SISTEM EKONOMI DAN POLITIK MEDIA
OLEH: AINUR ROHMAH (B76211117)
PRODI ILMU KOMUNIKASI (Public Relation)
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
SOAL !
Bagaimana pandangan anda terhadap Media dan Politik ?
Jawab !
Media
Seperti yang kita tahu, bahwa media massa telah menyentuh hampir semua aspek kehidupan sehari-hari kita. Ketika kita akan mengadakan suatu event, dengan menggunakan media massa maka pelaksanaanya akan lebih sukar dibandingkan dengan komunikasi tatap muka. Disini komunikator harus dapat menyajikan pesan bagi publiknya yang beraneka ragam dengan jumlah yang besar. Selain itu, feedback yang terjadi adalah feedback tertunda (delayed feedback). Disisi lain, terdapat keuntungan apabila kita berkomunikasi dengan menggunakan media masaa, keuntungan tersebut antara lain adalah dapat menjangkau audience yang sangat luas, namun kekurangannya adalah lebih menitik beratkan pada penyebaran informasi. Sebab jika ingin lebih dari sekedar menginformasikan tentang sesuatu, komunikasi massa tersebut harus diikuti lagi dengan komunikasi tatap muka, agar tujuan komunikasi dapat berhasil.
Penyiaran melalui media massa merupakan wahana komunikasi massa dasar yang telah terbukti efektifitasnya. Tanpa media komunikasi, manusia tidak mungkin bisa mendistribusikan satu pesan ke banyak penerima secara global. Tanpa perangkat seperti computer, microfilm dan perangkat siar digital lainnya, manusia akan sangat terbatas dalam menyampaikan dan menerima pesan.
Dengan demikian, media memperluas komunikasi manusia dalam hal produksi dan distribusi pesan, serta menerima, menyimpan dan menggunakan kembali informasi. Produksi meliputi penciptaan pesan menggunakan media komunikasi, sedangkan distribusi meliputi transmisi, yakni memindahkan pesan, reproduksi yang diikuti amplifikasi (penjelasan) pesan, dan display yakni membuat pesan tampak secara fisik ketika sampai ke tujuan.
Keberadaan media yang meluas tidak selalu menjadi kabar baik, demikian kata beberapa ahli teori yang mengatakan bahwa melimpahnya informasi dan akses ke ide-ide dan hiburan dapat menimbulkan kecemasan informasi. Teori lain menyatakan bahwa media berita bahkan mendorong keepasifan karena media member kesan bahwa liputannya sudah amat lengkap sehingga tidak ada lagi yang perlu diketahui atau dilakukan.
Meski orang terdidik haus akan informasi, jumlah informasi yang tersedia sudah sampai membuat orang dikuasai oleh apa yang dinamakan polusi informasi
Polusi informasi : media membanjiri orang dengan informasi tanpa menentukan prioritas.. Kita tenggelam dalam informasi, dan media massa adalah salah satu penyebabnya.
Sebagai contoh, kita bisa lihat situasi mahasiswa di sebuah kampus metropoloitan :
Mereka menjumpai kios-kios Koran yang berisi banyak Koran berbeda harian, mingguan dan bahkan majalah dalam perjalanan mereka dari rumah ke kampus.
Mereka bisa mendengarkan sekitar 40 siaran radio.
Dalam mailbox e-mail mereka bisa mendapat tawaran berlangganan dari 240 majalah.
Mereka menonton televise saat istirahat dan harus memilih salah satu dari 50 saluran TV.
Saat makan siang mereka melihat iklan dimana-mana –di papan, kardus susu, meja, selebaran, dinding, di siaran radio kampus, di pena yang mereka pakai untuk menulis dan sebagainya.
Di perpustakaan dan di kamar mereka sendiri mereka punya akses online melalui system computer ke informasi yang melimpah.
Pada beberapa hal, beberapa orang bahkan tidak memilah-memilah informasi yang tersedia. Solusi mereka adalah menyerah . orang lian berilusi telah memahami sebuah isu penting, terutama isu public, lantaran ada banyak informasi yang tersedia.
Salah satu efek media massa adalah kemalasan, seperti tampak dalam sosok bapak berperut buncit, yang hanya bergerak menuju kulkas saat jeda iklan untuk mengambil camilan. Studi mengindikasikan bahwa televise rata-rata menyala tujuh jam perhari di rumah AS dan orang Amerika biasanya menghabiskan empat sampai enam jam bersama media massa, terutama bersama televise. Pengalaman ini bersifat pasif, dan kepasifan yang disebabkan media
kepasifan yang disebabkan media: media mendorong orang menjauh dari keterlibatan sosial. ini dianggap berpengaruh besar dalam perubahan cara orang menjalani hidup mereka.
