Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Aqwal Vol 3 No 2 Tahun

2022, IAT & Ilha Program, UIN K.H Abdurrahman Wahid, Pekalongan

Jurnal Aqwal: Journal of Quran and Hadith Studies (P-ISSN; 2774-7980) is a peer-reviewed (double-blind), open-access journal published biannualiy (Juni and Desember) by Ilmu Al-Qur’an and Hadith Program, Faculty Ushuluddin, Adab and Da’wah, K.H Abdurrahman Wahid State Islamic University Pekalongan since 2020. Aqwal invites students, scholars and researchers to contribute the result of their studies and researches. This Journal is aims to Quran and Hadith studies which covers original research and literatur review with various focus of linguistic (semantic, semiotic, stilistic qiroaat, nadhom), philosophy (hermeneutic), local wisdom studies, environment, gender, and others.

i Volume 03 Nomor 02 Desember 2022 Print ISSN 2774-7980, E-ISSN xxxx-xxxx Universitas Islam Negeri K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan ii Volume 03 Nomor 02 Desember 2022 Print ISSN 2774-7980, E-ISSN xxxx-xxxx Editor-in-Chief Mochammad Achwan Baharuddin, UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan (WoS Researcher ID: ABQ 5742-2022) Editorial Board Ali Mashuri, Universitas Brawijaya Malang, Indonesia (Scopus ID: 55164700600) Masyithah Mardhatillah, IAIN Madura, Indonesia (Scopus ID: 57355554900) Asmaji Muchtar, Unsiq Wonosobo Jawa Tengah, Indonesia (Scopus ID: 57211794280) Miftahul Ula, UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan, Jawa Tengah, Indonesia (Scopus ID: 57194111903) Syamsul Bakhri, UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan, Jawa Tengah, Indonesia (Scopus ID: 57224356844) Moh Muhtador, IAIN Kudus, Indonesia (Scopus ID: 57325846800) Encung, IDIA Madura, Indonesia Editorial Advisory Board Masdar Hilmy, UIN Sunan Ampel Surabaya, Indonesia (Scopus ID: 56059557000) Sahiron Syamsuddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia (Scopus ID: 57220067313) Saifuddin Zuhri Qudsy, UIN Sunan Kalijaga, Indonesia (Scopus ID: 57224573756) Jajang A Rohmana, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia (Scopus ID: 56925317200) Imam Kanafi, UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan, Indonesia (Scopus ID: 57200652957) Amat Zuhri, UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan, Jawa Tengah, Indonesia (Scopus ID: 57219893545) Hendri Hermawan Adinugraha, UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan, Indonesia (Scopus ID: 57219852321) Imam Machali, State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia (Scopus ID: 57226733310) Mohammad Sobirin, State Islamic University (UIN) Prof. KH. Saifuddin Zuhri, Purwokerto, Indonesia (Scopus ID: 7848650100) Journal Managemen Team Khaerunnisa Tri Darmaningrum, UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan Universitas Islam Negeri K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan iii Volume 03 Nomor 02 Desember 2022 Print ISSN 2774-7980, E-ISSN xxxx-xxxx KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala karunia, rahmat dan nikmat-Nya kepada kita semua sehingga proses editorial jurnal Aqwal dapat terlaksana dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya di Yaumul Qiyamah. Alhamdulillah, ucap syukur kami tiada henti setelah melalui serangkaian proses editorial bersama dengan seluruh tim pengelola jurnal Aqwal dan para reviewer yang telah bekerja secara optimal dalam rangka walmewujudkan implementasi dari sebagian tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu penelitian. Jurnal Aqwal hadir untuk memperkuat wawasan keilmuan dalam bidang Qur'an dan Hadis sebagai bagian dari andil untuk mengikuti langkah perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam mensyiarkan dakwah Islam di muka bumi melalui karya-karya intelektual. Kami berharap Jurnal Aqwal mampu menjadi sumber utama referensi dan pusat informasi yang mensyiarkan karya-karya penelitian yang inovatif di bidang al-Quran dan Hadis. Kami menyadari dalam penerbitan jurnal ini masih terdapat kekurangan, namun kami selalu terbuka menerima saran dan masukan yang konstruktif. Terima kasih kami ucapkan kepada para author atas sumbangsih pemikirannya dalam Jurnal Aqwal Vol. 3 No. 2 ini, semoga bermanfaat bagi masyarakat dan bagi pengembangan penelitian selanjutnya. Karya-karya penelitian terbaik senantiasa kami nantikan untuk dapat kami terbitkan dalam edisi berikutnya. Pekalongan, 30 Desember 2022 Editor In Chief iv Volume 03 Nomor 02 Desember 2022 Print ISSN 2774-7980, E-ISSN xxxx-xxxx DAFTAR ISI The Concept of Justice in The Qur’an and Hadith (Study of Quraish Shihab’s Interpretation QS. An-Nisa: 135 on Youtube) ___ 91 Laily Liddini, Ade Surya Wilia Prabandani, Wardatun Nadhiroh The Romanticism of the Messenger of Allah in the Perspective of the Hadith of the History of Sayyidah 'Aisyah ra ___ 109 Arif Friyadi Friyadi Sounds in Fawasil Verses and Its Relation to Meaning: Phonetic Studies of the Qur'an in Q.S al-Buruj ___ 124 Raisya Miftakhul Rahma EASY STEPS TO SEARCH AND USE HADITH FOR THE GENERAL PUBLIC ___ 140 Muhammad Amin The Ethics of Protecting Environment Ibn Khaldun Perspective’s: Analysis of Exegesis Maqasidi's QS. al-A'raf Verse 56 ___ 163 Erika Aulia Fajar Wati, Hakam al-Ma'mun The Contribution of Contemporary Interpretation in the Modern Era: A Study of the Concept of Thought and Methodology of Interpretation ___ 175 Ahmad Ridho Syakiri Parenting in Surah Luqman verses 11-19 (Historical Study of Luqman alHakim’s Family) ___ 188 Salwa Nabila, Ahmad Nabil Amir v Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 The Concept of Justice in The Qur’an and Hadith (Study of Quraish Shihab’s Interpretation QS. An-Nisa: 135 on Youtube) Konsep Keadilan Dalam Qur’an dan Hadis (Studi Penafsiran Quraish Shihab Atas QS. An-Nisa: 135 di Youtube) Laily Liddini lailyliddini@uinsaizu.ac.id UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto Article History Submitted: 28/09/2022 Reviewed: 08/11/2022 Revised: 09/12/2022 Aproved: 18/12/2022 Available: 19/12/22 Ade Surya Wilia Prabandani ade.surya390@gmail.com UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto Wardatun Nadhiroh wns129@student.bham.ac.uk University of Birmingham, United Kingdom Abstract The emergence of Youtube is a sign of the presence of new media in interpreting the Qur'an. This article aims to analyze the interpretation of the Qur'an by M. Quraish Shihab, who uses YouTube as his medium, which was conveyed in the Ramadan talk show “Tafsir al-Misbah” on Metro TV, especially the episode of the interpretation of the Quran Surah al-Nisâ' verse 153. The purpose of the research seeks to find out the meaning of justice in QS. An-Nisa verse 135, and also an analysis of Quraish Shihab's interpretation of the command to uphold justice and testify in the verse. While this article is written using qualitative methods with analytical descriptive analysis. The results of this study indicate that the interpretation conveyed by M Quraish Shihab through Youtube has characteristics that focus on linguistic approaches presented in a thematic form, with the nuances of adab-ijtima'i, bi ra'yi, and discussion in generally and globally. This is what the writing contributes to fill in the gaps where the discussion of interpretation is usually concerned with the book of interpretation. According to him, justice is an order to uphold justice and be fair in witnessing with near perfection. Keywords: Justice, Interpretation of Quraish Shihab, QS. An-Nisa:135, YouTube. The Concept of Justice....(L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh ) | 91 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 URL: https://ejournal.iainpekalongan.ac.id/index.php/AQWAL/article/view/6145 DOI: https://doi.org/10.28918/aqwal.v3i2.6145 Abstrak Munculnya Youtube menjadi pertanda hadirnya media baru dalam menafsirkan Al-Qur’an. Artikel ini menganalisis penafsiran Al-Qur’an oleh M.Quraish Shihab yang jadi media yang dipakai itu YouTube, yang mana disampaikan dalam acara talkshow Ramadlan “Tafsir al-Misbah” di Metro TV, khususnya episode tafsir Quran Surah al-Nisâ’ ayat 153. Adapun tujuan riset berusaha untuk mengetahui makna keadilan dalam QS. An-Nisa ayat 135, dan juga analisis dari penafsiran penafsiran Quraish Shihab tentang perintah menegakkan keadilan dan bersaksi dalam ayat tersebut. Sedangkan artikel ini ditulis menggunakan metode kualitatif dengan analisa deskriptif analitis. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa penafsiran yang disampaikan M Quraish Shihab melalui Youtube memiliki karakter sendiri yang fokus kajiannya pada pendekatan bahasa yang disajikan dalam tema tertentu dan bercorak adab ijtima’i, bi ra’yi dan pembahasannya secara umum dan global. Hal inilah yang menjadi sumbangsih tulisan untuk mengisi celah yang biasanya pembahasan penafsiran selalu berkutat dengan kitab tafsir. Keadilan menurutnya sebagai perintah menegakkan keadilan dan bersikap adil dalam persaksian dengan mendekati kesempurnaan. Kata kunci: Keadilan, Penafsiran Quraish Shihab, QS. An-Nisa:135, YouTube. A. PENDAHULUAN Zaman modern sekarang ini dimudahkan mendapatkan berbagai informasi dari berbagai tempat yang tidak bisa kita jangkau. Informasi tersebut seperti pengkajian-pengkajian al-Qur’an atau kajian yang lainnya, dan informasi-informasi umum lainnya dari media yang lainnya. Youtube dicetuskan bulan Februari 2005 oleh tiga orang mantan karyawan PayPal, yaitu Chad Hurley, Steve Chen dan Jawed Karim. Kebanyakan YouTube berisi video klip film, TV, serta video yang diunggah oleh penggunanya sendiri (Faiqah, Nadjib, dan Amir 2016). Youtube merupakan media online menggunakan internet untuk mengaksesnya, Youtube sudah masyhur dikalangan generasi milenial karena kemudahan untuk mengakses semua yang diinginkan. Youtube menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan informasi semua lapisan masyarakat (Rohman dan Husna 2017). Youtuber banyak berjasa dalam pembuatan konten-konten video YouTube sehingga kita bisa menikmati vidio-vidio yang unik, menghibur, dan berpendidikan, bahkan penafsiran 92 | The Concept of Justice.... (L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies al-Qur’an pun ada di dalamnya. Peran lisan mampu menghasilkan perfoma verbal yang kuat dan indah dan mempunyai nilai artisti yang menguasai kesadaran manusia untuk mudah mempengaruhi audiens. Perkembangan kajian tafsir semakin pesat, oleh karena itu selain memperhatikan sisi metodologis, juga perlu memperhatikan perkembangan media tafsir sebab proses penyampaiannya berkaitan dengan proses mediasi. Tafsir bermula dari media yang satu kepada media lain yang terbaru yang paling efektif di zamannya. Maka hasil tafsir selalu hadir mengikuti media yang terbaru. Adapun media baru yang terkenal adalah Youtube. Pertemuan yang terjadi antara tafsir dengan teknologi di masa sekarang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Salah satunya Penafsiran yang ada didalam YouTube adalah penafsiran Quraish Shihab. Beliau juga disebut-sebut juga sebagai ulama Indonesia yang pertama memiliki spesialis kajian tafsir Qur’an. Kajian-kajian Quraish Shihab tidak hanya bersifat offline, media online telah banyak menanyangkannya. Salah satu media yang getol dan menjadi pusatnya adalah metro-tv dengan kajian al-Misbah. Kajian ini merupakan kajian yang selalu tayang Ketika musim Ramadhan. Bahkan, program ini sudah beberapa kali mendapatkan penghargaan sebagai program Ramadhan terbaik. (Winata 2021). Salah satu contoh penafsiran beliau adalah tentang keadilan dalam QS. An-Nisa ayat 135. Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut menunjukkan penegasan untuk menegakkan keadilan dengan sesempurna mungkin. Salah satu indikatornya adalah pemakaian redaksi qawwâm, bukan qum atau hanya adil belaka (M Quraish 2008). Di dalam Artikel ini penulis ingin mengulas tentang suatu penafsiran di YouTube untuk di jadikan objek kajian. Pertama, metode penafsiran Al-Qur’an di Youtube mempunyai banyak ciri khusus yang ditampilkan. Kedua, Tafsir yang ada di youtube merupakan keberlanjutan dari aktifitas penyampaian kandungan al-Qur’an yang sudah menjadi tradisi turun temurun dalam Islam. Ketiga, M. Quraish Shihab merupakan seorang mufasir kenamaan, yang mana keilmuannya tidak diragukan lagi. Penafsiran Quraish Shihab An-Nisa 135 di Youtube sangat menarik dikaji sebab sudah dilihat 6.8 ribu kali, dibandingkan dengan penafsiran lainnya yang membahas tentang penafsiran Q.S An-Nisa 135. Konsep atau teori keadilan banyak didiskusikan dalam perhelatan umat manusia, Ayat keadilan menarik dikaji karena sering ditemukan ketimpangan sosial yang disebabkan kurang bisa menegakkan keadilan. Beberapa tulisan tentang keadilan diantaranya; Pertama: Zufi Imran dengan judul “Pandangan Quraisy Shihab Tentang Konsep Adil Dalam Pratik Poligami”. Tulisan ini menjelaskan keadilan yang menyangkut anak yatim, bukan keadilan terhadap istri-istri mereka (Imran 2017). The Concept of Justice.... (L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh) | 93 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 Kedua: Winarto dengan judul “Term-Term Keadilan Dalam Perspektif AlQur’an”, dalam tulisan ini keadilan merupakan syarat untuk mencipktakan kesempurnaan pribadi, dan sebagai standar kesejahteraan masyarakat serta otomatis menjadi jalan yang dapat dilalui menuju kebahagiaan akhirat (Winarto 2017). Ketiga: Alwi Hs dkk, dengan judul “Keadilan Berpoligami: Tinjauan Kritis Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap QS. Al-Nisa/4:3”, dalam tulisan ini menurut M. Quraish Shihab poligami merupakan solusi yang sangat darurat untuk membangun rumahtangga baru, bukan sebagai modal atau dalih untuk memenuhi keinginan hasrat seksual semata. Adil ini harus terpenuhi oleh laki-laki jika hendak berpoligami.(alwi, hs, Parhani, dan Fahruddin 2020) Adapun kajian tentang tafsir Youtube antara lain; Pertama: Nafisatuzzahro dengan judul “Transformasi Tafsir Al-Qur’an di Era Media Baru: Berbagai Bentuk Tafsir Al-Qur’an Audiovisual di Youtube”. Tulisan ini menjelaskan bagaimana Youtube mampu menjadi pioner dalam membentuk tafsir baru, yaitu tafsir audiovisual, yang mana keberadaannya melahirkan pada terbentuknya klasifikasi baru dalam tafsir.(Zahra 2018) Kedua: Moh. Azwar Hairul yang berjudul “Tafsir AlQur’an di Youtube (Telaah Penafsiran Nouman Ali Khan di Channel Bayyinah Institute dan Quran Weekly)”.Tulisan ini membahas penafsiran yang memiliki karakteristik khusus pada pendekatan linguistik yang dipaparkan dalam bentuk tafsir dengan tema-tema tertentu dan bernuansa adab ijtima’i (Hairul 2019). Ketiga: Ahmad Rifai dengan judul “Tafsir Web: Digitalization of Qur’anic Interpretation and Democratization of Religious Sources in Indonesia”, tulisan ini membahas tentang kehadiran internet menjadi tanda lahirnya media baru dalam menafsirkan Al-Qur’an.(Rifai 2020) Keempat: Sofiyatus Soleha dengan judul “Citra Perempuan Salihah Dalam Akun Youtube Yufid.TV: Al-Qur’an, Hadis, Kontruksi, dan relevansi”, tulisan ini membahas bahwa pemahaman Yufid.TV dalam menginterpretasikan QS. An-Nisa:34 yang condong tekstualis dan tampak lalai terhadap kondisi sosial masyarakat yang ada di sekitarnya.(Soleha, Miski 2022) Adapun tujuan riset ini yaitu berusaha untuk bisa menemukan jawaban dari permasalahan diatas, yakni untuk mengetahui makna keadilan dalam QS. An-Nisa ayat 135, dan juga analisis dari penafsiran ayat tersebut. Yakni tentang penafsiran Quraish Shihab tentang perintah menegakkan keadilan dan bersaksi. Intinya dalam penelitian ini yaitu untuk menunjukkan bahwa Allah Swt., telah memerintahkan umat manusia dan umat islam khususnya Berbuat adil adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Allah Yang Maha Adil kepada seluruh umat manusia. Allah Yang Maha Adil memerintahkan berbuat adil dalam ayatayat-Nya. Al-Quran merupakan kitab utama umat Islam dalam mencari 94 | The Concept of Justice.... (L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies petunjuk-petunjuk dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan hidup. Permasalahan hidup umat misalnya seperti dalam menyelesaikan suatu kasus antara dua belah pihak yang berselisih. Dalam perselisiahan tersebut misalnya masalah keluarga, sering kali dalam urusan rumah tangga terjadi perselisihan, seperti permasalahan suami istri yang biasanya terjadi permasalahan kecil atau besar bisa menyebabkan alasan mereka bercerai. Maka untuk menyelesaikan masalah tersebut perlu adanya musyawarah antara kedua belah pihak. Dan dalam musyawarah tersebut perlu adanya saksi. Saksi yang baik adalah saksi yang termaktub dalam Al-Quran, yang telah Allah, jelaskan dalam QS. An-Nisa ayat 135. Sehingga timbul pertanyaan bagaimana saksi yang baik yang dimaksud Allah Swt., dalam ayat tersebut?”. Untuk menyingkap permasalahan tersebut penelitian ini dilaksanakan memakai metode kualitatif, yakni penulis mencoba riset dengan mengumpulkan data-data tertulis dan data vidio yang menjadi sumber utama dalam penelitian ini. Sedangkan untuk meneliti penafsiran beliau dalam youtube tersebut diatas, penulis menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu dengan mendeskripsikan tema yang diteliti dengan data-data terkait dengan tema.(Siti 2016) Yang mana dalam penelitian ini merupakan jenis riset pustaka, riset ini mengambil dari data-data yang sudah dipublikasikan yang terkait dengan tema ini.(Agus 2012) Dalam riset ini dari permasalahan dan metode diatas yakni setidaknya akan menyingkap sedikit tujuan yang hendak dibahas dalam artikel ini yakni akan membahas tujuan yaitu dalam riset ini akan membahas tentang memberlakukan sikap adil dan bersaksi secara adil, agar terealisasi dalam kehidupan. Dan juga untuk mengetahui bagaimana karakteristik dari penafsiran beliau Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat tersebut. Disamping itu juga diselipi dengan biografi Quraish Shihab dan juga karya-karya berupa buku-buku beliau. B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Keadilan Keadilan merupakan kata yang sudah masyhur dikalangan muslim, terkadang adil itu ada dalam urusan pemerintahan maupun lainnya. Berbeda dengan Quraish Shihab, Bazith melihat bahwa ayat tersebut lebih kepada persoalan hukum, yakni persaksian harus ditegakkan dan tanpa tendensi. Sedangkan Zamakhsari (467-538 H) menegaskan bahwa konsep keadilan tuntutan bersikap sesuai dengan hak dan kewajiban, memberikan imbalan berdasarkan apa yang dilakukan manusia terhadap sesamanya (Lestari 2014). Keadilan merupakan sifat terpenting yang harus dimiliki seseorang dalam setiap keadaan dan tempat. Seperti The Concept of Justice.... (L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh) | 95 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 yang dikatakan oleh Abu Hasan Al-Mawardi bahwasannya syarat sebagai pemimpin itu ada tujuh macam, salah satunya yaitu harus adil. Keadilan merupakan kata yang sudah masyhur dikalangan muslim, terkadang adil itu ada dalam urusan pemerintahan maupun lainnya. Berbeda dengan Quraish Shihab, Bazith melihat bahwa ayat tersebut lebih kepada persoalan hukum, yakni persaksian harus ditegakkan dan tanpa tendensi. Sedangkan Zamakhsari (467-538 H) menegaskan bahwa konsep keadilan tuntutan bersikap sesuai dengan hak dan kewajiban, memberikan imbalan berdasarkan apa yang dilakukan manusia terhadap sesamanya (Lestari 2014). Keadilan merupakan sifat terpenting yang harus dimiliki seseorang dalam setiap keadaan dan tempat. Seperti yang dikatakan oleh Abu Hasan Al-Mawardi bahwasannya syarat sebagai pemimpin itu ada tujuh macam, salah satunya yaitu harus adil. Banyak pengertian tentang keadilan dan (qist). Sebagian ulama seperti Imam Ibn Katsir menyamakan dua kata itu dan sebagian ulama seperti imam Al-Alusi membedakan diantara keduanya, ia berpendapat bahwa Qisti itu lebih umum dari adil. Menurut Imam Ghazali, keadilan merupakan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Menurut Ibn ‘Asyur, keadilan adalah meletakkan kemaslahatan dengan keridhoan dan memenuhi hak secara penuh dan tidak merugian diantara kedua belah pihak. Kata adil secara bahasa artinya seimbang dalam segala hal, atau ungkapan dari sesuatu yang berada di tengah-tengah antara melampaui batas, dan kebalikan dari adil itu adalah berbuat dzalim atau meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, atau bertindak kesewenganwenangan. Adapun keadilan secara istilah yaitu menghilangkan persamaan dalam pemberian hak. Adil yaitu bersikap tengah-tengah tanpa suatu tekanan dari luar yang mana menjadikan seseorang berbuat hak atau benar, dengan meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Menurut imam Ar-razi, keadilan yaitu dalam segala sesuatunya itu tidak bertambah apapun dan tidak berkurang apapun. Jadi seorang yang adil adalah yang dapat berjalan lurus dan sikapnya tidak condong sebelah memakai ukuran yang sama tidak berat kekanan atau kekiri. Persamaan itu yang dijadikan patokan oleh seseorang yang adil tidak berpihak kepada yang salah. Istilah yang merujuk arti keadilan yaitu al-‘adl (‫)العدل‬, al-qisth (‫)القسط‬, al-mizan (‫)الميزان‬. lafadz “al-qisth” berasal dari kata dasar yang terdiri dari huruf-huruf qaf, sin dan tha, yang berarti adil, yang kemudian dari arti ini lahir makna bagian. Kata “al-qist” lebih umum dari pada kata al-‘adl, ketika al-Qur’an menuntut seseorang berbuat adil terhadap dirinya sendiri, maka kata “al-qist” itulah yang dipakai. Sedangkan kata “almizan” itu akar kata “wazn” yang berarti timbangan, maka mizan merupakan alat yang berguna untuk menimbang, dan dapat juga 96 | The Concept of Justice.... (L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies diartikan sebagai keadilan, karena bahasa seringkali menyebutnya sebagai hasil dari penggunaan alat itu. Makna keadilan yang dikemukakan dalam al-Qur’an, diantaranya; Pertama: adil dalam arti sama, kedua; adil dalam arti seimbang, ketiga: adil dalam arti perhatian terhadap hak2 individu dan memberikan hakhak itu kepada setiap pemiliknya atau menempatkan sesuatu pada tempatnya atau lawan dari “kedzaliman” dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak orang lain. Kehadiran para Rasul bertujuan untuk menegakkan keadilan diantara sesama manusia, keempat: adil yang dinisbahkan kepada Ilahi, yang berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi. Makna keadilan menurut Sayyid Quthub adalah sebagai persamaan yang merupakan asas kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang, bersifat terbuka, tidak khusus, untuk golongan tertentu, baik yang menetapkan keadilan itu seorang muslim bagi orang non muslim. Islam merupakan agama yang cinta damai dan tidak suka akan dendam, sampai ketika dalam suatu kaum terdapat pembunuhan maka disuruh untuk mendamaikan keduanya. Aturan dalam kehidupan manusia bisa ditegakkan jika saling tolong menolong dan ketertiban ini dijalankan sesuai aturan Allah dalam setiap syari’atnya. Pada hakikatnya diharuskan untuk menjaga kemaslahatan bersama. Prinsip-prinsip keadilan dalam al-Qur’an antara lain: Pertama, amanah (‫)األمانة‬. Perintah berlaku adil kepada sesama manusia merupakan amanat dari Allah. Dalam sebuah hadis dikatakan, “sesungguhnya Allah bersama seorang hakim selama ia tidak curang. Apabila ia curang, maka perkara hukum itu diserahkan kepada DzatNya”. Kedua, bersaksi karena Allah (‫)شهداء لل‬, sebagai seorang saksi karena Allah, hendaknya memberikan kesaksian dengan sahih dan tidak menyimpang walaupun dampak pahitnya kembali pada dirinya sendiri, dalam lanjutan ayat itu “‫ ”ولو علي أنفسكم‬artinya walaupun terhadap dirimu sendiri, maksudnya yaitu buktikanlah kebenaran itu walaupun dampak negatifnya kembali kepada dirimu karena Allah akan memberi jalan keluar dari setiap kesulitan bagi orang yang menaati perintah-Nya. Ketiga, menegakkan kebenaran (‫)كونوا قوامين‬, hendaknya jangan berlaku tidak adil karena suatu kebencian. Jangan menjadi saksi dalam sesuatu yang tidak adil, dan jangan karena terdorong oleh rasa kebencian dan permusuhan sehingga berlaku tidak adil. Tetaplah berlaku adil, karena lebih dekat dengan takwa. Dengan bertaqwa selalu kepada Allah dalam semua amal perbuatan, sungguh Allah mengetahui sedalam-dalamnya segala amal perbuatan baik akan dibalas dengan baik dan yang berbuat jahat juga akan menerima akibat dari kejahatannya. Seseorang akan menanggung dari amalan baik dan The Concept of Justice.... (L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh) | 97 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 buruknya, baik didunia maupun di akhirat kelak. Dalam konteks permusuhan dan kebencian, yang lebih awal diingatkan adalah keharusan melaksanakan sesuatu karena Allah, karena akan mendorong meninggalkan permusuhan dan kebencian. Bersikap adil akan lebih dekat dengan takwa, karena merupakan kata yang menjadi substansi ajaran Islam. Adil adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan tempat dan takarannya. Dengan berlaku adil, berarti Anda dapat mencurahkan kasih kepadanya, jika seseorang melakukan pelanggaran dan wajar mendapat sanksi berat, maka ketika itu kasih tidak boleh berperan karean menghambat jatuhnya ketetapan hukum atasnya. Maka karena yang dituntut adalah adil, yakni menjatuhkan hukum yang setimpal. (Shihab 2002) Keempat, sempurnakan (‫)أوفوا‬, keadilan seharusnya menjadikan kedua belah pihak senang dan rela. Meurut Ibn ‘Asyur, kita dituntut untuk memenuhi secara sempurna timbangan dan takaran, sehingga yang perlu diperhatikan tidak sekedar upaya tidak mengurangi, tetapi pada penyempurnaannya, apalagi ketika alat ukur itu masih sangat sederhana. Kata qist mengandung rasa senang kedua pihak yang bertransaksi, qist bukan hanya adil, tetapi menjadikan kedua belah pihak senang dan rela. Rimbangan dan takaran harus menyenangkan kedua belah pihak. 2. Biografi Quraish Shihab Beliau juga disebut-sebut juga sebagai ulama Indonesia yang pertama memiliki spesialis kajian Tafsir Qur’an. Oleh karena itu penafsirannya terhadap ayat al-Qur’an tidak perlu diragukan lagi. Karena mengikuti perekembangan zaman banyak sekali tafsir-tafsir beliau yang bermunculan di banyak media, media televisi, media YouTube dan media yang lainnya. Terutama dalam media YouTube sudah banyak dari penafsiran-penafsiran beliau yang dapat ditemukan didalam YouTube. Nama lengkap Quraish Shihab yaitu Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rappang pada 16 Februari 1944, Sulawesi Selatan. Beliau merupakan anak ke 4 dari 12 bersaudara, yakni Nur, Ali, Umar, Wardah, Alwi, Nina, Sida, Abdul Mutalib, Salwa, Ulfa dan Latifah. Beliau merupakan keturunan dari keluarga yang terpelajar. Ayah bernama Abdurrahman Shihab, ayahnya merupakan seorang ulama dan bahkan guru besar dalam bidang tafsir (Ahmad 2010a). Pada usia 6 tahun, ia mulai mempelajari Al-Quran, yang mana ia langsung diajar oleh ayahnya sendiri (Afrizal 2012a). Pada tahun 1958, beliau meneruskan menuntut ilmunya di Cairo alAzhar, yang sebelumnya ia telah menempuh pendidikannya di Pesantren Darul Hadis al Faqihiyah selama 2 tahun. Setelah ia menyelesaikan sekolah tingkat Itidaiyah Al Azhar, kemudian meneruskan studinya di 98 | The Concept of Justice.... (L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Universitas Al Azhar jurusan Tafsir dan Hadis, Fakultas Ushuluddin. Hingga pada tahun 1967 ia mendapatkan gelar Lc. Tahun 1969, akhirnya beliau menyandang gelar M.A (Ahmad 2010b). Ketika di Mesir, belajar bersama ulama-ulama agung seperti Syaikh Abdul Halim Mahmud, ia merupakan dosen Quraish pada masa itu yang memiliki pengaruh besar dalam proses menuntut ilmu.(Afrizal 2012b) Kemudian setelah mendapat ijazah Masternya, beliau kembali ke Indonesia. Ia lalu mengabdikan dirinya untuk berkhidmat untuk masyarakat, membangun rumah tangga, dan memiliki anak-anak. Beliau mempunyai istri yang namanya Fatmawati, dan mereka dikaruniai lima orang anak yang bernama Najeela, Najwa, Nasyawa, Nahla, dan Ahmad. Kemudian pada tahun 1973-1980, beliau menjabat sebagai warek dalam bidang Akademik dan Kemahasiswaan di IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Disamping itu beliau juga banyak melakukan penelitian, seperti penelitian Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur, dan penyelidikan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (Afrizal 2012b). Sedangkan tahun 1980, ia kembali belajar di Al-Azhar Cairo, dan mengambil pendalaman jurusan dalam studi Tafsir. Ia menyelesaikan disertasinya dan mendapat gelar doktor hanya dengan waktu 2 tahun. Beliau memiliki karir mengajar di IAIN Makasar dan juga di Jakarta, beliau sempat menduduki jabatan tertinggi di IAIN Jakarta. Di Jakarta, menduduki sejumlah jabatan, diantara jabatan tersebut yaitu sebagai Ketua MUI Pusat sejak 1984, dan sebagai anggota Lajnah Pentashhih alQur'an Departemen Agama sejak 1989. Ia juga ikut beberapa organisasi yang tidak biasa bahkan bisa dikatakan organisasi bertaraf profesional, salah satu oraganisasinya yaitu Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI). Tidak hanya itu ia juga melakukan aktivitas lainnya yakni sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Ulumul Qur'an, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat.(Afrizal 2012b) Begitulah biografi yang beliau, yang sungguh sangat luar biasa perjalanan hidup beliau. Mulai dari jenjang sekolah hingga menjadi seorang yang sangat berperan dalam perkembangan ilmu di Indonesia. Semangat beliau dalam menuntut ilmu sehingga menjadi seorang ulama tafsir sekarang ini merupakan panutan yang perlu ditiru oleh generasi masa kini dan masa depan. Beliau suka sekali menulis, sehingga bisa dibilang hobi beliau ya itu menulis, beliau pastinya banyak sekali menciptakan karya-karya tulis baik itu tentang al-Qur'an ataupun tentang yang lainnya, beliau memiliki banyak karya ilmiah baik itu berupa buku, artikel, ataupun kumpulan artikel yang menjadi buku. Karya-karya beliau banyak bertemakan kehidupan dan keagamaan, The Concept of Justice.... (L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh) | 99 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 tetapi yang terbanyak dari karya beliau berupa karya dalam bidang tafsir al-Qur'an. Diantara karyanya yang berbentuk buku yakni berjudul: Filisafat Hukum Islam, diterbitkan di Jakarta oleh Depag dicetak pada tahun 1987; Pandanagn Islam Tentang Perkawinan Usia Muda, dicetak pada tahun 1990; Tafsir Al-Amanah, diterbitkan di Jakarta, yang menerbitkan Pustaka Kartini pada tahun 1992; Al-Qur‟an & Maknanya; Yang Hilang dari Kita: Akhlak di terbitkan di kota Tangerang olehLentera Hati pada tahun 2016, merupakan cetakan pertama. (123dok.com) Itulah karya-karya beliau yang berupa buku, adapun buku yang sangat terkenal di dunia pendidikan yakni buku beliau yang berjudul "Tafsir al-Misbah" merupakan sebuah karya tafsir al-Qur'an. Kitab tafsir tersebut merupakan sebagai rujukan oleh sarjana-sarjana muslim di Indonesia dalam memahami isi atau makna dari pesan-pesan dalam ayat-ayat al-Qur'an. Namun semua karya-karya beliau memiliki keistimewaan masing-masing, tinggal pilih mana yang sesuai dengan realitas pembaca untuk menjadi pribadi sesuai tuntunan dari Allah Swt. 3. Penafsiran M Quraish Shihab dalam QS. An-Nisa ayat 135 di Youtube QS. An-Nisa ayat 135 ِ ِ ِِ ۤ ِ ِ ِ ِ ‫ا‬ ‫ْي ۚ اِ ْن يَّ ُك ْن َغنِيًّا اَْو فَِق ْ ًْيا‬ َ ْ ِ‫ْي ِِبلْق ْسط ُش َه َداءَ ٰٓلِل َولَ ْو َع ٓلى اَنْ ُفس ُك ْم اَ ِو الْ َوال َديْ ِن َو ْاْلَقْ َرب‬ َ ْ ‫ٓاٰيَيُّ َها الَّذيْ َن آ َمنُ ْوا ُك ْونُ ْوا قَ َّوام‬ ِ ‫الِل اَو ٰٓل ِبِِم ۗا فَ ََل تَتَّبِعوا ا ْْل ٓاوى اَ ْن تَع ِدلُوا ۚ واِ ْن تَ ْلوٗ آا اَو تُع ِر‬ ‫الِلَ َكا َن ِِبَا تَ ْع َملُ ْو َن َخبِ ْ ًْيا‬ ُ ْ ْ ٰٓ ‫ض ْوا فَا َّن‬ َ ُ َ ْ ْ َ ْ ُٰٓ َ‫ف‬ "Wahai orang-orang beriman, jadilah penegak-penegak keadilan, menjadi saksi-saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang. Dan jika kamu memutar-balikkan (kata-kata) atau berpaling, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan" (M Quraish 2000) (QS. An-Nisa ayat 135). QS. An-Nisa ayat 135 ini menekankan perlunya menegakkan keadilan bahkan hal tersebut merupakan suatu perintah dari Allah Swt., yang harus dilaksanakan, adil yang diajarkan Islam yaitu bukan hanya terhadap orang lain namun terhadap diri kita sendiri juga harus adil, ayat ini menggunakan redaksi qowāmīna bil-qisti. Misalnya gambaran bagaimana penekanan tentang keadilan? Misalnya saya memberi perintah orang lain untuk berlaku adil, dalam bahasa kata “yadilu” adilah, untuk bisa lebih menekankannya yakni dengan kata “kum bil adli” bangkitlah dengan keadilan, laksanakanlah keadilan. Orang yang bangkit melaksanakan keadilan itu dinamakan “qaim” orang yang berdiri tegak lurus melaksanakan keadilan, adapun lebih menekankan 100 | The Concept of Justice.... (L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies keadilan lagi “qawwam” dan ayat ini menggunakan redaksi “qawwam” artinya bangkitlah dengan sesempurna mungkin menegakkan keadilan. Jangan setengah-setengah. Menurut beliau makna adil itu pada mulanya ditengah, persis ditengah. Tidak dipengaruhi oleh apapun sehingga mengurahngi atau menambahi. jika posisinya kurang ditengah maka tidak adil. Jadi adil itu harus sempurna, jika posisinya lebih maka tidak adil juga. Jadi adil itu posisinya ditengah, tidak dipengaruhi apapun baik dikurangi atau melebihkan “‫”كونواقوامين بالقسط‬. Menegakkan keadilan tidak boleh setengah-setengah, artinya harus sempurna. Setelah itu ayatnya “‫ ”شهداء لل‬hendaklah kamu menjadi saksi karena Allah. Mengapa ayat ini mendahulukan perintah untuk adil dulu baru untuk bersaksi, artinya jangan jadi saksi kalau tidak adil, adil dulu baru saksi, kalau tidak maka kesaksiannya akan bisa bohong. “ ‫ولو علي‬ ‫ ”أنفسكم أو الولدين واألقربين‬menurutnya alaupun untuk kepentingan sendiri juga harus adil, atau orang tua dan kerabatmu sehingga kamu membela orangtua dan kerabat sehingga kamu tidak berlaku adil. "‫ "إن يكن غنيا أوفقيرا فالل أولي بهما‬menurutnya jika ia kaya atau miskin maka Allah lebih utama dari keduanya, maksudnya boleh jadi dia kaya sehingga kamu menjadi saksi dengan harapan memperoleh kekayaan itu. Boleh jadi dia miskin sehingga kamu kasihani dia, boleh jadi dia kuat sehingga kamu takut kepadanya, boleh jadi dia lemah sehingga kamu remehkan dia, kalua sia kaya atau miskin, maka Allah lebih utama, atau kebenaran itu lebih utama. Allah lebih tahu kemaslahatan orang, jangan mempertimbangkan sesuatu diluar yang kamu saksikan, artinya jangan ada factor eksternal yang membuat kesaksian yang tidak semestinya. “‫ ”فال تتبعواالهواء أن تعدلوا‬jangan ikuti hawa nafsu sehingga melenceng dari keadilan, “‫ ”وإن تلووا أو تعرضوا فإن هللا كان بما تعملون خبيرا‬jangan putarbalikkan fakta, atau berpaling dari kebenaran, maka Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dikatakan beliau bahwa janganlah pernah mempertimbangkan sesuatu didalam penegakan keadilan atau didalam kesaksian diluar dari faktor yang kamu saksikan, ditekankan bahwa jangan ada faktor ekstern yang kamu pertimbangkan. Diriwayatkan dari Ibnu Jarir dari Suday berkata: ayat ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW karena ada dua orang laki-laki yang saling bermusuhan, si kaya dan si faqir. Melihat bahwasannya si faqir tidak mendzolimi si kaya, maka Allah SWT memerintahkan untuk berlaku adil untuk orang kaya dan orang miskin.(Suyuthi, 2003) Imam Qatadah mengatakan bahwasannya ayat ini pada kesaksian, maka tegakkanlah kesaksian walaupun untuk dirimu sendiri, atau kepada orahtua serta kepada saudara dekat, karena kesaksian itu untuk Allah bukan untuk manusia. Sesungguhnya Allah itu Ridha kepada orang The Concept of Justice.... (L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh) | 101 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 yang berbuat adil. Dan adil merupakan timbangan Allah SWT didunia, dan dengannya akan terlihat yang kuat dari yang lemah, terlihat yang pembohong dan yang jujur, dan dengan keadilan akan membenarkan orang yang benar dan menetapkan pembohong bagi orang yang bohong, dan dengan keadilan akan memberikan banyak kemaslahatan bagi manusia. Orang yang bangkit melaksanakan keadilan itu dinamai qooim berdiri tegak, lurus melaksanakan. Beliau Quraish Shihab lebih menekankan lagi dengan menamainya qowwam. Jadi ada 3 tingkat yaitu adil, qoim, dan qowwam. Ayat ini memilih kata qowwaam yang artinya bangkitlah dengan sesempurna mungkin menegakkan keadilan, jangan setengah-setengah! Karena jika kurang dari porsinya maka itu tidak adil. 4. Karakteristik dan Metode Penafsiran Quraish Shihab Pemaparan tulisan di atas, penulis berasumsi bahwa beliau dalam melakukan penafsiran tersebut menggunakan metode ijmali. Hal itu dikarenakan dalam penafsirannya beliau menjelaskan secara umum tidak terlalu terperinci, juga tidak menggunakan dalil-dalil yang lain, yang dijelaskan beliau hanya berupa pesan inti atau pokok dari ayat yang ditafsirkan dan penjelasannya tidak bertele-tele, beliau langsung menjelaskan pada inti maksud ayat tersebut secara global.