Jurnal Psikologi Pendidikan & Konseling: Jurnal Kajian Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Konseling
Volume 4 Nomor 2 Desember 2018. Hal 137-144
p-ISSN: 2443-2202 e-ISSN: 2477-2518
Homepage: http://ojs.unm.ac.id/index.php/JPPK
DOI: https://doi.org/10.26858/jpkk.v4i2.7424
Pengembangan Panduan Konseling Psikoreligius Untuk Remaja
Korban Kekerasan
Yulia Sholichatun
Psikologi Klinis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Indonesia
Email:sholihah.y@gmail.com
Miftahus Surur
Bimbingan dan Konseling, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Indonesia
Email:surur@uin-malang.ac.id
(Diterima: 03-Mei-2018; direvisi: 19-Juli-2018; dipublikasikan: 29-Desember-2018)
Abstract: The purpose of this study was to develop a guide to psycho-religious counseling
and examine whether psychiatric counseling guidelines can help overcome the effects of
violent trauma on adolescents. The method used is the research and development (R & D)
model. The procedure of development research includes: 1) the preparation stage, 2) the
implementation stage, namely drafting the product, and 3) product testing or product
validation and preparation of the final product. This product is tested by a team of experts
consisting of a religious expert and a psychologist and validated by experts. In the
implementation phase an assessment of the symptoms of post-traumatic stress experienced
by teenage respondents who were victims of violence was conducted before counseling and
after counseling. Research data were analyzed quantitatively descriptive and qualitative. The
results show that counseling guidelines have been developed validally both in terms of
usability, accuracy, suitability and ease of guidance in the implementation of counseling for
adolescents who are victims of violence. The results of the qualitative analysis of three
teenage respondents who were victims of violence at the time of implementation of the
guidelines also showed a decrease in symptoms of post-traumatic stress and an increase in
religious behavior after attending psycho-religious counseling.
Keywords: Psychoreligious Counseling, Youth, Victims of Violence
Abstrak - Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun panduan konseling psikoreligius dan
menguji apakah panduan konseling psikoreligius dapat membantu mengatasi efek trauma
kekerasan pada remaja. Metode yang digunakan adalah model research and development (R
& D). Prosedur penelitian pengembangan ini meliputi: 1) tahap persiapan, 2) tahap
pelaksanaan, yaitu penyusunan draf produk, dan 3) Uji coba produk atau validasi produk dan
penyusunan produk akhir. Produk ini diuji oleh tim ahli yang terdiri dari seorang ahli
keagamaan dan seorang ahli psikologi serta divalidasi oleh para ahli. Pada fase implementasi
dilakukan asesmen terhadap gejala stress pasca trauma yang dialami oleh para responden
remaja korban kekerasan sebelum diberikan konseling dan setelah dilakukan konseling. Data
penelitian dianalisa secara kuantitatif deskriptif dan kualitatif. Hasil menunjukkan bahwa
panduan konseling telah dikembangkan secara valid baik dari sisi kegunaan, ketepatan,
kesesuaian dan kemudahan panduan di dalam pelaksanaan konseling bagi remaja korban
kekerasan. Hasil analisa kualitatif terhadap tiga responden remaja korban kekerasan pada
saat implementasi panduan juga menunjukkan adanya penurunan gejala-gejala stres
pascatrauma dan peningkatan perilaku religiusnya setelah mengikuti konseling psikoreligius.
Kata kunci: Konseling Psikoreligius, Remaja, Korban Kekerasan
Copyright © 2018 Universitas Negeri Makassar. This is an open access article under the CC
BY-NC-ND license (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/).
137
138 | Jurnal Psikologi Pendidikan & Konseling Vol. 4 No. 2 Desember 2018
PENDAHULUAN
Kasus kekerasan terhadap anak dan
remaja merupakan fenomena yang makin marak
terjadi di Indonesia. Menurut data dari Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tren kasus
kekerasan pada anak di Indonesia menunjukkan
peningkatan setiap tahunnya. KPAI juga
mencatat setidaknya 1000 kasus kekerasan pada
anak dan remaja telah terjadi di tahun 2016, 136
kasus diantaranya dilakukan melalui media sosial
(kpai, 2017).
