Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
ISSN: 2614-7211 PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOMATIKA VI “INOVASI GEOSPASIAL DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA” BADAN INFORMASI GEOSPASIAL 2022 PROSIDING Seminar Nasional Geomatika VI “INOVASI GEOSPASIAL DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA” Penyunting: Ati Rahadiati, Sri Lestari Munajati, Tia Rizka Nuzula Rachma, Intan Pujawati, Hanik Nurdiana Sabita, Ayu Nur Safi’i, Florence Elfriede Sinthauli Silalahi, Aninda Wisaksanti Rudiastuti, Prayudha Hartanto, Mochamad Irwan Hariyono, Maslahatun Nashiha, Yustisi Ardhitasari Lumban Gaol Hak Cipta ©2022 pada Badan Informasi Geospasial Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit All right reserved Diterbitkan oleh Badan Informasi Geospasial Tata Letak & Desain Sampul: Mohamad Afif Badan Informasi Geospasial RI. Data Katalog Dalam Terbitan (KDT) Rahadiati, Ati (Editor). Prosiding Seminar Nasional Geomatika 2021: Inovasi Geospasial dalam Pengurangan Risiko Bencana / Ati Rahadiati, Sri Lestari Munajati, Tia Rizka Nuzula Rachma dkk (Editor). – Cibinong : Badan Informasi Geospasial RI, 2022. xx, 1112 hlm.: ilus.; 26,5 cm. ISSN 2614-7211 1. Informasi Geospasial – Seminar Nasional Geomatika. I. Judul. II. Badan Informasi Geospasial 910.285 BADAN INFORMASI GEOSPASIAL Jl. Raya Bogor KM. 46 Cibinong 16911, INDONESIA Telp. 021-875-3155 Fax. 021-8790-8988/875-3155 Website: www.big.go.id Email: info@big.go.id ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOMATIKA VI “INOVASI GEOSPASIAL DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA” Reviewer: Prof. Dr. Dewayany, M.AppSc. Prof. Dr.Ing Fahmi Amhar Dr. Ir. Wiwin Ambarwulan, MSc. Dr. Ratna Sari Dewi, S.Pi, M.Sc. Dr. Ir. Mulyanto Darmawan, M.Sc. Ir. Sri Lestari Munajati, M.Agr. Dadan Ramdani, ST., M.T. Ir. Yatin Suwarno, M.Sc. Ir. Irmadi Nahib, M.Si Dr. Susilo, ST., M.T. Drs. Turmudi, M.Si. Drs. Jaka Suryanta, M.Sc. Dr. Ati Rahadiati, S.Si., M.Sc Dr. Yosef Prihanto, S.Si., M.Si. Agung Syetiawan, ST., MT. Mochamad Irwan Hariyono, ST. Aninda Wisaksanti Rudiastuti, SPi., MSi. Ira Mutiara Anjasmara, ST., MPhil., Ph.D. Dr. Daryono, SSi., MSi. Dr. Heri Andreas, ST., MT. Dr. Irwan Gumilar, ST., MSi. Cecep Pratama, SSi., MSi., D.Sc. Edisi Vol. 6, Januari 2022 ISSN 2614-7211 Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah-LIPI Prosiding Seminar Nasional Geomatika 2021 Cibinong: Badan Informasi Geospasial Badan Informasi Geospasial Peluang dan tantangan penerapan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang ........... (Sutaryono & Dewi) PELUANG DAN TANTANGAN PENERAPAN KEBIJAKAN INSENTIF DAN DISINSENTIF DALAM PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN SLEMAN (The Opportunities and Challenges of Implementation Incentive and Disincentive Policy to Control Space Utilization in Sleman District) Sutaryono, Asih Retno Dewi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Jl. Tata Bumi No.5, Area Sawah, Banyuraden,Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta E-mail: sutaryono@stpn.ac.id ABSTRAK Sebagai salah satu instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang, insentif dan disinsentif belum banyak diterapkan. Naskah ini bertujuan untuk mengelaborasi peluang dan tantangan penerapan kebijakan insentif dan disinsentif dalam penataan ruang. Kabupaten Sleman dijadikan lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa produk-produk penataan ruang di wilayah ini relatif lengkap. Content analysis digunakan untuk mengungkap peluang di dalam regulasi yang ada dan metode analisis keruangan digunakan untuk mengklasifikasikan zona perkotaan dan perdesaan sebagai objek dalam penerapan insentif dan disinsentif. Metode development change digunakan untuk merumuskan formulasi tarif pada setiap zona berdasarkan tipe perubahan pemanfaatan ruangnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) pemerintah Kabupaten Sleman memiliki peluang regulasi dan kemampuan teknis untuk menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif pemanfaatan ruang dalam bentuk peraturan bupati; (2) tantangan yang dihadapi adalah perlunya ketersediaan RDTR sebagai instrument utama sebagai rujukan; (3) teridentifikasinya beberapa bentuk insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan ruang; dan (4) terformulasikannya rumusan dasar pengenaan insentif dan disinsentif. Pengenaan tarif kompensasi ini akan menjadikan suatu perubahan yang sering terjadi dapat dikontrol sehingga memerlukan landasan hukum yang memadai dalam bentuk suatu peraturan daerah. Kata kunci: insentif-disinsentif, pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang ABSTRACT As one of the instruments in controlling space utilization, incentives and disincentives have not been widely applied. This paper aims to elaborate on the opportunities and challenges of implementing incentive and disincentive policies in spatial planning. Sleman Regency is used as the research location because the spatial planning products in this region are relatively complete. Content analysis is used to reveal opportunities in existing regulations and spatial analysis methods are used to classify urban and rural zones as objects in the application of incentives and disincentives. The development change method is used to formulate tariff formulations for each zone based on the type of change in space utilization. The results of the study show that: (1) the Sleman Regency government has regulatory opportunities and technical capabilities to implement policies on incentives and disincentives for spatial use in the form