ISSN: 2614-7211
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL GEOMATIKA VI
“INOVASI GEOSPASIAL DALAM PENGURANGAN
RISIKO BENCANA”
BADAN INFORMASI GEOSPASIAL
2022
PROSIDING
Seminar Nasional Geomatika VI
“INOVASI GEOSPASIAL DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA”
Penyunting:
Ati Rahadiati, Sri Lestari Munajati, Tia Rizka Nuzula Rachma, Intan Pujawati,
Hanik Nurdiana Sabita, Ayu Nur Safi’i, Florence Elfriede Sinthauli Silalahi,
Aninda Wisaksanti Rudiastuti, Prayudha Hartanto, Mochamad Irwan Hariyono,
Maslahatun Nashiha, Yustisi Ardhitasari Lumban Gaol
Hak Cipta ©2022 pada Badan Informasi Geospasial
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit
All right reserved
Diterbitkan oleh Badan Informasi Geospasial
Tata Letak & Desain Sampul: Mohamad Afif
Badan Informasi Geospasial RI. Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Rahadiati, Ati (Editor).
Prosiding Seminar Nasional Geomatika 2021: Inovasi Geospasial dalam
Pengurangan Risiko Bencana / Ati Rahadiati, Sri Lestari Munajati, Tia Rizka Nuzula
Rachma dkk (Editor). – Cibinong : Badan Informasi Geospasial RI, 2022.
xx, 1112 hlm.: ilus.; 26,5 cm.
ISSN 2614-7211
1. Informasi Geospasial – Seminar Nasional Geomatika. I. Judul. II. Badan
Informasi Geospasial
910.285
BADAN INFORMASI GEOSPASIAL
Jl. Raya Bogor KM. 46 Cibinong 16911, INDONESIA
Telp. 021-875-3155
Fax. 021-8790-8988/875-3155
Website: www.big.go.id
Email: info@big.go.id
ii
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL GEOMATIKA VI
“INOVASI GEOSPASIAL DALAM PENGURANGAN
RISIKO BENCANA”
Reviewer:
Prof. Dr. Dewayany, M.AppSc.
Prof. Dr.Ing Fahmi Amhar
Dr. Ir. Wiwin Ambarwulan, MSc.
Dr. Ratna Sari Dewi, S.Pi, M.Sc.
Dr. Ir. Mulyanto Darmawan, M.Sc.
Ir. Sri Lestari Munajati, M.Agr.
Dadan Ramdani, ST., M.T.
Ir. Yatin Suwarno, M.Sc.
Ir. Irmadi Nahib, M.Si
Dr. Susilo, ST., M.T.
Drs. Turmudi, M.Si.
Drs. Jaka Suryanta, M.Sc.
Dr. Ati Rahadiati, S.Si., M.Sc
Dr. Yosef Prihanto, S.Si., M.Si.
Agung Syetiawan, ST., MT.
Mochamad Irwan Hariyono, ST.
Aninda Wisaksanti Rudiastuti, SPi., MSi.
Ira Mutiara Anjasmara, ST., MPhil., Ph.D.
Dr. Daryono, SSi., MSi.
Dr. Heri Andreas, ST., MT.
Dr. Irwan Gumilar, ST., MSi.
Cecep Pratama, SSi., MSi., D.Sc.
Edisi Vol. 6, Januari 2022
ISSN 2614-7211 Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah-LIPI
Prosiding Seminar Nasional Geomatika 2021
Cibinong: Badan Informasi Geospasial
Badan Informasi Geospasial
Peluang dan tantangan penerapan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang ........... (Sutaryono & Dewi)
PELUANG DAN TANTANGAN
PENERAPAN KEBIJAKAN INSENTIF DAN DISINSENTIF
DALAM PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
DI KABUPATEN SLEMAN
(The Opportunities and Challenges of Implementation Incentive and Disincentive Policy
to Control Space Utilization in Sleman District)
Sutaryono, Asih Retno Dewi
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Jl. Tata Bumi No.5, Area Sawah, Banyuraden,Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
E-mail: sutaryono@stpn.ac.id
ABSTRAK
Sebagai salah satu instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang, insentif dan disinsentif belum
banyak diterapkan. Naskah ini bertujuan untuk mengelaborasi peluang dan tantangan penerapan kebijakan
insentif dan disinsentif dalam penataan ruang. Kabupaten Sleman dijadikan lokasi penelitian dengan
pertimbangan bahwa produk-produk penataan ruang di wilayah ini relatif lengkap. Content analysis digunakan
untuk mengungkap peluang di dalam regulasi yang ada dan metode analisis keruangan digunakan untuk
mengklasifikasikan zona perkotaan dan perdesaan sebagai objek dalam penerapan insentif dan disinsentif.
Metode development change digunakan untuk merumuskan formulasi tarif pada setiap zona berdasarkan tipe
perubahan pemanfaatan ruangnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) pemerintah Kabupaten Sleman
memiliki peluang regulasi dan kemampuan teknis untuk menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif
pemanfaatan ruang dalam bentuk peraturan bupati; (2) tantangan yang dihadapi adalah perlunya
ketersediaan RDTR sebagai instrument utama sebagai rujukan; (3) teridentifikasinya beberapa bentuk insentif
dan disinsentif dalam pemanfaatan ruang; dan (4) terformulasikannya rumusan dasar pengenaan insentif dan
disinsentif. Pengenaan tarif kompensasi ini akan menjadikan suatu perubahan yang sering terjadi dapat
dikontrol sehingga memerlukan landasan hukum yang memadai dalam bentuk suatu peraturan daerah.
Kata kunci: insentif-disinsentif, pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang
ABSTRACT
As one of the instruments in controlling space utilization, incentives and disincentives have not been
widely applied. This paper aims to elaborate on the opportunities and challenges of implementing incentive
and disincentive policies in spatial planning. Sleman Regency is used as the research location because the
spatial planning products in this region are relatively complete. Content analysis is used to reveal opportunities
in existing regulations and spatial analysis methods are used to classify urban and rural zones as objects in
the application of incentives and disincentives. The development change method is used to formulate tariff
formulations for each zone based on the type of change in space utilization. The results of the study show
that: (1) the Sleman Regency government has regulatory opportunities and technical capabilities to implement
policies on incentives and disincentives for spatial use in the form of a regent's regulation; (2) the challenges
faced are the need for the availability of RDTR as the main instrument as a reference; (3) identification of
several forms of incentives and disincentives in the use of space; and (4) formulation of the basic formulation
of the imposition of incentives and disincentives.
