GLOCAL
Media
Amelia Day
Karya
2012
Amelia Day
Some rights reserved.
Attribution
Noncommercial
No Derivative Works
ISBN-10: 147696555
ISBN-13: 978-1477696552
Beberapa materi pustaka di buku ini bisa dibaca selengkapnya di
http://glocalmediabook.wordpress.com
untuk yang tercinta :
Mami, Papi, Nenek Daeng
Tante Fatma, Tante Chama, Tante Ati
untuk satu-satunya hingga akhir waktu:
Tyas Legawa
DAFTAR ISI
Dedikasi & Terima Kasih
1 Asal-muasal
9
2 The Great Firewall of China
18
3 Hollywood, Bollywood, Chinawood
31
4 Ekosistem Media Global versus China
51
5 Indocine: Antara Ruang dan Waktu
63
6 Simpulan: Visi Kreatif 2025
86
7 Pustaka & Pranala
99
8 Tentang Penulis
102
TERIMA KASIH
Menuntut ilmu hingga ke banyak negeri. Saya ucapkan rasa syukur ke Tuhan YME
karena bisa berguru secara online dengan pakar media massa dan globalisasi, Prof.
Anthony YH Fung dari School of Journalism and Communication, CUHK, Hong Kong
dan kepada Dr Umair Haque dari Havas Media Lab.
Terima kasih juga Lola Maris dan Iwan Jusuf, dua sparring partners saya selama
puluhan tahun: untuk menimba ilmu tanpa putus, dan untuk berbagi informasi penuh
canda tawa. Atas diskusi dan inspirasinya, saya ucapkan terima kasih untuk Prof. Ilya
R. S. Sunarwinadi, Teddy Anggoro, MH, serta Mas Hikmat Darmawan dan Mbak
Juni Soehardjo.
Akhirul kalam, beberapa peradaban yang tetap unggul hingga hari ini adalah mereka
yang telah memiliki sejarah panjang dalam "bernegara". Media adalah bagian
intangible, tak kelihatan, dari sebuah peradaban hari ini. Benafas dan tidur berarti hidup
di antara pipe & content. Semoga pencarian saya ini bukan lelucon media dua tahun
terakhir: God created the world, and the rest is made in China.
i
1
ASAL-MUASAL
“Hostile foreign powers have not abandoned their conspiracy and
tactics to westernize China and to divide the country,” warned Hu
[Jintao] in late 2008. 1
Bisa jadi paranoid, bisa juga strategis. Kebijakan pemerintah China hingga
hari in i seakan misteri bagi banyak investor asing hingga pekerja kreatif
asing. Pertarungan melawan pengaruh asing di abad lalu berarti senjata
api atau bambu runcing. Kerap hadir di kehidupan hari in i Cyberwar atau
Twitterwar bukanlah perang. China melarang Facebook di negaranya, dan
ia membuat versi lokal media sosial in i, Renren. Di beberapa area di China
(terutama mungkin yang masih miskin), Google dan Youtube tak bisa
diakses sama sekali.
Saya mempercayai bahwa apa yang dilakukan pemerintahan Hu Jintao
sekarang adalah strategi memenangkan pertarungan global. Sebagai
bangsa besar hari ini dan masih akan terus berjaya di masa mendatang,
China mempelajari sejarah panjangnya. Cara berpikir terhadap proteksi
atas pengaruh asing ini dirancang dengan melihat strategi dan taktik Sun
Tzu, filsuf milit er di abad ke-6. Sun Tzu membuka tulisannya dengan
perencanaan: “All warfare must be based on deception;” bahwa musuh
harus dikelabui. Ketika akan menggunakan kekuatannya, perlihatkan ke
musuh bahwa tentara China seakan sedang tidak aktif. Di saat musuh
mengeluarkan seluruh kekuatan, di saat itu lah pasukan Sun Tzu
menyerang.
1 Dilip Hir, After empire: the birth of a multipolar world, Nation Books, 2010, halaman 249.
1
AMELIA DAY
Belajar hingga ke negeri China bukanlah pameo kosong. Mengkaji gerakgerik pemerintah China dan hasil kebijakannya hari in i adalah melihat
gaya keterbukaan antara “ada” dan “tiada”. China hari ini memasuki
babak baru sejak dikeluarkannya Decree #44 tahun 2004 yang
membolehkan masuknya investasi asing untuk produksi film, radio dan
televis i. Khusus produksi, saya mengkategorikan hal in i dalam kotak “is i”
atau content. Mari berpikir antara pipe dan content dalam industri media
massa, telekomunikas i dan internet. Tiga sektor yang hari ini “melebur”
karena teknologi digital. Pipa adalah penyalur is i audio- visual, apakah
melalu i perangkat bergerak (telepon genggam atau tablet) ataukah statis
(pesawat TV di rumah).
Untuk kepemilikan pipa, belum ada entitas asing bisa memiliki saham
perusahaan media massa di China daratan. Perusahaan media asing yang
dipancarkan melalui satelit biasanya berkantor di Hong Kong, yang
memiliki sistem pemerintahan khusus di bawah HKSAR, Hong Kong Special
Administrative Region, sebuah sistem yang lebih terbuka terhadap investasi
asing. Media dan telekomun ikasi adalah sektor tertutup terhadap investasi
asing secara langsung (foreign direct investment) , tapi masih diperbolehkan
untuk investasi tak langsung (induk perusahaan media atau melalui bursa
saham). Untuk perusahaan dengan jen is investasi yang terakhir ini,
dipast ikan bahwa pemerintah China memiliki saham mayoritas di
dalamnya.
Proteksi super-ketat juga terasa di is i film, program TV dan situs internet
dari luar China. Adegan cium adalah tabu, apalagi bersuara keras
memprotes pemerintah China. Selepas era Mao Zedong (akhir 1970-an), film
asing bisa masuk tapi harus dibatas i kuantitasnya dan harus disensor ketat
oleh SARFT (State Authority of Radio, Film and Television).
Produksi film dan tayangan TV kerjasama dengan pihak asing baru terjadi
saat keluar Decree #44 tertanggal 16 November 2004. Detail dari
peraturan ini tak ada yang mengetahui kecuali petinggi SARFT sendir i.
Peraturan bernomor sama juga pernah dikeluarkan tahun 2000 oleh
Kementerian Keamanan Publik terkait tak langsung terhadap media
adalah: “Measures for the Admin istration of Security of Mass Cultural and
Sports Activit ies”.
Untuk media massa, pemerintah China juga mengatur ketat isi, mulai dari
skenario (regulasi ex ante ) hingga hasil akhir (regulasi ex post ). Pengaturan
in i juga dikait kan dengan izin usaha. Melanggar is i yang ditentukan,
perusahaan ditutup atau sahamnya harus dipin dahkan ke pihak lain.
Keluar juga peraturan terakhir (Februari 2012) perihal larangan TV lokal
menayang film atau program TV asing di jam prima .
2
GLOCAL MEDIA
Semua aturan in i dirancang oleh pemerintah China untuk menghadapi
kondisi global tanpa harus menentang atau menutup diri. Terlihat jelas
bagaimana percepatan pertumbuhan media global selama sepuluh tahun
terakhir, atau setelah biaya menyewa slot satelit menjadi murah dan
teknologi distribusi audio visual melalui jaringan internet menjadi massal.
Tindakan protektif pemerintah China in i menjadi satu hal yang
sesungguhnya patut dimaklumi mengingat bangsa China memiliki filosofi
"Tao" dalam kehidupan sehari-hari: bagaimana semua hal terjadi dan
bekerja di bumi ini. Sebagai bangsa besar, China tahu menjaga
keseimbangan alam dan segalanya, termasuk kebijakan membuka dan
menutup (open & closed policies) .
Di luar semua bentuk kebijakan pemerintah China hari in i, potensi pasar
penonton China (populasi 1,3 milyar) masih menjadi daya tarik pihak asing.
Memasuki tahun 2012, banyak acara diskusi industri M&E (media and
entertainment) di Hollywood yang menyoroti co-production atau produksi
bareng produser dari China. Geliat M&E di China, serta kondis i global
(baca: digitalis as i segalanya) mendorong industrialis barat melakukan
ekspansi ke pasar gemuk in i. Pasar media yang sebelumnya sulit ditembus,
sejak 2004 mulai terbuka terhadap investasi asing.
Di luar semua aturan itu, negara barat masih kesulitan merangkul pasar di
China secara maksimum karena tak ada tindakan keras pemerintah
terhadap produk video bajakan karya kreatif Hollywood (film) atau Silicon
Valley (piranti lunak). Selama in i pemerintah China pusat “mengakui” tak
bisa menindak pembajakan ini karena masalah otoritas pemerintah daerah.
Selama in i, yang seakan menjadi keprihatinan banyak bangsa lain di dunia,
adalah pemerintah pemerintah China terlalu over-protective , namun di sis i
lain tak ada kepastian akan hak intelektual yang dimiliki perusahaan
asing.
Tao of Media
Tulisan in i awalnya dibuat dalam bentuk peta sederhana tentang industri
TV nasional. Ia lalu meluas menjadi global. Ternyata sebuah stasiun TV itu
hanya bagian kecil dari industri global, Media & Entertainment (M&E).
Televisi, misalnya, hanya satu jendela dari sekian banyak media bagi
sebuah video atau film diputar. Televisi memang hanya satu cara distribus i
untuk ribuan jam film layar lebar atau bahkan jutaan jam program telev isi
seluruh dunia.
3
AMELIA DAY
Sebelum memahami bagaimana China bisa membuka diri terhadap media
massa asing, atau bahkan terhadap media massa lokal sekalipun di era
Mao Zedong, saya harus bisa melihat proses media massa itu secara
mendasar. Sebagai panduan awal buku ini, berpikir dua pilah berbeda: pipa (pipe) dan
isinya (content) membantu memahami evolusi karya visual, audio dan audio visual dalam
industri media massa.
PIPE CONTENT
PIPE: bioskop, radio, TV, DVD player , situs internet
CONTENT: gambar statis (foto, lukisan, kartun), presentasi,
dokumen kuliah, musik, video (animasi, film layar lebar), dan
seterusnya
Berpikir televis i hanya satu pipa, saya mencari tahu lagi hubungannya
dengan pipa lain dan bagaimana industri film dan tayangan TV itu
bergerak dari hulu ke hilir . Di sinilah kemudian saya menyadari bahwa
televis i adalah sebuah sistem global. Bagaimana sebuah tayangan TV atau
film layar lebar itu masuk ke dalam layar TV atau bioskop? Prosesnya
selalu linier dari produksi lalu distr ibusi hingga eksibis i melalui media
massa. Perlu dicatat, sebagai produk intangible, film atau tayangan TV itu
diproduks i sekali untuk eksibis i atau diputar berulangkali.
PRODUKSI DISTRIBU SI EKSIBISI
Dari beberapa hal paling mendasar proses media massa sejak seratus tahun
terakhir, saya kemudian mencoba mengkaji media massa ini dari kebijakan
publik, dalam kaitan bagaimana penguasa media massa global dan
nasional bergerak. Hakikat air “wadah mempengaruhi is i” adalah satu
4
GLOCAL MEDIA
patokan mengapa is i bisa bagus, bisa juga aneh tergantung pemilik
medianya.
Mengaitkan lagi pipe dan content dalam satu konteks kebijakan publik
global, saya tertarik mengkaji kebijakan protektif China in i lebih fokus
lagi: terhadap film layar lebar China. Produksi film layar lebar adalah
salah satu titik hilir sebelum mengkaji berbagai model bisn is media (pipa)
di hulu. Tayangan olah raga, berita dan genre lain dikaji pula namun tidak
menjadi titik fokus utama di buku ini. Alasan utamanya adalah bahwa
“drama” masih memiliki potensi penonton lebih banyak dari “non-drama”.
Untuk ini kajiand alam buku in i hanyalah terfokus pada film dan tayangan
TV, khususnya yang bergenre drama.
Bagan domain produk digital hari ini
©2012
Secara umum, bisn is dan industri audio- visual di era digital hari in i bisa
dirangkum seperti bagan di halaman berikut. Bagan sederhana in i
membantu mengerti pengembangan kebijakan publik di sektor M&E. Bagan
5
AMELIA DAY
in i juga membantu memetakan strategi kebijakan publik pemerintah China
sepuluh tahun terakhir.
Bagan dibagi secara vertikal atas domain is i (content) dan pipa (pipe),
atau media dan tempat memasang, memutar, menyiarkan film atau
tayangan TV. Sejak isi diproduksi hingga di distr ibusi, dipahami perihal
berbagai jenis , terutama dalam bentuk digital, di antaranya jpg untuk
gambar dan avi untuk audio video. Format digital ini hanyalah simplifikas i
domain saja. Parameter format digital sangatlah banyak, namun untuk
secara umum pembagian parameter hanya dibatas i oleh kemampuan
panca indera (mata, telinga, dan seterusnya). Jika “berbagai macam
bau/wewangian” bisa ditransfer ke bentuk digital suatu hari, akan ada
parameter baru, dan seterusnya. Selan jutnya, domain content adalah untuk
pemain bisnis menengah bawah, sedangkan untuk pipa, kecenderungannya
adalah untuk pemain modal besar.
Tentang Buku Ini
Buku ini adalah kajian tentang sektor M&E, dengan pendekatan ekonomi.
Hal in i diawali dari pemikiran bahwa sektor M&E khusus di Indonesia
belumlah banyak dikaji secara mendasar. Selain itu, film layar lebar atau
tayangan TV, khususnya genre drama, difokuskan dengan alasan
dominasinya dalam perputaran uang di industri in i serta. Pendekatan sosial
atas tayangan dan film adalah dalam kerangka globalisas i dan deglobalisasi. Proses in i telah terjadi di China, yang kin i tampil sebagai satu
kekuatan ekonomi dunia hanya dalam tempo singkat. Untuk itu, apa yang
terjadi di China bisa dipelajar i untuk mengerti bagaimana sektor M&E
global yang berproses hari ini.
Di bagian pertama buku in i, Great Firewall of China , saya melihat
standing point pemerintah China dalam pengaturan film dan arus investasi
sektor M&E (Media & Entertainment) . Setelah ada keterbukaan pemerintah
di awal milen ium baru, China menjadi daerah tujuan investasi M&E yang
menarik apalagi jika mengingat potensi penonton dari negara berpopulasi
terbesar dunia. Untuk kajian in i, saya mengangkat analisis Fung (2008:
halaman 35) tentang industri M&E global ke China (global to local) yang
harus melalui peraturan kepemilikan yang rumit juga sensor isi media yang
sangat ketat . Fung juga mengkaji proses dari dalam ke luar (local to
global) yang dilaksanakan pemerintah China untuk menyerap hal positif
dari globalisas i. Fung menegaskan bahwa setelah budaya populer global
masuk ke satu negara, ia seakan “memperkuat” budaya lokal dan
selan jutnya memiliki nilai lebih untuk ekspansi ke luar negeri.
6
GLOCAL MEDIA
Di bagian kedua, Hollywood, Bollywood, Chinawood, saya mempelajar i
bagaimana kerja sistem periode peluncuran satu film di beberapa media
massa (movie release window ) yang lahir dari pebisnis Hollywood in i. Model
bisnis ini kemudian diterapkan Hollywood untuk pasar global, termasuk ke
China dan India, dua negara berpopulasi terbesar yang juga berarti pasar
M&E yang besar. Konsep hak barang intelektual (intellectual property
rights) yang berangkat lepas era Gutenberg, kini dipergunakan oleh
Hollywood. Konsep IPR ini bahkan dikaitkan dengan kontrak perdagangan
barang internasional di Wor ld Trade Organizat ion (WTO). Dari sini
kemudian juga lahir konsep “produk dan sinyal audio visual ilegal” sebagai
bentuk pelanggaran TRIPS. Setiap anggota WTO wajib meratifikas i TRIPS
(Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights). Pernah memonopoli
dunia dengan film dan tayangan telev isin ya, Amerika Serikat adalah satu
dari penemu teknologi awal pipa audio visual, mulai dari bioskop, televis i
hingga “jaringan” internet.
Cara Hollywood mengembangkan bisnis M&E dengan pakem produksi
tertentu ditularkan di industri perfilman India dan China. Saat in i industri
perfilman China telah mampu mengekspor film ke luar China. Untuk itu
secara umum China akhirnya "menyebarkan" nilai- nila i luhur budaya
mereka ke seluruh dunia dengan tutur produksi film a la Hollywood. Di
bagian Ekosistem Med ia Global versus China dikaji tentang
kepemilikan media massa global, yang beberapa di antaranya berlombalomba masuk ke pasar M&E China, khususnya secara langsung (foreign
direct investment) . Mendir ikan kantor perusahaan media asing di negara ini
adalah tabu di era Mao Zedong bahkan hingga era Deng Xiaoping. Sebelum
2004, tak diperbolehkan masuk investasi asing untuk perusahaan M&E di
China. Setelah lahir Decree #44 di tahun 2004 tentang co-production untuk
media bioskop, telev isi dan radio, struktur pasar kemudian berubah.
Monopoli pemerintah untuk tahap produksi bergeser monopolistik: produk
sama dengan kemampuan banyak pemain yang rata-rata sama pula.
Struktur pasar di China in i dibentuk atas upaya dan regulasi
pemerintahnya. Pemerintah China memproteksi pemain lokal terhadap
asing berupa kepemilikan saham di perusahaan kerjasama dengan pihak
asing.
Proses globalisas i dis ikapi pemerintah China seperti arena perang, dengan
menerapkan salah satu taktik Sun Tzu seperti “rangkul musuh” sebelum
tangan mampu menikam bagian belakang lawan. Deception, atau tipuan,
adalah cara pemerintah China: seakan belum bisa membuka diri secara
penuh tapi pemerintah China menguasai dunia dengan berbagai produk
buatan bangsanya.
7
AMELIA DAY
Ditutup dengan Bab Indocine: Antara Ruang dan Waktu , saya mencoba
mendefleks ikan kondis i industri audio-visual ini di Indonesia. Bagian in i
menjadi kilas balik Industri film nusantara sejak kependudukan Belanda,
Jepang, kemudian terbentuk negara bernama Indonesia hingga hari ini.
Saya kemudian melihat proses in i dalam kerangka kebijakan publik di
Indonesia hari ini. Secara kontekstual hari ini, ada 14 subsektor industri
kreatif dalam realitas budaya global. Subsektor ini juga menjadi bagian
industri M&E global yang masuk dan tidak mengalami proses deglobalization di dalam negeri. Untuk tetap memperkenalkan nilai luhur
sebuah peradaban lokal ke seluruh dunia, belajarlah hingga ke negeri
China.
Indonesia adalah bangsa yang juga [pernah] besar, yang berada di antara
jalur perdagangan India, China dan Asia Tenggara. Apa yang kemudian
patut direnungkan dari kajian in i? Apa saja 14 subsektor industri kreatif
yang dirumuskan di Indonesia versus yang telah dikaji secara global oleh
UNESCO? Di bagian terakhir , Simpu lan: Visi Kreatif 2025, adalah
simpu lan yang diharapkan bisa menjadi bahan krit isi industri M&E di negeri
in i.
Satu hal yang saya garisbawahi dalam tulisan in i adalah penggunanaan
bahasa Inggris dalam setiap bagian. Dengan derasnya arus informasi hari
in i, dunia seakan menunjuk bahasa "resmi" media baru adalah bahasa
Inggris. Saya terpaksa menuliskan beberapa istilah khas yang jika
diter jemahkan ke dalam Bahasa Indonesia esensi dan makna yang ingin
saya sampaikan tidak tercapai. Paling utama adalah ist ilah pipe & content;
jika diter jemahkan menjadi pipa dan isi. “Isi” memiliki konotasi yang
terlalu fis ik (tangible). Tak akan menolong banyak jika ditu liskan "konten".
8
GLOCAL MEDIA
9
2
THE GREAT FIREWALL OF CHINA
Pagi itu diselenggarakan breakfast meeting sebelum konferensi industri
penyiaran Asia Pasifik, CASBAA 2006, Hongkong. Seorang mitra firma
hukum Paul, Weiss , Rifkind, Wharton & Garrison LLP dari New York
menjadi pembicara. Ia bercerita tentang regulasi di China. Ia pernah
bertemu dengan pegawai pemerintah China. Untuk mendapatkan
peraturan perundangan terbaru, ia harus mendapatkan jawaban in i: “You
want to know the regulations? Talk to me, I know the regulat ions.” Pegawai
pemerintah China itu mengayunkan kertas peraturan itu lalu ia
menyembunyikannya ke belakang punggungnya.
Betul, yang terjadi di China adalah orang asing ya tetap orang asing.
Peraturan perundangan telah dituliskan namun untuk membaca detail
aturannya, tak ada seorangpun warga negara asing, atau pengacara
kebangsaan China pun (yang mewakili perusahaan asing) bisa
mendapatkan dokumennya.
Pasca-perang dingin , China menjelma menjadi kekuatan polit ik ekonomi
global yang cukup berpengaruh. Telah terjadi arus besar investasi asing ke
China sepuluh tahun terakhir. Potensi pasar dan keterbukaan pemerintah
dibaca oleh para pemain asing sebagai sebuah peluang yang wajib digarap.
M&E adalah sektor terakhir yang membuka diri terhadap investasi asing.
Media adalah satu sektor yang sangat diproteksi pemerintah China bahkan
sejak era Mao Zedong.
Atas is i film atau siaran TV yang membawa pengaruh asing, pemerintah
China sungguh melindungi usaha lokal China daratan. Proteksi bagi
penonton atau juga pemain industri film lokal in i bahkan berlaku juga atas
film dari Hong Kong. Walau telah menjadi bagian resmi China pascapelepasan adminstrasi Inggris Raya di tahun 1997, Hong Kong tetap
10
GLOCAL MEDIA
mendapatkan kuota ekspor 20 judul film ke China. Jika ingin memasok
lebih banyak lagi, produser wajib mempekerjakan tenaga kreatif dari
China daratan dalam produksi film tersebut. Hal ini diatur juga dalam
kesepakatan CEPA (Closer Econonomic Partnership Arrangement) di tahun
2004 antara admin istrator wilayah Hong Kong dan pemerintah China. 2
Aturan untuk film dari Hollywood lebih ketat: pemerintah China hanya
menetapkan kuota saja. Pemain asing tak mendapatkan keist imewaan
kuota tambahan ini. Suatu hal pasti: hal ini tak masuk perhitungan
produser asing karena mengongkosi pekerja China datang ke Hollywood
adalah mahal.
Selain dikunci ketat di peraturan tenaga kerja dan investasi sektor M&E,
pemerintah China juga membuat peraturan isi atau jalan cerita film. Detail
pasal dalam peraturan itu tak jelas apa saja. Peraturan itu pun bisa
berubah tanpa ada transparansi kapan dan bagaimana pasal mana dalam
dokumen itu yang diganti. Peraturan khusus film dan media massa in i
dibuat oleh badan negara SARFT (State Authority of Radio, Film, and
Television), atau kalau di Indonesia dikenal dengan nama KPI (Komisi
Penyiaran Indonesia).
Secara umum, peraturan tentang film layar lebar dan tayangan TV yang
masuk ke China harus mengikut i beberapa pokok pemikiran di bawah in i.
Films may not contain content which: 3
1.
Violates the basic principles of the Constitution;
2.
Threatens the unity, sovereignty and territor ial integrity of the
state;
3.
Divulges state secrets, threatens national security, harms the
reputation and interests of the state;
4.
Instigates national hatred and discr iminat ion, undermines the
harmony among ethnic groups, or harms ethnic customs and
practices;
5.
Violates state policies on religion, and propagates cult religion or
superstit ion;
6.
Disrupts social order or social stabilit y;
7.
Propagates obscenity, gamblin g, violence, or abets criminal
activit ies;
8.
Insults or defames others, or infr inges upon others' legit imate rights
and interests;
2 Lucy Montgomery, China's Creative Industries: Copyright, Social Network Markets and the Business of Culture in a
Digital Age, Edward Elgar Publishing, 2010.
3 http://info.hktdc.com/alert/cba-e0804c-2.htm
11
AMELIA DAY
9.
10.
Corrupts social morality, or defames the superiority of national
culture;
Other contents prohibited by state laws and regulat ions.
Sesungguhnya, peraturan di atas adalah normatif adanya. Di China sensor
terjadi di tahap skenario (ex ante) dan hasil akhir film (ex post) . Jika
hendak diproduks i di China, dokumen skenario harus diserahkan
sebelumya. Skenario yang tidak kembali ke produser adalah pertanda
produksi atau distribusi tak bisa dilakukan. Selanjutnya jika telah
diproduks i ternyata hasilnya berbeda, film tak bisa diputar. Setelah diputar
pun, film sewaktu-waktu bisa ditarik dari peredaran bioskop China.
Hingga hari in i pemerintah China sewaktu-waktu masih menarik film
produksi Hollywood dari bioskop tanpa alasan. Kepastian masa putar
diber ikan terhadap produksi lokal, atau produksi bareng produser lokal
dan produser asing. Alasannya adalah berakar dari Decree 44 tahun 2004.
Dalam peraturan ini perusahaan asing boleh bermitra dengan produser
lokal dengan mendir ikan usaha patungan untuk memproduksi film di
China daratan.
Lahir lah kemudian sebuah film epik kolosal, Warlords (2005). Produser
Hollywood Warner Bros. Studios membuat entitas kerjasama dengan
Hengdian Group, pengusaha elektron ik dan kimia loka l. Entitas itu diberi
nama Warner China Film Hengdian Group dan produksi perdananya adalah
film Warlords . Persyaratan mendir ikan usaha bersama (joint-venture) in i
adalah kepemilikan lokal 51%, alias pihak asing tak memiliki voting rights
atas entitas usahanya.
Dari bentuk kerjasama lokal- asing in i, Warlords
mampu meraih
keuntungan hanya dari pasar penonton China . Di minggu pertama film ini
diputar telah dihasilkan pemasukan kotor USD 10,073,000 4 dengan total
biaya produksi USD 40,000,000. Sejak 2007 hingga 2011 dengan
pemutaran di beberapa media (bioskop, DVD hingga telev isi) telah dilalu i,
pemasukan kotor Warlords telah mencapai USD 129,078,000 atau empat
kali lipat dari biaya produksinya.
Kongsi para pekerja Hollywood dan Chinawood ini telah melahirkan produk
yang cukup fenomenal. Untuk menghemat biaya prop ( property, atau
perlengkapan produksi) Hengdian juga membangun studio produksi besar,
empat jam perjalanan darat dari ibukota Beijing. Studio ini berukuran
besar beris i replika Forbidden City lengkap dengan istana dan lansekap
sekitarnya.
4 http://www.boxofficemojo.com
12
GLOCAL MEDIA
Mengkaji
kerjasama
Warlords
ini,
produser
Hollywood
telah
memperkenalkan gaya manajemen produksi hingga cara bertutur sebuah
film layar lebar khas Hollywood. Film ini menggunakan resep film epik
Hollywood: kolosal dan mahal. Sebelumnya film produksi lokal (China atau
Hong Kong) jarang mengerahkan banyak figuran dalam satu adegan .
Selain itu, Warlords juga dipasarkan dengan memakai cuplikan film
(trailer) yang mengambil pakem bertutur Hollywood: dramatisasi replika
kehidupan. Penggunaan pakaian (wardrobe) dan prop mendekati warna
asli masa lalu (nuansa cokelat). Selain itu juga musik (music score) dibuat
untuk dramatisasi di setiap adegan utama.
Selain itu film in i juga memakai pakem penetrasi budaya seperti saat film
Amerika menempatkan stars and stripes di banyak adegan sebuah film.
Secara umum, simbol- simbol patriotisme China dibuat nyata dan alamiah.
Secara khusus, sebagai pembawa pesan kehebatan pahlawan China, filmfilm kolosal seperti Warlords in i tak pernah disulih- suarakan ke bahasa lain.
Bahasa Mandarin, atribut perang Suku Han, serta nilai luhur kepahlawanan
China harus diresapi penontonnya sebagai satu kesatuan rasa. Kung Fu
Hustle masih disu lih- suarakan ke dalam bahasa Inggris.