of a regent's regulation; (2) the challenges faced are the need for the availability of RDTR as the main instrument as a reference; (3) identification of several forms of incentives and disincentives in the use of space; and (4) formulation of the basic formulation of the imposition of incentives and disincentives. Keywords: incentive-disincentive, space utilization, space utilization control PENDAHULUAN Latar belakang Dalam rangka mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, Undangundan Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah mengamanahkan adanya upaya pengendalian pemanfaatan ruang. Regulasi tersebut menyebutkan adanya 4 (empat) instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang yaitu: (1) peraturan zonasi; (2) perijinan; (3) pengenaan 815 Seminar Nasional Geomatika 2021: Inovasi Geospasial dalam Pengurangan Risiko Bencana insentif dan disinsentif; serta (4) pemberian sanksi. Dalam konteks regulasi terbaru, yakni Undangundang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, muatan pengendalian pemanfaatan ruang mengalami perubahan. Kelima muatan tersebut adalah: (1) penilaian pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) dan pernyataan mandiri pelaku Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM); (2) penilaian perwujudan rencana tata ruang; (3) pemberinan insentif dan disinsentrif; (4) pengenaan sanksi; serta (5) penyelesaian sengketa penataan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang ini diorientasikan untuk: (1) meningkatkan upaya pengendalian pemanfaatan ruang dalam rangka mewujudkan tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang; (2) memfasilitasi kegiatan pemanfaatan ruang agar sejalan dengan rencana tata ruang; dan (3) meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam rangka pemanfaatan ruang yang sejalan dengan rencana tata ruang. Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa agenda pengendalian pemanfaatan ruang belum optimal dan belum seimbang dengan agenda perencanaan dan pemanfaatan ruang. Bahkan kualitas kebijakan penataan ruang yang direpresentasikan dalam Ketentuan Umum Penataan Ruang (KUPZ) masih kurang baik. Banyak materi yang dipersyaratkan dalam standar minimal masih terlewatkan (Kautsary & Safira, 2019). Oleh karena itu, sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara perencanaan, pemanfaatan ruang dengan pengendalian pemanfaatan ruang, sudah saatnya mengalihkan fokus utama pelaksanaan penataan ruang dan perencanaan tata ruang ke pengendalian pemanfaatan ruang (Hadimoeljono, 2013). A’isyah & Manaf (2018) juga menggarisbawahi pentingnya upaya pengendalian pemanfaatan ruang terkait dengan fenomena yang terjadi, mengingat penyimpangan pemanfaatan ruang dapat berakibat pada kerusakan dan berkurangnya kenyamanan lingkungan (Muhajir, 2017). Upaya memperkuat agenda pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana di atas disikapi oleh Pemerintah melalui Ditjend Penataan Ruang, Kementerian PU pada tahun 2014 dengan mencanangkan Program Peningkatan Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang (P5R). Program ini dikedepankan, mengingat sudah saatnya mengalihkan fokus utama pelaksanaan penataan ruang dari perencanaan ke pengendalian pemanfaatan ruang. Salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yang diamanahkan dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang jo UU 11/2020 tentang Cipta Kerja adalah pemberian insentif dan disinsentif. Instrumen insentif diberikan untuk memotivasi, mendorong, memberikan daya tarik dan/atau memberikan percepatan terhadap kegiatan pemanfaatan ruang yang memiliki nilai tambah pada Kawasan yang perlu didorong pengembangannya. Adapun disinsentif merupakan instrumen untuk mencegah dan/atau memberikan batasan terhadap kegiatan pemanfaatan ruang yang sejalan dengan rencana tata ruang dalam hal berpotensi melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan. Beberapa studi terkait penerapan insentif dan disinsentif telah dilakukan sebelumnya, sebagaimana dilakukan oleh Wardenia & Hirsa (2018) tentang pengendalian pemanfaatan ruang melalui insentif dan disinsentif pada kawasan pariwisata pesisir Pantai Amahami dan Ni’u yang diberikan kepada pemerintah maupun masyarakat. Pengendalian pemanfaatan ruang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penataan ruang. Instrumen pengendalian pemanfaatan ruang memiliki peran strategis dan akan berdampak sangat besar terhadap kehidupan ekonomi, social, dan ekologi penduduk setempat (Fanani, 2014). Penyusun tata ruang harus memenuhi standar yang telah dipersyaratkan mengingat adanya banyak kepentingan (Kautsary & Shafira 2019). Salah satu pemerintah kabupaten yang wilayahnya berkembang cukup pesat dan sedang mengupayakan kebijakan pemberian insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan ruang adalah Kabupaten Sleman. Pada saat ini Pemerintah Kabupaten Sleman terus melakukan upaya penyelesaian produk-produk rencana tata ruang, baik pada aras perencanaan, pengaturan pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang. Kebijakan penataan ruang saat ini masih mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Sleman No. 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011-2031. Namun demikian, mengingat dinamika pembangunan wilayah di Kabupaten Sleman yang semakin tinggi, maka perda tersebut saat ini tengah berproses untuk ditinjau kembali. Seiring dengan proses peninjauan kembali Perda Nomor 12 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Sleman Tahun 2011 - 2031 berproses pula penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ) untuk Kawasan Sleman Timur, Sleman Barat dan Sleman Tengah. 