Data statistik terkait korban kekerasan di
atas sejalan dengan hasil penelitian Sholichatun
(2015) tentang karakteristik korban, pelaku dan
bentuk kekerasan pada anak di Kabupaten
Malang antara tahun 2012-2015. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan jumlah keseluruhan kasus
yang didampingi oleh P2TP2A Kabupaten
Malang sebanyak 98 kasus. Namun dari total
kasus di atas yang berjumlah 98, hanya ada 14
kasus yang menimpa perempuan sehingga total
kasus pada anak sejumlah 70 kasus dengan kasus
terbanyak kekerasan seksual yakni sebanyak 38
kasus. Berdasarkan kategori usia, dari 70 kasus
tersebut usia para korban yang termasuk kategori
anak-anak sejumlah 19 orang dan korban yang
berusia remaja sebanyak 51 orang. Mayoritas
korban dengan demikian adalah para remaja.
Tindak kekerasan yang dilakukan pada
anak dapat memberikan banyak dampak
psikologis. MacMillan (2001) me-review
sejumlah penelitian tentang pengaruh kekerasan
terhadap kondisi psikologis anak. Anak dan
remaja yang mengalami kekerasan seksual dan
fisik menunjukkan tingginya simtom kecemasan,
depresi, dan sindrom pasca trauma (PTSD).
Mereka juga lebih mudah untuk merasa bersedih
serta mengalami distress. Kondisi ini selanjutnya
berpengaruh pada kesehatan mental dan
kesejahteraan psikologis mereka dalam jangka
panjang. Hasil penelitian Johnson, et al (2002)
juga menguatkan hal tersebut, bahwa anak-anak
korban kekerasan berpotensi untuk memiliki
problem emosi dan perilaku. Selain problemproblem emosi dan perilaku, MacMillan (2001)
dalam review-nya juga mengutip sejumlah hasil
penelitian tentang kecenderungan anak korban
kekerasan untuk terlibat dalam problem perilaku
eksternal seperti agresivitas dan bentuk-bentuk
kenakalan
remaja
lainnya
termasuk
penyalahgunaan obat. Hasil tersebut juga
dikuatkan oleh penelitian penelitian Appleyard,
Yang & Runyan (2010).
Hasil pemeriksaan psikologis yang
dilakukan peneliti terhadap sejumlah anak
korban kekerasan sejalan dengan hasil-hasil
penelitian di atas. Anak dan remaja yang
mengalami kekerasan menunjukkan banyak
simtom kecemasan, trauma, dan bahkan depresi
(dokumentasi Unit Layanan Psikologi Fakultas
Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang terkait hasil pemeriksaan
psikologis korban kekerasan periode tahun 20152017). Temuan penelitian yang dilakukan oleh
Puspitawati, Djamaludin dan Nursanti (2011) di
Kabupaten Bogor juga membuktikan efek
kekerasan dapat muncul dalam rentang ringan
hingga berat. Anak-anak korban kekerasan yang
memiliki efek psikologis berat menunjukkan
perilaku penggunaan narkoba serta tindakan
agresif, yang merupakan bentuk-bentuk problem
perilaku eksternal, dan tindakan bunuh diri
karena keputusasaan merupakan efek terberat
yang termasuk dalam problem perilaku internal.
Bertolak dari banyaknya efek psikologis
yang akan dialami oleh anak dan remaja korban
kekerasan tersebut, maka langkah pemberian
bantuan menjadi hal yang penting untuk
dilakukan. Friedrich (2002) menyatakan terapi
untuk anak yang mengalami pelecehan seksual
sebaiknya memfasilitasi pemrosesan ketegangan
dan perasaan-perasaan yang bercampuraduk
yang muncul karena tindak pelecehan. Terapi
tersebut hendaknya memberikan perubahan
positif terhadap evaluasi diri secara kognitif yang
mengalami pelemahan.
Sejalan dengan hal tersebut, Carr (2006)
menyatakan pendekatan terapi secara individual
dapat dilakukan untuk membantu melepaskan
perasaan-perasaan negatif, memproses memori
terkait trauma, memeriksa persepsi diri serta
mempelajari ketrampilan asertif. Media yang
digunakan menurut Carr dapat berupa
permainan-permainan, menggambar maupun
media lain yang dapat mengeluarkan keyakinan
dan perasaan tentang trauma seksual mereka.
Mengacu pada pendapat Carr (2006) tentang
bentuk intervensi bagi anak korban kekerasan
dapat disimpulkan bahwa sasaran terapinya
adalah membantu mengeluarkan keyakinan dan
perasaan korban terhadap pengalaman kekerasan
yang mereka alami serta memfasilitasi
pemrosesan pikiran dan perasaan tentang
pengalaman tersebut. Setelah proses pelesapan
keyakinan (negatif) dan perasaan (negatif)
dilakukan maka langkah berikutnya adalah
membantu memberikan perubahan positif
Solichatun, Surur. Pengembangan Panduan Konseling... | 139
terhadap evaluasi diri yang mengalami
pelemahan akibat masalah tersebut.
