Laporan Tahunan
Kehidupan Keagamaan
di Indonesia
Tahun 2010
Kementerian Agama RI
Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
2010
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
1
Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan
di Indonesia 2010
Tim Penulis:
Nuhrison M. Nuh
Imam Syaukani
Akmal Salim Ruhana
Desember 2010
ISBN : 978-979-797-xx-x
Diterbitkan oleh:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Jl. M. H. Thamrin No. 6 Lt. 19
(T) 021-3920425 (F) 021-3920421
2
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Daftar Isi
Daftar Isi ..........(3)
Ringkasan ..........(4)
Satu
PENDAHULUAN ..........(5)
A. Dasar Pemikiran ..........(5)
B. Metode ..........(6)
C. Tujuan ..........(7)
D. Batasan ..........(7)
E. Sumber Laporan ..........(7)
F. Pelaksana ..........(7)
Dua
DEM OGRAFI KEAGAM AAN INDONESIA ..........(8)
A. Jumlah Pemeluk Agama ..........(8)
B. Jumlah Rumah Ibadat ..........(9)
Tiga
ALIRAN/ PAHAM , PEM IKIRAN, DAN GERAKAN KEAGAM AAN ..........(12)
A. Aliran/Paham Keagamaan ..........(12)
B. Pemikiran Keagamaan ..........(20)
C. Gerakan Keagamaan ..........(29)
Empat PELAYANAN DAN PENGAM ALAN KEAGAM AAN ..........(33)
A. RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan ..........(34)
B. RUU Jaminan Produk Halal ..........(41)
C. RUU Pengelolaan Zakat ..........(44)
D. Penyelenggaraan Ibadah Haji 1431 H ..........(45)
Lima
HUBUNGAN DAN KERUKUNAN ANTARUM AT BERAGAM A ..........(3)
A. Kasus di Seputar Rumah Ibadat ..........(52)
B. Kasus Penodaan Agama ..........(56)
C. Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965 ..........(59)
D. Kekerasan Atas Nama Agama dan HAM ..........(63)
E. Dialog dan Harmoni ..........(64)
Enam PENUTUP ..........(6)
A. Kesimpulan ..........(68)
B. Rekomendasi ..........(70)
Catatan Akhir ..........(73)
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
3
4
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
1
Pendahuluan
A. Dasar Pemikiran
P
usat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI (Puslitbang
Kehidupan Keagamaan) merupakan instansi Pemerintah yang
bertugas dan berfungsi melakukan penelitian dan pengembangan dalam bidang kehidupan keagamaan. Ada tiga masalah
kehidupan keagamaan yang menjadi sasaran penelitian dan
pengembangannya, yakni masalah aliran/paham, pemikiran, dan
gerakan keagamaan; pelayanan dan pengamalan keagamaan;
serta hubungan antaragama.1
Puslitbang Kehidupan Keagamaan dalam waktu yang
cukup panjang telah melakukan berbagai penelitian dan
pengembangan berkenaan dengan tiga masalah di atas.
Berdasarkan pengalaman selama bertahun-tahun, tiga masalah
tersebut merupakan masalah kehidupan keagamaan yang
seringkali mengemuka, dan bahkan kadang menimbulkan
kontrversi di masyarakat. Rentang waktunya pun berbeda-beda,
ada masalah kehidupan keagamaan yang sifatnya temporal tetapi
ada pula yang berkelanjutan.
Pada 2010, media massa memberitakan beberapa masalah
kehidupan keagamaan, baik yang sifatnya temporal maupun
berkelanjutan. Dalam masalah aliran/paham, pemikiran, dan
gerakan keagamaan misalnya, tercatat di antaranya berita tentang
Ahmadiyah, al-Haq, Surga Eden, Hidup Dibalik Hidup (HDH), dan
Brayan Agung. Aliran-aliran keagamaan tersebut ditengarai oleh
masyarakat meyakini dan mengamalkan ajaran agama yang
menyimpang dari mainstream, sehingga distigmatisasi sebagai
aliran sesat dan menyesatkan. Dalam masalah pelayanan dan
pengamalan keagamaan misalnya, tercatat di antaranya berita
tentang kontroversi rencana pidana bagi pelaku perkawinan sirri,
wacana zakat sebagai pengurang pajak, pro-kontra kepentingan
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
5
antara Kementerian Agama dan MUI dalam
sertifikasi halal, dan masalah penyelenggaraan
ibadat haji. Dalam masalah hubungan antaragama misalnya, tercatat di antaranya berita
tentang kasus pendirian rumah ibadat, kasus
penodaan agama, dan perdebatan di sekitar
putusan Mahkamah Konstitusi tentang judicial
atau constitutional review UU No. 1/PNPS/1965.
Beberapa masalah kehidupan keagamaan
yang disebutkan di atas hanya sebagian kecil
dari banyaknya masalah kehidupan keagamaan
yang sempat tercatat media massa. Banyaknya
masalah tersebut menunjukkan bahwa masalah
kehidupan keagamaan di Indonesia tumbuh dan
berkembang sangat dinamis. Bahwa terkait
masalah itu terkadang muncul pandangan pro
dan kontra di masyarakat, hal tersebut masih
dianggap wajar. Sebab, masing-masing orang
kerap mempunyai paradigma dan sudut pandang
berbeda dalam memahami suatu masalah.
Dinamika kehidupan keagamaan dan
beragamnya paradigma dan sudut pandang
masyarakat dalam memahami masalah tersebut
sangat menarik untuk dicermati. Sebab, tidak
jarang perbedaan sudut pandang tersebut juga
menimbulkan kontroversi tersendiri di masyarakat, sehingga tidaklah aneh apabila masyarakat kemudian terombang-ambing dalam
ketidakpastian informasi. Kondisi inilah yang
kemudian dapat dimanfaatkan oleh sebagian
orang untuk “memancing di air keruh”, menyulut
emosi masyarakat sehingga melakukan tindakan
kekerasan yang membahayakan keselamatan
orang lain. Ironisnya, tindakan tidak beradab
tersebut tidak jarang mengatasnamakan agama,
yang sejak dahulu kala selalu mengajarkan
kesantunan terhadap siapa pun.
Untuk alasan apapun, melakukan tindak
kekerasan atau anarkis terhadap warga negara
Indonesia yang berbeda agama bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan
peraturan perundang-undangan yang terkait
dengannya. Pasal 29 UUD 1945 secara tegas
menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Masalahnya, analisis yang dilakukan The Wahid
6
Institute, Setara Institute, dan Center for Religious
and Cross-Cultural Studies (CRCS) melalui
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di
Indonesia tahun 2008 dan 2009 mengungkapkan bahwa pelaksanaan Pasal 29 UUD 1945
di Indonesia masih cukup memperihatinkan.
Lalu, bagaimana dengan 2010? Apakah
peristiwa yang terjadi di 2008 dan 2009 terjadi
lagi di 2010, atau ada peristiwa-peristiwa baru
yang muncul? Belajar dari apa yang telah
dilakukan tiga lembaga di atas pada 2008 dan
2009, Puslit bang Kehidupan Keagamaan
berusaha melakukan analisis terhadap dinamika
kehidupan keagamaan di Indonesia tahun 2010.
Hasil analisis tersebut kemudian dituangkan
dalam Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan
2010. Secara umum, laporan tahunan ini
menyajikan informasi t entang kehidupan
keagamaan, baik yang dianggap kemajuan
maupun yang masih mengalami kendala.
Laporan ini mengangkat isu-isu aktual di bidang
kehidupan keagamaan yang terjadi di tahun
2010. Isu-isu yang diangkat terbatas pada halhal yang berkaitan dengan masalah aliran/
paham, pemikiran dan gerakan keagamaan;
pelayanan dan pengamalan keagamaan; serta
hubungan antaragama.2
B. Langkah, Metode, dan Sumber
Informasi
Laporan tahunan ini ditulis berdasarkan
hasil diskusi dengan metode sebagai berikut.
Pertama, merencanakan dan melaksanakan
seluruh rangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan data berupa penelusuran berita yang ada
di media massa maupun dari sumber-sumber
lain di Kementerian Agama RI. Kedua, mendokumentasikan berita-berita surat kabar dan hasil
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
penelitian yang berkaitan dengan masalah aliran/
paham, pemikiran, dan gerakan keagamaan;
pelayanan dan pengamalan keagamaan; serta
hubungan antaragama. Ketiga, mengklasifikasikan data sesuai dengan masalah aliran/paham,
pemikiran, dan gerakan keagamaan; pelayanan
dan pengamalan keagamaan; serta hubungan
antaragama. Keempat, menyeleksi berita-berita
yang mempunyai nilai pengaruh yang luas
terhadap kehidupan keagamaan masyarakat.
Kelima, menuliskan hasilnya dalam bentuk buku
laporan tahunan, dengan menyer-takan hasilhasil kajian Puslitbang Kehidupan Keagamaan
serta laporan atau hasil kajian terkait lainnya
dalam pembahasannya.
Fenomena kehidupan keagamaan dipaparkan secara apa adanya. Adapun pembahasan dan analisa dilakukan dengan mengindahkan hasil kajian dan penelitian yang berperspektif (dan dalam kerangka) kebijakan.
Sumber penulisan laporan tahunan ini
didasarkan pada data dokumentasi yang
dipunyai Puslitbang Kehidupan Keagamaan.
Dokumentasi dilakukan terhadap sejumlah surat
kabar nasional, seperti: The Jakarta Post,
Republika, Kompas, Media Indonesia, Koran
Tempo, Seputar Indonesia, dan majalah nasional
seperti Gatra dan Sabili, serta koran daerah
Pikiran Rakyat, yang dipantau secara terus
menerus dari waktu ke waktu, sejak bulan Januari
hingga November 2010. Selain dari berita di
surat kabar dan majalah, sumber data berasal
dari dokumen-dokumen yang ada di Pusat Kerukunan Umat Beragama dan Staf Ahli Menteri
Agama Bidang Pemikiran dan Paham Keagamaan, serta beberapa hasil penelitian yang
dilakukan sendiri oleh Puslitbang Kehidupan
Keagamaan.
C. Tujuan
Tujuan penulisan Laporan Tahunan
Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2010 adalah:
Pertama, mendokumentasikan dan menganalisis
berbagai peristiwa keagamaan pada tahun 2010,
sehingga dapat memberikan gambaran secara
utuh tentang pola kehidupan keagamaan di
Indonesia. Kedua, menjadi basis informasi yang
utuh bagi Pemerintah dan masyarakat tentang
berbagai agenda peme-cahan masalah yang
perlu diupayakan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan keagamaan di Indonesia.
D. Batasan
Laporan tahunan ini bukan laporan
kegiatan Puslitbang Kehidupan Keagamaan,
kendati dalam penulisannya menggunakan
pedoman bidang penelitian dan pengembangan yang berlaku di instansi Pemerintah
tersebut. Laporan tahunan ini merupakan
rekaman dan catatan berbagai perist iwa
kehidupan keagamaan di Indonesia yang terjadi
sepanjang tahun 2010. Kehidupan keagamaan
dalam laporan ini dibatasi hanya pada wilayah
tugas Puslitbang Kehidupan Keagamaan, yaitu
masalah aliran/paham, pemikiran, dan gerakan
keagamaan; pelayanan dan pengamalan
keagamaan; serta hubungan antaragama.
E. Pelaksana
Laporan tahunan ini ditulis dan disusun
oleh sebuah tim di Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, yang terdiri atas Kepala Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Prof. H. Abd Rahman
Mas’ud, Ph.D, selaku Penanggung Jawab, Kepala
Bidang Evaluasi dan Pelaporan, Drs. H. Moh.
Khafid, MM, selaku Koordinator kegiatan, Dra.
Hj. Suhanah, M.Pd, selaku Ketua Pelaksana, Drs.
H. Nuhrison M. Nuh, MA, APU selaku Penulis
bagian Aliran/ Paham, Pemikiran, dan Gerakan
keagamaan, Imam Syaukani, S.Ag, MH selaku
Penulis bagian Pelayanan dan Pengamalan
Keagamaan, dan Akmal Salim Ruhana, SHI
selaku Penulis bagian Hubungan Antaragama,
serta dibantu oleh Rahmah Nur Fitriani, ST,
Zabidi, Achmad Rosidi, S.Ag, Ibnu Hasan Muchtar
Lc, MA, dan Hj. Mesrawati, BA, sebagai tenaga
teknis. []
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
7
2
Demografi Keagamaan
Indonesia
A. Jumlah Pemeluk Agama
I
ndonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk dari segi
suku bangsa, budaya, dan agama. Penduduk Indonesia saat
ini terdiri dari 1.128 suku bangsa yang tersebar di berbagai
wilayah dengan beragam budayanya masing-masing. Penduduk
ini juga menganut agama dan kepercayaan yang berbeda-beda.
Bagian terbesar dari penduduk Indonesia menganut agama
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Selain
agama-agama itu, terdapat ratusan kepercayaan dan aliran
keagamaan. Setelah pada masa Orde Baru Khonghucu tidak
dianggap sebagai agama, sejak tahun 2000 Khonghucu
dimasukkan kembali sebagai salah satu agama yang diberikan
pelayanan oleh Pemerintah. Pada tahun 2005 pemeluk agama
Khonghucu pun mulai dicatat dalam survei penduduk nasional
oleh BPS.
Berdasarkan hasil Sensus BPS tahun 1990, 2000, dan 2005,
terjadi fluktuasi jumlah dan persentase penduduk berdasarkan
agamanya, sebagai berikut (Tabel 1):
8
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Tabel 1
Jumlah dan Persentase Pemeluk Agama di Indonesia (1990, 2000, 2005)
Melihat data di atas, ternyata perkembangan jumlah pemeluk pada semua agama fluktuasinya
sangat rendah, tidak terjadi penaikan atau penurunan jumlah pemeluk agama yang signifikan.
Oleh karenanya, isu tentang Kristenisasi dan/ atau Islamisasi yang mengandaikan terjadinya
perpindahan pemelukan agama tidak memperoleh dukungan data.
Penduduk beragama Islam merupakan mayoritas secara nasional. Namun agama-agama
tertentu lainnya merupakan agama yang dipeluk mayoritas penduduk di provinsi tertentu, seperti
Hindu di Bali, Katolik di Nusa Tenggara Timur, Kristen di Sulawesi Utara dan Papua. Karenanya,
stigmatisasi ‘mayoritas-minoritas’ menjadi kabur dan tidak seutuhnya tepat. Istilah ‘mayoritasminoritas’ sejatinya tidak lagi digunakan dalam berbagai wacana di Indonesia, dan kondisinya disikapi
secara dewasa. Berikut jumlah dan persentase pemeluk agama di empat provinsi tersebut (Tabel 2).
Tabel 2
Jumlah dan Persentase Pemeluk Agama Tahun 2009
di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua
B. Jumlah Rumah Ibadat
Secara simbolik, keberadaan suatu rumah ibadat mengindikasikan keberadaan pemeluknya
dan lingkungan dimana umat beragama berinteraksi. Oleh karena itu, penting menghadirkan data
tentang jumlah rumah ibadat, terlebih laporan ini dalam salahsatu bagiannya akan membahas
lebih dalam. Berikut data rumah ibadat yang diolah dari berbagai sumber (Tabel 3).
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
9
Tabel 3
Jumlah Pemeluk Agama dan Rumah Ibadat Tahun 2010
Keterangan: Bimas Islam dalam Angka bersumber BPS2005, sedangkan Data Validasi 2009 Bimas Hindu
dan Bimas Budha 2008 diolah dan dibuat oleh Bimas bersangkutan.
Tabel 3 di atas menunjukkan beberapa hal,
sebagai berikut:
Pertama, data jumlah rumah ibadat dari
berbagai sumber ternyata berbeda cukup
signifikan (misalnya: jumlah masjid versi Bimas
Islam dalam Angka 2009 terpaut 166.307 lebih
sedikit dari versi Data Validasi Bimas Hindu;
jumlah pura versi Bimas Hindu lebih banyak
10.447 dari versi Bimas Islam dalam Angka 2009).
Hal ini ditengarai karena perbedaan kategorisasi
rumah ibadat (misal, mushola terhitung sebagai
masjid), atau cara dan sumber penghitungan
yang berbeda (misal: ada yang melandaskan
pada data BPS—dalam kategori ini Bimas Islam
dalam Angka 2009, dan ada yang melandaskan
pada penghitungan manual oleh perangkatnya
di daerah). Data pada Bimas Kristen misalnya
juga mengkategorikan data gerejanya pada:
permanen, semi permanen, darurat, dan sewa/
kontrak. Hal ini pun memungkinkan cara penghitungan yang berbeda.
Dua, dengan konsisten pada salahsatu
sumber, misalnya saja pada data Bimas Islam
dalam Angka 2009 yang cukup lengkap dengan
menyebut jumlah pemeluknya, maka tergambar
perbandingan atau rasio jumlah rumah ibadat
terhadap jumlah pemeluknya sebagai berikut
(Tabel 4):
10
Tabel 4
Perbandingan jumlah rumah ibadat
terhadap jumlah pemeluk
Semakin tinggi angka pembanding dalam
rasio itu maka semakin banyak umat yang
terlayani oleh suatu rumah ibadat, dan berarti
semakin sedikit rumah ibadat yang tersedia
untuk sejumlah pemeluk agama bersangkutan.
Artinya, dari data itu, satu masjid melayani 885
pemeluk Islam, sedangkan satu gereja-Kristen
melayani 331 jemaat Kristen, dan seterusnya.
Jumlah gereja-Kristen berarti lebih banyak dari
proporsi jumlah pemeluk yang dilayaninya, hal
ini mungkin karena kekhasan Kristen yang
memiliki beragam denominasi dengan masingmasing gerejanya—yang tidak dapat digunakan
secara bersama/ bergantian oleh pemeluk
seagama tetapi berbeda denominasi. PuraHindu paling banyak jumlahnya dibandingkan
proporsi umat yang dilayaninya boleh jadi
karena faktor kekhasan Bali.
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Dan ketiga, semua sumber belum menyebutkan data jumlah rumah ibadat Khonghucu,
yakni berupa Lithang atau Klenteng. Diketahui
bahwa Khonghucu baru dilayani kembali oleh
Pemerintah sejak 2006, sedangkan sensus
terakhir oleh BPSyang telah terpublikasi hasilnya,
dilakukan tahun 2005. Maka besar kemungkinan
data jumlah rumah ibadat Khonghucu baru akan
tersedia pada tahun 2011 ini sebagai hasil Sensus
2010 lalu. Hingga laporan ini ditulis, BPS belum
mempublikasi hasil sensus dimaksud. Majelis
Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin)
sendiri nampaknya belum dapat menyebut
angka-pasti jumlah pemeluk agama Khonghucu,
selain adanya klaim bahwa ada sekitar 4 juta
jemaat yang sembahyang di Klenteng-klenteng
--sebagaimana penjelasan dari PKUB. []
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
11
3
Aliran/Paham, Pemikiran
dan Gerakan Keagamaan
A. Aliran/Paham Keagamaan
P
ada tahun 2009, CRCS mencatat 25 kasus yang berkaitan
dengan aliran/paham keagamaan yang dianggap sesat, yang
tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Pada umumnya aliran/
paham keagamaan yang dianggap sesat tersebut mempunyai
ajaran yang berbeda dari pandangan keagamaan mainstream
yang diwakili oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), baik di tingkat
nasional maupun daerah.
Pada tahun 2010, berdasarkan penelusuran terhadap
berbagai surat kabar nasional dan internet, tercatat 8 aliran
keagamaan yang dianggap sesat muncul ke permukaan.
Sebagian besar muncul di Pulau Jawa (Jawa Timur dan Jawa Barat)
dan hanya 1 kasus dari pulau Sumatera. Dari beberapa aliran
keagamaan yang muncul dalam pemberitaan, sebagian besar
telah muncul pada tahun sebelumnya, seperti Ahmadiyah, Surga
Eden, AKI, dan Al-Haq. Hal ini dapat berarti bahwa penanganan
terhadap aliran keagamaan tersebut belum selesai, atau mungkin
juga muncul di tempat lain.
Pada Januari 2010, di Situbondo muncul aliran Brayan
Agung yang dipimpin oleh Agung. Agung konon melarang
pengikutnya untuk membaca Al-Quran, shalat dan berpuasa.
Sayangnya, surat kabar tidak menjelaskan tentang apakah Agung
masih mengaku beragama Islam, mengapa Agung mengajarkan
hal demikian, bagaimana tanggapan masyarakat sekitar, dan
bagaimana aparat pemerintah menangani masalah tersebut.
Sebab, ajaran seperti itu bertentangan dengan ajaran Islam.
Shalat dan puasa merupakan rukun Islam yang wajib dikerjakan
oleh semua penganut agama Islam.1
12
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Sebagai kelanjutan penanganan aliran
Surga Eden (Adn) pimpinan Ahmad Tanthowi,
pada bulan Januari 2010 telah dilangsungkan
sidang pengadilan terhadapnya. Pengadilan
menghadirkan Amin Djamaluddin (Ket ua
Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam)
sebagai saksi ahli. Saksi ahli mengatakan,
berdasarkan kajiannya terhadap buku Pedoman
Surga Eden yang dikarang Ahmad Tanthowi,
“Aliran Surga Eden” telah melakukan penodaan
agama, sebab telah mencampuradukan ajaran
berbagai agama dengan memberikan tafsiran
terhadap kitab suci berbagai agama (Islam,
Kristen, Hindu, Buddha, dan Yahudi).2
Saat peradilan berlangsung, massa ingin
merusak markas aliran Surga Eden. Guna
mengamankan markas Surga Eden dari amukan
massa, maka dua buah rumah milik pimpinan
Surga Eden dijaga ketat oleh polisi. Sejumlah
warga setempat tidak menyangka bahwa rumah
Ahmad Tanthowi tersebut dijadikan markas
aliran yang dianggap sesat. Pasalnya, warga
sekitar menilai perilaku keseharian Tanthowi
tidak ada yang mencurigakan.3
Protes datang dari sejumlah pondok
pesantren yang ada di Cirebon. Mereka mendatangi rumah AT, dan meminta pemerintah untuk
segera membongkar rumah yang diduga
sebagai markas dari aliran sesat tersebut. Dalam
aksi tersebut mereka juga meminta agar aparat
segera menindak tegas pimpinan Surga Eden
yang sudah diamankan oleh Polda Jawa Barat.
Mereka menuduh AT telah melakukan penodaan
agama. Dalam aksi tersebut massa melakukan
orasi. Menurut mereka AT telah menodai agama
dan akhlak umat Islam. Karenanya mereka tidak
ikhlas jika dia menginjakkan kakinya di Cirebon
lagi. Oleh sebab itu, mereka meminta agar aparat
segera membongkar markas aliran tersebut.4
Pada persidangan pertama kasus AT,
ratusan umat Islam yang mendatangi Pengadilan
Negeri Sumber Kabupaten Cirebon kecewa,
karena persidangan dilakukan secara tertutup
untuk umum. Mereka hanya dapat menyaksikan
dari layar CCTV tanpa suara di luar ruang sidang
utama. Sidang lanjutan kasus penodaan agama
dan pencabulan terhadap AT, terpaksa ditunda
menyusul kericuhan pengunjung yang terdiri
dari ratusan anggota Front Pembela Islam (FPI)
dan ormas lainnya. Akhirnya Ketua Pengadilan
Negeri Sumber menyetujui sidang dilakukan
dengan sistem buka tutup. Terbuka untuk kasus
penodaan agama, dan tertutup untuk kasus
pelecehan seksual.5
Pada bulan Februari 2010 di Sumenep
muncul aliran tanpa nama yang dipimpin
seorang wanita bernama Samawiyah berumur
30 Tahun. Ia mengaku dirinya sebagai nabi. Salah
satu ajarannya yang dianggap menyimpang
adalah tidak mewajibkan kepada pengikutnya
untuk mengerjakan ibadah haji dan mewajibkan
pengikutnya melakukan puasa seumur hidup.
Untuk menghindari munculnya keresahan dalam
masyarakat, MUI, tokoh masyarakat, Kepolisian
dan Muspika mengamankan Samawiyah. Tidak
dijelaskan sudah berapa orang pengikutnya dan
dari kalangan mana saja pengikutnya tersebut.
Selain itu tidak ada informasi lebih jauh tentang
keberadaan ajaran ini setelah dilakukan tindakan
oleh pemuka agama, tokoh masyarakat dan
aparat pemerintah setempat.6
Di Depok warga resah dengan adanya
pengajian yang di pimpin oleh ustadz Hanafi.
Pengajian ini berlokasi di Kelurahan Mekarsari
Kecamatan Cimanggis Kota Depok. Protes
dilakukan oleh masyarakat karena ustadz Hanafi
diduga mengajarkan ajaran yang dianggap
sesat. Ajaran yang dianggap sesat itu antara lain
adanya baiat, membayar sejumlah mahar (Rp
50.000) dan mencari asmaul husna yang ke 100.
Mereka juga menggunakan kitab selain al-Quran
yaitu: Miftahul Jannah, Durun Nafis, dan Hikam
Melayu. Dari data yang diungkapkan tersebut,
tampak tuduhan sesat tersebut masih bisa
diperdebat kan. M asyarakat t erlalu cepat
menuduh suatu ajaran yang berbeda dianggap
sesat. Cara mengatasi persoalan munculnya
ajaran atau aliran yang dianggap sesat, selalu
menggunakan tindak kekerasan bukan menggunakan dialog, sebagaimana diajarkan alQuran.7
Pada bulan Maret 2010 di Jember timbul
keresahan dalam masyarakat, karena munculnya
aliran yang dianggap sesat, yang disebarkan
oleh seseorang yang bernama Yusuf. Aliran ini
mengajarkan kepada pengikutnya tidak perlu
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
13
mengerjakan shalat, puasa dan ketika hendak
membaca al-Quran tidak perlu berwudhu dulu.
Tetapi kemudian 18 orang pengikutnya bertobat,
dengan menandatangani surat pernyataan
bersalah dan bersedia kembali ke jalan yang
benar, sesuai dengan ajaran Islam. Tidak dijelaskan bagaimana dengan pengikut yang lainnya
dan bagaimana pula dengan pimpinannya.8
Di Medan pada tanggal 8 April 2010
dihebohkan dengan hilangnya beberapa orang
perempuan muda berjilbab. Diduga mereka
menjadi pengikut aliran keagamaan Al-Haq. MUI
Sumatera Utara menyatakan bahwa ajaran yang
dikembangkan Al-Haq tergolong sesat. Fatwa
MUI dengan tegas mengatakan bahwa aliran AlHaq t idak diperkenankan berkembang di
Indonesia karena ajarannya tidak sesuai dengan
al-Quran. Pada tahun 2007 MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa Al-Haq sebagai aliran yang
sesat (Ramlan Yusuf Rangkuti). Al-Haq dianggap
sesat karena antara lain mengajarkan untuk
memutuskan hubungan dengan keluarga yang
tidak mau bergabung dalam aliran Al-Haq, dan
memahami al-Quran tidak secara utuh dan
komprehensif.9
Di Cirebon selain Surga Eden ada lagi
sebuah aliran yang dianggap oleh masyarakat
sebagai aliran sesat, yaitu Hidup Dibalik Hidup
(HDH). Pada tanggal 30 April 2010 ratusan warga
Desa Sigong Kecamatan Lemah Abang membubarkan pengikut HDH yang sedang berkumpul
di rumah Rohasan (55 tahun), seorang pimpinan
HDH. Pada kesempatan itu sejumlah motor
pengikut HDH dirusak, bahkan rumah Rohasan
dilempari oleh warga sehingga mengalami
kerusakan. Kejadian tersebut berawal ketika
sekitar 30 orang pengikut HDH mendatangi
rumah Rohasan dengan mengendarai motor
pada pukul 23.00 WIB. Kehadiran mereka
diketahui oleh masyarakat setempat, selanjutnya
ratusan warga mengepung rumah Rohasan.
Masyarakat mempertanyakan adanya pengajian
yang diadakan oleh HDH, pada hal sepengetahuan mereka MUI sudah mengeluarkan fatwa
bahwa ajaran HDH tergolong sesat. Selain
dianggap sesat, warga merasa terganggu karena
kegiatan mereka dilangsungkan pada tengah
malam sampai dengan waktu subuh.10
14
Selain di Desa Sigong HDH juga berkembang di Desa Leuwidingding dan Desa
Sindang Laut Kabupaten Cirebon. Ajaran yang
dikembangkan oleh Majelis Ta’lim HDH dinilai
mengandung penyimpangan. Oleh karena itu
pada tanggal 15 November 2005 MUI Kabupaten Cirebon telah mengeluarkan fatwa, dan
meminta agar HDH menghentikan kegiatannya,
tapi tampaknya permintaan itu tidak diindahkan.
Di antara penyimpangan yang diajarkan oleh
HDH berdasarkan catatan percakapan antara
Mudjoni dengan Ali Kusnan adalah aktivitas
majelis ta’limnya tidak lazim, yaitu antara pukul
20.00–03.00, dan menafsirkan al-Quran tidak
sesuai dengan kaidah tafsir.11
Pada tanggal 27 Juli 2010, upaya penyegelan terhadap masjid yang dikelola warga
Ahmadiyah yang dilakukan oleh Satpol PP tidak
berhasil, karena mendapat perlawanan dari
ratusan warga yang telah menutup jalan menuju
masjid. Penutupan masjid berdasarkan Surat
Perintah Bupati Kuningan No. 45/2/ 2065/Satpol
PP, sebagai tindak lanjut dari Rekomendasi MUI
tanggal 24 Juni 2010. Menurut Ketua Komisi
Keamanan Ahmadiyah, mereka tidak dapat
menerima penyegelan tersebut sebelum ada
dialog. Tetapi menurut Indra Purwantoro dialog
sudah dilakukan, hasilnya Bupati tetap mengeluarkan perintah penyegelan. Setelah mendapat
hadangan pada tanggal 27 Juli 2010, maka pada
tanggal 29 Juli 2010, Satpol PP berhasil menyegel
Masjid Ahmadiyah di Manis Lor, berdasarkan
surat perintah Bupati Kuningan Tanggal 27 Juli
2010. Penyegelan tetap diwarnai kericuhan dan
hujan batu. Menurut Indra, penutupan rumah
ibadat justru untuk menyelamatkan Jemaat
Ahmadiyah dari konflik horizontal dan melindungi mereka dari serangan massa dari ormas
Islam.
Menurut majalah Gatra, tindak kekerasan
terhadap Ahmadiyah menurun setelah keluarnya
SKB Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah.
Oleh sebab itu kasus kerusuhan yang terjadi di
Kuningan dianggap mengejut kan. Geger
Ahmadiyah di ManisLor berdasarkan Surat Perintah
Bupati Kuningan Aang Ahmad Suganda, untuk
menyegel masjid dan tujuh buah mushalla milik
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
warga Ahmadiyah. Surat itu merujuk pada
rekomendasi MUI Kabupaten Kuningan dan
aspirasi ormas Islam setempat. Menurut Kabag
Humas Kabupaten Kuningan, Yudi Nugraha,
surat penyegelan itu merupakan hasil evaluasi
bersama Bakor Pakem atas implementasi SKB
Tiga Menteri. Masjid Ahmadiyah di Manis Lor
pernah disegel pada tahun 2007 sampai tahun
2009. Usai pembukaan segel, Ahmadiyah dinilai
masih mengembangkan ajarannya yang dianggap menyimpang. Hal itu merupakan pelanggaran
SKB yang membolehkan Ahmadiyah eksis sejauh
tidak menyebarkan ajarannya.
Yang menjadi persoalan apa yang dimaksud
dengan penyebaran ajaran tersebut. Apa yang
dimaksud penyebaran itu, menyampaikan ajarannya tersebut kepada orang non-Ahmadiyah atau
penyebaran ajaran tersebut terhadap orang
yang sudah menganut Ahmadiyah. Dalam SKB
sebenarnya ada klausul, jika Ahmadiyah
melanggar SKB maka dilaporkan ke Kepolisian
dan diteruskan ke Pengadilan, hanya pengadilan
yang berhak menentukan apakah Ahmadiyah
sudah melanggar atau belum, bukan MUI atau
Bupati. Hal ini tampaknya yang kurang dihayati
oleh pemerintah setempat.12
Masih di Jawa Barat, pada 1 Oktober 2010
enam bangunan milik Jemaat Ahmadiyah yang
berada di Ciampea Bogor hangus dibakar oleh
massa. Menurut Kapolres Bogor AKBP Tomex
Kurniawan enam bangunan yang dibakar tersebut
terdiri dari sebuah masjid, surau, madrasah dan
rumah milik Jemaat Ahmadiyah. Pembakaran
terjadi setelah ada tiga orang warga sekitar yang
kena tusuk dan penyanderaan yang diduga
dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah. Penyanderaan terjadi setelah sekelompok warga menegur
anggota Ahmadiyah yang membuka segel
masjid.13
Terhadap pelaku pembakaran tersebut,
Polres Bogor telah menetapkan tiga tersangka
kasus perusakan dan pembakaran bangunan
milik Ahmadiyah, dan mereka sudah ditahan.
