Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
HADIS TENTANG HUKUM KHITAN PEREMPUAN KAJIAN SANAD DAN MATAN Nurma Sayyidah Alumnus Pondok Pesantren Darussalam Garut nurma.sayyidah@yahoo.com Pendahuluan Praktik khitan merupakan tradisi yang sudah lama dikenal masyarakat dan diakui oleh agama-agama di dunia, seperti Yahudi, sebagan pegikut Nasrani, dan Islam. Dalam Islam, tradisi khitan berawal dari Nabi Ibrahim AS. kemudian ditetapkan menjadi syari’at dan dilakukan oleh sebagian besar Umat Islam. Di Indonesia —sebagai negara dengan jumlah Muslim terbanyak di dunia— khitan sudah menjadi tradisi yang membudaya di tengah-tengah masyarakatnya. Praktiknya khitan ini tidak hanya diberlakukan bagi anak laki-laki semata. Pada sekelompok masyarakat tertentu, khitan juga berlaku bagi anak permpuan. Namun seiring dengan pergeseran wacana gender dewasa ini, praktik khitan perempuan mulai dipersoalkan. Alasan yang dikemukakan adalah khitan permpuan dinilai merusak reproduksi dan merampas hak kesehatan, serta kepuasan seksual permpuan. Bakhan organisasi kesehatan dunia, WHO, secara tegas melarang praktik khitan. Larangan terhadap praktik khitan perempuan ini tentu sangat kontra dengan apa yang selama ini telah dianggap sebagai bagian dari syari‘at Islam oleh sebagian masyarakat Muslim. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk menelaah ulang hadis yang digunakan sebagai landasan dalil dalam penetapan hukum khitan perempuan. Apa Itu Khitan Perempuan? Khitan berasal dari bahasa Arab al-khita>n (الختان). Secara bahasa berasal dari kata-kata khatana (ختن), yang berarti tempat dipotong, baik pada laki-laki maupun perempuan. Ibn al-As\i@r, al-Niha>yah f@i Gari@b al-H{adis\, jil. 1, hlm. 10. Dalam istilah, ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Yang dimaksud khitan untuk laki-laki adalah memotong kulit yang berada di bagian paling atas penis (atau yang dinamakan kulup). Imam al-Nawawi hanya menjelaskan bahwa bahwa khitan perempuan adalah memotong bagian yang sah untuk dikatakan sebagai memotong (meski sangat sedikit, yang penting dipotong). Abu> Zakariya Yah{ya> bin Syaraf bin Murri@ al-Nawawi@, Syarh al-Nawawi@ ‘ala S{ahi@h Muslim, juz 3 (Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi@, 1392 H) hlm. 148. Terdapat juga istilah lain yang digunakan untuk laki-laki selain khitan, yaitu iz\a>r (الإذار). Sedangkan untuk perempuan yaitu al-khifa>d} (الخفاض). Ibn al-Atsir, al-Nihayah fi Garib al-Hadits, jil. 1, hlm. 10. Khitan dalam istilah kedokteran disebut Circumcision / sirkumsisi. Menurut Kamus Saku Kedokteran DORLAND sebagaimana dikutip oleh Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, circumcision adalah: Pemotongan praeputium atau kulit depan. Female c., setiap cara, baik memotong bagian eksternal genitalia wanita atau infibulasi. Pharaonic c., jenis sirkumsisi pada wanita yang terdiri dari dua cara: cara radikal dimana klitoris, labia minor, dan labia mayor diangkat dan jaringan tersisa diperkirakan, dan bentuk yang telah dimodifikasi, dimana kulup dan glans klitoris serta daerah yang berbatasan dengan labia minora diangkat. Sunna c., bentuk sirkumsisi pada wanita dimana kulup klitoris diangkat. Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan, (Jakarta: Al-Mughni Press, 2006), hlm. 2. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa khitan perempuan bermacam-macam. Ada yang hanya sekedar kulup klitorisnya diangkat, ada juga yang ekstrim, yaitu dengan mengangkat klitoris, labia minor, dan labia mayornya. Cara ini dinamakan Pharaonic Circumcision dan banyak dipraktikkan di daerah Afrika. Penelitian Sanad Hadis tentang Hukum Khitan Perempuan Meskipun ada banyak hadis yang berbicara tentang khitan, tetapi hadis yang menyebutkan hukumnya hanya ada satu, yaitu الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ Artinya: Khitan itu sunnah bagi kaum laki-laki dan kemuliaan bagi kaum perempuan. Takhri@j al-H{adi@s\ Setelah dilakukan kegiatan takhri@j al-h{adi@s\ —dengan membatasi pencarian hanya dalam seputar kutub al-tis‘ah— melalui software Maktabah Syamilah dengan menggunakan kata kunci الختان dan مكرمة, dapat diketahui bahwa hadis tersebut bersumber dari Ah}mad ibn H{anbal, bab H{adi@s\ Usa>mah al-Haz\ali@ R.A., no. hadis 19794 dengan satu jalur sanad. Susunan redaksi hadisnya secara lengkap adalah sebagai berikut: حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ حَدَّثَنَا عَبَّادٌ يَعْنِي ابْنَ الْعَوَّامِ عَنِ الْحَجَّاجِ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ بْنِ أُسَامَةَ عَنْ أَبِيهِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاء Hadis Riwayat Ahmad, Musnad Ah}mad ibn H{anbal, bab H{adi@s\ Usa>mah al-Haz\aliy R.A., No.19794, CD Maktabah Syamilah, Global Islamic Software, 1991-1997. Artinya: Telah menceritakan kepada kami Suraij, telah menceritakan kepada kami ‘Abba>d yaitu Ibn al-‘Awwa>m dari al-Hajja>j dari Abu> al-Mali@h{ bin Usa>mah dari ayahnya bahwa Nabi S{allalla>hu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Khitan itu sunnah bagi kaum laki-laki dan kemuliaan bagi kaum wanita”. Hadis Riwayat Ahmad, Musnad Ah}mad ibn H{anbal, bab H{adi@s\ Usa>mah al-Haz\aliy R.A., No.19794, Kitab 9 Imam Hadist, Lidwa Pusaka i-Software. Al-I‘tiba>r Kutipan hadis di atas diawali dengan حدثنا. Yang menyatakan kata itu adalah Imam Ah}mad, penyusun kitab Musnad. Karena Imam Ah}mad sebagai mukharrij al-h{adi@s\, maka dalam hal ini beliau merupakan periwayat terakhir untuk hadis yang dikutip di atas. Dalam mengemukakan riwayat, Imam Ah}mad menyandarkan riwayatnya kepada Suraij. Maka Suraij disebut sebagai sanad pertama. Dengan demikian, sanad terakhir untuk riwayat hadis di atas adalah Usa>mah, yakni periwayat pertama karena beliau merupakan sahabat Nabi yang berstatus sebagai pihak pertama yang menyampaikan riwayat tersebut. Berikut dikemukakan urutan periwayat dan urutan sanad untuk hadis di atas: NO. NAMA URUTAN PERIWAYAT SANAD 1. Usa>mah I V 2. Abu> al-Mali@h{ ibn Usa>mah II IV 3. Al-H{ajja>j III III 4. ‘Abba>d bin al-‘Awwa>m IV II 5. Suraij V I 6. Ah{mad bin H{anbal VI Mukharrij al-H{adi@s\ Dari daftar nama di atas, tampak jelas bahwa periwayat pertama sampai periwayat keenam masing-masing satu orang. Adapun lafaz}-lafaz} metode periwayatannya adalah حدثنا, عن, dan قال. Itu berarti terdapat perbedaan metode periwayatan yang digunakan oleh para periwayat