816 Peluang dan tantangan penerapan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang ........... (Sutaryono & Dewi) Penyusunan RDTR-PZ juga akan dilakukan terhadap kawasan-kawasan lain, untuk memastikan bahwa kegiatan penataan ruang di wilayah Kabupaten Sleman dapat berkontribusi dalam terwujudnya tertib ruang. Berkenaan dengan agenda pengendalian pemanfaatan ruang, dalam Pasal 96 dan 97 Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011 – 2031 telah diatur Ketentuan pemberian insentif dan disinsentif. Pemberian insentif dan disinsentif merupakan acuan bagi Pemerintah Kabupaten Sleman dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif baik kepada Masyarakat, Pemerintah Desa dalam wilayah Kabupaten Sleman maupun Pemerintah Kabupaten/Kota lainnya. Oleh karena itu, untuk dapat menerapkan kebijakan pemberian insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan ruang diperlukan regulasi yang bersifat teknis dan operasional. Hingga saat ini belum ada regulasi yang bersifat operasional untuk pemberian insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan ruang di Kabupaten Sleman. Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk: (1) mengelaborasi peluang dan tantangan Pemerintah Kabupaten Sleman dalam melahirkan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan ruang; (2) mengidentifikasi beberapa bentuk insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan ruang; dan (3) memformulasikan rumusan dasar pengenaan insentif dan disinsentif. Tinjauan Pustaka Arahan pemberian insentif dan disinsentif merupakan acuan bagi pemerintah dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif. Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan indikasi arahan peraturan zonasi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan ketentuan/Peraturan Pemerintah. Insentif pemanfaatan ruang mengandung unsur pengaturan dan pengendalian (development control) yang bersifat akomodatif terhadap berbagai perubahan aktual yang terjadi di perkotaan (Blackmon, 1994). Insentif dan disinsentif pemanfaatan ruang oleh Pemerintah kepada masyarakat dapat diberikan pada bidang fiskal ataupun non-fiskal. Pada bidang fiskal, insentif pemanfaatan ruang dapat berupa pemberian keringanan pajak dan pengurangan retribusi, sedangkan pada disinsentif dengan upaya pengenaan pajak tinggi. Pada bidang non-fiskal, insentif pemanfaatan ruang dapat berupa kemudahan perizinan, penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, pemberian kompensasi, sewa ruang, pemberian imbalan, serta urun saham (Oetomo, 2007). Insentif dan disinsentif diberikan guna mengakomodasi perubahan-perubahan aktual yang terjadi selaras dengan dinamika perkotaan. Walaupun terdapat insentif dan disinsentif, namun harus tetap memperhatikan bahwa pergeseran tatanan ruang yang terjadi seharusnya tidak menyebabkan dampak yang merugikan bagi pembangunan kota. Dalam pelaksanaannya, mekanisme insentif dan disinsentif tidak boleh mengurangi hak penduduk sebagai warga negara yang meliputi pengaturan atas harkat dan martabat yang sama, hak memperoleh, dan mempertahankan ruang hidupnya. Pemberian insentif dan disinsentif juga harus tetap memperhatikan partisipasi masyarakat di dalam proses pemanfaatan ruang untuk pembangunan oleh masyarakat (Oetomo, 2007). Mekanisme insentif-disinsentif merupakan instrumen penting dalam pengawasan penataan ruang menurut Undang-undang (UU) No. 26 Tahun 2007. Insentif akan diberikan kepada stakeholder yang memanfaatkan ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Sedangkan apabila terjadi pelanggaran akan dikenakan disinsentif. Keduanya dilaksanakan sebagai alat untuk mendorong masyarakat melaksanakan pembangunan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional dilakukan oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah dan kepada masyarakat. Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh instansi berwenang sesuai dengan kewenangannya. Insentif kepada Pemerintah Daerah diberikan, antara lain dalam bentuk: pemberian kompensasi, urun saham, pembangunan serta pengadaan infrastruktur; atau penghargaan. Insentif kepada masyarakat diberikan, antara lain dalam bentuk: keringanan pajak, pemberian kompensasi, imbalan, sewa ruang, urun saham, penyediaan infrastruktur, kemudahan prosedur perizinan; dan/atau penghargaan. Sedangkan disinsentif kepada Pemerintah Daerah diberikan, antara lain, dalam bentuk: pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi; dan/atau penalti. Disinsentif 817 Seminar Nasional Geomatika 2021: Inovasi Geospasial dalam Pengurangan Risiko Bencana dari pemerintah kepada masyarakat dikenakan, antara lain, dalam bentuk: pengenaan pajak yang tinggi, pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan/atau penalti. Pengendalian pemanfaatan ruang melalui instrumen insentif dan disinsentif juga sangat membantu dalam pengembangan kawasan. Sebagaimana penelitian Wardenia & Hirsan (2018) di kawasan pariwisata pesisir pantai Amahami dan Ni’u, dikarenakan adanya pemberian insentif dapat memacu keinginan investor ataupun masyarakat yang ingin melakukan kegiatan usaha yang bersangkutan di kawasan tersebut. Hal ini tentu saja bisa diterapkan di beberapa tempat yang lain. Disamping itu jenis dan nilai insentif – disinsentif dapat berperan dalam pengendalian pertumbuhan kawasan pariwisata (Rahayu, 2015). METODE Content analysis digunakan sebagai metode untuk mengungkap peluang di dalam regulasi yang ada, baik pada aras nasional maupun lokal. Analisis konten ini dilakukan dengan