Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

GLOCAL Media

GLOCAL Media Amelia Day Karya 2012 Amelia Day Some rights reserved. Attribution Noncommercial No Derivative Works ISBN-10: 147696555 ISBN-13: 978-1477696552 Beberapa materi pustaka di buku ini bisa dibaca selengkapnya di http://glocalmediabook.wordpress.com untuk yang tercinta : Mami, Papi, Nenek Daeng Tante Fatma, Tante Chama, Tante Ati untuk satu-satunya hingga akhir waktu: Tyas Legawa DAFTAR ISI Dedikasi & Terima Kasih 1 Asal-muasal 9 2 The Great Firewall of China 18 3 Hollywood, Bollywood, Chinawood 31 4 Ekosistem Media Global versus China 51 5 Indocine: Antara Ruang dan Waktu 63 6 Simpulan: Visi Kreatif 2025 86 7 Pustaka & Pranala 99 8 Tentang Penulis 102 TERIMA KASIH Menuntut ilmu hingga ke banyak negeri. Saya ucapkan rasa syukur ke Tuhan YME karena bisa berguru secara online dengan pakar media massa dan globalisasi, Prof. Anthony YH Fung dari School of Journalism and Communication, CUHK, Hong Kong dan kepada Dr Umair Haque dari Havas Media Lab. Terima kasih juga Lola Maris dan Iwan Jusuf, dua sparring partners saya selama puluhan tahun: untuk menimba ilmu tanpa putus, dan untuk berbagi informasi penuh canda tawa. Atas diskusi dan inspirasinya, saya ucapkan terima kasih untuk Prof. Ilya R. S. Sunarwinadi, Teddy Anggoro, MH, serta Mas Hikmat Darmawan dan Mbak Juni Soehardjo. Akhirul kalam, beberapa peradaban yang tetap unggul hingga hari ini adalah mereka yang telah memiliki sejarah panjang dalam "bernegara". Media adalah bagian intangible, tak kelihatan, dari sebuah peradaban hari ini. Benafas dan tidur berarti hidup di antara pipe & content. Semoga pencarian saya ini bukan lelucon media dua tahun terakhir: God created the world, and the rest is made in China. i 1 ASAL-MUASAL “Hostile foreign powers have not abandoned their conspiracy and tactics to westernize China and to divide the country,” warned Hu [Jintao] in late 2008. 1 Bisa jadi paranoid, bisa juga strategis. Kebijakan pemerintah China hingga hari in i seakan misteri bagi banyak investor asing hingga pekerja kreatif asing. Pertarungan melawan pengaruh asing di abad lalu berarti senjata api atau bambu runcing. Kerap hadir di kehidupan hari in i Cyberwar atau Twitterwar bukanlah perang. China melarang Facebook di negaranya, dan ia membuat versi lokal media sosial in i, Renren. Di beberapa area di China (terutama mungkin yang masih miskin), Google dan Youtube tak bisa diakses sama sekali. Saya mempercayai bahwa apa yang dilakukan pemerintahan Hu Jintao sekarang adalah strategi memenangkan pertarungan global. Sebagai bangsa besar hari ini dan masih akan terus berjaya di masa mendatang, China mempelajari sejarah panjangnya. Cara berpikir terhadap proteksi atas pengaruh asing ini dirancang dengan melihat strategi dan taktik Sun Tzu, filsuf milit er di abad ke-6. Sun Tzu membuka tulisannya dengan perencanaan: “All warfare must be based on deception;” bahwa musuh harus dikelabui. Ketika akan menggunakan kekuatannya, perlihatkan ke musuh bahwa tentara China seakan sedang tidak aktif. Di saat musuh mengeluarkan seluruh kekuatan, di saat itu lah pasukan Sun Tzu menyerang. 1 Dilip Hir, After empire: the birth of a multipolar world, Nation Books, 2010, halaman 249. 1 AMELIA DAY Belajar hingga ke negeri China bukanlah pameo kosong. Mengkaji gerakgerik pemerintah China dan hasil kebijakannya hari in i adalah melihat gaya keterbukaan antara “ada” dan “tiada”. China hari ini memasuki babak baru sejak dikeluarkannya Decree #44 tahun 2004 yang membolehkan masuknya investasi asing untuk produksi film, radio dan televis i. Khusus produksi, saya mengkategorikan hal in i dalam kotak “is i” atau content. Mari berpikir antara pipe dan content dalam industri media massa, telekomunikas i dan internet. Tiga sektor yang hari ini “melebur” karena teknologi digital. Pipa adalah penyalur is i audio- visual, apakah melalu i perangkat bergerak (telepon genggam atau tablet) ataukah statis (pesawat TV di rumah). Untuk kepemilikan pipa, belum ada entitas asing bisa memiliki saham perusahaan media massa di China daratan. Perusahaan media asing yang dipancarkan melalui satelit biasanya berkantor di Hong Kong, yang memiliki sistem pemerintahan khusus di bawah HKSAR, Hong Kong Special Administrative Region, sebuah sistem yang lebih terbuka terhadap investasi asing. Media dan telekomun ikasi adalah sektor tertutup terhadap investasi asing secara langsung (foreign direct investment) , tapi masih diperbolehkan untuk investasi tak langsung (induk perusahaan media atau melalui bursa saham). Untuk perusahaan dengan jen is investasi yang terakhir ini, dipast ikan bahwa pemerintah China memiliki saham mayoritas di dalamnya. Proteksi super-ketat juga terasa di is i film, program TV dan situs internet dari luar China. Adegan cium adalah tabu, apalagi bersuara keras memprotes pemerintah China. Selepas era Mao Zedong (akhir 1970-an), film asing bisa masuk tapi harus dibatas i kuantitasnya dan harus disensor ketat oleh SARFT (State Authority of Radio, Film and Television). Produksi film dan tayangan TV kerjasama dengan pihak asing baru terjadi saat keluar Decree #44 tertanggal 16 November 2004. Detail dari peraturan ini tak ada yang mengetahui kecuali petinggi SARFT sendir i. Peraturan bernomor sama juga pernah dikeluarkan tahun 2000 oleh Kementerian Keamanan Publik terkait tak langsung terhadap media adalah: “Measures for the Admin istration of Security of Mass Cultural and Sports Activit ies”. Untuk media massa, pemerintah China juga mengatur ketat isi, mulai dari skenario (regulasi ex ante ) hingga hasil akhir (regulasi ex post ). Pengaturan in i juga dikait kan dengan izin usaha. Melanggar is i yang ditentukan, perusahaan ditutup atau sahamnya harus dipin dahkan ke pihak lain. Keluar juga peraturan terakhir (Februari 2012) perihal larangan TV lokal menayang film atau program TV asing di jam prima . 2 GLOCAL MEDIA Semua aturan in i dirancang oleh pemerintah China untuk menghadapi kondisi global tanpa harus menentang atau menutup diri. Terlihat jelas bagaimana percepatan pertumbuhan media global selama sepuluh tahun terakhir, atau setelah biaya menyewa slot satelit menjadi murah dan teknologi distribusi audio visual melalui jaringan internet menjadi massal. Tindakan protektif pemerintah China in i menjadi satu hal yang sesungguhnya patut dimaklumi mengingat bangsa China memiliki filosofi "Tao" dalam kehidupan sehari-hari: bagaimana semua hal terjadi dan bekerja di bumi ini. Sebagai bangsa besar, China tahu menjaga keseimbangan alam dan segalanya, termasuk kebijakan membuka dan menutup (open & closed policies) . Di luar semua bentuk kebijakan pemerintah China hari in i, potensi pasar penonton China (populasi 1,3 milyar) masih menjadi daya tarik pihak asing. Memasuki tahun 2012, banyak acara diskusi industri M&E (media and entertainment) di Hollywood yang menyoroti co-production atau produksi bareng produser dari China. Geliat M&E di China, serta kondis i global (baca: digitalis as i segalanya) mendorong industrialis barat melakukan ekspansi ke pasar gemuk in i. Pasar media yang sebelumnya sulit ditembus, sejak 2004 mulai terbuka terhadap investasi asing. Di luar semua aturan itu, negara barat masih kesulitan merangkul pasar di China secara maksimum karena tak ada tindakan keras pemerintah terhadap produk video bajakan karya kreatif Hollywood (film) atau Silicon Valley (piranti lunak). Selama in i pemerintah China pusat “mengakui” tak bisa menindak pembajakan ini karena masalah otoritas pemerintah daerah. Selama in i, yang seakan menjadi keprihatinan banyak bangsa lain di dunia, adalah pemerintah pemerintah China terlalu over-protective , namun di sis i lain tak ada kepastian akan hak intelektual yang dimiliki perusahaan asing. Tao of Media Tulisan in i awalnya dibuat dalam bentuk peta sederhana tentang industri TV nasional. Ia lalu meluas menjadi global. Ternyata sebuah stasiun TV itu hanya bagian kecil dari industri global, Media & Entertainment (M&E). Televisi, misalnya, hanya satu jendela dari sekian banyak media bagi sebuah video atau film diputar. Televisi memang hanya satu cara distribus i untuk ribuan jam film layar lebar atau bahkan jutaan jam program telev isi seluruh dunia. 3 AMELIA DAY Sebelum memahami bagaimana China bisa membuka diri terhadap media massa asing, atau bahkan terhadap media massa lokal sekalipun di era Mao Zedong, saya harus bisa melihat proses media massa itu secara mendasar. Sebagai panduan awal buku ini, berpikir dua pilah berbeda: pipa (pipe) dan isinya (content) membantu memahami evolusi karya visual, audio dan audio visual dalam industri media massa. PIPE  CONTENT PIPE: bioskop, radio, TV, DVD player , situs internet CONTENT: gambar statis (foto, lukisan, kartun), presentasi, dokumen kuliah, musik, video (animasi, film layar lebar), dan seterusnya Berpikir televis i hanya satu pipa, saya mencari tahu lagi hubungannya dengan pipa lain dan bagaimana industri film dan tayangan TV itu bergerak dari hulu ke hilir . Di sinilah kemudian saya menyadari bahwa televis i adalah sebuah sistem global. Bagaimana sebuah tayangan TV atau film layar lebar itu masuk ke dalam layar TV atau bioskop? Prosesnya selalu linier dari produksi lalu distr ibusi hingga eksibis i melalui media massa. Perlu dicatat, sebagai produk intangible, film atau tayangan TV itu diproduks i sekali untuk eksibis i atau diputar berulangkali. PRODUKSI  DISTRIBU SI EKSIBISI Dari beberapa hal paling mendasar proses media massa sejak seratus tahun terakhir, saya kemudian mencoba mengkaji media massa ini dari kebijakan publik, dalam kaitan bagaimana penguasa media massa global dan nasional bergerak. Hakikat air “wadah mempengaruhi is i” adalah satu 4 GLOCAL MEDIA patokan mengapa is i bisa bagus, bisa juga aneh tergantung pemilik medianya. Mengaitkan lagi pipe dan content dalam satu konteks kebijakan publik global, saya tertarik mengkaji kebijakan protektif China in i lebih fokus lagi: terhadap film layar lebar China. Produksi film layar lebar adalah salah satu titik hilir sebelum mengkaji berbagai model bisn is media (pipa) di hulu. Tayangan olah raga, berita dan genre lain dikaji pula namun tidak menjadi titik fokus utama di buku ini. Alasan utamanya adalah bahwa “drama” masih memiliki potensi penonton lebih banyak dari “non-drama”. Untuk ini kajiand alam buku in i hanyalah terfokus pada film dan tayangan TV, khususnya yang bergenre drama. Bagan domain produk digital hari ini ©2012 Secara umum, bisn is dan industri audio- visual di era digital hari in i bisa dirangkum seperti bagan di halaman berikut. Bagan sederhana in i membantu mengerti pengembangan kebijakan publik di sektor M&E. Bagan 5 AMELIA DAY in i juga membantu memetakan strategi kebijakan publik pemerintah China sepuluh tahun terakhir. Bagan dibagi secara vertikal atas domain is i (content) dan pipa (pipe), atau media dan tempat memasang, memutar, menyiarkan film atau tayangan TV. Sejak isi diproduksi hingga di distr ibusi, dipahami perihal berbagai jenis , terutama dalam bentuk digital, di antaranya jpg untuk gambar dan avi untuk audio video. Format digital ini hanyalah simplifikas i domain saja. Parameter format digital sangatlah banyak, namun untuk secara umum pembagian parameter hanya dibatas i oleh kemampuan panca indera (mata, telinga, dan seterusnya). Jika “berbagai macam bau/wewangian” bisa ditransfer ke bentuk digital suatu hari, akan ada parameter baru, dan seterusnya. Selan jutnya, domain content adalah untuk pemain bisnis menengah bawah, sedangkan untuk pipa, kecenderungannya adalah untuk pemain modal besar. Tentang Buku Ini Buku ini adalah kajian tentang sektor M&E, dengan pendekatan ekonomi. Hal in i diawali dari pemikiran bahwa sektor M&E khusus di Indonesia belumlah banyak dikaji secara mendasar. Selain itu, film layar lebar atau tayangan TV, khususnya genre drama, difokuskan dengan alasan dominasinya dalam perputaran uang di industri in i serta. Pendekatan sosial atas tayangan dan film adalah dalam kerangka globalisas i dan deglobalisasi. Proses in i telah terjadi di China, yang kin i tampil sebagai satu kekuatan ekonomi dunia hanya dalam tempo singkat. Untuk itu, apa yang terjadi di China bisa dipelajar i untuk mengerti bagaimana sektor M&E global yang berproses hari ini. Di bagian pertama buku in i, Great Firewall of China , saya melihat standing point pemerintah China dalam pengaturan film dan arus investasi sektor M&E (Media & Entertainment) . Setelah ada keterbukaan pemerintah di awal milen ium baru, China menjadi daerah tujuan investasi M&E yang menarik apalagi jika mengingat potensi penonton dari negara berpopulasi terbesar dunia. Untuk kajian in i, saya mengangkat analisis Fung (2008: halaman 35) tentang industri M&E global ke China (global to local) yang harus melalui peraturan kepemilikan yang rumit juga sensor isi media yang sangat ketat . Fung juga mengkaji proses dari dalam ke luar (local to global) yang dilaksanakan pemerintah China untuk menyerap hal positif dari globalisas i. Fung menegaskan bahwa setelah budaya populer global masuk ke satu negara, ia seakan “memperkuat” budaya lokal dan selan jutnya memiliki nilai lebih untuk ekspansi ke luar negeri. 6 GLOCAL MEDIA Di bagian kedua, Hollywood, Bollywood, Chinawood, saya mempelajar i bagaimana kerja sistem periode peluncuran satu film di beberapa media massa (movie release window ) yang lahir dari pebisnis Hollywood in i. Model bisnis ini kemudian diterapkan Hollywood untuk pasar global, termasuk ke China dan India, dua negara berpopulasi terbesar yang juga berarti pasar M&E yang besar. Konsep hak barang intelektual (intellectual property rights) yang berangkat lepas era Gutenberg, kini dipergunakan oleh Hollywood. Konsep IPR ini bahkan dikaitkan dengan kontrak perdagangan barang internasional di Wor ld Trade Organizat ion (WTO). Dari sini kemudian juga lahir konsep “produk dan sinyal audio visual ilegal” sebagai bentuk pelanggaran TRIPS. Setiap anggota WTO wajib meratifikas i TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights). Pernah memonopoli dunia dengan film dan tayangan telev isin ya, Amerika Serikat adalah satu dari penemu teknologi awal pipa audio visual, mulai dari bioskop, televis i hingga “jaringan” internet. Cara Hollywood mengembangkan bisnis M&E dengan pakem produksi tertentu ditularkan di industri perfilman India dan China. Saat in i industri perfilman China telah mampu mengekspor film ke luar China. Untuk itu secara umum China akhirnya "menyebarkan" nilai- nila i luhur budaya mereka ke seluruh dunia dengan tutur produksi film a la Hollywood. Di bagian Ekosistem Med ia Global versus China dikaji tentang kepemilikan media massa global, yang beberapa di antaranya berlombalomba masuk ke pasar M&E China, khususnya secara langsung (foreign direct investment) . Mendir ikan kantor perusahaan media asing di negara ini adalah tabu di era Mao Zedong bahkan hingga era Deng Xiaoping. Sebelum 2004, tak diperbolehkan masuk investasi asing untuk perusahaan M&E di China. Setelah lahir Decree #44 di tahun 2004 tentang co-production untuk media bioskop, telev isi dan radio, struktur pasar kemudian berubah. Monopoli pemerintah untuk tahap produksi bergeser monopolistik: produk sama dengan kemampuan banyak pemain yang rata-rata sama pula. Struktur pasar di China in i dibentuk atas upaya dan regulasi pemerintahnya. Pemerintah China memproteksi pemain lokal terhadap asing berupa kepemilikan saham di perusahaan kerjasama dengan pihak asing. Proses globalisas i dis ikapi pemerintah China seperti arena perang, dengan menerapkan salah satu taktik Sun Tzu seperti “rangkul musuh” sebelum tangan mampu menikam bagian belakang lawan. Deception, atau tipuan, adalah cara pemerintah China: seakan belum bisa membuka diri secara penuh tapi pemerintah China menguasai dunia dengan berbagai produk buatan bangsanya. 7 AMELIA DAY Ditutup dengan Bab Indocine: Antara Ruang dan Waktu , saya mencoba mendefleks ikan kondis i industri audio-visual ini di Indonesia. Bagian in i menjadi kilas balik Industri film nusantara sejak kependudukan Belanda, Jepang, kemudian terbentuk negara bernama Indonesia hingga hari ini. Saya kemudian melihat proses in i dalam kerangka kebijakan publik di Indonesia hari ini. Secara kontekstual hari ini, ada 14 subsektor industri kreatif dalam realitas budaya global. Subsektor ini juga menjadi bagian industri M&E global yang masuk dan tidak mengalami proses deglobalization di dalam negeri. Untuk tetap memperkenalkan nilai luhur sebuah peradaban lokal ke seluruh dunia, belajarlah hingga ke negeri China. Indonesia adalah bangsa yang juga [pernah] besar, yang berada di antara jalur perdagangan India, China dan Asia Tenggara. Apa yang kemudian patut direnungkan dari kajian in i? Apa saja 14 subsektor industri kreatif yang dirumuskan di Indonesia versus yang telah dikaji secara global oleh UNESCO? Di bagian terakhir , Simpu lan: Visi Kreatif 2025, adalah simpu lan yang diharapkan bisa menjadi bahan krit isi industri M&E di negeri in i. Satu hal yang saya garisbawahi dalam tulisan in i adalah penggunanaan bahasa Inggris dalam setiap bagian. Dengan derasnya arus informasi hari in i, dunia seakan menunjuk bahasa "resmi" media baru adalah bahasa Inggris. Saya terpaksa menuliskan beberapa istilah khas yang jika diter jemahkan ke dalam Bahasa Indonesia esensi dan makna yang ingin saya sampaikan tidak tercapai. Paling utama adalah ist ilah pipe & content; jika diter jemahkan menjadi pipa dan isi. “Isi” memiliki konotasi yang terlalu fis ik (tangible). Tak akan menolong banyak jika ditu liskan "konten". 8 GLOCAL MEDIA 9 2 THE GREAT FIREWALL OF CHINA Pagi itu diselenggarakan breakfast meeting sebelum konferensi industri penyiaran Asia Pasifik, CASBAA 2006, Hongkong. Seorang mitra firma hukum Paul, Weiss , Rifkind, Wharton & Garrison LLP dari New York menjadi pembicara. Ia bercerita tentang regulasi di China. Ia pernah bertemu dengan pegawai pemerintah China. Untuk mendapatkan peraturan perundangan terbaru, ia harus mendapatkan jawaban in i: “You want to know the regulations? Talk to me, I know the regulat ions.” Pegawai pemerintah China itu mengayunkan kertas peraturan itu lalu ia menyembunyikannya ke belakang punggungnya. Betul, yang terjadi di China adalah orang asing ya tetap orang asing. Peraturan perundangan telah dituliskan namun untuk membaca detail aturannya, tak ada seorangpun warga negara asing, atau pengacara kebangsaan China pun (yang mewakili perusahaan asing) bisa mendapatkan dokumennya. Pasca-perang dingin , China menjelma menjadi kekuatan polit ik ekonomi global yang cukup berpengaruh. Telah terjadi arus besar investasi asing ke China sepuluh tahun terakhir. Potensi pasar dan keterbukaan pemerintah dibaca oleh para pemain asing sebagai sebuah peluang yang wajib digarap. M&E adalah sektor terakhir yang membuka diri terhadap investasi asing. Media adalah satu sektor yang sangat diproteksi pemerintah China bahkan sejak era Mao Zedong. Atas is i film atau siaran TV yang membawa pengaruh asing, pemerintah China sungguh melindungi usaha lokal China daratan. Proteksi bagi penonton atau juga pemain industri film lokal in i bahkan berlaku juga atas film dari Hong Kong. Walau telah menjadi bagian resmi China pascapelepasan adminstrasi Inggris Raya di tahun 1997, Hong Kong tetap 10 GLOCAL MEDIA mendapatkan kuota ekspor 20 judul film ke China. Jika ingin memasok lebih banyak lagi, produser wajib mempekerjakan tenaga kreatif dari China daratan dalam produksi film tersebut. Hal ini diatur juga dalam kesepakatan CEPA (Closer Econonomic Partnership Arrangement) di tahun 2004 antara admin istrator wilayah Hong Kong dan pemerintah China. 2 Aturan untuk film dari Hollywood lebih ketat: pemerintah China hanya menetapkan kuota saja. Pemain asing tak mendapatkan keist imewaan kuota tambahan ini. Suatu hal pasti: hal ini tak masuk perhitungan produser asing karena mengongkosi pekerja China datang ke Hollywood adalah mahal. Selain dikunci ketat di peraturan tenaga kerja dan investasi sektor M&E, pemerintah China juga membuat peraturan isi atau jalan cerita film. Detail pasal dalam peraturan itu tak jelas apa saja. Peraturan itu pun bisa berubah tanpa ada transparansi kapan dan bagaimana pasal mana dalam dokumen itu yang diganti. Peraturan khusus film dan media massa in i dibuat oleh badan negara SARFT (State Authority of Radio, Film, and Television), atau kalau di Indonesia dikenal dengan nama KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Secara umum, peraturan tentang film layar lebar dan tayangan TV yang masuk ke China harus mengikut i beberapa pokok pemikiran di bawah in i. Films may not contain content which: 3 1. Violates the basic principles of the Constitution; 2. Threatens the unity, sovereignty and territor ial integrity of the state; 3. Divulges state secrets, threatens national security, harms the reputation and interests of the state; 4. Instigates national hatred and discr iminat ion, undermines the harmony among ethnic groups, or harms ethnic customs and practices; 5. Violates state policies on religion, and propagates cult religion or superstit ion; 6. Disrupts social order or social stabilit y; 7. Propagates obscenity, gamblin g, violence, or abets criminal activit ies; 8. Insults or defames others, or infr inges upon others' legit imate rights and interests; 2 Lucy Montgomery, China's Creative Industries: Copyright, Social Network Markets and the Business of Culture in a Digital Age, Edward Elgar Publishing, 2010. 3 http://info.hktdc.com/alert/cba-e0804c-2.htm 11 AMELIA DAY 9. 10. Corrupts social morality, or defames the superiority of national culture; Other contents prohibited by state laws and regulat ions. Sesungguhnya, peraturan di atas adalah normatif adanya. Di China sensor terjadi di tahap skenario (ex ante) dan hasil akhir film (ex post) . Jika hendak diproduks i di China, dokumen skenario harus diserahkan sebelumya. Skenario yang tidak kembali ke produser adalah pertanda produksi atau distribusi tak bisa dilakukan. Selanjutnya jika telah diproduks i ternyata hasilnya berbeda, film tak bisa diputar. Setelah diputar pun, film sewaktu-waktu bisa ditarik dari peredaran bioskop China. Hingga hari in i pemerintah China sewaktu-waktu masih menarik film produksi Hollywood dari bioskop tanpa alasan. Kepastian masa putar diber ikan terhadap produksi lokal, atau produksi bareng produser lokal dan produser asing. Alasannya adalah berakar dari Decree 44 tahun 2004. Dalam peraturan ini perusahaan asing boleh bermitra dengan produser lokal dengan mendir ikan usaha patungan untuk memproduksi film di China daratan. Lahir lah kemudian sebuah film epik kolosal, Warlords (2005). Produser Hollywood Warner Bros. Studios membuat entitas kerjasama dengan Hengdian Group, pengusaha elektron ik dan kimia loka l. Entitas itu diberi nama Warner China Film Hengdian Group dan produksi perdananya adalah film Warlords . Persyaratan mendir ikan usaha bersama (joint-venture) in i adalah kepemilikan lokal 51%, alias pihak asing tak memiliki voting rights atas entitas usahanya. Dari bentuk kerjasama lokal- asing in i, Warlords mampu meraih keuntungan hanya dari pasar penonton China . Di minggu pertama film ini diputar telah dihasilkan pemasukan kotor USD 10,073,000 4 dengan total biaya produksi USD 40,000,000. Sejak 2007 hingga 2011 dengan pemutaran di beberapa media (bioskop, DVD hingga telev isi) telah dilalu i, pemasukan kotor Warlords telah mencapai USD 129,078,000 atau empat kali lipat dari biaya produksinya. Kongsi para pekerja Hollywood dan Chinawood ini telah melahirkan produk yang cukup fenomenal. Untuk menghemat biaya prop ( property, atau perlengkapan produksi) Hengdian juga membangun studio produksi besar, empat jam perjalanan darat dari ibukota Beijing. Studio ini berukuran besar beris i replika Forbidden City lengkap dengan istana dan lansekap sekitarnya. 