Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
JSPM Iromi Ilham, Abdullah Akhyar Nasution, Amiruddin Ketaren, Marliza, Jamilah & M.Fathi (2022). Habitus dan Orientasi Nilai Budaya Petani Tembakau di Dataran Tinggi Gayo. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM), 3 (2). Hal. 350-365. Juli-Desember 2022. DOI. 10.29103/jspm.v3i2.9058 Habitus dan Orientasi Nilai Budaya Petani Tembakau di Dataran Tinggi Gayo Iromi Ilham 1*, Abdullah Akhyar Nasution2, Amiruddin Ketaren3, Marliza4, Jamilah5, M.Fathi6 1,2,4,5 Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Malikussaleh Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Malikussaleh 6 Mahasiswa Program Studi Magister Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Malikussaleh 3 Corresponding Author : iromi.ilham@unimal.ac.id ABSTRAK The rise of noble tobacco farming is seen again today in the Gayo Highlands after it was once glorious in the 1980s. There were many things that reference ideas, motivations, values, and orientations behind them. This study analyzed the cultural value orientation of tobacco farmers in Gayo so that it continues to carry out planting practices to this day. Furthermore, this study also explored the various habits tobacco farmers have in developing tobacco, including the inheritance pattern of tobacco planting culture between generations. The research, which took the locus in Central Aceh, used a qualitative approach by referring to C. Kluckhohn's concept of "value orientation" analysis and Pierre Bourdie's concept of "habitus". The data collection techniques used were participation observation, in-depth interviews, literature studies, and document studies. Field findings showed that tobacco plants were once the primadonna of the Gayo people in the 80s, but after that began to be abandoned by the community due to economic factors. Over the last 7 years, the Gayo people have begun to look back at tobacco plants along with tobacco products, which has become one of the essential concerns of the government in developing the economy of the Gayo community. The Gayo people still practice growing tobacco because this plant does not require special treatment, the planting period is relatively short, and this plant product is easy to process. Keywords: Habitus, Cultural Value Orientation, Tobacco Farmers, Gayo Highlands ABSTRAK Geliat pertanian tembakau mulia terlihat kembali saat ini di Dataran Tinggi Gayo setelah pernah jaya di era 1980-an. Tentu saja, ada banyak hal yang menjadi rujukan ide, motivasi, nilai serta orientasi yang melatarbelakanginya. Studi ini menganalisis orientasi nilai budaya para petani tembakau di bumi Gayo sehingga terus menjalankan praktek tanam hingga saat ini. Lebih lanjut, studi ini juga menggali bagaimana ragam habitus yang dimiliki petani tembakau dalam mengembangkan tembakau, termasuk pola pewarisan budaya tanam tembakau antar generasi. Penelitian yang mengambil lokus di Aceh Tengah ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengacu pada konsep analisis “orientasi nilai” C. Kluckhohn dan konsep “habitus” Pierre Bourdie. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi partisipasi, wawancara mendalam, studi literatur, dan studi dokumen. Hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa tanaman tembakau pernah menjadi primadona masyarakat Gayo pada era 80-an, namun setelah itu mulai ditinggalkan oleh masyarakat karena faktor ekonomi. Sejak 7 tahun terakhir, masyarakat Gayo mulai melirik kembali tanaman tembakau seiring dengan produk tembakau menjadi ABSTRACT salah satu perhatian penting pemerintah dalam mengembangkan ekonomi masyarakat Gayo. Masyarakat Gayo masih melakukan praktek tanam tembakau karena tanaman ini tidak membutuhkan perlakuan khusus, masa tanam yang relatif singkat, dan produk tanaman ini mudah diolah. Kata Kunci: Habitus, Orientasi Nilai Budaya, Petani Tembakau, Dataran Tinggi Gayo PENDAHULUAN "Kami yakin tembakau dari Gayo akan kembali bangkit seperti era 80-an, saat itu toke tembakau sangat terkenal melebihi toke kopi". Begitu kata Shabela Abubakar, Bupati Aceh Tengah pada acara pelepasan pengiriman perdana tembakau Gayo sebanyak 2,5 ton menuju Kota Medan di Kantor Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Aceh Tengah. Ia bangga melihat komoditas tembakau kembali bangkit dan bisa menerobos industri nasional (www.medcom.id, 28 September 2020). Pernyataan sang Bupati menunjukkan bahwa tembakau pernah mencapai era keemasannya di tahun 80-an, lalu meredup, dan akhir-akhir ini menunjukkan geliat untuk bangkit kembali. Sebagai upaya mendukung hal tersebut, pihak APTI Aceh Tengah dan pemerintah setempat terus melakukan pengembangan dan perluasan area tanam. Saat ini saja, seluas 250 Ha di wilayah Aceh Tengah dan 80 ha di Kabupaten Bener Meriah telah dipersiapkan (www.medcom.id, 28 September 2020). Luasnya lahan tembakau juga terlihat di sepanjang jalan kala peneliti melakukan perjalanan ke dataran tinggi Gayo pada medio 2020 silam. Menurut petani di sana, bibit tembakau Gayo saat ini masuk dalam klasifikasi tembakau aromatik yang memiliki harum dan cita