Proses pelepasan pikiran dan perasaan
negatif terhadap pengalaman kekerasan dan
proses perubahan positif untuk memunculkan
harga diri positif setelah mengelami pelemahan
akibat kekerasan dapat dilakukan melalui
pendekatan psikoreligius spiritual. Meichenbaum
seorang ahli terapi kognitif menegaskan
pentingnya
spiritualitas
dalam
proses
penyembuhan termasuk untuk kasus trauma
(melissainstitude, 2017). Kolaborasi spiritual
dalam konseling dan psikoterapi menjadi hal
yang penting terutama setelah banyaknya
penelitian yang membuktikan peran keyakinan
dan perilaku spiritual dalam kesehatan mental
dan pengaruhnya dalam proses psikoterapi
(Daniels & Fitzpatrick, 2013; Plumb, 2011).
Carr
(2006)
yang
menyatakan
pentingnya upaya mengeluarkan keyakinan dan
perasaan korban terhadap pengalaman kekerasan
yang dialami, maka menarasikan pengalaman
dapat menjadi cara awal untuk membantu korban
kekerasan yang umumnya juga merupakan
pengalaman traumatik. Menarasikan pengalaman
traumatik dapat dilakukan melalui aktivitas religi
dan spiritual sebagai cara untuk mendorong
ekspresi emosi, kontrol emosi dan kenyamanan
emosi antara lain melalui doa, meditasi dan
mindfulness, serta penerimaan dan memaafkan
(Emmons, 2005; Watts, 2007)
Pertanyaan yang muncul selanjutnya
adalah bagaimana proses pemberian bantuan
kepada remaja korban kekerasan tersebut dapat
diberikan secara luas oleh anggota masyarakat
mengingat tingginya jumlah korban kekerasan
dari kalangan anak dan remaja. Apabila
pemberian bantuan hanya mengandalkan
profesional helper maka akan banyak korban
yang tidak memperoleh pertolongan. Sementara
itu memberikan bantuan tanpa kejelasan prosedur
yang telah teruji efektif dapat memberikan efek
yang tidak dapat dievaluasi keberhasilannya,
yang dapat berdampak pada ketidakjelasan hasil
bantuan tersebut bagi para korban/klien yang
membutuhkan.
Hasil penelitian Sholichatun (2015)
menunjukkan keberadaan shelter di unit
pelayanan dan perlindungan anak (P2TP2A) bagi
para korban belum dapat memberikan layanan
konseling secara optimal terhadap para korban
dikarenakan beberapa kendala. Selain jumlah
konselor terlatih yang masih kurang, para korban
juga
seringkali
masih
memerlukan
pendampingan lebih lanjut selepas keluar dari
shelter P2TP2A. Namun proses pendampingan
selanjutnya tidak bisa dilakukan karena korban
sudah kembali ke rumah mereka. Jauhnya jarak
rumah para korban dari shelter P2TP2A menjadi
kendala untuk melanjutkan pendampingan.
Keberadaan konselor di tingkat kecamatan atau
di puskesmas belum memadai sehingga para
korban tidak dapat mengakses bantuan psikologis
bagi permasalahan mereka. Para tenaga medis di
puskesmas disamping jumlahnya terbatas,
mayoritas mereka juga belum memiliki
pengetahuan bagaimana mendampingi para
korban kekerasan.
Berdasarkan pada permasalahan tersebut
maka
penelitian
ini
dilakukan
untuk
mengembangkan panduan konseling untuk
membantu remaja korban kekerasan dan menguji
apakah panduan konseling tersebut dapat
diimplementasikan untuk para remaja korban
kekerasan.
Modul yang ditulis dalam penelitian ini
merupakan adaptasi dari modul untuk
penanganan trauma untuk remaja yang disusun
oleh Cohen, Mannarino & Deblinger (2006).
Namun penelitian ini tidak murni menggunakan
pendekatan Cognitive Behavior Therapy
sebagaimana yang dipakai oleh Cohen et al.
Penelitian ini lebih mendasarkan pijakan pada
sejumlah teori serta pemikiran-pemikiran dan
perilaku religius. Pemilihan media atau aktivitas
dalam modul penelitian ini mengacu pada
Geldard, Geldard & Foo (2016) bahwa untuk
remaja maka penggunaan buku, buku kerja dan
menggambar sangat sesuai. Bagi remaja akhir,
media konseling menggambar juga masih sangat
sesuai, namun kertas kerja dan buku atau cerita
kurang sesuai. Berdasarkan hal tersebut maka
modul ini menggunakan media buku kerja yang
didalamnya terdapat aktivitas menggambar,
menulis dan bercerita yang masih cukup relevan
bagi remaja.
