Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
"INTEGRATIF-KOMPREHENSIFISTIK: CUMI-CUMI ILMU” SEBAGAI RAHMATAN LIL 'ALAMIN ( Sebuah Konsep Keilmuan dalam Mengintegrasikan Ilmu Agama & Ilmu Umum Di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) MAKALAH Diajukan Untuk Tugas Akhir Mata Kuliah : Studi Islam Integratif Kelas : B Dosen Pengampu Dr. Waryani Fajar Riyanto, S.HI., M.Ag Di susun Oleh: Asiz Firmansyah NIM: 2052113029 PROGRAM PASCASARJANA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN 2013 Pendahuluan Islam sebagai agama universal, hal ini berlaku sepanjang zaman bukan hanya mengatur urusan akhirat, tetapi juga urusan dunia. Demikian juga Islam mengatur Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hubungan dengan tuhan, dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan keduniaan. Islam mengatur keduanya dengan integraited, yaitu bahwa apa yang disebut sebagai ilmu agama sebenarnya di dalamnya juga mengatur ajaran tentang bagaimana sesungguhnya hidup yang baik dan beradab didunia ini. Dan yang dimaksud dengan ilmu umum, sebenarnya amat dibutuhhkan dalam rangka berhubungan dengan tuhan. Namun dewasa ini, kita menyaksikan bahwa perkembangan antara Ilmu agama dan ilmu umum (Pengetahuan) sangatlah cukup pesat, akan tetapi antara kedua keilmuan tersebut terjadi dekotomi. Ilmu agama lebih berkonsentasi mengatur hubungan manusia dengan tuhan dan hubungan manusia dengan manusia prespektif agama, sedangkan ilmu umum banyak mengatur hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan alam dalam prespektif kebutuhan manusia itu sendiri. Beberapa tahun terakhir, sejak abad ke-20 hingga sekarang, para tokoh muslim dunia termasuk Indonesia, berupaya untuk mengintegrasikan Ilmu agama dan Ilmu umum salah santu bentuk integrasinya ialah seperti Islamisasi Ilmu pengetahuan, Pengilmuan Islam dan dialogis ilmu pengetahuan dan agama, hal tersebut merupakan usaha dalam rangka menyelamatkan kehidupan manusia dan kembali pada zaman keemasan Islam Dalam makalah ini, penulis ingin akan memaparkan beberapa konsep integrasi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan, serta menawarkan konsep keilmuan "Cumi-cumi Ilmu" sebagai Rahmatan lil 'alamin. Konsep “ Integratif-komprehensifistik: Cumi-Cumi Ilmu” Sebagai Rahmatan Lil 'alamin Pengaruh Modernisme : Dikotomi Ilmu dan Agama Sejarah menunjukan, masa modern suatu tonggak peradaban manusia yang berbeda dari masa sebelumnya: kelasik dan tengah. Masa modern ditandai oleh pandangan hidup (way of life) sekuler yang berawal dari pertarungan antara kaum gereja dan kaum ilmuawan di Eropa Barat. Berdasarkan paham sekuler: agama urusan gereja, politik urusan negara. Pada abad tengah, terjadi konflik antara kaum agamawan (gerejawan) yang menentukan pandangan dunia dengan ilmuan yang dipandang seringkali mengingkari ajaran tuhan. Agama sebagai suatu entitas yang terpisah dan harus dipisah dari aspek-aspek kehidupan lain. Agama merupakan suatu peribadi yang bersifat sakral dan hanya berhubungan dengan tuhan Yang Maha Sakral (Tuhan). Pandangan demikian kemudian berimbas hampir ke semua aspek kehidupan manusia: politik, sosial, budaya, ekonomi dan tidak terkecuali dunia pendidikan. Akh. Minhaji, Tradisi Akademik Di Perguruan Tinggi, (Yogakarta: SKA-Press, 2013, Cetakan Pertama), hlm,63-64. Secara umum, sekularisme dipandang mengancam eksistensi agama. Dikalangan kristen misalnya, bahaya dan ancaman bisa dipahami secara gamblang oleh pandangan seorang tokoh katolik (Bishop) bernama Most Rev. Ibid, Akh. Minhaji, Tradisi Akademik Di Perguruan Tinggi,... hlm,65. hal serupa juga dirasakan oleh Cuthbert M O'gara karena sering melihat para penganut paham sekuler menyebar brosur-berosur secara terus-menerus terutama pada anak-anak muda, mereka memaparkan bahwa tidak ada tuhan, tidak ada jiwa, tidak ada kehidupan setelah mati, tidak ada kebenaran absolut, dan tidak ada nilai-nilai moral yang pasti. Tentu saja, perkembangan ilmu yang positivistik, materialistik, dan pragmatik sangat menghawatirkan bagi O'gara. Dalam dunia Islam, dampak modern tidak kalah serunya, dan telah melibatkan banyak penulis dengan topik tersebut, seperti karya Fazlur Rahman yang berjudul Islam and Modernity, Muhammad Naquib Al-Attas dalam karyanya berjudul Islam and Secularism, dan masih banyak tokoh-tokoh muslim yang lain. Masa modern dengan ciri sekulerisme telah masuk ke jantung umat Islam. Hal ini antara lain bisa terlihat dalam dunia pendidikan, yang merupakan satu sarana yang amat strategis bagi masa depan umat. Pendidikan, pada dasarnya berkaitan erat dengan masalah ilmu. Apalagi pendidikan agama, yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama. Sudah bukan rahasia lagi, kekacauan konsep ilmu telah menyebabkan munculnya dampak yang sangat serius di kalangan kaum Muslimin saat ini. ‎‮ ‬Pada level perguruan tinggi,‭ ‬konsep keilmuan terpecah secara mendasar‭; ‬ilmu agama dan ilmu umum.