Keywords: incentive-disincentive, space utilization, space utilization control
PENDAHULUAN
Latar belakang
Dalam rangka mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, Undangundan Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah mengamanahkan adanya upaya
pengendalian pemanfaatan ruang. Regulasi tersebut menyebutkan adanya 4 (empat) instrumen
dalam pengendalian pemanfaatan ruang yaitu: (1) peraturan zonasi; (2) perijinan; (3) pengenaan
815
Seminar Nasional Geomatika 2021: Inovasi Geospasial dalam Pengurangan Risiko Bencana
insentif dan disinsentif; serta (4) pemberian sanksi. Dalam konteks regulasi terbaru, yakni Undangundang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, muatan pengendalian pemanfaatan ruang mengalami
perubahan. Kelima muatan tersebut adalah: (1) penilaian pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang (KKPR) dan pernyataan mandiri pelaku Usaha Menengah, Kecil dan Mikro
(UMKM); (2) penilaian perwujudan rencana tata ruang; (3) pemberinan insentif dan disinsentrif; (4)
pengenaan sanksi; serta (5) penyelesaian sengketa penataan ruang.
Pengendalian pemanfaatan ruang ini diorientasikan untuk: (1) meningkatkan upaya
pengendalian pemanfaatan ruang dalam rangka mewujudkan tata ruang sesuai dengan rencana tata
ruang; (2) memfasilitasi kegiatan pemanfaatan ruang agar sejalan dengan rencana tata ruang; dan
(3) meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam rangka pemanfaatan ruang yang
sejalan dengan rencana tata ruang. Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa agenda
pengendalian pemanfaatan ruang belum optimal dan belum seimbang dengan agenda perencanaan
dan pemanfaatan ruang. Bahkan kualitas kebijakan penataan ruang yang direpresentasikan dalam
Ketentuan Umum Penataan Ruang (KUPZ) masih kurang baik. Banyak materi yang dipersyaratkan
dalam standar minimal masih terlewatkan (Kautsary & Safira, 2019). Oleh karena itu, sebagai upaya
untuk menyeimbangkan antara perencanaan, pemanfaatan ruang dengan pengendalian
pemanfaatan ruang, sudah saatnya mengalihkan fokus utama pelaksanaan penataan ruang dan
perencanaan tata ruang ke pengendalian pemanfaatan ruang (Hadimoeljono, 2013). A’isyah &
Manaf (2018) juga menggarisbawahi pentingnya upaya pengendalian pemanfaatan ruang terkait
dengan fenomena yang terjadi, mengingat penyimpangan pemanfaatan ruang dapat berakibat pada
kerusakan dan berkurangnya kenyamanan lingkungan (Muhajir, 2017). Upaya memperkuat agenda
pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana di atas disikapi oleh Pemerintah melalui Ditjend
Penataan Ruang, Kementerian PU pada tahun 2014 dengan mencanangkan Program Peningkatan
Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang (P5R). Program ini dikedepankan, mengingat
sudah saatnya mengalihkan fokus utama pelaksanaan penataan ruang dari perencanaan ke
pengendalian pemanfaatan ruang.
Salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yang diamanahkan dalam UU 26/2007
tentang Penataan Ruang jo UU 11/2020 tentang Cipta Kerja adalah pemberian insentif dan
disinsentif. Instrumen insentif diberikan untuk memotivasi, mendorong, memberikan daya tarik
dan/atau memberikan percepatan terhadap kegiatan pemanfaatan ruang yang memiliki nilai tambah
pada Kawasan yang perlu didorong pengembangannya. Adapun disinsentif merupakan instrumen
untuk mencegah dan/atau memberikan batasan terhadap kegiatan pemanfaatan ruang yang sejalan
dengan rencana tata ruang dalam hal berpotensi melampaui daya dukung dan daya tampung
lingkungan. Beberapa studi terkait penerapan insentif dan disinsentif telah dilakukan sebelumnya,
sebagaimana dilakukan oleh Wardenia & Hirsa (2018) tentang pengendalian pemanfaatan ruang
melalui insentif dan disinsentif pada kawasan pariwisata pesisir Pantai Amahami dan Ni’u yang
diberikan kepada pemerintah maupun masyarakat.
Pengendalian pemanfaatan ruang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penataan ruang.
Instrumen pengendalian pemanfaatan ruang memiliki peran strategis dan akan berdampak sangat
besar terhadap kehidupan ekonomi, social, dan ekologi penduduk setempat (Fanani, 2014).
Penyusun tata ruang harus memenuhi standar yang telah dipersyaratkan mengingat adanya banyak
kepentingan (Kautsary & Shafira 2019). Salah satu pemerintah kabupaten yang wilayahnya
berkembang cukup pesat dan sedang mengupayakan kebijakan pemberian insentif dan disinsentif
dalam pemanfaatan ruang adalah Kabupaten Sleman. Pada saat ini Pemerintah Kabupaten Sleman
terus melakukan upaya penyelesaian produk-produk rencana tata ruang, baik pada aras
perencanaan, pengaturan pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang. Kebijakan
penataan ruang saat ini masih mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Sleman No. 12 Tahun
2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011-2031. Namun demikian,
mengingat dinamika pembangunan wilayah di Kabupaten Sleman yang semakin tinggi, maka perda
tersebut saat ini tengah berproses untuk ditinjau kembali.
Seiring dengan proses peninjauan kembali Perda Nomor 12 Tahun 2012 tentang RTRW
Kabupaten Sleman Tahun 2011 - 2031 berproses pula penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan
Peraturan Zonasi (RDTR-PZ) untuk Kawasan Sleman Timur, Sleman Barat dan Sleman Tengah.
816
Peluang dan tantangan penerapan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang ........... (Sutaryono & Dewi)
Penyusunan RDTR-PZ juga akan dilakukan terhadap kawasan-kawasan lain, untuk memastikan
bahwa kegiatan penataan ruang di wilayah Kabupaten Sleman dapat berkontribusi dalam
terwujudnya tertib ruang. Berkenaan dengan agenda pengendalian pemanfaatan ruang, dalam
Pasal 96 dan 97 Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Sleman Tahun 2011 – 2031 telah diatur Ketentuan pemberian insentif dan disinsentif.