Isi dari modul secara umum mencakup
dua hal utama yang berpijak pada pendapat Carr
(2006) tentang bentuk intervensi bagi anak
remaja korban kekerasan yaitu membantu
mengeluarkan keyakinan dan perasaan korban
terhadap pengalaman kekerasan yang mereka
alami serta memfasilitasi pemrosesan pikiran dan
perasaan tentang pengalaman tersebut. Langkah
berikutnya adalah membantu memberikan
perubahan positif terhadap evaluasi diri yang
mengalami pelemahan akibat masalah tersebut.
Membangun rapport dilakukan baik secara
informal sebelum sesi dilakukan maupun secara
formal. Rapport yang bersifat formal tercantum
140 | Jurnal Psikologi Pendidikan & Konseling Vol. 4 No. 2 Desember 2018
dalam Book A tentang orientasi konseling.
Orientasi konseling juga telah memuat asesmen
khususnya religious.
Penyusunan asesmen gejala PTSD
mengacu pada Durrand & Barlow (2006) dalam
bentuk laporan diri. Asesmen religious spiritual
untuk mengetahui bagaimana kehidupan
religious/spiritual klien yang dimungkinkan akan
diperoleh data berupa sumber-sumber kekuatan
klien dalam hal keagamaan. Sejalan dengan
Richard & Bergin (2006), asesmen religious
diperlukan dalam praktek klinis untuk
menemukan sumber-sumber kekuatan klien
secara spiritual religious yang dapat digunakan
untuk membantu mereka dalam mengatasi
permasalahan atau menyembuhkan diri klien.
Asesmen religious ini disusun dengan mengacu
pada Richard & Bergin (2006) dan Meichenbaum
(tanpa tahun).
Selanjutnya tentang penyusunan Book B
yang berisi Psikoedukasi Trauma dan Stress
Pasca Trauma mengacu pada penjelasan Carr
(2006) bahwa karena banyaknya dampak trauma
yang akan berpengaruh pada korban dalam
jangka waktu lama maka korban perlu mengerti
keadaan apa yang sedang dialaminya. Tujuannya
tidak hanya memahami apa yang telah dan
sedang terjadi pada dirinya tetapi juga mampu
melakukan cara-cara untuk menjaga kestabilan
pikiran dan emosi mereka di waktu selanjutnya.
Selain itu Book B memuat tentang
psikoedukasi lain terkait upaya untuk
menanggulangi
pikiran
dan
perasaan
mengganggu yang seringkali dialami oleh para
korban kekerasan dengan tehnik stabilisasi.
Dasar teori untuk tehnik stabilisasi mengacu pada
Shapiro (2012). Memori masa lalu tentang
kejadian traumatic disimpan begitu saja di dalam
otak dalam cara yang masih mengandung emosiemosi, sensasi-sensasi psikis maupun keyakinankeyakinan sebagaimana yang telah dialami di
masa lalu. Kondisi inilah yang menurut Shapiro
dialami oleh mereka yang mengalami gejalagejala PTSD. Selanjutnya ia menawarkan sebuah
cara untuk menjaga keseimbangan diri yang
dapat dilakukan ketika memori-memori tak
terproses itu tiba-tiba muncul menggangu pikiran
dan emosi seseorang yang disebut dengan tehnik
stabilisasi.
Sejumlah tehnik stabilisasi dikenalkan
oleh Shapiro namun dalam modul penelitian ini
tiga tehnik yaitu pernafasan mendalam, inner
safe place dan grounding. Tehnik pernafasan
menurut Shapiro lebih menekankan pada
pemusatan, tehnik grounding ditujukan untuk
memunculkan rasa aman pada “saat ini”
sedangkan inner safe place berfungsi
memunculkan imaginasi tentang tempat aman di
dalam diri sendiri.
Tehnik pernafasan mendalam dan
grounding dalam modul ini dipadukan dengan
strategi religious. Hal ini didasarkan pada hasil
penelitian bertahun-tahun yang dilakukan oleh
Herbert Benson yang menemukan bahwa prayer
maupun spiritual words dapat digunakan sebagai
salah
satu
tehnik
relaksasi
(http.psychologytoday). Demikian juga untuk
tehnik grounding, peneliti mengintegrasikan
dengan ajaran agama yakni dzikr. Menurut
Subandi (2012) penggunaan dzikr dengan
berbagai lafadz dapat diserupakan dengan
meditasi yang memiliki efek menenangkan.