(Abdul 2022 ; Suyuthi 2003). Dalam menafsirkan beliau cenderung menggunakan akal nalar rasional (bi al-rayi), yaitu dengan menganalogikan atau perumpamaan bahwa adil itu posisisnya ditengah. Dalam pembahasannya tentang keadilan, beliau beberapa kali menafsirkan ayat tersebut dengan melontarkan sebuah pertanyaan, kemudian beliau menjawab dengan permisalan atau perumpamaan sehingga penjelasannya sangat mudah di pahami. Akan tetapi dalam beberapa penjelasannya beliau tidak melontarkan pertanyaan dan tidak menggunakan perumpamaan atau permisalan, sebab tanpa adanya hal tersebut penjelasan dari potongan ayat diatas yang dijelaskan oleh beliau sudah bisa dipahami. Penjelasan beliau dalam menafsirkan ayat tersebut yakni singkat, padat, dan jelas, dan mengena. Sehingga dalam menafsirkan 1 ayat tersebut, terpaparkan secara detail tanpa ada yang terlewat dalam bahasan keadilan tersebut. Dalam menafsirkan ayat tersebut, beliau membagi potonganpotongan ayat tersebut perkalimat lalu dijelaskan secara urut. Sehingga dalam menafsirkan ayat tersebut begitu sistematis. Begitu juga seperti apa yang di tafsirkan dalam buku tafsir beliau yang berjudul Tafsir AlMishbah “Kesan, Psan, dan Keserasian Al-Quran. Penjelasan penafsiran beliau dalam vidio youtube dan dalam buku tafsir beliau sama sistematikanya, meskipun dalam penjelasan dalam vidio tersebut beliau tidak menerangkan serinci seperti dalam bukunya. 102 | The Concept of Justice.... (L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Dalam bukunya bahkan beliau menjelaskan hingga asbabunuzul turunnya ayat tersebut, bahwa ayat tersebut turun bertepatan dengan peristiwa atau kasus yang dialami Nabi Muhammad Saw. Ketika ada dua orang, yakni yang satu seorang yang kaya dan yang lainnya miskin, dimana hati Nabi Saw., lebih condong membela orang miskin, dikarenakan iba terhadap kemiskinannya.(M Quraish 2000) Itulah yang dikemukakan Ibnu Jarir Ath-Thabari tentang sebab turunnya ayat tersebut. Bahkan beliau dalam bukunya mengutip pendapat Fakhruddin ar Razi tentang mendahulukan keadilan yang harus dimiliki seseorang sebelum menjadi seorang saksi. 5. Keadilan Menurut ulama Asbabun nuzul dari ayat tersebut yaitu; Ibn Abi Hatim dari Ibn ‘Abbas berkata: ayat ini diturunkan pada suatu peristiwa, ketika ada dua orang lelaki, yang mana masing-masing ada orang yang melarat dan satu berasal dari orang kaya. Awalnya Nabi SAW berpihak membela kepada yang melarat, karena Nabi berpendapat, orang yang melarat tidak mungkin untuk berbuat dzalim kepada orang kaya. Kemudian Allah menurunkan ayat ini, dengan tujuan bertindak adil atas orang kaya dan miskin.(Suyuthi 2003) Ayat diatas sebagai amanat untuk menegakkan keadilan disemua tempat dan keadaan serta kepada seluruh manusia baik orang mukmin maupun kafir, teman atau musuh, kaya atau miskin menurut memiliki hak yang sama dihadapan Allah untuk mendapatkan keadilan. Dan menegakkannya bukan karena kebaikan seseorang, tetapi berusaha melepaskan diri dari semua kecenderungan, hawa nafsu, kemaslahatan dan penghormatan, tetapi semata-mata karena Allah. Uslub Qur’an selalu menyerukan kepada hal-hal yang diperintahkan dan menjauhi dari apa yang dilarangnya, mengharapkan pahala dan takut akan siksa. Terkadang perrintah untuk berbuat adil dan mewajibkan untuk selalu mempraktekkan pada tiap anak kecil maupun besar di semua lini kehidupan. Pujian bagi orang yang menegakkan, dan pemberian pahala yang yang besar bagi yang menegakkan dalam segala keadaan dan harta. Allah SWT akan memberikan pahala yang berlipat bagi yang taat kepada Allah bukan sebaliknya. Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahsawannya tidak membebankan suatu syari’at kepada seorang hambanya diatas kemampuan hambanya, oleh karena itu kuatkan kemampuan semaksimal mungkin dan semangat untuk mewujudkan keadilan itu sendiri. Allah suka memudahkan dan tidak suka menyusahkan. Allah tidak akan memberikan siksaan kepada seseorang kecuali karena dosanya. Siksa yang Allah turunkan kepada hambanya bukanlah disebabkan karena dosanya semata, akan tetapi lebih dari itu ada The Concept of Justice.... (L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh) | 103 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 kelembutan yang agung dan hikmah yang tersembunyi, keutamaan dan kasih sayangnya, Allah memberikan siksa segera dengan kekurangan, kesusahan, ketakutan dan seluruh musibah lainnya untuk melembutkan hati, dan berhati-hati dalam kelalaian dan kesesatan, mulai berfikir apa yang telah terjadi yang menyebabkan siksaan terjadi ini sebab kekeliruan kesesatan mereka. “‫”يأيهاالذين أمنواكونواقوامين بالقسط‬, ayat ini diturunkan sebagai peringatan kepada hamba yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, berperilaku seperti yang dilakukan oleh Rasulullah, hendaknya akhlak sifatnya dengan menegakkan keadilan. Artinya berperilakulah dengan adil ketika bersaksi.(Qurthubi 1994) Menurut Ibn Jarir, Ibn Mundzir, Ibn Abi Hatim, dan imam Baihaqi dalam Sunannnya dari Ibn ‘Abbas,(Suyuthi 2003) mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada orang mukmin untuk berkata benar walaupun kepada dirinya sendiri atau kepada orang tuanya atau kepada anak-anaknya, tidak menyayangi kepada yang kaya karena kekayaannya, dan juga tidak mengasihi kepada yang miskin karena kemiskinannya. Diriwayatkan dari Ibn Mundzir dari jalan Ibn Juraij dari budaknya Ibn ‘Abbas (Suyuthi 2003) berkata: ketika Nabi SAW datang ke Madinah, ayat yang pertama kali turun itu surat Al-Baqarah, kemudian disusul dengan surat An-Nisa. Ketika ada seorang laki-laki ketika bersaksi untuk anaknya atau untuk kerabatnya, maka diputar balikkan lisannya atau menyembunyikan kebenarannya, yang mana dalam menghukumi dengan melihat kekerabatan dalam mengambil keputusan atau mmenghukumi. Diriwayatkan juga dari Ibn Abi Syaibah, dan imam Ahmad dalam kitab “Zuhud”, dan Ibn Jarir, dan Ibn Mundzir, dan Ibn Abi Hatim, dan Abu Nu’aim dalam Kitab “al-Hilyah” dari Ibn ‘Abbas mengatakan: ada dua orang laki-laki sedang dukuk bersama dihadapan Hakim, maka saling memperebutkan dukungan hakim dan saling menolak diantara satu dengan yang lainnya. Lalu dikatakan “‫ ”شهداء لل‬hendaklah kamu juga menjadi saksi-saksi karena Allah. Sehingga timbul pertanyaan “kenapa ayat tersebut mendahulukan perintah untuk berlaku adil baru kemudian perintah untuk menjadi saksi?” Jangan menjadi saksi jika kamu tidak adil, maka yang didahulukan yaitu adil dahulu baru menjadi saksi. Karena jika kamu tidak adil lantas menjadi saksi, maka kesaksian kamu bisa jadi bohong.(Suyuthi 2003) “‫ ”ولوعلي أنفسكم‬walaupun terhadap dirimu, kamu juga harus berlaku adil, atau untuk kepentinganmu kamu juga harus adil. Kemudian “‫ ”أوالوالدين واألقربين‬atau kedua orang tuamu. Maka tegakkanlah janji dan keadilan, tegakkanlah sesuai dengan semestinya dengan berkata benar, tidak condong membela yang kaya karena kekayaannya atas si miskin, dan tidak condong kepada si miskin karena kemiskinannya atas si kaya, 104 | The Concept of Justice.... (L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies maka berlakulah dengan seimbang. Maka ingatlah bahwa ada Allah selain diantara si Kaya dan Si Miskin. Melihat keduanya tidak berat sebelah, berperilaku seimbang melihat kemaslahatan diantara keduanya. Jangan bilang mereka orang tua saya, saya bela mereka sehingga saya tidak berlaku adil, ataupun kepada kerabat juga sama demikian. Kemudian “‫ ”إن يكن غنيا أو فقيرا فالل أولي بهما‬jika ia seorang yang kaya ataupun seorang itu orang yang miskin maka tetap Allah Swt., lebih utama dari keduanya. Maksudnya yaitu boleh jadi ia kaya sehingga kamu menjadi saksi dengan harapan kekayaannya kamu peroleh, boleh jadi ia miskin sehingga kamu kasihan terhadap dia, bisa jadi ia kuat sehingga kamu takut terhadapnya, dan bisa jadi ia lemah sehingga kamu meremehkannya. Jika ia sorang yang kaya ataupun seorang yang miskin maka Allah Swt., tetap yang lebih utama kamu dahulukan, artinya kebenaran lebih utama kamu dahulukan. Atau Allah lebih utama dari kamu, kamu kasihani dia, Allah lebih kasihani dan Allah lebih tau kemaslahatannya daripada kamu. Dikatakan beliau bahwa janganlah pernah mempertimbangkan sesuatu didalam penegakan keadilan atau didalam kesaksian diluar dari faktor yang kamu saksikan, ditekankan bahwa jangan ada faktor ekstern yang kamu pertimbangkan. Demikian, pemahaman tersebut membawa pra-syarat sebuah tindakan akan dapat dikatakan adil untuk diri sendiri, dari diri sendiri. Melihat hal itu, keadilan lebih dekat dengan makna ikhlas. “‫ ”فال تتبعوا الهوى أن تعدلوا‬maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu sehingga kamu melenceng dari keadilan, dengan mengedepankan kecondongan berpihak kepada siapa dalam kesaksian yang ditegakkan, kepada si kaya atas miskin, atau si miskin atas si kaya, atau kepada salahsatu diantara keduanya, dengan berkata dengan tidak benar akan tetapi menegakkan keadilan dan menunaikan kesaksian sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah untuk ditunaikan dengan sesuai. Maka hendaknya berpegang teguh dengan kebenaran dan selalu bersanding dengan kebenaran, tidak boleh menyembunyikan kebenaran dalam persaksian atau tidak boleh menolak kkebenaran. “‫”وإن تلووا أو تعرضوافإن هللا كان بما تعملون خبيرا‬, lafadz “‫ ”تلووا‬berarti mengganti dan lafadz “‫ ”تعرضوا‬berarti menolak, artinya jika kamu menggantikan kesaksian atau menyembunyikan kebenaran dengan memutar balikkan kata. Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Ibn ‘Abbas berkata: jika lisan memutarbalikkan tanpa sesuai hak, maka kesaksian itu tidak dapat ditegakkan, dan kesaksiannya itu ditolak. Biasanya seorang saksi itu mengungkapkan kalimat-kalimat yang tidak jelas, atau memutar balikkan kata-kata atau kalimat. Jika kamu memutar balikkan kata- The Concept of Justice.... (L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh) | 105 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 kata kamu atau berpaling dari kebenaran, maka ketahuilah Allah Swt., Maha Mengetahui atau Allah Swt., mengetahui apa yang kamu kerjakan. Ada konten Youtube lain yang membahas tentang keadilan, akan tetapi mereka tidak mempunyai karya tafsir yang terbukukan. Penafsiran dalam youtube lebih diminati dan difahami, karena pokok gagasannya lebih mudah ditangkap, dengan titik tekan intonasi yang berbeda. Hal itu karena mufasir itu sendiri yang jadi subjek dalam menjelaskan dan audien mendapatkan pengalaman berbeda dibandingkan dengan membaca kitabnya langsung. Penafsiran M. Quraish Shihab atas QS. An-Nisa: 135 tentang keadilan di Youtube lebih “menarik” dibandingkan dengan membaca kitab tafsirnya langsung. Beliau menafsirkan dengan sistematis, runtut, singkat, padat, jelas, dan mengena. Sehingga dalam menafsirkan 1 ayat tersebut, terpaparkan secara detail tanpa ada yang terlewat dalam bahasan keadilan dibandingkan dengan membaca kitab tafsirnya langsung. C. SIMPULAN Pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Konsep Keadilan Dalam Penafsiran Quraish Shihab Atas QS. An-Nisa: 135 di Youtube adalah lebih menekankannya dengan kata “kum bi al-adli”, bangkitlah dengan keadilan, laksanakanlah keadilan. Penafsiran dalam youtube lebih diminati dan difahami, karena pokok gagasannya lebih mudah ditangkap, dengan titik tekan intonasi yang berbeda. Adapun dalam penafsirannya menggunakan metode ijmâli dan bi al-ra’yî yang mana pembahasan penjelasannya dalam menafsirkan secara umum dan global. Disamping itu, beliau menggunakan perumpamaan atau analogi yang mudah dipahami sehingga dalam pemaparannya singkat, padat dan jelas yang mudah dipahami oleh orang yang awam. Quraish Shihab juga dalam menafsirkan satu ayat secara sistematis, sehingga poin-poin penting dalam ayat tersebut terpaparkan secara detail. DAFTAR BACAAN Abdul, Mustaqim. 2022. Metode Penelitian Al-Qur’an Dan Tafsir. Yogyakarta: IDEA Press Yogyakarta. Afrizal, M Nur. 2012a. “M. Quraish Shihab Dan Rasionalisasi Tafsir | Nur | Jurnal Ushuluddin.” 2012. http://ejournal.uinsuska.ac.id/index.php/ushuludin/article/view/696/647/. ———. 2012b. “M. Quraish Shihab Dan Rasionalisasi Tafsir | Nur | Jurnal Ushuluddin.” 2012. http://ejournal.uinsuska.ac.id/index.php/ushuludin/article/view/696/647/. Agus, Ramadlon Saputra. 2012. “KONSEP KEADILAN MENURUT ALQURAN DAN PARA FILOSOF | Saputra | Dialogia: Islamic Studies 106 | The Concept of Justice.... (L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies and Social Journal.” 2012. https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/dialogia/article/view /310/265. Ahmad, Syaiful Bahri. 2010a. “Kontekstualisasi Konsep Basyir Dan Nadzir Dalam Al—Quran (Studi Tematik Atas Penafsiran Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab Dalam Kitab Tafsir Al—Misbah) - Walisongo Repository.” 2010. http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/3494/. ———. 2010b. “Kontekstualisasi Konsep Basyir Dan Nadzir Dalam Al— Quran (Studi Tematik Atas Penafsiran Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab Dalam Kitab Tafsir Al—Misbah) - Walisongo Repository.” 2010. http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/3494/. Faiqah, Fatty, Muhammad Nadjib, and Andi Subhan Amir. 2016. “YOUTUBE SEBAGAI SARANA KOMUNIKASI BAGI KOMUNITAS MAKASSARVIDGRAM.” KAREBA : Jurnal Ilmu Komunikasi, 259– 72. https://doi.org/10.31947/kjik.v5i2.1905. Hairul, Moh Azwar. 2019. “Tafsir Al-Qur’an Di Youtube:” Al-Fanar : Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir 2 (2): 197–213. https://doi.org/10.33511/alfanar.v2n2.197-213. hs, Muhammad Alwi alwi, Aan Parhani, and Fahruddin Fahruddin. 2020. “Keadilan Berpoligami: Tinjauan Kritis Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap QS. Al-Nisā/4: 3.” Al-Izzah: Jurnal HasilHasil Penelitian, no. 0 (November): 95–107. https://doi.org/10.31332/ai.v0i0.2131. Imran, Zufi. 2017. “Pandangan Quraisy Shihab Tentang Konsep Adil Dalam Praktik Poligami.” SABILARRASYAD: Jurnal Pendidikan dan Ilmu Kependidikan 2 (1). https://jurnal.dharmawangsa.ac.id/index.php/sabilarrasyad/arti cle/view/123. Lestari, Lenni. 2014. “Konsep Keadilan dan Indeterminasi Menurut alZamakhsyari (Analisis Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir al-Kasysyaf).” SYAHADAH : Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Keislaman 2 (2). https://doi.org/10.32520/syhd.v2i2.86. M Quraish, Shihab. 2000. Tafsir Mishbah"Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur’an". Ciputat. ———. 2008. “1429H Surat #4 An Nisaa Ayat 135-141 - Tafsir Al Mishbah MetroTV 2008 - YouTube.” Qurthubi, Abi Bakar. 1994. In Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an Wa alMubayyin Lima Tadhammanahu Min Sunnah Wa Ayi al-Furqon. Vol. 3. Bairut: Muassasah Risalah. Rifai, Achmad. 2020. “TAFSIRWEB: DIGITALIZATION OF QUR’ANIC INTERPRETATION AND DEMOCRATIZATION OF RELIGIOUS SOURCES IN INDONESIA.” Jurnal At-Tibyan: Jurnal Ilmu Alqur’an The Concept of Justice.... (L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh) | 107 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Dan Tafsir 5 tibyan.v5i2.1640. (2): 152–70. Vol. 3 No. 2 2022 https://doi.org/10.32505/at- Rohman, Julian Nur, and Jazimatul Husna. 2017. “SITUS YOUTUBE SEBAGAI MEDIA PEMENUHAN KEBUTUHAN INFORMASI: SEBUAH SURVEI TERHADAP MAHASISWA PROGRAM STUDI ILMU PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS DIPONEGORO ANGKATAN 2013-2015.” Jurnal Ilmu Perpustakaan 6 (1): 171–80. Siti, Faridah. 2016. “Adapun Pengertian Dari Metode Deskriptif Analitis Menurut Sugiono | PDF.” 2016. https://www.scribd.com/doc/306349047/Adapun-PengertianDari-Metode-Deskriptif-Analitis-Menurut-Sugiono. Soleha, Sofiyatus, and Miski. 2022. “CITRA PEREMPUAN SALIHAH DALAM AKUN YOUTUBE YUFID.TV: Al-Qur’an, Hadis, Konstruksi, Dan Relevansi.” QOF 6 (1): 67–88. https://doi.org/10.30762/qof.v6i1.171. Suyuthi, Jalaluddin. 2003. Ad-Dur al-Mantsur Fi Tafsir Bi al-Ma’tsur. Vol. 3. Mesir: Markaz lil Buhuts wa Dirosah Li al-’Arabiyyah. Winarto, Winarto. 2017. “Term-Term Keadilan Dalam Perspektif AlQur`an.” Syariati: Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Hukum 3 (01): 1–14. https://doi.org/10.32699/syariati.v3i01.1138. Winata, I. Komang. 2021. “Konsentrasi dan Motivasi Belajar Siswa terhadap Pembelajaran Online Selama Masa Pandemi Covid-19.” Jurnal Komunikasi Pendidikan 5 (1): 13–24. https://doi.org/10.32585/jkp.v5i1.1062. Zahra, Nafisatuz. n.d. “Open Journal Systems.” Accessed December 6, 2022. https://doi.org/10.21043/hermeneutik.v12i2.6077. 123dok.com. "Karya-karya M. Quraish Shihab." Accessed September 9. https://text-id.123dok.com/document/ozl53me2q-karya-karya-mquraish-shihabgender-dalam-pandangan-m-quraish-shihabtinjauan-dalam-bidangpendidikandigital-library-iain-palangkaraya.html2022 108 | The Concept of Justice.... (L. Liddini, A. Surya W.P, W. Nadhiroh) Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 The Romanticism of the Messenger of Allah in the Perspective of the Hadith of the History of Sayyidah 'Aisyah ra. Romantisisme Rasulullah dalam Perspektif Hadis Riwayat Sayyidah ‘Aisyah ra. Article History Submitted : 06/08/2021 Reviewed : 08/11/2022 Revised : 20/12/2022 Aproved : 21/12/2022 Available OL: 21/12/2022 Arif Friyadi ariffriyadi@iainkudus.ac.id IAIN Kudus Abstract This article focuses on the figure of Aisyah as the wife of the Prophet and the author of the Hadith. In the midst of this position raises the fundamental question of what the story of her relationship with the Prophet is, whether as a romantic wife or not. So did the Prophet's attitude towards him. To answer this problem, this study tries to read the historical hadiths of Aisyah, whether the romance between the two is reflected in what she narrated. This study used library research with the help of pc software 'Gawami' al-Kalim' and searched using the keyword 'Aisyah'. The results of this study show that categorically, Aisyah narrated a hadith with the theme of romanticism of husband and wife 9 hadiths, namely the nobleness of women menstruating, kissing wives, bathing, combing, stroking, walking, talking, pleasing the wife's heart and comforting menstruating women. These hadiths are not only the Prophet as the perpetrator, but sometimes Aisyah. Therefore, the romance shows that the basic principle of the Prophet's attitude to Aisyah was to glorify, honor and make the wife happy. Keyword: Hadis Romantis, Aisyah, Romantisme Nabi. URL: https://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/AQWAL/article/view/4228 DOI: https://doi.org/10.28918/aqwal.v3i1.4228 Abstrak Artikel ini fokus terhadap sosok Aisyah sebagai istri Nabi dan perawi Hadis. Di tengah posisi tersebut memunculkan pertanyaan mendasar bagaimana kisah hubungannya dengan Nabi, apakah sebagai istri yang romantis atau The Romanticism of the...(Arif Friyadi) | 109 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 tidak. Begitu pula sikap Nabi terhadapnya. Untuk menjawab problem tersebut, kajian ini mencoba untuk membaca hadis-hadis riwayat Aisyah, apakah keromantisan diantara keduanya tercerminkan dari apa yang beliau riwayatkan. Kajian ini menggunakan library research dengan bantuan software pc ‘Gawami’ al-Kalim’ dan pencarian menggunakan kata kunci ‘Aisyah’. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa secara kategorikal, Aisyah meriwayatkan hadis bertema keromantisan suami-istri 9 hadis, yaitu kemulian perempuan haid, mencium istri, mandi, menyisir, membelai, jalan-jalan, berbincang-bincang, menyenangkan hati istri dan menghibur perempuan haid. Hadis-hadis tersebut tidak hanya Nabi sebagai pelaku, namun terkadang Aisyah. Oleh karena itu, keromantisan tersebut menunjukkan bahwa asas dasar sikap Nabi kepada Aisyah adalah memulyakan, menghormati dan membahagiakan istri. Kata kunci: berjumlah 3-5 kata. Badan artikel; Pendahuluan, Pembahasan, Simpulan dan Daftar bacaan ditulis secara roman script dengan penggunaan font bookman old style, 11 pt, justify dengan margin spasi 1.5. secara keseluruhan, Jurnal Aqwal ditulis dengan jumlah antara 5.000-6.000 kata. A. PENDAHULUAN Setiap orang yang berumah tangga tentu mendambakan kebahagian. Rumah tangga yang bahagia akan mendatangkan keberkahan yang luar biasa dari Allah berupa sakinah (rasa tentram) mawaddah (kecintaan) warahmah (kasih sayang). Dengan kebahagiaan itu juga akan memperoleh generasi penerus yang baik dan taat kepada Allah. Sementara rumah tangga yang berantakan akan membuat psikolog anak terganggu (Romlah, 2006, hlm. 67–72). Seringkali keromantisan identik dengan hal-hal yang diharamkan oleh Allah, karena dilakukan oleh bukan pasangan suami istri yang sah. Saat masih berpacaran seorang pacar acapkali membuat kejutan pada pacarnya; seperti memberi bunga, ucapan sayang, pegangan tangan, kecupan mesra dan masih banyak lagi. Namun sayangnya setelah terjadinya pernikahan (Adhim, 2002, hlm. 17). Keromantisan itu lambat laun memudar dari kedua belah pihak. Terjadilah percekcokan yang berakhir dengan perceraian. Perspektif keromantisan juga seringkali diidentikkkan dengan hal-hal yang mahal dan mewah. Raja Syah Jahan membangunkan istrinya Mumtaz Mahal kuburan yang berkilau dari pualam yang disebut sebagai Taj Mahal. Raja Mesir akan mengawetkan tubuh istrinya sebagai simbol keabadian cinta mereka (Matondang, 2014, hlm. 141). Hal ini menimbulkan perspektif bahwa jika romantis tidak mahal bukanlah romantis. Lalu, bagaimana pernikahan keluarga miskin jika tidak terdapat mempunyai harta melimpah? Mampukah mereka membuat hal yang fantastis untuk sang istri? Tentu saja tidak! Padahal keromantisan bukan hanya diidentikkan dengan hal yang wajar. Cukup membangunkan istri untuk bersama shalat 110 | The Romanticism of the...(Arif Friyadi) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies tahajjud lalu diakhiri dengan bercumbu bersama juga sudah dapat menggambarkan keromantisan. Rumah tangga paling sempurna tentu adalah rumah tangga yang dijalani oleh Rasulullah. Karena beliau adalah Uswah yang harus ditiru seluruh ummatnya sepatutnya kita sebagai ummat mengambil ibrah beliau dalam berumah tangga. Rumah tangga rasul dalam hal keromantisan sering tergambar dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh istri tercintanya, ‘Aisyah. Betapapun berat badai yang menerpa rumah tangganya, beliau dengan tabah menghadapinya sembari meminta perlindungan dan kekuatan Allah. Hingga beliau melewati ujian demi ujian bersama rasul dengan baik. Namun sayang tidak semua rumah tangga akan bahagia karena kecintaan yang sesaat hanya didasari oleh nafsu. Kegagalan rumah tangga juga didasari ketidaktahuan tentang rumah tangga rasulullah khususnya rumah tangga Rasul dengan istri tercintanya ‘Aisyah. Beberapa yang menarik dari ‘Âisyâh; beliau merupakan istri yang paling muda di antara para Istri Nabi; Âisyah sering disimbolkan sebagai protagonist pembahasan poligami Nabi; dan merupakan salah satu perawi hadis Nabi yang banyak meriwayatkan hadis Nabi. Aisyah Tidjani (2016) menegaskan bahwa kecerdasan dan keluasan ilmu menjadikan Aisyah berbeda dengan istri-istri Nabi lainnya. Disamping itu, Aisyah menurut Istiqlaliyah (2016) merupakan salah satu diantara 7 intelektual perempuan yang tercatat dalam sejarah Islam. Meskipun memiliki kecerdasan yang unggul dibandingkan dengan lainnya, Aisyah masih sanggup menjadi istri Nabi yang baik. Hal itu terlihat dari sikap Nabi terhadapnya. Romantisme Nabi secara umum tidak hanya sebatas perkataan, namun prilaku juga. Hal itu ditekankan oleh Rahmah (2017) dalam artikelnya. Pemaparan di atas menunjukkan kelebihan dan posisi Aisyah serta sikap Nabi terhadap para isterinya. Oleh karena itu, artikel ini fokus terhadap pembacaan ulang rumah tangga beliau yang tergambar dari hadishadis yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minin ‘Aisyah (Iskandar, 2017, hlm. 89), bukan melalui jalur lainnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan hadis-hadis riwayat ‘Aisyah RA. Metode penelitian dengan mencari hadis-hadis melalui pencarian digital software pc ‘Gawami’ al-Kalim’. Menggunakan metode pencarian mengetik ‘Aisyah’ maka akan muncul ribuah hadis riwayat beliau plus dengan syarah dan penjelasan rinci hadis beliau. Penulis hanya mengambil hadis khusus tentang keromantisan ‘Aisyah bersama Rasulullah karena itu adalah yang menjadi titik point pembahasan. B. PEMBAHASAN 1. Romantisme Dalam Takaran Romantis dalam kamus bahasa Indonesia adalah bersifat seperti dalam cerita roman (percintaan); bersifat mesra, mengasyikkan. Dari istilah ini The Romanticism of the...(Arif Friyadi) | 111 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 dapat kita simpulkan bahwa sifat mesra dapat ditunjukkan oleh siapapun kepada orang yang dicintainya. Suami pada istri, istri pada suami. Mengutip dari salah satu laman website Kumparan.com, bahwa hampir semua istri mendambakan suami yang romantis. Dengan romantis drama percintaan mereka akan tergambar bagai film-film cinta (Nurcahyono, t.t., hlm. 43). Dalam beberapa hadis riwayat Sayyidah Aisyah, terdapat banyak contoh keromantisann Rasul yang dapat dipraktikkan seorang muslim dalam kehidupan rumah tangganya. Tanpa harus mengeluarkan budget mahal dan merogoh kocek dalam. Contoh sederhana adalah muslim minum segelas bergantian dengan sang istri itu sudah menciptakan suasana keromantisan antara keduanya. Mandi bersama dalam satu bejana juga akan menambah kedekatan batin antara kedua pasangan. Dengan melakukan yang sederhana itu tentu akan mengurangi penyebab keretakan hubungan rumah tangga seorang pasangan. Sejauh penelitian yang dilakukan penulis, tidak ada satupun hadis yang mengisyaratkan bahwa rasul pernah menceraikan istrinya. Bahkan dalam sebuah hadis rasul mengatakan: “perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak.” Selain membuat berantakan rumah tangga, talak juga akan berimas secara langsung pada mental dan psikologi seorang anak (Nadwiy, 2007, hlm. 117). Oleh itu, jika seorang ingin rumah tangganya tetap abadi, mereka harus dapat mengambil sisi positif yang telah dipraktikkan oleh rasul dari hadis-hadisnya. 2. Keromantisan dalam Islam: a. Keromantis itu hanya dapat dibangun sejak menikah dan tak mempunyai waktu berakhir. Keromantisan yang dibangun sebelum menikah cenderung mendekatkan diri kapada perzinahan. Dalam Islam haram seorang berhubungan dengan lawan jenis baik melihat, mencium, memegang, bercakap-cakap. Karena semua itu merupakan hal-hal yang mendekatkan diri kepada perzinahan (Azni, 2015, hlm. 257). b. Romantis itu tidak harus mahal. Cukup dengan makan berdua di meja makan cukup mewakili kata romantis daripada harus makan di resto yang mahal. Keromantisan juga dapat dibangun dari sauna religi, seperti mengajak istri ke tempat pengajian, membangunkan istri untuk shalat tahajjud bersama, berhaji dan berumrah bersama istri hingga mambangunkan masjid atas nama istri. c. Keromantisan dapat diwujudkan dengan landasan cinta kepada Allah, hal ini seperti yang disabdakan rasul “seorang perempuan dinikahi karena 4 hal; cantiknya, hartanya, nasabnya dan agamanya. Maka pilihlah karena agama. Rasul juga menjelaskan bahwa jika kita mencintai seorang cintailah karena Allah bukan karena lainnya. Jika keromantisan telah dibangun di luar pernikahan, kebanyakan mengarah kepada kemaksiatan dan perzinahan. d. Keromantisan erat kaitannya dengan penampilan fisik. Dengan memuji pasangan kita itu sudah menciptakan suasana romantis. Panggilan kesukaan pasangan juga akan membangkitkan suasana romantis. Dari sini 112 | The Romanticism of the...(Arif Friyadi) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies dapat kita ambill kesimpuan bahwa keromantisan timbul karena kecintaan satu sama lain, bukan cinta sesaat. 3. Mengenal ‘Aisyah Lebih Dekat ‘Aisyah binti Abu Bakar Suku Quraisy Bani Taimiyyah Makkah adalah seorang yang paling dicintai Rasulullah Muhammad Saw. Ayahnya adalah Abu Bakar Assidiq Ra dari Bani Taiym bin Murrah bin Ka’ab. Nama aslinya adalah Abdullah bin Abu Quhafah. Ibunya adalah Ummul Khair, nama aslinya adalah Salma binti Shakhr bin ‘Amir bin Ka’ab bin Sa’d bin Tayyim bin Murrah(Nadwiy, 2007, hlm. 333). ‘Aisyah dilahirkan 8 tahun sebelum hijrah ke Madinah atau tepatnya 4 atau tahun setelah diutusnya Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan daam kitab Fatawi Kubra, semasa kecil beliau adalah anak yang cerdas dan periang. a. Pernikahan dengan Rasulullah Sebelum dinikahi Rasulullah, Rasul menjelaskan jika beliau pernah didatangi oleh Malaikat Jibril dalam mimpi. Jibril membawa seorang anak perempuan yang wajahnya tertutupi sutera. Bertanyalah Rasul; “Siapakah dia?” Jibril menjawab; “Dia istrimu”. Setelah Rasul membuka penutup sutera dari wajahnya ternyata perempuan itu adalah engkau (‘Aisyah). Jika memang ini adalah firasat baik dari Allah maka aku akan melaksanakannya. (HR. Shahih Bukhari: 7915) Seperti diketehui dalam banyak riwayat hadis, kecintaan Rasul kepada Ummu al-Mu’minin ‘Aisyah sangatlah besar. Suatu ketika rasul ditanya siapakah yang paling dicintainya dari perempuan? Beliau menjawab: “Aisyah”. Jika laki-laki? Beliau menjawab: “Ayahnya”. (HR. Shahih Bukhari: 2384) Apakah kecintaan rasul dapat disebut sebagai ketidakadilan terhadap istri-istrinya? Padahal berbuat adil adalah suatu yang wajib dilaksanakan oleh seorang rasul. Seorang Da’i dari Dubai, Syaikh Nabil al ‘Iwadli menjelaskan bahwa kecondongan pada salah satu kecintaan bukan berarti tidak adil. Karena keadilan adalah berbagi rata kepada seluruh istri tanpa harus memilih salah satu di antara mereka dan melupakan yang lain. Rasul telah berbuat adil dalam hal ini (Altawheed, 2012). Namun jika hati condong ke salah satu lebih dari yang lain ini merupakan hal yang wajar terjadi karena beliau juga manusia biasa. Kenapa kecintaannya jauh dibanding dengan kecintaan kepada istri yang lain? Yang pertama di antara istri-istri Rasul beliaulah perempuan yang dinikahi dalam umur beliau dan masih gadis. Sementara istri-istri rasul yang lain adalah janda. Kedua beliau adalah seorang perempuan yang sangat cerdas. Beliau menghafal dan meriwayatkan lebih dari 2000 hadis Rasulullah. Ini menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dari ‘Aisyah RA. Ketiga beliau adalah perempuan yang terlahir dari sahabat pertama yang masuk Islam. Sehingga kedudukan sahabat Abu Bakar sangatlah tinggi dibanding dengan sahabat rasul lainnya. Keempat beliau adalah perempuan yang sangat pemberani. Meski sahabat perempuan namun beliau sering The Romanticism of the...(Arif Friyadi) | 113 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 ikut dalam beberapa peperangan penting di masa Rasulullah atau setelah meninggalnya Rasul (Nadwiy, 2007, hlm. 77). ‘Aisyah dinikahi Rasulullah ketika umur 6 masuk ke 7 tahun. Lalu dibawa ke rumah Rasulullah saat umur 9 tahun, tepatnya tahun pertama Hijriyah di bulan Syawwal. Sayyidah ‘Aisyah adalah sebagai seorang sahabat wanita terpelajar. Hingga akhir hayatnya, Sayyidah ‘Aisyah tak kenal rasa lelah meriwayatkan hadis kehidupan Nabi Muhammad. ‘Aisyah juga terhitung dari cendekiawan Islam yang mampu meriwayatkan seperempat dari hukum Islam sebagai rujukan muslim seluruh dunia hingga saat ini. Ia suri tauladan yang istimewa bagi jutaan muslimah di seluruh dunia hingga kapanpun. ‘Aisyah meninggal di rumahnya (Madinah) pada tanggal 17 Ramadan 58 H atau 16 Juli 678 M.) b. Kecemburuan ‘Aisyah RA. Meski berada dalam rumah tangga Rasulullah, bukan berarti ‘Aisyah Ra. terlepas dari kerikil-kerikil kecil bahkan batu besar yang selalu menghadang rumah tangganya. Kecemburuan ibarat sebagai bumbu yang selalu hadir untuk menimbulkan cinta semakin dalam. Begitu pula Ummu al-Mu’minin ‘Aisyah beberapa kali harus melawati gelombang bahkan badai yang beberapa kali menyapa bahtera rumah tangganya. Menurut Basyir Sofyan dalam tulisannya mengakatakan, setiap pernikahan pasti akan mengalami cobaan di tengah-tengah pernikahannya. Untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah dan warahmad sangatlah sulit. Dibutuhkan usaha keras dan dukungan dari semua pihak dalam keluarga dalam pembangunan watak dalam memahami satu sama lain. Jika hal ini tidak diwujudhkan biasanya akan mengalami jalan buntu (Basir, 2019, hlm. 7). Suatu malam saat datang giliran ‘Aisyah Ra. tiba-tiba Rasul keluar dari rumahnya. Karena kecemburuan yang melegak di hatinya, ‘Aisyah pun harus membuntuti Rasulullah dari belakang. Rasul tiba di perkuburan Baqi’ dan berdo’a untuk para sahabat yang telah gugur di medan perang. Rasul pun mendapati beliau telah dibuntuti yang tidak lain adalah ‘Aisyah, istrinya. “Apa yang kau lakukan di sini Wahai ‘Aisyah? Apa engkau cemburu aku keluar malam?” “Bagaimana aku tidak cemburu Engkau keluar dari rumahku Wahai Rasul.” (HR. Shahih Muslim:125) Dalam riwayat lain beliau terang-terangan mengatakan, “Aku tidak pernah cemburu terhadap perempuanpun melampaui cemburuku terhadap Khadijah. Padahal dia dinikahi rasul sebelum aku ada. Ini karena banyaknya Rasul menyebut namanya. Padahal dia sudah meninggal.” (Żahabi, 2000, hlm. 313). Tentu badai yang sangat dikenang sejarah Ummat Islam sampai kapanpun adalah peristiwa yang tergambar dalam hadis ifki (hoaks) yang dihembuskan oleh Abdullah bin Ubay bin Sallul. Peristiwa itu diceritakan panjang lebar dalam sebuah hadis yang dirawatkan sendiri oleh beliau. Peristiwa itu dilatarbelakangi karena beliau tertinggal dari rombongan 114 | The Romanticism of the...(Arif Friyadi) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies setelah perang Tabuk. Hal itu karena beliau ingin buang hajat di saat para prajurit beristirahat sejenak. Tidak ada yang tahu beliau keluar dari sekedup onta (rumah-rumhan yang ada di punuk onta) dan meninggalkan rombongan. Rombongan itupun akhirnya berangkat meninggalkan ‘Aisyah yang keluar karena mencari kalungnya yang hilang. Betapa terkejutnya ia setelah mendapati jika rombongan rasul telah berangkat. (HR. Shahih Muslim: 2770, HR. Sunan Kubro: 8882) Ia menangis sejadi-jadinya. Namun tidak ada yang tahu tangisnya karena memang ia sendirian. Di sana hanya ada gurun pasir dan jejak kaki kuda dan onta. Tiba-tiba menjelang senja seorang sahabat bernama Shafwan bin Mu’attal, yang diperintah rasul untuk menjadi pasukan terakhir guna mengambil barang-barang yang tercecer di jalan tiba-tiba mengetahui ada seorang perempuan yang menangis. Amat kaget ia karena itu adalah Ummul Mu’minin ‘Aisyah. Tanpa berkata apapun beliau menaikkan ‘Aisyah ke atas pungung kuda dan dituntun menuju kota Madinah. Sementara di depan pintu gerbang Madinah Abdullah bin Ubay telah menghembuskan kabar fitnah bahwa ‘Aisyah telah selingkuh dengan Shafwan. Sejatinya setelah sampai di Madinah ‘Aisyah tak pernah tahu tentang fitnah itu karena beliau jatuh sakit dan tidak pernah keluar rumah hingga seminggu lebih. Setelah sembuh barulah ia mengetahui fitnah itu dari seorang budak bernama Ummu Misthah. Beliau sangat kaget dan tak percaya apa yang terjadi. Sementara berminggu-minggu rasul menunggu wahyu belum juga turun. Hal itu membuat hati ‘Aisyah sangat sedih, begitu juga ayahnya, Abu Bakar. Namun beliau meyakinkan sang ayah bahwa dia bukan perempuan yang dituduhkan itu. Beliau hanya akan bersabar sebagaimana sabarnya ayah Yusuf yang kehilangan anaknya bertahun-tahun lamanya. Di sinilah ujian yang sangat luar biasa dari Allah untuk beliau dan Rasulullah. Hinga akhirnya Allah Saw. membebaskan tuduhan ini dari atas langit ketujuh dengan diturunkannya al Qur’an (QS. Annur 1-11). Bagaimanapun kecintaan Rasul kepada istri beliau ‘Aisyah adalah amat dalam. Saat akhir kehidupan rasul ‘Aisyah senantiasa menjaga rasul hingga beliau menghembuskan napas terakhir di pangkuan sang istri tercintanya. Jibril pun mengatakan kepada nabi; “Ini adalah istrimu di dunia dan akhirat” (HR. Sunan Turmudzi 3041) Rasul meninggal dengan dikafani 3 kain kafan dari Yaman dan dikuburkan di kamar ‘Aisyah. (HR. Shahih Bukhari Bab Janaiz) c. Kelebihan ‘Aisyah dari Istri Rasul yang Lain Sebagai mana dijelaskan Muhammad bin Kadzim (1377a) beberapa kisah di atas dapat kita simpulkan kelebihan beliau dari istri-istri rasul yang lain: 1) Sebelum dinikahi Rasul, Jibril datang dengan membawa wajah ‘Aisyah kepada Rasul untuk segera dinikahi. 2) Satu-satunya istri yang dinikahi pada usia belia dan gadis. The Romanticism of the...(Arif Friyadi) | 115 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 Rasul meninggal di pangkuan ‘Aisyah dan dikubur di kamarnya. Malaikat selalu menjaga dan melindungi rumahnya. ‘Aisyah adalah istri rasul dan anak khalifah pertama setelah rasul. Pembebasan fitnah yang menimpa beliau datang dari atas langit ketujuh langsung dari Allah. 