Kerjasama Warner dan Hengdian in i menjadi awal kisah sukses asimilasi
produser film Hollywood dan Chinawood. Sebelum mendir ikan entitas
kerjasama hingga mendistribus ikan film jadi ke seluruh dunia, sang
produser Hengdian-Warner harus selalu berhubungan dengan otoritas film,
SARFT. Lembaga seperti SARFT tak lahir tiba-tiba, namun ia merupakan
bentuk kebijakan Pemerintah China di era sebelumya.
Di era kepemimpinan Mao Zedong, dikenal strategi “tutup pintu rapatrapat” terhadap pengaruh budaya asing. Revolusi Budaya (1966-1976) in i
berakhir saat Mao meninggal. Pintu sedikit terbuka saat pemerintah
mengizinkan impor film dengan syarat wajib sulih-suara ke dalam bahasa
Mandarin. Badan pemerintah waktu yang bertanggungjawab atas
pengawasan impor film in i adalah Biro Film, sebuah institusi di bawah
kantor Kementerian Budaya (1977, sebelum dibentuk kementerian khusus:
Kementerian Film, Radio dan Telev isi). Selain mengurus perihal impor film,
Biro film juga memiliki tugas: 5
1. memimpin institusi film lokal (termasuk kuota tahunan),
menyelenggarakan konferensi film tahunan dan rapat reguler
dengan semua produser film lokal;
2. mengeluarkan surat sensor atas semua film berdasarkan dasar
negara, peraturan, etika dan moral tradisional;
5 George Stephen Semsel, Chinese Film: The State of the Art in the People's Republic, ABC-CLIO, 1987, halaman 3.
13
AMELIA DAY
3. merencanakan pengembangan jangka panjang untuk industri
film;
4. melakukan pertukaran film dalam
budaya antara China dan negara lain.
kerangka
kesepakatan
Ada beberapa unit Biro Film, di antaranya:
1. China Film Corporation untuk distribus i dan eksibisi;
2. Film Art Res earch Center untuk arsip dan kajian;
3. Beijing Film Institute untuk pelat ihan tenaga kreatif;
4. Film Equipment Corporation untuk pengembangan teknologi
audio visual;
5. China Film Co-production Corporation (salah satu unit di
bawah China Film Corporation) untuk kerjasama produser lokal
dengan produser asing.
Strategi untuk produksi lokal atas biaya investor asing ini tak terjadi di era
pemerintahan sebelumnya. Pasca-1976 (Revolus i Budaya berakhir), film
lokal sepenuhnya dibiayai pemerintah China. Seorang produser atau studio
film lokal akan mendapatkan insentif dari China Film Corporation (CFC).
Negara melalu i CFC memberikan uang 700 ribu hingga 900 ribu Yuan
(setara USD 250 ribu) pada saat sang produser menyerahkan film yang
telah diproduksi. Uang tersebut harus dipakai untuk produksi selanjutnya.
Saat itu, materi film harus berisi propaganda pemerintah. 6
Memasuki era 1990-an, pemerintah tak lagi membiayai film lokal. Produser
film mendapatkan uang dari kerjasama “split revenue” dengan distr ibutor.
Selain berbagai pemasukan (dan pajak ditanggung masing- masing pihak),
produser film juga mendapatkan uang dari distr ibutor atas cetak ulang
kaleng film. Sejumlah RM 7,000 per kaleng cetak film (dahulu masih
selu loid, belum digital) dibayarkan distributor sebelum film diputar.
Di saat distributor film asing boleh memasukkan film asing, pemerintah
China membatasi 10 (sepuluh) judul film asing per tahun di era 1990-an,
dan menambah lagi 20 (dua puluh) judul film layar lebar setelah China
meratifikas i kesepakatan dengan WTO (2001). 7 Pembatasan film asing ini
berlaku hingga hari ini.
6 Lucy Montgomery, China's Creative Industries: Copyright, Social Network Markets and the Business of Culture in a
Digital Age, Edward Elgar Publishing, 2010, halaman43.
14
GLOCAL MEDIA
Setelah dibuka untuk film asing, bioskop seluruh negeri ternyata
mendapatkan pemasukan kotor 80% dari film asing. Khawatir akan
penetrasi budaya populer asing melalu i film asing in i, pemerintah China
kemudian membangun strategi baru. 8 Ada dua hal yang mengkhawatirkan
pemerintah: is i film dan proteksi pemain lokal. Dengan jumlah tak terlalu
banyak, SARFT dengan mudah menyensor is i film atau menolak satu judul
film diputar. Untuk proteksi terhadap pemain lokal, pemerintah bermain
dengan gaya kapitalis me modern.
Pemerintah China melarang dana asing masuk ke entitas media lokal. Dari
tiga tahap sektor M&E (produksi, distribusi dan eksibisi) , hanya produksi
yang dibuka untuk dana asing. Distribus i masih harus melalui perusahaan
pemerintah CFGC atau China Film Group Corporation, ( 中 国 电 影 集 团 公 司 ),
anak usaha CFCsedangkan untuk eksibisi hanya pemain lokal dengan
pengawasan ketat juga dari CFGC.
Sejak hanya impor film asing hingga produksi bareng pihak asing,
pemerintah China sesungguhnya telah meliberalisas i industri film dalam
negerinya sejak 1970-an. Saat itu keran untuk film asing hanya untuk
impor film asing, dan untuk produksi kerja bareng produser asing belum
diperbolehkan. Kerjasama produksi (co-production) pemain lokal dengan
asing baru dibuka 2004, saat keluar Decree #44, yang beris i "the interim
regulation for joint investment or collaboration on the production,
operation, and management of radio and broadcasting program." Peraturan
ini sebagai komitmen China yang telah meratifikas i perjan jian TRIPS (Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rigths), sebagai salah satu syarat
untuk menjadi anggota WTO (World Trade Organization) yang
memudahkan produksi, operasi dan manajemen film, radio, komik dan
hiburan (kecuali pemberitaan) bagi pihak asing.
Selain itu, ekspor film produksi lokal ke banyak negara mencapai ratusan
judul, dan hanya sedikit yang bergenre drama. Kebanyakan film yang
diekspor adalah film dokumenter, pendidikan atau sains. Jumlah ekspor
film setiap tahun ini menjadi patokan jumlah impor film untuk semua
negara, termasuk Hong Kong. Jika total film ekspor adalah 150 judul,
sepertiganya adalah jumlah film yang bisa diimpor dari gabungan semua
7 Lucy Montgomery, Troubled waters for the development of China’s film industry, An International Joint Research
Project on Contemporary Chinese Media, Culture, and Society, hosted by Communication Arts Research Institute,
Taipei, Taiwan, 2004, halaman 7.
8 Ibid, Troubled waters for the development of China's film industry, An International Joint Research Project on
Contemporary Chinese Media, Culture, and Society, hosted by Communication Arts Research Institute, Taipei,
Taiwan, 2004. http://eprints.qut.edu.au/2821/1/2821.pdf
15
AMELIA DAY
negara. Kebanyakan impor film datang dari Jepang dan Hong Kong, tapi
masih produksi Hollywood yang digemari penonton China.
Setelah meratifikasi kesepakatan TRIPS tahun 2000, pemerintah China
meliberalis asi peraturan sektor M&E. Apalagi setelah China ditunjuk
sebagai penyelenggara ajang internasional Olimpiade Beijing 2008,
pemerintah China mulai serius menekan risiko TRIPS dengan merazia pusatpusat pembajakan produksi DVD. Pemerintah juga menjamin kepastian
masa putar film di bioskop. Memperpendek jarak antara peluncuran film di
bioskop ke DVD juga merupakan cara agar DVD bajakan kalah bersaing.
Tindakan pemerintah pusat ini ternyata “tak sejalan” dengan aturan di
tingkat lokal. Khusus untuk pembajakan sinyal TV berbayar (paid TV
channel) pemerintah lokal membuat peraturan daerah khusus tentang
operator TV kabel lokal ini dengan sanksi tertinggi pencabutan izin
operasional atas pelanggaran:
1. Tidak memiliki persetujuan atas
instalasi konstruksi (infrastruktur).
desain,
penempatan,
dan
2. Menyewa, mentransfer waktu penyiaran.
3. Menyiarkan yang melanggar peraturan is i siaran.
4. Menyiarkan iklan melebihi waktu yang ditentukan.
Catatan: perihal sinkronisasi penanganan “pembajakan DVD dan sinyal
audio- visual” in i dibahas di bagian Hollywood, Bollywood, Chinawood.
Sesungguhnya, secara makro pemerintah Amerika Serikat, melalui
Departemen Perwakilan Perdagangan (USTR, United States Trade
Representatives) masih menempatkan China sebagai tujuan berbisnis di
segala sektor. Nilai perdagangan China dan Amerika Serikat mengalami
peningkatan sign ifikan dalam tiga dekade terakhir. USD 2 milyar (1979)
hingga USD 457 milyar (2010). Untuk sektor produk tangible, nilainya masih
jauh di atas produk sektor M&E, mengingat liberalisas i sektor terakhir ini
baru terjadi setelah 2004. 9
Atas perhitungan kedua hal in i (liberalisas i aturan dan upaya pemerintah
China terhadap risiko pembajakan), Warner Bros. dan studio global lainnya
tentu menginginkan penetrasi pasar yang lebih dari sekadar menjadi
distr ibutor film. Warner berani memproduksi di China pasca-liberalis asi ini.
Pertama, membangun pasar produksi (bukan pasar distr ibusi) adalah
menekan risiko film ditolak, atau ditarik dari peredaran tanpa alasan jelas,
9 Wayne M. Morrison, China-US Trade Issues, Congressional Research Service, www.crs.gov, halaman 2, 2011.
16
GLOCAL MEDIA
atau dibajak sebelum rilis resmi ke bioskop. Alasan keduanya adalah
perhitungan pasar global yang telah jenuh. Sebelum Decre #44, Warner tak
pernah diizinkan memproduksi di dalam negeri kecuali jika bekerjasama
dengan CFGC. Kerjasama in i tidak dalam bentuk anak perusahaan tapi
lebih kepada film financing atau pembiayaan produksi saja.
Membuka pasar internasional yang sebesar China berarti maksimisas i
pemasukan atas film di berbagai window untuk region baru. Harap dicatat,
pasar internasional tahap distribusi film Hollywod selan jutnya setelah pasar
biosko Amerika Serikat sendir. Perhitungan “balik modal” atas produksi
film sebenarnya adalah saat diputar di dalam negeri selama seminggu
pertama. Jika tidak, maka film itu akan dinyatakan sebagai film gagal.
Pasar internasional, untuk itu, adalah pasar dengan penambahan
pemasukan kotor.
Di era baru kerjasama Hengdian- Warner ini, atas produksi semua film
kerjasama ini, pemerintah China pun melarang sulih- suara ke Bahasa
Inggris saat film lokal akan diekspor. Hasil akhir sulih suara pun wajib
diserahkan ke SARFT atau film tak boleh dikir im ke luar China. Sebaliknya,
semua film impor wajib disulih- suarakan dan atau diber i teks ke bahasa
Mandarin sebelum diputar di bioskop.
Khusus untuk urusan kerjasama produksi dengan pihak asing, anak
perusahaan CFGC, bertanggungjawab atas kerjasama produser lokal
dengan produser asing seperti Hongkong Star Overseas dan produser lokal
Beijin g Huaji Film. Di awal milen ium baru, ada juga produksi kerjasama
badan pemerintah ini dengan Columbia Pictures (Hollywood) adalah film
Xiaolin Soccer (2001). Columbia Pictures juga memproduksi film sukses
Kung Fu Hustle (2004), masih kerjasama dengan badan pemerintah yang
sama, juga dengan beberapa entitas swasta lokal lainnya. Film ini hanya
diproduksi secara indiv idu , yang tidak terikat kewajiban memproduksi
secara berkelan jutan. Setelah sukses di pasar internasional, kedua film ini
menjadi satu bukti untuk membuat kebijakan membuka pintu lebih luas
lagi: investasi asing di perusahaan produksi lokal.
Warner Bros. Studios dari Hollywood akhirnya menjad i entitas asing
pertama yang bekerjasama dengan produser lokal, Hengdian, dan
membentuk joint-venture Hengdian- Warner. Pasca-kerjasama HengdianWarner, pemerintah China kemudian menjamin kepastian masa putar film
asing di satu periode. Sebagai trade off atas risiko ini, produser kerjasama
lokal- asing in i wajib merilis satu film baru untuk setiap enam minggu.
Sebelum diproduksi, tentunya skenario film tetap diserahkan terlebih
dahulu ke SARFT. Setelah diputar di bioskop, film tersebut boleh
didistribus ikan ke telev isi terestrial. Dari bioskop hingga beberapa media
17
AMELIA DAY
eksibis i audio- visual lain (DVD, TV atau layar lainnya), dikenal istilah
movie release window untuk produksi film layar lebar. (Lihat pembahasan
Movie Release Window dalam bagian Hollywood, Bollywood, Chinawood)/
Istilah window ini dikenal di industri M&E untuk maksimisas i pemasukan
atas satu judul film sekaligus produksi lainnya yang dimiliki sang produser .
Setelah diproduks i film kemudian didistr ibusikan ke pasar dalam negeri
lalu ke pasar internasional (atau film di dua pasar in i didistr ibus ikan
berbarengan). Jika film memang diproduks i untuk bioskop di awal
perencanaan, maka jendela selanjutnya adalah media lain dengan juga
memperhitungkan lokas i atau region distr ibusi.
Bagan in i adalah pembagian regional atas distr ibusi DVD orisinal, sebagai
bentuk evolus i hak intelektual seiring perkembangan teknologi DVD.
Bagan Pembagian Region/Da erah DVD Player
www.dvdbuyingguide.com
Region 1:
Region 2:
Region 3:
Region 4:
Region 5:
Region 6:
U.S.A, teritor i U.S.A, Kanada
Europe, Jepang, Timur Tengah, Mesir, Afrika Selatan,
Greenland
Taiwan, Korea, Filipina, Indonesia, Hong Kong
Meksiko, South America, Central America, Australia, Selandia
Baru, Kepulauan Pasifik, Karibia
Russia, Eropa Timur, India, Africa, Korea Utara, Mongolia
China
18
GLOCAL MEDIA
Upaya pembagian region in i hanya berlaku untuk perangkat pemutar DVD
yang
juga
orisinal.
Permasalahannya
kemudian,
China
pun
menggandakannya dengan perangkat lain yang dipasang secara paralel
saat perangkat sesuai region juga sedang berjalan. Cracking secara manual
atas DVD membuat pembagian region in i tidaklah efektif.
Dalam diskus i CASBAA 2006, para pemain global mencoba meraba maksud
pemerintah China dalam Decree #44 tahun 2004: antara membuka dir i
dengan aturan ketat dan menegakkan hukum terhadap pembajakan sinyal
audio- visual mereka. Peluang atas pasar China, antara ada dan tiada?
Anthony Y.H. Fung (2008) 1 0 mengkaji hantaman budaya populer asing
terhadap pemerintah China adalah sebagai berikut 1 1 :
Diagram Negara China
©Anthony YH Fung (2008)
Budaya populer global langsung mempengaruhi pasar, dan negara
melindungi pasar lokal sekaligus tak terpengaruh budaya global ini dalam
menjalankan tugasnya melindungi pasar lokal. Pemerintah China
melindungi pasar dari budaya terhadap yang pengaruh yang diyakin i tak
mencerminkan nilai luhur bangsa China.
Jika dahulu media hanya menjadi corong partai yang berkuasa, kin i media
berubah menjadi “Party Publicity Inc.”, 1 2 sebuah usaha profit untuk
kekuasaan, kin i pemerintah China telah mengakomodasi kekuatan pasar
10 Anthony Y. H. Fung, Global capital, local culture: localization of transnational media, Peter Lang Publishing, 2008.
11 Ibid, halaman 9
12 Krishna Se & Terence Lee, Political Regimes and the Media in Asia, Routledge, 2008, halaman 12.
19
AMELIA DAY
dan membiarkan media mendapatkan otonomi dalam tingkat tertentu.
Dalam proses komersialisas i in i, kekuatan komersial juga memperkuat
pemerintah.
Hasiln ya adalah sebuah keadaan di mana negara dan pasar
bertransfromasi satu dengan lainnya. Hal in i membuat China tampil di
panggung geopolit ik yang lebih strategis, sebuah negara dengan kekuatan
sosio-polit ik baru (Ma, 200: 28).
Sebalikn ya, Fung melihat peran negara-negara barat seperti di Eropa dan
Amerika menghadapi budaya populer global, sebagai berikut:
Diagram Negara-negara Barat
©Anthony YH Fung (2008)
Negara membebaskan pasar sehingga negara hanya menjadi bagian yang
“bisa dipengaruhi” oleh budaya populer global. Pasar tak mendapat
proteksi dari negara secara khusus. Transformasi negara dan pasar di China
adalah satu fenomena baru hari in i. Apa yang terjadi dalam industri film
China hari in i adalah proses asimilas i kerja produser film China dan
Amerika Serikat (supply) yang menghasilkan keuntungan dari pasar
penonton China (demand) .
Hingga hari in i manifesto film asing bagi China masih dalam tataran uang,
bukan budaya. Menerapkan konsep Tao dalam kehidupam bernegara,
pemerintah melindungi para pemain lokal dan rakyatnya dengan
peraturan yang sangat ketat. Bagi pemerintah China, hantaman budaya
populer tak boleh merasuki jiwa dan ideologi bangsa. Ia boleh masuk ke
dalam pasar penonton China, namun ia tak boleh mengganggu “the unity,
sovereignty and territor ial integrity of the state” (www.chinasarft.gov.cn).
20
GLOCAL MEDIA
Proses “globalisasi” (atau apapun yang berbau asing bagi pemerintah
China) terjadi di hampir seluruh pelos ok bumi. Tyler Cowen (2004: 190)
membaginya menjadi: diversity across cultures dan diversity within cultures.
D iversity across cultures , atau keberagaman antar-budaya berbasis
perbedaan 1 3 dan berakhir dengan “ancaman” (Fung et.al, 2007: 82). Yang
terjadi dengan diversity within cultures atau keberagaman di dalam
budaya-budaya itu adalah “exchange of material, not just cultural
values” 1 4 .
Dengan mengetahui proses kerja sekian banyak budaya di dunia,
pemerintah
China
menjalankan
strategi
within. Hal ini untuk
mengantisipasi ancaman dengan memanfaatkan pertukaran materi, seperti
transfer teknologi Barat dan pemikiran strategi kampanye modern. Khusus
di dalam buku ini dikaji bagaimana strategi in i diterapkan atas produk
intangible seperti film layar lebar Hollywood. Hal in i disampa ikan Fung
(2008:34-36) seperti diagram di halaman selan jutnya.
Selanjutnya dipaparkan bagaimana China secara internal “berbalik”
mempengaruhi industri M&E global, baik melalu i pengaturan birokras i
ataupun pengaruh dalam pengembangan struktur pasar. China mengerti
proses global sektor M&E, sehingga terbentuk arus balik ke dunia luar
China dengan produk lokal yang telah disesuaikan untuk pasar global.
Fung (2008) sebelum produk lokal “diekspor” ke luar suatu negara, terjadi beberapa proses
di bawah ini:
– Lokalisasi: proses di mana film atau manajemen produksi film, misalnya,
masuk ke pasar China;
– Hibridisasi: terjadi sewaktu terjalin ruang dialog di mana film/manajemen
tersebut kemudian “membuka dir” terhadap nilai-nilai lokal yang berlaku
saat itu, atau sebaliknya, hal yang lokal menyesuaikan dengan hal baru;
– De-globalisasi: di sini terjadi proses dekulturasi, akulturasi, atau rekulturasi 15,
atau terjadi proses penghilangan, penambahan, transformasi atau redefinisi
atas semua elemen realitas budaya kedua pihak;
13 Tyler Cowen, Creative Destruction: How Globalization is Changing The World's Cultures, Princeton University
Press, 2004, halaman 130.
14 Michael Keane, Anthony Y. H. Fung, Albert Moran, New Television, Globalisation, and the East Asian Cultural
Imagination, Hong Kong University Press, 2007, halaman 82.
15 Wang, Georgette and Yeh, Emilie Yueh-yu , Globalization and Hybridization in Cultural Production: A Tale of Two
Films, Working Paper. David C. Lam Insitute for East-West Studies, 2005.
21
AMELIA DAY
– Nasionalisasi: tahap di mana budaya populer yang telah mendapatkan
reaksi positif pasar di China, dan produk yang sama ini kemudian siap dikirim
ke pasar yang lebih besar lagi.
Di dalam proses ini juga ditegaskan oleh Ulf Hannerz 16 bahwa budaya itu cair dan selalu
bergerak: “Transnational culture has been declared 'fluid and shapeless'...” sehingga realitas
budaya tak pernah berada di ruang hampa, yang tak bisa bernafas.
Diagram Proses Timbal-balik Globalisasi – Glokalisasi
©Anthony YH Fung (2008)
Dari kajian Fung ini serta dari apa yang kemudian terjadi pascaberlakunya Decree #44, China telah memanfaatkan situasi global untuk
pertumbuhan dan perkembangan industri M&E lokal.
By forcing international media companies to work through
indiv idual projects, Beijing hopes to give local companies the
chance to absorb the management and technology they need to
become globally competitive while keeping control firmly in
Chinese hands (Financial Times , 8 Desember 2006, halaman 9).
Di bagian selan jutnya, bagaimana proses-proses dalam realitas budaya
global hari in i berinteraksi dan memberikan tak hanya penolakan budaya
lokal, namun juga pemanfaatan untuk berbalik mempengaruhi situasi
global di satu waktu periode.
16 Ulf Hannerz, Transnational Connections: Culture, People, Places, Routledge, 31 Jul 1996, halaman 82.
22
23
AMELIA DAY
3
HOLLYWOOD, BOLLYWOOD, CHINAWOOD
Youtube sepuluh tahun lalu hanyalah tempat video amatir mampir. Pada
tahun 2006 Youtube dibeli Google, perusahaan raksasa di sektor jar ingan
Internet. Youtube menjadi satu mesin penggerak arus Internet, karena
Google bekerja dengan model bisnis iklan. Semakin banyak trafik ke
situsnya, semakin banyak produk akan mempertimbangkan uang iklannya.
Hari ini Youtube menjadi situs penyewaan produk audio visual, seperti
halnya Netflix , Hulu dan Amazon Prime. Film lama yang digemari seperti
Tint in dan Godfather hingga film terbaru Hollywood bisa dipesan mengalir
(streaming) melalui situs Youtube. 1 7 Kali ini Youtube tidak menempatkan
iklan di layanannya, karena model bisn is Youtube kali in i adalah
berlangganan/berbayar.
Pipa distribus i produk audio visual Hollywood hari in i sudah semakin
banyak. Sekarang tinggal bagaimana para raksasa produser seperti Warner
Bros. Studios, Universal Studios , dan Paramount Pictures membuat model
bisn is seperti era 1980-an. Di era itu, satu film layar lebar diproduksi tak
hanya untuk diputar di bioskop. Katup untuk film ini dibuka di tempat
lain, alias film yang sama kemudian dijual lagi dalam bentuk kepingan
DVD atau ke stasiun TV seperti SCTV atau ke saluran TV berlangganan
seperti HBO. Berbagai medium untuk film yang sama dalam periode
berbeda biasa disebut movie release windows, atau jendela tayang film.
Tiap jendela tidak dibuka bersamaan; misalnya, minggu in i di bioskop, lalu
dua bulan kemudian bentuk DVD diluncurkan. Sistem distribusi jendela in i
17 Michael Learmonth, YouTube Gets Paramount Films Such as 'Tintin' and 'The Godfather' in Rental Deal,
www.adage.com, 4 April 2012.
24
GLOCAL MEDIA
adalah cara untuk maksimisasi pemasukan hingga batas waktu tak
terbatas.
Untuk mengendalikan pasar permintaan audio-visual, pemilik hak cipta
menjual video dengan menciptakan “artificial scarcity” dalam industri M&E
1 8 ini dengan berbagai varias i persyaratan:
1. Geografi : produser Hollywood merilis film pertama di Amerika
Serikat baru ke negara lain;
2. Waktu: pertama kali diputar di bioskop, setelah sekian lama
baru masuk ke telev isi dan DVD, baru ke pesawat terbang dan
medium lain;
3. Format: jika konsumen ingin mendengarkan lagunya, ia harus
membeli CD terpisah dari DVD atau tak termasuk harga tiket
bioskop.
Kurva jendela untuk release window di masa jaya film layar lebar itu
biasanya berbentuk seperti in i 1 9 :
Bagan Penawaran-permintaan atas Produk Audio-visual
©Umair Haque 2007
18 William Patry, How to Fix Copyright, Oxford University Press, 8 Mar 2012, halaman 4.
19 Kutipan grafik ini dimuat di sini atas seizin Dr Umair Haque, Havas Lab.
25
AMELIA DAY
Dalam perhitungan seorang produser film layar lebar, seminggu pemutaran
masih merupakan patokan perhitungan apakah film tersebut merugi atau
menguntungkan. Jika di minggu pertama film tersebut meraup penonton
tinggi, di minggu selanjutnya dipast ikan film masih diputar di bioskop. Di
titik jumlah penonton hanya mencapai 20-30% dari kapasitas tempat
duduk bioskop, film itu harus turun dan digant ikan judul lain. Jika film
sudah tak diputar lagi di bioskop, film tersebut akhirnya masuk ke jendela
kedua: tayangan pesawat terbang 2 0 atau DVD.
MOVIE RELEASE WINDOWS
Tata Period e Distribusi Film Era 1980 - 1990-an
Bulan ke-1
Bulan ke-3 sampai 6
Bulan ke-6
Bulan ke-6 sampai 9
Bulan ke-6 sampai 12
Bulan ke-6 sampai 9
Bulan ke-9 sampai 18
Bulan ke-18
Bulan ke-18 sampai 36
Selanjutnya
Rilis bioskop
Rilis pesawat terbang
Rental Video/DVD
PPV (pay-per-view)
DVD/Laser
Sistem berbayar di hotel
Video (pita kaset)
TV berlangganan
Network TV (free to air)
Sindikasi (syndication)
Urutan window ini mulai bergeser seir ing dengan pertumbuhan pasar dan
perkembangan teknologi audio- visual satu dekade terakhir. Konsep
windows ini memang dirumuskan oleh industri film di Amerika Serikat
sejalan dengan ditemukannya teknologi perangkat pemutar dan pita home
video diproduks i secara massal pertengahan 1970-an. Produser film
memanfaatkannya untuk distr ibusi ke pasar penonton setelah film selesai
diputar di bioskop. Di akhir 1980-an, konsep windows ini menjadi sebuah
realita baru dalam industri audio visual global.
Setelah diputar di bioskop, satu judu l film masuk ke window layar pesawat
terbang di mana penumpang pesawat dapat menonton dengan sistem
berbayar per tontonan PPV (pay per view) atau sistem permintaan VOD
(video on demand) . Beberapa bulan kemudian, film baru bisa dijual
melalu i pita video seperti Betamax atau VHS, atau kemudian melalu i
keping video (DVD) di akhir 1990-an. Selan jutnya, di sekian bulan setelah
penjualan VHS atau DVD, film yang sama diputar di TV berlangganan
20 Untuk Indonesia, biasanya untuk pesawat terbang rute internasional.
26
GLOCAL MEDIA
(satelit atau kabel). Terakhir , film bisa masuk ke TV terestrial di luar
wilayah produksi film seperti Trans TV (Indonesia) atau Channel 4 (Inggris).
Tiga dekade silam, distribus i film atau siaran TV adalah melalui pita kaset
(Betamax, VHS, Umatic, Betacam) sebelum diganti dengan plast ik digital
(CD, VCD, DVD, Blu- Ray) memasuki era 1990-an. Produksi plastik CD dan
DVD terbesar di dunia, sekali lagi, ada di China. Hari ini, dengan kecepatan
transfer Internet yang kian membaik, penduduk dunia saling berbagi
informasi apapun, termasuk di antaranya adalah mengunggah dan
mengunduh film di jar ingan internet. Digitalisas i untuk produk audio visual
hari in i adalah pekerjaan mudah dan murah, jauh lebih murah daripada
membeli sekeping DVD bajakannya.