Penggunaan dzikr (mengingat Allah) misalnya
mengulang-ulang bacaan laa ilaaha illa allaah
atau yaa rahmaan yaa rahiim dapat memiliki
efek meditatif. Dalam kelompok Sufi meditasi
dzikr dilakukan dengan disertai gerakan-gerakan
tubuh tertentu.
Isi modul B selanjutnya adalah
memberikan pemahaman kepada klien tentang
apa itu pikiran dan perasaan serta bagaimana
pikiran, perasaan dan tindakan saling terkait satu
sama lain. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Cohen et al (2006) pemahaman tentang regulasi
afek untuk menanggulangi emosi yang muncul
sebagai akibat peristiwa trauma. Sejalan dengan
Cohen et al, Shapiro (2012) menyatakan
pentingnya menguasai cara-cara menstabilkan
emosi pada saat jejak-jejak peristiwa masa lalu
terlintas kembali di dalam pikiran seseorang.
Berikutnya adalah pijakan teoritik untuk
Book C yang berisi mengatasi trauma. Bagian ini
menggunakan tehnik menulis cerita terkait
pengalaman traumatic responden/klien yang
didasarkan pada penelitian Pennebaker tentang
manfaat menulis ekpresif terhadap pengalaman
traumatik (1997) dan Chen (2005) tentang
pengaruh menulis terhadap simtom PTSD.
Penelitian Chen (2005) menguatkan temuan
Pennebaker tentang manfaat menulis pengalaman
traumatik bagi orang dengan gejala PTSD.
Namun dalam penelitiannya, Chen memberikan
bentuk intervensi menulis yang berbeda.
Rekomendasi hasil penelitian Chen ini adalah
perlunya mengintegrasikan religi/spiritual dalam
intervensi trauma khususnya pada trauma yang
parah. Bertolak dari hasil penelitian Pennebaker
dan Chen tersebut maka dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan tehnik menulis dengan
integrasi religious/spiritual sebagai intervensi
Solichatun, Surur. Pengembangan Panduan Konseling... | 141
trauma. Bentuk yang dipakai dalam penelitian ini
berupa making meaning atau mencari hikmah
dari pengalaman traumatic dan menulis doa.
Penggunaan doa dalam intervensi trauma ini juga
sejalan dengan Meichenbaum (tanpa tahun) dan
Richard & Bergin (2005).
Bagian terakhir dari modul adalah
harapan dan masa depan. Bagian Book D ini
merupakan target kedua dari sasaran intervensi
trauma sebagaimana yang diungkapkan oleh Carr
yaitu memberikan perubahan positif terhadap
evaluasi diri yang mengalami pelemahan akibat
masalah tersebut.
METODE
Penelitian ini menggunakan model
penelitian dan pengembangan atau di sebut juga
dengan research and development (R & D).
Prosedur penelitian pengembangan ini adalah 1)
tahap persiapan, 2) tahap pelaksanaan, yaitu
penyusunan draf produk, dan 3) Uji coba produk
atau validasi produk dan penyusunan produk
akhir.
Subjek penelitian yang dalam hal ini adalah
pengembangan panduan konseling psikoreligius
ini terdiri dari 3 komponen :
1. Ahli
Subjek ahli terdiri dari dua orang pakar
(expert judgment), yaitu : (1) psikolog, (2) pakar
agama Islam. Pada penelitian ini kualifikasi
pakar ahli yang akan me-review dan dipilih untuk
menguji kelayakan panduan, Dosen pakar
psikologi yang dipilih pada penelitian ini adalah
dosen psikologi yang bergelar doktor dari
Universitas Negeri Malang dan dosen pakar
Agama Islam yang bergelar Doktor dari Institute
Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta.
2. Pengguna Panduan
Subjek ujicoba pengguna panduan ini
dalam penelitian ini adalah psikolog yaitu
peneliti dan ahli psikologi yang mereview
panduan serta 2 observer dosen Fakultas
Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
yang akan menilai proses uji coba penggunaan
panduan.
3. Subjek Sasaran
Subjek sasaran pengguna produk
panduan ini adalah tiga remaja korban kekerasan
yang bersedia menjadi responden penelitian ini
dan masih memiliki trauma yang dalam kategori
tinggi.