Pemberian insentif dan disinsentif merupakan acuan bagi Pemerintah Kabupaten Sleman dalam
pemberian insentif dan pengenaan disinsentif baik kepada Masyarakat, Pemerintah Desa dalam
wilayah Kabupaten Sleman maupun Pemerintah Kabupaten/Kota lainnya. Oleh karena itu, untuk
dapat menerapkan kebijakan pemberian insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan ruang
diperlukan regulasi yang bersifat teknis dan operasional.
Hingga saat ini belum ada regulasi yang bersifat operasional untuk pemberian insentif dan
disinsentif dalam pemanfaatan ruang di Kabupaten Sleman. Oleh karena itu, makalah ini bertujuan
untuk: (1) mengelaborasi peluang dan tantangan Pemerintah Kabupaten Sleman dalam melahirkan
kebijakan insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan ruang; (2) mengidentifikasi beberapa bentuk
insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan ruang; dan (3) memformulasikan rumusan dasar
pengenaan insentif dan disinsentif.
Tinjauan Pustaka
Arahan pemberian insentif dan disinsentif merupakan acuan bagi pemerintah dalam pemberian
insentif dan pengenaan disinsentif. Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan
rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan indikasi arahan peraturan zonasi yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Disinsentif dikenakan
terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya
berdasarkan ketentuan/Peraturan Pemerintah. Insentif pemanfaatan ruang mengandung unsur
pengaturan dan pengendalian (development control) yang bersifat akomodatif terhadap berbagai
perubahan aktual yang terjadi di perkotaan (Blackmon, 1994).
Insentif dan disinsentif pemanfaatan ruang oleh Pemerintah kepada masyarakat dapat diberikan
pada bidang fiskal ataupun non-fiskal. Pada bidang fiskal, insentif pemanfaatan ruang dapat berupa
pemberian keringanan pajak dan pengurangan retribusi, sedangkan pada disinsentif dengan upaya
pengenaan pajak tinggi. Pada bidang non-fiskal, insentif pemanfaatan ruang dapat berupa
kemudahan perizinan, penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, pemberian kompensasi,
sewa ruang, pemberian imbalan, serta urun saham (Oetomo, 2007).
Insentif dan disinsentif diberikan guna mengakomodasi perubahan-perubahan aktual yang
terjadi selaras dengan dinamika perkotaan. Walaupun terdapat insentif dan disinsentif, namun harus
tetap memperhatikan bahwa pergeseran tatanan ruang yang terjadi seharusnya tidak menyebabkan
dampak yang merugikan bagi pembangunan kota. Dalam pelaksanaannya, mekanisme insentif dan
disinsentif tidak boleh mengurangi hak penduduk sebagai warga negara yang meliputi pengaturan
atas harkat dan martabat yang sama, hak memperoleh, dan mempertahankan ruang hidupnya.
Pemberian insentif dan disinsentif juga harus tetap memperhatikan partisipasi masyarakat di dalam
proses pemanfaatan ruang untuk pembangunan oleh masyarakat (Oetomo, 2007).
Mekanisme insentif-disinsentif merupakan instrumen penting dalam pengawasan penataan
ruang menurut Undang-undang (UU) No. 26 Tahun 2007. Insentif akan diberikan kepada
stakeholder yang memanfaatkan ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Sedangkan apabila
terjadi pelanggaran akan dikenakan disinsentif. Keduanya dilaksanakan sebagai alat untuk
mendorong masyarakat melaksanakan pembangunan sesuai rencana yang telah ditetapkan.
Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional
dilakukan oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah dan kepada masyarakat. Pemberian insentif
dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh instansi berwenang sesuai dengan kewenangannya.
Insentif kepada Pemerintah Daerah diberikan, antara lain dalam bentuk: pemberian kompensasi,
urun saham, pembangunan serta pengadaan infrastruktur; atau penghargaan. Insentif kepada
masyarakat diberikan, antara lain dalam bentuk: keringanan pajak, pemberian kompensasi, imbalan,
sewa ruang, urun saham, penyediaan infrastruktur, kemudahan prosedur perizinan; dan/atau
penghargaan. Sedangkan disinsentif kepada Pemerintah Daerah diberikan, antara lain, dalam
bentuk: pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi; dan/atau penalti. Disinsentif
817
Seminar Nasional Geomatika 2021: Inovasi Geospasial dalam Pengurangan Risiko Bencana
dari pemerintah kepada masyarakat dikenakan, antara lain, dalam bentuk: pengenaan pajak yang
tinggi, pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan/atau penalti.
Pengendalian pemanfaatan ruang melalui instrumen insentif dan disinsentif juga sangat
membantu dalam pengembangan kawasan. Sebagaimana penelitian Wardenia & Hirsan (2018) di
kawasan pariwisata pesisir pantai Amahami dan Ni’u, dikarenakan adanya pemberian insentif dapat
memacu keinginan investor ataupun masyarakat yang ingin melakukan kegiatan usaha yang
bersangkutan di kawasan tersebut. Hal ini tentu saja bisa diterapkan di beberapa tempat yang lain.
Disamping itu jenis dan nilai insentif – disinsentif dapat berperan dalam pengendalian pertumbuhan
kawasan pariwisata (Rahayu, 2015).
METODE
Content analysis digunakan sebagai metode untuk mengungkap peluang di dalam regulasi yang
ada, baik pada aras nasional maupun lokal. Analisis konten ini dilakukan dengan pendekatan
pendekatan yuridis normatif dan empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan terhadap norma
hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, baik pada level undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan Menteri hingga peraturan daerah. Pendekatan empiris digunakan
untuk menemukenali berbagai objek yang berpotensi dikenai insentif dan disinsentif, baik pada
Kawasan perdesaan maupun kawasan perkotaan.