Menanggapi kasus di Ciampea tersebut Ketua
Aliansi Kerukunan Umat Beragama Jawa Barat
Asep Hadian Permana, menyatakan pembakaran
pemukiman warga Ahmadiyah di Cisalada
Ciampea Udik sudah direncanakan. Tanda-tanda
mau ada penyerangan sudah kelihatan sejak awal,
tapi tidak diantisipasi oleh aparat keamanan. Di
sinilah beberapa pihak menuduh ada semacam
pembiaran oleh aparat keamanan karena takut
terhadap massa. Hal semacam inilah yang
membuat massa semakin berani, karena pihak
kemanan dianggap tidak berdaya.14
Pemerintah Bogor melalui juru bicaranya
David Rizar N, meminta pemerintah pusat
bersikap tegas terhadap ajaran Ahmadiyah,
untuk menghentikan multitafsir yang selama ini
berkembang di masyarakat. Pemerintah Kabupaten Bogor akan mengkaji keberadaan masjid
Ahmadiyah di Cisalada yang selama ini dinilai
memicu konflik.15
Di Garut terjadi unjuk rasa perwakilan
ulama menuntut agar Ahmadiyah dilarang dan
dibubarkan. Di depan massa, Wakil Ketua DPRD
Kabupaten Garut dan Bakor Pakem Garut
mengatakan ajaran Ahmadiyah dilarang di Garut,
karena ajarannya menyesatkan dan telah keluar
dari akidah dan syariat Islam. Pelarangan telah
dikeluarkan pada tahun 2005 oleh Pemerintah
Daerah, Kejaksaan Negeri, Kementerian Agama
Kabupaten, dan Kepolisian yang tergabung
dalam Bakor Pakem. Dalam SK t ersebut
disebutkan bahwa warga Ahmadiyah dilarang
melakukan kegiatan keagamaan dan menyebarkan ajarannya kepada masyarakat. SK ini tidak
jelas, sebab apa yang dimaksud dengan kegiatan
keagamaan dan menyebarkan ajarannya kepada
masyarakat masih kabur. Karena kabur, sangat
mudah untuk diselewengkan maksudnya sesuai
dengan keinginan para pemangku kepentingan,
baik pemerintah maupun masyarakat yang anti
Ahmadiyah.16
Kabar dari Mataram, menurut Pemerintah
setempat, 100 orang pengungsi yang menempati Wisma Transito Mataram akan segera
dipulangkan ke kampung halamannya masingmasing dengan jaminan keamanan dari pihak
pemerintah setempat. Hal itu dilakukan karena
Pemerintah Daerah tidak mampu mengganti
kompensasi properti para warga Ahmadiyah
tersebut yang mencapai 1,5 milyar rupiah.
Adapun warga setempat bersedia menerima warga
Ahmadiyah asal mereka bisa berbaur dengan
warga setempat dan tidak hidup secara eksklusif.
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
15
Tetapi informasi terakhir yang diperoleh ternyata
masyarakat setempat belum dapat menerima
kehadiran warga Ahmadiyah di daerah mereka,
sehingga terjadi perusakan terhadap rumah milik
warga Ahmadiyah.17
sehingga ada kepastian bagi polisi sebagai
penegak hukum. Kalau memang Ahmadiyah
diizinkan pem erint ah, maka polisi wajib
memberikan perlindungan. Kalau dilarang maka
dihimbau agar membubarkan diri.19
Berkaitan dengan perkembangan kasus
Ahmadiyah terakhir, terutama setalah terjadinya
kasus bentrokan di Manis Lor Kuningan, muncul
berbagai pemikiran dalam masyarakat. Menurut
Menteri Agama berdasarkan SKB sudah jelas
bahwa Ahmadiyah bukan agama dan dapat
dikategorikan aliran sesat, oleh sebab itu para
jemaatnya diminta untuk menghentikan kegiatan
menyebarkan ajaran mereka.18
Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj
menyatakan, penyerangan terhadap perkampungan warga Ahmadiyah di Bogor merupakan
tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Apapun
sebabnya perusakan atau pembunuhan itu
merupakan perbuatan kriminal, dan menunjukkan bahwa masyarakat tidak berbudaya dan
beretika. Meskipun Ahmadiyah ditolak umat
Islam di dunia, tidak berarti tindakan perusakan
dan pembubaran dapat dilakukan.20 Sedangkan
Sekjen PBNU, Iqbal Sullam, mengatakan,
pengikut Ahmadiyah di Indonesia agar melihat
eksistensi agama mereka di negara kelahirannya,
dengan studi banding ke negeri asal mereka
Pakistan, Inggris dan India. Sedangkan Ketua
Pengurus Harian Tanf idziyah PBNU, Slamet
Effendi Yusuf, mengatakan bahwa Ahmadiyah
tidak termasuk dalam golongan agama Islam.21
Semua pihak harusnya taat
pada hukum. Tidak boleh
seseorang atau kelompok
bertindak main hakim sendiri,
sekadar untuk mengikuti
kemauan pribadi atau kelompok
dengan mengorbankan orang
lain. Anggota Ahmadiyah
sebagai warga negara berhak
memperoleh perlindungan dari
Pemerintah.
Di pihak lain muncul harapan agar pemerintah segera mengambil keputusan yang tegas
terhadap Ahmadiyah. Menurut Kapolda Jawa
Barat Inspektur Jenderal Polisi Sutarman, polemik
yang berkembang tentang dilarang dan diizinkannya Ahmadiyah mengamalkan ajarannya
bisa menjadi ‘bom waktu’ yang sewaktu-waktu
dapat meledak dan mengakibatkan gesekan
dalam masyarakat. Dengan adanya keputusan
yang tegas tersebut, membuat aparat kepolisian
dan masyarakat tidak terombang-ambing. Kalau
memang aliran Ahmadiyah sesat dan dilarang,
maka ajukanlah kepada pemerintah untuk
segera mengeluarkan SK pelarangan. Sebaliknya
kalau memang diizinkan, silahkan diizinkan
16
Jemaat Ahmadiyah menolak saran Sekjen
PBNU agar mereka keluar dari agama Islam dan
mendirikan agama baru. Kabag Umum Pengurus
Ahmadiyah Garut mengatakan secara akidah
ajaran Ahmadiyah sesuai dengan agama Islam,
yang membedakan Ahmadiyah percaya adanya
penerus Nabi Muhammad Saw untuk menyebarkan agama Islam yaitu Mirza Ghulam Ahmad.22
Berkaitan dengan SKB tentang Ahmadiyah
Ketua MUI Bidang Kerukunan Umat Beragama,
Slamet Effendi Yusuf, juga berpendapat bahwa
SKBTiga Menteri tentang peringatan dan perintah
kepada Jemaat Ahmadiyah di Indonesia harus
dikaji ulang. Dikatakannya, “kita harus berani
melakukan kaji ulang kembali persoalan ini
secara mendasar, termasuk SKB ini.23
Sebenarnya SKB ini sudah cukup adil
karena mengatur kedua belah pihak. Hanya saja
dalam penerapannya di lapangan ada kendala.
Bagi masyarakat yang menghendaki pembubaran Ahmadiyah, cukup mencari bukti-bukti
bahwa Ahmadiyah melanggar SKB, kemudian
dilaporkan kepada kepolisian. Tapi tampaknya
masyarakat tidak sabar, menuntut Ahmadiyah
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
agar dibubarkan tapi tidak mempunyai bukti.
Kalau demikian tidak mungkin aparat setempat
membubarkan atau melarang Ahmadiyah.
Semua pihak harusnya taat pada hukum. Tidak
boleh seseorang atau kelompok bertindak main
hakim sendiri, sekadar untuk mengikuti kemauan
pribadi atau kelompok dengan mengorbankan
orang lain. Anggota Ahmadiyah sebagai warga
negara berhak memperoleh perlindungan dari
pemerintah.
Sebagaimana diketahui, Aliran Ahmadiyah
sejak tahun 1995 sudah difatwakan sesat oleh
MUI. Fatwa itu kemudian dikuatkan lagi pada
tahun 2005. Sejak keluarnya fatwa tersebut,
resistensi masyarakat terhadap Ahmadiyah
semakin menguat dan meluas. Untuk mengatasi
protes tersebut Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI mengadakan dialog
dengan kelompok Ahmadiyah. Tujuan dialog
adalah ingin mengetahui keinginan Ahmadiyah
dan posisi teologisnya. Keinginan Ahmadiyah
adalah ingin menjadi bagian umat Islam
Indonesia. Dialog menghasilkan dua belas butir
pernyataan sikap. Setelah keluarnya 12 butir
pernyataan t ersebut, kemudian diadakan
monitoring pelaksanaan 12 butir tersebut di
lapangan. Berdasarkan hasil pemantauan dari 12
butir pernyataan tersebut tidak semuanya
dijalankan oleh Ahmadiyah, terutama berkaitan
dengan kenabian yang terakhir (khatamun
nabiyyin). Akibat nya muncul prot es dari
sebagian umat Islam agar Ahmadiyah dibubarkan karena dianggap melakukan penodaan
terhadap agama Islam.
M enyikapi kondisi demikian, maka
pemerintah mengeluarkan SKB Menteri Agama,
Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor
3 Tahun 2008, Nomor Kep-33/ A/ JA/ 6/ 2008,
Nomor 199 tahun 2008 tentang Peringatan dan
Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI), dan Warga Masyarakat. Dengan keluarnya
SKB ini terlihat sikap pemerintah semakin jelas.
Sikap pemerintah terhadap Ahmadiyah
dilakukan dengan memperhatikan prinsipprinsip kebebasan beragama sebagaimana
tertuang dalam Pasal 29, 28E, dan 28I UUD 1945,
juga memperhatikan prinsip pembatasan
sebagaimana terdapat dalam Pasal 28J UUD
1945. SKB ini juga mendasarkan pada prinsip
kebebasan beragama dan kemungkinan pembatasannya sebagaimana terdapat pada UU No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni
Pasal 22, 70, dan 73. Selain itu, juga mendasarkan
pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi
UU No. 12 Tahun 2005, yakni Pasal 18 Ayat (1),
(2) dan (3). Meskipun pembatasan itu tidak
dianjurkan, t etapi pembatasan it u dapat
dilakukan sepanjang dilakukan oleh UndangUndang. Di Indonesia, Undang-Undang yang
membatasi itu telah ada, yakni UU No.1/ PNPS/
1965 jo. UU No 5 Tahun 1969.
SKB ini bukanlah bent uk int er vensi
Pemerintah terhadap keyakinan masyarakat,
melainkan upaya pemerintah untuk memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat yang
terganggu karena adanya pertentangan dalam
masyarakat yang terjadi akibat penyebaran
paham keagamaan menyimpang. Bagi Pemerintah, masalah Ahmadiyah mempunyai dua sisi.
Pertama, Ahmadiyah adalah penyebab lahirnya
pertentangan dalam masyarakat yang berakibat
t erganggunya keamanan dan ket er t iban
masyarakat. Sisi kedua, warga JAI adalah korban
tindakan kekerasan sebagian masyarakat. Kedua
sisi tersebut harus ditangani pemerintah.
SKB ini berisi 6 butir yang intinya terbagi
atas dua bagian. Pertama, memerintahkan
kepada penganut, anggota, dan/atau anggota
pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI),
sepanjang mengaku beragama Islam, untuk
menghentikan penyebaran penafsiran dan
kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama Islam, yaitu penyebaran paham
yang mengakui adanya nabi dengan segala
ajarannya setelah Nabi Muhammad Saw. Bagi
pelanggarnya dapat dikenai sanksi hukum
termasuk badan hukum dan organisasinya.
Sanksi hukum yang dimaksud di sini ialah Pasal
156a KUHP. Kedua, memerintahkan kepada
warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat
dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau
tindakan melawan hukum terhadap penganut,
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
17
anggota, dan/ atau anggota pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI), ini berarti Pemerintah
melindungi warga JAI sebagai warga negara
yang selama ini menjadi target t indakan
kekerasan sebagian warga masyarakat. Bagi
pelanggarnya dapat dikenakan sanksi yakni
antara lain Pasal 156 KUHP yang berisi larangan
unt uk menyatakan perasaan permusuhan,
kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau
beberapa golongan masyarakat Indonesia, dan
Pasal 170 KUHP tentang tindakan kekerasan
kepada orang atau barang.
SKB ini bukanlah bentuk
intervensi Pemerintah
terhadap keyakinan masyarakat, melainkan upaya
pemerintah untuk memelihara
keamanan dan ketertiban
masyarakat yang terganggu
karena adanya pertentangan
dalam masyarakat yang
terjadi akibat penyebaran
paham keagamaan
menyimpang.
Sebenarnya apabila kedua belah pihak
mematuhi SKB ini maka tidak akan ada lagi
pertentangan dan keresahan dalam masyarakat,
demikian juga kerukunan umat beragama dan
perlindungan masyarakat akan terwujud.24
Setelah keluarnya SKB tersebut ketegangan agak
berkurang. Ket egangan t erjadi hanya di
beberapa tempat, itupun tampaknya hanya di
Jawa Barat, sedangkan di daerah lain tidak ada
gejolak. Gejolak tersebut terjadi di Kuningan,
Garut, dan Bogor.
Aliran keagamaan berikutnya adalah
Amanat Keagungan Ilahi (AKI) yang sudah lama
muncul di Indonesia. Aliran ini dikembangkan
oleh Raden Mohamad Syamsu yang dikenal
dengan Aki Syamsu. Setelah dia wafat, makamnya
banyak dikunjungi oleh pengikutnya, di mana
18
banyak masyarakat yang ber-khalwat di makam
tersebut. Makam Aki Syamsu di Dusun Pasirgeulis, Desa Cangkuang Kecamatan Cileles
Kabupaten Garut ditutup untuk kegiatan ritus
sejak tanggal 7 Agustus 2010. Penutupan
tersebut karena lokasi tersebut sering digunakan
untuk ritus yang dianggap menyimpang dari
ajaran agama Islam karena dikeramatkan oleh
pengikutnya. Ajaran AKI sudah dibekukan oleh
Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dengan SK Nomor
R.538/ P2.3/Dsb.1/11/ 1993. Pada poin nomor
sembilan dalam SK tersebut dinyatakan: “dengan
munculnya kembali ajaran Amanat Keagungan
Ilahi (AKI) yang disebarkan oleh Aki Syamsu
beserta dengan pengikutnya, diminta terhadap
Kajari yang belum melarang aliran tersebut agar
mengambil langkah-langkah yang mengarah
kepada pelarangan/pembekuan terhadap aliran
AKI.”25
Berdasarkan hasil penelitian H. M. Yusuf
Asry, Peneliti Utama Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, yang dilakukannya pada tahun
2009 di Bandung, dijelaskan bahwa ajaran AKI
t erbagi kepada t iga kelompok yang dua
diantaranya dianggap aliran tidak menyimpang.
Adapun satu yang dianggap menyimpang adalah
AKI pimpinan Andreas,karena dianggap mencampuradukkan ajaran berbagai agama. Andreas
sendiri bahkan diketahui beragama Katolik.
Pada bulan Desember 2010, di Malaysia
berkembang isu tentang sesatnya ajaran yang
dikembangkan oleh Ary Ginanjar, yaitu ESQ.,
sehingga tidak boleh dikembangkan di daerah
tertentu di Malaysia. Menanggapi isu tersebut,
Dirjen Bimas Islam Kement erian Agama,
Nasarudin Umar, mengatakan, keberadaan
lembaga pelatihan sumber daya manusia ESQ
pimpinan Ary Ginanjar di Indonesia tidak
bermasalah dan tak ada yang menganggapnya
sebagai aliran sesat. ESQ sudah sepuluh tahun,
kalau ada masalah sudah barang tentu sudah
menimbulkan kehebohan dalam masyarakat.
MUI, tokoh masyarakat, tokoh agama dan rektor
sudah banyak yang ikut pelatihan ESQ. Kalau ada
masalah sudah barang tentu mereka sudah
mempermasalahkannya. Menurut Nasarudin
Umar, MUI, NU, Muhammadiyah, ICMI, dan DDII
sudah memberikan surat rekomendasi kepada
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Jabatan Kemajuan M alaysia (JAKIM ) dan
menyampaikan bahwa tidak ada pelanggaran
atas akidah Islam dalam pelatihan ESQ.26
Majelis fatwa kebangsaan Malaysia untuk
agama Islam menilai, pelatihan (training) ESQ
yang didirikan Ary Ginanjar Agustian tidak
melanggar akidah dan syariah Islam, dan secara
resmi merestui kegiatan itu dan boleh diteruskan
di Malaysia, kecuali wilayah persekutuan. Majelis
Muzakarah telah mengadakan rapat sebanyak
tujuh kali mulai dari bulan April 2009 hingga Juni
2010 membahas salah satunya tentang penilaian
terhadap ESQ di Malaysia. Dengan demikian ESQ
dapat meneruskan kegiatannya di Malaysia
kecuali wilayah persekutuan yang meliputi Kuala
Lumpur, Putra Jaya, dan Labuan. Tidak ada
penjelasan mengapa di ketiga daerah tersebut
ESQ tidak boleh diajarkan.27
Itulah sederet peristiwa terkait aliran
keagamaan yang muncul ke permukaan selama
tahun 2010.
Berkaitan dengan munculnya berbagai
aliran/paham keagamaan tersebut di atas, dapat
diajukan analisis melalui teori religiousmovement
Jeffry K. Hadden. Menurutnya, sedikitnya ada
tiga jenis gerakan keagamaan yaitu indigenous
religiousmovement, exogenousreligiousmovement,
dan generative religious movement. Dalam
gerakan keagamaan tipe pertama perubahan
yang terjadi menyangkut sistem kepercayaan,
sistem simbol, sistem ritus dan pengamalan, dan
organisasi keagamaan.
Adapun gerakan keagamaan yang bersifat
eksternal (exogenous religious movement)
biasanya merupakan reaksi dari organisasiorganisasi keagamaan terhadap lingkungan
sekitar yang berubah. Para ahli sosiologi
mengatakan bahwa keberadaan organisasiorganisasi kegamaan dalam masyarakat itu
sedikitnya mempunyai empat kepentingan, (1)
survival (mempertahankan hidup); (2) economic
(kepentingan ekonomi); (3) status (kepentingan
untuk eksis dan berperan; (4) ideology (kepentingan
untuk mempertahankan dan mengembangkan
suatu pandangan hidup).
Manakala kepentingan-kepentingan ini
terjamin dan tidak terganggu, maka organisasi
keagamaan itu boleh dikatakan dalam equilibrium atau harmoni dengan lingkungannya.
Sebaliknya ket ika sebagian atau seluruh
kepentingan-kepentingan itu terganggu, maka
kepemimpinan organisasi-organisasi keagamaan akan bereaksi terhadap lingkungannya itu
untuk menjamin dan meningkatkan diperolehnya kembali kepentingan-kepentingan tersebut.
Dalam gerakan seperti itu para pemimpin
organisasi keagamaan t ersebut biasanya
menjustifikasi gerakannya itu dengan nilai-nilai
transendental dari ajaran agama yang dianutnya.
Bahkan tujuan gerakannya itu terkadang disebut
sebagai bagian dari kehendak wahyu Tuhan.
Sedangkan generative religious movement
ditandai oleh kesengajaan upaya untuk melahirkan agama baru di luar agama-agama yang ada.
Mula-mula mungkin agama baru yang diperkenalkan itu merupakan bagian dari tradisi agama
yang ada atau tradisi lokal yang ada, atau
campuran keduanya. Tradisi agama yang ada itu
boleh jadi diimpor dari agama lain dan tradisi
lokal yang ada itupun telah berumur lama
sehingga tidak pernah dipandang berpotensi
mengkristal berdiri sendiri. Lama-kelamaan
didorong oleh lingkungan sosial, politik, kultural
yang ada, tradisi itu mengkristal menjadi suatu
tradisi yang berdiri sendiri yang kemudian
dipercaya sebagai agama yang berdiri sendiri.28
Memperhatikan teori yang dikemukakan
oleh Jeffry K. Hadden di atas, maka tampaknya
aliran/ paham kegamaan yang muncul pada
tahun 2010 ini, termasuk tipe gerakan keagamaan indigenous religious movement. Dalam
gerakan keagamaan tipe ini perubahan yang
terjadi menyangkut sistem kepercayaan, seperti
adanya nabi baru, yang mana menurut ajaran
Islam paham sunni tidak ada lagi nabi baru
set elah nabi Muhammad Saw. Perubahan
terhadap sistem ritus dan pengamalan, di
antaranya tidak mewajibkan shalat dan puasa,
mewajibkan membayar infak dengan jumlah
tertentu. Memang perubahan yang dilakukan
t ersebut hampir semuanya bert entangan
dengan paham yang dianut oleh umat Islam,
sehingga dapat digolongkan menyimpang dari
ajaran islam.
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
19
B. Pemikiran Keagamaan
Pada tahun 2010, di t engah-t engah
masyarakat berkembang berbagai pemikiran
tentang keagamaan. Pemikiran tersebut muncul
untuk merespon berbagai kasus yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dalam
laporan ini akan dikaji berbagai pemikiran yang
berkaitan masalah t erorisme, radikalisme,
pluralisme, dan kebebasan beragama.
1. Terorisme
Selama ini terdapat anggapan yang salah
di dalam masyarakat yang menyamakan jihad
dengan terorisme. Bahkan oleh kalangan yang
tidak mengerti ajaran Islam yang luhur, Islam
dicap sebagai agama t eroris. Kekeliruan
pemahaman ini bisa saja disebabkan oleh
kurangnya pemahaman masyarakat tentang
Islam, tetapi tidak tertutup kemungkinan karena
sebagian muslim justru melakukan jihad melalui
aksi-aksi terorisme. Padahal antara jihad dan
terorisme jelas terdapat perbedaan yang sangat
mendasar.
Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI),
terorisme adalah “tindakan kejahatan terhadap
kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap keamanan,
perdamaian dunia, merugikan kesejahteraan
masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk
kejahatan yang diorganisasi dengan baik (wellorganized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime) yang t idak mem bedakan sasaran
(indiscriminative)”.
M enurut konvensi PBB tahun 1939,
terorisme adalah segala bentuk tindakan kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara
dengan maksud menciptakan bentuk teror
terhadap orang-orang tertentu atau kelompok
orang atau masyarakat luas. Dalam kamus
Webster’s New School and Office Dictionary
dijelaskan: terrorism is the use of violence,
intimidation, etc to gain or to end;especially a system
of government ruling by terror….. (Terorisme adalah
penggunaan kekerasan, intimidasi, dsb untuk
merebut atau menghancurkan, terutama, sistem
20
pemerintahan yang berkuasa melalui teror….).
Dari definisi-definisi tersebut dapat dipahami
bahwa terorisme adalah kejahatan (crime) yang
mengancam kedaulatan negara (against state/
nation) melawan kemanusiaan (against humanity)
yang dilakukan dengan berbagai bentuk tindak
kekerasan.
RAND Corporation, sebuah lembaga
penelitian dan pengembangan swasta di AS,
melalui sejumlah penelitian dan pengkajiannya,
menyimpulkan bahwa setiap tindakan kaum
teroris adalah tindakan kriminal. Definisi lain
menyatakan bahwa: (1) terorisme bukan bagian
dari tindakan perang, sehingga seyogyanya
tetap dianggap sebagai tindakan kriminal,
termasuk juga dalam situasi diberlakukannya
hukum perang; (2) sasaran sipil merupakan
sasaran utama terorisme, dengan demikian
penyerangan terhadap sasaran militer tidak
dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme;
(3) m eskipun seringkali dilakukan unt uk
menyampaikan tuntutan politik, aksi terorisme
tidak dapat disebut aksi politik.
Dari uraian tersebut di atas, jelas sekali
perbedaan antara terorisme dengan jihad.
Pertama, terorisme bersifat merusak (ifsad) dan
anarkis/chaos(faudha). Kedua, terorisme bertujuan
untuk menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan pihak lain. Ketiga, terorisme dilakukan tanpa
aturan dan sasaran tanpa batas. Sebaliknya, jihad
bersifat perbaikan (ishlah), sekalipun sebagian–
dilakukan dengan berperang. Jihad bertujuan
untuk menegakkan agama Allah dan atau
membela hak pihak yang terdzalimi. Jihad
dilakukan dengan mengikuti aturan yang
ditentukan oleh syariat dengan sasaran musuh
yang sudah jelas.
Karena it ulah, menurut MUI, hukum
melakukan teror secara qath‘i adalah haram,
dengan alasan apapun, apalagi jika dilakukan di
negeri yang damai (dar al-shulh) dan negara
Muslim seperti Indonesia. Hukum jihad adalah
wajib bagi yang mampu dengan beberapa
syarat. Pertama, untuk membela agama dan
menahan agresi musuh yang menyerang
terlebih dahulu. Kedua, untuk menjaga kemaslahatan atau perbaikan, menegakkan agama
Allah dan membela hak-hak yang teraniaya.
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Ketiga, terikat dengan aturan seperti musuh yang
jelas, tidak boleh membunuh orang-orang tua
renta, perempuan, dan anak-anak yang ikut
berperang.29
Berkaitan dengan aktivitas terorisme yang
sewaktu-waktu masih muncul di tengah-tengah
masyarakat, terdapat beberapa pemikiran yang
berkembang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa terorisme merupakan
masalah sensitif karenanya sering terjadi salah
paham terhadap apa yang dilakukan oleh
penegak hukum. Namun Presiden pun meminta
agar masalah teroris tidak dibawa ke wilayah
politik dan agama. “Terorisme tidak ada kaitannya dengan agama. Saya serahkan sepenuhnya
kepada penegak hukum. Jangan campuradukkan ke dalam ranah politik atau agama. Ini
berbeda sama sekali”, kata Presiden Yudhoyono
saat membuka Rapat Paripurna Kabinet di Gedung
Sekretariat Negara,Kompleks Istana kepresidenan.30
M enurut Ba’asyir, pelat ihan di Aceh
dikaitkan dengan beberapa rencana aksi teroris,
“...kalau mereka memang mau berjihad seperti
itu, ya silakan. Tapi, kami tidak setuju dengan
cara jihad seperti itu. Kalau saya jihadnya baru
mampu sampai melaksanakan i‘dad saja. Latihan
it u unt uk membentuk laskar-laskar unt uk
memberantas penyakit masyarakat seperti judi,
khamar (minuman keras), dan bentuk maksiat
lainnya. Jihad saya mampunya hanya seperti itu.”
Amir Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) Abu
Bakar Ba’asyir, mengatakan JAT melepaskan diri
dari anggota yang terlibat terorisme. Garis
perjuangan JAT adalah amar ma‘ruf nahi mungkar,
artinya menyuruh pada kebaikan dan mencegah
kemungkaran guna memberantas penyakit
masyarakat.31
M antan Kepala BIN (Badan Int elijen
Negara), A. M. Hendropriyono, mengatakan
dalam seminar “Reformasi Pandangan NU
terhadap Terorisme” di Jakarta, Nahdlatul Ulama
adalah lahan tandus bagi perkembangan
radikalisme dan terorisme di Indonesia. Sikap
moderasi keagamaan yang dikembangkan NU
dan pemaham an warga NU yang dalam
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara
adalah penangkal berkembangnya paham
keagamaan radikal.32
Menteri Agama RI, Suryadharma Ali,
mengatakan, Kementerian Agama kini mengintensifkan pendekatan ke madrasah dan
pondok pesantren untuk menjelaskan bahwa
terorisme sama sekali bukan ajaran Islam. Upaya
ini adalah langkah pemerintah untuk mengantisipasi penyebarluasan ajaran terorisme di
masyarakat . Selanjut nya M ent eri Agama
menambahkan bahwa madrasah dan pondok
pesantren setidaknya dapat menjadi benteng
masuknya terorisme ke lembaga pendidikan.33
Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol)
Bambang Hendarso Danuri mengatakan, aksi
terorisme di Indonesia diduga telah berubah
modus dan targetnya. Jika sebelumnya menggunakan aksi peledakan bom dengan target
lokasi berkumpulnya ekspatriat, kini modusnya
diubah dengan menembak tokoh penting yang
mereka nilai berseberangan dengan ideologi
mereka. Dengan pola latihan terbuka, kekuatan
dan persenjataan yang mereka miliki, tentunya
perlu mewaspadai kegiatan mereka ke depan.34
Anggota Komisi I DPR, Lukman Hakim
Saifuddin, mengungkapkan rencana perubahan
UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Terorisme yang diajukan pemerintah justru harus
lebih mengakomodasi persoalan hak asasi
manusia dalam pemberantasan terorisme.
Kewaspadaan dalam mengant isipasi dan
mengatasi tindak terorisme tidak dapat dijadikan
alasan pelanggaran HAM terhadap terduga
pelaku teror.35
Adapun pakar terorisme menegaskan
perlunya program deradikalisasi yang sistematis
terhadap para napi pelaku tindakan terorisme.
Hal ini karena perang t erhadap terorisme
merupakan perang ideologi.36 Akar terorisme
antara lain adalah karena kurang kritisnya
seseorang terhadap perintah/arahan pemimpinnya. Hal ini misalnya terjadi dalam organisasi
Jamaah Islamiyah di mana anggota tidak bisa
kritis/mempertanyakan apa-apa yang diperintahkan oleh atasan/ amirnya.37
Peran NU, sebagai ormas Islam terbesar,
dalam pemberantasan terorisme dan ekstrimisme, ditekankan K.H. Hasyim Muzadi. Dan hal
ini akan diformulasikan dalam Kongres di
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
21
Makassar, 22-27 Maret 2010. Ia mengatakan
pentingnya menegaskan ideologi. Bahwa bagi
NU, Pancasila adalah sudah final. Maka ideologi
lain tidak diperkenankan—seperti yang ditawarkan beberapa gerakan ekstrimis itu.38
Walaupun dalam awal uraian ini MUI telah
berusaha untuk memberikan defenisi tentang
terorisme, tetapi sebenarnya definisi terorisme
hingga kini belum ada kesepakatan dari semua
pihak, baik dalam hukum internasional atau
berbagai organisasi yang berskala internasional
atau regional. Kendati demikian, para pakar
politik, hukum dan sosiologi mengemukakan
rumusan ist ilah t erorisme sesuai dengan
persepsi dan latar belakang ilmunya. Akibatnya
perbedaan persepsi dan visi dalam memandang
masalah ini melahirkan keragaman terminologi
terorisme. Persoalan berikutnya adanya intervensi subyektivitas kepentingan masing-masing
pihak ketika mendefinisikan terorisme.
Dengan demikian, adanya perbedaan
kepent ingan dan sudut pandang masingmasing negara dalam memahami terorisme
mengakibatkan sulitnya merumuskan suatu
definisi yang dapat disepakati semua pihak.
Berdasarkan kajiannya terhadap beberapa
def inisi tentang terorisme, Kasjim Salenda
kemudian memberikan def inisi terhadap
terorisme adalah setiap tindakan atau ancaman
yang dapat mengganggu keamanan orang
banyak baik jiwa, harta, maupun kemerdekaannya yang dilakukan oleh perorangan, kelompok
ataupun negara.39
Lebih lanjut Kasjim Salenda memberikan
kriteria tentang terorisme sebagai berikut:
a. Adanya tindakan berupa ancaman atau pun
kekerasan yang ilegal.
b. Tindakan tersebut berdampak pada masyarakat baik fisik, psikis, harta benda mereka
maupun fasilitas umum baik yang berskala
domestik maupun internasional.
c. Menimbulkan ketakutan dan kepanikan suatu
kelompok atau masyarakat.
d. Adanya tujuan atau kepentingan yang ingin
dicapai pelaku, pada umumnya bernuansa
politik.
22
e. Korban tindakan tidak selalu berkaitan langsung
dengan tujuan yang hendak dicapai.
f.
Pelakunya dapat berupa perorangan, kelompok
terorganisir ataupun penguasa dalam suatu
pemerintahan yang sah.40
Menurut Wilkinson, terorisme terbagi
dalam tiga tipe, yakni terorisme revolusioner,
terorisme sub- revolusioner dan terorisme
represif. Dalam pandangan Wilkinson terorisme
revolusioner dan sub-revolusioner dilakukan
oleh warga sipil, sedangkan terorisme represif
dilakukan oleh negara. Perbedaan antara
terorisme revolusioner dengan teroris subrevolusioner adalah dari segi t ujuannya.
Terorisme revolusioner bertujuan untuk mengubah secara totalitas tatanan sosial dan politik
yang sudah ada, tetapi terorisme sub-revolusioner bertujuan untuk mengubah kebijakan
atau balas dendam atau menghukum pejabat
pemerintahan yang tidak sejalan.41
Terorisme yang dilakukan secara individu
atau kelompok adalah aksi t eror tersebut
biasanya dilakukan untuk mencapai tujuantujuan dari kelompok tertentu baik itu ditujukan
pada komunitas tertentu atau negara yang
berdaulat. Aksi teror yang diperankan kelompok
atau individu atas nama kelompok suat u
organisasi dapat ditemukan di berbagai negara
dan agama dengan tujuan politis ataupun
agama. Aksi pengeboman di Bali dan Hotel J.W.
M arriots yang dilakukan oleh salah sat u
kelompok radikal Muslim salah satu tujuannya
adalah unt uk melawan kolonialisasi dan
hegemoni Barat (Amerika dan sekutunya).
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
munculnya aksi terorisme antara lain faktor
ideologis, politis, ekonomi, dan sosial.42
2. Radikalisme
Perkataan radikal berasal dari bahasa latin
“radix” yang artinya akar, dan dalam bahasa
Inggris kata radical dapat bermakna ekstrim,
menyeluruh, fanatik, revolusioner, ultra, dan
fundamental. Sedangkan radicalism artinya
doktrin atau praktik penganut paham radikal
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
atau paham ekstrim. Radikalisme keagamaan
dalam konteks tulisan ini adalah pengimplementasian faham dan nilai ajaran agama dengan
cara yang radikal-keras, fanatik, ekstrim atau
mendasar. Namun perlu dicatat bahwa pengertian radikalisme faham keberagamaan di sini
tidak selalu ditandai dengan aksi-aksi kekerasan
yang bersifat anarkis. Dalam realita memang
dapat ditemui bahwa sebagian kelompok
gerakan radikal keagamaan hanya terbatas pada
pemikiran dan ideologi, dan tidak menggunakan
cara–cara kekerasan dalam melaksanakan faham
ajarannya, tetapi sebagian kelompok radikal
yang lain menghalalkan cara–cara kekerasan
dalam memperjuangkan faham keagamaannya.