Adapun teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah : (a)
Observasi : Observer dalam penelitian ini terdiri
dari 2 dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang yang
telah memiliki pengalaman dan pemahaman
dalam keilmuan psikologi. Observer diberikan
jabaran variabel yang dijadikan sebagai dasar
bahan penilaian panduan pada saat pelaksanaan
uji coba di lapangan; (b) Wawancara :
dibutuhkan untuk menggali data awal dan
informasi mengenai penanganan korban
kekerasan
anak
dan
remaja
sebelum
pengembangan panduan. Wawancara juga
diperlukan untuk mengetahui pendapat subjek
mengenai panduan setelah dilakukan uji coba
lapangan; (c) Angket : penggunaan angket
berupa skala penilaian panduan konseling
psikoreligius untuk remaja korban kekerasan
dengan menggunakan skala untuk menilai dari 4
aspek utama dalam pengembangan panduan,
antara lain: (1) aspek kegunaan panduan (utility),
(2) aspek ketepatan panduan (accuracy), (3)
aspek kesesuaian panduan (feasibility), dan (4)
aspek
kemudahan
panduan
(flexibility).
Berdasarkan hasil penilaian oleh para ahli ini,
kemudian dilakukan perbaikan dan analisis data
tentang kelayakan panduan dari penilaian yang
diberikan.
Analisis data dilakukan secara kuantitatif
dan kualitatif. Data kuantitatif dianalisis dengan
statistik deskriptif berupa pensekoran rata-rata,
sedangkan data kualitatif berupa hasil
wawancara, diskusi, komentar, saran, dan kritik
dianalisis secara kualitatif. Data kuantitatif yang
diperoleh dari uji ahli dianalisis dengan
menggunakan pensekoran kemudian diverifikasi
atau diuji kebenarannya. Data kualitatif diperoleh
dari responden sasaran, responden pengguna,
responden observer dan ahli.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penyusunan panduan dapat dilihat
dari penilaian ahli terhadap isi panduan. Aspek
penilaian terhadap panduan meliputi: (1) aspek
kegunaan panduan (utility), (2) aspek ketepatan
panduan (accuracy), (3) aspek kesesuaian
panduan (feasibility), dan (4) aspek kemudahan
panduan (flexibility). Berdasarkan penilaian ahli
menunjukkan bahwa modul/panduan dinilai baik
dari sisi kegunaan, ketepatan, kesesuaian maupun
kemudahan penggunaannya. Menurut ahli
psikologi yang menilai panduan, sejumlah
perbaikan dalam isi panduan perlu dilakukan
misalnya terkait sapaan terhadap klien/konseli,
kesesuaian pengantar dan penutup modul,
pengaturan waktu tiap bagian secara lebih
142 | Jurnal Psikologi Pendidikan & Konseling Vol. 4 No. 2 Desember 2018
proporsional, ketepatan peraga/media dan
redaksional tema tiap bagian. Adapun saran dari
ahli keagamaan terutama berfokus pada
penambahan isi dari aspek religious seperti
pemilihan lafadz dzikir yang tepat saat relaksasi
nafas, kemudian penambahan sejumlah hadits
ataupun ayat-ayat Quran.
Panduan konseling psikoreligius yang
telah direview oleh kedua ahli selanjutnya
dilakukan uji coba untuk diimplementasikan
dalam proses pemberian konseling pada remaja
korban kekerasan. Peneliti menemukan 3 remaja
yang mengalami kasus kekerasan dengan jenis
kekerasan yang beragam. Ketiga remaja tersebut
berusia 20 tahun yang dikategorikan sebagai
remaja akhir. Adapun gambaran kasus dari ketiga
responden tersebut adalah sebagai berikut: (a)
Responden dengan inisial nama LU adalah
seorang perempuan, mengalami trauma karena
pelecehan seksual yang dilakukan sahabatnya
sendiri yang juga seorang perempuan. Pelecehan
yang menimpa responden adalah dicium di
bagian bibir tanpa diketahui oleh LU karena ia
ditutup matanya oleh sahabatnya. Akibat dari
masalah itu LU mengalami banyak gejala Post
Trauma syndrome dissoreder (PTSD) dan gejala
stress traumatic yang dialaminya menunjukkan 9
dari 10 gejala traumatic; (b) Responden dengan
inisial nama FH seorang perempuan, mengalami
trauma karena kekerasan fisik yang dilakukan
oleh ayahnya sendiri ketika FH masih berusia
sekitar 10 tahun. Akan tetapi respon post Trauma
syndrome dissoreder (PTSD) yang dirasakan
masih cukup tinggi terbukti dengan banyaknya
gejala stress yang dirasakan oleh FH; (c)
Responden dengan inisial nama WD seorang
perempuan, mengalami trauma yang kompleks
karena terdapat lima peristiwa yang dialaminya.
Trauma yang sifatnya kekerasan ada tiga, yaitu;
melihat kekerasan fisik ayahnya terhadap ibunya,
menjadi korban bullying di pesantren hingga
membuatnya melakukan tindakan self injury dan
pelecehan seksual oleh mantan pacarnya (dipaksa
mau dicium).