4 http://www.boxofficemojo.com 12 GLOCAL MEDIA Mengkaji kerjasama Warlords ini, produser Hollywood telah memperkenalkan gaya manajemen produksi hingga cara bertutur sebuah film layar lebar khas Hollywood. Film ini menggunakan resep film epik Hollywood: kolosal dan mahal. Sebelumnya film produksi lokal (China atau Hong Kong) jarang mengerahkan banyak figuran dalam satu adegan . Selain itu, Warlords juga dipasarkan dengan memakai cuplikan film (trailer) yang mengambil pakem bertutur Hollywood: dramatisasi replika kehidupan. Penggunaan pakaian (wardrobe) dan prop mendekati warna asli masa lalu (nuansa cokelat). Selain itu juga musik (music score) dibuat untuk dramatisasi di setiap adegan utama. Selain itu film in i juga memakai pakem penetrasi budaya seperti saat film Amerika menempatkan stars and stripes di banyak adegan sebuah film. Secara umum, simbol- simbol patriotisme China dibuat nyata dan alamiah. Secara khusus, sebagai pembawa pesan kehebatan pahlawan China, filmfilm kolosal seperti Warlords in i tak pernah disulih- suarakan ke bahasa lain. Bahasa Mandarin, atribut perang Suku Han, serta nilai luhur kepahlawanan China harus diresapi penontonnya sebagai satu kesatuan rasa. Kung Fu Hustle masih disu lih- suarakan ke dalam bahasa Inggris. Kerjasama Warner dan Hengdian in i menjadi awal kisah sukses asimilasi produser film Hollywood dan Chinawood. Sebelum mendir ikan entitas kerjasama hingga mendistribus ikan film jadi ke seluruh dunia, sang produser Hengdian-Warner harus selalu berhubungan dengan otoritas film, SARFT. Lembaga seperti SARFT tak lahir tiba-tiba, namun ia merupakan bentuk kebijakan Pemerintah China di era sebelumya. Di era kepemimpinan Mao Zedong, dikenal strategi “tutup pintu rapatrapat” terhadap pengaruh budaya asing. Revolusi Budaya (1966-1976) in i berakhir saat Mao meninggal. Pintu sedikit terbuka saat pemerintah mengizinkan impor film dengan syarat wajib sulih-suara ke dalam bahasa Mandarin. Badan pemerintah waktu yang bertanggungjawab atas pengawasan impor film in i adalah Biro Film, sebuah institusi di bawah kantor Kementerian Budaya (1977, sebelum dibentuk kementerian khusus: Kementerian Film, Radio dan Telev isi). Selain mengurus perihal impor film, Biro film juga memiliki tugas: 5 1. memimpin institusi film lokal (termasuk kuota tahunan), menyelenggarakan konferensi film tahunan dan rapat reguler dengan semua produser film lokal; 2. mengeluarkan surat sensor atas semua film berdasarkan dasar negara, peraturan, etika dan moral tradisional; 5 George Stephen Semsel, Chinese Film: The State of the Art in the People's Republic, ABC-CLIO, 1987, halaman 3. 13 AMELIA DAY 3. merencanakan pengembangan jangka panjang untuk industri film; 4. melakukan pertukaran film dalam budaya antara China dan negara lain. kerangka kesepakatan Ada beberapa unit Biro Film, di antaranya: 1. China Film Corporation untuk distribus i dan eksibisi; 2. Film Art Res earch Center untuk arsip dan kajian; 3. Beijing Film Institute untuk pelat ihan tenaga kreatif; 4. Film Equipment Corporation untuk pengembangan teknologi audio visual; 5. China Film Co-production Corporation (salah satu unit di bawah China Film Corporation) untuk kerjasama produser lokal dengan produser asing. Strategi untuk produksi lokal atas biaya investor asing ini tak terjadi di era pemerintahan sebelumnya. Pasca-1976 (Revolus i Budaya berakhir), film lokal sepenuhnya dibiayai pemerintah China. Seorang produser atau studio film lokal akan mendapatkan insentif dari China Film Corporation (CFC). Negara melalu i CFC memberikan uang 700 ribu hingga 900 ribu Yuan (setara USD 250 ribu) pada saat sang produser menyerahkan film yang telah diproduksi. Uang tersebut harus dipakai untuk produksi selanjutnya. Saat itu, materi film harus berisi propaganda pemerintah. 6 Memasuki era 1990-an, pemerintah tak lagi membiayai film lokal. Produser film mendapatkan uang dari kerjasama “split revenue” dengan distr ibutor. Selain berbagai pemasukan (dan pajak ditanggung masing- masing pihak), produser film juga mendapatkan uang dari distr ibutor atas cetak ulang kaleng film. Sejumlah RM 7,000 per kaleng cetak film (dahulu masih selu loid, belum digital) dibayarkan distributor sebelum film diputar. Di saat distributor film asing boleh memasukkan film asing, pemerintah China membatasi 10 (sepuluh) judul film asing per tahun di era 1990-an, dan menambah lagi 20 (dua puluh) judul film layar lebar setelah China meratifikas i kesepakatan dengan WTO (2001). 7 Pembatasan film asing ini berlaku hingga hari ini. 6 Lucy Montgomery, China's Creative Industries: Copyright, Social Network Markets and the Business of Culture in a Digital Age, Edward Elgar Publishing, 2010, halaman43. 14 GLOCAL MEDIA Setelah dibuka untuk film asing, bioskop seluruh negeri ternyata mendapatkan pemasukan kotor 80% dari film asing. Khawatir akan penetrasi budaya populer asing melalu i film asing in i, pemerintah China kemudian membangun strategi baru. 8 Ada dua hal yang mengkhawatirkan pemerintah: is i film dan proteksi pemain lokal. Dengan jumlah tak terlalu banyak, SARFT dengan mudah menyensor is i film atau menolak satu judul film diputar. Untuk proteksi terhadap pemain lokal, pemerintah bermain dengan gaya kapitalis me modern. Pemerintah China melarang dana asing masuk ke entitas media lokal. Dari tiga tahap sektor M&E (produksi, distribusi dan eksibisi) , hanya produksi yang dibuka untuk dana asing. Distribus i masih harus melalui perusahaan pemerintah CFGC atau China Film Group Corporation, ( 中 国 电 影 集 团 公 司 ), anak usaha CFCsedangkan untuk eksibisi hanya pemain lokal dengan pengawasan ketat juga dari CFGC. Sejak hanya impor film asing hingga produksi bareng pihak asing, pemerintah China sesungguhnya telah meliberalisas i industri film dalam negerinya sejak 1970-an. Saat itu keran untuk film asing hanya untuk impor film asing, dan untuk produksi kerja bareng produser asing belum diperbolehkan. Kerjasama produksi (co-production) pemain lokal dengan asing baru dibuka 2004, saat keluar Decree #44, yang beris i "the interim regulation for joint investment or collaboration on the production, operation, and management of radio and broadcasting program." Peraturan ini sebagai komitmen China yang telah meratifikas i perjan jian TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rigths), sebagai salah satu syarat untuk menjadi anggota WTO (World Trade Organization) yang memudahkan produksi, operasi dan manajemen film, radio, komik dan hiburan (kecuali pemberitaan) bagi pihak asing. Selain itu, ekspor film produksi lokal ke banyak negara mencapai ratusan judul, dan hanya sedikit yang bergenre drama. Kebanyakan film yang diekspor adalah film dokumenter, pendidikan atau sains. Jumlah ekspor film setiap tahun ini menjadi patokan jumlah impor film untuk semua negara, termasuk Hong Kong. Jika total film ekspor adalah 150 judul, sepertiganya adalah jumlah film yang bisa diimpor dari gabungan semua 7 Lucy Montgomery, Troubled waters for the development of China’s film industry, An International Joint Research Project on Contemporary Chinese Media, Culture, and Society, hosted by Communication Arts Research Institute, Taipei, Taiwan, 2004, halaman 7. 8 Ibid, Troubled waters for the development of China's film industry, An International Joint Research Project on Contemporary Chinese Media, Culture, and Society, hosted by Communication Arts Research Institute, Taipei, Taiwan, 2004. http://eprints.qut.edu.au/2821/1/2821.pdf 15 AMELIA DAY negara. Kebanyakan impor film datang dari Jepang dan Hong Kong, tapi masih produksi Hollywood yang digemari penonton China. Setelah meratifikasi kesepakatan TRIPS tahun 2000, pemerintah China meliberalis asi peraturan sektor M&E. Apalagi setelah China ditunjuk sebagai penyelenggara ajang internasional Olimpiade Beijing 2008, pemerintah China mulai serius menekan risiko TRIPS dengan merazia pusatpusat pembajakan produksi DVD. Pemerintah juga menjamin kepastian masa putar film di bioskop. Memperpendek jarak antara peluncuran film di bioskop ke DVD juga merupakan cara agar DVD bajakan kalah bersaing. Tindakan pemerintah pusat ini ternyata “tak sejalan” dengan aturan di tingkat lokal. Khusus untuk pembajakan sinyal TV berbayar (paid TV channel) pemerintah lokal membuat peraturan daerah khusus tentang operator TV kabel lokal ini dengan sanksi tertinggi pencabutan izin operasional atas pelanggaran: 1. Tidak memiliki persetujuan atas instalasi konstruksi (infrastruktur). desain, penempatan, dan 2. Menyewa, mentransfer waktu penyiaran. 3. Menyiarkan yang melanggar peraturan is i siaran. 4. Menyiarkan iklan melebihi waktu yang ditentukan. Catatan: perihal sinkronisasi penanganan “pembajakan DVD dan sinyal audio- visual” in i dibahas di bagian Hollywood, Bollywood, Chinawood. Sesungguhnya, secara makro pemerintah Amerika Serikat, melalui Departemen Perwakilan Perdagangan (USTR, United States Trade Representatives) masih menempatkan China sebagai tujuan berbisnis di segala sektor. Nilai perdagangan China dan Amerika Serikat mengalami peningkatan sign ifikan dalam tiga dekade terakhir. USD 2 milyar (1979) hingga USD 457 milyar (2010). Untuk sektor produk tangible, nilainya masih jauh di atas produk sektor M&E, mengingat liberalisas i sektor terakhir ini baru terjadi setelah 2004. 9 Atas perhitungan kedua hal in i (liberalisas i aturan dan upaya pemerintah China terhadap risiko pembajakan), Warner Bros. dan studio global lainnya tentu menginginkan penetrasi pasar yang lebih dari sekadar menjadi distr ibutor film. Warner berani memproduksi di China pasca-liberalis asi ini. Pertama, membangun pasar produksi (bukan pasar distr ibusi) adalah menekan risiko film ditolak, atau ditarik dari peredaran tanpa alasan jelas, 9 Wayne M. Morrison, China-US Trade Issues, Congressional Research Service, www.crs.gov, halaman 2, 2011. 16 GLOCAL MEDIA atau dibajak sebelum rilis resmi ke bioskop. Alasan keduanya adalah perhitungan pasar global yang telah jenuh. Sebelum Decre #44, Warner tak pernah diizinkan memproduksi di dalam negeri kecuali jika bekerjasama dengan CFGC. Kerjasama in i tidak dalam bentuk anak perusahaan tapi lebih kepada film financing atau pembiayaan produksi saja. Membuka pasar internasional yang sebesar China berarti maksimisas i pemasukan atas film di berbagai window untuk region baru. Harap dicatat, pasar internasional tahap distribusi film Hollywod selan jutnya setelah pasar biosko Amerika Serikat sendir. Perhitungan “balik modal” atas produksi film sebenarnya adalah saat diputar di dalam negeri selama seminggu pertama. Jika tidak, maka film itu akan dinyatakan sebagai film gagal. Pasar internasional, untuk itu, adalah pasar dengan penambahan pemasukan kotor. Di era baru kerjasama Hengdian- Warner ini, atas produksi semua film kerjasama ini, pemerintah China pun melarang sulih- suara ke Bahasa Inggris saat film lokal akan diekspor. Hasil akhir sulih suara pun wajib diserahkan ke SARFT atau film tak boleh dikir im ke luar China. Sebaliknya, semua film impor wajib disulih- suarakan dan atau diber i teks ke bahasa Mandarin sebelum diputar di bioskop. Khusus untuk urusan kerjasama produksi dengan pihak asing, anak perusahaan CFGC, bertanggungjawab atas kerjasama produser lokal dengan produser asing seperti Hongkong Star Overseas dan produser lokal Beijin g Huaji Film. Di awal milen ium baru, ada juga produksi kerjasama badan pemerintah ini dengan Columbia Pictures (Hollywood) adalah film Xiaolin Soccer (2001). Columbia Pictures juga memproduksi film sukses Kung Fu Hustle (2004), masih kerjasama dengan badan pemerintah yang sama, juga dengan beberapa entitas swasta lokal lainnya. Film ini hanya diproduksi secara indiv idu , yang tidak terikat kewajiban memproduksi secara berkelan jutan. Setelah sukses di pasar internasional, kedua film ini menjadi satu bukti untuk membuat kebijakan membuka pintu lebih luas lagi: investasi asing di perusahaan produksi lokal. Warner Bros. Studios dari Hollywood akhirnya menjad i entitas asing pertama yang bekerjasama dengan produser lokal, Hengdian, dan membentuk joint-venture Hengdian- Warner. Pasca-kerjasama HengdianWarner, pemerintah China kemudian menjamin kepastian masa putar film asing di satu periode. Sebagai trade off atas risiko ini, produser kerjasama lokal- asing in i wajib merilis satu film baru untuk setiap enam minggu. Sebelum diproduksi, tentunya skenario film tetap diserahkan terlebih dahulu ke SARFT. Setelah diputar di bioskop, film tersebut boleh didistribus ikan ke telev isi terestrial. Dari bioskop hingga beberapa media 17 AMELIA DAY eksibis i audio- visual lain (DVD, TV atau layar lainnya), dikenal istilah movie release window untuk produksi film layar lebar. (Lihat pembahasan Movie Release Window dalam bagian Hollywood, Bollywood, Chinawood)/ Istilah window ini dikenal di industri M&E untuk maksimisas i pemasukan atas satu judul film sekaligus produksi lainnya yang dimiliki sang produser . Setelah diproduks i film kemudian didistr ibusikan ke pasar dalam negeri lalu ke pasar internasional (atau film di dua pasar in i didistr ibus ikan berbarengan). Jika film memang diproduks i untuk bioskop di awal perencanaan, maka jendela selanjutnya adalah media lain dengan juga memperhitungkan lokas i atau region distr ibusi. Bagan in i adalah pembagian regional atas distr ibusi DVD orisinal, sebagai bentuk evolus i hak intelektual seiring perkembangan teknologi DVD. Bagan Pembagian Region/Da erah DVD Player www.dvdbuyingguide.com Region 1: Region 2: Region 3: Region 4: Region 5: Region 6: U.S.A, teritor i U.S.A, Kanada Europe, Jepang, Timur Tengah, Mesir, Afrika Selatan, Greenland Taiwan, Korea, Filipina, Indonesia, Hong Kong Meksiko, South America, Central America, Australia, Selandia Baru, Kepulauan Pasifik, Karibia Russia, Eropa Timur, India, Africa, Korea Utara, Mongolia China 18 GLOCAL MEDIA Upaya pembagian region in i hanya berlaku untuk perangkat pemutar DVD yang juga orisinal. Permasalahannya kemudian, China pun menggandakannya dengan perangkat lain yang dipasang secara paralel saat perangkat sesuai region juga sedang berjalan. Cracking secara manual atas DVD membuat pembagian region in i tidaklah efektif. Dalam diskus i CASBAA 2006, para pemain global mencoba meraba maksud pemerintah China dalam Decree #44 tahun 2004: antara membuka dir i dengan aturan ketat dan menegakkan hukum terhadap pembajakan sinyal audio- visual mereka. Peluang atas pasar China, antara ada dan tiada? Anthony Y.H. Fung (2008) 1 0 mengkaji hantaman budaya populer asing terhadap pemerintah China adalah sebagai berikut 1 1 : Diagram Negara China ©Anthony YH Fung (2008) Budaya populer global langsung mempengaruhi pasar, dan negara melindungi pasar lokal sekaligus tak terpengaruh budaya global ini dalam menjalankan tugasnya melindungi pasar lokal. Pemerintah China melindungi pasar dari budaya terhadap yang pengaruh yang diyakin i tak mencerminkan nilai luhur bangsa China. Jika dahulu media hanya menjadi corong partai yang berkuasa, kin i media berubah menjadi “Party Publicity Inc.”, 1 2 sebuah usaha profit untuk kekuasaan, kin i pemerintah China telah mengakomodasi kekuatan pasar 10 Anthony Y. H. Fung, Global capital, local culture: localization of transnational media, Peter Lang Publishing, 2008. 11 Ibid, halaman 9 12 Krishna Se & Terence Lee, Political Regimes and the Media in Asia, Routledge, 2008, halaman 12. 19 AMELIA DAY dan membiarkan media mendapatkan otonomi dalam tingkat tertentu. Dalam proses komersialisas i in i, kekuatan komersial juga memperkuat pemerintah. Hasiln ya adalah sebuah keadaan di mana negara dan pasar bertransfromasi satu dengan lainnya. Hal in i membuat China tampil di panggung geopolit ik yang lebih strategis, sebuah negara dengan kekuatan sosio-polit ik baru (Ma, 200: 28). Sebalikn ya, Fung melihat peran negara-negara barat seperti di Eropa dan Amerika menghadapi budaya populer global, sebagai berikut: Diagram Negara-negara Barat ©Anthony YH Fung (2008) Negara membebaskan pasar sehingga negara hanya menjadi bagian yang “bisa dipengaruhi” oleh budaya populer global. Pasar tak mendapat proteksi dari negara secara khusus. Transformasi negara dan pasar di China adalah satu fenomena baru hari in i. Apa yang terjadi dalam industri film China hari in i adalah proses asimilas i kerja produser film China dan Amerika Serikat (supply) yang menghasilkan keuntungan dari pasar penonton China (demand) . Hingga hari in i manifesto film asing bagi China masih dalam tataran uang, bukan budaya. Menerapkan konsep Tao dalam kehidupam bernegara, pemerintah melindungi para pemain lokal dan rakyatnya dengan peraturan yang sangat ketat. Bagi pemerintah China, hantaman budaya populer tak boleh merasuki jiwa dan ideologi bangsa. Ia boleh masuk ke dalam pasar penonton China, namun ia tak boleh mengganggu “the unity, sovereignty and territor ial integrity of the state” (www.chinasarft.gov.cn). 20 GLOCAL MEDIA Proses “globalisasi” (atau apapun yang berbau asing bagi pemerintah China) terjadi di hampir seluruh pelos ok bumi. Tyler Cowen (2004: 190) membaginya menjadi: diversity across cultures dan diversity within cultures. D iversity across cultures , atau keberagaman antar-budaya berbasis perbedaan 1 3 dan berakhir dengan “ancaman” (Fung et.al, 2007: 82). Yang terjadi dengan diversity within cultures atau keberagaman di dalam budaya-budaya itu adalah “exchange of material, not just cultural values” 1 4 . Dengan mengetahui proses kerja sekian banyak budaya di dunia, pemerintah China menjalankan strategi within. Hal ini untuk mengantisipasi ancaman dengan memanfaatkan pertukaran materi, seperti transfer teknologi Barat dan pemikiran strategi kampanye modern. Khusus di dalam buku ini dikaji bagaimana strategi in i diterapkan atas produk intangible seperti film layar lebar Hollywood. Hal in i disampa ikan Fung (2008:34-36) seperti diagram di halaman selan jutnya. Selanjutnya dipaparkan bagaimana China secara internal “berbalik” mempengaruhi industri M&E global, baik melalu i pengaturan birokras i ataupun pengaruh dalam pengembangan struktur pasar. China mengerti proses global sektor M&E, sehingga terbentuk arus balik ke dunia luar China dengan produk lokal yang telah disesuaikan untuk pasar global. Fung (2008) sebelum produk lokal “diekspor” ke luar suatu negara, terjadi beberapa proses di bawah ini: – Lokalisasi: proses di mana film atau manajemen produksi film, misalnya, masuk ke pasar China; – Hibridisasi: terjadi sewaktu terjalin ruang dialog di mana film/manajemen tersebut kemudian “membuka dir” terhadap nilai-nilai lokal yang berlaku saat itu, atau sebaliknya, hal yang lokal menyesuaikan dengan hal baru; – De-globalisasi: di sini terjadi proses dekulturasi, akulturasi, atau rekulturasi 15, atau terjadi proses penghilangan, penambahan, transformasi atau redefinisi atas semua elemen realitas budaya kedua pihak; 13 Tyler Cowen, Creative Destruction: How Globalization is Changing The World's Cultures, Princeton University Press, 2004, halaman 130. 14 Michael Keane, Anthony Y. H. Fung, Albert Moran, New Television, Globalisation, and the East Asian Cultural Imagination, Hong Kong University Press, 2007, halaman 82. 15 Wang, Georgette and Yeh, Emilie Yueh-yu , Globalization and Hybridization in Cultural Production: A Tale of Two Films, Working Paper. David C. Lam Insitute for East-West Studies, 2005. 21 AMELIA DAY – Nasionalisasi: tahap di mana budaya populer yang telah mendapatkan reaksi positif pasar di China, dan produk yang sama ini kemudian siap dikirim ke pasar yang lebih besar lagi. Di dalam proses ini juga ditegaskan oleh Ulf Hannerz 16 bahwa budaya itu cair dan selalu bergerak: “Transnational culture has been declared 'fluid and shapeless'...” sehingga realitas budaya tak pernah berada di ruang hampa, yang tak bisa bernafas. Diagram Proses Timbal-balik Globalisasi – Glokalisasi ©Anthony YH Fung (2008) Dari kajian Fung ini serta dari apa yang kemudian terjadi pascaberlakunya Decree #44, China telah memanfaatkan situasi global untuk pertumbuhan dan perkembangan industri M&E lokal. By forcing international media companies to work through indiv idual projects, Beijing hopes to give local companies the chance to absorb the management and technology they need to become globally competitive while keeping control firmly in Chinese hands (Financial Times , 8 Desember 2006, halaman 9). Di bagian selan jutnya, bagaimana proses-proses dalam realitas budaya global hari in i berinteraksi dan memberikan tak hanya penolakan budaya lokal, namun juga pemanfaatan untuk berbalik mempengaruhi situasi global di satu waktu periode. 16 Ulf Hannerz, Transnational Connections: Culture, People, Places, Routledge, 31 Jul 1996, halaman 82. 22 23 AMELIA DAY 3 HOLLYWOOD, BOLLYWOOD, CHINAWOOD Youtube sepuluh tahun lalu hanyalah tempat video amatir mampir. Pada tahun 2006 Youtube dibeli Google, perusahaan raksasa di sektor jar ingan Internet. Youtube menjadi satu mesin penggerak arus Internet, karena Google bekerja dengan model bisnis iklan. Semakin banyak trafik ke situsnya, semakin banyak produk akan mempertimbangkan uang iklannya. Hari ini Youtube menjadi situs penyewaan produk audio visual, seperti halnya Netflix , Hulu dan Amazon Prime. Film lama yang digemari seperti Tint in dan Godfather hingga film terbaru Hollywood bisa dipesan mengalir (streaming) melalui situs Youtube. 1 7 Kali ini Youtube tidak menempatkan iklan di layanannya, karena model bisn is Youtube kali in i adalah berlangganan/berbayar. Pipa distribus i produk audio visual Hollywood hari in i sudah semakin banyak. Sekarang tinggal bagaimana para raksasa produser seperti Warner Bros. Studios, Universal Studios , dan Paramount Pictures membuat model bisn is seperti era 1980-an. Di era itu, satu film layar lebar diproduksi tak hanya untuk diputar di bioskop. Katup untuk film ini dibuka di tempat lain, alias film yang sama kemudian dijual lagi dalam bentuk kepingan DVD atau ke stasiun TV seperti SCTV atau ke saluran TV berlangganan seperti HBO. Berbagai medium untuk film yang sama dalam periode berbeda biasa disebut movie release windows, atau jendela tayang film. Tiap jendela tidak dibuka bersamaan; misalnya, minggu in i di bioskop, lalu dua bulan kemudian bentuk DVD diluncurkan. Sistem distribusi jendela in i 17 Michael Learmonth, YouTube Gets Paramount Films Such as 'Tintin' and 'The Godfather' in Rental Deal, www.adage.com, 4 April 2012. 24 GLOCAL MEDIA adalah cara untuk maksimisasi pemasukan hingga batas waktu tak terbatas. Untuk mengendalikan pasar permintaan audio-visual, pemilik hak cipta menjual video dengan menciptakan “artificial scarcity” dalam industri M&E 1 8 ini dengan berbagai varias i persyaratan: 1. Geografi : produser Hollywood merilis film pertama di Amerika Serikat baru ke negara lain; 2. Waktu: pertama kali diputar di bioskop, setelah sekian lama baru masuk ke telev isi dan DVD, baru ke pesawat terbang dan medium lain; 3. Format: jika konsumen ingin mendengarkan lagunya, ia harus membeli CD terpisah dari DVD atau tak termasuk harga tiket bioskop. Kurva jendela untuk release window di masa jaya film layar lebar itu biasanya berbentuk seperti in i 1 9 : Bagan Penawaran-permintaan atas Produk Audio-visual ©Umair Haque 2007 18 William Patry, How to Fix Copyright, Oxford University Press, 8 Mar 2012, halaman 4. 19 Kutipan grafik ini dimuat di sini atas seizin Dr Umair Haque, Havas Lab. 25 AMELIA DAY Dalam perhitungan seorang produser film layar lebar, seminggu pemutaran masih merupakan patokan perhitungan apakah film tersebut merugi atau menguntungkan. Jika di minggu pertama film tersebut meraup penonton tinggi, di minggu selanjutnya dipast ikan film masih diputar di bioskop. Di titik jumlah penonton hanya mencapai 20-30% dari kapasitas tempat duduk bioskop, film itu harus turun dan digant ikan judul lain. Jika film sudah tak diputar lagi di bioskop, film tersebut akhirnya masuk ke jendela kedua: tayangan pesawat terbang 2 0 atau DVD. MOVIE RELEASE WINDOWS Tata Period e Distribusi Film Era 1980 - 1990-an Bulan ke-1 Bulan ke-3 sampai 6 Bulan ke-6 Bulan ke-6 sampai 9 Bulan ke-6 sampai 12 Bulan ke-6 sampai 9 Bulan ke-9 sampai 18 Bulan ke-18 Bulan ke-18 sampai 36 Selanjutnya Rilis bioskop Rilis pesawat terbang Rental Video/DVD PPV (pay-per-view) DVD/Laser Sistem berbayar di hotel Video (pita kaset) TV berlangganan Network TV (free to air) Sindikasi (syndication) Urutan window ini mulai bergeser seir ing dengan pertumbuhan pasar dan perkembangan teknologi audio- visual satu dekade terakhir. Konsep windows ini memang dirumuskan oleh industri film di Amerika Serikat sejalan dengan ditemukannya teknologi perangkat pemutar dan pita home video diproduks i secara massal pertengahan 1970-an. Produser film memanfaatkannya untuk distr ibusi ke pasar penonton setelah film selesai diputar di bioskop. Di akhir 1980-an, konsep windows ini menjadi sebuah realita baru dalam industri audio visual global. Setelah diputar di bioskop, satu judu l film masuk ke window layar pesawat terbang di mana penumpang pesawat dapat menonton dengan sistem berbayar per tontonan PPV (pay per view) atau sistem permintaan VOD (video on demand) . Beberapa bulan kemudian, film baru bisa dijual melalu i pita video seperti Betamax atau VHS, atau kemudian melalu i keping video (DVD) di akhir 1990-an. Selan jutnya, di sekian bulan setelah penjualan VHS atau DVD, film yang sama diputar di TV berlangganan 20 Untuk Indonesia, biasanya untuk pesawat terbang rute internasional. 