7) ‘Aisyah dijanjikan sebagai seorang yang diampuni dan penghuni surga 8) Keutamaan ‘Aisyah dari perempuan lain seperti halnya bubur tsarid yang selalu menjadi makanan kesukaan nabi dibanding dengan makanan lainnya. (HR. Shahih Bukhri: 3769) d. Peran Ummul Mu’minin ‘Aisyah RA. dalam Periwayatan Hadis Meski terlahir sebagai seorang perempuan di kalangan sahabat-sahabat Rasul, namun perannya dalam periwayatan hadis tidak bisa dianggap sebelah mata. Hal itu wajar karena karena kedekatannya dengan rasul sejak kecil hingga menjadi istri Rasul yang menemani dalam suka maupun duka. Beberapa hadis beliau dapatkan dari ayahnya, Abu Bakar sebelum beliau dinikahi Rasul dan ribuan hadis lainnya langsung beliau dengar dari Rasulullah (Ḥanbal, 2001). Kesaksian banyak sahabat tentang beliau menunjukkan peran beliau yang begitu tinggi dalam pengembangan ilmu keislaman yang ditinggalkan Rasulullah khususnya dalam hadis. Abu Musa al Asy’ari pernah berkomentar tentang beliau; “Jika kami ragu terhadap suatu permasalah, maka kami akan bertanya langsung kepada ‘Aisyah Ra. Di sana kami akan mendapatkan jawaban keilmuan.” (HR. Atturmudzi: 3818) Dari sekian banyak perawi hadis di kalangan sahabat laki-laki, seperti Anas bin Malik, Abdulllah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah ‘Aisyah Ra adalah sahabat perempuan yang paling getol dan bayak hafal hadis-hadis Rasulullah Saw. Jika Abu Hurairah seperti yang diteliti banyak ulama’ hadis dapat meriwayatkan sekitar 3370 hadis, maka ‘Asyah Ra. mampu meriwayatkan 2081 (Dailumi, 1377, hlm. 437). Tentu menjadi hal yang sangat menarik jika meneliti hadis-hadis ‘Aisyah karena kebanyakan hadis-hadis itu berupa sunnah fi’liyah (perbuatan) dan didengar langsung dari Rasulullah Saw. Karena itulah dari kalangan Tabi’in banyak meriwayatkan hadis-hadis beliau (Żahabi, 2000, hlm. 315). Kalangan sahabat dan tabi’in yang menjadi perawi hadis-hadis beliau tercatat ada 350 perawi. Salah satu di antara murid-murid beliau adalah Hisyam bin ‘Urwah, Qasim bin Muhamad bin Abu Bakar, Masruq bin al Ajdad, Umrah binti Abdurrahman. Hal ini menunjukkan peran Ummul Mu’minin yang begitu tinggi dalam Ilmu Hadis. e. Hal-hal yang membuat beliau tinggi dalam periwayatan: 1) Keikhlasan beliau sehingga saking ikhlasnya Allah Saw. mengabadikan beberapa ayat yang khusus turun untuknya. Seperti halnya Surat al Ahzab ayat 28. 2) Kecintaan beliau kepada ilmu yang begitu tinggi. Sehingga jika dia tidak mengetahui tentang penafsiran al Qur’an yang sedang turun beliau 3) 4) 5) 6) 116 | The Romanticism of the...(Arif Friyadi) AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 akan bertanya kepada Rasulullah langsung. Seperti beliau pernah bertanya tafsiran ayat: ‫) ولقد راه نزلة أخرى‬13:‫ (النجم‬beliau mengatakan, tidak ada 3) 4) 5) 6) 4. a. seorangpun yang bertanya tafsiran ayat ini kecuali aku yang lebih dahulu. Kecerdasannya yang di atas rata-rata perempuan pada umumnya. Sebagian besar sahabat memang mampu menghafalkan al Qur’an, namun tidak semua sahabat mampu menghafal teks hadis dan menyampaikannya dengan diksi yang sama persis atau sedikit menyerupai. Ini membutuhkan kecerdasan yang luar biasa. Apalagi yang dihafal itu tidak tertera dalam buku dan manuskrip, tentu jauh lebih sulit lagi. Turunnya wahyu yang banyak di rumahnya. Beliau tumbuh kembang dalam didikan Rasulullah. Kedekatan rumahnya dengan Masjid Nabawi yang menjadikan beliau sebagai sumber rujukan para sahabat yang merasa kesulitan dalam penafsiran al Qur’an, hadis atau fikih. Hadis-Hadis Keromantisan Riwayat ‘Aisyah Memuliakan perempuan yang sedang haid. Hal ini diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisyah RA. Ia berkata sebagai berikut: ُ ‫إِ ْن كَانَ َر‬ ِ‫سو ُل هللا‬ ِ ِ ِ :‫ت‬ ْ َ‫ َع ْن َعائ َشةَ قَال‬، ‫ َع ْن أَبِيه‬، ‫ َع ِن الْ ِم ْق َد ِام بْ ِن حشَريْح‬، ‫ َحدَّثَنَا م ْس َعر‬، ‫َحدَّثَنَا حُمَ َّم حد بْ حن عحبَ ْيد‬ ُ‫ َوإِ ْن ُك ْنتُ ََل ُخذ‬، ‫ي‬ ٌ ‫ فَأ َ ْش َربُ مِ ْنهُ َوأَنَا َحائ‬، ِ‫اْلنَاء‬ ِ ‫علَى َم ْو‬ َ ُ‫ض ُع فَاه‬ َ ‫ ث ُ َّم َيأ ْ ُخذُهُ فَ َي‬، ‫ِض‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ ْ ‫سلَّ َم لَيُؤْ تَى ِب‬ َّ ِ‫ض ِع ف‬ ْ ُ ُ َ ُ ْ َ َ ُ َ ُ )24966 ،‫ي (المسند أحمد‬ ‫ف‬ ‫ع‬ ‫ض‬ ‫و‬ ‫م‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ه‬ ‫ا‬ ‫ف‬ ‫ع‬ ‫ض‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ، ‫ه‬ ‫ذ‬ ‫خ‬ ‫أ‬ ‫ي‬ ‫م‬ ‫ث‬ ، ُ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫ل‬ ‫ك‬ ‫آ‬ ‫ف‬ ، َ‫ق‬ ‫ر‬ ‫ع‬ ِ‫م‬ ْ َ ‫ْال‬ َّ ِ ِ ِ ْ َ َ ُ ُ َ َ ُ َ َّ “Terkadang Rasulullah SAW disuguhkan sebuah wadah (air) kepadanya, kemudian aku minum dari wadah itu sedangkan aku dalam keadaan haid. Lantas Rasulullah SAW mengambil wadah tersebut dan meletakkan mulutnya di bekas tempat minumku. Terkadang aku mengambil tulang (yang ada sedikit dagingnya) kemudian memakan bagian darinya, lantas Rasulullah SAW mengambilnya dan meletakkan mulutnya di bekas mulutku.” (HR Ahmad: 24966, Sunan Annasa’i: 280, Sunan Kubra: 270). Hadis di atas jika dibaca di masa kini akan terdengar biasa saja, namun jika kita kembali pada sejarah sebelum Islam, kita mendapati rasul telah meninggikan derajat perempuan yang sebelumnya direndahkan di zaman Jahiliyyah. Orang-orang Yahudi beranggapan bahwa perempuan haid adalah kotor dan najis. Mereka harus diasingkan dalam sebuah kamar khusus dan tidak boleh keluar darinya sampai selesai haid. Sementara orang Nasrani melakukan kebalikan orang Yahudi. Mereka malah menggauli istrinya saat haid berlansung. Hal ini kemudian ditengah-tengahi Islam. Islam menganggap perempuan haid bukan peempuan yang kotor. Mereka boleh tidur bersama suami, namun bukan untuk bersenggama (M. N. al Dakr, t.t.). Dalam hadis lain juga dijelaskan: ِ ِ‫ عن أَب‬، َ‫ِهش ِام ب ِن عروة‬ ‫ ُك ْنتُ أ ُ َر ِج ُل‬:‫شةَ قَالَت‬ َ ‫عا ِئ‬ َ ‫ عن‬، ‫يه‬ ْ َْ َْ ِ ِ َ ‫وس‬ ‫َحدَّثَنَا َعْب حد للا بْ حن يح ح‬ َ ْ‫ َع ْن َ ْ ح‬، ‫ َحدَّثَنَا َمالك‬:‫ف قَ َال‬ . ‫ِض‬ ٌ ‫سلَّ َم َوأَنَا َحائ‬ ُ ‫س َر‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫سو ِل هللا‬ َ ْ‫َرأ‬ The Romanticism of the...(Arif Friyadi) | 117 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 “Diriwayatkan oleh Abdullah bin Yusuf, dia berkata; dari Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah berkata: “Dulu aku menyisir rambut Rasullah padahal aku sedang haid”. (HR. Shahih Bukhari: 295, HR. Muwatta’ Malik: 195, Shahih Ibnu Hibban: 1359, HR. HR. Sunan Annasa’i: 276, HR. Sunan Kubra: 266) Hadis di atas juga menunjukkan bahwa perempuan haid itu bukanlah perempuan yang kotor sehingga harus diasingkan dan tidak boleh keluar. Seorang haid masih dapat aktifitas seperti manusia biasa, dikarenakan haid adalah darah biasa sebagai kodrati seorang perempuan dewasa. Bahkan dalam hadis ini ‘Aisyah Ra. menyisir rambuh mulia Rasulullah. . ‫الر حج ِل ِف َح ْج ِر ْامَرأَتِِه َوِه َي َحائِض‬ َّ ِ‫ب قَِراءَة‬ ‫ََب ح‬ Bab membaca al Qur’annya seorang laki-laki di pangkuan istri pada saat haid, karena Rasul pernah melakukan hal itu. ِ َّ ‫ أ‬:‫َن َعائِ َشةَ َحدَّثَْت َها‬ َّ ‫ أ‬: ‫َن أ َّحمهح َحدَّثَْتهح‬ َّ ‫ أ‬:َ‫ص ِفيَّة‬ ‫َن‬ ْ ‫َحدَّثَنَا أَبحو نح َعْيم الْ َف‬ َ ‫صوِر بْ ِن‬ ‫ َع ْن َمْن ح‬، ‫ ََس َع حزَه ْ ًْيا‬:‫ض حل بْ حن دح َك ْي‬ ِ ‫النَِّب صلَّى للا علَي ِه وسلَّم َكا َن ي ت‬ ‫ حثَّ يَ ْقَرأح الْ حق ْرآ َن‬، ‫َّك حئ ِف َح ْج ِري َوأَ َن َحائِض‬ َ َ َ َ ْ َ ‫َّ َ ح‬ Dari Abu Nu’aim al Fadl bin Dukain dia mendengar dari Zuhair, dari Mansur bin Shofiyyah dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah yang berkata: sesungguhnya Nabi pernah bersandar di pangkuanku padahal aku sedang haid lalu beliau membaca al Qur’an. (HR. Shahih Bukhari 297, HR. Musnad Ahmad: 25502) Bahasa tubuh dapat mengungkapkan bagaimana keadaan sebuah hubungan dimana komunikasi non-verbal dilakukan oleh kedua pasangan. Salah satunya adalah bersandar ke punggu istri. Jika seorang ingin pasangannya semakin akrab maka lakukanlah bergandengan tangan saat berjalan bersama. Sentuhan melambaikan intimasi, kedekatan emosional dan kebahagiaan dalam hubungan. Di antaranya juga bersandar dan memegang punggung pasangan. Di antaranya juga adalah tangan yang ditelakkan di bahu pasangan, serta tiduran di pangku pasangan. b. Mencium Istri. Diriwayatkan Sayyidah ‘Aisyah RA bahwa ia berkata sebagai berikut: ‫إن النب صلى للا عليه وسلم كان إذا قبل بعض نسائه مص لساهنا‬ “Sungguh Nabi SAW ketika mencium salah satu istrinya, beliau mengecup lidahnya.” (HR. Maqdisi dalam Dzakhiratul Huffazh No.1568). Menurut dr. Kevin Adrian, ciuman dapat memprediksi langgengnya hubungan pasangan. Bibir terbukti dapat membuat bahagia, mengurangi stress dan panjang umur. Selain membangkitkan perasaan baik di otak, ciuman ternyata juga dapat mengungkapkan informasi relevan lainnya yang mengalir melalui otak. c. Mandi Jinabat Bersama akan menambahi kemesraan dalam berumah tangga. Apalagi jika dilakukan oleh pasangan suami istri yang sudah lama menikah, tentu dapat mengenang masa bulan madu. Diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah RA, ia berkata sebagai berikut: 118 | The Romanticism of the...(Arif Friyadi) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies ِ ِ ِ ِ َّ ‫اّللِ صلَّى‬ ‫اْلَنَابَِة » رواه البخاري‬ ْ ‫ف أَيْ ِدينَا فِ ِيه ِم ْن‬ ‫ت أَ ْغتَ ِس حل أَ َن َوَر حس ح‬ ‫اّللح َعلَْيه َو َسلَّ َم م ْن إِ َنء َواحد ََتْتَل ح‬ ‫حكْن ح‬ َ َّ ‫ول‬ ‫ومسلم وزاد ابن حبان « وتلتقي أيدينا‬ “Dahulu aku mandi junub bersama Rasulullah SAW dari satu bejana di mana tangan kami bergantian (mengambil air) di dalamnya.” (HR. Bukhari: 253 dan HR>. Muslim: 484, HR. Ibnu Hibban:1118 mencantumkan riwayat tambahan, “Sedangkan tangan kami saling bertemu (bersentuhan).” َ‫شة‬ َ ‫عا ِئ‬ َ ‫ َع ْن‬، ‫ َع ْن حسلَْي َما َن بْ ِن يَ َسار‬، ‫اْلََزِري‬ ْ ‫َخ َََبَن َع ْم حرو بْ حن َمْي حمون‬ َ َ‫َخ َََبَن َعْب حد للاِ ق‬ َ َ‫َحدَّثَنَا َعْب َدا حن ق‬ ْ ‫ أ‬:‫ال‬ ْ ‫ أ‬:‫ال‬ . ‫ص ََل ِة َو ِإ َّن بُقَ َع ْال َماءِ فِي ثَ ْو ِب ِه‬ َّ ‫ فَ َي ْخ ُر ُج ِإلَى ال‬، ‫سلَّ َم‬ ِ ‫ ُك ْنتُ أ َ ْغ ِس ُل ْال َجنَا َبةَ مِ ْن ثَ ْو‬:‫ت‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫ب ال َّن ِبي‬ ْ َ‫قَال‬ Artinya: ‘Aisyah Ra. berkata: “Aku dulu pernah mencuci bekas baju jinabat yang terkena mani. Lalu beliau keluar untuk shalat meski masih ada bekas air di bajunya.” (HR. Shahih Bukhari: 272, Shahih Muslim: 321, HR. Shahih Ibnu Khuzaimah: 236, Shahih Ibnu Hibban:1262) ِ ِ ِِ َ ِ ِ ِ ِ َ َ‫ ق‬، ‫ف‬ ْ ‫ أ‬:‫ال‬ َ ‫وس‬ َ ‫َّب‬ ‫َحدَّثَنَا َعْب حد للا بْ حن يح ح‬ ‫صلَّى للاح‬ ِِ ‫ َع ْن َعا ِئ َشة َزْو ِج الن‬، ‫ َع ْن أَبيه‬، ‫ َع ْن ه َشام بْن عح ْرَوَة‬، ‫َخ َََبَن َمالك‬ ِ َّ ‫ أ‬:‫َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ‫ص ََلة‬ َّ ‫ ث ُ َّم َيت ََوضَّأ ُ َك َما َيت ََوضَّأ ُ لِل‬، ‫س َل َيدَ ْي ِه‬ َ َ‫ َبدَأ َ فَغ‬، ‫س َل مِ نَ ْال َجنَا َب ِة‬ َ َ‫سلَّ َم كَانَ ِإذَا ا ْغت‬ َّ ِ‫َن الن‬ َ ‫َّب‬ َ ‫صلَّى للاح َعلَْيه َو‬ ُ َ‫علَى َرأْ ِس ِه ثَ ََلث‬ َ ‫صو َل‬ ‫علَى‬ ُ ‫ ث ُ َّم يُف‬، ‫غ َرفٍ ِب َيدَ ْي ِه‬ ُ ‫ ث ُ َّم َي‬، ‫ش َع ِر ِه‬ ُ ُ ‫ فَيُخ َِل ُل ِب َها أ‬، ِ‫صا ِب َعهُ فِي ْال َماء‬ َ ُّ‫صب‬ َ ‫ِيض ْال َما َء‬ َ َ ‫ ث ُ َّم يُدْخِ ُل أ‬، ‫ِج ْل ِد ِه ُك ِل ِه‬ ‘Aisyah berkata: sesungguhnya nabi ketika mandi jinabat beliau memulai dengan membasuh tangannya, kemudian wudlu seperti wudlu untuk melaksanakan shalat, lalu memasukkan tangannya ke air untuk mengambil gayung dan meyiramkan ke kepalanya bagian kanan tiga kali dan sebelah kiri tiga kali. (Shahih Bukhari: 248, Musnaf Abdurrazaq: 999) ِ ِ ‫ت أَ ْغتَ ِس حل‬ َ َ‫آد حم بْ حن أَِب إِ ََيس ق‬ ْ َ‫ قَال‬، َ‫ َع ْن َعائ َشة‬، ‫ َع ْن عح ْرَوَة‬، ‫ي‬ َ ‫َحدَّثَنَا‬ ‫ حكْن ح‬:‫ت‬ ِِ ‫ َع ِن الزْه ِر‬، ‫ َحدَّثَنَا ابْ حن أَِب ذئْب‬:‫ال‬ ِ ‫أَ َن والنَِّب صلَّى للا علَي ِه وسلَّم ِمن إِ َنء و‬ .‫ الْ َفَر حق‬:‫ال لَهح‬ ‫ ِم ْن قَ َدح يح َق ح‬، ‫احد‬ َ ْ َ ََ َْ ‫َ ح‬ َ ‘Aisyah berkata: “Aku pernah mandi jenanah bersama Rasul dari bak mandi Qadah (bak mandi yang dapat memasukkan onta kecil ke dalamnya). (HR. Shahih Bukhari: 250, HR. Sunan Baihaqi Kubra: 940) ، ‫ َع ْن عح ْرَوَة‬، ‫الر ْْحَ ِن‬ َّ ‫ َع ْن حُمَ َّم ِد بْ ِن َعْب ِد‬، ‫ َع ْن عحبَ ْي ِد للاِ بْ ِن أَِب َج ْع َفر‬، ‫ث‬ ‫ َحدَّثَنَا اللَّْي ح‬:‫َحدَّثَنَا ََْي َي بْ حن بح َك ْْي قَ َال‬ .‫ص ََل ِة‬ َ ، ٌ‫َام َوه َُو ُجنُب‬ َّ ‫س َل فَ ْر َجهُ َوت ََو‬ َّ ‫ضأ َ لِل‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫غ‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫ كَانَ ال َّن ِب‬:‫ت‬ َ ‫سلَّ َم ِإذَا أ َ َرادَ أ َ ْن َين‬ ْ َ‫َع ْن َعا ِئ َشةَ قَال‬ d. ‘Aisyah berkata: “Dulu Nabi Muhammad Saw. jika ingin tidur padahal dia masih dalam keadaan junub, Rasul akan membasuh kemaluannya dan wudlu seperti wudlu akan shalat.” (HR. Shahih Ibnu Khuzaimah: 215, HR. Shahih Ibnu Hibban: 1217, HR. Sunan Annasa’i: 255, HR. Sunan Kubra: 249) Disisir Istri. Sayyidah ‘Aisyah r.a. berkata: َِّ ‫ول‬ ِ ‫ت أحرِجل رأْس رس‬ ‫اّللح َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َوأَ َن َحائِض‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫اّلل‬ ‫حكْن ح َ ِ ح َ َ َ ح‬ Artinya, “Dahulu aku menyisir rambut Rasulullah SAW sedangkan aku dalam keadaan haid.” (HR. Bukhari no. 286 dan HR. Muslim no. 710). The Romanticism of the...(Arif Friyadi) | 119 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies e. Vol. 3 No. 2 2022 Membelai Istri. Diriwayatkan dari Urwah Bin Zubair RA, ia meriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah RA, ia berkata: ‫ يدخل على نسائه فيدنو من كل‬-‫صلى للا عليه وسلم‬- ‫ إال كان رسول للا‬- ‫ أو قالت قل يوم‬- ‫قلما كان يوم‬ ‫امرأة منهن ىف جملسه فيقبل وميس من غْي مسيس وال مباشرة » قالت « ث يبيت عند الت هو يومها‬ “Hampir setiap hari Rasulullah SAW mengunjungi semua istrinya, lantas mendekatinya satu per satu di tempatnya (rumah). Kemudian Rasulullah SAW mencium dan membelainya tanpa bersetubuh atau berpelukan.” ‘Aisyah berkata, “Lantas beliau menginap di (rumah) istri yang mendapat gilirannya.” (HR. Daruquthni: 3781). Memanggil dengan panggilan sayang. Panggilan Khusus ِ Rasulullah SAW pada istrinya ‘Aisyah adalah: « ‫ش » « ََي عح َويْش‬ َ ‫“ » ََي َعائ‬Ya Aisy” (HR. Bukhari: 3768 dan HR. Muslim: 4480). “Ya Uwaisy” (HR. Ibnus Sunni No. 454). Rasulullah SAW juga sering memanggil Sayyidah ‘Aisyah dengan Humaira’ (‫ )ْحْياء‬yang artinya adalah putih kemerah-merahan. Ibnul Atsir menyebutkan dalam An-Nihayah (1/1044): ‫صغْي احلَ ْمراء يريد‬ ْ َ‫كان يقول هلا أحيان َي حْحَْْياء ت‬ ‫ البَ ْيضاء‬Artinya, “Beliau (Rasulullah SAW) sering memanggilnya (Aisyah) ‘Ya Humaira’ yang merupakan bentuk tasghir (panggilan kecil) dari ‘Hamra’ (merah) sedangkan yang dimaksud adalah putih.” Ibnul Jauzi menyebutkan dalam Kasyful Musyukil (juz I, halaman 1202): ‫والعرب تقول‬ ‫ امرأة ْحراء أي بيضاء‬Artinya, “Orang Arab berkata, ‘Wanita yang merah,’ artinya putih.” Qadhi Iyadh menyebutkan dalam Masyariqul Anwar (juz I, halaman 702): ‫ قوله لعائشة َي ْحْياء تصغْي إشفاق ورْحة وُمبة‬Artinya, “Perkataan beliau kepada ‘Aisyah ‘Ya Humaira’ adalah bentuk tasghir (panggilan kecil) kasih sayang dan cinta.” f. Mengajak Istri Keluar Kota. Kebiasaan Rasulullah SAW ketika bepergian keluar kota adalah selalu membawa salah satu istrinya dengan cara diundi, sebagaimana diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisyah RA. Ia berkata: َِّ ‫ول‬ ِ ِِ ِ ‫اّلل علَي ِه وسلَّم إِذَا أَراد س َفرا أَقْ رع ب‬ ‫َكا َن َر حس ح‬ َ َْ َ َ ً َ َ َ َ َ َ ْ َ ‫صلَّى َّح‬ ‫ي ن َسائه فَأَيَّتح حه َّن َخَر َج َس ْه حم َها َخَر َج ِبَا َم َعهح‬ َ ‫اّلل‬ “Rasulullah SAW itu ketika hendak bepergian akan mengundi di antara istriistrinya. Siapa pun undiannya yang keluar, maka beliau akan pergi bersamanya.” (HR. Bukhari: 2404 dan HR. Shahih Muslim: 4974). g. Berbincang Bersama Istri di Luar Jalan malam-malam bersama istri, lantas membincangkan banyak hal. Bicara dari hati ke hati. Bukankah itu sangat mesra sekali? Sayyidah ‘Aisyah RA meriwayatkan dalam sebuah hadis panjang tentang kebiasaan Rasulullah SAW keluar kota membawa istri: ‫اّللح َعلَْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا َكا َن َِبللَّْي ِل َس َار َم َع َعائِ َشةَ يَتَ َحدَّث‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َوَكا َن النَِّب‬ “Nabi SAW ketika malam hari berjalan bersama ‘Aisyah, berbincang dengannya.” (HR. Bukhari: 4810 dan HR. Shahih Muslim: 4477).` 120 | The Romanticism of the...(Arif Friyadi) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies h. Menenangkan Amarah Istri dengan Cara yang Baik. Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum wal Lailah: 454 meriyawatkan dari Sayyidah ‘Aisyah RA: ‫ اللهم رب ُممد اغفر ل‬: ‫ َي عويش قول‬: ‫كان إذا غضبت عائشة عرك النب صلى للا عليه وسلم أبنفها وقال‬ ‫ وأجرن من مضالت الفت‬، ‫ وأذهب غيظ قلب‬، ‫ذنب‬ Artinya, “Ketika ‘Aisyah marah, maka Nabi SAW mencubit hidungnya dan berkata, “Wahai ‘Uwaisy (panggilan kecil ‘Aisyah), katakanlah, ‘Ya Allah, Tuhan Muhammad, ampunilah dosaku, hilangkanlah kemarahan di hatiku dan selamatkanlah aku dari fitnah yang menyesatkan.” ِ ‫ ََِسعت الْ َق‬:‫اس ِم قَ َال‬ ِ ِ ‫الر ْْح ِن بن الْ َق‬ ‫اس َم بْ َن حُمَ َّمد‬ َ َ‫َحدَّثَنَا َعلِي بْ حن َعْب ِد للاِ ق‬ ‫ْ ح‬ ‫ ََس ْع ح‬:‫ َحدَّثَنَا حس ْفيَا حن قَ َال‬:‫ال‬ َ ْ َ َّ ‫ت َعْب َد‬ ِ ‫ فَ َدخل علَي رس ح‬، ‫ضت‬ ِ َ ‫ فَلَ َّما حكنَّا بِس ِر‬، ‫احل َّج‬ ِ ‫ي حق ح‬ ‫ت َعائِ َشةَ تَ حق ح‬ ‫ ََس ْع ح‬:‫ول‬ ‫فح ْ ح‬ َ ‫ول للا‬ ‫َ َ َ َّ َ ح‬ َْ ‫ َخَر ْجنَا َال نََرى إَِّال‬:‫ول‬ َ ‫صلَّى للاح‬ َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ، ‫آد َم‬ َ ‫ إِ َّن َه َذا أ َْمر َكتَ بَهح للاح َعلَى بَنَات‬:‫ قَ َال‬، ‫ نَ َع ْم‬:‫ت‬ ‫ قحلْ ح‬."‫ أَنحف ْست؟‬، ‫ َما لَك‬:‫ قَ َال‬، ‫َعلَْيه َو َسلَّ َم َوأَ َن أَبْكي‬ ِ ‫ وض َّحى رس ح‬:‫ قَالَت‬."‫ت‬ ِ ِ ِ ‫ َغْي أَ ْن َال تَطح ِوف َِبلْب ي‬، ‫احلاج‬ ‫صلَّى للاح َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َع ْن نِ َسائِِه‬ َْ َ ‫ول للا‬ ‫ْ َ َ َح‬ َْ ‫فَاقْضي َما يَ ْقضي‬ َْ ‫َِبلْبَ َق ِر‬ “Dari Qasim bin Muhammad berkata; “aku mendengar ‘Aisyah Ra berkata: “Kami keluar bersama Rasul untuk melaksanakan haji, ketika sedang perjalanan aku sedang haid. Masuklah Rasul ke tendaku dan aku sedang menangis. Berkata Rasul: Kenapa kamu menangis? Apa kamu sedang haid?” “Ya,” jawabku. Rasul berkata: “Bahwa haid itu adalah suatu hal yang sudah menjadi ketetapan Allah pada seorang perempuan. Maka jalankanlah seluruh rukun haji kecuali tawaf di Baitullah.” Lalu beliau menyembelihkan istri-istrinya sapi. (Shahih Bukhari 294, Al Muntaqa 513, Sunan Annasa’i juz 1 no. 347) i. Mengajak bersenang-senang saat istri sedang haid. ِ ‫ فَي ب‬، ‫وَكا َن َيْمرِن فَأَتَّ ِزر‬ ‫اش حرِن َوأَ َن َحائِض‬ َ‫ح ح‬ ‫َ َ حح‬ “Rasul memintaku untuk memakai sarung saat aku sedang haid lalu beliau mengajakku tidur bersama padahal aku sedang haid”. (Shahih Bukhari 299) Hadis ini sesuai dengan penjelasan dari Kitab Fathul Bari Sharakh Shahih Bukhari berkomentar bahwa mubasyarah artinya adalah bertemunya dua dua kulit bukan bertemunya dua kelamin karena jelas ini adalah haram. Beberapa ulama’ fikih menyebutkan bahwa bersenangsenang dengan istri saat sedang haid diperbolehkan kecuali pada area kelamin perempuan. Di atas atau di bawah itu maka diperbolehkan. Hadis di atas dikuatkan dengan hadis berikut: ِ ِ ‫الر ْْحَ ِن بْ ِن‬ َ َ‫َخ َََبَن َعلِي بْ حن حم ْس ِهر ق‬ َ َ‫يل بْ حن َخلِيل ق‬ َّ ‫ َع ْن َعْب ِد‬، ‫اق حه َو الشَّْي بَ ِان‬ َ ‫َخ َََبَن أَبحو إِ ْس َح‬ ْ ‫ أ‬:‫ال‬ ْ ‫ أ‬:‫ال‬ ‫َحدَّثَنَا إ َْسَاع ح‬ ِ ‫ فَأَراد رس ح‬، ‫ َكانَت إِح َدا َن إِذَا َكانَت حائِضا‬:‫ عن عائِشةَ قَالَت‬، ‫ عن أَبِ ِيه‬، ‫ْاْلَسوِد‬ ‫صلَّى للاح َعلَْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْن‬ َ َ َْ ً َ ْ ْ ْ ْ َ ‫ول للا‬ ‫ََ َح‬ ْ َ َْ ِ ِ ِ َ ‫ أَمرها أَ ْن تَتَّ ِزر ِف فَوِر حي‬، ‫اشرها‬ ِ ‫صلَّى للاح َعلَْي ِه‬ ‫ َوأَي حك ْم ميَْل ح‬:‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬.‫ حثَّ يحبَاش حرَها‬، ‫ضت َها‬ َ َ َ َ َ َ‫يحب‬ َْ ْ َ ‫ك إِ ْربَهح َك َما َكا َن النَِّب‬ َ ِ ِِ َ‫ ََتبَ َعهح َخالِد َو َج ِرير َع ِن الشَّْي ب‬، ‫ك إِ ْربَهح‬ .ِ‫ان‬ ‫َو َسلَّ َم ميَْل ح‬ The Romanticism of the...(Arif Friyadi) | 121 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 Dari ‘Aisyah Ra. berkata: Jika kami dulu sedang haid, dan Rasul ingin bersengsenang (tidur bersama) dengan kami, maka beliau meminta kami untuk memakai sarung di sekitar area haid lalu beliau bersenang-senang. Jika kalian menginginkan area di atas itu seperti Rasul maka lakukanlah. Dalam Fathul Bari dijelaskan dengan jelas bahwa beliau meminta istriistrinya untuk memakai sarung sehingga beliau dapat membelai area selain kemaluan. Seperti yang dijelaskan kebanyakan Ulama seperti Ahmad bin Hambal, Ishaq yang tidak diperbolehkan adalah bersenang-senang di area vagina, adapun di atas itu diperbolehkan. (Fathul Bari Sharakh Shahih Bukhari) C. SIMPULAN Hasil kajian ini menunjukkan bahwa secara kategorikal, Aisyah meriwayatkan hadis bertema keromantisan suami-istri 9 hadis, yaitu kemulian perempuan haid, mencium istri, mandi, menyisir, membelai, jalan-jalan, berbincang-bincang, menyenangkan hati istri dan menghibur perempuan haid. Hadis-hadis tersebut tidak hanya Nabi sebagai pelaku, namun terkadang Aisyah. Oleh karena itu, keromantisan tersebut menunjukkan bahwa asas dasar sikap Nabi kepada Aisyah adalah memulyakan, menghormati dan membahagiakan istri. Demikian, hadishadis riwayat Aisyah dapat disimpulkan bahwa Rasulullah merupakan sosok yang romantis. Bahkan akhir kehidupannya beliau memilih untuk dicabut nyawanya dalam pangkuan sang Istri, ‘Aisyah. DAFTAR BACAAN Adhim, M. F. (2002). Kado Pernikahan Untuk Istriku. Mitra Pustaka. Adrian, dr. K. (2018). Manfaat dari Ciuman Bibir. Alodokter. https://www.alodokter.com/ambil-manfaat-ciuman-namun-jauhibahayanya#:~:text=Berciuman dapat mengurangi rasa cemas,Anda merasa bahagia dan tenang. Altawheed (Direktur). (2012, Juni 26). ‫زوجات النب عليه الصالة والسالم أمهات المؤمني‬. https://www.youtube.com/watch?v=p00u-Nu3_KY Azni. (2015). Poligami Dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia [Disertassi]. Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Basir, S. (2019). MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH (No. 2). 6(2), Art. 2. https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/Al-Irsyad_AlNafs/article/view/14544 Dailumi, M. K. M. K. al. (1377). Sirâh ’Âisyah Ummu al Mu’minîn. t.p. ْ َْ َ ‫اإلعجاز الطب | نظ َرة اإل ْسالم لل َمرأة‬. Diambil 19 Oktober Dakr, M. N. al. (t.t.). ‫الحا ِئض‬ ِ ِ ِ ِ 2022, dari https://dar-islam.net/Detail.aspx?ArticleID=121 Dakr, Dr. M. N. A. (2011). Pandangan Islam Pada Perempuan Haid. Dar. al Islam. http://www.dar-islam.net/Detail.aspx?ArticleID=121 122 | The Romanticism of the...(Arif Friyadi) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Ḥanbal, A. ibn. (2001). Musnad Aḥmad bin Ḥanbal. Muassasah al Risâlah. Iskandar, Z. (2017). PERAN KURSUS PRA NIKAH DALAM MEMPERSIAPKAN PASANGAN SUAMI-ISTRI MENUJU KELUARGA SAKINAH. Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam, 10(1), 85. https://doi.org/10.14421/ahwal.2017.10107 Istiqlaliyah, U. (2016). PERAN DAN PENGARUH AISYAH DALAM BIDANG HADITS. Dirosat : Journal of Islamic Studies, 1(1), 41–52. https://doi.org/10.28944/dirosat.v1i1.7 Matondang, A. (2014). Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perceraian dalam Perkawinan. JPPUMA: Jurnal Ilmu Pemerintahan Dan Sosial Politik UMA (Journal of Governance and Political Social UMA), 2(2), Art. 2. https://doi.org/10.31289/jppuma.v2i2.919 Nadwiy, S. S. al-. (2007). Âisyah Ummu al-Mu’minîn. Dâr al Qalâm. Nurcahyono, Moh. L. (t.t.). PEREMPUAN DAN HAK-HAK ATAS HARTA Mahar, Fungsi, Dan Persepsi Masyarakat Di Indonesia. IAIN Jember. Orbuch, Ph. D. (2018). Bahasa Tubuh. https://m.medcom.id/rona/keluarga Rahmah, M. N. (2017). Romantika Rumah Tangga Rasulullah SAW. AlHiwar : Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah, 3(5). https://doi.org/10.18592/al-hiwar.v3i5.1197 Romlah, S. (2006). Karakteristik Keluarga Sakinah Dalam Perspektif Islamdan Pendidikan Umum. 88, 70. http://jurnal.upi.edu/88/view/362/karakteristik-keluarga-sakinahdalam-perspektif-islamdan-pendidikan-umum.html Tidjani, A. (2016). AISYAH BINTI ABU BAKAR RA: WANITA ISTIMEWA YANG MELAMPAUI ZAMANNYA. Dirosat : Journal of Islamic Studies, 1(1), 27– 40. https://doi.org/10.28944/dirosat.v1i1.6 Żahabi, S. bin A. al-. (2000). Siyar A’lâm al-Nabulâ. Muassasah al Risâlah. The Romanticism of the...(Arif Friyadi) | 123 Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 Sounds in Fawasil Verses and Its Relation to Meaning: Phonetic Studies of the Qur'an in Q.S al-Buruj Bunyi pada Fawasil Ayat dan Kaitannya dengan Makna: Kajian Fonetik Alqur’an pada Q.S al-Buruj Raisya Miftakhul Rahma raisyamifta0@gmail.com UIN Walisongo Semarang Article History Submitted : 28/11/2022 Reviewed : 30/11/2022 Revised : 27/12/2022 Aproved : 28/12/2022 Available OL: 28/12/2022 Abstract This paper is entitled "The Sound of the Fawasil Verse and Its Relation to the Meaning: Phonetic Study of the Qur'an in Q.S al-Buruj", aims to examine the beauty of the sound produced from the Fawasil verse of Q.S al-Buruj and its relation to the meaning contained in the verse, because every letter in the Qur'an is a miracle that proves that the Qur'an is Kalamullah. This paper is a qualitative research with a library research approach and the paper uses phonetic theory. The subject of this paper is fawasilul ayat. Data will be collected using documentation analytical methods and data will be analyzed using descriptive percentage analysis methods. The conclusion of this paper is that the fawasil verse is evidence of the fluency of the Qur'an which explains that the Qur'an did not come from human speech. The beauty of the fawasil verse of Q.S al-Buruj lies in the last letter that forms the rhyme and the last syllable that produces a long sound. In addition, the sounds of the letters in the fawasil verse are related to their meaning content. The difference is very visible when the Qur'an explains two contradictory things, namely about the recompense for the disbelievers and the recompense for the believers which is voiced with a sound of inhibition and silent vibration. Keyword: Fawasil Verse, Phonetics, Q.S al-Buruj. URL: https://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/AQWAL/article/view/6414/2651 DOI: https://doi.org/10.28918/aqwal.v3i2.6414 Abstrak Tulisan ini berjudul “Bunyi pada Fawasil Ayat dan Kaitannya dengan Makna: Kajian Fonetik Alquran pada Q.S al-Buruj”, bertujuan untuk 124 | Sound in Fawasil....(Raisya Miftakhul) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies mengkaji keindahan bunyi yang dihasilkan dari fawasil ayat Q.S al-Buruj dan kaitannya dengan makna yang terkandung di dalam ayatnya. Karena setiap huruf di dalam Alquran adalah mukjizat yang membuktikan bahwa Alquran adalah kalamullah. Artikel ini termasuk jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan library research dan menggunakan teori fonetik. Subjek dari penelitian ini adalah fawasil ayat. Data akan dikumpulkan dengan menggunakan metode dokumentasi dan data akan diolah menggunakan metode deskriptif analisis persentase. Adapun kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa fawasil ayat menjadi bukti kefasihan Alquran yang menjelaskan bahwa Alquran tidak datang dari lisan manusia. Keindahan fawasil ayat Q.S al-Buruj terletak pada huruf terakhir yang membentuk sajak dan suku kata terakhir yang menghasilkan bunyi panjang. Selain itu, bunyi-bunyi huruf pada fawasil ayat berkaitan dengan kandungan maknanya. Sangat terlihat perbedaannya ketika Alquran menjelaskan dua hal yang berlawanan yaitu tentang balasan bagi orangorang kafir dan balasan bagi orang-orang mukmin yang disuarakan dengan bunyi hambat dan bunyi getaran. Kata kunci: Fawasil ayat, Fonetik, Q.S al-Buruj. A. PENDAHULUAN Alquran adalah kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat hingga akhir zaman yang tidak ada seorang pun mampu menandinginya. Mukjizat tersebut mencakup banyak hal yang menurut al-Shabuni terletak pada 10 aspek, diantaranya: susunan kata dan redaksi, serta kandungan maknanya (al-Shabuny, 2003). Bahkan aspek terkecil pada Alquran yaitu huruf-hurufnya dapat dibuktikan sebagai mukjizat. Sebagaimana al-Qattan menyebutkan bahwa huruf-huruf hijaiyah pada Alquran cukup untuk membuktikan kalau Alquran adalah kalamullah yaitu saat huruf-huruf tersebut membentuk kata-kata (al-Qattan, 2000). Salah satu huruf-huruf Alquran yang mu’jiz itu terletak pada fawasil ayat Alquran. Singkatnya, fawasil ayat merupakan kata penutup pada setiap ayat. Sebagaimana Abu Musa mengatakan tentang fawasil ayat: “kami yakin bahwa Alquran sangat memperhatikan fawasil ayatnya agar selalu selaras. Keselarasan tersebut adalah salah satu perantara terkuat dalam memberikan pengaruh terhadap jiwa dan hati nurani melalui nada dan iramanya. Kegembiraan akan dirasakan oleh seseorang ketika ia membaca ayat-ayat Alquran dengan nada dan irama yang indah kemudian diakhiri dengan fawasil ayat yang selaras” (Musa, 1996). Namun pada kenyataannya bahwa ayat-ayat Alquran tidak selalu diakhiri dengan fawasil ayat yang selaras, misalnya saja Q.S al-Buruj. Di tengah-tengah keindahan fawasil ayatnya yang berakhiran huruf qalqalah, fasilah ayat ke-sebelas Q.S alBuruj diakhiri dengan huruf ra’ seakan secara zahir telah merusak Sound in Fawasil.... (Raisya Miftakhul) | 125 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 keindahan nada dan irama yang tercipta. Padahal sejatinya Alquran merupakan kitab suci yang sempurna. Dengan pendekatan fonetik yaitu pendekatan yang membahas tentang bunyi huruf, penulis berasumsi bahwa huruf terakhir pada setiap fawasil ayat Alquran sangat berkaitan dengan kandungan makna ayatnya karena setiap huruf hijaiyah memiliki sifat yang berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk membuktikan kemukjizatan Alquran yang terletak pada fawasil ayat, penelitian ini bermaksud untuk mengeksplorasi keindahan bentuk fawasil ayat pada Q.S al-Buruj dengan pendekatan fonetik dan bagaimana kaitannya dengan makna yang terkandung di dalam ayatnya. Tulisan ini menggunakan metode kepustakaan yang bersifat deskriptif-analitis, yaitu memberikan data-data secara sistematis dan akurat (Hardani et al., 2020), lalu dianalisis dan dipersentasikan. Penelitian ini ditinjau dengan pendekatan fonetik, yaitu ilmu yang membahas tentang bunyi bahasa. Penelitian tentang fawasil ayat (sajak) dan ilmu bunyi sebenarnya sudah banyak yang mengkaji, tetapi kebaharuan dari penulis adalah penulis menspesifikkan dan membatasi pembahasan fawasil ayat pada surah al-Buruj. Pertama, Jamaliyah Shaut al-Fasilah Alquraniyyah wa ‘Alaqatuha bi al-Ma’na (Keindahan Bunyi Fasilah Alquran dan Kaitannya Dengan Makna), jurnal yang ditulis oleh Ban Hameed Farhan. Kedua, Kesamaan Bunyi Pada Sajak (Kajian Fonologi alQur’an dalam Surat al ‘Asar), jurnal yang ditulis oleh M Afif Amrulloh. Ketiga, Fonologi al-Qur’an Pada Surah Asy Syamsy Analisis Keserasian Bunyi Pada Sajak Dan Efek Yang Ditimbulkannya, jurnal yang ditulis oleh Tri Tami Gunarti. Ke-empat, Stilistika Bahasa Arab Dalam Alquran Ditinjau Dari Ranah al-Ashwaat, jurnal yang ditulis oleh Muhammad Hamdani. Maka, penulis bertolak pada kebaharuan yang dimunculkan penulis yaitu penulis menspesifikkan dan membatasi pembahasan fawasil ayat pada surah al-Buruj, artikel dengan judul “BUNYI PADA FAWASIL AYAT DAN KAITANNYA DENGAN MAKNA: Kajian Fonetik Alquran Pada Q.S al-Buruj” sangat layak untuk diteliti. B. PEMBAHASAN 1. Fawasil Ayat Fawasil secara etimologi adalah kata majemuk dari fasilah yang terdiri dari tiga huruf asli yaitu fa’-waw-shad yang berarti menjelaskan salah satu dari dua hal hingga ada pembeda diantara keduanya, membagi atau membedakan sesuatu. Sebagaimana yaum al-fasl dapat diartikan sebagai suatu hari yang menjelaskan kebenaran dari kebatilan (al-Ashfahany, 1992) Jika dilihat dari beberapa buku Ulum Alquran, akan ditemukan beberapa pengertian terminologi dari fawasil yang dirumuskan oleh beberapa ulama. Al-Zarkasyi misalnya, ia memahami fawasil dengan kata terakhir pada setiap ayat Alquran sebagaimana qafiah pada syair atau sajak pada prosa (al-Zarkasyi, 1957). Sebagaimana contoh pada Q.S al-Lail (92): 1-3 berikut: (3)‫َرِ َو ْاْل ُ ْنثَى‬ َِ ‫)ِ َو َماِ َخلَقَِِالذَّك‬2(ِ‫)ِ َوالنَّ َهارِِإذَاِت َ َجلَّى‬1(ِ‫َواللَّيْلِِإذَاِيَ ْغشَى‬ 126 | Sound in Fawasil.... (Raisya Miftakhul) AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 Al-Dani mendefinisikan fawasil dengan kalimat sempurna yang memisahkan kalimat sempurna setelahnya. Maka setiap tajuk ayat adalah fasilah namun tidak setiap fasilah adalah tajuk ayat (al-Dany, 1994). Dengan demikian satu ayat Alquran bisa terdiri dari fawasil ayat. Misalnya pada Q.S al-Fatihah (1): 7 terdapat dua fasilah ayat, yaitu: ِ َ ‫علَيْه ِْمِ َو‬ َ ِ‫علَيْه ِْم‬ َِ ‫ص َرا‬ (7)َِ‫لِالضَّالين‬ َ ِِ‫غيْرِِ ْال َم ْغضُوب‬ َ َِِ‫طِالَّذينَِِأ َ ْنعَ ْمت‬ Dari dua definisi di atas, penulis tidak membedakan antara fawasil ayat dan tajuk ayat, sehingga penulis akan merujuk pada pandangan yang paling umum yaitu fawasil ayat adalah kata yang menjadi penutup pada setiap ayat. Fawasil ayat Alquran pada tatanannya berperan memberikan keindahan bunyi pada nada irama yang dihasilkan layaknya sajak pada prosa dan qafiah pada puisi. Fawasil ayat Alquran juga berperan menyempurnakan makna pada ayat tersebut yang apabila fasilah ayatnya berubah dapat mempengaruhi maknanya. Sebagaimana al-Badawi menyebutkan bahwa fasilah ayat pada Alquran layaknya batu bata yang unggul dalam struktur bangunan surat (al-Badawy, 2005). Sebenarnya para ulama dalam hal peran fawasil ayat juga berbeda pendapat. Kelompok pertama berpendapat bahwa terbentuknya huruf-huruf pada fawasil ayat bertujuan hanya untuk memberikan keindahan bunyi pada Alquran. Namun, kelompok kedua berpendapat bahwa yang menjadi tujuan dari keserasian huruf-huruf pada fawasil ayat adalah makna yang terkandung di dalamnya. Adapun keserasian huruf pada fawasil ayat hanya mengikuti saja (Yasuf, 1999). Kemudian, fawasil ayat apabila ditinjau dari wazn dan huruf rawinya dapat dibagi menjadi empat, yaitu: fasilah mutawaziyah, fasilah mutawazinah fasilah mutharrafah, fasilah mursalah (al-Jarmy, 2001). Pertama, fasilah mutawaziyah adalah keserasian akhir ayat pada wazn dan huruf rawinya, seperti contoh pada Q.S al-Infithar (83): 1-2: َ َ‫س َما ُِءِا ْنف‬ (2)ِْ‫)ِ َوإذَاِ ْالك ََواكبُِِا ْنتَث َ َرت‬1(ِِْ‫ط َرت‬ َّ ‫إذَاِال‬ Kedua, fasilah mutawazinah adalah keserasian akhir ayat pada wazn tanpa huruf rawinya, seperti Q.S al-Takwir (81): 6-7: (7)ِْ‫وسِ ُزو َجت‬ ُِ ُ‫)ِ َوإذَاِالنُّف‬6(ِِْ‫حارِسُج َرت‬ ُِ ‫َوإذَاِ ْالب‬ Ketiga, fasilah mutharrafah yakni keserasian akhir ayat pada huruf rawi tanpa waznnya, seperti yang tertera pada Q.S al-Qamar (54): 1-2: (2)ِ‫نِ َي َر ْواِآ َيةِِيُ ْعرضُواِ َو َيقُولُواِسحْ رِِ ُم ْست َمر‬ ِْ ‫)ِ َوإ‬1(ِ‫َقِ ْالقَ َم ُِر‬ َِّ ‫ع ِةُِ َوا ْنش‬ َ ‫ا ْقت ََر َبتِِالسَّا‬ Ke-empat, fasilah mursalah yaitu tidak ada keserasian akhir ayat pada wazn dan huruf rawinya, sebagaimana contoh pada Q.S al-Dhuha (93): 1011: َِ ‫َوأ َ َّماِالسَّائ‬ (11)‫ث‬ ِْ ‫)ِ َوأ َ َّماِبن ْع َمةِِ َربكَِِفَ َحد‬10(ِ‫لِفَالِت َ ْن َه ِْر‬ Sound in Fawasil.... (Raisya Miftakhul) | 127 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 2. Fonetik/ Ilmu al-Aswat Secara etimologi, kata fonetik (bahasa Indonesia) adalah serapan dari bahasa Inggris, yaitu phonetics yang artinya salah satu cabang di bidang ilmu linguistik yang membahas tentang penghasilan bunyi-bunyi. Dalam literatur Arab, fonologi disebut dengan ‫ فونيتيك‬sebagai serapan dari bahasa Inggris. Namun sering juga diistilahkan dengan ‫ علم ِاْلصوات‬sebagai hasil terjemahan dari hakekat fonetik itu sendiri (Nasution, 2017). Secara terminologi, fonetik dipahami dengan cabang linguistik yang membahas tentang bunyi bahasa atau ujaran bunyi tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut membedakan makna kata atau tidak. Yang menjadi fokus kajiannya adalah bagaimana bunyi diproduksi atau disebut fonetik artikulatoris, bagaimana properti bunyi getaran atau fonetik akustik, dan bagaimana bunyi diterima oleh telinga atau disebut dengan fonetik auditoris (Dhamawati et al., 2017). Namun, yang berhubungan dengan ilmu linguistik adalah fonetik artikulatoris. Pada dasarnya, bunyi dihasilkan melalui kerjasama antara udara dari paru-paru dan alat-alat bicara. Bunyi tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu vokal dan konsonan. Vokal adalah bunyi yang dihasilkan dari getaran pita suara tanpa penyempitan pada saluran suara di atas glotis. Bunyi vokal pada bahasa arab, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu panjang dan pendek. Huruf vokal pendek, yaitu: /a/, /i/, dan /u/ dan huruf vokal panjang, yaitu: /â/, /î/ dan /ū/. Konsonan adalah bunyi yang dihasilkan dari getaran pita suara yang terhambat oleh aliran udara pada salah satu tempat di saluran suara di atas glotis. Huruf-huruf tersebut adalah /ِ,/‫ب‬/ِ,/‫ء‬ ِ,/‫م‬/ِ,/‫ل‬/ِ,/‫ك‬/ِ,/‫ق‬/ِ,/‫ف‬/ِ,/‫غ‬/ِ,/‫ع‬/ِ,/‫ظ‬/ِ,/‫ط‬/ِ,/‫ض‬/ِ,/‫ص‬/ِ,/‫ش‬/ِ,/‫س‬/ِ,/‫ز‬/ِ,/‫ر‬/ِ,/‫ذ‬/ِ,/‫د‬/ِ,/‫خ‬/ِ,/‫ح‬/ِ,/‫ج‬/ِ,/‫ث‬/ِ,/‫ت‬/ ‫ه‬/ِ,/‫و‬/ِ,/‫ن‬//, dan /‫ي‬/ (Nasution, 2017). Bunyi-bunyi konsonan tersebut diklasifikasikan menjadi tiga faktor, yaitu ditinjau dari faktor keadaan pita suara sebagai alat artikulasi, faktor daerah artikulasi dan faktor cara artikulasinya. Berdasarkan faktor keadaan pita suaranya, bunyi konsonan dibagi menjadi dua, yaitu: konsonan bersuara (‫ )مجهور‬dan konsonan tidak bersuara (‫)مهموس‬. Konsonan bersuara yaitu bunyi yang dihasilkan apabila pita suara ikut bergetar saat pelafalannya, huruf-hurufnya adalah /ِ,/‫ل‬/ِ,/‫غ‬/ِ,/‫ع‬/,/‫ظ‬/ِ,/‫ض‬/ِ,/‫ز‬/ِ,/‫ر‬/ِ,/‫ذ‬/ِ,/‫د‬/ِِ,/‫ج‬/ِ,/‫ب‬ ‫و‬/ِ,/‫ن‬/ِ,/‫م‬//, dan /‫ي‬/. Sedangkan konsonan tidak bersuara adalah bunyi yang dihasilkan apabila pita suara tidak ikut bergetar saat pelafalannya, hurufhurufnya adalah /‫ك‬/ِ ,/‫ق‬/ِ ,/‫ف‬/ِ ِ ,/‫ط‬/ِ ,/‫ص‬/ِ ,/‫ش‬/ِ ,/‫س‬/ِ ,/‫خ‬/ِ ,/‫ح‬/ِ ,/‫ث‬/ِ ,/‫ت‬/ِ ,/‫ء‬/, dan /‫ه‬/ (Nasution, 2017). Berdasarkan faktor daerah artikulasinya, bunyi konsonan dibagi menjadi 11, yaitu: a. Bunyi bilabial adalah bunyi yang dihasilkan dari bibir atas yang