‭ ‬Perguruan Tinggi dibentuk berdasarkan konsep yang sekuler ini,‭ ‬sehingga lahirlah perguruan tinggi umum dan perguruan tinggi Islam.‭ ‬Konsep dasar ini jelas sangat keliru,‭ ‬karena tidak berdasarkan pada konsep keilmuan Islam.‭ ‬Dari konsep yang salah ini,‭ ‬lahirlah para cendekiawan yang terbelah,‭ ‬baik dalam cara berpikir maupun dalam penguasaan keilmuan.‭ ‬Mahasiswa yang belajar teknik,‭ ‬kedokteran,‭ ‬ekonomi,‭ ‬komputer,‭ ‬geologi,‭ ‬dan sebagainya,‭ ‬tidak merasa perlu mempelajari ilmu-ilmu agama.‭ ‬Ia hanya merasa cukup sudah beramal dan bersemangat memperjuangkan Islam melalui aktivitas politik,‭ ‬sosial,‭ ‬ekonomi,‭ ‬dan sebagainya.‮ Menurut pandangan mereka (mahasiswa ilmu Umum), mempelajari ilmu-ilmu agama seperti itu adalah tanggung jawab orang-orang pesantren, IAIN, dan semacamnya. Meskipun secara umum bisa dikatakan, rata-rata mahasiswa kedokteran, teknik, komputer, dan sebagainya, adalah manusia berotak cerdas, mereka tidak merasa wajib menggunakan akalnya untuk mempelajari dengan sungguh-sungguh bahasa Arab atau ulumuddin lainnya. Belajar agama dianggap sambilan, atau sekadar mengisi waktu, dengan tenaga dan pikiran sisa. Mereka sanggup belajar bahasa Inggris, membayar mahal, dan bersungguh-sungguh mencurahkan pikirannya, untuk menguasai bahasa itu. Tetapi, ketika berhadapan dengan bahasa Arab, mereka merasa tidak berkepentingan sama sekali. Pada umumnya, para profesional atau kaum cendekiawan berlatar berlakang ilmu-ilmu umum, senang dan bangga memelihara statusnya sebagai orang awam dalam agama. Meskipun sudah lulus kuliah berpuluh-puluh tahun, dan menjadi orang muslim sejak lahir, mereka senang mengucapkan, saya ini awam dalam agama. Jadilah ia awam seumur hidupnya dalam bidang-bidang ilmu agama, tetapi sangat pakar dalam ilmu-ilmu tertentu di bidang profesinya.‭ ‬Fenomena semacam ini sangat lazim kita jumpai.‭ ‬Mereka menjadi awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena otaknya bodoh,‭ ‬atau tidak punya waktu untuk belajar,‭ ‬tetapi lebih karena mereka tidak memahami konsepsi ilmu dalam Islam.‮ Ibarat seorang dokter, maka ulama wajib mengetahui ilmu tentang pengobatan dan sekaligus ilmu tentang penyakitnya.‭ ‬Maka,‭ ‬di masa lalu,‭ ‬para ulama Islam,‭ ‬di samping mengusai ilmu-ilmu keislaman dengan mendalam,‭ ‬mereka juga menguasai ilmu-ilmu tentang pemikiran kontemporer‭ ‬maupun saince‭ ‬ketika itu.‭ ‬Dengan itulah para ulama bisa menjalankan fungsinya sebagai pewaris para Nabi,‭ ‬dengan menjaga akidah umat. Integrasi Ilmu Umum dan Ilmu Agama Sejak beberapa tahun terakhir, ramai dibicarakan tentang integrasi ilmu dan agama. Dari pembicaraan itu, maka dilahirkan satu di antaranya adalah perubahan kelembagaan pendidikan tinggi Islam dari IAIN atau STAIN menjadi bentuk universitas, yaitu Universitas Islam Negeri di beberapa kota. Tentu perjuangan itu bukan pekerjaan mudah, namun karena dilakukan secara total dan sungguh-sungguh maka akhirnya berhasil juga. Kerjasama-UIN Malang, Implementasi Konsep Integrasi Ilmu dan Agama , http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2918:implementasi-konsep-integrasi-ilmu-dan-agama-&catid=25:artikel-rektor, diakses tanggal 15 Mei 2013 Sementara ini ada enam perguruan tinggi agama Islam negeri yang telah berubah menjadi bentuk universitas, yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarya, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Syarif Qasim Riau, UIN Sunan Gunung Jati Bandung dan UIN Alauddin Makassar. Warani fajar Riyanto, Studi Islam Integratif Di Indonesia , (yogyakarta: Mahameru Press), hlm,355-356 Semua UIN tersebut mengemban amanah yang sama, yaitu mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama. Namun, diakui atau tidak, bentuk implementasi itu berbeda-beda, dan dianggap sebagai hal yang wajar. Jika kita melihat pengertian dari integrasi, Integrasi sendiri secara bahasa berasal dari kata kerja to integrate, yang berarti: "to join to someting else so as to form a whole," atau " to