Karena itu, pengertian gerakan radikalisme
keagamaan t idak selalu ditandai dengan
anarkisme atau terorisme.
Kesan terhadap istilah radikalisme bagi
masyarakat, pada umumnya bersifat negatif,
merendahkan atau memburukkan, meskipun
dalam perkembangannya gerakan radikal dapat
berubah menjadi positif, terutama apabila dalam
skala tertentu perubahan yang diinginkan oleh
gerakan radikal itu dapat terwujud. Istilah
radikalisme ini juga sering dipertentangkan
dengan liberalisme, terutama karena liberalisme
memiliki ciri yang lebih kompromis, elastis,
fleksibel, tidak kaku, dan sangat toleran terhadap
banyak hal. Image negatif itulah yang kemudian
membawa gerakan radikalisme dalam sebuah
negara, apapun dasar ideologinya, kurang
diterima sepenuh hati oleh pemerintah.
Dalam tataran kehidupan berbangsa dan
bernegara, gerakan radikalisme memang tampak
cukup merepotkan para penguasa, terutama karena
beberapa alasan: Pertama, gerakan radikalisme
sering dinilai sebagai gerakan yang berkepentingan untuk membangun dan mewarnai dasar
ideologi negara dengan faham ideologinya
secara murni, atau mengganti ideologi negara
yang sudah mapan dengan ideologi kelompok
gerakan radikal t ersebut , tanpa mempertimbangkan kepentingan ideologi kelompok lain
yang berbeda dengannya.
Kedua, gerakan radikalisme dianggap
membawa instabilitas sosial, keresahan sosial,
terutama karena sifat gerakan tersebut yang
militan, keras, tegas, hitam-putih, tidak menyerah
dan tidak segan-segan juga menggunakan caracara yang cenderung anarkis dan merusak. Di
samping itu, gerakan radikalisme tersebut juga
dipandang tidak mau kompromi serta tidak
toleran terhadap kepentingan kelompok lain.
Ketiga, dampak dari gerakan radikalisme
baik secara langsung maupun tidak langsung
dipandang dapat mengancam eksist ensi
kedudukan para elit penguasa, terutama karena
pengaruh agitasi ideologi dan provokasi gerakan
radikal yang meluas dalam masyarakat dapat
menurunkan tingkat kepercayaan rakyat terhadap rezim penguasa tersebut, yang pada giliran
berikutnya dapat melahirkan pembangkangan
dan revolusi sosial yang akan meruntuhkan
singgasana rezim penguasa. Karena itu tidaklah
mengherankan apabila siapapun rezim penguasa
disebuah negara akan berusaha semaksimal
mungkin untuk mengeliminasi, menjinakkan,
meredam atau menangkal berkembangnya
gerakan radikalisme itu.
Di Indonesia, gerakan kelompok Islam
dapat dipandang sebagai kelompok gerakan
radikal yang relatif sering muncul ke permukaan.
Tidak hanya karena kelompok Islam merupakan
mayoritas di Indonesia, tetapi juga karena
ideologi jihad dalam Islam dapat mendorong
radikalisasi kelompok-kelompok Islam fanatik di
Indonesia. Tetapi semangat jihad itu sendiri tidak
muncul secara tiba-tiba. Banyak faktor yang ikut
memengaruhi munculnya semangat jihad
kelompok masyarakat Islam seperti faktor
ideologi politik, sosial budaya, solidaritas, dan
doktrin teologi.43
Berkaitan dengan munculnya paham atau
kelompok radikal, Siti Musdah Mulia berpandangan keberadaan sejumlah kelompok radikal
merupakan produk sampingan dari era reformasi.
Keberadaan reformasi telah membuka kran
demokrasi sehingga semua kelompok mendapatkan momentum yang tidak mereka dapatkan
pada rezim Orde Baru (Baru). “Silahkan saja,
semua orang bisa berekspresi di era demokrasi,
tetapi harus dipahami bahwa Indonesia punya
platform dan konst it usi sesuai apa yang
ditegaskan oleh founding fathers kita”.44
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
23
Menyikapi maraknya tindakan radikal
dalam masyarakat, Forum Solidaritas Kebebasan
Beragama (FSKB) mengadakan kegiatan ibadah
dan orasi bersama di depan lapangan Monas.
Forum ini menuntut pemerintah agar dapat
menciptakan suasana damai dalam melakukan
ibadah, dan sangat mengutuk radikalisasi
berkedok Islam. Perwakilan Pengurus Besar
Nahdhatul Ulama (PBNU) yang hadir dalam
acara ini turut memberikan orasinya untuk
meminta rasa aman bagi seluruh agama yang
ada di negara ini. “Kami siap melayani mereka
yang suka mengganggu aksi ibadah agama lain.
Kami juga siap berdiri terdepan untuk membantu
memberikan rasa aman dalam melakukan aksi
ibadah di negeri ini,” ujar Billy, salah satu
perwakilan PBNU dalam orasinya.45
Irfan, salah seorang peneliti UIN Syarif
Hidayatullah, mengatakan, berdasarkan hasil
penelitian, sebagian besar masjid di Jakarta
berpaham moderat. Sedangkan di Solo, Islam
radikal berkembang cukup subur dan bukan tak
mungkin akan mempengaruhi masjid lain di
sekitarnya. Yang menjadi masalah adalah
kelompok moderat kurang mengembangkan
sikap moderasi karena tak ingin melukai jamaah
yang berkiblat pada Islam radikal.46
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UIN Jakarta tersebut, tampaknya
paham radikal belum banyak diminati oleh
masyarakat. Terbukti sebagian besar masjid
masih menganut paham moderat, padahal
masjid adalah tempat pembinaan agama bagi
masyarakat . M emang pada akhir-akhir ini
dibeberapa tempat muncul kasus perebutan
masjid di antara mereka yang berpaham radikal
dengan mereka yang berpaham moderat, tapi
kasus tersebut masih tergolong kecil, meskipun
harus tetap diwaspadai.
Selain UIN Jakarta, pada tahun 2010
SETARA Institute juga melakukan penelitian
tentang Radikalisme Agama di Jabodetabek dan
Jawa Barat. Penelitian ini bert ujuan untuk
menyajikan wajah-wajah organisasi Islam radikal
yang menurut data berbagai laporan kondisi
kebebasan beragama/ berkeyakinan dianggap
sering m engganggu jam inan kebebasan
beragama/ berkeyakinan. Dengan mengenali
24
organisasi-organisasi Islam radikal, diharapkan
sejumlah langkah dapat dilakukan oleh negara
untuk menghapus intoleransi dan diskriminasi
agama/ keyakinan. Menegakkan hukum bagi
para pelaku kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi dan melakukan deradikalisasi pandangan
perilaku dan orientasi keagamaan melalui kanal
politik dan ekonomi berdasarkan rekomendasi
penelitian ini.47
Penelitian SETARA ini membicarakan empat
temuan yaitu tentang potret keagamaan masyarakat perkotaan t ermasuk pandangannya
terhadap keberadaan organisasi Islam radikal;
argumentasi mengapa organisasi Islam radikal
tumbuh di Jakarta dan Jawa Barat; profil organisasi Islam radikal dan implikasinya terhadap
jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan.
Secara keseluruhan, sikap dan pandangan
keagamaan masyarakat Jabodetabek, memperlihatkan intoleransi yang cukup tinggi. Namun
demikian, sikap atau pandangan keagamaan
semacam ini tidak dapat dikatakan sebagai
fundamentalis, atau setidaknya belum memasuki
tahap fundamentalis. Meski intoleransi masyarakat tinggi, survei ini memperlihatkan bahwa
warga Jabodetabek tidak tergolong fundamentalis/ radikal, apalagi mendukung tindakan
kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Pemicu munculnya organisasi Islam radikal
di Jakarta dan Jawa Barat lebih disebabkan oleh
memanfaatkan kondisi alienasi dan frustasi sosial
masyarakat urban untuk berhimpun dalam
wadah agama: Islam. Di tengah-tengah kekosongan ideologi transformatif yang diwariskan
Orde Baru, “alienasi” dan frustasi masyarakat
urban Jabodetabek yang berada di lapis bawah
akhirnya “menemukan” Islam sebagai jawaban
yang rupanya lebih dapat memberikan jaminan
“kepastian”, meskipun sebagian dari mereka
berasal dari kalangan yang secara ritual justru
tergolong biasa saja atau bahkan tidak taat. Hal
ini sekaligus juga membuktikan bahwa sikap
intoleran agaknya tidak berhubungan secara
langsung dengan tingginya tingkat ketaatan
seseorang dalam menjalankan ritual agama.
Islam tampaknya bukan faktor utama yang
menyebabkan terjadinya sikap intoleran.
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Organisasi Islam yang dikategorikan
radikal yang diteliti SETARA adalah Front
Pembela Islam (FPI) dan Forum Umat Islam (FUI),
di Bekasi ada Front Anti Pemurtadan Bekasi
(FAPB), di Cianjur ada Gerakan Reformis Islam
(GARIS), di Tasikmalaya ada Tholiban, dan di Kota
Cirebon ada Forum Ukhuwwah Islamiyah (FUI).
Dari hasil temuan dugaan bahwa basis massa
organisasi Islam radikal berasal dari kalangan
modernis, khususnya neo-wahabi, tidak sepenuhnya tepat. Di Jawa Barat, pesantren-pesantren
tradisional, karena keterlibatan pimpinan pesantrennya, telah memasok dukungan dan menjadi basis
massa organisasi Islam radikal. Pesantren
Ashabul Yamin dan Darul Aman (Cianjur),
Pesantren Al Irsyadiyah, Miftahul Huda (Tasikmalaya), Pesantren Cipana, Pesantren Suci (Garut)
dan Pesantren al Umm (Ciputat). Selain dari
pesantren, basis massa organisasi ini juga berasal
dari majelis-majelis taklim.
Pendanaan organisasi Islam radikal berasal
dari beragam sumber. Selain dari dana pribadi,
sumber dana juga berasal dari infak jamaah,
sumbangan masyarakat, dan usaha sendiri.
Paham ajaran organisasi Islam radikal ini
berpusat pada t iga dokt rin Islam, yait u:
kewajiban berhukum dengan hukum Allah,
doktrin kewajiban memberantas kemunkaran,
dan doktrin kecurigaan dan kebencian pada
agama Kristen yang ekspansif. Sementara dari
prakt ik ibadah sehari-hari, kecuali Forum
Ukhuwwah Islamiyah, umumnya organisasi ini
diidentifikasi sebagai ahlussunnah wal jamaah
(aswaja) dan tradisonalis. Riset ini menunjukkan
bahwa organisasi radikal juga tumbuh dan
berkembang dari dan di kalangan Islam tradisionalis. Agenda utama organisasi-organisasi
Islam radikal adalah, penegakan syariat Islam,
pemberantasan maksiat, aliran sesat, dan anti
pemurtadan/anti kristenisasi.
Organisasi Islam radikal memiliki strategi
dan taktik yang terbarukan dari sebelumnya.
Mereka secara terus menerus mengembangkan
aliansi politik dengan partai politik/tokoh-tokoh
politik, memperluas dukungan di organisasi
Islam yang moderat , menginf ilt rasi atau
meradikalisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI),
menggabungkan aksi jalanan dan aksi hukum,
dan membangun jejaring aksi antarkota. Pada
bagian keempat penelitian ini diuraikan secara
panjang lebar tentang keberadaan organisasiorganisasi Islam radikal dikaitkan dengan
kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Melalui penelitian ini, SETARA Institute
merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: (a)
penegakan hukum terhadap setiap tindakan
kekerasan atas nama agama; (b) menyusun
strategi komprehensif deradikalisasi anggota
dengan membentuk kanal politik bagi elit dan
kanal ekonomi bagi anggota; (c) meningkatkan
pendidikan kewarganegaraan dan pluralism; (d)
melakukan review dan/atau pencabutan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan
yang diskriminatif; (e) membentuk UU yang
menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan;
(f) menghentikan akomodasi politik berlebihan
terhadap kelompok Islam radikal; (g) memberikan perlindungan holistik kepada kelompok
minoritas; (h) menegaskan kembali 4 pilar hidup
berbangsa dalam berbagai peraturan perundangundangan, kebijakan, dan perilaku bangsa.
3. Pluralisme
Sebagai sebuah bangsa yang majemuk,
sudah seharusnya bila masyarakat mengembangkan sikap yang menghargai kemajemukan
(pluralisme), tidak bersikap eksklusif, hanya
mengakui kelompok atau agamanya saja yang
paling benar. Bila hal itu berhasil dikembangkan
dalam masyarakat, maka akan merupakan
sumber perekat dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Berkaitan dengan pluralisme tersebut,
Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas, St.
Sularto, mengatakan setelah meninggalnya Gus
Dur, akhir tahun lalu, Indonesia kini hanya
memiliki mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syaf i’i Ma’arif sebagai tokoh
pluralisme, guru bangsa, dan pelindung kelompok
minoritas. Pemikiran dan gerakan Syafi’i masih
sangat diperlukan untuk membangun bangsa.48
Praktisi hukum Todung Mulya Lubis menyatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
harus bertindak tegas terhadap Menteri Komunikasi dan Informatika yang menganalogikan
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
25
polemik kasus video mesum mirip selebritis
dengan perdebatan Islam-Kristen soal penyaliban Isa atau Yesus. “Presiden harus bertindak
tegas pada Menteri Komunikasi dan Informatika
Tifatul Sembiring, t idak hanya menegur,”.
Menurutnya, pernyataan Tifatul telah melanggar pilar kemajemukan yang merupakan pilar
pokok dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. “Tifatul telah melukai kemajemukan
kita sebagai bangsa. Kami meminta dia mencabut pernyataannya dan meminta maaf secara
terbuka.49
Pernyataan di atas menunjukkan masih
adanya kekhawatiran dari sebagian masyarakat
terhadap penghargaan akan keberagaman
(pluralisme), apalagi dengan adanya fatwa
tentang haramnya menganut paham pluralisme.
Kekhawatiran itu mungkin dikarenakan melihat
adanya beberapa kasus tindak kekerasan yang
dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang
mempunyai paham yang radikal. Tetapi bila hal
tersebut dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang demikian besar, maka secara
sosiologis hal tersebut masih tergolong wajar.
Menurut (mantan) Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama, K.H. Hasyim Muzadi,
pluralisme yang diperjuangkan NU adalah
pluralisme sosiologis bukan teologis. Pluralisme
sosiologis merupakan kebersamaan umat
beragama dalam komunitas dunia.50
4. Kebebasan Beragama
Berkaitan dengan pluralisme, Denny JA,
Direktur Eksekutif LSI, menilai bahwa dalam
setahun pemerintahan SBY-Boediono, toleransi
atas keberagaman yakni pluralisme dan paham
Bhinneka Tunggal Ika menurun drastis, sebaliknya pembenaran kekerasan atas nama agama
meningkat secara signifikan. Jika tidak ada aksi yang
signifikan dari pemerintah seperti kete-gasan
memproteksi hak asasi warga negara atas
keyakinannya dan tak ada tindakan aktif pemimpin
masyarakat yang moderat, toleransi atas keberagaman akan potensial terus menurun. Prosentase
yang membenarkan kekerasan atas nama agama
akan potensial terus meningkat.51
Keberagaman di antara masyarakat
Indonesia seharusnya menjadi aset kemajuan
bangsa dan bukan menjadi penyebab konflik
atau perpecahan. Hal itu menjadi benang merah
dalam bedah buku Indonesia Satu, Indonesia
Beda, di Universitas Paramadina. Said Aqil Siradj
mengatakan sebenarnya adalah hal yang ironis
setelah 65 tahun merdeka masih bicara soal
toleransi dan keberagaman. Namun akhir-akhir
ini masalah itu memang mendapat sorotan lagi,
ada yang masih ngotot untuk memasukkan
syariat Islam di konstitusi, padahal sudah sejak
1936 NU menetapkan Indonesia adalah negara
kebangsaan di tengah keberagamannya.52
26
Menurut Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar,
banyak dokumen internasional tentang HAM
telah menyebut tentang kebebasan bergama.
Dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi
Manusia yang diadopsi PBB tahun 1948, Pasal
18, Pasal 26, dan Pasal 29, disebutkan mengenai
pokok-pokok kebebasan beragama itu. Dalam
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik yang disahkan PBB pada tanggal 16
Desember 1966, pada Pasal 18 juga dinyatakan
hal yang sama dengan apa yang disebutkan
dalam Pasal 18 Deklarasi Universal tentang HAM
PBB.
Kemudian dalam Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
yang disahkan PBB tanggal 16 Desember 1966,
Pada Pasal 13 dinyatakan bahwa semua negara
pihak yang meratif ikasi kovenan itu harus
menghormati kebebasan orang tua atau wali,
jika ada, untuk menjamin bahwa pendidikan
anak mereka di sekolah-sekolah dilakukan sesuai
dengan agama mereka.
Sementara itu dalam Deklarasi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan
Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan yang diadopsi PBB tahun 1981, pada Pasal
1 juga dinyatakan bahwa setiap orang bebas
untuk memilih dan menganut agama, dan
memanifestasikannya secara pribadi dan
berkelompok, baik dalam beribadat, pengamalan, maupun pengajarannya.
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Dalam Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Anak yang diadopsi PBB tanggal 30
November 1989, khususnya Pasal 14, Pasal 29,
dan Pasal 30, dinyatakan bahwa negara-negara
pihak, maksudnya negara-negara yang telah
meratifikasi kovenan itu, harus menghormati hak
agama anak.
Di Indonesia, melalui UUD 1945 telah
termuat satu pasal yang intinya mengatur
tentang HAM agama, yaitu Pasal 29 UUD 1945.
Pada tahun 1965 dengan Penetapan Presiden
No. 1 Tahun 1965 yang kemudian ditetapkan
menjadi undang-undang dengan UndangUndang No. 5 Tahun 1969. Dinyatakan dalam
Penjelasan Pasal 1 UU No. 1/ PNPS/1965, bahwa
“terdapat 6 agama yang hidup berkembang di
Indonesia, yaitu: Islam, Kristen Protestan, Kristen
Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Tetapi
tidak berarti bahwa hanya 6 agama itu yang
boleh hidup di Indonesia, sebab pada paragraf
berikutnya dari Penjelasan Pasal 1 itu dinyatakan
“bahwa hal itu tidak berarti bahwa agamaagama lainnya, seperti Yahudi, Zoroaster, Shinto,
dan Tao dilarang di Indonesia. Agama-agama
itu juga boleh hidup di Indonesia dan mendapat
jaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 29
UUD 1945.”
Demikianlah Indonesia telah
berjalan pada jalur yang
benar dalam upayanya untuk
menegakkan HAM agama.
Pada tahun 1999, Indonesia sekali lagi
menegaskan jaminan kebebasan beragama
dengan diundangkannya UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM, terutama Pasal 22 dan Pasal 70.
Pada tahun 2000, tepatnya 18 Agustus 2000,
Indonesia bahkan melakukan amandemen UUD
1945 dengan menambahkan beberapa pasal,
khususnya Pasal 28E, 281 dan 28J, yang juga
mengatur tentang kebebasan beragama dan
pembatasannya yang hanya dapat dilakukan
melalui undang-undang.
Demikianlah Indonesia telah berjalan pada
jalur yang benar dalam upayanya untuk menegakkan HAM agama. Diskusi dilakukan dengan
pencantumannya dalam UUD bahkan mengamandemennya ketika dipandang perlu, dengan
meratifikasi sejumlah kovenan internasional dan
dengan memberlakukan UU baru yang dipandang
perlu untuk menjamin tegaknya HAM.
Mungkin peraturan-peraturan itu belum
mengatur sesuatu masalah yang amat mendasar,
misalnya: apa yang disebut agama itu, dan
bagaimana sebuah kelompok umat beragama
didaftarkan atau diadministrasikan. Mungkin
juga beberapa peraturan perundang-undangan
memerlukan penjelasan atau sinkronisasi satu
sama lain.
Sebagai akibatnya, pada tataran pelaksanaan sering ditemukan wilayah abu-abu karena
belum jelasnya pengat uran itu, sehingga
kebebasan beragama diimplementasikan oleh
masing-masing kelompok umat beragama
menurut penafsirannya sendiri.53
Berkaitan dengan pelaksanan kebebasan
beragama di Indonesia, Pengasuh Pondok
Pesantren Tebuireng K. H. Sholahuddin Wahid
mengatakan pada acara diskusi Laporan
Tahunan CRCS di Yogyakarta, bahwa negara
belum mampu melindungi ataupun menjamin
hak beragama warga negaranya. Selama ini,
kekerasan berlatar agama cenderung diabaikan
dan tidak ditangani. Hal ini t erlihat pada
meningkatnya sejumlah kasus perusakan rumah
ibadat serta kekerasan berlatar agama.54
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menegaskan bahwa semua kelompok, agama,
dan paham dijamin keberadaannya oleh negara
sehingga bebas menjalankan aktivitas positif
tanpa halangan dari pihak mana pun. “Saya ingin
menegaskan kembali negara kita adalah negara
demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat.
Dalam negara demokrasi, semua kelompok,
semua agama, dan semua paham dijamin
keberadaannya. Kita semua dapat dengan
leluasa menjalankan berbagai aktivitas yang
positif tanpa halangan dan gangguan dari pihak
mana pun,” tuturnya.55
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
27
Inkonsistensi di antara sesama peraturan
normatif serta antara peraturan normatif dan
praktik penegakan kebebasan beragama menjadi
ciri yang melekat pada negara Indonesia. Meskipun
payung hukum bagi kebebasan beragama di
Indonesia cukup kuat, seperti adanya Pasal 29
UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dan Instrumen internasional yang
telah diratifikasi kenyataannya negara belum
mampu menjamin kebebasan bagi setiap
warga.56
Agar kebebasan beragama tidak semakin
suram, maka moralitas dan prinsip perlindungan
terhadap kelompok minoritas harus dikedepankan.
Negara harus berdiri pada pihak yang netral dan
tidak memihak salah satu kelompok. Masyarakat
harus menjadikan nilai toleransi dan fakta
pluralisme di sekitarnya sebagai sarana melakukan
kerjasama.57
“Delegasi AS justru
ingin mempelajari toleransi
dan kebebasan beragama
di Indonesia”
diharapkan bisa menjawab persoalan-persoalan
yang berkembang sesuai tuntutan zaman.
“Mengembangkan tajdid sesungguhnya merupakan bagian dari misi Islam yang maju dan
tumbuh berkembang dalam menjawab tantangan
zaman.60 Presiden Susilo Bambang Yudoyono
dalam peringatan Nuzulul Quran, menegaskan
bahwa setiap individu di negeri ini memiliki
kemerdekaan beragama dan beribadat.61
Sekitar 1.400 umat beragama dari Forum
Solidaritas Kebebasan Beragama beribadat di
depan Isatana Merdeka, mereka bernyanyi dan
berdoa , diselingi khotbah dan orasi. Apa yang
dilakukan oleh ribuan umat beragama itu
menunjukkan kebuntuan perhatian pemerintah
daerah maupun pemerintah pusat dalam
menjaga dan menjamin kebebasan beribadah,
seperti pendirian rumah ibadah. Ibarat bola api
yang terlempar ke sana dan kemari tidak ada
yang berupaya menangkap bola dan memadamkan apinya.62
Meskipun berbagai pihak menilai kebebasan
beragama belum sepenuhnya dapat dijamin oleh
pemerintah, tetapi menurut Teuku Faizasyah,
“Delegasi AS justru ingin mempelajari toleransi
dan kebebasan beragama di Indonesia”. Mereka
akan menemui beberapa pejabat tinggi negara,
dan dijadwalkan bertemu Menteri Agama serta
Menteri Hukum dan HAM.58
Pemerintah dinilai kurang menjamin hak
masyarakat atas kebebasan beragama dan
menjalankan ibadah. Pemerintah juga terkesan
membiarkan dan abai terhadap benih-benih
konflik yang terkait agama. Negara dituntut
bertanggung jawab dan sungguh-sungguh
menjamin keberagaman dan kebebasan beragama. Bentuk nyata dari tanggung jawab itu,
antara lain dengan mengevaluasi segala
peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap
kebebasan beragama dan menindak tegas
sesuai hukum semua pelaku kekerasan yang
mengatasnamakan agama.63
Sebetulnya terhambatnya menjalankan
kebebasan beragama tidak hanya terjadi di
Indonesia. Ketua Komite Kemanusiaan Indonesia
Suripto mengungkapkan di Barat baik diskriminasi terhadap Islam maupun Islam fobia masih
terjadi.59 Untuk itu Presiden SBY mengajak kaum
Muslim untuk melindungi dan mengayomi
kaum minoritas, dan juga mengajak semua
pihak, agar dapat menahan diri dari tindakan
anarkis. Secara khusus Presiden memberi pesan
kepada ulama dan para cendekiawan untuk
mengembangkan tajdid atau pembaruan paham
keagamaan yang konstruktif dan bermanfaat
bagi umat, bangsa, dan negara. Tajdid ini
Sementara itu, penganiayan terhadap
pengurus Gereja HKBPAsia Lumban Toruan tidak
hanya menimbulkan luka fisik tetapi juga luka
pada bangunan kerukunan beragama di
Indonesia. Regulasi memang harus diperbaiki
tetapi jauh lebih penting membangun kesadaran
mayoritas untuk menghormati dan berjiwa besar
t erhadap perbedaan keyakinan. Regulasi
hanyalah bagian dari usaha membangun iklim
kerukunan beragama, tetapi hal itu bukan
merupakan persoalan pokok yang menyulut
penindasan kelompok mayoritas terhadap
minoritas. Problem pokoknya tetap pada relasi
sosial yang timpang dan tidak adil. Tanpa
28
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
semangat menghormati dan melindungi
minoritas, masalah akan mucul. Semangat inilah
yang justru sering luput dari perhatian para
pembuat regulasi. Setiap manusia mempunyai
ciri, karakter dan keyakinan masing-masing,
semua itu tidak bisa diseragamkan dengan cara
apapun.64
Tuduhan bahwa pem erintah secara
sengaja mengabaikan dan lalai dalam menjaga
dan melindungi masyarakat dalam menjalankan
ibadah dan kebebasan dalam menjalankan
agamanya, suatu tuduhan yang terlalu cepat,
dengan tanpa melihat langsung di lapangan.
Mereka yang memberikan komentar kadangkadang hanya membaca berita dari surat kabar
dan TV, yang kerapkali mengandung kepentingan tertentu dalam pemberitaannya. Hal
tersebut sudah terbukti dari berbagai kasus yang
pernah diteliti oleh Puslitbang Kehidupan
Keagamaan. Tapi sayang, para komentator itu
t idak mau tahu dengan hasil penelit ian,
melainkan lebih percaya pada berita sensasional
yang sengaja dibuat oleh kelompok kepentingan
tertentu.
C. Gerakan Keagamaan
Gerakan keagamaan dalam laporan ini
dibatasi pada organisasi atau lembaga yang
bergerak atau beraktivitas di bidang keagamaan.
Yang hendak dicatat dalam laporan ini antara
lain tentang usul, pemikiran atau kegiatan yang
berkaitan dengan organisasi atau lembaga
tersebut yang terrekam dalam pemberitaan surat
kabar.
1. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
MUI se-Sumatera mengeluarkan enam
rekomendasi kepada pemerintah yang disampaikan pada acara Tabligh Akbar dan Silaturrahim
Umat Islam se-Sumatera di Medan, 10 Januari
2010. Enam rekomendasi tersebut adalah: (1)
agar pemerintah bebas KKN; (2) bersikap tegas
kepada media dan lembaga penyiaran yang
menayangkan berita atau infotainmen yang
cenderung membeberkan aib orang lain kepada
umum; (3) mendesak lembaga penyiaran
membatasi penayangan yang berbau pornografi;
(4) mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Undang- Undang Pornograf i dan
Pornoaksi; (5) mendesak pemerintah segera
melakukan sertifikasi halal terhadap seluruh
produk makanan, minuman, obat-obatan dan
bahan kosmet ika impor; (6) menghimbau
Pemerintah agar menggunakan dana abadi
umat yang terkumpul dari sisa biaya jamaah haji
digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan umat.65
2. Nahdhatul Ulama (NU)
Menjelang Muktamar NU di Makassar,
muncul berbagai pemikiran dan tanggapan
terhadap organisasi t erbesar di Indonesia
tersebut. Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (IKA- PM II) dalam jumpa
wartawan, mengingatkan NU agar kembali fokus
menangani masalah sosial keagamaan. Sekretaris Jenderal IKA-PMII Effendy Choirie mengatakan urusan keagamaan bisa menjadi penting
karena munculnya fundamentalisme yang
mengatasnamakan agama. Di sini NU harus
berperan untuk melakukan deradikalisasi Islam.66
Direktur Eksekutif Reform Institute, Yudi
Latief, mengatakan bahwa NU telah menjadi
bentuk Islam yang khas Indonesia, yaitu Islam
yang gradual dan memiliki etos selalu mencari
titik temu dan konsekuen. Kondisi itu tidak lepas
dari paham Ahlussunnah Waljamaah yang
menjadi ajaran NU. Ajaran NU mempunyai
kekhasan, di mana mereka selalu berusaha
mencari titik tengah dari berbagai elemen yang
lebih ekstrim, ini terlihat dengan adanya prinsip
moderat, seimbang dalam penerapan ajaran
agama, sehingga tidak mudah terprovokasi dan
mempunyai sikap yang toleran.67
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono
dalam sambutannya pada pembukaan Muktamar NU di Makassar, berharap agar NU dapat
bekerjasama dengan pemerintah dalam menyukseskan program pembangunan kerakyatan, yang
meliputi pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan, sebab mayoritas rakyat Indonesia
merupakan warga NU.68
Setelah Muktamar usai terdapat ketidakpuasan sekelompok pengurus NU atas susunan
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
29
PBNU. Pengurus NU wilayah Jawa Timur
mengajak Pengurus NU lainnya untuk mengadakan Muktamar Luar Biasa. Atas ajakan tersebut
Pengurus NU dari beberapa daerah pada
umumnya menolak ajakan PWNU Jatim yang
ingin menyelenggarakan Muktamar Luar biasa.
Mereka juga menolak pembekuan PWNU
Jatim.69
Ketua Umum PBNU, K.H. Said Aqiel Siradj,
menegaskan bahwa PBNU tidak punya niat
untuk membekukan PWNU Jawa Timur. Konflik
internal yang terjadi antara PBNU dan PWNU
Jatim hanya sebuah kesalahpahaman yang harus
diselesaikan dengan cepat.70
Pertarungan para calon ketua umum
PBNU menjelang pemilihan pada bulan Maret
cukup alot. Mereka adalah Sholahudin Wahid,
Masdar F. Mas‘udi, Ali Machsan Musa, Slamet
Effendi Yusuf, Ahmad Bagja, dan Said Aqiel Siradj.
Kelebihan dan kepantasan masing-masing calon
ditonjolkan untuk terpilih pada Kongres yang
dilaksanakan pada 22-29 Maret 2010. Dalam
Muktamar ini terpilih sebagai Ketua Umum
Tanfidziyah Prof. Dr. Said Aqiel Siradj. Terpilihnya
Said Aqiel Siradj sebagai Ketua PBNU mendapat
dukungan dari berbagai kalangan, termasuk
mereka yang di luar Islam, karena dia dianggap
sebagai seorang yang moderat dan berwawasan
luas.71
3. Muhammadiyah
Pada tahun ini selain NU, Muhammadiyah
juga mengadakan Muktamar menjelang satu
abad Muhammadiyah. Terpilih sebagai Ketua
Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Din
Syamsudin. Terpilihnya Din Syamsudin, menunjukkan bahwa ia pada periode sebelumnya
dianggap berhasil memimpin Muhammadiyah.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, mengingatkan Pemuda Muhammadiyah
agar tetap mandiri. Jangan mau diintervensi,
apalagi sampai menjadi antek-antek pihak lain.
Pesan itu disampaikan Ketua Umum pada saat
membuka Muktamar ke 14 Pemuda.72
Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
Kalimantan Barat, Pabali Musa, mengatakan
hendaknya Muktamar Satu Abad 2010 Muham-
30
madiyah dijadikan momentum organisasi sosial
keagamaan it u unt uk mendorong agama
menjadi dasar moral posit if di Indonesia.
Indonesia sudah kehilangan wibawa hukum.
Pelanggaran hukum justru dilakukan oleh
oknum penegak hukum. Ia melanjutkan syariat
Islam tepat menjadi dasar moral hukum di
Indonesia. Meskipun demikian falsafah bangsa
Pancasila dan UUD tetap berlaku.73
Peneliti Islam, Zuli Qadir, mengatakan
organisasi keagamaan,khususnya Muhammadiyah
dan NU perlu lebih berani menyuarakan kritik
terhadap kebijakan Pemerintah ataupun penyelewengan yang t erjadi di t engah-t engah
masyarakat. Dengan banyaknya anggota yang
dimiliki, maka suara organisasi keagamaan ini
mempunyai kekuatan dalam memperbaiki
bangsa.74
4. Gerakan Keagamaan Transnasional
Pada tahun 2010 Puslitbang Kehidupan
Keagamaan mengadakan penelitian tentang
Gerakan Keagamaan Transnasional yaitu: Salafi,
Syiah, Jama‘ah Tabligh, Ikhwanul Muslimin (IM)
dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Gereja
Pantekosta di Indonesia (GPdI), Gereja Bethel
Indonesia (GBI), Buddha Maitreya dan Buddha
Soka Ghakai di Indonesia. Gerakan Salafi berasal
dari Saudi Arabia, Jama’ah Tabligh berasal dari
India, Ikhwanul Muslim berasal dari Mesir dan
Hizbut Tahrir berasal dari Palestina atau Libanon.
