnya
terungkap ketika Rupiah menerima tekanan pasca devaluasi baht Thailand yang terjadi pada
pertengahan tahun 1997. Depresiasi kurs tukar, kontraksi kredit, peningkatan suku bunga,
kemerosotan yang tajam dalam kualitas aset dan kekacauan politik mendorong jatuhnya investasi
riil sebesar sepertiga pada tahun 1998, telah berkontribusi kepada kontraksi PDB sebesar 13
_[ ?$<==`? ?30
Tingkat utang pemerintah meningkat secara drastis, dari 40 persen terhadap PDB di
tahun 1997 menjadi lebih dari 100 persen di tahun 2000.} !
$ ! $ ! <$*
!%>>><===$ !
pembangunan. Utang pemerintah dalam negeri naik dari nol sebelum krisis menjadi 50 persen
terhadap PDB di tahun 2000 karena penerbitan obligasi pendukung likuiditas dan rekapitalisasi
bank. Depresiasi rupiah juga meningkatkan nilai mata uang lokal dari utang-utang pemerintah
yang telah ada, yang umumnya dipinjam dari kreditor asing yang resmi.
~ % !" ; !!! =
"! Y"!$"!%" obligasi “rekapitalisasi” dengan suku bunga
29 Lihat Ghosh, S.R. (2013) East-Asian Crisis of 1997. In: Gerard Caprio (ed.). The Evidence and Impact of Financial
Globalization, Vol. 3, pp. 669-688. Oxford: Elsevier Inc.; Ghosh, S.R. (2001) Managing Financial Integration – Lessons from East
Asia: Indonesia Case Study; Mansoor, A. M. Takagi, S. Barnes, K. and Cohen, B. H. (2003): The IMF and Recent Capital Account
+ $# ^!?+[Q+ ! ~ Q O $? $[?
(2003)”Managing Indonesia’s Debt,” Asian Economic Papers, MIT Press, vol. 2(3), halaman 128-154.
30 Bab 2 membahas kinerja Indonesia dalam menurunkan kemiskinan selama dekade yang lalu atau lebih.
34
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
mengambang ( ) berjumlah sekitar sepertiga dari utang dalam negeri pada akhir tahun
2000; sekitar 46 persen utang pemerintah merupakan utang luar negeri pada akhir tahun 2000;
dan amortisasi utang dalam negeri meningkat tajam sejak tahun 2004. Biaya layanan utang
_ ' \^ %>> *
tahun 2002) dan terdapat kecemasan bahwa tingginya kebutuhan pendanaan pemerintah akan
menurunkan pinjaman swasta (crowd out).
Menangani imbas krisis
Untuk menangani beban jasa utang dan potensi pengaruh penurunan utang swasta
akibat naiknya utang pemerintah (crowding out effects), terdapat fokus yang cukup besar
terhadap upaya penurunan tingkat utang pemerintah secara keseluruhan. Utang luar
negeri yang resmi juga dijadwalkan ulang pada awal tahun 2000an melalui negosiasi Paris Club.
!_ \^` _= \^`
<==_^! ! ?$<==>`?\ ! O
itu (dengan rata-rata sebesar 1,2 persen dari PDB sejak tahun 2000 hingga 2010). Apresiasi
kurs tukar ditambah pertumbuhan PDB nominal yang kuat juga memberi kontribusi kepada
penurunan utang pemerintah yang mengagumkan ke kurang dari 25 persen dari PDB pada tahun
2012.
Juga terdapat fokus penanganan risiko suku bunga, nilai tukar, dan waktu jatuh tempo
!" "
! " = "! "
dan korporat. Sebagai akibatnya, risiko suku bunga dan perpanjangan rasio utang pemerintah
O ! ?]
! ! ! ! ?!
membatasi peningkatan ketidakseimbangan luar negeri. Pengawasan keuangan dan reformasi
peraturan juga terus dilanjutkan.
Kebijakan baik di masa sulit: tanggapan kebijakan terhadap krisis keuangan global
Pada akhir tahun 2008, imbal hasil (yield) obligasi dalam negeri dan nilai tukar berada
di bawah tekanan, dan terdapat kecemasan bahwa Indonesia akan masuk ke masa krisis
lainnya, serupa dengan krisis tahun 1997/98, walau memiliki posisi makro yang kuat.31
Namun, pihak otorita menanggapi tekanan-tekanan tersebut secara proaktif, dan membiarkan
nilai tukar untuk menyesuaikan diri. Pemerintah bergerak dengan meluncurkan paket stimulus
! $
pencairan belanja pemerintah yang sedang berjalan. Selain itu, inovasi penting adalah keputusan
Pemerintah untuk menetapkan fasilitas pendanaan darurat dengan para mitra pembangunannya,
termasuk Bank Dunia, pada awal tahun 2009. Fasilitas ini bertujuan untuk menurunkan risiko
bila terjadi peningkatan biaya pendanaan atau penurunan akses pasar, dan sekaligus untuk
$ $
terhadap belanja-belanja utama, seperti yang dialami pada tahun 1998.
Pemerintah juga mengambil sejumlah langkah-langkah lain untuk meningkatkan
pemantauan, kesiapan, dan tanggapan krisis. Termasuk di antaranya serangkaian Protokol
Pengelolaan Krisis, yaitu sejumlah kebijakan untuk meningkatkan pelaksanaan anggaran dan
31 Ref: IMF (2012), Indonesia: Sustaining Growth during Global Volatility.
35
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
meningkatkan penargetan belanja sosial. APBN-P 2012 dan APBN 2013 juga menyertakan
aturan yang memungkinkan penyesuaian belanja atau pendanaan untuk menghadapi krisis,
dengan persetujuan DPR dalam waktu 24 jam. Sekalipun dengan kemajuan itu, dengan
berlanjutnya ketidakpastian dalam lingkungan global, masih dibutuhkan upaya berkelanjutan
! Z ?]! $!! !$
beban subsidi BBM, masih dapat ditingkatkan, walau dengan kuatnya neraca secara keseluruhan.
Peningkatan pengelolaan kebijakan makro secara keseluruhan membuka jalan bagi para
penyusun kebijakan Indonesia untuk meningkatkan fokus pada reformasi struktural dan
pertumbuhan. Reformasi struktural mencatat momentum pada sebagian besar dekade yang lalu,
namun telah melambat dalam beberapa tahun terakhir dan, seperti dibahas pada bagian berikut,
pergeseran struktural yang besar di dalam ekonomi umumnya didorong oleh ledakan komoditas
yang dialami Indonesia selama periode tahun 2003-12.
2. Dampak Transformasi Ledakan Komoditas
" %;% " "%! ^xx];
terjadinya peningkatan pendapatan dan kemakmuran yang sangat besar di Indonesia.
Pengaruh-pengaruh ini merambah ke penerimaan perusahaan, pendapatan rumah tangga dan
$ !
untuk barang dan jasa. Peningkatan nilai aset-aset sumber daya alam secara langsung, dan juga
Z ! $
mendorong konsumsi terhadap aset-aset tersebut. Selain itu, sebagian besar peningkatan
penerimaan pemerintah dari sumber daya dan non-sumber daya alam berubah menjadi konsumsi
melalui subsidi BBM, sementara investasi infrastruktur, misalnya, relatif tidak mengalami
perubahan. Datarnya investasi infrastruktur pada tingkat yang relatif rendah ini bertolak
belakang dengan cepatnya peningkatan rasio investasi terhadap PDB dalam lima tahun terakhir
dan menggarisbawahi dominasi konstruksi dalam investasi, dengan investasi gedung bangunan
mencapai 85 persen dari jumlah investasi tetap.
' $ " $!" " + "" !
Sejak tahun 2003 hingga 2011, dunia mengalami salah satu lonjakan pertumbuhan
komoditas terbesar yang pernah tercatat. Pesatnya pertumbuhan di Tiongkok, India, dan
ekonomi-ekonomi berkembang lainnya mendorong cepatnya peningkatan permintaan akan
berbagai komoditas dan kenaikan harga-harga yang sangat tajam. Indonesia, salah satu negara
dengan sumber daya komoditas yang melimpah, memetik manfaat besar dari lonjakan ini (Tabel
1.1).32 Harga patokan internasional untuk batubara, minyak sawit dan minyak mentah—semua
merupakan komoditas ekspor penting bagi Indonesia—masing-masing meningkat tiga kali lipat,
dalam dolar AS, antara tahun 2000 dan 2010 (Gambar 1.2).
32 Indonesia adalah eksportir batubara thermal terbesar di dunia untuk penggunaan di pembangkit listrik, mengirimkan sekitar
bahan bakar dengan nilai sekitar 2 miliar dolar AS setiap bulan, terutama ke Tiongkok dan India. Indonesia merupakan pengekspor
terbesar dunia untuk minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO), yang memasok lebih dari setengah dari jumlah ekspor dunia untuk
komoditas itu.
36
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
Gambar 1.2: Harga komoditas dunia meningkat Tabel 1.1: Indonesia memetik manfaat yang
tajam
besar, berkat ekspornya, tahun 2012
(Indeks harga dolar AS, tahun 2000 = 100)
(persen)
Komoditas
Sumber: Bank Dunia dan perhitungan staf Bank Dunia
Bagian
pada jumlah
ekspor
Indonesia
(%)
Bagian
Indonesia
dalam jumlah
ekspor dunia
(%)
Batubara
13,8
17,0
Gas alam
10,8
5,0
Minyak sawit
mentah
9,3
52,4
Minyak mentah
6,5
0,7
Karet
4,2
14,6
Tembaga
1,4
5,0
Nikel
1,3
17,6
Kopi
0,7
4,2
Kakao
0,5
6,0
Sumber:UN-COMTRADE lewat WITS dan perhitungan staf
Bank Dunia.
Dampak pada nilai tukar perdagangan dan kekayaan korporat di Indonesia
Peningkatan tajam dalam harga-harga komoditas, diiringi oleh tanggapan pasokan
yang positif pada beberapa kasus (batubara, minyak sawit, gas alam, namun bukan
minyak mentah), mendorong peningkatan tajam dalam nilai tukar perdagangan (termsof-trade), penerimaan ekspor, dan neraca perdagangan luar negeri Indonesia. Nilai tukar
perdagangan Indonesia meningkat dua kali lipat antara tahun 2003 dan 2011. Selama periode
itu, jumlah penerimaan ekspor tahunan naik tiga kali lipat menjadi 203,5 miliar dolar AS, berkat
tingginya lonjakan ekspor komoditas. Surplus perdagangan Indonesia mencapai tingkat tertinggi
selama periode tersebut (dengan rata-rata 19,3 miliar dolar AS per tahun) dan lonjakan komoditas
! _balance of payments,
BOP) pada tahun 2003-11 (Gambar 1.3).
Kemakmuran yang berasal dari sektor sumber daya alam itu juga tercermin pada
" ! ! % %&
Sebagian besar peningkatan pada pasar saham sejak pertengahan tahun 2000 memiliki
kaitan dengan lonjakan komoditas dengan aset-aset pertambangan, batubara, dan minyak
sawit mencatat peningkatan nilai harga yang tinggi hingga bulan Maret 2011 (Gambar 1.4).
Peningkatan harga ini mendorong peningkatan indeks harga saham pertambangan hingga 20
kali lipat dari akhir tahun 2002 hingga akhir tahun 2012, dan peningkatan 14 kali lipat untuk
bidang pertanian dan berkontribusi kepada peningkatan 10 kali lipat dalam indeks harga
saham gabungan.33 Enambelas dari 21 milyarder pada daftar Forbes tahun 2010 tentang 40
orang terkaya di Indonesia berasal dari sektor batubara dan minyak sawit. Karena kenaikan
harga saham yang cukup besar, dan penerbitan saham-saham baru, valuasi pasar saham dalam
]Z
! %=!! Z
37
%!!?
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
negeri meningkat dari rata-rata sebesar 16 persen dari PDB selama tahun 2000-02 menjadi 49
persen selama tahun 2010-12 (di atas rata-rata sebelum krisis 1997/98 sebesar 37 persen pada
tahun 1995-96). Sektor pertambangan dan pertanian berkontribusi sekitar seperlima terhadap
peningkatan kapitalisasi-terhadap-PDB ini, hanya di bawah kontribusi dari pendanaan dan
gabungan kontribusi dari barang-barang konsumsi, serta perdagangan dan jasa-jasa. Indeks harga
saham gabungan Indonesia menjadi sangat peka terhadap pergerakan harga komoditas dunia
(walau hubungan ini dapat mencerminkan keterkaitan harga komoditas dunia dengan kondisi
permintaan dalam dan luar negeri secara lebih luas). Seperti ditunjukkan pada Gambar 1.6, juga
terdapat korelasi yang tinggi dengan selera risiko internasional, terutama pada masa-masa gejolak
!?
Gambar 1.3: Penerimaan ekspor komoditas
mendorong surplus perdagangan dan
kenaikan tajam dalam cadangan devisa
(miliar dolar AS, dalam nominal)
Gambar 1.4: Indeks saham meningkat
tajam, sebagian didorong oleh aset-aset
pertambangan
(indeks sektoral, Des 2000=100)
Sumber: BPS, BI dan perhitungan staf Bank Dunia.
Sumber: WDI, BPS, CEIC, dan perhitungan staf Bank Dunia.
Gambar 1.5: Harga saham Indonesia terkait
erat dengan harga komoditas global…
(indeks sektoral, Des 2000=100)
Gambar 1.6: … namun juga terkait dengan selera
risiko investor internasional
(indeks sektoral, Des 2000=100)
Sumber: CEIC dan perhitungan staf Bank Dunia.
Sumber: Bank Dunia, CBOE,CEIC dan perhitungan staf Bank Dunia.
Catatan: Harga saham akhir periode dan VIX. Harga komoditas global
adalah rata-rata harga energi dan non-energi. Korelasi adalah korelasi
tingkat bergulir 60 minggu.
38
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
Kontribusi bagi pemulihan investasi Indonesia
' $ " $! !! " # " ;
terhadap-PDB nominal di Indonesia pada dekade lalu. Setelah merosot dengan drastis
pasca krisis tahun 1997/98, rasio investasi-terhadap-PDB Indonesia telah pulih dengan pesat
selama lima tahun terakhir, bergerak naik menjadi 32 persen pada tahun 2012 (dibanding
27 persen di Korea Selatan, 30 persen di India, dan rasio sangat tinggi sebesar 46 persen di
Tiongkok, sebagai contoh). Sementara sebagian besar peningkatan ini didorong oleh peningkatan
harga-harga investasi, rata-rata pertumbuhan investasi riil mencapai 8,4 persen per tahun selama
periode tahun 2008-12 (naik dari 7,6 persen pada tahun 2003-07), dan telah mengikuti hargaharga komoditas (Gambar 1.7). Bahkan, penelitian terbaru tentang dinamika investasi jangka
pendek di Indonesia menemukan bahwa peningkatan nilai tukar perdagangan berkontribusi
sekitar sepertiga terhadap pertumbuhan investasi selama tahun 2005-11 (dengan tambahan
dukungan dari rendahnya volatilitas suku bunga dan nilai tukar riil).
Namun, sebagian besar peningkatan laju investasi dihabiskan untuk konstruksi
pembangunan, sementara peningkatan dalam investasi infrastruktur hanya terbatas.
Investasi nominal Indonesia didominasi oleh investasi gedung bangunan (yang merupakan 85
persen investasi pada tahun 2012, dan bagian yang sama dari pertumbuhan nominalnya selama
lima tahun terakhir). Tetapi peningkatan investasi konstruksi secara agregat ini tidak diikuti
dengan peningkatan rasio investasi infrastruktur-terhadap-PDB (yang akan dibahas secara lebih
terperinci pada bagian berikut laporan ini).
Gambar 1.7: Pertumbuhan investasi riil
Indonesia mengikuti pergerakan harga
komoditas
(pertumbuhan YoY, persen)
Gambar 1.8: …namun peningkatan nominal
investasi-ke-PDB yang besar tidak tercermin
dalam tingkat investasi infrastruktur
(persen)
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia.
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia.
Kontribusi bagi pertumbuhan PDB nominal dan pendapatan rumah tangga Indonesia
Selain itu, melalui hubungan tidak langsung, adanya peningkatan harga komoditas
telah mendorong sebagian pertumbuhan penerimaan yang cukup besar selama periode
tersebut. Sektor yang berkaitan dengan komoditas terkait secara langsung dengan sekitar
seperlima pertumbuhan PDB riil antara tahun 2002 dan 2012 (masing-masing sekitar seperlima
39
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
dari sub-sektor komoditas primer dan sekunder). Dengan peningkatan harga komoditas,
kontribusi sektor-sektor tersebut terhadap PDB nominal juga meningkat (sekitar dua per lima).
Bahkan, seperti ditunjukkan melalui Gambar 1.9, PDB nominal Indonesia telah menjadi sangat
terkait dengan pertumbuhan pada sektor komoditas. Hal ini dapat mencerminkan sebagian
dampak babak kedua dari kegiatan yang terkait dengan komoditas terhadap PDB melalui
permintaan akan barang-barang dan jasa-jasa lainnya.34
Gambar 1.9: Sektor komoditas berkontribusi
besar pada pertumbuhan PDB nominal
(Kontribusi ke pertumbuhan nominal YoY, persen)
Gambar 1.10: PDB nominal sangat terkait
dengan pertumbuhan sektor komoditas
(persen)
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia.
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia.
Gambar 1.11: PDB per kapita meningkat
dengan tajam
Sumber: World Development Indicators (WDI) 2013, Bank Dunia
dan staf Bank Dunia.
Rata-rata daya beli penduduk telah
meningkat secara drastis selama dekade
lalu, didukung oleh peningkatan yang
stabil dalam PDB per kapita dan pesatnya
pertumbuhan kredit konsumen. PDB
per kapita meningkat dari 2.737 dolar AS ke
4.272 dolar AS (secara konstanta PPP tahun
2005) antara tahun 2001 dan 2012. Kredit
konsumen juga meningkat drastis, mengimbangi
penerimaan rumah tangga. Peningkatan kredit
konsumen mencatat rata-rata pertumbuhan
tahunan sebesar 18 persen secara riil selama
periode tahun 2004-12. Walau pesatnya
peningkatan kredit konsumen ini berlangsung
dalam konteks peningkatan pendapatan dan
simpanan bank, tingkat kewajiban (leverage)
rumah tangga masih tetap relatif terbatas (lebih
rendah dari 20 persen dari PDB).
34 Pengaruh-pengaruh itu sulit dihitung dengan angka, namun dengan menggunakan tabel Input Output tahun 2008 (data terbaru
yang tersedia untuk umum), peningkatan satu unit rupiah pada permintaan akhir bagi sektor manufaktur komoditas meningkatkan
jumlah output ekonomi sebesar 2,14 unit (dengan pengaruh langsung pada output sektor manufaktur komoditas itu sendiri sebesar
1,37 unit dan pengaruh tidak langsung pada output sektor lainnya sebesar 0,77). Faktor pengali (multiplier) sektor pertambangan lebih
rendah pada 1,31 (umumnya pengaruh langsung).
40
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
Sebagai akibatnya, persentase individual yang menkonsumsi antara dua hingga
delapan kali lipat konsumsi garis kemiskinan meningkat dari 32 persen pada 2005 ke
40 persen pada 2012.35 Jumlah itu setara dengan 20 juta konsumen kelas menengah selama
tujuh tahun. Kenaikan pendapatan mendorong pertumbuhan permintaan dalam negeri yang
pesat. Khususnya, jasa-jasa “yang tidak dapat diperdagangkan” (non-tradable) seperti perumahan,
O$ $ $ $ !
permintaan yang pesat.36 Namun permintaan untuk barang manufaktur dan pangan, baik
! $ ?
swasta riil secara rata-rata mencapai 4,5 persen per tahun selama periode tahun 2003-12,
yang mencapai nilai puncak 5,3 persen pada tahun 2008 dan 2012, dan konsumsi swasta kini
merupakan 55 persen dari PDB nominal (2012).
Tanggapan sisi penawaran dan transformasi struktural
(i) Ekonomi condong ke arah jasa…
Didorong oleh peningkatan permintaan yang tajam, sektor jasa melonjak secara
! $ "!!%
lapangan kerja terbesar bagi Indonesia. Sektor jasa, secara umum, memberi kontribusi
rata-rata sebesar 3,3 poin persentase (pp) ke seluruh pertumbuhan PDB dibanding 1,8 pp
dari industri dan 0,6 pp dari pertanian pada periode tahun 2003-12. Sektor jasa terdiri dari
sejumlah besar cabang-cabang jasa—perdagangan ritel dan kulakan; hotel dan restoran; jasa-jasa
komunitas, sosial, perorangan dan pemerintah dapat disebut sebagai “jasa non-perdagangan
! $ ~ !$ $
dan usaha dapat dianggap sebagai “jasa yang lebih modern”. Transportasi dan komunikasi, jasa
! !$!$
dekade lalu.
Perluasan sektor jasa didorong oleh penambahan pekerja baru dalam jumlah besar.
Seperti dibahas secara terperinci pada Bab 2, 82 persen dari 20 juta lapangan kerja
baru yang tercipta secara keseluruhan pada tahun 2001-11 berada pada sektor jasa.37
Keterbukaan yang lebih besar terhadap investasi juga mendorong perluasan sektor itu. Antara
<==% <==*Z%=$ $ !
ritel, hotel, dan restoran dalam jumlah aliran investasi asing meningkat hampir dua kali lipat ke
rata-rata sebesar 63 persen pada tahun 2010, sebelum melambat menjadi 34 persen pada tahun
<=%< !Q\+ ?
pembatasan masuk bagi investor asing dan swasta ke sektor-sektor itu (persaingan yang lebih
besar) menjadi salah satu faktor pendorong utama dalam realisasi investasi-investasi tersebut.
Terdapat bukti yang kuat bahwa liberalisasi dalam bidang perdagangan ritel pada tahun 1998,
bidang telekomunikasi sejak tahun 1999 dan transportasi udara pada tahun 2004 membawa
dampak yang kuat terhadap investasi dan pertumbuhan pada sektor-sektor tersebut.38
35 Perorangan yang mengkonsumsi dua kali belanja garis kemiskinan memiliki kemungkinan sebesar 5 persen untuk tergelincir ke
keadaan miskin pada tahun berikutnya.
36 Kegiatan-kegiatan yang umumnya “yang tidak dapat diperdagangkan” menurut teori perdagangan standar, seperti konsumen/
pengguna tidak semudah itu berganti antara barang dalam negeri dan impor, tidak seperti barang-barang dan jasa-jasa manufaktur
yang dapat diperdagangkan yang bisa diimpor. Seorang konsumen di Jakarta hanya dapat memilih dari sejumlah hotel atau pusat
belanja yang terletak di Jakarta. Hukum Engel menyatakan bahwa jasa-jasa cenderung memiliki elastisitas permintaan pada
pendapatan yang lebih tinggi dibanding pertanian maupun manufaktur.
37 Implikasi peningkatan sektor jasa terhadap kemiskinan dan kerawanan diteliti pada Bab 2.
38 Lihat, sebagai contoh, Dharmawan, Gusti, Ngurah, Irwan (2012). The Effect of Air Transport to Economic Development in
Indonesia, Erasmus University of Rotterdam, Erasmus School of Economics.
41
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
Gambar 1.12: Sektor jasa tumbuh menjadi yang Gambar 1.13: …dan penyerap tenaga kerja
terbesar di dalam ekonomi negara…
terbesar
(persen dari PDB)
(persen jumlah pekerja)
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia.
Sumbet: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia.
(ii) …namun transformasi struktural kurang dramatis dibanding negara-negara lain yang juga tumbuh
dengan cepat
Pada negara-negara yang tumbuh dengan cepat, peningkatan di sektor jasa seringkali
berjalan beriringan dengan penurunan yang cepat di sektor tenaga kerja pertanian.
Peningkatan dalam sektor jasa dan penurunan relatif dalam sektor pertanian, walau kedua sektor
itu menghadapi permintaan konsumen yang tinggi, sejalan dengan pengaruh “Hukum Engel”
terhadap konsumsi. “Hukum” ini menyatakan bahwa permintaan bagi jasa cenderung lebih
meningkat dengan pendapatan berkat elastisitas peningkatan pendapatan untuk permintaan
jasa-jasa dibanding produk-produk pertanian (Chenery dan Syrquin, 1975; Chenery, Robinson
dan Syrquin 1986).39 Selain itu, penawaran jasa-jasa kepada pelanggan di daerah perkotaan
lebih bebas dibanding penawaran pertanian, yang menjelaskan tanggapan yang lebih cepat dari
produksi dalam negeri terhadap peningkatan permintaan. Sesungguhnya, sementara produksi
dan konsumsi jasa-jasa seringkali berlangsung secara bersamaan (investasi seringkali dilakukan
di mana terdapat permintaan), tantangan utama bagi pertanian adalah tetap kompetitif pada
pasar-pasar yang terletak jauh (misalnya pusat perkotaan) akibat tingginya biaya transportasi dan
distribusi (lihat Bab 4 tentang infrastruktur).
Walaupun secara umum transformasi struktural Indonesia konsisten dengan polapola global, terdapat perbedaan yang nyata dibanding negara-negara lain seperti
Brasil, Tiongkok, India dan Korea Selatan (Gambar 1.14 dan 1.15). Seperti diperkirakan,
peningkatan PDB per kapita mendorong pergerakan tenaga kerja dari pertanian ke jasa
perkotaan. Namun, sementara bagian pertanian dalam PDB turun dari 24 persen pada tahun
1980 ke 11 persen pada tahun 2012, 35 persen dari jumlah tenaga kerja masih bekerja di bidang
pertanian di Indonesia. Hanya Brasil yang menunjukkan transformasi struktural yang lebih
lambat, namun PDB per kapita di negara itu tidak meningkat sebanyak di Indonesia selama tiga
39 Pengaruh Engel merujuk ke Hukum Engel, yang diperkenalkan oleh Ernest Engel pada tahun 1857. Hukum itu mengatakan
bahwa dengan meningkatnya pendapatan rumah tangga, persentase pendapatan yang dihabiskan untuk bahan pangan akan menurun
sementara bagian yang dihabiskan untuk barang-barang dan jasa-jasa lainnya akan meningkat.
42
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
dekade terakhir, dan relatif bertahan pada kisaran 8,000-11,000 dolar AS pada periode tersebut
(seperti pada kasus umum “perangkap penghasilan menengah”). Perbedaan penting lain adalah
peningkatan jasa-jasa (sebagai bagian dari PDB) di Indonesia relatif lambat dibanding Brasil,
Tiongkok, India, dan Korea Selatan.
Gambar 1.14: Perubahan struktural mendorong
penurunan yang lebih lambat di Indonesia
dibanding Korea Selatan, Tiongkok, dan
India…
Gambar 1.15: …sementara peningkatan jasa
lebih lambat dibanding India, Tiongkok,
Brasil, dan Korea Selatan
Sumber: World Development Indicators.
Sumber: World Development Indicators.
Perubahan dalam sektor pertanian itu sendiri menunjukkan perbedaan yang tajam
antara tanaman industri, yang memetik keuntungan dari lonjakan komoditas, dan
" = % " " !! Pertanian tumbuh
hanya dengan laju rata-rata tahunan sebesar 0,6 poin persentase pada tahun 2003-12, dan
memberi kontribusi hanya 10 persen terhadap pertumbuhan agregat pada periode tersebut.
Kinerja ini mencerminkan dampak bersih dari lambatnya pertumbuhan pada sebagian besar
produk-produk bahan pangan, yang umumnya mengimbangi peningkatan produksi karet dan
minyak sawit. Tingginya harga produk-produk itu di pasar dunia telah mendukung investasi,
produksi dan hasil sektor-sektor tersebut, dan mengikis insentif untuk melakukan investasi pada
produksi berskala besar pada produk-produk pertanian lain, termasuk hortikultura (pengaruh
crowding out`?\_<=%<` O
produksi minyak sawit dan komoditas-komoditas bernilai tinggi lainnya telah mendorong jumlah
faktor produktivitas pertanian pada dekade lalu (yang menjelaskan 60 persen pertumbuhan
pertanian pada periode itu).40 Transformasi struktural di dalam pertanian ini, diiringi pesatnya
permintaan dalam negeri bagi bahan pangan yang didorong oleh peningkatan pendapatan per
kapita dan urbanisasi, telah mengakibatkan peningkatan yang cepat dalam impor produk-produk
hortikultura dan pergerakan tenaga kerja dari pertanian ke jasa-jasa perkotaan.
40 OECD Agriculture Policy Review Report, 2012, hal. 5-6.
43
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
Bagaimana dengan manufaktur? Setelah memimpin pertumbuhan secara keseluruhan hingga
krisis 1997/98, manufaktur masih belum bangkit selama dekade lalu. Sektor industri (yang
termasuk manufaktur, pertambangan, serta penggalian dan utilitas) memberi kontribusi 1,8 poin
persentase secara rata-rata kepada pertumbuhan pada periode tahun 2003-12 atau sebesar 31
persen. Produksi (output) manufaktur tidak turun secara absolut (meningkat dengan rata-rata
tahunan sebesar 4,8 persen secara riil), walau terdapat apresiasi nilai tukar riil yang disebabkan
oleh lonjakan komoditas (Gambar 1.16). Seperti ditunjukkan pada Kotak 1, besarnya surplus
tenaga kerja di Jawa (penduduk 139 juta) dan peningkatan upah riil yang moderat di Jawa
Barat dan Timur, tempat sebagian besar industri manufaktur beroperasi, membantu menjaga
pertumbuhan manufaktur dari kemerosotan yang lebih tajam selama tahun 2003-11.
Gambar 1.16: Kurs tukar riil mengalami
apresiasi selama dekade lalu
(Indeks, tahun 2000=100)
Gambar 1.17: …namun peningkatan upah
minimum jauh lebih rendah di Jawa Barat dan
Timur yang kaya akan pekerja dibanding di
Jakarta dan provinsi-provinsi yang kaya akan
sumber daya alam
(rata-rata nominal upah minimum provinsi bulanan,
ribuan Rupiah)
Sumber: Database Bruegel, lihat www.bruegel.org
Catatan: Indeks IHK berdasar nilai tukar rill.
Sumber: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi lewat
CEIC, dan perhitungan staf Bank Dunia.
44
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
Kotak 1.1 Apakah Indonesia mengalami Penyakit Belanda (Dutch Disease)41
Sumber umum dari Dutch Disease (Penyakit Belanda, kecenderungan negara yang kaya sumber daya namun
tingkat ekonominya rendah) adalah peningkatan harga barang-barang non-perdagangan dibanding barang-barang
perdagangan (nilai tukar riil/real exchange rate, RER). Peningkatan RER itu seringkali terjadi selama lonjakan
komoditas dan/atau apresiasi valuta yang dapat menyertai aliran masuk modal asing berukuran besar ke dalam suatu
negara. Namun Dutch Disease hanya terjadi bila peningkatan RER mendorong pergeseran sumber daya (tenaga kerja
dan modal) menjauhi sektor-sektor perdagangan bukan sumber daya alam dan menuju ke sektor-sektor sumber
daya alam dan bukan perdagangan, menyebabkan penurunan produksi (output) dan ekspor pada sektor sumber
daya alam dan bukan perdagangan tersebut. Sektor-sektor perdagangan bukan sumber daya alam umumnya bukan
penetap harga pada pasar global dan tidak dapat membebankan peningkatan itu kepada konsumen pada harga-harga
bukan perdagangan (termasuk upah). Perusahaan-perusahaan pada sektor jasa bukan perdagangan umumnya dapat
melakukan pembebanan itu (membebankan peningkatan harga dan upah kepada konsumen) yang menjelaskan
mengapa mereka umumnya berkembang seiring dengan lonjakan komoditas.
Gambar 1.16 menunjukkan bahwa RER Indonesia mengalami apresiasi pada dekade lalu, setelah terdepresiasi
tajam secara keseluruhan selama dua dekade, saat Indonesia muncul sebagai salah satu kekuatan manufaktur dunia.
Namun apresiasi RER pada dekade lalu tidak berkaitan dengan penurunan ekspor dan produksi (output) manufaktur.
Sementara ekspor non-komoditas telah tertinggal jauh oleh ekspor komoditas, ekspor non-komoditas itu masih
sedikit tumbuh secara agregat pada periode tahun 2003-12. Sejumlah industri tradisional (terutama produk tekstil,
kayu, dan kertas) mencatat kinerja yang buruk, sementara yang lain (seperti bahan kimia, permesinan, dan peralatan)
menunjukkan pertumbuhan yang mengagumkan.
Bahwa Indonesia tampaknya tidak mengalami Dutch Disease juga dinyatakan oleh penelitian-penelitian lainnya
(IMF 2010).42] $+[Q O !
peningkatan pesat dalam pendapatan dan produktivitas—yang umumnya berlangsung pada awal dekade ini—dan
berfungsi mengembalikan sebagian besar kelebihan yang terjadi selama krisis tahun 1997/98. Sebagai akibatnya, nilai
tukar sekarang relatif selaras dengan dasar-dasar ekonomi.”
Faktor utama lainnya yang menjelaskan keberhasilan menghindar dari Dutch Disease ini (pada tingkat agregat) adalah
peningkatan upah riil yang moderat bagi sebagian besar periode lonjakan komoditas di pulau Jawa, tempat sebagian
besar industri manufaktur berada. Indonesia memiliki kekayaan alam yang beragam dan pola produksi menurut
daerah. Sumber daya alam terutama diproduksi di Kalimantan, Papua, dan Sumatra. Sebaliknya, sebagian besar
industri manufaktur terletak di Jawa (terutama Jawa Barat dan Timur), yang merupakan pulau terpadat di Indonesia
dengan sekitar 139 juta jiwa atau 58 persen dari seluruh penduduk. Surplus tenaga kerja di Jawa memberi kontribusi
dengan menjaga tingkat upah dan mengelola daya saing manufaktur padat karya di Jawa Barat dan Timur. Sebaliknya
tingkat upah pada daerah-daerah yang lebih kaya sumber daya di Kalimantan, Riau, dan Papua dan Jakarta
meningkat dengan lebih cepat (Gambar 1.17).43 Antara tahun 2008 dan 2012 upah minimum di Indonesia tumbuh,
Z$%= ?} ! Z
tahun 2013, dengan misalnya 25 provinsi meningkatkan upah minimum mereka secara rata-rata sebesar 30 persen
dan Jakarta meningkatkan upah minimumnya sebesar 44 persen. Ke depannya, pemastian bahwa kenaikan upah
sebanding dengan pertumbuhan produktivitas merupakan langkah penting untuk menjaga daya saing di provinsiprovinsi manufaktur di Indonesia.
41 Istilah Dutch Disease merujuk kepada pengaruh buruk penemuan gas alam Belanda terhadap manufaktur pada tahun 1960an,
terutama melalui apresiasi kurs tukar riil Belanda yang kemudian terjadi (yaitu peningkatan harga barang-barang bukan perdagangan,
termasuk upah, dibanding barang-barang perdagangan).
42 IMF Country Report No. 10/285. Indonesia Selected Issues. September 2010.
43 Pada kuartal kedua tahun 2013, Jawa berkontribusi 58 persen terhadap jumlah pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jauh di belakang
Jawa adalah Sumatra (24 persen) dan Kalimantan (9 persen). Di dalam Jawa, Jabotabek menyumbang 16,5 persen dari jumlah
pertumbuhan ekonomi, diikuti oleh Jawa Timur (15 persen) dan Jawa Barat (14 persen).
45
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
3. Ketergantungan Berlebih terhadap Ekspor Komoditas Mendorong Kerentanan
Perubahan dalam komposisi dan tujuan ekspor
Lonjakan komoditas, bersama-sama dengan peningkatan yang cepat dalam permintaan
dalam negeri, telah membuat Indonesia semakin bergantung kepada ekspor komoditas.
Seperti ditunjukkan pada Gambar 1.19, komoditas telah menyusul manufaktur dan menjadi
ekspor terbesar Indonesia. Lebih dari dua per tiga ekspor Indonesia merupakan komoditas atau
produk manufaktur yang berkaitan dengan komoditas. Karena sebagian besar komoditas yang
diekspor belum diproses, keseluruhan “kecanggihan” ekspor Indonesia juga menurun. Ekspor
berteknologi tinggi sebagai bagian dari jumlah ekspor manufaktur turun dari 16 persen menjadi
11 persen dari tahun 2005 ke 2008.44
Gambar 1.18: Kontribusi komoditas terhadap
Gambar 1.19: …mendorong struktur ekspor
pertumbuhan ekspor melampaui kontribusi
yang didominasi oleh komoditas sejak tahun
dari produk manufaktur sejak tahun 2003…
2006
(kenaikan ekspor nominal, persen; kontribusi ke kenaikan (bagian ke jumlah ekspor, persen)
ekspor, persen)
Sumber: COMTRADE melalui WITS dan perhitungan staf
Bank Dunia.
Sumber: COMTRADE melalui WITS dan perhitungan staf
Bank Dunia.
Tingginya harga komoditas diikuti dengan peningkatan permintaan yang tajam dari
Asia. Peningkatan harga komoditas, baik bagi sumber daya terbarukan dan tidak terbarukan,
diikuti dengan meroketnya permintaan dari negara-negara tetangga. Yang paling nyata adalah
naiknya ekspor hingga empat kali lipat ke India, tiga kali lipat ke Tiongkok, dan “hanya” dua kali
lipat ke Jepang, karena nilai awal ekspornya sudah tinggi. Sebagai akibatnya, eksposur ke negara
]}$ $ + O!!
wilayah itu tetap relatif stabil.
44 Patut dicatat bahwa bagi sejumlah produk-produk komoditas, ekspor dalam bentuk belum diproses adalah hal yang umum.
Contohnya adalah batubara, dan juga konsentrat tembaga yang mana penambahan nilai paling banyak telah tercapai pada tingkat
“konsentrasi” (yaitu proses minimal).
46
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
Gambar 1.20: Sebagian besar ekspor menuju
Jepang, UE, dan AS pada tahun 1990an…
(kenaikan ekspor nominal, persen; kontribusi ke
kenaikan ekspor, persen)
Gambar 1.21: …namun peningkatan pentingnya
komoditas mengakibatkan lebih banyak ekspor
ke Tiongkok dan India pasca tahun 2003
(bagian ke jumlah ekspor, persen)
Sumber: COMTRADE melalui WITS dan perhitungan staf
Bank Dunia.
Sumber: COMTRADE melalui WITS dan perhitungan staf
Bank Dunia.
Peningkatan kerentanan terhadap perubahan pada pasar komoditas
Tingginya harga komoditas diikuti dengan peningkatan permintaan yang tajam dari
Asia. Peningkatan harga komoditas, baik bagi sumber daya terbarukan dan tidak terbarukan,
diikuti dengan meroketnya permintaan dari negara-negara tetangga. Yang paling nyata adalah
naiknya ekspor hingga empat kali lipat ke India, tiga kali lipat ke Tiongkok, dan “hanya” dua kali
lipat ke Jepang, karena nilai awal ekspornya sudah tinggi. Sebagai akibatnya, eksposur ke negara
]}$ $ + O!!
wilayah itu tetap relatif stabil.45
Mengelola ketidakseimbangan eksternal, khususnya dalam mengantisipasi risiko
" " % " "
ketergantungan terhadap arus masuk portofolio dan investasi lainnya, telah menambah
tantangan baru yang harus segera dihadapi oleh para pembuat kebijakan di Indonesia,
terutama dalam konteks kebijakan “tapering, quantitative easing” di Amerika Serikat
sejak bulan Januari 2014. Sebagaimana dipaparkan pada Bab 3, dalam jangka panjang,
transformasi struktural perekonomian menuju produktivitas yang lebih tinggi sangat krusial
untuk segera dilaksanakan guna meminimalisir berbagai risiko yang dapat ditimbulkan oleh
keseimbangan eksternal.
4. Lonjakan Komoditas juga Mempertajam Isu-isu Lingkungan
Pertumbuhan selama 10 tahun terakhir telah berjalan beriringan dengan pesatnya
penebangan hutan dan penurunan kualitas lingkungan. Menurut data FAO, laju
penebangan hutan (deforestasi) Indonesia mencapai 2 persen, atau 1,87 juta hektar, per tahun
pada pertengahan tahun 2000an. Walau angka-angka terakhir menunjukkan penurunan,
Indonesia masih memiliki salah satu tingkat deforestasi paling tinggi di wilayahnya (Gambar
1.22). Deforestasi selama dekade lalu umumnya juga disertai oleh kebakaran hutan dan lahan,
45 IMF Country Report No. 12/278, Indonesia Selected Issues: China’s Growth Pattern: Implications for Indonesia (hal. 23), 2012
47
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
serta konversi lahan gambut yang turut menambah emisi gas rumah kaca Indonesia. Perkiraan
menunjukkan bahwa 80 persen dari emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari penggunaan
lahan dan perubahan tutupan lahan. Pendorong utama deforestasi dan perubahan tutupan lahan
adalah perkebunan kelapa sawit, yang tumbuh secara pesat pada dekade lalu. Tekanan ekonomi
yang besar untuk mengalihfungsikan hutan (seperti ke fungsi produksi pertambangan, urbanisasi)
masih tetap ada, selain terdapat pula masalah yang substansial dalam proses perizinan pengunaan
lahan.
Menurut penelitian CEA Bank Dunia (2009), modal alam Indonesia (sekitar seperempat
dari seluruh kekayaan) mengalami penurunan yang cepat, namun tidak diimbangi oleh
investasi yang sebanding dalam modal tenaga kerja atau produksi. Pengaruh kesehatan
dari polusi udara di dalam dan luar ruangan diperkirakan mencapai 4,6 miliar dolar AS per
tahun, atau sekitar 1,6 persen dari pendapatan nasional bruto (PNB) Indonesia pada tahun
<==*?# ! Z !
lainnya, terutama deforestasi, penipisan tanah, dan kerusakan daerah laut/pesisir. Hingga saat
ini, kurang dari 20 persen pembangkit listrik menggunakan sumber energi yang terbarukan
seperti air dan panas bumi. Besarnya subsidi energi yang disoroti di atas (kelompok belanja kedua
terbesar, setelah transfer ke pemerintah daerah) merupakan distorsi yang besar, yang mendorong
pemborosan dalam pemanfaatan energi pada seluruh sektor dan oleh rumah tangga, dan
merintangi investasi dalam energi terbarukan.
Pemerintah telah menetapkan sejumlah prakarsa untuk mendorong ekonomi yang
lebih ramah lingkungan, namun prakarsa-prakarsa itu membutuhkan peningkatan dan
koordinasi yang lebih baik. Sebagai contoh, pada sektor energi dan manufaktur, sejumlah
insentif pajak telah ditetapkan untuk mendorong investasi dalam pembangunan energi panas
Z !? \\
nasional merupakan upaya lain yang penting untuk menghadapi masalah penggunaan lahan dan
konversi hutan melalui strategi nasional dan tindakan-tindakan kebijakan, dengan dukungan
pendanaan yang inovatif dari Norwegia dengan pencairan bantuan berdasarkan titik-titik
pencapaian kebijakan.
Gambar 1.22: Walau kini telah membaik,
laju deforestasi di Indonesia termasuk yang
terburuk dibanding negara yang sebanding
(laju deforestasi, CAGR, persen )
Gambar 1.23: Jumlah konsumsi energi primer
per dolar AS dari PDB
(Indeks KPS, 1990=100)
Sumber: FAOSTAT, 2012 dari Malaysia Economic Monitor
(MEM) Juni 2013.
Catatan: Angka negatif menunjukkan deforestasi.
Sumber: Badan Informasi Energi AS.
48
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab I
Indonesia: Menghindari Perangkap
Bab II. Dampak Sosial
Transformasi Ekonomi
49
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
Bab II. Dampak Sosial Transformasi
Ekonomi
Indonesia telah berhasil memulihkan stabilitas ekonomi pasca krisis tahun 1997/98 dan menjadi
lebih sejahtera berkat, di antaranya, dukungan pasar modal dan komoditas internasional (Bab
%`?} ! "
penduduk miskin dan hampir miskin untuk mengatasi berbagai guncangan, seperti peningkatan
$ $ "\ ! Z
layanan berkualitas, seperti pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi, dan listrik, meningkat
! ! "
Bab ini menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Fakta menunjukkan:
Pertumbuhan berkelanjutan telah membantu menurunkan kemiskinan melalui penciptaan
?\! <==%
2011, 18 juta di antaranya berada di daerah perkotaan, membantu Indonesia mengurangi
tingkat kemiskinan hingga separuhnya dari 24 persen pada tahun 1999 menjadi 12 persen
pada tahun 2012.
Pada saat yang sama, sekitar 65 juta jiwa masih tetap amat rentan terhadap guncangan.
Tingkat kerentanan yang tinggi ini mencerminkan kualitas pekerjaan yang tercipta. Sebagian
besar pekerjaan baru yang tercipta berada pada sektor-sektor dengan produktivitas rendah
(dan informal) dengan laju pertumbuhan pendapatan riil yang lambat.
Ketimpangan pendapatan meningkat sejalan dengan cepatnya peningkatan harga
komoditas dan aset-aset lainnya (termasuk tanah dan properti) yang secara proporsional
menguntungkan kaum berada dan memperburuk indikator kesetaraan kesempatan.
Akses ke berbagai layanan, seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, sanitasi, dan listik, telah
meningkat secara berkelanjutan sepanjang dekade terakhir, namun kesenjangan yang besar
! ?
Meskipun pencapaian dalam pengentasan kemiskinan patut dihargai, Indonesia telah sampai
pada tahap yang membutuhkan pandangan lebih luas tentang kemiskinan, kerentanan, dan
ketimpangan pendapatan. Khususnya karena jumlah penduduk yang berada di antara kaum
miskin dan kelas menengah jauh lebih banyak dibanding jumlah kaum miskin, dibutuhkan
penekanan yang lebih dalam untuk mendukung transisi kaum yang rentan ke kelas menengah,
sementara tetap melanjutkan penguatan program-program pengentasan kemiskinan yang
menargetkan mereka yang paling miskin. Pendekatan tersebut konsisten dengan strategi
pertumbuhan yang menekankan pertumbuhan produktivitas dan transformasi struktural
yang lebih cepat, seperti dibahas pada Bab 3. Bagian berikutnya dari bab ini menjelaskan pola
kemiskinan, kerentanan, dan ketimpangan (Bagian 1); menyoroti pendorong-pendorong utama
pengentasan kemiskinan dan kerentanan (Bagian 2) dan; meninjau kemajuan dalam akses ke
layanan-layanan utama dengan latar belakang desentralisasi Indonesia yang telah mengalihkan
sebagian besar tanggung jawab penyediaan layanan ke pemerintah daerah (Bagian 3).
50
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
1. Kemiskinan
Tren dalam kemiskinan-pendapatan
Pertumbuhan ekonomi dan kebangkitan sektor jasa di daerah-daerah perkotaan telah
efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Yang mengagumkan adalah tingkat kemiskinan
di Indonesia berkurang setengahnya dari 24 persen pada tahun 1999 menjadi 12 persen pada
awal tahun 2012 (Gambar 2.1). Tingginya tingkat kemiskinan pada tahun 1999 mencerminkan
tajamnya peningkatan kemiskinan yang terjadi selama krisis tahun 1997/98. Namun, penurunan
sebesar 0,5 poin persentase pada tahun 2012 dan 2013 merupakan penurunan yang paling
kecil selama satu dekade, dengan pengecualian peningkatan yang terjadi pada tahun 2006 yang
disebabkan terutama oleh peningkatan harga-harga global yang tajam (Gambar 2.2).46
Gambar 2.1: Tingkat kemiskinan resmi dan
perubahan tahunan, 1996-2013
Gambar 2.2: Perubahan dalam kemiskinan,
2003-13
Sumber: BPS.