join in society as a whole, spend time with members of other groups and develop habits like theirs." Bisa juga berarti " to bring (parts) together into a whole," atau " to remove barriers imposing segregation upon (racial groub)." Dari kata kerja to integrate inilah lahir kata benda integration dan kata sifat integrative dan juga integrated. Jadi dapat diartikan bahwa integrasi ialah menghubungkan sekaligus menyatukan antara dua hal atau lebih. Dalam Islam, secara paradigmatik, integrasi antara Ilmu umum dan Ilmu agama itu dilandaskan pada tawhidiq system, yakni menempatkan Allah sebagai awal dan akhir dari segalanya. Dalam prespektif ini, maka integrasi dilakukan antara ilmu umum, yakni ayat-ayat alam semesta atau wahyu tidak tertulis (kawniyyah) dan ilmu agama, yakni ayat-ayat Qur'an atau wahyu tertulis (qawliyyah). Pada masa awal Islam, integrasi keduanya selalu menjadi ciri kegiatan akademik para ilmuan islam. Begitu pula, sejumlah pemikir barat melakukan hal yang sama. Sayangnya, masa barat modern membawa kegiatan akademik dan intlektual pada penekanan pentingnya yang kawniyyah dan sering menafikan yang qawliyyah. Itulah yang seringkali dikenal dengan empirisme atau positivisme: yang ada, yang nyata, dan yang benar itu hanyalah yang bisa diindra dan dirasakan (mahsusi) dan menolak yang metafisik (ma'quli). Akh. Minhaji, Tradisi Akademik Di Perguruan Tinggi, (Yogakarta: SKA-Press, 2013, Cetakan Pertama), hlm,84. Saat ini, umat Islam kemudian lebih banyak terekspos dengan literatur barat yang dikhotomik dan menekankan pada empirisme dan positivisme dan sedikit sekali mengenal kegiatan akademik dalam teradisi Islam yang bersifat Integratif antara kawniyyah dan qawliyyah. Akibatnya, kegiatan penelitian saat ini lebih dipahami sebagai kegiatan di lapangan dan jarang sekali yang berangkat dari al-Qur'anyang banyak mendorong umat manusia untuk mengkajinya lebih jauh. Dari paradigma integratif seperti itulah kemudian lahir beberapa pandangan mengedan pengintegrasian antara ilmu umum dengan ilmu agama diantaranya seperti : Integrasi: Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Integrasi: Pengilmuan Islam dan Integrasi : interkoneksi. Integrasi: Islamisasi Ilmu Pengetahuan Salah satu istilah yang paling populer dipakai dalam konteks integrasi Ilmu agama dan Ilmu umum adalah kata "Islamisasi". Menurut Echol dan Hasan Sadely, kata Islamisasi berasal dari bahasa Inggris Islamization yang berarti Pengislaman. Dalam kamus Webster, Islamisasi bermakna to bring within Islam. Abuddin Nata, dkk. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), hlm,141. Islamisasi ilmu pengetahuan pertama kali dimunculkan oleh isma'il Raji Al-Faruqi dari lembaga Pemikiran islam Internasional (internasional institute of Islamic Thought) di Amerika Serikat menjelang tahun 1980-an. Gagasan ke arah Islamisasi Pengetahuan sebelumnya sudah dicetuskan oleh M Naquib Al-attas. Kuntowijoo. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm, 7. Dalam konteks Islamisasi Pengetahuan, yang harus mengaitkan dirinya pada prinsip tauhid adalah pencarian ilmu (thalib al-ilmi)-nya, bukan ilmu itu sendiri. Begitu pula yang harus mengakui bahwa manusia berada dalam suasana dominasi ketentuan tuhan secara metafisik dan aksiologi adalah manusia sebagai pencari ilmu, bukan ilmu pengetahuan. Op.cit, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum,..... hlm, 141. Islamisasi pengetahuan berusaha supaya umat islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, Yaitu tauhid. Dari tauhid, ada tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup, dan kesatuan sejarah. Kesatuan pengetahuan artinya, bahwa pengetahuan harus menuju kepada kebenaran yang satu. Kesatuan hidup berarti hapusnya perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang bebas nilai. Kesatuan sejarah yaitu pengetahuan harus mengabdi pada umat dan pada manusia. Islamisasi pengetahuan berarti mengembalikan pengetahuan pada tauhid atau konteks kepada teks. Op.cit, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etik,...... hlm, 8. Terkait dengan gagasan kearah Islamisasi ilmu pengetahuan, ada 3 hal temuan ilmiah terpenting dalam dunia Islam yang ditemukan oleh Naquib al-Attas, penemuan tersebut adalah; (1) problem terpenting yang dihadapi umat Islam saat ini adalah masalah ilmu pengetahuan; (2) ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai (netral) sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman manusia barat; dan (3) umat Islam, oleh karena itu, perlu mengislamkan ilmu pengetahuan masa kini dengan mengislamkan simbol-simbol linguistik mengenai realitas dan kebenaran Wan Moh Nur Wan Daud. The Educational Philosopy and Practice of syed Muhamad Naquib al-attas,. Terj, Hamid fahmi, dkk. Filsafat dan Praktek pendidikan Islam , Syed M. Naquib Al-Attas, (bandung: Mizan, 2003), hlm, 317. Konsep Islamisasi ilmu pengetahuan oleh al-Attas didasari oleh asumsi bahwa pengetahuan yang berkembang di Barat banyak mewariskan anomali, diantaranya pemahaman yang tidak adil dan etnosentrik yang telah menyebabkan kekacauan global, bukannya perdamaian dan keadilan. Selain itu pengetahuan Barat yang bercorak atheistik, mengangkat peraguan dan pendugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi. Ilmu pengetahuan modern yang diproyeksikan melalui pandangan hidup yang dibangun diatas visi intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat. Menurut al-Attas ada 5 faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat yang kelimanya saling berkait-kelindan (inter-related characteristics): (1) Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan; (2) mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran; (3) membenarkan aspek temporal wujud yang memproyeksikan suatu pandangan dunia sekuler; (4) pembelaan terhadap doktrin humanisme; (5) peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual, atau transcendental, atau kehidupan batin manusia, yaitu dengan menjadikan drama dan tragedi sebagai elemen yang riil dan dominan dalam jati diri dan eksistensi manusia Ibid, hlm, 333-334. Dari berbagai pengertian dan model islamisasi pengetahuan diatas dapat disimpulkan bahwa islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali semangat umat islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan intlektual dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-Qur'an dan Al-Hadits nabi, sehingga umat islam akan bangkit dan maju menyusul ketinggalannya dari umat lain. Khususnya Barat. Integrasi: Pengilmuan Islam Munculnya gagasan pengilmuan Islam bermula ketika seseorang teman dari Kuntowijoyo menyamakan "Islamisasi Pengetahuan" dengan "Islamisasi Nonpri" pada tahun 1950-an. Seperti diketahui, pada waktu itu ada pembatasan bagi bisnis nonpri: nonpri hanya diperkenankan berbisnis paling bawah, yaitu di ibukota kabupaten. Lalu ada gerakan ke arah "Islamisasi nonpri" oleh para nonpri sendiri yang punya bisnis di tingkat kewadenan kebawah. Caranya ialah dengan sunat secara Islam. "Islamisasi Pengetahuan "sama dengan "Islamisasi Sepotong daging"! tentu saja saya sakit hati dengan penyamaan ini, ungkap kuntowijiyo. Kemudian ia menjelaskan sakithatinya karena sebuah gerakan intlektual yang sarat nilai keagamaan disamakan dengan bisnis yang pragmatis. Oleh karena itu, ia tidak lagi memakai "islamisasi Pengetahuan" dan ingin mendorong supaya gerakan intlektual umat sekarang ini melangkah lebih maju, dan mengganti "Islamisasi Pengetahuan" menjadi "pengilmuan Islam". Dari reaktif menjadi proaktif. Kuntowijoo. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm, vii-viii. Kuntowijoyo mengkritik sekaligus memberikan tawaran konsep yang berbeda, yakni gagasan pengilmuan Islam. Pengilmuan Islam bukan suatu bentuk reaksi terhadap bangunan keilmuan yang sudah mewujud dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Metodologi yang dipakai dalam gerakan “pengilmuan Islam” tidak hanya mengurusi persoalan keilmuan semata; salah satu tujuannya adalah mengkontekskan teks-teks agama; dengan kata lain menghubungkan agama dengan kenyataan. Istilah lain yang bisa digunakan disini adalah “membumikan Islam”, dan kenyataan hidup adalah konteks dari keberagamaan Selain itu Kuntowijoyo menawarkan methodological objectivisme, seraya menolak methodological secularism dengan membawa alternative ilmu sosial profetik. Jadi, disatu sisi yang diinginkan oleh Kuntowijoyo adalah melanjutkan perjalanan ilmu-ilmu sekuler dan mencoba memperbaiki dari dalam. Pencapaian ilmu-ilmu sekuler tidak dinafikan, tapi diintegrasikan delam suatu kerangka teoritis baru yang punya keberpihakan cukup jelas kepada nilai-nilai humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi. Kerangka teoritis yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo dan disebut dengan metode strukturalisme transendental ini diderivasi melalui surat Ali Imran (3) ayat 110. ‏‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. Menurut