Untuk mengetahui berbagai objek yang berpotensi dikenakan insentif dan disinsentif digunakan
analisis keruangan. Analisis ini digunakan untuk mengklasifikasikan zona perkotaan dan perdesaan
sebagai objek dalam penerapan insentif dan disinsentif. Teknik overlay antara penggunaan tanah
eksisting dengan pola ruang di dalam RDTR digunakan untuk mengetahui intensitas ketidaksesuaian
pemanfaatan ruang dengan pola ruang yang ada. Intensitas ketidaksesuaian tersebut menunjukkan
indikasi adanya objek pemberian insentif dan disinsentif. Kondisi eksisting direpresentasikan melalui
citra satelit SPOT 7 Tahun 2018 dengan resolusi spasial 1,5 m. Citra ini dioverlay dengan Peta Pola
Ruang pada RDTR Kecamatan Depok yang diatur melalui Peraturan Bupati Sleman Nomor 44 Tahun
2017 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang.
Sedangkan untuk merumuskan formulasi tarif pada setiap zona berdasarkan tipe perubahan
pemanfaatan ruangnya digunakan metode development change. Metode ini diberlakukan untuk
mengontrol perubahan guna lahan dengan pengenaan tarif tertentu. Tarif perubahan guna lahan
akan sangat terkait dengan klasifikasi penggunaan lahan yang telah dibakukan (Winarso, 1995).
Perubahan guna lahan ke arah komersial dalam arti tidak saja fungsinya komersial namun juga bila
menjadi lebih komersial akan dikenakan suatu tarif, selain itu jika mengakibatkan harga tanah
setelah berubah menjadi lebih mahal dari harga sebelumnya.
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Sleman, yang diklasifikasikan ke dalam kawasan
perkotaan dan kawasan perdesaan. Kawasan perkotaan direpresentasikan oleh Kecamatan Depok
dan kawasan perdesaan direpresentasikan oleh Kecamatan Turi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peluang Penerapan Kebijakan Insentif dan Disinsentif
Kabupaten Sleman telah memiliki landasan hukum yang kuat di aras lokal terkait perencanaan
tata ruang di Kabupaten Sleman. Hal itu diatur pada Perda No. 12 Tahun 2012 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011 – 2031. Sistem insentif dan disinsentif telah
diatur secara komprehensif dalam Perda tersebut. Pasal 61 Perda No.12 Tahun 2012 menyebutkan
bahwa ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten terdiri atas: a. ketentuan
umum peraturan zonasi; b. ketentuan perizinan; c. ketentuan pemberian insentif dan disinsentif;
dan d. arahan pengenaan sanksi. Pengaturan mengenai pemberian insentif dan disinsentif
merupakan bagian tak terpisahkan dari pengaturan mengenai zonasi, sistem perizinan dan
pengenaan sanksi, yang diletakkan sebagai materi muatan dari arahan pengendalian pemanfaatan
ruang wilayah kabupaten di Sleman. Dengan pengaturan tersebut diperlukan adanya Peraturan
Bupati untuk mengoperasionalisasikan norma-norma yang diatur dalam Perda.
818
Peluang dan tantangan penerapan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang ........... (Sutaryono & Dewi)
Pengaturan mengenai sistem insentif dan disinsentif sebagaimana telah diatur dalam Perda No.
12 Tahun 2012 konkruen dengan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di aras
nasional. Arahan pemberian insentif dan disinsentif merupakan acuan bagi pemerintah dalam
pemberian insentif dan pengenaan disinsentif. Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai
dengan rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan indikasi arahan peraturan zonasi yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang
perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan. Perangkat pengendalian pemanfaatan ruang diperlukan untuk mewujudkan
tertib tata ruang. Salah satu alatnya adalah melalui penerapan mekanisme insentif dan disinsentif.
Hal tersebut juga telah diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(UUPR), khususnya Pasal 38.
Pola pengaturan mengenasi sistem insentif dan disinsentif dalam peraturan perundangundangan pada skala nasional maupun daerah (Kabupaten Sleman) jika dicermati menggunakan
model “hierarkhis-dinamis”, artinya pengaturan kebijakan mengenai sistem insentif dan disinsentif
pada skala nasional menjadi dasar untuk pengaturan secara “open-limitatif” pada level daerah. Hal
itu didasarkan atas ketentuan yang diatur pada Pasal 61 ayat (5) Perda No. 12 Tahun 2012. Dengan
pola tersebut dapat dikatakan bahwa pengaturan mengenai sistem insentif dan disinsentif dalam
sistem peraturan perundang-undangan pada skala nasional dan lokal/daerah memperlihatkan
digunakannya sistem desentralisasi legislasi yang didalamnya mengandung unsur delegatie van
bevogdheid (delegasi kewenangan) secara hierarkhis kepada Daerah sejalan dengan asas otonomi
yang seluas-luasnya yang menjadi konsep konstitusional. Maka, konstruksi mengenai sistem insentif
dan disinsentif dapat diselaraskan dengan karakteristik kewilayahan dan kekhususan daerah.
Pengaturan mengenai sistem insentif dan disinsentif yang ada di Sleman tersebut membutuhkan
dukungan politik dari DPRD, dukungan sosial dari masyarakat di wilayah Kabupaten Sleman
khususnya dan masyarakat di DIY umumnya, serta dukungan anggaran yang bersumber dari APBD
maupun sumber-sumber lainnya yang sah. Perlunya dukungan politik, sosial dan khususnya
anggaran kiranya memerlukan legal framework yang secara khusus mengatur mengenai sistem
insentif dan disinsentif yang dituangkan dalam Peraturan Daerah dan dilaksanakan secara
operasional melalui Peraturan Bupati Sleman. Perlunya dukungan anggaran juga tersimpul dari
norma yang terkandung dalam Pasal 96 ayat (1) Perda No. 12 Tahun 2012 yang mengatur bahwa
Ketentuan pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c Perda No. 12
Tahun 2012 adalah ketentuan yang mengatur tentang pemberian imbalan terhadap pelaksanaan
kegiatan yang sesuai dengan kegiatan yang didorong perwujudannya dalam rencana tata ruang.
Selain itu, diperlukannya dukungan politik maupun sosial serta anggaran dalam pelaksanakan
sistem insentif sebagaimana diatur pada Pasal 96 ayat 2 Perda No. 12 Tahun 2012 yang mengatur
bahwa ketentuan pemberian insentif berfungsi sebagai: a. perangkat untuk mendorong kegiatan
dalam pemanfaatan ruang pada kawasan yang dipromosikan sejalan dengan rencana tata ruang;
dan b. perangkat untuk mendorong perwujudan pemanfaatan ruang.