Sumber: BPS dan perhitungan Bank Dunia.
Pentingnya peran penciptaan pekerjaan yang didorong oleh pertumbuhan bagi
pengentasan kemiskinan
Pendorong utama pengentasan kemiskinan adalah penciptaan pekerjaan yang didorong
oleh pertumbuhan. Indonesia telah berhasil menurunkan kemiskinan melalui penciptaan
pekerjaan. Pada tahun 1990-96, ekonomi mencatat pertumbuhan dengan laju rata-rata 8 persen
per tahun dan tingkat kemiskinan turun sekitar 25 persen. Setelah mengalami penurunan yang
tajam dalam pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja pada tahun 1997-2001 (krisis keuangan
Asia), pertumbuhan PDB dan pekerjaan kembali meningkat pada paruh kedua tahun 2000an.
Pada tahun 2007-11, ekonomi mengalami tingkat sensitivitas pertumbuhan pekerjaan terhadap
pertumbuhan ekonomi yang serupa dengan yang terjadi pada periode tahun 1992-96 (dengan
rasio elastisitas pekerjaan-terhadap-pertumbuhan sekitar 0,5). Sama seperti pada tahun 1990an,
pertumbuhan ekonomi mendorong terciptanya pekerjaan baru dalam jumlah besar, terutama
pada daerah-daerah perkotaan.
46 Indonesia melakukan reformasi subsidi BBM pada tahun itu dengan meningkatkan harga BBM. Kenaikan harga BBM karena
reformasi subsidi akan memiliki andil yang kecil, namun telah lebih dari cukup diimbangi oleh bantuan langsung tunai kepada kaum
51
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
Antara tahun 2001 dan 2011, tercipta 20 juta pekerjaan, 89 persen di antaranya berada
di daerah-daerah perkotaan. Jumlah lapangan kerja di perkotaan secara keseluruhan tumbuh
sebesar 45 persen sejak tahun 2001 dan secara berangsur-angsur melampaui jumlah lapangan
kerja perdesaan pada dekade lalu. Selain itu, sejak tahun 2008 pekerjaan di daerah-daerah
perkotaan tumbuh lebih cepat ketimbang jumlah angkatan kerja (Gambar 2.3). Sementara
jumlah angkatan kerja terus meningkat, sejak tahun 2005 persentase mereka yang bekerja
terhadap jumlah angkatan kerja meningkat dari 60 ke 64 persen, kembali mencapai tingkatnya
pada pertengahan tahun 1990an.47 Sejumlah besar pekerjaan di daerah perkotaan dilakukan oleh
perempuan. Pekerja perempuan mempunyai pekerjaan yang kurang terjamin dan cenderung
bekerja paruh waktu (51 persen dari pekerja perempuan bekerja paruh waktu), atau bekerja pada
sektor informal. Namun tingkat partisipasi perempuan masih tetap rendah, yaitu 52 persen, walau
terdapat peningkatan tajam yang tercatat pada daerah-daerah perkotaan sejak tahun 2005.
Gambar 2.3: Tercipta pekerjaan dalam jumlah besar, hingga 20 juta, hampir 19 juta berada di
daerah perkotaan
Sumber: Data Sakernas BPS (survei ketenagakerjaan).
Konsisten dengan transformasi ekonomi
menuju sektor jasa yang tidak bisa
diperdagangkan (non-tradable) seperti
diuraikan pada Bab 1, sektor ini
merupakan sumber bagi 17 juta dari 20
juta pekerjaan yang tercipta (82 persen).
Di dalam sektor jasa, dari keseluruhan
pertumbuhan lapangan kerja, 30 persen terjadi
pada jasa komunitas, sosial, dan perorangan
(dengan 6,9 juta pekerjaan baru yang tercipta),
28 persen pada perdagangan, eceran, dan
perdagangan besar (5,7 juta pekerjaan
baru), dan 14 persen pada konstruksi (2,9
juta pekerjaan baru). Sektor industri (kini
21 persen dari total pekerja) hanya mampu
menciptakan 4 juta pekerjaan baru, sementara
Gambar 2.4: Hampir 17 juta dari seluruh
pekerjaan baru pada tahun 2001-2011 tercipta
pada sektor jasa
(Juta)
Sumber: BPS.
47 Dari 174 juta penduduk berusia di atas 15 tahun, Indonesia memiliki jumlah angkatan kerja sebesar 118 juta, 110 juta di antaranya
memiliki pekerjaan (Sakernas, 2012).
52
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
pertanian (dengan 35 persen total pekerja) mencatat hilangnya 860.000 pekerjaan. Di dalam
industri, pekerjaan dalam sektor pertambangan dan migas meningkat dengan cepat, namun
kapasitas penyerapan tenaga kerja pada sektor-sektor tersebut terbatas. Sebagian besar pekerjaan
yang tercipta di dalam industri terjadi di manufaktur dengan 3,3 juta pekerjaan baru, sedikit di
atas konstruksi.
Gambar 2.5: Sebagian besar sub-sektor jasa menciptakan pekerjaan dalam jumlah besar
(persen)
Sumber: BPS, data Sakernas (survei ketenagakerjaan).
2. Kerentanan
Kerentanan untuk terjatuh kembali ke dalam kemiskinan masih tetap tinggi
Meskipun tingkat kemiskinan relatif rendah pada 12 persen, 27 persen penduduk
lainnya hidup hanya sedikit di atas garis kemiskinan, dan bahkan sedikit guncangan
pun dapat mendorong mereka kembali ke dalam kemiskinan.48 Pada tahun 2012, 65 juta
+ $! $
dari 50 persen di atas garis kemiskinan tersebut (Gambar 2.6). Mereka, yang hidup sedikit di atas
garis kemiskinan, memiliki risiko tinggi untuk kembali jatuh ke dalam kemiskinan. Sebetulnya
lebih dari setengah jumlah orang miskin setiap tahunnya bukan merupakan orang miskin pada
tahun sebelumnya (Gambar 2.7), dan seperempat dari seluruh penduduk Indonesia pernah
dikelompokkan sebagai orang miskin setidaknya sekali dalam periode tiga tahunan.
'* %$= %$! _
kurang dari 50 persen lebih tinggi dari garis kemiskinan).
53
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
Gambar 2.6: Hampir 40 persen penduduk
mengalami kemiskinan dan kerentanan pada
tahun 2012 (persen)
Gambar 2.7: Komposisi penduduk miskin
dibanding tahun sebelumnya
(persen)
Sumber: Data Susenas, perhitungan staf Bank Dunia.
Sumber: Data Susenas, perhitungan staf Bank Dunia.
Rumah tangga rentan menghadapi risiko tingginya harga pangan
Pangan mencapai sekitar 65 persen dari seluruh konsumsi rumah tangga miskin.
# $ ! !
terhadap kesejahteraan individu, dan terhadap tingkat kemiskinan nasional.49 Diperkirakan
peningkatan harga bahan pangan sebesar 10 persen secara keseluruhan akan mengakibatkan
peningkatan relatif terhadap kemiskinan sebesar 3,5 poin persentase. Hal ini terbukti pada tahun
<== !
? ! [<==$ %$
persen ke 17,8 persen, peningkatan tahunan pertama dalam kemiskinan Indonesia sejak krisis
keuangan tahun 1997/98.
Bahan pangan dengan dampak terbesar terhadap kaum miskin dan hampir miskin
adalah beras. Beras sendiri mencapai 23 persen dari seluruh belanja rumah tangga miskin.
Diperkirakan peningkatan harga beras sebesar 10 persen akan mendorong kenaikan tingkat
kemiskinan nasional sebesar 1,3 poin persentase dari sebelumnya. Untuk setiap satu rumah
tangga miskin yang memetik manfaat dari kenaikan harga beras (sebagai produsen beras),
terdapat tiga rumah tangga miskin yang merupakan konsumen beras dan dirugikan dengan
kenaikan harga tersebut. Selain itu, terdapat konsekuensi gizi yang penting dari penurunan daya
beli, karena beras merupakan 50 persen dari total asupan kalori dan 23 persen dari total asupan
protein dari total konsumsi pangan rumah tangga miskin. Harga beras yang tinggi terjadi pada
tahun 2010-12. Selama tiga tahun tersebut, harga beras meningkat lebih cepat dibanding barang
lain dalam keranjang komoditas IHK (Gambar 2.9).
49 Guncangan harga bahan pangan (jangka pendek) mencerminkan berbagai faktor penawaran dan permintaan dalam negeri dan
guncangan harga bahan pangan internasional yang kadangkala berlangsung secara bersamaan. Pada sisi permintaan, faktor-faktor
utama adalah dampak musiman (Ramadan, Lebaran,, dan Natal) dan pengaruh pendapatan sementara (kenaikan gaji, bonus, dll.).
Pada sisi penawaran, harga-harga dapat tiba-tiba melonjak naik karena pengaruh musiman (panen), guncangan pasokan (kekeringan,
hama, banjir, angin ribut, gempa bumi, dan letusan gunung berapi), dan guncangan biaya input (seperti harga pupuk). Harga bahan
pangan dalam negeri juga terpengaruh oleh penyesuaian harga dunia yang mencerminkan harga nominal dunia, guncangan pada nilai
tukar, dan perubahan peraturan impor secara tiba-tiba (seperti perubahan tarif, kuota, hambatan non-tarif).
54
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
Impor beras, untuk menutup kesenjangan antara produksi dan konsumsi dalam negeri,
mencapai 1,0 hingga 1,5 juta ton per tahun. Sasaran jangka pendek Pemerintah adalah
swasembada beras. Untuk membantu menjamin kecukupan bahan pangan bagi rumah tangga
miskin dan rentan serta untuk meringankan dampak peningkatan harga beras, Pemerintah telah
lama menerapkan program subsidi beras bernama Raskin (BerasMiskin). Dengan program ini,
penerima manfaat berhak membeli sekitar 15kg beras per bulan dengan harga Rp1.600 per
kg, yang merupakan subsidi yang cukup besar dari harga pasar sekitar Rp5.000-Rp6.000 per
kg. Pada tahun 2013, beras ini diberikan kepada 15,5 juta rumah tangga, atau sekitar 25 persen
rumah tangga miskin di Indonesia, turun dari 18,5 juta pada tahun-tahun sebelumnya. Secara
resmi penargetan Raskin menggunakan Basis Data Terpadu nasional dari rumah tangga miskin
dan rentan. Dalam praktiknya, Raskin mengalami kebocoran sebelum beras sampai ke rumah
tangga, dan dari distribusi beras secara tidak resmi ke rumah tangga bukan penerima. Kedua hal
tersebut menyebabkan dilusi yang cukup besar bagi program Raskin. Kenyataannya, responden
survei rumah tangga melaporkan bahwa mereka hanya dapat membeli 4kg Raskin per bulan.
Karenanya, program Raskin tidak efektif dalam meringankan tingginya harga bahan pangan
? !! !
adalah hal yang penting. Yang sama pentingnya adalah perluasan dan peningkatan rangkaian
instrumen untuk mengatasi masalah ketersediaan bahan pangan, akses, dan kestabilan harga guna
?
Gambar 2.8: Pertumbuhan harga pangan (non- Gambar 2.9: Harga beras meningkat lebih
beras) rendah, tapi pertumbuhan harga beras cepat dibanding barang lainnya dalam
dalam negeri tinggi
keranjang komoditas IHK selama tiga tahun
(persen)
terakhir
(persen)
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia.
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia.
Rumah tangga rentan berisiko tinggi terhadap guncangan kesehatan
\! %" "% !%" ="
hanya karena pengeluaran biaya sendiri (out-of-pocket, OOP) yang tinggi terkait dengan
pengobatan penyakit itu sendiri, tetapi juga karena pendapatan yang hilang akibat jatuh
sakitnya anggota keluarga yang bekerja. Pengeluaran biaya sendiri merupakan 40 persen dari
jumlah pengeluaran kesehatan, suatu jumlah yang besar, terutama bagi mereka yang miskin dan
rentan. Tingginya pengeluaran biaya sendiri bagi kesehatan ini mencerminkan relatif rendahnya
tingkat cakupan asuransi dan dangkalnya jaminan, bahkan bagi mereka yang terlindungi, dan
55
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
diperburuk dengan rendahnya tingkat belanja pemerintah secara umum untuk kesehatan.
Rumah tangga mengatasi pengeluaran untuk musibah ini dengan menguras tabungan mereka,
menjual harta mereka, serta mengurangi konsumsi pangan dan kebutuhan lainnya. Pemeliharaan
kesehatan mungkin tidak diperhatikan pada awal jatuh sakit, yang kemudian mengakibatkan
upaya pengobatan yang lebih akut dan semakin mahal. Diperkirakan hampir 2,3 juta penduduk
yang jatuh dalam kemiskinan setiap tahunnya disebabkan oleh musibah terkait pengeluaran untuk
kesehatan.
Sejumlah besar penduduk, umumnya pada kelompok yang “rentan” (yaitu yang
mengkonsumsi tidak lebih dari 50 persen di atas garis kemiskinan), tidak memiliki atau
memiliki akses yang tidak memadai ke layanan perlindungan sosial. Sekitar separuh
dari jumlah penduduk memiliki akses terhadap asuransi kesehatan, termasuk pegawai negeri,
militer, sekitar 25 persen pegawai swasta formal, dan penduduk miskin dan hampir miskin
yang berhak atas program Jamkesmas (yang sedang digabungkan dengan program-program
asuransi kesehatan sosial lainnya di bawah program Jaminan Kesehatan Nasional dengan iuran
tunggal pada tahun 2014). Mereka yang tidak miskin dan bekerja pada bidang informal (“bagian
tengah yang hilang”/“missing middle”) bisa dikatakan hampir sama sekali tidak memiliki jaminan.
Rendahnya cakupan asuransi ditambah dengan akses yang umumnya buruk ke layanan kesehatan
berkualitas, air bersih dan sanitasi yang memadai (lihat bagian berikut), menyiratkan bahwa lebih
dari 40 juta pekerja memiliki risiko kehilangan atau penurunan produktivitas dan upah, karena
buruknya kesehatan dan pemulihan terkait masalah kesehatan yang memakan waktu lama.
Sasaran Pemerintah adalah cakupan kesehatan universal bagi seluruh penduduk Indonesia pada
tahun 2019, yang menyertakan pekerja di sektor formal dan informal, di bawah program jaminan
sosial nasional. Namun jadwal pelaksanaannya sangat ketat, sementara cakupan kesehatan
universal tampaknya akan membutuhkan waktu yang lebih lama.
Terdapat perbedaan gender dalam kerentanan
Perbedaan gender dalam hal kesempatan menunjukkan bahwa perempuan cenderung
lebih rentan terhadap guncangan dibanding laki-laki.50 Sebagian besar perempuan
merupakan wiraswasta (berusaha sendiri) dan pekerja keluarga/tak dibayar, yang membuat
! !?#
menurut gender lebih besar dibanding negara-negara lain di Asia Timur, dengan perempuan
hanya menerima sekitar 70 persen dari penghasilan laki-laki, sebagian dikarenakan perbedaan
gender dalam pemilihan bidang-bidang pendidikan tersier, dan terutama karena pekerja
perempuan mendapat kondisi pekerjaan yang lebih tidak pasti dan cenderung berwiraswasta,
melakukan pekerjaan keluarga/tak dibayar, atau bekerja pada sektor informal. Perempuan
memiliki peluang 24 persen lebih tinggi untuk bekerja pada sektor informal.51 Sebagian besar
UKM yang dimiliki oleh perempuan merupakan wiraswasta karena kebutuhan. Program-program
bantuan sosial Indonesia lebih memihak kepada keluarga dengan perempuan sebagai kepala
keluarga (female-headed household, FHH), namun karena umumnya menjadi tulang punggung
tunggal di dalam keluarga, keluarga yang dikepalai perempuan cenderung lebih rentan terhadap
guncangan dan tingkat kemiskinannya cenderung bersifat lebih volatil.
50 Kerangka laporan World Development Report (2011) dari Bank Dunia untuk menganalisis masalah gender menekankan pada
empat dimensi: sumber daya, kesempatan, suara dan lembaga, dan dimensi potong-silang. Disparitas gender dalam sumber daya
_ `! ?
51 World Bank Indonesia Jobs Report (2010).
56
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
Reformasi berjalan yang bertujuan untuk meningkatkan representasi perempuan dalam
politik dan partisipasi dalam posisi pembuat keputusan dapat membantu menurunkan
kerentanan pada masa depan. Sebagian berkat UU No.2/2008 tentang Partai Politik dan
UU No.10/2008 tentang Pemilihan Umum, yang menetapkan 30 persen partisipasi perempuan
di DPR, yang menaikkan tingkat partisipasi politik perempuan dari 11 persen pada tahun
2004 menjadi 18 persen pada tahun 2009. Dekade lalu juga mencatat pencapaian utama dalam
kerangka peraturan kesetaraan gender dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan.
Sebagai contoh, jalur analisis gender telah diwajibkan dalam pengembangan pembangunan
nasional dan daerah tahunan dan penganggarannya. Namun, implementasi kerangka tersebut
masih belum jelas. Selain itu, Indonesia telah turut menandatangani sebagian besar konvensi
utama internasional yang mendukung prinsip-prinsip kesetaraan gender dan merupakan satu
dari sedikit negara yang memiliki Kementerian khusus untuk Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak.
Pasar tenaga kerja adalah sumber utama kerentanan
Apakah seseorang rentan atau tidak akan sangat tergantung pada apakah ia bekerja
dan jenis/kualitas pekerjaannya. Tabel 2.1 menunjukkan sejumlah perincian karakteristik
65 juta individu rentan. Sekitar 21 juta dari mereka adalah anak-anak dari keluarga miskin; di
antara 44 juta penduduk dewasa yang rentan, sekitar sepertiga (15 juta) tidak bekerja, 42 persen
(18 juta) bekerja pada sektor pertanian, dan 10 persen (2,9 juta) bekerja di sektor perdagangan
eceran, perdagangan besar, hotel, dan rumah makan. Proporsi pekerja yang rentan dalam setiap
sektor relatif tinggi pada semua sektor kecuali komunikasi dan jasa perbankan/keuangan/usaha.
Sebagai contoh, lebih dari seperempat pekerja pada sektor pertanian, konstruksi, dan transportasi
dapat digolongkan sebagai rentan.
Tabel 2.1: Penduduk dewasa yang rentan tidak bekerja atau sebagian besar bekerja pada sektor" " "
# Penduduk yang rentan
Anak
(umur 1014)
Dewasa
(umur 15+)
Jumlah
Proporsi
penduduk
dewasa
rentan
terhadap
jumlah
penduduk
dewasa di
tiap sektor
Proporsi
penduduk
dewasa rentan
di tiap sektor
terhadap jumlah
penduduk
dewasa
Komunikasi
0
67.198
67.198
12,5
0,2
Jasa perbankan, keuangan dan
jasa perusahaan
0
93.451
93.451
7,5
0,2
1.617
1.153.040
1.154.657
25,4
2,6
Transportasi
Konstruksi
3.387
1.889.363
1.892.750
29,3
4,3
Jasa kemasyarakatan
9.955
2.349.605
2.359.560
17,6
5,4
38.953
4.555.104
4.594.057
19,8
10,4
Eceran, perdagangan besar,
hotel & rumah makan
173.735
18.347.156
18.520.891
28,4
41,8
Tidak bekerja
Pertanian dan sektor lain
20.501.483
15.452.754
35.954.237
26,0
35,2
Jumlah
20.729.130
43.907.671
64.636.801
25,4
100,0
Sumber: Data Susenas, perhitungan Bank Dunia.
^ %=
lalu.
57
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
Pertanian dan “perdagangan besar, eceran, hotel, dan rumah makan” yang
mempekerjakan jumlah pekerja paling besar memiliki tingkat produktivitas tenaga kerja
terendah di dalam ekonomi. Pertanian dan, perdagangan besar, perdagangan, hotel dan rumah
makan (dijuluki “jasa tingkat rendah”) mempekerjakan 35 dan 21 persen dari seluruh pekerja.
Mereka merupakan sektor-sektor dengan tingkat produktivitas dan keterampilan paling rendah
di dalam ekonomi (Gambar 2.10). Selain itu, kurang dari 10 persen pekerja di sektor ini memiliki
tingkat pendidikan tersier dan lebih dari 60 persen tidak memiliki kontrak kerja. Karena besarnya
bobot sektor-sektor ini di dalam keseluruhan ketenagakerjaan, gambaran ekonomi secara
keseluruhan mencerminkan dominasi sektor-sektor dengan nilai tambah, tingkat keterampilan
dan produktivitas yang rendah (Gambar 2.10).
Gambar 2.10: Pertanian dan jasa tingkat rendah memiliki tingkat produktivitas tenaga kerja
paling rendah di dalam ekonomi
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia.
Catatan: Produktivitas tenaga kerja diukur sebagai nilia tambah (dalam konstanta KPS$ 1990) per pekerja yang bekerja.
Secara dinamis, pertumbuhan produktivitas tenaga kerja sektoral secara umum telah
melambat pada paruh kedua tahun 2000an, dengan pertanian sebagai pengecualian.
Penurunan terbesar dalam pertumbuhan produktivitas tenaga kerja terjadi pada sektor
manufaktur: pertumbuhan produktivitas tenaga kerja secara agregat pada sektor ini turun
menjadi hanya 1 persen pada tahun 2010 dan mendekati nol persen pada tahun 2011,
dibanding lebih dari 4 persen pada tahun 2005 setelah kembali naik pasca krisis tahun 19981997. Pada sektor jasa, transportasi dan komunikasi adalah sub-sektor yang tetap mencatat
pertumbuhan produktivitas yang baik, sehingga mencegah penurunan dinamika produktivitas
yang lebih tajam dari keseluruhan sektor jasa (Gambar 2.11). Selain itu, seperti ditunjukkan
pada Bab 1, peningkatan pada tenaga kerja pertanian umumnya didorong oleh kelapa sawit,
$ Z ! !!
selama dekade lalu. Namun produktivitas pertanian masih tetap jauh lebih rendah dibanding
tingkatannya pada pertengahan tahun 1990an.
58
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
Gambar 2.11: Tren produktivitas tenaga kerja sektoral
(konstanta KPS 1990 KPS nilai tambah per pekerja)
Sumber: BPS, perhitungan staf Bank Dunia.
Relatif konsisten dengan tren sektoral dalam pertumbuhan produktivitas, pertumbuhan
upah riil relatif kecil pada dekade lalu, walau dengan peningkatan yang pesat dalam
upah nominal. Meskipun rata-rata upah nominal pada seluruh sektor (termasuk sektor formal
dan informal) meningkat hampir tiga kali lipat antara tahun 2001 dan 2012, upah riil hanya
meningkat sebesar rata-rata 21 persen pada periode yang sama. Lambatnya peningkatan upah
riil ini konsisten dengan lemahnya pertumbuhan produktivitas pada sebagian besar sektor
bersama-sama dengan peningkatan tajam di dalam biaya hidup (IHK) selama periode 2001-2011.
Penjabaran sektoral menunjukkan perbedaan yang penting: upah pada bidang pertambangan
meningkat dua kali lebih cepat dibanding rata-rata nasional. Di sisi lain, upah pada sektor-sektor
yang berpotensi padat keterampilan seperti manufaktur secara konstan tetap berada di bawah
rata-rata nasional, konsisten dengan lemahnya pertumbuhan produktivitas pada sektor tersebut.
Dinamika ini berpengaruh penting terhadap kemiskinan dan kerentanan, seperti dibahas di
bawah ini.
Gambar 2.12: Dibanding kenaikan besar upah
nominal, kenaikan upah riil berjalan lambat
dari 2001 ke 2012…
Gambar 2.13: …sementara perbedaan besar
sektoral pada kenaikan upah riil tercatat
antara 2001 dan 2012
Sumber: BPS, sakernas data.
Sumber: BPS, sakernas data.
59
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
3. Ketimpangan pendapatan dan kesempatan
Ketimpangan pendapatan telah meningkat selama dekade lalu
Rumah tangga miskin dan rentan di Indonesia telah mencatat kenaikan pendapatan
yang jauh lebih lambat dibanding rumah tangga lain yang lebih berada, dan mendorong
peningkatan ketimpangan selama dekade tersebut. Sebenarnya, satu alasan mengapa
kemiskinan dan kerentanan terus bertahan, walau terdapat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan,
adalah pertumbuhan tidak tersebar secara merata. Antara tahun 2003 dan 2010, konsumsi per
kapita untuk 40 persen rumah tangga yang paling miskin tumbuh 1,3 persen secara riil per tahun,
dibanding dengan 3,5 persen bagi 40 persen tingkatan di atasnya, dan 5,9 persen bagi 20 persen
bagian puncak (Gambar 2.14).52
Gambar 2.14: Kurva insidensi pertumbuhan, 2003-10
Sumber: Susenas dan perhitungan Bank Dunia.
" ! !%" = " !!% \ =" +
stabil pada 15 tahun terakhir masa pemerintahan Soeharto, bergerak pada kisaran 32
dan 36, walau mulai meningkat menjelang akhir periodenya (Gambar 2.15). Dengan kaum
$
%>> = <===?} ! $
meningkat secara bertahap dan mencapai 41 pada tahun 2012.
\^ \
! =|zx;^x^
Sumber: Susenas.
52 Kurva Insidensi Pertumbuhan (Growth Incidence Curve, GIC) menunjukkan tingkat pertumbuhan konsumsi tahunan antara dua
periode untuk setiap persentil distribusi. Karenanya GIC menunjukkan bagaimana rata-rata pertumbuhan konsumsi bagi seluruh
rumah tangga didistribusikan lintas distribusi tersebut. Lihat laporan Bank Dunia yang akan datang tentang Inequality of Income and
Consumption in Indonesia.
60
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang mengalami kenaikan tingkat
ketimpangan paling cepat di wilayah Asia Timur (Gambar 2.16), walaupun perbandingan
internasional yang konsisten dan andal sulit didapatkan.53 Kecepatan laju peningkatan
tersebut menjadi alasan untuk memberi perhatian pada hal ini. Argumen menyatakan bahwa
ketimpangan memang akan meningkat sejalan dengan pembangunan negara dan sebagian
penduduk akan merasakan dampak pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu dibanding yang
lain, sebelum sisa penduduk lainnya juga turut merasakan dampak tersebut.54 Namun terdapat
berbagai bukti empiris yang tidak sepenuhnya mendukung hal ini.55 Lebih penting lagi,
laju kenaikan ketimpangan di Indonesia menimbulkan keprihatinan, bahkan bila sejumlah
peningkatan tersebut adalah bagian dari proses alami pembangunan. Selain itu, seperti dibahas
di bawah, semakin banyak ketimpangan konsumsi di Indonesia memiliki latar belakang keadaan
ketika lahir, yang berarti terdapat ketidakpatutan dan bahwa dasar modal penduduk negara tidak
dimanfaatkan sebaik mungkin.56
\^ \
Tahun mulai
Tahun akhir
Nilai awal
Nilai akhir
2000
2012
30
41,1
!=^xxx;^
2004
2009
37,9
46,2
2002
2008
32,6
36,7
2002
2008
32,8
36,5
1999
2005
39,2
42,5
2002
2008
37,6
35,6
1999
2009
43,1
40,0
2000
2009
46,1
43,0
2004
2008
41,9
37,9
2001
2007
39,5
31,9
Sumber: World Development Indicators dan Susenas.
]! ! ! ?
berbeda untuk tiap negara, seperti disebutkan pada tabel. Semua data adalah yang paling awal dan paling akhir yang tersedia untuk
periode tahun 2000-2012.
[ ! O ! !$
(pendapatan atau konsumsi), agregat kesejahteraan yang berbeda (mis. apakah rumah, harta tetap dan produksi sendiri disertakan
ke dalam agregat konsumsi, dan bagaimana memasukkannya), dan perbedaan penyesuaian daya beli di dalam negara (biaya hidup
menurut lokasi). Perbedaan tersebut dapat mempengaruhi tingkat dan perubahan tingkatan. Selain itu, pemilihan titik awal dan
akhir juga mempengaruhi tren sejalan dengan waktu. Penghitungan ini telah dimulai untuk suatu pusat data Asia Timur yang akan
mendorong perbandingan yang lebih konsisten.
54 Kurva Kuznets yang banyak dikenal (Kuznets, 1955).
55 Lihat, sebagai contoh, Clarke (1995), Barro (2000) dan Forbes (2000).
56 Dekomposisi Indeks Theil L dari ketimpangan konsumsi bagi anak-anak di bawah 18 tahun menunjukkan bahwa 27 persen
disebabkan oleh perbedaan kondisi ketika lahir (terutama pendidikan orangtua, lokasi wilayah perkotaan-perdesaan) di tahun 2002,
dibanding 37 persen pada tahun 2012.
61
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
Ketimpangan kesempatan memburuk
Semakin banyak ketimpangan yang dapat dijelaskan bukan sebagai akibat kurangnya
keterampilan atau usaha, namun akibat keadaan lahir. Jika ketimpangan pendapatan,
terutama ekonomi, merupakan hasil dari usaha perorangan, maka kita mungkin tidak perlu
terlalu khawatir. Namun bila disebabkan oleh perbedaan sistemik antar penduduk dalam akses ke
kesempatan, maka hal ini perlu diperbaiki dengan kebijakan. Laporan Pembangunan Dunia Bank
Dunia tahun 2006 meneliti ketimpangan kesempatan melalui tiga dimensi: kesehatan (misalnya
akses ke layanan), pendidikan (misalnya akses ke sekolah dan guru) dan suara atau wewenang
(misalnya kemampuan mempengaruhi lembaga-lembaga penting di dalam masyarakat, seperti
tata kelola, akses ke lahan, pengendalian tenaga kerja dan regulasi pasar; wewenang dan suara
juga dapat dikaji di dalam rumah tangga). Laporan terbaru tentang Indeks Kesempatan Manusia
(Human Opportunity Index, HOI) juga meneliti akses ke air bersih dan sanitasi, serta infrastruktur
dan komunikasi.57 Fokus utama laporan tersebut adalah taraf dimana kesempatan dan akses
secara sistematis bervariasi pada berbagai dimensi seperti gender, ras, agama, disabilitas, lokasi,
dan latar belakang keluarga. Pendekatan HOI mencoba untuk mengkuantisir sejumlah kontribusi
ketimpangan kesempatan terhadap ketimpangan hasil.58
Selama dekade lalu, proporsi ketimpangan antar anak-anak yang dijelaskan oleh
perbedaan karakteristik saat lahir telah meningkat. Pada tahun 2002, 27 persen ketimpangan
konsumsi anak disebabkan karena perbedaan gender, gender dan status pekerjaan kepala rumah
tangga, pendidikan orangtua, serta tempat dan wilayah kelahiran. Pada tahun 2012, angka ini
telah meningkat menjadi 37 persen (Gambar 2.17), terutama didorong oleh pendidikan orangtua,
dan tumbuh besar di daerah perdesaan, dan juga wilayah tertentu di Indonesia (Gambar 2.18).
Gambar 2.17: Proporsi ketimpangan konsumsi
anak karena keadaan lahir
Gambar 2.18: Peran keadaan lahir dalam
ketimpangan konsumsi anak
Sumber: Susenas, perhitungan staf Bank Dunia.
Catatan: Dekomposisi Theil L (GE 0) bagi anak di bawah 18
tahun yang hidup di rumah.
Sumber: Susenas, perhitungan staf Bank Dunia.
57 Lihat, sebagai contoh, Paes de Barros dkk. (2009).
58 Perhitungan ini akan dilakukan sebagai bagian dari laporan berjalan Bank Dunia tentang ketimpangan di Indonesia.
62
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
Peran lonjakan komoditas dalam peningkatan ketimpangan pendapatan
Terdapat bukti bahwa lonjakan komoditas pada tahun 2003-12 memainkan peran yang
$ " "$ & Secara
teori, dampak distribusi dari guncangan harga komoditas dapat diperkecil bila sumber daya
(terutama tenaga kerja) bebas bergerak lintas sektor. Namun bila terdapat kendala dalam faktor
! $ ?
Rendahnya tingkat intensitas tenaga kerja dari sebagian besar sektor sumber daya (terutama
minyak, gas, dan pertambangan) biasanya menghalangi penyerapan porsi angkatan kerja yang
! ?# $
cenderung memberi keuntungan yang tidak proporsional kepada para pemilik aset. Sejalan
dengan ini, Bhattacharyya dan Williamson (2013) menunjukkan bahwa lonjakan sumber daya
cenderung mempertajam ketimpangan.59
Untuk Indonesia, lonjakan komoditas memainkan peran yang berbeda dalam
pembedaan pertumbuhan pendapatan antara kaum berada dengan kaum miskin
dan rentan, yang mendorong ketimpangan. Seperti yang telah dipaparkan pada Bab 1,
! O $
yang tercermin dalam peningkatan kekayaan perusahaan dan pasar saham antara pertengahan
tahun 2000an dan 2011. Aset-aset pertambangan, batubara, dan minyak sawit, khususnya,
mencatat peningkatan harga yang tinggi hingga bulan Maret 2011, dan menyebabkan
peningkatan indeks harga ekuitas pertambangan sebesar 20 kali lipat, 14 kali lipat peningkatan
indeks pertanian dan berkontribusi terhadap peningkatan 10 kali lipat pada indeks harga saham
gabungan.60 Enambelas dari 21 milyarder pada daftar Forbes tahun 2010 tentang 40 orang paling
kaya di Indonesia memiliki aset-aset yang terkait dengan sektor batubara dan kelapa sawit. Selain
itu, pemilik aset-aset seperti lahan, rumah, dan bangunan kantor di daerah metropolitan seperti
Jakarta juga menerima manfaat yang tidak proporsional dari peningkatan tajam harga tanah
selama dekade lalu. Peningkatan harga aset, yang mendukung peningkatan pendapatan bagi kaum
berada, amatlah kontras dengan lambatnya pertumbuhan upah riil dari kaum miskin dan rentan
seperti disampaikan di atas. Tampak jelas, kesenjangan antara kaum berada dan kaum miskin
telah melebar.
Namun perlu diperhatikan bahwa lonjakan komoditas juga secara tidak langsung
mendukung pendapatan mereka yang tidak berada, termasuk kaum miskin, rentan
dan rumah tangga pada kelas menengah seperti terlihat pada Bab 1. Lonjakan komoditas
memiliki korelasi yang kuat dengan PDB nominal, dan telah mendorong permintaan atas barangbarang dan jasa-jasa. Peningkatan permintaan telah mendukung pertumbuhan PDB riil pada
sektor jasa di daerah-daerah perkotaan, yang pada gilirannya mendorong penciptaan lapangan
kerja dan pertumbuhan secara keseluruhan. Kaum berada semata-mata menikmati peningkatan
aset-aset (termasuk aset-aset yang dibangun di daerah perkotaan seperti gedung perkantoran dan
tempat tinggal) dan pendapatan yang jauh lebih besar dibanding kelompok pendapatan yang lain.
59 Bhattacharyya, S dan J G Williamson (2013), “Distributional Impact of Commodity Price Shocks: Australia over a Century”,
CEPR Discussion Paper 9582, Agustus.
=]Z ! %=!! %!!?
63
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
% $ "!
" " >
Dengan mengalokasikan sejumlah besar penerimaan yang berasal dari sektor sumber
!
% ! = $ !
memperburuk ketimpangan. Lonjakan komoditas membawa manfaat bagi pendanaan publik,
secara langsung melalui pembayaran pajak dan bukan pajak dari sektor sumber daya, dan secara
tidak langsung melalui pengaruh belanja yang tercipta di dalam ekonomi. Penerimaan sumber
daya alam (dari pembayaran pajak dan bukan pajak) meningkat secara dramatis pada tahun
2003-12 (Gambar 2.19). Penerimaan minyak meningkat lebih dari empat kali lipat antara tahun
1999 dan 2012 menjadi Rp.182 triliun pada tahun 2012 (17 miliar dolar AS), penerimaan gas
meningkat lima kali lipat menjadi Rp.105,9 triliun pada tahun 2012 (10 miliar dolar), penerimaan
pertambangan meningkat hampir empat kali lipat menjadi Rp.78,5 triliun pada tahun 201261 (7,3
miliar dolar) sementara penerimaan kehutanan dan perikanan meningkat sebesar 860 persen dari
angka dasar yang rendah menjadi Rp.6 triliun pada tahun 2012 (560 juta dolar AS).62 Porsi yang
! !
energi, sehingga menurunkan belanja investasi infrastruktur (crowd out) (Gambar 2.20). Sebagai
contoh, belanja tahun 2012 untuk subsidi BBM sebesar Rp.212 triliun adalah setara dengan
gabungan belanja pemerintah pusat untuk barang modal (Rp.140 triliun) dan belanja sosial (Rp.75
triliun). Jumlah tersebut adalah tiga kali lipat alokasi APBN 2012 untuk belanja infrastruktur
pemerintah pusat.
Besarnya pengeluaran untuk subsidi BBM serupa dengan tambahan transfer
pendapatan yang secara tidak proporsional menguntungkan rumah tangga kaya. Sekitar
84 persen dari seluruh manfaat konsumsi dinikmati oleh rumah tangga tingkat menengah ke atas,
dan hanya 16 persen dinikmati oleh setengah ke bawah, 40 persen manfaat dinikmati oleh 10
persen rumah tangga terkaya, dan kurang dari 1 persen dinikmati oleh 10 persen rumah tangga
termiskin. Selain itu, kaum miskin (diukur berdasar tingkat konsumsi) tidak hanya menerima
manfaat yang lebih rendah dari subsidi BBM, mereka juga cenderung lebih menderita akibat
buruknya pengadaan infrastruktur; mereka hidup di daerah-daerah yang paling rentan banjir dan
seringkali menemui hambatan yang paling sulit dalam akses ke layanan-layanan dasar utama.
61 Data penerimaan bukan pajak untuk pertambangan, kehutanan dan perikanan tidak tersedia dari tahun 1998 ke 2002. Karenanya,
kita menggunakan periode tahun 2003-12 bagi analisis penerimaan dari pertambangan, kehutanan dan perikanan.
62 Pada tahun 2012, minyak merupakan 49 persen dari jumlah penerimaan sumber daya alam, gas pada 29,4 persen, pertambangan
sebesar 20 persen sementara kehutanan dan perikanan pada 1,6 persen. Untuk migas, selain pajak perusahaan, kontrak bagi hasil
memberikan pendapatan bukan pajak dari saham ekuitas pemerintah (sama seperti royalti dari keuntungan) dan bagian pemerintah
dari tahap pertama perminyakan (sama seperti royalti berdasar produksi/output); bonus penandatanganan dan produksi adalah sumber
pendapatan bukan pajak lainnya. Untuk pertambangan, selain pajak, pendapatan non pajak umumnya dipungut dari royalti berbasis
produksi/output, termasuk royalti khusus dan ad valorum. Batubara sangat mendominasi pendapatan bukan pajak dari pertambangan,
yang mencapai 90 persen dari pendapatan mineral bukan pajak pada tahun 2011.
64
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
Gambar 2.19: Penerimaan sumber daya alam
meningkat dramatis secara nominal
(Rp miliar)
Gambar 2.20: Namun sebagian besar belanja
publik disalurkan ke subsidi BBM dan bukan
ke infrastruktur
(bagian jumlah pengeluaran, persen)
Sumber: Kementerian Keuangan & perhitungan staf Bank Dunia. Sumber: Kementerian Keuangan.
Catatan: Gambar 2.20 tidak menyertakan data 1998-2002 untuk memudahkan penafsiran data. Data tahun 1998-2002 dikaburkan
! _` !! <===~ _` ! %>>>*?
4. Akses ke Layanan Dasar
Apakah transformasi ekonomi pada dekade yang lalu terkait dengan peningkatan
"% > Dekade yang lalu jelas telah mengalami
kemajuan berkelanjutan dalam hal akses ke layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air
bersih dan sanitasi, dan listrik. Namun kemajuan tersebut tidak merata dan tidak berimbang, yang
! $
inklusivitas pertumbuhan. Secara umum, akses ke kaum miskin dan rentan layanan cenderung
rendah dan tidak proporsional, dengan pendidikan sebagai pengecualian yang menonjol karena
telah mencetak kemajuan yang mengagumkan pada kesetaraan akses.
Akses penduduk ke layanan dasar yang berkualitas harus diuji dengan latar belakang
" "$ Y"%! ^xxx Sejak saat itu, pemerintah
daerah telah mengambil alih tanggung jawab utama untuk menyediakan hampir seluruh layanan
publik. Penugasan fungsi-fungsi baru tersebut kepada pemerintah daerah juga disertai dengan
!! ?^! <$ \^
pada tahun 2000 ke 7,2 persen dari PDB pada tahun 2011. Kini, pemerintah daerah mengelola
proporsi belanja pemerintah yang hampir sama dengan pemerintah pusat, apabila belanja
pemerintah pusat untuk subsidi dan pembayaran bunga tidak ikut dihitung. Visi dan harapan di
balik peningkatan tanggung jawab dan kapasitas keuangan ini adalah untuk meningkatkan daya
tanggap terhadap kebutuhan atas layanan.
Pendidikan
Sebagai cerminan komitmen politis Indonesia yang jelas bagi pendidikan, akses kaum
miskin kepada pendidikan telah meningkat secara dramatis dengan anak-anak dari
keluarga miskin masuk sekolah lebih dini dan lebih lama bersekolah. Mandat UU untuk
mengalokasikan setidaknya 20 persen dari jumlah anggaran pemerintah bagi pendidikan telah
65
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
mendorong peningkatan belanja lebih dari dua kali lipat secara riil sejak tahun 2002. Hasil
terbesar dari peningkatan ini adalah perbaikan dalam akses dan pemerataan. Proporsi anak
berusia 15 tahun dari kuantil konsumsi termiskin yang masih bersekolah meningkat dari 60 ke 80
persen antara tahun 2006 dan 2010. Namun, setelah usia 15 tahun, bagian anak-anak dari kuantil
termiskin yang masih bersekolah turun secara drastis (Gambar 2.21). Akses ke pendidikan usia
dini, SMA dan lanjutannya masih tetap rendah, terutama bagi kaum miskin. Untuk pendidikan
tinggi, jumlah partisipasi telah meningkat dari 12 persen pada tahun 2000 ke 26 persen, namun
kurang dari 4 persen anak berusia 19-22 tahun dari 40 persen penduduk termiskin masuk di
dalam pendidikan tinggi. Kesenjangan gender bukan merupakan masalah dalam hal akses,
walaupun pada semua tingkatan cenderung lebih banyak anak laki-laki yang putus sekolah
dibanding perempuan.
Tantangan terbesar yang sedang dihadapi Indonesia adalah meningkatkan kualitas
pendidikan bagi seluruh kelompok pendapatan. Sebagai contoh, ujian internasional seperti
PISA menunjukkan bahwa peringkat Indonesia berada di bawah banyak negara pembandingnya.
Pada tahun 2012, dari 470.000 pelajar berusia 15 tahun dari 65 negara, Indonesia mendapat
peringkat 57 dalam pengetahuan membaca, matematika dan ilmu alam, dengan nilai 402 dari
600 (dibanding rata-rata OECD sebesar 493). Banyak negara Asia lain mendapat peringkat yang
jauh lebih baik: Shanghai (peringkat 1, nilai 556), Korea Selatan (2, 539), Hong Kong (4, 533),
Singapura (5, 526), Jepang (8, 520), dan Thailand (50, nilai 421). Ekonomi berkembang lainnya
di luar Asia juga mencatat peringkat yang baik: Turki (peringkat 41), Rusia (43), dan Brasil
(53). Reformasi untuk meningkatkan pendidikan dasar, SMA, dan pendidikan tinggi sedang
berlangsung dan tetap menantang. Lihat Bab 5 dan laporan Bank Dunia (2012) untuk perincian
lebih lanjut.
Gambar 2.21: Persentase anak bersekolah menurut usia
(persen)
Sumber: Bank Dunia (2013).63
63 Bank Dunia (2013): Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia, kerjasama dengan
Kementerian Pendidikan.
66
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
Kesehatan
Indonesia mencatat kemajuan yang stabil dengan sejumlah hasil realisasi bidang
kesehatan penduduk selama beberapa dekade terakhir. Angka harapan hidup terus
meningkat hingga hampir mencapai 70 tahun pada tahun 2011, naik dari sekitar 45 tahun pada
1960. Angka kematian balita semakin turun dari 216 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun
1960 ke 82 pada 1990 dan 32 pada tahun 2011. Dengan laju saat ini, Indonesia diproyeksikan
akan mencapai Sasaran Pembangunan Mileniumnya (Millennium Development Goal, MDG) terkait
kesehatan anak dengan penurunan dua-per-tiga dari kematian balita antara tahun 1990 dan 2015.
Pencapaian Indonesia secara keseluruhan pada indikator ini secara umum konsisten dengan yang
diharapkan sesuai dengan tingkat pendapatannya. Namun banyak negara tetangga setara seperti
Filipina, Kamboja, Vietnam, dan Thailand mencatat prestasi yang jauh lebih baik dari Indonesia,
relatif terhadap tingkat pendapatan mereka, dalam hal angka kematian bayi saat persalinan dan
balita (Gambar 2.22).
Gambar 2.22: Mortalitas bayi dan anak di Indonesia sekitar rata-rata untuk tingkat
pendapatannya
Sumber: WDI.
Gambar 2.23: Tren rasio mortalitas persalinan di Indonesia, 1990-2015
Sumber: Perkiraan sensus Indonesia dari gabungan Bank Dunia-PBB.
DHS; Institute of Health Metrics and Evaluation (IHME).
Catatan: Daerah berbayang adalah ketidakpastian perkiraan Bank Dunia-PBB.
67
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
Namun bidang kesehatan di Indonesia menghadapi tantangan yang berat. Tantangan
itu termasuk keadaan kesehatan persalinan yang relatif buruk, “beban ganda” gizi, ketimpangan
! $
yang harus dibayar sendiri (out-of-pocket, OOP) untuk kesehatan walau dengan tingginya dan
meningkatnya taraf penjaminan kesehatan. Rasio mortalitas persalinan, yang baru-baru ini
diperkirakan mencapai 220 per 100.000 kelahiran hidup, lebih tinggi dari rasio di India dan
Myanmar, dan jauh lebih tinggi dibanding yang diperkirakan sesuai dengan tingkat pendapatan
Indonesia. Bila tren ini berlanjut, Indonesia tidak akan mencapai sasaran MDG-nya untuk
kesehatan persalinan (Gambar 2.23). Walau penggunaan layanan kesehatan persalinan seperti
pemeriksaan sebelum persalinan dan persalinan yang dibantu tenaga ahli relatif tinggi, hanya 63
persen dari persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan.
Tantangan utama lainnya adalah malnutrisi anak, yang bertolak belakang dengan
masalah kelebihan gizi bagi anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa serta
peningkatan kecenderungan penyakit tidak menular. Indonesia berada pada jalur yang
tepat untuk mencapai MDG terkait dengan gizi yang berhubungan dengan pencegahan
meluasnya kelebihan berat badan pada anak-anak berusia balita (perkiraan saat ini menetapkan
tingkat prevalensi pada kisaran 18 persen). Namun penurunan prevalensi dari indikator lain
terkait malnutrisi seperti kelambatan pertumbuhan (stunting) pada usia dini masih tetap menjadi
tantangan.64 Stunting meningkatkan kemungkinan terjadinya kelebihan berat badan dan penyakit
jantung pada waktu dewasa. Perubahan pola konsumsi dan gaya hidup yang sejalan dengan
peningkatan urbanisasi turut memperburuk keadaan ini, hingga masalah kelebihan gizi telah
mempengaruhi sebagian besar orang dewasa. Kecuali tindakan diambil sekarang, sehingga
tidak hanya menangani masalah persalinan dan kekurangan gizi pada anak, namun juga masalah
kelebihan gizi pada anak yang lebih besar dan orang dewasa, prevalensi penyakit tidak menular
(non-communicable diseases, NCDs) akan meningkat dengan tajam, dan akan menghambat kemajuan
ekonomi Indonesia pada dekade-dekade yang akan datang.
