Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan 2010

Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2010 Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan 2010 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 1 Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2010 Tim Penulis: Nuhrison M. Nuh Imam Syaukani Akmal Salim Ruhana Desember 2010 ISBN : 978-979-797-xx-x Diterbitkan oleh: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. M. H. Thamrin No. 6 Lt. 19 (T) 021-3920425 (F) 021-3920421 2 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Daftar Isi Daftar Isi ..........(3) Ringkasan ..........(4) Satu PENDAHULUAN ..........(5) A. Dasar Pemikiran ..........(5) B. Metode ..........(6) C. Tujuan ..........(7) D. Batasan ..........(7) E. Sumber Laporan ..........(7) F. Pelaksana ..........(7) Dua DEM OGRAFI KEAGAM AAN INDONESIA ..........(8) A. Jumlah Pemeluk Agama ..........(8) B. Jumlah Rumah Ibadat ..........(9) Tiga ALIRAN/ PAHAM , PEM IKIRAN, DAN GERAKAN KEAGAM AAN ..........(12) A. Aliran/Paham Keagamaan ..........(12) B. Pemikiran Keagamaan ..........(20) C. Gerakan Keagamaan ..........(29) Empat PELAYANAN DAN PENGAM ALAN KEAGAM AAN ..........(33) A. RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan ..........(34) B. RUU Jaminan Produk Halal ..........(41) C. RUU Pengelolaan Zakat ..........(44) D. Penyelenggaraan Ibadah Haji 1431 H ..........(45) Lima HUBUNGAN DAN KERUKUNAN ANTARUM AT BERAGAM A ..........(3) A. Kasus di Seputar Rumah Ibadat ..........(52) B. Kasus Penodaan Agama ..........(56) C. Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965 ..........(59) D. Kekerasan Atas Nama Agama dan HAM ..........(63) E. Dialog dan Harmoni ..........(64) Enam PENUTUP ..........(6) A. Kesimpulan ..........(68) B. Rekomendasi ..........(70) Catatan Akhir ..........(73) LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 3 4 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 1 Pendahuluan A. Dasar Pemikiran P usat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI (Puslitbang Kehidupan Keagamaan) merupakan instansi Pemerintah yang bertugas dan berfungsi melakukan penelitian dan pengembangan dalam bidang kehidupan keagamaan. Ada tiga masalah kehidupan keagamaan yang menjadi sasaran penelitian dan pengembangannya, yakni masalah aliran/paham, pemikiran, dan gerakan keagamaan; pelayanan dan pengamalan keagamaan; serta hubungan antaragama.1 Puslitbang Kehidupan Keagamaan dalam waktu yang cukup panjang telah melakukan berbagai penelitian dan pengembangan berkenaan dengan tiga masalah di atas. Berdasarkan pengalaman selama bertahun-tahun, tiga masalah tersebut merupakan masalah kehidupan keagamaan yang seringkali mengemuka, dan bahkan kadang menimbulkan kontrversi di masyarakat. Rentang waktunya pun berbeda-beda, ada masalah kehidupan keagamaan yang sifatnya temporal tetapi ada pula yang berkelanjutan. Pada 2010, media massa memberitakan beberapa masalah kehidupan keagamaan, baik yang sifatnya temporal maupun berkelanjutan. Dalam masalah aliran/paham, pemikiran, dan gerakan keagamaan misalnya, tercatat di antaranya berita tentang Ahmadiyah, al-Haq, Surga Eden, Hidup Dibalik Hidup (HDH), dan Brayan Agung. Aliran-aliran keagamaan tersebut ditengarai oleh masyarakat meyakini dan mengamalkan ajaran agama yang menyimpang dari mainstream, sehingga distigmatisasi sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Dalam masalah pelayanan dan pengamalan keagamaan misalnya, tercatat di antaranya berita tentang kontroversi rencana pidana bagi pelaku perkawinan sirri, wacana zakat sebagai pengurang pajak, pro-kontra kepentingan LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 5 antara Kementerian Agama dan MUI dalam sertifikasi halal, dan masalah penyelenggaraan ibadat haji. Dalam masalah hubungan antaragama misalnya, tercatat di antaranya berita tentang kasus pendirian rumah ibadat, kasus penodaan agama, dan perdebatan di sekitar putusan Mahkamah Konstitusi tentang judicial atau constitutional review UU No. 1/PNPS/1965. Beberapa masalah kehidupan keagamaan yang disebutkan di atas hanya sebagian kecil dari banyaknya masalah kehidupan keagamaan yang sempat tercatat media massa. Banyaknya masalah tersebut menunjukkan bahwa masalah kehidupan keagamaan di Indonesia tumbuh dan berkembang sangat dinamis. Bahwa terkait masalah itu terkadang muncul pandangan pro dan kontra di masyarakat, hal tersebut masih dianggap wajar. Sebab, masing-masing orang kerap mempunyai paradigma dan sudut pandang berbeda dalam memahami suatu masalah. Dinamika kehidupan keagamaan dan beragamnya paradigma dan sudut pandang masyarakat dalam memahami masalah tersebut sangat menarik untuk dicermati. Sebab, tidak jarang perbedaan sudut pandang tersebut juga menimbulkan kontroversi tersendiri di masyarakat, sehingga tidaklah aneh apabila masyarakat kemudian terombang-ambing dalam ketidakpastian informasi. Kondisi inilah yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk “memancing di air keruh”, menyulut emosi masyarakat sehingga melakukan tindakan kekerasan yang membahayakan keselamatan orang lain. Ironisnya, tindakan tidak beradab tersebut tidak jarang mengatasnamakan agama, yang sejak dahulu kala selalu mengajarkan kesantunan terhadap siapa pun. Untuk alasan apapun, melakukan tindak kekerasan atau anarkis terhadap warga negara Indonesia yang berbeda agama bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengannya. Pasal 29 UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Masalahnya, analisis yang dilakukan The Wahid 6 Institute, Setara Institute, dan Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) melalui Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia tahun 2008 dan 2009 mengungkapkan bahwa pelaksanaan Pasal 29 UUD 1945 di Indonesia masih cukup memperihatinkan. Lalu, bagaimana dengan 2010? Apakah peristiwa yang terjadi di 2008 dan 2009 terjadi lagi di 2010, atau ada peristiwa-peristiwa baru yang muncul? Belajar dari apa yang telah dilakukan tiga lembaga di atas pada 2008 dan 2009, Puslit bang Kehidupan Keagamaan berusaha melakukan analisis terhadap dinamika kehidupan keagamaan di Indonesia tahun 2010. Hasil analisis tersebut kemudian dituangkan dalam Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan 2010. Secara umum, laporan tahunan ini menyajikan informasi t entang kehidupan keagamaan, baik yang dianggap kemajuan maupun yang masih mengalami kendala. Laporan ini mengangkat isu-isu aktual di bidang kehidupan keagamaan yang terjadi di tahun 2010. Isu-isu yang diangkat terbatas pada halhal yang berkaitan dengan masalah aliran/ paham, pemikiran dan gerakan keagamaan; pelayanan dan pengamalan keagamaan; serta hubungan antaragama.2 B. Langkah, Metode, dan Sumber Informasi Laporan tahunan ini ditulis berdasarkan hasil diskusi dengan metode sebagai berikut. Pertama, merencanakan dan melaksanakan seluruh rangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan data berupa penelusuran berita yang ada di media massa maupun dari sumber-sumber lain di Kementerian Agama RI. Kedua, mendokumentasikan berita-berita surat kabar dan hasil LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 penelitian yang berkaitan dengan masalah aliran/ paham, pemikiran, dan gerakan keagamaan; pelayanan dan pengamalan keagamaan; serta hubungan antar­agama. Ketiga, mengklasifikasikan data sesuai dengan masalah aliran/paham, pemikiran, dan gerakan keagamaan; pelayanan dan pengamalan keagamaan; serta hubungan antaragama. Keempat, menyeleksi berita-berita yang mempunyai nilai pengaruh yang luas terhadap kehidupan keagamaan masyarakat. Kelima, menuliskan hasilnya dalam bentuk buku laporan tahunan, dengan menyer-takan hasilhasil kajian Puslitbang Kehidupan Keagamaan serta laporan atau hasil kajian terkait lainnya dalam pembahasannya. Fenomena kehidupan keagamaan dipaparkan secara apa adanya. Adapun pembahasan dan analisa dilakukan dengan mengindahkan hasil kajian dan penelitian yang berperspektif (dan dalam kerangka) kebijakan. Sumber penulisan laporan tahunan ini didasarkan pada data dokumentasi yang dipunyai Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Dokumentasi dilakukan terhadap sejumlah surat kabar nasional, seperti: The Jakarta Post, Republika, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, Seputar Indonesia, dan majalah nasional seperti Gatra dan Sabili, serta koran daerah Pikiran Rakyat, yang dipantau secara terus menerus dari waktu ke waktu, sejak bulan Januari hingga November 2010. Selain dari berita di surat kabar dan majalah, sumber data berasal dari dokumen-dokumen yang ada di Pusat Kerukunan Umat Beragama dan Staf Ahli Menteri Agama Bidang Pemikiran dan Paham Keagamaan, serta beberapa hasil penelitian yang dilakukan sendiri oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan. C. Tujuan Tujuan penulisan Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2010 adalah: Pertama, mendokumentasikan dan menganalisis berbagai peristiwa keagamaan pada tahun 2010, sehingga dapat memberikan gambaran secara utuh tentang pola kehidupan keagamaan di Indonesia. Kedua, menjadi basis informasi yang utuh bagi Pemerintah dan masyarakat tentang berbagai agenda peme-cahan masalah yang perlu diupayakan untuk meningkatkan kualitas kehidupan keagamaan di Indonesia. D. Batasan Laporan tahunan ini bukan laporan kegiatan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, kendati dalam penulisannya menggunakan pedoman bidang penelitian dan pengembangan yang berlaku di instansi Pemerintah tersebut. Laporan tahunan ini merupakan rekaman dan catatan berbagai perist iwa kehidupan keagamaan di Indonesia yang terjadi sepanjang tahun 2010. Kehidupan keagamaan dalam laporan ini dibatasi hanya pada wilayah tugas Puslitbang Kehidupan Keagamaan, yaitu masalah aliran/paham, pemikiran, dan gerakan keagamaan; pelayanan dan pengamalan keagamaan; serta hubungan antaragama. E. Pelaksana Laporan tahunan ini ditulis dan disusun oleh sebuah tim di Puslitbang Kehidupan Keagamaan, yang terdiri atas Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Prof. H. Abd Rahman Mas’ud, Ph.D, selaku Penanggung Jawab, Kepala Bidang Evaluasi dan Pelaporan, Drs. H. Moh. Khafid, MM, selaku Koordinator kegiatan, Dra. Hj. Suhanah, M.Pd, selaku Ketua Pelaksana, Drs. H. Nuhrison M. Nuh, MA, APU selaku Penulis bagian Aliran/ Paham, Pemikiran, dan Gerakan keagamaan, Imam Syaukani, S.Ag, MH selaku Penulis bagian Pelayanan dan Pengamalan Keagamaan, dan Akmal Salim Ruhana, SHI selaku Penulis bagian Hubungan Antaragama, serta dibantu oleh Rahmah Nur Fitriani, ST, Zabidi, Achmad Rosidi, S.Ag, Ibnu Hasan Muchtar Lc, MA, dan Hj. Mesrawati, BA, sebagai tenaga teknis. [] LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 7 2 Demografi Keagamaan Indonesia A. Jumlah Pemeluk Agama I ndonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk dari segi suku bangsa, budaya, dan agama. Penduduk Indonesia saat ini terdiri dari 1.128 suku bangsa yang tersebar di berbagai wilayah dengan beragam budayanya masing-masing. Penduduk ini juga menganut agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Bagian terbesar dari penduduk Indonesia menganut agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Selain agama-agama itu, terdapat ratusan kepercayaan dan aliran keagamaan. Setelah pada masa Orde Baru Khonghucu tidak dianggap sebagai agama, sejak tahun 2000 Khonghucu dimasukkan kembali sebagai salah satu agama yang diberikan pelayanan oleh Pemerintah. Pada tahun 2005 pemeluk agama Khonghucu pun mulai dicatat dalam survei penduduk nasional oleh BPS. Berdasarkan hasil Sensus BPS tahun 1990, 2000, dan 2005, terjadi fluktuasi jumlah dan persentase penduduk berdasarkan agamanya, sebagai berikut (Tabel 1): 8 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Tabel 1 Jumlah dan Persentase Pemeluk Agama di Indonesia (1990, 2000, 2005) Melihat data di atas, ternyata perkembangan jumlah pemeluk pada semua agama fluktuasinya sangat rendah, tidak terjadi penaikan atau penurunan jumlah pemeluk agama yang signifikan. Oleh karenanya, isu tentang Kristenisasi dan/ atau Islamisasi yang mengandaikan terjadinya perpindahan pemelukan agama tidak memperoleh dukungan data. Penduduk beragama Islam merupakan mayoritas secara nasional. Namun agama-agama tertentu lainnya merupakan agama yang dipeluk mayoritas penduduk di provinsi tertentu, seperti Hindu di Bali, Katolik di Nusa Tenggara Timur, Kristen di Sulawesi Utara dan Papua. Karenanya, stigmatisasi ‘mayoritas-minoritas’ menjadi kabur dan tidak seutuhnya tepat. Istilah ‘mayoritasminoritas’ sejatinya tidak lagi digunakan dalam berbagai wacana di Indonesia, dan kondisinya disikapi secara dewasa. Berikut jumlah dan persentase pemeluk agama di empat provinsi tersebut (Tabel 2). Tabel 2 Jumlah dan Persentase Pemeluk Agama Tahun 2009 di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua B. Jumlah Rumah Ibadat Secara simbolik, keberadaan suatu rumah ibadat mengindikasikan keberadaan pemeluknya dan lingkungan dimana umat beragama berinteraksi. Oleh karena itu, penting menghadirkan data tentang jumlah rumah ibadat, terlebih laporan ini dalam salahsatu bagiannya akan membahas lebih dalam. Berikut data rumah ibadat yang diolah dari berbagai sumber (Tabel 3). LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 9 Tabel 3 Jumlah Pemeluk Agama dan Rumah Ibadat Tahun 2010 Keterangan: Bimas Islam dalam Angka bersumber BPS2005, sedangkan Data Validasi 2009 Bimas Hindu dan Bimas Budha 2008 diolah dan dibuat oleh Bimas bersangkutan. Tabel 3 di atas menunjukkan beberapa hal, sebagai berikut: Pertama, data jumlah rumah ibadat dari berbagai sumber ternyata berbeda cukup signifikan (misalnya: jumlah masjid versi Bimas Islam dalam Angka 2009 terpaut 166.307 lebih sedikit dari versi Data Validasi Bimas Hindu; jumlah pura versi Bimas Hindu lebih banyak 10.447 dari versi Bimas Islam dalam Angka 2009). Hal ini ditengarai karena perbedaan kategorisasi rumah ibadat (misal, mushola terhitung sebagai masjid), atau cara dan sumber penghitungan yang berbeda (misal: ada yang melandaskan pada data BPS—dalam kategori ini Bimas Islam dalam Angka 2009, dan ada yang melandaskan pada penghitungan manual oleh perangkatnya di daerah). Data pada Bimas Kristen misalnya juga mengkategorikan data gerejanya pada: permanen, semi permanen, darurat, dan sewa/ kontrak. Hal ini pun memungkinkan cara penghitungan yang berbeda. Dua, dengan konsisten pada salahsatu sumber, misalnya saja pada data Bimas Islam dalam Angka 2009 yang cukup lengkap dengan menyebut jumlah pemeluknya, maka tergambar perbandingan atau rasio jumlah rumah ibadat terhadap jumlah pemeluknya sebagai berikut (Tabel 4): 10 Tabel 4 Perbandingan jumlah rumah ibadat terhadap jumlah pemeluk Semakin tinggi angka pembanding dalam rasio itu maka semakin banyak umat yang terlayani oleh suatu rumah ibadat, dan berarti semakin sedikit rumah ibadat yang tersedia untuk sejumlah pemeluk agama bersangkutan. Artinya, dari data itu, satu masjid melayani 885 pemeluk Islam, sedangkan satu gereja-Kristen melayani 331 jemaat Kristen, dan seterusnya. Jumlah gereja-Kristen berarti lebih banyak dari proporsi jumlah pemeluk yang dilayaninya, hal ini mungkin karena kekhasan Kristen yang memiliki beragam denominasi dengan masingmasing gerejanya—yang tidak dapat digunakan secara bersama/ bergantian oleh pemeluk seagama tetapi berbeda denominasi. PuraHindu paling banyak jumlahnya dibandingkan proporsi umat yang dilayaninya boleh jadi karena faktor kekhasan Bali. LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Dan ketiga, semua sumber belum menyebutkan data jumlah rumah ibadat Khonghucu, yakni berupa Lithang atau Klenteng. Diketahui bahwa Khonghucu baru dilayani kembali oleh Pemerintah sejak 2006, sedangkan sensus terakhir oleh BPSyang telah terpublikasi hasilnya, dilakukan tahun 2005. Maka besar kemungkinan data jumlah rumah ibadat Khonghucu baru akan tersedia pada tahun 2011 ini sebagai hasil Sensus 2010 lalu. Hingga laporan ini ditulis, BPS belum mempublikasi hasil sensus dimaksud. Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) sendiri nampaknya belum dapat menyebut angka-pasti jumlah pemeluk agama Khonghucu, selain adanya klaim bahwa ada sekitar 4 juta jemaat yang sembahyang di Klenteng-klenteng --sebagaimana penjelasan dari PKUB. [] LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 11 3 Aliran/Paham, Pemikiran dan Gerakan Keagamaan A. Aliran/Paham Keagamaan P ada tahun 2009, CRCS mencatat 25 kasus yang berkaitan dengan aliran/paham keagamaan yang dianggap sesat, yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Pada umumnya aliran/ paham keagamaan yang dianggap sesat tersebut mempunyai ajaran yang berbeda dari pandangan keagamaan mainstream yang diwakili oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), baik di tingkat nasional maupun daerah. Pada tahun 2010, berdasarkan penelusuran terhadap berbagai surat kabar nasional dan internet, tercatat 8 aliran keagamaan yang dianggap sesat muncul ke permukaan. Sebagian besar muncul di Pulau Jawa (Jawa Timur dan Jawa Barat) dan hanya 1 kasus dari pulau Sumatera. Dari beberapa aliran keagamaan yang muncul dalam pemberitaan, sebagian besar telah muncul pada tahun sebelumnya, seperti Ahmadiyah, Surga Eden, AKI, dan Al-Haq. Hal ini dapat berarti bahwa penanganan terhadap aliran keagamaan tersebut belum selesai, atau mungkin juga muncul di tempat lain. Pada Januari 2010, di Situbondo muncul aliran Brayan Agung yang dipimpin oleh Agung. Agung konon melarang pengikutnya untuk membaca Al-Quran, shalat dan berpuasa. Sayangnya, surat kabar tidak menjelaskan tentang apakah Agung masih mengaku beragama Islam, mengapa Agung mengajarkan hal demikian, bagaimana tanggapan masyarakat sekitar, dan bagaimana aparat pemerintah menangani masalah tersebut. Sebab, ajaran seperti itu bertentangan dengan ajaran Islam. Shalat dan puasa merupakan rukun Islam yang wajib dikerjakan oleh semua penganut agama Islam.1 12 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Sebagai kelanjutan penanganan aliran Surga Eden (Adn) pimpinan Ahmad Tanthowi, pada bulan Januari 2010 telah dilangsungkan sidang pengadilan terhadapnya. Pengadilan menghadirkan Amin Djamaluddin (Ket ua Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam) sebagai saksi ahli. Saksi ahli mengatakan, berdasarkan kajiannya terhadap buku Pedoman Surga Eden yang dikarang Ahmad Tanthowi, “Aliran Surga Eden” telah melakukan penodaan agama, sebab telah mencampuradukan ajaran berbagai agama dengan memberikan tafsiran terhadap kitab suci berbagai agama (Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Yahudi).2 Saat peradilan berlangsung, massa ingin merusak markas aliran Surga Eden. Guna mengamankan markas Surga Eden dari amukan massa, maka dua buah rumah milik pimpinan Surga Eden dijaga ketat oleh polisi. Sejumlah warga setempat tidak menyangka bahwa rumah Ahmad Tanthowi tersebut dijadikan markas aliran yang dianggap sesat. Pasalnya, warga sekitar menilai perilaku keseharian Tanthowi tidak ada yang mencurigakan.3 Protes datang dari sejumlah pondok pesantren yang ada di Cirebon. Mereka mendatangi rumah AT, dan meminta pemerintah untuk segera membongkar rumah yang diduga sebagai markas dari aliran sesat tersebut. Dalam aksi tersebut mereka juga meminta agar aparat segera menindak tegas pimpinan Surga Eden yang sudah diamankan oleh Polda Jawa Barat. Mereka menuduh AT telah melakukan penodaan agama. Dalam aksi tersebut massa melakukan orasi. Menurut mereka AT telah menodai agama dan akhlak umat Islam. Karenanya mereka tidak ikhlas jika dia menginjakkan kakinya di Cirebon lagi. Oleh sebab itu, mereka meminta agar aparat segera membongkar markas aliran tersebut.4 Pada persidangan pertama kasus AT, ratusan umat Islam yang mendatangi Pengadilan Negeri Sumber Kabupaten Cirebon kecewa, karena persidangan dilakukan secara tertutup untuk umum. Mereka hanya dapat menyaksikan dari layar CCTV tanpa suara di luar ruang sidang utama. Sidang lanjutan kasus penodaan agama dan pencabulan terhadap AT, terpaksa ditunda menyusul kericuhan pengunjung yang terdiri dari ratusan anggota Front Pembela Islam (FPI) dan ormas lainnya. Akhirnya Ketua Pengadilan Negeri Sumber menyetujui sidang dilakukan dengan sistem buka tutup. Terbuka untuk kasus penodaan agama, dan tertutup untuk kasus pelecehan seksual.5 Pada bulan Februari 2010 di Sumenep muncul aliran tanpa nama yang dipimpin seorang wanita bernama Samawiyah berumur 30 Tahun. Ia mengaku dirinya sebagai nabi. Salah satu ajarannya yang dianggap menyimpang adalah tidak mewajibkan kepada pengikutnya untuk mengerjakan ibadah haji dan mewajibkan pengikutnya melakukan puasa seumur hidup. Untuk menghindari munculnya keresahan dalam masyarakat, MUI, tokoh masyarakat, Kepolisian dan Muspika mengamankan Samawiyah. Tidak dijelaskan sudah berapa orang pengikutnya dan dari kalangan mana saja pengikutnya tersebut. Selain itu tidak ada informasi lebih jauh tentang keberadaan ajaran ini setelah dilakukan tindakan oleh pemuka agama, tokoh masyarakat dan aparat pemerintah setempat.6 Di Depok warga resah dengan adanya pengajian yang di pimpin oleh ustadz Hanafi. Pengajian ini berlokasi di Kelurahan Mekarsari Kecamatan Cimanggis Kota Depok. Protes dilakukan oleh masyarakat karena ustadz Hanafi diduga mengajarkan ajaran yang dianggap sesat. Ajaran yang dianggap sesat itu antara lain adanya baiat, membayar sejumlah mahar (Rp 50.000) dan mencari asmaul husna yang ke 100. Mereka juga menggunakan kitab selain al-Quran yaitu: Miftahul Jannah, Durun Nafis, dan Hikam Melayu. Dari data yang diungkapkan tersebut, tampak tuduhan sesat tersebut masih bisa diperdebat kan. M asyarakat t erlalu cepat menuduh suatu ajaran yang berbeda dianggap sesat. Cara mengatasi persoalan munculnya ajaran atau aliran yang dianggap sesat, selalu menggunakan tindak kekerasan bukan menggunakan dialog, sebagaimana diajarkan alQuran.7 Pada bulan Maret 2010 di Jember timbul keresahan dalam masyarakat, karena munculnya aliran yang dianggap sesat, yang disebarkan oleh seseorang yang bernama Yusuf. Aliran ini mengajarkan kepada pengikutnya tidak perlu LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 13 mengerjakan shalat, puasa dan ketika hendak membaca al-Quran tidak perlu berwudhu dulu. Tetapi kemudian 18 orang pengikutnya bertobat, dengan menandatangani surat pernyataan bersalah dan bersedia kembali ke jalan yang benar, sesuai dengan ajaran Islam. Tidak dijelaskan bagaimana dengan pengikut yang lainnya dan bagaimana pula dengan pimpinannya.8 Di Medan pada tanggal 8 April 2010 dihebohkan dengan hilangnya beberapa orang perempuan muda berjilbab. Diduga mereka menjadi pengikut aliran keagamaan Al-Haq. MUI Sumatera Utara menyatakan bahwa ajaran yang dikembangkan Al-Haq tergolong sesat. Fatwa MUI dengan tegas mengatakan bahwa aliran AlHaq t idak diperkenankan berkembang di Indonesia karena ajarannya tidak sesuai dengan al-Quran. Pada tahun 2007 MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa Al-Haq sebagai aliran yang sesat (Ramlan Yusuf Rangkuti). Al-Haq dianggap sesat karena antara lain mengajarkan untuk memutuskan hubungan dengan keluarga yang tidak mau bergabung dalam aliran Al-Haq, dan memahami al-Quran tidak secara utuh dan komprehensif.9 Di Cirebon selain Surga Eden ada lagi sebuah aliran yang dianggap oleh masyarakat sebagai aliran sesat, yaitu Hidup Dibalik Hidup (HDH). Pada tanggal 30 April 2010 ratusan warga Desa Sigong Kecamatan Lemah Abang membubarkan pengikut HDH yang sedang berkumpul di rumah Rohasan (55 tahun), seorang pimpinan HDH. Pada kesempatan itu sejumlah motor pengikut HDH dirusak, bahkan rumah Rohasan dilempari oleh warga sehingga mengalami kerusakan. Kejadian tersebut berawal ketika sekitar 30 orang pengikut HDH mendatangi rumah Rohasan dengan mengendarai motor pada pukul 23.00 WIB. Kehadiran mereka diketahui oleh masyarakat setempat, selanjutnya ratusan warga mengepung rumah Rohasan. Masyarakat mempertanyakan adanya pengajian yang diadakan oleh HDH, pada hal sepengetahuan mereka MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa ajaran HDH tergolong sesat. Selain dianggap sesat, warga merasa terganggu karena kegiatan mereka dilangsungkan pada tengah malam sampai dengan waktu subuh.10 14 Selain di Desa Sigong HDH juga berkembang di Desa Leuwidingding dan Desa Sindang Laut Kabupaten Cirebon. Ajaran yang dikembangkan oleh Majelis Ta’lim HDH dinilai mengandung penyimpangan. Oleh karena itu pada tanggal 15 November 2005 MUI Kabupaten Cirebon telah mengeluarkan fatwa, dan meminta agar HDH menghentikan kegiatannya, tapi tampaknya permintaan itu tidak diindahkan. Di antara penyimpangan yang diajarkan oleh HDH berdasarkan catatan percakapan antara Mudjoni dengan Ali Kusnan adalah aktivitas majelis ta’limnya tidak lazim, yaitu antara pukul 20.00–03.00, dan menafsirkan al-Quran tidak sesuai dengan kaidah tafsir.11 Pada tanggal 27 Juli 2010, upaya penyegelan terhadap masjid yang dikelola warga Ahmadiyah yang dilakukan oleh Satpol PP tidak berhasil, karena mendapat perlawanan dari ratusan warga yang telah menutup jalan menuju masjid. Penutupan masjid berdasarkan Surat Perintah Bupati Kuningan No. 45/2/ 2065/Satpol PP, sebagai tindak lanjut dari Rekomendasi MUI tanggal 24 Juni 2010. Menurut Ketua Komisi Keamanan Ahmadiyah, mereka tidak dapat menerima penyegelan tersebut sebelum ada dialog. Tetapi menurut Indra Purwantoro dialog sudah dilakukan, hasilnya Bupati tetap mengeluarkan perintah penyegelan. Setelah mendapat hadangan pada tanggal 27 Juli 2010, maka pada tanggal 29 Juli 2010, Satpol PP berhasil menyegel Masjid Ahmadiyah di Manis Lor, berdasarkan surat perintah Bupati Kuningan Tanggal 27 Juli 2010. Penyegelan tetap diwarnai kericuhan dan hujan batu. Menurut Indra, penutupan rumah ibadat justru untuk menyelamatkan Jemaat Ahmadiyah dari konflik horizontal dan melindungi mereka dari serangan massa dari ormas Islam. Menurut majalah Gatra, tindak kekerasan terhadap Ahmadiyah menurun setelah keluarnya SKB Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah. Oleh sebab itu kasus kerusuhan yang terjadi di Kuningan dianggap mengejut kan. Geger Ahmadiyah di ManisLor berdasarkan Surat Perintah Bupati Kuningan Aang Ahmad Suganda, untuk menyegel masjid dan tujuh buah mushalla milik LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 warga Ahmadiyah. Surat itu merujuk pada rekomendasi MUI Kabupaten Kuningan dan aspirasi ormas Islam setempat. Menurut Kabag Humas Kabupaten Kuningan, Yudi Nugraha, surat penyegelan itu merupakan hasil evaluasi bersama Bakor Pakem atas implementasi SKB Tiga Menteri. Masjid Ahmadiyah di Manis Lor pernah disegel pada tahun 2007 sampai tahun 2009. Usai pembukaan segel, Ahmadiyah dinilai masih mengembangkan ajarannya yang dianggap menyimpang. Hal itu merupakan pelanggaran SKB yang membolehkan Ahmadiyah eksis sejauh tidak menyebarkan ajarannya. Yang menjadi persoalan apa yang dimaksud dengan penyebaran ajaran tersebut. Apa yang dimaksud penyebaran itu, menyampaikan ajarannya tersebut kepada orang non-Ahmadiyah atau penyebaran ajaran tersebut terhadap orang yang sudah menganut Ahmadiyah. Dalam SKB sebenarnya ada klausul, jika Ahmadiyah melanggar SKB maka dilaporkan ke Kepolisian dan diteruskan ke Pengadilan, hanya pengadilan yang berhak menentukan apakah Ahmadiyah sudah melanggar atau belum, bukan MUI atau Bupati. Hal ini tampaknya yang kurang dihayati oleh pemerintah setempat.12 Masih di Jawa Barat, pada 1 Oktober 2010 enam bangunan milik Jemaat Ahmadiyah yang berada di Ciampea Bogor hangus dibakar oleh massa. Menurut Kapolres Bogor AKBP Tomex Kurniawan enam bangunan yang dibakar tersebut terdiri dari sebuah masjid, surau, madrasah dan rumah milik Jemaat Ahmadiyah. Pembakaran terjadi setelah ada tiga orang warga sekitar yang kena tusuk dan penyanderaan yang diduga dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah. Penyanderaan terjadi setelah sekelompok warga menegur anggota Ahmadiyah yang membuka segel masjid.13 Terhadap pelaku pembakaran tersebut, Polres Bogor telah menetapkan tiga tersangka kasus perusakan dan pembakaran bangunan milik Ahmadiyah, dan mereka sudah ditahan. Menanggapi kasus di Ciampea tersebut Ketua Aliansi Kerukunan Umat Beragama Jawa Barat Asep Hadian Permana, menyatakan pembakaran pemukiman warga Ahmadiyah di Cisalada Ciampea Udik sudah direncanakan. Tanda-tanda mau ada penyerangan sudah kelihatan sejak awal, tapi tidak diantisipasi oleh aparat keamanan. Di sinilah beberapa pihak menuduh ada semacam pembiaran oleh aparat keamanan karena takut terhadap massa. Hal semacam inilah yang membuat massa semakin berani, karena pihak kemanan dianggap tidak berdaya.14 Pemerintah Bogor melalui juru bicaranya David Rizar N, meminta pemerintah pusat bersikap tegas terhadap ajaran Ahmadiyah, untuk menghentikan multitafsir yang selama ini berkembang di masyarakat. Pemerintah Kabupaten