Hari in i film layar lebar bisa diputar secepatnya di televis i adalah setahun
setelah selesai diputar di bioskop. Pemasukan kotor (gross income) dari satu
judul film itu menanjak di minggu pertama, dan selan jutnya akan menurun
untuk window berikutnya, seperti yang dikaji Haque di atas.
Perhitungan release window hari in i sudah berubah, terutama untuk
medium lain (DVD dan televis i). Faktor utama perubahan in i adalah
perihal perkembangan teknologi: di saat kian banyak orang bisa
mengunggah film kesukaannya ke jaringan Internet, perhitungan periode
window ini mulai bergeser. Film "versi Internet” bisa diunggah di hari film
tersebut rilis. DVD “bajakan” bisa beredar seminggu kemudian. Periode
putar untuk streaming di situs Internet seperti Hulu, Netflix , Amazon Prime
dan iTunes mulai kian mendekati hari peluncuran di bioskop.
Alasan utama dari tahapan jendela in i adalah untuk maksimisas i
pemasukan atas film yang dibuat. “Hak intelektual = Kendali = Keuntungan
Monopoli” adalah rumus utama dari sektor M&E. Berbeda dengan produk
mie instan, yang diproduksi sekali untuk konsumsi sekali juga, film adalah
produk yang dibuat sekali untuk konsumsi berkali- kali di berbagai macam
media. Maksimisasi ini terjadi di tahapan eksibis i (berkali- kali) atas satu
produk video yang diproduksi sekali.
27
AMELIA DAY
Film sebagai produk (intangible product) berbeda dengan produk fisik
(tangible product) seperti mie instan atau rokok. Biaya produksi dan
distr ibusi mie instan adalah variabel. Faktor biaya rokok yang dominan
adalah promosi dan pemasaran, yang juga menjadi biaya variabel.
Sebungkus mie instan atau sepuntung rokok diproduksi sekali untuk
konsumsi sekali. Bungkus kedua berarti biaya produksi baru.
Dengan atau tanpa teknologi canggih, misaln ya, dalam sebuah film
blockbuster (film lar is) biaya terbesar masih di tahap produksi. Distribusi
dan pemasaran menempati urutan kedua. Dalam sektor M&E, hampir
seluruh biaya adalah biaya tetap (fixed costs) atau biaya yang hanya
dibayarkan sekali untuk beberapa kali produksi dengan variable costs
mendekati nol rupiah.
Biaya sebuah produksi film itu sebagian besar dipakai untuk menyewa atau
membeli sebuah kamera, selain juga untuk honor aktor atau sutradara
tenar. Semua biaya in i dibayarkan di awal, dan breakeven point bisa
diprediks i di seminggu pertama peluncuran film di bioskop. Lebih hebat
lagi, akuntan produksi film menetapkan biaya breakeven itu tiga kali dari
biaya produksinya. Di lain pihak, biaya di tahap distr ibusi/eks ibis i sebuah
film itu tetap ada namun mendekati nol. Sebelum milen ium baru,
mencetak pita film baru dan mendistribus ikan ke banyak negara adalah
biaya variabel, atau biaya yang timbu l setiap penambahan cetak film
selu loid.
Saat ini biaya distr ibusi ke bioskop digital di pasar internasional menjadi
sangat murah dibanding era cetak film. Digitalisas i kemudian membuat
biaya untuk melayani pelanggan kedua dan seterusnya mendekati nol
rupiah. Dengan teknologi digital, distr ibusi ke bioskop bisa dilakukan via
jar ingan internet ataupun kaset digital yang prosesnya tak semahal
mengir im gulungan pita film dalam kaleng dengan jasa kurir Fedex atau
DHL.
Selan jutnya, perhitungan breakeven sebuah film yang bisa diprediksi di
minggu pertama diputar di bioskop, adalah berarti melihat jumlah
penonton tertentu untuk menutupi seluruh biaya. Penonton berikut adalah
keuntungan ekstra. Biaya produksi kaleng tak ada lagi, namun film yang
sama tetap melalu i banyak window walau dalam kurun periode yang
lebih .
Konsep window, sekali lagi, adalah untuk maksimisasi pemasukan hingga
waktu tak terbatas. Untuk perhitungan pemasukan sejak masuk bioskop
hingga hari ini, angka tol terus bertambah walau kurva mulai menurun.
Ambil contoh ikon Hongkong yang sukses di Hollywood: Jackie Chan dalam
film bersekuel Rush Hour . Dengan biaya produksi tiap film sekitar $100-150
28
GLOCAL MEDIA
juta, Rush Hour menjadi film lar is di seluruh dunia. Pemasukan kotor tiga
film bersekuel in i (hanya di Amerika Serikat saja): 2 1
Rush Hour (rilis 1998)
USD 141,186,864
Rush Hour 2 (rilis 2001)
USD 226,164,286
Rush Hour 3 (rilis 2007)
USD 140,125,968
Film ini adalah salah satu kisah sukses Hollywood dengan bintang utama
warga negara Hong Kong yang tak fasih berbahasa Inggris. Film sukses
secara finansial biasa disebut dengan nama blockbuster movie. Istilah
blockbuster in i lahir di era 1940-an di saat acara panggung teatrikal
memenuhi block atau daerah tempat acara itu berlangsung. Film sukses ini
biasanya sudah dirancang sedemikian rupa di awal produksi, mulai dari
cerita yang menarik (good storytelling) hingga perkiraan biaya yang akan
dihabiskan untuk produksi hingga distribus i dan pemasarannya.
Perhitungan biaya ini juga termasuk prediks i potensi pemasukan di minggu
pertama film diputar hingga pemasukan dari pasar internasional dan pasar
terkait lain (telev isi, DVD dan streaming ).
Terkadang pula Hollywood bisa melihat peluang bisnis atas film sukses
dengan menciptakan lanjutan atas karakter dan judul film yang sama.
Sekuel atau lan jutan film in i bisa lebih sukses setinggi film pertama
(prekuel). Di bawah ini ada dua judul film Hollywood yang mengalami
turun naik international gross income dalam periode tertentu 2 2 :
Spy Kids
USD 147,934,180
Spy Kids 2: The Island of Lost Dreams
USD 119,723,358
Spy Kids 3-D: Game Over
USD 197,011,982
The Terminator
USD 78,371,200
Terminator 2: Judgment Day
USD 519,843,345
Terminator 3: Rise of the Machines
USD 433,371,112
Terminator Salvat ion
USD 371,353,001
21 http://www.boxofficemojo.com
22 http://www.newsview.org/2011/08/prequels-sequels-better-than-original.html
29
AMELIA DAY
Dalam sebuah produksi film, terutama yang dirancang untuk blockbuster ,
biaya untuk artis terkadang memakan porsi paling besar. Biaya produksi
film Warlords (karya Hengdian- Warner) sebesar USD 40 juta, yang sebagian
besarnya adalah biaya bintang film: Jet Li (USD 15 juta), Andy Lau USD 6
juta) dan Takeshi Kaneshiro (USD 2 juta). Film in i secara global meraup
gross income $ 170 juta 2 3 sejak dir ilis tahun 2007.
Warlords adalah contoh pengaruh positif Hollywood bagi perkembangan
industri M&E di China, khususnya yang terkait produksi film. Film ini
menjadi awal proyek co-production Hollywood dan Chinawood berbiaya
jutaan dolar. Kedua pihak memperhitungkan secara bisn is sejak awal
dengan menempatkan bintang terkenal China dan Jepang (Jet Li, Andy
Lau, Xu Jinglei, Takeshi Kaneshiro), penggarapan kolosal dan jalan cerita
epik menegangkan.
F I L M L AY A R L E B A R “ W A R L O R D S ” K A R Y A H E N G D I A N &
WARNER BROS. STUDIOS
Warlords dibuat dengan alur cerita patriotis me citarasa oriental. Pesan
budaya yang disampaikan dalam film in i terasa besar (pemain
banyak/kolosal) dan mendebarkan (konflik antar-tiga tokoh). Sukses
sebuah film berarti membuat penonton membicarakannya di luar bioskop.
Mengikuti jejak Hollywood yang kerap menempatkan bendera star and
stripes di gelas koktil di sebuah bar hingga tiang di depan rumah, Warlords
pun menempatkan pernak-pernik pahlawan kerajaan dinasti Qing (era
1860-an). Pesan patriot isme atau heroisme dsampaikan dengan konflik dan
detail adegan mencekam. Film tentang harga dir i dan persaudaraan
sesungguhnya menyajikan sejarah kebesaran dinasti China kepada dunia,
dan kali ini dalam gaya tutur Hollywood.
Untuk produk video unggulan, Hollywood sesungguhnya telah memiliki
resep turun-temurun yang terbukti mampu drive the traffic. Hollywood
23 JP Morgan Entertainment Group, Laporan Distributor Film Bina Film Ltd, 2011.
30
GLOCAL MEDIA
juga terbukti pernah menjadi mesin berpengaruh terhadap budaya populer
global. Satu contoh pakemnya adalah happy ending atau akhir cerita yang
menyenangkan bagi penonton . Happy ending in i bisa ditemukan di
berbagai genre cerita, apakah itu kisah drama cinta, atau drama perang.
Happy ending adalah salah satu resep sukses Hollywood. Mendaur-ulang
kisah sukses dengan berbagai latar-belakang dan aktor terkenal berarti
mengulang sukses di era baru. Misalnya, kisah Cinderella ada dalam film
Pretty Woman kemudian hadir Avatar . Film Pretty Woman ada di masa
kekinian di New York, Amerika Serikat, tentang pelacur yang jatuh cinta
pada pebisnis kaya ganteng. Avatar berada di masa depan di luar angkasa
entah di mana dengan sang putri raja alien yang jatuh cinta pada tentara
bumi yang cacat.
Cinderella adalah cerita rakyat Perancis yang ditu lis oleh Charles Perrault
dalam Histoires ou contes du temps passé atau Stories or Fairy Tales from
Past Times with Morals (1697). Karya-karya yang telah diproduksi lama
telah menjadi public domain atau milik masyarakat. Konsep public domain
ini dirumuskan dalam peraturan global tentang hak milik intelektual, atau
intellectual property rights (IPR) , yang dinaungi badan hukum
internasional, WIPO (World Intellectual Property Rights Organization).
Konsep hak intelektual in i lahir dari produk “buku”. Awalnya adalah buku
itu hanya ditu lis dan digandakan di gereja, dan hak intelektual atas ilmu
pengetahuan itu hanya dimiliki segelint ir orang. Setelah mesin cetak
Gutenberg dijual bebas dan sebelum konsep hak milik intelektual
(intellectual property rights/IPR) dirumuskan negara, semua orang bisa
menggandakan buku. Penulis buku tak mendapatkan apa-apa. Setelah
Statute of [Queen] Anne (1770) di Inggris, kemudian Berne Convention
(1886) di Jerman, dilan jutkan ke beberapa pertemuan tingkat dunia,
konsepsi royalt i 10-20% dari harga bandrol buku pun terbentuk.
Skema royalt i yang sama juga berlaku saat film masuk ke bioskop. Sekian
persen dari harga tiket yang terjual di satu periode kemudian dibayarkan
ke produser. Pemerintah negara barat mengin isiasi konsep royalt i ini.
Konsep in i pun berevolusi secara global. Amerika Serikat, Inggris dan
beberapa negara barat lainnya bahkan menjadikannya sebagai salah satu
persyaratan perdagangan internasional bagi seluruh negara yang
meratifikasi kegiatan WTO (World Trade Organization) , badan di bawah
PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) atau induk dari WIPO.
Perjan jian in i diber i judu l TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights) , yang memang dikaitkan dengan perdagangan segala
sektor. China, mau tak mau, harus menandatangani TRIPS karena tak ingin
produk fisik (tangible) yang hendak diekspor ke negara barat dijegal.
31
AMELIA DAY
TRIPS akhirnya seakan menjembatani “perdagangan China ke berbagai
negara” dengan “pemberantasan pembajakan”. Yang sesungguhnya terjadi
adalah perkembangan teknologi distribusi dan eksibisi produk audio-visual
di segala penjuru dunia.
Dahulu produk audio visual yang tadinya hanya bisa ditonton di bioskop,
lebih dari tiga dekade silam, penggandaan massal terjadi dengan bantuan
U-Matic, Betamax, dan VHS. Kualitas hasil penggandaannya masih di
bawah standar film selu loid. Asia adalah pasar terbesar dari keping video
(DVD) bajakan (baca: tanpa seizin produsernya). Di saat teknologi digital
mulai dikenal luas, kualitas generasi kedua dan seterusnya dari sebuah film
layar lebar akan tetap prima.
Dengan fakta termutakhir in i, produser Hollywood berpikir ulang tentang
movie release windows untuk maksimisasi keuntungannya. Bagaimana
mereka bisa mendapatkan keuntungan di pasar China yang lemah dalam
menegakkan hukum atas pelanggaran hukum internasional terkait IPR in i.
Di China, distribus i film asing via DVD tak ada yang legal. China adalah
produsen plastik kepingan DVD kosong yang juga dipasok ke banyak
negara seperti ke Indonesia.
Memperpendek jarak antar-pipa distribus i in i terjadi saat pembajakan
video via DVD di China tak bisa ditekan. Produser Hollywood melalu i
entitas kerjasama Hengdian-Warner mengeluarkan DVD asli setelah
seminggu film diputar di bioskop. V ersi bajakan biasanya juga keluar di
minggu pertama dengan kualitas video/audio yang masih buruk. Pecinta
film tersebut akan memilih memiliki video asli dan kualitas bagus walau
harganya sedikit lebih mahal. Terkadang malah DVD asli memuat beberapa
goodies seperti potongan film yang terbuang atau adegan behind the
scenes. Dengan menyesuaikan periode window, produser Hollywood
memberikan ruang sempit bagi DVD ilegal (tanpa izin produser).
Sejalan dengan waktu, produser sektor M&E yang pernah besar di abad
silam akhirnya harus "berdamai" hari ini dengan arus baru: gerakan video
sharing global via Internet. Jejar ing Internet membuat jarak antara film
bioskop dan TV/komputer pribadi/telepon genggam semakin tipis. Sharing
adalah kegiatan utama dari media sosial seperti Youtube dan Facebook.
Jika dahulu hanya terbatas via email attachment antar-kawan, kini
siapapun yang mempunyai koneksi ke internet bisa menonton film atau
tayangan TV terbaru via situs media sosial. Dua hal ini (digitalis asi dan
Internet) akhirnya "memudahkan" proses penggandaan secara amatir, yang
kemudian dikenal oleh produser film dengan istilah: pembajakan.
Di luar sektor M&E, sektor jar ingan Internet dan sektor telekomunikas i
hanya memiliki kantor perwakilan penjualan perangkat yang tentunya
32
GLOCAL MEDIA
diatur ketat oleh pemerintah China. Sementara itu, perusahaan lokal
(swasta) untuk streaming mendistribus ikan film lokal dan beberapa judu l
film asing sudah ada, di antaranya adalah www.youku.com (semacam
entitas lokal dari Youtube). Youku juga mendistribus ikan film animasi
sukses karya Dreamworks Animation (Stephen Spielberg) seperti Kung Fu
Panda . Youku adalah situs video hosting seperti Youtube, yang juga
memberikan jasa streaming on-demand, khususnya untuk distribusi film
yang diproduks i oleh studio besar seperti Dreamworks Animat ion in i.
Selain dengan streaming, ada ratusan operator telev isi kabel di China yang
juga menyalurkan sinyal audio- visual tanpa seizin studio Hollywood.
Mereka berada di “area abu-abu”: antara diketahu i oleh pemerintah pusat
sebagai pelanggar hak intelektual serta dilindungi keberadaannya oleh
pemerintah daerah. Operator kabel lokal ini mendistribus ikan saluran
seperti HBO dan ESPN tanpa izin apalagi kontrak legal. Operator kabel ini
murni berangkat dari usaha swasta lokal. Selain itu, pemerintah pusat
China pun tak memberikan subsidi atau menyertakan sahamnya,
mengingat memang pihak asing tak boleh memiliki saham langsung ke
media massa lokal.
Di beberapa daerah yang telah memiliki infrastruktur kabel serat optik
seperti Shenzhen, Shanghai , Dalian , Qingdao, Suzhou, Nanjin g, dan
Guangdong bahkan telah memberikan layanan yang lengkap seperti: akses
Internet berkecepatan tinggi, video on demand, audio on demand, online
shopping, video telephony/v ideo conferencing. 2 4
Selain “pembajakan sinyal” yang tak seakan kunjung selesai ditangani
pemerintah pusat, berbagai gugatan terhadap pembajakan paten
perangkat teknologi juga terjadi. Yang termutakhir adalah gugatan Apple
Inc. dari Amerika Serikat terhadap Samsung, Korea Selatan. Samsung
adalah salah satu sub-kontraktor untuk salah satu komponen telepon
genggam iPhone, produk Apple. Samsung memiliki pabrik komponen in i di
China. Sehari setelah Apple meluncurkan produk terbarunya, tablet iPad,
keluar produk yang mirip bermerek iPed.
Perangkat elektronik canggih yang dibuat oleh Apple, Samsung atau Sony
juga dikonsums i dalam jumlah besar di China. Perangkat yang ada hari in i
memungkinkan quadruple play , atau konvergensi empat isi dan fitur yang
dahulu terpisah: teks (koran), audio (radio) , audio visual (televis i) , dan
bergerak (telepon genggam). Dengan perangkat canggih ini, setiap orang
bisa menonton video yang diunggah ke jar ingan Internet, kapan saja di
mana saja.
24 http://www.baidu.com, situs ensiklopedia lokal seperti Wikipedia
33
AMELIA DAY
"Pembajakan" atau penggandaan secara massal terjadi nyaris di seluruh
dunia. Laporan terakhir CASBAA, sebuah asosias i industri penyiaran dan
satelit se-Asia Pasifik, Regulating for Growth 2011, menempatkan India dan
China di nomor paling buncit dalam hal, salah satunya, penegakan hukum
terkait hak intelektual. India hanya mendapat 42% dan China mendapat
38%, sedangkan Indonesia (60%) berada lima tingkat di atas India.
Apa yang terjadi di China terhadap hak milik intele ktual untuk produk
audio-visual juga terjadi di China. Beberapa situs seperti tamilwire.com,
moviemobile.net, bharatmovies.com, tamilthunder.com. bwtorrents.com,
desitorrents.com,
tamiltorrents.com,
doregama.in,
dctorrent.com,
hindilinks4u.net, dan beberapa lainnya menyalurkan film Hollywood yang
telah disulih- suara atau diber i teks bahasa lokal. Sekitar 25 juta
unduhan/unggahan terjadi di India selama 2011.
Industri film di India mengalami kemajuan pesat, dengan tingkat
pertumbuhan 15% per tahun, semenara Amerika Serikat hanya 5,6%. Di
tahun 2004-2009 India memang masih menyumbang 0,7% dari total
pemasukan sektor M&E global, sementara Amerika Serikat menyumbang
42% dari total pemasukan global itu. Porsi Amerika Serikat menurun pasca2009 karena hanya menyumbang 38%.
Secara mikro, di tahun 2005 biaya sebuah film 2 5 Bollywood adalah USD 1,5
juta (produksi) dan USD 500 ribu (pemasaran/promosi), bandingkan
dengan film Hollywood USD 47,7 juta (produksi) dan USD 27,3 juta
(pemasaran/promos i). Film hanya salah satu bagian dari sektor M&E yang
menggiurkan. Sekali lagi, sebagai content , film layar lebar diproduks i
sekali untuk konsumsi berkali- kali. Dengan dominasi film Amerika Serikat
dan pertumbuhan film global, makin banyak pemain lokal tumbuh di
sektor in i di India, mulai dari proses produksi hingga eksibisi.
Khusus untuk pipa bioskop, porsi pemasukan film India untuk sektor M&E
in i adalah 70%, sementara film produksi Hollywood adalah 35% (sisanya
dari DVD hingga telev isi). India dan banyak negara lain adalah pasar
tujuan film Hollywood. Sistem movie release windows belum diterapkan
oleh pemain industri lokal.
Untuk tahap produksi hingga eksibisi, ada pemain lokal yang cukup
mendunia, Reliance Anil Dhirubhai Ambani (ADA) Group. Di tahun 2008
Reliance membeli 50% saham Dreamworks Studios milik Steven Spielberg,
sutradara dan produser yang kerap mendapatkan penghargaan bergengsi,
Oscars.
25 Arpita Mukherjee, Paramita Deb Gupta, Prerna Ahuja, Indo-U.S. FTA: Prospects for Audiovisual Services, Indian
Council for Research on International Economic Relations, Workking Paper 192, 2007.
34
GLOCAL MEDIA
Dari semua pertumbuhan positif in i, terjadi pula "signal theft" yang biasa
dilakukan oleh operator telev isi kabel lokal. Dari 28 negara bagian dan 7
daerah serikat (union territory) , ratusan operator TV kabel masih masuk
dalam pengaturan telekomunikas i, bukan penyiaran. Seperti pemerintah
pusat dan daerah di China, kekacauan pengaturan antara pemerintah
pusat dan negara bagian di India in ilah yang membuat maraknya operatot
TV kabel di daerah tanpa seizin dari penyedia saluran seperti HBO atau
ESPN.
Modus operator TV kabel lokal ini adalah menyewa dekoder seperti
pelanggan berbayar lainnya ke operator besar (pusat) kemudian
mendistribusikan kembali ke pelanggan lokal. Ada pemain lokal ini yang
tidak melaporkan pemain pusat, ada juga yang melapor atau menjadi
bagian resmi pemain pusat. Yang melapor in i biasanya tidak memberikan
jumlah pelanggan sesungguhnya, sehingga pembayaran ke pusat kecil.
Sebagai contoh atas perhitungan in i adalah:
1. Pemain pusat membayar sepaket saluran TV ke penyedia
channel (channel provider) seperti Star TV, ESPN atau HBO. Nilai
paket in i dihitung, misalnya, USD 1 per pelanggan per bulan. Jadi
pemain pusat harus membayar ke saluran berbayar itu senilai
USD 1 X 3 juta pelanggan X 1 bulan = USD 2 juta / bulan.
2. Pemain lokal yang menjadi bagian (re-distributor) dari pemain
pusat harus membayar per bulan dengan perhitungan sama di
atas, atau dihitung dari besarnya uang pelanggan di daerah.
Misalnya di daerah masyarakat hanya bisa berlangganan senilai
USD 2.5 per bulan. Dengan negosias i, biasanya pemain lokal
harus membayar pemain pusat sekitar 10-25% dari uang
berlangganan tersebut, atau USD 0.25-0.75 per bulan dikalikan
jumlah pelanggan (misalnya 100 ribu). Untuk itu pemain lokal
harus membayar USD 25 ribu - USD 75 ribu per bulan ke pemain
pusat.
Selama beberapa dekade Amerika Serikat memasukkan China dan India di
urutan awal daftar priority watch list seluruh dunia atas pembajakan
sektor M&E. Diperhitungkan bahwa potensi kehilangan pemasukan industri
Hollywood adalah USD 48,2 milyar untuk tahap penjua lan, royalt i, dan
biaya lisens i hanya di tahun 2009, mulai dari buku, piranti lunak, hingga
film dan siaran TV 2 6 . Nilai produk intelektual ilegal (tanpa izin
produsernya) khusus untuk kawasan China merupakan yang terbesar di
dunia, nyaris dua per tiga barang palsu/bajakan dunia.
26 ibid, halaman 33.
35
AMELIA DAY
Penggandaan ilegal produk video in i terjadi sesungguhnya adalah masalah
penawaran-permintaan. Ada 3 (tiga) alasan kecilnya penawaran produk
video di negeri in i:
1. Terbatasnya ruang bioskop untuk populas i penduduk pertama
terbesar di dunia.
2. Ketatnya pengaturan is i, terbukti dengan adanya sensor sebelum
produksi hingga setelah selesai produksi.
3. Terbatasnya kuota film asing yang terbukti menjadi pemasukan
tertinggi (sampai 80% total pemasukan kotor bioskop) selama era
1990-an.
Tingginya permintaan akan produk video seantero India dan China
memberikan peluang bagi pemasok ilegal, baik dalam bentuk keping DVD
ataupun sinyal satelit HBO atau ESPN.
Dari sis i produksi film lokal, India masih termasuk yang cukup produktif.
India, salah satu dari segelintir peradaban kuno yang masih bertahan
hingga hari ini, memiliki ratusan dialek bahasa dan suku bangsa, dengan
tiga yang utama: Hindi, Tamil dan Telugu. Ketiga bahasa ini pula yang
mendominas i film nasional mereka . Di awal milenum ini, hanya ada 150
hingga 200 judu l film diproduks i di India, tapi disulih- suarakan ke dalam
20 bahasa lokal. Sejumlah 800 hingga 1000 judul diproduksi di India tentu
mengalahkan kemampuan Hollywood. 2 7 Untuk itu, di India juga dikenal
Bollywood, berasal dari kata Bombay (sekarang Mumbai) sebagai tempat
produksi utama film berdialek Hindi atau Hinglish (sesekali diselipi Bahasa
Inggris/English).
Bollywood juga telah mempekerjakan 6 juta rakyat India (2003) dan
menempatkan film sebagai industri terbesar ke-7 di negara in i. Tiket
bioskop yang terjual di tahun 2003 sejumlah 3,6 milyar dan masih lebih
tinggi dari penjualan tiket bioskop di Amerika Serikat (2.6 milyar).
Penjualan tiket film Hollywood di India juga tak terlalu tinggi. Alasannya:
film Hollywood tidak terlalu menarik bagi rakyat India. Tidak menarik
ditonton masyarakat lokal karena ada perbedaan budaya, ras dan sudut
pandang plot cerita yang digemari. Selain itu, sensor pemerintah India tak
seketat pemerintah China, bahkan tak ada kebijakan mewajibkan film
Hollywood disu lih- suarakan ke dalam bahasa lokal. Untuk beberapa tahun
kebijakan ini dibaca Hollywood sebagai “efisiensi” tahap distribusi, sehingga
melupakan potensi penonton lokal.
27 Tejaswini Ganti, Bollywood: a guidebook to popular Hindi cinema, Routledge, 2004, halaman 3.
36
GLOCAL MEDIA
Secara tak langsung pula Bollywood telah memberi sentuhan khusus pada
industri audio visual Amerika Serikat di dua dekade terakhir, baik di film
layar lebar ataupun di serial telev isi. Aktris Bollywood (Hollywood-nya
India), Aishwarya Rai bahkan didau lat majalah Time (2003) sebagai “The
New Face of Film”. Pergeseran ini kian terasa saat Slumdog Millionaire
meraih Piala Oscar sebagai film terbaik 2009. Film ini disutradarai Danny
Boyle (Inggris) dengan asisten sutrada wanita berkebangsaan India,
Loveleen Tandan. Film yang juga diproduksi di India in i sesungguhnya
diambil dari kisah yang ditu lis pengarang India, Vikas Swarup.
Hollywood
dan Bollywood sama-sama “dream factory”. Produser
Hollywood telah membangun Universal Studios dan Disney Them Park di
berbagai penjuru dunia untuk memudahkan proses produksi indoor .
Bollywood juga memiliki Film City yang dibangun Reliance MediaWorks
Studios. Melalui Hengdian, China pun telah memiliki replika Kota Terlarang
(Forbidden City) yang lengkap dengan istana di lahan luas dengan siluet
pegunungan sebagai latar belakangnya. Semua studio alam in i telah
dilengkapi infrastruktur produksi audio-visual termutakhir.