pendekatan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan terhadap norma hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, baik pada level undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan Menteri hingga peraturan daerah. Pendekatan empiris digunakan untuk menemukenali berbagai objek yang berpotensi dikenai insentif dan disinsentif, baik pada Kawasan perdesaan maupun kawasan perkotaan. Untuk mengetahui berbagai objek yang berpotensi dikenakan insentif dan disinsentif digunakan analisis keruangan. Analisis ini digunakan untuk mengklasifikasikan zona perkotaan dan perdesaan sebagai objek dalam penerapan insentif dan disinsentif. Teknik overlay antara penggunaan tanah eksisting dengan pola ruang di dalam RDTR digunakan untuk mengetahui intensitas ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dengan pola ruang yang ada. Intensitas ketidaksesuaian tersebut menunjukkan indikasi adanya objek pemberian insentif dan disinsentif. Kondisi eksisting direpresentasikan melalui citra satelit SPOT 7 Tahun 2018 dengan resolusi spasial 1,5 m. Citra ini dioverlay dengan Peta Pola Ruang pada RDTR Kecamatan Depok yang diatur melalui Peraturan Bupati Sleman Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Sedangkan untuk merumuskan formulasi tarif pada setiap zona berdasarkan tipe perubahan pemanfaatan ruangnya digunakan metode development change. Metode ini diberlakukan untuk mengontrol perubahan guna lahan dengan pengenaan tarif tertentu. Tarif perubahan guna lahan akan sangat terkait dengan klasifikasi penggunaan lahan yang telah dibakukan (Winarso, 1995). Perubahan guna lahan ke arah komersial dalam arti tidak saja fungsinya komersial namun juga bila menjadi lebih komersial akan dikenakan suatu tarif, selain itu jika mengakibatkan harga tanah setelah berubah menjadi lebih mahal dari harga sebelumnya. Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Sleman, yang diklasifikasikan ke dalam kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Kawasan perkotaan direpresentasikan oleh Kecamatan Depok dan kawasan perdesaan direpresentasikan oleh Kecamatan Turi. HASIL DAN PEMBAHASAN Peluang Penerapan Kebijakan Insentif dan Disinsentif Kabupaten Sleman telah memiliki landasan hukum yang kuat di aras lokal terkait perencanaan tata ruang di Kabupaten Sleman. Hal itu diatur pada Perda No. 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011 – 2031. Sistem insentif dan disinsentif telah diatur secara komprehensif dalam Perda tersebut. Pasal 61 Perda No.12 Tahun 2012 menyebutkan bahwa ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi; b. ketentuan perizinan; c. ketentuan pemberian insentif dan disinsentif; dan d. arahan pengenaan sanksi. Pengaturan mengenai pemberian insentif dan disinsentif merupakan bagian tak terpisahkan dari pengaturan mengenai zonasi, sistem perizinan dan pengenaan sanksi, yang diletakkan sebagai materi muatan dari arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten di Sleman. Dengan pengaturan tersebut diperlukan adanya Peraturan Bupati untuk mengoperasionalisasikan norma-norma yang diatur dalam Perda. 818 Peluang dan tantangan penerapan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang ........... (Sutaryono & Dewi) Pengaturan mengenai sistem insentif dan disinsentif sebagaimana telah diatur dalam Perda No. 12 Tahun 2012 konkruen dengan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di aras nasional. Arahan pemberian insentif dan disinsentif merupakan acuan bagi pemerintah dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif. Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan indikasi arahan peraturan zonasi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Perangkat pengendalian pemanfaatan ruang diperlukan untuk mewujudkan tertib tata ruang. Salah satu alatnya adalah melalui penerapan mekanisme insentif dan disinsentif. Hal tersebut juga telah diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR), khususnya Pasal 38. Pola pengaturan mengenasi sistem insentif dan disinsentif dalam peraturan perundangundangan pada skala nasional maupun daerah (Kabupaten Sleman) jika dicermati menggunakan model “hierarkhis-dinamis”, artinya pengaturan kebijakan mengenai sistem insentif dan disinsentif pada skala nasional menjadi dasar untuk pengaturan secara “open-limitatif” pada level daerah. Hal itu didasarkan atas ketentuan yang diatur pada Pasal 61 ayat (5) Perda No. 12 Tahun 2012. Dengan pola tersebut dapat dikatakan bahwa pengaturan mengenai sistem insentif dan disinsentif dalam sistem peraturan perundang-undangan pada skala nasional dan lokal/daerah memperlihatkan digunakannya sistem desentralisasi legislasi yang didalamnya mengandung unsur delegatie van bevogdheid (delegasi kewenangan) secara hierarkhis kepada Daerah sejalan dengan asas otonomi yang seluas-luasnya yang menjadi konsep konstitusional. Maka, konstruksi mengenai sistem insentif dan disinsentif dapat diselaraskan dengan karakteristik kewilayahan dan kekhususan daerah. Pengaturan mengenai sistem insentif dan disinsentif yang ada di Sleman tersebut membutuhkan dukungan politik dari DPRD, dukungan sosial dari masyarakat di wilayah Kabupaten Sleman khususnya dan masyarakat di DIY umumnya, serta dukungan anggaran yang bersumber dari APBD maupun sumber-sumber lainnya yang sah. Perlunya dukungan politik, sosial dan khususnya anggaran kiranya memerlukan legal framework yang secara khusus mengatur mengenai sistem insentif dan disinsentif yang dituangkan dalam Peraturan Daerah dan dilaksanakan secara operasional melalui Peraturan Bupati Sleman. Perlunya dukungan anggaran juga tersimpul dari norma yang terkandung dalam Pasal 