Bogor akan mengkaji keberadaan masjid Ahmadiyah di Cisalada yang selama ini dinilai memicu konflik.15 Di Garut terjadi unjuk rasa perwakilan ulama menuntut agar Ahmadiyah dilarang dan dibubarkan. Di depan massa, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Garut dan Bakor Pakem Garut mengatakan ajaran Ahmadiyah dilarang di Garut, karena ajarannya menyesatkan dan telah keluar dari akidah dan syariat Islam. Pelarangan telah dikeluarkan pada tahun 2005 oleh Pemerintah Daerah, Kejaksaan Negeri, Kementerian Agama Kabupaten, dan Kepolisian yang tergabung dalam Bakor Pakem. Dalam SK t ersebut disebutkan bahwa warga Ahmadiyah dilarang melakukan kegiatan keagamaan dan menyebarkan ajarannya kepada masyarakat. SK ini tidak jelas, sebab apa yang dimaksud dengan kegiatan keagamaan dan menyebarkan ajarannya kepada masyarakat masih kabur. Karena kabur, sangat mudah untuk diselewengkan maksudnya sesuai dengan keinginan para pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat yang anti Ahmadiyah.16 Kabar dari Mataram, menurut Pemerintah setempat, 100 orang pengungsi yang menempati Wisma Transito Mataram akan segera dipulangkan ke kampung halamannya masingmasing dengan jaminan keamanan dari pihak pemerintah setempat. Hal itu dilakukan karena Pemerintah Daerah tidak mampu mengganti kompensasi properti para warga Ahmadiyah tersebut yang mencapai 1,5 milyar rupiah. Adapun warga setempat bersedia menerima warga Ahmadiyah asal mereka bisa berbaur dengan warga setempat dan tidak hidup secara eksklusif. LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 15 Tetapi informasi terakhir yang diperoleh ternyata masyarakat setempat belum dapat menerima kehadiran warga Ahmadiyah di daerah mereka, sehingga terjadi perusakan terhadap rumah milik warga Ahmadiyah.17 sehingga ada kepastian bagi polisi sebagai penegak hukum. Kalau memang Ahmadiyah diizinkan pem erint ah, maka polisi wajib memberikan perlindungan. Kalau dilarang maka dihimbau agar membubarkan diri.19 Berkaitan dengan perkembangan kasus Ahmadiyah terakhir, terutama setalah terjadinya kasus bentrokan di Manis Lor Kuningan, muncul berbagai pemikiran dalam masyarakat. Menurut Menteri Agama berdasarkan SKB sudah jelas bahwa Ahmadiyah bukan agama dan dapat dikategorikan aliran sesat, oleh sebab itu para jemaatnya diminta untuk menghentikan kegiatan menyebarkan ajaran mereka.18 Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj menyatakan, penyerangan terhadap perkampungan warga Ahmadiyah di Bogor merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Apapun sebabnya perusakan atau pembunuhan itu merupakan perbuatan kriminal, dan menunjukkan bahwa masyarakat tidak berbudaya dan beretika. Meskipun Ahmadiyah ditolak umat Islam di dunia, tidak berarti tindakan perusakan dan pembubaran dapat dilakukan.20 Sedangkan Sekjen PBNU, Iqbal Sullam, mengatakan, pengikut Ahmadiyah di Indonesia agar melihat eksistensi agama mereka di negara kelahirannya, dengan studi banding ke negeri asal mereka Pakistan, Inggris dan India. Sedangkan Ketua Pengurus Harian Tanf idziyah PBNU, Slamet Effendi Yusuf, mengatakan bahwa Ahmadiyah tidak termasuk dalam golongan agama Islam.21 Semua pihak harusnya taat pada hukum. Tidak boleh seseorang atau kelompok bertindak main hakim sendiri, sekadar untuk mengikuti kemauan pribadi atau kelompok dengan mengorbankan orang lain. Anggota Ahmadiyah sebagai warga negara berhak memperoleh perlindungan dari Pemerintah. Di pihak lain muncul harapan agar pemerintah segera mengambil keputusan yang tegas terhadap Ahmadiyah. Menurut Kapolda Jawa Barat Inspektur Jenderal Polisi Sutarman, polemik yang berkembang tentang dilarang dan diizinkannya Ahmadiyah mengamalkan ajarannya bisa menjadi ‘bom waktu’ yang sewaktu-waktu dapat meledak dan mengakibatkan gesekan dalam masyarakat. Dengan adanya keputusan yang tegas tersebut, membuat aparat kepolisian dan masyarakat tidak terombang-ambing. Kalau memang aliran Ahmadiyah sesat dan dilarang, maka ajukanlah kepada pemerintah untuk segera mengeluarkan SK pelarangan. Sebaliknya kalau memang diizinkan, silahkan diizinkan 16 Jemaat Ahmadiyah menolak saran Sekjen PBNU agar mereka keluar dari agama Islam dan mendirikan agama baru. Kabag Umum Pengurus Ahmadiyah Garut mengatakan secara akidah ajaran Ahmadiyah sesuai dengan agama Islam, yang membedakan Ahmadiyah percaya adanya penerus Nabi Muhammad Saw untuk menyebarkan agama Islam yaitu Mirza Ghulam Ahmad.22 Berkaitan dengan SKB tentang Ahmadiyah Ketua MUI Bidang Kerukunan Umat Beragama, Slamet Effendi Yusuf, juga berpendapat bahwa SKBTiga Menteri tentang peringatan dan perintah kepada Jemaat Ahmadiyah di Indonesia harus dikaji ulang. Dikatakannya, “kita harus berani melakukan kaji ulang kembali persoalan ini secara mendasar, termasuk SKB ini.23 Sebenarnya SKB ini sudah cukup adil karena mengatur kedua belah pihak. Hanya saja dalam penerapannya di lapangan ada kendala. Bagi masyarakat yang menghendaki pembubaran Ahmadiyah, cukup mencari bukti-bukti bahwa Ahmadiyah melanggar SKB, kemudian dilaporkan kepada kepolisian. Tapi tampaknya masyarakat tidak sabar, menuntut Ahmadiyah LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 agar dibubarkan tapi tidak mempunyai bukti. Kalau demikian tidak mungkin aparat setempat membubarkan atau melarang Ahmadiyah. Semua pihak harusnya taat pada hukum. Tidak boleh seseorang atau kelompok bertindak main hakim sendiri, sekadar untuk mengikuti kemauan pribadi atau kelompok dengan mengorbankan orang lain. Anggota Ahmadiyah sebagai warga negara berhak memperoleh perlindungan dari pemerintah. Sebagaimana diketahui, Aliran Ahmadiyah sejak tahun 1995 sudah difatwakan sesat oleh MUI. Fatwa itu kemudian dikuatkan lagi pada tahun 2005. Sejak keluarnya fatwa tersebut, resistensi masyarakat terhadap Ahmadiyah semakin menguat dan meluas. Untuk mengatasi protes tersebut Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI mengadakan dialog dengan kelompok Ahmadiyah. Tujuan dialog adalah ingin mengetahui keinginan Ahmadiyah dan posisi teologisnya. Keinginan Ahmadiyah adalah ingin menjadi bagian umat Islam Indonesia. Dialog menghasilkan dua belas butir pernyataan sikap. Setelah keluarnya 12 butir pernyataan t ersebut, kemudian diadakan monitoring pelaksanaan 12 butir tersebut di lapangan. Berdasarkan hasil pemantauan dari 12 butir pernyataan tersebut tidak semuanya dijalankan oleh Ahmadiyah, terutama berkaitan dengan kenabian yang terakhir (khatamun nabiyyin). Akibat nya muncul prot es dari sebagian umat Islam agar Ahmadiyah dibubarkan karena dianggap melakukan penodaan terhadap agama Islam. M enyikapi kondisi demikian, maka pemerintah mengeluarkan SKB Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008, Nomor Kep-33/ A/ JA/ 6/ 2008, Nomor 199 tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dan Warga Masyarakat. Dengan keluarnya SKB ini terlihat sikap pemerintah semakin jelas. Sikap pemerintah terhadap Ahmadiyah dilakukan dengan memperhatikan prinsipprinsip kebebasan beragama sebagaimana tertuang dalam Pasal 29, 28E, dan 28I UUD 1945, juga memperhatikan prinsip pembatasan sebagaimana terdapat dalam Pasal 28J UUD 1945. SKB ini juga mendasarkan pada prinsip kebebasan beragama dan kemungkinan pembatasannya sebagaimana terdapat pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni Pasal 22, 70, dan 73. Selain itu, juga mendasarkan pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 2005, yakni Pasal 18 Ayat (1), (2) dan (3). Meskipun pembatasan itu tidak dianjurkan, t etapi pembatasan it u dapat dilakukan sepanjang dilakukan oleh UndangUndang. Di Indonesia, Undang-Undang yang membatasi itu telah ada, yakni UU No.1/ PNPS/ 1965 jo. UU No 5 Tahun 1969. SKB ini bukanlah bent uk int er vensi Pemerintah terhadap keyakinan masyarakat, melainkan upaya pemerintah untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan menyimpang. Bagi Pemerintah, masalah Ahmadiyah mempunyai dua sisi. Pertama, Ahmadiyah adalah penyebab lahirnya pertentangan dalam masyarakat yang berakibat t erganggunya keamanan dan ket er t iban masyarakat. Sisi kedua, warga JAI adalah korban tindakan kekerasan sebagian masyarakat. Kedua sisi tersebut harus ditangani pemerintah. SKB ini berisi 6 butir yang intinya terbagi atas dua bagian. Pertama, memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad Saw. Bagi pelanggarnya dapat dikenai sanksi hukum termasuk badan hukum dan organisasinya. Sank­si hukum yang dimaksud di sini ialah Pasal 156a KUHP. Kedua, memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 17 anggota, dan/ atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), ini berarti Pemerintah melindungi warga JAI sebagai warga negara yang selama ini menjadi target t indakan kekerasan sebagian warga masyarakat. Bagi pelanggarnya dapat dikenakan sanksi yakni antara lain Pasal 156 KUHP yang berisi larangan unt uk menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan masyarakat Indonesia, dan Pasal 170 KUHP tentang tindakan kekerasan kepada orang atau barang. SKB ini bukanlah bentuk intervensi Pemerintah terhadap keyakinan masyarakat, melainkan upaya pemerintah untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan menyimpang. Sebenarnya apabila kedua belah pihak mematuhi SKB ini maka tidak akan ada lagi pertentangan dan keresahan dalam masyarakat, demikian juga kerukunan umat beragama dan perlindungan masyarakat akan terwujud.24 Setelah keluarnya SKB tersebut ketegangan agak berkurang. Ket egangan t erjadi hanya di beberapa tempat, itupun tampaknya hanya di Jawa Barat, sedangkan di daerah lain tidak ada gejolak. Gejolak tersebut terjadi di Kuningan, Garut, dan Bogor. Aliran keagamaan berikutnya adalah Amanat Keagungan Ilahi (AKI) yang sudah lama muncul di Indonesia. Aliran ini dikembangkan oleh Raden Mohamad Syamsu yang dikenal dengan Aki Syamsu. Setelah dia wafat, makamnya banyak dikunjungi oleh pengikutnya, di mana 18 banyak masyarakat yang ber-khalwat di makam tersebut. Makam Aki Syamsu di Dusun Pasirgeulis, Desa Cangkuang Kecamatan Cileles Kabupaten Garut ditutup untuk kegiatan ritus sejak tanggal 7 Agustus 2010. Penutupan tersebut karena lokasi tersebut sering digunakan untuk ritus yang dianggap menyimpang dari ajaran agama Islam karena dikeramatkan oleh pengikutnya. Ajaran AKI sudah dibekukan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dengan SK Nomor R.538/ P2.3/Dsb.1/11/ 1993. Pada poin nomor sembilan dalam SK tersebut dinyatakan: “dengan munculnya kembali ajaran Amanat Keagungan Ilahi (AKI) yang disebarkan oleh Aki Syamsu beserta dengan pengikutnya, diminta terhadap Kajari yang belum melarang aliran tersebut agar mengambil langkah-langkah yang mengarah kepada pelarangan/pembekuan terhadap aliran AKI.”25 Berdasarkan hasil penelitian H. M. Yusuf Asry, Peneliti Utama Puslitbang Kehidupan Keagamaan, yang dilakukannya pada tahun 2009 di Bandung, dijelaskan bahwa ajaran AKI t erbagi kepada t iga kelompok yang dua diantaranya dianggap aliran tidak menyimpang. Adapun satu yang dianggap menyimpang adalah AKI pimpinan Andreas,karena dianggap mencampuradukkan ajaran berbagai agama. Andreas sendiri bahkan diketahui beragama Katolik. Pada bulan Desember 2010, di Malaysia berkembang isu tentang sesatnya ajaran yang dikembangkan oleh Ary Ginanjar, yaitu ESQ., sehingga tidak boleh dikembangkan di daerah tertentu di Malaysia. Menanggapi isu tersebut, Dirjen Bimas Islam Kement erian Agama, Nasarudin Umar, mengatakan, keberadaan lembaga pelatihan sumber daya manusia ESQ pimpinan Ary Ginanjar di Indonesia tidak bermasalah dan tak ada yang menganggapnya sebagai aliran sesat. ESQ sudah sepuluh tahun, kalau ada masalah sudah barang tentu sudah menimbulkan kehebohan dalam masyarakat. MUI, tokoh masyarakat, tokoh agama dan rektor sudah banyak yang ikut pelatihan ESQ. Kalau ada masalah sudah barang tentu mereka sudah mempermasalahkannya. Menurut Nasarudin Umar, MUI, NU, Muhammadiyah, ICMI, dan DDII sudah memberikan surat rekomendasi kepada LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Jabatan Kemajuan M alaysia (JAKIM ) dan menyampaikan bahwa tidak ada pelanggaran atas akidah Islam dalam pelatihan ESQ.26 Majelis fatwa kebangsaan Malaysia untuk agama Islam menilai, pelatihan (training) ESQ yang didirikan Ary Ginanjar Agustian tidak melanggar akidah dan syariah Islam, dan secara resmi merestui kegiatan itu dan boleh diteruskan di Malaysia, kecuali wilayah persekutuan. Majelis Muzakarah telah mengadakan rapat sebanyak tujuh kali mulai dari bulan April 2009 hingga Juni 2010 membahas salah satunya tentang penilaian terhadap ESQ di Malaysia. Dengan demikian ESQ dapat meneruskan kegiatannya di Malaysia kecuali wilayah persekutuan yang meliputi Kuala Lumpur, Putra Jaya, dan Labuan. Tidak ada penjelasan mengapa di ketiga daerah tersebut ESQ tidak boleh diajarkan.27 Itulah sederet peristiwa terkait aliran keagamaan yang muncul ke permukaan selama tahun 2010. Berkaitan dengan munculnya berbagai aliran/paham keagamaan tersebut di atas, dapat diajukan analisis melalui teori religiousmovement Jeffry K. Hadden. Menurutnya, sedikitnya ada tiga jenis gerakan keagamaan yaitu indigenous religiousmovement, exogenousreligiousmovement, dan generative religious movement. Dalam gerakan keagamaan tipe pertama perubahan yang terjadi menyangkut sistem kepercayaan, sistem simbol, sistem ritus dan pengamalan, dan organisasi keagamaan. Adapun gerakan keagamaan yang bersifat eksternal (exogenous religious movement) biasanya merupakan reaksi dari organisasiorganisasi keagamaan terhadap lingkungan sekitar yang berubah. Para ahli sosiologi mengatakan bahwa keberadaan organisasiorganisasi kegamaan dalam masyarakat itu sedikitnya mempunyai empat kepentingan, (1) survival (mempertahankan hidup); (2) economic (kepentingan ekonomi); (3) status (kepentingan untuk eksis dan berperan; (4) ideology (kepentingan untuk mempertahankan dan mengembangkan suatu pandangan hidup). Manakala kepentingan-kepentingan ini terjamin dan tidak terganggu, maka organisasi keagamaan itu boleh dikatakan dalam equilibrium atau harmoni dengan lingkungannya. Sebaliknya ket ika sebagian atau seluruh kepentingan-kepentingan itu terganggu, maka kepemimpinan organisasi-organisasi keagamaan akan bereaksi terhadap lingkungannya itu untuk menjamin dan meningkatkan diperolehnya kembali kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam gerakan seperti itu para pemimpin organisasi keagamaan t ersebut biasanya menjustifikasi gerakannya itu dengan nilai-nilai transendental dari ajaran agama yang dianutnya. Bahkan tujuan gerakannya itu terkadang disebut sebagai bagian dari kehendak wahyu Tuhan. Sedangkan generative religious movement ditandai oleh kesengajaan upaya untuk melahirkan agama baru di luar agama-agama yang ada. Mula-mula mungkin agama baru yang diperkenalkan itu merupakan bagian dari tradisi agama yang ada atau tradisi lokal yang ada, atau campuran keduanya. Tradisi agama yang ada itu boleh jadi diimpor dari agama lain dan tradisi lokal yang ada itupun telah berumur lama sehingga tidak pernah dipandang berpotensi mengkristal berdiri sendiri. Lama-kelamaan didorong oleh lingkungan sosial, politik, kultural yang ada, tradisi itu mengkristal menjadi suatu tradisi yang berdiri sendiri yang kemudian dipercaya sebagai agama yang berdiri sendiri.28 Memperhatikan teori yang dikemukakan oleh Jeffry K. Hadden di atas, maka tampaknya aliran/ paham kegamaan yang muncul pada tahun 2010 ini, termasuk tipe gerakan keagamaan indigenous religious movement. Dalam gerakan keagamaan tipe ini perubahan yang terjadi menyangkut sistem kepercayaan, seperti adanya nabi baru, yang mana menurut ajaran Islam paham sunni tidak ada lagi nabi baru set elah nabi Muhammad Saw. Perubahan terhadap sistem ritus dan pengamalan, di antaranya tidak mewajibkan shalat dan puasa, mewajibkan membayar infak dengan jumlah tertentu. Memang perubahan yang dilakukan t ersebut hampir semuanya bert entangan dengan paham yang dianut oleh umat Islam, sehingga dapat digolongkan menyimpang dari ajaran islam. LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 19 B. Pemikiran Keagamaan Pada tahun 2010, di t engah-t engah masyarakat berkembang berbagai pemikiran tentang keagamaan. Pemikiran tersebut muncul untuk merespon berbagai kasus yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dalam laporan ini akan dikaji berbagai pemikiran yang berkaitan masalah t erorisme, radikalisme, pluralisme, dan kebebasan beragama. 1. Terorisme Selama ini terdapat anggapan yang salah di dalam masyarakat yang menyamakan jihad dengan terorisme. Bahkan oleh kalangan yang tidak mengerti ajaran Islam yang luhur, Islam dicap sebagai agama t eroris. Kekeliruan pemahaman ini bisa saja disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat tentang Islam, tetapi tidak tertutup kemungkinan karena sebagian muslim justru melakukan jihad melalui aksi-aksi terorisme. Padahal antara jihad dan terorisme jelas terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), terorisme adalah “tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap keamanan, perdamaian dunia, merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (wellorganized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang t idak mem bedakan sasaran (indiscriminative)”. M enurut konvensi PBB tahun 1939, terorisme adalah segala bentuk tindakan kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Dalam kamus Webster’s New School and Office Dictionary dijelaskan: terrorism is the use of violence, intimidation, etc to gain or to end;especially a system of government ruling by terror….. (Terorisme adalah penggunaan kekerasan, intimidasi, dsb untuk merebut atau menghancurkan, terutama, sistem 20 pemerintahan yang berkuasa melalui teror….). Dari definisi-definisi tersebut dapat dipahami bahwa terorisme adalah kejahatan (crime) yang mengancam kedaulatan negara (against state/ nation) melawan kemanusiaan (against humanity) yang dilakukan dengan berbagai bentuk tindak kekerasan. RAND Corporation, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan swasta di AS, melalui sejumlah penelitian dan pengkajiannya, menyimpulkan bahwa setiap tindakan kaum teroris adalah tindakan kriminal. Definisi lain menyatakan bahwa: (1) terorisme bukan bagian dari tindakan perang, sehingga seyogyanya tetap dianggap sebagai tindakan kriminal, termasuk juga dalam situasi diberlakukannya hukum perang; (2) sasaran sipil merupakan sasaran utama terorisme, dengan demikian penyerangan terhadap sasaran militer tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme; (3) m eskipun seringkali dilakukan unt uk menyampaikan tuntutan politik, aksi terorisme tidak dapat disebut aksi politik. Dari uraian tersebut di atas, jelas sekali perbedaan antara terorisme dengan jihad. Pertama, terorisme bersifat merusak (ifsad) dan anarkis/chaos(faudha). Kedua, terorisme bertujuan untuk menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan pihak lain. Ketiga, terorisme dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas. Sebaliknya, jihad bersifat perbaikan (ishlah), sekalipun sebagian– dilakukan dengan berperang. Jihad bertujuan untuk menegakkan agama Allah dan atau membela hak pihak yang terdzalimi. Jihad dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syariat dengan sasaran musuh yang sudah jelas. Karena it ulah, menurut MUI, hukum melakukan teror secara qath‘i adalah haram, dengan alasan apapun, apalagi jika dilakukan di negeri yang damai (dar al-shulh) dan negara Muslim seperti Indonesia. Hukum jihad adalah wajib bagi yang mampu dengan beberapa syarat. Pertama, untuk membela agama dan menahan agresi musuh yang menyerang terlebih dahulu. Kedua, untuk menjaga kemaslahatan atau perbaikan, menegakkan agama Allah dan membela hak-hak yang teraniaya. LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Ketiga, terikat dengan aturan seperti musuh yang jelas, tidak boleh membunuh orang-orang tua renta, perempuan, dan anak-anak yang ikut berperang.29 Berkaitan dengan aktivitas terorisme yang sewaktu-waktu masih muncul di tengah-tengah masyarakat, terdapat beberapa pemikiran yang berkembang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa terorisme merupakan masalah sensitif karenanya sering terjadi salah paham terhadap apa yang dilakukan oleh penegak hukum. Namun Presiden pun meminta agar masalah teroris tidak dibawa ke wilayah politik dan agama. “Terorisme tidak ada kaitannya dengan agama. Saya serahkan sepenuhnya kepada penegak hukum. Jangan campuradukkan ke dalam ranah politik atau agama. Ini berbeda sama sekali”, kata Presiden Yudhoyono saat membuka Rapat Paripurna Kabinet di Gedung Sekretariat Negara,Kompleks Istana kepresidenan.30 M enurut Ba’asyir, pelat ihan di Aceh dikaitkan dengan beberapa rencana aksi teroris, “...kalau mereka memang mau berjihad seperti itu, ya silakan. Tapi, kami tidak setuju dengan cara jihad seperti itu. Kalau saya jihadnya baru mampu sampai melaksanakan i‘dad saja. Latihan it u unt uk membentuk laskar-laskar unt uk memberantas penyakit masyarakat seperti judi, khamar (minuman keras), dan bentuk maksiat lainnya. Jihad saya mampunya hanya seperti itu.” Amir Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba’asyir, mengatakan JAT melepaskan diri dari anggota yang terlibat terorisme. Garis perjuangan JAT adalah amar ma‘ruf nahi mungkar, artinya menyuruh pada kebaikan dan mencegah kemungkaran guna memberantas penyakit masyarakat.31 M antan Kepala BIN (Badan Int elijen Negara), A. M. Hendropriyono, mengatakan dalam seminar “Reformasi Pandangan NU terhadap Terorisme” di Jakarta, Nahdlatul Ulama adalah lahan tandus bagi perkembangan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Sikap moderasi keagamaan yang dikembangkan NU dan pemaham an warga NU yang dalam terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara adalah penangkal berkembangnya paham keagamaan radikal.32 Menteri Agama RI, Suryadharma Ali, mengatakan, Kementerian Agama kini mengintensifkan pendekatan ke madrasah dan pondok pesantren untuk menjelaskan bahwa terorisme sama sekali bukan ajaran Islam. Upaya ini adalah langkah pemerintah untuk mengantisipasi penyebarluasan ajaran terorisme di masyarakat . Selanjut nya M ent eri Agama menambahkan bahwa madrasah dan pondok pesantren setidaknya dapat menjadi benteng masuknya terorisme ke lembaga pendidikan.33 Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri mengatakan, aksi terorisme di Indonesia diduga telah berubah modus dan targetnya. Jika sebelumnya menggunakan aksi peledakan bom dengan target lokasi berkumpulnya ekspatriat, kini modusnya diubah dengan menembak tokoh penting yang mereka nilai berseberangan dengan ideologi mereka. Dengan pola latihan terbuka, kekuatan dan persenjataan yang mereka miliki, tentunya perlu mewaspadai kegiatan mereka ke depan.34 Anggota Komisi I DPR, Lukman Hakim Saifuddin, mengungkapkan rencana perubahan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme yang diajukan pemerintah justru harus lebih mengakomodasi persoalan hak asasi manusia dalam pemberantasan terorisme. Kewaspadaan dalam mengant isipasi dan mengatasi tindak terorisme tidak dapat dijadikan alasan pelanggaran HAM terhadap terduga pelaku teror.35 Adapun pakar terorisme menegaskan perlunya program deradikalisasi yang sistematis terhadap para napi pelaku tindakan terorisme. Hal ini karena perang t erhadap terorisme merupakan perang ideologi.36 Akar terorisme antara lain adalah karena kurang kritisnya seseorang terhadap perintah/arahan pemimpinnya. Hal ini misalnya terjadi dalam organisasi Jamaah Islamiyah di mana anggota tidak bisa kritis/mempertanyakan apa-apa yang diperintahkan oleh atasan/ amirnya.37 Peran NU, sebagai ormas Islam terbesar, dalam pemberantasan terorisme dan ekstrimisme, ditekankan K.H. Hasyim Muzadi. Dan hal ini akan diformulasikan dalam Kongres di LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 21 Makassar, 22-27 Maret 2010. Ia mengatakan pentingnya menegaskan ideologi. Bahwa bagi NU, Pancasila adalah sudah final. Maka ideologi lain tidak diperkenankan—seperti yang ditawarkan beberapa gerakan ekstrimis itu.38 Walaupun dalam awal uraian ini MUI telah berusaha untuk memberikan defenisi tentang terorisme, tetapi sebenarnya definisi terorisme hingga kini belum ada kesepakatan dari semua pihak, baik dalam hukum internasional atau berbagai organisasi yang berskala internasional atau regional. Kendati demikian, para pakar politik, hukum dan sosiologi mengemukakan rumusan ist ilah t erorisme sesuai dengan persepsi dan latar belakang ilmunya. Akibatnya perbedaan persepsi dan visi dalam memandang masalah ini melahirkan keragaman terminologi terorisme. Persoalan berikutnya adanya intervensi subyektivitas kepentingan masing-masing pihak ketika mendefinisikan terorisme. Dengan demikian, adanya perbedaan kepent ingan dan sudut pandang masingmasing negara dalam memahami terorisme mengakibatkan sulitnya merumuskan suatu definisi yang dapat disepakati semua pihak. Berdasarkan kajiannya terhadap beberapa def inisi tentang terorisme, Kasjim Salenda kemudian memberikan def inisi terhadap terorisme adalah setiap tindakan atau ancaman yang dapat mengganggu keamanan orang banyak baik jiwa, harta, maupun kemerdekaannya yang dilakukan oleh perorangan, kelompok ataupun negara.39 Lebih lanjut Kasjim Salenda memberikan kriteria tentang terorisme sebagai berikut: a. Adanya tindakan berupa ancaman atau pun kekerasan yang ilegal. b. Tindakan tersebut berdampak pada masyarakat baik fisik, psikis, harta benda mereka maupun fasilitas umum baik yang berskala domestik maupun internasional. c. Menimbulkan ketakutan dan kepanikan suatu kelompok atau masyarakat. d. Adanya tujuan atau kepentingan yang ingin dicapai pelaku, pada umumnya bernuansa politik. 