Pemerintah China pun merancang pusat-pusat M&E yang terpadu. Pascakebijakan ekonomi terbuka, China membuat rencana jangka panjang
sebagai "well- off society" (Xaiokang Shehui). 28 Salah satu sektor industri
yang digerakkan adalah “creative industries” yang sering disebut “content
industries”. Beijing menjadi capital complex untuk berbagai kegiatan
kreatif nasional. 29 Rancangan kota Beijin g sebagai pusat kreativitas
dibangun dengan ambis ius menggunakan anggaran pemerintah pusat dan
daerah. Salah satu klaster utamanya, The CRD (Capital Recreation District)
akan menjadi pusat hiburan dan animasi digital, lengkap dengan pusat
pendidikan dan pelat ihan serta ruang konferensi, pameran dan kantor.
CRD dibangun atas anggara 11 tahun dan dibiayai hanya dari anggaran
pemerintah daerah. 30
Infrastruktur produksi in i memudahkan siapapun yang bergerak di bisnis ini
untuk bisa memproduksi lebih banyak lagi. Visi produser film di Hollywood
ditangkap oleh segelintir pengusaha di India dan China, yang kemudian
ngetop dengan istilah Bollywood (daerah produksi film di Mumbai) dan
Chinawood (istilah untuk replika Kota Terlarang, yang berada 36 km dari
ibukota negara, Beijin g). Sepanjang tahun 1996 hingga 2005, di dalam
28 Lu, X. Y., China's Xiaokang Society in the Year 2000, Nanchang, Jiangxi People's Publishers, 1991.
29 Lily Kong, Justin O'Connor, Creative Economies, Creative Cities: Asian-European Perspectives, Springer, 27 Mei
2009.
30 Ibid, halaman 87.
37
AMELIA DAY
Hengdian Film & TV City telah diproduksi 275 judu l film dan seri telev isi.
Selain untuk memproduksi film layar lebar dan tayangan TV, Hengdian
Film & TV City di Provins i Zhejiang menjadi atraksi wisatawan dalam dan
luar negeri. Sepanjang 2004 saja Hengdian telah menjadi atraksi untuk
sejumlah 2,5 juta wisatawan dalam dan luar negeri.
Dengan infrastruktur yang baik dan sumber daya yang cukup banyak di
India atau China, industri M&E bisa dikembangkan lebih baik lagi.
Kreativ itas produksi film sesungguhnya dimulai pula dari cerita yang
menarik. Kedua negara ini memiliki ribuan manuskrip dongeng masa
lampau , yang bisa dipoles dengan sentuhan Hollywood. Warlords adalah
salah satu contoh kisah pahlawan China kuno yang mendapat sentuhan
artistik dan bisn is Hollywood. Untuk sektor M&E di China, baik pemerintah
ataupun pemain lokal seakan mencari obat kuat (remedies) ke Hollywood
untuk membangun industri lokal mereka. Hal ini juga ditegaskan oleh Ying
Zhu, pakar film China yang tinggal di New York, Amerika Serikat:
Competing with imported blockbusters for market share, many
Chinese filmmakers turned to Hollywood for possible remedies.
Hollywood's institutional structure and popular narrative formula
have since been taken up as models for filmmakin g and marketing.
The Chinese film industry has been going through a series of
institutional restructurings to cope with the demands of market
economy, the rise of alternative entertainment options, and the
popularity of Hollywood blockbuster films. The upshot has been the
commercialization and decentralizat ion of a formerly statesubsidized film industry and the transformation to a populist film
culture from an elitist one ascendant in the late 1970s. 3 1
Singkatnya,
Hollywood
adalah
“dream
factory”
yang
mampu
menerjemahkan teks cerita lebih cerita audio- visual yang menarik. Atas
plot cerita Cinderella, Hollywood menambahkan dramaturgi yang
mendebarkan, menyebalkan, menyedihkan, dan berbagai perasaan
manusiawi lainnya. Secara teorit is sebuah cerita (plot linier) itu diawali
dari penjelasan awal, kemudian terjadi beberapa konflik hingga mencapai
klimaks. Emos i penonton mulai turun menjelang akhir cerita.
Atas beberapa film blockbuster, produser Hollywood memilih plot cerita
sederhana: plot tunggal dan lin ier. Sebuah plot memiliki spine atau tulang
punggung yang sama. Dramatisasi terjadi saat karakter di dalam plot
cerita itu saling “bertabrakan” di sebuah tempat dan waktu tertentu
(setting). Selain satu plot, sebuah cerita bisa juga memiliki banyak plot
31 Ying Zhu, Chinese Cinema During the Era of Reform: The Ingenuity of the System, Greenwood Publishing Group,
2003.
38
GLOCAL MEDIA
(multiplot) tanpa menghiraukan urutan waktu. Bayangkan kartun
Cinderella yang hanya memiliki di satu plot linier. Bandingkan kartun ini
dengan film karya Quentin Tarantino Pulp Fiction. Yang terakhir ini adalah
contoh film dengan multiplot.
Bagan Plot Cerita Fiksi/Drama
Kisah plot lin ier Cinderella atau Si Upik Abu memiliki akhir cerita yang
berakhir bahagia: sang putri cantik tapi dekil akhirnya hidup bahagia
dengan pangeran kaya raya. Happily ever after. Ada kalanya
penggarapannya bisa dibuat canggih dengan komputer, bisa juga cuma
dialog tear-jerking atau membuat tangis penonton saat melihat Si Upik
bertemu pangerannya.
Cinta terlarang (antara dua kasta berbeda) juga bisa dihadirkan dalam
versi ultra-modern. Perhatikan karya James Cameron dengan sentuhan
teknologi termutakhir motion capture. Adalah film “Avatar” yang
diproduksi sedikit berbeda dengan kecanggihan komputer kartun Disney,
“Cinderella”. Teknologi yang dipakai Cameron adalah piranti lunak
produksi Twin Pixels, yang mungkin berarti dua titik serupa di tempat
bebeda, satu di badan manusia dan yang lainnya di layar komputer. Di lain
waktu, ada juga film Pretty Woman yang hanya perlu aktris sekaliber Julia
Roberts untuk menghayati peran Cinderella in i.
Kisah cinta sejati, cinta segit iga, cita segi banyak atau cinta terlarang
adalah racikan utama film Hollywood dan banyak tayangan TV dunia.
Perburuan atas sesuatu, kisah perjalanan dan pertarungan kekuasaan juga
menjadi resep khas film laga dan fantasi di layar lebar.
39
AMELIA DAY
Selain pakem cerita, Hollywood juga pusat perkembangan teknologi audiovisual serta pusat pendidikan tenaga kreatif. Standar kualitas mulai dari
gambar dan suara hingga gerakan dan trik kamera menjadikan film
produksi Hollywood sebagai hiburan penuh kenikmatan bagi panca-indera
mata dan telinga.
Tabel Dramaturgi
Characters
Plot
Settings
Protagonist
Single/linear
Past, Present Future
Antagonist
Sub-plot(s)
Jakarta, New York, etc.
Many cameos, or not
Multi-plot
Technology heavy, or not
Hollywood juga memiliki pakem bisn is (distribus i dan pemasaran) untuk
menjangkau pasar global. Film sebagai content, sekali lagi, diputar di
banyak media (pipe) . Untuk produksi Holllywood, biasanya film
didistr ibusikan di dalam negeri terlebih dahulu , dimu lai dari kota besar di
minggu pertama. Jika sukses, distr ibusi dilan jutkan ke kota kecil lain secara
agresif.
Beberapa minggu sebelum diputar di bioskop se-Amerika Serikat, distr ibusi
didahulu i pemasaran, biasanya dengan promo trailer lalu beberapa video
fitur dan behind the scenes . Setelah beberapa minggu , film tersebut baru
didistr ibusikan ke luar negeri. Untuk selan jutnya, setelah bioskop,
berlakulah periode sesuai movie release windows .
Cara bertutur dan berbisnis Hollywood in i terlihat sekali dalam produksi
film China sepuluh tahun terakhir. India belum menempatkan pemain lokal
mereka sebagai potensi mitra Hollywood secara finansial. Baru ada
Reliance ADA Group yang mampu menggandeng Dreamworks, namun tak
ada campur tangan pemerintah India dalam kepemilikan entitas Hollywood
in i.
Dengan mendir ikan China Media Capital yang profit-oriented , pemerintah
China tetap mengawal is i film tersebut melalui manajemen perusahaan.
Selain mengunci is i film dari aturan is i film melalu i prosedur birokras i yang
telah ada, pemerintah China juga mengetahui kegiatan perusahaan
tersebut secara langsung.
40
GLOCAL MEDIA
Entintas CMC adalah bentukan pemerintah China untuk kerjasama dengan
News Corporations, raksasa media global dari hulu (20 t h Fox Studios) ke
hilir (jaringan Star TV dan Phoenix Channel di Hong Kong, hingga Fox News
di Amerika Serikat dan operator TV satelit berbayar BSkyB di Inggris).
News Corp. adalah entitas konglomerat M&E Amerika Serikat yang dimotor i
Rupert Murdoch, kelahiran Australia yang disebut media di Inggris sebagai
salah satu dari “Lords of Global. 3 2
Lahir di Australia, besar di Amerika Serikat dan Eropa, Rupert Murdoch
kemudian membangun kerajaan media di Hong Kong di bawah bendera
“Star TV”, News Corp pun berulang kali berupaya masuk ke pasar China
daratan. Untuk itu, News Corp. membentuk entitas Fortune Star Media
(FSM) Limited. Selan jutnya, FSM membentuk perusahaan Star China Media
(SCM), bekerjasama dengan milik pemerintah China: China Media Capital
(CMC).
Bagan kepem ilikan badan usaha pemerintah China dan
raksasa media global, News Corporation
32 Michael Curtin, Playing to The World's Biggest Audience:the Globalization of Chinese Film and TV, University of
California Press, 2007, halaman 193.
41
AMELIA DAY
Banyak produksi film lokal (content) yang hak intelektualnya diakuisisi/dipegang oleh FSM
yang kemudian didistribusikan melalui pipa televisi ataupun jaringan anak perusahaan
SCM seperti Xing Kong Chuan Mei Group Co. Ltd. Xing Kong (pemilik saluran Phoenix
berbahasa China dalam berbagai dialek) dan Star TV (pemilik puluhan genre saluran
berbayar via satelit). CMC terbentuk seakan menjadi respons pemerintah China atas
gerakan korporasi News Corp. di Hong Kong.
Dari strategi kerjasama seperti CMC in i, ada tiga hal yang perlu dikaji:
1. Entitas lokal terlin dungi dan bisa bermain di arena global,
2. Pihak asing (manajemen perusahaan) bisa “disetir” dari dalam
pemerintah,
oleh
3.Di dalan negeri pun semua pemain asing dan lokal terkena peraturan
pemerintah.
Ris iko ancaman menurut Cowen (diversity across cultures) dalam entitas
CMC jelas telah ditekan oleh pemerintah China. Yang terjadi adalah
asimilas i “materi” (kemampuan manajemen produksi Hollywood) selain
“nilai” (produktivitas bangsa China). China tak hanya melakukan
kebijakan protektif dan insentif terhadap pemain lokal, tetapi juga ofensif
ke pasar global.
News Corporation yang ingin masuk ke pasar China harus menerima
persyaratan yang dibuat pemerintah China: 51% saham harus milik lokal.
Untuk itu pemerintah tetap memiliki kendali internal perusahaan selain
mengatur isi film atau tayangan TV yang diproduksi/didis tribus i anak
perusahaan Star China Media (SCM), anak perusahaan CMC. Pemerintah
China mengatur mulai dari tahap produksi dan distribusi (peraturan
pemerintah) hingga mengendalikan gerakan korporat di tahap distribusi
hingga eksibis i melalu i hak veto sebagai pemilik mayoritas perusahaan
kerjasama tersebut. Membuka keran investasi tanpa melepaskan kendali
atas isi dan katup pipanya, inilah yang dimaksud sebagai deception,
strategi Sun Tzu berabad silam untuk menguasai pasar global.
Bentuk kerjasama dengan entitas asing ini menjadi satu cara pemerintah
China memproteksi pemain lokal dan masyarakat penontonnya. Cara-cara
korporat global membangun jaringannya seluruh dunia dipelajar i dan
“dihadang” secara strategis oleh pemerintah China. Di bagian selanjutnya,
akan dibahas bagaimana kepemilikan media global bekerja dalam satu
ekosistem M&E, sebuah sistem di mana pemerintah China turut menari. Kali
in i China membawa genderang sendiri.
42
GLOCAL MEDIA
43
4
EKOSISTEM MEDIA GLOBAL VERSUS CHINA
Hollywood hari in i memiliki 6 (enam) studio besar yang produktif membuat
film: Warner Bros., Paramount Pictures, Walt Disney, Columbia Pictures,
Universal Studios, dan 20 t h Century Fox. Selain itu ada beberapa yang
“sedang” seperti MGM dan Lions Gate Entertainment dan banyak produser
independen lainnya.
Sebagai produser film layar lebar dan program TV, beberapa studio
produksi (content) in i terkait erat dengan media massa (pipe) , contohnya:
1. Warner Bros. Studios adalah bagian dari TimeWarner,
perusahaan media besar yang memiliki jaringan saluran TV
seperti CNN dan HBO.
2. Paramount Pictures menjadi satu bagian Viacom, konglomerat
media pemilik MTV (saluran telev isi berbayar). Viacom memiliki
keterkaitan erat dengan CBS (saluran telev isi terestrial):
keduanya memiliki induk perusahaan yang sama: National
Amusements.
3. Universal Studios dimiliki NBCUniversal, yang juga memiliki
jaringan TV terestrial NBC.
Satu contoh yang telah disinggung sejak awal pembahasan: Warner Bros.
Studios , adalah entitas yang lahir hampir satu dekade silam. Warner mulai
berevolusi dari perusahaan bioskop one-off menjadi media cash-flow.
Tunstall & Palmer (2008) membedakan media one-off dan cash-flow . Media
yang cuma sekali putar itu seperti bioskop, dan yang terus-menerus
mendapatkan pemasukan uang adalah telev isi dan DVD. Warner
sesungguhnya memiliki sejarah panjang di dunia perfilman. Lahir dari
44
GLOCAL MEDIA
tangan empat Warner bersaudara (Harry, Albert, Sam, dan Jack Warner) di
awal abad ke-20, Warner hanya bergerak di bidang eksibisi (bioskop).
Warner kemudian mendirikan anak perusahaan khusus mengurus distribus i
filmnya ke negara bagian lain di Amerika Serikat. Di dekade selan jutnya,
usaha produksi Warner baru dimulai.
Warner kemudian berkembang menjadi entitas usaha yang mengelola
seluruh tahapan (produksi, distribus i dan eksibis i). Di awal 1980-an, saat
satelit lintas-negara mulai dikenal luas, Warner tak hanya fokus di industri
film layar lebar. Ia pun mengakuis isi media lain seperti radio dan TV.
“Pipa” eksibis i (audio visual) selain bioskop adalah TV dan DVD, tentu
untuk menyalurkan content atau produksi film yang sama. Bergabung
dengan Time Inc. yang memiliki banyak media massa (pipa), Warner (isi)
kemudian menjelma kekuatan yang terintegrasi dari hulu ke hilir .
Seabad lalu, media (media) berada di satu titik berbeda dengan hiburan
(entertainment). Sektor in i dibaca: M&E. Berada di kotak berbeda dengan
M&E, sektor telekomunikas i (telecommunications) dan sektor komputer
(computer) lahir sebagai bagian dari industri elektronik (baca: perangkat
keras). Hari in i ketiga sektor in i berdiri di satu titik bersinggungan. Pasar
konvergensi ini menjual produk nonfis ik (intangible) seperti JPG, TXT, AUVI,
MP3 dan banyak istilah jar ingan Internet lainnya. Semua itu adalah
content atau isi yang mengalir di tiga pipa infrastruktur: media,
telekomunikas i, komputer (jaringan Internet), dan pipa gabungan antara
ketiganya.
Integrasi secara vertika l berarti saat Warner Bros. menjelma menjadi
Warner Bros. Entertainment, yang memiliki beberapa divisi di antaranya:
Pictures (produksi), Warner Distribution (distribus i), dan Television & Home
Entertainment (eksibisi). Secara horizontal , untuk produksi misalnya,
Warner Bros. Pictures mengelola New Line Cinema, Telepictures
Productions, dan Wor ldwide Physical Production.
Warner Bros.
Entertainment sendiri hanya satu bagian dari Time Warner selain Time Inc.
(cetak), Home Box Office (saluran TV berbayar seperti HBO Latino dan
usaha produksinya) serta Turner Broadcasting System (operator TV
terestrial dan saluran TV berbayar seperti CNN dan Cartoon Network).
Warner Communications dan Time Inc. melakukan merger dengan nama
baru "TimeWarner" yang secara vertikal memiliki beragam pipa global
(TV, distribus i film tradisional dan digital/internet). Di saat Warner memiliki
divis i khusus pembiayaan film (film financing) , yang berusaha seperti
entitas perbankan, Warner adalah konglomerat (berbisnis di banyak
sektor). Konglomerat memiliki banyak usaha yang tak terkait secara
vertikal ataupun horizontal dengan usaha awal.
45
AMELIA DAY
Bagan integrasi vertikal, horizontal, dan konglomerasi
Bagan sederhana di atas itu bisa diturunkan ke dalam 3 (tiga) tahapan
kerja sebuah perusahaan, yaitu: produksi, distribus i dan eksibis i. Integrasi
vertikal di proses produksi dari hulu ke hilir adalah mulai dari perusahaan
talent scouting, penyewaan kamera, hingga studio dalam ruangan sebagai
replika Forbidden City, misaln ya. Integrasi horizontal adalah di saat satu
induk perusahaan memiliki beberapa studio di banyak lokas i.
Industri media massa, jaringan komputer dan telekomunikasi hari in i
mengalami proses integrasi, hingga merger dan akuisisi yang lebih dinamis
dibanding abad silam. Proses merger akuis isi Warner adalah satu contoh
bagaimana sebuah perusahaan keluarga bisa menjelma menjadi jar ingan
perusahaan global di segala lin i. Bagan di halaman sebelah ini menjelaskan
bagaimana Kinney Parking Company dan National Cleaning Company
menggandeng Warner di awal abad silam. Selan jutnya, sebuah perusahaan
bioskop tunggal seperti Warner berevolus i menjadi bagian penting sektor
M&E global hari ini.
Media mogul di dunia beragam bentuk dalam jumlah anak perusahaan
yang cukup banyak. Di Amerika Serikat saja ada beberapa kerajaan
media, walau berintegrasi dalam kondis i berbeda. Sebut saja, The New
York Times (NYT) Co. hingga The Walt Disney Company. Berawal dari koran
cetak (pasar "konsumen berita"), NYT sempat memiliki divis i telev isi,
namun kemudian ia fokus di media cetak dan Internet. Disney berangkat
dari studio animasi yang diputar di bioskop (pasar "konsumen hiburan").
Perkembangannya hingga hari ini, konglomerat Disney adalah produser,
pemilik perpustakaan film terbesar dunia, pemilik taman rekreasi sesuai
karakter film suksesnya, dan pemilik media tradis ional serta media
interaktif.
46
GLOCAL MEDIA
Bagan sejarah aksi korporasi Warner Bros. Studios (1966-1987)
47
AMELIA DAY
Selain NYT dan Disney, ada juga News Corp (pemilik Fox News) dan Viacom
(pemilik MTV Asia) yang telah lama berusaha masuk ke pasar China
daratan sejak 1990-an, tapi gerakan ekspansif mereka terhenti di Hong
Kong. Salah satu contohnya, sebelum peraturan pemerintah China (Decree
#44) tentang co-production , News Corporation harus merancang upaya
merger dan akuisis i (M&A) yang kompleks untuk bisa menyalurkan
perpustakaan videonya ke daratan China
(lihat bagan China Media
Capital) .
PASAR HULU PASAR HILIR
Produksi Distribusi Eksibis i
Para mogul media asing ini, yang juga memiliki perpustakaan/arsip video
yang telah mereka produksi sejak seabad silam. Jack Warner, pemilik awal
Warner Bros. Studios membuat kesalahan fatal dengan menjual seluruh
perpustakaan filmnya yang diproduksi sebelum tahun 1948 ke perusahaan
sindikasi televis i, Associated Artists Productions (AAP) sebesar USD 21 juta.
Aset ratusan judu l film ini berpindah dari AAP ke MGM (studio) 1981, lalu ke
Turner Broadcasting System (jaringan TV) 1986, sebelum akhirnya kembali
lagi saat Time Warner (entitas merger Time Inc. dan Warner Bros.Studios)
mengakuis isi Turner di tahun 1996. 3 3
Dari 6 studio besar Hollywood, ribuan hingga jutaan jam rekaman video ini
tak bisa serta-merta masuk ke pasar penonton China. Dalam pengaturan
M&E hari in i, pasar hilir (eksibis i) di China tak bisa dipengaruhi oleh pihak
asing. Tak boleh ada entitas asing langsung bisa memiliki bioskop, stasiun
TV, operator TV berbayar ataupun media massa terkait. Seluruh jaringan
bioskop di China dimiliki pemerintah, dan hanya ada satu yang dimiliki
swasta. Inipun tak boleh dimiliki pihak asing.
Pasca-berlakunya Decree #44 tahun 2004, pemerintah China tetap
mengendalikan porsi mitra lokalnya. Selain aturan kepemilikan ini, is i film
atau is i siaran TV pun diatur ketat. Mengendalikan mitra lokal adalah
bentuk state capitalism yang digembor -gemborkan negara-negara barat
dua dekade terakhir. Pemerintah membentuk perusahaan swasta semacam
BUMN tapi berada di induk perusahaan (satu hingga sekian tingkat di atas
sebuah perusahaan produksi swasta).
33 Paul Grainge, Brand Hollywood: Selling Entertainment in a Global Media Age, Taylor & Francis, 2008, halaman
112.
48
GLOCAL MEDIA
Istilah state capitalism ini secara eksplis it dirumuskan oleh Karl Marx
tentang kapitalisme dengan kendali negara. Dalam perspektif barat, upaya
China in i adalah buruk (notorious). Satu contoh yang diberikan oleh media
cetak Inggris ternama, The Economist (edisi 12 November 2011), bahwa
pemerintah China mengendalikan semua, mulai dari penentuan kredit bank
hingga rival swasta di satu sektor industri. Saat ini hukum tebang pilih yang
terjadi. Contoh pernyataan terakhir in i adalah adanya kekuatan dominan
perusahaan telekomunikas i China Telecom yang tak diberikan ganjaran
antitrust. Di sektor lain, Coca Cola tak boleh memiliki restoran lokal
sementara pesaing lokaln ya, Yum! (produk minuman lokal) boleh memiliki
banyak jar ingan restoran cepat saji di banyak daerah. 3 4
Kendali pemerintah terasa lebih lekat di sektor M&E. Pemerintah China
mengatur isi film dan tayangan TV dengan ketat serta menutup rapat
kemungkinan asing memiliki pipanya. News Corporation yang memiliki
arsip film (20 t h Century Fox) dan tayangan TV (dari berbagai stasiun TV
dan saluran berbayarnya), harus membentuk Star China Media (SCM),
entitas yang dimiiliki pemerintah melalui induk perusahaan SCM yaitu CMC.
Kerjasama strategis melalu i perusahaan joint venture in i adalah peluang
bagi News Corporation untuk pasar penonton China. News Corporation
(News Corp.) yang memiliki arsip video sejak seabad lalu melalui studio
20 t h Century Fox. Pasar penonton China, dari populas i 1,3 milyar , adalah
pemasukan ekstra yang gemuk bagi News Corp., dan mungkin akan didaurulang sampai waktu tak terbatas.
Permasalahan industri M&E, khususnya perfilman global adalah
“middleman” atau distributor. Sejarah mencatat bahwa sejak monopoli
pengusaha bioskop Indonesia, misalnya, di awal 1980-an, tak ada lagi
fungsi distributor film karena bioskop-bioskop kecil di daerah banyak yang
tutup. Lokasi bioskop akhirnya terkonsentrasi di kota besar, khususnya di
Pulau Jawa. Banyak yang kemudian juga berada di pusat pertokoan atau
mal, yang merupakan konsep dua dekade terakhir.
Di pertelev isian, “middleman problem” yang sama juga terjadi. Salah satu
contoh yang pernah menjadi isu nasional adalah kasus hak siar Liga
Inggris , atau tayangan pertandingan sepakbola dalam satu paket musim
tanding (biasa dilaksanakan mulai bulan September hingga Mei setiap
tahunnya). Tayangan ini pernah dis iarkan di TV terestrial sehingga bisa
ditonton secara gratis. Tahun 2007 adalah awal pertandingan sepakbola ini
hanya bisa ditonton jika penggemar Liga Inggris menyewa layanan Astro
34 Stephanie Wong (ed.), Yum’s Offer for Little Sheep Gets China Antitrust Clearance, Bloomberg News, 8 November
2011.
49
AMELIA DAY
Nusantara, atau beberapa operator yang
satelitnya bisa diterima di China daratan .
footprint
atau
jangkauan
Distributor untuk sinyal Liga Inggris in i dipegang oleh ESS, entitas global
ESPN dan Star TV, yang keduanya juga masih dimiliki oleh News
Corporations, yang juga memiliki entitas BSkyB di Inggris, sebagai penyalur
tunggal tayangan pertandingan Liga Inggris di kawasan Eropa. ESS ini
penentu harga dari hak siar semusim pertandingan Liga Inggris untuk
kawasan Asia, khususnya ASEAN. Di tahun 2006 itu, ESS hanya menunjuk
Astro Nusantara dengan menetapkan harga bidding leb ih tinggi 4 kali lipat
dari harga musim sebelumnya.
Bagan Kepemilikan Media Global Terkait Hak Siar Liga Inggris
©2012
Sistem paket in i lebih rumit lagi jika terkait film layar lebar yang telah
diputar di bioskop. Stasiun TV terestrial sebagai salah satu jendela dari
movie release windows , harus membeli satu paket film dari setiap
distr ibutor Hollywood (yang juga anak perusahaan studio produksi
Hollywood) yang terdiri dari sekitar 10% judu l film sukses (blockbuster) dan
50
GLOCAL MEDIA
sisanya judul film kelas B (B-class movies) yang diproduks i lebih murah.
Paket ini memiliki masa putar di stasiun TV terestrial yang terbatas,
mengingat untuk selanjutnya judu l film harus diputar di media lain seperti
DVD atau saluran berlangganan.
Semua produk audio- visual in i, apapun genrenya, memang diproteks i
seumur hidup oleh peraturan global IPR (intellectual property rights ) yang
diratifikasi negara-negara anggota WTO. Keepakatan in i diturunkan
menjadi peraturan di dalam negaranya. Untuk perlindungan film layar
lebar di Amerika Serikat , khususnya, yang tercantum dalam 1976 Copyright
Act, sebuah film atau karya intelektual lain, mendapatkan penambahan 19
tahun dengan kontrak perbaharuan (renewal term) , sehingga menjadi 28
tahun dari 47 (peraturan sebelumnya). Total tahun sebuah karya adalah 75
tahun. Periode perlindungan ini bertambah lagi di Amerika Serikat di saat
Copyright Renewal Act of 1992 berlaku. Untuk produk yang dibuat tahun 1
Januari 1964 hingga 31 Desember 1977, total periode perlindungan menjadi
95 tahun karena perbaharuan hak cipta otomatis in i. Hak cipta film yang
sudah mencantumkan renewal term otomatis mendapatkan tambahan 19
tahun. Contoh penulisannya:
Copyright © 1955 by Warner Bros.
Copyright renewed 1983 by Warner Bros.
Sebagai latar belakang dari aturan global ini adalah kesepakatan negaranegara di dunia pasca-Perang Dunia Kedua. Persatuan Bangsa-bangsa
dibentuk oleh China bersama dengan Inggris, Perancis , Rusia dan Amerika
Serikat. Selanjutnya, untuk menghindar i adanya perang terkait
perdagangan dunia,
negara anggota PBB berniat membentuk ITO,
International Trade Organization . Dari negosiasi yang panjang, akhirnya
hanya disepakat i bentuk perjan jian GATT (General Agreement on Tariffs
and Trade) tahun 1947. Dari perjanjian in i, yang dibahas berkali- kali dalam
berbagai putaran negosiasi, akhirnya terbentuknya WTO (World Trade
Organization) di tahun 1995. China sendiri baru menjadi anggota WTO
tahun 2001. TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights)
adalah salah satu perjan jian yang ditangani WTO untuk melin dungi
produk-produk intangible, mulai dari hak cipta film hingga paten obat.