26 GLOCAL MEDIA (satelit atau kabel). Terakhir , film bisa masuk ke TV terestrial di luar wilayah produksi film seperti Trans TV (Indonesia) atau Channel 4 (Inggris). Tiga dekade silam, distribus i film atau siaran TV adalah melalui pita kaset (Betamax, VHS, Umatic, Betacam) sebelum diganti dengan plast ik digital (CD, VCD, DVD, Blu- Ray) memasuki era 1990-an. Produksi plastik CD dan DVD terbesar di dunia, sekali lagi, ada di China. Hari ini, dengan kecepatan transfer Internet yang kian membaik, penduduk dunia saling berbagi informasi apapun, termasuk di antaranya adalah mengunggah dan mengunduh film di jar ingan internet. Digitalisas i untuk produk audio visual hari in i adalah pekerjaan mudah dan murah, jauh lebih murah daripada membeli sekeping DVD bajakannya. Hari in i film layar lebar bisa diputar secepatnya di televis i adalah setahun setelah selesai diputar di bioskop. Pemasukan kotor (gross income) dari satu judul film itu menanjak di minggu pertama, dan selan jutnya akan menurun untuk window berikutnya, seperti yang dikaji Haque di atas. Perhitungan release window hari in i sudah berubah, terutama untuk medium lain (DVD dan televis i). Faktor utama perubahan in i adalah perihal perkembangan teknologi: di saat kian banyak orang bisa mengunggah film kesukaannya ke jaringan Internet, perhitungan periode window ini mulai bergeser. Film "versi Internet” bisa diunggah di hari film tersebut rilis. DVD “bajakan” bisa beredar seminggu kemudian. Periode putar untuk streaming di situs Internet seperti Hulu, Netflix , Amazon Prime dan iTunes mulai kian mendekati hari peluncuran di bioskop. Alasan utama dari tahapan jendela in i adalah untuk maksimisas i pemasukan atas film yang dibuat. “Hak intelektual = Kendali = Keuntungan Monopoli” adalah rumus utama dari sektor M&E. Berbeda dengan produk mie instan, yang diproduksi sekali untuk konsumsi sekali juga, film adalah produk yang dibuat sekali untuk konsumsi berkali- kali di berbagai macam media. Maksimisasi ini terjadi di tahapan eksibis i (berkali- kali) atas satu produk video yang diproduksi sekali. 27 AMELIA DAY Film sebagai produk (intangible product) berbeda dengan produk fisik (tangible product) seperti mie instan atau rokok. Biaya produksi dan distr ibusi mie instan adalah variabel. Faktor biaya rokok yang dominan adalah promosi dan pemasaran, yang juga menjadi biaya variabel. Sebungkus mie instan atau sepuntung rokok diproduksi sekali untuk konsumsi sekali. Bungkus kedua berarti biaya produksi baru. Dengan atau tanpa teknologi canggih, misaln ya, dalam sebuah film blockbuster (film lar is) biaya terbesar masih di tahap produksi. Distribusi dan pemasaran menempati urutan kedua. Dalam sektor M&E, hampir seluruh biaya adalah biaya tetap (fixed costs) atau biaya yang hanya dibayarkan sekali untuk beberapa kali produksi dengan variable costs mendekati nol rupiah. Biaya sebuah produksi film itu sebagian besar dipakai untuk menyewa atau membeli sebuah kamera, selain juga untuk honor aktor atau sutradara tenar. Semua biaya in i dibayarkan di awal, dan breakeven point bisa diprediks i di seminggu pertama peluncuran film di bioskop. Lebih hebat lagi, akuntan produksi film menetapkan biaya breakeven itu tiga kali dari biaya produksinya. Di lain pihak, biaya di tahap distr ibusi/eks ibis i sebuah film itu tetap ada namun mendekati nol. Sebelum milen ium baru, mencetak pita film baru dan mendistribus ikan ke banyak negara adalah biaya variabel, atau biaya yang timbu l setiap penambahan cetak film selu loid. Saat ini biaya distr ibusi ke bioskop digital di pasar internasional menjadi sangat murah dibanding era cetak film. Digitalisas i kemudian membuat biaya untuk melayani pelanggan kedua dan seterusnya mendekati nol rupiah. Dengan teknologi digital, distr ibusi ke bioskop bisa dilakukan via jar ingan internet ataupun kaset digital yang prosesnya tak semahal mengir im gulungan pita film dalam kaleng dengan jasa kurir Fedex atau DHL. Selan jutnya, perhitungan breakeven sebuah film yang bisa diprediksi di minggu pertama diputar di bioskop, adalah berarti melihat jumlah penonton tertentu untuk menutupi seluruh biaya. Penonton berikut adalah keuntungan ekstra. Biaya produksi kaleng tak ada lagi, namun film yang sama tetap melalu i banyak window walau dalam kurun periode yang lebih . Konsep window, sekali lagi, adalah untuk maksimisasi pemasukan hingga waktu tak terbatas. Untuk perhitungan pemasukan sejak masuk bioskop hingga hari ini, angka tol terus bertambah walau kurva mulai menurun. Ambil contoh ikon Hongkong yang sukses di Hollywood: Jackie Chan dalam film bersekuel Rush Hour . Dengan biaya produksi tiap film sekitar $100-150 28 GLOCAL MEDIA juta, Rush Hour menjadi film lar is di seluruh dunia. Pemasukan kotor tiga film bersekuel in i (hanya di Amerika Serikat saja): 2 1 Rush Hour (rilis 1998) USD 141,186,864 Rush Hour 2 (rilis 2001) USD 226,164,286 Rush Hour 3 (rilis 2007) USD 140,125,968 Film ini adalah salah satu kisah sukses Hollywood dengan bintang utama warga negara Hong Kong yang tak fasih berbahasa Inggris. Film sukses secara finansial biasa disebut dengan nama blockbuster movie. Istilah blockbuster in i lahir di era 1940-an di saat acara panggung teatrikal memenuhi block atau daerah tempat acara itu berlangsung. Film sukses ini biasanya sudah dirancang sedemikian rupa di awal produksi, mulai dari cerita yang menarik (good storytelling) hingga perkiraan biaya yang akan dihabiskan untuk produksi hingga distribus i dan pemasarannya. Perhitungan biaya ini juga termasuk prediks i potensi pemasukan di minggu pertama film diputar hingga pemasukan dari pasar internasional dan pasar terkait lain (telev isi, DVD dan streaming ). Terkadang pula Hollywood bisa melihat peluang bisnis atas film sukses dengan menciptakan lanjutan atas karakter dan judul film yang sama. Sekuel atau lan jutan film in i bisa lebih sukses setinggi film pertama (prekuel). Di bawah ini ada dua judul film Hollywood yang mengalami turun naik international gross income dalam periode tertentu 2 2 : Spy Kids USD 147,934,180 Spy Kids 2: The Island of Lost Dreams USD 119,723,358 Spy Kids 3-D: Game Over USD 197,011,982 The Terminator USD 78,371,200 Terminator 2: Judgment Day USD 519,843,345 Terminator 3: Rise of the Machines USD 433,371,112 Terminator Salvat ion USD 371,353,001 21 http://www.boxofficemojo.com 22 http://www.newsview.org/2011/08/prequels-sequels-better-than-original.html 29 AMELIA DAY Dalam sebuah produksi film, terutama yang dirancang untuk blockbuster , biaya untuk artis terkadang memakan porsi paling besar. Biaya produksi film Warlords (karya Hengdian- Warner) sebesar USD 40 juta, yang sebagian besarnya adalah biaya bintang film: Jet Li (USD 15 juta), Andy Lau USD 6 juta) dan Takeshi Kaneshiro (USD 2 juta). Film in i secara global meraup gross income $ 170 juta 2 3 sejak dir ilis tahun 2007. Warlords adalah contoh pengaruh positif Hollywood bagi perkembangan industri M&E di China, khususnya yang terkait produksi film. Film ini menjadi awal proyek co-production Hollywood dan Chinawood berbiaya jutaan dolar. Kedua pihak memperhitungkan secara bisn is sejak awal dengan menempatkan bintang terkenal China dan Jepang (Jet Li, Andy Lau, Xu Jinglei, Takeshi Kaneshiro), penggarapan kolosal dan jalan cerita epik menegangkan. F I L M L AY A R L E B A R “ W A R L O R D S ” K A R Y A H E N G D I A N & WARNER BROS. STUDIOS Warlords dibuat dengan alur cerita patriotis me citarasa oriental. Pesan budaya yang disampaikan dalam film in i terasa besar (pemain banyak/kolosal) dan mendebarkan (konflik antar-tiga tokoh). Sukses sebuah film berarti membuat penonton membicarakannya di luar bioskop. Mengikuti jejak Hollywood yang kerap menempatkan bendera star and stripes di gelas koktil di sebuah bar hingga tiang di depan rumah, Warlords pun menempatkan pernak-pernik pahlawan kerajaan dinasti Qing (era 1860-an). Pesan patriot isme atau heroisme dsampaikan dengan konflik dan detail adegan mencekam. Film tentang harga dir i dan persaudaraan sesungguhnya menyajikan sejarah kebesaran dinasti China kepada dunia, dan kali ini dalam gaya tutur Hollywood. Untuk produk video unggulan, Hollywood sesungguhnya telah memiliki resep turun-temurun yang terbukti mampu drive the traffic. Hollywood 23 JP Morgan Entertainment Group, Laporan Distributor Film Bina Film Ltd, 2011. 30 GLOCAL MEDIA juga terbukti pernah menjadi mesin berpengaruh terhadap budaya populer global. Satu contoh pakemnya adalah happy ending atau akhir cerita yang menyenangkan bagi penonton . Happy ending in i bisa ditemukan di berbagai genre cerita, apakah itu kisah drama cinta, atau drama perang. Happy ending adalah salah satu resep sukses Hollywood. Mendaur-ulang kisah sukses dengan berbagai latar-belakang dan aktor terkenal berarti mengulang sukses di era baru. Misalnya, kisah Cinderella ada dalam film Pretty Woman kemudian hadir Avatar . Film Pretty Woman ada di masa kekinian di New York, Amerika Serikat, tentang pelacur yang jatuh cinta pada pebisnis kaya ganteng. Avatar berada di masa depan di luar angkasa entah di mana dengan sang putri raja alien yang jatuh cinta pada tentara bumi yang cacat. Cinderella adalah cerita rakyat Perancis yang ditu lis oleh Charles Perrault dalam Histoires ou contes du temps passé atau Stories or Fairy Tales from Past Times with Morals (1697). Karya-karya yang telah diproduksi lama telah menjadi public domain atau milik masyarakat. Konsep public domain ini dirumuskan dalam peraturan global tentang hak milik intelektual, atau intellectual property rights (IPR) , yang dinaungi badan hukum internasional, WIPO (World Intellectual Property Rights Organization). Konsep hak intelektual in i lahir dari produk “buku”. Awalnya adalah buku itu hanya ditu lis dan digandakan di gereja, dan hak intelektual atas ilmu pengetahuan itu hanya dimiliki segelint ir orang. Setelah mesin cetak Gutenberg dijual bebas dan sebelum konsep hak milik intelektual (intellectual property rights/IPR) dirumuskan negara, semua orang bisa menggandakan buku. Penulis buku tak mendapatkan apa-apa. Setelah Statute of [Queen] Anne (1770) di Inggris, kemudian Berne Convention (1886) di Jerman, dilan jutkan ke beberapa pertemuan tingkat dunia, konsepsi royalt i 10-20% dari harga bandrol buku pun terbentuk. Skema royalt i yang sama juga berlaku saat film masuk ke bioskop. Sekian persen dari harga tiket yang terjual di satu periode kemudian dibayarkan ke produser. Pemerintah negara barat mengin isiasi konsep royalt i ini. Konsep in i pun berevolusi secara global. Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara barat lainnya bahkan menjadikannya sebagai salah satu persyaratan perdagangan internasional bagi seluruh negara yang meratifikasi kegiatan WTO (World Trade Organization) , badan di bawah PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) atau induk dari WIPO. Perjan jian in i diber i judu l TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) , yang memang dikaitkan dengan perdagangan segala sektor. China, mau tak mau, harus menandatangani TRIPS karena tak ingin produk fisik (tangible) yang hendak diekspor ke negara barat dijegal. 31 AMELIA DAY TRIPS akhirnya seakan menjembatani “perdagangan China ke berbagai negara” dengan “pemberantasan pembajakan”. Yang sesungguhnya terjadi adalah perkembangan teknologi distribusi dan eksibisi produk audio-visual di segala penjuru dunia. Dahulu produk audio visual yang tadinya hanya bisa ditonton di bioskop, lebih dari tiga dekade silam, penggandaan massal terjadi dengan bantuan U-Matic, Betamax, dan VHS. Kualitas hasil penggandaannya masih di bawah standar film selu loid. Asia adalah pasar terbesar dari keping video (DVD) bajakan (baca: tanpa seizin produsernya). Di saat teknologi digital mulai dikenal luas, kualitas generasi kedua dan seterusnya dari sebuah film layar lebar akan tetap prima. Dengan fakta termutakhir in i, produser Hollywood berpikir ulang tentang movie release windows untuk maksimisasi keuntungannya. Bagaimana mereka bisa mendapatkan keuntungan di pasar China yang lemah dalam menegakkan hukum atas pelanggaran hukum internasional terkait IPR in i. Di China, distribus i film asing via DVD tak ada yang legal. China adalah produsen plastik kepingan DVD kosong yang juga dipasok ke banyak negara seperti ke Indonesia. Memperpendek jarak antar-pipa distribus i in i terjadi saat pembajakan video via DVD di China tak bisa ditekan. Produser Hollywood melalu i entitas kerjasama Hengdian-Warner mengeluarkan DVD asli setelah seminggu film diputar di bioskop. V ersi bajakan biasanya juga keluar di minggu pertama dengan kualitas video/audio yang masih buruk. Pecinta film tersebut akan memilih memiliki video asli dan kualitas bagus walau harganya sedikit lebih mahal. Terkadang malah DVD asli memuat beberapa goodies seperti potongan film yang terbuang atau adegan behind the scenes. Dengan menyesuaikan periode window, produser Hollywood memberikan ruang sempit bagi DVD ilegal (tanpa izin produser). Sejalan dengan waktu, produser sektor M&E yang pernah besar di abad silam akhirnya harus "berdamai" hari ini dengan arus baru: gerakan video sharing global via Internet. Jejar ing Internet membuat jarak antara film bioskop dan TV/komputer pribadi/telepon genggam semakin tipis. Sharing adalah kegiatan utama dari media sosial seperti Youtube dan Facebook. Jika dahulu hanya terbatas via email attachment antar-kawan, kini siapapun yang mempunyai koneksi ke internet bisa menonton film atau tayangan TV terbaru via situs media sosial. Dua hal ini (digitalis asi dan Internet) akhirnya "memudahkan" proses penggandaan secara amatir, yang kemudian dikenal oleh produser film dengan istilah: pembajakan. Di luar sektor M&E, sektor jar ingan Internet dan sektor telekomunikas i hanya memiliki kantor perwakilan penjualan perangkat yang tentunya 32 GLOCAL MEDIA diatur ketat oleh pemerintah China. Sementara itu, perusahaan lokal (swasta) untuk streaming mendistribus ikan film lokal dan beberapa judu l film asing sudah ada, di antaranya adalah www.youku.com (semacam entitas lokal dari Youtube). Youku juga mendistribus ikan film animasi sukses karya Dreamworks Animation (Stephen Spielberg) seperti Kung Fu Panda . Youku adalah situs video hosting seperti Youtube, yang juga memberikan jasa streaming on-demand, khususnya untuk distribusi film yang diproduks i oleh studio besar seperti Dreamworks Animat ion in i. Selain dengan streaming, ada ratusan operator telev isi kabel di China yang juga menyalurkan sinyal audio- visual tanpa seizin studio Hollywood. Mereka berada di “area abu-abu”: antara diketahu i oleh pemerintah pusat sebagai pelanggar hak intelektual serta dilindungi keberadaannya oleh pemerintah daerah. Operator kabel lokal ini mendistribus ikan saluran seperti HBO dan ESPN tanpa izin apalagi kontrak legal. Operator kabel ini murni berangkat dari usaha swasta lokal. Selain itu, pemerintah pusat China pun tak memberikan subsidi atau menyertakan sahamnya, mengingat memang pihak asing tak boleh memiliki saham langsung ke media massa lokal. Di beberapa daerah yang telah memiliki infrastruktur kabel serat optik seperti Shenzhen, Shanghai , Dalian , Qingdao, Suzhou, Nanjin g, dan Guangdong bahkan telah memberikan layanan yang lengkap seperti: akses Internet berkecepatan tinggi, video on demand, audio on demand, online shopping, video telephony/v ideo conferencing. 2 4 Selain “pembajakan sinyal” yang tak seakan kunjung selesai ditangani pemerintah pusat, berbagai gugatan terhadap pembajakan paten perangkat teknologi juga terjadi. Yang termutakhir adalah gugatan Apple Inc. dari Amerika Serikat terhadap Samsung, Korea Selatan. Samsung adalah salah satu sub-kontraktor untuk salah satu komponen telepon genggam iPhone, produk Apple. Samsung memiliki pabrik komponen in i di China. Sehari setelah Apple meluncurkan produk terbarunya, tablet iPad, keluar produk yang mirip bermerek iPed. Perangkat elektronik canggih yang dibuat oleh Apple, Samsung atau Sony juga dikonsums i dalam jumlah besar di China. Perangkat yang ada hari in i memungkinkan quadruple play , atau konvergensi empat isi dan fitur yang dahulu terpisah: teks (koran), audio (radio) , audio visual (televis i) , dan bergerak (telepon genggam). Dengan perangkat canggih ini, setiap orang bisa menonton video yang diunggah ke jar ingan Internet, kapan saja di mana saja. 24 http://www.baidu.com, situs ensiklopedia lokal seperti Wikipedia 33 AMELIA DAY "Pembajakan" atau penggandaan secara massal terjadi nyaris di seluruh dunia. Laporan terakhir CASBAA, sebuah asosias i industri penyiaran dan satelit se-Asia Pasifik, Regulating for Growth 2011, menempatkan India dan China di nomor paling buncit dalam hal, salah satunya, penegakan hukum terkait hak intelektual. India hanya mendapat 42% dan China mendapat 38%, sedangkan Indonesia (60%) berada lima tingkat di atas India. Apa yang terjadi di China terhadap hak milik intele ktual untuk produk audio-visual juga terjadi di China. Beberapa situs seperti tamilwire.com, moviemobile.net, bharatmovies.com, tamilthunder.com. bwtorrents.com, desitorrents.com, tamiltorrents.com, doregama.in, dctorrent.com, hindilinks4u.net, dan beberapa lainnya menyalurkan film Hollywood yang telah disulih- suara atau diber i teks bahasa lokal. Sekitar 25 juta unduhan/unggahan terjadi di India selama 2011. Industri film di India mengalami kemajuan pesat, dengan tingkat pertumbuhan 15% per tahun, semenara Amerika Serikat hanya 5,6%. Di tahun 2004-2009 India memang masih menyumbang 0,7% dari total pemasukan sektor M&E global, sementara Amerika Serikat menyumbang 42% dari total pemasukan global itu. Porsi Amerika Serikat menurun pasca2009 karena hanya menyumbang 38%. Secara mikro, di tahun 2005 biaya sebuah film 2 5 Bollywood adalah USD 1,5 juta (produksi) dan USD 500 ribu (pemasaran/promosi), bandingkan dengan film Hollywood USD 47,7 juta (produksi) dan USD 27,3 juta (pemasaran/promos i). Film hanya salah satu bagian dari sektor M&E yang menggiurkan. Sekali lagi, sebagai content , film layar lebar diproduks i sekali untuk konsumsi berkali- kali. Dengan dominasi film Amerika Serikat dan pertumbuhan film global, makin banyak pemain lokal tumbuh di sektor in i di India, mulai dari proses produksi hingga eksibisi. Khusus untuk pipa bioskop, porsi pemasukan film India untuk sektor M&E in i adalah 70%, sementara film produksi Hollywood adalah 35% (sisanya dari DVD hingga telev isi). India dan banyak negara lain adalah pasar tujuan film Hollywood. Sistem movie release windows belum diterapkan oleh pemain industri lokal. Untuk tahap produksi hingga eksibisi, ada pemain lokal yang cukup mendunia, Reliance Anil Dhirubhai Ambani (ADA) Group. Di tahun 2008 Reliance membeli 50% saham Dreamworks Studios milik Steven Spielberg, sutradara dan produser yang kerap mendapatkan penghargaan bergengsi, Oscars. 25 Arpita Mukherjee, Paramita Deb Gupta, Prerna Ahuja, Indo-U.S. FTA: Prospects for Audiovisual Services, Indian Council for Research on International Economic Relations, Workking Paper 192, 2007. 34 GLOCAL MEDIA Dari semua pertumbuhan positif in i, terjadi pula "signal theft" yang biasa dilakukan oleh operator telev isi kabel lokal. Dari 28 negara bagian dan 7 daerah serikat (union territory) , ratusan operator TV kabel masih masuk dalam pengaturan telekomunikas i, bukan penyiaran. Seperti pemerintah pusat dan daerah di China, kekacauan pengaturan antara pemerintah pusat dan negara bagian di India in ilah yang membuat maraknya operatot TV kabel di daerah tanpa seizin dari penyedia saluran seperti HBO atau ESPN. Modus operator TV kabel lokal ini adalah menyewa dekoder seperti pelanggan berbayar lainnya ke operator besar (pusat) kemudian mendistribusikan kembali ke pelanggan lokal. Ada pemain lokal ini yang tidak melaporkan pemain pusat, ada juga yang melapor atau menjadi bagian resmi pemain pusat. Yang melapor in i biasanya tidak memberikan jumlah pelanggan sesungguhnya, sehingga pembayaran ke pusat kecil. Sebagai contoh atas perhitungan in i adalah: 1. Pemain pusat membayar sepaket saluran TV ke penyedia channel (channel provider) seperti Star TV, ESPN atau HBO. Nilai paket in i dihitung, misalnya, USD 1 per pelanggan per bulan. Jadi pemain pusat harus membayar ke saluran berbayar itu senilai USD 1 X 3 juta pelanggan X 1 bulan = USD 2 juta / bulan. 2. Pemain lokal yang menjadi bagian (re-distributor) dari pemain pusat harus membayar per bulan dengan perhitungan sama di atas, atau dihitung dari besarnya uang pelanggan di daerah. Misalnya di daerah masyarakat hanya bisa berlangganan senilai USD 2.5 per bulan. Dengan negosias i, biasanya pemain lokal harus membayar pemain pusat sekitar 10-25% dari uang berlangganan tersebut, atau USD 0.25-0.75 per bulan dikalikan jumlah pelanggan (misalnya 100 ribu). Untuk itu pemain lokal harus membayar USD 25 ribu - USD 75 ribu per bulan ke pemain pusat. Selama beberapa dekade Amerika Serikat memasukkan China dan India di urutan awal daftar priority watch list seluruh dunia atas pembajakan sektor M&E. Diperhitungkan bahwa potensi kehilangan pemasukan industri Hollywood adalah USD 48,2 milyar untuk tahap penjua lan, royalt i, dan biaya lisens i hanya di tahun 2009, mulai dari buku, piranti lunak, hingga film dan siaran TV 2 6 . Nilai produk intelektual ilegal (tanpa izin produsernya) khusus untuk kawasan China merupakan yang terbesar di dunia, nyaris dua per tiga barang palsu/bajakan dunia. 26 ibid, halaman 33. 35 AMELIA DAY Penggandaan ilegal produk video in i terjadi sesungguhnya adalah masalah penawaran-permintaan. Ada 3 (tiga) alasan kecilnya penawaran produk video di negeri in i: 1. Terbatasnya ruang bioskop untuk populas i penduduk pertama terbesar di dunia. 2. Ketatnya pengaturan is i, terbukti dengan adanya sensor sebelum produksi hingga setelah selesai produksi. 3. Terbatasnya kuota film asing yang terbukti menjadi pemasukan tertinggi (sampai 80% total pemasukan kotor bioskop) selama era 1990-an. Tingginya permintaan akan produk video seantero India dan China memberikan peluang bagi pemasok ilegal, baik dalam bentuk keping DVD ataupun sinyal satelit HBO atau ESPN. Dari sis i produksi film lokal, India masih termasuk yang cukup produktif. India, salah satu dari segelintir peradaban kuno yang masih bertahan hingga hari ini, memiliki ratusan dialek bahasa dan suku bangsa, dengan tiga yang utama: Hindi, Tamil dan Telugu. Ketiga bahasa ini pula yang mendominas i film nasional mereka . Di awal milenum ini, hanya ada 150 hingga 200 judu l film diproduks i di India, tapi disulih- suarakan ke dalam 20 bahasa lokal. Sejumlah 800 hingga 1000 judul diproduksi di India tentu mengalahkan kemampuan Hollywood. 2 7 Untuk itu, di India juga dikenal Bollywood, berasal dari kata Bombay (sekarang Mumbai) sebagai tempat produksi utama film berdialek Hindi atau Hinglish (sesekali diselipi Bahasa Inggris/English). Bollywood juga telah mempekerjakan 6 juta rakyat India (2003) dan menempatkan film sebagai industri terbesar ke-7 di negara in i. Tiket bioskop yang terjual di tahun 2003 sejumlah 3,6 milyar dan masih lebih tinggi dari penjualan tiket bioskop di Amerika Serikat (2.6 milyar). Penjualan tiket film Hollywood di India juga tak terlalu tinggi. Alasannya: film Hollywood tidak terlalu menarik bagi rakyat India. Tidak menarik ditonton masyarakat lokal karena ada perbedaan budaya, ras dan sudut pandang plot cerita yang digemari. Selain itu, sensor pemerintah India tak seketat pemerintah China, bahkan tak ada kebijakan mewajibkan film Hollywood disu lih- suarakan ke dalam bahasa lokal. Untuk beberapa tahun kebijakan ini dibaca Hollywood sebagai “efisiensi” tahap distribusi, sehingga melupakan potensi penonton lokal. 27 Tejaswini Ganti, Bollywood: a guidebook to popular Hindi cinema, Routledge, 2004, halaman 3. 36 GLOCAL MEDIA Secara tak langsung pula Bollywood telah memberi sentuhan khusus pada industri audio visual Amerika Serikat di dua dekade terakhir, baik di film layar lebar ataupun di serial telev isi. Aktris Bollywood (Hollywood-nya India), Aishwarya Rai bahkan didau lat majalah Time (2003) sebagai “The New Face of Film”. Pergeseran ini kian terasa saat Slumdog Millionaire meraih Piala Oscar sebagai film terbaik 2009. Film ini disutradarai Danny Boyle (Inggris) dengan asisten sutrada wanita berkebangsaan India, Loveleen Tandan. Film yang juga diproduksi di India in i sesungguhnya diambil dari kisah yang ditu lis pengarang India, Vikas Swarup. Hollywood dan Bollywood sama-sama “dream factory”. Produser Hollywood telah membangun Universal Studios dan Disney Them Park di berbagai penjuru dunia untuk memudahkan proses produksi indoor . Bollywood juga memiliki Film City yang dibangun Reliance MediaWorks Studios. Melalui Hengdian, China pun telah memiliki replika Kota Terlarang (Forbidden City) yang lengkap dengan istana di lahan luas dengan siluet pegunungan sebagai latar belakangnya. Semua studio alam in i telah dilengkapi infrastruktur produksi audio-visual termutakhir. Pemerintah China pun merancang pusat-pusat M&E yang terpadu. Pascakebijakan ekonomi terbuka, China membuat rencana jangka panjang sebagai "well- off society" (Xaiokang Shehui). 