dipertemukan dengan bibir bawah, sementara aliran udara dari paruparu tertahan sementara waktu hingga akhirnya katupan itu dilepaskan. Huruf-hurufnya adalah /‫ب‬/,/‫م‬/, dan /‫و‬/. Adapun huruf /‫ب‬/ dihasilkan dengan cara menghambat aliran udara secara sempurna dan 128 | Sound in Fawasil.... (Raisya Miftakhul) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies melepaskannya secara tiba-tiba sehingga keluar dengan letupan. Dan huruf /‫م‬/ dihasilkan melalui kedua bibir terkatup rapat dan udara keluar dari rongga hidung atau disebut dengan nasal b. Bunyi labio-dental yaitu bunyi yang dihasilkan bibir bawah yang ditekan pada gigi atas sehingga terjadi penyempitan udara. Hambatan udara tersebut tidak sempurna sehingga udara keluar secara bergeser melalui sela-sela bibir dengan gigi. Hurufnya adalah /‫ف‬/ c. Bunyi apio-denal-alveolar atau lamionalveolar yaitu bunyi yang dihasilkan dari ujung lidah yang bersentuhan dengan pangkal gigi atas di depan gusi. Huruf-hurufnya adalah /‫ت‬/ِ ,/‫ط‬/ِ ,/‫ل‬/ِ ,/‫ض‬/ِ ,/‫د‬/, dan /‫ن‬/. Huruf /‫ض‬/ِ,/‫د‬/ termasuk konsonan letup, sementara /‫ت‬/ِ,/‫ط‬/tidak letup. Proses artikulasi huruf /‫ل‬/ terjadi saat bagian rongga mulut terhalang dan udara keluar melalui kedua sisi lidah yang bersentuhan dengan bagian depan gusi. Sedangkan huruf /‫ن‬/ terjadi saat anak tekak dan langit-langit lunak turun menutup udara ke rongga mulut namun udara keluar melalui rongga hidung d. Bunyi avico-alveolars yaitu bunyi yang dihasilkan dari ujung lidah yang bersentuhan dengan gusi, sehingga menyebabkan penyempitan keluarnya udara secara perlahan yang kemudian keluar tanpa letupan. Huruf-hurufnya adalah /‫ر‬/ِ,/‫ز‬/ِ,/‫س‬/, dan /‫ص‬/ e. Bunyi dorso-velar yaitu bunyi yang dihasilkan dari belakang lidah (artikulator aktif) yang ditempelkan pada langit-langit lunak (artikulator pasif). Huruf-hurufnya adalah /‫ك‬/ِ,/‫غ‬/, dan /‫خ‬/ f. Bunyi inter-dental yaitu bunyi yang dihasilkan dari ujung lidah yang diletakkan antara gigi atas dan gigi bawah tanpa menutup arus udara secara sempurna. Huruf-hurufnya adalah /‫ذ‬/ِ,/‫ث‬/, dan /‫ظ‬/ g. Bunyi foronto-palatal yaitu bunyi yang dihasilkan karena tekanan daun lidah pada langit-langit keras. Huruf-hurufnya adalah /‫ج‬/ dan /‫ش‬/ h. Bunyi dorso-uvulars yaitu bunyi yang dihasilkan dari pangkal lidah yang bertemu dengan anak tekak, sehingga udara terhambat dengan sempurna. Ketika hambatan udara dilepaskan maka terjadi letupan. Hurufnya adalah /‫ق‬/ i. Bunyi root-pharyngeals yaitu bunyi yang dihasilkan dari akar lidah yang didekatkan kepada dinding rongga kerongkongan, tetapi tidak sampai menyentuhnya. Hurufnya adalah /‫ح‬/ dan /‫ع‬/ j. Bunyi golotals yaitu bunyi yang dihasilkan dua pita suara yang dirapatkan sehingga udara dari paru-paru yang melewati antara akar lidah dan dinding belakang rongga kerongkongan terhambat. Hurufnya adalah /‫ه‬/ dan /‫ء‬/ k. Bunyi madio-patatals yaitu bunyi yang dihasilkan dari lidah bagian tengah yang dinaikkan ke arah langit-langit atas tanpa menyentuhnya. Hurufnya adalah /‫ي‬/ (Nasution, 2017) Bunyi konsonan berdasarkan faktor cara artikulasinya dapat dibagi menjadi 7, yaitu: Sound in Fawasil.... (Raisya Miftakhul) | 129 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 a. Hambat atau letupan yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara menghambat secara penuh arus udara kemudian dilepaskan secara tiba-tiba. Huruf-hurufnya adalah /‫ق‬/ِ,/‫ط‬/ِ,/‫ض‬/ِ,/‫د‬/ِ,/‫ت‬/ِ,/‫ب‬/, dan /‫ك‬/ b. Geseran atau frikatif yaitu bunyi yang dihasilkan akibat penyempitan arus udara sehingga menghalangi udara yang keluar dari paru-paru dan keluar dengan bergeser. Huruf-hurufnya adalah /ِ,/‫ظ‬/ِ,/‫ش‬/ِ,/‫س‬/ِ,/‫خ‬/ِ,/‫ح‬/ِ,/‫ث‬ ‫ز‬/ِ ,/‫ذ‬/ِ ,/‫غ‬/ِ ,/‫ع‬//, dan /‫ه‬/. Perbedaan antara konsonan hambat dan konsonan geser ada pada cara penghambatan bunyi yang keluar dari paru-paru c. Paduan atau afrikatif yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menghambat arus udara secara penuh dan dilepaskan secara perlahan. Hurufhurufnya adalah /‫ج‬/ d. Nasal atau sangauan yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menghambat aliran udara melalui mulut secara penuh dan membiarkannya keluar melalui rongga hidung dengan bebas. Huruf-hurufnya adalah /‫م‬/, dan /‫ن‬/, serta beberapa tanwin e. Getaran yaitu bunyi yang dihasilkan berupa getaran berulang akibat kontak beruntun artikulator aktif dengan artikulator pasif. Hurufnya adalah /‫ر‬/ f. Lateral atau sampingan yaitu bunyi yang dihasilkan oleh artikulator aktif dengan menghambat udara pada bagian tengah mulut dan membiarkannya keluar melalui samping lidah. Hurufnya adalah /‫ل‬/ g. Hampiran atau aproksiman yaitu bunyi yang dihasilkan oleh kedua artikulator aktif dan pasif dengan membentuk ruang yang mendekati posisi terbuka seperti dalam pembentukan vokal tetapi tidak cukup sempit untuk menghasilkan bunyi konsonan geseran. Hurufnya adalah /‫ي‬/ (Nasution, 2017) Selain ketiga klasifikasi di atas, terdapat klasifikasi bunyi berdasarkan faktor tinggi rendahnya bagian pangkal lidah, bunyi dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu bunyi tebal (‫ )مفخم‬dan bunyi tipis (‫)مرقق‬. Bunyi tebal adalah bunyi yang dihasilkan dengan naiknya bagian pangkal lidah saat melewati pelat langit-langit mulut sehingga menghalangi aliran dan menyebabkan gesekan udara pada titik pertemuan keduanya. Jadi yang dimaksud adalah gerakan organ dan ujung lidah tetap dalam posisi netral. Adapun huruf-hurufnya adalah /‫ط‬/ِ ,/‫ض‬/ِ ,/‫ص‬/, dan /‫ظ‬/. Maka selain keempat huruf tersebut adalah termasuk bunyi tipis (al-Tawwab, 1997). Saat sebuah bunyi terangkai dengan bunyi lain maka terbentuklah suku kata atau disebut dengan silabel. Silabel adalah satuan ritmis terkecil dalam suatu runtutan bunyi ujaran atau arus ujaran (Siminto, 2013). Silabel atau dalam istilaah Arab disebut ‫ المقطع ِالصوتي‬juga dapat dipahami sebagai sejumlah huruf yang mengandung harakat/ tanda baca. Dalam bahasa Arab klasik, misalnya, tidak boleh dimulai dengan harakat/ tanda baca, dan oleh karena itu setiap suku kata dimulai dengan salah satu bunyi konsonan (al-Tawwab, 1997). 130 | Sound in Fawasil.... (Raisya Miftakhul) AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 Suku kata di dalam bahasa Arab dibagi menjadi dua, yaitu panjang dan pendek. Suku kata pendek adalah suku kata yang dimulai dengan bunyi konsonan dan setelahnya harakat pendek, seperti contohnya ‫ح‬ َِ َ ‫ فَت‬dalam bahasa Arab. Dan suku kata pendek hanya bersifat terbuka yaitu menerima tambahan bunyi. Maka ketika bertambahnya huruf konsonan atau harakat lain pada suku kata pendek, maka bergantilah menjadi suku kata panjang. Sedangkan suku kata panjang adalah suku kata yang dimulai dengan bunyi konsonan dan setelahnya harakat panjang. Suku kata panjang dibagi menjadi dua, yaitu terbuka dan tertutup. Suku kata panjang terbuka misalnya kata ‫ي‬ ِْ ‫ ف‬dalam bahasa Arab, karena menerima tambahan bunyi. Sedangkan suku kata panjang tertutup adalah suku kata yang dimulai dengan huruf konsonan yang setelahnya harakat pendek dan bunyi konsonan lain, contohnya ‫ن‬ ِْ ‫ع‬ َ atau dimulai dengan bunyi konsonan setelahnya harakat panjang dan huruf konsonan lain, contohnya ِ‫فيْل‬. Dan di dalam bahasa Arab, ada suku kata panjang tambahan yaitu suku kata yang dimulai dengan huruf konsonan setelahnya harakat pendek dan setelahnya dua huruf konsonan yang lain berurutan, contohnya ِ‫ستْر‬ َ (al-Tawwab, 1997). Suku kata diatas dapat diringkas menjadi 5 bentuk, yaitu: a. Suku kata pendek terbuka: bunyi konsonan + harakat pendek b. Suku kata panjang terbuka: bunyi konsonan + harakat panjang c. Suku kata panjang tertutup dengan harakat pendek: bunyi konsonan + harakat pendek + bunyi konsonan d. Suku kata panjang tertutup dengan harakat panjang: bunyi konsonan + harakat panjang + bunyi konsonan e. Suku kata panjang tambahan: bunyi konsonan + harakat pendek + bunyi konsonan + bunyi konsonan 3. Analisis Fonetik pada Q.S al-Buruj Layaknya sajak dan qafiah, fawasil ayat berperan penting dalam tatanan suatu surat. Keindahan fawasil ayat Alquran dapat dilihat pada bentuknya, yaitu huruf dan suku kata terakhirnya. Adapun fawasil ayat pada Q.S alBuruj apabila diperhatikan memuat semua jenis fasilah, yang dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1 Fawasil Ayat Q.S al-Buruj dan Jenisnya AYAT KE- FASILAH HURUF AYAT AKHIR KE- FASILAH HURUF AKHIR 1 ِ‫ال رُْبروج‬ /‫ج‬/ 12 ِ‫لَ َشديد‬ /‫د‬/ 2 ِ‫ال َْم ْوعرود‬ /‫د‬/ 13 ِ‫يد‬ ‫يرع ر‬ /‫د‬/ 3 ِ‫َم ْش رهود‬ /‫د‬/ 14 ِ‫ود‬ ‫اِلْ َورد ر‬ /‫د‬/ Sound in Fawasil.... (Raisya Miftakhul) | 131 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 4 ِ‫رخ ردود‬ ْ ‫ْاْل‬ /‫د‬/ 15 ِ‫يد‬ ‫ال َْمج ر‬ /‫د‬/ 5 ِ‫ال َْوقرود‬ /‫د‬/ 16 ِ‫يد‬ ‫يرر ر‬ /‫د‬/ 6 ِ‫قر رعود‬ /‫د‬/ 17 ِ‫ا ْْلرنرود‬ /‫د‬/ 7 ِ‫رش رهود‬ /‫د‬/ 18 ِ‫ود‬ َ ‫َثَر‬ /‫د‬/ 8 ِ‫ا ْْلَميد‬ /‫د‬/ 19 ِ‫تَكْذيب‬ /‫ب‬/ 9 ِ‫َشهيد‬ /‫د‬/ 20 ِ‫رُميط‬ /‫ط‬/ 10 ِ‫ا ْْلَريق‬ /‫ق‬/ 21 ِ‫ََميد‬ /‫د‬/ 11 ‫الْ َِكبيِر‬ /‫ر‬/ 22 ِ‫ُمَْ رفوظ‬ /‫ظ‬/ Dengan demikian, tampaklah keindahan fawasil ayat pada Q.S al-Buruj yaitu bagaimana ayat-ayatnya membentuk sajak diakhiri dengan huruf /‫د‬/, yaitu terletak pada ayat kedua sampai ayat ke-sembilan dan ayat kedua belas sampai ayat ke delapan belas. Secara keseluruhan, bunyi terakhir pada fawasil ayat pada Q.S alBuruj, yaitu /‫ط‬/ِ,/‫ب‬/ِ,/‫ر‬/ِ,/‫ق‬/ِ,/‫د‬/ِ,/‫ج‬/, dan /‫ظ‬/. Adapun munculnya bunyi-bunyi tersebut dapat dipersentasikan sebagai berikut: Tabel 2 Bunyi Terakhir Fawasil Ayat Q.S al-Buruj BUNYI JUMLAH FASILAH PRESENTASE 16 72,72% /‫د‬/ 1 4,54 % /‫ج‬/ 1 4,54 % /‫ق‬/ 1 4,54 % /‫ر‬/ 1 4, 54 % /‫ب‬/ 1 4,54 % /‫ط‬/ 1 4,54 % /‫ظ‬/ Di dalam Alquran, huruf /‫د‬/ tergolong sebagai huruf yang sering digunakan pada akhir fawasil ayat dengan persentase 4,62% (Khidir, 2009). Begitu pula pada Q.S al-Buruj, huruf /‫د‬/ tergolong sebagai huruf yang sering muncul pada fawasil ayat yaitu sebanyak 72,72%. Selain itu, huruf-huruf yang sering muncul di akhir fawasil ayat adalah huruf /‫ب‬/ dan /‫ر‬/ (Khidir, 2009). Namun pada Q.S al-Buruj, huruf-huruf tersebut hanya muncul satu kali dengan persentase masing-masing sebanyak 4,54%. 132 | Sound in Fawasil.... (Raisya Miftakhul) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Setelah itu, huruf /‫ج‬/ dan /‫ق‬/ yang mengakhiri fawasil ayat di dalam Alquran menduduki posisi kedua dengan kategori sedang (Khidir, 2009). Namun pada Q.S al-Buruj, huruf-huruf tersebut juga muncul hanya satu kali dengan persentase masing-masing sebanyak 4,54%. Terakhir, huruf /‫ط‬/ menduduki posisi ketiga dengan kategori sedikit dan huruf /‫ظ‬/ menduduki posisi terakhir dengan kategori jarang (Khidir, 2009). Namun pada Q.S al-Buruj, huruf-huruf tersebut juga muncul hanya satu kali dengan persentase masing-masing sebanyak 4,54%. Adapun kaitan makna dengan bunyi-bunyi dijelaskan setelah pembahasan suku kata di bawah ini. Fawasil ayat jika ditinjau dari jumlah suku katanya terdapat 4 macam, yaitu bersuku kata dua, bersuku kata tiga bersuku kata empat, dan bersuku kata lima (Ashi, 2020). Adapun bentuk suku kata pada fawasil ayat Q.S al-Buruj adalah sebagai berikut: Tabel 3 Suku Kata Fawasil Ayat Q.S al-Buruj AYAT FAWASIL SUKU KATA JUMLAH KEAYAT 1 ِ‫ْالب ُُروج‬ Panjang tertutup berharakat 3 pendek + pendek terbuka + panjang tertutup berharakat panjang ْ 2 ِ‫ال َم ْوعُود‬ Panjang tertutup berharakat 3 pendek + panjang tertutup berharakat pendek + panjang tertutup berharakat panjang 3 ِ‫َم ْش ُهود‬ Panjang tertutup berharakat 2 pendek + panjang tertutup berharakat panjang 4 ِ‫ْاْل ُ ْخدُود‬ Panjang tertutup berharakat 3 pendek + panjang tertutup berharakat pendek + panjang tertutup berharakat panjang 5 ِ‫ْال َوقُود‬ Panjang tertutup berharakat 3 pendek + pendek terbuka + panjang tertutup berharakat panjang ُ 6 ِ‫قعُود‬ Pendek terbuka + panjang 2 tertutup berharakat panjang ُ 7 ِ‫ش ُهود‬ Pendek terbuka + panjang 2 tertutup berharakat panjang 8 ِ‫ْال َحميد‬ Panjang tertutup berharakat 3 pendek + pendek terbuka + panjang tertutup berharakat panjang 9 ِ‫شَهيد‬ Pendek terbuka + panjang 2 tertutup berharakat panjang Sound in Fawasil.... (Raisya Miftakhul) | 133 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies 10 Vol. 3 No. 2 2022 ِ‫ْال َحريق‬ Panjang tertutup berharakat 3 pendek + pendek terbuka + panjang tertutup berharakat panjang ْ 11 ُِ ‫الكَب‬ ‫ير‬ Panjang tertutup berharakat 3 pendek + pendek terbuka + panjang tertutup berharakat panjang َ 12 ِ‫لشَديد‬ Pendek terbuka + pendek 3 terbuka + panjang tertutup berharakat panjang ُ‫يُعي ِد‬ 13 Pendek terbuka + panjang 2 tertutup berharakat panjang ُ ‫ْال َودُو ِد‬ 14 Panjang tertutup berharakat 2 pendek + pendek terbuka + panjang tertutup berharakat panjang ُ‫ْال َمجي ِد‬ 15 Panjang tertutup berharakat 2 pendek + pendek terbuka + panjang tertutup berharakat panjang ُ‫يُري ِد‬ 16 Pendek terbuka + panjang 2 tertutup berharakat panjang ْ ُ 17 ِ‫ال ُجنود‬ Panjang tertutup berharakat 3 pendek + pendek terbuka + panjang tertutup berharakat panjang َ 18 Pendek terbuka + panjang 2 َ‫ث ُمو ِد‬ tertutup berharakat panjang 19 ِ‫ت َ ْكذيب‬ Panjang tertutup berharakat 2 pendek + panjang tertutup berharakat panjang 20 ِ‫ُمحيط‬ Pendek terbuka + panjang 2 tertutup berharakat panjang 21 ِ‫َمجيد‬ Pendek terbuka + panjang 2 tertutup berharakat panjang 22 ِ‫َمحْ فُوظ‬ Panjang tertutup berharakat 2 pendek + panjang tertutup berharakat panjang Secara keseluruhan, fawasil ayat Q.S al-Buruj bersuku kata dua dan tiga. fawasil ayat bersuku kata dua sebanyak 13 kali dengan persentase 59% dan fawasil ayat bersuku kata tiga sebanyak 9 kali dengan persentase 41%. Keindahan fawasil ayat Q.S al-Buruj yang terletak pada suku katanya yaitu bagaimana ia selalu diakhiri dengan suku kata panjang tertutup dengan harakat panjang dengan bunyi vokal panjang /î/ dan /ū/. Hal ini mengakhibatkan panjangnya suara sehingga menghasilkan lantunan ayat 134 | Sound in Fawasil.... (Raisya Miftakhul) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Alquran yang indah. Selain itu, karena orang Arab sangat senang saat bernyanyi dengan memanjangkan suara (Sibawaihi, 1988). Bunyi-bunyi yang muncul di akhir fawasil ayat memberikan isyarat pada kandungan makna pada ayat tersebut. Untuk mengetahui kaitan bunyi fawasil ayat dengan maknanya, maka diperlukan mengetahui sifat bunyi-bunyi tersebut. Adapun sifat-sifat dari huruf terakhir pada fawasil ayat Q.S al-Buruj berikut ini: Tabel 4 Sifat-sifat Fawasil Ayat Q.S al-Buruj No Bunyi Daerah Artikulator Cara Pangkal Artikulasi Artikulasi Lidah 1 /‫د‬/ Apio-denalBersuara Hambat Tipis alveolar 2 /‫ج‬/ ForontoBersuara Paduan Tipis palatal 3 /‫ق‬/ DorsoTidak Hambat Tipis uvulars bersuara 4 /‫ر‬/ AvicoBersuara Getaran Tipis alveolars 5 /‫ب‬/ Bilabial Bersuara Hambat Tipis 6 /‫ط‬/ Apico-denalTidak Hambat Tebal alveolar bersuara 7 /‫ظ‬/ Inter-dental Bersuara Geseran Tebal Ayat-ayat tiga pertama Q.S al-Buruj menjelaskan tentang sumpah Allah, yaitu demi langit yang memiliki gugusan bintang yaitu alam semesta, demi hari yang dijanjikan yaitu hari pembalasan, demi yang menyaksikan dan yang disaksikan yaitu Allah bersumpah dengan alam semesta untuk memalingkan manusia sehingga mereka memikirkan kebesaran-Nya dan mengambil manfaat dari apa yang dilihatnya, serta mencurahkan perhatiannya untuk memperoleh hakikat alam yang masih tersembunyi. Quraish Shihab menjelaskan bahwa surat ini merupakan bukti pembalasan Allah terhadap orang-orang kafir yang telah berbuat kezaliman, yang diungkapkan dengan pernyataan sumpah. Makna al-buruj merupakan bentuk jamak dari kata al-burj yang artinya sesuatu yang tampak. Kata ini seringkali digunakan dalam arti bangunan besar atau benteng karena besar dan tinggi menjadikannya tampak jelas. Apapun makna al-buruj, yang jelas kata itu menggambarkan sesuatu yang sangat agung dan dahsyat (Quraish Shihab, 2002). Hamka memaknai kata al-buruj sebagai benteng tertinggi atau tempat persinggahan perjalanan bulan dalam giliran tahun yang berjumlah dua belas. Bintang itu bernama Capricornus, Aquarius, Pisces, Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, Sagitarius. Tuhan bersumpah demi langit dengan keindahan dan peraturan perjalanan makhluk di langit yang sangat tertata rapi, agar manusia meletakkan perhatian kepadanya (Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, 1990). Penafsiran Quraish Shihab dan Hamka membuktikan bahwa fasilah ayat yang berbunyi huruf /‫ج‬/ memiliki korelasi dengan makna ayatnya yaitu Sound in Fawasil.... (Raisya Miftakhul) | 135 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 mengilustrasikan sesuatu yang sangat besar dan dahsyat agar manusia memperhatikan dengan seksama apa yang ada di langit. Hamka menafsirkan ayat kedua bahwa setelah Allah bersumpah demi langit agar manusia menafakurkannya, selanjutnya Allah bersumpah dengan hari yang telah dijanjikan bahwa suatu masa semuanya akan berakhir, langit akan runtuh dan bumi akan tenggelam. Hamka menjelaskan ayat ketiga bahwa apa yang dimaksud dengan syahid adalah manusia dan masyhud adalah Allah sebagai sang pencipta alam semesta. Maksudnya adalah bahwa manusia menyaksikan kekuasaan Allah yang ada pada alam semesta sehingga mereka dapat percaya akan keberadaan-Nya (Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, 1990). Hari kiamat merupakan peristiwa yang sangat mencekam, ditambah sumpah Allah dengan peristiwa mencekam itu, lalu Allah bersumpah dengan “penyaksi” dan “yang disaksikan” sehingga sangat sesuai jika fasilah ayat dibunyikan dengan huruf /‫د‬/. Lalu dilanjutkan ayat ke 4-9 yang menjelaskan tentang laknat Allah terhadap ashab al-ukhdud (penguasa kafir Najran) yang berbuat keji terhadap orang-orang beriman bahwa mereka akan binasa. Mereka membuat tempat pembantaian berupa parit yang berapi lalu memasukkan kaum mukmin ke dalamnya, sedangkan mereka menikmati kekejian itu di pinggir parit. Quraish Shihab menjelaskan ayat 4-7 bahwa Allah membinasakan para pembuat parit dengan sangat mudah mencakup semua orang yang terlibat dalam penyiksaan seperti yang memerintahkan pembuatan parit, yang menggali parit, yang menyalakan api, yang menjerumuskan orang mukmin ke dalamnya serta yang meridhoi penyiksaan itu. Kata qutila dalam bentuk pasif memiliki arti dibunuh atau dikutuk, yang mengandung makna murka terhadap pelaku dan apa yang mereka lakukan (Quraish Shihab, 2002). Murka Allah terhadap orang kafir Najran dan apa yang mereka perbuat sangat sesuai dengan fasilah ayat yang dibunyikan dengan huruf /‫د‬/. Hamka menyebutkan bahwa ayat 8-9 menjelaskan tentang sebab orang mukmin disiksa yaitu karena mereka beriman kepada Allah dan tidak mau menukar keyakinan itu dengan yang lain, baik terhadap wujud Allah ataupun perintah dan larangan-Nya. Keyakinan tauhid membawa mereka sampai pada satu kesimpulan bahwa kekuasaan Yang Maha Tinggi meliputi seluruh alam hanya kekuasaan Allah saja. Kekuasaan manusia sangatlah terbatas (Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, 1990). Quraish Shihab menjelaskan bahwa ditutupnya ayat 8 dengan dua sifat Allah yaitu aziz dan hamid, lalu dilanjutkan ayat 9 dengan kata syahid yang menjelaskan kuasaNya dan kesaksian-Nya, mengisyaratkan bahwa semestinya para tersiksa dipuji karena menyembah Allah. Di sisi lain, ayat ini juga mengisyaratkan bahwa penyiksaan itu tidak menandakan Allah lemah, namun Allah maha kuasa menjatuhkan siksa pada waktunya kepada para penganiaya. Dia maha terpuji sehingga akan memberi pahala kepada mereka yang mengesakan-Nya (Quraish Shihab, 2002). Dengan demikian, sangat sesuai jika ayat 8-9 ditutup dengan fawasil ayat yang berbunyi /‫د‬/ karena 136 | Sound in Fawasil.... (Raisya Miftakhul) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies menekankan keagungan sifat Allah Hamid dan Syahid sebagaimana yang telah disebutkan pada penafsiran Quraish Shihab. Perbedaan bunyi akan terlihat jelas saat Allah SWT menjelaskan dua hal yang berlawanan (10-11) yaitu tentang balasan bagi orang mukmin dan orang kafir. Quraish Shihab menjelaskan kata fatanu diambil dari kata alfatn yang artinya membakar emas, namun pada ayat ini berarti menguji. Ujian itu baik berupa nikmat ataupun kesulitan. Al-Qur’an menggunakan kata ini berarti memasukkan ke neraka dalam arti siksaan. Siksa Allah Swt berupa azab jahanam merupakan seburuk-buruknya pembalasan dan fasilah ayat berbunyi huruf /‫ق‬/ yang bersuara hambat seakan memberikan kesan mengerikan. Sebaliknya, Allah memberikan surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai bagi orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shaleh, termasuk mereka yang disiksa di parit yang membuktikan kebenaran iman mereka (Quraish Shihab, 2002), dengan bunyi /‫ر‬/ yang bersuara (jelas) dan bergetar seakan memberikan kesan terguncangnya jiwa dari khawatir menjadi tenang. Kemudian, ayat ke 12-16 menjelaskan tentang kekuasaan Allah SWT dalam merealisasikan janji dan ancaman-Nya. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut diarahkan kepada Nabi Muhammad Saw guna menguatkan hati beliau serta menghibur umatnya yang tersiksa. Kata bathsya diartikan sebagai menangani persoalan dengan kasar, kuat serta menundukkannya, sehingga dipahami sebagai siksa yang sangat pedih. Allah menyifati siksa-Nya dengan syadid (keras) berarti bahwa siksa yang demikian pedih, ditambah lagi kepedihan dengan kekerasannya sehingga menjadi siksa berganda. Ayat ke-13 dapat dipahami sebagai isyarat tentang kuasa-Nya menjatuhkan siksa di dunia dan di akhirat, yaitu Dia yang memulai penyiksaan di dunia dan Dia yang mengulangi penyiksaan itu di akhirat nanti. Kata al-wadud pada ayat ke-14 dapat dipahami dengan yang mencintai dan mengasihi atau yang dicintai. Allah al-Wadud dicintai makhluk-Nya, dan Dia pun mencintai mereka, dan kecintaan itu tampak dalam kehidupan nyata. Ayat ke-15 dipahami bahwa Allah pemilik singgasana-Nya yang memegang kendali atas kekuasaan dan semuanya tunduk kepada-Nya. Sifat al-Majid Allah mengandung dua hal pokok yaitu kemuliaan yang sempurna dan keluasan dalam kebajikan. Ayat ke-16 dipahami bahwa Allah Maha Pelaksana terhadap apa yang dikehendaki-Nya yang mencakup segala sesuatu, dan kata fa’ala yang fa’il-nya Allah sering dipahami sebagai siksa atau ancaman siksa (Quraish Shihab, 2002). Ayatayat tersebut menjelaskan sifat-sifat Allah yang dapat menggugah hati siapa pun yang hendak mendekat kepada-Nya sekaligus merindingkan hati menyadari kuasa dan siksa-Nya, sangat sesuai apabila fawasil ayatnya dibunyikan dengan huruf /‫د‬/. Quraish Shihab menjelaskan bukti kehancuran umat-umat terdahulu dijelaskan pada ayat 17-18 yang dinyatakan dengan nada bertanya untuk menggambarkan betapa besar siksa itu sambil menyindir kaum musyrikin Mekah bahwa “sudahkah datang kepadamu berita pasukan tentara?” yang demikian banyak dan kuat seperti kaum Fir’aun pada zaman Nabi Musa As yang menindas Bani Israil dan membunuh anak laki-laki dan kaum Tsamud Sound in Fawasil.... (Raisya Miftakhul) | 137 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 pada zaman Nabi Shalih As yang mampu memotong batu-batu besar di lembah. Kata al-junud bermakna himpunan sesuatu yang kasar dan padat, namun pada ayat ini kata tersebut berkembang menjadi al-jundiy yang berarti pengikut yang membantu mengokohkan yang diikutinya, lalu populer dengan istilah tentara (Quraish Shihab, 2002). Kedua ayat tersebut menjelaskan dua kelompok masyarakat yang sangat bejat sehingga sangat sesuai dengan fasilah ayat yang dibunyikan dengan huruf /‫د‬/. Empat ayat terakhir menurut Quraish Shihab menjelaskan tentang pendustaan kaum musyrik Mekah terhadap Nabi Muhammad Saw yang melebihi dustanya kaum Tsamud dan Fir’aun, karena mereka tetap menolak risalah Nabi Muhammad Saw meski telah mengetahui akibat buruk dari pengingkaran ilahi itu. Mereka melecehkan al-Qur’an meski telah diberi petunjuk, bahkan orang-orang kafir yang mengingkari risalah Nabi Muhammad Saw seluruhnya berada pada pengingkaran dan kepungan Allah Swt dari segala penjuru sehingga tidak ada tempat bagi mereka untuk bersembunyi. Padahal al-Qur’an yang mereka dustakan menyandang sifat al-majid sebagaimana yang dijelaskan pada ayat ke-15 bahwa tidak ada kitab suci yang lebih mulia dari pada al-Qur’an karena al-Qur;an merupakan kalam Ilahi yang telah mencapai kemuliaan tertinggi dan terjaga di lauh al-mahfudz (Quraish Shihab, 2002). Semua kondisi ini disuarakan dengan bunyi /‫ط‬/ِ ,/‫ب‬/ِ ,/‫د‬/ yang bersifat hambat seakan memberikan kesan penekanan bahwa kekuasaan ilahi sunggh luas meliputi segala sesuatu, pendustaan kaum musrik Makkah melebihi kaum-kaum sebelumnya, kemuliaan al-Qur’an yang mencapai kesempurnaan, dan diakhiri dengan bunyi /‫ظ‬/ yang bersifat geseran sehingga memberikan kesan bergesernya ketegasan menjadi kelembutan karena didahului dengan huruf /‫ح‬/ dan /‫ف‬/ pada ‫ حفظ‬yaitu kata dasar dari ‫محفوظ‬. C. SIMPULAN Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa fawasil ayat Q.S alBuruj menjadi bukti nyata kefasihan Alquran bahwa kitab tersebut tidak datang dari lisan manusia. Kefasihan Alquran ditandai dengan bagaimana fawasil ayat Q.S al-Buruj diakhiri dengan satu huruf yang membentuk sajak dan bagaimana fawasil ayatnya selalu diakhiri dengan satu bentuk suku kata yaitu suku kata panjang berharakat panjang yang menyebabkan panjangnya suara sehingga menciptakan keindahan saat dilantunkan. Selain itu, bunyi-bunyi pada fawasil ayat Q.S al-Buruj berkaitan dengan makna yang terkandung di dalam ayat, seakan Allah SWT mengisyaratkan melalui huruf-huruf tersebut. Sangat terlihat bagaimana fasilah ayat pada Q.S al-Buruj ayat 10 dan 11 diakhiri dengan huruf hambat saat menjelaskan azab bagi orang-orang kafir dan huruf getaran saat menjelaskan surga bagi orang-orang mukmin. 138 | Sound in Fawasil.... (Raisya Miftakhul) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies DAFTAR BACAAN Abdulmalik Abdulkarim Amrullah. (1990). Tafsir al-Azhar. Perpustakaan Nasional PTE LTD. Abu Amru al-Dany. (1994). Al-Bayan fi Addi Ayyi al-Qur’an. Markaz alMahthuthat wa al-Turats. Ahmad Ahmad al-Badawy. (2005). Min Balaghah al-Qur’an. Nahdhah Misr. Nahdah Misr. Ahmad Yasuf. (1999). Jamaliyat al-Mufradah al-Qur’aniyyah. Dar alMaktaby. Ali Muhammad Ashi. (2020). al-Fasilah wa Tasykiliha al-Maqtha’i fi alQur’an al-Karim: Dirasah Shautiyyah Dalaliyyah. https://jart.utq.edu.iq/index.php/main/article/view/82/76 al-Raghib al-Ashfahany. (1992). Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an. Dar alQalam. Badr al-Din al-Zarkasyi. (1957). Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an. Dar alMa’rifah. Hardani, Nur Hikmatul Auliya, Helmina Andriani, Raushandy Asri Fardani, Jumari Ustiawaty, Evi Fatmi Utami, Dhika Juliana Sukmana, & Ria Rahmatul Istiqomah. (2020). Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Pustaka Ilmu. Ibrahim Muhammad al-Jarmy. (2001). Mu’jam Ulum al-Qur’an: Ulum alQur’an, Tafsir, Tajwid, dan Qira’at. Dar al-Qalam. Khidir. (2009). Fawasil al-Ayat al-Qur’aniyyah Dalaliyyah. Maktabah al-Adab. Dirasah Balaghiyyah Manna’ al-Qattan. (2000). Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Maktabah Wahbah. Muhammad Abu Musa. (1996). Khashaish al-Tarakib. Maktabah Wahbah. Muhammad Ali al-Shabuny. (2003). Al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an. Dar Ihsan. Ni Made Dhamawati, Made Sri Satyawati, & Ni Putu N Widarsini. (2017). Pengantar Linguistik Umum. Pustaka Larasan. Quraish Shihab. (2002). Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an. Lentera Hati. Ramadhan Abd al-Tawwab. (1997). Al-Madkhal ila ’Ilmi al-Lughah wa Manahij al-Bahts al-Lughawy. Maktabah al-Khanji. Sakholid Nasution. (2017). Pengantar Linguistik Bahasa Arab. Lisan Arabi. Sibawaihi. (1988). Al-Kitab. Maktabah al-Khanji. Siminto. (2013). Pengantar Linguistik. Cipta Prima Nusantara. Sound in Fawasil.... (Raisya Miftakhul) | 139 Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 EASY STEPS TO SEARCH AND USE HADITH FOR THE GENERAL PUBLIC LANGKAH MUDAH PENCARIAN DAN PENGGUNAAN HADIS BAGI MASYARAKAT UMUM Article History Submitted: 22/11/2020 Reviewed: 27/12/2022 Revised: 28/12/2022 Aproved: 30/12/2022 Available: 02/01/2023 Muhammad Amin Neima_hamada25@yahoo.com IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung Abstract This article examines the challenges of academics in dealing with the general public to describe concrete steps in their need for the hadith of the Prophet. Society is not only faced with the statuses of hadith, but also issues of understanding, search, books and so on. Therefore, the main purpose of this paper is to try to see a simple design in studying and practicing hadith so as to make it easier for the general public to interact with the hadith. Answering this question, this study uses a literature review with a discourse analysis approach. This study shows that an easy and practical step for the general public is to search for hadith through the application or web of a takhrīj service provider quickly and friendly to use. There needs to be a gesture of realization that the hadith narrated in general is not singular; both the pronunciation, the narration and the matan. The move can be implemented with i'tibār al-Sanad. Society also needs to emphasize the existence of a benchmark of hadith status that has been set by the muḥaddiṡīn; Both from the status of sanad and matan. The two points are inseparable because they are an integral part of the study of the Prophet's hadith. Keywords: Search Hadith, Use of Hadith, Sanad's criticism. Matan’s Criticism URL: https://ejournal.iainpekalongan.ac.id/index.php/AQWAL/article/view/3149 DOI: https://doi.org/10.28918/aqwal.v3i2.3149 Abstrak Artikel ini mengkaji tantangan akademisi dalam berhadapan dengan masyarakat umum untuk mendeskripsikan langkah kongkrit dalam 140 | Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies kebutuhannya terhadap hadis Nabi. Masyarakat tidak hanya dihadapkan pada status-status hadis, tetapi juga persoalan pemahaman, pencarian, kitab-kitab dan sebagainya. Oleh karena itu, tujuan utama tulisan ini mencoba melihat desain sederhana dalam mengkaji dan mengamalkan hadis sehingga memudahkan masyarakat umum untuk berinteraksi dengan hadis. Menjawab pertanyaan tersebut, kajian ini menggunakan kajian kepustakaan dengan pendekatan analisis wacana. Kajian ini menunjukkan bahwa langkah mudah dan praktis untuk masyarakat umum adalah pencarian hadis melalui aplikasi atau web penyedia layanan takhrīj secara cepat dan friendly penggunaannya. Perlu adanya gerakan penyadaran bahwa hadis diriwayatkan secara umum tidak tunggal; baik lafal, periwayatannya maupun matannya. Langkah tersebut dapat dilaksanakan dengan i’tibār al-Sanad. Masyarakat juga perlu ditekankan adanya tolak ukur status hadis yang telah ditetapkan oleh para muḥaddiṡīn; baik dari status sanad maupun matannya. Dua pokok tersebut tidak dapat dipisahkan karena bagian integral dari kajian hadis Nabi. Kata kunci: Takhrīj al-Ḥadīṡ, Penggunaan Hadis, Kritik Sanad, Kritik Matan. A. PENDAHULUAN Ḥadīṡ menempati posisi penting sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran (Anas 2004, 1323; A’ẓamī t.t, 12–20). Kendati demikian, validitas sebuah ḥadīṡ tidak sama dengan al-Quran. Jika al-Quran disampaikan secara mutawatir baik dari tingkat pertama hingga saat ini, maka ḥadīṡ diriwayatkan secara beragam yaitu mutawatir, dan ahad (Khan 2008, 128–46). Al-Quran disampaikan secara bil lafdzi sementara ḥadīṡ lebih banyak diriwayatkan dengan maknanya atau bil ma’na. Al-Quran dihafal dan ditulis sejak masa penurunannya sementara ḥadīṡ dihafal dan dikodifikasi dua ratus tahun berikutnya (Dailamy 2010; Saifuddin 2011). Ada beberapa cara memahami hadis secara garis besar; tekstual dan kontekstual (Sobari 2018, 152). Namun, kondisi masyarakat umum tidak hanya pada batas pemahaman hadis, melainkan terhadap status hadis tersebut; seperti ḍaīf, ṣaḥīḥ dan sebagainya (Sulaemang 2008, 58). Demikian, kebutuhan faktual masyarakat terhadap hadis tidak hanya pada satu sisi, Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) | 141 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 namun beberapa sisi seperti status, pemahaman, kitab-kitab dan sebagainya (Nasir 2022, 150). Berbagai persoalan di atas inilah yang menimbulkan problematika di kalangan para cendekiawan dalam kajian ḥadīṡ, bahkan hadir beberapa kalangan yang menolak menggunakan ḥadīṡ sebagai hujjah atau biasa dikenal dengan inkar al-Sunnah (Yaqub 2004, 39–59). Hadir pula golongan yang hanya menggunakan ḥadīṡ mutawatir saja sebagai hujjah, serta jumhur ulama melakukan seleksi terhadap ḥadīṡ-ḥadīṡ yang dapat dijadikan hujjah dan yang tertolak. Kajian ini merupakan usaha penggalian pendapat ulama-ulama, khususnya yang konsen dalam bidang kajian hadis. Oleh karena itu, tujuan utama tulisan ini mencoba melihat desain sederhana dalam mengkaji dan mengamalkan hadis sehingga memudahkan masyarakat umum untuk berinteraksi dengan hadis. Menjawab pertanyaan tersebut, kajian ini menggunakan kajian kepustakaan dengan pendekatan analisis wacana. B. PEMBAHASAN 1. Takhrīj Ḥadīṡ: Langkah Pertama dan Utama Takhrīj al-ḥadīṡ dipahami sebagai sebuah upaya penelusuran ḥadīṡ hingga sampai ke tempat asalnya yakni dimana ḥadīṡ itu pertama kali dibukukan secara lengkap baik sanad maupun matannya, dan memberikan penjelasan tentang derajat ḥadīṡ jika diperlukan (Kaṡīr 1999, 47; Ṭāḥān 1996, 10). Dengan demikian, proses takhrīj ḥadīṡ setidaknya mengandung tiga unsur yaitu mencari ḥadīṡ hingga kitab pertama yang memuatnya, menunjukkan seluruh isi ḥadīṡ dari segi sanad dan matannya, dan jika diperlukan memberi penilaian kualitas ḥadīṡ tersebut. Pentingnya ilmu ini dijelaskan oleh Mahmud Thahhan (1996, hlm. 12) sebagai berikut: 142 | Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies ‫ ليعرف‬,‫ ويتعلم قواعده و طرقه‬,‫ال شك أن معرفة فن التخريج من أهم ما جيب على كل مشتغل ابلعلوم الشرعية أن يعرفه‬ ‫ ألنه‬,‫ السيما للمشتغيلني ابحلديث وعلومه‬.‫كما أن فوائده كبرية ال تنكر‬.‫كيف يتوصل إىل احلديث يف مواضعه األصلية‬ .