Objek Penerapan Insentif dan Disinsentif
Berdasarkan Pasal 153 (3) Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang disebutkan bahwa peraturan zonasi kabupaten/kota merupakan dasar dalam
pemberian insentif dan disinsentif, pemberian izin, dan pengenaan sanksi di tingkat kabupaten/kota.
Oleh karena itu pada bab ini akan diuraikan mengenai hal-hal yang terkait dalam pemberian insentif
dalam pemanfaatan ruang, baik untuk kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, yang didasarkan
pada Peraturan Bupati Sleman Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang
yang secara substantif materinya berada pada level RDTR/PZ. Adapun yang dijadikan sampel adalah
Kecamatan Depok yang merepresentasikan kawasan perkotaan dan Kecamatan Turi sebagai
representasi kawasan perdesaan.
Jenis–jenis Pemanfaatan Ruang Perkotaan yang Berpotensi Mendapatkan Insentif
Pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan sama dengan di kawasan lain, yaitu tetap terdiri dari
kawasan lindung dan kawasan budidaya. Bedanya apabila di kawasan perkotaan maka kegiatan
819
Seminar Nasional Geomatika 2021: Inovasi Geospasial dalam Pengurangan Risiko Bencana
utama di wilayah ini bukan pertanian, dan susunan fungsi kawasannya adalah sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial,
dan kegiatan ekonomi. Lahan terbangun merupakan dominasi kawasan sebagai konsekuensi dari
fungsi kawasan perkotaan.
Jenis-jenis pemanfaatan ruang yang berpotensi mendapatkan insentif di kawasan perkotaan
adalah pemanfaatan ruang yang sesuai dengan peraturan zonasi yang berlaku di kawasan tersebut.
Beberapa hal yang menjadi catatan terkait jenis pemanfaatan ruang tersebut adalah bahwa
pemanfaatan ruang tersebut telah memiliki performa ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang
yang ada. Berikut adalah beberapa zonasi pemanfaatan ruang yang layak mendapatkan insentif
seandainya keberadaannya sudah sesuai tata ruang sehingga memiliki performa ruang yang sesuai
rencana tata ruang di kawasan perkotaan: Zona Ruang Terbuka Hijau, Zona Perumahan, Zona
Perdagangan/Jasa, Zona Sarana Pelayanan Umum, dan Zona Campuran.
Kelima zona tersebut diperoleh berdasarkan analisis spasial yang menggunakan kajian RDTR
kawasan perkotaan sebagaimana terdapat dalam Peraturan Bupati Sleman Nomor 44 Tahun 2017
Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Analisis dilakukan dengan mengidentifikasi setiap zona yang
berpeluang untuk mendapatkan insentif, mendeskripsikan fungsi setiap zona dan mencocokkan
dengan kriteria performa ruang yang diarahkan dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal
ini adalah Peraturan Bupati Nomor 44 Tahun 2017.
Jenis–jenis Pemanfaatan Ruang Perdesaan yang Berpotensi Mendapatkan Insentif
Seperti pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan, pemanfaatan ruang di perdesaan juga terdiri
dari kawasan lindung dan kawasan budidaya. Bedanya apabila di kawasan perkotaan kegiatan utama
di wilayah ini bukan pertanian, maka di perdesaan kegiatan utamanya adalah pertanian, termasuk
pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Lahan terbuka
merupakan dominasi kawasan sebagai konsekuensi dari fungsi kawasan perdesaan.
Jenis-jenis pemanfaatan ruang yang berpotensi mendapatkan insentif di kawasan perdesaan
adalah pemanfaatan ruang yang sesuai dengan peraturan zonasi yang berlaku di kawasan tersebut.
Beberapa hal yang menjadi catatan terkait jenis pemanfaatan ruang tersebut adalah bahwa
pemanfaatan ruang tersebut telah memiliki performa ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang
yang ada. Berikut adalah beberapa zonasi pemanfaatan ruang yang layak mendapatkan insentif
seandainya keberadaannya sudah sesuai tata ruang sehingga memiliki performa ruang yang sesuai
rencana tata ruang di kawasan perdesaan: Zona Ruang Terbuka Hijau, Zona Perumahan, Zona
Perdagangan/Jasa, Zona Pertanian.
Keempat zona tersebut diperoleh berdasarkan analisis spasial yang menggunakan kajian RDTR
kawasan perdesaan sebagaimana terdapat dalam Peraturan Bupati Sleman Nomor 44 Tahun 2017
Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Dalam kajian ini Kecamatan Turi dijadikan representasi untuk
kawasan perdesaan. Analisis dilakukan dengan mengidentifikasi setiap zona yang berpeluang untuk
mendapatkan insentif, mendeskripsikan fungsi setiap zona dan mencocokkan dengan kriteria
performa ruang yang diarahkan dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah
Peraturan Bupati Nomor 44 Tahun 2017.
Jenis–jenis Pemanfaatan Ruang Perkotaan yang Berpotensi Mendapatkan Disinsentif
Berdasarkan analisis spasial kondisi penggunaan tanah eksisting dengan Peraturan Bupati
Sleman Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang dapat ditemukenali
tipologi ketidaksesuaian pemanfaatan ruang, khususnya untuk wilayah perkotaan. Secara umum
analisis tersebut dilakukan untuk mengetahui kondisi eksisting pemanfaatan ruang terhadap pola
ruang pada Peraturan Bupati Nomor 44 Tahun 2017, yang dijadikan untuk mengetahui potensi
pelanggaran pemanfaatan ruang. Ketentuan teknis zonasi (ITBX) digunakan sebagai pendekatan
untuk mengetahui intensitas ketidaksesuaian, yakni:
a. Klasifikasi I = pemanfaatan diperbolehkan/diizinkan. Kegiatan dan penggunaan lahan yang
termasuk dalam klasifikasi I memiliki sifat sesuai dengan peruntukan ruang yang direncanakan.