Sedangkan gereja umumnya berasal dari
Amerika, sedangkan Buddha Maitreya dari Cina,
serta Buddha Soka Ghakai dari Jepang. Mereka
terus mengembangkan sayapnya di Indonesia.
Meskipun di antara gerakan Islam di atas
ini dalam banyak hal terdapat kontradiksi dan
tidak jarang juga saling menyesatkan, namun
mereka memiliki agenda yang sama yaitu
penegakan syariat Islam dan ant i Barat .
Kekhawatiran berbagai kalangan atas munculnya
gerakan keagamaan Islam t ransnasional,
terutama para elit politik dan elit agama dari
ormas yang telah mapan, patut diperhatikan.
Yakni, apakah kehadiran gerakan keagamaan
transnasional itu membahayakan eksistensi NKRI
dan ormas keagamaan yang telah mapan.
Penelitian ini berusaha menjelaskan bagaimana
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
sebenarnya posisi gerakan keagamaan transnasional itu dalam konteks perubahan sosial
keagamaan dan sosial politik di Indonesia, dan
jaringan kerja yang dikaji adalah jaringan
intelektual, kegiatan, pendanaan dan jaringan
kerja kelembagaan.
Adapun hasil temuan dari penelitian ini
sebagai berikut:
1. Secara intelektual seluruh gerakan keagamaan ini memang memiliki jaringan intelektual dengan berbagai lembaga pendidikan
dan ormas keagamaan di luar negeri, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Tidak ada satupun dari gerakan itu yang
tiba-tiba muncul tanpa dorongan intelektual
dan keilmuan dari gerakan keagamaan di
luar negeri, bahkan sebagian gerakan
keagamaan, pendirinya juga dari luar negeri,
misalnya Gereja Pantekosta di Indonesia,
Salafi, Buddha Meitreya dan Buddha Soka
Ghakai di Indonesia. Mereka sering mendatangkan tokoh intelektual dari luar negeri
untuk memperkuat secara politis gerakan
keagamaan transnasional di Indonesia itu.
2. Jaringan kegiatan gerakan ini diwujudkan
dalam bent uk t ukar menukar t enaga
edukatif, atau menyusun program kegiatan
yang setara atau mirip di seluruh Indonesia
dan di luar negeri. Misalnya Syiah membuat
yayasan-yayasan yang bergerak dalam
bidang pendidikan, penyantunan anak yatim
piatu, penerbitan dan pengajian rut in,
seminar atau bedah buku. Jama’ah Tabligh
melaksanakan dakwah keliling sebagaimana
dilakukan Jama’ah Tabligh di India, Pakistan
dan Banglades (IPB). Salafi membuat stasiun
radio di berbagai daerah di Indonesia untuk
mengintensifkan kegiatan dakwahnya, sebagaimana ditunjukkan oleh Radio Dakwah
Ahlussunnah Waljamaah (Roja) di Cileungsi,
Kota Depok. Radio Hang di Kota Batam dan
sebagainya. Hizbut Tahrir Indonesia banyak
melakukan diskusi keagamaan di kampuskampus, penerbitan jurnal, tabloid, dan
sebagainya.
3. Pendanaan gerakan keagamaan transnasional
kurang terdeteksi dari hasil penelitian ini.
Namun demikian ada indikasi kuat, bahwa
setidaknya pada awalnya mereka mendapat
bantuan luar negeri. Setelah kaderisasi
berhasil, pendanaan untuk operasional dan
lainnya murni berasal dari anggotanya saja.
Cont ohnya adalah GPdI pada awalnya
didanai oleh gereja di Amerika Serikat,
kemudian oleh Belanda dan setelah Indonesia merdeka dibantu oleh para pengusaha
GPdI, persepuluhan, persembahan, dan
bantuan lainnya yang tidak mengikat.
4. Jaringan kerja kelembagaan yang terdapat
dalam gerakan keagamaan transnasional itu
tidak sama di antara satu gerakan dengan
yang lain. Jama’ah Tabligh misalnya, moto
sebagai muslim harus teratur sebelum diatur,
karena itu tidak ada struktur organisasi. Salafi
juga tidak memiliki struktur organisasi.
Sementara itu yang lain memiliki struktur
organisasi yang disusun secara berjenjang
dari pusat hingga daerah. Di antara wilayah
atau daerah itu selalu ada pertemuan
berkala yang bermaksud mengevaluasi
kinerja organisasi yang dikelola. Dengan
demikian, secara kelembagaan dapat
menyusun program kegiatan yang disepakati oleh semua jenjang lembaga yang
mereka miliki.
5. Keberadaan gerakan keagamaan transnasional
di Indonesia secara agama, politik dan
ekonomi tidaklah membahayakan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, karena bagaimanapun mereka adalah warga negara
Indonesia. Bahkan diantara organisasi keagamaan yang ada, sebenarnya saling melengkapi kekurangan yang dimiliki. Misalnya,
Salaf i memfokuskan diri pada dakwah
agama dengan pemahaman sebagaimana
salafussahalih memahami agama, ini berarti
melengkapi dakwahnya Muhammadiyah
yang konsentrasinya mulai terpecah pada
program sosial, pendidikan dan ekonomi.
Jama’ah Tabligh misalnya, melengkapi
dakwahnya umat Islam yang ada, sebagaimana Islamisasi yang sukses di Indonesia
juga karena dakwah pengelana seperti yang
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
31
dipraktikkan oleh Jama’ah Tabligh. Sementara itu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mewacanakan khilafah dan peneguhan solidaritas yang
tinggi terhadap umat Islam di manapun
sebagaimana dipesankan ajaran Islam bahwa
umat Islam itu bersaudara.
6. Sementara itu keberadaan GPdI, GBI, Buddha
M ait reya dan Buddha Soka Ghakai di
Indonesia, juga tidak membahayakan NKRI,
karena keempat organisasi ini pendukungnya sangat minoritas di Indonesia, sehingga
tidak mungkin berfikir tentang bentuk dan
sistem kenegaraan yang lain di Indonesia.
5. Kongres Umat Islam
Setiap dua tahun sekali diadakan kongres
umat Islam. Dalam kongres tersebut sebaiknya
mengundang semua ormas Islam baik dari
kalangan moderat maupun kelompok garis
keras. Ternyata dalam kongres tersebut tidak
semua organisasi Islam diundang, sehingga
dianggap bersifat diskriminatif. Akibatnya,
panitia Kongres Umat Islam Indonesia kelima
digugat oleh beberapa ormas Islam yang
dianggap garis keras atau bermasalah (Jamaah
Islamiyah, Majelis Mujahidin Indonesia, Lembaga
Dakwah Islam Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia
dan Front Pembela Islam). Mereka tidak diundang pada acara kongres tersebut, dengan
alasan dikhawat irkan akan m engganggu
jalannya kongres.
Reaksi keras datang dari Ketua Lajnah
Tanfidziyah MMI, Irfan Awwas, yang mengatakan
bahwa MUI jangan memosisikan diri sebagai
perpanjangan tangan pemerintah yang berkolaborasi dengan musuh-musuh Islam, dan ulama
jangan jadi penonton pada saat negara sedang
kacau balau dengan perekonomian yang sedang
berantakan. Pernyataan semacam ini menunjukkan betapa kelompok garis keras kurang
berkenan dengan Pemerintah sekarang ini
karena dianggap bekerjasama dengan negaranegara yang dianggap musuh Islam. Selain itu
karena negara ini bukan didasarkan pada syariat
Islam, maka pemerintahan ini disebut thoghut.75
ingatkan, bahwa umat Islam di Indonesia memiliki tingkat kemajemukan yang sangat tinggi,
baik dari aspek suku, bahasa, afiliasi politik,
paham keagamaan, pilihan strategi perkhidmatan maupun amal usaha. Kemajemukan itu
perlu dipahami sebagai peluang sekaligus
tantangan dalam membangun dan memberdayakan umat Islam dan bangsa Indonesia.76
Sedangkan Wakil Presiden Boediono
mengatakan bahwa Pemerintah milik bangsa
Indonesia, karena umat Islam merupakan
mayoritas di negeri ini, maka kemitraan antara
Pemerintah dan umat Islam adalah keharusan.
Wapres juga menekankan pentingnya penguatan
nilai-nilai keislaman sebagai faktor perekat
bangsa, pendorong etos kerja, dan kemajuan.77
Menurut Ketua Panitia Pusat Kongres
Umat Islam, bahwa salah satu poin yang
diharapkan menjadi rekomendasi dalam KUI
adalah mempertegas komitmen Pemerintah
untuk mengaplikasikan Perda-perda bernuansa
syariat Islam.78
Selain Kongres Umat Islam, pada tahun
ini juga dilaksanakan Kongres III Tokoh Agama
yang diadakan di Hotel Mercure. Dalam kongres
tersebut, Menteri Agama mengatakan seharusnya para artis dapat memberi contoh keteladanan bagi para idolanya, bukan malah sebaliknya merusak moral bangsa. Keteladanan sangat
penting di tengah anak bangsa yang tengah
mengalami degradasi etika. Penguatan etika
sangat penting dalam membentuk karakter
bangsa ke depan.79 []
Berkaitan dengan Kongres Umat Islam
Indonesia tersebut K.H. Sahal Mahfudz meng-
32
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
4
Pelayanan dan Pengamalan
Keagamaan
B
erdasarkan pengamatan terhadap berita di media massa
selama tahun 2010, terkait bidang pelayanan dan pengamalan keagamaan, ada 4 (empat) isu yang kiranya patut
diperhatikan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Sebab,
keempat isu tersebut terkait langsung dengan kepentingan
masyarakat secara luas, berpotensi mendapat resistensi dari
masyarakat, dan berdampak jangka panjang.
Pertama, isu akan dipidana atau denda bagi mereka yang
dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan
pejabat pencatat nikah, melakukan perkawinan mutah,
melakukan perkawinan poligami tanpa izin pengadilan,
menceraian isteri tidak di depan pengadilan, menghamili
perempuan yang belum nikah sehingga hamil sedang ia menolak
mengawini, Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya, bertindak seolah-olah Pejabat Pencatat Nikah, dan
bukan wali nikah tetapi bertindak selaku wali nikah, sebagaimana
tertuang dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang
Perkawinan. Kedua, isu tarik-ulur otoritas dalam sertifikasi produk
halal sebagaimana tertuang dalam RUU Jaminan Produk Halal.
Ketiga, isu sentralisasi pengelolaan zakat dan zakat sebagai
pengurang langsung pajak sebagaimana tertuang dalam RUU
Pengelolaan Zakat. Keempat, masalah penyelenggaraan ibadah
haji tahun 2010.
Keempat masalah yang disorot di atas secara kebetulan
terkait dengan peraturan perundang-undangan dan terkait
langsung pula dengan umat Islam. Dari sini timbul kemudian
pertanyaan, apakah dalam negara yang berdasar Pancasila
diperkenankan berlaku peraturan perundang-undangan yang
hanya diperuntukkan bagi umat tertentu. Bukankah politik
hukum di Indonesia pascakemerdekaan mensyaratkan unifikasi,
yaitu pembentukan hukum nasional yang akan berlaku bagi
segenap elemen masyarakat tanpa dibedakan latar belakang
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
33
suku, golongan, dan agama. Pendapat ini dianut
oleh sebagian ahli hukum, anggota DPR, dan
aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang memperjuangkan pluralisme di Indonesia.
Mereka berpendapat, RUU Jaminan Produk Halal
misalnya, tidak sesuai dengan asas equality
before the law yaitu setiap orang memiliki
kedudukan yang sama di hadapan hukum.
berpengaruh terhadap proses pembahasan isuisu yang mengemuka dalam berbagai rancangan undang-undang di atas. Seberapa jauh
faktor-faktor di atas berpengaruh, apa yang
semestinya dilakukan oleh pemerintah dan
masyarakat, dan bagaimana prospeknya di masa
depan, kiranya akan diuraikan sebagai berikut.
Keberadaan RUU Jaminan Produk Halal
menurut mereka memberikan perlakuan yang
“istimewa” dan mendasarkan pada kepentingan
sekelompok orang merupakan bukti nyata
ketidaksesuaian produk hukum ini dengan asas
hukum yang telah dimuat dalam Pasal 27 UUD
1945.1 Sedangkan anggota Komisi VIII DPR
periode 2004-2009, Tiurlan Hutagaol dalam
Diskusi Lintas Agama yang diselenggarakan
Persaudaraan Indonesia Raya (Persira) (26/8/
2009) menilai bahwa RUU Jaminan Produk Halal
(RUU JPH) dinilai sangat diskriminatif dan tidak
berwawasan kebangsaan.2
A. RUU Hukum Materiil Peradilan
Agama Bidang Perkawinan
Pendapat berbeda dikemukakan oleh
kelompok lain. Mochtar Kusumatmadja misalnya, mengatakan bahwa unifikasi hanya berlaku
terhadap materi hukum yang mungkin diunifikasikan atau hukum yang bersifat netral seperti
hukum pidana. Adapun yang berkaitan dengan
hukum yang tidak netral seperti hukum keluarga
(perkawinan dan pewarisan) tetap diatur sesuai
dengan ketentuan agama masing-masing.3
Sedangkan Slamet Effendy Yusuf, Ketua Bidang
Kerukunan Majelis Ulama Indonesia, pada acara
peluncuran Laporan Tahunan Kehidupan
Beragama 2010 yang diselenggarakan Center
for Religious and Cross-cultural Studies (1/ 2/
2011), menyampaikan bahwa penerapan
peraturan perundang-undangan berbasis nilainilai agama tertentu tetap dapat dilakukan
sepanjang mengatur hal-hal khusus yang tidak
mungkin diatur dalam peraturan perundangundangan yang bersifat umum.4
Dalam rangka mendukung UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan memenuhi
kebutuhan hukum materiil bidang perkawinan
di Peradilan Agama, pemerintah pada 2002, telah
melakukan diskusi intensif dan penyempurnaan
terhadap Buku I: Hukum Perkawinan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada 2007, hasil
diskusi menghasilkan draf RUU Hukum Terapan
Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang
kemudian diganti menjadi RUU Hukum Materiil
Peradilan Agama Bidang Perkawinan.
Pada tahun itu pula RUU disampaikan
kepada Sekretariat Negara untuk mendapatkan
persetujuan Presiden. Sejak saat itu, keberadaan
RUU tidak tahu rimbanya, sampai kemudian
pada tengah Februari 2010 masyarakat dikejutkan oleh berita kontroversi tentangnya. Bermula
pada 12 Februari 2010, Kompas menurunkan
berita tentang rencana Pusat Pengembangan
Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHI2M)
untuk menggelar seminar nasional mengenai
RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang
Perkawinan. Tujuan penyelenggaraan seminar
nasional adalah dalam rangka mencari masukan
dari berbagai pihak terkait beberapa pasal yang
dianggap kontroversial yang diatur dalam RUU.
Pasal-pasal yang dimaksud terkait dengan
pemidanaan, sebagaimana disarikan pada tabel
di berikut ini (tabel 1).
Adanya dua pandangan di atas menunjukkan bahwa kehadiran peraturan perundangundangan yang berbasis agama tetap akan
menimbulkan persoalan, baik pada ranah
akademis maupun politik; bahkan, akan semakin
kompleks di ranah sosiologis. Sebab, kondisi
internal umat Islam yang majemuk akan pula
34
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Memperhatikan tabel di atas, RUU memberikan ancaman pidana kurungan berkisar
antara 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai
Rp 6 juta hingga Rp 12 juta bagi pelaku
perkawinan tidak dicatat, perkawinan mutah,
perkawinan poligami tanpa izin dan perceraian
yang tanpa dilakukan di muka pengadilan,
melakukan perzinahan sehingga hamil dan
menolak bertanggung jawab, serta menikahkan
atau menjadi wali nikah padahal sebetulnya tidak
berhak.
Adanya ketentuan pidana dalam hukum
perkawinan Islam sebenarnya bukan khas RUU
Hukum M at eriil Peradilan Agama Bidang
Perkawinan. Sebelumnya ada UU No. 2 Tahun
1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Pasal 3 UU ini menyebutkan: (1) Barangsiapa
yang melakukan akad nikah atau nikah dengan
seorang perempuan tidak di bawah pengawasan
pegawai yang dimaksudkan pada ayat (2) Pasal
1 atau wakilnya, dihukum denda sebanyakbanyaknya R 50,- (lima puluh rupiah); (2)
Barangsiapa yang menjalankan pekerjaan
tersebut pada ayat (2) Pasal 1 dengan tidak ada
haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3
(tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya R
100,- (serat us rupiah). Ket ent uan UU ini
kemudian diperkuat kembali dalam bentuk PP
No. 9 Tahun 1975.
Lebih dari itu, menurut Nasaruddin Umar,
Direktur Jenderal Bimas Islam Kementerian
Agama RI, penetapan pidana bagi pelanggar
hukum perkawinan Islam juga diterapkan di
beberapa negara Islam dan bahkan di beberapa
negara mayoritas non-muslim.5 Namun, kehadiran pasal-pasal pidana dengan kuantifikasi
seperti di atas, tak pelak tetap membuat
masyarakat terkejut dan sebagiannya menyatakan protes keras, kendati ada juga yang
mendukung. Mereka tidak habis pikir mengapa
perkawinan yang menurut Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dikatakan sebagai ibadah itu dapat
dipidanakan.
Untuk itu, penting kiranya kita mengetahui
bagaimana tanggapan masyarakat t erkait
masalah di atas, terutama yang tersebar di media
massa. Beberapa tanggapan itu telah dirangkumkan dalam tabel berikut (tabel 2).
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
35
36
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Berbagai tanggapan di atas hanya sebagian kecil informasi yang dapat terdokumentasikan. Informasi dari daerah belum tersajikan
secara baik. Namun demikian, informasi yang
terbatas it u kita harapkan dapat mewakili
“kegelisahan” masyarakat di semua lapisan.
Dari berbagai kutipan di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik. Pertama,
masyarakat cenderung menyamakan pengertian
perkawinan tidak dicatat dalam RUU dengan apa
yang kerap disebut sebagai kawin sirri. Kedua,
masih ada dualisme di masyarakat terkait
perkawinan sah menurut agama dan menurut
negara. Ketiga, perkawinan hendaknya tetap
menjadi bagian hukum privat sehingga tidak
diperlukan pemidanaan. Keempat, pencantuman
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
37
pidana dalam RUU sudah benar dalam rangka
pencegahan tetapi dalam penerapannya perlu
dilihat kasus per kasus. Kelima, diperlukan
kehati-hatian dalam penerapan pidana perkawinan sebab dikhawatirkan akan berdampak
lebih negatif.
Penyamaan pengertian antara kawin tidak
dicatat dan kawin sirri menyebabkan judul-judul
berita di media massa pun cenderung menggunakan istilah kawin sirri daripada kawin tidak
dicatat. Bahkan, RUU yang semestinya ditulis
RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang
Perkawinan pun akhirnya disimplif ikasikan
menjadi RUU Kawin Sirri. Hal ini menunjukkan
bahwa pemahaman pemerintah dan masyarakat
terkait apa yang diatur dalam RUU tidaklah sama.
Pemahaman yang tidak sama tersebut
berpotensi memicu resistensi. Oleh sebab itu,
berikut disajikan pandangan Neng Djubaidah,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
terkait kedua istilah tersebut. Neng berpendapat,
pengertian “perkawinan tidak dicatat” berbeda
dengan “perkawinan sirri”. Perkawinan tidak
dicatat adalah:
Perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat
sesuai dengan hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan atau belum dicatatkan di Kantor Urusan
Agama (KUA Kecamatan) sebagai Unit Pelaksana
Teknis Dinas (UPTD) Instansi Pelaksana di wilayah
Kecamatan setempat, sebagaimana ditentukan
dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan.
Neng menegaskan, istilah “tidak dicatat”
tidak sama dengan istilah “tidak dicatatkan”.
Kedua istilah tersebut mengandung makna yang
berbeda. Pada istilah perkawinan tidak dicatat
bermakna bahwa perkawinan itu tidak mengandung unsur “disengaja” yang mengiringi niat
seseorang untuk tidak mencatatkan perkawinannya. Adapun istilah perkawinan tidak
dicatatkan terkandung niat buruk dari suami
khususnya yang bermaksud perkawinannya
memang “disengaja” tidak dicatatkan.
Dengan demikian, perkawinan t idak
dicatat terkait dengan tidak dicatatnya peristiwa
perkawinan oleh Pejabat Pencatat Nikah (PPN),
sedangkan untuk perkawinannya sendiri telah
memenuhi ketentuan syariat Islam, termasuk
38
diketahui orang banyak. Sedangkan kawin sirri
atau “kawin diam- diam” memang sebuah
bentuk perkawinan yang disengajakan untuk
tidak diketahui banyak orang dan memang tidak
ada niatan baik untuk dicatatkan.6 Kendati akibat
hukumnya hampir sama, namun peristiwa
hukumnya berbeda. Pendapat ini kiranya dapat
menjadi jawaban atas kesimpangsiuran penggunaan istilah kawin sirri yang berkembang di
masyarakat dan media massa. Kesimpangsiuran
itulah yang menyebabkan penyederhanaan label
RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang
Perkawinan menjadi RUU Nikah Sirri.
Selanjut nya, Neng membandingkan
antara perkawinan yang sah menurut hukum
Islam tetapi tidak dicatat dengan perbuatan zina.
Menurutnya, perbuatan zina yang sangat jelas
dilarang dalam hukum Islam, maka hukuman
yang diberikan terhadap pelaku zina di Indonesia, termasuk umat Islam, adalah ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 284 KUHP, yaitu
berupa hukuman penjara paling lama 9 bulan.
Ketentuan hukuman itu dapat diterapkan apabila
salah seorang pelaku zina atau kedua pelaku zina
dalam kondisi sedang terikat perkawinan
dengan orang lain, dan jenis deliknya pun
berupa delik aduan. Jika dibandingkan dengan
ketentuan perkawinan yang sah sesuai hukum
Islam, tetapi belum atau tidak dicatat, yang
diancam penjara 6 bulan atau hukuman denda
Rp 6 juta, maka perbandingan hukuman antara
pelaku zina dengan pelaku perkawinan sesuai
hukum Islam tersebut adalah 9 bulan berbanding 6 bulan. Melihat hal tersebut, ternyata
perkawinan sesuai hukum Islam dianggap
serupa dengan zina, itupun jika salah seorang
atau kedua pelaku zina masih terikat perkawinan
dengan orang lain. Jika zina dilakukan oleh
orang-orang yang tidak terikat perkawinan,
sama-sama dewasa, sama-sama suka, maka
tampak perzinaan yang merupakan perbuatan
haram menurut hukum Islam itu lebih dilindungi
dalam perat uran perundang- undangan di
Indonesia dibandingkan perkawinan yang sah
menurut hukum Islam, tetapi belum atau tidak
dicatat.7
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Perspektif yang sama dikemukakan pula
oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Mereka
berpendapat, Pasal 147 RUU memang bisa
menimbulkan kontroversi, sebab sanksi pelaku
perkawinan tidak dicatat tetapi mungkin telah
memenuhi unsur keabsahan menurut hukum
Islam dipidana lebih berat daripada pelaku
perzinaan. Pada Pasal 143 disebutkan bahwa
pelaku yang melangsungkan perkawinan tidak
di hadapan pejabat pencatat nikah akan didenda
paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling
lama enam bulan, sedangkan Pasal 147 menyebutkan bahwa barang siapa yang menghamili
perempuan yang belum nikah dan menolak
mengawininya akan dipidana paling lama 3 (tiga)
bulan penjara. Menurut HTI, ini pasal yang
sangat aneh dan berpotensi memantik reaksi
keras dari masyarakat agama. Bagaimana
mungkin perilaku yang jelas-jelas menunjukkan
sikap yang tidak bertanggung jawab terhadap
seseorang yang telah dihamilinya mendapat
ganjaran hukuman lebih ringan daripada pelaku
kawin tidak tercatat dan/ atau kawin mutah.
Manakah di antara keduanya yang secara moral
dapat dikatakan lebih bermoral? Dapat dibayangkan bila pencuri “kehormatan” perempuan
hanya mendapatkan hukuman setimpal dengan
seorang “pencuri ayam”.
Padahal, sebaliknya pada pasal 146
ditegaskan bahwa pelaku poligami tanpa izin
pengadilan dan mereka yang menceraikan istri
tidak di depan pengadilan akan didenda paling
banyak Rp 6 juta atau hukuman 6 (enam) bulan
penjara. Mencermati pasal-pasal tersebut bisa
muncul selorohan “akan lebih aman jajan di
lokalisasi daripada harus kawin tidak tercatat,
poligami ataupun mutah”. Dengan kata lain,
menurut suara masyarakat, alih-alih untuk
melindungi perempuan dari budaya kekerasan
patriarkhi, tetapi justru sebaliknya berpotensi
lebih banyak merugikan perempuan itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, diperkirakan
pembahasan RUU Hukum Materiil Peradilan
Agama Bidang Perkawinan di DPR akan berjalan
cukup alot dan di luar parlemen sendiri pun bisa
jadi mendapat resistensi dari masyarakat.
Antisipasi kondisi ini tentu harus diperhatikan
oleh pemerintah dan DPR. Diperlukan sikap yang
hati-hati dari keduanya agar masyarakat tidak
terbelah dan sedapat mungkin menghindarkan
dead-lock dalam proses pembahasannya.
Mengubah pemahaman dan tradisi keagamaan
yang sudah berjalan bertahun-tahun tentu
tidaklah mudah. Apalagi, berdasarkan penelitian
Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2010,
ditemukan fakta bahwa perkawinan tidak dicatat
bukan khas umat Islam. Namun, terjadi pula di
berbagai komunitas agama yang lain, di
antaranya Kristen dan Katolik di Provinsi Nusa
Tenggara Timur dan Khonghucu di Provinsi
Kalimantan Barat.
...diperkirakan pembahasan
RUU Hukum Materiil
Peradilan Agama Bidang
Perkawinan di DPR akan
berjalan cukup alot dan di
luar parlemen sendiri pun
bisa jadi mendapat resistensi
dari masyarakat.
Penelitian mengungkapkan, bahwa selain
fakt or keagamaan, penyebab munculnya
fenomena perkawinan tidak dicatat antara lain
faktor geografis yang bergunung-gunung dan
jauh dari pusat pemerintahan kecamatan atau
kabupat en/ kota, karena biaya pencatatan
perkawinan dianggap mahal, politik sebagaimana yang dialami oleh umat Khonghucu, dan
budaya. Di kalangan etnis tertentu misalnya,
perkawinan melalui seorang ulama (kiai)
dianggap lebih utama (afdhal) dibandingkan
melalui Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan.
Pencatatan perkawinan kemudian cenderung
diabaikan, karena dianggap hanya masalah
administrasi kenegaraan saja, tidak terkait sah
atau tidak perkawinan menurut ajaran agama.
Sedangkan terkait kawin mutah atau
kawin kont rak, Rahima, sebuah LSM yang
bergerak dalam bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga,memiliki catatan sendiri. Rahima
mencatat bahwa kawin kontrak sebenarnya tidak
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
39
cukup populer di Indonesia, namun di beberapa
daerah di Indonesia banyak terjadi, seperti di
Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Sekitar bulan JuniAgustus, atau penduduk setempat menyebutnya
“pada musim Arab”, banyak turis Timur Tengah
datang berlibur. Mereka kawin kontrak dengan
perempuan setempat atau daerah sekitarnya,
seperti Cianjur dan Sukabumi. Belum ada data
yang pasti berapa jumlah peristiwa kawin
kontrak di tahun 2010 atau tahun-tahun
sebelumnya di daerah tersebut, dan juga kapan
“kebiasaan” itu dimulai.
dari bisnis ini di kota yang memiliki sekitar 3.500
perusahaan furniture besar dan 15.000 perusahaan ukir rumahan. Selama tinggal, para pebisnis
kerap kawin kontrak. Dan, tak sedikit pula yang
memilih hidup bersama tanpa akad perkawinan.
Praktik kawin kontrak di Cisarua tidak
rumit . Bagi yang berpengalam an, dapat
langsung menemui pihak perempuan untuk
dijadikan isteri kontrak. Bila tidak mau langsung,
si turis bisa menghubungi orang yang berperan
sebagai EO (Event Organizer), yait u yang
menyediakan calon mempelai perempuan,
tempat, wali, saksi, dan oknum pencatat nikah.
Wali nikah bisa siapa saja tidak harus orang tua
atau mahram dari perempuan. Si turis tinggal
menyediakan mahar dan biaya lain yang
disepakati. Besaran mahar bervariasi, tergantung
kesepakatan. Mulai dua jutaan hingga puluhan
juta rupiah. Besaran ini berkorelasi dengan
lamanya masa pernikahan yang bervariasi pula.
Ada yang dua atau beberapa hari saja, ada pula
yang hingga berbulan-bulan.
Analisis Rahima, banyak faktor pemicu
praktik kawin kontrak, di antaranya: Pertama,
pengetahuan agam a yang kurang, yang
membentuk penilaian bahwa kawin kontrak itu
sah dan lebih baik daripada berbuat zina.
Padahal, bilapun di masa lalu pernah diperbolehkan oleh Muhammad Saw, itu pun hanya
bagi para sahabat Nabi Saw yang pergi jauh
unt uk berperang, di mana t idak ada alat
transportasi atau teknologi modern yang dapat
dengan segera menghubungkan mereka pada
keluarga (isteri). Kedua, pendidikan, lapangan
kerja yang sempit, dan ekonomi. Rendahnya
akses pendidikan, minimnya lapangan kerja yang
disediakan negara, dan kemiskinan perempuan
membuat kawin kontrak jadi jalan pintas. Sedang
bagi para EO, Dollar dan Real sangat menggiurkan sekalipun mereka sebetulnya berkecukupan. Ketiga, budaya patriarki, yang melihat
perempuan sebagai aset yang bisa diperjualbelikan untuk menyejahterakan keluarga; serta
mindset masyarakat yang masih melihat tinggi
rendah manusia berdasarkan keturunan, warna
kulit, jabatan, harta ataupun jenis kelamin.
Musim Arab memang masa panen bagi
pelaku kawin kontrak. Bagi para pengelola, ini
kesempatan meraup Real untuk pundi-pundi
pribadi hanya dengan kerja singkat dan ringan.
Misalnya Andi dan Marwan (nama samaran), EO
dan oknum pencatat nikah, telah bertahuntahun menekuni bisnis nikah kontrak ini. Untuk
satu pernikahan yang ditangani, keduanya bisa
mengantongi separuh dari mahar yang jumlahnya mencapai 10 hingga 20 juta rupiah. Sungguh
nilai yang yang secuilpun tidak sebanding
dengan segenap jiwa-raga yang dipertaruhkan
perempuan yang terlibat dalam kawin kontrak.
Siapa yang paling dirugikan? Dalam kasus
kawin kontrak perempuanlah yang paling
dirugikan. Real atau Dollar yang didapat tidak
sebanding dengan risiko yang diterima, seperti
akan hilangnya harkat kemanusiaan akibat
sekadar jadi pelampiasan nafsu; infeksi manual
seksual (IMS) akibat berganti-ganti pasangan;
tidak adanya hak nafkah secara wajar; bila hamil,
diri dan janin atau anak terlantar hak-haknya;
jika terjadi kekerasan f isik, psikis, seksual,
ekonomi, atau lainnya, tidak ada kekuatan
hukum bagi perempuan untuk melapor ke pihak
yang berwajib.
Lain Cisarua, lain pula Jepara, Jawa Tengah.
Di kota ukir ini kawin kontrak berbanding lurus
dengan pesatnya pertumbuhan industri furniture. Para lelaki asal Amerika Serikat, Eropa,
Australia, dan Negara Asia seperti Korea Selatan
dan Jepang, berdatangan berburu peruntungan
Selama ini negara menjadikan UU No. 1
Tahun 1974 t entang Perkawinan sebagai
pedoman. Menurut UU tersebut, kawin kontrak
tidak sah. Namun, tidak diatur sanksi bagi yang
melanggar. Dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan diatur tentang
40
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
pidananya, tetapi sayangnya menurut Rahima,
hanya pasangan kawin yang dijerat pidana.
Padahal praktiknya sudah tersistem rapi; ada
banyak pemain seperti EO, saksi, wali, dan
oknum pencatat dari KUA kecamatan setempat.
Juga ada orang tua atau anggota keluarga yang
kadang turut memaksa anak perempuannya
kawin kontrak. Rahima berpendapat, mestinya
ada hukum yang adil bagi mereka. Sebab,
perempuan semata hanya korban sistem,
dimiskinkan ekonomi dan pengetahuannya, dan
dijerat budaya patriarki.8
Fenomena kawin kontrak, atau pihak
Majelis Ulama Indonesia, menyebutnya dengan
istilah “kawin wisata” yang terjadi di kawasan
Cisarua itu diperkuat hasil penelitian Suhanah,
peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan, yang
pada tahun 2010 pernah melakukan penelitian
khusus tentang hal itu. Namun demikian, para
pihak yang terlibat dalam praktik kawin kontrak
kebanyakan bukan berasal dari penduduk lokal
tetapi pendatang. Beberapa pelaku yang sempat
diwawancarai mengaku berasal dari Indramayu
dan Sukabumi. Terhadap praktik “kawin wisata”
ini pihak MUI mengharamkannya.