TRIPS dianggap oleh negara-negara berkembang (dan China masih dalam
tahap ini waktu itu) sebagai “technological protection ism” 3 5 yang membagi
35 Carlos María Correa, Intellectual Property Rights, the WTO, and Developing Countries: The TRIPS Agreement and
Policy Options, Zed Books, 12 Agt 2000, halaman 5.
51
AMELIA DAY
negara-negara di sebelah utara khatulist iwa sebagai inovator/produser dan
negara-negara selatan sebagai pasar konsumsinya.
Di awal perumusan perjanjian , Amerika Serikat meluncurkan inis iat if untuk
negosiasi standar IPR dalam GATT. Sejak 1977 hingga 1996 Amerika Serikat
menguasai 95% paten dunia. Sementara itu, negara-negara berkembang
hanya mengkonsumsi produk teknologi Amerika Serikat. China (sebelum
masuk jadi anggota WTO) dan negara-negara "Asian Tigers" hanya menjadi
konsumen aktif (53,3%) begitu pula dan Amerika Latin (26,5%). Sementara
semua negara konsumen in i hanya mengekspor produk teknologi sebesar
11% (Alcorta & Peres, 1995).
Produk-produk teknologi ini termasuk produk produksi, dan eksibisi audiovisual. Semasa film masih diputar dengan pita selu loid transaksi perangkat
produksi sangatlah terbatas. Selain perangkat yang masih besar dan rumit
dioperas ikan tanpa pelat ihan khusus, perangkat analog belum diproduksi
massal. Saat teknologi perangkat produksi dan eksib is i menjadi digital dan
diproduks i massal, siapapun dengan kemampuan produksi minimal bisa
membuat produk audio- visual seperti film amatir, film pendek, video untuk
diunggah ke Youtube, dan seterusnya.
Dengan teknologi digital yang canggih ini pun akhirnya penggandaan film
dan tayangan TV milik Hollywood dengan mudah dilakukan di mana saja,
oleh siapa saja. China masih merupakan produsen keping DVD terbesar
dunia, sementara itu negara-nega Eropa Timur serta Amerika Latin masih
merupakan pengunggah terbanyak dari produk audio-visual ke internet.
Memasuki
tahun
2012,
keberadaan
perangkat
digital
akhirnya
berkonvergensi, yaitu antara perangkat komputer, telekomunikas i dan
media massa. Perangkat in i bahkan kemudian bisa mengoperasikan
augmented reality atau realitas tambahan. Berkomunikasi dengan
menghadirkan pantulan seluruh tubuh (hologram) di tempat lawan bicara
bukan lagi hayalan seri televis i Star Trek. Perangkatnya telah ada, walau
hari ini belum diproduks i secara massal dengan harga murah.
Pasar konvergensi adalah pasar global, yang tak bisa diatur tuntas oleh
peraturan persaingan usaha (competition laws) atau peraturan isi (content)
yang berlaku di dalam negeri saja. Sebuah situs yang dibuat di Amerika
Serikat dan bisa diakses dari mana saja di bumi ini, tak bisa terkena denda
peraturan persaingan atau isi. Sementara itu, teknologi digital membuat
setiap orang membeli perangkat dengan murah. Setiap orang juga bisa
menggunakan perangkat dengan mudah (tanpa pelatihan khusus).
Perkembangan jar ingan internet juga membuat setiap orang terhubung
dan saling berbagi informas i hingga video pribadit= ke segala penjuru
dunia. Akses global in i tak terhalang batas negara dan perbedaan waktu.
52
GLOCAL MEDIA
Pemerintah China tak bisa lagi kembali ke era Revolus i Budaya yang
menutup rapat pintu terhadap pengaruh asing. Akses internet bisa dipakai
untuk kebaikan , bisa juga dilihat sebagai ancaman. China melihat itu
sebagai
peluang berbisn is di sektor M&E, contohnya situs Youku dan
Renren. Strategi pemerintah China kali ini adalah membatasi pengaruh
asing dengan tindakan ofensif di setiap tahap: produksi, distribu i dan
eksibisi. Selain investasi seperti CMC dan mengatur sensor is i ketat,
pemerintah China juga secara agresif membangun raksasa media yang
dibayarkan dari pajak rakyat: CCTV atau China Central Television .
Pemerintah memiliki saham CCTV hingga memberi subsidi reguler untuk
operasional TV nasional yang beroperasi dengan sistem terestrial, satelit
dan streaming ini. Terdiri dari berbagai genre tayangan, CCTV juga
memiliki saluran berita dalam bahasa Mandarin, Russia dan Arab yang bisa
diakses secara mengalir (streaming) melalu i situs Internet. Semua saluran
ini adalah saluran yang wajib direlai pemerintah daerah hingga operator
kabel berlangganan di daerah-daerah. Istilah untuk aturan in i biasa
dikenal dengan nama “must-carry channels”.
Ada puluhan saluran CCTV (China Central Telev is ion) dengan berbagai
genre bahasa ataupun jen is tayangan. Seperti TVRI, CCTV lahir dan
beroperasi dengan subsidi pemerintah. Saluran mulai bertambah dan hari
ini telah mencapai 22 saluran dengan berbagai genre. Distribusi saluran
utama adalah terestrial dan satelit. Genre tayangan setiap saluran
beragam, mulai opera klasik China (drama) hingga musik, keuangan,
milit er dan pertanian (nondrama):
CCTV-1 Umum
CCTV-2 Keuangan (sampai 29/8/2009: Ekonomi & GayaHidup)
CCTV- 3
Seni dan Hiburan (variety show)
CCTV-4 Internasional (Mandarin, beam Asia, Amerika, Eropa)
CCTV-5 Olahraga
CCTV-6 Film layar lebar
CCTV-7 Milit er dan Pertanian
CCTV-8 Seri TV
CCTV-9 Dokumenter (Mandarin dan Internasional
CCTV-10 Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan
CCTV-11 Opera Klasik China
CCTV-12 Masyarakat dan Hukum
CCTV-13 Berita
CCTV-14 Anak-anak
CCTV-15 Musik Klasik (Musik pop disiarkan CCTV- 3)
CCTV-NEWS Internasional (Bahasa English; sebelumnya CCTV-9)
53
AMELIA DAY
CCTV-Français Internasiona l (Bahasa French)
CCTV-Español Internasiona l (Bahasa Spanish)
CCTV- ا لعربيةInternasiona l (Bahasa Arab)
CCTV- Русский Internasional (Bahasa Russian)
CCTV-HD High- definit ion
CCTV-3DTV (uji- coba)
Saluran perdana CCTV sendir i baru bersiaran di tahun 1958 di Beijing,
ibukota negara. Setelah terbentuk SARFT yang berada di bawah
Kementerian Dalam Negeri, operasional CCTV langsung dikomandoi wakil
menteri dalam negeri. Setiap daerah wajib merelai dua saluran nasional
selain memberi ruang bagi televis i lokal. Karena menjadi telev isi dominan
yang bersiaran di seluruh pelosok China, CCTV meraup pemasukan dari
iklan paling besar. Penetrasi CCTV adalah 98,2% populas i China, dengan
pemasukan iklan (2003) 23,64% dibanding koran 22,53% dan 11,12% media
luar ruang. Ada 368 perusahaan TV swasta di China dengan 2.214 saluran,
dan sekitar 89% di perkotaan serta 40,2% di pelosok daerah bisa menerima
sinyal TV satelit. 3 6
Dari tiga tahapan produksi, distribus i dan eksibisi di berbagai pipa media
di China ini, bisa disimpulkan bahwa pemerintah China telah memberikan
proteksi penuh. Proteksi tersebut terkesan membungkam kreativ itas
rakyatnya, yang pada kenyataannya adalah sebaliknya: memberi peluang
berbisnis dan melindungi bisnis pemain lokal.
Secara ringkas, proteksi pemerintah China in i berupa:
1. Proteksi di tahap produksi: melarang pihak asing memproduksi
kecuali bekerjasama dengan produser lokal yang memiliki saham di
atas 50% (dan memiliki hak menentukan kebijakan perusahaan atau
veto rights ).
2. Proteksi
di
tahap
distribusi:
membolehkan
pihak
asing
mendistribusikan film layar lebar dengan kuota, atau jika lebih dari
kuota, film itu harus diproduks i dengan tenaga kreatif lokal China.
3. Proteksi di tahap eksib isi: melarang sepenuhnya pihak asing
berinvestasi di usaha bioskop atau TV lokal, dan bahkan
“membiarkan” operator TV kabel lokal tumbuh subur tanpa kontrak
legal dengan pemilik saluran asing. Pemerintah China sewaktu-waktu
dapat menutup saluran eksibisi ini dengan alasan keamanan dan
36 Jing Wang, Brand New China: Advertising, Media, and Commercial Culture, Harvard University Press, 10 Apr
2010 , halaman 248.
54
GLOCAL MEDIA
stabilit as sosial daerah tertentu. Selain itu, pemerintah juga
membiayai penuh televis i publiknya, CCTV, untuk berbagai genre
tayangan. Di tahap ini juga, pemerintah China memberikan insentif
kuat terhadap produsen pesawat TV dan komputer tablet (pasar
terkait).
Di bagian selanjutnya, bagaimana China merumuskan ulang kebijakan
sektor industri M&E sepuluh tahun terakhir. Hingga hari ini, b elum banyak
kajian penggiat media dalam negeri yang mengupas media sebagai
kebijakan content & pipe . Belum banyak juga melihat pergerakan media
global hari ini, dan bagaimana China melaju cepat.
55
5
INDOCINE: ANTARA RUANG DAN WAKTU
Ada dua hal utama yang akan dipaparkan dalam bagian in i: sejarah
industri kreatif di Indonesia (dalam fokus film layar lebar) serta bagaimana
pergerakan sektor M&E di Indonesia (khususnya film layar lebar) dalam
proses realitas budaya global hari ini. Hal in i kemudian dikaitkan dengan
realitas global yang serupa sebangun, hanya saja di negeri in i, ada
keterlambatan jarum jam. Indonesia memiliki kekuatan yang sama dengan
China di awal industri M&E berkembang di seluruh dunia. Seharusnya juga
apa yang terjadi dengan industri M&E China bisa menjadi pelajaran
berharga untuk Indonesia berkembang lebih baik lagi.
Sejak awal telah dipaparkan bagaimana pemerintah China yang dengan
sejarah panjang dan kearifan lokal (local wisdom) membawa negaranya
menjadi kekuatan ekonomi hari ini. Filosofi Tao, sebagai prinsip hidup 37
yang memberikan arahan dan warna khas bagi pemerintah China, tersirat
dalam kebijakan pemerintah untuk proses kerja media global dan lokal
(glokal).
Masyarakat China, terutama pemimpinnya, wajib mengetahui proses atas
segala kejadian di jagat raya in i. Saat Revolus i Budaya, pemerintah China
smemperlakukan pihak asing dengan selalu meniupkan bendera perang.
Semua yang berbau asing adalah lawan. Strategi in i berubah seiring
perkembangan jaman. Perubahan strategi, yang terasa terutama sepuluh
tahun terakhir ini, telah memberikan gambaran yang cerah, terutama di
sektor M&E. Pemerintah China tahu benar bagaimana merancang
kebijakannya untuk dua tujuan: memperkuat tradisi dan beradaptasi
37 John Heider, Laozi, The Tao of Leadership: Lao Tzu's Tao Te Ching Adapted for a New Age, Humanics Publishing
Group, 1985.
56
GLOCAL MEDIA
terhadap perubahan. Perubahan tidak selalu berarti membiarkan diri
dikuasai, dan pemimpin China hari in i juga tahu betul bagaimana
beradaptasi terhadap pengaruh asing, bahkan memperkuat tradis i lokal.
Cowen (2004: 130) mempertanyakan bentuk budaya nasional dengan
menabrakkan tradisi lama dengan perubahan. Agen perubahan itu adalah
manusia, dan media adalah alat yang membantu manusia 3 8 . Untuk itu jelas
bahwa menguasai proses kerja sebuah alat (baca: media) adalah
membangun manusia yang mampu menjaga tradis i sekaligus menguasai
perubahan.
Untuk sektor M&E sepuluh tahun terakhir ini, pemerintah China
memberlakukan kebijakan “proteksi” dan “insentif” bagi rakyatnya
terhadap globalis asi. Proteksi dan insentif dijalan kan pemerintah China
dalam satu paket kebijakan sektor M&E, untuk memperkuat keragaman
sebuah peradaban within cultures (karena pertukaran materi, seperti
teknologi dan pemikiran pemasaran) bukan menjadi semata ancaman
across cultures seperti invasi budaya secara membabi-buta .
Sesungguhnya bangsa Indonesia juga pernah memiliki peradaban within
cultures, memadukan kekuatan berbagai budaya dunia ratusan tahun
silam. Tercatat dalam sejarah bahwa Kerajaan Kutai (Kalimantan) dan
Srivijaya (Sumatera) adalah daerah yang kerap disinggahi pedagang India
atau China. Dua bangsa pedagang ini tiba di Indonesia jauh sebelum
pedagang Eropa (Belanda dan Portugis) menduduki wilayah ini selama
ratusan tahun. Victor Purcell (1948:14) dalam buku “The Chinese in Malaya”
menyatakan setelah kerajaan Sriv ijaya ambruk, Palembang kemudian
dikuasai orang-orang Tionghoa selama 200 (duaratus) tahun. Jalur
perdagangan India–Indonesia–Asia Tenggara–China jauh lebih gemuk dari
jalur negara-negara Mediterania. 3 9
Para pedagang in i membawa agama Hindu dan Buddha. Mereka juga
menularkan nilai bagi produk budaya lokal, seperti bangunan candi hingga
cerita wayang. Selain itu, terbentuk pula materi dan nilai baru yang
dihasilkan dari perpaduan masuknya pengaruh India. Salah satu contoh
nilai baru in i adalah kisah Mahabharata, serupa dengan kisah di India
namun dengan ejaan yang mengikuti dialek local dan beberapa karakter
tambahan. Contoh ejaan local adalah seperti Gatotkaca dari “Ghatutkach”.
Yang lebih penting dalam proses asimilias i in i adalah lahirnya tokoh dan
nilai baru yang tak ditemu i di kisah aslinya di India, seperti tokoh “Semar”
yang lucu tapi arif. Karakter “Semar” ini selain personifikas i kearifan lokal
38 Thomas L. McPhail, Global Communication: Theories, Stakeholders, and Trends, John Wiley & Sons, 2011.
39 Steven Drakeley, The History of Indonesia, Greenwood Publishing Group, 2005, halaman 11.
57
AMELIA DAY
nusantara tentang memandang dunia. Semar secara kasat mata juga
mendekati karakter arif Sidharta Gautama, Sang Buddha, karena Semar
karakter yang disegani para dewa tapi dekat dengan rakyat. Rakyat jelata
di sekililing Semara diwu judkan dalam karakter Petruk, Gareng, Bagong.
Di Sulawesi pun, asimilas i kebudayaan lokal dan asing terjadi dalam karya
sastra (puis i keperwiraan) yang konon terpanjang yang pernah dituliskan di
atas lontar: I La Galigo. 4 0
Secara kultural, mitos I La Galigo berfungsi untuk memberikan bagi
masyarakat pendukungnya bagaimana cara berperilaku, bertuturkata, bersopan-santun, dan hidup bermasyarakat... Karena itu,
meskipun Islam telah dianut oleh orang Bugis , tapi sisa-sisa
kepercayaan itu sebagian besar masih mengkristal dalam kehidupan
kultural sosial masyarakat Bugis.
Kerajaan-kerajaan di nusantara berjaya mulai Kerajaan Kutai (abad ke-4)
hingga akhirnya surut di saat Portugis masuk (abad ke-16) dan Belanda
(abad ke-17). Memasuki abad ke-20, di saat Belanda masih menduduki
negeri ini, penduduk lokal dari Sumatera, Jawa hingga Sulawesi dan
Maluku, adalah bangsa kelas dua bahkan terhadap orang Belanda yang
lahir dan besar di nusantara. 4 1 Akulturasi Belanda di nusantara adalah cara
berdansa
dan
berpakaian
seorang
pria
lokal
berkelas
yang
membedakannya dengan budak kasar. Sang pria akan menggunakan jas
modern dengan blangkon atau kain batik sebagai penutup celana.
Biasanya ia juga segelint ir putera lokal yang baru mengenal bangku
sekolah.
Di saat datang ke nusantara, bangsa Eropa seakan tak memberikan
banyak kontribusi bagi dunia kreativitas lokal. Pengaruh asing selama
ratusan tahun sebelum negara bernama Indonesia diproklamas ikan (17
Agustus 1945), tidaklah membuka ruang bagi pengembangan kekayaan
budaya lokal yang telah ada selama ratusan tahun sebelumnya. Salah satu
yang mungkin menjadi alasannya adalah bahwa pribumi di nusantara
adalah warga negera kelas dua setelah warga Belanda, sekalipun warga
Belanda in i juga lahir di nusantara. Memasuki era teknologi film layar
lebar, tak terlalu banyak produksi dihasilkan penduduk lokal, apalagi yang
memiliki nilai kearifan lokal.
40 Sri Sukesi Adiwimarta, Antologi Sastra Daerah Nusantara: Cerita Rakyat Suara Rakyat, Yayasan Obor Indonesia,
1999 - 392 halaman.
41 Ulbe Bosma & Remco Raben, Being "Dutch" in the Indies:A History of Creolisation and Empire, 1500-1920, NUS
Press, 2008 - 439 halaman.
58
GLOCAL MEDIA
Industri perfilman Indonesia mulai tumbuh pada tahun 1920-an. Pada
waktu itu, walaupun film- film yang dihasilkan sudah memakai bahasa
Melayu , [namun] masih belum mencerminkan “jiwa” Indonesia. Film
masih diproduksi oleh orang asing dengan kacamata asing dan jauh
dari realitas sosial bangsa Indonesia, apalagi memang wujud Indonesia
sendiri saat itu belum jelas. Pada masa ini yang dimaksud dengan film
Indonesia adalah film yang diproduksi kalangan Tionghoa dan Eropa
dengan sebagian besar pemainnya juga dari kalangan mereka sendiri.
Hanya bahasanya saja bahasa Melayu. (Wina Armada, 2001: ix) 4 2
Setelah era pendudukan Belanda dan Jepang, kebesaran karakter “Semar”
dalam memandang dunia tak lagi tercermin dalam perkembangan
kreativ itas manusia nusantara. Kehidupan maritim peninggan Kerajaan
Gowa (Sulawesi) dan Sriv ijaya (Sumatera) pun tak lagi terasa dalam
produk budaya lokal walau banyak buku bermutu ditulis waktu itu.
Seiring dengan perkembangan teknologi pita seluloid di awal abad ke-20,
produk audiov isual, baik distr ibusi bioskop atau sinyal elektromagnetis
mulai dibuat di seluruh dunia, termasuk di negeri ini. Hanya saja produk
content yang terkait perkembangan teknologi audio-visual global ini tak
banyak dibuat oleh penduduk lokal, mungkin mengingat perangkat yang
mahal dan sulit diperoleh. Setelah 1945, sektor M&E ini belum menjadi
prior itas utama Presiden Soekarno. Alasannya mungkin mengingat
memproduksi film bukanlah kebutuhan pokok pemerintahan Indonesia
yang baru. Selanjutnya, gedung bioskop lahir di Pulau Jawa bukan atas
inis iat if pemerintah, tapi lebih ke pasar bebas, yang waktu itu masih
dikuasai pengusaha Belanda. 4 3 Kata “bioskop” sendir i berasal dari bahasa
Belanda: “bioscoop”. Produksi film layar lebar saat itu masih terbatas.
Setelah menjadi “penghubung” antara penguasa Belanda dengan penduduk
lokal nusantara, pengusaha keturunan Tiongkok lalu turut meramaikan
bisnis bioskop. Pada tahun 1936, terdapat 225 bioskop yang ada di Pulau
Jawa saja, menyebar di Bandung 9 bioskop, Jakarta 13 bioskop, Surabaya 14
bioskop dan Yogyakarta 6 bioskop. Sepanjang 1920-1930, film- film yang
masuk ke Hindia Belanda berasal dari AS (Hollywood) , Eropa (Belanda,
Prancis, Jerman), dan Cina (legenda Tiongkok Asli). Beberapa fi lm yang
kala itu menjadi favorit masyarakat adalah Fantomas, Zigomar, Tom Mix,
Edi Polo, Charlie Chaplin , Max Linder, dan Arsene Lupin. 4 4
42 Dikutip dari bagian :Kata Pengantar, Melepas Pasung Kebijakan Perfilmnan di Indonesia, Catatan untuk Undangundang Perfilman yang Baru,Warta Global Indonesia, 2001.
43 Mohammad Johan Tjasmadi, 100 tahun sejarah bioskop di Indonesia, Megindo Tunggal Sejahtera, 2008.
44 Anonim, Menelusuri Kiprah Si Layar Lebar, Koran Jakarta edisi 23 April 2012.
59
AMELIA DAY
Sektor M&E pasca-pendudukan Belanda mengalami pasang-surut. Menurut
catatan JB Kristanto (1995: 12) film lokal di tahun 1944 tercatat hanya 5
judu l (Djatoeh Berkait, Gelombang, Hoedjan, Keris Poesaka, dan
Keseberang) . Sejak itu hingga 1948, tak ada film layar lebar diproduks i lagi.
Di tahun 1948 saja hanya ada 3 judu l film (Air Mata Mengalir di Tjitarum,
Anggrek Bulan dan Djauh Dimata) .
Setelah penguasa Belanda pergi dan Indonesia diproklamasikan, dua
dekade kemudian baru lahir media TV sebagai pipa alternatif untuk film
layar lebar TVRI. Ini pun sejatinya dibangun untuk menyiarkan acara
olahraga internasional pertama kali di Indonesia. TVRI memang dibangun
semata-mata atas tujuan “propaganda” bahwa pemerintah Indonesia ada
dan mampu mengundang warga dunia datang ke acara ASIAN Games IV
yang diselenggarakan di Jakarta di bulan Agustus 1962. TVRI dibangun di
daerah Senayan, Jakarta, bersebelahan dengan kompleks lapangan
olahraga untuk acara internasional ini. Untuk beberapa cabang olahraga
yang tak ada di Senayan, pemerintah juga membangun lapangan di daerah
Gambir, yang sekarang menjadi lokas i Tugu Monas. Intinya, Presiden
Soekarno “tak sengaja”membangun industri content telev isi saat itu.
Memasuki 1950-an, produksi film lokal mulai meningkat lagi seiring dengan
gencarnya film asing pun masuk.
Ketika itu [1950-an], film- film produksi Hollywood lebih disukai
masyarakat dibanding film produksi negeri sendiri. Mereka belum bisa
mencerna film nasional yang dipelopor i Usmar Ismail lewat PT Perfin i.
Maka film impor lebih mendominas i bioskop Indonesia. Tahun 1950,
film- film nasional yang disensor sebanyak 54 judul, sedangkan film
impor 863 judul. Dominas i film Amerika terlihat dalam daftar impor
tahun-tahun berikutnya. Tahun 1951 film Amerika sepanjang 1,3 juta
meter dari keseluruhan 3,8 juta meter. Tahun berikutnya sepanjang
1,2 juta meter dari total 3,1 juta meter. Tahun 1954 sepanjang 1,5 juta
meter dari 2,3 juta meter. Sementara pada tahun 1956 sebanyak 250
judul dan dari negara lain cuma 174 judul. 4 5
Selan jutnya terjadi peningkatan, walaupun masih terhitung kecil:
Tahun 1959 ... 16 judul.
Tahun 1960 ... 38 judu l.
Tahun 1961 ... 37 judu l.
Tahun 1962 ... 12 judul.
Tahun 1963 ... 19 judu l.
Tahun 1964 ... 20 judu l.
Tahun 1965 ... 15 judul.
Tahun 1966 ... 13 judu l. 4 6
45 Eddie Karsito, Menjadi Bintang: Kiat Sukses Jadi Artis Panggung, Film, dan Televisi, Ufuk Publishing House, 2008,
halaman 128.
60
GLOCAL MEDIA
Yang menarik dalam periode 1959 sampai 1966 in i juga adalah ramainya
film asing diimpor , terutama dari Hollywood. Sempat tercapai rekor
penonton 450 juta orang pada tahun 1960. Di tahun 1960-1961 juga terjadi
geliat produksi lokal. Industri perfilman mulai surut karena kembali
Indonesia diterpa gejolak polit ik di tahun 1966. Terjadi pula boikot film
Hollywood melalu i gerakan PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film
Imperialis Serikat).
Secara kualitas, film lokal juga mengalami pasang-surut. Film koboi
komersial gaya Hollywood dengan bintang John Wayne mungkin
menginspiras i film lokal, seperti “Benyamin Koboi Cengeng”. Sebelum era
film komersial ini, film film lokal berarti “propaganda” pemerintahan saat
itu, baik itu saat pemerintahan Belanda (1920-1942) atau Jepang (19421945). Hingga berakhirnya Presiden Soekarno, film- film perjuangan
melawan Belanda masih terasa lekat dalam alur cerita kebanyakan film
lokal. Di era Presiden Soeharto pun pernah ada fim propaganda “Gerakan
30S PKI” yang sempat menjadi tontonan wajib seluruh masyarakat
Indonesia selama beberapa tahun berturut-turut.
Pasca-gejolak polit ik 1966, produksi lokal mulai menanjak lagi. Di tahun
1971 mencapai 55 judu l, sedangkan sebelumnya (1970) produksi lokal baru
mencapai 19 judu l saja. Penurunan jumlah produksi baru terasa lagi setelah
lahir TV swasta di akhir 1980-an. Minat penonton mulai bergeser ke lima TV
swasta: RCTI, SCTV, ANTEVE (sekarang ANTV), TPI (sekarang MNCTV) dan
Indosiar. Sepuluh tahun kemudian, 5 televis i lahir lagi (MetroTV, TV7,
TransTV, Lativi, Global TV). Puluhan TV kecil kemudian lahir pula dari
daerah-daerah setelah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran keluar.
Di awal TV swasta berdiri, produksi lokal hanya dominas i TVRI. TVRI pernah
sukses menyiarkan produksi sendiri: Losmen dan Jendela Rumah Kita .
Sementara itu seri televis i seperti McGyver dan Knight Rider menjadi pujaan
penonton di tahun-tahun pertama RCTI berdiri. Memasuki tahun 1990,
Jimmy Gideon dan Lydia Kandouw menjadi bintang kisah drama komedi
lokal pertama ditayang di TV: drama komedi seri Gara-gara .
Selain untuk tayangan lokal khusus TV, 4 7 televis i menjadi pipa alternatif
bagi tayangan film lokal. Film laris dengan bintang terutama Benyamin
Suaeb dan Trio Warkop Dono-Kasino- Indro kerap diputar di layar televis i
hingga berulang-kali dalam setahun.
46 Ibid, halaman 128.
47 Tayangan televisi dikenal juga dengan istilah “sinetron” atau sinema elektronik yang dipopulerkan jurnalis senior
Arswendo Atmowiloto di awal 1990-an.
61
AMELIA DAY
Tayangan lokal kian gencar diproduksi, baik genre drama ataupun nondrama. Pertama kali diluncurkan di tahun 2000, Metro TV bahkan
menayangkan program berita 24 jam non-stop. Drama tetap menjadi
tayangan utama di banyak televis i swasta. Tayangan seri Si Doel Anak
Sekolahan pernah mencapai rating tertinggi dalam sejarah pertelevis ian
nasional, yaitu 45.