28 Salah satu sektor industri yang digerakkan adalah “creative industries” yang sering disebut “content industries”. Beijing menjadi capital complex untuk berbagai kegiatan kreatif nasional. 29 Rancangan kota Beijin g sebagai pusat kreativitas dibangun dengan ambis ius menggunakan anggaran pemerintah pusat dan daerah. Salah satu klaster utamanya, The CRD (Capital Recreation District) akan menjadi pusat hiburan dan animasi digital, lengkap dengan pusat pendidikan dan pelat ihan serta ruang konferensi, pameran dan kantor. CRD dibangun atas anggara 11 tahun dan dibiayai hanya dari anggaran pemerintah daerah. 30 Infrastruktur produksi in i memudahkan siapapun yang bergerak di bisnis ini untuk bisa memproduksi lebih banyak lagi. Visi produser film di Hollywood ditangkap oleh segelintir pengusaha di India dan China, yang kemudian ngetop dengan istilah Bollywood (daerah produksi film di Mumbai) dan Chinawood (istilah untuk replika Kota Terlarang, yang berada 36 km dari ibukota negara, Beijin g). Sepanjang tahun 1996 hingga 2005, di dalam 28 Lu, X. Y., China's Xiaokang Society in the Year 2000, Nanchang, Jiangxi People's Publishers, 1991. 29 Lily Kong, Justin O'Connor, Creative Economies, Creative Cities: Asian-European Perspectives, Springer, 27 Mei 2009. 30 Ibid, halaman 87. 37 AMELIA DAY Hengdian Film & TV City telah diproduksi 275 judu l film dan seri telev isi. Selain untuk memproduksi film layar lebar dan tayangan TV, Hengdian Film & TV City di Provins i Zhejiang menjadi atraksi wisatawan dalam dan luar negeri. Sepanjang 2004 saja Hengdian telah menjadi atraksi untuk sejumlah 2,5 juta wisatawan dalam dan luar negeri. Dengan infrastruktur yang baik dan sumber daya yang cukup banyak di India atau China, industri M&E bisa dikembangkan lebih baik lagi. Kreativ itas produksi film sesungguhnya dimulai pula dari cerita yang menarik. Kedua negara ini memiliki ribuan manuskrip dongeng masa lampau , yang bisa dipoles dengan sentuhan Hollywood. Warlords adalah salah satu contoh kisah pahlawan China kuno yang mendapat sentuhan artistik dan bisn is Hollywood. Untuk sektor M&E di China, baik pemerintah ataupun pemain lokal seakan mencari obat kuat (remedies) ke Hollywood untuk membangun industri lokal mereka. Hal ini juga ditegaskan oleh Ying Zhu, pakar film China yang tinggal di New York, Amerika Serikat: Competing with imported blockbusters for market share, many Chinese filmmakers turned to Hollywood for possible remedies. Hollywood's institutional structure and popular narrative formula have since been taken up as models for filmmakin g and marketing. The Chinese film industry has been going through a series of institutional restructurings to cope with the demands of market economy, the rise of alternative entertainment options, and the popularity of Hollywood blockbuster films. The upshot has been the commercialization and decentralizat ion of a formerly statesubsidized film industry and the transformation to a populist film culture from an elitist one ascendant in the late 1970s. 3 1 Singkatnya, Hollywood adalah “dream factory” yang mampu menerjemahkan teks cerita lebih cerita audio- visual yang menarik. Atas plot cerita Cinderella, Hollywood menambahkan dramaturgi yang mendebarkan, menyebalkan, menyedihkan, dan berbagai perasaan manusiawi lainnya. Secara teorit is sebuah cerita (plot linier) itu diawali dari penjelasan awal, kemudian terjadi beberapa konflik hingga mencapai klimaks. Emos i penonton mulai turun menjelang akhir cerita. Atas beberapa film blockbuster, produser Hollywood memilih plot cerita sederhana: plot tunggal dan lin ier. Sebuah plot memiliki spine atau tulang punggung yang sama. Dramatisasi terjadi saat karakter di dalam plot cerita itu saling “bertabrakan” di sebuah tempat dan waktu tertentu (setting). Selain satu plot, sebuah cerita bisa juga memiliki banyak plot 31 Ying Zhu, Chinese Cinema During the Era of Reform: The Ingenuity of the System, Greenwood Publishing Group, 2003. 38 GLOCAL MEDIA (multiplot) tanpa menghiraukan urutan waktu. Bayangkan kartun Cinderella yang hanya memiliki di satu plot linier. Bandingkan kartun ini dengan film karya Quentin Tarantino Pulp Fiction. Yang terakhir ini adalah contoh film dengan multiplot. Bagan Plot Cerita Fiksi/Drama Kisah plot lin ier Cinderella atau Si Upik Abu memiliki akhir cerita yang berakhir bahagia: sang putri cantik tapi dekil akhirnya hidup bahagia dengan pangeran kaya raya. Happily ever after. Ada kalanya penggarapannya bisa dibuat canggih dengan komputer, bisa juga cuma dialog tear-jerking atau membuat tangis penonton saat melihat Si Upik bertemu pangerannya. Cinta terlarang (antara dua kasta berbeda) juga bisa dihadirkan dalam versi ultra-modern. Perhatikan karya James Cameron dengan sentuhan teknologi termutakhir motion capture. Adalah film “Avatar” yang diproduksi sedikit berbeda dengan kecanggihan komputer kartun Disney, “Cinderella”. Teknologi yang dipakai Cameron adalah piranti lunak produksi Twin Pixels, yang mungkin berarti dua titik serupa di tempat bebeda, satu di badan manusia dan yang lainnya di layar komputer. Di lain waktu, ada juga film Pretty Woman yang hanya perlu aktris sekaliber Julia Roberts untuk menghayati peran Cinderella in i. Kisah cinta sejati, cinta segit iga, cita segi banyak atau cinta terlarang adalah racikan utama film Hollywood dan banyak tayangan TV dunia. Perburuan atas sesuatu, kisah perjalanan dan pertarungan kekuasaan juga menjadi resep khas film laga dan fantasi di layar lebar. 39 AMELIA DAY Selain pakem cerita, Hollywood juga pusat perkembangan teknologi audiovisual serta pusat pendidikan tenaga kreatif. Standar kualitas mulai dari gambar dan suara hingga gerakan dan trik kamera menjadikan film produksi Hollywood sebagai hiburan penuh kenikmatan bagi panca-indera mata dan telinga. Tabel Dramaturgi Characters Plot Settings Protagonist Single/linear Past, Present Future Antagonist Sub-plot(s) Jakarta, New York, etc. Many cameos, or not Multi-plot Technology heavy, or not Hollywood juga memiliki pakem bisn is (distribus i dan pemasaran) untuk menjangkau pasar global. Film sebagai content, sekali lagi, diputar di banyak media (pipe) . Untuk produksi Holllywood, biasanya film didistr ibusikan di dalam negeri terlebih dahulu , dimu lai dari kota besar di minggu pertama. Jika sukses, distr ibusi dilan jutkan ke kota kecil lain secara agresif. Beberapa minggu sebelum diputar di bioskop se-Amerika Serikat, distr ibusi didahulu i pemasaran, biasanya dengan promo trailer lalu beberapa video fitur dan behind the scenes . Setelah beberapa minggu , film tersebut baru didistr ibusikan ke luar negeri. Untuk selan jutnya, setelah bioskop, berlakulah periode sesuai movie release windows . Cara bertutur dan berbisnis Hollywood in i terlihat sekali dalam produksi film China sepuluh tahun terakhir. India belum menempatkan pemain lokal mereka sebagai potensi mitra Hollywood secara finansial. Baru ada Reliance ADA Group yang mampu menggandeng Dreamworks, namun tak ada campur tangan pemerintah India dalam kepemilikan entitas Hollywood in i. Dengan mendir ikan China Media Capital yang profit-oriented , pemerintah China tetap mengawal is i film tersebut melalui manajemen perusahaan. Selain mengunci is i film dari aturan is i film melalu i prosedur birokras i yang telah ada, pemerintah China juga mengetahui kegiatan perusahaan tersebut secara langsung. 40 GLOCAL MEDIA Entintas CMC adalah bentukan pemerintah China untuk kerjasama dengan News Corporations, raksasa media global dari hulu (20 t h Fox Studios) ke hilir (jaringan Star TV dan Phoenix Channel di Hong Kong, hingga Fox News di Amerika Serikat dan operator TV satelit berbayar BSkyB di Inggris). News Corp. adalah entitas konglomerat M&E Amerika Serikat yang dimotor i Rupert Murdoch, kelahiran Australia yang disebut media di Inggris sebagai salah satu dari “Lords of Global. 3 2 Lahir di Australia, besar di Amerika Serikat dan Eropa, Rupert Murdoch kemudian membangun kerajaan media di Hong Kong di bawah bendera “Star TV”, News Corp pun berulang kali berupaya masuk ke pasar China daratan. Untuk itu, News Corp. membentuk entitas Fortune Star Media (FSM) Limited. Selan jutnya, FSM membentuk perusahaan Star China Media (SCM), bekerjasama dengan milik pemerintah China: China Media Capital (CMC). Bagan kepem ilikan badan usaha pemerintah China dan raksasa media global, News Corporation 32 Michael Curtin, Playing to The World's Biggest Audience:the Globalization of Chinese Film and TV, University of California Press, 2007, halaman 193. 41 AMELIA DAY Banyak produksi film lokal (content) yang hak intelektualnya diakuisisi/dipegang oleh FSM yang kemudian didistribusikan melalui pipa televisi ataupun jaringan anak perusahaan SCM seperti Xing Kong Chuan Mei Group Co. Ltd. Xing Kong (pemilik saluran Phoenix berbahasa China dalam berbagai dialek) dan Star TV (pemilik puluhan genre saluran berbayar via satelit). CMC terbentuk seakan menjadi respons pemerintah China atas gerakan korporasi News Corp. di Hong Kong. Dari strategi kerjasama seperti CMC in i, ada tiga hal yang perlu dikaji: 1. Entitas lokal terlin dungi dan bisa bermain di arena global, 2. Pihak asing (manajemen perusahaan) bisa “disetir” dari dalam pemerintah, oleh 3.Di dalan negeri pun semua pemain asing dan lokal terkena peraturan pemerintah. Ris iko ancaman menurut Cowen (diversity across cultures) dalam entitas CMC jelas telah ditekan oleh pemerintah China. Yang terjadi adalah asimilas i “materi” (kemampuan manajemen produksi Hollywood) selain “nilai” (produktivitas bangsa China). China tak hanya melakukan kebijakan protektif dan insentif terhadap pemain lokal, tetapi juga ofensif ke pasar global. News Corporation yang ingin masuk ke pasar China harus menerima persyaratan yang dibuat pemerintah China: 51% saham harus milik lokal. Untuk itu pemerintah tetap memiliki kendali internal perusahaan selain mengatur isi film atau tayangan TV yang diproduksi/didis tribus i anak perusahaan Star China Media (SCM), anak perusahaan CMC. Pemerintah China mengatur mulai dari tahap produksi dan distribusi (peraturan pemerintah) hingga mengendalikan gerakan korporat di tahap distribusi hingga eksibis i melalu i hak veto sebagai pemilik mayoritas perusahaan kerjasama tersebut. Membuka keran investasi tanpa melepaskan kendali atas isi dan katup pipanya, inilah yang dimaksud sebagai deception, strategi Sun Tzu berabad silam untuk menguasai pasar global. Bentuk kerjasama dengan entitas asing ini menjadi satu cara pemerintah China memproteksi pemain lokal dan masyarakat penontonnya. Cara-cara korporat global membangun jaringannya seluruh dunia dipelajar i dan “dihadang” secara strategis oleh pemerintah China. Di bagian selanjutnya, akan dibahas bagaimana kepemilikan media global bekerja dalam satu ekosistem M&E, sebuah sistem di mana pemerintah China turut menari. Kali in i China membawa genderang sendiri. 42 GLOCAL MEDIA 43 4 EKOSISTEM MEDIA GLOBAL VERSUS CHINA Hollywood hari in i memiliki 6 (enam) studio besar yang produktif membuat film: Warner Bros., Paramount Pictures, Walt Disney, Columbia Pictures, Universal Studios, dan 20 t h Century Fox. Selain itu ada beberapa yang “sedang” seperti MGM dan Lions Gate Entertainment dan banyak produser independen lainnya. Sebagai produser film layar lebar dan program TV, beberapa studio produksi (content) in i terkait erat dengan media massa (pipe) , contohnya: 1. Warner Bros. Studios adalah bagian dari TimeWarner, perusahaan media besar yang memiliki jaringan saluran TV seperti CNN dan HBO. 2. Paramount Pictures menjadi satu bagian Viacom, konglomerat media pemilik MTV (saluran telev isi berbayar). Viacom memiliki keterkaitan erat dengan CBS (saluran telev isi terestrial): keduanya memiliki induk perusahaan yang sama: National Amusements. 3. Universal Studios dimiliki NBCUniversal, yang juga memiliki jaringan TV terestrial NBC. Satu contoh yang telah disinggung sejak awal pembahasan: Warner Bros. Studios , adalah entitas yang lahir hampir satu dekade silam. Warner mulai berevolusi dari perusahaan bioskop one-off menjadi media cash-flow. Tunstall & Palmer (2008) membedakan media one-off dan cash-flow . Media yang cuma sekali putar itu seperti bioskop, dan yang terus-menerus mendapatkan pemasukan uang adalah telev isi dan DVD. Warner sesungguhnya memiliki sejarah panjang di dunia perfilman. Lahir dari 44 GLOCAL MEDIA tangan empat Warner bersaudara (Harry, Albert, Sam, dan Jack Warner) di awal abad ke-20, Warner hanya bergerak di bidang eksibisi (bioskop). Warner kemudian mendirikan anak perusahaan khusus mengurus distribus i filmnya ke negara bagian lain di Amerika Serikat. Di dekade selan jutnya, usaha produksi Warner baru dimulai. Warner kemudian berkembang menjadi entitas usaha yang mengelola seluruh tahapan (produksi, distribus i dan eksibis i). Di awal 1980-an, saat satelit lintas-negara mulai dikenal luas, Warner tak hanya fokus di industri film layar lebar. Ia pun mengakuis isi media lain seperti radio dan TV. “Pipa” eksibis i (audio visual) selain bioskop adalah TV dan DVD, tentu untuk menyalurkan content atau produksi film yang sama. Bergabung dengan Time Inc. yang memiliki banyak media massa (pipa), Warner (isi) kemudian menjelma kekuatan yang terintegrasi dari hulu ke hilir . Seabad lalu, media (media) berada di satu titik berbeda dengan hiburan (entertainment). Sektor in i dibaca: M&E. Berada di kotak berbeda dengan M&E, sektor telekomunikas i (telecommunications) dan sektor komputer (computer) lahir sebagai bagian dari industri elektronik (baca: perangkat keras). Hari in i ketiga sektor in i berdiri di satu titik bersinggungan. Pasar konvergensi ini menjual produk nonfis ik (intangible) seperti JPG, TXT, AUVI, MP3 dan banyak istilah jar ingan Internet lainnya. Semua itu adalah content atau isi yang mengalir di tiga pipa infrastruktur: media, telekomunikas i, komputer (jaringan Internet), dan pipa gabungan antara ketiganya. Integrasi secara vertika l berarti saat Warner Bros. menjelma menjadi Warner Bros. Entertainment, yang memiliki beberapa divisi di antaranya: Pictures (produksi), Warner Distribution (distribus i), dan Television & Home Entertainment (eksibisi). Secara horizontal , untuk produksi misalnya, Warner Bros. Pictures mengelola New Line Cinema, Telepictures Productions, dan Wor ldwide Physical Production. Warner Bros. Entertainment sendiri hanya satu bagian dari Time Warner selain Time Inc. (cetak), Home Box Office (saluran TV berbayar seperti HBO Latino dan usaha produksinya) serta Turner Broadcasting System (operator TV terestrial dan saluran TV berbayar seperti CNN dan Cartoon Network). Warner Communications dan Time Inc. melakukan merger dengan nama baru "TimeWarner" yang secara vertikal memiliki beragam pipa global (TV, distribus i film tradisional dan digital/internet). Di saat Warner memiliki divis i khusus pembiayaan film (film financing) , yang berusaha seperti entitas perbankan, Warner adalah konglomerat (berbisnis di banyak sektor). Konglomerat memiliki banyak usaha yang tak terkait secara vertikal ataupun horizontal dengan usaha awal. 45 AMELIA DAY Bagan integrasi vertikal, horizontal, dan konglomerasi Bagan sederhana di atas itu bisa diturunkan ke dalam 3 (tiga) tahapan kerja sebuah perusahaan, yaitu: produksi, distribus i dan eksibis i. Integrasi vertikal di proses produksi dari hulu ke hilir adalah mulai dari perusahaan talent scouting, penyewaan kamera, hingga studio dalam ruangan sebagai replika Forbidden City, misaln ya. Integrasi horizontal adalah di saat satu induk perusahaan memiliki beberapa studio di banyak lokas i. Industri media massa, jaringan komputer dan telekomunikasi hari in i mengalami proses integrasi, hingga merger dan akuisisi yang lebih dinamis dibanding abad silam. Proses merger akuis isi Warner adalah satu contoh bagaimana sebuah perusahaan keluarga bisa menjelma menjadi jar ingan perusahaan global di segala lin i. Bagan di halaman sebelah ini menjelaskan bagaimana Kinney Parking Company dan National Cleaning Company menggandeng Warner di awal abad silam. Selan jutnya, sebuah perusahaan bioskop tunggal seperti Warner berevolus i menjadi bagian penting sektor M&E global hari ini. Media mogul di dunia beragam bentuk dalam jumlah anak perusahaan yang cukup banyak. Di Amerika Serikat saja ada beberapa kerajaan media, walau berintegrasi dalam kondis i berbeda. Sebut saja, The New York Times (NYT) Co. hingga The Walt Disney Company. Berawal dari koran cetak (pasar "konsumen berita"), NYT sempat memiliki divis i telev isi, namun kemudian ia fokus di media cetak dan Internet. Disney berangkat dari studio animasi yang diputar di bioskop (pasar "konsumen hiburan"). Perkembangannya hingga hari ini, konglomerat Disney adalah produser, pemilik perpustakaan film terbesar dunia, pemilik taman rekreasi sesuai karakter film suksesnya, dan pemilik media tradis ional serta media interaktif. 46 GLOCAL MEDIA Bagan sejarah aksi korporasi Warner Bros. Studios (1966-1987) 47 AMELIA DAY Selain NYT dan Disney, ada juga News Corp (pemilik Fox News) dan Viacom (pemilik MTV Asia) yang telah lama berusaha masuk ke pasar China daratan sejak 1990-an, tapi gerakan ekspansif mereka terhenti di Hong Kong. Salah satu contohnya, sebelum peraturan pemerintah China (Decree #44) tentang co-production , News Corporation harus merancang upaya merger dan akuisis i (M&A) yang kompleks untuk bisa menyalurkan perpustakaan videonya ke daratan China (lihat bagan China Media Capital) . PASAR HULU  PASAR HILIR    Produksi  Distribusi  Eksibis i Para mogul media asing ini, yang juga memiliki perpustakaan/arsip video yang telah mereka produksi sejak seabad silam. Jack Warner, pemilik awal Warner Bros. Studios membuat kesalahan fatal dengan menjual seluruh perpustakaan filmnya yang diproduksi sebelum tahun 1948 ke perusahaan sindikasi televis i, Associated Artists Productions (AAP) sebesar USD 21 juta. Aset ratusan judu l film ini berpindah dari AAP ke MGM (studio) 1981, lalu ke Turner Broadcasting System (jaringan TV) 1986, sebelum akhirnya kembali lagi saat Time Warner (entitas merger Time Inc. dan Warner Bros.Studios) mengakuis isi Turner di tahun 1996. 3 3 Dari 6 studio besar Hollywood, ribuan hingga jutaan jam rekaman video ini tak bisa serta-merta masuk ke pasar penonton China. Dalam pengaturan M&E hari in i, pasar hilir (eksibis i) di China tak bisa dipengaruhi oleh pihak asing. Tak boleh ada entitas asing langsung bisa memiliki bioskop, stasiun TV, operator TV berbayar ataupun media massa terkait. Seluruh jaringan bioskop di China dimiliki pemerintah, dan hanya ada satu yang dimiliki swasta. Inipun tak boleh dimiliki pihak asing. Pasca-berlakunya Decree #44 tahun 2004, pemerintah China tetap mengendalikan porsi mitra lokalnya. Selain aturan kepemilikan ini, is i film atau is i siaran TV pun diatur ketat. Mengendalikan mitra lokal adalah bentuk state capitalism yang digembor -gemborkan negara-negara barat dua dekade terakhir. Pemerintah membentuk perusahaan swasta semacam BUMN tapi berada di induk perusahaan (satu hingga sekian tingkat di atas sebuah perusahaan produksi swasta). 33 Paul Grainge, Brand Hollywood: Selling Entertainment in a Global Media Age, Taylor & Francis, 2008, halaman 112. 48 GLOCAL MEDIA Istilah state capitalism ini secara eksplis it dirumuskan oleh Karl Marx tentang kapitalisme dengan kendali negara. Dalam perspektif barat, upaya China in i adalah buruk (notorious). Satu contoh yang diberikan oleh media cetak Inggris ternama, The Economist (edisi 12 November 2011), bahwa pemerintah China mengendalikan semua, mulai dari penentuan kredit bank hingga rival swasta di satu sektor industri. Saat ini hukum tebang pilih yang terjadi. Contoh pernyataan terakhir in i adalah adanya kekuatan dominan perusahaan telekomunikas i China Telecom yang tak diberikan ganjaran antitrust. Di sektor lain, Coca Cola tak boleh memiliki restoran lokal sementara pesaing lokaln ya, Yum! (produk minuman lokal) boleh memiliki banyak jar ingan restoran cepat saji di banyak daerah. 3 4 Kendali pemerintah terasa lebih lekat di sektor M&E. Pemerintah China mengatur isi film dan tayangan TV dengan ketat serta menutup rapat kemungkinan asing memiliki pipanya. News Corporation yang memiliki arsip film (20 t h Century Fox) dan tayangan TV (dari berbagai stasiun TV dan saluran berbayarnya), harus membentuk Star China Media (SCM), entitas yang dimiiliki pemerintah melalui induk perusahaan SCM yaitu CMC. Kerjasama strategis melalu i perusahaan joint venture in i adalah peluang bagi News Corporation untuk pasar penonton China. News Corporation (News Corp.) yang memiliki arsip video sejak seabad lalu melalui studio 20 t h Century Fox. Pasar penonton China, dari populas i 1,3 milyar , adalah pemasukan ekstra yang gemuk bagi News Corp., dan mungkin akan didaurulang sampai waktu tak terbatas. Permasalahan industri M&E, khususnya perfilman global adalah “middleman” atau distributor. Sejarah mencatat bahwa sejak monopoli pengusaha bioskop Indonesia, misalnya, di awal 1980-an, tak ada lagi fungsi distributor film karena bioskop-bioskop kecil di daerah banyak yang tutup. Lokasi bioskop akhirnya terkonsentrasi di kota besar, khususnya di Pulau Jawa. Banyak yang kemudian juga berada di pusat pertokoan atau mal, yang merupakan konsep dua dekade terakhir. Di pertelev isian, “middleman problem” yang sama juga terjadi. Salah satu contoh yang pernah menjadi isu nasional adalah kasus hak siar Liga Inggris , atau tayangan pertandingan sepakbola dalam satu paket musim tanding (biasa dilaksanakan mulai bulan September hingga Mei setiap tahunnya). Tayangan ini pernah dis iarkan di TV terestrial sehingga bisa ditonton secara gratis. Tahun 2007 adalah awal pertandingan sepakbola ini hanya bisa ditonton jika penggemar Liga Inggris menyewa layanan Astro 34 Stephanie Wong (ed.), Yum’s Offer for Little Sheep Gets China Antitrust Clearance, Bloomberg News, 8 November 2011. 49 AMELIA DAY Nusantara, atau beberapa operator yang satelitnya bisa diterima di China daratan . footprint atau jangkauan Distributor untuk sinyal Liga Inggris in i dipegang oleh ESS, entitas global ESPN dan Star TV, yang keduanya juga masih dimiliki oleh News Corporations, yang juga memiliki entitas BSkyB di Inggris, sebagai penyalur tunggal tayangan pertandingan Liga Inggris di kawasan Eropa. ESS ini penentu harga dari hak siar semusim pertandingan Liga Inggris untuk kawasan Asia, khususnya ASEAN. Di tahun 2006 itu, ESS hanya menunjuk Astro Nusantara dengan menetapkan harga bidding leb ih tinggi 4 kali lipat dari harga musim sebelumnya. Bagan Kepemilikan Media Global Terkait Hak Siar Liga Inggris ©2012 Sistem paket in i lebih rumit lagi jika terkait film layar lebar yang telah diputar di bioskop. Stasiun TV terestrial sebagai salah satu jendela dari movie release windows , harus membeli satu paket film dari setiap distr ibutor Hollywood (yang juga anak perusahaan studio produksi Hollywood) yang terdiri dari sekitar 10% judu l film sukses (blockbuster) dan 50 GLOCAL MEDIA sisanya judul film kelas B (B-class movies) yang diproduks i lebih murah. Paket ini memiliki masa putar di stasiun TV terestrial yang terbatas, mengingat untuk selanjutnya judu l film harus diputar di media lain seperti DVD atau saluran berlangganan. Semua produk audio- visual in i, apapun genrenya, memang diproteks i seumur hidup oleh peraturan global IPR (intellectual property rights ) yang diratifikasi negara-negara anggota WTO. Keepakatan in i diturunkan menjadi peraturan di dalam negaranya. Untuk perlindungan film layar lebar di Amerika Serikat , khususnya, yang tercantum dalam 1976 Copyright Act, sebuah film atau karya intelektual lain, mendapatkan penambahan 19 tahun dengan kontrak perbaharuan (renewal term) , sehingga menjadi 28 tahun dari 47 (peraturan sebelumnya). Total tahun sebuah karya adalah 75 tahun. Periode perlindungan ini bertambah lagi di Amerika Serikat di saat Copyright Renewal Act of 1992 berlaku. Untuk produk yang dibuat tahun 1 Januari 1964 hingga 31 Desember 1977, total periode perlindungan menjadi 95 tahun karena perbaharuan hak cipta otomatis in i. Hak cipta film yang sudah mencantumkan renewal term otomatis mendapatkan tambahan 19 tahun. Contoh penulisannya: Copyright © 1955 by Warner Bros. Copyright renewed 1983 by Warner Bros. Sebagai latar belakang dari aturan global ini adalah kesepakatan negaranegara di dunia pasca-Perang Dunia Kedua. Persatuan Bangsa-bangsa dibentuk oleh China bersama dengan Inggris, Perancis , Rusia dan Amerika Serikat. Selanjutnya, untuk menghindar i adanya perang terkait perdagangan dunia, negara anggota PBB berniat membentuk ITO, International Trade Organization . Dari negosiasi yang panjang, akhirnya hanya disepakat i bentuk perjan jian GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) tahun 1947. Dari perjanjian in i, yang dibahas berkali- kali dalam berbagai putaran negosiasi, akhirnya terbentuknya WTO (World Trade Organization) di tahun 1995. China sendiri baru menjadi anggota WTO tahun 2001. TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) adalah salah satu perjan jian yang ditangani WTO untuk melin dungi produk-produk intangible, mulai dari hak cipta film hingga paten obat. TRIPS dianggap oleh negara-negara berkembang (dan China masih dalam tahap ini waktu itu) sebagai “technological protection ism” 3 5 yang membagi 35 Carlos María Correa, Intellectual Property Rights, the WTO, and Developing Countries: The TRIPS Agreement and Policy Options, Zed Books, 12 Agt 2000, halaman 5. 