96 ayat (1) Perda No. 12 Tahun 2012 yang mengatur bahwa Ketentuan pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c Perda No. 12 Tahun 2012 adalah ketentuan yang mengatur tentang pemberian imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan kegiatan yang didorong perwujudannya dalam rencana tata ruang. Selain itu, diperlukannya dukungan politik maupun sosial serta anggaran dalam pelaksanakan sistem insentif sebagaimana diatur pada Pasal 96 ayat 2 Perda No. 12 Tahun 2012 yang mengatur bahwa ketentuan pemberian insentif berfungsi sebagai: a. perangkat untuk mendorong kegiatan dalam pemanfaatan ruang pada kawasan yang dipromosikan sejalan dengan rencana tata ruang; dan b. perangkat untuk mendorong perwujudan pemanfaatan ruang. Objek Penerapan Insentif dan Disinsentif Berdasarkan Pasal 153 (3) Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang disebutkan bahwa peraturan zonasi kabupaten/kota merupakan dasar dalam pemberian insentif dan disinsentif, pemberian izin, dan pengenaan sanksi di tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu pada bab ini akan diuraikan mengenai hal-hal yang terkait dalam pemberian insentif dalam pemanfaatan ruang, baik untuk kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, yang didasarkan pada Peraturan Bupati Sleman Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang secara substantif materinya berada pada level RDTR/PZ. Adapun yang dijadikan sampel adalah Kecamatan Depok yang merepresentasikan kawasan perkotaan dan Kecamatan Turi sebagai representasi kawasan perdesaan. Jenis–jenis Pemanfaatan Ruang Perkotaan yang Berpotensi Mendapatkan Insentif Pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan sama dengan di kawasan lain, yaitu tetap terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya. Bedanya apabila di kawasan perkotaan maka kegiatan 819 Seminar Nasional Geomatika 2021: Inovasi Geospasial dalam Pengurangan Risiko Bencana utama di wilayah ini bukan pertanian, dan susunan fungsi kawasannya adalah sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Lahan terbangun merupakan dominasi kawasan sebagai konsekuensi dari fungsi kawasan perkotaan. Jenis-jenis pemanfaatan ruang yang berpotensi mendapatkan insentif di kawasan perkotaan adalah pemanfaatan ruang yang sesuai dengan peraturan zonasi yang berlaku di kawasan tersebut. Beberapa hal yang menjadi catatan terkait jenis pemanfaatan ruang tersebut adalah bahwa pemanfaatan ruang tersebut telah memiliki performa ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang yang ada. Berikut adalah beberapa zonasi pemanfaatan ruang yang layak mendapatkan insentif seandainya keberadaannya sudah sesuai tata ruang sehingga memiliki performa ruang yang sesuai rencana tata ruang di kawasan perkotaan: Zona Ruang Terbuka Hijau, Zona Perumahan, Zona Perdagangan/Jasa, Zona Sarana Pelayanan Umum, dan Zona Campuran. Kelima zona tersebut diperoleh berdasarkan analisis spasial yang menggunakan kajian RDTR kawasan perkotaan sebagaimana terdapat dalam Peraturan Bupati Sleman Nomor 44 Tahun 2017 Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Analisis dilakukan dengan mengidentifikasi setiap zona yang berpeluang untuk mendapatkan insentif, mendeskripsikan fungsi setiap zona dan mencocokkan dengan kriteria performa ruang yang diarahkan dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah Peraturan Bupati Nomor 44 Tahun 2017. Jenis–jenis Pemanfaatan Ruang Perdesaan yang Berpotensi Mendapatkan Insentif Seperti pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan, pemanfaatan ruang di perdesaan juga terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya. Bedanya apabila di kawasan perkotaan kegiatan utama di wilayah ini bukan pertanian, maka di perdesaan kegiatan utamanya adalah pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Lahan terbuka merupakan dominasi kawasan sebagai konsekuensi dari fungsi kawasan perdesaan. Jenis-jenis pemanfaatan ruang yang berpotensi mendapatkan insentif di kawasan perdesaan adalah pemanfaatan ruang yang sesuai dengan peraturan zonasi yang berlaku di kawasan tersebut. Beberapa hal yang menjadi catatan terkait jenis pemanfaatan ruang tersebut adalah bahwa pemanfaatan ruang tersebut telah memiliki performa ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang yang ada. Berikut adalah beberapa zonasi pemanfaatan ruang yang layak mendapatkan insentif seandainya keberadaannya sudah sesuai tata ruang sehingga memiliki performa ruang yang sesuai rencana tata ruang di kawasan perdesaan: Zona Ruang Terbuka Hijau, Zona Perumahan, Zona Perdagangan/Jasa, Zona Pertanian. Keempat zona tersebut diperoleh berdasarkan analisis spasial yang menggunakan kajian RDTR kawasan perdesaan sebagaimana terdapat dalam Peraturan Bupati Sleman Nomor 44 Tahun 2017 Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Dalam kajian ini Kecamatan Turi dijadikan representasi untuk kawasan perdesaan. Analisis dilakukan dengan mengidentifikasi setiap zona yang berpeluang untuk mendapatkan insentif, mendeskripsikan fungsi setiap zona dan mencocokkan dengan kriteria performa ruang yang diarahkan dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah Peraturan Bupati Nomor 44 Tahun 2017. Jenis–jenis Pemanfaatan Ruang Perkotaan yang Berpotensi Mendapatkan Disinsentif Berdasarkan analisis spasial kondisi penggunaan tanah eksisting dengan Peraturan Bupati Sleman Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang dapat ditemukenali tipologi ketidaksesuaian pemanfaatan ruang, khususnya untuk wilayah perkotaan. Secara umum analisis tersebut dilakukan untuk mengetahui kondisi eksisting pemanfaatan ruang terhadap pola ruang pada Peraturan Bupati Nomor 44 Tahun 2017, yang dijadikan untuk mengetahui potensi pelanggaran pemanfaatan ruang. Ketentuan teknis zonasi (ITBX) digunakan sebagai pendekatan untuk mengetahui intensitas ketidaksesuaian, yakni: a. Klasifikasi I = pemanfaatan diperbolehkan/diizinkan. Kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi I memiliki sifat sesuai dengan peruntukan ruang yang direncanakan. 