rasa khas. Rata-rata petani di kawasan ini mempunyai lahan 0,5 Ha, di mana perhektarenya mampu menghasilkan 1,2 ton bakong ijo atau tembakau hijau kering yang sudah dirajang. Harga jual tembakau kering berkisar antara Rp 100.000 sampai Rp 150.000 per kilogram. Sementara harga tembakau yang sudah diolah menjadi tembakau kuning bisa mencapai Rp 200.000 Rp.250.000 per kilogram (Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, 2019). Tentu, ini menjadi salah satu sumber penghasilan masyarakat petani pada selain komoditas kopi yang memang sudah lebih dulu mendunia. Selain untuk industri rokok, tembakau juga digunakan sebagai bahan baku rempah untuk masakan. Adalah Melissa Clark, penulis buku masak dan kolumnis New York Times, memberi pengakuan menarik, katanya “Tobacco adds a haunting richness that recalls an oak-aged spirit, with notes of leather, wet earth, and sweet mulled wine spices. It also has a heat as searing as a chili pepper, which is why it is used with a light hand” (New York Times, 31 Januari 2001). Menurutnya, tembakau menambah kekayaan khazanah rempah yang memiliki rasa “panas” menyerupai cabai sehingga ia kerap digunakan untuk bahan rempah makanan. Praktek bertani tembakau yang dijalankan tentu memiliki alasan, motivasi serta orientasi nilai yang melatarbelakanginya. Pilihan-pilihan rasional subjektif yang terpola dalam ucapan dan tindakan menjadi penting untuk digali. Terlebih, perilaku bertani, bukanlah perilaku yang terjadi 350 | Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember Tahun 2022 dengan sendirinya, ia memiliki anteseden sejarah masa lalu. Pemikiran ini menjadi pijakan dasar kajian ini untuk menggali lebih dalam terkait habitus dan orientasi nilai petani tembakau di Dataran Tinggi Gayo dalam melakukan praktek tanam tembakau. Dimensi emik yang dimiliki para petani dalam menjalankan praktek tanam tembakau penting sebagai arsip pengetahuan dan media melihat perubahan-perubahan yang terjadi dalam perjalanan sebuah kebudayaan. Sederhananya, tulisan ini menjawab bagaimana pola habitus dan orientasi nilai budaya yang menjadi motivasi petani tembakau di bumi Gayo sehingga mereka terus menjalankan praktek tanam tembakau. Konsep orientasi nilai menurut C. Kluckhohn adalah suatu konsep yang terorganisasi tentang alam, tentang tempat, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan manusia, dan tentang the desirable dan nondesirable. Orientasi nilai akan berpengaruh pada perilaku manusia yang dihadirkan dalam hal membentuk hubungan dan memperlakukan alam serta manusia lainnya (Marzali, 2006). Orientasi nilai bertalian erat dengan konsep habitus ala Pierre Bourdie. Menurut Kleden (dalam Sumarno, 2017) terdapat tujuh aspek utama yang berkaitan dengan habitus-nya Pierre Bourdieu, yaitu: 1) Habitus adalah kebiasaan yang dilakukan secara berulang; 2) Habitus terbentuk berdasarkan struktur sebelumnya; 3) Habitus membentuk cara pandang seseorang; 4) Habitus bersifat “transposable”, yang berarti dapat berkembang dan berpindah dalam kondisi sosial tertentu; 5) Habitus bersifat spontan; 6) Habitus terjadi secara teratur dan berpola; dan 7) Habitus memiliki tujuan tertentu. Kajian ini menggunakan dua konsep –orientasi nilai dan habitus- untuk memahami bagaimana sistem budaya tani tembakau masyarakat Gayo. Aspek habitus pertanian digali melalui seperangkat pengetahuan, perilaku, dan praktik budaya yang ada pada individu atau pun kelompok masyarakat sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Penting juga untuk diketahui bahwa habitus menyatu dengan nilai yang dijalankan oleh individu maupun kelompok. Selain yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa hal lain yang menjadi alasan mengapa kajian ini penting dilakukan, di antaranya: 1) Pola praktek pertanian tembakau adalah warisan generik dari generasi sebelumnya yang masih dipraktekkan; 2) Selama ini, yang sangat terkenal dan banyak kajian di bumi Gayo hanya komoditas kopi, padahal tembakau juga memiliki tempat di hati masyarakatnya; 3) Ketika tembakau mulai digalakkan kembali oleh pemerintah setempat, maka menjadi penting untuk selalu diperbincangkan di berbagai tempat sehingga menumbuhkan rasa percaya diri bagi petani tembakau untuk terus mewariskan dan menjalankan apa yang sebenarnya telah mereka miliki; dan 4) Bentuk penolakan terhadap pengaruh budaya politik yang 351 | Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember Tahun 2022 hanya melihat isu tembakau dari sisi negatif, padahal tembakau juga memiliki manfaat positif yang tidak kalah banyak, misalnya untuk bahan rempah dan herbal. METODE KAJIAN Kajian ini dilaksanakan di Kecamatan Bintang, Kabupaten Aceh tengah. Ada beberapa hal yang melandasi mengapa peneliti memilih wilayah tersebut sebagai tempat kajian, yaitu: 1) Kecamatan ini diidentifikasi sebagai penghasil tembakau terbanyak di wilayah Aceh tengah (Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, 2019). Di saat yang bersamaan, tembakau juga merupakan salah satu produk unggulan pertanian untuk saat ini di Kabupaten Aceh Tengah; 2) Banyaknya praktek penanaman tembakau yang bisa didapat di wilayah