51 AMELIA DAY negara-negara di sebelah utara khatulist iwa sebagai inovator/produser dan negara-negara selatan sebagai pasar konsumsinya. Di awal perumusan perjanjian , Amerika Serikat meluncurkan inis iat if untuk negosiasi standar IPR dalam GATT. Sejak 1977 hingga 1996 Amerika Serikat menguasai 95% paten dunia. Sementara itu, negara-negara berkembang hanya mengkonsumsi produk teknologi Amerika Serikat. China (sebelum masuk jadi anggota WTO) dan negara-negara "Asian Tigers" hanya menjadi konsumen aktif (53,3%) begitu pula dan Amerika Latin (26,5%). Sementara semua negara konsumen in i hanya mengekspor produk teknologi sebesar 11% (Alcorta & Peres, 1995). Produk-produk teknologi ini termasuk produk produksi, dan eksibisi audiovisual. Semasa film masih diputar dengan pita selu loid transaksi perangkat produksi sangatlah terbatas. Selain perangkat yang masih besar dan rumit dioperas ikan tanpa pelat ihan khusus, perangkat analog belum diproduksi massal. Saat teknologi perangkat produksi dan eksib is i menjadi digital dan diproduks i massal, siapapun dengan kemampuan produksi minimal bisa membuat produk audio- visual seperti film amatir, film pendek, video untuk diunggah ke Youtube, dan seterusnya. Dengan teknologi digital yang canggih ini pun akhirnya penggandaan film dan tayangan TV milik Hollywood dengan mudah dilakukan di mana saja, oleh siapa saja. China masih merupakan produsen keping DVD terbesar dunia, sementara itu negara-nega Eropa Timur serta Amerika Latin masih merupakan pengunggah terbanyak dari produk audio-visual ke internet. Memasuki tahun 2012, keberadaan perangkat digital akhirnya berkonvergensi, yaitu antara perangkat komputer, telekomunikas i dan media massa. Perangkat in i bahkan kemudian bisa mengoperasikan augmented reality atau realitas tambahan. Berkomunikasi dengan menghadirkan pantulan seluruh tubuh (hologram) di tempat lawan bicara bukan lagi hayalan seri televis i Star Trek. Perangkatnya telah ada, walau hari ini belum diproduks i secara massal dengan harga murah. Pasar konvergensi adalah pasar global, yang tak bisa diatur tuntas oleh peraturan persaingan usaha (competition laws) atau peraturan isi (content) yang berlaku di dalam negeri saja. Sebuah situs yang dibuat di Amerika Serikat dan bisa diakses dari mana saja di bumi ini, tak bisa terkena denda peraturan persaingan atau isi. Sementara itu, teknologi digital membuat setiap orang membeli perangkat dengan murah. Setiap orang juga bisa menggunakan perangkat dengan mudah (tanpa pelatihan khusus). Perkembangan jar ingan internet juga membuat setiap orang terhubung dan saling berbagi informas i hingga video pribadit= ke segala penjuru dunia. Akses global in i tak terhalang batas negara dan perbedaan waktu. 52 GLOCAL MEDIA Pemerintah China tak bisa lagi kembali ke era Revolus i Budaya yang menutup rapat pintu terhadap pengaruh asing. Akses internet bisa dipakai untuk kebaikan , bisa juga dilihat sebagai ancaman. China melihat itu sebagai peluang berbisn is di sektor M&E, contohnya situs Youku dan Renren. Strategi pemerintah China kali ini adalah membatasi pengaruh asing dengan tindakan ofensif di setiap tahap: produksi, distribu i dan eksibisi. Selain investasi seperti CMC dan mengatur sensor is i ketat, pemerintah China juga secara agresif membangun raksasa media yang dibayarkan dari pajak rakyat: CCTV atau China Central Television . Pemerintah memiliki saham CCTV hingga memberi subsidi reguler untuk operasional TV nasional yang beroperasi dengan sistem terestrial, satelit dan streaming ini. Terdiri dari berbagai genre tayangan, CCTV juga memiliki saluran berita dalam bahasa Mandarin, Russia dan Arab yang bisa diakses secara mengalir (streaming) melalu i situs Internet. Semua saluran ini adalah saluran yang wajib direlai pemerintah daerah hingga operator kabel berlangganan di daerah-daerah. Istilah untuk aturan in i biasa dikenal dengan nama “must-carry channels”. Ada puluhan saluran CCTV (China Central Telev is ion) dengan berbagai genre bahasa ataupun jen is tayangan. Seperti TVRI, CCTV lahir dan beroperasi dengan subsidi pemerintah. Saluran mulai bertambah dan hari ini telah mencapai 22 saluran dengan berbagai genre. Distribusi saluran utama adalah terestrial dan satelit. Genre tayangan setiap saluran beragam, mulai opera klasik China (drama) hingga musik, keuangan, milit er dan pertanian (nondrama): CCTV-1 Umum CCTV-2 Keuangan (sampai 29/8/2009: Ekonomi & GayaHidup) CCTV- 3 Seni dan Hiburan (variety show) CCTV-4 Internasional (Mandarin, beam Asia, Amerika, Eropa) CCTV-5 Olahraga CCTV-6 Film layar lebar CCTV-7 Milit er dan Pertanian CCTV-8 Seri TV CCTV-9 Dokumenter (Mandarin dan Internasional CCTV-10 Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan CCTV-11 Opera Klasik China CCTV-12 Masyarakat dan Hukum CCTV-13 Berita CCTV-14 Anak-anak CCTV-15 Musik Klasik (Musik pop disiarkan CCTV- 3) CCTV-NEWS Internasional (Bahasa English; sebelumnya CCTV-9) 53 AMELIA DAY CCTV-Français Internasiona l (Bahasa French) CCTV-Español Internasiona l (Bahasa Spanish) CCTV-‫ ا لعربية‬Internasiona l (Bahasa Arab) CCTV- Русский Internasional (Bahasa Russian) CCTV-HD High- definit ion CCTV-3DTV (uji- coba) Saluran perdana CCTV sendir i baru bersiaran di tahun 1958 di Beijing, ibukota negara. Setelah terbentuk SARFT yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri, operasional CCTV langsung dikomandoi wakil menteri dalam negeri. Setiap daerah wajib merelai dua saluran nasional selain memberi ruang bagi televis i lokal. Karena menjadi telev isi dominan yang bersiaran di seluruh pelosok China, CCTV meraup pemasukan dari iklan paling besar. Penetrasi CCTV adalah 98,2% populas i China, dengan pemasukan iklan (2003) 23,64% dibanding koran 22,53% dan 11,12% media luar ruang. Ada 368 perusahaan TV swasta di China dengan 2.214 saluran, dan sekitar 89% di perkotaan serta 40,2% di pelosok daerah bisa menerima sinyal TV satelit. 3 6 Dari tiga tahapan produksi, distribus i dan eksibisi di berbagai pipa media di China ini, bisa disimpulkan bahwa pemerintah China telah memberikan proteksi penuh. Proteksi tersebut terkesan membungkam kreativ itas rakyatnya, yang pada kenyataannya adalah sebaliknya: memberi peluang berbisnis dan melindungi bisnis pemain lokal. Secara ringkas, proteksi pemerintah China in i berupa: 1. Proteksi di tahap produksi: melarang pihak asing memproduksi kecuali bekerjasama dengan produser lokal yang memiliki saham di atas 50% (dan memiliki hak menentukan kebijakan perusahaan atau veto rights ). 2. Proteksi di tahap distribusi: membolehkan pihak asing mendistribusikan film layar lebar dengan kuota, atau jika lebih dari kuota, film itu harus diproduks i dengan tenaga kreatif lokal China. 3. Proteksi di tahap eksib isi: melarang sepenuhnya pihak asing berinvestasi di usaha bioskop atau TV lokal, dan bahkan “membiarkan” operator TV kabel lokal tumbuh subur tanpa kontrak legal dengan pemilik saluran asing. Pemerintah China sewaktu-waktu dapat menutup saluran eksibisi ini dengan alasan keamanan dan 36 Jing Wang, Brand New China: Advertising, Media, and Commercial Culture, Harvard University Press, 10 Apr 2010 , halaman 248. 54 GLOCAL MEDIA stabilit as sosial daerah tertentu. Selain itu, pemerintah juga membiayai penuh televis i publiknya, CCTV, untuk berbagai genre tayangan. Di tahap ini juga, pemerintah China memberikan insentif kuat terhadap produsen pesawat TV dan komputer tablet (pasar terkait). Di bagian selanjutnya, bagaimana China merumuskan ulang kebijakan sektor industri M&E sepuluh tahun terakhir. Hingga hari ini, b elum banyak kajian penggiat media dalam negeri yang mengupas media sebagai kebijakan content & pipe . Belum banyak juga melihat pergerakan media global hari ini, dan bagaimana China melaju cepat. 55 5 INDOCINE: ANTARA RUANG DAN WAKTU Ada dua hal utama yang akan dipaparkan dalam bagian in i: sejarah industri kreatif di Indonesia (dalam fokus film layar lebar) serta bagaimana pergerakan sektor M&E di Indonesia (khususnya film layar lebar) dalam proses realitas budaya global hari ini. Hal in i kemudian dikaitkan dengan realitas global yang serupa sebangun, hanya saja di negeri in i, ada keterlambatan jarum jam. Indonesia memiliki kekuatan yang sama dengan China di awal industri M&E berkembang di seluruh dunia. Seharusnya juga apa yang terjadi dengan industri M&E China bisa menjadi pelajaran berharga untuk Indonesia berkembang lebih baik lagi. Sejak awal telah dipaparkan bagaimana pemerintah China yang dengan sejarah panjang dan kearifan lokal (local wisdom) membawa negaranya menjadi kekuatan ekonomi hari ini. Filosofi Tao, sebagai prinsip hidup 37 yang memberikan arahan dan warna khas bagi pemerintah China, tersirat dalam kebijakan pemerintah untuk proses kerja media global dan lokal (glokal). Masyarakat China, terutama pemimpinnya, wajib mengetahui proses atas segala kejadian di jagat raya in i. Saat Revolus i Budaya, pemerintah China smemperlakukan pihak asing dengan selalu meniupkan bendera perang. Semua yang berbau asing adalah lawan. Strategi in i berubah seiring perkembangan jaman. Perubahan strategi, yang terasa terutama sepuluh tahun terakhir ini, telah memberikan gambaran yang cerah, terutama di sektor M&E. Pemerintah China tahu benar bagaimana merancang kebijakannya untuk dua tujuan: memperkuat tradisi dan beradaptasi 37 John Heider, Laozi, The Tao of Leadership: Lao Tzu's Tao Te Ching Adapted for a New Age, Humanics Publishing Group, 1985. 56 GLOCAL MEDIA terhadap perubahan. Perubahan tidak selalu berarti membiarkan diri dikuasai, dan pemimpin China hari in i juga tahu betul bagaimana beradaptasi terhadap pengaruh asing, bahkan memperkuat tradis i lokal. Cowen (2004: 130) mempertanyakan bentuk budaya nasional dengan menabrakkan tradisi lama dengan perubahan. Agen perubahan itu adalah manusia, dan media adalah alat yang membantu manusia 3 8 . Untuk itu jelas bahwa menguasai proses kerja sebuah alat (baca: media) adalah membangun manusia yang mampu menjaga tradis i sekaligus menguasai perubahan. Untuk sektor M&E sepuluh tahun terakhir ini, pemerintah China memberlakukan kebijakan “proteksi” dan “insentif” bagi rakyatnya terhadap globalis asi. Proteksi dan insentif dijalan kan pemerintah China dalam satu paket kebijakan sektor M&E, untuk memperkuat keragaman sebuah peradaban within cultures (karena pertukaran materi, seperti teknologi dan pemikiran pemasaran) bukan menjadi semata ancaman across cultures seperti invasi budaya secara membabi-buta . Sesungguhnya bangsa Indonesia juga pernah memiliki peradaban within cultures, memadukan kekuatan berbagai budaya dunia ratusan tahun silam. Tercatat dalam sejarah bahwa Kerajaan Kutai (Kalimantan) dan Srivijaya (Sumatera) adalah daerah yang kerap disinggahi pedagang India atau China. Dua bangsa pedagang ini tiba di Indonesia jauh sebelum pedagang Eropa (Belanda dan Portugis) menduduki wilayah ini selama ratusan tahun. Victor Purcell (1948:14) dalam buku “The Chinese in Malaya” menyatakan setelah kerajaan Sriv ijaya ambruk, Palembang kemudian dikuasai orang-orang Tionghoa selama 200 (duaratus) tahun. Jalur perdagangan India–Indonesia–Asia Tenggara–China jauh lebih gemuk dari jalur negara-negara Mediterania. 3 9 Para pedagang in i membawa agama Hindu dan Buddha. Mereka juga menularkan nilai bagi produk budaya lokal, seperti bangunan candi hingga cerita wayang. Selain itu, terbentuk pula materi dan nilai baru yang dihasilkan dari perpaduan masuknya pengaruh India. Salah satu contoh nilai baru in i adalah kisah Mahabharata, serupa dengan kisah di India namun dengan ejaan yang mengikuti dialek local dan beberapa karakter tambahan. Contoh ejaan local adalah seperti Gatotkaca dari “Ghatutkach”. Yang lebih penting dalam proses asimilias i in i adalah lahirnya tokoh dan nilai baru yang tak ditemu i di kisah aslinya di India, seperti tokoh “Semar” yang lucu tapi arif. Karakter “Semar” ini selain personifikas i kearifan lokal 38 Thomas L. McPhail, Global Communication: Theories, Stakeholders, and Trends, John Wiley & Sons, 2011. 39 Steven Drakeley, The History of Indonesia, Greenwood Publishing Group, 2005, halaman 11. 57 AMELIA DAY nusantara tentang memandang dunia. Semar secara kasat mata juga mendekati karakter arif Sidharta Gautama, Sang Buddha, karena Semar karakter yang disegani para dewa tapi dekat dengan rakyat. Rakyat jelata di sekililing Semara diwu judkan dalam karakter Petruk, Gareng, Bagong. Di Sulawesi pun, asimilas i kebudayaan lokal dan asing terjadi dalam karya sastra (puis i keperwiraan) yang konon terpanjang yang pernah dituliskan di atas lontar: I La Galigo. 4 0 Secara kultural, mitos I La Galigo berfungsi untuk memberikan bagi masyarakat pendukungnya bagaimana cara berperilaku, bertuturkata, bersopan-santun, dan hidup bermasyarakat... Karena itu, meskipun Islam telah dianut oleh orang Bugis , tapi sisa-sisa kepercayaan itu sebagian besar masih mengkristal dalam kehidupan kultural sosial masyarakat Bugis. Kerajaan-kerajaan di nusantara berjaya mulai Kerajaan Kutai (abad ke-4) hingga akhirnya surut di saat Portugis masuk (abad ke-16) dan Belanda (abad ke-17). Memasuki abad ke-20, di saat Belanda masih menduduki negeri ini, penduduk lokal dari Sumatera, Jawa hingga Sulawesi dan Maluku, adalah bangsa kelas dua bahkan terhadap orang Belanda yang lahir dan besar di nusantara. 4 1 Akulturasi Belanda di nusantara adalah cara berdansa dan berpakaian seorang pria lokal berkelas yang membedakannya dengan budak kasar. Sang pria akan menggunakan jas modern dengan blangkon atau kain batik sebagai penutup celana. Biasanya ia juga segelint ir putera lokal yang baru mengenal bangku sekolah. Di saat datang ke nusantara, bangsa Eropa seakan tak memberikan banyak kontribusi bagi dunia kreativitas lokal. Pengaruh asing selama ratusan tahun sebelum negara bernama Indonesia diproklamas ikan (17 Agustus 1945), tidaklah membuka ruang bagi pengembangan kekayaan budaya lokal yang telah ada selama ratusan tahun sebelumnya. Salah satu yang mungkin menjadi alasannya adalah bahwa pribumi di nusantara adalah warga negera kelas dua setelah warga Belanda, sekalipun warga Belanda in i juga lahir di nusantara. Memasuki era teknologi film layar lebar, tak terlalu banyak produksi dihasilkan penduduk lokal, apalagi yang memiliki nilai kearifan lokal. 40 Sri Sukesi Adiwimarta, Antologi Sastra Daerah Nusantara: Cerita Rakyat Suara Rakyat, Yayasan Obor Indonesia, 1999 - 392 halaman. 41 Ulbe Bosma & Remco Raben, Being "Dutch" in the Indies:A History of Creolisation and Empire, 1500-1920, NUS Press, 2008 - 439 halaman. 58 GLOCAL MEDIA Industri perfilman Indonesia mulai tumbuh pada tahun 1920-an. Pada waktu itu, walaupun film- film yang dihasilkan sudah memakai bahasa Melayu , [namun] masih belum mencerminkan “jiwa” Indonesia. Film masih diproduksi oleh orang asing dengan kacamata asing dan jauh dari realitas sosial bangsa Indonesia, apalagi memang wujud Indonesia sendiri saat itu belum jelas. Pada masa ini yang dimaksud dengan film Indonesia adalah film yang diproduksi kalangan Tionghoa dan Eropa dengan sebagian besar pemainnya juga dari kalangan mereka sendiri. Hanya bahasanya saja bahasa Melayu. (Wina Armada, 2001: ix) 4 2 Setelah era pendudukan Belanda dan Jepang, kebesaran karakter “Semar” dalam memandang dunia tak lagi tercermin dalam perkembangan kreativ itas manusia nusantara. Kehidupan maritim peninggan Kerajaan Gowa (Sulawesi) dan Sriv ijaya (Sumatera) pun tak lagi terasa dalam produk budaya lokal walau banyak buku bermutu ditulis waktu itu. Seiring dengan perkembangan teknologi pita seluloid di awal abad ke-20, produk audiov isual, baik distr ibusi bioskop atau sinyal elektromagnetis mulai dibuat di seluruh dunia, termasuk di negeri ini. Hanya saja produk content yang terkait perkembangan teknologi audio-visual global ini tak banyak dibuat oleh penduduk lokal, mungkin mengingat perangkat yang mahal dan sulit diperoleh. Setelah 1945, sektor M&E ini belum menjadi prior itas utama Presiden Soekarno. Alasannya mungkin mengingat memproduksi film bukanlah kebutuhan pokok pemerintahan Indonesia yang baru. Selanjutnya, gedung bioskop lahir di Pulau Jawa bukan atas inis iat if pemerintah, tapi lebih ke pasar bebas, yang waktu itu masih dikuasai pengusaha Belanda. 4 3 Kata “bioskop” sendir i berasal dari bahasa Belanda: “bioscoop”. Produksi film layar lebar saat itu masih terbatas. Setelah menjadi “penghubung” antara penguasa Belanda dengan penduduk lokal nusantara, pengusaha keturunan Tiongkok lalu turut meramaikan bisnis bioskop. Pada tahun 1936, terdapat 225 bioskop yang ada di Pulau Jawa saja, menyebar di Bandung 9 bioskop, Jakarta 13 bioskop, Surabaya 14 bioskop dan Yogyakarta 6 bioskop. Sepanjang 1920-1930, film- film yang masuk ke Hindia Belanda berasal dari AS (Hollywood) , Eropa (Belanda, Prancis, Jerman), dan Cina (legenda Tiongkok Asli). Beberapa fi lm yang kala itu menjadi favorit masyarakat adalah Fantomas, Zigomar, Tom Mix, Edi Polo, Charlie Chaplin , Max Linder, dan Arsene Lupin. 4 4 42 Dikutip dari bagian :Kata Pengantar, Melepas Pasung Kebijakan Perfilmnan di Indonesia, Catatan untuk Undangundang Perfilman yang Baru,Warta Global Indonesia, 2001. 43 Mohammad Johan Tjasmadi, 100 tahun sejarah bioskop di Indonesia, Megindo Tunggal Sejahtera, 2008. 44 Anonim, Menelusuri Kiprah Si Layar Lebar, Koran Jakarta edisi 23 April 2012. 59 AMELIA DAY Sektor M&E pasca-pendudukan Belanda mengalami pasang-surut. Menurut catatan JB Kristanto (1995: 12) film lokal di tahun 1944 tercatat hanya 5 judu l (Djatoeh Berkait, Gelombang, Hoedjan, Keris Poesaka, dan Keseberang) . Sejak itu hingga 1948, tak ada film layar lebar diproduks i lagi. Di tahun 1948 saja hanya ada 3 judu l film (Air Mata Mengalir di Tjitarum, Anggrek Bulan dan Djauh Dimata) . Setelah penguasa Belanda pergi dan Indonesia diproklamasikan, dua dekade kemudian baru lahir media TV sebagai pipa alternatif untuk film layar lebar TVRI. Ini pun sejatinya dibangun untuk menyiarkan acara olahraga internasional pertama kali di Indonesia. TVRI memang dibangun semata-mata atas tujuan “propaganda” bahwa pemerintah Indonesia ada dan mampu mengundang warga dunia datang ke acara ASIAN Games IV yang diselenggarakan di Jakarta di bulan Agustus 1962. TVRI dibangun di daerah Senayan, Jakarta, bersebelahan dengan kompleks lapangan olahraga untuk acara internasional ini. Untuk beberapa cabang olahraga yang tak ada di Senayan, pemerintah juga membangun lapangan di daerah Gambir, yang sekarang menjadi lokas i Tugu Monas. Intinya, Presiden Soekarno “tak sengaja”membangun industri content telev isi saat itu. Memasuki 1950-an, produksi film lokal mulai meningkat lagi seiring dengan gencarnya film asing pun masuk. Ketika itu [1950-an], film- film produksi Hollywood lebih disukai masyarakat dibanding film produksi negeri sendiri. Mereka belum bisa mencerna film nasional yang dipelopor i Usmar Ismail lewat PT Perfin i. Maka film impor lebih mendominas i bioskop Indonesia. Tahun 1950, film- film nasional yang disensor sebanyak 54 judul, sedangkan film impor 863 judul. Dominas i film Amerika terlihat dalam daftar impor tahun-tahun berikutnya. Tahun 1951 film Amerika sepanjang 1,3 juta meter dari keseluruhan 3,8 juta meter. Tahun berikutnya sepanjang 1,2 juta meter dari total 3,1 juta meter. Tahun 1954 sepanjang 1,5 juta meter dari 2,3 juta meter. Sementara pada tahun 1956 sebanyak 250 judul dan dari negara lain cuma 174 judul. 4 5 Selan jutnya terjadi peningkatan, walaupun masih terhitung kecil: Tahun 1959 ... 16 judul. Tahun 1960 ... 38 judu l. Tahun 1961 ... 37 judu l. Tahun 1962 ... 12 judul. Tahun 1963 ... 19 judu l. Tahun 1964 ... 20 judu l. Tahun 1965 ... 15 judul. Tahun 1966 ... 13 judu l. 4 6 45 Eddie Karsito, Menjadi Bintang: Kiat Sukses Jadi Artis Panggung, Film, dan Televisi, Ufuk Publishing House, 2008, halaman 128. 60 GLOCAL MEDIA Yang menarik dalam periode 1959 sampai 1966 in i juga adalah ramainya film asing diimpor , terutama dari Hollywood. Sempat tercapai rekor penonton 450 juta orang pada tahun 1960. Di tahun 1960-1961 juga terjadi geliat produksi lokal. Industri perfilman mulai surut karena kembali Indonesia diterpa gejolak polit ik di tahun 1966. Terjadi pula boikot film Hollywood melalu i gerakan PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Serikat). Secara kualitas, film lokal juga mengalami pasang-surut. Film koboi komersial gaya Hollywood dengan bintang John Wayne mungkin menginspiras i film lokal, seperti “Benyamin Koboi Cengeng”. Sebelum era film komersial ini, film film lokal berarti “propaganda” pemerintahan saat itu, baik itu saat pemerintahan Belanda (1920-1942) atau Jepang (19421945). Hingga berakhirnya Presiden Soekarno, film- film perjuangan melawan Belanda masih terasa lekat dalam alur cerita kebanyakan film lokal. Di era Presiden Soeharto pun pernah ada fim propaganda “Gerakan 30S PKI” yang sempat menjadi tontonan wajib seluruh masyarakat Indonesia selama beberapa tahun berturut-turut. Pasca-gejolak polit ik 1966, produksi lokal mulai menanjak lagi. Di tahun 1971 mencapai 55 judu l, sedangkan sebelumnya (1970) produksi lokal baru mencapai 19 judu l saja. Penurunan jumlah produksi baru terasa lagi setelah lahir TV swasta di akhir 1980-an. Minat penonton mulai bergeser ke lima TV swasta: RCTI, SCTV, ANTEVE (sekarang ANTV), TPI (sekarang MNCTV) dan Indosiar. Sepuluh tahun kemudian, 5 televis i lahir lagi (MetroTV, TV7, TransTV, Lativi, Global TV). Puluhan TV kecil kemudian lahir pula dari daerah-daerah setelah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran keluar. Di awal TV swasta berdiri, produksi lokal hanya dominas i TVRI. TVRI pernah sukses menyiarkan produksi sendiri: Losmen dan Jendela Rumah Kita . Sementara itu seri televis i seperti McGyver dan Knight Rider menjadi pujaan penonton di tahun-tahun pertama RCTI berdiri. Memasuki tahun 1990, Jimmy Gideon dan Lydia Kandouw menjadi bintang kisah drama komedi lokal pertama ditayang di TV: drama komedi seri Gara-gara . Selain untuk tayangan lokal khusus TV, 4 7 televis i menjadi pipa alternatif bagi tayangan film lokal. Film laris dengan bintang terutama Benyamin Suaeb dan Trio Warkop Dono-Kasino- Indro kerap diputar di layar televis i hingga berulang-kali dalam setahun. 46 Ibid, halaman 128. 