Pasca-proklamasi kemerdekaan 1945, isi semua film dan tayangan in i,
drama ataupun non-drama, diatur oleh pemerintah walau dalam derajat
berbeda. Di era orde baru derajat satu tayangan berita atau drama dapat
dengan mudah dicekal (tak boleh diputar di bioskop atau ditayang di TV).
Alasan tertinggi adalah stabilitas politik. Perihal is i tayangan yang tidak
mendidik adalah nomor berikutnya.
RCTI dan SCTV bahkan pernah mendapatkan “telepon khusus” dari
Departemen Penerangan, pengemban amanat Undang-undang Penyiaran
lama (UU No. 24 tahun 1997). Dalam Pasal 32 tentang Isi Siaran, tak pernah
disebutkan jika “menyinggung kebijakan pemerintahan” tapi jika terjadi
tentunya risikonya adalah izin operasional dicabut.
Apa yang terjadi di era ini adalah pemain lokal yang sangat hati- hati
menayangkan acaranya. Di awal lahirnya acara berita “Seputar Jakarta”
(sebelum berubah menjadi “Seputar Indonesia” 1990) RCTI hanya
menayangkan berita kriminal dan seremonial. Tahun 1994 SCTV melahirkan
div isi Liputan 6 dengan bantuan “bidan” Sumita Tobing. Liputan 6 berani
tampil dengan acara diskus i/debat yang dipandu jurnalis TV muda, krit is
dan cenderung memojokkan narasumber.
Di tahun 1998, di saat pemerintah Presiden Soeharto akan berakhir , Liputan
6 Petang, salah satu mata acara div isi Liputan 6, sempat membuat heboh
masyarakat. Pemandu acara berita dan diskusi in i, Ira Koesno berani
memancing ist ilah “sakit gigi” dari narasumber di studio: Sarwono
Kusumaatmaja, mantan menteri Era Orde Baru. Sarwono menyatakan:
“Ibarat sakit gigi, pemerintahan yang sakit pun sebaiknya 'dicabut'”. Di
jaman itu, krit isi seperti ini adalah tindakan yang bisa berakibat penjara.
Direks i SCTV langsung “mendapatkan telepon” dari Departemen
Penerangan atas insiden in i, dan Sumita Tobing sebagai penanggungjawab
acara harus “dirumahkan” selama seminggu. Warna acara diskusi dan
debat di Metro TV ataupun TVOne hari in i seakan diwaris kan dari tangan
dingin Sumita Tobing.
Sementara itu, tayangan drama waktu itu pun diatur ketat selain oleh
Undang-undang Penyiaran lama juga oleh Undang-undang Perfilman yang
lama (UU Nomor 8 Tahun 1992). Semua materi tayangan drama TV harus
mendapatkan tanda lulus sensor dari Lembaga Sensor Film, yang dibentuk
62
GLOCAL MEDIA
oleh UU 8/1992 tentang Perfilman, sebelum diperbaharu i oleh UU 33/2009
tentang Perfilman. Selain itu, tayangan drama TV juga harus dikendali
mutu secara internal, untuk mendapatkan standar tertentu sesuai
kebijakan setiap stasiun TV.
Menurut UU 24/1997 tentang Penyiaran, stasiun TV harus mematuhi Pasal
34, khususnya untuk ayat-ayat di bawah in i:
(6)
Materi siaran yang akan disiarkan hendaknya mengandung unsur
yang bersifat membangun moral dan watak bangsa, persatuan dan
kesatuan, pemberdayaan nilai- nilai luhur budaya bangsa, dis iplin,
serta cinta ilmu pengetahuan dan teknologi.
(7)
Isi siaran yang mengandung unsur kekerasan dan sadisme, pornografi,
takhayul, perjudian, pola hidup permisif, konsumtif, hedonistis , dan
feodalistis, dilarang.
(8)
Isi siaran yang bertentangan dengan Pancasila, seperti halnya yang
bertolak dari paham komunisme, Marxisme- Lenin isme, dilarang.
(9)
Isi siaran dilarang memuat hal-hal yang bersifat menghasut,
mempertentangkan, dan/atau bertentangan dengan ajaran agama
atau merendahkan martabat manusia dan budaya bangsa atau
memuat hal- hal yang patut dapat diduga mengganggu persatuan dan
kesatuan bangsa.
Hampir di seluruh dunia, produksi di sektor M&E in i lahir dari pasar lokal
yang diatur oleh negara secara ketat dalam hal is i (content). Untuk
beberapa kasus, pengaturan tidak menyentuh perihal struktur pasar yang
kompetitif untuk pemain lokal, terutama proteksi terhadap pemain lokal
di dalam pasar lokal, apalagi untuk mendorong menguasai pasar global.
Terkadang, pemerintah menyerahkan pada peraturan perundangan yang
lebih luas, bukan sector specific. Di Indonesia sendir i diatur dalam
peraturan persaingan usaha yang sehat: Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. 4 8
Reformasi 1998 membawa angin baru dalam pengaturan isi film dan siaran.
Mengkrit ik pemerintah menjadi biasa, dan adegan cium tak lagi tabu di
layar bioskop ataupun televis i. Yang masih bermasalah adalah pengaturan
pipa atau struktur pasarnya. Pemain telev isi dominan dari Jakarta hampir
pasti memiliki tiang re-transmisi di seluruh ibukota provinsi di Indonesia.
Sebagian besar bioskop hanya terpusat di Pulau Jawa. “Bertarung”
48 Catatan khusus tentang undang-undang ini, beberapa akademisi mengkritik bahwa tak banyak peraturan
perundangan yang memiliki tata nama dengan kalimat negatif seperti ini, yaitu “larangan” dan “tidak sehat”.
63
AMELIA DAY
melawan pemain media global tak diatur atau didorong dengan kebijakan
dan strategi pemerintah.
Peraturan demi peraturan lahir dari pemerintahan yang berbeda.
Filmordonantie Staatsblad 1940 No. 507 diberlakukan pemerintah Belanda
sebagai dasar hukum di nusantara hingga diterbitkannya Undang-undang
Nomor 1 Pnps Tahun 1960 tentang Pembinaan Perfilman dilanjutkan
dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 1992 tentang Perfilman , Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 32 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor
3473 tahun 1992. Telev isi, sebagai salah satu pipa bagi film layar lebar, juga
diatur terpisah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 den sejumlah
peraturan pemerintah sebagai turunan undang-undang. Peraturan
perfilman kemudian direvis i menjadi Undang-undang Nomor 33 Tahun
2009.
Aturan-aturan ini sesungguhnya bisa dibagi dalam dua bagian besar: is i
dan struktur. Pengaturan is i (content) di semua peraturan perundangan di
atas adalah normatif, dengan nilai- nilai kebaikan universal. Khusus media
TV, ada pula peraturan terkait is i, seperti Undang-undang Pemilu (iklan
kampanye partai politik) dan Undang-undang Kesehatan (jam tayang iklan
rokok).
Infrastruktur radio dan televis i pun diatur oleh Undang-undang
Telekomun ikasi, terutama terkait alokasi spektrum frekuensi. Jaringan
internet, sebagai salah satu alternatif pipa distribus i film dan tayangan TV,
diatur di Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Produk audio visual didistr ibusikan melalui pipa ini
disebut: “dokumen elektron ik” yang tak pernah dikenal dalam peraturan
perundangan baik sub-sektor penyiaran ataupun perfilman.
Beberapa peraturan terkait lainnya adalah bahwa bioskop atau stasiun TV
sebagai badan hukum harus membayar pajak. Di pasar produksi, badan
usaha rumah produksi atau studio harus melaporkan jumlah royalty income
sebagai patokan pajak penghasilan (PPh). Produser juga wajib membayar
pajak pertambahan nilai (PPN) atas setiap produksinya. Di tahap
distr ibusi, distr ibutor atau importir film asing harus membayar bea masuk.
Bioskop di tahap eksibisi pun terkena pajak dari royalty income in i, baik
atas film lokal ataupun film asing.
Dari sejumlah peraturan perundangan dalam negeri in i, paradigma yang
dipakai masih terfokus pada teknologi lama. Bahwa produksi layar lebar
hanya untuk diputar di bioskop adalah pemikiran pengusaha studio seratus
tahun silam. Untuk itu produk film layar lebar hanya diatur di peraturan
film. Jika masuk ke media TV, ia terkena aturan penyiaran. Jika ia diputar
di kereta api, sayangnya tak diatur dalam sensor kereta api. Mekanisme
64
GLOCAL MEDIA
movie release window yang diterapkan Hollywood untuk pasar global
beberapa dekade terakhir belum menjadi perhitungan kompetisi media
lokal.
Konsep window in i sesungguhnya bisa menjadi patokan maksimis asi pasar
lokal dan global. Dengan banyaknya pipa distribus i, mulai bioskop,
pesawat TV, DVD, layar kecil kursi pesawat dan kereta api, setiap produksi
content bisa dimanfaatkan melalui mekanisme jendela in i. Atas beberapa
jendela in i, tentunya integrasi secara vertikal (memiliki entitas produksi,
distribus i hingga eksibis i) menjadi tawaran menarik bagi produser film atau
pemilik media.
Integrasi secara horizontal (memiliki entitas produksi atau media lebih dari
satu) juga salah satu cara maksimisas i. Satu contoh adalah kecenderungan
10 stasiun TV swasta pertama yang leluasa memiliki stasiun pemancar ulang
di daerah-daerah di tengah keterbatasan alokas i frekuensi. Walhasil,
setelah UU 32/2002 tentang Penyiaran berlaku , pengusaha lokal cenderung
tidak mendapatkan alokas i frekuensi, atau kalaupun mendapatkannya dan
bisa bersiaran, TV lokal tak bisa bertahan lama. Hal utama bagi matinya
sebuah TV lokal adalah ketiadaan content untuk bersiaran secara
konsisten.
Perusahaan lokal ini akhirnya “menyerah” saat ditawari
kerjasama dengan 10 TV swasta besar dari Jakarta, atau bahkan diakuisisi
oleh mereka.
Salah satu solusi pernah dilontarkan J.B. Kristanto (2011). Kristanto
memberikan ide seperti apa yang telah terjadi terhadap industri musik:
“..bebaskan saja MPA [Motion Pictures Association, badan internasional
untuk distr ibusi film Hollywood ke luar negeri] membuat badan usaha
distribus i film di sini seperti Sony, BMG, Universal di bidang musik rekaman.
Lalu, kenakan pajak- pajak selayaknya seperti yang berlaku pada semua
badan usaha asing maupun nasional.” Apa yang terjadi sesungguhnya di
industri film layar lebar, menurut Hikmat Darmawan (2012) bahwa
“hilangnya” rantai distr ibusi film lokal.
Naik turunnya film Indonesia bisa terpantau saat pertama kali impor film
Hollywood masuk ke negeri in i pasca-1945 (proklamasi kemerdekaan).
Pertumbuhan film impor dan produksi lokal pun sama-sama meningkat,
dan saat itu konsepsi IPR belum terbentuk. Perlindungan model bisnis
movie release windows khususnya untuk film Hollywood belum terkonsep.
Film produksi Hollywood sampai pertengahan 1950-an masih lebih banyak
diputar daripada film lokal.
Sejak era kolonialisme Belanda hingga peristiwa 1966, film Hollywood
“dicegah”masuk ke nusantara dengan berbagai alasan. Melalu i Komis i
Sensor Film yang bertanggungjawab langsung ke Gubernur Jenderal (kepala
65
AMELIA DAY
pemerintahan Belanda di nusantara), dibuat peraturan pembatasan umur
bagi film impor. Film buatan lokal tidak diber ikan aturan tersebut.
Walhas il, dari 170 judul film impor (tahun 1940 hingga 1942) terdapat 88
judu l diklas ifikasikan semua umur, 59 judul khusus usia 17 tahun ke atas,
dan sisanya 13 tahun ke atas. Halangan masuk terhadap film Hollywood in i
karena film Amerika Serikat tersebut kerap menjelekkan negara-negara
Eropa yang dulu pernah menduduki tanah Amerika. Selain itu, tercatat di
tahun 1936 saja sudah ada 165 bioskop kecil dibangun rakyat di seluruh
Indonesia, di antaranya di Ambarawa, Blitar, Kendal, Purworejo, Kepanjen,
Bangil, Lumajang, Rengat, Bin jai, Bangka, Donggala, Lhokseumawe hingga
Sambas. 4 9 Selain itu, untuk menjangkau daerah yang lebih terpencil,
diselenggarakan bioskop kelilin g.
Memasuki pendudukan Jepang, film impor dihentikan sama sekali. Produksi
lokal pun hanya untuk propaganda Jepang. Jepang leb ih menyukai
produksi film dokumenter, dengan tujuan agar Jepang dapat mendapatkan
dukungan dan dana bagi Jepang dalam Perang Dunia Kedua (1942-1945)
in i. Film in i diputar di daerah-daerah tanpa memungut biaya. Bioskop
keliling digerakkan kembali untuk memutar film di daerah-daerah pekerja
romusha. Film yang diputar di sini diutamakan untuk membangkitkan
semangat kerja dan kesetiaan.
Di era pemerintahan baru pasca-proklamasi 1945, kabinet pemerintahan
yang dipimpin Soekarno-Hatta membentuk Departemen Penerangan,
dengan tujuan utama mengumumkan ke dunia luar bahwa negara
Indonesia telah terbentuk, dan ke dalam negeri bahwa rakyat harus tetap
semangat untuk mempertahankan kemerdekaan. Sejak itu impor film
Hollywood kembali bergejolak.
Di tahun 1950 terdapat 660 judul film Amerika Serikat, 76 judul film China,
57 judu l film Inggris, 13 judu l film Perancis , dan 12 judul film India. Angka
film impor Amerika Serikat naik menjadi 844 di tahun 1952. Terdapat juga
28 importir film dan hanya 11 produser film lokal saat itu. Sementara itu
produksi film lokal di tahun 1950 hanya 23 judul, 1951 hanya 40 dan
menurun lagi di tahun 1952 menjadi 37 judul.
Tahun 1955 berdiri Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (PBSI),
yang berganti nama menjadi Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh
Indonesia (GPBSI) di tahun 1970. Asosias i ini ditujukan untuk menghadapi
importir asing (Amerika) yang telah membentuk AMPAI, yang terdiri
Paramoung, MGM, Universal, Fox, United Artists, RKO, Columbia, dan
Warner Bros. [Sementara itu] importir nasional sebagian kecil tergabung
49 M. Sarief Arief, Manimbang Kahariady, Yayan Hadiyat, Permasalahan Sensor & Pertanggungjawaban Etika
Produksi, Badan Pertimbangan Perfilman Indonesia, 1997, halaman 53-81.
66
GLOCAL MEDIA
dalam Gabungan Film Importir Nasional Indonesia (Gafin i), Geliga, Tenaga
Kita, Persari, Djakatraco, dan Ifdil. Kemudian Ifdil menggabungkan dir i
dengan Serikat Importir Film Nasional (SIFIN) bersama ODO, Djakarta Film,
Gamelan, Merpati, Intra, Inter Asia, Harapan, Nusantara, Kongsi Selatan,
dan SMR Shahab. 5 0
Tingginya jumlah film impor dan importir film Hollywood (distribusi)
semata hanya karena perhitungan untung-rugi semata. Pertama, penonton
lokal menyukai teknik dan teknologi film Hollywood yang lebih canggih
daripada film lokal. Kedua, dari sisi pengusaha bioskop (eksibisi) film lokal
masih mahal: harga tiket sama, penonton tidak sebanyak film impor , dan
pengusaha bioskop tetap membayar pajak sama. Pajak ke pemerintah
daerah waktu itu harus dibayarkan bukan atas persentase dari royalti
pemasukan tapi flat fee, sehingga jika tidak ada penonton pengusaha
bioskop tetap membayar jumlah pajak yang sama . Alasan ketiga, film
Hollywood dijual ke pengusaha bioskop (melalu i importir) dalam paket
sejumlah film. Dengan sistem paket ini pengusaha bioskop bisa
memperhitungkan ris iko investasi atas banyak film yang lebih murah
biayanya. Biaya produksi film lokal waktu itu mencapai Rp 500 ribu,
sedangkan untuk paket 8 judu l film seorang importir hanya mengeluarkan
dana Rp 1,2 juta. 5 1
Asosias i importir film asing in i mengalami masa kejayaan di tahun 1952
hingga 1960. Tercatat rekor penonton 450 juta penonton di tahun 1960.
Mendekati peristiwa 1966, pemerintah mengeluarkan pajak 200% atas
bahan mentah karena film dianggap sebagai barang mewah. Banyak
bioskop yang gulung tikar karena tidak mahalnya pita film. Perkembangan
politik terkait Partai Komunis mulai memuncak, dan salah satu penggiat
film lokal Djamaluddin Malik sempat ditahan karena dituduh “melancarkan
protes” terhadap pemerintah.
Film Hollywood diboikot masuk oleh Panitia Aksi Pemboikotan Film
Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) yang didukung oleh organisasi
pendukung Partai Komunis, Lekra dan Sarbufis. Karena aksi ini, AMPAI
( American Motion Picture Association in Indonesia, atau sekarang MPA,
Motion Picutres Association yang berkantor di Singapura dan Hong Kong)
menutup kantornya di Indonesia (1963-1965). Setelah buka kembali di
tahun 1968, beberapa pengusaha bioskop telah banyak yang tutup karena
tak ada pasokan film.
50 Eddie Karsito, Menjadi Bintang: Kiat Sukses Jadi Artis Panggung, Film, dan Televisi, Ufuk Publishing House, 2008,
halaman 128.
51 Ibid, halaman 116-122.
67
AMELIA DAY
Pasca-1966 tak banyak film lokal diproduksi, dan baru 1968 fillm impor
boleh diputar di bioskop kembali. Selan jutnya, Menteri Penerangan BM
Diah mengeluarkan kebijakan untuk normalisas i/rehabilit as perfilman
produksi lokal dengan wajibkan semua import ir film membeli saham
produksi (berinvestasi) film lokal senilai Rp 250 ribu atas setiap judu l film
yang diimpor. Bayangkan jika sebelumnya paket 8 (delapan) judu l film
impor itu seharga Rp 1,2 juta (alias Rp 150 ribu per judu l), kali in i import ir
harus mengeluarkan Rp 400 ribu per judul. Tentunya angka ini belum
termasuk pemasukan setelah fim lokal tersebut diputar. Peraturan itu
dikenal dengan Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 71 Tahun 1967.
5 2 Dari tabel di bawah ini, terbukti ada peningkatan jumlah produksi
pasca-kebijakan BM Diah tersebut.
Tahun
Film Impor
(judul)
Film Lokal
(judul)
1968
459
8
1969
784
8
1970
737
19
1971
759
55
Tabel jum lah film asing dan impor 1968-1971
(sumber: BP2N © 2000)
Sepuluh tahun berikutnya, angka film lokal tak bergerak terlalu sign ifikan.
Di masa in i juga fungsi distributor film lokal, sebagai jembatan dari
produser lokal ke pemilik bioskop, mulai hilang. Awalnya adalah pada saat
beberapa import ir film asing membentuk kartel import ir di bawah bendera
Suptan Films, yang didirikan Benny Suherman tahun 1970. Sebelumnya
Suptan Films hanya mengimpor dan mendistribus ikan film asing berbahasa
Mandarin, tapi di bawah kendali Sudwikatmono, adik ipar Presiden
Soeharto, memasuki tahun 1980, kartelisasi distributor film asing terbentuk.
Menurut aturan, impor film disalurkan lewat tiga asosiasi, yakni
Asosias i Importir Film Eropa-Amerika (AIFEA), Asosias i Importir
52 Ibid, halaman 152.
68
GLOCAL MEDIA
Film Mandarin (AIFM), dan Asosiasi Importir Film Non-Mandarin
(AIFNM). Ketiga asosiasi itu masing-masing mempunyai anggota,
yang berhak mengimpor film untuk memenuhi kuota 160 (terdiri
dari 80 film Eropa-Amerika, 45 film Mandarin, dan 35 film nonMandarin). Namun, kenyataannya, ketiga asosias i menyerahkan
pelaksanaan impor kepada manajemen tunggal bernama PT
Suptan Film. Padahal, perusahaan itu sehari-hari mestinya cuma
mengurus impor film Mandarin. Tak jelas bagaimana hal itu bisa
terjadi. Asal tahu saja, Benny Suherman selain direktur PT
Suptan Film juga merangkap Ketua AIFM. Sedang Sudwikatmono
juga menjabat komisaris PT Satrya Perkasa Esthetika , anggota
AIFEA. Dari situlah, pengaruh itu merebak, sehingga berhasil
merangkul Asosias i Importir Film (AIF) ke dalam satu kantor: PT
Suptan. 5 3
Di saat bersamaan, diperkenalkan juga teknologi terbaru bioskop (eksibis i)
yaitu dolby stereo system , sehingga audio menjadi jernih dan film bisa
ditonton lebih menarik lagi. Beberapa bioskop kecil yang tak mampu
menyediakan fasilitas in i tutup karena bioskop mereka tak lagi dilir ik
penonton. Jelang akhir 1980-an bioskop besar di Jakarta pun harus bersaing
dengan jar ingan Sinepleks 21 milik Sudwikatmono, yang juga pemilik PT
Suptan Films. Jaringan sinepleks yang nyaman ini berada di bawah bendera
perusahaan Subentra Group. Subentra juga merupakan mitra satu-satunya
bagi Warner Bros. Studios dan Universal International Pictures. 5 4
Tutupnya bioskop karena teknologi dan kenyamanan, akhirnya secara
alamiah membuka peluang monopoli bagi Sinepleks 21 (eksibis i). Selain itu
Subentra pun, melalu i entitas PT Suptan, memonopoli semua film impor
(distribusi).
Menurut sumber TEMPO di Semarang, biaya pembangunan
kedua gedung pertunjukan itu menghabiskan sekitar Rp 2
milyar.
Dan
kepemilikannya
juga
berbagi
dengan
Sudwikatmono. Enak? Sudah pasti. Apalagi,untuk setiap film
yang diedarkan, SFS [PT Sanggar Film Semarang] tidak
menggunakan sistem sewa, tapi dengan sistem bagi hasil.
Caranya, setiap pendapatan bersih (setelah dipotong berbagai
pajak dan biaya operasi) dibagi rata antara pemilik bioskop dan
pengedar, 50:50... Hebatnya, sistem distributor tunggal seperti
in i berlangsung pula di provinsi lainnya. Di Jawa Barat, misalnya,
53 Sri Pudyastuti R., Moebanoe Moera, Dwi S. Irawanto, Sarluhut Napitupulu, Zaman Keemasan Kelompok 21,
Majalah Tempo, 29 Juni 1991.
54 Sumber: laporan The Hollywood Reporter, Volume 318, 1991, yang diunggah ke books.google.com.
69
AMELIA DAY
hanya ada PT Kharisma, kemudian di Jawa Timur hanya ada PT
Inarosa. Juga wilayah edar Sumatera, Kal-Tim, Kal-Sel, dan
Indonesia Timur, hanya ditangani oleh PT Isae Film. Dan di
setiap perusahaan distr ibutor tunggal itu, pasti ada saham
Suptan, kata seorang sumber TEMPO yang lain. Dan itu, "Jelas
merupakan monopoli terselubung," kata Budiati Abiyoga,
seorang produser film nasional... Tidak aneh kalau banyak
pengusaha bioskop (yang bertahan tanpa bergabung dengan
grup 21) kelabakan. Soalnya, sebagai import ir tunggal, yang
juga menguasai jalur distribusi sekaligus bioskop-bioskopnya,
Suptan cs. tentu saja akan memprior itaskan film untuk
bioskopnya sendir i. 5 5
Produksi lokal yang tadinya mulai bergairah pasca-1966, harus mengalami
masa suram karena ketidakpast ian periode eksibis i yang waktu itu hanya
melalui bioskop. Memasuki era 1990-an, film lokal memasuki masa suram.
Dari tahun 1991 sebanyak 58 judul, memasuki tahun 1992 jumlahnya menjadi
31 judul, dan 1994 menjadi 26 judul. Produser lokal yang tak bisa
bernegosiasi setara dengan pemilik bioskop (monopoli Subentra) akhirnya
mulai mundur teratur.
Di akhir 1980-an, telev isi sebagai pipa eksibis i alternatif baru ada TVRI.
Televisi publik ini belum menemukan model bisn is terbaik untuk
menyiarkan film layar lebar, kecuali produksi Perusahaan Film Negara atau
film propaganda pemerintah Orde Baru.
Televisi seperti RCTI dan SCTV yang diber i izin 1988 baru bersiaran melalui
dekoder untuk wilayah layanan siaran terbatas: Jakarta saja (RCTI), atau
Surabaya (SCTV) saja. Saluran TV berbayar seperti HBO belum ada sampai
Indovis ion lahir dan membentuk saluran siaran 24 ja m Film Indonesia (1997)
bekerjasama dengan penguasa saluran berbayar Star TV Hong Kong, anak
perusahaan News Corporation.
Telev is i kemudian menjadi alternatif pipa film loka l setelah beberapa
stasiun TV lain seperti TPI, ANTEVE, dan Indosiar mulai bersiaran di awal
1991. Film-film Warkop DKI (Dono Kasino Indro) serta Benyamin Suaeb
kerap ditayang di banyak TV. Film-film komedi in i selalu mendapatkan
rating baik, terutama jika ditayang di hari-hari libur.
Selain tak ada pemain yang berani berinvestasi lagi di film layar lebar, di
masa itu ada masalah ketidaktahuan perihal kepemilikan hak cipta
(copyrights) yang terkait hak penyiaran (broadcasting rights). Hak
intelektual in i dikuasai segelintir produser masa lalu. Nilai royalt i untuk
55 Budi Kusuma, Sri Pudyastuti, Tri Budianto Soekarno Kerajaan Film Impor , Majalah Tempo, edisi 22 Juli 1989.
70
GLOCAL MEDIA
film lokal lama biasanya dihargai senilai Rp 15 juta untuk 2 kali tayang
selama 2 tahun untuk sebuah stasiun TV. Di tahun berikutnya, paket yang
sama dijual ke stasiun TV lain.
Hari ini, memasuki milen ium baru, film Indonesia tak lagi banyak diputar
di stasiun TV yang jumlahnya telah melampau i 100 seluruh nusantara.
Banyak produser film lokal veteran akhirnya beralih ke produksi tayangan
TV lokal. Nama-nama seperti Raam Punjabi (PT Parkit Films), Ram Soraya
(PT Soraya Intercine), dan Hendrick Gozali (PT Garuda Film) beralih ke
produksi khusus untuk tayangan TV: sinetron.
Jumlah produksi film lokal masih jauh di bawah jumlah film impor. Hal ini
seakan menjadi fenomena abadi di negeri in i. Menarik benang merah
antara produktivitas produser lokal dengan banyaknya pipa eksibisi di era
digital ini, sejatinya berpikir bahwa pipa itu adalah “urusan pengusaha
besar” dan isinya bisa menjadi “urusan pengusaha menengah-kecil”. Selain
itu, untuk menghadapi kondisi global, kualitas film layar lebar dan
tayangan TV adalah keharusan. Kuantitas semuanya juga harus dijaga agar
“pipa tidak kering”. Hal terakhir in i dijaga benar olehpemerintah China
saat memberlakukan peraturan 1 judul film setiap 6 minggu kepada
Hengdian- Warner.
Content is king, atau isi adalah raja. Di saat pipa yang ada bertambah
banyak sementara penontonnya tetap, tayangan TV atau film yang paling
menarik yang akan mengarahkan penonton ke satu pipa khusus. Cerita
yang dinyatakan menarik setengah abad silam tak lagi relevan sekarang.
Plot linier seperti kisah Cinderella tak lagi menarik jika tak ada sub-plot
(cabang atas satu plot utama) atau mult i- plot (beberapa plot utama
sekaligus), lengkap dengan penggarapan karakter yang kuat dan latar
cerita (setting) yang telah dir iset dengan baik.