ini yang kebanyakannya masih bersistem perkebunan rakyat; dan 3) mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani tembakau. Dalam kajian ini, penulis mendeskripsikan dimensi kognitif dan evaluatif dalam hal praktek tani tembakau yang dilakukan masyarakat Gayo, termasuk bagaimana kemudian dimensi tersebut diwariskan dalam keberlangsungan budaya masyarakatnya. Kajian ini bersifat kualitatif. Oleh karena itu, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi partisipatif (keterlibatan langsung), wawancara mendalam (in-depth interview), dan studi literatur (literature research). Pengamatan langsung dilakukan sehingga peneliti dapat mencermati fenomena empiris dalam praktek pertanian yang dilakukan subjek penelitian. Sementara kegiatan wawancara mendalam dilakukan untuk mengumpulkan informasi dan pandangan yang tidak terungkap dalam pengamatan sehingga dapat diperoleh pemahaman (verstehen) secara komprehensif. Dalam wawancara mendalam, peneliti menggunakan daftar pertanyaan pokok untuk keteraturan alur, sementara pendalaman dikembangkan dari jawabanjawaban yang diberikan informan. Setelah semua data terkumpul, peneliti melakukan analisis melalui tiga tahapan penting, yaitu: reduksi data, kategorisasi atau klasifikasi data, dan penarikan kesimpulan (drawing conclusion). Dengan alur teknik yang demikian, kajian ini menghasilkan gambaran utuh dari masalah yang diteliti (Creswell, 2010). HASIL DAN PEMBAHASAN Jejak Tembakau di Bumi Gayo Secara geografis, kepulauan Indonesia diakui sebagai jalur pelayaran dunia. Pulau-pulau yang terdapat di Nusantara menjadi tempat persinggahan kapal layar perdagangan. Salah satu ekpedisi yang terkenal adalah yang dilakukan oleh bangsa Portugis dan Spanyol yang kemudian dikenal 352 | Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember Tahun 2022 dengan istilah Romawi (classical latin) “vini vidi vici”. Pelayaran itu dilakukan atas dasar motivasi degradasi produksi dan daya saing di sektor perdagangan (Sunaryo, 2013: 33). Kehadiran bangsa Portugis dan Spanyol pada tahun 1500 ke Kepulauan nusantara membawa serta berbagai jenis tanaman baru yang sebelumnya tidak dikenal, salah satunya adalah tanaman tembakau (nicotiana tabacum), yang juga dikenal sebagai tanaman dagang. Di San Salvador, Kepulauan Bahama, tanaman ini ditemukan oleh Christopher Columbus. Ia bertemu suku Lucayan dan untuk pertama kalinya mendapati ritus menikmati tembakau (Wibisono, dalam Irwandi, 2021). Menurut Irwandi (2021), Pihak Belanda baru melihat tanaman tembakau sebagai salah satu komoditas yang menjanjikan pada akhir abad ke-16. Itu pun karena hubungan dagangnya yang baik dengan Jerman di masa itu. Di mana kebiasaan merokok sudah dikenal luas di seluruh kawasan Hamburg. Lantas, pembudidayaan tembakau di Nusantara oleh Belanda dilakukan sebagai upaya mereka dalam ekspansi barang dagang di pasar tembakau dunia, mengikuti jejak Portugis dan Spanyol sebelumnya (Abhisam, 2011:27-34). Hal tersebut menjadi titik awal pembudidayaan tembakau di Nusantara, tepatnya di sepanjang kurun abad 16 sampai abad 19 (Abhisam, 2011). Pola konsumsi tembakau di Indonesia dilakukan dalam bentuk menghisap rokok kretek. Pola ini berkembang luas dan menjadi bagian dari keseharian masyarakat Nusantara. Rokok kretek menjadi warisan budaya sebagai hasil kreasi dan inovasi dalam peradaban Indonesia hingga saat ini. Istilah pengisapan tembakau di setiap daerah berbeda-beda, misal di Aceh Tengah disebut isep. Rokok isep telah mewarnai kehidupan orang Gayo baik dalam ruang privat, maupun publik (Santosa, 2012:26). Tembakau sudah masuk ke Gayo sebelum kemerdekaan. Artinya, semenjak penjajahan Belanda yang berapa tahun lamanya hingga beralih ke pada masa penjajahan jepang, tembakau sudah dikenal di kalangan masyarakat Gayo. Setelah penjajahan, barulah kegiatan penanaman tembakau di daerah Aceh, termasuk di Gayo dilakukan secara masif oleh masyarakatnya (Wawancara dengan bapak Amiruddin, 2022). Orang Gayo menyebut tembakau dengan sebutan bako, daerah yang beriklim sejuk ini sangat cocok untuk pengembangan komoditi tembakau. Namun budidaya tanaman tembakau secara intensif baru dilakukan oleh petani di Kecamatan Bintang ini beberapa tahun belakangan ini. Masih menurut penjelasan Amiruddin, di Kecamatan Bintang sendiri, tembakau hijau ini awalnya masih dicoba-coba oleh masyarakatnya. Menurut 353 | Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember Tahun 2022 Yasan, mulai tahun 2017 lalu mengalami peningkatan dalam hal menanam tembakau di Kecamatan Bintang. Tanaman tembakau termasuk dalam golongan tanaman perkebunan, walaupun ia merupakan tanaman semusim. Hasil utama dari tanaman ini adalah daunnya yang menjadi bahan baku pembuatan rokok. Usaha pertanian tembakau juga termasuk dalam usaha padat karya karena bertumpu pada keberadaan manusia itu sendiri. Meskipun luas area perkebunan tembakau di Indonesia hanya sekitar 207.020 hektar, namun jika dibandingkan dengan pertanian semisal padi, tembakau memerlukan tenaga kerja hampir tiga kali lipat. Seperti juga kegiatan pertanian lainnya, untuk mendapatkan produksi tembakau dengan mutu