Adanya sikap pro dan kontra di atas tentu
harus diperhatikan oleh pemerintah dan DPR.
Namun, sepanjang pengamatan Puslitbang
Kehidupan Keagamaan terhadap beberapa
berita di media massa, terlepas sikap pro dan
kontra RUU di atas, hiruk pikuk yang terjadi
ternyata memberikan dampak positif bagi upaya
pengurangan pasangan kawin tidak dicatat dan
kawin sirri. Langkah yang dilakukan adalah
dengan mendata pasangan yang t erlibat
perkawinan tidak dicatat dan kawin sirri. Di
Pasuruan misalnya, Koran Tempo (14/ 5/ 2010)
memberitakan, bahwa berdasarkan pendataan
Islamic Center for Democracy Human Rights and
Empowerment, jumlah pasangan perkawinan
tidak dicatat dan kawin sirri di Kabupaten
Pasuruan, Provinsi Jawa Timur, mencapai 4000
pasangan. Sedangkan di Kabupaten Bekasi
menurut Kepala Badan Kependudukan dan
Pencatatan Sipil, masih dalam proses pendataan
oleh aparat kecamatan di 23 kecamatan yang
ada di kabupaten (Koran Tempo, 29/5/2010).
Selain itu, di Kabupaten Kuningan, Pikiran
Rakyat (1/3/2010) memberitakan bahwa ratusan
pasangan nikah sirri yang tersebar di wilayah
Kabupaten Kuningan meminta untuk menikah
ulang di hadapan pet ugas KUA. M ereka
mengaku resah setelah adanya rencana pemerintah melarang pernikahan sirri, khawatir bakal
dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam
RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang
Perkawinan.
B. RUU Jaminan Produk Halal
Penduduk Indonesia mayoritas memeluk
agama Islam. Dalam Islam, setiap pribadi muslim
diperintahkan unt uk untuk mengonsumsi
makanan yang halal serta menjauhi makanan
yang haram. Survei Kementerian Agama RI
tentang kepedulian konsumen muslim terhadap
produk halal yang digelar dalam International
Halal Business and Food Expo (IHBF) di Assembly
Hall Jakarta Convention Center (23-25/7/2010)
menemukan bahwa tingkat pengetahuan
masyarakat tentang halal (halal awareness) saat
ini cukup tinggi.
Sekitar 75% menyatakan
bahwa tanda (label) halal
menjadi rujukan dalam
memilih dan mengonsumsi
produk pangan. Namun dalam
memilih produk kosmetik dan
obat-obatan, hanya 40% ...
Sekitar 75% menyatakan bahwa tanda
(label) halal menjadi rujukan dalam memilih dan
mengonsumsi produk pangan. Namun dalam
memilih produk kosmetik dan obat-obatan,
hanya 40% yang konsisten menjadikan tanda
halal sebagai rujukan utama. Sisanya menjadikan
kualitas, merk, dan harga sebagai preferensi
utama. Dengan alasan belum banyaknya pilihan
produk kosmet ika dan obat-obatan yang
bersertifikat halal di Indonesia. Pemenuhan atas
kewajiban ini merupakan bagian dari hak
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
41
beragama. Artinya, sebagai warga negara,
pemerintah berkewajiban untuk menjamin agar
makanan yang dikonsumsi umat Islam dijamin
kehalalannya.
Sayangnya, survei yang di luar koordinasi
Puslitbang Kehidupan Keagamaan itu, dilakukan
di lokasi pameran makanan halal, yang tentu saja
pengunjungnya adalah mereka yang peduli
dengan produk halal, atau minimal tengah
berupaya mengetahui produk halal. Lalu,
bagaimana dengan konsumen umum di wilayah
lain di Indonesia?
Beberapa tahun silam, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika
Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) pernah
mengadakan jajak pendapat mengenai kepedulian konsumen terhadap halal dan haramnya
produk yang mereka konsumsi atau gunakan,
dengan hasil sebagai berikut (tabel 3):
Berdasarkan tabel di atas, terungkap
bahwa apresiasi mereka terhadap produk halal
terbilang cukup tinggi (77%), namun ironisnya
mereka kebanyakan tidak memperhatikan label
halal dalam memilih produk (48%). Sedangkan
survei LPPOM-MUI pada 2010, kepedulian
masyarakat terhadap kehalalan produk meningkat
menjadi 92,2%. Namun demikian, sebagaimana
dilihat dari data di atas, ternyata mereka raguragu dan tidak yakin kebenaran pencantuman
label halal, yang bila diakumulasikan mencapai
90%. Artinya, keyakinan konsumen muslim
terhadap pencantuman label halal pada produk
dalam posisi “mengambang”, penuh ketidakpastian.
42
Dalam rangka memenuhi keinginan
konsumen muslim terhadap produk halal, pihak
LPPOM-MUI terus melakukan kegiatan sertifikasi
halal. Menurut Lukmanul Hakim, Direkt ur
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan
Kosmetika MUI (LPPOM-MUI), permintaan
sertifikasi halal oleh produsen untuk produk
mereka bergerak naik secara signifikan. Jumlah
nama produk yang didaftarkan untuk disertifikasi halal mengalami kenaikan. Pada 2010,
misalnya, terdapat 21.837 nama produk. Ini lebih
tinggi dibandingkan pada 2009 yang hanya
mencapai 10.550. Pada 2008 jumlahnya mencapai 10.242 produk yang lebih banyak daripada
2007, yaitu 8.636 nama produk. Namun, jumlah
itu lebih sedikit dibandingkan pada 2006 yang
sebanyak 12.533 nama produk dan mengalami
kenaikan yang cukup banyak dibandingkan pada
tahun 2005 yang cuma 2.048. Dalam kurun
waktu 5 tahun, yaitu dari pertengahan tahun
2005 hingga 2010, LPPOM-MUI telah mensertif ikasi 75.514 nama produk, baik nasional
maupun impor. Meningkatnya nama produk
yang disertifikasi seiring dengan melonjaknya
kepedulian masyarakat terhadap produk halal.
(tabel 4).
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Namun, mengapa masih ada kegamangan
konsumen muslim terhadap pencantuman label
halal? Beberapa kalangan, di antaranya LPPOMMUI, mengatakan bahwa penyebabnya adalah
regulasi seputar produk dan makanan halal yang
ada di Indonesia sementara ini masih bersifat
“himbauan” bukan “mewajibkan”. Pendapat ini
tampaknya disepakati pemerintah. Maka, untuk
mengakomodasi kebutuhan konsumen muslim
dalam urusan kehalalan produk dan makanan,
pemerintah mengajukan RUU Jaminan Produk
Halal kepada DPR. Berdasarkan informasi dari
Muchtar Ali, Kepala Sub Direktorat Pembinaan
Produk Halal Kementerian Agama, pada saat ini
posisi RUU ada di DPR dan telah menjadi hak
inisiatif lembaga legislatif tersebut.
Pokok-pokok ketentuan baru apa yang
diatur dalam RUU Jaminan Produk Halal?
Pembacaan terhadap RUU memperlihatkan
bahwa paradigma regulasi kehalalan produk
oleh Pemerintah tengah diubah dari yang
sifatnya voluntary (sukarela) menjadi mandatory
(kewajiban). Regulasi yang selama ini ada
memang asasnya sukarela. Artinya, produk halal
yang tidak ada label halalnya, tidak dipandang
sebagau pelanggaran hukum. Seperti dalam PP
No. 69 Tahun 1999 yang mengatur labelisasi
halal, dibedakan antara barang yang diproduksi
di dalam negeri dan barang impor. Untuk produk
dalam negeri, label halal sifatnya sukarela,
sedangkan untuk barang impor yang memang
halal bagi umat Islam, wajib mencantumkan label
halal. Tetapi dalam RUU ini diubah seluruhnya
menjadi mandatory, tanpa membedakan produk
dalam negeri maupun impor. Artinya, sebuah
produk halal, jika tidak diberi label halal, maka
proses tersebut dianggap tidak halal. Berangkat
dari paradigma mandatory inilah RUU mengintroduksi sanksi administrasi dan tindak pidana
bagi para pelanggar. Pada Pasal 62 ayat (1)
disebutkan ancamannya lima tahun penjara atau
denda paling banyak dua miliar rupiah.
RUU yang jika kelak disahkan oleh DPR
dan akan menjadi regulasi ini, sayangnya masih
terus menjadi bahan polemik. Ada beberapa
pihak yang merasa keberatan dengan RUU
tersebut, seperti Kamar Dagang Indonesia
(Kadin), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI), dan beberapa LSM. Sebab, menurut
mereka, apabila nanti diundangkan, RUU
tersebut akan menghasilkan sentralisasi proses
sertifikasi, atau juga akan membuat high cost
produksi akibat mahalnya upaya sertifikasi.
Selain keberatan di atas, polemik seputar RUU
terjadi pula antara Pemerintah (Kementerian
Agama) dan MUI. Polemik seputar tarik-ulur
antara siapa yang lebih berhak memberi
sertif ikasi, apakah Pemerintah seperti yang
tertuang dalam RUU, atau pihak MUI yang
selama ini telah diamanatkan mengemban tugas
ini, atau pihak-pihak lain.9
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
43
Diharapkan polemik itu tidak berkepanjangan. Sebab, konsumen Muslim menginginkan
produk yang mereka konsumsi tak hanya baik,
tetapi juga sesuai tuntunan agama. Tidak hanya
pangan, tetapi juga obat-obatan dan produk
lainnya. Kata kuncinya adalah melindungi
konsumen. Artinya, melindungi masyarakat atau
konsumen Indonesia agar tidak mengonsumsi
produk yang tidak halal.
C. RUU Pengelolaan Zakat
Dengan jumlah penganut Islam terbesar
di dunia, berapa sesungguhnya potensi zakat di
Indonesia? Mengutip hasil kajian Bank Pembangunan Asia (ADB), Didin Hafidhuddin, Ketua
Umum BAZNAS mengatakan bahwa potensi
zakat di Indonesia dapat mencapai Rp 100 triliun
per tahun jika dikelola dengan profesional.
Namun, berdasarkan data BAZNAS, pada 2009
baru terkumpul sekitar Rp 1,2 triliun dengan
target pada 2010 terkumpul Rp 1,5 triliun.10
Lalu, bagaimana caranya agar potensi ini
dapat tergali sehingga fungsi zakat sebagai
media pengentasan kemiskinan dapat terwujud.
Jalan yang ditempuh pemerintah adalah dengan
menyusun RUU Pengelolaan Zakat untuk
menggantikan UU No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat. Mengapa diperlukan RUU
Pengelolaan Zakat?
Menurut Yusuf Wibisono, di bawah rezim
UU No. 38 Tahun 1999, dunai zakat nasional
berjalan tanpa tata kelola yang memadai. Ribuan
OPZ (Organisasi Pengelola Zakat), baik bentukan
pemerintah (BAZ) maupun masyarakat (LAZ),
muncul tanpa mendapat regulasi dan pengawasan yang mamadai. Hal ini secara jelas rawan
memunculkan penyimpangan dana zakat
masyarakat oleh pengelola yang tidak amanah.
Kebangkitan dunia zakat nasional di tangan
masyarakat sipil era 1990-an, yang t elah
mentransformasikan zakat dari ranah amalsosial- individual ke ranah ekonomi-pembangunan keumatan, terancam tergerus oleh
“penumpang-penumpang gelap” di dunia zakat.
Perkembangan dunia zakat nasional juga
berjalan lam bat karena t idak ada upaya
koordinasi dan sinergi antar OPZ yang berjalan
44
dengan agenda masing- masing. Hasilnya,
kinerja dunia zakat nasional, khususnya dalam
pengentasan masyarakat dari kemiskinan terasa
jauh dari optimal.
Memang perlu diakui menurut Wibisono,
bahwa di bawah rezim UU No. 38 Tahun 1999
pula jumlah OPZ melonjak sangat pesat. Hal ini
secara jelas mengindikasikan inefisiensi dunai
zakat nasional dalam kaitan dengan penghimpunan dana zakat yang relatif masih kecil.
Hingga kini setidaknya terdapat BAZNAS dan
18 LAZ nasional, 33 BAZ provinsi, dan 429 BAZ
kabupaten/ kota, belum termasuk 4771 BAZ
kecamatan, ribuan LAZ provinsi-kabupaten/kota,
dan puluhan amil tradisional berbasis masjid dan
pesantren. Pengelolaan zakat nazional menjadi
tidak efisien, karena mayoritas OPZ beroperasi
pada skala usaha yang terlalu kecil. Dampak
zakat pun menjadi minimal.11
Banyaknya lembaga pengelola zakat
ternyata tidak diimbagi dengan transparansi.
M enurut Didin Haf iduddin, Ket ua Umum
BAZNAS, saat ini terdapat sekitar 100 lembaga
pengelola zakat di Indonesia. Sayangnya, baru
19 lembaga yang melakukan audit independen
dan melaporkannya kepada publik secara rutin.
19 lembaga itu merupakan lembaga zakat
tingkat nasional, sedangkan sisanya, tidak jelas
apakah melakukan audit atau tidak.12
Berangkat dari realitas di atas, maka
tidaklah aneh bila berbagai wacana muncul
dalam RUU Pengelolaan Zakat untuk mendorong kinerja dunia zakat nasional, antara lain
zakat sebagai pengurang zakat penghasilan (tax
credit) dan sanksi bagi muzakki yang lalai.13 Zakat
sebagai tax credit diyakini akan menjadi insentif
yang memadai bagi muzakki dalam menunaikan
kewajibannya. Namun menurut Wibisono,
wacana ini, jika terealisasi, akan memberikan
dampak signif ikan bagi penerimaan pajak,
berpotensi disalahgunakan, dan bermasalah
secara yuridis karena ketentuan soal pajak
semestinya diatur dalam UU Perpajakan. Karena
itu, diperkirakan wacana ini sulit diterima dan
diimplementasikan oleh otoritas pajak. Sedangkan wacana sanksi bagi muzakki cenderung tidak
produktif karena secara politis akan mendapat
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
stigma negatif dan secara ekonomi diyakini tidak
akan efektif pelaksanaannya.14
Pendapat di atas dit olak oleh Didin
Hafiduddin, Ketua Umum BAZNAS. Sebaliknya,
Didin mendesak agar Pemerintah dan DPR
mendukung zakat sebagai pengurang langsung
pajak. Hal ini pent ing unt uk memotivasi
masyarakat dalam membayar zakatnya. Ia pun
berharap, Kementerian Agama dan Kementerian
Keuangan bersedia bekerjasama mewujudkan
zakat sebagai pengurang pajak langsung di
lapangan. Pemerintah juga tidak perlu khawatir
pajak yang dibayar masyarakat berkurang
karena zakat sebagai pengurang zakat langsung.
Didin beralasan, berdasarkan pengalaman di
negara lain yang menerapkan kebijakan
semacam itu, justru pendapatan pajak mereka
meningkat, seperti di Malaysia dan Arab Saudi.
Namun demikian, Didin cenderung mengusulkan agar RUU Pengelolaan Zakat tidak
memasukkan pasal sanksi pidana. Lebih sanksi
administratif saja atau bisa juga, pembayaran
zakat menjadi salah satu syarat dalam mendapatkan sejumlah fasilitas publik. Misalnya,
seseorang baru bisa mengurus Surat Izin
Mengemudi (SIM) kalau membawa bukti telah
membayar zakat.15
Wacana yang lebih menarik dan progresif
untuk meningkatkan kinerja dunia zakat nasional
adalah mendorong kemitraan Pemerintah dan
OPZ untuk akselerasi pengentasan masyarakat
dari kemiskinan. UU Pengelolaan Zakat harus
mengamanatkan bahwa Pemerintah akan secara
aktif mengikutsertakan OPZ dalam program
penanggulangan kemiskinan. Kemitraan pemerintah-OPZ dalam program penanggulangan
program kemiskinan dapat berupa pemberian
hibah (block grant) atau kontrak penyediaan jasa
sosial (specific grant), dengan Pemerintah
menetapkan kriteria dan persyaratan (eligibility
criteria) bagi OPZ penerima dana program
penanggulangan kemiskinan seperti transparansi finansial, efektivitas pendayagunaan
dana, dan kesesuaian dengan prioritas nasional/
daerah. Terdapat keuntungan bagi pemerintah
bila melakukan pola pendayagunaan dana
pengentasan masyarakat miskin melalui kemitraan
dengan OPZ seperti ini. Pertama, meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas program pengentasan masyarakat miskin. Kedua, menurunkan
tingkat penyalahgunaan dana pengentasan
masyarakat miskin dan meningkatkan efektivitas.
Ketiga, memperkenalkan iklim persaingan di
dalam birokrasi pengelolaan dana pengentasan
masyarakat miskin.16
...RUU Pengelolaan Zakat
menjadi penting mengingat
potensi dananya yang besar
dan perannya yang strategis
dalam pengentasan
masyarakat miskin...
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa RUU Pengelolaan Zakat menjadi
penting mengingat potensi dananya yang besar
dan perannya yang strategis dalam pengentasan
masyarakat miskin dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks masyarakat
madani Indonesia yang demokratis, RUU akan
mengukuhkan peran negara dalam memberikan
perlindungan bagi warga negara yang menjadi
pembayar zakat (muzakki), menjaga ketertiban
umum dengan mencegah penyalahgunaan
dana zakat, memfasilitas sektor amal untuk
perubahan sosial, dan memberi insentif bagi
perkembangan sektor amal.
D. Penyelenggaraan Ibadah Haji
1431 H
Salah sat u program priorit as pembangunan bidang agama dari Kementerian
Agama RI adalah penyelenggaraan ibadat haji.
Lebih dari sekadar prioritas, program ini kerapkali
diposisikan sebagai salah satu indikator kunci
keberhasilan kinerja Kementerian Agama RI.
Posisi ini sebenarnya tidak adil bagi Kementerian Agama RI. Sebab, penyelenggaraan ibadat
haji hanya dilakukan pada saat dan waktu
tertentu. Sehingga, tidak relevan tampaknya
apabila sebuah program yang dilakukan satu
waktu itu menjadi ukuran keberhasilan kinerja
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
45
Kementerian Agama RI, yang sesungguhnya
mempunyai program-program lain yang tidak
kalah pentingnya.
Namun demikian, dengan menggunakan
sudut pandang berbeda, penilaian di muka tidak
dapat pula sepenuhnya disalahkan. Bahkan,
dapat pula disikapi sebagai sebuah harapan
besar dari masyarakat agar penyelenggaraan
ibadat haji dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan yang signifikan. Sehingga, masyarakat dapat menunaikan ibadat haji secara
nyaman, dan aman. Harapan itu sesungguhnya
tidak terlalu berlebihan. Sebab, penyelenggaraan
ibadat haji yang dilakukan oleh Indonesia sudah
berumur sangat lama, sudah dimulai sebelum
Indonesia merdeka. Berkaitan dengan penyelenggaraan ibadat haji ini, memang perlu diakui
tidak selalu berjalan mulus. Selalu saja ada
permasalahan dalam setiap penyelenggaraan
ibadat haji, baik yang dilakukan sebelum
maupun sesudah Indonesia merdeka. Pada
kurun waktu yang cukup lama juga selalu
dilakukan evaluasi dan perbaikan agar penyelenggaran ibadat haji berjalan dengan baik. Pada
era kemerdekaan, dalam rangka mendukung
agar penyelenggaraan ibadat haji berjalan
dengan baik, telah dilakukan langkah-langkah
strategis oleh Kementerian Agama RI.
Pada kurun waktu 2004-2009, langkahlangkah strategis yang telah dilakukan Kementerian Agama RI atas persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR-RI) guna mendukung
peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadat
haji di Indonesia di antaranya adalah: Pertama,
menyempurnakan regulasi perhajian dengan
mengamandemen UU No. 17 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Ibadat Haji. Hasilnya
adalah UU No. UU No. 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadat Haji. Namun ternyata,
ada beberapa bagian dari peraturan perundangundangan tersebut yang dianggap perlu
disempurnakan kembali sehingga disusunlah UU
No. 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU
No. 13 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan
Ibadat Haji jo. UU No. 34 Tahun 2009.
Kedua, pendaftaran dengan prinsip first
come fir st ser ved. Sist em ini t elah dapat
memberikan kepastian keberangkatan pada
46
calon jamaah haji dan t erpenuhinya rasa
keadilan. Sebab, semakin tinggi minat masyarakat dan adanya ketentuan sistem kuota haji,
semakin memperpanjang daftar tunggu (waiting
list). Untuk terlaksananya prinsip first come first
served, salah satu kegiatannya ialah pengembangan Sistem Komputerisasi Haji (SISKOHAT)
yang dilakukan sejak tahun 2004 M. Sistem ini
dapat melindungi jamaah dengan menghilangkan praktik percaloan jual beli kuota oleh
oknum yang tidak bertanggung jawab.
Ketiga, mengubah struktur komponen
Biaya Penyelenggaraan Ibadat Haji (BPIH)
menjadi biaya langsung (direct cost) dan biaya
tidak langsung (indirect cost). Dengan sistem ini,
jamaah haji hanya membayar komponen biaya
langsung, sedangkan komponen biaya tidak
langsung dibebankan pada APBN dan hasil atau
manfaat dari dana setoran awal jamaah haji.
Laporan BPIH disusun tepat waktu dan neraca
keuangannya disampaikan kepada masyarakat
luas melalui media massa nasional. Selain itu
dana setoran awal Biaya Perjalanan Ibadat Haji
(BPIH) dapat dimanfaatkan untuk mendukung
penyelenggaraan ibadat haji.
Keempat, memberikan peran yang besar
kepada masyarakat untuk terlibat secara aktif
dalam penyelenggaraan ibadat haji, terutama
dalam pembinaan calon jamaah haji. Peran
tinggi masyarakat itu direpresentasikan melalui
tumbuh kembangnya Penyelenggara Ibadat Haji
Khusus (PIHK), Kelompok Bimbingan Ibadat Haji
(KBIH), dan Penyelenggara Perjalanan Ibadat
Umrah (PPIU) secara cepat. Dengan tumbuh
kembangnya lem baga- lembaga t ersebut
diharapkan terjadi peningkatan pelayanan bagi
calon jamaah haji dan calon jamaah umrah.
Kelima, meningkatkan bimbingan jamaah
ibadat haji melalui penambahan frekuensi
bimbingan dari yang semula tiga kali di tingkat
Kabupaten/Kota menjadi empat belas kali. Di
KUA Kecamatan sebanyak sepuluh kali, empat
kali di tingkat Kabupaten/ Kota. Dua kali untuk
daerah yang masih memerlukan tambahan
bimbingan. Kelima, peningkatan layanan
embarkasi dengan menambah dua embarkasi
baru, yaitu: embarkasi Palembang dan Padang,
serta satu embarkasi transit di Gorontalo.
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Peningkatan layanan embarkasi juga dilakukan
dalam bentuk peningkatan kualitas pelayanan
katering, akomodasi, dokumen perjalanan, dan
dukungan operasional PPIH embarkasi.
Keenam, melakukan pembenahan kelembagaan dalam rangka terlaksananya keseimbangan antara beban tugas dan organisasi
melalui pembentukan struktur organisasi
tersendiri, yaitu Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang semula
Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji pada tahun 2006. Di samping
itu, dilakukan pula pembinaan kelembagaan di
Arab Saudi dengan membentuk Unit Pelaksana
Teknis Satuan Kerja Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, yaitu Kantor Misi
Haji Indonesia di Arab Saudi pada tahun 2009.
Ketujuh, meningkatkan pelayanan dan
melakukan pembenahan di Arab Saudi, antara
lain: (1) mengubah sistem pemondokan di Arab
Saudi dari sistem subsidi silang menjadi sistem
proporsional. Pengubahan ini dapat mendekatkan prinsip keadilan karena jamaah haji
membayar pemondokan sesuai dengan yang
dihuni; (2) menghapus biaya pelayanan umum
(khadamat) kepada Muassasah/ Maktab yang
tidak jelas pemanfaatannya; (3) semenjak tahun
2005 telah disediakan katering selama jamaah
haji berada di Madinah.
Kedelapan, melebur tiga asosiasi penyelenggaraan ibadat haji khusus dalam satu
payung, yaitu Asosiasi Mulim Penyelenggara
Umrah dan Haji (AMPUH), Asosiasi Muslim
Penyelenggara Perjalanan Umrah dan Haji
(AMPPUH), dan Serikat Penyelenggara Umrah
dan Haji (SEPUH) menjadi Asosiasi Muslim
Penyelenggara Haji dan Umrah Republik
Indonesia (AMPHURI) pada tahun 2006. Dengan
penyatuan ini dapat meningkatkan pelayanan
dan nilai tawar Penyelenggara Ibadat Haji Khusus
(PIHK) terhadap unit-unit pelayanan di Arab
Saudi.
Kesembilan, meningkat kan kualit as
pet ugas haji melalui rekrut men berbasis
kompetensi dan psikotes, serta pelatihan secara
intensif unt uk memperoleh pet ugas yang
profesional dan dedikatif. Kesepuluh, menghapus
fasilitas menunaikan ibadat haji bagi pejabat,
tokoh masyarakat, pimpinan organisasi kemasyarakatan, dan unsur lainnya, yang pada
dasarnya biaya penyelenggaraan ibadat haji
hanya diperuntukkan bagi jamaah haji.
Kebelas, berusaha melakukan standarisasi
operasional penyelenggaraan ibadat haji untuk
seluruh dimensi, baik pembinaan, pelayanan
maupun perlindungan. Standarisasi ini kemudian
dinilai oleh sebuah perusahaan yang telah diakui
oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) untuk
memberikan penilaian terhadap pelaksanaan
pelayanan publik. Hasilnya, pada bulan Juni
2010, Kementerian Agama RI memperoleh
Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO
9001:2008. Dengan didapatkannya sertifikat ISO
ini, maka penyelenggaraan ibadat haji yang
dilakukan oleh Kementerian Agama RI secara
kualitas dianggap memuaskan.
Kesimpulan di atas terbukti dalam penelit ian Sur veyor Indonesia. Dalam rangka
mengetahui kondisi senyatanya kualitas penyelenggaraan ibadat haji, sebuah lem baga
penelitian, Surveyor Indonesia, telah melakukan
survei kepuasan terhadap 949 jamaah haji
tahun 1430 H/2009 M. Pada bulan Februari 2009,
Surveyor Indonesia mengumumkan hasil
penelitiannya. Penelitian ini berusaha mengukur
secara statistik tingkat kepuasan jamaah haji
terhadap tiga dimensi penyelenggaraan ibadat
haji, yaitu pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jamaah haji. Dari hasil analisis temuan
penelitian terhadap ketiga dimensi di atas
disimpulkan bahwa kepuasan responden terkait
pelaksanaan haji tahun 2009 M/1430 H dalam
dimensi pembinaan adalah 60%, aspek pelayanan adalah 66%, dan aspek perlindungan
adalah 70%. Secara umum kesimpulan dari hasil
penelitian ini mendapatkan tingkat Kepuasan
Jamaah Haji terhadap penyelenggaraan ibadat
haji tahun 2009 M/ 1430 H adalah sebesar
66,81%.
Skala hasil perhitungan adalah 1%-20%
untuk kategori sangat tidak puas, 21%-40%
untuk kategori tidak puas, 41%-60% untuk
kategori cukup puas, 61%-100% untuk kategori
puas, 81%-100% untuk kategori sangat puas.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
47
tingkat kepuasan jamaah haji terhadap kualitas
penyelenggaraan ibadat haji tahun 1430 H/2009
secara umum dalam kategori puas. Penelitian
juga menempatkan pelayanan transportasi darat
di Arab Saudi sebagai parameter yang mendapat
skor kepuasan terendah, yaitu sebesar 55%.
Sedangkan skor kepuasan tertinggi (>70%)
antara lain dicapai oleh parameter kemampuan
petugas kloter, fasilitas hotel di Madinah, dan
pelayanan kesehatan.
Penelitian serupa dilakukan pula oleh
Puslit bang Kehidupan Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
48
Penelitian dilakukan terhadap 765 jamaah haji
tahun 1430 H/2009 M di enam provinsi, yaitu
Provinsi Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan
Sulawesi Selatan. Penelitian berusaha mengukur
secara statistik tingkat kepuasan jamaah haji
terhadap tiga dimensi penyelenggaraan ibadat
haji, yaitu pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jamaah haji. Dari hasil analisis temuan
penelitian terhadap ketiga dimensi di atas
disimpulkan bahwa proporsi kepuasan responden terkait pelaksanaan haji tahun 2009 M/1430
H dalam dimensi pembinaan adalah 79,56%,
dimensi pel ayanan ad alah 78,79%, d an
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
dimensi perlindungan adalah 81,24%. Secara
umum kesimpulan dari hasil penelitian ini
mendapatkan Indeks Kepuasan Jamaah Haji
terhadap penyelenggaraan ibadat haji tahun
2009 M/1430 H dalam skala 100 adalah sebesar
79,84. Skala hasil perhitungan adalah 0%-54%
untuk kategori buruk sekali, 55%-64% untuk
kat egori buruk, 65%- 79% unt uk kat egori
sedang, 80%-89% untuk kategori baik, 90%-100%
untuk kategori baik sekali. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa tingkat kepuasan jamaah haji
terhadap kualitas penye-lenggaraan ibadat haji
tahun 1430 H/ 2009 secara umum dalam
kategori “cukup/sedang menuju baik”.
Namun demikian, penelitian ini berhasil
pula mengungkapkan 15 indikator untuk 3
dimensi (pembinaan, pelayanan, perlindungan)
yang walaupun kebanyakan dalam ketegori
“sedang” tetapi tetap harus diperhatikan karena
masih di bawah rata-rata kepuasan secara
keseluruhan (lihat tabel 5).
Bagaimana dengan 2010? Berkenaan
dengan penyelenggaraan ibadat haji tahun
2010, Achmad Djunaidi, salah seorang Pejabat
Eselon II di Ditjen Penyelenggaraan Haji dan
Umrah mengatakan dalam sebuah seminar yang
diselenggarakan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, bahwa pada sisi manajerial penyelenggaraan haji, tahun ini Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan Haji dan Umroh (Ditjen PHU)
telah memperoleh sertifikat ISO 9001-2008.
BPIH yang harus dibayar calon jemaah haji tahun
2010 ini turun sebesar 80 dolar AS dan Rp
100.000,00, sementara kualitas pelayanan
semakin baik, khususnya dalam penyediaan
pemondokan di Makkah dan Madinah yang
lebih dekat dengan Masjidil Haram dan Majid
Nabawi, sebagaimana tabel di bawah ini (tabel
6 dan tabel 7):17
Menteri Agama berharap tahun depan
pondokan jamaah haji yang berada di Ring I
meningkat menjadi 80%. Sayangnya, Menteri
Agama hanya menyebutkan target kuantitatif
bukan kualitatif, sehingga bisa jadi ada yang
tetap dengan kualitas yang rendah.18
Artinya, klaim di atas tentu dapat diperdebatkan. Sebab, menurut wawancara wartawan
Kompas, Kenedi Nurhan, dengan Zuhair Abdul
Hamid Sedayu, Ketua Muassasah Pemandu Haji
Asia Tenggara, mengungkapkan rasa iri melihat
penanganan jamaah dari beberapa negara Asia
Tenggara yang relatif lebih baik dibandingkan
Indonesia. Penanganan itu khususnya dalam
penyediaan pemondokan selama di Makkah dan
Madinah. Lokasi dan fasilitas rumah atau
apartemen/ hotel yang disewa Pemerintah
Malaysia dan Thailand, misalnya, lebih baik dan
lebih dekat dengan Masjidil Haram di Makkah
dan Masjid Nabawai di Madinah dibandingkan
yang di t em pat i jam aah haji Indo nesi a.
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
49
Zuhair mengaku tidak bisa berbuat banyak
untuk ikut membantu, katakanlah mengecek
status rumah sewaan dan fasilitas yang ada sejak
dini, mengingat kewenangan sepenuhnya ada
pada Pemerintah Indonesia.
Zuhair menduga pihak Indonesia kurang
sigap dalam mencari atau memesan pemondokan untuk jamaah hajinya. Informasi yang ia
dapat kan, Indonesia cenderung mencari
pemondokan agak belakangan. Bahkan, pada
saat musim haji sudah tiba, masih ada petugas
haji yang mencari pemondokan. Berbeda
dengan petugas misi haji dari negara-negara
lain, yang begitu usai pelaksanaan ibadat haji
sudah memesan tempat untuk musim haji tahun
berikutnya. Hal serupa dilakukan Pemerintah
Maroko, Pakistan, dan India sehingga mereka
bisa mendapat pemondokan yang representatif
dan relatif dekat dengan Masjidil Haram dan
Masjid Nabawi. Pemerintah Malaysia malah lebih
maju. Penginapan di lokasi-lokasi tertentu sudah
mereka ikat dengan sistem sewa tiga hingga
empat musim haji ke depan.
Didampingi Toyyib bin Abdur Rahim
Bukhori selaku Ketua Dewan Pengawas Majelis
Pemandu Haji Indonesia, Zuhair juga menyayangkan adanya sejumlah pemondokan yang
disewa pet ugas misi haji Indonesia yang
sesungguhnya masuk kategori tidak layak
ditempati. Setelah dicek petugas dari Muassasah,
beberapa pemondokan yang disewa Pemerintah
Indonesia itu tidak memiliki izin resmi (tasrih)
sesuai aturan di Arab Saudi.