dalam sanad hadis tersebut. Dengan penjelasan di atas, maka dapat dikemukakan skema sanad sebagai berikut: GAMBAR I SKEMA SANAD HADIS RIWAYAT IMAM AH{MAD رَسُوْلَ اللهِ أَنَّ أُسَامَةَ عَنْ أَبِى الْمَلِيْحِ عَنْ الْحَجَّاجِ عَنْ عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ حَدَّثَنَا أَحْمَد Dari upaya kegiatan i‘tibar di atas, pada hadis Imam Ah}mad tidak ditemukan adanya sya>hid dan muta>bi‘, maka dapat disimpulkan bahwa hadis tersebut secara kuantitas bernilai a>h{a>d gari@b. Biografi Para Rawi dan Kualitasnya Dalam kegiatan ini, penelitian dimulai pada periwayat pertama, lalu diikuti periwayat setelahnya sampai periwayat terakhir. Usa>mah al-Haz\ali@ (?-?) Nama lengkap : Usa>mah bin ‘Umair bin ‘Āmir Nama kunyah : - Tempat tinggal: Bas}rah Guru : Rasulullah SAW Kata yang dicetak tebal pada keterangan guru dan murid, menunjukkan ketersambungan mereka sebagai guru dan murid. Murid : Anaknya, Abu> al-Mali@h{ bin Usa>mah Kualitas : Ibnu H{ajar al-‘Asqala>ni@: Sahabat Abu> al-Mali@h al-Haz\ali@ (?-98 H) Nama lengkap : ‘Āmir bin Usa>mah bin ‘Umair bin ‘Āmir Nama kunyah : Abu> al-Mali@h Tempat tinggal: Bas}rah Guru : Usa>mah al-Haz\ali, Ana>s bin Ma>lik, Jabir bin ‘Abdulla>h Murid : Ja‘far bin Abi@ Wahsyiyah, Ibnu ‘Aun, Hajja>j bin Art}a>h Kualitas : Abu> Zur‘ah: S|iqah Al-Z|ahabi: S|iqah Hajja>j bin Art}a>h (?-145 H) Nama lengkap : Hajja>j bin Art}a>h bin S|aur Nama kunyah : Abu> Art}a’ah Tempat tinggal: Ku>fah Guru : S|abit bin ‘Abid, Qata>dah bin Da‘a>mah, Abu> al-Mali@h al-Haz\ali@ Murid : Hafs} bin Giyas\, Sufyan al-S|auri@, ‘Abba>d bin al-‘Awwa>m Kualitas : Yahya bin Ma‘in: S{adu>q Laisa bi al-qawi Mudallis Abu> Zur‘ah al-Razy: S{adu>q, yudallis Abu> Hatim al-Razy: Yudallis, S{adu>q Ibnu H{ajar al-‘Asqala>ni: S{adu>q banyak salah Yudallis Ahli Fiqih ‘Abba>d bin al-‘Awwa>m (118-187 H) Nama lengkap : ‘Abba>d bin al-‘Awwa>m bin ‘Umar Nama kunyah : Abu> Sahal Tempat tinggal: Hait Guru : Isma>‘i@l bin Abi@ Khalid, Sa‘i@d al-Jariri, Hajja>j bin Art}a>h Murid : Ibra>hi@m bin Ziya>d Siblani, Ziya>d bin Ayyu>b al-T{ausiy, Suraij bin al-Nu‘ma>n Kualitas : Yah{ya bin Ma‘in: S|iqah Al-Nasa>’i: S|iqah Al-‘Ajli: S|iqah Abu> Hatim: S|iqah Abu> Da>wud: S|iqah Ibnu Kharasy: S{adu>q Ibnu Sa’d: S|iqah Ibnu Hibban: Disebutkan dalam al- S|iqa>t Ibnu Hajar al’Asqalani: S|iqah Suraij bin al-Nu‘ma>n (?-217 H) Nama lengkap : Suraij bin al-Nu‘ma>n bin Marwan al-Jauhariy Nama kunyah : Abū al-Husain, Abū al-Hasan, Abū al-Haris Tempat tinggal: Bagdad Guru : Ismā’il bin Ja’far, Baqiyah bin Walid, ’Abbād bin al-’Awwām Murid : Al-Bukhāri, Ibrāhim bin Ishaq al-Harbiy, Ah}mad ibn H{anbal Kualitas : Al-Nasa‘i: Laisa bihi ba‘s Al-’Ajli: S|iqah Abū Dāwud: S|iqah Muhammad bin Sa’d: S|iqah Al-Dāruqut}ni: S|iqah ma‘mun Ibnu Hibban: Disebutkan dalam al- S|iqah Al-Źahabi: S|iqah ’alim Ah}mad ibn H{anbal (164-241 H) Nama lengkap : Ah}mad bin Muh{ammad bin H{anbal bin Hilāl bin Asad Nama kunyah : Abū ‘Abdillāh Tempat tinggal: Kufah, Basrah, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, Jazirah Guru : Ibrāhi@m bin Khālid al-S{un’āniy, Ish{a>q bin Yūsuf al-Azraqi, Suraij bin al-Nu’mān Murid : Al-Bukhāri, Muslim, Abū Dāwud Kualitas : Al-Nasa‘i: S|iqah ma‘mun Ibnu Hibban: Hafiz mutqin faqih Ibnu Sa’ad: S|iqah s\abt s}adūq Kesimpulan Hasil Penelitian Sanad Melihat analisa sanad hadis di atas, meskipun sanad hadisnya bersambung, tetapi dapat dilihat bahwa tidak semua periwayat hadis dalam sanad Imam Ah{mad tersebut bersifat s\iqah, yakni kredibilitas al-H{ajja>j diperselisihkan ulama. Ada yang men-d{a‘i@f-kannya, ada juga yang mengatakan beliau termasuk penghafal hadis hanya saja sering sekali men-tadlis. Maka sanad hadis tentang “Khitan Sunnah bagi Laki-laki dan Kemuliaan bagi Perempuan” yang diriwayatkan oleh Imam Ah{mad berkualitas d{a‘i@f al-sanad. Penelitian Matan Hadis tentang Hukum Khitan Perempuan Sebagaimana telah diketahui bahwa kualitas sanad dan matan hadis tidak selamanya sama, bahkan cukup bervariasi. Di antaranya ada suatu hadis yang sanadnya sahih tetapi matannya d{a‘i@f, begitu pula sebaliknya. Meskipun hadis tentang hukum khitan ini sanadnya d{a‘i@f, belum tentu matannya d{a‘i@f pula. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa hadis ini perlu dikaji, melihat ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa hadis d{a‘i@f dapat dijadikan sebagai hujjah menimbang bahwa tidak ada hadis lain yang membahas tentang hal tersebut. Penelitian Kandungan Matan Tidak ada teks dalam al-Qur‘an yang memerintahkan untuk berkhitan, baik laki-laki maupun perempuan. Namun ada beberapa hadis yang berkaitan dengan khitan, di antaranya: Pertama, hadis sahih tentang wajib mandi karena bertemunya dua khitan. Jika diartikan secara harfiah, maka hal itu menunjukkan bahwa perempuan muslimah memang dikhitan. Akan tetapi, penelitian terdahulu mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan secara bi al-ma‘na sehingga bisa saja kata “bertemunya dua khitan” tersebut merupakan kiasan dari kemaluan laki-laki dan perempuan. Lihat M. Alfatih Suryadilaga (ed.) dan Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 165; Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan, hlm. 30-34. Kedua, hadis sahih tentang khitan merupakan bagian dari sunnah-sunnah fitrah. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, siapa mukhat}ab (tujuan perintah) dari hadis ini, laki-laki dan perempuan, atau ada yang ditujukan bersama dan ada yang ditujukan khusus kepada laki-laki? Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan, hlm. 13. Jika ditujukan untuk bersama, maka merupakan fitrah bagi perempuan untuk dikhitan. Ada juga yang berpendapat bahwa khitan untuk perempuan sama dengan mencukur kumis. Artinya, perempuan yang tumbuh kumisnya sunnah untuk dicukur, begitu pula perempuan sunnah dikhitan jika ada dalam organ kemaluannya sesuatu yang harus dihilangkan. Jika ada yang merupakan fitrah umum dan fitrah khusus bagi laki-laki, kembali timbul pertanyaan, apakah hanya mencukur kumis saja atau mencukur kumis dan khitan yang khusus untuk laki-laki? Ketiga, hadis d}a‘i@f tentang cara mengkhitan perempuan. Hadis ini diriwayatkan oleh Abū Dāwud dan di-d}a‘i@f-kan sendiri olehnya. Hadis riwayat Abū Dāwud no. 4587 dalam software Lidwa Pusaka: أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَ أَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ قَالَ أَبُو دَاوُد رُوِيَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍ و عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بِمَعْنَاهُ وَ إِسْنَادِهِ قَالَ أَبُو دَاوُد لَيْسَ هُوَ بِالْقَوِيِّ وَ قَدْ رُوِيَ مُرْسَلًا قَالَ أَبُو دَاوُد وَ مُحَمَّدُ بْنُ حَسَّانَ مَجْهُولٌ وَ هَذَا الْحَدِيثُ ضَعِيفٌ Artinya: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin 'Abdurrahman Ad Dimasyqi dan Abdul Wahhab bin Abdur Rahim Al Asyja'i keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Marwan berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hassan -Abdul Wahhab Al Kufi berkata- dari Abdul Malik bin Umair dari ummu Athiyah Al Anshariyah berkata, "Sesungguhnya ada seorang permpuan di Madinah yang berkhitan, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Janganlah engkau habiskan semua, sebab hal itu akan mempercantik wanita dan disukai oleh suami." Abu Dawud berkata, "Diriwayatkan pula dari Ubaidullah bin Amru, dari Abdul Malik dengan sanad dan makna yang sama." Abu Dawud berkata, "Tetapi hadits ini tidak kuat, sebab ia diriwayatkan secara mursal." Abu Dawud berkata, "Muhammad bin Hassan adalah seorang yang majhul, sehingga hadits ini derajatnya lemah”. Dengan segala ke-d}a‘i@f-annya, hadis ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam cara pelaksanaan khitan antara laki-laki dan perempuan. Dan jelas sekali Rasulullah hanya memperbolehkan khitan itu dengan syarat tidak berlebihan sehingga tidak merusak jaringan organ tubuh tersebut dan tidak mengurangi fungsi seksual, serta tidak menimbulkan dampak psikis. Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan, hlm. 27-28. Hadis pertama dan kedua berkualitas sahih, namun keduanya masih bersifat umum. Sedangkan hadis ketiga sudah spesifik membicarakan tentang khitan perempuan. Akan tetapi hadis ini tidak berkualitas sahih seperti hadis sebelumnya, melainkan berkualitas d}a‘i@f. Menilik kandungan matan hadis yang sedang dikaji, dapat diketahui bahwa hadis ini membicarakan hukum khitan, yaitu khitan merupakan sunnah bagi laki-laki dan makrumah / kemuliaan bagi perempuan. Namun dalam hukum taklifi sebagaimana yang telah banyak diketahui, hanya ada lima istilah dalam urutan hirarkinya, yaitu a) wajib, b) sunnah, c) mubah, d) makruh, dan e) haram. Istilah makrumah hampir tidak pernah digunakan. Maka yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, di mana posisi makrumah dalam hirarki hukum taklifi di atas? Ibnu Hajar al-‘Asqalani —meskipun menilai hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah karena keberadaan al-H{ajja>j— berpendapat bahwa maksud hadis tersebut yaitu khitan bagi laki-laki hukumnya sunnah dan bagi perempuan hukumnya mubah. Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Abu al-Fadl al-‘Asqalani al-Syafi‘i, Fath al-Bari, juz 10 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H), hlm. 341. Senada dengan Ibnu Hajar, Dr. Lutfi pun berpendapat bahwa penempatan istilah makrumah pada posisi mubah lebih tepat digunakan (meskipun tetap saja ada nilai lebihnya) karena jika ditempatkan pada posisi sunnah, hal itu tidak tepat melihat adanya perbedaan lafaẓ yang digunakan oleh Rasulullah. Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan, hlm. 27-28. Kontekstualisasi Hadis Khitan Perempuan pada Masa Sekarang Khitan perempuan yang diyakini sebagai ajaran agama Islam masih menimbulkan perdebatan di kalangan ulama, ilmuwan, dan peneliti. Sebagian mengatakan bahwa khitan perempuan —sebagaimana khitan laki-laki— merupakan ajaran agama Islam dan hukumnya wajib, minimal sunnah. Sedangkan sebagian lagi mengatakan bahwa khitan merupakan tradisi masyarakat kuno. Ristiani Musyarofah (dkk.), Khitan Perempuan: Antara Tradisi dan Ajaran Agama (Yogyakarta: Kerja sama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gajah Mada dengan Ford Foundation, 2003), hlm. 25. Menurut Pak Alfatih Suryadilaga di dalam bukunya Aplikasi Penelitian Hadis, tradisi khitan telah ada jauh sebelum Islam lahir. Lahirnya kebiasaan tersebut diduga karena pengaruh dari kebudayaan totemisme, suatu paham yang memadukan antara mitologi dan keyakinan agama. M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis (Yogyakarta: Teras,2009), hlm. 22. Di buku Khitan Perempuan: Antara Tradisi dan Ajaran Agama karya tim Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, dipaparkan beberapa data yang menunjukkan bahwa khitan memang merupakan warisan tradisi masyarakat kuno: Beberapa penelitian tentang khitan perempuan —atau dengan istilah yang dikembangkan WHO disebut female genital cutting (FGC)— di Afrika menyebutkan bahwa di Mesir, tradisi FGC telah jauh dilakukan sebelum agama Islam lahir. The earliest known writtings on the subject suggest that female genital cutting has been practiced in Egypt at least 2000 years (Cloudsley, dikutip dari Carr, 1997). Data lain menunjukkan bahwa praktik tersebut telah dilakukan kira-kira sejak 6000 tahun yang lalu di sebelah selatan Afrika, bahkan terdapat bukti gambar-gambar relief dari zaman Mesir pada tahun 2800 SM. Alasan utama dilakukannya khitan perempuan tersebut adalah religi yang dimaksudkan untuk menghukum manusia agar tidak melakukan tindakan seksual yang menyimpang dan berlebihan (Ariva, 1996). Fakta lain yang mendukung bahwa FGC merupakan tradisi kuno yang diwariskan turun-temurun dari berbagai keyakinan adalah seperti apa yang disebutkan oleh Toubia. These practices have been documented among women of various faiths, including Christians, Jews, and folowers of traditional religions (Toubia, dikutip dari Carr, 1997). Sementara itu, Kartono Mohamad dalam sebuah makalah menyampaikan bahwa khitan perempuan bukan berawal dari ajaran Islam, tetapi berawal dari tradisi masyarakat Afrika yang paternalistik yang tidak menginginkan kaum perempuan tertarik kepada laki-laki selain suaminya (Mohamad, 1999). Ristiani Musyarofah (dkk.), Khitan Perempuan: Antara Tradisi dan Ajaran Agama, hlm. 26. Di Indonesia, khitan —baik laki-laki maupun perempuan— telah menjadi tradisi sebagian mayoritas Muslim. Hal ini dapat dimaklumi karena masyarakat muslim Indonesia sebagian besar menganut mażhab Syafi’i yang cenderung mewajibkan khitan. Abu T}ayyib Muh}ammad Syams al-H{aq mengatakan di dalam kitabnya, ‘Aun al-Ma‘bu>d, Imam Abu> H{ani@fah dan Imam Ma>lik berpendapat bahwa khitan hukumnya sunnah mutlaq, Imam H{anbali