yang baik, banyak faktor yang harus diperhatikan, selain faktor tanah, iklim, pemupukan dan cara panen (Ali & Hariyadi, 2018:1) dalam (dewantara dan aziz, 2021). Klasifikasi tembakau ataupun jenis tembakau yang ditanam oleh masyarakat di Kecamatan Bintang memiliki 4 jenis yaitu: 1) Tembakau kertas; 2) Tembakau karet; 3) Tembakau gedilak; dan 4) ketapang burik. Tembakau kertas dan karet sebenarnya tembakau yang sama tetapi sebagian masyarakat ada yang menyebutnya dengan tembakau kertas dan sebagian lainya menyebutnya dengan tembakau karet. Tembakau kertas dan tembakau karet memiliki daun yang tipis. Masyarakat menggunakan tembakau ini untuk jenis tembakau berwarna putih. Tembakau yang memiliki jenis gedilak dan ketapang burik hampir memiliki kesamaan diantaranya daunnya tebal dan kehijauan. Masyarakat di Kecamatan Bintang menggunakan tembakau jenis ini untuk tembakau hijau (wawancara dengan suami ibu Aminah). Praktek Tanam Tembakau; Habitus yang Diwariskan Antargenerasi Budidaya tanaman adalah usaha melakukan pengembangan dan pemanfaatan sumber alam melalui pemanfaatan modal, teknologi, dan sumber daya lainnya yang bertujuan menghasilkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia. Usaha budidaya tanaman tembakau meliputi kegiatan pra-tanam, penanaman, pemeliharaan, hingga proses panen dan sortasi. Dalam usaha budidaya tembakau, masyarakat Bintang masih menggunakan sistem kerja yang sederhana dan keluarga menjadi bagian sentral pergerakan kerja. Pola praktek petani tembakau di Kecamatan Bintang mengikuti pola pengetahuan para penanam tembakau generasi sebelumnya. Adapun tahapan praktek tanam tembakau adalah sebagai berikut: a. Pembersihan Lahan 354 | Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember Tahun 2022 Langkah awal yang dilakukan petani tembakau adalah membersihkan lahan yang akan dijadikan tempat tanam. Membabat, mencangkul dan membesihkan atau membakar sampahsampah rumput yang ada di lokasi tersebut. Sebelum dilakukanya penyemaian, masyarakat membuat sebuah galong. Galong adalah tempat untuk penanaman bibit tembakau. Biasanya berbentuk persegi. Proses awal pembuatan galong dengan cara mencakul sebagian tanah. Setelah mencangkul dan membentuk segiempat, petani membiarkannya selama beberapa hari dengan sesekali melakukan penyiraman, walaupun ada juga sebagian petani yang langsung menaburkan benih tembakau. Gambar 1. Galong; tempat penyemaian benih tembakau. b. Penyemaian Setelah menyiapkan galong, langkah selanjutnya adalah menyemai bibit tembakau dengan cara menaburkannya. Benih tembakau biasanya diambil dari buah yang terletak pada karang bunga utama tanaman tembakau. Penyemaian bibit tembakau penting dilakukan sebelum proses tanam karena tingkat kematian benih yang langsung ditanam sangat tinggi bersebab tanaman muda masih sangat sensitif dan peka terhadap keadaan lingkungan dan cuaca. Dengan adanya proses penyemaian, kemampuan adaptasi tanaman akan lebih tinggi sehingga meminimalisasi resiko kematian. Bibit yang sudah ditaburkan ke galong disiram dan ditutup dengan daun kekuyang (pakis hutan), gunanya agar bibit tembakau tidak terkena matahari dan hujan secara langsung. Usia penyemaian bibit tembakau berkisaran dengan waktu 30 sampai dengan 45 hari, setelah itu baru bibit tersebut ditanam di lahan yang telah disediakan, baik itu di kebun ataupun lahan sawah (wawancara ibu Aminah). Lahan tembakau yang bagus adalah lahan yang baru saja dibersihkan dari tamas mude. Lahan tamas mude lebih bagus dibandingkan dengan lahan persawahan. Proses pencabutan bibit dilakukan dengan terlebih dahulu disiram sampai basah agar pekerjaan lebih 355 | Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember Tahun 2022 mudah dilakukan. Pencabutan dilakukan dengan memegang dua helai daun terbesar kemudian ditarik ke atas sampai akarnya ikut tercabut. Para petani juga menggunakan pupuk kimia untuk mendapatkan hasil yang baik saat ini (wawancara ibu Asiah). c. Penanaman Proses penanaman dilakukan dengan cara memindahkan bibit dari tempat semai ke tanah yang telah diolah dengan cara membenamkan di dalam lubang tanam sedalam leher akar. Lubang tanam kemudian ditutup dengan tanah agar tanaman dapat berdiri tegak dan kuat, lalu disiram secukupnya. Penanaman baru dilakukan setalah 45 hari usia benih. Hal yang sangat penting dalam penanaman tembakau adalah penentuan waktu yang tepat untuk proses tanam, yaitu harus disesuaikan dengan iklim setempat. Penanaman tembakau di Kecamatan Bintang umumnya dilakukan pada pagi hari atau siang menjelang sore hari. Setelah penanaman dua atau tiga hari, petani melakukan pemupukan tahap pertama. Petani menggunakan pupuk bermerek Mtek sebagai obat ulat dan meggunakan pupuk Za dan urea. Pemupukan kedua dilakukan setelah tembakau berumur 20 hari. Tidak ada mantra khusus dalam proses penanaman tembakau, petani hanya memanjatkan doa kepada Tuhan dengan ucapan “bismillah, berikanlah kesuburan pada tanaman kami ini dan semoga tanaman ini berkah untuk rezeki kami” d. Perawatan dan Pemanenan Perawatan atau pemeliharaan tanaman adalah usaha menjaga agar dalam proses penanaman tanaman tembakau