22 e. Korban tindakan tidak selalu berkaitan langsung dengan tujuan yang hendak dicapai. f. Pelakunya dapat berupa perorangan, kelompok terorganisir ataupun penguasa dalam suatu pemerintahan yang sah.40 Menurut Wilkinson, terorisme terbagi dalam tiga tipe, yakni terorisme revolusioner, terorisme sub- revolusioner dan terorisme represif. Dalam pandangan Wilkinson terorisme revolusioner dan sub-revolusioner dilakukan oleh warga sipil, sedangkan terorisme represif dilakukan oleh negara. Perbedaan antara terorisme revolusioner dengan teroris subrevolusioner adalah dari segi t ujuannya. Terorisme revolusioner bertujuan untuk mengubah secara totalitas tatanan sosial dan politik yang sudah ada, tetapi terorisme sub-revolusioner bertujuan untuk mengubah kebijakan atau balas dendam atau menghukum pejabat pemerintahan yang tidak sejalan.41 Terorisme yang dilakukan secara individu atau kelompok adalah aksi t eror tersebut biasanya dilakukan untuk mencapai tujuantujuan dari kelompok tertentu baik itu ditujukan pada komunitas tertentu atau negara yang berdaulat. Aksi teror yang diperankan kelompok atau individu atas nama kelompok suat u organisasi dapat ditemukan di berbagai negara dan agama dengan tujuan politis ataupun agama. Aksi pengeboman di Bali dan Hotel J.W. M arriots yang dilakukan oleh salah sat u kelompok radikal Muslim salah satu tujuannya adalah unt uk melawan kolonialisasi dan hegemoni Barat (Amerika dan sekutunya). Adapun faktor-faktor yang menyebabkan munculnya aksi terorisme antara lain faktor ideologis, politis, ekonomi, dan sosial.42 2. Radikalisme Perkataan radikal berasal dari bahasa latin “radix” yang artinya akar, dan dalam bahasa Inggris kata radical dapat bermakna ekstrim, menyeluruh, fanatik, revolusioner, ultra, dan fundamental. Sedangkan radicalism artinya doktrin atau praktik penganut paham radikal LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 atau paham ekstrim. Radikalisme keagamaan dalam konteks tulisan ini adalah pengimplementasian faham dan nilai ajaran agama dengan cara yang radikal-keras, fanatik, ekstrim atau mendasar. Namun perlu dicatat bahwa pengertian radikalisme faham keberagamaan di sini tidak selalu ditandai dengan aksi-aksi kekerasan yang bersifat anarkis. Dalam realita memang dapat ditemui bahwa sebagian kelompok gerakan radikal keagamaan hanya terbatas pada pemikiran dan ideologi, dan tidak menggunakan cara–cara kekerasan dalam melaksanakan faham ajarannya, tetapi sebagian kelompok radikal yang lain menghalalkan cara–cara kekerasan dalam memperjuangkan faham keagamaannya. Karena itu, pengertian gerakan radikalisme keagamaan t idak selalu ditandai dengan anarkisme atau terorisme. Kesan terhadap istilah radikalisme bagi masyarakat, pada umumnya bersifat negatif, merendahkan atau memburukkan, meskipun dalam perkembangannya gerakan radikal dapat berubah menjadi positif, terutama apabila dalam skala tertentu perubahan yang diinginkan oleh gerakan radikal itu dapat terwujud. Istilah radikalisme ini juga sering dipertentangkan dengan liberalisme, terutama karena liberalisme memiliki ciri yang lebih kompromis, elastis, fleksibel, tidak kaku, dan sangat toleran terhadap banyak hal. Image negatif itulah yang kemudian membawa gerakan radikalisme dalam sebuah negara, apapun dasar ideologinya, kurang diterima sepenuh hati oleh pemerintah. Dalam tataran kehidupan berbangsa dan bernegara, gerakan radikalisme memang tampak cukup merepotkan para penguasa, terutama karena beberapa alasan: Pertama, gerakan radikalisme sering dinilai sebagai gerakan yang berkepentingan untuk membangun dan mewarnai dasar ideologi negara dengan faham ideologinya secara murni, atau mengganti ideologi negara yang sudah mapan dengan ideologi kelompok gerakan radikal t ersebut , tanpa mempertimbangkan kepentingan ideologi kelompok lain yang berbeda dengannya. Kedua, gerakan radikalisme dianggap membawa instabilitas sosial, keresahan sosial, terutama karena sifat gerakan tersebut yang militan, keras, tegas, hitam-putih, tidak menyerah dan tidak segan-segan juga menggunakan caracara yang cenderung anarkis dan merusak. Di samping itu, gerakan radikalisme tersebut juga dipandang tidak mau kompromi serta tidak toleran terhadap kepentingan kelompok lain. Ketiga, dampak dari gerakan radikalisme baik secara langsung maupun tidak langsung dipandang dapat mengancam eksist ensi kedudukan para elit penguasa, terutama karena pengaruh agitasi ideologi dan provokasi gerakan radikal yang meluas dalam masyarakat dapat menurunkan tingkat kepercayaan rakyat terhadap rezim penguasa tersebut, yang pada giliran berikutnya dapat melahirkan pembangkangan dan revolusi sosial yang akan meruntuhkan singgasana rezim penguasa. Karena itu tidaklah mengherankan apabila siapapun rezim penguasa disebuah negara akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengeliminasi, menjinakkan, meredam atau menangkal berkembangnya gerakan radikalisme itu. Di Indonesia, gerakan kelompok Islam dapat dipandang sebagai kelompok gerakan radikal yang relatif sering muncul ke permukaan. Tidak hanya karena kelompok Islam merupakan mayoritas di Indonesia, tetapi juga karena ideologi jihad dalam Islam dapat mendorong radikalisasi kelompok-kelompok Islam fanatik di Indonesia. Tetapi semangat jihad itu sendiri tidak muncul secara tiba-tiba. Banyak faktor yang ikut memengaruhi munculnya semangat jihad kelompok masyarakat Islam seperti faktor ideologi politik, sosial budaya, solidaritas, dan doktrin teologi.43 Berkaitan dengan munculnya paham atau kelompok radikal, Siti Musdah Mulia berpandangan keberadaan sejumlah kelompok radikal merupakan produk sampingan dari era reformasi. Keberadaan reformasi telah membuka kran demokrasi sehingga semua kelompok mendapatkan momentum yang tidak mereka dapatkan pada rezim Orde Baru (Baru). “Silahkan saja, semua orang bisa berekspresi di era demokrasi, tetapi harus dipahami bahwa Indonesia punya platform dan konst it usi sesuai apa yang ditegaskan oleh founding fathers kita”.44 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 23 Menyikapi maraknya tindakan radikal dalam masyarakat, Forum Solidaritas Kebebasan Beragama (FSKB) mengadakan kegiatan ibadah dan orasi bersama di depan lapangan Monas. Forum ini menuntut pemerintah agar dapat menciptakan suasana damai dalam melakukan ibadah, dan sangat mengutuk radikalisasi berkedok Islam. Perwakilan Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) yang hadir dalam acara ini turut memberikan orasinya untuk meminta rasa aman bagi seluruh agama yang ada di negara ini. “Kami siap melayani mereka yang suka mengganggu aksi ibadah agama lain. Kami juga siap berdiri terdepan untuk membantu memberikan rasa aman dalam melakukan aksi ibadah di negeri ini,” ujar Billy, salah satu perwakilan PBNU dalam orasinya.45 Irfan, salah seorang peneliti UIN Syarif Hidayatullah, mengatakan, berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar masjid di Jakarta berpaham moderat. Sedangkan di Solo, Islam radikal berkembang cukup subur dan bukan tak mungkin akan mempengaruhi masjid lain di sekitarnya. Yang menjadi masalah adalah kelompok moderat kurang mengembangkan sikap moderasi karena tak ingin melukai jamaah yang berkiblat pada Islam radikal.46 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UIN Jakarta tersebut, tampaknya paham radikal belum banyak diminati oleh masyarakat. Terbukti sebagian besar masjid masih menganut paham moderat, padahal masjid adalah tempat pembinaan agama bagi masyarakat . M emang pada akhir-akhir ini dibeberapa tempat muncul kasus perebutan masjid di antara mereka yang berpaham radikal dengan mereka yang berpaham moderat, tapi kasus tersebut masih tergolong kecil, meskipun harus tetap diwaspadai. Selain UIN Jakarta, pada tahun 2010 SETARA Institute juga melakukan penelitian tentang Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat. Penelitian ini bert ujuan untuk menyajikan wajah-wajah organisasi Islam radikal yang menurut data berbagai laporan kondisi kebebasan beragama/ berkeyakinan dianggap sering m engganggu jam inan kebebasan beragama/ berkeyakinan. Dengan mengenali 24 organisasi-organisasi Islam radikal, diharapkan sejumlah langkah dapat dilakukan oleh negara untuk menghapus intoleransi dan diskriminasi agama/ keyakinan. Menegakkan hukum bagi para pelaku kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi dan melakukan deradikalisasi pandangan perilaku dan orientasi keagamaan melalui kanal politik dan ekonomi berdasarkan rekomendasi penelitian ini.47 Penelitian SETARA ini membicarakan empat temuan yaitu tentang potret keagamaan masyarakat perkotaan t ermasuk pandangannya terhadap keberadaan organisasi Islam radikal; argumentasi mengapa organisasi Islam radikal tumbuh di Jakarta dan Jawa Barat; profil organisasi Islam radikal dan implikasinya terhadap jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan. Secara keseluruhan, sikap dan pandangan keagamaan masyarakat Jabodetabek, memperlihatkan intoleransi yang cukup tinggi. Namun demikian, sikap atau pandangan keagamaan semacam ini tidak dapat dikatakan sebagai fundamentalis, atau setidaknya belum memasuki tahap fundamentalis. Meski intoleransi masyarakat tinggi, survei ini memperlihatkan bahwa warga Jabodetabek tidak tergolong fundamentalis/ radikal, apalagi mendukung tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Pemicu munculnya organisasi Islam radikal di Jakarta dan Jawa Barat lebih disebabkan oleh memanfaatkan kondisi alienasi dan frustasi sosial masyarakat urban untuk berhimpun dalam wadah agama: Islam. Di tengah-tengah kekosongan ideologi transformatif yang diwariskan Orde Baru, “alienasi” dan frustasi masyarakat urban Jabodetabek yang berada di lapis bawah akhirnya “menemukan” Islam sebagai jawaban yang rupanya lebih dapat memberikan jaminan “kepastian”, meskipun sebagian dari mereka berasal dari kalangan yang secara ritual justru tergolong biasa saja atau bahkan tidak taat. Hal ini sekaligus juga membuktikan bahwa sikap intoleran agaknya tidak berhubungan secara langsung dengan tingginya tingkat ketaatan seseorang dalam menjalankan ritual agama. Islam tampaknya bukan faktor utama yang menyebabkan terjadinya sikap intoleran. LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Organisasi Islam yang dikategorikan radikal yang diteliti SETARA adalah Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Umat Islam (FUI), di Bekasi ada Front Anti Pemurtadan Bekasi (FAPB), di Cianjur ada Gerakan Reformis Islam (GARIS), di Tasikmalaya ada Tholiban, dan di Kota Cirebon ada Forum Ukhuwwah Islamiyah (FUI). Dari hasil temuan dugaan bahwa basis massa organisasi Islam radikal berasal dari kalangan modernis, khususnya neo-wahabi, tidak sepenuhnya tepat. Di Jawa Barat, pesantren-pesantren tradisional, karena keterlibatan pimpinan pesantrennya, telah memasok dukungan dan menjadi basis massa organisasi Islam radikal. Pesantren Ashabul Yamin dan Darul Aman (Cianjur), Pesantren Al Irsyadiyah, Miftahul Huda (Tasikmalaya), Pesantren Cipana, Pesantren Suci (Garut) dan Pesantren al Umm (Ciputat). Selain dari pesantren, basis massa organisasi ini juga berasal dari majelis-majelis taklim. Pendanaan organisasi Islam radikal berasal dari beragam sumber. Selain dari dana pribadi, sumber dana juga berasal dari infak jamaah, sumbangan masyarakat, dan usaha sendiri. Paham ajaran organisasi Islam radikal ini berpusat pada t iga dokt rin Islam, yait u: kewajiban berhukum dengan hukum Allah, doktrin kewajiban memberantas kemun­karan, dan doktrin kecurigaan dan kebencian pada agama Kristen yang ekspansif. Sementara dari prakt ik ibadah sehari-hari, kecuali Forum Ukhuwwah Islamiyah, umumnya organisasi ini diidentifikasi sebagai ahlus­sunnah wal jamaah (aswaja) dan tradisonalis. Riset ini menunjukkan bahwa organisasi radikal juga tumbuh dan berkembang dari dan di kalangan Islam tradisionalis. Agenda utama organisasi-organisasi Islam radikal adalah, penegakan syariat Islam, pemberantasan maksiat, aliran sesat, dan anti pemurtadan/anti kristenisasi. Organisasi Islam radikal memiliki strategi dan taktik yang terbarukan dari sebelumnya. Mereka secara terus menerus mengembangkan aliansi politik dengan partai politik/tokoh-tokoh politik, memperluas dukungan di organisasi Islam yang moderat , menginf ilt rasi atau meradikalisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), menggabungkan aksi jalanan dan aksi hukum, dan membangun jejaring aksi antarkota. Pada bagian keempat penelitian ini diuraikan secara panjang lebar tentang keberadaan organisasiorganisasi Islam radikal dikaitkan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Melalui penelitian ini, SETARA Institute merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: (a) penegakan hukum terhadap setiap tindakan kekerasan atas nama agama; (b) menyusun strategi komprehensif deradikalisasi anggota dengan membentuk kanal politik bagi elit dan kanal ekonomi bagi anggota; (c) meningkatkan pendidikan kewarganegaraan dan pluralism; (d) melakukan review dan/atau pencabutan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang diskriminatif; (e) membentuk UU yang menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan; (f) menghentikan akomodasi politik berlebihan terhadap kelompok Islam radikal; (g) memberikan perlindungan holistik kepada kelompok minoritas; (h) menegaskan kembali 4 pilar hidup berbangsa dalam berbagai peraturan perundangundangan, kebijakan, dan perilaku bangsa. 3. Pluralisme Sebagai sebuah bangsa yang majemuk, sudah seharusnya bila masyarakat mengembangkan sikap yang menghargai kemajemukan (pluralisme), tidak bersikap eksklusif, hanya mengakui kelompok atau agamanya saja yang paling benar. Bila hal itu berhasil dikembangkan dalam masyarakat, maka akan merupakan sumber perekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berkaitan dengan pluralisme tersebut, Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas, St. Sularto, mengatakan setelah meninggalnya Gus Dur, akhir tahun lalu, Indonesia kini hanya memiliki mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syaf i’i Ma’arif sebagai tokoh pluralisme, guru bangsa, dan pelindung kelompok minoritas. Pemikiran dan gerakan Syafi’i masih sangat diperlukan untuk membangun bangsa.48 Praktisi hukum Todung Mulya Lubis menyatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus bertindak tegas terhadap Menteri Komunikasi dan Informatika yang menganalogikan LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 25 polemik kasus video mesum mirip selebritis dengan perdebatan Islam-Kristen soal penyaliban Isa atau Yesus. “Presiden harus bertindak tegas pada Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, t idak hanya menegur,”. Menurutnya, pernyataan Tifatul telah melanggar pilar kemajemukan yang merupakan pilar pokok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Tifatul telah melukai kemajemukan kita sebagai bangsa. Kami meminta dia mencabut pernyataannya dan meminta maaf secara terbuka.49 Pernyataan di atas menunjukkan masih adanya kekhawatiran dari sebagian masyarakat terhadap penghargaan akan keberagaman (pluralisme), apalagi dengan adanya fatwa tentang haramnya menganut paham pluralisme. Kekhawatiran itu mungkin dikarenakan melihat adanya beberapa kasus tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang mempunyai paham yang radikal. Tetapi bila hal tersebut dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang demikian besar, maka secara sosiologis hal tersebut masih tergolong wajar. Menurut (mantan) Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, K.H. Hasyim Muzadi, pluralisme yang diperjuangkan NU adalah pluralisme sosiologis bukan teologis. Pluralisme sosiologis merupakan kebersamaan umat beragama dalam komunitas dunia.50 4. Kebebasan Beragama Berkaitan dengan pluralisme, Denny JA, Direktur Eksekutif LSI, menilai bahwa dalam setahun pemerintahan SBY-Boediono, toleransi atas keberagaman yakni pluralisme dan paham Bhinneka Tunggal Ika menurun drastis, sebaliknya pembenaran kekerasan atas nama agama meningkat secara signifikan. Jika tidak ada aksi yang signifikan dari pemerintah seperti kete-gasan memproteksi hak asasi warga negara atas keyakinannya dan tak ada tindakan aktif pemimpin masyarakat yang moderat, toleransi atas keberagaman akan potensial terus menurun. Prosentase yang membenarkan kekerasan atas nama agama akan potensial terus meningkat.51 Keberagaman di antara masyarakat Indonesia seharusnya menjadi aset kemajuan bangsa dan bukan menjadi penyebab konflik atau perpecahan. Hal itu menjadi benang merah dalam bedah buku Indonesia Satu, Indonesia Beda, di Universitas Paramadina. Said Aqil Siradj mengatakan sebenarnya adalah hal yang ironis setelah 65 tahun merdeka masih bicara soal toleransi dan keberagaman. Namun akhir-akhir ini masa­lah itu memang mendapat sorotan lagi, ada yang masih ngotot untuk memasukkan syariat Islam di konstitusi, padahal sudah sejak 1936 NU menetapkan Indonesia adalah negara kebangsaan di tengah keberagamannya.52 26 Menurut Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, banyak dokumen internasional tentang HAM telah menyebut tentang kebebasan ber­gama. Dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang diadopsi PBB tahun 1948, Pasal 18, Pasal 26, dan Pasal 29, disebutkan mengenai pokok-pokok kebebasan beragama itu. Dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang disahkan PBB pada tanggal 16 Desember 1966, pada Pasal 18 juga dinyatakan hal yang sama dengan apa yang disebutkan dalam Pasal 18 Deklarasi Universal tentang HAM PBB. Kemudian dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang disahkan PBB tanggal 16 Desember 1966, Pada Pasal 13 dinyatakan bahwa semua negara pihak yang meratif ikasi kovenan itu harus menghormati kebebasan orang tua atau wali, jika ada, untuk menjamin bahwa pendidikan anak mereka di sekolah-sekolah dilakukan sesuai dengan agama mereka. Sementara itu dalam Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan yang diadopsi PBB tahun 1981, pada Pasal 1 juga dinyatakan bahwa setiap orang bebas untuk memilih dan menganut agama, dan memanifestasikannya secara pri­badi dan berkelompok, baik dalam beribadat, pengamalan, maupun pengajarannya. LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Anak yang diadopsi PBB tanggal 30 November 1989, khususnya Pasal 14, Pasal 29, dan Pasal 30, dinyatakan bahwa negara-negara pihak, maksudnya negara-negara yang telah meratifikasi kovenan itu, harus menghormati hak agama anak. Di Indonesia, melalui UUD 1945 telah termuat satu pasal yang intinya mengatur tentang HAM agama, yaitu Pasal 29 UUD 1945. Pada tahun 1965 dengan Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang dengan UndangUndang No. 5 Tahun 1969. Dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 1 UU No. 1/ PNPS/1965, bahwa “terdapat 6 agama yang hidup berkembang di Indonesia, yaitu: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Tetapi tidak berarti bahwa hanya 6 agama itu yang boleh hidup di Indonesia, sebab pada paragraf berikutnya dari Penjelasan Pasal 1 itu dinyatakan “bahwa hal itu tidak berarti bahwa agamaagama lainnya, seperti Yahudi, Zoroaster, Shinto, dan Tao dilarang di Indonesia. Agama-agama itu juga boleh hidup di Indonesia dan mendapat jaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUD 1945.” Demikianlah Indonesia telah berjalan pada jalur yang benar dalam upayanya untuk menegakkan HAM agama. Pada tahun 1999, Indonesia sekali lagi menegaskan jaminan kebebasan beragama dengan diundangkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, terutama Pasal 22 dan Pasal 70. Pada tahun 2000, tepatnya 18 Agustus 2000, Indonesia bahkan melakukan amandemen UUD 1945 dengan menambahkan beberapa pasal, khususnya Pasal 28E, 281 dan 28J, yang juga mengatur tentang kebebasan beragama dan pembatasannya yang hanya dapat dilakukan melalui undang-undang. Demikianlah Indonesia telah berjalan pada jalur yang benar dalam upayanya untuk menegakkan HAM agama. Diskusi dilakukan dengan pencantumannya dalam UUD bahkan mengamandemennya ketika dipandang perlu, dengan meratifikasi sejumlah kovenan internasional dan dengan memberlakukan UU baru yang dipandang perlu untuk menjamin tegaknya HAM. Mungkin peraturan-peraturan itu belum mengatur sesuatu masalah yang amat mendasar, misalnya: apa yang disebut agama itu, dan bagaimana sebuah kelompok umat beragama didaftarkan atau diadministrasikan. Mungkin juga beberapa peraturan perundang-undangan memerlukan penjelasan atau sinkronisasi satu sama lain. Sebagai akibatnya, pada tataran pelaksanaan sering ditemukan wilayah abu-abu karena belum jelasnya pengat uran itu, sehingga kebebasan beragama diimplementasikan oleh masing-masing kelompok umat beragama menurut penafsirannya sendiri.53 Berkaitan dengan pelaksanan kebebasan beragama di Indonesia, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng K. H. Sholahuddin Wahid mengatakan pada acara diskusi Laporan Tahunan CRCS di Yogyakarta, bahwa negara belum mampu melindungi ataupun menjamin hak beragama warga negaranya. Selama ini, kekerasan berlatar agama cenderung diabaikan dan tidak ditangani. Hal ini t erlihat pada meningkatnya sejumlah kasus perusakan rumah ibadat serta kekerasan berlatar agama.54 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa semua kelompok, agama, dan paham dijamin keberadaannya oleh negara sehingga bebas menjalankan aktivitas positif tanpa halangan dari pihak mana pun. “Saya ingin menegaskan kembali negara kita adalah negara demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat. Dalam negara demokrasi, semua kelompok, semua agama, dan semua paham dijamin keberadaannya. Kita semua dapat dengan leluasa menjalankan berbagai aktivitas yang positif tanpa halangan dan gangguan dari pihak mana pun,” tuturnya.55 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 27 Inkonsistensi di antara sesama peraturan normatif serta antara peraturan normatif dan praktik penegakan kebebasan beragama menjadi ciri yang melekat pada negara Indonesia. Meskipun payung hukum bagi kebebasan beragama di Indonesia cukup kuat, seperti adanya Pasal 29 UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Instrumen internasional yang telah diratifikasi kenyataannya negara belum mampu menjamin kebebasan bagi setiap warga.56 Agar kebebasan beragama tidak semakin suram, maka moralitas dan prinsip perlindungan terhadap kelompok minoritas harus dikedepankan. Negara harus berdiri pada pihak yang netral dan tidak memihak salah satu kelompok. Masyarakat harus menjadikan nilai toleransi dan fakta pluralisme di sekitarnya sebagai sarana melakukan kerjasama.57 “Delegasi AS justru ingin mempelajari toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia” diharapkan bisa menjawab persoalan-persoalan yang berkembang sesuai tuntutan zaman. “Mengembangkan tajdid sesungguhnya merupakan bagian dari misi Islam yang maju dan tumbuh berkembang dalam menjawab tantangan zaman.60 Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam peringatan Nuzulul Quran, menegaskan bahwa setiap individu di negeri ini memiliki kemerdekaan beragama dan beribadat.61 Sekitar 1.400 umat beragama dari Forum Solidaritas Kebebasan Beragama beribadat di depan Isatana Merdeka, mereka bernyanyi dan berdoa , diselingi khotbah dan orasi. Apa yang dilakukan oleh ribuan umat beragama itu menunjukkan kebuntuan perhatian pemerintah daerah maupun peme­rintah pusat dalam menjaga dan menjamin kebebasan beribadah, seperti pendirian rumah ibadah. Ibarat bola api yang terlempar ke sana dan kemari tidak ada yang berupaya menangkap bola dan memadamkan apinya.62 Meskipun berbagai pihak menilai kebebasan beragama belum sepenuhnya dapat dijamin oleh pemerintah, tetapi menurut Teuku Faizasyah, “Delegasi AS justru ingin mempelajari toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia”. Mereka akan menemui beberapa pejabat tinggi negara, dan dijadwalkan bertemu Menteri Agama serta Menteri Hukum dan HAM.58 Pemerintah dinilai kurang menjamin hak masyarakat atas kebebasan beragama dan menjalankan ibadah. Pemerintah juga terkesan membiarkan dan abai terhadap benih-benih konflik yang terkait agama. Negara dituntut bertanggung jawab dan sungguh-sungguh menjamin keberagaman dan kebebasan beragama. Bentuk nyata dari tanggung jawab itu, antara lain dengan mengevaluasi segala peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap kebebasan beragama dan menindak tegas sesuai hukum semua pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama.63 Sebetulnya terhambatnya menjalan­kan kebebasan beragama tidak hanya terjadi di Indonesia. Ketua Komite Kemanusiaan Indonesia Suripto mengungkapkan di Barat baik diskriminasi terhadap Islam maupun Islam fobia masih terjadi.59 Untuk itu Presiden SBY mengajak kaum Muslim untuk melindungi dan mengayomi kaum minoritas, dan juga mengajak semua pihak, agar dapat menahan diri dari tindakan anarkis. Secara khusus Presiden memberi pesan kepada ulama dan para cendekiawan untuk mengembangkan tajdid atau pembaruan paham keagamaan yang konstruktif dan bermanfaat bagi umat, bangsa, dan negara. Tajdid ini Sementara itu, penganiayan terhadap pengurus Gereja HKBPAsia Lumban Toruan tidak hanya menimbulkan luka fisik tetapi juga luka pada bangunan kerukunan beragama di Indonesia. Regulasi memang harus diperbaiki tetapi jauh lebih penting membangun kesadaran mayoritas untuk menghormati dan berjiwa besar t erhadap perbedaan keyakinan. Regulasi hanyalah bagian dari usaha membangun iklim kerukunan beragama, tetapi hal itu bukan merupakan persoalan pokok yang menyulut penindasan kelompok mayoritas terhadap minoritas. Problem pokoknya tetap pada relasi sosial yang timpang dan tidak adil. Tanpa 28 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 semangat menghormati dan melin­dungi minoritas, masalah akan mucul. Semangat inilah yang justru sering luput dari perhatian para pembuat regulasi. Setiap manusia mempunyai ciri, karakter dan keyakinan masing-masing, semua itu tidak bisa diseragamkan dengan cara apapun.64 Tuduhan bahwa pem erintah secara sengaja mengabaikan dan lalai dalam menjaga dan melindungi masyarakat dalam menjalankan ibadah dan kebebasan dalam menjalankan agamanya, suatu tuduhan yang terlalu cepat, dengan tanpa melihat langsung di lapangan. Mereka yang memberikan komentar kadangkadang hanya membaca berita dari surat kabar dan TV, yang kerapkali mengandung kepentingan tertentu dalam pemberitaannya. Hal tersebut sudah terbukti dari berbagai kasus yang pernah diteliti oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Tapi sayang, para komentator itu t idak mau tahu dengan hasil penelit ian, melainkan lebih percaya pada berita sensasional yang sengaja dibuat oleh kelompok kepentingan tertentu. C. Gerakan Keagamaan Gerakan keagamaan dalam laporan ini dibatasi pada organisasi atau lembaga yang bergerak atau beraktivitas di bidang keagamaan. Yang hendak dicatat dalam laporan ini antara lain tentang usul, pemikiran atau kegiatan yang berkaitan dengan organisasi atau lembaga tersebut yang terrekam dalam pemberitaan surat kabar. 1. Majelis Ulama Indonesia (MUI) MUI se-Sumatera mengeluarkan enam rekomendasi kepada pemerintah yang disampaikan pada acara Tabligh Akbar dan Silaturrahim Umat Islam se-Sumatera di Medan, 10 Januari 2010. Enam rekomendasi tersebut adalah: (1) agar pemerintah bebas KKN; (2) bersikap tegas kepada media dan lembaga penyiaran yang menayangkan berita atau infotainmen yang cenderung membeberkan aib orang lain kepada umum; (3) mendesak lembaga penyiaran membatasi penayangan yang berbau pornografi; (4) mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Undang- Undang Pornograf i dan Pornoaksi; (5) mendesak pemerintah segera melakukan sertifikasi halal terhadap seluruh produk makanan, minuman, obat-obatan dan bahan kosmet ika impor; (6) menghimbau Pemerintah agar menggunakan dana abadi umat yang terkumpul dari sisa biaya jamaah haji digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan umat.65 2. Nahdhatul Ulama (NU) Menjelang Muktamar NU di Makassar, muncul berbagai pemikiran dan tanggapan terhadap organisasi t erbesar di Indonesia tersebut. Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA- PM II) dalam jumpa wartawan, mengingatkan NU agar kembali fokus menangani masalah sosial keagamaan. Sekretaris Jenderal IKA-PMII Effendy Choirie mengatakan urusan keagamaan bisa menjadi penting karena munculnya fundamentalisme yang mengatasnamakan agama. Di sini NU harus berperan untuk melakukan deradikalisasi Islam.66 Direktur Eksekutif Reform Institute, Yudi Latief, mengatakan bahwa NU telah menjadi bentuk Islam yang khas Indonesia, yaitu Islam yang gradual dan memiliki etos selalu mencari titik temu dan konsekuen. Kondisi itu tidak lepas dari paham Ahlussunnah Waljamaah yang menjadi ajaran NU. Ajaran NU mempunyai kekhasan, di mana mereka selalu berusaha mencari titik tengah dari berbagai elemen yang lebih ekstrim, ini terlihat dengan adanya prinsip moderat, seimbang dalam penerapan ajaran agama, sehingga tidak mudah terprovokasi dan mempunyai sikap yang toleran.67 Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya pada pembukaan Muktamar NU di Makassar, berharap agar NU dapat bekerjasama dengan pemerintah dalam menyukseskan program pembangunan kerakyatan, yang meliputi pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan, sebab mayoritas rakyat Indonesia merupakan warga NU.68 Setelah Muktamar usai terdapat ketidakpuasan sekelompok pengurus NU atas susunan LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 29 PBNU. Pengurus NU wilayah Jawa Timur mengajak Pengurus NU lainnya untuk mengadakan Muktamar Luar Biasa. Atas ajakan tersebut Pengurus NU dari beberapa daerah pada umumnya menolak ajakan PWNU Jatim yang ingin menyeleng­garakan Muktamar Luar biasa. Mereka juga menolak pembekuan PWNU Jatim.69 Ketua Umum PBNU, K.H. Said Aqiel Siradj, menegaskan bahwa PBNU tidak punya niat untuk membekukan PWNU Jawa Timur. Konflik internal yang terjadi antara PBNU dan PWNU Jatim hanya sebuah kesalahpahaman yang harus diselesaikan dengan cepat.70 Pertarungan para calon ketua umum PBNU menjelang pemilihan pada bulan Maret cukup alot. Mereka adalah Sholahudin Wahid, Masdar F. Mas‘udi, Ali Machsan Musa, Slamet Effendi Yusuf, Ahmad Bagja, dan Said Aqiel Siradj. Kelebihan dan kepantasan masing-masing calon ditonjolkan untuk terpilih pada Kongres yang dilaksanakan pada 22-29 Maret 2010. Dalam Muktamar ini terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidziyah Prof. Dr. Said Aqiel Siradj. Terpilihnya Said Aqiel Siradj sebagai Ketua PBNU mendapat dukungan dari berbagai kalangan, termasuk mereka yang di luar Islam, karena dia dianggap sebagai seorang yang moderat dan berwawasan luas.71 3. Muhammadiyah Pada tahun ini selain NU, Muhammadiyah juga mengadakan Muktamar menjelang satu abad Muhammadiyah. Terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Din Syamsudin. Terpilihnya Din Syamsudin, menunjukkan bahwa ia pada periode sebelumnya dianggap berhasil memimpin Muhammadiyah. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, mengingatkan Pemuda Muhammadiyah agar tetap mandiri. Jangan mau diintervensi, apalagi sampai menjadi antek-antek pihak lain. Pesan itu disampaikan Ketua Umum pada saat membuka Muktamar ke 14 Pemuda.72 Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Barat, Pabali Musa, mengatakan hendaknya Muktamar Satu Abad 2010 Muham- 30 madiyah dijadikan momentum organisasi sosial keagamaan it u unt uk mendorong agama menjadi dasar moral posit if di Indonesia. Indonesia sudah kehilangan wibawa hukum. Pelanggaran hukum justru dilakukan oleh oknum penegak hukum. Ia melanjutkan syariat Islam tepat menjadi dasar moral hukum di Indonesia. Meskipun demikian falsafah bangsa Pancasila dan UUD tetap berlaku.73 Peneliti Islam, Zuli Qadir, mengatakan organisasi keagamaan,khususnya Muhammadiyah dan NU perlu lebih berani menyuarakan kritik terhadap kebijakan Pemerintah ataupun penyelewengan yang t erjadi di t engah-t engah masyarakat. Dengan banyaknya anggota yang dimiliki, maka suara organisasi keagamaan ini mempunyai kekuatan dalam memperbaiki bangsa.74 4. Gerakan Keagamaan Transnasional Pada tahun 2010 Puslitbang Kehidupan Keagamaan mengadakan penelitian tentang Gerakan Keagamaan Transnasional yaitu: Salafi, Syiah, Jama‘ah Tabligh, Ikhwanul Muslimin (IM) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI), Gereja Bethel Indonesia (GBI), Buddha Maitreya dan Buddha Soka Ghakai di Indonesia. Gerakan Salafi berasal dari Saudi Arabia, Jama’ah Tabligh berasal dari India, Ikhwanul Muslim berasal dari Mesir dan Hizbut Tahrir berasal dari Palestina atau Libanon. Sedangkan gereja umumnya berasal dari Amerika, sedangkan Buddha Maitreya dari Cina, serta Buddha Soka Ghakai dari Jepang. Mereka terus mengembangkan sayapnya di Indonesia. Meskipun di antara gerakan Islam di atas ini dalam banyak hal terdapat kontradiksi dan tidak jarang juga saling menyesatkan, namun mereka memiliki agenda yang sama yaitu penegakan syariat Islam dan ant i Barat . Kekhawatiran berbagai kalangan atas munculnya gerakan keagamaan Islam t ransnasional, terutama para elit politik dan elit agama dari ormas yang telah mapan, patut diperhatikan. Yakni, apakah kehadiran gerakan keagamaan transnasional itu membahayakan eksistensi NKRI dan ormas keagamaan yang telah mapan. Penelitian ini berusaha menjelaskan bagaimana LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 sebenarnya posisi gerakan keagamaan transnasional itu dalam konteks perubahan sosial keagamaan dan sosial politik di Indonesia, dan jaringan kerja yang dikaji adalah jaringan intelektual, kegiatan, pendanaan dan jaringan kerja kelembagaan. Adapun hasil temuan dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Secara intelektual seluruh gerakan keagamaan ini memang memiliki jaringan intelektual dengan berbagai lembaga pendidikan dan ormas keagamaan di luar negeri, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tidak ada satupun dari gerakan itu yang tiba-tiba muncul tanpa dorongan intelektual dan keilmuan dari gerakan keagamaan di luar negeri, bahkan sebagian gerakan keagamaan, pendirinya juga dari luar negeri, misalnya Gereja Pantekosta di Indonesia, Salafi, Buddha Meitreya dan Buddha Soka Ghakai di Indonesia. Mereka sering mendatangkan tokoh intelektual dari luar negeri untuk memperkuat secara politis gerakan keagamaan transnasional di Indonesia itu. 2. Jaringan kegiatan gerakan ini diwujudkan dalam bent uk t ukar menukar t enaga edukatif, atau menyusun program kegiatan yang setara atau mirip di seluruh Indonesia dan di luar negeri. Misalnya Syiah membuat yayasan-yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan, penyantunan anak yatim piatu, penerbitan dan pengajian rut in, seminar atau bedah buku. Jama’ah Tabligh melaksanakan dakwah keliling sebagaimana dilakukan Jama’ah Tabligh di India, Pakistan dan Banglades (IPB). Salafi membuat stasiun radio di berbagai daerah di Indonesia untuk mengintensifkan kegiatan dakwahnya, sebagaimana ditunjukkan oleh Radio Dakwah Ahlussunnah Waljamaah (Roja) di Cileungsi, Kota Depok. Radio Hang di Kota Batam dan sebagainya. Hizbut Tahrir Indonesia banyak melakukan diskusi keagamaan di kampuskampus, penerbitan jurnal, tabloid, dan sebagainya. 3. Pendanaan gerakan keagamaan transnasional kurang terdeteksi dari hasil penelitian ini. Namun demikian ada indikasi kuat, bahwa setidaknya pada awalnya mereka mendapat bantuan luar negeri. Setelah kaderisasi berhasil, pendanaan untuk operasional dan lainnya murni berasal dari anggotanya saja. Cont ohnya adalah GPdI pada awalnya didanai oleh gereja di Amerika Serikat, kemudian oleh Belanda dan setelah Indonesia merdeka dibantu oleh para pengusaha GPdI, persepuluhan, persembahan, dan bantuan lainnya yang tidak mengikat. 4. Jaringan kerja kelembagaan yang terdapat dalam gerakan keagamaan transnasional itu tidak sama di antara satu gerakan dengan yang lain. Jama’ah Tabligh misalnya, moto sebagai muslim harus teratur sebelum diatur, karena itu tidak ada struktur organisasi. Salafi juga tidak memiliki struktur organisasi. Sementara itu yang lain memiliki struktur organisasi yang disusun secara berjenjang dari pusat hingga daerah. Di antara wilayah atau daerah itu selalu ada pertemuan berkala yang bermaksud mengevaluasi kinerja organisasi yang dikelola. Dengan demikian, secara kelembagaan dapat menyusun program kegiatan yang disepakati oleh semua jenjang lembaga yang mereka miliki. 5. Keberadaan gerakan keagamaan transnasional di Indonesia secara agama, politik dan ekonomi tidaklah membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena bagaimanapun mereka adalah warga negara Indonesia. Bahkan diantara organisasi keagamaan yang ada, sebenarnya saling melengkapi kekurangan yang dimiliki. Misalnya, Salaf i memfokuskan diri pada dakwah agama dengan pemahaman sebagaimana salafussahalih memahami agama, ini berarti melengkapi dakwahnya Muhammadiyah yang konsentrasinya mulai terpecah pada program sosial, pendidikan dan ekonomi. Jama’ah Tabligh misalnya, melengkapi dakwahnya umat Islam yang ada, sebagaimana Islamisasi yang sukses di Indonesia juga karena dakwah pengelana seperti yang LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 31 dipraktikkan oleh Jama’ah Tabligh. Sementara itu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mewacanakan khilafah dan peneguhan solidaritas yang tinggi terhadap umat Islam di manapun sebagaimana dipesankan ajaran Islam bahwa umat Islam itu bersaudara. 6. Sementara itu keberadaan GPdI, GBI, Buddha M ait reya dan Buddha Soka Ghakai di Indonesia, juga tidak membahayakan NKRI, karena keempat organisasi ini pendukungnya sangat minoritas di Indonesia, sehingga tidak mungkin berfikir tentang bentuk dan sistem kenegaraan yang lain di Indo­nesia. 5. Kongres Umat Islam Setiap dua tahun sekali diadakan kongres umat Islam. Dalam kongres tersebut sebaiknya mengundang semua ormas Islam baik dari kalangan moderat maupun kelompok garis keras. Ternyata dalam kongres tersebut tidak semua organisasi Islam diundang, sehingga dianggap bersifat diskriminatif. Akibatnya, panitia Kongres Umat Islam Indonesia kelima digugat oleh beberapa ormas Islam yang dianggap garis keras atau bermasalah (Jamaah Islamiyah, Majelis Mujahidin Indonesia, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam). Mereka tidak diundang pada acara kongres tersebut, dengan alasan dikhawat irkan akan m engganggu jalannya kongres. Reaksi keras datang dari Ketua Lajnah Tanfidziyah MMI, Irfan Awwas, yang mengatakan bahwa MUI jangan memosisikan diri sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang berkolaborasi dengan musuh-musuh Islam, dan ulama jangan jadi penonton pada saat negara sedang kacau balau dengan perekonomian yang sedang berantakan. Pernyataan semacam ini menunjukkan betapa kelompok garis keras kurang berkenan dengan Pemerintah sekarang ini karena dianggap bekerjasama dengan negaranegara yang dianggap musuh Islam. Selain itu karena negara ini bukan didasarkan pada syariat Islam, maka pemerintahan ini disebut thoghut.75 ingatkan, bahwa umat Islam di Indonesia memiliki tingkat kemajemukan yang sangat tinggi, baik dari aspek suku, bahasa, afiliasi politik, paham keagamaan, pilihan strategi perkhidmatan maupun amal usaha. Kemajemukan itu perlu dipahami sebagai peluang sekaligus tantangan dalam membangun dan memberdayakan umat Islam dan bangsa Indonesia.76 Sedangkan Wakil Presiden Boediono mengatakan bahwa Pemerintah milik bangsa Indonesia, karena umat Islam merupakan mayoritas di negeri ini, maka kemitraan antara Pemerintah dan umat Islam adalah keharusan. Wapres juga menekankan pentingnya penguatan nilai-nilai keislaman sebagai faktor perekat bangsa, pendorong etos kerja, dan kemajuan.77 Menurut Ketua Panitia Pusat Kongres Umat Islam, bahwa salah satu poin yang diharapkan menjadi rekomendasi dalam KUI adalah mempertegas komitmen Pemerintah untuk mengaplikasikan Perda-perda bernuansa syariat Islam.78 Selain Kongres Umat Islam, pada tahun ini juga dilaksanakan Kongres III Tokoh Agama yang diadakan di Hotel Mercure. Dalam kongres tersebut, Menteri Agama mengatakan seharusnya para artis dapat memberi contoh keteladanan bagi para idolanya, bukan malah sebaliknya merusak moral bangsa. Keteladanan sangat penting di tengah anak bangsa yang tengah mengalami degradasi etika. Penguatan etika sangat penting dalam membentuk karakter bangsa ke depan.79 [] Berkaitan dengan Kongres Umat Islam Indonesia tersebut K.H. Sahal Mahfudz meng- 32 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 4 Pelayanan dan Pengamalan Keagamaan B erdasarkan pengamatan terhadap berita di media massa selama tahun 2010, terkait bidang pelayanan dan pengamalan keagamaan, ada 4 (empat) isu yang kiranya patut diperhatikan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Sebab, keempat isu tersebut terkait langsung dengan kepentingan masyarakat secara luas, berpotensi mendapat resistensi dari masyarakat, dan berdampak jangka panjang. Pertama, isu akan dipidana atau denda bagi mereka yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah, melakukan perkawinan mutah, melakukan perkawinan poligami tanpa izin pengadilan, menceraian isteri tidak di depan pengadilan, menghamili perempuan yang belum nikah sehingga hamil sedang ia menolak mengawini, Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya, bertindak seolah-olah Pejabat Pencatat Nikah, dan bukan wali nikah tetapi bertindak selaku wali nikah, sebagaimana tertuang dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Kedua, isu tarik-ulur otoritas dalam sertifikasi produk halal sebagaimana tertuang dalam RUU Jaminan Produk Halal. Ketiga, isu sentralisasi pengelolaan zakat dan zakat sebagai pengurang langsung pajak sebagaimana tertuang dalam RUU Pengelolaan Zakat. Keempat, masalah penyelenggaraan ibadah haji tahun 2010. Keempat masalah yang disorot di atas secara kebetulan terkait dengan peraturan perundang-undangan dan terkait langsung pula dengan umat Islam. Dari sini timbul kemudian pertanyaan, apakah dalam negara yang berdasar Pancasila diperkenankan berlaku peraturan perundang-undangan yang hanya diperuntukkan bagi umat tertentu. Bukankah politik hukum di Indonesia pascakemerdekaan mensyaratkan unifikasi, yaitu pembentukan hukum nasional yang akan berlaku bagi segenap elemen masyarakat tanpa dibedakan latar belakang LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 33 suku, golongan, dan agama. Pendapat ini dianut oleh sebagian ahli hukum, anggota DPR, dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memperjuangkan pluralisme di Indonesia. Mereka berpendapat, RUU Jaminan Produk Halal misalnya, tidak sesuai dengan asas equality before the law yaitu setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. berpengaruh terhadap proses pembahasan isuisu yang mengemuka dalam berbagai rancangan undang-undang di atas. Seberapa jauh faktor-faktor di atas berpengaruh, apa yang semestinya dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, dan bagaimana prospeknya di masa depan, kiranya akan diuraikan sebagai berikut. Keberadaan RUU Jaminan Produk Halal menurut mereka memberikan perlakuan yang “istimewa” dan mendasarkan pada kepentingan sekelompok orang merupakan bukti nyata ketidaksesuaian produk hukum ini dengan asas hukum yang telah dimuat dalam Pasal 27 UUD 1945.1 Sedangkan anggota Komisi VIII DPR periode 2004-2009, Tiurlan Hutagaol dalam Diskusi Lintas Agama yang diselenggarakan Persaudaraan Indonesia Raya (Persira) (26/8/ 2009) menilai bahwa RUU Jaminan Produk Halal (RUU JPH) dinilai sangat diskriminatif dan tidak berwawasan kebangsaan.2 A. RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan Pendapat berbeda dikemukakan oleh kelompok lain. Mochtar Kusumatmadja misalnya, mengatakan bahwa unifikasi hanya berlaku terhadap materi hukum yang mungkin diunifikasikan atau hukum yang bersifat netral seperti hukum pidana. Adapun yang berkaitan dengan hukum yang tidak netral seperti hukum keluarga (perkawinan dan pewarisan) tetap diatur sesuai dengan ketentuan agama masing-masing.3 Sedangkan Slamet Effendy Yusuf, Ketua Bidang Kerukunan Majelis Ulama Indonesia, pada acara peluncuran Laporan Tahunan Kehidupan Beragama 2010 yang diselenggarakan Center for Religious and Cross-cultural Studies (1/ 2/ 2011), menyampaikan bahwa penerapan peraturan perundang-undangan berbasis nilainilai agama tertentu tetap dapat dilakukan sepanjang mengatur hal-hal khusus yang tidak mungkin diatur dalam peraturan perundangundangan yang bersifat umum.4 Dalam rangka mendukung UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan memenuhi kebutuhan hukum materiil bidang perkawinan di Peradilan Agama, pemerintah pada 2002, telah melakukan diskusi intensif dan penyempurnaan terhadap Buku I: Hukum Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada 2007, hasil diskusi menghasilkan draf RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang kemudian diganti menjadi RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Pada tahun itu pula RUU disampaikan kepada Sekretariat Negara untuk mendapatkan persetujuan Presiden. Sejak saat itu, keberadaan RUU tidak tahu rimbanya, sampai kemudian pada tengah Februari 2010 masyarakat dikejutkan oleh berita kontroversi tentangnya. Bermula pada 12 Februari 2010, Kompas menurunkan berita tentang rencana Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHI2M) untuk menggelar seminar nasional mengenai RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Tujuan penyelenggaraan seminar nasional adalah dalam rangka mencari masukan dari berbagai pihak terkait beberapa pasal yang dianggap kontroversial yang diatur dalam RUU. Pasal-pasal yang dimaksud terkait dengan pemidanaan, sebagaimana disarikan pada tabel di berikut ini (tabel 1). Adanya dua pandangan di atas menunjukkan bahwa kehadiran peraturan perundangundangan yang berbasis agama tetap akan menimbulkan persoalan, baik pada ranah akademis maupun politik; bahkan, akan semakin kompleks di ranah sosiologis. Sebab, kondisi internal umat Islam yang majemuk akan pula 34 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Memperhatikan tabel di atas, RUU memberikan ancaman pidana kurungan berkisar antara 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai Rp 6 juta hingga Rp 12 juta bagi pelaku perkawinan tidak dicatat, perkawinan mutah, perkawinan poligami tanpa izin dan perceraian yang tanpa dilakukan di muka pengadilan, melakukan perzinahan sehingga hamil dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah padahal sebetulnya tidak berhak. Adanya ketentuan pidana dalam hukum perkawinan Islam sebenarnya bukan khas RUU Hukum M at eriil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Sebelumnya ada UU No. 2 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Pasal 3 UU ini menyebutkan: (1) Barangsiapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) Pasal 1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyakbanyaknya R 50,- (lima puluh rupiah); (2) Barangsiapa yang menjalankan pekerjaan tersebut pada ayat (2) Pasal 1 dengan tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya R 100,- (serat us rupiah). Ket ent uan UU ini kemudian diperkuat kembali dalam bentuk PP No. 9 Tahun 1975. Lebih dari itu, menurut Nasaruddin Umar, Direktur Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama RI, penetapan pidana bagi pelanggar hukum perkawinan Islam juga diterapkan di beberapa negara Islam dan bahkan di beberapa negara mayoritas non-muslim.5 Namun, kehadiran pasal-pasal pidana dengan kuantifikasi seperti di atas, tak pelak tetap membuat masyarakat terkejut dan sebagiannya menyatakan protes keras, kendati ada juga yang mendukung. Mereka tidak habis pikir mengapa perkawinan yang menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dikatakan sebagai ibadah itu dapat dipidanakan. Untuk itu, penting kiranya kita mengetahui bagaimana tanggapan masyarakat t erkait masalah di atas, terutama yang tersebar di media massa. Beberapa tanggapan itu telah dirangkumkan dalam tabel berikut (tabel 2). LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 35 36 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Berbagai tanggapan di atas hanya sebagian kecil informasi yang dapat terdokumentasikan. Informasi dari daerah belum tersajikan secara baik. Namun demikian, informasi yang terbatas it u kita harapkan dapat mewakili “kegelisahan” masyarakat di semua lapisan. Dari berbagai kutipan di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik. Pertama, masyarakat cenderung menyamakan pengertian perkawinan tidak dicatat dalam RUU dengan apa yang kerap disebut sebagai kawin sirri. Kedua, masih ada dualisme di masyarakat terkait perkawinan sah menurut agama dan menurut negara. Ketiga, perkawinan hendaknya tetap menjadi bagian hukum privat sehingga tidak diperlukan pemidanaan. Keempat, pencantuman LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 37 pidana dalam RUU sudah benar dalam rangka pencegahan tetapi dalam penerapannya perlu dilihat kasus per kasus. Kelima, diperlukan kehati-hatian dalam penerapan pidana perkawinan sebab dikhawatirkan akan berdampak lebih negatif. Penyamaan pengertian antara kawin tidak dicatat dan kawin sirri menyebabkan judul-judul berita di media massa pun cenderung menggunakan istilah kawin sirri daripada kawin tidak dicatat. Bahkan, RUU yang semestinya ditulis RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan pun akhirnya disimplif ikasikan menjadi RUU Kawin Sirri. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman pemerintah dan masyarakat terkait apa yang diatur dalam RUU tidaklah sama. Pemahaman yang tidak sama tersebut berpotensi memicu resistensi. Oleh sebab itu, berikut disajikan pandangan Neng Djubaidah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, terkait kedua istilah tersebut. Neng berpendapat, pengertian “perkawinan tidak dicatat” berbeda dengan “perkawinan sirri”. Perkawinan tidak dicatat adalah: Perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat sesuai dengan hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan atau belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA Kecamatan) sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Instansi Pelaksana di wilayah Kecamatan setempat, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Neng menegaskan, istilah “tidak dicatat” tidak sama dengan istilah “tidak dicatatkan”. Kedua istilah tersebut mengandung makna yang berbeda. Pada istilah perkawinan tidak dicatat bermakna bahwa perkawinan itu tidak mengandung unsur “disengaja” yang mengiringi niat seseorang untuk tidak mencatatkan perkawinannya. Adapun istilah perkawinan tidak dicatatkan terkandung niat buruk dari suami khususnya yang bermaksud perkawinannya memang “disengaja” tidak dicatatkan. Dengan demikian, perkawinan t idak dicatat terkait dengan tidak dicatatnya peristiwa perkawinan oleh Pejabat Pencatat Nikah (PPN), sedangkan untuk perkawinannya sendiri telah memenuhi ketentuan syariat Islam, termasuk 38 diketahui orang banyak. Sedangkan kawin sirri atau “kawin diam- diam” memang sebuah bentuk perkawinan yang disengajakan untuk tidak diketahui banyak orang dan memang tidak ada niatan baik untuk dicatatkan.6 Kendati akibat hukumnya hampir sama, namun peristiwa hukumnya berbeda. Pendapat ini kiranya dapat menjadi jawaban atas kesimpangsiuran penggunaan istilah kawin sirri yang berkembang di masyarakat dan media massa. Kesimpangsiuran itulah yang menyebabkan penyederhanaan label RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan menjadi RUU Nikah Sirri. Selanjut nya, Neng membandingkan antara perkawinan yang sah menurut hukum Islam tetapi tidak dicatat dengan perbuatan zina. Menurutnya, perbuatan zina yang sangat jelas dilarang dalam hukum Islam, maka hukuman yang diberikan terhadap pelaku zina di Indonesia, termasuk umat Islam, adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 284 KUHP, yaitu berupa hukuman penjara paling lama 9 bulan. Ketentuan hukuman itu dapat diterapkan apabila salah seorang pelaku zina atau kedua pelaku zina dalam kondisi sedang terikat perkawinan dengan orang lain, dan jenis deliknya pun berupa delik aduan. Jika dibandingkan dengan ketentuan perkawinan yang sah sesuai hukum Islam, tetapi belum atau tidak dicatat, yang diancam penjara 6 bulan atau hukuman denda Rp 6 juta, maka perbandingan hukuman antara pelaku zina dengan pelaku perkawinan sesuai hukum Islam tersebut adalah 9 bulan berbanding 6 bulan. Melihat hal tersebut, ternyata perkawinan sesuai hukum Islam dianggap serupa dengan zina, itupun jika salah seorang atau kedua pelaku zina masih terikat perkawinan dengan orang lain. Jika zina dilakukan oleh orang-orang yang tidak terikat perkawinan, sama-sama dewasa, sama-sama suka, maka tampak perzinaan yang merupakan perbuatan haram menurut hukum Islam itu lebih dilindungi dalam perat uran perundang- undangan di Indonesia dibandingkan perkawinan yang sah menurut hukum Islam, tetapi belum atau tidak dicatat.7 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Perspektif yang sama dikemukakan pula oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Mereka berpendapat, Pasal 147 RUU memang bisa me­nimbulkan kontroversi, sebab sanksi pelaku perkawinan tidak dicatat tetapi mungkin telah memenuhi unsur keabsahan menurut hukum Islam dipidana lebih berat daripada pelaku perzinaan. Pada Pasal 143 disebutkan bahwa pelaku yang melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah akan didenda paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling lama enam bulan, sedangkan Pasal 147 menyebutkan bahwa barang siapa yang menghamili perempuan yang belum nikah dan menolak mengawininya akan dipidana paling lama 3 (tiga) bulan penjara. Menurut HTI, ini pasal yang sangat aneh dan berpotensi memantik reaksi keras dari masyarakat agama. Bagaimana mungkin perilaku yang jelas-jelas menunjukkan sikap yang tidak bertanggung jawab terhadap seseorang yang telah dihamilinya mendapat ganjaran hukuman lebih ringan daripada pelaku kawin tidak tercatat dan/ atau kawin mutah. Manakah di antara keduanya yang secara moral dapat dikatakan lebih bermoral? Dapat dibayangkan bila pencuri “kehormatan” perempuan hanya mendapatkan hukuman setimpal dengan seorang “pencuri ayam”. Padahal, sebaliknya pada pasal 146 ditegaskan bahwa pelaku poligami tanpa izin pengadilan dan mereka yang menceraikan istri tidak di depan pengadilan akan didenda paling banyak Rp 6 juta atau hukuman 6 (enam) bulan penjara. Mencermati pasal-pasal tersebut bisa muncul selorohan “akan lebih aman jajan di lokalisasi daripada harus kawin tidak tercatat, poligami ataupun mutah”. Dengan kata lain, menurut suara masyarakat, alih-alih untuk melindungi perempuan dari budaya kekerasan patriarkhi, tetapi justru sebaliknya berpotensi lebih banyak merugikan perempuan itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, diperkirakan pembahasan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan di DPR akan berjalan cukup alot dan di luar parlemen sendiri pun bisa jadi mendapat resistensi dari masyarakat. Antisipasi kondisi ini tentu harus diperhatikan oleh pemerintah dan DPR. Diperlukan sikap yang hati-hati dari keduanya agar masyarakat tidak terbelah dan sedapat mungkin menghindarkan dead-lock dalam proses pembahasannya. Mengubah pemahaman dan tradisi keagamaan yang sudah berjalan bertahun-tahun tentu tidaklah mudah. Apalagi, berdasarkan penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2010, ditemukan fakta bahwa perkawinan tidak dicatat bukan khas umat Islam. Namun, terjadi pula di berbagai komunitas agama yang lain, di antaranya Kristen dan Katolik di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Khonghucu di Provinsi Kalimantan Barat. ...diperkirakan pembahasan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan di DPR akan berjalan cukup alot dan di luar parlemen sendiri pun bisa jadi mendapat resistensi dari masyarakat. Penelitian mengungkapkan, bahwa selain fakt or keagamaan, penyebab munculnya fenomena perkawinan tidak dicatat antara lain faktor geografis yang bergunung-gunung dan jauh dari pusat pemerintahan kecamatan atau kabupat en/ kota, karena biaya pencatatan perkawinan dianggap mahal, politik sebagaimana yang dialami oleh umat Khonghucu, dan budaya. Di kalangan etnis tertentu misalnya, perkawinan melalui seorang ulama (kiai) dianggap lebih utama (afdhal) dibandingkan melalui Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan. Pencatatan perkawinan kemudian cenderung diabaikan, karena dianggap hanya masalah administrasi kenegaraan saja, tidak terkait sah atau tidak perkawinan menurut ajaran agama. Sedangkan terkait kawin mutah atau kawin kont rak, Rahima, sebuah LSM yang bergerak dalam bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga,memiliki catatan sendiri. Rahima mencatat bahwa kawin kontrak sebenarnya tidak LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 39 cukup populer di Indonesia, namun di beberapa daerah di Indonesia banyak terjadi, seperti di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Sekitar bulan JuniAgustus, atau penduduk setempat menyebutnya “pada musim Arab”, banyak turis Timur Tengah datang berlibur. Mereka kawin kontrak dengan perempuan setempat atau daerah sekitarnya, seperti Cianjur dan Sukabumi. Belum ada data yang pasti berapa jumlah peristiwa kawin kontrak di tahun 2010 atau tahun-tahun sebelumnya di daerah tersebut, dan juga kapan “kebiasaan” itu dimulai. dari bisnis ini di kota yang memiliki sekitar 3.500 perusahaan furniture besar dan 15.000 perusahaan ukir rumahan. Selama tinggal, para pebisnis kerap kawin kontrak. Dan, tak sedikit pula yang memilih hidup bersama tanpa akad perkawinan. Praktik kawin kontrak di Cisarua tidak rumit . Bagi yang berpengalam an, dapat langsung menemui pihak perempuan untuk dijadikan isteri kontrak. Bila tidak mau langsung, si turis bisa menghubungi orang yang berperan sebagai EO (Event Organizer), yait u yang menyediakan calon mempelai perempuan, tempat, wali, saksi, dan oknum pencatat nikah. Wali nikah bisa siapa saja tidak harus orang tua atau mahram dari perempuan. Si turis tinggal menyediakan mahar dan biaya lain yang disepakati. Besaran mahar bervariasi, tergantung kesepakatan. Mulai dua jutaan hingga puluhan juta rupiah. Besaran ini berkorelasi dengan lamanya masa pernikahan yang bervariasi pula. Ada yang dua atau beberapa hari saja, ada pula yang hingga berbulan-bulan. Analisis Rahima, banyak faktor pemicu praktik kawin kontrak, di antaranya: Pertama, pengetahuan agam a yang kurang, yang membentuk penilaian bahwa kawin kontrak itu sah dan lebih baik daripada berbuat zina. Padahal, bilapun di masa lalu pernah diperbolehkan oleh Muhammad Saw, itu pun hanya bagi para sahabat Nabi Saw yang pergi jauh unt uk berperang, di mana t idak ada alat transportasi atau teknologi modern yang dapat dengan segera menghubungkan mereka pada keluarga (isteri). Kedua, pendidikan, lapangan kerja yang sempit, dan ekonomi. Rendahnya akses pendidikan, minimnya lapangan kerja yang disediakan negara, dan kemiskinan perempuan membuat kawin kontrak jadi jalan pintas. Sedang bagi para EO, Dollar dan Real sangat menggiurkan sekalipun mereka sebetulnya berkecukupan. Ketiga, budaya patriarki, yang melihat perempuan sebagai aset yang bisa diperjualbelikan untuk menyejahterakan keluarga; serta mindset masyarakat yang masih melihat tinggi rendah manusia berdasarkan keturunan, warna kulit, jabatan, harta ataupun jenis kelamin. Musim Arab memang masa panen bagi pelaku kawin kontrak. Bagi para pengelola, ini kesempatan meraup Real untuk pundi-pundi pribadi hanya dengan kerja singkat dan ringan. Misalnya Andi dan Marwan (nama samaran), EO dan oknum pencatat nikah, telah bertahuntahun menekuni bisnis nikah kontrak ini. Untuk satu pernikahan yang ditangani, keduanya bisa mengantongi separuh dari mahar yang jumlahnya mencapai 10 hingga 20 juta rupiah. Sungguh nilai yang yang secuilpun tidak sebanding dengan segenap jiwa-raga yang dipertaruhkan perempuan yang terlibat dalam kawin kontrak. Siapa yang paling dirugikan? Dalam kasus kawin kontrak perempuanlah yang paling dirugikan. Real atau Dollar yang didapat tidak sebanding dengan risiko yang diterima, seperti akan hilangnya harkat kemanusiaan akibat sekadar jadi pelampiasan nafsu; infeksi manual seksual (IMS) akibat berganti-ganti pasangan; tidak adanya hak nafkah secara wajar; bila hamil, diri dan janin atau anak terlantar hak-haknya; jika terjadi kekerasan f isik, psikis, seksual, ekonomi, atau lainnya, tidak ada kekuatan hukum bagi perempuan untuk melapor ke pihak yang berwajib. Lain Cisarua, lain pula Jepara, Jawa Tengah. Di kota ukir ini kawin kontrak berbanding lurus dengan pesatnya pertumbuhan industri furniture. Para lelaki asal Amerika Serikat, Eropa, Australia, dan Negara Asia seperti Korea Selatan dan Jepang, berdatangan berburu peruntungan Selama ini negara