Ahmad Zainuddin, Wakil Ketua Komisi VIII
DPR, dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Puslitbang Kehidupan Keagamaan
berpendapat bahwa pembinaan merupakan
dimensi yang krusial, sebab benar dan salahnya
jamaah haji dalam melaksanakan manasik sangat
bergantung pada pembinaan. Masalahnya, pada
penyelenggaraan ibadat haji tahun 2010, banyak
dijumpai pembimbing yang tidak standar. Dia
melihat, di Armina banyak pembimbing yang
tidak melaksanakan bimbingan secara baik. Oleh
sebab itu, katanya, ke depan harus ada upaya
dari Kementerian Agama untuk melakukan
standarisasi terhadap para pembimbing ibadat
haji.
50
Adapun pelayanan meliputi transportasi,
pemondokan, dan lain lain-lain. Pengamatan di
tanah suci mengungkapkan bahwa transportasi
di Ring II sedikit dan sopir hanya terdiri dari 2
orang yang bekerja secara bergantian selama
12 jam/hari. Pemondokan untuk Ring II maksimal 2 km. Itu terhitung dekat apabila diukur dari
jarak tembak lurus ke depan tetapi kenyataan di
lapangan banyak pondokan yang jalannya masih
berliku-liku dan naik turun. Catering ada kasus
3 jamaah calon haji kloter Surabaya memakan
makanan basi. Perusahaan catering yang
menangani konsumsi ternyata perusahaan yang
sama pada tahun lalu. Apabila pada tahun lalu
perusahaan tersebut mendapat jatah 15.000
jamaah, pada musim haji 2010 mendapat jatah
30.000 jamaah.
Persoalan kesehatan lebih pada tidak
adanya balai kesehatan Indonesia di Arab Saudi.
Ketidakadaan ini disebabkan kebijakan pemerintah Arab Saudi yang memang tidak mengizinkan balai kesehatan atau rumah sakit selain
milik pemerintah berdiri. Pada saat pelaksanaan
ibadat haji, Indonesia “ngotot” untuk membuat
balai kesehatan. Balai kesehatan ini jelas
statusnya ilegal sehingga hanya berfungsi di
musim haji saja. Karena keberadaan balai
kesehatan ini penting maka Ahmad Zainuddin
mengusulkan agar pemerintah Indonesia
melakukan perbincangan int ensif dengan
pemerintah Arab Saudi agar berkenan mendirikan rumah sakit khusus Indonesia. Bila tidak
boleh, mungkin dapat mendirikan rumah sakit
khusus untuk negara berbahasa Melayu. Apabila
belum berkenan juga maka pemerintah dapat
meminta kepada pemerintah Arab Saudi agar
dapat menambah jumlah tenaga perawat.19
Apa yang dikritisi oleh anggota DPR di
atas, diakui oleh M ent eri Agama, bahwa
meskipun secara keseluruhan penyelenggaraan
ibadat haji berjalan baik dan lancar, tetapi masih
memunculkan masalah yang terkait dengan
t ransportasi, ket erbatasan suplai air, dan
makanan. Oleh sebab itu, Menteri Agama
menilai ada 4 hal yang menonjol dalam
penyelenggaraan ibadat haji tahun 2010 yang
harus diperbaiki pada tahun mendatang.
Pertama, persoalan delay pesawat Garuda
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Indonesia pada fase pemulangan jamaah haji
dari Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Bahkan
terdapat sejumlah kloter mengalami delay
hingga lebih dari 20 jam. Untuk itu, Menteri
Agama berharap, Garuda Indonesia, untuk
melakukan perbaikan-perbaikan dan jauh-jauh
hari mengadakan pembicaraan dengan pihakpihak terkait di Arab Saudi, termasuk dengan
otoritas Bandara King Abdul Aziz, Jeddah dan
Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz,
Madinah.
.... diperlukan suatu upaya
evaluasi yang menyeluruh,
dibuat secara detil, agar
mudah mengambil langkahlangkah perbaikan,
karena mestinya musim haji
tahun 2011 harus lebih baik
dari tahun ini.
Menteri Agama berangan-angan pada
tahun mendatang, tidak digunakan transportasi
bus dari pondokan ke Masjidil Haram PP, karena
pondokan jamaah haji Indonesia sebagian besar
telah berada di Ring I. Kalau tahun 2010 63%
pondokan jamaah haji di Makkah berada di Ring
I, tahun depan bisa mencapai 80%. Angan-angan
tersebut bagus sebagai semangat pijakan untuk
bekerja lebih keras, tetapi akan hanya menjadi
angan- angan ketika t idak ada perubahan
kebijakan dalam mencari pondokan sebagai
disinggung oleh pihak Muassasah Asia Tenggara
di atas. Akhirnya, diperlukan suatu upaya evaluasi
yang menyeluruh, dibuat secara detil, agar mudah
mengambil langkah-langkah perbaikan, karena
mestinya musim haji tahun 2011 harus lebih baik
dari tahun ini. []
Kedua, masalah beberapa kali nasi basi
yang disajikan perusahaan cat ering yang
melayani jamaah haji di Madinah. Untuk itu, di
tahun mendatang diperlukan pengawaspengawas catering dari Kementerian Kesehatan.
Ketiga, jamaah tertahan 8 jam di bandara, akibat
belum siapnya pondokan jamaah di Madinah.
Ini karena ketidaksiapan PPIH Madinah, seharusnya dilakukan pengecekan lebih awal saat
kontrak pondokan telah dilakukan agar pondokan siap dihuni saat jamaah datang. Keempat,
persoalan pondokan di Makkah, dapat yang
bagus tetapi jauh sama dilematisnya dengan
dapat pondokan yang dekat tapi jelek kondisi
bangunannya. Kalau pondokan yang jauh PPIH
harus menyiapkan transportasi, sementara
pondokan yang dekat, kondisi bangunannya
sudah tua, kran air sering mampet, toiletnya
bocor, dan AC- nya sering mat i, ini akan
merugikan jamaah.20
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
51
5
Hubungan dan Kerukunan
Antarumat Beragama
T
ulisan pada bagian ini akan melaporkan berbagai peristiwa
terkait hubungan dan kerukunan antarumat beragama yang
terjadi pada tahun 2010. Salahsatu sumbernya adalah berbagai
liputan media dan sejumlah laporan hasil kajian terkait isu
bersangkutan yang pernah dilakukan oleh berbagai institusi,
termasuk oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
sendiri. Liputan media (sebagai perekam peristiwa harian)
digunakan untuk mendeteksi dan memunculkan isu-isu yang
berkembang pada masa tahun kajian, sedangkan pembahasan
dan analisis menyertakan dan mengindahkan berbagai hasil
kajian riset terkait.
Berbeda dengan banyak laporan tahunan yang telah ada,
pada tulisan ini tidak dilakukan kuantifikasi dengan angka-angka
jumlah peristiwa atau tindakan. Selain karena menyadari
keterbatasan sumber data (representativeness), pengukuran suatu
kondisi kehidupan keagamaan dengan angka-angka juga ditengarai
kerap keliru. Beragamnya ‘kacamata’ sang pemantau (perspectives
of observers), ternafikannya peristiwa-peristiwa di luar kesukaan
media, dan problem definisi adalah diantara penyebabnya. Dengan
demikian, kemunculan yang “sering” suatu peristiwa di media massa
cukuplah sebagai isyarat urgensi peristiwa itu.
Sejauh penelusuran, isu-isu yang berkembang di media
di tahun 2010 antara lain adalah terkait kasus pendirian rumah
ibadat, penodaan agama, kekerasan atas nama agama, isu HAM,
dan dialog antaragama.
A. Kasus di Seputar Rumah Ibadat
Pada 2010, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya,
kehidupan keagamaan di Indonesia masih diwarnai berbagai
kasus di seputar rumah ibadat. Beberapa kasus, sebagaimana
diliput dalam berbagai media, di antaranya adalah sebagai
berikut:
52
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
a. Pada Februari 2010 terjadi permasalahan
terkait IMB Gereja Bethel Indonesia di
Bukittinggi, Sumatera Barat. Jemaat Gereja
Bethel Indonesia cabang Bukittinggi merasa
tidak dipenuhi hak beribadahnya karena IMB
pendirian gereja tersebut belum disetujui.
Padahal, menurut pernyataan Komnas HAM
dan Kementerian Dalam Negeri, persyaratan
pendirian rumah ibadat tersebut telah
terpenuhi. Setelah dilakukan pengecekan di
lapangan, ternyata diketahui bahwa Gereja
Bethel Bukittinggi belum memiliki surat
rekomendasi tertulis dari Kepala Kantor
Kementerian Agama Kota Bukittinggi dan
rekomendasi tertulis dari FKUB Kota Bukittinggi sebagai syarat administratif pendirian
rumah ibadat.1
b. Pada 15 Februari 2010, di Perumahan Taman
Galaxy Kelurahan Jaka Setia Kecamatan
Bekasi Selatan Kota Bekasi, terjadi protes
warga atas pendirian Gereja Protestan di
Indonesia Bagian Barat (GPIB) dari Jemaat
Galilea. Gereja ini telah mendapatkan rekomendasi dari FKUB, namun belum dari
Kantor Kemenag setempat sebagai persyaratan mendapatkan izin prinsip pendirian
rumah ibadat dari Walikota. Meski belum
mendapatkan IMB, pihak panitia pembangunan Gereja telah mulai membangun dan
sudah hampir dua lantai. Setelah mendapat
protes warga, bangunan akhirnya disegel oleh
Pemkot Bekasi sampai sekarang.
c. Pada 12 Maret 2010 Pemerintah Kota Bogor,
Jawa Barat, menyegel Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Kecamatan Bogor Barat
yang sedang dalam proses pembangunan.
Penyegelan dilakukan karena pihak GKI tidak
menghiraukan teguran yang telah dilayangkan oleh Pemkot Bogor untuk menghentikan pembangunan, dan malah t etap
melanjutkan pembangunan. Pemkot Bogor
membekukan IMB Gereja tersebut karena
pembangunannya t elah menimbulkan
keresahan warga setempat.2
d. Pada 20 Juli 2010 di Kampung Bakom Desa
Limusnunggal, Kec. Cileungsi Kab. Bogor,
Jemaat Gereja Pant ekosta memprotes
Kepolisian. Koordinator Gereja Pantekosta,
Hotlan P. Silaen, yang gerejanya dibongkar
pada tanggal 20 Juli 2010 menilai bahwa
polisi tidak netral saat terjadi bentrokan
antara Satpol PP dengan jemaat gereja. Ia
juga menilai bahwa gereja yang dibongkar
telah memiliki IMB dan sertifikat. Pihak
kepolisian menanggapi bahwa kehadiran
polisi saat it u just ru unt uk meredam
bentrokan yang lebih besar karena saat itu
ada ratusan massa dari warga yang pro
pembongkaran.3
e.
Pada Agustus 2010 terjadi peristiwa pembakaran M asjid Fisabilillah, di Kab. Toba
Samosir Sumatera Utara. Menurut Kasubbag
Hukmas dan KUB Kementerian Agama
Provinsi Sumatera Utara, masalah Masjid
Fisabilillah bukan murni masalah kerukunan
antarumat beragama tetapi lebih mengarah
pada masalah aset keluarga. Tanah masjid
merupakan tanah milik keluarga yang tidak
semuanya muslim dan belum memiliki
sertifikat wakaf.4
f.
Pada September 2010 terjadi protes warga
terhadap pengikut gereja HKBP PTI di
Ciketing yang menggunakan rumah tinggal
menjadi tempat beribadat. Selama kurang
lebih 15 tahun jemaat HKBP PTI beribadat
dengan cara berpindah-pindah dari warga
satu ke lainnya. Pada Tahun 2007 membeli
sebuah rumah di Jl. Puyuh Raya No. 14 yang
kemudian dijadikan tempat beribadat dan
sekolah minggu. Desember 2009 ketika
perayaan hari Natal jemaat HKBP PTI
menutup jalan untuk mendirikan tenda. Dari
sinilah bermula protes warga terhadap HKBP
yang menggunakan rumah tinggal menjadi
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
53
t empat beribadat karena t idak sesuai
dengan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006,
maupun Peraturan Walikota Bekasi No. 16
tahun 2006 tentang tatacara perizinan untuk
mendirikan rumah ibadat . Dialog dan
musyawarah telah ditempuh untuk penyelesaian kasus ini misalnya beberapa tawaran
Pemda Kota Bekasi kepada Pdt. Luspida
Simanjuntak untuk pindah ke tempat lain
yang disediakan oleh Pemkot sementara
pengurusan rencana gereja permanen,
namun selalu ditolak oleh pihak HKBP. Pihak
HKBP lebih memilih untuk beribadat di
t empat lahan kosong milik sendiri di
kampung Ciketing, namun tetap mendapat
protes warga sekitar karena belum mendapatkan izin. Setelah beberapa lama dan
melibatkan banyak pihak untuk menyelesaikan kasus ini maka pihak Pdt Luspida
Simanjuntak bersedia menerima kaputusan
Walikota untuk beribadat sementara di Gedung
Eks OPP Jl. Khairil Anwar sambil sementara
menunggu proses perizinan rencana membangun di Fasos Perum Timah.5
Beberapa laporan tahunan LSM menyebut
jumlah peristiwa atau tindakan yang lebih
banyak lagi. The Wahid Institute, misalnya,
melaporkan dalam Laporan Tahunan 2010
bahwa terjadi pelanggaran kebebasan beragama/
berkeyakinan berupa pembatasan rumah ibadah
baik dalam bentuk pencabutan ijin maupun
pelarangan penggunaan rumah ibadah yang
berjumlah 19 kasus. Demikian pula CRCS, dalam
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama 2010
melaporkan sepanjang 2010 terdapat 39 kasus
seputar rumah ibadat.6 Setara Institute, lebih
banyak lagi, bahwa pada tahun 2010 terjadi 216
peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/
berkeyakinan yang mengandung 286 bentuk
tindakan. Sebanyak 59 diantaranya berupa
gangguan terkait rumah ibadat, baik penyerangan, penyegelan, penolakan, larangan
aktivitas ibadah, dan lain-lain.7 Angka-angka itu
memang bervariasi, karena setiap lembaga
yang mengeluarkan angka-angka itu pada
54
umumnya hanya mengandalkan pada berita
media (elektronik dan cetak, nasional dan
lokal) dan tidak mempunyai sistem verifikasi
kebenarannya. Namun, angka kuantitatif yang
meski bervariasi itu (19, 39, dan 59) sesungguhnya hendak melaporkan dan menunjukkan
sesuatu, bahwa gangguan kerukunan akibat
pendirian rumah ibadat masih eksis dan banyak
terjadi di tahun 2010.
Dari sedikit gambaran kasus pendirian
rumah ibadat tersebut di atas serta laporan
angka-angka dari LSM itu menegaskan masih
adanya beberapa permasalahan di sekitar
pendirian rumah ibadat di tahun 2010. Masalahnya, sejauh pengamatan, adalah terdapat
problem keterbatasan pemahaman masyarakat
dan aparat di lapangan terhadap peraturan
tentang pendirian atau penggunaan rumah
ibadat, yakni PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Di
luar itu, toleransi umat beragama pun dirasa
masih belum memadai.
Keterbatasan pemahaman masyarakat
tentang PBM, misalnya, dalam hal persyaratan
pendirian rumah ibadat (Pasal 14), penggunaan
rumah ibadat sementara (Pasal 18), rumah ibadat
yang bernilai sejarah (Pasal 28), dan lain
sebagainya. Seakan menjawab problem ini,
Pemerintah, dalam hal ini Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama dan Ditjen Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri, telah dan terus
mendorong upaya sosialisasi peraturan bersama
itu, baik dengan penggandaan dan penyebaran
Buku Sosialisasi PBM, penyelenggaraan sosialisasi
PBM maupun penanganan kasus-kasus terkait
pendirian rumah ibadat dengan instrumen PBM.
Terkait sosialisasi, Puslitbang Kehidupan
Keagamaan pada 9-12 Desember 2010 lalu telah
turut mendorong penggalakan sosialisasi PBM
dengan menyelenggarakan Semiloka Nasional
“Intensifikasi dan Diversifikasi Sosialisasi PBM
No. 9 dan 8 Tahun 2006” di Cikarang, Bekasi.
Semiloka yang diikuti perwakilan FKUB seluruh
provinsi di Indonesia dan Kasubag Humas dan
Kerukunan Umat Beragama Kanwil Kementerian
Agama seluruh Indonesia ini membahas upaya
ke arah penggalakan kembali sosialisasi PBM
dan penganekaragaman metode sosialisasinya.
Penganekaragaman (diversifikasi) metode ini
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
juga dinilai penting dilakukan dalam rangka
upaya mencapai efektivitas sosialisasi yang
dilakukan.
Setelah melakukan sidang-sidang komisi
dan paripurna, semiloka ini telah menghasilkan
sesuatu yang akan sangat membantu proses
intensifikasi dan diversifikasi sosialisasi PBM,
yakni Buku Panduan Sosialisasi PBM, sebagai
pegangan bagi para penyelenggara sosialisasi
dalam melakukan sosialisasi PBM yang lebih
efektif. Selain itu, dihasilkan pula Buku Saku PBM
dan Tanya Jawabnya (Edisi Tanya Jawab yang
Disempurnakan), sebagai bahan bacaan para
peserta sosialisasi sekaligus sebagai pedoman
dalam implementasi PBM di lapangan.
Mentaati PBM saja memang tidaklah
cukup, perlu peningkatan toleransi di kalangan
umat beragama. Hal ini terkonfirmasi oleh hasil
kajian Badan Litbang dan Diklat (2008-2010)
yang menyebutkan toleransi di kalangan umat
beragama masih rendah. Demikian juga
beberapa kelompok masyarakat sipil menegaskan bahwa tindakan intoleransi di kalangan umat
beragama di Indonesia masih sering terjadi.
Terlepas dari ‘toleransi’ per definisi yang belum
tentu parameternya sama, namun semuanya
turut mengkonfirmasi tentang perlunya peningkatan sikap toleransi umat beragama.
Mentaati PBM saja
memang tidaklah cukup,
perlu peningkatan toleransi
di kalangan umat beragama.
Terkait hal ini, Puslitbang Kehidupan
Keagamaan pada tahun 2009 mengadakan
penelitian tentang tingkat toleransi antarumat
beragama di kalangan mahasiswa. Penelitian yang
dilakukan di 6 universitas di 6 provinsi ini
menyimpulkan antara lain bahwa tingkat toleransi
mahasiswa akan meningkat seiring dengan
pemberian materi/substansi wawasan multikultural
dan penyediaan lingkungan belajar dan organisasi
yang terbuka. Di tahun 2010,Puslitbang Kehidupan
Keagamaan juga mengadakan penelitian Potret
Kerukunan Umat Beragama di Provinsi Jawa Timur.
Penelitian mix-method ini menguji dan memberi
rekomendasi pada upaya peningkatan toleransi
antarumat beragama.
Dari berbagai liputan media dan laporan
masyarakat sipil terdapat kesan bahwa yang
terjadi hanyalah penolakan pendirian rumah
ibadat agama Kristiani (gereja) saja. Sepertinya
tidak ada kasus penolakan pendirian masjid,
pura, dan sebagainya, misalnya. Meski informasi
di media dan berbagai laporan beberapa
lembaga swadaya masyarakat menunjukkan hal
demikian, namun fakta di lapangan mengatakan
lain. Bahwa permasalahan terkait pendirian
rumah ibadat tidak hanya menimpa rumah
ibadat umat Kristiani, melainkan juga terjadi pada
rumah ibadat agama-agama lain. Hal ini
misalnya ditunjukkan oleh hasil penelitian
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Tahun 2010.
Penelitian berjudul “Kasus Pendirian Rumah
Ibadat di berbagai Daerah Indonesia” itu antara
lain menyimpulkan:
a. Pendirian rumah ibadat yang diterima (terlaksana, pen.) dengan damai, selain karena
terpenuhinya aturan sesuai PBM dan peraturan Pemerintah Daerah, juga karena
adanya komunikasi dan kerukunan hidup
antar umat beragama, serta nilai-nilai
kearifan lokal yang terpelihara sebagai
media pendekatan. Sedangkan pendirian
rumah ibadat yang bermasalah dan mendapatkan penolakan lebih disebabkan faktor
perbedaan paham keagamaan, dan berbagai kepentingan para elite agama dalam
prestise sosial, pengembangan jumlah umat,
kehidupan ekonomi, dan kekuasaan. Di
samping itu, karena ego mayoritas dan
arogansi minoritas.
b. Permasalahan di seputar pendirian rumah
ibadat yang dikomunikasikan oleh media
massa dan sebagian Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) terbebankan pada umat
Kristiani (saja, pen), padahal sesungguhnya
juga kepada umat Islam, Hindu, dan Buddha
yang minoritas di berbagai daerah di tengah
pemeluk agama mayoritas.
Penelitian yang dilakukan di 6 provinsi ini
menemukan bahwa umat Islam di Papua, NTT,
dan Bali cukup kesulitan dalam mendirikan
masjid di wilayahnya. Demikian pula kesulitan
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
55
dihadapi umat Kristiani di tengah umat mayoritas
Hindu di Bali. Penelitian ini juga menyimpulkan
salah satu upaya untuk mengatasi penyelesaian
masalah terkait rumah ibadat ialah kembali
kepada kearifan lokal yang penuh toleransi dan
mereferensi PBM No. 9 dan 8 tahun 2006.
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 secara
yudisial sesungguhnya sudah selesai, karena
telah lolos dalam uji materi di MA pada tahun
2006-2007. Secara fungsional pun diakui sangat
membantu sebagai pedoman pemeliharaan
kerukunan, terutama terkait rumah ibadat.
Yang tidak kalah menarik, berkembang
usulan pencabutan PBM. Peristiwa Ciketing, yang
dibumbui tragedi penusukan seorang penganut
HKBP PTI, dikatakan menjadi alasan ketidakefektifan PBM dan mengusulkan pencabutannya, meski hal ini kemudian tidak mendapat
dukungan. Malah sebaliknya, dukungan untuk
memperkuat PBM disampaikan banyak pihak.
Sebagaimana diberitakan, organisasi kemasyarakatan Islam di Bant en menolak usulan
sejumlah elemen yang menginginkan pencabutan PBM No. 9 dan 8 tahun 2006. Hal ini
dikat akan oleh Ket ua Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Banten, Hasan Alaydrus, di
Serang. “PBM itu aturan normatif mengatur
pendirian rumah ibadah agar tidak didirikan
seenaknya. Jadi, jika ada masalah, bukan PBM
yang dicabut tetapi implementasi di lapangan
harus dipatuhi bersama,” kata Hasan Alaydrus.8
Searah dengan it u, Ket ua M ajelis Ulama
Indonesia (MUI), Amidhan, berpendapat bahwa
PBM yang merupakan hasil kesepakatan majelis
seluruh agama di Indonesia ini perlu ditingkatkan menjadi undang-undang (UU) sehingga
memiliki kekuatan hukum tetap, bukannya
dicabut .9 Demikian pula dikatakan Sekjen
Eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI),
Romo Benny Susetyo, bahwa PBM dua menteri
tidak perlu dicabut tapi direvisi sehingga pejabat
daerah yang tidak melaksanakannya mendapat
sanksi. Komnas HAM pun sepakat jika PBM tetap
diperlukan sebagai sebuah pengaturan, jangan
dicabut melainkan revisi.
B. Kasus Penodaan Agama
Sedangkan Menteri Agama, Suryadharma
Ali, berketetapan tidak akan mencabut PBM.
Kasus jemaat HKBP di Ciketing dan aturan dalam
PBM dinilainya dua hal yang berbeda. Menurut
Menteri, pengaturan soal rumah ibadah tetap
diperlukan. Lagipula, aturan tersebut bukan
hanya berlaku untuk satu agama melainkan
seluruh agama dan juga keputusan semua
majelis agama.10
56
Pada tahun 2010, kehidupan keagamaan
di Indonesia juga masih diwarnai dengan kasuskasus penodaan agama. Beberapa diantaranya,
sebagaimana diliput dalam berbagai media,
adalah sebagai berikut:
a. Pada 16 Februari 2010, terjadi kasus peredaran CD dan selebaran yang melecehkan
agama Islam di Sumenep. CD dan selebaran
yang berjudul ‘Siap Membelenggu Tuhan’
itu beredar di kalangan santri pondok
pesantren yang ada di Kecamatan Pasongsongan dan Desa Mantajun Kecamatan
Dasuk, Sumenep. Salah satu ajaran di
dalamnya menyatakan bahwa Ka’bah adalah
berhala yang tidak dirobohkan pada saat
Futuh Makkah, dan Hajar Aswad adalah
simbol alat kelamin perempuan. PWNU Jawa
Timur meminta warga Sumenep t idak
terpengaruh dengan beredarnya CD dan
selebaran yang melecehkan ajaran Islam
tersebut.11
b. Pada Minggu, 28 Februari 2010, terjadi kasus
penistaan agama. Kasus dugaan penodaan
agama yang dilakukan seorang warga
berinisial NA, saat menjadi tatung pada
perayaan Cap Go Meh 2561. NA diduga
melakukan penodaan agama karena mengenakan pakaian tatung yang pada bagian
belakangnya bertuliskan kalimat “Allah”
dalam Bahasa Arab. Hal ini telah ditangani
pihak kepolisian.12
c. Di Jakarta, pada 21 April 2010 terjadi protes
terkait Kasus Buddha Bar. Koordinator Forum
Anti-Buddha Bar (FABB), Kevin Wu, menduga
ada makelar kasus (markus) dalam Kasus
Buddha Bar. Ia melapor ke Satgas Antimafia
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Hukum karena banyak pasal yang dibelokkan pada saat pelaksanaan proses di pengadilan. Dikatakannya, protes terhadap penggunaan simbol-simbol agama oleh Buddha
Bar sudah berjalan hampir 15 bulan, namun
sampai saat ini belum ada kemajuan yang
berarti. Markus ditengarai warnai kasus
Buddha Bar.13
d. Pada M ei 2010 terjadi tindakan yang
ditengarai melecehkan agama. Seorang
siswa kelas XI sebuah SMA Negeri di Kota
Bekasi, AF (16 th) diamankan oleh Polrestro
Kota Bekasi. AF diduga telah menistakan
Alquran dengan memasukkannya ke dalam
kloset dan memegangnya sambil mengacungkan jari tengah. Informasi menyebutkan, dua
teman AFmerekam adegan yang melecehkan
agama itu dan memuat foto tersebut ke
sebuah situs Yayasan Perguruan Santo
Bellarminus, di bellarminus-bks.blogspot.
com, pada Februari lalu. Kasus ini terkuak
ketika ratusan umat Islam di Kota Bekasi
resah karena adanya gambar penodaan
agama itu dan melaporkan ke Polrestro Kota
Bekasi. Bahkan, beberapa hari kemudian,
sejumlah oknum tidak dikenal pun sempat
mengacak-acak sekolah Santo Bellarminus.14
e. Pada tanggal 9 Mei 2010 Massa yang
tergabung dalam Forum Anti Pemurtadan
Bekasi (FAPB) berkumpul di Masjid Al-Barkah
sebanyak 2500 umat Islam dari berbagai
Ormas Islam, Ulama, Habaib Pimpinan
Ponpes. Menurut ketua Panitia Tablig Akbar,
Syamsudin Uba, acara ini merupakan bentuk
reaksi spontan Umat Islam terhadap maraknya kristenisasi di Bekasi. Insiden SARA itu
terjadi dalam karnaval yang dilakukan oleh
umat kristiani dalam rangka anti narkoba
menyambut Hari Pendidikan Nasional pada
tanggal 2 Mei 2010. Karnaval mengambil
rute dari GOR Bekasi menuju alun-alun dan
finish di kantor PMI Bekasi, namun tiba-tiba
pada jam 08.30 dengan alasan ada rombongan
karnaval yang tertinggal sehingga menumpang lewat di depan masjid Al-Barkah. Pada
saat itu di dalam Masjid sedang acara pernikahan dan seorang qori sedang membacakan
ayat suci al-Quran. Sebanyak 5 orang peserta
karnaval dari Yayasan Damai dan Bersinarlah
Indonesiaku itu membentuk formasi salib
dengan tongkat dan pedang putih, serta 2
orang lainnya membagikan souvenir berupa
gant ungan kunci bergambar salib dan
bertuliskan “Joel Generation” sambil berkata
“semoga Bekasi Sejahtera Yesus Baik”.
Menyadari akan hal itu, Pengurus DKM
Masjid Al-Barkah menegurnya dan mengusir
peserta karnaval tersebut. Setelah dikonfirmasi kepada ketua panitia, mereka menyangkalnya. Ketua Forum Anti Pemurtadan Bekasi
tetap akan menyelesaikan kasus ini secara
jalur hukum.15
f.
Pada 17 Mei 2010, Walikota Bekasi mengeluarkan surat untuk pengembang Kota
Harapan Indah agar patung Tiga Mojang di
Kota Harapan Indah, Kec. Medan Satria, Kota
Bekasi segera dibongkar. Keputusan ini
sebagai buntut aksi demo yang dilakukan
oleh ratusan umat Muslim yang tergabung
dalam Forum Anti- Pemurtadan Bekasi
(FAPB) tiga hari sebelumnya. Ketua Forum
Umat Islam (FUI) Kota Bekasi, Bernard Abdul
Jabar mengatakan, keberadaan patung tiga
perempuan saling membelakangi dengan
dibalut kain itu telah menodai hati umat
Islam di Kota Bekasi. Menurut dia, patung
itu t idak sesuai dengan syariat Islam.
Terlebih, patung itu didirikan di tempat yang
dulu pernah menjadi medan pertempuran
antara K.H. Noer Alie dengan para penjajah.16
g. Pada 29 Mei 2010 terjadi kasus penodaan
agama di Bali. Siti Komariah mengadukan
bosnya berinisial RBG seorang warga
Selandia Baru ke Polisi karena melakukan
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
57
oleh sekelompok pegiat FPI kurang lebih
200-an orang. Karena pagar masjid ditutup
maka mereka melompati pagar dan mencabut papan nama dan diinjak-injak. Sementara
aparat keamanan tidak dapat berbuat apa-apa
karena jumlah mereka jauh lebih sedikit dari
para pendemo.
pelecehan terhadap Nabi Muhammad Saw
melalui gambar dan tulisan di personal
computer di kantornya.17
h. Pada 27 Juli 2010, menjelang bulan Ramadhan,
kelompok ormas yang tergabung dalam Front
Pembela Islam (FPI) mendatangi kantor Bupati
Purwakarta. Kedatangan kelompok FPI itu
mempertanyakan kebijakan pemerintah
daerah dalam hal ini Bupati Purwakarta
tentang pemasangan patung Bima di Jalan
Terusan Ibrahim Singadilaga (Jalan Baru)
Purwakarta. Pasalnya, pemasangan patung
Bima itu tidak mencerminkan budaya Islam,
padahal Kota Purwakarta ini mendapat
julukan Kota Santri. Mereka menyarankan
kepada Bupati Purwakarta untuk mengganti
patung Bima itu dengan patung yang
mencerminkan budaya Islam seperti patung
para sunan atau lainnya.18 Adapun pada 6
Agustus 2010, terjadi aksi demo mempersoalkan berdirinya patung Bima di Purwakarta. Ratusan pelajar setingkat Ibtidaiyah
dari yayasan Ibnu Sina Purwakarta, Jumat
(6/8), melakukan aksi demo mempersoalkan
berdirinya patung Bima di Purwakarta.
Mereka mengultimatum pemerintah daerah
untuk membongkar patung Bima tersebut
dalam tempo 2x24 jam. Aksi demo para
pelajar setingkat sekolah dasar itu dipimpin
langsung oleh KH. Abdullah AS Joban sebagai Ketua Forum Ulama Indonesia (FUI) sekaligus pimpinan yayasan Ibnu Sina dan Ust.
Ridwan Syah Alam. Mereka mendesak pemerintah daerah untuk segera membongkar
patung Bima yang tidak berlandaskan nilai-nilai
keislaman. Dalam orasinya, Abdullah Joban
mengatakan didirikannya patung Bima di
Purwakarta itu sangat bertentangan dengan
julukan Kota Purwakarta sebagai Kota
Santri.20
i.
58
Pada 28 Juli 2010 di Desa Manis Lor Kab.
Kuningan terjadi penyerangan dilakukan
j.
Pada 29 Juli 2010, di Desa Manis Lor, Kuningan,
terjadi insiden terkait Jemaat Ahmadiyah
Indonesia. Hal ini diawali rencana Bupati
Kuningan yang akan menyegel 8 masjid
Ahmadiyah di Desa Manis Lor. Rencana
tersebut dihalangi oleh sebagian besar
penganut Ahmadiyah. Akhirnya, pada
tanggal 29 Juli 2010, ratusan massa dari
beberapa ormas Islam Cirebon, Kuningan,
dan Tasikmalaya mendatangi desa Manis Lor
dan terjadi bentrokan antara massa Ormas
dengan umat Ahmadiyah.19
k. Pada 10 Agustus 2010 ratusan anggota FPI
Surabaya melakukan penyerangan ke kantor
Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Jawa
Timur, dan merobohkan papan nama JAI.