bagus sehingga menghasilkan hasil yang berkualitas. Dalam hal perawatan, proses pemupukan, penyiraman, dan pengairan sangat mempengaruhi mutu tembakau. Dalam proses ini, sebagian petani memutung/mengambil sebagian pucuk tembakau yang sudah ditumbuhi sedikit bunga. Tujuanya agar saat ditimbang, tembakau memiliki berat yang lebih dibandingkan dengan tembakau yang tidak dipuntung. Namun hanya sebagian kecil petani yang melakukan ini (wawancara ibu Samsiah). Proses pemanen tembakau diawali dengan memetik daun yang sudah layak dipanen atau daun yang sudah lebar dan sedikit menua. Pemanenan daun tembakau sebaiknya dilakukan pada saat tanaman sudah cukup umur. Indikator daun tembakau sudah bisa dipetik adalah sudah berwarna hijau kekuning-kuningan. Jika daun yang dipetik terlalu muda akan berpengaruh pada aroma daun dan kualitas tembakau yang dihasilkan. Dalam pemanenan, tembakau hijau dan tembakau merah, masa pemetikan daunnya dapat dilakukan sebanyak 4 sampai 5 kali pemanenan. Pemetikan daun tembakau dilakukan dalam satu minggu sekali. Ada juga masa penen tembakau ini sampai dengan 10 kali jika ditanam di tanah yang subur, sedangkan untuk tanah yang kurang subur, pemanenan maksimal hanya dapat dilakukan 4 sampai 5 kali panen 356 | Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember Tahun 2022 saja. Tembakau yang telah dipanen atau dipetik oleh petani kemudian ditaruh di dalam karung dan dibawa pulang ke rumah. Kemudian, petani memisahkan tulang di tengah daun, baru daun tersebut siap untuk dirajang atau dicincang. Gambar 2. Proses memisahkan tulang daun tembakau e. Neles / Penyicangan Proses pencincangan tembakau dilakukan dengan menggunakan alat tradisional. Tembakau hijau baru dicincang apabila seorang pembeli tembakau memesannya terlebih dahulu. Proses cincang ini berlaku sama untuk tembakau hijau, tembakau merah, maupun tembakau putih. Tembakau hijau dapat dicincang langsung setelah dipetik, berbeda dengan tembakau merah yang harus diperam dulu selama dua atau tiga hari untuk menghasilkan warna yang menarik, baru kemudian dicincang. Adapun tembakau putih, proses pembuatannya harus dilumuri belerang sebelum dicincang, kemudian disalon dengan belerang lagi supaya menghasilkan warna tembakau yang memukau. Gambar 3. Pak Dian, Petani tembakau, sedang mencicang tembakau jenis hijau 357 | Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember Tahun 2022 f. Penjemuran Tembakau yang sudah dirajang diletakkan dalam silih. Silih merupakan alat yang digunakan masyarakat untuk menjemur tembakau. Tembakau hijau yang dijemur tidak membutuhkan waktu yang begitu lama. Proses penjemurannya hanya dilakukan satu hari jikalau memiliki cuaca yang bagus. Tembakau merah penjemurannya membutuhkan waktu selama tiga hari, sementara tembakau putih masa penjemurannya sama dengan tembakau merah. Gambar 4. Petani sedang menaruh tembakau ke dalam silih g. Pemasaran Tahapan akhir yang dilakukan oleh petani tembakau adalah proses pemasaran. Menurut Kotler dan Keller (2019), pemasaran adalah seperangkat proses yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menciptakan, mengomunikasikan, dan menyerahkan nilai kepada konsumen dan usaha mengelola hubungan antara pelanggan dengan penjual dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan (dalam Syahputara, 2021). Petani tembakau di Aceh Tengah menjual hasil produksinya kepada tauke atau konsumen langsung dengan harga yang telah disepakati. Kesepakatan harga juga bergantung pada kualitas tembakau yang dihasilkan. Salah seorang toke tembakau tertua di Kecamatan Bintang, Amiruddin yang telah melakukan praktek jual beli tembakau sejak tahun 1977, mengatakan bahwa pada tahun 1977-1978, ia membeli tembakau dengan harga 300 rupiah per kilogramnya, kemudian pada tahun 1980-1990 harga tembakau sudah melonjak menjadi lebih tinggi, yaitu mencapai harga 50.000 rupiah per kilogramnya. Pada tahun 1990 - hingga saat ini, harga tembakau semakin meningkat, bahkan sudah berada di harga 100 sampai 150 ribu perkilo. Proses pemasaran yang dilakukan oleh toke bako di Kecamatan Bintang sudah masuk di level nasional. Yasan, seorang Toke bako, mengatakan bahwa “jual beli tembakau Gayo ini sudah banyak dikenal oleh kalangan masyarakat di luar Aceh dan sudah mendunia karena cita rasa tembakau Gayo yang khas”. Harga tembakau tergantung pada kualitas, dan kualitas yang 358 | Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember Tahun 2022 baik diperoleh dari proses perlakuan terhadap tembakau itu sendiri sejak dari dipanen. Harga jual beli petani lokal kepada toke berada di kisaran harga 90.000 sampai dengan 130.000 per-kg untuk tembau hijau. Tembakau merah berkisar pada harga 150.000 sampai dengan 170.000, sementara harga tembakau putih mencapai 300.000 per-kg. Adapun harga tembakau hijau kering yang diekspor berkisar Rp. 75.000 sampai Rp. 155.000 per kilogram. Tembakau hijau memiliki beberapa golongan, diantaranya: tembakau hijau super, super premium, super biasa, grade A dan grade B. Tembakau dengan berbagai varian ini memiliki harga yang setimpal, di mana tembakau hijau super memiliki berkisar di