Bahkan, NCDs tengah berkembang menjadi salah satu tantangan kesehatan terbesar
yang dihadapi Indonesia. NCDs merupakan bagian terbesar dari seluruh beban penyakit di
Indonesia. Pada tahun 1990 hanya sekitar 37 persen morbiditas (penderita sakit) dan mortalitas
di Indonesia disebabkan oleh NCDs, namun pada tahun 2010 angka ini meningkat menjadi 58
persen (Gambar 2.24). Tren tersebut diperkirakan akan berlanjut pada tahun-tahun mendatang,
tidak hanya di Indonesia namun juga seluruh kawasan. Dari sudut pandang pendanaan dan
penyediaan layanan kesehatan, yang membedakan NCDs adalah sifatnya yang menahun: mereka
umumnya memiliki ciri waktu yang panjang dan tingkat kemajuan yang lambat, namun mereka
juga bisa menyebabkan kematian prematur yang cepat (misalnya melalui serangan atau kondisi
jantung). NCDs juga umumnya membutuhkan pengobatan yang lebih mahal dan pengelolaan
kasus berkelanjutan, yang seringkali membutuhkan kontak berkali-kali dengan sistem kesehatan
sepanjang hidup penderita. Pengelolaan NCDs juga membutuhkan layanan pengobatan primer
untuk menjalankan peran yang penting dan efektif dalam menentukan dan melaksanakan
intervensi pencegahan yang bagi sebagian besar NCDs jauh lebih hemat biaya dibanding
pengobatan pada stadium lanjut penyakit tersebut. Juga terdapat bukti yang menunjukkan bahwa
NCDs pada umumnya mengakibatkan pengeluaran kesehatan yang besar, yang mendorong risiko
pemiskinan pada rumah tangga.
64 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 memperkirakan gizi buruk (4,9 persen); kurang gizi (13 persen).
68
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
Gambar 2.24: Beban penyakit menurut penyebab di Indonesia, 1990-2010
(persen)
Sumber: IHME.
Secara umum, kinerja sistem kesehatan di Indonesia mencerminkan sejumlah faktor,
termasuk relatif rendahnya belanja pemerintah untuk kesehatan, sulitnya akses rumah
tangga ke asuransi resmi, dangkalnya perlindungan pendanaan bagi mereka yang
memiliki perlindungan asuransi resmi, kualitas buruk dan masalah penyediaan layanan
yang terkait dengan desentralisasi Indonesia yang sangat cepat (lihat di bawah).
Belanja pemerintah untuk kesehatan hanya 0,9 persen dari PDB di Indonesia, jauh lebih rendah
dibanding Thailand (2,9 persen), Tiongkok (2,7 persen) dan Vietnam (2,6 persen). Pada tahun
2012, pengeluaran kesehatan hanya mencapai 5,3 persen dari seluruh pengeluaran pemerintah,
dan kurang dari 2 persen dari belanja pemerintah pusat (dibanding, misalnya, 18 persen belanja
pemerintah pusat untuk subsidi BBM). Bersamaan dengan itu, lebih dari setengah penduduk
masih tetap tidak memiliki jaminan asuransi kesehatan apapun walau dengan adanya kemajuan
yang dicatat pada dekade lalu. Seperti disinggung di atas, pengeluaran biaya sendiri (OOP) masih
tetap tinggi, mencapai 40 persen dari seluruh pengeluaran untuk kesehatan.
Air dan Sanitasi
Akses ke air bersih dan sanitasi, faktor utama dalam kesehatan dan kesejahteraan
secara keseluruhan, telah meningkat sejak tahun 2001, namun masih di bawah 70 persen
jumlah penduduk. Menurut data Susenas, akses ke air bersih telah meningkat dari 47
ke 64 persen antara tahun 2001 dan 2012. Akses rumah tangga ke sanitasi juga meningkat,
walau tidak banyak, dari 54 ke 67 persen pada periode yang sama. Namun Indonesia masih
tertinggal di belakang Filipina dan Vietnam, serta Malaysia dan Thailand. Penelitian tahun 2008
memperkirakan buruknya sanitasi di seluruh negeri menyebabkan pengeluaran 6,3 miliar dolar
AS setiap tahunnya untuk biaya layanan kesehatan, hilangnya produktivitas, kerugian sumber
daya air dan perikanan, penurunan nilai tanah dan kerugian pariwisata. Sistem pembuangan
limbah sangat terbatas, dengan hanya 2 persen daerah perkotaan memiliki akses terhadap
sistem terpusat. Dari perkiraan 85.000 ton limbah padat yang dihasilkan setiap hari oleh 110
juta penduduk daerah perkotaan di Indonesia, hanya sekitar 40 persen yang dikirim ke tempat
pembuangan akhir (TPA), dengan banyak TPA merupakan pembuangan terbuka. Di daerah
perdesaan, sementara jumlah pengaturan air melalui pipa yang dikelola masyarakat semakin
meningkat, besar jangkauannya masih di bawah 20 persen dari populasi perdesaan, sementara
perhatian yang diberikan pada keberlanjutan upaya tersebut belum memadai.
69
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab II
Indonesia: Menghindari Perangkap
Sejumlah langkah telah diambil untuk meningkatkan penyediaan layanan pada sektor
air, namun kemajuan masih tetap belum merata. Pemerintah mengambil langkah-langkah
legislatif dan peraturan perundangan untuk meningkatkan permberian layanan di sektor air pada
pertengahan tahun 2000an (UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah
No. 16/2005). Di kawasan perdesaan, Pemerintah meningkatkan skema berbasis masyarakat
untuk bidang air bersih dan sanitasi, termasuk program sanitasi yang berbasis masyarakat dengan
sasaran mencapai 20.000 desa pada tahun 2014. Di kawasan perkotaan, terdapat sejumlah
!! ! !!$
dengan peningkatan jumlah utilitas yang digolongkan sebagai ‘sehat’ dari 38 ke 173 antara tahun
2004 dan 2012. Namun lemahnya kapasitas dan tata kelola, serta buruknya akses ke pendanaan,
masih tetap menjadi kendala utama. Pemerintah telah meluncurkan restrukturisasi utang, dan
subsidi pinjaman dan skema penjaminan, walau hingga saat ini prakarsa-prakarsa tersebut
tetap terfragmentasi dan penyerapannya relatif lambat. Sementara itu, upaya-upaya untuk
meningkatkan sistem pengelolaan pembuangan limbah dan lumpur masih berada pada tahap
awal.
Listrik
Akses ke listrik, yang umumnya dikelola oleh PLN, semakin meningkat selama dekade
lalu, namun jutaan orang masih belum mendapat pasokan tenaga listrik yang andal.
Menurut data Susenas terbaru, persentase rumah tangga yang memiliki akses ke listrik meningkat
dari 86 persen pada tahun 2001 ke 95 persen pada tahun 2012 (92 persen rumah tangga dilayani
PLN sementara 3 persen lainnya menggunakan sumber-sumber bukan PLN). Namun data
statistik yang condong kepada sisi permintaan ini berbeda dengan data resmi dari PLN, yang
menunjuk pada taraf cakupan listrik rumah tangga sebesar 74 persen. Selisih ini mencerminkan
perbedaan kualitas yang besar (jumlah jam akses yang berkesinambungan) dan besarnya jumlah
rumah tangga dengan akses yang tidak andal atau berkualitas rendah.
Untuk semakin meningkatkan akses ke listrik, strategi Pemerintah mencakup
peningkatan kerangka peraturan, penguatan penegakan peraturan yang berlaku, dan
penggiatan investasi. UU Energi dan UU Kelistrikan yang baru ditetapkan memperbarui
kerangka hukum bagi sektor energi, dengan penekanan pada keberlanjutan ekonomi, ketahanan
energi, dan pelestarian lingkungan. Mengikuti tahap pertama pada awal tahun 2000an, program
percepatan tahap kedua dengan tambahan kapasitas 10.000 MW berikutnya telah diluncurkan,
yang mana 60 persen akan berasal dari sumber daya terbarukan, dengan porsi panas bumi
mencapai 4.800 MW dan tenaga air mengisi sisanya. Konsumsi produk-produk minyak
dalam negeri menerima subsidi yang besar, mendukung pembangunan pembangkit listrik
yang umumnya menggunakan solar atau bahan bakar lain dari minyak, dengan peningkatan
permintaan yang pesat dari sektor transportasi dan kelangkaan gas alam dalam pasar pembangkit
listrik dalam negeri mencapai sekitar setengah dari jumlah produksi gas yang diekspor.
70
Bagian 2
Indonesia pada Dekade
Berikut: Membangun
Kesejahteraan
Bab III. Jalan Menuju
Kesejahteraan Bersama
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab III
Indonesia: Menghindari Perangkap
Bab III. Jalan Menuju Kesejahteraan Bersama
Dalam dua dekade ke depan, Indonesia bersiap untuk meningkatkan kesejahteraan, menghindari
diri dari terperangkap di zona negara berpenghasilan menengah, dan bertekad untuk tak
meninggalkan siapapun dalam upayanya mengejar negara-negara berpenghasilan tinggi. Semua
ini adalah cita-cita yang ambisius. Untuk mencapainya, dibutuhkan pertumbuhan dan penciptaan
lapangan kerja yang tinggi dan berkelanjutan, serta peningkatan pemerataan. Pertanyaannya,
+ " O+ !
potensi untuk bangkit serta meraih kesejahteraan dan pemerataan. Namun demikian, risiko
“mengambang di tengah” memang nyata. Pilihan jalur yang akan diambil dalam pembangunan
perekonomian bergantung kepada: (i) pemilihan strategi pertumbuhan yang dapat menyalurkan
potensi produktivitas ekonomi tersebut; dan (ii) penerapan kebijakan yang konsisten sebagai
buah reformasi struktural di beberapa sektor prioritas guna mendorong pertumbuhan dan
mendistribusikan kesejahteraan secara lebih luas. Indonesia sebenarnya cukup beruntung karena
memiliki pilihan dalam pembiayaan reformasi tersebut tanpa harus mengganggu prospek
! ?#! ! !! $ !
memasuki kerangka kerja institusi yang rumit dan terdesentralisasi. Namun Indonesia harus
berupaya sebaik mungkin. Harga yang harus dibayar bila berpuas diri terlalu dini – dan imbalan
bila tindakan benar diambil – terlalu tinggi untuk diabaikan.
Bab ini (i) menyoroti faktor-faktor dalam dan luar negeri utama yang akan membentuk
prospek-prospek ekonomi serta risiko dan potensi biaya bila berpuas diri terlalu dini; (ii)
menguraikan strategi pertumbuhan yang dapat membantu Indonesia menggapai cita-citanya; (iii)
Z Z
bab selanjutnya dalam laporan ini; dan (iv) membahas pilihan-pilihan reformasi khusus untuk
menjawab tantangan-tantangan implementasi lintas sektor.
1. Berbagai Kesempatan dan Risiko Utama
Selama dekade berikut, empat faktor dalam dan luar negeri—yang dengan kebijakan-kebijakan
yang baik dapat diubah menjadi mesin pendorong pertumbuhan yang dahsyat, atau “faktor
penarik”—akan membentuk prospek-prospek ekonomi. Faktor-faktor itu adalah kondisi
$ ! + $
perkembangan harga komoditas internasional, dan pertumbuhan ekonomi di Tiongkok.
Kesempatan utama
Indonesia beruntung memiliki tenaga kerja yang melimpah. Antara
tahun 2013 dan 2020, jumlah angkatan kerja akan meningkat sebesar 14,8 juta jiwa, mencapai
189 juta dari 174 juta yang ada sekarang. Kini, 50 persen penduduk berusia kurang dari 30
tahun. Tenaga muda yang semakin berpendidikan dan memahami teknologi informasi ini
merupakan aset yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan. Dengan penerapan kebijakan-kebijakan pemanfaatan tenaga
$+ !
sebelum populasi yang ada mulai memasuki usia tua pada tahun 2025-30.
74
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab III
Indonesia: Menghindari Perangkap
Urbanisasi. Laju pertumbuhan urbanisasi yang mencapai 4 persen per tahun menempatkan
Indonesia sebagai salah satu negara yang mengalami urbanisasi tercepat di dunia. Pada
tahun 2025, 68 persen penduduk Indonesia diperkirakan akan hidup di daerah perkotaan,
dibandingkan dengan 52 persen pada tahun 2012. Dengan meningkatnya pendapatan
dan daerah-daerah metropolitan besar seperti Jakarta dan Surabaya yang semakin jenuh,
maka permintaan akan barang-barang konsumsi, tempat perbelanjaan, dan perumahan
Z ! !?[ Z
itu dengan para penghuninya ke daerah-daerah perdesaan, daerah-daerah metropolitan,
dan ekonomi global menjadi sangat penting dalam menarik perusahaan-perusahaan dan
mencapai kesejahteraan bersama. Bukti empiris menunjukkan bahwa urbanisasi dapat
mendukung pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan di Indonesia bila disertai dengan
kehadiran infrastruktur yang memadai (Lewis, 2014).
Harga komoditas global. Perlemahan harga-harga komoditas global sejak tahun
2011 membawa tantangan-tantangan jangka pendek bagi Indonesia, seperti terlihat dari
dampaknya terhadap neraca perdagangan Indonesia, namun demikian perlemahan ini
menawarkan kesempatan untuk meningkatkan kualitas dan keragaman investasi di Indonesia.
Selama dekade terakhir ini, tingginya harga-harga komoditas mendorong insentif investasi
yang lebih besar bagi sektor sumber daya alam dan sektor yang tidak dapat diperdagangkan
(non-tradable) (misalnya sektor perumahan) dibanding investasi di sektor manufaktur
dan sektor-sektor yang dapat diperdagangkan. Porsi manufaktur terhadap keseluruhan
investasi menurun sebesar 12 persen pada tahun 2002-11, dibanding persentasenya yang
mencapai hampir seperlima pada tahun 1990-96. Ke depannya, perlemahan harga-harga
!!
dapat membantu Indonesia mengembangkan basis industrinya. Penurunan harga komoditas
selama dua tahun terakhir membawa dampak depresiasi pada kurs tukar efektif riil, dan
mendorong investasi manufaktur, ekspor, dan daya saing. Dengan melakukan reformasi yang
mampu mengurangi kendala yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan manufaktur (lihat di
bawah), maka melemahnya harga-harga komoditas dapat berbuah menjadi suatu keberkahan
terselubung.
Gambar 3.1: Harga komoditas diproyeksikan
semakin turun pada dekade berikut
(indeks, 2005 = 100; indeks harga komoditas riil)
Gambar 3.2: Nilai tukar efektif riil Indonesia
kini menyesuaikan terhadap turunnnya harga
komoditas
(indeks, 2000 = 100; indeks harga komoditas tertimbang,
nilai tukar efektif rill)
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia.
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia.
75
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab III
Indonesia: Menghindari Perangkap
Perkembangan di Tiongkok. Pesatnya peningkatan upah di Tiongkok juga memberikan
kesempatan bagi Indonesia untuk kembali meraih keunggulan komparatif pada sektor-sektor
ekspor padat karya. Upah nominal di Tiongkok saat ini telah meningkat hampir sebesar
15 persen secara rata-rata sejak tahun 2001, diiringi dengan perlambatan pertumbuhan
produktivitas pada sektor-sektor berketerampilan rendah pada beberapa tahun terakhir.
Kedua hal tersebut mengakibatkan peningkatan biaya tenaga kerja hampir sebesar 70 persen
di Tiongkok sejak tahun 2005 (Economist Intelligence Unit, 2012). Sementara itu, apresiasi
Yuan yang terus berlangsung, dengan peningkatan kurs tukar riil efektif sebesar 30 persen
sejak tahun 2005, telah mengikis daya saing Tiongkok dalam memproduksi barang-barang
manufaktur. Tekanan-tekanan ini, dibarengi oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi
secara keseluruhan seiring dengan terjadinya penyeimbangan pertumbuhan ekonomi (rebalancing) di Tiongkok, tampaknya akan mampu mendorong para investor untuk memperluas
pertimbangannya dalam berinvestasi lebih jauh hingga melintasi daerah-daerah pesisir
Tiongkok. Dinamika tersebut memberikan peluang bagi negara-negara ASEAN, termasuk
Indonesia, untuk menarik lebih banyak investasi ke industri-industri manufaktur mereka.
Namun, sementara faktor-faktor yang berpotensi menguntungkan tersebut tak akan
membuahkan hasil tanpa disertai dengan reformasi, Indonesia tetap menghadapi dua risiko:
risiko perlambatan pada pertumbuhan jangka panjang dan risiko pertumbuhan yang tidak cukup
inklusif.
Risiko perlambatan pertumbuhan
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa perlambatan pertumbuhan dapat
terjadi pada tingkat pendapatan berapa pun (Bulman et al, 2012). Bukti-bukti terakhir
menunjukkan bahwa kejadian ini lebih banyak dialami oleh negara-negara berpenghasilan
menengah (IMF, 2013). Sebagai contoh, Brasil tumbuh secara pesat pada tahun 1960an dan
1970an. Lalu sejak tahun 1981, ketika PDB per kapitanya mencapai 3.939 dolar AS (sedikit di
atas PDB per kapita Indonesia saat ini), Brasil mulai mencatat perlambatan pertumbuhan relatif
yang berkepanjangan, hingga tahun 2004.65 Pengalaman serupa juga terjadi di Meksiko, yang
mencatat perlambatan pertumbuhan berkepanjangan selama lebih dari 20 tahun setelah tahun
1981 ketika PDB per kapitanya berjumlah 6.965 dolar AS. Gambar 3.4 dan 3.5 secara jelas
memaparkan bahwa kesulitan dalam mengelola guncangan-guncangan telah mengarah kepada
pola pertumbuhan kembang-kempis berulang yang menghalangi kemajuan berarti dari PDB
perkapita. Contoh-contoh itu menunjukkan bahwa Indonesia tidak dapat sekedar berpangku
tangan menikmati kinerja pertumbuhannya yang kuat. Apalagi bila mengingat bahwa sebagian
pertumbuhan ini sebenarnya didorong oleh faktor eksternal yang sangat mendukung: ledakan
komoditas pada periode tahun 2003-11 yang terjadi bersamaan dengan rendahnya suku bunga
global sejak tahun 2009 yang mendukung pendapatan bagi dunia usaha, pendapatan yang
diterima rumah tangga dan penerimaan pemerintah, yang selanjutnya mendorong peningkatan
yang permintaan dalam negeri yang cukup tajam.66 Namun, harga-harga komoditas mencatat
! <=%%?\ ! ]$
65 Brasil adalah negara yang kaya akan komoditas seperti Indonesia, yang memetik banyak keuntungan dari ledakan komoditas pada
tahun 2004-11. Faktor eksternal yang menguntungkan ini menjelaskan sebagian pemulihan pertumbuhan yang kuat di Brasil pada
periode tersebut.
$ ! ! !Z _ O$$$$ !!?`$ !
Z! ! _ $ $ `$
konsumsi dan investasi untuk aset-aset tersebut dan menghasilkan efek multiplier di dalam ekonomi.
76
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab III
Indonesia: Menghindari Perangkap
stimulus Bank Sentral AS, quantitative easing—yang mendorong rendahnya suku bunga dunia—
tengah dikurangi secara bertahap, sehingga meningkatkan beban pendanaan dalam negeri. Tanpa
adanya reformasi-reformasi struktural, risiko perlambatan pertumbuhan bagi Indonesia sangatlah
nyata.
Gambar 3.3: PDB per kapita Brasil, Meksiko dan Afrika Selatan, dibanding AS dan secara
absolut
Sumber: Bank Dunia, World Development Indicators.
Gambar 3.4: Perubahan PDB per kapita di
Brasil (terkait pertumbuhan PDB)
(terkait pertumbuhan PDB)
Gambar 3.5: Perubahan PDB per kapita di
Meksiko
(terkait pertumbuhan PDB)
Sumber: World Bank, World Development Indicators.
Sumber: World Bank, World Development Indicators.
Risiko pertumbuhan yang tidak cukup inklusif
Meskipun Indonesia mampu menghindari perlambatan pertumbuhan yang
berkepanjangan, pertumbuhan mungkin tidak inklusif. Dari tahun 1999 hingga 2012,
tingkat kemiskinan berkurang separuhnya: dari 24 persen menjadi 12 persen. Namun pada tahun
2012, sekitar 65 juta jiwa masih hidup di antara garis kemiskinan nasional dan tingkat 50 persen
di atas garis itu. Bersama-sama dengan penduduk miskin, kelompok tersebut masih sangat
77
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab III
Indonesia: Menghindari Perangkap
rentan terhadap peningkatan harga bahan pangan, permasalahan kesehatan yang tak terduga,
dan bencana alam. Kerentanan ini terus bercokol antara lain karena rumah tangga yang paling
miskin hanya mencatat peningkatan pendapatan riil yang jauh lebih sedikit dibanding rumah
tangga yang lebih beruntung. Seperti pada Bab 2, pada periode tahun 2003-10, pertumbuhan
riil konsumsi per kapita bagi 40 persen rumah tangga paling miskin hanya 1,3 persen per tahun,
dibanding 3,5 persen bagi 40 persen kelompok rumah tangga berikutnya, dan 5,9 persen bagi 20
persen kelompok rumah tangga di paling atas. Selain itu, ketimpangan konsumsi di Indonesia
juga semakin ditentukan dengan akses ke kesempatan. Pada tahun 2002, 27 persen ketimpangan
konsumsi seorang anak diakibatkan oleh perbedaan gender, status pekerjaan dan gender kepala
rumah tangga, pendidikan orangtua, serta daerah dan tempat lahirnya. Pada tahun 2012, angka
ketimpangan ini telah mencapai 37 persen. Ke depannya, pertumbuhan merata perlu didorong
dan tidak boleh diabaikan.
Dimensi utama inklusivitas pertumbuhan adalah penciptaan pekerjaan. Dalam konteks
Indonesia, inklusivitas pertumbuhan tidak dapat dipisahkan dari tingkat pertumbuhan itu sendiri.
Bahkan sebagian alasan mengapa dibutuhkan pertumbuhan yang tinggi adalah karena jutaan
penduduk akan memasuki usia angkatan kerja dan pasar tenaga kerja sekitar dekade berikut.
Seperti ditunjukkan pada Gambar 3.6, populasi angkatan kerja diproyeksikan akan meningkat
%= !
titik paling rendahnya. Sebagai akibatnya, antara tahun 2013 dan 2020, populasi yang produktif
meningkat sebesar 14,8 juta jiwa di Indonesia, dan akan mencapai 189 juta dari jumlah sekarang
sebesar 174 juta jiwa (Gambar 3.5). Walau tidak semua dari jumlah itu akan mencari pekerjaan,
sebagian besar (bahkan mungkin hampir seluruhnya) akan mencari pekerjaan. Dalam 10 tahun
mendatang, partisipasi pasar tenaga kerja tampaknya akan meningkat secara bertahap seiring
dengan perkiraan bahwa kemajuan pendidikan dan cepatnya urbanisasi akan mendorong
partisipasi perempuan yang lebih besar dalam pasar tenaga kerja (partisipasi perempuan kini
hanya tercatat 52 persen, dibanding 86 persen untuk laki-laki berusia kerja) dan kaum muda.
Gambar 3.6: Proyeksi populasi angkatan kerja
(15+)
\] #
berlanjut hingga tahun 2030 sebelum berbalik
arah
Sumber: Perhitungan Staf Bank Dunia menggunakan data
populasi PBB.
Sumber: Perhitungan Staf Bank Dunia menggunakan data
populasi PBB.
78
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab III
Indonesia: Menghindari Perangkap
Sehingga tugasnya adalah menciptakan jutaan pekerjaan untuk semakin menurunkan
kemiskinan dan memperkuat kelas menengah. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan
membina ekonomi yang bertumbuh cepat dengan elastisitas pekerjaan yang ada. Pada periode
tahun 1990-2012, elastisitas pekerjaan diperkirakan sebesar 0,5, yang berarti bahwa 1 persen
pertumbuhan PDB akan mendorong pertumbuhan lapangan kerja sebesar 0,5 persen, secara
rata-rata lintas sektor.67 Menggunakan perkiraan elastisitas ini, perkembangan pekerjaan pada
masa depan dapat diproyeksikan menurut skenario-skenario pertumbuhan yang berbeda:
“skenario sekarang”, yang memproyeksikan pertumbuhan PDB riil menurut tren yang tercatat
antara tahun 1990 dan 2012 (yaitu rata-rata laju pertumbuhan tahunan riil sebesar 5 persen),
skenario “potensi sepenuhnya”, yang memproyeksikan laju pertumbuhan tahunan sebesar 6,5
persen, dan skenario “pesimistis” yang mengasumsikan laju pertumbuhan sebesar 4,0 persen
yang mencerminkan, misalnya, perlambatan ekonomi yang berkelanjutan.68
Untuk melindungi terjadinya penurunan tingkat angka pekerja, dibutuhkan laju
pertumbuhan dengan potensi penuh. Menurut skenario “potensi pertumbuhan sepenuhnya,”
Indonesia akan membuka 12,4 juta pekerjaan baru pada tahun 2020, yang akan meningkatkan
tingkat angka pekerja menjadi 65,3 persen. Menurut skenario “pertumbuhan sekarang”,
Indonesia akan membuka 10,2 juta lapangan kerja baru pada tahun 2020, yang hanya akan
mendorong sedikit peningkatan angka pekerja, di bawah 1 poin persentase (dari 63,7 persen ke
64,1 persen), seperti ditunjukkan pada Gambar 3.4. Akhirnya, menurut skenario “pertumbuhan
pesimistis,” hanya 7,3 juta pekerjaan baru yang akan tersedia pada tahun 2020, yang berarti
penurunan tingkat angka pekerja di bawah angka yang ada sekarang, yang merupakan skenario
yang akan merintangi upaya Indonesia untuk semakin mengentaskan kemiskinan.
Bagi perekonomian dengan tenaga kerja melimpah yang harus menyerap jutaan orang
yang baru masuk ke pasar tenaga kerja, memiliki laju pertumbuhan sebesar 5 persen
dibanding dengan 6,5 persen akan membawa perbedaan yang sangat besar. Perbedaan
dalam penyediaan lapangan kerja berjumlah lebih dari 2,2 juta pekerjaan selama delapan tahun!
Bila bercermin kepada tren masa lalu, perbedaan ini juga akan membawa realisasi kesejahteraan
yang berbeda. Seperti terlihat pada Bab 2, laju pertumbuhan ekonomi yang cepat pada tahun
2001-11 memungkinkan penyediaan 20 juta pekerjaan yang membantu menurunkan kemiskinan
? $ !
utama dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia.
67 Elastisitas pekerjaan terhadap pertumbuhan diperkirakan dengan menggunakan panel data penambahan nilai dan komposisi
pegawai bagi 9 sektor ekonomi antara tahun 1990 dan 2012. Perkiraan itu menghasilkan elastisitas sebesar 0,5, dan sedikit lebih besar
(0,54) bagi periode tahun 2000-12 yang lebih singkat. Angka yang sedikit lebih besar setara dengan perkiraan elastisitas bagi Filipina
untuk tahun 1997 hingga 2010 (Philippines Development Report, Bank Dunia, September 2013).
68 Pada tahun 2011, dengan menggunakan metodologi akuntansi pertumbuhan, IMF memperkirakan potensi pertumbuhan
Indonesia sebesar 7.0 persen. Kami mengasumsikan potensi pertumbuhan yang sedikit lebih rendah, terkait dua pergeseran
fundamental pada lingkungan dunia, yaitu melemahnya harga-harga komoditas dan tingginya biaya pinjaman sesuai dengan prospek
penghentian program stimulus AS, dan penyesuaian ekonomi Indonesia terhadap kejutan-kejutan tersebut. IMF Article IV (2011).
Hal-hal terpilih.
79
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab III
Indonesia: Menghindari Perangkap
Gambar 3.8: Jumlah pekerjaan menurut
berbagai skenario pertumbuhan
Gambar 3.9: Tingkat pekerjaan menurut
berbagai skenario pertumbuhan
Sumber: Perhitungan Staf Bank Dunia menggunakan data
populasi PBB.
Sumber: Perhitungan Staf Bank Dunia menggunakan data
populasi PBB.
2. Strategi Pertumbuhan
Dengan menimbang kesempatan-kesempatan dan risiko-risiko yang dibahas di atas,
serta aspirasi Indonesia akan kesejahteraan yang merata, strategi pertumbuhan mana
yang terbaik bagi Indonesia pada masa yang akan datang? Secara sederhana, suatu
negara dapat meningkatkan pendapatan per kapitanya melalui gabungan antara peningkatan
produktivitas tenaga kerja dan peningkatan jumlah penduduk yang bekerja.69 Karena jumlah
pekerja meningkat sangat lambat sesuai waktu, bukti-bukti lintas negara menunjukkan bahwa
92 persen dari perbedaan dalam PDB per kapita lintas negara (ukuran kesejahteraan) dijelaskan
dengan perbedaan dalam produktivitas tenaga kerja secara agregat (IMF, 2013). Sehingga,
agar PDB per kapita Indonesia dapat menyusul negara-negara berpenghasilan tinggi dengan
cepat, dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas tenaga
kerja sangatlah penting. Strategi pertumbuhan yang didorong oleh produktivitas juga penting
bagi Indonesia untuk menurunkan kerentanan dan meningkatkan daya saing sektor swastanya.
Tentunya, tekanan politis untuk meningkatkan upah tampaknya tidak akan melemah di
Indonesia. Dalam konteks ini, satu-satunya jalan untuk mengakomodir peningkatan upah tanpa
mengganggu daya saing adalah meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja agregat memiliki dua sumber. Pertama,
pergerakan tenaga kerja (dan modal atau faktor produksi lainnya) dari sektor dengan
produktivitas rendah ke yang lebih tinggi meningkatkan produktivitas suatu ekonomi secara
agregat (hal ini disebut “dampak transformasi struktural”, lihat McMillan dan Rodrik, 2011).
Sebagai contoh, ketika para pekerja meninggalkan bidang pertanian untuk bekerja pada sektor
dengan produktivitas yang lebih tinggi (misalnya sebagai akibat dari investasi pada pertanian
yang meningkatkan hasil panen), produktivitas agregat ekonomi itu meningkat. Sumber kedua
pertumbuhan produktivitas agregat adalah pertumbuhan produktivitas di dalam sektor-sektor
69 Penguraian PDB per kapitanya adalah sebagai berikut:
Workers
Population adalah proporsi dari jumlah populasi yang bekerja.
GDP
Population
GDP
Workers
Workers * Population
80
.
GDP
Workers
adalah agregat produktivitas tenaga kerja dan
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab III
Indonesia: Menghindari Perangkap
ekonomi, misalnya peningkatan produktivitas pertanian berkat penggunaan benih dengan hasil
panen yang lebih tinggi atau lebih tingginya produktivitas dalam manufaktur berkat munculnya
perusahaan-perusahaan baru yang inovatif.
Kabar baiknya adalah bahwa adanya kesenjangan produktivitas pada sektor-sektor
ekonomi Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mendorong produktivitas melalui
perubahan struktural. Tabel 3.1 menunjukkan kesenjangan tingkat produktivitas tenaga kerja
antara pertanian dan sektor-sektor ekonomi lainnya, yang diukur sebagai rasio dari produktivitas
sektoral terhadap pertanian. Memindahkan seorang pekerja dari pertanian ke jasa tingkat rendah
(perdagangan eceran dan besar dan perorangan, jasa sosial dan konstruksi) secara rata-rata akan
mengakibatkan peningkatan produktivitas sebesar dua kali lipat. Pergerakan ini umumnya terjadi
selama dekade lalu dan telah menjadi pendorong utama pengentasan kemiskinan. Tujuh belas
dari 20 juta pekerjaan yang tercipta pada tahun 2001-11 berada pada sektor jasa-jasa, sebagian
besar pada sektor jasa tingkat rendah. Saat ini, lebih dari 50 persen pekerja bekerja pada sektor
pertanian dan jasa tingkat rendah. Pada tahun-tahun mendatang, Indonesia harus berupaya untuk
meningkatkan pergerakan tenaga kerja dan penciptaan pekerjaan dalam sektor manufaktur dan
jasa-jasa tingkat tinggi.70 Walau pertumbuhan produktivitas manufaktur mengalami penurunan
tajam pada dekade lalu, rata-rata produktivitas pekerja pada industri manufaktur masih tetap
lima kali lipat lebih besar dibanding produktivitas pada pertanian.71 Indonesia akan mencatat
peningkatan pertumbuhan produktivitas bila sebagian besar dari 15 juta pekerja yang akan masuk
ke angkatan kerja pada tahun 2020 bekerja pada bidang manufaktur dan jasa-jasa tingkat tinggi
(dibanding jasa-jasa tingkat rendah).
Cakupan pertumbuhan produktivitas “dalam masing-masing sektor” juga besar di
Indonesia. Jenis pertumbuhan produktivitas ini umumnya membutuhkan penggunaan modal
yang lebih besar oleh pekerja (mesin dan peralatan yang lebih modern), peningkatan kualitas
tenaga kerja (pekerja yang lebih terlatih), penerapan teknologi baru (termasuk melalui penanaman
modal asing langsung (foreign direct investment, FDI) dan modal ventura dengan perusahaanperusahaan asing) dan persaingan di dalam sektor-sektor yang mendorong lebih banyaknya
! ? + ! Z
telah mencanangkan niatnya untuk mengembangkan industri-industri di negara ini guna
meningkatkan nilai tambah. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa negara-negara yang
berhasil mencapai tujuan itu melakukan hal berikut: (i) menerapkan strategi industri yang jelas
dan konsisten; (ii) meniadakan kendala (bottleneck) administratif dan peraturan perundangan yang
merintangi kegiatan investasi dan usaha; serta (iii) bermitra dan berkoordinasi dengan sektor
swasta dalam memasok tenaga terampil, dukungan infrastruktur, dan kelembagaan khusus yang
tepat pada sektor-sektor di mana negara itu memiliki keunggulan komparatif laten atau nyata.
Seperti dipaparkan di bawah, reformasi-reformasi multidimensi yang penting perlu dilaksanakan
bila Indonesia hendak mewujudkan berbagai hal tersebut.
70 Namun persyaratan keterampilan untuk dapat masuk ke sektor jasa yang tinggi juga lebih tinggi, menunjukkan bahwa kesempatan
untuk penciptaan pekerjaan dalam manufaktur sesungguhnya jauh lebih besar dengan rata-rata tingkat keterampilan yang ada pada
angkatan kerja.
71 Pada dekade yang lalu, pertumbuhan produktivitas tenaga kerja pada pertanian mencatat peningkatan (didorong oleh karet,
minyak sawit, kopi dan teh) sementara pertumbuhan pada manufaktur turun hampir mencapai nol. Penurunan paling tajam dalam
pertumbuhan produktivitas tenaga kerja terjadi pada bidang pertambangan dan penggalian. Lihat Bab 2.
81
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab III
Indonesia: Menghindari Perangkap
] !" # " " $ " """
(Produktivitas sektor tenaga kerja (secara riil) dibanding produktivitas tenaga kerja di bidang pertanian)
Sektor
2000-03
2005-08
Pertanian
1,0
1,0
Jasa tingkat rendah
2,4
2,5
Industri manufaktur
5,7
5,8
Transportasi dan komunikasi
2,8
3,5
Jasa keuangan
21,5
20,5
Pertambangan dan penggalian
46,8
26,7
2009-12
1,0
2,2
5,0
5,5
14,6
18,0
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia.
Bergerak ke model pertumbuhan yang didorong oleh produktivitas akan menghasilkan
& Selama beberapa dekade terakhir, sebagian
besar pertumbuhan didorong oleh akumulasi modal dan pertumbuhan tenaga kerja dengan
kontribusi jumlah faktor produktivitas (total factor productivity, TFP) yang terbatas. Van Der Eng
(2008) mengungkapkan bahwa TFP hanya menjelaskan 33 persen pertumbuhan pada periode
2000-07 dan tidak memiliki andil dalam pertumbuhan sebelum tahun 2000.72 Dibandingkan
dengan Tiongkok dan Korea Selatan, TFP kedua negara ini menjelaskan lebih dari 50 persen
pertumbuhan pada periode tersebut. Tingkat produktivitas agregat Indonesia—yang diukur
oleh rata-rata nilai tambah per pekerja—juga tidak terlalu tinggi menurut standar regional.
Sebagai contoh, rata-rata produktivitas setiap pekerja di Malaysia hampir mencapai lima
kali lipat dibanding Indonesia. Rata-rata produktivitas tenaga kerja di Indonesia juga lebih
rendah dibanding Thailand, Filipina, dan Tiongkok (Bagian 3). Perbedaan dalam produktivitas
mencerminkan struktur ekonomi yang ada. Di Indonesia, lebih dari 50 persen pekerja berada
di dua sektor dengan produktivitas yang rendah: pertanian dan sub-sektor jasa tingkat rendah
(perdagangan eceran, hotel, dan rumah makan). Hal itu sangat membebani tingkat rata-rata
produktivitas.
3. Prioritas Bidang Reformasi
Agenda reformasi untuk pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan mencakup dua komponen:
(i) pengelolaan ekonomi makro yang baik untuk mencegah peningkatan ketidakseimbangan
dan menjaga stabilitas ekonomi makro; dan (ii) reformasi struktural untuk mendukung agenda
pertumbuhan jangka panjang Indonesia. Keduanya dibutuhkan untuk memastikan pertumbuhan
yang stabil menuju status berpenghasilan tinggi.
Kabar baiknya adalah Indonesia memiliki rekam jejak pengelolaan ekonomi makro
yang tangguh, menyerupai Korea Selatan (Gambar 3.5 dan 3.6). Indonesia telah mengalami
banyak krisis yang hebat: dua krisis keuangan yang besar, pada pertengahan tahun 1960an dan
pada tahun 1997/98, dan berbagai krisis akibat bencana alam, dengan Tsunami tahun 2004
sebagai yang terbesar. Karena ukurannya, krisis-krisis itu membawa dampak yang menyulitkan
terhadap PDB per kapita. Sebagai contoh, PDB per kapita Indonesia mengalami kontraksi
sebesar 14,5 persen akibat krisis keuangan Asia tahun 1997/98, dampak terbesar yang dicatat
72 Van der Eng, Pierre (2008) ‘Capital Formation and Capital Stock in Indonesia, 1950-2007.’ Working Papers in Trade and
Development No.24. Canberra: School of Economics, ANU College of Business and Economics, Australian National University.
82
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab III
Indonesia: Menghindari Perangkap
oleh suatu negara karena krisis tersebut. Indonesia membutuhkan waktu selama enam tahun
untuk kembali mencapai tingkat PDB per kapita yang dicapainya pada tahun 1996—suatu
prestasi yang tidak buruk mengingat besarnya kejutan tersebut.
Gambar 3.10: Perubahan PDB per kapita di Gambar 3.11: Perubahan PDB per kapita di
Korea Selatan (terkait pertumbuhan PDB)
Indonesia (terkait pertumbuhan PDB)
Sumber: Bank Dunia, World Development Indicators.
Sumber: Bank Dunia, World Development Indicators.
Pengalaman Indonesia mengelola krisis tahun 2009 menunjukkan bagaimana sikap dan
tanggapan proaktif dapat memitigasi potensi dampak negatif volatilitas dunia. Pada
akhir tahun 2008, imbal hasil (yield) obligasi dalam negeri dan nilai tukar berada di bawah tekanan,
dan terdapat kecemasan bahwa Indonesia akan masuk ke masa krisis lainnya, yang serupa dengan
krisis tahun 1997/98, walau memiliki posisi makro yang kuat. Namun, pihak otorita menanggapi
tekanan-tekanan tersebut secara proaktif, dan memungkinkan nilai tukar untuk menyesuaikan
? ! ! $ $ ?
Fasilitas pendanaan darurat dengan para mitra pembangunan, termasuk Bank Dunia, pada
awal tahun 2009, menunjukkan adanya tambahan baris pertahanan kepada pasar. Serangkaian
langkah lain untuk meningkatkan pemantauan, kesiapan, dan daya tanggap terhadap krisis juga
diambil. Berkat berbagai upaya tersebut, pertumbuhan mencapai 4,6 persen pada tahun 2009 dan
bergerak naik ke 6,2 persen pada tahun 2010.
Sejak bulan Mei 2013 Indonesia melakukan penyesuaian terhadap perkembangan
! = $ " $ "%! ^x^= "% "" ! !
tahunan selama 15 tahun.73 Dengan dimulainya penghapusan bertahap kebijakan stimulus Bank
Sentral AS (quantitative easing) dan perlemahan harga-harga komoditas, kebijakan moneter telah
! _<'
dari Januari hingga Desember 2013), yang secara umum mendukung stabilitas makro. Tanpa
mengesampingkan kemajuan itu, dengan berlanjutnya ketidakpastian pada lingkungan dunia,
masih terdapat kebutuhan akan upaya berkelanjutan dalam bidang-bidang persiapan menghadapi
$ !! ! !! $
subsidi BBM, walau dengan kuatnya neraca secara keseluruhan.
] ^%$ !
tajam sejak tahun 2011 yang menurunkan ekspor secara drastis sementara pertumbuhan PDB yang kuat juga berarti pertumbuhan
impor yang kuat.
83
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab III
Indonesia: Menghindari Perangkap
Agenda reformasi struktural dapat diuraikan menjadi dua komponen yang saling
berkaitan dan berhubungan (Gambar 3.12). Terdapat kebijakan-kebijakan yang bertujuan
untuk mendukung produktivitas dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Tiga prioritas
!_`
Indonesia (Bab 4); (ii) menutup kesenjangan tenaga terampil pada angkatan kerja (Bab 5); dan
(iii) meningkatkan fungsi pasar produk, tenaga kerja, tanah, dan keuangan (Bab 6). Kebijakankebijakan itu tidak hanya akan melonggarkan rintangan pertumbuhan, namun juga membantu
pencapaian potensi produktivitas dan daya saing Indonesia, dengan cara yang saling menguatkan.
Komponen kedua dari agenda reformasi struktural terdiri dari reformasi-reformasi
yang bertujuan untuk memastikan pemerataan kesejahteraan yang lebih luas. Seperti
dibahas pada Bab 2, sejumlah besar rumah tangga yang digolongkan sebagai tidak miskin secara
pendapatan/konsumsi sebetulnya mengalami kemiskinan dalam banyak segi lainnya, termasuk
akses yang layak ke perumahan, transportasi, air bersih, sanitasi, dan pendidikan. Pada saat yang
bersamaan, walau dengan keberhasilan Indonesia dalam pengentasan kemiskinan, perlambatan
laju pengentasan yang dicatat pada beberapa tahun terakhir dan tingginya kerentanan masih
tetap merisaukan. Selain itu, hasil pengentasan kemiskinan Indonesia yang penuh dengan
perjuangan selalu berada di bawah ancaman, karena kerentanan Indonesia terhadap bencana
alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, dan kebakaran
hutan. Pengentasan masalah-masalah itu akan sangat penting dalam membantu perkembangan
masyarakat yang inklusif dan tangguh. Bab 7 membahas pilihan kebijakan untuk meningkatkan
akses ke layanan-layanan utama yang berkualitas bagi seluruh penduduk; Bab 8 membahas
penguatan perlindungan sosial, jaminan sosial, dan bantuan sosial; dan Bab 9 membahas
pilihan kebijakan dan pentingnya peran kebijakan dalam mengelola risiko bencana alam dan
meningkatkan ketahanan terhadap bencana.
Gambar 3. 12: Fokus kebijakan DPR
Fokus kebijakan yang diusulkan tersebut konsisten dengan Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tahun 2011-2025. MP3EI
memiliki tiga pilar: (i) mengembangkan sentra pertumbuhan lintas koridor ekonomi dengan
mendukung industrialisasi; (ii) memperkuat konektivitas nasional untuk menghubungkan kutubkutub pertumbuhan lintas dan dalam koridor ekonomi; dan (iii) melengkapi konektivitas dengan
84
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab III
Indonesia: Menghindari Perangkap
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dan meningkatkan investasi dalam penelitian
dan pengembangan. Rencana itu menetapkan sasaran yang ambisius bagi Indonesia untuk
tumbuh di atas 7,0 persen per tahun hingga tahun 2025. Menurut rencana itu, sektor swasta
memiliki peran utama dalam mendorong pembangunan ekonomi, terutama mendorong investasi,
mengadakan kesempatan kerja, dan memupuk inovasi.
4. Menjawab tantangan implementasi lintas sektoral
Pemerintah berperan penting dalam penyediaan lingkungan peraturan perundangan
dan layanan yang sangat penting bagi pewujudan negara yang sejahtera dan adil merata.
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, pemerintah harus tanggap dalam membentuk iklim
peraturan perundangan yang kondusif untuk menjaga investasi serta menyediakan infrastruktur
dan layanan inti untuk memenuhi kebutuhan perorangan dan perusahaan – termasuk jalan,
layanan kesehatan, keamanan lingkungan, dll. Namun terdapat sejumlah sistem dan praktik
dalam pemerintahan yang tidak lagi berfungsi di masa depan dan dapat menjadi penghalang bagi
pertumbuhan di kemudian hari.
Pemerintahan selama masa Orde Baru oleh mantan presiden Soeharto sangatlah
terpusat dan hirarkis. Pengambilan keputusan umumnya terpusat pada kelompok kecil pusat
pemerintahan di Jakarta, tercermin pada proses perencanaan yang dipimpin oleh Bappenas,
dan pengelolaan pegawai oleh KemenPAN-RB. Setelah kebijakan ditetapkan dari pusat, fokus
pemerintah adalah menetapkan peraturan dan tata cara sebagai petunjuk pelaksanaan kebijakankebijakan tersebut.
Pasca krisis tahun 1998, dipahami bahwa model terpusat ini tidak lagi memadai dan
kemudian timbul sejumlah reformasi politis dan administratif. Termasuk prakarsa
desentralisasi yang luas, peran DPR yang lebih aktif dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi dan
!$ ! ! !?
Walau terjadi berbagai perubahan dalam peran dan tanggung jawab lembaga-lembaga
pemerintahan, banyak unsur-unsur struktur pra-1998 masih tetap bertahan. Fungsi
perencanaan pusat masih melanjutkan rencana pembangunan tahunan, lima tahunan, dan jangka
panjang, KemenPAN-RB masih mengendalikan administrasi aparat negara, dan, sementara kini
terdapat sejumlah pemangku kepentingan yang merumuskan dan melaksanakan kebijakan pada
tingkat nasional dan daerah, mekanisme koordinasi lintas pemerintahan belum tersedia. Hal ini
mengakibatkan buruknya penyediaan layanan oleh lembaga-lembaga negara, penetapan kebijakan
yang tidak konsisten lintas sektoral, dan buruknya tanggapan pemerintahan terhadap prioritas
pemerintah dan warga negara.