47 Tayangan televisi dikenal juga dengan istilah “sinetron” atau sinema elektronik yang dipopulerkan jurnalis senior Arswendo Atmowiloto di awal 1990-an. 61 AMELIA DAY Tayangan lokal kian gencar diproduksi, baik genre drama ataupun nondrama. Pertama kali diluncurkan di tahun 2000, Metro TV bahkan menayangkan program berita 24 jam non-stop. Drama tetap menjadi tayangan utama di banyak televis i swasta. Tayangan seri Si Doel Anak Sekolahan pernah mencapai rating tertinggi dalam sejarah pertelevis ian nasional, yaitu 45. Pasca-proklamasi kemerdekaan 1945, isi semua film dan tayangan in i, drama ataupun non-drama, diatur oleh pemerintah walau dalam derajat berbeda. Di era orde baru derajat satu tayangan berita atau drama dapat dengan mudah dicekal (tak boleh diputar di bioskop atau ditayang di TV). Alasan tertinggi adalah stabilitas politik. Perihal is i tayangan yang tidak mendidik adalah nomor berikutnya. RCTI dan SCTV bahkan pernah mendapatkan “telepon khusus” dari Departemen Penerangan, pengemban amanat Undang-undang Penyiaran lama (UU No. 24 tahun 1997). Dalam Pasal 32 tentang Isi Siaran, tak pernah disebutkan jika “menyinggung kebijakan pemerintahan” tapi jika terjadi tentunya risikonya adalah izin operasional dicabut. Apa yang terjadi di era ini adalah pemain lokal yang sangat hati- hati menayangkan acaranya. Di awal lahirnya acara berita “Seputar Jakarta” (sebelum berubah menjadi “Seputar Indonesia” 1990) RCTI hanya menayangkan berita kriminal dan seremonial. Tahun 1994 SCTV melahirkan div isi Liputan 6 dengan bantuan “bidan” Sumita Tobing. Liputan 6 berani tampil dengan acara diskus i/debat yang dipandu jurnalis TV muda, krit is dan cenderung memojokkan narasumber. Di tahun 1998, di saat pemerintah Presiden Soeharto akan berakhir , Liputan 6 Petang, salah satu mata acara div isi Liputan 6, sempat membuat heboh masyarakat. Pemandu acara berita dan diskusi in i, Ira Koesno berani memancing ist ilah “sakit gigi” dari narasumber di studio: Sarwono Kusumaatmaja, mantan menteri Era Orde Baru. Sarwono menyatakan: “Ibarat sakit gigi, pemerintahan yang sakit pun sebaiknya 'dicabut'”. Di jaman itu, krit isi seperti ini adalah tindakan yang bisa berakibat penjara. Direks i SCTV langsung “mendapatkan telepon” dari Departemen Penerangan atas insiden in i, dan Sumita Tobing sebagai penanggungjawab acara harus “dirumahkan” selama seminggu. Warna acara diskusi dan debat di Metro TV ataupun TVOne hari in i seakan diwaris kan dari tangan dingin Sumita Tobing. Sementara itu, tayangan drama waktu itu pun diatur ketat selain oleh Undang-undang Penyiaran lama juga oleh Undang-undang Perfilman yang lama (UU Nomor 8 Tahun 1992). Semua materi tayangan drama TV harus mendapatkan tanda lulus sensor dari Lembaga Sensor Film, yang dibentuk 62 GLOCAL MEDIA oleh UU 8/1992 tentang Perfilman, sebelum diperbaharu i oleh UU 33/2009 tentang Perfilman. Selain itu, tayangan drama TV juga harus dikendali mutu secara internal, untuk mendapatkan standar tertentu sesuai kebijakan setiap stasiun TV. Menurut UU 24/1997 tentang Penyiaran, stasiun TV harus mematuhi Pasal 34, khususnya untuk ayat-ayat di bawah in i: (6) Materi siaran yang akan disiarkan hendaknya mengandung unsur yang bersifat membangun moral dan watak bangsa, persatuan dan kesatuan, pemberdayaan nilai- nilai luhur budaya bangsa, dis iplin, serta cinta ilmu pengetahuan dan teknologi. (7) Isi siaran yang mengandung unsur kekerasan dan sadisme, pornografi, takhayul, perjudian, pola hidup permisif, konsumtif, hedonistis , dan feodalistis, dilarang. (8) Isi siaran yang bertentangan dengan Pancasila, seperti halnya yang bertolak dari paham komunisme, Marxisme- Lenin isme, dilarang. (9) Isi siaran dilarang memuat hal-hal yang bersifat menghasut, mempertentangkan, dan/atau bertentangan dengan ajaran agama atau merendahkan martabat manusia dan budaya bangsa atau memuat hal- hal yang patut dapat diduga mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa. Hampir di seluruh dunia, produksi di sektor M&E in i lahir dari pasar lokal yang diatur oleh negara secara ketat dalam hal is i (content). Untuk beberapa kasus, pengaturan tidak menyentuh perihal struktur pasar yang kompetitif untuk pemain lokal, terutama proteksi terhadap pemain lokal di dalam pasar lokal, apalagi untuk mendorong menguasai pasar global. Terkadang, pemerintah menyerahkan pada peraturan perundangan yang lebih luas, bukan sector specific. Di Indonesia sendir i diatur dalam peraturan persaingan usaha yang sehat: Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 4 8 Reformasi 1998 membawa angin baru dalam pengaturan isi film dan siaran. Mengkrit ik pemerintah menjadi biasa, dan adegan cium tak lagi tabu di layar bioskop ataupun televis i. Yang masih bermasalah adalah pengaturan pipa atau struktur pasarnya. Pemain telev isi dominan dari Jakarta hampir pasti memiliki tiang re-transmisi di seluruh ibukota provinsi di Indonesia. Sebagian besar bioskop hanya terpusat di Pulau Jawa. “Bertarung” 48 Catatan khusus tentang undang-undang ini, beberapa akademisi mengkritik bahwa tak banyak peraturan perundangan yang memiliki tata nama dengan kalimat negatif seperti ini, yaitu “larangan” dan “tidak sehat”. 63 AMELIA DAY melawan pemain media global tak diatur atau didorong dengan kebijakan dan strategi pemerintah. Peraturan demi peraturan lahir dari pemerintahan yang berbeda. Filmordonantie Staatsblad 1940 No. 507 diberlakukan pemerintah Belanda sebagai dasar hukum di nusantara hingga diterbitkannya Undang-undang Nomor 1 Pnps Tahun 1960 tentang Pembinaan Perfilman dilanjutkan dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 1992 tentang Perfilman , Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 32 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3473 tahun 1992. Telev isi, sebagai salah satu pipa bagi film layar lebar, juga diatur terpisah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 den sejumlah peraturan pemerintah sebagai turunan undang-undang. Peraturan perfilman kemudian direvis i menjadi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009. Aturan-aturan ini sesungguhnya bisa dibagi dalam dua bagian besar: is i dan struktur. Pengaturan is i (content) di semua peraturan perundangan di atas adalah normatif, dengan nilai- nilai kebaikan universal. Khusus media TV, ada pula peraturan terkait is i, seperti Undang-undang Pemilu (iklan kampanye partai politik) dan Undang-undang Kesehatan (jam tayang iklan rokok). Infrastruktur radio dan televis i pun diatur oleh Undang-undang Telekomun ikasi, terutama terkait alokasi spektrum frekuensi. Jaringan internet, sebagai salah satu alternatif pipa distribus i film dan tayangan TV, diatur di Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Produk audio visual didistr ibusikan melalui pipa ini disebut: “dokumen elektron ik” yang tak pernah dikenal dalam peraturan perundangan baik sub-sektor penyiaran ataupun perfilman. Beberapa peraturan terkait lainnya adalah bahwa bioskop atau stasiun TV sebagai badan hukum harus membayar pajak. Di pasar produksi, badan usaha rumah produksi atau studio harus melaporkan jumlah royalty income sebagai patokan pajak penghasilan (PPh). Produser juga wajib membayar pajak pertambahan nilai (PPN) atas setiap produksinya. Di tahap distr ibusi, distr ibutor atau importir film asing harus membayar bea masuk. Bioskop di tahap eksibisi pun terkena pajak dari royalty income in i, baik atas film lokal ataupun film asing. Dari sejumlah peraturan perundangan dalam negeri in i, paradigma yang dipakai masih terfokus pada teknologi lama. Bahwa produksi layar lebar hanya untuk diputar di bioskop adalah pemikiran pengusaha studio seratus tahun silam. Untuk itu produk film layar lebar hanya diatur di peraturan film. Jika masuk ke media TV, ia terkena aturan penyiaran. Jika ia diputar di kereta api, sayangnya tak diatur dalam sensor kereta api. Mekanisme 64 GLOCAL MEDIA movie release window yang diterapkan Hollywood untuk pasar global beberapa dekade terakhir belum menjadi perhitungan kompetisi media lokal. Konsep window in i sesungguhnya bisa menjadi patokan maksimis asi pasar lokal dan global. Dengan banyaknya pipa distribus i, mulai bioskop, pesawat TV, DVD, layar kecil kursi pesawat dan kereta api, setiap produksi content bisa dimanfaatkan melalui mekanisme jendela in i. Atas beberapa jendela in i, tentunya integrasi secara vertikal (memiliki entitas produksi, distribus i hingga eksibis i) menjadi tawaran menarik bagi produser film atau pemilik media. Integrasi secara horizontal (memiliki entitas produksi atau media lebih dari satu) juga salah satu cara maksimisas i. Satu contoh adalah kecenderungan 10 stasiun TV swasta pertama yang leluasa memiliki stasiun pemancar ulang di daerah-daerah di tengah keterbatasan alokas i frekuensi. Walhasil, setelah UU 32/2002 tentang Penyiaran berlaku , pengusaha lokal cenderung tidak mendapatkan alokas i frekuensi, atau kalaupun mendapatkannya dan bisa bersiaran, TV lokal tak bisa bertahan lama. Hal utama bagi matinya sebuah TV lokal adalah ketiadaan content untuk bersiaran secara konsisten. Perusahaan lokal ini akhirnya “menyerah” saat ditawari kerjasama dengan 10 TV swasta besar dari Jakarta, atau bahkan diakuisisi oleh mereka. Salah satu solusi pernah dilontarkan J.B. Kristanto (2011). Kristanto memberikan ide seperti apa yang telah terjadi terhadap industri musik: “..bebaskan saja MPA [Motion Pictures Association, badan internasional untuk distr ibusi film Hollywood ke luar negeri] membuat badan usaha distribus i film di sini seperti Sony, BMG, Universal di bidang musik rekaman. Lalu, kenakan pajak- pajak selayaknya seperti yang berlaku pada semua badan usaha asing maupun nasional.” Apa yang terjadi sesungguhnya di industri film layar lebar, menurut Hikmat Darmawan (2012) bahwa “hilangnya” rantai distr ibusi film lokal. Naik turunnya film Indonesia bisa terpantau saat pertama kali impor film Hollywood masuk ke negeri in i pasca-1945 (proklamasi kemerdekaan). Pertumbuhan film impor dan produksi lokal pun sama-sama meningkat, dan saat itu konsepsi IPR belum terbentuk. Perlindungan model bisnis movie release windows khususnya untuk film Hollywood belum terkonsep. Film produksi Hollywood sampai pertengahan 1950-an masih lebih banyak diputar daripada film lokal. Sejak era kolonialisme Belanda hingga peristiwa 1966, film Hollywood “dicegah”masuk ke nusantara dengan berbagai alasan. Melalu i Komis i Sensor Film yang bertanggungjawab langsung ke Gubernur Jenderal (kepala 65 AMELIA DAY pemerintahan Belanda di nusantara), dibuat peraturan pembatasan umur bagi film impor. Film buatan lokal tidak diber ikan aturan tersebut. Walhas il, dari 170 judul film impor (tahun 1940 hingga 1942) terdapat 88 judu l diklas ifikasikan semua umur, 59 judul khusus usia 17 tahun ke atas, dan sisanya 13 tahun ke atas. Halangan masuk terhadap film Hollywood in i karena film Amerika Serikat tersebut kerap menjelekkan negara-negara Eropa yang dulu pernah menduduki tanah Amerika. Selain itu, tercatat di tahun 1936 saja sudah ada 165 bioskop kecil dibangun rakyat di seluruh Indonesia, di antaranya di Ambarawa, Blitar, Kendal, Purworejo, Kepanjen, Bangil, Lumajang, Rengat, Bin jai, Bangka, Donggala, Lhokseumawe hingga Sambas. 4 9 Selain itu, untuk menjangkau daerah yang lebih terpencil, diselenggarakan bioskop kelilin g. Memasuki pendudukan Jepang, film impor dihentikan sama sekali. Produksi lokal pun hanya untuk propaganda Jepang. Jepang leb ih menyukai produksi film dokumenter, dengan tujuan agar Jepang dapat mendapatkan dukungan dan dana bagi Jepang dalam Perang Dunia Kedua (1942-1945) in i. Film in i diputar di daerah-daerah tanpa memungut biaya. Bioskop keliling digerakkan kembali untuk memutar film di daerah-daerah pekerja romusha. Film yang diputar di sini diutamakan untuk membangkitkan semangat kerja dan kesetiaan. Di era pemerintahan baru pasca-proklamasi 1945, kabinet pemerintahan yang dipimpin Soekarno-Hatta membentuk Departemen Penerangan, dengan tujuan utama mengumumkan ke dunia luar bahwa negara Indonesia telah terbentuk, dan ke dalam negeri bahwa rakyat harus tetap semangat untuk mempertahankan kemerdekaan. Sejak itu impor film Hollywood kembali bergejolak. Di tahun 1950 terdapat 660 judul film Amerika Serikat, 76 judul film China, 57 judu l film Inggris, 13 judu l film Perancis , dan 12 judul film India. Angka film impor Amerika Serikat naik menjadi 844 di tahun 1952. Terdapat juga 28 importir film dan hanya 11 produser film lokal saat itu. Sementara itu produksi film lokal di tahun 1950 hanya 23 judul, 1951 hanya 40 dan menurun lagi di tahun 1952 menjadi 37 judul. Tahun 1955 berdiri Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (PBSI), yang berganti nama menjadi Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) di tahun 1970. Asosias i ini ditujukan untuk menghadapi importir asing (Amerika) yang telah membentuk AMPAI, yang terdiri Paramoung, MGM, Universal, Fox, United Artists, RKO, Columbia, dan Warner Bros. [Sementara itu] importir nasional sebagian kecil tergabung 49 M. Sarief Arief, Manimbang Kahariady, Yayan Hadiyat, Permasalahan Sensor & Pertanggungjawaban Etika Produksi, Badan Pertimbangan Perfilman Indonesia, 1997, halaman 53-81. 66 GLOCAL MEDIA dalam Gabungan Film Importir Nasional Indonesia (Gafin i), Geliga, Tenaga Kita, Persari, Djakatraco, dan Ifdil. Kemudian Ifdil menggabungkan dir i dengan Serikat Importir Film Nasional (SIFIN) bersama ODO, Djakarta Film, Gamelan, Merpati, Intra, Inter Asia, Harapan, Nusantara, Kongsi Selatan, dan SMR Shahab. 5 0 Tingginya jumlah film impor dan importir film Hollywood (distribusi) semata hanya karena perhitungan untung-rugi semata. Pertama, penonton lokal menyukai teknik dan teknologi film Hollywood yang lebih canggih daripada film lokal. Kedua, dari sisi pengusaha bioskop (eksibisi) film lokal masih mahal: harga tiket sama, penonton tidak sebanyak film impor , dan pengusaha bioskop tetap membayar pajak sama. Pajak ke pemerintah daerah waktu itu harus dibayarkan bukan atas persentase dari royalti pemasukan tapi flat fee, sehingga jika tidak ada penonton pengusaha bioskop tetap membayar jumlah pajak yang sama . Alasan ketiga, film Hollywood dijual ke pengusaha bioskop (melalu i importir) dalam paket sejumlah film. Dengan sistem paket ini pengusaha bioskop bisa memperhitungkan ris iko investasi atas banyak film yang lebih murah biayanya. Biaya produksi film lokal waktu itu mencapai Rp 500 ribu, sedangkan untuk paket 8 judu l film seorang importir hanya mengeluarkan dana Rp 1,2 juta. 5 1 Asosias i importir film asing in i mengalami masa kejayaan di tahun 1952 hingga 1960. Tercatat rekor penonton 450 juta penonton di tahun 1960. Mendekati peristiwa 1966, pemerintah mengeluarkan pajak 200% atas bahan mentah karena film dianggap sebagai barang mewah. Banyak bioskop yang gulung tikar karena tidak mahalnya pita film. Perkembangan politik terkait Partai Komunis mulai memuncak, dan salah satu penggiat film lokal Djamaluddin Malik sempat ditahan karena dituduh “melancarkan protes” terhadap pemerintah. Film Hollywood diboikot masuk oleh Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) yang didukung oleh organisasi pendukung Partai Komunis, Lekra dan Sarbufis. Karena aksi ini, AMPAI ( American Motion Picture Association in Indonesia, atau sekarang MPA, Motion Picutres Association yang berkantor di Singapura dan Hong Kong) menutup kantornya di Indonesia (1963-1965). Setelah buka kembali di tahun 1968, beberapa pengusaha bioskop telah banyak yang tutup karena tak ada pasokan film. 50 Eddie Karsito, Menjadi Bintang: Kiat Sukses Jadi Artis Panggung, Film, dan Televisi, Ufuk Publishing House, 2008, halaman 128. 51 Ibid, halaman 116-122. 67 AMELIA DAY Pasca-1966 tak banyak film lokal diproduksi, dan baru 1968 fillm impor boleh diputar di bioskop kembali. Selan jutnya, Menteri Penerangan BM Diah mengeluarkan kebijakan untuk normalisas i/rehabilit as perfilman produksi lokal dengan wajibkan semua import ir film membeli saham produksi (berinvestasi) film lokal senilai Rp 250 ribu atas setiap judu l film yang diimpor. Bayangkan jika sebelumnya paket 8 (delapan) judu l film impor itu seharga Rp 1,2 juta (alias Rp 150 ribu per judu l), kali in i import ir harus mengeluarkan Rp 400 ribu per judul. Tentunya angka ini belum termasuk pemasukan setelah fim lokal tersebut diputar. Peraturan itu dikenal dengan Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 71 Tahun 1967. 5 2 Dari tabel di bawah ini, terbukti ada peningkatan jumlah produksi pasca-kebijakan BM Diah tersebut. Tahun Film Impor (judul) Film Lokal (judul) 1968 459 8 1969 784 8 1970 737 19 1971 759 55 Tabel jum lah film asing dan impor 1968-1971 (sumber: BP2N © 2000) Sepuluh tahun berikutnya, angka film lokal tak bergerak terlalu sign ifikan. Di masa in i juga fungsi distributor film lokal, sebagai jembatan dari produser lokal ke pemilik bioskop, mulai hilang. Awalnya adalah pada saat beberapa import ir film asing membentuk kartel import ir di bawah bendera Suptan Films, yang didirikan Benny Suherman tahun 1970. Sebelumnya Suptan Films hanya mengimpor dan mendistribus ikan film asing berbahasa Mandarin, tapi di bawah kendali Sudwikatmono, adik ipar Presiden Soeharto, memasuki tahun 1980, kartelisasi distributor film asing terbentuk. Menurut aturan, impor film disalurkan lewat tiga asosiasi, yakni Asosias i Importir Film Eropa-Amerika (AIFEA), Asosias i Importir 52 Ibid, halaman 152. 68 GLOCAL MEDIA Film Mandarin (AIFM), dan Asosiasi Importir Film Non-Mandarin (AIFNM). Ketiga asosiasi itu masing-masing mempunyai anggota, yang berhak mengimpor film untuk memenuhi kuota 160 (terdiri dari 80 film Eropa-Amerika, 45 film Mandarin, dan 35 film nonMandarin). Namun, kenyataannya, ketiga asosias i menyerahkan pelaksanaan impor kepada manajemen tunggal bernama PT Suptan Film. Padahal, perusahaan itu sehari-hari mestinya cuma mengurus impor film Mandarin. Tak jelas bagaimana hal itu bisa terjadi. Asal tahu saja, Benny Suherman selain direktur PT Suptan Film juga merangkap Ketua AIFM. Sedang Sudwikatmono juga menjabat komisaris PT Satrya Perkasa Esthetika , anggota AIFEA. Dari situlah, pengaruh itu merebak, sehingga berhasil merangkul Asosias i Importir Film (AIF) ke dalam satu kantor: PT Suptan. 5 3 Di saat bersamaan, diperkenalkan juga teknologi terbaru bioskop (eksibis i) yaitu dolby stereo system , sehingga audio menjadi jernih dan film bisa ditonton lebih menarik lagi. Beberapa bioskop kecil yang tak mampu menyediakan fasilitas in i tutup karena bioskop mereka tak lagi dilir ik penonton. Jelang akhir 1980-an bioskop besar di Jakarta pun harus bersaing dengan jar ingan Sinepleks 21 milik Sudwikatmono, yang juga pemilik PT Suptan Films. Jaringan sinepleks yang nyaman ini berada di bawah bendera perusahaan Subentra Group. Subentra juga merupakan mitra satu-satunya bagi Warner Bros. Studios dan Universal International Pictures. 5 4 Tutupnya bioskop karena teknologi dan kenyamanan, akhirnya secara alamiah membuka peluang monopoli bagi Sinepleks 21 (eksibis i). Selain itu Subentra pun, melalu i entitas PT Suptan, memonopoli semua film impor (distribusi). Menurut sumber TEMPO di Semarang, biaya pembangunan kedua gedung pertunjukan itu menghabiskan sekitar Rp 2 milyar. Dan kepemilikannya juga berbagi dengan Sudwikatmono. Enak? Sudah pasti. Apalagi,untuk setiap film yang diedarkan, SFS [PT Sanggar Film Semarang] tidak menggunakan sistem sewa, tapi dengan sistem bagi hasil. Caranya, setiap pendapatan bersih (setelah dipotong berbagai pajak dan biaya operasi) dibagi rata antara pemilik bioskop dan pengedar, 50:50... Hebatnya, sistem distributor tunggal seperti in i berlangsung pula di provinsi lainnya. Di Jawa Barat, misalnya, 53 Sri Pudyastuti R., Moebanoe Moera, Dwi S. Irawanto, Sarluhut Napitupulu, Zaman Keemasan Kelompok 21, Majalah Tempo, 29 Juni 1991. 54 Sumber: laporan The Hollywood Reporter, Volume 318, 1991, yang diunggah ke books.google.com. 69 AMELIA DAY hanya ada PT Kharisma, kemudian di Jawa Timur hanya ada PT Inarosa. Juga wilayah edar Sumatera, Kal-Tim, Kal-Sel, dan Indonesia Timur, hanya ditangani oleh PT Isae Film. Dan di setiap perusahaan distr ibutor tunggal itu, pasti ada saham Suptan, kata seorang sumber TEMPO yang lain. Dan itu, "Jelas merupakan monopoli terselubung," kata Budiati Abiyoga, seorang produser film nasional... Tidak aneh kalau banyak pengusaha bioskop (yang bertahan tanpa bergabung dengan grup 21) kelabakan. Soalnya, sebagai import ir tunggal, yang juga menguasai jalur distribusi sekaligus bioskop-bioskopnya, Suptan cs. tentu saja akan memprior itaskan film untuk bioskopnya sendir i. 5 5 Produksi lokal yang tadinya mulai bergairah pasca-1966, harus mengalami masa suram karena ketidakpast ian periode eksibis i yang waktu itu hanya melalui bioskop. Memasuki era 1990-an, film lokal memasuki masa suram. Dari tahun 1991 sebanyak 58 judul, memasuki tahun 1992 jumlahnya menjadi 31 judul, dan 1994 menjadi 26 judul. Produser lokal yang tak bisa bernegosiasi setara dengan pemilik bioskop (monopoli Subentra) akhirnya mulai mundur teratur. Di akhir 1980-an, telev isi sebagai pipa eksibis i alternatif baru ada TVRI. Televisi publik ini belum menemukan model bisn is terbaik untuk menyiarkan film layar lebar, kecuali produksi Perusahaan Film Negara atau film propaganda pemerintah Orde Baru. Televisi seperti RCTI dan SCTV yang diber i izin 1988 baru bersiaran melalui dekoder untuk wilayah layanan siaran terbatas: Jakarta saja (RCTI), atau Surabaya (SCTV) saja. Saluran TV berbayar seperti HBO belum ada sampai Indovis ion lahir dan membentuk saluran siaran 24 ja m Film Indonesia (1997) bekerjasama dengan penguasa saluran berbayar Star TV Hong Kong, anak perusahaan News Corporation. Telev is i kemudian menjadi alternatif pipa film loka l setelah beberapa stasiun TV lain seperti TPI, ANTEVE, dan Indosiar mulai bersiaran di awal 1991. Film-film Warkop DKI (Dono Kasino Indro) serta Benyamin Suaeb kerap ditayang di banyak TV. Film-film komedi in i selalu mendapatkan rating baik, terutama jika ditayang di hari-hari libur. Selain tak ada pemain yang berani berinvestasi lagi di film layar lebar, di masa itu ada masalah ketidaktahuan perihal kepemilikan hak cipta (copyrights) yang terkait hak penyiaran (broadcasting rights). Hak intelektual in i dikuasai segelintir produser masa lalu. Nilai royalt i untuk 55 Budi Kusuma, Sri Pudyastuti, Tri Budianto Soekarno Kerajaan Film Impor , Majalah Tempo, edisi 22 Juli 1989. 70 GLOCAL MEDIA film lokal lama biasanya dihargai senilai Rp 15 juta untuk 2 kali tayang selama 2 tahun untuk sebuah stasiun TV. Di tahun berikutnya, paket yang sama dijual ke stasiun TV lain. Hari ini, memasuki milen ium baru, film Indonesia tak lagi banyak diputar di stasiun TV yang jumlahnya telah melampau i 100 seluruh nusantara. Banyak produser film lokal veteran akhirnya beralih ke produksi tayangan TV lokal. Nama-nama seperti Raam Punjabi (PT Parkit Films), Ram Soraya (PT Soraya Intercine), dan Hendrick Gozali (PT Garuda Film) beralih ke produksi khusus untuk tayangan TV: sinetron. Jumlah produksi film lokal masih jauh di bawah jumlah film impor. Hal ini seakan menjadi fenomena abadi di negeri in i. Menarik benang merah antara produktivitas produser lokal dengan banyaknya pipa eksibisi di era digital ini, sejatinya berpikir bahwa pipa itu adalah “urusan pengusaha besar” dan isinya bisa menjadi “urusan pengusaha menengah-kecil”. Selain itu, untuk menghadapi kondisi global, kualitas film layar lebar dan tayangan TV adalah keharusan. Kuantitas semuanya juga harus dijaga agar “pipa tidak kering”. Hal terakhir in i dijaga benar olehpemerintah China saat memberlakukan peraturan 1 judul film setiap 6 minggu kepada Hengdian- Warner. Content is king, atau isi adalah raja. Di saat pipa yang ada bertambah banyak sementara penontonnya tetap, tayangan TV atau film yang paling menarik yang akan mengarahkan penonton ke satu pipa khusus. Cerita yang dinyatakan menarik setengah abad silam tak lagi relevan sekarang. Plot linier seperti kisah Cinderella tak lagi menarik jika tak ada sub-plot (cabang atas satu plot utama) atau mult i- plot (beberapa plot utama sekaligus), lengkap dengan penggarapan karakter yang kuat dan latar cerita (setting) yang telah dir iset dengan baik. Secara gamblang tayangan TV atau film layar lebar berada di dalam satu domain kreativitas (content) yang terkait dengan domain pipa (pipe) . Apa yang terjadi di Indonesia pasca-restrukturisasi kabinet pemerintahan berdampak pada penanganan kedua hal in i. Pipa berada di bawah pengaturan Kementerian Komunikas i dan Informasi (Kominfo) , terutama terkait dengan izin alokasi frekuensi dan satelit, standardisas i menara transmis i, hingga pembangunan infrastruktur internet. Sementara itu isi berada di beberapa kelembagaan, di antaranya: 1. Komisi Penyia ran Indonesia ditayang di stasiun TV/radio), (regulator atas semua yang 2. Lembaga Sensor Film (regulator atas sensor film, sinetron dan video iklan), 71 AMELIA DAY 3. Dewan Pers (regulator atas produk jurnalist ik media cetak, telev isi, radio dan media baru lainnya). Dari sekian banyak lembaga pemerintahan, ada pula Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif yang baru direstruktur dari Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan. Kebudayaan “dipindahkan” ke Kementerian Pendidikan Nasional (sehingga menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Restrukturisas i ini terjadi setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan reshuffle kabinet 18 Oktober 2011. Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif in i meneruskan “roadmap” atau “Peta Jalan” yang telah dibuat atas industri kreatif, yang dahulu dirumuskan oleh Departemen Perdagangan (sebelum berganti nama menjadi Kementerian Perdagangan). Peta Jalan Pengembangan Ekonomi Kreatif 2025 (“Peta Jalan 2025) in i dibuat tahun 2008 oleh Tim Indonesia Design Power yang juga dipantau langsung oleh Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu, yang hari ini menjadi Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif. Dalam Peta Jalan, dirumuskan 14 Subsektor Industri membaurkan pipa dan isinya dalam kotak-kotak membingungkan. Kotak tersebut adalah: Kreatif yang yang cukup 1. Periklanan 8. Permainan interaktif 2. Arsitektur 9. Musik 3. Pasar barang seni 10. Seni pertunjukan 4. Kerajinan 11. Penerbitan, percetakan 5. Desain 12. Telev isi & radio 6. Fesyen 13. Riset & pengembangan 7. Video, film, fotografi 14. Layanan komputer & piranti lunak Satu pertanyaan yang langsung keluar dari pengotakan in i, "komik" sebagai karya kreatif itu masuk dalam kotak apa? Dalam diskus i online Akademi Samali, kartunis kondang Beng Rahadian (2012) menyatakan bahwa pihak Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif meletakkan komik ke subsektor "penerbitan dan percetakan". Logika dunia digital hari in i kemudian berkembang, pada saat "komik" dibuat bergerak menjadi "animas i", kotaknya harus pindah ke mana? Pertanyaan lanjutannya, pada saat animas i tersebut menggunakan lagu tema (theme song atau soundtrack) yang dinyanyikan Syahrin i, apakah produki ini berada pada kotak berbeda dengan "musik"? 72 GLOCAL MEDIA Membagi peta industri kreatif, dengan harapan agar lebih mudah mengatur, tentu dengan melihatnya dari pipa dan isinya. TV dan radio adalah pipa yang menyalurkan isi video, film dan musik. Yang sedikit meragukan adalah "riset dan pengembangan", yang merupakan proses kegiatan dalam arti luas, baik ilmu alam ataupun seni. Sebagai pembanding, UNESCO (United Nations Educational, Scientific Cultural Organisat ion) badan di bawah Persatuan Bangsa-bangsa yang menangani kegiatan pendidikan, sains dan budaya dari para anggotanya, membedakan industri budaya dan industri kreatif. Keduanya adalah hal berbeda namun saling terkait erat. Dalam kajian Understanding Creative Industries , Cultural Statistics for Public-policy Making, diselenggarakan oleh unit statist ik, sektor budaya dari UNESCO, disampaikan bahwa UNESCO memberikan panduan bagi negara-negara anggotanya untuk mengkaji sektor industri kreatif dan mendorong prior itas untuk menyelenggarakan riset di sektor ini. Di tahun 1986, UNESCO mengeluarkan Framework of Cultural Statistics yang membagi realitas budaya di dunia dalam 10 kategori: (0) cultural heritage; (1) printed matter and literature; (2 & 3) music and the performing arts; (4) visual arts; (5 & 6) audiovisual media (5 cinema & photography; 6 radio & television); (7) socio cultural activities; (8) sports and games; (9) environment and nature. Harap diingat, di tahun 1986 dunia masih analog. Teknologi digital waktu itu belumlah sematang hari ini. Konvergensi pipa belum terjadi, sehingga setiap isinya dibedakan sesuai dengan pipa yang berdiri sendiri-sendiri. Selain itu, warisan budaya yang fisik, seperti “lingkungan dan alam” masuk dalam kategori “realitas budaya dunia”. Untuk yang terakhir ini, lingkungan dan alam bukanlah hasil kreativitas manusia. Formulasi ini diubah di tahun 2003 dengan kajian International Flows of Selected Cultural Goods and Services 1994-2003, sehingga cultural goods and services dibagi atas barang dan jasa yang bisa diperdagangkan adalah: heritage goods, printed media, recorded media, visual arts, audio-visual media . Di pembagian ini juga, sekali lagi, konvergensi media belumlah terjadi. Media rekam (audio atau audio-visual dalam pita kaset atau keping 73 AMELIA DAY CD/DVD) masih dipisah dengan media audio-visual (yang tak direkam atau siaran langsung dari TV atau radio). Pengotakan yang membedakan film layar lebar dan tayangan TV juga masih terjadi. UNESCO kemudian merevisi lagi menjadi “cultural industries” yang berbeda dengan “creative industries”, mengingat beberapa realitas budaya seperti pariwisata dan olahraga. Keduanya adalah realitas budaya, tapi bukan realitas kreatif seperti desain dan arsitektur. Dalam revisi Framework for Cultural Statistics 2009 (FCS 2009), UNESCO menekankan adanya pergerakan perdagangan dan perkembangan teknologi (trade & technology) yang membuat realitas budaya (tempat, kegiatan hingga produknya) juga harus dirumuskan ulang. Bagan Realitas Budaya UNESCO ©2009 Realitas budaya ini bisa berbeda antara satu tempat dengan tempat lain. Globalisasi adalah sebuah fenomena yang melahirkan realitas baru: Mult icu lturalis m and interculturalit y have created new products, new practices and mult iple identit ies. 5 6 56 UNESCO, The 2009 UNESCO Framework for Cultural Statistics (FCS), UNESCO Institute for Statistics (UIS), 2009, halaman 13. 74 GLOCAL MEDIA Untuk domain budaya, FCS 2009 ini mewakili realitas budaya khususnya tentang industri, kegiatan dan hasil pemikiran yang bisa dikelompokkan menjadi: A: Cultural and Natural Heritage; B: Performance and Celebration; C: Visual Arts and Crafts; D: Books and Press; E: Audio-visual and Interactive Media; and F: Design and Creative Services ICH: Intangible Cultural Heritage (transversal domain) Panduan Unesco sejatinya dibuat untuk pendataan realitas budaya dunia. Jika dijejer antara 14 subsektor industri kreatif yang dirumuskan pemerintah Indonesia dengan kajian UNESCO yang terakhir ini terlihat beberapa kesamaan. Sayangnya terjadi juga kerancuan perumusan. UNESCO jelas-jelas hanya memaparkan “content” dalam kategori di atas, sementara rumusan Departemen Perdagangan waktu itu mencampur-adukkan pipa seperti TV, radio dan pasar seni ke dalam kategori industri kreatif selain desain dan film di kategori lain. Dalam FCS 2009 juga disampaikan beberapa catatan, seperti contemporary visual art, contohnya lukisan aliran post-modern atau komik, masuk ke dalam “design & services”. Seperti yang telah disinggung di awal, karya komik masuk ke dalam “penerbitan & percetakan”. Sekali lagi, “penerbitan” adalah proses produksi, bukan proses kreasi. UNESCO juga menekankan bahwa realitas dan produk budaya itu dikaji dalam kerangka ekonomi dan sosial. UNESCO juga membagi tahapan siklus budaya (culture cycle) dalam lima yang saling terkait: 1. Kreasi, 2. Produksi, 3. Diseminasi, 4. Eksibisi/transmisi/penerimaan, dan 5. Konsumsi/partisipasi. Proses kreasi berulang kembali saat terjadi perdagangan (trade) dan adanya perkembangan teknologi baru (technology). Proses ini tidak runut, karena terkadang ada tahap yang dilakukan bersamaan oleh sang kreator: seorang musisi membuat lagu dan (kreasi) langsung menyanyikannya (diseminasi). 75 AMELIA DAY Realitas budaya di Indonesia hari ini seakan hanya Bali dan Jogjakarta, dua daerah pariwisata yang kaya akan dua hal: tradisi ritual (pernikahan, penguburan mayat, perayaan hari besar) serta kesenian (menari, bermain musik, dan lainnya). Sesungguhnya di tiap pelosok Indonesia, ritual dan bentuk kesenian sangatlah beragam. Bahkan di satu provinsi sekalipun, ada beberapa suku bangsa yang saling mempengaruhi tapi juga memiliki ciri khas tersendiri. Contoh untuk satu provinsi ini, misalmya, Sulawesi Selatan. Di daerah ini ada 4 suku bangsa utama (Mandar, Makassar, Bugis dan Toraja) yang memiliki ciri khas kuat tapi juga bisa terlihat benang merah keterkaitannya, mulai dari nilai-nilai dasar kehidupan hingga gerakan tarian dan detail pakaian yang dipakai. Bagan Siklus Budaya versi UNESCO ©2009 Dari demikian banyak kekayaan bangsa ini, yang tampil di layar lokal hanyalah segelintir. Itupun hanya berupa sekutip tarian yang disajikan membosankan dengan garapan visual seadanya. Belum ada video indepth investigation atas kisah Mahabharata di Indonesia yang berbeda dengan kisah berjudul sama di India. Belum banyak pula kisah epik kolosal dibuat secara serius dengan gaya Hollywood yang penuh intrik cinta terlarang. Beberapa tayangan bermuatan kisah daerah di TV biasa bergenre panggung lawak atau dokumenter. Trans Corporations, misalnya, memproduksi Opera van Java, dan Kelompok Kompas Gramedia menyajikan perjalanan ke titik gunung berapi di Indonesia dalam Cincin Api. Di jam prima (prime time) di televisi hari ini, karakter cantik dan ganteng hanya berkelahi dengan mata melotot dan tangan menghunus pisau, apakah itu karakter dalam tayangan genre drama ataupun genre berita. Hari ini tayangan drama jarang diproduksi dengan 76 GLOCAL MEDIA kedalaman filosofi lokal. Ambil contoh filosofi kehidupan suku Bugis seperti siri' (pamali, malu) dan assitinajeng (kelayakan, kepatutan), dua hal ini tak banyak diungkap dalam kisah-kisah modern baik di layar bioskop ataupun televisi. Kisah La Galigo yang terkenal seantero dunia ternyata tak terlalu dikenal secara mendetail di negerinya sendiri. Alkisah, Sawerigading (pangeran dari Kerajaan Luwu) menikahi We Cudai (putri kelahiran China daratan) karena ia mirip dengan kekasih lama Sawerigading: saudara kembarnya. Kisah epik kolosal dibumbui kisah cinta terlarang ini tak pernah diangkat di industri M&E lokal, bahkan untuk mendapatkan kisah dalam bahasa Bugis kuno ini dalam buku terjemahan adalah sulit, jika tak bisa dikategorikan mustahil. Upaya menjaga realitas budaya dengan nilai-nilai luhur nenek moyang bangsa ini tak dijalankan secara maksimal. Sementara itu, tenaga kreatif lokal kian membaik secara kuantitas ataupun kualitas. Hal ini terbukti dari banyaknya film dan sinetron diproduksi setiap waktu, hingga banyaknya film layar lebar yang menang di berbagai festival film di luar negeri. Memanfaatkan kekayaan sumber daya manusia dan sumber budaya di Indonesia, inilah saatnya bangsa ini meniru apa yang dilaksanakan bangsa China dengan strategi perang Sun Tzu dan filosofi Tao, warisan leluhur mereka. 77 78 GLOCAL MEDIA 6 SIMPULAN: VISI KREATIF 2025 Bangsa China hari ini mempercayai bahwa mengenal sejarah mereka berarti sejauh itu juga masa depan bangsa dirancang. Banyak bangsa besar lain di dunia, seperti India, Jepang, Korea Selatan dan Inggris yang masih menjaga peninggalan nenek moyang mereka dengan baik. Situs-situs kebudayaan terawat baik. Manuskrip atau buku kesusasteraan yang lahir di era sebelumnya terarsip dengan baik pula. Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang baru lahir tiga dekade terakhir, bangsa-bangsa besar dunia ini bahkan telah lahir ribuan tahun silam. Amerika Serikat, dengan latar sejarah “sependek” itu, memiliki visi kebudayaan yang jauh ke depan. Arsip film dan produk kebudayaan mereka lainnya tersusun baik. Dengan teknologi termutakhir, mereka bisa mengolah film hitam putih menjadi berwarna. Film ini pun mendapat sentuhan suara dan musik latar yang lebih memanjakan telinga. Cara berbisnis audio-visual seratus tahun terakhir dikristalkan di Amerika Serikat mengingat berbagai teknologi audio-visual berasal dari negeri ini selain Inggris, Jerman dan Jepang. Dengan modal teknologi, negara-negara ini telah mampu membuat produk audio-visual secara massal berkualitas. Amerika Serikat, dengan pusatnya Hollywood, telah mampu merajai industri M&E global, dan kemudian sedikit “berbagi resep sukses” mereka ke negeri China, terpaksa ataupun tidak. Bangsa China hari ini terbukti telah mampu meraih dunia dengan produk-produk budayanya, kasat mata atau tidak (tangible atau intangible). Di era Soeharto, mempelajari bahasa Mandarin bisa berarti makar terhadap negara. Hari ini, bahasa Mandarin banyak diajarkan di beberapa sekolah bertaraf internasional yang ada di kotakota besar seperti Jakarta. Medan dan Surabaya. Inilah realitas budaya China di Indonesia hari ini. Apa realitas budaya Indonesia di negeri China? 79 AMELIA DAY Menjawab pertanyaan di atas berarti memperhitungkan ratusan bahasa daerah, suku bangsa dan produk seni budaya dari Sabang sampai Merauke. Pengaruh global terhadap produk seni budaya lokal Indonesia selayaknya digarap semaksimal upaya China, seperti yang dikaji Fung (2008). Fung menegaskan bahwa proses ini semata-mata ditujukan untuk membangun raksasa produksi dan media China dengan resep Hollywood. Strategi pemerintah China ini kemudian menghasilkan produk budaya yang bisa dinikmati oleh penonton global. Besides the import of global content to supplement the shortage of the programming, the new way of programming, and management learned by global contacts can modernize and widen the variety, quality, and quantity of their programming … [A]ll these seemingly open media policy, as I would suggest, are intended strategies of the state, which, via the Chinesee media, avails itself of the opportunity to partner with foreign capital to promote the nation's image and culture. Memahami proses di atas, ada beberapa hal yang harus dikaji sebelum menentukan kebijakan yang terbaik untuk sektor M&E hari ini di Indonesia: mendata permasalahan, mengukur kemampuan dan kemungkinan terbaik, dan memperhitungkan strategi kebijakan dengan mendefleksikan pengalaman pemerintah China terhadap yang ada di Indonesia. Ada beberapa permasalahan yang serupa sebangun dengan negara China, terutama perihal infrastruktur atau pipa, entah menara terestrial, jaringan kabel serat optik atau satelit angkasa. Permasalahan utama di negara luas seperti China dan Indonesia adalah seperti konsentrasi infrastruktur (pipe) di Pulau Jawa, terutama untuk jaringan kabel dan menara terestrial. Antisipasi terhadap perkembangan teknologi komunikasi dan telekomunikasi juga menambah kompleksitas permasalahan pipa yang ada. Sesungguhnya perkembangan pipa global adaah saat teknologi transmisi sinyal elektromagnetis di awal 1900-an ditemukan. Teknologi audio-visual bioskop dikembangkan lebih awal lagi (1870-an). Penemuan demi penemuan ini berlangsung di negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Indonesia sebagai negara konsumsi media, lahir dan tumbuhnya industri M&E ini mengalami keterlambatan. Film pertama diproduksi di Indonesia adalah film bisu Loetoeng Kasaroeng di tahun 1926 (JB Kristanto: 1995). Di masa pendudukan Belanda, bioskop adalah tempat elit bercengkerama dan bersosialisasi. Sejarah pernah mencatat bioskop rakyat mulai banyak tumbuh hingga ke pelosok nusantara setelah masa Belanda ini. Bioskop mulai terkonsentrasi kembali di Pulau Jawa dan segelintir ibukota provinsi di Indonesia, terutama yang populasi padat, di saat impor film Hollywood dimonopoli di era 1980-an oleh pengusaha Jakarta. Keterlambatan juga terjadi di industri penyiaran televisi. TVRI lahir 1962, terlambat beberapa dekade dari Jerman, Amerika Serikat, dan Inggris sebagai inventor teknologi produksi dan transmisi TV. TVRI bersiaran pertama kali untuk menyiarkan pembukaan ASIAN Games IV di Senayan, Jakarta. Sebagai bisnis penyiaran TVRI didirikan terlambat 80 GLOCAL MEDIA satu hingga tiga dekade dibanding negara-negara Eropa (1930-an), Amerika Serikat (1940-an) ataupun Jepang (1950-an). Selanjutnya di Indonesia lahir 5 stasiun TV swasta pertama sebelum lahir Undang-undang Penyiaran 1994. Peraturan ini sesungguhnya mewajibkan semua stasiun TV swasta itu membangun menara retransmisi di 3 (tiga) wilayah waktu di Indonesia (WIB, WITA, dan WIT) secara merata. Yang terjadi kemudian di saat lima stasiun TV swasta memasuki tahun 1990-an, semua berburu lokasi di pelosok Pulau Jawa terlebih dahulu. Pemerataan pembangunan, apalagi hingga ke timur Indonesia, tak terlaksana baik. Di belahan dunia lain, konsep TV berjaringan telah matang sehingga pembangunan menara tersebar hampir merata di pelosok negeri. Disadari atau tidak, sejarah industri penyiaran secara global mengikuti perkembangan teknologi audio-visual. Diawali saat teknologi elektromagnetis, khususnya untuk penyiaran terestrial, beberapa negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang mengantisipasi perkembangan teknologi mulai dari tahap produksi hingga eksibisi. Semuanya bahkan berlomba membuat pabrik perangkat radio, televisi atau menetapkan standar perangkat (analog) hingga akhirnya terjadi konvergensi digital yang memudahkan meleburnya berbagai perangkat dan standar ini. Pipa alternatif melalui satelit baru lahir di akhir 1990-an, di saat Indovision dibangun oleh Kelompok Bimantara yang dimiliki oleh Bambang Trihatmodjo, Peter Gontha, Peter Sondakh dan beberapa mitra lainnya, dan sekarang dimiliki oleh Bhakti Investama, entitas usaha miliki keluarga Tanusoedibjo. TVRI menjadi satu-satunya alternatif di daerah yang belum tersentuh sinyal TV swasta. Di masa 1990-an ini pun jaringan kabel serat optik masih digunakan murni untuk telekomunikasi (audio) dan belum menjangkau daerah di luar Pulau Jawa. Awal 200-an, di Kalimantan dan Sulawesi, dua pulau blank spot sinyal televisi terestrial, mulai lahir operator kabel lokal. Pelanggannya hanya tetangga sekitar rumah sang operator. Waktu itu, biaya berlangganannya Rp 25-50 ribu pun termasuk murah dibanding Indovision (Rp 400 ribu per bulan plus biaya deposit dekoder Rp 3 juta di awal berlangganan). Lebih dari 250 juta penduduk Indonesia dari Sabang hingga Merauke hidup di puluhan ribu pulau kecil dan besar. Ada 33 provinsi dan lebih dari 500 kota/kabupaten dengan peta infrastruktur komunikasi yang berbeda: ada lembah, ada gunung, ada dataran, dan ada kepulauan yang terhubung dengan selat. Dengan topografi yang beragam ini, pemasangan jaringan kabel atau menara selayaknya dikaji oleh pemerintah daerah setempat. Kalimantan, misalnya, satu daerah blank spot karena tanah yang luas dan penduduk yang tersebar di banyak pelosok pulau, termasuk satu daerah yang membangun infrastrukturnya tanpa bantuan pengusaha dan penguasa Jakarta. Di Balikpapan dan kota-kota besar lainnya di Kalimantan Timur telah terpasang kabel serat optik di sepanjang jalan utama hingga beberapa kilometer ke perumahan rakyat. Kabel ini terutama diimpor dari China karena kabel kualitas serupa bisa berlipat harganya jika diimpor dari Jerman atau Amerika Serikat. Kabel untuk tautan terakhir ke rumah-rumah 81 AMELIA DAY (last mile) ini lebih murah dan dipasang oleh pengusaha televisi berlangganan lokal. Setiap operator bisa merangkul sepuluh tetangganya hingga seribu rumah di satu area dengan biaya berlangganan yang tentunya lebih murah pula. Bayangkan jika ada ratusan operator yang serupa di seluruh Indonesia. Walau hingga saat ini masih perdebatan, asosiasi para pengusaha TV berlangganan lokal ini menyatakan jumlah pelanggannya mencapai 2 juta. Angka ini masih di atas angka Telkomvision, Indovision, AoraTV dan First Media digabung sekaligus. Tabel Satelit Komunikasi dengan footprint fokus kawasan Asia (data per tanggal 19 Mei 2012, diambil dari www.lyngsat.com) ABS 1 ABS 1A ABS 7 Apstar 2R Apstar 6 Apstar 7 AsiaSat AsiaSat 2 AsiaSat 3S AsiaSat 5 AsiaSat 7 BSAT 2C BSAT 3A BSAT 3B BSAT 3C/JCSAT 110R ChinaSat 10 ChinaSat 5A ChinaSat 5B ChinaSat 6A ChinaSat 6B ChinaSat 9 Express A2 Express AM2 Express AM3 Express AM33 Express MD1 G-Sat 12 GE 23 Horizons 2 Insat 2E Insat 3A Insat 3C Insat 4A Insat 4B Insat 4CR Intelsat 15 Intelsat 18 Intelsat 5 Intelsat 701 Intelsat 8 JCSAT 1B JCSAT 2A JCSAT 3A JCSAT 4A JCSAT 5A JCSAT RA JCSAT 13 KazSat 2 Koreasat 5 Koreasat 6 Measat 2 Measat 3 82 Measat 3a N-Sat 110 NSS 11 NSS 6 NSS 9 Optus B3 Optus C1 Optus D1 Optus D2 Optus D3 Palapa C2 Palapa D SES 3 SES 7 ST 1 ST 2 Superbird B2 Superbird C2 Telkom 1 Telkom 2 Telstar 18 Thaicom 5 Vinasat 1 Yamal 201 GLOCAL MEDIA Masyarakat, baik dengan berbagai paket biaya berlangganan ini, mencerminkan kemampuan konsumsi media yang cukup tinggi. Daerah-darah yang tak terjangkau menara terestrial ataupun jaringan kabel ini biasanya dijangkau dengan satelit. Satelit milik pemerintah Indonesia ada di bawah anak perusahaan negara: PT Telkom (satelit Telkom 1 dan 2) dan PT Indosat (satelit Palapa B2 dan C2). Selain itu ada pihak swasta yang juga memiliki operator TV berlangganan: Lippo Group (JCSat13 atau LippoSat) dan Kelompok Global Mediacom (SES 7 atau Indostar 2). Lippo memiliki saham di operator kabel First Media, dan Global Mediacom pemilik MNC yang juga mengelola Indovision. Bandingkan dengan China yang memiliki paket Chinasat dan Asiasat. Chinasat murni milik pemerintah di bawah kementerian komunikasi informasinya, dan Asiasat di bawah badan usaha milik pemerintah China dengan bendera CITIC Group. Satelit komunikasi ini menyalurkan saluran berbayar hingga TV terestrial untuk jangkauan siaran yang lebih jauh. Melengkapi infrastruktur yang sudah ada ini (menara terestrial, kabel last mile, dan satelit), selayaknya juga dibangun jaringan kabel bawah laut (international submarine communications cable) dengan gateway dan backbone alternatif untuk mengatur trafik ke luar Indonesia . Infrastruktur ini menjadi kian penting jika mengingat jaringan internet global tergantung akan infrastruktur kabel bawah laut ini. Indonesia hanya tergantung akan Jakabare (Jakarta – Batam – Singapore) dan Jakasuraus (Jakarta – Surabaya – Australia). Walau teknologi komputasi awan (cloud computing) telah memudahkan penyimpanan data dengan cara desentral, beberapa hal masih berkiblat ke Amerika Serikat sebagai pusat registrasi domain .com, dengan lembaga nirlaba perwakilan pemerintah, yaitu ICANN (Internet Corporation for Assigned Names and Numbers). Untuk beberapa domain lokal (bukan .com) tentunya komputasi awan ini sangat menguntungkan, tapi untuk beberapa top-level domain seperti .com, .org, .edu dan seterusnya, akses yang cepat ke Amerika Serikat adalah keharusan. Selain urusan hubungan dengan dunia luar, Indonesia sendiri memiliki proyek dalam negeri yang cukup mulia: Palapa Ring. Palapa Ring adalah jaringan kabel serat optik bawah laut yang mengelilingi pulau-pulau terluar di Indonesia. Jaringan ini direncanakan menjangkau 33 provinsi di seluruh Indonesia dengan total panjang kabel laut mencapai 35.280 kilometer, dan kabel daratan hingga 21.807 kilometer. Proyek yang pada tahun 1998 diberi nama Nusantara 21 ini tertunda hingga hari ini. Permasalahan selanjutnya yang mungkin membuat permasalahan yang ada menjadi kian blunder (kusut) adalah perkembangan teknologi digital. Perangkat analog adalah terpisahnya televisi, bioskop, telepon dan komputer. Dengan teknologi digital setiap fungsi ini “melebur” jadi satu perangkat. Dengan beban trafik yang kian tinggi, apalagi setelah beberapa daerah terpencil mulai melek media, konvergensi digital yang tak diantisipasi akan menyebabkan bottleneck pipa penyaluran di dalam bahkan hingga ke luar negeri. 