Secara gamblang tayangan TV atau film layar lebar berada di dalam satu
domain kreativitas (content) yang terkait dengan domain pipa (pipe) . Apa
yang terjadi di Indonesia pasca-restrukturisasi kabinet pemerintahan
berdampak pada penanganan kedua hal in i. Pipa berada di bawah
pengaturan Kementerian Komunikas i dan Informasi (Kominfo) , terutama
terkait dengan izin alokasi frekuensi dan satelit, standardisas i menara
transmis i, hingga pembangunan infrastruktur internet. Sementara itu isi
berada di beberapa kelembagaan, di antaranya:
1. Komisi Penyia ran Indonesia
ditayang di stasiun TV/radio),
(regulator atas semua yang
2. Lembaga Sensor Film (regulator atas sensor film, sinetron dan
video iklan),
71
AMELIA DAY
3. Dewan Pers (regulator atas produk jurnalist ik media cetak,
telev isi, radio dan media baru lainnya).
Dari sekian banyak lembaga pemerintahan, ada pula Kementerian
Pariwisata dan Industri Kreatif yang baru direstruktur dari Kementerian
Pariwisata dan Kebudayaan. Kebudayaan “dipindahkan” ke Kementerian
Pendidikan Nasional (sehingga menjadi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Restrukturisas i ini terjadi setelah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono melakukan reshuffle kabinet 18 Oktober 2011.
Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif in i meneruskan “roadmap”
atau “Peta Jalan” yang telah dibuat atas industri kreatif, yang dahulu
dirumuskan oleh Departemen Perdagangan (sebelum berganti nama
menjadi Kementerian Perdagangan). Peta Jalan Pengembangan Ekonomi
Kreatif 2025 (“Peta Jalan 2025) in i dibuat tahun 2008 oleh Tim Indonesia
Design Power yang juga dipantau langsung oleh Menteri Perdagangan
Marie Elka Pangestu, yang hari ini menjadi Menteri Pariwisata dan Industri
Kreatif.
Dalam Peta Jalan, dirumuskan 14 Subsektor Industri
membaurkan pipa dan isinya dalam kotak-kotak
membingungkan. Kotak tersebut adalah:
Kreatif yang
yang cukup
1. Periklanan
8. Permainan interaktif
2. Arsitektur
9. Musik
3. Pasar barang seni
10. Seni pertunjukan
4. Kerajinan
11. Penerbitan, percetakan
5. Desain
12. Telev isi & radio
6. Fesyen
13. Riset & pengembangan
7. Video, film, fotografi
14. Layanan komputer & piranti lunak
Satu pertanyaan yang langsung keluar dari pengotakan in i, "komik"
sebagai karya kreatif itu masuk dalam kotak apa? Dalam diskus i online
Akademi Samali, kartunis kondang Beng Rahadian (2012) menyatakan
bahwa pihak Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif meletakkan
komik ke subsektor "penerbitan dan percetakan". Logika dunia digital hari
in i kemudian berkembang, pada saat "komik" dibuat bergerak menjadi
"animas i", kotaknya harus pindah ke mana? Pertanyaan lanjutannya, pada
saat animas i tersebut menggunakan lagu tema (theme song atau
soundtrack) yang dinyanyikan Syahrin i, apakah produki ini berada pada
kotak berbeda dengan "musik"?
72
GLOCAL MEDIA
Membagi peta industri kreatif, dengan harapan agar lebih mudah
mengatur, tentu dengan melihatnya dari pipa dan isinya. TV dan radio
adalah pipa yang menyalurkan isi video, film dan musik. Yang sedikit
meragukan adalah "riset dan pengembangan", yang merupakan proses
kegiatan dalam arti luas, baik ilmu alam ataupun seni.
Sebagai pembanding, UNESCO (United Nations Educational, Scientific
Cultural Organisat ion) badan di bawah Persatuan Bangsa-bangsa yang
menangani kegiatan pendidikan, sains dan budaya dari para anggotanya,
membedakan industri budaya dan industri kreatif. Keduanya adalah hal
berbeda namun saling terkait erat. Dalam kajian Understanding Creative
Industries , Cultural Statistics for Public-policy Making, diselenggarakan oleh
unit statist ik, sektor budaya dari UNESCO, disampaikan bahwa UNESCO
memberikan panduan bagi negara-negara anggotanya untuk mengkaji
sektor industri kreatif dan mendorong prior itas untuk menyelenggarakan
riset di sektor ini.
Di tahun 1986, UNESCO mengeluarkan Framework of Cultural Statistics
yang membagi realitas budaya di dunia dalam 10 kategori:
(0)
cultural heritage;
(1)
printed matter and literature;
(2 & 3)
music and the performing arts;
(4)
visual arts;
(5 & 6)
audiovisual media
(5 cinema & photography; 6 radio & television);
(7)
socio cultural activities;
(8)
sports and games;
(9)
environment and nature.
Harap diingat, di tahun 1986 dunia masih analog. Teknologi digital waktu itu belumlah
sematang hari ini. Konvergensi pipa belum terjadi, sehingga setiap isinya dibedakan sesuai
dengan pipa yang berdiri sendiri-sendiri. Selain itu, warisan budaya yang fisik, seperti
“lingkungan dan alam” masuk dalam kategori “realitas budaya dunia”. Untuk yang
terakhir ini, lingkungan dan alam bukanlah hasil kreativitas manusia.
Formulasi ini diubah di tahun 2003 dengan kajian International Flows of Selected Cultural
Goods and Services 1994-2003, sehingga cultural goods and services dibagi atas barang dan
jasa yang bisa diperdagangkan adalah: heritage goods, printed media, recorded media,
visual arts, audio-visual media . Di pembagian ini juga, sekali lagi, konvergensi media
belumlah terjadi. Media rekam (audio atau audio-visual dalam pita kaset atau keping
73
AMELIA DAY
CD/DVD) masih dipisah dengan media audio-visual (yang tak direkam atau siaran
langsung dari TV atau radio). Pengotakan yang membedakan film layar lebar dan
tayangan TV juga masih terjadi.
UNESCO kemudian merevisi lagi menjadi “cultural industries” yang berbeda dengan
“creative industries”, mengingat beberapa realitas budaya seperti pariwisata dan olahraga.
Keduanya adalah realitas budaya, tapi bukan realitas kreatif seperti desain dan arsitektur.
Dalam revisi Framework for Cultural Statistics 2009 (FCS 2009), UNESCO menekankan
adanya pergerakan perdagangan dan perkembangan teknologi (trade & technology) yang
membuat realitas budaya (tempat, kegiatan hingga produknya) juga harus dirumuskan
ulang.
Bagan Realitas Budaya UNESCO
©2009
Realitas budaya ini bisa berbeda antara satu tempat dengan tempat lain. Globalisasi
adalah sebuah fenomena yang melahirkan realitas baru:
Mult icu lturalis m and interculturalit y have created new products,
new practices and mult iple identit ies. 5 6
56 UNESCO, The 2009 UNESCO Framework for Cultural Statistics (FCS), UNESCO Institute for Statistics (UIS), 2009,
halaman 13.
74
GLOCAL MEDIA
Untuk domain budaya, FCS 2009 ini mewakili realitas budaya khususnya tentang industri,
kegiatan dan hasil pemikiran yang bisa dikelompokkan menjadi:
A: Cultural and Natural Heritage;
B: Performance and Celebration;
C: Visual Arts and Crafts;
D: Books and Press;
E: Audio-visual and Interactive Media; and
F: Design and Creative Services
ICH: Intangible Cultural Heritage (transversal domain)
Panduan Unesco sejatinya dibuat untuk pendataan realitas budaya dunia. Jika dijejer
antara 14 subsektor industri kreatif yang dirumuskan pemerintah Indonesia dengan kajian
UNESCO yang terakhir ini terlihat beberapa kesamaan. Sayangnya terjadi juga kerancuan
perumusan. UNESCO jelas-jelas hanya memaparkan “content” dalam kategori di atas,
sementara rumusan Departemen Perdagangan waktu itu mencampur-adukkan pipa
seperti TV, radio dan pasar seni ke dalam kategori industri kreatif selain desain dan film di
kategori lain.
Dalam FCS 2009 juga disampaikan beberapa catatan, seperti contemporary visual art,
contohnya lukisan aliran post-modern atau komik, masuk ke dalam “design & services”.
Seperti yang telah disinggung di awal, karya komik masuk ke dalam “penerbitan &
percetakan”. Sekali lagi, “penerbitan” adalah proses produksi, bukan proses kreasi.
UNESCO juga menekankan bahwa realitas dan produk budaya itu dikaji dalam kerangka
ekonomi dan sosial. UNESCO juga membagi tahapan siklus budaya (culture cycle) dalam
lima yang saling terkait:
1. Kreasi,
2. Produksi,
3. Diseminasi,
4. Eksibisi/transmisi/penerimaan, dan
5. Konsumsi/partisipasi.
Proses kreasi berulang kembali saat terjadi perdagangan (trade) dan adanya
perkembangan teknologi baru (technology). Proses ini tidak runut, karena terkadang ada
tahap yang dilakukan bersamaan oleh sang kreator: seorang musisi membuat lagu dan
(kreasi) langsung menyanyikannya (diseminasi).
75
AMELIA DAY
Realitas budaya di Indonesia hari ini seakan hanya Bali dan Jogjakarta, dua daerah
pariwisata yang kaya akan dua hal: tradisi ritual (pernikahan, penguburan mayat,
perayaan hari besar) serta kesenian (menari, bermain musik, dan lainnya). Sesungguhnya di
tiap pelosok Indonesia, ritual dan bentuk kesenian sangatlah beragam. Bahkan di satu
provinsi sekalipun, ada beberapa suku bangsa yang saling mempengaruhi tapi juga
memiliki ciri khas tersendiri. Contoh untuk satu provinsi ini, misalmya, Sulawesi Selatan. Di
daerah ini ada 4 suku bangsa utama (Mandar, Makassar, Bugis dan Toraja) yang memiliki
ciri khas kuat tapi juga bisa terlihat benang merah keterkaitannya, mulai dari nilai-nilai
dasar kehidupan hingga gerakan tarian dan detail pakaian yang dipakai.
Bagan Siklus Budaya versi UNESCO
©2009
Dari demikian banyak kekayaan bangsa ini, yang tampil di layar lokal hanyalah segelintir.
Itupun hanya berupa sekutip tarian yang disajikan membosankan dengan garapan visual
seadanya. Belum ada video indepth investigation atas kisah Mahabharata di Indonesia
yang berbeda dengan kisah berjudul sama di India. Belum banyak pula kisah epik kolosal
dibuat secara serius dengan gaya Hollywood yang penuh intrik cinta terlarang. Beberapa
tayangan bermuatan kisah daerah di TV biasa bergenre panggung lawak atau
dokumenter. Trans Corporations, misalnya, memproduksi Opera van Java, dan Kelompok
Kompas Gramedia menyajikan perjalanan ke titik gunung berapi di Indonesia dalam
Cincin Api.
Di jam prima (prime time) di televisi hari ini, karakter cantik dan ganteng hanya berkelahi
dengan mata melotot dan tangan menghunus pisau, apakah itu karakter dalam tayangan
genre drama ataupun genre berita. Hari ini tayangan drama jarang diproduksi dengan
76
GLOCAL MEDIA
kedalaman filosofi lokal. Ambil contoh filosofi kehidupan suku Bugis seperti siri' (pamali,
malu) dan assitinajeng (kelayakan, kepatutan), dua hal ini tak banyak diungkap dalam
kisah-kisah modern baik di layar bioskop ataupun televisi. Kisah La Galigo yang terkenal
seantero dunia ternyata tak terlalu dikenal secara mendetail di negerinya sendiri. Alkisah,
Sawerigading (pangeran dari Kerajaan Luwu) menikahi We Cudai (putri kelahiran China
daratan) karena ia mirip dengan kekasih lama Sawerigading: saudara kembarnya. Kisah
epik kolosal dibumbui kisah cinta terlarang ini tak pernah diangkat di industri M&E lokal,
bahkan untuk mendapatkan kisah dalam bahasa Bugis kuno ini dalam buku terjemahan
adalah sulit, jika tak bisa dikategorikan mustahil.
Upaya menjaga realitas budaya dengan nilai-nilai luhur nenek moyang bangsa ini tak
dijalankan secara maksimal. Sementara itu, tenaga kreatif lokal kian membaik secara
kuantitas ataupun kualitas. Hal ini terbukti dari banyaknya film dan sinetron diproduksi
setiap waktu, hingga banyaknya film layar lebar yang menang di berbagai festival film di
luar negeri. Memanfaatkan kekayaan sumber daya manusia dan sumber budaya di
Indonesia, inilah saatnya bangsa ini meniru apa yang dilaksanakan bangsa China dengan
strategi perang Sun Tzu dan filosofi Tao, warisan leluhur mereka.
77
78
GLOCAL MEDIA
6
SIMPULAN: VISI KREATIF 2025
Bangsa China hari ini mempercayai bahwa mengenal sejarah mereka berarti sejauh itu
juga masa depan bangsa dirancang. Banyak bangsa besar lain di dunia, seperti India,
Jepang, Korea Selatan dan Inggris yang masih menjaga peninggalan nenek moyang
mereka dengan baik. Situs-situs kebudayaan terawat baik. Manuskrip atau buku
kesusasteraan yang lahir di era sebelumnya terarsip dengan baik pula. Jika dibandingkan
dengan Amerika Serikat yang baru lahir tiga dekade terakhir, bangsa-bangsa besar dunia
ini bahkan telah lahir ribuan tahun silam.
Amerika Serikat, dengan latar sejarah “sependek” itu, memiliki visi kebudayaan yang jauh
ke depan. Arsip film dan produk kebudayaan mereka lainnya tersusun baik. Dengan
teknologi termutakhir, mereka bisa mengolah film hitam putih menjadi berwarna. Film ini
pun mendapat sentuhan suara dan musik latar yang lebih memanjakan telinga. Cara
berbisnis audio-visual seratus tahun terakhir dikristalkan di Amerika Serikat mengingat
berbagai teknologi audio-visual berasal dari negeri ini selain Inggris, Jerman dan Jepang.
Dengan modal teknologi, negara-negara ini telah mampu membuat produk audio-visual
secara massal berkualitas. Amerika Serikat, dengan pusatnya Hollywood, telah mampu
merajai industri M&E global, dan kemudian sedikit “berbagi resep sukses” mereka ke negeri
China, terpaksa ataupun tidak.
Bangsa China hari ini terbukti telah mampu meraih dunia dengan produk-produk
budayanya, kasat mata atau tidak (tangible atau intangible). Di era Soeharto,
mempelajari bahasa Mandarin bisa berarti makar terhadap negara. Hari ini, bahasa
Mandarin banyak diajarkan di beberapa sekolah bertaraf internasional yang ada di kotakota besar seperti Jakarta. Medan dan Surabaya. Inilah realitas budaya China di Indonesia
hari ini. Apa realitas budaya Indonesia di negeri China?
79
AMELIA DAY
Menjawab pertanyaan di atas berarti memperhitungkan ratusan bahasa daerah, suku
bangsa dan produk seni budaya dari Sabang sampai Merauke. Pengaruh global terhadap
produk seni budaya lokal Indonesia selayaknya digarap semaksimal upaya China, seperti
yang dikaji Fung (2008). Fung menegaskan bahwa proses ini semata-mata ditujukan
untuk membangun raksasa produksi dan media China dengan resep Hollywood. Strategi
pemerintah China ini kemudian menghasilkan produk budaya yang bisa dinikmati oleh
penonton global.
Besides the import of global content to supplement the shortage of the
programming, the new way of programming, and management learned by
global contacts can modernize and widen the variety, quality, and quantity of
their programming … [A]ll these seemingly open media policy, as I would
suggest, are intended strategies of the state, which, via the Chinesee media,
avails itself of the opportunity to partner with foreign capital to promote the
nation's image and culture.
Memahami proses di atas, ada beberapa hal yang harus dikaji sebelum menentukan
kebijakan yang terbaik untuk sektor M&E hari ini di Indonesia: mendata permasalahan,
mengukur kemampuan dan kemungkinan terbaik, dan memperhitungkan strategi
kebijakan dengan mendefleksikan pengalaman pemerintah China terhadap yang ada di
Indonesia.
Ada beberapa permasalahan yang serupa sebangun dengan negara China, terutama
perihal infrastruktur atau pipa, entah menara terestrial, jaringan kabel serat optik atau
satelit angkasa. Permasalahan utama di negara luas seperti China dan Indonesia adalah
seperti konsentrasi infrastruktur (pipe) di Pulau Jawa, terutama untuk jaringan kabel dan
menara terestrial. Antisipasi terhadap perkembangan teknologi komunikasi dan
telekomunikasi juga menambah kompleksitas permasalahan pipa yang ada.
Sesungguhnya perkembangan pipa global
adaah saat teknologi transmisi sinyal
elektromagnetis di awal 1900-an ditemukan. Teknologi audio-visual bioskop
dikembangkan lebih awal lagi (1870-an). Penemuan demi penemuan ini berlangsung di
negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Indonesia sebagai negara konsumsi
media, lahir dan tumbuhnya industri M&E ini mengalami keterlambatan. Film pertama
diproduksi di Indonesia adalah film bisu Loetoeng Kasaroeng di tahun 1926 (JB Kristanto:
1995). Di masa pendudukan Belanda, bioskop adalah tempat elit bercengkerama dan
bersosialisasi. Sejarah pernah mencatat bioskop rakyat mulai banyak tumbuh hingga ke
pelosok nusantara setelah masa Belanda ini. Bioskop mulai terkonsentrasi kembali di Pulau
Jawa dan segelintir ibukota provinsi di Indonesia, terutama yang populasi padat, di saat
impor film Hollywood dimonopoli di era 1980-an oleh pengusaha Jakarta.
Keterlambatan juga terjadi di industri penyiaran televisi. TVRI lahir 1962, terlambat
beberapa dekade dari Jerman, Amerika Serikat, dan Inggris sebagai inventor teknologi
produksi dan transmisi TV. TVRI bersiaran pertama kali untuk menyiarkan pembukaan
ASIAN Games IV di Senayan, Jakarta. Sebagai bisnis penyiaran TVRI didirikan terlambat
80
GLOCAL MEDIA
satu hingga tiga dekade dibanding negara-negara Eropa (1930-an), Amerika Serikat
(1940-an) ataupun Jepang (1950-an). Selanjutnya di Indonesia lahir 5 stasiun TV swasta
pertama sebelum lahir Undang-undang Penyiaran 1994.
Peraturan ini sesungguhnya mewajibkan semua stasiun TV swasta itu membangun menara
retransmisi di 3 (tiga) wilayah waktu di Indonesia (WIB, WITA, dan WIT) secara merata.
Yang terjadi kemudian di saat lima stasiun TV swasta memasuki tahun 1990-an, semua
berburu lokasi di pelosok Pulau Jawa terlebih dahulu. Pemerataan pembangunan, apalagi
hingga ke timur Indonesia, tak terlaksana baik. Di belahan dunia lain, konsep TV
berjaringan telah matang sehingga pembangunan menara tersebar hampir merata di
pelosok negeri.
Disadari atau tidak, sejarah industri penyiaran secara global mengikuti perkembangan
teknologi audio-visual. Diawali saat teknologi elektromagnetis, khususnya untuk penyiaran
terestrial, beberapa negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang mengantisipasi
perkembangan teknologi mulai dari tahap produksi hingga eksibisi. Semuanya bahkan
berlomba membuat pabrik perangkat radio, televisi atau menetapkan standar perangkat
(analog) hingga akhirnya terjadi konvergensi digital yang memudahkan meleburnya
berbagai perangkat dan standar ini.
Pipa alternatif melalui satelit baru lahir di akhir 1990-an, di saat Indovision dibangun oleh
Kelompok Bimantara yang dimiliki oleh Bambang Trihatmodjo, Peter Gontha, Peter
Sondakh dan beberapa mitra lainnya, dan sekarang dimiliki oleh Bhakti Investama, entitas
usaha miliki keluarga Tanusoedibjo. TVRI menjadi satu-satunya alternatif di daerah yang
belum tersentuh sinyal TV swasta.
Di masa 1990-an ini pun jaringan kabel serat optik masih digunakan murni untuk
telekomunikasi (audio) dan belum menjangkau daerah di luar Pulau Jawa. Awal 200-an,
di Kalimantan dan Sulawesi, dua pulau blank spot sinyal televisi terestrial, mulai lahir
operator kabel lokal. Pelanggannya hanya tetangga sekitar rumah sang operator. Waktu
itu, biaya berlangganannya Rp 25-50 ribu pun termasuk murah dibanding Indovision (Rp
400 ribu per bulan plus biaya deposit dekoder Rp 3 juta di awal berlangganan).
Lebih dari 250 juta penduduk Indonesia dari Sabang hingga Merauke hidup di puluhan
ribu pulau kecil dan besar. Ada 33 provinsi dan lebih dari 500 kota/kabupaten dengan
peta infrastruktur komunikasi yang berbeda: ada lembah, ada gunung, ada dataran, dan
ada kepulauan yang terhubung dengan selat. Dengan topografi yang beragam ini,
pemasangan jaringan kabel atau menara selayaknya dikaji oleh pemerintah daerah
setempat. Kalimantan, misalnya, satu daerah blank spot karena tanah yang luas dan
penduduk yang tersebar di banyak pelosok pulau, termasuk satu daerah yang
membangun infrastrukturnya tanpa bantuan pengusaha dan penguasa Jakarta. Di
Balikpapan dan kota-kota besar lainnya di Kalimantan Timur telah terpasang kabel serat
optik di sepanjang jalan utama hingga beberapa kilometer ke perumahan rakyat. Kabel
ini terutama diimpor dari China karena kabel kualitas serupa bisa berlipat harganya jika
diimpor dari Jerman atau Amerika Serikat. Kabel untuk tautan terakhir ke rumah-rumah
81
AMELIA DAY
(last mile) ini lebih murah dan dipasang oleh pengusaha televisi berlangganan lokal. Setiap
operator bisa merangkul sepuluh tetangganya hingga seribu rumah di satu area dengan
biaya berlangganan yang tentunya lebih murah pula. Bayangkan jika ada ratusan
operator yang serupa di seluruh Indonesia. Walau hingga saat ini masih perdebatan, asosiasi
para pengusaha TV berlangganan lokal ini menyatakan jumlah pelanggannya mencapai 2
juta. Angka ini masih di atas angka Telkomvision, Indovision, AoraTV dan First Media
digabung sekaligus.
Tabel Satelit Komunikasi dengan footprint fokus kawasan Asia
(data per tanggal 19 Mei 2012, diambil dari www.lyngsat.com)
ABS 1
ABS 1A
ABS 7
Apstar 2R
Apstar 6
Apstar 7
AsiaSat
AsiaSat 2
AsiaSat 3S
AsiaSat 5
AsiaSat 7
BSAT 2C
BSAT 3A
BSAT 3B
BSAT 3C/JCSAT 110R
ChinaSat 10
ChinaSat 5A
ChinaSat 5B
ChinaSat 6A
ChinaSat 6B
ChinaSat 9
Express A2
Express AM2
Express AM3
Express AM33
Express MD1
G-Sat 12
GE 23
Horizons 2
Insat 2E
Insat 3A
Insat 3C
Insat 4A
Insat 4B
Insat 4CR
Intelsat 15
Intelsat 18
Intelsat 5
Intelsat 701
Intelsat 8
JCSAT 1B
JCSAT 2A
JCSAT 3A
JCSAT 4A
JCSAT 5A
JCSAT RA
JCSAT 13
KazSat 2
Koreasat 5
Koreasat 6
Measat 2
Measat 3
82
Measat 3a
N-Sat 110
NSS 11
NSS 6
NSS 9
Optus B3
Optus C1
Optus D1
Optus D2
Optus D3
Palapa C2
Palapa D
SES 3
SES 7
ST 1
ST 2
Superbird B2
Superbird C2
Telkom 1
Telkom 2
Telstar 18
Thaicom 5
Vinasat 1
Yamal 201
GLOCAL MEDIA
Masyarakat, baik dengan berbagai paket biaya berlangganan ini, mencerminkan
kemampuan konsumsi media yang cukup tinggi. Daerah-darah yang tak terjangkau
menara terestrial ataupun jaringan kabel ini biasanya dijangkau dengan satelit. Satelit
milik pemerintah Indonesia ada di bawah anak perusahaan negara: PT Telkom (satelit
Telkom 1 dan 2) dan PT Indosat (satelit Palapa B2 dan C2). Selain itu ada pihak swasta
yang juga memiliki operator TV berlangganan: Lippo Group (JCSat13 atau LippoSat) dan
Kelompok Global Mediacom (SES 7 atau Indostar 2). Lippo memiliki saham di operator
kabel First Media, dan Global Mediacom pemilik MNC yang juga mengelola Indovision.
Bandingkan dengan China yang memiliki paket Chinasat dan Asiasat. Chinasat murni milik
pemerintah di bawah kementerian komunikasi informasinya, dan Asiasat di bawah badan
usaha milik pemerintah China dengan bendera CITIC Group. Satelit komunikasi ini
menyalurkan saluran berbayar hingga TV terestrial untuk jangkauan siaran yang lebih
jauh.
Melengkapi infrastruktur yang sudah ada ini (menara terestrial, kabel last mile, dan satelit),
selayaknya juga dibangun jaringan kabel bawah laut (international submarine
communications cable) dengan gateway dan backbone alternatif untuk mengatur trafik ke
luar Indonesia . Infrastruktur ini menjadi kian penting jika mengingat jaringan internet
global tergantung akan infrastruktur kabel bawah laut ini. Indonesia hanya tergantung
akan Jakabare (Jakarta – Batam – Singapore) dan Jakasuraus (Jakarta – Surabaya –
Australia).
Walau teknologi komputasi awan (cloud computing) telah memudahkan penyimpanan
data dengan cara desentral, beberapa hal masih berkiblat ke Amerika Serikat sebagai
pusat registrasi domain .com, dengan lembaga nirlaba perwakilan pemerintah, yaitu
ICANN (Internet Corporation for Assigned Names and Numbers). Untuk beberapa domain
lokal (bukan .com) tentunya komputasi awan ini sangat menguntungkan, tapi untuk
beberapa top-level domain seperti .com, .org, .edu dan seterusnya, akses yang cepat ke
Amerika Serikat adalah keharusan.
Selain urusan hubungan dengan dunia luar, Indonesia sendiri memiliki proyek dalam negeri
yang cukup mulia: Palapa Ring. Palapa Ring adalah jaringan kabel serat optik bawah laut
yang mengelilingi pulau-pulau terluar di Indonesia. Jaringan ini direncanakan menjangkau
33 provinsi di seluruh Indonesia dengan total panjang kabel laut mencapai 35.280
kilometer, dan kabel daratan hingga 21.807 kilometer. Proyek yang pada tahun 1998 diberi
nama Nusantara 21 ini tertunda hingga hari ini.
Permasalahan selanjutnya yang mungkin membuat permasalahan yang ada menjadi kian
blunder (kusut) adalah perkembangan teknologi digital. Perangkat analog adalah
terpisahnya televisi, bioskop, telepon dan komputer. Dengan teknologi digital setiap fungsi
ini “melebur” jadi satu perangkat. Dengan beban trafik yang kian tinggi, apalagi setelah
beberapa daerah terpencil mulai melek media, konvergensi digital yang tak diantisipasi
akan menyebabkan bottleneck pipa penyaluran di dalam bahkan hingga ke luar negeri.
83
AMELIA DAY
Ratusan pipa lahir setelah era 1990an. Dengn kondisi semua serba tertunda, dan kalaupun
ada ia menjadi terkonsentrasi di titik tertentu, penanganan infrastruktur haruslah
komprehensif. Hari ini, ada lebih dari seratus stasiun TV terestrial beroperasi di seluruh
Indonesia, puluhan operator TV kabel lokal, dan belasan operator TV berlangganan satelit.
Jika stasiun TV terestrial seeperti SCTV atau Trans7 menyiarkan produksi lokal, maka
sebagian besar saluran TV berlangganan di Indonesia masih menyalurkan content asing.