Untuk mendukung ekonomi yang berkembang pesat, perhatian harus diberikan untuk
memfokuskan kembali administrasi pemerintah dalam menetapkan:
Pusat Pemerintahan yang lebih kuat untuk mengelola proses kebijakan dan menyelesaikan
Birokrasi yang lebih ramping demi terwujudnya peningkatan akuntabilitas
Peningkatan pengelolaan strategis sumber daya manusia pada administrasi pemerintahan
85
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab III
Indonesia: Menghindari Perangkap
Tata cara perencanaan dan penganggaran yang lebih baik demi peningkatan realisasi belanja
pemerintah
Akuntabilitas yang lebih kuat dalam penyediaan layanan pada tingkat daerah
Pusat Pemerintahan yang lebih kuat
Semakin meningkatnya ukuran dan kerumitan peran dan fungsi Negara juga
meningkatkan desakan akan Pusat dari Pemerintahan (Center of Government, CoG)
yang lebih kuat untuk mengkoordinasikan pembangunan kebijakan lintas sektoral
dan mengelola persaingan permintaan antar kementerian dan badan-badan negara.
!
pemerintahannya, namun terdapat sejumlah fungsi-fungsi utama yang harus ada untuk
mengaitkan perencanaan kebijakan jangka panjang dengan alokasi sumber daya dan mengelola
! ! ?\!! $
paling baik bila terdapat hubungan kerja yang erat dengan kepala pemerintahan dan menteri
keuangan, namun tidak semua fungsi intinya berkaitan dengan anggaran. Pada tahun 2004,
OECD/Sigma memberikan suatu ikhtisar atas sejumlah fungsi-fungsi inti yang umumnya
dijumpai pada CoG yang efektif.74 Fungsi-fungsi itu termasuk:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
perencanaan strategis & perencanaan kerja tahunan
tinjauan dokumen kebijakan: jaminan kualitas; mediasi antar kementerian
pemantauan kinerja pemerintah
koordinasi kebijakan/prioritas horisontal
persiapan sesi pemerintah/kabinet
ketaatan hukum dari rancangan undang-undang
Beberapa lembaga negara yang berbeda di Indonesia, yang dimulai dari Presiden,
memainkan sejumlah peran dalam koordinasi kebijakan termasuk tiga Kementerian
Koordinator, Kementerian Keuangan, Bappenas, KemenPAN-RB, kantor Wakil
Presiden, satuan-satuan pelaksanaan (UKP4 dan TPN2K), dan lain-lain. Namun para
kementerian telah menetapkan kebijakan-kebijakan dan peraturan baru yang bertentangan
dengan peraturan lain atau dengan tujuan kebijakan Presiden. Pengelolaan kebijakan juga menjadi
lebih sulit karena tantangan-tantangan untuk mengkoordinasi proses-proses perencanaan dan
penganggaran yang berlainan untuk bagian-bagian anggaran yang berbeda. Di kemudian hari,
pemerintah Indonesia dapat mempertimbangkan bagaimana menyempurnakan mandat-mandat
dan fungsi-fungsi dari berbagai lembaga yang mendukung CoG, dan memberdayakan Kantor
Presiden (atau yang ditugaskan) untuk memegang peran yang lebih kuat dalam mengelola proses
kebijakan.
Perampingan prosedur dan struktur birokrasi
Struktur organisasi dan proses birokrasi yang rumit merupakan kendala bagi
Pemerintah dalam melaksanakan komitmen kebijakan dan sasaran reformasinya.
Peraturan yang terlalu terperinci, struktur kelembagaan yang tumpang tindih, kurangnya
pendelegasian kewenangan, dan pengambilan keputusan yang tersebar, semuanya berkontribusi
']+[ Q
(OECD; Paris, 2004).
86
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab III
Indonesia: Menghindari Perangkap
terhadap budaya aksi yang lamban di dalam administrasi pemerintah. Aparat negara, termasuk
proses-proses dan struktur pemerintahan, belum memetik manfaat dengan cakupan yang setara
dengan bagian-bagian lain dari Negara.
Konsep Reformasi Birokrasi (RB) yang ada terpusat pada dokumentasi rencana reformasi pada
bidang-bidang reformasi yang telah ditentukan, namun masih belum jelas apakah konsep itu akan
membawa peningkatan produktivitas yang besar walau dengan peningkatan biaya gaji. Penyisihan
untuk RB diberikan berdasar rencana-rencana reformasi yang telah diperiksa dan bukan berdasar
realisasi reformasi sesungguhnya dan peningkatan produktivitas. Ke depannya, Pemerintah dapat
mempertimbangkan penyempurnaan pendekatan ke RB, dengan menekankan pada perampingan
proses pengambilan keputusan dan akuntabilitas, memberdayakan lembaga-lembaga dan
pengelolanya untuk mengambil keputusan, dan memberikan lebih banyak keleluasaan bagi para
lembaga untuk mengelola demi hasil realisasi, dan bukan sekedar demi kepatuhan terhadap
peraturan. Para lembaga dapat didorong untuk merasionalisasikan pengendalian berdasar
rencana dan menggantinya dengan garis delegasi wewenang hirarkis dan jalur akuntabilitas yang
sesuai.
Pengelolaan strategis sumber daya manusia
+" # " "% =" ! !! =
sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia. Sementara implementasi reformasi
birokrasi telah meningkatkan transparansi dan efektivitas rekrutmen dan tingkat kompensasi bagi
pegawai, masih terdapat sejumlah tantangan besar yang menghadang sektor publik. Fungsi-fungsi
kelembagaan akan berubah sesuai waktu, dan kebijakan sumber daya manusia harus mendukung
adaptasi kelembagaan kepada persyaratan-persyaratan baru. Jumlah pegawai mungkin tidak
banyak berubah secara agregat, namun komposisi keterampilan lintas kementerian atau lembaga
negara mungkin perlu berubah secara substantial.
Saat ini lembaga-lembaga menghadapi kekakuan yang besar dalam mengubah
ketenagakerjaan dalam lembaga mereka; sehingga walau suatu fungsi tidak lagi
dibutuhkan, lembaga tersebut tidak memiliki mekanisme untuk melepaskan pegawai
terkait. Pemerintah akan memetik manfaat dari pengelolaan sumber daya manusia yang lebih
Z ! Z!
!O ?! ! !!
dalam menyesuaikan struktur organisasi terhadap kebutuhan usaha dari badan tersebut. Sebagai
contoh, ketaatan yang ketat terhadap norma rentang kendali mungkin tidak akan cocok,
sementara sejumlah fungsi-fungsi mungkin harus dibubarkan untuk memberikan lebih banyak
fokus kepada prioritas yang lebih strategis.
Insentif untuk memotivasi kinerja pegawai juga sangat penting untuk mencapai
akuntabilitas lembaga yang lebih baik. UU tentang pegawai negeri sipil tahun 2014 (ASN)
dapat membuat perubahan besar dalam bagaimana administrasi pemerintah dikelola dan
bagaimana kinerjanya. Namun, dengan syarat bahwa 20 lebih peraturan pelaksanaan terkait
UU tersebut haruslah disusun sedemikian hingga mampu mendukung reformasi, dibanding
mendukung terciptanya status quo. Masa selama dua tahun untuk menyiapkan dan menerbitkan
peraturan-peraturan itu adalah masa yang penting. Jika disusun dengan baik, mereka dapat
87
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Indonesia: Menghindari Perangkap
meningkatkan profesionalisme pegawai negeri dengan memperkuat pengangkatan dan kenaikan
pangkat pegawai berdasar prestasi dan dengan meningkatkan ekuitas internal dan transparansi
dari sistem penggajian.
Mewujudkan hasil melalui belanja publik
Belanja pemerintah mencatat peningkatan yang besar selama beberapa tahun terakhir,
! "" %" " ! " + "!"!
maupun layanan masyarakat. Misalnya, belanja Pemerintah untuk jaringan jalan nasional
meningkat tiga kali lipat dari tahun 2005 hingga 2011, namun biaya rata-rata juga meningkat tiga
kali lipat, sehingga hasil (output) tidak meningkat sejalan dengan kenaikan belanja. Seperti dibahas
pada Bab 4, Indonesia harus melakukan investasi yang substansial dalam bidang infrastruktur
dan peningkatan layanan masyarakat jika hendak memenuhi kebutuhan masa depan negara. Agar
pelaksanaannya efektif, dibutuhkan perubahan dalam perencanaan strategis sumber daya, serta
bagaimana kinerja dapat dijadikan bagian tak terpisah dalam belanja pemerintah.
Proses perencanaan yang digunakan oleh pemerintah terfragmentasi dan gagal
mendukung alokasi sumber daya yang strategis. Rencana lima tahunan mencoba
memberikan kerangka kepentingan nasional dalam suatu sektor – yang mencakup pemerintah
pusat dan daerah dan sektor swasta. Sementara cakupan kepentingannya bersifat luas, kegiatan
yang tercakup hanyalah terbatas. Sebagai contoh, hanya sekitar seperempat belanja pemerintah
pusat yang dicakup oleh rencana itu – seperti biaya modal dan yang berkaitan dengan operasi.
Belanja pegawai, subsidi, dan transfer berada di luar cakupan rencana itu, sementara kebijakan
pendapatan tidak dipertimbangkan. Akibatnya, kompromi yang penting, seperti antara
pengeluaran subsidi BBM dan investasi infrastruktur yang bernilai tinggi, tidak mendapat
perhatian selama penyusunan anggaran. Ke depannya, dibutuhkan suatu proses perencanaan
yang lebih strategis dan terpadu.
Sejak tahun 2000, sejumlah proses-proses pengelolaan kinerja telah diperkenalkan,
namun sejauh ini hasilnya masih mengecewakan. Lembaga-lembaga negara memberikan
laporan kinerja yang terpisah kepada lembaga-lembaga pusat dengan menggunakan sejumlah
besar indikator kinerja – misalnya, dokumen anggaran Pemerintah berisi lebih dari 40.000
indikator hasil (output) sementara negara-negara lain memiliki kurang dari 10 persen dari jumlah
itu. Pada sebagian besar kasus, informasi kinerja tidak terkait dengan keputusan pengelolaan
sumber daya. Sementara telah diambil langkah-langkah untuk menyederhanakan indikator
tersebut dan mengaitkan pelaporan kepada keputusan anggaran, pengaruhnya hanya akan
terbatas, kecuali bila lembaga-lembaga negara dipercayakan dengan tanggung jawab yang lebih
besar untuk mengelola sumber daya.
Mengkaji ulang fokus pemerintah daerah agar bertanggung jawab atas peningkatan
penyediaan layanan
Walau Walau dengan transfer yang besar kepada pemerintah daerah, otonomi daerah
gagal meningkatkan layanan masyarakat yang diharapkan ketika diluncurkan pada
tahun 2001. Transfer ke pemerintah daerah kini mencapai sekitar setengah dari anggaran negara,
di luar pembayaran bunga dan subsidi (sekitar 6 persen dari PDB), dan lebih dari 80 persen dari
jumlah ini terkumpul kepada pemerintah daerah pada tingkat yang paling rendah—kabupaten/
88
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab III
Indonesia: Menghindari Perangkap
kota. Namun kualitas layanan masih menghadapi masalah:
Penerimaan murid telah meningkat pada semua tingkat pendidikan, namun prestasi
pelajar Indonesia dalam penilaian pengetahuan tingkat internasional tetap tersendat dalam
matematika dan menurun dalam ilmu pengetahuan.
Sementara panjang jalan daerah telah meningkat, kualitasnya secara keseluruhan telah
menurun.
Persentase rumah tangga dengan akses ke air bersih bahkan turun secara aktuil dari 50
persen ke 48 persen sejak tahun 2001.
Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa lemahnya akuntabilitas dan
buruknya layanan masyarakat di daerah memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Akuntabilitas mencakup dua hal yang terpisah: (1) permintaan warga negara untuk peningkatan
kualitas layanan, dan (2) tanggapan dari pemerintah daerah untuk memenuhi permintaan para
warganya. Pengatasan buruknya kinerja ini membutuhkan langkah-langkah yang terfokus pada
masing-masing hal tersebut.
Hingga kini tidak banyak desakan yang diberikan oleh warga negara kepada penyedia
layanan untuk meningkatkan kualitas layanannya. Hal ini mungkin karena mereka puas akan
kualitas layanan yang mereka terima. Sebaliknya, mungkin juga warga negara tidak sadar akan
keterbatasan kualitas layanan tersebut, atau bagaimana menyatakan tuntutan akan kebutuhan
mereka. Pengalaman internasional menunjukkan berbagai pendekatan yang membantu
meningkatkan keterlibatan warga negara, termasuk berbagi informasi tentang kualitas layanan
masyarakat dengan penduduk setempat, seperti penelitian komparatif dari satu lokalitas ke
lokalitas lain yang serupa.
Dari sudut pandang penyedia layanan terdapat sejumlah kendala terkait dengan
mekanisme pendanaan yang ada yang membatasi kinerja mereka. Pertama, terdapat
pendekatan satu rancangan untuk semua di dalam sistem keuangan antar-pemerintahan, walau
dengan keragaman masalah dari masing-masing daerah di Indonesia. Perlakuan rancangan dan
penerapan kebijakan yang seragam terhadap berbagai unit daerah yang berbeda merupakan
masalah bagi pengelolaan sumber daya yang tepat di setiap provinsi dan daerah. Kabupaten
yang besar, kota-kota berukuran kecil dan menengah, dan daerah-daerah perdesaan, semuanya
!! ! !?]! $
yang tidak tepat di dalam sistem alokasi dana mendorong belanja untuk gaji dan administrasi
dibanding penggunaan sumber daya yang lebih berimbang untuk mendorong realisasi penyediaan
layanan.
89
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab III
Indonesia: Menghindari Perangkap
90
Bab IV. Menutup
Kesenjangan Besar di
Bidang Infrastruktur
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IV
Indonesia: Menghindari Perangkap
Bab IV. Menutup Kesenjangan Besar
di Bidang Infrastruktur
Indonesia telah kehilangan lebih dari 1 poin persentase dari tambahan pertumbuhan PDB karena
rendahnya investasi dalam infrastruktur, terutama di bidang transportasi. Survei di kalangan perusahaan-perusahaan menunjukkan bahwa masalah yang berkaitan dengan transportasi termasuk
kendala usaha yang paling buruk bagi perusahaan manufaktur. Survei rumah tangga dan perdesaan menunjukkan bahwa seperempat penduduk perkotaan dan lebih dari setengah penduduk
perdesaan memiliki akses yang buruk ke layanan transportasi. Terlalu tingginya biaya transportasi merintangi daya saing perusahaan. Produsen bahan mentah tidak mampu menggunakan
kesempatan-kesempatan yang terkait dengan permintaan konsumen akhir. Lebih murah untuk
mengimpor buah jeruk dari Tiongkok dibanding mendatangkannya dari Kalimantan. Pencapaian sasaran pertumbuhan dan transformasi struktural Indonesia sebagian besar akan bergantung
pada penutupan kesenjangan besar di bidang infrastruktur.
Walau belanja pemerintah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, stok aset infrastruktur
Indonesia, seperti jaringan jalan, pelabuhan, tenaga listrik, fasilitas telekomunikasi, telah tertinggal dibanding pertumbuhan ekonomi. Secara riil, investasi infrastruktur hanya tumbuh sebesar 3
persen per tahun selama periode tahun 2001-11, dibanding pertumbuhan PDB sebesar 5,3 persen. Lambatnya pertumbuhan stok aset infrastruktur ini, dalam kontek tingginya pertumbuhan
ekonomi dan jumlah kendaraan, memberi kontribusi terhadap kesenjangan yang besar, masalah
kemacetan dan kinerja logistik yang buruk, yang sangat merintangi pertumbuhan produktivitas,
daya saing dan upaya pengentasan kemiskinan.
Ke depannya, menutup kesenjangan infrastruktur baik sebagian maupun seluruhnya, akan mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan melalui beberapa saluran. Pada saat investasi sedang
dilakukan, pengaruh belanja akan mendukung pertumbuhan jangka pendek dan lapangan kerja.
Dengan mengalirnya investasi sebagai modal tetap infrastruktur, investasi swasta akan meningkat dan kapasitas produktif, produktivitas dan pertumbuhan jangka panjang pun terdukung.
Dan dengan tersedianya layanan infrastruktur, daya saing dunia usaha akan meningkat dan akses
penduduk ke layanan pun akan membaik.75 Karenanya, peningkatan investasi infrastruktur secara
agresif akan menjadi transformasional bagi Indonesia.
Pemerintah mencoba menutup kesenjangan infrastruktur melalui Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) dan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sejumlah kebijakan dan prakarsa diluncurkan, termasuk peningkatan
75 Secara teori, penambahan investasi modal publik melalui investasi infrastruktur secara langsung akan meningkatkan produktivitas
faktor-faktor lainnya (seperti tenaga kerja, lahan) dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Seperti ditunjukkan oleh Barro (1990),
tambahan itu dapat meningkatkan lintasan pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan sejumlah kondisi, seperti adanya skala
ekonomi. Terdapat pengaruh tidak langsung juga. Ketersediaan infrastruktur berkualitas tinggi dapat menurunkan kebutuhan
pengadaan sendiri dari sejumlah faktor masukan (input) tertentu, seperti jalan, air bersih, atau tenaga listrik (Agenor dan MorenoDodson, 2006) dan mendukung pembentukan modal manusia (Galaini dkk., 2005).
92
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IV
Indonesia: Menghindari Perangkap
! ! !
bagi Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Namun secara keseluruhan kemajuan realisasi infrastruktur dan layanan di lapangan masih tetap lambat akibat serangkaian tantangan penerapan dan
koordinasi yang dibahas pada bab ini.
1. Investasi Infrastruktur yang Rendah dan Pengaruhnya terhadap Ekonomi
Rasio total investasi Indonesia telah pulih dalam beberapa tahun terakhir
Rasio investasi terhadap PDB Indonesia telah meningkat secara mengagumkan dalam
beberapa tahun terakhir, dan bahkan melampaui tingkat pra-krisis tahun 1997/98. Investasi modal tetap bruto (konstruksi, permesinan dan peralatan, transportasi, dan perlengkapan)
meningkat dengan pertumbuhan tahunan sebesar rata-rata 8,0 persen antara tahun 2001 dan
2011, menyebabkan rasio investasi nominal mencapai 33 persen dari PDB pada tahun 2012 dan
berkontribusi terhadap tingginya pertumbuhan ekonomi di Indonesia akhir-akhir ini. Sebagai akibatnya, rasio pembentukan modal tetap terhadap PDB Indonesia telah meningkat dari perkiraan
sebesar 1,7 kali PDB pada tahun 1995 menjadi 2,1 kali dari PDB pada tahun 2011.
Gambar 4.1: Rasio investasi
(as a % of nominal GDP)
Gambar 4.2: Pertumbuhan riil pembentukan
modal tetap
(%)
35
30
25
20
15
10
5
0
1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia.
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia.
Mempertahankan atau meningkatkan investasi di atas tingkat tersebut akan
mengharuskan Indonesia untuk: (i) memobilisasi simpanan asing dan menyalurkannya
ke investasi-investasi jangka panjang yang produktif, seperti dalam infrastruktur; dan/
atau (ii) mendorong tingkat dan ketersediaan investasi yang didanai dari simpanan
dalam negeri. Mendorong hal yang disebutkan pada nomor (ii) merupakan upaya jangka
panjang (dengan struktur usia penduduk dan terbatasnya ketersediaan instrumen simpanan
di sektor keuangan), oleh karena itu perhatian lebih ditekankan pada penanaman modal asing
langsung (foreign direct investment, FDI). Sementara aliran FDI ke Indonesia terus meningkat pada
beberapa tahun terakhir, yang mencapai 2 persen dari PDB, masih terdapat ruang yang besar
untuk mengejar Malaysia dan Tiongkok yang mencatat rasio sekitar 4 persen dari PDB.
93
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IV
Indonesia: Menghindari Perangkap
\]& # " ="! = " $
Sumber: BPS.
Namun peningkatan kualitas investasi akan jauh lebih penting untuk langkah ke depan.
Sebagian besar peningkatan investasi modal terkait dengan konstruksi (perumahan, gerai-gerai
belanja, dan bangunan-bangunan lain), sementara bentuk-bentuk permodalan lain memiliki peran
yang lebih kecil.
Gambar 4.4: Komposisi investasi
Gambar 4.5: Pertumbuhan pembentukan
modal tetap (stok) infrastruktur
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia.
Sumber: Triwulanan Perkembangan Perekonomian Indonesia
Oktober 2013 dan perhitungan staf Bank Dunia.
Namun investasi infrastruktur (sebagai bagian dari PDB) jauh tertinggal …
Jumlah investasi infrastruktur Indonesia turun tajam selama krisis keuangan tahun
1997/98 dan sampai sekarang belum pulih sepenuhnya. Jumlah investasi infrastruktur turun
dari rata-rata sebesar 7 persen pada tahun 1995-97 ke sekitar 3-4 persen dari PDB pada beberapa
tahun belakangan ini. Tingkat investasi infrastruktur di Indonesia jauh lebih rendah dibanding
negara-negara tetangganya, seperti Thailand dan Vietnam yang memiliki tingkat yang melampaui
7 persen dari PDB, atau Tiongkok yang mencatat tingkat investasi di atas 10 persen dari PDB
selama dekade lalu.76 Relatif rendahnya tingkat investasi infrastruktur di Indonesia ini men76 Lihat Triwulanan Perkembangan Perekonomian Indonesia edisi Maret 2013 untuk perkiraan terbaru Bank Dunia tentang
investasi infrastruktur di Indonesia dan untuk konteks regional lihat pada Asian Development Bank; World Bank; Japan Bank for
International Cooperation (2005) Connecting East Asia: A New Framework for Infrastructure.
94
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IV
Indonesia: Menghindari Perangkap
gakibatkan lambatnya pertumbuhan riil dalam pembentukan stok infrastruktur (jaringan jalan,
pelabuhan, tenaga listrik, telekomunikasi, kanal air, dll.) sejak krisis tahun 1997/98 (Gambar 4.5).
Penurunan investasi infrastruktur sebagai proporsi dari PDB bersifat luas dan lintas
pemerintah, BUMN dan sektor swasta (Gambar 4.6). Investasi sektor swasta mencatat penurunan terbesar, yang menarik perhatian khusus dengan adanya peningkatan fokus pada kerjasama
pemerintah swasta (KPS) untuk mendanai pembangunan infrastruktur Indonesia.77 Investasi
BUMN juga turun sekitar 1,8 persen dari PDB. Jumlah investasi pemerintah (pusat dan daerah)
turun sebesar 0,9 persen dari rata-rata 3,3 persen dari PDB selama tahun 1995-97 menjadi 2,4
persen dari PDB pada tahun 2008-11. Peningkatan yang belakangan terjadi pada rasio investasi
infrastruktur Indonesia mencerminkan peningkatan investasi yang pesat dari pihak pemerintah
daerah, yang sedikit mengimbangi penurunan drastis pada investasi sektor swasta, BUMN dan
pemerintah pusat (Gambar 4.6). Pemerintah daerah saat ini merupakan sumber terbesar belanja
infrastruktur di Indonesia (Gambar 4.7).
Gambar 4.6: Investasi infrastruktur turun
tajam kecuali yang berasal dari pemerintah
daerah
(tingkat investasi infrastruktur nominal sebagai bagian
dari PDB, persen)
Gambar 4.7: Pemerintah daerah menjadi
sumber belanja infrastruktur terbesar
(persen keseluruhan)
Sumber: Triwulanan Perkembangan Perekonomian Indonesia
Maret 2013 dan perhitungan staf Bank Dunia.
Sumber: Triwulanan Perkembangan Perekonomian Indonesia
Maret 2013 dan perhitungan staf Bank Dunia.
Pemerintah telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam meningkatkan pendanaan
+ "!"! " $ Seperti
ditunjukkan pada Gambar 4.8, belanja aktuil pemerintah pusat terus meningkat selama tiga tahun
terakhir, walau biasanya lebih rendah dari yang dialokasikan karena tingkat realisasi kurang dari
100 persen (yang secara rata-rata mencapai 84 persen pada beberapa tahun terakhir). Pada tahun
2013, alokasi belanja modal pemerintah pusat mencapai Rp 188 triliun, atau 2,0 persen dari PDB
dan alokasi untuk 2014 mencapai Rp 184 triliun (atau 1,8 persen dari PDB). Namun, dibanding
|[}$! ?
77 Lihat pembahasan tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia - MP3EI di bawah ini.
95
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IV
Indonesia: Menghindari Perangkap
Gambar 4.8: Belanja modal aktuil meningkat secara berkelanjutan namun di bawah alokasinya
dalam beberapa tahun terakhir
(Triliun Rp)
Sumber: Kementerian Keuangan.
... yang menimbulkan biaya lebih tinggi bagi pertumbuhan ekonomi …
Gambar 4.9: Pertumbuhan pun akan lebih
Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama
tinggi bila investasi infrastruktur lebih
2001-11 akan jauh lebih tinggi jika negara ini
tinggi
mengalokasikan porsi PDB yang lebih tinggi
(rata-rata pertumbuhan PDB riil selama 2001-11
78
untuk infrastruktur. Pertumbuhan investasi
menurut skenario pertumbuhan investasi infrastruktur
infrastruktur mengimbangi pertumbuhan PDB
yang berbeda, persen)
riil atau keseluruhan pembentukan modal tetap
(capital stock). Sebagai akibatnya, modal tetap
infrastruktur Indonesia menurun secara bertahap
terhadap produksi (output) dan sebagai bagian dari
total pembentukan modal tetap dalam dekade
terakhir.79 Pada tahun 2001-11, pertumbuhan riil
modal tetap infrastruktur Indonesia meningkat
sebesar 3 persen per tahun, dibanding pertumbuhan PDB riil sebesar 5,3 persen selama periode
tersebut. Dengan mengasumsikan hubungan kausalitas antara perubahan modal tetap infrastruktur dan perubahan dalam hasil (output), bila laju
pertumbuhan modal tetap infrastruktur mencapai
5 persen dibanding hanya 3 persen, maka pertum- Sumber: Lihat Triwulanan Perkembangan Perekonomian
Indonesia Bank Dunia edisi bulan Maret 2013.
buhan PDB riil akan mencapai 5,8 persen,
perbedaan sebesar 0,5 persentase. Pertumbuhan PDB riil akan mencapai 7,0 persen jika pertumbuhan riil modal tetap infrastruk tur mencapai 10 persen (Gambar 4.9).
78 Untuk perincian lebih lanjut tentang perkiraan investasi infrastruktur Indonesia dan implikasinya terhadap ekonomi, lihat
Triwulanan Perkembangan Ekonomi Indonesia edisi bulan Oktober 2013, yang sarinya digunakan oleh bagian ini.
79 Secara khusus, modal tetap infrastruktur tertinggal dari peningkatan keseluruhan pembentukan modal tetap (yang mana
infrastruktur merupakan salah satu bagian) yang mengarah ke penurunan dalam rasio modal tetap infrastruktur terhadap total
pembentukan modal tetap. Untuk perincian lebih lanjut, lihat Triwulanan Bank Dunia edisi bulan Oktober 2013.
96
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IV
Indonesia: Menghindari Perangkap
… dan rendahnya investasi terjadi hampir di semua sub-sektor infrastruktur utama
(i) Infrastruktur jalan
Walau mencatat kemajuan, rendahnya investasi infrastruktur jalan selama satu dekade
telah menyebabkan kesenjangan kapasitas yang besar, masalah kemacetan, dan kinerja
logistik yang buruk. Sektor jalan mewakili 40 persen dari jumlah investasi infrastruktur dan
berperan penting dalam memfasilitasi pergerakan penumpang antar daerah perkotaan dan dalam
menghubungkan masyarakat dan pasar di seluruh negeri. Pemerintah telah meningkatkan belanja
infrastruktur menjadi Rp.70 triliun/tahun (sekitar 6,0 miliar dolar AS/tahun), dan investasi jalan
telah kembali ke 1,6 persen dari PDB, jumlah yang sama seperti sebelum krisis keuangan tahun
1997/98 (Bank Dunia, 2012).80 Namun, tingkat investasi ini masih belum memenuhi jumlah
yang dibutuhkan sejalan dengan pesatnya pertumbuhan kendaraan mobil dan motor di jalan-jalan
Indonesia (masing-masing bertumbuh sebesar 11 dan 16 persen per tahun antara tahun 2001 dan
2011), dan menyebabkan turunnya kapasitas serta tekanan dan kemacetan yang parah.81 Kemajuan terkait jalan bebas hambatan dan jalan tol sangat lambat. Pada tahun 2012, panjang jalan tol
hanya mencapai 778 km dibanding 3.000 km di Malaysia dan 65.065 km di Tiongkok. Walaupun
jalan tol pertama di Indonesia dibangun pada tahun 1978.
Kebutuhan investasi untuk memperkecil kesenjangan dengan negara-negara tetangga
yang berkinerja tinggi dan mengejar standar terbaik internasional sangatlah besar.
Perbaikan jalan-jalan yang sudah tidak dapat digunakan, pelebaran jalan nasional, dan pembangunan jalan bebas hambatan antar kota, dalam perkotaan, jalan nasional, dan jalan daerah akan
membutuhkan investasi antara 60 miliar hingga 85 miliar dolar AS. Untuk sepenuhnya memenuhi
standar internasional, investasi yang dibutuhkan diperkirakan akan mencapai 120 miliar dolar AS.
Kualitas dari tingkat belanja yang meningkat juga menjadi masalah. Belanja untuk
jalan-jalan nasional telah meningkat tiga kali lipat antara tahun 2005 dan 2011, namun hanya
menghasilkan peningkatan (output) sebesar 20 persen dalam pembangunan dan pemeliharaan
jalan-jalan. Dari tahun 2005 hingga 2011, sebagian besar jaringan jalan nasional diperluas melalui
! ! ! *?===$ ! ! Z
jalan strategis. Namun upaya-upaya itu tidak meningkatkan kemajuan pencapaian sasaran dalam
membangun jaringan jalan-jalan arteri berstandar tinggi yang akan sangat mendukung kebutuhan
ekonomi. Kurangnya perawatan jalan-jalan daerah merupakan masalah yang serius karena pembangunan jalan baru lebih diprioritaskan dari pemeliharaan. Diperkirakan bahwa pemeliharaan
jalan daerah yang memadai akan membutuhkan peningkatan dua kali lipat dari tingkat belanja
saat ini (Bank Dunia, 2012).
Rendahnya konektivitas antar kota-kota dan pelabuhan juga menjadi kendala daya saing
dan pertumbuhan. Sebagai pusat kegiatan ekonomi, kota-kota harus memiliki hubungan yang
baik dengan pasar-pasar. Dengan terbatasnya jumlah dan akses ke transportasi logistik berbasis jalan raya, pelabuhan, bandara maupun kereta api, biaya pengiriman dalam negeri Indonesia
*=! ^ _<=%<`+ + + ! Q Z !
expenditure review 2012.
81 Besarnya belanja untuk subsidi BBM menciptakan insentif negatif yang mendukung pertumbuhan kendaraan dan menurunkan
ruang anggaran untuk meningkatkan belanja infrastruktur pemerintah pusat yang menyebabkan penurunan daya tahan infrastruktur
jalan.
97
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IV
Indonesia: Menghindari Perangkap
seringkali lebih mahal dibanding biaya impor dari Singapura atau Tiongkok. Akses antar kota dan
daerah-daerah perdesaan juga harus ditingkatkan, karena kota-kota harus memiliki akses yang
baik ke pasar-pasar dan sumber-sumber masukan (input). Secara khusus, transportasi memiliki
dampak yang paling langsung terhadap dunia usaha dan rumah tangga, selain juga menjadi faktor
utama dalam akses ke layanan-layanan utama seperti kesehatan dan pendidikan. Sektor jalan memiliki peran yang sangat penting dalam menghubungkan masyarakat dan pasar-pasar di seluruh
negeri.82# $ ! ! !
pertumbuhan dan mengentaskan kemiskinan. Contoh pada Kotak 4.1 menggambarkan keterkaitan antara biaya akibat transportasi yang buruk dengan pendapatan peternak di Sumbawa.
Kotak 4.1: Biaya akibat buruknya akses ke layanan infrastruktur: produsen ternak dari Sumbawa
akan lebih sejahtera bila terdapat layanan transportasi yang lebih baik
Karena kondisi agri-ekologisnya yang cocok untuk peternakan, Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) adalah
produsen ternak terbesar di Indonesia. Pada tahun 2012, daerah ini menyumbang 10 persen dari seluruh
produksi ternak Indonesia. Saat ini, rantai pasokan sapi dari Sumbawa ke Jakarta melibatkan (i) pengiriman sapi-sapi dengan truk setempat dari peternak ke Bima (pelabuhan lokal terdekat dari lokasi peternakan utama), (ii) pengiriman ternak tersebut dengan kapal khusus ke Surabaya (662 km dari Bima), dan
(iii) pengiriman sapi-sapi itu dengan truk melewati jalan darat dari Surabaya ke Jakarta (660 km)—lihat
peta di bawah.
!ing tinggi. Rincian biaya menunjukkan bahwa sekitar 35 persen dari jumlah biaya terjadi pada jarak yang
dekat (20 km), yaitu ketika membawa ternak dari peternakan ke pelabuhan di Bima. Biaya ini mencakup
waktu tunggu sebelum truk dapat memasuki pelabuhan Bima. Pengumpulan ternak di Sumbawa memiliki pengelolaan yang buruk, yang membuat pedagang menghabiskan banyak waktu untuk menemukan
peternak mana yang memiliki ternak yang siap dijual.
Pengiriman sapi-sapi dari Bima ke Jakarta menghabiskan 50 persen dari jumlah biaya transportasi. Biaya
itu termasuk pemuatan di Bima, pengiriman ke Surabaya, biaya pelabuhan di Surabaya, dan biaya truk
dari Surabaya ke Jakarta. Pajak dan bea setempat mencapai 15 persen dari jumlah biaya.
Pada saat sapi-sapi itu tiba di Jakarta, tingginya biaya kirim telah membuat ternak itu tidak mampu
bersaing melawan impor. Lebih murah untuk mengimpor ternak dari Australia ke Jakarta dan Surabaya
dibanding dari Indonesia bagian timur (tanpa memandang kualitas). Perbaikan rantai pasokan di tingkat
lokal dan perbaikan pelabuhan di Bima akan meningkatkan daya saing Sumbawa secara drastis dalam
pasokan ternak.
82 Sektor jalan mencatat pergerakan 70 persen ton-pengiriman dan 82 persen penumpang-km.
98
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IV
Indonesia: Menghindari Perangkap
(ii) Infrastruktur pelabuhan
"! !! = !% "% " ~!
demikian, kapasitas pelabuhan tetap sangat terbatas di Indonesia. Tanjung Priok,
pelabuhan terbesar di Indonesia yang menangani lebih dari dua per tiga dari seluruh perdagangan
barang-barang, hanya memiliki kapasitas sebesar 6 juta 20-kaki unit ekivalen (Twenty-foot equivalent
unit, TEU) per tahun, lebih rendah dibanding 10,5 juta TEU per tahun di pelabuhan Laen
Chabang (Thailand) dan 30 juta TEU per tahun di Singapura. Sementara investasi yang berjalan
dapat meningkatkan kapasitas Tanjung Priok menjadi 11 juta TEU pada tahun 2017, ketika
terminal peti kemas internasional baru mulai beroperasi, Indonesia masih akan tertinggal di
belakang Thailand dan Singapura karena negara-negara itu juga sedang melaksanakan rencana
ekspansi yang ambisius.83
Saat ini, Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara
berkembang Asia lainnya dalam hal ukuran logistik perdagangan seperti biaya peti
kemas dan waktu tunggu (lead time) impor (Gambar 4.10).84 Meskipun terdapat peningkatan
yang nyata dalam pengelolaan dan produktivitas pelabuhan pada beberapa tahun terakhir,
“waktu tunggu” peti kemas tetap sangat bervariasi dan semakin meningkat.85 Untuk barangbarang bahan setengah jadi dalam rantai pasokan, pengiriman tepat waktu sangatlah penting.
Pada sejumlah kasus ketidakpastian peraturan pada pelabuhan tempat masuk barang merupakan
sumber penundaan (sejumlah produk pertanian hanya diperkenankan masuk ke Indonesia
melalui pelabuhan di Surabaya). Kurangnya keandalan dan tingginya tingkat ketidakpastian
mengakibatkan biaya yang dapat merintangi investasi, meningkatkan inventori dan biaya
penyimpanan terkait, serta mengurangi skala ekspansi suatu perusahaan. Sebuah contoh kasus
perusahaan es krim di Jawa, yang diuraikan pada Kotak 4.2, menggambarkan hal ini.
\x &
tertinggal di belakang sebagian besar pesaing
regionalnya
(waktu tunggu impor, hari, biaya peti kemas, dolar AS)
Gambar 4.11: Waktu tunggu peti kemas meningkat
di Tanjung Priok, pelabuhan utama Indonesia
(rata-rata waktu tunggu impor, hari)
Sumber: Logistics Performance Indicators 2012, Bank Dunia.
Sumber: Jakarta International Container Terminal (JICT).
83 Pada tahun 2018, Singapura dan Thailand menargetkan kapasitas masing-masing sebesar 55 dan 18 juta TEU per tahun.
84 Untuk perincian lebih lanjut tentang kinerja logistik pelabuhan Indonesia, lihat Triwulanan Bank Dunia edisi bulan Oktober
2013.
* O !! ! $ !
dan berada di darat hingga meninggalkan pelabuhan dengan menggunakan jalan atau kereta api. Penurunan waktu tunggu akan
memungkinkan pelabuhan untuk meningkatkan volume, pendapatan, dan mendorong daya saing dengan pelabuhan-pelabuhan serupa
di dalam suatu negara atau secara regional. Angka waktu tunggu seringkali digunakan untuk menarik perusahaan pelayaran dan lalu
lintas barang ke suatu pelabuhan, sehingga menjadi insentif yang kuat bagi otorita pelabuhan dan operator terminal peti kemas untuk
meningkatkan indikator kinerja ini.
99
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IV
Indonesia: Menghindari Perangkap
Kotak 4.2: Akses ke bahan produksi (input) yang diimpor dan kinerja perusahaan es krim di Jawa
Perusahaan es krim di Jawa ini, dengan 400 pegawai, adalah contoh tepat dari perusahaan yang sedang
berkembang: permintaan meningkat lebih dari 20 persen per tahun; secara bertahap pabrik meningkatkan/memodernisasi fasilitas produksinya dan kini sudah melakukan ekspor ke Malaysia, Singapura,
Vietnam, dan Australia. Susu bubuk, bahan masukan produksi (input) utama, diimpor dari Australia. Susu
produksi lokal pernah dicoba, namun kualitas yang lebih rendah dan pasokan yang tidak bisa diandalkan
dapat menurunkan kepuasan konsumen terhadap kualitas es krim dan penurunan penjualan dan daya
saing. Karenanya, sampai kualitas dan keandalan susu dalam negeri dapat meningkat secara drastis, penggunaan bahan dalam negeri belum menjadi pilihan yang layak untuk perusahaan tersebut.
Namun rencana ekspansi setelah tahun 2014 dibayang-bayangi oleh sejumlah faktor, yang paling penting
adalah kepastian dan ketepatan waktu akses ke bahan masukan yang diimpor.86 Kebijakan impor bahan
pertanian yang sering berubah menciptakan ketidakpastian akan akses ke bahan impor itu. Sebagai contoh, proses bea cukai kadang tertunda akibat ketidakjelasan apakah susu bubuk termasuk dalam produk
pertanian yang harus masuk melalui pelabuhan di Surabaya. Selain itu, setelah melewati bea cukai, peti
kemasnya akan membutuhkan waktu antara 3 hingga 8 jam untuk tiba di pabrik karena kepadatan jalan.
(iii) Listrik
Rasio kelistrikan Indonesia sebesar 74 persen (menurut data PLN) masih di bawah sebagian besar negara tetangganya, termasuk Malaysia, Thailand, dan Tiongkok (hampir
100 persen). Seperti ditunjukkan pada Bab 2, tingkat akses tampak jauh lebih baik bila diteliti
dari survei rumah tangga, karena survei itu menyertakan seluruh jenis tenaga listrik, termasuk
sambungan tidak resmi dan yang berkualitas buruk. Untuk menutup kekurangan itu diperkirakan
akan dibutuhkan peningkatan bertahap dalam kapasitas pembangkit sebesar 66,8 GW dan kapasitas pasokan listrik sebesar 477 TWh dengan jumlah investasi sebesar 200 miliar dolar AS. Jika
sasarannya adalah menutup kekurangan itu selama 10 tahun ke depan, maka dibutuhkan investasi
sebesar 20 miliar dolar AS per tahun.
Tantangan utama lain yang dihadapi pada sektor tenaga listrik termasuk: (i) tingginya
kehilangan transmisi dan besarnya pencurian listrik;87 (ii) subsidi yang tinggi (sekitar 10 miliar
dolar AS pada tahun 2012) yang mengurangi kemampuan PLN dalam melakukan investasi;
dan (iii) ketergantungan sebagian besar pembangkit listrik terhadap sumber bahan bakar fosil,
seperti minyak, gas alam, dan batubara. Sejauh ini, kurang dari 20 persen listrik yang dibangkitkan berasal dari tenaga air, panas bumi, dan sumber-sumber terbarukan lainnya. UU Energi dan
UU Kelistrikan yang baru ditetapkan memperbarui kerangka hukum bagi sektor energi, dengan
penekanan pada keberlanjutan ekonomi, ketahanan energi, dan pelestarian lingkungan. Program
percepatan pembangunan pembangkit listrik dengan kapasitas 10.000 MW tahap kedua telah diluncurkan, yang mana 60 persen dari kapasitas itu akan menggunakan sumber energi terbarukan,
dengan porsi panas bumi sekitar 4.800 MW dan tenaga air mengisi sebagian besar sisanya.
86 Kesulitan lain adalah mendapatkan lahan industri yang ideal di Jabotabek.
87 Diperkirakan bahwa kehilangan tenaga listrik akibat transmisi dan distribusi mencapai 10 persen, dibanding 4 persen di Malaysia
dan 6 persen di Thailand (McKenzie, 2012).
100
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IV
Indonesia: Menghindari Perangkap
(iv) Air bersih dan sanitasi
Akses ke air bersih dan sanitasi masing-masing mencapai 64 persen dan 67 persen pada
tahun 2012, tertinggal di belakang Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Pada daerah
perdesaan, sementara jumlah air leding yang dikelola masyarakat semakin meningkat, besar jangkauannya masih di bawah 20 persen dari populasi perdesaan dan tidak cukup perhatian diberikan
pada keberlanjutan pengoperasiannya. Sistem pembuangan kotoran/limbah sangat terbatas,
dengan hanya 2 persen daerah perkotaan memiliki akses kepada sistem terpusat. Dari perkiraan
85.000 ton limbah padat yang dihasilkan setiap hari oleh 110 juta penduduk daerah perkotaan
di Indonesia, hanya sekitar 40 persen yang dikirim ke tempat pembuangan akhir (TPA), dengan
banyak TPA merupakan pembuangan terbuka. Biaya terkait hal-hal di atas cukup besar, termasuk
kontaminasi sumber-sumber air bersih, biaya layanan kesehatan, hilangnya produktivitas, dan
kerugian sumber daya air dan perikanan. Penelitian pada tahun 2008 memperkirakan biaya di atas
mencapai 6,3 miliar dolar AS per tahun.
Pasokan air umum di Indonesia dikelola oleh Perusahan Daerah Air Minum (PDAM),
perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah daerah dengan jaringan fasilitas yang besar di
seluruh negeri (seluruhnya terdapat 328 PDAM) yang bertanggung jawab atas pasokan
air dan pengaturan di sektor tersebut. Pada daerah-daerah perdesaan, Pemerintah meningkatkan skema berbasis masyarakat untuk bidang air bersih dan sanitasi, termasuk program sanitasi
yang diprakarsai oleh masyarakat dengan sasaran mencapai 20.000 desa pada tahun 2014. Di
Z $ ! !!tas air bersih perkotaan selama dekade lalu, dengan peningkatan jumlah utilitas yang digolongkan
sebagai ‘sehat’ dari 38 ke 173 antara tahun 2004 dan 2012. Diperkirakan sekitar setengah dari keseluruhan kapasitas air leding hilang selama pengiriman. Tantangan utama adalah meningkatkan
kinerja dari para PDAM tersebut.
Selain kebutuhan restrukturisasi sebagian PDAM, terdapat kebutuhan yang besar untuk
meningkatkan kapasitas. Bappenas memperkirakan kebutuhan investasi pada bidang-bidang
berikut: (i) pembangunan dan rehabilitasi instalasi pengolahan air; (ii) pembangunan jaringan
pipa air; (iii) perluasan sistem limbah terpusat; (iv) pembangunan sistem pembuangan dan limbah
umum; dan (v) pemulihan fungsi sungai dan danau untuk melestarikan DAS. Indonesia membutuhkan investasi sebesar 64 miliar dolar AS untuk mengejar ketertinggalannya dari Filipina dan
Malaysia.
(v) Sumber daya air
Indonesia berupaya keras membangun/menggerakkan sumber daya airnya, sejalan dengan sasaran ketahanan pangan, terutama beras yang merupakan 24 persen dari anggaran
kaum miskin. Walau Indonesia memiliki curah hujan yang melimpah, sumber daya air mengalami banyak tekanan. Distribusi hujan dan sumber daya air tidaklah merata, dengan iklim muson
yang memicu banjir selama musim hujan dan kekeringan ketika musim kemarau. Akibat buruknya pemeliharaan sistem irigasi yang ada (yang mencerminkan ketiadaan sistem penggantian
biaya (cost recovery) dan rendahnya keterlibatan pemerintah daerah), persentase infrastruktur irigasi
dalam kondisi baik telah menurun selama dekade lalu, sementara urbanisasi telah menyebabkan
penyusutan jumlah daerah yang menerima pengairan. Pada masa mendatang, permintaan beras
101
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IV
Indonesia: Menghindari Perangkap
diproyeksikan akan terus meningkat secara absolut (walau bagian beras dalam anggaran rumah
tangga tampaknya akan turun) sementara urbanisasi akan semakin menyusutkan lahan-lahan yang
$ O ! !!
sumber daya air.
Tantangan yang harus dihadapi termasuk: (i) kelanjutan pelaksanaan skema irigasi yang ada
walau dengan tekanan urbanisasi dan industrialisasi; (ii) pengelolaan DAS sungai untuk mencegah banjir; dan (iii) pembangunan bendungan penyimpanan air. Pembangunan lahan sawah baru
dengan ukuran yang besar akan sulit dilakukan karena pengalihan fungsi lahan ke fungsi yang
lebih menguntungkan. Karenanya, peningkatan produktivitas dalam produksi beras melalui
investasi penelitian dan pengembangan serta pengembangan dan pengelolaan skema irigasi yang
ada menjadi lebih beralasan. Namun, kebutuhan investasi pada sektor sumber daya air tidaklah
kecil. Menurut Bappenas, kebutuhan investasi mencakup peningkatan kinerja pengelolaan air
terpadu, pengembangan waduk penampungan serba guna, peningkatan skema pencegahan banjir
kota besar, peningkatan infrastruktur perlindungan pesisir pantai, dan peningkatan pasokan
pangan dengan meningkatkan potensi lahan rawa. Seluruh langkah-langkah di atas akan membantu mengejar ketertinggalan dari Thailand pada tahun 2019 dan menghabiskan biaya sebesar
81 miliar dolar AS.
2. Tidak hanya masalah dana
Rendahnya investasi infrastruktur yang disinggung di atas sebagian mencerminkan masalah kelembagaan dan peraturan perundangan yang rumit. Tantangan utamanya termasuk: (i) penanganan pembebasan tanah; (ii) pengelolaan koordinasi lintas lembaga, antar pemerintah pusat dan daerah dan lintas rencana-rencana yang berbeda; dan (iii) penetapan kerangka KPS.