83 AMELIA DAY Ratusan pipa lahir setelah era 1990an. Dengn kondisi semua serba tertunda, dan kalaupun ada ia menjadi terkonsentrasi di titik tertentu, penanganan infrastruktur haruslah komprehensif. Hari ini, ada lebih dari seratus stasiun TV terestrial beroperasi di seluruh Indonesia, puluhan operator TV kabel lokal, dan belasan operator TV berlangganan satelit. Jika stasiun TV terestrial seeperti SCTV atau Trans7 menyiarkan produksi lokal, maka sebagian besar saluran TV berlangganan di Indonesia masih menyalurkan content asing. Saluran TV yang memiliki rating tertinggi adalah produksi Hollywood, seperti HBO (film layar lebar) atau Fox Crime (seri TV). HBO adalah perusahaan milik Viacom dan Fox Crime adalah milik News Corporation. Sementara itu ada juga produksi lokal di sauran berlangganans seperti SFI (Saluran Film Indonesia) yang lebih banyak menyiarkan film independen, karena jumlah film dari produser seperti Garuda Film atau Rapi Film terbatas. Kedua produser film ini setidaknya pernah produktif menghasilkan lebih dari lima produksi dalam satu tahun (kuantitas), atau pernah memenangkan Piala Citra untuk kategori tertentu. Kualitas sebuah film sesungguhnya memiliki beberapa kriteria yang saling terkait. Seperti halnya sebuah orkestra musik, produksi film tidak hanya tergantung pada seorang sutradara top, tapi juga harus ditunjang oleh kamerawan, penyunting, ilustrator musik, serta penulis skenario yang andal. Semuanya harus punya karakter kuat, apalagi jika ditunjang bantuan teknologi termutakhir. Sebuah film layar lebar dinyatakan sukses jika telah memenuhi beberapa faktor utama ini, yang kemudian menjadi semacam pakem kesuksesannya di pasar penonton. Selain terkait erat dengan kualitas sumber daya manusia kemampuan pemerintah memproteksi industri kreatif lokal juga menjadi faktor penentu. Pemerintah wajib melindungi pasar penonton lokal, terkait hal sosial, budaya hingga pertahanan keamanan. Pemerintah juga wajib melindungi para pemain lokal serta mendorong mereka ke pasar yang lebih luas: pasar global. Untuk masalah mikro, pemerintah juga wajib memperhatikan tiap tahap (produksi, distribusi, eksibisi) mulai dari pendanaan sebuah produksi hingga pemerataan menara hingga ruang bioskop di seluruh Indonesia. Sebuah pemerintahan, dalam tataran pengaturan global, harus menjalankan aturan terkait hak intelektual. Hak intelektual para pekerja kreatif ini lebih dikenal dengan istilah intellectual property rigths (IPR). Satu alasan pasti, selain IPR (intellectual property rights) ini telah disepakati banyak negara di dunia. Kesepakatan atau treaty ini dibuat untuk memudahkan akses berdagang antar-negara. IPR kemudian menjadi kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam WTO (World Trade Organization). Ekspor impor film layar lebar menjadi salah satu komoditas yang diperdagangkan nomor 5 terbesar di Turunan dari IPR ini adalah hak cipta, khusus untuk produk tidak kasat mata (intangible). Karya cipta ini pun memiliki kaitan dengan media rights, atau apapun yang disiarkan atau didistribusikan melalui media. Karya musik hanya terkait dengan hak cipta jika ia diperdengarkan secara terbatas, namun setelah dijadikan CD atau MP3 file atau disiarkan di televisi, karya cipta musik ini mendapatkan perlindungan media rights. Hak cipta yang 84 GLOCAL MEDIA “tak disiarkan” biasanya produk kasat mata (tangible) seperti lukisan atau desain jembatan berteknologi tinggi. Perlindungan media rights ini menjadi penting hari ini karena media global tak lagi mengenal batas waktu ataupun negara: Intellectual property used to be an arcane and boring subject, something for specialsts only, but within the past few years it had become a powerful influence on the way everyone has ideas and owns them, as well as on global economic output.57 IPR menjadi pelindung karya cipta audio-visual yang banyak diproduksi di Hollywood. Indonesia dibanjiri film bioskop dari Hollywood sejak 1950-an, sementara di saat yang sama China mulai memasuki era tertutup dari pengaruh asing. Di saat teknologi perekam mulai diproduksi massal salah satunya oleh Sony, Jepang, duplikat film bisa didapat di pasar ilegal. Di saat teknologi digital memudahkan penggandaan film dalam hitungan cepat dan siapapun bisa melakukannya, konsep IPR menghadapi kendala besar. Produk budaya yang terikat dalam proses analog, kini harus berhadapan dengan konsep supply-demand yang berbeda: pembatasan supply tak lagi dikendalikan konglomerat media. Sementarai itu, produksi amatir pun mulai banyak dibuat, dan media alternatif seperti Youtube.com dan Videolectures.net kian hidup. The cultural dinosaurs of our recent past are moving to quickly remake cyberspace so that they can better protect their interests against the future. Powerful conglomerates are swiftly using both law and technology to "tame" the Internet, transforming it from an open forum for ideas into nothing more than cable television on speed58 Teknologi digital yang memungkinkan penggandaan sebuah karya video, yang dahulu hanya didistribusikan secara terbatas melalui televisi dan bioskop. Video digital hari ini dengan mudah diunduh (download) secara lengkap di banyak situs internet, termasuk Youtube. Kebiasan berbagi (sharing) ini sesungguhnya kebiasaan lama, dan di dunia digital perilaku ini tak mengenal batas waktu dan ruang lagi. Indonesia dengan total pengguna telepon genggam pintar (smartphone) yang bisa terkoneksi ke internet menjadi salah satu negara yang masuk dalam daftar priority watch list59. Ini adalah daftar pelanggar terberat di mata produser video Hollywood dan pencipta piranti lunak. Negara-negara di daftar ini, selain Indonesia juga ada China, India, Pakistan, Thailand, Venezuela, Argentina, Russia, dan Canada, adalah pelanggar aturan TRIPS serta aturan dalam negeri Amerika Serikat, Section 182 of the Trade Act of 1974 dan Omnibus Trade and Competitiveness Act of 1988. 57 Richard Haynes, Media Rights and Intellectual Property, Edinburgh University Press, 2005, halaman 9. 58 Lawrence Lessig, Media Rights and Intellectual The future of ideas: the fate of the commons in a connected world, Random House, 2001. 59 Ron Kirk (Ambassador), 2010 Special 301 Report, The Office of the United States Trade Representative, 2010. 85 AMELIA DAY Khusus untuk video, proteksi pemerintah Amerika Serikat terhadap produk digital mereka adalah terkait film layar lebar dan seri TV. Federal Bureau of Investigation (FBI) dari Amerika Serikat kerap bekerjasama dengan pihak polisi Interpol negara-negara yang telah menandatangani perjanjian TRIPS untuk “memberantas pelanggar individu”. Kasus termutakhir adalah ditutupnya situs www.megaupload.com. Upaya ini disusul dengan tindakan pemerintah Selandia Baru dengan penangkapan warga negaranya, Kim Dotcom, sebagai pemilik situs ini. Inilah rentetan dari kesepakatan yang ditandatangani tanggal 7 Juli 2011 oleh pemain industri Amerika Serikat seperti Internet service providers (Comcast, Cablevision, Verizon, Time Warner Cable dan AT&T), RIAA serta perusahaan rekaman audio/video A2IM, MPAA dan studio film IFTA untuk menekan tingkat pembajakan online piracy.60 Sempat keluar pula di 2012 ini inisiatif rancangan peraturan Stop Online Piracy Act (SOPA) yang kemudian dibatalkan karena banyak pemain di sektor Internet yang tidak mendukung, seperti Google, Yahoo, Wikipedia, Huffington Post. Alasan utamanya, mereka adalah pemain baru yang besar karena internet, sedangkan anggota MPAA adalah pemain lama yang besar dengan pipa “tradisional”. Selain proteksi terkait hak intelektual ini, beberapa negara produser film dan seri TV memberlakukan pajak lebih tinggi terhadap produksi impor dibanding dengan produksi lokal. Varian dari kebijakan terkait pajak produk lokal ini adalah pemotongan pajak atau refundable tax credits jika produser asing bekerjasama dengan produser lokal untuk memproduksi di dalam negeri. Biasanya produser lokal memiliki fasilitas produksi yang lengkap dengan harga sewa lebih murah dibanding dengan negara lain. Contohnya adalah studio di Kanada yang memproduksi film layar lebar 300 yang berkisah tentang Persia jaman dahulu. Semua latar belakang kerajaan dikerjakan secara digital dan teknik kamera green screen, sehingga tak perlu ada pembangunan properti kerajaan yang luas dan mahal seperti studio alam Forbidden City di China. Produser Hollywood diberikan tax credits oleh pemerintah Kanada atas penggunaan studio digital itu di Kanada, sehingga produser ini akan mendapat keuntungan lebih: tidak membangun setting mahal dan mendapatkan keringanan pajak. Kebijakan pajak di Indonesia hari ini masih terhitung tidak strategis. Fokus dari pajak atau bea atas film impor hanya ditujukan pada “hambatan” tanpa lebih jauh melihat peluang kerjasama atau partnership atau co-production yang saling menguntungkan. Sebagai contoh adalah kebijakan pajak terbaru pasca-kisruh antara importir-distributorbioskop Kelompok 21 dengan Kementerian Keuangan pertengahan 2011. Tunggakan pajak dihitung berdasarkan kompleksitas klausul aturan pajak terdahulu, Peraturan Menteri Keuangan No. 75/PMK.03/2010 yang belum membedakan antara film impor dan film produksi lokal. Peraturan ini diganti oleh klausul yang lebih ringkas dan hanya untuk film cerita impor., yaitu Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.011/2011 yang mengatur Nilai Lain DPP (Dasar Pengenaan Pajak) atas PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Untuk 60 2011 U.S. Intellectual Property Enforcement Coordinator: Annual Report on Intellectual Property Enforcement, Executive Office of The President of The United States, Maret 2012. 86 GLOCAL MEDIA peraturan lama, kompleksitas klausul adalah jenis film impor (ataupun lokal) yang dibagi atas beberapa kriteria penerapan DPP PPN ini: a. untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor; b. untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor; c. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata; d. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film; e. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran; f. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar; g. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan; h. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli; i. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang; j. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau k. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. Atas aturan yang baru, hanya ada tiga kriteria khususnya untuk film impor saja: a. DPP PPN atas impor media Film Cerita Impor; b. DPP PPN atas penyerahan copy Film Cerita Impor kepada Pengusaha Bioskop; c. DPP PPh Pasal 22 atas impor media Film Cerita Impor. DPP PPN ditetapkan hanya Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) saja atas dua hal: 1) impor media Film Cerita Impordan 2) penyerahan copy Film Cerita Impor kepada Pengusaha Bioskop. 87 AMELIA DAY Selain itu, film impor juga dikenakan DPP Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan Pasal 22 ayat (2) dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan 61 atas impor Film Cerita Impor sebesar Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk (BM) dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor. Dari ketiga hal yang diatur kantor Kementerian Keuangan di Indonesia ini (PPN, PPh dan BM), belum ditemukan cetak biru di Kementerian Keuangan ataupun kantor kementerian terkait yang secara struktural mengatur sektor M&E khususnya untuk produksi film layar lebar ataupun produksi seri TV lokal. Cetak biru yang dimaksud tentunya berhubungan dengan arus modal asing masuk sekaligus proteksi terhadap pemain lokal. Apapun bentuk pajak atau bea yang ditetapkan pemerintah Indonesia, seharusnya ada cetak biru untuk melihat trickle effect atau dampak berkelanjutan dari kebijakan pajak seperti yang diterapkan di China ataupun Kanada terhadap produksi Hollywood. China melengkapi dengan studio alam besar dan kebijakan perlindungan atas hak intelektual di tingkat pusat, dan Kanada mempersiapkan studio digital dan keringanan pajak seperti tax credits yang bisa. “Cetak Biru Sektor M&E” untuk lingkup nasional hari ini hanya berupa “Peta Jalan Industri Kreatif 2025” yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan di tahun 2003. Peta Jalan ini kemudian menjadi tanggungjawab Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif sejak 2011 sejak reshuffle kabinet Indonesia Bersatu “Jilid 2”. Seperti yang telah diungkap di bagian sebelumnya, terdapat kerancuan konsepsi “pipe & content” hingga menimbulkan kerancuan prioritas kerja. Jika memang Peta Jalan ini mengacu pada FCS 2009 rumusan UNESCO, peta ini seharusnya bisa lebih komprehensif membagi kotak kategori sektor industri kreatif di Indonesia. Peta ini juga seharusnya dibuat dalam dua kotak kategori besar: pipa dan isi. Content adalah bagian yang banyak dikelola pemain lokal menengah-kecil, bahkan amatir sekalipun seperti yang banyak diunggah ke situs Youtube. Untuk itu industri kreatif khusus content bisa digarap secara lokal dengan masing-masing kekuatan budaya setempat. Pusat kegiatan kebudayaan di daerah seperti gelanggang remaja atau alunalun bisa menjadi prototipe pengembangan talenta dan produksi lokal, misalnya. Pusat kegiatan ini juga bisa dilengkapi dengan infrastruktur pemutaran film dengan teknologi digital yang tak memerlukan biaya tinggi dan ruangan luas. Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif bisa langsung bekerjasama dengan pemerintah daerah . Jika berpikir bahwa pipe bermodal besar, maka kantor kementerian yang dipimpin Marie Elka Pangestu ini bisa berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), untuk merancang dan membangun infrastruktur menara, kabel dan satelit di seluruh Indonesia, yang memang padat modal (pemain industri besar). Insentif bagi pemain 61 Undang-undang ini kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, yang mempertegas Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk mengatur dasar pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 perihal Impor. 88 GLOCAL MEDIA lokal bisa mengikuti pola kebijakan publik yang telah berjalan selama ini, namun kali ini harus dalam visi baru sektor M&E yang memudahkan investor asing tanpa menggusur ruang bagi pemain lokal. Visi ini juga sebaiknya melihat content sebagai suatu peluang strategis untuk memperkenalkan Indonesia ke mata dunia secara lebih komprehensif. Konsepsi Palapa Ring, dengan konsorsium pemain telekomunikasi besar di negeri ini, berjalan lambat hingga hari ini. Palapa Ring adalah jaringan infrastruktur kabel serat optik bawah laut yang mengelilingi Indonesia pantai terluar. Pemerintah mencanangkan tahun 2015 sebagai tahun ”Indonesia Broadband”, kemudian ditingkatkan menjadi ”Indonesia Digital” pada tahun 2018. Palapa Ring merupakan megaproyek pembangunan tulang punggung (backbone) yang terdiri dari 35.280 kilometer serat optik bawah laut (submarine cable) dan 21.708 kilometer serat optik bawah tanah (inland cable) pada 7 cincin (ring) melingkupi 33 provinsi dan 460 kabupaten. Program pemerintah ini mengalami kisruh pembiayaan, bahkan sejak pencetusan ide yang dibiayai konsorsium (PT Telkom, XL, Bakrie Telecom dan beberapa lainnya). Bahkan setelah akhirnya dibiayai dana USO (universal service obligation), pembiayaan proyek ini masih jadi perdebatan. 62 Selain konsepsi Palapa Ring, pemerintah juga telah merancang kerjasama Australia-Jepang untuk backbone jaringan internet baru ke kawasan Asia. Selama ini Indonesia hanya tergantung pada backbone di Singapura. Bayangkan, dengan pertumbuhan pengguna internet beberapa tahun terakhir (atas populasi penduduk dari Sabang hingga Merauke), satu jalur keluar masuk tidaklah lagi mencukupi. Sayangnya proyek jaringan serat optik bawah laut yang “menempel” jalur Australia-Jepang ini terhenti karena beberapa alasan yang tak jelas. Belum lagi ditambah dengan tertundanya Rancangan Undang-undang Konvergensi dari daftar prioritas pembahasan pemerintah dan DPR sejak 2009. Prioritas Balegnas (Badan Legislasi Nasional) Hal ini kian memperjelas arahan sektor M&E di negeri ini masih sangat tradisional. Sementara konvergensi digital yang memudahkan berbagai medium yang terpisah sebelumnya memiliki fungsi yang sama: memutar audio-visual secara paralel dalam waktu yang sama, berkomunikasi dua arah dan berselancar di dunia maya dengan leluasa. Indonesia yang luas ini terbagi atas puluhan ribu pulau dan lautan serta berbagai sungai dan pegunungan. Sayangnya, dengan kontur geografis dan kepadatan populasi yang berbeda di setiap daerah, negeri ini masih memiliki daerah blank spot (tiada sinyal) hingga daerah megapolitan yang kaya dengan media informasi dan sarana komunikasi berbagai bentuk. Sementara itu, teknologi termutakhir dunia adalah AR atau augmented reality atau realitas yang ditempelkan. Keberadaan seseorang bisa dipantulkan dari telepon selular tak hanya video dua dimensi, tapi juga pantulan cahaya badan manusia seutuhnya. Dalam waktu dekat, perangkat canggih ini akan diproduksi massal, yang tentunya dijual dengan harga terjangkau. Program pemerintah mulai dari Palapa Ring hingga antisipasi perkembangan teknologi global seharusnya juga melihat keunikan dari setiap daerah di Indonesia. Tak seperti China 62 http://www.indotelko.com/2012/03/palapa-ring-dibiayai-dana-uso/ 89 AMELIA DAY atau Amerika Serikat yang terdiri dari daratan luas, Indonesia adalah negara luas yang terdiri dari 17 ribu pulau dan kepulauan serta daratan pegunungan. Artinya, banyak daerah di Indonesia adalah daerah tiada sinyal atau blank spot areas. Daerah-daerah ini menjadi sangat terisolasi dari infrastruktur komunikasi, dan bisa diperparah jika jalur transportasi ke sana pun buruk atau tiada sama sekali. Contoh daerah ini terutama di Pulau Kalimantan, Pulau Papua hingga beberapa pulau-pulau kecil di bagian timur Indonesia. Bagan keunikan daerah di Indonesia dengan kondisi infrastruktur tak merata (kondisi hingga tahun 2012) Setelah mengupas beberapa permasalahan utama terkait “pipe & content” di atas, inilah saatnya mendefleksikan diri ke kebijakan yang diterapkan pemerintah China sepuluh beberapa tahun terakhir. Indonesia berada di persimpangan jalan hari ini. Selain bekal sumber daya manusia yang super-kreatif dengan aneka budaya serta sejarah besar para pemimpinnya sejak Srivijaya, Majapahit hingga Luwu, negeri ini juga dikaruniai tanah dan laut yang cantik. Modalmodal yang tak dimiliki negara lain ini patut dikaji dalam satu nafas dengan arus globalisasi. Belajar hingga ke negeri China adalah melihat bagaimana proses sepuluh tahun terakhir di negeri itu dengan melepas simpul hambatan perdagangan seperti Decree#44. Di Indonesia, regulasi masih belum sinkron antara banyak media (pipe). Bagaimana 90 GLOCAL MEDIA membedakannya dengan isinya (content) juga menjadi tantangan tersendiri. Konvergensi kemudiann adalah kata kunci yang menjadi wajib dipertimbangkan oleh para pembuat legislasi negeri ini. Peraturan yang wajib diwaspadai juga adalah yang terkait bea impor dan pajak sektor M&E. Kedua, pemerintah Indonesia juga bisa membangun atau setidaknya mefasilitasi pembangunan studio produksi yang megah dan berkualitas seperti milik Warner-Hengdian replika Forbidden City. Fasilitas ini dilengkapi dengan jasa terkait seperti penyewaan alat serta manajemen studio dan manajemen artis yang bisa dipercaya. Ketiga dan yang paling penting adalah infrastruktur bioskop dan pipa alternatif (jaringan menara dan kabel) bisa dibangun seantero negara. Pembangunannya harus melihat pada keunikan setiap daerah; misalnya, mengingat lokasi yang terpencil dan dikelilingi gunung, “layar tancep” di alun-alun sebuah desa atau kota kecil bisa menjadi satu alternatif sebelum ada bioskop atau jaringan kabel masuk ke daerah tersebut. Jika Palapa Ring selesai, khususnya inland cable, yang kemudian menjadi tanggungjawab pemerintah daerah adalah pipa alternatif untuk eksibisi lokal dalam format digital yang lebih murah. Keempat, dan yang terpenting, pemerintah harus melihat strategi investasi khusus untuk sektor M&E sebagai bagian dari kerja strategis badan usaha milik negara, terutama yang terkait perbankan atau perusahaan media. Pemerintah, melalui badan usahanya, kemudian bermitra dengan investor asing seperti News Corporation. Bentuk kemitraannya pun mengikuti format global, namun investor hanya boleh memiliki maksimal 49%. Selain itu, dengan format kemitraan seperti LLC (limited liability company), pajak bisa dipermudah oleh pemerintah. Yang lebih terpenting adalah trickle effect dari kemudahan pajak bagi pemain lokal. Empat langkah ini bisa menjadi Visi Global-Lokal Sektor M&E hingga dua dekade mendatang. Semoga. 91 92 BOOK TITLE 7 PUSTAKA & PRANALA Beberapa materi pustaka di bawah ini bisa dibaca selengkapnya di http://glocalmediabook.wordpress.com PUSTAKA Anonim, Menelusuri Kiprah Si Layar Lebar, Koran Jakarta edisi 23 April 2012. Anthony Y. H. Fung, Global capital, local culture: localization of transnational media, Peter Lang Publishing, 2008. Arpita Mukherjee, Paramita Deb Gupta, Prerna Ahuja, Indo-U.S. FTA: Prospects for Audiovisual Services, Indian Council for Research on International Economic Relations, Workking Paper 192, 2007. Budi Kusuma, Sri Pudyastuti, Tri Budianto Soekarno Kerajaan Film Impor , Majalah Tempo, edisi 22 Juli 1989. Carlos María Correa, Intellectual Property Rights, the WTO, and Developing Countries: The TRIPS Agreement and Policy Options, Zed Books, 12 Agt 2000. Dilip Hir, After empire: the birth of a multipolar world, Nation Books, 2010. Eddie Karsito, Menjadi Bintang: Kiat Sukses Jadi Artis Panggung, Film, dan Televisi, Ufuk Publishing House, 2008. George Stephen Semsel, Chinese Film: The State of the Art in the People's Republic, ABC-CLIO. Jing Wang, Brand New China: Advertising, Media, and Commercial Culture, Harvard University Press, 10 Apr 2010 , halaman 248. John Heider, Laozi, The Tao of Leadership: Lao Tzu's Tao Te Ching Adapted for a New Age, Humanics Publishing Group, 1985. JP Morgan Entertainment Group, Laporan Distributor Film Bina Film Ltd, 2011. 93 AUTHOR NAME Kata Pengantar, Melepas Pasung Kebijakan Perfilmnan di Indonesia, Catatan untuk Undang-undang Perfilman yang Baru,Warta Global Indonesia, 2001. Krishna Se & Terence Lee, Political Regimes and the Media in Asia, Routledge, 2008. Lawrence Lessig, Media Rights and Intellectual The future of ideas: the fate of the commons in a connected world, Random House, 2001. Lily Kong, Justin O'Connor, Creative Economies, Creative Cities: Asian-European Perspectives, Springer, 27 Mei 2009. Lu, X. Y., China's Xiaokang Society in the Year 2000, Nanchang, Jiangxi People's Publishers, 1991. Lucy Montgomery, China's Creative Industries: Copyright, Social Network Markets and the Business of Culture in a Digital Age, Edward Elgar Publishing, 2010. Lucy Montgomery, Troubled waters for the development of China’s film industry, An International Joint Research Project on Contemporary Chinese Media, Culture, and Society, hosted by Communication Arts Research Institute, Taipei, Taiwan, 2004. M. Sarief Arief, Manimbang Kahariady, Yayan Hadiyat, Permasalahan Sensor & Pertanggungjawaban Etika Produksi, Badan Pertimbangan Perfilman Indonesia, 1997. Michael Curtin, Playing to The World's Biggest Audience:the Globalization of Chinese Film and TV, University of California Press, 2007, halaman 193 Michael Keane, Anthony Y. H. Fung, Albert Moran, New Television, Globalisation, and the East Asian Cultural Imagination, Hong Kong University Press, 2007. Michael Learmonth, YouTube Gets Paramount Films Such as 'Tintin' and 'The Godfather' in Rental Deal, www.adage.com, 4 April 2012. Mohammad Johan Tjasmadi, 100 tahun sejarah bioskop di Indonesia, Megindo Tunggal Sejahtera, 2008. Paul Grainge, Brand Hollywood: Selling Entertainment in a Global Media Age, Taylor & Francis, 2008, halaman 112. Richard Haynes, Media Rights and Intellectual Property, Edinburgh University Press, 2005. Ron Kirk (Ambassador), 2010 Special 301 Report, The Office of the United States Trade Representative, 2010. Sri Pudyastuti R., Moebanoe Moera, Dwi S. Irawanto, Sarluhut Napitupulu, Zaman Keemasan Kelompok 21, Majalah Tempo, 29 Juni 1991. Sri Sukesi Adiwimarta, Antologi Sastra Daerah Nusantara: Cerita Rakyat Suara Rakyat, Yayasan Obor Indonesia, 1999. Stephanie Wong (ed.), Yum’s Offer for Little Sheep Gets China Antitrust Clearance, Bloomberg News, 8 November 2011. Steven Drakeley, The History of Indonesia, Greenwood Publishing Group, 2005. Tejaswini Ganti, Bollywood: a guidebook to popular Hindi cinema, Routledge, 2004. 94 BOOK TITLE Thomas L. McPhail, Global Communication: Theories, Stakeholders, and Trends, John Wiley & Sons, 2011. Tyler Cowen, Creative Destruction: How Globalization is Changing The World's Cultures, Princeton University Press, 2004. Ulbe Bosma & Remco Raben, Being "Dutch" in the Indies:A History of Creolisation and Empire, 1500-1920, NUS Press, 2008. Ulf Hannerz, Transnational Connections: Culture, People, Places, Routledge, 31 Jul 1996. UNESCO, The 2009 UNESCO Framework for Cultural Statistics (FCS), UNESCO Institute for Statistics (UIS), 2009. USEO, 2011 U.S. Intellectual Property Enforcement Coordinator: Annual Report on Intellectual Property Enforcement, Executive Office of The President of The United States, Maret 2012 Wang, Georgette and Yeh, Emilie Yueh-yu , Globalization and Hybridization in Cultural Production: A Tale of Two Films, Working Paper. David C. Lam Insitute for East-West Studies, 2005. Wayne M. Morrison, China-US Trade Issues, Congressional Research Service, www.crs.gov, halaman 2, 2011. William Patry, How to Fix Copyright, Oxford University Press, 8 Mar 2012. Ying Zhu, Chinese Cinema During the Era of Reform: The Ingenuity of the System, Greenwood Publishing Group, 2003. PRANALA http://www.baidu.com, situs ensiklopedia lokal seperti Wikipedia http://info.hktdc.com/alert/cba-e0804c-2.htm http://www.boxofficemojo.com 95 96 GLOCAL MEDIA TENTANG PENULIS Amelia Day pernah bekerja di biro iklan Zentha, stasiun TV terestrial SCTV, saluran TV berlangganan via satelit Film Indonesia, majalah industri penyiaran, hingga Komisi Penyiaran indonesia,. Beberapa tahun terakhir ia mengabdi sebagai dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia serta analis kebijakan publik di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Inilah buku kedua setelah Buku Pinter Televisi yang ditulis secara indie dan bisa diunduh gratis di www.slideshare.net/AHD. Ia pun sesekali masih menulis di blog ameliaday.wordpress.com dengan tag sederhana: Public policy, media, and me. 97 AMELIA DAY 98 GLOCAL MEDIA CATATAN: 99