Sejumlah saksi mata menyebutkan penyerangan dilakukan FPI dengan alasan JAI
sudah dinyatakan sesat oleh pemerintah.21
l. Pada 10 Agustus 2010, terkait kasus Pembakaran Alqur ’an di Amerika, para tokoh
agama yang tergabung dalam Gerakan
Peduli Pluralisme berdemo menemui pihak
kedutaan besar Amerika Serikat di Indonesia
dalam rangka rencana aksi pembakaran
Alquran sedunia. Perwakilan GPP yang terdiri
dari Damien, Ketua KWI, Uskup Mandagi,
Ketua PGI Pendeta Hendrik, dan Sekretaris
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti
diterima oleh Kepala Bagian Politik Kedutaan
Besar Amerika Serikat di kantornya.22
m. Pada 11 Agustus 2010, massa yang tergabung
dalam Forum Masyarakat Panjalu Sukabumi,
mendatangi Pendopo Sukabumi. Mereka
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
berunjuk rasa mendesak agar ajaran Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kabupaten Sukabumi
untuk secepatnya dibubarkan.Selain itu, massa
mendesak agar enam Masjid Ahmadiyah yang
tersebar di empat kecamatan dan satu mesjid
di wilayah Kota Sukabumi untuk secepatnya
diserahkan pengelolaan kepada Majelis Ulama
Indonesia (M UI) Kota dan Kabupat en
Sukabumi.23
Dari sejumlah kasus penodaan agama itu,
beberapa di antaranya merupakan kasus lama
yang muncul kembali seperti kasus lat en
Ahmadiyah, sedangkan sebagian lainnya
merupakan kasus baru meski dengan modus
yang relatif sama dengan kasus-kasus di tahun
sebelumnya. Kasus-kasus penodaan ini pada
tingkat tertentu dapat mengganggu kerukunan
intern dan antarumat beragama.
C. Judicial Review UU No.1/PNPS/
1965
Pada tahun 2010, telah terjadi uji materil
UU No.1/PNPS/1965 di Mahkamah Konstitusi.
Sebanyak 7 LSM dan 4 orang tokoh yaitu
Abdurrahman Wahid, Siti Musdah Mulia, M.
Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq,
dengan memberikan kuasa kepada 56 Advokat
dan pengabdi bantuan hukum yang menyebut
dirinya Tim Advokasi Kebebasan Beragama,
telah mengajukan permohonan Uji Materiil UU No.
1/PNPS/ 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama kepada
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Mereka menginginkan UU tersebut dicabut
karena dinilai inkonstitusional.
Betapapun UU ini telah
berumur lama, namun hal itu
tidak mengurangi keabsahan
keberlakuannya. Dan maka,
semua pihak wajib berpedoman pada peraturan ini.
Terhadap usulan agar UU No. 1/PNPS/
1965 dicabut, dalam masyarakat timbul sikap pro
dan kontra. Ada yang berpendapat bahwa UU
tersebut perlu dicabut, tetapi ada pihak lain tetap
kukuh agar undang-undang tersebut dipertahankan. Pada laporan ini akan disenaraikan
kelompok yang mendukung dicabutnya UU No.
1/PNPS/ 1965 dan yang menolaknya dengan
argumentasinya masing-masing. Di kalangan
tokoh agama yang berasal dari organisasi
keagamaan yang tergolong mapan dan besar
umumnya menolak pencabutan UU PNPS No 1
Tahun 1965.
Perihal penodaan agama memang debatable.
Sebagian kalangan mengkategorikan sesuatu
perbuatan sebagai menodai, namun sebagian
lainnya atas nama kebebasan dan HAM tidak
menganggapnya penodaan. Namun demikian,
bangsa Indonesia telah memiliki peraturan
mengenai perihal penodaan ini yakni UU No.1/
PNPS/ 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Betapapun
UU ini telah berumur lama, namun hal itu tidak
mengurangi keabsahan keberlakuannya. Dan
maka, semua pihak wajib berpedoman pada
peraturan ini.
Menurut Menteri Agama RI, Suryadharma
Ali, pemohon uji materi UU No. 1/ PNPS/1965
tak memiliki Legal Standing atau kedudukan
hukum. Dia menegaskan UU tersebut masih
diperlukan unt uk menjaga keharmonisan.
Keberadaan UU tersebut justru memberikan
perlindungan dan kesempatan bagi masyarakat
dalam melaksanakan ibadah, UU ini juga
menjaga ket entraman dan keharmonisan
hubungan antarumat beragama dari kemungkinan penghinaan, penodaan, ataupun pemaksaan terhadap umat beragama yang berbeda
antara yang satu dengan yang lainnya.24
Dalam perkembangannya, sebagian
kalangan menilai UU ini inkonstitusional dan
tidak lagi relevan dengan kondisi zaman. Mereka
kemudian mengajukan permohonan uji materil
UU ini ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menteri Agama juga mengatakan bangsa
Indonesia masih sangat membutuhkan UU No.
1/PNPS/1965 demi menjaga kerukunan hidup
antarumat beragama. Meskipun UU tersebut
lahir jauh sebelum era reformasi, namun dilihat
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
59
dari substansinya masih sangat perlu dipertahankan. Jika UU ini digugat dan uji materiil
dikabulkan dikhawatirkan ini menjadi awal pintu
masuk maraknya aliran dan paham sempalan
yang tidak terkendali serta kebebasan beragama
yang tanpa koridor. Produk regulasi pemerintah
yang terbit berdasarkan UU No. 1/ PNPS/1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama cukup efektif menjaga kerukunan umat beragama, sebab melalui peraturan
tersebut konflik antarumat beragama menurun
secara signifikan.25
Pada kesempatan lain Menteri Agama
mengatakan, definisi penodaan agama yang ada
dalam UU No. 1/PNPS/1965 perlu diperjelas,
untuk memudahkan pemerintah mencegah dan
mengatasi pelecehan agama. Ia juga menegaskan UU ini tidak melarang adanya agama
baru di Indonesia. Alasannya konstitusi memang
menjamin kebebasan beragama bagi setiap
warga. UU ini hanya melarang munculnya agama
baru yang menodai agama yang sudah ada.
Keberadaan UU ini untuk mencegah hal itu dan
untuk memelihara kerukunan umat beragama.26
Hasyim Muzadi (Keta Umum PBNU, sebelum
Muktamar), mengatakan keberadaan peraturan
mengenai penistaan atau penodaan agama harus
dipertahankan. Menurutnya tanpa adanya
peraturan itu maka yang akan terjadi adalah anarki.
Lebih jauh K.H. Hasyim Muzadi menyebut
kelompok penggugat UU No. 1/ PNPS/ 1965
sebagai gerakan Atheis.27 Statemen tersebut
didukung oleh Goodwil Zubair, Sekretaris PP
Muhammadiyah. Menurutnya faham atheis dan
komunisme sangat mudah berkembang dan
berjaya di suatu negara yang memiliki banyak
penduduk miskin.28
Sedangkan Ketua Umum Muslimat NU,
Khofifah Indar Parawansa, mengatakan pencabutan UU ini, bisa memicu konflik horizontal
antarumat beragama. Sebab, kelompok mayoritas bisa menafsirkan pencabutan itu sebagai
tindak penistaan atas keyakinannya. Korban
potensialnya adalah kelompok minoritas dan di
dalamnya adalah perempuan dan anak-anak.
Menurutnya, hingga kini UU tersebut terbukti
bisa mewujudkan harmoni antarumat beragama,
karena UU ini bisa mencegah terjadinya konflik
60
yang dipicu oleh tindak penodaan agama dan
juga dia juga menegaskan bahwa UU ini sama
sekali tidak membatasi hak asasi seseorang,
justru melindungi kehormatan setiap agama
yang dianut oleh seseorang agar tidak dilanggar
atau dinodai oleh pihak manapun.29
Eddy O. Hiariej berpendapat bahwa UU
No. 1/PNPS/1965 multiinterpretatif. Ketentuan
yang interpretatif itu terutama terdapat dalam
Pasal 1 UU itu. UU ini masih diperlukan untuk
mengatur kehidupan beragama di Indonesia,
karena Pemerintah Belanda pun masih menerapkan ketentuan mengenai penodaan agama.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh
Amin Djamaludin. Dia mengatakan belakangan
ini banyak sekali terjadi penodaan agama, seperti
kasus Lia Aminudin, Surga Eden, Nabi Mossadeq,
dan lain-lain. Jika tidak ada UU ini, mungkin
mereka telah dihakimi atau dibunuh orang
karena telah melakukan penodaan dan penistaan terhadap agama tertentu.30
Ahmad Syafi‘i Mufid, Ketua FKUB DKI
Jakarta, meminta majelis hakim Mahkamah
Konstitusi (MK) menolak permohonan sejumlah
pihak untuk mencabut UU No. 1/PNPS/1965.
Sebab UU ini tidak bertentangan dengan UUD
1945.31
Pendapat yang cukup moderat adalah
budayawan Emha Ainun Najib. Dia menyarankan
agar dua pihak yang berseberangan melakukan
dialog. Ini perlu dilakukan sebelum uji materi ini
dilanjutkan. Penyelesaian masalah ini, tidak bisa
secara konstitusional saja tanpa adanya dialog
dalam ranah kultural.32
Di kalangan majelis agama yang juga
menolak dicabutnya UU No 1/ PNPS/ 1965
adalah Majelis Tinggi Agama Khonghucu
Indonesia (MATAKIN). Menurut Uung Sendana
UU Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau
Penodaan Agama jangan dicabut sebelum
adanya UU baru yang benar-benar bisa menghargai keberadaan agama minoritas di Tanah Air.
Ia juga mencemaskan timbulnya tindakan
anarkisme dan konflik horizontal antarwarga
masyarakat serta berpotensi memunculkan
tindakan penodaan terhadap agama-agama
minoritas.33
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Sekretaris Umum M UI Provinsi Jawa
Tengah mengemukakan kebebasan beragama
dan penodaan agama berbeda kont eks,
sehingga tidak bisa disamakan. UU No 1/PNPS/
1965 tidak mempengaruhi kebebasan beragama yang dimiliki oleh setiap orang. Ia
mencontohkan kasus Ahmadiyah yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah
Nabi Muhammad Saw. Hal itu tentunya sudah
menodai agama Islam yang meyakini Nabi
Muhammad Saw sebagai nabi penutup.34
terkait dengan penghormatan negara terhadap
masyarakat dalam menjalankan agama. UU ini
mendorong penafsiran bahwa negara bisa
masuk ke forum internum atau aspek hubungan
internal, yaitu hubungan individu dengan dirinya
terhadap suatu kepercayaan, merujuk pada HAM
forum internum ini tidak boleh dimasuki oleh
negara karena menyangkut kebebasan setiap
masyarakat . Hal ini t idak sejalan dengan
tanggung jawab negara untuk melindungi hak
kebebasan beragama.40
Siti Zuhro dari LIPI berpendapat UU ini
masih diperlukan, mengingat sisi efek yang highrisk dan high-cost jika dicabut. Namun demikian
perlu revisi untuk perbaikannya.35
Menurut Jalaluddin Rahmat dan Ahmad
Fedyani Saifudin kegagalan merevisi UU ini
dapat membatasi peran agama. Oleh sebab itu,
UU ini perlu dilakukan revisi terhadap hal-hal
yang dianggap masih multitafsir dan menghambat kebebasan beragama.41
Romo Benny Susetyo mengatakan negara
seharusnya tidak boleh mengintervensi keyakinan agama karena hal t ersebut dinilai
inkonstitusional. Menurutnya agama merupakan
persoalan masing-masing individu dan peran
negara hanya sebatas memfasilitasi.36
Pendeta Rinaldy Damanik mengatakan
UU No. 1/ PNPS/ 1965 tidak diperlukan jika
semua umat beragama sadar dalam beragama.
Menurutnya UU Pencegahan Penyalahgunaan
dan/ atau Penodaan Agama masih mengambang, karena bagian mana saja yang akan
direvisi belum tersosialisasi dengan baik.37
Frans Magnis Suseno mengatakan negara
tidak berwenang melakukan penilaian mengenai menyimpang atau tidaknya suatu ajaran.
Penilaian tersebut hanya bisa dikeluarkan oleh
agama yang bersangkutan, apabila negara
melakukan penilaian, negara telah melanggar
kewajibannya untuk bersikap netral.38
Lain lagi pendapat Musda Mulia, menurutnya UU tersebut alih-alih menjadi perlindungan
bagi suatu kelompok agama, yang terjadi justru
sebaliknya. UU ini malah dijadikan alat pembenaran bagi perilaku penodaan, bahkan tindakan
kekerasan dan penistaan terhadap kelompok
agama tertentu. UU ini lebih banyak dipakai
mendiskredit kan kelompok yang memiliki
pemahaman yang berbeda dengan arus utama
(mainstream).39
Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, mengatakan UU ini memiliki beberapa permasalahan
Adapun hasil kajian Badan Litbang dan
Diklat atas uji materil ini menunjukkan kondisi
berbeda dengan para pemohon judicial review,
yakni bahwa UU ini adalah konstitusional dan
masih sangat diperlukan. Hal ini dilatarbelakangi
oleh kondisi-kondisi faktual baik dalam tataran
yurudis, politis, maupun sosiologis.
Pada tataran yuridis, dikemukakan bahwa
Pemerintah tidak pernah mengakui dan membatasi hanya 6 agama yang berhak hidup dan boleh
berkembang di Negara Republik Indonesia,
justru pemerintah melindungi dan menjamin
kebebasan agama-agama t ermasuk aliran
kepercayaan. Dengan demikian pemerintah
tidak pernah bertindak diskriminatif kepada
agama selain yang enam. Bahkan pemerintah
melalui Kementerian Pendidikan Nasional
melakukan bimbingan dan pembinaan terhadap
penghayat aliran kepercayaan. Selain itu,
menurut UU No. 5 Tahun 1959 dalam Pasal 2
dinyatakan bahwa Penpres No.1/ PNPS/ 1965
dinyatakan sebagai undang-undang secara legal
dan formal. Lebih menguatkan hal itu, berdasarkan penjelasan Mahkamah Konstitusi dalam
suratnya tanggal 28 Desember 2005 telah
dinyatakan bahwa UU No. 1/PNPS/ 1965 jo UU
No. 5/ 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama (Lembaran
Negara Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2727) masih berlaku
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
61
Oleh karena itu tidak ada alasan hukum untuk
menyatakan bahwa UU No. 1/PNPS/1965 tidak
mempunyai hukum yang mengikat dengan
segala akibat hukumnya. Bahkan, UUD 1945
(amandemen) juga menegaskan pembatasan
hak asasi manusia. UUD 1945 Pasal 28J antara
lain m enyatakan pembatasan HAM oleh
undang-undang yang sah dan legal, dan atas
alasan keselamatan masyarakat, ketertiban
masyarakat, kesehatan masyarakat , moral
masyarakat dan melindungi hak-hak kebebasan
mendasar orang lain.
maka dipandang perlu UU No. 1/ PNPS/ 1965
untuk tetap diberlakukan karena berdasarkan
fakta sosial dan politis ternyata masih efektif dan
diperlukan. Selain itu, untuk mencegah penyebaran dan munculnya aliran-aliran sempalan
yang ekstrim yang dapat menimbulkan konflikkonflik horizontal maka UU No. 1/PNPS/ 1965
tersebut masih dipandang perlu untuk diberlakukan selama belum ada UU penggantinya
agar tidak terjadi kekosongan hukum di dalam
masyarakat. Dengan demikian, dalam kajian
Badan Litbang dan Diklat UU ini masih sangat
diperlukan dan konstitusional.
MK mengakui bahwa
UU No.1/PNPS/1965
memerlukan penyempurnaan, bahkan sebuah
undang-undang baru pun
mungkin perlu dibuat untuk
mengakomodasi substansi
undang-undang itu, untuk
menjamin perlindungan dan
kebebasan beragama.
Dari beberapa pendapat di atas nampak
bahwa adanya perbedaan pandangan terhadap
UU tersebut karena adanya perbedaan dalam
penekanan. Bagi kelompok yang menolak
terhadap uji materi UU No 1/ PNPS/ 1965,
penekanan kepada penodaan agama, sedangkan bagi mereka yang menghendaki dicabutnya
UU tersebut lebih menekankan kebebasan
beragama. Selain itu bagi kelompok yang
mempertahankan UU tersebut, UU ini tidak
membatasi kebebasan beragama, sedangkan
yang ingin mencabut menganggap UU ini dinilai
menghambat kebebasan beragama.
Pada tataran politis, diketahui bahwa
lahirnya UU No. 1/ PNPS/ 1965 itu dilatarbelakangi untuk mencegah terjadinya Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang dapat
menimbulkan goncangan-goncangan politik
dan sosial. Meskipun lahirnya UU tersebut pada
zaman Orde Lama tetapi pada zaman orde baru
dan zaman reformasi dipandang perlu dan
dibutuhkan untuk menjaga eksistensi dan
keutuhan negara RI. Selain itu, Negara Kesatuan
Republik Indonesia bukanlah negara sekuler dan
negara liberal serta bukan negara agama. Oleh
karena itu pemerintah berkewajiban mengatur,
menjaga dan melindungi umat beragama agar
tercipta kerukunan, keharmonisan dan ketenteraman masyarakt beragama.
Sedangkan pada tataran sosiologis
dikemukakan bahwa untuk mencegah terjadinya
benturan agama dan kekacauan masyarakat
62
Setelah dilakukan serangkaian sidang
dengan menghadirkan sejumlah saksi, ahli, dan
para pihak, MK akhirnya dalam putusannya
Nomor: 140/ PUU-VII/ 2009 tanggal 19 April
2010, menyatakan menolak semua permohonan
pemohon dalam sidang uji materil UU No.1/
PNPS/ 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
MK mengakui bahwa UU No.1/ PNPS/
1965 memerlukan penyempurnaan, bahkan
sebuah undang-undang baru pun mungkin
perlu dibuat untuk mengakomodasi substansi
undang-undang itu, untuk menjamin perlindungan dan kebebasan beragama. Tetapi
sampai undang- undang baru sepert i it u
disahkan, maka UU No.1/PNPS/1965 jo. UU No.5
Tahun 1969 tidak perlu dicabut karena akan
menyebabkan kevakuman hukum. MK juga
berpendapat bahwa undang-undang itu masih
berada dalam koridor UUD 1945 dan masih dalam
koridor dokumen-dokumen internasional tentang
Hak Asasi Manusia. MK juga berargumen bahwa
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
negara memang tidak boleh mencampuri
urusan doktrin agama, tetapi negara justeru
harus mengambil langkah- langkah yang
diperlukan untuk menjamin kebebasan dan
kerukunan beragama. Bahkan negara juga dapat
melakukan pembatasan-pembatasan yang
tidak dengan sendirinya berarti mendiskriminasi
melainkan untuk menjamin hak-hak orang lain.
Selain itu, MK juga memberikan rambu-rambu
tentang bagaimana cara membaca pasal-pasal
tertentu dan ungkapan-ungkapan tertentu yang
termuat dalam undang-undang tersebut.
Dengan telah keluarnya putusan uji materi
dari M K, m aka diharapkan semua pihak
menghargai keputusan tersebut. Mungkin ada
yang kecewa dan tidak puas dengan putusan
ini, namun ketuk palu hakim MK bersifat final.
Yang perlu dilakukan sekarang adalah mengkaji
hal apa saja dalam UU tersebut yang perlu
direvisi atau dipertegas.
Adanya permohonan dan lalu proses
pengujian materi atas UU No.1/PNPS/1965 telah
menyita waktu dan pikiran banyak kalangan, baik
yang pro maupun kont ra. Namun hal ini
sesungguhnya menyisakan hikmah, yakni semua
pihak semakin menyadari perlunya kehadiran
suatu peraturan yang lebih lengkap yang
mengatur perihal penodaan agama, pengakuan
agama/keyakinan, kebebasan berekspresi dan
kebebasan agama, serta perlindungan agama.
D. Kekerasan Atas Nama Agama
dan Hak Asasi Manusia
Di tahun 2010 juga masih terdapat sejumlah tindakan yang ditengarai sebagai kekerasan
atas nama agama yang melanggar hak asasi
manusia. Beberapa laporan bahkan menyebutkan data tentang adanya peningkatan jumlah
tindak kekerasan [yang ditengarai] atas nama
agama di tahun 2010 ini. Puslitbang Kehidupan
Keagamaan pun turut mengkaji isu ini. Ada
contradictio in terminis dalam istilah Kekerasan
Atas Nama Agama itu. Sejatinya agama adalah
ajaran kedamaian dan cinta kasih, maka tidak
layak menyandingkan kata ‘kekerasan’ atasnya.
Pada tahun 2010, Puslitbang Kehidupan
Keagamaan melakukan penelit ian t erkait
hubungan antara pemahaman agama dan
kekerasan atas nama agama. Penelitian kuantitatif yang dilakukan di 6 provinsi ini antara lain
menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan negatif antara pengetahuan
agama dengan tindak kekerasan atas nama
agama”, makin baik pengetahuan agama
seseorang, maka makin tidak terdorong orang
tersebut untuk melakukan tindak kekerasan
atas nama agama. Dan sebaliknya, makin
kurang pengetahuan agama seseorang, maka
kecenderungan untuk malakukan kekerasan
atas nama agama akan meningkat. Setelah
dihitung secara statistik, diketahui bahwa jika
pengetahuan agama meningkat satu unit,
maka kekerasan atas nama agama akan
berkurang sebesar 0,366 unit.
2. Tidak adanya kaitan antara keinginan aktualisasi
ajaran agama dengan kekerasan atas nama
agama. Kesimpulan ini ditunjang oleh data
deskriptif jawaban responden, yang mayoritas
tidak ingin atau tidak setuju, jika ajaran Islam,
diterapkan secara paksa, dan mayoritas
responden menolak jika agama Islam dijadikan
agama negara
Kasus Ahmadiyah nampaknya masih
menjadi ‘perhat ian khusus’ dalam kasus
penodaan agama yang berbuntut tindakan
kekerasan. Demonstrasi damai meminta pembubaran Ahmadiyah, penyerangan dan perusakan
fasilitas milik Ahmadiyah, hingga bentrok fisik
warga masyarakat dengan penganut Ahmadiyah
terjadi di tahun ini. Demikian juga, pengungsi di
Transito NTB masih harus bertahan dan kehilangan beberapa hak-hak sipilnya.
Solusi dari sisi kebijakan Pemerintah
sesungguhnya telah tegas dan jelas, yakni
dengan dikeluarkannya Surat Keput usan
Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008,
Nomor Kep-33/ A/JA/6/2008, Nomor 199 tahun
2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada
Penganut, Anggota, dan/atau Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI), dan Warga Masyarakat. Dengan SKB ini, kedua belah pihak terkena
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
63
peringatan dan ancaman sanksi. Jemaat
Ahmadiyah diperingatkan agar tidak menyebarkan paham m enyimpang yang dapat
menyebabkan keresahan dan gangguan ketertiban masyarakat, serta diancam sejumlah pasal
KUHP jika melanggarnya. Demikian juga
masyarakat umum, diperingatkan agar tidak
melakukan perbuatan melanggar hukum
terhadap penganut Ahmadiyah, serta diancam
sejumlah pasal KUHP jika melanggarnya. Bahkan
Pemerintah, pemerintah daerah dan pemuka
agama pun diberi perintah untuk turut melakukan pembinaan baik bagi Ahmadiyah maupun
masyarakat, demi terciptanya ketertiban.
Perlu ditegaskan, SKB bukanlah intervensi
pem erint ah dalam m engat ur bagaim ana
masyarakat berkeyakinan/ beragama, namun
lebih merupakan upaya untuk mengembalikan
harmoni umat beragama dan menegakkan
hukum, yang diganggu dengan adanya polarisasi dan konflik di masyarakat. SKB lebih bersifat
upaya antisipatif, yakni memberikan warning dan
punishment baik bagi JAI maupun masyarakat.
Sebelumnya telah terjadi serangkaian upaya
dialog (7 kali pertemuan) antara Pemerintah dan
JAI yang menghasilkan 12 butir Penjelasan PBJAI tanggal 14 Januari 2008. Sayangnya, belum
semua butir Penjelasan PB- JAI it u sesuai
dengan kenyataan, paling kurang 5 butir diantaranya tidak sesuai dengan kenyataan setelah
dilakukan pemantauan. Karena itu kemudian
dikeluarkanlah SKB Menag, Jaksa Agung dan
Mendagri, tanggal 9 Juni 2008 itu.
Sosialisasi dan monitoring implementasi
SKB masih dinilai kurang, sehingga beberapa
pemerintah daerah melangkah terlalu jauh
melampaui SKB (misalnya dengan mengeluarkan Pergub pembubaran JAI). Sesungguhnya, dengan memat uhi dan mengimplementasikan klausul-klausul SKB, maka baik
JAI maupun masyarakat akan diuntungkan
karena terciptanya ketertiban masyarakat.
E. Dialog dan Harmoni
Dalam rangka mendukung upaya pemeliharaan kerukunan, sejumlah dialog intern dan
antarumat beragama serta pelatihan terkait
64
kerukunan dan HAM, telah dilakukan di tahun
2010. Diantara kegiatan dimaksud adalah
sebagai berikut:
a. Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan
Daerah.
Pada 2010, Badan Litbang dan Diklat juga
menyelenggarakan Dialog Pengembangan
Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama
Pusat dan Daerah di Provinsi Riau. Dalam dialog
ini, pemuka agama pusat terdiri atas wakil-wakil
majelis agama tingkat pusat (MUI, PGI, KWI,
PHDI, WALUBI, dan MATAKIN) dan pemuka
agama daerah yang diwakili oleh wakil majelis
atau kelompok agama yang ada di daerah
tersebut, yang sekaligus juga bertindak sebagai
pemakalah dalam dialog itu. Sedangkan pemuka
agama pusat bertindak sebagai pembahasnya,
atau sebaliknya. Selain itu, dialog juga dihadiri
oleh pejabat pusat, serta pejabat pemerintah
daerah. Dialog bertujuan untuk memperlancar
komunikasi antar pemuka agama pusat-daerah,
menumbuhkan wawasan multikultural, mengembangkan visi dan misi bersama para pemimpin
agama pusat dan daerah, dan inventarisasi
kearifan-kearifan lokal yang dapat mendukung
kerukunan.
b. Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural Antar Pemuka Agama Pusat dan
Daerah Intern Agama Islam.
Pada 2010, Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama menyelenggarakan Dialog
Pengembangan Wawasan Multikultural Antar
Pemuka Agama Pusat dan Daerah Intern Agama
Islam di Provinsi NTB dan Kalimantan Barat.
Peserta dialog ini terdiri atas peserta daerah
sebanyak 60 orang, dan peserta dari pusat 30
orang. Peserta pusat terdiri atas 15 orang
perwakilan ormas-ormas Islam tingkat pusat,
MUI, peneliti, dan beberapa pakar ekonomi Islam
dari perguruan tinggi Islam. Dialog ini bertujuan
untuk memperlancar komunikasi antar pemuka
agama Islam pusat-daerah, menumbuhkan
wawasan multikultural, dan menghimpun polapola pemberdayaan ekonomi masyarakat di
daerah dalam rangka pemberdayaan ekonomi
umat Islam. Untuk itu, dalam dialog ini beberapa
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
perwakilan ormas Islam pusat menjelaskan
upaya-upaya ormasnya dalam pemberdayaan
ekonomi umat, dan dihadirkan pula pembicara
ahli dari kalangan akademisi dan praktisi. Selain
itu, dihadirkan pembicara daerah yang menyampaikan success story usahanya, sebagai bagian
dari pemberdayaan ekonomi umat.
c. Dialog RI-Norwegia dan RI-Swedia di Jakarta
Dalam rangka meningkat kan kesepahaman dan kerjasama antarnegara, dilakukan
dialog bilateral RI-Norwegia dan RI-Swedia yang
bertempat di Jakarta. Selain melakukan dialog,
peserta pun diajak berkeliling ke rumah-rumah
ibadat dan tempat bersejarah di Indonesia.
Diklat tentang HAM dan Kebebasan Beragama
dan Diklat Peace Making.
a). Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Salahsatu buah manis lahirnya PBM No. 9
dan 8 Tahun 2006 adalah adanya FKUB di semua
provinsi dan hampir di semua kabupaten/kota.
Forum yang mempertemukan para pemuka
lintas agama ini berkontribusi secara langsung
terhadap upaya pemeliharaan kerukunan umat
beragama.
1. Konsitusi pertama Indonesia, UUD 1945,
menjamin kebebasan beragama. Hal ini
disebutkan dalam Judul Agama Bab XI
Pasal 29.
Pada tahun 2010 ini FKUB telah berdiri di
semua provinsi, yakni 33 buah. Sedangkan di
tingkat kabupaten/kota, saat ini telah ada 319
FKUB kabupaten dengan 315 Dewan Penasihatnya, dan 83 FKUB kota dengan 82 Dewan
Penasihatnya. Berarti total sebanyak 402 FKUB
kabupaten/kota dengan 397 Dewan Penasihatnya. Sementara itu, jumlah Peraturan Gubernur
terkait FKUB dan kerukunan umat beragama saat
ini sekitar 23 buah.
2. Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia
mengangkat kultur toleransi antar sesama
umat beragama, dan juga antarumat beragama dengan kepercayaan lokal –karena
dengan kerangka Pancasila, seseorang
mempercayai keyakinannya sendiri sekaligus
menghormati ajaran dan pengikut agama/
keyakinan lain
Pada tahun 2010 juga diselenggarakan
Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) FKUB II
yang diselenggarakan oleh Ditjen Kesbangpol
Kementerian Dalam Negeri di Hotel Sahid
Jakarta, tanggal 25 – 27 Mei 2010. Hasil yang
dicapai, berkenaan dengan penyelenggaraan
kehidupan berdemokrasi di berbagai daerah,
diantaranya adalah deklarasi sebagai berikut:
3. Upaya yang dilakukan untuk menguraikan
prinsip dari kebebasan beragama yang
disebutkan dalam Pasal 29 UUD 1945 adalah
dengan melakukan amandemen terhadap
konstitusi (penambahan pasal 28E, 28I, 28J),
membuat beberapa UU baru (UU No.39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU
No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
dan Ratifikasi Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik menjadi UU No 12
Tahun 2005.
1.
Beberapa butir yang disampaikan Indonesia pada kedua dialog tersebut adalah:
4. Upaya yang dilakukan untuk memberdayakan
organisasi non pemerintah dan meningkatkan kapasitas pegawai/ guru agama
dalam menunjang toleransi umat beragama
antara lain: membentuk FKUB (Forum
Kerukunan Umat Beragama), melaksanakan
Pelaksanaan Pemilu Kada adalah merupakan
pelaksanaan dari sebagian tuntutan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara oleh karena it u hendaklah
disambut baik oleh seluruh warga masyarakat dengan sukacita.
2. Seluruh masyarakat yang berada pada daerah
yang akan menyelenggarakan Pemilu Kada
untuk berpartisipasi secara aktif agar terselenggara Pemilu Kada yang rukun, demokratis,
bermutu dan menjauhkan diri dari perbuatan
tercela, karena kita bersaudara.
3. Pelaksanaan Pemilu Kada diharapkan akan
menghasilkan kepemimpinan daerah yang
amanah sehingga dapat terwujud cita-cita
pembangunan nasional dan daerah yang
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
65
maju, adil dan sejahtera berdasar Pancasila
dan UUD 1945.
4. Menghimbau semua pihak baik calon kepala
daerah, pendukung dan masyarakat luas untuk
tidak melakukan tindakan, ucapan yang dapat
menimbulkan konflik sosial dan mengganggu
kerukunan hidup umat beragama.
untuk perbaikan kesejahteraan sosial dan
ekonomi, sehingga kerukunan memberikan
dampak posit if bagi kemajuan hidup
berbangsa.
5. Mengajak dan menghimbau kepada seluruh
pemilih agar memilih secara cerdas sesuai
hati nurani pemimpin yang religius dan
amanah, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah.
2. Agar kerukunan menjadi semangat dalam
memperkokoh kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara guna meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang
bebas dari korupsi dan segala bentuk
penyalahgunaan wewenang, yang mengakibatkan keterbelakangan, kebodohan dan
kemiskinan.
6. Menghimbau kepada pengurus dan anggota
FKUB yang akan mencalonkan diri sebagai
kepala daerah atau wakil kepala daerah
hendaklah mengundurkan diri dan dengan
sungguh-sungguh memegang teguh nilainilai agama serta ketokohannya sebagai
panutan umat.
3. Aktualisasi peranan FKUB dalam membimbing dan mendorong t erciptanya
masyarakat yang menjunjung tinggi etika,
moral dan spiritual di dalam pengelolaan
kebijakan publik yang transparan dan selalu
beralaskan kepentingan umum, serta
sungguh-sungguh berpihak kepada rakyat
7. Menjaga netralitas organisasi FKUB dalam
proses Pemilu Kada.
C. Kepada majelis-majelis agama, agar membangun sistem komunikasi dan koordinasi
lintas agama.
Selain it u, Kongres FKUB ke-2 juga
diselenggarakan menjelang tahun 2010 ini.
Kongres yang digelar 2 tahunan oleh Pusat
Kerukunan Umat Beragama ini dilaksanakan
pada Desember 2009 di Jakarta, dan merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
A. Kepada Pemerintah Pusat dan Daerah:
1. Agar memberi penjelasan mengenai pelaksanaan ket ent uan bahwa pembiayaan
kegiatan FKUB dibebankan pada APBN dan
APBD
2. Memperkokoh kerukunan nasional dengan
mencanangkan “Gerakan Indonesia Rukun”.