820
Peluang dan tantangan penerapan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang ........... (Sutaryono & Dewi)
Pemerintah kabupaten tidak dapat melakukan peninjauan atau pembahasan atau tindakan lain
terhadap kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi I;
b. Klasifikasi T = pemanfaatan bersyarat secara terbatas. Pemanfaatan bersyarat secara terbatas
bermakna bahwa kegiatan dan penggunaan lahan dibatasi dengan ketentuan: (1) pembatasan
pengoperasian, baik dalam bentuk pembatasan waktu beroperasinya suatu kegiatan di dalam
subzona maupun pembatasan jangka waktu pemanfaatan lahan untuk kegiatan tertentu yang
diusulkan; (2) pembatasan luas, baik dalam bentuk pembatasan luas maksimum suatu kegiatan
di dalam subzona maupun di dalam persil, dengan tujuan untuk tidak mengurangi dominansi
pemanfaatan ruang di sekitarnya; dan (3) pembatasan jumlah pemanfaatan, jika pemanfaatan
yang diusulkan telah ada mampu melayani kebutuhan, dan belum memerlukan tambahan, maka
pemanfaatan tersebut tidak boleh diizinkan atau diizinkan terbatas dengan pertimbanganpertimbangan khusus;
c. Klasifikasi B = pemanfaatan bersyarat tertentu. Pemanfaatan bersyarat tertentu bermakna
bahwa untuk mendapatkan izin atas suatu kegiatan atau penggunaan lahan diperlukan
persyaratan-persyaratan tertentu yang dapat berupa persyaratan umum dan persyaratan
khusus, dapat dipenuhi dalam bentuk inovasi atau rekayasa teknologi;
d. Klasifikasi X = pemanfaatan yang tidak diperbolehkan. Kegiatan dan penggunaan lahan yang
termasuk dalam klasifikasi X memiliki sifat tidak sesuai dengan peruntukan lahan yang
direncanakan dan dapat menimbulkan dampak yang cukup besar bagi lingkungan di sekitarnya.
Kegiatan dan penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi X tidak boleh diizinkan pada
zona yang bersangkutan.
Berdasarkan jumlah intensitas terbesar kegiatan yang pemanfaatan ruangnya tidak sesuai
dengan pola ruang sebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati Nomor 44 Tahun 2017 sebagaimana
disajikan dalam Tabel 1. Hasil analisis menunjukkan bahwa kegiatan pemanfaatan ruang di
Kawasan perkotaan Kecamatan Depok pada Zona X (pada Kawasan yang tidak diperbolehkan)
terdapat pada berbagai jenis pemanfaatan ruang, terutama untuk perumahan, pertokoan, hotel dan
salon/SPA.
Tabel 1. Intensitas kegiatan yang tidak sesuai dengan pola ruang di kawasan perkotaan (Kecamatan Depok)
Nama
Jumlah Poligon
Kegiatan
I
T
B
X
Rumah
46751
6523
480
747
Toko/Pertokoan
2133
1478
Hotel
Salon/SPA
104
130
8
99
29
Zona PZ dimana ditemukan Kegiatan yang
seharusnya Tidak Diijinkan (X)
RTH dan Perkantoran
Sempadan Sungai, RTH dan Peruntukan
Pertanian, Peternakan, dan Perikanan
Sempadan Sungai, RTH, Cagar Budaya,
Perumahan, Perkantoran dan Peruntukan
Pertanian, Peternakan, dan Perikanan
Perumahan
Tabel 1 diperoleh dari analisis kondisi eksisting penggunaan lahan (SPOT 7, Tahun 2018)
terhadap pola ruang yang ada dalam RDTR Kecamatan Depok sebagaimana tertuang dalam
Peraturan Bupati Sleman Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Hasil
tumpang susun memberikan gambaran kesesuaian dan ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan
rencana tata ruang (Gambar 1).
Sebaran poligon yang menunjukkan ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan pola ruang
pada RDTR sebagaimana tampak pada Gambar 1, diinterpretasikan sebagai zona pemanfaatan
ruang yang berpotensi mendapatkan disinsentif. Dalam konteks ini, ditemukan jenis-jenis
pemanfaatan ruang baik pada kondisi eksisting maupun kondisi ke depan yang berpotensi melanggar
kebijakan penataan ruang. Potensi pelanggaran inilah yang perlu diantiasipasi melalui kebijakan
disinsentif.
821
Seminar Nasional Geomatika 2021: Inovasi Geospasial dalam Pengurangan Risiko Bencana
Gambar 1. Peta kesesuaian lahan terhadap RDTR Kecamatan Depok
Jenis–jenis Pemanfaatan Ruang Perdesaan yang Berpotensi Mendapatkan Disinsentif
Tidak jauh berbeda dengan kawasan perkotaan, pada kawasan perdesaan juga terdapat potensi
pelanggaran terhadap pola ruang. Berdasarkan analisis spasial kondisi eksisting penggunaan lahan
dengan pola ruang pada Peraturan Bupati Nomor 44 Tahun 2017, di wilayah Kecamatan Turi dapat
ditemukenali tipologi ketidaksesuaian pemanfaatan ruangnya.
Tabel 2. Intensitas kegiatan yang tidak sesuai dengan pola ruang di Kawasan Perdesaan (Kecamatan Turi)
Zona
Jumlah Poligon
Zona PZ dimana ditemukan Kegiatan yang
seharusnya Tidak Diijinkan (X)
Kegiatan
I
T
B
X
Rumah
17265
3072
624
104
Toko/Pertokoan
/Ruko
39
9
10
9
Pasar
61
Bengkel
5
Industri
Rumah Makan
4
6
RTH dan Perkantoran
Sempadan Sungai, RTH dan Peruntukan Pertanian,
Peternakan, dan Perikanan
Sempadan Sungai dan Peruntukan Pertanian,
Peternakan, dan Perikanan
Peruntukan Pertanian, Peternakan, dan Perikanan dan
Pariwisata
4
4
9
5
Peruntukan Pertanian, Peternakan, dan Perikanan
1
3
Sempadan Sungai, RTH dan Peruntukan Pertanian,
Peternakan, dan Perikanan
Berdasarkan jumlah intensitas terbesar kegiatan yang pemanfaatan ruangnya tidak sesuai
dengan pola ruang di kawasan perdesaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati Nomor 44
Tahun 2017 sebagaimana disajikan dalam Tabel 2. Berbagai jenis pemanfaatan ruang yang
terindikasi tidak sesuai dengan pola ruang adalah perumahan, pertokoan, pasar, bengkel dan rumah
makan.