Kuntowijoyo, pengetahuan yang benar-benar obyektif tidak perlu diislamkan, karena Islam mengakui objektifitas. Teknologi itu sama saja, baik ditangan orang Islam atau ditangan orang kafir. Karena itu kita harus pandai memilih mana yang perlu diislamisasi, mana yang tidak. Bagi Kuntowijoyo, metode itu dimana-mana sama: metode survei, metode partisipan, atau metode grounded dapat dipakai dengan aman tanpa risiko akan bertentangan dengan iman. Tidak ada kekhawatiran apapun dengan ilmu yang benar-benar obyektif dan sejati. Jadi, bagi Kuntowijoyo, islamisasi pengetahuan memang perlu, dan sebagian adalah pekerjaan yang tidak berguna. Ibid,.. hlm, 8-9. Adapun mengenai “ketakbebasan nilai” suatu ilmu itu apakah bertentangan dengan keinginan untuk bersikap objektif dalam melakukan objektifikasi. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa yang ingin ditekankannya adalah karakter ilmu yang objektif, dalam pengertian publik yang bisa dipahami/diverivikasi/dihayati bersama-sama oleh sebanyak mungkin anggota masyarakat (dan karenanya bisa mengantarkannya ke universalitas). Bersifat objektif adalah mengambil jarak dari subyektifitas pengamat. Filsafat ilmu kontemporer telah cukup menunjukkan bahwa “objektifitas murni” jelas tak mungkin, dan karenanya sebagian filosof lebih senang memakai istilah “trans-subjektif”. Tapi ujung-ujungnya sama: ada kesepakatan mengenai realitas diantara komunitas keilmuan. Kuntowijoyo melihat bahwa sementara ilmu-ilmu sosial modern bersifat bebas nilai, sesungguhnya dalam banyak kasus ada keberpihakan atau kepentingan tersembunyi. Beberapa contoh yang diajukan Kuntowijoyo seperti kasus ilmu antropologi awal yang berpihak kepada kepentingan kolonial; ilmu ekonomi neo-liberal yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal. Dalam kasus-kasus tersebut, selalu ada beberapa pilihan yang tersedia dan harus diambil salah satunya; ini adalah proses pemilihan etis. Sejauh ini pertimbangan etis diikutsertakan, sifatnya sebagai imbuhan eksternal, tak inheren dalam ilmu itu sendiri. Yang diupayakan adalah memasukkan pertimbangan-pertimbangan etis itu ke batang tubuh ilmu. Yang pada akhirnya ilmu yang lahir bersama etika tidak boleh partisan, namun harus bermanfaat untuk manusia seluruhnya. Ilmu yang integralistik tak akan mengucilkan Tuhan ataupun manusia. Terakhir, Dengan mengangkat gagasan “pengilmuan Islam”, Kuntowijoyo ingin menekankan pada sifat ilmu yang objektif (atau trans-subjektif), yang publik, melampaui individu. Kekurangan ilmu yang dilihatnya adalah keterpisahannya dari etika, dan menghindari keberpihakan. Ini dicoba diatasinya dengan mengintegrasikan ilmu modern dengan cita-cita profetik yang bersumber dari agama. Integrasi: Interkoneksi Menurut Akh. Minhaji, dalam konteks UIN Sunan Kalijaga Jargon integrative-interkonetif (I-Kon) sangat popular di dengar terutama bagi kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga Yogakarta. Jargon ini tidak hanya sekedar jargon pasca peralihan IAIN menjadi UIN, UIN Sunan kalijaga mengisyaratkan tidak lagi dikotomi antara Ilmu agama dan Ilmu Umum., yang dimaksud integrasi ialah Menghubungkan dan sekaligus menyatukan antara dua hal atau lebih (materi, pemikiran atau pendekatan), sedangkan interkoneksi adalah mempertemukan atau menghubungkan dua hal atau lebih (materi, pemikiran atau pendekatan) karena tidak memungkinkanna untuk dilakukan penatuan (Integrasi). Akh. Minhaji, Tradisi Akademik Di Perguruan Tinggi, (Yogakarta: SKA-Press, 2013, Cetakan Pertama), hlm,85-86. Paradigma keilmuan integratif-Interkonektif dibangun sebagai respon atas persoalan masyarakat saat ini dimana era globalisasi banyak memunculkan kompleksitas persoalan kemanusiaan. Paradigma ini digagas oleh M. Amin Abdullah dalam menyikapi dikotomi yang cukup tajam antara ilmu umum dan ilmu agama. Warani fajar Riyanto, Implementasi Paradigma integrasi-Interkoneksi dalam penelitian 3 desertasi Dosen UIN Sunan Kalijaga, (yogakarta: LIMLIT UIN Sunan Kalijaga ogakarta, 2012), hlm, 6. Asumsi dasar yang dibangun dalam paradigma ini adalah bahwa dalam memahami kompleksitas fenomena apapun ang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, baik ilmu agama, ilmu sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Kerjasama saling membutuhkan dan tegur sapa antara berbagai disiplin Ilmu akan menjadi narrowmindededness secara aksiologi, paradigma interkoneksitas menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan ilmuan yang baru, yang lebih terbuka, mampu membuka dialog dan kerjasama dan transparan. Sedangkan secara antologis, hubungan antar disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antar disiplin keilmuan ini masih ada. Menurut pandangan Amin, dalam konteks pengembangan ilmu kalam (teologi), misalnya, diperlukan pola pikir abductive. Pola pikir abductive lebih menekankan the logic of discovery dan bukan the logic of justification meminjam istilah Karl Popper. Logika integrasi-interkoneksi adalah kombinasi antara pola pokir deduktif logika islamisasi ilmu Pengetahuan (religion) dan Induktif logika Ilmuisasi Islam (Science). Warani fajar Riyanto, Studi Islam Integratif Di Indonesia , (yogyakarta: Mahameru Press), hlm,245. Ada tiga paradigma pilar trialektis dalam paradigma integrasi-interkoneksi yaitu: hadarah an-nas (religion), hadarah al-falsafa (philosopy), dan hadarah al-'lm (Science). Op.cit,hlm, 10. Prinsip hadarah al-'ilm (science) yaitu ilmu-ilmu empiris yang menhsasilkan, seperti sains, teknologi, sosiologi, antropologi, dan ilmu-ilmu terkait dengan realitas tidak lagi dapat berdiri sendiri, tetapi juga harus bersentuhan dengan hadarah al-falsafah, sehingga tetap memperhatikan etika emansipatoris. Begitu juga sebaliknya, hadarah al-falsafah"pholosopy" (budaya filsafat) akan terasa kering dan gersang jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan ang termuat dalam budaa teks atau hadara an-nas (religion) dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem ang dibutuhkan dan dihadapi oleh Hadarah al-'ilm. Amin kemudian menawarkan model trialektis integrasi-interkoneksi ang hendakna diaplikasikan di UIN Sunan Kalijaga ang disebut dengan Istilah "interconnected entites", seperti tampak dalam gambar berikut ini: Dari skemah diatas tampak jelas bahwa ketiga keilmuan tersebut menjadi bentuk trialektika atau tegur sapa Ibid, hlm.11, masing-masing rumpun ilmu sadar akan keterbatasan-keterbatasan ang melekat dalam diri sendiri dan oleh karenanya bersedia untuk dialog, bekerjasama dan memanfaatkan metode dan pendekatan ang digunakan oleh rumpun ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan ang melekat jika masing-masing berdiri sendiri, terpisah antara satu dan lainna. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka pelajar,2006), hlm,405. Hal ini yang menjadi salah satu untuk tidak menyebut sebagai satu-satunya tolak ukur signifikansi dalam penerapan Interaksi-interkoneksi di UIN Sunan kalijaga. Tiga dimensi pengembangan ilmu ini bertujuan untuk mempertemukan kembali ilmu-ilmu modern dan postmodern , al-fikr al-islami dan dirasah islamiah dengan ilmu pra modern atau klasik keislaman. Op.cit,.. Implementasi Paradigma integrasi-Interkoneksi dalam penelitian 3 desertasi Dosen UIN Sunan Kalijaga..... hal.11 Dengan paradigma integrasi-intrerkoneksi secara konseptual memang sangat relevan bagi perkembangan keilmuan Islam, dimana dialog antara disiplin ilmu akan semakin memperkuat keilmuan Islam dalam menghadapi tantangan zaman dengan segala kompleksitas yang ada . Integratif-komprehensifistik: Cumi-Cumi Ilmu Dari pemaparan diatas, penulis menawarkan konsep keilmuan Islam agar tidak ada terjadi dekotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Konsep yang ditawarkan ialah Konsep Cumi-Cumi Ilmu sebagai Rahmatan lil 'alamin amerupakan sebuah metafora landasan pengembangan dan kajian Ilmu dalam ranah pendidikan. Berangkat dari sebuah ayat yang terdapat dalam Al-Qur'an, yang berbunyi: ‏‭ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‎‮ Dihalalkan bagimu binatang buruan laut Maksudnya: binatang buruan laut yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat dan sebagainya. Termasuk juga dalam pengertian laut disini Ialah: sungai, danau, kolam dan sebagainya. dan makanan (yang berasal) dari laut Maksudnya: ikan atau binatang laut yang diperoleh dengan mudah, karena telah mati terapung atau terdampar dipantai dan sebagainya. sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.(QS: Al-Maa'idah, 96) Berdasarkan ayat diatas menjelaskan bahwa segala mahluk atau binatang laut segalanya halal, baik itu diperoleh melalui peroses berburu atau mati terapung. Tak terkecuali juga cumi-cumi, yang merupakan salah satu binatang laut. Cumi-cumi adalah kelompok hewan Cephalopoda atau jenis moluska yang hidup di laut. Nama Cephalopoda dalam bahasa Yunani berarti kaki kepala, hal ini karena kakinya yang terpisah menjadi sejumlah tangan yang melingkari kepala. Seperti semua Cephalopoda, cumi-cumi dipisahkan dengan memiliki kepala yang berbeda Klasifikasi Cumi-cumi menurut Sarwojo. Sarwojo.. Serba – Serbi Dunia Molusca. (Malang. 