angka 155.000 ribu perkg, super premium 145.000 per-kg, super biasa 130 per-kg, grade A 95.000 per-kg dan grade B 75.000 per-kg. Sedangkan harga tembakau yang sudah diolah menjadi tembakau merah, harga jualnya mencapai Rp. 190.000 sampai dengan Rp. 200.000 per-kgnya di kalangan petani lokal. Sedangkan untuk harga ekspornya mencapai 200.000 sampai dengan 230.000 per-kg. Kemudian harga yang paling mahal dari semua jenis tembakau ialah tembakau putih karena pembuatannya yang sulit. Harga tembakau ini mencapai 300.000 perkilonya untuk petani lokal, sedangkan untuk nilai harga ekspornya mencapai 400.000 per-kg (Wawancara Yasan, Toke Tembakau di Kecamatan Bintang). Petani tembakau di Kecamatan Bintang rata-rata memiliki lahan seluas 800 m 2. Hingga 1 Ha. Namun yang banyak ditemukan di lapangan, rata-rata petani hanya memiliki lahan 800 m 2. Itu pun hasil pengalihan funsi lahan persawahan yang tidak dipakai lagi. Sebagian masyarakat ada juga yang menanamnya di perkebunan mereka dan ini memiliki jarak tempuh yang cukup jauh dari kawasan perumahan masyarakat. Habitus dan Orientasi Nilai Petani Tembakau Bourdieu (1984) menyatakan bahwa habitus dalam kebudayaan merujuk pada tata cara praktik, sistem, aturan, dan kebiasaan masyarakat dalam memahami dunia kebudayaannya yang dipengaruhi oleh pengalaman hidup, posisi sosial, dan lingkungan tempat tinggal. Habitus direpresentasikan sebagai sistem yang hadir dari tindakan yang terorganisir dan cenderung alamiah. Disposis habitus dapat bersifat mampu bertahan dalam waktu yang lama, terdapat struktur yang distrukturkan, dan struktur yang menstrukturkan (Bourdieu, 2012). Dalam hal ini, disposisi habitus yang direpresentasikan oleh petani tembakau di Gayo dapat dilihat sebagai berikut: Pertama, bertahan dalam waktu yang lama. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tembakau hadir di bumi Gayo seiring dengan masuknya Belanda. Artinya, pengetahuan tentang tembakau telah lama ada dan saat ini sudah berada di generasi 359 | Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember Tahun 2022 ketiga dari masyarakat Gayo. Praktek tanam tembakau saat ini merupakan warisan masa lalu yang dilakukan secara sadar. Menjadi petani saat ini, menjadi kisah yang terjadi secara lamaiah. Misalnya, sebagaimana yang dialami Loga, ia menjadi petani tembakau karena diwariskan dari orang tuanya. Kesadaran praktis yang dapat menggerakan tindakan sebagai hasil perekaman yang membekas dan tersus-menerus disebut sense pratique dalam istilahnya (Bourdieu, 1993). Kedua, struktur yang distrukturkan. Kehadiran pola pertanian tembakau merupakan akibat dari penerimaan lingkungan sosial yang objektif. Dengan demikian, ragam habitus praktek tani cenderung sama di kalangan masyarakat. Dan ketiga, struktur yang menstrukturkan. Dalam hal ini, petani tembakau dapat dilihat melakukan usaha-usaha adaptif untuk mendapatkan hasil yang baik dari pertania tembakau yang dilakukan. Misalnya, mereka menggunakan bahan kimia agar hasil tembakau menjadi lebih baik atau menggunakan bahan lainnya agar tembakau mereka terbebas dari hama. Habitus praktek tani tembakau berkaitan erat dengan orientasi nilai yang menjadi motivasi dan moralitas para petani mengapa praktek tani tembakau dijalankan. Kluckhohn sendiri melihat bahwa orientasi nilai adalah suatu konsepsi yang umum dan terorganisasi tentang alam, tentang tempat manusia dalam alam, tentang hubungan manusia dengan manusia, dan tentang the desirable dan nondesirable. Tabel berikut ini menjelaskan orientasi nilai budaya: Tabel 1. Orientasi Nilai Budaya Masalah dasar dalam hidup Orientasi Nilai Budaya Hakekat hidup Hidup itu buruk Hidup itu baik Hidup itu buruk tetapi diusahakan agar menjadi baik Hakekat karya Karya untuk nafkah hidup Karya untuk kehormatan Karya itu untuk menambah karya Persepsi manusia tentang waktu Orietasi ke masa lalu Orientasi ke masa sekarang Orientasi ke masa yang akan datang Pandangan manusia terhadap alam Manusia tunduk pada alam Manusia sengaja selaras dengan alam Manusia berhasarat menguasai alam Hakekat hubungan manusia dengan sesamanya Orientasi kolateral rasa bertanggug pada sesamanya Orientasi vertikal rasa ketergantungan pada atasan Indivualisme senilai tinggi atas usaha kekuatan sendiri. Sumber: Koentjaraningrat (1992) 360 | Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember Tahun 2022 Dalam hidup, manusia memiliki tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tujuan tersebut dapat berupa materi maupun non materi. Intinya, menciptakan kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Salah satu cara agar tujuan tercapai adalah dengan menghasilkan karya melaluinya, kesejahteraan dapat dicapai. Dalam prakteknya, manusia ada yang melahirkan karya hanya untuk bertahan hidup (subsistensi), untuk memperoleh nilai sosial (kehormatan), dan berkarya untuk menjadi batu loncatan dalam menghasilkan karya baru. Bagi petani tembakau dalam masyarakat Gayo, terdapat beberapa motivasi yang menjadi orientasi nilai budaya dalam melakukan praktek tanam tembakau. Pertama, Orientasi ekonomi. Jelas, tembakau menjadi salah satu sumber penghasilan