Tabel 2 diperoleh dari analisis kondisi eksisting penggunaan lahan menggunakan Citra SPOT 7
Tahun 2018 terhadap pola ruang yang ada dalam RDTR Kecamatan Turi sebagaimana tertuang
822
Peluang dan tantangan penerapan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang ........... (Sutaryono & Dewi)
dalam Peraturan Bupati Sleman Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang.
Hasil tumpang susun memberikan gambaran kesesuaian dan ketidaksesuaian penggunaan lahan
dengan rencana tata ruang (Gambar 2).
Gambar 2. Peta kesesuaian lahan terhadap RDTR Kecamatan Turi
Formulasi Insentif dan Disinsentif
Pemberian disinsentif didasarkan atas pertimbangan pemanfaatan ruang dibatasi dan
dikendalikan untuk menjaga kesesuaian dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata
ruang dengan obyek pengenaan disinsentif diberikan apabila pembangunan dilakukan pada kawasan
yang dibatasi perkembangannya. Bentuk-bentuk pemberian disinsentif dalam pemanfaatan ruang di
wilayah Kabupaten Sleman dapat berupa pemberian kompensasi dan dan pengenaan pinalti. Selain
itu, kompensasi dapat juga dengan cara membayar sejumlah tarif atas perubahan penggunaan
lahan.
Penggunaan tarif tertentu untuk mengontrol perubahan guna lahan dikenal dengan nama
“development change” (Winarso, 1995). Tarif ini diberlakukan di beberapa negara seperti Inggris
dan Singapura. Di Singapura peraturan tersebut diberlakukan sejak tahun 1965, pada tahun 1980
tarif yang dikenakan adalah 70% dari pertambahan nilai lahan akibat pertambahan nilai lahan akibat
perubahan peruntukan lahan. Namun pada tahun 1991 tarif itu telah disesuaikan menjadi 50% dari
perubahan nilai lahan.
Tarif perubahan guna lahan akan sangat terkait dengan klasifikasi penggunaan lahan yang telah
dibakukan. Tarif perubahan dapat dikenakan pada perubahan ke arah komersial dalam arti tidak
saja fungsinya komersial namun juga bila menjadi lebih komersial. Oleh karenanya tarif perubahan
ini dapat dikenakan pada perubahan yang akan mengakibatkan harga tanah setelah berubah
menjadi lebih mahal dari harga sebelumnya.
Pada dasarnya terdapat 3 cara penentuan tarif kompensasi yaitu berdasarkan indeks yang
besarnya ditentukan berdasarkan perubahan peruntukan, berdasarkan prosentase tertentu dari
823
Seminar Nasional Geomatika 2021: Inovasi Geospasial dalam Pengurangan Risiko Bencana
biaya pembangunan/m2, berdasarkan prosentase perbedaan harga tanah sebelum perubahan
dengan harga tanah setelah perubahan guna lahan. Penjelasan dari masing-masing cara tersebut
yaitu:
a. Berdasarkan indeks
Indeks dapat ditentukan berdasarkan kepentingan untuk tidak berubah atau berubah, misalnya
jika perubahan yang terjadi dari sawah menjadi hotel, maka indeksnya tinggi (misalnya 0,7).
Namun jika perubahan itu dari perumahan dengan kepadatan rendah menjadi perumahan
dengan kepadatan tinggi indeks yang diberikan lebih kecil (misalnya 0,5). Selanjutnya untuk
perubahan menjadi zona pelayanan sarana umum ditetapkan indeks yang sangat kecil (misal 0).
Indeks juga bisa ditetapkan lebih besar apabila perubahan ke arah komersial dalam arti tidak
hanya fungsinya komersial namun jika bila menjadi lebih komersial.
Contoh perhitungan dalam menerapkan mekanisme kompensasi dengan metode indeks
dijelaskan pada ilustrasi berikut:
Peruntukan yang ditentukan dalam master plan adalah sawah, kemudian terdapat perubahan
peruntukan sebagai hotel. Jika indeks yang ditentukan sebesar 0,7 dan luas perubahan 1000
m2 dengan harga lahan saat ini Rp.500.000/m2, maka tarif perubahan yang dikenakan
sebagai kompensasi dapat dihitung sebagai berikut:
= 0.7 x Rp.500.000 x 1000 = Rp.350.000.000.
Artinya kompersasi yang harus dibayarkan jika terjadi perubahan dari lahan sawah menjadi
pertokoan adalah sebesar Rp.350.000.000 untuk lahan seluas 1000 m2.
b. Berdasarkan persentase dari biaya pembangunan/m2
Cara ini relatif mudah, hanya saja yang harus dihitung adalah biaya pembangunan/m2
(development cost/m2) yang merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pembebasan tanah,
konstruksi bangunan, dan biaya lainnya. Persentase ditentukan berdasarkan bentuk perubahan,
misalnya perubahan dari perumahan menjadi hotel adalah 50% dari biaya pembangunan per
m2. Persentase akan ditetapkan lebih besar apabila perubahan ke arah komersial dalam arti tidak
hanya fungsinya komersial namun jika bila menjadi lebih komersial. Contoh penghitungan tarif
dengan metode persentase adalah:
Peruntukan dalam master plan adalah perumahan kepadatan tinggi, perubahan yang terjadi
adalah hotel. Jika perubahan dari perumahan menjadi hotel ditetapkan persentase sebesar
50%, maka kompensasi atas perubahan untuk lahan dengan luas 500 m2 dengan estimasi
biaya pembangunan Rp.1.500.000/m2 dapat dihitung sebagai berikut:
= 50% x Rp.1.500.000 x 500 = Rp. 375.000.000.
c. Berdasarkan persentase perbedaan harga tanah sebelum dan setelah perubahan
Pada cara ini diperlukan teknik estimasi harga lahan yang akan datang. Kompensasi dihitung
berdasarkan persentase tertentu terhadap selisih harga lama dan harga baru. Persentase
ditentukan berdasarkan bentuk perubahan, misalnya perubahan dari perumahan menjadi hotel
adalah 50% dari selisih harga tanah/m2. Persentase ditetapkan lebih besar apabila perubahan
ke arah komersial dalam arti tidak hanya fungsinya komersial namun jika bila menjadi lebih
komersial. Untuk kasus yang sama seperti poin b besarnya kompensasi dapat dihitungan jika
diketahui:
Peruntukan: Perumahan
Perubahan: Hotel
Prosentase yang ditentukan: 50%
Luas perubahan: 500 m2
Harga lahan saat ini: Rp.500.000/m2
Harga setelah perubahan: Rp.1.000.000/m2
Maka kompensasi adalah = 50% x (Rp.1.000.000-500.000) x 500 = Rp. 125.000.000.