3. Agar diintensifkan sosialisasi PBM di jajaran
pemerintah daerah, pengurus FKUB, dan
masyarakat akar rumput sehingga PBM
dipahami secara benar dan utuh baik di
lingkungan pemerintah daerah, pengurus
FKUB, dan masyarakat
B. Kepada FKUB:
Demikianlah sekilas upaya peningkatan
dialog dan pemeliharaan kerukunan umat
beragama di Indonesia sepanjang 2010.
b). Diklat Bernuansa HAM
Pada tahun 2010, Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama melakukan Diklat
Bernuansa HAM yang bekerjasama dengan
Komnas HAM dan Ditjen HAM pada Kementerian Hukum dan HAM. Dalam diklat-diklat
yang dilaksanakan selama 10 hari itu, lima hari
diantaranya diisi dengan materi-materi tentang
HAM. Dengan demikian, maka telah terjadi
diseminasi pemahaman tentang HAM mencakup kesepuluh kelompok hak dasar manusia
sesuai UU No.39 tahun 1999—sedikit nya
terhadap para peserta diklat tersebut. Lebih jauh,
para peserta yang terdiri dari para guru, kepala
sekolah, dosen, dan penyuluh agama itu kemudian akan mendeseminasikan lagi wawasan
HAM-nya itu di sekolah atau tempat kerjanya
masing-masing.
1. Penguatan peranan FKUB di dalam menciptakan kerukunan yang dinamis ser ta
pemberdayaan umat beragama khususnya
66
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
c). Kegiatan Peacemaking 2010 di 6 lokasi.
Kegiatan FGD ini dilaksanakan oleh
Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2010
bertempat di Banda Aceh (NAD), Pontianak
(Kalimantan Barat), Banjarmasin (Kalimantan
Selatan), Palangkaraya (Kalimantan Tengah),
Samarinda (Kalimantan Timur), dan Kupang
(NTT). Kegiatan ini bertujuan utama membangun
jaringan perdamaian dengan mencetak kaderkader perdamaian di berbagai daerah.
Kegiatan dilakukan secara andragogis dan
menggunakan pendekatan Participatory Action
Research (PAR) selama 4 hari, dan diikuti oleh
sebanyak 22 orang pemuda/i lintas agama di
masing-masing kota yang dipilih. Para kader ini
ke depan diharapkan menjadi partner kerja FKUB
(Forum Kerukunan Umat Beragama). []
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
67
6
Penutup
A. Kesimpulan
B
erdasarkan paparan pada bab-bab sebelumnya, maka ada
beberapa kesimpulan yang disarikan:
Pertama, terkait dengan masalah aliran/paham, pemikiran,
dan gerakan keagamaan, pada tahun 2010 masih ditemukan
munculnya berbagai aliran keagamaan yang digolongkan
masyarakat sebagai aliran yang menyimpang.
Dalam menangani masalah aliran yang digolongkan sesat
oleh masyarakat, belum ditemukan pola yang baku, bahkan tidak
jarang ditangani sendiri (dan terkadang dengan cara-cara anarkis)
oleh masyarakat.
Masalah Ahmadiyah masih tetap menyita perhatian
masyarakat, di beberapa tempat terjadi tindakan anarkis yang
dilakukan oleh kelompok radikal, umumnya peristiwa tersebut
terjadi di daerah Jawa Barat.
Majelis Ulama Indonesia menegaskan bahwa terdapat
perbedaan antara jihad dan terorisme. Terorisme bukan jihad,
dan jihad bukan terorisme. Untuk melawan aksi terorisme perlu
dikembangkan pemahaman agama yang bersifat moderat,
pengembangan jihad-damai (peaceful jihad), sebagaimana ajaran
mainstream muslim.
Era reformasi memungkinkan munculnya beberapa
gerakan Islam radikal, tetapi berdasarkan beberapa penelitian
umumnya umat Islam berpaham moderat. Gerakan Islam radikal
kelihatan besar karena kegiatannya selalu diliput oleh media
massa.
Masih terdapat beberapa pemikiran yang masih mempersoalkan keberadaan PBM, padahal PBM itu disusun oleh para
pemuka agama, sedangkan pemerintah hanya memfasilitasi.
68
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Kalau PBM belum dapat berjalan dengan baik,
itu bukan pada materi PBM tetapi pada level
pelaksanaannya.
Secara UU dan peraturan, Indonesia sudah
menjamin perihal kebebasan beragam a,
walaupun dalam pelaksanannya berbagai pihak
menilai pemerintah belum sepenuhnya dapat
menjamin kebebasan beragama. Tetapi kita
patut bergembira karena delegasi negara
tertentu justru ingin belajar toleransi dan
kebebasan beragama di Indonesia.
Berkaitan dengan gerakan keagamaan,
terdapat beberapa organisasi keagamaan yang
mengadakan kongres tahun ini yaitu NU dan
Muhammadiyah. Juga Kongres Umat Islam dan
Kongres Tokoh Agama ketiga. Organisasi keagamaan ini umumnya mengembangkan paham
keagamaan yang moderat dan menolak tindak
kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Kedua, dalam bidang pelayanan dan
pengamalan keagamaan, pada tahun 2010,
diidentifikasi terdapat 4 (empat) masalah yang
mencuat dan diduga kuat akan tetap berpengaruh terhadap dinamika kehidupan keagamaan
masyarakat di Indonesia di tahun-tahun
mendatang, yaitu:
Rencana pemerintah untuk menerbitkan
RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang
Perkawinan menjadi undang-undang tampaknya berpengaruh positif terhadap kesadaran
legalisasi perkawinan di masyarakat. Kendati
dalam jumlah yang masih terbatas, ada upaya
pemerintah daerah dan LSM untuk melakukan
pendataan terhadap masyarakat yang masih
berstatus perkawinan tidak tercatat. Sedangkan
sebagian masyarakat yang status perkawinannya
tidak dicatat, dengan kesadaran sendiri berusaha
meng-itsbat-kan perkawinannya. Dan, secara
substansial, pembahasan RUU tampaknya akan
berjalan cukup memakan waktu, sebab masih
banyak komponen masyarakat yang belum bisa
menerima adanya ketentuan pidana dalam
hukum perkawinan Islam. Selain ada pasal yang
masih debatable, seperti ketentuan pidana bagi
pelaku kawin tidak dicatat, ternyata dianggap
lebih besar dari pelaku zina.
RUU Jaminan Produk Halal pun tampaknya akan mengalami nasib yang sama seperti
RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang
Perkawinan. Pembahasan tentangnya diperkirakan akan berjalan cukup alot, karena masih
mendapat tentangan dari para pengusaha dan
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Keduanya berpandangan bahwa kewajiban sertifikasi
produk dianggap monopoli dan memberatkan
biaya produksi. Akibatnya, harga barang menjadi
mahal dan daya beli masyarakat pun dapat
berkurang. Selain itu, masih ada juga tarikmenarik kepentingan dalam pasal-pasal yang
t erkait kewenangan lem baga yang akan
melakukan sert if ikasi halal, apakah akan
dilakukan pemerintah (Kementerian Agama)
atau Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pemerintah
berargumen bahwa keterlibatan mereka dalam
sertifikasi produk halal untuk memperkuat MUI.
Namun, MUI berpendapat pemerintah tampaknya hendak menyisihkan MUI dalam proses
sertifikasi produk halal. Kendati perdebatan telah
dicoba dilerai oleh DPR dengan menjadikan RUU
Jaminan Produk Halal sebagai hak inisiatif DPR,
namun tetap saja tidak akan mengurangi
serunya pembahasan.
Keinginan untuk melakukan penyempurnaan terhadap UU No. 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat disambut banyak
kalangan. Namun, gagasan sentralisasi pengelolaan zakat di Indonesia tampaknya akan
mendapat tantangan cukup keras dari masyarakat. Selain itu, gagasan untuk menjadikan zakat
sebagai pengurang langsung pajak tampaknya
juga tidak mudah direalisasikan karena masih
berkendala hukum. Gagasan itu perlu disesuaikan dengan UU Perpajakan dan peraturan
perundang-undangan di bawahnya.
Dan berkenaan dengan penyelenggaraan
ibadah haji, pemerintah t elah melakukan
berbagai kebijakan untuk perbaikan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2010. Namun,
berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan, pada
penyelenggaraan ibadah haji tahun 2010 masih
dit emukan masalah, sepert i t ransportasi,
keterbatasan suplai air, makanan (memakan
makanan basi), dan kualitas pemondokan yang
buruk. Selain itu, masih ditemukan pula bebe-
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
69
rapa Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH)
atau Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK)
yang memberangkatkan jamaah haji nonkuota
yang pada akhirnya gagal berangkat atau
terlantar di Arab Saudi.
Dan ketiga, t erkait dengan masalah
hubungan antaragam a, sepanjang 2010,
hubungan antaragama atau kerukunan diwarnai
sejumlah kasus. Permasalahan di sekitar pendirian atau perselisihan terkait rumah ibadat masih
banyak terjadi. Secara umum permasalahan
terjadi akibat kekurangpahaman atau kesalahpahaman dalam implementasi perat uran
pendirian rumah ibadat, yakni PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006—selain masalah toleransi beragama
yang masih kurang memadai. Kekurangpahaman terhadap PBM terjadi baik di kalangan
umat beragama, maupun (dan terutama yang
lebih strategis lagi) para pelaksana-teknis aturan
itu di lapangan. Pemahaman yang terbatas
aparat pelaksana-teknis itu, dalam pelaksanaannya, tidak jarang berhadapan dengan tekanan
kekuatan massa atau ‘godaan’ oknum yang ingin
memuluskan harapannya. Maka yang terjadi
adalah ketidaksesuaian pelaksanaan dengan
aturan, yang kerapkali berujung pada suatu
kekecewaan sebagian pihak dan diwarnai
kericuhan. Pemerintah memang sudah cukup
intensif melakukan sosialisasi peraturan dan
peningkatan wawasan multikultural/ toleransi
bagi umat beragama, namun tindak lanjutnya
oleh hierarki di bawahnya dinilai masih kurang.
Demikian pula peran masyarakat sipil belum
cukup optimal, dan bahkan dalam satu dan lain
kasus justeru melakukan sesuatu yang kontraproduktif.
Terkait aliran yang dinilai menyimpang
atau penodaan agama, kasus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) masih menjadi PR besar Pemerintah dan masyarakat. Kehadiran SKB 3 Menteri
nyatanya belum tersosialisasi dan terimplementasi dengan baik di lapangan. Peran pemerintah daerah dan pemuka agama dalam
‘pembinaan’ warga JAI dan penyosialisasiannya
di masyarakat belum optimal, terbukti dari
akseptasi masyarakat yang belum cukup baik.
Adapun kasus-kasus penodaan agama lainnya
sesungguhnya lebih terbatas dan bersifat lokal,
70
hanya saja justeru mendapat ‘pembesaran isu’
justeru dengan massifnya pemberitaan media
dan laporan-laporan hasil kajian berbagai pihak.
Putusan Mahkamah Konstitusi terkait
konstitusionalitas UU No.1/PNPS/ 1965 menegaskan perlunya sebuah aturan terkait agama
dan dinamika pemahamannya. Tak heran, silang
pendapat pra dan pascaputusan Judicial Review
UU No.1/PNPS/ 1965 ini yang cukup massif di
masyarakat membuahkan kesadaran semua
pihak akan pent ingnya Undang- Undang
Kebebasan dan Perlindungan Beragama, atau
apapun namanya, sebagai acuan dalam pengelolaan kehidupan beragama dalam masyarakat
multikultur ini.
Adanya dialog-dialog antaragama, upaya
pengembangan HAM, serta kehadiran dan
peran FKUB menjadi ‘berita gembira’ dalam
proses dinamika kerukunan antarumat beragama.
Meski demikian, kedewasaan dalam beragama
masih perlu terus diupayakan dengan intensifikasi
dan peningkatan kualitas upaya baik itu.
B. Rekomendasi
Memperhatikan kesimpulan-kesimpulan
di atas, maka ada beberapa rekomendasi yang
penting diperhatikan:
Pertama, terkait aliran/paham, pemikiran,
dan gerakan keagamaan, beberapa rekomendasinya adalah:
1. Perlu dilakukan pendataan terhadap aliranaliran keagamaan yang menyempal dari
mainstream. Pendataan ini bertujuan untuk
memetakan, mana aliran yang masih bisa
diperbaiki dan mana yang tidak. Dengan
pendataan ini bisa diketahui penyebab kultural
dari lahirnya aliran tersebut, sehingga bisa
mencegahnya secara preventif.
2. Perlu dilakukan lokakarya tentang model
penanganan aliran-aliran keagamaan yang
dianggap manyimpang dari ajaran pokok
masing-masing agama.
3. Perlu ditingkatkan program deradikalisasi di
kalangan umat beragama, seperti Lokakarya
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Pengembangan Budaya Damai di berbagai
kalangan komunitas umat beragama.
4. Pemberian fasilitas yang maksimal kepada
organisasi dan kelompok Islam moderat,
dalam menciptakan agenda yang kontekstual dengan kebutuhan riil masyarakat.
Dengan cara ini, Islam moderat bisa lebih
memiliki arti signifikan, sehingga mampu
membendung laju radikalisme Islam.
5. Penyebaran pemahaman Islam yang nirkekerasan kepada mahasiswa-mahasiswa di
kampus umum, karena di kampus inilah
radikalisme Islam dapat tersemai. Aktivis
Islam urban selayaknya muslim muallaf yang
masih memerlukan pemahaman Islam yang
komprehensif.
6. Lebih digiatkan dialog antara pemerintah dan
masyarakat sipil, dalam hal ini aktivis
kebebasan beragama, agar tidak terjadi
penentangan laten di tengah masyarakat.
Kesalingpahaman antara keduanya akan
melahirkan kebijakan yang ditopang oleh
trust publik, sehingga kebijakan pemerintah
adalah juga kebutuhan masyarakat.
Kedua, berkenaan dengan bidang pelayanan dan pengamalan keagamaan adalah
sebagai berikut:
1. Kepada pemerintah (Kementerian Agama RI)
dan DPR hendaknya berhati-hati dalam
membahas RUU Hukum Materiil Peradilan
Bidang Perkawinan. Sebab, pasal-pasal pidana
belum dapat diterima oleh kebanyakan
masyarakat muslim. Pemerintah perlu menegaskan kepada masyarakat bahwa kehadiran
RUU dalam rangka memperkuat UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Artinya,
RUU bukan meniadakan UU Perkawinan
tersebut, tetapi hanya specialis bagi masyarakat Muslim. Apabila resistensi masyarakat
terlalu kuat dan diperkirakan dapat mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat, penting dipikirkan untuk menunda
RUU tersebut atau mencari jalan yang lain
seperti melakukan penguatan pada para
hakim.
2. Pemerintah (Kementerian Agama RI) perlu
segera menjalin komunikasi yang intensif
dan terbuka dengan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) sehingga ketidaksepahaman terkait
ot oritas sertif ikasi produk halal dapat
diselesaikan. Pengalaman LPPOM- MUI
selama ini sebagai pihak yang melakukan
sertifikasi produk halal hendaknya dapat
dijadikan sebagai pijakan untuk melakukan
komunikasi yang adil. Selain itu, pemerintah
hendaknya memainkan peranan yang kuat
dalam regulasi dan pengawasan sehingga
proses sertifikasi produk halal lebih transparan dan berbiaya murah.
3. Pemerintah hendaknya mempertimbangkan
secara matang keinginan untuk melakukan
sent ralisasi pengelolaan zakat . Sebab,
sentralisasi dapat mengabaikan otonomi
pengelolaan zakat yang sudah dilakukan
oleh lembaga pengelola zakat (BAZ dan
LAZ). Sebaiknya, ketentuan pendirian BAZ
dan LAZ diperketat dan pemerintah mengambil posisi untuk mendorong agar pengawasan dan audit publik dapat dilakukan oleh
BAZ dan LAZ yang selama ini masih sangat
kurang. Pemerintah dapat mendesakkan
masalah ini dalam penyusunan RUU Pengelolaan Zakat dengan ket ent uan akan
memberikan sanksi kepada BAZ dan LAZ
yang tidak mau melakukan audit publik.
4. Pemerintah (Kementerian Agama) hendaknya
memberikan sanksi keras terhadap KBIH dan
PIHK yang masih memberangkatkan jamaah
haji nonkuota, karena dapat merugikan
jamaah sendiri. Langkah untuk mengurangi
jamaah haji nonkuota, pemerintah hendaknya menggalakkan sosialisasi tentang
kebijakan penyelenggaraan ibadah haji di
Indonesia dan penyuluhan kerugian menjadi
jamaah nonkuota. Direkomendasikan pula
agar pemerintah tidak mempergunakan
kembali perusahaan catering yang telah
menyediakan makanan basi dan menyewa
pemondokan lebih dini sehingga ada waktu
untuk meneliti kualitas gedung.
Dan ketiga, terkait hubungan antaragama, beberapa rekomendasinya adalah:
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
71
1. Perlu intensifikasi sosialisasi PBM No. 9 dan
8 Tahun 2006 di seluruh kalangan masyarakat, dan t erutama aparat dan pihak
pelaksana-teknis terkait. Untuk ini, Pemerintah dapat mendorong pemerintah daerah
unt uk menggalakkan (kembali) upaya
sosialisasi PBM dan peraturan di bidang
kerukunan umat beragama. Searah dengan
itu, upaya peningkatan wawasan multikultural dan toleransi beragama perlu
ditingkatkan. Untuk ini, FKUB dan masyarakat sipil lainnya dapat didorong dan
didukung, baik secara substansial maupun
finansial, agar dapat lebih berdaya dan
efektif. Di sisi lain, umat beragama hendaknya lebih dewasa dalam menyikapi dinamika
kehidupan antaragama, dan senantiasa
mengedepankan semangat kebersamaan.
2. Pemerintah perlu terus menyosialisasikan
SKB3 Menteri terkait penanganan Ahmadiyah
dan memonitor pelaksanaannya. Baik warga
JAI maupun masyarakat hendaknya menaati
SKB 3 M ent eri. Sedangkan beberapa
t indakan melanggar hukum di sekitar
pelaksanaannya hendaknya diselesaikan
sesuai aturan hukum yang berlaku.
3. Pemerintah dan masyarakat hendaknya
dengan kejernihan pikir dan semangat
kebersamaan dapat turut berkontribusi
dalam penyusunan RUU Kebebasan dan
Perlindungan Beragama yang kini menjadi
inisiatif DPR untuk menyusunnya.
4. Dialog antaragama, pengembangan HAM,
dan pemberdayaan FKUB perlu t erus
ditingkatkan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Upaya ini diharapkan bukan sekedar
programatik melainkan sistemik dan berperspektif pembangunan, serta dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. []
72
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
Catatan Akhir
Satu:
Pendahuluan
27 http:// www.gatra.com/artikel.
php?pil=23& id=139701
1
28 Jeffry K. Hadden, “Religious Movements”, dalam E. F.
Borgotta dan M. L. Borgotta, Encyclopedia of
Sociology, 1992.
2
Pasal 783 Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun
2006.
Masalah yang menjadi tugas Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI tetapi tidak dibahas
dalam laporan ini adalah terkait pendidikan agama
dan keagamaan; dan lektur keagamaan.
Tiga:
Aliran/ Paham, Pemikiran dan Gerakan Keagamaan
1 http:// surabaya.detik.com/ read/ 201001/18/ 174514/
1281016/475/ aliran-sesat-brayan-agung-larangpengikutnya-salat, diunduh pada 5 Maret 2010.
2 http:/ / bandung.detik.com/ read/ 2010/01/ 21/
102859/ 1283095/486/ penodaan-agama-jelas-ada,
diunduh pada 5 Maret 2010.
3
http:// news.okezone.com/read/ 2010/01/ 15/340/
294563/ 340/ markas-aliran-sesat-masih-dijaga,
Jum’at, diunduh pada 15/ 1/ 10.
29 Tim Penanggulangan Terorisme Melalui Pendekatan
Ajaran Islam, Meluruskan Makna Jihad Mencegah
Terorisme, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2009, hlm. 22-26
30 http:// www.pikiran-rakyat.com/ node / 119 650
31 http:/ /www.gatra.com/
artikel.php?pil=23& id=140839
32 Kompas, Jumat, 5/3/2010, hlm. 4
33 Kompas, Senin, 15/3/2010
34 Kompas, Rabu, 17/3/2010, hlm. 1
35 Kompas, Minggu, 16/5/2010, hlm. 1
36 Kompas, Minggu, 16/5/2010, hlm. 1
37 “Lack of Critical Thinking Root of Terrorism, says
Muslim author The Jakarta Post
38 “NU to Take Leading Role in Combating Terrorism,
The Jakarta Post
4
http:/ /autos.okezone. com/read/ 2010/01/ 24/340/
297191/ 340, Minggu, 24 Januari 2010.
5
http:/ / www.pikiran-rakyat. com/node/ 113774.
6
http:// surabaya.detik.com/read/2010/02/22/
131722/ 1304266/ 475, diunduh pada 5 Maret 2010
39 Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihad dalam
Perspektif Hukum Islam, Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat, 2009, hlm. 83).
7
Okezone, Senin, 15 Maret 2010 - 21:10
40 Kasjim, Ibid, hlm. 85
8
9
Gatra, 1 Maret 2010
http:/ /news. okezone.com/read/ 2010/04/ 08/341/
320486/ mui-sumut-aliran-al-haq-sesat\Kamis, 8
April 2010).
10 http:// www.pikiran-rakyat.com/ node/112427
11 Laporan Kasus Keagamaan dari PKUB
12 http:/ / www.gatra. com/
artikel.php?pil=23& id=140724
42 Kasjim, Ibid, hlm. 86-87
43 Imam Tholkhah, Dimensi Baru Gerakan Islam Radikal
di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat,
Kementerian Agama RI, 2005
44 http:// www.mediaindonesia.com/read/ 2010/08/ 08/
162337/ 91/ 14/ Kelompok-RadikalDampakSampingan-dari-Reformasi
13 Koran Tempo, 2 Oktober 2010, hlm. A.2
14 Koran Tempo, 5 Oktober 2010, hlm. C.3
15 Koran Tempo, 4 Oktober 2010, hlm. C.2
16 Koran Tempo, 12 Oktober 2010, hlm. A.9
17 Ahmadiyah Followers Promised Safe Return Home,
The Jakarta Post
18 http:// www.mediaindonesia .com/ read/ 2010/07/ 31/
159198/91/14
19 http:// www.pikiran-rakyat.com /node/ 118904
20 Koran Tempo, “Penyerangan Ahmadiyah Dianggap
Kriminal”, 3 Oktober 2010 hlm. A.4
21 Koran Tempo, 7 Oktober 2010, hlm. 7
22 Koran Tempo, 11 Oktober 2010, hlm. A.6
23 Sindo, 10 Agustus 2010
24 Buku Sosialisasi SKB Menteri Agama, Jaksa Agung,
dan Menteri Dalam Negeri, hlm. ii-viii
25 http:// www.pikiran-rakyat.com/ node/119453
26 http:/ /www.gatra.com/
artikel.php?pil=23& id=139479
41 Grant Wardlaw, Political Terrorisme, New York:
Cambridge University Press, 1986, hlm. 14-15
45 http:// www.mediaindonesia.com/read/ 2010/08/ 08/
162332/91/14
46 Republika, 8 Januari 2010
47 SETARA Institute, Radikalisme Agama di Jabodetabek
dan Jawa Barat, 2010, hlm. iii-iv
48 Kompas, Jum’at, 12/2/2010, hlm. 3
49 http:// www.gatra.com/artikel.php?
pil=23& id=138938
50 Republika, 5/1/2010
51 Sindo, 13/ 10/2010
52 Kompas, 6 Agustus 2010
53 M. Atho’ Mudzhar, Dilema di Balik Kebebasan
Beragama dan Penodaan Agama: Perlunya Perspektif
Indonesia, Makalah disampaikan pada diskusi
terbatas dengan tema: Kebebasan Beragama dan
Penodaan agama yang dilaksanakan oleh Kantor
Dewan Pertimbangan Presiden, Jumat, 27 Agustus
2010
54 Kompas, Selasa, 2/2/2010, hlm. 5
55 www.mediaindonesia.com
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
73
56 Kompas, Senin, 19/ 4/ 2010, hlm. 36
57 Koran Tempo, 11 Mei 2010, hlm. A11
58 Kompas, Sabtu, 15 Mei 2010, hlm. 9
Indonesia dan Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika,
2010).
59 Republika, 25 Januari 2010
8
9
60 Sindo, 27 Agustus 2010
61 Kompas, 28 Agustus 2010
10 Seputar Indonesia, 30/ 4/ 2010 M.
11 Koran Tempo, 14/ 5/ 2010.
62 Kompas, 27 Agustus 2010
12 Republika, 5/ 5/ 2010.
63 Kompas, 20 September 2010
64 Kompas, 25 September 2010
13 Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Pemberdayaan
Zakat: Upaya Sinergis Wajib Zakat dan Pajak di
Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2006.
65 http:// www.detiknews .com/read/ 2010/01/ 10/
201511/1275314/10/mui-se-sumatera-keluarkan-6rekomen-dasi-untuk-pemerintah, diunduh pada 19
April 2010
14 Koran Tempo, 14/ 5/ 2010.
15 Republika, 4/ 3/ 2010.
66 Kompas, 19/ 3/2010, hlm. 4
67 Kompas, 20/ 3/2010, hlm. 4
68 Kompas, 21/ 3/2010, hlm. 1
69 Kompas, 15/ 05/2010, hlm. 3
70 Kompas, Sabtu, 22/5/2010, hlm. 4
71 Tough Competition for NU Chairmanship Vote in
March, The Jakarta Post
72 Muhammadiyah (Kompas, 21/5/2010, hlm. 3
73 ttp:/ / www.mediaindonesia.com/ read/2010/ 07 / 01/
152697/18/ 1
74 Kompas, 16/ 4/2010, hlm. 4
75 Sabili, No. 22, tanggal 27 Mei 2010, hlm. 92
76 Kompas, Sabtu, 8/ 05/2010, hlm. 4
Al-Arham, Edisi 31, September 2010.
Majalah Gontor, Oktober 2010 M/ Dzulqaidah 1431 H.
16 Koran Tempo, 14/ 5/ 2010.
17 Seminar Hasil Penelitian tentang Kepuasan Jamaah
Haji terhadap Kualitas Penyelenggaraan Ibadat Haji
tahun 1430 H/ 2009 M, diselenggarakan Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Hotel Cemara Jakarta, 13
Desember 2010.
18 Majalah Ikhlas Beramal, No. 66, Tahun XIII, Desember
2010.
19 Seminar Hasil Penelitian tentang Kepuasan Jamaah
Haji terhadap Kualitas Penyelenggaraan Ibadat Haji
tahun 1430 H/ 2009 M, diselenggarakan Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Hotel Cemara Jakarta, 13
Desember 2010.
20 Majalah Ikhlas Beramal, No. 66, Tahun XIII, Desember
2010.
77 Kompas, Kamis, 10/ 5/ 2010. Hlm.4
78 Republika, 3/ 2 /10
79 http:// www.mediaindonesia. com/ read/ 2010/06/ 10/
148097/91/14
Lima:
Hubungan dan Kerukunan Antarumat Beragama
1 Sumber: Laporan Kasus pada PKUB
2
Proposal Diskusi Publik tentang “Menyoal
Rancangan Undang-Undang Produk Halal”,
diselenggarakan oleh The Wahid Institute, tanggal 28
Juli 2009, diunduh dari www.wahidinstitute.org.
Sumber: Antara, “Pemkot Bogor Segel Gereja
Yasmin”, http:// www.antaranews. com/ berita/
1268349553/ pemkot-bogor-segel-gereja-yasmin
diunduh pada 27 Agustus 2010
3
Sumber : Warta Kota, 21 Juli 2010
2
“RUU Jaminan Produk Halal Diskirimatif”, diunduh
dari www.kompas.com, tanggal 26/ 8/ 2009.
4
5
Sumber: Laporan Kasus pada PKUB
Dari berbagai sumber.
6
3
4
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar
Politik Hukum (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007),
hlm. 127.
Disampaikan pada acara peluncuran Laporan
Tahunan Kehidupan Beragama 2010 yang
diselenggarakan Center for Religious and Crosscultural Studies, tanggal 1 Februari 2011.
5
Nasaruddin Umar, ...
6
Penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan di Kota
Pontianak mengungkapkan, perkawinan tidak dicatat
di sana disebut perkawinan di bawah tangan,
sedangkan kawin sirri disebut kawin Daud. Imam
Syaukani (Ed), Keluarga Harmoni dalam Perspektif
Berbagai Komunitas Agama, Laporan Penelitian
(Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2010).
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama 2010, Yogya:
CRCS-UGM, 2011, hlm. 34.
Negara Menyangkal: Kondisi Kebebasan Beragama/
Berkeyakinan di Indonesia 2010, Jakarta: Setara
Institute, Januari 2011, hlm. 9.
Sumber: Antara, “Ormas Islam Tolak Usulan
Pencabutan PBM, http:// www.antaranews.com/
berita/ 12845 54417/ormas-islam-tolak-usulanpencabut an-pbm diunduh pada 8 Oktober 2010
Sumber : Antara, “Peraturan Kerukunan Beragama
Perlu Jadi UU, http:/ /www.antaranews.com/ berita/
1284619198/ peraturan-kerukunan-beraga ma-perlujadi-uu diunduh pada 8 Oktober 2010).
Empat:
Pelayanan dan Pengamalan Keagamaan
1
7
74
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan
Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di
7
8
9
10 Sumber: Detik, “Menag: Kasus HKBP Ciketing Bukan
Persoalan SKB”,http:/ /www. detiknews.com/ read/
2010/ 09/ 21/ 164751/1444971/10/ menag-kasushkbp-ciketing-bukan-persoalan-skb diunduh pada 8
Oktober 2010
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
11 Detik,” NU Jatim Minta Warga Sumenep Tidak
Terprovokasi”, (Sumber: http:/ /surabaya. detik.com/
read/ 2010/ 02/ 18/ 134149/ 1302097/ 475/nu-jatimminta-warga-sume nep-tidak-terprovokasi, diunduh
pada 5 Maret 2010
37 http:// www.antaranews.com /berita/ 1265923518/
tokoh-kristen-poso-tentang-uu-penodaan-agama,
diunduh pada 25 Februari 2010
38 Kompas,Kamis, 11/2/2010, hlm. 4
12 Sumber: Media Indonesia, 3 Maret 2010
13 Sumber: http:// www.mediaindonesia.com/ read/
2010/ 04/21/ 137379/38/ 5/ Markus-Dite ngaraiWarnai-Kasus-Buddha-Bar
40 Republika, 18/ 2/2010
41 Failure to revise blasphemy law would ‘limit role of
religion’The Jakarta Post
39 Kompas, Selasa, 9/2/2010, hlm. 7
14 Sumber: Pikiran Rakyat, 13 Mei 2010
15 Sumber: Sabili Nomor 22 tanggal 27 Mei 2010
halaman 88 judul “Karnaval Salib di Masjid Agung
Bekasi/ Masjid Al-Barkah”
16 Sumber: http:// www.pikiran-rakyat.com/ node/
113688
17 Sumber: Koran Tempo, “Polda Bali Selidiki Pelecehan
Nabi”, 29 Mei 2010 hlm. A.7
18 Sumber: Artikel “FPI Soroti Patung Bima di Pertigaan
Jalan Baru Purwakarta”, http:// www.pikiranrakyat.com/node/ 118650
19 Sumber: Antara, “Mendagri Minta FKUB
Diberdayakan Atasi Persoalan Ahmadiyah”, http:/ /
www. antaranews.com/berita/ 1280484049/
mendagri-minta-fkub-diberdaya-kan-atasipersoalan-ahmadiyah, diunduh pada 20 Agustus
2010
20 Sumber: Patung Bima di Purwakarta Didemo Pelajar,
http:// www.pikiran-rakyat.com/ node/119392
21 Sumber: Antara, “FPI Robohkan Papan Nama Jamaah
Ahmadiyah Jatim” http:// www.antaranews.com/
berita/ 1281432983/ fpi-robohkan-papan-nama-jama
ah-ahmadiyah-jatim diunduh pada 20 Agustus 2010
22 Sumber: Artikel “Rencana Aksi Pembakaran Alquran
Tokoh Lintas Agama Datangi Kedubes AS”,
www.mediaindonesia.com
23 Sumber: Artikel “Masyarakat Desak Ahmadiyah
Dibubarkan”, http:/ /www.pikiran-rakyat. com/ node/
119710).
24 Republika, 5 Februari 2010
25 Republika, 1 Februari 2010
26 Republika, 24 April 2010
27 http:// www.antara news.com/berita/ 1264921815/
diunduh pada 25 Februari 2010
28 Majalah Sabili, hlm. 17 No. 16, tanggal 4 Maret 2010
29 Republika, 20 Maret 2010
30 Republika, 4 Maret 2010
31 Republika, 13 Maret 2010
32 Republika, 13 Maret 2010
33 http:// www.antara.co.id/ berita/ 1265787869, diunduh
pada 25 Februari 2010
34 http:// www.mediaindonesia. com/read/ 2010/04/ 04/
137144/16/ 1
35 Blasphemy Law Still Relevant, but Need Revision:
Court Told, The Jakarta Post
36 http:// www.antara.co.id/ berita/ 1265782553/kwinegara-tidak-boleh-intervensi keyakinan-agama,
diunduh pada 25 Februari 2010
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010
75
76
LAPORAN TAHUNAN KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA TAHUN 2010