masyarakat, selain praktek tanam pertanian jenis lainnya. Cost yang dikeluarkan juga terbilang sedikit dalam proses tanam dan perawatankarena ia bukanlah tanaman yang membutuhkan perlakuan khusus dalam perawatannya. Kedua, praktek tanam tembakau merupakan warisan generasi sebelumnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengetahuan petani saat ini merupakan warisan masa lalu, jadi sudah terstruktur menjadi sebuah habitus yang dilanjutkan oleh petani anak petani setelahnya. Ketiga, masa tanam yang relatif singkat sehingga cepat mendapatkan hasil panen. Keempat, Tanaman tembakau adalah tanaman yang mudah untuk diolah. Hanya bermodalkan peralatan yang sederhana, tembakau sudah menjadi produk yang bernilai ekonomis. Bagi petani tembakau, pembuktian akan pentingnya karya dalam hidup dilakukan dengan cara melakukan upgrade pengetahuan terkait dengan pola tanam tembakau, perawatannya serta poduk yang dihasilkan. Oleh karena itu, awalnya tembakau hanya menghasilkan satu produk, yaitu tembakau hijau, namun saat ini sudah memiliki diversifikasi produk dengan hadrinya tembakau merah dan tembakau putih. Untuk mendapatkan tembakau merah dan putih, ada usaha lebih yang dilakukan dalam prosesnya. Misalnya, untuk menghasilkan tembakau putih, tembakau oroginal harus dicampur dengan belerang dalam proses pembuatannya. Pun demikian dengan keadaan alam. Cuaca sangat berpengaruh pada kualitas tembakau yang dihasilkan. Misalnya, pada bulan-bulan yang curah hujannya tinggi, petani tembakau biasanya tidak melakukan panen. Atau pun dari pertama tanam, mereka sudah memprediksi agar masa panen tidak jatuh di musim penghujan. Karena akan berakibat pada proses penjemuran yang tidak sempurna. Ukuran kecepatan angin dan elipasi tanah juga penting diketahui untuk mendapatkan hasil tanam tembakau yang sempurna. Seperti juga pada kegiatan pertanian lainnya, untuk mendapatkan produksi tembakau dengan mutu yang baik, banyak faktor yang harus 361 | Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember Tahun 2022 diperhatikan, diantaranya faktor tanah, iklim, pemupukan dan cara panen (Ali & Hariyadi, dalam Dewantara dan Aziz, 2021). Tembakau juga bernilai sosial karena ia menjadi tanaman yang disuguhkan pada acaraacara adat dalam kehidupan masyarakat Gayo. Tembakau menjadi salah satu simbol penghormatan dalam tradisi Gayo ketika disuguhkan pada upacara adat. Tepat, ketika Cassirer (1987) menyebut manusia sebagai animal symbolicum yang bahwa kehidupan manusia dipenuhi dengan simbol-simbol yang dengannya kita bisa memahami manusia sebagai agen pembentuk peradaban dan kebudayaan. Melalui penggunaan simbol tersebut, manusia dapat mewariskan pengetahuan kepada generasi selanjutnya (Abdullah, 2002). Dampak sosial lainnya adalah relasi yang terbangun antara sesama petani tembakau, dan juga antar petani dengan pengepul. Usaha Pertanian tembakau merupakan usaha padat karya yang membutuhkan tenaga manusia dalam pengelohannya. Sehingga hubungan solidaritas sesama petani tembakau terbentuk melalui sikap saling membantu dan saling membutuhkan. Pada titik ini, tembakau bukan saja sebagai komoditas yang bernilai ekonomis, namun ia juga berperan dalam menjadi jembatan kebudayaan atau sebagai media diplomasi kultural yang bisa mempererat hubungan interpersonal. Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa keberadaan tembakau sangat penting dalam konstruksi kebudayaan dan perekonian masyarakat Gayo. Diversifikasi produk yang dihasilkan menjadi nilai tambah (value added) bagi produksi tembakau lokal yang kemudian secara otomatis juga mendatangkan keuntungan ekonomi. Orientasi nilai budaya komunal dalam masyarakat tradisional juga bersifat dinamis. Ia dapat berubah seiring dengan masuknya nilai-niai modernitas yang berorientasi pada kepentingan ekonomi. Hal ini mendorong cara pandang dan sikap masyarakat pada kehidupan. Tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup serta sistem penilaian sosial yang didasarkan pada kemampuan ekonomi cenderung menjadikan manusia bersikap pragmatis dan meninggalkan nilai-nilai lokal yang dianggap mengambang. Pergeseran ini juga diakibatkan dari pengalaman baru yang terinternalisasi dari melalui kran informasi dan interaksi dengan dunia luar (Prasetya, 2018). Perubahan tersebut berimplikasi pada sebagian masyarakat Gayo yang dulunya berprofesi sebagai petani tembakau, namun saat ini tidak lagi menanam tembakau. Hasil penelitian lapangan menunjukkan beberapa alasan mengapa sebagian petani tidak lagi melakukan praktek tanam tembakau, di antaranya adalah 1) Menurut Ibu Aini, ia tidak menanam tembakau dikarenakan mengalami penyakit batuk, jika ia menanam tembakau tidak sanggup mencium aroma belerang. 362 | Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember Tahun 2022 Ia menggatakan bahwa belerang mempunyai bau yang menyengat. 