menjadikan UU No. 1 Tahun 1974 t entang Perkawinan sebagai pedoman. Menurut UU tersebut, kawin kontrak tidak sah. Namun, tidak diatur sanksi bagi yang melanggar. Dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan diatur tentang 40 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 pidananya, tetapi sayangnya menurut Rahima, hanya pasangan kawin yang dijerat pidana. Padahal praktiknya sudah tersistem rapi; ada banyak pemain seperti EO, saksi, wali, dan oknum pencatat dari KUA kecamatan setempat. Juga ada orang tua atau anggota keluarga yang kadang turut memaksa anak perempuannya kawin kontrak. Rahima berpendapat, mestinya ada hukum yang adil bagi mereka. Sebab, perempuan semata hanya korban sistem, dimiskinkan ekonomi dan pengetahuannya, dan dijerat budaya patriarki.8 Fenomena kawin kontrak, atau pihak Majelis Ulama Indonesia, menyebutnya dengan istilah “kawin wisata” yang terjadi di kawasan Cisarua itu diperkuat hasil penelitian Suhanah, peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan, yang pada tahun 2010 pernah melakukan penelitian khusus tentang hal itu. Namun demikian, para pihak yang terlibat dalam praktik kawin kontrak kebanyakan bukan berasal dari penduduk lokal tetapi pendatang. Beberapa pelaku yang sempat diwawancarai mengaku berasal dari Indramayu dan Sukabumi. Terhadap praktik “kawin wisata” ini pihak MUI mengharamkannya. Adanya sikap pro dan kontra di atas tentu harus diperhatikan oleh pemerintah dan DPR. Namun, sepanjang pengamatan Puslitbang Kehidupan Keagamaan terhadap beberapa berita di media massa, terlepas sikap pro dan kontra RUU di atas, hiruk pikuk yang terjadi ternyata memberikan dampak positif bagi upaya pengurangan pasangan kawin tidak dicatat dan kawin sirri. Langkah yang dilakukan adalah dengan mendata pasangan yang t erlibat perkawinan tidak dicatat dan kawin sirri. Di Pasuruan misalnya, Koran Tempo (14/ 5/ 2010) memberitakan, bahwa berdasarkan pendataan Islamic Center for Democracy Human Rights and Empowerment, jumlah pasangan perkawinan tidak dicatat dan kawin sirri di Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur, mencapai 4000 pasangan. Sedangkan di Kabupaten Bekasi menurut Kepala Badan Kependudukan dan Pencatatan Sipil, masih dalam proses pendataan oleh aparat kecamatan di 23 kecamatan yang ada di kabupaten (Koran Tempo, 29/5/2010). Selain itu, di Kabupaten Kuningan, Pikiran Rakyat (1/3/2010) memberitakan bahwa ratusan pasangan nikah sirri yang tersebar di wilayah Kabupaten Kuningan meminta untuk menikah ulang di hadapan pet ugas KUA. M ereka mengaku resah setelah adanya rencana pemerintah melarang pernikahan sirri, khawatir bakal dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. B. RUU Jaminan Produk Halal Penduduk Indonesia mayoritas memeluk agama Islam. Dalam Islam, setiap pribadi muslim diperintahkan unt uk untuk mengonsumsi makanan yang halal serta menjauhi makanan yang haram. Survei Kementerian Agama RI tentang kepedulian konsumen muslim terhadap produk halal yang digelar dalam International Halal Business and Food Expo (IHBF) di Assembly Hall Jakarta Convention Center (23-25/7/2010) menemukan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat tentang halal (halal awareness) saat ini cukup tinggi. Sekitar 75% menyatakan bahwa tanda (label) halal menjadi rujukan dalam memilih dan mengonsumsi produk pangan. Namun dalam memilih produk kosmetik dan obat-obatan, hanya 40% ... Sekitar 75% menyatakan bahwa tanda (label) halal menjadi rujukan dalam memilih dan mengonsumsi produk pangan. Namun dalam memilih produk kosmetik dan obat-obatan, hanya 40% yang konsisten menjadikan tanda halal sebagai rujukan utama. Sisanya menjadikan kualitas, merk, dan harga sebagai preferensi utama. Dengan alasan belum banyaknya pilihan produk kosmet ika dan obat-obatan yang bersertifikat halal di Indonesia. Pemenuhan atas kewajiban ini merupakan bagian dari hak LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 41 beragama. Artinya, sebagai warga negara, pemerintah berkewajiban untuk menjamin agar makanan yang dikonsumsi umat Islam dijamin kehalalannya. Sayangnya, survei yang di luar koordinasi Puslitbang Kehidupan Keagamaan itu, dilakukan di lokasi pameran makanan halal, yang tentu saja pengunjungnya adalah mereka yang peduli dengan produk halal, atau minimal tengah berupaya mengetahui produk halal. Lalu, bagaimana dengan konsumen umum di wilayah lain di Indonesia? Beberapa tahun silam, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) pernah mengadakan jajak pendapat mengenai kepedulian konsumen terhadap halal dan haramnya produk yang mereka konsumsi atau gunakan, dengan hasil sebagai berikut (tabel 3): Berdasarkan tabel di atas, terungkap bahwa apresiasi mereka terhadap produk halal terbilang cukup tinggi (77%), namun ironisnya mereka kebanyakan tidak memperhatikan label halal dalam memilih produk (48%). Sedangkan survei LPPOM-MUI pada 2010, kepedulian masyarakat terhadap kehalalan produk meningkat menjadi 92,2%. Namun demikian, sebagaimana dilihat dari data di atas, ternyata mereka raguragu dan tidak yakin kebenaran pencantuman label halal, yang bila diakumulasikan mencapai 90%. Artinya, keyakinan konsumen muslim terhadap pencantuman label halal pada produk dalam posisi “mengambang”, penuh ketidakpastian. 42 Dalam rangka memenuhi keinginan konsumen muslim terhadap produk halal, pihak LPPOM-MUI terus melakukan kegiatan sertifikasi halal. Menurut Lukmanul Hakim, Direkt ur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI (LPPOM-MUI), permintaan sertifikasi halal oleh produsen untuk produk mereka bergerak naik secara signifikan. Jumlah nama produk yang didaftarkan untuk disertifikasi halal mengalami kenaikan. Pada 2010, misalnya, terdapat 21.837 nama produk. Ini lebih tinggi dibandingkan pada 2009 yang hanya mencapai 10.550. Pada 2008 jumlahnya mencapai 10.242 produk yang lebih banyak daripada 2007, yaitu 8.636 nama produk. Namun, jumlah itu lebih sedikit dibandingkan pada 2006 yang sebanyak 12.533 nama produk dan mengalami kenaikan yang cukup banyak dibandingkan pada tahun 2005 yang cuma 2.048. Dalam kurun waktu 5 tahun, yaitu dari pertengahan tahun 2005 hingga 2010, LPPOM-MUI telah mensertif ikasi 75.514 nama produk, baik nasional maupun impor. Meningkatnya nama produk yang disertifikasi seiring dengan melonjaknya kepedulian masyarakat terhadap produk halal. (tabel 4). LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Namun, mengapa masih ada kegamangan konsumen muslim terhadap pencantuman label halal? Beberapa kalangan, di antaranya LPPOMMUI, mengatakan bahwa penyebabnya adalah regulasi seputar produk dan makanan halal yang ada di Indonesia sementara ini masih bersifat “himbauan” bukan “mewajibkan”. Pendapat ini tampaknya disepakati pemerintah. Maka, untuk mengakomodasi kebutuhan konsumen muslim dalam urusan kehalalan produk dan makanan, pemerintah mengajukan RUU Jaminan Produk Halal kepada DPR. Berdasarkan informasi dari Muchtar Ali, Kepala Sub Direktorat Pembinaan Produk Halal Kementerian Agama, pada saat ini posisi RUU ada di DPR dan telah menjadi hak inisiatif lembaga legislatif tersebut. Pokok-pokok ketentuan baru apa yang diatur dalam RUU Jaminan Produk Halal? Pembacaan terhadap RUU memperlihatkan bahwa paradigma regulasi kehalalan produk oleh Pemerintah tengah diubah dari yang sifatnya voluntary (sukarela) menjadi mandatory (kewajiban). Regulasi yang selama ini ada memang asasnya sukarela. Artinya, produk halal yang tidak ada label halalnya, tidak dipandang sebagau pelanggaran hukum. Seperti dalam PP No. 69 Tahun 1999 yang mengatur labelisasi halal, dibedakan antara barang yang diproduksi di dalam negeri dan barang impor. Untuk produk dalam negeri, label halal sifatnya sukarela, sedangkan untuk barang impor yang memang halal bagi umat Islam, wajib mencantumkan label halal. Tetapi dalam RUU ini diubah seluruhnya menjadi mandatory, tanpa membedakan produk dalam negeri maupun impor. Artinya, sebuah produk halal, jika tidak diberi label halal, maka proses tersebut dianggap tidak halal. Berangkat dari paradigma mandatory inilah RUU mengintroduksi sanksi administrasi dan tindak pidana bagi para pelanggar. Pada Pasal 62 ayat (1) disebutkan ancamannya lima tahun penjara atau denda paling banyak dua miliar rupiah. RUU yang jika kelak disahkan oleh DPR dan akan menjadi regulasi ini, sayangnya masih terus menjadi bahan polemik. Ada beberapa pihak yang merasa keberatan dengan RUU tersebut, seperti Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan beberapa LSM. Sebab, menurut mereka, apabila nanti diundangkan, RUU tersebut akan menghasilkan sentralisasi proses sertifikasi, atau juga akan membuat high cost produksi akibat mahalnya upaya sertifikasi. Selain keberatan di atas, polemik seputar RUU terjadi pula antara Pemerintah (Kementerian Agama) dan MUI. Polemik seputar tarik-ulur antara siapa yang lebih berhak memberi sertif ikasi, apakah Pemerintah seperti yang tertuang dalam RUU, atau pihak MUI yang selama ini telah diamanatkan mengemban tugas ini, atau pihak-pihak lain.9 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 43 Diharapkan polemik itu tidak berkepanjangan. Sebab, konsumen Muslim menginginkan produk yang mereka konsumsi tak hanya baik, tetapi juga sesuai tuntunan agama. Tidak hanya pangan, tetapi juga obat-obatan dan produk lainnya. Kata kuncinya adalah melindungi konsumen. Artinya, melindungi masyarakat atau konsumen Indonesia agar tidak mengonsumsi produk yang tidak halal. C. RUU Pengelolaan Zakat Dengan jumlah penganut Islam terbesar di dunia, berapa sesungguhnya potensi zakat di Indonesia? Mengutip hasil kajian Bank Pembangunan Asia (ADB), Didin Hafidhuddin, Ketua Umum BAZNAS mengatakan bahwa potensi zakat di Indonesia dapat mencapai Rp 100 triliun per tahun jika dikelola dengan profesional. Namun, berdasarkan data BAZNAS, pada 2009 baru terkumpul sekitar Rp 1,2 triliun dengan target pada 2010 terkumpul Rp 1,5 triliun.10 Lalu, bagaimana caranya agar potensi ini dapat tergali sehingga fungsi zakat sebagai media pengentasan kemiskinan dapat terwujud. Jalan yang ditempuh pemerintah adalah dengan menyusun RUU Pengelolaan Zakat untuk menggantikan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Mengapa diperlukan RUU Pengelolaan Zakat? Menurut Yusuf Wibisono, di bawah rezim UU No. 38 Tahun 1999, dunai zakat nasional berjalan tanpa tata kelola yang memadai. Ribuan OPZ (Organisasi Pengelola Zakat), baik bentukan pemerintah (BAZ) maupun masyarakat (LAZ), muncul tanpa mendapat regulasi dan pengawasan yang mamadai. Hal ini secara jelas rawan memunculkan penyimpangan dana zakat masyarakat oleh pengelola yang tidak amanah. Kebangkitan dunia zakat nasional di tangan masyarakat sipil era 1990-an, yang t elah mentransformasikan zakat dari ranah amalsosial- individual ke ranah ekonomi-pembangunan keumatan, terancam tergerus oleh “penumpang-penumpang gelap” di dunia zakat. Perkembangan dunia zakat nasional juga berjalan lam bat karena t idak ada upaya koordinasi dan sinergi antar OPZ yang berjalan 44 dengan agenda masing- masing. Hasilnya, kinerja dunia zakat nasional, khususnya dalam pengentasan masyarakat dari kemiskinan terasa jauh dari optimal. Memang perlu diakui menurut Wibisono, bahwa di bawah rezim UU No. 38 Tahun 1999 pula jumlah OPZ melonjak sangat pesat. Hal ini secara jelas mengindikasikan inefisiensi dunai zakat nasional dalam kaitan dengan penghimpunan dana zakat yang relatif masih kecil. Hingga kini setidaknya terdapat BAZNAS dan 18 LAZ nasional, 33 BAZ provinsi, dan 429 BAZ kabupaten/ kota, belum termasuk 4771 BAZ kecamatan, ribuan LAZ provinsi-kabupaten/kota, dan puluhan amil tradisional berbasis masjid dan pesantren. Pengelolaan zakat nazional menjadi tidak efisien, karena mayoritas OPZ beroperasi pada skala usaha yang terlalu kecil. Dampak zakat pun menjadi minimal.11 Banyaknya lembaga pengelola zakat ternyata tidak diimbagi dengan transparansi. M enurut Didin Haf iduddin, Ket ua Umum BAZNAS, saat ini terdapat sekitar 100 lembaga pengelola zakat di Indonesia. Sayangnya, baru 19 lembaga yang melakukan audit independen dan melaporkannya kepada publik secara rutin. 19 lembaga itu merupakan lembaga zakat tingkat nasional, sedangkan sisanya, tidak jelas apakah melakukan audit atau tidak.12 Berangkat dari realitas di atas, maka tidaklah aneh bila berbagai wacana muncul dalam RUU Pengelolaan Zakat untuk mendorong kinerja dunia zakat nasional, antara lain zakat sebagai pengurang zakat penghasilan (tax credit) dan sanksi bagi muzakki yang lalai.13 Zakat sebagai tax credit diyakini akan menjadi insentif yang memadai bagi muzakki dalam menunaikan kewajibannya. Namun menurut Wibisono, wacana ini, jika terealisasi, akan memberikan dampak signif ikan bagi penerimaan pajak, berpotensi disalahgunakan, dan bermasalah secara yuridis karena ketentuan soal pajak semestinya diatur dalam UU Perpajakan. Karena itu, diperkirakan wacana ini sulit diterima dan diimplementasikan oleh otoritas pajak. Sedangkan wacana sanksi bagi muzakki cenderung tidak produktif karena secara politis akan mendapat LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 stigma negatif dan secara ekonomi diyakini tidak akan efektif pelaksanaannya.14 Pendapat di atas dit olak oleh Didin Hafiduddin, Ketua Umum BAZNAS. Sebaliknya, Didin mendesak agar Pemerintah dan DPR mendukung zakat sebagai pengurang langsung pajak. Hal ini pent ing unt uk memotivasi masyarakat dalam membayar zakatnya. Ia pun berharap, Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan bersedia bekerjasama mewujudkan zakat sebagai pengurang pajak langsung di lapangan. Pemerintah juga tidak perlu khawatir pajak yang dibayar masyarakat berkurang karena zakat sebagai pengurang zakat langsung. Didin beralasan, berdasarkan pengalaman di negara lain yang menerapkan kebijakan semacam itu, justru pendapatan pajak mereka meningkat, seperti di Malaysia dan Arab Saudi. Namun demikian, Didin cenderung mengusulkan agar RUU Pengelolaan Zakat tidak memasukkan pasal sanksi pidana. Lebih sanksi administratif saja atau bisa juga, pembayaran zakat menjadi salah satu syarat dalam mendapatkan sejumlah fasilitas publik. Misalnya, seseorang baru bisa mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM) kalau membawa bukti telah membayar zakat.15 Wacana yang lebih menarik dan progresif untuk meningkatkan kinerja dunia zakat nasional adalah mendorong kemitraan Pemerintah dan OPZ untuk akselerasi pengentasan masyarakat dari kemiskinan. UU Pengelolaan Zakat harus mengamanatkan bahwa Pemerintah akan secara aktif mengikutsertakan OPZ dalam program penanggulangan kemiskinan. Kemitraan pemerintah-OPZ dalam program penanggulangan program kemiskinan dapat berupa pemberian hibah (block grant) atau kontrak penyediaan jasa sosial (specific grant), dengan Pemerintah menetapkan kriteria dan persyaratan (eligibility criteria) bagi OPZ penerima dana program penanggulangan kemiskinan seperti transparansi finansial, efektivitas pendayagunaan dana, dan kesesuaian dengan prioritas nasional/ daerah. Terdapat keuntungan bagi pemerintah bila melakukan pola pendayagunaan dana pengentasan masyarakat miskin melalui kemitraan dengan OPZ seperti ini. Pertama, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas program pengentasan masyarakat miskin. Kedua, menurunkan tingkat penyalahgunaan dana pengentasan masyarakat miskin dan meningkatkan efektivitas. Ketiga, memperkenalkan iklim persaingan di dalam birokrasi pengelolaan dana pengentasan masyarakat miskin.16 ...RUU Pengelolaan Zakat menjadi penting mengingat potensi dananya yang besar dan perannya yang strategis dalam pengentasan masyarakat miskin... Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa RUU Pengelolaan Zakat menjadi penting mengingat potensi dananya yang besar dan perannya yang strategis dalam pengentasan masyarakat miskin dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks masyarakat madani Indonesia yang demokratis, RUU akan mengukuhkan peran negara dalam memberikan perlindungan bagi warga negara yang menjadi pembayar zakat (muzakki), menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat, memfasilitas sektor amal untuk perubahan sosial, dan memberi insentif bagi perkembangan sektor amal. D. Penyelenggaraan Ibadah Haji 1431 H Salah sat u program priorit as pembangunan bidang agama dari Kementerian Agama RI adalah penyelenggaraan ibadat haji. Lebih dari sekadar prioritas, program ini kerapkali diposisikan sebagai salah satu indikator kunci keberhasilan kinerja Kementerian Agama RI. Posisi ini sebenarnya tidak adil bagi Kementerian Agama RI. Sebab, penyelenggaraan ibadat haji hanya dilakukan pada saat dan waktu tertentu. Sehingga, tidak relevan tampaknya apabila sebuah program yang dilakukan satu waktu itu menjadi ukuran keberhasilan kinerja LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 45 Kementerian Agama RI, yang sesungguhnya mempunyai program-program lain yang tidak kalah pentingnya. Namun demikian, dengan menggunakan sudut pandang berbeda, penilaian di muka tidak dapat pula sepenuhnya disalahkan. Bahkan, dapat pula disikapi sebagai sebuah harapan besar dari masyarakat agar penyelenggaraan ibadat haji dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang signifikan. Sehingga, masyarakat dapat menunaikan ibadat haji secara nyaman, dan aman. Harapan itu sesungguhnya tidak terlalu berlebihan. Sebab, penyelenggaraan ibadat haji yang dilakukan oleh Indonesia sudah berumur sangat lama, sudah dimulai sebelum Indonesia merdeka. Berkaitan dengan penyelenggaraan ibadat haji ini, memang perlu diakui tidak selalu berjalan mulus. Selalu saja ada permasalahan dalam setiap penyelenggaraan ibadat haji, baik yang dilakukan sebelum maupun sesudah Indonesia merdeka. Pada kurun waktu yang cukup lama juga selalu dilakukan evaluasi dan perbaikan agar penyelenggaran ibadat haji berjalan dengan baik. Pada era kemerdekaan, dalam rangka mendukung agar penyelenggaraan ibadat haji berjalan dengan baik, telah dilakukan langkah-langkah strategis oleh Kementerian Agama RI. Pada kurun waktu 2004-2009, langkahlangkah strategis yang telah dilakukan Kementerian Agama RI atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) guna mendukung peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadat haji di Indonesia di antaranya adalah: Pertama, menyempurnakan regulasi perhajian dengan mengamandemen UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadat Haji. Hasilnya adalah UU No. UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadat Haji. Namun ternyata, ada beberapa bagian dari peraturan perundangundangan tersebut yang dianggap perlu disempurnakan kembali sehingga disusunlah UU No. 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Ibadat Haji jo. UU No. 34 Tahun 2009. Kedua, pendaftaran dengan prinsip first come fir st ser ved. Sist em ini t elah dapat membe­rikan kepastian keberangkatan pada 46 calon jamaah haji dan t erpenuhinya rasa keadilan. Sebab, semakin tinggi minat masyarakat dan adanya ketentuan sistem kuota haji, semakin memperpanjang daftar tunggu (waiting list). Untuk terlaksananya prinsip first come first served, salah satu kegiatannya ialah pengembangan Sistem Komputerisasi Haji (SISKOHAT) yang dilakukan sejak tahun 2004 M. Sistem ini dapat melindungi jamaah dengan menghilangkan praktik percaloan jual beli kuota oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Ketiga, mengubah struktur komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadat Haji (BPIH) menjadi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Dengan sistem ini, jamaah haji hanya membayar komponen biaya langsung, sedangkan komponen biaya tidak langsung di­bebankan pada APBN dan hasil atau manfaat dari dana setoran awal jamaah haji. Laporan BPIH disusun tepat waktu dan neraca keuangannya disampaikan kepada masyarakat luas melalui media massa nasional. Selain itu dana setoran awal Biaya Perjalanan Ibadat Haji (BPIH) dapat dimanfaatkan untuk mendukung penyelenggaraan ibadat haji. Keempat, memberikan peran yang besar kepada masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam penyelenggaraan ibadat haji, terutama dalam pembinaan calon jamaah haji. Peran tinggi masyarakat itu direpresentasikan melalui tumbuh kembangnya Penyelenggara Ibadat Haji Khusus (PIHK), Kelompok Bimbingan Ibadat Haji (KBIH), dan Penyelenggara Perjalanan Ibadat Umrah (PPIU) secara cepat. Dengan tumbuh kembangnya lem baga- lembaga t ersebut diharapkan terjadi peningkatan pelayanan bagi calon jamaah haji dan calon jamaah umrah. Kelima, meningkatkan bimbingan jamaah ibadat haji melalui penambahan frekuensi bimbingan dari yang semula tiga kali di tingkat Kabupaten/Kota menjadi empat belas kali. Di KUA Kecamatan sebanyak sepuluh kali, empat kali di tingkat Kabupaten/ Kota. Dua kali untuk daerah yang masih memerlukan tambahan bimbingan. Kelima, peningkatan layanan embarkasi dengan menambah dua embarkasi baru, yaitu: embarkasi Palembang dan Padang, serta satu embarkasi transit di Gorontalo. LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Peningkatan layanan embarkasi juga dilakukan dalam bentuk peningkatan kualitas pelayanan katering, akomodasi, dokumen perjalanan, dan dukungan operasional PPIH embarkasi. Keenam, melakukan pembenahan kelembagaan dalam rangka terlaksananya keseimbangan antara beban tugas dan organisasi melalui pembentukan struktur organisasi tersendiri, yaitu Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang semula Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji pada tahun 2006. Di samping itu, dilakukan pula pembinaan kelembagaan di Arab Saudi dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis Satuan Kerja Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, yaitu Kantor Misi Haji Indonesia di Arab Saudi pada tahun 2009. Ketujuh, meningkatkan pelayanan dan melakukan pembenahan di Arab Saudi, antara lain: (1) mengubah sistem pemondokan di Arab Saudi dari sistem subsidi silang menjadi sistem proporsional. Pengubahan ini dapat mendekatkan prinsip keadilan karena jamaah haji membayar pemondokan sesuai dengan yang dihuni; (2) menghapus biaya pelayanan umum (khadamat) kepada Muassasah/ Maktab yang tidak jelas pemanfaatannya; (3) semenjak tahun 2005 telah disediakan katering selama jamaah haji berada di Madinah. Kedelapan, melebur tiga asosiasi penyelenggaraan ibadat haji khusus dalam satu payung, yaitu Asosiasi Mulim Penyelenggara Umrah dan Haji (AMPUH), Asosiasi Muslim Penyelenggara Perjalanan Umrah dan Haji (AMPPUH), dan Serikat Penyelenggara Umrah dan Haji (SEPUH) menjadi Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) pada tahun 2006. Dengan penyatuan ini dapat meningkatkan pelayanan dan nilai tawar Penyelenggara Ibadat Haji Khusus (PIHK) terhadap unit-unit pelayanan di Arab Saudi. Kesembilan, meningkat kan kualit as pet ugas haji melalui rekrut men berbasis kompetensi dan psikotes, serta pelatihan secara intensif unt uk memperoleh pet ugas yang profesional dan dedikatif. Kesepuluh, menghapus fasilitas menunaikan ibadat haji bagi pejabat, tokoh masyarakat, pimpinan organisasi kemasyarakatan, dan unsur lainnya, yang pada dasarnya biaya penyelenggaraan ibadat haji hanya diperuntukkan bagi jamaah haji. Kebelas, berusaha melakukan standarisasi operasional penyelenggaraan ibadat haji untuk seluruh dimensi, baik pembinaan, pelayanan maupun perlindungan. Standarisasi ini kemudian dinilai oleh sebuah perusahaan yang telah diakui oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) untuk memberikan penilaian terhadap pelaksanaan pelayanan publik. Hasilnya, pada bulan Juni 2010, Kementerian Agama RI memperoleh Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001:2008. Dengan didapatkannya sertifikat ISO ini, maka penyelenggaraan ibadat haji yang dilakukan oleh Kementerian Agama RI secara kualitas dianggap memuaskan. Kesimpulan di atas terbukti dalam penelit ian Sur veyor Indonesia. Dalam rangka mengetahui kondisi senyatanya kualitas penyelenggaraan ibadat haji, sebuah lem baga penelitian, Surveyor Indonesia, telah melakukan survei kepuasan terhadap 949 jama­ah haji tahun 1430 H/2009 M. Pada bulan Februari 2009, Surveyor Indonesia mengumumkan hasil penelitiannya. Penelitian ini berusaha mengukur secara statistik tingkat kepuasan jamaah haji terhadap tiga dimensi penyelenggaraan ibadat haji, yaitu pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jamaah haji. Dari hasil analisis temuan penelitian terhadap ketiga dimensi di atas disimpulkan bahwa kepuasan responden terkait pelaksanaan haji tahun 2009 M/1430 H dalam dimensi pembinaan adalah 60%, aspek pelayanan adalah 66%, dan aspek perlindungan adalah 70%. Secara umum kesimpulan dari hasil penelitian ini mendapatkan tingkat Kepuasan Jamaah Haji terhadap penyelenggaraan ibadat haji tahun 2009 M/ 1430 H adalah sebesar 66,81%. Skala hasil perhitungan adalah 1%-20% untuk kategori sangat tidak puas, 21%-40% untuk kategori tidak puas, 41%-60% untuk kategori cukup puas, 61%-100% untuk kategori puas, 81%-100% untuk kategori sangat puas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 47 tingkat kepuasan jamaah haji terhadap kualitas penyelenggaraan ibadat haji tahun 1430 H/2009 secara umum dalam kategori puas. Penelitian juga menempatkan pelayanan transportasi darat di Arab Saudi sebagai parameter yang mendapat skor kepuasan terendah, yaitu sebesar 55%. Sedangkan skor kepuasan tertinggi (>70%) antara lain dicapai oleh parameter kemampuan petugas kloter, fasilitas hotel di Madinah, dan pelayanan kesehatan. Penelitian serupa dilakukan pula oleh Puslit bang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. 48 Penelitian dilakukan terhadap 765 jamaah haji tahun 1430 H/2009 M di enam provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Penelitian berusaha mengukur secara statistik tingkat kepuasan jamaah haji terhadap tiga dimensi penyelenggaraan ibadat haji, yaitu pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jamaah haji. Dari hasil analisis temuan penelitian terhadap ketiga dimensi di atas disimpulkan bahwa proporsi kepuasan responden terkait pelaksanaan haji tahun 2009 M/1430 H dalam dimensi pembinaan adalah 79,56%, dimensi pel ayanan ad alah 78,79%, d an LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 dimensi perlindungan adalah 81,24%. Secara umum kesimpulan dari hasil penelitian ini mendapatkan Indeks Kepuasan Jamaah Haji terhadap penyelenggaraan ibadat haji tahun 2009 M/1430 H dalam skala 100 adalah sebesar 79,84. Skala hasil perhitungan adalah 0%-54% untuk kategori buruk sekali, 55%-64% untuk kat egori buruk, 65%- 79% unt uk kat egori sedang, 80%-89% untuk kategori baik, 90%-100% untuk kategori baik sekali. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat kepuasan jamaah haji terhadap kualitas penye-lenggaraan ibadat haji tahun 1430 H/ 2009 secara umum dalam kategori “cukup/sedang menuju baik”. Namun demikian, penelitian ini berhasil pula mengungkapkan 15 indikator untuk 3 dimensi (pembinaan, pelayanan, perlindungan) yang walaupun kebanyakan dalam ketegori “sedang” tetapi tetap harus diperhatikan karena masih di bawah rata-rata kepuasan secara keseluruhan (lihat tabel 5). Bagaimana dengan 2010? Berkenaan dengan penyelenggaraan ibadat haji tahun 2010, Achmad Djunaidi, salah seorang Pejabat Eselon II di Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah mengatakan dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, bahwa pada sisi manajerial penyelenggaraan haji, tahun ini Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh (Ditjen PHU) telah memperoleh sertifikat ISO 9001-2008. BPIH yang harus dibayar calon jemaah haji tahun 2010 ini turun sebesar 80 dolar AS dan Rp 100.000,00, sementara kualitas pelayanan semakin baik, khususnya dalam penyediaan pemondokan di Makkah dan Madinah yang lebih dekat dengan Masjidil Haram dan Majid Nabawi, sebagaimana tabel di bawah ini (tabel 6 dan tabel 7):17 Menteri Agama berharap tahun depan pondokan jamaah haji yang berada di Ring I meningkat menjadi 80%. Sayangnya, Menteri Agama hanya menyebutkan target kuantitatif bukan kualitatif, sehingga bisa jadi ada yang tetap dengan kualitas yang rendah.18 Artinya, klaim di atas tentu dapat diperdebatkan. Sebab, menurut wawancara wartawan Kompas, Kenedi Nurhan, dengan Zuhair Abdul Hamid Sedayu, Ketua Muassasah Pemandu Haji Asia Tenggara, mengungkapkan rasa iri melihat penanganan jamaah dari beberapa negara Asia Tenggara yang relatif lebih baik dibandingkan Indonesia. Penanganan itu khususnya dalam penyediaan pemondokan selama di Makkah dan Madinah. Lokasi dan fasilitas rumah atau apartemen/ hotel yang disewa Pemerintah Malaysia dan Thailand, misalnya, lebih baik dan lebih dekat dengan Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawai di Madinah dibandingkan yang di t em pat i jam aah haji Indo nesi a. LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 49 Zuhair mengaku tidak bisa berbuat banyak untuk ikut membantu, katakanlah mengecek status rumah sewaan dan fasilitas yang ada sejak dini, mengingat kewenangan sepenuhnya ada pada Pemerintah Indonesia. Zuhair menduga pihak Indonesia kurang sigap dalam mencari atau memesan pemondokan untuk jamaah hajinya. Informasi yang ia dapat kan, Indonesia cenderung mencari pemondokan agak belakangan. Bahkan, pada saat musim haji sudah tiba, masih ada petugas haji yang mencari pemondokan. Berbeda dengan petugas misi haji dari negara-negara lain, yang begitu usai pelaksanaan ibadat haji sudah memesan tempat untuk musim haji tahun berikutnya. Hal serupa dilakukan Pemerintah Maroko, Pakistan, dan India sehingga mereka bisa mendapat pemondokan yang representatif dan relatif dekat dengan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Pemerintah Malaysia malah lebih maju. Penginapan di lokasi-lokasi tertentu sudah mereka ikat dengan sistem sewa tiga hingga empat musim haji ke depan. Didampingi Toyyib bin Abdur Rahim Bukhori selaku Ketua Dewan Pengawas Majelis Pemandu Haji Indonesia, Zuhair juga menyayangkan adanya sejumlah pemondokan yang disewa pet ugas misi haji Indonesia yang sesungguhnya masuk kategori tidak layak ditempati. Setelah dicek petugas dari Muassasah, beberapa pemondokan yang disewa Pemerintah Indonesia itu tidak memiliki izin resmi (tasrih) sesuai aturan di Arab Saudi. Ahmad Zainuddin, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Puslitbang Kehidupan Keagamaan berpendapat bahwa pembinaan merupakan dimensi yang krusial, sebab benar dan salahnya jamaah haji dalam melaksanakan manasik sangat bergantung pada pembinaan. Masalahnya, pada penyelenggaraan ibadat haji tahun 2010, banyak dijumpai pembimbing yang tidak standar. Dia melihat, di Armina banyak pembimbing yang tidak melaksanakan bimbingan secara baik. Oleh sebab itu, katanya, ke depan harus ada upaya dari Kementerian Agama untuk melakukan standarisasi terhadap para pembimbing ibadat haji. 50 Adapun pelayanan meliputi transportasi, pemondokan, dan lain lain-lain. Pengamatan di tanah suci mengungkapkan bahwa transportasi di Ring II sedikit dan sopir hanya terdiri dari 2 orang yang bekerja secara bergantian selama 12 jam/hari. Pemondokan untuk Ring II maksimal 2 km. Itu terhitung dekat apabila diukur dari jarak tembak lurus ke depan tetapi kenyataan di lapangan banyak pondokan yang jalannya masih berliku-liku dan naik turun. Catering ada kasus 3 jamaah calon haji kloter Surabaya memakan makanan basi. Perusahaan catering yang menangani konsumsi ternyata perusahaan yang sama pada tahun lalu. Apabila pada tahun lalu pe­rusahaan tersebut mendapat jatah 15.000 jamaah, pada musim haji 2010 mendapat jatah 30.000 jamaah. Persoalan kesehatan lebih pada tidak adanya balai kesehatan Indonesia di Arab Saudi. Ketidakadaan ini disebabkan kebijakan pemerintah Arab Saudi yang memang tidak mengizinkan balai kesehatan atau rumah sakit selain milik pemerintah berdiri. Pada saat pelaksanaan ibadat haji, Indonesia “ngotot” untuk membuat balai kesehatan. Balai kesehatan ini jelas statusnya ilegal sehingga hanya berfungsi di musim haji saja. Karena keberadaan balai kesehatan ini penting maka Ahmad Zainuddin mengusulkan agar pemerintah Indonesia melakukan perbincangan int ensif dengan pemerintah Arab Saudi agar berkenan mendirikan rumah sakit khusus Indonesia. Bila tidak boleh, mungkin dapat mendirikan rumah sakit khusus untuk negara berbahasa Melayu. Apabila belum berkenan juga maka pemerintah dapat meminta kepada pemerintah Arab Saudi agar dapat menambah jumlah tenaga perawat.19 Apa yang dikritisi oleh anggota DPR di atas, diakui oleh M ent eri Agama, bahwa meskipun secara keseluruhan penyelenggaraan ibadat haji berjalan baik dan lancar, tetapi masih memunculkan masalah yang terkait dengan t ransportasi, ket erbatasan suplai air, dan makanan. Oleh sebab itu, Menteri Agama menilai ada 4 hal yang menonjol dalam penyelenggaraan ibadat haji tahun 2010 yang harus diperbaiki pada tahun mendatang. Pertama, persoalan delay pesawat Garuda LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Indonesia pada fase pemulangan jamaah haji dari Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Bahkan terdapat sejumlah kloter mengalami delay hingga lebih dari 20 jam. Untuk itu, Menteri Agama berharap, Garuda Indonesia, untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan jauh-jauh hari mengadakan pembicaraan dengan pihakpihak terkait di Arab Saudi, termasuk dengan otoritas Bandara King Abdul Aziz, Jeddah dan Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz, Madinah. .... diperlukan suatu upaya evaluasi yang menyeluruh, dibuat secara detil, agar mudah mengambil langkahlangkah perbaikan, karena mestinya musim haji tahun 2011 harus lebih baik dari tahun ini. Menteri Agama berangan-angan pada tahun mendatang, tidak digunakan transportasi bus dari pondokan ke Masjidil Haram PP, karena pondokan jamaah haji Indonesia sebagian besar telah berada di Ring I. Kalau tahun 2010 63% pondokan jamaah haji di Makkah berada di Ring I, tahun depan bisa mencapai 80%. Angan-angan tersebut bagus sebagai semangat pijakan untuk bekerja lebih keras, tetapi akan hanya menjadi angan- angan ketika t idak ada perubahan kebijakan dalam mencari pondokan sebagai disinggung oleh pihak Muassasah Asia Tenggara di atas. Akhirnya, diperlukan suatu upaya evaluasi yang menyeluruh, dibuat secara detil, agar mudah mengambil langkah-langkah perbaikan, karena mestinya musim haji tahun 2011 harus lebih baik dari tahun ini. [] Kedua, masalah beberapa kali nasi basi yang disajikan perusahaan cat ering yang melayani jamaah haji di Madinah. Untuk itu, di tahun mendatang diperlukan pengawaspengawas catering dari Kementerian Kesehatan. Ketiga, jamaah tertahan 8 jam di bandara, akibat belum siapnya pondokan jamaah di Madinah. Ini karena ketidaksiapan PPIH Madinah, seharusnya dilakukan pengecekan lebih awal saat kontrak pondokan telah dilakukan agar pondokan siap dihuni saat jamaah datang. Keempat, persoalan pondokan di Makkah, dapat yang bagus tetapi jauh sama dilematisnya dengan dapat pondokan yang dekat tapi jelek kondisi bangunannya. Kalau pondokan yang jauh PPIH harus menyiapkan transportasi, sementara pondokan yang dekat, kondisi bangunannya sudah tua, kran air sering mampet, toiletnya bocor, dan AC- nya sering mat i, ini akan merugikan jamaah.20 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 51 5 Hubungan dan Kerukunan Antarumat Beragama T ulisan pada bagian ini akan melaporkan berbagai peristiwa terkait hubungan dan kerukunan antarumat beragama yang terjadi pada tahun 2010. Salahsatu sumbernya adalah berbagai liputan media dan sejumlah laporan hasil kajian terkait isu bersangkutan yang pernah dilakukan oleh berbagai institusi, termasuk oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama sendiri. Liputan media (sebagai perekam peristiwa harian) digunakan untuk mendeteksi dan memunculkan isu-isu yang berkembang pada masa tahun kajian, sedangkan pembahasan dan analisis menyertakan dan mengindahkan berbagai hasil kajian riset terkait. Berbeda dengan banyak laporan tahunan yang telah ada, pada tulisan ini tidak dilakukan kuantifikasi dengan angka-angka jumlah peristiwa atau tindakan. Selain karena menyadari keterbatasan sumber data (representativeness), pengukuran suatu kondisi kehidupan keagamaan dengan angka-angka juga ditengarai kerap keliru. Beragamnya ‘kacamata’ sang pemantau (perspectives of observers), ternafikannya peristiwa-peristiwa di luar kesukaan media, dan problem definisi adalah diantara penyebabnya. Dengan demikian, kemunculan yang “sering” suatu peristiwa di media massa cukuplah sebagai isyarat urgensi peristiwa itu. Sejauh penelusuran, isu-isu yang berkembang di media di tahun 2010 antara lain adalah terkait kasus pendirian rumah ibadat, penodaan agama, kekerasan atas nama agama, isu HAM, dan dialog antaragama. A. Kasus di Seputar Rumah Ibadat Pada 2010, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, kehidupan keagamaan di Indonesia masih diwarnai berbagai kasus di seputar rumah ibadat. Beberapa kasus, sebagaimana diliput dalam berbagai media, di antaranya adalah sebagai berikut: 52 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 a. Pada Februari 2010 terjadi permasalahan terkait IMB Gereja Bethel Indonesia di Bukittinggi, Sumatera Barat. Jemaat Gereja Bethel Indonesia cabang Bukittinggi merasa tidak dipenuhi hak beribadahnya karena IMB pendirian gereja tersebut belum disetujui. Padahal, menurut pernyataan Komnas HAM dan Kementerian Dalam Negeri, persyaratan pendirian rumah ibadat tersebut telah terpenuhi. Setelah dilakukan pengecekan di lapangan, ternyata diketahui bahwa Gereja Bethel Bukittinggi belum memiliki surat rekomendasi tertulis dari Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Bukittinggi dan rekomendasi tertulis dari FKUB Kota Bukittinggi sebagai syarat administratif pendirian rumah ibadat.1 b. Pada 15 Februari 2010, di Perumahan Taman Galaxy Kelurahan Jaka Setia Kecamatan Bekasi Selatan Kota Bekasi, terjadi protes warga atas pendirian Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) dari Jemaat Galilea. Gereja ini telah mendapatkan rekomendasi dari FKUB, namun belum dari Kantor Kemenag setempat sebagai persyaratan mendapatkan izin prinsip pendirian rumah ibadat dari Walikota. Meski belum mendapatkan IMB, pihak panitia pembangunan Gereja telah mulai membangun dan sudah hampir dua lantai. Setelah mendapat protes warga, bangunan akhirnya disegel oleh Pemkot Bekasi sampai sekarang. c. Pada 12 Maret 2010 Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, menyegel Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Kecamatan Bogor Barat yang sedang dalam proses pembangunan. Penyegelan dilakukan karena pihak GKI tidak menghiraukan teguran yang telah dilayangkan oleh Pemkot Bogor untuk menghentikan pembangunan, dan malah t etap melanjutkan pembangunan. Pemkot Bogor membekukan IMB Gereja tersebut karena pembangunannya t elah menimbulkan keresahan warga setempat.2 d. Pada 20 Juli 2010 di Kampung Bakom Desa Limusnunggal, Kec. Cileungsi Kab. Bogor, Jemaat Gereja Pant ekosta memprotes Kepolisian. Koordinator Gereja Pantekosta, Hotlan P. Silaen, yang gerejanya dibongkar pada tanggal 20 Juli 2010 menilai bahwa polisi tidak netral saat terjadi bentrokan antara Satpol PP dengan jemaat gereja. Ia juga menilai bahwa gereja yang dibongkar telah memiliki IMB dan sertifikat. Pihak kepolisian menanggapi bahwa kehadiran polisi saat it u just ru unt uk meredam bentrokan yang lebih besar karena saat itu ada ratusan massa dari warga yang pro pembongkaran.3 e. Pada Agustus 2010 terjadi peristiwa pembakaran M asjid Fisabilillah, di Kab. Toba Samosir Sumatera Utara. Menurut Kasubbag Hukmas dan KUB Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara, masalah Masjid Fisabilillah bukan murni masalah kerukunan antarumat beragama tetapi lebih mengarah pada masalah aset keluarga. Tanah masjid merupakan tanah milik keluarga yang tidak semuanya muslim dan belum memiliki sertifikat wakaf.4 f. Pada September 2010 terjadi protes warga terhadap pengikut gereja HKBP PTI di Ciketing yang menggunakan rumah tinggal menjadi tempat beribadat. Selama kurang lebih 15 tahun jemaat HKBP PTI beribadat dengan cara berpindah-pindah dari warga satu ke lainnya. Pada Tahun 2007 membeli sebuah rumah di Jl. Puyuh Raya No. 14 yang kemudian dijadikan tempat beribadat dan sekolah minggu. Desember 2009 ketika perayaan hari Natal jemaat HKBP PTI menutup jalan untuk mendirikan tenda. Dari sinilah bermula protes warga terhadap HKBP yang menggunakan rumah tinggal menjadi LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 53 t empat beribadat karena t idak sesuai dengan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, maupun Peraturan Walikota Bekasi No. 16 tahun 2006 tentang tatacara perizinan untuk mendirikan rumah ibadat . Dialog dan musyawarah telah ditempuh untuk penyelesaian kasus ini misalnya beberapa tawaran Pemda Kota Bekasi kepada Pdt. Luspida Simanjuntak untuk pindah ke tempat lain yang disediakan oleh Pemkot sementara pengurusan rencana gereja permanen, namun selalu ditolak oleh pihak HKBP. Pihak HKBP lebih memilih untuk beribadat di t empat lahan kosong milik sendiri di kampung Ciketing, namun tetap mendapat protes warga sekitar karena belum mendapatkan izin. Setelah beberapa lama dan melibatkan banyak pihak untuk menyelesaikan kasus ini maka pihak Pdt Luspida Simanjuntak bersedia menerima kaputusan Walikota untuk beribadat sementara di Gedung Eks OPP Jl. Khairil Anwar sambil sementara menunggu proses perizinan rencana membangun di Fasos Perum Timah.5 Beberapa laporan tahunan LSM menyebut jumlah peristiwa atau tindakan yang lebih banyak lagi. The Wahid Institute, misalnya, melaporkan dalam Laporan Tahunan 2010 bahwa terjadi pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan berupa pembatasan rumah ibadah baik dalam bentuk pencabutan ijin maupun pelarangan penggunaan rumah ibadah yang berjumlah 19 kasus. Demikian pula CRCS, dalam Laporan Tahunan Kehidupan Beragama 2010 melaporkan sepanjang 2010 terdapat 39 kasus seputar rumah ibadat.6 Setara Institute, lebih banyak lagi, bahwa pada tahun 2010 terjadi 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang mengandung 286 bentuk tindakan. Sebanyak 59 diantaranya berupa gangguan terkait rumah ibadat, baik penyerangan, penyegelan, penolakan, larangan aktivitas ibadah, dan lain-lain.7 Angka-angka itu memang bervariasi, karena setiap lembaga yang mengeluarkan angka-angka itu pada 54 umumnya hanya mengandalkan pada berita media (elektronik dan cetak, nasional dan lokal) dan tidak mempunyai sistem verifikasi kebenarannya. Namun, angka kuantitatif yang meski bervariasi itu (19, 39, dan 59) sesungguhnya hendak melaporkan dan menunjukkan sesuatu, bahwa gangguan kerukunan akibat pendirian rumah ibadat masih eksis dan banyak terjadi di tahun 2010. Dari sedikit gambaran kasus pendirian rumah ibadat tersebut di atas serta laporan angka-angka dari LSM itu menegaskan masih adanya beberapa permasalahan di sekitar pendirian rumah ibadat di tahun 2010. Masalahnya, sejauh pengamatan, adalah terdapat problem keterbatasan pemahaman masyarakat dan aparat di lapangan terhadap peraturan tentang pendirian atau penggunaan rumah ibadat, yakni PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Di luar itu, toleransi umat beragama pun dirasa masih belum memadai. Keterbatasan pemahaman masyarakat tentang PBM, misalnya, dalam hal persyaratan pendirian rumah ibadat (Pasal 14), penggunaan rumah ibadat sementara (Pasal 18), rumah ibadat yang bernilai sejarah (Pasal 28), dan lain sebagainya. Seakan menjawab problem ini, Pemerintah, dalam hal ini Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama dan Ditjen Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri, telah dan terus mendorong upaya sosialisasi peraturan bersama itu, baik dengan penggandaan dan penyebaran Buku Sosialisasi PBM, penyelenggaraan sosialisasi PBM maupun penanganan kasus-kasus terkait pendirian rumah ibadat dengan instrumen PBM. Terkait sosialisasi, Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada 9-12 Desember 2010 lalu telah turut mendorong penggalakan sosialisasi PBM dengan menyelenggarakan Semiloka Nasional “Intensifikasi dan Diversifikasi Sosialisasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006” di Cikarang, Bekasi. Semiloka yang diikuti perwakilan FKUB seluruh provinsi di Indonesia dan Kasubag Humas dan Kerukunan Umat Beragama Kanwil Kementerian Agama seluruh Indonesia ini membahas upaya ke arah penggalakan kembali sosialisasi PBM dan penganekaragaman metode sosialisasinya. Penganekaragaman (diversifikasi) metode ini LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 juga dinilai penting dilakukan dalam rangka upaya mencapai efektivitas sosialisasi yang dilakukan. Setelah melakukan sidang-sidang komisi dan paripurna, semiloka ini telah menghasilkan sesuatu yang akan sangat membantu proses intensifikasi dan diversifikasi sosialisasi PBM, yakni Buku Panduan Sosialisasi PBM, sebagai pegangan bagi para penyelenggara sosialisasi dalam melakukan sosialisasi PBM yang lebih efektif. Selain itu, dihasilkan pula Buku Saku PBM dan Tanya Jawabnya (Edisi Tanya Jawab yang Disempurnakan), sebagai bahan bacaan para peserta sosialisasi sekaligus sebagai pedoman dalam implementasi PBM di lapangan. Mentaati PBM saja memang tidaklah cukup, perlu peningkatan toleransi di kalangan umat beragama. Hal ini terkonfirmasi oleh hasil kajian Badan Litbang dan Diklat (2008-2010) yang menyebutkan toleransi di kalangan umat beragama masih rendah. Demikian juga beberapa kelompok masyarakat sipil menegaskan bahwa tindakan intoleransi di kalangan umat beragama di Indonesia masih sering terjadi. Terlepas dari ‘toleransi’ per definisi yang belum tentu parameternya sama, namun semuanya turut mengkonfirmasi tentang perlunya peningkatan sikap toleransi umat beragama. Mentaati PBM saja memang tidaklah cukup, perlu peningkatan toleransi di kalangan umat beragama. Terkait hal ini, Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2009 mengadakan penelitian tentang tingkat toleransi antarumat beragama di kalangan mahasiswa. Penelitian yang dilakukan di 6 universitas di 6 provinsi ini menyimpulkan antara lain bahwa tingkat toleransi mahasiswa akan meningkat seiring dengan pemberian materi/substansi wawasan multikultural dan penyediaan lingkungan belajar dan organisasi yang terbuka. Di tahun 2010,Puslitbang Kehidupan Keagamaan juga mengadakan penelitian Potret Kerukunan Umat Beragama di Provinsi Jawa Timur. Penelitian mix-method ini menguji dan memberi rekomendasi pada upaya peningkatan toleransi antarumat beragama. Dari berbagai liputan media dan laporan masyarakat sipil terdapat kesan bahwa yang terjadi hanyalah penolakan pendirian rumah ibadat agama Kristiani (gereja) saja. Sepertinya tidak ada kasus penolakan pendirian masjid, pura, dan sebagainya, misalnya. Meski informasi di media dan berbagai laporan beberapa lembaga swadaya masyarakat menunjukkan hal demikian, namun fakta di lapangan mengatakan lain. Bahwa permasalahan terkait pendirian rumah ibadat tidak hanya menimpa rumah ibadat umat Kristiani, melainkan juga terjadi pada rumah ibadat agama-agama lain. Hal ini misalnya ditunjukkan oleh hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Tahun 2010. Penelitian berjudul “Kasus Pendirian Rumah Ibadat di berbagai Daerah Indonesia” itu antara lain menyimpulkan: a. Pendirian rumah ibadat yang diterima (terlaksana, pen.) dengan damai, selain karena terpenuhinya aturan sesuai PBM dan peraturan Pemerintah Daerah, juga karena adanya komunikasi dan kerukunan hidup antar umat beragama, serta nilai-nilai kearifan lokal yang terpelihara sebagai media pendekatan. Sedangkan pendirian rumah ibadat yang bermasalah dan mendapatkan penolakan lebih disebabkan faktor perbedaan paham keagamaan, dan berbagai kepentingan para elite agama dalam prestise sosial, pengembangan jumlah umat, kehidupan ekonomi, dan kekuasaan. Di samping itu, karena ego mayoritas dan arogansi minoritas. b. Permasalahan di seputar pendirian rumah ibadat yang dikomunikasikan oleh media massa dan sebagian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terbebankan pada umat Kristiani (saja, pen), padahal sesungguhnya juga kepada umat Islam, Hindu, dan Buddha yang minoritas di berbagai daerah di tengah pemeluk agama mayoritas. Penelitian yang dilakukan di 6 provinsi ini menemukan bahwa umat Islam di Papua, NTT, dan Bali cukup kesulitan dalam mendirikan masjid di wilayahnya. Demikian pula kesulitan LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 55 dihadapi umat Kristiani di tengah umat mayoritas Hindu di Bali. Penelitian ini juga menyimpulkan salah satu upaya untuk mengatasi penyelesaian masalah terkait rumah ibadat ialah kembali kepada kearifan lokal yang penuh toleransi dan mereferensi PBM No. 9 dan 8 tahun 2006. PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 secara yudisial sesungguhnya sudah selesai, karena telah lolos dalam uji materi di MA pada tahun 2006-2007. Secara fungsional pun diakui sangat membantu sebagai pedoman pemeliharaan kerukunan, terutama terkait rumah ibadat. Yang tidak kalah menarik, berkembang usulan pencabutan PBM. Peristiwa Ciketing, yang dibumbui tragedi penusukan seorang penganut HKBP PTI, dikatakan menjadi alasan ketidakefektifan PBM dan mengusulkan pencabutannya, meski hal ini kemudian tidak mendapat dukungan. Malah sebaliknya, dukungan untuk memperkuat PBM disampaikan banyak pihak. Sebagaimana diberitakan, organisasi kemasyarakatan Islam di Bant en menolak usulan sejumlah elemen yang menginginkan pencabutan PBM No. 9 dan 8 tahun 2006. Hal ini dikat akan oleh Ket ua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Banten, Hasan Alaydrus, di Serang. “PBM itu aturan normatif mengatur pendirian rumah ibadah agar tidak didirikan seenaknya. Jadi, jika ada masalah, bukan PBM yang dicabut tetapi implementasi di lapangan harus dipatuhi bersama,” kata Hasan Alaydrus.8 Searah dengan it u, Ket ua M ajelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan, berpendapat bahwa PBM yang merupakan hasil kesepakatan majelis seluruh agama di Indonesia ini perlu ditingkatkan menjadi undang-undang (UU) sehingga memiliki kekuatan hukum tetap, bukannya dicabut .9 Demikian pula dikatakan Sekjen Eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Romo Benny Susetyo, bahwa PBM dua menteri tidak perlu dicabut tapi direvisi sehingga pejabat daerah yang tidak melaksanakannya mendapat sanksi. Komnas HAM pun sepakat jika PBM tetap diperlukan sebagai sebuah pengaturan, jangan dicabut melainkan revisi. B. Kasus Penodaan Agama Sedangkan Menteri Agama, Suryadharma Ali, berketetapan tidak akan mencabut PBM. Kasus jemaat HKBP di Ciketing dan aturan dalam PBM dinilainya dua hal yang berbeda. Menurut Menteri, pengaturan soal rumah ibadah tetap diperlukan. Lagipula, aturan tersebut bukan hanya berlaku untuk satu agama melainkan seluruh agama dan juga keputusan semua majelis agama.10 56 Pada tahun 2010, kehidupan keagamaan di Indonesia juga masih diwarnai dengan kasuskasus penodaan agama. Beberapa diantaranya, sebagaimana diliput dalam berbagai media, adalah sebagai berikut: a. Pada 16 Februari 2010, terjadi kasus peredaran CD dan selebaran yang melecehkan agama Islam di Sumenep. CD dan selebaran yang berjudul ‘Siap Membelenggu Tuhan’ itu beredar di kalangan santri pondok pesantren yang ada di Kecamatan Pasongsongan dan Desa Mantajun Kecamatan Dasuk, Sumenep. Salah satu ajaran di dalamnya menyatakan bahwa Ka’bah adalah berhala yang tidak dirobohkan pada saat Futuh Makkah, dan Hajar Aswad adalah simbol alat kelamin perempuan. PWNU Jawa Timur meminta warga Sumenep t idak terpengaruh dengan beredarnya CD dan selebaran yang melecehkan ajaran Islam tersebut.11 b. Pada Minggu, 28 Februari 2010, terjadi kasus penistaan agama. Kasus dugaan penodaan agama yang dilakukan seorang warga berinisial NA, saat menjadi tatung pada perayaan Cap Go Meh 2561. NA diduga melakukan penodaan agama karena mengenakan pakaian tatung yang pada bagian belakangnya bertuliskan kalimat “Allah” dalam Bahasa Arab. Hal ini telah ditangani pihak kepolisian.12 c. Di Jakarta, pada 21 April 2010 terjadi protes terkait Kasus Buddha Bar. Koordinator Forum Anti-Buddha Bar (FABB), Kevin Wu, menduga ada makelar kasus (markus) dalam Kasus Buddha Bar. Ia melapor ke Satgas Antimafia LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Hukum karena banyak pasal yang dibelokkan pada saat pelaksanaan proses di pengadilan. Dikatakannya, protes terhadap penggunaan simbol-simbol agama oleh Buddha Bar sudah berjalan hampir 15 bulan, namun sampai saat ini belum ada kemajuan yang berarti. Markus ditengarai warnai kasus Buddha Bar.13 d. Pada M ei 2010 terjadi tindakan yang ditengarai melecehkan agama. Seorang siswa kelas XI sebuah SMA Negeri di Kota Bekasi, AF (16 th) diamankan oleh Polrestro Kota Bekasi. AF diduga telah menistakan Alquran dengan memasukkannya ke dalam kloset dan memegangnya sambil mengacungkan jari tengah. Informasi menyebutkan, dua teman AFmerekam adegan yang melecehkan agama itu dan memuat foto tersebut ke sebuah situs Yayasan Perguruan Santo Bellarminus, di bellarminus-bks.blogspot. com, pada Februari lalu. Kasus ini terkuak ketika ratusan umat Islam di Kota Bekasi resah karena adanya gambar penodaan agama itu dan melaporkan ke Polrestro Kota Bekasi. Bahkan, beberapa hari kemudian, sejumlah oknum tidak dikenal pun sempat mengacak-acak sekolah Santo Bellarminus.14 e. Pada tanggal 9 Mei 2010 Massa yang tergabung dalam Forum Anti Pemurtadan Bekasi (FAPB) berkumpul di Masjid Al-Barkah sebanyak 2500 umat Islam dari berbagai Ormas Islam, Ulama, Habaib Pimpinan Ponpes. Menurut ketua Panitia Tablig Akbar, Syamsudin Uba, acara ini merupakan bentuk reaksi spontan Umat Islam terhadap maraknya kristenisasi di Bekasi. Insiden SARA itu terjadi dalam karnaval yang dilakukan oleh umat kristiani dalam rangka anti narkoba menyambut Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei 2010. Karnaval mengambil rute dari GOR Bekasi menuju alun-alun dan finish di kantor PMI Bekasi, namun tiba-tiba pada jam 08.30 dengan alasan ada rombongan karnaval yang tertinggal sehingga menumpang lewat di depan masjid Al-Barkah. Pada saat itu di dalam Masjid sedang acara pernikahan dan seorang qori sedang membacakan ayat suci al-Quran. Sebanyak 5 orang peserta karnaval dari Yayasan Damai dan Bersinarlah Indonesiaku itu membentuk formasi salib dengan tongkat dan pedang putih, serta 2 orang lainnya membagikan souvenir berupa gant ungan kunci bergambar salib dan bertuliskan “Joel Generation” sambil berkata “semoga Bekasi Sejahtera Yesus Baik”. Menyadari akan hal itu, Pengurus DKM Masjid Al-Barkah menegurnya dan mengusir peserta karnaval tersebut. Setelah dikonfirmasi kepada ketua panitia, mereka menyangkalnya. Ketua Forum Anti Pemurtadan Bekasi tetap akan menyelesaikan kasus ini secara jalur hukum.15 f. Pada 17 Mei 2010, Walikota Bekasi mengeluarkan surat untuk pengembang Kota Harapan Indah agar patung Tiga Mojang di Kota Harapan Indah, Kec. Medan Satria, Kota Bekasi segera dibongkar. Keputusan ini sebagai buntut aksi demo yang dilakukan oleh ratusan umat Muslim yang tergabung dalam Forum Anti- Pemurtadan Bekasi (FAPB) tiga hari sebelumnya. Ketua Forum Umat Islam (FUI) Kota Bekasi, Bernard Abdul Jabar mengatakan, keberadaan patung tiga perempuan saling membelakangi dengan dibalut kain itu telah menodai hati umat Islam di Kota Bekasi. Menurut dia, patung itu t idak sesuai dengan syariat Islam. Terlebih, patung itu didirikan di tempat yang dulu pernah menjadi medan pertempuran antara K.H. Noer Alie dengan para penjajah.16 g. Pada 29 Mei 2010 terjadi kasus penodaan agama di Bali. Siti Komariah mengadukan bosnya berinisial RBG seorang warga Selandia Baru ke Polisi karena melakukan LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 57 oleh sekelompok pegiat FPI kurang lebih 200-an orang. Karena pagar masjid ditutup maka mereka melompati pagar dan mencabut papan nama dan diinjak-injak. Sementara aparat keamanan tidak dapat berbuat apa-apa karena jumlah mereka jauh lebih sedikit dari para pendemo. pelecehan terhadap Nabi Muhammad Saw melalui gambar dan tulisan di personal computer di kantornya.17 h. Pada 27 Juli 2010, menjelang bulan Ramadhan, kelompok ormas yang tergabung dalam Front Pembela Islam (FPI) mendatangi kantor Bupati Purwakarta. Kedatangan kelompok FPI itu mempertanyakan kebijakan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati Purwakarta tentang pemasangan patung Bima di Jalan Terusan Ibrahim Singadilaga (Jalan Baru) Purwakarta. Pasalnya, pemasangan patung Bima itu tidak mencerminkan budaya Islam, padahal Kota Purwakarta ini mendapat julukan Kota Santri. Mereka menyarankan kepada Bupati Purwakarta untuk mengganti patung Bima itu dengan patung yang mencerminkan budaya Islam seperti patung para sunan atau lainnya.18 Adapun pada 6 Agustus 2010, terjadi aksi demo mempersoalkan berdirinya patung Bima di Purwakarta. Ratusan pelajar setingkat Ibtidaiyah dari yayasan Ibnu Sina Purwakarta, Jumat (6/8), melakukan aksi demo mempersoalkan berdirinya patung Bima di Purwakarta. Mereka mengultimatum pemerintah daerah untuk membongkar patung Bima tersebut dalam tempo 2x24 jam. Aksi demo para pelajar setingkat sekolah dasar itu dipimpin langsung oleh KH. Abdullah AS Joban sebagai Ketua Forum Ulama Indonesia (FUI) sekaligus pimpinan yayasan Ibnu Sina dan Ust. Ridwan Syah Alam. Mereka mendesak pemerintah daerah untuk segera membongkar patung Bima yang tidak berlandaskan nilai-nilai keislaman. Dalam orasinya, Abdullah Joban mengatakan didirikannya patung Bima di Purwakarta itu sangat bertentangan dengan julukan Kota Purwakarta sebagai Kota Santri.20 i. 58 Pada 28 Juli 2010 di Desa Manis Lor Kab. Kuningan terjadi penyerangan dilakukan j. Pada 29 Juli 2010, di Desa Manis Lor, Kuningan, terjadi insiden terkait Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Hal ini diawali rencana Bupati Kuningan yang akan menyegel 8 masjid Ahmadiyah di Desa Manis Lor. Rencana tersebut dihalangi oleh sebagian besar penganut Ahmadiyah. Akhirnya, pada tanggal 29 Juli 2010, ratusan massa dari beberapa ormas Islam Cirebon, Kuningan, dan Tasikmalaya mendatangi desa Manis Lor dan terjadi bentrokan antara massa Ormas dengan umat Ahmadiyah.19 k. Pada 10 Agustus 2010 ratusan anggota FPI Surabaya melakukan penyerangan ke kantor Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Jawa Timur, dan merobohkan papan nama JAI. Sejumlah saksi mata menyebutkan penyerangan dilakukan FPI dengan alasan JAI sudah dinyatakan sesat oleh pemerin­tah.21 l. Pada 10 Agustus 2010, terkait kasus Pembakaran Alqur ’an di Amerika, para tokoh agama yang tergabung dalam Gerakan Peduli Pluralisme berdemo menemui pihak kedutaan besar Amerika Serikat di Indonesia dalam rangka rencana aksi pembakaran Alquran sedunia. Perwakilan GPP yang terdiri dari Damien, Ketua KWI, Uskup Mandagi, Ketua PGI Pendeta Hendrik, dan Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti diterima oleh Kepala Bagian Politik Kedutaan Besar Amerika Serikat di kantornya.22 m. Pada 11 Agustus 2010, massa yang tergabung dalam Forum Masyarakat Panjalu Sukabumi, mendatangi Pendopo Sukabumi. Mereka LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 berunjuk rasa mendesak agar ajaran Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kabupaten Sukabumi untuk secepatnya dibubarkan.Selain itu, massa mendesak agar enam Masjid Ahmadiyah yang tersebar di empat kecamatan dan satu mesjid di wilayah Kota Sukabumi untuk secepatnya diserahkan pengelolaan kepa­da Majelis Ulama Indonesia (M UI) Kota dan Kabupat en Sukabumi.23 Dari sejumlah kasus penodaan agama itu, beberapa di antaranya merupakan kasus lama yang muncul kembali seperti kasus lat en Ahmadiyah, sedangkan sebagian lainnya merupakan kasus baru meski dengan modus yang relatif sama dengan kasus-kasus di tahun sebelumnya. Kasus-kasus penodaan ini pada tingkat tertentu dapat mengganggu kerukunan intern dan antarumat beragama. C. Judicial Review UU No.1/PNPS/ 1965 Pada tahun 2010, telah terjadi uji materil UU No.1/PNPS/1965 di Mahkamah Konstitusi. Sebanyak 7 LSM dan 4 orang tokoh yaitu Abdurrahman Wahid, Siti Musdah Mulia, M. Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq, dengan memberikan kuasa kepada 56 Advokat dan pengabdi bantuan hukum yang menyebut dirinya Tim Advokasi Kebebasan Beragama, telah mengajukan permohonan Uji Materiil UU No. 1/PNPS/ 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Mereka menginginkan UU tersebut dicabut karena dinilai inkonstitusional. Betapapun UU ini telah berumur lama, namun hal itu tidak mengurangi keabsahan keberlakuannya. Dan maka, semua pihak wajib berpedoman pada peraturan ini. Terhadap usulan agar UU No. 1/PNPS/ 1965 dicabut, dalam masyarakat timbul sikap pro dan kontra. Ada yang berpendapat bahwa UU tersebut perlu dicabut, tetapi ada pihak lain tetap kukuh agar undang-undang tersebut dipertahankan. Pada laporan ini akan disenaraikan kelompok yang mendukung dicabutnya UU No. 1/PNPS/ 1965 dan yang menolaknya dengan argumentasinya masing-masing. Di kalangan tokoh agama yang berasal dari organisasi keagamaan yang tergolong mapan dan besar umumnya menolak pencabutan UU PNPS No 1 Tahun 1965. Perihal penodaan agama memang debatable. Sebagian kalangan mengkategorikan sesuatu perbuatan sebagai menodai, namun sebagian lainnya atas nama kebebasan dan HAM tidak menganggapnya penodaan. Namun demikian, bangsa Indonesia telah memiliki peraturan mengenai perihal penodaan ini yakni UU No.1/ PNPS/ 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Betapapun UU ini telah berumur lama, namun hal itu tidak mengurangi keabsahan keberlakuannya. Dan maka, semua pihak wajib berpedoman pada peraturan ini. Menurut Menteri Agama RI, Suryadharma Ali, pemohon uji materi UU No. 1/ PNPS/1965 tak memiliki Legal Standing atau kedudukan hukum. Dia menegaskan UU tersebut masih diperlukan unt uk menjaga keharmonisan. Keberadaan UU tersebut justru memberikan perlindungan dan kesempatan bagi masyarakat dalam melaksanakan ibadah, UU ini juga menjaga ket entraman dan keharmonisan hubungan antarumat beragama dari kemungkinan penghinaan, penodaan, ataupun pemaksaan terhadap umat beragama yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.24 Dalam perkembangannya, sebagian kalangan menilai UU ini inkonstitusional dan tidak lagi relevan dengan kondisi zaman. Mereka kemudian mengajukan permohonan uji materil UU ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menteri Agama juga mengatakan bangsa Indonesia masih sangat membutuhkan UU No. 1/PNPS/1965 demi menjaga kerukunan hidup antarumat beragama. Meskipun UU tersebut lahir jauh sebelum era reformasi, namun dilihat LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 59 dari substansinya masih sangat perlu dipertahankan. Jika UU ini digugat dan uji materiil dikabulkan dikhawatirkan ini menjadi awal pintu masuk maraknya aliran dan paham sempalan yang tidak terkendali serta kebebasan beragama yang tanpa koridor. Produk regulasi pemerintah yang terbit berdasarkan UU No. 1/ PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama cukup efektif menjaga kerukunan umat beragama, sebab melalui peraturan tersebut konflik antarumat beragama menurun secara signifikan.25 Pada kesempatan lain Menteri Agama mengatakan, definisi penodaan agama yang ada dalam UU No. 1/PNPS/1965 perlu diperjelas, untuk memudahkan pemerintah mencegah dan mengatasi pelecehan agama. Ia juga menegaskan UU ini tidak melarang adanya agama baru di Indonesia. Alasannya konstitusi memang menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga. UU ini hanya melarang munculnya agama baru yang menodai agama yang sudah ada. Keberadaan UU ini untuk mencegah hal itu dan untuk memelihara kerukunan umat beragama.26 Hasyim Muzadi (Keta Umum PBNU, sebelum Muktamar), mengatakan keberadaan peraturan mengenai penistaan atau penodaan agama harus dipertahankan. Menurutnya tanpa adanya peraturan itu maka yang akan terjadi adalah anarki. Lebih jauh K.H. Hasyim Muzadi menyebut kelompok penggugat UU No. 1/ PNPS/ 1965 sebagai gerakan Atheis.27 Statemen tersebut didukung oleh Goodwil Zubair, Sekretaris PP Muhammadiyah. Menurutnya faham atheis dan komunisme sangat mudah berkembang dan berjaya di suatu negara yang memiliki banyak penduduk miskin.28 Sedangkan Ketua Umum Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa, mengatakan pencabutan UU ini, bisa memicu konflik horizontal antarumat beragama. Sebab, kelompok mayoritas bisa menafsirkan pencabutan itu sebagai tindak penistaan atas keyakinannya. Korban potensialnya adalah kelompok minoritas dan di dalamnya adalah perempuan dan anak-anak. Menurutnya, hingga kini UU tersebut terbukti bisa mewujudkan harmoni antarumat beragama, karena UU ini bisa mencegah terjadinya konflik 60 yang dipicu oleh tindak penodaan agama dan juga dia juga menegaskan bahwa UU ini sama sekali tidak membatasi hak asasi seseorang, justru melindungi kehormatan setiap agama yang dianut oleh seseorang agar tidak dilanggar atau dinodai oleh pihak manapun.29 Eddy O. Hiariej berpendapat bahwa UU No. 1/PNPS/1965 multiinterpretatif. Ketentuan yang interpretatif itu terutama terdapat dalam Pasal 1 UU itu. UU ini masih diperlukan untuk mengatur kehidupan beragama di Indonesia, karena Pemerintah Belanda pun masih menerapkan ketentuan mengenai penodaan agama. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Amin Djamaludin. Dia mengatakan belakangan ini banyak sekali terjadi penodaan agama, seperti kasus Lia Aminudin, Surga Eden, Nabi Mossadeq, dan lain-lain. Jika tidak ada UU ini, mungkin mereka telah dihakimi atau dibunuh orang karena telah melakukan penodaan dan penistaan terhadap agama tertentu.30 Ahmad Syafi‘i Mufid, Ketua FKUB DKI Jakarta, meminta majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan sejumlah pihak untuk mencabut UU No. 1/PNPS/1965. Sebab UU ini tidak berten­tangan dengan UUD 1945.31 Pendapat yang cukup moderat adalah budayawan Emha Ainun Najib. Dia menyarankan agar dua pihak yang berseberangan melakukan dialog. Ini perlu dilakukan sebelum uji materi ini dilanjutkan. Penyelesaian masalah ini, tidak bisa secara konstitusional saja tanpa adanya dialog dalam ranah kultural.32 Di kalangan majelis agama yang juga menolak dicabutnya UU No 1/ PNPS/ 1965 adalah Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN). Menurut Uung Sendana UU Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama jangan dicabut sebelum adanya UU baru yang benar-benar bisa menghargai keberadaan agama minoritas di Tanah Air. Ia juga mencemaskan timbulnya tindakan anarkisme dan konflik horizontal antarwarga masyarakat serta berpotensi memunculkan tindakan penodaan terhadap agama-agama minoritas.33 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Sekretaris Umum M UI Provinsi Jawa Tengah mengemukakan kebebasan beragama dan penodaan agama berbeda kont eks, sehingga tidak bisa disamakan. UU No 1/PNPS/ 1965 tidak mempengaruhi kebebasan beragama yang dimiliki oleh setiap orang. Ia mencontohkan kasus Ahmadiyah yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad Saw. Hal itu tentunya sudah menodai agama Islam yang meyakini Nabi Muhammad Saw sebagai nabi penutup.34 terkait dengan penghormatan negara terhadap masyarakat dalam menja­lankan agama. UU ini mendorong penafsiran bahwa negara bisa masuk ke forum internum atau aspek hubungan internal, yaitu hubungan individu dengan dirinya terhadap suatu kepercayaan, merujuk pada HAM forum internum ini tidak boleh dimasuki oleh negara karena menyangkut kebebasan setiap masyarakat . Hal ini t idak sejalan dengan tanggung jawab negara untuk melindungi hak kebebasan beragama.40 Siti Zuhro dari LIPI berpendapat UU ini masih diperlukan, mengingat sisi efek yang highrisk dan high-cost jika dicabut. Namun demikian perlu revisi untuk perbaikan­nya.35 Menurut Jalaluddin Rahmat dan Ahmad Fedyani Saifudin kegagalan merevisi UU ini dapat membatasi peran agama. Oleh sebab itu, UU ini perlu dilakukan revisi terhadap hal-hal yang dianggap masih multitafsir dan menghambat kebebasan beragama.41 Romo Benny Susetyo mengatakan negara seharusnya tidak boleh mengintervensi keyakinan agama karena hal t ersebut dinilai inkonstitusional. Menurutnya agama merupakan persoalan masing-masing individu dan peran negara hanya sebatas memfasilitasi.36 Pendeta Rinaldy Damanik menga­takan UU No. 1/ PNPS/ 1965 tidak diperlukan jika semua umat beragama sadar dalam beragama. Menurutnya UU Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama masih mengambang, karena bagian mana saja yang akan direvisi belum tersosialisasi dengan baik.37 Frans Magnis Suseno mengatakan negara tidak berwenang melakukan penilaian mengenai menyimpang atau tidaknya suatu ajaran. Penilaian tersebut hanya bisa dikeluarkan oleh agama yang bersangkutan, apabila negara melakukan penilaian, negara telah melanggar kewajibannya untuk bersikap netral.38 Lain lagi pendapat Musda Mulia, menurutnya UU tersebut alih-alih menjadi perlindungan bagi suatu kelompok agama, yang terjadi justru sebaliknya. UU ini malah dijadikan alat pembenaran bagi perilaku penodaan, bahkan tindakan kekerasan dan penistaan terhadap kelompok agama tertentu. UU ini lebih banyak dipakai mendiskredit kan kelompok yang memiliki pemahaman yang berbeda dengan arus utama (mainstream).39 Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, mengatakan UU ini memiliki beberapa permasalahan Adapun hasil kajian Badan Litbang dan Diklat atas uji materil ini menunjukkan kondisi berbeda dengan para pemohon judicial review, yakni bahwa UU ini adalah konstitusional dan masih sangat diperlukan. Hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi-kondisi faktual baik dalam tataran yurudis, politis, maupun sosiologis. Pada tataran yuridis, dikemukakan bahwa Pemerintah tidak pernah mengakui dan membatasi hanya 6 agama yang berhak hidup dan boleh berkembang di Negara Republik Indonesia, justru pemerintah melindungi dan menjamin kebebasan agama-agama t ermasuk aliran kepercayaan. Dengan demikian pemerintah tidak pernah bertindak diskriminatif kepada agama selain yang enam. Bahkan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional melakukan bimbingan dan pembinaan terhadap penghayat aliran kepercayaan. Selain itu, menurut UU No. 5 Tahun 1959 dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa Penpres No.1/ PNPS/ 1965 dinyatakan sebagai undang-undang secara legal dan formal. Lebih menguatkan hal itu, berdasarkan penjelasan Mahkamah Konstitusi dalam suratnya tanggal 28 Desember 2005 telah dinyatakan bahwa UU No. 1/PNPS/ 1965 jo UU No. 5/ 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2727) masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 61 Oleh karena itu tidak ada alasan hukum untuk menyatakan bahwa UU No. 1/PNPS/1965 tidak mempunyai hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya. Bahkan, UUD 1945 (amandemen) juga menegaskan pembatasan hak asasi manusia. UUD 1945 Pasal 28J antara lain m enyatakan pembatasan HAM oleh undang-undang yang sah dan legal, dan atas alasan keselamatan masyarakat, ketertiban masyarakat, kesehatan masyarakat , moral masyarakat dan melindungi hak-hak kebebasan mendasar orang lain. maka dipandang perlu UU No. 1/ PNPS/ 1965 untuk tetap diberlakukan karena berdasarkan fakta sosial dan politis ternyata masih efektif dan diperlukan. Selain itu, untuk mencegah penyebaran dan munculnya aliran-aliran sempalan yang ekstrim yang dapat menimbulkan konflikkonflik horizontal maka UU No. 1/PNPS/ 1965 tersebut masih dipandang perlu untuk diberlakukan selama belum ada UU penggantinya agar tidak terjadi kekosongan hukum di dalam masyarakat. Dengan demikian, dalam kajian Badan Litbang dan Diklat UU ini masih sangat diperlukan dan konstitusional. MK mengakui bahwa UU No.1/PNPS/1965 memerlukan penyempurnaan, bahkan sebuah undang-undang baru pun mungkin perlu dibuat untuk mengakomodasi substansi undang-undang itu, untuk menjamin perlindungan dan kebebasan beragama. Dari beberapa pendapat di atas nampak bahwa adanya perbedaan pandangan terhadap UU tersebut karena adanya perbedaan dalam penekanan. Bagi kelompok yang menolak terhadap uji materi UU No 1/ PNPS/ 1965, penekanan kepada penodaan agama, sedangkan bagi mereka yang menghendaki dicabutnya UU tersebut lebih menekankan kebebasan beragama. Selain itu bagi kelompok yang mempertahankan UU tersebut, UU ini tidak membatasi kebebasan beragama, sedangkan yang ingin mencabut menganggap UU ini dinilai menghambat kebebasan beragama. Pada tataran politis, diketahui bahwa lahirnya UU No. 1/ PNPS/ 1965 itu dilatarbelakangi untuk mencegah terjadinya Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang dapat menimbulkan goncangan-goncangan politik dan sosial. Meskipun lahirnya UU tersebut pada zaman Orde Lama tetapi pada zaman orde baru dan zaman reformasi dipandang perlu dan dibutuhkan untuk menjaga eksistensi dan keutuhan negara RI. Selain itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah negara sekuler dan negara liberal serta bukan negara agama. Oleh karena itu pemerintah berkewajiban mengatur, menjaga dan melindungi umat beragama agar tercipta kerukunan, keharmonisan dan ketenteraman masyarakt beragama. Sedangkan pada tataran sosiologis dikemukakan bahwa untuk mencegah terjadinya benturan agama dan kekacauan masyarakat 62 Setelah dilakukan serangkaian sidang dengan menghadirkan sejumlah saksi, ahli, dan para pihak, MK akhirnya dalam putusannya Nomor: 140/ PUU-VII/ 2009 tanggal 19 April 2010, menyatakan menolak semua permohonan pemohon dalam sidang uji materil UU No.1/ PNPS/ 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. MK mengakui bahwa UU No.1/ PNPS/ 1965 memerlukan penyempurnaan, bahkan sebuah undang-undang baru pun mungkin perlu dibuat untuk mengakomodasi substansi undang-undang itu, untuk menjamin perlindungan dan kebebasan beragama. Tetapi sampai undang- undang baru sepert i it u disahkan, maka UU No.1/PNPS/1965 jo. UU No.5 Tahun 1969 tidak perlu dicabut karena akan menyebabkan kevakuman hukum. MK juga berpendapat bahwa undang-undang itu masih berada dalam koridor UUD 1945 dan masih dalam koridor dokumen-dokumen internasional tentang Hak Asasi Manusia. MK juga berargumen bahwa LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 negara memang tidak boleh mencampuri urusan doktrin agama, tetapi negara justeru harus mengambil langkah- langkah yang diperlukan untuk menjamin kebebasan dan kerukunan beragama. Bahkan negara juga dapat mela­kukan pembatasan-pembatasan yang tidak dengan sendirinya berarti mendiskriminasi melainkan untuk menjamin hak-hak orang lain. Selain itu, MK juga memberikan rambu-rambu tentang bagaimana cara membaca pasal-pasal tertentu dan ungkapan-ungkapan tertentu yang termuat dalam undang-undang tersebut. Dengan telah keluarnya putusan uji materi dari M K, m aka diharapkan semua pihak menghargai keputusan tersebut. Mungkin ada yang kecewa dan tidak puas dengan putusan ini, namun ketuk palu hakim MK bersifat final. Yang perlu dilakukan sekarang adalah mengkaji hal apa saja dalam UU tersebut yang perlu direvisi atau dipertegas. Adanya permohonan dan lalu proses pengujian materi atas UU No.1/PNPS/1965 telah menyita waktu dan pikiran banyak kalangan, baik yang pro maupun kont ra. Namun hal ini sesungguhnya menyisakan hikmah, yakni semua pihak semakin menyadari perlunya kehadiran suatu peraturan yang lebih lengkap yang mengatur perihal penodaan agama, pengakuan agama/keyakinan, kebebasan berekspresi dan kebebasan agama, serta perlindungan agama. D. Kekerasan Atas Nama Agama dan Hak Asasi Manusia Di tahun 2010 juga masih terdapat sejumlah tindakan yang ditengarai sebagai kekerasan atas nama agama yang melanggar hak asasi manusia. Beberapa laporan bahkan menyebutkan data tentang adanya peningkatan jumlah tindak kekerasan [yang ditengarai] atas nama agama di tahun 2010 ini. Puslitbang Kehidupan Keagamaan pun turut mengkaji isu ini. Ada contradictio in terminis dalam istilah Kekerasan Atas Nama Agama itu. Sejatinya agama adalah ajaran kedamaian dan cinta kasih, maka tidak layak menyandingkan kata ‘kekerasan’ atasnya. Pada tahun 2010, Puslitbang Kehidupan Keagamaan melakukan penelit ian t erkait hubungan antara pemahaman agama dan kekerasan atas nama agama. Penelitian kuantitatif yang dilakukan di 6 provinsi ini antara lain menyimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan negatif antara pengetahuan agama dengan tindak kekerasan atas nama agama”, makin baik pengetahuan agama seseorang, maka makin tidak terdorong orang tersebut untuk melakukan tindak kekerasan atas nama agama. Dan sebaliknya, makin kurang pengetahuan agama seseorang, maka kecenderungan untuk malakukan kekerasan atas nama agama akan meningkat. Setelah dihitung secara statistik, diketahui bahwa jika pengetahuan agama meningkat satu unit, maka kekerasan atas nama agama akan berkurang sebesar 0,366 unit. 2. Tidak adanya kaitan antara keinginan aktualisasi ajaran agama dengan kekerasan atas nama agama. Kesimpulan ini ditunjang oleh data deskriptif jawaban responden, yang mayoritas tidak ingin atau tidak setuju, jika ajaran Islam, diterapkan secara paksa, dan mayoritas responden menolak jika agama Islam dijadikan agama negara Kasus Ahmadiyah nampaknya masih menjadi ‘perhat ian khusus’ dalam kasus penodaan agama yang berbuntut tindakan kekerasan. Demonstrasi damai meminta pembubaran Ahmadiyah, penyerangan dan perusakan fasilitas milik Ahmadiyah, hingga bentrok fisik warga masyarakat dengan penganut Ahmadiyah terjadi di tahun ini. Demikian juga, pengungsi di Transito NTB masih harus bertahan dan kehilangan beberapa hak-hak sipilnya. Solusi dari sisi kebijakan Pemerintah sesungguhnya telah tegas dan jelas, yakni dengan dikeluarkannya Surat Keput usan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008, Nomor Kep-33/ A/JA/6/2008, Nomor 199 tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dan Warga Masyarakat. Dengan SKB ini, kedua belah pihak terkena LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 63 peringatan dan ancaman sanksi. Jemaat Ahmadiyah diperingatkan agar tidak menyebarkan paham m enyimpang yang dapat menyebabkan keresahan dan gangguan ketertiban masyarakat, serta diancam sejumlah pasal KUHP jika melanggarnya. Demikian juga masyarakat umum, diperingatkan agar tidak melakukan perbuatan melanggar hukum terhadap penganut Ahmadiyah, serta diancam sejumlah pasal KUHP jika melanggarnya. Bahkan Pemerintah, pemerintah daerah dan pemuka agama pun diberi perintah untuk turut melakukan pembinaan baik bagi Ahmadiyah maupun masyarakat, demi terciptanya ketertiban. Perlu ditegaskan, SKB bukanlah intervensi pem erint ah dalam m engat ur bagaim ana masyarakat berkeyakinan/ beragama, namun lebih merupakan upaya untuk mengembalikan harmoni umat beragama dan menegakkan hukum, yang diganggu dengan adanya polarisasi dan konflik di masyarakat. SKB lebih bersifat upaya antisipatif, yakni memberikan warning dan punishment baik bagi JAI maupun masyarakat. Sebelumnya telah terjadi serangkaian upaya dialog (7 kali pertemuan) antara Pemerintah dan JAI yang menghasilkan 12 butir Penjelasan PBJAI tanggal 14 Januari 2008. Sayangnya, belum semua butir Penjelasan PB- JAI it u sesuai dengan kenyataan, paling kurang 5 butir diantaranya tidak sesuai dengan kenyataan setelah dilakukan pemantauan. Karena itu kemudian dikeluarkanlah SKB Menag, Jaksa Agung dan Mendagri, tanggal 9 Juni 2008 itu. Sosialisasi dan monitoring implementasi SKB masih dinilai kurang, sehingga beberapa pemerintah daerah melangkah terlalu jauh melampaui SKB (misalnya dengan mengeluarkan Pergub pembubaran JAI). Sesungguhnya, dengan memat uhi dan mengimplementasikan klausul-klausul SKB, maka baik JAI maupun masyarakat akan diuntungkan karena terciptanya ketertiban masyarakat. E. Dialog dan Harmoni Dalam rangka mendukung upaya pemeliharaan kerukunan, sejumlah dialog intern dan antarumat beragama serta pelatihan terkait 64 kerukunan dan HAM, telah dilakukan di tahun 2010. Diantara kegiatan dimaksud adalah sebagai berikut: a. Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah. Pada 2010, Badan Litbang dan Diklat juga menyelenggarakan Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah di Provinsi Riau. Dalam dialog ini, pemuka agama pusat terdiri atas wakil-wakil majelis agama tingkat pusat (MUI, PGI, KWI, PHDI, WALUBI, dan MATAKIN) dan pemuka agama daerah yang diwakili oleh wakil majelis atau kelompok agama yang ada di daerah tersebut, yang sekaligus juga bertindak sebagai pemakalah dalam dialog itu. Sedangkan pemuka agama pusat bertindak sebagai pembahasnya, atau sebaliknya. Selain itu, dialog juga dihadiri oleh pejabat pusat, serta pejabat pemerintah daerah. Dialog bertujuan untuk memperlancar komunikasi antar pemuka agama pusat-daerah, menumbuhkan wawasan multikultural, mengembangkan visi dan misi bersama para pemimpin agama pusat dan daerah, dan inventarisasi kearifan-kearifan lokal yang dapat mendukung kerukunan. b. Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural Antar Pemuka Agama Pusat dan Daerah Intern Agama Islam. Pada 2010, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menyelenggarakan Dialog Pengembangan Wawasan Multikul­tural Antar Pemuka Agama Pusat dan Daerah Intern Agama Islam di Provinsi NTB dan Kalimantan Barat. Peserta dialog ini terdiri atas peserta daerah sebanyak 60 orang, dan peserta dari pusat 30 orang. Peserta pusat terdiri atas 15 orang perwakilan ormas-ormas Islam tingkat pusat, MUI, peneliti, dan beberapa pakar ekonomi Islam dari perguruan tinggi Islam. Dialog ini bertujuan untuk memperlancar komunikasi antar pemuka agama Islam pusat-daerah, menumbuhkan wawasan multikultural, dan menghimpun polapola pemberdayaan ekonomi masyarakat di daerah dalam rangka pemberdayaan ekonomi umat Islam. Untuk itu, dalam dialog ini beberapa LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 perwakilan ormas Islam pusat menjelaskan upaya-upaya ormasnya dalam pemberdayaan ekonomi umat, dan dihadirkan pula pembicara ahli dari kalangan akademisi dan praktisi. Selain itu, dihadirkan pembicara daerah yang menyampaikan success story usahanya, sebagai bagian dari pemberdayaan ekonomi umat. c. Dialog RI-Norwegia dan RI-Swedia di Jakarta Dalam rangka meningkat kan kesepahaman dan kerjasama antarnegara, dilakukan dialog bilateral RI-Norwegia dan RI-Swedia yang bertempat di Jakarta. Selain melakukan dialog, peserta pun diajak berkeliling ke rumah-rumah ibadat dan tempat bersejarah di Indonesia. Diklat tentang HAM dan Kebebasan Beragama dan Diklat Peace Making. a). Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Salahsatu buah manis lahirnya PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 adalah adanya FKUB di semua provinsi dan hampir di semua kabupaten/kota. Forum yang mempertemukan para pemuka lintas agama ini berkontribusi secara langsung terhadap upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama. 1. Konsitusi pertama Indonesia, UUD 1945, menjamin kebebasan beragama. Hal ini disebutkan dalam Judul Agama Bab XI Pasal 29. Pada tahun 2010 ini FKUB telah berdiri di semua provinsi, yakni 33 buah. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota, saat ini telah ada 319 FKUB kabupaten dengan 315 Dewan Penasihatnya, dan 83 FKUB kota dengan 82 Dewan Penasihatnya. Berarti total sebanyak 402 FKUB kabupaten/kota dengan 397 Dewan Penasihatnya. Sementara itu, jumlah Peraturan Gubernur terkait FKUB dan kerukunan umat beragama saat ini sekitar 23 buah. 2. Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia mengangkat kultur toleransi antar sesama umat beragama, dan juga antarumat beragama dengan kepercayaan lokal –karena dengan kerangka Pancasila, seseorang mempercayai keyakinannya sendiri sekaligus menghormati ajaran dan pengikut agama/ keyakinan lain Pada tahun 2010 juga diselenggarakan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) FKUB II yang diselenggarakan oleh Ditjen Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri di Hotel Sahid Jakarta, tanggal 25 – 27 Mei 2010. Hasil yang dicapai, berkenaan dengan penyelenggaraan kehidupan berdemokrasi di berbagai daerah, diantaranya adalah deklarasi sebagai berikut: 3. Upaya yang dilakukan untuk menguraikan prinsip dari kebebasan beragama yang disebutkan dalam Pasal 29 UUD 1945 adalah dengan melakukan amandemen terhadap konstitusi (penambahan pasal 28E, 28I, 28J), membuat beberapa UU baru (UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik menjadi UU No 12 Tahun 2005. 1. Beberapa butir yang disampaikan Indonesia pada kedua dialog tersebut adalah: 4. Upaya yang dilakukan untuk memberdayakan organisasi non pemerintah dan meningkatkan kapasitas pegawai/ guru agama dalam menunjang toleransi umat beragama antara lain: membentuk FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama), melaksanakan Pelaksanaan Pemilu Kada adalah merupakan pelaksanaan dari sebagian tuntutan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara oleh karena it u hendaklah disambut baik oleh seluruh warga masyarakat dengan sukacita. 2. Seluruh masyarakat yang berada pada daerah yang akan menyelenggarakan Pemilu Kada untuk berpartisipasi secara aktif agar terselenggara Pemilu Kada yang rukun, demokratis, bermutu dan menjauhkan diri dari perbuatan tercela, karena kita bersaudara. 3. Pelaksanaan Pemilu Kada diharapkan akan menghasilkan kepemimpinan daerah yang amanah sehingga dapat terwujud cita-cita pembangunan nasional dan daerah yang LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 65 maju, adil dan sejahtera berdasar Pancasila dan UUD 1945. 4. Menghimbau semua pihak baik calon kepala daerah, pendukung dan masyarakat luas untuk tidak melakukan tindakan, ucapan yang dapat menimbulkan konflik sosial dan mengganggu kerukunan hidup umat beragama. untuk perbaikan kesejahteraan sosial dan ekonomi, sehingga kerukunan memberikan dampak posit if bagi kemajuan hidup berbangsa. 5. Mengajak dan menghimbau kepada seluruh pemilih agar memilih secara cerdas sesuai hati nurani pemimpin yang religius dan amanah, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. 2. Agar kerukunan menjadi semangat dalam memperkokoh kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara guna meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang bebas dari korupsi dan segala bentuk penyalahgunaan wewenang, yang mengakibatkan keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. 