Dalam hal ini perkiraan harga setelah perubahan guna lahan harus dilakukan oleh seorang ahli
properti. Bentuk umum dari rumus ketiga metode di atas adalah:
𝐾 = 𝐼 𝑥 𝐻𝐿. 𝑡1 𝑥 𝐿................................................................................................................................. (1)
𝐾 = 𝑃 𝑥 𝐵𝑃. 𝑡1 𝑥 𝐿 ................................................................................................................................ (2)
𝐾 = 𝑃 𝑥 (𝐻𝐿. 𝑡2 – 𝐻𝐿. 𝑡1) 𝑥 𝐿 ................................................................................................................. (3)
824
Peluang dan tantangan penerapan kebijakan insentif dan disinsentif dalam pengendalian pemanfaatan ruang ........... (Sutaryono & Dewi)
di mana:
K
= besarnya kompensasi
I
= indeks
P
= persentase
HL.t1 = harga lahan saat ini
HL.t2 = harga lahan setelah perubahan
L
= Luas lahan yang berubah
Berdasarkan penjelasan dan ilustrasi penghitungan besar tarif kompensasi di atas maka metode
indeks lebih mungkin diterapkan dibandingkan dua metode lainnya. Metode persentase dari biaya
pembangunan memerlukan informasi biaya pembangunan yang valid dari ahli/profesional bidang
pembangunan property. Sementara metode persentase dari perbedaan harga tanah sebelum dan
setelah perubahan memerlukan informasi perkiraan harga setelah perubahan guna lahan dari
seorang ahli properti.
Catatan besar yang harus diperhatikan dalam penerapan metode indeks adalah perlu adanya
studi lanjut dengan survey lapang dalam penentuan besarnya indeks tersebut. Selanjutnya
pengenaan tarif kompensasi ini akan menjadikan suatu perubahan yang sering terjadi dapat
dikontrol sehingga memerlukan landasan hukum yang memadai dalam bentuk suatu peraturan
daerah.
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kabupaten Sleman memiliki
peluang regulasi dan kemampuan teknis untuk menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif
pemanfaatan ruang dalam bentuk peraturan bupati. Peluang regulasi yang tersedia adalah adanya
Perda RTRW. Kelembagaan OPD Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (DPTR) menunjukkan adanya
kemampuan teknis yang mendukung terwujudnya kebijakan insentif dan disinsentif. Tantangan yang
dihadapi adalah perlunya ketersediaan RDTR sebagai instrumen utama sebagai rujukan. Pada saat
ini sudah ada dan tengah berproses terbitnya Kebijakan tentang RDTR Sleman Timur, Sleman Barat,
Sleman Tengah dan Sleman Utara. Teridentifikasinya beberapa bentuk insentif dan disinsentif dalam
pemanfaatan ruang, baik pada kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan.
Terformulasikannya rumusan dasar pengenaan insentif dan disinsentif. Pengenaan tarif kompensasi
ini akan menjadikan suatu perubahan yang sering terjadi dapat dikontrol sehingga memerlukan
landasan hukum yang memadai dalam bentuk suatu peraturan daerah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucap terima kasih kepada kepada Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (DPTR)
Pemerintah Kabupaten Sleman, Bpk Riawan Tjandra, Bpk J Hamidin, Mbak Nour Eka Wijayanti, dan
Mas Effant yang telah memberikan kesempatan dan berkontribusi dalam kajian insentif-disinsentif
di Kabupaten Sleman, yang menjadi sumber utama penyusunan naskah ini.
DAFTAR PUSTAKA
A’isyah, S. & Manaf, A. (2018). Pengendalian pembangunan perumahan skala kecil tak berizin di kawasan
lindung Pamurbaya. Jurnal Pengembangan Kota. 6(1): 26-34. DOI: 10.14710/jpk.6.1.26-34
Blackmon, G. (1994). Incentive Regulation and the Regulation of Incentives (Vol. 17). Springer Science &
Business Media. DOI: https://doi.org/10.1080/08109029608632026
Fanani, F. (2014). Kesiapan pemerintah daerah Kabupaten Sleman dalam penerapan peraturan zonasi sebagai
instrument pengendalian pemanfaatan ruang di kasawan perkotaan Yogyakarta. Tesis. Magister
Persencanaan Kota dan Daerah Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Hadimoeljono, B. (2013). Pengendalian pemanfaatan ruang: mencari kelembagaan pemanfaatan ruang yang
efektif. Retrieved from Jakarta: tataruangpertanahan.com/pdf/pustaka/majalah/ 3.pdf
Kautsary, J. & Shafira, S. (2019). Kualitas instrument pengendalian pemanfaatan ruang bedasarkan
kelengkapan materi ketentuan umum peraturan zonasi rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kendal,
Jurnal Planologi, 16 (1). http://dx.doi.org/10.30659/jpsa.v16i1.4372
Muhajir, A. (2017). Kebijakan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dalam Pelaksanaan Ketentuan Penataan
Ruang di Kota Bau Bau Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Renaissance, 2 (2).
825
Seminar Nasional Geomatika 2021: Inovasi Geospasial dalam Pengurangan Risiko Bencana
Oetomo, A. (2007), Materi Teknis tentang Insentif dan Disinsentif Bidang Penataan Ruang, Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Rahayu, A. R. (2015). Jenis dan Nilai Insentif – Disinsentif Pengendalian Akomodasi Wisata di Kawasan Wisata
Kaliurang. Tugas Akhir. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Sepuluh November
Surabaya.
Wardenia, A. & Hirsan, F.P. (2018). Identifikasi pengendalian pemanfaatan ruang melalui instrumen insentif
dan disinsentif pada kawasan pariwisata pesisir di Pantai Amahami dan Ni’u. Jurnal Planoearth PWK FT
UMMat Vol. 3 (1): 30-35. DOI: https://doi.org/10.31764/jpe.v3i1.217
Winarso, H. (1995). Tarif ijin perubahan guna lahan perkotaan sebagai bentuk control pelaksanaan penataan
ruang kota. Jurnal PWK Vol. 6 No.17: 30.
826