Rumitnya masalah pembebasan tanah
Tidak jelasnya peraturan pembebasan tanah dan ganti rugi kepada pemilik tanah menyebabkan penundaan proyek-proyek infrastruktur, terutama jalan tol. Peraturan Presiden
No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum tidak efektif dalam mendukung pembebasan tanah bagi kepentingan umum, karena
peraturan dan tata cara di dalam perpres itu tidak jelas dalam mengatur masalah yang rumit.
Seperti di banyak negara berkembang, jamak terjadi adanya warga yang menyatakan kepemilikan
mereka atas lahan ketika lahan itu hendak digunakan bagi kepentingan umum. Pemilik lahan
resmi maupun tidak resmi juga sering mempertahankan tanah mereka demi memetik manfaat
dari peningkatan nilai atau meningkatkan kemampuan tawar-menawar mereka. Karenanya, para
investor bidang infrastruktur, baik pemerintah maupun swasta, harus mengatasi rintangan ini
terlebih dahulu sebelum sekop menyentuh tanah, yang mendorong naiknya biaya dan penundaan
berkepanjangan. Pembebasan lahan adalah salah satu faktor utama yang melatari lambatnya
pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur di Indonesia, dan mungkin juga keengganan sektor
swasta untuk melakukan investasi skala besar pada bidang ini.
UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum dan Peraturan Presiden yang terkait berupaya mengatasi tantangan-tantangan
tersebut. Belajar dari pengalaman peraturan tahun 2005, peraturan perundangan yang lebih
102
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IV
Indonesia: Menghindari Perangkap
!
tata cara untuk pengadaan lahan bagi infrastruktur umum.88 Bidang-bidang dengan peningkatan
!! $ ! $
yang terdampak atau tergusur.89 Sebagai contoh, peraturan baru itu memberikan rincian tentang
pendataan orang-orang dan aset-aset yang terpengaruh, proses konsultasi, ganti rugi, dan penyelesaian sengketa. Peraturan itu juga menetapkan jangka waktu yang jelas untuk setiap tahapan
dan sub-tahapan pembebasan, termasuk jangka waktu maksimum bagi pengadilan untuk memutuskan sengketa yang berkaitan dengan pembebasan lahan. UU Pertanahan dan Perpres tersebut
diharapkan akan meningkatkan kejelasan dan transparansi proses pengadaan lahan, dan memperkuat keyakinan masyarakat akan upaya Pemerintah dalam memajukan agenda infrastruktur.
Masalah koordinasi
Koordinasi lintas kementerian, tingkat pemerintahan, rencana/strategi yang berbeda
juga menjadi penghambat utama dalam pembangunan infrastruktur. Indonesia telah
mengalami transisi dari sistem dimana pembangunan infrastruktur direncanakan dan diterapkan
pada tingkat pusat ke sistem dimana perencanaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur
membutuhkan koordinasi yang lebih kuat antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan adanya
desentralisasi pada tahun 2001, pemerintah daerah kini memikul tanggung jawab yang besar,
dan menjadi pemeran utama dalam pengelolaan jaringan infrastruktur provinsi dan kabupaten.
Sebagai contoh, jalan-jalan provinsi dan kabupaten kini membentuk lebih dari 80 persen jaringan
jalan di Indonesia. Karenanya, proyek apapun yang melintasi garis batas kabupaten akan membutuhkan konsultasi, diskusi, dan koordinasi yang panjang. Selain itu, berbagai rencana pembangunan infrastruktur pada tingkat pusat, provinsi dan kabupaten tidak selalu saling sejalan.
Tahap pertama implementasi MP3EI bertujuan untuk memadukan berbagai rencana
nasional, daerah dan sektoral yang berbeda-beda (satu dimensi) menjadi satu peta
(roadmap) terpadu untuk tindak lanjut. Secara khusus, untuk memperkuat konektivitas nasional, komponen-komponen dari empat rencana pemerintah yang berbeda akan dipadukan: (i)
Sistem Logistik Nasional (Sislognas); (ii) Sistem Transportasi Nasional (Sistranas); (iii) Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RPJMN
dan RTRWN); dan (iv) rencana Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Untuk menjamin
pelaksanaan yang efektif dari berbagai strategi, rencana itu menyerukan pembentukan komite
! ! $
pemantauan, evaluasi, dan pengambilan keputusan strategis.
88 Peraturan Presiden No. 71/2012 menetapkan pengaturan kelembagaan untuk pelaksanaan UU itu.
89 Pada tahun 2012, Pemerintah Indonesia menerbitkan sejumlah peraturan perundangan tentang pengadaan lahan bagi proyekproyek kepentingan umum (UU No. 2/2012 pada bulan Januari 2012; Peraturan Presiden No. 71/2012 pada bulan Agustus 2012; dan
petunjuk pelaksanaan yang diterbitkan oleh kementerian-kementerian terkait). Peraturan perundangan itu menggantikan perpres yang
lalu yang tidak mampu mendukung percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia, sementara menjamin bahwa mereka yang
terkena dampak negatif karena pembebasan lahan menerima perlindungan yang memadai. Berdasarkan UU No. 2/2012, Peraturan
Presiden No. 36/05 yang diamandemen tetap berlaku hingga 31 Desember 2014. Tata cara perundang-undangan yang baru itu
berlaku untuk pengadaan lahan di bawah wewenang dan kendali Badan Pertanahan Nasional. Jika lahan yang dibutuhkan dimiliki
oleh kementerian lainnya seperti Kementerian Kehutanan, maka sebelum tata cara yang baru dapat berlaku pada lahan itu, lahan itu
harus dilepaskan dari penetapan wilayah hutan sesuai dengan peraturan perundangan kehutanan yang berlaku atau peraturan lain yang
103
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IV
Indonesia: Menghindari Perangkap
Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)
Keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur telah menurun secara sig ! Hal ini mencerminkan ketidakpastian terkait dengan pembebasan
lahan dan koordinasi antar pemerintahan dan antar lembaga negara. Hal itu juga mencerminkan
pemilihan proyek yang buruk dan ketidakmampuan birokrasi untuk menghasilkan daftar proyek
KPS yang layak dibiayai perbankan.90] $ ! *
proyek yang mencakup 11 bidang berbeda, termasuk jalan tol, transportasi perairan, dan sumber
daya air, yang ditetapkan untuk menerima dana melalui skema KPS, dengan jumlah keseluruhan
sebesar 51,2 miliar dolar AS selama periode 2010-15 (buku KPS tahun 2012). Namun pada tahun
2012, hanya tiga proyek yang digolongkan sebagai “siap ditawarkan”, 26 proyek sebagai “prioritas” dan 29 sebagai “proyek potensial KPS”. Jalan tol pada khususnya telah ditargetkan untuk
menerima pendanaan KPS: tiga proyek “siap ditawarkan” dengan jumlah investasi 764 juta dolar
AS mencakup sebuah proyek jalan tol yang investasinya membentuk 83 persen dari keseluruhan
investasi (628 juta dolar AS), sementara 26 proyek prioritas KPS mencakup 13 jalan tol dengan
jumlah 32,5 miliar dolar AS atau 85 persen dari jumlah keseluruhan dari 26 proyek tersebut.
Untuk mempercepat pelaksanaan proyek-proyek KPS yang layak, arsitektur kelembagaan pendukung KPS sedang diperkuat. Kerangka hukum bagi KPS telah diamandemen sehingga memungkinkan sektor swasta untuk berinvestasi pada pembangunan dan operasi
Z ! ! !
dengan suatu BUMN. Berbagai mekanisme insentif telah ditetapkan, termasuk Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IGF), Indonesia Infrastructure Finance Fund dan SMI, program Viability
Gap Financing (VGF), dan yang terbaru, Unit KPS dan Project Development Facility (PDF). Tantangan yang dihadapi sekarang adalah mengoperasikan dan mengkoordinir mekanisme kelembagaan itu dengan baik (termasuk mengembangkan prosedur operasional yang terperinci untuk
menerapkan aturan-aturan VGF sehingga dukungan VGF dapat disalurkan kepada KPS yang
telah disiapkan dengan baik). Pencapaian tersebut akan memberikan sinyal penting kepada para
investor dan, bersama-sama dengan berbagai upaya untuk mengatasi beragam masalah koordinasi
dan pembebasan lahan, akan meningkatkan keyakinan masyarakat dan sektor swasta terhadap
sistem tersebut.
3. Pilihan-pillihan kebijakan
Ke depannya, upaya menutup kesenjangan infrastruktur Indonesia meliputi: (i) menggerakkan
pendanaan untuk pembangunan infrastruktur; (ii) meningkatkan proses perencanaan dan koordinasi infrastruktur; dan (iii) menangani kerumitan pembebasan lahan.
Menggerakkan pendanaan bagi pembangunan infrastruktur
Untuk menutup kesenjangan investasi Indonesia dalam hal kuantitas dan kualitas, dibutuhkan
hal-hal berikut:
Melanjutkan peningkatan alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur. Guna
mendanai peningkatan ini, dibutuhkan penurunan belanja subsidi energi dan peningkatan
! ?
90 Potensi penggunaan skema KPS membutuhkan analisis nilai Value for Money (VFM) untuk menentukan apakah proyek itu lebih
baik didanai melalui APBN, atau dengan KPS. Ketika suatu proyek layak secara ekonomi namun berada pada perbatasan kelayakan
pendanaan, maka gabungan pendanaan pemerintah (Viability Gap Funding, VGF), swasta dan/atau donor dapat menjadi alternatif
yang lebih tepat.
104
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IV
Indonesia: Menghindari Perangkap
o Pada beberapa tahun terakhir, belanja pemerintah untuk infrastruktur jauh lebih
rendah (kurang dari 1 persen dari PDB) dibanding belanja untuk subsidi BBM
(sekitar 2,6 persen dari PDB). Jumlah belanja pemerintah untuk infrastruktur, yaitu belanja pemerintah pusat dan daerah, berada pada 2,5 persen dari PDB, sedikit di bawah belanja subsidi BBM. Karenanya penghapusan subsidi energi dengan memberikan kompensasi yang memadai bagi kaum miskin dapat membebaskan pendanaan yang memungkinkan
peningkatan lebih dari dua kali lipat bagi belanja pemerintah pusat untuk infrastruktur.
o " " ! ! $
infrastruktur yang lebih tinggi. Dengan 18 persen dari PDB (penerimaan pajak sebesar
12 persen dari PDB dan penerimaan bukan pajak sebesar 6 persen), jumlah penerimaan
Indonesia berada jauh di bawah negara-negara berkembang lainnya. Menurut IMF, kesenjangan pajak Indonesia adalah 5 persen dari PDB.91 Berdasarkan pengalaman dekade lalu,
ketika Indonesia hanya berhasil meningkatkan sedikit penerimaan pajaknya, dari 10 ke 12
\^$ !
pengelolaan pajak yang mendalam.
o Rasio utang-terhadap-PDB Pemerintah berada pada 24 persen dari PDB pada
tahun 2012. Rendahnya tingkat utang ini menciptakan ruang bagi tambahan pendanaan in $
!_
juga akan meningkatkan laju pertumbuhan dan pada akhirnya mendukung pendapatan
pemerintah). Dana infrastruktur yang belakangan dibentuk di tingkat regional dan global
menawarkan kesempatan untuk mendanai infrastruktur pada kondisi yang relatif menguntungkan, tepat saat biaya pinjaman global tampak akan meningkat. Dana-dana itu termasuk
ASEAN Infrastructure Fund (AII) yang mana Indonesia, bersama-sama dengan negara
anggota ASEAN lain dan Bank Pembangunan Asia, merupakan pemegang saham. Bank
Dunia juga sedang mempersiapkan fasilitas dana infrastruktur global.
Perbaikan alokasi belanja juga akan membantu investasi pemerintah daerah dalam
infrastruktur. Belanja rata-rata pemerintah daerah untuk pegawai mencapai lebih dari 40
persen dari jumlah anggaran pengeluaran dengan mengorbankan belanja untuk operasional,
pemeliharaan, dan investasi modal.92]!! ! !
antar-pemerintahan. Sembilan puluh persen anggaran pemerintah daerah merupakan tranfer
! $ !
_= ! `?# ! !
mungkin dikaitkan dengan kinerja adalah Dana Alokasi Khusus (DAK), yang besarnya hanya
6 persen dari jumlah transfer. Pergerakan menuju insentif berdasar kinerja, yang dirancang
dengan pandangan untuk meningkatkan layanan infrastruktur, akan mendukung peningkatan
investasi infrastruktur dari pemerintah daerah.
91 IMF (2013): World Economic Outlook, September 2013, Special Focus.
92 Bank Dunia (2012): Subnational Public Expenditure Review.
105
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Indonesia: Menghindari Perangkap
Mendorong pendanaan sektor swasta melalui skema KPS. Kerangka KPS Indonesia
sedang diperkuat. VGF dan IGF, setelah beroperasi sepenuhnya, akan menjadi sarana yang
penting. Namun, sementara investasi swasta dalam infrastruktur masyarakat merupakan hal
yang penting bagi pertumbuhan Indonesia, peningkatan infrastruktur Indonesia akan membutuhkan peningkatan upaya dari seluruh pemangku kepentingan—pemerintah pusat dan
daerah, serta BUMN dan investor swasta.
! !" # ! !
bersaingnya permintaan bagi pendanaan publik juga memperkuat alasan untuk berfokus pada
$ ! !
dan, secara lebih luas, meningkatkan kualitas pengelolaan investasi publik, guna secara efektif
memenuhi kebutuhan ekonomi akan infrastruktur publik yang diprioritaskan.
Koordinasi/keterlibatan dengan ASEAN
Berlanjutnya koordinasi/keterlibatan dengan para mitra regional dalam ASEAN merupakan hal penting yang dapat mendukung pencapaian sasaran konektivitas Indonesia.
Anggota ASEAN telah berkomitmen demi keberhasilan penerapan cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community, AEC) pada tahun 2015 (dasar produksi tunggal).
Untuk mencapai sasaran itu, para anggota ASEAN telah berkomitmen untuk meningkatkan fasilitasi perdagangan dengan menetapkan satu atap (Single Window) yang meningkatkan pertukaran
data bea cukai, meningkatkan penggunaan TIK untuk badan-badan perbatasan, dan meningkatkan transparansi dalam proses perizinan perbatasan. ASEAN juga meluncurkan Masterplan
Konektivitas ASEAN (ASEAN Connectivity Master Plan) untuk semakin mendukung komitmen
perwujudan AEC. Masterplan itu bertujuan untuk mempercepat implementasi prakarsa kerjasama dan proyek investasi lintas ASEAN yang dapat menghubungkan negara-negara anggota
!!!_` _+#$ $ `~_`
kelembagaan untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi; dan (iii) konektivitas antar manusia.
106
Bab V. Menutup Kesenjangan
Keterampilan pada Angkatan
Kerja
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab V
Indonesia: Menghindari Perangkap
Bab V. Menutup Kesenjangan Keterampilan
pada Angkatan Kerja
Pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan serta peningkatan pendapatan pekerja sangat
bergantung kepada peningkatan keterampilan angkatan kerja Indonesia yang berjumlah sangat
besar. Pengembangan keterampilan juga amat penting guna memanfaatkan kesempatankesempatan yang tercipta dengan pembukaan ASEAN dan peningkatan permintaan dari kelas
menengah. Tanpa adanya keterampilan yang tepat pada angkatan kerja, rencana pembebasan
pergerakan tenaga kerja yang terampil lintas ASEAN memang dapat bermanfaat bagi
perusahaan-perusahaan melalui peningkatan ketersediaan tenaga kerja yang terampil, namun
juga berisiko menekan para lulusan Indonesia pada pasar tenaga kerja. Tanpa adanya keahlian
yang tepat di kalangan para pekerja muda yang memasuki pasar tenaga kerja, permintaan atas
produk-produk dan jasa-jasa berkualitas tinggi dari kelas menengah yang jumlahnya semakin
meningkat di Indonesia itu mungkin akan lebih dapat dipenuhi oleh barang-barang impor dan
bukan oleh produk yang dihasilkan dari peningkatan nilai tambah perusahaan-perusahaan dalam
negeri. Selain itu, tanpa memastikan bahwa kelompok penduduk yang lebih miskin memiliki
keterampilan untuk berkontribusi kepada tren-tren ini, manfaat tersebut tidak akan mampu
merangkul kaum paling miskin dan paling lemah di masyarakat walau pertumbuhan produktivitas
secara keseluruhan berhasil tercapai.
Sementara komitmen Indonesia yang kuat untuk mendukung pendidikan tampak
memperlihatkan hasil dari segi jumlah lulusan, persoalan berikutnya adalah tentang kualitas.93
Indonesia sepertinya akan menjadi salah satu negara dengan jumlah mahasiswa universitas
terbesar di dunia pada beberapa tahun yang akan datang, namun apakah para lulusan akan
! "|!!O
bergeser dari memastikan peningkatan akses ke pendidikan menjadi agenda pengembangan
keterampilan, dengan sasaran baik mereka yang masih duduk di bangku sekolah maupun
mereka yang telah bekerja. Bab ini secara singkat menyinggung masalah dan tantangan utama
dalam agenda pengembangan keterampilan dan menguraikan sejumlah pilihan kebijakan untuk
menanganinya.
1. Rapor Indonesia sejauh ini
Angkatan kerja lebih terdidik…
Pasar tenaga kerja Indonesia menjadi lebih terdidik dengan cepat. Sebagian besar peningkatan pasar tenaga kerja selama dekade lalu diakibatkan oleh penambahan jumlah lulusan
pendidikan tingkat menengah atas dan pendidikan tinggi. Sebagai akibatnya, sementara mayoritas
penduduk hanya menamatkan pendidikan dasar, kini terdapat lebih dari 30 juta lulusan pendidikan tingkat menengah atas dan lebih dari 10 juta lulusan pendidikan tinggi pada pasar tenaga
kerja Indonesia. Selama lima tahun terakhir, laju peningkatan jumlah tenaga kerja dengan pendi93 Pentingnya modal manusia di dalam dan bagi pertumbuhan ekonomi telah banyak ditekankan di dalam teori pertumbuhan
endogin, yang dimulai dengan Romer (1986) dan Lucas (1988).
108
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab V
Indonesia: Menghindari Perangkap
dikan tinggi melampaui 1 juta per tahun dan angkatan kerja yang lulus pendidikan menengah atas
melampaui 2 juta orang per tahun. Angka-angka ini tampaknya akan kembali meningkat di masa
depan, didorong oleh kebijakan-kebijakan Pemerintah, seperti penyediaan akses universal hingga
jenjang pendidikan menengah atas melalui program wajib belajar 12 tahun, dan sasaran untuk
melipatgandakan angka partisipasi pada tingkat pendidikan tinggi pada tahun 2020. Dengan
semakin meningkatnya angka partisipasi pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, laju pertumbuhan angkatan kerja yang terdidik tampaknya akan semakin meningkat. Dengan menggunakan
asumsi yang cukup beralasan,94 jumlah penduduk Indonesia dengan pendidikan tinggi akan
meningkat lebih dari dua kali lipat dalam 10 tahun ke depan.
Gambar 5.1: Jumlah angkatan kerja dan tingkat pendaftaran siswa sesuai tingkat pendidikan,
2001-10
Sumber: Sakernas untuk angkatan kerja, 2001-10 (per Februari); Susenas untuk pendaftaran siswa (per Februari).
Pada waktu yang bersamaan, permintaan terhadap tenaga kerja yang terampil semakin
tinggi dan meningkat. Dalam survei yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2008, hampir
semua pemilik perusahaan menyatakan bahwa tingkat keterampilan yang dibutuhkan akan meningkat, didorong oleh standar kualitas yang lebih tinggi, lingkungan usaha yang lebih kompetitif,
dan kegiatan yang lebih berorientasi ekspor. Hal ini sejalan dengan ambisi Indonesia untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi, tren ekonomi makro (kenaikan upah di ASEAN, Tiongkok),
dan peningkatan jumlah masyarakat kelas menengah (yang akan meminta barang dan jasa dengan
kualitas yang lebih tinggi).
94 Menggunakan pertumbuhan linear dalam tingkat pendaftaran pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
109
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab V
Indonesia: Menghindari Perangkap
Gambar 5.2: Peningkatan permintaan terhadap tenaga kerja terampil
Sumber: Keterampilan pada pasar tenaga kerja di Indonesia, Bank Dunia (2011).
…namun banyak lulusan masuk ke pasar tenaga kerja tanpa keterampilan yang tepat
Namun pendidikan tidak selalu menghasilkan keterampilan. Jika pendidikan tidak berkualitas tinggi, duduk di bangku di sekolah tidak menjamin bahwa murid akan belajar. Selain itu, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh angkatan kerja tidak selalu terbatas kepada hal-hal
yang biasanya dipelajari di sekolah. Keterampilan yang diminta oleh pasar tenaga kerja melampaui
keterampilan teknis dan kognitif, dan meliputi perilaku/karakter (seperti keuletan) dan keterampilan sosial (seperti kerjasama tim), namun keterampilan-keterampilan tersebut tidak terukur
melalui survei-survei tradisional95. Dengan tidak adanya pemetaan permintaan dan penawaran
! $ ! !
ini: i) menanyakan langsung kepada pemilik perusahaan (penerima keterampilan tersebut) melalui
survei, dan ii) melihat kinerja lulusan sekolah pada pasar tenaga kerja.
a) Survei pemilik perusahaan
Tanda awal adanya kelangkaan keterampilan adalah ketika para pemilik perusahaan
melaporkan kesulitan dalam mengisi lowongan pegawai semi-terampil dan terampil.
Dalam survei pemilik perusahaan yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2008, dua per tiga
perusahaan mengeluhkan “sulit” atau “sangat sulit” menemukan pekerja yang tepat untuk posisiposisi managerial dan profesional.96 Hal ini terutama berlaku pada perusahaan eksportir dan
manufaktur (dibanding perusahaan jasa). Hampir 70 persen pemilik perusahaan dalam bidang
manufaktur melaporkan bahwa “sangat sulit” untuk mengisi posisi-posisi tingkat profesional
terampil (insinyur atau yang setara). Eksportir bahkan melaporkan kesulitan dalam menemukan
pekerja produksi yang terampil untuk memenuhi kebutuhan mereka akan standar kualitas yang
lebih tinggi.
> ! ! Z! !$
Survei Pengukuran Keterampilan Bank Dunia untuk Keterampilan Menuju Kerja dan Produktivitas (Skills Toward Employment and
Productivity, STEP), Programme for the International Assessment of Adult Competencies (PIACC) dari OECD, UNESCO. Namun
perangkat tersebut belum tersedia di Indonesia.
96 Keterampilan bagi Pasar Tenaga Kerja di Indonesia (2011).
110
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab V
Indonesia: Menghindari Perangkap
Gambar 5.3: Proporsi perusahaan yang menyatakan menemukan pekerja adalah sulit atau sangat
sulit, menurut jenis pekerjaan
Sumber: Keterampilan bagi Pasar Tenaga Kerja di Indonesia, Bank Dunia (2010).
Alasan di balik kesulitan ini beragam berdasarkan sektor. Sejumlah sektor melaporkan
bahwa kurangnya jumlah lulusan sebagai alasannya (misalnya bidang tekstil), sementara sektor
lain mengeluhkan tentang keterampilan dari lulusan yang ada (misalnya bidang karet dan plastik).
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat dua jenis ketidaksesuaian. Pada satu sisi, sistem pendidikan
tampaknya tidak menghasilkan jumlah lulusan yang memadai untuk sejumlah bidang (misalnya,
melalui pendidikan sekolah kejuruan menengah pada bidang tekstil). Di sisi lain, walau jumlah lulusan yang dihasilkan telah mencukupi, mereka mungkin tidak memiliki keterampilan yang tepat.
Ketidaksesuaian ini tampaknya telah meningkat sejak tahun 2008. Pada tahun 2009, sekitar 60
persen perusahaan Indonesia melaporkan keterampilan sebagai suatu kendala. 20 persen bahkan
menyatakan bahwa keterampilan adalah kendala yang besar.
111
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab V
Indonesia: Menghindari Perangkap
Gambar 5.4: Alasan ketidaksesuaian
keterampilan menurut pemilik perusahaan,
2008
(% keuntungan)
Gambar 5.5: Alasan ketidaksesuaian
keterampilan, perbandingan Indonesia dengan
negara tetangga
Sumber: Survei iklim investasi, tahun terakhir (tahun 2009 untuk Indonesia).
b) Kinerja lulusan pendidikan pada pasar tenaga kerja
Sementara pemilik perusahaan berjuang untuk menemukan pekerja dengan keterampilan yang tepat, tingkat pengangguran bagi orang muda yang berpendidikan lebih tinggi
dari yang kurang berpendidikan. Tingkat pengangguran bagi usia 20-29 tahun hampir dua kali
lipat bagi lulusan pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi dibanding lulusan pendidikan
yang lebih rendah. Tingkat pengangguran itu semakin meningkat bagi lulusan pendidikan tinggi
antara tahun 2001 dan 2005 dan tetap bertahan tinggi sejak saat itu. Namun tingkat pengang ! !! ?
bahwa lulusan dapat bekerja bukan berarti bahwa mereka telah dilengkapi dengan keterampilan
yang tepat. Pengangguran yang mencari kerja dapat menganggap bahwa mendapatkan pekerjaan
adalah sesuatu yang sangat penting, sehingga mereka mungkin dapat menerima pekerjaan dengan
kualitas yang lebih rendah hanya karena kebutuhan tersebut.
Gambar 5.6: Tingkat pengangguran menurut tingkat pendidikan, usia 20-29 tahun
112
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab V
Indonesia: Menghindari Perangkap
Sesungguhnya, lebih dari setengah lulusan pendidikan menengah atas bekerja pada
pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan (pekerjaan kasar, buruh pertanian)
dan setengah dari lulusan pendidikan tinggi berusia muda bekerja pada pekerjaan yang
berada di bawah tingkat pendidikan mereka (Gambar 4). Menurut Survei Keterampilan
Perusahaan, 25 persen lulusan pendidikan menengah atas tidak memenuhi harapan perusahaan.97
Sekitar seperempat pegawai lulusan pendidikan menengah atas dianggap memiliki kualitas yang
buruk. Selain itu, hanya 7 persen dari mereka yang dianggap sebagai “sangat baik” dan sebagian
? !!!
umum dan kejuruan.
Bahwa sebagian besar pekerja berpendidikan tinggi bekerja pada pekerjaan
yang membutuhkan keterampilan rendah
adalah indikator bahwa walau mereka
memiliki gelar yang dibutuhkan untuk
pekerjaan dengan tingkatan yang lebih
tinggi, mereka tidak memiliki keterampilan yang sesuai. Persentase pekerja dengan
pendidikan tinggi yang bekerja pada pekerjaan
berketerampilan rendah memang menurun
sejak tahun 2001, yang dapat mengindikasikan adanya peningkatan kualitas para lulusan.
} $
lulusan baru tetap masuk ke pasar tenaga kerja
tanpa memiliki keterampilan yang dibutuhkan
untuk meraih keberhasilan, yang kemudian
mendorong mereka untuk mengisi lowonganSumber: Perhitungan Bank Dunia menggunakan Sakernas
lowongan pekerjaan yang tidak membutuhkan
keterampilan. Indonesia telah menghabiskan investasi yang tidak sedikit untuk mendidik para lulusan itu, dan meskipun keterampilan mereka tidak sesuai dengan permintaan pasar tenaga kerja,
mereka tetap memiliki dasar keterampilan yang lebih kuat dibanding mereka yang tidak lulus dari
sekolah. Melalui sejumlah upaya peningkatan keterampilan, para pekerja muda yang terdidik itu
akan berada dalam posisi terbaik untuk mendorong transformasi ekonomi seperti yang dicitacitakan Indonesia.
Gambar 5.7: Jenis pekerjaan bagi lulusan
berpendidikan sekunder, 2001-2010
Ketidaksesuaian itu merupakan salah satu alasan penurunan pendapatan dari investasi
pendidikan (return on education) para lulusan muda. Pendapatan yang didapatkan oleh pekerja
dengan pendidikan tingkat menengah atas menunjukkan sedikit penurunan sejak tahun 2006,
walau kemudian sedikit meningkat pada beberapa tahun terakhir. Namun, temuan ini hanya mewakili kelompok pekerja dengan upah, dan tidak menyertakan banyak pekerjaan berketerampilan
rendah. Penurunan tingkat pendapatan dari investasi pendidikan yang lebih tinggi ini memang
kecil, dan tidak terjadi pada semua sektor. Distribusi sektoral pekerjaan, yang merupakan indikasi
dari adanya ketidaksesuaian keterampilan tersebut, berguna untuk menjelaskan indikator-indikator umum kinerja para lulusan di pasar tenaga kerja.
97 Keterampilan bagi Angkatan Kerja di Indonesia, Bank Dunia, 2012.
113
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab V
Indonesia: Menghindari Perangkap
Gambar 5.8: Tren return on investment, seluruh angkatan kerja dan berusia di bawah 35, 2001-10
Usia di bawah 35
Seluruh angkatan kerja
Sumber: Perhitungan penyusun dengan menggunakan Sakernas, pekerjaan dengan upah.
Perbandingan tenaga kerja lulusan dua jalur pendidikan menengah atas (umum dan kejuruan) pada pasar tenaga kerja menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat pengangguran pasca kelulusan antara lulusan pendidikan umum dan kejuruan. Sementara
perbandingan ini tidak menyertakan perbedaan karakteristik antara siswa jurusan umum dan kejuruan, penelitian lain menunjukkan bahwa perbedaan ini tetap konsisten bahkan dengan adanya
pengendalian pada faktor-faktor tersebut. Chen (2008) menemukan bahwa tidak ada perbedaan
! ?| !!
kejuruan yang sama-sama tidak melanjutkan ke akademi/universitas, lulusan pendidikan kejuruan
tampaknya memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus.
Namun perbandingan sederhana ini tidak memperhitungkan kenyataan bahwa proporsi lulusan pendidikan umum yang melanjutkan ke pendidikan tinggi jauh lebih besar. Newhouse dkk.
_<==>` O !! $
namun pendapatan lulusan kejuruan turun jauh lebih cepat setelah 7-8 tahun. Menilik rata-rata
upah lulusan dari kedua jurusan yang tidak melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, perbedaan upah bagi lulusan kejuruan telah berkurang dalam beberapa tahun terakhir.
Gambar 5.9: Tingkat pengangguran untuk lulusan SMA dan SMK, usia 20-24
Sumber: Sakernas (berbagai tahun).
114
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab V
Indonesia: Menghindari Perangkap
Membandingkan tingkat return on education untuk setiap jalur mempertegas kesamaan
mereka. Dengan mengambil sampel tenaga kerja yang hanya memiliki ijazah sekolah menengah atas, lulusan sekolah kejuruan rata-rata menikmati sedikit kelebihan pada pasar tenaga kerja
dibanding lulusan jurusan umum, namun kelebihan itu telah menurun belakangan ini. Sementara
perbedaan antara lulusan sekolah umum dan kejuruan kembali sedikit meningkat pada tahun
2010, selisihnya tidaklah besar. Dengan mempertimbangkan tingkat pengangguran dan return
on education, kedua jalur itu pada dasarnya tidaklah berbeda dalam kapasitas mereka membekali
lulusan dengan keterampilan untuk memasuki pasar tenaga kerja.98
Pada tingkat pendidikan tinggi, terdapat ketidaksesuaian yang jelas antara jurusan dan
sektor-sektor yang membutuhkan tenaga lulusan. Sementara sejumlah sektor menemui
kesulitan untuk menemukan tenaga profesional yang terampil, sebagian besar lulusan pendidikan
tinggi masuk ke sektor jasa, khususnya bidang pemerintahan (terutama pendidikan, kesehatan,
dan administrasi negara). Lembaga tinggi pendidikan guru pada khususnya menyumbang hampir sepertiga dari seluruh lulusan pendidikan tinggi yang masuk ke pasar tenaga kerja. Mungkin
didorong oleh harapan mendapat upah yang lebih tinggi seperti yang dijanjikan oleh UU Guru
yang baru, semakin banyak siswa memilih jalur pendidikan untuk menjadi pengajar. Namun
karena tidak semua lulusan tersebut dapat diserap menjadi pegawai negeri, sebagian akhirnya
bekerja dengan kondisi yang buruk sebagai guru honorer, dengan gaji sepertiga dari gaji awal
guru tetap. Hal ini mengakibatkan penurunan yang cepat dalam rata-rata gaji lulusan pendidikan
guru. Namun, jumlah yang mendaftar pada lembaga-lembaga pendidikan guru tetap meningkat
dan bahkan mencapai tingkat tertingginya pada tahun 2013. Fakta ini bisa menjadi contoh yang
baik dari ketidaksesuaian antara sistem dan pasar tenaga kerja.
Kelangkaan keterampilan terkait pada kualitas dan relevansi pendidikan
Asal-muasal kelangkaan keterampilan dimulai dari kualitas pendidikan dasar. Agar siap
memasuki pasar tenaga kerja, hal pertama yang dibutuhkan oleh para lulusan adalah landasan
kuat terkait keterampilan dasar. Dalam penelitian pada tahun 2008, pemilik perusahaan menyatakan bahwa keterampilan dasar adalah hal terpenting, diikuti dengan keterampilan berpikir
dan keterampilan perilaku. Dengan demikian, salah satu tugas penting bagi jalur pendidikan
umum maupun kejuruan adalah memberikan bekal keterampilan dasar yang kuat kepada para
siswanya, agar mereka siap masuk ke pasar tenaga kerja dan pendidikan selanjutnya. Hanushek
dan Wossmann (2008) menyoroti pentingnya keterampilan kognitif penduduk, dibanding sekedar
pencapaian pendidikan sekolah.
98 Lihat Cerdan-Infantes dan Mileiva (akan datang), Bank Dunia, untuk analisis relevansi pendidikan yang lebih tinggi menggunakan
hasil lulusan pendidikan pada pasar tenaga kerja.
115
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab V
Indonesia: Menghindari Perangkap
Hanushek dan Wossmann (2008) mengukur
keterampilan kognitif di berbagai negara
melalui uji internasional yang dapat diperbandingkan untuk bidang matematika, ilmu
pengetahuan, dan membaca. Mereka menemukan bahwa keterampilan kognitif sangat
terkait dengan pendapatan individu, distribusi
pendapatan, dan pertumbuhan ekonomi.
Gambar 5.10: Jenis keterampilan yang sangat
penting menurut pemilik perusahaan
Indonesia tetap mencatat hasil yang buruk
dalam pengujian pembelajaran, berada
di bawah negara-negara berpenghasilan
menengah lainnya dan negara-negara
tetangga di Asia Timur. PISA menguji siswa
berusia 15 tahun yang masih belajar di sekolah
Sumber: Bank Dunia, Keterampilan bagi Pasar Tenaga Kerja di
Indonesia, 2011.
menengah pertama (SMP), sehingga hasilnya
tidak mencerminkan kualitas pendidikan sekolah menengah atas. Namun pengujian itu mencerminkan keterampilan yang dimiliki oleh siswa SMA. Sebagai contoh, siswa usia 15 tahun di Indonesia mencatat tingkat pembelajaran yang jauh di bawah rekan-rekan mereka di Vietnam walau
Indonesia memiliki pendapatan per kapita yang lebih tinggi.
Gambar 5.11: Nilai rata-rata dalam matematika, ilmu pengetahuan, dan membaca, 2012
Sumber: Hasil Pisa OECD tahun 2012: Apa yang diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa: Prestasi siswa dalam membaca,
matematika, dan ilmu pengetahuan.
Catatan: Siswa usia 15 tahun di Indonesia berada pada kelas terakhir SMP dan telah menyelesaikan pendidikan dasar resmi 9 tahun.
Meskipun terjadi peningkatan yang besar dalam investasi pemerintah dan swasta pada
dekade terakhir, kualitas pendidikan tidak meningkat sebesar yang diharapkan. Dalam
bidang membaca, peningkatan yang dicatat relatif cepat dibanding negara-negara lain. Sebagai
contoh, Indonesia berada pada peringkat tersil teratas dalam perbandingan peningkatan prestasi
membaca yang disetahunkan. Dalam bidang matematika, peringkat Indonesia relatif buruk
116
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab V
Indonesia: Menghindari Perangkap
dalam taraf peningkatan keterampilannya. Meskipun terdapat peningkatan untuk jangka panjang,
perubahan baru-baru ini terkait pencapaian pembelajaran menunjukkan gambaran yang lebih
mengkhawatirkan. Sejak tahun 2006, prestasi di bidang matematika telah menurun dan tidak ada
! ! ?
Gambar 5.12: Peningkatan pembelajaran yang kecil belakangan ini
Sumber: OECD PISA.
] %== ! ? <== <=%< !
<=== <=%< ! ?
! !! ?
"";" $ !"! " "mampuan membaca dan matematika. Di Indonesia, mayoritas siswa berusia 15 tahun berada
di bawah tingkat kemampuan 2. Pada sejumlah negara tingkat kemampuan yang rendah ini terkait
dengan kesulitan siswa dalam meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan keberhasilan mereka dalam beralih ke pasar tenaga kerja. Selain itu, pada tahun 2012 tiga per empat
siswa Indonesia berada pada tingkat kemampuan 1 atau lebih rendah. Dalam bidang matematika
para siswa yang memiliki nilai ini hanya mampu menjawab ‘pertanyaan matematika yang sangat
langsung dan mudah, seperti menemukan satu nilai dari bagan atau tabel dengan keterangan yang
sangat jelas.’ Tren-tren juga menunjukkan peningkatan yang terbatas dalam tingkat kemampuan
antara tahun 2006 dan 2012.
Gambar 5.13: Jumlah siswa Indonesia yang lulus dari pendidikan dasar tanpa keterampilan dasar
yang baik sangatlah tinggi
Sumber: OECD.
117
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab V
Indonesia: Menghindari Perangkap
2. Pilihan kebijakan
Memastikan bahwa angkatan kerja memiliki keterampilan yang tepat untuk mendukung
pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan membutuhkan strategi dengan tiga cabang.
Pertama, terdapat kebutuhan yang jelas terkait peningkatan kualitas pendidikan dasar, dimulai
dengan pendidikan anak usia dini. Keterampilan akan menghasilkan keterampilan, dan dibutuhkan landasan keterampilan kognitif yang kuat untuk memperoleh keterampilan dengan tingkat
yang lebih tinggi yang akan dibutuhkan oleh angkatan kerja bila ingin mewujudkan transformasi
ekonomi berskala sangat besar tersebut. Namun peningkatan tingkat keterampilan masyarakat
umum melalui pendidikan akan membutuhkan waktu. Bahkan apabila sistem pendidikan dapat
disempurnakan secara seketika pun, para lulusan awal baru akan masuk ke angkatan kerja 10-20
tahun lagi. Sehingga sangatlah penting untuk menemukan solusi jangka pendek dan menengah
bagi kendala keterampilan yang ada. Cabang kedua dan ketiga dari strategi ini adalah meningkatkan relevansi mereka yang akan masuk ke pasar tenaga kerja (pendidikan kejuruan dan teknis,
dan pendidikan tinggi) serta meningkatkan keterampilan dari angkatan kerja yang ada.
Fokus pada kualitas dan keterampilan, tidak hanya pada perluasan
Melanjutkan perluasan akses ke pendidikan tidak akan membawa manfaat yang diharapkan bila perluasan itu dilakukan dengan mengorbankan kualitas. Setelah berhasil
mencapai akses mendekati universal untuk pendidikan wajib 9 tahun, pemerintah Indonesia
tengah berupaya untuk meningkatkan akses ke pendidikan wajib 12 tahun (termasuk pendidikan
menengah atas). Sasaran pendidikan menengah atas adalah menyiapkan siswa untuk beralih ke
pasar tenaga kerja atau pendidikan tinggi. Kemanapun tujuannya, para lulusan harus dilengkapi
dengan landasan keterampilan dasar yang kuat. Telah terbukti bahwa keterampilan-keterampilan
itu diperlukan oleh perusahaan dan menjadi dasar untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi,
baik universitas maupun pendidikan yang lebih bersifat kejuruan (diploma, akademi). Dalam
memperluas akses ke pendidikan menengah atas, sangat penting untuk memastikan bahwa kedua
jalur, baik umum (SMA) maupun kejuruan (SMK), mampu melengkapi para lulusannya dengan
keterampilan dasar (yaitu matematika, bahasa) dengan cara memperkuat sistem penjaminan kualitas dan penyeimbangan materi dari kedua jalur tersebut.
Menetapkan sasaran baku pada pembagian jalur umum dan kejuruan tidaklah perlu jika
kedua jalur itu berkualitas baik dan keduanya menawarkan kemungkinan bagi lulusan
untuk melanjutkan pendidikan. Prestasi lulusan kedua jalur tersebut di pasar tenaga kerja
O ! !! !
pendidikan lanjutan. Sekolah menengah kejuruan memberikan jalur yang cepat untuk melatih
pekerja dengan keterampilan tingkat menengah bagi kebutuhan mendesak dari pasar tenaga
kerja, namun mungkin tidak memberikan landasan keterampilan dasar memadai yang membuat
mereka dapat lebih mudah dibentuk ke depannya. Di sisi lain, lulusan dari jalur umum yang tidak
melanjutkan ke pendidikan tinggi tampaknya tidak memiliki keterampilan terkait pekerjaan yang
memadai. Terdapat kebutuhan untuk menawarkan kesempatan bagi para lulusan tersebut guna
mendapatkan keterampilan yang dibutuhkan di pasar tenaga kerja melalui pengalaman praktis
dan kursus kejuruan, terutama melalui akademi dan gelar pendidikan tinggi non-universitas.
Keberhasilan upaya ini akan terletak pada adanya komposisi keterampilan yang tepat pada kedua
jalur tersebut, keselarasan antar jalur, dan terbukanya jalan untuk melanjutkan peningkatan keterampilan bagi para lulusan kejuruan.
118
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab V
Indonesia: Menghindari Perangkap
Meningkatkan relevansi pengisi pasar tenaga kerja: pendidikan kejuruan dan tinggi
Pembentukan pendidikan kejuruan dan tinggi yang tanggap akan kebutuhan perusahaan merupakan suatu prioritas. Tanpa adanya kebijakan yang tepat, lembaga-lembaga pendidikan cenderung terisolasi dari pasar tenaga kerja.99 Secara alami, lembaga pendidikan condong
lebih dekat kepada para ‘klien’ mereka, yang terdiri dari calon siswa dan siswa yang ada, serta para
pemilik dan penentu kebijakan. Sebagai akibatnya, jika permintaan siswa tidak sejalan dengan
pasar tenaga kerja (misalnya akibat kurangnya informasi) atau kerangka peraturan perundangan
menghalangi lembaga pendidikan untuk menanggapi permintaan para ‘klien’ mereka (misalnya
dikarenakan kakunya peraturan), maka lembaga-lembaga itu tidak akan menanggapi permintaan
dari pasar tenaga kerja.
Aspek utama dari sistem pendidikan tinggi adalah informasi dan insentif, yang keduanya bermasalah di Indonesia. Tanpa informasi tentang tren pasar tenaga kerja (bagi siswa,
pemilik perusahaan dan lembaga pendidikan) dan tentang kualitas lembaga (jaminan kualitas),
maka pilihan calon siswa tidak akan sejalan dengan kemauan pasar tenaga kerja, dan lembaga
pendidikan tidak akan memiliki insentif untuk menyesuaikan layanan mereka dengan kebutuhan
para pemilik perusahaan. Jika pemilik perusahaan tidak dapat tajam membedakan antara lembaga
pendidikan yang baik dan buruk, maka manfaat bagi para lulusannya pun tidak akan jelas terasa
pula. Namun informasi saja tidaklah cukup. Bahkan bila informasi yang tepat telah disampaikan,
penyediaan insentif yang tepat tetaplah penting. Langkah ini membutuhkan otonomi dan akuntabilitas, insentif untuk prestasi (terutama bagi lembaga publik) dan kesempatan untuk terjalinnya
hubungan langsung antara kelembagaan dan pemilik perusahaan (misalnya masa magang, pertukaran pekerja, kolaborasi penelitian). Sistem pendidikan tinggi yang maju melampaui unsur-unsur
dasar itu dan mencoba menangani ketidaksesuaian yang lebih jauh: antar lembaga pendidikan
tinggi itu sendiri, antara pendidikan menengah atas dan tinggi (selain peran lembaga pendidikan
tinggi sebagai katalis inovasi). Kedua hal itu, informasi dan insentif, adalah hal-hal yang cukup
bermasalah di Indonesia.100
Gambar 5.14: Kerangka akuntabilitas lembaga pendidikan tinggi
Sumber: Elaborasi staf Bank Dunia.
99 Putting Higher Education to Work, World Bank, 2013
100 Lihat Relevance of Higher Education for the Labor Market in Indonesia, Cerdan-Infantes and Mileiva (akan datang).
119
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab V
Indonesia: Menghindari Perangkap
Meningkatkan keterampilan angkatan kerja yang ada
Terdapat kebutuhan untuk mengatasi kelangkaan keterampilan dari mereka yang telah
berada dalam pasar tenaga kerja – dan kesiapan kelembagaan untuk mengembangkan
" " + " % " "%!! " tuk. Namun sistem pelatihan harus diperluas, dikoordinasi dengan lebih baik, dan memiliki
keterlibatan yang kuat dengan pemilik perusahaan. Cakupan dari sistem pelatihan ini sangatlah
rendah, yaitu hanya sekitar 5 persen saja dari angkatan kerja yang menyatakan bahwa mereka
pernah menerima pelatihan resmi dalam bentuk apapun. Pelatihan langsung di tempat kerja
merupakan hal yang jarang dilakukan. Perusahaan-perusahaan di Indonesia tampaknya jauh lebih
jarang menawarkan kesempatan pelatihan bagi pegawainya dibanding negara-negara tetangganya
(termasuk perusahaan-perusahaan besar di Indonesia). Pasokan pelatihan keterampilan ini masih
terbatas jumlahnya, dan sebagian besar pemberi pelatihan terkonsentrasi pada bidang-bidang
dengan nilai tambah rendah (seperti salon kecantikan dan spa, dan keterampilan dasar komputer).
Gambar 5.15: Bagian perusahaan yang memberikan kesempatan pelatihan pagi pegawai, 2009
Sumber: Bank Dunia, Enterprise Survey 2009.
Dibutuhkan lebih banyak sumber daya untuk pelatihan, namun tidak semuanya harus
datang dari sektor publik. Peningkatan keterampilan bukanlah sekedar tanggung jawab sektor
publik, karena perusahaan-perusahaan dan individu juga akan memperoleh manfaat atas peningkatan tersebut. Sumber daya harus datang dari sumber publik dan swasta, dengan menggunakan
dana publik untuk secara strategis memberikan insentif bagi pembiayaan swasta yang dilakukan
oleh para pemilik perusahaan. Sebagai contoh, banyak negara telah menerapkan dana pelatihan
baik dari sumber pemerintah maupun swasta dengan memberikan insentif berupa subsidi pembiayaan untuk program-program pelatihan.
Tingkatkan kualitas pelatihan dan penggunaan pelatihan berbasis kompetensi dengan
memberi insentif atas peningkatan kualitas dari penyedia pelatihan. Akreditasi pada saat
ini umumnya bersifat sukarela dan tidak ada konsekuensi bila tidak menjalani sistem akreditasi
tersebut. Metodologi berbasis kompetensi jarang digunakan pada pelatihan. Peningkatan pendan-
120
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab V
Indonesia: Menghindari Perangkap
aan pemerintah harus digunakan untuk mendorong insentif bagi perubahan tersebut. Sekali lagi,
dana pelatihan dapat digunakan untuk mendorong perubahan dari pihak penyedia pelatihan, jika
peningkatan kualitas penyedia pelatihan ditetapkan sebagai syarat untuk menerima pendanaan.