‫بواسطته يهتدي الشخص إىل مواضع احلديث يف مصادره األصلية األوىل اليت صنفها األئمة‬ Sependapat dengan Mahmūd Ṭaḥān, al-Mahdi menambahkan bahwa urgensi takhrīj selain di atas adalah seluruh periwayatan dan syāhid dan muttabi’ hadis. Namun menurut Syuhudi Ismail, pendapat kedua tokoh di atas merupakan batas minimal. Adapun takhrīj menurutnya mengandung nilai ontologis fundamental dalam sebuah penelitian hadis (Hurairah 2021, 232–33), sehingga para pengkaji harus melakukannya. Kegiatan Takhrīj ḥadīṡ dapat dilakukan dengan dua metode yaitu: Konvensional dan menggunakan kontemporer (Hasanah 2013, 36–37). Kontemporer disini untuk menunjukkan waktu yang sedang terjadi saat ini, artinya metode takhrīj ini senantiasa berkembang dan akan terus berkembang seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi. Metode Takhrīj konvensional adalah proses mencari ḥadīṡ dari kitab asalnya dengan menggunakan kitab-kitab takhrīj yang dikarang oleh ulama. Sementara metode takhrīj kontemporer dilakukan dengan menggunakan software atau melakukan pencarian ḥadīṡ nabi dengan menggunakan aplikasi yang secara khusus diciptakan untuk memudahkan proses ini. Penggunaan metode takhrīj konvensional membutuhkan waktu yang lebih lama, usaha ekstra, dan juga sumber-sumber kitab yang di beberapa instansi sangat sulit diperoleh. Beberapa kitab yang diperlukan dalam melakukan kajian ini antara lain: Kitab-kitab musnad seperti Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal dan Musnad Abi Bakr Abdullāh ibn Zubair al-Humaidi, kitab-kitab mu’jam seperti al- Mu’jam al-Kabīr li al-Ṭabarāni dan al-Mu’jam al-Ṣaḥābah serta kitabkitab Aṭrāf (Suryadi and Suryadilaga 2009, 38–44; Wensinck Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) | 143 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 1936). Metode ini dapat memberikan hasil yang lebih meyakinkan karena adanya bukti fisik serta data yang diperoleh lebih akurat sesuai dengan tahun terbitannya. Sementara metode kontemporer dapat memudahkan pencarian, membutuhkan waktu yang singkat, meskipun akurasi datanya tidak begitu meyakinkan karena perbedaan sumber rujukan. Metode takhrīj konvensional dapat dilakukan dengan menggunakan lima langkah yaitu: (a) mengetahui rawi pertama dari suatu ḥadīṡ. Jika ḥadīṡ tersebut muttaṣīl maka rawi pertamanya adalah ṣaḥabat sementara ḥadīṡ yang mauqūf maka rawi pertamanya adalah tābi’īn, (b) mengetahui awal matan atau lafadz pertama dari suatu ḥadīṡ, (c) mengetahui sebagian dari lafadz ḥadīṡ baik di awal, tengah maupun akhirnya, (d) mengetahui tema-tema ḥadīṡ, dan (e) dengan mengamati secara mendalam keadaan sanad dan matan (Luḥaidan 1442, 93; Mahdi t.t, 23; Ṣalāḥ 1986, 44; Ṭāḥān 1996, 35). Pesatnya kemajuan tekhnologi mempengaruhi dunia pendidikan, begitu pula kajian ḥadīṡ yang ikut dipengaruhi oleh perkembangan ini. Dewasa ini telah ditemukan beberapa software yang dapat membantu proses takhrīj al-ḥadīṡ. Software tersebut dapat diakses dengan menggunakan smartphone maupun notebook. Software takhrīj yang dapat diakses dengan media smartphone antara lain: Lidwa Pustaka Enskilpedi 9 Kitab Ḥadīṡ dan Mausuah al-Ḥadīṡiyyah. Sementara software yang dapat diakses dengan media PC atau notebook antara lain: Mausū’ah al- Ḥadīṡ al-Syarīf al-Kutub al-Tis’ah, al-Maktabah al-Alfiyyah li alSunnah al-Nabawiyyah, al-Maktabah al-Syāmilah, dan Lidwa Pustaka Ensiklopedi 9 Kitab Ḥadīṡ dalam format PC. 144 | Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Menurut Agung Danarto, Sebagaimana dikutip oleh Suryadi dalam Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga (2009, hlm. 50), dalam melakukan takhrīj dengan menggunakan software mausu’ah terdapat beberapa cara yaitu: (a) memilih lafadz yang terdapat dalam daftaar sesuai dengan ḥadīṡ yang dicari, (b) dengan mencari salah satu lafadz dalam matan ḥadīṡ, (c) berdasarkan tema ḥadīṡ, (d) berdasarkan kitāb dan bāb sesuai dalam kitab aslinya, (e) berdasarkan nomor ḥadīṡ, (f) berdasarkan pada periwayatnya, (g) berdasarkan aspek tertentu dalam ḥadīṡ, dan (h) menggunakan fitur takhrīj yang ada dalam software. Sebagai contoh kajian takhrīj ini penulis menggunakan metode komparasi yaitu menggunakan software maushū’ah al-Ḥadīṡ untuk mencari ḥadīṡ tentang kondisi mukmin dengan mukmin lainnya, lalu menggunakan media maktabah syāmilah untuk mencari ḥadīṡ tersebut dalam kitab-kitab lain selain kutub al-Tis’ah dan merujuk kepada kitab-kitab aslinya (metode konvensional) agar data yang didapat lebih akurat. Adapun hasil takhrīj yang penulis lakukan adalah sebagai berikut: Penulis membahas sebuah ḥadīṡ yang menyatakan bahwa kaum mukmin bagaikan satu bangunan. Setelah melakukan proses takhrīj, penulis menemukan ḥadīṡ ini dalam beberapa kitab ḥadīṡ yaitu: Pertama, dalam Shahih Bukhari terdapat tiga jalur periwayatan dengan redaksi yang berbeda (Bukhārī 1422a, 3:129). Dalam bab Nashru al-Mazlum, Kitab al-Madzalim wa al-Ghadab, nomor hadits 2446, nomor hadits maushu’ah 2266 disebutkan: ِ ‫ عَن أَِِب موسى ر‬،َ‫ عَن أَِِب ب ر َدة‬،‫ عَن ب ريْ ٍد‬،َ‫ حدَّثَنَا أَبو أحسامة‬،‫ حدَّثَنَا حُمَ َّم حد بْن العالَ ِء‬-2446 َّ ‫ض َي‬ ‫صلَّى‬ َ ‫َّب‬ َ ‫ح‬ َ َ َ َ ‫ْ ح‬ ْ‫ْ ح‬ َ‫ح َ َ ْ ح‬ ‫ عَ ِن النِ ِي‬،‫اَّللح عَنْهح‬ ِ ِ ِ ِ ِ ُّ ‫َصابِ ِع ِه‬ ‫أ‬ ‫م‬ ‫ني‬ ‫ب‬ ‫ك‬ ‫ب‬ ‫ش‬ ‫و‬ »‫ا‬ ‫ض‬ ‫ع‬ ‫ب‬ ‫ه‬ ‫ض‬ ‫ع‬ ‫ب‬ ‫د‬ ‫ش‬ ‫ي‬ ‫ان‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫ْب‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ك‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ؤ‬ ‫ْم‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫«املحؤ‬ : ‫ال‬ ‫ق‬ َ َ َ َّ‫هللاح َعل َْي ِه َو َسل‬ َ َْ َ َ َّ َ َ ً ْ َ ‫ْ ح ح ْ َ ح ْ َ َ ح َ ْ ح ح‬ Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) | 145 ‫‪Vol. 3 No. 2 2022‬‬ ‫‪AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies‬‬ ‫‪Ḥadīṡ ini juga ditemukan pada bab tasybik al-Ashabi’ fi al-‬‬ ‫‪Masjidi wa Gairihi 103 nomor hadits 481, dalam maushu’ah nomor‬‬ ‫‪hadits nya adalah 459 sebagai berikut (Bukhārī 1422b, 1:103):‬‬ ‫ال‪ :‬حدَّثَنَا س ْفيا حن‪ ،‬عَن أَِِب ب ر َدةَ ب ِن عَب ِد َِّ‬ ‫ِِ‬ ‫وسى‪ ،‬عَ ِن‬ ‫ْ حْ ْ ْ‬ ‫حَ‬ ‫‪َ - 481‬حدَّثَنَا َخ َّال حد بْ حن ََْي ََي‪ ،‬قَ َ َ‬ ‫اَّلل بْ ِن أَِِب بح ْر َدةَ‪ ،‬عَ ْن َج يده‪ ،‬عَ ْن أَِِب حم َ‬ ‫املحؤِمن لِلْم ْؤِم ِن َكالْب ْن ي ِ‬ ‫صلَّى هللاح َعل َْي ِه َو َسلَّ َم قَ َ‬ ‫ان يَ ح‬ ‫ضا» َو َشبَّ َ‬ ‫ضهح بَ ْع ً‬ ‫ش ُّد بَ ْع ح‬ ‫َصابِ َعهح‬ ‫َّب َ‬ ‫كأ َ‬ ‫حَ‬ ‫ال‪« :‬إِ َّن ْ َ ح‬ ‫النِ ِي‬ ‫‪Pada bab ta’awun al-mu’minina ba’dhuhum ba’dhan hadits‬‬ ‫‪nomor 6026, nomor hadis dalam maushuah 55567 juga ditemukan‬‬ ‫‪ḥadīṡ serupa (Bukhārī 1422c, 8:12):‬‬ ‫َبِن َج يِدي أَبحو بح ْر َدةَ‪َ ،‬ع ْن أَبِ ِيه أَِِب‬ ‫ف‪َ ،‬حدَّثَنَا حس ْفيَا حن‪َ ،‬ع ْن أَِِب بح ْر َدةَ بح َريْ ِد بْ ِن أَِِب بح ْر َدةَ‪ ،‬قَ َ‬ ‫وس َ‬ ‫‪َ - 6026‬حدَّثَنَا حُمَ َّم حد بْ حن يح ح‬ ‫ال‪ :‬أَ ْخ ََ‬ ‫«املحؤِمن لِلْم ْؤِم ِن َكالْب ْن ي ِ‬ ‫َّب‬ ‫صلَّى هللاح َعل َْي ِه َو َسلَّ َم قَ َ‬ ‫ان‪ ،‬يَ ح‬ ‫ضا» حُثَّ َشبَّ َ‬ ‫ضهح بَ ْع ً‬ ‫ش ُّد بَ ْع ح‬ ‫َصابِعِ ِه‪َ .‬وَكا َن النِ ُّ‬ ‫ك بَ َْ‬ ‫َّب َ‬ ‫ني أ َ‬ ‫حَ‬ ‫حم َ‬ ‫ال‪ ْ :‬ح ح‬ ‫وسى‪َ ،‬ع ِن النِ ِي‬ ‫ِ‬ ‫ِ َّ ِ‬ ‫َ َّ‬ ‫ال‪« :‬ا ْش َفعحوا فَلْتح ْؤ َج حروا‪َ ،‬ولْيَ ْق ِ‬ ‫ض َّ‬ ‫اج ٍة‪ ،‬أَقْبَ َل َعلَ ْي نَا بَِو ْج ِه ِه فَ َق َ‬ ‫سا‪ ،‬إِ ْذ َجاءَ َر حج ٌل يَ ْسأ ح‬ ‫اَّللح‬ ‫ب َح َ‬ ‫َل‪ ،‬أ َْو طَال ح‬ ‫صلى هللاح َعل َْيه َو َسل َم َجال ً‬ ‫عَلَى لِس ِ‬ ‫ان نَبِيِي ِه َما َشاءَ»‬ ‫َ‬ ‫‪Kedua, dalam Shahih Muslim terdapat satu jalur riwayat. Kitab‬‬ ‫‪al-Birr wa al-Ṣilati wa al-Adābi, bab Taraḥum al-Mu’minīn wa Ta’aṭu fīhim‬‬ ‫‪wa Ta’aẓudihim nomor hadits 2585. Nomor hadits dalam maushuah‬‬ ‫‪4684 yaitu (Naisābūrī t.t, IV:1999):‬‬ ‫ِ ِ‬ ‫حس َامةَ‪ ،‬ح‬ ‫‪َ )2585( - 65‬حدَّثَنَا أَبحو بَ ْك ِر بْ حن أَِِب َش ْي بَةَ‪َ ،‬وأَبحو َع ِام ٍر ْاألَ ْش َع ِر ُّ‬ ‫يس‪َ ،‬وأَبحو أ َ‬ ‫ي‪ ،‬قَ َاال‪َ :‬حدَّثَنَا َع ْب حد هللا بْ حن إ ْد ِر َ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ٍ‬ ‫وسى‪،‬‬ ‫حس َامةَ‪ ،‬حكلُّ حه ْم عَ ْن بح َريْد‪ ،‬عَ ْن أَِِب بح ْر َدةَ‪ ،‬عَ ْن أَِِب حم َ‬ ‫يس َوأَبحو أ َ‬ ‫َو َحدَّثَنَا حُمَ َّم حد بْ حن الْعَ َالء أَبحو حك َريْب‪َ ،‬حدَّثَنَا ابْ حن ال حْمبَ َارك‪َ ،‬وابْ حن إ ْد ِر َ‬ ‫ول ِ‬ ‫هللا صلَّى هللا َعل َْي ِه وسلَّم‪« :‬الْم ْؤِمن لِلْم ْؤِم ِن َكالْب ْن ي ِ‬ ‫ضا»‬ ‫ال َر حس ح‬ ‫ال‪ :‬قَ َ‬ ‫قَ َ‬ ‫ان يَ ح‬ ‫ضهح بَ ْع ً‬ ‫ش ُّد بَ ْع ح‬ ‫ح‬ ‫َ‬ ‫حَ‬ ‫ََ َ ح ح ح‬ ‫‪Ketiga, dalam Sunan al-Tirmidzi terdapat satu jalur riwayat‬‬ ‫‪yang terdapat dalam bab Ma Ja’a fi Syufqati al-Muslim ‘ala al‬‬‫‪Muslim Nomor hadits 1928. Nomor hadits dalam maushu’ah 1851‬‬ ‫‪(Tirmīżī 1975, 3:389):‬‬ ‫‪ - 1928‬حدَّثَنَا احلسن بن َعلِ ٍي اخلََّال حل‪ ،‬وغَ ْري و ِ‬ ‫اح ٍد قَالحوا‪ :‬حدَّثَنَا أَبو أحسامةَ‪َ ،‬عن ب ري ِد ب ِن َعب ِد َِّ‬ ‫اَّلل بْ ِن أَِِب بح ْر َدةَ‪َ ،‬ع ْن َج يِدهِ أَِِب‬ ‫ح َ َ ْ حَْ ْ ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ حَ‬ ‫َ َ ح ْح ي‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َّ‬ ‫َّ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ول َّ‬ ‫صلى َّ‬ ‫ضا»‪َ :‬ه َذا‬ ‫ال َر حس ح‬ ‫ال‪ :‬قَ َ‬ ‫ي قَ َ‬ ‫اَّللح عَلَيْه َو َسل َم‪ْ :‬‬ ‫ْم ْؤمن َكالبح ْن يَان يَ ح‬ ‫ضهح بَ ْع ً‬ ‫ش ُّد بَ ْع ح‬ ‫اَّلل َ‬ ‫بح ْر َدةَ‪ ،‬عَ ْن أَِِب حم َ‬ ‫وسى األَ ْشعَر ي‬ ‫«املحؤم حن لل ح‬ ‫يث ِ‬ ‫ِ‬ ‫يح‬ ‫َحد ٌ َ‬ ‫صح ٌ‬ ‫‪Keempat, dalam Sunan al-Nasa’i terdapat satu jalur‬‬ ‫‪periwayatan. Kitab al-Zakat bab Ajru al-Khadimi idza Tashaddaqa bi‬‬ ‫‪Amri Maulahu nomor hadits 2352. Dalam kitab Sunan al-Nasa’i terbitan‬‬ ‫‪Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah tahun 1986 terdapat perbedaan‬‬ ‫)‪Easy Steps to Search....(Muhammad Amin‬‬ ‫| ‪146‬‬ ‫‪AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies‬‬ ‫‪Vol. 3 No. 2 2022‬‬ ‫‪penomoran hadits yaitu nomor 2560. Penomoran dalam maushu’ah 2513‬‬ ‫‪(Nasā’i 2001, 62).‬‬ ‫‪ - 2352‬أَ ْخَبِن عَب حد ِ‬ ‫ِ‬ ‫ال‪َ :‬حدَّثَنَا حس ْفيَا حن‪ ،‬عَ ْن بح َريْ ِد بْ ِن أَِِب‬ ‫ي‪ ،‬قَ َ‬ ‫هللا بْ حن ا ْْلَْي ثَ ِم بْ ِن عحثْ َما َن قَ َ‬ ‫ال‪َ :‬حدَّثَنَا عَبْ حد َّ‬ ‫ََ ْ‬ ‫الر ْْحَ ِن بْ حن َم ْهد ٍي‬ ‫ول ِ‬ ‫ِِ‬ ‫هللا صلَّى هللا عَلَيْ ِه وسلَّم‪« :‬الْم ْؤِمن لِلْم ْؤِم ِن َكالْب ْن ي ِ‬ ‫ضا»‬ ‫ال َر حس ح‬ ‫ال‪ :‬قَ َ‬ ‫وسى قَ َ‬ ‫ان يَ ح‬ ‫ضهح بَ ْع ً‬ ‫ش ُّد بَ ْع ح‬ ‫ح‬ ‫َ‬ ‫حَ‬ ‫بح ْر َدةَ‪ ،‬عَ ْن َج يده‪ ،‬عَ ْن أَِِب حم َ‬ ‫ح ح ح‬ ‫ََ َ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِِ ِ ِِ‬ ‫«اخلَا ِز حن ْاأل َِم َّ ِ‬ ‫ص يِدقَ ْ ِ‬ ‫ني»‬ ‫ال‪ْ :‬‬ ‫َوقَ َ‬ ‫ح‬ ‫َح حد ال حْمتَ َ‬ ‫سهح أ َ‬ ‫ني الذي يح ْعطي َما أحم َر به طَييبًا به نَ ْف ح‬ ‫‪Kelima, dalam Musnad Ahmad terdapat tiga jalur periwayatan‬‬ ‫‪yang terdapat dalam kumpulan ḥadīṡ yang datang dari Ṣaḥabat‬‬ ‫‪Abu Mūsā al-‘Asy’āri. Kitab Awwal Musnad al-Kuffiyyīn bab Ḥadīṡ Abī‬‬ ‫‪Mūsā al-Asy’āri nomor hadits 19624 (nomor maushu’ah 19798), nomor‬‬ ‫‪hadits 19625 (nomor hadits maushu’ah 18799), dan nomor hadits 19667‬‬ ‫‪(nomor hadits maushu’ah 18836) (Ḥanbal 2001, 32:399, 400, 443). Ketiga‬‬ ‫‪ḥadīṡ tersebut adalah:‬‬ ‫ِ ِ‬ ‫‪ - 19624‬حدَّثَنَا س ْفيا حن‪َ ،‬عن ب ري ِد ب ِن َعب ِد َِّ‬ ‫ْم ْؤِم ِن‬ ‫وسى ِرَوايَةً قَ َ‬ ‫ْ حَْ ْ ْ‬ ‫حَ‬ ‫َ‬ ‫اَّلل بْ ِن أَِِب بح ْر َدةَ‪َ ،‬ع ْن أَِِب بح ْر َدةَ‪َ ،‬ع ْن أَِِب حم َ‬ ‫ال‪« :‬ال حْم ْؤم حن لل ح‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َكالْب ْن ي ِ‬ ‫ِ‬ ‫َّ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫السوء َمثَ حل‬ ‫ضا‪َ ،‬وَمثَ حل ا ْْلَليس َّ‬ ‫ك م ْن رَيه‪َ ،‬وَمثَ حل ا ْْلَليس ُّ‬ ‫ان يَ ح‬ ‫الصال ِح َمثَ حل الْعَطار إ ْن ََلْ حَيْذ َك م ْن عطْره عَلَ َق َ‬ ‫ضهح بَ ْع ً‬ ‫ش ُّد بَ ْع ح‬ ‫حَ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َك م ْن َش َر ِره‪َ .‬و ْ‬ ‫ني»‬ ‫ْك ََنل َ‬ ‫الْكِ ِري إِ ْن ََلْ حَْي ِرق َ‬ ‫اخلَا ِز حن ْاألَم ح‬ ‫ص يدق َ‬ ‫َح حد ال حْمتَ َ‬ ‫ني الَّذي يح َؤ يدي َما أحم َر بِه حم ْؤََِت ًرا أ َ‬ ‫ول َِّ‬ ‫ِِ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ‬ ‫صلَّى هللاح عَل َْي ِه َو َسلَّ َم‪« :‬ال حْم ْؤِم حن‬ ‫ال َر حس ح‬ ‫ال‪ :‬قَ َ‬ ‫وسى قَ َ‬ ‫اَّلل َ‬ ‫يس‪ ،‬عَ ْن بح َريْد‪ ،‬عَ ْن َج يده‪ ،‬عَ ْن أَِِب حم َ‬ ‫‪َ - 19625‬حدَّثَنَا ابْ حن إ ْد ِر َ‬ ‫لِلْم ْؤِم ِن َكالْب ْن ي ِ‬ ‫ضا»‬ ‫ان يَ ح‬ ‫ضهح بَ ْع ً‬ ‫ش ُّد بَ ْع ح‬ ‫حَ‬ ‫ح‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫‪َ - 19667‬حدَّثَنَا ََيْ ََي بْ حن َسعيد‪َ ،‬ع ْن حس ْفيَا َن‪َ ،‬ح َّدثَِِن أَبحو بح ْر َدةَ بْ حن َع ْبد َّ‬ ‫ي‬ ‫اَّلل بْ ِن أَِِب بح ْر َدةَ‪َ ،‬ع ْن َج يده‪َ ،‬ع ْن أَِِب حم َ‬ ‫وسى ْاألَ ْش َع ِر ِي‬ ‫ال‪َ :‬كا َن رس ح ِ‬ ‫اَّلل صلَّى هللا عَلَيْ ِه وسلَّم إِذَا جاءهح َّ ِ‬ ‫ال‪« :‬ا ْش َفعحوا تح ْؤ َج حروا‪َ ،‬ولْيَ ْق ِ‬ ‫ض َّ‬ ‫اَّللح عَ َّز َو َجلَّ عَلَى‬ ‫اج ِة قَ َ‬ ‫قَ َ‬ ‫ح‬ ‫ول َّ َ‬ ‫السائ حل أ َْو ذحو ا ْحلَ َ‬ ‫َح‬ ‫َ َ‬ ‫ََ َ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫«اخلَا ِز حن ْاأل َِمني الَّ ِذي ي َؤ ِيدي ما أ ِحمر بِهِ‬ ‫ِ‬ ‫ال‪« :‬الْم ْؤمن للْم ْؤم ِن َكالْب ْن ي ِ‬ ‫لِس ِ‬ ‫ال‪ْ :‬‬ ‫ضا» ‪َ .‬وقَ َ‬ ‫ان َر حسوله َما َشاءَ» ‪َ .‬وقَ َ‬ ‫ان يَ ح‬ ‫ضهح بَ ْع ً‬ ‫ش ُّد بَ ْع ح‬ ‫ح‬ ‫حَ‬ ‫ح‬ ‫ح ح ح‬ ‫َ َ‬ ‫َ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ني»‬ ‫ص يدق َ‬ ‫َح حد ال حْمتَ َ‬ ‫سهح أ َ‬ ‫طَييبَةً به نَ ْف ح‬ ‫‪Selain terdapat dalam kitab-kitab mu’tabarah di atas, ḥadīṡ ini‬‬ ‫‪juga disebutkan dalam kitab-kitab ḥadīṡ antologi dalam jumlah‬‬ ‫‪yang sangat banyak, Akan tetapi dalam makalah ini penulis hanya‬‬ ‫‪melampirkan ḥadīṡ-ḥadīṡ yang tersusun dalam kutub al-Tis’ah‬‬ ‫‪sebagai kitab ḥadīṡ mu’tabarah. Hasil takhrīj yang penulis lakukan‬‬ ‫‪menunjukkan bahwa ḥadīṡ ini memiliki sembilan jalur periwayatan‬‬ ‫‪ḥadīṡ. Pada bagian selanjutnya penulis akan melampirkan i’tibar‬‬ ‫‪sanad bagi ḥadīṡ pertama (Shahih Bukhari nomor 2446) dan‬‬ ‫‪melampirkan pula rangkaian jalur sanad yang lainnya.‬‬ ‫‪| 147‬‬ ‫)‪Easy Steps to Search....(Muhammad Amin‬‬ AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 2. I’tibar Sanad: Menjadikan Rangkaian Sanad Dapat Dipahami I’tibar berarti proses penelitian ḥadīṡ dengan cara menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu ḥadīṡ tertentu untuk melihat periwayat lain yang meriwayatkan ḥadīṡ yang sama. Dengan demikian, kegunaan dari i’tibar ini adalah mengetahui keadaan sanad secara utuh dan melihat posisi pendukung (corroboration) berupa syahid atau mutabi’ (Suryadi and Suryadilaga 2009, 67). Syahid (Syawahid) adalah sebuah ḥadīṡ yang diriwayatkan oleh shahabat yang lain, sementara mutabi’ (mutabi’at) adalah sebuah ḥadīṡ yang diriwayatkan oleh periwayat lain dari satu shahabat. Ibn Shalah memiliki definisi yang lain tentang syawahid dan mutabi’at. Menurutunya, jika suatu hadits diriwayatkan oleh rawi yang lain dengan makna dan lafadz yang sama maka itu disebut mutabi’ sementara periwayatan yang berbeda lafadz namun memiliki arti atau makna yang sama maka itu disebut syahid meskipun shahabat yang meriwayatkan hanya satu shahabat (Asqalānī T.t, 29–32). Dalam melakukan I’tibar sanad, perlu dicantumkan hal-hal berikut: (a) Nama setiap perawi dari jalur yang diteliti, (b) metode periwayatan (shighat tahammul wal ada) yang diucapkan oleh masing-masing perawi, dan (c) menunjukkan seluruh jalur sanad ḥadīṡ yang serupa untuk melihat posisi penguat berupa syawahid atau muttabi’at. Langkah pertama adalah mencari nama dari setiap periwayat, dalam proses ini dibutuhkan bantuan kitab-kitab rijalul ḥadīṡ yang memuat nama asli dari periwayat ḥadīṡ, periwayat ḥadīṡ dari kalangan tertentu seperti kalangan shahabat dalam al-Iṣābah dan Tajrīd (Asqalānī T.t; Żahabi t.t), atau periwayat ḥadīṡ yang disusun berdasarkan negara, tanah kelahiran, tempat tinggal, tempat 148 | Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies wafat, maupun tempat rihlah ilmiyyah nya dalam Tārīkh al-Kabīr dan Tārīkh Dimasyq (A. B. al-Khaṭīb al Bagdādī 2001; Syāfi’ī t.t), nasab dan kunyah-nya dalam al-Ansāb dan al-Kunā (Daulabi 1999; Samani 1980), serta ‘adalah atau jarh ta’dilnya dalam al-Matrūkīnnya Imam Nasā’i (Imran 2016, 142–46). Langkah selanjutnya adalah menentukan shighat tahammul wal ada, hal ini dapat dilakukan dengan mencermati kata-kata yang terdapat dalam sanad ḥadīṡ. Sementara langkah terkahir adalah melakuan I’tibar seluruh sanad ḥadīṡ yang telah ditakhrīj sebelumnya untuk melihat posisi penguat (baik syawahid maupun mutabi’at) dalam ḥadīṡ tersebut. Bentuk atau shighat tahammul al-ḥadīṡ yang dikenal dalam ilmu ḥadīṡ adalah: al-Sima’ (mendengar), al-Qiraah ‘ala al-Syaikh (membaca di hadapan guru), al-Ijazah (rekomendasi), al- Munawalah, al-Mukatabah, al-I’lam al-Syaikh, al-Washiyyah, dan al-Wijadah (M. ‘Ajjāj al-Khaṭīb Bagdādī 1989, 233–48). Jika suatu ḥadīṡ menggunakan shigat ‘an, anna, atau qaala, maka perlu dilakukan penelitian terlebih dahulu tentang ketsiqatan perawi dan hubungannya dengan periwayat setelahnya. Jika tidak ditemukan keterkaitan antara keduanya maka sanad tersebut dihukumi terputus (Suryadi and Suryadilaga 2009, 72–73). Dalam kitab shahih muslim biasanya terdapat huruf ‫ ح‬dalam sanadnya, hal ini bukanlah bagian dari sanad tetapi lambang perpindahan sanad jika ḥadīṡ tersebut memiliki lebih dari dua sanad (‫ = ح‬Hawil al-Isnad / al-Tahwil min Isnad ‘ila Isnad atau perpindahan dari sanad yang satu ke sanad yang lain). Penulis melakukan pemetaan i’tibar sanad terhadap ḥadīṡ pertama yang terdapat dalam shahih Bukhari nomor 2446 sebagai berikut. Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) | 149 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 ِ ‫ َعن أَِِب موسى ر‬،َ‫ َعن أَِِب ب ر َدة‬،‫ َعن ب ريْ ٍد‬،َ‫ حدَّثَنَا أَبو أحسامة‬،‫ حدَّثَنَا حُمَ َّم حد بْن العالَ ِء‬-2446 َّ ‫ض َي‬ ‫صلَّى هللاح‬ َ ‫َّب‬ َ ‫ح‬ َ َ َ َ ‫ْ ح‬ ْ‫ْ ح‬ َ‫ح َ َ ْ ح‬ ‫ َع ِن النِ ِي‬،‫اَّللح َعنْهح‬ ِ ِ ِ ِ‫ك بني أَصابِعِه‬ ِ ِ ُّ َ َ‫عَلَيْ ِه َو َسلَّ َم ق‬ ْ :‫ال‬ ‫ْم ْؤمن َكالْبح ْن يَان يَ ح‬ ً ‫ضهح بَ ْع‬ ‫شد بَ ْع ح‬ َ َْ َ َ َّ‫ضا» َو َشب‬ ‫«املحؤم حن لل ح‬ Dari ḥadīṡ di atas, rangkaian sanad yang dapat dijabarkan adalah sebagai berikut: Ḥadīṡ muttashil marfu’ sampai ke Nabi saw. No 1 2 Nama Abu Musa al-Asy’ari Amr ibn Abdullah ibn Qais (Abi Burdah) Buraid bin Abdullah bin ‘Amr Hammad Ibn Usamah Muhammad ibn al-‘Ala ibn Kuraib al-Hamdani Bukhari 3 4 5 6 Periwayat Periwayat I Periwayat II Sanad Sanad V Sanad IV Periwayat III Sanad III Periwayat IV Sanad II Periwayat V Sanad I Periwayat VI Mukharrij al-Ḥadīṡ Tabel 1: Periwayatan Sanad 1 Tabel di atas menunjukkan bahwa hadis 2446 sampai kepada Mukharrīj al-Ḥadīṡ, Imam Bukhāri, memiliki 5 perawi begitu sebaliknya, Imam Bukhari membutuhkan 5 perawi untuk memastikan bahwa hadis tersebut autentik bersumber kepada Nabi Muhammad SAW. Tabel 2: Rangkaian jalur sanad ḥadīṡ Dengan memperhatikan seluruh rangkaian sanad, maka dapat dipahami bahwa ḥadīṡ ini diriwayatkan secara ahad melalui jalur Abu Musa al-‘Asyari dan tidak ada syahid atau penguatnya dari kalangan shahabat maupun mutabi’ dari kalangan tabi’in. 150 | Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Ḥadīṡ ini diriwayatkan oleh Abu Musa kepada anaknya Abu Burdah, lalu Abu Burdah menyampaikan ḥadīṡ ini kepada cucunya Buraid dan dari Buraid ini lah ḥadīṡ ini disebarkan lebih luas kepada tiga orang yaitu Abu Usamah, Sufyan Ibnu Said, dan Abdullah ibn Idris. Dengan demikian, mutabi’ pada ḥadīṡ ini terletak pada periwayat ke VI atau sanad ke II yakni Abu Usmaah yang memiliki dua mutabi’ yaitu Sufyan ibn Sa’id dan ‘Abdullah ibn Idris, sementara pada tingkatan periwayat ke VII atau sanad I terdapat 6 mutabi’ sebagaimana terlampir dalam lampiran seluruh jalur sanad. 3. Kaidah Keshahihan Sanad Ḥadīṡ: Validitas Para Periwayat Imam al-Suyuthi menjelaskan bahwa sebuah ḥadīṡ yang shahih harus meliputi batasan bersambung sanadnya dengan orang-orang yang ‘adil dan dhabit, serta tidak ada syadz dan ‘illat (Suyūṭī 2009, 40). Memperhatikan batasan keshahihan sebuah ḥadīṡ, maka proses naqd al-Ḥadīṡ atau kritik ḥadīṡ dari segi sanadnya mencakup kelima hal di atas yaitu: meneliti kualitas pribadi periwayat (‘adalah al-Ruwah), meneliti kapasitas intelektual periwayat (dhabtu al-Ruwah), meneliti ketersambungan sanad (ittishal al-Sanad), meneliti pertentangan dalam sanad (syudzuz), dan meneliti kejanggalan (‘illah) (Ismail 1996, 6–8; Suryadi and Suryadilaga 2009, 102–16). Kelima langkah ini harus ditempuh dalam melakukan kritik sanad ḥadīṡ. Langkah pertama adalah meneliti kualitas pribadi periwayat atau ‘adalah al-ruwah. Dalam melakukan kajian ini terdapat empat unsur yang harus diperhatikan, yaitu: (a) periwayat hadis harus beragama islam, (b) periwayat ḥadīṡ harus mukallaf yakni balig dan berakal sehat, (c) melaksanakan ketentuan agama dalam artian teguh memegang syariat, tidak melakukan dosa besar, tidak melakukan bid’ah, dan berakhlak mulia, dan (d) memelihara Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) | 151 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 muru’ah atau kesopanan diri. Kesopanan ini diukur berlandaskan norma yang berlaku(Suryadi and Suryadilaga 2009, 103). Langkah kedua adalah melakukan penelitian kapasitas intelektual periwayat (dhabtu al-Ruwah). Seorang rawi dapat disebut dhabit jika memenuhi tiga unsur kapasitas intelektual yaitu: (a) hafal dengan sempurna ḥadīṡ yang diterimanya, (b) mampu menyampaikan ḥadīṡ yang dihafalnya dengan baik kepada orang lain, (c) mampu memahami dengan baik ḥadīṡ yang dihafalnya itu (Suryadi and Suryadilaga 2009, 104). Jika ketiga unsur tersebut terpenuhi, maka seorang periwayat dapat disebut tamm al-dhabt sementara jika ada kekurangan dalam ketiga unsur di atas maka ia disebut khafif al-dhabt dan kualitas ḥadīṡ yang diriwayatkan menjadi hasan. Langkah pertama dan kedua ini dapat dilakukan dengan memeriksa al-Jarh wa al-Ta’dil para periwayat. Langkah ketiga adalah meneliti ketersambungan sanad (ittishal al-sanad). Pada dasarnya langkah ketiga ini telah dijabarkan pada bagian I’tibar al-sanad karena unsur yang dipaparkan dalam ketersambungan sanad adalah: (a) lambang-lambang metode periwayatan, (b) hubungan periwayat dengan metode periwayatannya (Suryadi and Suryadilaga 2009, 114), dan (c) hubungan antara periwayat dengan periwayat setelahnya. Jika shighah tahammul wal ada yang digunakan adalah sami’tu, sami’na, haddatsani, haddatsana, maka hal ini menunjukkan adanya ketersambungan secara langsung. Berbeda dengan shighah anna dan ‘an yang menunjukkan adanya keraguan dalam ketersambungannya. Akan tetapi perlu juga diteliti hubungan periwayat dengan shighah-nya, karena seorang yang tidak tsiqah ketika meriwayatkan ḥadīṡ dengan shighah sami’tu maka hal itu 152 | Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies tetap harus diteliti secara lebih cermat dengan melihat hubungan guru-murid antara periwayat dengan periwayat berikutnya. Langkah keempat adalah meneliti syudzudz. Menurut Imam alSyafi’i (w. 204 H / 820 M), makna syadz dalam ḥadīṡ adalah seorang yang tsiqah meriwayatkan sebuah ḥadīṡ tetapi riwayat tersebut bertentangan dengan banyat riwayat lain yang tsiqah juga (Ṣalāḥ 1986, 77; Suryadi and Suryadilaga 2009, 115). Dengan demikian, penelitian syadz dalam ḥadīṡ hanya dapat dilakukan apabila sebuah ḥadīṡ memiliki lebih dari satu jalur periwayatan. Cara yang dapat dilakukan adalah melakukan perbandingan dan penelitian yang mendalam terhadap seluruh periwayatan ḥadīṡ untuk topik atau tema yang sama. Ulama ḥadīṡ mengakui bahwa penelitian terhadap syadz ini adalah penelitian yang sulit dan hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah terbuasa melakukan penelitian ḥadīṡ (Suryadi and Suryadilaga 2009, 115). Langkah kelima adalah melakukan penelitian lebih dalam untuk melihat kecacatan yang tersembunyi. Maksudnya, secara dzahir penelitian terhadap ḥadīṡ melalui satu jalur menunjukkan bahwa ḥadīṡ tersebut berkualitas shahih, akan tetapi setelah dilakukan penelitian yang lebih cermat terhadap seluruh jalur maka tampaklah kecacatan tersebut, hal ini jauh lebih sulit lagi untuk dilakukan. Setidaknya ada dua langkah penelitian ‘illat ini yaitu: (a) meneliti seluruh jalur sanad ḥadīṡ dan (b) meneliti seluruh periwayat dalam ḥadīṡ berdasarkan kritik yang telah dikemukakan ulama ḥadīṡ terhadap periwayat tersebut (Hasanah 2013, 91–95). Setelah melakukan kelima langkah tersebut, maka langkah terakhir adalah melakukan penyimpulan sementara terhadap kritik sanad. Jika kelima langkah tersebut telah dilakukan dan periwayat yang dimaksud memiliki seluruh persyaratannya maka Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) | 153 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 sanad tersebut dapat disebut shahih. Jika periwayatnya memiliki setiap persyaratan kecuali kedhabitan-nya yang kurang kuat, maka kualitas ḥadīṡ tersebut adalah hasan. Sementara jika ada satu saja kekurangan dari kelima syarat di atas, maka sanad tersebut dinilai dha’if. Dengan demikian, secara kajian kritik sanad dapat menghasilkan tiga simpulan yaitu: shahih, hasan, dan dha’if. Lebih jauh lagi, kritik sanad dapat menentukan status hadis dari sisi periwayatan dimana cabang-cabangnya banyak sekali (Mochammad Achwan Baharuddin, Soebahar, and Mujibatun 2020, 453). Contoh dari kajian kritik sanad terhadap ḥadīṡ mukmin bagaikan sebuah bangunan yang telah penulis paparkan sebelumnya adalah sebagai berikut. Kajian ini hanya gambaran singkat karena materi kritik sanad akan dibahas secara khusus pada pertemuan berikutnya: a) Periwayat I (Sanad V) Abu Musa al-‘Asy’ari ‫ أبو موسى‬، ‫عبد هللا بن قيس بن سليم بن حضار بن حرب بن عامر بن األشعر‬ ‫األشعرى‬ Abu Musa al-Asy’ari Abdullah in Qais ibn Salim ibn Hadar ibn Harb ibn ‘Amir ibn al-Asy’ar. Wafat tahun 50 H di Makkah dari kalangan Shahabat. Beliau bertemu langsung dengan Rasululullah saw, mengambil ḥadīṡ juga dari shahabat lain seperti Ubay ibn Ka’ab, Abdullah ibn Mas’ud dan Ali ibn Abi Thalib. Di antara murid yang meriwayatkan ḥadīṡ darinya adalah Abu Majlaz Lahiq ibn Hamid, Abu Burdan Ibn Abu Musa (anaknya), Abu Bakr ibn Abi Musa (anaknya), dan Abu Rafi’ al-Sha’ig. b) Periwayat II (Sanad IV) Abu Burdah ibn Abi Musa al-Asy’ari ‫ قيل اسمه عامر بن عبد هللا بن قيس أو الحارث‬، ‫أبو بردة بن أبى موسى األشعرى‬ ) ‫ و ولى القضاء بها‬، ‫( من أهل الكوفة‬ 154 | Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Namanya adalah ‘Amir ibn ‘Abdullah ibn Qais, adapula yang menyatakan bahwa namanya adalah al-Harits, kunyahnya adalah Abu Burdah. Beliau berada pada thabaqah ketiga atau kalangan Tabi’in tengah. Wafat pada tahun 104 H di Kufah. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani termasuk dari periwayat yang tsiqah. Belajar langsung kepada Abu Hurairah, al-Mughirah ibn Syu’bah dan Abu Musa alAsy’ari (ayahnya). Dan murid yang belajar kepada beliau antara lain Basyr ibn Qurrah, Bilal ibn Abi Burdah (anaknya), Sa’id ibn Abi Burdah (anaknya), Yusuf ibn Abi Burdah (anaknya), Abdullah ibn Abi Burdah (anaknya), dan Abu Burdah Buraid ibn Abdullah ibn Abi Burdah (cucunya). c) Periwayat III (Sanad III) ‫ أبو بردة الكوفى‬، ‫بريد بن عبد هللا بن أبى بردة بن أبى موسى األشعرى‬ Namanya Buraid ibn Abdillah ibn Abi Burdan ibn Abi Musa alAsy’ari al-Kufi. Kunyahnya Abu Burdah. Dari thabaqah ke 6 yaitu orang-orang yang masih berjumpa dengan kalangan tabi’in kecil. Derajatnya menurut Ibn Hajar adalah tsiqah yukhti’u qalilan sementara menurut al-Dzahabi termasuk shaduq. Gurunya antara lain Hasan al-Bashri dan Abi Burdah ibn Abi Musa (kakenya). Sementara muridnya antara lain Abu Usamah Hammad ibn Usamah, Sufyan al-Tsauri, Sufyan ibn ‘Uyainah, Abdullah ibn Idris, Abdullah ibn Mubarak, dan Yahya ibn Sa’id al-Umawi. d) Periwayat IV (Sanad II) ‫ مولى بنى هاشم ( قاله‬، ‫ أبو أسامة الكوفى‬، ‫حماد بن أسامة بن زيد القرشى موالهم‬ ‫البخارى) و قيل مولى زيد بن على‬ Hammad ibn Usamah ibn Zaid al-Qurasyi al-Kufi berasalh dari thabaqat ke sembilan yaitu kalangan Atba’ Tabi’in kecil. Wafatnya di Kufah tahun 201 H. al-Dzhabi menilainya sebagai al-Hafidz, Hujjatu ‘Alam Akhbari sementara Ibn Hajar menilainya tsiqah tsabt rubama dallasa. Gurunya antara lain Isma’il ibn Abi Khalid, Basyr ibn Khalid al-Kufi, dan Abi Burdah Buraid ibn Abdillah. Muridnya antara lain Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) | 155 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 Muhammad ibn ‘Abdirrahman al-a’fi, Muhammad ibn ‘Utsman ibn Karamah, dan Abu Kuraib Muhammad ibn al-‘Ala’, e) Periwayat V (Sanad I, Syaikh al-Mushannif) ) ‫ أبو كريب الكوفى ( مشهور بكنيته‬، ‫محمد بن العالء بن كريب الهمدانى‬ Muhammad ibn al-‘Ala’ ibn Kuraib al-Hamdani. Kunyahnya Abu Kuraib al-Kufi, ia lebih dikenal dengan nama Abu Kuraib. Lahir pada tahun 160 H dan wafat pada tahun 237 H. Berasal dari thabaqah ke sepuluh atau kibar al-Akhidzina ‘an Tabi’il Atba’. Menurut Ibn Hajar derajatnya tsiqah tsabt sementara menurut al-Dzahabi al-Hafidz. Murid-muridnya antara lain Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibn Majah 4. Kaidah Keshahihan Matan Ḥadīṡ: Komparasi Teks Berbeda dengan kajian kritik sanad yang terdiri dari lima aspek, maka pada kajian matan hanya terdapat dua aspek kajian yaitu tidak ada syadz dan tidak ada ‘illat. ‘Ajjaj Khatib al-Baghdadi merinci kedua hal tersebut menjadi beberapa unsur yaitu: (a) tidak bertentangan dengan akal sehat, (b) tidak bertentangan dengan hukum al-Quran, (c) tidak bertetangan dengan ḥadīṡ mutawatir, (d) tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan, (e) tidak bertentangan dengan dalil yang pasti, dan (f) tidak bertentangan dengan ḥadīṡ ahad yang lebih kuat (Ismail 1996, 8–10). Adapun langkah-langkah penelitian yang dapat dilakuan menurut Suryadi dan Alfatih Suryadilaga (2009, hlm. 149–151) adalah: a) Meneliti susunan redaksi matan yang semakna. Hal ini disebabkan banyaknya ḥadīṡ yang diriwayatkan secara ma’nawi dan bukan lafdzi. Bentuk-bentuk perbedaan yang dapat terjadi antara lain adanya ziyadah (tambahan), tadrij/idraj (adanya penambahan kata-kata dan dinisbatkan 156 | Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) Vol. 3 No. 2 2022 kepada AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies nabi), tashif (perubahan bentuk kata), tahrif (perubahan cara baca), taqlib (perubahan tata letak kalimat), idtirab/mudtarib (kacau atau goncang), dan ‘illatul ḥadīṡ (cacat yang tidak tampak secara langsung) (Abbas 2004, 85–111). b) Meneliti kandungan matn. Cara kedua adalah dengan membandingkan ḥadīṡ yang dikaji dengan ḥadīṡ lain mengenai tema yang sama. Misalnya kajian ḥadīṡ tentang musbil al-Izar dibandingkan dengan tema berpakaian secara umum dalam ḥadīṡ. Jika terdapat kandungan ḥadīṡ lain yang bertentangan (ikhtilaf al-Ḥadīṡ) maka dilakukan langkah-langkah penyelesaian langkah-langkah: al-Jam’u (kompromi ḥadīṡ), al- Nasikh wa al-Mansukh (satu ḥadīṡ menghapus fungsi hukum ḥadīṡ lainnya), Tarjih / Rajih – Marjuh (menyeleksi dan memilih ḥadīṡ yang sanadnya lebih kuat), al-Tauqif (skorsing/ penundaan). c) Setelah melakukan dua hal di atas, maka dilakukan penyimpulan hasil kritik matan. Dalam kritik matan hanya akan dihasilkan dua simpulan yaitu: maqbul (diterima) jika kedua aspek di atas dapat terpenuhi dan mardud (tertolak) jika di dalam matannya terdapat ‘illat atau syadz (M. Achwan Baharuddin 2014, 46–47). Sebagai implikasi dari adanya dua langkah kritik sanad dan matan, maka terdapat empat macam kemungkinan kesimpulan hasil yang dapat diperoleh yaitu: a) Sanadnya shahih dan matannya maqbul b) Sanadnya shahih dan matannya mardud c) Sanadnya dla’if dan matannya maqbul d) Sanadnya dla’if dan matannya mardud Dari keempat kemungkinan di atas, hanya kemungkinan pertama yang dapat diterima sebagai hujjah atau ḥadīṡ yang Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) | 157 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 shahih. Kajian ini hanya terbatas pada aspek kehujjahan ḥadīṡ, masalah pemaknaan dan pengamalan sebuah ḥadīṡ bukanlah bagian dari kritik ḥadīṡ. Hal tersebut akan dibahas dalam Ilmu Ma’anil Ḥadīṡ (Mustaqim 2008). Meskipun demikian, kajian kritik ḥadīṡ tetap penting karena kajian-kajian lain terkait ḥadīṡ seperti Ilmu Ma’anil tersebut tak dapat dilakukan jika hasil kajian ḥadīṡ menunjukan bahwa ḥadīṡ tersebut dla’if (lemah) atau mardud (tertolak). Sebagai contoh kajian ini dapat dilihat dari ḥadīṡ yang penulis paparkan sebelumnya yakni ḥadīṡ riwayat Imam Bukhari. Jika dibandingkan dengan sembilan jalur riwayat lainnya maka akan tampak seperti di bawah ini: ُ َ‫ان ي‬ ‫صابِ ِع ِه‬ َ ‫ضا» َو‬ ً ‫ضهُ بَ ْع‬ ُ ‫شدُّ بَ ْع‬ َ َ‫شبَّكَ بَيْنَ أ‬ ِ َ‫ «ال ُمؤْ ِمنُ ِل ْل ُمؤْ ِم ِن ك َْالبُ ْني‬-2446 ‫بخاري‬ ُ َ‫ان ي‬ ُ‫صابِعَه‬ َ ‫ضا» َو‬ ً ‫ضهُ بَ ْع‬ ُ ‫شدُّ بَ ْع‬ َ َ‫شبَّكَ أ‬ ِ َ‫ «إِ َّن ال ُمؤْ ِمنَ ِل ْل ُمؤْ ِم ِن ك َْالبُ ْني‬- 481 ‫بخاري‬ ُ َ‫ ي‬،‫ان‬ .‫صابِ ِع ِه‬ َ ‫ضا» ث ُ َّم‬ ً ‫ضهُ بَ ْع‬ ُ ‫شدُّ بَ ْع‬ َ َ‫شبَّكَ بَيْنَ أ‬ ِ َ‫ «ال ُمؤْ ِمنُ ِل ْل ُمؤْ ِم ِن ك َْالبُ ْني‬- 6026 ‫بخاري‬ ْ )2585( - 65 ‫مسلم‬ ُ َ‫ان ي‬ »‫ضا‬ ً ‫ضهُ بَ ْع‬ ُ ‫شدُّ بَ ْع‬ ِ َ‫«ال ُمؤْ ِمنُ ِل ْل ُمؤْ ِم ِن ك َْالبُ ْني‬ ُ َ‫ان ي‬ »‫ضا‬ ً ‫ضهُ بَ ْع‬ ُ ‫شدُّ بَ ْع‬ ِ َ‫ «ال ُمؤْ ِمنُ ِل ْل ُمؤْ ِم ِن كَالبُ ْني‬- 1928 ‫الترمذي‬ ْ - 2352 ‫النسائي‬ ُ َ‫ان ي‬ »‫ضا‬ ً ‫ضهُ بَ ْع‬ ُ ‫شدُّ بَ ْع‬ ِ َ‫«ال ُمؤْ ِمنُ ِل ْل ُمؤْ ِم ِن ك َْالبُ ْني‬ ْ - 19624 ‫احمد‬ ُ َ‫ان ي‬ ،‫ضا‬ ً ‫ضهُ بَ ْع‬ ُ ‫شدُّ بَ ْع‬ ِ َ‫«ال ُمؤْ ِمنُ ِل ْل ُمؤْ ِم ِن ك َْالبُ ْني‬ ْ - 19625 ‫احمد‬ ُ َ‫ان ي‬ »‫ضا‬ ً ‫ضهُ بَ ْع‬ ُ ‫شدُّ بَ ْع‬ ِ َ‫«ال ُمؤْ ِمنُ ِل ْل ُمؤْ ِم ِن َك ْالبُ ْني‬ ْ - 19667 ‫احمد‬ ُ َ‫ان ي‬ .»‫ضا‬ ً ‫ضهُ بَ ْع‬ ُ ‫شدُّ بَ ْع‬ ِ َ‫«ال ُمؤْ ِمنُ ِل ْل ُمؤْ ِم ِن ك َْالبُ ْني‬ Dari sembilan riwayat di atas, hanya satu riwayat yang menggunakan kata-kata inna. Serta pada penjelasan tambahan setelah matan ḥadīṡ, tidak ada kata-kata baina. Pada riwayat tersebut terdapat periwayat bernama Khalad ibn Yahya yang mendapat penilaian positif dari ulama pentajrih seperti (laisa bihi ba’s dan shaduq illa anna fi ḥadīṡihi ghalathan qalilan) (Żahabi 1985, 165). Adanya periwayatan yang berbeda ini bisa disebabkan dua buah alasan: pertama, adanya kesalahan dalam matan ḥadīṡ, kedua adanya periwayatan bil ma’na namun tetap dengan substansi yang sama. Dengan banyaknya kesamaan dengan 158 | Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies riwayat lain yang juga tsiqah, maka dapat disimpulkan bahwa ḥadīṡ Bukhari nomor 2446 diriwayatkan secara bil lafdzi. Jika ditinjau idenya, ḥadīṡ ini menyatakan persaudaraan antara seorang mukmin dengan mukmin lainnya. Hal ini senada dengan firman Allah Q.S. al-Hujurat (49): 10 sebagai berikut: َ‫ّلل لَعَلَّ ُكم تُر َح ُمون‬ َ َّ ‫إِنَّ َما ٱل ُمؤ ِمنُونَ إِخ َوة فَأَص ِل ُحوا بَينَ أَخ ََوي ُكم َوٱتَّقُوا ٱ‬ Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Selain ayat di atas, ḥadīṡ ini juga senada dengan ḥadīṡ-ḥadīṡ yang lain, seperti: ُ ‫ «ت ََرى ال ُمؤْ ِمنِينَ فِي ت ََرا ُح ِم ِه ْم َوت ََو ِاد ِه ْم َوتَ َعا‬-6011 ‫بخاري‬ ،ِ‫سد‬ َ ‫ َك َمثَ ِل ال َج‬،‫ط ِف ِه ْم‬ »‫س َه ِر َوال ُح َّمى‬ َّ ‫س ِد ِه ِبال‬ ُ ‫إِذَا ا ْشتَ َكى‬ َ ‫عض ًْوا تَدَا‬ َ ‫سا ِئ ُر َج‬ َ ُ‫عى لَه‬ ْ ‫ «ال ُم ْس ِل ُم أ َ ُخو ال ُم ْس ِل ِم الَ َي‬:-2442 ‫بخاري‬ ‫ َو َم ْن َكانَ ِفي َحا َج ِة‬،ُ‫ظ ِل ُمهُ َوالَ يُ ْس ِل ُمه‬ َّ ‫ فَ َّر َج‬،ً‫ع ْن ُم ْس ِل ٍم ُك ْر َبة‬ َّ َ‫أ َ ِخي ِه َكان‬ ‫ع ْنهُ ُك ْر َبةً ِم ْن‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ َو َم ْن فَ َّر َج‬،‫َّللاُ فِي َحا َج ِت ِه‬ َّ ُ‫ست ََره‬ »‫َّللاُ َي ْو َم ال ِق َيا َم ِة‬ ِ ‫ُك ُر َبا‬ َ ‫ست ََر ُم ْس ِل ًما‬ َ ‫ َو َم ْن‬،‫ت َي ْو ِم ال ِق َيا َم ِة‬ Dengan adanya beberapa kesamaan substansi dengan ayat al-Quran dan juga ḥadīṡ shahih lainnya, maka kecil kemungkinan ḥadīṡ ini terdapat syadz. Kajian mengenai ‘illat dalam ḥadīṡ lebih sulit dan harus lebih cermat lagi dan perlu pembahasan khusus. C. KESIMPULAN Pemaparan di atas menunjukkan bahwa langkah mencari dan menggunakan hadis Nabi sudah ada panduan jelas yang telah dikeluarkan oleh para Muḥaddiṡīn sejak zaman Nabi. Oleh karena itu, langkah langkah mudah dan praktis untuk masyarakat umum adalah pencarian hadis melalui aplikasi atau web penyedia layanan takhrīj secara cepat dan friendly penggunaannya. Perlu adanya gerakan penyadaran bahwa hadis diriwayatkan secara umum tidak tunggal; baik lafal, periwatatannya maupun matannya. Langkah tersebut dapat dilaksanakan dengan i’tibār alSanad. Masyarakat juga perlu ditekankan adanya tolak ukur status hadis yang telah ditetapkan oleh para muḥaddiṡīn; baik dari Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) | 159 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 status sanad maupun matannya. Dua pokok tersebut tidak dapat dipisahkan karena bagian integral dari kajian hadis Nabi. DAFTAR BACAAN Abbas, Hasjim. 2004. Kritik Matan Hadis: Versi Muhadditsin Dan Fuqaha. Sleman: Teras. Anas, Mālik ibn. 2004. Al-Muwaṭṭā’. Emirat: Muassasah Zayid ibn Sulṭān. Asqalānī, Syihābuddīn Abī al-Fadl Aḥmad al. T.t. Al-Iṣābah Fi Tamyīz alṢahābah. Beirut: Dār al-Fikr. A’ẓamī, Muḥammad Musṭafā al. t.t. Dirasat Fī Al-Ḥadīṡ al-Nabawi Wa Tārīkh Tadwīnih. t.tp: Al-Maktab al-Islāmi. Bagdādī, Abī Bakar al-Khaṭīb al. 2001. Tārīkh Madīnat Al-Salāam: Wa Akhbāru Muḥaddiṡiha Wa Żikri Quṭānih al-‘Ulamā Min Gairi Ahli Wa Warīdih. t.tp: Dār al-Garab al-Islāmi. Bagdādī, Muḥammad ‘Ajjāj al-Khaṭīb. 1989. Uṣūl Al-Ḥadīṡ: ‘Ulūmuhu Wa Musṭalaḥuhu. Beirut: Dār al-Fikr. Baharuddin, M. Achwan. 2014. “Visi-Misi Ma’ânî al-H?Adîth Dalam Wacana Studi H?Adîth.” Tafáqquh: Jurnal Penelitian Dan Kajian Keislaman 2 (2): 36–55. https://doi.org/10.52431/tafaqquh.v2i2.29. Baharuddin, Mochammad Achwan, Moh Erfan Soebahar, and Siti Mujibatun. 2020. “VALIDITY OF PRE-ISLAMIC ARABIC LITERATURE AS A SOURCE OF AUTHENTICATION OF HADIS.” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis 21 (2): 449–68. https://doi.org/10.14421/qh.2020.2102-11. Bukhārī, Muḥammad ibn Ismā’īl Abū Abdillāh al. 1422a. Al-Jāmi’ alMusnad al-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar Min ‘Umūri Rasūlillāh Ṣallallāh ‘Alaihi Wa Sallam Wa Ayyāmih. Vol. 3. t.tp: Dār Ṡauq al-Najaḥ. ———. 1422b. Al-Jāmi’ al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar Min ‘Umūri Rasūlillāh Ṣallallāh ‘Alaihi Wa Sallam Wa Ayyāmih. Vol. 1. t.tp: Dār Ṡauq al-Najaḥ. ———. 1422c. Al-Jāmi’ al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar Min ‘Umūri Rasūlillāh Ṣallallāh ‘Alaihi Wa Sallam Wa Ayyāmih. Vol. 8. t.tp: Dār Ṡauq al-Najaḥ. Dailamy, Muhammad. 2010. Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan. Purwokerto: Stain Press. Daulabi, Abī Basyr Muḥammad al. 1999. Al-Kuna Wa al-Asmā’. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Ḥanbal, Abū Abdillāh Aḥmad ibn Muhammad ibn. 2001. Musnad AlImām Aḥmad Ibn Ḥanbal. Vol. 32. Beirut: Muassasah al-Risālah. 160 | Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Hasanah, Uswatun. 2013. Kritik Hadis. Sumatera Selatan: Grafika Telindo Press. Hurairah, Abi. 2021. “Hadis Terbitnya Bintang Ṡurayyā Dalam Musnad Imam Ahmad Bin Hanbal (Studi Sanad Dan Matan Hadis).” AQWAL Journal of Qur’an and Hadis Studies 2 (2): 228–52. https://doi.org/10.28918/aqwal.v2i2.6019. Imran, Muhammad. 2016. Analisa Kesiqahan Perawi Hadis. Yogyakarta: Istana Publishing. Ismail, M. Syuhudi. 1996. “Kriteria Sanad Dan Matan: Kriteria Hadis Shahih.” In Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis, edited by Yunahar Ilyas and M. Mas’udi. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Kaṡīr, Abū al-Fida Ismā’īl ibn Amr ibn. 1999. Tuḥfat Al-Ṭālib Bi Ma’rifat Aḥādīṡ. t.tp: Dār Ibn Hazm. Khan, Abdul Majid. 2008. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah. Luḥaidan, Dukhail ibn Ṣālīḥ al-. 1442. Ṭurūq Al-Takhrīj Bi Ḥasbī al-Rāwī al-A’lā. Madinah: Jamī’ah al-Islāmiyyah. Mahdi, Abū Muḥammad Abd al-. t.t. Ṭuruqu Takhrīj Ḥadīṡ Rasūlillāh Ṣallallahu‘alaihi Wa Sallam. Kairo: Dār al-I’tisḥān. Mustaqim, Abdul. 2008. Ilmu Ma’anil Hadits: Berbagai Teori Dan Metode Dalam Memahami Hadits Nabi. Yogyakarta: Ideas Press. Naisābūrī, Muslim ibn Ḥajjāj al-. t.t. Al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar Bi Naqli al-‘Adli ‘an al-‘Adli ‘ilā Rasūlillāh Ṣallallāhu‘alaihi Wa Sallam. Vol. IV. Beirut: Dār Iḥyā al-Turāṡ al-‘Arabi. Nasā’i, Abū Abdirraḥman Aḥmad ibn Syu’aib al-. 2001. Al-Sunan al-Kabīr. Beirut: Muassasah al-Risālah. Nasir, Muhammad. 2022. “MELACAK AKAR PEMAHAMAN HADIS NABI: (Kajian Enkulturasi Dalam Ormas Islam Di Majene Sulawesi Barat).” AL-MUTSLA 4 (2): 149–68. https://doi.org/10.46870/jstain.v4i2.295. Saifuddin. 2011. Arus Tradisi Tadwin Hadis Dan Historiografi Islam: Kajian Lintas Aliran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ṣalāḥ, Uṡmān ibn ‘Abd al-Raḥman ibn. 1986. Muqaddimah Ibn Ṣalāḥ. Beirut: Dār al-Fikr. Samani, Abū Sa’īd ‘Abd al-Karim al-Tamīmī al. 1980. Al-Ansab. Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah. Sobari, Ahmad Sobari Ahmad. 