Saluran TV yang memiliki rating tertinggi adalah produksi Hollywood, seperti HBO (film
layar lebar) atau Fox Crime (seri TV). HBO adalah perusahaan milik Viacom dan Fox Crime
adalah milik News Corporation. Sementara itu ada juga produksi lokal di sauran
berlangganans seperti SFI (Saluran Film Indonesia) yang lebih banyak menyiarkan film
independen, karena jumlah film dari produser seperti Garuda Film atau Rapi Film terbatas.
Kedua produser film ini setidaknya pernah produktif menghasilkan lebih dari lima produksi
dalam satu tahun (kuantitas), atau pernah memenangkan Piala Citra untuk kategori
tertentu.
Kualitas sebuah film sesungguhnya memiliki beberapa kriteria yang saling terkait. Seperti
halnya sebuah orkestra musik, produksi film tidak hanya tergantung pada seorang
sutradara top, tapi juga harus ditunjang oleh kamerawan, penyunting, ilustrator musik,
serta penulis skenario yang andal. Semuanya harus punya karakter kuat, apalagi jika
ditunjang bantuan teknologi termutakhir. Sebuah film layar lebar dinyatakan sukses jika
telah memenuhi beberapa faktor utama ini, yang kemudian menjadi semacam pakem
kesuksesannya di pasar penonton.
Selain terkait erat dengan kualitas sumber daya manusia kemampuan pemerintah
memproteksi industri kreatif lokal juga menjadi faktor penentu. Pemerintah wajib
melindungi pasar penonton lokal, terkait hal sosial, budaya hingga pertahanan keamanan.
Pemerintah juga wajib melindungi para pemain lokal serta mendorong mereka ke pasar
yang lebih luas: pasar global. Untuk masalah mikro, pemerintah juga wajib memperhatikan
tiap tahap (produksi, distribusi, eksibisi) mulai dari pendanaan sebuah produksi hingga
pemerataan menara hingga ruang bioskop di seluruh Indonesia.
Sebuah pemerintahan, dalam tataran pengaturan global, harus menjalankan aturan
terkait hak intelektual. Hak intelektual para pekerja kreatif ini lebih dikenal dengan istilah
intellectual property rigths (IPR). Satu alasan pasti, selain IPR (intellectual property rights)
ini telah disepakati banyak negara di dunia. Kesepakatan atau treaty ini dibuat untuk
memudahkan akses berdagang antar-negara. IPR kemudian menjadi kesepakatan
negara-negara yang tergabung dalam WTO (World Trade Organization). Ekspor impor film
layar lebar menjadi salah satu komoditas yang diperdagangkan nomor 5 terbesar di
Turunan dari IPR ini adalah hak cipta, khusus untuk produk tidak kasat mata (intangible).
Karya cipta ini pun memiliki kaitan dengan media rights, atau apapun yang disiarkan atau
didistribusikan melalui media. Karya musik hanya terkait dengan hak cipta jika ia
diperdengarkan secara terbatas, namun setelah dijadikan CD atau MP3 file atau disiarkan
di televisi, karya cipta musik ini mendapatkan perlindungan media rights. Hak cipta yang
84
GLOCAL MEDIA
“tak disiarkan” biasanya produk kasat mata (tangible) seperti lukisan atau desain
jembatan berteknologi tinggi. Perlindungan media rights ini menjadi penting hari ini karena
media global tak lagi mengenal batas waktu ataupun negara:
Intellectual property used to be an arcane and boring subject, something for
specialsts only, but within the past few years it had become a powerful
influence on the way everyone has ideas and owns them, as well as on global
economic output.57
IPR menjadi pelindung karya cipta audio-visual yang banyak diproduksi di Hollywood.
Indonesia dibanjiri film bioskop dari Hollywood sejak 1950-an, sementara di saat yang sama
China mulai memasuki era tertutup dari pengaruh asing. Di saat teknologi perekam mulai
diproduksi massal salah satunya oleh Sony, Jepang, duplikat film bisa didapat di pasar
ilegal. Di saat teknologi digital memudahkan penggandaan film dalam hitungan cepat dan
siapapun bisa melakukannya, konsep IPR menghadapi kendala besar. Produk budaya
yang terikat dalam proses analog, kini harus berhadapan dengan konsep supply-demand
yang berbeda: pembatasan supply tak lagi dikendalikan konglomerat media. Sementarai
itu, produksi amatir pun mulai banyak dibuat, dan media alternatif seperti Youtube.com
dan Videolectures.net kian hidup.
The cultural dinosaurs of our recent past are moving to quickly remake
cyberspace so that they can better protect their interests against the future.
Powerful conglomerates are swiftly using both law and technology to "tame"
the Internet, transforming it from an open forum for ideas into nothing more
than cable television on speed58
Teknologi digital yang memungkinkan penggandaan sebuah karya video, yang dahulu
hanya didistribusikan secara terbatas melalui televisi dan bioskop. Video digital hari ini
dengan mudah diunduh (download) secara lengkap di banyak situs internet, termasuk
Youtube. Kebiasan berbagi (sharing) ini sesungguhnya kebiasaan lama, dan di dunia digital
perilaku ini tak mengenal batas waktu dan ruang lagi. Indonesia dengan total pengguna
telepon genggam pintar (smartphone) yang bisa terkoneksi ke internet menjadi salah satu
negara yang masuk dalam daftar priority watch list59. Ini adalah daftar pelanggar terberat
di mata produser video Hollywood dan pencipta piranti lunak. Negara-negara di daftar ini,
selain Indonesia juga ada China, India, Pakistan, Thailand, Venezuela, Argentina, Russia,
dan Canada, adalah pelanggar aturan TRIPS serta aturan dalam negeri Amerika Serikat,
Section 182 of the Trade Act of 1974 dan Omnibus Trade and Competitiveness Act of 1988.
57 Richard Haynes, Media Rights and Intellectual Property, Edinburgh University Press, 2005, halaman 9.
58 Lawrence Lessig, Media Rights and Intellectual The future of ideas: the fate of the commons in a connected world,
Random House, 2001.
59 Ron Kirk (Ambassador), 2010 Special 301 Report, The Office of the United States Trade Representative, 2010.
85
AMELIA DAY
Khusus untuk video, proteksi pemerintah Amerika Serikat terhadap produk digital mereka
adalah terkait film layar lebar dan seri TV. Federal Bureau of Investigation (FBI) dari
Amerika Serikat kerap bekerjasama dengan pihak polisi Interpol negara-negara yang telah
menandatangani perjanjian TRIPS untuk “memberantas pelanggar individu”. Kasus
termutakhir adalah ditutupnya situs www.megaupload.com. Upaya ini disusul dengan
tindakan pemerintah Selandia Baru dengan penangkapan warga negaranya, Kim Dotcom,
sebagai pemilik situs ini. Inilah rentetan dari kesepakatan yang ditandatangani tanggal 7
Juli 2011 oleh pemain industri Amerika Serikat seperti Internet service providers (Comcast,
Cablevision, Verizon, Time Warner Cable dan AT&T), RIAA serta perusahaan rekaman
audio/video A2IM, MPAA dan studio film IFTA untuk menekan tingkat pembajakan online
piracy.60 Sempat keluar pula di 2012 ini inisiatif rancangan peraturan Stop Online Piracy
Act (SOPA) yang kemudian dibatalkan karena banyak pemain di sektor Internet yang
tidak mendukung, seperti Google, Yahoo, Wikipedia, Huffington Post. Alasan utamanya,
mereka adalah pemain baru yang besar karena internet, sedangkan anggota MPAA
adalah pemain lama yang besar dengan pipa “tradisional”.
Selain proteksi terkait hak intelektual ini, beberapa negara produser film dan seri TV
memberlakukan pajak lebih tinggi terhadap produksi impor dibanding dengan produksi
lokal. Varian dari kebijakan terkait pajak produk lokal ini adalah pemotongan pajak atau
refundable tax credits jika produser asing bekerjasama dengan produser lokal untuk
memproduksi di dalam negeri. Biasanya produser lokal memiliki fasilitas produksi yang
lengkap dengan harga sewa lebih murah dibanding dengan negara lain. Contohnya adalah
studio di Kanada yang memproduksi film layar lebar 300 yang berkisah tentang Persia
jaman dahulu. Semua latar belakang kerajaan dikerjakan secara digital dan teknik
kamera green screen, sehingga tak perlu ada pembangunan properti kerajaan yang luas
dan mahal seperti studio alam Forbidden City di China. Produser Hollywood diberikan tax
credits oleh pemerintah Kanada atas penggunaan studio digital itu di Kanada, sehingga
produser ini akan mendapat keuntungan lebih: tidak membangun setting mahal dan
mendapatkan keringanan pajak.
Kebijakan pajak di Indonesia hari ini masih terhitung tidak strategis. Fokus dari pajak atau
bea atas film impor hanya ditujukan pada “hambatan” tanpa lebih jauh melihat peluang
kerjasama atau partnership atau co-production yang saling menguntungkan.
Sebagai contoh adalah kebijakan pajak terbaru pasca-kisruh antara importir-distributorbioskop Kelompok 21 dengan Kementerian Keuangan pertengahan 2011. Tunggakan pajak
dihitung berdasarkan kompleksitas klausul aturan pajak terdahulu, Peraturan Menteri
Keuangan No. 75/PMK.03/2010 yang belum membedakan antara film impor dan film
produksi lokal. Peraturan ini diganti oleh klausul yang lebih ringkas dan hanya untuk film
cerita impor., yaitu Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.011/2011 yang mengatur Nilai
Lain DPP (Dasar Pengenaan Pajak) atas PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Untuk
60 2011 U.S. Intellectual Property Enforcement Coordinator: Annual Report on Intellectual Property Enforcement,
Executive Office of The President of The United States, Maret 2012.
86
GLOCAL MEDIA
peraturan lama, kompleksitas klausul adalah jenis film impor (ataupun lokal) yang dibagi
atas beberapa kriteria penerapan DPP PPN ini:
a. untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
b. untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
c. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan
harga jual rata-rata;
d. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
e. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
f. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar;
g. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok
penjualan atau harga perolehan;
h. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara adalah
harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli;
i. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga
lelang;
j. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
k. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10%
(sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Atas aturan yang baru, hanya ada tiga kriteria khususnya untuk film impor saja:
a. DPP PPN atas impor media Film Cerita Impor;
b. DPP PPN atas penyerahan copy Film Cerita Impor kepada Pengusaha
Bioskop;
c. DPP PPh Pasal 22 atas impor media Film Cerita Impor.
DPP PPN ditetapkan hanya Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) saja atas dua hal: 1)
impor media Film Cerita Impordan 2) penyerahan copy Film Cerita Impor kepada
Pengusaha Bioskop.
87
AMELIA DAY
Selain itu, film impor juga dikenakan DPP Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan Pasal 22
ayat (2) dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan 61 atas impor
Film Cerita Impor sebesar Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk
(BM) dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.
Dari ketiga hal yang diatur kantor Kementerian Keuangan di Indonesia ini (PPN, PPh dan
BM), belum ditemukan cetak biru di Kementerian Keuangan ataupun kantor kementerian
terkait yang secara struktural mengatur sektor M&E khususnya untuk produksi film layar
lebar ataupun produksi seri TV lokal. Cetak biru yang dimaksud tentunya berhubungan
dengan arus modal asing masuk sekaligus proteksi terhadap pemain lokal. Apapun bentuk
pajak atau bea yang ditetapkan pemerintah Indonesia, seharusnya ada cetak biru untuk
melihat trickle effect atau dampak berkelanjutan dari kebijakan pajak seperti yang
diterapkan di China ataupun Kanada terhadap produksi Hollywood. China melengkapi
dengan studio alam besar dan kebijakan perlindungan atas hak intelektual di tingkat
pusat, dan Kanada mempersiapkan studio digital dan keringanan pajak seperti tax credits
yang bisa.
“Cetak Biru Sektor M&E” untuk lingkup nasional hari ini hanya berupa “Peta Jalan Industri
Kreatif 2025” yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan di tahun 2003. Peta Jalan ini
kemudian menjadi tanggungjawab Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif sejak 2011
sejak reshuffle kabinet Indonesia Bersatu “Jilid 2”. Seperti yang telah diungkap di bagian
sebelumnya, terdapat kerancuan konsepsi “pipe & content” hingga menimbulkan
kerancuan prioritas kerja. Jika memang Peta Jalan ini mengacu pada FCS 2009 rumusan
UNESCO, peta ini seharusnya bisa lebih komprehensif membagi kotak kategori sektor
industri kreatif di Indonesia. Peta ini juga seharusnya dibuat dalam dua kotak kategori
besar: pipa dan isi.
Content adalah bagian yang banyak dikelola pemain lokal menengah-kecil, bahkan
amatir sekalipun seperti yang banyak diunggah ke situs Youtube. Untuk itu industri kreatif
khusus content bisa digarap secara lokal dengan masing-masing kekuatan budaya
setempat. Pusat kegiatan kebudayaan di daerah seperti gelanggang remaja atau alunalun bisa menjadi prototipe pengembangan talenta dan produksi lokal, misalnya. Pusat
kegiatan ini juga bisa dilengkapi dengan infrastruktur pemutaran film dengan teknologi
digital yang tak memerlukan biaya tinggi dan ruangan luas. Kementerian Pariwisata dan
Industri Kreatif bisa langsung bekerjasama dengan pemerintah daerah .
Jika berpikir bahwa pipe bermodal besar, maka kantor kementerian yang dipimpin Marie
Elka Pangestu ini bisa berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi
(Kominfo), untuk merancang dan membangun infrastruktur menara, kabel dan satelit di
seluruh Indonesia, yang memang padat modal (pemain industri besar). Insentif bagi pemain
61 Undang-undang ini kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, yang mempertegas
Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk mengatur dasar pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 perihal
Impor.
88
GLOCAL MEDIA
lokal bisa mengikuti pola kebijakan publik yang telah berjalan selama ini, namun kali ini
harus dalam visi baru sektor M&E yang memudahkan investor asing tanpa menggusur
ruang bagi pemain lokal. Visi ini juga sebaiknya melihat content sebagai suatu peluang
strategis untuk memperkenalkan Indonesia ke mata dunia secara lebih komprehensif.
Konsepsi Palapa Ring, dengan konsorsium pemain telekomunikasi besar di negeri ini,
berjalan lambat hingga hari ini. Palapa Ring adalah jaringan infrastruktur kabel serat optik
bawah laut yang mengelilingi Indonesia pantai terluar. Pemerintah mencanangkan tahun
2015 sebagai tahun ”Indonesia Broadband”, kemudian ditingkatkan menjadi ”Indonesia
Digital” pada tahun 2018. Palapa Ring merupakan megaproyek pembangunan tulang
punggung (backbone) yang terdiri dari 35.280 kilometer serat optik bawah laut (submarine
cable) dan 21.708 kilometer serat optik bawah tanah (inland cable) pada 7 cincin (ring)
melingkupi 33 provinsi dan 460 kabupaten. Program pemerintah ini mengalami kisruh
pembiayaan, bahkan sejak pencetusan ide yang dibiayai konsorsium (PT Telkom, XL,
Bakrie Telecom dan beberapa lainnya). Bahkan setelah akhirnya dibiayai dana USO
(universal service obligation), pembiayaan proyek ini masih jadi perdebatan. 62
Selain konsepsi Palapa Ring, pemerintah juga telah merancang kerjasama Australia-Jepang
untuk backbone jaringan internet baru ke kawasan Asia. Selama ini Indonesia hanya
tergantung pada backbone di Singapura. Bayangkan, dengan pertumbuhan pengguna
internet beberapa tahun terakhir (atas populasi penduduk dari Sabang hingga Merauke),
satu jalur keluar masuk tidaklah lagi mencukupi. Sayangnya proyek jaringan serat optik
bawah laut yang “menempel” jalur Australia-Jepang ini terhenti karena beberapa alasan
yang tak jelas.
Belum lagi ditambah dengan tertundanya Rancangan Undang-undang Konvergensi dari
daftar prioritas pembahasan pemerintah dan DPR sejak 2009. Prioritas Balegnas (Badan
Legislasi Nasional) Hal ini kian memperjelas arahan sektor M&E di negeri ini masih sangat
tradisional. Sementara konvergensi digital yang memudahkan berbagai medium yang
terpisah sebelumnya memiliki fungsi yang sama: memutar audio-visual secara paralel
dalam waktu yang sama, berkomunikasi dua arah dan berselancar di dunia maya dengan
leluasa. Indonesia yang luas ini terbagi atas puluhan ribu pulau dan lautan serta berbagai
sungai dan pegunungan. Sayangnya, dengan kontur geografis dan kepadatan populasi
yang berbeda di setiap daerah, negeri ini masih memiliki daerah blank spot (tiada sinyal)
hingga daerah megapolitan yang kaya dengan media informasi dan sarana komunikasi
berbagai bentuk. Sementara itu, teknologi termutakhir dunia adalah AR atau augmented
reality atau realitas yang ditempelkan. Keberadaan seseorang bisa dipantulkan dari
telepon selular tak hanya video dua dimensi, tapi juga pantulan cahaya badan manusia
seutuhnya. Dalam waktu dekat, perangkat canggih ini akan diproduksi massal, yang
tentunya dijual dengan harga terjangkau.
Program pemerintah mulai dari Palapa Ring hingga antisipasi perkembangan teknologi
global seharusnya juga melihat keunikan dari setiap daerah di Indonesia. Tak seperti China
62 http://www.indotelko.com/2012/03/palapa-ring-dibiayai-dana-uso/
89
AMELIA DAY
atau Amerika Serikat yang terdiri dari daratan luas, Indonesia adalah negara luas yang
terdiri dari 17 ribu pulau dan kepulauan serta daratan pegunungan. Artinya, banyak
daerah di Indonesia adalah daerah tiada sinyal atau blank spot areas. Daerah-daerah ini
menjadi sangat terisolasi dari infrastruktur komunikasi, dan bisa diperparah jika jalur
transportasi ke sana pun buruk atau tiada sama sekali. Contoh daerah ini terutama di
Pulau Kalimantan, Pulau Papua hingga beberapa pulau-pulau kecil di bagian timur
Indonesia.
Bagan keunikan daerah di Indonesia dengan kondisi infrastruktur tak merata
(kondisi hingga tahun 2012)
Setelah mengupas beberapa permasalahan utama terkait “pipe & content” di atas, inilah
saatnya mendefleksikan diri ke kebijakan yang diterapkan pemerintah China sepuluh
beberapa tahun terakhir.
Indonesia berada di persimpangan jalan hari ini. Selain bekal sumber daya manusia yang
super-kreatif dengan aneka budaya serta sejarah besar para pemimpinnya sejak Srivijaya,
Majapahit hingga Luwu, negeri ini juga dikaruniai tanah dan laut yang cantik. Modalmodal yang tak dimiliki negara lain ini patut dikaji dalam satu nafas dengan arus
globalisasi. Belajar hingga ke negeri China adalah melihat bagaimana proses sepuluh tahun
terakhir di negeri itu dengan melepas simpul hambatan perdagangan seperti Decree#44. Di
Indonesia, regulasi masih belum sinkron antara banyak media (pipe). Bagaimana
90
GLOCAL MEDIA
membedakannya dengan isinya (content) juga menjadi tantangan tersendiri. Konvergensi
kemudiann adalah kata kunci yang menjadi wajib dipertimbangkan oleh para pembuat
legislasi negeri ini. Peraturan yang wajib diwaspadai juga adalah yang terkait bea impor
dan pajak sektor M&E.
Kedua, pemerintah Indonesia juga bisa membangun atau setidaknya mefasilitasi
pembangunan studio produksi yang megah dan berkualitas seperti milik Warner-Hengdian
replika Forbidden City. Fasilitas ini dilengkapi dengan jasa terkait seperti penyewaan alat
serta manajemen studio dan manajemen artis yang bisa dipercaya.
Ketiga dan yang paling penting adalah infrastruktur bioskop dan pipa alternatif (jaringan
menara dan kabel) bisa dibangun seantero negara. Pembangunannya harus melihat pada
keunikan setiap daerah; misalnya, mengingat lokasi yang terpencil dan dikelilingi gunung,
“layar tancep” di alun-alun sebuah desa atau kota kecil bisa menjadi satu alternatif
sebelum ada bioskop atau jaringan kabel masuk ke daerah tersebut. Jika Palapa Ring
selesai, khususnya inland cable, yang kemudian menjadi tanggungjawab pemerintah
daerah adalah pipa alternatif untuk eksibisi lokal dalam format digital yang lebih murah.
Keempat, dan yang terpenting, pemerintah harus melihat strategi investasi khusus untuk
sektor M&E sebagai bagian dari kerja strategis badan usaha milik negara, terutama yang
terkait perbankan atau perusahaan media. Pemerintah, melalui badan usahanya,
kemudian bermitra dengan investor asing seperti News Corporation. Bentuk kemitraannya
pun mengikuti format global, namun investor hanya boleh memiliki maksimal 49%. Selain
itu, dengan format kemitraan seperti LLC (limited liability company), pajak bisa
dipermudah oleh pemerintah. Yang lebih terpenting adalah trickle effect dari kemudahan
pajak bagi pemain lokal.
Empat langkah ini bisa menjadi Visi Global-Lokal Sektor M&E hingga dua dekade
mendatang. Semoga.
91
92
BOOK TITLE
7
PUSTAKA & PRANALA
Beberapa materi pustaka di bawah ini bisa dibaca selengkapnya di
http://glocalmediabook.wordpress.com
PUSTAKA
Anonim, Menelusuri Kiprah Si Layar Lebar, Koran Jakarta edisi 23 April 2012.
Anthony Y. H. Fung, Global capital, local culture: localization of transnational media, Peter Lang Publishing, 2008.
Arpita Mukherjee, Paramita Deb Gupta, Prerna Ahuja, Indo-U.S. FTA: Prospects for Audiovisual Services, Indian
Council for Research on International Economic Relations, Workking Paper 192, 2007.
Budi Kusuma, Sri Pudyastuti, Tri Budianto Soekarno Kerajaan Film Impor , Majalah Tempo, edisi 22 Juli 1989.
Carlos María Correa, Intellectual Property Rights, the WTO, and Developing Countries: The TRIPS Agreement and
Policy Options, Zed Books, 12 Agt 2000.
Dilip Hir, After empire: the birth of a multipolar world, Nation Books, 2010.
Eddie Karsito, Menjadi Bintang: Kiat Sukses Jadi Artis Panggung, Film, dan Televisi, Ufuk Publishing House, 2008.
George Stephen Semsel, Chinese Film: The State of the Art in the People's Republic, ABC-CLIO.
Jing Wang, Brand New China: Advertising, Media, and Commercial Culture, Harvard University Press, 10 Apr 2010 ,
halaman 248.
John Heider, Laozi, The Tao of Leadership: Lao Tzu's Tao Te Ching Adapted for a New Age, Humanics Publishing
Group, 1985.
JP Morgan Entertainment Group, Laporan Distributor Film Bina Film Ltd, 2011.
93
AUTHOR NAME
Kata Pengantar, Melepas Pasung Kebijakan Perfilmnan di Indonesia, Catatan untuk Undang-undang Perfilman
yang Baru,Warta Global Indonesia, 2001.
Krishna Se & Terence Lee, Political Regimes and the Media in Asia, Routledge, 2008.
Lawrence Lessig, Media Rights and Intellectual The future of ideas: the fate of the commons in a connected world,
Random House, 2001.
Lily Kong, Justin O'Connor, Creative Economies, Creative Cities: Asian-European Perspectives, Springer, 27 Mei
2009.
Lu, X. Y., China's Xiaokang Society in the Year 2000, Nanchang, Jiangxi People's Publishers, 1991.
Lucy Montgomery, China's Creative Industries: Copyright, Social Network Markets and the Business of Culture in a
Digital Age, Edward Elgar Publishing, 2010.
Lucy Montgomery, Troubled waters for the development of China’s film industry, An International Joint Research
Project on Contemporary Chinese Media, Culture, and Society, hosted by Communication Arts Research Institute,
Taipei, Taiwan, 2004.
M. Sarief Arief, Manimbang Kahariady, Yayan Hadiyat, Permasalahan Sensor & Pertanggungjawaban Etika
Produksi, Badan Pertimbangan Perfilman Indonesia, 1997.
Michael Curtin, Playing to The World's Biggest Audience:the Globalization of Chinese Film and TV, University of
California Press, 2007, halaman 193
Michael Keane, Anthony Y. H. Fung, Albert Moran, New Television, Globalisation, and the East Asian Cultural
Imagination, Hong Kong University Press, 2007.
Michael Learmonth, YouTube Gets Paramount Films Such as 'Tintin' and 'The Godfather' in Rental Deal,
www.adage.com, 4 April 2012.
Mohammad Johan Tjasmadi, 100 tahun sejarah bioskop di Indonesia, Megindo Tunggal Sejahtera, 2008.
Paul Grainge, Brand Hollywood: Selling Entertainment in a Global Media Age, Taylor & Francis, 2008, halaman 112.
Richard Haynes, Media Rights and Intellectual Property, Edinburgh University Press, 2005.
Ron Kirk (Ambassador), 2010 Special 301 Report, The Office of the United States Trade Representative, 2010.
Sri Pudyastuti R., Moebanoe Moera, Dwi S. Irawanto, Sarluhut Napitupulu, Zaman Keemasan Kelompok 21,
Majalah Tempo, 29 Juni 1991.
Sri Sukesi Adiwimarta, Antologi Sastra Daerah Nusantara: Cerita Rakyat Suara Rakyat, Yayasan Obor Indonesia,
1999.
Stephanie Wong (ed.), Yum’s Offer for Little Sheep Gets China Antitrust Clearance, Bloomberg News, 8 November
2011.
Steven Drakeley, The History of Indonesia, Greenwood Publishing Group, 2005.
Tejaswini Ganti, Bollywood: a guidebook to popular Hindi cinema, Routledge, 2004.
94
BOOK TITLE
Thomas L. McPhail, Global Communication: Theories, Stakeholders, and Trends, John Wiley & Sons, 2011.
Tyler Cowen, Creative Destruction: How Globalization is Changing The World's Cultures, Princeton University Press,
2004.
Ulbe Bosma & Remco Raben, Being "Dutch" in the Indies:A History of Creolisation and Empire, 1500-1920, NUS
Press, 2008.
Ulf Hannerz, Transnational Connections: Culture, People, Places, Routledge, 31 Jul 1996.
UNESCO, The 2009 UNESCO Framework for Cultural Statistics (FCS), UNESCO Institute for Statistics (UIS), 2009.
USEO, 2011 U.S. Intellectual Property Enforcement Coordinator: Annual Report on Intellectual Property
Enforcement, Executive Office of The President of The United States, Maret 2012
Wang, Georgette and Yeh, Emilie Yueh-yu , Globalization and Hybridization in Cultural Production: A Tale of Two
Films, Working Paper. David C. Lam Insitute for East-West Studies, 2005.
Wayne M. Morrison, China-US Trade Issues, Congressional Research Service, www.crs.gov, halaman 2, 2011.
William Patry, How to Fix Copyright, Oxford University Press, 8 Mar 2012.
Ying Zhu, Chinese Cinema During the Era of Reform: The Ingenuity of the System, Greenwood Publishing Group,
2003.
PRANALA
http://www.baidu.com, situs ensiklopedia lokal seperti Wikipedia
http://info.hktdc.com/alert/cba-e0804c-2.htm
http://www.boxofficemojo.com
95
96
GLOCAL MEDIA
TENTANG PENULIS
Amelia Day pernah bekerja di biro iklan Zentha, stasiun TV terestrial SCTV, saluran
TV berlangganan via satelit Film Indonesia, majalah industri penyiaran, hingga Komisi
Penyiaran indonesia,. Beberapa tahun terakhir ia mengabdi sebagai dosen di
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia serta analis kebijakan
publik di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Inilah buku kedua setelah Buku Pinter Televisi yang ditulis secara indie dan bisa
diunduh gratis di www.slideshare.net/AHD. Ia pun sesekali masih menulis di blog
ameliaday.wordpress.com dengan tag sederhana: Public policy, media, and me.
97
AMELIA DAY
98
GLOCAL MEDIA
CATATAN:
99