berpendapat khitan wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan. Sedangkan Imam Sya>fi‘i mewajibkan khitan bagi keduanya. Lihat Muhammad Syams al-Haq al-‘Azim Abadi Abu Tayyib, ‘Aun al-Ma‘bud, juz 14 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H), hlm. 124. Akan tetapi, berdasarkan penelitian dari tim Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM, yang dilakukan di desa Wana, Lampung Desa Wana merupakan sebuah daerah wisata di Lampung yang penduduknya multietnis. Belum ada pencacahan jumlah penduduk berdasarkan penggolongan etnis. Namun meskipun demikian, penduduk desa Wana dapat dikelompokkan ke dalam tiga besar kelompok etnis, yaitu etnis Lampung (masyarakat asli), etnis Banten, dan etnis Jawa. Lihat Ristiani Musyarofah (dkk.), Khitan Perempuan: Antara Tradisi dan Ajaran Agama, hlm. 14. , dapat diketahui bahwa tradisi khitan perempuan hanya dikenal oleh etnis Lampung dan Banten (termasuk Sunda) saja, tetapi tidak oleh etnis Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Menurutnya, internalisasi tradisi khitan perempuan pada etnis Lampung merupakan hasil dari proses sosialisasinya dengan etnis Banten yang berlangsung cukup efektif melalui institusi keluarga, pergaulan hidup sehari-hari, perkawinan antar-etnis serta pengaruh instansi adat dan agama. Ristiani Musyarofah (dkk.), Khitan Perempuan: Antara Tradisi dan Ajaran Agama, hlm. 59. Sedangkan untuk tradisi khitan perempuan pada etnis Banten dan Sunda, tim tersebut menemukan hal menarik yang dapat menjadi rujukan bahwa tradisi khitan (baik laki-laki maupun perempuan) merupakan tradisi kuno masyarakat Pasundan, termasuk Banten. Dalam sebuah catatan sejarah permulaan masuknya agama Islam di wilayah Kerajaan Pasundan, Kropak 406 Carita Parahiyangan, diungkapkan bahwa: Sumbéléhan niat inya beresih suci wasah. Disunat ka tukangna, jati Sunda teka (disunat agar terjaga dari kotoran, bersih, suci bila dibasuh. Disunat kepada ahlinya, kebiasaan adat Sunda yang sesungguhnya). Dari catatan tersebut mereka menafsirkan bahwa tradisi khitan telah dikenal oleh masyarakat Sunda jauh sebelum agama Islam datang dan berkembang di wilayah tersebut. Kedatangan agama Islam yang memuat ajaraan tentang khitan, terutama khitan laki-laki, merupakan penyempurnaan religi atas adat dan tradisi yang telah lama dianutnya. Ristiani Musyarofah (dkk.), Khitan Perempuan: Antara Tradisi dan Ajaran Agama, hlm. 27. Mungkin tradisi khitan sudah terinternalisasi juga ke daerah-daerah yang lain, apalagi dilegitimasi dengan cap ajaran agama meskipun dalilnya tidak kuat. Namun seiring dengan pergeseran wacana gender di Indonesia, wacana khitan perempuan mulai diangkat lagi ke permukaan karena dinilai merusak reproduksi dan merampas hak kesehatan serta kepuasan. Wajar saja jika WHO dan Menteri Pemberdayaan Perempuan mendukung usaha-usaha penghapusan pelaksanaan khitan perempuan. Meutia Hatta Swasono, “Kata Pengantar” dalam Fiqh Khitan Perempuan, hlm. iv-v. Menghapuskan praktik khitan perempuan memang tidak dapat dilakukan secara sekaligus mengingat realitas faktor agama dan adat merupakan faktor yang sulit dibantah dan diintervensi. Akan tetapi minimal ada intervensi untuk