820 Peluang dan tantangan penerapan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang ........... (Sutaryono & Dewi) Pemerintah kabupaten tidak dapat melakukan peninjauan atau pembahasan atau tindakan lain terhadap kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi I; b. Klasifikasi T = pemanfaatan bersyarat secara terbatas. Pemanfaatan bersyarat secara terbatas bermakna bahwa kegiatan dan penggunaan lahan dibatasi dengan ketentuan: (1) pembatasan pengoperasian, baik dalam bentuk pembatasan waktu beroperasinya suatu kegiatan di dalam subzona maupun pembatasan jangka waktu pemanfaatan lahan untuk kegiatan tertentu yang diusulkan; (2) pembatasan luas, baik dalam bentuk pembatasan luas maksimum suatu kegiatan di dalam subzona maupun di dalam persil, dengan tujuan untuk tidak mengurangi dominansi pemanfaatan ruang di sekitarnya; dan (3) pembatasan jumlah pemanfaatan, jika pemanfaatan yang diusulkan telah ada mampu melayani kebutuhan, dan belum memerlukan tambahan, maka pemanfaatan tersebut tidak boleh diizinkan atau diizinkan terbatas dengan pertimbanganpertimbangan khusus; c. Klasifikasi B = pemanfaatan bersyarat tertentu. Pemanfaatan bersyarat tertentu bermakna bahwa untuk mendapatkan izin atas suatu kegiatan atau penggunaan lahan diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu yang dapat berupa persyaratan umum dan persyaratan khusus, dapat dipenuhi dalam bentuk inovasi atau rekayasa teknologi; d. Klasifikasi X = pemanfaatan yang tidak diperbolehkan. Kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi X memiliki sifat tidak sesuai dengan peruntukan lahan yang direncanakan dan dapat menimbulkan dampak yang cukup besar bagi lingkungan di sekitarnya. Kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi X tidak boleh diizinkan pada zona yang bersangkutan. Berdasarkan jumlah intensitas terbesar kegiatan yang pemanfaatan ruangnya tidak sesuai dengan pola ruang sebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati Nomor 44 Tahun 2017 sebagaimana disajikan dalam Tabel 1. Hasil analisis menunjukkan bahwa kegiatan pemanfaatan ruang di Kawasan perkotaan Kecamatan Depok pada Zona X (pada Kawasan yang tidak diperbolehkan) terdapat pada berbagai jenis pemanfaatan ruang, terutama untuk perumahan, pertokoan, hotel dan salon/SPA. Tabel 1. Intensitas kegiatan yang tidak sesuai dengan pola ruang di kawasan perkotaan (Kecamatan Depok) Nama Jumlah Poligon Kegiatan I T B X Rumah 46751 6523 480 747 Toko/Pertokoan 2133 1478 Hotel Salon/SPA 104 130 8 99 29 Zona PZ dimana ditemukan Kegiatan yang seharusnya Tidak Diijinkan (X) RTH dan Perkantoran Sempadan Sungai, RTH dan Peruntukan Pertanian, Peternakan, dan Perikanan Sempadan Sungai, RTH, Cagar Budaya, Perumahan, Perkantoran dan Peruntukan Pertanian, Peternakan, dan Perikanan Perumahan Tabel 1 diperoleh dari analisis kondisi eksisting penggunaan lahan (SPOT 7, Tahun 2018) terhadap pola ruang yang ada dalam RDTR Kecamatan Depok sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bupati Sleman Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Hasil tumpang susun memberikan gambaran kesesuaian dan ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan rencana tata ruang (Gambar 1). Sebaran poligon yang menunjukkan ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan pola ruang pada RDTR sebagaimana tampak pada Gambar 1, diinterpretasikan sebagai zona pemanfaatan ruang yang berpotensi mendapatkan disinsentif. Dalam konteks ini, ditemukan jenis-jenis pemanfaatan ruang baik pada kondisi eksisting maupun kondisi ke depan yang berpotensi melanggar kebijakan penataan ruang. Potensi pelanggaran inilah yang perlu diantiasipasi melalui kebijakan disinsentif. 821 Seminar Nasional Geomatika 2021: Inovasi Geospasial dalam Pengurangan Risiko Bencana Gambar 1. Peta kesesuaian lahan terhadap RDTR Kecamatan Depok Jenis–jenis Pemanfaatan Ruang Perdesaan yang Berpotensi Mendapatkan Disinsentif Tidak jauh berbeda dengan kawasan perkotaan, pada kawasan perdesaan juga terdapat potensi pelanggaran terhadap pola ruang. Berdasarkan analisis spasial kondisi eksisting penggunaan lahan dengan pola ruang pada Peraturan Bupati Nomor 44 Tahun 2017, di wilayah Kecamatan Turi dapat ditemukenali tipologi ketidaksesuaian pemanfaatan ruangnya. Tabel 2. Intensitas kegiatan yang tidak sesuai dengan pola ruang di Kawasan Perdesaan (Kecamatan Turi) Zona Jumlah Poligon Zona PZ dimana ditemukan Kegiatan yang seharusnya Tidak Diijinkan (X) Kegiatan I T B X Rumah 17265 3072 624 104 Toko/Pertokoan /Ruko 39 9 10 9 Pasar 61 Bengkel 5 Industri Rumah Makan 4 6 RTH dan Perkantoran Sempadan Sungai, RTH dan Peruntukan Pertanian, Peternakan, dan Perikanan Sempadan Sungai dan Peruntukan Pertanian, Peternakan, dan Perikanan Peruntukan Pertanian, Peternakan, dan Perikanan dan Pariwisata 4 4 9 5 Peruntukan Pertanian, Peternakan, dan Perikanan 1 3 Sempadan Sungai, RTH dan Peruntukan Pertanian, Peternakan, dan Perikanan Berdasarkan jumlah intensitas terbesar kegiatan yang pemanfaatan ruangnya tidak sesuai dengan pola ruang di kawasan perdesaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati Nomor 44 Tahun 2017 sebagaimana disajikan dalam Tabel 2. Berbagai jenis