2005), hlm. 1 adalah : Nama latin : Loligo chinensis Phylum : Moluska Kelas : Cephalopoda Ordo : Teuhoidea Genus : Loligo Species :Loligo chinensis Cumi-cumi (Loligo sp.) termasuk binatang lunak (Phylum Mullusca) dengan cangkang yang sangat tipis pada bagian punggung. Cumi-cumi tubuhnya lunak tetapi bisa dapat membentuk cangkang (Shell) dari kapur. Cumi-Cumi cangkangya hanya berupa kepingan kecil dan terdapat di dalam tubuhnya. Deskripsi mengenai Cumi-cumi (Loligo sp.) yaitu memiliki badan bulan dan panjang, bagian belakang meruncing dan dikiri kanan terdapat sirip berbentuk segitiga yang panjangnnya kurang lebih 2/3 panjang badan. Sekitar mulut terdapat 8 tangan yang agak pendek dengan 2 baris lubang penghisap ditiap tangan dan 2 tangan yang agak panjang dengan 4 baris lubang penghisap. Terdapat tulang di bagian dalam dari badan, warna putih dengan bintik-bintik merah kehitam-hitaman sehingga kelihatan berwarna kemerah-merahan, panjang tubuh dapat mencapai 12-16 inci atau 30-40 cm bahkan lebih. Badan Cumi-cumi licin dan tidak bersisik sehingga praktis seluruh tubunya dapat dimakan. Cumi-cumi menangkap mangsa dengan menggunakan tentakel. Selain itu juga dapat mengelabu warna gelap musuhnya dengan memyemprotkan cairan tintah atau merubah warna kulitnya. Zat tintah yang dihasilkan cumi-cumi ini berwana gelap. Tubuh Cumi-cumi dibedakan atas kepala, leher dan badan. Kepala terdapat mata yang besar dan tidak berkelopak. Mata ini berfungsi sebagai alat untuk melihat. Masih di dekat kepala terdapat sifon atau corong berotot yang berfungsi sebagai kemudi. Jika ingin bergerak ke belakang menyempurkan air kearah depan, sehingga tubuhnya tertolak kebelakang. Sedangkan gerakan maju ke depan menggunakan sirip dan tentakelnya. Muzakkir, "Pendugaan Beberapa Parameter Dinamika Populasi Cumi-cumi (Loligo chinensis) di Perairan Kabupaten Barru Sulawesi Selatan"(Skripsi-Universitas Hasanudin Makasar,2011),Hal.4. Metafora cumi-cumi ini menggambarkan sebuah binatang laut yang segar, lincah, gesit dan memiliki banyak gizi yang sangat bermanfaat bagi manusia. Badan dan sirip cumi-cumi menggambarkan, Ilmu keislaman seperti : Tafsir, hadis, fiqih, tasawuf, dan sebagainya, pada bagian bagian belakang tubuh cumi-cumi terdapat sirip dikiri kanan berbentuk berbentuk segitiga, menggambarkan Al-Qur'an dan As-sunnah ang merupakan pondasi dari keilmuan Islam. Sedangkan bagian kepala dan leher, menggambarkan ilmu alam, ilmu sosial, dan humaniora (ilmu kimia, fisika, sosiologi, antropologi, politik, psikologi, sejarah, filsafat, dan sebagaina), adapun tangan/tangkel cumi-cumi menggambarkan hasil dari pertautan atau dialogis antara dua disiplin keilmuan, sehingga terdapat sosiologi agama, antropologi agama, ekonomi islam, politik islam dan lain sebagainya. Cumi-cumi mampu berenang kedepan dan ke belakang, Jika ingin bergerak ke belakang menyempurkan air kearah depan, sehingga tubuhnya tertolak kebelakang. Sedangkan gerakan maju ke depan menggunakan sirip dan tentakelnya, cara berenang cumi-cumi inilah menggambarkan bentuk dialogis antar keilmuan, sehingga menjadi keilmuan yang koperhensif. Sebuah cumi-cumi dalam konsep "cumi-cumi Ilmu" harus berada dalam laut yang masih bagus: belum terkontasminasi limbah atau belum tercemari oleh apapun. Hal ini menggabarkan perlunya sebuah keharusan nenjaga kelestarian atau kultur kampus yang berwajah islami. Seperti kehidupan yang dipenuhi nuansa Teradisi ilmiah, akhlak yang mulia dan kegiatan ruhani. Sedangkan cumi-cumi sendiri menggambarkan bentuk akademik yang akan memiliki kualitas cumi yang segar, memiliki banyak kandungan gizi. Cumi-cumi yang berkualitas menggambarkan produk pendidikan Islam yang memiliki kualitas keimanan, keilmuan dan jiwa sosial yang bail. Lahirnya konsep "cumi-cumi ilmu" dilatar belakangi oleh pemikiran bahwa perguruan tinggi islam selama ini di persepsikan hanya menyelenggarakan pendidikan untuk kawasan yang sangat terbatas yaitu hanya kawasan keagamaan saja. Selain itu juga, perguruan tinggi islam dinilai kurang progresif dalam pengembangan keilmuan, kurangnya budaya riset, cendrung konservatif, dan tidak peduli dengan perkembangan modern. Pada metafora cumi-cumi ini, disitu posisi Al-Qur'an dan Al-Hadits masuk dalam ranah