Media massa memengaruhi kita. Namun ada kesepakatan bahwa media membantu membawa anak masuk ke masyarakat dengan menggambarkan nilai-nilai kultural dan sosial. Ini adalah tanggung jawab serius, sebab penggambaran perilaku yang menyimpang seperti kekerasan bisa menimbulkan efek, walaupun kita tidak tahu pasti sejauh mana efek itu. Ini bukan berarti bahwa individu adalah mangsa empuk bagi media massa.
Orang memilih apa yang ingin mereka baca dan apa yang ingin mereka dengar, dan mereka umumnya menyaring informasi dan gambar yang tidak sesuai dengan gagasan dan nilai-nilai personal mereka.
Dalam hal lain media massa memberikan pengaruh yang menstabilkan. Media berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan audiennya. Contohnya adalah acara televisi untuk anak di hari minggu. Media tidak hanya bereaksi pada gaya hidup audien, tetapi juga memeberi kontribusi dalam membentuk pola-pola yang menjadi dasar gaya hidup audien, seperti baru akan tidur setelah nonton berita malam. Ringkasnya, media punya efek atas individu dan masyarakat, tetapi tidak satu arah.
Masyarakat adalah pembentuk isi media, tetapi individu mengambil sendiri keputusan soal berlangganan, mendengarkan dan menonton. Persoalan pengaruh media ini amat kompleks dan masih dibutuhkan pemikiran dan riset lebih lanjut.
Politik
Liputan media bukan hanya menciptakan kesadaran public tetapi juga dapat memicu pergeseran opini secara dramatis. Meskipun para kritikus mengatakan bahwa media itu bias secara politik, studi-dtudi tidak mendukung klaim ini. Para reporter memandang diri mereka sebagai kelompok tengah dalam politik dan pada umumnya mereka berusaha menekan bias personal. Meski demikian, reporter cenderung ke jenis berita tertentu dan melupakan jenis berita lain.
Politik bisa dikatakan sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara, telah lahir sejak manusia itu ada sampai pada akhirnya terbentuk sebuah komunitas besar yakni masyarakat. Setiap bangsa menjalankan politik, baik politik dalam negeri maupun politik luar negeri untuk menjaga kepentingan bangsanya.
Dalam perbincangan sehari-hari, seringkali kebanyakan orang menerjemahkan politik sebagai “suatu cara yang dipakai untuk mewujudkan tujuan”. Nimmo (2000:8) mengartikan politik sebagai kegiatan orang secara kolektif yang mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi konflik sosial. Dalam berbagai hal orang berbeda satu sama lain – jasmani, bakat, emosi, kebutuhan, cita-cita, inisiatif , perilaku, dan sebagainya. Lebih lanjut Nimmo menjelaskan, kadang-kadang perbedaan ini merangsang argumen, perselisihan, dan percekcokan. Jika mereka menganggap perselisihan itu serius, perhatian mereka dengan memperkenalkan masalah yang bertentangan itu, dan selesaikan; inilah kegiatan politik.
Politik Media
Politik media merupakan sebuah sistem politik, politisi secara individual dapat terus menambah ruang privat dan publiknya, sehingga mereka tetap dapat mengurusi masalah politik ketika ia tengah duduk di kursi kerjanya, yaitu melalui komunikasi yang bisa menjangkau masyarakat sasarannya melalui media massa. Hal ini berarti politisi media berdiri berlawanan dengan system yang lebih dulu ada, yakni politik partai. Dalam pengertian konvensional, politisi berupaya untuk memenangkan pemilihan umum dan dapat memerintah sebagai anggota tim partai.
Dengan cara ini politik partai menjadi usang, tetapi sistem ini sekarang menjadi hal yang setidak-tidaknya menjadi praktik politik yang umum dengan berbagi panggung politik dengan politik media, sebagai sebuah sistem yang sedang menggejala dengan muatan-muatannya yang mulai dapat dipahami. Politik media merupakan sebuah sistem politik, istilah ini untuk membandingkannya dengan sistem-sistem lainnya, seperti politik legislatif, politik birokrasi, politik yudisial, serta yang telah dibahas sekilas, politik partai. Dalam setiap domain tersebut, dapat diidentifikasi peran kunci, kepentingan yang bermacam -macam, aturan perilaku yang rutin, serta politik interaksi yang mapan, yang bila digabungkan dapat memperjelas bentuk khusus dari perjuangan politik.