2) Tidak ada dukungan keluarga; 3) Sulit mencari lahan pertanian. Menurut Bapak Irwan, sulitnya mencari lahan untuk menanam tembakau membuatnya beralih profesi ke tanaman lain. Meningkatnya kebutuhan akan lahan dan persaingan dalam penggunaan lahan baik untuk keperluan produksi pertanian, perkebunan, permukiman, industri maupun keperluan lahan yang lain dibutuhkan pemikiran yang baik dan seksama dalam pengambilan keputusan pemanfaatan yang paling menguntungkan dari sumberdaya lahan yang terbatas (Sitorus dkk, 2011). Maka dari itu, diperlukan evaluasi kesesuaian lahan dalam upaya mengoptimalkan penggunaan lahan secara berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya lahan secara terarah dan efisien diperlukan; dan 4) sudah ada tanaman lain yang bisa ditanam yang harga jualnya lebih menguntungkan secara ekonomi. Pola pewarisan tanaman tembakau ini dikatakan yaitu cara menanam tembakau yang turun temurun dari orang tua mereka masing-masing. Sebagaimana masyarakat atau orang tua dulu menuntun anaknya dengan membawa anak-anak mereka ke kebun. Kemudian mengajarkanya atau menyuruhnya dengan cara memprktekannya langsung, sehingga sampai sekarang ini masyarakat masih mengikuti pola pewarisan tanam tembakau ini. Pola pewarisan yang dipraktekan oleh masyarakat yaitu mengikuti pola prkatek penanaman tembakau seperti orang tua terdahulu. Menurut ibu Sulis masyarakat setempat menurunkan pola pewarisan tanaman tembakau ini dengan membawa anaknya ke kebun. Dengan membawa anak ke kebun mereka secara langsung akan mempraktekan cara tanam dan perawatan tembakau seperti yang dipraktekan oleh orang tuanya. D. Penutup Tanaman tembakau pernah menjadi primadona masyarakat Gayo pada era 80-an, namun setelah itu mulai ditinggalkan oleh masyarakat karena faktor ekonomi. Sejak 7 tahun terakhir, masyarakat Gayo mulai melirik kembali tanaman tembakau seiring dengan produk tembakau menjadi salah satu perhatian penting pemerintah dalam mengembangkan ekonomi masyarakat Gayo. Masyarakat Gayo masih melakukan praktek tanam tembakau karena tanaman ini tidak membutuhkan perlakuan khusus, masa tanam yang relatif singkat, dan produk tanaman ini mudah diolah. Seiring berjalannya waktu, beberapa petani tembakau saat ini sudah tidak lagi menanam tembakau karena berbagai faktor, di antaranya faktor usia yang tidak lagi produktif karena penurunan fungsi biologis tubuh, tidak tersedia lahan pertanian, dan faktor lingkungan. 363 | Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember Tahun 2022 Daftar Pustaka Akbar, Allan. (2018). Perkebunan Tembakau dan Kapitalisasi Ekonomi Sumatera Timur 18631930. Dalam jurnal “Tamaddun”. Vol. 6 , No. 2, Juli - Desember 2018. Cirebon: Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Syekh Nurjati. Boudieu, Pierre. (2009). (Habitus×Modal) + Ranah = Praktik, Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra. ______________. (1977). Outline of a Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University Press; diterbitkan di Prancis 1972. Clark, Mellisa. (31 January 2001). Hmm, Hot and Spicy. It’s What? It’s Not!. “New York Times”. Diakses dari http://www.nytimes.com/2001/01/31/dining/hmm-hot-and-spicy-it-swhat-it-s-not.html pada tanggal 12 Juni 2021. Dewantara, Rizka, dan Azis, Daska. 2021. Evaluasi Kesesuaian Lahan Perkebunan Tembakau di Kabupaten Aceh Tengah Menggunakan Analisis Sistem Informasi Geografis. Jurnal Pendidikan Geosfer. Vol VI. No 1. Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh. 2019. Faisal, Sanapiah. 2003. Filosofi dan Akar Tradisi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Irwandi, Ade. 2021. Anai Ube’ Ta Makna Tembakau Pada Kehidupan Masyarakat Di Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai. Jurnal Antropologi. Vol 2 No. 1, Mei. Jamhir. 2020. Nilai-Nilai Adat Gayo Bersandarkan Hukum Islam Sebagai Pedoman Dalam Menyelesaikan Kasus Hukum Pada Masyarakat Gayo. Marzali, Amri. (2006). Pergeseran Orientasi Nilai Kultural dan Keagamaan di Indonesia (Sebuah Esai dalam Rangka Mengenang Almarhum Prof. Koentjaraningrat). Dalam jurnal “ANTROPOLOGI INDONESIA” (Vo). 30, (No). 3. Miles, Matthew B. dan A. Michael Haberman. (1992). Qualitative Data Analysis Data diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi “Analisis Data Kualitatif”. UI Press: Jakarta. Moleong, Lexi J. (2000). Motodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya Nazaruddin, Muhammad, dkk. (2019). Orientasi Nilai dan Habitus Petani (Studi tentang Orientasi Budaya dan Ragam Perilaku Petani Kopi di Dataran Tinggi Gayo). Laporan Penelitian: LPPM Universitas Malikussaleh. Notoatmodjo, S. (1985). Ilmu Perilaku Kesehatan. Badan Penerbit Kesehatan Masyarakat: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta. 364 | Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember Tahun 2022 Sumarno, Fetin Dwi. (2017). Habitus Nyampah. Jurnal Dialektika 1(2) Syahputara. 2021. Analisis Pemasaran Tembakau Nicotiana Tabacum,L Petani Ilenial di Kecamatan Bintang Kabupaten Aceh Tengah. Jurnal Sosiologi Pertanian dan Agribisnis. Vol 4 No 1 Januari. www.medcom.id. (28 September2020). Aceh Tengah Mulai Ekspor Tembakau Gayo ke Pasar Nasional. Diakses dari https://www.medcom.id/ekonomi/bisnis/ob33noXb-aceh-tengahmulai-ekspor-tembakau-gayo-ke-pasar-nasional ) pada 10 Juni 2021 365 | Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Volume 3 Nomor 2, Juli-Desember Tahun 2022