mengeliminasi resiko yang dapat timbul akibat praktik khitan perempuan, misalnya dengan kepedulian tenaga medis untuk mensosialisasikan prosedur dan peralatan khitan perempuan yang relatif aman dari sisi medis karena biasanya dukun beranak atau dukun sunat menggunakan alat-alat yang tidak higienis seperti pisau lipat, pisau dapur, gunting, dll. Intervensi juga dapat dilakukan dengan memodernisasi pendidikan kehidupan masyarakat melalui pendidikan kesehatan, reinterpretasi agama dan tradisi di kalangan kaum perempuan maupun laki-laki dengan memperhatikan kedudukan dan peran key person dalam masyarakat. Ristiani Musyarofah (dkk.), Khitan Perempuan: Antara Tradisi dan Ajaran Agama, hlm. 101-102. Kesimpulan Untuk mengakhiri tulisan ini penulis memberikan dua kesimpulan: Pertama, kualitas sanad hadis yang berkaitan langsung dengan khitan perempuan adalah d{a‘i@f. Namun melihat realitas sebagian masyarakat Indonesia yang masih banyak memelihara tradisi khitan perempuan karena faktor agama dan adat yang kuat, maka dengan segala catatan ke-d{a‘i@f-annya, hadis dari Ummu ‘At}iyyah dapat dijadikan rujukan dalam tata cara mengkhitan perempuan, yaitu dengan syarat tidak berlebihan sehingga tidak merusak jaringan organ tubuh tersebut dan tidak mengurangi fungsi seksual, serta tidak menimbulkan dampak psikis. Kedua, dalil tentang hukum makrumah khitan perempuan menurut penulis seyogyanya tidak dijadikan dalil yang mengharuskan khitan bagi perempuan, karena hadis itu lemah. Dan berdasarkan pendapat Ibnu H{ajar al-‘Asqala>ni dan Dr. Lutfi Fathullah, makrumah hanya berada pada posisi mubah (meski ada nilai plusnya). DAFTAR PUSTAKA Abu> T{ayyib, Muh}ammad Syams al-H{aq al-‘Az}i@m Āba>di@. ‘Aun al-Ma‘bu>d. Juz 14. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1415 H. Al-‘Asqalani al-syafi‘i, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar. Fath al-Ba>ri@. Juz 10. Beirut: Da>r al-Ma’rifah. 1379 H. Al-Nawawi@, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Murri. Syarh al-Nawawi@ ‘ala S{ahi@h Muslim. juz 3. Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi@. 1392 H. Al-Sa’dawi, Nawal dan Hibah Ra‘uf Izzat. Perempuan, Agama dan Moralitas terj. Ibnu Rusydi. Jakarta: Erlangga, 2000. Al-Zuhayli, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr, 1997. An-Najjar, Zaghlul. Sains dalam Hadis: Mengungkap Fakta Ilmiah dari Kemukjizatan Hadis Nabi terj. Zainal Abidin (dkk.). Jakarta: Amzah, 2011. Desastian, Khitan Perempuan Justru untuk Menyenangkan Suami dan Mencegah Kanker dalam www.voa-islam.com. Fathullah, Ahmad Lutfi. Fiqh Khitan Perempuan. Jakarta: Al-Mughni Press, 2006. Ilma, Risa Farihatul. “Kajian Tarikh Mutun al-Hadits Tentang Khitan” dalam islamismyway7.blogspot.com. Musyarofah, Ristiani (dkk.). Khitan Perempuan: Antara Tradisi dan Ajaran Agama. Yogyakarta: Kerja sama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan dengan Ford Foundation, 2003. Suryadilaga, M. Alfatih. Aplikasi Penelitian Hadis. Yogyakarta: Teras, 2009. _______ dan Suryadi. Metodologi Penelitian Hadis. Yogyakarta: Teras, 2009. CD Maktabah Syamilah. Global Islamic Software, 1991-1997. Kitab 9 Imam Hadist. Lidwa Pusaka i-Software. 20