Percepat perluasan penyediaan lembaga-lembaga pelatihan berkualitas yang menyediakan pelatihan yang relevan untuk keterampilan bernilai tambah tinggi dalam sektorsektor strategis. Para perusahaan penyedia pelatihan kini lebih terkonsentrasi pada pekerjaanpekerjaan dengan keterampilan rendah, sementara terdapat kekurangan penyedia pelatihan dalam
sektor-sektor strategis dalam ekonomi yang pengadaannya membutuhkan investasi tetap yang
lebih besar (produk pangan, manufaktur). Perluasan penyediaannya akan sangat penting untuk
memastikan bahwa peningkatan keterampilan berlangsung pada sektor-sektor yang tepat.
Sediakan insentif pelatihan kepada sejumlah kelompok dengan menggunakan subsidi
sisi permintaan. Usaha kecil dan menengah cenderung memilih investasi yang rendah dalam
tenaga kerjanya akibat keterbatasan logistik, karena biaya terkait pelatihan satu pekerja seringkali
berarti penghentian kegiatan usaha. Mereka yang sulit menemukan pekerjaan – yang sebetulnya
merupakan kelompok yang paling membutuhkan pelatihan ulang – dapat menemui kendala dana
untuk mengikuti pelatihan tersebut, meskipun pelatihan itu relevan dan berkualitas baik. Industriindustri strategis juga dapat menghadapi kendala keterbatasan waktu dalam mengembangkan
penyedia pelatihan. Karenanya, investasi pemerintah sebaiknya digunakan untuk mensasar kelompok ini berdasarkan asas kesetaraan dan produktivitas.
121
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab V
Indonesia: Menghindari Perangkap
122
Bab VI. Peningkatan
Fungsi Pasar
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VI
Indonesia: Menghindari Perangkap
Chapter VI. Peningkatan Fungsi Pasar
Pasar-pasar produk, tenaga kerja, keuangan, dan lahan yang berfungsi baik merupakan pendorong penting pertumbuhan produktivitas dan berperan sentral dalam mewujudkan keseluruhan
? Z
mendorong perkembangan masing-masing sektor dan pergerakan sumber daya lintas sektor.
Mereka menentukan apakah sumber daya (tenaga kerja, talenta, dan modal) dapat bergerak secara
!! ?
Di Indonesia, peraturan yang mengatur masuknya pelaku usaha baru, investasi, dan perilaku
usaha telah menjadi rumit dan tidak pasti, seringkali memberikan sinyal yang membingungkan
para investor. Selain itu, akses yang sulit ke pasar faktor, seperti modal dan lahan, menyebabkan
tingkat produktivitas dan pertumbuhan ekonomi berada di bawah potensinya. Sementara itu,
sejumlah peraturan dalam UU ketenagakerjaan (seperti uang pesangon) merintangi mobilitas
tenaga kerja dan dalam praktiknya tidak melindungi pekerja maupun mendorong pemastian
status formal bagi para pekerja—tidak ada pihak yang diuntungkan. Mekanisme penetapan upah
minimum telah menjadi terlalu membebani dan tidak dapat diperkirakan, sehingga meningkatkan
ketidakpastian.
Walau reformasi faktor pasar dan produk (terutama pasar tenaga kerja) adalah hal yang sulit dan
!$
warga negaranya. Bab ini membahas masalah-masalah utama dalam iklim investasi dan pasarpasar faktor utama.
1. Meningkatkan fungsi pasar produk
Masalah utama terkait pasar produk/iklim investasi
Perubahan kondisi luar negeri akan memaksa para investor dan perantara keuangan
untuk lebih memperhatikan iklim investasi dibanding dekade lalu. Seperti ditunjukkan
pada Bab 1, tingginya harga komoditas dan rendahnya suku bunga dunia selama dekade lalu telah
mendorong pemulihan investasi swasta yang kuat di Indonesia. Setelah turun secara drastis pasca
krisis tahun 1997/98, rasio investasi-terhadap-PDB Indonesia telah pulih dengan kuat selama
lima tahun terakhir, bergerak naik mencapai 32 persen pada tahun 2012 (dibanding rasio 27
persen pada Korea Selatan, 30 persen di India, dan rasio yang sangat tinggi sebesar 46 persen di
Tiongkok, sebagai contoh). Sementara sebagian besar peningkatan ini didorong oleh peningkatan
harga investasi, pertumbuhan investasi riil telah mencapai rata-rata 8,4 persen selama periode
tahun 2008-12 (naik dari 7,6 persen selama tahun 2003-07), dan telah mengikuti harga-harga
komoditas. Namun dengan memasuki periode jangka menengah dari tingginya suku bunga dan
tersendat atau bahkan menurunnya harga-harga komoditas, pertumbuhan investasi melambat.
Dengan semakin kerasnya persaingan demi modal yang semakin langka, para investor dan perantara keuangan akan semakin mempertimbangkan iklim investasi yang dapat merintangi tingkat
pengembalian investasi mereka.
124
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VI
Indonesia: Menghindari Perangkap
Iklim investasi Indonesia tertinggal di belakang negara-negara pesaing sewilayahnya
pada tingkat agregat. Lemahnya lingkungan usaha tercermin, misalnya, pada peringkat
laporan Doing Business dari Bank Dunia. Indonesia berada pada peringkat 120 (dari 185 negara),
sedikit meningkat dibanding peringkatnya pada beberapa tahun yang lalu. Kinerja ini berada di
OZ !_ ` Q! $ gkok, Thailand, dan Malaysia masing-masing berada pada peringkat 108, 96, 18, dan 6. Kinerja
Indonesia secara keseluruhan hanya sedikit lebih baik dibanding India dan Kamboja. Proses
pembukaan usaha baru di Indonesia membutuhkan waktu 47 hari, dibanding hanya 6 hari di Malaysia dan 2,5 hari di Singapura. Perusahaan-perusahaan di Thailand dapat memperoleh sambungan listrik dalam 35 hari, sementara proses yang sama membutuhkan 101 hari di Indonesia.
Walau sejumlah langkah telah diambil oleh pemerintah untuk memfasilitasi perilaku
usaha dan investasi pada sejumlah sektor, langkah-langkah peraturan usaha yang belakangan diambil sebenarnya telah mengirimkan sinyal yang membingungkan kepada
para investor dan menunjukkan aspirasi yang bertentangan. Pada satu sisi, suatu rencana
aksi komprehensif untuk mendukung lingkungan peraturan perundangan bagi UKM (tindakan
yang tampaknya akan tercermin pada laporan Doing Business tahun depan) yang diumumkan
pada tanggal 25 Oktober 2013 memberikan kesan yang kuat akan tekad untuk mengatasi sejumlah kelemahan utama dalam lingkungan usaha. Walau pada awal tahun 2013 tampaknya hampir
O !! $
paket kebijakan bulan Oktober dan pelaksanaannya merupakan indikasi bahwa Pemerintah Indonesia telah memperbaharui upayanya untuk menyederhanakan birokrasi bagi usaha Indonesia,
terutama pada sejumlah bidang. Rencana aksi yang diumumkan terdiri dari tujuh belas aksi lintas
delapan bidang “Doing Business” (disesuaikan dengan delapan dari sepuluh indikator peringkat
negara penelitian “Doing Business” Bank Dunia).101 Di sisi lain, dan cukup bertolak belakang,
sejumlah besar peraturan perundangan khusus sektoral yang baru diumumkan tidak konsisten
dengan UU sebelumnya atau menciptakan kebingungan tentang arah reformasi iklim investasi
di Indonesia. Kotak 6.1 meringkas hal-hal yang tidak konsisten dan tidak pasti dari berbagai
peraturan perundangan tersebut. Ketidakpastian yang muncul dari peraturan perundangan ini
merupakan pendorong penurunan kuantitas maupun kualitas investasi yang sangat dibutuhkan
+ ?
Pendekatan yang baru dilakukan oleh Pemerintah dalam upaya mencapai posisi yang
lebih tinggi dalam rantai nilai adalah membuat aturan terlebih dahulu, kemudian bernegosiasi dengan pelaku swasta yang investasinya dibutuhkan untuk mewujudkan sasaran
pemerintah. Pendekatan ini berlawanan dengan yang diterapkan di kebanyakan negara-negara
yang berhasil, yaitu melalui penerapan analisis yang sehat dan kemitraan yang kuat dengan sektor
swasta dalam menemukan dan mengkoordinir kebutuhan investasi serta keperluan khusus industri lain sebagai langkah awal.
101 Untuk memastikan implementasi dari paket kebijakan ini, dan sebagai tanda koordinasi yang baik menuju kemajuan reformasi
ini, Pemerintah telah membentuk tim pemantauan bersama dengan badan-badan pemerintah yang lain, termasuk Unit Kerja Presiden
bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
125
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VI
Indonesia: Menghindari Perangkap
Kotak 6.1: Hal-hal yang tidak konsisten dan tidak pasti pada berbagai peraturan perundangan
Pada tahun 2007, UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal ditetapkan untuk memberikan kejelasan yang sangat dibutuhkan, terutama di kalangan investor asing. UU itu menyatakan bahwa seluruh
sektor dan subsektor terbuka bagi investasi, kecuali yang tercakup di dalam Daftar Negatif Investasi
(DNI) yang ditentukan oleh presiden. Namun pada tahun 2009, UU Pos yang baru menetapkan batas
kemungkinan investasi dalam jasa pos dan pengiriman, yang berlawanan dengan UU Penanaman Modal
dan DNI yang terbit sebelumnya. Karena kontradiksi yang terus berlangsung bahkan sebelum tahun
2007, tidak hanya dalam UU namun juga peraturan pelaksanaannya dan penafsiran yang berbeda oleh
lembaga-lembaga negara tentang peraturan tersebut, maka dunia industri tetap tidak mendapat kepastian
tentang batas kepemilikan asing yang tepat di dalam sektor atau siapa yang dapat memberikan pedoman
yang berwenang.
Pada tahun 2010, suatu UU Hortikultura yang baru jelas-jelas membatasi investasi asing pada bidang
hortikultura hanya sebesar 30 persen. UU baru itu secara langsung bertolak belakang dengan UU Investasi dan DNI (yang diperbaharui sebelum berlakunya UU Hortikultura) yang memperkenankan kepemilikan asing dalam bidang pertanian hingga 95 persen. Pada bulan Januari 2013, diterbitkan sejumlah
peraturan pelaksanaan UU Hortikultura, yang menetapkan larangan sementara untuk impor 15 produk,
termasuk bawang putih dan merah, dan kuota impor untuk 11 produk lainnya. Harga produk-produk itu
$ ? !
negatif nyata dari kebijakan-kebijakan tersebut, peraturan itu diamandemen untuk menghapus sejumlah
pembatasan dan menyederhanakan persetujuan impor bagi yang lain. Setelah proses maju mundur, ketidakpastian tetap ada di kalangan lembaga pelaksana tentang penafsiran yang tepat dari peraturan yang
telah diubah tersebut.
Pada sektor pertambangan, pesan-pesan yang bertolak belakang amatlah nyata, dengan pemutarbalikan
kebijakan oleh Pemerintah yang mengumumkan larangan ekspor bijih mineral. Menurut UU Pertambangan Mineral dan Batubara tahun 2009 yang baru dan peraturan pelaksanaannya yang terbit tahun 2012,
ekspor bijih mineral akan sepenuhnya dilarang. Pemerintah menerbitkan pernyataan yang saling berlawanan tentang pengecualian dari larangan ini, yang menambah kesan ketidakpastian bagi seluruh sektor. Di
luar bagaimana penerapan akhir dari UU itu, jelas bahwa berulang-ulangnya pertentangan peraturan akan
berdampak buruk terhadap dunia usaha.
Pada akhir bulan Desember 2013, DPR menetapkan UU Perindustrian yang baru, yang memberikan
Kementerian Industri kewenangan untuk melakukan intervensi pasar dan bahkan keputusan perusahaan
secara individual. Sebagian besar dampak UU itu akan bergantung kepada peraturan pelaksanaannya, namun UU itu telah menambah ketidakpastian di kalangan usaha maupun investor dalam dan luar negeri.
Upaya berkepanjangan yang terus berlangsung untuk memperbaharui DNI mencerminkan debat yang
lebih luas di Indonesia tentang relatif pentingnya keterlibatan pihak asing dalam pertumbuhan ekonomi. Walau telah diumumkan oleh pemerintah, sebagai bagian dari paket kebijakan bulan Agustus,
bahwa pembaruan DNI (seperti membuka lebih banyak sektor untuk investasi asing) menjadi prioritas
kebijakan, penyusunan DNI tersebut masih menghabiskan waktu berbulan-bulan. Pada saat penulisan
laporan ini, DNI itu masih belum diterbitkan. Terdapat kesan—yang dinyatakan oleh berbagai pihak di
media, yang menggunakan pengaruh mereka dalam proses politik—bahwa sumber daya dan ekonomi
Indonesia sebaiknya lebih dilindungi dari investasi asing, sementara sejumlah kepentingan usaha menyuarakan dukungan mereka bagi pelindungan sektor-sektor terpilih dari persaingan dengan asing. Dengan
semakin dekatnya pemilu nasional, masih harus dilihat seberapa besar pengaruh suara-suara itu terhadap
pembentukan kebijakan ekonomi pada bulan-bulan mendatang.
126
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VI
Indonesia: Menghindari Perangkap
Pilihan kebijakan
Demi mencapai keberhasilan dalam meningkatkan dunia industri di Indonesia, dibutuhkan suatu strategi industri yang konsisten yang diuraikan dalam kemitraan dengan sektor swasta. Kebijakan industri tersebut dapat mencerminkan berbagai pembelajaran bermanfaat
yang dipetik dari kebijakan-kebijakan perindustrian di seluruh dunia. Secara khusus, dibutuhkan
suatu pendekatan terkoordinasi untuk menemukan dan mengatasi kendala-kendala yang membebani, seperti infrastruktur sektoral, keterampilan, dan dukungan kelembagaan. Untuk memastikan implementasi yang memadai, dibutuhkan suatu penguatan proses pembentukan kebijakan
sebagai suatu pilihan utama. Seperti dibahas pada Bagian 3 di bawah, pembentukan suatu “pusat
pemerintahan” (Center of Government, CoG), yaitu suatu lembaga khusus yang mengkoordinir
penyusunan kebijakan lintas sektor dan mengelola permintaan yang berbeda-beda antar kementerian dan lembaga negara, dapat membantu. Pemerintah Indonesia bisa mempertimbangkan
penyempurnaan mandat-mandat dan fungsi-fungsi dari berbagai lembaga yang mendukung CoG,
dan memberdayakan satu lembaga, seperti Kantor Presiden (atau lembaga yang ditunjuk) untuk
memainkan peran yang lebih besar dalam mengelola proses kebijakan. Hal ini penting untuk
memastikan bahwa (a) inovasi pasar yang didorong oleh persaingan tetap terjaga; (b) FDI dan
teknologi mutakhir tetap mengalir masuk, dan (c) Indonesia memperoleh manfaat penuh dari
FDI sebagaimana layaknya. Pembentukan kebijakan yang diperkuat juga harus lebih mampu
menanggapi keinginan tulus dari para warga negara Indonesia atas perlindungan terhadap kepentingan umum, dan harus bisa menguatkan posisi Pemerintah dalam menghadapi kepentingan
usaha yang lebih sempit dan permintaan bagi proteksi.
Pada bidang-bidang “Doing Business”, desentralisasi menawarkan sejumlah bukti tentang
kemungkinan yang dapat tercapai. Dengan desentralisasi, sebagian besar kewenangan politis
untuk mempengaruhi dan mereformasi lingkungan usaha berada pada tingkat daerah (provinsi
dan kabupaten/kota). Kini variasi daerah menawarkan bukti tentang hal-hal yang dimungkinkan
melalui optimalisasi prosedur-prosedur di dalam kerangka hukum yang ada. Menurut penelitian
Doing Business di daerah (2012), mendapatkan izin pembangunan di kota Bandung, misalnya,
membutuhkan rata-rata 44 hari, sementara di Jakarta, ibukota negara, yang berjarak kurang dari
150 km dari Bandung, prosedur yang sama membutuhkan rata-rata 158 hari, lebih dari tiga kali
lipat lebih lama. Untuk memulai usaha di kota Palangka Raya, dibutuhkan 27 hari untuk prosedur
resmi, sementara prosedur yang sama di Jakarta menghabiskan waktu hampir dua kali lipat lebih
lama yaitu 45 hari. Variasi-variasi ini menunjukkan bahwa perbaikan dalam lingkungan peraturan
dapat dicapai tanpa bergantung kepada reformasi (atau tidak adanya reformasi) pada tingkat nasional. Sebagai contoh, Gubernur Jakarta yang baru telah mengumumkan langkah-langkah untuk
memangkas prosedur-prosedur yang terlalu panjang untuk memulai usaha, suatu gerakan yang
sangat diharapkan.
127
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VI
Indonesia: Menghindari Perangkap
2. Menurunkan kekakuan dan ketidakpastian pasar tenaga kerja
Masalah utama pasar tenaga kerja
Sejumlah aturan pada UU
Ketenagakerjaan membebankan
biaya yang tinggi kepada perusahaan
serta merintangi pekerjaan formal
dan pertumbuhan produktivitas. Pada
tahun 2003, Pemerintah meluncurkan UU
#
meningkatkan hak-hak pekerja dan
!
pekerja. Namun UU itu meningkatkan biaya
yang harus ditanggung perusahaan bila
menghentikan pekerjanya. Secara khusus
adalah aturan yang menetapkan bahwa
Tingkat kemudahan melakukan usaha
uang pesangon harus setidaknya sebesar
Sumber: Laporan Doing Business 2014 Grup Bank Dunia.
upah selama 100 minggu dianggap oleh
perusahaan-perusahaan sebagai pajak riil
dalam mempekerjakan pegawai formal, terutama tenaga muda terdidik, dan merupakan contoh
dari distorsi yang tidak dikehendaki di dalam pasar tenaga kerja yang dapat disebabkan oleh
peraturan yang sebenarnya beritikad baik. Aturan pada UU Ketenagakerjaan ini menempatkan
UU terkait pasar tenaga kerja Indonesia sebagai salah satu UU yang paling kaku di wilayahnya
menurut OECD (Gambar 6.2). Singapura dan Malaysia misalnya berada pada tingkat kekakuan
peraturan yang setara dengan negara-negara Anglo Saxon sementara Indonesia, Tiongkok,
Vietnam, dan Filipina secara jelas terlihat memiliki peraturan yang lebih ketat.
Gambar 6.1: Perbandingan Peringkat
Kemudahan Melakukan Usaha tahun 2014
Mayoritas perusahaan menyesuaikan dengan aturan uang pesangon yang besar ini
dengan tidak menandatangani kontrak resmi dengan pekerja atau menggunakan
kontrak jangka pendek yang menurut UU tidak dapat melampaui masa tiga tahun.
Sebagian kecil jumlah perusahaan formal yang mematuhi UU Ketenagakerjaan ini mengalami
biaya yang tinggi. Penerimaan pekerja formal tidak didorong, karena pemilik perusahaan harus
menempatkan dana dalam suatu rekening penampung (escrow account) akrual bagi uang pesangon
agar dapat membayar uang pesangon bila mereka memutuskan untuk memberhentikan pekerja
mereka. Pada saat yang bersamaan, ketika seorang pekerja memutuskan untuk mengundurkan
diri secara sukarela, hanya sebagian dari uang pesangon itu dibayarkan. Sistem itu memberi
insentif bagi pemilik perusahaan untuk tidak menerima pekerja secara resmi dan bagi pekerja
yang mengalami pemecatan: suatu keadaan yang saling merugikan.
128
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VI
Indonesia: Menghindari Perangkap
Gambar 6.2: Indeks peraturan perundangan pasar tenaga kerja di Indonesia dan negara lain
Sumber: Basis Data Peraturan Perlindungan Kepegawaian OECD (nilai tahun 2008-2010).
Sebagai akibatnya, sementara secara tidak sengaja telah merintangi penerimaan pekerja
formal, kekakuan dalam penghentian pegawai juga tidak melindungi pegawai secara
efektif. Persentase pekerja yang tercakup oleh peraturan itu hanyalah kecil. Sebagai contoh,
mengenai uang pesangon, survei para pekerja yang diberhentikan menunjukkan bahwa sebagian
besar tidak menerima uang pesangon apapun sementara sebagian besar dari yang menerima
ternyata menerima jumlah yang lebih kecil dari yang seharusnya diterima (Gambar 6.3).
Gambar 6.3: Sebagian besar pekerja yang
diberhentikan melaporkan tidak menerima
uang pesangon…
Figure 6.4: Minimum Wage, Indonesia versus
Neighbors (USD/month)
Sumber: Indonesia Jobs Report: Towards Better Jobs and
Security for All (Bank Dunia, 2010).
Sumber: Triwulanan Perekonomian Indonesia, Kebijakan dalam
Fokus (Bank Dunia, Desember 2012).
Proses penetapan upah minimum adalah masalah pasar tenaga kerja lain yang
mendesak. Indonesia menerapkan kebijakan penetapan upah minimum yang berhatihati praktis selama dekade lalu. Namun sejak tahun 2010 terdapat laju peningkatan yang
! _! ^%`? <=%$<
meningkatkan upah minimum mereka sebesar rata-rata 30 persen, namun Jakarta meningkatkan
upah minimumnya sebesar 44 persen. Peningkatan ini tentu menurunkan keunggulan upah
!+ $ Z
129
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VI
Indonesia: Menghindari Perangkap
kerja di Tiongkok sebenarnya jauh lebih tinggi dibanding Indonesia. Namun perusahaanperusahaan padat karya resmi di Indonesia dalam bidang manufaktur dan jasa-jasa tampaknya
lebih memperhatikan ketidakpastian pada proses penetapan upah minimum dan ancaman
peningkatan yang besar di masa depan.102
Namun pada praktiknya, persentase pekerja yang terdampak oleh pemberlakuan
peraturan upah minimum sangatlah sedikit (Gambar 6.6). Hal ini mencerminkan tiga faktor
yang saling berkaitan: (i) Sejumlah besar pekerja bekerja sendiri. Pada tahun 2011, 61 persen
pekerja menyatakan bahwa mereka bekerja sendiri; (ii) sekitar 54 persen pekerja bekerja di sektor
informal dan lebih dari 80 persen pekerja (termasuk formal) tidak memiliki kontrak; dan (iii)
kemampuan pemerintah untuk menegakkan kepatuhan pada peraturan upah minimum cukup
terbatas. Penegakan kepatuhan membutuhkan koordinasi pada tingkat pusat, antara Kementerian
Tenaga Kerja dan kementerian-kementerian terkait, serta antara pemerintah pusat dan daerah dan
para pelaku terkait (kepala daerah dan dewan upah).
Gambar 6.5: …sementara kepatuhan pada
upah minimum sangat terbatas
Gambar 6.6: Sekitar 80 persen pekerja tidak
memiliki kontrak
Sumber: Statistik Indonesia (BPS), Sakernas 2008
Sumber: Indonesia Jobs Report: Towards Better Jobs and
Security for All (Bank Dunia, 2010).
Walau peraturan tenaga kerja seperti upah minimum dan uang pesangon tidak
mempengaruhi sebagian besar pekerja di Indonesia, peraturan-peraturan tersebut dapat
merintangi pertumbuhan produktivitas dan transformasi struktural melalui berbagai
mekanisme. Sebagai contoh, pergerakan pekerja ke sektor fomal terkendala karena (i) pekerja
yang ingin pindah tidak menerima kompensasi uang pesangon yang penuh bila mereka berhenti
secara sukarela; dan (ii) pemilik perusahaan pada sektor formal mempertimbangkan besarnya
biaya potensial penghentian pekerja dan ketidakpastian peningkatan upah minimum ketika
mengambil keputusan menerima pekerja. Sebagai akibatnya, pergerakan pekerja terjadi terutama
antara perusahaan-perusahaan informal dan semi-formal. Hal ini mungkin bisa menjelaskan
mengapa pertanian masih memiliki 35 persen dari jumlah pekerja sementara kontribusi dari
102 Proses penetapan upah minimum adalah proses yang rumit. Negosiasi dan kesepakatan akhir dibuat pada tingkat provinsi dan
sektoral (dan seringkali pada tingkat kabupaten dan sub-sektor), yang mempersulit komunikasi dan ketaatan dengan penyesuaian
yang berdasarkan rumus baru. Secara lebih umum, memastikan kepatuhan perusahaan-perusahaan dan pemberi pekerjaan kepada
peraturan upah minimum tidaklah mudah, dan membutuhkan pemantauan dan koordinasi pada tingkat pusat, antara Kementerian
Tenaga Kerja dan kementerian-kementerian yang relevan agar mencapai implementasi yang efektif, serta antara pemerintah pusat dan
daerah dan para pelaku yang relevan (kepala daerah dan Dewan Upah).
130
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VI
Indonesia: Menghindari Perangkap
sektor ini terhadap PDB telah turun menjadi 11 persen dan mengapa sebagian besar pekerja pada
sektor jasa berada pada kegiatan informal tingkat rendah dengan produktivitas yang rendah pula.
Selain merintangi pergerakan pekerja ke sektor formal, ketidakpastian tentang perkembangan
upah minimum juga menjadi penghalang bagi investasi pada sektor formal, terutama dalam
bidang manufaktur.
Pilihan kebijakan
Agar pasar tenaga kerja Indonesia dapat mendukung pergerakan pekerja dan
transformasi struktural, dibutuhkan perubahan terhadap aturan uang pesangon dalam
UU Ketenagakerjaan. # <==
Z !!?}
peraturan di dalam UU itu yang menetapkan bahwa uang pesangon harus tidak kurang dari
upah 100 minggu merupakan suatu contoh peraturan dengan itikad baik namun mengakibatkan
hasil yang tidak menguntungkan bagi kedua belah pihak. Sebagian besar perusahaan-perusahaan
menyesuaikan diri terhadap aturan pembayaran uang pesangon yang besar ini dengan tidak
menandatangani kontrak resmi dengan pekerja atau memilih kontrak jangka pendek (80 persen
pekerja tidak memiliki kontrak resmi). Sejumlah kecil perusahaan resmi yang mengikuti UU
itu harus menempatkan cadangan tunai bagi uang pesangon pada suatu rekening penampung
(escrow) agar dapat membayar uang pesangon bila perusahaan memutuskan untuk memecat
pekerjanya. Pada saat yang bersamaan, bila seorang pekerja hendak mengundurkan diri secara
sukarela, hanya sebagian uang pesangon yang telah menjadi haknya saja yang dibayarkan.
Pada tahun 2011, hanya 7 persen dari pekerja yang diberhentikan benar-benar menerima uang
pesangon sepenuhnya. Karenanya, uang pesangon tidak melindungi pekerja dan juga tidak
mendorong kepegawaian yang resmi. Sebagai akibatnya, misalnya, pekerja yang meninggalkan
kegiatan bercocok tanam atau kegiatan bukan pertanian perdesaan akan terjebak pada sektor
informal yang sedikit lebih tinggi namun masih tetap memiliki produktivitas rendah. Revisi atas
aturan uang pesangon dalam UU Ketenagakerjaan dapat meningkatkan fungsi pasar tenaga kerja
?
Proses penetapan upah minimum adalah masalah pasar tenaga kerja penting lain yang
harus diatasi untuk meningkatkan fungsi pasar tenaga kerja. Sejak tahun 2011, terjadi
! $ !
dekade lalu. Pada tahun 2012, sementara 25 provinsi meningkatkan upah minimumnya sebesar
rata-rata 30 persen, Jakarta meningkatkan upah minimumnya sebesar 44 persen. Sementara
pekerja di Jakarta memandang peningkatan ini sebagai sesuatu yang “wajar” sesuai dengan
biaya hidup di daerah metropolitan, tidak adanya peningkatan produktivitas tenaga kerja yang
sebanding akan menurunkan daya saing Indonesia serta kapasitas dan insentif perusahaan untuk
membuka lapangan kerja di sektor formal. Yang mungkin lebih rumit lagi adalah ketidakpastian
proses penetapan upah minimum, yang dapat mendorong perusahaan-perusahaan untuk
mengganti tenaga kerja dengan barang modal ketika mereka membuat keputusan investasi/
ekspansi.103 Untuk mendukung transformasi struktural dan penciptaan lapangan kerja formal,
103 Proses penetapan upah minimum adalah proses yang rumit. Negosiasi dan kesepakatan akhir dibuat pada tingkat provinsi dan
sektoral (dan seringkali pada tingkat kabupaten dan sub-sektor), yang mempersulit komunikasi dan ketaatan dengan penyesuaian yang
berdasarkan rumus yang baru. Secara lebih umum, memastikan kepatuhan perusahaan-perusahaan dan pemberi pekerjaan kepada
peraturan upah minimum tidaklah mudah, dan membutuhkan pemantauan dan koordinasi pada tingkat pusat, antara Kementerian
Tenaga Kerja dan kementerian-kementerian yang relevan agar mencapai implementasi yang efektif, dan juga antara pemerintah pusat
dan daerah dan para pelaku yang relevan (kepala daerah dan Dewan Upah).
131
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VI
Indonesia: Menghindari Perangkap
sangat penting untuk melakukan pembicaraan antara pemilik usaha, tenaga kerja, dan Pemerintah
! $ $
produktivitas (seperti dimandatkan oleh Instruksi Presiden yang baru).104
Pemerintah telah mengumumkan amandemen proses penetapan upah minimum
pada tanggal 23 Agustus 2013 sebagai bagian paket kebijakan yang dirancang untuk
menjawab ketidakseimbangan eksternal Indonesia.105 Perubahan dalam mekanisme
penetapan upah minimum provinsi menguraikan mekanisme proses penetapan upah minimum
yang lebih pasti, sederhana, dan wajar. Tujuannya adalah untuk mendukung pemilik perusahaan,
pekerja, dan pencari kerja dengan mendorong proses penetapan upah yang lebih berdasar
pada bukti dan mengurangi proses penetapan upah yang terpolitisir. Hal ini diperkirakan
akan mendorong besar peningkatan tahunan yang lebih mudah diperkirakan dan, dengan
meningkatkan struktur pemerintahan, menurunkan besarnya pengambilan keputusan secara
diskresioner.
3. Memperdalam pasar keuangan
Masalah utama pasar keuangan
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia
menghadapi kendala kredit (IMF 2012). Sebagian besar perusahaan-perusahaan cenderung
lebih banyak mengandalkan laba ditahan dibanding kredit bank untuk perluasan kegiatannya,
yang pada gilirannya berarti bahwa aliran kas lancar menjadi faktor penting dalam pengambilan
?! O! Z
ada di dalam ekonomi, terutama pada perusahaan-perusahaan yang inovatif yang umumnya memiliki aliran kas negatif pada tahap-tahap awal operasinya, dan membutuhkan pembiayaan dari
bank dan non-bank untuk bertumbuh dan menciptakan pekerjaan-pekerjaan berkualitas tinggi.
Kendala kredit yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan mencerminkan tidak dalamnya pasar
keuangan Indonesia. Sektor keuangan didominasi oleh bank-bank (yang menguasai 78 persen
aset) dan sektor swasta hanya mengelola sekitar 35 persen, dibanding hampir 100 persen secara
rata-rata bagi Malaysia, Thailand, dan Filipina. Pasar modal masih tipis, dengan sekuritas utang
(beredar) korporat dalam negeri yang berjumlah kurang dari 5 persen dari PDB, setara dengan
Thailand dan Filipina namun jauh lebih rendah dibanding 45 persen di Malaysia. Aset-aset dana
pensiun juga relatif rendah dibanding ukuran ekonomi (5 persen dibanding 10 persen-15 persen
pada Filipina dan Thailand dan 40 persen di Malaysia).
104 Karena upah minimum pada beberapa provinsi berada sangat jauh dari biaya hidup minimum, suatu mekanisme penyesuaian
dapat disertakan ke dalam rumus tersebut untuk secara bertahap menyesuaikan tingkat upah minimum dengan biaya hidup.
105 Lihat Triwulan Perekonomian Indonesia, bulan Oktober 2013, untuk rincian lebih lanjut.
132
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VI
Indonesia: Menghindari Perangkap
Gambar 6.7: Indikator utama pasar keuangan
Sumber: CEIC data Co. Ltd; IMF, Integrated Monetary
Database; dan estimasi staf IMF.
Catatan: 1/ Claims on private sector credit at Financial
Corporation Survey Level, 2/ Includes Malaysia, Thailand and
the Philippines.
Sumber: Bank for International Settlement; IMF, World Economic
Outlook; dan estimasi staf IMF.
Catatan: 1/termasuk lembaga-lembaga keuangan dan
pengeluaan korporate lainnya.
Sumber: Economist Intelligence Unit: Investment Company Institute; CEIC Data Co, Ltd.; IMF, World Economist Outlook; dan estimasi staf IMF.
Pilihan kebijakan106
Sebagian kedangkalan pasar keuangan Indonesia akan sulit diatasi karena merupakan
cerminan dari perilaku penghindaran risiko yang kuat: pasca krisis keuangan tahun
1997-98, para penabung dan investor lebih memilih sekuritas dengan jatuh tempo yang
lebih pendek. Asuransi, dana investasi dan penerbitan obligasi korporasi, misalnya, telah menin !
terhadap kelompok simpanan dan investasi jangka panjang dalam negeri.107
Kebijakan publik dapat mendorong sistem menuju kedalaman keuangan yang lebih
baik. Sebagai contoh, perkembangan pasar obligasi korporasi tampaknya secara khusus dibatasi oleh persyaratan investasi yang ketat, tingginya biaya penjaminan emisi
(underwriting) dan lemahnya bagian pelaksanaan. Pengalaman internasional menekankan
%=\ + ! !! ! Z
! ?
%=|! ! ! ?
133
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VI
Indonesia: Menghindari Perangkap
peran pembangunan sistem hukum terpercaya yang memungkinkan penegakan kontrak dan hak
kekayaan yang efektif dan memberikan perlindungan bagi investor. Kontrak-kontrak keuangan
ditetapkan dan dibuat relatif efektif melalui hak-hak dan mekanisme penegakan hukum. Dari
sudut pandang ini, peningkatan sistem hukum Indonesia akan memfasilitasi operasi pasar dan
para perantaranya. Hal ini berkaitan dengan peningkatan kualitas lingkungan usaha secara lebih
luas, karena para pelaku sektor keuangan, serta para investor sendiri, membutuhkan tingkat
kepastian minimum ketika membuat keputusan pembiayaan jangka panjang.
Reformasi baru-baru ini terkait pengaturan jaminan sosial semakin membuka kesempatan untuk memperdalam pasar-pasar keuangan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
yang baru dibentuk untuk menggantikan Jamsostek diperkirakan akan melindungi sepuluh kali
lipat jumlah pekerja dibanding sekarang (dari 12 juta ke setidaknya 110 juta), yang akan meningkatkan jumlah aset yang dikelola berkali-kali lipat dan membutuhkan tinjauan kembali atas
strategi investasi Badan itu. Menurut peraturan, Jamsostek tidak diperkenankan untuk berinvestasi pada instrumen dengan peringkat kurang dari A-, dan sebagian besar dana ditanamkan pada
obligasi pemerintah dan deposito bank. Karena BPJS akan menjadi investor kelembagaan terbesar di pasar, hal ini membuka kesempatan untuk memperluas pilihan investasi yang diperkenankan, termasuk obligasi korporasi dengan peringkat selain A. Terkait hal ini, pergeseran strategi
investasi ke yang lebih berisiko (dengan asumsi pengembalian yang lebih tinggi) tentu harus diikuti dengan persyaratan transparansi dan akuntabilitas yang lebih ketat. Selain itu, para lembaga
investasi swasta, seperti perusahaan-perusahaan asuransi dan pensiun dan reksadana swasta, juga
sebaiknya diperkenankan untuk memperluas rangkaian kesempatan investasinya, termasuk dalam
pasar obligasi infrastruktur. Kemudian, untuk meningkatkan kedalaman dan likuiditas pasar, peraturan perundangan harus ditetapkan untuk mengatur pengadaan fasilitas investasi khusus dan
untuk memperkenankan perjanjian pembelian kembali obligasi korporasi swasta.
4. Pasar lahan
Ketidakjelasan peraturan yang mengatur pengadaan lahan dan ganti rugi kepada pemilik lahan telah menyebabkan penundaan proyek-proyek infrastruktur, terutama jalan
tol. Aturan dan tata cara di dalam Peraturan Presiden tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebenarnya tidak jelas dalam mengatur
masalah yang rumit tersebut. Seperti di banyak negara berkembang, jamak terjadi adanya warga
yang yang menyatakan kepemilikan mereka atas lahan ketika lahan itu hendak digunakan bagi
kepentingan umum. Pemilik lahan resmi maupun tidak resmi juga seringkali mempertahankan
lahan mereka demi memetik manfaat dari peningkatan nilai atau daya tawar mereka. Karenanya
para investor bidang infrastruktur, baik pemerintah maupun swasta, harus mengatasi rintangan
ini terlebih dahulu sebelum sekop menyentuh tanah, yang mengakibatkan peningkatan biaya
dan penundaan berkepanjangan. Pembebasan lahan adalah salah satu faktor utama yang melatari
lambatnya pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur di Indonesia (terutama jalan dan listrik), dan
mungkin juga keengganan sektor swasta untuk melakukan investasi berskala besar pada bidang
ini.
UU pertanahan yang baru diperkirakan akan meningkatkan kejelasan dan transparansi
proses pengadaan lahan, dan memperkuat keyakinan masyarakat akan upaya Pemerintah untuk memajukan agenda infrastrukturnya. Memetik pembelajaran dari peraturan tahun
134
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VI
Indonesia: Menghindari Perangkap
<==$ !
dapat meningkatkan tata cara pengadaan lahan untuk infrastruktur umum.108 Bidang-bidang
peningkatan termasuk proses valuasi lahan, mekanisme keluhan, dan ganti rugi bagi mereka yang
terdampak atau tergusur.109 Sebagai contoh, aturan baru itu memberikan perincian tentang pendataan orang-orang dan aset-aset terdampak, proses konsultasi, ganti rugi, dan penyelesaian sengketa. Aturan itu juga menetapkan jangka waktu yang jelas untuk setiap tahapan dan sub-tahapan
pembebasan, termasuk jangka waktu maksimum bagi pengadilan untuk memutuskan sengketa
yang berkaitan dengan pembebasan lahan. Bila tidak ada rintangan pelaksanaan yang tak terduga
sebelumnya, UU yang baru itu akan sangat membantu.
108 Peraturan Presiden No. 71/2012 menetapkan pengaturan kelembagaan untuk pelaksanaan UU itu.
109 Pada tahun 2012, pemerintah Indonesia menerbitkan sejumlah peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengadaan
tanah yang dilaksanakan bagi proyek-proyek untuk kepentingan umum (UU No. 2/2012 pada bulan Januari 2012; Perpres No.
71/2012 pada bulan Agustus 2012; dan petunjuk-petunjuk teknis yang diterbitkan oleh kementerian-kementerian terkait). Mereka
menggantikan perpres-perpres sebelumnya yang tidak mampu mendukung percepatan pembangunan di Indonesia dan menjamin
bahwa mereka yang terdampak secara negatif atas pengadaan lahan mendapat perlindungan memadai. Sesuai dengan UU No.
2/2012, Perpres No. 36/05 yang diamandemen berlaku hingga tanggal 31 Desember 2014. Tata cara peraturan yang baru berlaku
bagi pengadaan lahan di bawah wewenang dan kuasa Badan Pertanahan Nasional. Jika lahan yang dibutuhkan berada di bawah
wewenang kementerian lain seperti Kementerian Kehutanan, maka sebelum lahan itu dapat diperlakukan menurut tata cara peraturan
yang baru, lahan itu harus dibebaskan dari penetapan wilayah hutan sesuai dengan peraturan kehutanan yang berlaku atau peraturan
lain yang terkait, seperti pertambangan, gas alam, dll.
135
Bagian 3
Indonesia pada Dekade
Berikut: Pemerataan
Kesejahteraan Secara
Lebih Luas
Bab VII. Meningkatkan
Akses ke Layanan
Berkualitas bagi Semua
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VII
Indonesia: Menghindari Perangkap
Bab VII. Meningkatkan Akses ke Layanan
Berkualitas bagi Semua Penduduk
Peningkatan kesejahteraan,pertumbuhan rata-rata pendapatan, dan penciptaan lapangan kerja
(memperbesar porsi kue pembangunan) seringkali disebut sebagai bagian terpenting dalam
meningkatkan kesejahteraan manusia. Akan tetapi dalam kenyataannya, hal itu saja tidaklah
cukup. Peningkatan standar hidup tidak hanya terbatas kepada pendapatan. Akses yang lebih
baik ke layanan dasar berkualitas, yang tidak sepenuhnya bergantung kepada pendapatan, juga
penting. Di Indonesia, sejumlah besar rumah tangga yang digolongkan sebagai masyarakat tidak
miskin sebetulnya mengalami kemiskinan dalam berbagai segi lainnya, termasuk akses yang layak
ke perumahan, transportasi, air bersih, sanitasi, dan pendidikan. Bagi rumah tangga yang berada
di daerah perkotaan dan perdesaan, terutama mereka yang miskin, rentan, dan sebagian kelas
menengah, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan tidak akan otomatis meningkatkan standar
hidup selama akses mereka ke layanan-layanan utama tidak mengalami peningkatan.
Dekade lalu mencatat kemajuan yang menyeluruh terkait akses penduduk ke layanan-layanan
utama, seperti pendidikan, kesehatan, air dan sanitasi, dan tenaga listrik. Namun kemajuan
itu tidak merata dan tidak berimbang, menyebabkan kesenjangan yang lebar antar tingkat
$ ! ? !!
dasar, akses tidak merata dan cenderung lebih buruk bagi masyarakat perdesaan, walau sejumlah
bidang mencatat kemajuan yang juga mengagumkan di daerah perdesaan. Namun, bahkan pada
daerah-daerah perkotaan, ketersediaan layanan berkualitas tinggi seperti transportasi dalam
kota, hubungan ke pasar dan kota-kota lain, air dan sanitasi, maupun perumahan dengan harga
terjangkau tetap buruk dibanding dengan tingkat pendapatan dan kesejahteraan yang dimiliki
Indonesia. Ke depan, dengan semakin menurunnya kemiskinan terkait pendapatan, maka
kemiskinan yang tidak terkait dengan pendapatan akan semakin mengemuka dan perlu ditangani
secara lebih agresif untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang lebih inklusif.
Tingginya harapan pada reformasi desentralisasi untuk meningkatkan layanan masyarakat bagi
seluruh rakyat belum sepenuhnya tercapai. Tiga belas tahun setelah dimulainya desentralisasi
Indonesia, lembaga-lembaga resmi pemerintahan negara telah menjadi lebih aktif dari tingkat
kabupaten/kota hingga ke tingkat desa. Sementara pemimpin-pemimpin yang cakap telah
bermunculan dari proses demokratisasi tersebut, rintangan yang tercipta oleh sistem (yaitu
! $! O` !
kemajuan yang mengagumkan. Namun dalam banyak hal, kendala yang tercipta oleh kerangka
desentralisasi bersamaan dengan lemahnya tata kelola pemerintahan telah menyebabkan
rendahnya tingkat layanan bagi masyarakat. Penyediaan layanan berkualitas bagi seluruh lapisan
masyarakat membutuhkan serangkaian kebijakan dalam berbagai segi guna meningkatkan
pengelolaan keuangan publik dan meningkatkan program-program masyarakat yang didasari oleh
tuntutan masyarakat itu sendiri.
138
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VII
Indonesia: Menghindari Perangkap
1. Konteks kemiskinan dan kelembagaan
Tren dalam kemiskinan perdesaan dan perkotaan110
Tingkat kemiskinan konsumsi perkotaan yang mencapai 8,4 persen pada tahun 2013
jauh lebih rendah dibanding di daerah perdesaan (14,3 persen), dan telah menurun
selama dekade lalu (pada tahun 2002 mencapai 14,5 persen). Seperti dibahas pada Bab 2,
penurunan yang tajam dalam kemiskinan perkotaan umumnya terkait dengan penciptaan lapangan kerja. Pesatnya urbanisasi dan kuatnya pertumbuhan PDB mendorong perkembangan
perusahaan-perusahaan, terutama pada sektor jasa-jasa, sehingga menciptakan jumlah pekerjaan
yang besar di kawasan perkotaan. Tingkat kemiskinan perdesaan masih mencatat laju penurunan
yang serupa dengan daerah perkotaan pada dekade lalu, namun sekarang hampir mencapai dua
kali lipat pada 14,3 persen di tahun 2013, dibanding 8,4 persen tingkat perkotaan (Gambar 7.1).
Seperti halnya tingkat kemiskinan nasional, tingkat kemiskinan perdesaan tertinggi tercatat di
bagian timur Indonesia (hampir mencapai 40 persen di Papua), namun hampir setengah dari
seluruh penduduk miskin perdesaan hidup di pulau Jawa (Gambar 7.2). Kenyataan ini menggarisbawahi dibutuhkannya kebijakan yang berfokus pada seluruh daerah di Indonesia guna mengatasi
masalah kemiskinan perdesaan.
Penurunan kemiskinan perkotaan mencerminkan sejumlah faktor, termasuk adanya migrasi keluar dari pekerja berproduktivitas rendah ke daerah perkotaan, yang meningkatkan kontribusi produktivitas terhadap pertumbuhan di sektor pertanian. Walau pertanian
hanya memberikan kontribusi sebesar 10 persen terhadap pertumbuhan agregat secara rata-rata
untuk periode itu (lihat Bab 1), TFP (total factor productivity) menjelaskan 60 persen dari pertum _\$<=%<`? Q !
pokok ke tanaman produksi seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan teh, semuanya mencatat peningkatan harga dunia yang cepat.111 Penduduk perdesaan juga memperoleh manfaat tidak langsung
dari pertumbuhan dan pemulihan yang tajam di pasar tenaga kerja perkotaan sejak pertengahan
tahun 2000an (pengiriman dana ke kampung halaman dan hubungannya dengan perkembangan
pasar-pasar yang menyerupai perkotaan).
Gambar 7.1: Kemiskinan di perkotaan dan
perdesaan, 2002-13
Gambar 7.2: Kemiskinan daerah pedesaan
berdasarkan wilayah, 2013
Sumber: BPS.
Sumber: Susenas dan perhitungan Bank Dunia.
%%=\ ^ ]_^ ]`?
mempertimbangkan daerah administrasi tingkat desa dan penilaian pemenuhan sejumlah besar kriteria, seperti kepadatan penduduk,
persentase rumah tangga pertanian, persentase rumah tangga dengan akses ke telepon kabel dan listrik, ketersediaan fasilitas sekolah,
$ ?^ $ ! ?]
Desa (PODES) tahun 2011 menunjukkan bahwa sekitar 10 persen dari 69.700 desa di Indonesia digolongkan sebagai kawasan
perkotaan.
111 Laporan Tinjauan Kebijakan Pertanian OECD, 2012, hal.5-6.
139
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VII
Indonesia: Menghindari Perangkap
Perubahan dalam konteks kelembagaan: desentralisasi
Indonesia mencatat transisi menuju demokrasi yang pesat pada tahun 1998, diikuti oleh
“ledakan” desentralisasi pada tahun 2001. Pada tahun 2005, pemerintah daerah (provinsi,
kabupaten, dan kotamadya mengadakan pemilihan umum langsung pertamanya.112 Pada saat
$ O ! ?
Jelaslah bahwa pemberdayaan pemerintah daerah menjadi semakin penting dalam rangka mencapai sasaran pembangunan Indonesia sejak dekade lalu.