6. Menghimbau kepada pengurus dan anggota FKUB yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah hendaklah mengundurkan diri dan dengan sungguh-sungguh memegang teguh nilainilai agama serta ketokohannya sebagai panutan umat. 3. Aktualisasi peranan FKUB dalam membimbing dan mendorong t erciptanya masyarakat yang menjunjung tinggi etika, moral dan spiritual di dalam pengelolaan kebijakan publik yang transparan dan selalu beralaskan kepentingan umum, serta sungguh-sungguh berpihak kepada rakyat 7. Menjaga netralitas organisasi FKUB dalam proses Pemilu Kada. C. Kepada majelis-majelis agama, agar membangun sistem komunikasi dan koordinasi lintas agama. Selain it u, Kongres FKUB ke-2 juga diselenggarakan menjelang tahun 2010 ini. Kongres yang digelar 2 tahunan oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama ini dilaksanakan pada Desember 2009 di Jakarta, dan merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: A. Kepada Pemerintah Pusat dan Daerah: 1. Agar memberi penjelasan mengenai pelaksanaan ket ent uan bahwa pembiayaan kegiatan FKUB dibebankan pada APBN dan APBD 2. Memperkokoh kerukunan nasional dengan mencanangkan “Gerakan Indonesia Rukun”. 3. Agar diintensifkan sosialisasi PBM di jajaran pemerintah daerah, pengurus FKUB, dan masyarakat akar rumput sehingga PBM dipahami secara benar dan utuh baik di lingkungan pemerintah daerah, pengurus FKUB, dan masyarakat B. Kepada FKUB: Demikianlah sekilas upaya peningkatan dialog dan pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia sepanjang 2010. b). Diklat Bernuansa HAM Pada tahun 2010, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melakukan Diklat Bernuansa HAM yang bekerjasama dengan Komnas HAM dan Ditjen HAM pada Kementerian Hukum dan HAM. Dalam diklat-diklat yang dilaksanakan selama 10 hari itu, lima hari diantaranya diisi dengan materi-materi tentang HAM. Dengan demikian, maka telah terjadi diseminasi pemahaman tentang HAM mencakup kesepuluh kelompok hak dasar manusia sesuai UU No.39 tahun 1999—sedikit nya terhadap para peserta diklat tersebut. Lebih jauh, para peserta yang terdiri dari para guru, kepala sekolah, dosen, dan penyuluh agama itu kemudian akan mendeseminasikan lagi wawasan HAM-nya itu di sekolah atau tempat kerjanya masing-masing. 1. Penguatan peranan FKUB di dalam menciptakan kerukunan yang dinamis ser ta pemberdayaan umat beragama khususnya 66 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 c). Kegiatan Peacemaking 2010 di 6 lokasi. Kegiatan FGD ini dilaksanakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2010 bertempat di Banda Aceh (NAD), Pontianak (Kalimantan Barat), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Palangkaraya (Kalimantan Tengah), Samarinda (Kalimantan Timur), dan Kupang (NTT). Kegiatan ini bertujuan utama membangun jaringan perdamaian dengan mencetak kaderkader perdamaian di berbagai daerah. Kegiatan dilakukan secara andragogis dan menggunakan pendekatan Participatory Action Research (PAR) selama 4 hari, dan diikuti oleh sebanyak 22 orang pemuda/i lintas agama di masing-masing kota yang dipilih. Para kader ini ke depan diharapkan menjadi partner kerja FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama). [] LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 67 6 Penutup A. Kesimpulan B erdasarkan paparan pada bab-bab sebelumnya, maka ada beberapa kesimpulan yang disarikan: Pertama, terkait dengan masalah aliran/paham, pemikiran, dan gerakan keagamaan, pada tahun 2010 masih ditemukan munculnya berbagai aliran keagamaan yang digolongkan masyarakat sebagai aliran yang menyimpang. Dalam menangani masalah aliran yang digolongkan sesat oleh masyarakat, belum ditemukan pola yang baku, bahkan tidak jarang ditangani sendiri (dan terkadang dengan cara-cara anarkis) oleh masyarakat. Masalah Ahmadiyah masih tetap menyita perhatian masyarakat, di beberapa tempat terjadi tindakan anarkis yang dilakukan oleh kelompok radikal, umumnya peris­tiwa tersebut terjadi di daerah Jawa Barat. Majelis Ulama Indonesia menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara jihad dan terorisme. Terorisme bukan jihad, dan jihad bukan terorisme. Untuk melawan aksi terorisme perlu dikembangkan pemahaman agama yang bersifat moderat, pengembangan jihad-damai (peaceful jihad), sebagaimana ajaran mainstream muslim. Era reformasi memungkinkan munculnya beberapa gerakan Islam radikal, tetapi berdasarkan beberapa penelitian umumnya umat Islam berpaham moderat. Gerakan Islam radikal kelihatan besar karena kegiatannya selalu diliput oleh media massa. Masih terdapat beberapa pemikiran yang masih mempersoalkan keberadaan PBM, padahal PBM itu disusun oleh para pemuka agama, sedangkan pemerintah hanya memfasilitasi. 68 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Kalau PBM belum dapat berjalan dengan baik, itu bukan pada materi PBM tetapi pada level pelaksanaannya. Secara UU dan peraturan, Indonesia sudah menjamin perihal kebebasan beragam a, walaupun dalam pelaksanannya berbagai pihak menilai pemerintah belum sepenuhnya dapat menjamin kebebasan beragama. Tetapi kita patut bergembira karena delegasi negara tertentu justru ingin belajar toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia. Berkaitan dengan gerakan keagamaan, terdapat beberapa organisasi keagamaan yang mengadakan kongres tahun ini yaitu NU dan Muhammadiyah. Juga Kongres Umat Islam dan Kongres Tokoh Agama ketiga. Organisasi keagamaan ini umumnya mengembangkan paham keagamaan yang moderat dan menolak tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kedua, dalam bidang pelayanan dan pengamalan keagamaan, pada tahun 2010, diidentifikasi terdapat 4 (empat) masalah yang mencuat dan diduga kuat akan tetap berpengaruh terhadap dinamika kehidupan keagamaan masyarakat di Indonesia di tahun-tahun mendatang, yaitu: Rencana pemerintah untuk menerbitkan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan menjadi undang-undang tampaknya berpengaruh positif terhadap kesadaran legalisasi perkawinan di masyarakat. Kendati dalam jumlah yang masih terbatas, ada upaya pemerintah daerah dan LSM untuk melakukan pendataan terhadap masyarakat yang masih berstatus perkawinan tidak tercatat. Sedangkan sebagian masyarakat yang status perkawinannya tidak dicatat, dengan kesadaran sendiri berusaha meng-itsbat-kan perkawinannya. Dan, secara substansial, pembahasan RUU tampaknya akan berjalan cukup memakan waktu, sebab masih banyak komponen masyarakat yang belum bisa menerima adanya ketentuan pidana dalam hukum perkawinan Islam. Selain ada pasal yang masih debatable, seperti ketentuan pidana bagi pelaku kawin tidak dicatat, ternyata dianggap lebih besar dari pelaku zina. RUU Jaminan Produk Halal pun tampaknya akan mengalami nasib yang sama seperti RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Pembahasan tentangnya diperkirakan akan berjalan cukup alot, karena masih mendapat tentangan dari para pengusaha dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Keduanya berpandangan bahwa kewajiban sertifikasi produk dianggap monopoli dan memberatkan biaya produksi. Akibatnya, harga barang menjadi mahal dan daya beli masyarakat pun dapat berkurang. Selain itu, masih ada juga tarikmenarik kepentingan dalam pasal-pasal yang t erkait kewenangan lem baga yang akan melakukan sert if ikasi halal, apakah akan dilakukan pemerintah (Kementerian Agama) atau Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pemerintah berargumen bahwa keterlibatan mereka dalam sertifikasi produk halal untuk memperkuat MUI. Namun, MUI berpendapat pemerintah tampaknya hendak menyisihkan MUI dalam proses sertifikasi produk halal. Kendati perdebatan telah dicoba dilerai oleh DPR dengan menjadikan RUU Jaminan Produk Halal sebagai hak inisiatif DPR, namun tetap saja tidak akan mengurangi serunya pembahasan. Keinginan untuk melakukan penyempurnaan terhadap UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disambut banyak kalangan. Namun, gagasan sentralisasi pengelolaan zakat di Indonesia tampaknya akan mendapat tantangan cukup keras dari masyarakat. Selain itu, gagasan untuk menjadikan zakat sebagai pengurang langsung pajak tampaknya juga tidak mudah direalisasikan karena masih berkendala hukum. Gagasan itu perlu disesuaikan dengan UU Perpajakan dan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Dan berkenaan dengan penyelenggaraan ibadah haji, pemerintah t elah melakukan berbagai kebijakan untuk perbaikan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2010. Namun, berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan, pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 2010 masih dit emukan masalah, sepert i t ransportasi, keterbatasan suplai air, makanan (memakan makanan basi), dan kualitas pemondokan yang buruk. Selain itu, masih ditemukan pula bebe- LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 69 rapa Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) atau Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang memberangkatkan jamaah haji nonkuota yang pada akhirnya gagal berangkat atau terlantar di Arab Saudi. Dan ketiga, t erkait dengan masalah hubungan antaragam a, sepanjang 2010, hubungan antaragama atau kerukunan diwarnai sejumlah kasus. Permasalahan di sekitar pendirian atau perselisihan terkait rumah ibadat masih banyak terjadi. Secara umum permasalahan terjadi akibat kekurangpahaman atau kesalahpahaman dalam implementasi perat uran pendirian rumah ibadat, yakni PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006—selain masalah toleransi beragama yang masih kurang memadai. Kekurangpahaman terhadap PBM terjadi baik di kalangan umat beragama, maupun (dan terutama yang lebih strategis lagi) para pelaksana-teknis aturan itu di lapangan. Pemahaman yang terbatas aparat pelaksana-teknis itu, dalam pelaksanaannya, tidak jarang berhadapan dengan tekanan kekuatan massa atau ‘godaan’ oknum yang ingin memuluskan harapannya. Maka yang terjadi adalah ketidaksesuaian pelaksanaan dengan aturan, yang kerapkali berujung pada suatu kekecewaan sebagian pihak dan diwarnai kericuhan. Pemerintah memang sudah cukup intensif melakukan sosialisasi peraturan dan peningkatan wawasan multikultural/ toleransi bagi umat beragama, namun tindak lanjutnya oleh hierarki di bawahnya dinilai masih kurang. Demikian pula peran masyarakat sipil belum cukup optimal, dan bahkan dalam satu dan lain kasus justeru melakukan sesuatu yang kontraproduktif. Terkait aliran yang dinilai menyimpang atau penodaan agama, kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) masih menjadi PR besar Pemerintah dan masyarakat. Kehadiran SKB 3 Menteri nyatanya belum tersosialisasi dan terimplementasi dengan baik di lapangan. Peran pemerintah daerah dan pemuka agama dalam ‘pembinaan’ warga JAI dan penyosialisasiannya di masyarakat belum optimal, terbukti dari akseptasi masyarakat yang belum cukup baik. Adapun kasus-kasus penodaan agama lainnya sesungguhnya lebih terbatas dan bersifat lokal, 70 hanya saja justeru mendapat ‘pembesaran isu’ justeru dengan massifnya pemberitaan media dan laporan-laporan hasil kajian berbagai pihak. Putusan Mahkamah Konstitusi terkait konstitusionalitas UU No.1/PNPS/ 1965 menegaskan perlunya sebuah aturan terkait agama dan dinamika pemahamannya. Tak heran, silang pendapat pra dan pascaputusan Judicial Review UU No.1/PNPS/ 1965 ini yang cukup massif di masyarakat membuahkan kesadaran semua pihak akan pent ingnya Undang- Undang Kebebasan dan Perlindungan Beragama, atau apapun namanya, sebagai acuan dalam pengelolaan kehidupan beragama dalam masyarakat multikultur ini. Adanya dialog-dialog antaragama, upaya pengembangan HAM, serta kehadiran dan peran FKUB menjadi ‘berita gembira’ dalam proses dinamika kerukunan antarumat beragama. Meski demikian, kedewasaan dalam beragama masih perlu terus diupayakan dengan intensifikasi dan peningkatan kualitas upaya baik itu. B. Rekomendasi Memperhatikan kesimpulan-kesimpulan di atas, maka ada beberapa rekomendasi yang penting diperhatikan: Pertama, terkait aliran/paham, pemikiran, dan gerakan keagamaan, beberapa rekomendasinya adalah: 1. Perlu dilakukan pendataan terhadap aliranaliran keagamaan yang menyempal dari mainstream. Pendataan ini bertujuan untuk memetakan, mana aliran yang masih bisa diperbaiki dan mana yang tidak. Dengan pendataan ini bisa diketahui penyebab kultural dari lahirnya aliran tersebut, sehingga bisa mencegahnya secara preventif. 2. Perlu dilakukan lokakarya tentang model penanganan aliran-aliran keagamaan yang dianggap manyimpang dari ajaran pokok masing-masing agama. 3. Perlu ditingkatkan program deradikalisasi di kalangan umat beragama, seperti Lokakarya LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Pengembangan Budaya Damai di berbagai kalangan komunitas umat bera­gama. 4. Pemberian fasilitas yang maksimal kepada organisasi dan kelompok Islam moderat, dalam menciptakan agenda yang kontekstual dengan kebutuhan riil masyarakat. Dengan cara ini, Islam moderat bisa lebih memiliki arti signifikan, sehingga mampu membendung laju radikalisme Islam. 5. Penyebaran pemahaman Islam yang nirkekerasan kepada mahasiswa-mahasiswa di kampus umum, karena di kampus inilah radikalisme Islam dapat tersemai. Aktivis Islam urban selayaknya muslim muallaf yang masih memerlukan pemahaman Islam yang komprehensif. 6. Lebih digiatkan dialog antara pemerintah dan masyarakat sipil, dalam hal ini aktivis kebebasan beragama, agar tidak terjadi penentangan laten di tengah masyarakat. Kesalingpahaman antara keduanya akan melahirkan kebijakan yang ditopang oleh trust publik, sehingga kebijakan pemerintah adalah juga kebutuhan masyarakat. Kedua, berkenaan dengan bidang pelayanan dan pengamalan keagamaan adalah sebagai berikut: 1. Kepada pemerintah (Kementerian Agama RI) dan DPR hendaknya berhati-hati dalam membahas RUU Hukum Materiil Peradilan Bidang Perkawinan. Sebab, pasal-pasal pidana belum dapat diterima oleh kebanyakan masyarakat muslim. Pemerintah perlu menegaskan kepada masyarakat bahwa kehadiran RUU dalam rangka memperkuat UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Artinya, RUU bukan meniadakan UU Perkawinan tersebut, tetapi hanya specialis bagi masyarakat Muslim. Apabila resistensi masyarakat terlalu kuat dan diperkirakan dapat mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat, penting dipikirkan untuk menunda RUU tersebut atau mencari jalan yang lain seperti melakukan penguatan pada para hakim. 2. Pemerintah (Kementerian Agama RI) perlu segera menjalin komunikasi yang intensif dan terbuka dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sehingga ketidaksepahaman terkait ot oritas sertif ikasi produk halal dapat diselesaikan. Pengalaman LPPOM- MUI selama ini sebagai pihak yang melakukan sertifikasi produk halal hendaknya dapat dijadikan sebagai pijakan untuk melakukan komunikasi yang adil. Selain itu, pemerintah hendaknya memainkan peranan yang kuat dalam regulasi dan pengawasan sehingga proses sertifikasi produk halal lebih transparan dan berbiaya murah. 3. Pemerintah hendaknya mempertimbangkan secara matang keinginan untuk melakukan sent ralisasi pengelolaan zakat . Sebab, sentralisasi dapat mengabaikan otonomi pengelolaan zakat yang sudah dilakukan oleh lembaga pengelola zakat (BAZ dan LAZ). Sebaiknya, ketentuan pendirian BAZ dan LAZ diperketat dan pemerintah mengambil posisi untuk mendorong agar pengawasan dan audit publik dapat dilakukan oleh BAZ dan LAZ yang selama ini masih sangat kurang. Pemerintah dapat mendesakkan masalah ini dalam penyusunan RUU Pengelolaan Zakat dengan ket ent uan akan memberikan sanksi kepada BAZ dan LAZ yang tidak mau melakukan audit publik. 4. Pemerintah (Kementerian Agama) hendaknya memberikan sanksi keras terhadap KBIH dan PIHK yang masih memberangkatkan jamaah haji nonkuota, karena dapat merugikan jamaah sendiri. Langkah untuk mengurangi jamaah haji nonkuota, pemerintah hendaknya menggalakkan sosialisasi tentang kebijakan penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia dan penyuluhan kerugian menjadi jamaah nonkuota. Direkomendasikan pula agar pemerintah tidak mempergunakan kembali perusahaan catering yang telah menyediakan makanan basi dan menyewa pemondokan lebih dini sehingga ada waktu untuk meneliti kualitas gedung. Dan ketiga, terkait hubungan antaragama, beberapa rekomendasinya adalah: LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 71 1. Perlu intensifikasi sosialisasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 di seluruh kalangan masyarakat, dan t erutama aparat dan pihak pelaksana-teknis terkait. Untuk ini, Pemerintah dapat mendorong pemerintah daerah unt uk menggalakkan (kembali) upaya sosialisasi PBM dan peraturan di bidang kerukunan umat beragama. Searah dengan itu, upaya peningkatan wawasan multikultural dan toleransi beragama perlu ditingkatkan. Untuk ini, FKUB dan masyarakat sipil lainnya dapat didorong dan didukung, baik secara substansial maupun finansial, agar dapat lebih berdaya dan efektif. Di sisi lain, umat beragama hendaknya lebih dewasa dalam menyikapi dinamika kehidupan antaragama, dan senantiasa mengedepankan semangat kebersamaan. 2. Pemerintah perlu terus menyosialisasikan SKB3 Menteri terkait penanganan Ahmadiyah dan memonitor pelaksanaannya. Baik warga JAI maupun masyarakat hendaknya menaati SKB 3 M ent eri. Sedangkan beberapa t indakan melanggar hukum di sekitar pelaksanaannya hendaknya diselesaikan sesuai aturan hukum yang berlaku. 3. Pemerintah dan masyarakat hendaknya dengan kejernihan pikir dan semangat kebersamaan dapat turut berkontribusi dalam penyusunan RUU Kebebasan dan Perlindungan Beragama yang kini menjadi inisiatif DPR untuk menyusunnya. 4. Dialog antaragama, pengembangan HAM, dan pemberdayaan FKUB perlu t erus ditingkatkan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Upaya ini diharapkan bukan sekedar programatik melainkan sistemik dan berperspektif pembangunan, serta dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. [] 72 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 Catatan Akhir Satu: Pendahuluan 27 http:// www.gatra.com/artikel. php?pil=23& id=139701 1 28 Jeffry K. Hadden, “Religious Movements”, dalam E. F. Borgotta dan M. L. Borgotta, Encyclopedia of Sociology, 1992. 2 Pasal 783 Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 2006. Masalah yang menjadi tugas Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI tetapi tidak dibahas dalam laporan ini adalah terkait pendidikan agama dan keagamaan; dan lektur keagamaan. Tiga: Aliran/ Paham, Pemikiran dan Gerakan Keagamaan 1 http:// surabaya.detik.com/ read/ 201001/18/ 174514/ 1281016/475/ aliran-sesat-brayan-agung-larangpengikutnya-salat, diunduh pada 5 Maret 2010. 2 http:/ / bandung.detik.com/ read/ 2010/01/ 21/ 102859/ 1283095/486/ penodaan-agama-jelas-ada, diunduh pada 5 Maret 2010. 3 http:// news.okezone.com/read/ 2010/01/ 15/340/ 294563/ 340/ markas-aliran-sesat-masih-dijaga, Jum’at, diunduh pada 15/ 1/ 10. 29 Tim Penanggulangan Terorisme Melalui Pendekatan Ajaran Islam, Meluruskan Makna Jihad Mencegah Terorisme, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2009, hlm. 22-26 30 http:// www.pikiran-rakyat.com/ node / 119 650 31 http:/ /www.gatra.com/ artikel.php?pil=23& id=140839 32 Kompas, Jumat, 5/3/2010, hlm. 4 33 Kompas, Senin, 15/3/2010 34 Kompas, Rabu, 17/3/2010, hlm. 1 35 Kompas, Minggu, 16/5/2010, hlm. 1 36 Kompas, Minggu, 16/5/2010, hlm. 1 37 “Lack of Critical Thinking Root of Terrorism, says Muslim author The Jakarta Post 38 “NU to Take Leading Role in Combating Terrorism, The Jakarta Post 4 http:/ /autos.okezone. com/read/ 2010/01/ 24/340/ 297191/ 340, Minggu, 24 Januari 2010. 5 http:/ / www.pikiran-rakyat. com/node/ 113774. 6 http:// sura­baya.detik.com/read/2010/02/22/ 131722/ 1304266/ 475, diunduh pada 5 Maret 2010 39 Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihad dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2009, hlm. 83). 7 Okezone, Senin, 15 Maret 2010 - 21:10 40 Kasjim, Ibid, hlm. 85 8 9 Gatra, 1 Maret 2010 http:/ /news. okezone.com/read/ 2010/04/ 08/341/ 320486/ mui-sumut-aliran-al-haq-sesat\Kamis, 8 April 2010). 10 http:// www.pikiran-rakyat.com/ node/112427 11 Laporan Kasus Keagamaan dari PKUB 12 http:/ / www.gatra. com/ artikel.php?pil=23& id=140724 42 Kasjim, Ibid, hlm. 86-87 43 Imam Tholkhah, Dimensi Baru Gerakan Islam Radikal di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Kemen­terian Agama RI, 2005 44 http:// www.mediaindonesia.com/read/ 2010/08/ 08/ 162337/ 91/ 14/ Kelompok-RadikalDampakSampingan-dari-Reformasi 13 Koran Tempo, 2 Oktober 2010, hlm. A.2 14 Koran Tempo, 5 Oktober 2010, hlm. C.3 15 Koran Tempo, 4 Oktober 2010, hlm. C.2 16 Koran Tempo, 12 Oktober 2010, hlm. A.9 17 Ahmadiyah Followers Promised Safe Return Home, The Jakarta Post 18 http:// www.mediaindonesia .com/ read/ 2010/07/ 31/ 159198/91/14 19 http:// www.pikiran-rakyat.com /node/ 118904 20 Koran Tempo, “Penye­rangan Ahmadiyah Dianggap Kriminal”, 3 Oktober 2010 hlm. A.4 21 Koran Tempo, 7 Oktober 2010, hlm. 7 22 Koran Tempo, 11 Oktober 2010, hlm. A.6 23 Sindo, 10 Agustus 2010 24 Buku Sosialisasi SKB Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, hlm. ii-viii 25 http:// www.pikiran-rakyat.com/ node/119453 26 http:/ /www.gatra.com/ artikel.php?pil=23& id=139479 41 Grant Wardlaw, Political Terrorisme, New York: Cambridge University Press, 1986, hlm. 14-15 45 http:// www.mediaindonesia.com/read/ 2010/08/ 08/ 162332/91/14 46 Republika, 8 Januari 2010 47 SETARA Institute, Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat, 2010, hlm. iii-iv 48 Kompas, Jum’at, 12/2/2010, hlm. 3 49 http:// www.gatra.com/artikel.php? pil=23& id=138938 50 Republika, 5/1/2010 51 Sindo, 13/ 10/2010 52 Kompas, 6 Agustus 2010 53 M. Atho’ Mudzhar, Dilema di Balik Kebebasan Beragama dan Penodaan Agama: Perlunya Perspektif Indonesia, Makalah disampaikan pada diskusi terbatas dengan tema: Kebe­basan Beragama dan Penodaan agama yang dilaksanakan oleh Kantor Dewan Pertim­bangan Presiden, Jumat, 27 Agustus 2010 54 Kompas, Selasa, 2/2/2010, hlm. 5 55 www.mediaindonesia.com LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 73 56 Kompas, Senin, 19/ 4/ 2010, hlm. 36 57 Koran Tempo, 11 Mei 2010, hlm. A11 58 Kompas, Sabtu, 15 Mei 2010, hlm. 9 Indonesia dan Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). 59 Republika, 25 Januari 2010 8 9 60 Sindo, 27 Agustus 2010 61 Kompas, 28 Agustus 2010 10 Seputar Indonesia, 30/ 4/ 2010 M. 11 Koran Tempo, 14/ 5/ 2010. 62 Kompas, 27 Agustus 2010 12 Republika, 5/ 5/ 2010. 63 Kompas, 20 September 2010 64 Kompas, 25 September 2010 13 Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Pemberdayaan Zakat: Upaya Sinergis Wajib Zakat dan Pajak di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2006. 65 http:// www.detiknews .com/read/ 2010/01/ 10/ 201511/1275314/10/mui-se-sumatera-keluarkan-6rekomen-dasi-untuk-pemerintah, diunduh pada 19 April 2010 14 Koran Tempo, 14/ 5/ 2010. 15 Republika, 4/ 3/ 2010. 66 Kompas, 19/ 3/2010, hlm. 4 67 Kompas, 20/ 3/2010, hlm. 4 68 Kompas, 21/ 3/2010, hlm. 1 69 Kompas, 15/ 05/2010, hlm. 3 70 Kompas, Sabtu, 22/5/2010, hlm. 4 71 Tough Competition for NU Chairmanship Vote in March, The Jakarta Post 72 Muhammadiyah (Kompas, 21/5/2010, hlm. 3 73 ttp:/ / www.mediaindonesia.com/ read/2010/ 07 / 01/ 152697/18/ 1 74 Kompas, 16/ 4/2010, hlm. 4 75 Sabili, No. 22, tanggal 27 Mei 2010, hlm. 92 76 Kompas, Sabtu, 8/ 05/2010, hlm. 4 Al-Arham, Edisi 31, September 2010. Majalah Gontor, Oktober 2010 M/ Dzulqaidah 1431 H. 16 Koran Tempo, 14/ 5/ 2010. 17 Seminar Hasil Penelitian tentang Kepuasan Jamaah Haji terhadap Kualitas Penyelenggaraan Ibadat Haji tahun 1430 H/ 2009 M, diselenggarakan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Hotel Cemara Jakarta, 13 Desember 2010. 18 Majalah Ikhlas Beramal, No. 66, Tahun XIII, Desember 2010. 19 Seminar Hasil Penelitian tentang Kepuasan Jamaah Haji terhadap Kualitas Penyelenggaraan Ibadat Haji tahun 1430 H/ 2009 M, diselenggarakan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Hotel Cemara Jakarta, 13 Desember 2010. 20 Majalah Ikhlas Beramal, No. 66, Tahun XIII, Desember 2010. 77 Kompas, Kamis, 10/ 5/ 2010. Hlm.4 78 Republika, 3/ 2 /10 79 http:// www.mediaindonesia. com/ read/ 2010/06/ 10/ 148097/91/14 Lima: Hubungan dan Kerukunan Antarumat Beragama 1 Sumber: Laporan Kasus pada PKUB 2 Proposal Diskusi Publik tentang “Menyoal Rancangan Undang-Undang Produk Halal”, diselenggarakan oleh The Wahid Institute, tanggal 28 Juli 2009, diunduh dari www.wahidinstitute.org. Sumber: Antara, “Pemkot Bogor Segel Gereja Yasmin”, http:// www.antaranews. com/ berita/ 1268349553/ pemkot-bogor-segel-gereja-yasmin diunduh pada 27 Agustus 2010 3 Sumber : Warta Kota, 21 Juli 2010 2 “RUU Jaminan Produk Halal Diskirimatif”, diunduh dari www.kompas.com, tanggal 26/ 8/ 2009. 4 5 Sumber: Laporan Kasus pada PKUB Dari berbagai sumber. 6 3 4 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 127. Disampaikan pada acara peluncuran Laporan Tahunan Kehidupan Beragama 2010 yang diselenggarakan Center for Religious and Crosscultural Studies, tanggal 1 Februari 2011. 5 Nasaruddin Umar, ... 6 Penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan di Kota Pontianak mengungkapkan, perkawinan tidak dicatat di sana disebut perkawinan di bawah tangan, sedangkan kawin sirri disebut kawin Daud. Imam Syaukani (Ed), Keluarga Harmoni dalam Perspektif Berbagai Komunitas Agama, Laporan Penelitian (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2010). Laporan Tahunan Kehidupan Beragama 2010, Yogya: CRCS-UGM, 2011, hlm. 34. Negara Menyangkal: Kondisi Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia 2010, Jakarta: Setara Institute, Januari 2011, hlm. 9. Sumber: Antara, “Ormas Islam Tolak Usulan Pencabutan PBM, http:// www.antaranews.com/ berita/ 12845 54417/ormas-islam-tolak-usulanpencabut an-pbm diunduh pada 8 Oktober 2010 Sumber : Antara, “Peraturan Kerukunan Beragama Perlu Jadi UU, http:/ /www.antaranews.com/ berita/ 1284619198/ peraturan-kerukunan-beraga ma-perlujadi-uu diunduh pada 8 Oktober 2010). Empat: Pelayanan dan Pengamalan Keagamaan 1 7 74 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di 7 8 9 10 Sumber: Detik, “Menag: Kasus HKBP Ciketing Bukan Persoalan SKB”,http:/ /www. detiknews.com/ read/ 2010/ 09/ 21/ 164751/1444971/10/ menag-kasushkbp-ciketing-bukan-persoalan-skb diunduh pada 8 Oktober 2010 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 11 Detik,” NU Jatim Minta Warga Sumenep Tidak Terprovokasi”, (Sumber: http:/ /surabaya. detik.com/ read/ 2010/ 02/ 18/ 134149/ 1302097/ 475/nu-jatimminta-warga-sume nep-tidak-terprovokasi, diunduh pada 5 Maret 2010 37 http:// www.antaranews.com /berita/ 1265923518/ tokoh-kristen-poso-tentang-uu-penodaan-agama, diunduh pada 25 Februari 2010 38 Kompas,Kamis, 11/2/2010, hlm. 4 12 Sumber: Media Indonesia, 3 Maret 2010 13 Sumber: http:// www.mediaindonesia.com/ read/ 2010/ 04/21/ 137379/38/ 5/ Markus-Dite ngaraiWarnai-Kasus-Buddha-Bar 40 Republika, 18/ 2/2010 41 Failure to revise blasphemy law would ‘limit role of religion’The Jakarta Post 39 Kompas, Selasa, 9/2/2010, hlm. 7 14 Sumber: Pikiran Rakyat, 13 Mei 2010 15 Sumber: Sabili Nomor 22 tanggal 27 Mei 2010 halaman 88 judul “Karnaval Salib di Masjid Agung Bekasi/ Masjid Al-Barkah” 16 Sumber: http:// www.pikiran-rakyat.com/ node/ 113688 17 Sumber: Koran Tempo, “Polda Bali Selidiki Pelecehan Nabi”, 29 Mei 2010 hlm. A.7 18 Sumber: Artikel “FPI Soroti Patung Bima di Pertigaan Jalan Baru Purwakarta”, http:// www.pikiranrakyat.com/node/ 118650 19 Sumber: Antara, “Mendagri Minta FKUB Diberdayakan Atasi Persoalan Ahmadiyah”, http:/ / www. antaranews.com/berita/ 1280484049/ mendagri-minta-fkub-diberdaya-kan-atasipersoalan-ahmadiyah, diunduh pada 20 Agustus 2010 20 Sumber: Patung Bima di Purwakarta Didemo Pelajar, http:// www.pikiran-rakyat.com/ node/119392 21 Sumber: Antara, “FPI Robohkan Papan Nama Jamaah Ahmadiyah Jatim” http:// www.antaranews.com/ berita/ 1281432983/ fpi-robohkan-papan-nama-jama ah-ahmadiyah-jatim diunduh pada 20 Agustus 2010 22 Sumber: Artikel “Rencana Aksi Pemba­karan Alquran Tokoh Lintas Agama Datangi Kedubes AS”, www.media­indonesia.com 23 Sumber: Arti­kel “Masyarakat Desak Ahmadiyah Dibubarkan”, http:/ /www.pikiran-rakyat. com/ node/ 119710). 24 Republika, 5 Februari 2010 25 Republika, 1 Februari 2010 26 Republika, 24 April 2010 27 http:// www.antara news.com/berita/ 1264921815/ diunduh pada 25 Februari 2010 28 Majalah Sabili, hlm. 17 No. 16, tanggal 4 Maret 2010 29 Republika, 20 Maret 2010 30 Republika, 4 Maret 2010 31 Republika, 13 Maret 2010 32 Republika, 13 Maret 2010 33 http:// www.antara.co.id/ berita/ 1265787869, diunduh pada 25 Februari 2010 34 http:// www.mediaindonesia. com/read/ 2010/04/ 04/ 137144/16/ 1 35 Blasphemy Law Still Relevant, but Need Revision: Court Told, The Jakarta Post 36 http:// www.antara.co.id/ berita/ 1265782553/kwinegara-tidak-boleh-intervensi keyakinan-agama, diunduh pada 25 Februari 2010 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010 75 76 LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010