Penerapan konseling psikoreligius di
lapangan pada ketiga responden tersebut, sesuai
dengan podoman yang telah divalidasi oleh
kedua pakar ahli maka ketiga responden
menunjukkan penurunan gejala trauma dan stress
yang berlebih. Setelah mengikuti 4 kali sesi
konseling, para responden menampakkan adanya
beberapa perubahan yaitu : peningkatan dalam
kemampuan kontrol emosi khususnya emosi
negative yang merupakan efek dari trauma,
kemampuan dalam mengidentifikasi isi pikiran
yang mengganggu dan merubah dengan isi
pikiran yang lebih realistis dan positif serta
adanya perubahan dalam penggunaan cara
coping dengan lebih banyak memilih bentuk
coping religious. Selain itu mereka juga mampu
menemukan hikmah serta belajar dari
permasalahan trauma yang pernah mereka alami.
Adanya
peningkatan-peningkatan
tersebut
menjadikan para responden lebih mampu dalam
menanggulangi efek trauma yang dirasakannya
sehingga meningkat pula rasa aman yang mereka
miliki. Ketika rasa aman telah kembali dapat
mereka miliki, mereka selanjutnya mampu
menuliskan harapan-harapan untuk diri dan masa
depan mereka dengan cara yang berbeda dan
lebih baik daripada sebelum mengikuti konseling
religious.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
temuan penelitian Harris (dalam Ross, Kennedy
& Macnab: 2015) tentang penggunaan
pendekatan religi spiritualitas untuk mengatasi
trauma pada veteran yang pernah mengalami
paparan trauma kekerasan. Para responden
setelah 8 sesi menunjukkan adanya peningkatan
dalam tujuan-tujuan spiritual mereka serta
adanya rencana lanjutan untuk mengembangkan
spiritualitas mereka. Selain itu mereka juga
menunjukkan penurunan simtom PTSD.
Hasil penelitian ini juga mendukung
hasil review Hefti (2011) terhadap sejumlah hasil
penelitian penting tentang dampak positif religi
dan spiritual terhadap kesehatan mental seperti
lebih sehat secara fisik, lebih mampu melakukan
penyesuaian secara psikologis serta tingkat yang
lebih rendah dalam problem perilaku sosial.
Religi dan spiritual juga membantu individu
untuk memiliki harapan serta dorongan untuk
mengalami pertumbuhan diri secara positif.
Meichenbaum seorang ahli terapi
kognitif menegaskan pentingnya spiritualitas
dalam proses penyembuhan termasuk untuk
kasus
trauma
(melissainstitude,
2017).
Kolaborasi spiritual dalam konseling dan
psikoterapi menjadi hal yang penting karena
banyaknya penelitian yang membuktikan peran
keyakinan dan perilaku spiritual dalam kesehatan
mental dan pengaruhnya dalam proses
psikoterapi (Daniels & Fitzpatrick, 2013; Plumb,
2011).
SIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
proses pemberian bantuan kepada remaja korban
Solichatun, Surur. Pengembangan Panduan Konseling... | 143
kekerasan dapat dilakukan dengan menggunakan
panduan konseling psikoreligius yang telah
disusun oleh peneliti. Panduan tersebut
dimodifikasi dari modul untuk penanganan
trauma untuk remaja yang disusun oleh Cohen,
Mannarino & Deblinger (2006) yang berbasis
CBT namun dalam penelitian ini dipadukan
pendekatan religious.
Implementasi
panduan
terhadap
responden remaja yang mengalami kekerasan
menunjukkan hasil adanya penurunan gejalagejala pasca trauma yang ditunjukkan oleh
peningkatan dalam kemampuan kontrol emosi
khususnya emosi negative yang merupakan efek
dari trauma, kemampuan dalam mengidentifikasi
isi pikiran yang mengganggu dan merubah
DAFTAR RUJUKAN
Appleyard, K. Yang, C. & Runyan, D.K. 2010.
Delineating the maladaptive pathways
of child maltreatment: the mediated
roles of self-perception and social
support.
Development
and
Psychopathology. 22, 337-352
Carr, A. 2006. The handbook of child and
adolescent clinical psychology, a
contextual approach. Second edition.
Routledge. New York
Chen,
Y. Y. 2005. Written emotional
expression and religion: effects on
PTSD symtoms. International Journal
Psychiatry in Medicine. Vol 35(3) 273286
Cohen, J.A. Hendricks, A. Mannarino, P. &
Deblinger, E. 2006. Dealing with
trauma: a TF-CBT workbook for teens.
dengan isi pikiran yang lebih realistis dan positif
serta adanya perubahan dalam penggunaan cara
coping dengan lebih banyak memilih bentuk
coping religious. Selain itu mereka juga mampu
menemukan hikmah serta belajar dari
permasalahan trauma yang pernah mereka alami.