2018. “Metode Memahami Hadis.” Mizan: Journal of Islamic Law 2 (2). https://doi.org/10.32507/mizan.v2i2.142. Sulaemang. 2008. “Teknik Periwayatan Hadis: Cara Menerima Dan Meriwayatkan Hadis.” Al-Adl 1 (No 1): 57–63. https://doi.org/10.31332/aladl.v1i1.753. Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) | 161 AQWAL: Journal of Quran and Hadis Studies Suryadi, and Muhammad Alfatih Suryadilaga. Penelitian Hadits. Yogyakarta: TH Press. Vol. 3 No. 2 2022 2009. Metodologi Suyūṭī, Jalāluddīn Abdurraḥman al-. 2009. Tadrīb Al-Rāwī Fī Syarḥ Taqrīb al-Nawāwī. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Syāfi’ī, Abī Qāsim Alī al-. t.t. Tārīkh Madīnah Al-Dimasyq. Beirut: Dār alFikr. Ṭāḥān, Mahmūd. 1996. Uṣūl Al-Takhrīj Wa Dirāsah al-Asānid. Riyaẓ: Maktabah al-Ma’arif. Tirmīżī, Muḥammad ibn ‘Īsā. 1975. Sunan Al-Tirmīżī. Vol. 3. Mesir: Maktabah Muṣṭafa al-Bāb al-Ḥalb. Wensinck, A.J. 1936. Al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāż al-Ḥadīṡ al-Nabawī. Leiden: E.J. Brill. Yaqub, Ali Mustafa. 2004. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus. Żahabi, Syamsuddîn bin Aḣmad al-. 1985. Siyar A’lâm al-Nabulâ. Kairo: Muassasah al Risâlah. ———. t.t. Tajrīd Asmā’ al-Ṣahabah. Kairo: Dār al-Ma’rifah. 162 | Easy Steps to Search....(Muhammad Amin) Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 The Ethics of Protecting Environment Ibn Khaldun Perspective’s: Analysis of Exegesis Maqasidi's QS. al-A'raf Verse 56 Etika Menjaga Lingkungan Hidup dalam Perspektif Ibnu Khaldun: Analisis Tafsir Maqasidi QS. al-A’raf Ayat 56 Article History Submitted : 24/08/2022 Reviewed : 01/11/2022 Revised : 10/12/2022 Aproved : 19/12/2022 Available : 21/12/2022 Erika Aulia Fajar Wati erikaaulia@gmail.com UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Hakam al-Ma’mun hakamalmamun@gmail.com UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Abstract This paper discusses the ethics of protecting the environment according to Ibn Khaldun. Starting from his statement in his magnum opus entitled Muqaddimah, he explained how the orderliness of the universe and everything within is a unified system that is mutually dependent on one another. The order and harmony of the universe are full of endless wisdom and lessons. From this, lessons can be drawn, one of which is that the natural order system reflects the social system prevailing in society. Social systems that rely on each other between individuals will produce a civilized society. So to maintain the order and balance of the environment, the Qur'an through Qs. al-A'raf verse 56 forbids doing damage on earth. Through the maqasidi interpretation approach to the verse, it can be concluded that the main principle of maqasid al-syariah can only be implemented in everyday life if the environment is conducive. Environmental conditions will affect the effectiveness of the application of Islamic law. Keyword: Environment, Exegesis Maqasidi, Ibn Khaldun URL: https://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/AQWAL/article/view/3494 DOI: https://doi.org/10.28918/aqwal.v3i1.3494 Abstrak Tulisan ini membahas tentang etika menjaga lingkungan hidup menurut Ibnu Khaldun. Berawal dari statemennya di dalam karya magnum opusnya 163 | The Ethics of Protecting....(E.A.F. Wati & H.Al-Ma’mun) AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 1 2022 berjudul Muqaddimah, ia menjelaskan betapa keteraturan alam semesta dan segala isinya merupakan satu kesatuan sistem yang saling bertumpu satu sama lain. Keteraturan dan keserasian kinerja alam semesta ini tidak akan pernah habis untuk dicari hikmah dan pelajarannya. Dari sini kemudian dapat diambil pelajaran salah satunya ialah sistem keteraturan alam tersebut mencerminkan sistem sosial yang berlaku di masyarakat. Sistem sosial yang saling bertumpu antar individu satu dengan lainnya akan menghasilkan masyarakat madani yang berperadaban. Maka untuk mempertahankan ketaraturan dan keseimbangan lingkungan hidup tersebut al-Qur’an melalui Qs. al-A’raf ayat 56 melarang melakukan kerusakan di bumi. Melalui pendekatan tafsir maqasidi terhadap ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa prinsip utama maqasid al-syariah hanya bisa terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari apabila lingkungan hidup kondusif. Kondusifitas lingkungan hidup akan mempengaruhi efektifitas penerapan syariat Islam. Kata kunci: Lingkungan, Tafsir Maqasidi, Ibn Khaldun A. INTRODUCTION This view of the human position as the center of attention is part of the understanding of anthropocentrism which began from the Greek era to the modern era. Through this understanding, everything in the universe is valued only as a means to satisfy human interests and needs. There are at least 3 weaknesses according to the perspective of anthropocentrism; First, humans are only understood as social beings who require interaction among themselves, but are not seen as ecological beings whose identities are also influenced by nature or their environment. Second, ethics only functions and targets the human social community without taking into account living beings outside of humans. Third, the perspective of modern science and technology tends to be mechanistic-reductionist, namely positioning the universe as the object and humans as the subject (Hamid 2020). The consequences of the anthropocentrism perspective above affect the rate of development of science and technology rapidly. This rate of development then creates a dilemma between the utilization of natural resources on the one hand, but on the other hand it actually has an impact on the destruction of natural ecosystems. Ecosystem damage is caused by the continuous use of natural resources without a system capable of controlling the balance and sustainability of natural resources. Therefore, individual and communal awareness is needed for the bad impacts that will occur if the exploitation of nature takes place simultaneously to an unknown extent. One way to know the urgency of preserving nature can be found through the statement of Ibn Khaldun in one of his works. He considers the universe with all its regularities to be a miracle that will never end (Abdurrahman 2001). This means that discoveries of natural wealth will continue along with the development of human science and technology. 164 | The Ethics of Protecting....(E.A.F. Wati & H.Al-Ma’mun) Vol. 3 No. 1 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies From here, Ibn Khaldun's statement is not in the realm of justifying human exploitation of the natural resources they have, but on the contrary, humanity must feel challenged to find the miracle behind the order and continuity of this universe. Therefore this research will answer how Ibn Khaldun views the universe in general and the human environment in particular. Through Ibn Khaldun's view, a correlation will later be obtained against the prohibition of doing damage to the earth as stated in Qs. Al-'Araf verse 56. The paradigm used in this study refers to qualitative research based on literature studies that explain Ibn Khaldun's views on the environment. The approach used to analyze Qs. al-A'raf verse 56 is a maqasidi interpretation approach that puts forward the maqasid al-Syari'ah aspect in taking the value contained in one verse. These values include alKulliyyat al-Khamsah namely protecting religion, preserving the soul, protecting the mind, protecting property and protecting offspring. B. DISCUSSION 1. Overview of Ibn Khaldun and the Environment Ibn Khaldun is a Muslim philosopher who comes from Andalusia. His full name is Abdul Rahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan. The name Khaldun is related to his grandfather, Khalid bin Usman. He was born on May 27 in 1332 AD to coincide with the beginning of the month of Ramadan in 732 Hijriyah (Sujati 2018). He is known by modern scientists as the father of sociology and the founder of political theories that have inspired many scholars in the humanities (Mahdi 1971). Apart from being known as a humanities-based scientist, he is also well known as a religious scholar who has succeeded in maximizing the role of his mind to explain doctrinal problems within the body of Muslims. Through his monumental work entitled al-Ibrar wa diwan almubtada wa al-khabar fi ayyam al-'arab wa al-'ajam wa al-barbar it can be seen how he applied his methodology in writing history. The method he used was obtained based on reading the historical works of his predecessors which were considered not to meet the requirements for writing history scientifically, namely that there were many irrational elements that adorned the story of the historical journey of the earlier people. From here Ibn Khaldun applies his classification method to map every event that occurs and analyze each of its movements in order to obtain a lesson from each event. Among the analysis processes carried out on one incident, he also pays attention to the underlying causes of the development of social groupings, so that Khaldun is able to describe in detail the social phenomena experienced by a particular civilization. Ibn Khaldun wrote history by applying scientific principles that can be validated. He not only succeeded in narrating the stories of the ancestors The Ethics of Protecting....(E.A.F. Wati & H.Al-Ma’mun) | 165 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 1 2022 in a neat manner, but also in his hands history was able to serve as a systematic and progressive independent scientific discipline. The determination of history as an independent scientific discipline is based on the principle of rationality obtained through knowledge of the factors that cause an event to occur (Baso 2017). So that history does not only discuss the issue of when and where an event occurred, but knowledge of the causes and effects behind it also becomes a point of view in historical science. Thus, to reach the initial stages in scientific disciplines has been fulfilled, because as Aristotle said that knowing the law of causality (cause and effect) is the most basic principle of science (Muhammad 1981). Maintaining the basic principles of science is trying to be perpetuated by Ibn Khaldun in every historical writing. He then provides a benchmark so that the principle of causality is maintained properly. He put forward the concept of thaba'i al-'Umran in which every social group of mankind has a general character and an essential character that is embedded in him. These traits and characteristics are immanent in all changing conditions and situations. It is through this concept that Ibn Khaldun determines the factual validity of an event, as well as ensuring whether the news is valid or not. In simple terms, the concept of thaba'i al'umran offered by Ibn Khaldun is equivalent to the principle of al-kulliyyah al-ijtima'iyyah, namely the universality of social life (Abdurrahman 1965). The principle of the universality of society at a certain point intersects and intersects with natural events (natural science) so that it cannot be avoided because humans themselves are specifically part of living things in nature. From here, the influence of human nature by the circumstances and conditions of the surrounding environment plays a very dominant role (Fajar 2019). Human character is formed through a process of interaction between himself and his environment, namely everything that is around him and experiences a reciprocal relationship and is considered to have an influence effect. The consequence of the involvement of the environment for the formation of human character is that if the environment is not conducive then a character that tends to be destructive will be created. On the other hand, when the environment has a high ecological awareness, the character tends to be constructive (Jurdi 2008). The concept of the influence of human nature on its environment then gave birth to a new concept for Ibn Khaldun namely humans as social or political beings (al-Insan hayawan madani) (Louise 1999). Starting from the perspective of social science that humans cannot live alone to make ends meet, they also make other individuals as partners. Starting from this sense of mutual need, a sense of solidarity grows between them so that they form a community with the aim of building a civilization. The formation of a community on the one hand is also driven by nature or the most basic human instinct, namely the tendency to like an association rather than living alone. Because by living together they can provide security to each other and avoid attacks from enemy evil (Abdurrahman 2011). 166 | The Ethics of Protecting....(E.A.F. Wati & H.Al-Ma’mun) Vol. 3 No. 1 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies The human environment in the community is of course also influenced by the geographical conditions and situations in which they live. Natural conditions also affect the pattern of thinking and acting. In this case, for example, Ibn Khaldun describes the behavior model of the Bedouin community, which has a tough character compared to the urban/civil society, which is soft and easily influenced by worldly pleasures (Amin 2018). The Bedouin community is in contact with extreme natural conditions so that they are forced to survive, while the civil society or urban people are too spoiled by the facilities that are already available so that their character tends to be lazy. Such is the description of the environment according to Ibn Khaldun's perspective which tends to focus on the social and cultural conditions in which they live. 2. Islamic Views Regarding the Environment Islam as a religion that spreads mercy to all creatures in the universe has given serious attention to the environment. In Islamic teachings there is no prohibition to utilize and use natural resources contained in or on the surface of the earth. The use and utilization of these resources needs to be managed as well as possible so that the crops can be distributed evenly to all mankind, so as not to cause economic and social inequality in society. Natural resources as an economic recession should not be used as a means of personal enrichment but must also be felt by every community who participates in managing the results of natural wealth. Therein lies the principle of justice and equality of Islamic teachings in relation to environmental management and empowering people's lives (Nafisah 2019). The principle of al-'a in the context of environmental governance means treating nature with precision, namely not over-exploiting natural products and not acting abusively towards the environment. Although humans are recognized by creation as the most perfect creatures among other creatures, in reality humans are a small part of the natural community. Feelings of superiority in the context of the creation of beings need to submit to unavoidable natural facts and facts. Moreover, the Qur'an through surah alAn'am verse 38 has reported that all creatures that live in nature are people like humans (umamun amtsalukum), so that behaving fairly towards nature is a moral obligation that cannot be set aside. When this principle of justice is lost or ignored by mankind, environmental damage cannot be avoided (Mustaqim 2013). In addition to the principle of justice, Islamic teachings also offer the principle of al-tawazun, namely balance. Balance in the context of environmental governance relates to the balance of ecosystems of living things, namely the existence of various species of living things must be maintained so that mass extinction does not occur. The occurrence of mass extinctions is caused by the gradual use of resources without taking into account periodic conservation processes. In addition to taking advantage of plant and animal resources by humans, it is also necessary to pay attention to the survival or regeneration of these two living things (Sholehuddin 2021). The Ethics of Protecting....(E.A.F. Wati & H.Al-Ma’mun) | 167 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 1 2022 This regeneration process can be done in various ways, for example by replanting the seeds of plants that have been cut down or breeding animals through animal husbandry. The principle of justice and balance taught by Islam is a form of concern for the environment. Through these two principles it can be said that environmental damage is not a reflection of Islamic religious teachings but is solely due to the actions of some adherents of Islam who do not have ecological awareness within themselves. Even though the Prophet Muhammad, as a role model for Muslims, taught about the importance of caring for the environment by planting plants. In fact, he appreciated the activity of growing plants just like someone who is giving alms to other living things. The following hadith explains it: ِ ِ ِ ِ ِ ٌ‫ص َدقَة‬ َ ‫ أ َْو يَْزَرعُ َزْرعًا فَيَأْ ُك َل منْهُ طَْْيٌ أ َْو إِنْ َسا ٌن أ َْو ََبْي َمةٌ إِالَّ َكا َن لَهُ بِه‬,‫س غَْر ًسا‬ ُ ‫َما م ْن ُم ْسل ٍم يَغْ ِر‬ Meaning: It is not a Muslim to plant a tree, nor does he plant a plant then the tree or plant is eaten by birds, humans or animals but becomes charity for him (HR. Muslim). From the hadith above, it can be seen that a Muslim who plants a tree then from the plant grows fruits that can be enjoyed not only by humans but also by plant-eating animals, then he gets a reward that continues to flow like charity. Abdul Rouf al-Munawi, when commenting on this hadith, also mentioned: hadza al-hadith kama taro madaha 'imarah al-ardl (this hadith, as stated in its message, is praise addressed to those who take care of the earth) (Al-Munawi 1973). It is clear how much the Prophet Muhammad's appreciation for natural preservation is reflected in his appreciation for someone who conserves the environment through planting trees. Islamic concern for the environment can also be seen from the aspect of implementing Islamic law which always puts forward the principle of mashlahah al-'ammah, namely prioritizing universal benefits. Benefit from the application of Shari'a is often termed maqashid al-shariah or al-Kulliyat al-khamsah (five general basic principles). These five universal principles in Islamic law cannot be implemented properly when they are not supported by a conducive living environment. So that a conducive living environment determines the achievement of general good, such as: guarding religion, soul, property, lineage and human common sense. From here, the concept of hifz al-bi’ah emerges as the fundamental basis for enforcing Islamic law (AlQardhawi 2000). The human environment is the most crucial thing on the agenda of implementing Islamic law, therefore it is only natural that in this context Sayyed Hossein Nasr said that damage to nature or the extinction of various species of animals and plants is the biggest disaster for religious people (Nasr 1996). The extinction of animal and plant ecosystems hinders religious adherents from knowing the Creator of the Universe, because in the treasury of Islamic intellectual property it teaches that all creatures in this universe 168 | The Ethics of Protecting....(E.A.F. Wati & H.Al-Ma’mun) Vol. 3 No. 1 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies are indications or signs of the existence of a Supreme Creator. Therefore, maintaining the existence of the diversity of living things is an unavoidable necessity for anyone who claims to be a religious person. As a Muslim community, specifically the Qur'an has also mentioned many verses that have the nuances of environmental conservation. Several verses, even though they are not clearly ordered to protect the environment, implicitly provide information about how a good Muslim can preserve his environment. This is for example reflected in Qs. al-An'am verse 141, when Allah SWT says: ِ َّ ٍ َ ‫ات و َغْي معر‬ ٍ َ ‫َّات معر‬ ٍ ‫الرَّما َن ُمتَ َش ِاَبًا َو َغ ْ َْي ُمتَ َشابٍِه‬ َّ ‫ع ُمُْتَلِ ًفا أُ ُكلُهُ َو‬ َّ ‫َّخ َل َو‬ ُّ ‫الزيْتُو َن َو‬ َ ‫الزْر‬ ْ ‫وشات َوالن‬ ُ ْ َ َ ْ َ ‫وش‬ ُ ْ َ ‫َوُه َو الذي أَنْ َشأَ َجن‬ ِ ِ ‫ُكلُوا ِمن ََثَِرهِ إِذَا أ ََْثَر وآتُوا حقَّه ي وم حص‬ ‫ي‬ ُّ ‫ادهِ ۖ َوَال تُ ْس ِرفُوا إِنَّهُ َال ُُِي‬ َ ‫ب الْ ُم ْس ِرف‬ َ َ َ َْ ُ َ َ َ ْ Meaning: And it is He who makes the gardens which are exalted and which are not exalted, palm trees, plants of various fruits, olives and pomegranates that are similar (shape and color) and not the same (taste). Eat from its fruit (of various kinds) if it is fruitful, and fulfill its rights on the day it reaps the fruit (by giving it to the poor); and do not exaggerate. Verily, Allah does not like those who are excessive. The verse explains that after Allah SWT gives sustenance in the form of various fruits, the person who harvested it earlier is ordered to fulfill the rights of the plant. The rights in question can be in the form of social rights reserved for the poor, or ecological rights for harvested plants. The ecological right for plants is to carry out the process of replanting plants that have been taken advantage of, so that the regeneration process continues until the plants can be used again (Amin 2016). Apart from that, through this verse Allah SWT also advised not to act excessively because Allah does not like those who behave beyond the limits. In this context, the behavior that exceeds the limit is related to the exploitation of agricultural products, namely the use of natural resources without regard to their sustainability. This is an explanation of how Islam cares for the environment. Islam as part of the world's religions gives a large portion of environmental themes. No less than 750 verses in the Qur'an tell about the use, maintenance and preservation of nature that must be considered by mankind. Apart from going through the Qur'an, Rasulullah SAW also preached a lot about the importance of protecting and caring for ecosystems, because this is the most important element in relation to the sustainability of Islamic law. 3. Interpretation of Qs. Al-A'raf Verse 56: Maqasidi Interpretation Approach If we pay close attention to the universe with all its contents, we will find a system of order that influences one another. When there is only one system that does not work according to its provisions, it will affect other systems. Therefore, Allah SWT through this verse forbids human beings to The Ethics of Protecting....(E.A.F. Wati & H.Al-Ma’mun) | 169 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 1 2022 do damage in any form because it can affect other living things. As Ibn Khaldun's statement in this context he said that the order and performance of the universe is a miracle that will never subside to continue to learn from. Al-Qur'an surah al-A'raf verse 56 forbids humans from doing damage to the earth in any name, because destructive actions are part of transgressing actions. Allah SWT created this universe in a state of harmony and harmony so that humans as one of the living beings who have the mandate to be responsible for preserving His creation must seriously fulfill this mandate. One of the proofs that Allah SWT participates in the improvement of the universe is sending the Prophets to educate mankind about the urgency of a conducive living environment (Shihab 2016). So it is through the teachings brought by the Prophets that humankind's awareness of its environment becomes more concerned. One of the teachings in the Qur'an regarding the prohibition of damaging the environment is stated in Qs. al-A'raf verse 56: ِ ‫ض ب ع َد اِص ََل ِحها و ْادعوه خوفًا َّوطَمعا اِ َّن ر ْْح‬ ِِ ِ ‫الل قَ ِري‬ ِ ِ ‫ي‬ َ ْ ‫ب ّم َن الْ ُم ْحسن‬ َ َ َ ًَ ٌ ْ ّٰ ‫ت‬ ْ َ ُ ْ ُ َ َ ْ ْ َ ِ ‫َوَال تُ ْفس ُد ْوا ِف ْاالَْر‬ Meaning: And do not do damage on earth after (created) well. Pray to Him with fear and hope. Indeed, Allah's mercy is very close to those who do good. Al-Imam al-Syaukani, for example, explained that through this verse, Allah SWT forbids mankind from doing damage, whether the intensity of the damage is a little or a lot. And among the forms of damage that are prohibited are taking human lives indiscriminately, tearing down or destroying their homes, cutting down trees illegally and polluting water sources (Muhammad 2007). A similar interpretation was also put forward by the Ministry of Religion of the Republic of Indonesia namely the creation of the earth with all its features, including mountains, seas, valleys, land and forestry, among others, only to meet the needs of human life. So the prohibition in this verse is general in nature, that is, it covers all aspects of life both socially and spiritually (Kemenag 2012). In general, the explanations of the commentators on this verse have relatively the same nuances, namely focusing on the aspect of prohibiting doing damage to the earth. From here the author wants to expand the scope of the meaning of prohibited damage from the maqashidi interpretation point of view. Abdul Mustaqim views maqashidi interpretation from an ontological point of view, dividing it into 3 types, namely maqashidi interpretation as a philosophy of interpretation, maqashidi interpretation as a methodology of interpretation and maqashidi interpretation as a product of interpretation (Mustaqim 2019). Philosophically, the maqashidi interpretation approach has the spirit to explain the meaning of the Quran beyond the structure of language or the textual sound of verses of the Quran. In relation to the discussion of asbabun nuzul ayat, maqashidi interpretation does not use al-Ibroh bi 'umum al-lafz aw bi khusus as sabab but the rule that is applied is al-'ibrah bi maqashid al-shariah (Robikah 2021). 170 | The Ethics of Protecting....(E.A.F. Wati & H.Al-Ma’mun) Vol. 3 No. 1 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Based on the application of the rule of taking ibrah (lesson) from a verse from the perspective of maqashid al-Syariah, matters related to the five universal principles (al-kulliyat al-khamsa) from Qs. al-A'raf verse 56 will be the author of the elaboration. First, the environment needs to be preserved in the name of maintaining the existence of religion (hifz al-din) because without it religious teachings are hampered so that in the end religious teachings cannot be properly practiced by adherents of religion. As a concrete example, for example when there is a flood disaster caused by massive and uncontrolled forest logging, the consequence for the followers of the religion affected by the flood is that they cannot carry out their religious rituals in their places of worship. When they are hindered from performing religious rituals, it means that religious symbols are slowly fading and it is only a matter of time for the existence of religion to continue to exist. Second, environmental sustainability is an integral part of maintaining human survival (hifz al-nafs) which cannot be avoided. Forms of human interaction with nature can be destructive or constructive (Suryani 2017). Constructive behavior is implemented towards the use of nature for human needs, but at the same time they also do not forget to carry out the process of nature conservation. Conversely, destructive behavior towards nature is destroying plants and killing animals without proper calculation. This destructive behavior of nature is then condemned by the Qur'an through Qs. Al-A'raf verse 56 with the theological consequences that the perpetrators are not loved and blessed by Allah SWT (innahu la yuhibbu almusrifin). In fact, in another verse the Qur'an aligns israf behavior (exploitative nature) with his brother Satan (see Qs. al-Isra': 27). Third, damage to the environment threatens human regeneration (hifz al-nasl) to continue to grow and develop. Management of natural resources must lead to general benefit so that it can have positive implications for human survival. Unwise management of natural resources results in the extinction of living things. Humans are part of living beings who need adequate water resources, it will be very difficult to maintain their life when spring water is mixed with industrial wastes. In ushul fiqh there is a rule which means: "something that is obligatory cannot be fulfilled perfectly, when the intermediary to achieve it is also not fulfilled" (Ibrahim 2019). The meaning of this rule is that if maintaining human survival is an obligation, and humans cannot live without an adequate source of water, then protecting springs so that they are not polluted becomes an obligation. Fourth, protecting the environment is a universal moral message that has been conveyed by Allah SWT through his messenger, even protecting the environment is part of one's faith. One way to determine a person's level of faith can be measured by the level of concern for environmental sustainability. In this context Yusuf al-Qadhawi stated that the maintenance of nature or the environment is part of maqashid al-shariah which is 'ammah (general). In one of his formulas regarding environmental preservation, he mentions the term hifz al-biah min muhafazah 'ala al-'aql, namely protecting and preserving the environment is part of maintaining the effectiveness of the human mind. This is in accordance with human nature when viewed from an ecological perspective that humans are environmental creatures (homo ecological) (Danusaputro 1985). Humans as The Ethics of Protecting....(E.A.F. Wati & H.Al-Ma’mun) | 171 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 1 2022 environmental creatures always desire to understand and adapt to their environment. Knowledge of his environment often enters (infiltrates) into his thinking considerations. So that when the situation and environmental conditions are not conducive it will affect the effectiveness of his mind. Fifth, maintaining a conducive environment is also an integral part of the hifz al-mal principle (safeguarding property). When the human environment is insecure or there is a lot of theft, the application of the hifz al-mal principle becomes hindered. Islam provides a solution to the punishment for the perpetrators of theft by cutting off the limbs of the thieves so that a feeling of anger arises in him. This is solely done as a form of Islamic concern for property ownership. In the context of verse 56 of surah al-a'raf, the principle of hifz al-mal is implemented in the phrase innahu la yuhibbu al-musrifin, namely that the use of assets must be accompanied by good management. Using assets according to needs and avoiding wasteful behavior is also an implementation of the principle of protecting assets. C. CONCLUSION After conducting research related to environmental ethics according to Ibn Khaldun along with the maqashidi interpretation approach to surah alA'raf verse 56 the author can conclude several new things that have not been raised by previous research. That according to Ibn Khaldun the environment is greatly influenced by natural circumstances and situations. In general, he stated that the performance of the universe which is so orderly and systemic is a divine miracle that will never be finished to study. Systems that influence each other's performance and effectiveness of each component when drawn into the realm of the human environment can be found in regular social systems. Every social system must have a relationship between one element of society and another. If one system of society is dysfunctional, it will affect other systems. So from here humans are required to always maintain the orderliness of the existing system in order to create a conducive living environment. Meanwhile, theologically maintaining and caring for an ongoing social system is an implementation of the maqashid alshariah principle. Through Qs. Al-A'raf verse 56 humans are prohibited from doing damage to the earth in any form. Destructive behavior in the context of the environment is the same as injuring the values contained in maqashid al-shariah. REFERENCES al-Munawi, Abdul Rouf. Faidh Al-Qadir Syarh Al-Jami’ as-Shaghir Min Ahadis Al-Basyir Al-Nadzir. Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyyah, 1973. al-Naisaburi, Muslim bin al-Hajjaj abu al-Hasan al-Qusyairi. Shahih Muslim, Bab Fadl Al-Ghars Wa Al-Zar’a. Beirut: Dar Ihya’ alTurats al-’Arabi, n.d. 172 | The Ethics of Protecting....(E.A.F. Wati & H.Al-Ma’mun) Vol. 3 No. 1 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Al-Qardhawi, Yusuf. Ri’āyat Al-Bī’at Fī Syarī’at Al-Islām. Cairo: Dar alSyuruq, 2000. Al-Syaukani, Muhammad bin ’Ali bin Muhammad. Fath Al-Qodir. Edited by Yusuf al-Ghus. Beirut: Libanon: Dar al-Ma’rifah, 2007. Amin, Khairul. “Badawah & Hadarah : Konsep Sosiologi Ibn Khaldun.” Jurnal Sosiologi Agama 12, no. 1 (2018): 85. Amin, Muhammad. “Wawasan Al-Quran Tentang Manusia Dan Lingkungan Hidup Sebuah Kajian Tafsir Tematik.” Jornal Nizham 05, no. 02 (2016): 190. Bajjah, Abu Bakr Muhammad bin Yahya. Syarh “ala as-Sama” AthThabi’i Li Aristhutailis. Edited by Ma’in Ziyadah. Beirut: Dar alFikr, 1981. Baso, Ahmad. Al-Jabiri, Eropa Dan Kita: Dialog Metodologi Islam Nusantara Untuk Dunia. Tangerang Selatan: Pustaka Afid Jakarta, 2017. Danusaputro, St. Munadjat. Hukum Lingkungan. Jakarta: Bina Cipta, 1985. Fajar, Abbas Sofwan Matlail Fajar. “Perspektif Ibnu Khaldun Tentang Perubahan Sosial.” Jurnal Salam 6 (2019): 1–12. Hamid, Ismar. “Perjuangan Orang Mapnan Mempertahankan Hutan Di Kabupaten Berau : Kritik Terhadap Antroposentrisme Dalam Pengelolaan SDA.” Empower: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 5, no. 1 (2020): 155–173. Ibnu Khaldun, Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad. Al-Ibrar Wa Diwan Al-Mubtada Wa Al-Khabar Fi Ayyam Al-‘Arab Wa Al-’Ajam Wa Al-Barbar: Muqaddimah Ibn Khaldun. Kairo: Lajnah al-Bayan al-Arabi, 1965. ———. Muqoddimah. Terj. Ahma. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011. ———. Tarikh Ibn Khaldun. Beirut: Dar al-Fikr, 2001. Ibrahim, Duski. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fiqih). Palembang: CV. Amanah, 2019. Jurdi, Syarifuddin. Sosiologi Islam Elaborasi Pemikiran Sosial Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008. L. Sholehuddin. “Ekologi Dan Kerusakan Lingkungan Dalam Persepektif Al-Qur’an.” Jurnal Al-Fanar 4, no. 2 (2021): 113–134. Louise, Marlow. Hierarchy and Egalitarianism In Islamic Thought. Terj. Nina. Bandung: Mizan, 1999. Mahdi, Muhsin. Ibnu Khaldun Philosophy Of History. Chicago: University of Chicago Press, 1971. Mustaqim, Abdul. “Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi Sebagai Basis Moderasi Islam.” In Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Ulumul Qur’an. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2019. ———. “Etika Pemanfaatan Keakekaragaman Hayati Dalam Perspektif Al-Qur ’an.” Hermeneutika: Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Tafsirn 9, no. 2 (2013): 389–406. The Ethics of Protecting....(E.A.F. Wati & H.Al-Ma’mun) | 173 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 1 2022 Nafisah, Mamluatun. “Tafsir Ekologi: Menimbang Hifz Al-Biah Sebagai Usul Ash-Shari’ah Dalam Al-Qur’an.” Al-Fanar: Jurnal Ilmu alQur’an dan Tafsir 2 (2019): 93–111. Nasr, Sayyed Hossein. Religion and the Order of Nature. New York: Oxford University Press, 1996. Nurani, Shinta. "Hermeneutika Qur'an Ekofeminis: Upaya Mewujudkan Etika Ekologi al-Qur’an Yang Berwawasan Gender". Jurnal Religia, Vol. 20, No.1, 2017. Kementrian Agama. Al-Qur’an Dan Tafsirnya: Edisi Yang Disempurnakan. Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012. Robikah, Siti, and Ratu Balqis. “Rekonstruksi Kisah Ratu Balqis Dalam Perspektif Tafsir Maqashidi.” Jurnal Al-Wajid 2, no. 1 (2021): 341–363. Shihab, Muhammad Quraish. “Pendidikan Lingkungan Hidup Dan Implementasinya Dalam Pendidikan Islam (Analisis Surat Al-A’raf Ayat 56-58 Tafsir Al Misbah.” Jurnal Nizham 05, no. 02 (2016): 189–203. Sujati, Budi. “Konsepsi Pemikiran Filsafat Sejarah Dan Sejarah Menurut Ibnu Khaldun.” Jurnal Tamaddun 6, no. November (2018). Suryani. “Penegasan Hifd Al ’Alam Sebagai Bagian Dari Maqashid Al Shari’ah.” Al-Tahrir 17, no. 2 (2017): 353–370. RI, 174 | The Ethics of Protecting....