pemanfaatan ruang yang terindikasi tidak sesuai dengan pola ruang adalah perumahan, pertokoan, pasar, bengkel dan rumah makan. Tabel 2 diperoleh dari analisis kondisi eksisting penggunaan lahan menggunakan Citra SPOT 7 Tahun 2018 terhadap pola ruang yang ada dalam RDTR Kecamatan Turi sebagaimana tertuang 822 Peluang dan tantangan penerapan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang ........... (Sutaryono & Dewi) dalam Peraturan Bupati Sleman Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Hasil tumpang susun memberikan gambaran kesesuaian dan ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan rencana tata ruang (Gambar 2). Gambar 2. Peta kesesuaian lahan terhadap RDTR Kecamatan Turi Formulasi Insentif dan Disinsentif Pemberian disinsentif didasarkan atas pertimbangan pemanfaatan ruang dibatasi dan dikendalikan untuk menjaga kesesuaian dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dengan obyek pengenaan disinsentif diberikan apabila pembangunan dilakukan pada kawasan yang dibatasi perkembangannya. Bentuk-bentuk pemberian disinsentif dalam pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Sleman dapat berupa pemberian kompensasi dan dan pengenaan pinalti. Selain itu, kompensasi dapat juga dengan cara membayar sejumlah tarif atas perubahan penggunaan lahan. Penggunaan tarif tertentu untuk mengontrol perubahan guna lahan dikenal dengan nama “development change” (Winarso, 1995). Tarif ini diberlakukan di beberapa negara seperti Inggris dan Singapura. Di Singapura peraturan tersebut diberlakukan sejak tahun 1965, pada tahun 1980 tarif yang dikenakan adalah 70% dari pertambahan nilai lahan akibat pertambahan nilai lahan akibat perubahan peruntukan lahan. Namun pada tahun 1991 tarif itu telah disesuaikan menjadi 50% dari perubahan nilai lahan. Tarif perubahan guna lahan akan sangat terkait dengan klasifikasi penggunaan lahan yang telah dibakukan. Tarif perubahan dapat dikenakan pada perubahan ke arah komersial dalam arti tidak saja fungsinya komersial namun juga bila menjadi lebih komersial. Oleh karenanya tarif perubahan ini dapat dikenakan pada perubahan yang akan mengakibatkan harga tanah setelah berubah menjadi lebih mahal dari harga sebelumnya. Pada dasarnya terdapat 3 cara penentuan tarif kompensasi yaitu berdasarkan indeks yang besarnya ditentukan berdasarkan perubahan peruntukan, berdasarkan prosentase tertentu dari 823 Seminar Nasional Geomatika 2021: Inovasi Geospasial dalam Pengurangan Risiko Bencana biaya pembangunan/m2, berdasarkan prosentase perbedaan harga tanah sebelum perubahan dengan harga tanah setelah perubahan guna lahan. Penjelasan dari masing-masing cara tersebut yaitu: a. Berdasarkan indeks Indeks dapat ditentukan berdasarkan kepentingan untuk tidak berubah atau berubah, misalnya jika perubahan yang terjadi dari sawah menjadi hotel, maka indeksnya tinggi (misalnya 0,7). Namun jika perubahan itu dari perumahan dengan kepadatan rendah menjadi perumahan dengan kepadatan tinggi indeks yang diberikan lebih kecil (misalnya 0,5). Selanjutnya untuk perubahan menjadi zona pelayanan sarana umum ditetapkan indeks yang sangat kecil (misal 0). Indeks juga bisa ditetapkan lebih besar apabila perubahan ke arah komersial dalam arti tidak hanya fungsinya komersial namun jika bila menjadi lebih komersial. Contoh perhitungan dalam menerapkan mekanisme kompensasi dengan metode indeks dijelaskan pada ilustrasi berikut: Peruntukan yang ditentukan dalam master plan adalah sawah, kemudian terdapat perubahan peruntukan sebagai hotel. Jika indeks yang ditentukan sebesar 0,7 dan luas perubahan 1000 m2 dengan harga lahan saat ini Rp.500.000/m2, maka tarif perubahan yang dikenakan sebagai kompensasi dapat dihitung sebagai berikut: = 0.7 x Rp.500.000 x 1000 = Rp.350.000.000. Artinya kompersasi yang harus dibayarkan jika terjadi perubahan dari lahan sawah menjadi pertokoan adalah sebesar Rp.350.000.000 untuk lahan seluas 1000 m2. b. Berdasarkan persentase dari biaya pembangunan/m2 Cara ini relatif mudah, hanya saja yang harus dihitung adalah biaya pembangunan/m2 (development cost/m2) yang merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pembebasan tanah, konstruksi bangunan, dan biaya lainnya. Persentase ditentukan berdasarkan bentuk perubahan, misalnya perubahan dari perumahan menjadi hotel adalah 50% dari biaya pembangunan per m2. Persentase akan ditetapkan lebih besar apabila perubahan ke arah komersial dalam arti tidak hanya fungsinya komersial namun jika bila menjadi lebih komersial. Contoh penghitungan tarif dengan metode persentase adalah: Peruntukan dalam master plan adalah perumahan kepadatan tinggi, perubahan yang terjadi adalah hotel. Jika perubahan dari perumahan menjadi hotel ditetapkan persentase sebesar 50%, maka kompensasi atas perubahan untuk lahan dengan luas 500 m2 dengan estimasi biaya pembangunan Rp.1.500.000/m2 dapat dihitung sebagai berikut: = 50% x Rp.1.500.000 x 500 = Rp. 375.000.000. c. Berdasarkan persentase perbedaan harga tanah sebelum dan setelah perubahan Pada cara ini diperlukan teknik estimasi harga lahan yang akan datang. Kompensasi dihitung berdasarkan persentase tertentu terhadap selisih harga lama dan harga baru. Persentase ditentukan berdasarkan bentuk perubahan, misalnya perubahan dari perumahan menjadi hotel adalah 50% dari selisih harga tanah/m2. Persentase ditetapkan lebih besar apabila perubahan ke arah komersial dalam arti tidak hanya fungsinya komersial namun jika bila menjadi lebih komersial. Untuk kasus yang sama seperti poin b besarnya kompensasi dapat dihitungan jika diketahui: Peruntukan: Perumahan Perubahan: Hotel Prosentase yang ditentukan: 50% Luas perubahan: 500 m2 Harga lahan saat ini: Rp.500.000/m2 Harga setelah perubahan: Rp.1.000.000/m2 Maka kompensasi adalah = 50% x (Rp.1.000.000-500.000) x 500 = Rp. 125.000.000. Dalam hal ini perkiraan harga setelah perubahan guna lahan harus dilakukan oleh seorang ahli properti. Bentuk umum dari rumus ketiga metode di atas adalah: 𝐾 = 𝐼 𝑥 𝐻𝐿. 