Sejalan dengan peningkatan tanggung jawab, pemerintah daerah mengemban tanggung jawab belanja yang sangat luas sementara sistem perpajakan secara umum masih terpusat.113 Penugasan fungsi-fungsi baru ke tingkat daerah diikuti dengan alokasi ulang
dana dalam jumlah yang besar—pengeluaran daerah naik dari 2,7 persen dari PDB pada tahun
2000 menjadi 7,2 persen dari PDB pada tahun 2011. Kini pemerintah daerah mengelola sekitar
setengah dari jumlah belanja inti pemerintah (di luar subsidi pemerintah pusat dan pembayaran
bunga). Visi dan harapan di balik peningkatan tanggung jawab dan kapasitas keuangan ini adalah
peningkatan kualitas layanan.
Dengan desentralisasi, sebagian besar
tanggung jawab penyediaan layanan
publik, termasuk infrastruktur, jatuh
pada pemerintah daerah (pemda). Namun
pos pengeluaran terbesar bagi sebagian besar
pemda di Indonesia adalah gaji, menyisakan
sedikit ruang bagi penanaman modal dalam
infrastruktur. Secara rata-rata dari tahun 1997
ke 2009, investasi pemda dalam infrastruktur hanya mencapai 0,72 persen dari jumlah
PDRB. Sementara itu, belanja infrastruktur
per kapita bervariasi bergantung ukuran kota
(Gambar 7.3). Daerah-daerah metropolitan
dengan populasi di atas 10 juta jiwa dan
populasi antara 5 dan 10 juta jiwa
menghabiskan jumlah yang sama untuk infrastruktur, sementara daerah metropolitan dengan
populasi 1 hingga 5 juta jiwa menghabiskan jumlah seperti kota-kota dengan populasi 0,5 hingga
1 juta jiwa. Namun kota-kota metropolitan dengan populasi 1 hingga 5 juta jiwa memiliki PDRB
per kapita yang lebih rendah dibanding kota-kota/daerah metropolitan lain, sementara kota-kota
dengan populasi 0,5 hingga 1 juta jiwa memiliki PDRB per kapita yang paling tinggi di seluruh
?! O
metropolitan, karena belanja yang lebih besar untuk infrastruktur tidak selalu membawa tingkat
pengembalian ekonomi yang lebih tinggi pula.
Gambar 7.3: Pengeluaran per kapita di bidang
infrastruktur bervariasi berdasarkan ukuran
metropolitan
112 Kabupaten dan kotamadya membentuk yang disebut “daerah”.
113 Sejumlah tanggung jawab perpajakan telah dilimpahkan sejak properti dan pemindahan kepemilikan properti menjadi pajak
daerah.
140
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VII
Indonesia: Menghindari Perangkap
2. Akses ke layanan berkualitas tinggi di daerah perkotaan
Bagi Indonesia, menutup kesenjangan dalam akses ke layanan dasar berkualitas tinggi
akan sangat meningkatkan standar hidup dan kualitas urbanisasi bagi seluruh penduduk. Pembentukan urbanisasi untuk meningkatkan standar hidup bagi masyarakat perkotaan
membutuhkan, pada tingkat-tingkat yang berbeda bergantung wilayahnya, peningkatan akses ke
beberapa layanan infrastruktur utama (yang mencatat kesenjangan terbesar), perumahan berkualitas lebih tinggi yang lebih terjangkau, serta konektivitas yang lebih baik ke pasar-pasar dan kotakota lain.
Akses ke infrastruktur dasar di daerah perkotaan Indonesia lebih baik dibanding daerah
perdesaan dan makin meningkat sejalan dengan waktu, namun kualitas urbanisasi akan
" " " = " = "
"
yang lebih berkualitas lagi. Pada tahun 2012, 77 persen penduduk perkotaan di Indonesia
memiliki akses ke air bersih (dibanding hanya 51 persen pada daerah perdesaan) sementara 76
persen memiliki akses ke sanitasi (dibanding 59 persen pada perdesaan). Nilai rata-rata ini menyembunyikan variasi yang besar antar provinsi. Sebagai contoh, tingkat paling rendah dalam akses
ke air bersih dicatat oleh Bengkulu dan Gorontalo (masing-masing 40 dan 50 persen) yang berbeda jauh dengan tingginya tingkat di Jakarta dan Bali (masing-masing 91 dan 84 persen). Untuk
sanitasi, rendahnya tingkatan pada hampir seluruh provinsi di Sulawesi berbeda dengan tingkat
yang tinggi di Kepulauan Riau dan Kalimantan. Di luar perbedaan tersebut, layanan sanitasi
umumnya memiliki kualitas yang rendah. Sebagai contoh, jaringan pembuangan limbah hanya
dijumpai di 11 kota, sementara hanya 2 persen penduduk perkotaan memiliki akses ke sistem
sanitasi terpusat pada tahun 2009.
Rendahnya tingkat cakupan sanitasi dan pembuangan limbah serta lemahnya pengelolaan dan sistem pengelolaan pengumpulan limbah padat menyebabkan meluasnya
kontaminasi air tanah dan permukaan. Sekitar 85 persen kota-kota kecil dan lebih dari
50 persen kota-kota berukuran menengah membuang limbah mereka di tempat pembuangan
terbuka. Akibatnya, Indonesia melaporkan epidemi infeksi saluran pencernaan lokal dan memiliki insidensi penyakit tipus tertinggi di Asia. Selain itu, relatif buruknya kinerja perusahaan air
daerah juga berkontribusi kepada terlalu tingginya kebergantungan dengan sumur perorangan,
dan pengambilan air tanah yang berlebihan serta penurunan permukaan tanah di sejumlah daerah
perkotaan di Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 81/2012 memberikan dasar tindakan untuk
meningkatkan pengelolaan limbah padat. Kementerian Pekerjaan Umum mendukung pemerintah-pemerintah daerah dalam meningkatkan fasilitas infrastruktur untuk mengelola limbah padat
kotamadya, termasuk tempat pembuangan akhir. Namun penegakan dan pelaksanaan peraturan
masih perlu ditingkatkan.
Layanan transportasi adalah masalah utama lain yang dihadapi oleh penduduk perkotaan karena data dari Susenas menunjukkan bahwa 26 persen penduduk perkotaan memiliki akses yang buruk ke layanan transportasi. Lewis (2014) menemukan bahwa banyak kota
di Indonesia gagal melakukan investasi infrastruktur yang memadai guna mengimbangi peningkatan permintaan di kota-kota yang berkembang pesat. Hal ini menyebabkan peningkatan kemacetan, karena infrastruktur yang ada tidak mampu lagi melayani penduduk yang semakin bertambah dan kegiatan ekonomi yang semakin berkembang. Bab 4 menyoroti besarnya kesenjangan
141
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VII
Indonesia: Menghindari Perangkap
investasi dan kebutuhan dalam infrastruktur dasar, termasuk transportasi, air bersih, sanitasi, dan
drainase di tingkat nasional. Bab 6 menyoroti tantangan dan kesempatan untuk mengembangkan
layanan transportasi lokal pada daerah-daerah perkotaan.
Selain transportasi, air bersih dan sanitasi, faktor utama lain dalam kualitas urbanisasi di
Indonesia adalah perumahan yang berkualitas lebih tinggi dengan harga terjangkau. Indonesia mengalami urbanisasi yang cepat dengan penduduk usia muda yang akan membutuhkan
perumahan. Sejauh ini, mayoritas kebutuhan perumahan di Indonesia (sekitar 80 persen) telah
dipenuhi dengan pembangunan perumahan secara bertahap dan yang dibangun sendiri. Namun
akses ke tanah perkotaan mengalami penurunan dan harga-harga meningkat (harga properti
rumah tinggal nasional tumbuh sebesar 10,7 persen tahun-ke-tahun pada kuartal 2 tahun 2013)
sementara kredit semakin ketat dan tampaknya akan terus mengetat selama beberapa tahun ke
depan. Secara singkat, keterjangkauan perumahan mengalami penurunan, terutama bagi kelom ?! $
di Indonesia mengindikasikan kurangnya jumlah persediaan. Satu analisis untuk periode tahun
<==%Z= %$ $ !
membangun antara 600.000 dan 900.000 unit rumah setiap tahun guna memenuhi kebutuhan
pada masa depan. Jumlah ini meningkat seiring dengan berlanjutnya urbanisasi. Untuk periode
2014-21, diperkirakan bahwa akan dibutuhkan antara 700.000 hingga 1 juta unit rumah baru per
tahun.
3. Akses ke perbaikan layanan utama di daerah perdesaan
Walau telah terjadi berbagai kemajuan pada dekade lalu, secara umum akses rumah tangga
! ! ! $ !
pendidikan dasar, yang mencatat kemajuan mengagumkan dalam kesetaraan akses. Kesenjangan
terbesar dalam akses antara daerah perkotaan dan perdesaan adalah dalam bidang air bersih dan
sanitasi, walau kesenjangan tersebut tetap tampak jelas di seluruh layanan dasar.
Sebagian besar anak-anak yang hidup di perdesaan kini memiliki akses ke fasilitas
pendidikan yang dekat lokasinya. Hampir semua anak memiliki sekolah dasar (SD) di desa
atau lingkungannya. Kurang dari 10 persen dari anak-anak di perdesaan tidak memiliki sekolah
menengah pertama (SMP) dalam jarak 6 km (Gambar 7.4), walau angka ini meningkat ke sekitar
35 persen ketika jarak ke sekolah-sekolah diperpendek menjadi 1 km. Namun, akses masih lebih
condong ke anak-anak dari rumah tangga yang lebih berada; anak-anak perdesaan dari desil konsumsi yang paling rendah memiliki kemungkinan dua kali lipat lebih besar untuk tidak mendapat
akses dibanding mereka yang berada pada desil paling berada. Pola yang sama juga dijumpai pada
pusat-pusat pendidikan anak usia dini (PAUD), dengan 14 persen anak-anak pada desil paling
miskin tidak memiliki akses ke pusat PAUD dalam jarak 6 km (meningkat menjadi 21 persen
dalam jarak 1 km), dibanding hanya 5 persen untuk desil paling berada (10 persen di dalam 1
km).
Akses anak-anak perdesaan ke layanan kesehatan lebih rendah dibanding ke pendidikan
(Gambar 7.4). Hampir seperempatnya tidak memiliki akses yang mudah ke rumah sakit, dengan
buruknya akses bagi mereka yang berada pada desil paling miskin hampir mencapai dua kali lipat
142
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VII
Indonesia: Menghindari Perangkap
dibanding yang paling berada. Seorang bidan di desa masih lebih umum dijumpai, namun kemungkinannya masih lebih besar di lingkungan yang lebih berada. Tantangan penyediaan layanan
sangat krusial dengan besarnya kendala di sisi ketersediaan di luar pulau Jawa/Bali, Sumatra, dan
Sulawesi. Pada tingkat nasional, terdapat kelangkaan besar untuk dokter. Rasio dokter di Indonesia adalah 0,2 per 1.000, salah satu yang paling rendah di wilayahnya. Kesetersediaan tempat tidur
rumah sakit juga rendah dibanding tingkat permintaan. Dalam hal perawatan inap, Indonesia
mencatat kekurangan sekitar 13.875 tempat tidur. Kekurangan dokter dan tempat tidur di rumah
sakit ini menyebabkan penjatahan. Daerah-daerah terpencil dan perdesaan tidak diuntungkan,
tidak hanya karena memiliki lebih sedikit fasilitas layanan kesehatan, namun juga kesulitan yang
terkait dengan bertahannya pekerja bidang kesehatan. Akses ke layanan kesehatan berkualitas
tinggi juga terkendala dengan kurangnya peralatan medis dan kelengkapan dasar di Puskesmas
dan sarana kesehatan lainnya, terutama terkait layanan-layanan dasar seperti layanan ibu hamil,
kebidanan, dan penyakit tidak menular.
Rasio kematian ibu bersalin yang tinggi di Indonesia (220 per 100.000 kelahiran hidup)
umumnya terjadi di daerah-daerah perdesaan dan tidak sejalan dengan cakupan kesehatan kehamilan dan persalinan universal sejak tahun 2011. Askes, Jamsostek, dan Jamkesmas mencakup jaminan kesehatan kebidanan dan persalinan. Sejak tahun 2011, mereka yang
tidak dilindungi oleh program-program asuransi kesehatan yang telah ada telah dijamin melalui
Jampersal, suatu program yang dibiayai pemerintah pusat yang memberikan paket jaminan
kesehatan persalinan menyeluruh. Jamkesmas dan Jampersal mendukung persalinan pada fasilitas layanan kesehatan pemerintah dan swasta guna menurunkan risiko kematian ibu-anak yang
terkait dengan persalinan di rumah. Pemerintah juga melakukan investasi dalam meningkatkan
layanan gawat darurat kehamilan dan persalinan dasar dan menyeluruh untuk memperkuat rujukan dan pengelolaan komplikasi kehamilan dan persalinan.
Gambar 7.4: Akses anak usia 0-15 ke
pendidikan pada rumah tangga perdesaan per
desil konsumsi, 2011
Gambar 7.5: Akses anak usia 0-15 ke kesehatan
pada rumah tangga perdesaan per desil
konsumsi, 2011
Sumber: Susenas dan perhitungan Bank Dunia.
Catatan: Tidak ada PAUD atau SMP dalam 6 km. Desil adalah
untuk konsumsi rumah tangga per kapita.
Sumber: Susenas dan perhitungan Bank Dunia.
Catatan: Akses yang sulit ke rumah sakit. Tidak ada bidan di
desa. Desil adalah untuk konsumsi rumah tangga per kapita.
143
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VII
Indonesia: Menghindari Perangkap
Penduduk perdesaan mencatat indikator yang lebih rendah pada semua akses ke layanan dasar seperti air bersih, sanitasi, listrik, dan kondisi perumahan. Kesenjangan dalam
akses antara daerah perdesaan dan perkotaan paling besar terjadi pada layanan air bersih dan
sanitasi, namun tetap besar bagi seluruh layanan dasar (Gambar 7.6 sampai 7.9).
Gambar 7.6: Akses ke air bersih (2012)
(persen jumlah rumah tangga) – lihat catatan di bawah
Gambar 7.7: Akses ke sanitasi yang layak (2012)
(persen jumlah rumah tangga) – lihat catatan di bawah
Gambar 7.8: Akses ke listrik (2012)
(persen jumlah rumah tangga) – lihat catatan di bawah
Gambar 7.9: Akses ke perumahan berkualitas
(2012)
(persen jumlah rumah tangga) – lihat catatan di bawah
Sumber: Semua data diolah dari Susenas, 2012.
Catatan:
Air bersih: Seluruh rumah tangga yang menggunakan air kemasan/isi ulang/PAM/pompa/sumur tertutup sebagai sumber air minum/
mencuci setidaknya 10 m dari septic tank.
Sanitasi: Semua rumah tangga yang memiliki fasilitas sanitasi sendiri (bukan fasilitas umum atau bersama).
Listrik: Semua rumah tangga yang terpasang listrik (baik melalui PLN atau sumber lain). Angka yang langsung dilaporkan oleh rumah
tangga berbeda dengan angka PLN yang tidak menyertakan sambungan tidak resmi dan sambungan lain yang tidak andal (seperti
sambungan hanya beberapa jam per hari).
Perumahan berkualitas: Semua perumahan dengan bagian lantai terbesar terbuat dari marmer, granit, keramik, ubin, atau beton.
Selain itu, seringkali suatu rumah tangga ternyata mencatat seluruh kekurangan sekaligus. Satu pertimbangan utama bagi pemerataan kesempatan adalah tidak hanya berfokus pada
apakah suatu kelompok masyarakat tertentu, seperti masyarakat desa, tertinggal pada indikator
tertentu, namun juga menelaah apakah rumah tangga yang mencatat berbagai indikator buruk
144
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VII
Indonesia: Menghindari Perangkap
tersebut adalah rumah tangga yang sama atau berbeda. Rumah tangga perkotaan dengan akses
yang buruk ke layanan kesehatan, misalnya, umumnya memiliki akses yang mencukupi ke layanan
pendidikan dan transportasi (Gambar 7.10). Namun perdesaan di Indonesia seringkali mencatat
kekurangan dalam seluruh layanan itu (Gambar 7.11). Dibutuhkan peningkatan investasi dalam
infrastruktur perdesaan untuk memberikan kesempatan yang sama kepada rumah tangga tersebut
seperti pada bagian lain di Indonesia.114
Gambar 7.10: Akses perkotaan ke layanan, 2011 Gambar 7.11: Akses perdesaan ke layanan, 2011
Sumber: Susenas, Podes, Perhitungan Bank Dunia.
Sumber: Susenas, Podes, Perhitungan Bank Dunia.
4. Pilihan kebijakan untuk meningkatkan akses layanan bagi seluruh masyarakat
Dengan menurunnya kemiskinan karena pendapatan, peningkatan kualitas dan ak Y "% " % !
Hal ini membutuhkan penanganan sejumlah tantangan dalam penyampaian layanan lokal (sisi
penawaran) dengan: (i) alokasi ulang lebih banyak sumber daya ke penyampaian layanan gugus
$ !~_` ! !$ !! ~ _`!
birokrasi pusat dan daerah agar bertanggung jawab atas hasil dan bukan sekedar kepatuhan
kepada peraturan tertentu. Pada saat yang bersamaan, desentralisasi turut memperbaiki akses ke
informasi, masyarakat sipil dan media yang dinamis, dan peningkatan keterlibatan dalam proses
politis daerah, yang menawarkan peluang untuk meningkatkan akuntabilitas bagi penyampaian
layanan dan hasilnya dari sisi permintaan.
Peningkatan sumber daya bagi layanan gugus depan dan penurunan bagi pegawai dan
administrasi
" + "" + "% ! "
daerah telah menciptakan masalah “pendelegasian (principal-agent)” yang mendasar.
Pemerintah daerah menerima sekitar 90 persen dari anggaran mereka dari pemerintah pusat
114 Lihat Hadiwidjaja, Paladines dan Wai-Poi (2013) “The Many Dimensions of Child Poverty in Indonesia”.
145
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VII
Indonesia: Menghindari Perangkap
_ !`$ ! kan mempengaruhi komposisi belanja pemerintah daerah. Belanja pemerintah daerah secara berlebihan didominasi oleh belanja untuk administrasi dibanding untuk sektor-sektor produktif dan
O ! ! !? !kasian anggaran pemerintah daerah dengan mengalokasi ulang lebih banyak sumber daya kepada
penyampaian layanan gugus depan adalah langkah penting dalam meningkatkan akses penduduk
perdesaan ke layanan dasar.115
Peningkatan proporsi anggaran pemerintah daerah yang terikat kepada sektor-sektor
tertentu dapat membantu meningkatkan penyesuaian belanja dengan kebutuhan penduduk. Transfer kepada pemerintah daerah di Indonesia didominasi oleh komponen “dana
alokasi umum” (DAU) dibanding transfer untuk alokasi khusus. DAU tidak terikat, sehingga
memfasilitasi pengeluaran pegawai yang terlalu besar di daerah, yang menyisakan sedikit ruang
bagi transfer untuk dapat dimanfaatkan ke pembelanjaan yang berbasis pada penyediaan layanan
di gugus depan. Pada tahun 2012, DAU membentuk hampir 60 persen dari transfer pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah. Dana alokasi khusus (DAK) kepada daerah-daerah tertentu
yang bertujuan untuk mendanai kegiatan khusus di daerah tersebut sesuai dengan prioritas nasional hanya mencapai 6 persen dari transfer-transfer tersebut. Transfer-transfer lain adalah dana
bagi hasil (DBH), dana otonomi khusus (Dana Otsus) bagi provinsi Aceh, Papua, dan Papua
Barat, dan sejumlah dana penyesuaian. DBH bertujuan untuk membagikan pendapatan pajak
dan bukan pajak dari sumber daya alam kepada seluruh daerah dengan bagian pendapatan yang
lebih besar diberikan kepada daerah-daerah yang lebih kaya sumber daya darimana pendapatan
itu berasal. Dana Penyesuaian menyertakan cadangan tambahan bagi guru, tunjangan profesional
bagi guru, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Dana Insentif Daerah (DID), dan berbagai dana
pendukung infrastruktur.
Ke depan, peningkatan bagian DAK pada
jumlah alokasi dan fokus ulang sektor-sektor
yang menjadi sasaran DAK ke sektor-sektor
yang penting (seperti air bersih, sanitasi,
transportasi, dan kesehatan) dapat sangat
membantu penyediaan layanan. Selain hanya
membentuk sebagian kecil dari keseluruhan transfer, DAK juga sangat terpecah, terbagi ke terlalu
banyak sektor dan daerah, sehingga tidak dapat se
layanan. Selain itu, pemberian lebih banyak ruang
bagi pemerintah daerah untuk melakukan pungutan pendapatan asli daerah juga dapat membantu.
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa
Sumber: Kementerian keuangan.
keterbatasan pendapatan asli daerah dan keber !! ! ! !! ?
\^"!"!" +
pemerintah daerah
115 Lihat, misalnya, Bank Dunia (2012): Indonesia Subnational Public Expenditure Review: Optimizing Subnational Performance
for Better Services and Faster Growth.
146
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VII
Indonesia: Menghindari Perangkap
Memberikan pilihan pendanaan alternatif bagi pemerintah daerah
Ketimbang hanya bergantung kepada anggaran pemerintah daerah, Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), obligasi pemerintah daerah, dan pendanaan perantara dapat ditawarkan sebagai cara pendanaan infrastruktur alternatif bagi pemerintah daerah. Pemerintah
daerah di Indonesia sangat bergantung kepada transfer antar-pemerintahan karena sebagian besar
! ! ! ?] $
besar investasi infrastruktur didanai dari APBD, yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur kota-kota di Indonesia. Sejak tahun 2013, pajak properti yang sebelumnya
dikelola oleh pemerintah pusat telah dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten dan kotamadya,
membawa lebih banyak pendapatan kepada pemerintah daerah. Tabel 7.1 menunjukkan sumber
pendanaan alternatif bagi berbagai jenis infrastruktur, termasuk KPS, obligasi pemerintah, dan
pendanaan perantara.
Tabel 7.1: Alternatif pendanaan berbagai jenis infrastruktur perkotaan
KPS untuk infrastruktur komersial
Jalan tol, bandara, pelabuhan, pasar.
Investasi yang layak menerima kredit swasta sangat
terbatas, tampaknya tidak lebih dari 10-15 persen pada
lingkungan KPS yang paling matang.
Pinjaman langsung dari bank umum atau pasar obligasi
untuk kota besar dan provinsi dengan keuangan yang
kuat.
Pendanaan kesatuan dan bukan proyek. Sampai saat ini
masih merupakan pasar yang belum dikembangkan di
Indonesia.
Investasi yang lebih besar, tahun jamak melalui perantara
keuangan (seperti air bersih, sanitasi, pengelolaan limbah
padat, drainase, transportasi perkotaan) pada kota-kota
berukuran besar, menengah, dan kecil.
Layak secara ekonomi ketimbang layak secara keuangan,
yaitu tanpa aliran pendapatan langsung. Tidak ada sumber pendanaan terpercaya, ‘bagian tengah yang hilang’.
Terbatasnya anggaran nasional dan pendanaan ritel
multi-lateral tidak dapat diprediksi dan tidak memadai,
model (Subsidiary Loan Agreements, SLAs) yang tidak
berkelanjutan. Pendanaan perantara keuangan dapat
mengadakan pendanaan berbasis kesatuan ukuran besar
(pinjaman kepada pemerintah daerah), dan pada jangka
menengah mengakses sumber pendanaan swasta melalui
pengumpulan obligasi dan instrumen terkait.
Meningkatkan kualitas belanja
Pelengkap yang dibutuhkan dalam peningkatan lebih banyak sumber daya ke bidangbidang yang tepat adalah peningkatan kualitas belanja. Kualitas belanja diukur melalui
! _! ` ! !aran (output) dan hasil yang dikehendaki—secara berkelanjutan. Selama dekade lalu, peningkatan
belanja oleh pemerintah daerah hanya memiliki keterkaitan yang lemah (atau tidak sama sekali)
dengan peningkatan hasil realisasinya (Gambar 8.12 dan 8.13).116
116 Bukti ini juga dijumpai pada penetapan fokus di daerah-daerah yang kaya sumber daya, yang mencatat peningkatan belanja
tertinggi. Sejalan dengan mekanisme DBH, pemerintah daerah yang kaya sumber daya mencatat peningkatan anggaran yang besar.
Peningkatan pendapatan dari sumber daya ini terkait dengan peningkatan belanja untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Keterkaitan itu semakin didukung oleh penelitian Bank Dunia yang sedang berjalan pada industri ekstraktif dan pembangunan
di Sulawesi, yang menunjukkan bahwa peningkatan dalam pendapatan sumber daya umumnya dialokasikan kepada belanja modal
(infrastruktur). Namun peningkatan bagian pendapatan sumber daya hanya memiliki keterkaitan yang lemah dengan peningkatan hasil
realisasi bidang sosial.
147
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VII
Indonesia: Menghindari Perangkap
" ! " $!"!% " " kasi dalam sektor terkait alokasi belanja lintas program dan bidang dalam suatu sektor.
] $ !! !!gian besar digunakan untuk gaji guru karena peningkatan dalam penerimaan guru (Indonesia
!!ZO! ` _
! ! !!`?} O!
!! !$
melalui prestasi siswa; prestasi belajar siswa Indonesia untuk membaca, matematika, dan ilmu
pengetahuan tetap rendah dibanding negara-negara lain dan belum meningkat pada periode
ini.117 Di sektor jalan, belanja jalan daerah telah meningkat namun pembangunan jalan baru lebih
diprioritaskan dibanding pemeliharaan jalan sehingga jalan kabupaten yang berada dalam kondisi
buruk atau rusak mencapai 40 persen. Namun bukti-bukti menunjukkan bahwa investasi dalam
pemeliharaan infrastruktur perdesaan membawa tingkat pengembalian yang lebih tinggi dibanding peningkatan infrastruktur yang cenderung menjadi fokus pemerintah daerah.118 Alokasi ulang
anggaran jalan pemerintah kabupaten sehingga lebih condong kepada pemeliharaan dibanding
!! ?
=+! ! ! ""% %
Penyediaan layanan terkendala oleh ketidakjelasan penugasan tanggung jawab layanan
antar tingkatan pemerintahan. Berdasarkan pengalaman internasional, ketidakjelasan penu ! !! ?\+ nesia, masalah utamanya terletak pada penugasan fungsional lintas tingkatan pemerintahan yang
berbeda dalam kaitannya dengan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Badan-badan pemerintah pusat menghabiskan anggaran mereka pada fungsi-fungsi lokal melalui mekanisme transfer
! _\ ` _ `? !
bahwa belanja TP pusat menekan belanja modal yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Danadana yang dialokasikan untuk investasi modal disimpan atau dihabiskan untuk kegiatan-kegiatan
yang kurang penting. Selain itu, penugasan yang tidak jelas dalam tanggung jawab membatasi
pemberdayaan kewenangan daerah dan potensi keterlibatan masyarakat sipil.
Fokus ulang birokrasi agar bertanggung jawab terhadap hasil juga akan mendukung
penyediaan layanan berkualitas tinggi. Birokrasi (baik pusat maupun daerah) sangat condong
kepada pengendalian masukan (input), yang menekankan kepada kepatuhan. Kerangka akuntabilitas yang menekankan pada kepatuhan akan merintangi fokus pada hasil dan kinerja penyediaan layanan. Pemerintah pusat memang memantau penyediaan layanan dan kinerja pertumbuhan
daerah, namun hanya memberi insentif terbatas untuk mendorong atau mengharuskan perbandingan kinerja belanja daerah dengan hasil realisasinya. Suatu budaya yang memberi imbalan
kepada pemerintah daerah atas pencapaian hasil-hasil yang baik dapat meningkatkan persaingan
antar pemerintah daerah dan mendorong peningkatan penyediaan layanan. Pergeseran paradigma
ke pengelolaan sumber daya yang lebih berfokus pada hasil harus pula terwujud pada tingkat
pemerintah pusat, selain juga penekanan pada pengendalian masukan dan kepatuhan.
117 Bank Dunia (2013): Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia.
118 Pemerintah Indonesia (PNPM): 2010: Village Capacity in Maintaining Infrastructure: Evidence from Rural Indonesia.
148
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VII
Indonesia: Menghindari Perangkap
Pada gilirannya, fokus pada hasil akan memaksa pemerintah pusat untuk memperhitungkan (seperti pada sistem keuangan antar-pemerintahan) perbedaan ukuran dan
karakteristik unik dari setiap daerah, bergeser dari pendekatan saat ini yang cenderung
seragam bagi seluruh daerah. Sebagai contoh, sejumlah daerah memiliki kesenjangan akses
! !!!! !
masalah akses. Yang ideal adalah alokasi anggaran dan fokus program harus disesuaikan dengan
setiap keadaan yang berbeda. Contohnya, pada sektor pendidikan, sejumlah daerah tidak membutuhkan tambahan guru namun membutuhkan alokasi untuk meningkatkan kurikulum program.
Rencana sentralisasi penerimaan dan penempatan guru akan bertentangan dengan kebutuhan
! ?| !$
terdapat argumen kuat yang mendukung penerapan perlakuan yang berbeda bagi daerah yang
besar dibanding dengan daerah yang lebih kecil atau daerah-daerah perdesaan.
Memperkuat program yang diprakarsai oleh masyarakat serta akuntabilitas sisi permintaan
Desentralisasi ikut berperan dalam memberikan kesempatan yang lebih luas kepada
peningkatan keterlibatan masyarakat sipil, pemuka masyarakat, dan sektor swasta dalam
membentuk masa depan mereka sendiri. Peningkatan akses ke informasi, peningkatan dialog
sektor pemerintah-swasta, dan keterlibatan dalam proses politik daerah membawa peningkatan
dalam pembangunan dan tata kelola ekonomi setempat. Walau belum ada solusi yang jelas dan
efektif dalam mengelola tekanan sisi permintaan untuk penyediaan layanan yang lebih baik, terdapat sejumlah cerita keberhasilan di daerah dimana pergerakan sisi permintaan telah membantu
meningkatkan penyediaan layanan barang dan jasa masyarakat. Misalnya saja, melalui tekanan
terhadap pemimpin setempat untuk menetapkan kebijakan daerah baru atau menerapkan kebijakan yang telah ada.
Sejumlah kebijakan dirancang sedemikian rupa dalam rangka mendukung keterlibatan
penduduk dan masyarakat sipil dalam inisiatif pembanguanan, termasuk peningkatan
kualitas layanan di daerah terkait. Yang terbesar adalah PNPM-Mandiri Perdesaan, yang
memberikan infrastruktur umum berskala kecil yang menggunakan pendekatan berbasis masyarakat yang mana masyarakat itu: merencanakan, memprioritaskan, dan memutuskan kebutuhan
mereka sendiri; menerapkan proyek-proyek; mengelola dan bertanggung jawab atas dana; dan
memelihara aset-aset yang dibangun.119 Sejak proyek percontohannya pada tahun 1998, program
itu telah tumbuh, di bawah program payung PNPM-Mandiri, hingga memiliki cakupan nasional
yang melingkupi lebih dari 6.000 kecamatan di seluruh Indonesia. Program itu telah mendanai
pembangunan lebih dari 100.000 km jalan desa; 17.000 jembatan kecil; 40.000 sistem air bersih;
dan rehabilitasi atau pembangunan 43.000 fasilitas kesehatan dan sekolah. Program itu juga mendukung lebih dari 301.000 kegiatan usaha yang dilakukan oleh perempuan sejak pembentukannya
dengan jumlah komitmen sebesar 3,6 miliar dolar AS (Rp 33 triliun) selama periode tahun 19982015.
119 PNPM-Mandiri Perdesaan memiliki sub-komponen bernama PNPM Generasi, yang memberi insentif terhadap masyarakat
untuk menggunakan layanan pendidikan dan kesehatan dasar, memberikan sumber daya untuk memfasilitasi tindak nyata masyarakat
dalam menyediakan layanan dasar tertentu dan memantau penyampaian layanan. PNPM Generasi kini ditingkatkan untuk mencakup
setidaknya 500 daerah miskin di perdesaan pada tahun 2014. Pemerintah juga merencanakan tahap kedua dari program PNPM Peduli
yang inovatif, yang menyediakan dukungan sumber daya dan kapasitas bagi organisasi masyarakat sipil Indonesia yang bekerja untuk
memberdayakan kelompok terpinggirkan.
149
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Indonesia: Menghindari Perangkap
Inpres No. 3/2010 menetapkan bahwa proses perencanaan partisipatif yang diprakarsai oleh masyarakat yang digunakan pada PNPM Mandiri, program utama Pemerintah
untuk pemberdayaan masyarakat, akan digunakan sebagai dasar pengembangan rencana terpadu pembangunan desa jangka menengah.+ }?%<=%=
peran badan pemerintah nasional dan daerah dalam mengkoordinir dan mengawasi pelaksanaan
program pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan.
Kotak 7.1: UU Desa yang baru dan penyediaan layanan dasar
Setelah pembahasan selama beberapa tahun, UU tentang Desa disetujui oleh DPR pada bulan Desember 2013. UU itu dirancang oleh Pemerintah sebagai alat untuk menangani lemahnya pengaturan tata
kelola yang ada di perdesaan dan untuk memberdayakan masyarakat guna memenuhi kebutuhan pembangunan mereka sendiri, termasuk pengaturan infrastruktur dasar dan pengawasan belanja publik. Salah
satu gagasan utama di belakang UU itu adalah melembagakan PNPM Mandiri (program nasional pemberdayaan masyarakat yang didukung oleh Bank Dunia) dengan menetapkan prinsip-prinsip pembangunan yang diprakarsai masyarakat ke dalam suatu kerangka hukum. Sebagai bagian dari hal tersebut,
dan setelah UU itu diterapkan secara penuh pada tahun 2015, desa-desa akan menerima peningkatan
! ? ! Z gunan jangka menengah untuk desa yang disusun secara partisipatif oleh anggota masyarakat. Hal ini
dapat mencakup infrastruktur wilayah dan fasilitas skala desa untuk penciptaan lapangan kerja. UU itu
juga memberikan tanggung jawab tata kelola desa yang lebih besar kepada penduduk desa, melalui Dewan
Desa yang dipilih secara demokratis dan melalui Rapat Desa tahunan yang dapat meningkatkan kualitas
belanja desa. Namun UU itu belum menyertakan aturan yang akan memperkuat akuntabilitas pemerintah
kabupaten atau fasilitas gugus depan untuk pemerintah dan masyakarat desa. Kebutuhan ini harus ditanggapi oleh amandemen UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang masih dalam penyusunan.
Ke depan, pemberdayaan “agen perubahan” yang lebih besar dapat semakin membantu
penyediaan layanan pada tingkat desa. Pertama, lembaga swadaya masyarakat (LSM)
atau lembaga non-pemerintah dapat menggunakan strategi yang berbeda untuk menggerakkan permintaan, termasuk keterlibatan yang konstruktif, pendekatan konfrontatif
dan adversarial, dan bantuan teknis/penelitian. Namun LSM juga memiliki kelemahan,
karena banyak LSM yang bekerja secara tidak terkoordinir dengan kapasitas yang umumnya
rendah, terpusat di Jawa, dan mungkin memiliki perilaku yang elitis dan tidak terhubung dengan
keprihatinan umum. Buehrer (2011, 2013) juga mengusulkan bahwa pengaruh sejumlah LSM
hanya terbatas pada penetapan agenda dan tahap persetujuan dari siklus kebijakan, namun jarang
berlanjut hingga tahap implementasi kebijakan karena anggota-anggota LSM tidak memiliki perwakilan pada jabatan pemerintahan.120 Masalah-masalah lain dengan LSM adalah masalah “peningkatan” lembaga tersebut. Sangat sedikit agen masyarakat yang memiliki skala dan kemampuan
untuk bekerja secara efektif pada tingkat nasional, sehingga belum mampu membentuk jumlah
masyarakat yang dapat membuat perubahan. Pengecualian yang nyata ada pada program PNPM
dan komite-komite sekolah dalam bidang pendidikan.
120 Buehler, Michael. 2011. Indonesia’s Law on Public Services No. 25/2009: Changing State-Society Relations or Continuing
! !"Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 47, No. 1, 65-86; Buehrer, Michael, Elite Competition and Changing StateSociety Relations: Shari’a Policymaking in Indonesia, akan datang.
150
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VII
Indonesia: Menghindari Perangkap
Dunia usaha. Masyarakat dunia usaha seringkali menjadi sosok pendukung yang efektif dalam
menyediakan barang untuk masyarakat maupun sebagai “agen perubahan”, terutama dalam
bidang pengadaan infrastruktur dan iklim usaha yang bersahabat. Sebagai contoh, masyarakat
dunia usaha memprakarsai diskusi tentang masalah logistik yang dimulai pada tahun 2008, yang
kemudian berkembang menjadi penyusunan rencana nasional oleh Pemerintah untuk meningkatkan logistik dalam negeri. Namun belum ada bukti yang kuat dan tersebar luas yang mengangkat
masyarakat dunia usaha sebagai agen perubahan yang kuat pada tingkat daerah. Hal ini mungkin terkait dengan sejumlah kendala yang dihadapi oleh sektor swasta dalam kaitannya dengan
negara, termasuk ketergantungan dengan Pemerintah untuk mendapatkan kontrak, kepatuhan
pada UU pajak, dan sampai taraf mana keterkaitan usaha mewakili keragaman usaha yang hendak
mereka wakili.
Perempuan. Perempuan memainkan peran sosial yang penting di Indonesia, dalam keadaan
! ! ? ! $ !! !
yang peka gender. Sebagian berkat UU No. 2/2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10/2008
tentang Pemilihan Umum, yang menetapkan 30 persen partisipasi perempuan pada DPR, yang
mendorong naik tingkat partisipasi politik perempuan dari 11 persen pada tahun 2004 menjadi 18
persen pada tahun 2009. Dekade lalu juga mencatat pencapaian utama dalam kerangka peraturan
tentang kesetaraan gender dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan. Sebagai contoh,
jalur analisis gender telah diwajibkan dalam pengembangan pembangunan nasional dan daerah
tahunan dan anggarannya. Walau pelaksanaan kerangka tersebut masih tetap belum jelas, potensi
bagi perempuan untuk berperan penting sebagai agen perubahan tetaplah besar.121
121 Puskapol, “Representasi Politik Perempuan Anggota DPRD di Tiga Provinsi: Studi Kasus DPRP Banten, DKI Jakarta, dan
Jawa Barat” presentasi hasil riset, Pusat Kajian Politik, Falkutas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, Jakarta, 8 Mei 2013.
151
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VII
Indonesia: Menghindari Perangkap
152
Bab VIII. Memperkuat
Perlindungan Sosial
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VIII
Indonesia: Menghindari Perangkap
Bab VIII. Memperkuat Perlindungan Sosial
Semua penduduk Indonesia menghadapi berbagai risiko selama hidupnya. Guncangan dapat
mendorong penduduk jatuh ke dalam kemiskinan, menurunkan pendapatan mereka secara
$ ! Z
anak. Dibutuhkan perlindungan sosial yang lebih luas agar seluruh penduduk Indonesia dapat
bertahan menghadapi guncangan-guncangan tersebut. Hal ini termasuk meningkatkan efektivitas
dan keberlanjutan reformasi jaminan sosial yang sedang berlangsung dan, untuk melengkapinya,
memperkuat program-program bantuan sosial. Meskipun Indonesia berhasil menurunkan tingkat
kemiskinan, melambatnya laju penurunan tingkat kemiskinan pada beberapa tahun terakhir
dan tingginya kerentanan masih tetap menjadi kekhawatiran. Program-program bantuan sosial
yang lebih kuat dapat menjawab tantangan ini dengan cara melindungi kaum yang rentan dari
guncangan yang akan mendorong mereka ke dalam kemiskinan, sementara membantu mereka
yang berada di bawah garis kemiskinan untuk keluar dari batas kemiskinan tersebut.
Bab ini menekankan bahwa akses ke jaminan sosial yang komprehensif bagi mereka yang mampu
membayar, dan akses ke bantuan sosial yang komprehensif, atau jaring pengaman, bagi mereka
yang tidak mampu membayar sangatlah dibutuhkan. Bab ini membahas tantangan-tantangan
dalam memperkuat sistem perlindungan sosial di Indonesia dan faktor-faktor penting yang akan
menentukan keberhasilan reformasi sistem perlindungan sosial di Indonesia.
1. Membangun Kerangka Jaminan Sosial yang Efektif dan Berkelanjutan
Perlindungan sosial yang lebih mumpuni berarti bahwa perluasan jaminan sosial yang
akan datang harus dirancang dan diterapkan secara efektif dan berkelanjutan. Perlindungan sosial yang universal telah ditetapkan secara hukum untuk bidang kesehatan (pada
tahun 2014) dan ketenagakerjaan (pada tahun 2015) dengan UU No. 40/2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS). Agar dapat efektif dan berkelanjutan, sistem tersebut akan membutuhkan tingkat
$ !! ! $ !! !bagaan yang kuat, dan cakupan kaum miskin dan rentan yang tidak dipungut iuran, sementara,
pada saat yang sama, memungut iuran dari mereka yang mampu membayar.
Dibutuhkan kepemimpinan yang kuat agar pelaksanaan berjalan efektif, mengingat
banyaknya jumlah pemangku kepentingan dengan kepentingan berbeda-beda, dampak
; "% "!"! & = " "% = " $
makro. Sangatlah penting untuk menyusun peta langkah (roadmap) yang menguraikan kegiatankegiatan, peran, dan tanggung jawab untuk menjamin kelancaran transformasi yang efektif, serta
untuk mengawasi kemajuan pelaksanaan tersebut.
Program-program SJSN yang berskala nasional akan memiliki rancangan dan cakupan yang berbeda dari program-program yang sudah ada dan akan menyertakan suatu
program pensiun manfaat pasti yang baru. Kerumitan dalam membuat rancangan manfaat
yang baru dan menetapkan besaran iuran bagi program-program SJSN harus memperhitungkan
154
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VIII
Indonesia: Menghindari Perangkap
karakteristik, kebutuhan, serta kemampuan dan kerelaan untuk membayar iuran yang berbedabeda antara pekerja di sektor formal dan informal.
Transformasi PT Jamsostek dan PT Askes menjadi BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS
Kesehatan adalah pekerjaan yang besar. ! $
kelola, cakupan pekerjaan, proses usaha, dan sistem TI akan dibutuhkan ketika lembaga-lembaga
itu berubah dari perusahaan penjaminan milik negara berorientasi laba yang mengelola programprogram untuk segmen pasar tenaga kerja tertentu menjadi badan hukum pemerintah nirlaba
yang mengelola program-program nasional yang mencakup ribuan pemilik perusahaan dan jutaan
pekerja sektor informal. Selain itu, penerapan program pensiun yang baru akan membutuhkan
serangkaian keterampilan yang baru pula—baik teknis maupun operasional. Jamsostek saat ini
tidak menawarkan dan mengelola program pensiun manfaat pasti apapun.
UU BPJS memperbaiki struktur hukum dan keuangan dari sistem jaminan sosial dengan memisahkan, secara hukum, aset-aset para pengelola dari aset-aset dana jaminan
sosial yang mereka kelola. Pemilahan aset-aset ini ke dalam beberapa badan hukum berbeda
dan penggunaan wali amanat untuk menyimpan dana aset merupakan upaya perlindungan penting bagi penyedia dana dan sejalan dengan praktik standar internasional. Namun, memastikan
bahwa struktur hukum diterapkan dengan baik dan sistemnya bekerja sesuai rencana merupakan
suatu tantangan besar. Untuk menjamin bahwa aset-aset dikelola dengan baik, Pemerintah harus
menerbitkan peraturan pengelolaan risiko dan investasi yang menetapkan kerangka keuangan
dan struktur tata kelola sistem baru tersebut. Perlu diperhatikan bahwa kebijakan investasi dan
struktur biaya yang berbeda akan sesuai dengan dana-dana yang berbeda pula, demikian pula integrasi cadangan, kebijakan investasi, dan pengelolaan aset-liabilitas untuk setiap jenis dana harus
terjamin.
Sangatlah penting bagi Pemerintah untuk menyusun dan menerapkan kebijakan dan
!! "! $ $!" $ q mastikan bahwa risiko-risiko keuangan dari program-program jaminan sosial dikelola
dengan tepat. Jika besaran iuran ditetapkan terlalu rendah dibanding manfaat yang dijanjikan,
atau jika iuran dan/atau manfaat tidak disesuaikan secara berkala, atau bila dana program salah
dikelola, dana jaminan sosial dapat menjadi insolven. Implementasi SJSN ini menciptakan potensi kewajiban kontinjensi yang besar ke anggaran negara, yang merupakan penjamin akhir dari
solvabilitas dana. Karenanya, Pemerintah memiliki insentif yang tinggi untuk menjamin bahwa
program-program dikelola dengan baik. Hal ini akan membutuhkan kemampuan mengelola
risiko di pihak Pemerintah, serta pengawasan dan pengendalian yang kuat atas operasi BPJS untuk melindungi hak-hak para peserta, mencegah penggelapan dan korupsi, memastikan pengelolaan keuangan yang baik, dan mengendalikan biaya operasional.
Tata kelola yang baik dan pengawasan sistem merupakan hal yang penting, mengingat besarnya jumlah uang yang akan mengalir ke dalam lima jenis dana, dan pentingnya peran program-program tersebut di dalam sistem perlindungan sosial Indonesia.
Program-program tersebut merupakan salah satu kunci menuju pertumbuhan inklusif dan
peningkatan pemerataan. Undang-undang menyatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
bersama-sama dengan DJSN dan BPK, bertanggung jawab atas pengawasan eksternal, namun
tidak menjelaskan peranan dan fungsi mereka masing-masing.
155
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VIII
Indonesia: Menghindari Perangkap
Perlu dijabarkan peran dan tanggung jawab pengawasan yang lebih jelas bagi OJK dan
DJSN dalam peraturan dan/atau keputusan pelaksanaan. Peran dan tanggung jawab mereka masing-masing harus dinyatakan dengan jelas.
Pungutan iuran menimbulkan sejumlah kekhawatiran baru. Sementara mekanisme pungutan iuran bagi pekerja formal sudah ada, belum tersedia mekanisme bagi pekerja sektor informal. Pungutan yang efektif dari pekerja sektor informal diperlukan untuk menjamin partisipasi
yang tinggi dari sektor informal, dan untuk menghindari anti-seleksi yang tinggi yang akan terjadi
jika hanya mereka yang berisiko tinggi saja yang memilih bergabung dengan program-program
SJSN. Pemerintah harus mempelajari sejumlah kemungkinan mekanisme pungutan, mempelajari
pengalaman negara-negara lain, dan melakukan uji coba terhadap pilihan-pilihan yang mungkin
dalam memungut iuran dari pekerja sektor informal.
Yang paling penting, sistem dan operasi yang terintegrasi bagi kedua BPJS merupakan
suatu keharusan. ! Z ^ |]
yang terpisah dan memungut iuran dari peserta yang sama. Sebaliknya, mereka harus bekerja
O nakan untuk memungut iuran dari para peserta, para pemilik perusahaan, dan Pemerintah untuk
kelima program SJSN. Iuran yang terkumpul kemudian harus secara otomatis dipisahkan dan
dipindahkan ke jenis dana jaminan sosial yang tepat.
Program-program SJSN dapat dilengkapi pada tingkat daerah dengan cara meningkatkan pajak tembakau dan menggunakan tambahan pendapatan tersebut untuk mendanai
program kesehatan. Kasus penggunaan pajak tembakau untuk menurunkan tingkat kematian
yang disebabkan oleh penggunaan tembakau dan untuk mengurangi kemiskinan memang sangat
nyata di Indonesia seperti diuraikan pada Kotak 8.1.