keilmuan Islam, hal ini menurut hemat penulis adalah sebagai pondasi keilmuan Islam agar dalam dialogis dengan keilmuan umum tidak terkontaminasi atau sebagai filter agar keilmuan islam tetap pada koridor Al-Qur'an dan Al-Hadits, pada dasarnya keilmuan islam akan sulit berkembang manakala, keilmuan islam mengalami eksklusivisme atau menutup diri dengan keilmuan lainnya, oleh karena itu dibutuhkan dialogis antara keilmuan islam dengan keilmuan umum. sehingga, paradigma keilmuannya menjadi koperhensif. Meskipun pada dasarnya dialogis atau pertautan antara keilmuan islam dengan keilmuan umum menghasilkan keilmuan, seperti Ekonomi Islam, antripologi Agama, sosiologi agama dan sebagainya, yang tergambar pada tangan atau tangkel cumi-cumi. Namun, kelmuan islam tetap menjaga eksistensinya sebagai Ilmu keislaman. Pada dasarna munculnya keilmuan Ekonomi islam , sosiologi Agama dan lain-lain, merupakan bentuk dari keterbukaan antara teradisi keilmuan umum dan keilmuan Islam. Oleh karena itu, dengan konsep keilmuan "cumi-cumi ilmu" mencoba menawarkan gagasan tentang keilmuan yang konperhensif, sehingga dalam perguruan tinggi Islam dapat selangkah lebih maju, dan mampu bersaing dengan perguruan tinggi lainnya. Sehingga akan melahirkan pemikir-pemikir atau ulama yang memiliki kopetensi keilmuan yang multidisipliner dan berakhlak mulia, sebagaimana pernah dicontohkan oleh para ulama-ulama terdahulu pada abad keemasan Islam. Paradigma keilmuan ini juga, bisa digunakan sebagai keilmuan dalam peroses pengkajian ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu keagamaan atau keislaman. Sehingga menjadikan ilmu sebagai rahmatan lil 'alamin. Kesimpulan Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadikan terhambatnya keilmuan islam dengan yang lain ialah terjadina dikotomi antara Keilmuan agana dengan keilmuan umum. Melihat sealitas umat islam terpuruk dibandingkan dengan yang lain, para cendikiawan atau pemikir muslim memberikan wacana berkaitan dengan metodologi keilmuan dalam islam, sehingga munculah agenda integralisasi keilmuan agama dengan keilmuan umum. Hal ini merupakan formulasi agar selangkah lebih maju sehingga mampu bersaing dengan yang lain. Diantara bentuk integralisasi ang ditawarkan para ilmuan muslim diantaranya seperti: Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Pengilmuan Islam dan Interkoneksi antara keilmuan Islan dan Umum. Dalam makalah ini, penulis menawarkan bentuk integrasi antara Ilmu agama dan ilmu umum yaitu: "cumi-cumi Ilmu" sebagai teradisi keilmuan Rahmatan lil 'alamin. Mudah-mudahan dengan ditulisnya makalah ini memberikan sebuah sumbangsi yang besar kepada kemajuan Islam sebagai Rahmatan Lil 'alamin. Daftar Pustaka Kuntowijoo. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006 Minhaji, Akh. Tradisi Akademik Di Perguruan Tinggi, Yogakarta: SKA-Press, 2013, Cetakan Pertama Riyanto,Warani fajar, Implementasi Paradigma integrasi-Interkoneksi dalam penelitian 3 desertasi Dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogakarta: LIMLIT UIN Sunan Kalijaga Yogakarta, 2012 Riyanto, Warani fajar, Studi Islam Integratif Di Indonesia , Yogyakarta: Mahameru Press, 2012 Abdullah, Amin, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-interkonektif, Yogyakarta: Pustaka pelajar,2006; dkk, Abuddin Nata. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005 Daud, Wan Moh Nur Wan. The Educational Philosopy and Practice of syed Muhamad Naquib al-attas,. Terj, Hamid fahmi, dkk. Filsafat dan Praktek pendidikan Islam , Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003 Muzakkir, "Pendugaan Beberapa Parameter Dinamika Populasi Cumi-cumi (Loligo chinensis) di Perairan Kabupaten Barru Sulawesi Selatan",Skripsi-Universitas Hasanudin Makasar,2011 Kerjasama-UIN Malang, Implementasi Konsep Integrasi Ilmu dan Agama , http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2918:implementasi-konsep-integrasi-ilmu-dan-agama-&catid=25:artikel-rektor, diakses tanggal 15 Mei 2013 Bagir, Zainal Abidin. Integrasi Ilmu dan Agama : Inerpretasi dan Aksi. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2005 21 Ilmu (Hadarah al-'ilm) Filsafat (Hadarah al-Falsafah) UIN Agama (Hadarah al-Nas) Al-Qur'an Al-Qur'an, Hadist, PemikiranIslam, Sejarah Islam (Ilmu Keislaman) Al-Hadits Filsafat, Fisika, antropologi, sosiologi, Psikologi (Keilmuan Umum) Ekonomi Islam, sosiologi Agama, antropologi Agama, Filsafat Agama (Pertautan antara dua disiplin keilmuan)