(E.A.F. Wati & H.Al-Ma’mun) Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 The Contribution of Contemporary Interpretation in the Modern Era: A Study of the Concept of Thought and Methodology of Interpretation Kontribusi Tafsir Kontemporer di Era Modern: Studi Atas Konsep Pemikiran dan Metodologi Tafsir Article History Submitted : 01/07/2022 Reviewed : 21/10/2022 Revised : 11/12/2022 Aproved : 20/12/2022 Available : 26/12/2022 Ahmad Ridho Syakirin ridho.syakirin789@gmail.com UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan Abstract This paper aims to discuss the contribution of interpretation in the modern era which is examined through the concept of thought of the figures and the methodology of their interpretation. In this context, contemporary interpretation methods in the interpretation of the Koran make existing human problems the spirit of its interpretation. The research method used is library research, data presentation is descriptive, using historicalsociological analysis in the study of the science of the Qur'an. The results of this study are 1) the contribution of interpretation in the modern era has a lot of adab ijtima'i style so that it is very relevant to the human problems faced by humans in the current era; 2) the concept of thinking of contemporary figures is contextual by revealing the understanding of the meaning and values contained in the Qur'an to be actualized in overcoming contemporary problems and carrying out the moral ideals of the verses of the Qur'an such as the values of justice, equality, unity, and others not only interpret text literals only; 3) Contemporary interpretation methodology focuses more on thematic interpretation methods, emphasis on Arabic linguistics and language styles, double movement methods, and contextual interpretations Keywords: Contemporary Interpretation, Methodology, Modern Era Thought, Interpretation URL: https://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/AQWAL/article/view/5784 DOI: https://doi.org/10.28918/aqwal.v3i1.5784 175 | The Contribution of Contemporary....(A. R. Syakirin) AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 1 2022 Abstrak Paper ini bertujuan untuk membahas kontribusi tafsir di era modern yang ditelisik melalui konsep pemikiran tokoh dan metodologi tafsirnya. Dalam konteks ini, metode tafsir kontemporer dalam penafsiran Al Quran menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Metode penelitian yang digunakan dengan library research, penyajian data dengan deskriptif, menggunakan analisis historis-sosiologis dalam kajian ilmu Al-Qur'an. Hasil dari penelitian ini adalah 1) kontribusi tafsir di era modern banyak bercorak adabi ijtima’i sehingga sangat relevan dengan problem kemanusiaan yang dihadapi manusia di era saat ini; 2) konsep pemikiran tokoh kontemporer bercorak konstektual dengan mengungkap pemahaman makna dan nilai yang terkandung dalam AlQur’an untuk diaktualisasikan dalam mengatasi permasalahan kontemporer dan mengusung ideal moral ayat al-Qur’an seperti nilai keadilan, persamaan, persatuan, dan lainnya bukan hanya menafsirkan literal teks saja; 3) Metodologi tafsir kontemporer lebih menitikberatkan pada metode tafsir tematik, penekanan linguistik Arab dan gaya Bahasa, metode gerak ganda (double movement), dan tafsir kontekstual. Kata kunci: Tafsir Kontemporer, Pemikiran, Metodologi Tafsir, Era Modern A. PENDAHULUAN Kebanyakan seorang muslim terus berusaha mengajukan kecintaanya terhadap Al- Qur’an dengan berbagai cara yang mereka usahakan agar tercapai sebuah capaian dalam mengungkapkan apa yang terkandung dalam Al-Qur’an. Cara yang dilakukan yaitu membaca, menghafalkan, mentaddaburinya, mempelajari atau mengungkap makna dari ayat sebagai pengamalan atau implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya berkaitan dengan penciptaan alam semesta dan seisinya. Bahwasannya apa yang telah diciptakan oleh Allah Swt sudah mengerti dari kebutuhan dari alam semesta dan seisinya. Bahwa dalam seisinya terdapat mahluk hidup yang bergantung kepada alam yang telah diciptakan. Manusia butuh air, makanan mauypun yang lainnya telah diatur sedemikian oleh Allah Swt. Oleh karena itu Al-Qur’an yang telah diturunkan oleh Allah Swt menjadi sebuah pemberitahuan dan makna terkandung dari apa yang telah diciptakan dan yang harus dijalankan oleh umat manusia (Sumisih 2019). Al-Qur’an merupakan kitab terakhir bagi umat Islam yang dijadikan sebagai sumber paling utama. Dengan perkembangan zaman kehidupan yang bermacam-macam. Kitab ini sangat relevan sebagai bentuk petunjuk yang up to date umat manusia (ṣhālihun li kulli zamānin wa makānin). Sebagai bentuk petunjuk yang up to date inilah sangat berarti dalam kehidupan umat manusia yang menjadi pegangan. Hal ini sangat berarti dalam perkembangan zaman yang terus menerus mengalami pesatnya arus kehidupan yang bermacam-macam. Kontribusi terhadap Al-Qur’an berupaya dalam proses interaksi seseorang terhadap seorang muslim dalam 176 | The Contribution of Contemporary....(A. R. Syakirin) Vol. 3 No. 1 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies memahami dan mengamalkan setiap nilai yang terkandung di dalamnya agar tertanam dalam jiwa dan raga manusia. Hal apapun yang ditemukannya maupun yang terjadi memerlukan sebuah petunjuk dalam apa yang akan ia jalankan agar tidak tersesat ke arah yang salah ataupun berlainan. Apalagi di era modern saat ini, seringkali manusia mengalami kering spiritualitas yang akhirnya membutuhkan al-Qur’an bukan hanya sebagai kitab suci tetapi sebagai pedoman yang penafsirannya bisa dipahami dengan mudah oleh nalar manusia. Dinamika tafsir Al-Quran terus mengalami perkembangannya karena dalam perkembanagan zaman yang terus mengalami problematika ataupun hal baru maupun hal lama yang terus dikaji agar bias seiring dengan makan kandungan yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Pada dasarnya ilmu tafsir Al-Qur’an memiliki kedudukan yang tinggi sebagai induk ilmuilmu Al-Qur’an karena dalam pembahasannya dari objek dan tujuan memiliki tujuan yang mulia bagi keilmuan umat manusia. Pengkajian ilmu Al-Qu’an akan terus berlanjut seiring dengan perkembangan zaman dan kemudahan bagi umat manusia dalam menjalankannya sebagai kebutuhan mereka sendiri (Rahmawati 2020). Oleh karena itu, seiring pengkajiannya al-Qur’an melalui tafsir kontemporer baik dari konsep pemikiran tokoh maupun epistemologinya hingga metodologi tafsir kontemporer yang cukup pesat dalam mengungkap nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an agar dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi manusia sekaligus sikap penyelesaian berbagai problematika kehidupan yang semakin kompleks. Atas dasar itu, dalam berbagai tafsir kontemporer, terkadang terdapat persilisihan dan perbedaan dalam mengungkapkan makna Al-Qur’an. Tetapi pada dasarnya tujuan terpentingnya memberikan kontribusi kepada umat manusia khususnya dalam tuntutan perkembangan di era modern ini. B. PEMBAHASAN 1. Dinamika Tafsir Periode Kontemporer Istilah kontemporer merupakan keterkaitannya antara kondisi dan situasi yang sedang berlangsung pada saat tersebut. Pada hakikatnya istilah dari kontemporer bukan hanya istilah yang berdiri sendiri. Berangkat dari sebuah kejadian yang sedang berlangsung pada saat itu mungkin itu sebuah problematika ataupun persoalan yang muncul pada periode sebelumnya yang ramai dibicarakan kembali ataupun respon dari persoalan yang muncul pada sekarang yang menjadi sebuah bagaian jawaban dalam menyikapi atau tuntunan sebuah ajaran dalam menjalankannya. Oleh karena itu perkembangan zaman ini adalah era modern menjadi sebuah sebab kemunculan yang dialami. modern sulit dipisahkan dengan kontemporer karean merupakan suasana yang terjadi pada saat ini. Jika terkait dengan tafsir, maka kontemporer ini berarri bagaiman mengupayakan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an menjadi bagian The Contribution of Contemporary....(A. R. Syakirin) | 177 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 1 2022 respon yang di samakan dan diadaptasikan dengan latar belakang suasana perkemangan pada zaman modern ini. Term kontemporer yang berkaitan antara situasi dan kondisi yang menjadi penafsiran dengan menitikberatkan kejadian yang berlangsung pada saat ini. Hanya saja sebenarnya dibedakan dengan pada masa modern, namun karena hal itu sulit tak bisa lepas antara modern dengan kontemporer, karena pada dasarnya ide yang diangkat dari tafsir kontemporer tak lepas dari apa yang sudah diangkat dari tafsir modern ideidenya menjadi inspirasi bagian tafsir kontemporer. Terkadang kedua istilah tersebut dapat dijadikan sebuah kesatuan yaitu menjadi modernkontemporer. Sebagai lain dan lawan dari tafsir modern atau tafsir kontemporer yaitu tafsir klasik, tafsir ini masih mengungkap pesan normative dengan mengikuti model- model tafsir yang sudah ada. Pada umumnya, model penafsiran klasik dapat diklasifikasikan menjadi dua hal yaitu yang pertama, tafsir tektualitas yaitu dengan menjadikan teks segala-galanya dalam tafsir tersebut. Yang kedua adalah tafsir ideologis, biasanya tafsir ini dikodifikasikan dengan ideologi dari pemilihan kekuasaannya. Tafsir periode “kontemporer” pasti dikaitkan dengan zaman yang sekarang ini sedang terjadi. Karenanya perkembangan tafsir kontemporer tidak bisa terlepas dari masa modern karakteristiknya, yakni penetapan AlQur’an sebagai pedoman dan mengungkap ruh Al-Qur’an. Pola pemikirannya menitikberatkan pada konteks analitis dan tematik. Pada periode ini banyak tokoh yang mencetuskannya pada aspek perkembangan zaman modern ini (Abdul 2020). Tepatnya pada abad ke-18 yang paling terkenal adalah tafsir karangan Jamaluddin alQasimy dengan judul tafsir Mahasin at-Ta’wil, karangan Rasyid Ridha dengan judul tafsir al-Manar, karangan Thantawy Jauhary derngan judul al-Jawahi, karangan Musthafa al- Maraghi dengan judul tafsir alMarâghi, dan karangan Sayyid Qutub berjudul tafsir Fî Dzilâl. Penafsiran yang berkembang di Indonesia yaitu karangan dari Mahmud Yunus berjudul tafsir al-Qur’an al-Karim, karangan Misbah Musthafa berjudul tafsir al-Iklîl, kemudian tafsir karangan diantaranya dari Buya Hamka yakni Tafsir Hamka dan Tafsir alMisbah karangan M. Quraish Shihab. Perbedaan terkait dengan penafsiran yang terdahulu atau periode sebelumnya adalah seperti yang dikatakan oleh Hasbi As-Shiddieqy, bahwasannya karangan yang terdapat dalam penafsiran karya Rasyid Ridha yang berjudul tafsir al-Manar, dalam kitab ini memunculkan penjelasan yang kurang dari penjelasan para mufassir sebelumnya dan menyingkatnya dari kalangan sebelumnya. Dalam penafsiran dari guru Rasyid Ridho yaitu M Abduh tetap berpegang teguh pada penataan Baha Arabnya, yaitu dengan menjaga nash-nash yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan mempergunakan ijtihad didalamnya. Dalam penafsiran beliau selalu mencari persamaan antara Al-Qur’an dengan kajian keilmuan yang menjelaskan teori teori pengetahuan pada era modern ini. M Abduh juga mengatakan bahwasannya Al-Qur’an sendiri tidak akan menyimpang 178 | The Contribution of Contemporary....(A. R. Syakirin) Vol. 3 No. 1 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies ajarannya dengan hakikat ilmu, bahkan Al-Qur’an sudah memuat terkait teori keilmuan pengetahuan pada era modern ini. pada dasarnya tafsir yang sehat tidak mungkin berlawanan dengan akal sehat manusia itu sendiri. Kesimpulannya bahwa tafsir kontemporer inilah merupakan tafsir yang telah mengumpulkan antara atsar yang shahoh dengan atsar yang sehat (Buonougo 2021). Tokoh-Tokoh Ulama Tafsir Modern- Kontemporer (1800-sekarang): a) b) c) d) e) f) g) h) i) Muhammad Abduh (w. 1332 H/1905 M) Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H/1935 M) Al-Maraghi (w. 1371 H/1952 M) Sayyid Qutub (w. 1386 H/1996 M) Muhammad Ali al-Shabuni (w. 1406 H/1986 M) Abu A’la al-Maududi (w. 1399 H / 1979 M) Muhammad Saltut (w.1963 M) Wahbah Zuhaili (w. 1351 H/1932 M) Mutawalli al-Sya’rowi (w. 1419 H/1998 M) 2. Kapita Selekta Metode Tafsir Kontemporer Kitab tafsir yang dikarang di era modern ini memiliki peran penting dalam sebuah tolak ukur dalam melibatkan kehidupan pada era zaman modern ini sebagai sebuah jalan pemikiran dalam meranungi aktivitas yang akan dilakukannya. Para muffasir modern ini mempertegas dalam penjelasannya dalam keterkaitanya menafsirkan ayat Al-Qur’an ini bahwa ajaran yang dibawa islam tidak bertentangan dengan teori keilmuan modern saat ini. karena islam merupakan agama rahmatal lil alamin yang telah sesuai dengan aspek kebangsaan dalam masa yang sedang terjadi dan kapanpun itu. Para ahli tafsir periode kontemporer ini berbeda dengan ulama klasik yang menggunakan beberapa metode yang berbeda yaitu sebagai berikut: a. Metodelogi Tafsir Sastra Tematik Salah satu kemukjizatan Nabi Muhammad yaitu membawa kita suci Al-Qur’an kepada umat manusia. Karena Nabi Muhammad berada di lingkungan tanah Arab maka Bahasa yang diangkat dalam Kitab Al-Qur’an adalah bebahasa Arab yang menjadi tantangan bagi umat muslim non-Arab dalam memhami isi kandungan tersebut. Dan hingga saat ini Al-Qur’an akan tetap seperti ini yang menjadi ciri khasnya. Salah satu keunikan yang terdapat dalam Al-Qur’an terdapat pengulangan-pengulangan yang terdapat di berbagai tempat. Banyak ulama yang membahas terkait keunikan dengan menggabungkannya dengan studi tematik modern. Hal ini memunculkan aliran penafsiran tematik yang menjadi bagian metode yang ada pada tafsir kontemporer. Baik yang memiliki corak umum atau yang terdapat pada kajian Bahasa dan sastra. Maupun yang memiliki corak khusus, yang menjadi cikal bakal pembahasan tertentu yang menggab ungkan seluruh aspek yang terdapat dalam Al-Qur’an. Contohnya kajian gender dalam Al-Qur’an dan yang lainnya. The Contribution of Contemporary....(A. R. Syakirin) | 179 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 1 2022 Kajian kajian Bahasa dalam perkembangannya yang mengkhususkan pembahsan sastra terutama balaghahnya masih sedikit. Karena masih banyak mencukupkan dengan buku-buku klasik karangan para ulama abad ke-4 sampai abad ke-8. Hal ini menjadi inspiratif tokoh perempuan yang terkenal dengan nama Bintu Syathi (1913-1998) yang selanjutnya menjadi pendamping ulama Syaikh Amin al-Khuli (1895-1966), ia merupakan tokoh pembaharu tafsir di Mesir, dalam perkembangan kajian tematik Bahasa sasatra dakam tafsir. Yang menjadi karangan fenomenal beliau adalah at-Tafsîr al-Bayâni li al- Qur’ân al-Karîm, yang menjelaskan pada konsep pembahasan kemukjizatan sastra Bahasa dalam ilmu AlQur’an. Kitab fenomenal ini masih terus dikaji oleh para pemikir Barat unutk tetap melihat perkembangan tafsir modern saat ini, yaitu oleh J.J.G Jansen, dan Issa J. Boulatta. Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim dikarang oleh seorang Bintu Syathi’ yang memiliki pandangan berbeda terhadap para muffasir dalam menafsirkan Al-Qur’an. Pendekatan yang beliau gunakan yaitu pendekatan semantic dan munasabah, merupakan cara yang mengaitkan lafadz ataupun sebuah ayat dengan lafadz ayat yang terdapat tidak jauh dari ayat tersebut. Saat Analisa teks Al-Qur’an, Bintu Syathi mengikuti Analisa yang dilakukan oleh gurunya yang mendampingi kehdupannya yaitu Syeikh Amin al-Khuly. Dengan menggunakan metode yang diterapkan dalm tafsirannya yang berbasis pada teks. Dan disimpulkan pada empat konsep nya yaitu : 1. Mengumpulkan unsur-unsur tematik secara keseluruhan yang ada di beberapa surah pendek, untuk dipelajari secara tematik. 2. memahami beberapa hal di sekitar nash yang ada. Seperti mengkaji ayat sesuai turunnya. 3. memahami dalâlah al-lafzh. Maksudnya indikasi makna yang terkandung dalam lafazh-lafazh al-Qur’an. 4. memahami rahasia ta’bîr dalam al-Qur’an. Hal ini sebagai klimaks kajian sastra. b. Metode Linguistik Arab dan Gaya Bahasa Tokoh kedua yang muncul dari daerah al-Marya yang tidak jauh dari kota Tunisia yaitu yang terkenal dengan nama Ibn Asyur yang memiliki nama lengkap Muhammad Thahir bin Muhammad Thahir bin Muhammad al-Syazili bin 'Abd Qadir bin Muhammad bin Asyur. Ibn asyur sangat terkenal sebagai seorang ulama besar di daerahnya. Dan ia serang muffasir dan ahli Bahasa maupun yang lainnya. Ibn asyur dalam menafsirkan menitikberatkan pada aspek kajian linguistic Arab (balaghah) dan gaya bahasanya (badi’) untuk mengungkapkan teori dan kemukjizatan yang terdapat dalam Al-Qur’an yang belum terdapat pada pembahasan tafsir lainnya, yaitu dalam menseleraskan antara ayat satu dengan ayat lainnya, dengan menggunakan metode sistematis. Metode Gerak Ganda Tokoh yang menjadi jubir dari neomodernis islam, dan pemikir islam kontemporer pada abad ke-20 yang terkenal yaitu Fazlur Rahman memiliki gagasan penting yang bertumpu pada Al-Qur’an dan menginginkan 180 | The Contribution of Contemporary....(A. R. Syakirin) Vol. 3 No. 1 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies mengungkap teks ilmu Al-Qur’an secara komperhensif dan bermakna. Metodelogi yang diangkat nya adalah berkaitan dengan interpretasi teks. Metodelogi heremenutika yang digagasnya merupakanm pemahaman ilmu yang menjadi teks dari Barat. Ini merupakan karakteristik, yang dimana beliau mendukung temuan ide dari Barat, tetapi juga dengan mengkomodasi gagasan oleh para ulama tradisional. Metodologi dalam merumuskan pemahaman Al-Qur’an tidak tercipta begitu saja, melainkan melalui perjalanan yang Panjang. Pada awalnya ia memikirkan bahwa keperluan islam dalam memhami sejarah menggali refikasi yang menekankan pandangan umat islam terhadap sejatinya AlQur’an itu sendiri. Kemudian diperluas tehadap keperluan umat islam membedakan antara aspek “ideal legal spesifik” dengan aspek “ideal moral” Al- Qur’an. Oleh hal tersebut perhatian awal tersebut digabungkan dengan perbedaan dari aspek tersebut yang ditekankan pada teori “Gerakan ganda” (Aljufri, 2014). Teori inilah yang menjadi awal dari beliau yang berkaitan dengan heremenutika sebagai model metode interpretasi (penafsiran). 3. Pemikiran dan Epistemologi Tafsir Perspektif Mufasir Kontemporer a. Abdullah Saeed Pemikiran Abdullah Saeed bermula dari latar belakang kemampuannya sevagai intelektual Pendidikan Bahasa dan Seni Satra Arab. Pada dasarnya beliau mengungkapkan ajaran islam berdasarkan aspek dari shalil li kulli zaman wa makan, kemudian ia mengembangkan prinsip kedalam penafsirannya yang disebut dalam Kontekstual. Prinsip ini adalah konsep lanjutan yang dikemukakakan oleh Fazlur Rahman. Hal ini karena metode yang di tawarkan dalam menafsirkan ayat ethico-legal, yaitu dengan mengkaitkan teks dengan teks. Dalam permulaan wahyu maupun sampai muslim sekarang. Dengan menghubungkan antara dua dimensi yang menjadikan satu makna Al-Qur’an yakni makna historis yang menjadi generasi awal atau pada masa Nabi dengan masa Kontemporer yakni masa terjadinya makna pada zaman sekarang. Gagasan konstektual inilah dipengaruhi dari bebrapa tokoh sebelumnya yang menjadi pemikiran gagasanya. Yang pertama, gagasan hermenrutika double movement Fazlur Rahman atau teori interpretasi. Dalam kutipannya dari Fazlur Rahman, Saeed mengungkapkan pesan abadi Al-Qur’an harus menerapkan Gerakan ganda (double movement) yakni: Seseorang harus mengetahui konteks perpindahan dari permasalahan yang dikaji dengan melihat situasi historis. Sesorang harus dapat menyimpulkan masalah yang detail dengan mengumpulkannya sebagai pernyataan mengenai tujuan dari pesan yang terkandung guna diseeap makna dengan melihat konteks sosial historis. Yang kedua, teori Ghulam Ahmad Parvez yang mencetuskan pemakaian prinsip “kembali pada prinsip” al-Qur’an. Karena menurutnya semua pegangan hidup yang dibutuhkan dalam proses penerapan konsep keislaman tentang keyakinan dan amal saleh semuanya termuat di dalam Al-Qur’an baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang ketiga, tentang dekontrujsi wahyu yang dikemukakan oleh Mohammad Arkoun yang dijadikan sebagai metode mengetahui proses pewahyuan dan aktanThe Contribution of Contemporary....(A. R. Syakirin) | 181 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 1 2022 aktan. Yang keempat, gagasan dari Farid Esach tentang pendekatan hermmeneutika pembebasan. Teori ini digunkan oleh saeed dalam mengungkap konteks sosial historis dengan dihubungkan dengan konteks kontemporer agar ditemukan jawaban keduanya. Yang terakhir, gagasan hermeneutika negosiatif oleh Khaled Abou El Fadl yang mempengaruhi pemikiran Abdullah saeed karena sejalan dengan konsep dan tujuannya. Gagasan yang ditawarkan oleh Abdullah Saeed memberikan gagasan metodelogi penafsiranyya agar memudahkan dalam pendekatan menginterpretasikan Al-Qur’an. Yang diharapkan dalam ggagsan ini, agar para pembaca atau penafsir ikut andil dalam mengembangkan makna teks tersebut bukan hanya membaca atau menerima teks. Karena hal ini, harus adanya interpretasi secara berkelanjutan terhadap teks yang sesuai dengan makna historisnya (Ridwan 2016). Karena gagasan yang ditawarkan inilah merujuk pada zaman sekarang banyak umat Islam yang mengetahui hukum islam akan berangapan kepada ilmu fiqih. Yang mengakibatkan jarang melihat kondisi kebutuhaannya agar mememriksa kembali kandungan teks Al-Qur’an. b. Hassan Hanafi Pemikiran Hassan Hanafi yang ditawarkan dengan corak tafsir sebagai al-manhaj al- ijtima’iy fi al-tafsir (tafsir transformative). Corak tafsir yang dibangun berlandaskan pada dua sudut, yaitu sudut teks Al-Qur’an dan sudut terjadinya permasalahan. Pada dasarnya corak ini tetap mematuhi kaidah kebahasaan dalam pemahaman teksnya. Ini merupakan langkah penghubung dalam mencapai gagsan universal dalam Al-Qur’an. Sedangkan permasalahan yang terjadi merupakan aktivitas problem yang menjadi perhatian untuk memperoleh perubahan yang terjadi. Adapun metode dalam menempuh pembacaan teks dengan menggunakan tiga model. Pertama, Secara Partikular (juz’i), dengan menggunakan corak ini dimaksudkan ketika umat manusia dihadapkan dengan perssoalan problem yang sedang terjadi sehingga menggunakan ayat yang ditafsirkan secara spesifik particular yang memiliki makna hubungan yang sama dengan persoalan yang terjadi. Contohnya seperti kemiskinan yang mengakibatkan perampokan dimana-mana. Bisa menghubungkan dengan ayat- ayat yang menyangkut dengan tema tersebut, seperti kekayaan, kejujuran dan lainnya. Kedua, Tematis (Maudhui), sesudah penentuan ayat ayat secara spesifik yang berkaitan dengan problem tertentu, langkah selanjutnya menghimpun ayat seyema yang sudah tetsebar pada berbagai surat,ayat,dan juz yang memiliki keterkaitan dengan problem tersebut. Dengan menggunakan analisis melihat aspek susunan dan redaksi ayatnya guna dipahami mengenai pesan utama dan pesan tambahannya. Ketiga, Nilai Maqasid (maksud ayat), ini merupakan syarat dalam memberlakukan penafsiran karna makna inilah yang lebih spesifik guna memperoleh makna yang sebenarnya yang mengacu pada tujuan dan nilai maqasid Al-Qur’an (Fadal 2014). 182 | The Contribution of Contemporary....(A. R. Syakirin) Vol. 3 No. 1 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Adapun mengenai tiga model tersebut diistilahkan dengan Kesadaran nalar eidetic yang memiliki tujuan dalam memahami teks dari aspek secara detail makna mendalam. Langkah ini memiliki realitas yang harus dipahami sebagai jawaban dari persoalan terbaru dimasyarakat. Adapun langkah penafsirannya atau tafsir tematik sebagai berikut: a. Menentukan tema persoalan yang akan diangkat b. Menghimpun ayat yang menyangkut mengenai persoalan yang dikaji c. Menyusun skema ayat-ayat yang dijadikan sebagai ayat yang bersangkutan dengan tema sesuai dengan proses turunnya dan penjelasan asbabun nuzulnya. d. Mengerti korelasi antara ayat tersebyt dengan suratnya. e. Membuat kerangka pembahsan yang jelas f. Menguatkan pembahsan disertai dengan penjelasan hadits yang berkaitan dengan tema tersebut g. Memhami antara ayat yang telah dipilih guna membedakan antara penjelasan makna yang sama, atau ayat yang umum, atau ayat khusus, muqayyad dan Mutlaq untuk dijadikan kesatuan pokok pembahsan tanpa adanya pembeda dari topik tersebut. Corak penafsiran atau pemikiran yang dibangun oleh Hassan Hanafi mencoba menyajikan antara dua pilar yakni khazanah klasik islam dan khazanah modern barat. Ini menjadikan bahwa Hassan Hanafi ingin membawa dunia islam menjadi maju secara keseluruhan. Hassan Hanafi seorang intelektual dalam penafsirannya menggunakan corak tafsir tematik, yakni dengan menggunakan tema tertentu dari ayat Al-Qur’an (Agung 2013). c. Asghar Ali Engineer Asghar Ali Engineer adalah seorang intelektual yang mahir dalam ilmu keislaman seperti teologi, hadist, fiqih dan tafsir. Dalam kajian tafsir, Asghar banyak dipengaruhi pemikirannya dalam karya yang telah ia baca. Misalnya karya Sir Sayyid K, dan Maulana Abu al-Kalam. Karya yang diangkat oleh beliau sering membahas mengenai hak asasi manusia, pembelaan rakyat tertindas, hak wanita, perdamaian etnis agama, dan lain sebagainya. Dalam memahami Al-Qur’an Eigeneer mengungkapkan dengan menggunakan dua aspek yakni normative dan kontekstual yang merupakan dua hal yang penting. Aspek normative sendiri dikamsudkan pada nilai dan prinsip dasar dalam Al-Qur’an. Hal ini dikaitkan dengan beberapa hal yang bisa di kontekskan dalam berbagai ruang dan waktu seperti kesetaraan, keadilan dan lainnya. Konstektual sendiri dipahami kaitannya ayat yang menyangkut dengan problem sosial pada waktu tersebut. Engineer mengungkapkan mengkaji ayat Al-Qur’an harus menyertakan penjelasan asbabun nuzulnya serta mengetahui kondisi sosial kultural masyarakat Arab zaman tersebut. Dalam hal ini, Eigneer meleburkan teks dalam kontek gagasannya. Hal ini dilakukan karena berusaha mengungkapkan makna dari suatu teks yang dibahas (Rasyid 2020). The Contribution of Contemporary....(A. R. Syakirin) | 183 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 1 2022 Engineer mengungkapkan perlunya interpretasi terhadap Al-Qur’an agar mengetahui nilai kesetaraan dan keadilan didalamnya. Seperti kajian tentang perempuan. Adapun yang menjadi perhatian khusus mempunyai tiga hal penting yakni: Perbedaan antara ayat yang memiliki aspek normative dan konstektual. Karena pada dasarnya prinsip ini sangat eksternal yang dapat dikaji pada berbagai dimensi. Dari segi normative dapat dipahami sebagai kedekatan atau kesecuia, sedangkan konstektual sebagai pendekatan kepada manusia. Dapat dipahami dalam aspek normative bahwasannya AlQur’an telah menerangkan posisi derajat antara laki-laki dengan perempuan memiliki kesamaan. Tetapi ketika dipahami dalam aspek konstektual memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari perempuan. Oleh karena itu, hal ini perlu dilakukan guna mengetahui makna yang diungkapkan dari dua aspek tersebut. Karena Al-Qur’an inilah memiliki makna yang mempertimbangkan pada siyuai realitis. Penafsiran berkaitan dengan pandangan dunia, pengalaman, anggapan, letak kondisi muffasir itu tinggal. Karena tempat tinggak memiliki pengaruh dalam latar belakang dikemukakanya sebuah penafsiran. Dan penafsiran selalu mengikuti kondisi sosialogi yang terjadi karena memberikan beragam penafsiran yang berbeda terhadap apa yang terjadi. Khususnya berkaitan dengan teks yang diungkapkan pada pembeda historisnya. Makna Al-Qur’an terbentang oleh waktu. Alasan ini yang menjadi penafsiran terdahulu memiliki makna yang berbeda dengan sekarang. Dalam hal ini Eigneer mengungkapkan sudut pandang memiliki peran yang penting dalam menentukan penafsiran menggunakan Bahasa yang simbolik. Karena dengan hal tersebut, dapat memberikan perubahan yang inovatif dan konstruktif agar mudah memberikan makna yang diungkapkan oleh Al-Qur’an (Athmainnah 2014). 4. Kontribusi Tafsir Kontemporer di Era Modern Banyak ulama kontemporer saat ini mengupayakan berabagai hal guna memberikan solusi maupun sikap yang tepat terhadap berbagai persoalan dan problematika ummat pada perkembangan era modern ini. mereka telah jerih payah melakukan usaha untuk mengungkapkan dan memudahkan umat manusia dalam memahami isi yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sudah sesuai dalam masa dan tempat yang akan ditujunya (shalih likulli zaman wa makan). Dengan memberikan pengaruh penting dalam khazanah kajian ilmu tafsir para ulama kontemporer memberikan temuan dan menjelaskannya dapat lebih tepat memhami Al-Qur’an kepada umat manusia. Upaya yang digunakan para ilmuan maupun muffasir telah memberikan warna cerah dan penyelesaian terhadap kemashalatan umat yang masih memerlukan penjelasan yang tepat terhadap apa yang mereka hadapi. Hal lain juga masih terdapat penjelasan dari ulama klasik yang masih kurang dipahami yang menjadi pengembangan oleh pakar di era kontemporer. 184 | The Contribution of Contemporary....(A. R. Syakirin) Vol. 3 No. 1 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Muffasir era kontemporer berusaha mengungkap makna terdalam dari Al-Qur’an. Hal itu seperti pernyatan yang menjadi slogan mereka yaitu AlQur’an adalah kitab suci yang “shalih li kulli zaman wa al-makan”, yang berlaku universal. Walaupun pernyatan tersebut memiliki pemahaman yang berbeda oleh pemikir klasik dipahami sebagai “pemaksaan” makna literal dalam situasi dan kondisi manusia tersebut, tetapi berbeda pemahaman oleh ulama kontemporer saat ini yang memahami dari apa yang terdapat “di balik” teks ayat-ayat Al- Qur’an. Oleh sebab itu bentuk secara literal yang terdapat pada Al-Qur’an tidak dengan mudah diterima oleh ulama kontemporer, namun mencoba mengungkap lebih dalam dari bentuk literal yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an bersifat meta-historis merupakan kalam wujud yang Allah Swt, dan bersifat historis dengan menggunakan Bahasa kultural, local dan particular terlebih lagi telah mengalami interaksi terhadap budaya pada saat diturunkannya. Pada konteks penafsiran kontemporer memiliki wacana baru terkait pentingnya pada zaman sekarang dengan mengikutsertakan kajian ilmu yang lainya terlebih lagi heremenutika agar menjadi alat penafsiran atau interpretasi ayat Al-Qur’an. Kajian baru dari heremenutika sebagai alat memudahkan pemahaman Al-Qur’an adalah suatu pemahaman hingga mencapai pada penelusuran teksa menjadi kontekstual. Bukan hanya pengkajian terhadap teks tetapi juga terhadap pengkajian keilmuan yang berkaitan dengan realitas, seperti penjelasan wahyu tuhan dari tingkatannya sebagai kata kedunia, ataupun pengkajian mulai dari awal huruf ke real nya. Perkembangan berbagai ragam pendekatan yang di cetuskan dalam memahami pada aspek yang terdapat pada ilmu-ilmu kontemporer. Pada kalangan tersebut yang diungkapkan oleh fazlurahman terdapat pemikiran baru terhadap kajian heremenutika ini, bahwasannya pemikiran beliau bukan hanya dipahami dari segi normative, namun juga menikutsertakan berbagai macam aspek lainnya yaitu pendekatan historis. Menurtnya menemukan makna teks Al-Qur’an meski aspek metafisis nya tidak tersedia untuk digunakan dalam pendekatan historis. Pada dasarnya dalam pendekatan ini memerlukan pemhaman aspek dalam menafsirkan Al-Qur’an. Yaitu harus melihat kebelakang terhadap sejarah latar belakang bagaimana turunya ayat tersebut atau asbabun nuzul untuk mengaitkain alas an yang terjawab lewat pemhaman sejarah tersebut. Bukan hanya historis, beliua juga mencoba menggunakan pendekatan sosiologis yang melihat dari kondisi dan situasi social yang terjadi pada masa proses AlQur’an diturunkan, agar memperoleh eksetiktas makna yang terkandung dan kajiannya. Secara tidak langsung pemhaman yang dicetuskan oleh fazlurrahman, bahwasannya menerangkan suatu metode logis, kritis, komperhensif yang bertujuang guna memberikan arah baru yang sistematis dan kontekstualisasi yuang melahirkan penafsiran yang bermaksud sebagai penyampaiaan jawaban persoalan yang sedang terjadi pada era modern ini. Seperti yang dibahas pada awal, tafsir kontemporer merupakan pemahaman kandungan ayat Al-Quran yang diadopsi dengan melihat kondisi social yang terjadi pada era modern ini. Al-Qur’an bagi Al-Qur’an The Contribution of Contemporary....(A. R. Syakirin) | 185 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 1 2022 bagi mufassir kontemporer menyakini sebagai bentuk kitab petunjuk. Maka petunjuk Al-Qur’an yang masih bersigat universal juga diuraikan dengan melihat latar belakang historis untuk dijadikan sebagai kajian ilmu pemhaman yang selaras pada era modern ini. Konsep dari tafsir era kontemporer yang berkembang bercorak konstektual merupakan pengungkapan pemahaman makna dan nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an. Konsep tersebut harus bisa mengadaptasikan masyarakat dan mudah dipahami secata keadilan bukan hanya menafsirkan teks saja. Seperti yang dikatakan oleh Muahmmad Abduh yang berkembang pada tafsir era kontemporer harus mengidentifikasi proinsip sebagai dasar kebangkitan umat muslim merupakan ayat AlQur’an yang masih universal memiliki makna luas. Karena pada dasrnya Al-Qur’an bukan hanya sebagai umat muslim semata, akan tetapi sebagai umat manusia yang memili manfaat, yang selalu seiring dengan perkembangan zaman kehidupan mereka. Tujuan terpenting Al-Qur’an itu sendiri memiliki upaya besar dalam menjadi jawaban dan solusi bagu umat manusia. C. SIMPULAN Tafsir era kontemporer memiliki peranan dan kontribusi penting dalam memberikan pencerahan dan solusi yang baik bagi kemashalatan umat manusia dalam menjalani kehidupan dan mengatasi problem kemanusiaan yang dihadapi manusia di era modern. Para pemikir kontemporer era sekarang selalu berusaha dalam mengkaji teks Al-Qur’an agar dapat dijadikan pedoman terhadap kondisi dan situasi yang sedang terjadi. Oleh hal itu pendekatan yang dilakukan harus bisa memberikan kemudahan dalam mengungkap makna yang terkandung bukan hanya semata-mata menafsirkan teksnya saja. Tokoh Kontemporer seperti Abdullah Saeed, Asghar Ali Engineer, Hasan Hanafi dan lainnya banyak memberikan kontribusi cukup besar dalam perkembangan tafsir kontemporer dengan bercorak adabi ijtima’i, metode tafsir tematik, penekanan linguistik Arab dan gaya Bahasa, metode gerak ganda (double movement), dan tafsir kontekstual dengan mengungkap pemahaman makna ayat al-Qur’an yang lebih mendalam dan aplikatif. Atas dasar itu, sehingga implikasi dari tafsir kontemporer ini berkaitan erat dengan nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an untuk diaktualisasikan dalam mengatasi permasalahan kontemporer dan mengusung ideal moral ayat al-Qur’an seperti nilai keadilan, persamaan, persatuan, dan lainnya bukan hanya menafsirkan literal teks saja. DAFTAR BACAAN Abdul, Faisal. 2020. Dinamika Metode Tafsir Kontemporer, Jurnal Stiu Darul Hikmah, Vol 7, No 2. Agung, Marzuki. 2013. Model Penafsiran Hassan Hanafi. Jurnal Penelitian, Vol.7, No.2. 186 | The Contribution of Contemporary....(A. R. Syakirin) Vol. 3 No. 1 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Aljufri, Ali. 2014. Metodologi Tafsir Modern-Kontemporer, Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2. Amin, Muhammad. 2013. Kontribusi Tafsir Kontemporer Dalam Menjawab Persoalan Ummat, Jurnal Substantia Vol. 15, No. 1. Athmainnah, Shirhi. 2014. Hermeneutika Asghar Ali Engineer: Menyingkap Mega Skandal Tafsir Patrilineal. Jurnal As-Salam, Vol. V, No. 1. Buonougo, Angkoso. 2021, Dinamika Penafsiran Bersiwak Dalam Tafsir Klasik Dan Kontemporer. Dozan, Wely. 2022. Reformulasi Tafsir Al-Qur’an Di Era Modern (Telaah Historis Dinamika, Dan Transformasi Metodologi Interpretasi). Jurnal Al-Afkar, Vol. 5, No. 1. Fadal, Kurdi. 2014. Tafsir Alquran Transformatif: Perspektif Hermeneutika Kritis Hassan Hanafi, Jurnal Penelitian, Vol.11, No.2. Ni’mah, Fina Jazalatun dan Shinta Nurani. 2022. “Child Marriage in Male-Feminist: Contextual Qur’anic Interpretation”. Muwazah: Jurnal Kajian Gender, Vol.14, No.1. Nurani, Shinta. 2021. ”Hierarchy of Values in Qur’anic Hermeneutic of Abdullah Saeed (A Study of Contextual Interpretation in QS AlHujurat)”. Al Quds: Jurnal Studi Alquran dan Hadis, Vol. 5, No. 1. Ramawati. 2020. Metodologi Dan Ideologi Tafsir Qalbun Salîm Karya Muhammad Yunan Yusuf, Jurnal Skripsi. Rasyid, Abdul. 2020. Reformulasi Tafsir: Studi Pemikiran Gender Asghar Ali Engineer. Jurnal Sophist, Vol. 2, No.2. Ridwan, Mk. 2016. Metodologi Penafsiran Kontekstual; Analisis Gagasan Dan Prinsip Kunci Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed. Journal Of Islamic Studies And Humanities, Vol. 1, No. 1. Sumisih, Susi. 2019. Konsep Bhinneka Tunggal Ika Dalam Perspektif Tafsir Al-Azhar Dan Kontribusinya Bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Tesis. The Contribution of Contemporary....(A. R. Syakirin) | 187 Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 Parenting in Surah Luqman verses 11-19 (Historical Study of Luqman al-Hakim’s Family) Parenting dalam Surah Luqman Ayat 11-19 (Kajian Historis Keluarga Luqman al-Hakim) Salwa Nabila sallwanabilla5@gmail.com UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan Article History Submitted : 28/11/2022 Reviewed : 30/11/2022 Revised : 27/12/2022 Aproved : 28/12/2022 Available OL: 28/12/2022 Ahmad Nabil Amir nabiller2002@gmail.com International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC-IIUM) Abstract The background of this research is the lack of attention of parents towards their children because parents are too busy with their activities then children feel less affection. This study aims to find out how the historical side of the concept of parenting in surah Luqman verses 12-19 and its contextualization in the present. This article is a type of qualitative research with a library research approach using Fazlur Rahman's double movement theory. The subject of this research is parenting verses in surah luqman verses 12-19. Data will be collected using documentation techniques and data will be analyzed using a systematic-literature review. Based on research conducted by processing various existing data, two results have been obtained, first, from a historical perspective in surah Luqman verses 12-19, it contains 8 points of wisdom, parents teach their children to be grateful, children have a monotheistic spirit, chidren do birrul walidain to parents, all children’s actions will be rewarded, children must be discipline in praying, children don’t be arrogant, children may be good in behavior and polite, and children must be honest and open. Second, contextualization in parenting which produces 8 points consists of two forms, both are the form of spiritual parenting and the form of social parenting. Keyword: Parenting, Historical study, Q.S Luqman. URL: https://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/AQWAL/article/view/6730 DOI: https://doi.org/10.28918/aqwal.v3i2.6730 188 | Parenting in Surah....