156
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VIII
Indonesia: Menghindari Perangkap
Kotak 8.1: Kasus penggunaan pajak tembakau untuk meningkatkan status kesehatan dan
kemiskinan
Penurunan penggunaan produk tembakau membawa sejumlah manfaat yang berarti bagi masyarakat dan
konsumen Indonesia: tingkat kesehatan yang lebih baik; penurunan kematian prematur; belanja layanan
kesehatan yang lebih rendah; dan lebih banyak dana yang dapat digunakan untuk pengeluaran lain untuk
rumah tangga. Penggunaan tembakau merupakan salah satu ancaman kesehatan publik yang paling tinggi, dan faktor risiko utama bagi sejumlah penyakit kronis, termasuk kanker, penyakit paru-paru, dan kardiovaskular.122 Prevalensi
orang dewasa yang merokok setiap hari cukup tinggi di Indonesia, yaitu pada tingkat 29 persen. Sejalan dengan angka
itu, 14 persen dari seluruh kematian di Indonesia diperkirakan berkaitan dengan konsumsi tembakau menurut Badan
Kesehatan Dunia (WHO).123 Merokok tembakau sebagai faktor risiko untuk hilangnya penyesuaian harian tahun
hidup (daily adjusted life years, DALY) mencapai 7,3 persen dari seluruh DALY yang hilang, dengan perokok pasif
menambahkan 0,99 persen, sehingga jumlahnya menjadi 8,24 persen.124
Karena keluarga miskin menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk tembakau, merokok
juga meningkatkan kemiskinan individu dan keluarga dengan cara mengalihkan penggunaan pendapatan
rumah tangga dari kebutuhan pokok manusia, seperti pangan, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Sifat
kecanduan tembakau mengalahkan belanja rumah tangga yang lebih produktif.125 Pengeluaran rumah tangga Indonesia untuk tembakau termasuk besar dan berdampak penting terhadap tingkat kesejahteraan.126 Pada tahun 2005,
rumah tangga dengan perokok menghabiskan rata-rata 11,5 persen dari pendapatan rumah tangga tersebut untuk
produk-produk tembakau (7,3 persen dari seluruh rumah tangga dan 11,9 persen dari rumah tangga pada kuintil
dengan pendapatan terendah), dibanding 11 persen untuk gabungan belanja daging, ikan, telur, dan susu; 2,3 persen
untuk kesehatan; dan 3,2 persen untuk pendidikan. Penelitian Bank Dunia tahun 2006 menemukan bahwa di kalangan
kaum miskin di Indonesia, rokok menduduki peringkat kedua, hanya di belakang beras, sebagai komoditas terbesar
yang dikonsumsi.127 Menggeser belanja rumah tangga dari tembakau ke sembako akan mengurangi kemiskinan.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa pajak rokok di negara-negara Asia bermanfaat bagi kesehatan publik dan
keuangan publik dan memihak kaum miskin dalam manfaat kesehatan. Suatu penelitian Bank Pembangunan
Asia (ADB 2012) di Tiongkok, India, Filipina, Thailand, dan Vietnam menemukan bahwa kenaikan pajak cenderung
memberikan manfaat kesehatan langsung maupun tidak langsung yang lebih besar dibanding dengan dampaknya
terhadap pendapatan kaum miskin di negara-negara tersebut. Kaum paling miskin di tiap negara tersebut hanya
menanggung bagian pajak yang kecil namun menerima paling banyak manfaat kesehatan. Rasio manfaat kesehatan
yang dibayarkan kepada kaum miskin terhadap tambahan pajak yang harus dibayar oleh kaum miskin berkisar dari
1,4 hingga 9,5.
Bagi Indonesia, pajak tembakau adalah cara yang paling efektif dari segi biaya untuk menurunkan angka
kematian akibat penggunaan tembakau dan secara bersamaan mengurangi kemiskinan. Pajak yang menaikkan harga tembakau sebesar 10 persen berhubungan dengan penurunan konsumsi tembakau hingga 8 persen
di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.128 Di Indonesia, penerapan tingkat pajak tembakau yang
paling tinggi yang diperbolehkan secara hukum dapat mencegah antara 1,7 dan 4,0 juta kematian akibat tembakau di
! $ ! ! $<pai 6,5 miliar dolar AS. Sementara kenaikan pajak tembakau hingga dua kali lipat dapat memberikan dampak negatif
terhadap enam sektor ekonomi, suatu simulasi penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan di 60 sektor lainnya akan
terstimulasi.129 Laporan MDG Pemerintah Indonesia tahun 2004 dan 2005 membahas dampak kemiskinan dari penggunaan tembakau, dan menggarisbawahi tingginya tingkat belanja untuk produk-produk tembakau di kalangan rumah
tangga miskin — sumber daya yang seharusnya dapat dibelanjakan untuk kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan,
dan keperluan lainnya. Kedua laporan ini mengusulkan pajak tembakau untuk menaikkan harga sebagai cara untuk
mengurangi pengaruh negatif konsumsi tembakau terhadap kesehatan dan kesejahteraan.
122 World Health Organization (2013). Tobacco Fact Sheet No. 339. July 2013.
123 World Health Organization (2013). Report on the Global Tobacco Epidemic. 2013.
124 Institute for Health Metrics and Evaluation (2013). Global Burden of Disease Tool. 2010 data
125 Asian Development Bank (2012). Tobacco Taxes: A Win-Win Measure for Fiscal Space and Health. November 2012.
126 Barber S, Adioetomo SM, Ahsan A, Setyonaluri D. (2008). Tobacco Economics in Indonesia. Paris: International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease.
127 Bank Dunia (2006). Making Services Work for the Poor in Indonesia: Focusing on Achieving Results on the Ground.
Washington, DC.
128 World Health Organization (2013). Report on the Global Tobacco Epidemic. 2013.
129 Barber S, Adioetomo SM, Ahsan A, Setyonaluri D. (2008). Tobacco Economics in Indonesia. Paris: International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease.
157
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VIII
Indonesia: Menghindari Perangkap
2. Memperkuat jaring pengaman Indonesia yang baru bagi kaum miskin
Bagi mereka yang tidak mampu mengatasi guncangan dengan upaya mereka sendiri
atau tidak memiliki akses ke jaminan sosial, maka diperlukan pula suatu perluasan
bantuan sosial. Bantuan sosial—dalam bentuk program-program pemerintah tanpa iuran yang
membantu melindungi kaum miskin dari guncangan, berinvestasi dalam modal manusia, dan
mendorong mereka keluar dari kemiskinan—bersama dengan jaminan sosial, merupakan komponen penting dalam kerangka perlindungan sosial yang komprehensif. Indonesia harus mereformasi program-program yang ada, mengisi kesenjangan yang ada, dan mengintegrasikan programprogram ke dalam suatu sistem.
Jaring pengaman memiliki dampak langsung dalam mengurangi kemiskinan ekstrim
Meskipun Indonesia berhasil mengurangi kemiskinan, perlambatan laju penurunan
kemiskinan dan kerentanan yang tinggi masih menjadi kekhawatiran (lihat Bab 2).
Program-program bantuan sosial dapat menjawab tantangan ini dengan melindungi kaum rentan
dari guncangan yang akan mendorong mereka kembali masuk ke dalam kemiskinan, sementara
membantu mereka yang berada di bawah garis kemiskinan untuk melampaui garis itu.
Jaring pengaman memungkinkan rumah tangga untuk membuat investasi yang lebih
baik pada masa depan untuk membantu generasi berikutnya agar keluar dari kemiskinan. Keberadaan bantuan sosial meringankan rumah tangga untuk dapat membuat investasi
yang tidak akan mereka lakukan tanpa bantuan sosial tersebut. Ketika rumah tangga miskin mengalami kesulitan pangan, mereka umumnya tidak mampu mencadangkan dana untuk sekolah atau
biaya kesehatan. Program-program jaring pengaman, seperti Bantuan Siswa Miskin (BSM) dan
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dapat membantu keluarga miskin mengatasi biayabiaya tersebut, dan masih memiliki dana untuk membeli makanan. Dengan cara ini, program-program jaring pengaman membantu keluarga miskin berinvestasi yang akan mencegah terjadinya
hal negatif seperti kekurangan gizi dan rendahnya investasi dalam pendidikan, dan membantu
berinvestasi dalam aset-aset yang produktif. Bantuan sosial juga mengurangi ketimpangan dengan
cara memberikan akses bagi kaum miskin dan rentan ke layanan dan sumber daya yang mereka
butuhkan untuk berpindah ke kelas menengah.
Jaring pengaman mencegah penduduk jatuh ke dalam kemiskinan, mengurangi kebergantungan mereka terhadap perilaku buruk dalam mengatasi masalah. Ketika keluarga
miskin mengalami guncangan yang berakibat pada penurunan pendapatan atau harta mereka,
biasanya mereka terpaksa menggunakan strategi terakhir untuk mengatasi guncangan tersebut.
Upaya terakhir ini biasanya memiliki biaya yang tinggi. Sebagai contoh, ketika tulang punggung
suatu keluarga meninggal, keluarga tersebut kadang terpaksa harus menjual harta mereka yang
paling produktif, seperti ternak atau tanah, untuk membantu menutup kekurangan pendapatan
jangka pendek. Jaring pengaman yang baik dapat membantu keluarga miskin mengurangi dorongan untuk mengambil strategi pemecahan masalah yang negatif seperti ini (termasuk mengeluarkan anak dari sekolah dan menyuruhnya untuk bekerja guna menambah pendapatan keluarga)
yang pada jangka panjang dapat lebih merugikan dibanding menguntungkan keluarga-keluarga
miskin.
158
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VIII
Indonesia: Menghindari Perangkap
Dibutuhkan reformasi lebih lanjut untuk memperkuat jaring pengaman
Sejak krisis keuangan Asia tahun 1997/98, Indonesia telah meluncurkan serangkaian
program jaring pengaman guna menangani berbagai risiko yang dihadapi oleh keluarga
miskin. Program-program tersebut dapat membentuk landasan bagi sistem jaring pengaman
sosial yang kuat yang melindungi rumah tangga yang lebih miskin, sementara juga membantu
mereka menolong diri mereka sendiri.
Perbaikan penargetan mendukung efektivitas bantuan sosial bagi kaum miskin. Indo!
memastikan bahwa mereka menerima manfaat tersebut.130 Sistem penargetan nasional ini dibangun berdasarkan basis data terpadu (& ' + , UDB), yang merupakan daftar 40 persen
rumah tangga yang paling miskin, termasuk rumah tangga miskin dan mereka yang memiliki
risiko terbesar untuk jatuh ke dalam kemiskinan. Semua program-program utama kini menggunakan UDB untuk penargetan. Namun dibutuhkan perbaikan penargetan yang berkelanjutan.
Informasi rumah tangga harus diperbarui dan divalidasi secara tepat. Sistem pengaduan dan keluhan merupakan langkah penting berikutnya.
Pastikan bahwa program-program memberikan manfaat yang mencukupi. Agar dapat secara memadai mengatasi siklus risiko-risiko dan guncangan-guncangan yang dihadapi oleh rumah
tangga, tingkat manfaat program harus dapat mengatasi risiko-risiko secara mencukupi sesuai
dengan yang ditargetkan. Sudah terdapat bukti bahwa tingkat manfaat sejumlah program tidaklah
mencukupi. Untuk BSM misalnya, manfaat biasanya tidak memperhitungkan berbagai biaya tambahan (seperti biaya transportasi atau buku pelajaran) yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga
ketika mereka memilih untuk menyekolahkan anak-anak ke sekolah dasar atau menengah.131
Pemerintah mengambil langkah-langkah positif dengan meningkatkan manfaat bagi BSM dan
PKH (program bantuan langsung tunai bersyarat Indonesia) pada tahun 2013 sebagai bagian dari
paket kompensasi sebagai konsekuensi dari reformasi subsidi BBM. Ke depan, tingkat-tingkat
manfaat ini harus diperbaiki sejalan dengan meningkatnya biaya pendidikan dan kesehatan.
Bantuan juga harus diterima oleh rumah tangga miskin dan rentan pada waktu yang
tepat. Sekali lagi, kita gunakan program BSM sebagai contoh. Walau program ini memberikan
bantuan tunai kepada kaum miskin untuk membantu mereka membayar biaya tambahan dan
biaya-biaya lain yang terkait pendidikan anak, uang tunai tersebut kadang diterima setelah tahun
ajaran dimulai. Hal ini berarti bahwa kaum miskin masih harus mencari jalan untuk membayar
biaya sekolah yang timbul sebelum manfaat diterima. Cara yang baik untuk mereformasi BSM
dan program-program lain adalah memastikan bahwa dana diberikan kepada keluarga pada waktu
yang tepat.
Isi kesenjangan cakupan dengan cara memperluas program-program yang bagus ke
kelompok rentan lainnya yang belum tercakup, termasuk manula dan penyandang cacat.
Program-program, seperti BSM dan PKH, mencakup banyak rumah tangga rentan, namun
belum secara memadai mencakup kelompok-kelompok yang sangat rentan. Penduduk usia tua
juga berisiko, terutama ketika kemampuan mereka untuk mencari nafkah berada pada titik yang
130 Lihat Bank Dunia (2012a) Targeting Poor and Vulnerable Households in Indonesia.
131 Lihat Bank Dunia (2012b) Protecting Poor and Vulnerable Households in Indonesia and World Bank (2012c) Raskin Subsidized Rice
159
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VIII
Indonesia: Menghindari Perangkap
rendah. Demikian pula, para penyandang cacat sering membutuhkan bantuan khusus untuk
memungkinkan mereka bersekolah, mencari layanan kesehatan yang sesuai, dan menjadi bagian
yang aktif dari angkatan kerja. Membangun sistem bantuan sosial yang komprehensif akan
membutuhkan perluasan program bantuan tunai dan bantuan natura untuk melayani kelompokkelompok rentan seperti ini.
Program-program yang sudah terbukti juga harus diperluas. Program PKH, misalnya,
pertama kali mencakup 810.000 rumah tangga pada tahun 2007 dan sejak itu telah berkembang
hingga mencakup 2,4 juta rumah tangga di 33 provinsi. Meskipun ada rencana untuk memperluas cakupan program ke 3,2 juta rumah tangga pada tahun 2014, masih dibutuhkan dukungan
pemerintah untuk menjamin bahwa rencana tersebut dapat terlaksana. Selain itu, bahkan pada
tingkat cakupan yang direncanakan untuk tahun 2014, program ini hanya akan mencakup 5 persen dari rumah tangga Indonesia. Bantuan langsung tunai bersyarat seperti PKH telah terbukti
efektif dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan di Meksiko (Progresa/ Oportunidades)
dan Brasil (Bolsa Familia), tetapi cakupan program-program ini mencapai sekitar seperempat dari
seluruh jumlah penduduk di negara-negara tersebut.
Ujicobakan program-program, seperti program anak usia dini dan padat karya, untuk
memantau dan menangani risiko-risiko yang belum dicakup oleh program-program
yang ada. Sejumlah risiko-risiko yang dihadapi oleh kaum miskin di Indonesia masih belum
tercakup, sehingga banyak keluarga yang masih belum terlindungi dan rentan. Indonesia tidak
menyediakan cakupan yang memadai untuk dukungan kognitif, gizi, dan psiko-sosial untuk
masa usia dini. Program pendidikan dan pengembangan anak usia dini harus diujicoba untuk
mengatasi kesenjangan cakupan yang penting ini pada tahap paling awal dari siklus kehidupan.
Pemerintah juga saat ini belum memiliki program untuk melindungi keluarga dari pengangguran sementara atau jangka panjang. Program-program padat karya dapat memberikan lapangan
kerja sementara untuk menambah pendapatan rumah tangga, terutama selama krisis bagi pekerja
perkotaan, dan antar musim tanam bagi pekerja perdesaan.
Indonesia juga tidak memiliki sistem pemantauan dan tanggap krisis yang formal
dengan jaring pengaman yang otomatis bekerja untuk melindungi rumah tangga ketika
timbul guncangan yang berarti. Protokol pengelolaan krisis nasional telah dibentuk untuk
mengawasi informasi sektor keuangan antar berbagai lembaga pemerintahan, dan mengkoordinasikan tanggapan bila dibutuhkan. Namun sistem-sistem ini hanya memungkinkan Pemerintah
untuk bertindak menanggapi krisis yang menghadang sistem keuangan dan pasar komoditas.
Pemerintah dapat membantu rumah tangga dalam menanggapi guncangan dengan cara yang
sama ketika pemerintah menanggapi guncangan yang mempengaruhi sistem keuangan. Sistem
seperti ini pada tingkat rumah tangga akan sangat membantu Pemerintah untuk meningkatkan
sistem pengawasan dan mengkoordinasikan tanggapan secara lebih efektif.
Alokasikan anggaran yang lebih besar untuk membangun sistem bantuan sosial yang
terintegrasi dan komprehensif yang sepadan bagi negara berpenghasilan menengah.
Indonesia menghabiskan sekitar 0,5 persen dari PDB untuk bantuan sosial. Negara-negara
berpenghasilan menengah lainnya secara rata-rata menghabiskan hingga tiga kali lipat untuk
program-program tersebut. Perbaikan sistem tampaknya akan membutuhkan jauh lebih banyak
sumber daya dibanding yang sekarang dikeluarkan oleh Pemerintah.
160
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab VIII
Indonesia: Menghindari Perangkap
3. Pelihara Pengawasan Nasional untuk Menjamin bahwa Bantuan Sosial
Terkoordinasi dan Terintegrasi dengan Baik
Belanja pemerintah pusat kini terbagi ke sekitar 12 kementerian, 22 program, dan 87 kegiatan.
Untuk memastikan bahwa layanan tersampaikan secara tepat, Pemerintah harus melanjutkan
upayanya dalam menghapus fragmentasi dan duplikasi antar program.
Jaga agar pengawasan dan koordinasi tetap pada tataran eksekutif untuk memberikan
kepemimpinan yang jelas dan menjamin integrasi program antar lembaga. Menjaga
O ?
Pada tahun 2010, Pemerintah meningkatkan pengawasan strategi kemiskinan ke Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), yang dikepalai oleh Wakil Presiden. Pekerjaan tim ini didukung oleh suatu Sekretariat yang bertanggung jawab untuk menyusun kebijakan
(dengan prioritas pada reformasi bantuan sosial), menetapkan sistem penargetan nasional melalui
UDB, dan mengintegrasikan kegiatan pengawasan dan evaluasi antar seluruh program. Hal ini
merupakan langkah awal yang penting dalam membantu menetapkan jenis-jenis pengaturan
kelembagaan yang akan memudahkan integrasi lebih lanjut. Konsolidasi dan sinergi lebih luas
antar program masih dibutuhkan. Di negara-negara lain, model yang disederhanakan dan terkon! !! !tas antar seluruh program. Di Chili, Program Jembatan memberikan berbagai layanan kepada
keluarga dalam satu payung.
Bangun mekanisme perlindungan yang sama untuk sosialisasi, keluhan, serta pengawasan dan evaluasi antar seluruh program. Penentuan bagaimana bantuan diterapkan
dan diberikan akan sangat berpengaruh. Program jaring pengaman yang kokoh akan memiliki suatu sistem yang mendaftarkan para peserta, memberikan manfaat, dan pada akhirnya
“meluluskan” mereka dari program bantuan. Harus ada kampanye penjangkauan yang kuat,
mekanisme penyaringan yang kuat, mekanisme untuk menangani keluhan, dan pengawasan
berkala terhadap hasil penargetan. Suatu sistem bantuan sosial yang terintegrasi harus menjamin
keseragaman mekanisme perlindungan untuk seluruh jajaran program. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang bagaimana bantuan sosial dapat diakses dan untuk siapa akan diterapkan dapat disebarluaskan secara lebih baik bila terdapat suara yang seragam dalam menjalankan
sosialisasi. Sebagai contoh, 80 persen pemegang kartu kesehatan Jamkesmas tidak mengetahui
jenis-jenis manfaat yang dapat diterima. Sejalan dengan itu, sistem pengaduan juga harus seragam, sehingga masyarakat memiliki satu cara yang mudah untuk berhubungan dengan sistem dan
menjamin bahwa keluhan mereka akan diperhatikan. Penyebaran kartu perlindungan sosial (KPS)
kepada para penerima manfaat program Raskin, Jamkesmas, BSM dan PKH adalah langkah maju
yang penting dalam proses integrasi, namun distribusi dan pendaftaran masih tetap menjadi suatu
tantangan tersendiri.
!" " ;! "! tanggung jawab. Seleksi yang efektif dan penyertaan peserta ke dalam program jaring pengaman membutuhkan kapasitas administratif yang memadai. Termasuk di dalamnya adalah: aturan
! ~!
O! ! ~ _ ! `$
komunikasi dan informasi yang memadai untuk pencatatan dan pemrosesan data. Indonesia
161
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Indonesia: Menghindari Perangkap
dapat mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga
yang menjalankan program-program sosial. Sejumlah program telah diperluas tanpa meningkatkan biaya administrasi. Hal ini menyebabkan timbulnya berbagai kesulitan saat pelaksanaan ketika
lembaga-lembaga terkait diminta untuk berbuat lebih banyak namun dengan jumlah sumber daya
yang tetap.
162
Bab IX. Mengelola risikorisiko bencana, membangun
ketahanan
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IX
Indonesia: Menghindari Perangkap
Chapter IX. Mengelola risiko-risiko bencana,
membangun ketahanan
Menjaga hasil-hasil pengentasan kemiskinan di Indonesia membutuhkan peningkatan
pengelolaan risiko-risiko bencana dan pembangunan ketahanan lebih lanjut secara terus menerus.
Indonesia terletak di salah satu zona bencana teraktif di dunia. Sejumlah jenis bencana alam,
seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor dan kebakaran hutan,
seringkali terjadi. Menurut analisis risiko global oleh Bank Dunia132, Indonesia berada di antara 35
negara berisiko mortalitas tertinggi dari berbagai ancaman bencana. Risiko mengancam sekitar 40
persen penduduk, atau lebih dari 90 juta jiwa. Ke depan, peningkatan penduduk dan harta benda
yang berisiko terhadap bencana alam, bersama-sama dengan peningkatan jumlah dan intensitas
kejadian hidro-meteorologis sebagai akibat perubahan iklim, dapat semakin meningkatkan
dampak bencana-bencana alam terhadap ekonomi dan kependudukan.
Ibukota Indonesia, Jakarta, sangatlah berisiko, dengan penurunan ketinggian permukaan tanah
yang didorong oleh urbanisasi sebagai ancaman yang lebih besar dibanding perubahan iklim
terkait dengan naiknya permukaan air laut. Secara khusus, cepatnya pertumbuhan jumlah
bangunan (untuk perkantoran dan pertokoan) dan perumahan belakangan ini, ketidakpatuhan
terhadap persyaratan bangunan dan peraturan tata ruang, serta penggunaan daerah “terbuka”
yang sebetulnya diperuntukkan bagi kawasan resapan air, tidak hanya membuat kota-kota di
Indonesia meningkatkan ancaman risiko bencana alam, namun juga menciptakan ancaman
baru, seperti banjir dan genangan air laut pada daerah-daerah pesisir yang rendah. Cepatnya
! Z
terpercaya dan pasar yang sehat untuk mengimbangi dinamika ekonomi melalui pencegahan dan
pengelolaan risiko investasi.
^ ! ! +
! $
sesungguhnya dapat efektif secara biaya dan menurunkan dampak bencana alam.
Ketahanan kota-kota di Indonesia terhadap bencana alam telah melemah akibat pesat$! ! "; " % " %
persyaratan bangunan dan peraturan tata ruang? Z _ $
rumah, dll) yang cepat dan tidak selalu direncanakan dengan baik di daerah-daerah perkotaan
menimbulkan tantangan tertentu terhadap keberlanjutan. Kota-kota Indonesia telah mencatat
laju permintaan yang cepat untuk perumahan dan ruang komersial perkotaan pada dekade lalu.
132 Lihat Bank Dunia, Natural Disaster Hotspots, A Global Risk Analysis (Washington, DC: Disaster Risk Management Series, 2005),
!%?<? ! Z O! ! $!
Abhas K. Jha dan Zuzana Stanton-Geddes, Editors (2012): Strong, Safe, and Resilient A Strategic Policy Guide for Disaster Risk
! . World Bank.
164
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IX
Indonesia: Menghindari Perangkap
Sektor swasta (real estat dan konstruksi) telah menanggapi dengan cepat. Namun pembangunan
!O
persyaratan bangunan yang matang. Selain itu, pada wilayah yang sangat padat, rencana pembangunan seringkali terbatasi oleh kurangnya ruang yang tersedia untuk menjaga fungsi yang tepat
dari ekosistem perkotaan, seperti drainase dan ruang terbuka umum.
Data kejadian bencana dan dampaknya terhadap perumahan menunjukkan bahwa
provinsi-provinsi dengan daerah perkotaan yang lebih besar di Indonesia menjadi lebih
rentan terhadap bencana alam seperti gempa bumi dan tanah longsor.133 Seperti ditunjukkan oleh perbandingan pada peta bagian atas dan bawah pada Gambar 9.1, jumlah terjadinya
kerusakan pada bangunan dan rumah yang disebabkan oleh bencana besar di kota-kota pulau
Jawa telah meningkat dengan cukup pesat pada dekade lalu.
Gambar 9.1: Perubahan wilayah distribusi dampak bencana terhadap perumahan
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
133 Data dan Informasi Bencana Indonesia (DiBI), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
165
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IX
Indonesia: Menghindari Perangkap
Dampak bencana terhadap perumahan
dapat digunakan untuk menggambarkan
tingkat kerentanan.134 Selama lima tahun
terakhir, Pemerintah telah menghabiskan antara
20 dan 50 persen dari anggaran rekonstruksi
untuk perumahan. Hal ini menunjukkan tidak
hanya peningkatan proporsi dampak bencana
pada aset-aset perkotaan, namun juga investasi
pemerintah sesungguhnya dalam memperbaiki
aset-aset, idealnya dengan standar yang lebih
ketat. Menilik proporsi belanja pasca bencana
Pemerintah antara provinsi-provinsi yang lebih
urban dan yang non-urban,135 juga terdapat
kecenderungan belanja yang lebih besar pada
provinsi-provinsi yang lebih urban, seperti ditunjukkan pada Gambar 9.2. Selain itu, terdapat
indikasi dampak yang disproporsional pada aset-aset daerah perkotaan dan bukan perkotaan
(yaitu antara bangunan permanen dan non-permanen).
Gambar 9.2: Proporsi anggaran rekonstruksi
yang diperuntukkan bagi provinsi urban
Walaupun relatif rendah dibanding ukuran ekonomi nasional, rata-rata biaya tahunan
$!% " " % Selama 10 tahun terakhir, rata-rata
biaya tahunan bencana alam di Indonesia diperkirakan pada 0,3 persen dari PDB nasional atau
1,5 miliar dolar AS. Dampak ekonomi dari gempa tahun 2004 di provinsi Aceh diperkirakan pada
4,5 miliar dolar AS, yaitu 1 persen dari PDB nasional, namun membentuk 54 persen dari PDB
provinsi. Begitu juga gempa tahun 2006 di provinsi Yogyakarta yang menyebabkan perkiraan
kerugian sebesar 30 persen dari PDB provinsi. Seperti ditunjukkan pada tabel 9.1, bencana-bencana yang belakangan terjadi membawa dampak ekonomi yang besar di tingkat provinsi.
Tabel 9.1: Dampak beberapa bencana alam terhadap PDB daerah
Kejadian
Provinsi
Perkiraan kerugian
Tsunami (2004)
Gempa bumi (2006)
Gempa bumi (2009)
Aceh
Yogyakarta
Sumatra Barat
4,5
3,1
2,3
Estimated Losses
(% regional GDP)
54 persen
41 persen
30 persen
Sumber: EMDAT CRED dan Bank Dunia.
134 Rumah adalah bentuk properti yang kualitas konstruksinya mencerminkan gabungan pengaruh kepatuhan warga negara pada
aturan bangunan, efektivitas peraturan, dan kerelaan pasar untuk berinvestasi pada ketahanan. Dalam banyak bencana, tanggapan
Pemerintah terhadap dampak bencana perumahan menunjukkan kewajiban kontinjensi dana pemerintah pada sektor perumahan.
Dengan kata lain, proporsi belanja publik pada sektor ini dibanding dengan yang lain juga menunjukkan tingkat tanggung jawab yang
diasumsikan oleh Pemerintah tentang kualitas perumahan swasta yang ada.
%#! Z ! ^ ]?
166
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IX
Indonesia: Menghindari Perangkap
%!! "%
! $! %Y!
bencana tahunan berada dalam kisaran 420500 juta dolar AS dan bahwa setiap 100 tahun
sekali kerugian itu mendekati 1,5-1,6 miliar dolar AS. Menggunakan data belanja pemerintah terhadap kejadian-kejadian pada masa lalu, dari jumlah
gedung-gedung yang hancur dan rusak, untuk
mensimulasikan kemungkinan kebutuhan belanja
_ !`
bencana alam, dapat diperkirakan bahwa dalam se Z !'<=Z=
dolar AS. Setiap 10 tahun mereka dapat melampaui
800-950 juta dolar AS, sementara setiap 100 tahun
kerugian dapat melampaui 1,5-1,6 miliar dolar AS.
Gambar 9.3 di bawah menunjukkan kurva indikatif
! !$
kerugian tahunan (annual expected loss, AEL), dan
kemungkinan kerugian maksimum (probable maximum loss, PML) terpilih, dengan menggunakan teknik aktuarial.136 Perkiraan-perkiraan ini memberikan ukuran indikatif dari kewajiban
keuangan yang mungkin harus dihadapi Pemerintah bila peristiwa itu terjadi pada masa yang akan
datang.
\|]
untuk Pemerintah – kurva terlampauinya
probabilitas137
Metrik risiko indikatif
Kerugian tahunan yang diperkirakan
Kemungkinan kerugian maksimum:
Periode pengembalian 10 tahun
Periode pengembalian 50 tahun
Periode pengembalian 100 tahun
Periode pengembalian 150 tahun
Periode pengembalian 250 tahun
Metode Aktuaris 1
Juta dolar AS
423
Metode Aktuaris 2
Juta dolar AS
554
796
1.320
1.570
1.725
1.947
945
1.299
1.448
1.550
1.647
% Z ! O !
asuransi, dalam hal ini menggunakan rata-rata kerugian tahunan (annual average loss, AEL) dan kemungkinan kerugian maksimum
(probable maximum loss, PML). AEL adalah perkiraan kerugian rata-rata tahunan jangka panjang, setelah memperhitungkan tren historis
! ? [ !!
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diperkirakan berada dalam ranah kemungkinan, di luar kebetulan yang jarang terjadi dan
bencana yang hampir tidak mungkin terjadi.
%\ $ !! <=='Z<==>
_[ %`~ $ !$ <===Z<==>
dengan menggunakan tren linear, digunakan untuk memuat suatu distribusi parametriks (Metode Aktuaris 2).
167
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IX
Indonesia: Menghindari Perangkap
2. Urbanisasi dan kerentanan terhadap Ancaman Baru
Selain meningkatkan kerentanan daerah perkotaan, urbanisasi yang pesat juga membawa ancaman baru terhadap keberlanjutan. Penyedotan air tanah yang cepat dan masif di
|$! $ ?
Penelitian yang menggunakan alat posisi geodetik yang teliti menunjukkan bahwa laju penurunan
permukaan tanah di Jakarta berkisar antara 1 hingga 15 cm per tahun, dengan beberapa lokasi
bahkan mencatat penurunan hingga 20-25 cm per tahun.138 !
empat penyebab utama penurunan permukaan tanah, yaitu penyedotan air tanah, beban bangunan di atas tanah, konsolidasi alami tanah aluvial, dan penurunan tektonis. Analisis spasial
cepat yang baru dilakukan oleh Badan Angkasa Eropa (European Space Agency, ESA) dan Bank
Dunia dengan menggunakan data historis satelit memudahkan pembedaan distribusi spasial antar
daerah-daerah dengan laju penurunan tanah yang tinggi.139 Overlay penurunan permukaan tanah
dan penggunaan lahan pada salah satu daerah dengan penurunan permukaan tanah tertinggi
dalam bentuk peta dijabarkan pada Gambar 7.4, yang menunjukkan daerah-daerah yang berisi
perkantoran dan properti komersial, serta daerah industri dan pergudangan (Gambar 9.4).
Gambar 9.4: Overlay area penurunan permukaan tanah yang tinggi dan penggunaan lahan di
Jakarta
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
" %Y! "" %
meningkatkan kerentanan, namun juga membawa ancaman baru dengan potensi
konsekuensi jangka panjang yang besar, seperti banjir dan genangan air laut pada
daerah-daerah pesisir yang rendah.140 Dengan asumsi tidak ada lagi pertambahan laju
peningkatan (dengan kata lain, tidak ada lagi perubahan fungsi lahan, dan penyedotan air tanah
tetap pada tingkatan sekarang), pada tahun 2030, daerah yang disoroti ini akan mengalami
138 Abidin, dkk., 2009. Land Subsidence and Urban Development in Jakarta (Indonesia). 7th FIG Conference, Hanoi, Vietnam,
19-22 Oktober 2009.
139 EO Information Services in Support of Analysis of Land Subsidence in the Agglomeration of Jakarta. Presentasi disusun oleh Altamira
Information, untuk European Space Agency dan Bank Dunia, Februari 2012.
140 Ancaman ini bersifat universal, karena banyak kota-kota di dunia juga menghadapi masalah-masalah banjir berulang yang
merugikan ekonomi dan lingkungan. Lihat “Cities and Flooding: A Guide to Integrated Urban Flood Risk Management in 21st
Century”, Jha, Abhas, dkk. (2012).
168
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IX
Indonesia: Menghindari Perangkap
penurunan permukaan tanah antara 60 dan 225 cm dari tingkatannya sekarang. Bila dibandingkan
dengan proyeksi peningkatan air laut sebesar 15 hingga 18 cm secara rata-rata untuk periode
waktu yang sama,141 maka penurunan ketinggian permukaan tanah yang disebabkan oleh
urbanisasi jelas merupakan ancaman yang lebih serius untuk Jakarta ketimbang perubahan iklim
yang didorong oleh peningkatan permukaan air laut.
Gambar 9.5: Jenis penggunaan lahan dan tingkat penurunan permukaan tanah di Jakarta Pusat
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Tidak semua isu urbanisasi di Indonesia merupakan cerita buruk bagi pengelolaan
risiko bencana. Dengan penduduk yang kesejahteraannya meningkat dan semakin sadar akan
risiko-risiko bencana, kerelaan mereka untuk mengeluarkan dana bagi pencegahan pun turut
meningkat. Salah satu indikator yang berguna untuk mengukur peningkatan strategi pengelolaan
risiko penduduk adalah tingkat asuransi bencana. Industri asuransi menggunakan sistem yang
serupa di seluruh dunia untuk mengumpulkan pengendalian risiko bencana alam dengan Catastrophic Risk Evaluation Standardizing Target Accumulation (CRESTA) guna menentukan zona-zona
risiko bagi harga premi asuransi. Statistik asuransi bencana dengan zona CRESTA memberikan
indikasi yang berguna tentang penetrasi asuransi di daerah-daerah yang sangat membutuhkan
asuransi tersebut.
Untuk Indonesia, data statistik terakhir bagi asuransi gempa bumi per Desember 2012
seperti diterbitkan oleh konsorsium asuransi bencana nasional, PT Maipark, menun$! " ";" "
tahun terakhir.142 Jakarta mencatat peningkatan sebesar lima kali lipat selama dua tahun terakhir
(Gambar 9.6 A). Pertumbuhan yang cepat itu mencerminkan peningkatan keyakinan pada pasar
asuransi dan menandakan kesadaran dari sisi pihak yang diasuransikan tentang kelayakan pengelolaan risiko-risiko bencana melalui sarana keuangan. Tujuh kota besar lainnya, yaitu Surabaya,
Medan, Bandung, Palembang, Makassar, Yogyakarta, dan Padang, juga mencatat kenaikan premi
_>?^`? ! <=%=
setelah terjadinya gempa bumi yang merusak pada bulan September 2009. Hal ini menunjukkan
bahwa kesadaran risiko bersama-sama dengan industri asuransi yang tanggap dapat mempercepat
dan memperdalam penetrasi asuransi.
%'%+ ! ] ! _+]`$] ^ !
Weather Event, Republik Indonesia, Maret 2010.
142 LaporanStatistikAsuransiGempaBumi Indonesia per 31 Desember 2012. PT Maipark.
169
]!
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Bab IX
Indonesia: Menghindari Perangkap
Gambar 9.6: Premi asuransi per zona CRESTA pada kota-kota utama di Indonesia
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
3. Pilihan kebijakan
'$! "; " " "!"!%
peraturan yang kokoh dan pasar yang sehat agar dapat mewujudkan potensi pertumbuhan ini menjadi investasi yang preventif dan dalam rangka pengelolaan risiko. Sejumlah
pilihan kebijakan yang konkrit dapat dipertimbangkan agar Indonesia mampu meraup manfaat
urbanisasi seoptimal mungkin, sekaligus menggunakan pertumbuhan untuk membangun ketahanan yang lebih kokoh.
Program nasional tentang tata wilayah mikro bagi daerah bencana, yang memberikan instrumen terperinci untuk menyertakan ketahanan ke dalam rancangan lokasi pembangunan dan
standar konstruksi pembangunan;
Kerangka pendanaan untuk pembangunan perkotaan, perumahan, dan properti yang memberi insentif bagi investasi yang telah menyertakan ketahanan terkait dengan asuransi bencana; dan
Program nasional peningkatan daerah perkotaan dan rehabilitasi ekosistem untuk meningkatkan ketahanan permukiman dan infrastruktur perkotaan yang telah ada, sebagai bagian dari
peningkatan masa depan pertumbuhan Indonesia yang ramah lingkungan.
170
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Indonesia: Menghindari Perangkap
Daftar Pustaka
Abhas K, J., & Stanton-Geddes, Z. (Eds.). (2012). Strong, Safe, and Resilient: A Strategic Policy Guide. Washing $\\[ $! ^ ?
$? ?$ $?$!$+?$!$[?$Q $?$¡\ $?_<==>`?
\! |_+ `?7th FIG Conference. Hanoi.
]
\^?_<=%<`?Tobacco Taxes: A Win-Win Measure for Fiscal Space and Health? \! ^ ?
\^$|+$¡! ^ ?_<==`?Connecting East Asia: A New Framework for Infrastructure??
¢ $ ??$¡[ Z\ $^?_<==`? ! +
+! ?Policy Research Working Paper Series.
O}O
!+ ?_<=%<`?+ ] ] !
! |? ] ! ^ ?
!
!
]
^ \ ?_<==`?Natural Disaster Hotspots, A Global Risk Analysis. Disaster Risk Management Series.
$\! ^ ?
^ \ ?_<==`?Equity and Development?! \! ? $\! ^ ?
^ \ ?_<==`?Making Serives Work for the Poor in Indonesia: Focusing on Achieving results on the Ground.
$\! ^ ?
^ \ ?_<==>`?Investing in a More Sustainable Indonesia. ! !?|!
^ ?
^ \ ?_<=%=`?Towards Better Jobs and Security for All.+
|?|! ^ ?
^ \ ?_<=%%`?6 8 ' <! \! ? $\!
^ ?
^ \ ?_<=%<`?$ $ > ?@ 6 Q< Road Sector
! O?! ^ ?
^ \ ?_<=%<`?Optimizing Sub-national Performance for Better Service and Faster Growth.+
! ! O?|! ^ ?
]Z
^ \ ?_<=%<$\`? ! Q ?Indonesia Economic Quarterly.
^ \ ?_<=%<`?Protecting Poor and Vulnerable Households in Indonesia?|! ^ ?
^ \ ?_<=%<`?Putting Higher Education to Work?]!!
^ ?
O ?!
^ \ ?_<=%<`?Raskin Subsidized Rice Delivery?|! ^ ?
^ \ ?_<=%<`?Targetting Poor and Vulnerable Households in Indonesia?|! ^ ?
^ \ ?_<=%$`? ?Indonesia Economic Quarterly.
^ \ ?_<=%`?Creating More and Better Jobs? ! \! ?! ^ ?
171
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Indonesia: Menghindari Perangkap
Bank Dunia. (2013, Maret). Pressure Mounting. Indonesia Economic Quarterly.
Bank Dunia. (2013). Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia. East Asia
?|! ^ ?
Bank Dunia. (yang akan datang). Inequality of Income and Consumption in Indonesia.
Barber, S., Adioetomo, S. M., Ahsan, A., & Setyonaluri, D. (2008). Tobacco Economics in Indonesia. Paris: International Union against Tuberculosis and Lung Disease.
Bhattacharyya, S., & Williamson, J. G. (2013, August). Distributional Impact of Commodity Price Shocks:
Australia over a Century. CEPR Discussion Paper 9582.
Blöndal, J., Hawkesworth, I., & Choi, H. (2009). Budgeting in Indonesia. OECD Journal on Budgeting, 9(2),
1-31.
Cerdan-Infantes, P., & Mileiva, S. (Forthcoming). Analysis of the relevance of Higher Education Using
Labor Market Outcomes of Graduates.
Chen, D. (2009, Januari). Vocational Schooling, Labor Market Outcomes, and College Entry. Policy Research
[ ? [ +.
Chenery, H. B., & Syrquin, M. (1975). Patterns of Development, 1950-1970. Oxford: Oxford University Press.
Chenery, H. B., Robinson, S., & Syrquin, M. (1986). Industrialization and Growth: A Comparative Study. New
York: Oxford University Press.
Clarke, G. R. (1995, Agustus). More Evidence on Income Distribution and growth. Journal of Development
Economics, 47(2), 403-427.
Data dan Informasi Bencana Indonesia (DiBI). (n.d.). Data and Information on Disasters in Indonesia.
National Agency for Disaster Management (BNPB).
de Barros, R. P., Francisco, H. G., Molinas-Vega, J. R., & Saavedra Chanduri, J. (2009, December). Measuring Inequality of Opportunities in Latin America and the Caribbean. Journal of Economic Literature, 47(4),
1152-1154.
Dharmawan, I. (2012, Agustus). The Effect of Air Transport to Economic Development in Indonesia.
Erasmus University of Rotterdam, Erasmus School of Economics.
di Gropello, E., Aurelien, K., & Prateek, T. (2011). Skills for the Labor Market in Indoensia: Trends in Demand,
Gaps, and Supply. World Bank.
Doing Business Sub-national. (2012). Doing Business in Indonesia 2012: Comparing Regulation for Domestic Firms
in 20 Cities and with 183 Economies. World Bank and International Financial Corporation.
Economist Intelligent Unit. (2012). World Investment Service.
Feridhanusetyawan, T., & Pangestu, M. (2003). Managing Indonesia’s Debt. Asian Economic Papers, 2(3),
128-154.
Forbes, K. J. (2000, September). A Reassessment of the relationship between Inequality and Growth.
American Economic Review, 90(4), 869-887.
Ghosh, S. R. (2001). Managing Financial Integration, Lessons from East Asia: Indonesia Case Study.
172
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Indonesia: Menghindari Perangkap
Ghosh, S. R. (2013). East-Asian Crisis of 1997. In G. Caprio (Ed.), The Evidence and Impact of Financial
Globalization (Vol. 3, pp. 669-688). Oxford: Elsevier Inc.
Hadiwidjaja, G., Paladines, C., & Wai-Poi, M. (2013). The Many Dimensions of Child Poverty in Indonesia.
ICCSR. (2012). 8 + @ 8 \ ? ] [ . Indonesia
Climate change Sectoral Roadmap, Republik Indonesia.
IMF. (2010). Indonesia Selected Issues: IMF Country Report No.10/285. Washington, DC: International Monetary Fund.
IMF. (2011). Indonesia Selected Issues: IMF Country Report No.11/310. Washington, DC: International Monetary Fund.
IMF. (2012). Indonesia Selected Issues: IMF Country Report No.12/277. Washington, DC: International Monetary Fund.
IMF. (2012). Indonesia Selected Issues: IMF Country Report No.12/278. Washington, DC: International Monetary Fund.
IMF. (2013). World Economic Outlook: Hopes, Realities, and Risks. Washington, DC: International Monetary
Fund.
IMF. (2013). World Economic Outlook: Special Focus. Washington, DC: International Monetary Fund.
Institute for Health Metrics and Evaluation. (2013). Global Burden of Disease Tool: 2010 Data.
Jha, A. K., Bloch, R., & Lamond, J. (2012). Cities and Flooding: A Guide to Integrated Urban Flood Risk Management in 21st Century. World Bank.
Kuznets, S. (1955). Economic growth and Income Inequality. The American Economic review, XLV.
Lewis, B. D. (2014). Urbanization and Economic Growth in Indonesia: Good News, Bad News and (Possible) Local Government Mitigation. Regional Studies, Vol. 41(1), 192-207.
Lucas, R. E. (1988). On the Mechanics of Economic Development. Journal of Monetary Economics, 22, 3-42.
Lucas, R. J. (1988, July). On the Mechanics of Economic Development. Journal of Monetary Economics, 22(1),
3-42.
Mansoor, A. M., Takagi, S., Barnes, K., & Cohen, B. H. (2003). The IMF and Recent Capital Account Crises:
Indonesia, Korea, and Brazil.+[Q+ ! ?
McKinsey Global Institute. (2012). The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential. McKinsey &
Company.
Michael, B. (2011). Indonesia’s Law on Public Service No.25/2009: Changing State-Society Relations or
Continuing Politics as Usual. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 47(1), 65-86.
Michael, B. (2013). Elite Competition and Changing State-Society Relations: Shari’a Policy-making in
Indonesia.
OECD. (2012). OECD Review of Agricultural Policies: Indonesia. OECD Publishing.
PNPM, G. (2010). Village Capacity in Maintaining Infrastructure: Evidence from Rural Indonesia.
173
Kajian Kebijakan Pembangunan 2014
Indonesia: Menghindari Perangkap
PT. Maipark. (2012). Laporan Statistik Asuransi Gempa Bumi Indonesia per 31 Desember 2012. Statistical Report
of Earthquake in Indonesia.
Puskapol. (2013). Women’s Political Representation in Provincial Parliament (Provincial DPRP): Study in
DPRP of Banten, DPRD of West Java, and DPRD of DKI Jakarta. Research Result Presentation. Centre for
Political Studies, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesi.
RISKESDAS. (2010). Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI.
Robert, B. J. (1990, Janauri). Human Capital and Growth: Theory and Evidence: A Comment. Carnegie
Conference Series on Public Policy, 32(1), 287-291.
Robert, B. J. (2000, Maret). Inequality and growth in a Panel of Countries. Journal of Economic growth, 5(1),
5-32.
Romer, D. (1986, November). A Simple General Equilibrium Version of the Baumol-Tobin Model. 101(4),
pp. 663-685.
Romer, P. M. (1986). Increasing Returns and Long Run Growth. Journal of Political Economy, 94, 1002–1037.
Rumbaugh, T. (Ed.). (2012). Indonesia: Sustaining Growth during Global Volatility. Washington, DC: International Monetary Fund.
SIGMA . (2004). 6 6 Q @ _ ` { Q `<
Paper 35. Paris: OECD.
Van der Eng, P. (2008). Capital Formation and Capital Stock in Indonesia, 1950-2007. Trade and Development.
World Health Organization. (2013). Report on the global Tobacco Epidemic. World Health Organization.
World Health Organization. (2013, July). Tobacco Fact Sheet No.339.
174