Saran terkait dengan penggunaan hasil
penelitian ini adalah : 1) perlunya pelatihan bagi
konselor sebelum penggunaan panduan; 2)
perlunya penyesuaian implementasi panduan
terhadap kondisi klien baik dari sisi keparahan
trauma, jumlah sesi maupun usia; 3) perlunya
memastikan kemampuan stabilisasi klien telah
diperoleh sebelum sesi bercerita agar dapat
mampu menghindari abreaksi yang tidak
terkendal
Geldard, K. Geldrad, D. & Foo. 2016.
Konseling
Anak-anak;
Panduan
Praktis. Edisi keempat. Penerbit
Indeks. Jakarta
Hefti, R. 2011. Integrating religion and
spirituality into mental health care,
psychiatry
and
psychotherapy.
Religions. 2, 611-627; doi: 10.3390
Johnson, R.M., Kotch, J.B., Catellier, D.J.,
Winsor, J.R., Dufort, V., Hunter, W. et
al. 2002. Adverse behavioral and
emotional outcomes from child abuse
and witnessed violence. Child
Maltreatment. 7, 179-186
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. 07
Desember 2016. Selama 2016, KPAI
Catat 1000 Kasus Kekerasan pada
Anak
(Online).
(http://www.kpai.go.id/berita/8194/),
diakses 12 September 2017
Daniels, C. & Fitzpatrick, M. 2013. Integrating
Spirituality into Counselling and
Psychotherapy:
Theoretical
dan
Clinical Perspective. Canadian Journal
and Psychotherapy. Vol.47. No. 3. 315341
MacMillan, R. 2001. Violence and the life
course:
the
consequences
of
victimitation for personal and social
development. Annual Review of
Sociology. 27: 1-22
Ehlers, A. & Clarke, D. M. 2000. A cognitive
model of posttraumatic stress disorder.
Behavior Research and Therapy, 38,
319-345
Meichenbaum, D. tanpa tahun. Trauma,
Spirituality and Recovery: Toward A
Spiritually-Integrated
Psychotherapy.www.melissainstitue.or
g
Emmons, R.2005. Emotions and religion. In
R.F. Paloutzian & C.L. Park (Eds.),
Handbook of psychology of religion
and spirituality. (pp. 231-252). New
York: Guilford Press
Maslihah, S. 2013. Play therapy dalam
identifikasi kasus kekerasan seksual
terhadap anak. Jurnal Penelitian
Psikologi. Vol. 04. No. 01, 21-34
144 | Jurnal Psikologi Pendidikan & Konseling Vol. 4 No. 2 Desember 2018
Plumb,
A.M. 2011. Spirituality and
counselling: are counsellors prepared to
integrate religion and spirituality into
therapeutic
work
with
clients.
Canadian Journal and Psychotherapy.
Vol.45. No. 1. 1-16
Puspitawati, H. Djamaludin, M.D, & Nursanti,
H. 2011. Kekerasan, kondisi keluarga,
dan kesejahteraan keluarga pada anak
korban kekerasan. Jurnal Ilmu
Keluarga dan Konsumen. Agustus, Vol.
4. No. 2. 130-138
Richards, P.S, & Bergin, A.E, 2006. A spiritual
strategy
for
counseling
and
psychotherapy.
Second
edition.
American Psychologist Association.
Washington D.C,U.S
Ross, J.J., Kennedy, G., & Macnab, F. 2015.
The effectiveness of spiritual/religious
interventions in psychotherapy and
counseling; a review of the recent
literature. PAFCA, Melbourne
Shapiro, F. 2012. Getting past your past: take
control of your life with self-help
techniques from EMDR therapy.
MacMillan, USA
Sholichatun, Y. 2015. Karakteristik korban,
pelaku dan bentuk kekerasan pada
anak di Kabupaten Malang antara
tahun 2012-2015. Penelitian Fakultas
Psikologi
UIN Malang, Tidak
Diterbitkan
Subandi. 2002. Latihan meditasi untuk
Psikoterapi.
Dalam
Psikoterapi
pendekatan
konvensional
dan
kontemporer. Unit Publikasi Fakultas
Psikologi UGM Yogyakarta
Watts, F. 2007. Emotion regulation and
religion. In J. J. Gross (Ed.), Handbook
of emotion regulation. (pp. 504-520).
New York: Guilford Press.