(S. Nabila & A.N. Amir) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Abstrak Penelitian ini dilatar belakangi oleh kurangnya perhatian orang tua terhadap anak yang menjadi masalah utama karena orang tua terlalu sibuk dengan aktifitasnya yang pada akhirnya anak merasa kurang kasih sayang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah sisi historis konsep parenting dalam surah Luqman ayat 12-19 dan kontekstualisasinya di masa sekarang. Artikel ini termasuk jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan library research menggunakan teori double movement Fazlur Rahman. Subjek penelitian ini adalah ayat-ayat parenting pada surah luqman ayat 12-19. Data akan dikumpulkan menggunakan teknik dokumentasi dan akan dianalisis dengan menggunakan systematic-literature review. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan mengolah berbagai data yang ada, telah diperoleh beberapa hasil, pertama, bahwa dari sisi historis dalam dalam surah luqman ayat 12-19 ini berisi tentang 8 poin hikmah yaitu, orang tua mengajarkan kepada anaknya untuk bersikap Syukur, berjiwa tauhid, birrul walidain kepada orang tua, semua perbuatan akan ada balasanya, disiplin melaksanakan shalat, tidak sombong, sederhana dalam berprilaku dan bersikap sopan jujur dan terbuka. Kedua, yaitu kontekstualisasi dalam parenting yang menghasilkan 8 poin yang mana poin tersebut berupa pengasuhan secara spiritual dan juga pengasuhan secara sosial. Kata kunci: Parenting, Kajian Histori, Q.S Luqman. A. Introduction Nowadays there are lots of problems with the surrounding environment, especially those related to children or even families. Problems that occur around the lack of attention of parents to children which can affect the children do not worship God properly. From all the problems that occur among children, the number of problems increases every year and the number can be seen directly around the environment and even on social media. So, this is the important role of parents in educating and caring for their children, where parents in caring for them must have knowledge of the best methods to be parents for their children (Utama & Prasetiawati, 2020). Problems with children often arise because the education provided by parents is not in accordance with the level of development and needs of a child and the results will be less than optimal certainly. In the teachings of Islam, Rasulullah SAW strictly ordered every parent to educate their children in a good way and a proper way. Education is a very effective medium for directing children's development. Material in educating children must be comprehensive and integrated (Suraji, 2011). One of the materials in educating children that needs attention is parents must pay attention to children's religious attitudes, where there are several important aspects of religious education that must be taught to children in the family. In involving religious attitudes in the process of growing up a child, parents Parenting in Surah....(S. Nabila & A.N. Amir) | 189 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 have an important role in the process of parenting their children. Various literature states that the first education for children is the education that they get from home and the proper education for children is an obligation for every parent. However, there are still many parents who are confused about how to educate their children. The education for children is indeed something very important, because the education in childhood influences children in the future, or later when they are teenagers and adults. One of the cases that occurred was the case of Ahmad Dhani's son. This case occurred in 2013, Abdul Qadir Al-Jaelani at the age of 13 became a suspect in a collision on the Jagorawi toll road. The accident left about 6 people dead. Komnas HAM chairman, he is Aris Merdeka Sirait, felt that it was entirely the parents' fault. Children under 17 years of age were allowed to drive cars. The negligence of parents in educating their children is so obvious. At that time, Dul was not old enough to have a car driver's license (Rahadi, 2013). Another problem that often occurs in the world of parenting is parents are unable to fully fulfill their roles and duties as parents. This happens because the activities of parents who are too busy working so that parents' time to care for and educate their children is very less or almost nonexistent. Today, parents who are busy working often entrust their children to other people, who are often called nannies or babysitters, in which they completely trust the babysitter. The lack of understanding and curiosity of parents about how to properly educate children according to religion hinders the inculcation of religious teachings from an early age (Akhyar et al., 2021). High working hours have a positive impact on the Indonesian economy, but high working hours also have a negative impact on the lack of time parents spend with their children. The high activity of parents results in minimal interaction time between parents and children. In the world of parenting, the interaction between parents and children is very important in stimulating children's development (Alkaf, 2005). Poor communication between parents and their children can also have a negative impact on the growth and development of children. Where parents always force their wishes to be followed by their children without prior discussion. Parents always want their children to hear what their parents say but they rarely want to listen to what their children say (Alkaf, 2005). Like the case that occurred a few years ago, to be precise, the murder of Ade Sara. Where the incident occurred around 2014 where the culprit was his own girlfriend named Hafizd. It turns out that Hafidz has a family background that doesn't fully get what his parents give him. In his family, he received a lot of yelling, satire and even comparisons and forced wishes from his parents (Widiyani, 2013). Therefore, this parenting program is urgently needed to prevent and reduce incidents like the one above, where parenting is also commonly referred to as parenting, which means the behavior or way 190 | Parenting in Surah....(S. Nabila & A.N. Amir) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies of parents in guiding or caring for children that is done directly or indirectly given to children to have a positive impact on their lives. Several verses of the Qur'an show direct or implied meanings about parenting, including in surah Luqman. This surah tells about Luqman who educates his children and Luqman Al-Hakim becomes an exemplary figure who cares about educating his children according to religious law. Luqman Al-Hakim's biggest advice can be used as an example for parents to educate their children and protect them from the progress of the times. Some of these advices can be described as follows, namely being one with God, being careful in doing actions, being grateful and glorifying parents, religious obligations, and also having a good attitude (Al-Qur'an, 2011). The urgency of parenting research in this study is that parents have knowledge about ideal parenting from the perspective of the Qur'an. This study chose surah Luqman because parenting according to the Qur'an is more specifically discussed in surah Luqman in verses 12-19 than other surahs. This research requires a historical approach in order to minimize misunderstanding the meaning implied in accordance with the conditions in which the surah was revealed. The author also uses Fazlur Rahman's Hermeneutics approach method. This method is the Double Movement theory. This theory may give the proper meaning for contextualization. B. Discussion and Result 1. Definition of Parenting Parenting has a basic word, namely parent. Parenting can also be called upbringing which is closely related to family. Linguistically, parenting comes from English, comes from the word Parent, which is a nuclear family consisting of mothers and fathers (Echols et al., 1989), whereas in the Oxford dictionary, parenting is the process of caring for your child or children (Hornby, n.d. ). Parenting is a behaviour that basically has characteristics that are warm, sensitive, full of acceptance, reciprocal in nature, there is understanding and an appropriate response to children's needs (Na'imah, 2009). Parenting is a term for parents who do guidance. In the process parenting, the parents is the central who carry out the activity. Parenting can also be said as parental control, namely the process of parents supervising, guiding and accompanying children in their development process in carrying out developmental tasks towards the maturity process. Parenting style can be interpreted as the relationship between children and their parents in fulfilling the psychological, physical needs and socialization of the norms that apply in society. Parenting style applied by parents is determined by the values of policies, morals, character or morals of a child (Idi & SAFARINA, 2015). Parenting consists of two words, both are form and foster. Epistemologically, the word form means a way of working and the word foster means looking after (caring for and educating) young children, guiding (helping, training) so children can stand on their own, or in popular Parenting in Surah....(S. Nabila & A.N. Amir) | 191 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 language is the best way taken by parents in educating children as a manifestation of child's responsibility (Kbbi, 2016). In Arabic the word educating children is composed of the words Tarbiyah al-Aulad. In the AlQur'an and Hadith the term is not specifically found, but there are several key words that are related to it, they are al-rabb, rabbyani, murabbi, yurbi, and rabbani. In mu'jam, the word al-Tarbiyah has three linguistic roots, they are Rabba, yarbu, tarbiyah, which they have an added and growing meaning. Tarbiyah is a process of growing and developing what is in the child both physically, psychologically, socially, and spiritually. And the word al-Aulad is linguistically the plural of al-Waladu, which means child (Mujib & Mudzakkir, 2006). The form of parenting in Islam is known as hadhanah. Jurisprudence experts define hadhanah as taking care of children who are still small, male or female or who are already big body, but the aren’t yet tamyiz, providing something that makes them good, guarding them to against something that can damage them, educating their body, spirit and mind then they can stand to face life and bear its responsibilities. Islam as a religion of rahmatan lil 'alamin offers steps to educate children which are solutions in the family according to the instructions of the Qur'an and hadith. Rasulullah said: "Guide your children by learning while playing at the age level 0-7 years, and instill manners and discipline with them at the age level 7-14 years, then invite them to discuss in everything at the age level 14-21 years, and after that release them to be independent”. The above hadith implies that every age level of a child is recommended to apply a different form of educating according to their age and potential. These forms are considered by parents who want the effective and good growth and development of their children. Furthermore, the responsibility of educating children is relatively long until the child is 21 years old. The following is an explanation of educating children according to the following phases (Padjrin, 2016). a) Parenting children aged 0-7 years. Age 0-7 years includes infancy and childhood. Infancy is the first period that a baby goes through after being born. In the first years of development, it can be said that babies are very dependent on their environment. A baby still requires painstaking care. Meanwhile, his abilities are only limited to moving and feeling. As well as the ability to respond to stimuli from the outside. Learning while playing is considered in line with the level of development of children aged 0-7 years. The guidance given is carried out in a friendly, cheerful and loving atmosphere. Guidance and education based on children's compassion makes children feel free from restraint, freedom will encourage children to be creative according to their abilities. 192 | Parenting in Surah....(S. Nabila & A.N. Amir) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies b) Parenting children aged 7-14 years. In this second stage, the Prophet stated that the guidance given to children was focused on the formation of discipline and morals. c) Parenting children aged 14-21 years. According to Prophet, the care given to children in this developmental period is by holding dialogues, discussions, deliberations like two peers. Shohihhu means "treat them like friends." Prophet's advice is not to treat them like children anymore, but educate them by treating them as friends. At this stage the portion of independence should be higher. A child is already able to test with the challenges of the outside world that is starting to be able to test the challenges of the outside world that are more "real" and harder. The role of parents in this phase is "coaching" as a friend to share the joys and sorrows of children so that parents can still control the development and socialization of children. 2. Fazlur Rahman's double movement theory Fazlur Rahman put forward a method in two movements in the process of interpreting the Qur'an or referred to as Double Movements (Saleh, 2007). This method provides a systematic and contextual explanation, then the characteristic of interpretation is not atomistic, literalist, and textual, but in its interpretation can answer contemporary problems (Susanto, 2016). The following is Fazlur Rahman's Double Movement mechanism. The first movement, the movement that move from the current situation to the situation when the Qur'an or verses were revealed. In this first movement there are two steps. The first step is someone must understand the meaning of a certain statement by studying historical problems and that statement can be used as an answer. The second step is to generalize those specific answers and state them as statements that have a general social purpose eg that can be filtered from specific texts in light of the historical background and often stated rationales legis. The second movement is thought that moves from the general to the particular. The process of moving from general views to specific views that must be formulated and realized in the present. Something common from the past must be realized in the historical realm of the present. This requires a very careful study of the current situation and analysis of various elements so as to get a sense of the current situation and change the current one to the extent desired. The resulting interpretation is a new priority for implementing Al-Qur'an values in a new way (Susanto, 2016). 3. Parenting Interpretation Analysis in Surah Luqman ۡ َ ُ ُ ۡ َ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ ۡ ۡ َ َٰ َ ۡ ُ َ ۡ َ َ ۡ َ َ َ َ َ ‫سهِۦ َو‬ َ َ ‫ك َف َر فَإ َن‬ ‫ٱلِل‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ف‬ ‫ﵟولقد ءاتينا لقمن ٱلحِكمة أ ِن ٱشكر ِلِلِِۚ ومن يشكر فإِنما يشكر ل ِن‬ ِ ۖ ِ ٞ َ َ ‫ ﵞ‬١٢ ‫غنِ ٌّي حمِيد‬ Parenting in Surah....(S. Nabila & A.N. Amir) | 193 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 "And indeed we have bestowed wisdom on Luqman, give thanks to Allah and whoever is grateful, then indeed he is grateful for himself and whoever is ungrateful, then indeed Allah is Rich, Most Praised (QS. Luqman/31: 12)” (Ri, 2010). Quraish Shihab interpreted surah Luqman verse 12 above, this verse explains the Al-Qur'an which is full of wisdom and Al-Muhsinin who applies wisdom in his life. Hikmah also has the meaning of "knowing the most important of all things, as knowledge and action". Hikmah is also interpreted as something which, when used, will prevent greater harm or difficulty, or bring greater harm (Shihab, 2012). Ibnu Katsir explained in his commentary that in this verse Allah gave wisdom to Luqman, this wisdom was understanding Islam, even though he was not a prophet and was not given a revelation. This understanding is in the form of knowledge and interpretation of dreams. Hikmah is also to always be grateful to Allah for what is given, bestowed and awarded by Him in the form of virtue (Ibn Katsir, 2000). َ َ ۡ ُۡ َ َ َ ُ ُ َ ُ َ ُۡ َ َ ۡ ۡ ٞ ‫ٱلش ۡر َك لَ ُظ ۡل ٌم َع ِظ‬ ١٣ ‫يم‬ ِ ‫َوِإذ قال لقم َٰ ُن ل ِٱبنِهِۦ َوه َو يعِظهۥ ي َٰ ُبن َي لا تش ِرك بِٱلِلِۖ إِن‬ "And remember when Luqman said to his son, in a state he advised him: 'O my son, do not envious Allah with anything, because enviousing Allah is a great injustice" (QS. Luqman/31: 13)” (Ri, 2010). After the previous verse explained the meaning of the wisdom that Allah bestowed upon Luqman. Hikmah in essence is Luqman's gratitude to Allah and it is reflected in His knowledge and His grace. Now, through verse 13 it describes the experience of this wisdom by Luqman and its preservation for his son. In this verse, Luqman uses the word deterrence in advising his son to not envious Allah. Actually, the formation of faith should start early in the womb. However, the implementation of faith is the parents who must first have a permanent faith (Shihab, 2012). ُ َََۡ ۡ ُ َ َ َ ُ ۡ َ َۡ َ ۡ ۡ َ َٰ َ ‫ﵟ َو َو َص ۡي َنا ٱل ِإ‬ ‫امي ِن أ ِن ٱشك ۡر لِي َول َِوَٰل َِديۡك إِل َي‬ ‫نس َن ب ِ َوَٰل َِديۡهِ حملت ُه أ ُّم ُهۥ َوه ًنا ع َل َٰى َوه ٖن َوف ِصَٰل ُهۥ فِي ع‬ ُ ‫ٱل ۡ َم ِص‬ ‫ﵞ‬١٤ ‫ير‬ “And we bequeath humans regarding their two, mothers and fathers, the mother has conceived in a state of weakness upon weakness and weaning in two years, be grateful to Me and to both of your parents, only to Me is your return. (QS. Luqman: 14)” (Ri, 2010). ْ ‫ َو‬which means weakness or fragility. The weakness here is The word ٍ‫هن‬ the lack of ability to bear the burden of pregnancy, breastfeeding, and child care. The word used in this verse indicates how weak a mother is to take care of her child from pregnancy to adulthood (Shihab, 2012). In Tafsir Ibn 194 | Parenting in Surah....(S. Nabila & A.N. Amir) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Kathir, he explained the severity of the difficulties of conceiving a child. Allah mentioned a mother's upbringing, fatigue and difficulties when staying up late day and night then a child can remember that the goodness given by his mother (Ibn Katsir, 2000). َ ٗ ۡ ُ َ َ َ َ َ َٰ َ ۡ ُّ ُ ََ ۡ َ َ ۖ‫ٱلدن َيا َم ۡع ُروفا‬ ‫م فلا ت ِط ۡع ُه َماۖ َو َصاح ِۡب ُه َما فِي‬ٞ ‫اك عَل ٰٓى أن تش ِر َك بِي َما ليۡ َس لك بِهِۦ عِل‬ ‫ﵟ َوِإن جهد‬ َ ُ َ ُ ُ َ ُ ُ ََُ ۡ ُ ُ ۡ َ ََ َ ُ ََ َ ََ ۡ َ َ َ ۡ َ َ ‫ﵞ‬١٥ ‫نت ۡم ت ۡع َملون‬ ‫جعكم فأنبِئكم بِما ك‬ ِ ‫وٱتبِع سبِيل من أناب إِلي ِۚ ثم إِلي مر‬ “And if both of them force you to envious Me with something of which you have no knowledge, then do not obey them both, and associate well with both of them in this world and follow the way of those who return to Me, then only to Me will you return, then I tell you what you have done” (QS. Luqman/31: 15)” (Ri, 2010). In this verse, Allah gave an exception. Obeying what Allah means is only obeying in something good. When parents ordered to envious Allah, a child was obliged to disobey. Allah stipulated aqidah, ties in matters of aqidah were what must take precedence over family ties, heredity and kinship ties. Even though, this second bond is a bond based on personal affection and emotion, we were still ordered to interact with them in a good and polite way (Afifah, 2021). َۡ َۡ َ َ َ َ َ ۡ َ ُ ََ َ َ َ َ َۡ ُ َ ٓ َ َ َ ۡ ۡ َٰ َٰ ِ ‫ت أو فِي ٱلأ‬ ‫ت‬ ِ ‫ۡرض يأ‬ ِ ‫ﵟي َٰ ُبن َي إِن َها إِن تك مِثقال ح َبةٖ م ِۡن خ ۡرد ٖل فتكن فِي صخ َر ٍة أو فِي ٱلسمو‬ َ ٌ َ ََ َ َُ َ ‫ﵞ‬١٦ ٞ‫ٱلِل ل ِطيف خبِير‬ ‫بِها ٱلِلِۚ إِن‬ "O my son, if there is a mustard seed's weight and it is in a rock or in the sky or in the earth, surely Allah will bring it, verily Allah is Subtle, AllKnowing" (QS. Luqman/31: 16)” (Ri, 2010). The verse above continued Luqman's will to his son. He wish his son was always careful and vigilant in carrying out his life and the son was not easily tempted by invitations to sin, even though he felt safe and unknown to others, because God must know too. Even though, this deed was only the weight of a mustard seed and might even seem trivial in front of humans, it was in the most hidden and most invisible place, such as inside a large rock or in the highest place such as in the sky, or the lowest place. like in the earth, Allah SWT will surely reveal it later on the Day of Resurrection. That is, on the day when Allah places the right scale of deeds, then the perpetrator will receive retribution for his deeds, if his deeds are good, then the reward will be good too, and if his deeds are bad, then the reward will be bad too (Shihab, 2012). Parenting in Surah....(S. Nabila & A.N. Amir) | 195 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 ۡ َ ٓ َ َ ُۡ َ َۡ َ َ َ َ َ َ ۡ ‫نكر َو‬ َ ‫ﵟ َي َٰ ُب َن َي أَقِم‬ ُ ‫ٱلصلَ َٰوةَ َوأ ُم ۡر بٱل ۡ َم ۡع‬ ‫ٱصب ِ ۡر عَل َٰى َما أ َصابَك ۖ إِن ذَٰل ِك م ِۡن ع ۡز ِم‬ ‫م‬ ‫ٱل‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ه‬ ‫ٱن‬ ‫و‬ ‫وف‬ ‫ر‬ ِ ِ ِ ِ ِ ُۡ ‫ﵞ‬١٧ ِ‫ٱلأ ُمور‬ “O my son, pray and order what is good and prevent from evil and be patient with what befalls you. In fact, this includes things that are prioritized (QS. Luqman / 31: 17)” (Ri, 2010). Quraish Shihab explained that the meaning of Ma'ruf was what was good according to the general view of a society and they were widely known, as long as it was in line with virtue (‫)خير‬, namely divine values. Meanwhile, munkar was something that was considered bad by them and something was contrary to divine values or not in line with ‫خير‬. The word ‫ صبر‬in this interpretation came from the root word which consisted of the letters ‫ٍر‬-ٍ‫ٍب‬-‫ص‬ which had three meanings namely, to hold, the height of something, a kind of rock (Shihab, 2012). َۡ ۡ َ َ َ ُ َ َ ۡ ُ َ ُ ُّ ُ َ َ َ َ ً َ َ َ ُ َ ۡ‫ٱقصد‬ ۖ‫ا‬ ِ ِ ‫ﵟ َولا ت َصعِ ۡر خ َد َك ل َِلن‬ ِ ‫ و‬١٨ ٖ‫اس َولا ت ۡم ِش فِي ٱلأۡرض مرح إِن ٱلِل لا يحِب كل مختا ٖل فخور‬ ۡ ُ ۡ ََ َ َۡۡ َ َ َ َ َ ۡ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ َ َ ‫ ﵞ‬١٩ ِ‫ت لصوت ٱلح ِمير‬ ِ َٰ ‫فِي مشيِك َوٱغضض مِن صوت ِك ِۚ إ ِن أنكر ٱلأصو‬ “And do not turn your cheek away from people and do not walk arrogantly, indeed Allah does not like those who are arrogant and proud. And be modest in your walk and soften your voice, in fact the worst sound is that of a donkey (QS. Luqman/31: 18-19”) (Ri, 2010). Luqman's advice this time related to morals and manners in interacting with fellow human beings. His creed material was interspersed with moral material, not only so that students didn't get bored with one material but also to imply that the teachings of faith and morality were an inseparable unit. Luqman advised his son not to be arrogant by turning his head away, but his son appeared to everyone with a radiant face full of humility (Shihab, 2012). Arrogant wasn’t allow to apply in the daily life of people. 4. Parenting Interpretation Analysis in Surah Luqman a. The Relevance of Al-Qur'an Parenting Perspective of Fazlur Rahman 1) The First Movement a) Political Setting During Luqman's time, which it coincided with the time when the Prophet David lived, there was a lot of chaos in which the leaders at that time fought for power. The rulers defended their power wholeheartedly and protected it with all means and various kinds of weapons. These leaders always looked negatively at everyone including their families and subordinates. With that, many people died because they were killed by selfish leaders and tortured innocent people for other 196 | Parenting in Surah....(S. Nabila & A.N. Amir) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies people's mistakes (Rinaldi, 2018). Influential people had certain interests, some did think about their society. However, there were others who protect their own interests. Apart from these interests, they had an important role in the movement and development of society (Santoso & Abror, 2020). The socio-political setting of Luqman was political cruelty by government authorities. It was not surprising that Luqman also wanted to strengthen his family through the lessons he conveyed to his son. As contained in the verses of the Koran, namely Surah Luqman verses 12-19. So why was Luqman's wisdom needed at that time, because at that time, he really needed a parent who really became a role model for his child and was also used as a guide by the Messenger of Allah in accordance with Asbabul Nuzul Surah Luqman verse 13, when a friend of the Prophet asked how avoiding unjust and unjust acts in question is shirk. Ralulullah replied with "haven't you heard Luqman's will". It was from here that the Prophet made Luqman's wisdom a strengthening of the soul, strengthening of being a good person. In sababun nuzul Surah Luqman verse 15, it also explained how the limits of Birrul Waliadain and Luqman also taught good parenting, because at that time the leadership was cruel and arrogant. The conclusion was automatically many people who did not respect each other human beings. So from that verse, Luqman taught his wisdom to his children and emphasized it again when at the time of the Prophet it was in accordance with his sababun nuzul. Sa'ad bin Malik was an obedient child and respected his mother, at that time Sa'ad had embraced Islam. When his mother found out Sa'ad had changed his religion, his mother told Sa'ad to return to his former religion. Sa'ad refused and he still embraced Islam even though it was opposed by his mother. Even though his mother ordered Sa'ad to shirk, Sa'ad refused and he still respected his mother. b) Generalizing specific answers to find ideas moral. Judging from the social setting and sababun nuzul earlier, there are some general social morals that can be drawn. The lessons from the story of Luqman and sababun nuzul as follows: NO Spesific Answers General/ ideas moral 1 Luqman's advice to his son is to be Every parent teaches grateful. children to always be grateful. Parenting in Surah....(S. Nabila & A.N. Amir) | 197 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 2 Luqman's advice to his son is to Every parent introduces have a monotheistic soul. their children to the concept of monotheism. 3 Luqman's advice to his son that the Every parent teaches their son must have the character of children to respect their parents. Birrul Walidain. 4 Luqman's advice to his son that Every child has the right to Birrul Waliadin has its limits. refuse if parents insist on enviousing Allah. 5 Luqman's advice to his son is all Every child should have an good and bad deeds will be attitude of responsibility. rewarded by Allah. Luqman's advice to his son is to Every child must be always be disciplined in prayer. disciplined in worship, especially in praying. 6 7 Luqman's advice to his son is not Every child to be arrogant. good ethics. must have 8 Luqman's advice to his son is to be Every child should have a simple in the daily life. polite attitude towards others. 2) The Second Movement The second movement is a process that departs from general views to specific views that must be formulated and realized now. That is, the general must be realized in the present concrete socio-historical context. The following are some of the problems that the author wrote about parenting: NO 1 198 | Problems Facing Today Specific Answers on the Relevance of Today's Parenting Children who are not grateful for the circumstances of their parents (pasaribu, 2020). This usually happens to parents who have a low economy where children always want what is asked for but parents have not been able to make it happen right away so that in the end the children turn against their parents. Teaching children to behave ethically towards everyone is in the form of gratitude. This ethics has been explained in Luqman's wisdom that was taught to his son. This is done by good communication between parents and children, in which parents provide explanations, how a child must have a good attitude and also provide an explanation of how a child if he doesn't do good will get bad consequences for himself. Parenting in Surah....(S. Nabila & A.N. Amir) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies 2 Parents do not have full control over their children (OTO, 2018). Where parents like this are usually parents who have low education, in which parents cannot control their children properly, resulting in children doing things that violate the law and even violate religion. Instilling Birrul Walidain in children with limits that do not harm the child and cause harm to the child as long as it does not exceed the limits of Birrul Walidain, that is committing shirk and doing what is prohibited by religion. Instilling Birrul Walidain is done by parents by having direct dialogue with children and it is done by parents explaining as best they can how good Birrul Walidain is with the limits that must be done and also what cannot be done. 3 The case that befell a child who left his religion solely for the sake of his lover. This usually happens to parents who are too liberating in every way for their children so that in the end the children do what they want without any prohibition from their parents. Parents teach how the meaning of a child's belief and faith. That all the religious teachings taught by this old man have good for him. 4 Children who accept all orders from their parents even though it is a risk for themselves. This means that the child should have an independent nature in arguing that all invitations or orders from parents that have bad consequences can harm him. Teaching children as early as possible to introduce various bad consequences that can occur if parents order this. A child can reject it firmly and even if it conflicts with the relationship between the child and the parents, it must remain good. 5 Children who commit bad deeds get their rewards both in this world and Teaching children to commit, both are: in the hereafter. This usually Trust happens to parents where parents allow children to do anything Responsible for his actions which without teaching them what the risks are good or bad deeds. and responsibilities are. Teaching responsibility can be done by parents by talking to children, that all good and bad deeds of a person will be rewarded, both in this world and in the hereafter. And also a child must be committed with belief in monotheism if God exists and all actions are seen by God. 6 Children who leave their obligations Teaching children that all religious in worship. This also often occurs teachings that have been instilled since Parenting in Surah....(S. Nabila & A.N. Amir) | 199 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 among children whose parents have childhood are good religions and a high economy. Children can do should not play religion at will for whatever they want to get what they their own satisfaction. want. 7 Children who have an arrogant Teaching children to always do good nature end in death or have bad to all creatures, be it humans, plants consequences for themselves. and even animals. This act of kindness will have a positive impact on our lives. 8 Children who do not have good Teaching children to always have attitude. good attitude, such as teaching politeness and honesty to others, especially to their own parents. As Luqman's advice to his son that must always be polite to fellow human beings. C. Conclusion From the results of the interpretation of Al-Qur'an surah Luqman verses 12-19, it produces several points of wisdom which are used as a reference for parenting to their children, as follows from spiritual sides and social sides. From spiritual forms, as follows: verse 12 concludes that parents teach a grateful attitude towards their children, verse 13 concludes that parents teach their children to always fear Allah and not associate partners with Him, and verse 16 concludes that parents teach material about whatever good and bad actions a person takes will be rewarded by Allah. From social forms, as follows: verse 14 concludes that parents teach the meaning of respecting parents as Birrul walidain, this verse 15 concludes that parents teach that all parental orders can be rejected, while in the case of parents ordering children to do bad things or disobedience, verse 18 concludes that parents teach children not to be arrogant towards fellow human beings, and verse 19 concludes that parents teach their children to always be good in behavior and to be polite to others. From the relevant parenting results from Fazlur Rahman's perspective, there are two priority points, both are spiritual forms which these related to vertical interaction or habluminallah and social forms which these related to horizontal interaction or habluminannas. REFERENCES Afifah, N. (2021). Tafsir Tarbawi dalam Surah Luqman. Yasda Pustaka. Akhyar, K., Junaidi, J., Sesmiarni, Z., & Zakir, S. (2021). Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam dalam QS Luqman ayat 12-19 telaah Tafsir AlAzhaar dan Al-Misbah. Edumaspul: Jurnal Pendidikan, 5(2), 752–756. 200 | Parenting in Surah....(S. Nabila & A.N. Amir) Vol. 3 No. 2 2022 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Al-Qur’an, T. L. P. (2011). Tafsir Al-Qur’an Tematik: Pembangunan Generasi Muda. Edited by Mushlis M. Hanafi. 1st Ed. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf AL-Qur’an Kemenag. Alkaf, I. H. (2005). 17 Langkah Menjadi Orang Tua Sukses. Semesta. Echols, J. M., Shadily, H., & Wolff, J. U. (1989). An Indonesian-English Dictionary (Vol. 2). Cornell University Press. Hornby, A. S. (n.d.). Oxford advanced learner’s dictionary of current English. Oxford University Press, Oxford.[OALDCE]. Ibn Katsir. (2000). Tafsir Ibn Katsir. Sinar Baru Algesindo. Idi, A., & SAFARINA, S. (2015). Etika Pendidikan; Keluarga, Sekolah dan Masyarakat. Raja Grafindo Persada. Kbbi, K. (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kementerian Pendidikan Dan Budaya. Mujib, A., & Mudzakkir, J. (2006). Ilmu pendidikan islam. Na’imah, K. (2009). Coparenting Pada Keluarga Muslim. OTO, K. (2018). kecelakaan mobil bocah 13 tahun jadi bukti nyata keteledoran orang tua. Kompas.Com. https://kumparan.com/kumparanoto/kecelakaan-mobil-bocah-13tahun-jadi-bukti-nyata-keteledoran-orang-tua-1542603863386112087 Padjrin, P. (2016). Pola Asuh Anak dalam Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal Intelektualita: KeIslaman, Sosial Dan Sains, 5(1), 1–14. pasaribu, O. (2020). Tak Ada Nasi, Seorang Anak Pukul Kepala Ibunya hingga Meninggal. Kompas.Com. https://pemilu.kompas.com/read/2020/12/10/15010281/tak-adanasi-seorang-anak-pukul-kepala-ibunya-hingga-meninggal Rahadi, F. (2013). Perbuatan dul murni kelalaian orangtua. Republika. https://www.republika.co.id/berita/msurbc/perbuatan-dul-murnikelalaian-orang-tua Ri, D. A. (2010). al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi. Rinaldi, I. (2018). Nilai-nilai pendidikan dalam Al-Quran (Kajian kisah Nabi Daud AS). Universitas Islam Negeri Sumatea Utara Medan. Saleh, H. A. S. (2007). Metodologi tafsir al-Quran kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman. Sulthan Thaha. Santoso, J. N., & Abror, I. (2020). Membaca Kisah Nabi Daud Menggunakan Semiotika Roland Barthes. Refleksi: Jurnal Filsafat Dan Pemikiran Islam, 19(2), 129–146. Shihab, M. Q. (2012). Tafsir Al-Misbah Pesan, Keserasian, dan Keserasian alQuran. Lentera Hati. Suraji, I. (2011). Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak Dalam Perspektif AlQur’an Dan Hadits. Pekalongan: STAIN Pekalongan Pers. Parenting in Surah....(S. Nabila & A.N. Amir) | 201 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies Vol. 3 No. 2 2022 Susanto, E. (2016). Studi Hermeneutika Kajian Pengantar. Kencana. Utama, F., & Prasetiawati, E. (2020). Parental dalam Pendidikan Islam. ALMURABBI: Jurnal Studi Kependidikan Dan Keislaman, 7(1), 28–43. Widiyani, R. (2013). Kasus ade sara dampak salah asuh orang tua? Kompas.Com. https://amp.kompas.com/health/read/2014/03/10/1455563/kasus -ade-sara-dampak-salah-asuh-orangtua 202 | Parenting in Surah....(S. Nabila & A.N. Amir)