𝑡1 𝑥 𝐿................................................................................................................................. (1) 𝐾 = 𝑃 𝑥 𝐵𝑃. 𝑡1 𝑥 𝐿 ................................................................................................................................ (2) 𝐾 = 𝑃 𝑥 (𝐻𝐿. 𝑡2 – 𝐻𝐿. 𝑡1) 𝑥 𝐿 ................................................................................................................. (3) 824 Peluang dan tantangan penerapan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang ........... (Sutaryono & Dewi) di mana: K = besarnya kompensasi I = indeks P = persentase HL.t1 = harga lahan saat ini HL.t2 = harga lahan setelah perubahan L = Luas lahan yang berubah Berdasarkan penjelasan dan ilustrasi penghitungan besar tarif kompensasi di atas maka metode indeks lebih mungkin diterapkan dibandingkan dua metode lainnya. Metode persentase dari biaya pembangunan memerlukan informasi biaya pembangunan yang valid dari ahli/profesional bidang pembangunan property. Sementara metode persentase dari perbedaan harga tanah sebelum dan setelah perubahan memerlukan informasi perkiraan harga setelah perubahan guna lahan dari seorang ahli properti. Catatan besar yang harus diperhatikan dalam penerapan metode indeks adalah perlu adanya studi lanjut dengan survey lapang dalam penentuan besarnya indeks tersebut. Selanjutnya pengenaan tarif kompensasi ini akan menjadikan suatu perubahan yang sering terjadi dapat dikontrol sehingga memerlukan landasan hukum yang memadai dalam bentuk suatu peraturan daerah. KESIMPULAN Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kabupaten Sleman memiliki peluang regulasi dan kemampuan teknis untuk menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif pemanfaatan ruang dalam bentuk peraturan bupati. Peluang regulasi yang tersedia adalah adanya Perda RTRW. Kelembagaan OPD Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (DPTR) menunjukkan adanya kemampuan teknis yang mendukung terwujudnya kebijakan insentif dan disinsentif. Tantangan yang dihadapi adalah perlunya ketersediaan RDTR sebagai instrumen utama sebagai rujukan. Pada saat ini sudah ada dan tengah berproses terbitnya Kebijakan tentang RDTR Sleman Timur, Sleman Barat, Sleman Tengah dan Sleman Utara. Teridentifikasinya beberapa bentuk insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan ruang, baik pada kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan. Terformulasikannya rumusan dasar pengenaan insentif dan disinsentif. Pengenaan tarif kompensasi ini akan menjadikan suatu perubahan yang sering terjadi dapat dikontrol sehingga memerlukan landasan hukum yang memadai dalam bentuk suatu peraturan daerah. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucap terima kasih kepada kepada Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (DPTR) Pemerintah Kabupaten Sleman, Bpk Riawan Tjandra, Bpk J Hamidin, Mbak Nour Eka Wijayanti, dan Mas Effant yang telah memberikan kesempatan dan berkontribusi dalam kajian insentif-disinsentif di Kabupaten Sleman, yang menjadi sumber utama penyusunan naskah ini. DAFTAR PUSTAKA A’isyah, S. & Manaf, A. (2018). Pengendalian pembangunan perumahan skala kecil tak berizin di kawasan lindung Pamurbaya. Jurnal Pengembangan Kota. 6(1): 26-34. DOI: 10.14710/jpk.6.1.26-34 Blackmon, G. (1994). Incentive Regulation and the Regulation of Incentives (Vol. 17). Springer Science & Business Media. DOI: https://doi.org/10.1080/08109029608632026 Fanani, F. (2014). Kesiapan pemerintah daerah Kabupaten Sleman dalam penerapan peraturan zonasi sebagai instrument pengendalian pemanfaatan ruang di kasawan perkotaan Yogyakarta. Tesis. Magister Persencanaan Kota dan Daerah Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hadimoeljono, B. (2013). Pengendalian pemanfaatan ruang: mencari kelembagaan pemanfaatan ruang yang efektif. Retrieved from Jakarta: tataruangpertanahan.com/pdf/pustaka/majalah/ 3.pdf Kautsary, J. & Shafira, S. (2019). Kualitas instrument pengendalian pemanfaatan ruang bedasarkan kelengkapan materi ketentuan umum peraturan zonasi rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kendal, Jurnal Planologi, 16 (1). http://dx.doi.org/10.30659/jpsa.v16i1.4372 Muhajir, A. (2017). Kebijakan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dalam Pelaksanaan Ketentuan Penataan Ruang di Kota Bau Bau Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Renaissance, 2 (2). 825 Seminar Nasional Geomatika 2021: Inovasi Geospasial dalam Pengurangan Risiko Bencana Oetomo, A. (2007), Materi Teknis tentang Insentif dan Disinsentif Bidang Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Rahayu, A. R. (2015). Jenis dan Nilai Insentif – Disinsentif Pengendalian Akomodasi Wisata di Kawasan Wisata Kaliurang. Tugas Akhir. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya. Wardenia, A. & Hirsan, F.P. (2018). Identifikasi pengendalian pemanfaatan ruang melalui instrumen insentif dan disinsentif pada kawasan pariwisata pesisir di Pantai Amahami dan Ni’u. Jurnal Planoearth PWK FT UMMat Vol. 3 (1): 30-35. DOI: https://doi.org/10.31764/jpe.v3i1.217 Winarso, H. (1995). Tarif ijin perubahan guna lahan perkotaan sebagai bentuk control pelaksanaan penataan ruang kota. Jurnal PWK Vol. 6 No.17: 30. 826