Terdapat 3 (tiga) pelaku dalam politik media, ialah politisi, jurnalis dan orang-orang yang digerakkan oleh dorongan (kepentingan) khusus. Bagi politisi, tujuan dari politik media adalah dapat menggunakan komunitas massa untuk memobilisasi dukungan publik yang mereka perlukan untuk memenangkan pemilihan umum dan memainkan program mereka ketika duduk diruangan kerja. Bagi jurnalis, tujuan politik media adalah untuk membuat tulisan yang menarik perhatian banyak orang dan menekankan apa yang disebutnya dengan “suara yang independen dan signifikan dari para jurnalis”. Bagi masyarakat, tujuannya adalah untuk keperluan mengawasi politik dan menjaga politisi agar tetap akuntabel, dengan menggunakan basis usaha yang minimal. Tujuan tersebut merupakan sumber ketegangan konstan yang ada di ketiga aktor tadi.
Politisi menghendaki para jurnalis untuk bertindak sebagai membawa berita yang netral dalam statemen mereka dan dalam rilis pers. Sementara para jurnalis tidak ingin menjadi tangan kanan pihak lain; mereka lebih berharap untuk bisa membuat kontribusi jurnalistik khusus untuk berita, dimana mereka dapat menyempurnakannya dengan menggunakan berita terkini, investigasi, dan analisis berita yang sangat dibenci oleh kalangan politisi. Masih dalam catatan saya tentang politik media, jurnalis menilai “suara jurnalistik”, paling tidak, sama besarnya dengan para pembaca dalam jumlah besar, dan para jurnalis ini sama sekali tidak ingin membantu politisi untuk menerbitkan berita mereka kepada publik. Jika jurnalis selalu saja melaporkan berita yang dikehendaki politisi, atau hanya melaporkan berita politik yang sesuai dengan keinginan pembaca, maka jurnalisme hanya akan menjadi profesi yang kurang menguntungkan dan kurang memuaskan bagi praktisinya, atau bahkan bukan lagi menjadi sebuah profesi.
Pada dasarnya pihak publik menginginkan untuk mengawasi jalannya politik dan menjaga agar politisi tetap akuntabel dengan upaya yang minimal. Dan dikarenakan adanya kejenuhan pihak politisi dan para jurnalis yang bersaing untuk mendapatkan perhatian publik dalam pasar yang kompetitif, publik cenderung mendapatkan bentuk komunikasi politik yang mereka inginkan. Namun ini tidak berlaku seluruhnya. Kepentingan yang telah melekat pada diri politisi untuk mengontrol muatan berita politik, berpadu dengan kepentingan jurnalis untuk membuat kontribusi yang independen dalam berita, akan menciptakan ketegangan dan distorsi yang cukup besar.
Pendekatan untuk mempelajari politik media dalam buku ini terdiri dari dua poin utama. Pertama, seperti yang telah dibahas, ini akan berfokus pada kepentingan-diri yang berbeda dari parapartisipan dan bagaimana mereka membentuk sifat politik media. Ini merup akan titik awal yang dari kebanyakan studi tentang politik media, yang cenderung melihat politik media melalui prisma teoritis yang berbeda. Satu riset media yang besar berfokus pada nilai dan konvensi jurnalis, seperti kesenangan mereka untuk meliput persaingan politik (Patterson, 1993; Lichter,Rothman dan Lichter, 1986), ataupun kegiatan rutin dimana reporter mengatur kerja mereka.
Dengan berdasar pada teori Downs, teori politik me dia mengambil pendekatan pilihan rasional yang bersifat bebas terhadap subyeknya. Teori politik media yang dibangun Zaller merupakan perluasan dari kajian Anthony Downs, An Economic Theory of Democracy. Pada tahun 1957, Downs mendapat temuan tentang proses politik dari partai saat berkompetisi untuk memperebutkan dukungan pemilih rasional. Temuan riset Downs benar - benar dapat menjelaskan berbagai fitur yang paling penting dalam politik demokrasi umumnya. Namun teori Downs hampir tidak menyebutkan jurnalis dan tidak memberi peran pada jurnalis yang independen dalam politik. Dalam studi yang dilakukan, Zaller merumuskan tentang peran teoretis dari jurnalis dalam sistem demokrasi Downs dan menemukan akibat - akibat dari perubahan tersebut. Secara khusus, Zaller berpendapat bahwa politisi yang tengah memperluas ruang gerak dan pengaruhnya untuk berkomunikasi dengan pemilih (voters) , paling tidak dalam beberapa waktu melalui profesi jurnalistik yang memiliki kepentingan untuk memberikan suara dan peran kepada para pembaca.
Oleh karena teori Downs dan teori perluasan Zaller ini berakar pada kekuatan politik dasar, maka sangatlah masuk akal untuk meyakini bahwa teori Zaller tentang politik media dapat menjelaskan berita politik tidak hanya di Amerika Serikat secara umum, termasuk pemilihan umum presiden, melainkan juga di Indonesia.
7